UNDANG-UNDANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL (Analisis terhadap UU SISDIKNAS Nomor 20 Tahun 2003) Anita Marwing*
Abstract: In an effort to improve the quality of human resources, catch up on all aspects of life and adapt to global changes and development of science and technology, the Indonesian people through the House and the President on June 11, 2003 has passed legislation the new National Education System, in lieu National Education System Law No. 2 of 1989. National Education System Law No. 20 of 2003 which consists of 22 Chapters and 77 articles is also an embodiment of one of the emerging demands of reform since 1998. Fundamental changes are planned in the Act that the new National Education System include democratization and decentralization of education, community participation, the challenges of globalization, equality and balance, access to education, and learners.
Key words: UUSPN No. 2 Th. 1989, UU SISDIKNAS No. 20 Th. 2003. I. Pendahuluan Pengakuan terhadap hak asasi setiap individu anak bangsa untuk menuntut pendidikan pada dasarnya telah mendapatkan pengakuan secara legal sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 (1) yang berbunyi bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Oleh karena itu seluruh komponen bangsa yang mencakupi orang tua, masyarakat, dan pemerintah memiliki kewajiban dalam bertanggung jawab untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan. Mengenai tanggung jawab pemerintah secara tegas telah dicantumkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat (3) yang menyatakan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. (I. Widarta, 2002, h. 40).
*
Anita Marwin, Dosen Tetap STAIN Palopo, Sementara Mengikuti Pendidikan di Program Pascasarjan (S3) UIN Alauddin Makassar
55
56
Volume 13, Nomor 1, Juni 2011
Terkait dengan pernyataan tersebut, sejak tanggal 8 Juli 2003 pemerintah telah mengesahkan Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menggantikan Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 yang dianggap sudah tidak memadai lagi. Pembaharuan Sistem Pendidikan Nasioanal dilakukan untuk memperbarui visi, misi, dan strategi pembangunan pendidikan nasional. Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tersebut secara tegas memperkuat tentang amanat UndangUndang Dasar 1945 pasal 31 tentang pendidikan. Secara retorik kedua ayat tersebut, telah cukup dapat dipergunakan sebagai jawaban atas tuntutan reformasi di bidang pendidikan yakni diberinya peluang bahkan dalam batas tertentu diberikan kebebasan, kepada keluarga dan masyarakat untuk mendapatkan dan menyelenggarakan pendidikan sesuai dengan minat dan kebutuhan masyarakat serta sesuai dengan kondisi dan tuntutan lapangan kerja. Hal ini berarti bahwa intervensi pemerintah yang berlebihan dalam penyelenggaraan pendidikan perlu ditiadakan, dikurangi atau setidaknya ditinjau kembali hal-hal yang sudah tidak relevan. II Analisis UUSPN No. 2 Tahun 1989 dan UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 Jika kita berbicara mengenai pendidikan, berarti kita tidak hanya berbicara mengenai sekolah, Guru, ataupun siswa saja akan tetapi meliputi kebijakan pendidikan makro yang disebut dengan Sistem Pendidikan Nasional. Definisi Pendidikan itu sendiri menurut UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang dibutuhkan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara, yang nantinya diharapkan pendidikan Nasional dapat tercapai. Adapun Pendidikan Nasional menurut UU yang serupa adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Dari kedua definisi diatas dapat kita asumsikan bahwa pendidikan di indonesia sudah memiliki acuan ideal tujuan yang
Volume 13, Nomor 1, Juni 2011
57
ingin dicapai dalam pendidikan, sehingga sudah jelas kebijakan apa yang bisa diimplementasikan yang nantinya akan diterapkan pada setiap satuan pendidikan. Akan tetapi pada faktanya, masih banyak kebijakan (baik itu secara perundang-undangan ataupun kebijakan anggaran pendidikan) yang tidak sesuai bahkan bertentangan dengan konsep dari kedua definisi pendidikan tersebut. Setidaknya ada dua Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang pernah dimiliki Indonesia yaitu Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang selanjutnya lebih di kenal dengan nama UUSPN dan yang kedua Undangundang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang selanjutnya lebih dikenal dengan nama UU SISDIKNAS. Sebelum adanya kedua Undang-undang yang mengatur tentang sistem pendidikan nasional, Indonesia hanya memiliki Undang-undang tentang pokok-pokok pengajaran dan pendidikan yaitu Undang-undang Nomor 4 tahun 1950. Adanya perubahan UUSPN No.2 tahun 1989 menjadai UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 dimaksudkan agar sistem pendidikan nasional kita bisa menjadi jauh lebih baik dibanding dengan sistem pendidikan sebelumnya. Hal ini seperti yang dikemukan oleh seorang pengamat hukum dan pendidikan, Frans Hendrawinata beliau mengatakan bahwa dengan adanya undang-undang sistem pendidikan nasional yang baru, maka diharapkan undang-undang tersebut dapat menjadi pedoman bagi kita untuk memiliki suatu sistem pendidikan nasional yang mantap, yang dapat menjamin terpenuhi kebutuhan masyarakat akan sumber daya manusia yang berkualitas. Apalagi mengingat semakin dekatnya era keterbukaan pasar. Hal tersebut sesungguhnya harus menjadi kekhawatiran bagi kita semua mengingat kualitas sumber daya manusia di Indonesia berada di bawah negara-negara lain termasuk negara-negara tetangga di Asean. Oleh sebab itulah diperlukan suatu platform berupa sistem pendidikan nasional yang dapat menciptakan sumber daya manusia yang mampu bersaing dengan dunia internasional khususnya dalam era keterbukaan pasar saat ini. (M. Abdul Munif, 2009). Saat kedua undang-undang tersebut baik UUSPN No 2 tahun 1989 maupun UU SISDIKNAS Nomor 20 tahun 2003 masih berupa Rencana undang-undang terjadi berbagai kontroversi, misalnya saat UUSPN nomor 2 tahun 1989 akan diundangkan banyak sekali protes dari kalangan muslim yang menghendaki adanya perubahan-perubahan pada pasal tertentu yang dipandang tidak mencerminkan pendidikan yang mengarah pada pembentukan Ahklak dan budi pekerti bahkan tokoh-tokoh Islam
58
Volume 13, Nomor 1, Juni 2011
Bogor seperti K.H. Sholeh Iskandar dan KH. TB Hasan Basri menyebut RUU tersebut sebagai RUU yang tidak bermoral. Mengapa demikian karena pada UU tersebut tidak terdapat pasal khusus yang mengatur pendidikan agama. Pengaturan itu ada pada penjelasan Pasal 28 Ayat 2 yang menyatakan, “Tenaga pengajar pendidikan agama harus beragama sesuai dengan agama yang diajarkan dan agama peserta didik yang bersangkutan”. Padahal dalam UU sebelumnya yaitu dalam pasal 20 UU No 4/1950 dinyatakan, 1) Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama; orang tua murid menetapkan apakah anaknya akan mengikuti pelajaran tersebut; 2) Cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, bersama-sama dengan Menteri Agama. (Eko Budi Harsono, http: / www. suarapembaruan. com). Di sisi lain RUU SPN No. 2 tahun 1989 justru memberikan warna baru untuk lembaga pendidikan Islam dimana dengan diberlakukannya UUSPN No 2 tahun 1989 madrasah-madrash mendapat perlakuan yang sama dengan sekolah umum lainnya karena dalam UUSPN tersebut Madrasah dianggap sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam dan kurikulum Madrasah sama persis dengan sekolah umum plus pelajaran agama Islam sebanyak tujuh mata pelajaran. Secara operasional, integrasi Madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional ini dikuatkan dengan PP No. 28 tahun 1990 dan SK Menteri Departemen Pendidikan Nasional No. 0487/U/ 1992 dan No. 054/U/ 1993 yang antara lain menetapkan bahwa MI/MTs wajib memberikan bahan kajian sekurang kurangnya sama dengan “SD/SMP”. Surat-surat Keputusan ini ditindak lanjuti dengan SK Menteri Agama No. 368 dan 369 tahun 1993 tentang penyelenggaraan MI dan MTs. Sementara tentang Madrasah Aliyah (MA) diperkuat dengan PP Nomor 29 tahun 1990, SK Men Departemen Pendidikan Nasional Nomor 0489/U/ 1992 (MA sebagai SMA berciri khas agama Islam) dan SK Menag Nomor 370 tahun 1993. Pengakuan ini mengakibatkan tidak ada perbedaan lagi antara MI/MTs/MA dan SD/SMP/SMA selain ciri khas agama Islamnya. (Husni Rahim, http:// pendis. depag. go. Id / Madrasah / Insidex). Sementara saat akan diundangkannya UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 terjadi juga kontroversi dimana UU ini dianggap oleh Kelompok tertentu sebagai UU yang sangat tidak pluralis. Yang dianggap paling kontroversial adalah Pasal 13 ayat 1a yang berbunyi: “Setiap
Volume 13, Nomor 1, Juni 2011
59
peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”. Selain itu ada juga yang berpendapat bahwa visi dan misi pendidikan nasional sangat terfokus pada nilai-nilai keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia. Konsep itu mengesampingkan tugas mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan pendidikan nasional dipersempit secara substansial. Padahal tugas untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan adalah tugas lembaga keagamaan dan masyarakat, bukan lembaga pendidikan. Mereka yang menentang umumnya datang dari kalangan lembagalembaga pendidikan swasta non-Islam, sedangkan yang mendukung adalah dari kelompok penyelenggara pendidikan Islam. Hal yang ditentang adalah yang menyangkut keharusan sekolah-sekolah swasta menyediakan guru agama yang seagama dengan peserta didik. Pasal ini menimbulkan konsekuensi biaya terhadap lembaga-lembaga penyelenggara pendidikan baik Kristen maupun Islam. Karena mereka harus merekrut guru-guru agama sesuai dengan keragaman agama anak didiknya. Pasal ini sangat adil. Sebab, sekolah-sekolah non-Islam dan Islam dikenai kewajiban yang sama. Sekolah-sekolah Islam menyediakan guru agama dari non-Islam, sebaliknya sekolah-sekolah non-Islam menyediakan guru-guru agama Islam. Hanya realitasnya adalah banyaknya anak-anak dari keluarga Islam yang bersekolah di sekolah nonIslam. Sementara itu anak-anak dari keluarga non-Islam sedikit sekali – untuk tidak menyatakan tidak ada – yang bersekolah di lembaga-lembaga pendidikan yang berwatak Islam. Konsekuensinya, beban anggaran sekolah-sekolah non-Islam untuk menyediakan guru-guru agama Islam lebih besar daripada anggaran sekolah-sekolah swasta Islam untuk menggaji guru-guru agama lain. Padahal UU itu cukup adil. Masalah itu bisa terjawab manakala pemerintah menyediakan dan menanggung gaji guru-guru agama itu atau beban itu diserahkan sepenuhnya ke orang tua anak didik, bukan lembaga pendidikan. Jika ini tidak diatasi, akan menimbulkan bahaya besar. Sekolah-sekolah swasta baik Islam maupun non-Islam karena keterbatasan anggaran lalu membatasi jumlah anak didik yang berbeda agama. Dalam hal itu, Departemen Agama (Depag) sudah mengantisipasi dengan menyediakan tenaga guru-guru agama bila UU Sisdiknas ini disahkan. Jadi, sebetulnya tidak masalah dan mengkhawatirkan soal tenaga guru untuk memenuhi tenaga pengajar di sekolah-sekolah non-Islam.
60
Volume 13, Nomor 1, Juni 2011
Lain halnya jika dalam memaknai dan memahami pasal 13 UU Sisdiknas, semula kalangan dari penyelenggara negara sampai lembagalembaga pendidikan keagamaan masih terjebak pada kecurigaankecurigaan isu agama seperti adanya islamisasi dan seterusnya yang semestinya sudah lama dihilangkan. (Eko Budi Harsono). Jika kita lihat perjalanan diberlakukannya kedua undang-undang tersebut tidaklah ada yang berjalan mulus kedua-duanya mengandung kontoversi dan pada akhirnya dibalik semua kontroversi yang ada, pada tanggal 8 Juli 2003 Undang-Undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional disahkan oleh Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarno Putri. Banyak sekali keuntungan yang dirasakan oleh umat Islam dengan diberlakukannya UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 ini, diantaranya : 1. Tujuan Pendidikan Nasional sangat memberikan peluang untuk merealisasikan nilai-nilai al-Qur’an yang menjadi tujuan pendidikan Islam yaitu terbentuknya manusia yang beriman dan bertaqwa (pasal 3). ( Departemen Agama RI, 2003:37). 2. Anak-anak Muslim yang sekolah di lembaga pendidikan Non Islam akan terhindar dari pemurtadan, karena anak-anak tersebut akan mempelajari mata pelajaran agama sesuai dengan yang dianut oleh siswa tersebut dan diajarkan oleh guru yang seagama dengan dia (Pasal 12 ayat 1a). (Departemen Agama RI,2003:40). 3. Madrasah-madrasah dari semua jenjang terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional secara penuh (Pasal 17 dan 18) 4. Pendidikan keagaamaan seperti Madrasah diniyah dan pesantren mendapat perhatian khusus pemerintah, karena pendidikan keagamaan tidak hanya diselenggarakan oleh kelompok masyarakat tetapi juga diselenggarakan oleh pemerintah (Pasal 30). 5. Pendidikan Agama diajarkan mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi (Pasal 37). Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, bahwa kebijakan makro pendidikan di indonesia diatur dalam Undang-undang sistem pendidikan nasional. Konsep yang ditawarkan dalam undang-undang tersebut sudah sesuai dengan ideologi yang dianut oleh pendidikan kita, sayangnya pada fakta dilapangan masih menimbulkan prokontra dalam implementasinya, sehingga melahirkan sejumlah permasalahan yang krusial.
Volume 13, Nomor 1, Juni 2011
61
Pertama, pada pasal 53 yang mengatur tentang badan hukum pendidikan menjadi gugur dengan sendirinya setelah mahkamah konstitusi pada 31 maret 2010 membatalkan UU BHP. Jika dalam UU Sisdiknas tercantum, akan tetapi pada implementasinya ditolak, ini akan menjadi masalah tersendiri. Lantas menimbulkan sebuah pertanyaan besar, kebijakan seperti apa yang memang lebih layak untuk diimplementasikan?. Pasca ditolaknya BHP, Kemendiknas telah mengajukan dua opsi. Opsi pertama dengan peraturan pemerintah pengganti Undang-undang, peraturan pemerintah, Undang-undang yang baru, peraturan presiden, maupun peraturan menteri. Selain itu, opsi kedua adalah merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 17 tahn 2005 yang merupakan turunan dari UU Sisdiknas. (Mendiknas, 2010: 7). Hingga saat ini, masih belum ada kejelasan mana yang akan diimplementasikan sebagai payung hukum pendidikan di perguruan tinggi. Kedua, walaupun pada November 2009 MK telah memutuskan untuk menghapus sistem Ujian Nasional, mekanisme evaluasi pendidikan yang diterapkan saat ini masih belum mengalami perubaan, yakni melalui Ujian Nasional (UN), yang nampaknya sudah rutin setiap tahun menjadi kontroversi. Padahal dalam pasal 57-59 UU sisdiknas, hanya mengatur tentang evaluasi pendidikan yang implementasinya tidak harus melalui Ujian nasional, walaupun pemerintah mencantumkan dalam PP Nomor 19 Tahun 2005 yang mengamanatkan Ujian Nasional dari tingkat SD hingga SMTA. Keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan nasional dapat ditentukan oleh sistem evaluasi yang dipakai. Jika sistem evaluasi semacam UN yang digunakan, tidak dapat berdampak besar pada pencapaian tujuan pendidikan nasional. Berdasarkan hasil penelitian Benjamin Bloom, hal ini karena tingkah laku belajar peserta didik akan dipengaruhi oleh perkiraan mereka tentang hal apa yang akan diujikan. Dampak buruk dari hal tersebut ialah peserta didik akan mengabaikan berbagai kegiatan belajar yang tidak akan diujikan, seperti meneliti, belajar menulis makalah, belajar mengapresiasikan karya sastra, belajar berdemokrasi dan berbagai proses belajar lain yang bermakna transformasi budaya. (Fadli Ar-ridjal, 2010). Ketiga, fenomena menjamurnya rintisan sekolah bertaraf internasional. Persoalan RSBI dan SBI telah menimbulkan masalah sosial yang baru, karena berhasil menyulap pendidikan menjadi beberapa kasta. RSBI menutup akses penerimaan pendidikan yang
62
Volume 13, Nomor 1, Juni 2011
bermutu untuk masyarakat, kalau tidak benar-benar kaya atau tidak benar-benar miskin, jangan harap bisa masuk RSBI. Padahal dengan jelas tertulis pada ayat 3 pasal 31 UUD 1945 negara harus mengusahakan dan menyelenggarakan suatu pendidikan nasional. Keberadaan RSBI merupakan turunan dari pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas yang mengamanatkan bahwa setiap daerah menyelenggarakan minimum satu sekolah bertaraf internasional. (Darmaningtyas, 2010:6). Selain masalah-masalah krusial yang ditimbulkan oleh ketidaksesuaian implementasi undang-undang sisdiknas, ada kebijakan lain yang diterapkan seperti BLU atau BHMN yang diterapkan di Perguruan Tinggi Negeri memberikan luka yang cukup mendalam pada pendidikan. Sistem pengelolaan tata keuangan yang malah menyulap institusi pendidikan menjadi “perusahaan” yang mengedepankan keuntungan secara materil. Secara definisi menurut undang-undang No. 1 Tahun 2004, Pengelolaan Keuangan-Badan Layanan Umum atau yang biasa disebut PK-BLU merupakan Instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. (Moh.Yamin, 2009:82). BLU memiliki sejumlah kriteria, diantaranya dikelola secara otonom dengan prinsip efisiensi dan produktivitas ala korporasi. Untuk menjadi BLU diperlukan beberapa syarat, diantaranya adalah syarat administratif, yang mengharuskan untuk membuat Rencana strategis Bisnis. Peluang ini disediakan untuk satuan kerja Pemerintah yang melaksanakan tugas operasional Pelayanan Publik. jika dilihat dari konsep dasarnya, sistem ini lebih cocok diterapkan di institusi pemerintah seperti Rumah sakit, atau Jasa angkutan Umum. Sejauh ini, ada 42 Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia yang telah bertransformasi menjadi BLU. Oleh sebab itu, perlu partisipasi dan kesadaran dari banyak pihak untuk mewujudkan pendidikan yang ideal bagi rakyat indonesia, ditengah arus globalisasi yang menimbulkan pergeseran paradigma mengenai pendidikan.
Volume 13, Nomor 1, Juni 2011
63
III. Faktor-Faktor yang mempengaruhi perubahan UUSPN No. 2 Tahun 1989 menjadi UU SISDIKNAS No. 20 Tahun 2001. Faktor-faktor yang mempengaruhi dirubahnya UUSPN No 2/89 menjadi UUSISDIKNAS No 20 Tahun 2003 diantaranya adalah. (Alim, http://subaliuut.blogspot.com) 1. UUSPN No. 2 Tahun 1989 masih bersifat sentralistik 2. UUSPN No. 2 Tahun 1989 masih belum bermutu, kemudian sesuai tuntutan dalam UUSISDIKNAS No. 20 tahun 2003 dibuatlah Standar Nasional Pendidikan 3. UUSPN No. 2 Tahun 1989 belum mengarah pada pendidikan untuk semua 4. Belum Mengarah pada pendidikan seumur hidup 5. Pendidikan belum link and match dengan dunia usaha dan dunia kerja. 6. Belum menghasilkan lulusan yang berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur. IV. PENUTUP Pendidikan adalah hak bagi semua warga Indonesia tidak memandang apakah dia miskin, kaya, atau dari suku manapun. Pendidikan yag ideal dan merata adalah impian bagi seluruh rakyat indonesia, namun pada faktanya masih banyak kebijakan yang belum mendukung ataupun penyelewengan kebijakan yang akhirnya merugikan banyak pihak. Dari pemaparan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa : 1. Perlu adanya revisi UU Sisdiknas yang menjadi acuan kebijakan pendidikan nasional. Ternyata masih banyak pasal yang merugikan pendidikan, pasal yang mudah diselewengkan karena ambiguitasnya, serta ada beberapa pasal yang menciptakan kastanisasi pendidkan. 2. Perlu adanya pengawasan yang ketat untuk penggunaan pendidikan, karena dana pada sektor pendidikan sangat rawan untuk disalahgunakan. Terbuki dari banyaknya kasus korupsi yang semakin meningkat tiap tahunnya, namun belum banyak ditindaklanjuti ke ranah hukum. 3. Mengembalikan pendidikan Indonesia agar sesuai dengan fitrahnya, yang mengacu pada ideologi yang dianut, UUD 1945, dan
Volume 13, Nomor 1, Juni 2011
64
tidak merugikan rakyat, karena pendidikan adalah pilar yang paling penting dalam membangun bangsa. Daftar Rujukan Alim, “UU dan Peraturan Pemerintah Terkait Profesi Pendidikan”, dalam http://subaliuut.blogspot.com. Darmaningtyas, “Mendesak Revisi UU Sisdiknas”,2010. Kompas, Senin, 16 Agustus. Departemen Agama RI, 2003. Memahami Paradigma Baru Pendidikan Nasional dalam Undang-Undang Sisdiknas, Ditjen Kelembagaan Agama Islam Depag, Cet. III; Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional, UU SISDIKNAS No 20 tahun 2003 beserta Penjelasannya, Bandung, Citra Umbara, 2003. Departemen Pendidikan Nasional, UUSPN No.2 tahun 1989. Harsono, Eko Budi., “RUU Sistem Pendidikan Nasional dan Jebakan Isu Agama” dalam http://www.suarapembaruan.com. Mendiknas, “Pengganti UU BHP segera diserahkan”, Koran Tempo, 29 April 2010. Munif, M. Abdul., “Lembaga Pendidikan Islam”, Makalah dalam http://bengsinta.blog.friendster.com/2009/06/lembagapendidikan-islam. Rahim, Husni., Pengakuan madrasah sebagai sekolah umum (berciri khas Islam), dalam http://pendis.depag.go.id/madrasah/Insidex. Ar-ridjal, Fadli., 2010. Pendidikan Indonesia Nasibnya Kini, Makalah, Departemen Pendidikan BEM UNJ. Widarta, I., 2002. Naskah Amandemen UUD 1945 Tahun 2002, Yogyakarta: Pustaka Kendi. Yamin, Moh., 2009. Menggugat Pendidikan Indonesia, Yogyakarta : Ar-Ruzz Media.