ANALISIS SENYAWA ANTIBAKTERI PADA BEBERAPA JENIS KARANG GORGONIAN DAN IDENTIFIKASI BERDASARKAN KARAKTER SPIKULA
Skripsi
Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Sains
Oleh:
Eni Rohkayati NIM. M0405027
JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2009
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Di dalam lautan terdapat berbagai sumber plasma nutfah yang bermanfaat. Dimulai dari produsen primer berupa fitoplankton dan tumbuhan laut, keanekaragaman hewan dari protozoa, invertebrata dan vertebrata. Keberadaan komunitas bentos, pelagik, dan nekton, kesemuanya menyusun keragaman sumber daya laut (McConnaughey dan Zottoli, 1983; Sumich, 1999). Octocoral sangat melimpah pada daerah terumbu karang. Salah satu koral yang melimpah adalah koral gorgonian (Grajales et al., 2007). Gorgonian memiliki kemelimpahan dan peran ekologis sangat penting. Gorgonian dapat dijumpai pada perairan dangkal hingga laut dalam. Gorgonian merupakan anggota taksa octocoral yang jarang dipelajari baik taksonominya maupun subjek lainnya (McFadden et al., 2006). Laut sebagai sistem yang terbuka memungkinkan terjadinya pertukaran aneka materi dan energi dengan lingkungan disekitarnya. Selain materi dan energi, terjadi juga pertukaran bakteri. Beberapa jenis bakteri darat dan air tawar dapat bertahan hidup dalam larutan garam, dengan konsentrasi sama atau lebih tinggi dari laut untuk beberapa saat (Sidharta, 2000). Patogenesis merupakan mekanisme invasi patogen ke inang sampai menghasilkan suatu simptom (gejala penyakit). Patogen sendiri adalah material maupun organisme yang mampu menyebabkan penyakit. Sebagian besar patogen berupa bakteri (terutama bakteri gram-negatif) dan virus (Purwoko, 2007).
Adanya berbagai patogenesis yang ditimbulkan oleh bakteri menimbulkan pemikiran tentang pentingnya antibakteri guna menghambat dan atau mematikan bakteri patogen yang telah menginvasi sel inang. Antibakteri dapat diperoleh dari hasil ekstraksi dan isolasi senyawa suatu organisme. Organisme hidup beradaptasi
dalam
mempertahankan eksistensi terhadap perubahan lingkungan hidupnya. Salah satu mekanisme adaptasi yang dilakukan adalah membentuk suatu senyawa yang merupakan hasil metabolisme sekunder. Senyawa hasil metabolisme sekunder dikenal memiliki berbagai aktifitas biologis diantaranya sebagai antibakteri atau antimicrobial. Beberapa penelitian yang telah dipublikasikan memberikan informasi bahwa karang gorgonian dapat menghasilkan senyawa metabolisme sekunder yang berfungsi sebagai antibakteri (Fuganti and Serra, 2000; Kelman et al., 2006). Metabolit sekunder tersebut berupa senyawa-senyawa dari golongan terpenoid, alkaloid, fenolik dan steroid (Pawlik and Fenical, 1992; Gutie´rrez et al. 2006; Iwamaru et al., 2007). Pada karang gorgonian, spikula merupakan dasar utama dalam menentukan spesies Brill and Backhuys, 1983; Lewis and Wallis, 1991; Sanchez et al., 2003). Selain itu analisis senyawa kimia dari organisme juga memberikan kontribusi kemudahan dalam sistematika (Gerhart, 1983). Adapun analisis senyawa yang berfungsi sebagi antibakteri memberikan gambaran kemampuan pertahanan diri dari karang gorgonin
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah jenis senyawa dari ekstrak metanol dan etil asetat karang gorgonian yang dapat berfungsi sebagai antibakteri?
2. Bagaimana identifikasi spesies dari taksa gorgonian dilihat dari karakter spikula?
C. Tujuan Penelitian Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk: 1. Mengetahui senyawa dari ekstrak metanol dan etil asetat karang gorgonian yang dapat berfungsi sebagai antibakteri. 2. Mengetahui karakter spikula dari karang gorgonian untuk identifikasi tingkat genus dan spesies.
D. Manfaat penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: 1. Memperoleh jenis senyawa antibakteri dari ekstrak metanol dan etil asetat karang gorgonian yang dapat berfungsi sebagai antibakteri. 2. Mengetahui spesies dari karakter spikula karang gorgonian yang dianalisis.
BAB II. LANDASAN TEORI
BAB II. LANDASAN TEORI
A. Karang Gorgonian Gorgonian memiliki kemelimpahan dan peran ekologis yang penting. Hewan ini dapat dijumpai pada perairan dangkal hingga laut dalam. Gorgonian merupakan anggota taksa octocoral yang jarak dipelajari baik taksonomi maupun subyek lainnya (McFadden et al., 2006). Octocoral melimpah pada daerah terumbu karang, di laut Karibia (Atlantik barat) didapatkan lebih dari 60 spesies dalam satu lokasi. Salah satu koral yang melimpah adalah koral gorgonian (Grajales et al., 2007). Gorgonian merupakan koral yang mempunyai kerangka berbentuk tanduk dengan spikula calcarea dan polip kecil berasosiasi dengan sea fans, sea whips, sea feathers dan koral merah. Gorgonian mempunyai rangka aksial dalam yang kuat, fleksibel tersusun atas material keras yang disebut gorgonin. Gorgonin merupakan material proteinaceous yang hampir menyerupai tanduk atau dikenal dengan istilah scleroproteinous (Antonius, 2000; Fabricius and Alderslade, 2001). Rangka tubuh fleksibel yang mendukung pergerakan. Rangka dilapisi oleh sebuah lapisan tersusun atas jaringan dimana polip tertanam di dalamnya. Jaringan ini terdiri atas banyak tubula yang berhubungan dengan spikula calcarea. Gorgonian umumnya berbentuk seperti pohon dengan banyak cabang pendukung. Adapula gorgonian yang berbentuk seperti kulit berlapis dan (single-stemmed) polip tunggal. Gorgonian
merupakan koral sangat indah dan memiliki banyak warna (Antonius, 2000). Pada umumnya gorgonian memiliki bentuk padat, aksis sentral memiliki lapisan choenenchym tipis sebagai tempat tumbuhnya polip. Pada daerah tropis koloni banyak ditemukan dalam bentuk kipas yang memiliki diameter hingga mencapai 2-3 meter. Bagian tubuh sederhana terdiri atas medula dan korteks (Fabricius and Alderslade, 2001). Hewan ini bereproduksi secara seksual dan aseksual. Reproduksi seksual dengan cara broadcaster, yaitu dengan cara mengeluarkan telur dan sperma dalam jumlah besar ke perairan sehingga terjadi fertilisasi eksternal dan larvanya berenang bebas sebelum menempel di dasar perairan untuk tumbuh menjadi gorgonian dewasa. Pemijahan dapat terjadi dengan adanya penyesuaian antara pencahayaan dan suhu air. Reproduksi aseksual meliputi runner-formation, coloni fragmentation, fission atau budding (Fabricius and Alderslade, 2001).
B. Spikula dan Identifikasi Spikula disebut juga sklerit merupakan komponen penyusun kerangka aksial karang gorgonian. (Antonius, 2000; Fabricius and Alderslade, 2001). Berbagai bentuk spikula tersebar luas pada octocoral. Pemberian nama genus dan familia banyak berdasarkan pada karakter spikula yang ada (Brill and Backhuys, 1983). Tiap kelompok gorgonian memiliki spikula yang menjadi penciri khas. Bentuk-bentuk dasar spikula itu diantaranya double head, spindle, club, scaphoid dan rod. Penentuan bentuk spikula tersebut menganut pada ketentuan taksonomi yang ada (Brill and Backhuys, 1983; Lewis and Wallis, 1991; Sanchez et al., 2003).
Pada banyak penelitian tentang taksonomi, spikula merupakan dasar penentuan spesies disamping kemotaksonomi dan genetik (Lewis and Wallis, 1991; Sanchez et al., 2003). Penggolongan dalam grup atau sub-ordo banyak didasarkan pada karakter spikula. Gorgonian merupakan anggota Alcyonacea yang terdiri atas grup scleraxonia, sub-ordo holaxonia dan calcaxonia. Kelompok tertentu memiliki penciri khas tertentu. Seperti familia Ellisellidae (calcaxonia) memiliki ciri khas bentuk double head atau double cone. Adapun familia Melithaeidae (scleraxonia) memiliki bentuk nodus yang tampak jelas dan struktur spikula scaphoid (Brill and Backhuys, 1983; Lewis and Wallis, 1991Grasshoff, 1999; Grasshoff, 2000; Fabricius and Alderslade, 2001; Sanchez et al., 2003)
C. Gorgonian dan Aktivitas Senyawa Metabolit Sekundernya Cnidaria mempunyai fungsi ekologis sebagai antipredator dan antifouling. Koral mengeluarkan metabolisme sekundernya ke lingkungan pada kondisi krusial dalam interaksi kompetitif di lingkungan yang terbatas (Marti et al., 2005). Kim et al. (2000) dan Kelman et al. (2006) mengungkapkan bahwa koral mengandung senyawa yang dapat berfungsi sebagai antimikrobial.
Gambar 1. Pseudopterogorgia bipinnata (Verrill). (Sanchez et al., 2007)
Gorgonian dikenal menghasilkan karotenoid seperti peridinin, astaxantin, turunan 7,8-didehidro dan 7,8,7’,8’-tetradehidro, karotenoid asam lemak, glikosida dan karotenoprotein. Selain adanya karotenoid juga ditemukan sejumlah terpenoid dan sterol. Terpenoid yang ditemukan berbentuk seskuiterpen seperti (+)-β-Bisabolena, (+)-αKurkumena, (+)-β-Kurkumena, (+)-β-Kurkumena, (-)-Germakrena, (-)-δ-Kardinena, (+)α-Muurolena, (+)-β-Gorgonena dan sebagainya. Adapun sterol yang dijumpai adalah kolesterol,
kolestenon,
22-Dehidrokolesterol,
Dihidrobrasikasterol,
Brasikasterol,
Stigmasterol, Sitosterol, Kalinasterol, 24-Metilenasterol, Gorgostanol, Gorgosterol, Dimetilgorgosterol dan Fukosterol (Scheuer, 1995).
Gambar 2. Pseudopterogorgia elisabethae mengandung pseudopterosin sebagai anti-allergenic and antiinflammatory (Fenical, 2006).
Pawlik dan Fenical (1992) menyampaikan bahwa Pseudopterogorgia rigida menghasilkan dua komponen terpenoid, quinone dan curcuhydroquinone. Erythropodium caribaeoum menghasilkan senyawa diterpenoid klorida, erythrolide B dan D, dan
hidrokarbon sesquiterpen. Senyawa yang dihasilkan mempunyai aktivitas untuk pertahanan
diri
dari
serangan
predator.
Fenical
(2006)
melaporkan
bahwa
Pseudopterogorgia elisabethae, mengandung pseudopterosin yang potensial digunakan sebagai anti-allergenic dan anti-inflammatory. Gutie´rrez et al. (2006) menyatakan bahwa ekstrak metanol dari Muricea austera diperoleh 8 komponen senyawa yang terdiri dari 3 senyawa derivat tyramin, 2 senyawa steroid yang mengandung gugus glikosida dan tiga senyawa sesquiterpen. Senyawa yang dihasilkan diujikan terhadap Plasmodium falciparum dan bentuk interseluler Trypanosoma cruzi. Hasil pengujian menunjukkan adanya aktifitas antiprotozoal dan antiplasmodial. Eunicea sussicea dalam laporan Iwamaru et al. (2007) menghasilkan eupalmarin asetat yang memiliki aktivitas antikanker karena kestabilan senyawa dan kemampuan sitotoksik yang lebih tinggi. Fuganti dan Serra (2000) menyebutkan bahwa curcuphenol, curcuquinone dan curcuhydroquinone yang diisolasi dari gorgonian Pseudopterogorgia rigida menunjukkan kemampuan sebagai antibakteri melawan Staphylococcus aureus dan Vibrio anguillarum.
(S)-(+)-Curcuphenol
(S)-(-)-Curcuquinone
(S)-(+)-curcuhydroquinone
Gambar 3. Struktur senyawa hasil isolasi Pseudoterogorgia rigida yang memiliki aktifitas antibakteri pada Staphylococcus aureus dan Vibrio anguillarum (Fuganti dan Serra, 2000).
D. Bioprospek Gorgonian Setiap spesies menghasilkan kandungan yang khas. Ada keterkaitan antara berbagai variabel morfologi dengan penentuan analisis terhadap hasil metabolisme. Salah satu
disiplin ilmu yang membahas hal ini adalah kemotaksonomi. Kemotaksonomi, genetik dan analisis hubungan berdasarkan morfologi sangat berkaitan antar beberapa famili. Produksi, konsentrasi dan komposisi dari senyawa yang dihasilkan dipengaruhi kondisi lingkungan dan variasi dari tempat. Kegiatan kemotaksonomi berperan untuk memberikan alternatif bagi teknik taksonomi tradisional (Fabricius and Alderslade, 2001). Kemotaksonomi merupakan suatu bentuk pengklasifikasian yang menggunakan karakater senyawa kimia (Gerhart, 1983). Gorgonian merupakan merupakan sesil (hewan yang tumbuh dan hidup menempel). Kondisi ini sangat memungkinkan adanya predator, kompetitor dan terpapar ultraviolet. Gorgonian meningkatkan produksi substansi kimianya, yang efektif melawan predator dan mencegah pertumbuhan hewan sekitarnya maupun hewan penempel. Substansi tersebut yang dinamakan metabolisme sekunder. Banyak dari produk alam yang berasal dari gorgonian dimanfaatkan dalam pengujian farmakologi (Fabricius and Alderslade, 2001).
E. Bakteri 1. Morfologi Bakteri Sekitar 80% bakteri laut yang diketahui berbentuk batang dan Gram negatif (Zobell, 1946 dalam Sidharta, 2000). Pemeriksaan secara acak terhadap berbagai koloni dan pengamatan mikroskopis langsung menunjukkan 95% bakteri laut bersifat gramnegatif. Pleomorfisme umum terjadi pada bakteri laut ketimbang mikrobia sungai, danau, dan tanah. Sekitar seperlima bakteri batang dari laut berbentuk kumparan (Helicoid), sehingga sering diklasifikasikan sebagai Vibrio atau Spirillum. Bakteri laut bergerak
secara aktif. Diperkirakan kemampuan bergerak ini sebagai hasil adaptasi kehidupan perairan. Pseudomonas, Vibrio, Flavobacterium, Achromobacter, dan Bacterium merupakan jenis terbanyak yang dijumpai di laut secara berturut-turut (Sidharta, 2000).
2. Jenis Bakteri-bakteri Patogen Bacillus subtilis merupakan bakteri mesofilik, bacillus aerobic, memiliki bentuk spora ellipsoidal hingga silindris. Bakteri ini merupakan anggota gram-positif (Purwoko, 2007). Pada peptidoglikan bakteri ini mengandung berbagai variasi peptida (Lamanna, 1973). Hidup pada pH 6.0 dalam acetyl-methylcarbinol, gelatin terhidrolisis. Menghidrolisis pati dan mereduksi nitrat menjadi nitrit (Burrows et al., 1968). Bacillus subtilis mampu menginfeksi dan terkadang memproduksi septicemia pada hewan immature. Pengamatan di bawah mikroskop didapatkan bakteri berbentuk gulungan kusut rantai panjang. Bakteri tersebut ditemukan bersamaan dengan air segar yang turun saat hujan (Burrows et al., 1968). Staphylococcus aureus merupakan bakteri kokus dan gram-positif. Koloni bakteri umumnya berwarna kuning kemilau pada beberapa media (Salyers dan Whitt, 1944). Staphylococcus aureus memiliki diameter sel 0.8-1.0 µm dan terkadang terlihat sebagai sel tunggal, berpasangan atau dalam kelompok. Pada media trypticase soy agar atau blood agar berdiameter antara 1-3 mm, terlihat kuning, jingga atau putih. Memiliki toleransi terhadap garam, tumbuh baik pada media yang mengandung sodium chloride 10% (Benson, 2002). Hampir semua strain bakteri ini merupakan coagulase-positif. Menghasilkan alfa toksin yang menyebabkan terjadinya zona bening luas (beta-tipe), hemolisis dalam blood agar, sedang pada kelinci mengakibatkan nekrosis lokal dan
kematian (Benson, 2002). Secara normal koloni Staphylococcus aureus dapat ditemukan pada hidung manusia dan kulit, dalam jumlah kecil juga dapat ditemukan pada colon dan saluran vagina. Gejala penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini seperti mual akut, nyeri perut dan diare (Salyers dan Whitt, 1994). Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri berbentuk batang dan memiliki flagela polar. Bakteri ini termasuk anggota gram-negatif aerobik. Memiliki sifat resistan terhadap antibiotik dan desinfektan. Pseudomonas aeruginosa menghasilkan ekskret ekstraselular berwarna hijau-biru yang dapat berdifusi ke media. Pada kondisi inang lemah, bakteri ini mampu menginfeksi saluran urinaria, peradangan, dan luka. Bakteri ini mengakibatkan septicemia, absses, pneumonia dan meningitis. Bakteri ini banyak ditemukan di tanah dan lingkungan yang tidak sehat. Antibiotik dari kelompok carboxypenicillin, seperti carbenicillin dan ticarcillin memiliki kemampuan melawan infeksi bakteri ini. Adapun Aminoglycosides berjenis Gentamicin dapat mencegah sintesis protein bakteri ini dan bersifat bakterisidal (Tortora et al., 1994). Vibrio harveyii merupakan bakteri gram-negatif berbentuk batang-koma (Curverod) dengan satu flagela polar. Bakteri ini dapat bertahan di lingkungan laut dan darat serta berkoloni dalam saluran pencernaan, khususnya usus halus (Purwoko, 2007). Vibrio harveyii
ini banyak dijumpai dalam darah kura-kura yang terserang tumor dan
berasosiasi dengan bakteri gram-positif. Vibrio harveyii merupkan patogen yang signifikan pada crustacea, kuda laut dan finfish (Work et al., 2003). Bakteri ini memiliki autoinducer Nacylated homoserine lactone (OHL) yang merupakan derivat dari N-(3hydroxybutanol)-L-homoserine lactone (Hydroxy-BHL). Autoinducer yang dimiliki disintesis dengan katalisis 45.6 kDa protein AinS (Smith et al., 2006).
Aeromonas hydrophila merupakan bakteri gram-negatif, anaerobik fakultatif, batang motil, lurus, kemo-organotrofik diantara metabolisme oksidatif dan fermentasi, sitokrom-oksidase, katalase-positif, mereduksi nitrit menjadi nitrat tanpa membentuk gas dan resistan terhadap vibriostatik. Tumbuh secara optimal selama 24 jam pada suhu 28 oC dalam mediun TSA, tetapi keseluruhan strain Aeromonas dalapt hidup pada suhu 42 oC setelah 24 – 48 jam (Statner et a.l, 1988; Taylor et al., 1999; Huys et al., 2002). Menghasilkan pigmen terlarut dalam medium TSA. Memiliki protein (19-kDa) yang dapat berfungsi sebagai Arginin-hydrolase, lysine decarboxylase-, indole- and Voges ± Proskauer-positif. Dapat hidup dalam subtrat yang mengandung karbon dan sumber energi seperti: acetate, N-acetyl-d-glucosamine, cis-aconitate. Keseluruhan strain resistan terhadap ampicillin dan penicillin, clendamycin, erythromycin, Spectinomycin, sulfachloropyridazine, sulfadimethoxine, tiamulin, tilmicosin, tylosin tetapi sensitif terhadap kanamycin, apramycin, ceftiofur, enrofloxacin, gentamycin dan neomycin. Selain itu juga mempunyai resistensi terhadap nalidixic acid, streptomycin dan tetracycline. Memiliki aktifitas β-hemolytic sangat kuat terhadap darah domba. Memproduksi cytotoxin (Hird et al., 1983; Zemelman et al., 1983; Loewy et al., 1993; Huys et al., 2002; Maueal et al., 2002; Aydin et al., 2004). Cytotoxin enterotoksin Aeromonas hydrophila memiliki beberapa aktifitas biologis, diantaranya menimbulkan efek peradangan pada inang dan mengakibatkan apoptosis pada makrofag murine, cytotoxicity, enterotoxycity dan kematian pada mencit. Aeromonas hydrophila merupakan signifikan patogen pada manusia yang diisolasi dari perairan darat, lautan dan berbagai jenis makanan. Secara umum bakteri ini dapat mengakibatkan penyakit pada saluran pencernaan maupun non-saluran pencernaan. Bakteri ini memiliki kesatuan faktor
penyebab virulensi berupa cytotoxin enterotoksin berukuran 52-kDa (Zemelman et al., 1983; Galindo et al., 2004).
F. Kromatografi sebagai Metode Analisis Kromatografi adalah suatu istilah umum yang digunakan untuk bermacam-macam teknik pemisahan yang didasarkan atas partisi sampel diantara suatu fasa gerak yang bisa berupa gas ataupun cair dan fasa diam yang juga bisa berupa cairan ataupun suatu padatan. Pemisahan dengan teknik ini dijalankan dengan mengadakan manipulasi atas dasar perbedaan sifat-sifat fisik dari zat-zat warna yang menyusun campuran. Sifat-sifat fisik tersebut khususnya ialah: (1) adanya tendensi molekul dari suatu zat utuk larut dalam suatu cairan, (2) adanya tendesi molekul dari suatu zat untuk dapat teradsorbsi pada butir-butir zat padat yang halus dengan permukaan yang luas, (3) adanya tendesi molekul dari suatu zat untuk masuk ke fase uap atau menguap (Fulton, 1996; Adnan, 1997). Dalam kromatografi polaritas mempunyai arti penting. Polarits diartikan sebagai adanya pemisahan kutub muatan positif dan negatif dari suatu molekul sebagai akibat terbentuknya konfigurasi dari atom-atom yang menyusunnya. Tingkat pemisahan dari muatan-muatan tersebut menentukan derajat polaritasnya, begitu juga daya tariknya. Polaritas digunakan sebagai petunjuk sifat zat pelarut, adsorben, dan senyawa-senyawa yang dipisahkan (Adnan, 1997). Proses kromatografi dibedakan dua jenis, partisi dan adsorbsi. Pemilihan proses kromatografi ditentukan oleh 3 faktor; 1) mudah tidaknya jenis kromatografi tersebut dipakai untuk eksperimen, 2) tujuan pemisahan dan 3) bentuk senyawa yang dipisahkan.
Kromatografi adsorbsi umumnya lebih mudah dipakai dikarenakan polaritas adsorbennya tetap (Adnan, 1997).
G. Kerangka Pemikiran Karakter spikula merupakan dasar penentuan karang gorgonian. Pengamatan terhadap spikula dapat digunakan untuk menentukan taksa. Analisis terhadap senyawa metabolit sekunder dapat digunakan sebagai cara untuk mengetahui senyawa yang berfungsi sebagai pertahanan diri. Senyawa kimia yang diperoleh merupakan metabolit sekunder gorgonian. Metabolit sekunder mempunyai peran sangat penting bagi organisme terkait eksistensi dalam lingkungan. Metabolit sekunder berfungsi sebagai alat pertahanan diri dari predator dan bentuk adaptasi terhadap kondisi lingkungan tertentu. Senyawa metabolit sekunder salah satunya berperan sebagai antibakteri. Pengkajian terhadap karakteristik spikula memberikan informasi tentang hubungan kekerabatan dan analisis senyawa antibakteri memberikan gambaran tentang kemampuan pertahanan diri gorgonian. Karang Gorgonian
Spikula
Identifikasi
Gambar 4. Diagram alir kerangka pemikiran penelitian
Uji antibakteri ekstrak
Analisis golongan senyawa yang berpotensi antibakteri
H. Hipotesis Dari kegiatan penelitian yang akan dilakukan hipotesis awal adalah sebagai berikut: 1. Senyawa yang diperoleh dan berfungsi sebagai antibakteri termasuk dalam kelompok terpenoid dan alkaloid. 2. Karakter spikula dari masing-masing spesies berbeda dan dasar untuk kegiatan identifikasi.
BAB III. METODE PENELITIAN
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Juli–Oktober 2008 dan Maret-Juni 2009. Kegiatan identifikasi sampel dilakukan di Laboratorium Mikroskop, kegiatan ekstraksi dilakukan di Laboratorium Organik, kegiatan pengujian antibakteri dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi, Oseanografi-LIPI Ancol Timur Jakarta Utara dan kegiatan analisis senyawa dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik IPB B. Alat dan Bahan 1. Alat Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Identifikasi sampel: Botol sampel, gelas benda dan gelas penutup, mikroskop kamera lucida (Leica) dan kamera digital (Olympus). b. Ekstraksi: Penampan, blender, plastik sampel, erlemeyer 250 ml (Iwaki pyrex ), magnetic stirrer (Rexim), spinbar (Scienceware), labu alas bulat (Schot duran), rotary evaporator (Buchi), vakum (Gast), water cooler (Eyela, Japan), corong pisah, gelas ukur 25 ml (YZ) dan 100 ml (Iwaki pyrex), spatula, botol sampel, dan neraca analitik (Sartorius). c. Pengujian Antibakteri: Cawan petri (16 buah), autoklaf (Tomy Sx 500), inkubator (Sanyo), spinbar, gelas ukur 1400 ml (Iwaki Pyrex), erlemeyer 100
ml (Iwaki Pyrex, 16 buah), vortex, lemari pendingin, jarum drigalsky, mikropipet 100-1000 µl dan 1-20 µl (PipetPAL, 1 buah), tip 20 µl dan 1 ml, UV-Vis spektrofotometri (Amersham, Biosciences), cuvet, paper disk (80 buah), pinset, falcon 15 ml (Sarstedt, 5 buah), spatula, kaki tiga, hot plate (IKA RH Basic 2), laminar air flow (Bio Clean Bench, Sanyo), dan waterbath (Memmert) d. Analisis senyawa ekstrak gorgonian: Botol jam (4 buah), mikropipet 100-1000 µl dan 1-20 µl (PipetPAL, 1 buah), tip 20 µl dan 1 ml, UV-light box, kamera digital, syringe, chamber, tabung reaksi (Iwaki pyrex), sentrifuse, oven, pipet tetes.
2. Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Identifikasi sampel: Spikula gorgonian dan klorok. b. Ekstraksi: Sampel karang gorgonian dalam bentuk serbuk, metanol proanalysis (Merck), etil asetat pro-analysis (Merck), kertas saring, alumunium foil, dan kertas label. c. Pengujian Antibakteri: Medium Muller hinton agar (Oxoid England), Biakan bakteri Bacillus subtillis, Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Vibrio harveyii, Aeromonas hydrophila, chloramphenicol, metanol dan etil asetat. d. Analisis senyawa ekstrak gorgonian: ekstrak metanol dan etil asetat gorgonian, metanol pro-analysis (Merck), etil asetat (Merck), kloroform
(Merck), n-heksana (Merck), Silica Gel 60 F254 (Merck 0.20 mm), reagen wagner, dragendorf, reagen mayer, H2SO4 2M, H2SO4 pekat, eter, asam asetat anhidrat.
C. Cara Kerja a.
Identifikasi sampel ·
Identifikasi karang gorgonian dengan metode bleaching (Perendaman dengan klorok).
·
Spikula yang diperoleh diamati dibawah mikroskop dan dibuat sediaan preparat permanen
·
Spikula diukur dengan mikrometer
·
Hasil yang diperoleh didokumentasikan dalam bentuk gambar.
b.
Ekstraksi ·
Sampel dikeringanginkan dan disimpan pada suhu rendah (±18 oC) sebelum dihaluskan.
·
Sampel kering dihaluskan(Iwamaru et al., 2007). Selanjutnya kegiatan yang dilakukan menurut diagram kerja pada Gambar 5..
Sampel Berbentuk Serbuk
Metanol (Maserasi 1x24 jam) (Pawlik and Fenical, 1992; Gutie´rrez et al., 2006)
Filtrasi (Iwamaru et al., 2007).
Residu
Filtrat I
Evaporasi (rotary evaporator) (Iwamaru et al., 2007)
Etil asetat (Maserasi 1x24 jam) (modifikasi Pawlik and Fenical, 1992; Gutie´rrez et al., 2006; Iwamaru, 2007)
Ekstrak I (Ekstrak Metanol) Filtrasi
Filtrat II
Evaporasi (rotary evaporator) (Iwamaru et al., 2007)
Ekstrak II (Ekstrak etil asetat)
Gambar 5. Diagram alir cara kerja kegiatan ekstraksi pada karang gorgonian
Residu
c.
’Pengujian Antibakteri (Modifikasi Adeloye et al., 2007):
Media Tumbuh Bakteri Muller hinton, 34gr/L
Biakan Bakteri (D 0.5-0.8) Petri disk (20 µl/15ml)
Ekstrak I + Metanol (20 µg/ml)
Ekstrak II + Etil asetat (20 µg/ml) Metanol
Clear zone (Diameter paper disk)
Etil asetat Chloramphenicol Gambar 6. Diagram alir cara kerja uji antibakteri ekstrak kasar gorgogian
d.
Analisis senyawa ekstrak gorgonian: ·
Membuat reagen wagner: 20 g KI dan 25 g I2 dilarutkan dalam 10 mL akuades. Larutan diencerkan hingga 200 mL, kemudian disaring dan disimpan dalam botol coklat.
·
Membuat reagen mayer: 1.36 g HgCl2 dilarutkan dalam 25 mL akuades. 5 g KI dilarutkan dalam 10 mL akuades. Kedua larutan dicampur, kemudian diencerkan hingga 100 mL dan disimpan.
·
Membuat reagen dragendorf: 0.85 g BiNO3(OH)2 dilarutkan dengan 10
mL asam asetat glasial dan 40 mL akuades. 8 g KI dilarutkan dalam 20 mL akuades. Kedua larutan tersebut dicampurkan ·
Fitokimia untuk alkaloid: 10 mg ekstrak kasar ditambahkan kloroform dan NH3, kemudian divortek. Dilakukan penambahan H2SO4 2M sebanyak 2 tetes, lalu divortek kembali. Lapisan asam yang terbentuk diambil dan dibagi menjadi 3 bagian. Masing-masing bagian ditetesi dengan reagen wagner, meyer, dan dragendorf. Dilakukan pengamatan perubahan warna yang terjadi dan terbentuknya endapan (untuk reagen wagner dan dragendorf). Hasil yang diperoleh didokumentasikan.
·
Fitokimia untuk steroid terpenoid: 10 mg sampel ditambahkan eter 2 mL. Selanjutnya ditambahkan 3 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes H2SO4 2M. Perubahan warna yang terjadi diamati dan didokumentasikan. Adanya cincin hijau menandai adanya steroid. Perubahan warna menjadi lembayung dan ungu menandai adanya terpenoid.
·
Fitokimia untuk flavonoid: 10 mg sampel dilarutkan pada metanol, kemudian divortek, dipanaskan. Larutan diambil beberapa tetes kemudian ditambahkan asam sulfat pekat. Perubahan warna yang terjadi diamati dan didokumentasikan. Perubahan warna dari kuning, jingga hingga merah menandai adanya dalam ekstrak.
·
KLT analitik ekstrak metanol dilakukan pada plat silika gel F
254.
Plat
sepanjang 10 cm, masing-masing digaris dengan pensil berjarak 1 cm dari ujung. Ekstrak metanol 0.02 g dilarutkan dalam 1 ml metanol. Ekstrak ditotolkan pada plat disalah satu sisi yang bergaris. Plat yang telah berisi
totolan dikembangkan dengan eluen metanol:kloroform: aquades (9:2:1). Setelah pengembangan mencapai garis batas pada ujung yang lain, pengembangan dihentikan. Plat dikeringkan dan secepatnya diamati dibawah UV dengan panjang gelombang 356 nm. Spot yang ada ditandai dan dihitung Rf-nya. ·
KLT analitik ekstrak etil asetat dilakukan pada plat silika gel F
254.
Plat
sepanjang 10 cm, masing-masing digaris dengan pensil berjarak 1 cm dari ujung. Ekstrak etil asetat 0.02 g dilarutkan dalam 1 mL etil asetat. Ekstrak ditotolkan pada plat disalah satu sisi yang bergaris. Plat yang telah berisi totolan dikembangkan dengan eluen etil asetat:n-heksana (95:5). Setelah pengembangan
mencapai
garis
batas
pada
ujung
yang
lain,
pengembangan dihentikan. Plat dikeringkan dan secepatnya diamati dibawah UV dengan panjang gelombang 254 nm. Spot yang ada ditandai dan dihitung Rf-nya. ·
KLT Preparatif pada ekstrak metanol dari Annella sp.1, Annella sp.2, Annella sp.3 dan Paraplexaura sp. dikembangkan dengan eluen metanol:chlorofom:akuades (9:2:1). Eluen yang digunakan dijenuhkan terlebih dahulu. Plat KLT preparatif diaktifkan dengan cara dioven pada suhu 60 oC selama 45 menit. Plat KLT digaris pada kedua ujung berjarak masing-masing 1 cm dari tepi. Ekstrak seberat 0.2-0.5 g dilarutkan dalam metanol (usahakan larutan pekat). Ekstrak ditotolkan pada salah satu garis dengan syringe. Plat dikembangkan dalam chamber yang berisi eluen yang telah dijenuhkan hingga mencapai garis pada ujung yang satunya.
Setelah proses pengembangan selesai, plat dikeringkan dan diamati dibawah UV dengan panjang gelombang 254 nm. Spot yang terlihat ditandai dan dilakukan pengerokan silika. Silika yang diperoleh dilarutkan dalam metanol. Larutan disentrifuse dengan kecepatan 800 rpm selama 10 menit. Supernatan diambil dan ditempatkan pada botol sampel untuk dikeringkan dengan vakum. Hasil yang diperoleh ditimbang dengan neraca analitik ·
KLT preparatif pada ekstrak etil asetat dari Annella sp.1 dan Annella sp.3 dikembangkan dengan eluen etil asetat:n-heksana (95:5). Eluen yang digunakan dijenuhkan terlebih dahulu. Plat KLT preparatif diaktifkan dengan cara dioven pada suhu 60 oC selama 45 menit. Plat KLT digaris pada kedua ujung berjarak masing-masing 1 cm dari tepi. Ekstrak seberat 0.2-0.5 g dilarutkan dalam metanol (usahakan larutan pekat). Ekstrak ditotolkan pada salah satu garis dengan syringe. Plat dikembangkan dalam chamber yang berisi eluen yang telah dijenuhkan hingga mencapai garis pada ujung yang satunya. Setelah proses pengembangan selesai, plat dikeringkan dan diamati dibawah UV dengan panjang gelombang 254 nm. Spot yang yang terlihat ditandai dan dilakukan pengerokan silika. Silika yang diperoleh dilarutkan dalam etil asetat. Larutan disentrifuse dengan kecepatan 800 rpm selama 10 menit. Supernatan diambil dan ditempatkan pada botol sampel untuk dikeringkan dengan vakum. Hasil yang diperoleh ditimbang dengan neraca analitik.
D. Teknik Pengumpulan Data Data primer penelitian berupa ukuran spikula, bentuk spikula, ukuran zona bening, dan jenis senyawa. Data ukuran dan bentuk spikula diperoleh dari kegiatan identifikasi sampel. Data ukuran zona bening diperoleh dari kegiatan uji antibakteri. Data jenis senyawa diperoleh dari kegiatan fitokimia. Data dikumpulkan secara kolektif. Data didokumentasikan sebagai hasil penelitian. Data sekunder diperoleh dari hasil telaah pustaka yang berisi hasil penelitian yang berhubungan. Data sekunder merupakan pendukung dan pembanding terhadap hasil yang diperoleh.
E. Analisis Data Data yang diperoleh pada penelitian ini berupa data kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif meliputi ukuran spikula, zona penghambatan dan Rf. Data kualitatif berupa jenis sampel, bentuk-bentuk spikula dan senyawa kimia dari masing-masing sampel. Hasil dianalisis secara deskritif dengan pendekatan ilmiah.
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Identifikasi Sampel Identifikasi merupakan proses menentukan suatu spesies dalam taksa tertentu. Karakter spikula merupakan kunci yang utama dalam identifikasi secara konvensional. Hasil identifikasi terhadap sampel diperoleh nama sampel dalam tingkat genus. Hasil disampaikan dalam Tabel 1 ini: Tabel 1. Hasil identifikasi Gorgonian No. Nama Sampel Familia Annella sp.1 Subergorgiidae 1.
2.
Annella sp.2
Subergorgiidae
Bentuk Spikula Rod dengan anastomose, Rod, Smooth Needle, Needle, Spindle with blunt spine, Spindle with complex tubercles, dan Double disk
Ciri Spesifik Korteks berbentuk spindle
Rod dengan anastomose, Rod, Needle, Double disk, Double head, Double cone, Ballons club, Cylindris
Korteks berbentuk ballon clubs dan cylindris
Tabel 1. Hasil identifikasi Gorgonian (lanjutan) Annella sp.3 Subergorgiidae Rod dengan anastomose, Polip berbentuk 3. Rod, Needle, Spindle with needle yang panjang blunt spine, Crown spine, dan ramping Double disk, Double head, Double cone, Cylindris
4.
Annella sp.4
Subergorgiidae
Rod dengan anastomose, Rod, Rod with terminal whorl, Needle, Ballons club, Double disk, double disk with lumbar, Cylindris, Spiny ball
Double disk penyusun korteks memiliki dua bentuk ulir yaitu halus dan kasar
5.
Verucella sp.
Ellisellidae
Double head, cylindris
Double heads dengan batas yang jelas
6.
Anthogorgia sp.
Acanthogorgiidae
Spindle with complex tubercles, Bent Spindle, Spindle, Scaphoid
Memiliki bentuk bent spindle
Tabel1. Hasil identifikasi Gorgonian (lanjutan) Viminella sp. Ellisellidae Double head, Double cone, 7. Cylindris
Perbedaan terlihat pada bentuk morfologi Memiliki bentuk unilaterally foliate speroid yang menyusun kaliks
8.
Wrigthella sp
Melitheaidae
Rod, Branched spindle, Hockeystick spindle, Wart club, Ballons club, Double disk, Unilaterally foliate spheroid, Scaphoid with transverse crest
9.
Paraplexaura sp.
Plexauridae
Rod, Needle, Leaf spindle, Branched spindle, Ballons club, Wart club, Sixradiate, Spheroid
Leaf spindle, Sixradiate, Spheroid
10.
Melithaea sp.1
Melitheaidae
Rod, Rod with median whorl, Needle, Spindle, Bent spindle, Branched spindle, Ballons club, Double disk, Scaphoid with transverse crest
Korteks berbentuk Ballon clubs
11.
Melithea sp.2
Melitheaidae
Rod, Rod with median whorl, Needle, Leafy spindle, Ballons club, Wart club, Double head, Scaphoid with transverse crest
Korteks berbentuk double heads
Antonius (2000) menyampaikan bahwa spikula merupakan kerangka penyusun karang gorgonian. Rangka tanduk pada karang gorgonian disebut dengan gorgonin. Sklerit (spikula) merupakan karakter yang sangat penting untuk taksonomi dan klasifikasi dari octocoral saat ini. Tipe spikula merupakan sumber informasi untuk penelitian filogenetik dan pengelompokan dalam taksa (Brill and Backhuys, 1983; Lewis and Wallis, 1991; Sanchez et al., 2003). Proses identifikasi dilakukan dengan cara pengamatan spikula yang dibawah mikroskop. Spikula merupakan kunci identifikasi octocoral karena masing-masing jenis memiliki bentuk dan struktur khas (Brill and Backhuys, 1983; Lewis and Wallis, 1991; Antonius, 2000; Sanchez et al., 2003). Hasil identifikasi terhadap sampel yang ada, struktur dan bentuk dari spikula berupa needle, spindle, clubs, double head, double disk, double cone, scaphoid dan spiny ball (Brill and Backhuys, 1983; Lewis and Wallis, 1991). Teknik untuk memperoleh bentuk spikula dan susunannya sangatlah sederhana, namun membutuhkan kecermatan pada proses pengamatan di bawah mikroskop. Jaringan
dipisahkan dari spikula menggunakan teknik yang dinamakan bleaching, yaitu dengan merendam bahan pada cairan dan akhirnya spikula tertinggal. Larutan yang digunakan berupa Na(OHCl) (dengan konsentrasi klorin 10-13%) (Fabricius and Alderslaide, 2001). Hal-hal yang perlu diperhatikan pada saat bleaching adalah lama perendaman dan proses pencucian. Lama perendaman berpengaruh terhadap spikula yang diperoleh. Perendaman yang terlalu lama akan merusak spikula karena sodium hipoklorit yang bersifat asam akan mereduksi spikula. Pencucian berperan menghilangkan sisa sodium hipoklorit dan menjadikan spikula bersih sehingga jelas ketika diamati dibawah mikroskop. Daya resolusi dan pencahayaan berpengaruh dalam pengamatan spikula dibawah mikroskop. Daya resolusi berpengaruh terhadap akurasi dari bentuk dan detail spikula sehingga dapat digunakan sebagai pembeda antar genus dan spesies. Pencahayaan berpengaruh terhadap kejelasan obyek yang diamati. Kegiatan yang juga berpengaruh terhadap proses pengamatan adalah saat mounting atau penempelan dengan perekat. Adanya gelembung udara saat penempelan obyek pada gelas benda akan menghalanngi saat pengamatan. Selain itu terdapat pula alat yang sangat diperlukan pada saat pengamatan di bawah mikroskop yaitu adanya mikrometer yang berfungsi sebagai alat ukur untuk menentukan besarnya spikula yang diamati. Adapun deskripsi masing-masing sampel berdasarkan karakter spikula yang diperoleh sebagai berikut: 1. Annella sp1 Gray 1858 Polip: monomorfik, retraktil dan tersebar diseluruh sisi cabang (Fabricius and Alderslade, 2001). Aksis: berwarna kekuningan, kecil dan halus
Sklerit: Tidak berwarna. Rod dengan anastomose; sklerit lurus atau berlekuk monoaksial dengan ujung mengecil, merupakan bagian medula yang beranastomose (Gambar 7A). Rod; sklerit lurus atau berlekuk monoaksial, mengecil pada kedua ujung merupakan bagian medula yang dijumpai tunggal (Gambar 8A). Smooth Needle; sklerit yang panjang, kurus, menyerupai sklerit monoaksial yang halus, dengan ketidakhadiran tonjolan kecil. Needle; sklerit yang panjang, kurus, menyerupai sklerit monoaksial dengan kehadiran tonjolan kecil, penyusun polip (Gambar 8B). Spindle with blunt spine; monoaksial sklerit berlekuk atau lurus yang mengecil pada kedua ujung dengan duri yang tumpul pada permukaan sklerit, merupakan penyusun korteks; Spindle with complex tubercles,; monoaksial sklerit berlekuk atau lurus yang mengecil pada kedua ujung dengan tonjolan yang komplek, penyusun korteks (Gambar 8C-atas). Double disk; derivat dari putaran, dengan tonjolan pada kedua ulir yang bergabung pada roda atau piringan, merupakan penciri khas pada Annella (Gambar 8C-bawah). Medula berukuran 0.1-0.12 mm, polip 0.03-0.07 mm dan korteks 0.03-0.07 mm (gambar 7-8) (Brill and Backhuys, 1983; Lewis and Wallis, 1991; Grasshoff, 1999; Grasshoff, 2000; Fabricius and Alderslade, 2001). Warna sesudah pengeringan: coklat Distribusi: Raja Ampat Papua, Ambon, Samudra Hindia dan Samudra Pasifik bagian barat (Grasshoff, 1999; Grasshoff, 2000; Fabricius and Alderslade, 2001). Catatan: cabang tersusun retikularis membentuk jala kecil. sklerit korteks dan polip lebih panjang dan lebih ramping dibanding Annella sp2. Berikut ini Gambar 7, Gambar 8 dan Gambar 9 merupakan specimen Annella sp.1.
Gambar 7. Re-drawing sklerit berupa medula beranastomose (A) dari Annella sp.1 (menggunakan mikroskop kamera lucida)
Gambar 8. Re-drawing sklerit dari Annella sp.1 terdiri atas Medula tunggal (A), Polip (B) dan Korteks (C) (menggunakan mikroskop kamera lucida).
Gambar 9. Specimen kering dari Annella sp.1 (kiri) dan spikula dibawah mikroskop cahaya (tidak berskala).
2. Annella sp2 Gray 1858 Polip: monomorfik, retraktil dan tersebar diseluruh sisi cabang (Fabricius and Alderslade, 2001). Aksis: berwarna kuning kecoklatan Sklerit: Tidak berwarna. Rod dengan anastomose; sklerit lurus atau berlekuk monoaksial dengan ujung mengecil, merupakan bagian medula yang beranastomose (Gambar 10A). Rod; sklerit lurus atau berlekuk monoaksial, mengecil pada kedua ujung merupakan bagian medula tunggal (Gambar 11A). Needle; sklerit panjang, kurus, menyerupai sklerit monoaksial dengan kehadiran tonjolan kecil, penyusun polip (Gambar 11B). Double disk; derivat dari putaran, dengan tonjolan pada kedua ulir yang bergabung pada roda atau piringan, merupakan penciri khas pada Annella. Double head; umumnya bagian terminal dibangun oleh sklerit yang sempit simetris, bagian tengah atau pinggang halus, dan tandan bagian ujung penuh tersusun melalui proses yang tidak radial. Double cone; jarum pendek dengan pinggang. Ballons club; tongkat halus, memiliki kepala seperti bola atau buah apel, kadang tersusun oleh kutil kecil, atau 2-3 ulir jarum pada baian tengah
pegangan, penyusun korteks.
Cylindris bagian ujung tumpul, berbentuk sepertii
gulungan (Gambar 11C). Medula berukuran 0.1-0.3 mm, polip 0.05-0.08 mm dan korteks 0.03-0.08 mm (Gambar 10-11) (Brill and Backhuys, 1983; Lewis and Wallis, 1991; Grasshoff, 1999; Grasshoff, 2000; Fabricius and Alderslade, 2001). Warna sesudah pengeringan: coklat kemerahan Distribusi: Raja Ampat Papua, Ambon, Samudra Hindia dan Samudra Pasifik bagian barat (Grasshoff, 1999; Grasshoff, 2000; Fabricius and Alderslade, 2001). Catatan: percabangan retikularis tersusun seperti jala.Bagian ujung sklerit korteks ditemukan bergelombang kecil dan melebar, jarang ditemukan mengecil. Berikut ini Gambar 10, Gambar 11 dan Gambar 12 yang merupakan specimen Annella sp.2
Gambar 10. Re-drawing sklerit berupa medula beranastomose (A) dari Annella sp.2 (menggunakan mikroskop kamera lucida).
Gambar 11. Re-drawing sklerit dari Annella sp.2 (menggunakan mikroskop kamera lucida). A. Medula tunggal, B. Polip dan C. Korteks
Gambar 12. Spesimen kering dari Annella sp.2 (kiri) dan spikula (kanan) dibawah mikroskop cahaya (tidak berskala)
3. Annella sp3 Gray 1858 Polip: monomorfik, retraktil dan tersebar diseluruh sisi cabang (Fabricius and Alderslade, 2001). Aksis: berwarna kuning kecoklatan dan halus Sklerit: Tidak berwarna. Rod dengan anastomose; sklerit lurus atau berlekuk monoaksial dengan ujung mengecil, merupakan bagian medula yang beranastomose membentuk jaringan. Rod; sklerit lurus atau berlekuk monoaksial, mengecil pada kedua ujung merupakan bagian medula yang dijumpai tunggal (Gambar 13A). Needle; sklerit panjang, kurus, menyerupai sklerit monoaksial dengan kehadiran tonjolan kecil, penyusun polip. Spindle with blunt spine; sklerit lurus atau berlekuk mengecil pada kedua ujung, terdapat tonjolan yang tumpul. Crown spine; jarum berbentuk siklik, bagian distal termodifikasi menjadi panjang, hampir menyerupai jarum yang halus (Gambar 13B). Double disk; derivat dari putaran, dengan tonjolan pada kedua ulir yang bergabung pada roda atau piringan, merupakan penciri khas pada Annella. Double head; umumnya bagian terminal dibangun oleh sklerit yang sempit simetris, bagian tengah atau pinggang halus, dan tandan bagian ujung penuh tersusun melalui proses yang tidak radial. Double cone; jarum pendek dengan pinggang, menyerupai bentuk conus dari pakis pada kedua sisi (Gambar 13C-atas). Ballons club; tongkat halus, memiliki kepala seperti bola atau buah apel, kadang tersusun oleh kutil kecil atau 2-3 ulir jarum pada bagian tengah pegangan, merupakan bagian yang menyusun polip. Cylindris; sklerit dengan bagian ujung tumpul, berbentuk seperti gulungan (Gambar 13C-bawah). Medula berukuran 0.1-0.3 mm, polip
0.1-0.15 mm dan korteks 0.03-0.1 mm (Gambar 13) (Brill and Backhuys, 1983; Lewis and Wallis, 1991; Grasshoff, 1999; Grasshoff, 2000; Fabricius and Alderslade, 2001). Warna sesudah pengeringan: kehitaman. Distribusi: Raja Ampat Papua, Ambon, Samudra Hindia dan Samudra Pasifik bagian barat (Grasshoff, 1999; Grasshoff, 2000; Fabricius and Alderslade, 2001). Catatan: polip ramping, tonjolan-tonjolan pada sklerit berukuran besar. Perbedaan terlihat pada bentuk korteks. Berikut ini Gambar 13 dan Gambar 14 merupakan gambar spesimen Annella sp.3.
Gambar 13. Re-drawing sklerit dari Annella sp.3 terdiri Medula beranastomose (A), Polip (B), dan Korteks
Gambar 14. Spesimen kering Annella sp.3 (kiri) dan spikula (kanan) dibawah mikroskop electron (tanpa skala)
4. Annella sp4 Gray 1858 Polip: monomorfik, retraktil dan tersebar diseluruh sisi cabang (Fabricius and Alderslade, 2001). Aksis: berwarna coklat muda Sklerit: Tidak berwarna. Rod dengan anastomose; sklerit lurus atau berlekuk monoaksial dengan ujung mengecil, merupakan bagian medula yang beranastomose. Rod; sklerit lurus atau berlekuk monoaksial, mengecil pada kedua ujung merupakan bagian medula yang dijumpai tunggal. Rod with terminal whorl; sklerit lurus atau berlekuk monoaksial, dengan ujung mengecil dan terdapat ulir (Gambar 15A). Needle; sklerit panjang, kurus, menyerupai sklerit monoaksial dengan kehadiran tonjolan kecil, penyusun polip. Ballons club; tongkat halus, memiliki kepala seperti bola atau buah apel, kadang tersusun oleh kutil kecil, atau 2-3 ulir jarum pada bagian tengah pegangan, penyusun polip (Gambar 15B). Double disk; derivat dari putaran, dengan tonjolan pada kedua ulir yang bergabung pada roda atau piringan, merupakan penciri khas pada Annella. Double disk with lumbar;
merupakan double disk yang mempunyai bentuk tambahan seperti mulut. Cylindris; bagian ujung tumpul, berbentuk seperti gulungan. Spiny ball; bentukan yang tersusun bentuk menyerupai jarum (Gambar 15C). Medula berukuran 0.2-0.3 mm polip 0.05-0.08 mm dan korteks 0.03-0.1 mm (Brill and Backhuys, 1983; Lewis and Wallis, 1991; Grasshoff, 1999; Grasshoff, 2000; Fabricius and Alderslade, 2001). Warna sesudah pengeringan: coklat kehitaman Distribusi: Raja Ampat Papua, Ambon, Samudra Hindia dan Samudra Pasifik bagian barat (Grasshoff, 1999; Grasshoff, 2000; Fabricius and Alderslade, 2001). Catatan: cabang tersusun retukularis membentuk jala memanjang. Pada double disk memiliki ulir yang halus dan kasar. Berikut ini Gambar 15 dan Gambar 16 merupakan spesimen Annella sp.4.
Gambar 15. Re-drawing sklerit Annella sp.4 terdiri atas mesula (A), polip B) dan korteks (C) menggunakan mikroskop kamera lucida
Gambar 16. Spesimen kering Annella sp.4 (kiri) dan spikula (kanan) dibawah mikroskop elektron (tanpa skala)
5. Verucella sp Milne Edwards & Haime 1857 Polip: monomorfik, sangat kontraktil tapi tidak retraktil. Kontraksi polip umumnya berbentuk gundukan pada permukaan cabang (Fabricius and Alderslade, 2001). Aksis: berwarna putih Sklerit: Berwarna jingga. Double head; umumnya bagian terminal dibangun oleh sklerit yang sempit simetris, bagian tengah atau pinggang halus, dan tandan bagian ujung penuh tersusun melalui proses yang tidak radial (Gambar 17A-bawah). Cylindris; bagian ujung tumpul, berbentuk seperti gulungan (Gambar 17A-atas). Pada pengamatan dibawah mikroskop sklerit bias tampak secara horizontal maupun vertical. Spikula permukaan berukuran 0.05-0.07 mm (Brill and Backhuys, 1983; Lewis and Wallis, 1991; Grasshoff, 1999; Grasshoff, 2000; Fabricius and Alderslade, 2001). Warna sesudah pengeringan: jingga Distribusi: tersebar luas pada perairan dangkal pada Samudra Hindia dan Pasifik (Grasshoff, 1999; Grasshoff, 2000; Fabricius and Alderslade, 2001).
Catatan: cabang berukuran kecil dengan tonjolan halus pada permukaan. Batas antara double heads terlihat jelas. Berikut ini Gambar 17 dan Gambar 18 merupakan spesimen Verrucella sp. -
Gambar 17. Re-drawing sklerit Verucella sp terdiri atas permukaan menggunakan mikroskop kamera lucida
Gambar 18. Spesimen kering Verucella sp (kiri) dan spikula (kanan) dibawah mikroskop electron (tanpa skala)
6. Anthogorgia sp Verrill 1868 Polip: monomorfik, retraktil, silindris atau berbentuk kubah (Fabricius and Alderslade, 2001). Aksis: berwarna coklat kekuningan Sklerit: Tidak berwarna. Spindle with complex tubercles; sklerit lurus atau berlekuk mengecil pada kedua ujung, terdapat tonjolan sangat komplek. Bent Spindle; sklerit lurus atau berlekuk, mengecil pada kedua ujung dengan tonjolan yang letaknya menyebar. Spindle; sklerit yang lurus atau berlekuk yang mengecil pada kedua ujung, umumnya sklerit berbentuk spindle pada Anthogorgia berukuran besar (Gambar 19-20B). Scaphoid; jarum dengan sedikit atau banyak lekukan (Gambar 20A). Polip berukuran 1-1.5 mm dan tentakel 0.5-0.7 mm (Brill and Backhuys, 1983; Lewis and Wallis, 1991; Grasshoff, 1999; Grasshoff, 2000; Fabricius and Alderslade, 2001). Warna sesudah pengeringan: berwarna putih dengan aksis hitam.
Distribusi: di kepulauan Raja Ampat Papua Catatan: sklerit hampir menyerupai Astrogorgia pada plexauridae, untuk membedakan dengan cara melihat ada tidaknya sklerit berbentuk bent spindle. Berikut ini Gambar 19, Gambar 20 dan Gambar 21 merupakan spesimen Anthogorgia sp.
Gambar 19. Re-drawing sklerit Anthogorgia sp. Terdiri dari tentakel (A) dan polip (B)
Gambar 20. Re-drawing sklerit bagian polip dan permukaan Anthogorgia sp.
Gambar 21. Specimen kering Anthogorgia sp. (kiri) dan spikula penciri familia Achantogorgiidae (kanan) dibawah mikroskop elektron (tanpa skala)
7. Viminella sp Gray 1870 Polip: monomorfik, sangat kontraktil tetapi tidak retraktil, tersusun melingkari atau sedikit menyelubungi saluran longitudinal. Umumnya selalu berkontraksi (Fabricius and Alderslade, 2001). Aksis: berwarna putih Sklerit: Berwarna jingga. Double head; umumnya bagian terminal dibangun oleh sklerit yang sempit simetris, bagian tengah atau pinggang halus, dan tandan bagian ujung penuh tersusun melalui proses yang tiidak radial. Double cone; jarum pendek dengan pinggang (Gambar 22 tengah-bawah). Cylindris bagian ujung tumpul, berbentuk seperti gulungan (Gambar 22-atas). Sklerit permukaan berukuran 0.05-0.1 mm (Brill and Backhuys, 1983; Lewis and Wallis, 1991; Grasshoff, 1999; Grasshoff, 2000; Fabricius and Alderslade, 2001). Warna sesudah pengeringan: putih pada bagian ujung dan jingga pada bagian pangkal Distribusi: tersebar luas pada Samudra Hindia, Pasifik, Mediterania dan Atlantik
(Grasshoff, 1999; Grasshoff, 2000; Fabricius and Alderslade, 2001). Ditemukan pada perairan di kepulauan Raja Ampat Papua. Catatan: permukaan cabang tersusun atas tonjolan yang besar. Untuk membedakan Ellisella dan Viminella perlu memperhatikan morfologi luar dan susunan tonjolan pada double head. Berikut ini Gambar 22 dan Gambar 23 merupakan spesimen Viminella sp.
Gambar 22. Re-drawing sklerit Viminella sp. terdiri atas permukaan
Gambar 23. Spesimen kering Viminella sp. (kiri) dan spikula double head (kanan) dibawah mikroskop elektron (tanpa skala)
8. Wrigthella sp. Gray 1870 Polip: monomorfik, kecil, dan retraktil (Fabricius and Alderslade, 2001). Aksis: berwarna merah dan berbentuk gelondong Sklerit: Berwarna merah hingga jingga. Rod; sklerit lurus atau berlekuk monoaksial, mengecil pada kedua ujung merupakan bagian medula yang dijumpai tunggal. Branched spindle; sklerit lurus atau berlekuk yang mengecil pada kedua ujung dengan tonjolan tegas dan jelas. Hockeystick spindle; sklerit lurus atau berlekuk yang mengecil pada kedua ujung, berbentuk seperti tongkat pemukul hoki. Wart club; merupakan club dengan kepala yang berbentuk tonjolan atau menyerupai kutil. Ballons club; tongkat halus, memiliki kepala seperti bola atau buah apel, kadang tersusun oleh kutil kecil, atau 2-3 ulir jarum pada bagian tengah pegangan, penyusun polip (Gambar 24C). Double disk derivat dari putaran, dengan tonjolan pada kedua ulir yang bergabung pada roda atau piringan. Unilaterally foliate spheroid; kumpulan bentuk daun yang menyatu, hampir membentuk bola (Gambar 24BCD). Scaphoid with transverse crest; jarum dengan sedikit atau banyak lekukan, berbentuk seperti huruf “S” dengan tonjolan pada sisi cembung terlihat jelas (Gambar 24E). Nodus berukuran 0.04-0.06 mm, polip 0.1-0.2 mm, korteks 0.05-0.08 mm, kaliks 0.05-0.08 mm dan tentakel 0.08-0.1mm (Brill and Backhuys, 1983; Lewis and Wallis, 1991; Fabricius and Alderslade, 2001). Warna sesudah pengeringan: merah Distribusi: laut Jawa di perairan Pangkal Pinang. Catatan: memiliki nodus terlihat jelas, percabangan dikotom dan multiplanar. Berikut ini Gambar 24 dan Gambar 25 merupakan spesimen Wrightella sp.
Gambar 24. Re-drawing sklerit Wrightella sp. terdiri atas nodus (A), korteks (B), polip (C), kaliks (D), dan tentakel (E).
Gambar 25. Spesimen kering Wrightella sp. (kiri) dan spikula penciri (kanan) dibawah mikroskop elektron (tanpa skala).
9. Paraplexaura sp. Kükenthal 1909 Polip: monomorfik dan semuanya retraktil. Calyces terlihat sangat rendah (Fabricius and Alderslade, 2001). Aksis: berwarna hitam Sklerit: Berwarna jingga. Rod; sklerit lurus atau berlekuk monoaksial, mengecil pada kedua ujung merupakan bagian medula yang dijumpai tunggal. Needle; sklerit yang panjang, kurus, menyerupai sklerit monoaksial dengan kehadiran tonjolan kecil, penyusun polip (gambar 26A). Leaf spindle, sklerit yang lurus atau berlekuk yang mengecil pada kedua ujung dengan tonjolan yang tegas dan jelas (Gambar 26BC). Ballons club; tongkat halus, memiliki kepala seperti bola atau buah apel, kadang tersusun oleh kutil kecil, atau 2-3 ulir jarum pada bagian tengah pegangan, penyusun polip. Wart club, merupakan club dengan kepala yang berbentuk tonjolan atau menyerupai kutil. Sixradiate, sklerit lurus atau berlekuk monoaksial, mengecil pada kedua ujung dengan tiga tonjolan pada kedua ulir di ujung. Spheroid; kumpulan menyatu tersusun atas bentuk tonjolan-tonjolan (Gambar 26D). Nodus berukuran 0.15-0.2 mm, kaliks 0.1-0.2 mm, dan sub permukaan berukuran 0.05-0.2 mm (Brill and Backhuys, 1983; Lewis and Wallis, 1991; Fabricius and Alderslade, 2001). Warna sesudah pengeringan: merah kehitaman. Aksis berwarna hitam Distribusi: New Caledonia, perairan Indonesia, laut tropis dan sub-tropis Australia, pulau Andaman, Jepang dan Laut Merah (Fabricius and Alderslade, 2001). Ditemukan diperairan Pangkal pinang dan Ambon. Catatan: percabangan dikotom. Berikut ini Gambar 26 dan Gambar 27 merupakan spesimen Paraplexaura sp.
Gambar 26. Re-drawing sklerit Paraplexaura sp. terdiri atas nodus (A), kaliks (B), sub-permukaan (C) dan permukaan (D)
Gambar 27. Six-radiate pada Paraplexaura sp. (kiri) dan specimen kering (kanan)
10. Melithaea sp1 Milne Edwards & Haime 1857 Polip: monomorfik, kecil, dan retraktil (Fabricius and Alderslade, 2001). Aksis: berwarna putih keabuan Sklerit: Berwarna kuning hingga jingga. Rod, sklerit lurus atau berlekuk monoaksial, mengecil pada kedua ujung merupakan bagian medula yang dijumpai tunggal. Rod with median whorl, sklerit lurus atau berlekuk monoaksial , mengecil pada kedua ujung dengan bagian tengah terdapat ulir (Gambar 28 AB). Needle, sklerit yang panjang, kurus, menyerupai sklerit monoaksial dengan kehadiran tonjolan kecil, penyusun polip (Gambar 28C-bawah). Spindle; sklerit lurus atau berlekuk mengecil pada kedua ujung. Bent Spindle; sklerit lurus atau berlekuk, mengecil pada kedua ujung dengan tonjolan letaknya menyebar. Branched spindle, Ballons club; tongkat halus, memiliki kepala seperti bola atau buah apel, kadang tersusun oleh kutil kecil atau 2-3 ulir jarum pada bagian tengah pegangan, penyusun polip (Gambar 28D). Double disk, derivat dari putaran, dengan tonjolan pada kedua ulir yang bergabung pada roda atau piringan (Gambar 28C-atas). Scaphoid with transverse crest; jarum dengan sedikit atau banyak lekukan, berbentuk seperti huruf “S” dengan tonjolan pada sisi cembung terlihat jelas. Ukuran nodus 0.030.08 mm, internodus 0.03-0.05 mm, tentakel 0.1-0.15 mm, korteks 0.05-0.1 mm dan polip 0.1-0.2 mm (Brill and Backhuys, 1983; Lewis and Wallis, 1991; Grasshoff, 1999; Grasshoff, 2000, Fabricius and Alderslade, 2000). Warna sesudah pengeringan: merah Distribusi: tersebar luas pada Samudra Hindia dan Samudra Pasifik (Grasshoff, 1999; Grasshoff, 2000; Fabricius and Alderslade, 2001). Ditemukan pada perairan selat Nasik Natuna.
Catatan: memiliki nodus yang terlihat jelas, percabangan dikotom dan multiplanar. Berikut ini Gambar 28 dan Gambar 29 merupakan spesimen Melithaea sp.1.
Gambar 28. Re-drawing sklerit Melithaea sp.1 terdiri atas nodus (A), internodus (B), korteks (C), tentakel (D), dan polip (E) menggunakan mikroskop kamera lucida.
Gambar 29. Spesimen kering (kiri) dan spikula Melitahea sp.1 dibawah mikroskop elektron (tanpa skala).
11. Melithaea sp2 Milne Edwards & Haime 1857
Polip: monomorfik, kecil, dan retraktil (Fabricius and Alderslade, 2001). Aksis: berwarna putih keabuan Sklerit: Berwarna jingga. Rod; sklerit lurus atau berlekuk monoaksial, mengecil pada kedua ujung merupakan bagian medula yang dijumpai tunggal. Rod with median whorl, sklerit lurus atau berlekuk monoaksial (Gambar 30DE). Needle; sklerit yang panjang, kurus, menyerupai sklerit monoaksial dengan kehadiran tonjolan kecil, penyusun polip. Leafy spindle; jarum dengan satu bagian yang memiliki bentuk menyerupai daun. Ballons club; tongkat halus, memiliki kepala seperti bola atau buah apel, kadang tersusun oleh kutil kecil, atau 2-3 ulir jarum pada bagian tengah pegangan, penyusun polip. Wart club; merupakan club dengan kepala yang berbentuk tonjolan atau menyerupai kutil (Gambar 30AC). Double head; umumnya bagian terminal dibangun oleh sklerit yang sempit simetris, bagian tengah atau pinggang halus, dan tandan bagian ujung penuh tersusun melalui proses yang tidak radial (Gambar 30B). Scaphoid with transverse crest; jarum dengan sedikit atau banyak lekukan, berbentuk seperti huruf “S” dengan tonjolan pada sisi cembung terlihat jelas (Gambar 30C). Ukuran tentakel 0.05-0.1 mm, korteks 0.050.08 mm, dan polip 0.1-0.2 mm (Brill and Backhuys, 1983; Lewis and Wallis, 1991; Grasshoff, 1999; Grasshoff, 2000, Fabricius and Alderslade, 2000). Warna sesudah pengeringan: merah jingga Distribusi: tersebar luas pada Samudra Hindia dan Samudra Pasifik (Grasshoff, 1999; Grasshoff, 2000; Fabricius and Alderslade, 2001). Ditemukan di perairan selat Klatik Natuna Catatan: memiliki nodus yang terlihat jelas, percabangan dikotom dan multiplanar. Berikut ini Gambar 30 dan Gambar 31 merupakan spesimen Melithaea sp.2.
Gambar 30. Re-drawing sklerit Melithaea sp.2 terdiri atas polip (A), korteks (B), tentakel (C), nodus D) dan internodus (E)
Gambar 31. Spesimen kering Melithaea sp.2 (kiri) dan spikula (kanan) dibawah mikroskop elektron
Dari deskripsi masing-masing spesies diatas dapat diperoleh informasi tentang aspek biologi dari gorgonian. Hasil deskripsi mengelompokkan masing masing spesies
pada familia tertentu. Terdapat 5 familia pada sampel gorgonian yang digunakan (Tabel 1). Informasi biologis merupakan hal yang penting untuk mengetahui nama spesies, hubungan kekerabatan dan gambaran kehidupan dari gorgonian tersebut.
B. Karakter Spikula Sebagai Dasar Identifikasi Gorgonian dibedakan dengan Alcyonian dikarenakan adanya aksis semi-rigid scleroproteinous. Gorgonacea merupakan nama ordo gorgonian yang hanya berada pada GenBank-taxonomy NCBI dan UNEP-WCMC database untuk hewan. Ordo ini dihapuskan oleh Bayer (1961), kemudian dimasukkan pada ordo Alcyonacea (Fabricius and Alderslade, 2001; Sanchez et al., 2003). Ordo Alcyonacea terdiri atas satu grup yaitu Scleraxonia, dan 2 ordo yaitu Holaxonia dan Calcaxonia. Scleraxonia merupakan grup gorgonian yang memiliki aksial dalam seperti lapisan dan aksial luar yang terbentuk dari sklerit. Holaxonia merupakan kelompok yang memiliki ciri aksial bulat, tidak memiliki sklerit aksis tanpa spikula aksial dan saluran melintang berlekuk pada inti tengah. Calcaxonia merupakan kelompok yang memiliki aksis gorgonin sleroproteinous dengan sejumlah non-skleritik CaCO3, internodus terbenam dalam gorgonin, aksis tanpa saluran melintang berlekuk pada inti tengah (Grasshoff, 1999; Grasshoff, 2000; Fabricius and Alderslade, 2001; Sánchez et al., 2003; McFadden et al., 2006). Bentuk sklerit seringkali digunakan untuk menentukan spesimen pada tingkat tertentu (Brill and Backhuys, 1983; Gerhart, 1983; Lewis and Wallis, 1991; Grasshoff, 1999; Grasshoff, 2000; Fabricius and Alderslade, 2001;. Sánchez et al., 2003; William and López-González, 2005). Grup scleraxonia merupakan salah satu kelompok dari kelas
Alcyonacea. Nama scleraxonia bukan merupakan ordo karena pada kelompok ini terdiri atas alcyonian dan gorgonian. Alcyonian dan gorgonian memiliki kesamaan yaitu bagian luar dan dalam aksis tersusun atas sklerit. Oleh karena alcyonian dan gorgonian yang termasuk pada grup ini memiliki kesamaan komplek, maka scleraxonia bukan merupakan ordo. Hasil
identifikasi
berdasarkan
karakter
spikula
memasukkan
familia
Subergorgiidae dan Melitaheidae dalam grup scleraxonia. Subergorgiidae merupakan anggota scleraxonia dengan aksis yang tidak tergabung (terdiri atas medulla dan korteks). Melitaheidae merupakan scleraxonia yang aksisnya tergabung (Grasshoff, 1999; Grasshoff, 2000; Fabricius and Alderslade, 2001; Sánchez et al., 2003; McFadden et al., 2006). Hasil identifikasi menempatkan Annella sp.1-4 sebagai anggota Subergorgiidae. Adapun Melithaeidae terdiri atas Wrightella sp. dan Melithae sp.1-2. Ordo Holaxonia terdiri atas dua familia, Plexauridae dan Achanthogorgiidae. Plexauridae ditandai adanya Paraplexaura sp. Adapun Achanthogorgiidae ditandai adanya Anthogorgia sp. (Grasshoff, 1999; Grasshoff, 2000; Fabricius and Alderslade, 2001; Sánchez et al., 2003; McFadden et al., 2006). Ordo Calcaxonia terdiri atas familia Ellisellidae, yang ditandai dengan adanya Verucella sp. dan Viminella sp. (Grasshoff, 1999; Grasshoff, 2000; Fabricius and Alderslade, 2001; Sánchez et al., 2003). Pemberian nama spesies pada penelitian ini belum terlalu spesifik karena terkendala ketersediaan halotipe, proses pemberian nama spesies yang sangat rumit dan spesimen yang terbatas. Hasil identifikasi memperlihatkan hal yang menarik. Pada familia Subergorgiidae mempunyai 4 jenis Annella yang terbagi dalam Annella sp.1, Annella sp.2, Annella sp.3 dan Annella sp.4. Keempat Annella tersebut mempunyai bagian-bagian yang sama yaitu
medulla, kortek dan polip. Namun terdapat perbedaan antara keempat Annella tersebut. Annella sp.1, Annella sp.2 dan Annella sp.4 mempunyai perbedaan pada bentuk sklerit bagian korteks. Annella sp.1 mempunyai bentuk sklerit spindle. Annella sp.2 mempunyai bentuk sklerit ballons clubs dan cylindris. Annella sp.4 mempunyai sklerit berbentuk double disk yang memiliki ulir halus dan kasar. Perbedaan ini yang mendasari pembagian Annella kedalam 4 jenis yang berbeda. Hasil ini menarik karena keempat jenis Annella tersebut ditemukan dalam satu tempat yaitu perairan Raja Ampat Papua. Hal ini memberikan informasi adanya keragaman dalam satu komunitas yang ada. Adapun Melithaea dibedakan dibedakan dalam Melithaea sp.1 dan Melithaea sp.2. Penentuan jenis tersebut didasarkan pada perbedaan yang terdapat pada korteks. Melithaea sp.1 mempunyai korteks yang berbentuk ballon clubs, sedangkan Melithaea sp.2 mempunyai korteks yang berbentuk double disk. Adapun anggota satu familia dengan Melithaea yaitu Wrightella sp. dibedakan dengan Melithaea karena memiliki kaliks yang berbentuk Unilateraly foliate spheroid. Jenis yang lain seperti Viminella sp., Verrucella sp., Anthogorgia sp. dan Paraplexaura sp. dengan mudah dibedakan dari jenis lain karena mempunyai ciri-ciri yang nyata berbeda. Hasil identifikasi ini memperlihatkan bahwa dalam genus yang sama mempunyai banyak persamaan dalam bentuk sklerit. Hal ini menunjukkan bahwa karakter sklerit merupakan kunci dalam melakukan identifikasi. Hasil identifikasi memberikan wawasan tentang aspek biologi dari gorgonian. Gorgonian merupakan anggota karang yang sangat indah, namun belum banyak yang memahami. Sering kali gorgonian dianggap sebagai karang lunak “soft corals”, padahal istilah ini lebih tepat jika digunakan untuk menyebut alcyonian. Adapun untuk melihat
spesifik perbedaan antar spesies yang ada dapat ditunjang dengan data-data kimiawi dan molekuler. Pendalaman tentang aspek biologis gorgonian ini, merupakan peletak dasar dalam mempelajari aspek yang lainya.
C. Ekstraksi Kegiatan ekstraksi yang dilakukan memperoleh hasil berupa ekstrak metanol dan etil asetat dari karang gorgonian. Kuantitas sampel dan ekstrak yang diperoleh terdapat dalam lampiran 1. Karakteristik fisik dari ekstrak cair disampaikan dalam Tabel 2 berikut ini: Tabel 2. Hasil maserasi dengan metanol dan etil asetat No. Nama Spesies Warna ekstrak metanol Annella sp1. Jingga tua 1. Annella sp2. Jingga tua 2. Annella sp3. Hijau lumut 3. Annella sp4. Jingga 4. Verucella sp. Kehijauan 5. Anthogorgia sp. Jingga 6. Viminella sp. Kekuningan 7. Wrightella sp. Hijau kecoklatan 8. Paraplexaura sp. Keemasan 9. Melithea sp1. Kuning 10. Melithea sp2. Kuning 11.
Warna ekstrak etil asetat Jingga tua Jingga tua Hijau kekuningan Jingga Kehijauan Jingga Kekuningan Hijau lumut Kekuningan Kekuningan Kekuningan
Ekstraksi merupakan metode untuk memperoleh suatu senyawa dari organisme dengan pelarut tertentu (Markham, 1988). Ekstrasi merupakan metode pemisahan campuran senyawa organik sehingga diperoleh komponen kimia tertentu. Maserasi merupakan salah satu metode ekstraksi klasik. Maserasi merupakan pelarutan zat terlarut dalam suatu massa dengan pelarut disertai pengadukan (Rydberg et al., 2004; Waksmundzka-Hajnos et al., 2008; Meireles, 2009). Pemilihan metode ekstraksi sangat berpengaruh terhadap jumlah dan senyawa
yang ingin diperoleh, waktu, volume pelarut, pelarut yang terbuang dari ekstrak, daur ulang pelarut dan biaya (Meireles, 2009). Keuntungan proses ekstraksi dengan cara maserasi sebagai berikut; 1) baik untuk analisis kualitatif, 2) prosesnya cepat, dan 3) efektik untuk jumlah sampel yang kecil (Waksmundzka-Hajnos et al., 2008). Kegiatan ekstraksi terhadap gorgonian digunakan metode maserasi. Pemilihan metode mempertimbangkan efektifitas kegiatan dan jumlah sampel yang ada. Metode ini sesuai untuk analisis kualitatif dengan jumlah sampel yang sedikit seperti yang terungkap dalam Waksmundzka-Hajnos et al. (2008) dan Meireles (2009). Pelarut yang digunakan berupa metanol dan etil asetat. Pemilihan pelarut didasarkan pada sifat selektifitas. Metanol merupakan pelarut polar dan etil asetat merupakan pelarut semi-polar. Hasil ekstraksi diharapkan memperoleh senyawa bersifat polar dan semi-polar (Adnan, 1997; Rydberg et al., 2004). Oleh karena itu sesuai dengan tujuan penelitian diharapkan diperoleh senyawa golongan terpenoid, alkaloid dan flavonoid. Lama waktu ekstraksi selama 24 jam. Bahan yang akan diekstrak terlebih dahulu diserbukan. Menurut Sembiring dkk (2006) disampaikan bahwa lama waktu ekstraksi dan kehalusan bahan berpengaruh terhadap hasil rendemen yang dihasilkan. Semakin lama waktu ekstraksi semakin tinggi rendemen yang dihasilkan. Kehalusan bahan berpengaruh terhadap rendemen yang diperoleh. Hal ini dimungkinkan karena luas permukaan bahan yang semakin luas sehingga memperbesar kontak antara bahan dengan pelarut yang digunakan. Pembuatan sampel dalam bentuk serbuk karena sampel merupakan hewan yang strukturnya keras. Pembuatan serbuk memberikan kemudahan proses ekstraksi. Bentuk serbuk meningkatkan interaksi antara pelarut dengan bahan sehingga ekstraksi berjalan optimal.
Hasil maserasi diperoleh rendemen yang berupa cairan dengan ciri-ciri fisik berupa warna yang terdapat pada Tabel 2. Rendemen yang berupa cairan difiltrasi dengan kertas whatman guna memisahkan padatan dengan cairan. Filtrat dievaporasi dengan metode rotary evaporator. Metode ini memiliki beberapa keuntungan yaitu 1) suhu dapat diatur dan dikendalikan, 2) senyawa tidak mengalami kerusakan, 3) proses evaporasi relatif lebih cepat dan 4) pelarut yang menguap dapat ditampung dan dimurnikan kembali. (Tringali, 2001; Iwamaru et al., 2007). Tujuan evaporasi adalah menguapkan pelarut yang digunakan. Suhu dan kondisi vakum sangat berpengaruh pada kecepatan proses evaporasi dengan metode rotary evaporator. Hasil kegiatan evaporasi berupa ekstrak kering yang siap digunakan untuk pengujian dan analisis pada tahap berikutnya. Besarnya jumlah ekstrak kering yang diperoleh tercantum dalam Lampiran 1.
D. Pengujian Antibakteri Ekstrak Gorgonian Pengujian awal ekstrak yang diperoleh terhadap bakteri uji memperlihatkan yang baik. Sembilan sampel terindikasi mampu berperan sebagai antibakteri dengan menunjukkan adanya zona bening. Hasil kegiatan pengujian awal ekstrak terhadap bakteri disampaikan dalam Tabel 3, Tabel 4, Tabel 5 dan Tabel 6 berikut ini: Tabel 3. Hasil uji antibakteri ekstrak metanol dengan konsentrasi ekstrak 20mg/ml (Hasil pengamatan 15 jam) No. Sampel Bakteri (Me-15) (mm)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Annella sp1. Annella sp2. Annella sp3. Annella sp4. Verucella sp. Anthogorgia sp. Viminella sp. Wrightella sp.
Aeromonas hydrophila -
Vibrio harveyii 8 -
Bacillus subtilis 7 -
S. aureus
P. aeruginosa
8 6 -
6 11 9 7 8 -
9. 10. 11. 12. 13.
Paraplexaura sp. Melithea sp1. Melithea sp2. Methanol Chlorampenicol
23
9 33
28
10 32
22
Tabel 4. Hasil uji Antibakteri ekstrak metanol dengan konsentrasi ekstrak 20mg/ml (Hasil pengamatan 18 jam) No. Sampel Bakteri (Me-18) (mm)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Annella sp1. Annella sp2. Annella sp3. Annella sp4. Verucella sp. Anthogorgia sp. Viminella sp. Wrightella sp. Paraplexaura sp. Melithea sp1. Melithea sp2. Methanol Chlorampenicol
Aeromonas hydrophila 26
Vibrio harveyii 8 9 35
Bacillus subtilis 8 7 28
S. aureus
P. aeruginosa
8 6 8 30
6 10 7 7 7 25
Tabel 5. Hasil uji Antibakteri ekstrak etill asetat derngan konsentrasi ekstrak 20mg/ml (Hasil pengamatan 15 jam) No. Sampel Bakteri (Ea-15) (mm)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Annella sp1. Annella sp2. Annella sp3. Annella sp4. Verucella sp. Anthogorgia sp. Viminella sp. Wrigthella sp. Paraplexaura sp. Melithaea sp1. Melithea sp2. Metanol. Chloramphenicol
Aeromonas hydrophila 14 32
Vibrio harveyii 6 9 15 41
Bacillus subtilis 9 11 7 6 30
S. aureus
P. aeruginosa
9 31
26
Tabel 6. Hasil uji antibakteri ekstrak etil asetat dengan konsentrasi ekstrak 20mg/ml (Hasil pengamatan 18 jam)
No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Sampel
Annella sp1. Annella sp2. Annella sp3. Annella sp4. Verucella sp. Anthogorgia sp. Viminella sp. Wrigthella sp. Paraplexaura sp. Melithaea sp1. Melithea sp2. Metanol. Chloramphenicol
Bakteri (Ea-15) (mm) Aeromonas hydrophila 14 31
Vibrio harveyii 7 9 15 40
Bacillus subtilis 9 9 7 6 29
S. aureus
P. aeruginosa
10 31
27
Anggota cnidaria beberapa dilaporkan memiliki aktifitas biologis (Kim et al., 2000; Kelman et al.,2006). Beberapa gorgonian dilaporkan menghasilkan senyawa metabolisme sekunder yang memiliki aktifitas biologis (Pawlik and Fenical, 1992; Rho et al., 1996; Epifanio et al., 1998; Epifanio et al., 2000; Fuganti and Serra, 2000; Koh et al., 2000; Gutiérrez et al., 2005; Fenical,2006; Gutie´rrez et al., 2006; Gutiérrez et al., 2006; Iwamaru et al., 2007; Correa et al., 2009). Beberapa laporan sebelumnya merupakan dasar dan memberikan informasi bahwa gorgonian memiliki aktifitas biologis. Medium yang digunakan dalam uji antibakteri berupa medium muller. Medium ini terdiri atas ekstrak daging, pati dan asam hidrolisat dari kasein. Medium ini mempunyai pH optimal pada 7.3 ± 0.1 dan suhu 25 oC. Pemakaian medium muller karena medium ini cocok untuk sebagian besar biakan mikroorganisme dalam kegiatan antibakteri (Atlas, 1993). Bakteri yang telah ditanami ekstrak di inkubasi pada suhu 35 oC semalam. Ekstrak yang digunakan sebesar 20 mg/ml merupakan konsentrasi untuk mendeteksi ada tidaknya aktifitas antibakteri secara umum (Melo et al., 1998; Adeloye et al., 2007). Ada tidaknya aktivitas dari senyawa yang berfungsi sebagai antibakteri
ditunjukkan dengan adanya clear zone atau zona bening. Hasil uji antibakteri ekstrak metanol dan etil asetat dari Annella sp.1-4, Anthogorgia sp., Viminella sp., Paraplexaura sp. dan Melithaea sp.1-2 memiliki aktifitas sebagai antibakteri yang ditunjukkan dengan adanya zona hambat dalam bentuk zona bening (clear zone). Dari dua jenis ekstrak yang digunakan terdapat 2 sampel yang sama sekali tidak menandakan adanya aktifitas antibakteri yaitu gorgonian Verucella sp. dan gorgonian Wrightella sp. (untuk analisis pada tahap berikutnya kedua sampel tersebut tidak digunakan karena pada deteksi awal tidak ada hasil yang menunjukkan sebagai antibakteri kecuali pada fitokimia). Pada penelitian Puglisi et al. (2000) dan Puglisi et al. (2002) disebutkan bahwa Annella spp.(Subergorgiidae), Viminella sp (Elliselidae), Astrogorgia sp. dan Villogorgia sp. (Plexauriidae) memiliki aktifitas penghambatan pada uji variasi pakan pada ikan secara laboratorium dan in situ. aktifitas Ekstrak Metanol pada Bakteri Aerom onas hydrophila
Luas Zona Bening (mm)
30 25 20 Me-15
15
Me-18
10 5 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11121314 Spesies
Gambar 32. Grafik yang menunjukkan hasil uji antibakteri ekstrak metanol terhadap bakteri Aeromonas hydrophila. Me-15 merupakan waktu pengamatan pertama (15 jam) dan Me-18 merupakan waktu pengamatan kedua (18 jam). Konsentrasi ekstrak yang digunakan 20mg/ml.
Ekstrak metanol gorgonian yang aktif pada uji antibakteri berasal dari Annella sp.1-4, Anthogorgia sp. dan Paraplexaura sp. (Tabel 3 dan 4). Pada ekstrak metanol dari gorgonian memiliki kemampuan penghambatan aktif pada bakteri Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis, dan Vibrio harveyii. Hasil keseluruhan ekstrak metanol gorgonian pada pengujian ini tidak menunjukkan adanya aktifitas penghambatan terhadap bakteri Aeromonas hydrophila. Ekstrak metanol dari gorgonian ini memiliki aktifitas penghambatan terhadap bakteri gram-negatif (Vibrio harveyii, Aeromonas hydrophila dan Pseudomonas aeruginosa) dan bakteri gram-positif (Staphylococcus aureus dan Bacillus subtilis). Hasil ini menggambarkan luasnya kemampuan ekstrak metanol dari gorgonian dalam kemampuannya sebagai antibakteri. Ukuran diameter zona bening yang tampak dapat diketahui bahwa ekstrak metanol memiliki kemampuan daya hambat yang sama besar pada bakteri gram-negatif dan grampositif. Pada penelitian Fuganti dan Serra (2000) ekstrak metanol anggota gorgonian (Pseudopterogorgia rigida) memiliki aktifitas terhadap Staphylococcus aureus dan Vibrio anguillarum. Senyawa hasil analisis dari Pseudopterogorgia rigida merupakan anggota terpenoid. Senyawa yang terdeteksi aktif dalam uji antibakteri tersebut berupa curcuphenol, curcuquinone dan curcuhydroquinone. Pada pengujian kali ini ekstrak metanol mempunyai daya hambat terhadap Staphylococcus aureus dan Vibrio harveyii. Hasil pengujian selaras dengan penelitian sebelumnya. Besar dugaan senyawa yang berfungsi sebagai antibakteri pada pengujian kali ini juga merupakan terpenoid. Hal ini karena pelarut yang digunakan sama dengan penelitian yang sebelumnya. Ekstrak metanol tidak aktif terhadap bakteri Aeromonas hydrophila (Gambar 32)
hal ini disebabkan resistansi bakteri tersebut terhadap senyawa. Bakteri Aeromonas hydrophila dilaporkan memiliki cakupan resistensi yang luas terhadap antibakteri (Hird et al., 1983; Zemelman et al., 1983; Loewy et al., 1993; Huys et al., 2002; Maueal et al., 2002; Aydin et al., 2004). Hasil pengujian menunjukkan bahwa senyawa yang terkandung dalam ekstrak metanol memiliki aktifitas yang rendah terhadap pertahanan Aeromonas hydrophila. Ekstrak
metanol
ditemukan
memiliki
aktifitas
penghambatan
terhadap
Pseudomonas aeruginosa (Gambar 33). Ekstrak metanol umumnya mengandung senyawa yang bersifat polar. Senyawa yang mengandung gugus glikosida umumnya dapat terisolasi dengan ekstraksi menggunakan pelarut metanol. Pseudomonas aeruginosa mampu dihambat oleh senyawa yang memiliki gugus glikosida. Hal ini selaras dengan hasil pengujian yang menunjukkan bahwa ekstrak metanol memiliki aktifitas penghambatan pada Pseudomonas aeruginosa. Aktifitas Ekstrak Metanol pada Bakteri Pseudom onas aeruginosa
30 Luas Zona Bening (mm)
25 20 Me-15
15
Me-18
10 5 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Spesies
Gambar 33. Hasil pengujian ekstrak metanol terhadap Pseudomonas aeruginosa. Ekstrak Annella spp. dan Anthogorgia sp. menunjukkan adanya aktifitas penghambatan dengan adanya zona bening. Konsentrasi ekstrak yang digunakan 20mg/ml.
Ekstrak etil asetat yang memiliki kemampuan sebagai antibakteri berasal dari Annella sp.1 dan 3, Anthogorgia sp., Viminella sp., dan Melithaea sp.1-2. (Tabel 5 dan 6). Ekstrak etil asetat dari gorgonian tersebut memiliki kemampuan penghambatan aktif pada bakteri Staphylococcus aureus, Bacillus subtilis, Vibrio harveyii dan Aeromonas hydrophila. Ekstrak etil asetat yang berperan dalam penghambatan terhadap bakteri Aeromonas hydrophila adalah Annella sp.1 (Gambar 34). Hasil ini menunjukkan bahwa ekstrak etil asetat dari Annella sp.1 mengandung senyawa alkaloid, terpenoid, steroid, dan flavanoid yang memiliki kemampuan besar dalam penghambatan bakteri Aeromonas hydrophila. Hal ini berkaitan dengan resistensi Aeromonas hydrophila terhadap senyawa antibiotik yang sangat luas. Hasil keseluruhan ekstrak etil asetat gorgonian pada pengujian ini tidak menunjukkan adanya aktivitas penghambatan terhadap bakteri Pseudomonas aeruginosa. Pada ekstrak etil asetat kemampuan daya hambat terhadap bakteri gram-negatif lebih besar dari pada bakteri gram-positif. Ini ditunjukkan dengan besarnya diameter zona bening yang dihasilkan.
Aktifitas Ekstrak Etil asetat pada Bakteri Aerom onas hydrophila
Luas Zona Bening (mm)
35 30 25 20
Ea-15
15
Ea-18
10 5 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121314 Spesies
Gambar 34. Grafik yang menunjukkan aktivitas penghambatan oleh ekstrak etil asetat terhadap bakteri Aeromonas hydrophila. Ea-15 merupakan waktu pengamatan pertama (15 jam) dan Ea-18 merupakan waku pengamatan kedua (18 jam). Konsentrasi ekstrak yang digunakan 20mg/ml.
Ekstrak etil asetat tidak memiliki kemampuan dalam penghambatan bakteri Pseudomonas aeruginosa. Ekstrak etil asetat secara umum memperoleh senyawa yang bersifat semi-polar. Pseudomonas aeruginosa dilaporkan mampu dihambat oleh senyawa yang memiliki gugus glikosida. Ekstrak etil asetat umumnya memperoleh senyawa semipolar yang sangat sedikit mempunyai gugus glikosida. Hasil pengujian selaras dengan penelitian yang telah ada sebelumnya. Perbedaan aktivitas penghambatan terhadap bakteri gram-positif dan bakteri gram-negatif dipengaruhi oleh perbedaan struktur dinding sel bakteri. Permukaan sel bakteri gram-negatif tersusun atas membran sel, ruang periplasmik dan membran luar. Membran sel gram-negatif terdiri atas fosfolipid, protein terbenam, dan protein tepi. Ruang periplasmik gram-negatif tersusun atas protein periplasmik dan peptidoglikan. Membran luar gram-negatif terdiri atas fosfolipid, lipoprotein murein, porin, dan
lipopolisakarida (lipid-A, core, dan antigen-O). Permukaan sel bakteri gram-positif terdiri atas membran sel, periplasmik, dan dinding sel. Membran sel gram-positif tersusun atas fosfolipid, protein tepi dan protein terbenam. Pada perisplamik hanya terdapat protein periplasmik. Sedangkan dinding sel terdiri atas polimer peptidoglikan, asam lipotekoat, protein dinding sel, polisakarida, asam teikoat dan asam teikorunat (Purwoko, 2007).
Aktifitas Ekstrak Etil asetat pada Bakteri Pseudomonas aeruginosa
Luas Zona Bening (mm)
30 25 20 Ea-15
15
Ea-18
10 5 0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Spesies
Gambar 35. Hasil pengujian ekstrak etil asetat terhadap Pseudomonas aeruginosa yang tidak memperlihatkan aktivitas penghambatan. Konsentrasi ekstrak yang digunakan 20mg/ml
Lücker (2002) menjelaskan bahwa senyawa terpenoid hasil metabolisme bersifat lipofilik. Melihat struktur membran bakteri dan senyawa yang dihasilkan, besar kemungkinan aktivitas pada bakteri gram-negatif terlihat lebih jelas. Namun demikian, adanya struktur peptidoglikan membuat pertahanan bakteri gram-negatif semakin besar. Pada ekstrak metanol besarnya zona bening yang terbentuk rata-rata hampir sama. Adapun pada ekstrak etil asetat zona bening lebih besar pada bakteri gram-negatif. Hal ini memperlihatkan adanya korelasi antara senyawa yang berhasil diekstrasi dan
pengaruhnya terhadap bakteri yang dihambat pertumbuhannya.
E. Analisis Jenis Senyawa Ekstrak Gorgonian Kegiatan yang dilakukan bertujuan untuk menentukan jenis senyawa yang terdapat pada ekstrak. Kegiatan meliputi deteksi secara kualitatif dan analisis kuantitatif. Deteksi secara kualitatif dengan fitokimia dan penyinaran dengan UV-254 dan UV-365. Analisis kuantitatif dengan kromatografi lapis tipis preparatif pada beberapa sampel yang menunjukkan aktivitas sebagai antibakteri kuat. Hasil deteksi fitokimia ekstrak metanol dan etil asetat disampaikan pada Tabel 7 dan Tabel 8 berikut ini: Tabel 7. Hasil uji Fitokimia pada ekstrak metanol No. Sampel Alkaloid M D W Annella sp1. 1. + ++ ++
Flavonoid
Terpenoid
Steroid
+
+
++
2.
Annella sp2.
+
++
++
++
++
+
3.
Annella sp3.
+
++
++
++
++
+
4.
Annella sp4.
+
++
++
++
+
+++
5.
Verucella sp.
+
++
++
+
++
-
6.
Anthogorgia sp.
+
++
++
-
+
-
7.
Viminella sp.
+
++
++
-
+
-
8.
Wrightella sp.
+
++
++
+
-
++
9.
Paraplexaura sp.
+
++
++
++
++
+++
10.
Melithea sp1.
+
+
++
-
++
-
11.
Melithea sp2.
+
+
++
-
+
++
Tabel 8. Hasil uji Fitokimia pada ekstrak etil asetat No. Sampel Alkaloid M D W
Flavonoid
Terpenoid
Steroid
1.
Annella sp1.
++
+++
+++
+
+
++
2.
Annella sp2.
+
++
++
+
++
+++
3.
Annella sp3.
+
++
++
+
++
+
4.
Annella sp4.
+
++
++
-
+
+
5.
Verucella sp.
++
+++
+++
-
-
-
6.
Anthogorgia sp.
+
++
++
+
+
-
7.
Viminella sp.
++
+++
+++
-
++
-
8.
Wrightella sp.
+
++
++
+
+
+
9.
Paraplexaura sp.
++
+++
+++
++
++
+++
10.
Melithea sp1.
++
+++
+++
+
+
-
11.
Melithea sp2.
++
+++
+++
++
++
+
Keterangan Tabel 7 dan Tabel 8: M
: Reagen Mayer
D
: Reagen Dragendorf
W
: Reagen Wagner
-
: tidak terdeteksi
+
: positif lemah
++
: positif
+++
: positif kuat
++++
: positif sangat kuat
Hasil kromatografi lapis tipis preparatif terhadap beberapa sampel tertuang dalam Tabel 9 dan Tabel 10 berikut ini: Tabel 9. Hasil kromatografi preparatif pada beberapa sampel dari ekstrak metanol No. Nama Sampel Jumlah Fraksi Berat (g) Warna (UV-365) Annella sp.1 3 fraksi F1= 0.0043 F1= hijau 1. F2=0.0075 F2= ungu F3=0.0611 F3= jingga Annella sp.2 5 fraksi F1=0.02 F1=hijau 2. F2=0.0018 F2= hijau F3=0.0076 F3= ungu muda
F4=0.0009 F4= ungu tua F5=0.0192 F5= jingga Tabel 10. Hasil kromatografi preparatif pada beberapa sampel dari ekstrak metanol (lanjutan) Annella sp.3 4 fraksi F1=0.0071 F1= hijau 3. F2=0.0013 F2= lembayung F3=0.0011 F3= hijau terang F4=0.0007 F4= ungu jingga Paraplexaura sp. 4 fraksi F1=0.0036 F1= ungu terang 4. F2=0.0024 F2= ungu muda F3=0.007 F3= ungu tua F40.0062 F4= ungu tua Tabel 11. Hasil kromatografi preparatif pada beberapa sampel dari ekstrak etil asetat No. Nama Sampel Jumlah Fraksi Berat (g) Warna (UV-254) 1.
2.
Annella sp.1
Annella sp.3
2 fraksi
4 fraksi
F1=0.0047
F1= ungu
F2=0.0078
F2= ungu
F1=0.0042
F1= jingga
F2=0.0026
F2= ungu
F3=0.0282
F3= hijau ungu
F4=0.0154
F4= jingga
Kromatografi lapis tipis merupakan salah satu jenis kromatografi. Kromatografi lapis tipis merupakan metode pemisahan fisikokimia (Stahl, 1985; Adnan, 1997). Keuntungan penggunaan kromatografi lapis tipis dihasilkan pemisahan yang lebih sempurna, kepekaan lebih tinggi dan dapat dilaksanakan dengan cepat. Pemilihan sistem pelarut didasarkan atas prinsip like dissolves like (Adnan, 1997; Rydberg et al., 2004). Dengan prinsip ini akan diperoleh senyawa yang memiliki sifat kepolaran sama dengan pelarut. Pengembangan pada ruang yang sudah jenuh dengan uap sistem pelarut mempercepat proses pengembangan. Hal itu karena uap jenuh dari sistem pelarut membawa senyawa lebih cepat. Pilihan pelarut ditentukan berdasarkan pemeriksaan pendahuluan memakai KLT analitik (Hostettmann et al., 1995). Kegiatan ini untuk melihat seberapa besar pemisahan yang diperoleh dengan sistem pengembangan yang dibuat. Komposisi sistem
pengembangan yang dipakai dalam KLT analitik dapat digunakan dalam KLTP. Hal itu karena ukuran penjerap dalam KLT dan KLTP tidak jauh berbeda. Visualisasi merupakan kegiatan melihat komponen penyusun yang sudah terpisah setelah proses pengembangan. Visualisasi dapat dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya dengan visualisasi dibawah sinar ultraviolet dan penggunaan reagensia spesifik (Adnan, 1997). Visualisasi dengan UV-254 digunakan untuk mendeteksi senyawa yang memberikan fosforesensi. Penyinaran dengan UV-254 dapat digunakan untuk mendeteksi adanya senyawa yang mengandung gugus asam fenolik dan flavonoid. Warna spot yang menandakan adanya gugus flavonoid pada penyinaran UV-254 yaitu kuning, hijau, ungu dan biru berflouresen. Adapun visualisasi dengan UV-365 mampu mendeteksi senyawa yang mengandung gugus karboksil, ikatan rangkap, glikosida, terpenoid, alkaloid dan kuinon. Alkaloid ditandai dengan adanya spot warna biru dan hijau berflouresen. Terpenoid ditandai dengan adanya warna biru, merah violet, hijau dan ungu (Waksmundzka-Hajnos et al., 2008). UV-365 dapat digunakan untuk mendeteksi adanya ikatan rangkap konjugasi. Hasil kromatografi lapis tipis analitik ekstrak metanol yang dilakukan deteksi dengan UV-365 memperoleh spot berwarna merah violet, hijau, jingga dan kuning. Warna spot yang dihasilkan mengindikasikan bahwa senyawa yang terekstrak oleh metanol berupa terpenoid. Hal ini selaras dengan adanya deteksi dengan reagen Liebermann-buchard. Senyawa-senyawa yang terdeteksi juga dimunginkan berupa alkaloid dan flavonoid, hal ini dikarenakan alkaloid dan flavonoid juga memiliki ikatan rangkap konjugasi yang mampu menyerap foton dari UV sehingga memancarkan warna. Adapun hasil deteksi UV-254 terhadap kromatografi lapis tipis analitik ekstrak etil asetat memperlihatkan
adanya spot warna ungu. Warna spot yang dihasilkan mengindikasikan bahwa senyawa yang terekstrak oleh etil asetat berupa flavonoid. Hasil yang diperoleh dari fitokimia dan deteksi dengan UV menunjukkan beberapa keselarasan hasil. Pada deteksi alkaloid digunakan reagensia dragendorf, mayer dan wagner. Ekstrak yang dideteksi dengan dragendrorf akan memberikan reaksi warna jingga dan disertai adanya endapan keruh, yang merupakan hasil reaksi ion logam K+ dari kalium tetraiodobismutat dengan nitrogen alkaloid. Reaksi reagen mayer dengan senyawa alkaloid memberikan perubahan warna kuning dan endapan putih yang merupakan hasil reaksi nitrogen alkaloid dengan ion logam K+ dari kalium tetraiodomerkurat (II). Reaksi reagen wagner dengan senyawa alkaloid memberikan perubahan warna kecoklatan-coklat tua, yang merupakan ikatan kovalen koordinat ion logam K+ dengan nitrogen alkaloid (Cordell, 1999). Deteksi untuk flavonoid menggunakan anisaldehid dalam H2SO4. Senyawa yang akan dideteksi dilarutkan kedalam metanol dan dipanaskan, kemudian ditambahkan asam sulfat pekat. Hasil positif ditunjukkan adanya perubahan warna dari kuning, jingga hingga merah (Tabel 7 dan 8). Deteksi steroid terpenoid menggunakan reagen Liebermer burchard. Reagen ini terdiri atas asam asetat anhidrat dan asam pekat. Kehadiran steroid ditandai adanya cincin berwarna hijau lembayung. Adapun kehadiran terpenoid ditandai adanya perubahan warna menjadi ungu (Cordell, 1999). Retensi faktor (Rf) adalah selisih antara jarak tempuh larutan pembawa dengan jarak tempuh spot dibagi dengan jarak tempuh larutan pembawa (Syatrawati, 2005). Penentuan Rf sangat membantu dalam memberikan informasi tentang jenis senyawa yang diperoleh. Pada kegiatan KLT kualitatif dilakukan penghitungan Rf (Lampiran 2).
Perhitungan Rf hanya dilakukan pada sampel yang telah terindikasi mempunyai aktivitas antibakteri pada pengujian antibakteri yang dilakukan. Berdasarkan hasil penghitungan besarnya Rf yang diperoleh menunjukkan kisaran yang sama. Hasil KLT ini memberikan informasi tentang kimiawi dari senyawa yang dihasilkan. Informasi ini memberikan peluang untuk menentukan senyawa yang dihasilkan dari metabolisme gorgonian tersebut. Nilai Rf dari masing-masing ekstrak merupakan hasil perhitungan jarak spot yang terlihat pada saat deteksi dengan UV (Lampiran 2 dan 3). Nilai Rf dan warna spot yang ada merupakan dasar informasi dalam penentuan senyawa dalam analisa lebih lanjut.
F. Keterkaitan Hasil Uji Antibakteri dan Analisis Jenis Senyawa Kelompok gorgonian diketahui menghasilkan senyawa kimia untuk pertahanan diri (Pawlik and Fenical, 1992; Fuganti and Serra, 2000; Puglisi et al., 2000; Puglisi et ai., 2002; Kelman et al., 2006; Fenical, 2006; Gutie´rrez et al., 2006; Iwamaru et al., 2007). Kebanyakkan senyawa yang dihsailkan merupakan golongan diterpenoid dan hidrokarbon sesquiterpen. Gutie´rrez et al. (2006) menjelaskan bahwa ekstrak metanol Muricea austera memiliki senyawa derivat tyramin, steroid yang mengandung gugus glikosida dan sesquiterpen. Aktivitas metabolite sekunder dari Muricea austera memberikan dampak sebagai antiprotozoal dan antiplasmodial. Iwamaru et al. (2007) memberikan keterangan bahwa Eunicea sussicea memiliki eupalmarin asetat yang memiliki antikanker. Selaras berbagai informasi tentang hasil pengujian terhadap metabolit sekunder gogonian, pada penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa ekstrak kasar gorgonian
memiliki aktivitas antibakteri (Tabel 3 hingga Tabel 7). Adapun berdasarkan hasil deteksi fitokimia diperoleh hasil bahwa senyawa yang terkandung pada ekstrak kasar gorgonian adalah alkaloid, steroid, terpenoid dan flavonoid (Tabel 8 dan 9). Anjaneyulu dan Rao (1997) melaporkan ekstrak metanol Junceella juncea mempunyai senyawa diterpen jenis briarane dan polihidroksi steroid. Lin et al. (2005) memberikan informasi hasil penelitian fraksi etil asetat Junceella juncea mempunyai senyawa diterpenoid jenis briarane. Ortega et al. (2008) memberikan informasi ekstrak metanol: aseton (1:1, v/v) dari Leptogorgia laxa memiliki senyawa diterpen jenis cembrane. Senyawa dari Leptogorgian laxa mempunyai aktivitas sitotoksik dan melawan pertumbuhan sel tumor manusia pada pengujian secara in vitro. Informasi berharga tentang hasil analisis ekstrak gorgonian ini, menunjukkan bahwa ekstrak gorgonian yang memiliki aktivitas biologis banyak berasal dari golongan terpenoid. Perbedaan aktivitas yang ditunjukkan oleh ekstrak metanol dan ekstrak etil asetat karena perbedaan senyawa yang terkandung pada ekstrak. Pada penelitian terdahulu senyawa yang memiliki aktivitas biologis merupakan anggota terpenoid. Lücker (2002) menjelaskan bahwa senyawa terpenoid bersifat semi-polar hingga polar. Terpenoid yang bersifat semi-polar banyak ditemukan pada hewan, sedangkan yang bersifat polar banyak ditemukan pada tumbuhan. Perbedaan kepolaran dikarenakan ada tidaknya ikatan glikosida pada gugus fungsi terpenoid. Ikatan terpenoid dengan gugus glikosida banyak terjadi pada tumbuhan. Melihat dari karakter senyawa terpenoid dan sifat pelarut yang digunakan (metanol dan etil asetat), sangat dimungkinkan bahwa hasil uji antibakteri, ekstrak etil asetat menunjukkan hasil yang lebih bagus. Hal ini karena gorgonian merupakan hewan,
sehingga sangat dimungkinkan senyawa yang terkandung berupa terpenoid yang bersifat semi-polar. Adapun etil asetat merupakan pelarut yang bersifat semi-polar. Menilik sifat selektifitas dan like dissolves like, (Adnan 1997; Rydberg et al., 2004) maka ekstrak etil asetat menunjukkan kemampuan yang lebih dari ekstrak metanol. Meski tidak menutup kemungkinan bahwa bukan hanya terpenoid yang berfungsi sebagai senyawa antibakteri. Akan tetapi dapat dimungkinkan berupa alkaloid, flavonoid ataupun steroid. Berbagai hasil penelitian terhadap senyawa metabolit sekunder gorgonian, memberikan informasi tentang kemampuan organisme ini dalam pertahanan diri terhadap lingkungan. Hasil pengujian antibakteri memberikan gambaran tentang aktivitas bentuk adaptasi gorgonian terhadap kondisi lingkungan.
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Dari penelitian yang telah dilaksanakan dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut: a. Senyawa yang berfungsi sebagai antibakteri dari ekstrak metanol dan etil asetat karang gorgonian berupa steroid, terpenoid, alkaloid dan flavonoid b. Karakter spikula yang ditemukan berupa double head, double cone, doublé disk, spindle, needle, rod, clubs, spheroid dan Scaphoid. Karakter spikula double disk merupakan penciri Annella spp., karakter spikula double head dan double cone merupakn penciri Viminella sp. Dan Verrucella sp., karakter spikula clubs merupakan penciri Melithaea spp. dan Wrightella sp., karakter spikula bent spindle merpakan penciri Anthogorgia sp., dan karakter spikula spheroid merupakan penciri Paraplexaura sp.
B. Saran Adapun saran yang dapat disampaikan guna perkembangan dan kemajuan penelitian yang berkaitan dengan hal ini adalah: a. Melakukan variasi konsentrasi pada pengujian antibakteri untuk menentukan konsentrasi optimum
b. Melakukan pengujian antibakteri pada fraksi senyawa yang diperoleh. c. Melakukan analisis senyawa yang diperoleh untuk melihat struktur yang dihasilkan.
DAFTAR PUSTAKA Adeloye, O. A., A. D. Akinpelu, O. A. Ogundaini and A. C. Obafemi. 2007. Studies on Antimicrobial, Antioxidant and Phytochemical Analysis of Urena lobata Leaves. J. Phy. and Nat. Sci. 1 (2): 1-9 Adnan, M. 1997. Teknik Kromatografi untuk Analisis Bahan Makanan. Penerbit ITB, Bandung. Antonius, A. 2000. Threats to and Protection of Coral Reefs. University of Vienna, Germany. Anjaneyulu, Ammanamanchi S. R. and Nidasanametla S. Kameswara Rao. 1997. Juncins G and H: New Briarane Diterpenoids of the Indian Ocean Gorgonian Junceella juncea Pallas. J. Chem. Soc. 1: 959-962 Aydin, A. H. Nazik, S. V. Kuvat, N. Gurler, B. Ongen, S. Tuncer, E. Hocaoglu and S. N. Kesim. 2004. External decontamination of wild leeches with hypochloric acid. BMC Infectious Diseases. Vol 4 (28): 1-8 Benson, H. J. 2002. Microbiological Applications Laboratory Manual in General Microbiology, Eighth Edition. Mc Graw Hill, New York. Burrows, W., J.W. Moulder, R.M. Lewert and J. W. Rippon, 1968. Textbook of Microbiology, Nineteenth Edition. W. B. Saunders Company, Philadelphia. Brill, E. J. and W. Backhuys. 1983. Illustrated Trilingual Glossary of Morphological and Anatomical Terms Applied to Octocorallia (Edited by F. M. Bayer, M. Grasshoff and J. Verseveldt). Tuta Sub Aegide Pallas, Leiden Cordell, Geofrey A. 1999. The Alkaloids. Academic Press, California. Correa, H., Alba Lucia Valenzuela, Luis Fernando Ospina and Carmenza Duque. 2009. Anti-inflammatory effects of the gorgonian Pseudopterogorgia elisabethae collected at the Islands of Providencia and San Andrés (SW Caribbean). Journal of Inflammantory. 5 (6): 1-10 Epifanio, R. de A., Lenize F. Maia, Angelo C. Pinto, Ingo Hardi and William Fenical. 1998. Natural Products from The Gorgonian Lophogorgia punicea: Isolation and Structure Elucidation of an Unusual 17-Hydroxy Sterol. J. Braz. Chem Soc. 9 (2): 187-192 Epifanio, R. de A., Lenize Maia and William Fenical. 2000. Chemical Defenses of The Endemic Brazilian Gorgonian Lophogorgia violacea Pallas (Octocorallia, Gorgonacea). J. Braz. Chem. Soc. 11 (6): 584-591
Fabricius, K. and P. Alderslade. 2001. Soft Corals and Sea Fans. Australian Institute of Marine Science and The Museum and Art Gallery of Northern Territory, Australia. Fenical, W. 2006. Marine Pharmaceuticals, Past, Present and Future. Oseanography. 19 (2): 113 Fuganti, C. and S. Serra. 2000. Baker’s Yeast-mediated Enantioselective synthesis of the Bisabolane Sesquiterpenes (+)-curcuphenol, (+)-xanthorrhizol, (-)-curcuquinone and (+)-curcuhydroquinone. J. Chem. Soc Perkin Trans. 1: 3758 Fulton, S. 1996. The Busy Researcher’s Guide to Biomolecule Chromatography. Perfective Biosystems Inc, Waltham. Galindo, C.L., A. A. Fadl, J. Sha, C. Gutierrez, Jr., V. L. Popov, I. Boldogh, B. B. Aggarwal, and A. K. Chopra. 2004. Aeromonas hydrophila Cytotoxic Enterotoxin Activates Mitogen-activated Protein Kinases and Induces Apoptosis in Murine Macrophages and Human Intestinal Epithelial Cells. The Journal of Biologycal Chemistry. 279 (36): 37597-37612 Gerhart, D.J. 1983. The Chemical Systematics of Colonial Marine Animals: An Estimated Phylogeny of The Order Gorgonaceae Based on Terpenoid Characters. Biol. Bull. 164: 71-81 Grajales, A., C. Aguilar and J. A Sánchez. 2007. Phylogenetic reconstruction using secondary structures of Internal Transcribed Spacer 2 (ITS2, rDNA): finding the molecular and morphological gap in Caribbean gorgonian corals. BMC Evolutionary Biology. 7 (90): 1-9 Grasshoff, M. 1999. The Shallow Water Gorgonians of New Caledonia and Adjacent Islands (Coelenterata: Octocorallia). Senckenbergiana Biologica. 78: 1-254 Grasshoff, M. 2000. The Gorgonians of The Sinai Coast and The Strait of Gubal, Red Sea (Coelenterata: Octocorallia). Senckebergiana Biologica. 224: 1-125 Gutiérrez, M., Todd L. Capson, Hector M. Guzmán, Josè González, Eduardo OrtegaBarriá, Emilia Quiñoá and Ricardo Riguera. 2005. Leptolide, a New Furanocembranolide Diterpene from Leptogorgia alba. J. Nat. Prod. 68: 614-616 Gutiérrez, M., T. L. Capson, He´ctor M. Guzma´n, J. Gonza´lez, E. Ortega-Barrı´a, E. Quin˜oa´, and R. Riguera. 2006. Antiplasmodial Metabolites Isolated from the Marine Octocoral Muricea austere. J. Nat. Prod. 4: A-E Hird, D. W., S. L. Diesch, R. G. McKinnell, E. Gorham, F. B. Martin, C. A. Meadows and M. Gasiorowski. 1983. Enterobacteriaceae and Aeromonas hydrophila in Minnesota Frogs and Tadpoles (Rana pipiens). Applied and Enviromental Microbiology. 46 (6): 1423-1425 Huys, G., P. Kampfer, M. J.Albert, I. Kuhn, R. Denys and J. Swings. 2002. Aeromonas
hydrophila subsp. dhakensis subsp. nov., isolated from children with diarrhoea in Bangladesh, and extended description of Aeromonas hydrophila subsp. Hydrophila (Chester 1901) Stanier 1943 (Approved Lists 1980). International Journal of Systematic and Evolutionary Microbiology. 52: 705–712 Iwamaru, A., E. Iwado, S. Kondo, R. A. Newman, B. Vera, A. D. Rodrı´guez and Y. Kondo. 2007. Eupalmerin Acetate, A Novel Anticancer Agent from Caribbean Gorgonian Octocorals, Induces Apoptosis in Malignant Glioma Cells via the c-Jun NH2-terminal Kinase Pathway. Mol Cancer Ther. 6 (1): 184 Kelman, D., Y. kashman, E. Rosenberg, A. Kushmaro and Y. Lova. 2006. Antimicrobial Activity of Red Sea Corals. Mar. Biol. 149: 357-363 Kim, K., P.D. Kim, A.P. Alker and C. D. Harvell. 2000. Chemical Resistance of Gorgonian Corals Against Fungal Infections. Mar. Biol. 137: 393-401 Koh, L. L., N.K.C. Goh, L.M. Chou and Y.W. Tan. 2000. Chemical and Physical Defenses of Singapore Gorgonians (Octocorallia: Gorgonacea). J. Exp. Mar. Biol and Ecol. 251: 103-115 Lamanna, C., M. F. Mallette and L. Zimmerman. 1973. Basic Bacteriology; Its Biological and Chemical Background, Fourth Edition. Waverly Press, Inc, Baltimore. Lewis, J.C. and E. Von Wallis. 1991. The Function Sclerites in Gorgonians (Coelenterata: Octocorallia). Biol. Bull. 181: 275-288 Lin, Yu-Chi, Yeh-Li Huang, Ashraf Taha Khalil, Meng-Hsien Chien and Ya-Ching Shen. 2005. Juncenolides F and G, Two New Briarane Diterpenoids from Taiwanese Gorgonian Junceella juncea. Chem Pharm. Bull. 53 (1): 128-130 Loewy, A. G., U. V. Santer, M. Wieczorek, J. K. Blodgett, S. W. Jones and J. C. Cheronist. 1993. Purification and Characterization of a Novel Zinc-Proteinase from Cultures of Aeromonas hydrophila. The Journal of Biologycal Chemistry. 268 (12): 9071-9078 Lücker, J. 2002. Metabolic Engineering of Monoterpene Biosynthesis in Plants. Printpartners Ipskamps Enschede, Wageningen. Marti, R., M. J. Uriz and X. Turon. 2005. Spatial and Temporal Variation of Natural Toxicity in Cnidarians, Bryozoans and Tunicates in Mediterranean Cavez. Scientia Marina. 69 (4): 485-492 Maueal, M. J., D. M. Miller, K. S. Frazier and M. E. Hines, 2002. Bacterial pathogens isolated from cultured bullfrogs (Rana castesbeiana). J Vet Diagn Invest. 14: 431– 433 McConnaughey, Bayard H. and Robert Zottoli. 1983. Pengantar Biologi Laut, Edisi
Pertama. The C. V. Mosby Company, London. McFadden, C.S., Scott C. France , Juan A. Sánchez and Phil Alderslade. 2006. A molecular phylogenetic analysis of the Octocorallia (Cnidaria: Anthozoa) based on mitochondrial protein-coding sequences. Mol Phylo and Evo. 41: 513–527 Melo, V. M. M., A. M. Fonseca, I. M. Vasconselos and A. F. F. U. Carvalho. 1998. Toxic, Antimicrobial and Hemagglutinating Activities of The Purple Fluid of The Sea Hare Aplysia dactylomela Rang 1828. Brazillian Journal of Medical and Biological Research. 31: 785-791 Meireles, M. Angela A. 2009. Extracting Bioactive Compound for Food Products; Theory and Applications. CRC Press, Boca Raton. Ortega, Maria J., Eva Zubia, M. Carmen Sánchez and J. Luis Carballo. 2008. Cembrane from the Gorgonian Leptogorgia laxa. J. Nat. Prod. 71: 1637-1639 Pawlik, J.R. and W. Fenical. 1992. Chemical Defense of Pterogorgia anceps, a Caribbean Gorgonian Coral. Mar Ecol Prog Series. 87: 183-188 Puglisi, Melany P., Valerie J. Paul and Marc Slattery. 2000. Biogeographic and Structural Defenses of The Pasific Gorgonians Annella mollis and Annella reticulate. Mar Ecol Prog Series. 207: 263-272 Puglisi, Melany P., Valerie J. Paul, Jason Biggs and Marc Slattery. 2002. Co-occurrence of Chemical and Structural Defenses in The Gorgonian Corals of Guam. Mar Ecol Prog Series. 239: 105-114 Purwoko, T. 2007. Fisiologi Mikrobia. Penerbit Bumi Aksara, Jakarta. Rho, Jung-Rae, Youngwan Seo, Ki Woong Cho, Jun-Im Song and Jongheon Shin. 1996. Isolation of a New Carotenoid Pigment from an Undescribed Gorgonian of The Genus Muricella.Bull Korean Chem. Soc. 17 (6): 529-531 Rydberg, J., M. Cox, C. Musikas, and Gregory R. Choppin. 2004. Solvent Extraction; Principles and Practise. Marcel Dekker Inc, New York. Salyers, A. A. and D. D. Whitt. 1994. Bacterial Phatogenesis a Molecular Approach. D.C : ASM Press, Washington. Sa´nchez, J.A., C. S. McFadden, S.C. France and H.R. Lasker. 2003. Molecular Phylogenetic Analyses of Shallow-water Caribbean octocorals. Mar Biol. 142: 975-987 Sa´nchez, J. A., C. Aguilar, D. Dorado and N. Manique. 2007. Phenotypic Plasticity and Morphological Integration in a Marine Modular Invertebrate. BMC Evolutionary Biology. 7 (122): 1-9
Scheuer, P.J., 1995. Produk Alami Lautan; Dari Segi Kimiawi dan Biologi Jilid II (diterjemahkan oleh Koensoemardiyah). IKIP Semarang Press, Semarang. Shearer, T. L., C. Gutie´ rrez-Rodrı´ guez and M. A. Coffroth. 2005. Generating molecular markers from zooxanthellate cnidarians. Coral Reefs. 24: 57–66 Sidharta, B. R. 2000. Sifat-sifat Bakteri Laut; Pengantar Mikrobiologi Kelautan. Universitas Atma Jaya, Yogyakarta. Smith, D., J-H. Wang, J. E. Swatton, P. Davenport, B. Price, H. Mikkelsen, H. Srickland, K. Nishikawa. N’M. Gardiol, D. Spring and M. Welch. 2006. Variations on a theme: diverse N-acyl homoserine lactone-mediated quorum sensing mechanisms in Gram-negative bacteria. Science Progress. 89 (3/4): 167-211 Stahl, E. 1985. Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi (diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata. Penerbit ITB, Bandung. Statner, B., M. J. Jones and W. L. George, 1988. Effect of Incubation Temperature on Growth and Soluble Protein Profiles of Motile Aeromonas Strains. Journal of Clinical Microbiology. 26 (2): 392393 Sumich, James L. 1999. An Introduction To The Biology of Marine Life, Seventh Edition. McGraw-Hill Companies, New York. Syatrawati. 2005. Pengaruh Kultur Filtrat Gliocladium sp.Terhadap Rhizoctonia solani untuk Mengendalikan Penyakit Damping-off pada Jagung. J. Sains & Teknologi. 5 (3):142-146 Taylor, S. K., E. S. Williams and K. W. Mills. 1999. Effect of Malathion on Disease Susceptibility in Woodhouse’s Toads. Journal of Wildlife Diseases. 35 (3): 536– 541 Tortora, G. J., B. R. Funke and C. L. Case. 1994. Microbiology An Introduction Fifth Edition. The Benjamin or Cummings Publishing Company, Inc, New York. Tringali, C. 2001. Bioactive Compound From Natural Sources. Taylor and Francis Inc, New York. Waksmundzka-Hajmoz, M., J. Sherma and T. Kowalska. 2008. Thin Layer Chromatography in Phytochemistry. CRC Press, Boca Raton. William, Gary C. and Pablo J. López-González. 2005. A New Genus and Species of Gorgonian Octocoral (Anthozoa: Plexauridae) from Antartic Waters. PCAS. 56 (26): 379-390 Work, T. M., G. H. Balazs, M. Wolcott and R. Morris. 2003. Bacteraemia in free-ranging Hawaiian green turtles Chelonia mydas with fibropapillomatosis. Diseases of Aquatic Organisms. 53: 41-46
Zemelman, R., M. Dominguez, C. Merino, J. Silva, C. Gonzalez and M. A. Mondaca. 1983. Differential susceptibility of Aeromonas hydrophila and Enterobacteriaceae to nalidixic acid. Journal of Antimicrobial Chemotherapy. 12: 265-267