ANALISIS SARANA PASCAPANEN MENGGUNAKAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) UNTUK MENEKAN SUSUT KUANTITAS JAGUNG (Zea mays L.)
DEASY FITRIATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Sarana Pascapanen Menggunakan Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk Menekan Susut Kuantitas Jagung (Zea mays L.) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juli 2015 Deasy Fitriati NRP F152130321
RINGKASAN DEASY FITRIATI. Analisis Sarana Pascapanen Menggunakan Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk Menekan Susut Kuantitas Jagung (Zea mays L.). Dibimbing oleh ROKHANI HASBULLAH dan RIDWAN RACHMAT. Jagung berpotensi untuk ditingkatkan dan dikembangkan terutama sebagai bahan pakan. Kegiatan pascapanen merupakan salah satu mata rantai penting dalam usahatani jagung. Penanganan pascapanen yang tidak dilakukan dengan tepat akan mengakibatkan salah satunya adalah susut kuantitas. Pertumbuhan industri pakan semakin meningkat sehingga kontinuitas suplai jagung pipilan sangat dibutuhkan. Penanganan pascapanen secara manual dan tradisional tidak dapat mendukung ketersediaan pasokan jagung. Ditambah lagi, tenaga kerja pascapanen semakin berkurang. Sarana pascapanen yang tepat guna akan mengurangi waktu penanganan, jumlah tenaga kerja, dan kehilangan hasil selama proses pascapanen. Berdasarkan data dari Direktorat Pascapanen Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian bahwa sarana yang paling banyak dimiliki oleh petani adalah pemipil jagung. Di tingkat petani terdapat perbedaan cara panen dimana masing-masing cara panen berpengaruh terhadap penerapan sarana pascapanen dan susut kuantitas yang dihasilkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis terhadap cara panen dan pemipilan untuk mengetahui susut kuantitas yang dihasilkan serta diperlukan studi lebih lanjut untuk menentukan prioritas sarana yang dapat menekan susut kuantitas. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan kajian terhadap cara panen dan pemipilan jagung serta penentuan sarana yang tepat untuk mendukung penurunan susut kuantitas pascapanen jagung. Perlakuan yang digunakan pada analisis cara panen adalah dipetik dan disabit. Sedangkan perlakuan pada analisis cara pemipilan menggunakan alat tradisional sebagai pemipilan secara manual, sarana pemipil yang biasa dipakai petani yaitu power thresher multiguna dan corn sheller yang merupakan sarana pemipil bantuan Kementan. Kemudian setiap perlakuan diujikan pada musim yang berbeda yaitu musim kemarau dan musim hujan. Analisis penentuan sarana pascapanen jagung yang dapat menurunkan susut kuantitas menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) dan data yang diperoleh diolah dengan menggunakan software expert choice. Cara panen jagung manual dengan tangan dan sabit pada setiap musim tidak menghasilkan perbedaan yang signifikan terhadap susut kuantitas. Pemipilan secara manual mengkonsumsi waktu yang jauh lebih lama dibandingkan dengan mekanis, namun susut yang dihasilkan sangat kecil. Pemipilan secara mekanis menggunakan power thresher multiguna dan corn sheller tidak menghasilkan susut kuantitas dan waktu proses yang mutlak berbeda. Pada analisis penentuan sarana pascapanen jagung yang dapat menurunkan susut kuantitas, pakar dan responden potensial yang digunakan mempunyai nilai inkonsistensi kurang dari 10%. Aktor yang paling berperan dalam penurunan susut kuantitas jagung adalah pemerintah dengan kriteria yang paling penting adalah kualitas hasil dan subkriteria SNI. Dryer diikuti corn sheller merupakan pilihan sarana yang paling prioritas dalam menurunkan susut kuantitas jagung.
Kata kunci: jagung, sarana pascapanen, AHP, susut kuantitas
SUMMARY DEASY FITRIATI. Analysis of Postharvest Machinery Using the Analytical Hierarchy Process (AHP) to Reduce Quantitative Postharvest Losses of Maize (Zea mays L.). Supervised by ROKHANI HASBULLAH and RIDWAN RACHMAT. Maize has a great potential to be improved and developed, primarily as a feed. Postharvest is an important activity in maize cultivation. Postharvest handling which is not handled properly will cause a quantitative losses. The growth of feed industry has increased so that the continuity of maize supply is needed. Manual and traditional of postharvest handling cannot support the supply. In addition, there is a scarcity of postharvest manpower. An appropriate postharvest machine will reduce the handling time, the amount of labor, and quantitative losses during postharvest processes. Based on Directorate of Postharvest Food Crops Database, Ministry of Agriculture, the most widely machine owned by farmers is corn sheller. There is a different way of harvesting in farm level and it affects the application of postharvest machines and the result of quantitative losses. Therefore, the method of harvesting and shelling are important to be analized in order to determine quantitative losses and further study is required to decide the priority of the means which can reduce quantitative losses. The aim of this study were to conduct a study on maize harvesting and shelling, and also to determine the appropriate means supporting the decrease of maize quantitative losses. The treatments used in the analysis were harvesting by hand and by a sickle. While the treatments in the analysis of shelling used a traditional tool as manual threshing, power thresher multiguna as a sheller machine which commonly used by farmers and corn sheller as an assistance machine from Ministry of Agriculture. Then, each treatments was tested in dry season and rainy season. Analysis of maize postharvest facilities determination to reduce quantitative losses utilized Analytical Hierarchy Process (AHP) and the obtained data was processed by using software expert choice. Harvesting by hand and by a sickle in each season did not produce a significant difference on quantitative losses. The manual threshing consumed a much longer time than the mechanical one, however it produced quantitative losses less than mechanical threshing. Threshing using power thresher multiguna and corn sheller did not bring out an absolutely different on quantitative losses and processing time. In the analysis of maize postharvest facilities determination to reduce quantitative losses, experts’ and potential respondents’ judgments have the inconsistency less than 10%. The most important actor under the goal is government. Furthermore, the most important criteria is the quality and the sub criteria is SNI. Dryer followed by corn sheller are the prioritized alternatives in order to reduce postharvest quantitative losses of maize.
Keywords: maize, postharvest machinery, AHP, quantitative losses
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS SARANA PASCAPANEN MENGGUNAKAN METODE ANALYTICAL HIERARCHY PROCESS (AHP) UNTUK MENEKAN SUSUT KUANTITAS JAGUNG (Zea mays L.)
DEASY FITRIATI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Pascapanen
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis: Dr Ir Lilik Pujantoro, MAgr
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September 2014 ini ialah pascapanen jagung, dengan judul Analisis Sarana Pascapanen Menggunakan Metode Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk Menekan Susut Kuantitas Jagung (Zea mays L.). Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Rokhani Hasbullah, MSi dan Bapak Dr Ir Ridwan Rachmat, MAgr selaku komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahannya. Terima kasih kepada Bapak Prof Dr Ir Sutrisno, MAgr selaku ketua program studi Teknologi Pascapanen yang telah memberikan arahan kepada penulis. Terima kasih kepada Bapak Dr Ir Lilik Pujantoro, MAgr sebagai doesen penguji atas saran dan koreksi yang diberikan. Terima kasih kepada Southeast Asian Regional Center for Graduate Study and Research in Agriculture (SEARCA) yang telah memberikan pembiayaan pendidikan dan penelitian. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Terima kasih kepada teman-teman seperjuangan TPP 2013 atas kerjasamanya selama perkuliahan dan penelitian ini. Terima kasih untuk Erman Aulinuriman, SP, MP dan Amanda Insanimuna serta Abdi Abdullah atas semangat dan perhatiannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2015 Deasy Fitriati
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
xi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 2 2 2 3
2 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Jagung Penanganan Pascapanen Jagung Susut Pascapanen Analytical Hierarchy Process (AHP)
3 3 4 6 7
3 METODE Kajian Cara Panen dan Pemipilan Terhadap Susut Kuantitas Waktu dan Tempat Prosedur Penelitian Pengamatan Rancangan Percobaan Analisis Penentuan Sarana Pascapanen yang dapat Menurunkan Susut Kuantitas
9 9 9 10 11 13
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Panen Jagung Susut kuantitas Waktu proses Kadar Air Pemipilan Jagung Susut kuantitas Waktu proses Kadar air Prioritas Sarana Pascapanen Analisis tingkat kepentingan aktor Analisis tingkat kepentingan kriteria dan subkriteria Analisis tingkat kepentingan alternatif
16 16 16 17 18 19 19 20 21 22 23 25 28
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
29 29 30
DAFTAR PUSTAKA
30
LAMPIRAN
34
RIWAYAT HIDUP
39
14
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Spesifikasi mesin pemipil jagung Spesifikasi mesin perontok multikomoditi untuk padi, jagung, kedelai Perkiraan susut pascapanen jagung yang dipanen pada kadar air rendah Perkiraan susut pascapanen jagung yang dipanen pada kadar air tinggi Skala perbandingan Spesifikasi sarana pemipil yang digunakan pada percobaan Susut kuantitas dan waktu pemipilan Perbandingan tingkat kepentingan kriteria berdasarkan aktor Spesifikasi persyaratan mutu jagung
5 6 7 7 15 20 21 25 26
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Alur pelaksanaan penelitian Tahapan penelitian cara panen (berdasarkan KP DPTP 2012) Tahapan penelitian cara pemipilan (berdasarkan KP DPTP 2012) Penimbangan jagung: (a) timbangan gantung; (b) timbangan digital Pengukuran kadar air jagung Tahapan penelitian pengambilan keputusan dalam AHP Struktur Hirarki dalam AHP Susut kuantitas panen jagung Waktu proses panen jagung Alat pemipil:(a) tradisional;(b) corn sheller;(c) power thresher multiguna Silinder pemipil: (a) corn sheller; (b) power thresher multiguna Struktur hirarki kriteria, subkriteria, dan alternatif Prioritas alternatif berdasarkan tujuan dengan nilai inkonsistensi 0.02
3 10 11 12 12 14 15 17 18 19 19 24 28
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Analisis sidik ragam susut kuantitas panen jagung Analisis sidik ragam waktu proses panen jagung Kadar air panen jagung Uji t kadar air panen jagung Analisis sidik ragam susut kuantitas pemipilan jagung Uji LSD susut kuantitas pemipilan jagung Analisis sidik ragam waktu proses pemipilan jagung Uji LSD waktu proses pemipilan jagung Kadar air pemipilan jagung Uji t kadar air pemipilan jagung Perbandingan tingkat kepentingan aktor berdasarkan goal Perbandingan tingkat kepentingan kriteria berdasarkan aktor pemerintah Tingkat kepentingan subkriteria berdasarkan kriteria kualitas hasil Tingkat kepentingan subkriteria berdasarkan kriteria teknologi Tingkat kepentingan subkriteria berdasarkan kriteria harga Tingkat kepentingan subkriteria berdasarkan kriteria manajemen Tingkat kepentingan subkriteria berdasarkan kriteria risiko Tingkat kepentingan alternatif berdasarkan subkriteria SNI
34 34 34 34 35 35 35 35 36 36 36 37 37 37 37 38 38 38
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Ketahanan pangan diukur berdasarkan ketersediaan pangan, dapat diakses, dan kontinuitas pangan (Wijk et al. 2014). Jagung mempunyai potensi besar untuk ditingkatkan dan dikembangkan, baik sebagai bahan pangan, pakan maupun bahan baku industri (Santosa et al. 2005). Konsumsi pangan berupa daging terus meningkat (Stewart dan Roberts 2012), sehingga permintaan jagung yang merupakan bahan pokok pakan ternak juga ikut meningkat. Peranan jagung dalam subsektor tanaman pangan telah terbukti secara meyakinkan memberikan andil yang cukup besar bukan saja terhadap ketahanan pangan tetapi juga terhadap perekonomian (Sugiharto et al. 2011). Penanganan pascapanen jagung merupakan salah satu mata rantai penting dalam usaha tani jagung (Firmansyah 2009). Peran utama dari sistem pascapanen yang baik dan benar adalah untuk memastikan bahwa produk yang dipanen dapat memberikan kepuasan kepada konsumen baik dari segi kualitas, kuantitas, maupun keamanannya (Abass et al. 2014; Bala et al. 2014; Anderson dan Strutt 2014; Stewart dan Roberts 2012; Lal 2013). Pascapanen dan sistem pemasaran merupakan rantai yang saling berhubungan sejak panen sampai produk berada di tangan konsumen. Komoditas pertanian akan melalui tahapan panen, pengeringan, perontokan, pengemasan, penyimpanan, transportasi sebelum mencapai konsumen (Abass et al. 2014). Panen jagung dapat dilakukan dengan dua cara. Pada daerah dengan curah hujan rendah, tongkol dibiarkan tetap di tanaman hingga kering (kadar air 17%-20%), kemudian jagung dipetik dengan meninggalkan kelobot pada tanaman sedangkan pada daerah curah hujan tinggi, petani memanen jagung pada kadar air 30%-40%, batang tanaman disabit, kemudian jagung diambil dan klobotnya dikupas (Sugiharto et al. 2011). Salah satu permasalahan pascapanen yang apabila tidak tertangani dengan baik akan menimbulkan kehilangan kuantitatif jagung pada pascapanen. Kehilangan kuantitatif merupakan susut hasil akibat tertinggal di lapang waktu panen, tercecer saat pengangkutan, atau tidak terpipil (Zubachtirodin et al. 2011). Kehilangan hasil harus sekecil mungkin untuk meningkatkan efisiensi produksi, sehingga luas tanam yang dibutuhkan dapat dikurangi (Tefera et al. 2011). Berdasarkan hasil uji coba susut pascapanen jagung yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian di 3 Provinsi pada Tahun 2012 dan 2013 diketahui bahwa susut kuantitas rata-rata sebesar 1.68%. Menurut (Purwadaria 1988), susut kuantitas pascapanen jagung yang dipanen pada kadar air rendah antara 1.2 - 4.7% dan susut pada kadar air tinggi antara 1.7 - 5.2%. Apabila susut jagung 1.68%, produksi jagung Indonesia sebesar 18.55 juta ton (BPS 2014) dan harga jagung pipilan sebesar Rp. 3,000.00 perkg maka besarnya kerugian yang dihasilkan adalah 935 milyar rupiah setiap tahunnya. Permasalahan lain dalam penanganan pascapanen jagung di tingkat petani adalah tidak tersedianya sarana prosesing yang memadai. Oleh karena itu, diperlukan inovasi teknologi prosesing yang tepat, baik dari segi peralatan maupun sosial dan ekonomi (Zubachtirodin et al. 2011). Alsintan dapat mengurangi kehilangan hasil dan meningkatkan nilai tambah melalui pengolahan produk
2
komoditas pertanian (KP DJTP 2008). Berdasarkan data dari Direktorat Pascapanen Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian bahwa sarana yang paling banyak dimiliki oleh petani adalah pemipil jagung. Alat dan mesin yang tepat guna akan mengurangi waktu penanganan, jumlah tenaga kerja, dan kehilangan hasil (Rugumamu 2011). Pengetahuan petani harus ditingkatkan dalam penerapan teknologi penyimpanan untuk menurunkan kehilangan hasil dan kebijakan yang tepat sangat diperlukan untuk mengurangi ketidaksempurnaan pasar dan resiko lainnya (Abass et al. 2014). Kehilangan hasil di negara maju lebih kecil daripada di negara yang sedang berkembang karena mempunyai infrastruktur transportasi yang baik, manajemen budidaya yang lebih baik, penyimpanan dan fasilitas proses yang efektif (World Bank et al. 2011). Menurut Hodges et al. (2010), kehilangan hasil dapat diturunkan dengan meningkatkan pengetahuan petani terhadap kehilangan hasil pascapanen, perbaikan infrastruktur yang menghubungkan petani dan pasar, dukungan teknologi dan kredit dari swasta dan pemerintah. Kehilangan hasil diperburuk dengan tidak baiknya infrastruktur, prosedur penanganan pascapanen, distribusi, kebijakan penjualan dan pemasaran (World Bank et al. 2011). Kelembagaan petani sebagian besar masih berorientasi untuk mendapatkan fasilitas dari pemerintah, belum sepenuhnya berupaya memanfaatkan kelembagaan tersebut sebagai penopang kegiatan ekonomi (Iswari 2012).
Perumusan Masalah Analisis terhadap cara panen dan pemipilan jagung perlu dilakukan untuk mengetahui susut kuantitas yang dihasilkan kemudian dilakukan analisis lebih lanjut dalam menentukan prioritas sarana pascapanen jagung yang dapat menekan susut kuantitas.
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut, penelitian ini dilakukan dengan tujuan : a) Mengkaji pengaruh perbedaan cara panen jagung dan musim terhadap susut kuantitas. b) Mengkaji pengaruh perbedaan cara pemipilan jagung dan musim terhadap susut kuantitas. c) Menganalisis sarana pascapanen yang tepat untuk mendukung penurunan susut kuantitas pascapanen jagung.
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah dapat memberikan masukan kepada Pemerintah dalam memberikan sarana pascapanen jagung yang tepat kepada petani, sehingga dapat menurunkan susut hasil kuantitatif dan meningkatkan pendapatan petani. Teknik evaluasi pada penelitian ini dapat digunakan untuk digunakan dalam pengambilan kebijakan agar menghasilkan luaran yang maksimal.
3
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian adalah percobaan dilakukan terhadap sarana bantuan sosial Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian yang berfungsi optimal yaitu sarana panen dan pemipilan. Tanaman jagung yang digunakan adalah varietas Bisma 19 berasal dari Desa Bojong Nangka, Kec. Petir, Kab. Serang, Provinsi Banten. Sarana pemipil yang digunakan merupakan sarana yang biasa digunakan petani Desa Bojong Nangka, Kec. Petir, Kab. Serang, Provinsi Banten dan sarana bantuan Kementerian Pertanian. Percobaan 1: Pengaruh cara panen dan musim
Didapatkan pengaruh cara panen dan musim terhadap susut kuantitas
Percobaan 2: Pengaruh cara pemipilan dan musim
Didapatkan pengaruh cara pemipilan dan musim terhadap susut kuantitas
Analisis prioritas sarana pascapanen
Didapatkan prioritas sarana pascapanen yang dapat menurunkan susut kuantitas
Sarana pascapanen yang dapat menurunkan susut kuantitas jagung (Zea mays .L)
Gambar 1 Alur pelaksanaan penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Jagung Jagung (Zea mays) merupakan tanaman pangan yang serba guna, biasanya digunakan sebagai pangan dan pakan. Jagung dapat diproses menjadi berbagai bahan untuk pangan, pakan, industri, dan minuman beralkohol. Biji jagung terdiri dari 4 bagian utama yaitu endosperm, germ, pericarp, dan tip cap (Chakraverty dan Singh 2001). Komposisi kimia jagung sebagian besar terdiri atas pati 54.1-71.7 %, protein 11.1-26.6%, lemak 5.3-19.6%, serat 2.6-9.5%, abu 1.4-2.1%. Dengan demikian jagung merupakan sumber pangan berenergi dan potensial yaitu disamping sumber gula atau karbohidrat juga mengandung protein dan lemak yang cukup tinggi (Richana et al. 2012).
4
Pemanfaatan jagung sudah sangat luas, misalnya batang tanaman jagung dapat digunakan untuk kompos, daun tanaman sebagai pakan ternak, kelobot jagung sebagai bahan dasar pembuatan kertas. Jagung sebanyak 100 kg dengan kadar air 16% dapat menghasilkan 64 kg tepung, 3 kg minyak, dan hasil sampingan untuk pakan (Sugiharto et al. 2011). Varietas jagung terdiri dari berbagai macam jenisnya. Di Lampung, Jawa Timur, NTB, dan Sulawesi Selatan, mayoritas petani menggunakan varietas hibrida selain varietas lokal, terutama pada musim kering (Swastika et al. 2004). Tekanan panas yang tinggi akibat cuaca dapat merugikan tanaman dan menghambat pertumbuhan biji jagung pada tongkol (Edreira dan Otegui 2013). Adopsi varietas baru dan peningkatan intensitas pertanaman sangat efektif dalam meningkatkan produksi jagung terutama pada kondisi iklim yang tidak menguntungkan (Wang et al. 2014).
Penanganan Pascapanen Jagung Penanganan pascapanen yang tepat mampu mempertahankan produksi jagung setelah panen, kualitas hasil baik dan harga jual yang tinggi. Penanganan pascapanen jagung menyangkut masalah teknis dan sosial ekonomi yang saling berkaitan. Dari sudut teknis, masalah utama adalah sebagian besar petani melakukan kegiatan pascapanen secara manual. Keterbatasan kemampuan menyerap teknologi baru juga menjadi hambatan dalam introduksi mekanisasi kegiatan pascapanen. Panen Panen dilakukan pada saat biji telah masak fisiologi yang ditandai oleh adanya black layer pada biji. Panen merupakan tahap awal yang penting dari seluruh rangkaian penanganan pascapanen jagung karena berpengaruh terhadap jumlah dan mutu hasil (Sugiharto et al. 2011). Panen dengan kadar air 20%-30% sangat rentan terhadap serangan hama. Ditambah lagi curah hujan yang tinggi, jagung hasil panen beresiko kontaminasi aflatoksin dan mikotoksin lain. Kondisi cuaca saat panen merupakan faktor penting yang mempengaruhi besarnya kehilangan hasil. Panen secara manual sepertinya tidak banyak menimbulkan kehilangan hasil, namun, kendala pekerja menyebabkan panen tertunda yang dapat menyebabkan kehilangan hasil yang tinggi (World Bank et al. 2011). Pemipilan Kebanyakan petani dengan skala luas tanam kecil, mengalami kesulitan terhadap pemipilan. Dimana pemipilan dilakukan dengan tangan sehingga dibutuhkan mesin pemipil semi mekanis. Dibutuhkan perawatan secara berkala untuk meningkatkan kefektifan dan kapasitas produksi dari mesin tersebut (Nkakini et al. 2007). Hal yang perlu diperhatikan pada proses pemipilan menggunakan mesin pemipil adalah sebagai berikut (Aqil 2010): (1) Bentuk dan konstruksi gigi pemipil berpengaruh terhadap kinerja alat dalam merontok jagung.
5
(2) Jarak ujung gigi pemipil dengan sarangan apabila jaraknya terlalu besar (renggang) maka jagung yang tidak terpipil banyak (susut tinggi) dan apabila jaraknya rapat maka persentase biji pecah tinggi. (3) Kadar air hasil pipilan baik pada kadar air kurang dari 17% karena pada kadar air tersebut biji jagung mudah lepas dari janggelnya, kulit biji lebih keras, dan kotoran lebih ringan. (4) Kecepatan putaran silinder pipil berbanding lurus dengan persentase butir pecah dan kapasitas pemipilan. SNI Mesin Pemipil Jagung diperlukan oleh pabrikan sebagai acuan untuk membuat produk sehingga menghasilkan hasil pipilan yang dapat menekan kehilangan hasil. Spesifikasi mesin pemipil tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Spesifikasi mesin pemipil jagung Spesifikasi No Parameter Satuan Kecil Sedang 1 Daya motor penggerak kW 3,0 – 4,9 5,0 – 7,5 2 Dimensi silinder pemipil a. Panjang mm 450 - 750 500 - 850 b. Diamater mm 150 - 250 175 - 275 3 Putaran silinder pemipil rpm 500 – 800 dengan beban kerja 4 Bobot kosong maks. kg 185 225 5 Kotoran kg/jam 500 - 750 751 - 1000
Besar >7,5
550 -950 200 - 300
300 >1000
Sumber: BSN (2008)
Selain sarana pemipil jagung, petani juga menggunakan sarana perontok multikomoditi untuk padi, jagung, dan kedelai. Spesifikasi sarana tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Pengeringan Butiran jagung hasil pipilan masih terlalu basah untuk dijual ataupun disimpan, untuk itu diperlukan satu tahapan proses yaitu pengeringan akhir. Jagung harus dikeringkan dengan tujuan untuk meminimalkan kerusakan dan kadar air harus lebih rendah dari 13%-15% untuk menghambat pertumbuhan serangga dan jamur (World Bank et al. 2011). Umumnya petani melakukan pengeringan biji jagung dengan penjemuran di bawah sinar matahari langsung, sedangkan pengusaha jagung (pabrikan) biasanya menggunakan mesin pengering tipe Batch Dryer dengan kondisi temperatur udara pengering antara 50–60oC dengan kelembaban relatif 40% (Murni dan Arief 2008). Penyimpanan Petani harus menyimpan jagung hasil panen untuk mengatasi kelangkaan jagung, ketahanan pangan, dan melindungi terjadinya fluktuasi harga (Gitonga et al. 2013; Murni dan Arief 2008). Perbaikan budidaya dan penerapan manajemen penyimpanan dapat memenuhi kebutuhan nasional untuk ketahanan pangan
6
(Williams et al. 2012). Petani dengan luasan tanam yang kecil cenderung menjual produknya segera setelah panen untuk menghindari kerusakan karena serangga, sehingga potensi untuk meningkatkan ketahanan pangan dan pendapatan tidak akan tercapai (Tefera et al. 2011). Tabel 2 Spesifikasi mesin perontok multikomoditi untuk padi, jagung, kedelai Spesifikasi No Parameter Satuan Kecil Sedang Besar 1 Daya motor penggerak Motor bensin 4 langkah Motor atau motor diesel 4 diesel 4 langkah langkah 2 Dimensi silinder pemipil - Lebar mm 500 - 750 620 - 985 720 - 985 - Diamater mm 210 - 300 275 - 350 285 - 400 3 Putaran silinder pemipil rpm 500 - 800 dengan beban kerja 4 Tinggi meja/hopper pengumpan - Padi mm 800 - 1150 - Jagung mm 800 - 1150 - Kedelai mm 800 - 1600 5 Bobot kosong mesin kg < 150 150 - 250 > 250 6 Bobot operasi mesin - Motor bensin kg < 180 200 - 250 - Motor diesel kg < 250 230 - 300 > 320 Sumber: BSN (2013a)
Metode penyimpanan secara tradisional tidak melindungi jagung dengan baik dan menghasilkan kehilangan hasil yang tinggi (Gitonga et al. 2013). Metal silo dengan pelapis hermetic sangat efektif untuk menurunkan kehilangan hasil yang dikarenakan hama penyimpanan. Dalam mengadopsi metal silo dipengaruhi oleh literacy, kesehatan, akses ke jalan raya, dan akses ke pelayanan finansial (Gitonga et al. 2013). Syarat utama sebelum melakukan penyimpanan adalah mengukur kadar air bijian yang akan disimpan. Bijian harus dikeringkan sehingga kadar air kurang dari 14%. Petani harus memastikan bahwa bijian yang akan disimpan memang benar-benar kering (Tefera et al. 2011).
Susut Pascapanen Kehilangan hasil pascapanen baik kuantitas maupun kualitas dapat terjadi pada setiap tahapan antara panen dan konsumsi. Penyebab utama dari segi fisiologi, fisik, dan lingkungan pada kehilangan hasil pascapanen adalah kerusakan fisik, RH, suhu, hujan, jamur dan bakteri, serangga, penanganan yang tidak tepat, penyimpanan, dan teknik prosesing. Kehilangan hasil diperburuk dengan tidak baiknya infrastruktur, prosedur penanganan pascapanen, distribusi, kebijakan penjualan dan pemasaran (World Bank et al. 2011).
7
Pemanenan jagung sebaiknya dilakukan pada kadar air rendah, karena mempunyai beberapa keuntungan, yaitu rantai kegiatan penanganan pascapanen lebih pendek sehingga menghemat waktu, tenaga dan biaya serta susut pascapanen. Pada Tabel 3 dan Tabel 4 dapat dilihat bahwa susut pascapanen lebih tinggi pada saat panen dengan kadar air tinggi. Berdasarkan hasil uji coba susut pascapanen jagung yang dilakukan oleh Kementerian Pertanian di 3 Provinsi pada Tahun 2012 dan 2013 diketahui bahwa susut kuantitas rata-rata sebesar 1.68%. Tabel 4 Perkiraan susut pascapanen jagung yang dipanen pada kadar air rendah Prakiraan Susut (%) Kegiatan Pascapanen Tercecer Mutu Panen (k.a 17 – 20 %) 0.1 3.0 Pengangkutan ke rumah 0.1 (k.a 17 – 20 %) Pemipilan dengan tangan manusia 0.5 - 4 0-4 (k.a 17 – 20 %) Penjemuran jagung pipil 1 – 3 hari 0.5 2.0 (k.a 15 – 17 %) Jumlah 1.2 - 4.7 5-9 Sumber : Purwadaria (1988)
Tabel 3 Perkiraan susut pascapanen jagung yang dipanen pada kadar air tinggi Prakiraan Susut (%) Kegiatan Pascapanen Tercecer Mutu Panen (k.a. 35 - 40 %) 0.1 2.0 Pengangkutan ke rumah 0.1 (k.a 35 – 40 %) Penjemuran jagung tongkol 5-7 hari 0.5 2.0 (k.a 17 – 20 %) Pemipilan dengan tangan manusia 0.5 - 4 0-4 (k.a 17 – 20 %) Penjemuran jagung pipil 1-3 hari 0.5 2.0 (k.a 15 – 17 %) Jumlah 1.7 - 5.2 6 - 10 Sumber : Purwadaria (1988)
Analytical Hierarchy Process (AHP) Permasalahan yang kompleks dapat diatasi melalui permodelan dengan membangun struktur, melakukan pengukuran, dan penilaian dengan analisis yang tajam untuk mengetahui pengaruh dari berbagai faktor pada model (Ozdemir dan Saaty 2006). Pengambilan keputusan dengan banyak faktor, kriteria, dan tujuan disebut sebagai Multi-Criteria Decission Making (Yunus et al. 2013). Metode AHP yang dikembangkan oleh Dr Thomas Saaty merupakan salah satu metode MCDM (Multi-Criteria Decission Making) yaitu pengambilan keputusan dengan kriteria majemuk yang paling sering digunakan (Hartati dan Nugroho 2012). AHP adalah teori pengukuran relatif pada skala nyata dan tidak nyata berdasarkan penilaian perbandingan berpasangan yang dilakukan oleh pakar (Ozdemir dan Saaty 2006).
8
Teori dan penerapan AHP digunakan pada berbagai bidang misalnya minyak dan gas, kesenian, sosial, kesehatan, pendidikan, bisnis, militer, politik, dan pembangunan industri (Yunus et al. 2013). Skala penilaian dan uji konsistensi Saaty dalam AHP menjadi pilihan favorit bagi para pengambil keputusan (Franek dan Kresta, 2014). Beberapa keuntungan dari penggunaan metode AHP (Saaty 1993) adalah: 1. Dapat mempresentasikan suatu sistem yang dapat menjelaskan bagaimana perubahan pada level yang lebih tinggi mempunyai pengaruh terhadap unsurunsur pada level yang lebih rendah. 2. Membantu memudahkan analisis guna memecahkan persoalan yang kompleks dan tidak terstruktur dengan memberikan skala pengukuran yang jelas guna mendapatkan prioritas 3. Mampu mendapatkan pertimbangan yang logis dalam menentukan prioritas dengan tidak memaksakan pemikiran linier 4. Mengukur secara komprehensif pengaruh unsur-unsur yang mempunyai korelasi dengan masalah dan tujuan, dengan memberikan skala pengukuran yang jelas. 5. Melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas. AHP dapat memecahkan permasalahan dengan evaluasi kualitatif dan kuantitatif (Quintero et al. 2008; Sarhan 2011; Mani et al. 2014; Lolli et al. 2014). Yunus et al. (2013) juga menyatakan, meskipun AHP murni matematis yang terdiri dari matriks pada penelitian kuantitatif, penerapannya dapat dilakukan pada penelitian kualitatif, dan sangat mungkin untuk mengkuantifikasikan kriteria kualitatif melalui kombinasi studi matematis dan psikologi dari AHP. Elemen dari proses hierarki dapat menghubungkan faktor nyata dan tidak nyata untuk pengambilan keputusan. AHP mengubah faktor – faktor tersebut menjadi nilai berupa angka yang dapat diproses dan dibandingkan pada tujuan akhir penelitian (Yunus et al. 2013). Menurut Saaty (1993), AHP merupakan model yang luwes yang memberikan kesempatan bagi perorangan atau kelompok untuk membangun gagasan-gagasan dan mendefinisikan persoalan dengan cara membuat asumsi mereka masing-masing dan memperoleh pemecahan yang diinginkan darinya. Hierarki didefinisikan sebagai suatu representasi dari sebuah permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multi level dimana level pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria, sub kriteria, dan seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari alternatif. Dengan hierarki, suatu masalah yang kompleks dapat diuraikan ke dalam kelompok-kelompoknya yang kemudian diatur menjadi suatu bentuk hierarki sehingga permasalahan akan tampak lebih terstruktur dan sistematis. Sistematika formulasi AHP dimulai dari formulasi goal, mengidentifikasi kriteria, pembentukan hierarki dan penaksiran (Evi et al. 2013). Perbandingan berpasangan dilakukan pada elemen kriteria dan alternatif kemudian dikompilasi kedalam square matriks, dimana koefisien penilaian berupa angka dan dilakukan oleh pakar (Galvan et al. 2014), Untuk menentukan kepentingan diantara kriteria dilakukan pengumpulan data melalui kuesioner, survei, wawancara, dan sebagainya (Chan 2003). Literatur yang ada tidak merekomendasikan berapa jumlah responden yang digunakan dalam menggunakan AHP (Chavez et al. 2012). Perbandingan berpasangan dinilai dengan menggunakan skala yang dipilih, skala tersebut berupa
9
nilai dari sebuah pendapat verbal dan satu set angka tersebut mereprestasikan bobot dari pendapat verbal (Galvan et al. 2014). Kepentingan dari kriteria dan penilaian alternatif diturunkan dengan metode eigenvalue (Saaty 1990; Ishizaka dan Labib 2011). Menurut Yunus et al. (2013), pada pasca millenium saat ini, waktu sangat penting dalam menjalani hidup. Sangat dibutuhkan pengambilan keputusan dalam waktu yang singkat. Penggunaan Software Expert Choice dapat menyederhanakan keseluruhan proses AHP dan menyediakan integrasi visual dari analisis sensitivitas. Software Expert Choice adalah produk yang cepat dipelajari dan mudah digunakan untuk mengkolaborasikan pengambilan keputusan dalam membantu institusi penelitian. Software ini mempunyai struktur berbasis grafis dimana dapat menerapkan penilaian untuk mencapai tujuan akhir. Keuntungan menggunakan software ini adalah membantu pengambil keputusan untuk memperoleh keputusan yang terbaik dan memberikan gambaran yang jelas terhadap keputusan tersebut. Hal ini disebabkan karena hasil divalidasi melalui analisis sensitivitas. AHP dan software Expert Choice mengikutsertakan pengambil keputusan dalam proses pengambilan keputusan kedalam bagian terkecil. Dimulai dari membuat goal yang ingin dicapai, diikuti tujuan, subtujuan, dan alternatif. Pengambil keputusan kemudian membuat penilaian perbandingan melalui prioritas hierarki sampai ke alternatif. Berbagai penelitian telah menggunakan software Expert Choice untuk menganalisis data dalam pengambilan keputusan, misalnya Donmez (2013) menggunakan Expert Choice dalam pemilihan software, Yunus et al. (2013) dalam meranking Heritage Streets, dan Mani et al. (2014) untuk pemilihan supplier.
3 METODE Penelitian dilakukan dalam dua tahap, dimana tahap pertama merupakan rancangan percobaan, yaitu kajian cara panen dan pemipilan terhadap susut kuantitas. Kemudian tahap berikutnya adalah analisis penentuan sarana pascapanen yang dapat menurunkan susut kuantitas. Kajian Cara Panen dan Pemipilan Terhadap Susut Kuantitas Waktu dan Tempat Percobaan dilaksanakan dari bulan September 2014 sampai Pebruari 2015 di Desa Bojong Nangka, Kec. Petir, Kab. Serang, Provinsi Banten. Bahan dan Alat Bahan-bahan penelitian terdiri atas lahan tanaman jagung varietas Bisma 19 yang siap panen dan jagung tongkolan varietas Bisma 19 yang siap untuk dipipil. Peralatan yang digunakan terdiri atas alat pemanen yaitu berupa sabit atau parang, alat pemipil yaitu power thresher multiguna dan cornsheller, grain moisture tester PM-410 untuk mengukur kadar air, digital tachometer DT-2234A untuk mengukur kecepatan putar silinder pemipil, terpal 8x8m2 sebagai alas pada proses pemipilan,
10
Tanaman jagung
Panen dipetik
Panen disabit
Persiapan tanaman, tebang bagian atas
Persiapan tanaman, tanpa tebang bagian atas
musim kemarau, kelobot dibuka
musim hujan, tanpa buka kelobot
Penentuan arah Utara-Selatan, Timur-Barat
Penentuan arah Utara-Selatan, Timur-Barat
Penentuan titik ubinan (titik 0), arah barat daya Pembuatan siku ke arah utara dan timur @5m, membentuk bujur sangkar 5 m x 5 m
Penentuan titik ubinan (titik 0), arah barat daya Penebasan tanaman jagung Pembuatan siku ke arah utara dan timur @5m, membentuk bujur sangkar 5 m x 5 m
Pemetikan jagung
musim kemarau, masukan kedalam karung
musim hujan, masukan kedalam karung, kelobot dibuka
Pengumpulan jagung yang tidak terpanen, tercecer di lahan, dan pengumpulan sementara
musim kemarau, tanaman dikumpulkan
musim hujan, tanpa pengumpulan tanaman
Penebasan jagung, kelobot dibuka
Pengumpulan jagung yang tidak terpanen, tercecer di lahan, tumpukan tanaman, dan pengumpulan sementara
Penimbangan Penimbangan
Perhitungan prosentase susut
Perhitungan prosentase susut
Data susut panen 1
Data susut panen 2
Gambar 2 Tahapan penelitian cara panen (berdasarkan KP DPTP 2012) aplikasi stopwatch BlackBerry 9900, timbangan gantung kapasitas 25kg untuk mengukur berat jagung panen dan pemipilan, timbangan digital EK3550 kapasitas 5kg untuk mengukur berat jagung yang tercecer. Prosedur Penelitian Persiapan tanaman jagung yang ditebas atasnya dan tanpa tebang atas. Khusus pada musim kemarau pada tanaman jagung yang ditebang atasnya, kelobot jagung tersebut dibuka. Setiap perlakuan dibuat petak ubinan 5x5 m2. Setelah lahan
11
siap, proses panen jagung dimulai. Jagung dipetik dan dimasukan kedalam karung. Kelobot jagung dibuka untuk jagung yang belum dibuka kelobotnya. Setelah proses panen selesai, waktu yang digunakan selama proses panen dicatat. Pengumpulan dan penimbangan jagung yang tidak terpanen, tercecer di lahan, dan pengumpulan sementara, serta di tumpukan tanaman. Jagung hasil panen ditimbang, selanjutnya dipipil dan hasil pipilannya juga ditimbang. Diagram alir tahapan pengumpulan data kajian susut panen disajikan pada Gambar 2. Pengumpulan data kajian susut pemipilan menggunakan tiga cara pemipilan yaitu pemipilan manual dengan alat tradisional, pemipilan mekanis 1 dengan corn sheller yang merupakan bantuan sosial Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, pemipilan mekanis 2 dengan power thresher multiguna sebagai sarana pemipilan yang biasa digunakan petani, Kementerian Pertanian. Pemipilan manual menggunakan 50kg jagung tongkolan sedangkan pemipilan mekanis menggunakan 1,000 kg jagung tongkolan. Setelah jagung dipipil, jagung yang tercecer di luar alas dan tidak terpipil serta terikut kotoran dikumpulkan dan ditimbang. Jagung hasil pemipilan juga ditimbang sebagai data pada perhitungan prosentase susut kuantitas pemipilan baik secara manual maupun mekanis. Diagram alir kajian susut pemipilan jagung dapat dilihat pada Gambar 3. Tongkolan jagung
Pemipilan Manual
Pemipilan Mekanis 1
Pemipilan Mekanis 2
50 kg tongkolan jagung
1,000 kg tongkolan jagung
1,000 kg tongkolan jagung
Pemipilan
Pemipilan
Pemipilan
Pengumpulan jagung yang tercecer di luar alas, tidak terpipil, terikut kotoran
Pengumpulan jagung yang tercecer di luar alas, tidak terpipil, terikut kotoran
Pengumpulan jagung yang tercecer di luar alas, tidak terpipil, terikut kotoran
Penimbangan
Penimbangan
Penimbangan
Perhitungan prosentase susut
Perhitungan prosentase susut
Perhitungan prosentase susut
Data susut pemipilan manual
Data susut pemipilan mekanis 1
Data susut pemipilan mekanis 2
Gambar 3 Tahapan penelitian cara pemipilan (berdasarkan KP DPTP 2012) Pengamatan 1. Susut kuantitas Berat jagung diukur dengan menggunakan timbangan gantung kapasitas 25kg dan timbangan digital EK3550 kapasitas 5kg. Perhitungan susut panen
12
menggunakan persamaan (1) dan perhitungan susut pemipilan menggunakan persamaan (2) dimana kedua persamaan tersebut berdasarkan Purwadaria (1988). Bc SPn= x 100% ……..…………………..…… (1) Bt+Bc Dimana: SPn = Susut Panen Jagung (%) Bc = Berat biji jagung tercecer (kg/ha) Bt = Berat total hasil produksi (kg/ha) SP =
T1+T2+T3
JP+T1+T2+T3
x 100% ………………..........……… (2)
Dimana: SP = Susut Pemipilan Jagung (%) T1 = Berat biji jagung yang berada di luar alas pengamatan (kg) T2 = Berat biji jagung yang masih melekat pada tongkol (kg) T3 = Berat biji jagung yang terbawa pada kotoran (kg) JP = Berat biji jagung pipilan (kg) Gambar 4 menunjukan proses pengukuran berat jagung dengan timbangan gantung dan digital yang dilakukan pada output proses dan jagung yang tercecer.
Gambar 4 Penimbangan jagung: (a) timbangan gantung; (b) timbangan digital 2. Waktu proses Waktu yang digunakan selama proses panen dan pemipilan diukur dengan menggunakan aplikasi stopwatch BlackBerry 9900. Waktu panen dimulai setelah lahan jagung yang akan dipanen siap sampai jagung selesai dipanen dalam bentuk tongkolan tanpa kelobot. Waktu proses pemipilan dimulai dari jagung pertama dipipil sampai semua jagung yang digunakan sebagai sampel selesai terpipil. 3. Kadar air Jagung yang akan diukur kadar airnya dipipil terlebih dahulu. Pengukuran kadar air menggunakan grain moisture tester PM-410 dan dilakukan sebanyak tiga kali pengulangan. Gambar 5 menunjukan proses pengukuran kadar air berdasarkan prinsip pemakaian alat.
Gambar 5 Pengukuran kadar air jagung
13
Rancangan Percobaan Penelitian ini dilakukan dengan mengamati susut kuantitas dan waktu proses tanaman jagung pada proses panen jagung. Uji statistik diawali dengan analisis sidik ragam untuk mengetahui pengaruh perlakuan, kemudian dilanjutkan dengan uji LSD (Least Significance Different) sebagai penentu beda taraf nyata 5% dari hasil perhitungan dengan menggunakan Statistical Package for Social Science (SPSS). Acuan dalam analisis ragam untuk dapat dilanjutkan ke uji LSD apabila: 1. Jika Sig. ≥ 5% maka tidak berpengaruh 2. Jika Sig. < 5% maka berpengaruh Pengamatan kadar air dianalisis menggunakan uji T. Uji T (Uji Parsial) digunakan untuk mengetahui berapa besar masing-masing variabel independen yaitu musim kemarau dan musim hujan memberikan pengaruh signifikan terhadap variabel dependen yaitu kadar air. Tingkat signifikansi (α) yang digunakan adalah 5%, maka jika tingkat signifikansi yang diperoleh ≥ 0.05 maka H0 diterima. Dan sebaliknya, jika < 0.05 maka H0 ditolak, yang menunjukkan bahwa variabel independen tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen. 1. Panen jagung Penelitian ini menggunakan Rancangan Percobaan RAL Faktorial dengan dua faktor perlakuan yaitu cara panen (dipetik dan disabit) dan musim (kemarau dan hujan). Model umum dari rancangan percobaan ini dapat dilihat pada persamaan (3). 𝑌𝑖𝑗𝑘 = 𝜇 + 𝛼𝑖 + 𝛽𝑗 + (𝛼𝛽)𝑖𝑗 + 𝜀𝑖𝑗𝑘 …………………. (3) Keterangan : Yij = Pengamatan pada perlakuan α ke-i dan β ke-j pada ulangan ke-k µ = Rataan umum αi = Pengaruh perlakuan α ke-i βj = Pengaruh kelompok β ke-j (αβ)ij = Interaksi α ke-i dan β ke-j εij = Pengaruh acak dari perlakuan α ke-i, β ke-j pada ulangan ke-k i = 1, 2 (cara panen) j = 1, 2 (jenis musim) k = 1, 2 (percobaan) 2. Pemipilan jagung Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) pada kelompok musim kemarau dan musim hujan dengan faktor perlakuan yaitu cara pemipilan (manual, power thresher multiguna dan cornsheller). Model umum dari rancangan percobaan ini dapat dilihat pada persamaan (4). 𝑌𝑖𝑗 = 𝜇 + 𝛼𝑖 + 𝛽𝑗 + 𝜀𝑖𝑗 ……………………………. (4) Keterangan : Yij = Pengamatan pada perlakuan α ke-i dan kelompok β ke-j µ = Rataan umum αi = Pengaruh perlakuan α ke-i βj = Pengaruh kelompok β ke-j εij = Pengaruh acak perlakuan ke-i dan kelompok ke-j i = Banyaknya perlakuan j = Banyaknya kelompok
14
Analisis Penentuan Sarana Pascapanen yang dapat Menurunkan Susut Kuantitas Penelitian dan pengumpulan data dilaksanakan mulai September 2014 sampai dengan Januari 2015 bertempat di Bogor, Jakarta, dan Provinsi Banten. Analisis prioritas sarana pascapanen jagung untuk menekan susut hasil kuantitatif menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP). Tahapan analisis Mulai
Mengidentifikasi tujuan, kriteria, subkriteria dan alternatif
Menyusun kuesioner
Menentukan beberapa pilihan calon pakar/responden Menyebar kuesioner kepada pakar/responden Memasukan data dari kuesioner
Melakukan perhitungan konsistensi
Konsisten
Tidak
Ya Menghitung rata-rata geometris
Menghitung bobot pada setiap elemen hirarki Selesai
Gambar 6 Tahapan penelitian pengambilan keputusan dalam AHP
15
menggunakan metode AHP dapat dilihat pada Gambar 6. Berikut langkah-langkah analisis menggunakan metode AHP : 1. Menentukan beberapa pilihan sebagai calon pakar/responden potensial Langkah ini dilakukan dengan wawancara, calon yang cocok akan dijadikan alternatif untuk pembobotan kriteria, subkriteria, dan alternatif. 2. Menentukan kriteria-kriteria, subkriteria dan alternatif Kriteria-kriteria, subkriteria dan alternatif dilakukan dengan diskusi langsung dan pengamatan di lapangan, sarana pascapanen apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh petani jagung untuk menurunkan susut kuantitas pascapanen. Kriteria dan subkriteria tersebut muncul dari kebutuhan sistem agar petani memperoleh sarana pascapanen yang tepat guna. Kemudian kriteria-kriteria, subkriteria dan alternatif dibuat bagan hierarkinya seperti pada Gambar 7. Goal
Kriteria 1
Alternatif A
Kriteria 2
Alternatif B
Alternatif A
Alternatif B
Kriteria 3
Alternatif A
Alternatif B
Gambar 7 Struktur Hirarki dalam AHP 3. Penyusunan kuesioner Setelah menentukan kriteria-kriteria, subkriteria dan alternatif untuk bahan pertimbangan penentuan sarana pascapanen yang dapat menurunkan susut kuantitas, kemudian melakukan pembuatan kuesioner. Penyusunan kuesioner dibuat berdasarkan metode perbandingan berpasangan untuk mengetahui tingkat bobot dari setiap kriteria, subkriteria dan alternatif. Nilai bobot tersebut menggunakan skala 1-9 seperti pada Tabel 5. Tabel 5 Skala perbandingan Nilai Keterangan 1 Faktor Vertikal sama penting dengan Faktor Horizontal 3 Faktor Vertikal lebih penting dengan Faktor Horizontal 5 Faktor Vertikal jelas lebih penting dengan Faktor Horizontal 7 Faktor Vertikal sangat jelas lebih penting penting dengan Faktor Horizontal 9 Faktor Vertikal mutlak lebih penting dengan Faktor Horizontal 2,4,6,8 Apabila ragu-ragu antara dua nilai elemen yang berdekatan 1/(2-9) Kebalikan dari keterangan nilai 2-9 Sumber: Saaty (1990)
4. Penyebaran kuesioner kepada pakar/responden Kuesioner yang sudah disusun tersebut, disebarkan kepada para pengambil keputusan dalam hal ini pakar atau responden yang terlibat dalam pencapaian tujuan. 5. Memasukan data dari kuesioner Hasil kuesioner yang diperoleh akan dikumpulkan dan dianalisis menggunakan software Expert Choice.
16
6. Menghitung rata-rata geometris Data hasil kuesioner tiap responden akan digabungkan menjadi satu nilai dengan perhitungan rata-rata geometris. 7. Melakukan perhitungan pembobotan pada kriteria, subkriteria dan alternatif pada tiap tingkat hierarki Perhitungan ini akan menghasilkan tingkat bobot kepentingan tiap kriteria, subkriteria dan alternatif. 8. Pengujian konsistensi Pengujian konsistensi merupakan tahap akhir yang dilakukan pada setiap kriteria-kriteria, subkriteria dan alternatif sehingga data-data yang diperoleh layak untuk digunakan dan diterapkan. Jika hasil uji yang diperoleh tidak konsisten maka langkah selanjutnya yang dilakukan adalah mengulang lagi tahap awal, yakni menentukan kembali calon pakar atau responden.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Panen Jagung Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Petir, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Provinsi Banten merupakan sentra pabrik pakan ternak sehingga permintaan akan jagung pada wilayah ini sangat tinggi. Kabupaten Serang merupakan salah satu penerima bantuan sosial sarana pascapanen Kementerian Pertanian. Kelompok tani (poktan) jagung di Kabupaten Serang melakukan kegiatan pemanenan dengan cara memetik tongkolan jagung dan langsung dimasukan kedalam karung. Beberapa hari sebelum panen, bagian atas tanaman jagung dipotong setelah kelobot mulai mengering untuk digunakan sebagai bahan pakan ternak, kemudian jika musim kemarau kelobot jagung dibuka untuk mempercepat pengeringan tongkol namun pada saat musim hujan tongkolan dipanen beserta kelobotnya yang kemudian akan dikupas. Di beberapa tempat seperti di Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung panen dilakukan dengan menyabit batang tanaman jagung, tongkolan jagung dipetik, dikumpulkan dan dikupas kelobotnya. Percobaan dilakukan pada lahan tanaman jagung milik ketua poktan karya tani. Varietas jagung yang digunakan poktan ini adalah Bisma 19. Varietas ini merupakan jagung komposit dengan umur panen sekitar 96 hari. Bentuk tongkol besar dan silindris yang terletak di tengah-tengah batang tanaman. Kelobot tertutup baik dengan biji berwarna kuning berbentuk semi mutiara. Barisan biji pada tongkol lurus dan rapat dan potensi hasil sekitar 5.7 ton/ha. Susut kuantitas Pemanenan yang dilakukan pada umur panen yang tepat akan menurunkan susut (World Bank et al. 2011). Petani setempat melakukan pemanenan pada jagung dengan umur panen 120 hari dimana lebih lama dari umur panen varietas bisma yang berdasarkan literatur. World Bank et al. (2011) juga menyatakan bahwa pemanenan yang terlalu awal menyebabkan kadar air tinggi dan biji jagung tidak padat. Sedangkan pemanenan yang tertunda terutama masuk di awal musim hujan akan menyebabkan kelembaban tinggi dan jagung tidak cukup kering.
17
Dari hasil susut kuantitas panen yang diperoleh, terlihat bahwa setiap perlakuan pada setiap musim menghasilkan susut yang berbeda dan dapat dilihat pada Gambar 8. Pada percobaan pertama, susut panen dipetik pada musim kemarau 1.33%, sedangkan panen disabit 0.89%, susut panen dipetik dan disabit pada musim hujan berturut-turut 1.17% dan 0.88%. Pada percobaan kedua, susut panen dipetik pada musim kemarau 0.86% sedangkan panen disabit 0.66%, susut panen dipetik dan disabit pada musim hujan berturut-turut 1.167% dan 0.85%. 1.6 musim kemarau
1.4
musim hujan
Susut (%)
1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0
dipetik
disabit
Gambar 8 Susut kuantitas panen jagung Analisis sidik ragam untuk susut panen menunjukan nilai signifikansi ≥ 5% sehingga perlakuan panen dipetik dan disabit pada kelompok musim kemarau dan musim hujan tidak berpengaruh nyata terhadap susut. Hal ini berarti panen jagung baik dilakukan dengan dipetik maupun disabit menghasilkan susut yang sama dan tidak berbeda nyata. Namun, pemanenan jagung dengan menebas tanaman sangat menguntungkan ketika musim hujan karena pada waktu hujan melakukan panen akan menyebabkan tergesa-gesanya pelaksanaan panen dan pengangkutan hasil panen tersebut. Hal ini dapat menyebabkan jagung yang dipanen sebagian akan tercecer/terbuang ke hamparan tanah dan susut yang dihasilkan lebih banyak daripada panen saat musim kemarau. Ditambah lagi dengan keterbatasan tenaga kerja yang menyebabkan penundaan panen sehingga akan mengakibatkan kehilangan hasil secara signifikan (World Bank et al. 2011). Titik kritis kehilangan hasil saat panen adalah pelaku panen yang terkesan terburu-buru dan tidak hati-hati. Cara panen manual dengan langsung melakukan pemetikan pada pangkal buah menghasilkan banyak butiran yang tertinggal pada kelobot dan jatuh di lokasi panen. Jagung yang masih berkelobot dapat menghindari tercecernya biji di lapangan. Namun, tercecer akan banyak terjadi di penumpukan sementara ketika jagung dikupas kelobotnya. Penggunaan alas tempat pengumpulan sementara dan pengupasan kelobot harus selebar mungkin sehingga jagung dapat tertampung dan jagung yang tercecer di alas dapat disortasi dari kotoran seperti rambut jagung. Waktu proses Proses panen jagung di Indonesia masih dilakukan secara manual. Berdasarkan World Bank et al. (2011), pada petani jagung dengan luas lahan yang kecil, panen dengan mekanis bukanlah pilihan karena skala luasan yang tidak tepat serta biaya yang tidak terbayarkan.
18
Proses panen pada penelitian ini dilakukan oleh dua orang petani yang biasa melakukan pemanenan jagung. Pada Gambar 9 dapat dilihat bahwa cara panen dengan sabit mengkonsumsi waktu lebih lama dibandingkan panen dengan cara dipetik dan hasil analisis sidik ragam menunjukan nilai sig. < 5% sehingga waktu proses pada setiap perlakuan cara panen berbeda nyata. Namun, faktor musim tidak menghasilkan perbedaan waktu proses yang berbeda nyata.
Waktu Proses (jam/Ha)
250
musim kemarau musim hujan
200 150 100 50 0
dipetik
disabit
Gambar 9 Waktu proses panen jagung Waktu pemanenan dengan cara dipetik pada musim hujan lebih lama dibandingkan pada musim kemarau karena pada musim hujan tongkolan jagung tidak dibuka kelobotnya sebelum pemanenan sebagaimana yang terjadi pada tanaman jagung di musim kemarau. Sehingga, ada tambahan waktu untuk melakukan pelepasan kelobot dari jagung tongkolan. Tahapan panen dengan cara disabit lebih panjang daripada dipetik karena tanaman ditebas, dikumpulkan, dan kelobot dibuka. Sedangkan cara panen disabit tanaman langsung dimasukan kedalam karung dan khusus musim hujan ditambah proses pengupasan kelobot. Walaupun demikian, cara panen disabit tidak menyisakan sisa tanaman jagung di lahan dan lahan langsung dapat diolah. Berbeda halnya dengan cara panen dipetik dimana diperlukan tambahan waktu untuk penebasan bagian atas tanaman (pembukaan kelobot khusus musim kering) dan pembersihan lahan dari sisa tanaman jagung. Kadar Air Kadar air jagung yang dipanen pada musim kemarau adalah sebesar 24.9% ± 1.8 dan pada musim hujan 28.7% ± 1.1. Hasil analisis uji T didapatkan bahwa ternyata ada pengaruh kadar air panen pada musim kemarau dan musim hujan karena Sig. < 5%. Menurut Swastika et al. (2004), kadar air jagung menjadi tidak menentu dan tidak dapat diprediksi pada saat musim hujan. Salah satu penyebab kehilangan hasil adalah kadar air (World Bank et al. 2011). Setiap proses pascapanen membutuhkan persyaratan kadar air optimum, misalnya pada proses pemipilan dimana jagung yang akan dipipil harus dikeringkan terlebih dahulu sampai dibawah 14% (Nkakini, 2007). Pada musim kemarau sistem panen dengan cara perebahan tanaman melalui tebasan menggunakan sabit dan cara panen dipetik dengan membuka kelobot dapat diterapkan sebagai fungsi pengeringan awal. Panen di musim hujan, petani dihadapkan pada kendala pengeringan. Penundaan panen sampai datangnya musim kemarau akan mengakibatkan rusaknya jagung. Sedangkan panen tepat waktu di
19
musim hujan, petani sulit untuk menurunkan kadar air sebelum dilakukan proses pemipilan. Sehingga, sangat penting untuk memperhatikan pola tanam untuk memastikan panen dapat tepat di musim kemarau atau diperlukan sarana pascapanen pengering untuk mendukung penurunan kadar air jagung panen. Pemipilan Jagung Kegiatan pemipilan jagung meliputi kegiatan melepas biji dari tongkol, memisahkan kotoran dan mengangkut jagung pipilan kering ke tempat proses selanjutnya. Penelitian ini juga dilakukan di poktan karya tani. Perlakuan pemipilan terdiri dari pemipilan dengan tenaga manusia dan mekanis. Pemipilan secara tradisional di poktan ini menggunakan alat sederhana yang terbuat dari tongkol jagung yang dibalut dengan karet ban. Pemipil mekanis yang digunakan pada percobaan adalah mesin pemipil jagung bantuan sosial sarana pascapanen Kementan yaitu corn sheller dan mesin pemipil yang biasa digunakan petani setempat yaitu power thresher multiguna (Gambar 10).
Gambar 10 Alat pemipil: (a) tradisional; (b) corn sheller; (c) power thresher multiguna Susut kuantitas Proses pemipilan dan bahan yang digunakan mengikuti kebiasaan petani setempat. Hasil analisis sidik ragam didapatkan adanya pengaruh perlakuan pemipilan terhadap kehilangan hasil karena Sig. < 5%, namun tidak ada pengaruh nyata untuk kelompok musim (Sig. ≥ 5%). Analisis lanjut LSD didapatkan bahwa pemipilan secara manual menghasilkan susut kuantitas yang memberikan perbedaan jelas terhadap pemipilan mekanis baik menggunakan corn sheller maupun power thresher multiguna. Sedangkan antara corn sheller dan power thresher multiguna tidak memiliki perbedaan susut kuantitas yang signifikan. Pemipilan menggunakan power thresher multiguna menghasilkan jagung pipil yang banyak terikut kotoran. Berbeda dengan corn sheller dimana kotoran
Gambar 11 Silinder pemipil: (a) corn sheller; (b) power thresher multiguna
20
terpisahkan dari jagung pipil. Bentuk kontruksi silinder pemipil sangat berbeda untuk kedua mesin yang dapat dilihat pada Gambar 11. Tidak terdapatnya pengarah dan sarangan pada power thresher multiguna menyebabkan jagung banyak tertinggal pada junggelnya sehingga pemipilan harus dilakukan 3 sampai 4 kali pengulangan. Mesin pemipil mekanis sangat sederhana, sehingga dapat dibuat oleh semua bengkel alsin pertanian. Permintaan harga yang murah terkadang mengabaikan kualitas bahan yang digunakan untuk membuat mesin tersebut. Kemampuan kerja mesin pemipil bijian sangat tergantung dari parameter kerja mesin tersebut, semakin tinggi kecepatan putar silinder maka semakin kecil kehilangan hasil (Osuke 2013). Standar Nasional Indonesia (SNI) 7428:2008 dan SNI 7866:2013 dapat menjadi acuan bagi petani untuk lebih kritis dalam membeli mesin pemipil jagung. Apabila dilakukan perbandingan antara SNI dan spesifikasi mesin pemipil yang disajikan pada Tabel 6, corn sheller tidak memenuhi SNI untuk putaran silinder dan kapasitas kerja. Sedangkan untuk power thresher multiguna, keempat parameter tersebut memenuhi SNI. Kecepatan putaran silinder corn sheller lebih rendah dari pada power thresher multiguna. Operator sarana corn sheller menghindari kecepatan yang tinggi karena mesin akan macet. Kecepatan tersebut merupakan kecepatan yang menjadi patokan petani ketika melakukan pemipilan. Meskipun spesifikasi power thresher multiguna sudah sesuai SNI, namun hasil pipilan harus dilakukan proses pengayakan karena banyaknya kotoran yang terikut. Sehingga, perlu dilakukan pengukuran parameter lain terhadap sarana power thresher multiguna untuk mengurangi susut kuantitas. Tabel 6 Spesifikasi sarana pemipil yang digunakan pada percobaan Spesifikasi No
Parameter
Satuan kW
4 (diesel)
Power thresher multiguna 5 (diesel)
mm mm
700 300
750 350
rpm
370
620
kg/jam
400
650
Corn sheller 1 2
3 4
Daya motor penggerak Dimensi silinder pemipil a. Panjang b. Diamater Putaran silinder pemipil dengan beban kerja Kapasitas
Ergonomik kerja power thresher multiguna untuk kegiatan pemipilan jagung sangat tidak aman bila dibandingkan dengan corn sheller. Hal ini disebabkan desain hopper yang tidak cocok untuk jagung sehingga tangan yang mendorong jagung untuk masuk kedalam hopper terlalu dekat dengan silider pemipil. Mesin perontok buatan lokal secara umum dioperasikan secara manual, desain perontok yang ergonomis akan menyebabkan proses kegiatan akan berlangsung dengan aman (Kumar et al. 2002). Waktu proses Proses pemipilan dilakukan oleh tiga orang petani sebagai operator yang biasa mengoperasikan sarana pemipil yang digunakan pada penelitian ini. Sedangkan pemipilan manual dilakukan oleh lima orang petani. Konsumsi waktu pemipilan
21
perlu diperhatikan. Waktu proses yang lama mengakibatkan efisiensi pemipilan menurun. Proses pascapanen yang tertunda menyebabkan kerusakan dan memperbesar kehilangan hasil (World Bank et al. 2011). Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa pemipilan secara manual menghasilkan susut kuantitas yang jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan pemipilan yang dilakukan secara mekanis. Namun, waktu yang dihabiskan untuk melakukan kegiatan pemipilan dengan cara manual lebih lama bila dibandingkan dengan mesin. Dari hasil analisis sidik ragam, waktu proses pemipilan manual dan mekanis memiliki perbedaan yang sangat signifikan karena memiliki nilai signifikansi < 5%. Berbeda halnya dengan pemipilan mekanis dimana waktu proses antara corn sheller dan power thresher multiguna tidak memiliki hasil yang mutlak berbeda (Sig. ≥ 5%). Tabel 7 Susut kuantitas dan waktu pemipilan Waktu pemipilan Susut kuantitas (%) (jam/ton) Perlakuan Musim Musim Musim Musim kemarau hujan kemarau hujan a a a Manual 0.08 0.10 560 760a Corn sheller
1.18b
1.84b
2.2b
2.9b
Power thresher multiguna
1.36b
2.02b
1.3b
1.4b
a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji LSD).
Penggunaan sarana pemipil perlu memperhatikan konstruksi gigi-gigi yang spesifik, agar dapat digunakan untuk menghasilkan jagung pipilan yang berkualitas dan tingkat kehilangan hasil yang rendah (Aqil 2010). Kecepatan putaran silinder pemipil berpengaruh terhadap kapasitas pemipilan. Kadar air Kadar air jagung yang dipipil pada musim kemarau adalah sebesar 24.2% ± 0.4 dan pada musim hujan 25.3% ± 0.5. Hasil analisis uji T menunjukan tidak ada pengaruh kadar air pemipilan pada musim kemarau dan musim hujan karena Sig. ≥ 5%. Jagung seharusnya mempunyai kadar air serendah mungkin sebelum dipipil. Semakin kecil kadar air maka semakin kering jagung sehingga biji jagung mudah lepas dari janggelnya, biji lebih keras, dan kotoran lebih ringan. Panen di musim kemarau seharusnya memberikan keuntungan bagi petani untuk menurunkan kadar air jagung. Pengukuran kadar air berdasarkan kebiasaan petani yaitu dengan cara ditekan atau digigit menyebabkan kadar air tidak terukur secara tepat. Sehingga kadar air jagung yang akan dipipil baik pada musim kemarau maupun musim hujan tidak berbeda nyata. Kadar air jagung yang tinggi pada proses pemipilan menyebabkan banyaknya jagung yang tidak terpipil terutama pada saat musim hujan. Menurut Osuke (2013), susut perontokan akan menurun apabila kadar air 17% atau di bawahnya dan semakin tinggi kapasitas pemasukan bahan maka semakin banyak bahan yang tidak terpipil.
22
Prioritas Sarana Pascapanen Sarana pascapanen jagung merupakan sarana yang tidak murah bagi petani. Hasil dari pemanfaatannya diharapkan dapat membantu petani seoptimal mungkin dan memberikan keuntungan maksimal. Peran aktor sangat dibutuhkan sehingga petani jagung bisa mempunyai sarana yang tepat guna. Adapun aktor yang berperan terhadap penentuan sarana yang dapat menurunkan susut kuantitas adalah: 1. Pemerintah Kontinuitas suplai jagung sangat tergantung dari petani. Keterlibatan pemerintah terhadap penyediaan sarana pascapanen jagung yang tepat guna di tingkat petani akan membantu dalam peningkatan volume produksi melalui penurunan susut kuantitas. 2. Lembaga litbang Sarana dengan teknologi yang mudah digunakan akan membantu petani dalam pemanfaatannya. Teknologi tersebut juga harus dapat mendukung penurunan susut kuantitas dan menghasilkan output yang dapat menguntungkan petani. 3. Importir/Pabrikan Alsintan Pelaku usaha sarana pascapanen berskala besar juga melakukan impor sarana pascapanen yang tidak diproduksi di dalam negeri. Terkadang juga ditawarkan sarana impor dengan harga murah walaupun sarana tersebut sudah bisa kita produksi. 4. Bengkel Alsintan Teknologi sarana yang sederhana sudah banyak diproduksi di bengkelbengkel alsintan. Skala usaha bengkel alsintan masih kecil dimana produksi berdasarkan pesanan. Petani juga banyak yang melakukan pemesanan dikarenakan dapat meminta spesifikasi sarana dan bahan yang sesuai dengan keinginan petani. 5. Lembaga Keuangan Seperti halnya di dalam budi daya, petani tidak lepas dari kredit dari lembaga keuangan. Lembaga tersebut membantu petani dalam kepemilikan sarana pascapanen dalam membantu usaha taninya. Kredit tersebut akan mendukung perolehan sarana yang tidak hanya sekedar murah tetapi sarana yang mampu menurunkan susut kuantitas. Kriteria-kriteria berdasarkan hasil telaah literatur dan wawancara yang dianggap cocok untuk digunakan dalam penentuan sarana pascapanen yang dapat menurunkan susut kuantitas adalah sebagai berikut: 1. Kriteria Kualitas Hasil Kualitas hasil merupakan salah satu kriteria yang penting dalam pemanfaatan sarana pascapanen. Bagi petani, dengan menggunakan sarana pascapanen tidak hanya mempercepat proses, namun hasilnya diharapkan dapat dijual dengan harga yang menguntungkan. Adapun subkriteria dari kriteria kualitas hasil adalah kesesuaian SNI dan harga jual. 2. Kriteria Teknologi Teknologi dari sarana pascapanen yang akan digunakan oleh petani diharapkan mampu mencapai tujuan yang diinginkan yaitu menurunkan susut
23
kuantitas, dengan subkriteria SNI/Test report, suku cadang, dan kelengkapan dokumen. 3. Kriteria Harga Harga merupakan salah satu faktor penting karena terkait dengan biaya awal yang harus dikeluarkan dalam pembelian sarana dan biaya operasional penggunaan sarana tersebut. Biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh petani harus sekecil mungkin untuk memperbesar pendapatan. Subkriteria pada faktor ini terdiri dari harga sarana, biaya tetap, dan biaya operasional. 4. Kriteria Manajemen Usaha Sarana pascapanen jagung yang akan digunakan oleh petani merupakan sarana dengan teknologi tertentu yang membutuhkan pengetahuan dalam pemanfaatannya sehingga sarana tersebut dapat bekerja optimal. Selain itu, supaya hasil pemanfaatannya maksimal maka harus digunakan secara berkelompok. Sehingga, manajemen usaha merupakan salah satu kriteria penting, yang terdiri dari subkriteria kelembagaan dan kualitas SDM. 5. Kriteria Risiko Dalam melakukan kegiatan ekonomi, petani harus menanggung segala kemungkinan risiko yang akan terjadi. Sarana pascapanen yang akan digunakan adalah sarana dengan risiko terkecil. Risiko keadaan lokasi dan perbedaan varietas menjadi pilihan sebagai subkriteria. Struktur hirarki kemudian dijadikan dasar dalam pembuatan kuesioner yang dapat dilihat pada Lampiran. Evaluasi dari setiap level pada hirarki menggunakan perbandingan berpasangan. Data yang didapat dari pengisian kuesioner oleh pakar dan responden potensial diolah dengan menggunakan software expert choice 11. Teknik penentuan pakar dan responden potensial dilakukan dengan metode purposive sampling. Adapun pakar/responden potensial yang digunakan pada penelitian ini sebanyak 9 orang yang terdiri dari pemerintah pusat, Dinas Pertanian Kabupaten Serang, pelaku usaha tani, akademisi, peneliti, dan pelaku usaha sarana pascapanen. Pendapat pakar atau responden potensial yang tidak konsisten dimana nilai inkonsistensi lebih dari 0.10 tidak dapat digunakan untuk pengambilan keputusan (Saaty 1990). Pendapat yang konsisten kemudian diambil rata-rata geometrisnya sehingga didapatkan satu nilai tingkat kepentingan dari aktor, kriteria, subkriteria, dan alternatif. Kemudian dilakukan pembobotan antar aktor, kriteria, subkriteria, dan alternatif yang mempengaruhi pengambilan keputusan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Analisis tingkat kepentingan aktor Analisis pada level kedua struktur hirarki adalah membandingkan peranan aktor dalam pencapaian goal. Aktor yang dipertimbangkan adalah lembaga litbang, pemerintah, importir/pabrikan alsintan, bengkel alsintan, dan lembaga keuangan. Pada Gambar 12 dapat dilihat bahwa aktor yang dinilai paling berpengaruh adalah pemerintah dengan bobot 0.508. Penerapan teknologi pascapanen saat ini masih belum merata, hal ini disebabkan karena penyebaran informasi Perhatian pemerintah lebih pada upaya peningkatan produksi hasil tanaman tentang pentingnya teknologi pascapanen belum dilakukan intensif oleh pemerintah. Selain itu, peran aktor pemerintah sangat dibutuhkan dalam pengawasan peraturan
24
terhadap produk sarana pascapanen jagung yang sesuai dengan standar nasional. Sarana pascapanen jagung merupakan sarana yang tidak murah bagi petani. Hasil dari pemanfaatannya diharapkan dapat membantu petani seoptimal mungkin dan memberikan keuntungan maksimal. Program kerja pemerintah yang berupa bantuan sosial sarana pascapanen yang diberikan kepada petani merupakan stimulan penerapan pascapanen yang baik dan benar. Pemanfaatan sarana tersebut diharapkan mampu menurunkan susut kuantitas pascapanen. Sebagai bahan baku industri, kontinuitas suplai jagung sangat penting bagi industri. Keterlibatan pemerintah terhadap penyediaan sarana pascapanen jagung yang tepat guna di tingkat petani membantu dalam peningkatan volume produksi melalui penurunan susut kuantitas, sehingga diharapkan mampu memenuhi kebutuhan industri. Lembaga litbang merupakan elemen aktor prioritas kedua dengan bobot 0.275. Lembaga litbang termasuk didalamnya akademisi telah banyak melakukan penelitian mengenai sarana pascapanen jagung. Namun, manfaat penggunaannya terkait susut kuantitas pascapanen belum menjadi prioritas dalam penelitian. Para peneliti/perekayasa dapat memberikan jalan terhadap pilihan spesifikasi sarana sehingga manfaat penggunaannya bisa dirasakan oleh para petani. Sarana dengan Penentuan Sarana Pascapanen Jagung yang dapat Menurunkan Susut Kuantitas
Level 1 GOAL
Lembaga Litbang (0.275)
Level 2 AKTOR
Pemerintah (0.508)
Kualitas hasil (0.325)
Level 3 KRITERIA
Teknologi (0.197)
Kesesuaian SNI (0.631) Harga jual (0.369)
Importir/Pabrikan Alsintan (0.069)
Harga (0.214)
Manajemen Usaha (0.153)
Harga sarana (0.198) Biaya tetap (0.161)
Level 4 SUB KRITERIA
SNI /Test Report (0.630) Suku Cadang (0.198)
Biaya Operasional (0.641)
Lembaga Keuangan (0.054)
Bengkel Alsintan (0.094)
Resiko (0.111)
Keadaan lokasi (0.675)
Perbedaan varietas (0.325) Kelembagaan (0.442)
Kualitas SDM (0.558)
Kelengkapan dokumen (0.172) (Setiap alternatif sarana di bawah ini dihubungkan dengan setiap sub kriteria di atas)
Level 5 ALTERNATIF
Corn sheller (0.298)
Cleaner (0.138)
Dryer (0.323)
Silo (0.125)
Moisture tester (0.115)
Gambar 12 Struktur hirarki kriteria, subkriteria, dan alternatif
25
teknologi yang mudah digunakan membantu petani dalam pemanfaatannya. Teknologi tersebut juga harus dapat mendukung penurunan susut kuantitas dan menghasilkan output yang menguntungkan. Kegiatan sosialisasi dan produksi secara massal terhadap hasil penelitian perlu dilakukan untuk mengantarkan teknologi pascapanen sampai ke tingkat petani. Prioritas ketiga dengan bobot 0.094 adalah bengkel alsintan. Pada umumnya sarana yang digunakan petani jagung terutama mesin pemipil dibuat oleh bengkel alsintan dengan tingkat kemampuan teknis yang cukup beragam (Tastra 2003). Teknologi sarana pascapanen sederhana sehingga bengkel alsintan mampu untuk membuatnya. Skala usaha bengkel alsintan masih kecil dimana produksi berdasarkan pesanan. Petani lebih percaya menggunakan jasa bengkel karena dapat memesan sesuai dengan spesifikasi yang dibutuhkan mereka. Namun, petani terkadang mengabaikan bahan yang digunakan serta teknologi yang ada sehingga hasil pemanfaatannya tidak maksimal. Demikian juga pelaku usaha bengkel diminta untuk berpartisipasi aktif dan meningkatkan kerja sama dengan lembaga litbang dan akademisi untuk mengembangkan serta memproduksi secara massal hasil penelitian. Sehingga, alih teknologi dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Prioritas keempat dan kelima secara berurutan adalah importir/pabrikan alsintan (0.069) dan lembaga keuangan (0.054). Pelaku usaha sarana pascapanen berskala besar juga melakukan impor sarana pascapanen yang tidak diproduksi di dalam negeri. Terkadang juga ditawarkan sarana impor dengan harga murah walaupun sarana tersebut sudah bisa kita produksi. Seperti halnya di dalam budi daya, petani tidak lepas dari kredit yang berasal dari lembaga keuangan. Lembaga tersebut membantu petani dalam kepemilikan sarana pascapanen dalam membantu usaha taninya. Kredit tersebut mendukung perolehan sarana yang tidak hanya sekedar murah tetapi sarana yang mampu menurunkan susut kuantitas. Diperlukan adanya sinergitas antara petani, pemerintah dan swasta yang menciptakan pengembangan pascapanen yang berkelanjutan serta adanya perlindungan bagi semua pelaku usaha. Analisis tingkat kepentingan kriteria dan subkriteria Level ketiga merupakan kriteria dalam penentuan sarana pascapanen yang dapat menurunkan susut kuantitas jagung. Berdasarkan hasil perhitungan dengan software expert choice, didapatkan nilai bobot pada masing-masing elemen yang dapat dilihat pada Tabel 8. Kriteria dengan nilai bobot terbesar merupakan kriteria yang paling penting. Tabel 8 Perbandingan tingkat kepentingan kriteria berdasarkan aktor Aktor Kriteria Importir/ Lembaga Bengkel Lembaga Pemerintah Pabrikan litbang alsintan keuangan alsintan Kualitas hasil 0.415 0.349 0.120 0.215 0.087 Teknologi Harga Manajemen usaha Resiko
0.338 0.066 0.083 0.098
0.148 0.270 0.146 0.087
0.138 0.438 0.169 0.136
0.171 0.197 0.302 0.115
0.065 0.187 0.294 0.367
26
Kualitas hasil merupakan salah satu kriteria yang paling dominan dalam pemanfaatan sarana pascapanen. Bagi petani, dengan menggunakan sarana pascapanen tidak hanya mempercepat proses, namun hasilnya diharapkan dapat dijual dengan harga yang menguntungkan. Proses pascapanen jagung terdiri atas serangkaian kegiatan yang dimulai dari panen, pemipilan tongkol, pengeringan, pengemasan biji, dan penyimpanan. Apabila pada setiap proses tidak dilakukan secara tepat akan mengakibatkan penurunan kualitas produk karena butir rusak, butir berkecambah, atau biji keriput. Keamanan pangan merupakan syarat penting yang harus melekat pada pangan yang hendak dikonsumsi. Kualitas hasil jagung sangat terkait dengan kandungan aflatoksin yang dihasilkan oleh cendawan Aspergillus flavus (Tefera et al. 2011). Kriteria kualitas hasil terdiri dari sub kriteria kesesuaian SNI yang lebih dominan daripada sub kriteria harga jual, dengan bobot 0.631 dan 0.369 secara berurutan. Kualitas hasil yang sesuai dengan SNI sangat penting dari pemanfaatan sarana pascapanen, selain untuk menurunkan susut kuantitas, sehingga harga jual produk tinggi dan meningkatkan pendapatan petani. Persyaratan mutu jagung berdasarkan SNI dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Spesifikasi persyaratan mutu jagung Persyaratan Umum No Parameter Satuan I II III IV 1 Kadar air maks. (%) 14 14 15 17 2 Butir rusak maks. (%) 2 4 6 8 3 Butir warna lain maks. (%) 1 3 7 10 4 Butir pecah maks. (%) 1 2 3 3 5 Kadar kotoran maks. (%) 1 1 2 2 6 Kadar aflatoksin maks. µg/kg 5 5 15 20 Sumber: BSN (2013b)
Harga merupakan salah satu kriteria penting karena terkait dengan biaya awal yang harus dikeluarkan dalam pembelian sarana dan biaya operasional penggunaan sarana tersebut. Berdasarkan olahan data pada level empat hirarki AHP, dihasilkan bahwa biaya operasional merupakan sub kriteria yang paling berpengaruh, dengan bobot 0.641. Sub kriteria yang berpengaruh berikutnya adalah harga sarana (0.198) dan biaya tetap (0.61). Biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh petani khususnya biaya operasional harus sekecil mungkin untuk memperbesar pendapatan. Perlu dikembangkan sarana pascapanen yang terjangkau harganya oleh petani. Petani tidak memiliki ketersediaan modal dan harga sarana yang relatif mahal menyebabkan penggunaan sarana pascapanen jagung masih jarang ditemukan. Untuk itu perlu diupayakan adanya program bantuan khusus untuk sarana pascapanen dengan persyaratan yang mudah, suku bunga rendah dan dapat dijangkau oleh petani/kelompok tani. Teknologi dari sarana pascapanen yang akan digunakan oleh petani diharapkan mampu mencapai tujuan yang diinginkan yaitu menurunkan susut kuantitas, dengan subkriteria SNI/Test report, suku cadang, dan kelengkapan dokumen. SNI/Test report, dengan bobot 0.630 merupakan elemen subkriteria yang lebih perlu diperhatikan, diikuti dengan suku cadang (0.198) dan kelengkapan dokumen (0.172). Sarana yang sesuai SNI atau telah memperoleh test report memberikan jaminan bahwa sarana tersebut mempunyai spesifikasi mutu yang mendukung penurunan susut kuantitas. Pemanfaatan sarana yang berkelanjutan sangat memerlukan ketersediaan suku cadang pada setiap lokasi pengembangan
27
sarana tersebut (Umar 2013). Kelengkapan dokumen terutama spesifikasi dari sarana serta petunjuk penggunaan sarana tersebut membantu petani untuk pemanfaatan secara optimal. Sarana yang sesuai standar nasional dapat membawa banyak manfaat ekonomi. Sarana yang berstandar dapat membawa banyak manfaat ekonomi. Standar membantu untuk menyamakan spesifikasi teknis yang akan memberikan keuntungan bagi petani. Kesesuaian dengan standar membantu meyakinkan petani bahwa produk tersebut aman dan efisien. Peraturan yang berbasiskan standardisasi dapat mencegah beredarnya sarana yang tidak bermutu dan sarana impor murah yang bermutu rendah. Keberhasilan penanganan pascapanen pada suatu wilayah akan terlihat jika penerapan penggunaan peralatan yang memadai. Kondisi ekonomi dan sosial budaya masyarakat tani juga mempengaruhi penerapan teknologi pascapanen. Sarana yang sesuai standar dan disertai dengan pemeliharaan serta manajemen yang baik akan mengurangi susut (Bourne 2014). Sarana pascapanen jagung yang akan digunakan oleh petani merupakan sarana dengan teknologi tertentu yang membutuhkan pengetahuan dalam pemanfaatannya dan harus disertai dengan manajemen usaha yang baik sehingga sarana tersebut dapat bekerja optimal. Selain itu, agar hasil pemanfaatannya maksimal maka harus digunakan secara berkelompok (World Bank et al. 2011). Sehingga, manajemen usaha merupakan salah satu kriteria penting, yang terdiri dari sub kriteria kelembagaan dan kualitas SDM. Sub kriteria yang paling berpengaruh adalah kualitas SDM dengan bobot 0.558 dan bobot untuk sub kriteria kelembagaan 0.442. Kelembagaan yang menangani pascapanen yaitu kelompok tani (poktan) atau gabungan kelompok tani (gapoktan) perlu diperkuat dalam bidang teknologi sarana, sumber daya manusia dan manajemen usaha supaya dapat menghasilkan keuntungan. Kelembagaan yang ada dapat dioptimalkan dengan melakukan kegiatan yang berorientasi bisnis. Kualitas sumber daya manusia poktan dan gapoktan perlu terus ditingkatkan termasuk didalamnya pengetahuan, keterampilan dan pengembangan kewirausahaan, serta kemampuan perencanaan usaha sehingga mampu memanfaatkan sarana pascapanen. Penanganan pascapanen yang tepat akan memberikan keuntungan bagi petani, masyarakat maupun pemerintah. Bagi petani, penanganan pascapanen akan memberikan hasil produksi yang tinggi akibat rendahnya susut kuantitas. Masyarakat akan memperoleh bahan pangan yang pada akhirnya akan mendukung pemerintah dalam bidang ketahanan pangan. Dalam melakukan kegiatan ekonomi, petani harus menanggung segala kemungkinan risiko yang akan terjadi. Sarana pascapanen yang akan digunakan adalah sarana dengan risiko terkecil. Risiko keadaan lokasi dan perbedaan varietas menjadi pilihan sebagai sub kriteria. Sub kriteria dengan nilai bobot terbesar yaitu 0.675 adalah keadaan lokasi sedangkan bobot sub kriteria perbedaan varietas 0.325. Perbedaan varietas jagung tidak berpengaruh banyak terhadap kemampuan kerja sarana pascapanen jagung. Berbeda halnya dengan faktor keadaan lokasi yang sangat berpengaruh nyata terhadap kinerja sarana. Lemahnya infrastruktur berupa jaringan irigasi dan ketersediaan jalan yang memadai pada sektor pertanian khususnya dan perdesaan pada umumnya merupakan hambatan pada kegiatan mekanisasi pertanian. Faktor lain seperti jumlah tenaga kerja dan faktor alam juga turut menjadi hambatan. Dengan ketersediaan infrastruktur yang memadai, hasil pertanian para petani akan cepat terangkut/terdistribusi, sehingga akan memberikan keuntungan pada petani.
28
Analisis tingkat kepentingan alternatif Petani jagung sudah memiliki beberapa sarana pascapanen jagung baik dari bantuan pemerintah maupun swadaya. Namun, sarana tersebut masih belum dimanfaatkan secara optimal bahkan beberapa sudah tidak digunakan lagi dikarenakan biaya operasional yang tinggi ataupun terdapat kerusakan yang tidak dapat diperbaiki oleh petani. Level lima menganalisis prioritas sarana yang dapat menurunkan susut kuantitas. Alternatif sarana yang dipertimbangkan adalah (1) corn sheller, (2) cleaner, (3) dryer, (4) silo, (5) moisture tester. Alternatif tersebut merupakan sarana pascapanen yang pernah diberikan Kementerian Pertanian kepada petani dan ditentukan berdasarkan hasil diskusi dengan pihak yang berkompeten terhadap permasalahan ini. Corn sheller merupakan sarana pemipil khusus jagung, cleaner adalah sarana yang digunakan untuk memisahkan kotoran dari jagung pipilan, dryer digunakan sebagai sarana pengering jagung, silo untuk menyimpan jagung, dan moisture tester digunakan untuk mengukur kadar air jagung dan memastikan persyaratan kadar air terpenuhi pada setiap proses sebelum melakukan tahap pascapanen berikutnya. Berdasarkan pengolahan data dari pendapat dari pakar atau responden potensial, didapatkan nilai bobot yang paling tinggi dan merupakan sarana paling efektif adalah dryer dengan bobot 0.323. Berdasarkan Gambar 13 dapat dilihat bahwa prioritas selanjutnya adalah corn sheller (0.298), cleaner (0.138), silo (0.125), dan moisture tester (0.115). Susut kuantitas pascapanen jagung yang paling besar terjadi pada proses pengeringan dan pemipilan. Pada saat dipanen, jagung mempunyai kandungan air
Gambar 13 Prioritas alternatif berdasarkan tujuan dengan nilai inkonsistensi 0.02 tinggi yaitu berkisar antara 24% - 30%. Proses pengeringan dalam rantai pascapanen jagung bertujuan menguapkan air sehingga diperoleh kadar air yang optimal dimana produk dapat disimpan lama dan sebagai syarat untuk proses pascapanen berikutnya. Misalnya pada proses pemipilan, semakin rendah kadar air jagung tongkolan maka biji jagung semakin keras dan rapuh sehingga memudahkan dalam pemipilan (Alonge et al. 2000). Proses pengeringan merupakan tahapan yang kritis karena keterlambatan proses pengeringan akan berakibat terhadap rusaknya jagung dan mudah terserang jamur Aspergilus flavus sebagai sumber kontaminasi aflatoksin. Pada Tabel 9 dapat diketahui bahwa kadar air merupakan syarat pertama dalam persyaratan mutu jagung yang sesuai dengan SNI. Selain itu, pabrik pakan mempersyaratkan kadar air sebagai syarat utama dalam penentuan harga jagung yang dibeli dari petani. Semakin kecil kadar air maka semakin tinggi harga jagung pipilan tersebut. Peran pengeringan juga sangat penting dalam penurunan kadar air ketika jagung dipanen pada musim hujan. Pengeringan jagung di Indonesia sebagian besar dilakukan dengan penjemuran langsung di bawah sinar matahari. Cara ini dinilai
29
paling murah karena memanfaatkan panas matahari. Akan tetapi cara ini memiliki kekurangan seperti kehilangan hasil akibat tercemar kotoran, di makan binatang, dan kehujanan. Pengeringan jagung secara tradisional dapat diperbaiki dengan memanfaatkan mesin pengering (dryer) terutama pada saat musim hujan. Pengeringan secara mekanis dapat menghasilkan susut kuantitas yang lebih rendah dan waktu pengeringan yang lebih singkat (World Bank et al. 2011). Pemipilan jagung dilakukan sebagai produk akhir yang diinginkan konsumen terutama pabrik pakan. Pemipilan jagung dapat dilakukan secara manual dengan tangan atau alat sederhana seperti gosrokan yang terbuat dari ban karet yang dililitkan pada tongkol jagung. Pemipilan secara manual memerlukan waktu yang lama, produktivitas petani dalam memipil jagung rendah karena hasil pipilan sedikit, dan petani cepat lelah (Uslianti et al. 2014). Permasalahan keterbatasan tenaga kerja juga membuat pemipilan mekanis banyak diminati oleh petani jagung saat ini. Pemipilan harus dilakukan pada jagung dengan kadar air serendah mungkin untuk menghindari tingginya susut terutama susut kuantitas. Susut kuantitas yang terjadi pada proses pemipilan berkisar antara 0.5-4% (Purwadaria 1988). Pemipilan jagung dengan mesin pemipil sebaiknya dilakukan pada kadar air kurang dari 18%. Kadar air yang tinggi akan mengakibatkan jagung banyak tertinggal di tongkol sehingga memperbesar susut kuantitas. Pemipilan jagung yang mempunyai kadar air tinggi juga akan menyebabkan banyaknya butir rusak sehingga hasil tidak sesuai dengan SNI dan berpengaruh terhadap harga penjualan. Jagung pipilan dengan kadar air yang rendah akan memberikan kemudahan pada proses pengeringan dikarenakan tidak memerlukan waktu pengeringan yang lama. Proses panen, pemipilan, dan pengeringan secara manual membutuhkan waktu yang lama, sehingga mengakibatkan susut meningkat hingga mencapai 15%-50% (World Bank et al. 2011). Perbaikan teknik dan fasilitas pascapanen pada pertanian China akan menurunkan susut menjadi 13% bahkan 10% dari 20%-40% (Guo dan He 1999). Penggunaan sarana corn sheller dan dryer yang memperhatikan faktor kualitas hasil dan teknologi sarana yang sesuai SNI, biaya operasional yang rendah, serta manajemen usaha dengan SDM yang potensial, dapat membantu menurunkan susut kuantitas pascapanen jagung.
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian tentang sarana pascapanen jagung terhadap penurunan susut kuantitas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Cara panen (dipetik dan disabit) dan musim (musim kemarau dan hujan) tidak mempengaruhi susut kuantitas. Namun, waktu proses panen dengan cara dipetik lebih cepat daripada disabit dan panen di musim kemarau lebih cepat daripada di musim hujan. 2. Penggunaan mesin pemipil menghasilkan susut yang tinggi, namun mempercepat waktu proses.
30
3. Pemipilan dengan corn sheller dan power thresher multiguna tidak menghasilkan susut dan waktu proses yang berbeda signifikan. Walaupun demikian, corn sheller menghasilkan pipilan jagung yang tidak tercampur dengan kotoran dan ergonomik kerja yang lebih aman. 4. Dryer dan corn sheller merupakan sarana pascapanen jagung yang diprioritaskan untuk mendukung penurunan susut kuantitas. Penerapannya harus memperhatikan faktor kualitas hasil, teknologi, harga, manajemen usaha, dan resiko. Saran 1. Melakukan pengukuran dan perbandingan spesifikasi sarana pascapanen dengan standar nasional dalam hubungannya dengan susut kuantitas. 2. Melakukan pengukuran susut pada berbagai jenis varietas jagung yang digunakan di tingkat petani. 3. Melakukan penelitian lebih lanjut tentang hubungan susut kualitas jagung terhadap pemanfaatan sarana pascapanen jagung. 4. Memberikan penjelasan awal sebelum pengambilan data panen untuk mencegah pengambilan data yang tidak ideal.
DAFTAR PUSTAKA Abass AB, Ndunguru G, Mamiro P, Alenkhe B, Mlingi N, Bekunda M. 2014. Postharvest Food Losses in A Maize-Based Farming System of Semi-Arid Savannah Area of Tanzania. J Stored Products Research 57:49-57. Alonge AF, Adegbulugbe TA. 2000. Performance Evaluation of a Locally Developed Grain Thresher-II. J Agricultural Mechanization in Asia, Africa, and Latin America 31(2). Anderson K, Strutt A. 2014. Food Security Policy Options for China: Lessons from Other Countries. J Food Policy 49:50-58. Aqil M. 2010. Pengembangan Metodologi untuk Penekanan Susut Hasil pada Proses Pemipilan Jagung. Prosiding Seminar Serealia Nasional. Balai Penelitian Serealia. ISBN : 978-979-8940-29-3. Bala BK, Alias EF, Arshad FM, Noh KM, Hadi AHA. 2014. Modelling of Food Security in Malaysia. J Simulation Modelling Practise and Theory 47:152-164. Bourne, MC. Food Security: Postharvest Losses. 2014. J Encyclopedia of Agriculture and Food System 3(1). BPS. 2014. Produksi Tanaman Pangan: Angka Ramalan I Tahun 2014. Jakarta. [BSN] Badan Standarisasi Nasional (ID). 2013a. SNI 7866:2013: Mesin Perontok Multikomoditi untuk Padi, Jagung, dan Kedelai. [BSN] Badan Standarisasi Nasional (ID). 2013b. SNI 3920:2013: Jagung. [BSN] Badan Standarisasi Nasional (ID). 2008. SNI 7428:2008: Mesin Pemipil Jagung.
31
Chavez MD, Berentsen PBM, Oude Lansink AGJM. 2012. Assessment of Criteria and Farming Activities fot Tobacco Diversification Using the Analytical Hierarchical Process (AHP) Technique. J Agricultural Systems 111:53-62. Chakraverty A, Singh RP. 2001. Postharvest Technology: Cereals, Pulses, Fruite, and Vegetables. Science Publisher, Inc., USA. Chan FTS. 2003. Interactive Selection Model for Supplier Selection Process: an Analytical Hierarchy Process Approach. J Production Research 41(15):35493579. Donmez S. 2013. Computer Aided Industrial Design Software Selection in Industrial Product Design Education at Turkey Using Expert Choice Program. J Procedia-Social and Behavioral Sciences 106:682-689. Edreira JIR, Otegui ME. 2013. Heat Stress in Temperate and Tropical Maize Hybrids: A Novel Approach for Assessing Souces of Kernel Loss in Field Conditions. J Field Crops Research 142:58-67. Evi K, Sutanhaji AT, Anggraini OA. 2013. Land Acquisition and Resettlement Action Plan (LARAP) of Dam Project Using Analytical Hierarchical Process (AHP): a Case Study in Mujur Dam, Lombok Tengah District-West Nusa Tenggara, Indonesia. J Procedia Environmental Sciences 17:418-423. Firmansyah IU. 2009. Teknologi Pengeringan dan Pemipilan Untuk Perbaikan Mutu Biji Jagung (Studi Kasus di Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan). Prosiding Seminar Nasional Serealia. Balai Penelitian Tanaman Serealia. ISBN: 978-979-8940-27-9. Franek J, Kresta A. 2014. Judgment Scales and Consistency Measure in AHP. J Procedia Economics and Finance 12:164-173. Galvan XD, Izquierdo J, Benitez J, Garcia RP. 2014. Joint Stakeholder DecisionMaking on the Management of the Silao-Romita Aquifer Using AHP. J Environmental Modelling & Software 51:310-322. Gitonga ZN, Groote HD, Kassie M, Tefera T. 2013. Impact of Metal Silo on Households’ of Maize Storage, Storage Losses, and Food Security: An Application of a Propensity Score Matching. J Food Policy 43:44-45. Guo LS, He YS. 1999. Integrated Multi-criterial Decision Model: a Case Study for the Allocation of Facilities in Chinese Agriculture. J Agricultural Engineering 73:87-94. Hartati S, Nugroho A. 2012. Sistem Pendukung Keputusan Berbasis AHP (Analitical Hierarchy Process) Untuk Penentuan Kesesuaian Penggunaan Lahan (Studi Kasus: Kabupaten Semarang). J Informatika 6(2):630-641. Hodges RJ, Buzby JC, Bennett B. 2010. Foresight Project on Global Food and Farming Futures: Postharvest Losses and Waste in Developed and Less Developed Countries: Opportunities To Improve Resource Use. J Agricultural Science: 1-9. doi:10.1017/S0021859610000936. Ishizaka A, Labib A. 2011. Review of the Main Developments in the Analytic Hierarchy Process. J Expert Systems with Application 38:14336-14345. Iswari K. 2012. Kesiapan Teknologi Panen dan Pascapanen Padi Dalam Menekan Kehilangan Hasil dan Meningkatkan Mutu Beras. J Litbang Pertanian. 31(2):5867. [KP DJTP] Kementerian Pertanian, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan (ID). 2008. Peraturan Menteri Pertanian No. 25/Permentan/PL.130/5/2008.
32
[KP DPTP] Kementerian Pertanian, Direktorat Pascapanen Tanaman Pangan (ID). 2012. Pedoman Pelaksanaan Ujicoba Metodologi Susut Hasil Pascapanen Jagung. Kumar A, Mohan D, Patel R, Varghese M. 2002. Development of Grain Threshers Based on Ergonomic Design Criteria. J Applied Ergonomics 33:503-508. Lal R. 2013. Food Security in a Changing Climate. J Ecohydrology & Hydrobiology 13:8-21. Lolli F, Ishizaka A, Gamberini R. 2014. New AHP-Based Approach for MultiCriteria Inventory Classification. J Production Economics 156:62-74. Mani V, Agrawal R, Sharma V. 2014. Supplier Selection Using Social Sustainability: AHP Based Approach in India. International Strategic Management Review 2: 98-112. Murni AM, Arief RW. 2008. Teknologi Budidaya Jagung. Balai Besar Pengkajian Dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. ISBN: 978-979-1415-25-5. Nkakini SO, Ayotamuno MJ, Maeba GPD, Ogaji SOT, Probert SD. 2007. Manually-Powered Continous-Flow Maize-Sheller. J Appied Energy 84:11751186. Osuke ECO. 2013. Study of Influence of Crop, Machine and Operating Parameters on Performance of Cereal Threshers. International Journal of Engineering Research and Development 7:1-9. Ozdemir MS, Saaty TL. 2006. The Unknown in Decision Making What To Do About It. European Journal of Operational Research 174:349-359. Purwadaria HK. 1988. Buku Pegangan: Teknologi Penanganan Pascapanen Jagung. Edisi Kedua. Deptan, FAO, UNDP. Development and Utilization of Postharvest Tools and Equipment, INS/088/077. Quintero JA, Montoya MI, Sanchez OJ, Giraldo OH, Cardona CA. 2008. Fuel Ethanol Production from Sugarcane and Corn Comparative Anaysis for a Colombian Case. J Energy 33:385-399. Richana N, Ratnaningsih, Haliza W. 2012. Teknologi Pascapanen Jagung. BB Pascapanen. Badan Litbang Pertanian. Kementan. Bogor. Rugumamu CP, Muruke MHS, Hosea KM, Ismail FAR. 2011. Advances in Insect Pest Management Technologies of Agricultural Crops: an Integrated Approach. Proc. Inter. Conf. Agbiotech, Biosafety & Seed Systems : 55-61. Saaty TL. 1990. How to Make a Decision: The Analytic Hierarchy Process. J Operation Research 48:9-26. Saaty TL. 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Proses Hirarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang kompleks. Liana S, penerjemah; Kirti P, editor. Jakarta (ID): PT Gramedia. Terjemahan dari Decision Making for Leaders The Analytical Hierarchy Process for Decisions in Complex World. Santosa BAS, Sudaryono, Widowati S. 2005. Evaluasi Teknologi Tepung Instan dari Jagung Brondong dan Mutunya. J Pascapanen 2(2):18-27. BB Litbang Pascapanen Pertanian. Sarhan, ZA. 2011. Application of Analytic Hierarchy Process (AHP) in the Evaluation and Selection of an Information System Reengineering Projects. IJCSNS 11(1).
33
Stewart WM, Roberts TL. 2012. Food Security and the Role of Fertilizer in Supporting it. J Procedia Engineering 46:76-82. Sugiharto B, Pramady RM, Gemala AS. 2011. Prospek Pengembangan Jagung. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Kementerian Pertanian. Jakarta. ISBN: 978-602-19118-1-5. Swastika DKS, Kasim F, Sudana W, Hendayana R, Suhariyanto K, Gerpacio RV, Pingali PL. 2004. Maize in Indonesia: Production Systems, Constraints, and Research Priorities. CIMMYT. ISBN: 970-648-114-1. Tastra IK. 2003. Strategi Penerapan Alsintan Pascapanen Tanaman Pangan di Jawa Timur dalam Memasuki AFTA 2003. J Litbang Pertanian 22(3):95-102. Tefera , Kanampiu F, Groote HD, Hellin J, Mugo S, Kimenju S, Beyene Y, Boddupalli PM, Shiferaw B, Banziger M. 2011. The Metal Silo: An Effective Grain Storage Technology for Reducing Post-Harvest Insect and Pathogen Losses in Maize While Improving Smallholder Farmers’ Food Security in Developing Countries. J Crop Protection 30:240-245. Umar S. 2013. Pengelolaan dan Pengembangan Alsintan untuk Mendukung Usahatani Padi di Lahan Pasang Surut. Jurnal Teknologi Pertanian 8(2):37-48. Uslianti S, Wahyudi T, Saleh M, Priyono S. 2014. Rancang Bangun Mesin Pemipil Jagung untuk Meningkatkan Hasil Pemipilan Jagung Kelompok Tani Desa Kuala Dua. J ELKHA 6(1). Wang J, Wang E, Yin H, Feng L, Zhang J. 2014. Declining Yield Potensial and Shrinking Yield Gaps of Maize in the North China Plain. J Agricultural and Forest Meteorology 195-196:89-101. Wijk MTV, Rufino MC, Enahoro D, Parsons D, Silvestri S, Valdivia RO, Herrero M. 2014. Farm Household Models to Analyze Food Security in a Changing Climate: A Review. J Global Food Security 3:77-84. Williams R, Borges LF, Lacoste M, Andersen R, Nesbitt H, Johansen C. 2012. Onfarm Evaluation of Introduced Maize Varietes and Their Yield Determining Factors in East Timor. J Field Crops Research 137:170-177. World Bank, FAO, NRI. 2011. Missing Food: The Case of Postharvest Grain Losses in Sub-Saharan Africa. In: Economic Sector Work Report No.60371AFR. World Bank. Washington, DC. Yunus RM, Samadi Z, Yusop NM, Omar D. 2013. Expert Choice for Ranking Heritage Streets. J Procedia-Social and Behavioral Sciences 101:465-475. Zubachtirodin, Sugiharto S, Mulyono, Hermawan D. 2011. Teknologi Budidaya Jagung. Direktorat Budidaya Serealia. Ditjen. Tanaman Pangan. Kementerian Pertanian. Jakarta. ISBN: 970-602-19118-0-8.
34
LAMPIRAN Lampiran 1 Analisis sidik ragam susut kuantitas panen jagung Source Cara panen Musim Cara panen * Musim Error Corrected Total
Type III SS .195 .014 .000 .137 .346
df 1 1 1 4 7
Mean Square .195 .014 .000 .034
F 5.688 .396 .003
Sig. .076 .563 .957
Lampiran 2 Analisis sidik ragam waktu proses panen jagung Source Cara panen Musim Cara panen * Musim Error Corrected Total
Type III SS 12677.893 4681.733 719.532 2612.923 20692.081
df 1 1 1 4 7
Mean Square 12677.893 4681.733 719.532 653.231
F 19.408 7.167 1.101
Sig. .012 .055 .353
Lampiran 3 Kadar air panen jagung Ulangan
Musim Kemarau
Musim Hujan
1 2 3 4
22.7% 26.9% 24.3% 25.8%
28.7% 29.8% 27.2% 29.1%
Lampiran 4 Uji t kadar air panen jagung t-test for Equality of Means t Equal variances -3.542 assumed
df
Sig. (2tailed)
6
.012
Mean Std. Error Difference Difference
-3.7750
1.0657
95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper -6.3826 -1.1674
35
Lampiran 5 Analisis sidik ragam susut kuantitas pemipilan jagung Source Musim Cara pemipilan Error Corrected Total
Type III SS .299 3.073 .137 3.508
df 1 2 2 5
Mean Square .299 1.536 .068
F 4.384 22.504
Sig. .171 .043
Lampiran 6 Uji LSD susut kuantitas pemipilan jagung (I) Cara pemipilan Manual Corn sheller PTM
(J) Cara pemipilan
Mean Difference (I-J)
Std. Error
Sig.
Corn sheller PTM Manual PTM Manual Corn sheller
-1.4200* -1.6000* 1.4200* -.1800 1.6000* .1800
.26128 .26128 .26128 .26128 .26128 .26128
.032 .026 .032 .562 .026 .562
95% Confidence Interval Lower Upper Bound Bound -2.5442 -.2958 -2.7242 -.4758 .2958 2.5442 -1.3042 .9442 .4758 2.7242 -.9442 1.3042
Lampiran 7 Analisis sidik ragam waktu proses pemipilan jagung Source Musim Cara pemipilan Error Corrected Total
Type III SS 6720.107 577374.510 13280.143 597374.760
df 1 2 2 5
Mean Square 6720.107 288687.255 6640.072
F 1.012 43.477
Sig. .420 .022
Lampiran 8 Uji LSD waktu proses pemipilan jagung (I) Cara pemipilan Manual Corn sheller PTM
(J) Cara pemipilan Corn sheller PTM Manual PTM Manual Corn sheller
Mean Difference Std. Error Sig. (I-J) 657.450* 658.650* -657.450* 1.200 -658.650* -1.200
81.4866 81.4866 81.4866 81.4866 81.4866 81.4866
.015 .015 .015 .990 .015 .990
95% Confidence Interval Lower Upper Bound Bound 306.841 1008.059 308.041 1009.259 -1008.059 -306.841 -349.409 351.809 -1009.259 -308.041 -351.809 349.409
36
Lampiran 9 Kadar air pemipilan jagung Ulangan
Musim Kemarau
Musim Hujan
1 2 3
23.7% 24.4% 24.5%
25.8% 24.9% 25.3%
Lampiran 10 Uji t kadar air pemipilan jagung t-test for Equality of Means
Equal variances assumed
t
df
Sig. (2tailed)
-.405
4
.706
95% Confidence Interval of the Mean Std. Error Difference Difference Difference Lower Upper -.2667
.6591
-2.0967
1.5634
Lampiran 11 Perbandingan tingkat kepentingan aktor berdasarkan goal Kriteria
Skala Numerik
Pemerintah
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pemerintah
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pemerintah
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Pemerintah
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Lembaga Litbang
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Lembaga Litbang Lembaga Litbang Importir/ Pabrikan Alsintan Importir/ Pabrikan Alsintan Bengkel Alsintan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kriteria Lembaga Litbang Importir/ Pabrikan Alsintan Bengkel Alsintan Lembaga Keuangan Importir/ Pabrikan Alsintan Bengkel Alsintan Lembaga Keuangan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Bengkel Alsintan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Lembaga Keuangan
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Lembaga Keuangan
37
Lampiran 12 Perbandingan tingkat kepentingan kriteria berdasarkan aktor pemerintah Kriteria Kualitas Hasil Kualitas Hasil
Skala Numerik 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kualitas Hasil
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kualitas Hasil Teknologi
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Teknologi
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Teknologi
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Harga
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Harga Manajemen Usaha
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kriteria Teknologi Harga Manajemen Usaha Risiko Harga Manajemen Usaha Risiko Manajemen Usaha Risiko
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Risiko
Lampiran 13 Tingkat kepentingan subkriteria berdasarkan kriteria kualitas hasil Subkriteria SNI
Skala Numerik 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Subkriteria Harga jual
Lampiran 14 Tingkat kepentingan subkriteria berdasarkan kriteria teknologi Subkriteria SNI/Test Report SNI/Test Report Suku Cadang
Skala Numerik
Subkriteria
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Suku Cadang Kelengkapan Dokumen Kelengkapan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Dokumen 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Lampiran 15 Tingkat kepentingan subkriteria berdasarkan kriteria harga Subkriteria Harga Sarana Harga Sarana Biaya Tetap
Skala Numerik
Subkriteria
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Biaya Tetap Biaya Operasional Biaya 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Operasional 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
38
Lampiran 16 Tingkat kepentingan subkriteria berdasarkan kriteria manajemen Subkriteria Kelembagaan
Skala Numerik
Subkriteria Kualitas 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 SDM
Lampiran 17 Tingkat kepentingan subkriteria berdasarkan kriteria risiko Subkriteria Keadaan Lokasi
Skala Numerik
Subkriteria Perbedaan 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Varietas
Lampiran 18 Tingkat kepentingan alternatif berdasarkan subkriteria SNI Kriteria Corn Sheller Corn Sheller Corn Sheller
Skala Numerik 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Corn Sheller
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Cleaner Cleaner
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Cleaner
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Dryer
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Dryer
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Silo
9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Kriteria Cleaner Dryer Silo Moisture tester Dryer Silo Moisture tester Silo Moisture tester Moisture tester
39
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pontianak pada tanggal 7 Agustus 1980 dari ibu Fatimah dan ayah A.Hakim Nasution. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara. Tahun 1998, penulis lulus dari SMA Negeri 1 Pontianak dan pada tahun yang sama lulus Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN), jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada. Penulis menyelesaikan studi S1 pada tahun 2003. Penulis memulai karirnya dengan bekerja di salah satu perusahaan swasta multinasional sebagai supervisor. Pada tahun 2009, penulis diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil di Kementerian Pertanian. Saat ini ditugaskan di Direktorat Pascapanen Tanaman Pangan, Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Jakarta.