1N DINAMIKA TINGGI PARAS LAUT DAN POLA ARUS
GEOSTROFIK DARI DATA SATELIT ALTIMETRI DI PERAIRAN SELATAN JAWA
MARTHIN MATULESSY
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI THESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul “Dinamika Tinggi Paras Laut dan Pola Arus Geostrofik dari Data Satelit Altimetri di Perairan Selatan Jawa” adalah benar merupakan hasil karya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir Tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2014
Marthin Matulessy NRP. C552110071
RINGKASAN MARTHIN MATULESSY. C552110071. Dinamika Tinggi Paras Laut dan Pola Arus Geostropik dari Data Satelit Altimetri di Perairan Selatan Jawa. Dibimbing oleh JONSON LUMBAN GAOL, IBNU SOFIAN dan I WAYAN NURJAYA. Variabilitas TPL di Perairan Selatan Jawa ditandai dengan paras laut positif dan negatif yang terjadi secara bergantian dengan intensitas yang berbeda-beda selama tahun pengamatan. Tinggi Paras Laut negatif dan positif yang terjadi secara bergantian mengindikasikan bahwa di wilayah kajian terjadi intensitas penumpukan maupun penurunan massa air. rata-rata anomali TPL skala bulanan dengan nilai anomali berkisar antara -0.24 m sampai 0.32 m. Secara umum analisis secara spasial menunjukkan pada bulan Januari hingga Maret anomali TPL di wilayah pesisir lebih tinggi dibanding di laut lepas ke arah bagian selatan, begitupula yang terjadi pada bulan November sampai dengan Desember atau pada akhir Musim Peralihan II hingga berlangsungnya Musim Barat. Hal yang paling mempengaruhi perairan Selatan Jawa adalah keberadaan Samudera Hindia dimana terdapat beberapa sirkulasi arus yang bersifat global pada sekitar perairan tersebut adalah South Equatorial Current (SEC), arus ini arahnya cenderung selalu menuju ke barat. Suplai massa air SEC didominasi massa air dari perairan selatan yaitu Laut Timor dan perairan sebelah barat laut Australia. Rata-rata kecepatan arus selama tahun 2003 hingga 2012 berkisar antara 0.37 sampai 1.19 m/det. Pola arus geostropik secara umum bergerak dari Barat menuju perairan Barat Sumatera, Selatan Samudera Hindia hingga bagian Tenggara, hal tersebut diakibatkan adanya pengaruh gaya coriolis serta letak topografi daerah kajian.Faktor lain yang berperan dalam sirkulasi arus geostropik ialah aliran arus Indonesia Through Flow (ITF) selama musim timur memiliki intensitas kecepatan yang besar. Nilai ratarata bulanan SPL pada periode Januari 2003 sampai Desember 2012 di Selatan Jawa berkisar antara 27,2 ˚C sampai 28,5 ˚C. Secara umum nilai SPL tinggi umumnya ditemukan pada musim Timur dan nilai SPL minimum ditemukan pada musim Barat. Konsentrasi klorofil-a di perairan Selatan Jawa berfluktuatif dari musim kemusim, secara umum konsentrasi klorofil-a yang relatif tinggi di Selatan Jawa berdampak pada terpenuhinya kebutuhan esensial dari mata rantai ekosistem biota di daerah ini. Variabiltas konsentrasi klorofil-a di Perairan Selatan Jawa selama tahun 2003 hingga 2012 berkisar antara 0.01-0.3 mg/m3 dengan rata-rata 0.13 mg/m3. Penyebaran konsentrasi klorofil-a yang relatif tinggi sampai pada laut lepas pada Musim Timur ini diduga disebabkan oleh angin yang bergerak dari arah Tenggara menuju Barat Laut serta pengaruh pergerakan arus yang dipengaruhi gaya coriolis. Fenomena ENSO ini memiliki dua fenomena yang saling berlawanan fase. Fase panas disebut sebagai kondisi El Niňo dan fase dingin disebut sebagai kondisi La Niňa. El Nino memberikan keuntungan pada perairan Indonesia yang memiliki lautan yang sangat luas. El Nino menyebabkan terjadinya peningkatan upwelling di perairan Indonesia. Kata kunci: Suhu Permukaan Laut, klorofil-a, ENSO, Upwelling.
SUMMARY MARTHIN MATULESSY. C552110071. Dynamics of Sea Surface Height and geostrophic velocity from Data Satellite altimetry in the Southern Waters of Java. Supervised by Jonson Lumban Gaol, Ibnu Sofian and I Wayan Nurjaya. Variability in Aquatic Sea Level Anomaly South Java Sea is characterized by the looks of positive and negative alternately occur with varying intensity during the observation. Sea level anomaly negative and positive happens alternately indicates that in the case study area and the intensity of accumulation of water mass loss. average monthly anomaly sea level scale with anomalous values ranging from 0.24 m to 0.32 m. In general, spatial analysis shows in January to March in coastal areas TPL anomalies higher than in the open sea towards the south, nor which occurs in November to December or at the end of the season to the start of Season Transition II West. The most influence is the presence of Java's southern waters of the Indian Ocean where there are some that are global circulation currents in the waters around the South Equatorial Current is (SEC), this flow direction tends always toward the west. The SEC dominated the mass of water supply water masses of the southern waters of the Timor Sea and the waters northwest of Australia. Average flow velocity during 2003 to 2012 ranged from 0,37 to 1,19 m / sec. Geostrophic flow patterns generally move from west to waters of West Sumatra, South Indian Ocean to the East, it is due to the influence of the Coriolis force and the location of other kajian.Faktor topographical regions that play a role in current circulation is geostrophic current flow Indonesian Through Flow (ITF) east during the season have intensity greater speed. The average value of monthly SSTs in the period January 2003 to December 2012 in South Java ranged from 27.2 ° C to 28.5 ° C. In general, high sea surface temperature values are generally found on East monsoon and minimum SST values found in West season. The concentration of chlorophyll-a in South waters fluctuated from season kemusim Java, in general the concentration of chlorophyll-a is relatively high in the South Java impact on the fulfillment of the essential requirements of the chain of the ecosystem biota in this area. Variability of chlorophyll-a concentrations in the waters of the South Java during 2003 to 2012 ranged from 0.01-0.3 mg/m3 with an average of 0.13 mg/m3. The spread of chlorophyll-a concentrations were relatively high up on the high seas in the East this season thought to be caused by the wind moving from the southeast to the northwest and the effect of movement in the affected Coriolis force. The ENSO phenomenon has two opposing phenomena phases. Hot phase is referred to as El Nino conditions and the cold phase known as La Nina conditions. El Nino gave the advantage to the waters of Indonesia, which has a vast ocean. El Nino causes an increase in upwelling in Indonesian waters.
Keyword: Sea Surface Temperature, chlorophyl-a, ENSO, Upwelling.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
DINAMIKA TINGGI PARAS LAUT DAN POLA ARUS GEOSTROPIK DARI DATA SATELIT ALTIMETRI DI PERAIRAN SELATAN JAWA
MARTHIN MATULESSY
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister pada Program Studi Teknologi Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Nyoman M. N. Natih, M.Sc
Judul Tesis : Dinamika Tinggi Paras Laut dan Pola Arus Geostropik dari Data Satelit Altimetri di Perairan Selatan Jawa Nama
: Marthin Matulessy
NIM
: C552110071
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Jonson Lumban Gaol, M.Si Ketua
Dr Ibnu Sofian, M.Eng Anggota
Dr Ir I Wayan Nurjaya, M.Sc Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Teknologi Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Jonson Lumban Gaol, M.Si
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Baik di dalam Yesus Kristus hanya atas kasih dan karunia yang diberikan-Nya kepada penulis yang kurang ini, sehingga penyusunan thesis dengan judul “Dinamika Tinggi Paras Laut dan Pola Arus Geostropik dari Data Satelit Altimetri di Perairan Selatan Jawa” sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi magister di Program Studi Teknologi Kelautan akhirnya dapat terselesaikan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ketua Komisi Pembimbing Bapak Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si dan Anggota Komisi Pembimbing Bapak Dr. Ibnu Sofian, M.Eng dan Bapak Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc yang dengan kesabaran dan kebaikan hati membimbing sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan akhir ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Parluhutan Manurung dari Badan Informasi Geospasial beserta staf yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Ayah, Ibu, Istri tercinta Maria Adriana Noya, anak Geoffey Aldora Gavriella Matulessy dan Gabriel Matulessy (Alm) serta seluruh keluarga, dan teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan atas segala bantuan yang diberikan baik moril, doa dan kasih sayangnya. Adalah merupakan suatu harapan bahwa penelitian ini dapat menjadi salah satu inisiatif dalam rangka pengelolaan dinamika fisis perairan terlebih khusus pada bidang kelautan dan perikanan. Mengingat ketidaksempurnaan yang ada disana sini, penulis juga akan sangat berterima kasih apabila pembaca dapat memberikan masukan dan saran kepada penulis demi kesempurnaan penulisan tesis ini. Akhirnya penulis mengucapkan banyak terima kasih atas kerjasama dan dukungan berbagai pihak yang telah membantu dalam penyelesaian penyusunan tesis ini dengan harapan agar kerjasama tersebut dapat dilanjutkan diwaktu mendatang. Semoga penelitian ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014
Marthin Matulessy
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
1 1 2 2 2 2
2 TINJAUAN PUSTAKA Prinsip dasar Satelit Altimetri Kesalahan Pengukuran Satelit Altimetri Tinggi Paras Laut Mekanisme Arus Geostropik Arus Eddy Suhu Permukaan Laut (SPL) Konsentrasi klorofil-a Satelit Aqua MODIS 3 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Proses Akuisisi Data Pengolahan Data Analisis Data 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Variabilitas Tinggi Paras Laut di Perairan Selatan Jawa Pola Arus Geostropik di Selatan Jawa Distribusi Spasial dan Temporal Arus eddy di perairan Selatan Jawa Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Variabilitas Konsentrasi klorofil-a Hubungan arus eddy, SPL dan konsentrasi klorofil-a dengan fenomena upwelling dan downwelling Dampak ENSO terhadap Perikanan 5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
3 3 4 4 5 5 6 7 7 7 7 8 9 10 13 16 16 22 23 30 33
DAFTAR PUSTAKA
39
LAMPIRAN
41
34 36 38 38 39
DAFTAR TABEL 1
Pembagian Musim dalam satu Tahun
15
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25
Hubungan Geometrik Satelit Altimetri (Fu 2001) Skematik gerakan eddy dan akibatnya terhadap pergerakan vertikal massa air di bumi belahan selatan Lokasi Penelitian Alur pemrosesan Data TPL dan Arus Geostropik Alur pemrosesan Data SPL dan klorofil-a Penentuan ζ dan r yang digunakan untuk menentukan tekanan tepat dibawah permukaan laut Bidang muka laut terhadap geoid (Stewart 2008) Skema hubungan arus geostropik, arus eddy dan tinggi paras laut Rata-rata Anomali Tinggi Paras Laut Pola TPL Musim Barat (Desember, Januari, Februari) Pola TPL Musim Peralihan I (Maret, April, Mei) Pola TPL Musim Timur (Juni , Juli, Agustus) Pola TPL Musim Peralihan II (September, Oktober, November) Distribusi Arus eddy Musim Barat (Desember, Januari, Februari) Distribusi Arus eddy Musim Peralihan I (Maret, April, Mei) Distribusi Arus eddy Musim Timur (Juni, Juli Agustus) Distribusi Arus eddy Musim Peralihan II (September, Oktober, November) Grafik Rata-rata SPL per Tahun Grafik Rata-rata Bulanan SPL Grafik Rata-rata Bulanan TPL Sebaran Konsentrasi klorofil-a di Perairan Selatan Jawa Rata-rata konsentrasi bulanan klorofil-a Hubungan konsentrasi klorofil-a dangan SPL Data sebaran klorofil-a dan jumlah hasil tangkapan (Duta 2012 dalam Lutfiati 2013) Grafik hubungan jumlah tangkapan tuna dengan EKE (a) dan jumlah tangkapan tuna dengan suhu rata-rata vertikal (b) dari data klimatologis 112° BT (Lutfiati 2013)
3 6 8 11 12 14 15 16 17 18 19 20 21 24 26 28 29 30 31 32 33 34 35 36
37
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8
Tabel Rata-rata Bulanan Anomali Tinggi Paras Laut (m) Tabel Rata-rata Bulanan Kecepatan Arus Geostropik Tabel Rata-rata Bulanan Sebaran Suhu Permukaan Laut Tabel Rata-rata Bulanan Konsentrasi klorofil-a Konsentrasi klorofil-a Musim Barat Konsentrasi klorofil-a Musim Peralihan I Konsentrasi klorofil-a Musim Timur Konsentrasi klorofil-a Musim Peralihan II
42 42 43 43 44 45 46 47
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya terdiri dari daerah perairan. Luas perairan Indonesia diperkirakan mencapai 5.8 juta km2 dengan panjang garis pantai mencapai 81.000 km dan memiliki potensi keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi (Raditya 2013). Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang 70% wilayahnya adalah lautan yang berperan sangat penting bagi kehidupan bangsa Indonesia, perairan Indonesia memiliki karakter yang spesifik dan sangat dinamis, baik dilihat secara ruang maupun waktu. Keragaman tipe perairan Indonesia banyak disebabkan oleh proses fisis yang terjadi baik dalam skala regional maupun lokal (Hendiarti et al. 2006). Dinamika oseanografi merupakan salah satu pengetahuan mengenai mekanisme gerak air di laut, bukan hanya yang terjadi pada lapisan permukaan saja tetapi juga lapisan pertengahan, bahkan hingga ke dasar apabila ada proses pengadukan yang kuat (Pariwono 1989). Menurut Marpaung dan Prayogo (2014) sirkulasi atau dinamika pada air laut selalu terjadi secara kontinu, sirkulasi dapat terjadi dipermukaan maupun di kedalaman. Salah satu bentuk dari sirkulasi tersebut adalah arus laut. Arus laut adalah pergerakan massa air laut secara horizontal maupun vertikal dari satu lokasi ke lokasi lain untuk mencapai kesetimbangan dan terjadi secara kontinu. Arus merupakan gerakan yang sangat luas yang terjadi pada seluruh lautan di dunia. Arus permukaan dibangkitkan terutama oleh angin yang berhembus di permukaan laut, selain angin arus dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti pasang surut, gradien tekanan, ataupun gaya coriolis. Besarnya kontribusi masingmasing faktor terhadap kekuatan dan arah arus yang ditimbulkannya tergantung pada tipe perairan (pantai atau laut lepas) dan keadaan geografisnya (Heliani dan Anom, 2007). Pola pergerakan massa air mempengaruhi fluktuasi variabel oseanografi permukaan seperti Suhu Permukaan Laut dan klorofil-a (Hendiarti et al. 2006). Suhu Permukaan Laut (SPL) dan klorofil-a merupakan dua parameter oseanografi penting yang bermanfaat dalam meningkatkan sumberdaya perikanan. SPL dapat digunakan sebagai indikator pendugaan lokasi upwelling, downwelling, front yang terkait dengan wilayah potensial ikan tuna sedangkan klorofil-a permukaan merupakan indikator tingkat kesuburan dan produktivitas perairan (Kunarso 2011). Perkembangan teknologi satelit altimetri menjadi alternatif dalam memenuhi kebutuhan data-data oseanografi baik yang bersifat regional maupun global (Handoko 2004). Dijelaskan juga oleh Digby (1999), data yang dihasilkan oleh satelit altimetri setelah dianalisis akan menghasilkan gambaran tentang proses dinamika perairan yang terjadi serta faktor-faktor atau parameter yang dominan pengaruhnya dalam dinamika perairan. Teknologi satelit altimetri memungkinkan pemantauan Tinggi Paras Laut (TPL) dapat dilakukan secara terus menerus di seluruh perairan dunia.
Penelitian dengan pemanfaatan data altimetri telah dilakukan (Hwang et al. 2002), penelitian yang dilakukan untuk melihat tinggi rata-rata permukaan laut secara global dari data multi satelit yaitu ERS dan TOPEX/POSEIDON. Sementara Lagerloef dan Gunn (2001) melakukan pengukuran kecepatan arus geostrofik dari data TOPEX/POSEIDON. Untuk perairan Indonesia telah dilakukan beberapa penelitian dengan memanfaatkan misi data dari beberapa satelit altimeteri diantaranya Harini (2004) yang membuat model pola arus permukaan di Indonesia menggunakan data satelit altimetri Topex/Poseidon, metode yang digunakan untuk menghasilkan pola arus adalah menggunakan pendekatan keseimbangan geostropik, kemudian Handoko (2009) membuat model arus di perairan Indonesia menggunakan data satelit Jason-1. Metode yang digunakan adalah dengan membuat model arah pergerakan angin dan selanjutnya dilakukan analisa kesesuaian pergerakan angin dengan pola pergerakan arus menggunakan data satelit Jason-1 untuk pemodelan arus permukaan di wilayah perairan Indonesia. Kelemahan penelitian di perairan Indonesia diatas adalah penggunaan 1 (satu) data satelit yang memiliki jarak lintasan yang cukup jauh, sehingga dalam hal keakuratan data dan penggambaran fenomena yang terjadi di perairan Indonesia belum maksimal. Saat ini terdapat beberapa misi satelit altimetri yang digunakan dalam pemantauan dan observasi perairan laut diantaranya: Jason-2, Cryosat-2, Saral dan HY-2A (Hai Yang), juga beroperasi beberapa misi satelit altimetri sebelumnya yaitu Geosat, Topex/Poseidon, GFO (Geosat Follow On) dan Jason-1. Masing-masing satelit melakukan pengukuran dengan orbit dan referensi yang berbeda dan membentuk trak lintasan yang berbeda pula. Data-data satelit yang diperoleh dapat saling melengkapi untuk menghasilkan data dengan cakupan spasial dan temporal yang optimal.
Perumusan Masalah Perubahan TPL merupakan hasil dari beberapa proses yang saling mempengaruhi, perubahan terjadi dalam skala waktu dan ruang dari yang bersifat lokal sampai global. Pengukuran data langsung (insitu) sering terkendala dengan keberlanjutan data (time series) hal tersebut diakibatkan pelaksanaan observasi di perairan terutama di laut sangat mahal dan memakan waktu. Wilayah yang sangat luas dan perubahan cuaca yang cepat berubah, menjadi permasalahan tersendiri dalam pengambilan data langsung di laut. Selain sensor altimeter juga tersedia sensor ocean color dan thermal yang dapat dimanfaatkan untuk pemantauan konsentrasi klorofil-a dan Suhu Permukaan Laut (SPL). Ketersediaan data dari ketiga jenis sensor ini diharapkan akan menggambarkan proses oseanografi yang terjadi di laut seperti upwelling dan eddies.
Tujuan Penelitian 1. 2. 3.
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah : Menganalisa variasi anomali TPL dari data satelit Altimetri Menganalisa pola arus permukaan dari data satelit Altimetri serta melihat indikasi terbentuknya messoscale eddy secara spasial dan temporal. Menganalisa hubungan antara konsentrasi klorofil-a dan sebaran SPL untuk menduga terjadinya fenomena upwelling dan downwelling. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini akan memberikan informasi mengenai dinamika anomali TPL, pola arus permukaan serta arus eddy yang ditimbulkan di perairan Selatan Jawa baik secara spasial dan temporal yang bermanfaat untuk pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dibatasi pada daerah Selatan Pulau Jawa yang meliputi -7o -12 o LS dan 105 o – 115 o BT. Data yang digunakan adalah data Map of Sea Level Anomaly (MSLA) dan komponen arus permukaan (resultan u dan v) dari pengukuran Satelit Altimetri Tahun 2003 sampai dengan 2012. Data pendukung berupa konsentrasi klorofil-a dan Suhu Permukaan Laut diambil dari data citra aqua MODIS tahun 2003 hingga 2012.
2 TINJAUAN PUSTAKA Konsep Dasar Satelit Altimetri Konsep satelit altimetri didiskusikan pertama kali sebagai pemanfaatan teknik satelit untuk bidang keilmuan oceanografi denga instrumentasi berupa radar pada konsgres Williamstown tahun 1969 [http://www/aviso.oceanobs.com]. pada mulanya satelit altimetri didesain untuk mengukur muka laut dengan memakai teknik radar serta teknik penentuan posisi teliti. Sistim satelit altimetri mulai berkembang pada tahun 1973 dengan peluncuran satelit percobaan Skylab yang kemudian diikuti dengan peluncuran misi-misi satelit altimetri lainnya seperti Geosat, ERS-1, ERS-2, Topex/Poseidon (TP), GFO, Jason-1, ENVISAT dan lainnya. Stewart (1985) menyatakan bahwa satelit altimetri memiliki prinsip penggambaran bentuk paras laut dimana bentuk tersebut menyerupai bentuk dasar laut dengan pertimbangan gravitasi yang mempengaruhi paras laut dan hubungan antara gravitasi dan topografi dasar laut yang bervariasi sesuai dengan wilayah. Satelit altimetri adalah wahana untuk mengukur ketinggian suatu titik terhadap referensi tertentu. Satelit altimetri terdiri atas tiga komponen utama yaitu radar altimeter, radiometer dan sistem positionong. Radar altimeter berfungsi untuk mengukur jarak dari satelit ke permukaan target dengan memanfaatkan informasi waktu tempuh.
Radiometer berfungi untuk mengukur kondisi atmosfer, sedangkan positionong system berfungi untuk menentukan posisi satelit yang presisi pada bidang orbitnya. Dengan menggunakan kombinasi data ini, satelit altimetri mampu menghasilkan dengan ketelitian hingga beberapa centimeter (Mars et al. 1992). Hubungan geometrik satelit altimeteri dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Hubungan Geometrik Satelit Altimetri (Fu 2001)
Dijelaskan juga oleh Chelton et al. (2011) bahwa konsep dasar dari pengukuran satelit altimetri sebenarnya cukup sederhana, satelit altimetri mengirimkan pulsa microwave dengan frekuensi tertentu ke permukaan laut kemudian sinyalnya kembali ke satelit dengan waktu tempuh yang dihitung dengan akurat di wahana oleh OSU (onboard ultra-stable oscillator). Selain dilengkapi dengan pemancar pulsa radar (transmiter), penerima pulsa radar yang sensitif (receiver), serta jam berakurasi tinggi. Pada sistem ini, altimeter radar yang dibawa oleh satelit memancarkan pulsa-pulsa gelombang elektromagnetik (radar) kepermukaan laut. Pulsa-pulsa tersebut dipantulkan balik oleh permukaan laut dan diterima kembali oleh satelit, informasi utama yang ingin ditentukan dengan satelit altimetri adalah topografi dari muka laut (Hasanuddin 2006).
Manfaat Satelit Altimetri Satelit altimetri dengan berbagai jenisnya telah berkontribusi cukup banyak untuk informasi laut seperti penentuan tinggi muka laut global dan penentuan geoid. Namun selain itu masih banyak pemanfaatan satelit altimetri lainnya. Berikut adalah beberapa pemanfaatan satelit altimetri (Rosmurduc et al. 2011). a. b. c. d. e. f. g.
Mean Sea Surface Mapping Pembentukan model geoid Studi pergerakan lempeng tektonik Studi tsunami Estimasi batimetri Studi ice sheet dan sea ice Fisheries. Tinggi Paras Laut (TPL)
Tinggi paras laut adalah ketinggian dari permukaan laut yang dalam kesehariannya dipengaruhi oleh pasang surut, sedangkan dalam skala waktu yang lebih lama dipengaruhi oleh sirkulasi lautan. Perubahan musiman dari pemanasan, pendinginan dan kekuatan angin permukaan akan menyebabkan sirkulasi dan mempengaruhi tinggi paras laut (Stewart 2008). Perkembangan satelit altimetri sebagai suatu teknik penginderaan jauh selama kurun waktu beberapa tahun ini dapat memberikan informasi yang berharga dalam pengembangan penelitian tentang fenomena fisik laut. Satelit altimetri dapat digunakan untuk pengamatan mengenai perubahan arus permukaan secara global (Harini 2004). Nilai TPL yang rendah berasosiasi dengan daerah upwelling atau syclonic, sedangkan daerah dengan TPL tinggi umumnya berasosiasi dengan daerah downwelling atau antysiclonic (Brown et al. 1989). Arus Geostrofik Arus Geostrofik digambarkan sebagai arus gradien atau slope current yang merupakan arus laut yang disebabkan adanya kemiringan bidang isobar dengan bidang rata atau level surface (Pond dan Pickard 1983). Kemiringan tersebut terjadi akibat adanya penumpukan air pada daerah tertentu karena hembusan angin yang terus menerus. Penumpukan massa air menyebabkan adanya perbedaan tekanan pada permukaan laut, meskipun perbedaan tekanan yang terjadi nilainya kecil tapi karena sifat air yang selalu mencari keseimbangan, maka terjadilah pergerakan secara mendatar. Menurut (Brown et al. 1989) arus geostrofik terjadi akibat adanya keseimbangan antara gaya coriolis dengan gaya gradien tekanan horizontal yang bekerja pada massa air di kolom perairan. Gaya ini yang mengakibatkan adanya aliran gyre yang searah jarum jam pada belahan bumi utara dan berlawanan dengan arah jarum jam di belahan bumi Selatan. Perubahan arah arus dari pengaruh angin ke pengaruh gaya coriolis dikenal dengan spiral ekman.
Di wilayah ekuator, gaya coriolis menghilang dan tidak ada keseimbangan geostropik. Walaupun demikian, arus berkaitan dengan kelerengan (slope) paras laut, tetapi hubungan ini tidak semudah dengan hubungan geostropik (Stewart 1985). Dalam interior laut di mana pengaruh antara gaya gesekan dapat diabaikan, terdapat kesetimbangan antara gaya gradien tekanan dan gaya coriolis. Kesetimbangan gaya-gaya ini menimbulkan arus yang kecepatannya konstan dan disebut arus geostrofik. Agen penggerak dari gaya ini adalah gaya gradien tekanan dimana gaya tekanan horizontal menggerakkan arus dalam arah horizontal dan dalam gerakannya akan mengalami pengaruh gaya coriolis yang timbul akibat rotasi bumi (Borwn et al. 1989). Menurut (Stewart 2008) untuk penentuan besaran gaya gradien tekanan persatuan massa menyatakan bisa ditinjau dari kondisi suatu laut yang homogen dimana permukaannya tidak datar tetapi membentuk suatu slope tertentu, maka gradien tekanan antara A dan B adalah : Δ =− Δ
.
Δ =− Δ
. tan (1)
Persamaan tersebut dapat ditulis lagi : =−
. tan (2)
Gaya gradien tekanan persatuan massa adalah : 1
=−
. tan (3)
Gaya tekanan horizontal ini akan menggerakkan arus secara horizontal dari tempatjbertekanan tinggi ke tekanan rendah. Gerak horizontal dari arus ini terjadi karena komponen horizontal dari gaya gradient tekanan yang tidak diimbangi oleh gaya gravitasi. Gaya tekanan persatuan massa : ;
=
1
;
1 = (4)
Dengan n adalah arah normal, Maka komponen-komponen gayanya adalah : Komponen vertical : . cos i dan komponen horisontal : . sin i .Komponen vertical dari gaya tekanan diimbangi oleh gaya gravitasi yaitu : .
= (5)
Sementara komponen horizontalnya tidak diimbangi,oleh sebab itu komponen horizontal tersebut akan menggerakkan arus secara horizontal dari daerah B kedaerah A, dengan gerakan arus yang dipercepat. Untuk menghilangkan percepatan arus maka diperlukan gaya yang berlawanan arahnya dan besarnya adalah sama dengan gaya gradien tekanan horizontal tersebut. Gaya yang dapat mengimbangi gaya tekanan horizontal ini adalah gaya Coriolis. Komponen horizontalnya adalah dapat ditulis sebagai :
Sebelumnya telah diketahui bahwa : Maka komponen gaya tekanan horizontalnya menjadi g tan i. Gaya tekanan horizontal in harus sama dengan gaya Coriolis dimana gaya Coriolisnya adalah 2 Ω sin ΦV. Dimana : Ω Φ
: Kecepatan sudut rotasi bumi : Lintang geografis lokasi
Jadi persamaan arus geostropik adalah gaya coriolis = gaya tekanan horizontal : 2 Ω sin ΦV = g tan i
(7)
Gaya coriolis ini bertambah besar dengan bertambahnya kecepatan arus, dimana : Fc = 2 Ω sin ΦV
, Fc≈V
Pada suatu saat tertentu magnitudo gaya coriolis dapat mengimbangi tekanan horizontal dan akibatnya terbentuklah arus geostrofik yang bergerak dengan kecepatan konstan (steady). (Stewart 2008) menyatakan bahwa sebelum menentukan keseimbangan geostropik, kita asumsikan lebih dahulu untuk laut dengan keadaan diam atau stasioner sehingga : (8) atau (9) Persamaan geostrofik diturunkan dari persamaan gerak dengan mengasumsikan bahwa kecepatan horizontal adalah jauh lebih besar daripada kecepatan vertikal, w<< u, v dan gaya eksternalnya adalah gaya gravitasi dan gesekannya sangat kecil. Dengan demikian maka persamaannya menjadi : (10)
Dimana f = 2 Ω sin φ adalah parameter coriolis. Persamaan ini adalah persamaan geostropik. Persamaan ini dapat ditulis menjadi : (11)
(12) Dimana p 0 tekanan atmosfer pada z = 0 dan ζ adalah tinggi dari permukaan laut. Dengan permukaan laut dapat berada diatas atau dibawah permukaan z = 0 dan gradien tekanan pada permukaan laut diimbangi oleh arus permukaan us. Subtitusi persamaan (11) ke persamaan (12) sehingga menghasilkan :
(13)
Dengan cara yang serupa dapat diturunkan untuk kecepatan v :
(14)
Jika laut dikatakan homogen, gravitasi dan densitas adalah konstan, suku pertama di sebelah kanan adalah nol dan gradien tekanan horizontal dalam interior laut adalah sama dengan gradient pada permukaan (Barotropik). Jika laut terdiri atas lapisan-lapisan maka gradient tekanan horizontal mempunyai dua komponen yang merupakan gradient dari permukaan laut dan tambahan oleh perbedaan densitas horizontal (Baroklinik). Maka perhitungan geostrofik dari distribusi densitas memerlukan kecepatan (u0,v0) pada permukaan laut atau pada kedalaman tertentu.
Gambar 6. Penentuan ζ dan r yang Digunakan Untuk Menentukan Tekanan Tepat Dibawah Permukaan Laut (Stewart 2008)
Tekanan pada level permukaan : (15)
ρ dan g diasumsikan konstan di permukaan sampai kedalaman beberapa meter. Dengan memasukkan ke dalam persamaan diperoleh dua komponen arus geostrofik di permukaan us,vs. (16)
Dimana g adalah percepatan gravitasi, f adalah parameter coriolis, dan ζ adalah tinggi muka laut terhadap level permukaan.Topografi muka laut ζ didefinisikan sebagai tinggi permukaan laut relatif terhadap level permukaan (geoid) dan geoid didefinisikan bidang equipotensial yang berhimpit dengan ratarata permukaan laut bumi. Berdasarkan persamaan diatas komponen arus geostrofik permukaan berbanding lurus dengan gradien topografi yang nilainya dapat ditentukan dari hasil pengukuran satelit altimetri jika bidang geoid telah diketahui.
Gambar 7. Bidang Muka Laut Terhadap Geoid (Stewart 2008)
Topografi membangkitkan proses gerakan di laut seperti pasang surut, arus, dan perubahan tekanan barometrik yang menghasilkan efek barometer. Dikarenakan topografi laut dapat membangkitkan proses dinamika maka topografi laut juga dikenal dengan topografi dinamik.
Messoscale Eddies Penelitian mengenai eddies pertama kali dilakukan pada sekitar tahun 1930 oleh Iselin dengan mengidentifikasi eddy Gulf Stream dari data hidrografi, serta penelitian Stockman dari data time series hasil pengukuran langsung di Laut Kaspia. Kecepatan pusaran eddies yang dekat dengan arus utama cenderung sangat tinggi hingga mencapai 1 m/s, sedangkan kecepatan eddies yang jauh dari arus utama hanya 0,01 m/s. Terdapat dua tipe eddies, tipe pertama adalah yang terbentuk akibat interaksi aliran arus dengan topografi, dan yang kedua adalah akibat angin (Mann dan Lazier 2006). Aktifitas messoscale eddies mempunyai peranan yang penting terhadap fisika laut, biologi laut maupun dinamika atmosfer (Robinson 1985). Dijelaskan juga oleh Lutfiati (2013) Aktifitas mesoscale eddies yang kuat berperan peran penting terhadap peningkatan unsur hara, karena pada daerah tersebut terjadi pengangkataan massa air dingin dari lapisan dalam ke permukaan sehingga lapisan termoklin juga terangkat ke permukaan. Aktifitas mesoscale eddies dapat terbentuk di lautan mana saja tetapi memiliki distribusi dan aktivitas yang heterogen dengan skala spasial berkisar antara puluhan sampai ratusan kilometer dan skala temporal berkisar antara mingguan sampai bulanan. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan (Bell et al. 2011) bahwa eddies merupakan gerakan arus melingkar akibat adanya arus yang kuat, berlangsung lebih dari satu minggu hingga beberapa bulan, keadaan tersebut terjadi karena satu rotasi eddies dapat terjadi selama 10-30 hari. Gerakan eddies ada dua macam yaitu secara syclonic (searah jarum jam) maupun antisyclonic (berlawanan arah jarum jam), eddies yang bergerak searah jarum jam di bumi bagian selatan memiliki inti dingin dan ketinggian air di pusatnya lebih rendah, sebaliknya eddies yang berlawanan arah jarum jam memiliki inti hangat dan ketinggian permukaan air bagian pusat lebih tinggi daripada daerah sekitarnya, terlihat seperti pada Gambar 2.
Gambar 2. Skematik Gerakan Eddies dan Akibatnya Terhadap Pergerakan Vertikal Massa Air Di Bumi Bagian Selatan
Tingginya kandungan unsur hara menyebabkan terjadinya peningkatan klorofil-a di sekitar daerah tersebut. Di Selatan Jawa mesoscale eddies dibangkitkan oleh sirkulasi arus yang bergerak bolak balik ke timur-barat sesuai dengan monsun, Arus Lintas Indonesia (ARLINDO), dan Arus Equator Selatan (South Equatorial Current/SEC) sehingga terjadi ketidaksetimbangan baroklinik maupun barotropik dan juga disebabkan oleh perbedaan densitas massa air karena adanya perbedaan gradien tekanan akibat gaya Coriolis (Jia et al. 2010). Perbedaan gaya gradien tekanan menyebabkan terjadinya pergerakan massa air dari tekanan tinggi ke tekanan rendah sehingga terbentuk pusaran air. Klorofil-a Klorofil-a adalah salah satu tipe klorofil yang paling umum terdapat pada tumbuhan. Dalam invertarisasi dan pemetaan sumberdaya alam dan pesisir laut, klorofil-a digunakan untuk mengetahui keberadaan fitoplankton dalam air. fitoplankton adalah suatu pigmen aktif dalam sel tumbuhan yang mempunyai peran penting di dalam berlangsungnya proses fotosintesis di perairan (Prezelin 1981). Fitoplakton berukuran sangat kecil dan hidupnya terapung atau melayang-layang dalam kolom perairan, sehingga pergerakannya dipengaruhi oleh pergerakan air laut (Odum 1971). Sebaran dan tinggi rendahnya konsentrasi klorofil sangat terkait dengan kondisi oseanografi suatu perairan (Mann dan Lazier 1991). Selain sebagai salah satu parameter indikator tingkat kesuburan dari suatu perairan, sebaran klorofil-a di laut bervariasi menurut letak geografis maupun kedalaman perairan. Variasi ini disebabkan oleh perbedaan intensitas cahaya matahari dan konsentrasi nutrien yang terkandung di dalam perairan. Tinggi rendahnya kandungan klorofil-a di laut sangat dipengaruhi oleh faktor hidrologi perairan seperti suhu, salinitas, nitrat dan fosfat. Sebaran konsentrasi klorofil-a lebih tinggi pada perairan pantai dan pesisir, serta konsentrasi klorofil-a rendah diperairan lepas pantai, namun pada daerah-daerah tertentu di perairan lepas pantai dijumpai konsentrasi klorofil-a dalam jumlah yang cukup tinggi. Suhu Permukaan Laut (SPL) Suhu permukaan laut (SPL) merupakan salah satu parameter oseanografi yang mencirikan massa air di lautan dan berhubungan dengan keadaan lapisan air laut yang terdapat di bawahnya, sehingga dapat digunakan dalam menganalisis fenomena-fenomena yang terjadi di lautan seperti fenomena arus, upwelling, front (pertemuan dua massa air yang berbeda), dan aktifitas biologi di laut (Robinson 1985). Pembagian SPL secara horizontal menurut Hutabarat dan Evans (1985) akan sangat tergantung pada letak lintangnya. Semakin tinggi letak lintangnya, maka nilai SPL nya akan semakin rendah, karena daerah ekuator menerima lebih banyak radiasi matahari dari daerah lintang tinggi. Perubahan suhu musiman pada suatu perairan, selain disebabkan oleh panas matahari yang menyinari permukaan laut juga dipengaruhi oleh faktor arus permukaan, keadaan awan, pertukaran massa air secara horizontal dan vertikal maupun adanya upwelling.
3 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Daerah penelitian adalah perairan Selatan Pulau Jawa dengan daerah kajian berada diantara 7 o - 12 o LS dan 105 o - 115 o BT, lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 3. Pelaksanaan penelitian dimulai pada Bulan Maret sampai dengan Juli 2013. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Sistim Informasi Geografis Kelautan Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Bogor serta Badan Informasi dan Geospasial Cibinong Bogor.
Gambar 3. Lokasi Penelitian Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa data-data selama kurun waktu 10 tahun dari tahun 2003-2012, dapat dilihat pada Tabel 1. No 1. 2.
3.
Data
Sumber Data
Anomali TPL Arus Geostropik
Satelit Altimetri http://avisoextract:
[email protected] Satelit Altimetri http://avisoextract:
[email protected] Satelit MODIS-Aqua (http://las.pfeg.noaa.gov/oceanWatch/oceanwatch.php) Satelit MODIS-Aqua (http://las.pfeg.noaa.gov/oceanWatch/oceanwatch.php) NOAA-Climate Prediction Center (www.cpc.noaa.gov/data/indices/) http://www.jamstec.go.jp
Klorofil-a
5.
Suhu Permukaan Laut Indeks Nino 3.4
6.
DMI
4.
Alat Peralatan yang digunakan dalam proses pengolahan data antara lain komputer sistem Windows dan Linux yang dilengkapi dengan perangkat lunak Ferret 6.72 for linux, Integrated Data Viewer (IDV) versi 4.0, Ocean Data View (ODV) versi 4.5, ArcGis 10, nc Browse dan Microsoft Office 2010. Proses Akuisisi Data Data Satelit Altimetri Archiving, Validation and Interpretation of Satellite Oceanographic Data (AVISO) merupakan sistem pengumpulan data oseanografi dari beberapa tipe data satelit dan salah satu kumpulan data yang disediakan oleh AVISO ini adalah sistim Data Unification and Altimeter Combination System (DUACS). Data tersebut merupakan data hasil olahan beberapa satelit altimetri diantaranya Cyosat-2, OSTM/Jason-2, Jason-2, Topex/Poseidon, Envisat, GFO, ERS-1, ERS-2 dan Geosat (CNES 2012). Data ini diproses melalui beberapa rangkaian yang dapat dibagi kedalam tujuh tahap utama seperti akuisisi, homogenasi, kontrol kualitas data, kalibrasi silang dan generasi produk, semua proses ini dilakukan oleh AVISO. Setelah produk tersebut selesai dihasilkan, ditampilkan dalam format Network Common data Form (NetCDF) yang disajikan di : http//ftp.aviso.oceanobs.com yang dapat di download secara gratis setelah melakukan registrasi online. Dalam penelitian ini data diunduh dari (http://atoll-motu.aviso.oceanobs.com/?action=listcatalog&service=AvisoDT dan (http://avisoextract:
[email protected]). Data Satelit Aqua MODIS Citra satelit Aqua MODIS dengan resolusi 4 km x 4 km yang merupakan composite mingguan selama 10 tahun (2003-2012), dimana deskripsi dari data parameter Suhu Permukaan Laut (SPL) dan konsentrasi klorofil-a secara horisontal di permukaan laut. Data suhu dan klorofil-a permukaan laut citra MODIS merupakan data Level-3 dalam bentuk Hirarchical Data Format (HDF), data yang diambil telah terkoreksi geometrik dan radiometrik serta sudah memiliki nilai SPL dan klorofil-a. Pengolahan dan Analisa Data Penelitian ini dibagi dalam beberapa tahapan, secara umum dimulai dengan penentuan lokasi, mengunduh data hingga proses pengolahan dan anlisis data yang menghasilkan anomali TPL, pola arus permukaan, distribusi SPL serta konsentrasi klorofil-a. Diagram alir proses pengolahan data ditampilkan pada Gambar 4 dan 5. Untuk mengetahui karakteristik secara spasial di wilayah kajian, dilakukan simulasi model dengan bantuan software Integrated Data Viewer (IDV) dimana dapat dilihat pola anomali TPL, pergerakkan arus serta aktifitas mesoscale eddies, kemudian analisis secara temporal dilakukan analisis berdasarkan deret waktu untuk daerah kajian.
Mulai
Pemilihan waktu dan Penentuan Lokasi
Data Satelit Altimetri : (http://atoll-motu.aviso.oceanobs.com/?action=listcatalog&service=AvisoDT
dan (http:// avisoextract:
[email protected])
Data Map Of Sea Level Anomaly (MSLA H) Data Map Of Sea Level Anomaly u,v
Visualisasi TPL per Bulan dan Plot TPL tahunan
Visualisasi Pola Arus per Bulan
Ekstrak Data TPL (height)
Ekstrak Data u, v
Perhitungan Rata-rata TPL
Perhitungan rata-rata Arus
Overlay TPL dan Arus
Analisa Spasial dan Temporal Arus Eddy
Selesai
Gambar 4. Alur Pemrosesan Data anomali TPL dan Arus Geostropik
Mulai
Pemilihan waktu dan Penentuan Lokasi
Unduh data MODIS (SPL & Klorofil) pada situs NASA (www.oceancolor.gsfc.nasa.gov)
Pengolahan data Ferret 6.72 menggunakan Linux Ubuntu 14.01
Tampilan gambar sebaran spasial (SPL dan klorofil-a)
Sortir data / kontrol data menggunakan Microsoft Excel
Rata-rata Bulanan SPL dan klorofil-a
Tampilan grafik Rata-rata time series (SPL dan klorofil-a)
Selesai
Gambar 5. Alur Pemrosesan Data SPL dan Klorofil-a
Distribusi Spasial dan Temporal Eddies Hasil visualisasi model arus geostropik dan anomali TPL yang diperoleh, diidentifikasi keberadaan mesoscale eddies dengan melihat apakah terdapat pola melingkar pada vector plot. Jika terlihat adanya arus melingkar dengan syarat membentuk pola arus yang terpisah dari arus utamanya, maka dapat disimpulkan bahwa arus melingkar tersebut adalah eddies. Arah putaran dianalisis apakah searah jarum jam (syclonic) atau berlawanan arah jarum jam (antisyclonic). Distribusi temporal eddies dianalisis dengan melihat pada bulan apa saja terbentuk mesoscale eddies dan dianalisis perbedaan per musim. Pembagian musim dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Pembagian Musim dalam satu Tahun No 1. 2. 3. 4.
Musim Musim Barat Musim Peralihan I Musim Timur Musim Peralihan II
Bulan Desember – Januari – Februari Maret – April – Mei Juni – Juli – Agustus September – Oktober - November
Hubungan Mesoscale Eddies, Konsentrasi Klorofil-a, SPL dan anomali TPL Analisis selanjutnya adalah untuk melihat hubungan eddies, Klorofil-a, SPL dan TPL sebagai indikator fenomena upwelling atau downwelling. Anomali TPL tiap bulan pada daerah terbentuknya eddies dibandingkan dengan daerah sekitarnya, kemudian pada saat terbentuknya eddies dan tidak terbentuk, dianalisis juga hubungan arah putaran dengan anomali TPL. Data pendukung dari SPL dan klorofil-a dari Citra Satelit Aqua MODIS digunakan untuk memperjelas teori secara skematik dan memperkuat analisis data seperti ditunjukkan pada Gambar 8. Pola Arus Geostropik
Pola Melingkar
Tidak
Tidak terdapat Eddies
Ya Terdapat Eddies
Distribusi Spasial mesoscale eddies
Distribusi Temporal mesoscale eddies
Anomali TPL
Indikator terjadinya Upwelling
Gambar 8. Skema Hubungan Arus Geostropik, Eddies dan anomali TPL
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Variabilitas Tinggi Paras Laut di Perairan Selatan Jawa Perairan Selatan Jawa merupakan perairan yang memiliki potensi perikanan yang tinggi serta menarik untuk dikaji. Selain itu perairan ini juga dipengaruhi oleh beberapa fenomena oseanografi seperti El Nino Southern Oscilation (ENSO), IOD (Indian Oscillation Dipole Mode), Sistem arus permukaan laut, Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) dan pola pergerakan angin muson. Rata-rata anomali TPL selama tahun 2003 hingga 2012 terlihat pada Gambar 9 dan Lampiran 1. Anomali TPL di Perairan Selatan Jawa ditandai dengan paras laut positif dan negatif yang terjadi secara bergantian dengan intensitas yang berbeda-beda selama tahun pengamatan. Terjadinya anomali TPL negatif dan positif secara bergantian mengindikasikan bahwa di wilayah kajian terjadi intensitas penaikan maupun penurunan massa air, dimana hal tersebut merupakan besarnya penyimpangan yang terjadi terhadap kondisi rata-rata tinggi muka laut. Rata-rata anomali TPL bulanan selama tahun pengamatan berkisar antara -0.24 m sampai 0.32 m
Waktu
Gambar 9. Rata-rata anomali Tinggi Paras Laut Pola sebaran anomali TPL sepanjang tahun pengamatan dari bulan Desember-Mei merata, kemudian dari bulan Juni-November pola sebarannya berubah dimana pada Musim Barat anomali TPL mencapai maksimum dan pada Musim Timur minimum. Hal ini disebabkan karena perairan Selatan Jawa dipengaruhi oleh sistem pola angin muson yang memiliki pola sirkulasi massa air yang berbeda dan bervariasi antara musim serta dipengaruhi adanya fenomena ENSO. Wyrtki (1961) menjelaskan bahwa sirkulasi massa air perairan Indonesia berbeda antara Musim Barat dan Musim Timur. Massa air pada saat Musim Barat umumnya mengalir ke arah Timur perairan Indonesia, dan sebaliknya ketika Musim Timur berkembang dengan sempurna suplai massa air yang berasal dari daerah upwelling di Laut Arafura dan Laut Banda akan mengalir menuju perairan lndonesia bagian Barat.
Terjadinya kenaikan maupun penurunan anomali TPL secara signifikan mengindikasikan bahwa anomali TPL dipengaruhi adanya fenomena ENSO yang berdampak juga di perairan Selatan Jawa. Fenomena ENSO memiliki dua fenomena yang saling berlawanan fase. Fase panas disebut sebagai kondisi El Nino dan fase dingin disebut sebagai kondisi La Nina. ENSO atau El Nino Southern Oscillation merupakan kondisi abnormal iklim dimana suhu permukaan Samudra Pasifik di pantai Barat Ekuador dan Peru lebih tinggi dari rata-rata normalnya. Hal ini juga diperkuat pernyataan Susanto dan Gordon (2005) yang menjelaskan bahwa ENSO yang terjadi di Pasifik Ekuator Bagian Tengah dan Timur akan mempengaruhi kondisi perairan Indonesia. Pengaruh tersebut ditandai dengan terjadinya peningkatan durasi dan intensitas upwelling serta menaikkan lapisan termoklin sehingga menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun normal. Siklus tahunan anomali TPL pada Gambar 10 menunjukkan bahwa grafik anomali TPL mulai meningkat dari bulan Januari, Februari dan mencapai puncak maksimum pada bulan Mei. Kemudian mulai menurun dari bulan Juni-Agustus dengan titik terendah terjadi pada bulan September, selanjutnya mulai meningkat sampai pada bulan Desember. Sehingga dapat ketahui bahwa pada Musim Barat terjadi penumpukan massa air dan pada Musim Timur terjadi pengurangan massa air. 0.15
TPL (m)
0.1 0.05 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
-0.05 -0.1 Bulan
Gambar 10. Grafik Rata-rata Bulanan anomali TPL 2003-2012 Hasil analisis secara temporal dari data anomali TPL menunjukkan pada bulan Januari hingga Maret atau saat berlangsungnya Musim Barat hingga memasuki awal Musim Peralihan I, anomali TPL di wilayah pesisir lebih tinggi dibanding di laut lepas yang mengarah ke Bagian Selatan, hal serupa juga terjadi pada bulan November sampai dengan Desember atau pada akhir Musim Peralihan II hingga berlangsungnya Musim Barat. Sedangkan saat berlangsungnya Musim Timur, umumnya anomali TPL di wilayah pesisir terlihat lebih rendah jika dibandingkan pada wilayah perairan yang jauh dari daratan atau laut lepas.
Hasil penelitian tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian Marpaung dan Harsanugraha (2014) dimana menunjukkan pada Bulan Januari, Februari, Maret, November dan Desember diperairan Selatan Anomali di wilayah pantai lebih tinggi dibanding di laut lepas ke arah Selatan. Pada bulan Juni sampai Oktober tampak anomali diwilayah pantai lebih rendah dibandingkan wilayah perairan yang jauh dari daratan. Pola anomali TPL selama tahun pengamatan dapat dilihat pada Gambar 11 dan 12. Pada awal Musim Barat yaitu sekitar bulan Desember distribusi anomali TPL ditandai dominannya paras laut positif dimana penumpukan massa air terlihat sepanjang pesisir Selatan Jawa yang dimulai dari 7.5 o LS hingga 9.5 o LS. Memasuki bulan Januari hingga Februari atau saat berlangsungnya Musim Barat intensitas paras laut positif sudah mengarah lebih ke Selatan Samudera Hindia atau pada daerah lintang tinggi yang berkisar antara 9.5o LS hingga 12 o LS. Hasil analisis diperkuat oleh hasil penelitian Naulita (1998), dimana selama bulan November hingga Maret (Musim Barat), arus ekuator di Samudra Hindia mengalir kuat dan menyumbangkan massa air ke Barat Daya Sumatera dan Selatan Jawa-Sumbawa yang merupakan wilayah aliran keluar Arus Lintas Indonesia (ARLINDO), sehingga meningkatkan tinggi permukaan air laut, sehingga menyebabkan gradien tekanan dari Samudra Pasifik ke Samudra Hindia menjadi lebih kecil dan aliran transport ARLINDO menjadi minimum.
Gambar 11. Anomali TPL Rataan Bulanan Januari-Juni 2003 - 2012
Memasuki Musim Peralihan I yang dimulai pada bulan Maret hingga Mei menunjukan bahwa anomali TPL positif terjadi sepanjang pantai perairan Selatan Jawa selama bulan Maret pada 8.5°– 10.5° LS, anomali TPL positif yang terjadi diakibatkan masih adanya pengaruh dari peralihan Musim Barat ke Musim Peralihan I. Memasuki bulan April hingga Mei, anomali TPL negatif terjadi di laut lepas pada 9°–12° LS dan pada daerah pantai mengalami anomali TPL positif. Umumnya pada Musim Peralihan I anomali TPL terendah terjadi pada 11.5°–12° LS sedangkan anomali TPL tertinggi berada di 9.5°-10° LS. Anomali TPL memasuki Musim Timur, terendah berada di 11°–12° LS dan anomali TPL tertinggi berada di 11.5°-12° LS. Terlihat pula pada saat berlangsungnya Musim Timur, TPL negatif berada disekitar pesisir Selatan Jawa dan berada di lintang rendah yang menyebabkan terjadinya perbedaan gradien tekanan, daerah tekanan tinggi ditandai dengan tingginya topografi, sedangkan daerah bertekanan rendah ditandai dengan topografi rendah. Pola anomali TPL saat berlangsungnya Musim Timur (Juni-Agustus) dapat dilihat pada Gambar 12. Selama Musim Timur pola perubahan anomali TPL di perairan Selatan Jawa dari positif ke negatif atau sebaliknya efektif terjadi di daerah lebih besar dari 108 o BT. Pada Musim Peralihan II (September-November) di sebelah Selatan Jawa Timur memiliki anomali TPL yang lebih rendah dengan daerah pada lintang rendah yang memiliki topografi lebih tinggi. Sepanjang berlangsungnya Musim Timur hingga memasuki Musim Peralihan II, anomali TPL negatif hampir mendominasi perairan Selatan Jawa yang berada sekitar 11°–12° LS. Hasil penelitian ini tidak berbeda jauh dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, dimana Tomczak dan Godfrey (1994) dalam Naulita (1998) menyebutkan bahwa selama bulan Mei hingga September (Musim Timur), arus di Samudra Hindia digantikan oleh arus ekuator Selatan yang menyebar ke arah Utara sehingga mendorong massa air menjauh dari Samudra Hindia bagian Timur. Rendahnya permukaan air laut di wilayah tersebut dibandingkan Samudra Pasifik menghasilkan aliran transpor ARLINDO yang maksimum. Tingginya aliran tersebut disebabkan pada Musim Timur gerakan angin pasat tenggara di Pasifik Selatan menyebabkan topografi Samudra Hindia lebih rendah dibanding Samudra Pasifik Barat. Perbedaan tekanan tersebut mengakibatkan aliran arus yang mengalir ke Samudra Hindia cukup besar (Gordon, 2005). Besarnya aliran ARLINDO dan arus musiman berperan penting terhadap topografi muka laut hal ini terlihat karena bulan Desember – Januari – Februari – Maret – April topografi rendah terlihat hanya sampai lintang 9 o LS, sedangan pada bulan Mei – Juni –Juli – Agustus – Agustus topografi rendah terlihat lebih luas sampai lintang 10o – 13 o LS (Lutfiati 2014). Hal ini juga dipengaruhi oleh sistem monsun. Menurut Bima et al. (2014), sistem monsun di perairan bagian Selatan Pulau Jawa dicirikan dengan pembalikan arah angin secara musiman yang menyebabkan pola pergerakkan massa air yang berbeda. Hal lain yang diduga berpengaruh adalah posisi geografis, dimana perairan Selatan Jawa terdapat di laut terbuka dengan pengaruh sirkulasi dari Samudera Hindia.
Gambar 12. Anomali TPL Rataan Bulanan Juli-Desember 2003 - 2012
Pola Arus Permukaan di Selatan Jawa Hasil visualisasi arus geostropik dari data altimetri selama tahun 2003 hingga 2012 menunjukkan bahwa rata-rata kecepatan arus berkisar antara 0.37 sampai 1.19 m/det (Lampiran 2). Arus geostropik bergerak dari slope tinggi (H) ke slope lebih rendah (L) dan dibelokkan ke kiri karena daerah kajian berada di Belahan Bumi Selatan, berlawanan jarum jam, sehingga secara umum arus geostropik bergerak dari Timur menuju perairan Barat Sumatera, Selatan Jawa hingga bagian Tenggara Samudera Hindia. Pola arus geostropik yang terjadi di Perairan Selatan Jawa diakibatkan adanya pengaruh gaya coriolis serta letak topografi daerah kajian. Selain kedua hal tersebut dijelaskan oleh Wyrtki (1961) bahwa keberadaan Monsum juga menyebabkan suatu sirkulasi musiman yang khas dari arus permukaan di perairan Selatan Jawa yang masih terletak dengan pantai, dimana pada Musim Barat pola arus bergerak dari Barat ke Timur sedangkan saat Musim Timur cenderung bergerak dari Timur menuju Barat.
Faktor lain yang berperan dalam sirkulasi arus geostropik menurut Gordon (2005) dan Susanto (2012) ialah aliran ARLINDO. ARLINDO memiliki keragaman yang tinggi baik secara musiman maupun tahunan. Keragaman musiman berkaitan dengan adanya pergantian arah angin di Indonesia. Pada bulan Desember– Februari atau berlangsungnya Musim Barat arah arus tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan setiap bulan. Sepanjang Musim Barat aliran cenderung mengalir ke arah Tenggara dan Selatan sebagaimana terlihat pada Gambar 13. Kecepatan rata-rata arus pada musim ini sebesar 0.71 m/s.
Gambar 13. Pola Arus Permukaan Rataan Bulanan Januari-Juni 2003 - 2012 Pada bulan Maret – Mei yang merupakan Musim Peralihan I menuju Musim Timur, pola arus masih belum mengalami perubahan yang signifikan. Kecepatan rata-rata pada Musim Peralihan I sebesar 0.76 m/s dan pergerakkan arah arus terjadi ke arah Barat Daya dan Selatan Samudera Hindia.
Selanjutnya pada bulan Juni – Agustus yang merupakan puncak Musim Timur kecepatan arus rata-rata sebesar 0.70 m/s. Menurut Gordon dan Susanto (2003), laju transpor tertinggi ditemukan pada saat Muson Tenggara, yaitu selama bulan Juni sampai Agustus. Pada musim ini ARLINDO memiliki intensitas kecepatan yang besar, aliran tersebut mengalir dari Selat Lombok menuju Samudra Hindia dan bergerak mengalir ke Barat Daya, secara bersamaan terdapat Arus Selatan Ekuator atau South Equatorial Current (SEC) dan Arus Selatan Jawa (South Java Current atau SJC). SEC selalu bergerak ke Barat dan berada jauh di sebelah Selatan pulau Jawa-Nusa Tenggara sedangkan pola arus SJC bergerak sepanjang Pantai Selatan Jawa. Memasuki Musim Peralihan II yaitu bulan September – November arah arus mulai bergerak cenderung ke arah Barat Laut dan Utara dengan kecepatan rata-rata sebesar 0.68 m/s.
Gambar 13. Pola Arus Permukaan Rataan Bulanan Juli-Desember 2003 – 2012
Distribusi Spasial Mesoscale Eddies di Perairan Selatan Jawa Hasil visualisasi dengan menggunakan program Integrated Data Viewer (IDV) dari data arus geostropik selama tahun 2003 hingga 2012 dan TPL dalam skala bulanan, diketahui bahwa selama tahun pengamatan terbentuk mesoscale eddies di perairan Selatan Jawa. Eddies yang terbentuk di perairan tersebut dapat mencapai 3 kejadian per bulannya, dimana secara spasial terjadi di perairan Selatan Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Rata-rata kejadian Eddies di perairan Selatan Jawa dapat berlangsung selama satu hingga beberapa bulan selain itu Eddies yang terbentuk memiliki diameter yang tetap atau bertambah walaupun pergerakannya berpindah. Eddies sendiri terbentuk karena ketidakseimbangan massa air laut akibat pengaruh adanya transport Ekman dan gaya coriolis sehingga terjadi perbedaan gaya gradien tekanan secara horisontal. Pada perairan Selatan Jawa gaya coriolis menyebabkan putaran cyclonic eddies searah jarum jam disebut cold eddies dan warm eddies berputar berlawanan arah jarum jam (anticyclonic eddies). Putaran cyclonic memiliki inti dingin dan ketinggian permukaan air bagian pusat lebih rendah daripada sekitarnya sedangkan putaran antycyclonic memiliki inti hangat dan ketinggian permukaan air bagian pusat lebih tinggi daripada sekitarnya. Hasil analisis menunjukkan selama tahun 2003 hingga 2012 terbentuk sebanyak 29 kejadian Eddies (Tabel 3) di perairan Selatan Jawa Barat baik yang memiliki arah cyclonic maupun antycyclonic. Eddies yang terbentuk di perairan Selatan Jawa Barat secara umum memiliki titik pusat pada 105o BT sampai 108o BT dan 9 o LS sampai 11o LS. Sebanyak 44 kejadian Eddies terbentuk di perairan Selatan Jawa Tengah (Tabel 4). Eddies yang terbetuk di perairan ini mempunya titik pusat pada 108 o BT sampai 109.5o BT dan 8.5o LS sampai 12 o LS.
Tabel 3. Kejadian eddies di Perairan Selatan Jawa Barat Tahun 2003 Januari 1 Februari 1 Maret April Mei Juni Juli Agustus 1 September Oktober November Desember *1 Jumlah 4 * Arah antycyclonic
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Jumlah
1 1 1 3
*1 1 1 3
1 1 1 3
1 1 1 3
1 1
1 1 1 3
1 1 2
1 1 1 3
1 1 1 1 4
2 6 2 3 2 5 2 1 3 2 1 29
Tabel 4. Kejadian eddies di Perairan Selatan Jawa Tengah Tahun 2003 Januari Februari 1 Maret *1 April Mei 1 Juni Juli 1 Agustus September 1 Oktober November 1 Desember 1 Jumlah 7 * Arah antycyclonic
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Jumlah
1 1 1 3
1 1 1 1 4
1 1 1 1 4
1 1 1 1 4
1 1 1 1 1 1 1 7
1 1 1 1 4
1 1
1 *1 1 1 1 5
1 1 1 1 1 5
1 2 1 2 3 5 5 4 7 5 3 1 44
Eddies yang terbentuk di Selatan Jawa Timur selama tahun 2003 hingga 2012 sebanyak 82 kejadian dan ditemukan hampir sepanjang tahun (Tabel 5). Terbentukya eddies di perairan ini berhubungan erat dengan adanya aliran ARLINDO yang juga terjadi sepanjang tahun. Hal ini sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan Godfrey (2011) bahwa ARLINDO yang masuk ke Samudera Hindia melalui Selat Lombok ini kemudian bertemu dengan arus kuat yang mengalir ke arah Barat, yaitu AKS dimana eddies berkembang dan terbentuk di daerah tersebut. Kecepatan eddies pada perairan ini cenderung lebih tinggi dibandingkan kecepatan pada perairan Selatan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Mann dan Lazier (2006) bahwa kecepatan pusaran eddies yang dekat dengan arus utama cenderung lebih tinggi, hal yang sama juga dijelaskan oleh Godfrey (2011), arus utama yang membentuk eddies di perairan Selatan Jawa Timur –Bali adalah AKS dan ARLINDO. Tabel 5. Kejadian eddies di Perairan Selatan Jawa Timur Tahun 2003 Januari 1 Februari 1 Maret 1 April Mei 1 Juni 1 Juli Agustus 1 September 1 Oktober November 1 Desember Jumlah 8 * Arah antycyclonic
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Jumlah
1 1 1 1 1 1 1 1 8
1 1 1 1 1 1 1 1 8
1 1 1 1 1 1 1 1 8
1 1 1 1 1 1 1 1 1 9
1 1 1 1 1 1 1 2 9
1 1 1 1 1 1 1 1 1 9
1 1 1 1 1 1 1 7
1 1 1 1 1 1 1 7
1 1 1 1 1 1 1 1 8
7 6 5 4 8 8 8 7 6 5 6 3 82
Hasil visualisasi arus geostropik dan TPL dalam skala bulanan, secara umum menunjukkan bahwa eddies yang terbentuk di perairan Selatan Jawa Timur berputar searah jarum jam. Arah eddies secara cyclonic (lingkaran biru) memiliki tinggi muka laut lebih rendah dibandingkan dengan ketinggian muka laut disekitar eddies tersebut. Sebaliknya pusat eddies yang bergerak berlawanan arah jarum jam atau antycyclonic (lingkaran merah) memiliki ketinggian muka laut lebih tinggi dari perairan sekitarnya.
Gambar 14. Arah cyclonic dan antycyclonic dari eddies
Distribusi Temporal Eddies di Perairan Selatan Jawa Berdasarkan hasil visualisasi software IDV, secara temporal dapat diindikasikan bahwa satu eddies yang terbentuk di perairan Selatan Jawa dapat berlangsung selama satu hingga beberapa bulan. Dari pola arus geostropik menunjukan adanya eddies baik syclonic maupun antycyclonic yang sering terbentuk di perairan Selatan Jawa Timur, beberapa kejadian juga ditemukan di perairan Selatan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Musim Barat Pada Musim Barat eddies yang terbentuk berada di Selatan Jawa Barat berada sekitar 9° LS. Diindikasikan hal tersebut terjadi karena pada musim ini mengalir Arus Pantai Jawa (APJ), sehingga eddies selalu terbentuk di bawah batas selatan APJ yang mencapai 9° LS. Menurut Priyono (2013), memasuki Musim Barat arus South Java Current (SJC) berada pada kondisi maksimum dan bergerak hingga ujung timur pulau Jawa. ARLINDO yang mengalir melewati Selat Lombok pada Musim Barat di bulan Januari memiliki kecepatan arus yang tidak besar dan bergerak ke arah Selatan.
Pola arus geostropik menunjukkan adanya pusaran cyclonic di Barat hingga Timur perairan Selatan Jawa terlihat pada lintang 8.5° – 12° LS, pusaran cyclonic tersebut terjadi karena pertemuan arus dari Arus Ekuator Selatan atau South Equator Current (SEC) yang berasal dari laut Timor bergerak mengalir hingga ke Barat. Daerah cyclonic ditandai dengan rendahnya tinggi muka laut. Umumnya pada lintang 10°-11.5° LS memiliki topografi rendah ditandai dengan adanya divergensi yang menyebabakan adanya kekosongan massa air di lapisan bawah. Musim Peralihan I Eddies di perairan Selatan Jawa mulai terbentuk pada Musim Peralihan I yaitu sekitar bulan April. Pada musim ini juga terbentuk arus eddy di perairan Selatan Jawa Barat. Puncak musim peralihan I terjadi pada bulan Mei yang merupakan awal dari musim timur sehingga mengalami masa transisi pada sistem arus di selatan Jawa. Arus geostropik mulai mengalami penguatan karena adanya aliran arus yang disebabkan oleh SEC mengalami peningkatan, dan arus musiman yang bergerak kearah timur masih terlihat. Aliran ITF yang terjadi pada musim Peralihan I juga mengalami penguatan, aliran arus yang mengalir dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia melalui Selat Lombok cukup kuat. Aliran SJC yang dipengaruhi musim dan masih terlihat kearah Barat selalu bergerak kearah garis pantai. Jika dilihat selama musim Peralihan I berlangsung pada perairan Selatan Jawa pusaran cyclonic terlihat cukup jelas sehingga mampu membangkitkan upwelling di pesisir pantai. Adanya pengaruh distribusi angin permukaan pada musim Peralihan I sudah mulai mengalami pembelokan yang bergerak dari arah Barat ke Timur. Pembelokan arah angin tersebut diperkuat teori Wrykti (1961), dimana dalam penjelasannya mengatakan bahwa pembelokan tersebut mempengaruhi aliran arus dan akibat pengaruh gaya coriolis yang bekerja terjadi pembelokan aliran massa air menuju laut lepas, sehingga menyebabkan terjadinya kekosongan massa air di pesisr pantai Selatan Jawa dan mengakibatkan terjadinya perbedaan topografi muka laut. Musim Timur Musim Timur merupakan puncak terbentuknya eddies di perairan Selatan Jawa. Eddies paling sering terentuk pada musim ini diduga terjadi akibat adanya kekuatan angin pada musim ini lebih kuat dari musim lainnya, hal ini juga sesuai dengan penelitian Martono (2013) dimana hasil penelitiannya menunjukkan bahwa angin yang bertiup di atas perairan Selatan Jawa pada bulan Juli memiliki kecepatan yang sangat tinggi dan mengarah ke Barat Laut. Besarnya sirkulasi eddies selama Musim Timur dapat dilihat berdasarkan distribusi arus geostropik, terlihat adanya pusaran cyclonic selama Musim Timur umumnya terjadi pada lintang 8° LS hingga 10° LS. Analisa anomali TPL Musim Timur menunjukkan bahwa topografi terendah terjadi di sekitar pantai Selatan Jawa, sedangkan pada laut lepas atau lintang tinggi memiliki topografi tinggi. Rendahnya topografi dipantai karena adanya kekosongan massa air yang disebabkan terjadinya daerah divergensi akibat pembelokan gaya coriolis.
Eddies yang terbentuk di perairan Selatan Jawa hampir selalu terbentuk mulai Musim Timur dan puncaknya pada bulan Juli. Pada musim ini juga sering terbentuk eddies di perairan selatan Jawa Tengah sekitar bulan Juni hingga Agustus. Mann dan Lazier (2006) menyatakan bahwa eddies dapat terbentuk akibat interaksi aliran arus dengan topografi. Aliran arus permukaan tersebut kemudian bertemu dengan topografi Selatan Jawa Barat yang cenderung memiliki bentuk menyerupai cekungan sehingga dapat membentuk arus yang berputar di wilayah tersebut. Secara umum kejadian eddies di perairan Selatan Jawa Barat pada Musim Timur tidak pernah berada di bawah 9° LS. Ini diindikasikan terjadi karena pada musim ini Arus Pantai Jawa (APJ) cenderung tidak terbentuk, sehingga eddies terdorong oleh batas utara Arus Khatulistiwa Selatan menjadi lebih mendekati pesisir. Musim Peralihan II Arus permukaan selama Musim Peralihan II memberikan gambaran aktivitas eddies dari pusaran arus yang terjadi. Pola arus permukaan musim perlaihan II masih sama dengan Musim Timur dimana SJC bergerak lebih kuat ke arah Barat, sedangkan ITF bergerak ke Barat Daya. Pertemuaan arus SJC dan ITF menyebabkan terjadinya sirkulasi cyclonic dan anticyclonic yang dipengaruhi oleh gaya coriolis. Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Berdasarkan data time series dapat dilihat variasi SPL sepanjang tahun pengamatan mengalami fluktuasi secara bergantian. Nilai rata-rata bulanan SPL pada periode Januari 2003 sampai Desember 2012 di Selatan Jawa berkisar antara 27,2 ˚C sampai 28,5 ˚C (Lampiran 4). Secara umum nilai SPL terendah umumnya ditemukan pada musim Timur dan nilai SPL maksimum ditemukan pada Musim Barat (Gambar 15). Nilai SPL dapat dipengaruhi oleh fenomena ENSO yang memiliki dua fase yang berbeda yaitu El Nino dan La Nina (Susanto et al. 2006). Selanjutnya dijelaskan bahwa kedua fase ini dapat diketahui terjadi melalui nilai SOI (Southern Oscillation Index) dimana penentuan terjadinya El Nino dan La Nina didasarkan pada fluktuasi nilai SOI. Meningkatnya intensitas kecepatan angin Muson Tenggara akan mengakibatkan meningkatnya intensitas upwelling.
Gambar 15. Grafik Rata-rata Bulanan SPL
Meningkatnya intensitas upwelling dari bulan Juni ke Agustus meningkatkan aliran air dingin dari lapisan bawah ke permukaan, suhu sebagai suatu parameter yang penting di perairan adalah besaran yang menyatakan banyaknya energi panas atau bahang (heat). Suhu perairan merupakan parameter yang penting bagi kehidupan berbagai organisme laut karena dapat mempengaruhi metabolisme maupun perkembangbiakan organisme tersebut, juga sebagai indikator fenomena perubahan iklim (Hutabarat dan Evans 1986). Suhu perairan juga berpengaruh besar terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di laut. Akibat pengaruh suhu perairan yang besar terhadap organisme dan terhadap fenomenafenomena di laut.
Gambar 16. SPL Rataan Bulanan Januari-Juni 2003 – 2012
Di perairan Selatan Jawa mempunyai nilai sebaran rata-rata SPL yang tinggi dimulai pada Musim Barat hingga memasuki Musim Peralihan I, memasuki Musim Timur terjadi penurunan SPL yang terjadi hingga awal Musim Peralihan II. Hal ini ditunjukkan dalam sebaran SPL rata-rata bulanan selama 10 tahun pengamatan (Gambar 16). Sebaran SPL pada bulan Juni sampai Agustus yang merupakan Musim Timur cenderung mengalami penurunan, diduga kuat dipengaruhi oleh angin Muson Tenggara yang intensitasnya semakin menguat serta pola pergerakan arus dari daerah yang bertekanan tinggi ke daerah yang bertekanan rendah.
Gambar 17. SPL Rataan Bulanan Juli-Desember 2003 - 2012
Variasi SPL musiman di lokasi penelitian diperkirakan disebabkan oleh dua mekanisme. Mekanisme pertama adalah akibat proses upwelling dan yang kedua adalah masuknya massa air dari Pantai Barat Australia dari arah Selatan dan berbelok ke Barat dan bergabung dengan arus yang berasal dari Indonesia Timur. Pada Musim Timur, upwelling terjadi di Selatan perairan Jawa sehingga SPL menurun. Demikian juga AKS yang sebagian berasal dari Pantai Barat Australia dalam perjalanannya ke arah Barat, melebar sampai ke perairan pesisir Selatan Pulau Jawa, sehingga menurunkan SPL di perairan Selatan Jawa Tengah hingga Selatan Jawa Timur. Dampak dari kedua proses yang saling menguatkan tersebut dirasakan pada akhir Musim Timur, sehingga SPL terendah terjadi pada waktu tersebut (bulan Agustus). Menjelang Musim Barat, Angin Muson Tenggara sudah mengendur dan Angin Muson Barat Laut mulai bertiup. Oleh karena perubahan angin ini, maka proses upwelling mulai menghilang. Pusat SPL rendah mulai menyempit pada bulan September dan bergerak ke Barat di Perairan Selatan Jawa Tengah dan sebagian Selatan Jawa Timur hingga menghilang sama sekali pada bulan November akibat bergesernya poros AKS ke arah selatan dan berkembangnya APJ. Secara umum dari Gambar 16 dan 17, terlihat nilai SPL maksimum di perairan Selatan Jawa terjadi pada bulan April (Peralihan I) dan minimum pada bulan Agustus (Musim Timur). Analisis time series tahunan dari tahun 2003-2012 pola nilai SPL di perairan Selatan Jawa berbentuk sinusoidal. Nilai SPL membentuk parabolik positif terjadi pada awal Musim Barat hingga berlangsungnya Musim Peralihan I (Desember-April) dan parabolik negative terjadi pada Musim Timur hingga berlangsunya Musim Peralihan II (Juni - Oktober). Parabolik postif terjadi karena adanya peningkatan SPL dari bulan Februari – April sedangkan Parabolik negative terjadi karena penurunan nilai SPL pada bulan Juni - Agustus yang kemudian meningkat kembali pada bulan Oktober hingga Desember. Rata-rata anomali TPL bulanan selama tahun pengamatan menunjukkan bahwa anomali TPL berhubungan erat dengan nilai SPL. Saat terjadinya anomali TPL negatif maka massa air dingin dari dasar perairan secara vertikal naik ke permukaan sehingga sebaran SPL pada perairan mengalami perubahan ke suhu yang lebih dingin, hal tersebut berbanding terbalik saat terjadinya anomali TPL positif maka SPL pada perairan tersebut akan mengalami peningkatan. Penumpukan massa air dengan intensitas yang berbeda diduga akan berpengaruh terhadap SPL. Variabilitas Konsentrasi klorofil-a Konsentrasi klorofil-a di perairan Selatan Jawa berfluktuatif dari musim kemusim, secara umum konsentrasi klorofil-a yang relatif tinggi di Selatan Jawa berdampak pada terpenuhinya kebutuhan esensial dari mata rantai ekosistem biota di daerah ini. Tingkat kesuburan perairan biasanya dihubungkan dengan konsentrasi nutrien dalam badan perairan. Fitoplankton merupakan tumbuhan laut mikroskopis yang keberadaannya sangat tergantung pada kandungan nutrien di suatu perairan. Konsentrasi klorofil-a selama tahun pengamatan dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 18. Grafik Konsentrasi klorofil-a Kemampuan fotosintesis tidak lepas dari kandungan klorofil yang dimiliki oleh fitoplankton. Sebagaimana dijelaskan Nontji (1987) bahwa salah satu jenis klorofil-a yang keberadaannya hampir terdapat di semua jenis fitoplankton adalah klorofil-a.
Gambar 19. Konsentrasi klorofil-a Rataan Bulanan Januari-Juni 2003 - 2012
Gambar 20. Konsentrasi klorofil-a Rataan Bulanan Juli-Desember 2003 - 2012 Selama tahun 2003 hingga 2012 rata-rata konsentrasi klorofil-a berkisar antara 0.01-0.3 mg/m3 dengan rata-rata 0.13 mg/m3. Rata-rata bulanan selama tahun 2003 hingga 2012 konsentrasi klorofil-a meningkat saat berlangsungnya Musim Timur hingga Musim Peralihan II. Pada Gambar 21 terlihat Musim Peralihan II masih memiliki nilai konsentrasi klorofil-a yang cukup tinggi hal ini masih berkaitan dengan pola pergerakkan arus dan anomali TPL saat berlangsunya Musim Timur.
Gambar 21. Rata-rata konsentrasi bulanan klorofil-a Pada Musim Barat (Desember hingga Februari), konsentrasi klorofil-a relatif tinggi ditemui disekitar perairan pesisir sedangkan pada Musim Timur (Juni hingga Agustus) konsentrasi klorofil-a relatif tinggi ditemui didaerah pesisir sampai ke laut lepas. Penyebaran konsentrasi klorofil-a yang relatif tinggi sampai pada laut lepas pada Musim Timur ini diduga disebabkan oleh angin yang bergerak dari arah Tenggara menuju Barat Laut serta pengaruh pergerakan arus yang dipengaruhi gaya coriolis. Pada musim Peralihan I (Maret hingga Mei) dan Musim Peralihan II (September hingga November) terlihat bahwa konsentrasi klorofil-a pada bulan Maret dan April tersebar sampai daerah off shore atau laut lepas. Sementara pada bulan September dan Oktober konsentrasi klorofil-a tinggi dan tertahan di daerah pesisir. Siklus Antar Tahunan Kondisi ENSO Berdasarkan Indeks Nino 3.4 Trenberth (1997) mengatakan bahwa anomali SPL pada wilayah Nino 3.4 dengan anomali suhu positif di atas 0.40C dan bertahan selama 6 bulan diindikasikan terjadinya El Nino dan jika anomali suhu negatif dibawah 0.4 0C dan bertahan selama 6 bulan diindikasikan terjadinya La Nina. Indeks Nino 3.4 memiliki variabilitas antar tahunan yang kuat. Selama tahun 2003-2012 telah terjadi 4 kali El Nino dan 5 kali La Nina (Tabel 6). Kejadian El Nino terdiri dari 3 kali El Nino kuat dan 1 kali El Nino lemah sedangkan kejadian La Nina terdiri atas 2 kali La Nina kuat dan 3 kali La Nina lemah. La Nina terkuat terjadi pada 2 Juni 2010 – 11 Mei 2011 (12 bulan) dengan anomali suhu permukaan laut mencapai 1.9 oC. La Nina kedua terjadi pada 1 Agustus 2007-Mei 2008 (10 bulan) dengan anomali suhu permukaan laut mencapai -2.2oC serta La Nina ketiga terjadi pada Agustus 2011 – Maret 2012 (8 bulan) dengan anomali suhu permukaan laut mencapai 0.9 oC.
Tabel 6. Kejadian El Nino dan La Nina Berdasarkan Indeks Nino 3.4 No
Kejadian
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
El Nino El Nino El Nino El Nino Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal La Nina La Nina La Nina La Nina La Nina
Periode 3 Jul 02–26 Mar 03 (9 Bulan) 21 Jul 04–26 Jan 05 (7 Bulan) 23 Ags 06–24 Jan 07 (6 Bulan) 17 Jun 09 – 21 Apr 10 (11 Bulan) 2 Apr 03–30 Jun 04 (15 Bulan) 2 Peb 05–23Nov 05 (10 Bulan) 5 Apr 06– 16 Agu 06 (5 Bulan) Peb 07 – Jul 07 (6 Bulan) Jun 08 – Nov 08 (6 Bulan) Apr 09 – Mei 09 (2 Bulan) Mei 10 (1 Bulan) Jun 11 – Jul 11 (2 Bulan) Apr 12 – Okt 12 (7 Bulan) 30 Nov 05–29 Mar 06 (4 Bulan) 1 Ags 07 – 28 Mei 08 (10 Bulan) 3 Des 08 – 25 Mar 09 (4 Bulan) 2 Jun 10 – 11 Mei 11 (12 Bulan) 3 Agu 11 – 21 Mar 12 (8 Bulan)
Puncak
Anomali Suhu
Nov 2002 Sep 2004 Des 2006 Des 2009 Okt 2003 Juni 2005 Ags 2006 April 2007 Ags 2008 Mei 2009 Mei 2010 Juli 2011 Ags 2012 Jan 2006 Jan-Feb 2008 Des 2008-Jan2009 Sep – Okt 2010 Jan 12
1.7 0.9 1.3 1.9 0.4 0.5 0.4 0.2 0.2 0.4 0.2 -0.3 0.9 -1.1 -2.2 -1.2 -1.9 -1.2
Gambar 22. Kondisi El Nino dan La Nina Berdasarkan Indeks Nino 3.4 Tahun 2003-2012 Indeks Nino 3.4 dan TPL
Berdasarkan hasil analisis anomali TPL maka secara keseluruhan dapat dilihat bahwa ada perbedaan fluktuasi yang sangat signifikan antara indeks Nino 3.4 dan anomali TPL dimana saat terjadi kondisi ENSO maka anomali TPL akan menjadi rendah dan sebaliknya. Pada saat kondisi normal maka akan terlihat adanya pola fluktuasi indeks Nino 3.4 dan TPL yang sama. Indeks Nino 3.4 yang tinggi diidentifikasikan dengan kejadian El Nino sedangkan indeks Nino 3.4 yang rendah diidentifikasikan dengan kejadian La Nina.
Variabilitas antar tahunan dari indeks Nino 3.4 dan anomali TPL cenderung bersifat antifase dimana saat terjadi El Nino maka beberapa waktu kemudian atau sekitar 16,1 bulan, 28.7 bulan dan 39.7 bulan akan diikuti dengan naiknya TPL dan jika terjadi La Nina maka beberapa waktu kemudian akan diikuti dengan rendahnya TPL dimana terjadi pada bulan Desember 2005-Mei 2007. Siklus tahunan bersifat antifase dan sefase sedangkan siklus setengah tahunan cenderung bersifat sefase. Pada siklus tahunan cenderung terjadi bersifat antifase pada bulan Juli 2003-Juni 2009, saat terjadi El Nino maka sekitar 11.43 bulan diikuti dengan naiknya anomali TPL dan saat terjadi La Nina maka diikuti dengan rendahnya anomali TPL. Kemudian siklus tahunan bersifat sefase dimana jika anomali TPL naik maka 11.43 bulan akan diikuti oleh meningkatnya La Nina dan sebaliknya. Indeks Nino 3.4 dan SPL
Varibilitas tahunan yang terkuat pada periode 31-61 (12.5 bulan), terjadi pada bulan April 2003-Oktober 2011. Selanjutnya variabilitas setengah tahunan pada periode 17-27 (5.9 bulan) terjadi pada bulan April 2007-Januari 2008, periode 19-24 (5.6 bulan) terjadi pada bulan September 2010-Maret 2011 dan periode 20-26 (6.4 bulan) terjadi pada bulan November 2005-Desember 2006. Variabilitas setengah tahunan dan tahunan dari ENSO dan SPL cenderung yang terjadi bersifat sefase dan antifase. Indeks Nino 3.4 dan SPL saling mempengaruhi dimana saat SPL meningkat maka sekitar 12.5 bulan diikuti oleh meningkatnya El Nino sebaliknya Jika SPL menurun maka diikuti oleh menurunnya La Nina sehingga dapat dikatakan bahwa indeks ENSO mempengaruhi SPL di Perairan Selatan Jawa. Indeks Nino 3.4 dan Klorofil-a
Ditemukan adanya variabilitas setengah tahunan, tahunan dan antar-tahunan dimana variabilitas tahunan yang sangat kuat dan terjadi sepanjang tahun. Variabilitas tahunan yang sangat kuat dan terjadi sepanjang tahun dengan periode antara 35-60 (12.5 bulan) terjadi pada bulan Agustus 2003-September 2010, selanjutnya varibilitas setengah tahunan sangat rendah dengan periode antara 22-28 yang terjadi pada bulan November 2005-November 2007. Variabilitas setengah tahunan dan tahunan cenderung bersifat antifase dimana saat terjadi El Nino maka sekitar 12.5 bulan diikuti dengan naiknya klorofil-a dan jika terjadi La Nina maka diikuti dengan rendahnya klorofil-a. Jika indeks Nino 3.4 naik maka diikuti dengan turunnya klorofil-a atau jika indeks Nino 3.4 turun maka diikuti oleh naiknya klorofil-a. Pada skala interannual pola SPL dapat didefinisikan menjadi dua bagian yaitu La Nina dan El Nino atau IOD. Pola La Nina dicirikan dengan SPL tinggi sementara pola El Nino dicirikan SPL rendah. Variabilitas tahunan dibagi dalam beberapa tahap dimana saat terjadinya antifase yaitu pada bulan Agustus 2003-September 2010 kemudian tahap dimana terjadi La Nina maka selang beberapa waktu kemudian akan diikuti dengan turunnya klorofil-a yang terjadi pada bulan Juni 2006-Agustus 2007, selanjutnya jika terjadi El Nino/La Nina maka diikuti oleh naik/turunnya klorofil-a yang terjadi pada bulan September 2007-Agustus 2010.
Kondisi IOD Berdasarkan DMI
Gambar 23 menunjukkan variabilitas setengah tahunan, tahunan dan antartahunan. Terlihat bahwa ketiga variabilitas ini ditemukan sangat kuat, dimana variabilitas tahunan terjadi pada 2006-2008. Menurut Saji et al. (1999) IOD positif terjadi jika nilai DMI positif lebih besar dari nilai standar deviasi 1 dan IOD negatif terjadi jika nilai DMI negatif lebih kecil dari 1 setidaknya selama 3 bulan berturut-turut. Gambar 23 menunjukkan bahwa selama tahun 2002-2012 telah terjadi kejadian IOD positif sebanyak satu kali. Kejadian IOD positif ini bersamaan dengan adanya kejadian El Nino.
Gambar 23. Kondisi IOD berdasarkan nilai DMI selama Tahun 2003-2012 Indeks IOD dan TPL
Variabilitas yang kuat terjadi pada siklus antar tahunan pada bulan Juni 2007 - Januari 2010 dengan periode antara 112-145 (30.3 bulan) kemudian bulan Agustus 2010-Agustus 2011 dengan periode antara 71-92 (20.5 bulan). Siklus tahunan terjadi pada bulan Mei 2006-September 2009 dengan periode antara 32-64 (13,3 bulan) dan siklus setengah tahunan yang terjadi pada bulan September 2005-September 2008 dengan periode antara 24-32 (6.5 bulan). Variabilitas antar tahunan dan tahunan bersifat antifase, dimana pada siklus tahunan saat terjadi IOD positif maka selang 13.3 bulan TPL akan rendah dan saat terjadi IOD negatif maka TPL akan tinggi kemudian pada bulan September 2008November 2009 adanya fluktuasi dimana saat IOD positif mulai tinggi maka akan diikuti oleh naiknya TPL setelah itu pergerakan IOD mulai mendahului TPL pada bulan Maret 2010. Pada bulan Juli 2010-Juni 2011 anomali TPL akan naik mendahului IOD setelah itu arah pergerakan IOD akan searah dengan arah pergerakan anomali TPL yang bersifat sefase terjadi pada bulan Juli 2011-April 2012 dimana jika naiknya anomali TPL maka selang 13.3 bulan kemudian diikuti dengan naiknya IOD positif. Variabilitas setengah tahunan cenderung bersifat sefase dimana jika anomali TPL naik maka selang waktu 6.5 bulan maka akan meningkatnya IOD atau jika TPL turun maka dalam selang waktu 6.5 bulan kemudian diikuti dengan turunnya IOD terjadi pada bulan September 2006September 2008.
Indeks IOD dan SPL
Variabilitas yang terjadi adalah variabilitas setengah tahunan, tahunan dan antar-tahunan, dimana variabilitas tahunan yang terkuat terjadi pada periode 31-58 (11 bulan) pada bulan Mei 2005-Mei 2010 dan periode 29-48 (12.8 bulan) yang terjadi pada bulan Agustus 2004-Februari 2005. Variabilitas setengah tahunan terjadi pada periode 21-25 (6.1 bulan) pada bulan Desember 2002-April 2003 terjadi pada periode 21-28 (6.7 bulan) pada bulan Maret 2005-Januari 2008. Variabilitas setengah tahunan cenderung bersifat sefase dan antifase dimana sifat sefase terjadi pada bulan Mei 2005-Mei 2006 dimana jika SPL naik maka selang waktu 6.1 bulan dan 6.7 bulan diikuti oleh naiknya IOD atau terjadinya IOD positif. Pada bulan Mei 2006-Oktober 2006 SPL akan naik dan diikuti oleh IOD kemudian pada bulan November 2006-Februari 2007 SPL akan naik atau turun mendahului IOD. Pada bulan Maret 2007-Januari 2008 kondisi akan berubah dimana variabilitas setengah tahunan bersifat antifase. Dapat dikatakan bahwa jika SPL naik maka selang waktu 6.7 bulan diikuti dengan turunnya IOD atau sebaliknya jika SPL turun maka selang waktu 6.7 bulan kemudian akan diikuti naiknya IOD. Indeks IOD dan Klorofil-a
Variabilitas setengah tahunan terjadi pada periode 17-26 (6.4 bulan) yang terjadi pada bulan Agustus 2005-Februari 2008 dan bersifat antifase selanjutnya periode 21-25 (6.1 bulan) terjadi pada bulan Februari 2003-Juni 2003. Variabilitas tahunan terjadi pada periode 35-45 (10.7 bulan) pada bulan September 2004-Mei 2005, kemudian periode 33-57 (14 bulan) pada bulan September 2005-Maret 2010. Siklus tahunan sangat kuat bersifat antifase dan sefase dimana yang bersifat antifase terjadi pada bulan September 2004-Mei 2005 dimana jika IOD naik atau IOD positif maka selang waktu 10.7 bulan diikuti dengan turunnya klorofil-a atau sebaliknya jika IOD turun atau IOD negatif maka sekitar 10.7 bulan diikuti dengan naiknya klorofil-a. Siklus tahunan yang bersifat sefase terjadi pada bulan September 2005-Maret 2010 dimana jika klorofil-a meningkat maka sekitar 14 bulan akan diikuti meningkatnya IOD atau terjadinya IOD. Hubungan Anomali TPL dengan Fenomena Upwelling dan Downwelling Berdasarkan hasil overlay data arus permukaan dan anomali TPL dapat terlihat bahwa adanya hubungan langsung antara anomali TPL dengan penaikkan maupun penurunan massa air dari dasar perairan ke lapisan permukaan atau sebaliknya. Saat terjadinya anomali TPL positif maka terjadi penurunan massa air dari lapisan permukaan ke dasar perairan, dimana fenomena ini dihubungkan dengan kejadian downwelling. Sebaliknya saat terjadi anomali TPL negatif maka massa air dari dasar perairan terangkan menuju lapisan permukaan dan sering dikaitkan dengan fenomena upwelling.
Hasil analisa menunjukkan bahwa indikasi terjadinya upwelling dan downweling ditentukan dengan melihat anomali TPL dan eddies yang terbentuk dari pola pergerakkan arus permukaan. Perputaran cyclonic dan antycyclonic dari eddies berhubungan dengan pengangkatan nutrien yang berlimpah di dasar perairan. Eddies yang terjadi di perairan Selatan Jawa dapat mendistribusikan klorofil-a dari daerah sepanjang pesisir Selatan Jawa menuju bagian Tenggara dari Samudera Hindia. Pernyataan Pranowo (2005) memperkuat asumsi bahwa distribusi tersebut terjadi pada Musim Timur dimana proses upwelling terjadi akibat interaksi angin Muson Tenggara dengan perukaan air di laut Samudera Hindia bagian Tenggara. Eddies yang terbentuk diindikasikan terjadinya upwelling namun seberapa besar nutrien yang terkandung bisa dihubungkan dengan nilai konsentrasi klorofil-a serta sebaran SPL pada daerah tersebut. Menurunnya nilai SPL akan diikuti dengan meningkatnya konsentrasi klorofil-a di perairan, meningkatnya konsentrasi klorofil-a akan berdampak pada kelimpahan dan distribusi ikan. Hal ini diperkuat pernyataan Robinson (2010) dimana disebutkan Upwelling membawa serta air yang lebih dingin dan lebih kaya akan nutrien selain itu upwelling mengakibatkan produktifitas primer meningkat yang pada akhirnya produksi biologis meningkat pula hingga ke semua tropik level. Hasil penelitian Lutfiati (2013) menjelaskan bahwa meskipun terjadi indikasi upwelling akibat cyclonic di laut lepas, besarnya arus yang terjadi pada awal Musim Barat dan kurangnya intensitas sinar matahari menyebabkan kelimpahan klorofil-a di Selatan Jawa pada lokasi dimana terdapat pengangkatan isoterm hampir tidak terlihat. Peristiwa upwelling di suatu perairan ternyata berkaitan juga dengan fenomena El Nino. Studi yang dilakukan Hendiarti et al. (2003) memberikan gambaran bahwa ketika terjadi El Nino, ARLINDO yang merupakan transport utama air dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia lewat selat-selat di Indonesia melemah. Melemahnya ARLINDO ini menunjukkan bahwa aliran air yang masuk ke Samudera Hindia mengendur sehingga upwelling yang terjadi meningkat.
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Hasil penelitian menunjukkan rata-rata ATPL di perairan Selatan Jawa berkisar -0.24 – 0.32 m, dimana TPL negatif dan positif terjadi secara bergantian. Saat berlangsungnya Musim Barat ATPL di wilayah pesisir lebih tinggi dibandingkan daerah lepas pantai, sedangkan saat berlangsungnya Musim Timur di wilayah pesisir ATPL lebih rendah dibandingkan wilayah perairan yang jauh dari daratan. Pola arus permukaan bulanan dari data satelit altimetri menunjukan pola yang relatif sama dengan kecenderungan arah menuju Barat dan Barat Daya pada daerah kajian dengan posisi lintang kurang dari 11o LS. Sedangkan di bagian Selatan atau dengan posisi lintang diatas 11 o LS kecenderungan pola arus ke arah Selatan dan Tenggara.
Aktivitas eddies di Selatan Jawa lebih dominan dipengaruhi oleh sistem arus yang terjadi di setiap musim dan besarnya aliran ITF. Selama tahun pengamatan eddies yang terbentuk sebanyak 155 kejadian yang terdiri dari 29 kejadian di perairan Selatan Jawa Barat, 44 kejadian di perairan Selatan Jawa Tengah dan 82 kejadian di perairan Selatan Jawa Timur. Fenomena upwelling dan downwelling dari eddies yang terbentuk terlihat berdasarkan pola arus permukaan. Sebaran SPL dan konsentrasi klorofil-a. Nilai suhu dan klorofil-a permukaan laut bervariasi menurut waktu. Secara umum kisaran SPL berkisar 27.2 oC – 28.5 oC sedangkan kisaran klorofil-a sebesar 0.01 – 0.3 mg/m3 dengan rata-rata 0.13 mg/m3. Memasuki Musim Timur umumnya nilai SPL makin menurun dan klorofil-a meningkat. Nilai SPL terendah ditemukan mulai berkembang dari Selatan Jawa Timur saat terjadi Musim Timur bergerak ke Barat hingga Selatan Jawa Barat saat berlangsungnya Musim Peralihan II. Fenomena El-Nino yang terjadi di perairan Indonesia umumnya menyebabkan durasi upwelling yang lebih lama dan intensitas upwelling meningkat (penurunan temperatur permukaan lebih rendah) sehingga menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun normal. Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, masih terdapat kekurangan dalam menganalisa lebih jauh pendugaan fenomena upwelling dan downwelling yang disebabkan oleh arus eddy di perairan Selatan Jawa. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan faktor pendukung lain untuk memperkuat dugaan fenomena upwelling atau downwelling. Pengambilan data harian dari citra serta data lapangan yang lebih lengkap untuk setiap bulannya lebih diutamakan terutama pada saat terjadi upwelling.
DAFTAR PUSTAKA AVISO. 2005. Altimeter Products for Space Oceanography: TOPEX/Poseidon and Jason-1 Data Products. htttp://www.aviso.oceanobs.com. Tanggal dikunjungi 12 Februari 2013. Bima, Y.R., Setyono dan Harsono. 2014 : Dinamika Upwelling dan Downwelling Berdasarkan Variabilitas Suhu Permukaan Laut dan Klorofil-A di Perairan Selatan Jawa. Jurnal Oseanografi, Vol. 3 Nomor 1, Hal. 56-66. Brown, J, A. Colling, D. Park, J. Philips, D. Rothery, J. Wright. 1989. Ocean Circulation. The Open University. Pergamon Press. Chelton DB, Haines BJ, Ries JC, Fu L, Callahan PS. 2001. Satellite Altimetry and Earth Sciences. [CNES] Centre National D’Etudes Spatiales. 2012. SSALTO/DUACS User Handbook CLS-DOS NT-06-034- Issue 3.2. SALP-MU-P-EA-21065-CLS. Digby S. 1999. Use of Altimeter Data, Jet Propulsion Laboratory. California Institute of Technology, Pasadena. California. Fu, LL. 2001. Satelitte Altimetry and Earth Sciences. A Handbook of Techniques and Applications. International Geophysics series volume 69.
Gordon, A.L. 2005. Oceanography of the Indonesian Seas and Their Throughflow. Oceanography, 18(4):14-27. Hadi, S. 2006. Diktat Kuliah: Oseanografi Fisis. Institut Teknologi Bandung, Bandung. Handoko, E. Y. 2004. Satelit Altimetri dan Aplikasinya Dalam Bidang Kelautan. Scientific Journal, Pertemuan Ilmiah Tahunan I. Teknik Geodesi – ITS, Surabaya, Indonesia , 2004. Harini, W.S. 2004. Pola Arus Permukaan di Wilayah Perairan Indonesia dan Sekitarnya yang diturunkan Berdasarkan Data Satelit Altimetri TOPEX/POSEIDON. Tesis. IPB. Hasanuddin ZA. 2006. Satelit Altimetri High Tech Tool for Ocean data parameter Collection. Kelompok Keilmuan Geodesi-FTSL. Institut Teknologi Bandung. http://ladyvivifinency101001.wordpress.com/2011/11/ [Diunduh 7 Maret 2012] Heliani, LS., Anom, IGA., 2007, Determination of effective ship-track between Indonesia and Autralia (Hindia Ocean) using Topex/Poseidon satellite and QuickSCAT data, Media Teknik, September, (in Indonesian) Hendiarti, N., M. Sadly, M.C.G. Frederik, R. Andiastuti dan A. Sulaiman. 2006. Riset Pemantauan Dinamika Laut Indonesia. Badan Riset Kelautan Perikanan, Departemen Perikanan Dan Kelautan RI, Jakarta. Hal. 52 Hendiarti, N., H. Siegel, T. Ohde. 2003. Investigation of different coastal processes in Indonesian waters using SeaWiFS data. Deep Sea Research Part II. 55 : 85-97 http://oceanworld.tamu.edu/resources/ocng_textbook/PDF_file/book_pdf_files.ht ml. Tanggal dikunjungi 25 Agustus 2011. Hutabarat, S dan S. M. Evans.1985. Pengantar Oseanografi. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Hwang C, Hsu H, Jang R. 2002. Global Mean Sea Level Surface and Marine Graviity Anomaly from Multisatelite altimetry : Applications of deflection Geoid and inverse vening meinnes Z formulae. Journal of Geodesy, Vol. 76. pp 406-418. Kunarso, S. Hadi, N.S. Ningsih dan M.S. Baskoro. 2011. Variabilitas Suhu dan Klorofil-a di Daerah Upwelling pada Variasi Kejadian ENSO dan IOD di Perairan Selatan Jawa sampai Timor. Jurnal Ilmu Kelautan, Vol. 16 (3) : 171-180. Lagerloef G, Gunn J. 2001. Geostrthopic Velocity from TOPEX/POSEIDON. Earth and Space Research. [internet]. [diacu : 2013 Mei 14]. Tersedia dari : http://Sealevel.ipi.nasa.gov/science.html. Mann, K.H., J.R.N. Lazier. 2006. Dynamics of Marine Ecosystems: BiologicalPhysical Interactions in the Oceans. Blackwell Publishing, Malden. 444 p. Marsh, J., Koblinsky, C., Zwally, H., Brenner, A., & Beckley, B. (1992). A Global Mean Sea Surface Based Upon GEOS 3 and Seasat Altimeter Data. Journal Of Geophysical Research, Vol. 97, NO. B4, PP. 4915-4921, 1992. Martono. 2013. Oseanografi Perikanan. Dalam Sosialisasi di Dinas Kelautan dan Perikanan DIY, Yogyakarta, 2013. Marpaung, S., Prayogo, T. 2014. Analisis Arus Geostropik Permukaan Laut Berdasarkan Data Satelit Altimetri. Seminar Nasional Penginderaan Jauh.
Marpaung, S., Harsanugraha, K. W. 2014. Karakteristik Sebaran Anomali Tinggi Muka Laut di Perairan Bagia Selatan dan Utara Pulau Jawa. Seminar Nasional Penginderaan Jauh. Naulita, Y. 1998. Karakteristik Massa Air pada Perairan Lintasan Arlindo. Tesis Magister Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 173 hal. NOAA Earth System Research Laboratory. 2007. Monthly mean atmospheric carbon dioxide at Mauna Loa Observatory, Hawaii [internet]. [diacu 2014 Agustus 8]. Tersedia dari : http//www/esrl.noaa.gov/gmd/ccgg/trends/co2_data_mlo.html. Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. Thirth Edition. Philadelphia. 546 hal. Pariwono, J. I. 1989. Gaya penggerak Pasang Surut. O. S. R. Ongkosongko dan Suryarso (ed). Pasang Surut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi (P3O-LIPI). Jakarta. Pond, S. dan G. L. Pickard. 1983. Introductory Dynamical Oceanography, 2th editon. Pergamon Press. Oxford Pranowo, W.S., Helen, P., Susan, W. 2005. Upwelling Event 2003 Along South Java Sea and Lesser Sunda Islands. Jurnal Segara. 3 (2): 93-135. Raditya D. F., Ismunarti H.D, Handoyo G. Analisis Prakiraan Luasan Derah Upwelling di Perairan Selatan Jawa Timur Hingga Selatan Lombok Kaitannya dengan Hasil Perikanan Tangkap. Jurnal Oseanografi Vol 2 (1) 2013. Hal 1 Rosmorduc, V., Beneviste, J., Bronner, E., Dinardo, S., Lauret, O., Maheu, O., et al. 2011. Radar Altimetry Tutorial. http://www.altimetry.info Robinson I.S. 1985. Satelite Oceanography: An Introduction for Oceanographers and Remote-sensing Scientists. Ellis Harwood. New York. Robinson, I.S. 2010. Discovering the Ocean from Space: The unique applications of satellite oceanography. Springer. Saji NH, Goswami BN, Vinayachandran PN, Yamagata T. 1999. A Dipole modein the Tropical Indian Ocean, Nature, 401, 360-363, doi: 10. 1038/ 43854. Stewart W.H. 1985. Methods of Satellite Oceanography. University of California Press. London, England. Stewart, R. H. 2008. Introduction to Physical Oceanography, pdf version. Departement of Oceanography. Texas A & M University. Susanto, D., A L. Gordon, dan Q Zheng. 2001. Upwelling Along the Coast of Java and Sumatra and its Relation to ENSO. Geophysical Research Letter, Vol. 28, No. 8, Pages 1599-1602. Susanto. D, Amy Ffield, Arnold L. Gordon, 2012, Variability of Indonesian Throughflow within Makassar Strait, 2004–2009, Journal of Geophysical Research JGR – Oceans. Tomczack, M, dan J. S. Godfrey. 2002. Regional Oceanography : An Introduction. Pergamon Press. Australia. Trenberth KE. 1997. The definition of El Nino. Bull. Amer. Meteor. Soc., 78: 2771–2777. Wyrtki, K. 1961. Naga Report. Vol.2. Scientific Results of Marine Investigations of the South China Sea and the Gulf of Thailand. Physical Oseanografi of the Southeast Asians Water. The University of California. Pages 32-33
Lampiran 1 Tabel Rata-rata Bulanan Anomali Tinggi Paras Laut (m) Tahun Bulan 2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
0,0598
0,0465
0,1109
0,228
0,0621
Januari
-0,001
0,0335
0,0162
0,2937
0,0018
Februari
-0,035
0,0243
0,0466
0,0019
0,0345
0,0729
0,0685
0,02
0,3083
0,2347
Maret
0,077
-0,0505
0,0587
0,1416
0,0119
0,1268
0,143
0,064
0,2387
0,2243
April
-0,022
0,13
-0,0545
0,0464
0,0374
0,1038
0,0597
0,0098
0,1523
0,2772
Mei
0,115
0,051
0,1076
0,0631
0,0907
0,1246
0,1012
0,1378
0,1808
0,1633
Juni
0.082
0,1273
0,1049
0,0661
0,0051
0,0874
0,1758
0,1717
0,1351
0,1614
Juli
-0,1
0,0783
0,1043
0,112
0,0714
-0,1232
0,0335
0,0788
0,0143
0,1802
Agustus
-0,204
-0,036
-0,0441
-0,133
0,0511
-0,0194
0,1415
0,0008
0,0851
0,0762
September
-0,109
-0,0495
-0,109
-0,076
0,0929
-0,0427
0,1898
0,1568
0,1981
0,0501
Oktober
-0,002
-0,1657
0,0099
0,2477
0,0174
-0,0932
0,0178
0,1837
0,0324
0,0668
November
0.018
0,0121
0,0818
0,0971
0,0556
0,0272
0,1187
0,1708
0,0696
-0,015
Desember
-0.079
-0,0328
0,0069
0,1361
0,0587
0,064
0,0626
0,3297
0,0678
0,0677
Lampiran 2 Tabel Rata-rata Bulanan Kecepatan Arus Permukaan (m/s) Tahun Bulan 2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Januari
0,482
0,55
0,602
0,537
0,501
0,505
0,598
0,668
0,717
0,735
Februari
0,423
0,377
0,517
0,581
0,53
0,699
0,648
0,533
0,645
0,724
Maret
0,521
0,541
0,508
0,517
0,473
0,62
0,582
0,688
0,647
0,825
April
0,591
0,523
0,614
0,407
0,657
0,841
0,585
0,622
0,588
0,823
Mei
0,722
0,777
0,566
0,618
0,548
0,841
0,622
0,511
0,55
0,744
Juni
0,89
0,588
0,427
0,902
0,905
1.17
0,673
0,522
0,749
0,67
Juli
0,979
0,589
0,545
0,941
0,872
1,13
0,902
0,667
0,834
0,91
Agustus
0,895
0,84
0,835
1,08
0,819
0,763
1,01
0,843
1,11
0,912
September
0,882
0,893
0,851
1,19
0,925
0,733
1,01
0,588
1,06
0,895
Oktober
0,694
0,665
0,728
1,08
0,909
0,845
0,801
0,572
0,651
0,758
November
0,481
0,54
0,522
0,775
0,614
0,627
0,729
0,504
0,612
0,635
Desember
0,765
0,554
0,487
0,753
0,502
0,593
0,483
0,638
0,607
0,602
Lampiran 3 Tabel Rata-rata Bulanan Konsentrasi klorofil-a (mg/m3) Tahun Bulan 2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Januari
0,007
0,015
0,014
0,021
0,066
0,002
0,006
0,013
0,013
0,014
Februari
0,030
0,035
0,007
0,002
0,010
0,034
0,013
0,028
0,008
0,005
Maret
0,023
0,027
0,014
0,018
0,013
0,003
0,005
0,019
0,011
0,025
April
0,017
0,038
0,013
0,011
0,021
0,022
0,021
0,034
0,038
0,025
Mei
0,021
0,021
0,041
0,025
0,036
0,062
0,022
0,039
0,037
0,068
Juni
0,114
0,049
0,020
0,209
0,120
0,132
0,030
0,058
0,13
0,058
Juli
0,290
0,040
0,046
0,232
0,122
0,183
0,048
0,058
0,095
0,094
Agustus
0,297
0,262
0,132
0,43
0,140
0,287
0,132
0,037
0,326
0,330
September
0,263
0,316
0,117
0,89
0,478
0,248
0,219
0,032
0,299
0,359
Oktober
0,149
0,077
0,062
1,146
0,589
0,308
0,150
0,024
0,190
0,268
November
0,027
0,103
0,032
2,254
0,319
0,238
0,033
0,066
0,025
0,042
Desember
0,009
0,009
0,020
1,315
0,011
0,005
0,014
0,005
0,014
0,011
Lampiran 4 Tabel Rata-rata Bulanan Sebaran Suhu Permukaan Laut (oC) Tahun Bulan 2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
Januari
28,69
28,64
28,88
28,56
28,8
28,07
28,66
29,08
28,02
28,61
Februari
28,81
27,58
29,42
28,63
30,09
28,55
28,16
29,14
28,18
28,76
Maret
28,61
28,8
29,35
28,61
28,41
29,01
29,23
29,25
28,79
29,02
April
29,32
29,25
29,29
28,37
28,33
28,69
28,81
29,74
29,11
28,59
Mei
26,4
28,08
29,1
28,56
28,41
28,28
28,5
28,72
28,87
28,63
Juni
27,75
27,69
28,06
27,66
27,45
26,92
28,25
28,83
27,7
27,16
Juli
25,77
27,23
27,66
25,22
26,33
25,57
27,23
27,59
26,82
25,52
Agustus
25,48
25,78
26,26
24,78
25,47
25,47
26,29
26,64
26,31
24,73
September
25,55
26,33
26,39
24,75
25,86
26,45
26,26
27,6
25,52
25,99
Oktober
26,78
26,68
27,09
25,65
26,77
26,83
27,43
28,39
26,4
26,78
November
27,39
27,33
27,49
27,55
28,08
27,67
28,55
28,74
27,46
28,2
Desember
27,85
27,63
28,32
28,31
28,9
28,46
28,99
29,11
28,89
28,71
RIWAYAT HIDUP Penulis adalah putra ketiga dari empat bersaudara, dengan ayah Marthinus Matulessy dan Ibu Juliana Noija, Penulis dilahirkan pada tanggal 13 Maret 1981 di Kota Ambon, Maluku. Pendidikan Sekolah Dasar dilalui pada tahun 1987 di Sekolah Dasar Negeri 08 Kecamatan Nusaniwe Kota Ambon, dan tamat pada tahun 1993, Pendidikan Sekolah Menengah Pertama diikuti pada tahun 1993 di SMP negeri 02 Manokwari dan tamat pada tahun 1996, pendidikan Menengah Atas ditempuh di SMU Negeri 01 Manokwari dan tamat pada tahun 1999. Penulis terdaftar sebagai mahasiswa pada Program Studi Diploma III Budidaya Perikanan, Fakultas Pertanian Universitas Negeri Papua pada tahun 2001 dan di tahun 2004. Penulis menyelesaikan studi pada Program Studi Diploma III Budidaya Perikanan Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Negeri Papua Manokwari. Pendidikan Sarjana diselesaikan pada tahun 2009 pada Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan Jurusan Perikanan melalui pendidikan alih jenjang pada tahun 2006. Kesempatan melanjutkan pendidikan ke Program Pascasarjana pada Program Studi Teknologi Kelautan IPB diperoleh dari Beasiswa Unggulan DIKTI pada tahun 2011. Karya ilmiah pada Program Sarjana berjudul Komposisi Ikan Kupu-Kupu (chaetodontidae) dan Hubungannya dengan Kondisi Terumbu Karang di Perairan Pulau Lemon Kabupaten Manokwari. Dalam rangka menyelesaikan tugas akhir pada Program Magister di Program Studi Teknologi Kelautan IPB, penulis melakukan penelitian dan menyusun Tesis berjudul Dinamika Tinggi Paras Laut dan Pola Arus Geostropik dari Data Satelit Altimetri di Perairan Selatan Jawa.