ANALISIS SEKRESI UNTUK TUJUAN PENGUMPULAN IKAN HIU DALAM PENANGKAPAN IKAN
Oleh : Adi Munadi C05400008
PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
ABSTRAK ADI MUNADI. C05400008. Analisis Sekresi untuk Tujuan Pengumpulan Ikan Hiu dalam Penangkapan Ikan. Dibimbing oleh ANWAR BEY PANE. Belum diketahuinya penyebab ketertarikan hiu terhadap darah yaitu apakah warna atau bau atau zat dari berbagai macam darah tersebut yang membuat ketertarikan hiu. Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan kepekatan warna darah, kadar amoniak darah dan asam amino dalam darah serta hubungan ketiga parameter diatas yang diduga menyebabkan ketertarikan hiu. Jenis-jenis darah yang dianalisis adalah darah sapi, darah cakalang, darah tongkol, darah tuna, darah layur, darah pari dan darah hiu. Penelitian ini menggunakan metode Sahli untuk analisis kepekatan warna darah, metode Phenate untuk analisis amoniak darah dan metode HPLC untuk analisis asam amino. Hasil penelitian telah diuji secara statistik menggunakan Anova, beda nyata terkecil (BNT) dan pengelompokkan rata-rata terbesar hingga terkecil menggunakan kaidah Student Newman Keul. Diperoleh hasil bahwa darah hiu memiliki kepekatan warna yang paling tinggi yaitu 67,83 g/ml. Diduga bahwa darah hiu memiliki daya tarik yang paling kuat terhadap reaksi ikan hiu bila dibandingkan dengan darah-darah lain. Darah layur menunjukkan kadar amoniak yang paling rendah yaitu 105,23 ppm, sehingga diduga darah layur memiliki daya tarik yang paling kuat terhadap reaksi hiu karena hiu lebih tertarik terhadap darah yang kadar amoniaknya rendah. Selanjutnya dari analisis asam amino perangsang nafsu makan ikan, darah hiu menunjukan konsentrasi yang paling tinggi yaitu 0,570 %. Diduga, darah hiu memiliki daya tarik yang paling kuat terhadap reaksi hiu. Kombinasi kandungan kepekatan warna darah, kadar amoniak dan asam amino menunjukkan bahwa darah hiu dapat dikategorikan kepada penilaian “terbaik”, sehingga diduga bahwa darah hiu memiliki daya tarik yang paling kuat terhadap reaksi ikan hiu.
ANALISIS SEKRESI UNTUK TUJUAN PENGUMPULAN IKAN HIU DALAM PENANGKAPAN IKAN
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
Oleh : ADI MUNADI C05400008
PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006
SKRIPSI Judul
: ANALISIS SEKRESI UNTUK TUJUAN PENGUMPULAN IKAN HIU DALAM PENANGKAPAN IKAN
Nama
: Adi Munadi
NRP
: C05400008
Disetujui, Pembimbing
Dr. Ir. Anwar B. Pane, DEA. NIP. 130 814 494
Mengetahui, Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Dr. Ir. Kadarwan Soewardi NIP. 130 805 031
Tanggal Lulus : 30 Januari 2006
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
ANALISIS SEKRESI UNTUK TUJUAN PENGUMPULAN IKAN HIU DALAM PENANGKAPAN IKAN
adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Adapun semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis, telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Februari 2006
ADI MUNADI C05400008
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor, pada tanggal 27 April 1981 dari pasangan H. Atjep Suarta dan Hj. Yumenih. Penulis adalah anak ke-4 dari empat bersaudara. Pendidikan formal penulis diawali dari Sekolah Dasar Negeri (SDN) 03 Bojonggede pada tahun 1988-1994, Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Bogor pada tahun 1994-1997 dan Sekolah Menengah Umum (SMU) Plus dibawah naungan Yayasan Persaudaraan Haji Bogor (YPHB) pada tahun 1997-2000. Pada tahun 2000 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI), pada Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan (PSP), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK). Penulis pernah menjadi asisten dosen mata kuliah Bioteknologi Pemanfaatan Sumberdaya Ikan (BIOTEK PSDI) di Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan pada semester genap tahun akademik 2003-2004 dan 2004-2005. Untuk menyelesaikan tugas akhir, penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi dengan judul “ANALISIS SEKRESI UNTUK TUJUAN PENGUMPULAN IKAN HIU DALAM PENANGKAPAN IKAN”.
KATA PENGANTAR
Skripsi yang berjudul “Analisis Sekresi untuk Tujuan Pengumpulan Ikan Hiu dalam Penangkapan Ikan”, disusun berdasarkan penelitian yang tela h dilakukan selama bulan Nopember 2004 hingga Oktober 2005. Penelitian lapang dilakukan di Palabuha nratu, sedangkan penelitian laboratorium dilakukan di Laboratorium Terpadu Analisis Kimia dan Laboratorium Lingkungan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Anwar B. Pane, DEA. selaku komisi pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingannya. 2. Bapak Kosasih dan Bapak Jajang yang telah membantu penulis dalam menganalisis sampel di Laboratorium Terpadu Analisis Kimia dan Laboratorium Lingkungan. 3. Kedua orang tua, H. Atjep Suarta dan Hj. Yumenih serta seluruh keluarga yang selalu memberikan dukungan dan doanya. 4. Sdr. Arik, Sdr. Syarif dan Sdr. Agus yang telah membantu penulis dalam penelitian lapang di Palabuhanratu. 5. Semua pihak yang telah membantu proses penyelesaian skripsi dari awal hingga akhir penelitian, yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran dan kritik sangat penulis harapkan guna memberikan referensireferensi pemahaman baru yang saat ini masih menjadi keterbatasan penulis. Mudahmudahan skripsi ini dapat bermanfaat bukan hanya bagi penulis tapi juga bagi semua pihak yang me mbutuhkan dan bagi ilmu pengetahuan Indonesia.
Bogor, Februari 2006
Penulis
DAFTAR ISI halaman DAFTAR ISI .......................................................................................................
i
DAFTAR TABEL ..............................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................
vi
1.
2.
PENDAHULUAN .....................................................................................
1
1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1.2 Tujuan Penelitian .................................................................................. 1.3 Permasalahan Penelitian ....................................................................... 1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................
1 3 4 5
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................
6
2.1 Deskripsi Hiu ........................................................................................
6
2.1.1 Klasifikasi Hiu .......................................................................... 2.1.2 Morfologi Hiu .......................................................................... 2.1.3 Fisiologi Hiu ............................................................................. 2.1.4 Habitat Hiu ............................................................................... 2.1.5 Penyebaran Hiu ........................................................................ 2.1.6 Makanan dan Kebiasaan Makanan ...........................................
6 7 11 12 13 14
2.2 Unit Penangkapan .................................................................................
15
2.2.1 Unit Penangkapan Jaring Liong Bun (Gillnet Cucut) ............... 2.2.2 Unit Penangkapan Rawai Cucut ...............................................
15 16
2.3 Penelitian Tentang Hiu ......................................................................... 2.4 Definisi Sekresi .....................................................................................
17 20
2.4.1 Sekresi sebagai Pesan ............................................................... 2.4.2 Telemediator Kimiawi .............................................................. 2.4.3 Semiokemikal ...........................................................................
20 20 22
2.5 Darah .....................................................................................................
25
2.5.1 Darah Ikan ................................................................................ 2.5.2 Darah Mamalia .........................................................................
25 26
2.6 Parameter yang Diidentifikasi ..............................................................
28
2.6.1 Warna Darah ............................................................................ 2.6.2 Amoniak ...................................................................................
29 30
i
halaman 2.6.3 Asam Amino ............................................................................
31
METODOLOGI PENELITIAN ..............................................................
33
3.1 Waktu dan Tempat ................................................................................ 3.2 Bahan dan Alat ..................................................................................... 3.3 Metode Penelitian .................................................................................
33 33 34
3.3.1 Tahapan-tahapan Penelitian ................................................... 3.3.2 Data dan Informasi yang Dikumpulkan .................................
35 38
3.4 Analisis Data .........................................................................................
38
KEADAAN UMUM PALABUHANRATU ............................................
40
4.1 Kondisi Geografis dan Prasarana Umum ............................................. 4.2 Kondisi Perikanan Tangkap ..................................................................
40 41
4.2.1 Prasarana Perikanan ................................................................ 4.2.2 Penangkapan Ikan di Palabuhanratu ....................................... 4.2.3 Penangkapan Ikan Hiu di Palabuhanratu ................................
41 42 46
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................
53
5.1 Analisis Kepekatan Warna Darah ......................................................... 5.2 Analisis Total Amoniak Nitrogen (TAN) ............................................. 5.3 Analisis Asam Amino ........................................................................... 5.4 Hubungan Kadar Hemoglobin (Hb), Kadar Total Amoniak Nitrogen (TAN) dan Jenis-jenis Asam Amino dalam darah ...............................
53 58 62
KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................
72
6.1 Kesimpulan ........................................................................................... 6.2 Saran .....................................................................................................
72 73
DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................
74
LAMPIRAN ........................................................................................................
77
3.
4.
5.
6.
69
ii
DAFTAR TABEL halaman 1. Analisis kimiawi daging ikan hiu ..................................................................
11
2. Penggunaan darah untuk pengumpulan hiu dalam penelitian dan praktek penangkapan hiu ............................................................................................
19
3. Jenis substansi kimiawi yang diperoleh dari air laut .....................................
21
4. Perkembangan jumlah kapal/perahu perikanan yang menggunakan PPN Palabuhanratu sebagai fishing base tahun 1994-2004 ..................................
42
5. Perkembangan jumlah alat tangkap yang beroperasi di PPN Palabuhanratu tahun 1994-2004 ...........................................................................................
43
6. Perkembangan jumlah nelayan yang beraktifitas di PPN Palabuhanratu tahun 1994-2004 7. Jenis-jenis alat tangkap yang dapat menangkap hiu .....................................
44 47
8. Frekuensi masuk dan keluar kapal perikanan jenis kapal motor yang dapat mendaratkan hiu di PPN Palabuhanratu tahun 2003 dan 2004 ......................
48
9. Jenis-jenis hiu yang didaratkan di PPN Palabuhanratu pada tahun 2004 ......
50
10. Volume jual dan harga jual hiu segar/basah di PPN Palabuhantratu tahun 2004 ...............................................................................................................
49
11. Hasil pengukuran kadar he moglobin (Hb) dalam darah ...............................
54
12. Analisis sidik ragam kadar hemoglobin (Hb) pada jenis sampel darah yang berbeda ...........................................................................................................
55
13. Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pengaruh sampel darah yang berbeda terhadap rata-rata kadar Hemoglobin ............................................................
56
14. Hasil pengukuran kadar TAN dalam darah ....................................................
58
15. Analisis sidik ragam kadar TAN pada jenis darah yang berbeda .................
60
16. Uji beda nyata terkecil (BNT) pengaruh sampel darah yang berbeda terhadap rata-rata kadar TAN ........................................................................
60
iii
halaman 17. Hasil pengukuran jenis-jenis asam amino dalam darah..................................
62
18. Jenis asam amino yang memiliki konsentrasi tertinggi pada setiap sampel darah................................................................................................................
63
19. Konsentrasi jenis-jenis asam amino utama perangsang nafsu makan ikan (alanina dan glisina) pada sampel darah
65
20. Analisis sidik ragam konsentrasi jenis-jenis asam amino utama perangsang nafsu makan pada ikan (alanina dan glisina) pada sampel darah ...................
67
21. Uji beda nyata terkecil (BNT) pengaruh sampel darah yang berbeda terhadap kadar asam amino jenis utama perangsang nafsu makan ikan (alanina dan glisina ) .......................................................................................
67
22. Pengelompokan jenis darah menurut dugaan kategori reaksi hiu ..................
70
iv
DAFTAR GAMBAR
halaman 1.
Posisi penelitian Munadi (2006) dari rangkaian penelitian sekresi hiu .......
4
2.
Anatomi tubuh bagian luar dari ikan hiu ....................................................
7
3.
Anatomi tubuh bagian dalam dari ikan hiu .................................................
7
4.
Beberapa tipe sistem penerimaan sensor ya ng ditemukan pada ikan hiu ...
9
5.
Sketsa molekul asam amino ........................................................................
31
6.
Perkembangan produksi ikan yang di PPN Palabuhanratu tahun 19942004 .............................................................................................................
7.
Produksi ikan segar, ikan pindang dan ikan asin yang didistribusikan dari PPN Pelabuhanratu tahun 1994-2004 ..........................................................
8.
46
Frekuensi masuk kapal perikanan yang dapat mendaratkan hiu di PPN Palabuhanratu tahun 2003 dan 2004 ............................................................
9.
45
49
Frekuensi keluar kapal perikanan yang dapat mendaratkan hiu di PPN Palabuhanratu tahun 2003 dan 2004 ............................................................
49
10.
Rata-rata kadar hemaglobin (Hb) yang diukur dari beberapa jenis darah ..
54
11.
Tingkatan dugaan ketertarikan hiu terhadap kepekatan warna darah sampel menggunakan analisis pengelompokan ..........................................
57
12.
Rata-rata kadar TAN yang diukur dari beberapa jenis sampel darah..........
59
13.
Tingkatan
dugaan
ketertarikan
hiu
terhadap
kadar
bau
darah
menggunakan analisis pengelompokan ....................................................... 14.
Konsentrasi jenis asam amino utama perangsang nafsu makan ikan (alanina dan glisina) dalam darah ...............................................................
15.
61
65
Tingkatan dugaan ketertarikan hiu terhadap konsentrasi jenis asam amino utama (alanina dan glisina) perangsang nafsu makan pada ikan menggunakan analisis pengelompokan .......................................................
68
v
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1.
Beberapa jenis-jenis hiu yang didaratkan di PPN Palabuhanratu................
77
2.
Jenis-jenis ikan yang dijadikan sampel untuk diambil darahnya ................
79
3.
Alat-alat untuk analisis laboratorium ..........................................................
80
4.
Diagram alat HPLC .....................................................................................
81
5.
Contoh kromatogram dari analisis asam amino dalam darah menggunakan HPLC ..........................................................................................................
82
vi
1. 1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Ikan hiu dapat dijumpai hampir di seluruh wilayah perairan Indonesia, baik di
perairan territorial, perairan samudera maupun Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEE), dari Sabang sampai Marauke, dari Talaud sampai Cilacap. Jenis hiu yang ditemukan pun beraneka ragam. Diperkirakan lebih dari 75 jenis hiu ditemukan di perairan Indonesia dan sebagian besar dari jenis tersebut potensial untuk dimanfaatkan (Wibowo dan Susanto, 1995). Selanjutnya Wibowo dan Susanto menyatakan bahwa pada tahun 1988 hasil tangkapan ikan hiu di Indonesia mencapai 39.055 ton, sedangkan menurut Statistik Perikanan Indonesia tahun 2000 (Anonymous, 2002), tidak kurang dari 68.366 ton hiu ditangkap dan didaratkan di berbagai tempat pendaratan ikan di Indonesia. Hal ini berarti terjadi peningkatan sebesar 62,2 % dalam kurun waktu 12 tahun atau rata-rata naik sebesar 5,2 % per tahun. Diantara daerah yang paling banyak didaratkan hasil tangkapan ikan hiu pada tahun 2000 adalah perairan utara Sulawesi sebesar 10.152 ton (14,8 %), perairan timur Sumatera sebesar 9.815 ton (14,4 %), perairan utara Jawa sebesar 9.044 ton (13,2 %) dan perairan barat Sumatera sebesar 8.062 ton (11,8 %) (Anonymous, 2002). Selanjutnya, di perairan pantai selatan Palabuhanratu, hiu juga tertangkap oleh nelayan-nelayan setempat, pada tahun 2004 produksinya mencapai 87,3 ton (Anonymous, 2004). Hiu dapat ditangkap menggunakan alat tangkap seperti pukat cincin, pancing, jaring insang dan rawai mini (Sala, 1996 vide Susanti, 1997). Alat tangkap yang digunakan cenderung berbeda-beda berdasarkan karakteristik perairan dimana hiu tertangkap. Nelayan Cirebon menggunakan jaring liong bun (gillnet cucut) untuk menangkap hiu yang pengoperasiannya berada di dekat dasar perairan, sedangkan di daerah Cilacap para nelayannya menggunakan rawai cucut. Alat tangkap lain seperti tuna longline bisa juga menangkap hiu, namun hanya sebatas sebagai hasil tangkapan sampingan (Narsongko, 1993). 1
Hampir semua bagian tubuh hiu dapat dimanfaatkan, mulai dari sirip, kulit, daging, hati, isi perut dan tulang. Tidak salah jika hiu disebut sebagai ikan serba guna, berkhasiat pangan dan obat, serta bermanfaat industri. Oleh karenanya memiliki nilai ekonomis tinggi. Bagian yang paling khas dan menarik dari tubuh hiu adalah siripnya. Sirip hiu harganya sangat mahal. Pada tahun 1995, sirip hiu yang setengah kering saja harganya mencapai Rp. 50.000,00 per kg dan yang kering mencapai Rp. 100.000,00. kalau sudah diolah menjadi serat-serat sirip yang disebut hisit bisa mencapai Rp. 750.000,00 per kg (Wibowo dan Susanto, 1995). Kulit hiu dapat disamak dan dijadikan barang-barang kerajinan tangan atau industri kecil yang dapat dijual seperti tas, dompet, sepatu, ikat pinggang bahkan jaket. Daging ikan hiu tidak kalah enaknya dengan daging ikan lain jika bau amoniak yang tidak sedap pada hiu dihilangkan terlebih dahulu atau dikurangi dengan cara pengasapan, pemanggangan, perebusan atau perendaman dalam larutan asam. Daging hiu bisa dijadikan abon, bakso, sosis, atau produk pangan lainnya (Wibowo dan Susanto, 1995). Selanjutnya Wibowo dan Susanto menyatakan bahwa minyak hati ikan hiu sangat dicari oleh pihak industri kosmetika dan farmasi. Hati hiu mengandung minyak yang kaya vitamin A dan D, bahkan banyak mengandung senyawa biokos (biokosmetika) skualen. Tulang hiu mengandung kolagen yang cukup tinggi dan dapat diolah menjadi lem atau dibuat tepung. Jika diekstrak, tulang hiu dapat menghasilkan senyawa kondroiton untuk digunakan sebagai obat tetes mata dan dapat mencegah proses penuaan sel. Salah satu keunikan ikan hiu di laut adalah ketertarikannya terhadap darah. Hasil berbagai penelitian atau praktek penangkapan hiu yang telah dilakukan mengenai penggunaan darah untuk pengumpulan ikan hiu, diperoleh informasiinformasi yang beragam. Darah-darah yang pernah digunakan untuk pengumpulan hiu tersebut diantaranya yaitu darah hewan ternak seperti sapi (Narsongko,1993), darah ikan seperti cakalang, lemadang, lumba- lumba (Hendrotomo, 1989), layur, cucut, remang, sidat, belut laut (Wirianata, 1982), pari, tuna dan tongkol. Namun dari 2
berbagai penelitian yang telah dilakukan tersebut, sejauh ini belum pernah dilakukan analisis lebih lanjut mengenai apa penyebab yang membuat ikan hiu tertarik terhadap darah yang terdapat dalam sampel yang telah dicobakan tersebut. Diduga, darah (hewan) mengandung zat/senyawa/bau dan mungkin warna tertentu yang membuat hiu tertarik. Setiap darah hewan dari jenis yang berbeda memiliki zat/senyawa/bau/warna darah yang berbeda-beda, sehingga diduga akan memberikan reaksi
hiu yang berbeda pula terhadap darah-darah tersebut.
Zat/senyawa/bau/warna darah tersebut dapat diduga berfungsi sebagai “feromon” dalam hal tertariknya ikan hiu terhadap darah hewan lain. Pada hewan atau organisme laut, “feromon” pada umumnya berupa sekresi yang dipancarkan ke dalam air laut dan memberikan pengaruh terhadap hewan atau organisme laut lainnya dalam suatu jarak yang cukup jauh baik dalam spesies yang sama (intraspesies) atau spesies yang berbeda (interspesies). Sekresi
merupakan
suatu
senyawa
kimiawi
yang
dikeluarkan
suatu
individu/organisme atau kelompok kepada individu/organisme atau kelompok lain baik itu secara sengaja maupun tidak disengaja dengan fungsi- fungsi tertentu. Untuk merespon suatu sekresi atau suatu darah di perairan, diduga selain menggunakan indera penciumannya, hiu juga mengeluarkan senyawa bioaktif tertentu yang disebut sebagai sekresi. Begitu juga organisme lain yang menjadi mangsa hiu diduga dapat mengeluarkan senyawa bioaktif dalam darah yang tersebar ke perairan, misalnya melalui luka tubuh yang dialaminya. Untuk itu sehubungan dengan hal-hal yang telah dikemukakan diatas, perlu dilakukan penelitian tentang apa yang menyebabkan ketertarikan ikan hiu terhadap darah hewan lainnya. Apakah itu berupa zat atau senyawa atau bau atau warna tertentu dari darah yang dicobakan. 1.2
Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut :
(1)
Mendapatkan konsentrasi kepekatan warna darah, kadar Total Amoniak Nitrogen (TAN) dan jenis-jenis asam amino dalam darah pada berbagai macam
3
darah hewan yang dapat membuat ketertarikan ikan hiu untuk berkumpul; yaitu darah sapi, darah cakalang, darah tongkol, darah tuna, darah layur, darah pari dan darah hiu itu sendiri. (2)
Mendapatkan hubungan antara warna darah, kadar TAN dan jenis-jenis asam amino dalam darah dari berbagai macam darah tersebut diatas yang dapat membuat ketertarikan hiu untuk berkumpul.
1.3
Permasalahan Penelitian Permasalahan yang ada dalam penelitian ini adalah belum diketahuinya
penyebab ketertarikan hiu terhadap darah yaitu apakah zat atau senyawa atau bau atau warna dari berbagai macam darah yang membuat ketertarikan hiu tersebut yaitu darah sapi, darah cakalang, darah tongkol, darah tuna, darah layur dan darah pari serta darah hiu itu sendiri. Penelitian ini merupakan penelitian awal dari rangkaian penelitian-penelitian yang tujuan akhirnya untuk mendapatkan produk tiruan (rekayasa) darah yang berisi kandungan-kandungan atau substansi aktif yang mempunyai daya tarik terhadap pengumpulan hiu; untuk tujuan penangkapannya. Hasil-hasil penelitian dan praktek penangkapan hiu dengan darah
Penelitian tentang kandungan darah yang membuat hiu tertarik
Hasil : jenis-jenis darah
Hasil : kandungan darah Uji coba darah di perairan dalam skala laboratorium atau lapangan Hasil : presisi hasil penelitian
Uji coba di laut, penebaran produk tiruan untuk mengumpulkan hiu Hasil : produk akhir akurat
Penelitian rekayasa produk tiruan darah untuk mengumpulkan hiu Hasil : produk rekayasa awal
Gambar 1. Posisi penelitian Munadi (2006) dari rangkaian penelitian sekresi hiu
4
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain :
(1)
Sebagai bahan pedoman bagi nelayan atau pihak-pihak terkait tertentu yang ingin melakukan praktek penangkapan ikan hiu menggunakan darah sebagai cara pengumpulannya.
(2)
Memberikan informasi tentang data jenis darah kepada pihak yang ingin melakukan pene litian lanjutan mengenai perilaku ikan khususnya reaksi hiu terhadap darah.
5
2. 2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Deskripsi Hiu
2.1.1 Klasifikasi Hiu Seekor ikan pada dasarnya dapat diklasifikasikan sebagai ikan hiu jika memiliki insang seperti kisi-kisi yang terpasang di kedua sisi kepalanya (Wibowo dan Susanto, 1995). Seperti ikan lain, hiu termasuk kelas pisces dengan subkelas elasmobranchii atau chondricthyes dalam filum chordata. Menurut katalog yang disusun FAO tahun 1984 (Campagno, 1984a), di dunia ditemukan sekitar 350 spesies ikan hiu yang dikelompokkan
dalam
8
ordo
yaitu
hexanchiformes,
squaliformes,
pristiophoriformes, squantiformes, heterodontiformes, orectolobiformes, la mniformes dan carcharhiniformes. Ordo hexanchiformes terdiri dari dua famili yaitu chilamydoselachidae dan hexanchidae. Squaliformes memiliki tiga famili yaitu Echinorhinidae, squalidae dan oxinotidae. Squalus acanthias adalah salah satu spesies yang paling sering ditemukan berasal
dari
famili
squalidae.
Pristiophoriformes,
squantiformes
dan
heterodontiformes hanya memiliki masing- masing satu famili yaitu pristiophoridae, squantinidae dan heterodontidae. Selanjutnya, ordo orectolobiformes terdiri dari tujuh famili yaitu parascyllidae, branchaeluridae, orectolobidae, hemiscyllidae, stegostomatidae, gynglymostomatidae dan rhiniodontidae. Ordo lamniformes memiliki jumlah famili yang sama dengan ordo
orectolobiformes
yaitu
tujuah
famili
diantaranya
odontaspididae,
mitsukurinidae, pseudocarchariidae, megachasmidae, alopiidae, cetorhinidae dan lamnidae. Ordo yang memiliki jumlah famili paling banyak adalah ordo carcharhiniformes dengan delapan famili yaitu scyliorhinidae, proscylliidae pseudotriahidae,
leptochariidae,
triakidae,
hemigaleidae,
carcharhinidae
dan
sphyrnidae. Spesies Carcharhinus melanopterus yang lebih dikenal dengan hiu lanjam (blacktip-reef shark) berasal dari famili carcharhinidae.
6
2.1.2 Morfologi Hiu Gambar 1 dan 2 menampilkan bagian-bagian tubuh hiu. Ikan hiu memiliki tubuh memanjang dengan bentuk seperti cerutu dan ekornya berujung runcing. Nontji (1989) menyatakan bahwa pada umumnya hiu memiliki tubuh berbentuk atau menyerupai torpedo disertai ekor yang kuat.
Gambar 2. Anatomi tubuh bagian luar dari ikan hiu (Anonymous, 2004)
Gambar 3. Anatomi bagian dalam dari ikan hiu (Anonymous, 2004)
7
(1)
Organ tubuh Alat pernapasan hiu sangat unik dan tidak dimiliki oleh ikan- ikan lain. Alat ini
dinamakan insang jendela karena rongga insangnya mempunyai tutup yang berlubang- lubang seperti jeruji jendela. Keunikan pernapasan hiu terletak pada tubuhnya yang harus terus bergerak. Bila hiu berhenti bergerak maka aliran air ke dalam rongga insang akan terhenti (Wibowo dan Susanto, 1995). Struktur kulit hiu berupa serat-serat yang tersusun malang- melintang membentuk susunan seperti anyaman. Kulit hiu dilapisi oleh sisik-sisik halus yang disebut dermal denticle.. Hal ini didukung oleh Nontji (2005), bahwa hiu memiliki kulit yang tertutup oleh sisik plakoid berupa duri-duri halus yang posisinya condong ke belakang. Menurut Susanti (1997), warna kulit hiu adalah lebih gelap di bagian punggung dan lebih terang di bagian perutnya, meskip un ada pula yang berwarna lain. Jaringan daging hiu menempel langsung ke kulit tanpa ada lapisan lemak sebagai lapisan perantara seperti yang terdapat pada ikan- ikan lain. Dengan daging menempel langsung pada kulit saling-silang ini maka ikatan daging dengan kulit sangat kuat. Kondisi ini menyulitkan proses penanganan hiu ketika harus memisahkan kulit dari dagingnya (Wibowo dan Susanto, 1995). Hiu memiliki mulut yang letaknya di bagian bawah dan agak ke belakang dari bagian moncongnya (Nontji, 2005). Ungkapan Nontji tersebut diperjelas oleh Baker (1975) vide Susanti (1997) bahwa bagian mulut hiu seperti tersebut diatas berfungsi mengarahkan arus air ke arah pharinx untuk menyaring makanan. Pada umumnya, gigi hewan darat atau manusia tertanam dengan kuat pada rahangnya. Berbeda halnya dengan hiu, gigi hiu tidak tertanam pada rahang melainkan pada kulitnya (Wibowo dan Susanto,1995). Akibatnya, gigi hiu dapat mudah lepas. Johnson (1990) vide Susanti (1997) menyatakan bahwa penyebab gigi hiu mudah lepas adalah karena gigi tersebut tumbuh pada bagian rahang yang lunak seperti kulit.
8
Menurut Baker (1975) vide Susanti (1997), Sirip-sirip hiu terdiri atas bagian pectoral, pelvic, anal, caudal, dorsal dan second dorsal (gambar 1). Sirip pectoral digunakan sebagai alat keseimbangan, sedangkan sirip dorsal sebagai alat stabilisator. (2)
Alat indera Ikan hiu memiliki tiga macam alat indera yaitu indera penciuman, indera
penglihatan dan indera perasa (Narsongko, 1993). Indera yang paling berperan adalah indera penciuman. Sebagian besar otak hiu digunakan untuk melayani indera penciuman, tidak heran jika hiu memiliki indera penciuman yang sangat tajam. Nomura (1981) vide Narsongko (1993) menyatakan bahwa rongga di dalam kantung organ penciuman yang berbentuk kapsul adalah tersusun rapat dan tampak mengandung sel-sel pendeteksi zat kimia pada lubang kapsul tersebut. Nomura menyimpulkan bahwa alat penciuman hiu sangat peka. Sebagaimana vertebrata yang lain, ikan memiliki dua sistem sensori/reseptor kimia yaitu pembau (olfaktori) dan pengecap (gustatori) yang beradaptasi terhadap substansi spesifik lingkungan. Secara umum olfaktori serupa dengan organ nasal untuk penciuman (hidung) manusia. Reseptor olfaktori mendeteksi rangsangan kimia dalam bentuk sinyal elektrik (Fujaya, 2002). Sinyal kimia (alamon dan feromon) digunakan sebagai alat komunikasi yang selanjutnya mempengaruhi pola perilaku dan reproduksi ikan. Asam amino, steroid, prostaglandin dan garam empedu merupakan substansi kimia yang sangat sensitif terhadap sistem pengecapan pada ikan. Meskipun pada konsentrasi yang rendah, asam amino tetap mampu dideteksi oleh lebih dari 20 spesies ikan air tawar dan laut (Fujaya, 2002). Poznanin (1970) vide Narsongko (1993) menyatakan bahwa ikan hiu (Mustalus canis) mempunyai kemampuan mendeteksi makanan dengan bantuan indera pencium yang ditunjukkan oleh kegiatan sensorik yang digantikan fungsinya oleh organ olfaktori. Bisa dikatakan bahwa indera penciuman hiu lebih berperan daripada indera penglihatannya. Menurut Bonaventura dan Bonaventura (1983) dalam Zahuranec (1983), organ olfaktori hiu dapat mendeteksi zat kimia sampai jarak ratusan meter
9
sedangkan organ penglihatan hiu hanya dapat melihat maksimal sampai jarak 20 meter. Selanjutnya Engel (1979) vide Hendrotomo (1989) menambahkan bahwa hiu dilengkapi organ pencium paling tajam yang dapat menemukan tetesan darah dari jarak 400 m atau lebih. Sistem sensor pada suatu organisme dibutuhkan untuk merasakan dan mengenal lingkungan yang ada disekitarnya. Sistem sensor ini sangat penting bagi kehidupan organisme khususnya hiu sebagai alat mendeteksi makanan dan keberadaan mangsanya. Hubungan yang ditimbulkan dan diterima pada sistem sensor dapat berupa pesan atau rangsangan (stimulant) (Bonaventura dan Bonaventura, 1983 dalam Zahuranec, 1983). Gambar 3 berikut ini menyajikan tipe sistem penerimaan sensor pada ikan hiu.
Gambar 4. Beberapa tipe sistem penerimaan sensor yang ditemukan pada ikan hiu (Bonaventura dan Bonaventura, 1983 dalam Zahuranec, 1983) (3)
Kandungan urea Kandungan urea yang terdapat pada daging hiu sangat tinggi. Urea ini
merupakan sumber amoniak yang menyebabkan daging hiu sangat khas akan bau “pesing”nya (Wibowo dan Susanto, 1995). Saleh et. al. (1995) menyatakan bahwa urea merupakan sumber potensial amoniak, hampir semua penelitian tentang pengolahan ikan hiu diarahkan untuk menekan kadar urea serendah mungkin dengan cara menguraikannya menjadi amoniak yang selanjutnya akan menguap sehingga mengurangi bau seperti “pesing”.
10
Urea dibentuk di dalam darah dan cairan tubuh semua ikan laut yang bertulang keras maupun ikan laut yang bertulang rawan. Bedanya, kedua kelompok ikan ini dengan cepat akan mengeluarkan urea tersebut, sedangkan hiu tidak. Urea tersebut akan ditimbun di dalam darah. Akibatnya, kandungan urea di dalam darah hiu menjadi lebih tinggi, tekanan osmotisnya pun menjadi lebih tinggi daripada ikan bertulang keras. Kondisi ini ternyata berpengaruh terhadap cara minumnya, dengan tekanan osmotis darah ya ng biasa-biasa saja maka kebanyakan ikan harus minum untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tidak demikian halnya dengan ikan ini, hiu tidak harus minum untuk mendapatkan air, melainkan dengan cara menyerapnya melalui membran secara osmosis. Sejumlah besar urea yang terdapat dalam darah, cairan tubuh dan jaringan-jaringan daging hiu, dalam kadar lebih dari 1,5 % berat, dipercaya merupakan bagian dari mekanisme osmoregulasi yang mengatur daya selam dan daya apung dari ikan jenis Elasmobranchii ini (Wibowo dan Susanto, 1995). Hasil analisis kadar urea pada daging hiu dengan bobot basah dan bobot kering yang berasal dari bagian ekor, perut dan punggung menunjukkan bahwa kadarnya tidak berbeda yaitu 1,81 % (bobot basah) atau 7, 64 % (bobot kering) (Saleh et. al., 1995). Tabel 1 berikut mengemukakan hasil analisis kimiawi daging ikan hiu : Tabel 1. Analisis kimiawi daging ikan hiu No Parameter 1 Kadar Air (%) 2 Kadar Abu (%) 3 Protein kasar (%) 4 Lemak (%) 5 Urea (%) 6 Amoniak (mg.N %) 7 pH Sumber : Saleh et. al. (1995)
Bobot Basah 76,33 1,22 21,34 0,37 1,81 15,43 5,96
Bobot Kering 5,14 90,23 1,55 7,64 -
2.1.3 Fisiologi Hiu Banyak hal- hal yang menarik dan unik yang dimiliki ikan hiu bila dibandingkan dengan ikan lain, seperti kemampuan menga mbang dimana hiu tidak memiliki
11
kantung udara, karena ikan- ikan pada umumnya memiliki kantong udara yang berfungsi sebagai alat untuk mengambang atau tenggelam. Bentuk tubuh yang khas dan ditunjang posisi sirip-siripnya, hiu secara alami dapat membentuk gerakan hidrodinamik sehingga tubuhnya dapat terangkat. Selain itu cara berenang hiu juga menjadi salah satu keunikan tersendiri yaitu dengan cara menggeleng ke kiri dan ke kanan. Cara berenang hiu seperti tersebut diatas digunakan pada saat hiu mencari dan melacak mangsanya (Wibowo dan Susanto, 1995). Selanjutnya Wibowo dan Susanto mengatakan bahwa hiu memiliki hati yang cukup besar. Rata-rata hiu memiliki hati dengan berat hingga 25-30 % dari berat total tubuhnya. Berdasarkan volumenya, hati hiu bisa mencapai 30 % dari total volume tubuhnya. Hati hiu menyimpan hampir 80 % lemak berupa minyak dari total berat hati. Berat jenis lemak tersebut lebih ringan dari air laut yaitu 0,82 – 0,92 g/ml. Secara keseluruhan berat jenis hiu pun menjadi lebih ringan dari berat jenis air laut. Ternyata, kondisi inilah sebagai pengganti kantung udara untuk memberikan daya mengambang pada hiu. Jadi, mengambangnya hiu ditentukan oleh minyak di dalam hatinya, sedangkan gerakannya di dalam air ditentukan oleh sistem hidrodinamik yang terbentuk pada sirip dan bentuk tubuhnya. 2.1.4 Habitat Hiu Ikan hiu terdapat di seluruh perairan Indonesia, mereka umumnya ditemukan di perairan berkarang atau perairan yang dasarnya berpasir dengan kedalaman bervariasi tergantung jenisnya (Wibowo dan Susanto, 1995). Selain dilaut, beberapa jenis hiu ada yang hidup atau berenang ke daerah air tawar (Collins, 1992 vide Susanti, 1997), seperti hiu sentani yang dijumpai di danau Sentani, Papua. Pada siang hari, hiu sering dijumpai di perairan karang yang lebih dangkal, sedangkan di perairan yang lebih dalam hiu lebih sering ditemukan. Meski demikian, banyak juga jenis hiu yang menyukai tempat-tempat seperti perairan dangkal, dasar perairan berpasir atau berlumpur, air payau bahkan air tawar. Hal ini seperti dikatakan Stead (1963) vide Narsongko (1993) bahwa ikan hiu terdapat di
12
perairan dengan kedalaman yang paling dangkal sampai beberapa ribu meter di lautan lepas. Wibowo dan Susanto (1995), membedakan jenis-jenis hiu menjadi dua populasi besar yaitu hiu permukaan atau hiu-atas yang hidup di perairan dangkal dan hiu perairan dalam atau hiu-dasar. Perbedaan habitat ini sangat mempengaruhi sifat dan ciri-ciri hiu. Hiu-dasar akan mengalami tekanan air yang lebih kuat, suhu yang lebih rendah dan keterbatasan caha ya, sedangkan di peraiaran yang lebih dangkal tekanannya lebih kecil, suhu makin mendekati permukaan dan cahaya melimpah. Faktor-faktor ini yang menentukkan sifat biologis hiu di setiap kedalaman perairan. Umumnya hiu yang hidup di perairan dalam memiliki tubuh yang lebih ramping daripada hiu yang hidup di perairan yang lebih dangkal. Selanjutnya Wibowo dan Susanto mengemukakan bahwa perbedaan tekanan air juga berpengaruh pada sifat dan ketahanan kulit hiu. Biasanya kulit hiu-dasar lebih mudah rusak dibandingkan hiu-atas. Kekuatan dan kelenturannya juga berbeda serta warna daging hiu-dasar lebih putih daripada hiu-atas. 2.1.5 Penyebaran Hiu Menurut Stevens (1989) vide Susanti (1997), faktor yang sangat berpengaruh terhadap penyebaran hiu adalah kedalaman perairan dan suhu, karena kedua faktor ini relatif tidak berubah. Kedalaman rata-rata dimana hiu berada, berkisar antara 70 – 1.000 meter (Taylor and Taylor, 1995 vide Susanti, 1997). Johnson (1990) vide Susanti (1997) menambahkan bahwa walaupun demikian, ada beberapa hiu yang hidup pada kedalaman lebih dari 1000 meter. Berikut ini jenis-jenis hiu berdasarkan perubahan suhu air menurut Stevens (1989) vide Susanti (1997) : (1)
Jenis hiu tropis aktif (active tropical sharks) Jenis hiu ini hidup pada perairan yang lebih hangat dengan suhu diatas 21º C.
Biasanya hiu ini sangat aktif dan ruaya musimannya mengikuti perubahan suhu air. (2)
Jenis hiu tropis penghuni dasar (bottom dwelling sharks) Hiu jenis ini bukan merupakan pemangsa aktif. Mereka hidup bergerombol dan
menghabiskan sebagian besar waktunya di perairan dalam.
13
(3)
Jenis hiu perairan sub tropis (temperate water sharks) Hidup di perairan dengan suhu antara 10 - 21º C. Biasanya merupakan
perenang aktif dan ruayanya mengikuti arus air yang disebabkan oleh perubahan suhu. Menurut Stead (1963) vide Narsongko (1993) disebutkan bahwa ikan hiu lebih aktif
pada sore hingga malam hari dan ikan ini akan menurun atau berhenti
aktifitasnya apabila suhu air menurun sampai 18 º C. Stead juga menyatakan bahwa meskipun ikan hiu terdapat di semua laut, serangannya terbatas di perairan yang bersuhu lebih dari 21 º C hingga daerah antara 21º LS - 21º LU merupakan daerah yang mengalami serangan sepanjang tahun. Pada umumnya hiu tersebar di berbagai jenis perairan dalam kondisi berkelompok maupun individual. Hal ini didukung oleh Stevens (1989) vide Susanti (1997), bahwa hiu merupakan jenis ikan soliter, namun ada juga spesies hiu yang ditemukan berkelompok. Kreuzer dan Ahmed (1978) vide Susanti (1997) memperjelas bahwa beberapa spesies hiu bergerak pada perairan dalam area yang cukup luas, sementara spesies yang lain bergerak dalam area yang lebih kecil atau area yang sama dari permukaan hingga perairan yang lebih dalam dan sebaliknya. Hal ini berarti bahwa setiap individu hiu memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain berdasarkan habitatnya. 2.1.6 Makanan dan Kebiasaan Makan Ikan hiu termasuk omnivora yang sangat rakus (Rahayuningsih, 1993). Makanan pokoknya adalah ikan, tetapi ada juga yang memakan hewan laut lain seperti penyu, anjing laut dan bahkan ada yang bersifat kanibal dengan memakan jenisnya sendiri. Ommaney (1979) menjelaskan bahwa ikan hiu caring penghuni perairan beriklim sedang dan ikan hiu geger lintang penghuni perairan tropis hanya memakan plankton, ikan- ikan kecil, cumi-cumi dan udang. Indera penciuman sangat mendukung hiu dalam menentukan jenis makanan apa yang akan dimakan. Melalui indera penciuman juga, hiu mempunyai kemampuan untuk menentukan lokasi makanan pada jarak tertentu. Poznanin (1970) vide
14
Narsongko (1993) menyatakan bahwa ikan hiu (Mustalus canis) mempunyai kemampuan mendeteksi makanan dengan bantuan indera pencium yang ditunjukkan oleh kegiatan sensorik yang digantikan fungsinya oleh organ olfaktori. Bisa dikatakan bahwa indera penciuman hiu lebih berperan daripada indera penglihatannya. Biasanya hiu mendeteksi bau makanan dengan berenang melawan arus, kemudian bergerak ke kiri dan ke kanan artinya bila bau menjadi kurang tajam di sebelah kiri maka dia akan bergerak ke sebelah kanan dan sebaliknya sampai ia menemukan sumber bau tersebut. Pengalaman menunjukkan bahwa jika satu lubang hidung hiu disumbat maka ikan itu akan berenang berputar-putar mengikuti jejak bau yang diterimanya dari satu arah saja (Went, 1979 vide Narsongko, 1993). 2.2
Unit Penangkapan Hiu Hiu dapat ditangkap menggunakan alat tangkap seperti pukat cincin, pancing,
jaring insang, tuna longline dan rawai mini. Alat tangkap tersebut tidak spesifik untuk menangkap hiu sebagai hasil tangkapan utama. Alat tangkap yang lebih spesifik dan khusus menangkap hiu adalah jaring liong bun dan rawai cucut. Nelayan Cirebon menggunakan jaring liong bun (gillnet cucut)
untuk menangkap hiu dimana
pengoperasiannya berada di dekat dasar perairan, sedangkan rawai cucut terdapat di daerah Cilacap. 2.2.1 Unit Penangkapan Jaring Liong Bun (Gillnet Cucut) Jaring liong bun disebut juga dengan bottom gillnet, set bottom gillnet atau jaring insang tetap. Alat tangkap ini dioperasikan dengan cara direntangkan dekat dasar perairan dengan bantuan jangkar. Posisi jaring dapat diketahui dengan keberadaan pelampung di permukaan. Biasanya nelayan menggunakan jaring sebanyak 100 piece per kapal (Fauziyah, 1997). Selanjutnya Fauziyah menyatakan bahwa kapal yang digunakan oleh nelayan jaring liong bun terbuat dari kayu, umumnya memiliki lima buah palkah yaitu tiga buah palkah ikan dan dua buah palkah untuk perlengkapan dengan daya tampung masing- masing 30 ton. Fasilitas penunjang kapal ini terdiri dari GPS, kompas
15
magnet, peta pelayaran dan radio komunikator. Tenaga penggerak kapal terbuat dari mesin berkekuatan 120-180 PK. Fauziyah juga menjelaskan bahwa nelayan jaring liong bun terdiri dari 10 orang. Satu orang bertugas sebagai penanggung jawab operasi penangkapan yang disebut sebagai tekong. Tekong juga berperan dalam menentukan letak fishing ground, kapan harus melakukan setting dan kapan harus melakukan hauling. Satu orang lagi sebagai kepala kamar mesin (KKM) yang bertugas mengatur stabilitas mesin, sedangkan sisanya bertugas dalam operasi penangkapan seperti setting dan hauling. 2.2.2 Unit Penangkapan Rawai Cucut Rawai cucut yang digunakan biasanya adalah rawai permukaan. Di Cilacap dikenal dengan nama krawai. Bagian-bagian dari alat tangkap ini meliputi tali utama, tali cabang, tali pelampung, pelampung, mata pancing dan tiang bendera. Tali utama disebut juga tali pelampar yang berfungsi sebagai tempat bergantungnya tali cabang. Tali utama memiliki panjang kira-kira 4.250 meter dan memiliki diameter 8 mm. Pemasangan tali cabang tidak boleh lebih dari setengah panjang tali utama atau jarak tali cabang yang menggantung pada tali utama supaya tidak saling mengait. Jarak antar tali cabang kira-kira 24 meter. Mata pancing yang digunakan yaitu nomor 6 dan 7 (Rahayuningsih, 1993). Selanjutnya Rahayuningsih menyebutkan bahwa kapal rawai cucut termasuk jenis motor duduk atau bermesin dalam (inboard), dimana hampir seluruh bagian kapal terbuat dari kayu. Mesin yang digunakan biasanya berkekuatan 30 hingga 40 PK. Spesifikasi kapal ini terdiri dari dua buah palka, tempat tali jangkar, dudukan mesin, gandar kemudi, dapur, tempat pelampung, tonggak kayu dan ruang istirahat. Nelayan atau anak buah kapal (ABK) rawai cucut berjumlah 8 orang. Satu orang sebagai juru mudi yang tugasnya memimpin dan bertanggung jawab terhadap operasi penangkapan dan menentukan daerah penangkapan, sedangkan 7 orang lagi bertugas sebagai pelaksana operasi penangkapan seperti setting, hauling, dan penanganan hasil tangkapan (Rahayuningsih, 1993)
16
2.3
Penelitian Tentang Hiu Penelitian-penelitian yang dilakukan terhadap ikan hiu sudah sering dilakukan,
khususnya yang menjadikan bagian tubuh hiu sebagai objek penelitian. Karena pada dasarnya hampir semua bagian tubuh hiu dapat dimanfaatkan untuk penelitian seperti hati, kulit, daging dan lain- lain. Selain itu, penelitian-penelitian pendahuluan tentang pengelolaan sumberdaya hiu, kebijakan pemanfaatan hiu dan analisis sistem penangkapan hiu juga pernah dilakukan untuk beberapa perairan di Indonesia. Penelitian yang berhubungan dengan ikan hiu menggunakan darah untuk penangkapan dan pengumpulan hiu telah beberapa kali dilakukan dengan hasil yang bervariasi. Pada tahun 1993, Narsongko telah melakukan penelitian tentang pengaruh penggunaan darah sapi terhadap hasil tangkapan ikan hiu pada alat tangkap rawai cucut di Cilacap. Darah yang digunakan adalah darah sapi sebanyak 4.400 ml per operasi penangkapan. Darah tersebut dimasukan ke dalam kantung plastik dengan masing- masing berisi 200 ml darah. Kantung plastik dipasang pada tali utama atau disesuaikan dengan jarak antar tali cabang dalam satu basket. Kesimpulan yang diperoleh dari 17 kali operasi penangkapan yaitu hasil tangkapan tanpa menggunakan darah sebanyak 37 ekor dengan berat total 1.533 kg atau rata-rata 90,18 kg/operasi penangkapan, sedangkan hasil tangkapan menggunakan darah segar sebanyak 50 ekor dengan berat total 2.274 kg atau 133,76 kg/operasi penangkapan, hal ini berarti ada peningkatan hasil tangkapan sebanyak 43,58 kg/operasi penangkapan. Balai Penelitian Perikanan Indonesia (BPPI) telah mengadakan percobaan tentang pengaruh penambahan darah segar sapi pada operasi penangkapan dengan rawai cucut permukaan di Palabuhanratu (BPPI, 1986 vide Narsongko, 1993). Pada uji coba ini, jumlah tali cabang dalam satu basket adalah 5 unit, sedangkan kantong darah dikaitkan pada bagian sekiyama. Kantong darah ini dipasang pada jarak masing- masing 50-75 meter. Kantong darah yang digunakan adalah kantong plastik berukuran 200 ml. Hasil dari uji coba ini diperoleh bahwa jumlah hasil tangkapan pada rawai cucut tanpa pemberian darah segar adalah 7 ekor dengan berat total 352,5 kg, sedangkan hasil tangkapan rawai cucut dengan pemberian darah segar berjumlah
17
16 ekor dengan berat total 674 kg. Kesimpulannya berarti pemberian darah segar dalam usaha pengumpulan untuk penangkapan cucut pada rawai cucut permukaan adalah cukup efektif untuk mendatangkan kawanan ikan hiu (Narsongko, 1993). Percobaan yang dilakukan Hendrotomo (1989) menggunakan tiga jenis umpan daging ikan yaitu cakalang (Katsuwonus pelamis), lemadang (Coryphaena hippurus) dan lumba- lumba (Stenella malayan dan Orcanella breviros). Dari ketiga jenis umpan ini, daging ikan lemadang menghasilkan hasil tangkapan yang lebih rendah dibandingkan umpan menggunakan ikan cakalang dan lumba- lumba. Hal ini diduga karena daging ikan lemadang berwarna agak putih dan kandungan darahnya rendah, sedangkan dua jenis ikan lainnya memiliki daging lebih tebal, warnanya merah pekat dan kandungan darahnya lebih tinggi (Hendrotomo, 1989). Para nelayan di pantai Jayanti Cianjur pernah menggunakan berbagai macam jenis daging ikan untuk umpan ikan hiu seperti ikan layur (Trichiurus savala), ikan remang (Congrexos talaban), ikan merah (Lutjanus sanguinensis), ikan hiu (Pristis cuspidatus), ikan sidat dan belut laut sebagaimana yang dilaporkan oleh Wirianata (1982). Di daerah-daerah lain seperti Lombok timur para nelayan menggunakan umpan daging ikan yang dilumuri darah seperti cakalang dan tongkol, sedangkan di daerah Cilacap nelayannya menggunakan daging ikan tuna, cakalang, pari dan lemadang. Rougley (1974) vide Narsongko (1993) menerangkan bahwa para nelayan longline sering menggunakan darah ikan tuna sebagai umpan yang ditaburkan ke perairan tempat dimana alat tangkap dioperasikan; untuk menangkap ikan hiu. Namun aktivitas ini hanya sebatas sampingan. Rougley juga menjelaskan bahwa ceceran atau tetesan darah ikan tuna yang terluka pada saat atau setelah tertangkap dengan longline sering mendatangkan kawanan ikan hiu. Penelitian lain yang tujuannya berbeda dengan penelitian-penelitian tentang pengumpulan ikan hiu diatas adalah penelitian tentang zat penangkal ikan hiu. Zat penangkal hiu yang dinamakan A-2 diperoleh dari sisa-sisa bagian tubuh ikan hiu yang dikumpulkan di pasar ikan dan dermaga New Jersey, Amerika Serikat (Anonymous, 2004). Selanjutnya dilaporkan bahwa zat A-2 tersebut diyakini ampuh
18
untuk menangkal keberadaan ikan hiu, hal ini telah dicobakan oleh tim peneliti dari Puerto Rico yang dipimpin Eric Stroud di Pulau Bimini, Bahamas. Hasil pengujian yang dilakukan di Bimini Biological Field Station (BBFS), dapat disimpulkan bahwa penangkal ini bekerja efektif pada empat jenis hiu yaitu hiu karang Caribbean, hiu berhidung hitam, hiu limun dan hiu nurse. Zat A-2 dapat memicu kawanan ikan hiu untuk menghindar, akan tetapi penggunaan zat tersebut belum terbukti pada hiu jenis lain seperti hiu putih dan hiu mako. Anonymous (2004) menyebutkan bahwa untuk lebih memastikan molekul aktif yang efektif bekerja pada zat ini, masih diperlukan riset lebih mendalam. Tabel 2. Penggunaan darah untuk pengumpulan hiu dalam penelitian dan praktek penangkapan hiu No
Jenis Darah
Penelitian Narsongko (1993) di Cilacap dan BPPI (1986) di Palabuhanratu Hendrotomo (1989) di Palabuhanratu
1
Sapi
2
Ikan cakalang
3
Ikan lemadang a
4
Ikan lumba- lumb
5 6
Ikan hiu Ikan layur
7
Ikan tuna
-
8
Ikan pari
-
9
Ikan tongkol
-
10 11 12 13
Ikan remang Ikan merah Ikan sidat Belut laut
-
Hendrotomo (1989) di Palabuhanratu Hendrotomo (1989) di Palabuhanratu -
Praktek Penangkapan Cilacap Palabuhanratu Cilacap Palabuhanratu Lombok Timur Cilacap Cianjur Cianjur Cilacap Palabuhanratu Cirebon Cilacap Palabuhanratu Lombok Timur Cianjur Cianjur Cianjur Cianjur
19
2.4
Definisi Sekresi
2.4.1 Sekresi sebagai Pesan Sekresi adalah suatu senyawa atau substansi kimiawi yang dikeluarkan oleh satu individu/organisme atau kelompok kepada individu/organisme atau kelompok lain dalam kondisi tertentu baik secara sengaja maupun tidak disengaja dengan fungsi- fungsi khusus; dalam satu spesies atau antar spesies. Hampir seluruh organisme laut mengeluarkan sekresi ke dalam lingkungan air laut, baik organisme makro maupun organisme mikro. Sekresi yang dipancarkan ke dalam air laut tersebut pada hakikatnya adalah suatu pesan (messages) dari organisme laut kepada individu atau kelompok organisme ya ng sejenis maupun lain jenis. Organisme yang menerima pesan tersebut akan melakukan reaksi seperti mendatangi lokasi atau sumber sekresi tersebut. Sekresi yang dikeluarkan organisme laut biasanya berkaitan dengan antara lain tanda bahaya, pengenalan individu/kelompok dan sekresi yang berkaitan dengan pemanduan (navigation) dan migrasi. Pada prinsipnya sekresi diatas mampu mendatangkan atau mengumpulkan individu maupun kelompok organisme (Pane, 2001). Selanjutnya diketahui bahwa terdapat suatu pengaturan kehidupan biologis organisme laut yang mengeluarkan sekresi melalui perantara substansi kimiawi. Pengaturan kehidupan biologis diatas berkaitan erat dengan hubungan antar individu, antar kelompok dan atau antar spesies, hal ini juga berubungan erat dengan terjadinya atau terhambatnya metabolisme biologis suatu organisme. Beberapa definisi yang berhubungan dengan sekresi sering ditemukan dalam interaksi antar organisme dengan istilah yang berbeda-beda, misalnya telemediator kimiawi dan semiochemical (Law dan Re gnier, 1971 vide Kusumah, 1988) serta feromon (Lucas, 1959 vide Pane, 2001). 2.4.2 Telemediator Kimiawi Para ahli sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya menyebut substansi kimiawi diatas sebagai telemediator kimiawi. Telemediator kimiawi adalah sekresi yang dibentuk oleh organisme laut baik hewan maupun tumbuhan yang dipancarkan
20
ke dalam air laut dan menimbulkan reaksi pada jarak tertentu terhadap fungsi dan perilaku individu atau kelompok spesies yang sama maupun spesies yang berbeda. Terdapat berbagai bukti mengenai keberadaan substansi kimiawi di dalam air laut yang berasal dari organisme laut. Dawson (1976) vide Pane (2001) menyatakan bahwa substansi kimiawi asal organis me laut terdapat secara signifikan di dalam air laut. Tabel 3. Jenis substansi kimiawi yang diperoleh dari air laut Konsentrasi dalam air laut (ìg carbon/liter) 1 Asam amino bebas 10 2 Asam amino terkait 50 3 Gula bebas 10 4 Polysakarida 200 5 Asam lemak 5 6 Hidrokarbon 5 7 Gula amino 2 8 Phenol 2 9 Indoles 1 10 Vitamin 0,007 11 Amoniak 5 12 Lain- lain 10 Sumber : Dawson (1976) vide Pane (2001) No
Jenis Substansi Kimiawi
Beberapa peneliti telah berhasil mendefinisikan telemediator kimiawi untuk ilmu pengetahuan. Seperti Lucas (1959) vide Pane (2001) menyatakan bahwa hubungan
interspesies
tidak
hanya
didasarkan
pada
fenomena
predation
(pemangsaan) tetapi haruslah memperhitungkan pengaruh biologis dari pertukaran di luar organisme seperti vitamin, hormon dan sebagainya. Lucas juga menjelaskan bahwa organisme dapat mempengaruhi aktivitas makhluk hidup lainnya sambil memproduksi atau menghasilkan unsur makro penting makanan atau bahan penghambat. Selanjutnya Fontaine (1970) vide Pane (2001) mendefinisikan bahwa semua substansi organik yang dibebaskan oleh organisme hidup, yang bereaksi pada konsentrasi sangat rendah berguna untuk mengatur hubungan diantara organisme-
21
organisme dan substansi tersebut jelas memiliki senyawa kimiawi dan fungsi- fungsi fisiologis yang sangat bervariasi. 2.4.3 Semiokemikal Zat kimia yang bertindak sebagai perantara dalam komunikasi antara organisme dengan organisme disebut pula semiokemikal (semiochemical) (Law dan Regnier, 1971 vide Kusumah, 1988). Semiokemikal terdiri dari dua golongan yaitu alelokemikal dan feromon, tergantung pada interaksinya apakah bersifat intraspesies atau interspesies. Alelokemikal adalah zat kimia yang berperan sebagai zat perantara dalam komunikasi antar spesies yang berbeda (interspesies), sedangkan feromon bersifat intraspesies. Terdapat empat macam alelokemikal yang dijelaskan oleh Brown (1968) vide Kusumah (1988) sebagai berikut : (1)
Allomon Zat yang dihasilkan atau didapat oleh suatu organisme yang menimbulkan
tanggapan fisiologis atau perilaku pada organisme penerimanya dan tanggapan itu menguntungkan organisme yang memproduksi zat tersebut. (2)
Kairomon Zat yang diproduksi atau diperoleh dari suatu organisme yang menimbulkan
tanggapan fisiologis terhadap spesies lain yang menguntungkan organisme penerima. (3)
Synomon Zat yang diproduksi atau diperlukan oleh suatu perilaku spesies-spesies lain
yang menguntungkan organisme produsen maupun penerima. (4)
Apreumon Zat kimia yang dipancarkan dari benda mati, yang dapat menciptakan reaksi
fisiologis atau perilaku bila diadaptasi oleh penerima dan dapat mengganggu organisme dari spesies lain yang berada di dala m atau di atas benda mati tersebut yang tidak dapat beradaptasi (Nordlund et. al., 1981 vide Kusumah, 1988). Golongan kedua dari semiokemikal setelah alelokemikal adalah feromon. Mathews dan Mathews (1978) dalam Anonymo us (1990) mendefinisikan feromon sebagai senyawa atau campuran kimia yang disekresi oleh seekor hewan dan dapat
22
mempengaruhi perilaku hewan lain dari jenis (spesies) yang sama. Feromon mirip dengan hormon yaitu mempunyai komposisi yang khusus dan dihasilkan pula oleh kelenjar khusus serta disekresi hanya pada waktu tertentu saja. Selanjutnya, Atkins (1980) dalam Anonymous (1990) memperjelas bahwa feromon dapat mengatur aktivitas fisiologis dan perilaku antara individu dari suatu populasi. Anonymous
(1990)
menjelaskan bahwa
feromon
merupakan
bentuk
komunikasi biologis yang sangat penting antara individu maupun kelompok. Sinyalsinyal kimiawi ya ng diberikannya terdapat yaitu pada sel suatu makhluk hidup atau antar mahk luk hidup, baik pada tumbuhan maupun hewan. Feromon yang terdapat pada semua jenis hewan adalah senyawa kimia atsiri yang digunakan untuk komunikasi antar spesies (Horborne, 1988 dalam Anonymous, 1990). Mathews dan Mathews (1978) dalam Anonymous (1990) telah mengelompokan feromon kedalam dua kelompok yaitu releaser feromones dan primer feromones. Feromon yang banyak dipelajari sampai sekarang adalah releaser feromones yang termasuk didalamnya adalah feromon lacak, feromon seks dan feromon tanda bahaya. Definisi yang sama juga dijelaskan oleh Pane (2001) bahwa feromon adalah substansi kimiawi yang terdapat pada hubungan antar organisme-organisme dalam spesies yang sama (intraspesies). Substansi kimiawi tersebut dibagi menjadi dua yaitu substansi kimiawi seksual dan substansi kimiawi non seksual. Ikan teleostei dan beberapa ikan bertula ng rawan melakukan komunikasi dengan sinyal kimia untuk mengontrol fertilisasi, koordinasi seksual dan koordinasi tingkah laku seksual. Pada beberapa spesies, ikan jantan tertarik untuk berintegrasi dengan betina melalui bau. Steroid merupakan salah satu bahan kimia yang dapat membangkitkan rangsangan daya tarik elektrik (afinitas electric) dari organ olfaktori ikan (Fujaya, 2002). Substansi kimiawi non-seksual dapat dibagi menjadi tiga sebagai berikut : (1)
Feromon tanda bahaya (alarme) Feromon tanda bahaya secara umum dipancarkan oleh individu- individu yang
diserang atau individu- individu yang terluka. Jenis feromon ini merupakan suatu sistem pertahanan yang ditinjau dari sisi spesies melawan predator yang melakukan
23
penyerangan (Atema dan Stenzler, 1977 vide Pane, 2001). Beberapa ikan menyimpan feromon dalam sel khusus dan terlepas hanya bila sel tersebut rusak akibat perlakuan mekanik, misalnya akibat pemangsaan. Kalau hal ini terjadi, maka ikan lain akan menyebar dan menghindar dari serangan lanjutan, artinya feromon bertindak sebagai pembawa pesan bahwa terdapat keadaan dalam bahaya (Fujaya, 2002). (2)
Feromon pengenalan kembali (reconnaissance) Suatu pengenalan kembali didalam spesies (intraspesies) dapat terjadi baik
diantara individu- individu dewasa dalam pengertian suatu kumpulan organisme maupun individu-individu juvenil. Pada ikan-ikan Yellow Bullhead (Italurus natalis), pengenalan kembali ini dilakukan melalui perantara mediator yang terdapat didalam mukus dari kulit (Todd et. al., 1967 vide Pane, 2001). (3)
Feromon tanda arah (balisage) dan migrasi (migration) Pada invertebrata bentik, habitat individu didalam lingkungan laut untuk
perlindungan atau untuk mencari sumber-sumber makanan, dilakukan oleh perantara substansi kimiawi tanda arah (balisage) yang hanya dikeluarkan oleh individu dari spesies yang sama. Substansi kimiawi ini terdapat didalam mukus permukaan kulit yang diletakkan diatas substrat habitatnya (Lowe dan Turner, 1976 vide Pane, 2001). Selanjutnya Pane (2001) menyatakan bahwa migrasi- migrasi ikan kemungkinan mempunyai prinsip dasar yang sama dengan proses tanda arah diatas seperti pada migrasi ikan salmon, dimana air laut yang digunakan memiliki skala lebih luas lagi. Ikan salmon mungkin menyimpan memori dari suatu rangsangan penciuman pada konsentrasi yang sangat rendah, yang mereka tandai selama melakukan migrasi mengarah ke laut. Fujaya (2002) memperjelas pernyataan diatas bahwa dari hasil pengujian kesensitifan ikan terhadap rasa bahan klasik yaitu garam, gula, asam dan pahit yang digunakan manusia, ditemukan bahwa asam amino merupakan perangsang yang kuat bagi pengecapan berbagai spesies ikan. Selain asam amino, ikan- ikan juga sensitif terhadap asam aliphatik, nuk leotida dan garam empedu, dengan demikian asam amino memegang peranan penting dalam perangsangan berbagai jenis ikan.
24
Selanjutnya, Fujaya mengatakan bahwa kemampuan mendeteksi garam empedu diduga merupakan informasi penting bagi homing migration ikan salmon. 2.5
Darah
2.5.1 Darah Ikan Darah terdiri atas dua kelompok besar, yaitu sel dan plasma. Sel terdiri atas selsel diskret yang memiliki bentuk khusus dan fungsi yang berbeda, sedangkan komponen dari plasma, selain fibrinogen, juga terdapat komponen anorganik dan komponen organik untuk fungsi metabolisme. Fungsi dari kedua komponen tersebut kadang-kadang
terpisah
dan
kadang-kadang
tergabung,
contohnya
seperti
penggumpalan darah dan produksi antibodi (Fujaya, 2002). (1)
Sel darah merah Seperti hewan vertebrata lain, ikan juga memiliki sel darah merah (eritrosit)
berinti dengan bentuk ukuran bervariasi antara satu spesies dengan spesies lainnya. Jumlah sel darah merah pada masing- masing spesies juga berbeda, tergantung aktivitas ikan tersebut. Pada ikan yang memiliki aktivitas tinggi, seperti ikan predator Blue Marlin (Makaira nigricans) dan Mackerel memiliki hematokrit masing- masing sebesar 43 % dan 52,5 %. Sedangkan ikan nothothenid seperti Paghothenia bernacchii hanya memiliki hematokrit sebesar 21 % (Fujaya, 2002). Selanjutnya, Fujaya mengatakan bahwa sel darah merah berfungsi sebagai pengangkut hemoglobin yang berperan membawa oksigen dari insang atau dari paru-paru ke jaringan. Pada beberapa hewan tingkat rendah, hemoglobin beredar sebagai protein bebas dalam plasma, tidak terbatas dalam sel darah merah. Selain mengangkut hemoglobin, sel darah merah juga mengandung asam karbonat dalam jumlah besar yang berfungsi mengkatalisis reaksi antara karbondioksida dan air, dengan demikian darah dapat bereaksi dengan karbondioksida dan mengangkutnya dari jaringan ke insang. (2)
Sel darah putih Fujaya (2002) mengatakan bahwa ikan memiliki sel-sel darah putih yang lebih
banyak daripada manusia. Sel darah putih (leukosit) pada ikan terdiri atas tujuh bentuk, yakni tiga tipe eosinofil granulosit dan masing- masing satu tipe neutrofil
25
granulosit, limposit, monosit, dan trombosit. Eosinofil, neutrofil dan monosit adalah leukosit fagosit yang berfungsi sebagai detoksikasi protein sebelum dapat menyebabkan kerusakan dalam tubuh. Berbeda dengan eosinofil yang merupakan fagosit lemah, neutrofil dan monosit merupakan fagosit kuat. Limposit tidak bersifat fagositik
tetapi
memegang
peranan penting dalam pembentukan antibodi.
Kekurangan limposit dapat menurunkan konsentrasi antibodi dan menyebabkan meningkatnya serangan penyakit. Tipe leukosit lainnya adalah trombosit. Trombosit penting dalam mencegah kehilangan atau kerusakan darah pada saat terjadinya kebocoran pembuluh darah (Fujaya, 2002). (3)
Plasma darah Plasma darah terdiri atas protein yang memiliki variasi pada berat molekul dan
fungsi. Perbedaan ini tergantung individu dan lingkungan hidupnya, terutama tekanan antara lain osmosis, suhu, maupun pH. Selain itu, plasma darah juga merup akan perantara untuk mengangkut zat-zat seperti copper, iron, iodine dan lipid (Fujaya, 2002). Berdasarkan penga matan menggunakan electrophoretogram menunjukkan bahwa plasma ikan terdiri atas beberapa komponen. Dalam plasma ikan air tawar terdapat komponen-komponen seperti fibrinogen, globulin pembentuk fibrin untuk penggumpalan darah, ceruloplasmin, protein spesifik yang berikatan dengan copper dan transferrin, protein lain yang berikatan dengan iron, iodine, glikoprotein, lipoprotein, fospolipid albumin, imunoglobin (antibodi) dan komponen-komponen lain (Satchell, 1991 vide Fujaya, 2002). 2.5.2 Darah Mamalia Secara umum Brown (1989) menjelaskan bahwa volume total darah mamalia umumnya berkisar antara 7 sampai 8 % dari berat badan. Plasma darah berkisar antara 45 % sampai 65 % dari seluruh isi darah, sedangkan sisanya 35 % sampai 55 % diisi oleh sel-sel darah. (1)
Sel darah merah Eritrosit mamalia dewasa tidak berinti, berbentuk seperti cawan bikonkaf.
Ukuran serta kedalaman bentuk konkaf berbeda untuk setiap jenis. Pada hewan-
26
hewan seperti anjing, sapi dan domba, bentuk konkaf sedang, tetapi pada kuda dan kucing bentuk konkafnya agak datar. Beda halnya dengan babi dan kambing, eritrosit kedua hewan ini berbentuk cawan datar (Brown, 1989). Ukuran eritrosit terbesar terdapat pada anjing (7,0 ìm) dan terkecil terdapat pada kambing (4,1 ìm). Selanjutnya, Brown menjelaskan bahwa jumlah total sel darah merah yang dinyatakan dalam 1 mm3 darah, merefleksikan perbedaan ukurannya, misalnya pada anjing, jumlah eritrosit berkisar 7 juta/mm3 , sedangkan pada kambing 14 juta/mm3 , dengan kata lain, jenis hewan yang memiliki eritrosit kecil, jumlah eritrositnya lebih banyak, sebaliknya yang ukurannya lebih besar jumlahnya akan lebih sedikit untuk unit volume tertentu. Faktanya, jumlah eritrosit berbeda tidak hanya untuk tiap jenis hewan saja. Perbedaan keturunan (breed), kondisi nutrisi, aktivitas fisik dan umur dapat memberikan perbedaan dalam jumlah eritrosit. Eritrosit dewasa tidak memiliki inti (nukleus), badan golgi, sentriol dan sebagian besar mitokondria hilang selama proses pematangan berlangsung sebelum masuk ke dalam aliran darah, oleh karena itu eritrosit dewasa tidak mampu melakukan sintesis protein dan enzim. Sintesis protein dan enzim itu dilakukan pada waktu sel masih memiliki inti (Brown, 1989). Brown mengemukakan bahwa sekitar 60 % volume eritrosit terdiri dari air dan sisanya terdiri dari konjugasi protein berbentuk globin dan hem (heme). Pigmen yang merupakan 4 % dari konjugasi protein disebut hemoglobin. Pigmen hemoglobin ini menjadi indikator warna merah pada darah segar. (2)
Sel darah putih Brown (1989) mengatakan bahwa sel darah putih (leukosit) memiliki bentuk
yang khas. Nukleus, sitoplasma dan organel-organel lain yang terdapat pada leukosit bersifat mampu bergerak pada keadaan tertentu. Eritrosit bersifat pasif dan melaksanakan fungsinya dalam pembuluh darah, sedangkan leukosit mampu keluar dari pembuluh darah menuju jaringan dalam melaksanakan fungsinya. Jumlah seluruh leukosit jauh dibawah eritrosit dan bervariasi tergantung dari jenis hewannya. Fluktuasi dalam jumlah leukosit pada tiap individu cukup besar pada kondisi tertentu, misalnya stress, aktivitas fisiologis, gizi, umur dan lain- lain. Jumlah leukosit yang menyimpang dari keadaan normal memp unyai arti klinis penting untuk evaluasi
27
proses penyakit. Lima bentuk leukosit yang berbeda dibagi dalam dua kelompok, yaitu granulosit yang memiliki butir khas dan jelas dalam sitoplasma dan agranulosit yang tidak memiliki butir khas dalam sitoplasma. Granulosit terdiri dari leukosit neutrifil, leukosit eosinofil dan leukosit basofil, sedangkan agranulosit terdiri dari limfosit dan monosit. (3)
Kepingan darah (platelets) Kepingan darah atau trombosit adalah benda darah yang paling kecil, berukuran
2 sampai 4 ìm, berasal dari bagian sitoplasma sel besar dalam sumsum tulang yang disebut megakarosit. Jumlah kepingan darah bervariasi antara 350.000 sampai 500.000 per mm darah. Sulit menghitung secara pasti karena sifat trombosit yang mudah mengelompok bila bersinggungan dengan permukaan gelas (Brown, 1989). 2.6
Parameter yang Diidentifikasi Untuk memudahkan dalam menangkap ikan selain menggunakan alat tangkap,
dibutuhkan juga taktik dan metode yang tepat. Metode untuk dapat membawa ikan ke dalam posisi yang dikehendaki ataupun ke dalam area suatu jenis alat tangkap tertentu, banyak bergantung antara lain kepada jenis ikan, kondisi fisiologis ikan, musim atau bahkan perubahan waktu dalam sehari (Gunarso, 1985). Taktik-taktik tersebut diantaranya adalah menarik perhatian ikan (fish attraction), mengejuti ikan (fish frightening), merangsang ikan agar melompat (inducing fish to jump) dan membius ikan (stupeying). Selanjutnya, Gunarso (1985) mengelompokkan taktik menarik perhatian ikan menjadi beberapa cara yaitu rangsangan umpan bersifat kimiawi (chemical bait), rangsangan umpan bersifat penglihatan (optical bait), rangsangan umpan bersifat pendengaran (acoustic bait) dan rangsangan umpan bersifat listrik (electrical bait). Telah dijelaskan pada subbab sebelumnya (subbab 2.1.2) bahwa indera penciuman hiu sangat tajam dalam mendeteksi substansi kimiawi. Hal ini sangat berhubungan dengan taktik menarik perhatian ikan menggunakan cara rangsangan kimiawi. Salah satu kesensitifan indera penciuman hiu adalah terhadap darah.
28
Darah dalam taktik penangkapan hiu sebenarnya bukan berfungsi sebagai umpan akan tetapi berfungsi sebagai benda untuk menarik dan merangsang hiu untuk mendekat atau berkumpul. Darah bekerja, dalam hal ini, merupakan fungsi dari rangsangan kimiawi atau kombinasi dari rangsangan kimiawi dengan rangsangan penglihatan, bau, rasa atau rangsangan lainnya. Darah diduga mengandung warna dan atau bau dan atau rasa dan atau senyawa tertentu yang menyebabkan ketertarikan hiu terhadap darah tersebut. Darah yang berwarna merah diduga menyebabkan hiu tertarik dari kombinasi cara rangsangan kimiawi dan rangsangan penglihatan, sedangkan bau amoniak darah dan komponen-komponen asam amino diduga merupakan cara rangsangan kimiawi atau kombinasi dari rangsangan lainnya. Warna merah darah, bau amoniak dan komponen-komponen asam amino merupakan parameter-parameter yang akan diidentifikasi dalam penelitian ini. Parameter-parameter tersebut diidentifikasi dari jenis-jenis darah yang pernah digunakan dalam penelitian dan atau praktek penangkapan terhadap hiu (subbab 2.3). 2.6.1 Warna Darah Pigmen yang menandakan warna merah pada darah adalah hemoglobin. Pigmen ini merupakan konjugasi protein yang terdapat dalam sel darah merah (eritrosit). Hemoglobin adalah metalloporphyrin yaitu merupakan kombinasi dari haem/hem yang merupakan porphyrin besi dan globin. Fungsi hemoglobin didalam darah adalah untuk mengikat oksigen, maka kandungan hemoglobin dalam darah dipengaruhi oleh hematokrit dan aktivitas organisme (Fujaya, 2002). Selanjutnya, Fujaya menyimpulkan bahwa terdapat korelasi yang kuat antara hematokrit dan jumlah hemoglobin darah, semakin rendah jumlah sel-sel darah merah maka semakin rendah pula kandungan hemoglobin dalam darah. Hematokrit ikan Atlantic Salmon (Salmo salar) adalah 47 % dan hemaglobinnya 9,6 g/dl, sedangkan pada ikan notothenid, hematokritnya adalah 21 % dan kandungan hemoglobinnya 2,5 g/dl. Demikian pula semakin aktif ikan, semakin tinggi pula hemoglobinnya, karena ikan tersebut membutuhkan suplai oksigen yang lebih tinggi. Ikan yellowfin tuna (Thunnus albacares) dan frigate mackerel (Auxis rochei) mempunyai kandungan
29
hemoglobin masing- masing sebesar 15,8 sampai 18,9 g/dl dan 17,8 sampai 21,2 g/dl. Sebagai perbandingan, darah manusia mengandung 13 g sampai 18 g hemoglobin per dl darah. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya tarik hemoglobin dalam mengikat oksigen adalah kelarutan CO2 , kondisi O2 , pH dan temperatur. Bila temperatur meningkat maka kelarutan CO2 dalam darah dan plasma menurun. Dengan demikian peningkatan temperatur menyebabkan turunnya kelarutan CO2 dan pH, sehingga oksigen dalam darah meningkat (Fujaya, 2002). 2.6.2 Amoniak Nitrogen di perairan berupa muatan organik dan anorganik. Amoniak termasuk nitrogen anorganik. Amoniak-amoniak di dalam air terbagi menjadi dua bentuk yaitu amoniak bebas (NH3 ) dan ion amonium (NH4 +). Amoniak bersifat mudah larut dalam air, sedangkan amonium merupakan bentuk transisi dari amoniak. Keseimbangan amoniak bebas dan ion amonium dalam air dipengaruhi oleh suhu, salinitas dan pH. Konsentrasi letal amoniak dalam air adalah 0,4 sampai 2,0 mg/l dengan konsentrasi aman bagi ikan dibawah 0,1 mg/l. Amoniak bebas dalam sistem pemeliharaan ikan sebaiknya memiliki nilai lebih kecil dari 0,02 mg/l (Fujaya, 2002). Selanjutnya, Fujaya menjela skan bahwa amoniak adalah bentuk utama ekskresi
nitrogen
oleh
kebanyakan
organisme
air.
Ikan- ikan
teleostei
mengekskresikan 60 % sampai 90 % nitrogen dalam bentuk amoniak dan sebagian besar di keluarkan oleh insang. Bentuk lain dari ekskresi nitrogen adalah urea, kreatin, kreotenin, trimetilalnin oksida, dan asam amino. Amoniak merupakan jalur efisien dari ekskresi nitrogen karena energi yang dikeluarkan el bih sedikit dibandingkan ekskresi urea (Lovell, 1988 vide Saridewi, 1998). Amoniak yang masuk ke dala m perairan adalah hasil dari katabolisme protein tubuh. Semakin besar kadar protein maka semakin banyak nitrogen yang diekskresikan sehingga amoniak juga semakin besar (Saridewi, 1998).
30
2.6.3 Asam Amino Sekitar tiga per empat zat pada tubuh adalah protein. Ini terdiri dari protein struktural, enzim, gen, protein pengangkut oksigen, protein otot yang menyebabkan kontraksi dan banyak jenis protein lain melakukan fungsi spesifik diseluruh tubuh baik intrasel maupun ekstrasel (Fujaya, 2002). Selanjutnya Winarno (1992) menyatakan bahwa dalam setiap sel yang hidup, protein merupakan komponen yang sangat penting. Pada sebagian besar jaringan tubuh, protein menjadi komponen terbesar setelah air. Diperkirakan 50 % dari berat kering sel dalam jaringan terdiri dari protein. Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur unsur C, H, O dan N. Susunan protein terdiri dari rantai panjang asam amino dimana asam aminonya (-NH2 ) berikatan dengan kelompok karboksil (-COOH). Bila protein dihidrolisis dengan asam, alkali atau enzim maka akan dihasilkan campuran asamasam amino (Fujaya, 2002).
Gambar 5. Sketsa molekul asam amino (Read, 1981 vide Winarno, 1992) Winarno (1992) menjelaskan bahwa sebuah asam amino terdiri dari sebuah gugus amino, sebuah gugus karboksil, sebuah atom hidrogen dan gugus R yang merupakan rantai cabang (gambar 4). Berdasarkan Fujaya (2002) bahwa terdapat 21 jenis asam amino, 10 diantaranya adalah asam amino esensial yang harus terdapat dalam makanan yaitu treonina, lisina, metionina, arginina, valina, fenilalanina, triptopan, leusina, isoleusina dan histidina. Asam amino yang lain dapat
31
disintesa di dalam tubuh yaitu glisina, alanina, prolina, serina, sisteina, asam aspartat, asam glutamat, hidroksilisina, sistina, tirosina dan hydroksiprolina. Asam amino disimpan dalam bentuk protein sehingga konsentrasi asam amino didalam sel mungkin selalu tetap rendah. Sel memiliki batas tertentu dalam menimbun protein, bila telah mencapai batas ini, setiap penambahan asam amino dalam cairan tubuh maka asam amino akan dipecahkan dan digunakan untuk energi atau disimpan sebagai lemak. Degradasi ini hampir seluruhnya terjadi di dalam hati dan dimulai dengan proses deaminasi (pembuangan gugus amino dari asam amino) dan diekskresi sebagai amoniak. Amoniak yang dilepaskan waktu deaminasi dikeluarkan dari darah hampir seluruhnya dalam bentuk urea (Fujaya, 2002).
32
3. 3.1
METODOLOGI PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Nopember 2004 hingga Oktober 2005.
Lokasi penelitian lapang terletak di Palabuhanratu-Sukabumi, Jawa Barat. Analisis sampel dilakukan di Laboratorium Terpadu Analisis Kimia, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Lingkungan, Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 3.2
Bahan dan Alat Bahan utama penelitian adalah darah-darah hewan yang dapat digunakan untuk
mengumpulkan ik an hiu didalam penangkapannya. Sampel darah yang digunakan adalah jenis darah ikan yaitu cakalang, tongkol, tuna, layur, pari, hiu dan satu jenis darah mamalia yaitu sapi. Bahan-bahan yang digunakan untuk analisis kepekatan warna darah yaitu HCl 0,01 N dan aquadestilata. Untuk analisis NH3 menggunakan bahan-bahan seperti MnSO4 , phenate reagent, asam hipoklorida, NaOH, phenol, NH4 Cl, larutan stok amoniak dan larutan standar amoniak; sedangkan bahan-bahan untuk analisis asam amino adalah ortoftalaldehida (OPA), natrium hidroksida, asam borat, larutan brij-30, 2-merkaptoetanol, standar asam amino, Na-EDTA, Metanol, THF, natrium asetat, metanol, air HP, HCl 0,01 N dan kalium borat pH 10,4. Alat-alat yang digunakan untuk mengambil darah dalam penelitian ini adalah 1 set alat bedah, Botol film dan Cool box, sedangkan alat-alat yang digunakan untuk analisis laboratorium dikemukakan sebagai berikut : (1)
Analisis kepekatan warna darah, menggunakan Hemoglobinometer Sahli yang terdiri atas : 1.
Tabung sahli berskala (% atau gr %),
2.
Pipet
3.
Pipet Sahli 0,02 ml (20 cmm)
4.
Aspirator
33
(2)
(3)
3.2
5.
Standar warna sahli
6.
Alat pengaduk
Analisis kadar Amoniak, menggunakan : 1.
Spektrofotometri
2.
Magnetic Stirrer
3.
Filter photometer
4.
Pipet
5.
beaker glass
Analisis asam amino, menggunakan adalah : 1.
High Performance Liquid Chromatography (HPLC)
2.
Kertas Millipore 0,45 ì
3.
Vial 1 ml
4.
Syringe 100 ìl
5.
Neraca analitik
6.
Pipet 1 ml
7.
Labu takar 100 ml
8.
Ampul
Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah identification and
comparative methods. Penelitian yang disajikan berikut ini meliputi penelitian mengenai sekresi organisme dalam hal ini adalah sekresi hewan yang dapat menjadi ketertarikan pada ikan hiu yang dikeluarkan secara sengaja atau tidak (darah), dihubungkan dengan indera penciuman ikan hiu yang memiliki kepekaan terhadap darah. Analisis yang dilakukan adalah untuk mengetahui kepekatan warna darah menggunakan metode Sahli dan kadar bau (amoniak) darah menggunakan Metode Phenate, sehingga dapat diketahui kepekaan hiu terhadap darah. Selanjutnya, dilakukan identifikasi zat-zat aktif dalam hal ini adalah asam amino menggunakan metode High Performance liquid Chromatography (HPLC) untuk mengetahui jenisjenis asam amino yang terdapat dalam sampel darah hewan mangsa hiu dan
34
hubungannya dengan peranan asam amino dalam perangsangan yang dapat membuat ketertarikan atau berkumpulnya ikan hiu. Pemilihan jenis sampel darah dilakukan berdasarkan hasil- hasil penelitian sebelumnya dan praktek penangkapan yang dilakukan di beberapa daerah di Indonesia untuk menangkap ikan hiu. Sampel darah yang dianalisis tidak diperoleh pada waktu yang bersamaan, hal ini disebabkan karena jenis-jenis ikan sampel tidak setiap hari dapat didaratkan di PPN Palabuhanratu tergantung dari keberhasilan nelayan dalam menangkap ikan. Selain itu untuk mengurangi terjadinya pembusukan, sampel darah dari ikan- ikan yang berbeda tidak bisa dianalisis dalam waktu bersamaan. Setelah sampel darah diperoleh, maka dengan segera akan dilakukan analisis tanpa menunggu sampel darah lainnya yang belum diperoleh. 3.2.1 Tahapan-tahapan Penelitian Adapun tahapan-tahapan penelitian yang dilakukan sebagai berikut : (1)
Persiapan Alat-alat yang harus dipersiapkan sebelum pengambilan sampel darah adalah
pisau bedah, jarum penusuk pembuluh darah, botol film dan. cool box. (2)
Pengumpulan sampel Sample darah hiu, darah cakalang, darah tuna, darah tongkol, darah layur dan
darah pari diperoleh dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Palabuhanratu Sukabumi, Jawa Barat, sedangkan sampel darah sapi diperoleh dari UPTD Rumah Potong Hewan (RPH), Bogor. (2.1) Sampel darah ikan Cara pengambilan darah untuk sampel darah ikan terbagi menjadi dua metode. Metode pertama yaitu dengan menyedot darah di bagian pembuluh darah ikan, sedangkan cara yang kedua dengan memotong bagian belakang kepala ikan. Darah yang didapatkan lebih banyak menggunakan cara kedua dibandingkan cara pertama karena melalui pengambilan darah dengan cara kedua ini, kondisi ikan tidak harus selalu hidup. Botol film yang digunakan untuk masing- masing sampel darah berjumlah 5 botol, setiap botol film berisi 20-30 ml darah.
35
(2.2) Sampel darah sapi Sampel darah sapi diambil setelah dilakukan pemotongan sapi oleh para pekerja RPH. Darah dari hasil pemotongan tersebut disimpan dalam sebuah wadah ember sampai terisi penuh. Selanjutnya, darah dimasukkan dalam 5 botol film masingmasing berisi 20 ml darah. (3)
Penelitian
(3.1) Analisis kepekatan darah (kadar hemoglobin) Analisis kepekatan warna darah dilakukan di tempat pengambilan darah, karena untuk mengurangi terjadinya perubahan kimia maupun fisik sampel darah. Analisis kepekatan darah menggunakan metode Sahli dengan prinsip dasarnya yaitu darah dengan larutan HCl 0,1 N akan membentuk hematin yang berwarna coklat. Warna disamakan dengan warna standar Sahli dengan menggunakan aquadestilata sebagai pengencer (Brown, 1989). Tahapan metode Sahli yang digunakan adalah sebagai berikut : 1.
Tabung Sahli yang sudah terisi HCl 0,1 N sampai angka 10 (garis paling bawah pada tabung), ditambahkan dengan darah 0,02 ml.
2.
Kemudian didiamkan selama 3 menit sampai terbentuk asam hematin yang berwarna coklat.
3.
Tabung Sahli diletakkan antara kedua bagian standar warna Sahli dalam alat hemoglobinometer.
4.
Selanjutnya ditambahkan kedalam tabung Sahli setetes demi setetes aquadestilata sambil diaduk sampai warna sama dengan warna standar, kemudian ukur dengan melihat skala pada tabung Sahli.
(3.2) Analisis kadar NH3 Metode yang digunakan dalam analisis bau (amoniak) darah adalah metode Phenate. Indikator untuk menganalisnya adalah Total Amoniak Nitrogen (TAN) dengan prinsip dasarnya yaitu senyawa indophenol berwarna biru yang terjadi dari reaksi amoniak, asam hipoklorida dan phenol yang dikatalisis oleh MnSO4 (Rand et. al., 1975)
36
Tahapan analisis NH3 menggunakan Metode Phenate sebagai berikut : 1.
Sebanyak 25 ml sampel darah dalam beaker glass 100 ml, ditambahkan masing- masing 1 ml MnSO4 , 1 ml phenol dan 1 ml campuran asam hipoklorit dengan reagent.
2.
Setelah diaduk rata, dilakukan pengukuran sampel pada spektrofotometri panjang gelombang 630 nm selama 10 menit.
3.
Perhitungan :
Kadar TAN (ppm) =
Abs sampel Abs standar – Abs blanko
x volume standar x FP
Keterangan : Abs = Absorbansi FP = Faktor pengenceran (3.3) Analisis asam amino Sebelum dilakukan analisis asam amino, terlebih dahulu perlu diketahui kadar protein untuk masing- masing sampel darah tersebut. Metode yang digunakan untuk analisis protein tersebut yaitu metode kjehdal (Winarno, 1992). Analisis asam amino menggunakan metode HPLC dengan pereaksi ortoftaldehida (OPA). Prinsip dasarnya yaitu pereaksi OPA akan bereaksi dengan asam amino primer dalam suasana basa yang mengandung merkaptoetanol membentuk senyawa yang berfluoresensi. Senyawa berfluoresensi ini dapat dideteksi oleh detektor fluoresensi (Nur et. al., 1992). Tahapan analisis asam amino sebagai berikut : 1.
Sampel darah yang telah dihidrolisis dilarutkan dalam 5 ml HCl 0,01 N, kemudia n disaring dengan kertas millipore 0,45 mikron.
2.
Penambahan buffer kalium borat pH 10,4 dengan perbandingan 1:1.
3.
Pada vial kosong yang bersih dimasukkan 10 µl sampel dan ditambahkan 25 µl pereaksi OPA, kemudian dibiarkan selama 1 menit agar proses derivatisasi sempurna.
37
4.
Proses penginjeksian ke dalam kolom HPLC sebanyak 5 µl sampel, dibutuhkan sekitar 25 menit sampai pemisahan semua asam amino selesai.
5.
Perhitungan :
Konsentrasi asam amino (µmol AA) = Luas puncak sampel x konsentrasi standar Luas puncak standar Persentase asam amino (%) = ìmol AA x Mr. AA x 100 ìg sampel 3.2.1 Data dan Informasi Dikumpulkan Data primer dikumpulkan berupa konsentrasi hemoglobin (Hb) darah, kadar TAN darah dan asam amino dalam darah. Data primer tersebut diperoleh dari hasil analisis laboratorium (subbab 3.3). Sedangkan data sekunder dikumpulkan berupa informasi mengenai perikanan hiu di Palabuhanratu dan data yang berhubungan dengan penggunaan darah untuk tujuan penangkapan dari Dinas Perikanan Palabuhanratu, Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Palabuhanratu dan situs-situs internet yang berhubunga n dengan perikanan tangkap di Palabuhanratu. 3.4
Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif menggunakan penghitungan
rata-rata dan simpangan baku serta yang disajikan dalam bentuk tabel dan grafik. Selanjutnya, untuk mengetahui pengaruh perbedaan jenis sampel darah yang digunakan, data yang telah dianalisis menggunakan rata-rata dan simpangan baku akan dianalisis menggunakan sidik ragam (ANOVA) (Steel dan Torrie, 1993). Untuk menghasilkan analisis sidik ragam, kadar Hb dan kadar TAN darah dianalisis menggunakan rancangan acak lengkap (RAL), sedangkan asam amino dianalisis menggunakan rancangan acak kelompok (RAK). Uji lanjut yang digunakan adalah uji beda nyata terkecil (BNT) untuk melihat perbedaan masing- masing jenis sampel darah. Selanjutnya dilakukan analisis pengelompokkan jenis darah berdasarkan nilai
38
rata-rata terbesar hingga terkecil menggunakan kaidah Student-Newman-Keul (S-NK) (Steel dan Torrie, 1993). Data yang telah dianalisis tersebut diatas, selanjutnya akan dibandingkan dengan data dan informasi yang terdapat pada literatur-literatur mengenai parameterparameter, seperti kepekatan warna darah, kadar amoniak darah dan jenis-jenis asam amino dalam darah, yang memiliki hubungan dengan ketertarikan hiu terhadap mangsanya yang berguna bagi pengumpulan hiu untuk tujuan penangkapan. Hasil akhir adalah akan diperolehnya jenis darah yang terbaik dari sampel-sampel darah yang telah dianalisis yang memiliki hubungan ketertarikan bagi hiu.
39
4. 4.1
KEADAAN UMUM PALABUHANRATU
Kondisi Goegrafis dan Prasarana Umum Palabuhanratu merupakan kota yang termasuk wilayah kabupaten Sukabumi,
propinsi Jawa Barat. Palabuhanratu terletak pada 106°15’ - 106°31’ BT dan 06°55’ 07°07’ LS. Luas wilayahnya mencapai 27.210,13 ha, atau 0,59 % total wilayah kabupaten Sukabumi. Palabuhanratu yang berada di pantai selatan pulau Jawa merupakan daerah potensi perikanan yang terdiri dari perairan ZEE Indonesia 490.432 ton/tahun dan perairan Indonesia 162.242 ton/tahun, baru dimanfaatkan 31 % atau 103.878 ton/tahun (Anonymous, 2005). Oleh karena itu, kota tersebut memiliki sebuah pelabuhan perikanan tipe B yaitu Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu. Areal PPN Palabuhanratu seluas 102.000,00 m2 dikelola oleh UPTP Departemen Kelautan dan Perikanan (Anonymous, 2004). Salah satu sarana yang lebih menonjol di Palabuhanratu adalah tempat-tempat wisata dan rekreasi. Tempat wisata yang berhubungan dengan pantai seperti pantai Karang Hawu, pantai Citepus dan pantai Pondok Dewata menjadi tujuan utama sebagian masyarakat Palabuhanratu bahkan terkenal sampai ke luar kota seperti Jakarta, Bogor dan Sukabumi. Selain itu terdapat tempat-tempat wisata seperti sungai Citarik, Goa Lalay dan pemandian air panas didaerah Cipanas. Sarana transportasi dari dan menuju kota Palabuhanratu bisa menggunakan Mini Bus dan Colt/L300, sedangkan terminalnya terletak tidak jauh dari PPN Palabuhanratu kira-kira sejauh 500 m. Sarana dan prasarana lain yang terdapat di Palabuhanratu diantaranya pasar ikan, pasar tradisional, restoran, penginapan yang terdiri dari hotel berbintang dan hotel melati, temat-tempat ibadah dan lain- lain. Unit usaha non perikanan yang terdapat di Palabuhanratu tahun 2003 berjumlah 318 unit. Unit usaha tersebut terdiri dari Koperasi Unit Desa (KUD) berjumlah 66 unit, Perseroan Terbatas (PT) berjumlah 24 unit dan Perseorangan berjumlah 228 unit (Anonymous, 2003).
40
Jumlah unit usaha perikanan yang terdapat di Palabuhanratu tercatat pada tahun 2003 ada 854 unit dengan 2701 orang pekerja, terdiri dari 295 unit usaha pengolah ikan asin dengan 890 orang pekerja, 324 unit usaha pengolah ikan pindang denga n 924 pekerja, 20 unit usaha pengolah terasi ikan dengan 22 orang pekerja, 203 unit usaha pendinginan dengan 775 orang pekerja dan 12 unit usaha pembekua n dengan 90 orang pekerja (Anonymous, 2003). 4.2
Kondisi Perikanan Tangkap
4.2.1 Prasarana Perikanan Palabuhanratu diresmikan menjadi Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) pada tanggal 18 Februari 1993. Berdasarkan kebutuhan untuk memenuhi atau melayani kegiatan perikanan tangkap, fasilitas yang ada di PPN Palabuhanratu terdiri dari fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang/tambahan (Anonymous, 2005). Fasilitas pokok terdiri dari dermaga, kolam pelabuhan, breakwater, jaringan drainase dan rambu navigasi. Dermaga dibagi menjadi 3 bagian yaitu dermaga tambat kapal, dermaga bongkar ikan dan dermaga servis. Kolam pelabuhan memiliki luas 3 Ha. dengan kedalaman bervariasi mulai dari 3 m, 2,5 m dan 2 m (Anonymous, 2005). Fasilitas fungsional terdiri dari fasilitas pemasaran dan distribusi hasil, fasilitas perbekalan air dan perbekalan BBM, fasilitas pemeliharaan/perbaikan, fasilitas pengolahan berupa cold storage, kantor administrasi pelabuhan, balai pertemuan, instalasi listrik, sarana komunikasi, dan fasilitas pendukung lainnnya. Fasilitas pemasaran dan distribusi hasil tangkapan terdiri dari Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan
pasar ikan, sedangkan fasilitas pemeliharaan/perbaikan terdiri dari gedung
serbaguna, tempat perbaikan jaring, dok dan galangan kapal (Anonymous, 2005). Fasilitas penunjang yang ada di PPN Palabuhanratu meliputi perumahan, tempat ibadah (mushola), kantin, kios koperasi, pertokoan dan sarana kebersihan. Fasilitas penunjang untuk perumahan terdiri dari 1 bua h rumah dinas kepala
41
pelabuhan, 1 buah rumah dinas syahbandar, 13 buah rumah karyawan dan wisma tamu seluas 150 m2 (Anonymous, 2005). 4.2.2 Penangkapan Ikan di Palabuhanratu (1)
Unit Penangkapan Kapal/perahu perikanan yang berdomisili di PPN Palabuhanratu terbagi
menjadi dua kategori yaitu perahu motor tempel (PMT) dan kapal motor (KM). Ditinjau dari jumlah kapal/perahu perikanan yang menggunakan PPN Palabuhanratu sebagai fishing base tahun 2004 mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2003 sebesar 149 unit atau 39,11 %. Jumlah kapal/perahu perikanan terendah sebesar 381 terjadi pada tahun 2003, sedangkan jumlah tertinggi terjadi pada tahun 2004 dengan 530 unit (tabel 4). Tabel 4. Perkembangan jumlah kapal/perahu perikanan yang menggunakan PPN Palabuhanratu sebagai fishing base tahun 1994-2004 Jumlah Kapal/ Perahu Perikanan *) No Tahun
Perahu Motor Tempel (Unit)
Kapal Motor (Unit)
Jumlah (unit)
1 1994 344 101 445 2 1995 352 109 461 3 1996 365 123 488 4 1997 290 116 406 5 1998 275 146 421 6 1999 278 181 459 7 2000 235 181 416 8 2001 343 186 529 9 2002 317 135 452 10 2003 253 128 381 11 2004 266 264 530 Sumber : Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu (2004) Keterangan : *) jumlah tertinggi tercatat di PPN Palabuhanratu
Perubahan (%) 0 3.60 5.86 -16.80 3.69 9.03 -9.37 27.16 -14.56 -15.71 39,11
Perkembangan jumlah alat tangkap yang beroperasi dengan fishing base di PPN Palabuhanratu selama 11 tahun terakhir mengalami fluktuasi (tabel 5). Pada tahun
42
2004 jumlah alat tangkap mengalami peningkatan sebesar 13,79 % dibandingkan tahun 2003. Penurunan terbesar jumlah alat tangkap yang beroperasi di PPN Palabuhanratu terjadi pada tahun 1998, yaitu 20,86 %. Hal ini diduga karena terjadinya krisis ekonomi yang dampaknya sampai kepada sektor perikanan tangkap khususnya di Palabuhanratu, sehingga banyak nelayan yang tidak dapat melaut.
Tabel 5. Perkembangan jumlah alat tangkap Palabuhanratu tahun 1994-2004
yang beroperasi di PPN
Jumlah Alat Tangkap *) Perubahan (Unit) (%) 1 1994 732 0 2 1995 735 0,41 3 1996 650 -11,56 4 1997 628 -3,38 5 1998 497 -20,86 6 1999 652 31,19 7 2000 555 -14,88 8 2001 674 21,44 9 2002 577 -14,39 10 2003 609 5,55 11 2004 693 13,79 Sumber : Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu (2004) Keterangan : *) jumlah tertinggi tercatat di PPN Palabuhanratu No
Tahun
Perkembangan jumlah nelayan yang beraktifitas di PPN Palabuhanratu dari tahun 1994 sampai tahun 2004 mengalami fluktuasi (tabel 6). Selama kurun waktu 11 tahun, perubahan paling besar terjadi pada tahun 2003, jumlah nelayan mengalami peningkatan sebesar 32,59 % dibandingkan tahun 2002. Jumlah nelayan terendah terjadi pada tahun 2000 dengan 2.354 orang dan jumlah nelayan tertinggi terjadi pada tahun 2004 dengan 3.439 orang. Nelayan gillnet adalah jumlah nelayan yang paling banyak terdapat di PPN Palabuhanratu, sedangkan nelayan pancing adalah nelayan yang paling sedikit beraktifitas di PPN Palabuhanratu.
43
Tabel
6.
Perkembangan jumlah nelayan Palabuhanratu tahun 1994-2004
yang
beraktifitas
di
PPN
Jumlah Nelayan *) Perubahan (Orang) (%) 1 1994 2.608 0 2 1995 2.718 4,22 3 1996 2.418 -11,04 4 1997 2.589 7,07 5 1998 2.694 4,06 6 1999 2.565 -4,79 7 2000 2.354 -8,23 8 2001 2.377 0,98 9 2002 2.519 5,97 10 2003 3.340 32,59 11 2004 3.439 2,96 Sumber : Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu (2004) Keterangan : *) Jumlah tertinggi tercatat di PPN Palabuhanratu No
(2)
Tahun
Hasil Tangkapan Perkembangan produksi ikan yang didaratkan di PPN Palabuhanratu maupun
produksi ikan dari luar PPN Palabuhanratu dari tahun 1994 sampai tahun 2004 mengalami fluktuasi. Pada tahun 2004, total produksi ikan di PPN Palabuhanratu mencapai tingkat tertinggi sebesar 6.404 ton, namun pada tahun-tahun sebelumnya total produksi ikan tidak pernah mencapai tingkat 5 ribu ton. Tingkat tertinggi kedua terjadi pada tahun 2003 yang mencapai 4.625 ton (gambar 6). Jenis-jenis ikan dominan yang didaratkan oleh kapal-kapal perikanan di PPN Palabuhanratu pada tahun 2004 yaitu cakalang, tongkol lisong, tongkol abu-abu, tongkol banyar, tuna albakora, big eye tuna, yellow fin tuna, layur, eteman, tembang, layang, peperek dan teri.
Ikan dominan yang paling banyak didaratkan di PPN
Palabuhanratu adalah ikan cakalang, produksinya mencapai 917 ton. Posisi kedua dan ketiga adalah ikan yellow fin tuna sebesar 641 ton dan ikan peperek sebesar 331 ton.
44
7000 6000 5000
ton
4000 3000 2000 1000 0 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
tahun Ikan didaratkan di pelabuhan
Ikan dari luar pelabuhan
Jumlah produksi
Gambar 6. Perkembangan produksi ikan di PPN Palabuhanratu tahun 19942004 (sumber : Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu, 2004) (3)
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Produk hasil perikanan yang terdapat di PPN Palabuhanratu terdiri dari ikan
segar/basah, ikan pindang, ikan asin, terasi, bakso ikan, abon ikan dan kerupuk ikan. Untuk ikan segar selain di kota Palabuhanratu, distribusi dan pemasarannya masih sekitar wilayah propinsi DKI Jakarta dan Jawa Barat seperti Jakarta, Sukabumi, Bogor, Cianjur, Bandung, Cirebon dan bahkan mencapai Surabaya, Jawa Timur. Pada tahun 2004 jumlah distribusi ikan segar untuk Jakarta mencapai 206 ton atau rata-rata 17,2 ton/bulan. Hal ini menunjukkan dari total produksi ikan segar PPN Palabuhanratu tahun 2004 yang berjumlah 1.605 ton, 12,83 % didistribusikan untuk kota Jakarta. Pada tahun 2004, kota Bogor merupakan kota tujuan distribusi dan pemasaran terbesar bagi produk hasil perikanan berupa ikan pindang dengan jumlah 292 ton atau rata-rata 24,4 ton/bulan. Total distribusi ikan pindang PPN Palabuhanratu tahun 2004 mencapai 1.035 ton atau rata-rata 87,8 ton/bulan. Distribusi ikan asin dari tahun 1994 sampai tahun 2004 cenderung meningkat (gambar 7). Nilai distribusi tertinggi terjadi pada tahun 2003 dengan total 849 ton atau rata-rata 74,5 ton/bulan. Pada tahun 1996, distribusi ikan asin sempat mengalami
45
nilai terendah dengan 5,6 ton, setelah tahun 1996 distribusi ikan asin ke berbagai kota seperti Sukabumi, Bogor, Cianjur, Bandung dan Palabuhanratu itu sendiri mengalami peningkatan walaupun sempat beberapa kali mengalami penurunan nilai distribusi pada tahun 2000 dan 2002.
2000 1800 1600 1400 ton 1200 1000 800 600 400 200 0 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
tahun Ikan segar
Ikan pindang
Ikan asin
Gambar 7. Produksi ikan segar, ikan pindang dan ikan asin yang didistribusikan dari PPN Palabuhanratu tahun 1994-2004 (sumber : Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu, 2004) 4.2.3 Penangkapan Ikan Hiu di Palabuhanratu (1)
Unit Penangkapan Secara umum ikan hiu dapat tertangkap menggunakan alat tangkap seperti
pukat ikan, pancing (Campagno, 1984a), jaring insang dan rawai (Sala, 1996). Data yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 2005 (Anonymous, 2005), menyebutkan bahwa hiu dapat tertangkap me nggunakan alat-alat tangkap seperti rawai tuna (tuna longline), rawai hanyut (drift longline), jaring insang hanyut (drift gillnet). jaring insang tetap (set gillnet), jaring insang lingkar (encircling gillnet), pancing ulur (hand line), trammel net dan purse seine (tabel 7).
46
Tabel 7. Jenis-jenis alat tangkap yang dapat menangkap hiu Jenis Hiu Tertangkap Nama Ilmiah Nama Indonesia Isurus oxyrinchus Hiu cakilan Carcharias dussmieri Hiu, cucut Carcharhinus falfiformis Hiu lanjaman Sphyrna blochii Hiu martil 1 Rawai tuna Alopias superciliosis Hiu pahitan Prionace glaucu Hiu slendang Corchorinus sorrah Hiu sorrah super Carcharnus brevipina Hiu super Alopias pelgicus Hiu tikus Carcharias dussmieri Hiu, cucut Carcharhinus falfiformis Hiu lanjaman Isurus oxyrinchus Hiu cakilan 2 Rawai hanyut Alopias superciliosis Hiu pahitan Prionace glaucu Hiu slendang Alopias pelgicus Hiu tikus Centrophorus squamosus Hiu botol Isurus oxyrinchus Hiu cakilan Carcharias dussmieri Hiu, cucut Carcharhinus falfiformis Hiu lanjaman Hiu martil 3 Jaring insang hanyut Sphyrna blochii Alopias superciliosis Hiu pahitan Prionace glaucu Hiu slendang Corchorinus sorrah Hiu sorrah super Carcharnus brevipina Hiu super Alopias pelgicus Hiu tikus Carcharias dussmieri Hiu, cucut 4 Jaring insang tetap Alopias pelgicus Hiu tikus 5 Jaring insang lingkar Carcharias dussmieri Hiu, cucut 6 Pancing ulur Isurus oxyrinchus Hiu cakilan Prionace glaucu Hiu slendang 7 Trammel net Alopias pelgicus Hiu tikus 8 Purse seine Carcharias dussmieri Hiu, cucut Sumber : Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2005) No
Alat Tangkap
Tidak terdapatnya alat tangkap yang khusus menangkap hiu di PPN Palabuhanratu menyebabkan hiu di daerah ini tertangkap sebagai hasil tangkapan sampingan dari alat tangkap pancing, gillnet, tuna longline dan rawai.
47
Kapal-kapal perikanan hiu atau armada penangkapan hiu yang khusus menangkap hiu tidak ada yang berdomisili di PPN Palabuhanratu. Oleh karena itu, kapal-kapal perikanan yang tersedia hanya menangkap hiu sebagai hasil tangkapan sampingan dan sesuai dengan jenis alat tangkap yang dapat menangkap hiu. Kapal-kapal perikanan tersebut diatas merupakan jenis kapal motor (KM) dengan kategori-kategori seperti KM dibawah 10 GT, KM 11 – 20 GT, KM 21 - 30 GT dan KM diatas 30 GT (tabel 8). Frekuensi masuk kapal perikanan jenis kapal motor yang dapat mendaratkan hiu di PPN Palabuhanratu pada tahun 2003 berjumlah 1.589 unit. Kapal gillnet ukuran dibawah 10 GT memiliki frekuensi tertinggi, sedangkan frekuensi terendah dimiliki oleh kapal rawai ukuran 11-20 GT. Tabel 8. Frekuensi masuk dan keluar kapal perikanan jenis kapal motor yang dapat mendaratkan hiu di PPN Palabuhanratu tahun 2003 dan 2004
No
Kapal Motor (Unit per Alat Tangkap)
Masuk 2003
2004
Purse seine 153 187 1 KM < 10 GT Gillnet 796 1.603 Pancing ulur/Rawai 177 355 Gillnet 68 101 2 KM 11-20 GT Rawai 5 45 Gillnet 42 99 3 KM 21-30 GT Rawai 13 9 Gillnet 129 90 4 KM > 30 GT Rawai 42 45 Tuna longline 164 323 Total 1.589 2.857 Sumber : Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu (2004)
Keluar 2003
2004
1.679 895 0 36 0 56 0 222 0 220 3.108
1.119 483 1.017 54 9 93 0 159 0 285 3.219
Pada tahun 2004 kapal gillnet ukuran dibawah 10 GT masih menjadi yang terbesar dalam frekuensi masuk ke PPN Palabuhanratu yaitu 1.603 unit dan kapal rawai dengan ukuran 21 -30 GT yang memiliki frekuensi masuk terendah yaitu 5 unit. Jumlah keseluruhan frekuensi kapal masuk yang masuk ke PPN Palabuhanratu pada tahun 2004 mengalami peningkatan sebesar 79,80 % dibandingkan tahun 2003.
48
Gambar 8 dan gambar 9 menyajikan histogram frekuensi kapal masuk dan
unit
kapal keluar yang dapat mendaratkan ikan hiu di PPN Palabuhanratu. 2000 1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 Purse seine
Gillnet
Rawai/pancing Tuna longline ulur
kapal perikanan 2003
2004
Gambar 8. Frekuensi masuk kapal perikanan yang dapat mendaratkan hiu di PPN Palabuhanratu tahun 2003 dan 2004 (sumber : Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu, 2004) 1800 1600 1400
unit
1200 1000 800 600 400 200 0 Purse seine
2003
2004
Gillnet
Rawai/pancing Tuna longline ulur kapal perikanan
Gambar 9. Frekuensi keluar kapal perikanan yang dapat mendaratkan hiu di PPN Palabuhanratu tahun 2003 dan 2004 (sumber : Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu, 2004) Menurut Hendrotomo (1989), bahwa sekitar tahun 1988 di Palabuhanratu terdapat unit penangkapan yang hasil tangkapan utamanya ikan hiu. Alat tangkap yang spesifik menangkap ikan hiu itu dikenal dengan nama rawai cucut. Rawai cucut yang digunakan umumnya dioperasikan pada permukaan air, oleh karena itu disebut 49
juga dengan rawai cucut permukaan. Alat tangkap ini dilengkapi oleh alat tangkap drift gillnet yang berfungsi sebagai alat bantu untuk menangkap ikan yang akan dijadikan umpan pada rawai. (2)
Hasil Tangkapan Hiu tidak termasuk kepada ikan dominan penting yang didaratkan di PPN
Palabuhanratu, kondisi ini terjadi antara lain karena tidak adanya alat tangkap yang spesifik menangkap hiu. Ikan- ikan hiu yang didaratkan di PPN Palabuhanratu pada tahun 2004 terdiri dari berbagai jenis seperti hiu aron, hiu lanyam, hiu anjing, hiu kebo, hiu botol, hiu buas, hiu caping, hiu laek, hiu koboy, hiu lutung, hiu omas dan hiu monyet. Tabel 9. Jenis-jenis hiu yang didaratkan di PPN Palabuhanratu pada tahun 2004 Jenis Hiu No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Nama Palabuhanratu Hiu anjing Hiu aron Hiu buas Hiu caping Hiu kebo Hiu koboy Hiu laek Hiu lanjam Hiu lutung Hiu omas Hiu monyet
Nama Ilmiah
Isurus oxyrinchus Carcharhinus amblyrhynchos Carcharhinus plumbeus Sphyrna lewini Carcharhinus brachyurus Carcharhinus longimanus Prionace glaucu Carcharhinus melanopterus Alopias superciliosus Galeocerdo cuvieri Alopias pelagicus Total Sumber : Statistik Perikanan PPN Palabuhanratu (2004)
Produksi Nilai Produksi (kg) (Rp) 1.657 16.710 327 2.323 885 847 25.229 32.506 2.023 1.201 3.588 87.296
12.399.500 162.025.500 3.912.000 19.234.500 12.343.000 10.015.000 142.685.500 325.732.500 9.898.000 6.100.000 18.291.500 722.637.000
Jumlah produksi tahun 2003 mencapai 97,5 ton, dengan nilai produksi sebesar Rp. 695 juta. Jenis hiu yang memiliki produksi tertinggi diperoleh dari hiu aron (Carcharhinus amblyrhynchos) sebesar 44,3 ton dengan nilai produksi Rp. 367 juta, sedangkan hiu koboy (Carcharhinus longimanus) merupakan jenis hiu yang paling
50
sedikit didaratkan di PPN Palabuhanratu tahun 2003 dengan jumlah 303 kg dan nilai produksinya hanya Rp. 3,5 juta. Pada tahun 2004, jumlah hiu yang didaratkan menurun menjadi 87,3 ton (tabel 8), namun nilai produksinya meningkat menjadi Rp. 723 juta. Kalau pada tahun 2003 hiu aron menunjukkan jenis hiu yang paling sering didaratkan, maka pada tahun 2004 adalah hiu lanjam (Carcharhinus melanopterus), dengan jumlah produksi 32,5 ton dan nilai produksi Rp. 326 juta merupakan jenis hiu yang paling sering didaratkan di PPN Palabuhanratu. Jenis hiu yang paling sedikit didaratkan adalah hiu buas dengan jumlah produksi 327 kg dan nilai produksi Rp. 3,9 juta. (3)
Daerah Penangkapan Ikan Kapal motor yang berukuran dibawah atau sama dengan 10 GT yang membawa
alat tangkap yang dapat menangkap ikan hiu seperti purse seine dan rawai memiliki daerah penangkapan ikan di sekitar teluk Palabuhanratu sampai ke daerah Ujung Genteng, bahkan alat tangkap gillnet bisa mencapai perairan Cidaun dan Ujung Kulon. Kapal motor yang berukuran diatas 10 GT dapat lebih memperluas daerah penangkapan ikannya sampai ke perairan selatan Sumatera dan perairan selatan Jawa Tengah, bahkan daerah penangkapan ikan kapal tuna longline yang berukuran diatas 31 GT bisa sampai ke Samudera Hindia. (4)
Pemanfaatan dan Pemasaran Hasil Tangkapan Ikan hiu merupakan salah satu komoditas bernilai ekonomis tinggi terutama
siripnya sehingga banyak nela yan yang sengaja menangkap hiu hanya untuk diambil siripnya, sedangkan bagian tubuh lainnya dibuang ke laut. Kondisi ini juga terjadi di Palabuhanratu, walaupun tidak ada data yang pasti, banyak dari jenis-jenis hiu yang didaratkan di PPN Palabuhanratu hanya dimanfaatkan siripnya saja. Biasanya konsumen-konsumen yang tertarik dengan sirip hiu mengolahnya menjadi sup sirip hiu, atau pedagang besar mengekspornya setelah membelinya dari pedagangpedagang pengumpul. Pemanfaatan lainnya yang bisa dilakukan terhadap daging hiu oleh sebagian pendud uk Palabuhanratu adalah membuat menjadi ikan asin, tepung ikan, bakso ikan 51
dan abon, dengan pengolahan secara tradisional. Data yang menjelaskan tentang produksi dan produsen pengolahan daging hiu secara tradisional tersebut masih sangat terbatas. Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 2004 (Anonymous, 2005), hiu yang terdapat di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) PPN Palabuhanratu hanya dipasarkan dalam bentuk ikan segar atau basah. Pada tahun 2004, total volume jual jenis-jenis hiu di PPN Palabuhanratu sebesar 39 ton dengan nilai jual mencapai Rp. 272 juta (tabel-9). Distribusi hiu segar/basah hanya sekitar wilayah kecamatan Palabuhanratu, sedangkan sirip-sirip hiu diekspor melalui pedagang-pedagang besar, umumnya ke negara-negara Asia Timur. Harga jual hiu di PPN Palabuhanratu tergantung dari jenis dan ukuran hiu tersebut. Ditinjau dari harga jualnya, hiu yang paling mahal adalah hiu jenis lanjam dengan harga per kilogramnya Rp. 9.375,00.
Tabel 10. Volume jual dan harga jual hiu segar/basah di PPN Palabuhanratu tahun 2004 Jenis Hiu Volume Jual Nilai Jual (Nama Indonesia) (Ton) (Rp) 1 Hiu, Cucut 19 107.407.000 2 Hiu lanjaman 13 121.875.000 3 Hiu tikus 6 33.000.000 4 Hiu martil 1 9.111.000 Total 39 271.393.000 Sumber : Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2005) No
Harga Jual (Rp/Kg) 5.653 9.375 5.500 9.111 -
52
5.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rangsangan kimiawi yang berhubungan dengan bau, rasa dan penglihatan memegang peranan penting dalam upaya-upaya pengumpulan ikan hiu untuk tujuan melakukan penangkapannya. Didalam hal ini hiu akan berhadapan dengan substansi kimiawi (bahan darah). Ketertarikan hiu terhadap darah akibat rangsangan kimiawi yang dikeluarkan darah akan menyebabkan hiu mendekat atau mengumpul disekitar substansi darah tersebut. Hal diatas antara lain didasarkan pada sifat kesensitifan indera penciuman hiu terhadap darah di suatu perairan. Poznanin (1970) vide Narsongko (1993) menyatakan bahwa ikan hiu (Mustalus canis) mempunyai kemampuan mendeteksi makanan dengan bantuan indera penciuman yang ditunjukkan oleh kegiatan sensorik yang digantikan fungsinya oleh organ olfaktori. Bonaventura dan Bonaventura (1983) dalam Zahuranec (1983) mengatakan bahwa organ olfaktori hiu dapat mendeteksi substansi kimiawi sampai jarak ratusan meter. Engel (1979) vide Hendrotomo (1989) menambahkan bahwa hiu dilengkapi organ pencium paling tajam yang dapat menemukan tetesan darah dari jarak 400 m atau lebih. 5.1
Analisis Kepekatan Warna Darah Sekitar 60 % volume sel darah merah (eritrosit) terdiri dari air dan sisanya
terdiri dari konjugasi protein berbentuk globin dan hem (heme). Pigmen yang merupakan 4 % dari konjugasi protein disebut hemoglobin (Hb). Pigmen ini memberikan warna merah pada darah segar (Brown, 1989). Berikut ini (Tabel 11) adalah hasil pengukuran kadar hemoglobin (Hb) dari jenis sampel darah yaitu darah ikan hiu, darah ikan cakalang, darah ikan tongkol, darah ikan pari, darah sapi, darah ikan tuna dan darah ikan layur.
53
Tabel 11. Hasil pengukuran kadar hemoglobin (Hb) dalam darah Kadar Hb dalam Darah (g/ml) Hiu Cakalang Tongkol Pari Sapi Tuna Layur 1 71 61 55 48 45 37 28 2 63 60 50 47 43 44 32 3 69,5 54 41 47 40 45 31 Rata-rata 67,83 58,33 48,67 47,33 42,67 42,00 30,33 Simpangan Baku 3,47 3,09 5,79 0,47 2,05 3,56 1,70 Ulangan ke-
Rata-rata kadar Hb sampel darah ikan hiu menunjukkan nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan sampel darah cakalang, tongkol, tuna, layur, pari dan sapi. Darah hiu memiliki kadar Hb sebesar 67,83 g/ml. Sampel darah layur memiliki kadar Hb sebesar 42,67 g/ml atau menunjukkan rata-rata nilai kadar Hb yang paling rendah. Jadi, dapat dinyatakan bahwa warna darah hiu paling pekat dibandingkan dengan jenis darah sampel- sampel yang lain, sedangkan warna darah ikan layur memiliki kepekatan yang terendah diantara jenis-jenis darah yang dianalisis. Secara berurutan, tingkat kepekatan warna darah dari sampel darah adalah (1) darah ikan hiu, (2) darah ikan cakalang, (3) darah ikan tongkol, (4) darah ikan pari, (5) darah sapi, (6) darah ikan tuna (7) darah ikan layur. 70.00 60.00
mg/l
50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 Hiu
Cakalang
Tongkol
Pari
Sapi
Tuna
Layur
Jenis darah
Gambar 10. Rata-rata kadar hemoglobin (Hb) yang diukur dari be berapa jenis darah Bila ditinjau dari jenis sampel darah dari jenis-jenis ikan yang dimangsa hiu, maka kadar Hb darah cakalang merupakan yang tertinggi yaitu sebesar 58,33 g/ml. Hal ini berarti bahwa warna darah cakalang lebih pekat dibandingkan dengan jenis-
54
jenis sampel darah ikan yang dimangsa hiu. Dengan demikian, dapat diduga bahwa darah ikan cakalang lebih menarik bagi hiu dibandingkan dengan darah-darah sampel yang lainnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Hendrotomo (1989) menggunakan daging ikan seperti cakalang, lumba-lumba dan lemadang, bahwa hiu lebih tertarik terhadap umpan ikan cakalang karena warna darahnya merah pekat kandungan darahnya tinggi dan dagingnya lebih tebal. Selanjutnya, tingkat ketertarikan ikan hiu terhadap darah dari jenis ikan yang dimangsa hiu secara berturut-turut dapat diduga adalah darah ikan tongkol, darah ikan pari, darah ikan tuna dan darah ikan layur.
Tabel 12. Analisis sidik ragam kadar hemoglobin (Hb) pada jenis sampel darah yang berbeda Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah Db F-hitung F-tabel (SK) (JK) (KT) Sampel Darah 6 2632,17 438,69 27,24 2,85 Galat 14 225,5 16,11 Total 20 2857,67 Berdasarkan analisis sidik ragam menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) terhadap tujuh sampel darah diatas menghasilkan F-hitung (27,24) lebih besar dari F-tabel (2,85) (Tabel 12). Hal ini menyimpulkan bahwa jenis-jenis sampel darah yang berbeda adalah berpengaruh secara nyata terhadap kadar Hb darah pada taraf á = 5 %. Dengan demikian, secara analo g, sampel-sampel darah yang digunakan juga berpengaruh sangat nyata terhadap kepekatan warna darah. Untuk mengetahui perbedaan rata-rata setiap perlakuan jenis sampel darah yang berbeda maka dilakukan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) terhadap kadar Hb (Tabel 13).
55
Tabel 13. Uji beda nyata terkecil (BNT) pengaruh sampel darah yang berbeda terhadap rata-rata kadar Hemoglobin. Sampel Selisih Perlakuan Darah Cakalang Tongkol Tuna Layur Pari Cakalang 9.67** 16.33** 28.00** 58.11** Tongkol 6.67 18.33** 1.33 Tuna 11.67** 5.33 Layur 17.00** Pari Hiu Sapi Keterangan : * = berbeda nyata pada taraf á = 5 % ** = berbeda sangat nyata á = 1 % tanpa tanda * = tidak berbeda
BNT ( á ) 0,05 0,01
Hiu Sapi 9.50** 15.67** 19.17** 6.00 25.83** 0.67 37.50** 12.33** 6.95 9.21 20.50** 4.67 25.17** -
Berdasarkan uji BNT diatas dapat diketahui bahwa secara umum nilai kadar Hb darah hiu, bila dibandingkan dengan nilai kadar Hb darah sampel-sampel yang lain, adalah berbeda sangat nyata pada taraf á = 1 %. Kondisi yang sama juga terjadi pada nilai kadar Hb darah cakalang, bila dibandingkan dengan nilai kadar Hb darah sampel-sampel yang lain yaitu berbeda sangat nyata pada taraf á = 1 %. Selanjutnya, nilai kadar Hb darah layur adalah berbeda sangat nyata pada taraf á = 1 % terhadap semua jenis darah sampel yang dianalisis. Untuk perbandingan masing- masing nilai kadar Hb darah selain darah hiu dan darah cakalang adalah sangat beragam. Nilai kadar Hb darah tongkol berbeda sangat nyata pada taraf á=1 % terhadap darah layur dan darah hiu. Nilai kadar Hb darah tuna bila dibandingkan dengan nilai kadar Hb darah layur dan darah hiu adalah berbeda sangat nyata pada taraf á =1 %, tetapi nilai kadar Hb darah tuna tersebut tidak berbeda bila dibandingkan dengan nilai kadar Hb darah tongkol, darah pari dan darah sapi. Selanjutnya, nilai kadar Hb darah pari adalah berbeda sangat nyata pada taraf á = 1 % terhadap darah cakalang, darah layur dan darah hiu. Nilai kadar Hb darah sapi berbeda sangat nyata pada taraf á = 1 % terhadap darah cakalang, darah layur dan darah hiu. Dari hasil diatas didapatkan 4 kelompok sampel darah yang secara berurutan memiliki kepekatan darah tertinggi sampai dengan terendah yaitu (1) darah hiu, (2) 56
darah cakalang, (3) darah tongkol, darah pari, darah sapi atau darah tuna dan (4) darah layur. Sehubungan dengan hal-hal diatas, maka dapat dinyatakan bahwa ketertarikan ikan hiu terhadap darah-darah sampel secara berturut-turut, tertinggi adalah darah ikan hiu sendiri, selanjutnya adalah darah ikan cakalang, sedangkan darah ikan tongkol, darah ikan pari, darah sapi dan darah ikan tuna berada pada ketertarikan hiu urutan ketiga, dan darah ikan layur pada urutan terakhir. Kelompok 1
Kelompok 3
Kelompok 2
Hiu
Cakalang
67,83 g/ml
58,33 g/ml
Kelompok 4
Layur
Tongkol
Pari
Sapi
Tuna
48,67 g/ml
47,33 g/ml
42,67 g/ml
42,00 g/ml
30,33 g/ml
(6)B1
Tahap 1
(4)B1
(5)B1
(3) B1 (2) B1 (1) B1
(3) S
Tahap 2 (2) B1 (1) B1
Keterangan :
(1), (2), (3),…..= urutan langkah B1 = berbeda nyata pada taraf á = 1 % B2 = berbeda nya ta pada taraf á = 5 % S = tidak berbeda pada taraf á = 1 % = garis hubungan
Gambar 11. Tingkatan dugaan ketertarikan hiu terhadap kepekatan warna darah sampel menggunakan analisis pengelompokan Menurut Fujaya (2002) bahwa yang menentukan tinggi rendahnya kadar Hb dalam darah adalah hematokrit dan aktivitas organisme tersebut. Hubungan antara hemoglobin, hematokrit dan aktivitas organisme adalah berbanding lurus. Jadi, semakin tinggi kadar hematokrit dalam darah suatu organisme maka semakin tinggi pula kadar hemoglobinnya dan sebaliknya. Demikian pula dengan semakin tinggi 57
aktifitas suatu organisme maka semakin tinggi pula kadar hemoglobinnya dan sebaliknya. 5.2
Analisis Total Amoniak Nitrogen (TAN) Amoniak adalah bentuk utama ekskresi nitrogen oleh kebanyakan hewan
akuatik. Ikan- ikan teleostei mengekskresikan 60 % sampai 90 % nitrogen dalam bentuk amoniak ke perairan dan sebagian besar dikeluarkan oleh insang. Bentuk lain dari ekskresi nitrogen adalah urea, kreatin, kreotenin, trimetilalanin oksida dan asam amino. Amoniak yang masuk ke perairan adalah sebagai hasil katabolisme protein. Laju amoniak akan meningkat dengan cepat sebagai respon terhadap penambahan protein pakan atau protein bahan yang dimasukkan ke dalam perairan (Saridewi, 1998). Rougley (1974) vide Wirianata (1982) menyatakan bahwa sifat hiu yang sering dimanfaatkan dalam teknik penangkapan adalah reaksinya terhadap bau darah. Hal serupa juga diungkapkan oleh Engel (1979) vide Hendrotomo (1989) bahwa meskipun ikan hiu berburu sendiri-sendiri, namun bau darah cukup untuk mengumpulkan kawanan hiu. Ikan- ikan hiu tidak akan memperdulikan resiko, bila salah satu hiu terluka maka hiu lainnya dengan seketika akan berbalik menyerang hiu yang terluka tersebut. Tabel 14. Hasil pengukuran kadar TAN dalam darah. Ulangan ke-
Sapi 1 308,3 2 304,2 3 291,7 Rata-rata 301,4 Simpangan Baku 7,06
Hiu 223 143,9 119,4 162,1 44,21
TAN dalam Darah (ppm) Tuna Cakalang Tongkol Pari 150,5 118,3 110,8 113,2 150,7 123 124,5 99,7 117,3 109,3 102,9 120,3 139,5 116,87 112,73 111,07 15,70 5,68 8,92 8,54
Layur 119,2 98,7 97,8 105,23 9,88
Tabel 14 dan gambar 12 diatas menyajikan hasil pengukuran Total Amoniak Nitrogen (TAN) dari sampel-sampel darah yang diidentifikasi dan histogramnya. Darah sapi memiliki rata-rata kadar TAN tertinggi yaitu sebesar 301,4 ppm
58
dibandingkan dengan jenis sampel-sampel darah yang lain. Sampel darah ikan hiu dan darah ikan tuna memiliki rata-rata kadar TAN tertinggi kedua dan ketiga, masingmasing sebaesar 162,1 ppm dan 139,5 ppm, sedangkan sampel darah ikan cakalang, tongkol, layur dan pari memiliki rata-rata kadar TAN yang konsentrasinya tidak berbeda jauh masing- masing sebesar 116,9 ppm, 112,7 ppm, 105,2 ppm dan 111,1 ppm, atau berkisar 105,2 – 116,9 ppm. Semakin tinggi kadar TAN semakin tinggi pula “bau” yang ditimbulkannya, dengan demikian dapat dinyatakan untuk sementara bahwa darah sapi memiliki kadar bau yang lebih tinggi dibandingkan sampel-sampel darah lainnya.
350.00 300.00
ppm
250.00 200.00 150.00 100.00 50.00 0.00 Sapi
Hiu
Tuna
Cakalang
Tongkol
Pari
Layur
jenis darah
Gambar 12. Rata-rata kadar TAN yang diukur dari beberapa jenis darah Hendrotomo (1989) menjelaskan bahwa umpan daging hiu setelah direndam dalam air laut, warnanya menjadi putih, teksturnya mengeras dan bau amis dari darah segar berganti dengan bau pesing. Kondisi umpan seperti ini diduga dapat menyebabkan umpan daging hiu kurang menarik perhatian ikan hiu untuk mendekat. Zat yang dapat dijadikan indikator bau pesing tersebut adalah amoniak. Wibowo dan Susanto
(1995)
menambahkan
bahwa
amoniak
berasal
dari
urea
yang
mengangkibatkan bau yang sngat khas yaitu bau pesing. Sehingga dari penjelasan Hendrotomo diatas, dapat dinyatakan bahwa darah yang memiliki kadar bau pesing yang tinggi akan memberikan pengaruh daya tarik yang lemah terhadap ikan hiu, sebaliknya jika darah yang memiliki kadar bau pesing yang rendah akan memberikan pengaruh daya tarik yang lebih kuat terhadap ikan hiu.
59
Berdasarkan hasil analisis TAN (Tabel 14), darah sapi ditinjau dari kadar bau pesingnya, diduga memiliki daya tarik yang lebih lemah bagi hiu dibanding sampelsampel darah lainnya. Sampel-sampel darah yang memiliki kadar bau pesingnya rendah berkisar antara 105,2 – 116,9 ppm seperti darah layur, darah pari, darah tongkol dan darah cakalang diduga memiliki daya tarik yang lebih kuat bagi hiu. Tabel 15. Analisis sidik ragam kadar TAN pada jenis sampel darah yang berbeda Sumber Keragaman Jumlah Kuadrat Kuadrat Tengah db F-hitung F-tabel (SK) (JK) (KT) Sampel Darah 6 87554,78 14592,46 26,88 2,85 Galat 14 7599,99 542,86 Total 20 95154,77 Berdasarkan analisis sidik ragam menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) diperoleh F- hitung (26,88) lebih besar dari F-tabel (2,85) (Tabel 15). Dapat dinyatakan bahwa jenis-jenis darah yang berbeda berpengaruh secara nyata terhadap kadar TAN darah pada taraf á = 5 %. Untuk mengetahui perbedaan rata-rata setiap perlakuan jenis sampel darah yang berbeda maka dilakukan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) terhadap kadar TAN dalam darah (Tabel 16). Tabel 16. Uji beda nyata terkecil (BNT) pengaruh sampel darah yang berbeda terhadap rata-rata kadar TAN Sampel Selisih Perlakuan Darah Cakalang Tongkol Tuna Layur Pari Hiu Cakalang 4,13 22,63 11,63 5,80 45,23* Tongkol 26,77 7,50 1,67 49,37* Tuna 34,27 28,43 22,60 Layur 5,83 56,87** Pari 51,03* Hiu Sapi Keterangan : * = berbeda nyata pada taraf á = 5 % ** = berbeda sangat nyata pada taraf á = 1 % tanpa tanda * = tidak berbeda
BNT ( á ) 0,05 0,01
Sapi 184,53** 188,67** 161,90** 196,17** 40,35 53,47 190,33** 139,30** -
60
Berdasarkan hasil analisa uji BNT pada tabel 16, diketahui bahwa secara umum nilai kadar TAN darah sapi bila dibandingkan dengan nilai kadar TAN darahdarah sampel yang lain adalah berbeda sangat nyata pada taraf á = 1 %. Nilai kadar TAN darah hiu bila dibandingkan dengan kadar TAN darah sampel-sampel lainnya adalah beragam. Pada taraf á = 1 %, kadar TAN darah hiu adalah berbeda sanga t nyata hanya terhadap nilai kadar TAN darah layur, sedangkan pada taraf á = 5 % kadar TAN darah hiu adalah berbeda nyata terhadap kadar TAN darah cakalang, darah tongkol dan darah pari. Sebaliknya, nilai kadar TAN darah hiu adalah tidak berbeda bila dibandingkan dengan nilai kadar TAN darah tuna. Kelompok 1
Kelomp ok 2
Sapi
Hiu
Tuna
Cakalang
Tongkol
Pari
Layur
301,4 ppm
162,1 ppm
139,50 ppm
116,87 ppm
112,73 ppm
111,07 ppm
105,23 ppm
Kelompok 3
(3) S (2) B1 (1) B1
Keterangan :
(1), (2), (3) …. = urutan langkah B1 = berbeda nyata pada taraf á = 1 % B2 = berbeda nyata pada taraf á = 5 % S = tidak berbeda pada taraf á = 1 % = garis hubungan
Gambar 13. Tingkatan dugaan ketertarikan hiu terhadap kadar bau darah menggunakan analisis pengelompokan Untuk perbandingan nilai kadar TAN masing- masing darah seperti darah tuna, cakalang, tongkol, pari dan layur adalah tidak berbeda nyata pada taraf á = 5 %. Hasil dari uji BNT diatas didapatkan 3 kelompok sampel darah yang memiliki kadar TAN berbeda: (1) darah sapi adalah yang tertinggi, (2) kedua tertinggi adalah darah hiu, (3) terendah adalah darah tuna, darah cakalang, darah tongkol, darah pari atau darah
61
layur. Sehingga, dapat dinyatakan bahwa darah tuna, darah cakalang, darah tongkol, darah pari atau darah layur ditinjau dari kadar TAN memiliki karakteristik bau yang sama dan memiliki bau yang paling rendah dibanding terhadap darah hiu dan darah sapi. 5.3
Analisis Asam Amino Asam amino adalah salah satu substansi kimia yang sangat sensitif terhadap
indera pengecapan ikan. Alanina, glisina dan prolina merupakan jenis asam amino utama perangsang nafsu makan pada beberapa spesies ikan meskipun komposisi asam amino aktif ini berbeda untuk setiap spesies ikan (Fujaya, 2002). Untuk pengujian asam amino yang dilakukan menggunakan HPLC diperoleh 15 jenis asam amino dari masing- masing sampel. Berikut ini (tabel 17) adalah hasil pengukuran 15 jenis asam amino yang dapat dideteksi dari beberapa sampel darah yang berbeda. Tabel 17. Hasil pengukura n jenis-jenis asam amino dalam sampel darah No Jenis Asam Amino 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Aspartat Glutamat Serina Histidina Glisina Threonina Arginina Alanina Tirosina Methionina Valina Fenilalanina Isoleusina Leusina Lisina
Konsentrasi Asam Amino dalam Darah (%) Cakalang Tongkol Tuna Layur Pari Hiu 0,37 0,29 0,76 0,63 0,59 0,37 0,40 0,22 0,64 0,92 0,73 0,97 0,17 0,12 0,38 0,38 0,21 0,41 0,16 0,10 0,32 0,35 0,39 0,36 0,18 0,12 0,35 0,36 0,26 0,37 0,19 0,12 0,31 0,38 0,29 0,41 0,19 0,12 0,36 0,41 0,26 0,44 0,54 0,29 0,71 0,71 0,72 0,77 0,13 0,11 0,30 0,28 0,19 0,29 0,15 0,08 0,20 0,18 0,13 0,18 0,30 0,15 0,43 0,37 0,35 0,42 0,23 0,13 0,41 0,37 0,39 0,42 0,26 0,13 0,33 0,34 0,17 0,38 0,49 0,27 0,74 0,65 0,63 0,73 0,41 0,42 0,64 0,58 0,55 0,65
Sapi 0,93 1,15 0,60 0,42 0,38 0,57 0,46 0,60 0,38 0,11 0,70 0,56 0,19 1,03 0,76
Asam-asam amino yang berhasil dideteksi memiliki rantai cabang (R) yang berbeda ukuran, bentuk, reaktivitas dan muatannya. Beberapa diantaranya memiliki 62
rantai cabang gugus alifatik, aromatik, hidroksil dan ada juga yang bermuatan positif atau negatif. Pada darah ikan cakalang diperoleh asam amino jenis alanina yang memiliki nilai tertinggi dengan 0,54 %. Alanina merupakan asam amino yang memiliki rantai cabang berupa metil. Jenis asam amino yang memiliki nilai tertinggi pada darah layur, pari, hiu dan sapi didominasi oleh jenis glutamat, masing masing dengan nilai 0,92 %, 0,73 %, 0,97 % dan 1,15 %. Asam amino jenis glutamat merupakan asam amino yang berantai cabang asam dan bermuatan negatif. Pada darah tongkol nilai tertinggi diperoleh dari asam amino jenis lisina dengan 0,42 %. Lisina memiliki rantai cabang yang bermuatan positif dan negatif tergantung lingkungannya. Jenis Aspartat dengan nilai 0,76 % merupakan yang tertinggi diperoleh pada darah tuna. Aspartat memiliki rantai cabang yang sama dengan asam amino jenis glutamat yaitu berantai cabang asam dan bermuatan negatif. Untuk lebih jelas tentang jenis asam amino yang memiliki persentase nilai tertinggi pada setiap sampel darah, akan disajikan pada tabel 18. Tabel 18. Jenis asam amino yang memiliki konsentrasi tertinggi pada setiap sampel darah No 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Darah Cakalang Tongkol Tuna Layur Pari Hiu Sapi
Asam Amino Tertinggi Alanina Lisina Aspartat Glutamat Glutamat Glutamat Glutamat
Nilai (%) 0,54 0,42 0,76 0,92 0,73 0,97 1,15
Rantai Cabang Metil Muatan positif dan negatif Asam dan muatan negatif Asam dan muatan negatif Asam dan muatan negatif Asam dan muatan negatif Asam dan muatan negatif
Jenis asam amino aspartat dengan nilai tertinggi yaitu sebesar 0,93 % terdapat pada sampel darah sapi, sedangkan nilai terendahnya terdapat pada sampel darah ikan tongkol yaitu sebesar 0,29 %. Nilai tertinggi jenis glutamat terdapat pada sampel darah sapi yaitu sebesar 1,15 %, sedangkan nilai terendahnya terdapat sampel darah
63
ikan tongkol yaitu sebesar 0,22 %. Jenis asam amino aspartat dan glutamat mempunyai rantai cabang berupa asam dan bermuatan negatif. Leusina dan isoleusina merupakan jenis asam amino yang memiliki rantai cabang alifatik. Nilai tertinggi untuk leusina terdapat pada sampel darah sapi yaitu sebesar 1,03 % dan nilai terendahnya pada sampel darah tongkol yaitu 0,27 %. Untuk isoleusina, nilai tertingginya terdapat pada sampel darah ikan hiu yaitu 0,38 %, sedangkan nilai terendahnya terdapat pada sampel darah tongkol yaitu 0,13 %. Rantai cabang gugus alifatik mempunyai bentuk lain berupa penambahan OH yang disebut rantai cabang gugus alifatik hidroksil. Serina dan threonina termasuk jenis asam amino yang memiliki rantai cabang alifatik hidroksil. Untuk nilai tertinggi asam amino serina yaitu 0, 60 % terdapat pada sampel darah sapi, sedangkan nilai terendahnya terdapat pada sampel darah tongkol yaitu 0,12 %. Nilai tertinggi untuk asam amino treonina juga terdapat pada sampel darah sapi yaitu 0,57 dan nilai terendahnya juga terdapat pada sampel darah tongkol yaitu 0,10 %. Terdapat tiga jenis asam amino yang memiliki rantai cabang positif maupun negatif. Ketiga asam amino tersebut, juga merupakan asam amino yang mempunyai rantai cabang gugus basa. Nilai tertinggi asam amino tersebut yaitu lisina, arginina dan histidina terdapat pada sampel darah sapi yaitu masing- masing sebesar 0,76 %, 0,46 % dan 0,42 %. Rantai cabang gugus aromatik dimiliki oleh asam amino seperti fenilalanina, tirosina dan triftofan, namun yang terdeteksi secara nyata hanya jenis fenilalanina dan tirosina. Nilai tertinggi jenis fenilalanina dan tirosina terdapat pada sampel darah sapi yaitu masing- masing sebesar 0,56 % dan 0,38 %, sedangkan untuk nilai terendahnya terdapat pada sampel darah tongkol yaitu masing- masing sebesar 0,13 % dan 0,11 %. Methionina merupakan jenis asam amino yang memiliki rantai cabang atom belerang. Nilai tertinggi methionina yaitu sebesar 0,20 % dan nilai terendahnya yaitu sebesar 0,08 %. Nilai tertinggi tersebut terdapat pada sampel darah tuna, sedangkan nilai terendahnya terdapat pada sampel darah tongkol. Terdapat satu jenis asam amino yang memiliki rantai cabang yang sam dengan methionina yaitu sisteina, namun jenis tersebut tidak dapat terdeteksi secara nyata. 64
Dibandingkan terhadap 3 jenis utama asam amino yang paling sensitif terhadap indera pengecapan hewan aquatik menurut Fujaya (2002), hanya asam amino jenis alanina dan glisina yang berhasil dideteksi, sedangkan prolina tidak terdeteksi secara nyata. Alanina dan glisina masing- masing memiliki rantai cabang berupa metil dan atom H. Tabel 19. Konsentrasi jenis-jenis asam amino utama perangsang nafsu makan ikan (alanina dan glisina) pada sampel darah Jenis Asam Amino 1 Alanina 2 Glisina Rata-rata Simpangan Baku
No
Hiu 0,77 0,37 0,570 0,200
Konsentrasi Asam Amino dalam Darah (%) Layur Tuna Pari Sapi Cakalang Tongkol 0,71 0,71 0,72 0,60 0,54 0,29 0,36 0,35 0,26 0,38 0,18 0,12 0,535 0,530 0,490 0,490 0,360 0,205 0,175 0,180 0,230 0,110 0,180 0,085
Berikut ini (gambar 11) disajikan histogram persentase jenis utama asam amino yang paling sensitif terhadap indera pengecapan hewan aquatik yaitu alanina dan glisina dari sampel darah seperti darah hiu, darah pari, darah tuna, darah layur, darah sapi, darah cakalang dan darah tongkol.
0.8
persentase (%)
0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 Hiu
Glisina
Pari
Alanina
Tuna
Layur
Sapi
Cakalang
Tongkol
jenis darah
Gambar 14. Konsentrasi jenis asam amino utama perangsang nafsu makan ikan (alanina dan glisina ) dalam darah Nilai terbesar alanina terdapat pada sampel darah hiu yaitu 0,77 %, sedangkan nilai terkecilnya terdapat pada sampel darah tongkol yaitu 0,29 %. Untuk nilai 65
terbesar jenis glisina terdapat pada sampel darah sapi yaitu 0,38 % dan nilai terkecilnya terdapat pada sampel darah tongkol yaitu 0,12 %. Bila ditinjau dari nilai rata-rata kedua jenis asam amino tersebut, bahwa darah hiu memiliki rata-rata terbesar yaitu 0,570 %, sedangkan darah ikan tongkol memiliki rata-rata terkecil yaitu 0,205 %. Berdasarkan pernyataan Fujaya (2002) bahwa alanina merupakan jenis utama perangsang nafsu makan pada ikan maka dapat diasumsikan bahwa jika terdapat alanina pada suatu perairan maka ikan hiu diduga akan segera bereaksi. Meskipun pada konsentrasi yang rendah yakni 10-7 dan 10-9 m, asam amino tetap mampu dideteksi oleh lebih dari 20 spesies ikan air tawar dan ikan air laut. Semakin tinggi kadar alanina pada suatu perairan berarti semakin cepat reaksi hiu. Dapat diduga, darah hiu ditinjau dari kecepatan reaksi ikan hiu akibat daya tarik rangsangan nafsu makan, memberikan reaksi yang paling cepat bagi hiu dibandingkan dengan jenis sampel darah yang lainnya. Secara berurutan, sampel darah yang memberikan reaksi tercepat sampai terlambat setelah sampel darah ikan hiu ditinjau dari kadar alaninanya adalah darah ikan pari, darah ikan tuna dan darah ikan layur, darah sapi, darah ikan cakalang dan darah ikan tongkol. Asumsi untuk asam amino jenis glisina juga sama yaitu jika terdapat glisina pada suatu perairan maka ikan hiu diduga akan segera bereaksi. Semakin tinggi kadar glisina pada suatu perairan berarti semakin cepat reaksi hiu. Dapat dianalogikan, darah sapi ditinjau dari kecepatan reaksi ikan hiu akibat daya tarik rangsangan nafsu makan, memberikan reaksi yang paling cepat bagi hiu dibandingkan dengan jenis sampel darah yang lainnya, urutan kedua sampai terakhir adalah darah ikan hiu, darah ikan layur, darah ikan tuna, darah ikan pari, darah ikan cakalang dan darah ikan tongkol. Berdasarkan analisis sidik ragam (tabel 20) menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), dapat disimpulkan bahwa jenis asam amino utama perangsang nafsu makan yang berbeda dalam hal ini glisina dan alanina memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai persentase asam amino pada taraf á = 5 %, karena F-hitung (74,79) lebih besar daripada F-tabel (5,99). Begitu juga dengan jenis sampel 66
darah yang berbeda, karena F-hitung (6,43) lebih besar F-tabel (4,28) maka kesimpulannya adalah jenis sampel darah memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai persentase asam amino pada taraf á = 5 %. Tabel 20. Analisis sidik ragam konsentrasi jenis-jenis asam amino utama perangsang nafsu makan ikan (alanina dan glisina) pada sampel darah Sumber Keragaman (SK) Jenis Asam Amino Sampel Darah Galat Total
db 1 6 6 13
Jumlah Kuadrat (JK) 0,3845 0,1984 0,0308 0,6137
Kuadrat Tengah (KT) 0,384 0,033 0,005
F-hitung
F-tabel
74,79 6,43
5,99 4,28
Tabel 21. Uji beda nyata terkecil (BNT) pengaruh sampel darah yang berbeda terhadap kadar asam amino jenis utama perangsang nafsu makan ikan (alanina dan glisina) Sampel Selisih perlakuan Darah Hiu Pari Tuna Layur Sapi Cakalang Hiu 0,080 0,040 0,035 0,080 0,210 Pari 0,040 0,045 0,000 0,130 Tuna 0,005 0,040 0,170 Layur 0,045 0,175 Sapi 0,130 Cakalang Tongkol Keterangan : * = berbeda nyata pada taraf á = 5 % ** = berbeda sangat nyata pada taraf á = 1 % tanpa tanda * = tidak berbeda
BNT (á) Tongkol 0,05 0,01 0,365** 0,285* 0,325* 0,330** 0,23 0,33 0,285* 0,155 -
Berdasarkan uji BNT terhadap kadar asam amino jenis alanina (Tabel 21) diperoleh kesimpulan bahwa secara umum bahwa kadar alanina pada masing- masing sampel darah tidak memberikan pengaruh yang berbeda, kecuali pada sampel darah ikan tongkol. Sampel darah ikan tongkol memberikan pengaruh yang berbeda nyata bila dibandingkan dengan sampel-sampel darah yaitu darah hiu, darah pari, darah
67
tuna, darah layur dan darah sapi pada taraf á = 5 %, tetapi darah tongkol tidak berbeda bila dibandingkan dengan darah cakalang. Hasil analisis pengelompokan nilai rata-rata terbesar hingga terkecil diperoleh 5 kelompok darah yang memiliki konsentrasi asam amino (alanina dan glisina) perangsang nafsu makan ikan yang berbeda, yaitu kelompok (1) tertinggi adalah darah ikan hiu, kelompok (2) adalah darah ikan layur, kelompok (3) adalah darah ikan tuna, kelompok (4) adalah darah sapi atau darah ikan pari dan kelompok (5) adalah darah ikan cakalang atau darah ikan tongkol. Dengan demikian, dapat diduga bahwa jenis darah ikan hiu diduga memiliki daya tarik yang “terbaik” terhadap kecepatan reaksi hiu ditinjau dari nafsu makan hiu dibandingkan dengan kelompok darah lainnya. Selanjutnya secara berurutan adalah darah ikan layur, darah ikan tuna, darah sapi atau darah ikan pari, darah ikan cakalang atau ikan tongkol. Kelompok 1
Kelompok 2
Hiu
Layur
Tuna
0,570 %
0,535 %
0,530 %
Kelompok 3
Kelompok 4 Sapi 0,490 %
Kelompok 5
Pari 0,490 %
Cakalang 0,360 %
(5)B2 (3) B2 (1) B1
Keterangan :
Tongkol 0,205 %
(6)S
(4)B2
(2) B1
(1), (2), (3) …. = urutan langkah B1 = berbeda nyata pada taraf á = 1 % B2 = berbeda nyata pada taraf á = 5 % S = tidak berbeda pada taraf á = 1 % = garis hubungan
Gambar 15. Tingkatan dugaan ketertarikan hiu terhadap konsentrasi jenis asam amino utama (alanina dan glisina) perangsang nafsu makan pada ikan menggunakan analisis pengelompokan
68
5.4
Hubungan Kadar Hemaglobin (Hb), Total Amoniak Nitrogen (TAN) dan Jenis-jenis Asam Amino dalam Darah Berdasarkan penjelasan sebelumnya (subbab 5.1), yaitu semakin tinggi kadar
Hb maka warna darah sampel akan semakin pekat, hal ini akan memberikan pengaruh daya tarik yang kuat terhadap reaksi ikan hiu. Nilai rata-rata kadar Hb darah hiu yaitu 67,83 g/ml, ditinjau dari pengaruh daya tariknya terhadap reaksi ikan hiu, diduga merupakan yang “terbaik” dibandingkan dengan jenis-jenis darah lainnya. Untuk kategori penilaian “kedua” terdapat kelompok kedua yaitu terdapat pada darah cakalang, sedangkan penilaian “ketiga” terdapat pada kelompok ketiga dari jenisjenis darah yaitu darah tongkol, darah pari, darah tuna atau darah sapi. Kelompok ketiga terdiri dari beberapa jenis darah, hal ini didasarkan pada hasil uji beda nyata terkecil (BNT) bahwa masing- masing darah tersebut tidak memiliki perbedaan yang berarti. Kategori penilaian “terendah” diberikan terhadap darah layur. Sehingga sampel darah layur yang diurutkan pada kelompok empat, diduga akan memberikan pengaruh daya tarik yang lemah terhadap reaksi ikan hiu. Ditinjau dari jenis analisis kadar TAN menunjukkan kategori penilaian “terbaik” diberikan pada kelompok pertama dari jenis-jenis darah yaitu darah layur, darah pari, darah tongkol, darah cakalang atau darah tuna. Penjelasan sebelumnya (subbab 5.2) mengatakan bahwa kadar TAN mengindikasikan adanya bau pesing, menurut Hendrotomo (1989) bahwa bau pesing kurang menarik perhatian ikan hiu dan ikan jenis lainnya. Sehingga, jenis-jenis darah kategori penilaian “terbaik” tersebut diatas diduga akan memberikan pengaruh daya tarik yang paling kuat terhadap reaksi ikan hiu. Kelompok kedua denga n kategori penilaian “kedua” adalah darah ikan hiu, sedangkan kelompok ketiga yaitu darah sapi dikategorikan pada penilaian “terendah”, diduga akan memberikan pengaruh yang paling lemah terhadap reaksi hiu karena memiliki kadar bau pesing yang paling tinggi.
69
Analisa ketiga berdasarkan asam amino jenis alanina dan glisina yang merupakan jenis asam amino utama sebagai perangsang nafsu makan pada ikan dalam hal ini adalah ikan hiu. Asumsinya sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya (subbab 5.3) bahwa semakin tinggi kadar alanina maupun glisina maka daya tarik yang ditimbulkannya terhadap reaksi ikan hiu akan semakin cepat. Pada analisis asama amino utama ini, jenis darah pada kelompok pertama yaitu darah hiu dikategorikan kepada penilaian “terbaik”, selanjutnya secara berturut-turut adalah kelompok 2 yaitu darah layur, kelompok 3 darah tuna, kelompok 4 darah pari atau darah sapi dan kelompok 5 darah cakalang atau darah tongkol. Diduga, kelompok darah pertama memiliki daya tarik yang paling kuat terhadap kecepatan reaksi hiu ditinjau dari nafsu makan hiu dibanding dengan kelompok lainnya. Berikut ini akan disajikan (tabel 22) pengelompokan jenis darah menurut dugaan kategori reaksi hiu dari analisis kadar Hb, kadar TAN, kadar alanina dan kadar glisina. Tabel 22. Pengelompokan jenis darah menurut dugaan kategori reaksi hiu Jenis Analisis
Terbaik Darah hiu
Hemaglobin (Hb)
Total Amoniak Nitrogen (TAN)
Asam Amino
Darah layur, darah pari, darah tongkol, darah cakalang atau darah tuna Darah hiu
Kategori Urutan Penilaian Kedua Ketiga Kempat Darah Darah cakalang tongkol, darah pari, darah sapi, atau darah tuna Darah hiu -
darah layur
darah tuna
darah pari atau darah sapi
Terendah Darah layur
Darah sapi
darah cakalang atau darah tongkol.
70
Bila ditinjau dari jenis analisis kadar Hb dan kadar TAN, diperoleh kombinasi beberapa jenis darah yang dapat dijadikan alternatif pada penggunaan sekresi bagi mengumpulkan ikan hiu untuk tujuan penangkapannya, diantaranya yaitu darah hiu atau darah cakalang. Darah hiu yang memiliki kadar Hb kategori “terbaik” dan kadar TAN kategori “kedua”, sedangkan darah cakalang memiliki kadar TAN kategori “terbaik” dan kadar Hb kategori “kedua”. Kombinasi antara kadar Hb dan kadar asam amino menghasilkan alternatif jenis darah yaitu darah hiu yang memiliki kadar Hb kategori “terbaik” dan kadar asam amino kategori “terbaik”. Kombinasi antara jenis analisis yaitu kadar TAN “terbaik” dengan kadar asam amino “terbaik”, menghasilkan dua alternatif jenis darah yaitu darah layur atau darah layur. Darah hiu memiliki kategori penilaian “terbaik” pada jenis analisis asam amino dan kategori penilaian “kedua” pada jenis analisis kadar TAN, sedangkan darah layur sebaliknya yaitu memiliki kategori penilaian “terbaik” pada jenis analisis kadar TAN dan kategori penilaian “kedua” pada jenis analisis asam amino. Bila tiga jenis analisis tersebut diatas dikombinasikan, maka akan diperoleh alternatif jenis darah “terbaik” yaitu darah hiu. Darah hiu tersebut memiliki kategori penilaian yaitu “terbaik” pada dua jenis analisis dan kategori penilaian “kedua” pada satu jenis analisis. Darah hiu “terbaik” pada jenis analisis yaitu kadar Hb, kadar asam amino serta kategori penilaian “kedua” pada analisis kadar TAN.
71
6.
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1
Kesimpulan
(1)
Hb darah (untuk warna darah), amoniak (untuk bau darah) dan asam amino jenis glisina dan alanina (untuk perangsang nafsu makan), diduga merupakan bahan-bahan senyawa yang membuat ketertarikan hiu terhadap darah.
(2)
Terdapat 4 kelompok kepekatan warna darah berdasarkan dugaan kecepatan reaksi hiu dari yang terbaik hingga terendah adalah (1) darah hiu 67,83 g/ml, (2) darah cakalang 58,33 g/ml, (3) darah tongkol 48,67 g/ml, darah pari 47,33 g/ml, darah sapi 42,67 g/ml atau darah tuna 42 g/ml dan (4) darah layur 30,33 g/ml.
(3)
Terdapat 3 kelompok tingkatan kadar bau amoniak berdasarkan dugaan kecepatan reaksi hiu dari yang terbaik hingga terendah adalah (1) darah layur 105,23 ppm, darah pari 111,07 ppm, darah tongkol 112,73 ppm, darah cakalang 116,87 ppm atau darah tuna 139,5 ppm, (2) darah hiu 162,1 ppm dan (3) darah sapi 301,4 ppm.
(4)
Jenis-jenis asam amino yang dapat dideteksi adalah aspartat, glutamat, serina, histidina, glisina, threonina, arginina, alanina, tirosina, methionina, valina, fenilalanina, isoleusina, leus ina dan lisina. Terdapat 5 kelompok tingkatan darah dari analisis asam amino utama perangsang nafsu makan ikan berdasarkan dugaan kecepatan reaksi hiu, yaitu (1) darah hiu 0,570 %, (2) darah layur 0,535 %, (3) darah tuna 0,53 %, (4) darah pari 0,49 % atau darah sapi 0,49 %, (5) darah cakalang 0,36 % atau darah tongkol 0,205 %.
(5)
Hubungan warna darah (Hb), bau darah (amoniak) dan asam amino (perangsang nafsu makan) dalam berbagai darah ikan dan darah sapi yang diduga membuat ketertarikan hiu : (5.1) Darah hiu atau darah cakalang memberikan kombinasi warna darah (Hb) dan bau darah (amoniak) yang “terbaik” untuk ketertarikan ikan hiu.
72
(5.2) Darah hiu memberikan kombinasi warna darah (Hb) dan asam amino (perangsang nafsu makan) yang “terbaik” untuk ketertarikan ikan hiu. (5.3) Darah hiu atau darah layur memberikan kombinasi bau darah (amoniak) dan asam amino (perangsang nafsu makan) yang “terbaik” untuk ketertarikan ikan hiu. (5.4) Darah hiu memberikan kombinasi warna darah (Hb), bau darah (amoniak) dan asam amino (perangsang bafsu makan) yang “terbaik” untuk ketertarikan ikan hiu.
6.2
Saran
(1)
Berdasarkan hasil penelitian ini, perlu dilakukan uji coba jenis-jenis darah tersebut terhadap ikan hiu di suatu perairan atau skala laboratorium, untuk melihat lebih jauh keakuratan daya tarik darah (warna, amoniak dan asam amino) terhadap kecepatan reaksi ikan hiu.
(2)
Kemudian dapat dilakukan rangkaian penelitian lanjutan untuk menghasilkan produk tiruan (rekayasa) darah yang mengandung substansi-substansi aktif yang mempunyai data tarik tinggi untuk mengumpulkan ikan hiu pada penangkapannya. Sehingga dapat diterapkan oleh para nelayan/pengusaha penangkapan ikan.
73
DAFTAR PUSTAKA Adnan, M. 1997. Teknik Kromatografi untuk Analisis Bahan Makanan. Penerbit Andi Yogyakarta. Yogyakarta. Hal 39. Anonymous, 1990. Peranan Feromon Sebagai Senyawa Bioaktif Dalam Proses Pelapukan Kayu. Laporan Penelitian. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 33 hal. Anonymous, 2002. Statistik Perikanan Indonesia Tahun 2000. Direktorat Perikanan Tangkap. Jakarta. Hal 38-43. Anonymous, 2003. Statistika Perikanan Tahun 2003 Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. Palabuhanratu.78 hal Anonymous, 2004. Statistika Perikanan Tahun 2004 Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu. Palabuhanratu.78 hal Anonymous, 2004. Anatomy of Shark. The Pelagic Shark Research Foundation. http://www.pelagic.org./biology.html [12 Februari 2004]. Anonymous, 2005. (Perikanan Hiu). Direktorat Prasarana Perikanan Tangkap, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan. http://www.ppip.dkp.go.id [22 November 2005]. Bonaventura, J. dan C. Bonaventura. 1983. Flatfish, Fireflies, Sharks: Behavior Modification Induced by Natural Repellents. Shark Repellents from The Sea. Bernard J. Zahuranec (ed). AAAS Selected Symposium. Westview Press, Sidney. Australia. P: 115-131. Brown, E. M. 1989. Histologi Veteriner. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Hal 108-143. Campagno, L.J.V. 1984a. FAO Species Catalogue. Vol 4. Sharks of the World. An Annoted and Illustrate Catalogue of Sharks Species Known to Date. Part 1. “Hexanchiformes to Lamniformes”. FAO Fish. Synop (125) Vol 4, Pt 1:249p. Fauziyah. 1997. Studi tentang Efisiensi Teknis Unit Penangkapan Jaring Cucut (Liong Bun) di Cirebon. Skripsi. Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikana n dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 58 hal.
74
Fujaya, Y. 2002. Fisiologi Ikan; Dasar Pengembangan Teknologi Perikanan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. 204 hal. Gunarso, W. 1985. Tingkah Laku Ikan; Dalam Hubungannya dengan Alat Metode dan Taktik Penangkapan. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Hal 111-132. Hendrotomo, M. 1989. Studi dan Analisis Hasil Tangkapan dengan Menggunakan Umpan yang Berbeda pada Rawai Cucut (Hiu) Permukaan di Pelabuahanratu. Skripsi. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. 96 hal. Kusumah, A. 1988. Pengaruh Angin dan Tinggi Letak Feromon Kelamin terhadap Tangkapan Ngengat Umbi Kentang di dalam Gudang. Tesis. Jurusan Entomologi. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. 38 hal. Narsongko, T. W. 1993. Pengaruh Penggunaan Darah Segar terhadap Hasil Tangkapan Ikan Cucut pada Rawai Cucut di Cilacap. Skripsi. Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. 58 hal. Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. Hal 211-214. Nur, M.A., H. Adijuwana dan Kosasih. 1992. Penuntun Praktikum Teknik Laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Ilmu Hayati. Institut Pertanian Bogor. Hal 162-165. Ommaney, F.D. 1979. Ikan. Tira Pustaka. Jakarta. 208 hal. Pane, A.B. 2001. Bahan Kuliah Bioteknologi Sumberdaya Perikanan. Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 5 hal. Rahayuningsih, W. 1993. Pengaruh Kedalaman Mata Pancing Rawai Cucut terhadap Hasil Tangkapan Ikan Cucut pada Rawai Cucut di Cilacap. Skripsi. Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. 75 hal. Rand, M.C., A.E.Greenberg dan M.J. Taras. 1975. Standard Methods for The Examination of Water and Wastewater. American Public Health Association. Washington. P: 407-418. Rougley, T.C. 1968. Fishes and Fisheries in Australia. Angus and Robertson Ltd. Halstead Press, Sidney. Australia. 328p. 75
Saleh, M., Irwandi, F.G. Winarno dan Y. Haryadi. 1995. Pengaruh Perlakuan Larutan Perendam terhadap Kadar Urea Daging Cucut segar dan Mutu Daging Asapnya. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia, Volume 1, No 3. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Hal 109-123. Saridewi, T.R. 1998. Pengaruh Kadar Protein yang Berbeda dengan Rasio Energi Protein 8 kkal/g terhadap Kecernaan Koefisien Respirasi dan Ekskresi Amoniak Benih Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.). Skripsi. Program Studi Budidaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 42 hal. Stead, D.G. 1963. Sharks and Rays of Australian Seas. Angus and Robertson Ltd. Australia. 211p. Steel, G.D. dan J.H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika; Suatu Pendekatan Biometrik. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 748 hal. Susanti, A. 1997. Studi Tentang Jenis dan Penyebaran Hiu yang Potensial Dimanfaatkan di Perairan Indonesia. Skripsi. Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu kelautan. Institut Pertanian Bogor. 84 hal. Wibowo, S. dan H. Susanto. 1995. Sumberdaya dan Pemanfaatan Hiu. Penebar Swadaya. Jakarta. 156 hal. Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 253 hal. Wirianata, A. 1982. Perikanan Cucut Botol (Triakis scyllium) di Pantai Jayanti, Kecamatan Cidaun, Cia njur. Skripsi. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. 55 hal.
76
Lampiran 1. Beberapa jenis hiu yang didaratkan di PPN Palabuhanratu (2004-2005)
Hiu anjing (Isurus oxyrinchus)
Hiu beurit (Nebrius ferrugineus)
Hiu botol (Centroscymnus crepidater)
Hiu bangbara (Carcharhinus albimarginatus)
Hiu areuy (Pseudocarcharias spp.)
Hiu baster (Isurus paucas)
(Sumber : Munadi, 2006)
77
Lampiran 1. (lanjutan)
Hiu karil (Squalus megalops)
Hiu lutung (Alopias superciliosus)
Hiu omas (Galeocerdo cuvieri)
Hiu lanjam (Carcharhinus melanopterus)
Hiu martil (Sphyrna lewini)
Hiu monyet kecil (Alopias pelagicus)
(Sumber : Munadi, 2006)
78
Lampiran 2. Jenis-jenis ikan yang dijadikan sampel untuk diambil darahnya (2004-2005)
Cakalang (Katsuwonus pelamis)
Hiu lanjam (Carcharhinus melanopterus)
Layur apu (Trichiurus savala)
Pari batu (Dasyatis sp.)
Tongkol walang keke (Auxis sp.)
Tuna (Thunnus sp.)
(Sumber : Munadi, 2006)
79
Lampiran 3. Alat-alat untuk analisis laboratorium (2005)
Hbmeter
Spektrofotometri
(Sumber : Munadi, 2006)
80
Lampiran 4. Diagram alat HPLC
(Sumber : Adnan, 1997)
81
Lampiran 5. Contoh kromatogram dari analisis asam amino dalam darah menggunakan HPLC (2005)
82