1
Analisis Tokoh pada Novel “Batas Antara Keinginan dan Kenyataan” Karya Akmal Nasery Basral (Kajian Psikoanalisis Sastra) Oleh Kartina Prof. Dr. Rosmawaty, M.Pd ABSTRAK
Tokoh adalah salah satu unsur intrinsik yang dapat menimbulkan kepercayaan kepada pembaca, pembaca dapat merasakan apa yang dirasakan tokoh-tokoh yang terdapat di dalam cerita seperti dalam kehidupan yang sebenarnya. Novel adalah salah satu karya sastra. Sebuah novel memiliki tema, pesan moral dan gaya penulisan tersendiri, sesuai dengan kecenderungan dan kemampuan pengarangnya. Analisis Novel “Batas Antara Keinginan dan Kenyataan” ini dikaji melalui pendekatan tekstual, yang mengkaji aspek psikologi. Teori yang digunakan adalah Pendekatan Psikoanalisis oleh Sigmund Freud yaitu: Id, Ego, dan Superego. Analisis yang digunakan metode deskripsi kualitatif, Menganalisis karaketristik tokoh dan mendeskripsikan kepribadian tokoh, meliputi (1) perilaku tokoh Jaleswari, (2) perilaku tokoh Adeus, (3) perilaku tokoh Ubuh, (4) prilaku rokoh Borneo, (5) prilaku tokoh Panglima Adayak, (6) Nawara, dan (7) perilaku Arifin, serta aspek antarprilaku tokoh-tokoh yang ditemukan. Novel “Batas Antara Keinginan dan Kenyataan” karya Akmal Nasery Basral ini berkisah tentang keegoan manusia, dalam keinginannya untuk membuat mewujudkan Id dan dipertimbangkan oleh Superego. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati perilaku tokoh dalam berbagai peristiwa. Penelitian selanjutnya adalah menganalisis kepribadian tokoh-tokoh yang membawa dampak internal dan eksternal. Pengumpulan data dilakukan dengan memakai table cek list, kemudian data dianalisis berdasarkan table pengumpulan data dan dikelompokan dalam jenis konflik batin: Id, Ego, dan Superego. Kata Kunci: Sastra, Novel, Tokoh, Psikoanalisis, Id-EgoSuperego
PENDAHULUAN Psikoanalisis sastra adalah prinsip dasar kehidupan psikis. Prinsip dasar yang membentuk dan mengatur proses kepribadian kehidupan pisikis seperti prinsip kesenangan dan realitas. Penokohan tokoh dalam karya sastra selalu
1
dipengaruhi oleh psikologi yang membentuk sebuah karakter untuk membedakan karya dengan karya sastra lainnya. Menganalisis sebuah karya sastra dalam kajian psikoanalisis maka yang menjadi Point center adalah seorang pelakon atau penokohan dalam karya sastra. Dimana penokohan yang terdapat dalam sebuah karya sastra dapat kita analisis berdasarkan ilmu penapsiran yang psikoanalisis sastra. Teori psikoanalisis berdasarkan struktur kepribadian Sigmund freud yaitu id sebagai sebagai hasrat tak sadar, ego hasrat prasadar, dan superego hasrat sadar yang mempengaruhi manusia. Novel “Batas Antara Keinginan dan Kenyataan” karya Akmal Nasery Basral adalah novel yang sangat menarik. Novel ini menceritakan
tentang
pendidikan yang ada di tengah perbatasan, masyarakat Dayak namun terhenti dengan alasan yang tidak jelas. Sehingga Jaleswari menetapkan pilihnnya untuk mengambil tanggung-jawab memperbaiki kinerja program CSR (Coporate Social Resposibility) bidang pendidikan yang terputus tanpa kejelasan. Namun, usahanya tidak semudah yang dibayangkan. Tidak semua warga yang mendukung idenya dan sementara itu banyak peristiwa yang terjadi di depan matanya. Konflik muncul dari dalam diri Jaleswari dan pada masyarakat setempat yang membuatnya berjuang bersama dengan masyarakat yang mendukung idenya. konflik diartikan sebagai suatu proses yang terjadi dalam kepribadianya, dimana dia ingin melakukannya sesuatu namun di sisi lain ia tidak dapat melakukanya, ada pertantangan batin dengan keinginan. Menurut Burhan (dalam Meredith & FitZgerald, 1972: 27) “konflik menyarankan pada pengertian sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan yang terjadi atau dialami oleh tokoh (-tokoh) cerita yang, jika tokoh (-tokoh) itu mempunyai kebebasan untuk memilih, ia (mereka) tidak akan memilih peristiwa itu menimpa dirinya.” Tokoh-tokoh dalam novel mengalami tekanan, baik dari tekanan budaya, kesejahtraan masyarakat, cara pandang, serta orang-orang yang berniat tidak baik sehingga menimbulkan tekanan batin pada tokoh. Untuk itu kajian psikoanalisis sastra, merupakan mengkaji psikologi tokoh dalam novel. Menurut Burhan (1995: 171) “tokoh nyata hanya dijadikan semacam model, sebagai bahan peniruan
2
(menurut teori mimetik) dan selanjutnya tokoh cerita akan hidup dengan cara kehidupanya sendiri sesuai dengan hakikat fiksionalitas.” Psikologi sastra adalah kajian yang bersifat tekstual terhadap aspek psikologis sang tokoh dalam karya sastra. Psikologi sastra merupakan gabungan dari teori psikologi dengan teori sastra. Sastra sebagai “gejala kejiwaan” di dalamnya terkandung fenomena-fenomena kejiwaan yang nampak lewat perilaku tokoh-tokohnya, sehingga karya teks sastra dapat dianalisis dengan menggunakan pendekatan analisis psikologi. Hubungan sastra dengan psikologi dapat saling membantu dalam menganalisis sebuah karya sastra. Ratna mengemukakan hubungan antara psikologi dengan sastra, yaitu pertama, memahami unsur-unsur kejiwaan pengaran sebagai penulis, kedua, memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh fiksional dalam karya sastra, ketiga, memahami unsur-unsur pembaca (2004: 43). Menurut Endraswara (2008: 90) karya sastra yang absurd atau surrealis, memang membutuhkan teori psikologi yang khas. Karya sastra menentukan teori untuk menetapkan karya sastra memiliki posisi mana yang lebih dominan, dan apa yang harus dilakukan. Pisikologi sastra dapat digunakan untuk penelitian genre sastra apa saja, asalkan relavan dengan fenomena yang ada. Antara sastra dengan psikologi memiliki hubungan lintas yang bersifat tak langsung dan fungsional, demikian menurut Darmanto Yatman (dalam Aminuddin, 1990: 93). Pengarang dan piskolog kebetulan memiliki tempat berangkat yang sama, yakni kejiwaan manusia. Menurut Endraswara (dalam Semi, 1993), ada beberapa asumsi yang memunculkan kehadiran psikologi sastra dianggap penting, antara lain: Karya sastra merupakan produk dari suatu keadaan jiwa dan pemikiran pengarang yang berada dalam situasi setengah sadar (subconcius) setelah mendapat bentuk yang jelas dituangkan dalam bentuk tertentu secara sadar (concius) dalam bentuk penciptaan karya sastra. Jadi, proses pencitaan karya sastra terjadi dalam dua tahap, yaitu tahap pertama dalam bentuk meramu gagasan dalam situasi imajinatif dan abstrak, kemudian dipindahkan kedalam dua tahap, yaitu penulisan karya sastra yang sifatnya mengonkretkan apa yang sebelumnya dalam bentuk abstrak.
3
Dalam teori Freud ini dikemukakan bahwa konflik batin melalui tiga tingkat kesadaran yakni: alam sadar, bawah sadar, dan tidak sadar (Freud, 1979: xxxiii). Penempatan teori dalam menganalisis sastra kajian utamanya adalah saatra yaitu tokoh-tokohnya, bukan pada masalah psikologi praktis. Kepribadian terdiri atas tiga aspek, yaitu: id, ego, dan superego. Id berada di alam bawah sadar, dan sama sekali tidak ada kontak dengan realitas. Ego menghasilkan perilaku yang didasarkan atas prinsip kenyataan, sedangkan superego mengacu pada moralitas kepribadian. Id adalah aspek psikologis dan merupakan sistem original di dalam kepribadian. Pedoman id adalah menghindarkan diri dari ketidakenakan dan mengejar keenakan yang disebut dengan prinsip kenikmatan. Id tergambar dari pikiran-pikiran liar seseorang yang berasal dari alam bawah sadar, misalnya membayangkan memiliki rumah mewah. Ego berpegang pada prinsip kenyataan dan bereaksi dengan proses sekunder. Tujuan prinsip kenyataan adalah mencari objek yang tepat untuk mereduksikan tegangan yang timbul dalam organisme. Ego dipandang sebagai aspek eksekutif atau pengelolaan kepribadian karena mengontrol jalan yang ditempuh dan memilih kebutuhan-kebutuhan yang dapat dipenuhi, bisanya ego juga bisa muncul dalam mimpi atau melalu fantasi-fantasi dari tokoh. Mekanisme pertahanan ego adalah cara yang ekstrim untuk menghilangkan tekanan kecemasan ataupun ketakutan yang berlebihan, misalnya medapatkan uang yang tidak halal (korupsi di tempat kerja) untuk medapatkan sebuah rumah mewah. Mimpi yang hadir dalam tidur seseorang bisa merupakan perwujudan dari keinginan (id) seseorang yang ditekan. Id yang tidak direalisasikan akan tersimpan di dalam pikiran dan lama-lama menjadi sesuatu yang tidak disadari dalam ego. Aspek-aspek psikologi, menjadi motivator proses kreatif, pada umunmya dikaitkan dengan struktur personalitas Superego. Menurut (Endaswara, 2008: 208) “Mimpi mencari hubungan langsung antara gambar yang terlihat dalam mimpi dan maknanya melalui semacam kamus yang pasti dan permanen, karena hal-hal tersebutlah, Freud berpendapat bahwa kincikinci mimpi menyesatkan kita. Dia mengatakan bahwa yang dikerjakan mimpi jauh lebih sulit daripada perkerjaan pembuat kunci-nunci mimpi.”
4
Superego adalah aspek sosial kepribadian. Superego merupakan kesempurnaan dari kesenangan karena superego dapat pula dianggap sebagai aspek moral kepribadian. . Hartono (2003: 5) Superego memungkinkan manusia memiliki pengendalian diri (self control) selalu akan menuntut kesempurnaan manusia dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan. Fungsinya menentukan apakah sesuatu itu benar atau salah, dan pantas atau tidak, dengan demikian pribadi dapat bertindak sesuai dengan moral masyarakat, misalnya pertimbangan bahwa dengan melakukan tindakkan korupsi itu adalah tindak kejahatan dan itu merupakan tindakan berbuat dosa. METODOLOGI PENELITIAN Metodologi merupakan analisis teoretis mengenai suatu cara atau metode Penelitian. Berdasarkan
penyelidikan yang sistematis untuk meningkatkan
sejumlah pengetahuan, juga merupakan suatu usaha yang sistematis dan terorganisasi untuk menyelidiki masalah tertentu yang memerlukan jawaban. Metodologi penelitian ini menggunakan metode deskritif kualitatif dengan menggunakan pendekatan psikoanalisis sastra. Teknik yang digunakan dalam menganlisis data pada penelitian ini adalah pemaparan. Artinya, setiap data kualitatif yang diperoleh yang menunjukan data struktur kepribadian Freud berdasarkan penokohan pada. Konflik batin menurut struktur kepribadian Freud disajikan dengan mendeskripsikan atau memaparkan konflik batin id, ego, dan Superego secara jelas dan terperinci. Sumber data dalam penelitian ini adalah karya sastra tulis berbentuk Prosa, yakni Novel “Batas Antara Keinginan dan Kenyataan” karya Akmal Nasery Basral yang diterbitkan oleh penerbit Qanita, Jakarta, 2011 dengan tebal 306 halaman, serta buku-buku pustaka lainnya yang berhubungan dengan masalah penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan cara meneliti kalimat dan dialog yang menggambarkan unsur-unsur konflik kebatinan yang terkandung dalam novel “Batas Antara Keinginan dan kenyataan” karya Akmal Nasery Basral. Tujuan digunakannya metode deskriptif kualitatif ialah untuk memperoleh gambaran konflik psikologi batin agar hasil interprestasi objek yang diteliti relavan dengan tokoh-tokoh dalam novel sebagaimana adanya.
5
PEMBAHASASN HASIL PENELITIAN Data penelitian ini diperoleh dengan mendokumentasikan data dalam bentuk novel. Kemudian peneliti menentukan novel yang akan dikaji dan dianalisis. Dalam penelitian ini terdapat data novel berupa konflik batin id, ego, dan superego tokoh yang terdapat pada novel “Batas Antara Keinginan dan Kenyataan” karya Akmal Nasery Basral Analisis Kepribadian Tokoh jaleswari Jales mengangkat foto kecil romantis itu ke dekat wajahnya, mengusap bagaian wajah suaminya itu dengan penuh perhatian seakan-akan dia menyentuh langsung kulit Aldo. “Aku tahu kau ada di sini, selalu menemaniku, sayang!” Katanya sambil mengecup foto itu sepenuh jiwa sehingga tubuhnya sedikit bergetar. Air matanya tiba-tiba merembes. (hal. 34) Pada paragraf ini diuraikan tokoh Jales yang merindukan almarhum suaminya Aldo saat melihat foto mereka ketika Aldo mencium keningnya. Paragraf ini termasuk dalam kepribadian id proses primer yaitu dalam suasana tidak logis dan tidak rasional ketika dia merindukan suaminya seakan-akan bagaian wajah suaminya yang diusap-usap dalam foto itu adalah langsung menyentuh kulit Aldo. Jales juga berkata “aku tahu kau ada di sini, selalu menemaniku, sayang!” Seakan-akan suaminya masih hidup namun dia sadar ternyata dia sudah terhanyut arus kenangan mereka. Dalam diri Jales timbul kesedihan sehingga dia tidak mau terseret arus kenangan yang ada dalam foto itu, seperti pada kutipan berikut: Takut terseret oleh arus kenangan lama yang akan membuatnya semakin sedih, Jales meletakan foto itu kembali di atas meja rias, lalu menyeka air mata di wajahnya. Dia memejamkan mata dan menghembuskan napas panjang, mengeluarkan sisa pedih hati yang masih tersisa akibat ditinggalkan selamanya oleh belahan jiwa. (hal. 34)
6
Kutipan di atas adalah ego-nya yang menuntun untuk tidak mau terseret arus kenangan lama yang akan membuatnya semakin sedih. ego berikutnya, bahwa dia tidak rela suaminya meninggal, seperti pada kutipan berikut ini: Mungkin Jales akan lebih bisa menerima kematian suami yang baru dinikahinya empat bulan itu jika mobil Aldo ditabrak mobil tronton besar dan Aldo tergencet didalamnya. Atau Aldo sudah berbulanbulan terbaring lunglai di rumah sakit dengan berbagai selang obatobatan tersambung ke tubuhnya tanpa harapan. Ah! (hal. 4) Pada paragraf ini diperjelas ego-nya diuraikan bahwa dalam lamunan Jales dia akan lebih menerima jika suaminya mati jika ditabrak mobil tronton besar atau berbulan-bulan terbaring lunglai di rumah sakit dengan berbagai selang obatobatan tersambung ke tubuhnya tanpa harapan. Paragraf ini termasuk dalam kepribadian ego proses sekunder karena Jeleswari tidak menerima kematian suaminya yang mendadak meninggal setelah bermain futsal. Dia kemudian menggunakan kemampuan berpikir secara rasional dalam kematian suaminya yang tidak ingin dipercayainya. Namun ego terus muncul
karena rasa rindu sehingga muncul dalam
parasadar dalam mimpi, yang tidak direalisasikan akan tersimpan di dalam pikiran dan lama–lama menjadi sesuatu yang tidak disadari. Aldo laki-laki yang dicintainya hadir dalam mimpinya ketika perjalanan menginap disebuah hotel di Entikong, akibat dari ketidakrelaan sumainya meninggal seperti pada kutipan berikut ini: Tangis Jales membanjir seperti bendungan jebol ketika dia menundukan wajah untuk mencium Aldo. Nada tinggi genta raksasa semakin berlari, menusuk-nusuk telinganya. Jales memeluk tubuh Aldo, tak ingin melepaskannya. Tak rela seujung kuku pun. Badan Jales bergetar hebat. Seluruh pori-porinya mengeluarkan keringat, air, dan tangis. Nada tinggi
genta raksasa seperti mengepungnya dari segala
penjuru, seperti ujung lembing yang terus mendesak maju selangkah
7
demi selangkah. kepungan rapat lembing kini benar-benar tak menyisakan sedikit pun ruang baginya untuk bergerak. Jaleswari terbangun. (hal. 65-66) Keinginan Jaleswari merindukan dan ketidak relaan pada suaminya Aldo yang telah meninggal tertekan dalam ego, kemudian tersimpan di dalam pikiran dan menjadi sesuatu yang tak disadari. Keinginan tersebut dimanifestasikan lewat mimpinya. Dalam mimpi tersebut, Jaleswari yang berada dalam negeri dongeng seperti kisah Alice in wonderland yang membawanya pada suasana kantornya dan gambaran orang-orang Dayak yang di manifestasikan ke dalam barongasi yang terus mengincar-gincarnya dengan suaminya Aldo. Terlihat Aldo terkena arus api barongasi dan menghanguskan tubuh Aldo. Tampak dalam mimpi tersebut menyiratkan bahwa Jales tidak rela dengan kematian suaminya. Melalui mimpi ini, keinginan yang merindukan suaminya Aldo tidak terealisasi dalam alam bawah sadarnya. Mimpi yang merupakan tekanan kondisi dari ego tak sadar muncul dalam bentuk mimpinya terhadap ketidakrelaan. Menurut Andraswara (2008: 202) ”Tekanan terhadap Pleasure principle harus memperoleh imbangan, yaitu melalui dreaming (mimpi) yang disebut proses primer terjadinya mimpi”. Setelah perjalanan rumit menuju Ponti Tembawang mulai dari perjalanan yang memakan waktu cukup lama serta kondisi alam yang diluar bayangan. Di sepanjang jalan membuat Jales merasa takut dengan kematian dan membuatnya menyadari untuk merelakan kematian suamainya. Seperti pada kutipan berikut ini: Jales merasakan seluruh pori-porinya menjerit, berzikir. Gerbang kematian begitu nyata sekarang, terbuka, siap dimasuki, entah dia siap atau tidak. Kematian yang tragis, mungkin juga romantis, tergantung dari mana melihatnya. Kematian yang datang dengan kawalan sekaligus tangisan hujan, air yang seharusnya membawa kehidupan. Ya, kumpulan air yang seharusnya membawa kehidupan. Jales, ikhlas, seikhlas-ikhlas ikhlas. Dia kini jauh lebih ikhlas dibandingkan dengan ketika akhirnya bisa menerima kematian Aldo beberapa pecan silam. (hal: 113)
8
Superegonya muncul ketika dia menyadari bahwa kematian itu akan terjadi pada kondisi apapun. Ikhlas baginya sekarang adalah yang terbaik untuk dirinya. Tokoh Adeus Adeus adalah seorang guru yang tinggal di daerah perbatasan Pontianak Tembawang, sekolah SD tempat dia mengajar mengalami kendala kekurangan tenaga guru sehingga dia menjadi satu-satunya guru di sekolah Border. Apakah sebaiknya aku katakan saja mundur seterusnya sebagai pengajar di SD itu? Ataukah sebaiknya aku minta kenaikan honor dan fasilitas jika mereka ingin SD itu tetap berjalan? Sebentar, katakanlah permintaanya dipenuhi, tetapi bagaimana realisasinya? bagaimana kalau masih beberapa bulan lagi? Bisakah dia bertahan selama itu demi idealisme? Lalu, bagaimana jika setelah berbulan-bulan ditunggu, ternyata semua hanya janji kosong? Apakah tidak sebaiknya aku pergi saja dari Ponti Tembawang malam ini? Melewati Border dan tak perlu kembali lagi? Dan mencari hidup yang sebenarnya ke negeri Jiran? Bukankah masih banyak kerabat yang bisa membantunya di sana? Di negeri yang tingkat kehidupanya lebih baik? (hal. 166) Id dalam dirinya muncul sehingga pikirannya untuk mencari kesenangan yaitu ingin berhenti mengajar karena honor kurang dan mendapatkan fasilitas hidup nyaman seperti di negara Jiran. Id tertahan dalam parasadarnya sehingga dia merasa pikirannya terbebani setelah pertemuannya dengan Jaleswari tentang komitmennya
sebagai
pengajar
dan
sekumpulan
pertanyaan
bergantian
menghantam benaknya. Kemudian muncul ke dalam kepribadian ego, secara reflex untuk menghindari ketegangan mencari pemecahan masalah terbaik. Ego muncul di bawah alam sadarnya ketika Pikiran-pikiranya membuat Adeus tidak bisa mengendalikan pikiranya dengan baik sehingga muncul di bawah sadarnya terlihat pada kutipan berikut:
9
Adeus mengadahkan kepalanya menatap bintang.
Tiba-tiba
telinganya mendengarkan sepotong suara yang sudah sangat lama tak didengarnya sejak kecil. Suara yang dikiranya sudah tak akan pernah didengarnya lagi seumur hidup. Dengan rasa berdebar yang luar bisa seperti ingin melihat sebuah mujikzat yang akan mengubah arah hidupnya, Adeus mengarahkan kepala ke arah datang suara. Tidak salah lagi! Suara khas itu berasal
dari burung Enggang
Gading yang sudah tak pernah didlihatnya bebrapa tahun terakhir. (hal. 167) Ego membawanya seperti merlihat mitos orang Dayak, hewan yang melambangkan spiritualitas masyarakat Dayak. Kejadian itu membuat Adeus merenungkan apa yang sebenarnya ingin disampaikan alam semesta kepadanya. Superego menuntun Adeus pada pemikiran yang realitas tentang kelanjutan sekolah SD yang terhenti itu seperti pada kutipan berikut ini: “anak-anak di sini harus berkembang sesuai jaman dunia sekarang. Kau bisa melakukan itu Adeus. Tetapi mereka juga harus tetap mengakar pada
keleluhuran nilai masyarakat Dayak yang indah
ini,” lanjut Jales. “Aku percaya kau bisa melakukannya demi masa depan Borneo dan kawan-kawannya, karena merekalah yang akan menjadi pewaris keagunggan Dayak.” Hati Adeus kini benar-benar bergetar mendengar kalimat terakhir Jales. Selama ini dia hanya memikirkan masa depannya sendiri, dan tak mengutamakan masa depan para bocah itu. Begitu tersentuh Adeus sehingga mulutnya secara sepontan berujar, “terima kasih, Jaleswari.” (hal. 287) Pada paragraf ini diuraikan bahwa tok oh Adeus akhirnya menyadari tugas dia sebagai seorang guru, untuk mengajar demi masa depan anak-anak. Paragraf ini termasuk ke dalam kepribadian superego yaitu Adeus kembali mau mengajari di sekolah SD Pontianak Tembawang daerah perbatasan lagi, menanamkan nilai pendidikan. Superego-nya penyeimbang keinginan dari id, yaitu keinginan Adeus untuk mengajari anak-anak sempat tertunda dengan ego-nya mencari kehidupan
10
yang lebih baik di negeri Jiran Malaysia kini tercapai atau sejalan dalam kepribadian superego. Tokoh Panglima Adayak Tokoh Panglima Adayak adalah
seorang pemangku adat Dayak, dia
dihormati dan disegani oleh masyarakat. Dia juga merupakan suami dari Nawara nenek Borneo yang dipanggilnya sebutan „Ibu‟. “Kamu tidak akan diteriama oleh masyarakat di sini jika kamu tidak lebih dulu belajar dan memahami kehidupan kami,” jawab Panglima tanpa tedeng aling-aling. (hal. 199) Panglima selaku pemangku adat Dayak yang disegani mempunyai prinsip sebagai tokoh yang mampu melindungi dan menjaga keamanan di sekitar kampung. Id
tokoh panglima pada kutipan di atas adalah bahwa dia ingin
masyarakat bisa mengerti dan sepaham dengan cara kehidupan orang Dayak termasuk juga orang pendatang. Ego-nya muncul ketika Jaleswari datang ketika Adayak menunjukan cara berpikirnya dan kebiasaan hidup mereka, seperti pada kutipan berikut ini: “hmmm…,” Jales mencoba memahami kearifan cara berpikir itu. “Yang muda akan melanjutkan kehidupan.” “Ya yang muda yang akan melanjutkan kehidupan,” ulang Panglima. “Mereka harus dijaga.” “jadi yang tua harus dikorbankan?” selidiki Jales. “Itu baktinya bagi manusia. Salah satu fungsi hewan bagi manusia. Kita tidak bisa mengorbankan hewan di hutan yang kita temui semata-mata untuk keinginan kita membunuh.” Flosofi itu sama sekali berbeda dengan bayangan Jales tentang komunitas Dayak yang suka berburu apa saja, dari membunuh hewan sampai mengayau kepala manusia. “Semua yang kami lakukan ada alasannya,” ujar Panglima seperti bisa membaca isi pikiran Jales. “Kami menghormati alam yang yang sudah menyediakan kehidupan bagi kami. Tetapi orang-orang seperti kalian melihat kami sebagi perusak hutan yang setelah membuka satu ladang lalu pindah ke ladang lain. Kami tak pernah mengambil lebih daripada apa yang
11
kami butuhkan, tidak seperti mereka yang menggunakan mesin-mesin modern untuk menghancurkan hutan kami dan tidak melakukan penanaman lagi.” “Kalau soal itu …,” Jales sudah tidak bisa menahan rasa keinginan tahuanya lagi . “… Pengayau?” “Itu berkaitan dengan keadilan.” “Adilkah memenggal kepala orang lain?” Tanya Jales sebelum menyadari
keterusterangannya
bertanya
yang
mungkin
akan
menyulitkanya sekarang. “Maaf Panglima.” “Pernahkah Ibu dengar ada orang Dayak yang memenggal kepala istrinya atau anaknya sendiri?” Paglima mengabaikan permintaan maaf Jales. “Atau memenggal kepala ayahnya sendiri? Pernah?” Jales menggelengkan kepala. “Saya tidak pernah dengar.” “Pernah dengar ada orang Dayak yang memenggal kepala kakak atau adiknya sendiri? Saudaranya sendiri?” “Saya tidak tahu.” “Jadi apa yang Ibu tahu?” Tanya Panglima saraya menekankan kalimat terakhirnya dengan tegas. “Yaaa …,” Jales berusaha mencari kata-kata setepat mungkin,“… tidak banyak.” “Dan dengan tidak tahu itu, Ibu langsung menganggap kami masyarakat Dayak sebagai orang yang tidak adil? Sebagai orang yang berwenang-wenang dalam mengambil kehidupan orang lain?” cacar Panglima Adayak. (hal. 129-130) Ego-nya untuk membuat orang-orang berpikir dengan cara pandang terealisasikan lewat superego ketika dia memperihatkan cara hidup masyarakat kepada Jaleswari sebagai pendatang seperti pada kutipan berikut: “Semua orang punya batasan pada dirinya masing-masing Jales. Seperti terlihat pada edar matahari, kapan dia harus muncul untuk menerangi bumi dan kapan dia harus tenggelam untuk memberi ruang pada malam. Tujuanya agar kita manusia mampu membedakan antara hal yang terang untuk saling mengenal dan hal gelap untuk
12
saling direnungkan. Ini batas yang telah diatur oleh siklus alam, batas keberlangsungan kehidupan.” Jaleswari merenungkan makna kalimat demi kalimat yang di ucapkan Panglima Adayak. “Status panglima perang yang aku sandang sekarang ini bukan lagi dimaknai lagi sebagi pemimpin pertempuran dalam permusuhan, tapi lebih pada menjaga keberlangsungan perdamaian,”lanjutnya. Adeus mengangguk-ngangguk kepala mendengarkan itu. (hal. 282) Pada paragraf ini diuraikan bahwa tokoh Panglima Adayak ada orang yang bijaksana berstatus orang yang disegani. Namun,
dia disegani bukan
sebagai panglima perang pemimpin pertempuran melainkan lebih pada menjaga keberlangsungan perdamaian di Ponti Tembawang. Paragraf ini termasuk ke dalam kepribadian superego yaitu Panglima Adayak yang menanamkan nilai-nilai perdamaian dan batas-batasan dalam diri manusia. Superego berkerja sesuai dengan
keingian id, ego lebih dominan
berkerja dalam bentuk prinsisp realitas sebagai pencarian untuk mendapatkan pemahaman sesuai dengan batasan fisik maupun sosial dan hati nurani. Pembahasan hasil penelitian yang dianalisis berdasarkan struktur kepribadian Freud. Struktur-struktur kepribadian sigmund Frued yang terdapat pada novel Batas Antara Keinginan dan Kenyataan karya Akmal Nasery Basral yaitu id, ego, dan superego. Pada hakikatnya kepribadian Freud dibagi menjadi tiga oleh Endrasawara (2008: 199), Id atau es, ego atau ich, dan superego atau Iber Ich. Isi id adalah dorongan-dorongan primitive yang harus dipuaskan, salahsatunya adalah libido. Id dengan demikian merupakan kenyataan subjektif primer, dunia batin sebelum individu memiliki pengalaman tentang dunia luar. Ego bertugas untuk mengontrol id, sedangkan superego berisi kata hati. Pada akhirnya, ketiga aspek kepribadian Freud ini saling berinteraksi satu sama lain. Kepribadian id, ego, dan superego pada tokoh merupakan prinsipprinsip
berjalannya sebuah proses kepribadian psikologi yang tidak dapat
dipisahkan satu sama lain. Pada dasarnya untuk terbentuknya proses psikologi tokoh yang relavan antara id yaitu komponen biologis kemudian muncul ego
13
sebagai proses terbentuknya psikologis sedangkan superego sebagai komponen sosial yang menentukan nilai-nilai aturan yang bersifat evaluatif pada tokoh. PENUTUP Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan dalam pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa, Kesimpulan akhir dari penelitian menunjukan bahwa banyak ditemukan kepribadian id, ego, dan superego pada tokoh-tokoh. Id, ego, dan superego yang menjadi penentu pada tokoh-tokoh yang terdapat dalam novel dengan konflik yang muncul di setiap permasalahan. Kepribadian seseorang itu terjadi saat disadari atau tidak disadarinya, karena setiap orang memiliki id, ego, dan superego. Ketiganya memberikan kontribusi dalam pembentukan kepribadian seseorang. Baik atau buruk kepribadian yang terbentuk ditentukan oleh bagian kepribadian mana antara id, ego, dan superego yang lebih menonjol. Hasil temuan data yang diperoleh tiap tokoh yaitu: Pada tokoh Jaleswari sebagai tokoh protagonis ditemukan kepribadian Freud id sebanyak 29,41%, ego 31,25%, dan superego 33,33%. Tokoh Adeus ditemukan lepribadian id sebanyak 17,65%, ego12,5%, dan superego 13,33. Kemudian tokoh Borneo ditemukan kperibadian id sebanyak 11,76%, Ego 12,5%, dan superego 20%. Pada tokoh Ubuh kepribadian id ditemukan sebanyak 5,88%, ego 6,25%, dan superego 6,67%. Persentase kepribadian tokoh Panglima Adayak dirmukan kepribadian id sebanyak 17,34, ego 18,75%, dan superego 13,33%. Kemudian persentase kepribadian tokoh Nawara id ditemukan sebanyak 5,88%, ego 6,25%, dan superego 13,33%. Selanjutnya tokoh Arifin kepribadian id ditemukan sebanyak 11,76, ego 12,5%, dan superego 13,33%. DAFTAR FUSTAKA Basral, Akmal Nasery. 2011. Batas Antara Keinginan dan Kenyataan. Jakarta: Qanita. Endraswara, Suwardi. 2008. Metode Penelitian Psikologi Sastra. Yogyakarta: MedPres. Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitan sastra. Yogakarta: MedPres. Freud, Sigmund. 1979. Memperkenalkan Psikoanalisa. Terjemahan Bertens. Jakarta: gramedia
14
Hartono, S.S. Budi. 2003. Psikoanalisis dan Sastra. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi.Yogyakarta. Gajah Madan Universitas Press. Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
15