Antara banal, binal, dan ’ndeso: eksotisisme Yogyakarta dalam film Indonesia Dipublikasikan pada karbonjournal.org (http://karbonjournal.org)
Antara banal, binal, dan ’ndeso: eksotisisme Yogyakarta dalam film Indonesia Oleh Grace Samboh Dibuat 08/26/2009 - 19:56 Oleh Grace Samboh (26 Agu 2009 - 19:56)
03.MMM-LanskapSawah.jpg [1]
Grace Samboh bukan asli Yogya, namun ia merasa risih melihat bagaimana kota-tinggalnya digambarkan. Melalui esai ini, ia memaparkan bagian-bagian yang janggal dari film-film buatan sutradara yang menurutnya tak jengah terus-menerus menjadi turis lokal di Yogyakarta.
APAKAH YOGYAKARTA hanya seluas Malioboro, Wijilan, Tugu, dan desa-desa bersawah luas? Tentu tidak. Untuk pilihan tempat makan kaki lima, Anda bisa mengunjungi UGM (Universitas Gajah Mada) Boulevard di wilayah Utara. Pasar Beringhardjo di Malioboro memang merupakan salah satu pilihan tempat berbelanja, namun itu bukan satu-satunya. Masih ada barang bekas bertumpuk di Pasar Klithikan, barang-barang kerajinan berbahan rotan di Godean, atau batik di Imogiri dan Taman Sari. Bahkan, kompleks pelacuran, entah legal atau tidak, bukan hanya Pasar Kembang di Malioboro tetapi juga di Kotagede. Tugu memang menjadi landmark kota pelajar ini, tetapi penggambarannya dalam sejumlah film sering menimbulkan kesan bahwa pembuatnya perlu cara cepat untuk menunjukkan bahwa kota yang diceritakan adalah Yogyakarta.
PEMANDANGAN KOTA YANG BANAL Untuk lanskap kota, lihat Mengejar Mas-mas (Rudi Soedjarwo, 2006) yang menampilkan Yogyakarta sebatas Pasar Kembang, Malioboro, Tugu, dan Wijilan (Gambar 1). Dalam film ini, lokasi-lokasi tersebut tampil mengikuti kisah Shanaz (Poppy Sofia) yang sampai di Stasiun Tugu tanpa membawa uang. Bagi saya, ganjil rasanya melihat Parno (Dwi Sasono), seorang pengamen dan penduduk kota asli yang berkenalan dengan Shanaz dan akhirnya membawanya makan gudeg di Wijilan. Di sana, seorang seniman jalanan menggambar karikatur wajah Shanaz (Gambar 2). Walau akhirnya mereka menghabiskan hari di desa bersawah luas dan berpemandangan indah (Gambar 3)—yang bagi saya adalah salah satu bentuk eksotisisme—aktivitas mereka sebelumnya memerlukan biaya tinggi apabila diukur dengan standar Yogyakarta. Apalagi mengingat Parno hanyalah seorang pengamen dan, saya ulangi, Shanaz tidak membawa uang samasekali. Tak jauh berbeda, adalah Cerita Yogya karya Upi Avianto dalam omnibus film Perempuan Punya Cerita (2008) produksi Kalyana Shira. Di sana Yogyakarta digambarkan Upi melalui Malioboro, Wijilan, Tugu, dan Stadion Kridosono—sebagai tempat muda-mudi dalam film menghabiskan waktu luang (Gambar 4). Lucunya, Stadion Kridosono hanya akan Anda temukan ramai saat konser musik, bukan saat pertandingan sepak bola, apalagi sampai menjadi tempat nongkrong anak-anak muda. Sebenarnya sah saja sebuah film menampilkan apapun yang diinginkan pembuatnya sehingga tidak harus sesuai dengan keadaan di luar film—toh ini bukan dokumenter—selama logika penonton akan film dan ceritanya dikonstruksikan dengan baik sejak awal. Cerita Yogyajuga menceritakan tentang sebuah warung internet (warnet) yang menyediakan bilik untuk berhubungan seks jangka pendek beserta penjaganya yang selalu terlihat membaca koran merah atau buku stensil. Sekelompok anak-anak pria yang nongkrong di warnet itu digambarkan mencari film porno di Malioboro. Ini juga lucu (Gambar 5). Apabila Anda ke Malioboro, Anda tidak akan menemukan satupun penjual CD/VCD/DVD. Lagi-lagi masalahnya adalah pembuat film mencari jalan pintas untuk menunjukkan bahwa lokasi dalam filmnya adalah Yogyakarta. Peminjaman tempat beserta bagian-bagian yang ada di dalamnya secara sambil lalu dalam film, seperti yang dilakukan beberapa pembuat film pada contoh di atas, biasa disebut visit filmmaking (atau tourism filmmaking) (Gambar 6). Yogyakarta yang dikenal turis adalah Malioboro. Jika area yang telanjur ikonik ini dijadikan cara
Antara banal, binal, dan ’ndeso: eksotisisme Yogyakarta dalam film Indonesia Dipublikasikan pada karbonjournal.org (http://karbonjournal.org) mudah untuk mengenali latar kota dalam film-film lainnya, Mengejar Mas-mas (Rudy Soedjarwo, 2007) rupanya menggambarkan Malioboro dengan sedikit berbeda. Malioboro di sana tak terlalu ramai karena rentang waktu dalam ceritanya memang bukan musim liburan, serta banyak makanan lesehan lengkap dengan pengamen-pengamennya. Sesuai dengan kenyataan pada waktu nyata dan waktu film itu (Gambar 7). Jagad X Code (2009, baca: Jagad Kali Code) bahkan berhasil menampilkan pemandangan kota yang itu-itu saja dengan tepat. Harus diakui, perkampungan di sepanjang Kali Code yang dibangun dan diperjuangkan Romo Mangunwijaya semenjak pertengahan 1980-an sampai akhir hayatnya itu memang lanskap yang sangat menarik. Film besutan Herwin Novianto menampilkan lanskap kota yang kaya dengan keindahan keseharian ini tanpa kegenitan eksotisisme. Mulai dari area Kraton, Pasar Ngasem, Istana Air Taman Sari, Pasar Beringhardjo, perempatan Kantor Pos Besar, perumahan elit pemerintah di kawasan Timoho, sampai Kali Code (Gambar 8). Hebatnya, semua daerah itu diekspos dengan perspektif yang tidak turistik dalam film besutan Herwin Novianto ini (Gambar 9). Jagad (Ringgo Agus Rahman) dan teman-temannya memang dikisahkan sebagai anak Kali Code, Regina (Tika Putri) adalah anak pejabat korup yang tinggal di Timoho, dan sisanya adalah arena kejar-kejaran mereka. Yah, walaupun hanya dengan menonton sekilas saja, saya sih sadar kalau rute kejar-kejarannya sungguh tak masuk akal. Coba cek rute kejar-kejaran mereka yang saya corat-coret ini (Gambar 10). Ya, film memang punya logikanya sendiri. Film tak perlu sesuai dengan realita. Namun menjadi masalah bagi saya ketika sebuah film yang berangkat dari realita—dengan mengambil elemen-elemen nyata (seperti papan penunjuk arah, plang nama jalan dan area-area yang sekilas pandang mudah dikenali)—tidak menggabungkan fakta dan fiksi tersebut dengan logis. Eksotisme adalah kata kunci, nyaris bagi semua hal ini, dari ruang luar kota Yogyakarta, anggapan warga yang ndeso, sampai interior rumah. Kita bisa lihat beberapa adegan terakhir 3 Hari untuk Selamanya (Riri Riza, 2006), sebuah film perjalanan yang seharusnya hanya setengah hari, tentang Yusuf (Nicholas Saputra) dan Ambar (Adinia Wirasti) menuju rumah nenek mereka di Yogyakarta. Setelah mereka berputar-putar selama tiga hari—mungkin untuk mencapai durasi film layar lebar yang umumnya kurang lebih 100 menit—sampailah mereka di rumah sang nenek yang modern secara arsitektur dan interior. Rumah nenek memang tidak harus berupa rumah Joglo dan kuno, namun sangatlah klise ketika isinya penuh dengan barang-barang nonfungsional namun eksotis. Tatanan rumah yang dipenuhi dengan perabotan eksotis ini tidak punya relevansi apapun dengan cerita (Gambar 11).
MASYARAKAT KOTA YANG KAMPUNGAN: STEREOTIPE WONG ‘NDESO? Bagi sejumlah pembuat film Indonesia, Yogyakarta rupanya tak hanya eksotis dan ndeso. Melalui Mengejar Mas-mas, sutradara Rudi Soedjarwo juga mencoba menggambarkan kehidupan sosial di lingkungan pertetanggaan di Yogyakarta melalui film ini, setidaknya di daerah pelacuran Pasar Kembang dan di sekitar rumah tinggal Ningsih alias Norma (Dina Olivia). Sayangnya, ibu-ibu tetangga Ningsih tetap digambarkan bodoh. Kepada sejumlah tetangganya yang manutsaja, Ningsih menjelaskan, “…ndak boleh percaya 100% sama suami! Jangan takut masalah hak wanita! Lha wong sekarang ini, sudah ada departemennya sendiri loh, untuk urusan wanita… Iya! Ada menterinya juga loh! Eh, menterinya itu wanita, lagi!” (Gambar 12). Sekalipun bisa melepaskan diri dari Malioboro yang eksotis, film ini tetap menggambarkan kalau lingkungan Yogyakarta dihuni oleh wong ‘ndeso, padahal daerah tempat Ningsih tinggal adalah di sekitar Malioboro itu sendiri, sebuah pusat kota. Berbeda dengan Mengejar Mas-mas, Cerita Yogya menggambarkan muda-mudi Yogyakarta sebagai manusia-manusia banal dan binal. Film diawali dengan seorang perempuan berseragam SMU yang marah dan setengah berteriak di depan orang banyak, meminta pertanggungjawaban seorang pria yang berseragam juga, karena temannya, pacar pria itu, hamil (Gambar 13). Si pacar menolak, karena tohperempuan itu “digilir” bersama teman-temannya yang lain. Bisa saja kelompok tersebut benar-benar eksis di Yogyakarta; masalahnya, film pendek yang ditulis oleh Vivian Idris ini tidak berhasil membangun karakternya. Adanya kumpulan anak muda yang dalam kesehariannya bukan hanya membicarakan dan bercanda tentang hubungan seks, tetapi juga mempraktikannya tanpa rasa malu dan bersalah, sungguh terasa ganjil. Karakter-karakternya pun terlihat sedang berakting,
Antara banal, binal, dan ’ndeso: eksotisisme Yogyakarta dalam film Indonesia Dipublikasikan pada karbonjournal.org (http://karbonjournal.org) samasekali tidak alami. Selain itu, skenario film ini terasa pretensius. Di dalam kamar hotel Jay (Fauzi Baadila), Safina (Kirana Larasati) dengan senyum lugu-tapi-nakalnya mengatakan bahwa ia dan teman-temannya tidak seperti anak-anak Jakarta yang harus check in (di hotel) untuk berhubungan seks. Adegan berlanjut ke sebuah kamar lain, dari sana terdengar jelas suara pasangan (remaja) sedang melakukan hubungan seks. Di luar kamar itu, beberapa pasang muda-mudi yang berkumpul sambil bermain Play Station, bermesraan, bersenda-gurau, merokok, minum-minuman keras, dan mengganja. Seorang ibu berjilbab, ibu pemilik rumah yang mereka tongkrongi, lewat sambil berbasa-basi ramah dengan mereka (Gambar 14). Hal ini lucu bagi saya, karena ketika saya, seorang perempuan dewasa, merokok di lobi pascasarjana sebuah kampus saja hampir selalu menjadi pusat perhatian dan dipandangi dengan seksama, dari sepatu hingga rambut, oleh para perempuan berjilbab yang lalu-lalang—apalagi sampai mabuk dan mengganja. Lain halnya dengan Otomatis Romantis (2008). Film besutan Guntur Soehardjo ini mengamini stereotipe penduduk Yogyakarta yang dibangun oleh film-film sebelumnya bahkan tanpa perlu menggunakan latar kota Yogyakarta. “Bambang yang orang Jogja itu?” tanya Nadia (Marsha Timoty), pemimpin redaksi majalah GAYAkepada penata busananya. Nadia marah besar saat tahu salah satu modelnya batal datang pemotretan dan si penata busana menggantinya dengan Bambang Setiadi (Tora Sudiro), salah satu pesuruh kantornya (Gambar 15). Anda akan sering menemukan kalimat ”Bambang yang orang Jogja itu?” dengan nada yang variatif dalam film yang mengangkat tentang klise hubungan antara atasan dan bawahan ini. Saya ingat bahwa kalimat itu justru muncul saat Bambang sedang melakukan hal-hal yang tidak ‘kampungan’. Misalnya, saat Bambang dikontrak menjadi model selama setahun oleh pemasang iklan di majalah tempat ia bekerja (Gambar 16). Semua itu bermula ketika Bambang mengajukan diri untuk mencoba menulis artikel dalam majalah yang digambarkan mirip dengan majalah Cosmopolitan ini. Ia mengaku pernah menjadi penulis sebelumnya di Yogyakarta: “… di majalah petani,” aku Bambang dengan muka sumringah dan logat medok yang tidak pas (Gambar 17). Pernyataan Bambang ini membuat kota asalnya seakan-akan adalah desa; maka, Bambang harus selalu ‘ndeso dan ‘kampungan’. Padahal, sekali lagi, Yogyakarta adalah kota. Kalaupun di Yogyakarta ada area perkampungan, itu wajar, toh kampung memang adanya di dalam kota. Kampung Kali Code, misalnya, yang kemudian digambarkan dalam film Jagad X Code (Herwin Novianto, 2009). Film ini mengisahkan Jagad dan kedua temannya yang disuruh preman lawas bernama Semsar (Tio Pakusadewo) untuk mencuri flashdisk dari tas seorang perempuan. Para pengangguran ini tentu mau-mau saja, apalagi konon bayarannya 30 juta. Masalahnya, mengutip 21cineplex.com, “karena kesenjangan teknologi, mereka bertiga tak tahu apa itu flashdisk.” (Gambar 18). Kontan kita tahu, ini film komedi—perkara benar-benar lucu atau tidak, tidak ada hubungannya dengan penentuan genre film ini. Namun soal kesenjangan teknologi? Hm, 21cineplex.com sih bisa saja asal menuliskan itu. Atau, publicist film produksi Inno Maleo Pictures itu yang asal tulis. Yang pasti, sepanjang film, tak ada penjelasan apapun soal kesenjangan teknologi. Sekali lagi, masyarakat Yogyakarta, walau dalam kasus ini hanya di Kali Code, digambarkan bodohmungkin ini cara mudah supaya film ini sukses jadi film komedi. Padahal, hubungan antara kebodohan mereka dengan daerah rumah mereka, Kampung Kali Code, tidak disinggung (apalagi dijelaskan) dalam film ini. Yang pasti, kesan itulah yang tertangkap sejak saya membaca sinopsis film ini, apalagi setelah menonton. Ah, lagi-lagi soal kampung dan ‘ndeso. Jagad X Code dibuka dan diakhiri dengan musik latar rap berbahasa Jawa yang dibawakan oleh Jahanamkru hip-hop asal Ngayogyakarta yang dikenal karena rap Jawanya. Salah satu personel Jahanam, Heri Wiyoso yang dikenal sebagai Mamok (biasanya dituliskan: M2MX), bertempat-tinggal di Kampung Kali Code. Kebetulankah? Entah. Yang pasti, Mamok yang saya kenal samasekali tidak seperti Jagad, Bayu, Gareng, atau siapapun tokoh pemuda Kali Code dalam film ini. Ia juga bukan sosok terpelajar yang berpotensi korupsi dengan penampilan seperti ayah Regina (Ray Sahetapy). Tapi, saya yakin Mamok tak mungkin tak kenal flashdisk. Pasalnya, musik hip-hop yang digarap Jahanam semenjak 2003 itu diproduksi secara digital (sering juga disebut musik elektronik; bukan karena alirannya, tetapi karena cara pembuatannya). Saya bukannya ingin mengatakan Mamok bisa mewakili seluruh penghuni Kali Code; saya hanya ingin mengilustrasikan bahwa menggambarkan ketertinggalan wawasan teknologi yang sedemikian ekstrem di akhir dasawarsa pertama abad ke-21
Antara banal, binal, dan ’ndeso: eksotisisme Yogyakarta dalam film Indonesia Dipublikasikan pada karbonjournal.org (http://karbonjournal.org) ini samasekali tidak masuk akal. Melucu bukannya harus masuk akal, tapi setidaknya melucu perlu keterampilan khusus supaya penontonsetidaknya sayatidak merasa dihina karena tak bisa merasionalisasinya. Mungkin, kalau film ini muncul pada awal 2000, saya masih bisa menganggapnya lucusekali lagi, mungkin. Ya, Jagad X Code memang menggambarkan masyarakat Yogyakarta yang berbeda dengan Cerita Yogya yang menggambarkan kehidupan seksual remaja yang tidak merepresentasikan muda-mudi Yogyakarta. Remaja Yogyakarta, walaupun memang berkarakter urban, tetap tak lekang dari tradisi. Bukan berarti remaja kota ini masih berkebaya ke mana-mana. Namun dalam keseharian, apalagi bagi mereka yang masih berbahasa Jawa, mereka tidak mungkin melanggar norma-norma pada umumnya—setidaknya pada tatanan penampilan. Walaupun sejumlah penelitian membuktikan bahwa Yogyakarta adalah kota dengan angka keperawanan pelajar paling rendah, kebudayaan Jawa yang kental di kota ini belum mengizinkan adanya kevulgaran yang sedemikian rupa hadir dalam pergaulan sehari-hari. Simak beberapa tokoh perempuan dalam film pendek Cerita Yogya, yang merupakan satu dari empat film yang dinyatakan para pembuatnya sebagai “film tentang, oleh, dan untuk perempuan ini”: [1] pemakai seragam putih abu-abu dan berjilbab yang asyik saja merokok di tempat umum tanpa dikomentari orang-orang sekitarnya, sementara seorang turis domestik perempuan yang merokok sambil berjalan di sepanjang Malioboro saja menjadi pusat perhatian; (Gambar 19) [2] siswi SMU yang tanpa beban tetap nongkrongbersama orang-orang yang menghamilinya, padahal sebelumnya ia digambarkan panik akan kehamilannya, takut aborsi, sehingga akhirnya meminta dikawini; dan [3] perempuan munafik yang berpikir logis, awalnya terlihat lebih berprinsip daripada teman-temannya, akhirnya menyerahkan keperawanannya pada seseorang atas nama cinta, padahal ia tahu pemuda ini hanya pendatang yang tinggal di hotel, bukan kost (yang berarti sangat sementara) (Gambar 20). Sedangkan tokoh-tokoh lawan jenisnya: (1) pria SMU yang rela pacarnya “digilir” teman-temannya, namun takut ketahuan oleh ibunya bahwa ia sedang berhubungan seks; (2) pria berseragam putih abu-abu dengan wajah muda yang dengan bangganya memamerkan bahwa ia telah memerawani gadis berseragam putih biru, tetapi terlalu bodoh untuk menyadari bahwa ia dicurangi teman-temannya sehingga harus menikahi perempuan yang “digilir” tadi; dan (3) pria yang menawarkan solusi mengawini perempuan hamil tadi dengan cara mengundi nama dalam kaleng bir bekas dengan alasan semua merasakan enaknya, tetapi tidak tahu apa itu Miyabi—alias Maria Ozawa, bintang film porno Jepang yang sangat populer. Mengejar Mas-mas lain lagi. Film ini menggambarkan ekspresi kaget, takut, bercampur jijik di muka pemuda berprofesi pengamen di Malioboro itu pada saat Shanaz berkata “… gua udah bosen ngeseks!” (Gambar 21). Film ini membangun stereotipe penampilan pemuda Yogyakarta. Lihat saja baju lurik dan blangkon yang selalu dikenakan Parno. Apabila Anda bertandang ke Yogyakarta, saya jamin Anda akan kesulitan menemukan pengamen muda di Malioboro mengenakan celana batik, apalagi baju lurik (Gambar 22). Parno juga dikenalkan sebagai pemuda bersepeda—yang memang sesuatu yang akan sering Anda temukan di Yogyakarta—yang terlalu bodoh untuk memperbaiki rem blong yang sering membuatnya jatuh. Adegan ini memang lucu saat pertama kali muncul, tetapi untuk yang kedua dan ketiga, terlihat kalau penulis skenarionya, Monty Tiwa, kehabisan cara melucu. Parno dan pola pikir sederhananya juga digambarkan tidak punya harga diri. Sepulang berkencan, ia menemukan pacar Shanaz telah menunggu. Shanaz memperkenalkan Parno sebagai tukang ojek sepeda yang telah membawanya berkeliling kota seharian, sehingga pacarnya kemudian memasukkan sejumlah uang ke dalam kantong Parno sebagai tanda terimakasih. Tanpa perlawanan dan ekspresi, Parno nrimo kemudian pergi (Gambar 23). Nrimo. Itulah respons yang juga saya dapatkan dari beberapa teman saya yang sudah lama menjadi warga Yogyakarta terhadap film-film ini, bahkan dari mereka yang penduduk asli. Mereka hanya tertawa dan mengatakan bahwa itu “bumbu” dalam film. Saya heran, karena saya, yang bukan orang Yogyakarta, merasa terusik melihat kota ini digambarkan dengan cara demikian. Apalagi membayangkan film-film ini ditonton oleh banyak orang yang kemudian percaya bahwa apa yang diceritakan itulah wajah Yogyakarta. “Ih, masak sih Yogya segitunya?” komentar seorang perempuan paruh baya, dengan penampilan kantoran, di depan barisan yang saya duduki ketika menonton Perempuan Punya Cerita di Senayan XXI, Jakarta. Seluruh pembuat film yang saya ceritakan di atas tentu kekurangan waktu penelitian dan
Antara banal, binal, dan ’ndeso: eksotisisme Yogyakarta dalam film Indonesia Dipublikasikan pada karbonjournal.org (http://karbonjournal.org) pendalaman saat pembuatan skenario serta kekurangan dana produksi untuk menggunakan lebih banyak tempat. Sementara Daun di Atas Bantal (Garin Nugroho, 1998) berhasil membuat penonton merasakan Yogyakarta tanpa perlu mengeksploitasi lokasi-lokasi eksotis, film-film lainnya malah mengeksploitasi eksotisisme untuk jalan pintas mengomunikasikan bahwa latar filmnya adalah kota Yogyakarta.
Yogyakarta, Agustus 2009
GRACE SAMBOH lahir di Jakarta, 1983. Mangkir dari kesarjanaannya, Komunikasi Periklanan STIKOM YTKP, sejak 2007 ia melanjutkan sekolah ke Pengajian Seni Rupa Pascasarjana Universitas Gajah Mada dan giat menulis tentang seni rupa. Sekarang ia sibuk mengais data dan fakta yang ‘dilupakan’ sejarah seni rupa Indonesia sambil menyelesaikan fabel grafis Rawalelatu bersama kedua sahabatnya. Versi awal tulisan ini pernah diterbitkan sebelumnya di rumahfilm.org pada 16 Juli 2008. Esai ini merupakan versi revisi yang ditulis ulang untuk Karbonjournal.org, terutama pada tambahan pembahasan tentang film Jagad X Code (Herwin Novianto, 2009) yang dirilis setelah versi awal esai ini diterbitkan.
Gambar 1. Mengejar Mas-mas (Rudi Soedjarwo, 2006)
Gambar 2. Mengejar Mas-mas (Rudi Soedjarwo, 2006)
Gambar 3. Mengejar Mas-mas (Rudi Soedjarwo, 2006)
Gambar 4. Cerita Yogya karya Upi Avianto
Gambar 5. Cerita Yogya karya Upi Avianto
Gambar 6. Cerita Yogya karya Upi Avianto
Gambar 7. Mengejar Mas-mas (Rudi Soedjarwo, 2006)
Gambar 8. Jagad X Code (Herwin Novianto, 2009)
Gambar 9. Jagad X Code (Herwin Novianto, 2009)
Antara banal, binal, dan ’ndeso: eksotisisme Yogyakarta dalam film Indonesia Dipublikasikan pada karbonjournal.org (http://karbonjournal.org)
Gambar 10. Rute kejar-kejaran, Jagad X Code (Herwin Novianto, 2009)
Gambar 11. 3 Hari untuk Selamanya (Riri Riza, 2006)
Gambar 12. Mengejar Mas-mas (Rudi Soedjarwo, 2006)
Gambar 13. Cerita Yogya karya Upi Avianto
Gambar 14. Cerita Yogya karya Upi Avianto
Gambar 15 & 16. Otomatis Romantis (Guntur Soehardjo, 2008)
Gambar 17. Otomatis Romantis (Guntur Soehardjo, 2008)
Gambar 18. Jagad X Code (Herwin Novianto, 2009)
Gambar 19. Cerita Yogya karya Upi Avianto
Gambar 20. Cerita Yogya karya Upi Avianto
Gambar 21. Mengejar Mas-mas (Rudi Soedjarwo, 2006)
Gambar 22. Mengejar Mas-mas (Rudi Soedjarwo, 2006)
Gambar 23. Mengejar Mas-mas (Rudi Soedjarwo, 2006)
URL sumber: http://karbonjournal.org/article/antara-banal-binal-dan-%E2%80%99ndeso-eksotisisme-yogyakarta-d alam-film-indonesia Links: [1] http://karbonjournal.org/sites/default/files/images/thumb/03.MMM-LanskapSawah.jpg
Antara banal, binal, dan ’ndeso: eksotisisme Yogyakarta dalam film Indonesia Dipublikasikan pada karbonjournal.org (http://karbonjournal.org)
Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)