ANALISIS SEMIOTIK IKLAN DJARUM 76 VERSI NAIK PANGKAT Rangga Galura Gumelar Program Studi Ilmu Komunikasi FISIP UNTIRTA Jl. Raya Jakarta KM. 4 Pakupatan Serang - Banten HP : 087871400711 , email :
[email protected]
Abstract Advertising is of the an important element in marketing world. The packaged of tobacco advertising is not directly engage or sell products, but package in the another form. This research is using a qualitative approach with analysis Roland Barthes semiotic study, sought to examine the codes that exist in Ad Djarum 76 version promoted. These codes both denotative or connotative on the ad will then be researched and sought meaning starting Hermeneutic Code, Code Semik, Symbolic Code, Proaretik and Gnomik code. Every code that appeared in the advertisement, symbolize messages as a form of social concern and critics for phenomena that existing today. This advertisement lightly designed humor and strong culture from Javanese island. Key World: Advertising, Semiotic Roland Barthes, Meaning and Code Analysis
PENDAHULUAN Iklan televisi masih tetap menjadi pilihan utama utuk sebagian produknya dalam memasarkan produk atau jasanya. Bahkan menurut ketua umum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia, Harris Thajeb “realisasi belanja iklan hingga Juni 2012 telah mengeluarkan dana sekitar Rp 40 trilliun hingga akhir tahun kemungkinan besar dapat mencapai 90 triliun” (www.tempo.co). Hal ini tentunya menandakan bahwa Indonesia merupakan pasar yang potensial dalam memasarkan produk, karena memang jumlah dari penduduknya yang begitu banyak mencapai hamper 250 juta orang. Harus diakui bahwa salah satu penyumbang terbesar iklan di Indonesia adalah iklan rokok. Walaupun kemudian pemerintah membuat regulasi bahwa ada aturan-aturan dalam penayangan iklan rokok, tetapi pada kenyataannya bahwa perusahaan ini memiliki sumber dana yang
besar sehingga tidak menjadi kendala bagi mereka dalam memproduksi atau menayangkan iklannya khususnya di media elektronik televisi. Kaitan dengan pemasaran bahwa memang iklan merupakan bagian terpenting dalam menunjang pemasaran. Sehingga produk seperti rokok dengan persaingan yang ketat saat ini akan mencoba memaksimalkan media yang ada guna meraih pangsa pasar yang lebih banyak lagi. Iklan harus mampu kemudian mengajak khalayak sehingga pesan yang disampaikan pun seyogyanya harus dapat dipahami secara baik oleh khalayak. Cara yang dilakukan oleh salah satu perusahaan rokok Djarum 76 adalah lain. Periklanan tidak terlepas dari model komunikasi Laswell yaitu who says what, in which channel, to whom and what effect. Artinya dalam membuat pesan itu kita harus tahu siapa yang member pesan, kepada siapa, melalui apa dan apa efeknya pada si 299
penerima pesan. Periklanan harus mampu mengarahkan konsumen membeli produkproduk yang oleh departemen pemasaran telah dirancang sedemikian rupa, sehingga diyakini dapat memenuhi kebutuhan atau keinginan pembeli. Singkatnya, periklanan harus dapat mempengaruhi pemilihan dan keputusan pembeli. (Jefkins, 2003:15). Pesan dalam iklan Djarum 76 yang disampaikan tidak berkaitan secara langsung dengan produk yang mereka jual. Pesan yang digambarkan lebih cenderung kepada arah kehidupan sosial dan budaya di Indonesia. Secara kritis sesungguhnya iklan ini banyak memuat tanda-tanda yang sifatnya kritis terutama menyangkut tentang kehidupan di Indonesia saat ini. Tetapi secara sederhana bahwa kemudian didalam iklan ini ada sebuah ikon yaitu seorang jin yang selalu berpakaian jawa dan berbicara dengan logat jawanya. Menarik kemudian ketika kita kaji lebih dalam bagaimana makna pesan yang terkadung baik dari kode-kode dan tanda yang diciptakan dalam iklan Dajrum 76 versi naik pangkat tersebut. TINJAUAN PUSTAKA Semiotika Tanda-tanda adalah basis dari seluruh komunikasi. Manusia dengan perantaraan tanda dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya. Banyak hal bisa dikomunikasikan di dunia ini. (Sobur, 2006:15). Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, ditengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal.
Memaknai dalam hal ini tidak dapat dicampuradukan dengan mengkomunikasikan. Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi,dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Ada dua orang yang patut dicatat dalam perkembangan semiotika modern, yaitu Ferdinand de Saussure dari Prancis dan Charles Sanders Peirce, ahli filsafat dari Amerika. Saussure sebagai seorang ahli linguistik, mengembangkan dasar-dasar dari linguistik umum. Ia memandang bahasa sebagai suatu sistem tanda, dan lebih memberikan tekanan pada struktur yang menyusun tanda. Sedangkan Peirce lebih menekankan pada konsepsi-konsepsi yang ada diluar tanda. Semiotika sendiri secara sederhana didefinisikan sebagai teori tentang tanda atau sistem tanda. Sedangkan tanda atau sign adalah sesuatu yang memiliki makna, yang mengkomunikasikan pesan-pesan kepada seseorang. Oleh karena itu, segala sesuatu bisa menjadi sebuah tanda, misalnya buku, film, orang, bangunan dan juga iklan. (Noviani, 2002:76) Makna dan Kode Sesungguhnya makna yang ada itu dikarenakan hasul dari sebuah konstruksi. Kode adalah struktur dalam pikiran kita yang kemudian mempengaruhi dalam menginterpretasikan tanda dn symbol yang ditemukan dalam media dan cara hidup kita (Berger, 1983:34). Menurut Burton (1990:27) kode adalah sekumpulan tanda dalam bentuk yang lebih spesifik seperti tuturan, tulisan dan gambar visual. Kaitannya dalam pemaknaan kode maka tidak terlepas dari faktor budaya, karena pada dasarnya 300
suatu makna akan tercipta dikarenakan adanya kebiasaan ataupun perilaku yang umumnya terjadi dan kemudian menjadi kebiasaan dalam kehidupan masyarakat. Definisi budaya menurut Raymond Williams adalah “suatu cara hidup tertentu yang dibentuk oleh nilai, tradisi, kepercayaan, objek material dan wilayah”. Model semiotika Roland Barthes Berdasarkan aksis bahasa yang dikembangkan Saussure, Roland Barthes mengembangkan sebuah ’model relasi’ antara apa yang disebutnya system, yaitu perbendaharaan kata (kata, visual, gambar, benda) dan syntagm, yaitu cara pengkombinasian tanda berdasarkan aturan main tertentu Meskipun demikian, semiotika signifikasi yag dikembangkan oleh Saussure dan Barthes banyak mendapat kritik dari berbagaipihak.semiotika signifikasi dianggap mengandung banyak kelemahan, terutama sifatnya yang statis, dogmatik, dan mekanistik. Semoitika struktural dianggap terlalu menyandarkan diri pada sistem dan struktur yang tidak berubah, sehingga menutup pintu bagi peran manusia sebagai subjek (subject), yang mempunyai potensipotensi kreativitas dan produktivitas dalam mengubah bahasa. (Sobur, 2006:ix-x). Meskipun demikian, signifikasi tidaklah hal sederhana sebagai relasi antara penanda dan petanda. Sesungguhnya ada beberapa tingkat relasi tersebut, mulai dari yang sederhana sampai yang sangat kompleks. Kompleksitas relasi ini digambrkan oleh Roland Barthes lewat ’tingkatan signifikasi’ (staggered systems), yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat. Barthes menjelaskan dua tingkat dalam pertandaan,
yaitu denotasi (denotation) dan konotasi (connotation). ’Denotasi’ adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas, yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung dan pasti. Sementara, ’konotasi’ adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, yang didalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan tafsiran). Selain itu, Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatnya, akan tetapi lebih bersifat konvensional, yaitu makna-makna yang berkaitan dengan mitos. Mitos, dalam pemahaman semiotika Barthes adalah pengkodean makna dan nilai-nilai sosial (yang sebetulnya arbiter atau konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap ilmiah. (Sobur, 2006:viii). Untuk menganalisis iklan Djarum 76 versi naik pangkat, peneliti menggunakan atau meminjam model Roland Barthes, di mana ia menganalisis iklan berdasarkan pesan yang dikandungnya, yaitu: 1. Pesan Linguistik (semua kata dan kalimat pada iklan); 2. Pesan Ikonik yang terkodekan (konotasi yang muncul dalam foto iklan - yang hanya dapat berfungsi jika dikaitkan dengan sistem tanda yang lebih luas dalam masyarakat) dan 3. Pesan ikonik yang tak terkodekan (denotasi dalam foto iklan) (Sobur, 2006:118-119). Kode – kode yang ditinjau oleh Barthes adalah: 301
1. Kode Hermeneutik (Kode teka – teki) Kode teka – teki merupakan unsur struktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka – teki dan penyelesaiannya dalam cerita. Kode hermeneutik berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan kebenaran bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. 2. Kode Semik (Makna Konotatif) Barthes menganggap denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling ’akhir’. Kode semik atau kode konotatif menawarkan banyak sisi dalam proses pembacaan. Konotasi atau kata tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan kesatuan konotasi, kita menemukan suatu tema di dalam cerita. Jika sejumlah konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu 3. Kode Simbolik Kode Simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang pascastruktural (menurut konsep Barthes). Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari oposisi biner atau pembedaan - baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara, maupun pada taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses, misalnya seorang anak belajar bahwa ibunya dan ayahnya berbeda satu sama lain dan bahwa perbedaan ini
juga membuat anak itu sama dengan satu di antara keduanya dan berbeda dari yang lain - ataupun pada taraf pemisahan dunia secara kultural dan primitif menjadi kekuatan dan nilai nilai yang berlawanan yang dapat dikodekan secara mitologis. Dalam suatu teks verbal perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melalui istilah – istilah retoris seperti anti tesis, yang merupakan hal yang istimewa dalam sistem simbol Barthes. 4. Kode Proaretik (Logika Tindakan) Kode Proaretik atau kode tindakan/ lakuan dianggap sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang, artinya, antara lain, semua teks yang bersifat naratif. Secara teoritis, Barthes melihat bahwa semua kelakuan dapat dikodifikasi. Pada praktiknya, ia menerapkan beberapa prinsip seleksi seperti pemilihan ala Todorov. Kita mengenal kode lakuan atau peristiwa karena kita dapat memahaminya. 5. Kode Gnomik (Kode Kultural) Kode ini merupakan acuan teks ke benda - benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal – hal kecil yang telah dikodifikasikan (Indriani, 2000:145). Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca. Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, 302
membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes mengurai apa yang disebut sebagai sistem pemaknaan tataran kedua, yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
METODELOGI PENELITIAN Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan penelitian kualitatif. Pendekatan penelitian kualitatif dibedakan dengan pendekatan penelitian kuantitaif dalam arti metode penelitian kualitatif tidak mengandalkan bukti berdasarkan logika matematis, prinsip angka, atau metode statistik. Istilah penelitian kualitatif menurut Kirk dan Miller dalam Moleong (2004:2) pada mulanya bersumber pada pengamatan kualitatif yang yang dipertentangkan dengan pengamatan kuantitatif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode analisis semiotic Roland Barthes. Dengan teknik pengumpulan data : 1. Studi Dokumentasi. Pengumpulan data yang bersumber dari dokumen resmi yang relevan penelitian, berupa sumber-sumber buku ataupun bacaan lainnya yang menunjang dalam penelitian. 2. Observasi Melakukan analisis semiotik model Roland Barthes dalam iklan rokok Djarum 76 versi naik pangkat. Dalam penelitian ini, makna-makna yang akan diteliti oleh penulis adalah maknamakna yang terdapat dalam kreatif iklan yang akan diteliti, melingkup Iklan TV, Model, setting, message (pesan), jingle (lagu).
Meminjam pemikiran dan model dari Roland Barthez maka untuk melihat pesan yang ada dalam iklan tersebut kita menggunakan bantun kode-kode, yang terdiri dari: 1. Kode Hermeneutik (Kode teka – teki): iklan ini memuat tentang bagaimana seorang sosok “jin” berupa sosok manusia yang dipercayai oleh dapat merubah nasib seseorang dikarenakan kekuatan yang jin tersebut miliki. Kondisi keadaan ketidakpuasaan atau keberputusasaan dari seorang wakil ketua yang kemudian naik jabatan menjadi ketua dikarenakan bantuan jin tersebut. Hal ini kemudian mendorong wakil rakyat kecil dan wakil orang miskin protes dan ingin kemudian naik jabatan. Mereka diibaratkan sebagai politikus dikarenakan setting tempatnya seakan berada di gedung dewan. Para wakil ini kemudian berlomba-lomba untuk naik jabatan. Dengan kekuataan tersebut jin, akhirnya yang menentukan apakah mereka kemudian naik jabatan atau tidak. Suatu keadaan yang kontras ketika kemudian wakil rakyat miskin kemudian naik jabatan dan berubah menjadi rakyat miskin, artinya mereka menjadi 303
miskin dan ini mengakibatkan wakil rakyat kecil tidak menghendaki jin untuk merubah nasibnya naik jabatan. Narasi ini sangat mudah dipahami, karena pada dasarnya hal ini dipahami karena saat ini wakil-wakil yang ada di Dewan pada umumnya akhirnya hanya memikirkan kepentingan mereka sendiri tanpa memikirkan kepentingan rakyat. Dalam menerjemahkan kode hermeneutik ini peneliti meminjam pemikiran dari Gadamer yang berpandangan bahwa pemahaman itu terjadi dalam lingkaan antara pemahaman dan pra-pemahaman yang melibatkan dimensi historis dan sosial kultural. Lebih jauh kita perhatikan bahwa sesosok jin yang memiliki kuasa itu diidentikan dengan seorang yang berasal dari Jawa, khas dengan logat dan pakaiannya. Bagaimana iklan ini tetap mencoba menjaga keasilan dan sifat kedaerahan yang sangat tinggi. Dan pemilihan dari adat jawa ini sebagai representatif mayoritas penduduk di Indonesia. Dari dimensi historis tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat Indonesia masih mempercayai mitos ataupun hal-hal yang berbau mistis. Dalam aliran filsafat ontologis sebagai aliran filsafat paling tua, bahwasannya manusia sejatinya tidak terlepas dari adanya metafisika, walaupun keadaan telah menjadi modern. Keadaan modern suatu wilayah tidak serta turut menghilangkan kepercayaan dari setiap individu terhadap hal-hal yang berbau mistis. Oleh karenanya tidak jarang para pejabat tersebut yang berkuasa akan mencari jalan bagaimana untuk meningkatkan karirnya dengan menggunakan bantuan dari jin atau sesuatu yang tidak masuk akal atau tidak melalui usaha yang rasional. Makna lain adalah bagaimana ucapan jin yang
mengatakan jika seorang wakil ketua ingin menjadi ketua maka “wakil” nya dihilangkan. Ini menandakan kepada kita bagaimana perpolitikan di Indonesia, dimana komunikasi ataupun hubungan antara ketua dan wakil, kepala daerah dan wakil kepala daerah dsb kemudian banyak yang tidak harmonis dalam perjalanannya memimpin. Sehingga terkesan di akhir jabatan mereka saling menjegal dan memiliki agenda tersendiri dalam hal melanggengkan atau meneruskan jabatannya. 2. Kode Semik (Makna Konotatif) Penyuguhan suasana tempat yang begitu mewah serta pakaian dari mereka yang duduk dalam ruangan tersebut ingin memperlihatkan atau menyuguhkan suasana layaknya di gedung dewan. Ketika ada tayangan dimana ada kegaduhan dari wakil rakyat dan wakil orang kecil untuk protes, kembali hal ini sebagai suatu kekuatan cerita dan suatu kritikan sosial kepada anggota dewan secara tidak langsung bagaimana rakyat memandang kinerja mereka yang tidak profesional dan hanya mau sebagai ”wakil” saja tanpa mau menjadi rakyat sesungguhnya. Slogan diakhir yang berbunyi ”Yang Penting Hepiii.... dibarengi dengan jingle dari iklan tersebut pada akhir iklan menandakan sebagai suatu ciri khas atau penutup dari iklan tersebut yang akan selalu dicoba untuk selalu diingatkan kepada para penontonnya. Sosok yang kemudian dicoba sebagai ikon dan memberikan nuansa yang berbeda adalah jin tersebut, tokoh tersebut tidak tergantikan dan selalu dengan gaya dan kritikannya. Ini didasarkan agar kemudian masyarakat hafal dengan karakteristik dari ikon yang ada dalam iklan tersebut walaupun tema yang diusung akan selalu berbeda satu sama lainnya. 304
3. Kode Simbolik Simbol jawa sangat lekat, bagaimana peran sentral dalam iklan ini adalah jin yang berlogat jawa dan berpakaian adat jawa. Simbol ini mengisyaratkan bahwa orang jawa masih merupakan suku yang memiliki pengaruh yang signifikan, terutama dalam hal pemasaran. Tidak dapat kita pungkiri di Indonesia saat ini solidaritas kekuatan persukuan sangat kental. Simbol lain yang terlihat dalam iklan ini adalah bagaimana kemewahan yang ditonjolkan dalam ruangan seorang wakil ketua, dengan aksesoris yang mewah, kursi yang besar dan nyaman serta dengan adanya papan nama yang besar dimejad wakil ketua. Sungguh merupakan suatu keadaan yang mencolok dibandingkan dengan kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya yang masih banyak yang dibawah gasris kemiskinan. Pakaian jas bagi pria dan wanita dengan balutan warna cerah dan mahal dalam iklan tersebut seakan memberikan simbol kemapanan. Mereka seakan berbeda kelas dengan masyarakat pada umumnya. Sangat kontras sekali ketika kemudian mereka berkata bahwa mereka adalah wakil dari orang miskin dan wakil dari rakyat kecil. Simbol-simbol inilah yang secara jelas ingin disampaikan dalam iklan tersebut. Nuansa coklat tetap ada sebagai simbol dari warna dominan produk iklan tersebut. Tetapi jika kita perhatikan pada saat penutup akhir iklan ada tanda 76 dan ada tulisan dan penyebutan kata FIL... dengan ada 3 titik dibelakangnya maka secara tidak langsung si penayang iklan tersebut mencoba mengajak atau mengingatkan kepada penotonnya bahwa rokok 76 ada yang berbentuk filter. Pesan yang sulit diketahui
isinya karena durasinya yang sangat cepat dan sebentar. Selain dari itu, ketika ada kata penekanan kata Djarum dan terakhir ada tayangan larangan merokok dari pemerintah, maka secara otomotis masyarakat akan cepat menyadari bahwa iklan ini adalah iklan rokok 4. Kode Proaretik (Logika Tindakan) Dalam iklan Djarum 76 ini tidak banyak teks ataupun tanda yang tersembunyi. Hanya saja bahwa memang dalam penanyangan atau penyajian dari teori ini memang yang dibaca orang, artinya, antara lain, semua teks yang bersifat naratif. Tindakan yang dilakukan dalam iklan tersebut secara logika memang tidak masuk, tetapi pada kenyataannya bahwa tindakan mereka sebagai wakil rakyat memang begitu adanya. Banyaknya kasus yang menimpa para anggota dewan kemudian menjadikan suatu opini publik bahwa mereka tidak bekerja secara maksimal terutama dalam mengurusi masalah permasalahan rakyat. Tindakan nyeleneh ataupun pertanyaan yang dilontarkan oleh jin dengan mimik polos seakan tidak mengerti dengan kondisi yang ada dilapangan membuat menarik dan lucu tetapi juga sebagai bentuk kritikan sosial terhadap situasi di lapangan yang terjadi. Dalam iklan tersebut sosok jin tersebut berkata ”kalau ingin naik pangkat maka wakil di buang toh”. Bila dicermati dari linguistik atau pun dari bahasa verbal dan non verbalnya menyiratkan suatu permasalahan yang pelik dimana saat ini memang peran wakil dibeberapa daerah tidak berfungsi sebagai pejabat politik. Perilaku lain yang diperlihatkan adalah bagaimana anggota wakil rakyat miskin dan wakil rakyat kecil ketika 305
mengetahui ada kenaikan pangkat dengan lantang dan keras menuntut keadilan dan menginginkan hal sama seperti mereka. Dianalogikan kepada kritik sosial bagaimana anggota dewan ketika berbicara kesejahteraan dan biaya untuk dirinya akan bermewah-mewah dan tidak memikirkan kepentingan rakyat. Kondisi kontras ketika mereka dalam konteks menjadi rakyat biasa mereka ”menjerit” tidak menerima keadaan mereka, mereka menolak secara tegas dengan kondisi setelah mereka dinaikkan ”pangkatnya” dengan dihilangkannya kata wakil.
kemudianya kenyataan ini telah menjadi kebudayaan di negara kita. Perebutan kekuasaan dan kepentingan golongan atau pribadi menjadi tujuan utama para pemimpin dan pemimpin rakyat dengan mengganti identitas dirinya sebagai wakil rakyat. Lebih jauh makna yang disampaikan adalah bagaimana seharusnya ada suatu terobosan untuk kemudian mengakhiri dan memperbaiki kondisi bangsa ini.
SIMPULAN 5. Kode Gnomik (Kode Kultural) Iklan ini menampilkan suatu kode budaya salah satunya adalah dengan menggunakan busana daerah atau blangkon yang digunakan oleh jin dalam iklan tersebut. Nuansa adat dan budaya masih kental, dimana jin tersebut dengan atribut jawanya kemudian berbicara dengan lembut dan sopan kepada orang yang ditemuinya. Inilah yang kemudian sebagai simbol bagaimana adat yang ataupun kesan yang diciptakan oleh si pembuat iklan tentang budaya jawa. Tetapi jika dilihat lebih dalam bahwa iklan ini menampilkan keadaan baru ataupun menampilkan budaya-budaya baru yang menjadi fenomena di Indonesia saat ini yang sesungguhnya tidak sesuai dengan kebudayaan bangsa Indonesia seperti berebutnya kekuasaan antara wakil ketua dan ketua. Karena bagaimanapun mereka atau individu itu akan selalu mencoba untuk menjadi orang nomor 1 walaupun kemudian langkah-langkah yang ditempuh tidak sesuai dengan norma dan etika. Kritikan ataupun makna yang ditangkap dari kode ini adalah bagaimana
Durasi iklan yang tidak lebih dari 1 menit ini banyak sekali memiliki arti dan makna. Setiap makna yang telah dianalisis dengan menggunakan metode analisis semiotik Roland Barthes ternyata banyak mengundang arti. Penayangan iklan yang dikemas secara sederhana memberikan makna yang mudah untuk dikenali dan dipahami oleh si penerima pesan tersebut. Pengemasan iklan dengan nuansa komedi dan dengan suasana lebih merakyat membuat penonton kemudian mengingatnya. Adanya kesamaan tokoh atau icon dan tema yang selalu mengkritik keadaan sosial di Indonesia menjadikan iklan tersebut tidak menjadi bosan. Dalam penayangan iklan tersebut, si pengiklan tidak kemudian mencoba menekankan kepada pengingatan kepada brand secara langsung, karena brand image atau nama Djarum telah lama berkecimpung di dunia rokok dan namanya sudah terkenal. Tetapi pengiklan mencba mengkodekan kondisi-kondisi sosial yang sedang terjadi dan membuat khalayak tertanam atas tema-tema sosial yang ada dalam iklannya. Akan selalu ada variasi dan versi iklan Dajrum 76 ini kedepannyam 306
tetapi tetap dengan tema yang sama tentang kritik sosial yang ada disekitar kita. Kelebihan lain adalah bagaimana makna konotasi yang dihadirkan dapat diterjemahkan secara mudah, karena memang iklan ini ditujukan kepada semua segmentasi khususnya mereka yang berada di daerah-daerah yang tentunya telah boleh merokok. Secara kasat mata memang pengguna ataupun perokok merek Djarum 76 ini adalah masyarakat pedesaan. Sangat jarang sekali ditemui di perkantoran atau di tempat-tempat umum di perkotaan yang merokok Djarum 76 ini. Kode-kode yang disampaikan dan kemudian dapat dimaknai ini dapat dijadikan sebagai perbaikan sistem atau menjadi konsen masyarakat kita pada umumnya. Kode kultural masih tetap dijaga dengan pakaian adat dan kekuatan mayoritas masyarakat masih tetap dipegang oleh simbol-simbol Jawa. Simbol-simbol adat atau pelecehan pada profesi tertentu atau yang dirasa terlalu berlebihan akan menjadi bumerang pada produk yang ditawarkan. Oleh sebab itu, harus selalu diperhatikan isi dari iklan dimana didalamnya tetap kritis tetapi santun. Karena khalayak yang menonton tersebut berasal dari beragam jenis kalangan dan usia yang berbeda, sehingga tingkat pemahamannya pun akan kode yang disajikan akan beragam.
---------------------(2008), Konstruksi Sosial Media Massa. Jakarta: Prenanda Media Group Budiman, Kris (2003), Semiotika Visual. Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti Eriyanto (2001), Analisis Wacana, Pengantar Analisis Teks Media, Yogyakarta: LKIS --------------------, Analisis Framing; Konstruksi, Ideologi dan Politik Media, Yogyakrta: LKIS. Gadamer, Hans-Georg (1990), Wahrheit und Methode (Grundzüge einer philosophischen Hermeneutik), Tübingen: Deutschland. Griffin, Emory A (2003). A First Look at Communication Theory, 5th edition. New York McGraw-Hill. Indriani, Ratna (2000). Pendekatan Semiotis Sastra: Suatu Studi Kasus terhadap Sebuah Cerita Pendek dalam E. K. M Masinambouw dan Rahayu S. Hidayat. Semiotik; Kumpulan Makalah Seminar. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya LPUI,. Jefkins, Frank (2003), Periklanan Edisi Ketiga. Jakarta: Erlangga.
DAFTAR PUSTAKA Berger, Peter&Thomas Luckmann (1990), Tafsir Sosial atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta, LP3ES Bungin, Burhan (2009), Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana
Kriyantono, Rachmat (2007), Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Kusriyanto, Adi (2004), Tipografi Komputer Untuk Desainer Grafis. Yogyakarta: Andi -------------------- (2007), Pengantar Desain Komunikasi Visual. Yogyakarta: Andi
307
Littlejohn, S. & Foss, K. (2009). Theries of Human Communication (Terj. Hamdan, Yusuf). Jakarta: Salemba Humanika. Miller, Katherine (2005). Communication Theories. USA: Macgraw-Hill. Moleong, Lexy (1998). Penelitian Kualitatif. Rosdakarya
Metodelogi Bandung:
Rustan, Surianto (2009). Mendesain Logo. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka -------------------- (2009). Layout. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Sobur, Alex (2006), Analisis Teks Media, Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing. Bandung: Rosdakarya --------------- (2006), Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya W.
Laurence Neuman. (2006). Social Research Methodes, Qualitative and Quantitative Approaches. Boston: Pearson Education.
Wibowo, Indiwan (2011), Semiotika Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana Media
308