ANALISIS SIKAP KERJASAMA SISWA DALAM PROSES PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MELALUI COOPERATIVE LEARNING Eka Yanuarti Program Studi Pendidikan Agama Islam Jurusan Tarbiyah STAIN Curup E-mail:
[email protected] Abstrak: Dunia pendidikan saat ini sedang mengalami krisis dan masalah dalam berbagai hal, tidak hanya dalam hal prestasi juga pada aspek sosial para siswanya. Pada umumnya gejala masalah sosial ini tampak pada perilaku keseharian para siswa. Sikap-sikap individualistis, egoistis, acuh tak acuh, kurangnya rasa tanggung jawab, malas dalam berkomunikasi, selain itu munculnya perilaku-perilaku kekerasan, pemaksaan kehendak, pengrusakan, konflik antar kelompok serta tawuran antar siswa merupakan fenomena yang menunjukkan adanya kehampaan nilai sosial dalam kehidupan sehari-hari. Cooperative Learning merupakan salah satu model pembelajaaran terpadu dengan menumbuhkan kerja sama dalam pembelajaran. Di mana dalam proses belajar tidak harus dari guru menuju siswa, siswa dapat juga saling mengajar siswa yang alinnya. Komunikasi dibangun dengan melibatkan siswa dan guru yang terjalin secara seimbang, yaitu komunikasi antara guru dan siswa, siswa dengan guru dan sesama siswa. Kata Kunci: Kerjasama Siswa, Pendekatan Cooperative Learning, PAI
A. Pendahuluan Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan karena pendidikan merupakan wahana untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas sumber daya manusia (SDM). Sejalan perkembangan dunia pendidikan yang semakin pesat menuntut lembaga pendidikan untuk lebih dapat menyesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan. Banyak perhatian khusus diarahkan kepada perkembangan dan kemajuan pendidikan guna meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan. Dunia pendidikan saat ini sedang mengalami krisis dan masalah dalam berbagai hal, tidak hanya dalam hal prestasi juga pada aspek sosial para siswanya. Pada umumnya gejala masalah sosial ini tampak pada perilaku keseharian para siswa. Sikap-sikap individualistis, egoistis, acuh tak acuh, kurangnya rasa tanggung jaMedia Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
614
EKA YANUARTI
wab, malas dalam berkomunikasi, selain itu munculnya perilaku-perilaku kekerasan, pemaksaan kehendak, pengrusakan, konflik antar kelompok serta tawuran antar siswa merupakan fenomena yang menunjukkan adanya kehampaan nilai sosial dalam kehidupan sehari-hari. Hal senada dikatakan Dedi Supriadi1 berbagai bentuk kemiskinan sosial juga banyak diperlihatkan, seperti miskinnya pengabdian, rendahnya kedisiplinan, kurang efektifnya dalam berkomunikasi serta rendahnya rasa empati terhadap masalah sosial. Hal ini menunjukkan adanya permasalahan pribadi dan sosial dikalangan masyarakat yang sebagian berpendidikan tinggi. Selain itu perubahan-perubahan yang cepat di luar pendidikan menjadi tantangan-tantangan yang harus dijawab oleh dunia pendidikan. Jika praktek-praktek pengajaran dan pendidikan di Indonesia tidak dirubah, bangsa Indonesia akan ketinggalan oleh ngeara-negara lain dan hanya menghasilkan manusia yang pintar tetapi kurang cerdas dalam hal berhubungan dengan orang lain. Mempersiapkan anak didik agar dapat optimal terjun kedalam kehidupan bermasyarakat merupakan peranan dunia pendidikan, untuk mencapai hal itu maka proses dan pendekatan pembelajaran perlu terus diperbaharui. Hal ini penting guna tercapainya tujuan pendidikan nasional tersebut. Pendidikan ditujukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia sebagaimana telah dirumuskan dalam Tujuan Pendidikan Nasional dalam UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 3 yang menyatakan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab2.
Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
615
EKA YANUARTI
Untuk menciptakan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia seperti yang diharapkan pendidikan nasional maka di sinilah letak pentingnya pendidikan keagamaan dalam keseluruhan proses pendidikan nasional. Pendidikan agama Islam sebagai salah satu pendukung utama sistem pendidikan nasional dalam rangka meningkatkan kualitas manusia Indonesia ikut memberi warna bagi peningkatan iman dan takwa dalam upaya mengimbangi kemajuan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) dewasa ini. Keseimbangan antara kemajuan IPTEK dengan IMTAK (Iman dan Takwa) diharapkan menghasilkan manusia muslim yang memiliki menjalankan kehidupan secara seimbang antara dunia dan akhirat. Tapi pada prakteknya, metode pembelajaran yang berjalan saat ini masih terbatas pada sosialisai nilai-nilai dengan metode ceramah dan pola hapalan, dalam arti siswa mewariskan sejumlah materi ajaran agama yang diyakini benar untuk disampaikan kepada siswa tanpa memberikan kesempatan kepada siswa agar disikapi secara kritis, mengoreksi, mengevaluasi, dan mengomentari3. Hal senada diungkapkan Anita Lie bahwa sistem pengajaran di sekolahsekolah kita, cenderung mengarahkan siswa melihat sesamanya sebagai kompetitor4. Setiap kompetitor, memandang perlu mengalahkan semua orang, tidak peduli bagaimana caranya. Sikap ini nantinya terbawa ketika sang anak bersosialisasi dalam masyarakat luas, memandang siapa saja sebagai pesaing yang harus dikalahkan. Padahal yang positif adalah bersaing dengan diri sendiri. Ukuran bersaing bukan lagi orang lain, melainkan diri sendiri. Ada atau tidak ada orang lain, yang bersangkutan tetap melakukan dan menghasilkan yang terbaik. Orang lain bukanlah ancaman, melainkan mitra yang mendukung untuk mencapai tujuan dan kesuksesan. Selayaknya, guru-guru pendidikan agama Islam tidak hanya memperhatikan perkembangan kognitif anak didik. Guru pendidikan agama Islam seharusnya merasa terpanggil untuk juga memperhatikan perkembangan moral dan sosial anak didik. Guru pendidikan agama Islam tidak hanya membekali siswa dengan kuatanmuatan informasi, guru juga harus membina anak didik agar mempunyai kemam-
Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
616
EKA YANUARTI
puan berpikir kritis dan kreatif, keterampilan berkomunikasi dan berkehidupan sosial dengan mampu bekerjasama dengan siswa lainnya. Kerjasama siswa dapat meningkatkan nilai prestasi dalam proses pembelajaran. Siswa yang mempunyai tingkat pemahaman yang lebih tinggi dapat memberikan informasi atau pengajaran kepada kelompok siswa yang mempunyai tingkkat pemahaman yang lebih rendah, sementara itu, untukl siswa yang tegolong lemah dalam pemahamannya akan merasa terbantu dalam meningkatkan kualitas belajarnya. Selain peningkatan nilai secara akademik, dengan sikap kerjasama yang baik antar peserta didik juga dapat menanamkan sikap untuk menerima segala perbedaan yang terdapat pada siswa, baik itu perbedaan yang menyangkut lingkungan, status sosial, latar belakang keluarga dan lain sebagainya. Selain itu dengan kerjasama diharapkan setiap siswa lebih dapat menerima perbedaan yang ada pada karakterisktik fisik, kepribadian dan sifatnya5. Pendidikan agama Islam di madrasah, seharusnya menjadi tempat daan proses pertama dalam menumbuhkan sikap kerjasama siswa dalam proses pembelajarannya. Sikap kerjasama sendiri dalam Islam merupakan bagian akhlak yang harus dimiliki siswa, bagaimana hubungan kita sebagai mahluk dengan mahluk hidup lainnya. Karena itu, kegiatan pembelajaran pendidikan agama Islam agar dikondisikan dapat memungkinkan peserta didik melakukan interaksi dengan perserta didik dengan peserta didik lain, peseta didik dengan gurunya, karena dalam proses pembelajaran inilah yang merupakan tempat pertama atau cikal bakal siswa dalam mengembangkan sikap kerjasamanya. Sebelum peserta didik memasuki hubungan sosial kemasyarakatan yang lebih luas. Salah satu model pembelajaran yang kini mendapat respon dalam pembelajaran pendidikan agama Islam adalah pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning). Pada pembelajaran ini siswa diberi kesempatan untuk berkomunikasi dan berinteraksi sosial dengan temannya untuk mencapai tujuan pembelajaran, sementara guru bertindak sebagai motivator dan fasilitator aktivitas siswa, tetapi juga bertanggung jawab atas hasil pembelajarannya6. Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
617
EKA YANUARTI
Cooperative Learning adalah pembelajaran dengan menggunakan pengelompokkan/tim kecil, yaitu antara empat sampai enam orang yang mempunyai latar belakang kemapuan akademik, jenis kelamin, ras atau suku yang berbeda (heterogen)7. Cooperative Learning merupakan salah satu bentuk pembelajaaran terpadu dengan menumbuhkan kerja sama dalam pembelajaran. Di mana dalam proses belajar tidak harus dari guru menuju siswa, siswa dapat juga saling mengajar siswa yang alinnya. Komunikasi dibangun dengan melibatkan siswa dan guru yang terjalin secara seimbang yaitu komunikasi antara guru dan siswa, siswa dengan guru dan sesama siswa8. Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 02 Palembang adalah salah satu Madrasah Aliyah Negeri yang berada di kota Palembang, dan juga merupakan salah satu MAN terbaik yang ada di kota Palembang dengan angka akreditasi A. Kemudian Dari hasil wawancara dan observasi awal yang dilakukan penulis diketahui bahwa guru-guru pendidikan agama Islam di MAN 02 Palembang telah menggunakan Cooperative Learning dalam proses pembelajarannya. Melihat pentingnya sikap kerjasama yang diungkapkan di atas dan tujuan Cooperative Learning adalah membangun dan mengembangakan sikap kerjasama tersebut, maka peneliti tertarik untuk menganalisis lebih dalam mengenai bentuk sikap kerjasama siswa pada proses pembelajaran pendidikan agama Islam di MAN 02 Palembang.
B. Metodologi Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (Field Reseach). Sebab data yang diperlukan dalam penelitian ini berasal dari lapangan khususnya di MAN 02 Palembang yang dijadikan objek penelitian. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan gabungan yaitu kualitatif dan kuantitatif. pendekatan kualitatif digunakan untuk mendapat informasi sikap kerjasama siswa dari hasil wawancara kepada guru pendidikan agama Islam kelas X di MAN 02 Palembang dan observasi langsung ke kelas saat pelajaran PAI berlangsung .
Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
618
EKA YANUARTI
Pendekatan kauantitaif digunakan untuk memperoleh informasi sikap kerjasama siswa langsung dari siswa melalui metode kuisioner dengan pemberian angket sebanyak 40 soal dengan 3 pilihan jawaban yaitu a,b,dan c, kepada 135 siswa, 50% dari seluruh jumlah siswa kelas X MAN 02 Palembang, tetapi setelah angket disebar, yang kembali hanya 123 rangkap. Sebelum disebar, angket (instrument penelitian di validitas dan reabilitas terlebih dahulu, dengan menggunakan validitas dan reabilitas internal. Hasilnya ke 40 soal dinyatakan valid dan realiabel, kemudian hasilnya dapat diolah dalam menentukan sikap kerjasama siswa dalam proses pembelajaran PAI di MAN 02 Palembang. Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk mengetahui hal-hal dari respon yang mendalam tentang. Di sini peran informan merupakan kunci penting dalam keberhasilan penelitian. Wawancara dilakukan pada hari senin dan selasa tanggal 7-8 Maret. Wawancara bersifat terbuka kepada 7 (ketujuh) orang guru MAN 02 Palembang yang mengajar pelajaran Qur’an Hadist : Baharia, S.Ag, Drs. H.Abd Rasyid, H.H, Faizi Aliasim, S.Ag. Pelajaran Fiqih : Dra. Ratna Jumilah dan Dra. Suryani, dan pelajaran Aqidah Akhlaq : Dra. Busroh Usman, dan Mutmainah, S.Ag. Wawancara ini digunakan untuk mendapatkan data-data berupa informasi tentang sikap kerjasama siswa pada proses pembelajaran pendidikan agama Islam di MAN 02 Palembang. Observasi melihat langsung keadaan umum MAN 02 Palembang, melihat secara langsung bagaimana sikap kerjasama siswa pada proses pembelajaran pendidikan agama Islam di MAN 02 Palembang. Observasi dilakukan penulis pada hari Senin dan Selasa pada tanggal 14-15 Maret untuk mata pelajaran Qur’an Hadits yang diajarkan oleh Ibu Dra. Busroh Usman, dan hari Jum’at dan Sabtu pada tanggal 18-19 Maret untuk mata pelajaran Qur’an Hadits yang diajarkan oleh Drs. Abd Rasyid H.Hambali. Sementara tahap-tahap analisis data dalam penelitian ini adalah pertama, penulis mengumpulkan data dengan menggunakan triangulasi tehnik (wawancara, dokumentasi, dan observasi), di mana triangulasi tehnik ini dilakukan selain mengumpulkan data, penulis juga menguji kreadibilitas data yang didapat. Setelah
Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
619
EKA YANUARTI
semua data didapat, langkah kedua, data-data yang didapat dikumpulkan secara tabulasi, langkah ketiga data tersebut di tafsirkan dan dianalisis, langkah ke empat penulis menarik kesimpulan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang ada.
C. Kerangka Teori 1. Sikap Kerjasama Siswa Kerjasama adalah sebuah kata yang sering kita dengar dan sangat akrab di telinga kita. Kata kerjasama adalah gabungan dari kata kerja dan sama, yang berarati bekerja secara bersama-sama dalam mengerjakan sesuatu dan mencapai suatu tujuan. Kerjasama dibentuk karena adanya dua orang atau lebih yang bekerja sama untuk mencapai suatu kegiatan atau tujuan yang mereka ingin capai. Sikap kerjasama sendiri telah dikemukakan di dalam al-Qur’an yaitu QS. AlMaidah (5) ayat 2 yang berbunyi :
Artinya : dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. Kerjasama merupakan hal yang penting bagi kehidupan manusia, karena dengan kerjasama manusia dapat melangsungkan kehidupannya. Kerjasama juga menuntut interaksi antara beberapa pihak. Kerjasama merupakan suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok untuk mencapai tujuan tertentu. Pendapat tersebut sudah jelas mengatakan bahwa kerjasama merupakan bentuk hubungan antara beberapa pihak yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama dalam konteks pembelajaran yaitu ketika siswa bekerja sama untuk menyelesaikan suatu tugas kelompok, mereka memberikan dorongan, anjuran, dan informasi pada teman sekelompoknya yang membutuhkan bantuan. Hal ini berarti
Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
620
EKA YANUARTI
dalam kerjasama, siswa yang lebih paham akan memiliki kesadaran untuk menjelaskan kepada teman yang belum paham. Anita Lie mengemukakan bahwa kerjasama merupakan hal yang sangat penting dan diperlukan dalam kelangsungan hidup manusia9. Tanpa adanya kerjasama tidak akan ada keluarga, organisasi, ataupun sekolah, khusunya tidak akan ada proses pembelajaran di sekolah. Lebih jauh pendapat dapat diartikan, bahwa tanpa adanya kerjasama siswa, maka proses pembelajaran di sekolah tidak akan berjalan dengan baik dan akhirnya tujuan pembelajaran tidak akan tercapai. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kerjasama siswa dapat diartikan sebagai sebuah interaksi atau hubungan antara siswa dengan siswa dan siswa dengan guru untuk mencapai tujuan pembelajaran. Hubungan yang dimaksud adalah hubungan yang dinamis yaitu, hubungan yang saling menghargai, saling peduli, saling membantu, dan saling memberikan dorongan sehingga tujuan pembelajaran tercapai. Tujuan pembelajaran tersebut meliputi perubahan tingkah laku, penambahan pemahaman, dan penyerapan ilmu pengetahuan.
2. Cooperative Learning Istilah Cooperative Learning dalam pengertian bahasa Indonesia dikenal dengan nama pembelajaran kooperatif. Cooperative Learning berasal dari kata Cooperative yang artinya mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok atau satu tim10. Sedangkan secara etimologi mempunyai arti belajar bersama antara dua orang atau lebih, sedangkan Cooperative Learning dalam arti yang lebih luas memiliki definisi antara lain adalah belajar bersama yang melibatkan antara 4-5 orang, yang bekerjasama menuju kelompok kerja di mana tiap anggota bertanggung jawab secara individu sebagai bagian dari hasil yang tidak akan bisa dicapai tanpa adanya kerjasama antar kelompok, dengan kata lain, anggota kelompok saling tergantung secara positif11.
Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
621
EKA YANUARTI
Anita Lie menyebut Cooperative Learning dengan istilah pembelajaran gotong-royong, yaitu sistem pembelajaran yang memberi kesempatan kepada peserta didik untuk bekerjasama dengan siswa lain dalam tugas-tugas terstruktur12. Lebih jauh dikatakan, Cooperative Learning hanya berjalan kalau sudah terbentuk suatu kelompok atau suatu tim yang di dalamnya siswa bekerja secara terarah untuk mencapai tujuan yang sudah ditentukan dengan jumlah kelompok pada umumnya terdiri dari 4-6 orang saja. Pada dasarnya model pembelajaran Kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan pembelajaran penting yang dirangkum oleh Ibrahim dalam Isjoni (2010, hal. 39-41) yaitu hasil belajar akademik, penerimaan terhadap perbedaan individual, dan pengembangan keterampilan sosial. Menurut David, dkk 2010, hal. 44 komponen esensial dari pendekatan Cooperative Learning dalam proses pembelajaran meliputi : saling ketergantungan positif, tanggung jawab perseorangan, seringnya tatap muka, komunikasi antar anggota dalam kelompok, evaluasi proses kelompok. a. Adanya Ketergantungan Positif (Positif Interdependece) Komponen yang pertama yang paling penting adalah adanya ketergantungan positif antar siswa dalam proses pembelajaran pendidikan agama Islam. Positif Interdependece yaitu hubungan timbal balik yang didasari adanya kepentingan yang sama atau perasaan di antara anggota kelompok di mana keberhasilan seseorang merupakan keberhasilan yang lain pula atau sebaliknya (Isjoni 2010, hal. 60). Ketergantungan positif akan dapat terstruktur dengan baik, apabila setiap anggota kelompok memandang bahwa mereka terhubung antara satu sama lain, sehingga seorang siswa tidak akan bisa berhasil kecuali semua anggoata kelompoknya juga berhasil. Interdependensi positif atau ketergantungan positif dalam pembelajaran dapat disusun melalui empat cara, yakni : Interdepedensi tujuan positif, interdependensi imbalan/selebrasi positif, interdependensi sumber daya positif, dan interdependensi peran positif13. Interdependensi tujuan positif : Siswa memandang bahwa mereka bisa mencapai tujuan-tujuan pembelajaran hanya jika semua anggota kelompok bisa Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
622
EKA YANUARTI
mencapai tujuan mereka. Untuk memastikan mereka bahwa para siswa meyakini hal ini dan peduli terhadap seberapa besar masing-masing dari mereka belajar, guru harus menyusun sebuah kelompok atau tujuan bersama yang jelas seperti “pelajari materi yang diberikan dan pastikan bahwa semua anggota kelompokmu mempelajarinya”. Interdependensi Imbalan/selebrasi positif : Setiap anggota kelompok menerima imbalan yang sama apabila kelompok tersebut berhasil mencapai tujuannya. Untuk melengkapi interdependensi tujuan, guru bisa menambahkan imbalan bersama (misalnya, jika semua anggota kelompok bisa mengerjakan tugas 90% benar dan mendapat nilai baik dalam ujian, maka masing-masing akan mendapatkan 5 poin sebagai bonus). Interdependensi sumber daya positif : Setiap anggota kelompok hanya memiliki satu porsi dari sumber daya, informasi atau materi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Oleh sebab itu, setiap anggota harus mengumpulkan sumber daya mereka menjadi satu untuk mencapai tujuan mereka. Interdependensi peran positif : setiap anggota diberikan peran-peran yang sifatnya komplementer dan saling berhubungan yang menentukan tanggung jawab yang dibutuhkan agar kelompok tersebut dapat menyelesaikan tugas mereka. Guru menciptakan interdependensi peran di antara siswa dengan memberikan mereka peran-peran komplementer seperti pembaca, pencatat, pemeriksa pemahaman, pendorong partisipasi, dan pengembang pengetahuan. Interdependensi positif mendorong terciptanya sebuah situasi di mana para siswa (1) dapat melihat bahwa pekerjaan mereka berguna bagi teman sekelompoknya dan bahwa pekerjaan teman sekelompok berguna bagi mereka (2) bekerja secara bersama-sama dalam kelompok-kelompok kecil untuk memaksimalkan pembelajaran bagi semua anggota dan saling berbagi sumber daya yang mereka miliki, memberikan dukungan dan semangat pada satu sama lain, serta merayakan keberhasilan bersama.
Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
623
EKA YANUARTI
b. Tanggung Jawab Perseorangan Berlanjut kekomponen kedua dari pendekatan Cooperative Learning adalah tanggung jawab perseorangan yang dimiliki siswa dalam proses pendidikan agama Islam. Dalam hal ini keberhasilan sikap kerjasama siswa sangat dipengaruhi oleh kemampuan individu masing-masing siswa dalam menerima dan memberi apa yang telah dipelajarinya di antara siswa lainnya. Dalam proses pembelajaran kelompok, secara individual siswa mempunyai dua tanggung jawab, yaitu mengerjakan dan memahami materi atau tugas bagi keberhasilan dirinya dan juga keberhasilan anggota kelomponya sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Menurut Agus Suprijono ada beberapa cara yang bisa digunakan untuk menyusun tanggung jawab individual14, meliputi : 1) Kelompok belajar jangan terlalu besar. 2) Melakukan penilaian (assesmen) terhadap setiap siswa. 3) Memberi tugas kepada siswa, yang dipilih secara acak untuk mempersentasikan hasil kelompoknya kepada guru maupun kepada seluruh siswa di depan kelas. 4) Mengamati setiap kelompok dan mencatat frekuensi individu dalam membantu teman yang lain. 5) Menugasi seseorang siswa untuk berperan sebagai pemeriksa di kelompoknya. 6) Menugasi siswa mengajar temannya.
c. Adanya Interaksi Tatap Muka Komponen ketiga dari pendekatan Cooperative Learning adalah interaksi tatap muka yang dilakukan siswa dalam proses pembelajaran pendidikan agama Islam. Interaksi promotif (tatap muka) merujuk pada para siswa yang saling memfasilitasi keberhasilan satu sama lain. Setiap kelompok harus memberikan kesempatan untuk bertemu muka dan berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan memberikan para pembelajar untuk membentuk sinergi yang menguntungkan semua anggota kelompok. Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
624
EKA YANUARTI
Inti dari sinergi ini adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan masing-masing. Setiap anggota mempunyai latar belakang pengalaman keluarga, dan sosial ekonomi yang berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan ini akan menjadi modal utama dalam proses saling memperkaya anggota kelompoknya15. Sinergi ini tidak bisa didapatkan begitu saja dalam sekejap, tetapi merupakan proses kelompok yang cukup panjang. Para anggota kelompok perlu diberi kesempatan untuk saling mengenal dan menerima satu sama lain dalam kegiatan tatap muka dan interaksi pribadi. Manfaat dari interaksi tatap muka dalam proses pembelajaran yaitu16 : 1) Memberikan bantuan yang efisien dan efektif serta saling menolong satu sama lain. 2) Pertukaran sumber daya yang dibutuhkan sepeti informasi dan materi. 3) Pemprosesan informasi secara efektif dan efisien. 4) Memberikan umpan balik untuk meningkatkan performansi mereka selanjutnya. 5) Menantang kesimpulan dan penalaran satu sama lain untuk mendorong terciptanya pengambilan keputusan dengan kualitas yang lebih baik dan pemahaman yang lebih baik terhadap permasalahan yang sedang dibahas. 6) Saling mendukung satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama. 7) Bertindak dalam cara-cara yang penuh kepercayaan dan dapat diandalkan. 8) Berusaha memberikan manfaat bersama. 9) Menyediakan tingkat kegairahan yang moderat dengan tingkat stress dan kegelisahan rendah. Dari seringnya interaksi tatap muka ini memungkinkan siswa untuk mendorong dan memfasilitasi usaha satu sama lain untuk mencapai, meyelesaikan tugas, dan bekerja untuk pencapaian tujuan bersama.
Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
625
EKA YANUARTI
d. Komunikasi antar Anggota Kelompok Komponen keempat pendekatan Cooperative Learning ialah komunikasi antar anggota kelompok, ketika akan bekerjasama dengan siswa lain, tentunya sangat diperlukan untuk siswa tersebut memiliki tehnik komunikasi yang baik, bagaimana cara ia mengajak temannya untuk bekerjasama, mengungkapkan pendapatnya, mendengarkan pendapat temanya, agar proses kerjasama dapat berjalan dengan baik, dan teman yang diajak kerjasama mengerti apa yang akan dilakukan bersama. Dalam rangka mengkoordinasikan berbagai usaha untuk mencapai tujuan bersama, para siswa harus (1) mengetahui dan mempercayai satu sama lain, (2) berkomunikasi dengan akurat dan tidak ambigu (3) saling menerima dan mendukung satu sama lain, (4) menyelesaikan konflik secara konstruktif17. Tetapi para siswa, sama seperti kebanyakan kita semua, tidak bisa mengetahui secar instingtif bagaimana harus berinteraksi secara efektif dengan orang lain, mereka harus diajari mengenai skil-skil interpersonal dan kelompok kecil yang dibutuhkan untuk menciptakan kolaborasi berkualitas dan termotivasi untuk menggunakannya. Adapun keterampilan-keterampilan yang harus dipelajari siswa dalam bekerjasama dalam pembelajaran kooperatif menurut Lungren yaitu terbagi menjadi tiga tingkatan keterampilan kooperatif tingkat awal, keterampilan kooperatif tingkat menengah, keterampilan kooperatif tinggkat mahir18. Keterampilan kooperatif tingkat awal, yaitu : 1) Berada dalam tugas, yaitu menjalankan tugas sesuai dengan tanggung jawabnya. 2) Mengambil giliran dan berbagi tugas, yaitu menggantikan teman dengan tugas tertentu dan mengambil tanggung jawab tertentu dalam kelompok. 3) Mendorong adanya partisipasi, yaitu memotivasi semua anggota kelompok untuk memberikan kontribusi. 4) Menggunakan kesepakatan, yaitu menyamakan persepsi dan pendapat. Keterampilan kooperatif tingkat menengah, yaitu : Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
626
EKA YANUARTI
1) Mendengarkan dengan aktif, yaitu menggunakan pesan fisik dan verbal agar pembicara mengetahui anda secara sinergik menyerap informasi. 2) Bertanya, yaitu meminta dan menanyakan informasi atau klarifikasi lebih lanjut. 3) Menafsirkan, yaitu menyampaikan kembali informasi dengan kalimat berbeda. 4) Memeriksa ketepatan, yaitu membandingkan jawaban, memastikan bahwa jawaban tersebut benar. Keterampilan kooperatif tingkat mahir, yaitu Keterampilan tingkat mahir ini antara lain : mengelaborasi, yaitu memperluas konsep, membuat kesimpulan dan menghubungkan pendapat-pendapat dengan topik tertentu.
e. Evaluasi Proses Kelompok Komponen esensial kelima dari sikap kerjasama adalah pemprosesan kelompok. Pemrosesan mengandung arti menilai. Pemprosesan kelompok didefinisikan sebagai perenungan terhadap sesi kerja kelompok untuk (1) menggambarkan tindakan-tindakan anggota yang manakah yang membantu dan tidak membantu dan (2) membuat keputusan tentang tindakan-tindakan manakah yang harus dilanjutkan atau diubah19. Guru dalam proses pembelajaran perlu menjadwalkan waktu khusus untuk mengevaluasi proses kerjasama dan hasil kerjasama, agar selanjutnya bisa bekerjasama dengan lebih efektif, dan merayakan jika hasil kerjasamanya telah baik. Tujuan dari pemprosesan kelompok adalah untuk mengklarifikasi dan meningkatkan keefektifan anggota dalam berkontribusi terhadap usaha-usaha kolaboratif untuk mencapai tujuan kelompok20. Ada dua tingkatan pemprosesan : kelompok kecil dan seluruh kelas. Agar memastikan bahwa telah terjadi pemprosesan kelompok kecil, guru harus mengalokasikan waktu secara khusus pada setiap akhir kelas untuk kelompok kooperatif memproses seberapa efektifkah setiap anggota kelompoknya telah bekerjasama.
Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
627
EKA YANUARTI
Beberapa kunci untuk keberhasilan dalam pemprosesan kelompok kecil yang bisa dilakukan oleh seorang guru yaitu21 : 1) Memberikan waktu yang memadai untuk berlangsungnya pemprosesan. 2) Menyediakan struktur untuk pemprosesan (seperti “sebutkan tiga hal yang telah dilakukan kelompokmu dengan baik hari ini dan satu hal yang dapat kamu tingkatkan”) 3) Menekankan umpan balik positif, membuat agar pemprosesan menjadi spesifik, ketimbang umum, 4) Mempertahankan keterlibatan siswa dalam pemprosesan. 5) Mengingatkan siswa untuk menggunakan skil-skil kooperatif mereka selama pemprosesan. 6) Mengkomunikasikan ekspektasi yang jelas mengenai tujuan pemprosesan. Selain pemprosesan kelompok kecil, guru hendaknya secara periodik melakukan pemprosesan seluruh kelas. Ketika kelompok pembelajaran kooperatif digunakan di dalam kelas, maka guru harus mengobservasi kelompok-kelompok tersebut, menganalisis masalah yang dialami ketika bekerjasama, dan memberikan umpan balik kepada setiap kelompok. Guru harus berpindah-pindah dari satu kelompok ke kelompok lainnya secara sistematik, dan juga bisa dengan menggunakan sebuah lembar observasi formal, untuk mengumpulkan data spesifik dari setiap kelompok. Pada akhir periode kelas, guru dapat mengadakan sebuah sesi pemprosesan seluruh kelas dengan membagi hasil observasi kepada seluruh kelas. Apabila setiap kelompok memiliki pengamatan mereka bisa diikutsertakan untuk mendapatkan data kelas menyeluruh. Sebuah aspek penting dari pemprosesan kelompok kecil dan pemprosesan seluruh kelas adalah selebrasi kelompok dan kelas. Perasaan berhasil, dihargai, dan dihormati seperti dalam hal membangun komitmen untuk belajar, antusiasme dalam bekerjasama, dan rasa kemampuan-diri dalam hal penguasaan mata pelajaran dan bekerjasama secara kooperatif dengan teman sekelas.
Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
628
EKA YANUARTI
3. Pendidikan Agama Islam (PAI) Pendidikan agama Islam berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah merupakan mata pelajaran yang wajib diberikan pada pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi22. Dari sini diketahui pendidikan agama Islam memiliki kedudukan yang kuat sebagai suatu sistem pendidikan nasional dalam pelaksanaannya di sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Pendidikan Agama Islam (PAI) yaitu usaha sadar untuk menyiapkan siswa dalam meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan agama Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran/latihan dengan memperhatikan tuntunan untuk menghormati agama lain hubungan kerukunan antar umat beragama dalam mewujudkan persatuan nasional23. Untuk ruang lingkup pendidikan agama Islam meliputi keserasian, keselarasan, dan keseimbangan yang penjabarannya meliputi24: 1. Hubungan manusia dengan Allah SWT. 2. Hubungan manusia dengan sesama manusia. 3. Hubungan manusia dengan dirinya sendiri. 4. Hubungan manusia dengan mahluk lain dan lingkungannya. Sementara materi pendidikan agama Islam dikembangkan dari tiga kerangka dasar ajaran Islam, yaitu aqidah, syariah, dan akhlak. Aqidah merupakan penjabaran dari konsep iman. Syari’ah merupakan penjabaran dari konsep Islam, dan akhlak merupakan penjabaran dari konsep ihsan. Dari ketiga konsep dasar itulah berkembang kajian keislaman termasuk kajian-kajian yang terkait dengan ilmu, teknologi, seni dan budaya25. Hal tersebut sejalan dengan fungsi pendidikan agama Islam menurut Abdul Rahman adalah membentuk watak serta peradaban bangsa dalam rangka membangun manusia seutuhnya, menjadikan manusia beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif dan mandiri, dan menjadikan warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab26.
Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
629
EKA YANUARTI
Pendidikan agama Islam dalam penelitian ini merupakan salah satu rumpun mata pelajaran yang wajib diikuti seluruh siswa MAN 02 Palembang. Pendidikan agama Islam terdiri dari pelajaran Qur’an Hadits, Fiqih, dan Aqidah Akhlak, karena hanya mata pelajaran ini yang diajarkan pada kelas X MAN 02 Palembang.
D. Hasil Penelitian dan Pembahasan Untuk mengetahui bagaimana sikap kerjasama siswa dalam proses pembelajaran PAI di MAN 02 Palembang, penulis melakukan wawancara kepada kelima guru yang mengajar rumpun mata pelajaran PAI, tapi hanya ada dua orang guru yang mampu menjelaskan sikap kerjasama siswa dalam proses pembelajarannya, pertama kepada guru mata pelajaran Aqidah Akhlak, beliau menjelaskan “Sikap kerjasama yang dimiliki sisiwa bervariasi seperti ada yang bagus, ada juga yang kurang, ada yang aktif dan tidak, ada siswa yang meminta bantuan dan ada siswa yang pintar dan kurang pintar” Kedua, kepada guru mata pelajaran Qur’an Hadis, dia menjelaskan : “Sikap kerjasama terlihat pada akhir semester ketika diberikan tugas akhir semester, dimana siswa akan saling membantu mengerjakan tugasnya, seperti ada yang menulis ayat, menerjemahkan dan membuat kaligrafinya”
Untuk hasil wawancara kepada guru lainnya, mereka mengakui tidak begitu mengamatu, yang mereka amati hanya keaktifan siswa dalam proses pembelajaran. Melihat hasil wawancara yang belum menjawab secara terperinci bentuk sikap kerjasama siswa, peneliti memberikan angket kepada siswa kelas X MAN 02 dan sekaligus melakukan observasi langsung ke dalam kelas untuk mengamati sikap kerjasama siswa dalam proses pembelajaran PAI.
Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
630
EKA YANUARTI
Setelah angket diberikan dan dianalisis, didapatkan hasil kerjasama siswa pada proses pembelajaran PAI di MAN 02 Palembang adalah : Tabel 1 Sikap Kerjasama SIswa pada Proses Pembelajaran PAI di MAN 02 Palembang Kategori
Frekuensi
Persentase
Tinggi
29
23,57%
Sedang
53
43,10%
Rendah
41
33,33%
Jumlah
123
100%
Dari tabel di atas diketahui sikap kerjasama siswa pada proses pembelajaran PAI di MAN 02 Palembang dalam kategori tinggi (23,57%), sedang (43,10%) dan rendah (33,33%). Untuk melihat bentuk-bentuk sikap kerjasama siswa, peneliti melakukan analisis lebih lanjut berdasarkan karakteristik Cooperative Learning, hasil analisis dijelaskan lebih lanjut di bawah ini: 1. Adanya Ketergantungan Positif (Positif Interdependece) Memahami sikap kerjasama siswa dalam proses pembelajaran pendidikan agama Islam berarti memahami komponen pokok yang dapat membuat sikap kerjasama yang dimiliki siswa berjalan dengan baik. Komponen yang pertama yang paling penting adalah adanya ketergantungan positif antar siswa dalam hubungan timbal balik yang didasari adanya kepentingan yang sama atau perasaan di antara anggota kelompok di mana keberhasilan seseorang merupakan keberhasilan yang lain pula atau sebaliknya. Ketergantungan positif akan dapat terstruktur dengan baik, apabila setiap anggota kelompok memandang bahwa mereka terhubung antara satu sama lain, sehingga seorang siswa tidak akan bisa berhasil kecuali semua anggoata kelompoknya juga berhasil. Kelompok belajar biasanya bersifat heterogen, baik dalam kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, etnik, dan sebagainya sehingga dapat sal-
Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
631
EKA YANUARTI
ing mengetahui siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang memberikan bantuan. Untuk melihat adanya ketergantungan positif, peneliti melakukan analisis terhadap angket yang diberikan didapati bahwa: Pertama, sikap siswa ketika mengalami kesulitan memahami pelajaran PAI : 19,50% siswa memilih belajar kembali sendiri. 40,70% siswa meminta bantuan kepada teman yang lebih memahami. 39,80% siswa tidak berusaha memahami kembali. Kedua, sikap siswa ketika ada teman dalam satu kelompok mengalami kesulitan memahami pelajaran PAI: 33,30% siswa memilih membantu. 41,5% siswa memilih kurang peduli. sisanya 25,20% siswa menyarankan lebih giat belajar. Ketiga, latarbelakang siswa membantu teman yang belum memahami pelajaran PAI: 20,20% siswa memilih karena sama-sama berada dalam satu kelompok. 37,40% siswa untuk mencapai keberhasilan kelompok dan 42,30% siswa karena belas kasihan. Keempat, sikap siswa dalam memilih teman untuk bekerjasama dalam proses pembelajaran PAI: 39,80% siswa memilih menyelesaikan tugas bersama semua teman, tanpa peduli tingkat ekonomi dan kedekatan dengan dirinya. 39,80% siswa memilih menyelesaikan tugas bersama semua teman kelompok, tanpa peduli tingkat kepintaran dan jenis kelamin. 40,70% siswa memilih menyelesaikan tugas bersama semua teman tanpa peduli asal daaerah temannya. Berdasarkan hasil observasi didapati bahwa jenis interaksi yang berkembang dalam proses pembelajaran yaitu siswa sering mengerjakan tugasnya sendirisendiri terlihat melupakan siswa lainnya untuk melengkapi, Ketika siswa mengalami kesulitan maka siswa lebih suka bertanya kepada guru dari pada siswa lainnya. Selain itu siswa lebih fokus pada pengerjaan tugas masing-masing dari pada membuat semua anggota kelompoknya memahami materi yang ditugaskan. Kelompok belajar biasanya dibentuk secara homogen, siswa di kelompokkan hanya berdasarkan tempat duduk, sehingga siswa memiliki pengetahuan yang cenderung sama. Di sini terlihat bahwa guru pendidikan agama Islam sering Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
632
EKA YANUARTI
membiarkan adanya siswa yang mendominasi kelompok atau menguntungkan diri pada anggota kelompok lainnya. Berdasarkan hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa untuk adanya ketergantungan positif belum diperhatikan dan terlaksana pada proses pembelajaran pendidikan agama Islam di MAN 02 Palembang.
2. Adanya Tanggungjawab Perseorangan Berlanjut kekomponen kedua dari sikap kerjasama siswa adalah tanggungjawab perseorangan yang dimiliki siswa dalam proses pendidikan agama Islam. Dalam hal ini keberhasilan sikap kerjasama siswa sangat dipengaruhi oleh kemampuan individu masing-masing dalam menerima dan memberi apa yang telah dipelajarinya diantara siswa lainnya. Tanggungjawab individual digunakan juga untuk mengukur penguasaan materi pelajaran tiap anggota kelompok, dan kelompok diberi umpan balik tentang hasil belajar para anggotanya sehingga dapat saling mengetahui siapa yang memerlukan bantuan dan siapa yang memberikan bantuan. Pemimpin kelompok dipilih secara demokratis atau bergiliran untuk memberikan pengalaman memimpin bagi para anggota kelompok. Dalam proses pembelajaran kelompok, secara individual siswa mempunyai dua tanggungjawab yaitu mengerjakan dan memahami materi atau tugas untuk keberhasilan dirinya dan juga keberhasilan anggota kelompoknya sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Untuk melihat adanya tanggung jawab perseorangan, peneliti melakukan analisis terhadap angket yang diberikan didapati bahwa : Pertama, bentuk pembagian tugas yang disenangi siswa: hanya 29,30% siswa memilih kelompok yang terdiri dari 4-6 orang. 15,40% siswa memilih mengerjakan berdua dengan temannya. 56,90% siswa memilih mengerjakan sendiri. Kedua, Usaha siswa dalam mendukung keberhasilan kerjasama: 28,50% ikut memberikan pendapat dalam menyelesaikan tugas. 23,60% siswa ikut mengerjakan semua pertanyaan dalam tugas, dan 48,00% siswa menjadi pencatat atau penulis jawaban dari teman-teman sekelompok. Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
633
EKA YANUARTI
Ketiga, Bentuk Pembagian tugas dalam kerjasama: 54,00% siswa mengakui tidak ada pembagian tugas yang jelas, semua dikerjakan secara bersama-sama. 30,10% siswa menjawab masing-masing siswa dalam kelompok mendapat satu pertanyaan yang harus diselesaikan. 15,40% siswa menjawab masing-masing siswa bebas mengerjakan pertanyaan yang mereka dapat menjawab. Keempat, tugas menyampaikan hasil kerjasama: 51,60% siswa menjawab ketua kelompok saja. 24,20% siswa menjawab semua anggota kelompok bergantian menyampaikan hasinya. 23,60% siswa menyatakan beberapa anggota kelompok yang mewakili. Berdasarkan hasil observasi penulis didapati bahwa tidak adanya tanggung jawab perseorangan dalam proses kelompok pada pembelajaran pendidikan agama Islam di MAN 02 Palembang. Berdasarkan hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa untuk tanggungjawab perseorangan pada pembelajaran pendidikan agama Islam di MAN 02 Palembang adalah belum terlihat adanya tanggung jawab perseorangannya, masingmasing siswa anggota kelompok berusaha secepat mungkin mengerjakan tugas yang diberikan meski hanya dikerjakan oleh satu orang saja.
3. Adanya Interaksi Tatap Muka Komponen ketiga dari sikap kerjasama adalah interaksi tatap muka yang dilakukan siswa dalam proses pembelajaran pendidikan agama Islam. Interaksi promotif (tatap muka) merujuk pada para siswa yang saling memfasilitasi keberhasilan satu sama lain. Setiap kelompok harus memberikan kesempatan untuk bertemu muka dan berdiskusi. Kegiatan interaksi ini akan membentuk sinergi yang menguntungkan untuk semua anggota kelompok. Inti dari sinergi ini adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi kekurangan masing-masing. Setiap angggota mempunyai latar belakang pengalaman keluarga, dan sosial ekonomi yang berbeda satu dengan yang lainnya, perbedaan ini akan menjadi modal utama dalam proses memperkaya pengetahuan anggota kelompoknya.
Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
634
EKA YANUARTI
Dari seringnya interaksi tatap muka ini memungkinkan siswa untuk mendorong dan memfasilitasi usaha satu sama lain untuk mencapai, menyelesaikan tugas, dan bekerja untuk pencapaian tujuan bersama. Untuk melihat adanya ketergantungan positif, peneliti melakukan analisis terhadap angket yang diberikan didapati bahwa: Pertama, posisi tempat duduk dalam bekerjasama: 51,20% siswa tetap berada pada kursi masing-masing. 16,10% siswa menjawab berhadap-hadapan. 32,30% siswa berhadapan membentuk lingkaran. Kedua, frekuensi siswa berpindah tempat duduk ke kelompok lain: 52,8% siswa menajwab sering perpindah ke semua tempat duduk kelompok lain untuk melihat jawaban dalam menyelesaikan tugas, 08,10% siswa menjawab hanya beberapa kelompok saja. 39,00% siswa mejawabtetap duduk tenang bersama teman satu kelompok. Selanjutnya berdasarkan hasil observasi juga didapati bahwa siswa akan berinteraksi dengan berpindah tempat duduk untuk mengecek kemajuan pekerjaan kelompoknya. Bentuk interaksi guru dengan siswa guru pendidikan agama Islam dengan cara berdiri di muka kelas untuk memberikan penjelasan atau jawaban kepada siswa, jarang berkeliling memperhatikan dan mencatat sikap siswa selama proses pembelajaran kelompok berlangsung baik itu ketika di dalam kelompok maupun secara keseluruhan kelas. Berdasarkan hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa interaksi tatap muka pada pembelajaran pendidikan agama Islam di MAN 02 Palembang adalah kurang terarahnya interaksi tatap muka, terlihat banyaknya interaksi siswa dengan kelompok lain dari pada berinteraksi dengan anggota kelompoknya sendiri.
4. Komunikasi antar Anggota Kelompok Komponen keempat dari sikap kerjasama siswa ialah komunikasi antar anggota kelompok, ketika akan bekerjasama dengan siswa lain, tentunya sangat diperlukan untuk siswa tersebut memiliki tehnik komunikasi yang baik, bagaimana cara ia mengajak temannya untuk bekerjasama, mengungkapkan pendapatnya, mendengarkan pendapat temanya, agar proses kerjasama dapat berjalan dengan baik, Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
635
EKA YANUARTI
dan teman yang diajak kerjasama mengerti apa yang akan dilakukan bersama. Keterampilan sosial yang diperlukan dalam kerjasama seperti kepemimpinan, kemampuan berkomunikasi, mempercayai orang lain, dan mengelola konflik secara langsung diajarkan. Untuk melihat adanya komunikasi antar anggota kelompok, peneliti melakukan analisis terhadap angket yang diberikan didapati bahwa: Pertama, cara menyampaikan pendapat dalam bekerjasama: 04,90% siswa menyampaikan pendapat kepada teman yang duduk dekat anda dalam kelompok. 43,90% siswa menyampaikan pendapat secara jelas di depan semua teman. 51,20% siswa menyampaikan pendapat dengan menulis langsung pada kertas jawaban, Kedua, cara meyampaikan pertanyaan dalam bekerjasama: 10,60% siswa menanyakan secara berbisik-bisik dengan teman yang dekat dengan anda. 41,50% siswa mengangkat tangan dan menyampaikan pertanyaan. 48,00% siswa melihat catatan ataupun jawaban teman yang sudah selesi mengerjakan tugas. Ketiga, sikap siswa ketika ada teman yang mengemukakan pendapat: 36,60% siswa kurang peduli dengan pendapat temannya. 39,80% siswa mendengarkan dengan seksama. 23,60% siswa mendengarkan sambil ngobrol. Keempat, sikap siswa ketika tidak sependapat dengan pendapat temannya: 48,00% siswa kurang peduli. 39,80% siswa mengangkat tangan dan menjelaskan pendapat. 12,20% siswa berdiskusi dengan taman sebelah sambil mendengar. Berdasarkan hasil observasi juga di dapati setelah dibagi kelompok, guru pendidikan agama Islam sering membiarkan siswanya bekerja secara berkelompok, dan selama proses berlangsung, guru tidak memperhatikan siswanya, guru hanya duduk di depan kelas dan sibuk mengerjakan urusannya sendiri, sehingga keterampilan sosial seperti cara berkomunikasi yang baik sering tidak diajarkan secara langsung. Berdasarkan hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi antar anggota kelompok pada pembelajaran pendidikan agama Islam di MAN 02 Palembang adalah komunikasi yang baik antar anggota kelompok kurang diperhati-
Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
636
EKA YANUARTI
kan dan diajarkan oleh guru pendidikan agama Islam pada proses pembelajarannya di MAN 02.
5. Sistem Evaluasi Proses Secara Kelompok Komponen ke lima dari sikap kerjasama siswa adalah sistem evaluasi proses secara kelompok. Pada saat belajar kooperatif sedang berlangsung guru terus melakukan pemantauan melalui observasi dan melakukan intervensi jika terjadi masalah dalam kerjasama antar kelompok. Guru pendidikan agama Islam harusnya memperhatikan secara proses kelompok yang terjadi dalam kelompok-kelompok belajar. Penekanan tidak hanya pada penyelesaian tugas tetapi juga hubungan interpersonal (hubungan antar pribadi yang saling menghargai). Untuk melihat adanya evaluasi proses kelompok, peneliti melakukan analisis terhadap angket yang diberikan didapati bahwa: Pertama, sikap siswa terhadap keberhasilan kelompok: 16,30% siswa biasa saja. 36,60% siswa ikut merasa gagal. 47,20 siswa tidak peduli. Kedua, sikap siswa terhadap kegagalan kelompok: 17,90% siswa bersikap biasa saja. 40,70% siswa ikut merasa gagal. 41,50% siswa kurang peduli. Ketiga, bentuk pembagian point dalam kerjasama: 30,10% siswa menjawab semua anggota kelompok mendapat point yang sama. 03,30% siswa menjawab beberapa siswa saja yang ditunjuk sebagai ketua, sekretaris yang mendapat point besar. 66,70% siswa menjawab nilai kelompok, akan berbeda dengan nilai individu. Selain itu juga berdasarkan hasil observasi pemantauan melalui observasi dan intervensi sering tidak dilakukan oleh guru pendidikan agama Islam pada saat belajar kelompok berlangsung. Guru pendidikan agama Islam sering tidak memperhatikan proses kelompok yang. Penekanan sering terlihat hanya pada penyelesaian tugas. Dalam proses pembelajaran pendidikan agama Islam setelah siswa diberikan tugas secara kelompok, Guru dan siswa terlihat asyik dengan pekerjaannya masing-masing sehingga suasana kelas menjadi kaku. Dalam melakukan evaluasi dan Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
637
EKA YANUARTI
refleksi proses pembelajaran, siswa terkadang hanya diam dan mendengarkan penjelasan guru, tidak secara bersama-sama mengajukan ide dan pendapat akan proses pembelajaran yang berlangsung. Berdasarkan hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa sistem evaluasi proses kelompok pada pembelajaran pendidikan agama Islam di MAN 02 Palembang adalah belum berjalan dengan baik, terlihat masih membeda-bedakan nilai siswa meski telah berada dalam satu kelompok, dan guru pun dalam proses kelompok tidak mengamati proses yang ada, setelah dibagi tugas dalam kelompok, guru dan siswa sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
D.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan Secara umum, sikap kerjasama siswa pada proses pembelajaran PAI di MAN 02 Palembang dalam kategori tinggi (23,57%), sedang (43,10%) dan rendah (33,33%). Secara terperinci, sikap kerjasama siswa pada proses pembelajaran PAI di MAN 02 Palembang belum memiliki kerjasama yang baik, seperti kurangnya sikap ketergantungan positif antar siswa dalam kelompok, tidak adanya tanggung jawab perseorangan diantara siswa dalam kelompok semua dikerjakan secara bersama-sama, kurang terarahnya interaksi tatap muka antar siswa, tidak adanya pengajaran secara khusus bagaimana cara berkomunikasi yang baik antar siswa anggota kelompok, dan sistem evaluasi yang tidak menyeluruh tidaka adanya pengamatan selama proses berlangsung dan setiap siswa dalam kelompok yang mendapatkan point yang berbeda meski telah bekerja dalam satu kelompok. Kerjasama dalam proses pembelajaran tidak hanya meletakkan siswa untuk duduk berdampingan di sebuah meja untuk saling berbicara satu sma lain sambil mereka mengerjakan tugas individual mereka. Kerjasama lebih dari sekedar berada dekat dengan siswa lain secara fisik, mendiskusikan materi dengan siswa lain, membantu siswa lain atau saling berbagi materi diantara para siswa. Untuk mencapai sikap kerjasama yang baik dalam proses pembelajaran terutama yang bersifaat kelompok harus memiliki ketergantungan positif antar siswa dalam kelompok, para siswanya harus saling mendorong keberhasilan satu sama Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
638
EKA YANUARTI
lain. Adanya tanggung jawab perseorangan diantara siswa dalam kelompok, terarahnya interaksi tatap muka antar siswa. Adanya pengajaran secara khusus bagaimana cara berkomunikasi yang baik antar siswa anggota kelompok, dan sistem evaluasi yang menyeluruh, adanya pengamatan selama proses berlangsung dan setiap siswa dalam kelompok yang mendapatkan point yang sama dalam satu kelompok.
Saran Kepada para siswa agar dapat mengikuti pelajaran yang disampaikan oleh guru pendidikan agama Islam dengan baik dan sungguh-sungguh, dan meningkatkan sikap kerjasamanya dalam proses pembelajaran untuk keberhasilan bersama. Kepada para guru yang ada di Madrasah Aliyah Negeri 02 Palembang khusunya guru pendidikan agama agar berupaya semaksimal mungkin untuk dapat mempelajari dan menggunakan model pembelajaran terbaru untuk dapat meningkatkan kembali sikap kerjasama yang dimiliki siswanya dalam proses pembelajaran. Kepada Kepala Sekolah MAN 02 Palembang diharapkan dukungannya dalam memfasilitasi guru-guru dalam mengembangkan pengetahuan yang mereka miliki guna memperbaiki proses pembelajaran sehingga menghasilkan prestasi yang lebih baik. Bagi peneliti sendiri, selanjutnya bisa menggunakan penelitian ini sebagai bahan referensi dan juga untuk dapat dilanjutkan kembali penelitian ini untuk tercapainya apa yang diharapkan demi kemajuan dunia pendidikan di Indonesia saat ini.
Catatan: 1 Dedi. Supriadi, Pendidikan dan Perubahan Sosial Ekonomi, Yogyakarta: Aditya Media, 1997, hal.48. 2 Afnil. Guza, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Guru dan Dosen, Jakarta:Asa Mandiri, 2009, hal.5. 3 Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, Jakarat:PT. Raja Grafindo Persada, 2007, hal. 34. 4 Anita. Lee, Cooperative Learning : Mempraktekkan Cooperative Learning di RuangRuang Kelas, Jartata:Gramedia, 2010, hal.25 5 David W Johnson, dkk, Colaborative Learning : Strategi Pembelajaran untuk Sukses Bersama (diterjemahkan oleh Narulita Yusron). Virginia:Alexandria, 2004, hal.40.
Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
639
EKA YANUARTI
6
Isjoni, Cooperative Learning : Efektifitas Pembelajaran Kelompok, Bandung:Alfabeta, 2010, hal.8. 7 Wina. Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, Jakarta:Prenada Media Group, 2010, hal.243 8 Anita. Lie, Op.Cit, 2002, hal.30. 9 Ibid, hal.28. 10 Isjoni. Cooperative Learning : Efektifitas Pembelajaran Kelompok, Bandung: Alfabeta, 2010, hal. 15. 11 Junaedi, dkk, Strategi Pembelajaran, Surabaya:Lapis PGMI, 2008, hal. 8. 12 Anita. Lie, Op.Cit, 2002, hal.12. 13 David W Johnson,dkk, Op.Cit, hal. 46-47. 14 Agus. Suprijono, Cooperative Learning : Teori dan Aplikasi PAIKEM. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, hal. 60. 15 Anita. Lie, Op.Cit, 2002, hal.34. 16 David W Johnson,dkk, Op.Cit, hal. 50-51. 17 Ibid, hal.54. 18 Trianto. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruksivistik (Konsep, Landasan, Teoritis, Praktis , dan Implementasinya), Jakarta:Prestasi Pustaka, 2007,hal. 46. 19 David W Johnson,dkk, Op.Cit, hal. 56. 20 Agus Suprijono, Op.Cit, 2010, hal. 61. 21 David W Johnson,dkk, Op.Cit, hal. 57. 22 Afnil Guza, Op.Cit., hal. 18. 23 Faturahman, Pupuh dan Sobry Sutikno, Strategi Belajar Mengajar melalui Penanaman Konsep Umum dan Konsep Islami, Bandung:PT. Refika Aditama, 2007, hal.74. 24 Ramayulis, Metodologi Pendidikan Agama Islam, Jakarta:Kalam Mulia, 2008, hal. 22. 25 Madrasah Development Center, Pedoman Pengembangan Silabus. Sumatera selatan , 2006, hal.3. 26 Abdul Rahman. Shaleh, Pendidikan Agama dan Pembangunan Watak Bangsa, Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2005, hal. 20.
Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
640
EKA YANUARTI
DAFTAR PUSTAKA Faturahman, Pupuh dan Sobry Sutikno. 2007. Strategi Belajar Mengajar melalui Penanaman Konsep Umum dan Konsep Islami. PT. Refika Aditama, Bandung. Guza, Afnil. 2009. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan UndangUndang Guru dan Dosen. Asa Mandiri, Jakarta. Supriadi, Dedi. 1997. Pendidikan dan Perubahan Sosial Ekonomi. Aditya Media, Yogyakarta. Isjoni. 2010. Cooperative Learning : Efektifitas Pembelajaran Kelompok. Alfabeta, Bandung. Johnson, David, W, dkk. 2004. Colaborative Learning: Strategi Pembelajaran untuk Sukses Bersama (diterjemahkan oleh Narulita Yusron). Alexandria, Virginia. Junaedi, dkk. 2008. Strategi Pembelajaran. Lapis PGMI, Surabaya. Lee Anita. 2010. Cooperative Learning : Mempraktekkan Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas. Gramedia, Jakarta. Madrasah Development Center. 2006. Pedoman Pengembangan Silabus. Sumatera selatan. Muhaimin. 2007. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Nazarudin. 2007. Manajemen Pembelajaran : Impelementasi Konsep, Karakteristik, dan Metodologi Pendidikan Agama Islam di Sekolah Umum. Teras. Yogyakarta. Ramayulis. 2008. Metodologi Pendidikan Agama Islam. Kalam Mulia, Jakarta. Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan :Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. CV. Alfabeta, Bandung. Sanjaya, Wina. 2010. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Prenada Media Group, Jakarta. Shaleh, Abdul Rahman. 2005. Pendidikan Agama dan Pembangunan Watak Bangsa. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016
641
EKA YANUARTI
Suprijono, Agus. 2010. Cooperative Learning : Teori dan Aplikasi PAIKEM. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruksivistik (Konsep, Landasan, Teoritis, Praktis , dan Implementasinya). Prestasi Pustaka, Jakarta.
Media Akademika, Vol. 31, No.4, Desember 2016