THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
ANALISIS WACANA DAN EDUKASI: SEMIOTIK MULTIMODAL KARTUN INDONESIA “ADIT SOPO JARWO EPISODE BAKSO HILANG” VS KARTUN MALAYSIA “UPIN-IPIN EPISODE EKOSISTEM” Adisti Primi Wulan
[email protected]
ABSTRAK Tulisan ini membahas tentang analisis wacana dan edukasi: multimodal kartun Indonesia (Adit Sopo Jarwo) dan kartun Malaysia (Upin-Ipin). Kartun adalah media audiovisual yang didalamnya juga dilengkapi ragam tulisan sebagai penunjang. Unsur yang diketahui dalam artikel ini adalah analisis linguistik dan analisis visualnya. Kartun dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran karena didalamnya memiliki banyak amanat atau pesan-pesan, terutama untuk anak-anak yang mulai kehilangan masa kanak-kanaknya akibat perkembangan teknologi dan tontonan televisi yang kurang mendukung perkembangan anak. Analisis multimodal yang dibahas dalam tulisan ini menggunakan teori analisis teks verbal pada metafungsi bahasa yaitu fungsi ideasional, fungsi interpersonal, dan fungsi tekstual, model yang dikemukakan oleh Halliday (1994), sedangkan teks visual menggunakan analisis multimodal oleh Kress dan Van Leewen (1996, 2006) dan Cheong (2004). Kata kunci: analisiswacana, edukasi, multimodal, dan kartun semua gerak, suara, warna dan objek material membatasi pemahaman kita terhadap kompleksnya sebuah interaksi dan makna interaksional dapat memberikan pengaruh terbatas pada suatu komunikasi. Dalam interaksi interpersonal dalam komunikasi tersebut, Sinar (2012:131) menyatakan bahwa ada tiga unsur penting yang ikut ambil bagian di dalamnya, yaitu: verbal, bunyi atau suara (bahasa lisan) atau graf (bahasa tulisan) dan visual. Bahasa verbal adalah bahasa lisan dan tulisan sedangkan komponen hasil keluaran bahasa verbal adalah bunyi atau suara dan tulisan adalah graf. Interaksi visual adalah bahasa non-verbal yang termasuk di dalamnya adalah gestur, bahasa tubuh, dan lain sebagainya. Ketiga unsur interaksi interpersonal tersebut biasanya memiliki tingkat peranan yang berbeda, namun ada kalanya memiliki tingkat peranan yang seimbang dalam menyampaikan pesan.
1. Pendahuluan Stubbs (1983:1) mengatakan bahwa analisis wacana merupakan suatu kajian yang meneliti atau menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk tulis maupun lisan. Sementara itu, Cook (1986:6) menyatakan bahwa analisis wacana adalah kajian yang membahas tentang wacana, sedang wacana adalah bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi. Bahasa dimaksud tidak hanya berbentuk bahasa verbal yaitu bahasa lisan dan tulisan, namun juga bahasa non-verbal seperti gerak, suara, objek, warna dan sebagainya. Dalam komunikasi tersebut kedua jenis bahasa ini memegang peranan yang hampir seimbang, karena dengan hanya mengandalkan bahasa verbal saja dan tanpa mempertimbangkan bahasa non-verbal, pemahaman kita terhadap sesuatu akan terbatas. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan dalam Sinar (2012:131) bahwa bahasa verbal saja tanpa
1104
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
Interaksi interpersonal dalam komunikasi tersebut juga terdapat dalam tayangan kartun. kartun berasal dari bahasa Inggris cartoon, yang diangkat dari bahasa Italia, cartone. Istilah tersebut muncul setelah tahun 1843 untuk menamai sketsa pada kertas yang berisi desain lukisan dinding (Irwanto, 1995:65).Perkembangan yang terjadi sekarang ini, mengubah pengertian kartun menjadi gambar yang bersifat humor atau satire, jadi kartun merupakan satu wujud ekspresi seni yang bermaksud melucu, menyindir, dan mengkritik. Ensiklopedi Nasional Indonesia (1990) menyebutkan ciri kartun di antaranya, pesan atau komentar humoris, tentang suatu peristiwa aktual, biasanya berpanel tunggal. Kartun bisa digunakan dalam dunia pendidikan. Di mana kartun bersifat fleksibel, dapat disaksikan oleh semua usia, atau menjadi tayangan keluarga. Pesan yang terkandung dalam kartun dapat dijadikan sebuah bahan pendidikan. “The central task of education is to implant a will and facility for learning; it should produce not learned but learning people. The truly human society is a learning society, where grandparents, parents, and children are students together.” ~Eric Hoffer. Pendapat Eric Hoffer di atas dapat diartikan bahwa pusat dari pendidikan adalah untuk mengimplementasikan fasilitas untuk pembelajaran. Yang dihasilkan bukan pembelajar tetapi orang terpelajar. Kebenaran bahwa manusia makhluk social adalah sosial dalam hal pembelajarannya, dimana kakek, orang tua, dan anak belajar bersama. Maka dapat diketahui bahwa dengan melihat kartun bersama keluarga, secara tidak langsung anak adan orang tua akan belajar bersama-sama. Dalam studi ini penulis akan melakukan analisis sistem semiotik multimodal terhadap kartun Indonesia “Adit Sopo Jarwo” dan kartun Malaysia “UpinIpin” untuk membuktikan bahwa unsur
UAD, Yogyakarta
interpersonal dimaksud memiliki peran masing-masing dalam menyampaikan pesannya. Penayangan kartun Indonesia Adit Sopo Jarwo vs kartun Malaysia Upin Ipin telah banyak menarik minat masyarakat Indonesia khususnya anak-anak untuk menyaksikannya. Bahkan Upin-Ipin yang lebih dulu ditayangkan di Indonesia memiliki tempat tersendiri dihati anak-anak. Dalam kehidupan sehari-hari kita akan sering menjumpai anak-anak yang menirukan gaya bicara Upin dan Ipin. Seperti “selamat pagi cik gu” dan “betul betul betul” yang sering mereka lontarkan ketika bertemu teman sebaya. Analisis sistem semiotik multimodal merupakan analisis secara menyeluruh terhadap semua yang memiliki peran komunikasi dalam menyampaikan pesan. Sebagaimana Norris dalam Sinar (2012) mengatakan bahwa semua interaksi adalah multimodal. Analisis multimodal menekankan bahwa semua sarana komunikasi memainkan peranan penting baik verbal maupun non verbal karena bahasa mengandung makna, konten atau isi yang informatif. 2. Edukasi dan Analisis Wacana (Discourse Analysis) Edukasi (pendidikan) adalah suatu proses sosial. Ini ditanamakan dalam “ranah sosial” dan, oleh karena itu bersifat sosial, ini adalah produk agen, struktur, proses, nilai, tujuan, dan paksaan sosial. Dalam bentuk dan prosesnya, ini merefleksikan masyarakat dimana hal ini berada dengan semua cara dan dengan semua kontradiksinya. Analisis wacana jenis berbeda berarti “mendapatkan” kepastian makna yang bersifat konstitutif, ditanamkan, dan dimunculkan dalam entitas dan bentuk semiotika “teks” yang dihasilkan dalam latar edukasi (pendidikan). Pada saatnya bagian-bagian ini berberan dalam membentuk dan menyusun praktik, struktur,
1105
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
bentuk, nilai, dan tujuan institusi (lembaga) dan mereka yang merupakan partisipan dalam proses tersebut. Teks sebagai obyek material merupakan bagian konstitutif (yang menyusun) institusi sosial; teks-teks tersebut menyediakan arti “membaca” kepentingan dan tujuan mereka yang terlibat dalam pembentukan teks pada suatu institusi. Teks adalah hasil dari proses yang diinisiasi dan dikerjakan oleh agen sosial untuk alasan sosial; dan mereka menyediakan makna mendapatkan wawasan dalam proses ini dan tujuan agen sosial. Dalam bab ini, saya memperlakukan analisis wacana sebagai satu cara untuk mengelaborasi (menguraikan) perangkat guna mengelusidasi konsep, proses, dan bentuk edukasi untuk membantu dalam membentuk pemahaman institusi tersebut, partisipannya, dan tujuannya. Dalam istilah yang paling umum, ini bertujuan mengelaborasi perangkat yang membentuk pendekatan saya terhadap analisis wacana disini. “Pendidikan (edukasi)” berada diluar konsepsi (gambaran) institusi yang dijelaskan oleh bricks and mortar (diibaratkan seperti prinsip proses penjualan dimana konsumen memilih, membeli, dan mendapatkan yang diinginkan); oleh daftar waktu; oleh organisasi pengetahuan sebagai kurikulum; oleh hierarki partisipan dengan peran yang telah dipilih; dan oleh metrik evaluasi yang dibentuk oleh kekuasaan. Hal ini dilihat dengan istilah praktik dan proses yang bertempat diluar lingkup dan praktik-praktik seperti ini, menggambarkan anggota kelompok dari semua jenis dan semua usia. Tidaklah cukup dengan wacana maupun teks, saat berbicara secara semiotika, untuk bertanggung jawab akan berbagai makna organisasi sosial edukasi. Kategori lain merupakan hal yang penting: genre (aliran), sebagai contoh, sebagai kategori yang memberikan poin pada organisasi partisipan
UAD, Yogyakarta
sosial dalam membuat teks. Yaitu, dalam merealisasikan, “menjelaskan”, kerumitan sosial/lingkungan pedagogi belajar-mengajar, wacana hanyalah salah satunya, bahkan jika merupakan kategori sentral. Dalam sejarah praktik dan teorisasi edukasi (pendidikan) baru-baru ini, “bahasa” memainkan peran atau lebih tepatnya mungkin adalah memainkan peran sentral dalam inti konsen edukasi. Hal ini dianggap sebagai kunci bagi suatu pemahaman pembelajaran dan cara mendapatkan pengetahuan; bagi bentuk-bentuk pengajaran; bagi jenis penilaian/evaluasi. Untuk memperlakukan “bahasa” sebagai sentral (pusat), dalam hal ini bukanlah penemuan pendidikan; tetapi ini adalah kemunculan, dalam lingkup ini, dari hal biasa selama berabad-abad dalam pemikiran “Barat”, yang telah menganggap bahasa sebagai sine qua non (syarat mutlak) rasionalitas sebagaimana dengan “kemanusiaan”, sebagai cara yang tanpanya tidak ada yang akan ada, dan sebagai cara dimana semua atau hampir semua apa yang diambil sebagai kepastian rasionalitas dan kemanusiaan bisa mendapatkan ungkapannya. “Bahasa” diambil sebagai cara untuk “realisasi” membuat kenyataan dan materi“pengetahuan”; sebagai rute utama dan kendaraan baggi pembelajaran dan pengetahuan; sebagai penyedia dalam bentuk “meta bahasa” cara untuk refleksi. Dalam tradisi ini, bahasa dilihat sebagai materi cara untuk realisasi fenomena sosial dari wacana apakah dalam pengertian teori Foucault sebagai “pengetahuan yang dihasilkan secara institusi” (Fairclough, 1992; Foucault, 1971; Gee, 1999; Kress, 1984/89) atau dalam pendekatan lain. Ini perlu dikatakan bahwa dalam tulisan Foucault, wacana lebih bersifat sosial daripada kategori linguistik; baginya, hal yang lebih merujuk pada sosial daripada linguistik adalah fokus perhatian.
1106
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
Dalam edukasi, analisis wacana telah memiliki riwayat sekitar 40 tahun (Cazden, John, & Hymes, 1972). Hal ini diikuti dari dua pergerakan dalam Kemanusiaan dan Ilmu Pengetahuan Sosial yang lebih luas. Seseorang adalah suatu penerimaan dari (secara umum terinspirasi Marxist) pandangan yang menempatkan hubungan kekuatan dan pengetahuan yang berbelitbelit; dan secara ideologi memotivasi usaha untuk “menaturalisasi” hubungan tersebut dengan berbagai cara (Bowles & Gintis, 1976; Kress & Hodge, 1979). Namun, bahkan dimana hubungan kekuatan dan pengetahuan ini bukanlah bagian depan dalam istilah-istilah ini, hal ini diliaht sebagai efek representasi, terenkapsulasi dalam frase Richard Rorty (1967) “perubahan/putaran linguistik”. Kedua gerakan tersebut menekankan “konstruksi” pengetahuan dalam semua proses representasi. Dalam pendidikan, kedua wawasan tersebut menjadi suatu asumsi implisit, terbentuk dalam kurikulum gagasan kritik – bacaan kritis (misalnya., Giroux, 1988; Illich, 1971). Dalam versi turunan (derivat) yang lebih linguistik (misalnya., Fairclough, 1989, 1992; Kress & Hodge, 1979; Kress, 1984/89), sejarah analisis wacana telah dikepung oleh ketidakjelasan problematik disekitar homonim “wacana”. Dalam penelitian yang lebih bersifat sosiolinguistik tahun 1960an, wacana secara umum digunakan sebagai suatu istilah untuk menggambarkan keteraturan berbagai jenis “rentang perpanjangan penuturan atau penulisan” diatas level kalimat (Wodak & Meyer, 2009). Secara umum fokus utamanya adalah pada hubungan antara lingkungan penggunaan bahasa dan fitur bahasa yang digunakan (Hymes, 1964; Labov, 1966, 1972); “sosial” dan maknanya adalah pusat dari penelitian semacam ini. Para pencetus teori lainnya (van Dijk & Kintsch, 1983;
UAD, Yogyakarta
Wodak & Martin, 2003) tertarik dalam menemukan keteraturan jenis formal dalam “teks”, pada suatu analogi dengan konsepsi Chomsky tentang organisasi bahasa sebagai fenomena yang dibentuk secara psikologis/kognitif dan fenomena yang bisa dideskripsikan secara formal (Chomsky, 1957, 1965). Karya penelitian seperti ini cenderung dirujuk sebagai teks-linguistik, dan perhitungannya sebagai teks-tatabahasa, dengan analogi kalimat-linguistik dan kalimat-tatabahasa, namun ini terlalu samar, saling terikat dengan “analisis wacana”. Dijelaskan bahwa, istilah teks dan wacana kurang lebihnya bisa digunakan secara bergantian, seperti “rentang perpanjangan penuturan atau penulisan”. Disatu sisi, istilah wacana bisa digunakan untuk merujuk pada (secraa filosofis) pendekatan Foucault dan gagasannya tentang wacana (Kress, 1984), sementara disisi lainnya, ada pendekatan ([teks-]linguistik), sebagai contohnya, van Dijk, dan pendekatan sosiolinguistik yang lebih luas (misalnya., Gumperz, 1982; Hymes, 1964; Labov, 1966). Ada penggunaan sosiologis yang lebih tegas dari istilah ini, yang paling menonjol adalah dalam karya penelitian Habermas (1984). Disana, wacana digunakan sebagai suatu kategori yang berlokasi antara “sosial” dan “komunikasi-linguistik”, untuk merujuk pada tindakan sosial dan pada cara linguistik yang digunakan untuk menetapkan pengetahuan konsensual dalam interaksi pelaku sosial. Proliferasi penggunaan istilah ini telah dikaburkan maknanya. Analisis wacana bisa menjadi studi tentang munculnya fenomena sosiologi wacana sebagai pengetahuan yang dibentuk secara institusional; wacana sebagai realisasi kehidupan sosial; atau wacana sebagai cara sosial atau semiotika untuk mencapai pemahaman yang dihasilkan secara konsensual. Dalam kasus yang lain, ini bisa menjadi studi keteraturan formal yang bisa
1107
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
dilihat dalam “rentang perpanjangan penuturan atau penulisan”, sebagaimana dalam teks-linguistik. Singkatnya, tentang teks kategori, adalah untuk mengindikasikan bagaimana saya menggunakan istilah tersebut dalam bab ini. Dalam etimologi kata, teks adalah hasil proses “penenunan” dari “benang” berbeda biasanya diasumsikan menjadi (baik penuturan atau) wacana kedalam satu keseluruhan yang koheren. Dalam hemat saya, “benang” ini adalah banyak hal dan beranekaragam secara materi: gestur (sikap), penuturan, image (citra) – yang masih tetap diam atau bergerak, penulisan, musik, sebagaimana pada suatu website atau film. Dalam penggunaan tersebut, teks mungkin merepresentasikan entitas semiotika dalam dua, tiga, atau empat dimensi, sebagaimana saat siswa dalam kelas Ilmu Pengetahuan Alam membuat model 3D sel tanaman; atau ketika mereka melakukan pertunjukkan suatu permainan yang naskahnya ditulis oleh mereka (Franks, 1997; Franks & Jewitt, 2001). Teks adalah hasil karya rancangan, produksi, dan komposisi semiotika; dan oleh karenanya mereka bisa menjadi “entitas semiotika” dari segala jenis, yang menghasilkan ensembel (kumpulan) yang terdiri dari model-model berbeda. Teks, yang dibuat secara sosial, dengan sumber daya budaya yang tersedia, merealisasikan ketertarikan dari pembuatnya. Teks adalah (dibuat) koheren, melalui penggunaan sumber semiotika untuk menetapkan kohesi, secara internal antar elemen-elemen tekstual dan secara eksternal dengan elemen-elemen lingkungan dimana teks tersebut terjadi (Bezemer & Kress, 2009; Halliday & Hasan, 1976; Kress & Bezemer, 2009). Prinsip koherensi (pertalian) adalah sosial dalam sifat aslinya dan, menjadi sosial, mereka (prinsip-prinsip tersebut) “melacak” perubahan sosial walaupun langkah sosial dan semiotika mungkin belum tentu sama.
UAD, Yogyakarta
Teks adalah entitas materi yang menunjukkan konsepsi susunan kelompok yang telah membentuk prinsip dan menggunakannya sebagai sumber untuk menetapkan kohesi dan koherensi. Dalam teks, prinsip sosial ini menjadi materi, sarat muatan (manifest), bisa dilihat (visibel), dan nyata. Dalam institusi edukadsi tradisional, prinsip koherensi dipegang oleh satu generasikatakanlah, guru yang dominan. Adanya peningkatan, dengan suatu pertumbuhan gap (celah/jarak) antara prinsip siswa dan guru merekamereka (jarak secara generasi), prinsip ini mungkin menjadi lebih berbeda. Dijelaskan bahwa kekuatan/kekuasaan didistribusikan secara berbeda diantara kedua kelompok ini, yang berujung pada masalah serius. Saya telah bersusah payah menunjukkan poin tentang “bahasa” karena analisis wacana umumnya mengasumsikan bahwa bahasa biasanya sebagai penulisan adalah cara materi untuk realisasi wacana. Pada penggunaannya dalam pendidikan, ini dimaksudkan bahwa analisis wacana menawarkan, disatu sisi, perangkat teoritis/konseptual bagi “pembukaan” ruang dan praktik pedagogi; sementara dalam asumsi normalisasinya tentang sentralitas bahasa, ini cenderung untuk mengelola dan menguatkan fokus eksklusioner problematik pada bahasa sebagai cara untuk membuat makna dan pembelajaran. Satu sisi terbuka penting (krusial) bagi edukasi perspektif pemberian jarak kritis pada beban kekuatan penggunaan (bentuk dari) penuturan dan penulisan dengan cara diskriminatori secara sosial. Sedangkan sisi lainnya terhalang jalur terhadap suatu pemahaman penuh makna dan pengetahuan dalam kaitannya terhadap pembelajaran, pengajaran, evaluasi/penilaian, maupun pembentukan dan karakteristik lingkungan untuk pembelajaran yang lebih umum.
1108
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
pengertiannya sendiri, ini bukanlah teori, walaupun tantangan eksplisitnya terhadap “penempatan” sentral bahasa memiliki implikasi yang sangat besar untuk memikirkan tentang makna, representasi, komunikasi. Multimodalitas memiliki tantangan terhadap gagasan yang telah lama dipegang dan masih sangat dominan, bahwa bahasa adalah sumber untuk membuat makna yang memungkinkan adanya “ungkapan” dari semua pemikiran, pengalaman, perasaan, nilai, sikap; pendeknya adalah pilar yang menjamin rasionalitas manusia. Semiotika sosial merupakan teori tentang pembentukanmakna dalam proses interaksi sebagai komunikasi. Untuk lebih spesifiknya, ini merupakan teori tentang pembentukanmakna sebagai pembentukansinyal/tanda dengan semua model yang tersedia dalam suatu budaya, dimana pembentukan-sinyal ini dilihat sebagai hasil semiotika dari agen sosial. Semiotika sosial berhadapan dengan penilaian lingkungan komunikasi dari pembentuk-sinyal/tanda, yaitu, dengan penilaian retorika kerumitan partisipasi obyek yang terlibat, terhubung dalam praktik yang dibentuk oleh hubungan kekuatan. Teori ini melibatkan perhatian terhadap cara-cara diseminasi (penyebaran), yaitu, terhadap media yang terlibat. Intinya, adalah kepentingan/ketertarikan pembuatsinyal tersebut. Penekanan pada pembentukan-sinyal, bukannya penggunaansinyal adalah hal penting: ini menegaskan bahwa sinyal/tanda selalu bersifat “baru saja dibuat/dibentuk”, keluar dari penilaian lingkungan komunikasi pembentuk/pembuatsinyal, sumber yang tersedia untuk membentuk sinyal, dan kepentingan pembentuk sinyal pada saat membentuk sinyal tersebut. Sinyal/tanda adalah konjungsi (penghubung) termotivasi dari bentuk dan makna, produk agensi dan dan kepentingan pembentuk sinyal tersebut.
3. Semiotika Sosial Multumodal dan Edukasi (Pendidikan) Pendekatan semiotika sosial multimodal menyediakan perspektif yang lebih kaya pada beberapa cara yang terlibat dalam pembentukan makna dan pembelajaran; dalam pembentukan pengetahuan; dalam banyak bentuk evaluasi dan penilaian; dalam kejelasan hubungan sosial pada pedagogi; dalam pembentukan identitas (diri), dan pada cara yang merupakan pusat (sentral) dalam pengenalan agensi dan beberapa jenis pekerjaan semiotika pelajar dalam pembelajaran. Semiotika sosial multimodal memiliki dua aspek. Multimodalitas fokus pada cara materi untuk representasi, pada sumber untuk membuat teks; yaitu, pada model/ragam. Semiotika sosial menyediakan kerangka teoritis untuk fokus pada semua aspek pembentukan-makna: pada agen yang membentuk sinyal/tanda dan kompleks sinyal sebagai teks; pada proses pembentukanmakna dan pada entitas teoritis yang terlibat didalamnya sebagai contoh, sinyal/tanda, teks, genre, wacana, kepentingan. Kedua aspek ini secara keseluruhan saling berkaitan sepanjang waktu dan masih menyisakan pernedaan. Konsekuensi edukasi pendekatan semiotika sosial multimodal diperoleh dari kedua aspek tersebut: dengan cara berbeda, sejalan dengan kejelasan fokus-fokus yang mereka miliki. Istilah multimodalitas menggambarkan perhatian terhadap banyak sumber materi diluar penuturan dan penulisan yang telah dibentuk masyarakat dan yang mana budaya menyediakannya sebagai cara untuk membentuk hal tersebut. Model/ragam secara sosial dibentuk dan merupakan sumber materi semiotika yang tersedia secara budaya untuk representasi. Multimodalitas menyertai kemampuan khusus dari model berbeda. Dalam
1109
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
Bagi edukasi (pendidikan), teori ini menyediakan hubungan antara (kepentingan) pembuat/pembentuk-sinyal sebagai pelajar, dan suatu tanggung jawab ebagai hipotesis dari perspektif mereka terhadap dunia pada saat membentu sinyal tersebut. Pandangan semiotika sosial tentang sinyal ini adalah hal penting bagi teori pembelajaran: ini memperbolehkan adanya pengambilan sinyal sebagai bukti dan dokumentasi kepentingan/ketertarikan dari pembentuksinyal atau pelajar. Kepentingan dinamakan efek pada saat membentuk sinyal dari formasi sosial multi dan rumit yang dilakukan pembentuk sinyal (pelajar), dari pengertiannya tentang lingkungan sosial yang ada, dan dari pembentukan makna mereka sebagai suatu respon terhadap dorongan sebelumnya. Dalam pandangan ini, sinyal/tanda yang tidak bisa menyesuaikan dengan harapan penilai (assessor) mungkin tidak bisa dianggap sebagai sesuatu “yang tidak dipahami dengan baik”, sebagai “kesalahpahaman”, atau sebagai “hal yang tidak diingat dengan baik”. Pada tahap pertama, suatu sinyal selalu diambil sebagai pendokumentasian prinsip pelajar yang terlibat dengan apa yang dipelajari dan respon mereka terhadap hal tersebut dengan sinyal baru. Penilai (assessor) dan pelajar dimungkinkan untuk memiliki “pengambilan” yang cukup berbeda pada masalah kurikulum atau pedagogi; dan pada konteks penilai yang mungkin melihat sinyal tersebut sebagai hal yang “tidak mencukupi”, “salah”, “keliru”, yang merupakan pengertian yang salah. Namun, dengan fokus pada sentralitas pembentuk sinyal (pelajar), sinyal ini dilihat sebagai hasil prinsip kerja semiotika mereka. Hal yang membuka suatu perspektif terhadap prinsip dan bentuk penilaian berbeda: prinsip dan bentuk yang tidak didasarkan pada metrik “komprehensi
UAD, Yogyakarta
yang cukup” atau “akuisisi yang sesuai” tetapi sebagai dokumentasi karakteristik dan prinsip kepentingan atau ketertarikan pelajar tersebut: yang mungkin mengungkap keterlibatan pelajar tersebut. Fitur jenis ini membuat semiotika sosial multimodal relevan terhadap area sentral (pusat) edukasi. Sebagai teori, ini menyediakan fokus ganda: yaitu pada agensi pembentuk sinyal dalam lingkungan sosial dan perangkat deskriptif semiotika sosial yang menyediakan cara untuk melihat pembentukan-sinyal dan pembentukanmakna sebagai pembelajaran; dan mereka mengizinkan pembelajaran untuk dilihat sebagai suatu contoh pembentukan-sinyal dan pembentukan-makna. Multimodalitas menyediakan perangkat untuk pengenalan semua model melalui makna yang telah dibuat dan pembelajaran yang telah dilaksanakan. 4. Teori Multimodal Teori multimodal yang digunakan untuk menganalisis kartun Adit Sopo Jarwo dan Upin-Ipin ini adalah teori linguistik sistemik fungsional (TLSF) yang digagas oleh Halliday. Dalam teori LFS, teks adalah unit daripenggunaan (Halliday dan Hasan (1976:1). Teks dibatasi sebagai unit bahasa yangfungsional dalam konteks sosial (Halliday, 2004: 94). Teks yang merupakan unit bahasa yang memiliki arti dalam konteks sosial itu terjadi akibat adanya interaksi komunikasi. Semua interaksi komunikasi itulah yang disebut dengan multimodal (Norris dalam Sinar (2012: 132). Dalam analisis multimodal ini penulis menggabungkan dua teori, yaitu analisis teks verbal pada metafungsi bahasa yaitu fungsi ideasional, fungsi interpersonal, dan fungsi tekstual, model yang dikemukakan oleh Halliday (1994), sedangkan teks visual menggunakan analisis multimodal oleh Kress dan Van Leewen
1110
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
(1996, 2006) dan Cheong (2004). Sinar (2012:134) menjelaskan bahwa interaksi verbal dan visual terdiri atas sumber daya teks termasuk aspek ujaran seperti intonasi dan karakter vokal lainnya serta aksi semiotic seperti gesture (face, hand and body) dan proksimik, ekspresi wajah/muka, gerakan tubuh dan postur, isyarat (gestures), kontak mata (eyo contact), sentuhan(touch), jarak (space), suara (voice) dan juga produk teknologi seperti ukiran, lukisan, tulisan, arsitektur, imaji, dan rekaman suara, interaksi suara seperti digital media hardware dan software. Selanjutnya, dalam analisis multimodal komposisi berkaitan dengan adanya makna representasional dan interaktif dengan gambar yang menurut Kress dan Leeuwen (Sinar, 2012: 132) dilakukan melalui tiga sistem, yaitu : a. Nilai informasi (information value). Pelekatan unsur partisipan dan sintagma yang menghubungkan keduanya dan satu sama lain dengan penyaksi gambar sehingga memberikan mereka nilai informasi spesifik tentang unsur-unsur apa saja yang ada dalam imagi-imagi yang dapat dilihat baik dari kanan, kiri, atas, bawah, tengah, dan samping. Pada nilai informasi terdapat dua komposisi yaitu centred adalah unsur pusat yang diletakkan di tengah suatu komposisi yang terdiri atas Triptych sebagai unsur nonsentral di dalam sebuah pusat komposisi diletakkan di sisi kanan atau kiri, atas atau bawah suatu centred (pusat), circular sebagai unsur nonsentral di dalam suatu pusat komposisi yang diletakkan baik di atas atau di bawah atau samping suatu centred atau pusat dan unsur lanjut yang diletakkan di antara posisi polarized, yang tidak ada unsur di tengah suatu komposisi. b. Salience (tonjolan). Unsur partisipan dan representasi dan sintagma interaktif dibuat untuk menarik perhatian penonton dengan derajat yang
UAD, Yogyakarta
berbeda sebagai penempatan latar belakang, latar depan, ukuran yang relatif, kontras dalam nilai warna, perbedaan ketajaman. dan lainlain. c. Framing (Bingkai). Kehadiran atau ketidakhadiran alat bingkai direalisasikan oleh unsur yang menciptakan batas garis atau garis bingkai tidak berkaitan atau berkaitan dengan imagi, memberi tanda bahwa mereka adalah bagian atau bukan bagian. 5. Kartun Kartun adalah penggambaran dalam bentuk lukisan atau karikatur tentang orang, gagasan-gagasan atau situasi yang didesain untuk memepengaruhi opini peserta didik. Kartun sebagai alat bantu mempunyai manfaat penting dalam pembelajaran, terutama dalam menjelaskan rangkaian isi bahan dalam satu urutan logis atau mengandung makna. Berbicara soal kartun, banyak pertanyaan tentang bagaimana kartun yang baik, merupakan pertanyaan yang sukar dijawab sebab kartun merupakan hasil kreatif secara pribadi dari kartunis itu sendiri. Akan tetapi ada beberapa kualitas tertentu dari kartun-kartun yang efektif. Pengetahuan mengenai kualitas ini sangat membantu dalam memilih kartunkartun untuk tujuan pembelajaran yaitu : a. Pemakaian sesuai dengan tingkat pengalaman Penilitian Schaffer mengenai penfsiran anak terhadap kartun-kartun social politik mengungkapkan bahwa, pada umumntya anak-anak mulai menafsirkan kartun pada usia 13 tahun selanjutnya suatu analisis dari penfsiran-penafsiran yang keliru, menunjukkan bahwa tidak adanya pengertian dari unsure-unsur dalam keterangan kartun. Dengan kata lain, kurangnya latar belakang yang memadai dalam memberikan arti yang tepat pada kata-
1111
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
kata yang digunakan merupakan penyebab utama dari kesalahan menafsirkan kartun. b. Kesederhanaan Secara umum dapat dikatakan bahwa kartun-kartun yang baik hanya berisi hal-hal yang penting. Kemampuan imajinasi dan daya cipta artistik penciptaan kartun tampak dari keseluruhan pengaruh yang dapat dicapai melalui unsur-unsur prinsip dan gagasannya. c. Lambang yang jelas Ciri ketiga dari kartun yang efektif adalah penjelasan dari pengertian-pengertian simbolis. Sehubungan dengan itu para guru haruslah berhati-hati dalam memilih kartunkartun dengan lambangnya dan tidak terlalu sukar dipahami siswa. Kegunaan kartun sebagai media pembelajaran yaitu: a. Untuk motivasi Sesuai dengan latarnya kartun yang efektif akan menarik perhatian serta membuka minat belajar siwa. Ini menunjukkan bahan-bahan kartun bisa menjadi alat motivasi yang berguna di kelas. Beberapa kartun dengan topik yang sedang hangat dibicarakan, bila mana cocok dengan tujuan-tujuan pembelajaran, merupakan pembuka diskusi yang efektif. b. Sebagai Ilustrasi Seorang guru melaporkan hasil efektif dari penggunaan kartun-kartun dalamn menggambarkan konsep ilmiah pembelajaran sains sebagian dipakai untuk mengemukakan beberapa pertanyaan tentang tidak adanya situasi ilmiah yang dapat digambarkan dalam kartun. c. Untuk kegiatan siswa Jenis lain dari kartun yang digunakan adalah kreasi kartun-kartun yang dibuat siswa sendiri. Contohnya para siswa membuat kartun untuk menumbuhkan minat dalam kompanye kebersihan. Kartun-kartun yang dibuat para siswa dapat dimanfaatkan untuk keperluan pembelajaran.
UAD, Yogyakarta
Dalam analisis multimodal ini, kartun yang akan dianalisis adalah Adit Sopo Jarwo dan Upin Ipin. Adit Sopo Jarwo adalah kartun buatan Indonesia yang ditulis oleh Eki N. F. Deddy Otara dan Zulfa Asliha yang bertujuan untuk memberi pencerahan di tengah gencarnya tayangan yang tidak mendidik untuk anak-anak. Serial ini dinaungi MD Entertainment yang rilis pada tahun 2014. Awal kemunculannya ditayangkan di Global tv lalu pindah tayang di MNC tv. Sampai saat ini, belum ada informasi mengenai negara lain yang menayangkan serial animasi ini. Sementara itu, Upin Ipin adalah kartun buatan Malaysia yang ditulis oleh Ainon binti Ariff dan Burhanuddin Radzi di bawah naungan Les copaque. Sejak tahun 2007 Upin-Ipin tayang di Tv9 Malaysia yang pada mulanya adalah tayangan pendek bertujuan untuk membuat anak-anak lebih mengerti tentang makna bulan Ramadhan. Di Indonesia kartun ini ditayangkan perdana oleh TVRI pada tahun 2007 lalu dilanjutkan oleh MNC dari tahun 2008-sekarang. Bukan hanya Indonesia yang menayangkan kartun ini, tetapi negara serumpun seperti Philipin, Kamboja, Vietnam, Singapura, Brunei, Hongkong, Korea Selatan, dan Turki juga menayangkannya. Perbedaan yang mencolok antara kartun Adit Sopo Jarwo dan Upin-Ipin adalah sebagai berikut. 1. Adit Sopo Jarwo diproduksi oleh Indonesia, Upin Ipin diproduksi oleh Malaysia. 2. Adit & Sopo Jarwo di-setting dengan latar belakang budaya Jawa/Betawi, sedangkan Upin Ipin di-setting dengan latar belakang budaya Melayu. 3. Adit & Sopo Jarwo menawarkan kepolosan orang dewasa yang bodoh dan naif, sedangkan Upin Ipin
1112
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
menawarkan kepolosan anak-anak yang lucu dan nakal. 4. Adit & Sopo Jarwo menjual kebodohan orang dewasa, sedangkan Upin Ipin menjual kecerdasan anak-anak. Di samping perbedaan yang begitu mencolok dari sisi cerita, kartun Adit Sopo Jarwo dan Upin-Ipin juga memiliki kesamaan yang terkandung di dalam nasehatnasehatyang disampaikan. Nasehat yang terkandung dalam Adit dan Sopo Jarwo keluar saat terjadi kesalahan/kebodohan orang dewasa, sedangkan nasehat yang terkandung dalam Upin Ipin tercetus mengikut kepolosan dan keingintahuan dua orang anak. Kedua kartun ini menarik untuk dianalisis karena dari tampilan fisik, ide cerita, dan tokohnya berbeda.
UAD, Yogyakarta
1. Analisis Lingustik Dalam kartun Adit Sopo Jarwo episode Bakso Hilang menggunakan gabungan bahasa lisan dan tulis. Bahasa lisan ditunjukkan oleh dialog yang dilakukan selama durasi kartun yaitu 06:02 menit. Ragam bahasa lisan dalam kartun ini adalah ragam informal di daerah Jakarta, yang dikelilingi orang-orang Sunda dan Jawa. Ragam ini digunakan untuk memberikan komunikasi dengan bahasa yang lebih luas karena bahasa yang kita miliki tidak hanya bahasa Indonesia, tetapi juga bahasa daerah yang perlu dilestarikan dan ditunjukkan dengan logat yang digunakan dalam percakapan dalam kartun. Selanjutnya, penekanan makna yang terdapat dalam ragam verbal lisan kartun ini diperkuat dan dipertegas dengan kehadiran ragam tulis yang diwujudkan dalam bentuk penegasan dari tema yang ditayangkan.
6. Analisis Multimodal Kartun “Adit Sopo Jarwo Episode Bakso Hilang” Kartun “Adit Sopo Jarwo episode Bakso Hilang”dianalisis berdasarkan sistem semiotik multimodal sebagai berikut:
Pesan yang disampaikan dalam kartun Adit Sopo Jarwo episode Bakso Hilang adalah memberikan contoh bagaimana seseorang harus bersikap jujur dalam keadaan apapun. Teks dalam kartun ini kurang menonjol karena sebagian besar pesan disampaikan melalui visual dan lisan, sedangkan teks (non lisan) hanya sebagai petunjuk untuk menjelaskan apa yang digambarkan seperti pada visual gerobak. Apabila tidak diberi tulisan
bakso, maka penonton tidak akan bisa tahu apa yang dijual sebelum ditunjukkan visual bahwa isinya adalah bakso. 2. Analisis Visual Tampilan visual dalam kartun Adit Sopo Jarwo ini ditunjukkan oleh 6 gambar. Antar visual memiliki keterkaitan karena visual tersebut yang membuat ide cerita dan jalan cerita berjalan beriringan sehingga memudahkan penonton memahami
1113
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
maksud dan makna nasehat yang disampaikan. Dalam kartun ini, kita diharuskan menjadi orang yang jujur dan menolong sesama. Hal ini dilakukan oleh
tokoh sentral dalam kartun, yaitu Adit yang membantu Mang Ujang berjualan bakso ketika gerobaknya ditinggal sendirian.
Pengambilan visual bahwa pada akhirnya Mang Ujang bersyukur karena baksonya hilang ternyata terjual habis, membuat beberaa pertanyaan di awal, ketika cerita belum selesai. Mengapa Adit dan Denis tidak mengambil uang milik Mang Ujang dan mengapa mereka bersedia menjualkan bakso Mang Ujang padahal tidak ada permintaan tolong dari Mang Ujang. Mereka melakukan hal yang tidak dilakukan oleh anak-anak zaman sekarang yang terkesan acuh terhadap keadaan sekitar.
Kartun “Upin Ipin episode Ekosistem”dianalisis berdasarkan sistem semiotik multimodal sebagai berikut: 1. Analisis Lingustik Dalam kartun Upin Ipin episode ekosistemmenggunakan gabungan bahasa lisan dan tulis. Bahasa lisan ditunjukkan oleh dialog yang dilakukan selama durasi kartun yaitu 18:15 menit. Ragam bahasa lisan dalam kartun ini adalah ragam bahasa Melayu. Selanjutnya, penekanan makna yang terdapat dalam ragam verbal lisan kartun ini diperkuat dan dipertegas dengan kehadiran ragam tulis. Tetapi hampir mirip dengan Adit Sopo Jarwo, Upin Ipin hanya menyertakan sedikit ragam tulis, hanya untuk mempertegas
7. Analisis Multimodal Malaysia “Upin-Ipin Ekosistem”
Kartun Episode
1114
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
UAD, Yogyakarta
judul dan lokasi tokoh. Hal ini mungkin dikarenakan kartun adalah media
audiovisual sehingga memperhatikan tulisan.
Pada Upin-Ipin ini tempat yang digunakan tokoh digambarkan dengan visual dan tulisan karena tidak ada dialog di dalamnya. Tulisan tersebut akan membuat penonton mengetahui lokasilokasi yang ditempati tokoh dalam menerima pembelajaran. Hal ini membuat anak-anak akan memiliki pemikiran bahwa belajar bukan hanya dilakukan di dalam kelas tetapi juga bisa dilakukan di luar ruangan, seperti di taman. Sehingga mereka akan memiliki wawasan yang luas tentang ilmu, bahwa ilmu tidak hanya terbatas oleh ruang dan tembok, tetapi appaun yang hidup dan
mati yang berada di dunia ini bisa dijadikan ilmu untuk belajar. 2. Analisis Visual Tampilan visual dalam kartun Upin Ipin ini ditunjukkan oleh 6 gambar. Antar visual memiliki keterkaitan karena visual tersebut yang membuat ide cerita dan jalan cerita berjalan beriringan sehingga memudahkan penonton memahami maksud dan makna nasehat yang disampaikan. Dalam kartun ini, kita diharuskan menjaga ekosistem agar kehidupan sehar, udara segar, dan hidup dengan tenang berdampingan dengan alam.
1115
kurang
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
Pada kartun Upin-Ipin gabungan antar visual menimbulkan sebuah cerita yang padu. Dengan kekonyolan dan nakalnya anak-anak yang wajar, pesan disampaikan secara visual, bukan hanya lisan. dalam kartun ini, hampir setiap perkataan tokoh, akan digambarkan lagi dalam bentuk visual yang menjelaskan maksud tokoh sehingga anak-anak akan mudah memahami maksud dari perkataan tokoh. Dari kedua kartun di atas antara kartun Indonesia “Adit Sopo Jarwo” dan “Upin-Ipin”, keduanya sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan. Ragam bahasa yang digunakan keduanya
UAD, Yogyakarta
adalah berbeda sesuai dengan pembuatnya, di mana Adit Sopo Jarwo snagat Indonesia dan Upin-Ipin sangat Malaysia dengan bahasa Melayunya, walaupun di Indonesia maish ada beberapa daerah yang juga menggunakan bahasa Melayu. Penggambaran visual keduanya berurutan dan membentuk cerita yang padu sehingga anak-anak akan mudah menyukai keduanya. Untuk tingkat kekonyolan tentu saja Adit Sopo Jarwo masih kalah karena kontennya sedikit serius tanpa ada candaan yang berarti, sedangkan Upin-Ipin setiap hal yang
1116
THE 5TH URECOL PROCEEDING
18 February 2017
ditampilkan dikemas secara lucu sesuai dengan karakter anak kecil yang konyol. Jika digunakan dalam pembelajaran, antara kartun Adit Sopo Jarwo dan Upin Ipin sama-sama baik dilihat dari amanat yang disampaikan namun jika melihat dari unsur budaya, Adit Sopo Jarwo lebih menarik karena setiap orang yang menjadi tokoh memiliki logat bahasa yang berbeda yang menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk tetapi tetap satu, yang dibuktikan dengan bahasa Indonesia yang dijunjung tinggi sebagai satu-satunya bahasa komunikasi. Daftar Rujukan Cook, Guy.1989. Discourse. Oxford: Oxford University Press. Irwanto, dkk. 1995. Pekerja Anak di Tiga Kota Besar: Jakarta, Surabaya, Medan. Jakarta: Unika Atma Jaya dan UNICEF. Halliday, David dkk. 2004. Fundamentals of Physics Extended 7th Edition. New Jersey: John Wiley & Sons. Halliday, M.A.K., & Ruqaiya Hasa.1976. Cohension in English. London: Longman. Sinar, Tengku Silvana. 2012. Teori & Analisis Wacana Pendekatan Linguistik Sistemik Fungsional. Medan: Mitra. Stubbs, Michael. 1983. Discourse Analysis. Chicago: The University at Chicago Press. -.1990. Ensiklopedi Nasional Indonesia: Jilid 8. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka.
1117
UAD, Yogyakarta