KAJIAN YURIDIS TENTANG PIDANA CAMBUK DALAM PERATURAN DESA (PERDES) MUSLIM PADANG KECAMATAN GANTARANG KABUPATEN BULUKUMBA Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
ANNISA TRI HAPSARI
106045101491
Oleh : MAHPUDIN NIM: 106045101486
KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 M/ 1431 H
PERATURAN DESA MUSLIM PADANG KECAMATAN GANTARANG KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR 05 TAHUN 2006
TENTANG PELAKSANAAN HUKUM CAMBUK
Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa KEPALA DESA MUSLIM PADANG
Menimbang
: a. Bahwa untuk mendukung pelaksanaan Syari’at Islam yang dicanangkan oleh Pemerntah Daerah Kabupaten Bulukumba maka dipandang perlu penetapan Peraturan Desa
Msulim yang
mendukung
terselenggaranya
pelaksanaan Syari’at Isam di Kabupaten Bulukumba. b. Bahwa untuk menciptakan suasana aman, nyaman dan tertib serta untuk mengantisipasi adanya perbuatan yang meresahkan masyarakat Desa Padang maka dipandang perlu menetapkan suatu peraturan desa tentang pelaksanaan sanksi atas pelanggaran terhadap kemanan,kenyamanan, dan ketertiban masyarakat Desa Padang. c. Bahwa melihat adanya kenyataan dalam masyarakat yang enggan berurusan dengan pihak penegak hukum, maka dipandang perlu penetapan peraturan desa tentang sanksi terhadap kejahatan dan atau pelanggaran tertentu sebagai proses juducial alternative bagi pelaku kejahatan
dan
atau
pelanggaran
keamanan,
kenyamanan, dan ketertiban masyarakat Desa Padang.
d. Bahwa pelanggaran dan atau kejahatan tertentu sebagaimana disebut pada poin c meliputi perzinahan, penyalahgunaan obat dan minuman yang mengandung zat
aditif,
dipandang
perjudian, perlu
serta
penganiayaan
menetapkan
hukuman
maka
terhadap
kejahatan dan atau pelanggaran tersebut. e. Bahwa untuk maksud tersebut, perlu diatur dan ditetapkan dengan Peraturan Desa.
Mengingat
:1. Al-Qur’an dan Surah An-Nur ayat 2 serta Hadis Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Mulim tentang Pelaksanaan Hukum Cambuk bagi Peminum Minuman Keras. 2. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495). 3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan
Perundang
Undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389). 4. Keputusan Presiden Nomor 96 tahun 1998 tentang Pengawasan Dan Pengendalian Minuman Beralkohol dan Zat aditif lainnya. 5. Surat Keputusan Bupati Bulukumba No. 535/XII/2004 tanggal 7 Desember 2004 tentang Desa/Kelurahan Muslim dalam wilayah Kabupaten Bulukumba.
Dengan Persetujuan bersama
BADAN PERWAKILAN DESA PADANG MEMUTUSKAN Menetapkan
:
PERATURAN
DESA
MUSLIM
PADANG
TENTANG
PELAKSANAAN HUKUM CAMBUK
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1 Dalam peraturan Desa ini yang dimaksud dengan : a. Desa muslim adalah ketentuan masyarkat hukum yang memiliki kewenagan untuk mengatur dan mengurus lepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat secara muslim dengan system pemerintahan nasional. b. Pemeritah Desa Muslim adalah kegiatan pemerintah yang dilakukan oleh Pemerintah Desa dan Badan Pemusyawaratan Desa (BPD). c. Pemerintah Desa Muslim adalah Kepala Desa dan Perangkat Desa. d. Badan Pemusyawaratan Desa yang selanjtunya disebut BPD adlah wakil dari tokoh-tokoh masyarakat yang ada di desa yang berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat peraturan desa, menampung aspirasi dan menyalurkan aspirasi masyarakat serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintah desa secara Islami. e. Pelaksanaan hukum cambuk bagi pelanggar hukum syari’at kepada pelaku perzinahan, peminum minuman beralkohol dan zat aditif lainnya, judi dan penganiayaan. f. Zina adalah memasukkan alat kelamin laki-laki ke alat kelamin perempuan selayaknya suami isteri dengan paksaan atau bujukan tanpa diikat tali pernikahan.
g. Peminum minuman beralkohol dan zat aditif lainnya adalah orang yang meminum minuman yang mengandung ethanol yang diproses dari bahan asli pertanian yang mengandung karbonnidrat dengan cara fermentasi dan destilasi baik dengan cara memberikan perlakukan terlebih dahulu atau tidak, menambahkan bahan lain atau tidak, maupun diproses dengan cara mencampur konsentrat dengan ethanol atau dengan cara pengeceran minuman yang mengandung ethanol. h. Judi adalah pertaruhan antara dua orang atau lebih dengan menggunakan alat yang pada akhirnya merugikan di satu pihak dan menguntungkan di pihak lain. i. Penganiayaan adalah tindakan fisik baik dengan alat atau tanpa alat yang dapat menyebabkan orang lain merasa sakit dan orang tersebut tidak menerima perlakuan yang ditimpakan kepada dirinya.
BAB II LARANGAN MELAKUKAN PERZINAHAN
Pasal 2 (1) Dilarang laki-laki bujang dengan wanita perawan melakukan hubungan seksual diluar nikah ; (2) Dilarang
laki-laki
yang
sudah
beristeri
dengan
wanita
yang
sudah
bersuamimelakukan hubungan seksual kecuali dengan pasangan sebagaimana telah tercatat pada catatan sipil maupun akta nikah ; (3) Dilarang mengganggu, merayu, baik perawan maupun yang telah bersuami untuk melakukan hubungan zina ;
Pasal 3 (1) Dilarang laki-laki dan wanita berduaan ditempat yang sunyi kecuali dengan muhrimnya ;
(2) Dilarang wanita bepergian dengan laki-laki yang bukan muhrimnya kecuali adal izin dari orang tua atau wali ;
BAB III LARANGAN MENJUAL DAN MEMINUM MINUMAN BERALKOHOL DAN ZAT ADITIF LAINNYA
Pasal 4 (1) Dilarang memasukkan, menyalurkan dan mengedar minuman beralkohol dan zat aditif lainnya di dalam Desa Muslim kecuali ada keputusan Bupati; (2) Keputusan Bupatai sebagaiman pada ayat (1) pasal ini paling lama (satu) tahun dan dapat diperbaharui kembali ; (3) Jumlah dan jenis minuman beralkohol dan zat aditif lainnya yang boleh diedarkan dcantumkan dalam izin sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini; Pasal 5 (1) Sebelum pemberian izin sebagaimana dimaksud pada pasal 4 ayat (2) harus mengumumkan permohonan izin disekitar lokasi tempat yang diusulkan selama 2 minggu ; (2) Apabila ada keberatan dari masyarakat setempat yang dimaksud pada pasal 4 ayat (2) permohonan izin tidak dapat diberikan ;
Pasal 6 (1) Minuman beralkohol adan zat adif lainnya tidak boleh dijual dan diminum ditempat umum seperti rumah makan, wisma, warung, kios-kios, gelanggang olahraga, gelanggang remaja, kantin, kaki lima, terminal, stasitun, pasar cape, rumah-rumah penduduk, tempat ibadah, di kebun, di sawah, dan tempat lainnya ; (2) Penjualan minuman beralkohol dan zat aditif lainnya atas Keputusan Bupati sebagaimana tercantum dalam pasal 6 ayat (1) dilakukan ditempat yang tercantum dalam keputusan Bupati tersebut.
BAB IV LARANGAN BERJUDI
Pasal 7 (1) Dilarang melakukan dan atau membeli kupon berhadiah dalam bentuk dan untuk judi ; (2) Dilarang melakukan pertaruhan judi yangpada akhirnya merugikan pihak lain ; (3) Pertaruhan judi sebagaiman ayat 2 adalah : a. Tebak hasil skor b. Judi domino aau gaple c. Judi kartu remi d. Balapan liar e. Sabung ayam f. Lotre atau kupon putih g. Mesin judi h. Dan lain sebagainya yang mengandung unsur judi (4) Undian berhadiah hanya dapat dilakukan dalam bentuk arisan ;
BAB V PENGANIAYAAN
Pasal 8 (1) Tidak dibenarkan melakukan penganiayaan terhadap orang lain baik sengaja maupun tidak disengaja ; (2) Penganiayaan sebagaimana dimaskud pada ayat (1) berupa: a. Pemukulan b. Pemasungan c. Pengurungan
(3) Setiap perselisishan yang terjadi dilimpahkan kepada pihak yang berwajib atau diselesaikan ditingkat desa sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
BAB VI KETENTUAN SANKSI PIDANA ISLAM
Pasal 9 (1) Barang siapa melanggar ketentuan larangan sebagaimana yang tercantum dalam pasal 2, pasal 3, pasal 4, pasal 7 dan pasal 8maka akan dikenakan hukuman cambuk. (2) Jumlah hukuman cambuk segabaiman tercantum pada ayat 1 akan diatur kemudian dalam pasal lain. (3) Pelaksanaan eksekusi hukum cambuk bertempat di Kantor Desa dan disaksikan oleh bebrapa orang tokoh masyarakat/tokoh agama dan aparatur desa. Pasal 10 (1) Jumlah hukuman cambuk bagi pelanggar larangan pezinahan sebanyak 100 kali atau dilimpahkan kepihak kepolisian untuk diproses sesuai hukum KUHP ; (2) Menuduh orang lain berzina tanpa disertai bukti (4 orang saksi) adalah kejahatan terhadap kehormatan orang lain dan dikenakan hukuman cambuk sebanyak 80 kali atau dilimpahkan kepihak kepolisian untuk diposes sesuai hukum KUHP ; (3) Sanksi Pidana Islam yang dimaksud pada pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) adalah sanksi peringatan atau teguran dan atau mendapat hukum cambuk jika orang tua atau wali merasa keberatan, atau dilimpakan kepihak kepolisian untuk diproses sesuai hukum KUHP ;
Pasal 11 (1) Sanksi Pidana Islam bagi Pelaku Judi sebagaimana dijelaskan pasal 7, dikenakan hukum cambuk sebanyak maksimal 40 kali atau dilanjutkan kepihak kepolisian untuk diproses sesuai hukum KUHP ;
Pasal 12 (2) Sanksi Pidana Islam bagi penjual dan peminum minuman beralkohol dan zat aditif lainnya dikenakan hukum cambuk sebanyak 40 kali ataudilimpahkan kepihak kepolisian untuk diproses sesuai ketentuan hukum KUHP ;
Pasal 13 (1) Sanksi Pidana Islam bagi pelaku penganiayaan diberi sanksi hukum 20 kali cambukan ; (2) Hukum cambuk bagi pelaku penganiayaan dapat dihapus apabila korban memaafkan pelaku dengan ketentuan pelaku dengan membayar uang denda. Sebagaimana hasil musyawarah yang dilaksanakan pihak pemerintah desa bersama kedua belah pihak yang berselisih atau dilanjutkan kepihak kepolisian untuk diproses sesuai ketentuan hukum KUHP ;
BAB VII PENYIDIKAN
Pasal 14 (1) Selain pejabat penyidik sebagaimana ditentukan oleh aturan perundang-undangan juga dapat dilakukan oleh Satgas Desa Muslim Padang atau Linmas Desa yang ditetapkan oleh Pemerintah Desa ; (2) Wewenang penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah : a. Menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindakan pidana atas pelanggaran perdes agar keterangan atau laporan tersebut lebih lengkap dan jelas. b. Meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atas terjadinya pelanggaran perdes tersebut.
c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atas terjadinya pelanggaran pedes. (3) Penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana.
BAB VIII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 15 Hal-hal yang belum sempurna diatur dalam peraturan desa ini sepanjang mengenai pelaksasnaanya akan diatur dan ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa.
Pasal 16 Peraturan Desa Muslim ini mulai berlaku pada tnggal diundangkan, agar setiap orang dapat mengetahuinya dan dilaksanakan sebgaimana aturan yang telah ditetapkan dalam peraturan desa.
KATA PENGANTAR G¡+Ýo ¯2Ù{´ ¯2lµo Puji dan syukur ke-hadirat Ilahi Rabbi (Allah Subhanahu Wata’ala) yang telah memberikan rahmat, taufiq serta nikmatnya, sehingga alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. Shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Junjungan kita yakni Nabi besar Muhammad SAW, kepada keluarganya, sahabat serta umatnya hingga akhir zaman. Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak sedikit hambatan serta kesulitan yang penulis hadapi. Namun berkat kesungguhan hati dan kerja keras serta dorongan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga hal- hal tersebut dapat penulis atasi dengan sebaikbaiknya. Untuk itu dengan segala kerendahan hati penulis berterima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1.
Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H. M.A. M.M., Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Bapak Dr. Asmawi, M.Ag., sebagai Ketua Prodi Jinayah Siyasah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, sekaligus sebagai pembimbing penulis yang secara kritis dan sabar
i
meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dari tahap awal hingga akhir penelitian dan penulisan skripsi ini. 3.
Ibu Sri Hidayati, M.Ag., sebagai Sekretaris Prodi Jinayah Siyasah, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Yang tanpa henti memberikan dorongan dan semangat kepada penulis, serta yang dengan tulus ikhlas meluangkan waktunya untuk membantu penulis dalam berbagai hal yang berhubungan dengan akademis.
4.
Kepada seluruh dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah mentransfer ilmunya dengan ikhlas kepada Mahasiswa terutama penulis, serta para pengurus perpustakaan yang telah meminjamkan buku- buku yang diperlukan oleh penulis.
5.
Kepada seluruh keluargaku tercinta, terutama kepada kedua orang tuaku Abah Saikam bin Saing dan Ema’ Hindun, yang telah memberikan kasih sayangnya yang tak terhingga serta pelajaran hidup yang sangat berarti untuk penulis dan selalu memanjatkan do’a kepada Sang Pencipta yang terbaik untuk penulis. Ucapan terimakasih juga yang tak henti-hentinya kepada Teh Vivi Sopiah dan suaminya, Ariyanto yang selalu memberikan dukungan baik moril maupun materil, dari mulai mengenal sekolah sampai mengenal kuliah. Dan untuk keponakanku Caca (Salsabila) yang selalu menemani hari-hariku saat libur kuliah dan libur kegiatan lainnya.
6.
Kepada Annisa Tri HapsariQu beserta keluarga, yang selalu memberikan doa, semangat dan motivasi serta kasih sayang yang begitu mendalam.
ii
7.
Kepada Guru- guru dan teman-teman di Pondok Pesantren Al-Hidayah Bani Karim, Kampung Nanggela, Cipanas Lebak, Banten yang memberikan do’a serta ilmu-ilmu keagamaan dan pengetahuan lainnya. Mama KH. Yahya Abdul Karim (pengasuh Pon-pes Al-Hidayah Bani Karim) dan Isteri Hj. Yoyoh, Ustd. Somad, H. Amin, Pak Ebed, Ibu Bariyah, Teh Nana, ka Dani, Iwan, Faqih, Ade, Nu’man, Shopi, Azid, Abdul, Akib, Jamal dan temanteman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatunya.
8.
Kepada seluruh teman-teman kelas PI Power Angkatan 2006: Dwi Wahyuni, Isa Shaleh, Fitroh, Amir, Nuruzzaman, Attin, Intan, Faris SA, Fandi Mahfudz, Husen Qodray, Haris Sumirat, Rahmatul Hidayat, Aris Stiawan, Buldan Fahmi, Hari Darmawan, Agusalim, Guruh , Yuswandi, Kholid, Rohman Mahdi, Rifqi Fahrurozy, Cucun Rinardi dan tanpa mengurangi rasa hormat dan kasih sayang saya kepada semua teman- teman Jurusan Pidana Islam lainnya angkatan 2007-2009 yang tidak disebutkan satu-persatunya.
Akhirnya kepada Allah SWT jualah penulis serahkan, agar semua bantuan dan partisipasi dari berbagai pihak tersebut diberikan-Nya pahala yang berlipat ganda. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya. Amin. Jakarta, 14 September 2010
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................... i DAFTAR ISI .............................................................................................................. v
BAB I
: PENDAHULUAN ........................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................................... 7 C. Tujuan Penelitian ......................................................................... 8 D. Tinjauan Pustaka .......................................................................... 9 E. Metode Penelitian ....................................................................... 10 F. Sistematika Penulisan ................................................................. 12
BAB II
: DOKTRIN HUKUM PIDANA ISLAM TENTANG HUKUM CAMBUK ...................................................................................... 15 A. Pengertian Pidana Cambuk Dan Dasar Hukumnya ................... 15 B. Pidana Cambuk Dalam Timbangan Konsep Maslahah .............. 18 C. Pidana Cambuk, al-Tsawabit dan Mutaghayyirat-nya ............... 23
BAB III
: KONSEP PELAKSANAAN HUKUM CAMBUK DALAM PERDES MUSLIM PADANG ..................................................... 27 A. Deskripsi Peraturan Desa Muslim Padang .................................. 27 B. Jenis- jenis Perbuatan yang Dipidana Dalam Perdes Muslim Padang .................................................... 34 C. Kriteria Hudud dan Ta’zir Dalam Perdes Muslim Padang .................................................... 35
v
BAB IV
: PANDANGAN HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM POSITIF TENTANG PELAKSANAAN HUKUM CAMBUK YANG DIATUR DALAM PERATURAN DESA MUSLIM PADANG .................................................................................... 40 A.
Pandangan Hukum Pidana Islam ....................................... 40 1. Mengenai Larangan Perzinahan ........................................ 42 2. Mengenai Khalwat Serta Bepergian Laki-laki Dengan Perempuan Bukan Muhrim .................................. 44 3. Mengenai Menuduh Orang Lain Berzina (qadzaf) ............ 46 4. Mengenai Menjual dan Meminum Minuman Keras atau Beralkohol (khamar) dan Perjudian ........................... 49 5. Mengenai Penganiayaan .................................................... 54
B.
Pandangan Hukum Positif ................................................... 56 1. Mengenai Zina (perselingkuhan atau overspel) dan Khalwat (permesuman) .............................................. 57 2. Mengenai Menuduh Orang Lain Berzina Tanpa Empat Orang Saksi (fitnah) .................................. 59 3. Mengenai Menjual dan Meminum Minuman Beralkohol Dan Zat Aditif Lainnya ..................................................... 59 4. Mengenai Perjudian ........................................................... 60 5. Mengenai Penganiayaan .................................................... 61
C.
Analisis Penulis Mengenai Perdes Muslim Padang Dengan Undang-undang Nomor.10 Tahun 2004 .............. 65
vi
BAB V
: PENUTUP ...................................................................................... 77 A. Kesimpulan ................................................................................. 77 B. Saran- saran ................................................................................. 80
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 79 Lembar Tambahan, Naskah Peraturan Desa Muslim Padang Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba Nomor 05 Tahun 2006 Tentang Hukum Cambuk ........................................................................................................
vii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah Negara kesatuan yang terdiri dari berbagai aneka
suku, ras, dan agama. Perbedaan tersebut telah menciptakan perbedaan paradigma dari berbagai komponen masyarakat dalam menyikapi permasalahan yang terjadi pada bangsa ini. Salah satu permasalahan Bangsa Indonsia yang paling krusial adalah persoaan penegakkan hukum (Law Enforcement). Sebagian besar masyarakat Indonesia berasumsi bahwa proses penyelenggaraan hukum di Negara ini masih menglami kecacatan. Mulai dari isu-isu ketidak adilan dalam melaksanakan eksekusi hukuman, penegak hukum yang memiliki integritas dan propessionalisme yang rendah, tingkat hukuman yang sangat minim sehngga tidak memberikan efek jera terhadap pelaku pekanggaran hukum sampai kepada kurangnya kesadaran masyarakat dalam mentaati peraturan-peraturan yang berlaku. Sementara itu pembangunan hukum di Indonesia, menuntut adanya perubahan sikap mental dan menghendaki agar tidak hanya berfungsi sebagai pengendali sosial (Social Control), namun juga tidak merugikan salah satu pihak dan tidak terjadi tarik menarik antar kelompok. Oleh karena itu, gagasan tentang “Islamisasi Hukum” layak untuk di pertimbangkan sebagai dasar pijakan bagi usaha pembangunan hukum di Indonesia. Ditawarkan suatu jalan keluar agar nilai-nilai Islam sebagai universal,
1
2
tidak hanya diterima uamt Islam semata melainkan diterima oleh umat- umat lainnya tanpa harus meyakini nilai-nilai asal. Problematika umat Islam Indonesia sekarang ini dihadapkan kembali kepada wacana Syari’at Islam yang mungkin dikembangkan dan selanjutnya dijadikan hukum positif. Tuntutan sebagaian masyarakat menginginkan agar Indonesia tetap berlandaskan Pancasila sebagai landasan ideal dengan Undang- undang 1945 sebgai landasan konstitusionalnya, pada dasranya tidak ada larangan untuk melaksanakan syari’at Islam walaupun dalam batas-batas tertentu. Umat Islam dituntut agar lebih mampu menjadikan al-Qur’an dan Sunnah Rosul sebagai sumber hukum dan nilai sehinga keberadaan syari’at Islam bukan hanya menjadi bacaan politik dan akademik, tetapi
harus
dapat
diaktualisasikan
dalam
menyelesaikan
masalah-masalah
kebangsaan dan keutamaan sekaligus. 1 Kerangka historis Undang- undang Dasar Tahun 1945 menunjukkan bahwa Indonesia adalah Negara hukum. 2 Indonesia sebagai Negara hukum memiliki banyak penawaran dalam hal penghukuman ataupun penjatuhan hukuman. Dari peraturan yang telah diterapkan kedalam Undang- undang, baik umum ataupun khusus. Indonesia juga memiliki peraturan- peraturan mengikat lainnya, berdasakan hirarki peraturan perundang-undangan seperti: 1 Maman Abdurrahman, Syari’at Islam Untuk Indonesia Baru (Suara Orang PERSIS) dalam Muhammad Zein, ed., Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia: Sebuah Pergulatan Yang Tak Pernah Tuntas, (Jakarta: Renaisan, 2005), h. 237. 2
Abdulghani Abdullah, Penemuan Hukum (Rechtvinding) dan Penciptaan Hukum (Rechtsschepping) Bagi Para Hakim. Ahkam, Jurnal Ilmu- ilmu Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta. Vol. 8. No. 2, 2006.
3
a.
Undang- undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b.
Undag- undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- undang;
c.
Peraturan Pemerintah (PP);
d.
Peraturan Presiden (Perpres),
e.
Peraturan Daerah (Perda). 3 Di mana dalam ilmu perundang-undangan Nasional, Indonesia mengadopsi
hukum Belanda yang bersumber dari hukum adat, hukum barat, dan hukum agama. Pada saat ini sebagaimana yang kita ketahui, momentum otonomi daerah sebagai desain wajah politik pasca reformasi telah menampilkan sejarah baru dalam panggung kekuasaan. Belakangan beberapa kalangan menilai munculnya sesuatu yang bersifat ekstrem seiring dengan maraknya pembuatan Peraturan Daerah (Perda) yang dinilai bercorak syari’at Islam. Penerapan hukum Islam, yang ditandai dengan munculnya berbagai peraturan daerah (Perda) syari’at Islam, merebak dibeberapa daerah dalam beberapa tahun belakangan ini. Provinsi Aceh, Sulawesi Selatan, dan Banten serta beberapa Kabupaten/kota seperti Cianjur, Tasikmalaya, Bulukumba, Maros, Sampang, Serang, Tanggerang, dan Pandeglang, merupakan daerah yang menyuarakan pemberlakuan syari’ah islam. 4
3
Undang- undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan. Cet, ke- 4. (Bandung: Citra Umbara, 2008), h. 6. 4
h. 17.
Sukron Kamil dan Chaider S. Bamualim, Syari’ah Islam dan HAM.; CSRC, (Jakarta; 2007),
4
Sebut saja misalnya, DPRD Sulawesi Selatan mengesahkan Perda tentang pendidikan Al-Qur’an. Sebelumnya pada tahun 2003 di Bulukumba Sulawesi Selatan, telah terlebih dahulu lahir Perda tentang minuman keras, infak, zakat, sedekah, pendidikan Al-Qur’an bagi siswa dan calon pengantin. Perda tersebut juga memuat tentang keharusan berpakaian muslim atau muslimah. 5 Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan, telah memberlakukan beberapa peraturan daerah (Perda) menyangkut Syariat Islam. Salah satu dari 12 Desa Muslim yang dibentuk sebagai Desa percontohan, yakni Desa Padang Kecamatan Gantarang telah memberlakukan hukum cambuk. Kepala Desa Padang, A. Rukman A. Jabbar mengatakan, dengan adanya Perda yang menyangkut Syariat Islam ini membuat suasana Desa lebih aman karena menurunnya angka kriminalitas. Menurut informasi yang didapat, selama tahun 2006, tercatat hukuman cambuk telah diberikan kepada tiga orang yakni Suharman, Arifin, dan Nasir. Suharman sendiri diberi hukuman cambuk, karena mengirimi surat ke istri orang dan suami yang bersangkutan keberatan. Sementara Nasir, karena melakukan pemukulan kepada anak/siswa SD (Sekolah Dasar) dan orang tuanya keberatan, kasus serupa terjadi pada Arfin yang dijatuhi hukuman cambuk karena melakukan pemukulan. 6 Dinyatakan dengan adanya penerapan peraturan Desa tersbut, Desa Padang khususnya masyarakat Desa Padang menjadi tenteram dan damai. 7
5
http://www.suaramerdeka.com/harian/0607/07/opi04.htm
6
http://www.tempo.co.id/hg/nusa/sulawesi/2006/04/23/brk,20060423-76547,id.html
7
http://www.jurnalstidnatsir.co.cc/2009/06/penerapan-syariat-islam-di-desa-padang.html
5
Dari tabel di bawah ini menunjukkan beberapa kejahatan yang terjadi di Desa Padang yang kemudian di laksanakan hukuman sesuai peraturan Desa yang telah dibuat. Tahun
Nama Kejahatan -
2006
minum-
Hukuman minuman
-
40 kali cambuk
-
cambuk ringan
-
cambuk ringan
-
100 kali cambuk
beralkohol. 8 -
Mengirimi surat ke isteri orang.
-
pemukulan terhadap siswa sekolah dasar
-
2007
Perbuatan hingga
zina hamilnya
seorang gadis yang dilakukan
oleh
seorang pemuda. 9 2008- 2010
-
-
Terkait dari adanya pemberlakuan syari’at Islam terutama diberlakukannya hukum cambuk diberbagai daerah mulai dari tingkat Provinsi sampai dengan tingkat Desa, menuai banyak kritik dari berbagai pihak. Hal tersebut disebabkan banyaknya 8
Ibid www.jurnalstidnatsir.co.cc
9
http://www.mailarchive.com/
[email protected]/msg34802.html
6
kalangan yang menilai bahwa pemberlakuan hukum cambuk itu sudah ketinggalan zaman dan terkesan berjalan setengah- setengah. Juga masih banyaknya ketidak sesuaian naskah peraturan yang telah ditetapkan tidak sejalan dengan apa yang telah diatur oleh Undang- undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan. Berbenturan dengan diberlakukannya pidana di dalam peraturan Desa Muslim Padang ini, Pasal 200 ayat (1) Undang- undang
No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah menyebutkan, “Dalam pemerintahan daerah Kabupaten/kota dibentuk pemerintahan Desa yang terdiri dari pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa. Pemerintahan Desa merupakan satuan terkecil penyelenggara Negara yang memiliki otoritas membentuk peraturan perundang-undangan. Meski demikian, terdapat seperangkat batasan kewenangan tentang hal-hal apa saja yang bisa dimuat dalam peraturan Desa, misalnya peraturan Desa tidak boleh memuat aturan pidana”. 10 Berangkat dari latar belakang masalah yang telah diuraikan penulis tersebut di atas mengenai peraturan Desa Muslim Padang Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba Nomor 05 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Hukum Cambuk, maka dalam hal ini penulis akan mengkaji dan menganalisa lebih dalam lagi mengenai pidana cambuk yang terdapat dalam Perdes tersebut melalui kajian Hukum Pidana Islam dan hukum positif terkait lainnya. Sehubungan dengan hal di atas menarik
10
Wahiduddin Adams dan Ismail Hasani, Ilmu Perundang- undangan, Buku Daras (tidak diterbitkan), h. 85.
7
perhatian penulis untuk menyusun skripsi yang berjudul : ”KAJIAN YURIDIS TENTANG PIDANA CAMBUK DALAM PERATURAN DESA (PERDES) MUSLIM
PADANG
KECAMATAN
GANTARANG
KABUPATEN
BULUKUMBA.”
B.
Pembatasan Dan Perumusan Masalah Dari uraian di atas kiranya dapat ditemukan suatu permasalahan yang cukup
penting untuk dikaji lebih mendalam sehingga dapat ditemukan titik terang mengenai permasalahan yang akan dikaji. Untuk mendapatkan pembahasan yang objektif, maka dalam skripsi ini penulis membatasi, meliputi hal-hal sebagai berikut : 1.
Hukuman cambuk yang penulis maksud, adalah pidana cambuk yang diberlakukan dalam Peraturan Desa Muslim Padang Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba.
2.
Hukum Islam yang penulis maksud, adalah kajian hukum Pidana Islam yang membahas tentang hukum cambuk khususnya
pidana cambuk yang
diberlakukan dalam Peraturan Desa Muslim Padang Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba. 3.
Hukum positif yang penulis maksud, adalah hukum positif yang terkait dalam pembahasan mengenai pembentukan Perdes ini.
8
Beralih dari pembahasan dan pembatasan yang telah diuraikan penulis di atas, maka penulis memformulasikan permasalahan dalam perumusan masalah sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah doktrin hukum pidana Islam tentang cambuk?
2.
Bagaimanakah konsep pelaksanaan hukum cambuk dalam Peraturan Desa Muslim Padang Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba Nomor 05 Tahun 2006 ?
3.
Bagaimanakah pandangan Hukum Pidana Islam dan hukum positif tentang pelaksanaan hukum cambuk yang didasarkan pada Perdes tersebut?
C.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian dari penulisan skripsi ini adalah : 1.
Untuk mengetahui dan menjelaskan doktrin hukum pidana Islam mengenai eksistensi pidana cambuk.
2.
Mengetahui dan menjelaskan pandangan Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif mengenai pidana cambuk yang di berlakukan di Desa Muslim Padang berdasarkan Peraturan Desa Muslim Padang Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba Nomor 05 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Hukum Cambuk.
3.
Untuk mengetahui dan menjelaskan konsep pelaksanaan pidana cambuk yang diberlakukan di Desa Muslim Padang tesebut.
9
4.
Untuk menguji relevansi naskah Peraturan Desa Muslim Padang Kecamatan Gantarang Nomor 05 Tahun 2006 dengan Undang- undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan.
D.
Tinjauan Pustaka Sehubungan dengan judul skripsi yang penulis buat, sejauh pengamatan
penulis belum ada peneliti lain yang meneliti dan menganalisa subjek penelitian menganai Pidana Cambuk Dalam Perdes Muslim Padang Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba Nomor 05 Tahun 2006, namun data yang penulis dapatkan hanya mengenai ruang lingkup daerah Sulawesi Selatan yang pembahasannyapun tidak ada sangkutpautnya dengan penulisan penulis pada skripsi ini. Adapun sebagai tinjauan pustaka dari penelitian ini sebagai berikut : -
Sosialisasi Anak Petani Muslim Etnis Bugis Sulawesi Selatan (Studi Kasus Pengasuhan Anak di Desa Bontu Sunggu Kabupaten Bulukumba), oleh Ambo Sakka. 11
-
Pasang Ri Kajang (kajian Tentang Akomodasi Islam Dengan Budaya Lokal Di Sulawesi Selatan), oleh Samiang Katu. 12
11
Disertasi, Mahasiswa Pasaca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. NIM : 288 PK 23 Tahun 1410 H/1990 M. 12
Disertasi, Mahasiswa Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. NIM : 397 – KI – 052 Tahun 1999.
10
E.
Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan tipe penelitian kualitatif yaitu prosedur penelitian
yang menghasilkan data kualitatif. Adapun data kualitatif yang dimaksud adalah ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari orang- orang (subyek itu sendiri) 13 yang kemudian dari informasi yang didapat, menguji hipotesis atau menjawab pertanyaan yang menyangkut keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok suatu penelitian. 14 Penelitian ini juga menggunakan tipe penelitian hukum normatif doktriner yaitu, penelitian yang menggunakan objek kajianya adalah bahanbahan hukum primer yang terdiri dari perundang- undangan, catatan- catatan resmi atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang- undangan dan putusan hakim dalam hal ini adalah Peraturan Desa Muslim Padang Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukmba Nomor 05 Tahun 2006 Tentang Hukuman Cambuk. 15 Karena penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif, maka penulis menjadikan penelitian ini menjadi sebuah kajian yang bersifat yuridis normatif. Yaitu mengkaji suatu pembentukkan peraturan perundang-undangan yang ada dengan kajian hukum Islam dan hukum positif. Bedanya dengan penelitian yang bersifat empiris/ sosiologis yaitu bahawa dalam penelitian empiris objek penelitiannya adalah norma-norma hukum di lapangan dengan sumber data yang diperoleh tidak langsung 13
Robert Bogdan dan Steven J. Taylor, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif. alih bahasaArif Furchan Cet- 1. (Surabaya: Usaha Nasional, 1992), h. 21. 14
Consuelo G. Sevilla, at. all, Pengantar Metode Penelitian. Universitas Indonesia (Jakarta: UI- PRESS, 2006), h. 71. 15
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. Cet, ke- 4. (Jakarta: Kencana Media Group, 2008), h. 141.
11
dari sumbernya. Begitupun tehnik pengumpulan data yang digunakan yaitu studi lapangan dengan metode analisis datanya menggunakan metode kuantitatif atau statistik. 16 Adapun yang dimaksud dengan kajian yuridis normatif ini adalah; sumber data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini bahan hukum primer yaitu perundang- undangan, catatan- catatan resmi atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang- undangan. Sedangkan bahan- bahan sekundernya sendiri terdiri dari buku- buku, majalah- majalah, dan situs website yang objek kajiannya mengenai hukum pidana Islam yang berkaitan dengan hukum cambuk serta buku- buku yang terkait dengan sumber buku primer yang dijadikan buku rujukan dalam penelitian ini. Tehnik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah studi dokumenter, di mana bahan-bahan penelitian yang didapat melalui dokumen eksternal berisi bahanbahan informasi yang dihasilkan oleh suatu lembaga sosial, misalnya majalah, buletin, pernyataan, dan berita yang disiarkan kepada media massa. 17 Tehnik analisis data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif, yaitu pemahaman tentang gejala atau peristiwa yang terdapat dalam Peraturan Desa (PERDES) Muslim Padang Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan yang berkaitan dengan hukum cambuk yang diterapkan.
16
Tomi Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Atmajaya, 2007), h. 28. 17
Lexi J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif. Cet, ke- 18. (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004), h. 163.
12
Sedangkan metode pembahasan hasil analisis adalah metode komparatif atau perbandingan. Di mana melalui kedua kajian hukum antara hukum Islam dan Hukum Positif, dapat ditarik kesimpulan kebutuhan-kebutuhan yang universal (sama) akan menimbulkan cara-cara pengaturan yang sama pula dan kebutuhan-kebutuhan khusus berdasarkan perbedaan suasana dan sejarah itu menimbulkan cara-cara yang berbeda pula. 18
E.
Sistematika Penulisan Untuk mencapai sasaran seperti yang diharapkan, maka sistematika
pembahasan ini dibagi menjadi lima bab. Teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini mengacu kepada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007. Adapun sistematika penulisan adalah sebagai berikut: BAB I
Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari: Pertama, latar belakang masalah (yang mengurai topik bahasan mengenai pemberitaan seputar hukum-hukum di Indonesia khususnya mengenai pidana cambuk dan hukum-hukum positif lainya dari media massa dan sumber lainnya. Kedua, pembatasan dan perumusan masalah; Dalam tema ini penulis membatasi dan merumuskan cakupan
18
Sunaryati Hartono, Kapita Selecta Perbandingan Hukum. Dikutip dari Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Ed-rev. Cet. Ke-4 (Malang: Bayumedia Publishing, 2008), h. 313.
13
hasil penelitian yang kemudian penulis uraikan agar lebih memperjelas serta mempermudah penelitian, dan Ketiga, sistematika penulisan; Dalam hal ini sistematika penulisan yang dibuat oleh penulis merujuk kepada pedoman penulisan skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007. BAB II
Doktrin Hukum Pidana Islam Tentang Hukum Cambuk. Yang terdiri dari tiga sub bab. Pertama, pengertian
pidana cambuk dan dasar
hukumnya; dalam point ini penulis menguraikan pembahasan mengenai pengertian
pidana dan cambuk oleh para pakar hukum
dibidangnya serta menguraikan dasar-dasar hukumnnya yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Kedua, Pidana Cambuk Dalam
Konsep Maslahah; dalam tema ini penulis memberikan pengertian mengenai “mashlahah” yang dihimpun dari beberapa pendapat yang dikemukakan oleh para sarjanawan yang ahli dibidangnya. Ketiga, Pidana
Cambuk,
al-Tsawabit
dan
Mutaghayyirat-nya;
dalam
pembahsan ini penulis menguraikan pengertian dan penjelasan suatu ketetapan dan perubahan (yang dapat berubah) hukum yang terdapat dalam sebuah kajian hukum Islam. BAB III
Konsep Pelaksanaan Hukum Cambuk dalam Perdes Muslim Padang. Pertama, Deskripsi Peraturan Desa Muslim Padang Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba Nomor 05 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Hukum Cambuk. Kedua, Jenis- jenis perbuatan yang
14
dipidana dalam Perdes Muslim Padang. Ketiga, Kriteria Hudud dan Ta’zir dalam Perdes Muslim Padang; dalam pembahasan point ini penulis mengambil sedikit kesimpulan dari temuan beberapa pelarangan yang terdapat dalam Perdes di atas dan mengkajinya dengan hukum pidana Islam. BAB IV
Pandangan Hukum Pidana Islam dan Hukum Positif tentang pelaksaan pidana cambuk yang didasarkan pada Peraturan Desa Muslim Padang; pada bab ini penulis menguraikan dan memperjelas penelitian yang didapat sehingga mempermudah penulis untuk mendapatkan hasil penelitian.
BAB V
Merupakan penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran- saran; bab ini merupakan bab terakhir, di mana penulis menguraikan dan menjelaskan hasil penelitiannya secara lugas dan terperinci.
BAB II DOKTRIN HUKUM PIDANA ISLAM TENTANG PIDANA CAMBUK
A.
Pengertian Pidana Cambuk dan Dasar Hukumnya. Sebelum penulis memaparkan lebih lanjut mengenai sub tema ini, penulis
memberikan sebuah pengertian dari kata atau istilah “pidana” dalam kata “pidana cambuk” agar pembahasan ini menjadi lebih mudah untuk difahami. Menurut Jimly Asshiddiqie, penggunaan istilah “pidana” difahami sebagai sanksi pidana. Untuk pengertian yang sama, kadang-kadang juga dipergunakan istilah “hukuman”, yang berasal dari kata “hukum”, dan seakar dengan kata “menghukum” dan “penghukuman” yang mempunyai ruang lingkup lebih luas dan tidak terbatas kepada pengertian hukum pidana saja.1 Lebih lanjut penulis akan menggunakan istilah “pidana” ini pada pembahasan berikutnya. Beralih dari pengertian di atas, cambuk dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah alat pelecut yang berupa jalinan tali dari serat tumbuh- tumbuhan, benang, atau kulit yang diikat pada sebuah tangkai (dipakai untuk menghalau atau untuk melecut binatang). 2
1
Jimly Asshiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia. Cet. ke- 2. (Bandung: Angkasa, 1996), h. 15. 2
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Cet. ke- 2, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 147.
15
16
Adapun
pengertian
cambuk
(hukum
cambuk)
menurut
Rusjdi
Ali
Muhammad 3 adalah sebat atau dera dalam bahasa arab disebut jald berasal dari kata jalada yang berarti memukul dikulit atau memukul dengan cambuk yang terbuat dari kulit. Hukum cambuk atau dera ditetapkan untuk memerangi segala faktor (psikologis) yang mendorong dilakukannya tindak pidana dengan menggunakan faktor yang dapat menolak dan mencegah dilakukannya tindak pidana. 4
Dasar Hukum Pidana Cambuk Pidana cambuk atau dera disebutkan dengan jelas dalam al-Qur’an yaitu :
☺ ☺ ☺
⌧ ☺
⌧
Artinya : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.(Q.S an-Nur; 2) 5 3
Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syari’at Islam Di Aceh; Problem, Solusi dan Implementasi; Menurut Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Cet-1. Logos Wacana Ilmu, 2003. 4
Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam III. PT Kharisma Ilmu. h. 42.
5
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam. Cet.- 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 27.
17
Ketentuan pidana cambuk bagi pelaku zina yang disebutkan dalam ayat alQuran di atas juga diperkuat dengan hadits Nabi SAW yang berbunyi:
ﻞ اﷲ َ ﺟ َﻌ َ ْ َﻗﺪ. ﺧَ ُﺬوْاﻋَﻨِﻲ,ﻋﻨِﻲ َ ﺧ ُﺬوْا ُ " ْﺳﱠﻠﻢ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﺻﻠﱠﻰ اﷲ َ ل اﷲ ُ ل َرﺳُﻮ َ ﻋﺒَﺎ َد َة ِﺑﻦْ اﻟﺼَﺎ ِﻣﺖْ ﻗَﺎ ُ ْﻋﻦ َ َو ( )رواﻩ ﻣﺴﻠﻢ.ﺟ ُﻢ ْ ﺟﻠْ ُﺪ ﻣِﺎ َﺋ ٍﺔ وَاﻟ َﺮ َ ﺐ ِ ْﺐ ﺑِﺎﻟ َﺜﻴ ُ ْﺳ َﻨ ٍﺔ وَاﻟﺜَﻴ َ ﻲ ُ ْﺟﻠْ ُﺪ ﻣِﺎ َﺋ ٍﺔ َو َﻧﻔ َ اﻟ ِﺒﻜْ َﺮ ﺑِﺎﻟ ِﺒﻜْ ِﺮ.ﻼ َ ْﺳ ِﺒﻴ َ َﻟ ُﻬﻦﱠ
Artinya : “Dari Ubadah bin Tsamit berkata, bahwa Rasulullah bersabda: Ambilah dariku! Ambilah dariku! Allah telah mebuka jalan bagi perempuan- perempuan itu. Perawan dengan perawan dicambuk seratus kali dan diusir dari kampung selama satu tahun. Dan mereka yang sudah menikah dengan yang sudah menikah dicambuk seratus kali dan dirajam.” (H.R. Muslim: 1690) 6 Firman Allah SWT mengenai pidana cambuk juga terdapat dalam ayat al-Qur’an yang berbunyi: ☺
⌧ Artinya : “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (Q.S AnNur; 4) 7 Dasar pidana cambuk juga disebutkan dalam Hadits Nabi SAW yaitu: 6
Imam Abu al- Husein Muslim Ibnu Hajaj, Shahih Muslim, (Kairo: Daru Ihya Kutub al‘Arabi), Jilid 3, h.1312. 7
Ibid, Wardi: h. 61.
18
اﺗﻲ ﺑﺮﺟﻞ ﻗﺪﺷﺮب اﻟﺨﻤﺮ ﻓﺠﻠﺪﻩ ﺑﺠﺮﻳﺪﺗﻴﻦ ﻧﺤﻮ،ﻋﻦ اﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ أن اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ أرﺑﻌﻴﻦ ﻗﺎل وﻓﻌﻠﻪ أﺑﻮ ﺑﻜﺮ ﻓﻠﻤﺎ آﺎن ﻋﻤﺮ اﺳﺘﺸﺎر اﻟﻨﺎس ﻓﻘﺎل ﻋﺒﺪ اﻟﺮﺣﻤﻦ أﺧﻒ اﻟﺤﺪود ﺛﻤﺎﻧﻴﻦ ﻓﺎﻣﺮﺑﻪ ﻋﻤﺮ Artinya : “Dari Anas bin Malik dari Nabi SAW bersabda: Kepada Nabi dihadapkan seorang laki-laki yang telah minum arak. Nabi mencambuknya dengan dua pelapah kurma sebanyak empat puluh kali. Anas berkata: Abu Bakar berbuat yang sama. Tatkala Umar menjadi Khalifah, Umar bermusyawarah dengan para sahabat, maka Aburrahman ibnu A’uf berkata: Hukuman had yang paling rendah delapan puluh (80) kali. Maka Umar pun menetapkan cambukan sebanyak delapan puluh (80) kali.” (H.R Muslim) 8
B.
Pidana Cambuk Dalam Timbangan Konsep Maslahah Pada pembahasan sebelumnya penulis sudah memaparkan mengenai
pengertian dan dasar hukum pidana cambuk. Dalam point ini penulis akan membahas mengenai “Pidana Cambuk Dalam Timbangan Konsep Maslahah”. Menurut Louis Ma’luf 9 , secara etimologis term ”Maslahah” berasal dari akar kata salaha - yasluhu - salahan – suluhan – salahiyah, yang artinya, sesuatu yang mendorong kepada kebaikan atau kelayakan; atau bisa juga diartikan sebagai sesuatu yang mendorong bagi seseorang untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi kelompoknya. Ahmad Warson Munawwir 10 , mengartikan kata “maslahah” sebagai faedah, kepentingan, kemanfaatan, kemaslahatan. Dari sudut 8
Shahih Muslim, Terjemah Hadits Shahih Muslim. (Jakarata: Bumi Restu, 1984), Cet. Ke- 1 Jilid III. Hadits:1684. h. 253. 9
Louis Ma’luf, Kamus Munjid, (Beirut: Dar al- Masyriq, 1977), h. 528.
10
Ahmad Warson Munawwir, Al- Munawwir: Kamus Arab – Indonesia. (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan,1984), h. 844.
19
pandang ilmu sharaf (morfologi), kata “maslahah” satu wazan (pola) dan makna dengan kata manfa’ah. Kedua kata ini “maslahah dan manfa’ah” telah di Indonesiakan menjadi “maslahat dan manfaat”. 11 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan maslahat artinya sesuatu yang mendatangkan kebaikan, faedah dan guna. Sedangkan kata “kemaslahatan” berarti kegunaan, kebaikan, manfaat, kepentingan. Sedangkan “manfaat” dalam kamus tersebut, diartikan dengan: guna, faedah. Kata “manfaat” juga diartikan sebagai kebalikan atau lawan kata “mudharat” yang beratri rugi atau buruk. 12 Amir Syarifuddin menyimpulkan bahwa maslahah adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan keburukan (kerusakan) bagi manusia, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum. 13 Abdul Manan juga menambahkan, maslahat itu adalah sesuatu yang tidak ditunjukkan oleh dalil tertentu yang membenarkan dan membatalkannya dan maslahat itu juga adalah sejalan dengan indakan syara’ dan tujuan hukum syara’, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, harta benda, dan keturunan atau kehormatan. 14
11
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 101.
12
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), h. 634. 13 14
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh; Jilid 2. Cet. Ke- 5, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 345.
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Ed. 1, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), h. 263.
20
Selanjunya, menurut Asmawi, dalam disertasinya menyebutkan bahwa “maslahat” itu mencakup 2 (dua) unsur yang padu dan holistik, yakni اﻟﻤﻀﺮ/ اﻟﻤﻔﺎﺻﺪ اﻟﻤﺼﺎﻟﺢ ودرء/ ﺟﻠﺐ اﻟﻤﻨﺎﻓﻊyang mengandung arti “mewujudkan sesuatu yang bermanfaat/baik atau yang membawa kemanfaatan/kebaikan, dan mencegah serta menghilangkan
sesuatu
yang
negatif-destruktif
atau
yang
membawa
kerusakan/mudarat, di mana hal ini semua tetap dalam kerangka arahan al-Qur’an dan Hadits. 15 Menurut hemat penulis, dari beberapa pendapat yang dekemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa maslahat atau kemslahatan, yaitu sesuatu yang dapat mendatangkan kebaikan, kesejahteraan, keamanan, ketenteraman dan menolak yang dapat mendatangkan kerugian, keburukan, atau kerusakan sejalan dengan baik menurut manusia dan baik pula menurut sang pencipta. Dalam hal ini pidana cambuk yang diterapkan dalam hukum Islam, merupakan suatu konsep yang memandang bahwa penetapan atau penerapan hukum cambuk bagi pelaku jarimah yang telah disebutkan penulis di atas merupakan tindakan pembatasan atas perbuatan yang nantinya akan menimbulkan kerusakan dimuka bumi ini. Selain itu pidana cambuk yang diterapkan dalam hukum pidana
15
Asmawi, Teori Maslahat dan Relevansinya Dengan Perundang-undangan Pidana Khusus Di Indonesia. Sinopsis Disertasi Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009. h. 16.
21
Islam ini bertujuan untuk pencegahan ()اﻟﺮدع واﻟﺰﺟﺮ, perbaikan dan pendidikan ( واﻟﺘﺄدﺑﺮ )اﻻﺻﻼح. 16 Adapun sisi kemaslahatan hukum pidana Islam dalam hal ini pidana cambuk antaranya adalah: a)
Bagi pezina, adalah untuk mencegah terjadinya penyebaran penyakit, mencegah terjadinya perselisihan yang mengakibatkan pembunuhan, dan mencegah terjadinya keruntuhan rumah tangga dan harta kekayaan.
b)
Bagi peminum minuman beralkohol dan yang mengandung zat aditif lainnya adalah untuk mencegah timbulnya berbagai tindak kejahatan, karena hilangnya akal sehat ketika
pada diri manusia yang meminum-minuman
tersebut. Pelarangan alkohol ini disebabkan karena semua peneliti sepakat bahwa mengkonsumsi alkohol akan berdampak negatif terhadap moral dan spiritual orang yang mengkonsumsinya baik sedikit maupun banyak sehingga efesiensi manusia apapun kegiatan yang mereka lakukan akan rusak karenanya. 17 c)
Bagi orang yang menuduh zina (qadzaf), agar ia dapat menjaga dan memelihara kehormatan umat muslim lainnya yang ia tuduh. 18
16
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam; Fiqh Jinayah. Cet. I (Jakarata: Sinar Grafika, 2004), h. 137-138. 17
M. Arief Hakim, Bahaya Narkoba, Alkohol; Cara Islam Mencegah, Mengatasi, dan Melawan. Cet. 1, (Bandung: Nuansa, 2004), h. 107. 18
Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam; Penerapan Syari’at Islam Dalam Konteks Modernitas. Cet. ke-2, (Bnadung: Asy-Syamil & Grafika, 2001), h. 195-207.
22
d)
Bagi pelaku judi/perjudian, agar harta yang ia gunakan tidak disia-siakan dengan jalan yang dapat mendatangkan kemafsadatan. Menurut Azis Syamsuddin, 19 aktivitas perjudian akan menimbulkan dampak negatif, misalnya orang yang berjudi akan menghabiskan waktu dengan berkhayal, mengabaikan kelurga dan anak-isteri serta pekerjaannya. Dan, bila demikian kondisinya, orang itu akan kehilangan kesadaran untuk mau bekerja keras serta kehilangan rasa kepeduliannya terhadap orang lain.
e)
Bagi pelaku penganiayaan, agar ia dapat menghormati dan saling menyayangi satu sama lain karena setiap manusia mempunyai hak untuk hidup tenteram, damai bahagia, sejahtera lahir dan batin. 20 Topo Santoso 21 mengatakan, dalam Islam-pun melarang berbuat aniaya seperti tercantum dalam ayat Al-Qur’an Surat An- Nisa ayat 30, yang berbunyi;
☺
Artinya:
19
Azis Syamsuddin, Dekriminalisasi Tindak Pidana Perjudian: Menuju Pembangunan Hukum Masyarakat Adil dan Makmur, Cet. I, (Jakarta; 2007), h. 98. 20
Mansyur Effendi dan Taufani S. Evandari, HAM Dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik, dan Proses Penyusunan/Aplikasi Ha-kham (Hak Asasi Manusia) Dalam Masyarakat, Cet. ke1, Ed. Rev. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2007). Lihat, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM. 21
Topo Santoso, Perlindungan HAM Dalam Hukum www.pemantauperadialan.com (Artikel ini diakses pada 09 April 2010).
Pidana
Islam,
23
“Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, Maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
C. Pidana Cambuk; Aspek al-Tsawabit dan Mutaghayyirat-nya. Dalam doktrin hukum pidana Islam terdapat dua aspek doktrin yaitu, diantaranya adalah aspek at-tsawabit yang bersifat qath’iy (pasti) dan aspek almutaghayyirot yang bersifat zhanniy (relatif). 22 Kata al-Tsawabit berasal dari bahsa Arab, isim fa’il kata ﺛﺎﺑﺖ ﻻ ﻳﺘﻐﻴﺮyang berarti tetap tidak berubah. 23 Sedangkan kata ﻣﺘﻐﻴﺮاتberasal dari ﺗﻐﻴﺮyang berarti mengubah/mengganti 24 , ( ﻣﺘﻐﻴﺮاyang berubah). 25 Sedangakan istilah dari kedua kata tersebut yaitu adalah (hal-hal baku yang bersifat tetap dan permanen) adalah masalahmasalah ushul (prinsip) di dalam ajaran Islam (al-tsawabit), dan mutaghayyirat
22
Asmawi, Catatan Perkuliahan, Kapita Selekta Hukum Pidana Islam, Semester VII, Prodi Jinayah Siyasah, Jurusan Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syahid Jakarta. 05 Oktober 2009. 23
Ali Mutahar, Kamus Muthahar; Arab-Indonesia, Cet. 1. (Jakarta: Hikam, 2005), h. 372.
24
Ibid, h. 804.
25
Abu Khalid, Kamus Al-Huda; Arab-indonesia, (Surabaya: Fajar Mulya), h. 423.
24
Tsawabit adalah masalah-masalah prinsip yang berdalil ( ﻗﻄﻌﻲmutlak dan pasti), baik ( ﻗﻄﻌﻲ اﻟﺜﺒﻮتkehujjahannya mutlak dan pasti serta tidak diperselisihkan diantara para ulama), maupun ( ﻗﻄﻌﻴﻰ اﻟﺪﻻﻟﺔmakna dan pengertiannya mutlak, pasti dan tidak diperdebatkan di antara para ulama Ahlussunnah Waljama’ah). Adapun Mutaghayyirat adalah masalah-masalah furu’ yang berdalil zhanniy (tidak mutlak dan pasti, serta multi interpretasi), baik dalam hal tsubut (kehujjahan)-nya, dilalah (kandungan makna dan pengertian)-nya, maupun kedua-duanya. Dari pengertian di atas, penulis mengkaitkan dengan ayat dan hadits yang menetapkan ketentuan hukum cambuk seperti yang sudah penulis sebutkan sebelumnya 27 merupakan salah satu ketetapan yang tidak bisa dirubah lagi, yaitu pidana cambuk bagi pelanggar kejahatan menurut hukum pidana Islam. Ketentuan pidana cambuk yang sudah ditetapkan merupakan ketentuan yang sudah pasti dan tidak bisa digantikan dengan ketentuan lain. ☺ ......... Artinya:
26
Ahmad Mudzoffar Jufri, Urgensi Fiqih Tsawabit dan Mutaghayyirat. http://konsultasisyariah.net/content/view/81/126/. (Artikel ini diakses pada 10 Maret 2010) 27
Lihat pada halaman sebelumnya (Pengertian dan Dasar Hukum Cambuk).
25
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera..... (Q.S An-Nur; ayat 2) Kata “fajlidu” dan “ ”ﻣﺎﺋﺔ ﺟﻠﺪةserta “( ”وﻟﻴﺸﻬﺪ ﻋﺬاﺑﻬﻤﺎpersaksikanlah oleh orang banyak) pada ayat di atas merupakan perintah (ketetapan hukum) mencambuk sebanyak seratus kali terhadap orang yang telah melakukan zina baik laki-laki maupun perempuan dan dilaksanakan dimuka umum. Hal ini merupakan salah satu ketetapan (tsawabit) yang tidak bisa ditawar-tawar lagi oleh siapapun dan tidak akan berubah selama-lamanya. Mengutip dari pendapat Ibnu Hazam, menyatakan bahwa; “Sesugguhnya apa yang telah tetap itu, akan tetap selama-lamanya, untuk setiap waktu, setiap tempat dan setiap keadaan, sampai ada nash lain yang datang menggesernya, sebagai hukum pada waktu lain, tempat yang lain, dan kesempatan yang lain pula”. 28 Adapun mutaghayyirot dari ketentuan pidana cambuk dan pelaksanaannya di atas adalah cara dan bagaimana cambuk itu dilakukan bisa saja berbeda dan dapat pula berubah tergantung pada ijtihad yang digunakan. Mushthafa Az-arqa’i dalam pembahasannya mengatakan, “Diantara yang telah ditetapkan dalam fiqh syari’ah adalah perubahan keadaan dan waktu berpengaruh besar terhadap hukum-hukum syar’i yang bersifat ijtihadiyah”. 29
28
Busthami Muhammad Sa’id, Gerakan Pembaruan Agama: Antara Moderenisme dan Tajdiduddin, Judul Asli, Mafhum Tajdidudd lin. Cet. I, (Kuwait, Darud-Da’wah, 1405 H/1984 M). Penerbit Edisi Indonesia (Bekasi: PT Wacanalazuardi, 1995), h. 296. 29
Ibid , Busthami: h. 295
26
Mutaghayyirot dalam konteks pidana cambuk banyak kita dapati dalam suatu pelaksanaan dan tatacara yang digunakan. Misalnya alat yang digunakan nabi Muhammad SAW untuk mencambuk adalah pelepah pohon kurma 30 . Hal ini didasarkan atas hadits Rasulullah saw: “Kepada Nabi Didatangkan seseorang yang telah meminum khamar. Lalu Rasulullah saw. menderanya dengan dua pelapah kurma sebanyak 40 kali dera” (H.R Ahmad bin Hambal, Muslim, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi dari Anas bin Malik). Di lain hal, ada beberapa ketentuan lain yang tatacara dan alat yang digunakan dalam melaksanakan hukum cambuk menggunakan rotan yang mempunyai ketentuan khusus seperti yang terdapat pada qanun Aceh. Menurut Abul A’laa Al-Maududi alat yang dipakai sebagai pemukul (alat untuk mencambuk) hendaknya berbentuk sedang, tidak terlalu besar, tidak terlalu kecil, tidak terlalu keras, dan tidak terlalu halus. Alat pemukulnya pula tidak diperkenankan menggunakan pemukul bercabang dua apalagi tiga. Rasulullah saw. pernah memerintahkan menghukum dengan cambuk kepada seseorang yang datang kepadanya kaena ia mengakui bahwa dirinya telah berzina. Kemudian Rasulullah saw. memerintahkan untuk mendatangkan alat pemukul untuknya. Dan ketika itu didatangkannya kepada beliau sebuah pemukul yang mudah patah dan mudah pecah. Setelah melihat pemukul itu Rasulullah saw. meminta agar menukarnya dengan yang lebih keras dan besar. Kemudian didatangkan lagi tongkat yang tidak begitu keras dan besar, lalu beliau menerimanya kemudian memerintahkan 30
Ibid, Topo Santoso: h, 202.
27
agar menghukumnya. Juga pada masa Khalifah Umar bin Khattab r.a. ia memakai alat cambuk yang begiu lunak dan tidak keras. 31 Kutipan keterangan di atas, menjelaskan bahwa tidak ada ketentuan yang pasti mengenai alat yang dipakai untuk mencambuk. Hal tersebut mengindikasikan bahwa alat yang dipakai untuk mencambuk akan dapat berubah sesuai berubahnya zaman dan kebutuhan akan hukum. Begitupun halnya mengenai ketentuan bagaian tubuh mana yang harus dicambuk. Akan tetapi para ahli tafsir dan ahli kamus sepakat, dalam melaksanakan pencambukan hendaklah hanya sampai batas permukaan kulit, tidak sampai melukai daging 32 dan tidak boleh mengenai bagian wajah dan alat kelamin.
31
Muhammad ‘Aashim Al-Hadad, Kejamkah Hukum Islam, Terjemahan Tafsir Surat An-Nur yang ditulis oleh Abul-A’la Al- Maududi, (Lahor: tanpa penerbit, 1959), h. 78-79. 32
Ibid, h. 78.
BAB III KONSEP PELAKSANAAN HUKUM CAMBUK DALAM PERATURAN DESA MUSLIM PADANG
A.
Deskripsi Peraturan Desa Muslim Padang. 1 Di bawah ini merupakan deskrpsi mengenai Pasal-Pasal yang terdapat dalam
Peraturan Desa Muslim Padang Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba Nomor 05 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Hukum Cambuk yang penulis rangkum sesuai dengan yang tertera dalam Perdes ini. Pendeskripsiannya sebagai berikut: Pertama, dalam Konsideran “menimbang” ini dijelaskan bahwa selain untuk mendukung pelaksanaan syari’at Islam yang dicanangkan oleh Pemerintah Kabupaten Bulukumba, alasan dibentuknya Peraturan Desa Muslim Padang ini adalah untuk menciptakan suasana aman, nyaman dan tertib serta untuk mengantisipasi adanya perbuatan yang meresahkan masyarakat Desa Padang. Juga karena masyarakat yang enggan berurusan dengan pihak penegak hukum. Adapun perbuatan yang dimaksud menurut Perdes ini adalah sebagai berikut: 1.
Perzinahan. 2
1
Peraturan Desa Muslim Padang Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba Nomor. 05 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Hukum Cambuk, dari http://www.nusantaraonline.org/. (Di akses pada 19 Januari 2010). 2
Lihat Pasal 2 dan Pasal 3 Perdes Muslim Padang Nomor. 05 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Hukum Cambuk.
27
28
Menurut ketentuan Perdes ini bahwa “perzinahan” atau suatu perbuatan zina adalah memasukkan alat kelamin laki-laki ke alat kelamin perempuan selayaknya suami isteri dengan paksaan atau bujukan tanpa diikat tali pernikahan. Perbuatan zina yang dimaksud dalam Perdes ini adalah: -
Laki-laki bujang dengan wanita perawan melakukan hubungan seksual diluar nikah.
-
Laki-laki yang sudah beristeri dengan wanita yang sudah bersuami melakukan hubungan seksual kecuali dengan pasangan sebagaimanaa telah tercatat pada catatan sipil maupun akta nikah.
-
Mengganggu, merayu, baik perawan maupun yang telah bersuami untuk melakukan hubungan zina.
-
Laki-laki dan wanita berduaan ditempat yang sunyi yang bukan muhrimnya.
-
Wanita bepergian dengan laki-laki yang bukan muhrimnya kecuali ada izin dari orang tua atau wali.
2.
Penyalahgunaan obat dan minuman yang mengandung zat aditif lainnya (orang yang menjual dan meminum minuman yang beralkohol dan zat aditif lainnya). 3
Penyalahgunaan yang dimaksud dalam Perdes ini adalah sebagai berikut: -
memasukkan, menyalurkan dan mengedar minuman beralkohol dan zat aditif lainnya di dalam Desa Muslim kecuali ada keputusan Bupati. 3
Lihat Pasal 4, 5, dan Pasal 6 Larangan Menjual Dan Meminum Minuman Beralkohol Dan Zat Aditif Lainnya.
29
-
jumlah dan jenis minuman beralkohol dan zat aditif lainnya yang boleh diedarkan dicantumkan dalam izin sebagaimanaa yang dimaksudkan di atas. 4
-
tidak mendapatkan izin dari Pemerintah Daerah.
-
dijual dan diminum ditempat umum seperti rumah makan, wisma, warung, kios-kios, gelanggang olahraga, gelanggang remaja, kantin, kaki lima, terminal, stasiun, pasar cape, rumah-rumah penduduk, tempat ibadah, di kebun, di sawah, dan tempat lainnya. Adapun yang dimaksud orang yang meminum adalah orang yang meminum
minuman yang mengandung ethanol yang diproses dari bahan asli pertanian yang mengandung karbonnidrat dengan cara fermentasi dan destilasi baik dengan cara memberikan perlakukan terlebih dahulu atau tidak, menambahkan bahan lain atau tidak, maupun diproses dengan cara mencampur konsentrat dengan ethanol atau dengan cara pengeceran minuman yang mengandung ethanol.
3.
Perjudian 5 Perjudian (judi) yang dimaksud dalam Perdes ini adalah pertaruhan antara dua
orang atau lebih dengan menggunakan alat yang pada akhirnya merugikan di satu pihak dan menguntungkan di pihak lain.
4
Yang dimaksud adalah Pasal 4 ayat (1).
5
Lihat Pasal 7.
30
Adapun perjudian yang diatur dalam Perdes ini antara lain adalah sebagai berikut: -
melakukan dan atau membeli kupon berhadiah dalam bentuk dan untuk judi ;
-
melakukan pertaruhan judi yang pada akhirnya merugikan pihak lain;
Sedangkan pertaruhan judi sebagaimana yang dimaksud adalah: a.
Tebak hasil skor
b.
Judi domino atau gaple
c.
Judi kartu remi
d.
Balapan liar
e.
Sabung ayam
f.
Lotre atau kupon putih
g.
Mesin judi
h.
Dan lain sebagainya yang mengandung unsur judi
4.
Penganiayaan. 6 Penganiayaan yang dimaksud dalam Perdes ini adalah tindakan fisik baik
dengan alat atau tanpa alat yang dapat menyebabkan orang lain merasa sakit dan orang tersebut tidak menerima perlakuan yang ditimpakan kepada dirinya. Yang dimaksud adalah melakukan penganiayaan terhadap orang lain baik sengaja maupun tidak disengaja berupa pemukulan, pemasungan, dan pengurungan.
6
Lihat Pasal 8.
31
Kedua, dasar hukum yang menjadi acuan diberlakukannya Perdes ini anatara lain adalah sebagai berikut: 1.
Al-Qur’an dan Surah An-Nur ayat 2 serta Hadis Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Muslim tentang Pelaksanaan Hukum Cambuk bagi peminum minuman keras.
2.
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495).
3.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389).
4.
Keputusan Presiden Nomor 96 tahun 1998 tentang Pengawasan Dan Pengendalian Minuman Beralkohol dan Zat aditif lainnya.
5.
Surat Keputusan Bupati Bulukumba No. 535/XII/2004 tanggal 7 Desember 2004 tentang Desa/Kelurahan Muslim dalam wilayah Kabupaten Bulukumba.
Ketiga, ketentuan sanksi hukum pidana Islam, sebagaimana diatur dalam Pasal ini 7 antara lain adalah sebagai berikut:
7
Lihat Pasal 10, 11, 12, dan Pasal 13.
32
(1)
Bagi pelanggar larangan pezinahan dihukum dengan pidana cambuk sebanyak 100 kali atau dilimpahkan kepihak kepolisian untuk diproses sesuai hukum KUHP ;
(2)
Bagi orang yang menuduh orang lain berzina tanpa disertai bukti (4 orang saksi) dikenakan hukuman cambuk sebanyak 80 kali atau dilimpahkan kepihak kepolisian untuk diposes sesuai hukum KUHP ;
(3)
Adapun sanksi pidana Islam yang dimaksud pada Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) 8 adalah sanksi peringatan atau teguran dan atau mendapat hukum cambuk jika orang tua atau wali merasa keberatan, atau dilimpakan kepihak kepolisian untuk diproses sesuai hukum KUHP ;
(4)
Bagi Pelaku Judi dikenakan pidana cambuk sebanyak maksimal 40 kali atau dilanjutkan kepihak kepolisian untuk diproses sesuai hukum KUHP ;
(5)
Bagi penjual dan peminum minuman beralkohol dan zat aditif lainnya dikenakan pidana cambuk sebanyak 40 kali atau dilimpahkan kepihak kepolisian untuk diproses sesuai ketentuan hukum KUHP ;
(6)
Bagi pelaku penganiayaan diberi sanksi pidana cambuk sebanyak 20 kali cambukan ; Pidana cambuk bagi pelaku penganiayaan dapat dihapus apabila korban memaafkan pelaku dengan ketentuan pelaku dengan membayar uang denda.
8
Ayat (1). Dilarang laki-laki dan wanita berduaan ditempat yang sunyi kecuali dengan muhrimnya ; Ayat (2). Dilarang wanita bepergian dengan laki-laki yang bukan muhrimnya kecuali adal izin dari orang tua atau wali ;
33
Sebagaimana hasil musyawarah yang dilaksanakan pihak pemerintah desa bersama kedua belah pihak yang berselisih atau dilanjutkan kepihak kepolisian untuk diproses sesuai ketentuan hukum KUHP ; Selain itu, dalam Perdes ini 9 juga diatur menganai wewenang “penyidikan”. Di mana salah satunya tertulis bahwa yang berwenang dalam hal penyidikan bukan hanya pejabat penyidik yang diatur oleh undang-undang saja, akan tetapi “penyidikan” ini juga boleh dilakukan oleh Satgas atau Linmas yang ditetapkan oleh Pemerintah Desa. Lebih lanjut, wewenang penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Perdes ini adalah: -
Menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindakan pidana atas pelanggaran Perdes agar keterangan atau laporan tersebut lebih lengkap dan jelas.
-
Meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atas terjadinya pelanggaran Perdes tersebut.
-
Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atas terjadinya pelanggaran Perdes. Penyidikan sebagaimana yang dimaksud di atas yaitu memberitahukan
dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut
9
Pasal 14, Perdes Muslim Padang Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba Nomor 05
Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Hukum Cambuk.
34
umum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana. Dapat diketahui bahwa dalam Perdes ini ada beberapa ketentuan yang diatur baik dalam segi kesamaan hukuman yang terdapat dalam ketentuan hukum Islam dan hukum positif maupun segi kesamaan aturan yang sudah ditetapkan dalam peraturan yang lebih umum. Selebihnya akan dijelaskan pada pembahasan berikutnya.
B.
Jenis- jenis Perbuatan yang Dipidana Dalam Peraturan Desa Muslim Padang Setelah penulis perhatikan secara seksama dari Naskah Peraturan Desa
Muslim Padang Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba Nomor 05 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Hukum Cambuk, didapati ada beberapa Pasal larangan dan ketentuan hukuman dari larangan tersebut, diantaranya adalah sebagai berikut: (1)
Berzina dengan hukuman pidananya adalah 100 kali cambuk;
(2)
Menjual dan meminum- minuman yang mengandung (khamar) yang ketentuan hukuman pidananya adalah 40 kali cambuk;
(3)
Berduaan ditempat yang sunyi dan bepergian bagi laki-laki maupun perempuan yang bukan muhrimnya. Dikenai sanksi atau teguran dan atau cambuk.
(4)
Menuduh orang berzina tanpa ada 4 orang saksi dengan ketentuan hukuman pidananya adalah 80 kali cambuk;
35
(5)
Berjudi dengan ketentuan hukuman pidananya adalah 40 kali cambuk dan;
(6)
Penganiayaan dengan ketentuan hukuman pidananya adalah 20 kali cambuk.
Dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan ketentuan pidana (sanksi pidana) yang diatur dalam Perdes ini selalu di kaitkan dengan pelimpahan kepihak kepolisian untuk diproses lebih lanjut sesuai dengan ketentuan yang berlaku jika tidak terselesaikan dengan ketentuan yang diatur dalam Perdes ini.
C. Kriteria Hudud dan Ta’zir Dalam Peraturan Desa Muslim Padang Hukum Pidana Islam memuat beberapa aturan atau ketetapan hukum bagi masing-masing perbuatan yang dilarang oleh nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Ada beberapa jenis perbuatan yang dapat dipidana dalam hukum pidana Islam diantaranya adalah hukuman hadd dan ta’zir. Kata “hudud” adalah jamak dari bahasa arab “hadd” yang berarti pencegah, pengekang, larangan, dan karenanya ia merupakan suatu peraturan yang bersifat membatasi/ mencegah atau undang-undang dari Allah SWT berkenaan dengan halal dan terlarang (haram). 10 Hukman hudud atau hadd adalah suatu perbuatan pidana atau jarimah yang hukumannya telah ditentukan oleh syara’ dan merupakan hak Allah SWT. Disebut sebagai hak Allah SWT, Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa hadd dan hak Allah 10
Abdur Rahman I Doi, Tindak Pidana Dalam Syari’at Islam, Cet. Ke-1 (Jakarta: PT Melton Putra, 1992), h. 6.
36
adalah hukum yang tidak dikhususkan untuk kaum tertentu, yang difungsikan untuk memberikan kemanfaatan kepada kaum muslimin untuk sebagian dari mereka yang membutuhkan kemanfaatan tersebut. 11 Ciri dari hukuman hadd yaitu hukumannya tertentu dan terbatas dalam arti bahwa hukuman tersebut telah ditentukan oleh syara’ dan tidak ada batas minimal dan maksimal. Dalam hal ini perbuatan zina, qadzaf dan syarb al-khamar merupakan salah satu dari macam-macam perbuatan jarimah yang dikenai hukuman hadd dalam hukum pidana Islam seperti jarimah hirobah, jarimah riddah (murtad), syariqah (pencurian), dan jarimah al-baghyu (pemberontakan) . 12 Sedangkan ta’zir menurut pengertian bahasa adalah ta’dib atau memberikan pelajaran. Dalam pengertian yang umum, artinya menolak dan mencegah (Ar Rad wa Al Man’u). 13 Menurut istilah hukum syara’ adalah pencegahan dan pengajaran terhadap tindak pidana yang tidak mempunyai hukum hadd,
kifrat dan
Qishas/diyat. 14
ﻻ َآﻔَﺎ َر َة َ ﺣ ﱠﺪ ِﻓﻴْ ِﻪ َو َ ﻻ َ ﺐ ٍ ْﻋﻠَﻰ َذﻧ َ ٌﺗَﺎدِﻳْﺐ Artinya: “Ta’zir merupakan hukum disipliner karena tindak kejahatan, (namaun) tidak ada ketetapan hadd ataupun kafarat didalamnya”. 15 11
Ibnu Taimiyah, Kebijaksanaan Polotik Nabi SAW. Judul Asli, As- Siyasah As-Syar’iyah Fii Islahir Raa’i war-Ra’yah. Cet. 1. (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997), h. 61. 12
Ibid, Wardi, Hukum Pidana Islam: h. x.
13
Ibid, Wardii, Pengantar Dan Asas: h. 19
14
Abdul Mujieb dkk. Kamus Istilah fiqh. Cet.ke-3, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h.384.
15
A. Rahman I Doi, Hudud dan kewarisan, Cet. Ke- 1 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 15.
37
Selain itu ta’zir merupakan hukuman atas kesalahan yang tidak diancam hukman hadd (khusus) atau kejahatan-kejahatan yang sudah pasti ketentuan hukumannya, tetapi syarat-syaratnya tidak cukup (seperti tidak cukupnya empat orang saksi dalam kasus pidana). Hukuman ta’zir dikhususkan pada hukuman pemukulan, tapi dapat juga dalam bentuk lain seperti penamparan. 16 Dasar hukum disyari’atkannya hukuman ta’zir berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh beberapa ulama, berbunyi sebagai berikut:
ﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠّﻢ ﺣﺒﺲ ﻓﻰ ّ ﻲ ﺻﻠ ّ ن اﻟﻨّﺒ ّ ﻋﻦ ﺑﻬﺰ اﺑﻦ ﺣﻜﻴﻢ ﻋﻦ أﺑﻴﻪ ﻋﻦ ﺟﺪّﻩ ا (اﻟﺘﻬﻤﺔ )رواﻩ اﺑﻮ داود واﻟﺘﺮ ﻣﺬي واﻟﻨﺴﺎﺋﻲ واﻟﺒﻴﻬﻘﻰ وﺻﺤّﺤﻪ اﻟﺤﺎآﻢ Artinya : “Dari Bahz ibn Hakim dari Ayahnya dari kakeknya, bahwa nabi saw menahan seserorang karena disangka melakukan kejahatan (Hadits diriwayatkan oleh Abu Dawud, Turmudzi, Nasa’i, dan Bahaqi, serta disahihkan oleh Hakim).
:ﻋﻦ اﺑﻲ ﺑﺮدة اﻻﻧﺼﺎري رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﻪ ﺳﻤﻊ ﻧﺒﻲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل 17 ﻻ ﻳﺠﻠﺪ ﻓﻮق ﻋﺸﺮ ﺟﻠﺪات اﻻ ﻓﻰ ﺣ ّﺪ “Dari Abi Burdah Al-Anshari ra. bahwa ia mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Tidak boleh dijilid di atas sepuluh kali cambuk kecuali telah ditentukan oleh Allah Ta’ala”. (Muttafaq ‘Alaih).
اﻗﻴﻠﻮا ذوي:ﻰ اﷲ ﻋﻠﻴﻪ وﺳﻠﻢ ﻗﺎل ّ ن اﻟﻨﺒﻰ ﺻﻠ ّ وﻋﻦ ﻋﺎﺋﺸﺔ رﺿﻰ اﷲ ﻋﻨﻬﺎ ا (ﻻ اﻟﺤﺪود )رواﻩ اﺣﻤﺪواﺑﻮ داود واﻟﻨﺴﺎﺋﻰ واﻟﺒﻴﻬﻘﻲ ّ اﻟﻬﻴﺌﺎت ﻋﺜﺮا ﺗﻬﻢ إ 16
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam. Cet. ke-6 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), h. 52. 17
Sajastani Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Juz II, (Kairo, Mustafa al-Babi al-Halabi, 1952), hadits 4491, h. 629.
38
"Dari Aisyah ra. bahwa Nabi saw bersabda: “Ringankanlah hukuman bagi orang-orang yang tidak pernah melakukan kejahatan atas perbuatan mereka, kecuali dalam jarimah-jarimah hudud". (Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, Baihaqi). 18 Menurut hemat penulis, dari pemaparan di atas secara garis besar hukuman hadd adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara’ dan sudah menjadi hak Allah.
Sedangkan hukuman ta’zir adalah hukuman yang tidak melebihi batas
maksimal hukuman hadd. Dan ketentuan hukuman ta’zir dapat ditentukan oleh penguasa, pemerintah (ulil amri). Berangkat dari kesimpulan di atas, penulis mendapati cakupan kriteria hudud dan ta’zir dalam Perdes ini antaranya sebagai berikut; 1)
Larangan perbuatan zina dengan ancaman pidana cambuk sebanyak 100 kali baik pelaku zina muhson maupun pelaku zina ghair muhson.
2)
Larangan menjual dan meminum- minuman yang mengandung zat aditif lainnya dengan ancaman pidana cambuk sebanyak 40 kali cambuk;
3)
Larangan menuduh orang berzina tanpa ada 4 orang saksi dengan ancaman pidananya sebanyak 80 kali cambuk. Adapun yang termasuk dalam kriteria ta’zir dalam Perdes ini antaranya
sebagai berikut: 1)
Larangan melakukan perbuatan mesum (laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim bersunyi-sunyi) serta bepergian laki-laki dengan perempuan bukan
18
Ibid, Wardi, Hukum Pidana Islam: h. 252.
39
muhrimnya tanpa dapat persetujuan dari orang tua atau walinya. Keduanya diancam dengan sanksi peringatan atau teguran dan atau hukum cambuk dan atau dilimpahkan kepihak kepolisian. 2)
Larangan berjudi dengan ancaman pidana cambuk sebanyak 40 kali cambukan dan;
3)
Larangan penganiayaan dengan ancaman pidana cambuk sebanyak 20 kali cambukan. Larangan berjudi dan penganiayaan masuk kedalam kriteria ta’zir didasarkan
atas perbuatan yang dilakukan tidak termasuk kedalam cakupan hudud. Ini dilihat dari tidak ada ayat yang secara spesifik mengatur ketentuan hukum bagi pelaku perbuatan tersebut. Akan tetapi dalam buku Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam, karangan Ahmad Wardi Muslich, “penganiayaan” termasuk kedalam jarimah qishas dan diyat. Hal ini dikarenakan “penganiayaan” merupakan hak individu. Menurutnya hal tersebut dilihat dari segi “pengampunan”. Karena dengan adanya pengampunan dan atau pemaafan dari pihak si korban dalam jarimah ini mengharuskan
hakim berijtihad
untuk
menentukan
hukuman
bagi
penganiayaan. Dan atas dasar itulah hukum ta’zir diberikan bagi si pelaku. 19
19
Ibid, Wardi, Pengantar Dan Asas; h. 20-21.
pelaku
BAB IV PANDANGAN HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM POSITIF TENTANG PELAKSANAAN HUKUM CAMBUK YANG DIATUR DALAM PERATURAN DESA MUSLIM PADANG
A.
Pandangan Hukum Pidana Islam Tentang Pidana Cambuk Dalam hukum Islam, tindak pidana diartikan sebagai perbuatan-perbuatan
yang dilarang oleh syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman hudud atau ta’zir. Pensyari’atan hukuman terhadap setiap tindak pidana dalam hukum Islam bertujuan untuk mencegah manusia memperbuat tindakan tersebut. Dasar pelarangan perbuatan pidana dan penetapan hukumnya dalam hukum Islam adalah demi melindungi kemaslahatan manusia memeliharan peraturan atau sistem yang ada, serta terjaminnya keberlangsungan yang kuat dan berakhlak mulia. Penetapan hukuman cenderung mengarah keapada hal-hal yang tidak disukai manusia, yakni selama hukuman itu memberikan kemaslahatan masyarakat dan mencegah hal-hal yang disukai mereka, selama hal itu dapat merusak mereka. Berdasarkan al- Qur’an, perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang yang bertanggungjawab diberi hukuman yang tertentu sesuai dengan keadilan menurut petunjuk Allah. Dasar daripada siapa yang berbuat pidana, perbuatan kejahatan apa yang dapat dipidana dan bagaimana hukumannya. Pertama didasarkan kepada keimanan kepada Allah dan wahyu Allah al-Qur’an dan kedua didasarkan kepada akal sehat manusia untuk mendapatkan kemaslahatan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. 40
41
Berkenaan dengan pidana cambuk yang terdapat dalam Peraturan Desa Muslim Padang Kecamatan Gantarang Nomor 05 Tahun 2006 ini, doktrin hukum pidana Islam memandang bahwa hukum cambuk yang telah diberlakukan di Desa tersebut merupakan suatu hukum yang bertujuan untuk terbentuknya maqasid assyari’ah. Sejatinya hukum pidana Islam menurut Rachmat Djatnika 1 tujuannya tertumpu pada pemeliharaan lima hal yang penting yang berdasarkan skala prioritas berurutan sebagai berikut: -
Memelihara agama
-
Memlihara jiwa
-
Memelihara keturunan
-
Memelihara harta.
-
Memelihara akal. Di mana setiap ketentuan hukum yang terdapat dalam Perdes ini sudah
memenuhi kriteria pada umumnya dalam hukum pidana Islam, baik mengenai kemaslahatan yang diutamakan serta menolak kemafsaadatan. Seperti hal yang sudah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya, ketentuan pidana yang terdapat dalam Perdes tersebut didasarkan pada Al-Qur’an dan AsSunnah. Pidana cambuk dalam Perdes ini, terdapat beberapa ketentuan yang yang termasuk kedalam kriteria hudud dan ta’zir. Kedua klasifikasi tersebut dilihat dari sudut pandang jarimah-jarimah yang sudah dimuat dalam ketentuan hukum pidana 1
Rachmat Djatnika, “Jalan Mencari Hukum Islami Upaya ke Arah Pemahaman Metodologi Ijtihad”, dalam Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam Dalam system Hukum Nasional, Cet. ke- 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 104.
42
Islam. Seperti jarimah zina, qadzaf (menuduh orang lain berzina), syarbu al-khamr (minum arak atau meminum minuman yang berakohol) termasuk kedalam tindak pidana yang diancam dengan hukuman had (hudud) dan penganiayaan yang termasuk kedalam kriminalisasi ta’zir. Secara keseluruhan, semua ketentuan pidana yang terdapat dalam Perdes ini diancam dengan hukuman cambuk sesuai dengan tindak pidana (jarimah) yang dilakukan. 1)
Mengenai Larangan Melakukan Perzinahan
☺ ☺
☺
⌧ ☺
⌧
Artinya: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.(Q.S An-Nur Ayat 2). Teks ayat di atas menunjukkan penegasan bagi pelaku zina baik perempuan maupun laki-laki dihukum cambuk sebanyak seratus kali. Dalam Perdes ini pengertian zina adalah “memasukkan alat kelamin laki-laki ke alat kelamin perempuan selayaknya suami isteri dengan paksaan atau bujukan
43
tanpa diikat tali pernikahan”. Adapun dalam Perdes ini disebutkan “pelaku zina” pada Pasal 2 ayat (1) dan (2) yang dimaksud adalah “laki-laki bujang dan wanita perawan” dalam hukum Islam disebut dengan ghair muhsan serta laki-laki yang sudah beristeri dengan wanita yang sudah bersuami” dalam hukum pidana Islam disebut dengan muhsan. Bagi pelakunya diancam dengan pidana cambuk sebanyak 100 kali atau dilimpahkan kepihak kepolisian untuk diproses sesuai hukum KUHP.” Sudah jelas pada dasarnya dalam hukum Islam dimuat dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 2 mengenai ketetntuan hukum bagi pelaku zina. Akan tetapi harus kita ketahui bahwa dalam Perdes ini tidak dijelskan secara eksplisit mengenai hukuman lain seperti rajam bagi pelaku zina muhsan (pelaku yang sudah berumah tangga atau sudah melakukan hubungan seksual secara halal dan atau sudah menikah atau pernah menikah) dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Jabir ;
ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﺻﻠَﻰ ا َ ﻼ َزﻧَﻰ ِﺑِﺄﻣْ َﺮَأ ٍة َﻓَﺄ َﻣ َﺮ ِﺑ ِﻪ اﻟ ﱠﻨﺒِﻰ ًﺟ ُ ن َر ﷲ َأ ﱠ ِ ﻋﺒْ ِﺪ َ ْﻋﻦْ ﺟَﺎ ِﺑ ِﺮ ِﺑﻦ َ َو 2
(ﺟ َﻢ )رواﻩ أﺑﻮداود َ ﺤ ﱠﺪ ُﺛﻢﱠ ُاﺧْ ِﺒ َﺮَا ﱠﻧ ُﻪ ُﻣﺤْﺼَﻦٌ َﻓَﺄ َﻣ َﺮ ِﺑ ِﻪ َﻗ َﺮ َ ْﺠَﻠ َﺪ َاﻟ َ ﺳﱠﻠﻢْ َﻓ َ َأِﻟ ِﻪ َو
Artinya : ”Dari Jabir ibn Abdillah bahwa seorang laki- laki telah berzina dengan seorang perempuan. Kemudian nabi memerintahkan untuk membawanya ke hadapan Nabi saw. Lalu Nabi menjilidnya sesuai dengan ketentuan. Kemudian Nabi diberitahu bahwa ia sudah berkeluarga (beristri). Nabi memerintahkan untuk membawanya kembali, dan kemudian ia dirajam.” (Hadits diriwayatkan oleh Abu Daud). 3 2
Abi Dawud Sulaiman Sajastani, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar Ibnu Hazam, 1997 M/ 1419 H), h. 671. hadits ke- 4438. Kitab Hudud: 32 3
Ibid, Wardi, Hukum Pidana Islam, h. 34.
44
Kesimpulan bahwa dalam Peraturan Desa (Perdes) Muslim Padang ini tidak memuat aturan sanksi hukuman rajam bagi pelaku zina yang sudah berumah tangga (muhsan). Kendatipun demikian kriteria hudud termasuk didalmnya yaitu hukum cambuk sebanyak seratus kali bagi pelaku zina baik laki-laki maupun perempuan.
2)
Mengenai khalwat serta bepergian laki-laki dengan perempuan bukan muhrim. Dalam Pasal ini
4
disebutkan “Dilarang wanita dan laki-laki berduaan
ditempat yang sunyi kecuali dengan muhrimnya” dan “Dilarang wanita bepergian dengan laki-laki yang bukan muhrimnya kecuali ada izin dari orang tua atau wali”. Dalam hukum Islam perbuatan tersebut dinamakan dengan khalwat karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang menjurus kepada perbuatan zina. Hal ini disebutkan dalam Al-Quran Surat Al-Isra’ ayat 32 untuk menjauhi perbuatan zina.
⌧ ⌧ Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (Q.S Al-Isra’ ayat 32)
4
Lihat Pasal 3 ayat (1) dan (2)
45
Larangan khalwat merupakan pencegahan dini bagi perbuatan zina. Larangan ini berbeda dengan beberapa jarimah lain yang langsung kepada zat perbuatan itu sendiri, seperti larangan mencuri, khamar, dan maysir. Larangan zina justru diumlai dari
tindakan-tindakan
yang
mengarah
kepada
perbuatan
zina.
Hal
ini
mengindikasikan betapa Islam sangat memperhatikan kemurnian nasab seorang anak manusia. Dalam beberapa hadits, Nabi menunjukkan batas-batas pergaulan antara laklaki dan perempuan yang bukan muhrimnya, seperti: 1)
Nabi melarang seorang perempuan berhubungan dengan laki-laki yang bukan muhrimnya tanpa ditemani oleh muhrim siwanita.
2)
Nabi melarang khalwat dengan wanita yang sudah dipinang, meski Islam membolehkan seorang laki-laki memandang perempuan yang dipinangnya untuk meyakinkan dan memantapkan hatinya.
3)
Nabi melarang seorang laki-laki masuk kerumah wanita yang tidak bersama muhrimnya atau orang lainnya.
4)
Nabi Melarang wanita bepergian tanpa ditemani muhrimnya. 5
Dalam al-Qur’an tidak disebutkan menganai ketetapan hukum bagi pelaku yang disebutkan di atas. Akan tetapi para ulama berpendapat bahwa untuk 5
Ferdiansyah , Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syari’at Islam Diwilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. Artikel ini diakses pada 07 Juni 2010 dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/12044/1/09E02047.pdf
46
menghindari suatu perbuatan yang menjurus kepada perbuatan zina maka perbuatan tersebut harus dicegah, dengan ketentuan hukum yang ditentukan oleh penguasa (qadhi). Karena perbuatan ini merupakan perbuatan maksiat ringan, maka perbuatan ini tidak termasuk kedalam kriteria hudud melainkan kriteria ta’zir. 6
3)
Menuduh Orang Lain Berzina (qadzaf)
☺
⌧ Artinya: 7
“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat
zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik”. (Q.S AnNur ayat 4). Firman Allah Swt di atas menegaskan ketentuan hukum bagi pelaku qadzaf (orang yang menuduh orang lain berzina tanpa mendatangkan empat orang saksi) dengan ancaman pidana cambuk sebanyak delapan puluh kali.
6
7
Ibid; Ferdiansyah: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/12044/1/09E02047.pdf
Yang dimaksud wanita-wanita yang baik disini adalah wanita-wanita yang Suci, akil balig dan muslimah.
47
Menuduh orang lain berzina sama dengan halnya disebut qadzaf dalam artian hukum Islam. Dalam Perdes ini tercantum pada Pasal 10 ayat (2) yaitu “Menuduh orang lain berzina tanpa diserai bukti (4 orang saksi) adalah kejahatan terhadap kehormatan orang lain dan dikenakan hukuman cambuk sebanyak 80 kali atau dilimpahkan kepihak kepolisian untuk dipreoses sesuai hukum KUHP.” Dalam hukum Islam, menurut Zainuddin Ali, 8 qadzaf dikenai dua hukuman yakni: -
hukuman pokok berupa dera (hadd) dan
.................. .
-
hukuman tambahan berupa tidak diterima persaksian pelaku qazdzaf.
................ Akan tetatpi sedikit berbeda yang diungkapkan oleh Achmad Wardi Muslich 9 dalam bukunya “Hukum Pidan Islam” membagi dua macam hukuman qadzaf yaitu: -
Qadzaf yang diancam dengan hukuman hadd dengan dasar hukumnya surat An-Nur ayat 4 dan 23 serta haditsnya yang diriwayatkan Imam Bukhari.
-
Qadzaf yang diancam dengan hukuman ta’zir adalah menuduh dengan tuduhan selain berbuat zina atau selain menghilangkan nasabnya, baik orang yang dituduh itu muhsan maupun ghairu muhsan.
9
Ibid, Wardi: h. 60-62.
48
Pelarangan memberikan berita bohong ini juga tertra dalam Firman Allah surat Al-Hujarat ayat 6-8;
☺ ☺ ⌧ ☺ ⌧
☺
⌧
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.Dan ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada Rasulullah. kalau ia menuruti kemauanmu dalam beberapa urusan benarbenarlah kamu mendapat kesusahan, tetapi Allah menjadikan kamu 'cinta' kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. mereka Itulah orangorang yang mengikuti jalan yang lurus, sebagai karunia dan nikmat dari Allah. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana."
49
Kandungan ayat di atas adalah adanya pelarangan mengekspos kebohongan, berita gunjingan (ghibah), berita yang mengandung unsur penghinaan, membeberkan rahasia, menyebarkan berita krimnal dan pornografi. 10 Demikan halnya juga Allah Ta’ala tdak menyukai ucapan buruk. Dalam Firman-Nya, Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 148 sebagai berikut:
⌧ ☺
⌧
Artinya: “Allah tidak menyukai Ucapan buruk 11 , (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya 12 . Allah adalah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
Dengan demikian apabila kata-kata atau kalimat itu tidak berisi kalimat zina atau menghilangkan nasabnya maka pelaku atau penuduh tidak dihukum dengan hukuman hadd melainkan hanya dikenakan hukuman ta’zir. 13
10
Rukyah L, Resensi Buku “Fiqh Jurnalistik” Artikel ini diakses pada 15 Mei 2010 dari http://www.mail-archive.com/
[email protected]/msg06814.html 11
Ucapan buruk sebagai mencela orang, memaki, menerangkan keburukan-keburukan orang lain, menyinggung perasaan seseorang, dan sebagainya. 12
Maksudnya: orang yang teraniaya oleh mengemukakan kepada hakim atau Penguasa keburukan-keburukan orang yang menganiayanya. 13
Ibid, Wardi: h, 63.
50
Jelas bahwa dalam hukum Islam melarang menuduh orang berzina tanpa ada bukti (dalam hal ini 4 orang saksi) yang diancam dengan 80 kali cambuk dan tidak tidak diterima kesaksiannya selamanya (hadd), serta ancaman hukuman ta’zir juga diberlakukan kepada orang yang menuduh selain kepada perbuatan zina seperti menuduh mencuri, menuduh minum khamar dan lain sebagainya. Akan tetapi dalam Perdes ini hanya disebutkan menuduh orang berzina tanpa 4 (empat) orang saksi saja dan selanjutnya diserahkan kepada polisi untuk diproses secara hukum positif.
4)
Mengenai Menjual dan Meminum Minuman Kerasatau Beralkohol (khamar) dan Perjudian Minuman beralkohol dan zat aditif lainnya di íllat-kan kepada khamar karena
zatnya yang memabukkan dan karena hal tersebut Islam mengharmkannya (melarang). Menurut Ali Yasa dan Marah Halim 14 Islam melarang khamar karena efek negatifnya yang multi aspek, antaranya aspek budaya, sosial, ekonomi, dan lain-lain. Secara sosial, budaya minum-minuman keras dapat menimbukan perilaku-perilaku 14
Ali Yasa dan Marah Halim, Hukum Pidana Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dikutip dari, Ferdiyansyah, Efektikitas Sanksi Penerapan Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syari’at Islam Di Wilayah Hukum Kota MadyaBanda Aceh Provinsi NAD. diakses dari http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/12044/1/09E02047.pdf
51
yang kasar dan anti sosial; secara budaya, dalam masyarakat akan tumbuh menjadi masyarakat yang tidak kreatif, produktif, inovatif, dan sebagainya, sebab budaya mabuk menyebabkan orang menjadi malas, boros dan lain sebagainya. Begitupun efek negatif dari aspek ekonomi, fsikis yang tergerogoti dengan terus-terusan mengkonsumsinya. Karena aspek negatif yang ditimbulkan maka Islam melarangnya dengan didasari ketentuan hukum yang disebutkan dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 90-91 serta ketentuan sanksi hukumannya didapat dari hadits Nabi bahwa Rasulullah SAW menghukum peminum khamar dengan cambuk sebanyak 40 kali, demikian pula Abu Bakar mencambuk peminum khamar 40 kali, sedangkan Umar mencambuknya 80 kali. 15
☺
☺ ☺
☺
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah 16 , adalah Termasuk 15
Rizal Firdaus dkk, Filsafat Hukum Pidana Islam. Artikel ini diakses pada Juni 2009 dari http://www.mail-archiev.com/
[email protected]/pdf130985.html 16
Al Azlaam artinya: anak panah yang belum pakai bulu. orang Arab Jahiliyah menggunakan anak panah yang belum pakai bulu untuk menentukan Apakah mereka akan melakukan suatu
52
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Q.S. Al-Maidah: ayat 90).
☺
☺ ☺ Artinya: “Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).(Q.S. Al-Maidah: ayat 91)
☺ ☺
☺ ⌦ ☺
☺ ☺ ⌧ ⌧
⌧
perbuatan atau tidak. Caranya Ialah: mereka ambil tiga buah anak panah yang belum pakai bulu. setelah ditulis masing-masing Yaitu dengan: lakukanlah, jangan lakukan, sedang yang ketiga tidak ditulis apa-apa, diletakkan dalam sebuah tempat dan disimpan dalam Ka'bah. Bila mereka hendak melakukan sesuatu Maka mereka meminta supaya juru kunci ka'bah mengambil sebuah anak panah itu. Terserahlah nanti Apakah mereka akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu, sesuai dengan tulisan anak panah yang diambil itu. Kalau yang terambil anak panah yang tidak ada tulisannya, Maka undian diulang sekali lagi.
53
Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar 17 dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir”. (Q.S. Al- Baqarah: ayat 219). Selanjutnya bukan hanya orang yang meminum saja yang dilarang dalam Islam, akan tetapi bagi orang yang memperdagangkan, mengimpor, memproduksi, membuka atau bekerja diperusahaan pembuat khamar-pun diharamkan. Sebagaimana hadits Rasulullah saw. melaknat sepuluh macam orang.
ﻟﻌﻨﺖ اﻟﺨﻤﺮ ﻋﻠﻰ ﻋﺸﺮة او ﺟﻪ ﺑﻌﻴﻨﻬﺎ وﻋﺎﺻﺮهﺎ وﻣﻌﻨﺼﺮهﺎ وﺑﺎﻧﻌﻬﺎ وﻣﺒﺘﻨﺎ ﻋﻬﺎ وﺣﺎﻣﻠﻬﺎ واﻟﻤﺤﻤﻮ ﻟﺔ إﻟﻴﻪ واآﻞ ﺛﻤﺎﻧﻬﺎ وﺷﺎرﺑﻬﺎ وﺳﺎﻗﻴﻬﺎ “Dikutuk karena khamar itu sepuluh macam: khamar itu sendiri, peminumnya, orang yang menghidangkan untuk orang lain, penjualnya, pembelinya, pemerasnya (pembuatnya), tempat pembuatannya, pembawanya, yang minta diantarkannya, dan orang yang memakan harganya. (H.R. Tirmidzi, Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah). 18 Dari keterangan teks ayat di atas jelas bahwa pelarangan Islam terhadap minuman-minuman beralkohol dan zat aditif lainnya sebagaimana diatur dalam Perdes ini sangatlah beralasan karena dilihat dari sudut kemudharatan yang
17
Segala minuman yang memabukkan.
18
Abubakar Muhammad, Hadits Tarbiyah. Dikutip dari Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, Cet. ke-2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 99-100.
54
ditimbulkannya dengan dikenai sanksi 40 kali cambuk untuk membawa kemaslahatan. Adapun bagi sipenjual, hemat penulis seharusnya dibedakan hukumannya agar lebih besar lagi karena dialah yang mengadakan barang haram tersebut serta karenanya banyak orang yang akan terus menjadi konsumen selama sipenjual masih menjajakkan dagangannya walaupun secara diam-diam. Adapun
bagi
perjudian
hukum
Islam
meng-kriminalisasikan
ta’zir
terhadapnya dengan banyak alasan yang dilihat dari sisi mafsadatnya karena banyak menimbulkan mudharat. Dikriminalisasikan ta’zir, karena tidak adanya dalil yang secara spesisfik mengatur hukuman tersebut. Seperti yang sudah disebutkan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 29 selain minum minuman keras (khamar), Islam juga mengharamkan “perjudian” . Jadi, dalam Perdes ini juga pelarangan perjudian sudah memenuhi kriteria ta’zir yaitu dengan ketentuan hukuman berdasarkan ijtihad penguasa. 5)
Mengenai Pengaiayaan Selain perbuatan yang dapat menghilangkan nyawa seseorang baik sengaja
maupun tidak, hukum Islam juga menghukum suatu perbuatan atas selain jiwa
19
yang
dapat merugikan orang secara fisik baik disengaja maupun tidak. Penganiayaan, merupakan perbuatan yang selebihnya ditujukan terhadap badan. Dalam madzhab
19
Lihat, Ibid, Wardi: h. 180.
55
Hanbali ada pendapat bahwa penganiayaan terbagi kedalam dua macam, yaitu penganiayaan disengaja dan penganiayaan yang menyerupai sengaja. Adapun penganiayaan yang disengaja dapat dihukum qishas akan tetapi sebaliknya,
penganiayaan
yang
menyerupai
sengaja
dikenai
sanksi
diyat.
Penganiayaan yang menyerupai sengaja dicontohkan oleh madzhab Hanbali adalah misalnya memukul dengan kerikil yang secara kebiasaan tidak mengakibatkan luka, namun ternyata mengakibatkan luka. 20 Hukuman qishas (menghukum pelaku seperti apa yang telah dilakukannya terhadap korban) sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur’an surat al- Baqarah ayat 178-179 dan surat Al-Maidah ayat 45:
☺ ⌦
⌧ ☺
☺ ☺ ⌧
Artinya: 20
Lihat, Abdul Qodir Audah, At- Tasyri’ al-Jinai’y al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wad’iy., Terjemah: Ensiklopedi Hukum Pidana Islam Jilid IV. (Bogor, PT Kharisma Ilmu, tanpa tahun), h. 22.
56
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih 21 dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.
⌧
☺ ☺ ☺ Artinya: “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.”
21
Qishas ialah mengambil pembalasan yang sama. Qishas itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang terbunuh Yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguhnangguhkannya. bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat, Maka terhadapnya di dunia diambil Qishas dan di akhirat Dia mendapat siksa yang pedih.
57
Selain qishas hukuman lain juga dapat diterapkan bagi pelaku penganiayaan, yaitu dengan hukuman pengganti (diyat), jika sikorban meminta kepada hakim tentang hal tersebut. Tidak samapai disitu, pelaku penganiayaan menurut Imam Malik (penganiayaan secara disengaja) berhak dita’zir, baik ia berhak di-qishas maupun tidak karena adanya syubhat (penghalang), ampunan atau akad damai. 22 Sejalan dengan pendapat di atas, “penganiayaan” Dalam Perdes ini diatur dalam Pasal 8 yang ancaman hukumannya 20 kali cambuk dan dapat dihapus hukumannya jika si-korban memaafkan pelaku dan atau diserahkan kepihak kepolisian untuk diproses sesuai ketentuan yang berlaku. Dapat disimpulkan bahwa pidana cambuk dalam kajian hukum Islam ini menunjukkan bahwa efek jera yang ditimbulkan sangatlah berdampak positif bagi orang yang melakukan dan keengganan orang yang melihat penghukuman dengan cara ini untuk tidak melakukan perbauatan yang sudah dilarang tersebut. Disisi lain keistimewaan yang terdapat dalam pidana cambuk ini sangatlah menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan hak-hak bagi pihak yang dirugikan (korban).
B.
Pandangan Hukum Positif Dalam kajian hukum pidana Islam, pidana cambuk merupakan suatu bentuk
hukuman yang menimbulkan efek jera bagi para pelaku pidana (jarimah). Hal ini dimaksudkan untuk terbentuknya maqasidu as-sayri’ah. Di mana akan terciptanya
22
Lihat Ibid, Audah: Ensiklopedi Hukum Pidana islam, h. 65-67.
58
hifdzu al-din (terjaganya agama), hifdzu an-nafs (terjaganya jiwa), hifdzu al-‘aql (terjaganya akal sehat), hifdzu an-nasl (keturunan atau kehormatan), hifdzu al-mal (terjaganya harta). Terlepas dari hukum cambuk yang dierapkan oleh aparatur Desa Padang, bagi pelaku zina, menuduh orang lain melakukan zina, laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim berduaan ditempat sunyi dan bepergian tanpa mendapat izin dari orang tua atau wali, menjual dan meminum minuman keras, judi dan penganiayaan, hukum positif (KUHP) tidak menganal tentang hukuman cambuk bagi pelakunya. Secara keseluruhan sedikitnya pelarangan di atas sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KHUP). Akan tetapi secara zhahiriyah (nyata) ketentuan sanksi hukumannya “berbeda” misalnya seperti:
1)
Mengenai
Zina
(perselingkuhan
atau
overspel)
dan
Khalwat
(permesuman) Zina dalam hukum positif yang terdapat dalam KUHP Pasal 284 23 tercantum sebagai perbuatan “mukah” atau perselingkuhan (overspel) antara suami atau isteri yang termasuk kedalam “Kejahatan Terhadap Kesusilaan”, dengan ancaman pidana penjara paling lama sembilan bulan. Menurut Drs. P.A.F Lamintang 24 , perbuatan ini
23
Lihat Andi Hamzah, KUHP & KUHAP, Cet. ke- 14 (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 114.
24
Lamintang, Delik-Delik Khusus, Cet. I. (Bandung: Mandar Maju, 1990), h. 87-88.
59
merupakan suatu perbuatan tindak pidana yang harus dilakukan dengan sengaja. Perlu diketahui bahwa dalam hukum positif tidak diatur sanksi hukuman bagi perbuatan (hubungan layaknya suami-isteri) yang dilakukan oleh pasangan muda-mudi. Menurut Neng Jubaedah S.H. M.H 25 dalam bukunya yang berjudul Porno Grafi dan Porno Aksi; Di Tinjau dari Hukum Islam, berpendapat bahwa perbuatan khalwat (mesum) adalah perbuatan berduaan antara laki-laki dengan perempuan atau antara sejenis kelamin yang bertujuan untuk melakukan maksiat baik secara sembunyi-sembunyi atau dimuka umum, baik ditempat gelap atau terang, baik ditempat yang tidak bergerak maupun dikendaraan-kendaraan umum. Adapun ketentuan sanksi hukuman bagi pelaku khalwat dalam Perdes ini pasal 10 ayat (3) 26 . Hemat penulis, dalam hukum positif telah ditentukan mengenai hukuman bagi pelaku. Yaitu dengan meng-illat-kannya dengan suatu perbuatan yang dapat meresahkan orang lain karena perbuatannya bertentangan dengan norma yang dianut oleh bangsa ini. Perlu diketahui bahwa dalam hukum positif kedua perbuatan ini termasuk kedalam delik aduan.
25
Neng Jubaedah, Porno Aksi dan Porno Grafi; Di Tinjau Dari Hukum Islam, Cet. I, (Bogor: Kencana, 2003), h.255. 26 Yaitu peringatan atau teguran dan atau mendapat hukum cambuk jika orang tua atau wali merasa keberatan, atau dilimpakan kepihak kepolisian untuk diproses sesuai hukum KUHP ;
60
2)
Mengenai Menuduh Orang Lain Berzina Tanpa Empat Orang Saksi (fitnah) 27 Jika demikian halnya, apa yang diartikan oleh Topo Santoso qadzaf itu sama
dengan fitnah, maka menurut penulis mengutip dari Wirjono Prodjodikoro 28 , memfitnah (laster) diatur dalam Pasal 311 KUHP, di mana sipelaku harus membuktikan kebenaran tuduhannya. Jika gagal, tuduhan itu dilakukan dengan diketahui kebohongan dari tuduhan itu, maka ia dapat dihukum karena memfitnah dengan hukuman lebih berat, yaitu maksimum empat tahun penjara dan dicabut hahak yang dimuat dalam Pasal 35 nomor 1, 2, dan 3.
3)
Mengenai Menjual dan Meminum minuman Beralkohol dan Zat Aditif Lainnya Mengenai hal ini, hukum positif sudah mengaturnya dalam Kitab Undang-
undanh Hukum Pidana (KUHP) masuk kedalam tindak pidana (Kejahatan Terhadap Kesusilaan) bagi penjualnya dikenakan Pasal 300 ayat (1) angka 1 yaitu “Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun dan pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah bagi orang yang sengaja menjual atau memberikan minuman yang memabukkan kepada seseorang yang telah kelihatan mabuk.” 29 Sedangkan bagi 27
Lihat Ibid, Topo Santoso: h. 200.
28
Wirjono Projodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Cet. I. Ed. ke-3, (Bandung, Refika Aditama, 2003), h. 101. 29
Lihat Ibid, Hamzah: h, 120.
61
peminumnya sendiri disebutkan dalam buku ketiga Pasal 492 ayat (1) KUHP “Tentang Pelanggaran Keamanan Umum Bagi Orang Atau Barang dan Kesehatan”.30 Selain itu juga diperkuat dengan adanya Keputusan Presiden (Keppres)Nomor 30 Tahun 1997 Tentang Pengawasan Dan Pegendalian Minuman Beralkohol 31 dan Undang-undang Nomor 29 Tahun 1947 Tentang Cukai, Cukai Minuman Keras 32 . Pasal 5 ayat (1) Dilarang mengedarkan dan atau menjual minuman beralkohol sebagaimana dimaksud Pasal 3 ayat (2) ditempat umum, kecuali hotel, bar, restoran, dan ditempat tertentu lainnya, yang ditetapkan oleh BupatiatauWalikota Madya, Kepala Daerah Tingakat II dan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk Daerah Khusus Ibukota.
4)
Mengenai Perjudian Perjudian merupakan suatu perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak
pidana (kejahatan). Menurut Aziz Syamsuddin 33 dalam bukunya “Dekriminalisasi Tindak Pidana Perjudian” sikap pemerintah terhadap perjudian tidak terlepas dari
30
Lihat Ibid, h. 195 “ Barang siapa dalam keadaan mabuk dimuka umum merintangi lalu lintas, atau mengganggu ketertiban, atau mengancam keamanan orang lain, atau melakukan sesuatu yang harus dilakukan dengan hati-hati atau dengan mengadakan tindakan penjagaan tertentu lebih dahulu agar jangan membahayakan nyawa atau kesalahan orang lain, diancam dengan pidana kurungan paling lama enam hari, atau pidana denda paling banyak tiga ratus tujuh puluh lima rupiah.” 31
Keputusan Presiden Nomor. 30 Tahun 1997 Tentang Pengawasan Dan Pengendalian Minuman Beralkohol di akses dari www.bnn.go.id pada 15 Juni 2010. 32
UU Nomor. 29 Tahun 1974 Tentang Cukai, Cukai Minuman Keras. Diakses dari http://www.jdihukum.banten.go.id 33
Aziz Syamsuddin, Dekriminalisasi Tindak Pidana Perjudian, Cet. I, (Jakarta: tanpa penerbit, 2007), h. 85-90.
62
kriminalisasi perjudian sebagi suatu tindak pidana, sebagaimana ditegaskan dalam sejumlah peraturan perundang-undangan, setidaknya ada 5 (lima) peraturan perundang-undangan di Indonesia sebagai bentuk kebijakan hukum pidana (criminal law policy) tentang perjudian sebagai tindak pidana (kejahatan). Antara lain adalah: (1)
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 303 ayat (1), Pasal 542 ayat (1) dan (2), dengan ketentuan sanksi pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sepuluh juta rupiah.
(2)
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1957 tentang Peraturan Pajak Daerah. Menurutnya Undang-undang ini juga mengisyaratkan Kepala Daerah untuk memungut pajak dan atas izin mengadakan perjudian.
(3)
Undang-undang Nomor 13 Tahun 1973 tentang Larangan Berjudi bagi Pegawai Negeri dan Anggota TNI.
(4)
Undang-undang Nomor 07 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian.
(5)
Peraturan Pemerintah Nomor 09 Tahun 1981 Tentang Pelaksanaan Undangundang Nomor 07 Tahun 1974.
5)
Mengenai Penganiayaan Penjelasan mengenai “penganiayaan” dalam Perdes Muslim Padang ini adalah
“Suatu tindakan fisik baik dengan alat atau tanpa alat yang dapat menyebabkan orang lain merasa sakit dan orang tersebut tidak menerima perlakuan yang ditimpakan kepada dirinya”. Dan perbuatan tersebut dikenai sanksi dengan hukuman cambuk sebanyak 20 kali cambukan dan dapat dihapus hukumannya apabila sikorban
63
memaafkan pelakunya dan atau selanjutnya di lanjutkan kepihak kepolisian untuk diproses lebih lanjut sesuai ketentuan yang berlaku. Dalam hukum positif sebenarnya aturan hukum mengenai “pengaiayaan” sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berikut dengan sanksinya. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) ada 7 macam “penganiayaan” antaranya yaitu: 1.
Penganiayaan biasa (Pasal 351 KUHP).
2.
Penganiayan ringan (Pasal 352 KUHP).
3.
Penganiayaan yang direncanakan lebih dahulu (Pasal 353).
4.
Penganayaan yang disengaja untuk melukai berat (Pasal 354).
5.
Penganiayaan berat yang direncanakan terlebih dahulu (Pasal 355).
6.
Penganiayaan terhadap orang-orang tertentu dan dengan menggunakan bendabenda yang membahayakan kesehatan orang (Pasal 356 KUHP).
7.
Penyerangan atau perkelahian (Pasal 358 KUHP). 34
Sanksi bagi pelaku penganiayaan menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) adalah sebagai berikut: (1)
Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. 34
M. Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu; Di Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Cet. ke-2, (Bandung: Remaja Karya, 1986), h. 134.
64
(2)
Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(3)
Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(4)
Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(5)
Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(6)
Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. 35 Melalui pandangan hukum positif ini bahwa dalam Peraturan Desa Muslim
Padang selain terdapat hukum pidana Islam juga terdapat hukum positif. Di mana dalam pandangan hukum positif bahwa secara keseluruhan peraturan yang terdapat dalam Perdes Muslim Padang ini sudah diatur sebelumnya oleh Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP). Akan tetapi jika dilihat dari asas keadilan dapat dibandingkan antara hukum Islam dan hukum positif. Di mana dapat disimpulkan bahwa dalam hukum Islam (dalam hal ini pidana cambuk) tidak serta merta merampas kemerdekaan seseorang yang dikenai hukuman melainkan memberi kesempatan baginya untuk tetap
35
Ibid, Hamzah, KUHP & KUHAP; h. 137.
65
menjalani kehidupan seperti biasa tanpa menghilangkan efek jera yang ditimbulkan dari hukum yang dikenakan padanya. Beda halnya dengan hukum positif (dalam hal ini pidana kurungan atau penjara), selain merampas kemerdekaan seseorang, juga dapat membuka peluang kembali terjadinya kejahatan yang dilakukan pelaku karena efek jera yang ditimbulkan atas hukuman tersebut kurang begitu mengena padanya. Contoh seperti, seorang kepala keluarga yang mempunyai dua anak yang masih balita. Dan ia terbukti meminum minuman keras dan kemudian ia melakukan penganiayaan terhadap orang lain. Dalam hukum positif perbuatan tersebut diancam dengan hukuman penjara dengan wawktu yang telah ditentukan. Selama dalam penjara si Ayah tersebut tidak bisa menafkahi keluarganya. Akan tetapi di dalam hukum Islam si Ayah tersebut hanya mendapatkan hukuman badan berupa cambuk didepan orang banyak pada waktu itu saja dan setelahnya ia dapat kembali mencarinafkah untuk isteri dan kedua anaknya. Dengan demikian jika ditela’ah lebih dalam lagi hukum Islam dan hukum positif sejatinya sama-sama bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat, hanya saja kedua hukum di atas memang selalu berbeda dalam pelaksanaan hukumannya. Dan keduanya mempunyai kelebihan dan kesamaan masing-masing tergantung orang yang menialainya dari sisi mana ia melihat.
66
C.
Analisis Penulis Mengenai Perdes Muslim Padang dengan Undangundang Nomor10 Tahun 2004. Beralih dari pandangan hukum Islam dan hukum positif (KUHP) yang penulis
paparkan di atas, kiranya penulis akan lebih lanjut menganalisa secara singkat mengenai Peraturan Desa Muslim Padang Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba Nomor 05 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Hukum Cambuk dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menganalisa sebuah pembentukan peraturan antaranya sebagai berikut: Pertama, apa masalah sosial yang ingin di atasi?. Kedua, apakah landasan yuridis pembentukan Undang- Undang dari Perdes ini sudah sesuai dengan ketentuan di dalam Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang tata cara Peraturan Pembentukan Perundang-undangan?. Ketiga, materi pokok apa yang diatur dalam perundang-undangan?. Ke-empat, berdasarkan Undang- Undang Nomor 10 atau 2004 terkait dengan teknis penulisan perundang-undangan tersebut? Masalah sosial yang ingin di atasi dalam Perdes ini antara lain yaitu: -
Untuk menciptakan keamanan dan kenyamanan masyarakat Desa Padang dari berbagai perbuatan asusila dan ataupun amoral.
-
Karena keengganan masyarakat Desa Padang berurusan dengan pihak penegak hukum.
67
Karena berdasarkan kultur dan religiusnya (keagamaan yang dianutnya) 36
-
Berdasarkan unsur sosiologis yang tedapat dalam Perdes ini bahwa untuk menciptakan suasana aman, nyaman, dan tertib serta untuk mengantisipasi adanya pebuatan yang meresahkan masyarakat Desa Padang maka dipandang perlu untuk menetapkan suatu Perdes tentang pelaksanaan sanksi atas pelanggaran terhadap keamanan, kenyamanan, dan ketertiban masyarakat Desa Padang. Sehingga akan tercipta suasana yang aman tentram. Menurut salah satu sumber redaksi di Bulukumba, Perdes ini cukup efektif diberlakukan disana terlepas dari pro dan kontra pada saat penetapan Perdes ini. Sejak Perdes tersebut ditetapkan pada 2006 lalu, tercatat enam warga sudah merasakan hukum cambuk. Hukum seperti itu juga membawa dampak cukup signifikan terhadap kondisi keamanan kampung. Desa Padang tercatat sebagai salah satu wilayah paling aman di Bulukumba. 37
36 Masyarakat Bulukumba telah bersentuhan dengan ajaran Agama Islam sejak awal abad ke-17 Masehi, yang diperkirakan tahun 1605 M. Ajaran Agama Islam dibawa oleh tiga Ulama besar (waliyullah) dari pulau Sumatera yang masing-masing bergelar Dato tiro (Bulukumba), Dato Ribandang (Makassar), dan Dato Patimang (Luwu). Ajaran Agama Islam yang berintikan taswwuf ini menumbuhkan kesadaran religius bagi pengenutnya dan menggerakkan sikap keyakinan mereka untuk berlaku zuhud, suci lahir batin selamat dunia dan akhiratdalam kerangka tauhid “Appasewang” (mengEsakan Allah SWT). (Artikel ini diakses pada 29 Januari 2010) dari http://www.bulukumbakab.go.id/?id=11 37
Laporan: Muhammad Adnan Husain, Bulukumba pada Selasa, 20 Maret 2007
http://www.gp-ansor.org/berita/cara-warga-desa-muslim-padang-bulukumba-sulsel-tangani-pelanggarhukum.html
68
Akan tetapi, disisi lain penulis melihat adanya kontradiksi dengan pernyataan yang dikemukakan sebelumnya yaitu, bahwa Perdes ini sudah berjalan efektif. Karena pada temuan lain menyatakan bahwa ada beberapa kelemahan dan kendala yang terjadi saat diterapkannya Perdes ini. Demikian halnya pemberlakuan Perdes tentang larangan peredaran dan penjualan minuman keras di Desa Padang Kabupaten Bulukumba. Seperti yang diungkapkan Kepala Desa Padang Andi Rukman 38 , bahwa penegakan Perdes minuman keras ini menghadapi beberapa kendala dan kelemahan, diataranya adalah: Pertama, pemahaman masyarakat tentang keharaman dan bahaya minuman beralkohol masih sangat minim. Diakui oleh kepala Desa Padang, tokoh-tokoh Agama serta tokoh masyarakat Desa Padang, bahwa yang menjadi kendala utama warga Desa Padang dalam melaksanakan Perdes mengenai minuman keras ini, adalah minimnya pengetahuan mereka akan keharaman dan bahaya minuman beralkohol. Bahkan ada sebagian warga yang menjadikannya sebagai mata pencaharian, dengan memproduksi tuak dari nira aren. Disini sudah terlihat, bahwa adanya peraturan tersebut menjadikan warga kehilangan mata pencahariannya. Sehingga masyarakat yang awam akan pemahaman penerapan peraturan Perdes ini merasa sangat dirugikan. 38
Lukman Mas’a, Penerapan Syari’at Islam Di Desa Padang Bulukumba Sulawesi Selatan,
Jurnal Dakwah, Kamis, Juni 11, 2009. Diakses dari http://www.jurnalstidnatsir.co.cc/2009/06/penerapan-syariat-islam-di-desa-padang.html
69
Kedua, sanksi yang diberlakukan belum sepenuhnya hukum Islam. Walaupun pemerintah Desa Padang telah membuat Peraturan Desa (Perdes) yang mengatur tentang sanksi terhadap pelanggaran Perdes minuman keras ini, tetapi sanksi tersebut belum sepenuhnya sesuai hukum hudud dalam Syari’at Islam, sebab warga yang melakukan pelanggaran terhadap Perdes, boleh memilih hukuman yang diterimanya antara hukuman cambuk atau dilimpahkan kepada kepolisian yang kemudian diproses sesuai hukum KUHP (Hukum Positif). Ketiga, penjualan miras secara sembunyi-sembunyi atau pembelian miras diluar Desa Padang. Ini juga menjadi kendala pemerintah Desa Padang dalam memberantas minuman keras di Desa Padang, bahwa ada penjualan miras yang dilakukan warga secara sembunyi-sembunyi atau ada warga yang membeli minuman terlarang tersebut di luar Desa Padang kemudian membawanya ke Desa Padang. Kesimpulan bahwa, dengan kata lain Perdes ini belum sepenuhnya dikatakan efektif, sebab masih banyak kendala dan kelemahan yang harus diperkuat lagi. Begitupun ke-efektifan suatu hukum itu tidak bisa diukur dengan nilai atau angka, melainkan dengan tingkat kepuasan dan kenyamanan seseorang atau warga masyarakat yang merasakannya yang kemudian masing-masing dapat menilai sejauh mana hukum itu berjalan dengan baik dan menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan bagi diri sendiri maupun orang banyak.
70
Selanjutnya, mengenai landasan yuridis pembentukan Perundang-undangan dari Perdes ini, penulis berkesimpulan bahwa landasan yuridis dari Perdes ini “tidak sesuai” dengan ketentuan Undang- undang Nomor 10 Tahun 2004, yang mana berdasarkan dasar pembuatan Perdes Nomor 05 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Hukuman Cambuk Bagi Peminum Minuman Keras adalah Al-Qur’an Surat An-Nur Ayat 2 serta Hadits Rasulullah SAW. Sebagaimana kita ketahui tentang Jenis dan Hierarki Peraturan Perundang-undangan 39 : 1.
Undang- undang Dasar 1945,
2.
Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU),
3.
Peraturan Pemerintah,
4.
Peraturan Presiden,
5.
Peraturan Daerah yang terdiri dari Peraturan Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Desa atau yang setingkat.
Sebagaimana terkandung di dalam Undang-undang Dasar 1945 bahwa ideologinya Pancasila bukan Islam. Kemudian analisis penulis mengenai materi
pokok yang diatur dalam
Perundang-undangan ini adalah sebagai berikut: (1)
Larangan untuk melakukan perzinahan,
39
Wahiduddin Adams dan Ismail Hasani, Buku Daras Ilmu Pepundang-undangan, (Naskah
Tidak diterbitkan), Hal. 50-51
71
(2)
Larangan berduaan ditempat yang sunyi dan bepergian bagi laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim,
(3)
Larangan menjual, meminum minuman beralkohol, dan zat aditif lainnya,
(4)
Larangan berjudi,
(5)
Larangan melakukan penganiayaan.
Sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, telah merumuskan suatu bentuk Undang-undang atau Peraturan daerah dan atau peraturan lainnya harus terdapat prinsip-prinsip atau asas-asas yang meliputi: Asas Hukum Umum, Asas Material atau Prinsip-prinsip Substantif, dan Asas Formal atau Prinsipprinsip Teknik Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Akakn tetapi Perdes ini tidak memenuhi beberapa Asas material atau substantif yang dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 yaitu:
1.
Asas keadilan, Kesetaraan Gender, dan Anti Diskrimnasi
yaitu ada
perbedaan terkait masalah gender terutama pada Bab II Pasal 3 Ayat 2: “Dilarang wanita bepergian dengan laki-laki yang bukan muhrimnya kecuali ada izin dari orang tua atau wali”.
72
Maka dari itu, ayat ini sangat diskriminatif dan akan menjadikan perempuan tersubordinasi, terstigma, dan termarjinalisasi. 40 •
Tersubordinasi, karena masih menempatkan perempuan orang yang kedua dan dianggap tidak mampu menjaga diri sendiri, dan dalam artian sempit perempuan itu dianggap sebagai makhluk lemah yang harus selalu ditemani kemana-mana.
•
Terstigma secara negatif, karena dengan adanya pelarangan ini menjadi dianggap “perempuan nakal” sebagaimana dalam masyarakat Bugis Makassar bahwa perempuan yang berjalan sendiri pada malam hari tanpa ditemani oleh siapapun dianggap sebagai perempuan nakal.
•
Termarjinalisasi, karena dengan posisi yang demikian perempuan tidak dapat melakukan aktivitas public yang tentunya harus dilakukan secra personal dan tentunya akan membuat perempuan menjadi terawasi serta tidak bisa mengakses kemana-mana.
2.
Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan. yaitu pada BAB III Pasal 4;
40
Cambuk
Solidaritas Perempuan Anging Mammiri Dalam Siaran Pers: Peraturan Desa Hukum Di
Desa
Padang-Kabupaten
Bulukumba,
diakses
archive.com/
[email protected]/msg43147.html .
dari
http://www.mail-
73
(1)
Dilarang memasukkan, menyalurkan, dan mengedar minuman beralkohol dan zat aditif lainnya di dalam Desa Muslim kecuali ada Keputusan Bupati;
(2)
Keputusan Bupati sebagaimana pada ayat (1) Pasal ini paling lama (satu) tahun dan dapat diperbaharui kembali;
(3)
Jumlah dan jenis minuman beralkohol dan zat aditif lainnya yang boleh diedarkan dicantumkan dalam izin sebagaimana dimaksud ayat (1) Pasal ini. Hemat penulis “berarti hanya orang yang mampu atau berduit yang bisa untuk
memasukkan, menyalurkan, dan mengedarkan minuman tersebut dan zat aditif lainnya”. Dan juga, untuk apa jika sudah di tetapkannya Perdes ini Bupati dapat memberikan izin untuk memasukkan, menyalurkan, dan mengedarkan minuman beralkohol dan zat aditif lainnya melalui keputusannya dan bahkan, surat izin tersebut dapat diperbaharui kembali jika sudah habis masa berlakunya. Artinya bahwa adanya ketidak sinkronisasian antara pelarangan dengan perizinan yang diberikan. Seharusnya, jika suatu daerah tersebut sudah diberlakukan larangan menjual minuman beralkohol, maka perizinan tersebut ditiadakan. Karena jika perizinan tersebut masih tetap ada, maka peredaran minuman beralkohol akan terus menjalar dan bagi para penikmatnya akan terus mendapatkan barang haram tersebut. Dalam hal ini seharusnya pula Pemerintah Daerah harus bersikap tegas dalam membuat sebuah peraturan. Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah apakah masyarakat setempat sudah faham betul dengan ketentuan yang terdapat dalam Perdes Muslim Padang ini?. Karena banyak masyarakat pedalaman yang kurang memahami dan bahkan tidak
74
faham betul dengan hukum di Negara kita, apalagi hukum yang terbentuk bernuansa agamis. Disini kita dapat melihat betapa kental wacana politis yang bermain didalmnya. Dengan kata lain, dengan memberlakukan aturan hukum yang bernuansa agamis pemimpin daerah menjadi orang yang paling berjasa didaerah kekuasaannya tanpa mengindahkan asas-asas hukum yang berlaku dalam Negara tercinta kita ini. Selanjutnya, setelah penulis mencermati dengan seksama isi Perdes dan teknis penulisannya mulai dari penggunaan huruf, tanda baca, peletakan kalimat maupun bahasa yang digunakan pada setiap frase dalam Perdes ini, maka dapat penulis simpulkan bahwa teknis penulisan Peraturan Desa Muslim Padang Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba “tidak sesuai” dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Menurut penulis sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan teknik penulisannya adalah sebagai berikut: -
Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa (Ditulis dengan huruf capital)
-
Pada konsideran menimbang (unsur sosiologis) seharusnya diberi tanda baca koma (,) setelah kata nyaman.
-
Seharusnya ada tanda baca (;) pada akhir kalimat atau pada setiap konsideran (menimbang) “unsur filosofis, sosiologis, dan unsur yuridis. Kemudian setelah itu baru tanda baca (.).
75
-
Begitupun dalam konsideran (mengingat) sebelumnya menggunakan tanda baca (;) pada akhir kalimat atau akhir dasar yuridis.
-
”Dengan Persetujuan Bersama” seharusnya ditulis di tengah margin (center)” bukan ditempatkan di (left) sebelah kiri.
-
Jika dengan persetujuan bersama maka ada 2 (dua) organ yang menyetujui dan menyepakati Perdes tersebut. (akan tetapi dalam Perdes tersebut hanya mencantumkan 1 organ saja).
-
Setelah kata memutuskan diberi tanda baca (:)
-
Setelah kata ”memutuskan” diberi spasi antara kata ”memutuskan” dan ”menetapkan”.
-
Setelah kata ”menetapkan” dan seterusnya sampai kata ”cambuk” semestinya diakhiri dengan tanda (.).
Terlepas dari semua yang penulis uraikan di atas, sesungguhnya masih terdapat hal-hal yang keliru dan tidak memiliki kepastian hukum dari ketentuanketentuan sanksi pidana Islam yang terdapat dalam Perdes ini yaitu: Sebagaimana dalam Pasal 9 – 13. Sebagaimana kita ketahui bahwa jika menerapkan sanksi hukum pidana Islam itu sudah ada aturan bakunya yaitu Al-Qur’an dan Hadits seperti: Ketentuan tata cara pelaksaan hukuman, jumlah sanksinya baik itu sanksi rajam, cambuk, dan sebagainya yang masih dipertanyakan. Akan tetapi pada Perdes ini hampir semua setara hukumannya yaitu dengan dihukum cambuk dan hanya jumlah cambukanya saja yang berbeda.
76
Selain itu kekurangan dalam perdes ini juga tidak dicantumkannya alat apa yang digunakan untuk mencambuk serta di mana dan siapa yang berwenang untuk melaksanakan hukuman tersebut. Seharusnya Perdes ini mencantumkan hal-hal yang sudah disebutkan di atas, seperti pada Qanun Aceh. Dan lebih dari itu, masih ada kemungkinan pelaksanaan sanksi atau hukuman itu dengan hukum cambuk atau juga sebagaimana ketentuan dalam Kitab Undangundang Hukum Pidana (KUHP). Padahal kita telah sama-sama ketahui bahwa ada asas “Lex Specialis Derogate lex Generalis” yaitu Peraturan Perundang-undangan yang berisifat khusus dapat menyampingkan yang berisifat umum. Dalam Ketentuan Umum Undang- undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa, “Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batasbatas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia.41 Artinya bahwa ketentuan Perundang-undangan di atas memberikan kewenangan kepada Desa untuk membuat sebuah Peraturan Perundang-undangan dalam ruang lingkup terkecil.
41
Lihat, Haw Widjaja, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia Dalam Rangaka Sosialisasi UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Ed. 1-3, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), h. 151.
77
Akan tetapi, perlu diketahui pula bahwasanya Peraturan Desa menurut Pasal 55 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa 42 dilarang memuat aturan yang beretentangan dengan kepentingan umum dan atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pembentukan Peraturan Desa Muslim Padang Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba Nomor 05 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Hukum Cambuk ini masih perlu dipertanyakan ke-absahannya. Dengan kata lain Perdes ini harus ditinjau kembali atau bahkan dicabut.
42
Lihat, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 2005 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Tahun 2008 Tentang Desa, Kelurahan, Kecmatan., Cet. I, (Jakarta: Novindo Pustaka Mandiri, 2008), h. 32.
BAB V PENUTUP
A.
Kesimpulan Berdasarkan penguraian bahasan pada bab- bab sebelumnya, maka penulis
menarik beberapa kesimpulan. Antara lain sebagai berikut: 1.
Pidana cambuk (slash punishment) merupakan sebuah lembaga pemidanaan baru dalam sistem hukum pidana di Indonesia yang mana dalam sistem pidana Barat sebagaiman termuat dalam Pasal 10 Wetboek van Staftrecht (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) tidak pernah mengenal jenis hukuman cambuk, jilid, maupun dera sehingga menjadi hal yang sangat unik untuk dikaji secara akademik mengenai proses translasi dari sistem pemidanaan Eropa Continental ke sistem pemidanaan Syari’at Islam di Desa Muslim Padang. Cambuk dalam doktrin hukum pidana Islam merupakan suatu bentuk hukuman yang “has” dengan tujuan membawa kemaslahatan yang didasarkan pada ketetapan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Selain itu, pidana cambuk merupakan suatu bentuk pencegahan, pendidikan, dan pembatasan atas suatu perbuatan yang dilarang (diharamkan) dengan selebihnya ditujukan terhadap badan. Pidana cambuk yang ditentukan bukan semata-mata buatan manusia atas akal dan hawa nafsunya melainkan buatan Sang Khalik (Allah SWT)
77
78
untuk mencegah manusia dari perbuatan yang dilarang-Nya dan mengingatkan manusia agar kembali pada fitrah-Nya. Pidana cambuk selebihnya dimuat pada beberapa ketentuan pidana yang masuk kedalam kategori hukuman hadd dan ta’zir. Adapun perbuatan yang dikenai sanksi pidana cambuk dalam hukuman hadd antaranya adalah bagi pelaku perzinahan, qadzaf, dan syarb al-khamar. Lain halnya bagi pelaku tindak pidana yang dikenai sanksi pidana cambuk dalam ruang lingkup hukuman ta’zir tidak terbatas selama hukuman tersebut diluar hukuman hadd dan Qishas/diyat. Dalam hal besaran jumlah hukuman cambuk bagi pelaku jarimah (tindak pidana) dalam hukuman hadd tidak dapat dirubah lagi, kecuali pada tindak pidana yang termasuk kedalam kategori tindak pidana yang dikenai hukuman ta’zir. Sedangkan untuk pelaksanaannya dalam menentukan cara dan alat yang digunakan untuk mencambuk (menghukum cambuk) dapat berubah sesuai kebutuhan hukum, dikarenakan tidak ada dalil yang mengaturnya. 2.
Berdasarkan Peraturan Desa Muslim Padang Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba Nomor. 05 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Hukuman Cambuk, penulis mengambil beberapa point penting menganai kehas-an dalam peraturan ini antaranya adalah: -
Bahwa dalam Perdes ini memuat beberapa aturan hukum pidana Islam yang didasarkan atas Al-Qur’an dan As-Sunnah. Begitupun hukuman yang diterapkan merupakan hukum pidana Islam.
79
-
Bahwa dalam setiap ketentuan hukum pidana Islam bagi yang melanggar larangan yang dimaksud, selalu dicantumkan kalimat “dan atau selanjutnya dilimpahkan kepihak kepolisian untuk diproses sesuai hukum Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
-
Begitupun dalam pelaksanaan penyidikan, penyidikan dapat dilakukan oleh Satgas (atau dengan nama lain seseorang atau badan yang dibentuk oleh Pemerintah Desa untuk menyelidiki kasus yang terjadi).
Seperti yang sudah disimpulkan sebelumnya, bahwa pelarangan dan ketentuan sanksi hukuman yang dimuat dalam Perdes ini masuk kedalam kriteria hudud dan ta’zir. Dengan demikian, hemat penulis, Perdes ini disebut sebagai suatu aturan yang “has” dan “unik” karena menggabungkan ketentuan yang khusus dengan ketentuan yang umum. 3.
Pandangan hukum Islam dan hukum positif mengenai “pidana cambuk” dalam Perdes ini masih dirasa cukup berbeda. Akan tetapi pada hakekatnya kedua hukum ini satu tujuan, yaitu demi kemaslahatan bersama. Dilain hal, adapun analisa penulis dalam Perdes Muslim Padang ini, dengan ketentuan Undangundang Nomor. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perungaundangan dan ketentuan Undang-undang lainnya seperti UU Nomor.32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PPRI) dinyatakan masih tidak sesuai dan tidak sejalan, karena masih banyak kekurangan dan pertentangan didalamnya.
80
B.
Saran-saran Beranjak dari kesimpulan diatas kiranya penulis memberikan saran-saran
dengan poin-poin dibawah ini. 1.
Kesejahteraan, keamanan dan ketenteraman memang tujuan dari dibentuknya suatu
hukum.
Akan
tetapi
kemaslahatan
tersebut
tidak
boleh
mengesampingkan kepentingan umum. Dalam hal ini perlu kiranya bagi sarjanawan hukum
dan khususnya sarjanawan hukum Islam memberikan
pemahaman lebih lanjut hukum pidana Islam kepada masyarakat luas yang selama ini menjadi momok yang menakutkan. Banyak cara yang dapat dilakukan selain dengan mengadakan pengajian disetiap masjid dan lain sebagainya, serta diadakan jajak pendapat yang dilakukan di kantor Kepala Desa atau tempat yang biasa digunakan untuk hal-hal penting dalam masyarakat. Begitupun bagi pembuat aturan, khususnya Aparatur Desa seharusnya bermusyawarah dengan anggota masyarakat serta tokoh-tokoh terkait agar tidak terjadinya konflik kepentingan orang yang tidak bertanggungjawab. Karena disinyalir dalam pembuatan sebuah peraturan perundang-undangan
banyak
kepentingan
politik
didalamnya
tanpa
mengindahkan asas-asas yang dianut bangsa ini. 2.
Perlu kiranya bagi para pembuat peraturan perundang-undangan khususnya di daerah-daerah tidak harus menjadikan aturan “hukum pidanap Islam” sebagai materi muatannya, karena pada “ruh” nya aturan-auran yang terdapat dalam hukum positif sedikitnya sudah mewakili aturan-aturan yang terdapat dalam
81
hukum Islam. Artinya, secara garis besar bahwa setiap aturan yang dibuat harus tidak bertentangan baik bertentangan dengan agama maupun dengan negara. 3.
Dengan adanya sebuah peraturan yang dibentuk baik berupa peraturan yang mengikat maupun tidak mengikat bagi masyarakat tertentu, baik itu bersifat umum maupun khusus, kita sebagai Mahasiswa yang mengerti tentang aturan hukum, marilah kita sama-sama meneliti dan menelaah sejauh mana hukum itu bertentangan atau tidak dengan pedoman bangsa kita yaitu Pancasila.
4.
Terakhir penulis menyarankan agar Perdes ini harus “dikaji ulang” atau bahkan “dicabut” karena masih banyak kerancuan dan pertentangan dengan asas-asas dan perundang-undangan yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdulghani, Penemuan Hukum (Rechtvinding) dan Penciptaan Hukum (Rechtsschepping) Bagi Para Hakim. Ahkam, Jurnal Ilmu- ilmu Syari’ah dan Hukum UIN Jakarta. Vol. 8. No. 2, 2006. Abdurrahman, Maman, Syari’at Islam Untuk Indonesia Baru (Suara Orang PERSIS) dalam Muhammad Zein, ed.,
Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia:
Sebuah Pergulatan Yang Tak Pernah Tuntas, (Jakarta: Renaisan, 2005). Ali Yasa dan Marah Halim, Hukum Pidana Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, kutipan dari, Ferdiyansyah, Efektikitas Sanksi Penerapan Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syari’at Islam Di Wilayah Hukum
Kota
Madya
Banda
Aceh
Provinsi
NAD.
Diakses
dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/12044/1/09E02047.pdf Asshiddiqie, Jimly, Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia. Cet. Ke- 2. (Bandung: Angkasa, 1996). Asmawi, Teori Maslahat dan Relevansinya Dengan Perundang-undangan Pidana Khusus Di Indonesia. Sinopsis Disertasi Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2009. Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006). Catatan Perkuliahan, Kapita Selekta Hukum Pidana Islam, Semester VII, Prodi Jinayah Siyasah, Jurusan Pidana Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syahid Jakarta. 05 Oktober 2009. Audah, Abdul Qadir, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam III. PT Kharisma Ilmu. Bassar, M. Sudrajat, Tindak-Tindak Pidana Tertentu; Di Dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana, Cet. Ke-2, (Bandung: Remaja Karya, 1986). Bogdan, Robert, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif. Cet- 1. Usaha Nasional. Surabaya- Indonesia: 1992.
82
83
Dawud, Sajastani Abu, Sunan Abu Dawud, Juz II, (Kairo, Mustafa al-Babi al-Halabi, 1952). Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996). Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam. Cet. Ke-6 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999). Djatnika, Rachmat, “Jalan Mencari Hukum Islami Upaya ke Arah Pemahaman Metodologi Ijtihad”, dalam Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam Dalam system Hukum Nasional, Cet. Ke- 1, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996). Doi, Abdur Rahman I, Tindak Pidana Dalam Syari’at Islam, Cet. Ke-1 (Jakarta: PT Melton Putra, 1992). Hudud dan kewarisan, Cet. Ke- 1 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996). Effendi, Mansyur dan Taufani S. Evandari, HAM Dalam Dimensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik, dan Proses Penyusunan/Aplikasi Ha-kham (Hak Asasi Manusia) Dalam Masyarakat, Cet. Ke-1, Ed. Rev. (Bogor: Ghalia Indonesia, 2007). Ferdiansyah , Efektifitas Penerapan Sanksi Pidana Cambuk Terhadap Pelanggaran Qanun Di Bidang Syari’at Islam Diwilayah Hukum Kota Madya Banda Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008. Artikel ini diakses pada 07 Juni 2010
dari
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/12044/1/09E02047.pdf Hajaj, Imam Abu al- Husein Muslim Ibnu, Shahih Muslim, (Kairo: Daru Ihya Kutub al-‘Arabi). Hakim, M. Arief, Bahaya Narkoba, Alkohol; Cara Islam Mencegah, Mengatasi, dan Melawan. Cet. Ke- 1, (Bandung: Nuansa, 2004). Hamzah, Andi, KUHP & KUHAP, Cet. Ke- 14 (Jakarta: Rineka Cipta, 2007). Hartono, Sunaryati, Kapita Selecta Perbandingan Hukum. Dikutip dari Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Ed-rev. Cet. Ke-4
84
(Malang: Bayumedia Publishing, 2008). Ibrahim, Jhonny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Cet, ke- 2. Bayu Media Publishing. Jakarta: 2006. Jubaedah, Neng, Porno Aksi dan Porno Grafi; Di Tinjau Dari Hukum Islam, Cet. I, (Bogor: Kencana, 2003). Jufri,
Ahmad
Mudzoffar,
Urgensi
Fiqih
Tsawabit
dan
Mutaghayyirat.
http://konsultasisyariah.net/content/view/81/126/. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Cet. Ke- 2, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989). Khalid, Abu, Kamus Al-Huda; Arab-indonesia, (Surabaya: Fajar Mulya). Lamintang, F.A.F, Delik-Delik Khusus, Cet. I. (Bandung: Mandar Maju, 1990). Ma’luf, Louis, Kamus Munjid, (Beirut: Dar al- Masyriq, 1977). Manan, Abdul, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Ed. 1, (Jakarta: rajagrafindo Persada, 2006). Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum. Cet, ke- 4. Kencana Media Group. Jakarta: 2008. Mujieb, Abdul, Kamus Istilah fiqh. Cet.ke-3, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002). Muhammad, Abubakar, Hadits Tarbiyah. Dikutip dari Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, Cet. Ke-2, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009). Muhammad, Rusjdi Ali, Revitalisasi Syari’at Islam Di Aceh; Problem, Solusi dan Implementasi; Menurut Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Cet-1. Logos Wacana Ilmu, 2003. Munawwir, Ahmad Warson, Al- Munawwir: Kamus Arab – Indonesia. (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan,1984). Muslich, Ahmad Wardi, Hukum Pidana Islam. Cet.- 1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005). Pengantar Dan Asas Hukum Pidana Islam; Fiqh Jinayah. Cet. I (Jakarata: Sinar Grafika, 2004). Mutahar, Ali, Kamus Muthahar; Arab-Indonesia, Cet. 1. (Jakarta: Hikam, 2005).
85
Moleong, Lexi J, Metode Penelitian Kualitatif. Cet- 18. Remaja Rosda Karya. Bandung: 2004 Nasuki, Hamid, dkk. Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Buku Pedoman Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi). Jakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2007. Purwaka, Tomi Hendra, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Atmajaya, 2007). Projodikoro, Wirjono, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Cet. I. Ed. Ke-3, (Bandung, Refika Aditama, 2003). Rizal
Firdaus
dkk,
Filsafat
Hukum
Pidana
Islam.
Http://www.mail-
archiev.com/filsafat-hukum-pidana
[email protected]/pdf130985.html. Rukyah L, Resensi Buku “Fiqh Jurnalistik”. Http://www.mail-archive.com/
[email protected]/msg06814.html Sa’id, Busthami Muhammad, Gerakan Pembaruan Agama: Antara Moderenisme dan Tajdiduddin, Judul Asli, Mafhum Tajdidudd lin. Cet. I, (Kuwait, DarudDa’wah, 1405 H/1984 M). Penerbit Edisi Indonesia (Bekasi: PT Wacanalazuardi, 1995). Santoso, Topo, Menggagas Hukum Pidana Islam; Penerapan Syari’at Islam Dalam Konteks Modernitas. Cet. Ke-2, (Bnadung: Asy-Syamil & Grafika, 2001). Perlindungan
HAM
Dalam
Hukum
Pidana
Islam,
www.pemantauperadialan.com Sevilla, Consuelo G. At. All, Pengantar Metode Penelitian. Universitas Indonesia (UI-PRESS). Jakarta: 2006. Shahih Muslim, Terjemah Hadits Shahih Muslim. (Jakarata: Bumi Restu, 1984), Cet. Ke- 1, Jilid III. Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh; Jilid 2. Cet. Ke- 5, (Jakarta: Kencana, 2009). Syamsuddin, Azis, Dekriminalisasi Tindak Pidana Perjudian: Menuju Pembangunan Hukum Masyarakat Adil dan Makmur, Cet. I, (Jakarta; 2007).
86
Sukron Kamil dan Chaider S. Bamualim, Syari’ah Islam dan HAM; CSRC, Jakarta; 2007. Taimiyah, Ibnu, Kebijaksanaan Polotik Nabi SAW. Judul Asli, As- Siyasah AsSyar’iyah Fii Islahir Raa’i war-Ra’yah. Cet. 1. (Surabaya:
Dunia Ilmu,
1997). Wahiduddin Adams dan Ismail Hasani, Buku Daras Ilmu Pepundang-undangan, (Buku Tidak diterbitkan). Widjaja, HAW, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia Dalam Rangaka Sosialisasi, Ed. 1-3, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005).
Sumber dari Undang-undang dan Peraturan Perundang-undangan Lainnya -
Undang- undang Republik Indonesia Nomor. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan. Cet, ke-4.
-
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (HAM).
-
Undang-undang Republik Indonesia Nomor. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
-
Undang-undang Republik Indonesia Nomor. 29 Tahun 1974 Tentang Cukai.
-
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PPRI) Nomor 72 Tahun 2005 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Tahun 2008 Tentang Desa, Kelurahan, Kecmatan.
-
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor. 30 Tahun 1997 Tentang Pengawasan Dan Pengendalian Minuman Beralkohol.
-
Peraturan Desa Muslim Padang Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba Nomor. 05 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Hukuman Cambuk.
87
Sumber dari Internet (situs website) www.pemantauperadialan.com http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/12044/1/09e02047.pdf http://konsultasisyariah.net/content/view/81/126/. http://www.mail-archiev.com/filsafat-hukum-pidana
[email protected]/pdf130985.html http://www.mail-archive.com/
[email protected]/msg06814.html http://www.nusantaraonline.org/ http://www.bnn.go.id http://www.jdihukum.banten.go.id http://www.bulukumbakab.go.id/?id=11 http://www.gp-ansor.org/berita/cara-warga-desa-muslim-padang-bulukumba-sulseltangani-pelanggar-hukum.html http://www.suaramerdeka.com/harian/0607/07/opi04.htm http://www.tempo.co.id/hg/nusa/sulawesi/2006/04/23/brk,20060423-76547,id.html http://www.jurnalstidnatsir.co.cc/2009/06/penerapan-syariat-islam-di-desapadang.html http://www.mailarchive.com/
[email protected]/msg34802.html http://www.mail-archive.com/
[email protected]/msg43147.html