ANALISIS UNDANG-UNDANG SISDIKNAS NOMOR 20 TAHUN 2003 Oleh I Kadek Arta Jaya, S.Ag.,M.Pd.H
I. PENDAHULUAN Pendidikan merupakan aspek yang sangat penting dan yang paling pokok dalam menentukan kemajuan dan kondisi suatu bangsa. Maju mundurnya suatu bangsa ada di tangan pendidikan. Sehingga baik buruknya sisitem pendidikan akan berdampak pada kualitas bangsa itu sendiri. Ketika proses pendidikan berjalan terarah dengan baik, maka peradaban bangsa pun akan menjadi lebih maju. Tetapi sebaliknya, jika proses pendidikan tidak berjalan pada garis tujuan yang telah ditetapkan, maka pendidikan akan menjadi tidak terarah dan hanya akan menghasilkan sesuatu yang sia-sia. Sistem pendidikan di Indonesia telah mengatur dan mendefinisikan bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Namun, sampai saat ini tujuan tersebut belum tercapai. Hal ini disebabkan karena sistem penyelenggaran pendidikan tidak sesuai dan sejalan dengan definisi peserta didik yang dijelaskan dalam UU No 20 tahun 2003. Gagalnya pencapaian tujuan pendidikan merupakan akibat dari sistem pendidikan yang tidak memberikan ruang bagi anak untuk mengembangkan potensi, bakat dan minatnya. Oleh karena itu, perlu kita pahami dan renungkan bersama, apa yang sebenarnya menjadi tugas dan tanggung jawab peserta didik serta hak dan kewajibannya guna mencapai tujuan pendidikan nasional yang telah ditetapkan. 1
II. PEMBAHASAN ANALISIS UNDANG-UNDANG SISDIKNAS NO. 20 TAHUN 2003
Pasal 6 Ayat 1: “Setiap warga negara yang berusia tujuh tahun sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar”. Pasal 11 Ayat 2: “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya daya guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warganegaranya yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun”. Pasal 34 ayat 2: “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya”. Kalau penulis cermati dari Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, mulai dari Pasal 6 (1), Pasal 11 (2), Pasal, 34 (2), mengenai pengertian wajib belajar sebagai terjemahan compulosory education, sesungguhnya Bangsa Indonesia belum siap memberlakukan wajib belajar, bahkan untuk tingkat Sekolah Dasar sekalipun. Realitanya yang penulis cermati dilapangan untuk masuk Sekolah Dasar saja masih ada pungutan biaya dan banyak anak usia Sekolah Dasar yang berkeliaran tidak sekolah. Lebih-lebih pada tingkatan SMP. Pada periode 2013/2014 penerimaan murid baru SMP negeri masih ada seleksi dan banyak lulusan Sekolah Dasar yang tidak mendapat tempat di SMP negeri. Kenyataan ini menunjukkan bahwa hakikat pasal-pasal diatas belum dapat diimplementasikan dengan baik oleh lembaga pendidikan dan pemangku pendidikan. Di dunia pendidikan, masyarakat yang secara ekonomi mampu pasti akan beruntung dalam hal memilihkan pendidikan anaknya. Sebab jika anak tersebut tidak diterima di sekolah negeri, umumnya dapat memilih sekolah swasta yang bermutu karena mendapat dukungan ekonomi. 2
Pasal 12 ayat: 1. Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: a. Mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. b. Mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya. c. Mendapatkan beasiswa bagi yang berprestasi yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya. d. Mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orangtuanya tidak mampu membiayai pendidikannya. e. Pindah ke program pendidikan pada jalur pendidikan dan satuan pendidikan lain yang setara. f. Menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan. 2. Setiap peserta didik berkewajiban: a. Menjamin norma-norma pendidikan untuk menjamin keberlangsungan proses dan keberhasilan pendidikan. b. Ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan kecuali bagi pendidikan yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. 3. Warga negara asing dapat menjadi peserta didik pada satuan pendidikan yang diselenggarakan dalam wilayah negara kesatuan republik Indonesia. 4. Ketentuan mengenai hak dan kewajiban peserta didik sebagaimana dimaksud pada ayat 1,2, dan 3 diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah. Fakta dan Kenyatan di lapangan membuktikan bahwa pelaksanaan undang-undang tersebut diatas sangat berbeda dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, khususnya tentang hak peserta didik. Dimana dalam pasal 12 telah disebutkan bahwa setiap peserta didik berhak mendapatkan 3
pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya. Tetapi ternyata implementasi di lembaga pendidikan tidak memenuhi hak peserta didik dalam hal tersebut. Disadari atau tidak, sistem pendidikan di Indonesia masih lebih mengedepankan sisi kognitif peserta didik. Hal ini menyebabkan banyak pendidik maupun masyarakat kita memandang bahwa anak yang tidak pandai dalam mata pelajaran di sekolah adalah anak yang bodoh. Padahal belum tentu bodoh, karena bisa saja si anak mempunyai potensi dan bakat yang lebih unggul dalam bidang lain, misalnya olahraga, seni ataupun bidang lainnya. Pandangan tersebut menyebabkan adanya perbedaan perlakuan yang diberikan pada anak. Jadi menurut analisis penulis dengan adanya perbedaan perlakuan tersebut justru akan semakin menyebabkan anak menjadi lemah serta merasa bahwa potensi yang dimilikinya tidak dihargai. Sehingga pada akhirnya, anak terpaksa mengikuti suatu bidang pelajaran atau pendidikan yang sebenarnya tidak ia sukai dan akan semakin mengubur bakat serta minat anak yang sesungguhnya ia bisa lebih unggul dari anak yang lain. Selain itu, para pendidik juga cenderung menyamaratakan kemampuan siswanya. Padahal setiap anak mempunyai kemampuan yang berbeda, misalnya kecepatan memahami pelajaran, kemampuan mendengarkan, melihat, menulis atau membaca, masing-masing mempunyai tingkat kemampuan dan daya serap yang berbeda dan tidak bisa disamaratakan. Tetapi, kenyataannya para guru sering memaksa kemampuan siswa agar selalu sama. Dan sekali lagi guru menganggap siswa yang mempunyai daya serap rendah adalah siswa yang bodoh. Fakta lain, menunjukkan bahwa pendidikan yang seharusnya dapat dinikmati oleh setiap anak ternyata tidak sesuai fakta. Banyak anak, terutama dari masyarakat yang kurang mampu (miskin) tidak dapat bersekolah karena ketiadaan biaya. Jangankan untuk biaya sekolah, untuk biaya makan dan kebutuhan seharihari pun mereka harus bersusah payah mencari nafkah. Bahkan terkadang sampai ada satu keluarga yang tidak makan sampai beberapa hari karena tidak mempunyai apa-apa. Padahal, sudah tertulis jelas dalam undang-undang No 20 tahun 2003 pasal 12 ayat 1 bahwa setiap anak berhak mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu untuk membiayainya. 4
Pasal 49 ayat 1: “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)”. Dari penjelasan Pasal 49 ayat 1 diatas kelihatan sekali bahwa privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen. Dalam APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN (Kompas, 10/11/2013). Pasal 11 ayat 1: “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”. Pasal 11 ayat 1 diatas, sangat jelas sekali bahwa pemerintah harus memberikan
pelayanan
yang
maksimal
kepada
masyarakat
didalam
menyekolahkan anak-anaknya. Sehingga generasi Bangsa memiliki kualitas dan mutu pendidikan yang berkualitas. Dimana pemerintah harus meningkatkan sarana dan prasarana sekolah agar dapat menjamin keberlangsungan pendidikan anak-anak. Namun pada kenyataannya pemerintah setengah hati untuk meningkatkan mutu pendidikan, sebab masih adanya diskriminasi terhadap warga negaranya, hal ini dapat dilihat dri penerimaan siswa, bagi yang nilai kurang dan tidak memiliki biaya tidak dapat masuk sesuai dengan kompetensi dan bakat anak tersebut. Disini kelihatan sekali pemerintah melakukan diskriminasi pendidikan, penulis sering melihat dengan mata kepala sendiri bagi yang kurang mampu dan 5
anaknya dari segi nilai UN yang diberlakukan pemerintah kurang tidak dapat masuk kesekolah negeri. Ini artinya pemerintah telah melakukan diskriminasi kepada setiap hak warga Negara yang ingin memiliki pendidikan.
Pasal 50 ayat 3: “Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”. Bila dicermati dari 2 Pasal diatas, sangat frontal bagi masyarakat, karena pertama, diskriminasi yang dilakukan negara terhadap warganya. Negara berkewajiban menyediakan pendidikan untuk seluruh warga negara, tidak peduli kaya atau miskin, tanpa melihat golongan ataupun wilayahnya. Sementara itu, sekolah-sekolah berlabel RSBI atau SBI hanya memfasilitasi siswa dari kalangan berpunya atau kalangan orang kaya saja, hal ini sangat jelas sekali pemerintah melakukan diskriminasi dan dengan secara langsung ataupun tidak, telah memutus akses bagi siswa miskin untuk memperoleh fasilitas yang sama. Selain itu, ada diskriminasi dibidang anggaran. Pemerintah memperlakukan secara berbeda antara sekolah RSBI/SBI dan sekolah umum biasa. Sekolah RSBI/SBI mendapat gelontoran dana besar melalui mekanisme block grant selain dana BOS yang memang diberikan kepada setiap sekolah. Padahal, kewajiban negara adalah menyiapkan anggaran yang cukup untuk semua sekolah, tanpa diskriminasi terlihat pada pasal 11 ayat 1. Kedua pasal ini bertolak belakang. Sehingga sampai kapanpun pendidikan di Negara kita akan tetap terbelakang dari Negara tetangga. Pasal 54 ayat 1: ”Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan, kelompok,
keluarga,
organisasi
profesi,
pengusaha,
dan
organisasi
kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan”. Ayat 2: “Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan”. 6
Ayat 3: “Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah”. Dibukanya peran serta masyarakat secara luas merupakan contoh konkrit liberalisasi yang terjadi dimana negara mulai diminimalkan, sementara masyarakat sipil justru dikuatkan. Ketika liberalisasi masuk ke ranah pendidikan, maka peran serta masyarakat dalam pendidikan ditumbuhkan dan perlahan-lahan negara hanya menjadi regulator saja. Tanggung jawab terhadap pendidikan pun akhirnya beralih dari negara ke masyarakat. Oleh karena itu pendukung liberalisasi selalu menginginkan masyarakat sipil yang kuat untuk menopang dirinya sendiri. Pergeseran keempat yang terjadi dan diatur dalam UU Sisdiknas adalah kebijakan ‘pintu terbuka’ bagi pendidikan asing. Apa yang penulis cermati dilapangan mengenai berbagai penjelasan mulai dari ketimpangan asas keadilan, kontroversi, dan analisis penerapan UndangUndang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003. Seharusnya menurut penulis, DPR segera melakukan revisi terhadap UU Sisdiknas tersebut, karena banyak kebijakan pendidikan bertentangan dengan UU Sisdiknas. Akibatnya, sistem pendidikan nasional selalu mendapat rapor merah alias disclaimer oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
III. KESIMPULAN Beberapa fakta dalam pembahasan di atas,
membuktikan bahwa
implementasi undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, khususnya dalam pemenuhan hak dan kewajiban peserta didik belum dapat berjalan sebagaimana mestinya. Banyaknya kasus yang terjadi di lapangan seharusnya dapat menjadi suatu hal yang harus segera dicarikan solusi, khususnya pemerintah dalam hal ini untuk mencari alternatif ataupun solusi lain guna menangani kasus yang ada demi terwujudnya pendidikan yang baik dan untuk menciptakan sumber daya manusia yang unggul untuk mencapai tujuan pendidikan. 7
Demi terwujudnya sistem pendidikan nasional, maka pemerintah perlu melihat fakta di lapangan, bagaimana penerapan kebijakan yang telah ditetapkan. Apakah sudah dapat dilaksanakan dengan baik atau belum. Apabila memang sudah berjalan dengan baik, maka pemerintah boleh saja menambah kebijakankebijakan baru yang akan semakin meningkatkan mutu pendidikan. Tetapi, apabila kebijakan tersebut belum mampu dilaksanakan dengan baik, seharusnya pemerintah menyadari dan harus segera mengevaluasi kekurangannya agar segera ditemukan solusi untuk mengatasi kekurangan tersebut. Pemerintah jangan hanya pandai membuat kebijakan, tetapi tidak dapat mengevaluasi hasil dari kebijakan itu sendiri. Bagaimanapun
juga,
tercapainya
tujuan
pendidikan
akan
sangat
dipengaruhi oleh sistem pendidikannya. Dan salah satunya adalah pemenuhan hak dan kewajiban bagi peserta didik. Peserta didik merupakan sumber daya manusia yang harus dikelola dengan baik, karena merupakan aset negara. Oleh karena itu, pemerintah harus memperhatikan hal ini dengan baik. Jangan sampai pendidikan yang
diterapkan
di
Indonesia
tidak
mampu
memberikan
ruang
bagi
pengembangan potensi, minat serta bakat peserta didik. Dan dalam masalah biaya pendidikan, pemerintah perlu mensosialisasikan kembali kebijakan tersebut, sehingga pendidikan dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat.
8