ANALISIS RETRACKING WAVEFORM SATELIT JASON-2 DI LAUT JAWA
MUHAMMAD ROMDONUL HAKIM
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Retracking Waveform Satelit Jason-2 di Laut Jawa adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2016 Muhammad Romdonul Hakim NIM C552130031
RINGKASAN MUHAMMAD ROMDONUL HAKIM. Analisis Retracking Waveform Satelit Jason-2 di Laut Jawa. Dibimbing oleh BISMAN NABABAN dan JAMES PARLINDUNGAN PANJAITAN. Waveform yang terbentuk dari pantulan sinyal satelit altimeter umumnya berbentuk ideal (Brown-waveform) di laut lepas dan menghasilkan estimasi tinggi paras laut (Sea Surface Height, SSH) yang akurat. Namun, di perairan pesisir ditemukan gangguan pantulan sinyal dari daratan dan kondisi permukaan laut yang relatif kasar akan menghasilkan waveform yang kompleks sehingga estimasi SSH menjadi kurang akurat. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan akurasi estimasi SSH melalui analisis retracking waveform data satelit altimeter Jason-2 tahun 2012-2014 di Laut Jawa. Penelitian ini menggunakan data Sensor Geophysical Data Record type D (SGDR-D) dari satelit Jason-2 (cycle 129-239) dan data undulasi geoid global Earth Gravitational Model 2008 (EGM08). Analisis retracking waveform dilakukan dengan menggunakan beberapa metode retracker yang performanya diuji dengan menggunakan referensi undulasi geoid EGM08. Hasil penelitian menunjukkan bahwa analisis retracking waveform berhasil meningkatkan akurasi estimasi SSH sekitar 29,7% di pesisir utara dan 56,4% di pesisir selatan dari jumlah non-Brown-waveform pada masing-masing daerah. Peningkatan perbaikan estimasi SSH terlihat lebih baik di daerah pesisir selatan karena memiliki garis pantai yang relatif lebih lurus dibandingkan di daerah pesisir utara yang lebih bergelombang. Diperoleh juga bahwa tidak ada satu metode retracker yang dominan untuk peningkatan akurasi estimasi SSH. Tetapi, threshold 10% retracker menghasilkan estimasi SSH yang lebih baik dibandingkan retracker lainnya dengan nilai IMP dominan pada tiga lintasan (051, 064, dan 127) berturut-turut sebesar 57,1%, 48,1%, dan 25,7%. Offset Center of Gravity (OCOG) retracker merupakan retracker terburuk untuk estimasi SSH di Laut Jawa. Profil SSH retracking lebih halus dan lebih menyerupai profil geoid dibandingkan dengan profil SSH on-board. Pola SLA retracking dan SLA onboard memiliki pola yang relatif sama khususnya di laut lepas dan memiliki sedikit perbedaan di daerah pesisir. Secara umum, pola SLA retracking dan pola SLA on-board dipengaruhi oleh pergerakan angin Muson dan umumnya nilai ratarata SLA retracking lebih tinggi dibandingkan dengan SLA on-board. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa analisis retracking waveform dapat meningkatkan akurasi estimasi tinggi paras laut khususnya di daerah pesisir yang banyak mengalami gangguan dari kondisi laut dan daratan. Kata kunci: EGM08, Jason-2, retracking waveform, SSH, threshold retracker
SUMMARY MUHAMMAD ROMDONUL HAKIM. Waveform Retracking Analyses of Jason-2 Satellite in Java Sea. Supervised by BISMAN NABABAN dan JAMES PARLINDUNGAN PANJAITAN. A waveform created by the transmitted and reflected signals from altimeter satellite is generally found in an ideal shape (called Brown-waveform) and produces an accurate sea surface height (SSH) estimation. Along coastal waters, however, the waveform shape becomes in complex shape due to a disruption by reflected signal from land, resulting inaccurate SSH estimation. The objective of this research was to improve the accuracy of SSH estimation employing waveform retracking analyses of Jason-2 altimeter satellite data over the Java Sea during the years of 2012-2014. The study utilized data from the Sensor Geophysical Data Record type D (SGDR-D) of Jason-2 satellite (cycle 129 - 239) and global geoid undulation data of Earth Gravitational Model 2008 (EGM08). Waveform retracking analyses were performed by using several retracker methods. The performance of the all retrackers were examined using a world reference undulation geoid of EGM08. The results showed that the waveform retracking analyses were able to improve the accuracy of SSH estimation approximately 29.7% in the north coast of the Java Sea comparing to 56.4% in the south coast of the Java Sea of total non-Brown-waveform in each region. Higher improvement percentage (IMP) of SSH estimation found in the southern coastal areas was possibly due to a relatively smooth coastline formation in this region than in northern coastal region. There was no specific retracker which produce dominant IMP to increase SSH estimation. However, the threshold 10% retracker produced better SSH estimation than the others with dominant IMP values of 57.1% (pass 051), 48.1% (pass 064), and 25.7% (pass 127). It was found that Offset Center of Gravity (OCOG) retracker was the worst retracker to estimate SSH in the Java Sea. The retracked SSH profile was in general smoother than the on-board SSH profile. Patterns of retracked SLA and on-board SLA were also toward similar especially in offshore region and have small differences in coastal region. Both retracked SLA and
on-board SLA patterns were perhaps influenced by Monsoon wind circulation, while retracked SLA values were in general higher than on-board SLA values. From these results, it can be concluded that utilizing retracking waveform method can improve sea surface height estimation especially in coastal region where some distortions of waveform can occur such sea state condition and land signal disruption. Keywords: EGM08, Jason-2, SSH, threshold retracker, waveform retracking
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS RETRACKING WAVEFORM SATELIT JASON-2 DI LAUT JAWA
MUHAMMAD ROMDONUL HAKIM
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Parluhutan Manurung
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2014 ini adalah satelit altimeter, dengan judul Analisis Retracking Waveform Satelit Jason-2 di Laut Jawa. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Bisman Nababan, MSc dan Dr Ir James Parlindungan Panjaitan, MPhil selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberi saran, Dr Ir Parluhutan Manurung selaku penguji dan Dr Ir Jonson Lumban Gaol, MSi selaku Ketua Program Studi Teknologi Kelautan yang telah banyak memberikan masukan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) yang telah memberikan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN) untuk melanjutkan jenjang pendidikan master di Institut Pertanian Bogor. Ungkapan terima kasih disampaikan kepada bapak, ibu, istri, dan seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya. Selain itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Danu Adrian serta teman-teman seperjuangan Pascasarjana Teknologi Kelautan 2013 atas dukungan dan bantuannya. Penulis sangat berharap kritik dan saran demi penyempurnaan penulisan di masa yang akan datang. Semoga tesis ini bermanfaat.
Bogor, Maret 2016
Muhammad Romdonul Hakim
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xii
DAFTAR GAMBAR
xii
DAFTAR LAMPIRAN
xii
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 3 4 4 4
2 METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Data Penelitian Pengolahan Data Analisis Data Retracking waveform
5 5 6 6 7 8
Ocean Retracker
8
OCOG retracker
9
Threshold retracker
10
Improved Threshold Retracker
11
Perhitungan SSH Hasil Retracking Waveform
12
Perhitungan Perbaikan Kemampuan Retracker dan Validasi SSH Retracking
13
Perhitungan Sea Level Anomaly (SLA)
13
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Bentuk Waveform Peningkatan Perbaikan Estimasi SSH Sebaran Spasial Permukaan SLA
14 14 18 23
4 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran
24 24 25
DAFTAR PUSTAKA
26
LAMPIRAN
29
RIWAYAT HIDUP
37
DAFTAR TABEL 1 Koordinat lintasan pengamatan retracking waveform 6 2 Persentase rata-rata non-Brown-waveform dari seluruh data waveform satelit altimeter Jason-2 tahun 2012–2014 pada setiap lintasan 14 3 Statistik retracking waveform di sepanjang lintasan pengamatan selama tahun 2012–2014. Retracker yang paling baik ditunjukkan dengan cetak tebal (dominasi tertinggi) 19 4 Peningkatan akurasi estimasi SSH berdasarkan jarak dan persentase dari garis pantai satelit altimeter Jason-2 setelah analisis retracking waveform untuk semua lintasan selama 3 tahun (2012–2014) 20
DAFTAR GAMBAR 1 Skema bentuk Brown-waveform pada laut lepas 2 2 Contoh pantulan waveform 2 3 Peta lokasi penelitian 5 4 Diagram alir pengolahan data 7 5 Skema diagram metode OCOG retracker 10 6 Skema diagram metode threshold retracker 11 7 Bentuk tiga dimensi waveform pada lintasan 064 cycle 229 15 8 Contoh bentuk non-Brown-waveforrm 16 9 Bentuk dua dimensi waveform pada lintasan pengamatan 064 cycle 229 17 10 Perbandingan panjang lintasan SSH sebelum (merah) dan sesudah analisis retracking waveform (merah + biru) 21 11 Perbandingan profil estimasi SSH hasil retrakcing vs. on-board terhadap profil undulasi geoid EGM08 selama tahun 2012–2014 di Laut Jawa pada setiap lintasan pengamatan 22 12 Sebaran spasial permukaan SLA on-board dan SLA retracking terbaik selama tahun 2012–2014 24
DAFTAR LAMPIRAN 1 Bagian dari syntax analisis retracking waveform 2 Contoh pengolahan data waveform ke-22 secara manual pada lintasan 051 cycle 202 dengan menggunakan metode OCOG retracker 3 Diagram alir metode improved threshold retracker 4 Bentuk tiga dimenasi waveform, tampak samping dan tampak atas, pada lintasan pengamatan
30 32 34 35
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pemanasan global yang terjadi dewasa ini sangat berpengaruh terhadap kenaikan paras laut. Williams (2013) menyatakan bahwa kenaikan rata-rata paras laut global saat ini mencapai 3,1 mm/tahun, meningkat 50% selama dua dekade terakhir, sedangkan rata-rata kenaikan paras laut di seluruh perairan Indonesia hampir dua kali lebih tinggi dari laju rata-rata kenaikan paras laut global yaitu mencapai 5,84 mm/tahun (Nababan et al. 2015). Bilamana laju kenaikan paras laut ini terus berlanjut, maka daerah-daerah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kepulauan Indonesia dapat terancam tergenang. Laut Jawa merupakan perairan di Indonesia yang memiliki beberapa gugusan kepulauan pulau-pulau kecil seperti Kepulauan Seribu, Kepulauan Karimun Jawa, Kepulauan Masalembo, dan Kepulauan Kangean. Gugusan kepulauan tersebut tidak hanya berpenduduk, tetapi juga merupakan tujuan wisata yang penting bagi Indonesia. Oleh karena itu, pengamatan dan pemantauan SSH yang berkelanjutan di Laut Jawa sangat penting dilakukan agar laju kenaikan paras laut dapat terus dipantau. Pemantauan kenaikan SSH dapat dilakukan dengan menggunakan data satelit altimeter. Keuntungan utama menggunakan data satelit altimeter adalah deteksi SSH dapat dilakukan pada saat siang/malam hari pada semua kondisi cuaca tanpa adanya kehilangan data akibat penutupan awan serta memiliki cakupan deteksi yang besar (Chelton et al. 2001; Birkett et al. 2011; Benveniste 2011). Deng dan Featherstone (2006) menyatakan bahwa di laut lepas waveform yang terbentuk dari pantulan sinyal satelit altimeter umumnya memiliki bentuk ideal yang mengikuti model ocean yang pertama ditemukan oleh Brown (1977) sehingga disebut juga Ocean-waveform atau Brown-waveform (Gambar 1). Namun, pada perairan dangkal dengan kedalaman <200 m yang dekat dengan wilayah pesisir (seperti Laut Jawa) umumnya memiliki bentuk waveform yang kompleks akibat kontaminasi pantulan sinyal dari daratan (Andersen dan Knudsen 2000; Bao et al. 2008; Nababan et al. 2014). Gommenginger et al. (2011) melaporkan bahwa rata-rata sekitar 94% dari keseluruhan waveform Satelit Jason2 yang dianalisis di seluruh pantai Australia memiliki bentuk Brown-waveform hingga jarak 15 km dari garis pantai dimana persentase ini akan menurun secara signifikan semakin menuju pantai, sedangkan Nababan et al. (2014) melaporkan di wilayah perairan selatan Jawa pola Brown-waveform umumnya sudah dapat ditemui mulai pada jarak 7,58 km dari garis pantai. Waveform adalah bentuk dari kekuatan resultan pantulan gelombang mikro yang terekam oleh satelit pada saat pulsa gelombang mikro yang dipancarkan tersebut mengenai permukaan laut (Quartly et al. 2001). Waveform umumnya memiliki tiga bagian utama, yaitu: thermal noise, leading edge, dan trailing edge. Bagian thermal noise merupakan waktu pada saat sinyal satelit altimeter belum menyentuh permukaan laut sehingga belum terjadi peningkatan power akibat pantulan sinyal. Bagian leading edge merupakan waktu ketika sinyal satelit pertama kali menyentuh permukaan laut (titik nadir), sedangkan bagian trailing edge merupakan pantulan dari sinyal satelit di sekeliling titik nadir (Deng dan Featherstone 2006; Gommenginger et al. 2011). Pada bentuk Brown-waveform
2
secara umum, lokasi leading edge umumnya tepat berada pada nomor gate 32 (Satelit Jason-2) sehingga estimasi SSH dapat ditentukan dengan tingkat akurasi yang tinggi sampai pada 2,5 cm, sedangkan pada waveform yang berbentuk nonBrown atau kompleks (Gambar 2), tingkat akurasi estimasi SSH menjadi rendah karena umumnya titik tengah leading edge tidak tepat berada pada nomor gate 32 dan umumnya polanya tidak beraturan (Lee et al. 2010; Rosmorduc et al. 2011; Dumont et al. 2011). Pola non-Brown-waveform ini umumnya banyak ditemukan di perairan laut dangkal dekat wilayah pesisir (Deng et al. 2002; Nababan et al. 2014). Hal ini menyebabkan nilai pendugaan SSH oleh satelit altimeter khususnya pada daerah laut dangkal dekat wilayah pesisir menjadi tidak akurat dengan menggunakan algoritma standar (Ocean Retracker).
Gambar 1 Skema bentuk Brown-waveform pada laut lepas (Deng dan Featherstone 2006)
Gambar 2 Contoh pantulan waveform. (a) Ice waveform yang umum ditemui di daerah kutub; (b) Multi-peak waveform yang umum ditemui di dekat garis pantai; dan (c) Complex waveform yang umum ditemui di daerah pesisir dan laut dangkal (Bao et al. 2008) Untuk meningkatkan estimasi SSH khususnya di perairan laut dangkal dekat wilayah pesisir, maka perlu dilakukan pemprosesan ulang data satelit altimeter melalui proses retracking waveform (Deng dan Featherstone 2006; Hwang et al. 2006; Lee et al. 2010; Guo et al. 2010). Rectracking waveform didefinisikan sebagai suatu proses perhitungan ulang nilai SSH dengan algoritma lain dari
3
algoritma standar (Ocean Retracker) untuk menentukan koreksi akibat adanya bias dari gate (gerbang) pengamatan. SSH hasil dari analisis retracking waveform (SSH retracking) didefinisikan sebagai SSH yang selain mendapat koreksi instrumen dan geofisika standar, juga mendapatkan koreksi dari bias gate pengamatan (Bao et al. 2008). Penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa penggunaan analisis retracking waveform telah mampu meningkatkan akurasi pendugaan SSH khususnya di perairan pesisir dan laut dangkal (Hwang et al. 2006; Yang et al. 2008; Adrian, 2013; Nababan et al. 2014). Estimasi SSH untuk perairan Indonesia yang banyak memiliki perairan dangkal dan wilayah pesisir memiliki tingkat akurasi yang cukup rendah. Sementara penelitian retracking waveform pada perairan Indonesia khususnya pada perairan dangkal dan pesisir masih sangat minim. Penelitian retracking waveform di Laut Jawa dilakukan oleh Wijaya (2015) terbatas pada wilayah pesisir utara Jawa dari garis pantai hingga jarak 50 km ke arah laut lepas. Untuk itu, dalam penelitian ini wilayah cakupan data satelit diperluas (seluruh Laut Jawa) dengan waktu pengambilan data satelit selama 2012–2014. Satelit altimeter Jason-2 merupakan satelit altimeter penerus dari Satelit TOPEX/POSEIDON dan Jason-1 dengan tujuan utama adalah untuk melengkapi rekaman iklim global puluhan tahun dari hasil pengukuran topografi permukaan laut dengan ketelitian tinggi (Lambin et al. 2010; Nababan et al. 2014). Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan akurasi estimasi SSH di Laut Jawa sehingga pemantauan kenaikan paras laut dapat dilakukan dengan baik. Perumusan Masalah Laut Jawa memiliki beberapa gugusan kepulauan yang terdiri dari pulaupulau kecil yang berpotensi tergenang seiring meningkatnya SSH dari tahun ke tahun akibat pemanasan global. Pemantauan yang berkelanjutan perlu untuk dilakukan sebagai acuan dalam mengambil langkah-langkah preventif. Estimasi SSH dapat dilakukan dengan memanfaatkan data pengukuran SSH dari satelit altimeter Jason-2. Namun, berhubung laut Jawa merupakan perairan dangkal yang dibatasi oleh daerah pesisir terutama di bagian utara dan selatannya maka estimasi SSH oleh satelit Jason-2 menjadi kurang akurat khususnya di daerah pesisir. Hal ini disebabkan waveform yang terbentuk memiliki bentuk yang kompleks sehingga sulit untuk dianalisis langsung menggunakan algoritma standar (onboard retracker), akibat adanya kontaminasi pantulan sinyal dari daratan tersebut. Waveform yang kompleks akan membuat pengukuran jarak antara satelit dengan permukaan laut menghasilkan nilai yang tidak tepat sehingga hasil akhir estimasi SSH-nya menjadi kurang akurat. Analisis retracking waveform perlu dilakukan untuk meningkatkan akurasi pendugaan SSH pada wilayah pesisir. Terdapat beberapa algoritma retracking waveform (retracker) yang bisa digunakan untuk meningkatkan akurasi estimasi SSH khususnya di perairan dangkal dan pesisir. Berdasarkan uraian tersebut maka secara khusus dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Seperti apa bentuk waveform yang terbentuk di Laut Jawa hasil pengukuran satelit altimeter Jason-2 pada setiap lintasan pengamatan selama tahun 2012– 2014?
4
2. 3. 4. 5.
Seberapa jauh analisis retracking waveform mampu memperbaiki estimasi SSH di wilayah pesisir selama tahun 2012–2014? Retracker mana yang paling optimal untuk diterapkan di Laut Jawa pada setiap lintasan pengamatan sateilt Jason-2 selama tahun 2012–2014? Bagaimana pola SSH hasil analisis retracking waveform yang terbentuk di Laut Jawa pada setiap lintasan pengamatan Jason-2 selama tahun 2012–2014? Bagaimana pola sea level anomaly (SLA) di Laut Jawa sebelum dan setelah analisis retracking waveform di Laut Jawa. Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan akurasi estimasi SSH melalui analisis retracking waveform data satelit altimeter Jason-2. Adapun, tujuan khusus yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengidentifikasi bentuk waveform satelit altimeter Jason-2 di Laut Jawa selama tahun 2012–2014. 2. Menghitung peningkatan akurasi estimasi SSH hasil analisis retracking waveform dari garis pantai pada wilayah pesisir. 3. Menentukan retracker yang paling optimal untuk diterapkan di Laut Jawa pada setiap lintasan pengamatan selama tahun 2012–2014. 4. Mengestimasi pola SSH hasil analisis retracking waveform pada setiap lintasan pengamatan di Laut Jawa selama tahun 2012–2014. 5. Menentukan pola SLA hasil sebelum dan setelah analisis retracking waveform. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi yang bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan seperti: 1. Informasi bagi peneliti terkait bentuk atau pola waveform ideal dan non ideal serta prediksi output estimasi SSH. 2. Informasi bagi para peniliti untuk menggunakan algoritma retracker yang tepat khususnya dalam menganalisis data waveform satelit altimeter Jason-2 sehingga dapat menghasilkan estimasi SSH yang lebih akurat. Hasil estimasi SSH yang lebih akurat diharapkan dapat membantu proses pemantauan laju kenaikan paras laut sehingga menghasilkan data prediksi kenaikan paras laut yang lebih akurat. 3. Informasi yang dapat menambah pengetahuan di bidang altimeter sehingga pengembangan ilmu pengetahuan dapat terus berkembang dan menghasilkan algoritma estimasi SSH yang lebih baik lagi. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini menganalisis data waveform satelit altimeter Jason-2 pada enam lintasan satelit, yaitu: 051, 064, 127,140, 203, dan 216 selama tahun 2012– 2014 yang melintasi Laut Jawa. Analisis retracking waveform dalam penelitian ini menggunakan beberapa retracker, yaitu: OCOG, ice, threshold (10%, 20%, dan 50%), dan improved threshold (10%, 20%, dan 50%) yang kemudian dibandingkan dengan retracker on-board (ocean retracker) untuk mengetahui
5
seberapa besar perbaikan estimasi SSH melalui perhitungan Improvement Percentage (IMP).
2 METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah Laut Jawa pada koordinat 2,5o–7,5o LS dan 107o– 116 BT dengan lintasan 064, 051, 140, 127, 216, dan 203 dari satelit altimeter Jason-2 (Gambar 3). Lintasan atau pass adalah jalur orbit satelit dimana satu lintasan satelit altimeter Jason-2 merupakan setengah revolusi dari satelit tersebut terhadap bumi. Satelit altimeter Jason-2 memiliki total 254 lintasan untuk mengamati seluruh permukaan bumi sehingga satelit tersebut mengelilingi bumi sebanyak 127 kali (berevolusi). Satu kali revolusi (siklus) terbagi ke dalam satu lintasan ascending (menaik) dan satu lintasan descending (menurun). o
Gambar 3 Peta lokasi penelitian. Angka pada garis merah menunjukkan nomor lintasan (pass) dari satelit altimeter Jason-2 Lintasan ascending merupakan lintasan satelit yang bergerak dari bumi bagian selatan menuju bumi bagian utara (lintang -66,15o hingga +66,15o) dan diberi penomoran ganjil, sedangkan lintasan descending adalah sebaliknya. Siklus atau cycle adalah waktu yang dibutuhkan oleh satelit untuk melintasi lintasan yang sama. Satu cycle satelit altimeter Jason-2 membutuhkan waktu 9,9156 hari (~10 hari) dengan ketelitian orbit ± 1 km (Dumont et al. 2011). Dalam penelitian ini, analisis retracking waveform dilakukan pada enam lintasan satelit altimeter Jason2 yang melintasi Laut Jawa dimana pada ujung utara dan selatan dari setiap
6
lintasan pengamatan tersebut merupakan daerah pesisir, selanjutnya akan disebut sebagai pesisir utara dan pesisir selatan dari lintasan tersebut (Gambar 3). Enam lintasan Jason-2 yang digunakan, yaitu: 051, 127, dan 203 (ascending) serta 064, 140, dan 216 (descending). Untuk mempermudah analisis, pengukuran titik 0 km dilakukan dari arah pesisir utara menuju selatan. Pengumpulan data dilakukan dari bulan Juli 2014–Maret 2015, sedangkan pengolahan data dilakukan dari bulan April–September 2015. Koordinat titik awal dan titik akhir pengamatan retracking waveform pada setiap lintasan (pass) selengkapnya disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Koordinat lintasan pengamatan retracking waveform Lintasan (Pass)
Koordinat awal Lintang
Bujur
Koordinat akhir Lintang
Bujur
051
2°53'31,72"LS 110°13'31,03"BT 6°43'52,80"LS 108°50'34,66"BT
064
3°10'29,96"LS 108°08'25,52"BT 6°49'43,54"LS 109°27'25,35"BT
127
3°15'05,35"LS 112°55'52,57"BT 6°43'39,55"LS 111°40'45,53"BT
140
3°03'06,48"LS 110°55'53,31"BT 6°52'12,34"LS 112°18'25,48"BT
203
3°46'40,01"LS 115°34'39,33"BT 6°57'08,38"LS 114°25'55,50"BT
216
3°24'33,13"LS 113°53'39,27"BT 6°55'47,70"LS 115°09'49,47"BT
Data Penelitian Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1 Data dari satelit altimeter Jason-2 dalam bentuk Sensor Geophysical Data Record versi “D” (SGDR-D), cycle 129–239 (Januari 2012–Desember 2014). Data diperoleh dari situs ftp://avisoftp.cnes.fr/AVISO/pub/ jason-2/sgdr_d/. 2 Data model undulasi geoid global yaitu Earth Gravitational Model 2008 (EGM08) yang mengacu kepada World Geodetic System 1984 (WGS84). Data EGM08 diperoleh dari hasil pemodelan menggunakan pemrograman FORTRAN (hsynth_WGS84.exe) yang berjalan di sistem operasi Windows. Program tersebut dikembangkan oleh National Geospatial-Intelligence Agency (NGA) dan dapat diperoleh dari http://earth-info.nga.mil/GandG /wgs84/gravitymod/egm2008/egm08_wgs84.html. 3 Data lintasan satelit altimeter Jason-2 (Visu_J2J1TP_Tracks_GE_V3). Data diperoleh dari http://www.aviso.oceanobs.com/en/data/tools/pass-locator.html. Pengolahan Data Langkah pertama yang dilakukan dalam pengolahan data adalah menentukan lintasan satelit altimeter Jason-2 yang akan diamati serta menentukan koordinat titik awal dan akhir dari masing-masing lintasan tersebut. Koordinat yang sudah ditentukan tersebut kemudian diolah di MATLAB R2013a bersama dengan data SGDR-D Jason-2 untuk menyeleksi data waveform yang akan diamati dari setiap lintasan dan mengambil koordinatnya (Gambar 4). Berdasarkan koordinat waveform tersebut dilakukan pemodelan harmonic sythesis menggunakan pemrograman FORTRAN (hsynth_WGS84.exe) yang berjalan di sistem operasi Windows. Hasil dari pemodelan tersebut adalah data undulasi geoid
7
EGM08 yang koordinatnya bersesuaian dengan koordinat waveform. Data SGDRD dan Data EGM08 kemudian diolah bersama dengan menggunakan MATLAB R2013a untuk proses analisis retracking waveform. Syntax MATLAB yang digunakan dalam pengolahan data disajikan pada Lampiran 1. Hasil dari analisis retracking waveform akan mendapatkan nilai Improvement Percentage (IMP) atau peresentase perbaikan kemampuan dan nilai SSH dari tiap retracker (SSH retracking). SSH retracking yang akan divisualisasikan merupakan gabungan nilai SSH dari semua retracker terbaik dari setiap cycle pada masing-masing lintasan. Profil SSH retracking kemudian divalidasi dengan profil dari EGM08 untuk menentukan nilai SSH yang masih error karena masih terpengaruh oleh noise dari sinyal pantulan daratan. Nilai Sea Level Anomaly (SLA) retracking dapat diperoleh dari nilai SSH retracking dikurangi Mean Sea Surface (MSS). Contoh pengolahan data secara manual menggunakan salah satu metode retracker (OCOG retracker) untuk menghasilkan SSH retracking dan SLA retracking disajikan pada Lampiran 2. Visualisasi hasil pengolahan data menggunakan MATLAB R2013a dan ODV 4.0.
Gambar 4 Diagram alir pengolahan data Analisis Data Satelit altimeter Jason-2 melakukan pengukuran ketinggian terhadap permukaan laut (range) dengan cara transmitter memancarkan gelombang mikro ke permukaan laut kemudian mengukur selisih waktu saat pemancaran dan penerimaan pantulan gelombang tersebut. Berikut perhitungan SSH menurut Chelton et al. (2001) yang ditunjukkan pada Persamaan 1 berikut: SSH = altitude - range
1
dimana: SSH : tinggi permukaan laut (m) Altitude : ketinggian satelit dari referensi elipsoid (m) Range : ketinggian satelit dari permukaan laut (m) Persamaan yang digunakan untuk mendapatkan nilai range ditunjukkan pada Persaman 2 (Anzenhofer et al. 1999):
8
Range = c (tr – te) / 2 dimana: Range c te tr
2
: ketinggian satelit dari permukaan laut (m) : kecepatan cahaya (299792458 m/s) : waktu saat satelit memancarkan gelombang mikro ke permukaan laut (s) : waktu saat satelit menerima gelombang pantul dari permukaan laut (s)
Titik tengah pada leading edge waveform berhubungan dengan range pada titik nadir permukaan laut (Deng dan Featherstone 2006; Hwang et al. 2006; Lee et al. 2010; Guo et al. 2010). Pada laut lepas dimana umumnya waveform berbentuk Brown-waveform titik tengah dari leading edge berada pada gate ke-32 sehingga titik tengah leading edge on-board pada satelit Jason-2 ditetapkan pada gate ke-32 (Lee et al. 2010). Namun, pada perairan pesisir atau laut dangkal dikarenakan bentuk waveform-nya yang tidak mengikuti model Brown-waveform maka menyebabkan posisi titik tengah leading edge berubah-ubah tergantung kondisi fisik permukaan laut sehingga tidak sesuai dengan nilai posisi leading edge yang telah ditetapkan pada satelit. Hal ini menyebabkan perhitungan range menghasilkan nilai yang kurang akurat (Lee et al. 2010; Guo et al. 2010; Deng dan Featherstone 2006; Hwang et al. 2006;). Gate atau gerbang merupakan waktu pengamatan saat terjadinya pantulan gelombang. Satelit altimeter Jason-2 memiliki 104 gate dimana jarak antar gate sebesar 3,125 ns (nano second) sehingga rentang waktu yang diperlukan untuk merekam satu data waveform adalah sebesar 325 ns (Gommenginger et al. 2011). Retracking waveform Retracking waveform merupakan suatu metode untuk mencari tracking gate yang tepat memotong titik tengah dari leading edge untuk mendapatkan nilai range yang sebenarnya (Deng dan Featherstone 2006). Pada penelitian ini, analisis retracking waveform menggunakan data waveform yang terbentuk dari sinyal yang ditransmisikan oleh Ku-band (13,575 GHz). Menurut Chelton et al. (2001) sinyal Ku-band memiliki validasi terhadap sea state bias yang lebih baik dibandingkan dengan sinyal yang ditransmisikan oleh C-band (5,3 GHz). Terdapat beberapa algoritma retracking waveform (retracker) yang digunakan pada penelitian ini, diantaranya retracker ocean, ice, OCOG, threshold (10%, 20%, dan 50%), serta improved threshold (10%, 20%, dan 50%). Metode retracker tersebut adalah yang umum digunakan pada penelitian di bidang retracking waveform pada perairan pesisir (Hwang et al. 2006; Lee et al. 2010). Ocean Retracker Metode ocean retracker merupakan retracker on-board yang sudah berada di dalam data SGDR-D Jason-2 sehingga nilai range dari retracker tersebut tidak perlu dihitung lagi (Lee et al. 2010). Ocean Retracker dikembangkan dengan menggunakan karakteristik fisik dari waveform yang terbentuk di laut lepas yang mengikuti model Brown-waveform (Hwang et al 2006). Brown (1977) telah berhasil membuat model pantulan gelombang mikro dari satelit altimeter pada permukaan laut lepas, model tersebut kemudian dikenal dengan nama Oceanwaveform atau Brown-waveform. Hubungan antara pantulan gelombang mikro
9
dengan karakteristik permukaan laut ditentukan oleh bentuk dari pantulan power rata-rata sebagai fungsi dari waktu tunda. Rata-rata respon impuls dari kekasaran permukaan laut P(t) ditentukan oleh konvolusi dari fungsi probabilitas kerapatan tinggi permukaan laut pada pantulan spekular q(z) yang bergantung kepada antenna gain dan jarak dari sensor altimeter ke permukaan PFS(t). Bentuk dari fungsi PFS(t) merupakan rata-rata dari respon impuls pada permukaan laut yang datar. Dengan demikian, PFS(t) adalah hambur balik rata-rata power (energi) dari rata-rata permukaan laut yang datar. Oleh karena itu, ocean retracker hanya dapat digunakan untuk mengestimasi nilai SSH pada laut lepas yang memiliki bentuk permukaan laut yang rata-rata berbentuk datar (flat). Hubungan dari ketiganya dijelaskan pada Persamaan 3. P(t) = q(z) x PFS(t)
3
Dimana: P(t) : kekasaran permukaan laut q(z) : probabilitas kerapatan tinggi permukaan laut (SSH) PFS(t) : hambur balik power pada permukaan laut yang datar Offset Center of Gravity (OCOG) retracker Metode OCOG retracker dikembangkan oleh Wingham et al. (1986) untuk mengestimasi SSH di perairan pesisir dan lapisan es mengingat satelit altimeter didesain dengan spesifikasi hanya untuk mengestimasi permukaan laut lepas yang flat. Berbeda dengan ocean retracker, OCOG retracker dikembangkan dengan menggunakan pendekatan statistik bukan dari karakteristik fisik permukaan laut yang memantulkan gelombang mikro. Pendekatan statistik digunakan untuk menemukan pusat gravitasi (centre of gravity, COG) berdasarkan bentuk sebuah persegi pada waveform yang disusun dari pantulan power gelombang yang diterima kembali oleh satelit pada setiap gate pengamatan (Gambar 5). Posisi COG dari bentuk waveform yang dianalisis dapat dicari dengan terlebih dahulu menghitung nilai amplitudo (A) dan lebar gate pengamatan (W) pada wavferom tersebut. Perhitungan amplitudo pada metode OCOG retracker menjadi perhitungan awal bagi metode threshold retracker dan improved threshold retracker (Gommenginger et al. 2011). Perhitungan nilai A, W, dan COG dijelaskan pada Persamaan 4, 5, dan 6 berikut: √∑
( ) ⁄∑
(∑
( )) ⁄∑
∑
( )⁄∑
( ) ( ) ( )
dimana: A : amplitudo waveform W : lebar gate pengamatan Pi : kekuatan (power) waveform N : total gate pada waveform (104 gate pada satelit altimeter Jason-2) n1, n2 : jumlah gate yang mengalami gangguan sinyal (aliasing)
4 5 6
10
COG : titik tengah gravitasi Menurut Hwang et al (2006) jumlah gate yang terpengaruh oleh aliasing pada bagian awal dan akhir waveform (n1 dan n2) masing-masing berjumlah empat gate. Nilai COG digunakan untuk mengestimasi posisi titik tengah leading edge (LEP) dari waveform tersebut. Nilai LEP dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan 7. LEP = COG - W/2
7
Dimana: LEP : posisi titik tengah leading edge hasil retracking COG : titik tengah gravitasi W : lebar gate pengamatan
Gambar 5 Skema diagram metode OCOG retracker (Gommenginger et al. 2011) Threshold retracker Davis (1995 dan 1997) mengembangkan metode threshold retracker untuk meningkatkan akurasi estimasi SSH berdasarkan nilai range. Metode ini didasarkan dari dimensi sebuah persegi yang sebelumnya dihitung dengan menggunakan metode OCOG retracker. Nilai threshold (ambang batas) yang digunakan mengacu kepada seberapa persen besar amplitudo dari perhitungan metode OCOG yang digunakan terhadap amplitudo maksimum dari waveform tersebut (Gambar 6). Davis (1997) menyarankan penggunaan nilai threshold 50% untuk waveform yang didominasi oleh hamburan permukaan (surface scattering) seperti pada permukaan lapisan es (ice sheet). Sedangkan, yang memiliki sedikit hamburan permukaan menggunakan nilai threshod sebesar 10-20% dari amplitudo maksimum. Bamber (1994) sebelumnya telah mengembangkan metode ice retracker dimana metode tersebut awalnya dikembangkan untuk mengamati ketinggian es di kutub. Metode retracker ice ini sama seperti metode threshold 30% (Lee et al. 2010). Metode threshold retracker menggunakan Persamaan 8, 9, dan 10 untuk menghitung retracking gate (Yang et al. 2012).
11
∑ (
)
8 9 10
dimana: A : amplitudo waveform (persamaan 4) PN : nilai rata-rata power pada lima gate pertama q : nilai threshold yang digunakan (misal 10%, 20%, atau 50%) Th : posisi threshold level Pi, Pk : power pada gate ke-i atau ke-k, jika k = k-1, maka k diganti dengan k+1 Gr : gate pengamatan hasil retracking yang bersesuaian dengan LEP Gk : power pada waveform pada gate yang melewati threshold level i : nomor gate pada leading edge
Gambar 6 Skema diagram metode threshold retracker (Davis 1997) Improved Threshold Retracker Metode improved threshold retracker dikembangkan oleh Hwang et al. (2006) dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan threshold retracker dalam menentukan titik tengah leading edge pada waveform yang kompleks. Metode yang digunakan terdiri beberapa sub-waveform di dalam waveform yang diukur. Leading edge dan nilai range hasil retracking beserta SSH diukur untuk setiap sub-waveform. Sub-waveform kemudian diperluas dengan mencakup empat gate pada awal dan akhir dari sub-waveform. Gate hasil retracking yang berhubungan dengan sub-waveform ditentukan dengan menggunakan Persamaan 4, 8, 9, dan 10. Proses ini diulang untuk sub-waveform yang lain sehingga gate hasil retracking yang baru dapat ditentukan. Pada langkah akhir, gate hasil retracking terbaik adalah yang menghasilkan perbedaan yang paling kecil antara SSH saat ini dengan SSH sebelumnya. Jika menggunakan SSH sebelumnya menghasilkan perbedaan yang besar maka SSH terbaru yang dipilih. Diagram alir prosedur metode improved threshold retracker ditunjukkan pada Lampiran 3.
12
Perhitungan SSH Hasil Retracking Waveform Menurut Anzenhofer et al. (1999) dan Yang et al. (2012) hasil dari analisis retracking waveform merupakan nilai koreksi range yang dihitung dengan menselisihkan nilai gate dari posisi titik tengah leading edge hasil retracking waveform dengan posisi titik tengah leading edge on-board (Persamaan 11). Range hasil retracking didapatkan dari penambahan range on-board Satelit Jason2 dengan nilai koreksi range (Persamaan 12). dr = c × ΔGa × (Gr - Go) / 2 Rr = R + dr
11 12
dimana: dr : koreksi ketinggian satelit dengan permukaan laut hasil retracking (m) c : kecepatan cahaya (299792458 m/s) ΔGa : interval waktu untuk satu gate Satelit Jason-2 (3,125 ns) Gr : gate pengamatan pada titik tengah leading edge dari hasil retracking Go : gate pengamatan on-board Satelit Jason-2 (32) R : range hasil pengukuran satelit (m) Rr : range hasil retracking (m) Perhitungan selanjutnya adalah menambahkan koreksi dari gangguan geofisik dan atmosferik terhadap range hasil retracking (Rr) untuk mendapatkan range terkoreksi (Rcorr), seperti ditunjukkan pada Persamaan 13 (Chelton et al. 2001; Andersen dan Scharroo 2011). Parameter-parameter koreksi geofisik dan atmosferik pada penelitian ini menggunakan data koreksi yang disediakan secara default dari data satelit altimeter Jason-2. Rcorr = Rr - ΔRdry - ΔRwet - ΔRiono - ΔRssb - htides - hatm
13
dimana: Rcorr : range terkoreksi (m) Rr : range hasil retracking (m) ΔRdry : koreksi troposfer kering (m) ΔRwet : koreksi troposfer basah (m) ΔRiono : koreksi ionosfer (m) ΔRssb : koreksi bentuk permukaan laut (m) htides : koreksi pasang surut (m) hatm : koreksi atmosferik dinamis (m) Langkah terakhir untuk mendapatkan nilai SSH hasil retracking waveform atau SSH retracking adalah dengan menggunakan persamaan dari Yang et al. (2008) seperti pada Persamaan 14. Satelit Jason-2 memiliki nilai altitude atau ketinggian satelit dari referensi elipsoid sebesar 1336 km di wilayah ekuator (Dumont et al. 2011). SSHretracking = altitude - Rcorr
14
13
dimana: SSHretracking : tinggi permukaan laut hasil retracking (m) Altitude : ketinggian satelit dari referensi elipsoid (m) Rcorr : range terkoreksi (m) Perhitungan Perbaikan Kemampuan Retracker dan Validasi SSH Retracking Kemampuan atau performa dari beberapa retracker dapat dihitung dengan menggunakan rumus Improvement Percentage (IMP) berdasarkan perhitungan Hwang et al. (2006) yang telah dikembangkan oleh Lee et al. (2010) sehingga kemampuan dari masing-masing retracker yang lain dapat diketahui dengan menjadikan retracker ocean (retracker on-board) sebagai acuan perbaikan kemampuan. Perbaikan kemampuan SSH retracking terhadap SSH on-board ditunjukkan pada Persamaan 15. (
)
15
dimana: IMP : persentase perbaikan kemampuan (%) σocean : standar deviasi dari selisih SSH on-board dengan undulasi geoid (m), σretracker : standar deviasi dari selisih SSH retracking dengan undulasi geoid (m). Nilai persentase IMP dari setiap retracker menunjukkan seberapa besar perbaikan kemampuan dari retracker tersebut terhadap retracker on-board sehingga semakin besar nilai IMP-nya akan semakin baik kemampuan dari retracker tersebut demikian pula sebaliknya. Validasi terhadap SSH retracking diuji dengan melihat profilnya terhadap profil undulasi geoid (EGM08). Apabila profil dari SSH retracking tidak menyerupai profil undulasi geoidnya (berfluktuasi) maka SSH retracking tersebut dianggap masih memiliki noise yang tinggi dan tidak valid untuk digunakan sekalipun telah mampu memperbaiki kesalahan dari SSH on-board (Lee et al. 2010; Guo et al. 2010; Fenoglio-Marc et al. 2010; Bao et al. 2008; Hwang et al. 2006). Perhitungan Sea Level Anomaly (SLA) Sea level anomaly (SLA) menurut Ablain et al. (2010) didefinisikan sebagai pengurangan antara SSH dengan paras laut rata-rata atau mean sea surface (MSS), seperti dijelaskan pada Persamaan 16. SLA = SSH - MSS
16
dimana: SLA : anomali paras laut (m) SSH : tinggi paras laut (m) MSS : tinggi paras laut rata-rata (m) Perhitungan SLA penting untuk dilakukan karena SLA dapat memberikan informasi, diantaranya: kondisi topografi laut yang sebenarnya, respon dinamis terhadap tekanan atmosfer, kesalahan model pengukuran (ketidakberaturan, bias
14
bentuk paras laut, error altimeter, dan koreksi atmosferik), dan perbedaan antara pasang surut (pasut) in situ dan model pasut (Dumont et al. 2011).
3 HASIL DAN PEMBAHASAN Bentuk Waveform Berdasarkan analisis pola atau bentuk waveform untuk seluruh lintasan satelit altimeter Jason-2 di Laut Jawa selama tiga tahun (Januari 2012–Desember 2014), rata-rata 94,4% dari waveform yang ada berbentuk Brown-waveform. Namun, di daerah pesisir baik yang berada di bagian utara maupun selatan dari setiap lintasan satelit umumnya didominasi oleh bentuk non-Brown-waveform. Secara umum, rata-rata persentase non-Brown-waveform dari seluruh lintasan selama tiga tahun di Laut Jawa adalah 5,6% (79,5 buah waveform) dimana persentase non-Brown-waveform tertinggi ditemui pada nomor lintasan (pass number) 203 dengan nilai sebesar 6,9% dari seluruh data waveform dalam satu lintasan tersebut, sedangkan yang memiliki persentase non-Brown-waveform terendah terdapat pada nomor lintasan 140 sebesar 4,9% (Tabel 2). Keberadaan non-Brown-waveform tersebut ditemukan pada setiap lintasan dan setiap cycle khususnya yang paling dekat dengan garis pantai. Namun, semakin jauh dari garis pantai, umumnya pola waveform menjadi lebih teratur dan semakin mendekati pola Brown-waveform. Pola yang sama juga ditemui pada perairan selatan pulau Jawa. Bentuk non-Brown-waveform pada daerah pesisir disebabkan selain karena adanya kontaminasi pantulan sinyal dari daratan juga disebabkan karena adanya bias dari sea state (kekasaran permukaan laut) dan bentuk garis pantai yang kompleks (Deng dan Featherstone, 2006; Nababan et al. 2014). Tabel 2 Persentase rata-rata non-Brown-waveform dari seluruh data waveform satelit altimeter Jason-2 tahun 2012–2014 pada setiap lintasan Nomor lintasan 051 064 127 140 203 216 Rata-rata
Panjang lintasan (km) 426,3 405,7 386,0 423,7 352,4 391,0 397,5
Total waveform 1537 1463 1392 1528 1271 1410 1433,5
Jumlah Non-Brown-waveform 87 72 77 77 88 76 79,5
Non-Brownwaveform (%) 5,7 4,9 5,5 5,0 6,9 5,4 5,6
Contoh bentuk waveform dari seluruh data waveform yang terbentuk pada lintasan 064 cycle 229 menunjukkan dominasi non-Brown-waveform pada daerah pesisir utara dan selatan dari lintasan tersebut (Gambar 7). Satelit Jason-2 dilengkapi dengan gate pengamatan yang telah ditetapkan oleh satelit tersebut (pre-given gate) yaitu pada gate ke-32. Hal ini disesuaikan dengan model Brownwaveform yang umumnya memiliki titik tengah leading edge pada gate ke-32. Bilamana titik tengah leading edge Brown- waveform tepat berada pada gate ke32, maka ocean retracker akan menghasilkan estimasi SSH dengan sangat akurat.
15
Apabila titik tengah leading edge sebuah waveform tidak tepat berada pada gate ke-32, maka hasil estimasi SSH oleh ocean retracker menjadi kurang akurat (Gambar 8a). Algoritma ocean retracker secara otomatis dapat mengidentifikasi non-Brown-waveform bilamana pre-given gate (gate ke-32) berada di sebelah kiri dan tidak bersentuhan dengan leading edge sebuah waveform dengan memberi penanda “Alt Echo Type” secara aktif (on) serta memberi nilai estimasi SSH sebagai NaN (tidak ada nilai, Gambar 8b) (Lee et al. 2010; Gommenginger et al. 2011; Dumont et al. 2011). Nilai SSH hasil estimasi ocean retracker berupa nilai NaN dan nilai SSH yang kurang akurat (error) inilah yang akan dianalisis kembali oleh retracker lain untuk mendapatkan nilai SSH yang lebih akurat.
Gambar 7 Bentuk tiga dimensi waveform pada lintasan 064 cycle 229. (a) tampak samping dan (b) tampak atas. Pada gambar (b) terlihat tanda “Alt Echo Type” aktif (on) pada jarak sekitar 11,3 km di kiri dan pada jarak sekitar 62,8 km di kanan Perairan pesisir yang berada di ujung utara dan selatan pada lintasan 064 cycle 229 terlihat memiliki bentuk non-Brown-waveform, sedangkan pada bagian tengah Laut Jawa bentuk waveform-nya sudah berbentuk Brown-waveform. Pada Gambar 7a pada bagian pesisir selatan dari lintasan tersebut terlihat memiliki power pantulan yang sangat tinggi hingga mencapai > 1000 counts terutama pada jarak 405-405,5 km. Menurut Gommenginger et al. (2011) pantulan yang sangat tinggi tersebut karena adanya kontaminsi dari pantulan sinyal dari daratan yang terekam oleh satelit dimana power pantulan sinyal dari daratan lebih tinggi daripada pantulan sinyal dari perairan. Pada gambar tiga dimensi waveform tampak atas (Gambar 7b), terlihat pergeseran titik tengah leading edge dari gate ke-32 pada jarak 0–11,3 km di daerah pesisir utara dan pada jarak 342,7–405,5 km di daerah pesisir selatan sehingga penanda “Alt Echo Type” terlihat aktif (on). Dalam estimasi SSH dengan ocean retracker, maka hasil estimasi SSH pada kedua lokasi ini menjadi NaN (tidak ada). Pada daerah yang tidak ditandai “Alt Echo Type” dan titik tengah leading edge-nya persis berada pada gate ke-32 maka ocean retracker akan menghasilkan nilai estimasi SSH dengan sangat akurat. Pada daerah yang tidak ditandai “Alt Echo Type” namun titik tengah leading edge-nya tidak persis berada pada gate ke-32 maka ocean retracker akan menghasilkan
16
nilai estimasi SSH dengan kurang akurat. Pada Lampiran 4, 5, 6, 7, dan 8 dapat dilihat beberapa contoh waveform pada lintasan pengamatan lainnya di Laut Jawa.
Gambar 8 Contoh bentuk non-Brown-waveforrm. (a) bagian bawah dari leading edge yang bersinggungan dengan pre-given gate (garis warna merah) dimana dengan ocean retracker akan menghasilkan nilai estimasi SSH yang kurang akurat, dan (b) sinyal pantulan tidak ada yang bersinggungan dengan pre-given gate dimana dengan ocean retracker akan menghasilkan nilai estimasi SSH sebagai NaN Dari bentuk dua dimensi waveform, akan terlihat dengan jelas pola waveform yang Brownish, menyerupai Brown-waveform, dan non-Brownish. Sebagai contoh, pada Gambar 9 ditampilkan bentuk dua dimensi dari lima waveform pertama sepanjang jarak 1,2 km di bagian ujung utara, mendekati bagian tengah, tengah, menjauhi bagian tengah, dan ujung selatan pada lintasan 064 cycle 229. Garis merah vertikal yang terlihat pada semua grafik ini menunjukkan “pre-given gate” ke-32, sedangkan kurva berwarna biru menunjukkan profil pantulan power dari waveform yang terbentuk dari gate 1–104 atau selama 325 ns pengamatan. Pre-given gate atau gate pengamatan on-board adalah gate pengamatan yang telah ditentukan oleh satelit altimeter. Pada Satelit Jason-2 pre-given gate berada pada gate ke-32 (Lee et al. 2010). Waveform 1–5 merupakan waveform yang berada di ujung utara lintasan 064 (0–1,2 km), dimana kelima waveform tersebut termasuk kedalam kategori non-Brown-waveform karena pre-given gate (gate number 32) sama sekali tidak bersinggungan dengan leading edge-nya dan profil pantulan powernya tidak mengikuti pola Brownish waveform. Dengan menggunakan ocean retracker, kelima waveform tersebut akan menghasilkan nilai SSH sebagai NaN (tidak ada nilai). Waveform nomor 6-10 yang ditemui pada lintasan 064 cycle 229 bagian dalam pesisir utara merupakan contoh waveform yang termasuk kategori non-Brown-waveform karena pola dan bentuk trailing edge tidak sesuai dengan pola trailing edge Brown-waveform. Akan tetapi, leading edge waveform ini sudah bersentuhan dengan pre-given gate sehinga ocean retracker akan menghasilkan nilai estimasi SSH yang kurang akurat.
17
Gambar 9 Bentuk dua dimensi waveform pada lintasan pengamatan 064 cycle 229. Lima waveform pertama (1–5) di pesisir utara lintasan menghasilkan estimasi nilai SSH sebagai NaN; lima waveform kedua (6–10) di daerah pesisir utara mengarah ke laut lepas akan menghasilkan nilai SSH yang kurang akurat (error), lima waveform ketiga (11–15) yang ditemui di tengah perairan Laut Jawa yang merupakan Brown-waveform; lima waveform keempat (16–20) yang ditemui di pesisir selatan bagian tengah akan menghasilkan nilai estimasi SSH yang kurang kurang akurat (error), dan lima waveform kelima (21–25) yang ditemui pada pesisir selatan akan menghasilkan nilai estimasi SSH sebagai NaN Waveform nomor 11–15 merupakan waveform yang berada ditengah lintasan 064 (202,8–204 km) dimana kelima waveform tersebut sudah berbentuk Brown-waveform. Hal ini terlihat jelas dari bentuk trailing edgenya sudah menyerupai pola Brown-waveform dan titik tengah leading edge-nya sudah tepat berada pada gate ke-32 (berhimpit dengan garis pre-given gate) (Deng dan Featherstone 2006). Walaupun sudah berbentuk Brown-waveform namun bentuk trailing edge-nya belum sepenuhnya mengikuti pola Brown-waveform (bandingkan dengan pola umum Brown-waveform pada Gambar 1) maka hasil estimasi SSH dari waveform ini masih kurang akurat. Pola waveform seperti ini sering ditemui di perairan dangkal seperti Laut Jawa yang masih dekat dengan daerah pesisir (Nababan et al. 2014). Untuk meningkatkan akurasi hasil estimasi SSH dari bentuk waveform seperti ini perlu dilakukan analisis retracking waveform (Hwang et al. 2006). Bentuk dua dimensi waveform nomor 16–20 yang terletak pada jarak 404,3– 405,5 km (mendekati garis pantai utara Jawa) pada lintasan 064 berbentuk nonBrown-waveform. Pada waveform ini ditemui satu puncak yang dominan, pregiven gate sudah bersinggungan dengan leading edge, dan traling edge sama sekali tidak menyerupai trailing edge Brown-waveform. Dengan demikian, kelima waveform ini juga akan menghasilkan nilai estimasi SSH yang kurang akurat (error). Lima waveform kelima (21–25) merupakan contoh waveform yang termasuk kategori non-Brown-waveform yang terdapat di pesisir selatan lintasan dan pre-given gate tidak bersinggungan dengan leading edge sehingga ocean
18
retracker akan menghasilkan nilai estimasi SSH sebagai NaN. Power pantulan yang lebih besar pada pesisir selatan lintasan 064 dibandingkan dengan pesisir utaranya menunjukkan pesisir selatan memiliki pengaruh noise dari daratan yang lebih tinggi (Gommenginger et al. 2011). Peningkatan Perbaikan Estimasi SSH Nilai improvement percentage (IMP) dihitung dari persentase antara standar deviasi dari selisih SSH on-board (ocean retracker) dengan geoid dan standar deviasi dari selisih SSH retracking dengan geoid dibagi dengan standar deviasi dari selisih SSH on-board dengan geoid. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam satu lintasan saja selama tahun 2012–2014 (cycle 129–239) tidak ada retracker yang dominasinya lebih dari 65% (Tabel 3). Hal ini disebabkan Laut Jawa merupakan perairan dangkal (<200 m) sehingga lebih dinamis jika dibandingkan dengan laut lepas yang merupakan perairan dalam. Adanya angin yang sangat kencang akan mudah membuat perairannya menjadi beriak dan teraduk hingga hampir ke dasar berbeda dengan laut lepas yang memiliki kedalaman perairan hingga ribuan meter. Menurut Deng dan Featherstone (2006) kekasaran bentuk permukaan laut turut memberikan noise terhadap waveform yang terbentuk menyebabkan waveform tersebut menjadi lebih sulit untuk dianalisis. Setiap retracker masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan yang bersifat spesifik dengan daerah kajiannya sehingga setiap retracker memiliki performa yang berbeda-beda tergantung karakteristik perairannya (Yang et al. 2008; Guo et al. 2010). Hal inilah yang menyebabkan di Laut Jawa tidak bisa hanya diwakili oleh satu retracker terbaik saja untuk mengestimasi nilai SSH dalam satu lintasannya, tetapi harus digabungkan dari setiap retracker terbaik dari setiap cycle-nya. Setiap cycle dari semua lintasan satelit altimeter Jason-2 dapat memiliki data yang berbeda. Pada beberapa cycle terdapat beberapa kekosongan data yang diduga disebabkan oleh kesalahan sensor satelit yang gagal dalam merekam pantulan sinyal satelit dari permukaan. Hal ini menyebabkan jumlah data setiap cycle menjadi berbeda-beda pada setiap lintasan. Total jumlah cycle yang dapat diamati selama tahun 2012–2014 dari setiap lintasan yang paling lengkap terdapat pada lintasan 064 yang berjumlah 104 cycle, sedangkan, yang terendah terdapat pada lintasan 203 yang berjumlah 63 cycle. Pada lintasan 051 Threshold 10% retracker menjadi yang paling dominan karena sebanyak 56 cycle dari total 98 cycle yang dapat diamati (57,1%), menghasilkan nilai IMP yang paling tinggi pada setiap cycle-nya dengan rataan IMP sebesar 61,0%. Pada lintasan 064, 127, 140, 203, dan 216 masing-masing retracker yang paling dominan secara berturutturut adalah: Threshold 10% (48,1%) dengan rataan IMP 61,5 %; Ice (31,3%) dengan rataan IMP 56,7%; Threshold 10% (25,7%) dengan rataan IMP 57,5%; Threshold 50% (36,5%) dengan rataan IMP 31,9%; dan Ice (30,5%) dengan rataan IMP 62,8% (Tabel 3). Dengan demikian, retracker Threshold 10% adalah yang paling konsisten memiliki performa retracker yang paling baik, sedangkan OCOG retracker dari setiap cycle-nya pada semua lintasan tidak ada satu pun yang memiliki nilai IMP terbaik sehingga retracker ini kosnsisten menjadi retracker yang paling buruk performanya untuk diterapkan dalam mengestimasi SSH di Laut Jawa.
19
Tabel 3 Statistik retracking waveform di sepanjang lintasan pengamatan selama tahun 2012–2014. Retracker yang paling baik ditunjukkan dengan cetak tebal (dominasi tertinggi) Lintasan 051
064
127
140
203
216
Retracker Threshold 10% Threshold 20% Threshold 50% Improved Threshold 10% Improved Threshold 20% Improved Threshold 50% Ice OCOG Jumlah Threshold 10% Threshold 20% Threshold 50% Improved Threshold 10% Improved Threshold 20% Improved Threshold 50% Ice OCOG Jumlah Threshold 10% Threshold 20% Threshold 50% Improved Threshold 10% Improved Threshold 20% Improved Threshold 50% Ice OCOG Jumlah Threshold 10% Threshold 20% Threshold 50% Improved Threshold 10% Improved Threshold 20% Improved Threshold 50% Ice OCOG Jumlah Threshold 10% Threshold 20% Threshold 50% Improved Threshold 10% Improved Threshold 20% Improved Threshold 50% Ice OCOG Jumlah Threshold 10% Threshold 20% Threshold 50% Improved Threshold 10% Improved Threshold 20% Improved Threshold 50% Ice OCOG Jumlah
Jumlah cycle 56 16 4 6 6 1 9 0 98 50 12 2 21 2 0 17 0 104 11 11 21 6 14 3 30 0 96 19 14 13 7 4 0 17 0 74 8 6 23 3 5 5 13 0 63 26 8 2 22 7 1 29 0 95
Dominasi (%) 57,1 16,3 4,1 6,1 6,1 1,0 9,2 0,0 100,0 48,1 11,5 1,9 20,2 1,9 0,0 16,3 0,0 100,0 11,5 11,5 21,9 6,3 14,6 3,1 31,3 0,0 100,0 25,7 18,9 17,6 9,5 5,4 0,0 23,0 0,0 100,0 12,7 9,5 36,5 4,8 7,9 7,9 20,6 0,0 100,0 27,4 8,4 2,1 23,2 7,4 1,1 30,5 0,0 100,0
Rataan IMP 61,0 49,6 43,6 63,1 68,5 14,6 47,3 0,0 61,5 53,1 35,2 60,2 51,7 0,0 48,1 0,0 47,0 40,6 54,3 55,3 61,3 58,9 56,7 0,0 57,5 40,6 32,8 52,9 52,4 0,0 40,5 0,0 53,7 65,7 31,9 58,2 63,1 41,9 46,5 0,0 69,4 66,2 44,1 66,9 62,5 59,3 62,8 0,0
20
Brown-waveform ditemui paling dekat dengan garis pantai di pesisir utara pada jarak 8,5 km dari garis pantai di lintasan 140, sedangkan di pesisir selatan Brown-waveform ditemui paling dekat dengan garis pantai pada jarak 6,0 km dari garis pantai di lintasan 216. Peningkatan tertinggi jarak estimasi SSH setelah dilakukan analisis retracking waveform pada pesisir utara terdapat pada lintasan 140 dimana jarak estimasi SSH semula dimulai pada jarak sekitar 8,5 km kemudian dapat ditingkatkan sampai jarak 4,8 km dari garis pantai (43,5%), sedangkan peningkatan tertinggi jarak estimasi SSH pada pesisir selatan terdapat pada lintasan 127 dimana jarak estimasi SSH semula dimulai pada jarak sekitar 9,6 km kemudian dapat ditingkatkan sampai jarak 2,2 km dari garis pantai (77,1%) (Tabel 4). Pada Tabel 4 juga terlihat bahwa di pesisir utara bentuk Brown-waveform secara umum ditemui lebih jauh dari garis pantai (rata-rata 12,6 km) dibandingkan dengan di daerah peisir selatan (rata-rata 8,7 km). Setelah dilakukan analisis retracking waveform terhadap non-Brown-waveform pada setiap lintasan di daerah pesisir, diperoleh peningkatan akurasi estimasi SSH berdasarkan jarak dan persentase dari garis pantai untuk daerah pesisir utara dengan jarak perbaikan rata-rata 3,7 km (29,7%) dan di daerah pesisir selatan dengan jarak rata-rata 4,9 km (56,4%) (Tabel 4; Gambar 10). Peningkatan akurasi estimasi SSH ditemui lebih tinggi di pesisir selatan dibandingkan di pesisir utara dimana garis pantai di pesisir selatan cenderung relatif lebih lurus dibandingkan garis pantai di pesisir utara yang relatif lebih kompleks. Hasil ini sesuai dengan temuan Deng dan Featherstone (2006) dimana pada pantai yang bentuknya kompleks memiliki noise yang lebih besar dibandingkan pada pantai yang garis pantainya cenderung sejajar. Tabel 4 Peningkatan akurasi estimasi SSH berdasarkan jarak dan persentase dari garis pantai satelit altimeter Jason-2 setelah analisis retracking waveform untuk semua lintasan selama 3 tahun (2012–2014) Lintasan
Pesisir utara Akhir Perbaikan (km) (km) 8,4 4,4
Perbaikan (%) 34,4
Pesisir selatan Awal Akhir Perbaikan Perbaikan (km) (km) (km) (%) 10,5 4,8 5,7 54,3
051
Awal (km) 12,8
064
12,0
8,2
3,8
31,7
7,1
4,1
3,0
42,3
127
10.9
9,1
1,8
16,5
9,6
2,2
7,4
77,1
140
8,5
4,8
3,7
43,5
12,1
6,2
5,9
48,8
203
17,1
12,6
4,6
26,3
6,7
2,6
4,1
61,2
216
14,1
10,5
3,6
25,5
6,0
2,7
3,3
55,0
Rata-rata
12,6
8,9
3,7
29,7
8,7
3,8
4,9
56,4
Berdasarkan analisis bentuk waveform dari seluruh lintasan satelit altimeter Jason-2 di Laut Jawa selama 3 tahun (2012–2014), umumnya ditemui non-Brown-waveform pada jarak rata-rata 12,6 km dari garis pantai di daerah pesisir utara dan pada jarak rata-rata 8,7 km dari garis pantai di daerah pesisir selatan (lihat Tabel 4). Pada saat pre-given gate tidak tepat memotong pada titik tengah leading edge (peningkatan power pantulan), tetapi hanya bersinggungan pada bagian bawah atau bagian atas dari leading edge, maka umumnya ocean retracker akan menghasilkan estimasi SSH yang kurang akurat seperti terlihat
21
pada grafik bagian kiri dan kanan yang diberi tanda garis putus-putus warna merah pada Gambar 8. Estimasi SSH yang kurang akurat menurut Hwang et al. (2006) dan Lee et al. (2010) akan besifat fluktuatif terhadap profil geoidnya dan apabila diamati bentuk waveformnya maka masih terdapat bentuk-bentuk yang non-Brown-waveform namun ada bagian dari leading edge-nya yang bersinggungan dengan garis pre-given gate. Berdasarkan hasil analisis retracking waveform, estimasi SSH terbaik disajikan pada Gambar 11 (warna biru). Dari hasil ini terlihat ada perbaikan hasil estimasi SSH dari ocean retracker khususnya pada daerah pesisir (garis putusputus warna biru pada Gambar 11). Perbaikan estimasi SSH berdasarkan retracking waveform pada dasarnya menyerupai pola geoidnya. Oleh karena itu, profil SSH yang dihasilkan perlu difilter khususnya pada bagian pesisirnya (utara dan selatan) agar nilai estimasi SSH pada wilayah pesisir tersebut dapat lebih valid. Pemfilteran pada bagian pesisir utara dan selatan inilah yang menjadi acuan dalam penentuan panjang lintasan estimasi SSH baik pada on-board maupun retracking (lihat Gambar 10).
Gambar 10 Perbandingan panjang lintasan SSH sebelum (merah) dan sesudah analisis retracking waveform (merah + biru) Gambar 11 menunjukkan profil rata-rata SSH on-board dan rata-rata SSH retracking pada semua lintasan pengamatan mengalami fluktuasi pada daerah pesisir pada jarak awal dan akhir dari setiap grafik (ujung utara dan selatan lintasan pengamatan). Terjadinya fluktuasi tersebut menandakan bahwa pengukuran SSH terpengaruh oleh noise dari pantulan sinyal daratan. SSH retracking memiliki profil grafik yang lebih halus jika dibandingkan dengan SSH on-board dimana kehalusan tampilan profil tersebut dapat dihitung dengan IMP sehingga semakin tinggi nilai IMP-nya maka akan semakin halus profilnya. Profil yang halus menandakan bahwa noise dari daratan maupun dari kekasaran permukaan laut dapat dihilangkan seminimal mungkin sehingga estimasi SSH oleh satelit altimeter Jason-2 dapat ditingkatkan akurasinya. Hasil Perbandingan profil SSH retracking dengan SSH on-board menunjukkan bahwa analisis retracking waveform telah mampu mengurangi pengaruh noise dari daratan maupun dari kekasaran bentuk permukaan laut sehingga tampilan profilnya
22
menjadi lebih halus daripada tampilan profil SSH on-board. Fluktuasi grafik yang meningkat dan menurun secara tajam juga dapat diminimalkan sehingga lebih menyerupai profil undulasi geoidnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa analisis retracking waveform telah berhasil meningkatkan akurasi SSH on-board pada daerah pesisir Laut Jawa.
Gambar 11
Perbandingan profil estimasi SSH hasil retrakcing vs on-board terhadap profil undulasi geoid EGM08 selama tahun 2012–2014 di Laut Jawa pada setiap lintasan pengamatan. (a) 051; (b) 064; (c) 127; (d) 140; (e) 203; dan (f) 216
Profil SSH on-board untuk semua lintasan terlihat selalu berada di bawah profil retracking hal ini disebabkan karena on-board menggunakan gate pengamatan yang telah ditetapkan (gate ke-32) berdasarkan model Brownwaveform yang biasa terbentuk di laut lepas (Lee et al. 2010). Sedangkan, pada analisis retracking posisi gate pengamatan ditentukan dengan melakukan pendekatan statistik berdasakan bentuk waveform-nya sehingga posisi gate pengamatan menjadi berubah-ubah (tidak tetap) sesuai dengan bentuk leading edge pada setiap waveform yang diamati (Guo et al. 2010). Pada kasus Laut Jawa menunjukkan bahwa nilai gate pengamatan yang digunakan oleh analisis retracking rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan yang digunakan oleh onboard (< 32). Hal inilah yang menyebabkan estimasi SSH oleh retracking menjadi
23
lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil SSH on-board. Oleh karena itu, di laut dangkal (seperti Laut Jawa) walaupun sudah Brown-waveform disarankan tetap melakukan analisis retracking waveform untuk mendapatkan hasil pengamatan SSH yang lebih akurat (Hwang et al. 2006). Sebaran Spasial Permukaan SLA Nilai SLA didapatkan dari selisih antara nilai SSH dengan MSS kemudian dikurangi dengan koreksi geofisik untuk menghilangkan noise. Nilai SLA menunjukkan kondisi topografi dari permukaan laut yang sebenarnya (Dumont et al. 2011). Dikarenakan SSH pada retracking menunjukkan nilai estimasi yang lebih baik dibandingkan dengan SSH on-board maka hasil perhitungan SLA retracking dianggap lebih mendekati kondisi permukaan laut yang sebenarnya dibandingkan SLA on-board. Sebaran spasial permukaan SLA hasil retracking menunjukkan nilai sebaran yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai sebaran spasial SLA on-board pada setiap musimnya selama tahun 2012–2014 (Gambar 12). Nilai rata-rata SLA retracking pada Musim Barat (Desember-Februari); Musim Peralihan I (Maret-Mei); Musim Timur (Juni-Agustus); dan Musim Peralihan II (September-Nopember) masing-masing sebesar 1,24 m; 1,19 m; 1,18 m; dan 1,15 m, sedangkan nilai rata-rata SLA on-board masing-masing sebesar 0,71 m; 0,71 m; 0,67 m; dan 0,62 m. Dengan demikian, SLA on-board hasil estimasi satelit altimeter Jason-2 bersifat under estimate terhadap nilai dugaan SLA retracking. SLA on-board memiliki nilai standar deviasi rata-rata SLA sebesar 0,0427 m, sedangkan SLA retracking memiliki nilai standar deviasi ratarata SLA sebesar 0,0374 m selama tahun 2012–2014 sehingga nilai SLA on-board lebih berfluktuasi dibandingkan dengan SLA retracking. Pada Gambar 12 baik pada sebaran spasial permukaan SLA on-board maupun SLA retracking menunjukkan perubahan pola SLA pada setiap musimnya. Pada musim barat terlihat pada Laut Jawa bagian timur memiliki sebaran SLA yang cenderung lebih tinggi dibandingkan pada Laut Jawa bagian barat (Gambar 12a, 12b). Pada musim peralihan I, pola sebaran SLA masih mengikuti pola sebaran seperti musim barat namun nilainya terlihat semakin berkurang (Gambar 12c, 12d). Hal ini menunjukkan telah terjadi pergerakan massa air dari barat menuju timur (Laut Cina Selatan menuju Laut Jawa) selama periode Musim Barat dan Peralihan I ini berlangsung. Pada Musim Timur terlihat hal yang sebaliknya dimana pola sebaran SLA pada Laut Jawa bagian barat lebih tinggi dibandingkan pada Laut Jawa bagian timur (Gambar 12e, 12f). Sedangkan, pada musim peralihan II, pola sebaran SLA masih mengikuti pola sebaran SLA pada musim timur dengan nilai yang relatif lebih rendah (Gambar 12g, 12h). Hal ini menunjukkan telah terjadi pergerakan massa air dari timur menuju barat selama periode musim timur dan musim peralihan II. Fenomena pada musim barat dan peralihan I berbanding terbalik dengan apa yang terjadi pada musim timur dan peralihan II. Hal ini dikarenakan adanya pergerakan Angin Muson Barat dan Angin Muson Timur di perairan Indonesia (Habibi et al. 2010; Atmadipoera dan Widyastuti 2014; Nababan et al. 2016).
24
Gambar 12 Sebaran spasial permukaan SLA on-board (kolom kiri) dan SLA retracking terbaik (kolom kanan) selama tahun 2012–2014 pada musim barat (a, b), musim peralihan I (c, d), musim timur (e, f), serta musim peralihan II (g, h)
4 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan analisis pola atau bentuk waveform, umumnya pola nonBrown-waveform ditemui di daerah pesisir, sedangkan pola Brown-waveform ditemui di perairan lepas pantai (offshore). Jumlah rata-rata waveform setiap lintasan satelit altimeter Jason-2 di Laut Jawa dengan jarak rata-rata sekitar 397,5
25
km adalah 1433,5 buah waveform dan dari jumlah ini ditemui pola non-Brownwaveform sebanyak rata-rata 5,6% (79,5 buah waveform) setiap lintasan. Pada setiap non-Brown-waveform dimana pre-given gate tidak bersinggungan dengan leading edge waveform maka ocean retracker akan menghasilkan nilai estimasi SSH sebagai NaN (tidak ada nilai), sedangkan setiap non-Brown-waveform dimana pre-given gate bersinggungan dengan leading edge waveform namun tidak tepat berada pada gate ke-32, maka ocean retracker akan menghasilkan nilai estimasi SSH yang kurang akurat (error). Hasil pengamatan satelit altimeter Jason-2 (lintasan 051, 064, 127, 140, 203, dan 216; cycle 129–239) selama 3 tahun (2012–2014) di Laut Jawa, hasil analisis retracking waveform berhasil meningkatkan kemampuan tingkat akurasi estimasi SSH rata-rata 29,7% (rata-rata sepanjang 3,7 km dari 12,6 km rata-rata panjang lintasan) di pesisir utara dan rata-rata 56,4% (rata-rata sepanjang 4,9 km dari 8,7 km rata-rata panjang lintasan) di pesisir selatan. Peningkatan perbaikan estimasi SSH lebih baik di daerah pesisir selatan dibandingkan di daerah pesisir utara disebabkan garis pantai di daerah pesisir selatan relatif lebih lurus dibandingkan di daerah pesisir utara yang lebih bergelombang. Berdasarkan perhitungan IMP dari semua cycle pada semua lintasan pengamatan maka didapatkan retracker Threshold 10% sebagai retracker yang paling baik performanya untuk diterapkan di Laut Jawa karena merupakan retracker yang paling konsisten dengan mendominasi pada tiga lintasan pengamatan, dengan persentase dominasi pada masing-masing lintasan sebesar 57,1% (051); 48,1% (064); dan 25,7% (127). Sementara itu, retracker OCOG menjadi retracker yang paling buruk untuk diterapkan dalam mengestimasi SSH di Laut Jawa karena dari setiap cycle-nya pada semua lintasan tidak ada satu pun yang memiliki nilai IMP tertinggi. Hasil perbandingan antara profil SSH on-board dengan SSH retracking menunjukkan bahwa analisis retracking waveform telah berhasil meningkatkan akurasi dari estimasi SSH on-board satelit altimeter Jason-2 dimana profil SSH retracking lebih halus dan lebih menyerupai profil geoid jika dibandingkan dengan profil SSH on-board. Pola SLA sebelum dan setelah retracking menunjukkan bahwa SLA retracking memiliki nilai rata-rata SLA yang lebih tinggi dibandingkan dengan SLA on-board dengan standar deviasi SLA retracking yang lebih kecil dibandingkan dengan SLA on-board. SLA retracking dan SLA on-board memiliki pola pergerakan masa air yang hampir sama setiap musimnya sebagai pengaruh dari adanya pergerakan angin muson. Saran Perlu dilakukan validasi data SLA hasil estimasi analisis retracking waveform dengan data pasut di daerah penelitian.
26
DAFTAR PUSTAKA Ablain M, Philips S, Picot N, Bronner E. 2010. Jason-2 global statistical assessment and cross-calibration with Jason-1. Marine Geodesy. 33(S1):162-185.doi: 10.1080/01490419.2010.487805. Adrian D. 2013. Waveform retracking Satelit Jason-2 pada pesisir selatan Jawa Tengah dan Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Andersen OB, Knudsen P. 2000. The role of satellite altimetry in gravity field modelling in coastal areas, Phys. Chem. Earth A. 25(1):17–24. Andersen OB, Scharroo R. 2011. Range and geophysical corrections in coastal regions: and implications for mean sea surface determination. Di dalam: Vignudelli S, Kostianoy A, Cipollini P, Benveniste J, editor. Coastal Altimetry. Berlin (DE): Springer. hlm 103-145. Anzenhofer M, Shum CK, Rentsh M. 1999. Coastal altimetry and applications. Geodetic Science and Surveying Report No. 464. Columbus (US): The Ohio State University. Atmadipoera AS, Widyastuti P. 2014. A numerical modeling study on upwelling mechanism in South of Makassar Strait. J. Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 6(2):355-371. Bamber JL. 1994. Ice sheet altimeter processing scheme. Int. J. Remote Sens. 15: 925-938. Bao L, Lu Y, Wang Y. 2008. Improved retracking algorithm for oceanic altimeter waveforms. Progress in Natural Science. 19(2009):195-203. Benveniste J. 2011. Radar altimetry: past, present and future. Di dalam: Vignudelli S, Kostianoy A, Cipollini P, Benveniste J, editor. Coastal Altimetry. Berlin (DE): Springer. hlm 1-17. Birkett C, Reynolds C, Beckley B, Doorn B. 2011. From research to operations: the USDA global reservoir and lake monitor. Di dalam: Vignudelli S, Kostianoy A, Cipollini P, Benveniste J, editor. Coastal Altimetry. Berlin (DE): Springer. hlm 19-50. Brown GS. 1977. The average impulse response of a rough surface and its applications. IEEE Trans. Antennas Propag. 25: 67-74. Chelton DB, Ries JC, Haines BJ, Fu L, Callahan P. 2001. Satellite altimetry. Di dalam: Fu, L. and A. Cazenave , editor. Satellite altimetry and earth sciences. A handbook of techniques and applications. International Geophysics Series Volume 69. Academic Press. San Diego (US): hlm 1132. Davis CH. 1995. Growth of the greenland ice sheet: a performance assessment of altimeter retracking algorithms. IEEE Transactions on Geoscience and Remote Sensing. 33(5): 1108-1116. Davis CH. 1997. A Robust Threshold Retracking Algorithm for Measuring Ice Sheet Surface Elevation Change from Satellite Radar Altimeters. IEEE Trans Geoscience and Remote Sensing. 35(4): 974-979. Deng X, Featherstone WE, Hwang C, Berry PAM. 2002. Estimation of contamination of ERS-2 and POSEIDON satellite radar altimetry close to the coasts of Australia. Marine Geodesy. 25(4): 249-271.
27
Deng X, Featherstone WE. 2006. A coastal retracking system for satellite radar altimeter waveforms: application to ERS-2 around Australia. Journal of Geophysical Research. 111.doi: 10.1029/2005JC 003039. Dumont JP, Rosmorduc V, Picot N, Bronner E, Desai S, Bonekamp H, Figa J, Lillibridge J, Scharroo R. 2011. OSTM/Jason-2 products handbook [Internet]. [diunduh 2014 Juli 20]. Tersedia pada: http://www.aviso.altimetry.fr/fileadmin/documents/data/tools/hdbk_j2.pdf. Fenoglio-Marc L, Fehlau M, Ferri L, Becker M, Gao Y,.Vignudelli S. 2010. Coastal sea surface heights from improved altimeter data in the Mediterranean Sea. Di dalam: Mertikas SP, editor. Gravity, Geoid and Earth Observation, International Association of Geodesy Symposia 135. Berlin (DE): Springer.doi: 10.1007/978-3-642-10634-7_33. Gommenginger C, Thibaut P, Fenoglio-Marc L, Quartly G, Deng X, Gomez-Enri J, Challenor P, Gao YG. 2011. Retracking altimeter waveforms near the coasts. Di dalam: Vignudelli S, Kostianoy A, Cipollini P, Benveniste J, editor. Coastal Altimetry. Berlin (DE): Springer. hlm 61-101. Guo JY, Gao YG, Hwang C, Sun JL. 2010. A multi-subwaveform parametric retracker of the radar satellite altimetric waveform and recovery of gravity anomalies over coastal oceans. Science China – Earth Sciences. 53:610616. Habibi A, Setiawan RY, Zuhdy AY. 2010. Wind-driven coastal upwelling along South of Sulawesi Island. Indonesian J. of Marine Science. 15(2):115-118. Hwang C, Guo JY, Deng X, Hsu HY, Liu YT. 2006. Coastal gravity anomalies from retracked Geosat/GM altimetry: improvement, limitation and the role of airbone gravity data. J. Geod. 80:204-216. Lambin J, Morrow R, Fu L, Willis JK, Bonekamp H, Lillibridge J, Perbos J, Zaouche G, Vaze P, Bannoura W, Parisot F, Thouvenot E, Coutin-Faye S, Lindstorm E, Minogno M. 2010. The OSTM/Jason-2 mission. Marine Geodesy. 33(S1):4-25.doi: 10.1080/01490419.2010.488982. Lee H, Shum CK, Emery W, Calmant S, Deng S, Kuo CY, Roesler C, Yi Y. 2010. Validation of Jason-2 altimeter data by waveform retracking over California coastal ocean. Marine Geodesy. 33(S1):304-316.doi: 10.1080/01490419.2010.488982. Nababan B, Hakim MR, Adrian D, Gaol JL. 2014. Identifikasi waveform data satelit altimeter pada perairan pesisir dan laut dalam di perairan selatan Jawa. J. Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 6(2):445-459. Nababan B, Hadianti S, Natih NMN. 2015. Dinamika anomali paras laut perairan Indonesia. J. Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 7(1):259-272. Nababan B, Rosyadi N, Manurung D, Natih NMN, Hakim MR. 2016. The seasonal variability of sea surface temperature and chlorophyll-a concentration in the south of Makassar Strait. Procedia Environmental Science, siap terbit. Quartly GD, Srokosz MA, McMillan AC. 2001. Analyzing altimeter artifacts: statistical properties of ocean waveforms. Journal of Atmospheric and Ocean Technology. 18: 2074-2091. Rosmorduc V, Benveniste J, Bronner E, Dinardo S, Lauret O, Maheu C, Milargo M, Picot N. 2011. Radar altimetry tutorial [Internet]. [diunduh 2014 Juli 20]. tersedia pada: http://www.altimetry.info.
28
Wijaya, BJ. 2015. Evaluasi ketelitian hasil retracking data waveform satelit altimeter (studi kasus: perairan Pulau Jawa) [skripsi]. Yogyakarta (ID): Universitas Gadjah Mada. Williams SJ. 2013. Sea-level rise implications for coastal regions. Journal of Coastal Research. 63(S1):184-196.doi:10.2112/SI63-015.1. Wingham DJ, Rapley CG, Griffiths H. 1986. New techniques in satellite tracking system. Prosiding Simposium IGARSS’ 86. Zurich. p 1339-1344. Yang L, Lin M, Bai Y, Pan D. 2008. Retracking Jason-1 altimeter waveform over China coastal sea. Di dalam: Valinia A, Hildebrand PH, Uratsuka S, editor. Microwave remote sensing of the atmosphere and environment VI. Proc. of SPIE vol. 7154; 2008 December 9; Noumea, New Caledonia. Noumea (NC): SPIE.doi: 10.1117/12.804835. Yang Y, Hwang C, Hsu HJ, Dongchen E, Wang H. 2012. A subwaveform threshold retracker for ERS-1 altimetry: a case study in the Antartic Ocean. Computers & Geosciences, 41:88-98.doi: 10.1016/j.cageo.2011.08.017.
29
LAMPIRAN
30
Lampiran 1 Bagian dari syntax analisis retracking waveform % Syntax ini merupakan syntax modifikasi yang dikembangkan oleh Muhammad Romdonul Hakim untuk keperluan pengerjaan tesis pada Program Studi Teknologi Kelautan, Sekolah Pascasarjana IPB % Syntax ini digunakan untuk melakukan analisis retracking waveform di Laut Jawa dengan menggunakan data SGDR-D Jason-2 % Syntax ini dibuat berdasarkan hasil diskusi dan kerjasama dengan Danu Adrian, peserta International Training and Workshop on Coastal Satellite Altimetry, the RESELECASEA Project yang diselenggarakan oleh Badan Informasi Geospasial (BIG) di Bogor pada tahun 2012 %% Menentukan data SGDR-D Jason-2 yang ingin diolah cprintf('K','*START*\n'); cprintf('*green','=============================================== ===================\n'); fprintf ... ('Define your directory nc files!\n'); fprintf('Please enter! "'); cprintf('error','enter'); cprintf('text','"!\n'); cprintf('*magenta','------------------------------------------------------------------\n'); pause nc_dir= uigetdir; cd(nc_dir); nc = uigetfile('*.nc','Choose your nc file!'); %% Membaca seluruh variabel yang ada di dalam data cycle = nc_file(:,13:15); lat = ncread(nc_file,'lat'); lon = ncread(nc_file,'lon'); lat_20hz = ncread(nc_file,'lat_20hz'); lat_20hz = reshape(lat_20hz,[],1); lon_20hz = ncread(nc_file,'lon_20hz'); lon_20hz = reshape(lon_20hz,[],1); waveforms_20hz_ku = ncread(nc_file,'waveforms_20hz_ku'); waveforms_20hz_ku = reshape(waveforms_20hz_ku,104,[]); time_20hz = ncread(nc_file,'time_20hz'); time_20hz = reshape(time_20hz,[],1); alt_20hz = ncread(nc_file,'alt_20hz'); alt_20hz = reshape(alt_20hz,[],1); range_20hz_ku = ncread(nc_file,'range_20hz_ku'); range_20hz_ku = reshape(range_20hz_ku,[],1); tracker_20hz_ku = ncread(nc_file,'tracker_20hz_ku'); tracker_20hz_ku = reshape(tracker_20hz_ku,[],1); epoch_20hz_ku = ncread(nc_file,'epoch_20hz_ku'); %MLE4 retracker epoch_20hz_ku = reshape(epoch_20hz_ku,[],1); ice_range_20hz_ku = ncread(nc_file,'ice_range_20hz_ku');%Ice retracker ice_range_20hz_ku = reshape(ice_range_20hz_ku,[],1);
31
doppler_corr_ku = ncread(nc_file,'doppler_corr_ku'); modeled_instr_corr_range_ku = ncread(nc_file,'modeled_instr_corr_range_ku'); model_dry_tropo_corr = ncread(nc_file,'model_dry_tropo_corr'); model_wet_tropo_corr = ncread(nc_file,'model_wet_tropo_corr'); inv_bar_corr = ncread(nc_file,'inv_bar_corr'); hf_fluctuations_corr = ncread(nc_file,'hf_fluctuations_corr'); solid_earth_tide = ncread(nc_file,'solid_earth_tide'); ocean_tide_sol1 = ncread(nc_file,'ocean_tide_sol1'); pole_tide = ncread(nc_file,'pole_tide'); sea_state_bias_ku = ncread(nc_file,'sea_state_bias_ku'); iono_corr_alt_ku = ncread(nc_file,'iono_corr_alt_ku'); rad_wet_tropo_corr = ncread(nc_file,'rad_wet_tropo_corr'); mss = ncread(nc_file,'mean_sea_surface'); mdt = ncread(nc_file,'mean_topography'); egm96 = ncread(nc_file,'geoid'); alt_echo_type = ncread(nc_file,'alt_echo_type'); %% Proses Retracking Data % Retracker OCOG, threshold, improved threshold for j = 1:length(egm08); lep_OCOG(j,1) = retracker_ocog(1:104,waveforms_20hz_ku_POI(:,j)); end for j = 1:length(egm08); lep_threshold10(j,1) = retracker_threshold(1:104,waveforms_20hz_ku_POI(:,j),0.1); lep_threshold20(j,1) = retracker_threshold(1:104,waveforms_20hz_ku_POI(:,j),0.2); lep_ice(j,1) = retracker_threshold(1:104,waveforms_20hz_ku_POI(:,j),0.3);% sama dengan threshold 30% hanya untuk dapat LEP lep_threshold50(j,1) = retracker_threshold(1:104,waveforms_20hz_ku_POI(:,j),0.5); end for j = 1:length(egm08); subwaveforms{j,1} = retracker_ithreshold(1:104,waveforms_20hz_ku_POI(:,j)); end for j = 1:length(subwaveforms); jumsub{j,1} = size(subwaveforms{j,1}); end for j = 1:length(subwaveforms); for k = 1:jumsub{j,1}; lep_ithreshold10{j,1}(k,1) = retracker_subwave(subwaveforms{j,1}{k,1},subwaveforms{j,1}{k,2},0.1); lep_ithreshold20{j,1}(k,1) = retracker_subwave(subwaveforms{j,1}{k,1},subwaveforms{j,1}{k,2},0.2); lep_ithreshold50{j,1}(k,1) = retracker_subwave(subwaveforms{j,1}{k,1},subwaveforms{j,1}{k,2},0.5); end
32
Lampiran 2 Contoh pengolahan data waveform ke-22 secara manual pada lintasan 051 cycle 202 dengan menggunakan metode OCOG retracker Gate
Power 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
Gate
0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 2 1 2 1 3 4 14 85 121 112
31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
Power Gate Power Gate Power 141 100 84 61 91 130 109 110 62 92 102 116 101 63 93 136 115 95 64 94 114 101 79 65 95 119 102 92 66 96 130 91 96 67 97 122 90 77 68 98 140 113 65 69 99 140 130 73 70 100 115 128 94 71 101 133 92 87 72 102 110 133 83 73 103 125 148 84 74 104 118 113 75 116 73 76 121 152 77 125 111 78 119 109 79 113 125 80 89 104 81 118 99 82 113 100 83 92 93 84 115 113 85 106 88 86 121 92 87 93 107 88 131 104 89 91 96 90
Perhitungan nilai amplitudo (A), lebar gate pengamatan (W), titik tengah gravitasi (COG), dan posisi titik tengah leading edge (LEP), sebagai berikut: ( ) ⁄∑
√∑ =√( ) = √( =√
( ) = 116,59 m
( ) (
) ⁄( ) ) ⁄(
( )
( )
)
33
(∑ = {( ) = *
( )) ⁄∑ ( ) +
( )
( ) } ⁄( ) ⁄ (
( )
( )⁄∑ ( ) ∑ =* ( ) ( ) ( ) +⁄ *( ) ( ) ( ) + )+⁄* = *( ( ) ( ) ( + =* = 60,55
( ) ) = 65,93
+
LEP = COG – W/2 = 60,55 – (65,93)/2 = 27,58 >>> posisi gate yang diduga sebagai titik tengah leading edge Perhitungan nilai Range terkoreksi, SSH retracking, dan SLA retracking adalah sebagai berikut: dr = c × ΔGa × (Gr - Go) / 2 , dimana LEP = Gr = 299792458 m/s × 3,125 ns × (27,58 - 32) / 2 = -2,07 m Rr = R + dr = 1339942,61 + (-2,07) = 1339940,54 m Rcorr = Rr - ΔRdry - ΔRwet - ΔRiono - ΔRssb - htides - hatm = 1339940,54 m - (-2,31 m) - (-0,28 m) - (-0,08 m) - (-0,01 m) - 0,24 m 0,01 m = 1339942,97 m SSHretracking = altitude - Rcorr = 1339962,11 m - 1339942,97 m = 19,14 m SLAretracking = SSHretracking - MSS = 19,14 m - 20,95 m = -1,81 m
34
Lampiran 3 Diagram alir metode improved threshold retracker (Hwang et al. 2006)
Dimulai pada gerbang ke-i, i adalah 5 gerbang pertama pada gelombang. Apakah (𝑃𝑖 𝑃𝑖 ) > 𝜀 ?
Maka, i = i+1 Tidak
Ya, flag 1 = i Bandingkan energi gelombang pada gate yang berurutan, dengan nilai k dimulai dengan 0. Apakah (𝑃𝑘 𝑃𝑘 ) > 𝜀 ?
Maka, k = k+1 Ya
Tidak, flag 2 = k dan k > 3 i = flag 1 – flag 2, k=0 Bentuk sebuah sub-waveform dari i - 4 hingga i + k + 4
Tentukan sebuah gerbang pelacakan dari sub-waveform yang terbentuk dengan menggunakan Persamaan (4) pada metode OCOG dan Persamaan (8-10) pada metode threshold retracker lalu pilihlah yang paling baik. Selesai.
35
Lampiran 4 Bentuk tiga dimenasi waveform, tampak samping dan tampak atas, pada lintasan pengamatan
Lintasan 051 cycle 145
Lintasan 127 cycle 196
Lintasan 140 cycle 183
36
Lintasan 203 cycle 214
Lintasan 216 cycle 239
37
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat pada tanggal 23 April 1988. Penulis adalah anak keempat dari empat bersaudara dari pasangan Achmad Tatang Zulkarnaen dan Siti Nurohmah. Tahun 2006 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Purwakarta dan diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis lulus program sarjana pada tahun 2011. Selama kuliah di IPB, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Oseanografi Umum (2008–2010). Penulis juga aktif pada organisasi kemahasiswaan sebagai pengurus Forum Keluarga Muslim Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB (2007–2008) dan pengurus Koran Kampus Biru (2008– 2009). Pelatihan yang pernah diikuti oleh penulis selama kuliah, diantaranya adalah sertifikasi One Star SCUBA Diver (2010) di bawah organisasi Persatuan Olahraga Selam Seluruh Indonesia (POSSI) dan Marine Science and Technology Training Course (2011) yang diselenggarakan oleh ITK-IPB bekerja sama dengan Deutscher Akademischer Austauschdients (DAAD). Penulis pernah bekerja sebagai Penyuluh Perikanan Tenaga Kontrak (PPTK) di Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau (2011–2012) dan di PT. Waindo SpecTerra (2012–2013). Pada tahun 2013, penulis melanjutkan pendidikan ke program magister pada Program Studi Teknologi Kelautan Sekolah Pascasarjana IPB melalui Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN) untuk calon dosen dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI). Penulis melaksanakan penelitian dengan judul “Analisis Retracking Waveform Satelit Jason-2 di Laut Jawa” untuk menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Kelautan Sekolah Pascasarjana IPB.