KEPRIBADIAN TOKOH UTAMA DALAM NOVEL UESUGI KENSHIN KARYA YOSHIKAWA EIJI (KAJIAN PSIKOANALISIS) 吉川英治によって書かれた「上杉謙信」という小説の主人公の人格 (精神分析の研究)
SKRIPSI Diajukan sebagai Syarat untuk Memenuhi Ujian Sarjana Program Strata 1 Humaniora dalam Ilmu Bahasa dan Sastra Jepang
Disusun Oleh: Adrianus Rio Hintono 13050111130073
PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2017
HALAMAN PERNYATAAN
Dengan sebenarnya penulis menyatakan bahwa skripsi ini disusun tanpa mengambil bahan hasil penelitian untuk suatu gelar sarjana atau diploma di suatu universitas maupun hasil penelitian lain. Sejauh yang penulis ketahui, skripsi ini juga tidak mengambil bahan dari publikasi tulisan orang lain, kecuali yang sudah ditunjuk dalam rujukan. Penulis bersedia menerima sangsi jika terbukti melakukan penjiplakan.
Semarang, Juni 2017 Penulis
Adrianus Rio Hintono 13050111130073
ii
HALAMAN PERSETUJUAN
Disetujui Oleh: Dosen Pembimbing I
Budi Mulyadi, S.Pd., M.Hum. NIP 197307152014091003
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Diterima dan disahkan oleh Panitia Ujian Skripsi Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Pada hari : Senin Tanggal
: 3 Juli 2017
Ketua Budi Mulyadi, S.Pd., M.Hum. NIP 197307152014091003
..............................................
Anggota I Fajria Noviana, S.S., M.Hum. NIP 197301072014092001
..............................................
Anggota II Dewi Saraswati Sakariah, S.S., M.Hum. NIK 199004020115092090
..............................................
Semarang, 3 Juli 2017 Ketua Program Studi Sastra Jepang
Elizabeth Ika Hesti A.N.R., S.S., M.Hum. NIP 197504182003122001
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
“Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang.” (Bung Karno) “Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.” “Percaya diri itu harus, namun sadar diri juga tidak kalah penting.”
Persembahan: Skripsi ini kupersembahkan untuk keluargaku, sahabat-sahabatku dan untuk perkembangan ilmu pengetahuan.
v
PRAKATA Salam sejahtera bagi kita semua, Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Bapa Yang Maha Kuasa, dan kepada putra-Nya yang tunggal Yesus Kristus yang mana atas rahmat karunia, kemudahan, kelancaran yang telah dianugerahkan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Kepribadian Tokoh Utama Dalam Novel Uesugi Kenshin Karya Yoshikawa Eiji, sebagai salah satu syarat kelulusan dan untuk mendapat gelar sarjana di Program Studi Sastra Jepang, Fakulas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro, Semarang. Penulis menyadari bahwa rahmat kemudahan dan kelancaran yang dianugerahkan kepada penulis datang dalam berbagai bentuk, melalui pihak-pihak yang telah berjasa membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Maka dari itu, penulis ingin mengungkapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Orang tua tercinta, Bapak Dr. Ir. Antonius Hintono, M.P. dan Ibu Nio Lee Tjoe. 2. Bapak Budi Mulyadi, S.Pd., M.Hum., selaku dosen pembimbing dalam penulisan skripsi ini. 3. Ibu Fajria Noviana, S.S., M.Hum., selaku dosen wali penulis di Program Studi Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro, Semarang. 4. Ibu Eizabeth Ika Hesti A.N.R, S.S., M.Hum., selaku Ketua Program Studi Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro, Semarang.
vi
5. Dr. Redyanto Noor, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro, Semarang. 6. Seluruh pengajar di Program Studi Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro, Semarang. Walaupun skripsi ini sangat jauh dari kata “sempurna”, namun dari ketidak sempurnaan tersebut penulis berharap jika ada yang membaca skripsi ini di kemudian hari, pembaca tersebut dapat menjadikan skripsi ini sebagai patokan untuk membuat penelitian yang jauh lebih sempurna, sehingga skripsi ini dapat memiliki sumbangsih bagi penyempurnaan ilmu pengetahuan.
Semarang, Juni 2017
Penulis
vii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................ ii HALAMAN PERSETUJUAN ...................................................................... iii HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................. v PRAKATA ...................................................................................................... vi DAFTAR ISI ................................................................................................... viii ABSTRACT .................................................................................................... x BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1 1.2. Rumusan Masalah ......................................................................... 7 1.3. Tujuan Penelitian .......................................................................... 7 1.4. Ruang Lingkup .............................................................................. 8 1.5. Metode Penelitian.......................................................................... 8 1.6. Manfaat Penelitian ........................................................................ 9 1.7. Sistematika Penulisan ................................................................... 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI 2.1. Tinjauan Pustaka ........................................................................... 12 2.2. Pendekatan Struktural ................................................................... 14 2.2.1. Unsur Intrinsik..................................................................... 15 2.2.1.1. Tokoh dan Penokohan ................................................. 15 2.2.1.2. Alur .............................................................................. 16 2.2.1.3. Latar ............................................................................. 17 2.3. Psikologi Sastra ............................................................................. 19 2.3.1. Psikologi Tokoh Karya Sastra ............................................. 19 2.4. Teori Psikoanalisis ........................................................................ 19 2.4.1. Teori Struktur Kepribadian ................................................. 20 2.4.2. Teori Kecemasan ................................................................. 23
viii
2.4.3. Mekanisme Pertahanan Ego ................................................ 25 BAB III PEMAPARAN HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Tokoh dan Penokohan, Alur, Latar, Novel “Uesugi Kenshin” ..... 28 3.1.1. Tokoh dan Penokohan ........................................................ 28 3.1.1.1. Tokoh Utama .......................................................... 28 3.1.2. Alur...................................................................................... 41 3.1.3. Latar .................................................................................... 48 3.1.3.1. Latar Tempat ........................................................... 48 3.1.3.2. Latar Waktu ............................................................ 58 3.1.3.3. Latar Sosial ............................................................. 69 3.2. Kepribadian Tokoh Utama Novel “Uesugi Kenshin” ................. 71 3.2.1. Konflik Batin Tokoh Utama ............................................. 71 3.2.2. Kecemasan Tokoh Utama ................................................. 85 BAB IV PENUTUP 4.1. Simpulan........................................................................................ 92 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 95 要旨 .................................................................................................................. 96 BIODATA ...................................................................................................... 100
ix
ABSTRACT Hintono, Adrianus Rio. “Kepribadian Tokoh Utama Dalam Novel Uesugi Kenshin Karya Yoshikawa Eiji”. Thesis. Department of Japanese Studies Faculty of Humanities. Diponegoro University. The First Advisor Budi Mulyadi, S.Pd, M.Hum. The purpose of this research is analyze psychological condition of the main character of the novel Uesugi Kenshin. The data used in this research is the novel Uesugi Kenshin, published by Kodansha in 1986. The theory used in this research is psychoanalysis Theory by Sigmund Freud. This theory used to analyze the psychological condition of the lead character of the novel Uesugi Kenshin. The second theory used in this research is structural theory by Burhan Nurgiyantoro. This theory used to analyze main character’s characteristic, plot, and the setting in this short novel.
Keywords : Uesugi Kenshin, psychological condition, structural
x
BAB I PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Sastra adalah karya tulis yang bila dibandingkan dengan tulisan lain, ciri-ciri keunggulan, seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan ungkapannya (Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1999: 882). Bentuk karya sastra bisa bermacam-macam seperti puisi, prosa, drama, hikayat, seloka, dan lain-lain. Namun dari bentuk-bentuk karya sastra tersebut, yang sangat menarik adalah prosa, khususnya novel. Novel merupakan suatu karya sastra yang menarik karena novel dapat menjadi pelepas penat akan kesibukan sehari-hari. Dengan membaca novel, kita bisa merasakan keasyikan tersendiri, dengan jalan cerita yang kadang sulit ditebak, dengan konflik-konflik yang dimunculkan, dan kejutan-kejutan yang tersimpan di dalam ceritanya. Novel merupakan karangan prosa yang panjang, mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak, sifat setiap pelaku (Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1999: 694). Menurut Abrams istilah novel berasal dari bahasa Itali novella, yang mengandung makna harfiah sebuah barang baru yang kecil, yang kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa (Nurgiyantoro, 2009: 9). Lebih jauh,
1
Nurgiyantoro (2009: 10) menambahkan bahwa dewasa ini novel dideskripsikan sebagai sebuah karya prosa fiksi yang cukup panjang tidak terlalu
panjang
namun
tidak
terlalu
pendek.
Novel
seringkali
dipertentangkan dengan cerpen. Perbedaannya adalah bahwa cerpen menitikberatkan pada intensitas, sementara novel cenderung bersifat meluas. Novel yang baik cenderung menitikberatkan pada kemunculan complexity,
yaitu kemampuan menyampaikan permasalahan yang
kompleks secara penuh, mengkreasikan sebuah dunia yang “jadi”, berbeda dengan cerpen yang bersifat implisit, yaitu menceritakan masalah secara singkat. Selain itu, novel yang baik juga harus mengandung unsur keindahan. Unsur keindahan yang dimaksud adalah karya tersebut bukanlah sekedar sebuah karya fiktif belaka, namun diperlukan adanya kesadaran yang bersifat individual dari diri pengarangnya yang ditampilkan dengan bahasa dan pola naratif yang estetik. (Susanto, 2016: 18). Untuk mencapai keberhasilan tersebut diperlukan kepiawaian seorang sastrawan dalam mengolah dan kemudian menuangkan ide-idenya ke dalam suatu novel. Salah satu sastrawan yang mampu mengolah dan menuangkan ideidenya dengan baik dalam suatu novel sehingga menjadikan novel karangannya bisa tetap digemari oleh beberapa generasi adalah seorang sastrawan bernama Yoshikawa Eiji. Ia adalah salah satu sastrawan Jepang yang memiliki nama besar. Ia telah memperoleh berbagai macam penghargaan, antara lain Cultural Order of Merit (Penghargaan tertinggi kepada sastrawan di Jepang) pada tahun 1960, The Order of Sacred
2
Treasure dan The Mainichi Award tepat sebeleum kematiannya karena kanker pada tahun 1962. Yoshikawa Eiji telahir pada 11 Agustus 1892, di Prefektur Kanagawa, yang mana sekarang menjadi bagian dari Yokohama, dengan nama Yoshikawa Hidetsugu (吉 川 英 次 ). Pada usia 11 tahun Ia harus berhenti sekolah karena kebangkrutan yang dialami oleh ayahnya, dan pada usia 18 tahun setelah kecelakaan kerja yang nyaris fatal, Ia pindah ke Tokyo dan menjadi murid pertukangan di bengkel pernis emas. Pada masa-masa itulah Ia mulai tertarik dalam dunia komik haiku. Ia bergabung dalam komunitas sastra dan mulai menulis komik haiku dengan nama samaran “Kijiro”. Kepiawaiannya dalam mengarang cerita mulai diakui oleh umum, dengan menjadi pemenang dalam kontes penulisan novel yang diadakan oleh penerbit Kodansha, dengan novelnya yang berjudul “Tale of Enoshima” pada tahun 1914. Kemudian isa secara rutin menghasilkan cerita-cerita yang diterbitkan oleh perusahaan Kodansha, yang menyebutnya sebagai penulis nomor satu di perusahaan tersebut. Yoshikawa Eiji telah menggunakan sebanyak 19 nama samaran sebelum menggunakan nama “Yoshikawa Eiji” ini. Ia pertama kali menggunakan nama “Yoshikawa Eiji” saat menerbitkan “Sword Trouble, Woman Trouble”. Namanya menjadi terkenal sejak “Secret Record of Naruto” diterbitkan di Osaka Mainichi Shimbun, dan sejak saat itu tulisantulisan Yoshikawa Eiji semakin populer. Namun pada awal tahun 1930an
3
gendre tulisannya berubah-ubah akibat dari munculnya masalah pribadi dalam kehidupannya. Namun sejak diterbitkannya serial “Musashi”, yang bercerita tentang pendekar pedang yang terkenal bernama Miyamoto Musashi di Asahi Shimbun, tulisannya menjadi tetap dengan genre fiksi petualangan sejarah. Saat pecahnya perang Jepang-China pada tahun 1937, Yoshikawa Eiji dikirim oleh Asahi Shimbun untuk menjadi koresponden lapangan. Dalam tugasnya sebagai koresponden lapangan, Ia tetap menulis novelnovelnya yang kemudian terpengaruh oleh kebudayaan China, seperti “Taiko” dan penceritaan ulang kisah “Romansa Tiga Negara”. Setelah berakhirnya perang, Ia berhenti menulis sejenak dan menikmati masa pensiun yang tenang di pinggiran Tokyo, namun pada tahun 1947 Ia kembali mulai menulis. Banyak dari karya terkenal Yoshikawa Eiji yang diterbitkan setelah masa perang merupakan revisi terhadap karya-karya terdahulu, seperti kisah Heike ( 平 家 物 語 Heike Monogatari), kisah Genji (源氏物語
Genji Monogatari), dan lain-lain.
Yoshikawa Eiji berhasil menceritakan ulang kisah-kisah klasik dari Jepang tersebut dengan gaya bahasanya sendiri, yang lebih mudah untuk dimengerti oleh pembaca masa kini. Banyak dari karya Yoshikawa Eiji yang sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, itu menunjukkan bahwa karyanya tidak hanya digemari oleh warga Jepang, namun juga seluruh warga dunia. Salah satu novelnya yang terkenal adalah novel yang berjudul “Uesugi Kenshin”.
4
Novel ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk ke dalam Bahasa Indonesia. Novel Uesugi Kenshin adalah novel sejarah yang bercerita tentang salah seorang panglima perang yang termasyur di Jepang pada abad 16 yang bernama Uesugi Kenshin. Novel ini adalah novel yang berdasar sejarah nyata peperangan antara dua panglima perang Jepang yaitu Uesugi Kenshin dan Takeda Shingen. Peperangan yang diwarnai dengan konflik batin dari tokoh utama dalam mengambil keputusan dalam peperangan, kecemasan yang dialami tokoh utama dalam peperangan, yang akhirnya
mempengaruhi
langkah-lagkah
yang
diambilnya
dalam
peperangan. Novel ini berlatar pada saat terjadinya perang Kawanakajima, salah satu perang yang paling terkenal dalam sejarah Jepang, dimana terjadi peperangan yang sangat sengit antara Uesugi Kenshin dan Takeda Shingen, yang mana kedua tokoh ini sebenarnya sudah bersaing sejak lama, namun peperangan kali ini diawali dengan direbutnya Benteng Warigadake oleh pihak Takeda dari wilayah Uesugi, yang mengakibatkan diserangnya wilayah Klan Takeda oleh Pasukan Uesugi Kenshin. Yang menarik dari peperangan ini adalah jumlah pasukan Kenshin yang sangat jauh lebih sedikit dibanding pasukan Takeda dan juga perang taktik yang dilancarkan kedua panglima, mengakibatkan Kenshin harus berpikir dengan sangat hatihati dan penuh spekulasi dalam setiap keputusan yang diambil dalam peperangan. Dalam kondisi sadar akan kekurangan pasukannya dalam peperangan ini, Kenshin menggunakan taktik yang sangat tidak terduga,
5
yang berhasil membuat Takeda Shingen salah langkah dan hampir menyebabkan dirinya terbunuh oleh tangan Kenshin sendiri. Novel ini menceritakan tentang peperangan yang memicu konflik batin dalam diri tokoh utama, dimana Ia harus mengambil tindakan atas perlakuan Shingen, namun di lain pihak kenshin sadar kekuatannya lebih kecil, kemudian peristiwa-peristiwa saat terjadinya peperangan dimana Kenshin harus mengambil keputusan yang cukup banyak dipertanyakan oleh anak buahnya sendiri karena dia masuk begitu dalam ke wilayah musuh dan tidak melakukan apa-apa, hanya berdiam di satu titik, ketika Kenshin harus menarik mundur pasukannya secara tiba-tiba, dan peristiwa-peristiwa setelah peperangan dimana dia melihat kesedihan yang sangat di antara penduduk wilayahnya akibat peperangan yang terjadi, sehingga di satu sisi Ia merasa bersalah atas perang tersebut, namun di sisi lain Ia juga menganggap perang itu diperlukan untuk mempertahankan wilayahnya. Novel ini juga banyak menceritakan kejadian yang memicu kecemasan tokoh utama, yaitu dimana Ia harus menghadapi “kekalahan”, sedangkan Ia dan sisa pasukannya berada jauh di dalam wilayah negeri musuh, Kenshin mengalami kecemasan apakah pasukannya dan Ia bisa kembali ke negerinya dengan selamat. Yang menarik dalam novel ini adalah sikap Kenshin yang digambarkan bisa tetap tenang dalam menghadapi masalah-masalah tersebut sehingga dapat mengambil keputusan dengan tepat, yang mana menjadikan kepribadian tokoh Uesugi Kenshin menarik untuk diteliti
6
melalui pendekatan psikoanalisis Sigmnd Freud. Karena pendekatan psikoanalisis merupakan pendekatan yang sangat ampuh untuk memahami perilaku seseorang, terutama yang sulit diamati secara kasat mata. (Moesono, 2003) 1.2.
Rumusan Masalah Permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Unsur-unsur intrinsik apa sajakah yang membangun novel Uesugi Kenshin karya Yoshikawa Eiji yang berkaitan dengan kepribadian tokoh utama? 2. Bagaimana kepribadian tokoh utama dalam novel Uesugi Kenshin karya Yoshikawa Eiji?
1.3.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mendeskripsikan unsur-unsur intrinsik yang membangun novel Uesugi Kenshin karya Yoshikawa Eiji yang berkaitan dengan kepribadian tokoh utama. 2. Mendeskripsikan kepribadian tokoh utama dalam novel Uesugi Kenshin karya Yoshikawa Eiji.
7
1.4.
Ruang Lingkup Pembatasan masalah dalam penelitian ini mengarah pada upaya untuk mendeskripsikan: 1.
Unsur-unsur intrinsik yang membangun novel Usesugi Kenshin karya Yoshikawa Eiji yang dapat memperkuat bukti kepribadian tokoh utama yang meliputi tokoh dan penokohan, dan latar.
2. Kepribadian tokoh utama dalam novel Uesugi Kenshin karya Yoshikawa Eiji yang meliputi konflik batin, mekanisme pertahanan ego, dan kecemasan berdasarkan teori Psikoanalisis Sigmund Freud. 1.5.
Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Metode kualitatif secara
keseluruhan
memanfaatkan
cara-cara
penafsiran
dengan
menyajikannya dalam bentuk deskripsi (Ratna, 2012: 46). Oleh karena itu dalam penelitian ini, penulis mengambil beberapa data yang berkaitan dengan masalah yang diteliti dari novel Uesugi Kenshin, kemudian mendeskripsikan hasil analisis masalah tersebut. Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah novel Uesugi Kenshin, karya Yoshikawa Eiji penerbit kodansha, Jepang. Sedangkan data sekunder berasal dari referensi luar novel. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan studi pustaka. Penulis membaca seluruh isi novel dengan teliti, kemudian mengumpulkan bagian-bagian atau peristiwa yang berkaitan dengan
8
masalah. Setelah semua data terkumpul, penulis mengelompokkannya berdasarkan klasifikasi yang terdapat dalam teori. Teknik analisis data yang digunakan penulis: 1. Penulis membaca secara teliti dan berulang-ulang data, yaitu novel Uesugi Kenshin karya Yoshikawa Eiji. 2. Penulis mengelompokkan data-data yang mencerminkan kepribadian tokoh utama. 3. Penulis menganalisis unsur intrinsik yang berkaitan dengan kepribadian tokoh utama yang ada pada data tersebut dengan menggunakan teori strukturalisme. 4. Penulis menganalisis kepribadian tokoh utama yang ada pada data tersebut dengan menggunakan teori psikoanalisis dari Sigmund Freud. 5. Penulis membuat simpulan berdasarkan hasil analisis yang telah didapatkan. 1.6.
Manfaat Penelitian Pada prinsipnya penelitian ini diharapkan dapat berhasil mencapai tujuan penelitian secara optimal, menghasilkan laporan yang sistematis dan dapat bermanfaat secara umum.
9
Adapun manfaat yang dapat diberikan oleh penelitian ini antara lain: Manfaat Teoretis: •
Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan sumbangan dalam mengaplikasikan pemikiran dan pengetahuan khususnya di bidang sastra.
•
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memperkaya penggunaan teori-teori sastra secara teknik analisis terhadap karya sastra.
Manfaat Praktis: •
Penelitian dari novel Uesugi Kenshin ini diharapkan dapat menambah referensi penelitian karya sastra dan membuka wawasan baru bagi para pecinta novel sejarah asal Negeri Jepang.
•
Penelitian ini juga diharapkan dapat membantu pembaca dalam mengungkapkan masalah atau konflik yang terkandung dalam novel Uesugi Kenshin.
1.7.
Sistematika Penulisan Penyusunan penelitian ini dilakukan dengan tahapan yang sistematis dan terarah, serta terbagi menjadi empat bab. Bab pertama adalah pendahuluan yang berisi latar belakang penulisan, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab kedua adalah landasan teori yang berisi teoriteori yang akan digunakan dalam penelitian ini. Bab ketiga berisi
10
pembahasan analisis kepribadian tokoh utama novel Uesugi Kenshin berdasarkan teori-teori yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya. Bab keempat berisi simpulan dari pembahasan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya.
11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI
2.1.
Tinjauan Pustaka Setelah penulis telusuri, ada penelitian-penelitian lain yang mengkaji novel Uesugi Kenshin karya Yoshikawa Eiji. Penelitian tersebut telah dilakukan oleh beberapa orang sebagai skripsi, yang mana sebagai berikut: 1.
“Karakter dan Implikasi Kepemimpinan Uesugi Kenshin「上杉謙信」 Dalam Novel Uesugi Kenshin「上杉謙信」Karya Eiji Yoshikawa「英
治吉川」” (2013) yang ditulis oleh Mukhamad Fardika Akbar, alumni Prodi Pendidikan Bahasa Jepang, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Surabaya, Surabaya. Penelitian tersebut menggunakan metode deskriptif kualitatif dan bertujuan untuk mengetahui karakter kepemimpinan Uesugi Kenshin dan Implikasi kepemimpinan Uesugi Kenshin. Adapun kesimpulan dari penelitian tersebut adalah karakter kepemimpinan yang dimiliki Daimyo Uesugi Kenshin adalah : Envision, Integrity, Dedication, Humility, Openness, Creativity Fairness dan Asserrtiveness. Serta implikasi kepemimpinan Daimyo Uesugi Kenshin dalam novel Uesugi Kenshin karya Eiji Yoshikawa adalah dengan terbuktinya kesetiaan dan keseganan para pengikut kepada Daimyo Uesugi Kenshin.
12
2. “Perang Kawanakajima Keempat Pada Zaman Sengoku dalam Novel Uesugi Kenshin Karya Yoshikawa Eiji: Pendekatan Sosiologi Sastra” (2015) yang ditulis oleh Putri Wulan Dari, alumni Prodi Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Bung Hatta, Padang. Penelitian dengan metode kualitatif ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang sejarah perang Kawanakajima keempat dalam novel Uesugi Kenshin pada zaman Sengoku di Jepang dan dalam sejarah. Selanjutnya mendeskripsikan keadaan sosial budaya dalam novel Uesugi Kenshin. Adapun kesimpulan dari penelitian tersebut adalah Manifestasi peristiwa sejarah dari novel Uesugi Kenshin merupakan peristiwa sejarah yang diwujudkan ke dalam bentuk fiksi atau cerita. Sehingga, dari fakta yang dituturkan oleh sejarah tidak harus sama dengan yang diceritakan di dalam fiksi. Sejarah dapat memadukan fakta sejarah dan fakta imajiner secara mesra. Fiksi, dengan demikian, dapat memanipulasi fakta sejarah dalam pengertian di atas. Manifestasi sosial budaya dari novel Uesugi Kenshin dilihat dari zaman terjadinya perang Kawanakajima, yaitu zaman Sengoku. Zaman Sengoku merupakan zaman para samurai. Oleh karena itu, keadaan sosial budaya dilihat dari kehidupan samurai dan penggunaan senjata api pada zaman Sengoku yang menjadi bukti kedatangan Portugis di Jepang.
3. “Makna Verba Naru Dalam Novel Uesugi Kenshin Karya Eiji Yoshikawa” (2015) yang ditulis oleh Winda, alumni Prodi Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Bung Hatta, Padang. Penelitian dengan metode deskriptif ini bertujuan untuk meneliti makna dari verba naru yang terdapat dalam novel Uesugi Kenshin karya Eiji Yoshikawa. Adapun kesimpulan
13
dari penelitian tersebut adalah pada novel Uesugi Kenshin ini terdapat banyak permasalahan. Dimana doushi bergabung dengan kata kerja dengan di tambahkan youni naru dan koto ni naru memiliki makna yang berbeda. Yaitu menyatakan perubahan keadaan dan menyatakan suatu keputusan. Lalu doushi bergabung dengan kata benda memiliki makna yang menyatakan suatu ajakan. dan doushi bergabung dengan kata sifat Maknanya menyatakan suatu kejadian yang sedang terjadi. Semuanya mempunyai makna yang berbeda-beda.
Dari penelitian-penelitian yang pernah dilakukan, sejauh pengamatan penulis belum ada yang mengkaji kepribadian tokoh Uesugi Kenshin dalam novel Uesugi Kenshin karya Yoshikawa Eiji dengan tinjauan struktural dan psikoanalisis Sigmund Freud. Dengan kata lain penelitian terhadap novel ini baru pertama kali dilakukan dengan pendekatan struktural dan psikoanalisis Sigmund Freud. 2.2.
Pendekatan Struktural Pendekatan struktural merupakan pendekatan intrinsik, yakni membicarakan karya tersebut pada unsur-unsur yang membangun karya sastra dari dalam. Pendekatan tersebut meneliti karya sastra sebagai karya yang otonom dan terlepas dari latar belakang sosial, sejarah, biografi pengarang dan segala hal yang ada di luar karya sastra (Satoto, 1993: 32). Pendekatan struktural mencoba menguraikan keterkaitan dan fungsi masingmasing unsur karya sastra sebagai kesatuan struktural yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (Teeuw, 1984: 135). Jadi dapat diambil
14
kesimpulan bahwa pendekatan struktural adalah suatu pendekatan dalam ilmu sastra yang cara kerjanya menganalisis unsur-unsur struktur yang membangun karya sastra dari dalam, serta mencari relevansi atau keterkaiatan unsur-unsur tersebut dalam rangka mencapai kebulatan makna. 2.2.1. Unsur Instrinsik Unsur Intrinsik merupakan unsur pembangun karya sastra yang berasal dari dalam karya itu sendiri. Pada novel unsur intrinsik itu berupa, tema, plot, penokohan, latar, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat (Nurgiyantoro, 2009: 23). Unsur intrinsik yang akan digunakan oleh penulis untuk menguatkan penelitian ini adalah alur, penokohan, dan latar. 2.2.1.1.
Tokoh dan Penokohan
a. Tokoh Tokoh merupakan para pelaku yang terdapat dalam sebuah fiksi. Tokoh dalam sebuah karya fiksi dapat dibedakan menjadi beberapa jenis. Pembedaan tersebut didasarkan pada sudut pandang dan tinjauan, salah satunya adalah tokoh utama. •
Tokoh Utama Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel. Tokoh yang paling banyak diceritakan, sering hadir dalam setiap kejadian, dan berhubungan erat dengan tokoh-tokoh lain. Tokoh utama kemungkinan ada lebih dari satu dalam sebuah novel. Kadar
15
keutamaannya
ditentukan
dengan
dominasi
penceritaan
dan
perkembangan plot secara utuh (Nurgiyantoro, 2009: 177). b. Penokohan Penokohan dalam novel adalah unsur yang sama pentingnya dengan unsur-unsur yang lain. Penokohan adalah teknik bagaimana pengarang menampilkan tokoh-tokoh dalam cerita sehingga dapat diketahui karakter atau sifat para tokoh (Siswandarti, 2009: 44). Unsur penokohan mencakup pada tokoh, perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam cerita (Nurgiyantoro, 2009: 166). 2.2.1.2.
Alur
Alur merupakan hubungan antarperistiwa yang bersifat sebab akibat, tidak hanya jalinan peristiwa secara kronologis (Nurgiyantoro, 2009: 112). Menurut Stanton alur adalah cerita yang berisi urutan kejadian yang di dalamnya terdapat hubungan sebab akibat. Suatu peristiwa disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain (Nurgiyantoro, 2009: 113). Alur juga dapat berupa cerminan atau perjalanan tingkah laku para tokoh dalam bertindak, berpikir, berasa, dan mengambil sikap terhadap masalah yang dihadapi. Alur berdasarkan urutan waktu merupakan teknik yang digunakan pengarang untuk menyajikan urutan peristiwa dalam cerita berdasarkan urutan waktu kejadian. Alur yang terkait dengan urutan waktu dibagi menjadi dua jenis, kronologis dan tak kronologis. Kronologis dapat disebut pula alur progresif, lurus,
16
atau maju. alur tak kronologis dapat disebut pula plot regresif, sorot balik, mundur, dan campuran. Alur progresif atau kronologis merupakan alur yang mengisahkan peristiwaperistiwa dengan ditandai adanya sebab dan akibat atau diceritakan secara runtut dimulai dari tahap awal (penyituasian, pengenalan, pemunculan, dan konflik), tengah (konflik meningkat, klimaks), dan akhir (penyelesaian). Karya fiksi yang menggunakan jenis plot ini cenderung mudah diikuti jalan ceritanya karena sifatnya yang sederhana dan tidak berbelit-belit (Nurgiyantoro, 2009: 154) Berbeda dengan alur progresif, alur regresif adalah alur yang urutan kejadiannya diceritakan tidak kronologis, cerita dalam novel dapat dimulai dari tahap tengah maupun akhir. Alur seperti ini langsung membawa pembaca pada kejadian yang tidak diketahui asalnya. Biasanya alur jenis ini lebih tegas menceritakan dengan menghilangkan bagian-bagian yang tidak perlu. Sehingga pembaca lebih memiliki ketertarikan untk mengetahui kelanjutan cerita yang mengarah pada sebab atau awal cerita. Alur berdasarkan urutan waktu yang terakhir adalah alur campuran. Alur campuran adalah alur yang menyusun cerita dengan tidak maju maupun mundur. 2.2.1.2.
Latar Menurut Abrams (via Nurgiyantoro, 2009: 216) latar adalah landasan atau
tumpuan yang memiliki pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Berdasarkan
17
pengertian tersebut latar dapat disimpulkan sebagai pelukisan tempat, waktu, dan suasana pada suatu peristiwa yang ada di cerita fiksi. Unsur-unsur latar dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Berikut ulasan tentang unsur-unsur latar tersebut (Nurgiyantoro, 2009:227). a.
Latar Tempat Latar tempat adalah suatu unsur latar yang mengarah pada lokasi dan
menjelaskan dimana peristiwa itu terjadi. Bila latar tersebut termasuk latar tipikal, akan disebutkan nama dari tempat tersebut. Bisa berupa nama terang seperti Yogyakarta, Jakarta, Madiun, atau nama inisial seperti, Y, J, M. b.
Latar Waktu Latar waktu merupakan unsur latar yang mengarah pada kapan terjadinya
suatu peristiwa-peristiwa di dalam sebuah cerita fiksi (Nurgiyantoro: 2009: 230). Waktu dalam latar dapat berupa masa terjadinya peristiwa tersebut dikisahkan, waktu dalam hitungan detik, menit, jam, hari, bulan, tahun, dan lain sebagainya. Memahami latar waktu harus dikaitkan dengan unsur latar yang lain, karena sudah menjadi syarat utama bagi karya fiksi memiliki sifat yang padu. c.
Latar Sosial Latar sosial adalah latar yang menjelaskan tata cara kehidupan sosial
masyarakat yang meliputi masalah-masalah dan kebiasan-kebiasaan pada masyarakat tersebut. Latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, cara berpikir, dan lain sebagainya (Nurgiyantoro, 2009: 233).
18
2.3.
Psikologi Sastra Menurut Endraswara psikologi sastra adalah sebuah interdisiplin antara
psikologi dan sastra. Pemahaman teori psikologi sastra dapat dilakukan melalui tiga cara, pertama, melalui pemahaman teori-teori psikologi kemudian dilakukan suatu analisis pada karya sastra. Kedua, dengan terlebih dahulu menentukan sebuah karya sastra sebagai objek penelitian, kemudian ditentukan teori-teori psikologi yang dianggap relevan untuk digunakan. Ketiga, secara simultan menemukan teori dan objek penelitian (Minderop, 2010:59). Dan dengan penelitian psikologi sastra, sisi lain dari karya sastra akan dapat dipahami secara proporsional. 2.3.1. Psikologi Tokoh Karya Sastra Psikologi tokoh karya sastra mempelajari gejala dan kegiatan jiwa tokoh karya sastra baik yang normal maupun abnormal yang tercermin dalam tingkah lakunya. Gejala dan kegiatan jiwa yang diteliti bisa berupa alam bawah sadar, prasadar alam sadar tokoh (Siswanto dan Roekhan, 2015: 95). 2.4.
Teori Psikoanalisis Psikoanalisis merupakan suatu penemuan yang mengakibatkan nama
Freud termasyur. Istilah ini diciptakan oleh Freud sendiri dan muncul untuk pertama kalinya pada 1896. Psikoanalisis merupakan suatu pandangan baru tentang manusia, dimana ketidaksadaran memainkan peranan sentral. Pada suatu artikel yang ditulis Freud pada tahun 1923, Ia membedakan psikoanalisis menjadi 3 arti. Pertama, istilah “psikoanalisis” dipakai untuk menunjukkan suatu 19
metode penelitian terhadap proses-proses psikis yang sebelumnya hampir tidak terjangkau oleh penelitian ilmiah. Kedua, istilah ini menunjukkan juga suatu teknik untuk mengobati gangguan-gangguan psikis yang dialami oleh pasien neurosis. Teknik pengobatan ini bertumpu pada metode penelitian tadi. Ketiga, istilah yang sama dipakai pula dalam arti yang lebih luas lagi, untuk menunjukkan seluruh pengetahuan psikologis yang diperoleh melalui metode dan teknik tersebut di atas. (Bertens, 2006; 3) 2.4.1. Teori Struktur Kepribadian Menurut Sigmund Freud ( Hartono, 2001), kepribadian manusia terdiri dari 3 ‘bagian’ yang tumbuh secara kronologis, yaitu: a. Id Id adalah segi kepribadian tertua, sistem kepribadianpertama, ada sejak lahir (bahkan mungkin sebelum lahir), diturunkan secara genetis, langsung berkaitan dengan dorongan-dorongan biologis manusia dan merupakan sumber/ cadangan energi manusia, sehingga bisa dikatakan sebagai jembatan antara segi biologis dan psikis manusia. Id berkerja berdasarkan prinsip-prinsip yang amat primitif sehingga bersifat kaotik (kacau, tanpa aturan), tidak mengenal moral, tidak memiliki rasa benar-salah. Satu-satunya yanng diketahui Id adalah perasaan senang-tidak senang, sehingga dikatakan bahwa Id bekerja berdasarkan prinsip kesenangan (pleasure principle). Ia selalu mengejar kesenangan dan menghindar dari ketegangan.
20
Untuk menjalankan fungsinya Id memiliki dua mekanisme dasar, yaitu: gerakan-gerakan refleks dan proses primer. Dalam keadaan lapar mulut bayi akan langsung mengatup pada puting ibunya dan menghisap susu, bila terkena debu mata akan langsung berkedip dan seterusnya. Walaupun demikian refleks tidak selalu efisien dalam meredakan ketegangan, sehingga diperlukan proses dimana manusia membentuk citra dan obyek yang bergna bagi pemuasan suatu kebutuhan mendasar. Proses pembayangan ini disebut proses primer dan memiliki ciri: tidak logis, tidak rasional, tidak dapat membedakan antara khayalan dan realitas, tidak dapat membedakan antara saya dan bukan saya. Untuk bertahan hidup, seorang bayi mutlak harus dapat membedakan mana yang khayal mana yang kenyataan, maka berkembanglah sistem kepribadian kedua, yaitu Ego. b. Ego Ego adalah segi kepribadian yang harus tunduk pada Id dan harus mencari realitas apa yang dibutuhkan sebagai pemuas kebutuhan dan pereda ketegangan. Dengan demikian ego adalah segi kepribadian yang dapat membedakan anatara khayalan dan kenyataan serta mau menanggung ketengangan dalam batas tertentu. Berlawananan dengan Id yang bekerja berdasarkan prinsip kesenangan, ego bekerja berdasrkan prinip realitas (reality principle), artinya ia dapat menunda pemuasan diri atau mencari bentuk pemuasan lain yang lebih sesuai dengan batasan lingkungan (fisik maupun sosial) dan hati nurani. Ego menjalankan proses sekunder (secondary
21
process), artinya ia menggunakan kemampuan berpikir secara rasional dalam mencari pemecahan masalah terbaik. c. Superego Superego merupakan perwakilan dari berbagai nilai dan norma yang ada dalam masyarakat dimana individu itu hidup. Anak mengembangkan superegonya melalui berbagai perintah dan larangan dari orang tuanya. Titik perkembangan yang amat penting dalam pembentukan superego adalah dilaluinya tahap oidipal dengan baik. Freud membagi superego dalam dua subsistem yaitu hati nurani dan ego ideal. Hati nurani diperoleh melalui penhukuman berbagai perilaku anak yang dinilai ‘jelek’ oleh orang tua dan menjadi dasar bagi rasa bersalah. Ego ideal adalah hasil pujian dan penghadiahan atas berbagai perilaku yang dinilai ‘baik’ oleh orang tua. Anak mengejar keunggulan dan kebaikan dan bila berhasil akan memiliki nilai diri dan kebanggan diri. Berbeda denga ego yang berpegang prinsip realitas, superego memungkinkan manusia memiliki pengandalian diri selalu akan menuntut kesempurnaan manusia dalam pikiran, perkataan dan perbuatan. Freud (via Minderop, 2010: 21) mengibaratkan id sebagai raja atau ratu, ego sebagai perdana menteri dan superego sebagai pendeta tertinggi. Id berlaku seperti penguasa absolut, harus dihormati, manja, sewenangwenang dan mementingkan diri sendiri; apa yang diinginkannya harus segera terlaksana. Ego selaku perdana menteri yang diibaratakan memiliki tugas harus menyelesaikan segala pekerjaan yang terhubung dengan realitas
22
dan tanggap terhadap keinginan masyarakat. Superego, ibaratnya seorang pendeta yang selalu penuh pertimbangan terhadap nilai-nilai baik dan buruk harus mengingatkan id yang rakus dan serakah bahwa pentingnya perilaku yang arif dan bijak. 2.4.2. Teori Kecemasan Menurut Sigmund Freud (via Bertens, 2006; 34), kecemasan dapat dipandang sebagai tanda bahaya, setengah biologis setengah psikologis yang dapat dibangkitkan secara aktif oleh ego agar mekanisme pertahanan dijalankan. Jadi, kecemasan bukan saja berlangsung di ego, namun juga dilakukan oleh ego. Dan menurut Hilgard (via Minderop, 2010:28), kecemasan diikuti oleh perasaan tidak nyaman yang dicirikan dengan istilah khawatir, takut, tidak bahagia yang dapat kita rasakan, kebanyakan disebabkan oleh pertentangan nilai-nilai personal atau berseberangan dengan nilai-nilai dalam suatu masyarakat. Sedangkan Koeswara (1986: 44) berpendapat bahwa kecemasan (anxiety) adalah suatu kondisi yang akan dialami oleh individu yang disebabkan karena adanya stimulus membahayakan yang terus-menerus menghantui atau mengancam individu tersebut. Freud (via Koeswara, 1986: 45), membagi kecemasan menjadi tiga jenis kecemasan, yaitu kecemasan riel, kecemasan neurotik, dan kecemasan moral.
23
• Kecemasan Riel Kecemasan riel adalah kecemasan atau ketakutan individu terhadap bahaya-bahaya nyata yang berasal dari dunia luar (api, binatang buas, orang jahat, penganiayaan, hukuman). • Kecemasan Neurotik Kecemasan
neurotik
adalah
kecemasan
atas
tidak
terkendalinya naluri-naluri primitif oleh ego yang nantinya bisa mendatangkan hukuman. Sungguhpun sumbernya berada dalam diri, kecemasan neurotik pada dasarnya berlandaskan kenyataan, sebab hukuman yang ditakutkan oleh ego individu berasal di dunia luar. • Kecemasan Moral Kecemasan moral adalah kecemasan yang timbul akibat tekanan superego atas ego individu berhubung individu telah atau sedang melakukan tindakan yang melanggar moral. Kecemasan moral ini menyatakan diri dalam bentuk rasa bersalah atau perasaan bedosa. Sama dengan kecemasan neurotik, kecemasan moral bersifat nyata, dalam arti bahwa tekanan superego atas ego yang menimbulkan kecemasan moral itu mengacu kepada otoritasotoritas riel atau nyata ada di luar individu (orang tua, penegak hukum, masyarakat). Freud (via Minderop, 2010: 28) percaya bahwa: kecemasan sebagai hasil dari konflik bahwa sadar merupakan akibat dari konflik anatara pulsi Id (umumnya seksual dan agresif) dan pertahanan dari ego dan superego.
24
Kebanyakan dari pulsi tersebut mengancam individu yang disebabkan oleh pertentangan nilai-nilai personal atau berseberangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat. 2.4.3.
Mekanisme Pertahanan Ego Freud dalam Hilgard (via Minderop, 2010: 29) menggunakan istilah
mekanisme pertahanan mengacu pada proses alam bawah sadar seseorang yang mempertahankannya terhadap anxitas; mekanisme ini melindunginya dari ancaman-ancaman eksternal atau adanya impuls-impuls yang timbul dari anxitas internal dengan mendistorsi realitas dengan berbagai cara. a. Represi Menurut Freud (via Minderop, 2010: 32), mekanisme pertahanan ego yang paling kuat dan luas adalah antara lain, represi. Tugas represi adalah mendorong keluar impuls-impuls id yang tidak diterima, dari alam sadar dan kembali ke alam bawah sadar. b. Sublimasi Sublimasi terjadi bila tindakan-tindakan yang bermanfaat secara sosial menggantikan perasaan tidak nyaman. Sublimasi sebenarnya merupakan suatu bentuk pengalihan (Minderop, 2010: 34). c. Proyeksi Proyeksi terjadi bila individu menutupi kekurangannya dan masalah yang dihadapi atau pun kesalahannya dilimpahkan ke pada orang lain (Minderop, 2010: 34).
25
d. Pengalihan Pengalihan merupakan pengalihan perasaan tidak senang terhadap suatu objek ke objek lainnya yang lebih memungkinkan. Misal, adanya impulsimpuls agresif yang dapat digantikan, sebagai kambing hitam, terhadap orang (atau objek lainnya) yang mana objek-objek tersebut bukan sebagai sumber frustasi namun lebih aman untuk dijadikan sebagai sasaran (Minderop, 2010: 35). e. Rasionalisasi Rasionalisasi terjadi apabila motif nyata dari perilaku individu tidak dapat diterima ego. Motif nyata tersebut digantikan oleh semacam motif pengganti dengan tujuan pembenaran (Minderop, 2010: 36). f. Reaksi Formasi Represi akibat impuls anxitas kerap kali diikuti oleh kecenderungan yang berlawanan yang bertolak belakang dengan tendensi yang ditekan: reaksi formasi (Minderop, 2010: 37). g. Regresi Menurut Hilgard (via Minderop, 2010: 38), terdapat dua interpretasi mengenai regresi. Pertama, retrogessive behavior yaitu, perilaku seseorang yang mirip anak kecil, menangis dan sangat manja agar memperoleh rasa aman dan perhatian dari orang lain. Kedua, primitivation yaitu, ketika seorang dewasa bersikap sebagai orang yang tidak berbudaya dan kehilangan kontrol sehingga tidak sungkan-sungkan berkelahi.
26
h. Agresi dan Apatis Agresi dapat terbentuk secara langsung dan pengalihan. Agresi langsung adalah agresi yang diungkapkan secara langsung kepada seseorang atau objek yang merupakan sumber frustasi (Minderop, 2010: 38). Agresi yang dialihkan adalah bila seseorang mengalami frustasi namun tidak dapat mengungkapkan secara puas kepada sumber frustasi tersebut karena tidak jelas atau tak tersentuh. Sedangkan apatis adalah bentuk lain dari reaksi terhadap frustasi, yaitu dengan cara menarik diri dan bersikap seakan-akan pasrah (Minderop, 2010: 39). i. Fantasi dan Stereotype Fantasi adalah ‘solusi’ yang kadang kita cari atas masalah yang begitu bertumpuk ketimbang realitas. Sedangkan stereotype adalah konsekuensi lain dari frustasi dengen menunjukkan perilaku yang berulang terus-menerus (Minderop, 2010: 39)
27
BAB III PEMAPARAN HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Tokoh dan Penokohan, Alur, Latar Novel “Uesugi Kenshin” Sebelum mengkaji novel Uesugi Kenshin dari sudut pandang psikologi, penulis akan menguraikan struktur novel tersebut terlebih dahulu, utamanya adalah tokoh dan penokohan, alur, serta latar. 3.1.1. Tokoh dan Penokohan Tokoh merupakan para pelaku yang terdapat dalam sebuah fiksi. Dalam novel Uesugi Kenshin sebenarnya ada banyak tokoh yang terlibat, namun yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah hanya tokoh utama dari novel tersebut. Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel. Tokoh yang paling banyak diceritakan, sering hadir dalam setiap kejadian, dan berhubungan erat dengan tokoh-tokoh lain. 3.1.1.1. Tokoh Utama A. Uesugi Kenshin Uesugi Kenshin bisa dikatakan sebagai tokoh utama karena selain namanya sendiri dipakai untuk judul novel ini, juga diutamakan penceritaannya dalam novel ini. Kenshin juga merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, sering hadir dalam setiap kejadian, dan berhubungan erat dengan tokoh-tokoh lain.
28
Berikut adalah karakter tokoh Uesugi Kenshin yang digambarkan dalam novel Uesugi Kenshin: 1. Cepat dalam mengambil keputusan Uesugi Kenshin juga digambarkan sebagai seorang yang cepat dalam mengambil keputusan tanpa keraguan dan penyesalan, seperti dalam kutipan berikut: しかし、その疾風迅雷にかけては、謙信も信玄に劣らない ものだった。謙信の迅さは、行動よりも、心機にある。事 にぶつかって、悔いたり迷っていない果断にある。 (吉川、2016:25-26) Shikashi, sono shippuujinrai ni kakete wa, Kenshin mo shingen ni otoranai mono datta. Kenshin no hayasa wa, koudou yori mo, shinki ni aru. Goto ni butsukatte, kuitari mayotteinai kadan ni aru. (Yoshikawa, 2016: 25-26) Tetapi Kenshin juga tidak kalah dalam kecepatan bergerak. Kecepatannya lebih berdasarkan pada mentalitas ketimbang fisik. Jika terjadi sesuatu, Dia selalu cepat memutuskan tindakan yang akan dilakukan tanpa penyesalan, tanpa keraguan. (Yoshikawa, 2015: 30) Pada kutipan di atas tergambar dengan jelas bahwa Kenshin adalah seorang yang dapat cepat dalam megambil keputusan, dan tanpa menyesali keputusan yang telah diambil. 2. Tidak ambisius Uesugi Kenshin juga digambarkan sebagai seorang yang tidak ambisius dalam mengejar impiannya, seperti yang bisa dilihat dalam kutipan-kutipan berikut:
29
「きのうは、単騎、信玄の中軍へ馳せ入られ、きょうは、静 夜に、そのようなお考えを抱かれますか」 こと
「たとえば、琴の絃も懸けたままにしておいては、音がゆる つる
はず
む。弓は、射るときのほかは、弦を外しておくものぞ」 「外せば、外したまま懸けるを忘れ、懸ければ外すことをつ い忘れ。なかなかその心機を転じることが、われらには難 しゅうございまする」 ぼんぷ
あ
とも
「されば、凡夫われらには、暁けては兵馬を見、燈しては書 に親しみ、血腥い中にあるほど、歌心も、欲しいとするの じゃ。平易に申せば、身ひとつに文武ふたつをあわせ持つ こと。至極やさしい。しかし難しい。いうことだけは謙信 にもいえるが、さて、行うとなるだな。...ははは」。 (吉川、2016:297-298) “Kinou wa, tanki, Shingen no chuugun e hasehairare, kyou wa, seiya ni, sono you na o-kangae wo dakaremasu ka.” “Tatoeba, koto no ito mo kaketa mama ni shite oite wa, oto ga yurumu. Yumi wa, iru toki no hoka wa, tsuru wo hazu shite oku mono zo.” “Haiseba, haishita mama kakeru wo wasure, kakereba haisu koto wo tsui wasure. Naka-naka sono shinki wo tenjiru koto ga, warera ni wa muzukashuu gozaimasuru.” “Sareba, bonpu warera ni wa, akete wa heiba wo mi, tomoshite wa sho ni shitashimi, chinamagusai naka ni aru hodo, uta-gokoro mo, hoshii to suru no ja. Hei’i ni mouseba, mi hitotsu ni bunbu futatsu wo awase motsu koto. Shigoku yasashii. Shikashi muzukashii. Iu koto dake wa, Kenshin ni mo ieru ga, sate, okonau to naru da na. ...Ha ha ha.” (Yoshikawa, 2016: 297-298) “Padahal baru kemarin menyerbu pasukan inti Shingen seorang diri, hari ini Tuan memikirkan hal seperti itu dalam ketenangan malam.” “Jika dawai kecapi selalu dalam keadaan tegang, suaranya akan longgar. Busur panah pun harus dilepas kecuali saat digunakan memanah.” “Kalau dilepas, nanti akan lupa dilepaskan. Bagi kami, sulit sekali megubah pemikiran.” “Makanya, kami terbiasa melihat prajurit dan kuda di pagi hari, membaca buku di malam hari. Semakin tenggelam dalam aroma amis darah, semakin menginginkan jiwa sajak. Dengan kata lain, kita harus memiliki kekuatan fisik dan budaya, harus memiliki keduanya dalam satu tubuh. Sangat mudah. Tetapi sulit. Kalau
30
hanya berkata, Kenshin pun bisa, tapi kalau melakukannya, lain soal... Ha ha ha.” (Yoshikawa, 2010: 353-354) Kutipan di atas menunjukkan adegan percakapan antara seorang bernama Murakami Yoshikiyo dengan Uesugi Kenshin. Dan kutipan di atas Kenshin mengungkapkan bahwa “yang penting adalah irama bernafas.”, dalam hidup itu sebaiknya tidak terlalu mengejar sesuatu secara terus menerus, sehingga dapat disimpulkan bahwa Kenshin adalah seorang yang tidak terlalu ambisius dalam mencapai impiannya. Kemudian pada satu kesempatan, saat Kenshin memaparkan strategi perang di depan para komandannya, Kenshin berkata: じゃくねん
「謙信、 若 年 なるがために、このたびのわが行動を、無謀 とも案じるのであろうが、怪しむをやめよ、謙信は決して、 けいそう
軽躁、功をあせっているのではない。」。 (吉川、2016:64) “Kenshin, jakunen naru ga tame ni, kono tabi no waga koudou wo, mubou to mo anjiru no de arou ga, ayashimu wo yame yo, Kenshin wa keshite, keisou, isao wo asetteiru no de wa nai.” (Yoshikawa, 2016: 64) “Karena saya masih muda, kalian mungkin menganggap tindakan saya gegabah. Tapi jangan cemas. Saya tidak terburu-buru mengejar keberhasilan.” (Yoshikawa, 2015: 74) Perkataan Kenshin di atas dengan jelas menunjukkan bahwa Kenshin bukanlah seorang yang terburu-buru dalam mengejar keberhasilan, yang mana bisa diartikan bahwa Kenshin bukanlah seorang yang ambisius.
31
3. Cerdas, memahami agama, dan taktik perang Uesugi Kenshin juga digambarkan sebagai tokoh yang cerdas, memahami agama, dan taktik perang, seperti yang bisa dilihat dalam kutipan-kutipan berikut: さいしき
りゃく
がくたん
若くして、禅味をふくみ、才識のひらめき、三 略 の学担、 うつわ
すでに彼は、名将の 器 と、一般から見られていたが―こん おどろ
な事にも 愕 かずにいられるほどな偶像的人格ではない。 (吉川、2016:25) Wakaku shite, Zenmi wo fukumi, saishiki no hirameki, sanryaku no gakutan, sude ni kare wa meishou no utsuwa to, ichi-han kara mirareteita ga―konna koto ni mo odorokazu ni irareru hodo na guuzouteki jinkaku de wa nai (Yoshikawa, 2016: 25) Walaupun masih muda, masyarakat menganggap Kenshin sebagai sosok yang memahami Zen, tenang, memiliki otak tajam, menguasai taktik perang, dan pantas menjadi pemimpin prajurit yang tangguh. Namun Dia bukanlah patung yang tidak terkejut mendengar kejadian seperti kali ini. (Yoshikawa, 2015: 29) Pada kutipan di atas, menggambarkan secara jelas pandangan masyarakat tentang seorang Kenshin, dia dianggap memahami Zen, berotak tajam, dan memahami taktik perang. 4. Sangat menyayangi anak buahnya Uesugi Kenshin juga digambarkan sebagai seorang Daimyo yang begitu memerhatikan anak buahnya, seperti yang bisa dilihat dalam kutipan berikut: 「誰と。誰と。誰は―」と、謙信はいちいち名ざして、部将 を分け、軍を二分した。 (吉川、2016:54)
32
“Dare to. Dare to. Dare wa―” to, Kenshin wa ichi ichi meizashite, bushou wo wake, gun wo nibun shita. (Yoshikawa, 2016: 54) “Si ini, si itu, lalu si anu ― ” Dengan menyebut nama setiap komandan, Kenshin membagi komandan dan pasukan ke dalam dua kelompok. (Yoshikawa, 2015: 62) Kutipan di atas menunjukkan keadaan saat Kenshin akan menyerang Benteng Kaizu. Dalam kutipan itu Kenshin dapat menyebut satu per satu nama komandan bawahannya, yang mana ini menunjukkan bahwa Dia merupakan pimpinan yang memperhatikan bawahannya, sampai Dia pun hafal nama bawahannya. Selain itu, rasa perhatian Kenshin pada bawahannya ditunjukkan dengan sikap dan perlakuannya pada bawahannya, seperti yang ada dalam kutipan-kutipan berikut: 遠征すでに四ヵ月、戦いの前途はまだ期し難い。こう長陣 う
となれば、士気を倦まさぬことが肝要である。―で、今日 こうぎん
のように時には大いに飲んで高吟放歌に気をはなつのも意 義がある。 (吉川、2016:12) Ensei sude ni yoka getsu, tatakai no zento wa mada gosu nikui. Kou choujin to nareba, shiki wo umasanu koto ga kanyou de aru. ―de, kyou no you ni toki ni wa ooi ni nonde koukin houka ni ki wo hanatsu no mo igi ga aru. (Yoshikawa, 2016: 12) Sudah empat bulan Dia memulai ekspedisi ini, tetapi hasil peperangan belum dapat dipastikan. Dalam operasi militer yang begitu lama, hal terpenting adalah menjaga semangat tempur prajurit. Maka, di har-hari istimewa seperti sekarang ini para prajurit dibiarkan minum sake dan bernyanyi sesukanya: kesempatan seperti ini sangat berarti untuk memperbarui semangat mereka. (Yoshikawa, 2015: 11)
33
Kutipan di atas menunjukkan saat Kenshin melakukan ekspedisi untuk menyerang Benteng Odawara, di mana saat dalam kondisi perang pun, Kenshin tetap memperhatikan kondisi para prajuritnya, dimana Dia tetap membiarkan prajuritnya untuk bersantai sejenak. 「物見の報告は、そちが聞いておけ。兵はなるべく十分に眠 らせるように、また半夜代わりの者共も、夜は寒い、明々 と篝を絶やさず、身を温めて居眠るがいい。」 (吉川、2016:58) “Monomi no houkoku wa, sochi ga kiite oke. Tsuwamono wa narubeku juubun ni nemuraseru you ni, mata hanya gawari no monodomo mo, yoru wa samui, aka-aka to kagari wo tayasazu, mi wo nukumete inemuru ga ii.” (Yoshikawa, 2016: 58) “Tugasmu mendengarkan laporan dari para pengintai. Biarkan prajurit tidur senyenyak mungkin. Penjaga malam juga. Karena malam ini dingin, jaga api unggun tetap menyala agar tubuh tetap hangat.” (Yoshikawa, 2015: 67) Kutipan di atas menunjukkan perintah Kenshin pada anak buahnya yang bernama Echizen Nakajo, dimana Kenshin memerintahkan agar anak buahnya mendapat tidur yang cukup, dan dalam kondisi yang hangat karena malam yang dingin. Kutipan tersebut menunjukkan perhatian Kenshin pada anak buahnya yang besar, sampai-sampai memikirkan kondisi tidur anak buahnya.
34
5. Idealis Uesugi Kenshin juga digambarkan sebagai seorang idealis, seperti yang bisa dilihat dalam kutipan-kutipan berikut: つづいて、おととし永禄二年にも上洛した。度々の彼の忠 ごかんえつ
誠に、朝廷におかれても、御感悦はいうまでもなかったが、 かんぱく
関白近衛前嗣などは、ひそかに彼のために案じて、(遠隔 の地、こうお留守になされては、御本国の領も、さだめし お心もとないことでしょう。あとの御守備はだいじょうぶ なのですか)と、訊ねたことがある。すると、謙信は、 (ほかならぬための上洛。領土のことなど、一向に捨て置 いてもかまいません)と、答えた。 (吉川、2016:17) Tsuzuite, ototoshi eiroku ni nen ni mo jouraku shita. Dodo no kare no chuusei ni, choutei ni okaretemo, go-kanetsu wa iu made mo nakatta ga, Kanpaku Konoe Sakitsugu nado wa, hisoka ni kare no tame anjite, (Enkaku no chi, kou o-rusu ni nasarete wa, gohongoku no ryou mo, sadameshi o-kokoro mo to nai koto deshou. Ato no go-shubi wa daijoubu na no desu ka) to, tazuneta koto ga aru. Suru to, Kenshin wa, (hoka naranu tame no jouraku. Ryoudo no koto nado, ikkou ni sute oitemo kamaimasen) to, kotaeta. (Yoshikawa, 2016: 17) Kemudian dua tahun yang lalu, tahun kedua era Eiroku Dia datang lagi ke Kyoto. Tentu saja sikap setianya sangat menyentuh hati Kaisar, namun Wakil Kaisar Konoe Sakitsugu malah mencemaskan keadaan negeri Kenshin dan bertanya kepadanya, “Anda sering datang demi menghormati Istana. Tidakkah Anda mengkhawatirkan keadaan negeri Anda selama ditinggal? Apakah pertahanan negeri Anda cukup baik?” “Datang ke ibukota demi menunjukkan rasa hormat kepada Istana adalah segalanya. Sama sekali bukan masalah jika negeri hamba dibiarkan begitu saja.”, sahut Kenshin. (Yoshikawa, 2015: 17-18) Kutipan di atas menggambarkan Kenshin sebagai seorang idealis, dimana Dia begitu memegang teguh kewajiban untuk menghadap Kaisar ke ibukota untuk memberi hormat, bahkan sampai tidak mementingkan
35
keamanan negerinya sendiri, karena Dia yakin bahwa menhadap Kaisar dan memberi hormat adalah segalanya bagi Dia. 彼の寛度に対し、謙信ももちろん寛大な処置を早速にとっ た。国中に監禁している甲州方の隠密数十名を、春日山の 城下に寄せ、... (吉川、2016:310) 彼らを幾組にもわかち、三日ほど諸所見物させたうえ、旅 費を持たせて、国外へ送還してやった。 (吉川、2016:310-311) 彼は敵兵すら日本の一民観ていた。もののあわれを知る兵 家だった。敵といい味方というも、この日本国の内におい てながしあう血はことごとくみなこの国大生命ひとつに帰 するものでしかないことを達観していた。村上義清の気の 弱さを叱ったのもそれだし、敵の乱波に宥わりをかけたの もそういう心根が肚にすわっているからであった。 (吉川、2016:311) Kare no kando ni tai shi, Kenshin mo mochiron kandai na shochi wo sassoku ni totta. Kokuchuu ni kankin shiteiru Koushu-hou no onmitsu suu juu-na wo, Kasugayama no jouka ni yose, ... (Yoshikawa, 2016: 310) Kare ra wo ikugumi ni mo wakachi, mikka hodo shosho kenbutsu saseta ue, ryohi wo motasete, koku gai e soukan shite yatta. (Yoshikawa, 2016: 310-311) Kare wa tekihei sura nihon no ichitami miteita. Mono no aware wo shiru heika datta. Kataki to ii mikata to iu mo, kono nihon-koku no nai ni oite nagashi au chi wa kotogotoku mina kono kuni taiseimei hitotsu ni kaesuru mono de shikanai koto wo takkan shite ita. Murakami Yoshikiyo no ki no yowasa wo shikatta no mo sore da shi, kataki no rannami ni itawari wo kaketa no mo sou iu shinkon ga hara ni suwatteiru kara de atta. (Yoshikawa, 2016: 311) Untuk membalas pemerian maaf tersebut, Kenshin juga melakukan hal yang sama. Puluhan mata-mata Koshu yang ditahan di berbagai tempat di Negeri Echigo dikumpulkan di Kastel Kasugayama, ... (Yoshikawa, 2015: 372)
36
Mereka dibagi menjadi beberapa kelompok, dipimpin oleh petugas dan diajak berkeliling ke berbagai tempat selama tiga hari, kemudian setela diberi biaya perjalanan, dibebaskan pergi. (Yoshikawa, 2015: 373) Menurutnya (Kenshin), seorang prajurit musuh pun adalah warga Jepang. Dia seorang penguasa militer yang memahani arti belas kasihan. Menurut Kenshin, darah yang ditumpahkan oleh kawan maupun lawan, adalah demi jiwa besar negara. Memarahi Murakami Yoshikiyo, atau memberi belas kasihan kepada matamata musuh, semuanya karena dia memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan seperti itu. (Yoshikawa, 2015: 373-374) Dari kutipan di atas, kita dapat melihat Kenshin sebagai seorang idealis, yang mana tidak menghiraukan kekhawatiran anak buahnya dan tetap membebaskan mata-mata Shingen karena Kenshin memiliki keyakinan yang kuat akan pandangan bahwa darah yang ditumpahkan oleh kawan maupun lawan, adalah demi jiwa besar negara, maka dari itu musuh pun berhak mendapat belas kasihan. 「今ではありませんか。一挙、甲府を撃砕するのは」うわさ とみ
は頓に高い。越後表でも謙信にたいしてしきりにすすめる 武将もあった。が、謙信はその期間、敢て、甲信に兵馬を うごかさなかった。のみならず今川家から、この塩止政策 の同盟を求めて来た使者に対しても、「当家においては、 疾くに当家として、策も立ておれば、御喙容には及ばぬ」 と、追い返してしまった。 (吉川、2016:315) “Ima de wa arimasen ka. Ikkyo, Koufu wo gekisai suru no wa” uwasa wa tomi ni takai. Echigo-hyou demo Kenshin ni taishite shikiri ni susumeru bushou mo atta. Ga, Kenshin wa sono kikan, aete, koushin ni heiba wo ugokasanakatta. Nominarazu Imagawake kara, kono enshiseisaku no doumei wo motomete kita shisha ni tai shite mo, “Touke ni oite wa, toku ni touke toshite, saku mo tate oreba, gokaiyou ni wa oyobanu.” to, oikaeshite shimatta. (Yoshikawa, 2016: 315)
37
“Inilah saatnya untuk merobohkan Kofu secara besar-besaran.” Desas-desus berlalu-lalang. Di antara anak buah Kenshin, ada yang menganjurkan untuk menyerbu Kofu. Tetapi sepanjang masa itu Kenshin sengaja tidak mengerahkan pasukan ke Koshu maupun ke Shinshu. Bukan hanya itu, ketika utusan yang dikirim dari klan Imagawa datang untuk meminta Kenshin bersekutu dan mendukung tindakan boikot garam, Kenshin memulangkan utusan itu dengan berkata, “Kami sejak dulu memiliki taktik sendiri, maka kamu tidak perlu diikutsertakan.” (Yoshikawa, 2015: 378) Kutipan di atas berlatar saat klan Imagawa dan klan Hojo melakukan pemboikotan pasokan garam ke Kofu akibat dari ulah Shingen yang mengerahkan pasukannya ke Suruga. Dari kutipan di atas, kita dapat melihat Kenshin sebagai seorang yang idealis, yang mana tetap tidak mau berperang dengan negara yang kondisinya sedang lemah, walaupun Dia tahu bahwa Dia bisa saja menang dengan mudah jika menyerang Kofu pada saat yang seperti itu. Dan Dia juga tetap pada pendiriannya yang tidak mau bergabung dengan klan Imagawa dalam memboikot pasokan garam ke Kofu, karena Dia merasa sudah memiliki “taktik”nya sendiri. 6. Berhati besar Uesugi Kenshin Kenshin juga digambarkan sebagai seorang yang berhati besar, seperti yang bisa dilihat dalam kutipan-kutipan berikut: 帰るとまもなく、謙信は、粮倉奉行の蔵田五郎左衛門を呼 び、「このたびの出征に、甲信地方の領民の生活を聞き及 ぶに、うわさ以上の塩切れに、百姓共の若脳は言語に絶し ているらしい。―早々、わが北海の塩を、水陸より甲信地 方へ転漕してつかわせ」と、命じた。 (吉川、2016:315)
38
Kaeru to mamonaku, Kenshin wa, rousou bugyou no Kurata Gosaemon wo yobi, “Kono tabi no shussei ni, Koushin chihou no ryoumin no seikatsu wo kikioyobu ni, uwasa ijou no shiogire ni, hyakuseidomo no wakanou wa gengo ni tayashiteiru rashii. ― Sousou, waga hokkai no shio wo, suiriku yori Koushin chihou e tensou shite tsukawase.” to, meijita. (Yoshikawa, 2016: 315) Tak lama setelah pulang ke negerinya, Kenshin memanggil petugas gudang, Kurata Gosaemon. “Dalam ekspedisi kali ini, aku mendengar keadaan penduduk di Koshu dan Shinshu. Sepertinya penderitaan para petani begitu parah sampai-sampai tidak dapat dilukiskan dengan kata akibat kekurangan garam yang jauh lebih buruk daripada yang digunjingkan. Kirimkan garam dari laut utara ke Koshu dan Shinshu melalui sungai maupun darat secepat mungkin.” Perintahnya. (Yoshikawa, 2015: 379) Kutipan perintah Kenshin di atas merupakan salah satu bentuk kebesaran hatinya, yang sudah tidak mau diajak untuk ikut memboikot pasokan garam garam ke Koshu dan Shinshu, Kenshin malah memerintahkan anak buahnya untuk mengirimkan garam ke wilayah Koshu dan Shinshu, yang merupakan wilayah dari musuhnya yaitu Takeda Shingen demi membantu kehidupan rakyat di sana. 「もとより城中の塩倉を開けるわけにはゆかぬ。城下の商賈 に令をだして、甲信側の塩商人へどしどし塩を売ってやれ、 すす
と奨めればよいのだ。ただし先の欠乏につけこんで、暴利 おそ
をむさぼる惧れがある。価格はすべて越後値段に限ること を厳命し、平価をこえることなきように致せ」。 (吉川、2016:316) “Moto yori shiro-chuu no shiokura wo akeru wake ni wa yukanu. Jouka no shiyouko ni rei wo dashite, Koushin-gawa no shio shounin e doshidoshi shio wo utte yare, to susumereba yoi no da. Tadashi saki no ketsubou ni tsuke konde, bouri wo musaboru osore ga aru. Kakaku wa subete Echigo nedan ni kagiru koto wo genmei shi, heika wo koeru koto nakiyou ni itase.” (Yoshiakwa, 2016: 316) 39
“Tentu saja garam di dalam kastel ini tak boleh dikirim. Perintahkan pedagang di kota ini untuk menjual garam sebanyak mungkin kepada pedagang garam di Koshu dan Shinshu. Mungkin ada yang akan mencoba memperoleh untung sebanyak mungkin. Maka perintahkan dengan tegas agar harga garam harus sama dengan harga di Echigo, tidak boleh melebihi harga di negeri kita.” (Yoshikawa, 2015: 379) Dalam kutipan di atas Kenshin memerintahkan agar para pedagang garam di Echigo menjual garam sebanyak-banyaknya ke Koshu. Namun yang membuat Kenshin menjadi seorang yang berhati besar adalah Kenshin memerintahkan agar para pedagang tidak mengambil untung yang sebanyakbanyaknya, namun harus menjual garam sama dengan harga garam di Echigo, sehingga warga di Koshu dapat membeli garam tersebut. ふ
家中の武将のうちには、この訃を伝え聞いて、 「絶好のときだ。甲府の一門宿将は、おそらく暗夜に燈火を 失うたような滅失の底に沈んでいるにちがいない。いま大 挙して征けば、彼の全領土を一朝に覆すは易々たるもの」 と各寄って、策を謙信に説くものもあった。 謙信は笑った。 さげす
「止めよう、止めよう。天下の 蔑 みを求めるだけだ。死後 一朝にして覆るような甲州であったら、その柱であった信 玄の死も惜しむには足らん。しかし、三年間はむしろ前に も増して甲府は金城鉄壁であろう。三年先のことは、誰に もわからぬ」 あつ
その後、謙信は、海津の城まで重臣を遣って、篤く信玄の とむら
死を 弔 わしめた。 (吉川、2016:320) Kachuu no bushou no uchi ni wa, kono fu wo tsutae-kiite, “Zekkou no toki da. Koufu no ichimon shukushou wa, osoraku anya ni touka wo ushinau tayou na messhitsu no soko ni shizundeiru ni chigainai. Ima taikyo shite yukeba, kare no zenryoudo wo ichi asa ni kutsugaesu wa i-i taru mono.” to kaku yotte, saku wo Kenshin ni toku mono mo atta. Kenshin wa waratta. 40
“Yameyou, Yameyou. Tenka no sagesumi wo motomeru dake da. Shigo ichi asa ni shite kutsugaeru you na Koushuu de attara, sono hashira de atta Shingen no shi mo oshimu ni wa taran. Shikashi, sannenkan wa mushiro mae ni mo mashite, Koufu wa kinjouteppeki de arou. Sannensaki no koto wa, dare ni mo wakaranu.” Sono ato, Kenshin wa, Kaizu no shiro made juushin wo tsukatte, atsuku Shingen no shi wo tomurawashimeta. (Yoshikawa, 2016: 320) Di antara para komandan keluarga besar Uesugi ada yang menganjurkan tindakan kepada Kenshin. “Inilah kesempatan yang terbaik. Para komandan di Kofu sedang berduka dan sedih bagaikan kehilangan penerangan dalam kegelapan. Bila kita serbu, seluruh negeri mereka dapat ditaklukkan dengan mudah.” Kenshin tertawa saja. “Jangan, jangan. Kita hanya akan menjadi bahan tertawaan. Tetapi mungkin saja dalam tiga tahun mendatang pertahanan Kofu malah semakin kuat daripada dulu. Bagaimana jadinya tiga tahun kemudian, tidak ada yang tahu. Setelah itu Kenshin mengirim anak buah tingkat tinggi ke Kastel Kaizu untuk mengucapkan belasungkawa atas kematian Shingen. (Yoshikawa, 2015: 385) Dari kutipan di atas, kita bisa melihat tindakan Kenshin ketika mengetahui bahwa musuhnya, Takeda Shingen wafat. Dia tidak mau menyerang negara musuhnya yang dalam kondisi tanpa pemimpin, namun malah mengirim anak buah tingkat tingginya ke Kastel Kaizu untuk berbelasungkawa. Tindakan inilah yang menggambarkan kebesaran hati seorang Kenshin, dimana Dia tidak mau menyerang negara yang sedang goyah dan tidak imbang dengan negaranya. 3.1.2. Alur Alur merupakan hubungan antarperistiwa yang bersifat sebab akibat, tidak hanya jalinan peristiwa secara kronologis. Dan alur yang digunakan oleh
41
Yoshikawa Eiji dalam novel Uesugi Kenshin ini adalah alur campuran, karena penampilan peristiwa dalam novel Uesugi Kenshin ini berjalan secara kronologis, namun terdapat beberapa peristiwa di masa lalu yang muncul di tengah-tengah cerita. Ada pun alur dalam novel Uesugi Kenshin adalah sebagai berikut: a. Tahap Pengenalan Tokoh Cerita dalam novel Uesugi Kenshin diawali dengan menggambarkan penampilan sang tokoh utama, seperti yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: けんしん
この正月を迎えて、 謙信は、ことし三十三とはなった。ま じゃっかん
だ 弱 冠 といっていい。それなのに、服色も装身のすべても、 やままゆおり
うぐいすちゃ
ひどく地味好みであった。長袖の羽織も山繭織 の 鶯 茶 の はかま
無地ですましている。大口に似た 袴 だけが何やら特殊な織 ず き ん
物らしい。またいつも好んだ頭巾 をかぶり、新春の装い き
ら
綺羅やかな群臣のなかにあって、にこにこと無口に衆を見 りんざい
ま
まわしている。―どう見ても臨済の若僧がひとりそこに交 ざっているようであった。 (吉川、2016:7) Kono shougatsu wo mukaete, Kenshin wa, kotoshi san juu san to wa natta. Mada jakkan to itte ii. Sore na noni, fukuiro mo soushin no subete mo, hidoku jimi konomu de atta. Nagasode no haori mo yamamayuori no uguisucha no muji de sumashiteiru. Oo guchi ni nita hakama dake ga nani yara tokushu na orimono rashii. Mata itsumo kononda zukin wo kaburi, shinshun no yosooi kirayaka na gunshin no naka ni atte, nikoniko to mukuchi ni shuu wo mimawashiteiru. Ichi dou mitemo rinzai no wakazou ga hitori soko ni mazatteiru you de atta. (Yoshikawa, 2016: 7) Tahun baru ini Kenshin memasuki usia tiga puluh tiga tahun. Meskipun terbilang muda, dia lebih menyukai pakaian serta pernak-pernik yang serba gelap dan sederhana. Saat ini dia mengenakan haori sutra berlengan panjang yang melapisi kimono berwarna hijau kecokelatan tanpa pola. Hanya celana hakama-nya yang tampak dibuat dengan tenunan istimewa. Duduk di antara
42
anak buahnya yang mengenakan kimono berearna-warni untuk merayakan tahun baru, sosoknya yang selalu mengenakan kain penutup kepala memandang hadirin sambil tersenyum tanpa banyak bicara. Bagaikan pendeta muda Rinzai yang berada di antara kamu samurai. (Yoshikawa, 2015: 5) Dari kutipan di atas, dapat dilihat bahwa tahap pengenalan tokoh utama dalam novel Uesugi Kenshin terfokus pada penggambaran penampilan tokoh utama. Penampilan tokoh utama digambarkan begitu detil, yang digambarkan sebagai seorang yang berpenampilan sangat sederhana bagi seorang Daimyo. Selain penampilan, Yoshikawa Eiji juga menggambarkan sifat-sifat tokoh utama yang tergolong sangat mulia, seperti yang dapat dilihat pada bagian penokohan di atas. Namun kesederhanaan dan kemuliaan sifat dari tokoh utama ini tidak melekat padanya sejak kecil, pada masa mudanya Kenshin digambarkan sebagai seorang Daimyo pada umumnya, namun setelah berguru pada seorang pendeta, ia langsung manjalani kehidupan sederhana layaknya seorang pendeta dan benar-benar mendalami ajaran Zen, seperti yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: まだ謙信が二十四、五歳のころ、春日山の城下で、ひとり の老僧に会った。 (吉川、2016:261) がいせん
びふく
後、彼は、凱旋すると、微服して、林泉寺に入り、親しく 宗謙禅師に参見し、以来、学ぶこと深かったという。 (吉川、2016:264) Mada Kenshin ga nijuuyon, go sai koro, Kasugayama jouka de, hitori no rousou ni atta. (Yoshikawa, 2016: 261)
43
Ato, kare wa, gaisen suru to, bifuku shite, Rinsen-Ji ni hairi, shitashiku Souken Zenji ni sanken shi, irai, manabu koto fukakatta to iu. (Yoshikiawa, 2016: 264) Ketika Kenshin masih berusia 24 atau 25 tahun, Dia bertemu seorang pendeta tua di kota bawah Kastel Kasugayama. (Yoshikawa, 2015: 309) Setelah pulang dari perang, Kenshin langsung berpakaian sederhana dan masuk ke Kuil Rinsen, berguru kepada Pendeta Soken. Sejak itu Dia mendalami ajaran Zen. (Yoshikawa, 2015: 311) b. Tahap Penyituasian Pada tahap ini, Yoshikawa Eiji menceritakan situasi kehidupan tokoh utama yang nahkan pada saat tahun baru pun harus dirayakan di medan pertempuran, seperti yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: 「連年、正月は征途で迎えるのが、このところ吉例となった ようです。去年は越中の陣中でしたが、さて、来年はどこ でするやら」 (吉川、2016:10) “Rennen, shougatsu wa seito de mukaeru no ga, kono tokoro kichirei to natta you desu. Kyonen wa Ecchuu no jinchuu deshita ga, sate, rainen wa doko de suru yara” (Yoshikawa, 2016: 10) “Akhir-akhir ini kamu selalu menyambut tahun baru dalam operasi militer. Tahu nbaru yang lalu kami berada di Ecchu. Entah di mana kami berada tahun depan.” (Yoshikawa, 2015: 8) Kutipan di atas menunjukkan perkataan tokoh utama yang ditujukan pada wakil Shogun untuk wilayah Kanto, Uesugi Norimasa. Dari kutipan di atas, dapat
44
dilihat situasi kehidupan yang harus dihadapi oleh tokoh utama, yaitu situasi yang senantiasa dalam keadaan berperang, yang mana menjadikan tokoh utama terbiasa untuk berpindah dari satu medan pertempuran ke medan yang lain dalam waktu singkat. c. Tahap Pemunculan Konflik Pada tahap ini konflik mulai muncul dalam diri tokoh utama. Konflik tersebut dimulai ketika tokoh utama menerima kabar tentang penyerangan atas Kastel Warigadake yang masih dalam wilayah Echigo oleh Takeda Shingen, dan lagi pada saat itu pihak Kenshin dan pihak Shingen masih terikat dalam perjanjian damai. Namun walaupun dalam keadaan murka, superego tetap berkuasa atas diri Kenshin yaitu ditunjukkan dengan menahan serangan balasan dan mengirimkan utusan terlebih dahulu untuk menanyakan maksud Shingen, seperti yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: 遠征の越軍は、ひとまず春日山の城へはいった。謙信はか たく期すところがあるらしく、帰城の後の生活は 朝夕常の ごとくであった。 (吉川、2016:30) Ensei no etsugun wa, hitomazu Kasugayama no shiro e haitta. Kenshin wa kataku kisu tokoro ga aru rashiku, kishiro no ato no seikatsu wa chouseki jou no gotoku de atta. (Yoshikawa, 2016: 30) Akhirnya pasukan Echigo pulang dari ekspedisi dan masuk ke Kastel Kasugayama. Kenshin tampak memiliki tekad bulat akan sesuatu, tetapi kehidupan sehari-hari setelah kembali ke kastel sama sekali tidak berubah. (Yoshikawa, 2015: 35)
45
d. Tahap Konflik Pada tahap ini konflik dipicu oleh dominasi id yang menguat dalam diri tokoh utama karena utusan yang dikirim untuk menemui Shingen tidak kunjung kembali membawa jawaban sehingga menyebabkan akhirnya ia memutuskan untuk menyerang Shingen ke Shinano, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut: この四、五十日間を、足ずりしていただけに、いよいよ八 月十四日、春日山を雷発、信濃へ、信濃へ、と合言葉のよ うに軍令が伝わるやいな、... (吉川、2016:52) Kono yon, gojuu nichi kan wo, ashizuri shite itadake ni, iyoiyo hachi gatsu juuyokka, Kasuga-zan wo raihatsu, Shinnou e, Shinnou e, to aikotoba no you ni gunrei ge tsutawaru yaina, ... (Yoshikawa, 2016: 52) Setelah menunggu dengan tidak sabar selama empat sampai lima puluh hari, pada hari keempat belas bulan kedelapan mereka diperintah berangkat secara cepat dari Gunung Kasuga. Melaju ke Shinano, ke Shinano, perintah itu disampaikan dari mulut ke mulut bagaikan kata sandi. (Yoshikawa, 2015: 60) e. Tahap Klimaks Pada tahap ini terjadi puncak konflik antara tokoh utama, Uesugi Kenshin dengan Takeda Shingen. Terjadi pertempuran langsung antara dua pasukan, bahkan Kenshin dan Shingen sempat berhadapan satu lawan satu, seperti yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: みぎのぞ
謙信は右覗きに、一太刀伸ばした体を左転して信玄のほう へ向けるや否、ふたたび、「かっッ」と、さけんだ。正し く、こんどのものは、謙信の腹の底から出た声である。信
46
うちわ
玄は突嗟、右手の軍配団扇を伸ばし、わずかに面を左の肩 へ沈めた。 (吉川、2016:237) Kenshin wa migi nozoki ni, hitotachi nobashita karada wo saten shite Shingen no hou e mukeru ya ina, futatabi, “Kattsu” to, sakenda. Tadashiku, kondo no mono wa, Kenshin no fuku no soko kara deta koe de aru. Shingen wa totsusa, migi te no gunbai uchiwa wo nobashi, wazuka ni omote wo hidari no kata e shizumeta. (Yoshikawa, 2016: 237) Kenshin yang tadi mengayunkan pedang ke arah kanan, kini membalikkan tubuh ke kiri, menghadapi Shingen, lantas memekik “Kaaaat!” Ini memang suara Kenshin. Denga refleks Shingen mengayunkankipas aba-aba perang di tangan kanannya, wajahnya ditolehkan sedikit ke bahu kiri. (Yoshikawa, 2015: 282) f. Tahap Penyelesaian Konflik Pada tahap ini pasukan bantuan Shingen datang untuk membantu menghadapi pasukan Kenshin yang telah berhasil menembus markas utama. Jumlah pasukan bantuan Shingen sangat besar, dan Kenshin menyadari hal itu sehingga yang walaupun tinggal selangkah lagi dapat membunuh Shingen, memilih untuk menarik mundur pasukannya, seperti yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: それに、敵の首将信玄に対しては、なお遺憾な一太刀を残 じゅうりん
したにせよ、彼の中軍は 蹂 躙 し尽くしたといえるので、年 うっせき
来鬱積していた宿念の一端を放つとともに、「ここは」 と、迅くも兵機の「転」を考えて、さっと退き 脚きれいに 帰ってしまったものである。 (吉川、2016:242-243) Sore ni, teki no shushou Shingen ni taishite wa, nao ikan na hitotachi wo nokoshita ni se yo, kare no chuugun wa juurin shi
47
tsukushita to ieru no de, nenrai usseki shiteita shukunen no ittan wo hanatsu to tomo ni, “Koko wa” to, hayaku mo hyouki no “ten” wo kangaete, satto hikiasi kirei ni kaette shimatta mono de aru. (Yoshikawa, 2016: 242-243) Lagi pula, walaupun tidak berhasil membunuh, setidaknya mampu menyerang Shingen secara langsung dan meluluh-lantakkan pasukan intinya. Maka setelah berhasil melepas sebagian dendam yang tertimbun selama bertahun-tahun, Kenshin memutuskan, “Inilah saatnya mundur,” dengan mempertimbangkan “perubahan kekuatan” dalam peperangan. (Yoshikawa, 2015: 287-288) Pada tahap ini superego kembali berkuasa dalam diri tokoh utama, dimana tokoh utama mempertimbangkan perubahan kekuatan yang terjadi, sehingga pada akhirnya mengambil keputusan untuk segera menarik mundur pasukannya dan kembali ke Kastel Kasugayama. 3.1.3. Latar Latar adalah landasan atau tumpuan yang memiliki pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Latar dalam novel Uesugi Kenshin yang akan dibahas adalah latar tempat, latar waktu, dan latar sosial yang berkaitan dengan tokoh utama. 3.1.3.1. Latar Tempat Latar tempat adalah suatu unsur latar yang mengarah pada lokasi dan menjelaskan dimana peristiwa itu terjadi. Dalam novel Uesugi Kenshin ada beberapa lokasi tempat terjadinya konflik-konflik batin yang dialami oleh tokoh utama, latar-latar tempat tersebut adalah sebagai berikut:
48
1. Daerah Mikuni Daerah Mikuni adalah latar dimana Kenshin yang sedang memimpin ekspedisi menerima kabar bahwa Kastel Warigadake sudah ditaklukkan oleh pasukan Shingen, seperti yang bisa dilihat dalam kutipan berikut: えんえん
六月、三国越えを、彼のひきいる人馬は、奄々 と、汗み どろに、北をさしていた。 「無念です」 「割ケ嶽は、ついに落城しました。お味方はのこらず、城 と共に、討死をとげて」 あえ
相次ぐ悲報を、謙信は、その山道を喘 ぎ喘ぎ行く途中で 聞きとった。 (吉川、2016:26) Roku gatsu, Mikuni-koe wo, kare no hiki iru jinba wa, en-en, ase midoro ni, kita wo sashiteita. “Munen desu.” “Warigadake wa, tsui ni rakujou shimashita. Omikata wa nokorazu, shiro to tomo ni, uchijini wo togete” Aitsugu hihou wo, Kenshin wa, sono yama michi wo aegi aegi iku tochuu de kiki totta. (Yoshikawa, 2016: 26) Pada bulan keenam, melewati Mikuni, pasukan yang dipimpin Kenshin berangkat ke arah utara dengan bersimbah keringat. “Sangat disesalkan.” “Kastel Warigadake telah ditaklukkan. Seluruh pasukan kita gugur bersama jatuhnya kastel.” Kenshin menerima berita duka berturut-turut dalam perjalanan mendaki gunung. (Yoshikawa, 2015: 30) Di latar inilah Kenshin menerima kabar bahwa Kastel Warigadake telah ditaklukkan oleh Takeda Shingen, pada saat itu Kenshin benar-benar murka dan berniat untuk segera membalas, namun pada akhirnya superego menguasai diri Kenshin yang akhirnya menunda serangan balasan.
49
2. Kastel Kasugayama (Gunung Kasuga) Gunung Kasuga adalah gunung tempat basis kekuatan pasukan Kenshin yaitu Kastel Kasugayama. •
Kastel Kasugayama adalah latar dimana Kenshin mengadakan rapat dengan para komandannya untuk menentukan langkah apa yang akan diambil dalam rangka menyikapi serangan Takeda ke Benteng Warigadake, seperti yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: 遠征の越軍は、ひとまず春日山の城へはいった。謙信はか たく期すところがあるらしく、帰城の後の生活は 朝夕常の ごとくであった。 (吉川、2016:30) 「我慢がならぬ」 「どうしたというものだ」 さむらい
上層の意志が酌めない下級の 士 たちほど、やりばのない ものを、ともすれば口に発したがる。そして、退城して来 たものをつかまえては、 「どうだ....御評議のもようは?」 と、訊く。 それを窺い知ることができる程度のであると、 「さあ、知らん」 としか答えないし、 (吉川、2016:31) Ensei no etsugun wa, hitomazu Kasugayama no shiro e haitta. Kenshin wa kataku kisu tokoro ga aru rashiku, kishiro no ato no seikatsu wa chouseki jou no gotoku de atta. (Yoshikawa, 2016: 30) “Gaman ga naranu” “Doushita to iu mono da” Jousou no ishi ga kumenai kakyuu no samurai tachi hodo, yariba no nai mono wo, to mo sureba kuchi ni hasshita garu. Soshite, taijou shite kita mono wo tsukamaete wa, “Dou da.... go-hyougi no moyou wa?” to, kiku.
50
Sore wo ukagai shiru koto ga dekiru teido no de aru to, “saa, shiran” to shika kotaenai shi, (Yoshikawa, 2016: 31) Akhirnya pasukan Echigo pulang dari ekspedisi dan masuk ke Kastel Kasugayama. Kenshin tampak memiliki tekad bulat akan sesuatu, tetapi kehidupan sehari-hari setelah kembali ke kastel sama sekali tidak berubah. (Yoshikawa 2015: 35) “Aku tidak tahan lagi.” “Apa maunya mereka?” Prajurit rendahan yang tidak memahami maksud para komandan cenderung mengungkapkan perasaan yang tidak dapat dilampiaskan. Mereka selalu bertanya kepada orang yang baru keluar kastel. “Bagaimana... bagaimana hasil rapatnya?” Walaupun yang ditanya adalah asisten komandan dan dapat mengerti apa yang terjadi di rapat itu, mereka hanya menjawab, Entahlah, aku tidak tahu.” (Yoshikawa, 2015: 36) Rapat yang dilakukan oleh Kenshin bersama para komandan menguatkan superego dalam dirinya sehingga akhirna menghasilkan keputusan untuk mengirimkan utusan guna menanyakan maksud pelanggaran perjanjian damai ke pihak Shingen. •
Dari Gunung Kasuga itulah Kenshin memberangkatkan pasukan untuk menyerang Koshu, seperti yang bisa dilihat dalam kutipan berikut: この四、五十日間を、足ずりしていただけに、いよいよ八 月十四日、春日山を雷発、信濃へ、信濃へ、と合言葉のよ うに軍令が伝わるやいな、... (吉川、2016:52) Kono yon, gojuu nichi kan wo, ashizuri shite itadake ni, iyoiyo hachi gatsu juuyokka, Kasuga-zan wo raihatsu, Shinnou e, Shinnou e, to aikotoba no you ni gunrei ge tsutawaru yaina, ... (Yoshikawa, 2016: 52)
51
Setelah menunggu dengan tidak sabar selama empat sampai lima puluh hari, pada hari keempat belas bulan kedelapan mereka diperintah berangkat secara cepat dari Gunung Kasuga. Melaju ke Shinano, ke Shinano, perintah itu disampaikan dari mulut ke mulut bagaikan kata sandi. (Yoshikawa, 2015: 60) Karena tak kunjung mendapat jawaban dari Shingen, Kenshin sebagai manusia biasa pun mencapai titik puncak kesabarannya, yang ditandai dengan menguatnya id dalam diri Kenshin, sehingga akhirnya ia mengerahkan pasukan untuk menyerang. •
Dari Gunung Kasuga pula Kenshin memerintahkan anak buahnya untuk mengirim garam ke Koshu yang sedang diembargo garam oleh negeri musuhnya, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut: 帰るとまもなく、謙信は、粮倉奉行の蔵田五郎左衛門を呼 び、「このたびの出征に、甲信地方の領民の生活を聞き及 ぶに、うわさ以上の塩切れに、百姓共の若脳は言語に絶し ているらしい。―早々、わが北海の塩を、水陸より甲信地 方へ転漕してつかわせ」と、命じた。 (吉川、2016:315) Kaeru to mamonaku, Kenshin wa, rousou bugyou no Kurata Gosaemon wo yobi, “Kono tabi no shussei ni, Koushin chihou no ryoumin no seikatsu wo kikioyobu ni, uwasa ijou no shiogire ni, hyakuseidomo no wakanou wa gengo ni tayashiteiru rashii. ― Sousou, waga hokkai no shio wo, suiriku yori Koushin chihou e tensou shite tsukawase.” to, meijita. (Yoshikawa, 2016: 315)
52
Tak lama setelah pulang ke negerinya, Kenshin memanggil petugas gudang, Kurata Gosaemon. “Dalam ekspedisi kali ini, aku mendengar keadaan penduduk di Koshu dan Shinshu. Sepertinya penderitaan para petani begitu parah sampai-sampai tidak dapat dilukiskan dengan kata akibat kekurangan garam yang jauh lebih buruk daripada yang digunjingkan. Kirimkan garam dari laut utara ke Koshu dan Shinshu melalui sungai maupun darat secepat mungkin.” Perintahnya. (Yoshikawa, 2015: 379) Superego dalam diri Kenshin tidak dapat membiarkan para petani ikut terdampak peperangan antar negara, sehingga ia memutuskan untuk membantu para petani di negeri Kai dengan mengirimkan garam dari Echigo. 3. Markas utama pasukan Kenshin, di Gunung Saijo Markas utama pasukan Kenshin adalah latar tempat yang digunakan Kenshin untuk beristirahat, dan di markas utama Kenshin itu pula lah ia harus menghadapai keraguan anak buahnya atas strategi yang diterapakan, seperti yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: しかも一日一日、ここの危地は軍地として最悪な条件を加 えている。一日停まれば一日の危機が深まるといってもい せいめい
い。一万三千の生命が、いま飢えるか、ここに墓石を積む かにまで、現実は迫っていた。 (吉川、2016:162) Shikamo ichinichi ichinichi, koko no kichi wa gunchi toshite saiaku na jouken wo kuwaeteiru. Ichinichi tomareba ichinichi no kiki ga fukamaru to itte mo ii. Ichiman sanzen no seimei ga, ima ueru ka (Yoshikawa, 2016: 162)
53
Sedangkan keadaan markas utama, yang berbahaya ini kian buruk. Keterlambatan bertindak satu hari membuat keadaan semakin berbahaya. Mereka diburu fakta akan nyawa tiga belas ribu orang yang terancam kelaparan atau bahwa mereka akan menimbun batu nisan untuk diri sendiri di tempat ini. Keadaan sesungguhnya begitu genting. (Yoshikawa, 2015: 190) Keraguan anak buahnya akan strategi yang ia gunakan, kondisi menipisnya bahan makanan di markan tak menyurutkan pengaruh id dalam diri Kenshin yang tetap ingin mempertahankan posisinya di Gunung Saijo, sehingga ia memilih untuk sedikit memarahi anak buahnya agar tetap mau menuruti perintahnya dan tidak banyak bertanya.
4. Kawanakajima Kawanakajima adalah tanah rawa berbentuk segi tiga yang luas di sebagian Dataran Zenkoji yang diapit dua aliran deras Sungai Sai dan Sungai Chikuma, yang dalam novel Uesugi Kenshin merupakan latar tempat berlangsungnya perang antara Kenshin dengan Shingen, seperti yang bisa dilihat dalam kutipan berikut: 鉄砲の火が枯れ葉に燃えついたのか、蹴ちらされた営内の 火の気が野火となったものか、川中島一帯の空は、墨を流 したような煙である。 (吉川、2016:232) Tetsuhou no hi ga kare ha ni moe tsuita no ka, kechira sareta einai no hi no ki ga nobi to natta mono ka, Kawanakajima ittai no sora wa, sumi wo nagashita you na kemuri de aru. 54
(Yoshikawa, 2016: 232) Langit di Kawanakajima diliputi asap bagaikan tinta hitam. Mungkin api dari senapan menyebar ke rumput kering, atau barangkali api unggun di markas yang menyebabkan terjadinya kebakaran. (Yoshikawa, 2015: 276) き
う
川中島戦後、もうひとつ謙信の気宇をあらわしたものがあ る。 (吉川、2016:310) Kawanakajima sengo, mou hitotsu Kenshin no kiu wo arawashita mono ga aru. (Yoshikawa, 2016: 310) Setelah peperangan Kawanakajima, ada satu peristiwa lagi yang memperlihatkan kebeasaran hati Kenshin. (Yoshikawa, 2015: 372)
5. Sekitar Kuil Hachiman •
Sekitar Kuil Hachiman adalah latar dimana Kenshin yang dengan keberaniannya menembus pertahanan musuh untuk mencari di mana keberadaan Shingen, seperti yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: 「信玄、何処に?」と、炬のごとき眼をくばりながら、八 幡境内の近くを駆け巡っていた。 (吉川、2016:235) “Shingen, izuko ni?” to, kiyo no gotoki me wo kubari nagara, Hachiman keidai no chikaku wo kake megutte ita. (Yoshikawa, 2016: 235) “Di mana Shingen?” Sambil mencari-cari secara saksama dengan mata bagaikan api obor, dia memacu kuda di sekitar Kuil Haciman. (Yoshikawa, 2015: 280)
55
•
Di sekitar Kuil Hachiman itu pula Kenshin akhirnya memerintahkan para Hatamotonya untuk mundur ketika mengira pasukan bantuan Shingen telah tiba, seperti yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: 「返せ。返せ」と、旗本たちへ呼びかけながら、ふたたび むらがる敵の中を割って、味方の内迅り去った。 (吉川、2016:241) 謙信が、今朝から有無の勝敗を決せんといそいでいたのも、 また心中常に気にかけていたのも、実にその別働武田軍十 隊の移動にあった。 (吉川、2016:242) “Kaese. Kaese” to, hatamoto tachi e yobikake nagara, futatabi muragaru teki no naka wo watte, mikata no nai hashiri satta. (Yoshikawa, 2016: 241)
Kenshin ga, kesa kara umu no shouhai wo kessen to isoideita no mo, mata shinjuu tsune ni ki ni kakete ita no mo, jitsu ni sono betsudou Takeda-gun juu tai no idou ni atta. (Yoshikawa, 2016: 242) “Mundur! Mundur!” Sambil memberi aba-aba kepada para hatamoto-nya, Dia sekali lagi menyibak kerumunan musuh dan melaju kembali ke arah pasukannya. (Yoshikawa, 2015: 286) Sejak pagi Kenshin telah bertekad untuk menentukan kemenangan secepat mungkin sebelum pasukan kedua Takeda itu kembali. Dia selalu mengkhawatirkan kemungkinan itu. (Yoshikawa, 2015: 287) Di latar inilah pasukan Kenshin dalam posisi terpojok karena datangnya pasukan bantuan Shingen, sehingga membuat Kenshin harus mengambil salah satu keputusan besar dalam perang ini, dibawah pengaruh superego dalam dirinya akhirnya Kenshin menarik mundur pasukannya dengan berbagai pertimbangan.
56
6. Tepi Sungai Sai Tepi Sungai Sai adalah latar dimana Kenshin menghentikan laju kudanya demi menunggu anak buahnya yang belum juga kembali, seperti yang bisa dilihat dalam kutipan berikut: さいかわ
と
犀川の岸まで謙信は一気に馬を跳ばして来た。 つい一刻まえには、単身、甲軍の本営を、その馬蹄に懸け せんこう
ちらし、信玄の頭上に、一閃光を下した彼が、いまは身を 退くに、何の歯がみもためらいもしていない。淡々たるす がたである。 「待て待て、千坂」 内膳がすぐ彼の駒を流れに曳き入れて、河を渡ろうとする こば
のを拒んで謙信はふたたびそこに駒を立てていた。 (吉川、2016:255) 水淙々、風蕭々、夕闇とともにひどく冷気も迫って、謙信 き
か
いた
の胸は、なお帰らぬ麾下の将士のうえに、傷み哀まずには いられなかった。 (吉川、2016:256) Sai kawa no kishi made Kenshin wa ikki ni uma wo tobashite kita. Tsui ikkoku mae ni wa, tanshi, kougun no hon’ei wo, sono batei ni kake-chirashi, Shingen no zujou ni, ichi senkou wo oroshita kare ga, ima wa mi wo shirizoku ni, nan no hagami mo tamerai mo shiteinai. Tantan taru sugata de aru. “Mate mate, Chisaka” Naizen ga sugu kare no koma wo nagare ni hiki-irete, kawa wo watarou to suru no wo kobande Kenshin wa futatabi soko ni koma wo tateteita. (Yoshikawa, 2016: 255) Mizu sousou, kaze shoushou yuon to tomo ni hidoku reiki mo sematte, Kenshin no mune wa, nao kaeranu kika no shoushi no ue ni, itami kanashi mazu ni wa irarenakatta. (Yoshikawa, 2016: 256) Kenshin terus memacu kuda hingga di tepi Sungai Sai. Kenshin yang tadi menginjak-injak markas utama pasukan Kai seorang diri dan mengayunkan pedang di atas kepala Shingen
57
tampak tidak ragu atau menyesal untuk mundur. Dia tampak sangat tenang. “Tunggu dulu, Chisaka.” Menahan Chisaka Naizen yang hendak menarik kuda Kenshin ke dalam aliran sungai untuk meyeberang, Kenshin berhenti. (Yoshikawa, 2015: 302) Air mengalir, angin bertiup, udara semakin dingin seiring keremangan sore yang kian menjadi-jadi. Dada Kenshin pedih mengingat anak buahnya yang belum juga kembali. (Yoshikawa, 2015: 303) Latar tepian Sungai Sai adalah lokasi yang masih sangat dekat dengan medan peperangan, dengan segala bahaya yang bisa datang sewaktu-waktu. Kondisi itulah yang membuat id dalam diri Kenshin berkuasa sehingga membuatnya mengambil keputusan untuk segera melanjutkan melarikan diri dan meninggalkan anak buahnya yang lain. 3.1.3.2. Latar Waktu Latar waktu merupakan unsur latar yang mengarah pada kapan terjadinya suatu peristiwa-peristiwa di dalam sebuah cerita fiksi. Adapun latar waktu yang dikisahkan dalam novel Uesugi Kenshin dimana tokoh utama mengalami kejadian yang berdampak pada kepribadiannya adalah sebagai berikut: 1. Bulan Kelima, Tahun Kelima Era Eiroku (1562 M) Bulan kelima, tahun kelima era Eiroku (1562 M) adalah latar waktu saat Kenshin mendapat kabar bahwa Kastel Warigadake diserang oleh Shingen, seperti yang dapat dilihat dalam kutipan berikut:
58
けれど、その宿命も、四年前の永禄元年このかたはやんで わぼく
いた。将軍足利義輝のあつかいで和睦が成立したのである。 しんもん
かんか
おさ
相互、誓紙をかわし、神文に誓って、干戈を収めたのだ。 いっぱん
―その割ケ嶽の城に揚った突然な戦火である。世間一般が、 おび
へきれき
「またか?」と、怯えたのも無理ではない。霹靂をうけた ように、耳目をしびれさせたのも、両国間の和睦を永久な ものと、余りに過信していたからであった。 「なに、割ケ嶽が?」 遠征の地で、第一報をうけたとき、上杉謙信は、やはり一 般民間の者と同じような、寝耳に水の感をいだいた。 (吉川、2016:24-25) Keredo, sono shukumei mo, yonnen mae no Eiroku gannen kono kata wa yandeita. Shougun Ashikaga Yoshiteru no atsukai de waboku ga seiritsu shita no de aru. Sougo, seishi wo kawashi, shinmon ni chikatte, kanka wo osameta no da. ― Sono Warigadake no shiro ni agatta totsuzen na senka de aru. Semon ippan ga, “Mata ka?” to, obieta no mo muri de wa nai. Hekireki wo uketa you ni, jimoku wo shibiresaseta no mo, ryoukokukan no waboku wo eikyuu na mono to, amari ni kashin shiteita kara de atta. “Nani, Warigadake ga?” Ensei no chi de, dai ichi hou wo uketa toki, Uesugi Kenshin wa, yahari ippan minkan no mono to onaji you na, nemimi ni mizu no kan wo idaita. (Yoshikawa, 2016: 24-25) Namun konflik itu berakhir empat tahun lalu, yaitu pada tahun pertama era Eiroku (1558 M). Perjanjian damai terjadi setelah Jenderal Ashikaga Yoshiteru menjadi penengah. Pihak Echigo dan Pihak Kai saling menukar surat perjanjian, berjanji dengan kalimat sumpah kepada dewa-dewi, lalu menggantung senjata. Timbulnya api peperangan lagi di Kastel Warigadake membuat penduduk ketakutan, “Perang lagi?” Telinga maupun mata mereka tersengat bagaikan disambar petir lantaran meyakini kalau perjanjian damai antara kedua pihak itu akan berlangsung selamanya. “Apa? Warigadake diserang?” Uesugi Kenshin sangat terkejut, sama seperti para prajurit saat mendengar berita tersebut dalam perjalanan ekspedisi. (Yoshikawa, 2015: 28-29)
59
Kondisi Kenshin yang sedang berada jauh menjalani ekspedisi membuatnya merasa kecolongan saat Shingen menyerang Kastel Warigadake, sehingga ia sangat murka. Rasa murka Kenshin menyebabkan id dalam dirinya memuncak dengan munculnya keinginan untuk membalas serangan. 2. Bulan Keenam, Tahun Kelima Era Eiroku (1662 M) Bulan keenam, tahun kelima Era Eiroku (1662 M) adalah latar waktu saat Kenshin dan pasukannya kembali ke Kastel Kasugayama dan ia memutuskan untuk menunda serangan balasan ke Koshu dan mengadakan rapat dengan para komandan dan yang akhirnya memutuskan untuk mengirim utusan terlebih dahulu untuk menanyakan perihal perjanjian damai yang dilanggar oleh Shingen, seperti yang dapat diliat dalam kutipan berikut: えんえん
六月、三国越えを、彼のひきいる人馬は、奄々と、汗みど ろに、北をさしていた。 (吉川、2016:26) 遠征の越軍は、ひとまず春日山の城へはいった。謙信はか たく期すところがあるらしく、帰城の後の生活は 朝夕常の ごとくであった。 (吉川、2016:30) Roku gatsu, Mikuni-koe wo, kare no hiki iru jinba wa, en-en, ase midoro ni, kita wo sashiteita. (Yoshikawa, 2016: 26) Ensei no etsugun wa, hitomazu Kasugayama no shiro e haitta. Kenshin wa kataku kisu tokoro ga aru rashiku, kishiro no ato no seikatsu wa chouseki jou no gotoku de atta. (Yoshikawa, 2016: 30)
60
Pada bulan keenam, melewati Mikuni, pasukan yang dipimpin Kenshin berangkat ke arah utara dengan bersimbah keringat. (Yoshikawa, 2015: 30) Akhirnya pasukan Echigo pulang dari ekspedisi dan masuk ke Kastel Kasugayama. Kenshin tampak memiliki tekad bulat akan sesuatu, tetapi kehidupan sehari-hari setelah kembali ke kastel sama sekali tidak berubah. (Yoshikawa, 2015: 35) Jarak waktu sekitar satu bulan dari saat Kenshin menerima kabar jatuhnya Kastel Warigadake membuat id dalam diri Kenshin yang memuncak terlihat dari tekadnya untuk membalas serangan perlahan menghilang. 3. Hari Keempat Belas, Bulan Kedelapan, Tahun Kelima Era Eiroku (1662 M) Hari keempat belas, bulan kedelapan, tahun kelima era Eiroku (1662 M) adalah latar waktu saat akhirnya id dalam diri Kenshin kembali menguat setelah begitu lama menunggu utusannya yang tak kunjung kembali dari Negeri Kai sehingga ia mengerahkan pasukannya untuk berangkat secara kilat ke Shinano untuk membalas serangan atas Kastel Warigadake , seperti yang dapat dilihat dalam kutipan berikut:
この四、五十日間を、足ずりしていただけに、いよいよ八 月十四日、春日山を雷発、信濃へ、信濃へ、と合言葉のよ うに軍令が伝わるやいな、... (吉川、2016:52) Kono yon, gojuu nichi kan wo, ashizuri shite itadake ni, iyoiyo hachi gatsu juuyokka, Kasuga-zan wo raihatsu, Shinnou e, Shinnou e, to aikotoba no you ni gunrei ge tsutawaru yaina, ... (Yoshikawa, 2016: 52) 61
Setelah menunggu dengan tidak sabar selama empat sampai lima puluh hari, pada hari keempat belas bulan kedelapan mereka diperintah berangkat secara cepat dari Gunung Kasuga. Melaju ke Shinano, ke Shinano, perintah itu disampaikan dari mulut ke mulut bagaikan kata sandi. (Yoshikawa, 2015: 60) 4. Tahun Pertama Era Eiroku Tahun pertama era Eiroku adalah latar waktu saat Kenshin yang dengan pertimbangan moral akhirnya dengan berat hati mengambil keputusan untuk mengirim salah seorang anak buahnya yang sangat berbakat dan ia sayangi yang bernama Yamamoto Tatewaki ke tempat Tokugawa Kurando Motoyasu untuk mengabdi di sana demi menjaga perasaan Tatewaki agar tidak terbebani dengan terus berperang melawan kakaknya yang berada di pihak Kai, seperti yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: 「―さりとはいえ、兄弟両陣にわかれての働きは、人の子と うれ
して、辛くもあろう、味方の者に、憂えたき思いをする日 もあろう」 日ごろからそういっていた謙信は、永禄元年の和睦―甲越 しょうあい
の一時的な和議のできた年に―とうとうこの 鍾 愛 して措か ない大事な家来を三河の徳川蔵人元康へ遣ってしまった。 (吉川、2016:111) “―Sari to wa ie, kyoudai ryoujin ni wakarete no hataraki wa, hito no ko to shite, tsuraku mo arou, mikata no mono ni, ureetaki omoi wo suru nichi mo arou.” Nichi goro kara sou itteita Kenshin wa, Eiroku gannen no waboku ― kouetsu no ittokiteki na wagi no dekita nen ni―toutou kono shouai shite okanai daiji na kerai wo Mikawa no Tokugawa Kurando Motoyasu e tsukatte shimatta. (Yoshikawa, 2016: 111)
62
“Meskipun begitu, berperang dengan kakaknya pasti membebaninya sebagai manusia. Mungkin juga ada hari-hari saat dia menyesali kawan-kawannya.” Kenshin yang selalu mengutarakan hal itu, pada tahun pertama era Eiroku―tahun perjanjian damai antara Kai dan Echigo―akhirnya memutuskan untuk memindahkan anak buah yang sangat disayangi itu ke tempat Tokugawa Kurando Motoyasu di Mikawa. (Yoshikawa, 2015: 130) 5. Suatu Saat Di Musim Dingin Saat musim dingin di suatu masa sebelum perang Kawanakajima adalah latar saat dimana Kenshin bimbang untuk memberi hukuman pada Onikojima Yataro yang telah melanggar aturan, seperti yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: 冬。あの越後らしい大雪の夜だった。 (吉川、2016:116) その代りに、夜が明けると、役人が来て彼を物々しく取囲 み、城内へ拉っして行ってしまった。謙信の前にひきすえ られて、 (吉川、2016:120) Fuyu. Ano Echigo rashii ooyuki no yoru datta. (Yoshikawa, 2016: 116) Sono kawari ni, yoru ga akeru to, yakunin ga kite kare wo monomonoshiku torikakomi, jounai e rasshite itte shimatta. Kenshin no mae ni hiki suerarete, (Yoshikawa, 2016: 120) Saat itu musim dingin. Malam bersalju lebat seperti yang terjadi pada musim dingin di Echigo. (Yoshikawa, 2015: 136) Ketika fajar meyingsing, para petugas kastel datang mengepung, lalu menyeretnya ke dalam kaastel. Dia disuruh duduk di depan Kenshin. (Yoshikawa, 2015: 141)
63
Di latar ini Id dalam diri Kenshin cukup kuat untuk mempengaruhi keputusannya namun keputusan Kenshin juga tetap didasarkan pada aturan yang telah ada. 6. Hari Kesembilan, Bulan Kesembilan Hari kesembilan, bulan kesembilan adalah hari dimana para prajurit dan Kenshin sendiri merayakan festival bunga krisan. Dan walaupun di tengah medan pertempuran, Kenshin tetap mengajak anak buahnya untuk merayakan hari itu. Dan di tengah perayaan itulah ada seorang komandan yang menanyakan taktik Kenshin langsung kepadanya., seperti yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: 謙信は面を振って、「そちたちも忘れたか。九月九日、 ちょうよう
重 陽 の佳節。きょうは古から菊見る日とされてある。」 (吉川、2016:160)
菊を見ながら、諸将もみなよく杯を挙げた。歓語は沸き、 鬱気は飛んだ。だが―しかもなおどこやらに、去りやらぬ まつ
うれ
一抹の愁いがともすれば沈みかけるのは、どうしようもな いことだった。「殿っ...。愚存を申しのべたく思いま すが、おゆるし給わりましょうや」ついに、こらえかねた ものの如く、直江大和守が口をきった。 (吉川、2016:161) Kenshin wa omote wo futte, “Sochitachi mo wasureta ka. Kugatsu kokonoka, chouyou no kasetsu. Kyou wa inishie kara kiku miru hi to sarete aru.” (Yoshikawa, 2016: 160) Kiku wo minagara, shousho mo mina yoku sakazuki wo ageta. Kango wa waki, ukki tonda. Daga ―shikamo nao doko yara ni, sari yaranu ichimatsu no urei ga tomo sureba shizumi kakeru no wa, dou shiyou mo nai koto datta. “Tono... guson wo moushi nobetaku omoimasu ga, oyurushi tamawarimashou ya” tsui ni,
64
koraekaneta mono no gotoku, Naoe Yamato kami ga kuchi wo kitta. (Yoshikawa, 2016: 161) Kenshin menggeleng, “Kalian sudah lupa? Hari kesembilan, bulan kesembilan adalah hari Perayaan Yang Ganda. Sejak dulu, hari ini dirayakan sambil menikmati bunga krisan.” (Yoshikawa, 2015: 187) Sambil memandang bunga krisan, para komandan juga minum sesuka hati. Suasana meriah, rasa jemu menghilang. Tetapi masih tertinggal sepercik rasa cemas. Mereka tenggelam dalam perasaan itu. “Tuan. Izinkan saya mengungkapkan pemikiran saya.” Merasa tidak tahan lagi, Gubernur Yamato Naoe membuka mulut. (Yoshikawa, 2015: 189) Kondisi yang sudah cukup lama berada di posisi yang sama tanpa melakukan tindakan berbuah menipisnya persediaan makanan dan keraguan dari anak buahnya, namun dorongan id dalam dirinya begitu kuat, sehingga ia tetap memilih mempertahankan posisinya. 7. Hari Kesepuluh, Bulan Kesembilan, Waktu Domba Hari kesepuluh, bulan kesembilan, waktu domba (sekitar pukul 14.00) adalah latar waktu ketika Kenshin berhasil menerobos masuk ke markas utama Shingen dan berhasil menyerang Shingen dan memutuskan untuk segera mundur ketika megetahui pasukan bantuan Shingen yang telah datang, seperti yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: だが、九月十日、この朝の、川中島の緒戦では、こういう 戦法の常則が、甚だしくちがっていた。 (吉川、2016:215) み
こく
その煙の中に、もう未の刻(午後二時)に近いかと思われ さんご
いぶ
る太陽が、一粒の珊瑚のように燻されていた。
65
謙信はこのとき鞍つぼを打って、「年来の望み、遂げるは かえり
いまぞ」と、まわりの旗本を 顧 みた。 (吉川、2016:232) Daga, kugatsu tooka, kono asa no, kawanakajima no shosen de wa, kou iu senpou no jousoku ga, hanahadashiku chigatteita. (Yoshikawa, 2016: 215) Sono kemuri no naka ni, mou mi no koku (gogo ni ji) ni chikai ka to omowareru taiyou ga, hitotsubu no sango no you ni ibusareteita. Kenshin wa kono toki kuratsubo wo utte, “Nenrai no nozomi, togeru wa ima zo” to, mawari no hatamoto wo kaeri mita. (Yoshikawa, 2016: 232) Kendati demikian, pada pagi ini, hari kesepuluh bulan kesembilan, kondisi awal perang Kawanakajima sangat berlainan dengan taktik perang biasa. (Yoshikawa, 2015: 254) Dalam asap itu, matahari yang menunjukkan hampir tibanya waktu domba kelihatan seperti sebutir batu karang merah. (Yoshikawa, 2015: 276) Saat itu Kenshin memukul pelana kudanya, “Inilah saatnya mewujudkan keinginanku sejak dulu,” katanya sambil mengedarkan pandangan kepada para hatamoto. (Yoshikawa, 2015: 277) Pertimbangan perubahan peta kekuatan membuat Kenshin lebih memilih menarik pasukannya daripada menuruti dorongan id dalam dirinya untuk membunuh Shingen. 8. Setelah Seluruh Pasukan Echigo Kembali ke Gunung Kasuga Setelah seluruh sisa pasukan Echigo berhasil kembali ke Gunung Kasuga adalah latar saat id dalam diri Kenshin terus meyakini bahwa pihak Echigo lah yang memenangkan peperangan walaupun pasukannya luluhlantak, seperti yang dapat dilihat dalam kutipan berikut:
66
春日山へ総引揚げの後も、謙信以下、上杉方の家中はみな、 「お味方の勝ち軍だ」 「敵方の信玄父子は傷ついた」 「甲州の一旅大将は、枕をならべて討死したが、それに反し て、お味方には一将の首級も敵に取られていない」 と、あくまで自軍の大捷を信じて疑わなかった。 (吉川、2016:281) Kasuga-zan e souhikiage no ato mo, Kenshin ika, Uesugi no kachuu wa mina, “Omikata no kachigun da” “Tekigata no Shingen fushi wa kizu tsuita” “Koushuu ni ichi ryo daishou wa, makura wo narabete uchijini shita ga, sore ni han shite, omikata ni wa isshou no shukyuu mo teki ni torareteinai.” to, akuma de jigun no daishou wo shinjite utagawanakatta. (Yoshikawa, 2016: 281) Setelah seluruh pasukan kembali ke Gunung Kasuga, Kenshin dan anggota keluarga Uesugi percaya akan kemenangan hebat pihak mereka. “Shingen dan anaknya terluka.” “Anggota keluarga Takeda dan para komandan tewas dengan menjajarkan bantal, sedangkan kita tidak kehilangan satu pun dari kepala komandan kita.” (Yoshikawa, 2015: 334) 9. Antara Tahun Kesebelas Era Eiroku sampai Tahun Pertama Era Genki Antara tahun kesebelas era Eiroku sampai tahun pertama era Genki adalah latar waktu saat Kai mengalami boikot garam yang dilakukan oleh negara-negara pesaingnya. Pada peristiwa ini Echigo pun sempat diajak untuk beraliansi memboikot garam, namun ditolak oleh Kenshin dengan pertimbangan moral, seperti yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: げんき
永禄十一年から元亀元年にわたるあいだ、この長い年月、 甲州には塩の無い生活が始まっていた。国中、塩攻めにな った のである。 (吉川、2016:314) 67
謙信はその期間、敢て、甲信に兵馬をうごかさなかった。 のみならず今川家から、この塩止政策の同盟求めて来た使 者に対しても、「当家においては、疾くに当家として、策 ごかいよう
も立ておれば、御海容には及ばぬ」と、追い返してしまっ た。 (吉川、2016:315) Eiroku juuichi nen kara Genki gannen ni wataru aida, kono nagai nengetsu, Koushuu ni wa shio no nai seikatsu ga hajimatteita. Kokuchuu, shiozeme ni natta no de aru. (Yoshikawa, 2016: 314) Kenshin wa sono kikan, aete, Koushin ni heiba wo ugokasanakatta. Nominarazu Imagawa-ke kara, kono shiodomeseisaku no doumei motomete kita shisha ni taishite mo, “Touke ni oite wa, toku ni touke ni toshite saku mo tate oreba, gokaiyou ni wa oyobanu” to, oikaeshite shimatta. (Yoshikawa, 2016: 315) Dari tahun kesebelas era Eiroku sampai tahun pertama era Genki, Koshu mengalami kehidupan tanpa garam. Seluruh negeri itu dihantam boikot garam. (Yoshikawa, 2015: 377) Kenshin, sepanjang masa itu sengaja tidak mengerahkan pasukan ke Koshu maupun ke Shinshu. Bukan hanya itu, ketika utusan yang dikirim dari klan Imagawa datang untuk meminta Kenshin bersekutu dan mendukung tindakan boikot garam, Kenshin memulangkan utusan itu dan berkata, “Kami sejak dulu memiliki taktik sendiri, maka kami tidak perlu diikutsetakan.” (Yoshikawa, 2015: 378) 10. Bulan Keempat, Tahun Pertama Era Tensho (1573 M) Bulan Keempat, Tahun Pertama Era Tensho (1573 M) adalah latar waktu saat Kenshin yang baru saja kembali dari menaklukkan daerah Ecchu menerima kabar bahwa Takeda Shingen telah wafat, yang alih-alih meyerang namun kembali karena pertimbangan moral Kenshin malah mengirimkan utusan untuk menyampaikan rasa bela sungkawa, seperti yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: 68
同じ年、謙信は、その八月から越中平定に出征して、天正元 年の正月を陣中に迎え、三月富山付近の攻略を終り、四月、 春日山の城へ帰って来ると、まもなく、「甲斐の晴信入道信 玄には、この三月中に、卒去されたそうです」という寝耳に 水のような報告をうけた。 (吉川、2016:319) Onaji nen, Kenshin wa, sono hachigatsu kara Ecchu, heitei ni shussei shite,Tensho gannen no shogatsu wo jinchuu ni mukae, sangatsu Toyama fukin no kouryaku wo owari, shigatsu, Kasugayama no shiro he kaette kuru to, mamonaku, “Kai no Harunobu Nyuudou Shingen ni wa, kono sangatsu naka ni, sotsukyo sareta sou desu” to iu nemimi ni mizu you na houkoku wo uketa. (Yoshikawa, 2016: 319) Pada bulan kedelapan tahun yang sama, Kenshin melakukan ekspedisi untuk menaklukkan Ecchu. Dia menyambut tahun baru pertama Tensho (1573 M) dalam ekspedisi tersebut. Pada bulan ketiga, daerah sekitar Toyama telah ditaklukkan. Pada bulan keempat, tidak lama setelah dia kembali ke Kastel Kasugayama, dia mendapat kabar yang mengagetkan. ”Pendeta Harunobu Shingen di Kai telah meninggal pada bulan ketiga kemarin.” (Yoshikawa, 2015: 384) 3.1.4. Latar Sosial Latar sosial adalah latar yang menjelaskan tata cara kehidupan sosial masyarakat yang meliputi masalah-masalah dan kebiasan-kebiasaan pada masyarakat tersebut. Latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, cara berpikir, dan lain sebagainya, dalam hal ini dikaitkan dengan kebiasaan hidup dari tokoh utama dalam novel Uesugi Kenshin. Tokoh utama digambarkan sebagai seorang Daimyo yang hidup di lingkungan prajurit dan rakyat yang penuh amarah dan ambisi, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut:
69
「我慢がならぬ」 「どうしたというものだ」 上層の意志が酌めない下級の士たちほど、やりばのないも のを、ともすれば口に発したがる。 (吉川、2016:31) 「和とは何だ、この期になっても、まだ和を考える余地がど こにある。」 一般の激昂はいやが上にも燃え募った。忿懣のうえに重な った忿懣である。 (吉川、2016:32) “Gaman ga naranu” “Doushita to itu mono da” Jousou no ishi ga kumenai kakyuu no samurai tachi hodo, yariba no nai mono wo, tomo sureba kuchi ni hasshita garu. (Yoshikawa, 2016: 31) “Wa to wa nan da, kono go ni natte mo, mada wa wo kangaeru yochi ga do ni aru.” Ippan no kekkou wa iya ga ue ni mo moetsunotta. Funman no ue ni kasanatta funman de aru. (Yoshikawa, 2016: 32) “Aku tidak tahan lagi.” “Apa maunya mereka?” Prajurit rendahan yang tidak memahami maksud para komandan cenderung mengungkapkan perasaan yang tak dapat dilampiaskan. (Yoshikawa, 2015: 36) “Apa maksudnya? Mana mungkin bisa berpikir tentang kedamaian? Pengecut!” Para prajurit rendahan serta rakyat jelata semakin marah. Kemurkaan tertimbun di kemurkaan. (Yoshikawa, 2015: 37) Walaupun
hidup
di
masyarakat
yang penuh
amarah,
tidak
mempengaruhi kehidupan seorang Uesugi Kenshin yang sehari-hari biasa bersikap tenang, dan memikirkan semua tindakannya dengan matang, sehingga Kenshin tetap bisa menyelesaikan konflik-konflik yang terjadi dalam dirinya dengan baik.
70
3.2. Kepribadian Tokoh Utama Novel “Uesugi Kenshin” 3.2.1. Konflik Batin Tokoh Utama Konflik batin terjadi akibat adanya dua gagasan atau lebih, atau keinginan yang saling bertentangan untuk mengusai diri sehingga mempengaruhi tingkah laku, yang mana jika dikaitkan dengan teori struktur kepribadian Sigmund Freud, hal yang saling bertentangan tersebut adalah id, ego dan superego. Konflik batin yang dialami oleh tokoh utama jika dilihat dari alur ceritanya pertama kali muncul pada saat Uesugi Kenshin menerima kabar bahwa Kastel Warigadake diserang oleh pihak Takeda Shingen, yang mana dalam hal ini pihak Takeda Shingen telah melanggar perjanjian damai di antara kedua belah pihak. Pelanggaran perjanjian damai tersebut menimbulkan murka yang luar biasa dalam diri Uesugi Kenshin yang menyebabkan Uesugi Kenshin berniat untuk segera membalas serangan tersebut. Namun ketika kembali ke Kastel Kasugayama, niat itu pun surut, seperti yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: 遠征の越軍は、ひとまず春日山の城へはいった。謙信はか たく期すところがあるらしく、帰城の後の生活は 朝夕常の ごとくであった。 (吉川、2016:30) Ensei no etsugun wa, hitomazu Kasugayama no shiro e haitta. Kenshin wa kataku kisu tokoro ga aru rashiku, kishiro no ato no seikatsu wa chouseki jou no gotoku de atta. (Yoshikawa, 2016: 30)
71
Akhirnya pasukan Echigo pulang dari ekspedisi dan masuk ke Kastel Kasugayama. Kenshin tampak memiliki tekad bulat akan sesuatu, tetapi kehidupan sehari-hari setelah kembali ke kastel sama sekali tidak berubah. (Yoshikawa, 2016: 35) Konflik batin yang dialami Kenshin dalam kutipan di atas disebabkan karena id dalam diri Kenshin yang diperlihatkan melalui tekad bulat akan sesuatu yang dapat diartikan sebagai tekad untuk membalas serangan atas Kastel Warigadake, ia bertekad untuk bertatap muka secara langsung dengan Shingen dan menentukan siapa yang akan terbunuh, namun keinginan untuk membalas serangan terhalang oleh superego bahwa Uesugi Kenshin masih terikat perjanjian damai dengan Takeda Shingen, dan lagi kondisi para prajuritnya yang masih lelah akibat perjalanan jauh. Sehingga ego dalam diri Kenshin yang digambarkan sebagai seorang yang tidak ambisius bertindak sebagai pencari pemecahan terbaik dengan melakukan represi yaitu dengan meredam impuls id yang tidak diterima, dari alam sadar kembali ke alam bawah sadar dengan memutuskan mengirim dua orang utusan untuk menemui Takeda Shingen dan menanyakan mengapa Shingen melanggar perjanjian damai tersebut dan mengesampingkan keinginan untuk membalas serangan atas Benteng Warigadake. Namun kebimbangan dalam diri Kenshin atas keputusan yang telah diambil oleh ego perlahan menghilang dan mengambil keputusan untuk menyerang Shinano, seperti yang dapat dilihat dalam kutipan berikut:
72
この四、五十日間を、足ずりしていただけに、いよいよ八 月十四日、春日山を雷発、信濃へ、信濃へ、と合言葉のよ うに軍令が伝わるやいな、... (吉川、2016:52) Kono yon, gojuu nichi kan wo, ashizuri shite itadake ni, iyoiyo hachi gatsu juuyokka, Kasuga-zan wo raihatsu, Shinnou e, Shinnou e, to aikotoba no you ni gunrei ge tsutawaru yaina, ... (Yoshikawa, 2016: 52) Setelah menunggu dengan tidak sabar selama empat sampai lima puluh hari, pada hari keempat belas bulan kedelapan mereka diperintah berangkat secara cepat dari Gunung Kasuga. Melaju ke Shinano, ke Shinano, perintah itu disampaikan dari mulut ke mulut bagaikan kata sandi. (Yoshikawa, 2015: 60) Rasa murka yang tak tertahankan atas dilanggarnya perjanjian damai oleh Takeda Shingen telah membuat impuls id dalam diri Kenshin kembali muncul ke alam sadar sehingga ia lebih memilih untuk mengabaikan superego yang menyebabkan id mendominasi, sehingga ego mengalami konflik yang mana akhirnya memutuskan untuk berangkat menyerang Shinano. Kemudian pada satu peristiwa yang terjadi di masa sebelum perang Kawanakajima yang diceritakan di dalam novel ini, Kenshin mengalami konflik batin ketika ia mengetahui salah satu anak buahnya yang berbakat, Yamamoto Tatewaki, seorang samurai yang sangat tangguh, yang selalu bertempur dengan sangat gigih, ternyata memiliki seorang kakak kandung yang bernama Yamamoto Kansuke, yang mana merupakan salah seorang komandan pasukan Kai. Walaupun ayah dari Tatewaki dan Kansuke berbeda, namun bagaimana pun mereka pernah hidup serumah. Kendati begitu,
73
Tatewaki tetap berperang dengan dengan gagah berani, bahkan lebih dari peperangan lain jika sedang berhadapan dengan pasukan Kai. Namun Kenshin sebagai majikan tidak ingin melihat Tatewaki berperang melawan kakak kandungnya sendiri, seperti yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: 「―さりとはいえ、兄弟両陣にわかれての働きは、人の子と うれ
して、辛くもあろう、味方の者に、憂えたき思いをする日 もあろう」 (吉川、2016:111) “―Sari to wa ie, kyoudai ryoujin ni wakarete no hataraki wa, hito no ko to shite, tsuraku mo arou, mikata no mono ni, ureetaki omoi wo suru nichi mo arou.” (Yoshikawa, 2016: 111) “Meskipun begitu, berperang dengan kakaknya pasti membebaninya sebagai manusia. Mungkin juga ada hari-hari saat dia menyesali kawan-kawannya.” (Yoshikawa 2015: 130) Konflik batin dalam diri Uesugi Kenshin pada kutipan di atas ditunjukkan melalui kesenjangan yang terjadi antara id dalam diri Kenshin yang menginginkan Tatewaki tetap berperang melawan Kai bersama pasukan Echigo, karena Tatewaki adalah seorang prajurit yang sangat hebat, namun di sisi lain Kenshin tidak ingin melihat anak buahnya berperang melawan kakak kandungnya sendiri, sehingga pada akhirnya ego bertugas membuat pemecahan yang terbaik dalam diri Kenshin yang digambarkan sebagai seorang yang sangat menyayangi anak buahnya mengambil keputusan untuk memindah-tugaskan Tatewaki ke tempat Tokugawa Kurando Motoyasu di Mikawa demi agar anak buahnya itu tidak merasa terbebani dengan harus berperang melawan kakaknya sendiri.
74
Keputusan untuk memindah-tugaskan Tatewaki ke tempat Tokugawa Kurando Motoyasu adalah bentuk represi dalam diri Kenshin, yang mana impuls-impuls id yang tidak bisa diterima ego ditekan kembali ke alam bawah sadar, sehingga menghasilkan suatu keputusan. Kemudian ada satu peristiwa lagi di masa sebelum ada perjanjian damai antara Echigo dan Kai, yang membuat Kenshin kembali kesulitan dalam menentukan sikap. Dalam peristiwa itu ada seorang anak buah Kenshin yang bernama Onikojima Yataro yang ketika itu sedang dalam keadaan mabuk dengan sengaja menembak seekor itik yang ada di parit Kastel Kasugayama untuk dimakan, walaupun sudah ada larangan untuk mengambil itik yang ada di situ. Ganjaran untuk tindakan melanggar aturan seperti yang dilakukan oleh Yataro tersebut adalah hukuman mati, yang sudah berlaku sejak generasi ayah Kenshin. Yataro yang telah bersalah kemudian dihadapkan kepada Kenshin untuk ditanyai. Setelah mendengar pengakuan Yataro, Kenshin hanya bisa tertawa dan merasa bahwa Yataro tidak bisa dimaafkan begitu saja, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut: 謙信は、苦笑してしまった。といっても、これだけの返答 で免されるはずもない。いともと鴨一羽ぐらいで大事な臣 下を殺したくないのが謙信の本心であったろうから、何と きんしん
はなく、謹慎程度でゆるされてしまった。 (吉川、2016:120) Kenshin wa kushou shite shimatta. To itte mo, kore dake no hentou de yurusareru hazu mo nai. Itomoto kamo ichi hane gurai de daiji na shinka wo koroshitakunai no ga Kenshin no honshin de attarou kara, nan to wa naku, kinshin teido de yurusarete shimatta. (Yoshikawa, 2016: 120)
75
Kenshin tertawa renyah. Meskipun begitu, Yataro tidak dapat dimaafkan begitu saja. Namun Kenshin tidak ingin membunuh anak buahnya yang hebat hanya karena seekor itik, maka Yataro akhirnya dimaafkan dan disuruh mengurung diri selama beberapa hari. (Yoshikawa, 2015: 141-142) Dalam kutipan di atas, konflik batin yang terjadi dalam diri Kenshin diakibatkan karena id dalam diri Kenshin yang ingin membebaskan Yataro dari hukuman, tidak sejalan dengan superego bahwa hukuman bagi yang mengambil itik yang ada di parit kastel adalah hukuman mati. Sehingga ego dalam diri Kenshin yang digambarkan begitu menyayangi anak buahnya mengambil jalan tengah dengan memutuskan untuk tetap menghukum Yataro dengan cara diperintahkan untuk mengurung diri selama beberapa hari, seperti yang dapat dilihat dalam kutipan di atas. Keputusan yang dibuat oleh Kenshin untuk mengganti hukuman mati atas Yataro dengan hukuman yang lebih ringan adalah hasil dari rasionalisasi dalam diri Kenshin, yang mana motif nyata dari Kenshin untuk memberi keringanan hukuman adalah karena Kenshin tidak ingin membunuh anak buahnya yang berbakat, namun jika alasannya demikian maka ia seharusnya tetap menghukum mati Yataro. Sehingga ego dalam diri Kenshin mencari motif pengganti yaitu: kesalahan yang dilakukan Yataro tak setimpal dengan hukuman yang harus diterima sehingga Yataro tidak pantas untuk dihukum mati. Rasionalisasi ini lebih dapat diterima daripada alasan karena Kenshin tidak mau membunuh anak buahnya yang berbakat.
76
Kembali pada masa perang Kawanakajima konflik batin dalam diri Kenshin kembali muncul ketika setelah beberapa lama menduduki Gunung Saijo, strategi Kenshin yang hanya diam saja di satu tempat dipertanyakan oleh anak buahnya. Keraguan anak buah Kenshin kali ini disebabkan karena pasukan Echigo telah mulai kebahisan persediaan makanan, sedangkan tidak ada perintah untuk melakukan apapun dari Kenshin. Konflik batin dalam diri Kenshin kali ini disebabkan karena id dalam diri Kenshin menginginkan strateginya tetap berjalan karena ia merasa strateginya sudah tepat dan ia sudah bertekad untuk membunuh Shingen, namun di sisi lain tidak sejalan dengan superego bahwa pasukan tidak bisa dibiarkan dalam kondisi kelaparan. Karena Kenshin digambarkan sebagai seorang yang idealis, impuls id dalam diri Kenshin begitu mendominasi karena ia merasa bahwa taktik yang dilakukannya sudah benar, sehingga ego yang bertugas menginterpretasi realita mengambil keputusan untuk tetap mempertahankan strategi yang sudah berjalan, seperti yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: 「その儀に就いてなれば、疾くここに陣した初めに、呉々申 し渡してある。謙信に何ら策無し、無策を以て策とする、 むほう
虚白、無縫の体。そんな事、何度もいう要はない。ただ一 言でも悟り得いでか」 と、いつにない叱り方だった。 (吉川、2016:163) “Sono gi ni tsuite nareba, toku koko ni jin shita hejime ni, kuregure moushi watashite aru. Kenshin ni nanra saku nashi, musaku wo motte saku to suru, kyohaku, muhou no karada. Sonna koto, nando mo iu you wa nai. Tada hito koto de mo satori tokui de ka.” to, itsu ni nai shikari kata datta. (Yoshikawa, 2016: 163)
77
“Tentang itu, aku sudah jelaskan saat kita menduduki tempat ini. Kenshin tidak punya taktik, taktik kita adalah taktik tanpa taktik. Sikap kosong, tanpa jahitan. Sudah, tidak perlu diulang. Apakah kalian masih belum memahaminya?” omelnya tidak seperti biasa. (Yoshikawa, 2015: 191) Kemudian pada saat setelah perang dimulai, ada satu fase puncak dalam peperangan tersebut, dimana Kenshin berhasil menerobos ke markas utama Takeda Shingen seorang diri. Saat menerobos, Kenshin memakai pakaian yang sederhana dan merendahkan tubuhnya dari atas punggung kuda hingga hampir tenggelam dalam surai kuda. Itu bertujuan agar ia tidak dikenali oleh musuh lain, dan karena memang ia tidak ingin bertempur dengan musuh lain selain Shingen, sejak awal itulah tekad yang ada dalam hati Kenshin. Dan benar saja, setelah mencari-cari keberadaan Shingen, Kenshin berasil menemukan dan menyerang Shingen secara langsung, namun Kenshin hanya sempat menyerang Shingen dengan dua tebasan pedang Azuki Nagamitsu yang dibawanya sebelum seorang pelayan Shingen memukul kuda Kenshin yang mengakibatkan kudanya meringkik dan menggagalkan tebasan ketiga. Kenshin yang telah berhasil disusul oleh para hatamotonya tidak mencoba untuk menyerang kembali namun malah memerintahkan untuk segera mundur, karena ia menyadari bahwa pasukan bantuan Shingen yang semula terkecoh taktik Kenshin telah kembali untuk mendukung pasukan utama, seperti yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: それに、敵の首将信玄に対しては、なお遺憾な一太刀を残 じゅうりん
したにせよ、彼の中軍は 蹂 躙 し尽くしたといえるので、年 うっせき
来鬱積していた宿念の一端を放つとともに、「ここは」 78
と、迅くも兵機の「転」を考えて、さっと退き 脚きれいに 帰ってしまったものである。 (吉川、2016:242-243) Sore ni, teki no shushou Shingen ni taishite wa, nao ikan na hitotachi wo nokoshita ni se yo, kare no chuugun wa juurin shi tsukushita to ieru no de, nenrai usseki shiteita shukunen no ittan wo hanatsu to tomo ni, “Koko wa” to, hayaku mo hyouki no “ten” wo kangaete, satto hikiasi kirei ni kaette shimatta mono de aru. (Yoshikawa, 2016: 242-243) Lagi pula, walaupun tidak berhasil membunuh, setidaknya mampu menyerang Shingen secara langsung dan meluluh-lantakkan pasukan intinya. Maka setelah berhasil melepas sebagian dendam yang tertimbun selama bertahun-tahun, Kenshin memutuskan, “Inilah saatnya mundur,” dengan mempertimbangkan “perubahan kekuatan” dalam peperangan. (Yoshikawa, 2015: 287-288) Konflik batin yang terjadi dalam diri Kenshin dalam kutipan di atas terjadi karena id dalam diri Kenshin mengingkan untuk melanjutkan serangan terhadap Shingen karena pada saat itu bahkan Kenshin telah berhasil melukai lengan kanan Shingen, namun ego dalam diri Kenshin yang menyadari kondisi pasukannya pasti akan kalah jika harus melawan pasukan utama dan pasukan bantuan Shingen sekaligus, sehingga ego dalam diri Kenshin yang digambarkan sebagai seorang yang paham taktik perang dan cepat dalam mengambil keputusan, mendorong impuls id yang tidak diterima kembali ke alam bawah sadar sehingga menghasilkan keputusan untuk menarik mundur pasukan. Tindakan Kenshin yang menghentikan serangan dan segera menarik mundur pasukan setelah mengetahui datangnya pasukan bantuan Shingen adalah suatu bentuk represi dalam dirinya, sehingga Kenshin yang digambarkan sebagai seorang yang tidak ambisius dan cepat dalam
79
mengambil keputusan, segera menarik mundur pasukannya yang mana tidak sesuai dengan keinginan id karena impuls-impuls id yang tidak diterima oleh ego didorong ke alam bawah sadar. Kenshin yang telah berhasil mundur hingga tepian Sungai Sai tiba-tiba menghentikan laju kudanya. Kenshin khawatir akan anak buahnya yang belum kembali semuanya, ia ingin menunggu sisa anak buahya terlebih dahulu baru kemudian melanjutkan untuk mundur. Kenshin mengedarkan pandangan di padang rumput yang mulai gelap, ia terus bergumam tanpa henti mengkhawatirkan anak buahnya sehingga diumpamakan seperti seorang ibu yang khawatir menunggu anaknya yang belum pulang. Konflik batin dalam diri Kenshin muncul ketika id dalam dirinya sebagai manusia biasa pasti menginginkan untuk segera menyelamatkan diri, namun Kenshin yang digambarkan sebagai tokoh yang sangat menyayangi anak buanya, tidak sampai hati untuk meninggalkan anak buahnya untuk melarikan diri, namun ego dalam dirinya memilih untuk mendengarkan nasehat dari anak buahnya bahwa betapa bahayanya posisi mereka saat itu yang mana jika tidak segera mundur mungkin dirinya pun akan terbunuh, sehingga Kenshin mengambil keputusan untuk mengikuti nasehat anak buahnya untuk segera menyeberangi sungai dan melanjutkan untuk mundur, seperti yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: 謙信は、諫めを容れた。さらばと、川を渉るべく、河野へ 駒を向け直した。 (吉川、2016:257)
80
Kenshin wa, isame wo ireta. Saraba to, kawa wo wataru beku, kawano e koma wo muke naoshita. (Yoshikawa, 2016: 257) Setuju dengan anak buahnya, Kenshin lantas mengarahkan kuda untuk menyeberang sungai. (Yoshikawa, 2015: 304) Kemudian Kenshin yang sedang melakukan perjalanan mundur pun masih disergap oleh pasukan musuh yang mengejar mereka untuk membalas rasa malu di awal peperangan. Dari sekitar seratus orang anak buah yang bisa mengikuti Kenshin akibat penyergapan musuh itu, hanya menyisakan empat puluh hingga lima puluh orang saja. Setelah berhasil lolos, Kenshin yang bersama sisa anak buahnya harus bersusah payah menyeberangi banyak sungai, menghindari kelompok-kelompok bandit, akhirnya berhasil kembali ke Kastel Kasugayama. Setelah berhasil kembali, Kenshin merenungi apa yang telah terjadi, ia kehilangan begitu banyak anak buahnya, sampai-sampai setiap hari ada upacara pemakanan di sekitar kastel, dan bahkan di desa di daerah pegunungan pun senantiasa tercium aroma dupa dan di kuil-kuil setiap hari terdengar bunyi lonceng tanda duka. Walaupun telah gagal untuk membunuh Shingen dan dengan kondisi pasukan yang luluh lantak, Kenshin yakin bahwa pihaknya lah yang menang, seperti yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: 春日山へ総引揚げの後も、謙信以下、上杉方の家中はみな、 「お味方の勝ち軍だ」 「敵方の信玄父子は傷ついた」 「甲州の一旅大将は、枕をならべて討死したが、それに反し て、お味方には一将の首級も敵に取られていない」
81
と、あくまで自軍の大捷を信じて疑わなかった。 (吉川、2016:281) Kasuga-zan e souhikiage no ato mo, Kenshin ika, Uesugi no kachuu wa mina, “Omikata no kachigun da” “Tekigata no Shingen fushi wa kizu tsuita” “Koushuu ni ichi ryo daishou wa, makura wo narabete uchijini shita ga, sore ni han shite, omikata ni wa isshou no shukyuu mo teki ni torareteinai.” to, akuma de jigun no daishou wo shinjite utagawanakatta. (Yoshikawa, 2016: 281) Setelah seluruh pasukan kembali ke Gunung Kasuga, Kenshin dan anggota keluarga Uesugi percaya akan kemenangan hebat pihak mereka. “Shingen dan anaknya terluka.” “Anggota keluarga Takeda dan para komandan tewas dengan menjajarkan bantal, sedangkan kita tidak kehilangan satu pun dari kepala komandan kita.” (Yoshikawa, 2015: 334) Konflik batin yang terjadi dalam diri Kenshin pada kutipan di atas ditunjukkan dengan id dalam diri Kenshin yang sejak awal ingin membunuh Shingen dan meraih kemenangan dalam perang Kawanakajima. Sedangkan ia menyadari kondisi pasukannya yang telah luluh lantak. Sehingga pada akhirnya ego dalam diri Kenshin melihat dari sisi pasukan Shingen yang tak kalah luluh lantak, kehilangan banyak komandan dan Shingen serta putranya sendiri pun berhasil ia lukai sehingga Kenshin beranggapan bahwa pihak Echigo lah yang memenangkan peperangan. Pada masa setelah berakhirnya perang Kawanakajima, suatu ketika Klan Imagawa dan Hojo memboikot pasokan garam ke Koshu. Kenshin pun diajak untuk turut serta dalam pemboikotan garam tersebut. Dan dalam kondisi seperti ini konflik batin dalam diri Kenshin pun kembali muncul, ketika id
82
dalam diri Kenshin merasa bahwa ini adalah kesempatan untuk melemahkan Koshu, namun bertentangan dengan superego bahwa boikot garam juga akan berpengaruh pada kehidupan para petani yang bukan bagian dari persaingan antara Echigo dan Kai sehingga mereka tidak pantas untuk menerima akibat dari persaingan tidak terpuji di antara kedua negeri. Sehingga ego dalam diri Kenshin yang digambarkan sebagai seorang yang memahami ajaran agama dan sebagai seorang yang berhati besar memilih untuk melakukan represi dengan mendorong impuls id yang tidak diterima kembali ke alam bawah sadar yang ditunjukkan dengan diambilnya keputusan untuk menolak ajakan untuk ikut serta memboikot garam ke Koshu, bahkan Kenshin memutuskan untuk mengirim garam ke Koshu, seperti yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: 「このたびの出征に、甲信地方の領民の生活を聞き及ぶに、 うわさ以上の塩切れに、百姓共の若脳は言語に絶している らしい。―早々、わが北海の塩を、水陸より甲信地方へ転 漕してつかわせ」と、命じた。 (吉川、2016:315) “Kono tabi no shussei ni, Koushin chihou no ryoumin no seikatsu wo kikioyobu ni, uwasa ijou no shiogire ni, hyakuseidomo no wakanou wa gengo ni tayashiteiru rashii. ―Sousou, waga hokkai no shio wo, suiriku yori Koushin chihou e tensou shite tsukawase.” to, meijita. (Yoshikawa, 2016: 315) “Dalam ekspedisi kali ini, aku mendengar keadaan penduduk di Koshu dan Shinshu. Sepertinya penderitaan para petani begitu parah sampai-sampai tidak dapat dilukiskan dengan kata akibat kekurangan garam yang jauh lebih buruk daripada yang digunjingkan. Kirimkan garam dari laut utara ke Koshu dan Shinshu melalui sungai maupun darat secepat mungkin.” Perintahnya. (Yoshikawa, 2015: 379)
83
Setelah peristiwa boikot garam terselesaikan atas jasa Kenshin, selama dua tiga tahun tidak ada konflik yang terjadi antara Echigo dan Kai. Namun pada bulan keempat tahun pertama Tensho (1573 M), Kenshin yang baru saja kembali ke Kastel Kasugayama setelah melakukan ekspedisi untuk menaklukkan Ecchu menerima kabar yang mengagetkan bahwa Takeda Shingen telah meninggal pada bulan ketiga. Mendengar kabar yang sama, di antar komandan keluarga besar Uesugi ada yang menganjurkan untuk menyerbu Kofu, karena sedang dalam kondisi berduka pasti mudah ditaklukkan. Namun Kenshin tidak menyetujuinya, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut: さげす
「止めよ、止めよ。天下の 蔑 みを求めるだけだ」 (吉川、2016:320) “Yame yo, yame yo. Tenka no sagesumi wo motomeru dake da” (Yoshikawa, 2016: 320)
“Jangan, jangan. Kita hanya akan menjadi bahan tertawaan.” (Yoshikawa, 2015: 384) Konflik batin yang terjadi dalam diri Kenshin pada kejadian di atas disebabkan karena id dalam diri Kenshin yang sebagai manusia biasa pasti ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk menyerang Kofu, namun tidak sejalan dengan superego bahwa Echigo hanya akan menjadi bahan tertawaan jika hanya berani menyerang saat Kofu sedang berduka. Sehingga ego dalam diri Kenshin yang digambarkan sebagai seorang yang berhati besar, bertugas mengambil pemecahan terbaik melakukan represi dengan menekan impuls id
84
yang tidak diterima kembali ke alam bawah sadar yang ditunjukkan dengan pengambilan keputusan untuk tidak menyerang Kofu, bahkan Kenshin mengirimkan anak buahnya untuk mengucap bela sungkawa. 3.2.2. Kecemasan Tokoh Utama Kecemasan yang timbul dalam diri Uesugi Kenshin diakibatkan oleh serangkaian peristiwa yang menimbulkan konflik batin seperti yang telah dibahas sebelum ini. Kecemasan merupakan situasi apa pun yang mengancam kenyamanan suatu organisme. Kondisi ini bersumber dari konflik yang menghambat kemajuan individu untuk mencapai tujuan. Sigmund Freud membagi kecemasan dalam tiga jenis, yaitu kecemasan riel, kecemasan neurotik, dan kecemasan moral. Dalam novel ini Yoshikawa Eiji menggambarkan tokoh Uesugi Kenshin mengalami ketiganya, yaitu kecemasan riel, kecemasan neurotik dan kecemasan moral. Dalam novel ini kecemasan riel yang dialami tokoh utama adalah kecemasan terhadap Takeda Shingen. Kenshin yang sangat memahami taktik perang menganggap bahwa Shingen yang memiliki kemampuan dan kecerdasan yang luar biasa serta jumlah pasukan yang begitu besar sebagai ancaman utama bagi kelangsungan dan keamanan Echigo, utamanya dalam peperangan ancaman itu semakin jelas terasa, lebih-lebih dalam perang Kawanakajima yang diceritakan dalam novel ini Kenshin bertekad untuk membunuh Shingen secara langsung, namun sejauh ini dari perang-perang
85
yang telah terjadi, pasukan Kenshin bahkan belum pernah bisa mencapai pasukan utama Shingen, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut: 「信玄の戦ぶりは、つねに重厚に軍をたたみ、深く内に潜ん で、旌旗をうごかすや敏、転ずるや速。そして容易にまた 動かず、もっぱら深慮遠謀、いやしくも軽々と兵を用いぬ かんか
大将である。天文以来、すでに幾回、干戈 のあいだたまみ ふんさい
えても、容易に、彼の中核を粉砕 しあたわぬも、つまりは 彼の用兵の妙と、智謀の並ならぬにある。一挙、そういう 敵に迫り寄って、無二の一戦をなさんには、到底、尋常一 様な兵略をもっては難しい。かえって彼に謀られるのみで ある」 (吉川、2016:63-64) Shingen no ikusaburi wa, tsune ni choukou ni gun wo tatami, fukaku nai ni hisonde, seiki wo ugokasu ya toshi, tenzuru ya soku. Soshite youi ni mata ugokazu, moppara shinryo enbou, iyashiku mo karugaru to tsuwamono wo youinu taishou de aru. Tenbun irai, sude ni ikukai, kanka no aida tama miete mo, youi ni, kare no chuukaku wo funsai shi atawanu mo, tsumari wa kare no youhei no tae to, chibou no nami naranu ni aru. Ikkyo, sou iu teki ni semari yotte, mu ni no issen wo nasan ni wa, toutei, jinjou ichiyou na heiryaku wo motte wa muzukashii. Kaette kare ni hakarareru no mi de aru. (Yoshikawa, 2016: 63-64) “Pasukan Shingen senantiasa siaga dengan barisan berlapis-lapis. Bersembunyi di kedalaman, namun sekali mengibarkan bendera perang, mereka berubah sangat cepat. Shingen tidak mudah bergerak, selalu penuh perhitungan dan siasat matang. Dialah daimyo yang takkan mengerahkan pasukan tanpa memikirkannya masak-masak. Sejak zaman Tenbun, berkali-kali kita berperang melawannya tanpa pernah berhasil menghancurka pasukan utamanya. Itu karena caranya mengendalikan pasukan sangatlah mahir dan kecerdasannya luar biasa. Jika menghadapi musuh seperti itu, tentu akan sulit menang jika hanya dengan taktik militer biasa. Seandainya kita bergerak seperti itu, malah akan memberinya kesempatan untuk menjebak kita. (Yoshikawa, 2015: 74) Kemampuan dan kecerdasan Shingen yang luar biasa serta jumlah pasukan yang begitu besar lah yang membuat Kenshin merasa cemas. Ketika 86
Kenshin berusaha untuk menyerang Shingen ia melakukan taktik yang tidak terduga, sulit diterka, bahkan oleh anak buahnya sendiri, Kenshin menggunakan taktik yang penuh dengan teka-teki Zen dengan tujuan untuk membingungkan Shingen dalam mengerahkan pasukannya. Kecemasan riel Kenshin terhadap Shingen dari perang-perang sebelum ini pun terakumulasi dan muncul dalam bentuk pemilihan taktik yang penuh teka-teki Zen, seperti yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: 「人の眼に、九死に一生の重地とも思わるるところまで、敢 えて軍を入れたのは、信玄に対し、これを何と解くや?禅の 一案を、我れから彼に示したのじゃ。彼の解く禅機、われの 信ずる禅機、それによる変と動き、それらの事は、口をもっ てはいい難い。」 (吉川、2016:64) “Hito no me ni, kyuushi ni isshou no juuchi to mo omowaruru tokoro made, aete gun wo ireta no wa, Shingen ni tai shi, kore wo nan to toku ya? Zen no ichian wo, ware kara kare ni shime shita no ja. Kare no toku zenki, ware no shizuru zenki, sore ni yoru hen to ugoki, sorera no koto wa, kuchi wo motte ii nikui.” (Yoshikawa, 2016: 64) “Saya sengaja menempatkan pasukan di lokasi yang tampaknya berbahaya, hingga diperkirakan harapan kita hidup hanya satu dalam sembilan kemungkinan. Dengan gerakan ini saya bermaksud mengajukan teka-teki Zen kepada Shingen. Bagaimana cara memecahkan teka-teki ini? Taktik Zen yang ia pecahkan, taktik Zen yang saya gunakan, perubahan dan gerakan yang disebabkan oleh taktik ini. Hal-hal semacam ini sulit diunkapkan dengan kata-kata.” (Yoshikawa, 2015: 75) Walaupun pada akhirnya Shingen memang benar tertipu oleh strategi Kenshin, Kenshin tetap mengkhawatirkan pasukan bantuan Shingen yang berjumlah sangat besar. Sehingga pada saat-saat klimaks peperangan ketika
87
pasukan bantuan Shingen kembali bergabung dengan pasukan utama, perasaan khawatir Kenshin yang selama peperangan ini khawatir terhadap pasukan bantuan Shingen membuatnya memutuskan untuk segera mundur, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut: それに、敵の首将信玄に対しては、なお遺憾な一太刀を残 じゅうりん
したにせよ、彼の中軍は 蹂 躙 し尽くしたといえるので、年 うっせき
来鬱積していた宿念の一端を放つとともに、「ここは」 と、迅くも兵機の「転」を考えて、さっと退き 脚きれいに 帰ってしまったものである。 (吉川、2016:242-243) Sore ni, teki no shushou Shingen ni taishite wa, nao ikan na hitotachi wo nokoshita ni se yo, kare no chuugun wa juurin shi tsukushita to ieru no de, nenrai usseki shiteita shukunen no ittan wo hanatsu to tomo ni, “Koko wa” to, hayaku mo hyouki no “ten” wo kangaete, satto hikiasi kirei ni kaette shimatta mono de aru. (Yoshikawa, 2016: 242-243) Lagi pula, walaupun tidak berhasil membunuh, setidaknya mampu menyerang Shingen secara langsung dan meluluh-lantakkan pasukan intinya. Maka setelah berhasil melepas sebagian dendam yang tertimbun selama bertahun-tahun, Kenshin memutuskan, “Inilah saatnya mundur,” dengan mempertimbangkan “perubahan kekuatan” dalam peperangan. (Yoshikawa, 2015: 287-288) Kedua hal di atas dapat dikatakan sebagai kecemasan riel karena Kenshin merasa kedua hal tersebut adalah ancaman nyata kepada keselamatan Kenshin dan seluruh Echigo. Selain kecemasan riel, tokoh Uesugi Kenshin juga mengalami kecemasan moral. Kecemasan moral yang dialami Kenshin adalah saat ia sudah berhasil mundur menghindari pasukan bantuan Shingen. Ketika itu ia yang sedang
88
mundur, melihat hanya segelintir anak buahnya yang dapat mengikuti ia mundur. Ia begitu mencemaskan kondisi anak buahnya, walaupun ia tahu bahwa anak buahnya adalah orang-orang hebat yang pasti bisa lolos. Kecemasan moral adalah kecemasan yang timbul akibat tekanan superego atas ego individu berhubung individu telah atau sedang melakukan tindakan yang melanggar moral. Kecemasan moral ini menyatakan diri dalam bentuk rasa bersalah atau perasaan bedosa. Kecemasan Kenshin akan kondisi anak buahnya ditunjukkan dengan bergumam tanpa henti, bagai seorang ibu yang menunggu anaknya yang belum juga kembali, seperti yang terlihat dalam kutipan berikut: 水淙々、風蕭々、夕闇とともにひどく冷気も迫って、謙信 き
か
いた
の胸は、なお帰らぬ麾下の将士のうえに、傷み哀まずには いられなかった。「新発田尾張、新津丹後。また本庄越前、 北条安芸などはいかがいたしたか。柿崎は首尾よく退口を いくさがみ
取ったであろうか。直江は...」鬼も挫ぐ 軍 神 とも見え たその人が、薄暮の野を見まわして、われともなくそう呟 いているすがたは、まるで帰らぬ子を門辺に出て待ってい る母のように他念なかった。 (吉川、2016:256) Mizu sousou, kaze shoushou yuon to tomo ni hidoku reiki mo sematte, Kenshin no mune wa, nao kaeranu kika no shoushi no ue ni, itami kanashi mazu ni wa irarenakatta. “Shibata Owari, Niizu Tango, dan Honjo Echizen nado wa ikagaita shita ka. Kakizaki wa shubi yoku nokiguchi wo totta de arou ka. Naoe wa...” Oni mo hishigu ikusagami to mo mieta sono hito ga, hakubo no no wo mimawashite, ware to mo naku sou tsubuyaiteiru sugata wa, maru de kaeranu ko wo kadobe ni dete matteiru haha no you ni tanen nakatta. (Yoshikawa, 2016: 256) Air mengalir, angin bertiup, udara semakin dingin seiring keremangan sore yang kian menjadi-jadi. Dada Kenshin pedih mengingat anak buahnya yang belum juga kembali. “Shibata Owari, Niizu Tango, dan Honjo Echizen, bagaimana keadaan mereka? Apakah Kakizaki berhasil menguasai jalan mundur?
89
Bagaimana Naoe....” Kenshin yang tampak bagai dewa perang yang mampu mengalahkan raksasa, kini mengedarkan pandangan di padang rumput yang mulai diliputi kegelapan sambil bergumam tanpa henti, seperti seorang ibu yang berdiri di depan pintu untuk menunggu anaknya yang belum juga pulang. (Yoshikawa, 2015: 303) Kecemasan Kenshin dalam kutipan di atas disebabkan karena Kenshin yang digambarkan sebagai orang yang sangat perhatian dan menyayangi anak buahnya merasa berdosa jika harus meninggalkan anak buahnya demi menyelamatkan dirinya sendiri, sehingga ia menghentikan kudanya dan menanyakan bagaimana kondisi para anak buahnya. Selain itu, kecemasan moral dialami lagi oleh Kenshin ketika mengetahui bahwa para petani di Koshu harus ikut menanggung akibat dari boikot garam yang dilakukan Klan Imagawa dan Hojo. Kecemasan Kenshin terhadap kondisi petani di Koshu digambarkan dalam bentuk suatu tindakan untuk membantu petani di sana, seperti yang dapat dilihat dalam kutipan berikut: 「このたびの出征に、甲信地方の領民の生活を聞き及ぶに、 うわさ以上の塩切れに、百姓共の若脳は言語に絶している らしい。―早々、わが北海の塩を、水陸より甲信地方へ転 漕してつかわせ」と、命じた。 (吉川、2016:315) “Kono tabi no shussei ni, Koushin chihou no ryoumin no seikatsu wo kikioyobu ni, uwasa ijou no shiogire ni, hyakuseidomo no wakanou wa gengo ni tayashiteiru rashii. ―Sousou, waga hokkai no shio wo, suiriku yori Koushin chihou e tensou shite tsukawase.” to, meijita. (Yoshikawa, 2016: 315) “Dalam ekspedisi kali ini, aku mendengar keadaan penduduk di Koshu dan Shinshu. Sepertinya penderitaan para petani begitu parah sampai-sampai tidak dapat dilukiskan dengan kata akibat kekurangan garam yang jauh lebih buruk daripada yang
90
digunjingkan. Kirimkan garam dari laut utara ke Koshu dan Shinshu melalui sungai maupun darat secepat mungkin.” Perintahnya. (Yoshikawa, 2015: 379) Kenshin yang mengetahui keadaan para petani yang bahkan lebih parah dari kabar yang beredar tidak dapat tinggal diam saja. Kenshin yang digambarkan sebagai seorang yang begitu memahami agama, pasti akan merasa sangat berdosa jika membiarkan orang lain dalam keadaan menderita, maka dari itu tergeraklah hati Kenshin untuk mengirim garam ke Koshu untuk mengakhiri penderitaan rakyat di sana. Bahkan Kenshin masih memastikan bahwa agar pedagang garam Echigo tidak mengambil kesempatan dengan menjual garam dengan harga yang mahal, garam harus dijual sama dengan harga di Echigo.
91
BAB 4 PENUTUP 1.1. Simpulan Setelah melakukan pengamatan dan pembahasan pada hasil penelitian, diperoleh simpulan sebagai berikut: 1. Tokoh utama dalam novel Uesugi Kenshin karya Yoshikawa Eiji yang bernama sama dengan judul novel yaitu Uesugi Kenshin digambarkan sebagai seorang Daimyo yang sangat cerdas yang berkedudukan di Negeri Echigo, dan bermarkas utama di Kastel Kasugayama. Sebagai seorang Daimyo, Kenshin begitu berbeda dari gambaran seorang samurai, ia berpenampilan sangat sederhanan karena menjalani kehidupan layaknya pendeta. Kenshin juga selalu menjalani kehidupan penuh keyakinan pada masa depan, sehingga ia tidak pernah menyesali setiap keputusan yang telah ia ambil dalam hidupnya. Termasuk dalam memerangi seorang Takeda Shingen, seorang Daimyo lain dari Negeri Kai yang tak kalah cakap. 2. Dalam peperangan yang terjadi antara Kenshin dan Shingen, terjadi beberapa konflik batin dalam diri Kenshin yang mana
berupa keraguan dalam
mengambil keputusan, dan harapan yang tidak sesuai dengan kenyataan. Selain itu, pada masa sebelum terjadinya perang Kawanakajima yang diceritakan dalam novel Uesugi Kenshin ini, Kenshin juga pernah mengalami konflik batin yang berupa kesulitan dalam mengambil keputusan pula. Konflik batin yang dialami Kenshin sebagian besar didominasi oleh tidak sejalannya id dan
92
superego. Sedangkan bentuk konflik yang mendominasi adalah bimbang dalam mengambil keputusan. 3. Penyelesaian konflik atau mekanisme pertahanan ego dalam diri tokoh utama pada novel Uesugi Kenshin karya Yoshikawa Eiji dilkakuan dengan beberapa cara yaitu dengan represi, yang diwujudkan dalam pengambilan keputusan untuk: •
Menahan serangan balasan dan mengirim dua orang utusan ke Koshu untuk menanyakan tetang perjanjian damai yang telah disepakati.
•
Memindah-tugaskan Yamamoto Tatewaki ke tempat Tokugawa Kurando Motoyasu.
•
Menghentikan serangan terhadap Shingen ketika ia mengetahui pasukan bantuan Shingen telah tiba.
•
Tidak ikut melakukan boikot garam terhadap Koshu.
•
Tidak menyerang Koshu pada saat kondisi berduka.
Selain represi, Kenshin menyelesaikan konflik batin dalam dirinya dengan rasionalisasi, yang diwujudkan dalam pengambilan keputusan untuk memberi hukuman yang lebih ringan pada Onikojima Yataro karena Kenshin merasa kesalahan yang dilakukan Yataro tidak setimpal dengan hukuman yang harus diterimanya. Dari cara-cara penyelesaian konflik batik yang dilakukan oleh tokoh utama, dapat dilihat tokoh utama adalah seorang yang dapat meredam impuls kesenangan (id) dengan baik dan dapat mengambil keputusan dengan sangat objektif demi kepentingan umum.
93
4. Kecemasan yang diamali oleh tokoh utama ada dua jenis, yaitu: a. Kecemasan riel: •
Kecemasan akan musuhnya, yaitu seorang Takeda Shingen yang sangat cerdas.
•
Kecemasan akan jumlah pasukan yang dimiliki oleh Shingen yang begitu besar.
b. Kecemasan moral: •
Kecemasan akan keselamatan sisa pasukannya yang terpencar saat mundur.
•
Kecemasan akan kondisi para petani di Koshu yang harus ikut menanggung akibat boikot garam.
94
DAFTAR PUSTAKA Bertens, K. 2006. Psikoanalisis Sigmund Freud. Jakarta: Gramedia. Hartono, Budi S.S. 2001. Dasar-Dasar Psikoanalisis Freudian. Jakarta. Koeswara. E. 1986. Teori-Teori Kepribadian. Bandung: PT. Eresco. Minderop, Albertine. 2010. Psikologi Sastra: Karya, Metode, Teori, dan Contoh Kasus. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Moesono, Anggadewi. 2003. Psikoanalisis dan Sastra. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia. Nurgiyantoro, Burhan. 2009. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Siswanto, Wahyudi. Roekhan. 2015. Psikologi Sastra. Malang: Media Nusa Creative. Freud, Sigmund. 2002. Psikoanalisis Sigmund Freud. Yogyakarta: Ikon Teralitera. Susanto, Dwi. 2016. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Center for Academic Publishing Service. Teeuw, A. 1984. Membaca dan Menilai Sastra. Jakarta: Gramedia. Yoshikawa, Eiji. 2015. Uesugi Kenshin: Panglima Perang Termasyur Abad ke-16. Diterjemahkan oleh: Ribeka Ota. Kansha Publishing. Yoshikawa, Eiji. 2016. Uesugi Kenshin. Tokyo: Kodansha.
95
要旨 本論文で筆者は吉川英治によって書かれた「上杉謙信」という小説の主人 公の心理的情勢について研究した。「上杉謙信」という小説には主人公の 冷静が面白いと思ったから、この小説を選ぶことにした。 「上杉謙信」という小説は永禄時代に起こった上杉謙信と武田信玄という 大名たちの戦争を語っている。その時、信玄と謙信はまだ和平の契約に結 ばれているから、謙信は腹を立て弔い合戦にするようになった。戦争では 謙信は色々な危ない状態を経験した。だが正念場にいても、謙信は冷静に 適当な決定を取れ、春日山の城へ戻れるようになった。 「上杉謙信」という小説の主人公の心理的情勢を研究するために、筆者は 「定性分析」という研究方法を使った。それは「上杉謙信」という小説か ら一次のデータを取って、その小説の外在的引用から二次のデータを取っ た。それにデータを集める方法は「Studi Pustaka」という方法であり、そ れは小説を全部念入りで読書したり、疑問に関してデータを集めたり、 「構造主義」と「精神分析」という理論によってデータを分ける。 「上杉謙信」という小説の主人公の心理的情勢に関して内在的要素は3つ あり、それは登場人物、プロット、背景である。「上杉謙信」という小説 の主人公は上杉謙信という大名で、彼の性格は速く決定できて、野心家で はなく、頭が良くて、兵法と宗教がよく分かって、部下を愛していて、理 想家で、それに心が広い人だと分かった。「上杉謙信」という小説で使っ 96
たプロットは「フラッシュバック」というプロットである。それはストー リでは過去からの出来事が時々表れたからである。背景として色々な場所 が出て来た。それは春日山城や、三国の地域や、妻女山や、川中島や、八 幡境内の近くや、犀川の岸や、そして春日山の城下などである。また、 「上杉謙信」という小説の時代背景は永禄五年の五月から天正元年の四月 までである。それは西暦では1562年ぐらいから1573年ぐらいまで である。それに「上杉謙信」という小説の主人公の社会的背景は簡単に怒 らせる社会で住まっている。 さらに、「上杉謙信」という小説で主人公がid, ego, superego による精 神葛藤を何回も経験した。主人公が経験した精神葛藤は次のようである。 1. 割ケ嶽の城が信玄に攻撃された情報をもらったとき。そのとき謙信 の「id」はすぐ信玄に弔い合戦をする積りだったが、そのときにも 事実に謙信はまだ信玄と和平の契約に結ばれているから、謙信は弔 い合戦の積りを押さえつけて、甲州へ信玄の攻撃の真意を問うため に二人の使者を送り出すことにした。 2. 鬼小島弥太郎を罰さなければならないとき。そのとき部下を愛して いる人として、謙信の「id」は弥太郎を罰したくないが、春日山の 城にある原則によって、弥太郎は死刑を受けなければならない。謙 信は死刑に比べて弥太郎にされた過ちは同等ではないと思ったから、 やっと「id」を従って、弥太郎をもっと軽い処罰で罰することにし た。
97
3. 味方を残して逃げなければならいとき。そのとき平凡な人間として、 謙信の「id」は命を続けられるように、すぐ逃げる積りだったが、 部下を愛している人として、謙信は離れた味方たちが心配だった。 平凡な人間として、命を続けたい謙信はやっと「id」を従って、す ぐ逃げることにした。 4. 塩止政策の同盟を求めされたとき。そのとき甲州の敵大名として、 謙信の「id」がその政策は甲州を弱めるチャンスだと考えて、その 同盟にはいる積りだったが、その政策で平凡な小農の生活でも苦し くなれる。宗教が分かる人として、謙信はやっと「superego」を従 って、道義の理由でその政策を断ることにした。 5. 武田信玄が卒去されたことを知らせるとき。そのとき甲州の敵大名 として、謙信の「id」がこれは甲州を倒すチャンスだと考えて、す ぐ甲州を攻撃する積りだったが、弱い国を攻撃することは恥だった。 心が広い謙信はやっと「superego」を従って、弱い甲州を攻撃する 気を押さえつけることにした。 また、主人公が経験した不安は2型あり、それは: 1. 実勢不安である。主人公の実勢不安は武田信玄の手腕で、それに甲 州軍人の多々数である。その二つとも謙信こそと越後全国の安全に 実勢な脅しからである。 2. 道義不安である。主人公が経験した道義不安は犀川の近くに撤退し ている謙信が割けてある部下たちを気遣ったときである。そのとき
98
部下を愛している人として、謙信は自分で逃げたら、部下を残して、 罪深い人になる気があるからである。そして戦後に塩止政策のせい で苦しむようになった甲州の領民の生活を気遣ったときである。そ のとき宗教が分かる人として、謙信は他の人々の生活を苦しくなら せたら、罪深い人になる気があるからである。 本論文を書いた後、筆者は「上杉謙信」という小説の主人公が精神葛藤と 不安を繰り返して経験したが、「id」をよく押さえつけられたから、冷静 に決定できて、その精神葛藤と不安たちをよく解けられることを分かるよ うになった。
99
BIODATA Nama
: Adrianus Rio Hintono
Tempat, tanggal lahir
: Semarang, 31 Desember 1993
Jenis kelamin
: Laki-laki
Agama
: Katolik
No. Telp
: (024) 8454868
Nama Orang Tua
: Dr. Ir. Antonius Hintono, M.P.; Nio Lee Tjoe
Alamat
: JL. Sriwijaya 114, Semarang
Riwayat Pendidikan
: 1999 - 2005 SD Marsudirini Regina Pacis, Semarang 2005 - 2008 SMP Maria Mediatrix, Semarang 2008 - 2011 SMA Sedes Sapientiae, Semarang 2011 - 2017 S1 Sastra Jepang Universitas Diponegoro, Semarang
100