perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI INDONESIA DAN DI NEGERI BELANDA
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh Eka Candra Budi Utama NIM. E0007120
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012 commit to user
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama
: Eka Candra Budi Utama
NIM
: E0007120
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul : ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI INDONESIA DAN DI NEGERI BELANDAadalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftaar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skipsi) ini.
Surakarta, 5 Januari 2012 Yang membuat pernyataan
Eka Candra Budi Utama NIM.E0007120
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran (QS. an-Nahl; 90). Kemenangan yang seindah – indahnya dan sesukar – sukarnya yang boleh direbut oleh manusia ialah menundukan diri sendiri(Ibu Kartini ). Keadilan adalah memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya, fiat justitia pereat mundus (Aristoteles). Orang-orang yang sukses telah belajar membuat diri mereka melakukan hal yang harus dikerjakan ketika hal itu memang harus dikerjakan, entah mereka menyukainya atau tidak (Aldus Huxley).
PERSEMBAHAN
Tulisan ini kupersembahkan kepada : 1. Allah Subhanahu wa-ta'ala 2. Ayah dan Ibuku tersayang 3. Adikku Endang Dwi Shinta Bayu Wardani 4. Della Arginia Octaviadon 5. Sahabat - sahabatku 6. Angkatan 2007 Fakultas Hukum yang saya banggakan 7. Almamaterku tercinta. commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Eka Candra Budi Utama. E0007120.ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI INDONESIA DAN DI NEGERI BELANDA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. Penulisan hukum ini bertujuan untuk mengetahui mengenai pengaturan tindak pidana euthanasia di Indonesia dan di Negeri Belanda serta perbandingan pengaturan kedua Negara tersebut sehingga dapat diketahui kelebihan maupun kelemahan masing-masing pengaturan tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan sumber bahan sekunder. Sumber bahan sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunderdan bahan hukum tersier. Bahan hukum sekunder diperoleh dari studi kepustakaan yaitu melalui buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum. Teknik pengumpulan bahan yang digunakan penulis adalah studi kepustakaan atau melalui bahan pustaka karena dalam hal ini penulis menggunakan pendekatan perbandingan(comparative approach).Teknik analisis bahan yang digunakan adalah analisis isi karena penulis menggunakan metode interpretasi sistematis dan metode silogisme. Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan, di Indonesia tidak ada aturan khusus mengenai tindak pidana eutanasia dan Indonesia merupakan negara yang tidak mengakui tindakan eutanasia.Pasal-pasal dalam KUHP Indonesia yang relevan diterapkan untuk tindak pidana euthanasia seperti Pasal 340, Pasal 344 dan Pasal 359, bukan merupakan Pasal yang baku atau yang benarbenar dibuat untuk mengatur tindak pidana euthanasia.Di Belanda telah ada aturan khusus mengenai tindakan eutanasia yaitu Undang-Undang yang disahkan pada tanggal 12 April 2001 tentang review euthanasia dan bunuh diri dibantu dan amandemen KUHP dan Undang-Undang Penguburan dan Kremasi (UU Pemutusan Hidup di Permintaan dan Bunuh Diri Assisted).Dalam UU tersebut jelas terdapat pasal-pasal yang mengatur tindakan euthanasia yang dilakukan dokter, terutama euthanasia aktif dan dokter diperkenankan melakukan euthanasia dan bunuh diri dibantu. Kata kunci : Tindak Pidana, Eutanasia, Komparasi.
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT Eka Candra Budi Utama. E0007120. ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI INDONESIA DAN DI NEGERI BELANDA.The Faculty Of Law Sebelas Maret University. The writing of this law aims to find out about setting up a criminal acts of euthanasia in Indonesia and in the Netherlands as well as a comparison of the two settings of the country so as to know the advantages and disadvantages of each of these settings. This research is the normative legal research using secondary source material. Source of secondary materials consist of primary legal materials, legal materials and secondary legal materials tertiary.Secondary legal material obtained from studies i.e. libraries through text books, legal dictionaries, legal journals. The technique of collecting materials used writer's study library or through references because in this case the author used the approach of comparison (comparative approach).Analysis techniques of materials used is the analysis of the content because the author uses systematic methods and interpretation method of syllogisms. Based on the results of research could be taken, at the conclusion there is no special rule of Indonesia concerning the crime of euthanasia and Indonesia is a country that does not recognize the Act of euthanasia.The articles in the PENAL CODE relevant to Indonesia applied euthanasia as a criminal offence, article 344 Article 340 and Article 359, not an Article that is raw or who really created to regulate euthanasia criminal acts.In the Netherlands there have been special about euthanasia action rules that a law was passed on 12 April 2001 on the review of euthanasia and assisted suicide and the amendment of the CRIMINAL CODE and the Act of burial and Cremation (law Termination of life on Request and Assisted Suicide).In the ACT clearly contained clauses that govern actions performed euthanasia doctor, particularly active euthanasia and physicians are allowed to perform euthanasia and assisted suicide.
Keywords: criminal acts, Euthanasia, Comparisons.
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul : ANALISIS STUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI INDONESIA DAN DI NEGERI BELANDA.Penyusunan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar kesarjanaan dalam ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.Penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan karena adanya bantuan, bimbingan, dorongan, saran dan nasehat dari berbagai pihak. Oleh Karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada : 1. Prof. Dr. Ravik Karsidi, M.S., selaku Rektor Universitas Sebelas Maret Surakarta beserta seluruh Pembantu Rektor. 2. Prof. Dr Hartiwiningsih, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Bapak Rehnalemken Ginting, S.H.,M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana. 4. Bapak Winarno Budyatmo,S.H.,M.S.,selaku Dosen Pembimbing I yang telah bersedia meluangkan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan bagi tersusunnya penulisan hukum ini. 5. Bapak Sabar Slamet,S.H.,M.H., selaku Dosen Pembimbing II yang telah mengarahkan dan membuka pikiran penulis bagi tersusunnya penulisan hukum ini. 6. Tim penguji yang telah meluangkan waktunya untuk menguji dan memberikan masukan untuk menyempurnakan penulisan hukum ini. 7. Ibu Siti Warsini, S.H.,M.H., selaku Pembimbing Akademik. 8. Ayah dan Ibu tersayang yang senantiasa mendoakan penulis dalam setiap langkah hidup serta melimpahkan kasih sayang dan dukungan yang tiada henti. 9. Adikku Endang Dwi Shinta Bayu Wardani yang selalu memberikan dukungan dan semangat . commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
10. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuannya bagi penulis dalam penulisan hukum ini. Demikian semoga penulisan hukum ini dapat memmberikan manfaat bagi kita sebagai kalangan akademisi, terutama untuk penulisan, praktisi, maupun masyarakat umum.
Surakarta, 5 Januari 2012 Penulis
Eka Candra Budi Utama
commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul ..............................................................................................
i
Halaman Persetujuan Pembimbing ...............................................................
ii
Halaman Pengesahan Penguji .......................................................................
iii
Halaman Pernyataan ......................................................................................
iv
Halaman Motto Dan Persembahan…………………………………………..
v
Abstrak ..........................................................................................................
vi
Abstract …………………………………………………………………….
vii
Kata Pengantar .............................................................................................. viii Daftar Isi .......................................................................................................
x
BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ..........................................................
1
B. Rumusan Masalah ....................................................................
4
C. Tujuan Penelitian .....................................................................
4
D. Manfaat Penelitian ...................................................................
5
E. Metode Penelitian ....................................................................
5
F. Sistematika Penulisan Hukum ................................................. 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 12 A. Kerangka Teori ........................................................................ 12 1. Tinjauan Umum Tentang Perbandingan ............................. 12 2. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana ............................ 17 3. Tinjauan Umum Tentang Eutanasia .................................... 20 B. Kerangka Pemikiran ................................................................. 26 BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................... 28 A. Pengaturan Eutanasia Di Indonesia ......................................... 29 B. Pengaturan Eutanasia Di Negeri Belanda……………………. 36 commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
C. Perbedaan Pengaturan Tindak Pidana Eutanasia Di Indonesia Dan Di Negeri Belanda……………………………………… 50 BAB IV PENUTUP ....................................................................................... 53 A. Simpulan .................................................................................. 53 B. Saran ........................................................................................ 54 Daftar Pustaka .............................................................................................. 56
commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan dunia yang semakin maju dan peradaban manusia yang gemilang sebagai refleksi dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, persoalan-persoalan norma dan hukum kemasyarakatan dunia bisa bergeser sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat yang bersangkutan. Kebutuhan dan aspirasi masyarakat menempati kedudukan yang tinggi.Apabila terjadi pergeseran nilai dalam masyarakat, interpretasi terhadap hukum juga bisa berubah. Akibat gerakan kebebasan, masyarakat barat yang menganut sistem demokrasi liberal dimana hak individu sangat dijunjung tinggi dan nilainilai moral telah terlepas dari poros agama (gereja), ditandai dengan berkembangnya paham sekularisme.Siapapun (termasuk pemerintah) tidak boleh mencampuri dan mengganggu hak individu. Namun hak-hak yang dimiliki setiap individu tersebut harus disusun dalam suatu aturan hukum yang mengikat agar dalam setiap upaya-upaya pemenuhan hak individu tidak menyimpang dari kaidah dan norma yang berlaku. Kaidah dan norma yang disusun dalam aturan hukum memiliki karakteristik masing-masing yang tidak identik antara satu negara dengan negara lain. Guna mengetahui perbedaan maupun persamaan antara aturan hukum dari negara yang berbeda, maka perlu melakukan suatu perbandingan hukum. “Secara sederhana perbandingan dapat diartikan sebagai suatu kegiatan untuk mengadakan identifikasi terhadap persamaan dan/atau perbedaan antara dua gejala tertentu, atau lebih” (Soerjono Soekanto, 1989:10). Perbandingan hukum adalah kegiatan mengadakan identifikasi terhadap gejala hukum tertentu untuk menentukan persamaan dan/atau commithukum to useratau lebih. “Bahan-bahan yang perbedaan antara dua gejala
1
2 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dipergunakan dalam perbandingan hukum dapat berupa bahan yang langsung didapat dari masyarakat (=data primer), maupun bahan kepustakaan (=data sekunder)” (Soerjono Soekanto, 1989:54). Masalah euthanasia telah lama dipertimbangkan oleh kalangan kedokteran dan para praktisi hukum di negara-negara barat. Pro dan kontra terhadap euthanasia itu masih berlangsung ketika dikaitkan dengan pertanyaan bahwa menentukan mati itu hak siapa dan dari sudut mana ia harus melihat. Beberapa
memandang
eutanasia
sebagai
titik
akhir
bagi
penderitaan yang tak tertahan atau suatu situasi tanpa harapan. Orang lain melihat eutanasia sebagai suatu cara untuk memperlancar peralihan yang bagaimanapun sedang berlangsung. Orang lain lagi menganggap eutanasia sebagai mengantisipasi saja yang tak terhindarkan. “Eutanasia dipandang juga sebagai suatu hak atau sebagai pengungkapan terakhir harkat manusiawi seseorang. Cara lain untuk mengerti eutanasia adalah melihatnya sebagai pembunuhan” (K. Bertens, 1995:67). Dengan memandang eutanasia sebagai pembunuhan, maka eutanasia dianggap sebagai penyalahgunaan kuasa terhadap dirinya sendiri atau melangkahi batas-batas tanggung jawab atas tubuhnya sendiri. Dengan demikian berbagai upaya yang dilakukan terhadap diri dan tubuhnya merupakan serangkaian perwujudan eutanasia. “Eutanasia secara literal berarti kematian yang baik atau bahagia. Hal ini sering disamakan dengan pembunuhan karena kasihan” (Larry May;dkk, 2001:324). Ada dua tipe euthanasiayaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Eutanasia aktif mengacu pada praktek membawa kematian secara langsung, baik orang tersebut menghendaki atau tidak. Eutanasia pasif adalah tindakan tidak melakukan apapun untuk mencegah kematian terjadi. Perbedaan antara eutanasia aktif dan eutanasia pasif dianggap krusial bagi etika medis. “Setidaknya dalam beberapa kasus bisa diizinkan commit to user dan membiarkan seorang pasien untuk menolak memberikan perawatan
perpustakaan.uns.ac.id
3 digilib.uns.ac.id
meninggal, tapi tidak pernah diizinkan untuk mengambil tindakan langsung yang dirancang untuk membunuh pasien” (Larry May;dkk. 2001:326). Doktrin ini kelihatannya diterima oleh kebanyakan dokter dan disahkan dalam sebuah pernyataan yang dipakai oleh Dewan Delegasi dari Asosiasi Medis Amerika pada tanggal 4 Desember 1973. Namun sekarang banyak orang berpendapat bahwa larangan eutanasia dalam hukum itu harus diubah. Alasannya juga pertimbangan etika. Mereka menekankan hak pasien terminal untuk mengakhiri hidupnya, jika penderitaannya tidak tertahankan lagi. Dalam situasi seperti itu manusia mempunyai the right to die atau dirumuskan dengan lebih tepat the right to die with dignity.“Karena diketahui bahwa dalam masalah euthanasia ini si pasien dalam keadaan mati tidak, hidup pun tidak (in persistent vegetative state)” (Suwarto, 2009:172). Berbicara tentang hak, maka kita berbicara tentang hukum, dan hukum selalu berisi ketentuan tentang hak dan kewajiban yang timbal balik dan tentang boleh dan tidak boleh. Jadi kalau hak untuk mati dari seseorang, maka ada kewajiban dari pihak lain untuk menghargai hak seseorang itu dan sebaliknya. Kalau tidak ada hak untuk mati, apabila seseorang melakukan bunuh diri atau melaksanakan eutanasia, maka terjadi perbuatan melanggar hukum dan perbuatan itu dapat dikenakan sanksi hukum. Indonesia, melalui Pasal 344 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), menentukan tentang dapat dipidananya seseorang yang menghilangkan nyawa orang atas permintaan orang itu sendiri, meskipun dinyatakan dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh. Unsur terpenting disini adalah “atas permintaan sendiri yang nyata dan sungguh-sungguh”, jika demikian, pembuat dikenakan pasal-pasal pembunuhan biasa (Winarno Budyatmojo, 2009:122). Tetapi dulu di Negeri Belanda (asal dari KUHP Indonesia – het Wetboek van Straafrecht), diatur tentang dapat dipidananya seseorang commit to user
4 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
yang telah gagal melakukan percobaan bunuh diri (sekarang pasal yang mengatur tentang itu telah dicabut dari het Wetboek van Straafrecht). Berdasarkan uraian tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan penulisan hukum tentang pengaturan mengenai perbuatan eutanasia, maka penulis termotivasi untuk menulis penulisan hukum dengan judul, “ANALISISSTUDI KOMPARASI TINDAK PIDANA EUTANASIA DI INDONESIA DAN DI NEGERI BELANDA”. B. Rumusan Masalah Perumusan masalah dalam suatu penelitian dimaksudkan untuk membatasi masalah yang akan dikaji dalam pembahasan agar tidak memberikan penafsiran yang bermacam-macam serta sebagai upaya pemecahan masalah yang ingin dicapai dari uraian latar belakang diatas.Berdasarkan
uraian
tersebut,
maka
penulis
merumuskan
permasalahan dalam penulisan hukum ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana pengaturan tindak pidana eutanasia di Indonesia dan di negeri Belanda? 2. Apakah perbedaan pengaturan tindak pidana eutanasia di Indonesia dan negeri Belanda? C. Tujuan Penelitian Dalam setiap penelitian pada dasarnya mempunyai suatu tujuan yang hendak dicapai
agar dapat memberikan manfaat bagi penulis
maupun orang lain. Oleh karena itu, dalam penelitian ini adapun tujuan yang hendak dicapai adalah : 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui tentang pengaturan tindak pidana eutanasia di Indonesia dan di negeri Belanda. b. Untuk mengetahui tentang perbedaan pengaturan tindak pidana eutanasia di Indonesia dan di negeri Belanda. 2. Tujuan Subyektif a. Untuk menambah pengetauan dan wawasan penulis di commit to userkhususnya mengenai pengaturan bidang Hukum Pidana
5 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tindak pidana eutanasia di Indonesia dan di negeri Belanda; dan b. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar sarjana dalam bidang ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. D. Manfaat Penelitian Pemilihan masalah dalam penelitian ini bertujuan agar hasil penelitian ini dapat bermanfaat, karena nilai dari sebuah penelitian ditentukan oleh besarnya manfaat yang dapat di ambil dari penelitian tersebut. Adapun manfaat yang penulis harapkan dari penelitian ini antara lain : 1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pemikiran dan manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, terutama dalam bidang ilmu hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai literatur, referensi, dan bahan-bahan acuan ilmiah serta pengetahuan bidang hukum, khususnya tentang pengaturan tindak pidana eutanasia. 2. Manfaat Praktis a. Memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti penulis. b. Dapat meningkatkan pola pemikiran yang dinamis dan mengembangkan kemampuan penulis dalam bidang hukum. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan pengetahuan bagi para pihak yang trkait dengan masalah yang diteliti. E. Metode Penelitian “Penelitian Hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna to user menjawab isu hukum yangcommit dihadapi” (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 35).
perpustakaan.uns.ac.id
6 digilib.uns.ac.id
Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul. Oleh karena itu, “penelitian hukum merupakan suatu penelitian di dalam kerangka know-how di dalam hukum”. Hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 41). Ada dua syarat yang harus dipenuhi sebelum mengadakan penelitian dengan baik dan dapat dipertanggungjawabkan adalah “peneliti harus terlebih dahulu memahami konsep dasar ilmunya dan metodologi penelitian disiplin ilmunya” (Johnny Ibrahim, 2006: 26). Dalam penelitian hukum, “konsep ilmu hukum dan metodologi yang digunakan di dalam suatu penelitian memainkan peran yang sangat signifikan agar ilmu hukum beserta temuan-temuannya tidak terjebak dalam kemiskinan relevansi dan aktualitasnya” (Johnny Ibrahim, 2006: 28). Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Ditinjau dari sudut penelitian hukum sendiri, maka pada penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif memiliki definisi yang sama dengan penelitian doktrinal (doctrinal research) aitu penelitian berdasarkan bahan-bahan hukum (library based) yang fokusnya pada membaca dan mempelajari bahan-bahan hukum primer dan sekunder. Sehingga penelitian hukum menurut Johnny Ibrahim ialah “suatu prosedur ilmiah untuk menemukan kebenaran bedasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya” (Johnny Ibrahim, 2006: 57). Pendapat ini kemudian dipertegas oleh Sudikno Mertokusumo yang menyatakan bahwa disiplin ilmiah dan cara kerja ilmu hukum normatif adalah pada obyeknya, obyek tersebut adalah hukum yang terutama terdiri atas kumpulan peraturan-peraturan hukum yang bercampur aduk merupakan chaos: tidak terbilang banyaknya commit toyang userdikeluarkan setiap tahunnya. Dan peraturan perundang-undangan
perpustakaan.uns.ac.id
7 digilib.uns.ac.id
ilmu hukum (normatif) tidak melihat hukum sebagai suatu “chaos atau mass of rules tetapi melihatnya sebagai suatu Istructured whole of system” (Johnny Ibrahim, 2006: 57). Penulis memilih penelitian hukum yang normatif, karena menurut penulis sumber penelitian yang digunakan adalah bahan hukum sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Selain itu, menurut penelitian penulis bahwa sesuai dengan pendapat Johnny Ibrahim, berkenaan dengan penelitian yang dilakukan penulis mengenai perbandingan pengaturan tindak pidana eutanasia di Indonesia dan di negeri Belanda, sehingga dibutuhkan “penalaran dari aspek hukum normatif, yang merukan ciri khas hukum normatif” (Johnny Ibrahim, 2006: 127). Jadi berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa jenis penelitian hukum normatif yang dipilih oleh penulis sudah sesuai dengan obyek kajian atau isu hukum yang diangkat. 2. Sifat Penelitian Sifat penelitian hukum ini sejalan dengan sifat ilmu hukum itu sendiri. “Ilmu hukum mempunyai sifat sebagai ilmu yang preskriptif, artinya sebagai ilmu yang bersifat preskriptif ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum” (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 22). Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis akan memberikan preskriptif mengenai perbandingan pengaturan tindak pidana eutanasia di Indonesia dan di negeri Belanda. 3. Pendekatan Penelitian “Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran untuk mengungkap kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten, dengan mengadakan analisa dan konstruksi (Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, 2003:20)”. Penelitian commit to user dengan disiplin hukum yang hukum senantiasa harus diserasikan
8 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
merupakan suatu sistem ajaran tentang hukum sebagai norma dan kenyataan. Menurut Johnny Ibrahim, dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, yaitu pendekatan perundang-undangan (satute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan analitis (analytical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan filsafat (philosophical approach), dan pendekatan kasus (case approach) (Johnny Ibrahim, 2006: 30). Dari ketujuh pendekatan tersebut, pendekatan yang relevan dengan penelitian hukum ini adalah pendekatan perbandingan. Yaitu perbandingan pengaturan tindak pidana eutanasia di Indonesia dan di negeri Belanda. 4. Jenis Dan Sumber Data Jenis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian hukum yang dilakukan oleh penulis adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoriatif yang artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim. Sedangkan “bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi, yan meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar atas putusan pengadilan” (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 141). Dalam penelitian ini penulis menggunakan bahan hukum primer yakni perundang-undangan, sedangkan bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumendokumen resmi, yang meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum dan jurnal-jurnal hukum. commit to user
9 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
5. Teknik Pengumpulan Bahan Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Dalam bukunya, Penelitian Hukum, Peter Mahmud mengatakan, bahwa pada dasarnya penelitian hukum tidak mengenal adanya data. Sehingga yang digunakan adalah bahan hukum, dalam hal ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. a. Bahan Hukum Primer “Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoriatif, artinya mempunyai otoritas”(Peter Mahmud Marzuki, 2009: 141). Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi, atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. b. Bahan Hukum Sekunder “Bahan hukum sekunder berupa publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi” (Peter Mahmud Marzuki, 2009: 141). Bahan hukum sebagai pendukung dari data yang akan digunakan di dalam penelitian ini yaitu buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal hukum, artikel, internet, dan sumber lainnya, yang memiliki korelasi untuk mendukung penelitian ini. 6. Teknik Analisis Bahan Penelitian yang dilakukan oleh penulis merupakan penelitian normatif dimana teknik analisis yang penulis gunakan adalah dengan metode silogisme dan interpretasi, dengan menggunakan pola berpikir deduktif. Interpretasi atau penafsiran merupakan metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang terkait teks undangundang agar lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Dalam penelitian ini, penulis juga akan menggunakan metode commit to userdeduksi. Metode deduksi adalah silogisme dengan teknik analisis
10 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
metode yang berpangkal dari pengajuan premis mayor, kemudian diajukan premis minor dari kedua premis ini kemudian ditarik kesimpulan atau conclusion. Artinya bahwa melakukan pengolahan analisis bahan dengan menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang diteliti. F. Sistematika Penulisan Hukum Sistematika penulisan hukum untuk mempermudah pemahaman mengenai
pembahasan
dan
memberikan
gambaran
mengenai
sistematika penelitian hukum yang sesuai dengan aturan dalam penliian hukum, maka penulis menjabarkannya dalam bentuk sistematika penelitian hukum yang terdiri dari 4 (empat) bab dimana tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman terhadap keseluruhan hasil penelitian. Adapun penulis menyusun sistematika penelitian hukum sebagai berikut : BAB I : PENDAHULUAN Dalam bab satu akan diuraikan mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penulisan
metodologi hukum
penelitian
untuk
dan
memberikan
sistematika pemahaman
mendalam terhadap isi penelitian secara garis besar. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab dua penulis akan menguraikan hal-hal yang berhubungan dengan kerangka teori dan kerangka pemikiran dari penelitian ini. Dalam kerangka teori, akan diuraikan
mengenai
tinjauan
umum
tentang
perbandingan, yang meliputi istilah perbandingan; perbandingan sebagai metode dan ilmu, perbandingan hukum dan cabang-cabangnya.Tinjauan umum tentang tindak pidana yang meliputi pengertian tindak pidana,dan commit to user tindak pidana. Tinjauan umum pemaparan unsur-unsur
11 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tentang eutanasia, meliputi pengertian eutanasia, jenis eutanasia,
bentuk-bentuk
semu
eutanasia,
tujuan
eutanasia. Keseluruhan uraian dapat memudahkan pembaca untuk membaca dan memahami mengenai analisis studi komparasi tindak pidana eutanasia di Indonesia dan di Negeri Belanda. BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam bab tiga, penulis akan menyajikan pembahasan dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, yaitu berupa analisis studi komparasi tindak pidana eutanasia di Indonesia dan di Negeri Belanda. BAB IV : PENUTUP Bab empat merupakan bab terakhir dari keseluruhan penulisan hukum. Pada bab ini, berisikan simpulan dari pembahasan rumusan masalah hasil penelitian dalam penulisan hukum dan disertai saran yang didasari dari simpulan hasil penelitian tersebut. DAFTAR PUSTAKA
commit to user
12 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum Tentang Perbandingan a. Istilah Perbandingan Istilah “komparasi” dilihat dari Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti perbandingan (http://kamusbahasaindonesia.org/ komparasi). Istilah perbandingan memiliki arti : 1) “perbedaan (selisih) kesamaan; 2) persamaan; ibarat; 3) pedoman pertimbangan” (http://kamusbahasaindonesia.org/perbandingan). Sedangkan istilah analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan” (H. Alwi, 2002:43). Jadi analisis perbandingan adalah penyelidikan mengenai persamaan dan atau perbedaan mengenai suatu hal atau peristiwa dengan
penelaahan
bagian-bagian
sendiri
serta
hubungan
antarbagian untuk mengetahui pengertian dan keadaan yang sebenarnya. Terdapat berbagai istilah asing mengenai perbandingan hukum, yakni antara lain: “Comparative Law, Comparative Jurisprudence, Foreign Law (istilah Inggris); Droit Compare (istilah Perancis);
Rechtsvergelijking
(istilah
Belanda)
dan
Rechtsvergleichung atau vergleichende Rechlehre (istilah Jerman)” (Barda Nawawi Arief, 2002:3). Di dalam Black’s Law Dictionary dikemukakan: Comparative Jurisprudence is the study of commit to user
13 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
principles of legal science by the comparison of various systems of law (suatu studi mengenai prinsip-prinsip ilmu hukum dengan melakukan perbandingan berbagai macam sistem hukum). Ada pendapat yang membedakan antara Comparative law dengan Foreign Law, yaitu: 1) Comparative Law Mempelajari berbagai sistem hukum asing dengan maksud untuk membandingkannya; 2) Foreign Law Mempelajari hukum asing dengan maksud semata-mata mengetahui sistem hukum asing itu sendiri dengan tidak secara nyata bermaksud untuk membandingkannya dengan sistem hukum yang lain (Barda Nawawi Arief, 2002:3). Istilah yang akan dipergunakan dalam penulisan hukum ini adalah perbandingan hukum yang mengarah dan berfokus pada hukum pidana. Apabila diamati istilah asingnya, comparative law dapat diartikan bahwa titik beratnya adalah pada perbandingannya atau comparative dimana kalimat comparative memberikan sifat kepada hukum (yang dibandingkan). Istilah perbandingan hukum dengan demikian menitikberatkan kepada segi perbandingannya, bukan kepada segi hukumnya. Jadi intinya perbandingan hukum adalah membandingkan sistem-sistem hukum. Berikut ini beberapa definisi mengenai perbandingan hukum dari beberapa pakar hukum sebagaimana dikutip oleh Romli Atmasasmita, diantaranya sebagai berikut: 1) Rudolf B. Schlesinger Perbandingan hukum merupakan metode penyelidikan dengan tujuan memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan hukum tertentu. Perbandingan hukum adalah bukanlah perangkat peraturan dan asas-asas hukum dan bukan suatu cabang hukum, melainkan merupakan teknik untuk menghadapi unsur hukum asing dari suatu masalah hukum (Rudolf B. Schlesinger dalam Romli Atmasasmita, 2000:7). commit to user
14 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2) Winterton “Perbandingan
hukum
adalah
suatu
metode
yaitu
perbandingan sitem hukum dan perbandingan tersebut menghasilkan data sistem hukum yang dibandingkan” (Winterton dalam Romli Atmasasmita, 2000:7). 3) Gutteridge Perbandingan hukum adalah suatu metode perbandingan yang dapat digunakan dalam semua cabang hukum. Ia membedakanantara comparative law dengan foreign law (hukum asing), pengertian istilah yang pertama untuk membandingkan dua sistem hukum atau lebih, sedangkan pengertian istilah hukum yang kedua adalah mempelajari hukum asing tanpa secara nyata membandingkannya dengan sistem hukum yang lain (Gutteridge dalam The AmJ. Of Comp. L., 197:72, dalam buku Romli Atmasasmita, 2000:7). 4) Lemaire Perbandingan hukum sebagai cabang ilmu pengetahuan (yang juga mempergunakan metode perbandingan) mempunyai lingkup (isi dari) kaidah-kaidah hukum, persamaan dan perbedaannya, sebab-sebabnya dan dasardasar kemasyarakatannya (Lemaire dalam Romli Atmasasmita, 2000:9). 5) Ole Lando “Perbandingan hukum mencakup analysis and comparison of the laws. Pendapat tersebut sudah menunjukkan kecenderungan untuk mengakui perbandingan sebagai cabang
ilmu
hukum”
(Ole
Lando
dalam
Romli
Atmasasmita, 2000:9). 6) Hessel Yutema Comaparative law is simply another name for legal science, or like other branches of science it has a universal humanistic outlook; it contemplates hat while the technique may vary, the problems of justice are basicaly the same in time and space throughout the world (Hessel Yutema dalam Romli Atmasasmita, 2000:9). commit to user
15 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Perbandingan hukum hanya suatu nama lain untuk ilmu hukum dan merupakan bagian yang menyatu dari suatu ilmu sosial, atau seperti cabang ilu lainnya. Perbandingan hukum memiliki wawasan yang universal, sekalipun caranya berlainan, masalah keadilan pada dasarnya baik menurut waktu dan tempat di seluruh dunia. 7) Orucu Comparative law is legal discipline aiming at ascertaining similarities and differences and finding out relatioship between various legal systems, their assence and style, looking at comparable legal institutions and concepts and typing to determine solutions to certain problems in these systems with a definite goal in mind, such as law reform, unification etc (Orucu dalam Romli Atmasasmita, 2000:9). Perbandingan hukum merupakan suatu disiplin ilmu hukum yang bertujuan menemukan persamaan dan perbedaan serta menemukan hubungan-hubungan yang erat antara berbagai sistem hukum, melihat perbandingan lembaga-lembaga hukum, konsep-konsep serta mencoba menentukan suatu penyelsaian atas masalah-masalah tertentu dalam sistemsistem hukum dimaksud dengan tujuan seperti pembaharuan hukum, unifikasi hukum, dll. 8) Zweigert dan Kotz “Comparative law is the comparison of the spirit and style different legal system or of comparable legal institutions of the solutions of comparable legal problems in different system” (Zweigert dan Kotz dalam Romli Atmasasmita, 2000:9). Perbandingan hukum ialah perbandingan dari jiwa dan gaya dari sistem hukum yang berbeda-beda atau lembagalembaga hukum yang berbeda-beda atau penyelesaian commit to user
16 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
masalah hukum yang dapat diperbandingkan dalam sistem hukum yang berbeda-beda. b. Perbandingan Sebagai Metode dan Ilmu Perbandingan hukum menunjukkan pembedaan antara perbandingan
hukum
sebagai
metode
dan
sebagai
ilmu.
Ketidakjelasan tersebut biasanya dijumpai pada perumusan yang bersifat luas, seperti yang dapat ditemui pada Black’s Law Dictionary yang menyatakan bahwa “comparative jurisprudence” adalah “The study of the principles of legal science by the comparison of various system of law” (Henry Campbell Black dalam Soerjono Soekanto 1989:24). Akan tetapi perumusan tersebut
sebenarnya
cenderung
untuk
mengklasifikasikan
perbandingan hukum sebagai metode, karena yang dimaksud dengan comparative adalah Proceeding by the method of comparison; founded on comparison; estimated by comparison. “Ilmu-ilmu hukum juga bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara gejala-gejala hukum dengan gejala sosial lainnya. Untuk mencapai tujuannya, maka dipergunakan metode sosiologis, sejarah dan perbandingan hukum” (L. J. Van Apeldoorn dalam Romli Atmasasmita, 2000:15). Penggunaan metode-metode tersebut dimaksudkan untuk : 1) Metode sosiologis : untuk meneliti hubungan antara hukum dan gejala-gejala sosial lainnya; 2) Metode sejarah : untuk meneliti tentang perkembangan hukum; 3) Metode perbandingan hukum : untuk membandingkan berbagai tertib hukum dari macam-macam masyarakat (Romli Atmasasmita, 2000:15). “Metode perbandingan tidak akan membatasi diri pada perbandingan yang bersifat dekriptif, juga diperlukan data tentang berfungsinya atau efektivitas hukum, sehingga diperlukan metode sosiologis” (L. J. Van Apeldoorn dalam Soerjono Soekanto 1989:26). Juga diperlukan metode sejarah, untuk mengetahui commit to user
17 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
perkembangan dari hukum yang diperbandingkan. Dengan demikian maka ketiga metode tersebut saling mengisi dalam mengembangkan penelitian hukum. c. Perbandingan Hukum dan Cabang-cabangnya Pentingnya perbandingan hukum dan berkembangnya pengkhususan ini, antara lain terbukti dari kenyataan bahwa kemudian muncul subspesialisasi, yaitu : 1) “Descriptive comparative law; 2) Comparative history of law; 3) Comparative legislation atau comparative jurisprudence (proper)” (Eduard Lambert dalam Soerjono Soekanto, 1989:52). Descriptive comparative law merupakan suatu studi yang bertujuan untuk mengumpulkan bahan-bahan tentang sistem hukum berbagai masyarakat atau sebagian masyarakat. Comparative history of law berkaitan erat dengan sejarah, sosiologi hukum, antropologi hukum dan filsafat hukum. 2. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana a. Pengertian Tindak Pidana “Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana dan pelaku ini dapat dikatakan subyek tindak pidana” (Wirjono Projodikoro, 1999:45). Istilah tindak pidana muncul dari pihak kementerian kehakiman dalam membuat perundang-undangan maupun peraturan lain. Ada bermacam-macam penyebutan yang berbeda mengenai istilah tindak pidana. Untuk mengalihkan bahasa dari istilah asalnya dalam bahasa Belanda yaitu strafbaar feit. Dalam perundang-undangan dan kepustakaan Belanda tidak dijumpai bermacam-macam istilah, karena hanya ada satu istilah yaitu Strafbaar feitcommit yang merupakan istilah resmi dalam straf wet to user
18 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
boek atau KUHP yang sekarang berlaku di Indonesia. Ada istilah dalam bahasa asing yaitu delict. “Strafbaar feit adalah kelakuan (Handleling) yang diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan bertanggungjawab”
yang dilakukan oleh orang yang
(Simons
dalam
Moeljatno,
2008:61).
Sedangkan Van Hamel merumuskan “strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gerdraging) yang dirumuskan dalam wet yang bersifat melawan hukum yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan” (Moeljatno, 2008:61). Profesor Van Hattum berpendapat bahwa sesuatu tindakan itu tidak dapat dipisahkan dari orang yang telah melakukan tindakan tersebut. Menurut beliau, perkataan strafbaar itu berarti voor straf in aanmerking komend atau straf verdienend yang juga mempunyai arti sebagai pantas untuk dihukum, sehingga perkataan strafbaar feit seperti yang telah digunakan oleh pembentuk undang-undang di dalamm Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu secara eliptis haruslah diartikan sebagai suatu tindakan, yang karena telah melakukan tindakan semacam itu membuat seseorang menjadi dapat dihukum atau sesuatu feit terzake van hetwelk een nersoon strafbaar is(P. A. F. Lamintang, 1997:184). b. Unsur Tindak Pidana Menurut ilmu pengetahuan hukum pidana, sesuatu tindakan itu dapat merupakan een doeri atau een niet doen atau dapat merupakan hal melakukan sesuatu ataupun hal tidak melakukan sesuatu, yang terakhir ini di dalam doktrin juga sering disebut sebagai een nalaten yang juga berarti hal mengalpakan sesuatu yang diwajibkan (oleh undang-undang). Akan tetapi “strafbaar feit itu oleh Hoge Raad juga pernah diartikan bukan sebagai suatu tindakan melainkan sebagai suatu peristiwa atau sebagai suatu keadaan” (P. A. F. Lamintang, 1997:192-193). Unsur-unsur strafbaar feit menurut Simons adalah : 1) Perbuatan manusia (positief atau negatief; berbuat atau commit to user tidak berbuat atau membiarkan),
19 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2) 3) 4) 5)
Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld), Melawan hokum (onrechtmatig), Dilakukan dengan kesalahan met schuld in verband stand), Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar person) (Sudarto, 1990:41). Walaupun demikian dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana tindak pidana itu pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif. Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur subjektif dan sesuatu tindak pidana itu adalah : 1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa); 2) Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud didalam Pasal 53 ayat (1) KUHP; 3) Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain; 4) Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang misalnya yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP; 5) Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP(P. A. F. Lamintang, 1997:193-194). Sedangkan yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaankeadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus di lakukan. Unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah: 1) Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid; 2) Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam commit to userkejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris
20 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dari suatu perseroan terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP; 3) Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat(P. A. F. Lamintang, 1997:194). Bahwa unsur-unsur delik yang sudah tetap ialah sifat melawan hukum dan kesalahan, itu belum lengkap, harus ada unsur lain, ialah sub-sosial, ialah semacam kerusakan dalam ketertiban hukum. Ada 4 lingkungan yang terkena oleh suatu delik, ialah : 1) Sipembuat sendiri ada kerusakan (ontwrichting) padanya; 2) Sikorban : ada perasaan tidak puas; 3) Lingkungan terdekat : ada kehendak untuk meniru berbuat jahat. 4) Masyarakat umum : perasaan cemas (Vrij dalam Sudarto, 1990:48). Dari rumusan-rumusan tindak pidana tertentu dalam KUHP itu, maka dapat diketahui adanya delapan unsur tindak pidana, yaitu: 1) Unsur tingkah laku; 2) Unsur melawan hukum; 3) Unsur kesalahan; 4) Unsur akibat konstitutif; 5) Unsur keadaan yang menyertai; 6) Unsur syarat tambahan untuk dapat dituntut pidana; 7) Unsur syarat tambahan untuk memperberat pidana; 8) Unsur syarat tambahan untuk dapat dipidana. Perumusan aturan hukum pidana yang tertulis terdapat dalam KUHP dan dari peraturan undang-undang lainnya.Syarat untuk memungkinkan terjadinya penjatuhan pidana ialah adanya perbuatan (manusia) yang memenuhi rumusan delik dalam undangundang.Adalah konsekuensi dari asas legalitas. Rumusan delik ini penting artinya sebagai prinsip kepastian hukum (Sudarto, 1990: 51) Sudarto mengartikan perbuatan konkrit adalah perbuatan dari si pembuat harus mempunyai sifat-sifat atau ciri-ciri dari delik sebagaimana secara abstrak disebutkan dalam undang-undang, perbuatan tersebutcommit harusto user masuk dalam perumusan delik tersebut.Dalam rumusan undang-undang melukiskan perbuatan yang
perpustakaan.uns.ac.id
21 digilib.uns.ac.id
dimaksud secara skematis, tidak secara konkrit. Misalnya pasal 338 KUHP menggambarkan secara skematis syarat-syarat apa yang harus ada pada suatu perbuatan agar tidak dipidana berdasarkan pasal tersebut (Sudarto,1990: 52). Syarat-syarat itu juga disebut unsur-unsur delik.Pengertian unsur disini dipakai dalam arti sempit, ialah unsur yang terdapat dalam rumusan undang-undang. Rumusan dalam undang-undang ini tidak terikat akan tempat dan waktu. Tidak demkian halnya dengan perbuatan yang dimaksud. Ini adalah perbuatan konkrit, yang berlangsung disuatu tempat dan pada suatu waktu dan yang dapat di tangkap secara panca indra (Sudarto,1990: 52). 3. Tinjauan Umum Tentang Eutanasia a. Pengertian Eutanasia Eutanasia berasal dari kata Yunani Euthanathos. Eu = baik, tanpa penderitaan; sedang tanathos = mati. Dengan demikian eutanasia dapat diartikan: mati dengan baik tanpa penderitaan. Ada yang menterjemahkan : mati cepat tanpa derita. Tetapi dalam kalangan medis, istilah itu berarti “membantu seseorang untuk meninggal dunia lebih cepat demi untuk membebaskannya dari penderitaan akibat penyakitnya” (Kartono Muhammad, 1992:19). Belanda, salah satu negara Eropa yang maju dalam pengetahuan hukum kesehatan mendefinisikan eutanasia sesuai dengan rumusan yang dibuat oleh Euthanasia Study Group dari KNMG (Ikatan Dokter Belanda) : Eutanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri (M. Jusuf Hanafiah, Amri Amir, 1999:105). Menurut Kode Etik Kedokteran Indonesia, kata eutanasia dipergunakan dalam tiga arti : 1). Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Allah di bibir. 2). Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberinya penenang. commitobat to user
22 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3). Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya(Kode Etik Kedokteran Indonesia, 1969: 21). Menurut hasil-hasil seminar, eutanasia diartikan : 1). Pada umumnya dengan sengaja melakukan sesuatu untuk mengakhiri hidup seseorang pasien. 2). Dengan sengaja tidak melakukan sesuatu (nalaten) untuk memperpanjan hidup pasien. 3.) Semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri. Atas permintaan atau tanpa permintaan pasien(Petrus Yoyo Karyadi, 2001: 27). Pengertian menurut Petrus Yoyo Karyadi : Eutanasia adalah dengan sengaja dokter atau bawahannya yang bertanggungjawab kepadanya atau tenaga medis tertentu untuk mengakhiri hidup pasien atau mempercepat proses kematian pasien atau tidak melakukan suatu tindakan medis untuk memperpanjang hidup pasien yang menderita suatu penyakit yang menurut ilmu kedokteran sulit untuk disembuhkan kembali, atas atau tanpa permintaan pasien dan atau keluarganya sendiri, demi kepentingan pasien dan atau keluarganya (Petrus Yoyo Karyadi, 2001: 28). Dari beberapa pengertian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur eutanasia adalah sebagai berikut : 1). Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. 2). Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup pasien. 3). Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan kembali. 4). Atas atau tanpa permintaan pasien dan atau keluarganya. 5). Demi kepentingan pasien dan atau keluarganya(Petrus Yoyo Karyadi, 2001: 29). Sejak abad ke-19, terminologi eutanasia dipakai untuk menyatakan penghindaran rasa sakit dan peringanan pada umumnya bagi yang sedang
menghadapi
kematian
dengan
pertolongan
dokter.
Pemakaian terminologi eutanasia ini mencakup tiga kategori, yaitu):
commit to user
23 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1) Pemakaian secara sempit Secara sempit eutanasia dipakai untuk tindakan menghindari rasa sakit dari penderitaan dalam menghadapi kematian. Dalam hal ini eutanasia berarti perawatan dokter ynag bertujuan untuk menghilangkan penderitaan yang dapat dicegah sejauh perawatan itu tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum, etika atau adat yang berlaku. 2) Pemakaian secara lebih luas “Secara lebih luas, terminologi eutanasia dipakai untuk perawatan yang menghindarkan rasa sakit dalam penderitaan dengan risiko efek hidup diperpendek”. 3) Pemakaian paling luas Dalam pemakaian paling luas ini, “eutanasia berarti memendekkan hidup yang tidak lagi dianggap sebagai side effect, melainkan sebagai tindakan untuk menghilangkan penderitaan pasien” (Petrus Yoyo Karyadi, 2001:26). b. Jenis Eutanasia Dilihat dari cara dilaksanakan, eutanasia dapat dibedakan atas : 1) “Eutanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia” (M. Jusuf Hanafiah, Amri Amir, 1999:107). “Eutanasia pasif yang dilakukan atas permintaan pasien sendiri disebut juga sebagai auto eutanasia” (Kartono Muhammad, 1992:31). Dalam hal ini pasien secara sadar menolak pertolongan medis yang dapat memperpanjang hidupnya dan ia mengetahui bahwa sikapnya itu akan mengakhiri hidupnya. 2) “Eutanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara medik melalui intervensi aktif oleh seorang dokter dengan tujuan untuk mengakhiri hidup manusia” (M. Jusuf Hanafiah, Amri Amir, 1999:107). Jika “eutanasia ini dimulai oleh dokter atau tenaga medis, ini disebut homicide” (F. Hartono, 2009:133). Eutanasia aktif ini dapat pula dibedakan atas : commit to user
24 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a) Eutanasia aktif langsung (direct) adalah dilakukannya tindakan medik secara terarah yang diperhitungkan akan mengakhiri hidup pasien, atau memperpendek hidup pasien. Jenis eutanasia ini dikenal juga sebagai mercy killing. b) Eutanasia aktif tidak langsung (indirect) adalah di mana dokter atau tenaga kesehatan melakukan tindakan medik untuk meringankan penderitaan pasien, namun mengetahui adanya resiko tersebut dapat memperpendek atau mengakhiri hidup pasien (M. Jusuf Hanafiah, Amri Amir, 1999:107). “Eutanasia murni adalah usaha untuk meringankan kematian seseorang tanpa memperpendek hidupnya”(Franz Magnis Suseno S.J. dalam Petrus Yoyo Karyadi, 2001:29). Di situ termasuk semua usaha perawatan dan pastoral agar yang bersangkutan dapat mati dengan baik. Ditinjau dari permintaan, eutanasia dibedakan atas : 1) Eutanasia voluntir atau eutanasia sukarela (atas permintaan pasien) adalah eutanasia yang dilakukan atas permintaan pasien secara sadar dan diminta berulang-ulang. 2) Eutanasia involuntir (tidak atas permintaan pasien) adalah eutanasia yang dilakukan pada pasien yang (sudah) tidak sadar, dan biasanya keluarga pasien yang meminta(M. Jusuf Hanafiah, Amri Amir, 1999:107). Kedua jenis eutanasia diatas dapat digabung misalnya eutanasia pasif voluntir, eutanasia aktif involuntir, eutanasia aktif langsung involuntir dan sebagainya. Ada yang melihat pelaksanaan eutanasia dari sudut lain dan membaginya atas 4 kategori, yaitu : 1) Tidak ada bantuan dalam proses kematian tanpa maksud memperpendek hidup pasien. 2) Ada bantuan dalam proses kematian tanpa maksud memperpendek hidup pasien. 3) Tidak ada bantuan dalam proses kematian dengan tujuan memperpendek hidup pasien. 4) Ada bantuan dalam proses kematian dengan tujuan memperpendek hidup pasien (M. Jusuf Hanafiah, Amri commit to user Amir, 1999:107).
25 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Bentuk-bentuk semu eutanasia Disebut bentuk semu dari eutanasia karena mirip dengan eutanasia, tetapi sebetulnya bukan eutanasia. Bentuk-bentuk pengakhiran hidup yang mirip dengan eutanasia disebut oleh Prof. H.J.J. Leenen adalah sebagai “schijngestaten van euthanasie” (Fred Ameln dalam Petrus Yoyo Karyadi, 2001:33). Adapun yang termasuk ke dalam bentuk semu dari eutanasia adalah sebagai berikut: 1) Memberhentikan pengobatan (perawatan) medis yang sudah tidak ada gunanya (zinloos). 2) Penolakan perawatan medis oleh pasien (keluarganya). 3) Memberhentikan pengobatan (perawatan) medis karena mati otak (braindeath). 4) Pengakhiran hidup pasien akibat persediaan peralatan medis yang terbatas (emergency). 5) Eutanasia akibat sikon(Petrus Yoyo Karyadi, 2001:33). d. Tujuan Eutanasia Beberapa tujuan pokok dari dilakukannya eutanasia antara lain yaitu: 1) Pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing); 2) Eutanasia hewan; 3) Eutanasia berdasarkan bantuan dokter, ini adalah bentuk laindaripada eutanasia agresif secara sukarela(http://fathurrahmancr7.blogspot.com/2009/01/eutana sia.html).
commit to user
26 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Kerangka Pemikiran
Tindak Pidana
Eutanasia
Pengaturan
Tindak Pidana Eutanasia
Tindak Pidana Eutanasia
Di Indonesia ?
Di Negeri Belanda ?
Perbedaan ?
commit to user
27 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Keterangan : Berdasarkan bagan diatas, dapat dije;askan bahwa eutanasia merupakan salah satu bentuk tindak pidana. Yang tidak hanya populer di dunia internasional namun juga sudah dikenal konsep mengenai tindak pidana eutanasia di Indonesia. Salah satu negara yang juga mengenal konsep tindak pidana eutanasia adalah Negeri Belanda. Masing-masing pengaturan mengenai tindak pidana eutanasia ini berbeda di setiap negara, antara pengaturan tindak pidana eutanasia di Indonesia dan di Negeri Belanda juga berbeda. Mengenai bagaimana unsur yang mendasari suatu perbuatan dikatakan sebagi tindak pidana eutanasia juga berbeda. Dari kerangka berpikir tersebut penulis berusaha menemukan pengaturan mengenai tindak pidana eutanasia, baik di Indonesia maupun di Negeri Belanda. Kemudian penulis berusaha menyusun suatu kesimpulan yang menunjukkan karakteristik yang membedakan pengaturan tindak pidana eutanasia di kedua negara tersebut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Perbandingan hukum adalah kegiatan mengadakan identifikasi terhadap gejala hukum tertentu untuk menentukan persamaan dan/atau perbedaan antara dua gejala hukum atau lebih. “Bahan-bahan yang dipergunakan dalam perbandingan hukum dapat berupa bahan yang langsung didapat dari masyarakat (=data primer), maupun bahan kepustakaan (=data sekunder)” (Soerjono Soekanto, 1989:54). Untuk mendapatkan suatu perbandingan hukum yang obyektif maka dilakukan dengan membandingkan 2 (dua) macam pengaturan mengenai eutanasia di 2 (dua) negara berbeda yaitu negara Indonesia dan negara Belanda. Terdapat perbedaan mengenai aturan eutanasia di masing-masing negara tersebut, namun untuk definisi eutanasia kedua negara tersebut menganut pengertian yang sama yaitu pengertian eutanasia yang dikenal secara global. Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah, bagus, terhormat atau gracefully and with dignity, & Thanatos yang berarti mati. Jadi secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Sedangkan secara harafiah, euthanasia tidak dapat diartikan sebagai pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang. Menurut “Philo (50-20 SM) euthanasia berarti mati dengan tenang & baik, sedangkan Suetonis penulis Romawi dalam bukunya Vita Caesarum mengatakan bahwa euthanasia berarti mati cepat tanpa derita” (http://hukumkes.wordpress.com/2008/03/15/aspekhukum-dalam-pelaksanaan-euthanasia-di-indonesia/). Sedangkan macam eutanasia secara mudah dan ringkas dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu: 1. “Eutanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala
tindakan
atau
pengobatan
yang
perlu
untuk
mempertahankan hidup manusia” (M. Jusuf Hanafiah, Amri Amir, commit to user 1999:107).
28
29 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. “Eutanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara medik melalui intervensi aktif oleh seorang dokter dengan tujuan untuk mengakhiri hidup manusia” (M. Jusuf Hanafiah, Amri Amir, 1999:107). A. Pengaturan Eutanasia Di Indonesia Masalah eutanasia seringkali dikaitkan dengan bunuh diri. Dalam hukum pidana mengenai bunuh diri yang harus dibahas adalah orang yang mencoba melakukan bunuh diri dan orang lain yang membantu melakukan bunuh diri. Di Amerika Serikat seseorang yang gagal melakukan bunuh diri dapat dipidana, begitu juga di Israel. Bahkan di Belanda pernah ada aturan yang mengatur percobaan bunuh diri, sebelum kemudian dicabut. Namun dalam penelitian ini bukan mengkaji eutanasia dari sudut pandang sebagai perbuatan bunuh diri, melainkan menganalisis aturan mengenai eutanasia. Dalam KUHP Indonesia, Pasal-pasal yang dapat dikaitkan dengan eutanasia meliputi, Pasal 338, Pasal 340, Pasal 344, dan Pasal 359. Keempat Pasal tersebut mengandung larangan untuk membunuh. Masing-masing pasal tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pasal 338 KUHP “Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun” (Moeljatno, 2003:122). 2. Pasal 340 KUHP “Barangsiapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun” (Moeljatno, 2003:123). 3. Pasal 344 KUHP “Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang commit jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, to user
30 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun” (Moeljatno, 2003:124). 4. Pasal 359 KUHP “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun” (Moeljatno, 2003:127). Pasal 338 KUHP sebagai aturan pokok mengenai kejahatan terhadap nyawa. Adapun unsur-unsurnya sebgai berikut : Unsur subyektif: Dengan sengaja. Unsur obyektif: 1. Perbuatan: Menghilangkan nyawa, 2. Obyek: Nyawa orang lain. Dalam perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) terdapat 3 syarat yang harus dipenuhi, yaitu: 1. Adanya wujud perbuatan, 2. Adanya suatu kematian (orang lain), 3. Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara perbuatan dan akibat kematian (orang lain). Unsur yang mendasar dalam pasal ini adalah dengan sengaja.Dimana kesengajaan pelaku untuk menghilangkan nyawa korban harus dapat dibuktikan dan dinyatakan dengan jelas.Karena pasal ini memandang bahwa menghilangkan nyawa adalah suatu kesengajaan dikarenakan sebab tertentu. Pasal 340 KUHP sebagai aturan khusus dengan dimasukkannya unsur dengan rencana terlebih dahulu, maka bisa dikatakan sebagai pasal pembunuhan yang direncanakan atau pembunuhan berencana. Kejahatan yang dirumuskan dalam Pasal 340 KUHP terdiri dari unsur sebagai berikut : Unsur subyektif:
commit to user
31 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1. Dengan sengaja, 2. Dengan rencana terlebih dahulu. Unsur obyektif : 1. Perbuatan : menghilangkan nyawa orang, 2. Obyek : nyawa orang lain. Moord pada dasarnya mengandung tiga syarat : 1. Memutuskan kehendak dalam suasana tenang, 2. Ada tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak, 3. Pelaksanaan kehendak (perbuatan) dalam suasana tenang. Pembunuhan berencana Pasal 340 KUHP mengandung semua unsur pembunuhan pokok Pasal 338 KUHP dan ditambah satu unsur lagi, yakni dengan rencana terlebih dahulu. Dapat dikatakan bahwa pembunuhan yang dimaksud dalam pasal 338 KUHP adalah tanpa rencana sedangkan dalam pasal 340 KUHP adalah dengan rencana terlebih dahulu. Namun di Indonesia belum ada Undang-undang khusus yang mengatur mengenai eutanasia. Jadi, apabila eutanasia dipandang sebagai suatu tindak pidana maka aturan hukum yang dapat digunakan untuk menjerat perbuatan eutanasia adalah menggunakan pasal-pasal pembunuhan dalam Kitab Undang-undang hukum Pidana. Maka beralihlah rumusan perbuatan pidana dari eutanasia ke pembunuhan, karena di Indonesia tidak mengenal tindak pidana eutanasia. Dari isi pasal 344 KUHP dapat diambil suatu kesimpulan bahwa seseorang itu tidak diperbolehkan melakukan pembunuhan terhadap orang lain walaupun pembunuhan itu dilakukan dengan alasan atas permintaan si korban sendiri, apalagi orang tersebut justru orang yang perlu ditolong, orang yang tengah menderita sakit parah yang tidak tersembuhkan, meski hal itu atas permintaannya sendiri. Kejahatan yang dirumuskan dalam Pasal 344 KUHP, terdiri dari unsur sebagai berikut:
commit to user
32 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1. Perbuatan : menghilangkan nyawa. 2. Obyek
: nyawa orang lain.
3. Atas permintaan orang itu sendiri. 4. Yang jelas dinyatakan dengan sungguh-sungguh. Sehingga dalam Pasal 344 KUHP terdapat unsur: 1. Atas permintaan korban sendiri, 2. Yang jelas dinyatakan dengan sunguh-sungguh, 3. Tidak dicantumkannya unsur kesengajaan. Dari unsur atas permintaan korban sendiri menunjukkan bahwa inisiatif untuk melakukan pembunuhan adalah keinginan korban sendiri. Meskipun tidak mengenal hak untuk mati namun dari unsur tersebut dapat disimpulkan bahwa hak untuk menentukan atas nyawa pemilik sendiri masih dihargai. Dari pidana juga berbeda antara permintaan dengan permintaan sendiri dengan pembunuhan biasa dalam Pasal 338 KUHP. Dalam Pasal 338 KUHP pidana bagi pembunuhan biasa adalah maksimal lima belas tahun penjara. Karena unsur-unsur pasal tersebut menunjukkan pembunuhan dilakukan atas inisiatif pelaku sendiri tidak ada campur tangan dari korban. Sedangkan pidana bagi pembunuhan atas permintaan sendiri adalah maksimal dua belas tahun penjara. Permintaan adalah berupa pernyataan kehendak yang ditujukan pada orang lain, agar orang lain itu melakukan perbuatan tertentu bagi kepentingan orang yang diminta, terdapat kebebasan untuk memutuskan kehendaknya, apakah permintaan korban yang jelas dinyatakan dengan sungguh-sungguh itu akan dipenuhi atau tidak. Dari unsur yang jelas dinyatakan dengan sungguh-sungguh mengandung arti bahwa pernyataan untuk dilakukan pembunuhan itu harus dengan sungguhsungguh dan kesungguhan itu harus dinyatakan dengan jelas. Maka ada dua hal yang harus dibuktikan, yaitu: 1. Dibuktikan tentang adanya pernyataan, commit to user
33 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Isinya menyatakan itu tentang kesungguhan bahwa, korban meminta agar nyawanya dicabut. Kedua hal tersebut tidak dapat dipisahkan, karena dua hal tersebut yang menentukan seseorang yang melakukan euthanasia dapat dipidana dengan Pasal 344 KUHP atau tidak.Unsur permintaan korban sendiri yang dinyatakan dengan sungguh-sungguh harus bisa dibuktikan dengan saksi-saksi atau alat-alat bukti yang ada.Karena dalam KUHP Indonesia tidak mengenal perbuatan euthanasia, maka setiap perbuatan yang merupakan perbuatan euthanasia baik aktif maupun pasif apabila hendak dijerat dengan Pasal 344 KUHP harus jelas dinyatakan unsur tersebut telah dilakukan. Dalam Pasal 359 KUHP dirumuskan unsur-unsur mengenai kejahatan sebagai berikut : 1. Adanya wujud kelalaian (culpa), 2. Adanya wujud perbuatan tertentu, 3. Adanya akibat kematian orang lain, 4. Adanya hubungan kausal antara wujud perbuatan dengan akibat kematian orang lain itu. Terdapat dua syarat untuk terpenuhinya culpa : 1. “Dilakukan karena kurang hati-hati atau waspada, 2. Pelakuseharusnya dapat membayangkan timbulnya akibat denganakal sehatnya”
(http://www.scribd.com/doc/34418197/Tugas-Tindak-
Pidana-Tertentu-Analisis-Pasal). Unsur yang mendasar dalam pasal ini adalah kelalaian.Apabila dikaitkan dengan euthanasia bahwa dalam melakukan setiap tindakan medis adalah dengan kesadaran dokter bahkan dengan kesepakatan dari keluarga pasien maupun pasien sendiri yang menghendaki euthanasia.Namun tidak menutup kemungkinan pasal ini dapat diterapkan dalam euthanasia apabila dokter dalam euthanasia pasif menyatakan salah mendiagnosa penyakit dan memberikan pengobatan yang keliru sehingga menyebabkan hilangnya nyawa pasien, Keadaan seperti itu dapat dinyatakan sebagai kelalaian.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
34 digilib.uns.ac.id
Dibandingkan dengan Pasal 338 KUHP yang menyatakan unsur kesengajaan, maka bertolak belakang dengan Pasal 359 KUHP yang menyatakan kelalaian sehingga menyebabkan hilangnya nyawa orang. Eutanasia yang terdiri dari dua macam bentuk yaitu eutanasia aktif dan eutanasia pasif, tidak begitu saja dapat dijerat dengan pasal-pasal pembunuhan tersebut. “Hak azasi manusia (HAM) selalu dikaitkan dengan hak hidup, hak damai, dan sebagainya.Tapi tidak tercantum jelas adanya hak seseorang untuk mati” (Diah Nurul, 2010:2).Karena eutanasia sering dikaitkan dengan hak untuk mati, sedangkan di Indonesia melalui Pasal 344 KUHP jelas tidak mengenal hak untuk mati termasuk dengan bantuan orang lain. Dalam pasal tersebut jelas menyatakan orang yang membantu orang lain untuk menghilangkan nyawa dapat dipidana. Berbagai macam tindakan medis yang dilakukan dokter terhadap pasien, semata-mata bertujuan untuk kesembuhan pasien. Beratnya beban penderitaan pasien dengan penyakit yang dideritanya menimbulkan suatu perasaan putus asa terhadap kesembuhan penyakitnya. Perasaan putus asa tersebut dapat menjadi motif timbulnya eutanasia aktif ataupun eutanasia pasif. Indonesia tidak mengakui adanya euthanasia namun tidak menutup kemungkinan adanya praktik euthanasia yang terjadi karena tindakan medis yang dilakukan dokter terhadap pasien.Berikut beberapa tindakan medis yang dapat digolongkan sebagai perbuatan euthanasia : 1. Penghentian pengobatan melelui oral atau nasal (tablet, kapsul, elixir, sirup, dan obat melalui pernapasan), atas permintaan pasien atau keluarga pasien dan atau yang dilakukan secara tidak langsung ataupun secara sengaja oleh dokter yan bertugas dan kemudian pasien meninggal. 2. Tindakan penghentian pengobatan melalui perenteral (injeksi, infus dan sejenisnya), atas permintaan pasien atau keluarga pasien dan atau yang dilakukan secara tidak langsung ataupun secara sengaja oleh dokter yang bertugas dan kemudian pasien meninggal. 3. Tindakan memindahkan pasien yang dalam keadaan kritis dari satu rumah sakit ke rumah sakit yang lain yang sangat kurang mampu menangani pasien, atau memindahkan commit to user pasien ke rumah sakit, dengan atau tanpa fasilitas medis, atas permintaan pasien atau keluarga pasien
35 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
atau yang disarankan secara sengaja atau secara tidak langsung diakui oleh dokter yang bertugas dan kemudian pasien meninggal. 4. Tindakan menolak dioperasi atas permintaan pasien atau keluarga pasien (Bunga Lily, 2002:45). Berbagai tindakan medis yang dilakukan oleh dokter yang berhubungan dengan mendukung kehidupan pasien dipengaruhi oleh keinginan pasien sendiri atau keluarga pasien. Di Indonesia telah menjadi suatu kebiasaan dimana pasien yang telah lama dirawat di rumah sakit namun tidak kunjung sembuh kemudian keluarga memutuskan untuk membawa pulang pasien dengan harapan apabila tidak dapat disembuhkan lagi kemudian meninggal pasien telah berada dirumah dan
untuk
mengurangi
biaya
pengobatan.
Jadi
alasan
ekonomi
juga
mempengaruhi tindakan medis yang dilakukan dokter selain permintaan dari pasien atau keluarga pasien. Dari penjabaran beberapa Pasal dalam KUHP yang menyangkut kejahatan terhadap nyawa, maka Pasal yang paling relevan diterapkan untuk tindak pidana euthanasia adalah Pasal 344 KUHP, karena di dalamnya terdapat unsur “permintaan orang itu sendiri yang dinyatakan dengan sungguh-sungguh”. Maksud dari orang itu dalam Pasal 344 KUHP dapat dinyatakan sebagai pasien atau keluaga pasien yang meminta pengakhiran hidup kepada dokter dan permintaan tersebut dinyatakan dengan sungguh-sungguh. Biasanya dokter membuat suatu surat pernyataan yang berisi permintaan pasien dan ditandatangani pasien dan dokter itu sendiri. Surat pernyataan tersebut menjadi suatu bukti tertulis unsur pemintaan yang dinyatakan dengan sungguh-sungguh. Berdasarkan pasal ini, seorang dokter bisa dituntut oleh penegak hukum, apabila ia melakukan euthanasia, walaupun atas permintaan pasien dan keluarga yang bersangkutan, karena perbuatan tersebut merupakan perbuatan melawan hukum.Mungkin saja dokter terlepas dari tuntutan Pasal 344 ini namun tidak dapat terlepas dari Pasal 388, sehingga terhadap dokter dapat dikenakan dua asal dan tidak menutup Pasal lain dapat ikut disertakan. Tidak hanya Pasal 344 dan Pasal 338 namun dapat juga antara Pasal 344 dengan Pasal 340, hal ini disebut dengan concursus idealis.
commit to user
36 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dokter yang melakukan euthanasia bisa diberhentikan dari jabatannya, karena melanggar kode etik kedokteran. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 434/Men.Kes/SK/X/1983 Pasal 10 menyebutkan : Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya untuk melindungi hidup makhluk insani. Menurut etik kedokteran, seorang dokter tidak dibolehkan : a. Menggugurkan kandungan (abortus provocatus) b. Mengakhiri hidup seorang penderita, yang menurut ilmu dan pengalaman tidak akan mungkin sembuh lagi. B. Pengaturan Eutanasia Di Negeri Belanda In The Netherlands, euthanasia is defined as the deliberate termination of the life of a person on his request by another person. Although, in this limited sense, euthanasia is only one of the issues raised by medical decision-making at the end of life, it is, in particular, the acceptance of euthanasia in this country that has attracted attention from abroad. Also, in The Netherlands itself, the toleration of the courts of euthanasia (if carried out by a physician under strict conditions) has given rise to much debate.This contribution surveys the developments in the law (including recent legislation), and in medical practice, and explores the relation between the two, with particular attention to the position of the physician (Sjef Gevers, 1996:326). Euthanasie in Nederland is geregeld in de wet Toetsing levensbeëindiging op verzoek en hulp bij zelfdoding . De wet is met een parlementaire meerderheid van D66 ,VVD en PvdA , vastgesteld op 12 april 2001. Een jaar later traden de wetsregels in werking, op 1 april 2002. De wet geldt uitsluitend voor gevallen van actieve euthanasie , dus levensbeëindigend handelen en hulp bij zelfdoding - op uitdrukkelijk verzoek van de patiënt zélf (http://nl.wikipedia.org/wiki/Euthanasie_in_Nederland). Terjemahannya adalah pada tanggal 10 April 2001Belanda menerbitkan undang-undang
yang
BelandadiaturolehUU eutanasia
mengizinkan reviewdan
euthanasia.Eutanasiadi bunuhdiriyangdibantu(Toetsing
levensbeëindigingop verzoek en hulp bij zelfdoding). UU ini oleh mayoritas parlemen, D66 , VVD dan PvdA , diadopsi pada tanggal 12 April 2001. Setahun kemudian bergabung dengan aturan-aturan hukum yang berlaku pada tanggal 1 April 2002. Undang-undang hanya berlaku untuk kasus-kasus aktif eutanasia , jadi mengakhiri hidup dan bunuh diri dibantu yang dinyatakan atas permintaan pasien. commit to user “Assisted suicide occurs when a person — typically someone suffering from an
perpustakaan.uns.ac.id
37 digilib.uns.ac.id
incurable illness or chronic intense pain — intentionally kills himself with the help of another individual” (CBCNews, 2009:1). Sejak berlakunya UU tersebut menjadikan Belanda menjadi negara pertama di dunia yang melegalisasi praktik eutanasia. Pasien-pasien yang mengalami sakit menahun dan tak tersembuhkan, diberi hak untuk mengakhiri penderitaannya sesuai dengan ketentuan dalam UU tersebut. Tetapi perlu ditekankan, bahwa dalam Kitab Hukum Pidana Belanda secara formal euthanasia dan bunuh diri berbantuan masih dipertahankan sebagai perbuatan kriminal.Maka dengan berlakunya UU euthanasia dan bunuh diri berbantuan membuat suatu pengecualian pada tindakan medis tertentu sehingga tidak dianggap sebagai perbuatan kriminal, dengan kata lain UU tersebut melegalkan perbuatan medis tertentu meskipun hal itu termasuk perbuatan euthanasia. Berikut adalah isi dari UU Eutanasia dan Bunuh Diri Berbantuan yang disahkan di Belanda sesuai dengan naskah aslinya : WET van 12 april 2001, houdende toetsing van levensbeëindiging op verzoek en hulp bij zelfdoding en wijziging van het Wetboek van Strafrecht en van de Wet op de lijkbezorging (Wet toetsing levensbeëindiging op verzoek en hulp bij zelfdoding) WIJ BEATRIX, bij de gratie Gods, Koningin der Nederlanden, Prinses van Oranje-Nassau, enz. enz. enz. Allen, die deze zullen zien of horen lezen, saluut! doen weten: Alzo Wij in overweging genomen hebben, dat het wenselijk is in het Wetboek van Strafrecht een strafuitsluitingsgrond op te nemen voor de arts die met inachtneming van wettelijk vast te leggen zorgvuldigheidseisen levensbeëindiging op verzoek toepast of hulp bij zelfdoding verleent, en daartoe bij wet een meldings- en toetsingsprocedure vast te stellen; Zo is het, dat Wij, de Raad van State gehoord, en met gemeen overleg der Staten-Generaal, hebben goedgevonden en verstaan, gelijk Wij goedvinden en verstaan bij deze: Hoofdstuk I. Begripsomschrijvingen Artikel 1 In deze wet wordt verstaancommit onder: to user
perpustakaan.uns.ac.id
38 digilib.uns.ac.id
a. Onze Ministers: de Ministers van Justitie en van Volksgezondheid, Welzijn en Sport; b. hulp bij zelfdoding: het opzettelijk een ander bij zelfdoding behulpzaam zijn of hem de middelen daartoe verschaffen als bedoeld in artikel 294, tweede lid, tweede volzin, Wetboek van Strafrecht; c. de arts: de arts die volgens de melding levensbeëindiging op verzoek heeft toegepast of hulp bij zelfdoding heeft verleend; d. de consulent: de arts die is geraadpleegd over het voornemen van een arts om levensbeëindiging op verzoek toe te passen of hulp bij zelfdoding te verlenen; e. de hulpverleners: hulpverleners als bedoeld in artikel 446, eerste lid, van boek 7 van het Burgerlijk Wetboek; f. de commissie: een regionale toetsingscommissie als bedoeld in artikel 3; g. regionaal inspecteur: regionaal inspecteur van de Inspectie voor de Gezondheidszorg van het Staatstoezicht op de Volksgezondheid; Hoofdstuk II. Zorgvuldigheidseisen Artikel 2 1. De zorgvuldigheidseisen, bedoeld in artikel 293, tweede lid, Wetboek van Strafrecht, houden in dat de arts: a. de overtuiging heeft gekregen dat er sprake was van een vrijwillig en weloverwogen verzoek van de patiënt, b. de overtuiging heeft gekregen dat er sprake was van uitzichtloos en ondraaglijk lijden van de patiënt, c. de patiënt heeft voorgelicht over de situatie waarin deze zich bevond en over diens vooruitzichten, d. met de patiënt tot de overtuiging is gekomen dat er voor de situatie waarin deze zich bevond geen redelijke andere oplossing was, e. ten minste één andere, onafhankelijke arts heeft geraadpleegd, die de patiënt heeft gezien en schriftelijk zijn oordeel heeft gegeven over de zorgvuldigheidseisen, bedoeld in de onderdelen a tot en met d, en f. de levensbeëindiging of hulp bij zelfdoding medisch zorgvuldig heeft uitgevoerd. 2. Indien de patiënt van zestien jaren of ouder niet langer in staat is zijn wil te uiten, maar voordat hij in die staat geraakte tot een redelijke waardering van zijn belangen terzake in staat werd geacht, en een schriftelijke verklaring, inhoudende een verzoek om levensbeëindiging, heeft afgelegd, dan kan de arts aan dit verzoek gevolg geven. De zorgvuldigheidseisen, bedoeld in het eerste lid, zijn van overeenkomstige toepassing. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
39 digilib.uns.ac.id
3. Indien de minderjarige patiënt een leeftijd heeft tussen de zestien en achttien jaren en tot een redelijke waardering van zijn belangen terzake in staat kan worden geacht, kan de arts aan een verzoek van de patiënt om levensbeëindiging of hulp bij zelfdoding gevolg geven, nadat de ouder of de ouders die het gezag over hem uitoefent of uitoefenen dan wel zijn voogd bij de besluitvorming zijn betrokken. 4. Indien de minderjarige patiënt een leeftijd heeft tussen de twaalf en zestien jaren en tot een redelijke waardering van zijn belangen terzake in staat kan worden geacht, kan de arts, indien een ouder of de ouders die het gezag over hem uitoefent of uitoefenen dan wel zijn voogd zich met de levensbeëindiging of hulp bij zelfdoding kan of kunnen verenigen, aan het verzoek van de patiënt gevolg geven. Het tweede lid is van overeenkomstige toepassing. Hoofdstuk III. Regionale toetsingscommissies voor levensbeëindiging op verzoek en hulp bij zelfdoding Paragraaf 1:. Instelling, samenstelling en benoeming Artikel 3 1. Er zijn regionale commissies voor de toetsing van meldingen van gevallen van levensbeëindiging op verzoek en hulp bij zelfdoding als bedoeld in artikel 293, tweede lid, onderscheidelijk 294, tweede lid, tweede volzin, van het Wetboek van Strafrecht. 2. Een commissie bestaat uit een oneven aantal leden, waaronder in elk geval één rechtsgeleerd lid, tevens voorzitter, één arts en één deskundige inzake ethische of zingevingsvraagstukken. Van een commissie maken mede deel uit plaatsvervangende leden van elk van de in de eerste volzin genoemde categorieën. Artikel 4 1. De voorzitter en de leden, alsmede de plaatsvervangende leden worden door Onze Ministers benoemd voor de tijd van zes jaar. Herbenoeming kan eenmaal plaatsvinden voor de tijd van zes jaar. 2. Een commissie heeft een secretaris en één of meer plaatsvervangend secretarissen, allen rechtsgeleerden, die door Onze Ministers worden benoemd. De secretaris heeft in de vergaderingen van de commissie een raadgevende stem. 3. De secretaris is voor zijn werkzaamheden voor de commissie uitsluitend verantwoording schuldig aan de commissie. Paragraaf 2:. Ontslag Artikel 5 De voorzitter en de leden, alsmede de plaatsvervangende leden kunnen te commitontslagen to user door Onze Ministers. allen tijde op hun eigen verzoek worden
perpustakaan.uns.ac.id
40 digilib.uns.ac.id
Artikel 6 De voorzitter en de leden, alsmede de plaatsvervangende leden kunnen door Onze Ministers worden ontslagen wegens ongeschiktheid of onbekwaamheid of op andere zwaarwegende gronden. Paragraaf 3:. Bezoldiging Artikel 7 De voorzitter en de leden alsmede de plaatsvervangende leden ontvangen vacatiegeld alsmede een vergoeding voor de reis- en verblijfkosten volgens de bestaande rijksregelen, voor zover niet uit anderen hoofde een vergoeding voor deze kosten wordt verleend uit 's Rijks kas. Paragraaf 4:. Taken en bevoegdheden Artikel 8 1. De commissie beoordeelt op basis van het verslag bedoeld in artikel 7, tweede lid, van de Wet op de lijkbezorging, of de arts die levensbeëindiging op verzoek heeft toegepast of hulp bij zelfdoding heeft verleend, heeft gehandeld overeenkomstig de zorgvuldigheidseisen, bedoeld in artikel 2. 2. De commissie kan de arts verzoeken zijn verslag schriftelijk of mondeling aan te vullen, indien dit voor een goede beoordeling van het handelen van de arts noodzakelijk is. 3. De commissie kan bij de gemeentelijke lijkschouwer, de consulent of de betrokken hulpverleners inlichtingen inwinnen, indien dit voor een goede beoordeling van het handelen van de arts noodzakelijk is. Artikel 9 1. De commissie brengt haar gemotiveerde oordeel binnen zes weken na ontvangst van het verslag als bedoeld in artikel 8, eerste lid, schriftelijk ter kennis van de arts. 2. De commissie brengt haar oordeel ter kennis van het College van procureurs-generaal en de regionaal inspecteur voor de gezondheidszorg: a. indien de arts naar het oordeel van de commissie niet heeft gehandeld overeenkomstig de zorgvuldigheidseisen, bedoeld in artikel 2; of b. indien de situatie zich voordoet als bedoeld in artikel 12, laatste volzin van de Wet op de lijkbezorging. De commissie stelt de arts hiervan in kennis. 3. De in het eerste lid genoemde termijn kan eenmaal voor ten hoogste zes weken worden verlengd. De commissie stelt de arts hiervan in kennis. 4. De commissie is bevoegd het door haar gegeven oordeel mondeling tegenover de arts nader toe te lichten. commit to userDeze mondelinge toelichting kan plaatsvinden op verzoek van de commissie of op verzoek van de arts.
perpustakaan.uns.ac.id
41 digilib.uns.ac.id
Artikel 10 De commissie is verplicht aan de officier van justitie desgevraagd alle inlichtingen te verstrekken, welke hij nodig heeft: 1°.ten behoeve van de beoordeling van het handelen van de arts in het geval als bedoeld in artikel 9, tweede lid; of 2°. ten behoeve van een opsporingsonderzoek. Van het verstrekken van inlichtingen aan de officier van justitie doet de commissie mededeling aan de arts. Paragraaf 6:. Werkwijze Artikel 11 De commissie draagt zorg voor registratie van de ter beoordeling gemelde gevallen van levensbeëindiging op verzoek of hulp bij zelfdoding. Bij ministeriële regeling van Onze Ministers kunnen daaromtrent nadere regels worden gesteld. Artikel 12 1. Een oordeel wordt vastgesteld bij gewone meerderheid van stemmen. 2. Een oordeel kan slechts door de commissie worden vastgesteld indien alle leden van de commissie aan de stemming hebben deelgenomen. Artikel 13 De voorzitters van de regionale toetsingscommissies voeren ten minste twee maal per jaar overleg met elkaar over werkwijze en functioneren van de commissies. Bij het overleg worden uitgenodigd een vertegenwoordiger van het College van procureurs-generaal en een vertegenwoordiger van de Inspectie voor de Gezondheidszorg van het Staatstoezicht op de Volksgezondheid. Paragraaf 7:. Geheimhouding en Verschoning Artikel 14 De leden en plaatsvervangend leden van de commissie zijn verplicht tot geheimhouding van de gegevens waarover zij bij de taakuitvoering de beschikking krijgen, behoudens voor zover enig wettelijk voorschrift hen tot mededeling verplicht of uit hun taak de noodzaak tot mededeling voortvloeit. Artikel 15 Een lid van de commissie, dat voor de behandeling van een zaak zitting heeft in de commissie, verschoont zich en kan worden gewraakt indien er feiten of omstandigheden bestaan waardoor de onpartijdigheid van zijn oordeel schade zou kunnen lijden. Artikel 16 Een lid, een plaatsvervangend lid en de secretaris van de commissie onthouden zich van het geven van een oordeel commit to userover het voornemen van een arts om levensbeëindiging op verzoek toe te passen of hulp bij zelfdoding te verlenen.
perpustakaan.uns.ac.id
42 digilib.uns.ac.id
Paragraaf 8:. Rapportage Artikel 17 1. De commissies brengen jaarlijks vóór 1 april aan Onze Ministers een gezamenlijk verslag van werkzaamheden uit over het afgelopen kalenderjaar. Onze Ministers stellen hiervoor bij ministeriële regeling een model vast. 2. Het in het eerste lid bedoelde verslag van werkzaamheden vermeldt in ieder geval: a. het aantal gemelde gevallen van levensbeëindiging op verzoek en hulp bij zelfdoding waarover de commissie een oordeel heeft uitgebracht; b. de aard van deze gevallen; c. de oordelen en de daarbij gemaakte afwegingen. Artikel 18 Onze Ministers brengen jaarlijks ter gelegenheid van het indienen van de begroting aan de Staten-Generaal verslag uit met betrekking tot het functioneren van de commissies naar aanleiding van het in het artikel 17, eerste lid, bedoelde verslag van werkzaamheden. Artikel 19 1. Op voordracht van Onze Ministers worden bij algemene maatregel van bestuur met betrekking tot de commissies regels gesteld betreffende a. hun aantal en relatieve bevoegdheid; b. hun vestigingsplaats. 2. Bij of krachtens algemene maatregel van bestuur kunnen Onze Ministers met betrekking tot de commissies nadere regels stellen betreffende a. hun omvang en samenstelling; b. hun werkwijze en verslaglegging.
Hoofdstuk IV. Wijzigingen in andere wetten Artikel 20 [Wijzigt het Wetboek van Strafrecht.]. Artikel 21 [Wijzigt de Wet op de lijkbezorging.] Artikel 22 [Wijzigt de Algemene wetcommit bestuursrecht.] to user
perpustakaan.uns.ac.id
43 digilib.uns.ac.id
Hoofdstuk V. Slotbepalingen Artikel 23 Deze wet treedt in werking op een bij koninklijk besluit te bepalen tijdstip. Artikel 24 Deze wet wordt aangehaald als: Wet toetsing levensbeëindiging op verzoek en hulp bij zelfdoding. Lasten en bevelen dat deze in het Staatsblad zal worden geplaatst en dat alle ministeries, autoriteiten, colleges en ambtenaren wie zulks aangaat, aan de nauwkeurige uitvoering de hand zullen houden. Gegeven te 's-Gravenhage, 12 april 2001 BEATRIX De Minister van Justitie, A.H. Korthals De Minister van Volksgezondheid, Welzijn en Sport, E. Borst-Eilers Uitgegeven de zesentwintigste april 2001 De Minister van Justitie, A.H. Korthals (http://www.st-ab.nl/wetten/0829_Wet_toetsing_levensbeeindiging_op_ verzoek_en_hulp_bij_zelfdoding.htm). Terjemahannya adalah sebagai berikut : Undang-Undang pada tanggal 12 April 2001 tentang review euthanasia dan bunuh diri dibantu dan amandemen KUHP dan Undang-Undang Penguburan dan Kremasi (UU Pemutusan Hidup di Permintaan dan Bunuh Diri Assisted). Kami Beatrix, dengan rahmat Allah Ratu Belanda, Putri Orange-Nassau, dll dll dll Untuk semua orang yang akan melihat atau mendengar hadiah ini! melakukan hal ini: Sedangkan Kami telah mempertimbangkan hal itu diinginkan dalam KUHP pidana tanah pengecualian untuk memasukkan dokter sesuai dengan hukum untuk membangun pemutusan due diligence kehidupan di bunuh diri meminta atau dibantu menyediakan, dan oleh hukum melaporkan dan meninjau proses untuk menentukan; Jadi, Kami, Dewan Negara, dan konsultasi dengan Jenderal Amerika, telah commit to dengan user ini menyetujui dan keputusan: disetujui dan ditetapkan sebagaimana Kami
perpustakaan.uns.ac.id
44 digilib.uns.ac.id
BabI. Definisi Pasal1 Undang-undang ini berlaku: a. Menteri kami berarti Menteri Kehakiman dan Kesehatan, Kesejahteraan dan Olahraga; b. bunuh diri dibantu: sengaja membantu orang lain untuk melakukan bunuh diri atau memberikannya sarana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 294, paragraf kedua, kalimat kedua, KUHP ; c. dokter berarti dokter menurut laporan diterapkan bunuh diri eutanasia atau dibantu; d. konsultan berarti dokter yang berkonsultasi niat seorang dokter untuk mengakhiri hidup berdasarkan permintaan atau menerapkan untuk memberikan bunuh diri yang dibantu; e. pengasuh: perawatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 446, paragraf pertama Buku 7 dari Kode Sipil ; f. komite berarti komite peninjau daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3; g. inspektur daerah berarti daerah inspektur Inspektorat Negara untuk Kesehatan;
Inspektorat
Kesehatan
Bab II. perawatan Persyaratan Pasal2 1. Kriteria perawatan karena sebagaimana dimaksud dalam Pasal 293, ayat kedua Kode Pidana berarti bahwa dokter: a. memiliki keyakinan bahwa ada permintaan sukarela dan informasi pasien, b. keyakinan bahwa ada penderitaan abadi dan tak tertahankan pasien, c. Pasien diberitahu tentang situasi dia dan tentang prospek nya, d. dengan pasien pada keyakinan bahwa situasi dia ada solusi yang masuk akal lain e. setidaknyasatudokterlainberkonsultasi,pasientelahmelihatdanmenulisopini diberikanperawatankarenakriteria sebagaimana dimaksud dalam huruf untuk d, dan f. Perawatan bunuh diri eutanasia atau dibantu medis yang dilakukan. 2. Jika pasien enam belas tahun atau lebih tua tidak lagi mampu mengungkapkan kehendak-Nya, tapi sebelum itu hilang untuk pemahaman yang wajar kondisi kepentingannya dianggap, dan pernyataan tertulis yang memuat permintaan untuk euthanasia telah dibuat, dokter dapat memberikan permintaan commit ini. Kriteria to userperawatan karena sebagaimana dimaksud dalam paragraf pertama, berlaku secara mutatis mutandis.
perpustakaan.uns.ac.id
45 digilib.uns.ac.id
3. Jika pasien minor berusia antara enam belas dan delapan belas tahun dan pemahaman yang masuk akal kepentingannya mungkin dianggap, dapat dokter meminta pasien untuk bunuh diri eutanasia atau dibantu, setelah orangtua atau orang tua yang berolahraga atau latihan otoritas atas dia atau walinya dalam proses pengambilan keputusan. 4. Jika pasien minor berusia antara dua belas dan enam belas tahun dan pemahaman yang masuk akal kepentingannya mungkin dianggap, dokter, jika orang tua atau orang tua dengan tahanan dari dia untuk latihan atau olahraga atau walinya setuju dengan eutanasia atau bunuh diri dibantu mungkin atau bisa bersatu, atas permintaan pasien tindak lanjut. Paragraf kedua akan berlaku secara mutatis mutandis. Bab III. Daerah meninjau komite untuk bunuh diri eutanasia dan dibantu Bagian 1:. Pembentukan, komposisi dan penunjukan Pasal 3 1. Ada komite regional untuk meninjau kasus yang dilaporkan bunuh dirieutanasia dandibantu dalam Pasal 293, ayat dua, atau 294 paragraf kedua, kalimat kedua dari KUHP. 2. Sebuah komite yang terdiri dari angka ganjil anggota, termasuk setidaknya satu anggota yang memenuhi syarat hukum, juga ketua, satu dokter dan satu pakar masalah etika atau filosofis. Komite juga berisi anggota wakil masing-masing kategori yang tercantum dalam kalimat pertama. Pasal 4 1. Ketua dan anggota dan anggota alternatif yang ditunjuk oleh Menteri kami untuk jangka waktu enam tahun. Mereka dapat diangkat kembali setelah ditahan selama jangka waktu enam tahun. 2. Sebuah komite memiliki sekretaris dan satu atau lebih wakil sekretaris, semua hukum, yang ditunjuk oleh Menteri kami. Sekretaris dalam pertemuan komite dalam kapasitas sebagai penasihat. 3. Sekretaris untuk karyanya pada komite yang bertanggung jawab sematamata untuk panitia. Bagian 2: pemecatan Pasal 5 Ketua dan anggota dan anggota alternatif dapat sewaktu-waktu atas permintaan mereka sendiri diberhentikan oleh Menteri kami. Pasal 6 Ketua dan anggota dan anggota alternative mungkin oleh para Menteri kami dipecat karena tidak sesuai atau ketidakmampuan atau untuk alasan mendesak lainnya. Bagian 3:. Remunerasi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
46 digilib.uns.ac.id
Pasal 7 Ketua dan anggota dan anggota menerima alternatif liburan dan uang saku untuk biaya perjalanan dan akomodasi sesuai dengan pemerintah yang ada, sepanjang tidak dinyatakan sudah menjadi kompensasi untuk biaya ini diberikan dari kas Negara. Bagian 4: Tugas dan tanggung jawab Pasal 8 1. Komite menilai berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat kedua dari Penguburan dan UU Kremasi, atau dokter yang mengakhiri kehidupan di permintaan atau dibantu bunuh diri telah diberikan bertindak sesuai dengan kriteria perawatan karena sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. 2. Komite dapat meminta laporan dokter secara tertulis atau lisan untuk melengkapi, jika penilaian yang tepat dari tindakan dokter diperlukan. 3. Komite dapat, di koroner lokal, konsultan atau penyedia perawatan yang terlibat, jika ini adalah penilaian yang baik dari tindakan dokter diperlukan. Pasal 9 1. Komite harus memberikan pendapatnya beralasan dalam waktu enam minggu setelah menerima laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, ayat menulis ke dokter. 2. Komite temuan kepada Dewan prokurator Umum dan inspektur perawatan kesehatan daerah: a. jika pendapat dokter, komisi tidak bertindak sesuai dengan kriteria-hati dimaksud dalam Pasal 2; b. jika situasi muncul dalam Pasal 12, kalimat terakhir dari Penguburan dan UU Kremasi. Panitia harus memberitahukan dokter ini. 3. Pada periode sebagaimana dimaksud sekali untuk sampai enam minggu. Panitia harus memberitahukan dokter ini. 4. Komite mungkin pada pendapatnya secara lisan ke dokter untuk lebih menjelaskan. Ini penjelasan lisan dapat terjadi atas permintaan komite atau atas permintaan dokter. Pasal 10 Komite wajib meminta jaksa penuntut umum informasi yang dia butuhkan: 1 .untuk menilai tindakan dokter dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, ayat, atau commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
47 digilib.uns.ac.id
2 .untuk investigasi kriminal. Memberikan informasi kepada penuntut umum, panitia memberitahukan dokter. Bagian 6:.metode Pasal 11 Komite bertanggung jawab untuk mendaftar untuk menilai kasus yang dilaporkan bunuh diri eutanasia atau dibantu.Menteri peraturan oleh aturan kami lebih lanjut ditetapkan Menteri. Pasal 12 1. Pendapat diadopsi oleh suara mayoritas. 2. Pendapat hanya dapat ditentukan oleh komisi jika semua anggota komite telah berpartisipasi dalam pemungutan suara. Pasal 13 Para presiden dari komite peninjau daerah melakukan setidaknya dua kali setahun, dengan setiap metode kerja dan kinerja komite.Pada konsultasi diundang untuk seorang wakil dari Dewan prokurator Umum dan perwakilan dari Perawatan Kesehatan Inspektorat Inspektorat Negara untuk Kesehatan. Bagian 7:. Kerahasiaan dan Pasal 14 Para anggota dan anggota wakil komite diperlukan untuk menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh dalam kinerja tugas memiliki akses, kecuali bila ada ketentuan hukum mewajibkan mereka untuk mengungkapkan pekerjaan mereka atau kebutuhan untuk berkomunikasi muncul. Pasal 15 Seorang anggota panitia, untuk pengobatan kasus duduk di komite, dirinya dan dapat menantang jika ada fakta-fakta atau keadaan yang ketidakberpihakan pendapat itu bisa mengalami kerusakan. Pasal 16 Satu anggota, satu anggota alternatif dan sekretaris komite menahan diri dari memberikan pendapat tentang niat seorang dokter untuk mengakhiri kehidupan di permintaan untuk menerapkan atau untuk memberikan bantuan dengan bunuh diri. Bagian 8.pelaporan Pasal 17 1. Komite setiap tahunnya wajib sebelum 1 April sampai dengan Menteri kami laporan bersama pada kegiatan tahun kalender terakhir. Menteri kami diperlukan untuk membangun model yang didirikan atas perintah menteri. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
48 digilib.uns.ac.id
2. Paragraf pertama dalam laporan kegiatan wajib dalam hal apapun: a. jumlah kasus yang dilaporkan eutanasia dan bunuh diri dibantu, yang panitia telah diberikan pendapat; b. sifat dari kasus ini; c. penilaian dan pertimbangan yang terlibat. Pasal 18 Menteri kami melaporkan setiap tahun pada kesempatan menyajikan anggaran untuk Amerika-Jenderal untuk melaporkan fungsi komite dalam menanggapi, pasal 17 paragraf pertama, laporan kegiatan. Pasal 19 1. Rekomendasi dari Menteri kami, agar di dewan mengenai komite pada aturan yang ditetapkan a. jumlah dan yurisdiksi lokal; b. lokasi. 2. Oleh atau berdasarkan Order di Dewan Menteri kami pada komite meletakkan aturan-aturan lebih lanjut tentang mereka a. ukuran dan komposisi; b. mereka metode dan pelaporan. Bab IV. Amandemen Kisah lainnya Pasal 20 [Kesalahannya KUHP.]. Pasal 21 [Kesalahannya yang Penguburan dan Kremasi Undang-Undang.] Pasal 22 [Kesalahannya Law Act Administrasi Umum.] Bab V. akhir ketentuan Pasal 23 Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal yang akan ditentukan oleh Royal SK. Pasal 24 Undang-undang ini dapat disebut sebagai Pemutusan Hidup di Permintaan dan Bunuh Diri Assisted. Kami memesan dan perintah bahwa UU ini akan diterbitkan dalam Lembaran dan bahwa semua kementerian, pemerintah, badan dan pejabat yang commit to user hal itu akan terus. berkepentingan dengan tekun harus menerapkan
perpustakaan.uns.ac.id
49 digilib.uns.ac.id
Selesai di Den Haag, April 12, 2001 Beatrix Menteri Kehakiman, A.H. Korthals Menteri Kesehatan, Kesejahteraan dan Olahraga, E. Borst-Eilers Diterbitkan April 2001 dua puluh enam Menteri Kehakiman, A.H. Korthals (http://translate.google.co.id/) Dalam UU tersebut jelas dinyatakan mengenai perbuatan euthanasia yaitu pada Pasal 2.Ayat-ayat dalam pasal tersebut memberikan keterangan dan kriteria yang jelas mengenai euthanasia aktif terutama mengenai unsur pokok euthanasia aktif yaitu adanya permintaan yang jelas dari pasien sendiri atau dari keluarga korban. Mengenai unsur permintaan tersebut telah disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) huruf e, yang dinyatakan sebagai opini yang dibuat pasien setelah mengetahui keadaan dirinya yang sebenarnya dari dokter mengenai penderitaannya tidak dapat disembuhkanlagi. Ditentukan dalam ayat 2 bahwa pasien berumur enam belas tahun atau lebih dapat menyatakan kepentingannya dan meminta kepada dokter untuk melakukan euthanasia terhadap dirinya dengan pernyataan tertulis. Sedangkan dalam ayat 3 ditentukan pasien berumur antara enam belas tahun dan delapan belas tahun dapat meminta euthanasia melalui orang tua atau walinya. Dalam ayat 4 ditentukan pasien berumur antara dua belas tahun dan enam belas tahun dapat meminta euthanasia sesuai dengan keadaan yang dianggap mungkin, sesuai dengan persetujuan orang tua atau walinya. Dari isi ayat-ayat tersebut dapat disimpulkan bahwa isi ayat 2 adalah merupakan euthanasia aktif dimana pasien meminta kepada dokter dengan pernyataan tertulis. Sedangkan ayat 3 dan ayat 4 juga merupakan euthanasia aktif, commit to user namun permintaan dinyatakan oleh orang tua atau wali karena pasien masih
50 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
berusia minor yaitu antara usia dua belas tahun dan enam belas tahun. Maka Pasal 2 UU tersebut merupakan aturan yang jelas mengenai euthanasia terutama euthanasia aktif di Belanda, serta menjadi dasar euthanasia diterima dan legal di Negeri Belanda. In addition, there are substantive requirements adoctor must meet when performing euthanasia or assisted suicide. These were published by the General Board ofthe Royal Dutch Medical Association in 1984 and have been confirmed in court decisions. The requirements are cumulative: voluntary and durable request; full information; intolerable and hopeless suffering; no acceptable alternatives left; and consulta-tion with another physician. In general, a doctor will not be prosecuted if acting according to these require-ments. In 1990 the Royal Dutch Medical Association and the Ministry of Justice agreed on a notification proce-dure. The doctor does not issue a declaration of a natural death; the doctor informs the medical examiner by means of an extensive questionnaire; and the medical examiner reports to the public prosecutor, who decides whether a prosecution must be started (Gerrit van der Wal, Robert J M Dillmann, 1994:1347). C. Perbedaan Pengaturan Tindak Pidana Eutanasia Di Indonesia Dan Di Negeri Belanda Dari pengaturan euthanasia di kedua Negara tersebut terdapat perbedaan mengenai euthanasia dari tinjauan kedua pengaturan tersebut yaitu : 1. Tidak adanya satu pasal yang pasti mengatur tentang tindak pidana euthanasia dalam KUHP Indonesia membuat tidak adanya kepastian hokum
tentang
tindakan
euthanasia.
Namun
hakim
dapat
menggunakan Pasal 344 KUHP untuk menjerat tindakan euthanasia. Tindakan euthanasia tidak diakui di Indonesia dengan menggunakan pasal tersebut tindakan euthanasia berubah menjadi kejahatan menghilangkan nyawa orang lain. Pasal 344 dapat dikenakan untuk perbuatan euthanasia aktif. Sedangkan untuk euthanasia pasif dapat dikenakan Pasal 340 atau Pasal 359 KUHP, yaitu mengenai kejahatan menhilangkan nyawa orang lain dengan rencana terlebih dahulu dan arena kealpaan. Penggunaan pasal tersebut dapat disesuaikan dengan tindakan dokter yang mengurangi pengobatan kepada pasien dengan tujuan mempercepat hidup pasien. Tindakan tersebut dapat dianggap commit to user
51 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
lalai dalam memberi pengobatan atau memang telah direncanakan untuk melakukan tindakan tersebut. Sedangkan di Negeri Belanda telah dibuat aturan khusus mengenai euthanasia dan bunuh diri dibantu.Yaitu dalam Pasal 2 UU tersebut yang menyatakan mengenai euthanasia aktif, namun tidak terdapat aturan jelas mengenai euthanasia pasif. Dengan adanya UU tersebut maka jelas ada kepastian hukum bagi pelaku tindak pidana euthanasia di Negari Belanda. Isi Pasal 2 UU tersebut selaras dengan Pasal 293 ayat kedua KUHP Belanda yang menyatakan unsur suatu perbuatan euthanasia. 2. Ancaman pidana dalam Pasal 344 KUHP Indonesia yaitu pidana penjara paling lama dua belas tahun, sedangkan Pasal 340 KUHP ancaman pidana mati atau seumur hidup atau penjara paling lama dua puluh tahun dan pasal 359 KUHP ancaman pidana penjara palin lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun. Pasal 344 KUHP dapat digunakan untuk menjerat tindakan euthanasia aktif dan telah jelas ancaman pidananya. Sedangkan untuk euthanasia pasif belum ada pasal yang tepat,tetapi dapat menggunakan Pasal 340 KUHP dan Pasal 359 KUHP, ancaman pidana juga telah jelas. Meskipun euthanasia tidak diakui di Indonesia dan tidak ada aturan khusus mengenai euthanasia, maka dengan pasal-pasal tersebut dapat menjerat pelaku euthanasia apabila muncul kasus euthanasia dan sampai ke persidangan. Sedangkan dalam UU euthanasia dan bunuh diri dibantu di Negeri Belanda, tidak ada ancaman bagi pelaku tindakan euthanasia karena UU tersebut melegalkan euthanasia.UU tersebut berisi kriteria/unsur euthanasia dan pembentukan komite yang membawahi dokter-dokter dan
mengawasi
pelaksanaan
euthanasia.Dalam
UU
tersebut
euthanasia tidak disebut sebagai tindak pidana melainkan sebagai perawatan.Dapat diartikan bahwa euthanasia bukan merupakan commit to user
52 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tindakan membunuh pasien, namun perawatan hingga pasien meninggal.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan pembahasan terhadap masalah-masalah yang diangkat dalam penulisan ini mengenai analisis studi komparasi tindak pidana eutanasia di Indonesia dan di Negeri Belanda, dapat ditarik beberapa simpulan yang penting untuk menjadi bahan kajian selanjutnya. 1. Di Indonesia tidak ada aturan khusus mengenai tindak pidana eutanasia dan Indonesia merupakan negara yang tidak mengakui tindakan eutanasia. Namun apabila ada kasus eutanasia yang dilaporkan dan sampai ke persidangan, maka hakim dapat menggunakan Pasal 344 KUHP untuk menjerat pelaku. Pasal tersebut merupakan pasal yang paling relevan untuk menjerat tindakan eutanasia terutama eutanasia aktif. Sedangkan bagi eutanasia pasif belum ada pasal yang tepat untuk menjerat tindakan tersebut. Dapat menggunakan Pasal 340 KUHP atau Pasal 359 KUHP, namun unsur pasal dan unsur eutanasia pasif kurang selaras. Penggunaan pasal dapat dengan mengabaikan unsur-unsur eutanasia pasif. Di Belanda telah ada aturan khusus mengenai tindakan eutanasia yaitu Undang-Undang yang disahkan pada tanggal 12 April 2001 tentang review euthanasia dan bunuh diri dibantu dan amandemen KUHP dan UndangUndang Penguburan dan Kremasi (UU Pemutusan Hidup di Permintaan dan Bunuh Diri Assisted). Dalam UU tersebut jelas terdapat pasal-pasal yang mengatur tindakan euthanasia yang dilakukan dokter, terutama euthanasia aktif dan dokter diperkenankan melakukan euthanasia dan bunuh diri dibantu.Yaitu dalam Pasal 2 UU tersebut yang menyatakan mengenai euthanasia aktif, namun tidak terdapat aturan jelas mengenai euthanasia pasif. Isi Pasal 2 UU tersebut selaras dengan Pasal 293 ayat kedua KUHP Belanda yang menyatakan unsur suatu perbuatan euthanasia. commit to user
53
54 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Pasal-pasal dalam KUHP Indonesia yang relevan diterapkan untuk tindak pidana euthanasia seperti Pasal 340, Pasal 344 dan Pasal 359, bukan merupakan Pasal yang baku atau yang benar-benar dibuat untuk mengatur tindak pidana euthanasia. Jadi dalam KUHP Indonesia sendiri saat ini belum ada pengaturan pasti yang baku mengenai tindak pidana euthanasia. Sedangkan Undang-Undang yang disahkan pada tanggal 12 April 2001 tentang review euthanasia dan bunuh diri dibantu dan amandemen KUHP dan Undang-Undang Penguburan dan Kremasi (UU Pemutusan Hidup di Permintaan dan Bunuh Diri Assisted) di Negeri Belanda adalah suatu aturan pasti mengenai tindak pidana euthanasia. Aturan tersebut melegalkan euthanasia, maka pelaksanaan euthanasia di Negeri Belanda diijinkan dan didukung dengan aturan yang pasti.
B. Saran 1. Dalam KUHP Indonesia harus memuat aturan mengenai tindak pidana pidana euthanasia. Yaitu aturan khusus dalam pasal tersendiri yang mengatur tentang tindak pidana euthanasia. Karena Indonesia dalam KUHP yang sekarang tidak mengenal tindak pidana euthanasia, sedangkan sesuai perkembangan bioteknologi menuntut suatu batasan-batasan hukum agar hak manusia dapat terlindungi. Indonesia melarang tindak pidana euthanasia, maka harus disusun suatu pasal yang mengatur larangan melakukan euthanasia, sehingga mewujudkan kepastian hukum. Dalam Undang-Undangtentang review euthanasia dan bunuh diri dibantu dan amandemen KUHP dan Undang-Undang Penguburan dan Kremasi (UU Pemutusan Hidup di Permintaan dan Bunuh Diri Assisted) selain memuat
mengenai
ketentuan
pelaksanaan
euthanasia
aktif
juga
dimasukkan ketentuan mengenai euthanasia pasif. Karena dalam UU tersebut belum jelas menyebutkan kriteria dan ketentuan pelaksanaan euthanasia pasif.Sedangkan dalam prakteknya euthanasia pasif tidak dapat diabaikan, karena pasti ada dokter atau komunitas medis yang melakukan commit to userberdasar UU tersebut, seharusnya hal itu.Eutanasia aktif telah dilegalkan
55 digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
euthanasia pasif menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari euthanasia aktif.Karena memang dilegalkan maka harus ada aturan yang jelas mengatur hal itu. 2. Dalam KUHP Indonesia harus memuat aturan mengenai tindak pidana pidana euthanasia. Yaitu aturan khusus dalam pasal tersendiri yang mengatur tentang tindak pidana euthanasia. Dalam Undang-Undangtentang review euthanasia dan bunuh diri dibantu dan amandemen KUHP dan Undang-Undang Penguburan dan Kremasi (UU Pemutusan Hidup di Permintaan dan Bunuh Diri Assisted) selain memuat
mengenai
ketentuan
pelaksanaan
dimasukkan ketentuan mengenai euthanasia pasif.
commit to user
euthanasia
aktif
juga