Anastasia Ratna Wahyu Wijayanti Perubahan Pekerjaan Masyarakat Sebagai Akibat Dari Bencana Studi Kasus: Kawasan Wisata Volcano Tour Gunung Merapi, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 24 No. 1, April 2013, hlm.19 – 34
PERUBAHAN PEKERJAAN MASYARAKAT SEBAGAI AKIBAT DARI BENCANA STUDI KASUS: KAWASAN WISATA VOLCANO TOUR GUNUNG MERAPI, DESA UMBULHARJO, KECAMATAN CANGKRINGAN, KABUPATEN SLEMAN Anastasia Ratna Wahyu Wijayanti SKHA Consulting Jalan Letjen TB. Simatupang Kav. 22-26 Jakarta Email:
[email protected]
Abstrak Bencana Gunung Merapi pada tahun 2010 menyebabkan berbagai dampak dalam tatanan kehidupan masyarakat. Aset penghidupan masyarakat hancur dan produksi ekonomi pun menurun. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat yang tinggal di daerah bencana mengalami kehilangan pekerjaan. Di sisi lain, kerusakan wilayah akibat bencana justru menjadi daya tarik wisata yang dapat memunculkan peluang kerja baru sehingga dibuka lah Kawasan Wisata Volcano Tour. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak bencana gunung api terhadap perubahan pekerjaan masyarakat di wilayah studi. Metode yang digunakan adalah analisis kualitatif semi-etnografi dengan teknik pengambilan sampel purposive sampling. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa bencana berdampak pada perubahan pekerjaan masyarakat karena masyarakat yang kehilangan pekerjaan mampu memanfaatkan peluang kerja di tempat lain sebagai sumber penghidupan baru. Ada pun hal utama yang direkomendasikan adalah keberadaan dukungan pemerintah untuk menciptakan pekerjaan berkelanjutan bagi masyarakat. Kata Kunci: bencana, dampak, Gunung Merapi, pekerjaan, wisata
Abstract Mount Merapi disaster in 2010 led to impacts on the livelihood of the community. Livelihoods asssets destroyed and economic production also decreased. This indicates that people living in the affected areas have lost jobs. On the other hand, the damage from the disaster area became a tourist attraction that could bring new job opportunities, so it opened the Volcano Tour Tourist Area. This study aims to analyze the impact of volcanic disasters to changes in community work in the study area. The method used was a semi - ethnographic qualitative analysis by purposive sampling technique. From this study it can be concluded that the catastrophic impact on society because people change jobs who lost their jobs were able to take advantage of employment opportunities elsewhere as a new livelihood. There was the main thing that is recommended is the existence of government support to create sustainable jobs for the community. Keywords: disaster, impact, Mount Merapi, work, tourism
1. Pendahuluan
kinerja perekonomian suatu wilayah tersebut juga diperparah oleh hancurnya sarana pendukung kegiatan ekonomi seperti saluran telekomunikasi, pembangkit energi, dan sarana transportasi (Sukandarrumidi, 2010).
Bencana alam dapat memberikan dampak dalam penurunan ekonomi lokal serta hilangnya pekerjaan masyarakat. Aset natural, finansial, fisik, manusia, dan sosial dapat terdampak sehingga pasar menjadi kacau dan efek dari semua itu adalah terganggunya kondisi sosial serta ekonomi wilayah yang mengalami bencana (FAO & ILO, 2009). Melemahnya
Gunung Merapi kembali mengalami erupsi pada tanggal 26 Oktober 2010 dan 5 November 2010. Akibat erupsi tersebut, Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi mengalami 19
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 21/No. 1 April 2010
kerusakan parah, tercatat dampak bencana erupsi Gunung Merapi tersebut telah menimbulkan total kerusakan dan kerugian sebesar Rp 3, 557 triliun (Bappenas, 2011).
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak erupsi Gunung Merapi terhadap perubahan pekerjaan masyarakat sehingga kini mereka memiliki pekerjaan di Kawasan Wisata Volcano Tour Gunung Merapi, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Untuk mencapai tujuan tersebut, terdapat beberapa sasaran dalam penelitian ini, antara lain: 1. Menganalisis dampak dari bencana terhadap hilangnya pekerjaan masyarakat pada wilayah studi; 2. Menganalisis peran kawasan wisata Volcano Tour sebagai peluang kerja dan sumber pendapatan baru bagi masyarakat; 3. Menganalisis alasan masyarakat melakukan perubahan pekerjaan.
Sebelum terjadi bencana, masyarakat yang tinggal di kawasan bencana Gunung Merapi hidup dengan berbagai macam aktivitas. Sebagian besar masyarakat lereng Merapi bekerja sebagai peternak dengan komoditi unggulan berupa sapi perah (Bappenas, 2011). Akibat erupsi Gunung Merapi, ribuan ternak mati dan jumlah produksi komoditas unggulan peternakan mengalami penurunan sehingga mengindikasikan bahwa banyak peternak kehilangan pekerjaan. Di sisi lain, kerusakan wilayah yang ditimbulkan oleh bencana justru menimbulkan rasa penasaran wisatawan untuk berkunjung ke bekas daerah bencana. Jika dikelompokkan dalam jenis pariwisata, kegiatan wisata ini dapat masuk ke dalam jenis pariwisata gelap (dark tourism). Dark tourism mengacu pada produk dan tempat yang dapat menarik pengunjung yang berminat pada bencana, tempat pembantaian, dan peristiwa mengerikan lainnya (Seaton, 1996; Stone, 2006 dalam Petford et al, 2010).
Fokus dari penelitian ini adalah dampak tidak langsung bencana, khususnya pada pekerjaan masyarakat. Pengetahuan serta pemahaman mengenai dampak, baik langsung maupun tidak langsung merupakan hal yang penting untuk dilakukan dalam rangka mewujudkan pemulihan bencana yang berkelanjutan (IRP, 2009), akan tetapi pemahaman mengenai dampak tidak langsung masih minim dilakukan pada upaya penanggulangan bencana. Pemerintah seringkali hanya terfokus pada pemulihan dampak langsung seperti kerusakan fisik wilayah tanpa memperhatikan dampak tidak langsung khususnya penurunan kemampuan masyarakat untuk kembali ke pekerjaan semula. Padahal penilaian terhadap dampak langsung dapat memberikan gambaran pada langkah-langkah pemulihan sosial dan ekonomi yang harus terintegrasi dengan pemulihan fisik. Dengan terintegrasinya pemulihan fisik dengan pemulihan sosial ekonomi, maka suatu komunitas akan mampu untukmemiliki ketahanan (resilience). Melalui ketahanan dan keberlanjutan ini maka masyarakat akan mampu meminimalisir dampak dan memulihkan diri secara cepat
Melihat adanya peluang untuk mengubah bencana menjadi berkah, maka kawasan bencana pun dibuka menjadi kawasan wisata dengan nama resmi Volcano Tour. Menurut Inskeep (1991) dan Miller & Morisson (1985), kemunculan kawasan wisata dapat membuka peluang pekerjaan bagi masyarakat secara langsung maupun tidak langsung. Dengan demikian, diperkirakan sebagian besar masyarakat lokal yang semula bekerja di bidang pertanian dan peternakan kini berganti pekerjaan menjadi pekerja di kawasan wisata sebagai salah satu strategi untuk bertahan hidup.
20
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 21/No. 1 April 2010
dengan mengggunakan vitalitas sosioekonomi yang mereka miliki pada bencana yang terjadi di masa mendatang (Tobin, 1999). Dengan demikian penelitian ini bermanfaat untuk keilmuan Perencanaan Wilayah dan Kota, khususnya pada perencanaan komunitas.
setelah peristiwa bahaya telah berlalu, dampak tidak langsung terjadi akibat dampak langsung sehingga aliran barang dan jasa tidak berjalan seperti seharusnya. Kedua jenis dampak tersebut dibagi lagi menjadi terukur dan tidak langsung (AusAid, 2005). Dampak terukur adalah dampak yang menyebabkan kerusakan pada barang dan jasa yang memiliki nilai pasar, dengan demikian dampak terukur merupakan dampak yang dapat diukur. Dampak tidak terukur adalah dampak yang menyebabkan kerusakan pada barang dan jasa yang tidak memiliki nilai pasar sehingga nilai dari kerusakan tersebut tidak dapat diukur. Hal yang perlu diperhatikan dalam menilai dampak terhadap suatu sektor adalah membandingkan aset yang ada sebelum bencana dan setelah bencana (AusAid, 2005).
Penelitian ini terdiri dari lima bagian utama. Bagian pertama membahas latar belakang dan tujuan penelitian. Bagian kedua membahas tinjauan literature terkait dampak bencana gunung api, manajemen bencana, pariwisata dan bencana gunung api, dan penghidupan berkelanjutan. Bagian ketiga membahas metodologi penelitian. Bagian keempat berisi analisis dampak bencana terhadap hilangnya mata pencaharian, peran kawasan wisata volcano tour bagi masyarakat, alasan perubahan mata pencaharian, dan keberlanjutan kawasan wisata volcano tour. Bagian terakhir berisi kesimpulan.
Berikut adalah dampak-dampak yang ditimbulkan dari erupsi gunung berapi. 1. Dampak Langsung, dampak yang terjadi pada saat peristiwa bencana terjadi (AusAid, 2005). a. Dampak Langsung Terukur, yakni dampak yang terjadi pada saat peristiwa bencana baru saja terjadi dan besaran dampak tersebut dapat diukur. Dampak langsung terukur yang paling umum terjadi adalah kerusakan fisik suatu wilayah (Lindell & Prater, 2003). b. Dampak Langsung Tidak Terukur, yakni dampak yang terjadi ketika peristiwa bahaya baru saja terjadi dan akan tetapi besaran dampak ini tidak dapat terukur (AusAid, 2005). Misal, kematian atau luka. 2. Dampak Tidak Langsung, dampak yang terjadi dalam jangka waktu tertentu setelah peristiwa bencana terjadi (AusAid, 2005). a. Dampak Tidak Langsung Terukur, merupakan dampak yang terjadi ketika peristiwa bahaya baru saja terjadi, akan
2. Tinjauan Literature 2.1 Dampak Bencana Gunung Api Tidak semua peristiwa alam dapat digolongkan sebagai bencana. Bencana terjadi apabila suatu peristiwa ekstrem mengakibatkan korban harta benda dan bahkan korban jiwa (Sukandarrumidi, 2010). Dengan kata lain, selama peristiwa alam tidak menimbulkan korban, maka hal itu belum dapat dikatakan sebagai bencana alam. Dengan demikian, dampak terjadi apabila suatu komunitas mengalami ketidakmampuan dalam mengatasi peristiwa alam yang ekstrem (Sukandarrumidi, 2010). Terdapat dua jenis dampak bencana, yaitu dampak langsung dan tidak langsung (AusAid, 2005). Dampak langsung terjadi ketika peristiwa bahaya sedang berlangsung. Sementara dampak tidak langsung dirasakan
21
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 21/No. 1 April 2010
tetapi besaran dampak ini dapat terukur (AusAid, 2005). Contoh-contoh dampak tindak langsung terukur antara lain penurunan produksi pertanian, peternakan, industri, serta bidang ekonomi lainnya b. Dampak Tidak Langsung Tidak Terukur merupakan dampak yang terjadi dalam jangka waktu tertentu setelah peristiwa bahaya dan besaran dampak ini tidak dapat terukur (AusAid, 2005). Misal penyakit dan dampak psikososial
bermasyarakat pada wilayah pascabencana (Undang-Undang No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana). 2.3 Pariwisata dan Bencana Gunung Api Jika dikelompokkan dalam jenis pariwisata, pariwisata yang dilakukan di daerah bencana dapat masuk ke dalam jenis pariwisata gelap (dark tourism). Dark tourism mengacu pada produk dan tempat yang dapat menarik pengunjung yang berminat pada bencana, tempat pembantaian, dan peristiwa mengerikan lainnya (Seaton, 1996; Stone, 2006 dalam Petford et al, 2010). Contohnya adalah pada tsunami Aceh di Indonesia.
2.2 Manajemen Bencana Manajemen bencana adalah seluruh kegiatan, program, dan langkah-langkah yang dapat diambil sebelum, selama, dan setelah bencana dengan tujuan untuk menghindari bencana, mengurangi dampak, dan memulihkan wilayah beserta penduduk yang tinggal di dalamnya dari kerugian (Khan & Vasilescu, 2008).
Kekuatan daya tarik dalam pariwisata gelap (dark tourism) tergantung pada seberapa besar peristiwa dan waktu terjadinya peristiwa tersebut. Semakin dekat dengan waktu kejadian, maka sifat dari pariwisata tersebut semakin gelap sehingga semakin memiliki daya tarik. Hal ini karena sisa-sisa dampak peristiwa bencana, perang, pembantaian, atau peristiwa mengerikan lainnya masih sangat terasa. Sifat semakin gelap dari suatu pariwisata juga dipengaruhi oleh besarnya peristiwa. Semakin besar peristiwa yang terjadi, semakin banyak korban, dan semakin besar dampak maka semakin kuat pula daya daya tarik yang ada di tempat pariwisata tersebut.
Manajemen bencana yang baik adalah manajemen bencana yang terintegrasi (Miththapala, 2008). Pemahaman mengenai dampak akan memberikan pemahaman mengenai tindakan rehabilitasi dan rekonstruksi. Ada pun definisi dari rehabilitasi dan rekonstruksi antara lain: i. Rehabilitasi Rehabilitasi adalah aktivitas untuk mengembalikan pelayanan dasar dan infrastruktur ke standar operasi minimum (Khan & Vasilescu, 2008). ii. Rekonstruksi Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan
Pariwisata gelap (dark tourism) juga seringkali dilakukan di daerah pegunugan berapi. ErfurtCooper & Cooper (2010) mendefinisikan pariwisata gunung api sebagai suatu kegiatan yang melibatkan eksplorasi dan pembelajaran mengenai gunung api aktif dan bentang alam geothermal, di dalam nya terdapat pula kegiatan mengunjungi wilayah sekitar gunung api yang masih aktif atau yang telah hancur di mana sisasisa aktivitas menjadi daya tarik pengunjung yang datang dengan minat untuk mempelajari warisan geologi. Cohen (1972, 1974) dalam
22
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 21/No. 1 April 2010
Petford et al (2010) mengategorisasikan wisatawan dalam empat tipe, yaitu wisatawan massal yang terorganisasi, wisatawan massal individual, eksplorer, dan drifter. Orang-orang yang melakukan wisata gunung api dikelompokkan ke dalam kelompok eksplorer. Eksplorer merupakan tipe wisatawan yang menghindari untuk melakukan wisata pada rute yang umum atau sering dilewati oleh sebagian besar wisatawan lain. Wisatawan jenis ini suka untuk mengeksplor jalan baru untuk menuju ke tujuan dan tidak pernah mengharapkan kemewahan dan kenyamanan. Tujuan mereka berwisata adalah untuk melakukan aktualisasi diri dan belajar tentang kebudayaan lokal dengan ide baru dan pikiran yang terbuka.
Modal natural, finansial, fisik, manusia, dan sosial terkikis sehingga pasar menjadi kacau dan efek dari ini semua membuat terganggunya kondisi sosial serta ekonomi wilayah yang terdampak (FAO & ILO, 2009) Selama masa krisis, masyarakat menjadi tergantung pada bantuan tapi tidak bisa berlangsung lama, terlebih apabila bantuan tersebut tidak dapat memenuhi seluruh kebutuhan dan mengembalikan kehidupan masyarakat pada titik normal. Maka dari itu, diperlukan usaha perlindungan serta pengembalian penghidupan masyarakat yang dilakukan dengan cara memulihkan mata pencaharian. Penghidupan dapat dikatakan berkelanjutan apabila dapat mengatasi dan memulihkan diri dari stres dan guncangan, memelihara atau meningkatkan kemampuan dan aset sehingga dapat memberikan kontribusi berupa keuntungan bersih untuk kehidupan lain pada tataran lokal dan global, baik dalam jangka pendek dan panjang (Chambers & Conway, 1991).
Menurut Kelman dan Mather (2008), kegiatan wisata memang dapat menjadi kegiatan ekonomi yang menguntungkan di daerah pegunungan berapi, namun di sisi lain, ketika aktivitas gunung api menunjukkan puncaknya, kerugian pada kehidupan masyarakat menjadi sangat mungkin terjadi, terlebih dengan bertambahnya uang yang harus dikeluarkan untuk memperbaiki properti serta infrastruktur. Meskipun demikian, pada saat ini Volcano Tourism memiliki pasar yang baik, berkelas tinggi, dan ekslusif (Petford & al, 2010). Hal ini karena poin yang dijual pada pariwisata gunung api merupakan sesuatu yang unik, yakni campuran antara rasa ingin menantang diri sendiri dengan sesuatu berbahaya yang dikombinasikan dengan rasa penasaran terhadap ilmu pengetahuan dan pendidikan. Dengan demikian kegiatan pariwisata gunung api merupakan kegiatan wisata yang sangat berpotensi untuk memberikan keuntungan.
Perubahan mata pencaharian merupakan salah satu strategi untuk mencapai penghidupan yang berkelanjutan. Perubahan mata pencaharian merupakan salah satu reaksi masyarakat dalam menghadapi perubahan tren, musim, dan tekanan (Ashley et al, 2003; Twigg, 2001). Perubahan yang terjadi karena tren dan musim pada umumnya lebih mampu diprediksi, akan tetapi hal yang datangnya tiba-tiba seperti tekanan seringkali menyerang rumah tangga perdesaan tanpa peringatan sama sekali sehingga membatasi kemampuan masyarakat untuk mempersiapkan diri dan mengurangi dampak yang akan dialami.
2.4 Penghidupan Berkelanjutan Perubahan mata pencaharian dilakukan dengan tujuan untuk menolong rumah tangga untuk keluar dari kemiskinan (Ashley et al, 2003), artinya perubahan mata pencaharian termasuk
Bencana alam dapat memberikan dampak dalam menghilangkan mata pencaharian masyarakat serta penurunan ekonomi lokal.
23
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 21/No. 1 April 2010
dalam upaya meningkatan keberlanjutan sosial dengan menurunkan kerentanan dan mengurangi tekanan eksternal seperti yang dikatakan oleh Chambers dan Conway (1992). Strategi penghidupan lain yang diterapkan untuk mengatasi bencana adalah hidup bersepakat dengan bencana. Sebagian besar masyarakat memilih untuk tetap tinggal di kawasan bencana karena potensi yang dimiliki oleh kawasan tersebut dapat memberikan penghidupan. Pada kawasan rawan bencana gunung api misalnya, alasan yang membuat masyarakat tetap tinggal adalah karena tanah di sekitar gunung tersebut subur dan terdapat sumber air bersih yang baik bagi kehidupan masyarakat lokal. Potensi wilayah dapat menyeimbangkan bahaya yang terdapat di dalam wilayah tersebut sehingga masyarakat berkeputusan untuk tidak pindah dari daerah bencana meski daerah tersebut berbahaya. Ada 4 opsi tindakan yang dapat dilakukan oleh masyarakat untuk hidup dengan risiko bencana (Kelman & Mather, 2008), antara lain: 1. 2. 3. 4.
Metode pengumpulan data dilakukan dengan pendekatan makro dan mikro. Pendekatan makro dilakukan di awal agar penulis dapat memahami permasalahan secara makro sebelum secara langsung melihat kasus di lapangan. Pendekatan ini menggunakan tiga sumber utama, yakni sumber ilmiah terkait, surat kabar dan media massa lainnya, serta laporan pemerintahan. Sementara itu pendekatan mikro dilakukan dengan cara observasi wilayah studi dan wawancara. Ada pun informan dari golongan masyarakat yang diwawancarai antara lain pekerja di Volcano Tour, peternak, pengelola, sementara informan dari golongan pemerintah dan instansi lainnya adalah kepala dusun, kepala bidang peternakan Dinas Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan Kabupatan Sleman, staff bidang pemasaran Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Kepala bidang Perencanaan Perdesaan Badan Perencanaan Daerah Kabupaten Sleman, dan NGO Infront. Informan dari kalangan masyarakat diwawancarai untuk mendapatkan informasi mengenai dampak bencana, dampak dari bencana terhadap pekerjaan, serta karakteristik dan peran Volcano Tour. Sementara informan dari kalangan pemerintah diwawancara untuk mendapatkan informasi mengenai dampak bencana serta peran pemerintah dalam menanggulangi dampak bencana tersebut. Penentuan informan dilakukan dengan teknik snowball di mana informan sebelumnya merekomendasikan informan selanjutnya
Tidak melakukan apapun (do nothing); Melindungi masyarakat dari bahaya (protect the society from hazard); Menghindari bencana ( avoid hazards); Hidup dengan bahaya dan risiko (live with the hazards and risks).
3. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan semi-etnografi. Tujuan dari riset semi-etnografi adalah untuk memformulasikan pola analisis untuk menghasilkan suatu kesimpulan yang masuk akal dari setiap perbuatan manusia dalam konteks waktu dan tempat yang spesifik. Penggunaan semietnografi dalam studi ini juga dimaksudkan agar peneliti memahami sudut pandang hidup dari sudut pandang penduduk asli.
Metode analisis data sendiri dilakukan dengan analisis kualitatif, di mana analisis ini menguntungkan karena kebenaran hanya bisa didapatkan dari lapangan. Terdapat tiga analisis yang berurutan, yakni reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
24
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 21/No. 1 April 2010
a.
b.
c.
Reduksi Data Pada tahap ini data yang didapatkan baik dari sumber makro dan mikro dianggap sebagai bahan mentah untuk disingkat, disusun lebih sistematis, dan ditonjolkan pokok-pokok pentingnya agar didapatkan gambaran persoalan yang lebih tajam untuk diolah ke tahap selanjutnya. Penyajian Data Di dalam penyajian data, data diorganisasikan dan dikelompokkan dalam suatu organisasi yang jelas untuk disandingkan dengan indikator dan teori yang digunakan. Penyajian data akan dilakukan dalam bentuk grafik, gambar, dan diagram. Penarikan Kesimpulan Penarikan kesimpulan dilakukan dengan memberikan penjelasan yang masuk akal berdasarkan teori dan hasil pengamatan di lapangan terhadap emua poin-poin kesimpulan dalam penelitian ini.
erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010, akan tetapi bukan hanya hal tersebut saja yang menjadi alasan. Pemerintah sebenarnya telah berusaha untuk memberikan uang ganti rugi pada ternak yang mati, yakni 8,5 juta untuk ternak induk, 5,5 juta untuk ternak dara, dan 3,5 juta untuk ternak yang masih kecil. Sebenarnya dengan uang tersebut bisa saja masyarakat kembali membeli ternak dan kembali menjadi peternak, akan tetapi karena dampak yang terjadi akibat bencana mencakup hampir seluruh aspek kehidupan, maka sebagian besar masyarakat lebih memilih menggunakan uang tersebut sebagai simpanan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Oleh Chambers dan Conway (1991), strategi bertahan hidup seperti ini disebut dengan strategi penyimpanan (hoard), hal ini dilakukan agar masyarakat mampu mengatasi tekanan yang terjadi pada kehidupannya. Hal lain yang juga menyebabkan masyarakat kehilangan pekerjaan adalah kondisi yang serba sulit dalam memelihara ternak di tempat penampungan. Sebelum bencana, masyarakat peternak memiliki kandang ternak di setiap rumahnya, namun kehancuran rumah membuat masyarakat harus mengungsi. Di tempat pengungsian, kondisi kandang komunal yang disediakan oleh pemerintah sangat tidak mendukung. Luas kandang begitu sempit dan air sulit dicari untuk memelihara ternak. Belum lagi sumber pakan ternak juga sulit didapatkan akibat tidak adanya rumput yang tumbuh beberapa saat pascabencana. Dengan demikian ternak yang masih hidup dijual. Hal ini lah yang membuat peternak kehilangan pekerjaan meski ternaknya tidak menjadi korban dalam erupsi Merapi 2010.
4. Analisis 4.1 Dampak Bencana Terhadap Hilangnya Mata Pencaharian Sebelum bencana, sebagian besar masyarakat Umbulharjo bekerja sebagai peternak. Data dari Potensi Desa Umbulharjo menunjukkan bahwa pada tahun 2008, jumlah penduduk yang bekerja sebagai peternak adalah 2.520 orang atau sebesar 57,53% dari total penduduk Desa Umbulharjo, sedangkan pada tahun 2011, setelah terjadi bencana, masyarakat yang bekerja sebagai peternak hanya sebesar 327 orang atau sebesar 6,99% dari jumlah penduduk Desa Umbulharjo secara keseluruhan. Artinya jumlah peternak berkurang sebesar 2.193 orang jika dibandingkan pada tahun 2008. Penurunan jumlah peternak tersebut disebabkan oleh banyaknya ternak yang menjadi korban
25
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 21/No. 1 April 2010
Gambar 1. Dampak Bencana terhadap Hilangnya Mata Pencaharian Peternak di Dusun Palemsari dan Dusun Pangekrejo Sumber: Hasil Analisis, 2012
dampak yang disebabkan oleh bencana, modal sosial juga memungkinkan masyarakat untuk mengambil peluang baru dalam bencana sehingga kemiskinan dan kerentanan yang dialami masyarakat dapat berkurang. Dalam hal ini peluang baru yang dimanfaatkan oleh masyarakat adalah kerusakan wilayah. Dengan demikian, masyarakat korban bencana Merapi di Dusun Pelemsari dan Dusun Pangukrejo, Desa Umbulharjo dapat bangkit dari keterpurukan ekonomi.
4.2 Peran Kawasan Wisata Volcano Tour Sebagai Peluang Kerja Baru Bagi Masyarakat Kawasan Wisata Volcano Tour dibuka pada awal Desember 2010 dengan nama resmi Kawasan Wisata Volcano Tour. Selain karena adanya potensi wisata, faktor lain yang juga mempengaruhi pembukaan kawasan wisata ini adalah adanya kemampuan masyarakat Dusun Pelemsari dan Pangukrejo, Desa Umbulharjo untuk melihat potensi dan bergerak bersama dalam memanfaatkan potensi tersebut. Dengan demikian, atas inisiatif masyarakat maka kawasan ini dibuka sebagai kawasan wisata.
Pembukaan Kawasan Wisata Volcano Tour membuka peluang kerja sehingga masyarakat yang pada mulanya kehilangan pekerjaan sebagai peternak kini dapat memiliki aktivitas baru. Hal ini selaras dengan yang dikatakan oleh Inskeep (1991) dan Mill & Morrison (1985) bahwa kegiatan wisata dapat menciptakan berbagai lapangan kerja baik langsung ataupun tidak langsung bagi masyarakat. Ada pun berbagai jenis mata pencaharian yang dilakukan oleh masyarakat di
Usaha masyarakat untuk bersama-sama membuka Kawasan Wisata Volcano Tour dapat diartikan sebagai keberadaan modal sosial warga Dusun Pelemsari dan Dusun Pangukrejo, Desa Umbulharjo. Menurut Adger (2003), modal sosial merupakan komponen yang sangat diperlukan untuk mengatasi bahaya dan 26
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 21/No. 1 April 2010
kawasan Volcano Tour antara lain petugas lapangan seperti petugas parkir dan tiket serta penyedia barang dan jasa seperti penjual makanan, penjual suvenir, dan penyedia jasa angkut.
5.
Menjalin tali silaturahmi dan persaudaraan warga masyarakat. Berdasarkan peraturan yang ditetapkan oleh Tim Pengelola Kawasan Wisata Volcano Tour Desa Umbulharjo, masyarakat yang diizinkan untuk bekerja di kawasan ini hanya masyarakat yang sebelum erupsi bermukim di Dusun Pelemsari atau Dusun Pangukrejo, Desa Umbulharjo, kecuali untuk masyarakat yang bekerja sebagai pemilik warung. Masyarakat yang berasal dari luar Dusun Pelemsari dan Dusun Pangukrejo, Desa Umbulharjo diperbolehkan untuk menjadi pemilik warung, akan tetapi mereka harus membayar harga sewa tanah dengan biaya yang lebih mahal.
Segala kegiatan ekonomi yang berlangsung di kawasan wisata Volcano Tour dikelola dan dikoordinir oleh seluruh masyarakat melalui wadah pengelolaan bernama Tim Pengelola Volcano Tour yang diketuai oleh Kepala Desa Umbulharjo. Dalam Laporan Hasil Evaluasi Kegiatan Volcano Tour Desa Umbulharjo (2011), dipaparkan bahwa Tim Pengelola Volcano Tour dibuat dengan tujuan: 1. Memberikan kenyamanan dan keamanan bagi pengunjung yang datang ke lokasi kawasan wisata Volcano Tour; 2. Memberdayakan masyarakat dan membuka lapangan mata kerja, khususnya untuk korban erupsi Merapi; 3. Memberikan alternatif pemulihan ekonomi bagi warga masyakat khususnya yang terkena dampak langsung erupsi Merapi; 4. Melindungi, mengamankan, dan menjaga semua fasilitas barang maupun potensi wilayah, baik milik warga maupun pemerintah;
Untuk memasuki Kawasan Volcano Tour, pengunjung diminta untuk membayar tiket sebesar Rp 5.000,00. Hasil penjualan tiket ini tidak hanya digunakan untuk retribusi pendapatan pekerja, tapi juga dialokasikan kepada beberapa kepentingan masyarakat secara luas. Dengan demikian manfaat yang dihasilkan dari keberadaan Kawasan Wisata Volcano Tour diharapkan dapat dirasakan oleh semua pihak. Berikut ini merupakan alokasi penggunaan hasil penjualan tiket di Kawasan Wisata Volcano Tour.
Gambar 2. Alokasi Hasil Penjualan Tiket Volcano Tour Sumber: Laporan Hasil Evaluasi Volcano Tour Desa Umbulharjo,2011
27
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 21/No. 1 April 2010
Lima belas persen dari hasil penjualan tiket dan pendapatan dari tarif parkir di kawasan wisata Volcano Tour dialokasikan pada pembangunan dusun di Desa Umbulharjo yang hancur akibat erupsi Gunung Merapi. Dengan demikian keberadaan Kawasan Wisata Volcano Tour tidak hanya bermanfaat bagi pemulihan ekonomi saja, tetapi juga pemulihan fisik.
Kinahrejo (Harwati, 2011) sehingga memerlukan rekonstruksi dengan dana yang lebih besar dibanding dusun-dusun lain di Desa Umbulharjo. Pemberian dana bantuan dari hasil penjualan tiket masuk dan parkir Kawasan Wisata Volcano Tour diprioritaskan kepada masyarakat-masyarakat yang rentan, seperti lansia, anak yatim piatu, dan ekonomi lemah. Dana ini juga diprioritaskan kepada mereka yang mengalami kerusakan dan kerugian terparah seperti anggota keluarga meninggal dan juga anggota Volcano Tour yang mendapatkan risiko akibat keberadaan Volcano Tour itu sendiri. Dengan Tour untuk pembangunan dusun dan dana sosial, berarti Volcano Tour juga turut berkontribusi bagi rehabilitasi dan rekonstruksi di Desa Umbulharjo.
Dusun Pelemsari dan Pangukrejo mendapatkan alokasi terbesar dari pedapatan Kawasan Wisata Volcano Tour. Alokasi dana pembangunan dari Volcano Tour pada Dusun Pangukrejo pada tahun 2011 adalah Rp 36.222.848, sedangkan Dusun Pelemsari mendapatkan jatah sebesar Rp 25.873.463 (Tim Pengelola Volcano Tour Desa Umbulharjo, 2011). Dua dusun di Desa Umbulharjo yang mengalami kerusakan terparah pada erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 lalu adalah Dusun Pangukrejo dan Dusun Pelemsari atau
Gambar 3. Peran Kawasan Wisata Volcano Tour Sebagai Peluang Kerja Baru Sumber: Hasil Analisis, 2012
28
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 21/No. 1 April 2010
4.3 Alasan Perubahan Mata Pencahariaan
yang tidak dilengkapi dengan fasilitas pemeliharaan ternak yang memadai serta sumber pakan ternak. Dikatakan pula oleh Tobin & Whiteford (2001) bahwa seringkali tempat penampungan berada jauh dari sumber daya penghidupan masyarakat.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Dove dan Hudayana (2008) di Dusun Turgo, Kawasan Rawan Bencana Gunung Merapi, diketahui bahwa erupsi tahun 1994 telah menjadi agen perubahan ekonomi masyarakat dimana sebelum erupsi ekonomi masyarakat berbasis pada pertanian, tapi setelah erupsi perekonomian menjadi berbasis peternakan. Pergantian sumber penghidupan ini ternyata terjadi pula pada masyarakat Dusun Pelemsari dan Dusun Pangukrejo, Desa Umbulharjo setelah erupsi tahun 2010
Menurut Chambers dan Conway (1991), salah satu upaya mempertahankan hidup bagi masyarakat yang sedang mengalami tekanan adalah melakukan diversifikasi, artinya mencari jenis aktivitas pekerjaan dan sumber penghasilan baru. Oleh karena itu, masyarakat melakukan perubahan mata pencaharian dan memanfaatkan kesempatan kerja di sektor pariwisata.
Peristiwa erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 telah menyebabkan banyak kerusakan yang membuat masyarakat Dusun Pelemsari dan Dusun Pangukrejo, Desa Umbulharjo mengalami ketidakmampuan dalam mengatasi tekanan ekstrem. Menurut FAO & ILO (2009), tekanan ekstrem tersebut membuat aset penghidupan masyarakat menjadi hilang atau berkurang. Pada bencana erupsi Gunung Merapi ini, aset penghidupan yang hilang serta berkurang adalah aset natural, fisik, dan finansial.
Hal yang membuat sektor pariwisata muncul adalah dampak langsung bencana berupa kerusakan lingkungan serta modal sosial. Isu mengenai kerusakan lingkungan yang parah memunculkan rasa penasaran wisatawan untuk berkunjung dan menyaksikan dampak bencana di Gunung Merapi secara langsung. Sirkulasi manusia untuk pergi ke daerah bencana untuk secara visual mengonsumsi kerusakan, trauma, dan bencana disebut dengan dark tourism (Petford & al, 2010). Terbukanya peluang kerja baru di Kawasan Wisata Volcano Tour juga didukung oleh adanya modal sosial masyarakat. Masyarakat dari Dusun Pangukrejo dan Dusun Pelemsari, Desa Umbulharjo menyadari bahwa dirinya mengalami keterpurukan ekonomi pascabencana dan mereka meyakini bahwa bekerjasama satu sama lain akan mempermudah pemulihan kondisi ekonomi. Dengan demikian masyarakat secara bergotong royong membuka daerah bekas bencana sebagai kawasan wisata dengan nama resmi Kawasan Wisata Volcano Tour. Keberadaan modal sosial dalam memungkinkan masyarakat untuk mengambil peluang baru dalam bencana sehingga kemiskinan dan kerentanan yang
Akibat dampak langsung tersebut, masyarakat tidak mampu kembali ke mata pencaharian sebelumnya, yaitu sebagai peternak sapi perah. Hal ini karena beberapa peternak mendapatkan ternaknya mati padahal ternak merupakan salah satu sumber daya penghidupan. Ternak yang mati diganti oleh pemerintah, akan tetapi karena bencana berdampak dalam menghilangkan segala harta benda maka tidak semua masyarakat menggunakan uang ganti tersebut untuk membeli kembali ternak, melainkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara itu peternak yang ternaknya tidak mati mengalami kesulitan dalam memelihara ternak karena kondisi tempat penampungan
29
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 21/No. 1 April 2010
dialami masyarakat dapat berkurang (Adger, 2003). Keberadaan suatu kegiatan wisata dapat menciptakan berbagai lapangan kerja baik langsung ataupun tidak langsung bagi masyarakat (Inskeep, 1991; Mill and Morrison, 1985). Dengan demikian, dibukanya kawasan wisata Volcano Tour memberikan kesempatan bagi masyarakat lokal untuk bekerja sebagai penjual suvenir, tukang ojek, penyedia jasa antar motor trail dan jeep, pemilik warung, serta petugas lapangan. Oleh karenanya, sebagian besar masyarakat yang kehilangan pekerjaan sebagai peternak kini berganti mata pencaharian menjadi pekerja di sektor pariwisata.
kelompok kerja memberlakukan sistim jadwal (shift) serta retribusi pendapatan yang ketentuannya berbeda-beda tergantung pada jenis pekerjaan. Sistim jadwal diberlakukan agar semua pekerja mendapatkan proporsi kerja yang adil, sedangkan retribusi pendapatan dan hasil penjualan tiket dimasukkan ke dalam kas dusun untuk pembangunan wilayah dan membantu masyarakat rentan. Keberadaan pengelolaan terpadu di Kawasan Wisata Volcano Tour dapat mendistribusikan manfaat dari keberadaan kegiatan wisata kepada semakin banyak orang dan hal tersebut berpotensi untuk mengurangi kemiskinan dan kerentanan korban bencana. Gambar di bawah ini menunjukkan proses bergantinya perubahan mata pencaharian masyarakat peternak di Desa Umbulharjo akibat dampak bencana gunung api.
Dalam keberjalanannya, masyarakat membentuk suatu tim pengelola kawasan wisata yang membawahi beberapa paguyuban dan kelompok kerja. Paguyuban pekerja dan
Gambar 4. Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Mata Pencarian Masyarakat Dusun Palemsari dan Dusun Pangurejo Sumber: Hasil Analisis, 2012
Pada dasarnya masyarakat yang tinggal di KRB Gunung Merapi merupakan masyarakat yang rentan karena lokasi tempat tinggal mereka menyimpan potensi bahaya. Meski demikian, kerentanan tersebut dapat tereduksi dengan
adanya ketahanan yang telah dimiliki. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sagala et al (2009), ketahanan sosial masyarakat lereng Merapi dipengaruhi oleh variabel komunitas dan institusi. Artinya
30
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 21/No. 1 April 2010
hubungan sosial antarmasyarakat dan peran pemerintah sangat penting untuk memperkuat ketahanan sosial masyarakat lereng Merapi. Ternyata modal sosial di dalam masyarakat tersebut telah ada, akan tetapi dukungan dari pemerintah dalam menciptakan ketahanan sosial masih kurang.
Merapi membutuhkan peran pemerintah untuk memperkuat ketahanan sosial yang dimilikinya.
Modal sosial yang menciptakan ketahanan sosial masyarakat lereng Merapi kembali terlihat pascaerupsi 2010, di mana mereka mampu mengatasi dampak bencana dengan menggunakan modal sosial yang dimiliki. Hal tersebut terlihat dari kapasitas masyarakat Dusun Pelemsari dan Dusun Pangukrejo, Desa Umbulharjo untuk bergotong-royong membuka daerah bekas bencana sebagai kawasan wisata. Dengan kemampuan ini, masyarakat korban bencana dapat sedikit demi sedikit memulihkan dampak ekonomi yang dialaminya sehingga ketahanan yang dimiliki masyarakat menurunkan kerentanan ekonomi.
Gambar 5. Peran Perubahan Mata Pencaharian dalam Menciptakan Ketahanan dan Keberlanjutan Sumber: Hasil Analisis, 2012
4.4 Keberlanjutan Volcano Tour
Pembukaan Kawasan Wisata Volcano Tour ini sebenarnya juga merupakan salah satu praktik dari konsep hidup dengan bencana (living with risk) seperti yang dikatakan oleh Kelman & Mather (2008) karena melalui kegiatan ini masyarakat dapat menganggap bahaya bencana gunung api sebagai sumberdaya dan memanfaatkannya. Dengan demikian kegiatan ini mampu diintegrasikan dengan kehidupan sehari-hari dan mata pencaharian masyarakat. Selain itu, Kelman & Mather (2008) juga mengatakan bahwa konsep ini mengarahkan masyarakat pada penghidupan yang berkelanjutan yang merupakan suatu indikator terwujudnya ketahanan. Meski demikian menciptakan masyarakat yang berkelanjutan serta memiliki ketahanan adalah hal yang kompleks dan membutuhkan pertimbangan sosial, ekonomi, dan politik. Dikatakan pula oleh Sagala (2009) bahwa masyarakat lereng
Kawasan
Wisata
Meski Kawasan Wisata Volcano Tour sebenarnya mampu membantu masyarakat bangkit dari keterpurukan ekonomi, namun jumlah pengunjung Kawasan Wisata Volcano Tour semakin lama semakin menurun. Hal ini karena rasa penasaran masyarakat telah terjawab dan kerusakan wilayah akibat bencana semakin lama semakin pulih. Hal ini sesuai dengan teori Petford (2009) bahwa seiring berjalannya waktu, tingkat kegelapan dari dark tourism semakin lama semakin menurun. Artinya, daya tarik wisata semakin lama semakin menurun. Sekarang sudah terlihat kerusakan berangsur-angsur pulih, sehingga menimbulkan penurunan jumlah wisatawan dan hasil pendapatan. Menurunnya daya tarik wisata, jumlah pengunjung, dan pendapatan mengindikasikan 31
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 21/No. 1 April 2010
bahwa Kawasan Wisata Volcano Tour mungkin tidak akan berlanjut. Dengan alasan yang sama, Harjito (2011) juga meramalkan bahwa kegiatan wisata di kawasan Volcano Tour tidak prospektif untuk dilakukan. Meski demikian, tidak semudah itu untuk mengatakan ketidakberlanjutan suatu kegiatan penghidupan tanpa melakukan penilaian terlebih dahulu. Menurut Chambers dan Conway (1991), keberlanjutan suatu penghidupan dapat dinilai berdasarkan aspek ekologis dan sosial. Secara ekologis, meskipun kerusakan lingkungan berangsur-angsur mulai pulih, tetapi setidaknya kegiatan wisata di Kawasan Wisata Volcano Tour belum menunjukkan tanda-tanda dapat merusak lingkungan sehingga ia masih memiliki kesempatan untuk berlanjut. Meski demikian, kemampuan masyarakat lokal untuk tetap mengelola dan menjaga keberjalanan kegiatan wisata adalah suatu tantangan tersendiri untuk mewujudkan keberlanjutan sosial kegiatan penghidupan di Kawasan Wisata Volcano Tour. Jika kegiatan penghidupan ini dapat bertahan meski menghadapi segala tekanan dan ancaman, maka kegiatan tersebut dapat dikatakan sebagai penghidupan yang berkelanjutan (Chambers dan Conway, 1991).
adalah dukungan dari agensi atau pemimpin politik yang bertanggung jawab. Pengembangan pariwisata di Kawasan Wisata Volcano Tour memang tidak dapat diarahkan kepada pengembangan fisik karena lokasinya yang terletak di KRB III Gunung Merapi, meski demikian bukan berarti perencanaan pariwisata tidak dibutuhkan di kawasan ini. Hal lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan potensi wisata kebencanaan di Kawasan Wisata Volcano Tour adalah membuat inovasi baru yaitu menghubungkan Volcano Tour di Desa Umbulharjo dengan Volcano Tour di Desa Kepuharjo dan Desa Glagaharjo karena di kedua desa tersebut pemandangan kerusakan wilayah masih sangat terasa. Meski perencanaan pariwisata diperlukan, akan tetapi hal lain yang perlu diketahui adalah masyarakat kini sudah banyak yang kembali bekerja sebagai peternak. Beberapa di antara mereka bahkan lebih cenderung memilih bekerja sebagai peternak dibandingkan pekerja di Volcano Tour. Alasan yang mendasari pekerja untuk kembali menjadi peternak adalah pekerjaan sebagai peternak dinilai lebih menjanjikan karena memberikan penghasilan yang relatif tetap setiap bulannya, sedangkan pendapatan sebagai pekerja di sektor pariwisata cenderung fluktuatif karena besarannya tergantung dari jumlah wisatawan yang datang. Meski saat ini sapi yang dipelihara belum bisa memproduksi susu, akan tetapi masyarakat menganggap sapi yang mereka miliki adalah aset investasi yang nantinya akan memberikan penghasilan.
Melihat semakin menurunnya daya tarik Kawasan Wisata Volcano Tour, pemerintah tidak juga mengambil tindakan untuk mendukung pengembangan kegiatan wisata di kawasan ini. Ketiadaan dukungan optimal dari pemerintah ini juga mungkin menjadi salah satu faktor yang membuat daya tarik Kawasan Wisata Volcano Tour tidak berkembang. Maka dari itu, jika Kawasan Wisata Volcano Tour ingin terus menjadi suatu kawasan wisata yang berkelanjutan maka dukungan optimal dari pemerintah sangat dibutuhkan. Seperti yang dikatakan oleh Tobin (1999) bahwa salah satu hal yang diperlukan untuk mempertahankan suatu keberlanjutan dan ketahanan komunitas
Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa pekerjaan di Kawasan Wisata Volcano Tour menunjukkan indikasi ketidakberlanjutan. Untuk membuat pekerjaan masyarakat di kawasan ini menjadi berkelanjutan, sebaiknya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten
32
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 21/No. 1 April 2010
Sleman melakukan hal yang dapat mendukung kegiatan wisata, namun yang sifatnya tidak memicu pembangunan fisik di wilayah rawan bencana seperti peningkatkan kualitas SDM dan inovasi kegiatan wisata seperti menghubungkan Volcano Tour yang terdapat di Desa Umbulharjo dengan Volcano Tour yang ada di Desa Kepuharjo dan Glagaharjo.
terbukanya peluang kerja di kawasan wisata Volcano Tour. Ada pun jenis-jenis pekerjaan yang ada di kawasan wisata tersebut antara lain penjual makanan di warung, penjual suvenir, penyedia jasa angkut ojek, motor trail, dan jeep, serta petugas tiket dan parkir. Meski mampu membantu masyarakat untuk pulih dari bencana, namun daya tarik Kawasan Wisata Volcano Tour menunjukkan kecenderungan menurun, terlihat dari jumlah pengunjung dan hasil penjualan tiket yang semakin berkurang serta pemandangan kerusakan yang semakin hilang. Dengan demikian dikhawatirkan bahwa kegiatan di kawasan ini tidak akan berlanjut. Sampai saat ini belum ada dukungan optimal dari pemerintah untuk mengembangkan kegiatan wisata. Padahal kawasan Volcano Tour yang dikembangkan dapat menjadi suatu penghidupan yang berkelanjutan bagi masyarakat serta menciptakan ketahanan sosial.
Meski demikian, pemerintah juga perlu menyadari bahwa banyak masyarakat yang kini telah kembali bekerja sebagai peternak karena pekerjaan sebagai peternak dianggap lebih menjanjikan. Apabila sebagian besar masyarakat memilih untuk bekerja sebagai peternak, maka sebaiknya masyarakat tetap tidak diperbolehkan untuk kembali membangun di lahan rumahnya yang termasuk dalam KRB III karena hal ini akan sangat membahayakan. 5. Kesimpulan Bencana erupsi Gunung Merapi 2010 membuat peternak yang tinggal di wilayah studi kehilangan pekerjaannya. Hal yang membuat peternak kehilangan pekerjaan antara lain kematian ternak, uang ganti rugi tidak digunakan untuk membeli ternak, kondisi tempat penampungan tidak mendukung, serta kesulitan mencari pakan ternak. Meski demikian, ternyata kerusakan wilayah akibat bencana menjadi daya tarik wisata sehingga dibuka lah Kawasan Wisata Volcano Tour. Selain karena adanya daya tarik wisata, hal lain yang menjadi alasan dibukanya Kawasan Wisata Volcano Tour adalah kemauan masyarakat untuk berusaha bersama memulihkan kondisi ekonomi yang terpuruk akibat bencana. Pembukaan Kawasan Wisata Volcano Tour ini terbukti mampu memberikan peluang kerja bagi masyarakat. Dengan demikian, alasan perubahan pekerjaan masyarakat di wilayah studi adalah hilangnya pekerjaan masyarakat sebagai peternak dan
Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terima kasih kepada Saut Aritua H. Sagala, ST., M.Sc., Ph.D untuk arahan dan bimbingan sehingga artikel ini dapat ditulis. Terima kasih juga kepada dua mitra bestari yang telah memberikan komentar yang berharga. Daftar Pustaka Adger, N. (2003). Social Capital, Collective Action, and Adaptation to Climate Change. Economic Geography, Vol. 79, No. 4 , 387404 Ashley, C. (2003). Dynamics of Livelihood Change. Understanding Livelihoods in Rural India: Diversity, Change and Exclusion. AusAid. (2005). Economic Impact of Natural Disaster on Development in The Pacific. Vol.2 Economic Assesment Tool. Bappenas. (2011). Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Erupsi Gunung Merapi
33
Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 21/No. 1 April 2010
Provinsi DIY dan Jawa Tengah Tahun 20112013 Chambers, R., & Conway, G. (1991). Sustainable Rural Livelihood: Practical Concepts for 21st Century. IDS Discussion Paper 296 , 1-29. Dove, M. R. (2008). Perception of Volcanic Eruption as Agent of Change. Geoforum 39 , 736-746. Eagles, P., McCool, S. F., & Haynes, C. D. (2002). Sustainable Tourism on a Protected Area. Best Practice Protected Area Vol.8. Erfurt-Cooper, P., & Cooper, M. (2010). Conclusions and Recommendations. Dalam P. Erfurt-Cooper, & M. Cooper, Volcano and Geothermal Tourism: Sustainable Georesources for Leisure and Recreation (hal. 333-340). Food Agriculture Organization & International Labour Organization. (2009). Disaster Livelihood Assesment Toolkit Analysing and Responding The Impact of Disaster on The Livelihoods of People. First Edition Harjito, D. A. (2011). Recovery Pengembangan Wisata Bencana Pascaerupsi. Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi: Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pascabencana , 172-181. Harwati. (2011). Analisis Dampak Bencana Merapi terhadap Aktivitas Industri di Kawasan Cangkringan. Seminar Nasional: Pengembangan Kawasan Merapi: Aspek Kebencanaan dan Pengembangan Masyarakat Pascabencana . Inskeep, E. (1991). Tourism Planning, An Integrated And Sustainable Approach. New York: Van. International Recovery Platform(IRP). (2009). Supporting Livelihood in Disaster Recovery. Knowledge for Recovery Series Info Kit Livelihoods 2 Kelman, I., & Mather, T. A. (2008). Living with Volcanoes: The Sustainable Livelihoods Approach for Volcano Related Opportunities. Journal of Volcanology and Geothermal Research 172 , 189–198. Khan, H., & Vasilescu, L. G. (2008). Disaster Management CycleA Theoretical Approach. Disaster Management. Miththapala, S. (2008). Integrating Environmental Safeguards into Disaster
Management: a Field Manual. Volume 2: Disaster Management Cycle. Mill, R.C. and A.M. Morrison. (1985), The Tourism System: An Introductory Text, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall. Miller, C.D., 1985, Holocene eruptions at the Inyo volcanic chain, California-implications for possible eruptions in the Long Valley caldera: Geology, v. 13, p.14-17. Petford, N., & al, e. (2010). On the Economics and Social Typology of Volcano Tourism with Special Reference to Montserrat, West Indies. Dalam P. Ertfud-Cooper, & M. Cooper, Volcano and geothermal tourism : Sustainable Geo-resources for Leisure and Recreation (hal. 85-93). Sagala, S., Okada, N., & Paton, D. (2009). Predictors of Intention to Prepare for Volcanic Risks in Mt. Merapi. Indonesia. Journal of Pacific Rim Psychology , 47-57. Sukandarrumidi. (2010). Bencana Alam dan Bencana Anthropogene. Jakarta: Penerbit Kanisisus Tim Pengelola Volcano Tour Desa Umbulharjo (2011). Laporan Hasil Evaluasi Kegiatan Volcano Tour Merapi 2011 Desa Umbulharjo. Tim Pengelola Volcano Tour Desa Kepuharjo (2011). Laporan Hasil Evaluasi Kegiatan Volcano Tour Merapi 2011 Desa Kepuharjo. Tobin, G. A., & Whiteford, L. M. (2001). Economic Ramifications of Disaster: Experience of Displaced Person. Papers of the Applied Geography Conferences, Volume 25 , 316-324. Tobin, G. (1999). Sustainability and Community Resilience The Holy Grail of Hazards Planning. Environmental Hazards, 13-25.
34