ANALISIS WACANA ISU KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN INDONESIA DI MEDIA MASSA
HARIST ADI NURSANTO
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Wacana Kebakaran Hutan dan Lahan Indonesia di Media Massa adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Mei 2016 Harist Adi Nursanto NIM E14110109
v
ABSTRAK HARIST ADI NURSANTO. Analisis Wacana Isu Kebakaran Hutan dan Lahan Indonesia di Media Massa. Dibimbing oleh DUDUNG DARUSMAN dan METI EKAYANI Masalah kebakaran hutan dan lahan harus diselesaikan dengan melibatkan partisipasi bersama banyak pihak. Oleh sebab itu maka diperlukan komunikasi antar pihak yang baik, agar terbangun diskursus yang tepat atau sesuai. Di dalam negara demokrasi, media massa mempunyai peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi cara pandang dan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan. Penelitian ini menganilisis peran media masa dalam menyampaikan informasi tentang pencegahan dan penanggulangan kebakaran. Kajian terhadap diskursus dilakukan melaluis konfirmasi dengan peraturan terkait kebakaran hutan dan lahan. Analisis konten terhadap artikel dua media massa dan dua peraturan tentang pengendalian kebakaran hutan dan lahan selama 10 tahun. Hasilnya menunjukan bahwa media dan peraturan sudah sejalan dalam penanggulangan, namun belum sejalan dalam hal pencegahan, penyebab dan dampak kebakaran hutan dan lahan. Diskursus dari media maupun peraturan menunjukan bahwa aspek ekologi dan sosial keduanya belum memperhatikan aspek ekonomi. Kata Kunci : Kebakaran Hutan dan lahan, Media Massa, Wacana Peraturan ABSTRACT HARIST ADI NURSANTO. Mass Media Discourse Analysis of Indonesia Land and Forest Fire Issues. Supervised by DUDUNG DARUSMAN and METI EKAYANI. Land and forest fire problem shall be resolved throught participant of related stakeholder. It is therefore good communication among stakeholder is needed. In the democratic caountry, the mass media has important roles to influence publik perspective and participant in the development process. This research analyses the roles of mass media in delivering information about prevention and mitigation of land and forest fire. Study was carried out the discourse by confirming the government regulation on land and forest fires, involving articles taken from two major nasional mass medias published in 10 years periode and two government regulation. The result demonstrate that on the mitigation both media and regulation has had similiar platform but not with the issue prevention, causes and impact of fires. Though the media and regulation have had concern on the ecological and social aspects, but less concern with economic. Keywords: Land and Forest Fire, Mass Media, Regulation Discourse
vii
ANALISIS WACANA ISU KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN INDONESIA DI MEDIA MASSA
HARIST ADI NURSANTO
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Departemen Manajemen Hutan
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
vii
PRAKATA Segala puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT yang senantiasa memberikan berkah dan rahmat-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Analisis Wacana Isu Kebakaran Hutan dan Lahan Indonesia di Media Massa dengan sebaik-baiknya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof.Dr. Ir. Dudung Darusman, MA selaku dosen pembimbing utama dan terimakasih kepada Dr. Meti Ekayani, S.hut, M.Sc selaku dosen pembimbing kedua yang telah memberikan bimbingan dan arahan dengan baik dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua, teman-teman Fakultas Kehutanan IPB, dan seluruh pihak atas doa dan dukungan yang telah diberikan. Penulis sangat mengharapkan kritik, saran, dan perbaikan untuk penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini memberikan pengetahuan dan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Bogor, Mei 2016 Harist Adi Nursanto
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
ii
DAFTAR GAMBAR
ii
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA
1 4 4 5 5
Kebakaran Hutan Faktor Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan Dampak kebakaran hutan dan lahan Upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan Teori Komunikasi Teori Penetrasi Sosial Hubungan Terbentuk Melalui Dialog Media Discourse METODE
5 5 6 6 7 7 7 8 8 9
Waktu Penelitian Bahan Penelitian Jenis Data Teknik Pengumpulan Data Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN
9 9 9 9 10 13
Wacana Media Tentang Kebakaran hutan dan lahan Frekuensi Artikel Tentang Kebakaran Hutan dan Lahan di Media Frekuensi Kebakaran Hutan dan Lahan Berdasarkan Wacana Media dan Hotspot Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan dalam Wacana Media Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan dalam Wacana Media Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan Kompilasi wacana media Wacana Media dan Peraturan Pemerintah dalam Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan SIMPULAN DAN SARAN
13 13
DAFTAR PUSTAKA
37
RIWAYAT HIDUP
40
14 20 24 26 29 31 32 36
DAFTAR TABEL 1 Kebijakan target penurunan dan kondisi aktual kejadian hotspot di Indonesia 2 2 Matriks analisis data 12 3 Frekuensi artikel dan statement aktor dua media masa nasional tahun 14 2005-2014 di media. 4 Penyebab kebakaran hutan dan lahan setiap bulan menurut wacana media tahun 2005-2014 23 5 Kompilasi wacana media tentang penyebab, dampak, pencegahan dan penanggulangan di media 31 6 Peraturan pemerintah dalam pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan 33 7 Kompilasi Wacana Media dan Peraturan Pemerintah 35
DAFTAR GAMBAR 1 Data statistik luas kebakaran hutan di Indonesia ............................................. 1 2 Konsep segitiga terjadinya Api ........................................................................ 5 3 Kerangka pemikiran penelitian ...................................................................... 11 4 Frekuensi artikel kebakaran hutan dan lahan setiap bulan tahun 20052014 di Indonesia menurut wacana di media ............................................... 14 5 Frekuensi hotspot dan artikel kebakaran hutan dan lahan di Indonesia menurut wacana di media. ............................................................................ 15 6 Frekuensi hotspot dan artikel kebakaran hutan dan lahan di 17 Provinsi menurut wacana di media. ............................................................................ 17 7 Frekuensi aktor yang dirujuk dalam artikel kebakaran hutan dan lahan di media. ....................................................................................................... 19 8 Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia menurut wacana di media ........................................................................................................ 20 9 Jenis penyebab kebakaran hutan dan lahan di indonesia menurut wacana di media ........................................................................................... 21 10 Dampak kebakaran hutan dan lahan di indonesia menurut wacana di media ........................................................................................................... 24 11 Jenis dampak kebakaran hutan dan lahan di indonesia menurut wacana di media.......................................................................................... 25 12 Pencegahan kebakaran hutan dan lahan di indonesia menurut wacana di media....................................................................................................... 27 13 Bentuk pencegahan kebakaran hutan dan lahan indonesia menurut wacana di media.......................................................................................... 28 14 Penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di indonesia menurut wacana media .............................................................................................. 29 15 Bentuk penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia menurut wacana media ............................................................................... 30
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan tropika basah Indonesia dikenal sebagai hutan yang selalu basah dan tahan terhadap kebakaran. Tetapi pada tahun 1982/1983, sekitar 3,6 juta ha hutan tropika basah di Kalimantan Timur terbakar menurut Hess (1994). Sejak saat itu kebakaran terus berlanjut sampai terjadi kebakaran hutan dan lahan yang lebih luas di Indonesia pada tahun 1997/1998 yaitu seluas 9.7 juta ha (4.8 juta merupakan kawasan hutan) (World Bank 2001). Berdasarkan data WRI (2014), tren api pada kebakaran hutan di Indonesia terjadi selama 38 sampai dengan 58 hari dalam setiap tahunnya. Menurut LAPAN (2015) kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia pada tahun 2015 tepatnya pada bulan Juni hingga Oktober sudah menghabiskan 2 juta Ha hutan, jika hal itu terus terjadi maka luas hutan Indonesia sebesar 124 juta Ha (BPS 2015), akan berkurang atau bahkan menghilang 1,6% setiap tahunnya. Data statistik kebakaran hutan dan lahan yang dirilis oleh Kementrian Kehutanan menyatakan bahwa kebakaran memang benar terjadi setiap tahunnya. Data yang di ambil pada tahun 1999 sampai dengan 2014 mengatakan kebakaran hutan terjadi di Indonesia setiap tahunnya dengan luas kerusakan yang fluktuatif (Gambar 1).
Sumber : Dephut 2003-2015 Gambar 1 Data statistik luas kebakaran hutan di Indonesia Kebakaran hutan dan lahan jelas memberikan kerugian yang sangat nyata kepada negara, masyarakat dan lingkungan. kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan, baik berupa kerugian ekonomi, ekologi dan sosial. Saharjo dan Syaufina (2014) sependapat dengan Bappenas (1999) dan Taconi (2003) menyatakan kerugian tahun 1982/1983 akibat bencana kebakaran hutan dan lahan hampir mencapai US$ 10 miliar atau sekitar Rp 130 triliun yang dihitung dari deforestasi, kehilangan keanekaragaman hayati dan pelepasan emisi karbon. Angka tersebut belum mencakup kerugian sosial dan dampak ikutan lainnya. Pada tahun 2014 BNPB mengatakan bahwa kerugian yang diderita Indonesia akibat kebakaran hutan dan lahan mencapai Rp 620 miliyar atau sekitar US$ 48 juta untuk memadamkan api dan sekitar 43 juta jiwa penduduk terpapar asap akibat kebakaran hutan dan lahan.
2
Perhatian negara terhadap masalah kebakaran hutan dan lahan sangat besar. Pemerintah Indonesia, Singapura, dan negara-negara anggota ASEAN sedang melakukan usaha-usaha untuk menurunkan risiko kebakaran. Deteksi api dan usaha pemadaman telah ditingkatkan, serta penegakan hukum Indonesia telah melakukan beberapa penangkapan yang signifikan. Singapura bahkan mengajukan undang-undang baru yang memungkinkan pemerintah untuk menjatuhkan sanksi kepada perusahaan domestik maupun asing yang menyebabkan kabut asap lintasnegara yang merugikan pemerintah negara tersebut (World Resources Institute 2014). Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.8/Menhut-II/2010, pemerintah menargetkan hotspot di Indonesia berkurang sebesar 20% setiap tahun dari rerata tahun 2005-2009 (Tabel 1). Tabel 1 Kebijakan target penurunan dan kondisi aktual kejadian hotspot di Indonesia Indikator Rata Rata Hotspot Sebagai Acuan (a) Target Penurunan [b=20% (a)] Batas Toleransi (c=a-b) Aktual hotspot (d) Aktual penurunan (e=a-d)
2005-2009 58.89 n 0 % 100
2010
Tahun 2011 2012
2013
2014
-
-
-
-
-
-
-
-
n
11.778
21.200
20
36
47.112
37.690
80
64
9.382
25.922
15,9
44
49.508
32.968
28.73 8 48,8 30.15 2 51,2 32.32 3 54,9 26.56 7 -45,1
39.57 4 67,2 19.31 6 32,8 30.43 9 51,7 28.45 1 -48,3
% n % n % n
-
84,1 Tercapa i Keterangan Sumber : Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan 2015 %
-
56 Tercapa i
Tidak
34.863 59,2 24.027 40,8 18.778 31,9 40.112 68,1 Tercapa i
Tidak
Berdasarkan Tabel 1 target penurunan hotspot dengan aktual kejadian hotspot tidak konsisten, target penurunan tahunan sebanyak 20% tidak sesuai dengan kejadian sesungguhnya yang dapat jauh melampaui batas hingga di atas 80%, akan tetapi pada kesempatan lain dapat berada jauh dibawah target hingga minus 48%. Data ini menunjukkan bahwa Pemerintah tidak sepenuhnya dapat mengontrol kejadian hotspot, kinerja yang dihasilkan masih banyak mengandung kemungkinan adanya faktor kebetulan, seperti kondisi cuaca yang menentukan kejadian hotspot. Berdasarkan uraian diatas menunjukkan bahwa masalah kebakaran hutan dan lahan sangat kompleks dan melibatkan banyak pihak. Sumber-sumber kebakaran bukan hanya dari dalam hutan tetapi sebagian terbesar berada di luar hutan. Sedangkan dampak yang ditimbulkannya juga sangat luas bahkan secara langsung dapat mempengaruhi perekonomian nasional. WWF (2015) menjelaskan bahwa kebakaran hutan dan lahan mengakibatkan asap yang berdampak buruk
3
terhadap perputaran ekonomi nasional dan hubungan bilateral dengan negara tetangga. Kebakaran hutan sepantasnya dipertimbangkan sebagai masalah yang serius baik dari segi penyebab maupun akibat yang ditimbulkannya. Oleh karenanya penanganan kebakaran hutan dan lahan tidak mungkin diselesaikan satu pihak tertentu saja. Masalah kebakaran hutan dan lahan harus diselesaikan dengan melibatkan banyak pihak. Presiden Republik Indonesia Joko widodo, mengatakan bahwa dibutuhkan peran dari semua pihak di setiap daerah untuk segera bertindak dalam mengatasi permasalahan kebakaran hutan dan lahan (Kalbarprov 2015). Masalah kebakaran hutan dan lahan tidak hanya berkaitan dengan hutan saja. Tetapi mengenai perkebunan, kesehatan dan menjaga hubungan kerja sama yang baik dengan negara tetangga bahkan dengan negara di dunia. Membangkitkan rasa tanggung jawab semua pihak untuk mengatasi kebakaran hutan sebagai gerakan bersama merupakan tantangan yang tidak mudah. Di dalam negara demokrasi, media massa mempunyai peranan yang sangat penting dalam mempengaruhi cara pandang dan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan suatu bangsa. Rastika (2013) dan Wibowo (2009) menyatakan bahwa peranan media massa dalam pembangunan nasional adalah sebagai agen pembaharu (agent of social change) atau membantu memperkenalkan perubahan sosial. Dalam hal ini media massa dapat dimanfaatkan untuk merangsang proses pengambilan keputusan, memperkenalkan usaha modernisasi dan membantu mempercepat proses peralihan masyarakat yang tradisional menjadi masyarakat yang modern serta menyampaikan pada masyarakat program-program pembangunan nasional. Dengan adanya kesejalanan antara media massa dengan peraturan pemerintah maka media massa dapat digunakan oleh pemerintah sebagai alat untuk sosialisasi dan edukasi masyarakat serta pihak-pihak terkait tentang pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Salah satu peran kunci dari komunikasi itu adalah isi dan frekeunsi media masa, khususnya pemberitaan atau media publikasi. Departemen Kehutanan (Dephut) mengatakan media massa (pers, TV dan radio) merupakan suatu media yang potensial untuk menjangkau massa. Makalah-makalah tentang pencegahan kebakaran, editorial dan lain-lain perlu dipublikasikan melalui media massa setempat selama musim kering. Tulisantulisan tersebut harus secara jelas menguraikan manfaat pencegahan kebakaran hutan, khususnya dari segi ekonomi pedesaan. Kejadian-kejadian kebakaran besar dan dampaknya terhadap masyarakat serta kasus-kasus penegakan hukum yang menyeret tersangka penyebab kebakaran, juga harus diberitakan secara memadai dan sejujurnya melalui media massa, sehingga dapat mendidik dan memberikan informasi yang benar bagi masyarakat. Untuk mengetahui sampai sejauh mana potensi peran media massa nasional telah dimanfaatkan untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan maka penelitian ini akan menganalisa isi wacana tentang pemberitaan/artikel kebakaran hutan dan lahan yang terdapat pada surat kabar nasional. Analisa akan mencakup pemahaman dan perhatian para pihak dalam menghadapi permasalahan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Aspek yang akan dianalisa berdasarkan pemberitaan kebakaran hutan dan lahan adalah isi wacana pada pemberitaan tentang penyebab,
4
dampak, penanggulangan, pencegahan, dan narasumber yang banyak berbicara di setiap pemberitaan kebakaran hutan dan lahan. Lebih lanjut penelitian ini akan membandingkan peraturan pemerintah tentang pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan dengan isi wacana pada media massa. Menurut Gurevitch dan Blumer (1995) melalui media massa dapat menjadi alat kontrol kondisi sosial politik. Dalam hal ini dapat dianalisa apakah media sejalan dengan peraturan pemerintah dalam hal menyampaikan informasi tentang pencegahan dan penanggulangan sebagai sarana edukasi untuk membangun tanggung jawab bersama untuk menanggulangi masalah kebakaran hutan dan lahan tidak hanya satu pihak saja. Rumusan Masalah Penanggulangan dan pencegahan kebakaran hutan dan lahan seharusnya dilakukan oleh multisektor/multipihak, karena tidak mungkin hanya dilakukan oleh pemerintah tapi harus dilakukan oleh seluruh pihak yang terkait seperti masyarakat, LSM, perusahaan dan pihak-pihak lainnya. Selain itu kebijakan penanggulangan dan pencegahan kebakaran hutan dan lahan belum berupa gerakan bersama, karena dalam mengatasi permasalahan kebakaran hutan dan lahan tidak cukup hanya berupa program atau proyek yang bersifat sementara saja. Tetapi harus menjadi gerakan bersama yang dilakukan secara terus menerus dan bersifat berkelanjutan, untuk mendukung hal tersebut maka diperlukan komunikasi antar pihak yang baik dan terarah, agar terbangun diskursus yang tepat atau sesuai. Bagaimana kesesuaian dan sinergitas para pihak khususnya dalam pemahaman publik, penelitian ini bermaksud menganilisis isi wacana artikel kebakaran hutan dan lahan pada surat kabar nasional, hal ini dilakukan untuk menganalisa kesamaan pemahaman dan perhatian para pihak dalam menghadapi kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Berdasarkan latar belakang diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana frekuensi artikel kebakaran hutan dan lahan periode 2005-2014 ? 2. Apa penyebab, dampak, penanggulangan dan pencegahan kebakaran hutan dan lahan yang diwacanakan oleh media massa ? 3. Apakah isi wacana media sejalan dengan peraturan pemerintah di bidang kebakaran hutan dan lahan ? Tujuan Penelitian Berkaitan dengan permasalahan yang telah disebutkan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini yaitu : 1. Menganalisis frekuensi artikel tentang kejadian kebakaran hutan dan lahan periode 2005-2014. 2. Mengidentifikasi penyebab, dampak, penanggulangan dan pencegahan kebakaran hutan dan lahan yang diwacanakan oleh media massa. 3. Menganalisis kesejalanan isi wacana media dengan peraturan pemerintah di bidang kebakaran hutan dan lahan.
5
Manfaat Penelitian Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan yang sudah diuraikan sebelumnya, penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai bahan masukan para pihak yang berkepentingan dalam membina pemberitaan tentang kebakaran hutan dan lahan yang terdapat di media masa sebagai sarana edukasi untuk membangun kebersamaan dan kerjasama berbagai pihak dan sektor dalam mengatasi masalah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.
TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran Hutan Menurut Hartono (1988), kebakaran atau api hanya bisa apabila terdapat tiga unsur yaitu bahan bakar, oksigen atau udara dan panas yang tinggi sebagai sumber api yang disebut segitiga api (Gambar 2). OKSIGEN
KEBAKARAN BAHAN BAKAR
API
Sumber : Hartono (1988)
Gambar 2 Konsep segitiga terjadinya Api Berdasarkan Gambar 2 Sormin dan Hartono (1986) menyatakan bahwa prinsip dari konsep segitiga api ini digunakan sebagai dasar strategi penanggulangan kebakaran hutan. Bentuk tahapan atau fase pembakaran hutan adalah sebagai berikut : a. Fase pra pemanasan b. Fase penguraian c. Fase pembakaran Faktor Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan Faktor alami penyebab kebakaran hutan dan lahan Iklim sangat memiliki faktor yang kuat dalam memperngaruhi kebakaran hutan dan lahan. Salah satu faktor iklim yang dapat menyebabkan kebakaran hutan dan lahan adalah fenomena El Nino. Fenomena ini sangat bertanggung jawab dalam terjadinya kebakaran, karena fenomena ini menyebabkan kekeringan dan kelembaban yang rendah di Indonesia. Hal ini dapat dengan mudah memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan dengan ketersedian bahan-bahan yang mudah terbakar, seperti yang di ungkapkan oleh Syaufina (2008).
6
Selain faktor iklim menurut Goldammer dan Seibert (1998) terdapat pula kebakaran yang di sebabkan oleh batu bara, kebakaran ini berlangsung lama, karena batu bara tersebar dan berada dekat permukaan. Faktor manusia sebagai penyebab kebakaran hutan dan lahan Manusia berkontribusi sebagai penyebab utama terjadinya kebakaran hutan (Syaufina 2008). Meningkatnya angka populasi manusia, adalah bagian dari penyebab kebakaran hutan dan lahan oleh campur tangan manusia. Lebih lanjut Syaufina (2008) menjelaskan penyebab langsung dari kebakaran hutan dan lahan diantaranya adalah aktivitas pembakaraan sebagai cara untuk mempermudah pembersihan lahan yang akan digunakan sebagai tempat penanaman, konflik lahan, api yang tidak diinginkan dan ladang berpindah. Penyebab lansung dan tidak langsung kebakaran hutan dan lahan Sampai saat ini hasil kajian tentang penyebab kebakaran (Saharjo dan Syaufina 2014) menunjukkan bahwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh penyebab langsung yaitu: 1. Api digunakan dalam pembukaan lahan 2. Api digunakan sebagai senjata dalam permasalahan konflik lahan 3. Api menyebar secara tidak sengaja 4. Api yang berkaitan dengan ekstraksi sumberdaya alam Sedangkan penyebab tidak langsung hasil kajian tentang penyebab kebakaran (Saharjo dan Syaufina 2014) terdiri dari: 1. Penguasaan lahan 2. Alokasi penggunaan lahan 3. Insentif/Dis-insentif ekonomi 4. Degradasi hutan dan lahan 5. Dampak dari perubahan karakteristik kependudukan 6. Lemahnya kapasitas kelembagaan Dampak kebakaran hutan dan lahan Kebakaran hutan dan lahan menimbulkan banyak dampak merugikan baik dari segi ekologi hingga ekonomi. Berikut ini dampak yang sangat merugikan dari kebakaran hutan dan lahan (WWF 2015): 1. Hilang dan rusaknya habitat satwa liar 2. Meningkatkan emisi gas rumah kaca penyebab perubahan iklim. 3. Mengganggu kesehatan manusia 4. Merugikan negara secara ekonomi Upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan Pencegahan kebakaran (Sahardjo dan Syaufina 2014) adalah kegiatan pengendalian kebakaran yang dilakukan sebelum terjadi kebakaran dengan tujuan untuk meminimalkan kejadian kebakaran hutan dan lahan. Penanggulangan adalah kegiatan yang dilakukan saat terjadi dan setelah kebakaran terjadi dalam hal ini upaya yang dilakukan adalah pemadaman kebakaran hutan dan lahan dan penangganan pasca kebakaran.
7
Kebijakan Publik Kebijakan publik adalah keputusan yang dibuat oleh negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan negara yang bersangkutan. Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju pada masyarakat yang dicita-citakan. Dengan demikian kebijakan publik adalah sebuah fakta strategis daripada fakta politis ataupun teknis. Sebagai sebuah strategi, dalam kebijakan publik terangkum preferensi politis dari para aktor yang terlibat dalam proses kebijakan khususnya pada proses perumusan (Nugroho 2008). Kebijakan publik selalu mengandung multi tujuan yaitu untuk menjadikan kebijakan itu sebagai kebijakan yang adil dan seimbang dalam mendorong kemajuan kehidupan bersama. Teori Komunikasi Komunikasi merupakan salah satu aspek terpenting namun juga kompleks dalam kehidupan manusia. Manusia sangat dipengaruhi oleh komunikasi yang dilakukannya dengan manusia lain, baik yang sudah dikenal maupun yang tidak dikenal sama sekali. Komunikasi memiliki peran yang sangat vital bagi kehidupan manusia, karena itu kita harus memberikan perhatian yang saksama terhadap komunikasi, khusunya teori komunikasi (Morissan 2013). Barnet Pearce (1989) menyebutkan munculnya peran komunikasi sebagai penemuan revolusioner yang sebagian besar disebabkan penemuan teknologi komunikasi seperti radio, televisi, satelit dan jaringan komputer. Selain karena faktor kemajuan teknologi telekomunikasi, perhatian serius terhadap ilmu komunikasi juga ditunjang munculnya pemikiran pragmatisme dan progresivisme di kalangan para ahli ilmu sosial yang mendorong keinginan untuk memperbaiki masyarakat melalui perubahan sosial yang luas. Teori Penetrasi Sosial Teori penetrasi sosial berupaya mengidentifikasi proses peningkatan keterbukaan dan keintiman seseorang dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Altman dan Taylor (1973) mengajukan empat tahap perkembangan hubungan antar individu yaitu : 1. Tahap orientasi. 2. Tahap pertukaran efek eksploratif. 3. Tahap pertukaran efek. 4. Tahap pertukaran stabil. Hubungan Terbentuk Melalui Dialog Sudut pandang Baxter yang pertama menyatakan bahwa hubungan terbentuk melalui dialog. Sudut pandang yang kedua menyatakan bahwa dialog memberikan peluang untuk mencapai kesatuan dalam perbedaan. Sudut pandang yang ketiga menyatakan bahwa dialog bersifat estetis yang mencakup rasa keseimbangan, kesatuan, bentuk dan keseluruhan. Pandangan yang keempat menyatakan bahwa dialog adalah wacana (Morissan 2013).
8
Media Media adalah segala bentuk dan saluran yang digunakan untuk menyampaikan informasi atau pesan. Media adalah alat atau sarana yang dipergunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak (Susilana et al. 2009). Media memainkan peran penting dalam komunikasi politik dan juga menyediakan ruang publik yang beragam untuk menyampaikan kebijakan (Krott 2005). Selain itu Curan (2002) berpendapat bahwa media membantu dalam pengumpulan kepentingan pada proses politik, menyediakan saluran komunikasi, memfasilitasi perbaikan dari kebijakan dan tujuan bersama. Media juga memiliki peran yang sangat krusial pada kegiatan mediasi pada proses pertimbangan publik (Hardt 2004). Menurut Susilana et al (2009) jenis-jenis media secara umum dapat dibagi menjadi: 1. Media Visual 2. Media Audio 3. Media Audio Visual Media dan Perusahaan Perusahaan merupakan setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap, terus menerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia yang bertujuan memperoleh keuntungan (laba) (Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan). Media massa adalah sebuah perusahaan yang bergerak didalam bidang komunikasi dan informasi. Selayakanya dengan perusahaan lain, perusahaan media massa bertujuan untuk memperoleh keuntungan. Keuntungan diperoleh jika media tersebut dipercaya memberikan nilai informasi atau nilai berita yang dapat diterima oleh masyarakat luas dengan begitu perusahaan lain akan memasarkan produknya (iklan) melalui media massa dengan bayaran tertentu sebagai keuntungan untuk perusahaan media massa. Discourse Discourse adalah salah satu istilah kontemporer paling populer bersamasama dengan demokrasi, hak asasi manusia, masyarakat sipil, dan lingkungan. Namun, lebih sering sebuah kata tertentu yang digunakan, biasanya cenderung memiliki makna yang besar dan tidak jelas (Eriyanto 2005). Ada banyak definisi dari discourse. Secara harfiah, discourse berarti komunikasi tertulis atau lisan atau debat, diskusi formal topik dalam pidato atau tulisan.
9
METODE Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada Juli-Desember 2015 dengan menganalisis artikel/berita tentang kejadian kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2005 sampai dengan 2014. Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah klipping surat kabar, sedangkan objek penelitian yakni pemberitaan mengenai kebakaran hutan dan lahan periode 2005-2014. Jenis Data Data dalam penelitian ini berupa data primer yang diolah dari berita atau artikel yang terkait dengan kebakaran hutan dan lahan yang dimuat di surat kabar cetak nasional selama periode 2005-2014. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data pada penelitian ini sebagai berikut: 1. Pemilihan Media Massa Data yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari kompilasi clipping service forestry yang tersedia di Center for International Forestry Research (CIFOR). Media massa yang dipilih untuk menjadi alat dalam penelitian ini adalah Media Indonesia dan Kompas. Hal mendasar yang menentukan pemilihan media massa ini dikarenakan Kompas dan Media Indonesia adalah media yang sangat populer di Indonesia. Cronin dan Santoso (2011) menyatakan oplah harian Kompas kurang lebih 500.000 (hingga 600.000 pada hari minggu), dan diperkirakan bahwa setiap eksemplar dibaca oleh 5 orang. Sementara oplah harian Media Indonesia kurang lebih 300.000 yang setiap eksemplar diperkirakan dibaca oleh 3 hingga 4 orang. Kedua media massa ini adalah media massa dengan sasaran pembacanya dianggap sebagai kelas menengah ke atas. Kompas terbit pada tahun 1965 dan Media Indonesia terbit pada tahun 1970 kedua koran harian ini menawarkan berbagai informasi dan memiliki perhatian besar terhadap masalah kebakaran hutan dan lahan periode 2005-2014. 2. Pemilahan Berita/Artikel Berita/artikel yang diambil sebagai alat dalam penelitian ini adalah berita/artikel tentang kebakaran hutan dan lahan. Hal pertama yang dilakukan untuk pemilahan data ini adalah dengan menggunakan kata kunci, yaitu api, kebakaran hutan dan lahan, serta asap. Hal ini dilakukan untuk memisahan berita yang berbicara tentang kebakaran hutan dan lahan dengan berita yang bukan kebakaran hutan dan lahan agar tidak tercampur dan mengganggu data penelitian yang akan diperoleh.
10
3. Framing Measure Framing measure adalah aktivitas untuk memilih aspek penting dalam isu kebakaran hutan dan lahan pada penelitian ini. Framing measure tersebut di adopsi dari Semetko dan Valkenburg (2000). Pada penelitian ini, aspek yang akan di framing measure yaitu aktor yang dirujuk oleh media pada artikel, frekuensi artikel kebakaran hutan dan lahan, penyebab kebakaran hutan dan lahan, dampak, dan kebijakan penanggulangan dan pencegahan kebakaran hutan dan lahan. 4. Membuat Kategori Sistem Kategori sistem bertujuan untuk mempermudah dalam menganalisis data yang diperoleh dari surat kabar sehingga mempermudah dalam menginput data pada software SPSS (Van dijk 1985). 5. Membuat Coding Book Menurut Holsti (1969), coding didefinisikan sebagai proses mengeolah data mentah secara sistematis yang diubah dan dikumpulkan ke dalam unit yang memungkinkan deskripsi yang tepat dari konten yang relevan. Bagian sentral dari desain penelitian adalah pengkodean aturan yang berfungsi sebagai koneksi operasional antara data, teori, dan pertanyaan penelitian. Analisis Data Analisis data pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan software SPSS versi 16.0. Data hasil penelitian mengenai frekuensi pemberitaan, penyebab, dampak, penanggulangan dan pencegahan kebakaran hutan dan lahan tahun 2005-2014 serta kesejalanan isi wacana media dengan peraturan pemerintah di bidang kebakaran hutan dan lahan dilakukan analisis kualitatif dan kuantitatif.
11
Kerangka Pemikiran Penelitian ini dilakukan melalui kerangka berikut: Kebakaran hutan dan lahan
Asimetri Informasi
Media massa
Kompas
Peraturan Pemerintah
Media Indonesia
Analisis Konten
Penyebab
Dampak
Pencegahan
PP No 45 Tahun 2004
P. 12/MenhutII/2009
Analisis Konten
Penanggulangan
Pencegahan
Penanggulangan
Fokus peraturan terhadap kebakaran hutan dan lahan
Fokus media terhadap kebakaran hutan dan lahan
Analisis Komparatif Pencegahan & Penanggulangan
Peran media dalam memberikan informasi proporsional terkait kebakaran hutan dan lahan
yang
Gambar 3 Kerangka pemikiran penelitian
12
Matriks Analisis Data Tabel 2 Matriks analisis data Tujuan penelitian
Jenis data yang diperlukan
Sumber data
Metode analisis data
Menganalisis frekuensi artikel tentang kejadian kebakaran hutan dan lahan periode 20052014
1. Artikel kejadian kebakaran hutan dan lahan.
1. Media massa Kompas dan Media Indonesia.
1. Analisis Konten
2. Data hotspot
sebaran
2. Departemen Kehutanan
Mengidentifikasi penyebab, dampak, penanggulangan dan pencegahan kebakaran hutan dan lahan yang diwacanakan oleh media massa.
1.
Penyebab kebakaran hutan dan lahan. 2. Dampak kebakaran hutan dan lahan. 3. Penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, 4. Pencegahan kebakaran hutan dan lahan. 1. Kompilasi wacana media. 2. Peraturan pemerintah dalam pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan
1. Artikel kejadian kebakaran hutan dan lahan.
1. Analisis Konten
1. Artikel kejadian kebakaran hutan dan lahan. 2. P. 12/MenhutII/2009. 3. PP No 45 Tahun 2004
1. Analisis Konten
Menganalisis kesejalanan isi wacana media dengan kebijakan atau program pemerintah di bidang kebakaran hutan dan lahan.
2. Analisis Komparatif
Analisis Konten Mengacu pada Nurrochmat et al (2016), analisis konten adalah salah satu tahapan awal yang perlu dilakukan dalam analisis diskursus/wacana. Dalam hal ini perlu dipahami bahwa analisis diskursus/wacana tidak dapat dipisahkan dari analisis konten, sedangkan analisis konten dapat di lakukan secara terpisah tanpa analisis diskursus/wacana. Analisis diskursus/wacana kebijakan kehutanan juga dilakukan dengan mengevaluasi komunikasi lisan atau tertulis didasarkan pada keyakinan, nilai, dan kerangka katergori yang ditetapkan. Inti dari analisis diskursus/wacana kebijakan didasarkan pada analisis konten teks (Nurrochmat et al 2016). Analisis diskursus/wacana kebijakan kehutanan juga dapat dilakukan dengan menggali teks maupun persepsi lisan dari para pemangku kepentingan terhadap isu-isu kehutanan, berita media, agenda setting, citra positif atau negatif para aktor, solusi kebijakan, serta kerangka kebijakan ekonomi, sosial maupun ekologi. Analisis diskursus/wacana juga dilakukan dengan membandingkan konten berita media dan persepsi pemangku kepentingan terhadap masalah-
13
masalah kehutanan, sumber daya alam, atau lingkungan (Ekayani et al 2015a dan Ekayani et al 2015b). Mengacu pada analisis diskursus/wacana kebakaran hutan yang dikembangkan Ekyani (2011). Pada penelitian ini artikel (teks) dievaluasi berdasarkan kategori “informasi formal” dan “lokasi” kejadian. “lokasi kejadian” dikategorikan berdasarkan Provinsi yang ada di Indonesia. Sistem kategori juga mengidentifikasi “penyebab”, “dampak”, “pencegahan”, dan “penanggulangan” serta “aktor” yang dirujuk oleh media. “aktor” yang dirujuk oleh media dikelompokan menjadi “kehutanan”, “non-kehutanan” dan “Lain lain” dibagi menjadi subkelompok “akademisi”, “pemerintah pusat”, “pemerintah daerah”, “perusahaan” dan “Lembaga swadaya masyarakat (LSM)”. Analisis Komparatif Analisis komparatif adalah sebuah metode penelitian yang digunakan untuk membandingkan beberapa objek yang berbeda berdasarkan kerangka pemikiran tertentu. Menurut Nazir (2005) penelitian komparatif adalah sejenis penelitian deskriptif yang ingin mencari jawaban secara mendasar tentang sebabakibat, dengan menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya ataupun munculnya suatu fenomena tertentu. Mengacu pada analisis komparatif media yang dikembangkan Ekayani (2011). Pada penelitian ini perbandingan antara isi peraturan pemerintah dengan isi wacana tentang kebakaran hutan dan lahan pada media nasional dievaluasi berdasarkan katergori “pencegahan” dan “ penanggulangan” kebakaran hutan dan lahan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Wacana Media Tentang Kebakaran hutan dan lahan Frekuensi Artikel Tentang Kebakaran Hutan dan Lahan di Media Media massa adalah sebuah alat untuk berkomunikasi dan memberikan informasi terbaru yang disebut berita/artikel. Didalam masyarakat demokratis, media massa yang merupakan salah satu pilar demokrasi mempunyai peran yang penting dalam mempengaruhi perilaku kehidupan berbangsa. Artikel yang terdapat pada kedua media massa tersebut dipilah artikel dengan konten kebakaran hutan dan lahan yang selanjutnya dilakukan perhitungan untuk menentukan frekuensi artikel dan jumlah statement selama 10 tahun (Tabel 3).
14
Tabel 3 Frekuensi artikel dan statement aktor dua media masa nasional tahun 2005-2014 di media. Media
Frekuensi Artikel
Statement Aktor
Oplah Harian*
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
%
Media Indonesia
215
50,35
396
64,33
300.000
37,5
Kompas
212
49,65
220
35,67
500.000
62,5
Total (N)
427
100
616
100
800.000
100
*Sumber : Cronin dan Santoso (2011)
Berdasarkan Tabel 3 tergambar bahwa Kompas dan Media Indonesia adalah media yang sangat populer di Indonesia. Kedua media massa ini adalah media massa dengan sasaran pembacanya dianggap sebagai kelas menengah ke atas. Kedua koran harian ini menawarkan berbagai informasi dan memiliki perhatian besar terhadap masalah kebakaran hutan dan lahan periode 2005-2014. Selama 10 tahun kebakaran hutan dan lahan dimuat dalam artikel sebanyak 427 artikel. Frekuensi artikel dari kedua media massa tidak jauh berbeda tetapi pada penggunaan statement terdapat perbedaan mencapai 28,66% yang dapat diartikan bahwa Media Indonesia lebih banyak merujuk aktor tentang kebakaran hutan dan lahan untuk pemberitaan/artikel dibandingkan dengan Kompas. Frekuensi Kebakaran Hutan dan Lahan Berdasarkan Wacana Media dan Hotspot Frekuensi artikel kebakaran hutan dan lahan yang terjadi pada tahun 20052014 memiliki intensitas yang berbeda setiap bulannya. Intensitas ini menggambarkan perilaku pemberitaan kejadian kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia (Gambar 4).
Gambar 4 Frekuensi artikel kebakaran hutan dan lahan setiap bulan tahun 20052014 di Indonesia menurut wacana di media Berdasarkan hasil analisis pada Gambar 4, menunjukan frekuensi artikel terkait kebakaran hutan dan lahan yang dipublikasikan oleh media massa. Hal ini dapat dijadikan sebagai indikasi adanya kebakaran hutan dan lahan. Gambar 4
15
menggambarkan frekuensi artikel kebakaran hutan dan lahan memiliki tren yang meningkat pada bulan Juni hingga Oktober, bulan-bulan ini adalah bulan dengan musim kering di Indonesia. Hal ini sejalan dengan pernyataan Winarso (1997) dan World Bank (2015) yang menyatakan bahwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia terjadi pada periode musim kering khususnya pada bulan agustus hingga oktober. Pada musim kering masyarakat memanfaatkan untuk melakukan kegiatan pembersihan lahan agar lahan bisa ditanami dengan tanaman yang baru. Cara pembersihan lahan yang dilakukan oleh masyrakat dengan menggunakan cara tradisional secara turun temurun yaitu dengan cara memanfaatkan suhu panas dan kering serta angin kemudian dilakukan pembakaran. Hal ini sejalan dengan Suwandhi (2011) mengatakan kearifan lokal masyarakat dalam mengelola lahan secara tradisional dengan cara membakar dipilih karena mudah, murah dan menghemat waktu. Data frekuensi kebakaran hutan dan lahan perlu disajikan dengan data frekuensi hotspot dengan tujuan untuk mengetahui intensitas artikel dan hotspot tahunan, Gambar 5 memberikan gambaran yang dimaksud. Hal ini dimaksudkan untuk menelah bagaimana kejadian kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia dalam periode 2005-2014 melalui artikel dari media massa kompas dan media indonesia serta data hotspot yang didapat dari Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Kementrian Kehutanan Indonesia. Artikel kebakaran hutan dan lahan yang terdapat di kedua media massa di kelompokan setiap tahunnya dan dihitung hingga mendapatkan frekuensi setiap tahunya, setelah data tersebut didapat data hotspot di konversi dengan skala 1:1000 dimaksud untuk mempermudah pembuatan grafik. Sehingga data hotspot dan artikel dapat disajikan dalam satu grafik untuk menelaah bagaimana perilaku atau tren kebakaran hutan dan lahan yang terjadi.
Sumber Hotspot : Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan (2015)
Gambar 5 Frekuensi hotspot dan artikel kebakaran hutan dan lahan di Indonesia menurut wacana di media. Berdasarkan pada Gambar 5 kesesuaian wacana antara artikel dengan hotspot kebakaran hutan dan lahan periode 2005-2014, jumlah artikel dengan frekuensi hotspot tahun 2005-2007 tidak selalu memiliki tren atau kondisi yang sama. Sebagai contoh pada tahun 2005-2006 jumlah hotspot meningkat secara signifikan tetapi jumlah artikel kebakaran hutan dan lahan tidak meningkat secara signifikan cenderung tetap. Sedangkan frekuensi hotspot pada tahun 2006-2007 terjadi penurunan yang sangat signifikan tetapi terjadi peningkatan pada jumlah
16
artikel kebakaran hutan. Pada tahun tersebut kebakaran memang telah berkurang tetapi dampak yang ditimbulkan seperti kabut asap belum sepenuhnya berkurang. Sementara pada tahun 2007-2008, frekuensi hotspot dan artikel kembali turun. Pada kondisi ini penurunan frekuensi hotspot di barengi dengan penuruan jumlah artikel kebakaran hutan dan lahan. Hal ini dapat diartikan bahwa hotspot tidak sepenuhnya membuktikan terjadinya kebakaran hutan dan lahan selain itu media mempublikasikan artikel bukan karena banyaknya hotspot atau kebakaran tetapi lebih pada bagaimana kebakaran hutan dan lahan tersebut memberikan dampak yang besar sehingga menarik perhatian yang lebih besar. Berikut contoh statement dalam media yang menggambarkan bahwa media lebih tertarik pada besarnya dampak akibat kebakaran hutan dan lahan dari pada jumlah kebakaran atau hotspot : “...sepanjang 2006 bencana kabut asap di provinsi itu mengakibatkan 43 warga meninggal dunia. Sedangkan jumlah warga yang terserang inspeksi saluran pernapasan atas (ISPA) mencapai 17.901 orang...” (Media Indonesia, 6 Juli 2007) “Hujan yang turun belum bisa menghilangkan kabut asap, kabut tebal memaksa pihak Bandara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru menunda sejumlah penerbangan sampai cuaca membaik...” (Kompas, 18 Agustus 2009) “Jumlah titik api kebakaran hutan dan lahan di Pulau Sumatra, Senin (11/7), anjlok tinggal dua dari 40 titik di hari sebelumnya. Namun kabut asap yang menyelimuti Provinsi Riau justru makin pekat...” (Media Indonesia, 11 Juli 2011) Berdasarkan hasil analisis konten artikel media massa diketahui bahwa lokasi kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia, tahun 2005-2014 terjadi di 17 Provinsi yang disebutkan didalam artikel. Untuk mengetahui sebaran fokus artikel media berdasarkan sebaran lokasi kebakaran hutan dan lahan apakah sejalan dengan lokasi sebenarnya oleh sebab itu perlu dipetakan hasil konten analisis konten dengan data hotspot. Provinsi yang disebutkan didalam setiap artikel dikelompokan dan dihitung frekuensi provinsi yang dibicarakan setiap artikel. Data hotspot yang di dapat dari Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Kementrian Kehutanan Indonesia di sesuaikan dengan jumlah provinsi yang terdapat pada artikel menjadi 17 provinsi dan dikonversi dengan skala 1:1000. Frekuensi artikel kebakaran hutan dan lahan dan hotspot 17 provinsi disajikan dalam satu grafik untuk mempermudah menganalisa perilaku disetiap provinsi (Gambar 6).
17
Sumber hotpot: Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan (2015)
Gambar 6 Frekuensi hotspot dan artikel kebakaran hutan dan lahan di 17 Provinsi menurut wacana di media. Berdasarkan Gambar 6 menjelaskan bahwa, apabila diperhatikan secara lebih rinci nampak bahwa fokus artikel media nasional berbeda dengan data hotspot. Hasil analisis konten frekuensi artikel kebakaran hutan dan lahan pada media selama 10 tahun periode 2005-2014, 17 Provinsi di Indonesia menjadikan kebakaran Provinsi Riau sebagai fokus artikel dengan frekuensi terbanyak. Hal ini berbeda dengan data laporan dari Kementrian Kehutanan yang menunjukkan bahwa data hotspot terbesar berada pada Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Riau. Beberapa alasan dapat dikemukakan untuk menjelaskan alasan terjadinya perbedaan ini. Pertama hotspot adalah titik panas yang terdeteksi oleh satelit merupakan suatu area yang memiliki suhu relatif lebih tinggi dibandingkan dengan sekitarnya, area tersebut direpresentasikan dalam suatu titik yang memiliki koordinat tertentu. Hotspot hanyalah indikator bukan kejadian kebakaran hutan dan lahan (LAPAN 2014). Seringkali pemberitaan/artikel menyebutnya dengan titik api, hal ini menyebabkan salah interpretasi dari berita/artikel tersebut. Hal ini akan menyebabkan masyarakat bahkan dari kalangan pemerintah pusat maupun daerah, menganggap bahwa titik api adalah jumlah kejadian kebakaran lahan/hutan yang terjadi di suatu wilayah. Pengertian ini menjelaskan bahwa hotspot tidak identik dengan kebakaran, melainkan derajat panas yang terjadi di suatu tempat tertentu. Terjadinya kenaikan suhu panas tersebut dapat disebabkan oleh banyak hal yang salah satunya adalah api kebakaran. Oleh sebab itu meskipun hotspot tidak identik dengan peristiwa kebakaran hutan dan lahan tetapi dapat digunakan sebagai early warning system solusi pencegahan dengan menginformasikan hotspot sebelum terjadi kebakaran hutan dan lahan melalui media massa. Alasan yang kedua, munculnya berita di media juga dipengaruhi oleh kemampuan wartawan untuk mendapatkan akses terhadap sumber berita. Pantas diduga bahwa aksesibilitas terhadap sumber berita di Riau lebih besar dari pada di Kalimantan Barat. Hal ini dikarenakan kondisi bentang alam di Kalimantan Barat yang dikelilingi oleh hutan dan sungai sehingga menyulitkan wartawan untuk mencapai lokasi. Alasan ketiga adalah nilai berita (news value) yaitu suatu dari nilai cerita, suatu hal yang dapat membuat suatu rangkaian cerita dari sebuah berita, menjadi sangat penting dan menarik, dan dapat menjadi sebuah
18
daya tarik bagi setiap pembacanya. Tidak setiap berita/artikel bisa dijadikan berita jurnalistik. Ada ukuran-ukuran tertentu yang dipenuhi agar suatu kejadian atau peristiwa dapat diberitakan. Ukuran ini disebut sebagai Kriteria layak berita (news value) yaitu layak tidaknya suatu peristiwa ditulis oleh suatu media (Agnesia 2014). Sejauh ini sebagai contoh pada tahun 2013 asap kebakaran hutan dan lahan di Riau cenderung mengarah ke Singapura dan Semenanjung Malaka, berbeda dengan asap yang berasal dari Kalimantan Barat yang mengarah ke Serawak atau Laut Cina Selatan. Pemerintah Indonesia karena berbagai alasan tertentu memberikan perhatian khusus kepada Malaysia dan Singapura, perhatian khusus ini ditunjukkan dengan permintaan maaf Presiden SBY kepada kedua negara itu, seperti yang diungkapan Kompas Juni 2013. Adanya perhatian yang diberikan oleh para pimpinan tertinggi negara telah cukup memberi alasan bahwa kebakaran di Riau memiliki nilai berita yang lebih tinggi dari pada Kalimantan Barat. Berikut contoh statement dalam media yang menggambarkan perhatian pemerintah Indonesia kepada Malaysia dan Singapura: “Saya selaku Presiden RI meminta maaf dan meminta pengertian Saudarasaudara kami di Singapura dan di Malaysia, Presiden juga meminta seluruh pejabat negara untuk tidak memberikan pernyataan yang tidak semestinya, seperti menyebut adanya perusahaan Malaysia dan Singapura yang melakukan pembakaran di Riau” (Kompas 24 Juni 2013). Berdasarkan alasan-alasan tersebut dapat disimpulkan bahwa gencarnya pemberitaan kebakaran hutan di Riau tidak terlepas dari nilai berita yang lebih tinggi dibandingkan dengan provinsi lainnya. Posisi strategis Provinsi Riau dalam hubungannya dengan negara tetangga dan perhatian dari pemimpin tertinggi negara menjadi faktor yang mempunyai pengaruh besar. Sedangkan data hotspot dapat dimanfaatkan sebagai langkah awal untuk memberikan daya tarik kepada media atas isu kebakaran. Data hotspot tersebut perlu diperkuat dengan keterlibatan tokoh-tokoh pembangun opini publik untuk meningkatkan nilai berita. Hal ini menguatkan bahwa artikel media massa lebih lebih fokus pada kebakaran hutan dan lahan yang memiliki dampak besar bukan banyaknya kejadian kebakaran atau hotspot. Aktor dalam Artikel Media yang Berbicara tentang Kebakaran Hutan dan Lahan Gambar 7 menjelaskan mengenai para aktor yang dirujuk oleh kedua media massa sebagai narasumber dan terdapat pada artikel diantaranya: LSM, Perusahaan, Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, Akademisi dan aktor Lain lain. Setiap narasumber yang dirujuk oleh media dikelompokan dilakukan penghitungan untuk menganalisa aktor mana yang banyak dijadikan acuan dan lebih aktif dalam memberikan pendapat di media massa.
19
Gambar 7 Frekuensi aktor yang dirujuk dalam artikel kebakaran hutan dan lahan di media. Berdasarkan Gambar 7 dapat dilihat bahwa pemerintah daerah merupakan aktor yang paling banyak dirujuk oleh media dalam wacana tentang kebakaran hutan dan lahan kemudian diikuti oleh pemerintah pusat, LSM, Perusahaan, akademisi dan lain lain. Secara umum aktor dengan latabelakang kehutanan lebih sedikit dirujuk oleh media dibandingkan non kehutanan. Aktor terbanyak berasal dari pemerintah daerah nonkehutanan seperti BMKG, Bappenas dan Dinas Kesehatan, sedangkan akademisi yang diharapkan dapat menjadi pemberi solusi dalam setiap permasalah kebakaran hutan dan lahan tidak banyak berbicara dan tidak banyak dijadikan acuan oleh media massa. Keberadaan pemerintah daerah non kehutanan yang lebih aktif dibanding pemerintah daerah kehutanan, dapat pula ditinjau dari segi hirarkhi tanggung jawab penanggulangan kebakaran hutan. Hal ini dikarenakan kebakaran hutan dan lahan tidak hanya berbicara mengenai pengelolaan hutan dengan tanggung jawab administrasi kehutanan. Tetapi berhubungan dengan dampak dan penyebab kebakaran hutan dan lahan serta bagaimana pemberian solusi sebagai tindakan penyelesaian. Sebagai contoh pada hutan tanaman kejadian kebakaran yang terjadi merusak vegetasi dianggap sangat merugikan karena tegakan bernilai produksi tinggi akan mengalami kerusakan, sedangkan kebakaran yang terjadi pada lahan pertanian dan lahan perkebunan mengakibatkan berkurangnya produksi pertanian dan perkebunan sehingga nilai produktifitasnya jauh berkurang. Selain itu kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia menyebabkan kepulan asap yang sangat pekat sehingga mengganggu aktifitas manusia, perekonomian dan menyebabkan ganguan kesehatan. Kewenangan pengurusan hutan menurut UU 41 Tahun 1999 pasal 66 ayat 1 dan 2 menjelaskan bahwa dalam rangka penyelenggaraan kehutanan, pemerintah menyerahkan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah dengan tujuan untuk meningkatkan efektifitas pengurusan hutan dalam rangka pengembangan otonomi daerah. Berdasarkan hasil analisis konten media lebih fokus pada aktor nonkehutanan dari pada kehutanan pada isu kebakaran hutan dan lahan, untuk menjadikan media sebagai sarana edukasi dan membangkitkan tanggung jawab dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Aktor yang dirujuk oleh media
20
harus memberikan informasi yang proporsional, sebagai contoh: kehutanan memberikan informasi tentang ekologi tetapi BMKG memberikan informasi tentang kondisi fisik bumi seperti iklim dan cuaca. Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan dalam Wacana Media Gambar 8 dan 9 menjelaskan tentang penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia tahun 2005-2014 yang disebutkan oleh media massa di dalam artikelnya. Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi apa saja penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang disebutkan oleh media massa selama 10 tahun. Setiap artikel yang menyebutkan penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan akan dihitung dan disajikan dalam grafik.
Gambar 8 Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia menurut wacana di media Berdasarkan Gambar 8, dapat dilihat bahwa artikel pemberitaan media terkait isu kebakaran hutan dan lahan periode 2005-2014 52% artikel memuat tentang penyebab kebakaran hutan dan lahan. Penyebab kebakaran hutan dan lahan dari faktor ekonomi paling banyak dikemukakan dibandingkan faktor sosial dan ekologi. Adapun penyebab kebakaran hutan dan lahan faktor ekonomi meliputi landclearing, perambahan dan lahan untuk perumahan, sedangkan faktor sosial meliputi perladangan berpindah dan keteledoran, serta faktor ekologi meliputi kekeringan (Gambar 9).
21
Gambar 9 Jenis penyebab kebakaran hutan dan lahan di indonesia menurut wacana di media Berdasarkan Gambar 9 penyebab kebakaran hutan dan lahan yang sering terjadi di Indonesia dalam wacana media umumnya disebabkan oleh aktivitas manusia dalam menggunakan api pada aktivitas sehari-hari baik disengaja atau tidak disengaja. Hal tersebut disebabkan karena kondisi kesejahteraan sosial masyarakat sekitar hutan yang memiliki perananan dalam memegang kunci terhadap adanya gangguan pada hutan. Beberapa penyebab yang terdapat pada kedua media tersebut adalah landclearing, peladangan berpindah, keteledoran, kekeringan, perambahan, gesekan ranting, dan konversi lahan ke perumahan yang menyebabkan terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Berdasarkan hasil yang di dapatkan, penyebab kebakaran hutan dan lahan pada media massa paling tinggi disebabkan oleh kegiatan landclearing. Menurut Wakker (1998) dan Suyanto et al (2003) kegiatan landclearing adalah kegiatan pembersihan lahan yang dilakukan oleh perusahaan seperti perusahaan sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Kegiatan land clearing ini sebagian besar tidak dilakukan oleh perusahaan secara langsung tetapi perusahaan meminta bantuan kepada masyarakat disekitar hutan untuk melakukan kegiatan tersebut. Berikut contoh statement dalam media yang menggambarkan kegiatan landclearing melibatkan masyarakat: “... berdasarkan keterangan pelaku pembakaran lahan yang di tangkap oleh kepolisian mengatakan bahwa pembakaran lahan tersebut diperintahkan oleh perusahan dengan diberikan upah ...” (Kompas, 1 Juli 2013) Kegiatan landclearing menurut media massa memiliki frekuensi sebesar 16,4% sebagai penyebab kebakaran hutan dan lahan. Selain itu perladangan berpindah adalah kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat untuk mengelola lahan, menurut media massa kegiatan tersebut memiliki frekuensi sebesar 15,5% yang hasilnya tidak jauh berbeda dengan kegiatan landclearing. Selain itu berdasarkan media massa tersebut perladangan berpindah menjadi salah satu penyebab kebakaran hutan dan lahan yang disebabkan oleh kegiatan pertanian yang dilakukan oleh masyarakat di sekitar hutan. Menurut Angelsen et al (2014) kegiatan perladangan berpindah adalah kegiatan pengelolaan lahan secara tradisional yang sebagian besar dilakukan masyarakat
22
dengan cara membakar lahan hutan karena mudah, cepat dan murah, tanpa memperdulikan kerusakan lingkungan yang akan terjadi selain itu kegiatan tersebut sudah menjadi tradisi di masyarakat. Berikut contoh statement dalam media yang menggambarkan kegiatan perladangan berpindah dan cara tradisional masyarakat: “...Alasan lain yang juga sering kita dengar ialah bahwa kebakaran itu disebabkan para peladang berpindah. Mereka membuka lahan dengan cara membakar hutan...” (Media Indonesia, 5 September 2005) “...Perusahaan tersebut dengan sengaja membakar hutan dalam rangka land clearing (pembukaan lahan), sebab cara itu yang paling ekonomis dan efisien...” (Media Indonesia, 5 September 2005) Kekeringan juga dinyatakan oleh media massa sebagai salah satu penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan, pada bulan-bulan tertentu Indonesia memiliki musim kering yang disebut dengan fenomena El-Nino. Menurut Ekayani (2011) yang merujuk pada Winarso (1997), Goldammer (1998) dan Mori et al (1999) pada kondisi tersebut terjadi presipitasi yang berat dan kondisi yang kering di beberapa lokasi. Anomalous temperatur dan sirkulasi atmospheric menyebabkan musim kering yang panjang dan sulit mendapatkan hujan di Indonesia sehingga hal tersebut dapat memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Berikut contoh statement dalam media yang menggambarkan kekeringan menjadi penyebab kebakaran hutan dan lahan: “ ...kekeringan yang terjadi mengakibatkan tanaman mudah terbakar...” (Kompas, 14 Januari 2014) Keteledoran yang dinyatakan oleh media Kompas dan media Indonesia diakibatkan oleh perilaku manusia seperti membuat arang, membakar sampah dan aktivitas berkemah. Berikut contoh statement dalam media yang menggambarkan keteledoran menjadi penyebab kebakaran hutan dan lahan: “...warga menyebutkan kebakaran yang terjadi diakibatkan oleh keteledoran warga yang membuat arang...” (Media Indonesia, 25 Agustus 2012) Selain itu perambahan menjadi penyebab kebakaran hutan dan lahan yang dinyatakan oleh media. Perambahan yang dilakukan seperti pencurian hasil hutan kayu, pencurian hasil perkebunan dan pengambilan lahan perusahaan untuk lahan pertanian, para perambah melakukan pembakaran sebagai tindakan untuk mengalihkan perhatian dari para petugas. Berikut contoh statement dalam media yang menggambarkan perambahan menjadi penyebab kebakaran hutan dan lahan: “...pelaku pencurian melakukan pembakaran sebagai mengalihkan perhatian petugas...” (Kompas, 29 maret 2013)
cara
untuk
Sedangkan penyebab kebakaran hutan dan lahan yang paling rendah yaitu konversi untuk perumahan dan gesekan ranting. Kategori permasalahan tersebut
23
paling rendah karena pada media massa sebagian besar membahas di daerah Sumatra dan Kalimantan, dimana di daerah tersebut paling banyak terdapat hutan yang akan dikonversi kearah perkebunan dan kebakaran hutan akibat gesekan ranting juga kecil karena sebagian besar masalah kebakaran hutan didaerah tersebut dipengaruhi oleh faktor disengaja baik oleh perusahaan maupun masyarakat disekitar hutan. Tabel 4 menjelaskan frekuensi penyebab kebakaran hutan dan lahan yang terjadi setiap bulannya selama 10 tahun menurut wacana media. Hal ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi pada bulan apa saja penyebab kebakaran hutan dan lahan banyak terjadi. Tabel 4 Penyebab kebakaran hutan dan lahan setiap bulan menurut wacana media tahun 2005-2014 Bulan Kategori
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11 12
Tot al
Tidak Dinyatakan Land Clearing Manu Peladangan berpindah sia
7
17
10
14
15
26
28
30
40
19
1
0
207
4
6
3
2
3
8
14
10
11
8
1
0
70
1
7
3
3
2
6
16
12
9
6
1
0
66
Keteledoran
0
1
0
0
2
2
4
2
1
1
1
0
14
Perambahan
0
0
0
1
1
5
5
2
2
1
1
0
18
Kekeringan Gesekan ranting Lahan perumahan
1
4
3
4
3
5
12
7
8
2
0
0
49
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
2
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
1
13
35
19
24
26
52
79
64
72
38
5
0
427
Alam
Total
Berdasarkan Tabel 4 penyebab kebakaran hutan dan lahan yang terjadi selama 10 tahun pada periode 2005-2014 dalam wacana media, seperti landclearing, perladangan berpindah, keteledoran, kekeringan dan perambahan memiliki tren yang tinggi pada bulan Juni hingga Oktober hal ini sejalan dengan pernyataan Winarso (1997) kebakaran terjadi pada periode musim kering khususnya pada bulan agustus hingga oktober. Menurut Soewarso (2003) yang merujuk pada Suratmo (1985) perladangan berpindah, landclearing, perambahan, konversi lahan menjadi perumahan adalah faktor kesengajaan dalam memicu kebaran hutan dan lahan, sedangkan menurut Sahardjo dan Syaufina (2014), perladangan berpindah, land clering, perambahan, konversi lahan menjadi perumahan adalah faktor penyebab lansung terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Selain itu kekeringan dan keteledoran juga menjadi penyebab tidak langsung (Sahardjo dan Syaufina 2014) dan faktor ketidaksengajaan Suratmo (1985) terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Oemijati (1986) dan Suyanto et al (2003) mengemukakan bahwa penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan sangat beraneka ragam tetapi pada umumnya adalah akibat kelalaian manusia. Sahardjo (1998) dan Suyanto et al (2003) menyatakan bahwa 99% penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia adalah berasal dari ulah manusia, apakah itu sengaja membakar atau karena api
24
lompat yang terjadi akibat kelalaian manusia pada saat penyiapan lahan dengan menggunakan api. Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan dalam Wacana Media Gambar 10 dan 11 menjelaskan tentang dampak kebakaran hutan dan lahan di Indonesia tahun 2005-2014 yang disebutkan oleh media massa di dalam artikelnya. Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi apa saja dampak akibat kebakaran hutan dan lahan yang disebutkan oleh media massa selama 10 tahun. Setiap artikel yang menyebutkan dampak akibat kebakaran hutan dan lahan di kelompokan dan disesuaikan dengan pustaka yang kemudian di hitung dan disajikan dalam grafik.
Gambar 10 Dampak kebakaran hutan dan lahan di indonesia menurut wacana di media Berdasarkan Gambar 10, terkait pemberitaan artikel kebaran hutan dan lahan periode 2005-2014 dapat dilihat bahwa 51% artikel memuat tentang dampak kebakaran hutan dan lahan. Dampak kebakaran hutan dan lahan dari aspek sosial paling banyak dikemukakan dibandingkan aspek ekologi dan ekonomi. Adapun dampak kebakaran hutan dan lahan pada aspek sosial meliputi kabut asap, masalah kesehatan dan mengganggu PON. Sedangkan dampak pada aspek ekologi meliputi hilangnya vegetasi, hilangnya habitat satwa dan kebakaran semak. Serta dampak pada aspek ekonomi meliputi penerbangan terganggu dan kerugian ekonomi (Gambar 11).
25
Gambar 11 Jenis dampak kebakaran hutan dan lahan di indonesia menurut wacana di media Berdasarkan Gambar 11 jenis dampak dari kebakaran hutan dan lahan berdasarkan pada media massa 10 tahun terakhir diperoleh bahwa dampak kebakaran terbesar adalah kabut asap. Akibat dari adanya kabut asap ini menjadikan aktivitas keseharian masyarakat terganggu. Selain itu kabut asap yang terjadi di Indonesia tidak hanya berpengaruh didalam negeri saja, tetapi juga di beberapa negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Sehingga akibat dari kabut asap ini dapat berpengaruh terhadap hubungan internasional antar negara tetangga. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Winarso (1997) formasi kabut asap khususnya pada pulau Sumatera dan Kalimantan, asap yang dihasilkan menyebar hingga memasuki wilayah Singapura dan Malaysia. Berikut contoh statement dalam media yang menggambarkan kabut asap sudah memasuki wilayah negara tetangga: “...Kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di sejumlah daerah di Riau sejak empat hari terakhir mulai mengancam negara Singapura dan Malaysia...” (Media Indonesia 5 Agustus 2008) Menurut Sargeant (2001) sumber utama dari kabut asap adalah karena adanya pembukaan lahan gambut untuk perkebunan. Selain itu kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan menurut media menyebabkan masalah kesehatan seperti ISPA dan mengganggu penerbangan. Penyakit ISPA yang diderita oleh korban bencana asap dikarenakan kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan membawa partikel-partikel udara kotor yang masuk kedalam organ pernafasan manusia yang menyebabkan terjadinya infeksi. Kabut asap juga mengganggu penerbangan dikarenakan jarak minimum pada otoritas penerbangan untuk menerbangkan pesawat dan mendaratkan pesawat adalah 2000 meter, tetapi saat kabut asap melanda, jarak pandang hanya mencapai 5 meter saja. Hal ini jelas sangat berbahaya sehingga penerbangan dibatalkan. Pada tahun 2012 kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan juga mengakibatkan tergangunya agenda besar negara yaitu PON (Pekan Olahraga Nasional) yang diselenggarakan di Riau, akibatnya pertandingan yang akan dilaksanakan ditunda karena terganggu oleh
26
asap. Berikut contoh statement dalam media yang menggambarkan dampak kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan: “... Kabut asap yang melanda membuat jumlah penderita penyakit infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) terus meningkat...” (Media Indonesia, 28 agustus 2009) “ Penerbangan kembali terganggu akibat asap yang melanda, sebagian besar pesawat tidak bisa terbang bahkan mendarat karena jarak pandang hanya 5 meter saja dari batas yang ditentukan sebesar 2000 meter ” (Media Indonesia 19 Juni 2007) “... Pelan Olahraga Nasional (PON) yang dilaksanakan di Riau terganggu oleh kabut asap...” (Kompas, 16 Agustus 2012) Kebakaran hutan dan lahan memberikan dampak kepada hilangnya vegetasi dan hilangnya habitat satwa. Kebakaran hutan menggangu suksesi secara alami dan evolusi ekosistem hutan. Hutan yang terbakar menjadi terbuka sehingga merangsang pertumbuhan gulma dan berbagai spesies eksotik yang meyebabkan terganggunya keseimbangan ekologi antar spesies baik floran maupun fauna. Dampak negatif kebakaran hutan dan lahan lainnya menurut media massa adalah terbakaranya semak. Kebakaran semak terjadi karena api menyebar pada permukaan atau disebut dengan surface fire (Sahardjo 1998). Semak belukar memiliki peranan yang penting dalam ekosistem hutan, karena berfungsi melindungi tanah dari benturan butiran hujan sehingga tanah tidak erosi. Apabila semak belukar terbakar maka setelah terjadi kebakaran dapat menimbulkan erosi tanah, karena tidak ada yang menahan aliran air permukaan akibat hujan. Dampak akibat kebakaran hutan dan lahan selama 10 tahun pada periode 2005-2014 adalah kabut asap, kabut asap tersebut mengakibatkan terganggunya kesehatan manusia, kerugian ekonomi dan lain lain, hal ini sejalan dengan yang di sampaikan oleh WWF (2014) yang menyatakan kebakaran hutan menyebabkan hilangnya habitat dan vegetasi, meningkatkan emisi gas rumah kaca, menganggu kesehatan dan merugikan secara ekonomi. Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan Gambar 12 dan 13 menjelaskan tentang pencegahan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia tahun 2005-2014 yang disebutkan oleh media massa didalam artikelnya. Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi apa saja pencegahan kebakaran hutan dan lahan yang disebutkan oleh media massa selama 10 tahun. Setiap artikel yang menyebutkan pencegahan kebakaran hutan dan lahan di kelompokan dan disesuaikan dengan pustaka yang kemudian di hitung dan disajikan dalam grafik.
27
Gambar 12 Pencegahan kebakaran hutan dan lahan di indonesia menurut wacana di media Berdasarkan Gambar 12, artikel pemberitaan media terkait isu kebakaran hutan dan lahan hanya 17% yang memuat tentang pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Pencegahan kebakaran hutan dan lahan dari aspek sosial paling banyak dikemukakan dibandingkan aspek ekologi dan ekonomi. Adapun pencegahan kebakaran hutan dan lahan dari aspek sosial yang dinyatakan media meliputi pembinaan, himbauan, pembagian masker dan posko kesehatan. Serta pencegahan kebakaran aspek ekologi meliputi penyiagaan pemadam, pembuatan tabat dan sistem FDRS. Sedangkan pencegahan aspek ekonomi berupa anggaran dana tetapi karena angka yang dihasilkan dibawah 1% maka pada Gambar 12 tidak dapat di tampilkan. Untuk mengetahui sebaran pencegahan kebakaran hutan dan lahan berdasarkan pencegahan sosial, ekologi dan ekonomi dijelaskan pada Gambar 13.
28
Gambar 13 Bentuk pencegahan kebakaran hutan dan lahan indonesia menurut wacana di media Berdasarkan Gambar 13 bentuk pencegahan kebakaran hutan dan lahan terbesar yang dinyatakan oleh media adalah penyiagaan pemadam, pembinaan dan himbauan. Penyiagaan pemadam dilakukan untuk mencegah terjadinya kebakaran, pemadam disiagakan di daerah dengan tingkat kerawanan kebakaran yang tinggi seperti daerah gambut, daerah dengan sumberdaya batu bara dan perkebunan dekat pemukiman warga. Selain itu untuk mendukung tindakan pencegahan kebakaran hutan dan lahan pemerintah, pemerintah daerah, LSM dan akademisi memberikan pembinaan kepada masyarakat dan perusahaan untuk mengurangi bahkan menghilangkan kebiasaan pembakaran lahan yang sudah menjadi tradisi masyarakat dalam upaya pembersihan lahan dikarenakan kondisi lingkungan yang kering dan biaya yang murah serta waktu yang cepat tanpa harus banyak bekerja. Pembinaan juga dilakukan untuk menyiapkan masyarakat jika terjadi kebakaran hutan dan lahan. Selain itu himbaun juga dikeluarkan oleh pemerintah sebagai langkah awal pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Pencegahan kebakaran hutan dan lahan selain penyiagaan damkar, pembinaan dan himbauan, pencegahan dengan pembuatan tabat juga dinyatakan oleh media. Menurut Wetlands (2015) pembutaan tabat di lakukan untuk membendung air dengan tujuan membuat lahan gambut tetap basah sehingga gambut tidak mudah terbakar. Media juga menyatakan pemerintah menyiapkan anggaran dan sistem FDRS untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Sistem FDRS atau Forest Fire Danger Rating adalah sebuah sistem peringatan dini terjadinya kebakaran hutan dan lahan dengan memonitor risiko kebakaran hutan atau vegetasi dan menyediakan informasi yang membantu dalam pengelolaan kebakaran. Sistem FDRS dapat digunakan untuk memprediksi perilaku api dan dapat digunakan sebagai panduan untuk pembuat kebijakan
29
dalam mengembangkan tindakan untuk melindungi kehidupan, properti dan lingkungan. Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan Gambar 14 dan 15 menjelaskan tentang penanggulangan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia tahun 2005-2014 yang disebutkan oleh media massa didalam artikelnya. Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi apa saja penanggulangan kebakaran hutan dan lahan yang disebutkan oleh media massa selama 10 tahun. Setiap artikel yang menyebutkan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di kelompokan dan disajikan dalam grafik.
Gambar 14 Penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di indonesia menurut wacana media Pada Gambar 14 terlihat bahwa dari 427 artikel pemberitaan media terkait isu kebakaran hutan dan lahan dalam periode 2005-2014 hanya 50% yang memuat tentang penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Penanggulangan kebakaran hutan dan lahan dari aspek ekologi paling banyak dikemukakan dibandingkan aspek sosial dan ekonomi. Bahkan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan dari aspek ekonomi sama sekali tidak dinyatakan. Adapun penanggulangan kebakaran hutan dan lahan aspek ekologi yang dinyatakan media meliputi pemadaman api, bom air, hujan buatan, ground check, patroli, membuat parit, rehabilitasi lahan, membuat sekat bakar dan membuat menara air. Penanggulangan kebakaran aspek sosial meliputi tindak hukum, pembagian masker, memberi peringatan dan instruksi presiden (Gambar 15).
30
Gambar 15 Bentuk penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia menurut wacana media Berdasarkan Gambar 15 dapat dilihat bahwa bentuk penanggulangan kebakaran hutan dan lahan yang dinyatakan oleh media adalah kegiatan pemadaman api yang mengambil peran terbesar. Pemadaman api dilakukan secara manual maupun menggunakan mobil pemadam kebakaran. Kegiatan pemadaman api selain di darat, pemadaman dilakukan melaui udara meliputi bom air dan membuat hujan buatan. Serta terdapat pula pemadaman dengan memanfaatkan lingkungan sekitar dengan membuat parit dan membuat sekat bakar. Bom air dilakukan untuk mempercepat pemadaman pada titik-titik tertentu dengan intensitas api yang besar dan sulit dijangkau dengan menggunakan helikopter atau pesawat. Hujan buatan tidak jauh berbeda dengan bom air, hujan buatan samasama dilakukan dengan menggunakan helikopter atau pesawat. Untuk membuat hujan buatan diperlukan bibit hujan yang terbuat dari kandungan garam yang akan ditaburkan di awan untuk membuat hujan dan memdamkan api dengan jangkauan yang lebih luas. Berikut contoh statement kegiatan pemadaman: “Pemadaman api dilakukan dengan berbagai cara, yaitu bom air dan hujan buatan. Untuk pengeboman air dikerahkan sejumlah helikopter, yang mampu mengangkut air hingga 4.000 liter. Untuk hujan buatan, digunakan pesawat CASA 212 yang membawa 1 ton garam (NaCl) untuk mempercepat kondensasi dengan penebaran serbuk di awan” (Kompas, 18 Maret 2014). “20 personel tim Manggala Agni juga memakai peralatan pemadaman manual, yaitu gebyok api atau semacam tongkat panjang seperti sekop yang digunakan untuk memadamkan api dengan cara memukul-mukul api” (Kompas, 14 Agustus 2014). Sedangkan untuk penanganan pasca kebakaran hutan dan lahan adalah penindakan hukum terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan dengan persentase 6,3%. Petugas juga tetap melakukan patroli dan groundcheck untuk memastikan siapa pembakar lahan dan untuk menanggulangi api yang belum terpadamkan. Tindakan hukum yang tetapkan oleh pemerintah tertuang pada PP No 45 Tahun 2004 pasal 42 dan 43 dengan memberikan sanksi pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) serta pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
31
denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Berikut contoh statement penindakan hukum: “Polda Riau sudah menangkap pelaku pembakaran hutan dan lahan sekitar 29 tersangka perorangan. Ancaman hukuman bagi pelaku pembakaran ialah pidana maksimal 10 tahun penjara dan denda maksimal Rp10 miliar” (Media Indonesia, 7 Maret 2014) Kompilasi wacana media Berdasarkan hasil analisis konten artikel kebakaran hutan dan lahan dapat di kompilasi penyebab, dampak, pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan yang diwacanakan oleh media. Apakah terdapat konsistensi antara penyebab dan dampak serta apakah media mementingkan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan (Tabel 5). Tabel 5 Kompilasi wacana media tentang penyebab, dampak, pencegahan dan penanggulangan di media Kategori Penyebab
Sosial (%) 19
Ekonomi (%) 21
Ekologi (%) 12
Dinyatakan (%) 52
Tidak Dinyatakan (%) 48
Juml ah 100
Dampak
34
5
12
51
49
100
Pencegahan Penanggula ngan Jumlah
11
0
7
18
82
100
14
0
36
50
50
100
78
26
67
171
229
Berdasarkan Tabel 5, media memberikan perhatian yang lebih besar pada upaya penanggulangan dari pada upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 5 sebanyak 50% artikel media yang menyatakan penanggulangan sedangkan untuk pencegahan hanya 18%. Dapat dikatakan bahwa media cenderung lebih banyak membicarakan upaya penanggulangan dari pada pencegahan. Apabila informasi ini menggiring opini publik bahwa upaya penanggulangan lebih penting dari pada pencegahan, maka publik akan lebih fokus pada upaya penanggulangan dari pada pencegahan. Kondisi ini berpeluang pada berulangnya kebakaran hutan dan lahan karena publik (masyarakat) lebih beroirentasi pada penanggulangan setelah kebakaran terjadi dari pada upaya pencegahan agar kebakaran tidak terjadi. Sedangkan untuk penyebab dan dampak kebakaran hutan dan lahan samasama dinyatakan sekitar 50% oleh media. Hal ini menggambarkan perhatian media sama untuk penyebab dan dampak tersebut. Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat adanya ketidaksinambungan antara upaya penanggulangan yang banyak diwacanakan oleh media dengan penyebab dan dampak dari kebakaran hutan dan lahan. Penyebab dan dampak lebih karena aspek sosial ekonomi, sedangkan penanggulangan lebih kepada aspek ekologi. Dalam hal ini apabila wacana media dijadikan dasar atau menggambarkan kondisi dikenyataan, maka bisa jadi ketidaksesuaian antara penyebab dengan upaya penanggulangan kebakaran hutan dan lahan sebagai salah satu faktor penyebab berulangnya kebakaran hutan dan
32
lahan. Sejalan dengan Ekayani (2011), Ekayani et al 2015a,b hal ini terdapat asimetrik informasi dalam wacana media yang dapat menggiring opini publik kepada kondisi yang kurang sesuai khususnya dalam hal pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Berikut contoh statement dalam media yang menggambarkan penyebab kebakaran hutan dan lahan adalah faktor ekonomi: “Salah seorang warga Kabupaten Indragiri Hilir masih membakar lahan pada Juni 2013 sebagai persiapan pembukaan ladang jagung mendapat dua keuntungan. Pertama, lahan cepat bersih. Tidak sampai tiga hari, ladang terbebas dari semak dan aneka tumbuhan. Keuntungan kedua, tidak perlu menghabiskan banyak biaya untuk memupuk lahan. Di beberapa perkebunan besar yang ladangnya di tanah gambut, dibutuhkan biaya hingga Rp 20 juta memupuk setiap hektar lahan” (Kompas, 6 September 2013). Berikut contoh statement dalam media yang menggambarkan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan adalah aspek ekologi : “...Hutan lindung yang terbakar hingga Minggu tercatat sekitar 250 hektar dari total luasan 5.000 hektar. Tim tidak mungkin mendaki dan memadamkan api. Medannya terjal. Pemadaman api melalui helikopter dari udara pun tak bisa karena lereng terlalu miring. Satu-satunya adalah membuat sekat bakar...”(Kompas, 3 Agustus 2012). Wacana Media dan Peraturan Pemerintah dalam Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan Hingga saat ini aktifitas pembakaran hutan dan lahan terus dilakukan oleh masyarakat dengan alasan penghematan biaya, hal ini jelas sudah melanggar aturan yang tertulis pada Pasal 69 UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pasal 19 PP No 45 Tahun 2004 tentang perlindungan hutan yang menyatakan setiap masyarakat dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara di bakar dan masyarakan dilarang membakar hutan. Hal ini jelas mengakibatkan dampak yang besar akibat terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Kebakaran hutan dan lahan sangat merugikan bagi Negara dan masyarakat. Ratusan ribu bahkan jutaan pohon dan tumbuhan hutan lainnya musnah, ekosistem penunjang kehidupan manusia rusak, mata air mengering dan kerusakan lainnya yang tak dapat dinilai dengan uang. Akibat yang paling dirasakan oleh masyarakat adalah adanya asap yang mengganggu dari adanya kebakaran hutan dan lahan dan terbakarnya lahan pertanian yang siap panen akibat terjadinya kebakaran hutan dan lahan pada musim kemarau. Mengatasi masalah kebakaran hutan dan lahan diperlukan tindakan seperti pencegahan dan penanggulangan agar tidak terulang kembali. Pencegahan adalah tindakan yang dilakukan untuk mengantisipasi terjadi kebakaran hutan dan lahan beserta dampaknya, penanggulangan adalah tindakan yang dilakukan saat terjadi dan setelah terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Dalam hal ini media memberi perhatian yang lebih terhadap penanggulangan kebakaran hutan dan lahan
33
dibandingkan dengan pencegahanya. Didalam dunia nyata untuk mengantisipasi masalah yang terus terulang diperlukan tindakan pencegahan yang lebih besar dibandingkan dengan penanggulangnya. Dalam hal ini jika hanya berbicara mengenai penanggulangan maka masalah kebakaran hutan dan lahan, beserta masalah kesehatan akibat kebakaran hutan dan lahan akan terus terulang. Kegiatan penanggulangan dan pencegahan sudah tertuang didalam PP No 45 Tahun 2004 tentang perlindungan hutan dan Peraturan Menteri Kehutanan nomor: P. 12/Menhut-II/2009 tentang pengendalian kebakaran hutan. Tabel 6 menjelaskan peraturan pemerintah dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia yang tertuang pada PP No 45 Tahun 2004 tentang perlindungan hutan dan Peraturan Menteri Kehutanan nomor: P. 12/Menhut-II/2009 tentang pengendalian kebakaran hutan, setiap kebijakan dikelompokan kedalam sosial, ekonomi dan ekologi. Hal ini bertujuan untuk menganalisa besarnya perhatian pemerintah dalam menentukan kebijakan pencegahan dan penanggulang kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Tabel 6 Peraturan pemerintah dalam pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan Ekonomi Ekologi Total (%) (%) a. Pencegahan 47 0 53 100 1. Nasional 13 0 11 24 2. Provinsi 16 0 7 23 3. Kabupaten/Kota 13 0 7 20 4. Unit Pengelolaan 5 0 27 32 b. Penanggulangan 35 0 65 100 1. Pemadaman Menteri 4 0 4 9 2. Pemadaman Gubernur 4 0 4 9 3. Pemadaman Bupati 4 0 4 9 4. Pemadaman Unit pengelolaan 9 0 9 17 5. Pemadaman awal 0 0 4 4 6. Pemadaman lanjutan 0 0 4 4 7. Pemadaman mandiri 0 0 4 4 8. Pemadaman gabungan 0 0 4 4 9. Pemadaman dari udara 0 0 4 4 10. Penanganan pasca kebakaran 13 0 22 35 *Sumber : Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 12/Menhut-II/2009 tentang pengendalian kebakaran hutan dan PP No 45 Tahun 2004 tentang perlindungan hutan Peraturan
Sosial (%)
Berdasarkan Tabel 6, peraturan penanggulangan dan pencegahan kebakaran hutan dan lahan yang dipilih, pemerintah mengutamakan aspek ekologi sebagai peraturan penanggulangan dan pencegahan yang kemudian diikuti oleh aspek sosial. Aspek ekonomi pada kedua peraturan tersebut belum dicakup didalam peraturan yang dianalisa. Berikut contoh peraturan yang membahas tentang aspek ekologi: “Dalam rangka pemadaman kebakaran sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat (1) huruf b, maka setiap Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan, Pemegang
34
Izin Penggunaan Kawasan Hutan, Pemilik Hutan Hak dan atau Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan, berkewajiban melakukan rangkaian tindakan pemadaman dengan cara : Membuat sekat bakar dalam rangka melokalisir api” (PP 45 Tahun 2004 Pasal 24 ayat 1 Huruf C). Berikut contoh peraturan yang membahas tentang aspek sosial: “Pencegahan kebakaran hutan pada Tingkat Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, meliputi kegiatan : Kemitraan dengan masyarakat” (P.12/Menhut-II/2009 Pasal 5). Didalam kedua peraturan tersebut dikatakan bahwa perlindungan hutan adalah usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, iklim, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. Perlindungan hutan adalah kewenangan Pemerintah dan atau Pemerintah Daerah dengan tujuan dan prinsip dalam perlindungan hutan salah satunya adalah mencegah dan membatasi kebakaran. Pengendalian kebakaran hutan dan lahan harus memiliki strategi, yaitu alat untuk mencapai tujuan perusahaan atau lembaga yang berkaitan dengan tujuan jangka panjang, program tindak lanjut serta prioritas alokasi sumberdaya (Chandler et al 2013). Menurut Suratmo et al (2003) strategi pengendalian kebakaran hutan adalah semua aktivitas untuk melindungi hutan dari kebakaran liar. Aktivitas pengendalian kebakaran hutan terdapat 3 komponen kegiatan yaitu pencegahan dan penanggulangan (pemadaman kebakaran hutan dan penangganan pasca kebakaran), hal ini sejalan dengan PP No 45 Tahun 2004 dan Peraturan Menteri Kehutanan nomor: P. 12/Menhut-II/2009 tentang pengendalian kebakaran hutan. Kegiatan pengendalian kebakaran hutan dilakukan pada tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten/kota, dan Unit atau kesatuan pengelolaan hutan. Pengendalian kebakaran hutan tingkat nasional dilakukan oleh dan menjadi tanggung jawab Menteri dengan menetapkan program pengendalian kebakaran hutan tingkat Nasional, pengendalian kebakaran hutan tingkat provinsi dilakukan oleh dan menjadi tanggung jawab Gubernur dengan menetapkan program pengendalian kebakaran hutan tingkat provinsi, pengendalian kebakaran hutan tingkat kabupaten/kota dilakukan oleh dan menjadi tanggung jawab Bupati/Walikota dengan menetapkan rencana pengendalian kebakaran hutan dan pengendalian kebakaran hutan tingkat kesatuan pengelolaan hutan dilakukan oleh dan menjadi tanggung jawab Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan menetapkan rencana kegiatan pengendalian kebakaran hutan. Tabel 7 menjelaskan kompilasi wacana media dan peraturan pemerintah dalam menanggulangi dan mencegah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia tahun 2005-2014. Hal ini bertujuan untuk mengidentifikasi antara wacana media dengan peraturan pemerintah. Lebih lanjut penjelasan mengenai tabel kompilasi akan dijelaskan pada tabel berikut:
35
Tabel 7 Kompilasi Wacana Media dan Peraturan Pemerintah Sosial (%)
Ekologi (%)
Ekonomi (%)
Peraturan Media
Pemerintah
Media
Pemerintah
Media
Pemerintah
Pencegahan
11
47
7
53
0
0
Penanggulangan
14
35
36
65
0
0
Berdasarkan Tabel 7, secara umum wacana media sejalan dengan dua peraturan yang dikaji dalam hal upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Keduanya sama-sama lebih banyak merujuk pada penanggulangan dari aspek ekologi dan belum memberikan perhatian pada aspek ekonomi baik untuk pencegahan maupun penanggulangan. Apabila hal ini dapat diartikan bahwa pemerintah masih fokus pada aspek ekologi dan mengabaikan aspek ekonomi dalam hal pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, maka berulangnya kebakaran hutan potensial untuk terjadi karena penanggulangan belum sesuai dengan akar masalah penyebab kebakaran tersebut. Sahardjo (1998) menyatakan bahwa 99% penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia adalah berasal dari ulah manusia, apakah itu sengaja membakar atau karena api lompat yang terjadi akibat kelalaian manusia pada saat penyiapan lahan dengan menggunakan api. Diketahui bahwa penyebab utama kebakaran hutan dan lahan adalah faktor ekonomi merujuk pada BBC (2015) yang menyatakan membuka lahan tanpa menebang dan membakar membuat biaya pengelolaan lahan menjadi lebih mahal 40 kali lipat. Sehingga mengelolaan lahan dengan cara dibakar masih menjadi pilihan utama.
36
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan penelitian yang ditelah dilakukan dapat disimpulkan bahwa : 1. Frekuensi artikel dengan frekuensi hotpsot, tidak selalu memiliki tren atau kondisi yang sama karena biasanya media lebih tertarik membahas kebakaran hutan dan lahan yang memiliki dampak besar dari pada intensitas/frekuensi kebakaran hutan dan lahan tersebut. 2. Media cenderung lebih banyak membicarakan upaya penanggulangan dibandingkan pencegahan dan belum sinambung antara upaya penanggulangan dengan penyebab dan dampak dari kebakaran hutan dan lahan. 3. Peraturan dan media sudah sejalan dalam penanggulangan tetapi masih belum sejalan dalam pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Pencegahan dan penanggulangan belum mencakup aspek ekonomi baik di media maupun di peraturan yang dikaji. Saran 1. Media lebih banyak memberitakan himbauan untuk pencegahan dari pada penanggulangan. Hal ini dimaksudkan agar publik mendapat informasi yang dapat menggiring pola pikir bahwa pencegahan lebih baik dari pada penanggulangan. 2. Media menjadi corong bagi masyarakat sebagai alat edukasi sehingga dapat mengubah pola pikir dan membangkitkan kesadaran masyarakat untuk mengurangi terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
37
DAFTAR PUSTAKA Agnesia. 2014. News Value [Internet]. [ diunduh 2015 12 12]. Tersedia pada: http://www.scribd.com/doc/229491284/News-Value#scribd. Altman I, Taylor D A. 1973. Social Penetration: the development of interpersonal relationships. University of Utah. USA. Angelsen A, Babigumira R, Buis M, Bauch S, Sunderland T, Wunder S. 2014. Forest Clearing in Rural Livelihoods: Household-Level Global-Comparative Evidence. Journal of World Development. Elsevier 2014: 67-79. [BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional . 1999. Final report of planning for fire prevention and drought management project. Jakarta. Barnet Pearce W. 1989. Communication and the Human Condition. SIU Press. USA. [BBC] British Broadcasting Corporation. 2015. PM Malaysia bela perusahaan sawit [Internet]. [diunduh 2016 3 29]. Tersedia pada: http://www.republika.co.id/berita/koran/halaman-1/15/10/13/nw5a0710-pmmalaysia-bela-perusahaan-sawit. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Tabel statistik [Internet]. [diunduh 2015 12 20]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1716. Chandler, Alfred D. 2013. Strategy and Structure: Chapters in the History of the Industrial Enterprise. Martino fine books. USA. Cronin T, Santoso L. 2011. Politik REDD+ di media. CIFOR. Bogor. Curran J. 2002. Media and power. Routledge. New York. [Dephut] Departemen Kehutanan. 2003-2015. Statistik kehutatan indonesia 20022014. Dephut, Jakarta [Dephut] Departemen Kehutanan. [No date]. Pedoman Pengendalian Kebakaran Hutan [Internet]. [diunduh 2015 12 20]. Tersedia pada: http://www.dephut.go.id/ Pd_Bkr_Hut.html. Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan. 2013. Penurunan Hotspot 2010-2014 Sesuai P.08/Menhut-II/2010 tentang Renstra Kemenhut 2010-2014. Jakarta (ID): Ditjen PHKA Departemen Kehutanan. Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan. 2015. Jumlah Sebaran Titik Panas Per Provinsi tahun 2005-2014 yang Terpantau Pada Stasiun Bumi Satelit NOAA. Jakarta (ID): Ditjen PHKA Departemen Kehutanan. Ekayani M, Nurrochmat D R, Darusman D. 2015a. The role of scientists in forest fire media discourse and its potential influence for policy-agenda setting in Indonesia. Journal of Forest Policy and Economics. Elsevier 2015: 1-8. Ekayani M, Nurrochmat D R, Saharjo B H, Erbaugh J T. 2015b. Assessing conformity of scientific voices and local needs to combat forest fire in Indonesia. Journal of tropical forest management. Vol 21; 83-92. Ekyani M. 2011. Comparison of discourses in global and Indonesian media and stakeholders perspectives on forest fire [Desertasi]. Goettingen. Jerman. Eriyanto. 2005. Analisis wacana. Pengantar analisis teks media. LKIS. Yogyakarta. Goldamer J G, Siebert B. 1998. Environmental problems arising from land use, climate variability, fire dan smog in Indonesia. Singapura. Gurevitch M, Blumler J G. 1995. The crisis of public communication. Routledge. New York.
38
Hardt F. 2004. Mapping the world: New perspectives in the humanities and social science. University of Michigan. Francke. Hartono B. 1988. Kebakaran hutan. Direktorat Jenderal Perlindungan dan Pelestarian Alam. Departemen Kehutanan. Jakarta. Hess P. 1994. Forest fire in East Kalimantan 1982/1983: Effects damages and technical solution the potential of residual stands after affected by fire. Samarinda. Kalbarprov. 2015. Jokowi, " Penanganan Kebakaran Hutan Mau atau tidak" [Internet]. [ diunduh 2015 11 22]. Tersedia pada: http://www.kalbarprov.go.id/berita.php?idb=4739. Krott M. 2005. Forest policy analysis. Springer. Jerman. [Lapan] Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. 2014. Hotspot sebagai indikator kebakaran hutan dan lahan [Internet]. [diunduh 2015 12 15]. Tersedia pada: http://www.lapan.go.id/index.php/subblog/read/2014/840. [Lapan] Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. 2015. Perkiraan luas sebaran daerah terbakar [Internet]. [diunduh 2015 12 20]. Tersedia pada: http://www.lapan.go.id/index.php/subblog/read/2015/2052/LAPANPerkirakan-Luas-dan-Sebaran-Daerah-Terbakar-di-Indonesia. Morgera E, Cirelli M T. 2009. Forest fire and the law: A guide for national drafters based on the fire management voluntary guidlines. FAO. Rome. Mori T, Toma T, Hastaniah, Ghozali D I. 1999. Forest fire and meteorological condition in Bukit Soeharto. Mulawarman University and Japan. Indonesia. Morissan. 2013. Teori komunikasi. Pranadamedia group, Jakarta Nazir. 2005. Metode Penelitian. Ghali Indonesia. Jakarta. Nugroho R D. 2008. Kebijakan Pendidikan: Pengantar Untuk Memahami Kebijakan Pendidikan Dan Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Nurrochmat D R, Darusman D, Ekayani M. 2016. Kebijakan pembangunan kebutanan dan lingkungan: Teori dan implementasi. IPB Press. Bogor. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan. Rastika. 2013. Media massa dalam pembangunan [Internet]. [diunduh 2015 12 20]. Tersedia pada: http://www.rastika.com/2013/05/media-massa-dalampembangunan.html. Sahardjo B H, Syaufina L. 2014. Topik C3; Kebakaran hutan dan lahan Gambut. Cifor. Bogor. Sahardjo B H. 1998. Kebakaran hutan dan lahan Kalimantan timur : evaluasi, saran dan solusi. IPB. Bogor. Sargeant H J 2001. Vegetation Forest Fire In Sumatera. Oil Palm Agriculture In Wetlands of Sumatera: Destruction or Development? Forest Fire Prevention and Control Project; Europen Union, Departemen Kehutanan, Palembang. Soewarso. 2003. Penyusunan pencegahan kebakaran hutan rawa gambut dengan menggunakan model prediksi [Desertasi]. Pascasarjana IPB. Bogor. Sormin B H, Hartono B. 1986. Metode dan teknik penanggulangan kebakaran hutan. Direktorat Jenderal Perlindungan dan Pelestarian Alam. Departemen Kehutanan. Jakarta. Suratmo G F. 1985. Ilmu Perlindungan Hutan. Bagian Perlindungan Hutan, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
39
Susilana, Riyana. 2009. Media Pembelajaran: Hakikat, Pengembangan, Pemanfaatan, dan Penilaian. CV Wacana Prima. Bandung. Suwandhi I. 2011. Pembukaan hutan dan lahan dengan cara membakar oleh masyarakat : kearifan tradisional atau faktor sosial ekonomi [Desertasi]. Pascasarjana IPB. Bogor. Suyanto, Chokkalingam U, Wibowo P. 2003. Kebakaran dilahan rawa/gambut di Sumatera. Cifor. Bogor Syaufina L. 2008. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia: perilaku api, penyebab dan dampak kebakaran. Bayumedia. Malang. Tacconi L. 2003. Kebakaran hutan di Indonesia, penyebab, biaya dan implikasi kebijakan. CIFOR. Bogor. Indonesia. Undang - undang Republik Indonesia nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan Undang-undang Republik Indonesia nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan Van Dijk T A. 1985. Handbook of discourse analysis: Disciplines of discourse. Academic press. New York.2 Wakker E. 1998. Forest Fire & the Expansion of Indonesia’s Oil Palm Plantation Report. AID Environment & WWF. Wetlands. 2015. kegiatan penabatan/penutupan parit di ekosistem air hitam sungai puning. Wetlands Indonesia. Bogor. Wibowo W. 2009. Menuju Jurnalisme Beretika. Kompas. Jakarta Winarso, P. A. 1997. Several aspects for fires management over large areas due to the long drought occurence of Indonesia. IPB. Bogor. World Bank. 2001. Indonesia environment and natural resources management in a time of transition [Internet]. [Diunduh 2015 10 12]. Tersedia pada: http://wwwwds.worldbank.org/external/default/WDSContentServer/WDSP/IB/2001/11/28 /000094946_01110804163281/Rendered/PDF/multi0page.pdf. World Bank. 2015. Indonesia fire and haze crisis [Internet]. [Diunduh 2016 4 22]. Tersedia pada:http://www.worldbank.org/in/news/feature/2015/12/01/indonesias-fireand-haze-crisis. [WRI] World Resources Intitute. 2014. Kebakaran hutan di Indonesia mencapai tingkat tertinggi sejak kondisi darurat asap [Internet]. [diunduh 2015 12 20]. Tersedia pada: http://www.wri.org/blog/2014/03/kebakaran-hutan-diindonesia-mencapai-tingkat-tertinggi-sejak-kondisi-darurat-kabut. [WWF] World Wildlife Fund. 2015. Dampak yang sangat merugikan dari kebakaran hutan [Internet]. [diunduh 2015 12 22]. Tersedia pada: http://earthhour.wwf.or.id/4-dampak-yang-sangat-merugikan-dari-kebakaranhutan/.
40
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 22 April 1993 dari ayah Agus Djoko Ismanto dan Ibu Siti Nurhayati Q. Penulis adalah putra kesatu dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan formal di SDN Panaragan 2 Bogor pada tahun 2005, SMP Negeri 1 Ciomas pada tahun 2008 dan pada tahun 2011 penulis menyelesaikan pendidikan dari SMA Negeri 4 Bogor. Pada tahun 2011 penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui Jalur ujian talenta mandiri (UTM) dan diterima di Departemen Manajemen Hutan – Fakultas Kehutanan IPB. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif berpartisipasi dalam organisasi kemahasiswaan forest management student club (FMSC) pernah menjadi anggota kelompok studi Sosial ekonomi dan kebijakan tahun 2013 serta menjadi penanggung jawab kelompok studi Sosial ekonomi dan kebijakan pada tahun 2014. Penulis telah melaksanakan Praktek Pengelolaan Ekosistem Hutan di Cagar Alam Pangandaran dan Suaka Margasatwa Gunung Sawal, Ciamis, Jawa Barat. Penulis telah melaksanakan Praktek Pengolahan Hutan di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi, Jawa Barat. Pada bulan febuari sampai april 2015, penulis telah melaksanakan Praktek Kerja Lapang di Perhutani Unit 3 Jawa Barat, KPH Bogor, BKPH Parung Panjang, Bogor, Jawa Barat.