WAVEFORM RETRACKING SATELIT JASON 2 DI PERAIRAN JAWA TIMUR
KADEK SURYA SUMERTA
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul:
WAVEFORM RETRACKING SATELIT JASON 2 DI PERAIRAN JAWA TIMUR
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Januari 2013
Kadek Surya Sumerta NIM C54080022
ABSTRAK
KADEK SURYA SUMERTA. Waveform Retracking Satelit Jason 2 di Perairan Jawa Timur. Dibimbing oleh JONSON LUMBAN GAOL. Waveform retracking adalah proses pengukuran ulang jarak satelit terhadap permukaan laut (range) dengan menganalisa waveform di suatu wilayah perairan dengan menggunakan metode retracking. Penelitian ini dilakukan di wilayah perairan bagian utara dan selatan Jawa Timur dengan menggunakan data Sensor Geophysical Data Record (SGDR) Jason 2. Nomor lintasan yang digunakan pada penelitian ini adalah 127, 140 dan 203 serta menggunakan cycle dimulai dari 18 – 158. Untuk menguji kualitas dari proses ini per kategori jarak dilakukan analisa Improvement Precentage (IMP) terhadap metode retracking yang digunakan. Metode yang digunakan adalah Offset Center Off Grativity (OCOG), ice, ocean, threshold 20% dan 50%; improved threshold 20%, 30% dan 50%. Penelitian ini menggunakan enam lokasi stasiun yang dilalui oleh Satelit Jason 2. Kategori jarak yang digunakan pada penelitian ini adalah 0 – 10 km, 10 – 50 km, 50 – 100 km, dan 100 – 200 km. Pengamatan terhadap performa metode waveform retracking diperoleh bahwa performa tiap metode waveform retracking berbeda pada masing-masing kategori jarak di setiap stasiun. Penggunaan threshold level 20% dan 30% pada metode threshold paling sesuai untuk wilayah perairan Jawa Timur. Validasi nilai Sea Surface Height (SSH) metode retracking menggunakan data Sea Level Anomaly (SLA) dan data pasang surut in situ. Hasil validasi menunjukan bahwa metode yang memiliki nilai IMP terbesar selama periode 2009 – 2012 memiliki nilai korelasi tertinggi terhadap data pasang surut in situ. Misalnya, metode retracking ice dengan nilai IMP terbesar pada Stasiun 1 dan 6, memiliki nilai koefisien korelasi tertinggi yaitu sebesar 0.78 dan 0.95. Pengukuran SSH selama periode 2009 – 2012 dengan metode retracking teroptimal pada masing-masing stasiun menghasilkan nilai rentang SSH untuk Stasiun 1 sampai Stasiun 6 sebagai berikut 30.87 – 33.45 m, 32.13 – 33.16 m, 34.38 – 35.08 m, 32.32 – 35.13 m, 30.17 – 32.23 m, dan 26.31 – 27.08 m, sedangkan rata-rata SSH berturut-turut sebesar 33.13 m (Stasiun 1), 32.43 m (Stasiun 2), 35.76 m (Stasiun 3), 32.56 m (Stasiun 4), 30.89 m (Stasiun 5), dan 27.58 m (Stasiun 6).
Kata kunci: waveform¸ retracking, IMP, Jason 2, Jawa Timur, dan SSH.
ABSTRACT
KADEK SURYA SUMERTA. Waveform Retracking Satellite Jason 2 in East Java Sea. Supervised by JONSON LUMBAN GAOL. Waveform retracking is a process to recalculate the range between satellite and sea surface by analysing waveform in a sea region with retracking methods. This research used SGDR Jason 2 altimetry data with region observation were north and south side of East Java Sea. This research used pass numbers 127, 140 and 203 with cycle 18 until 158. For testing the quality of the methods this research calculated IMP for each methods. This research used OCOG method, ice, ocean, threshold 20% and 50%, improved threshold 20%, 30% and 50%. The research classifed 4 categories distance from the coastline. There was 0 – 10 km, 10 – 50 km, 50 – 100 km, dan 100 – 200 km. Performance every waveform retracking was different in each station. Using threshold level 20 % and 30 % in threshold retracking method suited for sea region in East Java. Validation of SSH measured with retracking method used SLA data and tide gauge in situ data. The result showed that the retracking methods which had highest precentage of IMP for 2009 – 2012 had the highest coeficient correlation to tide gauge in situ data. For example, ice method which had the highest precentage value of IMP in Station 1 and 6, had the highest coeficient correlation were 0.78 and 0.95. Measuring SSH value for 2009 – 2012 with optimal methods for every station resulted range of SSH for Station 1 until Station 6 were 30.87 – 33.45 m, 32.13 – 33.16 m, 34.38 – 35.08 m, 32.32 – 35.13 m, 30.17 – 32.23 m, and 26.31 – 27.08 m. Meanwhile average value of SSH were 33.13 m (Station 1), 32.43 m (Station 2), 35.76 m (Station 3), 32.56 m (Station 4), 30.89 m (Station 5), dan 27.58 m (Station 6).
Key words : waveform¸retracking, IMP, Jason 2, and East Java, and SSH
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
WAVEFORM RETRACKING SATELIT JASON 2 DI PERAIRAN JAWA TIMUR
KADEK SURYA SUMERTA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
Judul Skripsi : Waveform Retracking Satelit Jason 2 di Perairan Jawa Timur Nama
: Kadek Surya Sumerta
NIM
: C54080022
Disetujui oleh,
Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M. Si Pembimbing I
Diketahui oleh,
Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M. Sc Ketua Departemen
Tanggal Lulus : 25 Maret 2013
PRAKATA
Puji syukur kepada Tuhan Sang Hyang Widhi Wasa atas semua berkat dan karunia yang telah diberikan-Nya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi yang berjudul WAVEFORM RETRACKING SATELIT JASON 2 DI PERAIRAN JAWA TIMUR diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana. Penelitian ini dilakukan pada 1 Juni 2012 hingga 30 Januari 2013 di Badan Informasi Geospasial (BIG). Penulis menyampaikan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M. Si. Selaku pembimbing, serta Bapak Dr. Ir. Parluhutan Manurung, M. Sc dan Bapak Stefano Vignudeli selaku dosen materi Altimetri. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Badan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) dan BIG atas bantuan data altimetri dan pasang surut wilayah Jawa Timur. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, kakak, seluruh keluarga besar, serta teman-teman atas doa dan dukungannya selama melakukan kegiatan penelitian dan penulisan berlangsung. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Januari 2013 Kadek Surya Sumerta
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR SINGKATAN DAFTAR ISTILAH PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Penelitian Prinsip Dasar Altimetri Waveform Satelit Pengaruh Daratan Terhadap Waveform Metode Retracking Satelit Jason 2 Pengembangan Satelit Altimetri dan Aplikasi BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Alat dan Bahan Metode Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Waveform Perairan Jawa Timur Analisis IMP Sea Surface Height (SSH) Retracking dan Non Retracking Analisis IMP Hasil Waveform Retracking Selama Tahun 2009 hingga 2012 Validasi SSH Hasil Waveform Retracking Tahun 2009 – 2012 SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
iii iii iv v v 1 2 3 3 5 8 8 11 17 18 20 21 27 30 38 44 46 47 59
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Jumlah waveform gate pada satelit altimetri 5 Karakteristik Satelit Jason 2 13 Karakteristik Orbit Jason 2 16 Koordinat titik awal waveform retracking data SGR Jason 2 18 Koordinat titik waveform retracking tinggi muka laut 1 Januari 2009 sampai dengan 20 Oktober 2012 18 Informasi stasiun pasang surut terhadap titik pengamatan satelit altimetri 26 Statistik hasil waveform retracking pada kategori jarak 0 – 10 km 32 Statistik hasil waveform retracking pada kategori jarak 10 – 50 km 33 Statistik hasil waveform retracking pada kategori jarak 50 – 100 km 34 Statistik hasil waveform retracking pada kategori jarak 100 – 200 km 35 Statistik hasil waveform retracking SSH selama tahun 2009 – 2012 40 Koefisien korelasi dan standar deviasi antara pengukuran data pasang surut dengan SLA hasil waveform retracking 44 DAFTAR GAMBAR
1 Prinsip satelit altimetri 2 Klasifikasi kelas dari bentuk waveform Satelit Jason 3 Presentase bentuk waveform Satelit Jason-2 sebagai fungsi dari jarak ke garis pantai 4 Macam-macam bagian waveform 5 Proses terbentuknya waveform 6 Tampak samping dan atas representatif pantulan permukaan laut pada kasus transisi laut ke daratan 7 Skematik diagram metode OCOG 8 Diagram alir metode improved threshold 9 Satelit Jason 2 10 Sensor Poseidon-3 Altimeter 11 Sensor Advanced Microwave Radiometer (AMR) 12 Sensor Doris System 13 Plot lintasan Satelit Jason-2 pada peta dunia 14 Lokasi waveform retracking data SGDR Jason 2 perairan Jawa Timur 15 Proses waveform retracking di perairan Jawa Timur 16 Bentuk-bentuk waveform perairan Jawa Timur 17 Bentuk waveform Stasiun 1 pada jarak 0 – 10 km 18 Bentuk waveform Stasiun 1 pada jarak 10 – 50 km 19 Bentuk waveform Stasiun 1 pada jarak 50 – 100 km 20 Bentuk waveform Stasiun 1 pada jarak 100 – 200 km 21 Visualisasi SSH metode retracking, tanpa retracking dan geoid Stasiun 3 kategori jarak 0 – 10 km 22 Visualisasi SSH metode retracking,
5 6 7 7 7 8 10 12 13 14 14 15 16 19 22 27 28 28 29 29 31
iii
23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
tanpa retracking dan geoid stasiun 1 kategori jarak 0 – 10 km Visualisasi SSH metode retracking, tanpa retracking dan geoid Stasiun 1 kategori jarak 10 – 50 km Visualisasi SSH metode retracking, tanpa retracking dan geoid Stasiun 1 kategori jarak 50 – 100 km Visualisasi SSH metode retracking, tanpa retracking dan geoid Stasiun 1 kategori jarak 100 – 200 km Visualisasi nilai SSH hasil retracking dan tanpa retracking pada titik pengukuran 1 selama tahun 2009-2012 Visualisasi nilai SSH hasil retracking dan tanpa retracking pada titik pengukuran 2 selama tahun 2009-2012 Visualisasi nilai SSH hasil retracking dan tanpa retracking pada titik pengukuran 3 selama tahun 2009-2012 Visualisasi nilai SSH hasil retracking dan tanpa retracking pada titik pengukuran 4 selama tahun 2009-2012 Visualisasi nilai SSH hasil retracking dan tanpa retracking pada titik pengukuran 5 selama tahun 2009-2012 Visualisasi nilai SSH hasil retracking dan tanpa retracking pada titik pengukuran 6 selama tahun 2009-2012 Perbandingan nilai SLA metode retracking terhadap data in situ pasang surut dari bulan Mei hingga Oktober 2012 pada titik pengukuran ke-1 Perbandingan nilai SLA metode retracking terhadap data in situ pasang surut dari bulan Januari hingga Desember 2012 pada titik pengukuran ke-6
36 37 37 38 41 41 42 42 43 43 45 45
DAFTAR LAMPIRAN 1 Visualisasi pengamatan waveform berdasarkan kategori jarak setiap stasiun di wilayah perairan Jawa Timur 2 Visualisasi nilai SSH retracking perairan Jawa Timur 3 Data pasang surut Stasiun Semarang selama bulan April hingga Oktober 2012 4 Data pasang surut Stasiun Prigi selama bulan Januari hingga Desember 2012 5 Sintak waveform retracking untuk pengamatan performa metode retracking 6 Sintak waveform retracking untuk pengamatan pada enam titik selama tahun 2009 – 2012 7 Fungsi MATLAB tentang metode retracking OCOG 8 Fungsi MATLAB tentang metode retracking threshold 9 Fungsi MATLAB tentang metode retracking improved threshold 10 Nomor jalur lintasan Satelit Jason 2 dan nilai koordinat 11 Perkembangan satelit berikut dengan misi masing-masing satelit 12 Perencanaan satelit-satelit di bidang Altimetri dimulai dari tahun 2008 hingga 2022
49 59 68 69 70 78 84 85 85 88 90 91
iv
DAFTAR SINGKATAN BIG IMP MSL OCOG SGDR SLA SSH TOPEX
Badan Informasi Geospasial Improvement Precentage Mean Sea Level Offset Center Off Grativity Sensor Geophysical Data Record Sea Level Anomaly Sea Surface Height The Ocean Topography Experiment DAFTAR ISTILAH
Cycle Elipsoid Footprint Geoid Leading edge On-board tracker Pass Range Retracking Waveform
Waktu tempuh satelit kembali ke titik awal Garis referensi yang menggambarkan permukaan bumi seperti bentuk bulat utuh dengan kerapatan bumi yang homogen Luasan lingkaran untuk menerima jejak sinyal pantulan Representasi dari permukaan bumi dan dapat diasumsikan MSL jika laut menutupi bumi seutuhnya Bagian waveform yang mengalami peningkatan power Alat sensor satelit untuk menerima sinyal pantulan Nomor lintasan satelit altimetri Jarak antara satelit altimetri terhadap titik nadir di permukaan laut Pengukuran kembali nilai range untuk menghilangkan pengaruh daratan Bentuk pantulan sinyal yang diterima oleh satelit
v
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Satelit altimetri adalah satelit luar angkasa yang melakukan pengukuran tinggi dan bentuk permukaan laut secara global dari orbitnya di luar angkasa. Satelit altimetri digunakan untuk pengamatan topografi permukaan laut dan terus berkembang tingkat akurasi dan resolusinya. Teknologi ini memancarkan gelombang mikro ke permukaan laut dan mengukur waktu dua kali perjalanan gelombang yang diterima. Alat on-board tracker pada satelit mengukur nilai range dan menghasilkan distribusi energi yang diterima dari gelombang pantul yang disebut dengan waveform secara berurutan waktu. Oleh sebab itu, satelit altimetri mengukur waktu dua kali perjalanan gelombang dengan mengidentifikasi titik tengah pada bagian leading edge dari waveform. Pengukuran SSH dari satelit altimetri di wilayah pantai dapat memunculkan kesalahan yang disebabkan oleh koreksi geofisik dan lingkungan yang kurang akurat; dan gangguan oleh topografi daratan pulau dan perairan dangkal dekat pantai terhadap gelombang balik. Brooks et al. (1997) menemukan bahwa pengaruh daratan terhadap gelombang balik sepanjang jarak 4.1 – 34.8 km dari pantai pada waveform Satelit the Ocean Topography Experiment (TOPEX). Selain itu Deng et al. (2002) menemukan bahwa waveform dari Satelit ERS-2 dan Satelit Poseidon akan terpengaruh sampai jarak maksimum 22 km pada wilayah pantai Australia. Bentuk waveform yang terpengaruh oleh daratan tidak sama dengan bentuk waveform pada laut terbuka sehingga on-board tracker tidak dapat mengukur range antara satelit dengan titik nadir satelit secara akurat. Oleh karena itu nilai SSH yang dihasilkan menjadi tidak akurat. Beberapa metode analisis data banyak dikembangkan oleh para ilmuwan altimetri untuk menghilangkan pengaruh daratan pada pengukuran SSH. Martin et al. (1983) mengembangkan metode retracking ice untuk mengukur tinggi gunung es di kawasan antartika. Selain itu, Wingham et al. (1986) dan Davis (1995 dan 1997) masing-masing mengembangkan algoritma OCOG dan threshold. Beberapa ilmuwan altimetri telah membandingkan metode-metode waveform retracking pada wilayah pantai untuk menguji akurasi nilai SSH 1
2
masing-masing metode tersebut. Namun performa masing-masing metode waveform retracking berbeda tiap wilayah pantai. Yang et al. (2008) menemukan bahwa metode OCOG mendapatkan nilai SSH paling akurat dibandingkan dengan metode ice, threshold, dan ocean-on board tracker pada jarak kurang dari 10 km dari pantai di wilayah Laut Cina. Hal ini berbeda dengan hasil observasi Lee et al. (2010), bahwa metode threshold dan ice yang menghasilkan informasi SSH paling akurat untuk wilayah perairan California Amerika Serikat. Dengan demikian, beberapa wilayah pantai akan berbeda performa metode waveform retracking. Oleh karena performa metode waveform retracking berbeda-beda dan informasi SSH penting untuk wilayah pantai di Indonesia maka perlu dilakukan observasi di wilayah perairan Indonesia. Wilayah perairan yang akan diteliti adalah wilayah perairan bagian utara dan selatan Jawa Timur. Kegiatan masyarakat pesisir Jawa Timur terkonsentrasi di wilayah perairan pantai. Untuk mengetahui performa metode waveform retracking digunakan analisis IMP terhadap perbedaan standar deviasi SSH tanpa retracking dan nilai geoid dengan standar deviasi SSH hasil metode waveform retracking dengan nilai geoid pada masing-masing stasiun pengamatan.
1.2 Tujuan Tujuan penelitian ini adalah : 1. Menentukan metode waveform retracking yang sesuai untuk penentuan SSH dengan presisi tinggi untuk perairan Jawa Timur. 2. Menghasilkan informasi nilai SSH untuk periode 2009 – 2012 di wilayah perairan Jawa Timur
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian Penelitian ini memilih lokasi perairan laut di Provinsi Jawa Timur untuk penggamatan tinggi muka laut tahun 2009 hingga 2012. Jawa Timur terletak di bagian paling timur dari Pulau Jawa. Ibu kota Provinsi Jawa Timur adalah Surabaya. Luas daratan Jawa Timur adalah 47.799,75 km2 dengan jumlah penduduk 41.437.769 jiwa (Depdagri, 2011). Jawa Timur berbatasan dengan Laut Jawa di bagian utara, Samudera Hindia di bagian selatan, Jawa Tengah di bagian Barat dan timur berbatasan dengan Provinsi Bali.
2.2. Prinsip Dasar Satelit Altimetri Prinsip satelit altimetri adalah mengukur jarak (range) R dari satelit menuju permukaan laut. Hal ini dapat dijelaskan pada Gambar 1. Satelit altimetri memancarkan pulsa pendek dari radiasi gelombang mikro dengan nilai power yang diketahui menuju permukaan laut. Pulsa tersebut berinteraksi dengan permukaan laut yang kasar dan sebagian radiasi datang terpantulkan kembali ke altimeter. Nilai R dari satelit ke rata-rata muka laut didapatkan dari waktu perjalanan bolak-balik, yaitu : 𝑅 = 𝑅̇ − ∑𝑗 ∆𝑅𝑗 ............................................ (1) dimana 𝑅̇ = ct/2 adalah nilai range dengan mengabaikan refraksi berdasarkan kecepatan cahaya di medium luar angkasa (c) dan ∆𝑅𝑗 = 1,2,3, . . 𝑑𝑠𝑡 adalah komponen koreksi untuk menghilangkan atmosferik, sea state bias, dan pasang surut. Komponen koreksi atmosferik terdiri atas dry troposphere correction, wet troposphere correction, ionosphere correction,dan inverse barometer effect. Berikutnya komponen koreksi Sea State Bias terdiri atas EM bias dan skewness bias (Chelton et al. 2010). Komponen pasang surut terdiri atas solid earth tide, geocentric ocean height tide, dan pole tide height. Komponen koreksi atmosferik digunakan untuk mengurangi pengaruh dari molekul gas-gas kering (dry troposphere), uap-uap air (wet troposphere correction), ion-ion elektron (ionosphere correction), dan tekanan udara (inverse barometer effect) dalam
3
4
memperlambat kecepatan rambat gelombang mikro menuju permukaan laut. Sedangkan untuk koreksi sea state bias untuk mengurangi kesalahan akibat pantulan dari bagian lembah gelombang yang terkena gelombang mikro (EM bias dan skewness bias). Kemudian koreksi pasang surut digunakan untuk mengurangi pengaruh eksternal gaya gravitasi terhadap laut (solid earth tide), respon terhadap gaya keseimbangan pasang surut (geocentric ocean height tide), dan pengaruh gaya sentrifugasi yang disebabkan perputaran bumi pada sumbu rotasinya (pole tide) Nilai R pada persamaan (1) berbeda sepanjang orbit satelit dari sepanjang variasi jalur. Pengukuran range R kemudian dikonversi menjadi nilai SSH (h) relatif terhadap referensi elipsoid yang menggambarkan permukaan bumi seperti bentuk bulat utuh dengan kerapatan bumi yang homogen (Chelton et al. 2001). ℎ =𝐻−𝑅 = 𝐻 − 𝑅̇ − ∑𝑗 ∆𝑅𝑗 ............................... (2) Akurasi pengukuran R dan H tidak cukup untuk aplikasi oseanografi pada pengukuran altimetri. Tinggi muka laut yang diberikan pada rumus (2) di atas relatif terhadap referensi elipsoid berhimpit dengan pengaruh efek geofisik. Dengan penambahan efek dinamis dari arus geostrofik yang merupakan perhatian utama pada aplikasi oseanografi, nilai h dipengaruhi oleh undulasi geoid (hg) tentang penaksiran elipsoid, variasi tinggi pasang surut (hT) dan respon laut terhadap tekanan atmosferik (ha). Geoid adalah representasi dari permukaan bumi dan dapat diasumsikan Mean Sea Level (MSL) jika laut menutupi bumi seutuhnya (Benveniste, 2001). Efek-efek ini harus dihilangkan dari h untuk menginvestigasi pengaruh efek arus geostrofik pada perhitungan tinggi muka laut. Rumus tinggi dinamik muka laut (hd) adalah sebagai berikut. (Chelton et al, 2001) ℎ𝑑 = ℎ − ℎ𝑔 − ℎ𝑇 − ℎ𝑎 ℎ𝑑 = 𝐻 − 𝑅̇ − ∑𝑗 ∆𝑅𝑗 − ℎ𝑔 − ℎ𝑇 − ℎ𝑎 ................ (3)
5
Gambar 1. Prinsip Satelit Altimetri (Benveniste, 2010) 2.3. Waveform Satelit Gommenginger et al. (2010) menjelaskan bahwa waveform adalah bentuk dari sinyal pantulan yang diterima oleh satelit yang menghadirkan evolusi waktu dari energi pantulan ketika gelombang mikro menyentuh permukaan. Waveform memberikan informasi pada alam dan pantulan permukaan, seperti tinggi gelombang signifikan. Waveform ini menggambarkan perubahan energi pada gate ke-i (i=1,2,...n) yang diterima oleh satelit. Jumlah waveform gate (n) berbeda untuk masing-masing jenis satelit altimetri, seperti dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Jumlah waveform gate pada satelit altimetri (Gommenginger et al, 2010) Satelit
Band
Geosat ERS-1 ERS-2
Ku Ku Ku Ku C Ku Ku Ku C Ku C
TOPEX Poseidon GFO Jason-1 Jason-2
Jumlah Waveform Gate 60 64 64 128 128 60 128 104 104 104 104
6
Berbagai bentuk waveform yang dipindai oleh Satelit Jason-2 dapat dilihat pada Gambar 2. Kelas 1 merupakan tipe brown echoes yang sering ditemukan di laut lepas. Gommenginger et al. (2010) mengatakan bahwa sekitar 94% dari keseluruhan waveform Satelit Jason-2 yang dianalisa di Australia memiliki bentuk brown echoes dengan jarak minimal 15 km dari garis pantai. Persentase keberadaan waveform bentuk brown semakin menurun menuju pantai. Sebaliknya untuk tipe peak echoes persentase kehadiran bentuk waveform ini semakin meningkat. Persentase waveform ditunjukkan pada Gambar 3. Pada umumnya, wilayah waveform dibagi menjadi tiga bagian, yaitu thermal noise, leading edge, dan trailing edge (Gambar 4). Proses terbentuk sebuah waveform dari gelombang pantul yang diterima satelit altimeri ditunjukan pada Gambar 5. Bagian thermal noise tidak terjadi peningkatan power waveform akibat tidak adanya sinyal pantul yang menuju ke satelit. Bagian leading edge merupakan wilayah gelombang mikro dipancarkan dan pantulan gelombang mikro menuju satelit. Untuk mendapatkan nilai range, sebelumnya menentukan titik tengah pada daerah trailing edge. Pada gate ke-Nt adalah waktu gelombang mikro menyentuh permukaan laut tepat pada nadir. Kemudian bagian trailing edge merupakan pantulan energi gelombang pada permukaan laut di sekitar titik nadir.
Gambar 2. Klasifikasi kelas dari bentuk waveform Satelit Jason-2 (Gommenginger et al., 2010)
7
Gambar 3. Persentase bentuk waveform Satelit Jason-2 sebagai fungsi dari jarak ke garis pantai (Gommenginger et al., 2010)
Gambar 4. Macam-macam bagian waveform
Gambar 5. Proses terbentuknya waveform (Gommenginger et al., 2010)
8
2.4. Pengaruh Daratan terhadap Waveform Kendala pengukuran tinggi muka laut di kawasan pantai adalah gangguan daratan terhadap energi pantulan oleh permukaan laut. Hal ini dikarenakan posisi daratan berada pada window analysis satelit altimetri, sehingga jejak (footprint) pantulan sinyal daratan terekam pada waveform. Nilai power yang terekam pada waveform juga menggambarkan proporsi pengaruh daratan pada window analysis terhadap pantulan tinggi muka laut (Gambar 6). Kontaminasi daratan dapat dilihat pada bagian trailing edge. Nilai power pantulan pada waveform bagian trailing edge sangat tinggi berbeda terhadap bagian gate awal hingga bagian leading edge.
Gambar 6. Tampak samping dan atas representatif pantulan permukaan laut (Gommenginger et al., 2010) 2.5. Metode Retracking Retracking adalah proses identifikasi titik tengah pada bagian leading edge sebuah waveform untuk mendapatkan nilai waktu pada saat gelombang mikro menyentuh permukaan laut. Pantulan gelombang mikro dari daratan sepanjang analysis window Satelit Jason-2 akan mempengaruhi posisi leading edge. Posisi
9
leading edge akan berubah sehingga titik tengah pada leading edge berubah. Jika waveform Satelit Jason-2 tidak terpengaruhi oleh daratan, nilai titik tengah tersebut berada pada gate ke-32.5 (Lee et al., 2010). Oleh karena itu untuk mendapatkan nilai titik tengah tersebut dilakukan dengan metode retracking. Metode retracking terdiri atas beberapa jenis. Pada penelitian ini metode retracking yang digunakan adalah metode OCOG, threshold, improve threshold 50%, ocean retracker, dan ice retracker. Berikut ini adalah penjelasan dari beberapa metode retracking tersebut. 1. Offset Center of Gravity Retracker (OCOG) Algoritma ini dikembangkan oleh Wingham (1986) untuk mendapatkan retracking yang berkualitas. Tujuannya adalah untuk mencari titik tengah gravitasi dari setiap waveform berdasarkan tingkat energi dalam sebuah gate. Gambar 7 menunjukan skematik diagram metode OCOG. Metode ini merupakan pengolahan statistik yang tidak bergantung kepada bentuk fungsional. Berikut rumus yang digunakan dalam proses metode OCOG. 𝑁−𝑛
𝑁−𝑛
2 2 𝐴 = √∑𝑖=1+𝑛 𝑃4 (𝑡)⁄∑𝑖=1+𝑛 𝑃2 (𝑡).................................. (3) 1 𝑖 1 𝑖
2
𝑁−𝑛
𝑁−𝑛
2 2 𝑊 = (∑𝑖=1+𝑛 𝑃2 (𝑡)) ⁄∑𝑖=1+𝑛 𝑃4 (𝑡).............................. (4) 1 𝑖 1 𝑖
𝑁−𝑛2 𝑁−𝑛2 𝐶𝑂𝐺 = ∑𝑖=1+𝑛 𝑖𝑃𝑖2 (𝑡)⁄∑𝑖=1+𝑛 𝑃2 (𝑡) .............................. (5) 1 1 𝑖 𝑊
𝐿𝐸𝑃 = 𝐶𝑂𝐺 − 2 ............................................. (6) dimana : i = gate Pi = energi waveform N = jumlah gate n1 = nomor gate awal n2 = nomor gate akhir Menurut Hwang et al. (2006), nilai n1 dan n2 adalah 4. OCOG ini kadangkadang digunakan untuk menghitung nilai awal dari threshold retracker, improved threshold retracker, dan fungsi β-parameter. Sintak program metode retracking ini tertera pada Lampiran 7.
10
Gambar 7. Skematik diagram metode OCOG. (Gommenginger et al., 2010) 2. Threshold Retracker. Untuk mengubah perhitungan range, metode threshold retracking dikembangkan oleh Davis (1995, 1997). Metode ini berdasarkan dimensi kotak dihitung dengan menggunakan metode OCOG. Nilai batas gate diukur terhadap 25%, 50% dan 75% dari amplitudo maksimum OCOG yang akan digunakan untuk analisis gate retracking. Nomor range gate yang didapatkan dengan menginterpolasi contoh terdekat dari threshold memotong bagian tertinggi pada kemiringan leading edge waveform. Davis (1997) menyarankan menggunakan 50% tingkat threshold untuk waveform yang didominasi oleh surface scattering dan threshold 10-20% untuk volume scattering signals. Sintak program metode retracking ini dilampirkan pada Lampiran 8. Beberapa langkah-langkah metode ini adalah: a. Menghitung gangguan suhu (thermal noise) 1
𝑃𝑁 = 5 ∑5𝑖 𝑝𝑖 ............................................. (7) b. Menghitung tingkat threshold (𝑇ℎ ) 𝑇ℎ = 𝑃𝑁 + 𝑞. (𝐴 − 𝑃𝑁 ) ..................................... (8) c. Nilai range setelah diolah (retracked) pada leading edge dari waveform didapat dari interpolasi linear antara gate berdekatan sampai Th menggunakan
11
𝑇 −𝑃
𝐺𝑟 = 𝐺𝑘−1 + 𝑃ℎ −𝑃𝑘−1 .................................... (9) 𝑘
Dimana : A
𝑘−1
= amplitudo OCOG
𝑃𝑁 = rata-rata nilai energi waveform dari lima gate pertama q
= nilai threshold
Gk = energi pada gate ke-k, dimana k adalah lokasi dimana gate pertama melebihi Th. . 3. Improve Threshold Retracking Jenis improve threshold retracking yang digunakan pada penelitian ini adalah versi Hwang. Secara garis besar retracker ini mengidentifikasi subwaveform dari seluruh gate waveform. Langkah seleksi subwaveforms dapat dilihat pada Gambar 8. Setelah mendapatkan hasil gate (i) terbaik kemudian diolah dengan menggunakan metode threshold sehingga mendapatkan nilai range. Nilai ϵ1 = 8 dan ϵ2 = 2 (Hwang et al., 2006). Sintak program metode retracking ini tertera pada Lampiran 9. 4. Ocean and Ice Retracker Data ocean retracker yang tersedia dalam data SGDR Jason-2 masing-masing menggunakan Maximum Likelihood Estimator 4 (MLE4) menyesuaikan Model Brown fase 2. Data metode retracking ice sama dengan metode waveform retracking threshold 30% (Lee et al., 2010). 2.6. Satelit Jason 2 Satelit Jason-2 dikembangkan pertama kali dan diluncurkan pada tanggal 20 Juni 2008. Satelit ini dikembangkan oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA) dan Centre National d’Études Spatiales (CNES). Satelit ini meneruskan misi Satelit TOPEX/Poseidon (T/P) yang sukses mengamati lautan dunia selama 20 tahun. Misi utama satelit ini adalah mengukur topografi permukaan laut minimal tingkat performa sama dengan T/P. Satelit ini menyajikan pengukuran akurasi tinggi secara kontinu dari topografi lautan sehingga ilmuwan dapat mempelajari sirkulasi lautan secara umum dan mengetahui perannya terhadap iklim dunia.
12
Observasi dimulai dari gate ke-i, yaitu 5 Jika
𝑃𝑖−1 − 𝑃𝑖 2
Ya
Tidak
i=i+1
>ε1 Batas 1 = i
Kurangi nilai power dari gate dengan nilai power gate selanjutnya
Ya
k=k+1
Jika 𝑃𝑖+1 − 𝑃𝑖 >ε2 Tidak
I = Batas1- Batas2
Batas 2 = k
Bentuk sebuah subwaveform dari i-4
k=0
sampai i+k+4
Gunakan subwaveform kepada perhitungan OCOG dan Threshold untuk mencari retracking gate
Gambar 8. Diagram alir metode improved threshold (Gommenginger et al, 2010)
13
2.6.1 Deskripsi Satelit Jason 2 Satelit Jason 2 (Gambar 9) memiliki berat 525 kg yang terdiri dari platform multi misi Plate Forme Reconfigurable pour l’Observation de la Terre, les telecommunications et les Utilisations Scientifiques (PROTEUS) dan modul penerbangan Jason 2. Platform memberikan fungsi rumah tangga termasuk propulsi, electrical power, perintah dan penanganan data, telekomunikasi, dan kontrol ketinggian. Modul peluncuran memberikan mekanika, elektrika, panas, dan dynamical support. (OSTM/Jason 2 Products Handbook, 2011). Karakteristik Satelit Jason 2 tertera pada Tabel 2.
Gambar 9. Satelit Jason 2 (OSTM/Jason 2 Products Handbook, 2011) Tabel 2. Karakteristik satelit Jason 2 (OSTM/Jason 2 Products Handbook, 2011) Komponen Berat Satelit Daya Satelit Berat Platform Daya Platform Berat Peluncur Daya Peluncur Berat sensor altimeter Daya sensor altimeter Peralatan luncur Lokasi Peluncuran
Keterangan 500 Kg 450 W 270 Kg 300 W 120 Kg 147 W 55 Kg 78 W Dual Delta II Vanderberg Air Force Base
14
2.6.2 Sensor Untuk dapat memenuhi misi satelit Jason 2, NASA dan CNES melengkapi satelit Jason 2 dengan beberapa sensor canggih. Adapun sensor-sensor canggih tersebut yaitu : 1. Poseidon-3 Altimeter. Altimeter dua frekuensi berfungsi untuk mengukur range dengan koreksi ionosferik yang akurat. Sensor ini beroperasi pada 13.575 GHz (Ku-band) dan 5.3 Ghz (C-band). Gambar 10 merupakan penampakan sensor Poseidon-3
Gambar 10. Sensor Poseidon-3 Altimeter (OSTM/Jason 2 Products Handbook, 2011) 2. Advanced Microwave Radiometer (AMR) Radiometer gelombang mikro beroperasi pada tiga frekuensi yaitu 18.7, 23.8, dan 34 GHz. Saluran frekuensi 23.8 GHz merupakan sensor uap air, ketika kandungan uap air meningkat maka akan memperbesar nilai kecerahan suhu alat, sedangkan saluran 18.7 dan 34 GHz digunakan untuk menghilangkan pengaruh awan cair dan kelebihan emisivitas permukaan dari permukaan laut terhadap angin. Gambar 11 merupakan penampakan sensor AMR.
Gambar 11. Sensor AMR (OSTM/Jason 2 Products Handbook, 2011)
15
3. Doris System Sistem Doris berfungsi sebagai pengatur navigasi satelit supaya tidak terlalu jauh dari lintasan yang ditentukan sehingga mempertahankan posisi edar satelit. Antena Doris terletak di bagian nadir Satelit Jason 2. Gambar 12 menunjukan instrumen Doris.
Gambar 12. Sensor Doris System (OSTM/Jason 2 Products Handbook, 2011) 2.6.3 Orbit Satelit Jason 2 melakukan pengukuran di sepanjang garis orbit satelit. Jason-2 akan terbang pada lintasan yang dekat dengan lintasan Jason 1 dan melewati 254 pass dan 10 hari mengulangi perputaran baru (cycle). Nomor putaran satelit dari satu titik posisi kembali ke posisi tersebut disebut Cycle. Untuk pass number adalah nomor lintasan yang dilalui oleh Satelit Jason 2. Posisi lokasi pass yang dilewati oleh Satelit Jason 2 dapat dilihat pada Lampiran 10. Pada Gambar 13 ditampilkan jalur lintasan Satelit Jason-2. Garis-garis putih tersebut merupakan jalur lintasan Satelit Jason-2. Beberapa informasi mengenai karakteristik orbit Satelit Jason-2 akan disajikan pada Tabel 3.
16
Gambar 13. Plot lintasan Satelit Jason-2 pada peta dunia (OSTM/Jason 2 Products Handbook, 2011)
Tabel 3. Karakteristik orbit Jason 2 (OSTM/Jason 2 Products Handbook, 2011) Bagian Orbit Semi Major Axis Eccentricity Sudut Inklinasi Argument of periapsis Inertial longitude of the ascending node Mean Anomaly Reference (Equatorial) Altitude Nodal Period Repeat Period Number of revolution cycle Equatorial cross track separation Ground track control band Orbital speed Ground track speed
Nilai 7.714,43 km 0.000095 66.04 derajat 90 derajat 116.56 derajat 253.13 derajat 1.336 km 6.745,72 detik 9.9156 hari 127 315 km ± 1 km 7.2 km/detik 5.8 km/detik
17
2.7. Pengembangan Satelit Altimetri dan Aplikasi Satelit altimetri mulai dikembangkan tahun 1973, dengan adanya Satelit Skylab yang dibuat oleh NASA. Satelit ini merupakan satelit altimetri yang pertama. Pada awalnya satelit altimetri ini digunakan untuk mengukur bentuk planet Bumi, tetapi kesalahan pengukuran yang dihasilkan sampai 100 m (Abidin, 2001). Pengembangan satelit altimetri untuk mendapatkan hasil pengukuran yang baik, dimulai dengan Satelit GEOS-3 (9 April 1975 – Desember 1978) dan Seasat (Juni 1978 – Oktober 1978). Setelah dihasilkan alat-alat dengan tingkat ketelitian baik, altimetri mulai memberikan informasi mengenai geodesi, oseanografi, geofisika, dan hidrologi yang lebih akurat. Selama bertahun-tahun para peneliti di bidang altimetri mengembangkan instrument satelit dengan tingkat presisi tinggi sehingga dapat mampu menciptakan satelit-satelit canggih. Setiap satelit diciptakan dengan misinya masing-masing sehingga melengkapi berbagai ilmu di bidang Geodesi, Oseanografi, Geofisika dan Hidrologi. Perkembangan satelit berikut dengan misi masing-masing satelit dan perencanaan satelit-satelit di bidang altimetri dimulai dari tahun 2008 hingga 2022 dicantumkan pada Lampiran 11 dan 12. Berkembang pesatnya ilmu di bidang altimetri sehingga pengamatan dinamika topografi laut dapat dilakukan secara kontinu dan informasi dapat digunakan pada beberapa aplikasi. Beberapa aplikasi penggunaan data altimetri yang terkait dengan kajian kelautan adalah (Handoko, 2004) : 1. Penentuan pasang surut, tinggi muka laut, dan arus permukaan 2. Rute pelayaran 3. Industri lepas pantai 4. Deteksi jalur buangan limbah 5. Deteksi penyebaran biota laut 6. Prediksi cuaca di laut 7. Gejala El-Nino dan variasi iklim global
3. BAHAN DAN METODE
3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 1 Juni 2012 hingga 30 Januari 2013 yang bertempat di BIG. Pengamatan performa metode retracking berdasarkan kategori jarak dilakukan di 6 (enam) stasiun. Informasi koordinat posisi awal pengukuran ditunjukan pada Tabel 4. Pada masing-masing stasiun akan dibagi menjadi empat kategori jarak dari garis pantai menuju laut lepas. Keempat kategori jarak tersebut yaitu 0 – 10 km, 10 – 50 km, 50 – 100 km, dan 100 – 200 km. Pengukuran nilai SSH selama tahun 2009 – 2012 dilakukan di 6 (enam) titik lokasi di perairan Provinsi Jawa Timur, sebagaimana ditunjukan pada Tabel 5. Lokasi penelitian diperlihatkan pada Gambar 14. Nomor lintasan Satelit Jason 2 yang digunakan adalah 127, 140 dan 203
Tabel 4. Koordinat Titik Awal Waveform Retracking Data SGDR Jason 2 Stasiun 1 2 3 4 5 6
Koordinat Titik Lintang (LS) Bujur (BT) 6o 44’ 23” 111o 41’ 46.13” 6o 52’23” 112o 17’ 53.27” o 7 42” 18” 114o 10’ 6.90” 8o 33’ 37.66” 113o 51’ 1.02” o 8 24’ 30” 112o 51’ 48.9” 8o 15’ 30” 109o 41’ 27.12”
Nomor Cycle 30 20 40 40 18 18
Tabel 5. Koordinat Titik Waveform Retracking Tinggi Muka Laut 1 Januari 2009 sampai dengan 20 Oktober 2012 Stasiun 1 2 3 4 5 6
Koordinat Titik Lintang (LS) Bujur (BT) 6o 40’48.80” 111o 41’ 46.13” 6o 48’ 50.03” 112o 17’ 53.27” o 7 40” 21.16” 114o 10’ 6.90” 8o 36’ 45.49” 113o 51’ 1.02” o 8 27’ 42.30” 112o 51’ 48.9” 8o 18’ 55.59” 109o 41’ 27.12”
18
Nomor Lintasan Satelit Jason 2 127 140 203 140 203 127
19
Gambar 14. Lokasi waveform retracking data SGDR Jason 2 perairan Jawa Timur
20
3.2. Alat dan Bahan 3.2.1. Alat Adapun alat yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : 1. Perangkat keras berupa Personal Computer (PC) berbasis Intel Core i3 dengan sistem operasi Windows 7 yang digunakan untuk pengolahan datadata penelitian 2. Perangkat lunak pengolah data yaitu MATLAB 2012a.
3.2.2. Bahan Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari : 1. Data altimetri Satelit Jason 2 versi ‘d’ dengan level data SGDR. Data diperoleh dari ftp://ftp.nodc.noaa.gov/pub/data.nodc/jason2/ CLASS NOAA dimulai dari cycle 18 hingga cycle 158. 2. Data Range Corrected dari Retracker Ocean-MLE-4 dan data range 20 Hz dari variabel Tracker Range pada gelombang ku (10.9 – 22 Ghz) untuk proses retracking dan non retracking. Data diperoleh dari SGDR Satelit Jason 2. 3. Data pasang surut selama tahun 2009 di Stasiun Prigi dan bulan April hingga Desember 2012 untuk Stasiun Semarang. Stasiun pasang surut yang digunakan adalah stasiun terdekat dengan Stasiun 1 dan Stasiun 6. Data pasang surut diperoleh dari BIG yang dapat diunduh pada website http://www.ioc-sealevelmonitoring.org. 4. Data Geoid EGM2008 diperoleh dari program interpolasi Geoid EGM2008. Data ini digunakan untuk menentukan jenis retracker terbaik pada masing-masing lokasi stasiun. 5. Data jalur lintasan Satelit Jason 2. Data ini dapat diperoleh melalui website http://www.aviso.oceanobs.com/en/data/tools/pass-locator.hSSH.
21
3.3. Metode Penelitian Penelitian ini terbagi menjadi 4 (empat) bagian. Bagian pertama adalah membaca dan proses editing data altimetri, waveform retracking, perhitungan SSH, dan pengecekan kualitas data hasil waveform retracking menggunakan program MATLAB. Tahapan-tahapan penelitian ini disajikan pada Gambar 15.
3.3.1. Proses Pembacaan dan Editing Data Seleksi variabel titik pengukuran, nilai range, nilai koreksi atmosferik, koreksi efek pasang surut, koreksi sea state bias, waveform, ketinggian satelit (altitude) dilakukan pada bagian ini. Pada data SGDR Jason 2, komponen variabel terbagi atas dua jenis yaitu data 1 Hz dan data 20 Hz. Untuk mengetahui performa metode retracking berdasarkan kategori jarak, seleksi variabel dibedakan atas dua bagian. Bagian pertama, variabel diseleksi berdasarkan kelompok dan bagian kedua seleksi variable secara global. Untuk mengetahui performa metode retracking pada satu titik pengukuran secara tahunan, variabel diseleksi secara global. Titik-titik tetangga dari titik pengukuran diperhitungkan nilai SSH dan selanjutnya dilakukan proses interpolasi data untuk mendapatkan nilai SSH pada titik pengukuran. Variabel 20 Hz diseleksi berdasarkan kategori jarak yaitu 0 – 10 km, 10 km – 50 km, 50 – 100 km, dan 100 – 200 km. Kemudian untuk variabel 1 Hz diseleksi secara global. Hal ini dilakukan untuk menghindari hasil interpolasi berupa ‘NaN’ apabila posisi titik 20 Hz perhitungan interpolasi berada di luar rentang posisi titik 1 Hz. Variabel 1 Hz diseleksi pada antara wilayah 3.5o LS sampai 11o LS. Kemudian variabel 1 Hz diinterpolasi menjadi data 20 Hz menggunakan koordinat posisi lintang 20 Hz. Metode interpolasi yang digunakan adalah spline. Metode ini paling baik untuk mendapatkan data hasil interpolasi yang berbeda tiap derajat lintang dan bujur. (Lee et al., 2010)
22
Baca dan Edit
Plot Waveform
SGDR Jason 2
Waveform Retracking
Deteksi subwaveform Metode
Metode
Metode
Metode
Threshold
Improved
OCOG
Ice
Ocean
20% & 50%
Threshold 20%, 30%, & 50%
Perhitungan SSH
Geoid
SSH Non
EGM2008
Retracking Periksa kualitas data SSH hasil waveform retracking
SSH
Stop Gambar 15. Proses waveform retracking di perairan Jawa Timur
23
Untuk pengukuran nilai SSH selama tahun 2009 - 2012, variabel 1 Hz dan 20 Hz diseleksi secara global. Proses ini dilakukan untuk mencegah perubahan nilai posisi yang terjadi tiap cycle. Seleksi variabel 1 Hz dilakukan dengan mengambil titik radius 2o di bagian utara dan selatan terhadap posisi titik pengamatan. Selanjutnya seleksi variabel 20 Hz mengambil titik radius 0.01o di bagian utara dan selatan terhadap posisi titik pengukuran. Kemudian dilakukan proses interpolasi terhadap variabel 1 Hz terhadap posisi titik pengamatan (Tabel 5). Tahapan selanjutnya dilakukan proses retracking.
3.3.2. Waveform Retracking Pada tahapan waveform retracking, data waveform 20 Hz yang sudah seleksi berdasarkan jarak pada masing-masing stasiun akan diolah dengan menggunakan beberapa metode retracking yang akan digunakan. Beberapa metode retracking tersebut adalah OCOG, Ice, Ocean, Threshold 20% dan 50%, Improved Threshold 20%, 30%, dan 50%. Pada proses retracking, setiap metode tersebut akan menghasilkan gate retracking yang berbeda-beda. Nilai gate retracking ini digunakan untuk menghitiung besar nilai koreksi terhadap nilai range. Perhitungan besaran koreksi nilai range ditunjukan pada rumus nomor 6. Variabel range yang digunakan masing-masing metode tersebut adalah variabel ‘tracker_20hz_ku range’. Setelah mendapatkan besaran dr maka dilanjutkan dengan koreksi range dengan menggunakan rumus nomor 5 (Jin-yun et al., 2010). .................... (10) dimana ( : koreksi range hasil retracking
) ..............................................(11) adalah nilai gate width satelit
: nilai gate hasil retracking, : nilai nominal tracking gate (Satelit Jason 2 = 32.5) : c
dimana untuk Satelit Jason 2 bernilai 3.125 ns.
: nilai kecepatan cahaya (299792458 m/s)
24
3.3.3. Perhitungan Tinggi Muka Laut (SSH) Perhitungan SSH secara umum menggunakan persamaan (2). Untuk pengukuran secara tahunan, nilai SSH dari titik-titik pengukuran 20 Hz hasil seleksi secara global diinterpolasi terhadap posisi titik pengamatan.
3.3.4. Pengecekan Kualitas SSH Hasil Retracking Pengecekan kualitas SSH hasil retracking terbagi menjadi dua yaitu menggunakan analisis IMP dan perhitungan koefisien korelasi antara SSH metode retracking dan data in situ stasiun pasang surut. Analisis IMP digunakan untuk menganalisa kualitas performa masing-masing metode retracking pada kategori jarak. Perhitungan koefisien korelasi dilakukan untuk mengecek kualitas SSH hasil metode retracking pada satu lokasi pengamatan secara tahunan. Analisis IMP digunakan untuk mengetahui performa dari masing-masing retracker dengan menghitung nilai standar deviasi (STD) dari nilai perbedaan antara nilai geoid dan SSH hasil masing-masing metode retracking. Rumus perhitungan IMP adalah sebagai berikut. (Hwang et al., 2006)
........................................ (8)
dimana :
= standar deviasi dari perbedaan nilai antara SSH Raw dengan geoid = standar deviasi dari perbedaan nilai antara SSH retracking dengan geoid
Indikator performa metode retracking yang sesuai pada suatu wilayah adalah nilai IMP. Metode retracking yang memiliki nilai IMP tertinggi merupakan metode retracking yang sesuai di wilayah tersebut. Untuk nilai geoid yang digunakan adalah Geoid EGM2008. Geoid EGM 2008 didapatkan dari program ‘hsynth_WGS84.exe’ dari National Geospatial Agency (NGA) dengan melengkapi file EGM2008_to2190_TideFree, Zeta-to-N_to2160_egm2008 dan data input. Data input berisi tentang nilai lintang dan bujur lokasi pengamatan
25
dan berformat ‘.dat’. Kemudian salin data hasil geoid tersebut dan dimasukan ke dalam workspace MATLAB. Perhitungan success rate (N) dilakukan untuk mengetahui jumlah titik pengamatan yang berhasil dilakukan proses retracking. Presisi SSH ditentukan berdasarkan nilai IMP dari masing-masing metode dan success rate (N). Berikut rumus perhitungan N. (Hwang et al., 2006) ( )
................................................ (9)
dimana n = jumlah titik pengukuran pada tiap kategori jarak yang berhasil dilakukan proses retracking N = jumlah titik pengukuran pada tiap kategori jarak. Dalam perhitungan nilai koefisien korelasi antara SSH metode retracking dan data in situ stasiun pasang surut, referensi pengukuran dua variabel tersebut harus sama. Alat tide gauge dalam mengukur nilai pasang surut di suatu perairan berdasarkan referensi MSL sehingga dipergunakan nilai SLA untuk validasi nilai SSH metode retracking di masing-masing titik pengamatan. Perhitungan SLA berdasarkan pada referensi MSL. Hal tersebut dapat dilihat pada persamaan nomor 10 berikut.
.............................. (10)
Variabel MSL terdapat pada data SGDR Jason-2. Nama variabel MSL pada data SGDR Jason 2 adalah ‘mean_sea_surface’. Nilai
dan
adalah pengaruh
pasang surut dan pengaruh tekanan atmosferik. Pengaruh pasang surut terdiri atas komponen Solid Earth Tide Height, Geocentric Ocean Tide Height dan Pole Tide Height. Pengaruh tekanan atmosferik terdiri atas komponen Inverted Barometer Height Correction dan HF Fluctuations of The Sea Topography (OSTM/Jason 2 Products Handbook, 2011). Data variabel MSL tersebut masih dalam data 1 Hz. Untuk itu dilakukan proses interpolasi data untuk mendapatkan data dalam bentuk 20 Hz. Metode interpolasi data yang digunakan adalah ‘Spline’. Setelah itu dilakukan proses seleksi variabel MSL berdasarkan koordinat titik pengamatan. Hasil SSH dari metode retracking dan non retracking digunakan untuk perhitungan nilai SLA.
26
Untuk validasi SSH hasil retracking, SSH pada titik pengamatan ke-1 dan 6 digunakan sebagai contoh. Hal ini dikarenakan Stasiun Pasut terdekat dari titiktitik pengukuran SSH pada website IOC Sea Level Monitoring hanya terdapat Stasiun Pasang Surut Prigi dan Stasiun Pasang Surut Semarang. Stasiun Pasang Surut Prigi berdekatan dengan titik pengamatan ke-6 sedangkan untuk titik pengamatan ke-1 menggunakan data Stasiun Pasang Surut Semarang. Informasi mengenai kedua stasiun pasang surut ini disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Lokasi stasiun pengukuran pasang surut terhadap titik pengamatan Satelit Jason 2 Nama Stasiun
Lintang (o LS)
Stasiun 6o 56’ 52.44” Semarang Stasiun 8o 16’ 59.88” Prigi
Bujur (o BT) 110o 25’ 12.43” 111o 43’ 59.88”
Jarak TP Titik terhadap Pengamatan Stasiun (km) 1 152.25 6
79.34
Hasil pengukuran pasang surut digunakan sebagai perbandingan terhadap nilai SLA dilakukan dengan mengambil data pasang surut sesuai dengan rentang waktu pengukuran satelit altimetri pada cycle yang digunakan. Waktu pengukuran cycle terdapat pada format nama file data SGDR Jason 2. Misalnya file data SGDR Jason 2 ini ‘JA2_GPS_2PdP018_127_20090101_125805_20090101 _135418’. Berdasarkan nama file tersebut, format waktu pengukuran terdapat pada nama file data tersebut yaitu ‘20090101_125805_20090101_135418’. Artinya pengukuran dimulai pada tanggal 1 Januari 2009 pukul 12:58:05 WIB sampai dengan tanggal 1 Januari 2009 pukul 13:54:18 WIB. Informasi waktu pengambilan data pasang surut Stasiun Semarang dan Stasiun Prigi dilampirkan pada Lampiran 3 dan 4.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Waveform Perairan Jawa Timur Bentuk waveform pada jarak 0 – 10 km mengalami kontaminasi atau gangguan dari daratan. Berbagai macam bentuk waveform terdapat pada jarak tersebut, seperti peak echoes (Gambar 16a) , ‘peaky + noise’ (Gambar 16b) dan ‘brown + peaky echoes’(Gambar 16c). Hal ini berbeda dengan hasil pengamatan pada kategori lainnya di Stasiun 1. Hasil pengamatan waveform pada kategori 10 – 50 km (Gambar 18), 50 – 100 km (Gambar 19), dan 100 – 200 km (Gambar 20) didapatkan bahwa sebagian waveform yang teramati berbentuk ‘brown + peaky echoes’ dan brown echoes (Gambar 16d). Hal ini dipengaruhi oleh jarak daratan yang jauh sehingga pengaruh daratan terhadap bentuk waveform sangat kecil. Sinyal pantulan dari daratan tidak masuk pada wilayah footprint satelit sehingga pantulan yang diterima satelit berasal dari laut. Ini dibuktikan juga dengan pendapat Gommenginger et al.(2010), bahwa 94% bentuk waveform seperti brown waveforms akan ditemukan minimal 15 km dari pantai. Pola bentuk waveform pada stasiun lain sama dengan yang diamati di Stasiun 1. Hasil pengamatan bentuk waveform per kelompok jarak di Stasiun 1 ditunjukan pada Gambar 17 sampai dengan Gambar 20. Bentuk waveform pada stasiun lain dilampirkan pada Lampiran 1.
(b)
(a)
(c)
(d)
Gambar 16. Waveform (a) peak echoes, (b)‘peaky + noise’, (c) ‘brown + peaky echoes’dan (d) brown echoes perairan Jawa Timur
27
28
Gambar 17. Waveform Stasiun 1 pada jarak 0 – 10 km.
Gambar 18. Waveform Stasiun 1 pada jarak 10 – 50 km.
29
Gambar 19. Waveform Stasiun 1 pada jarak 50 – 100 km.
Gambar 20. Waveform Stasiun 1 pada jarak 100 – 200 km.
30
4.2. Analisis IMP Sea Surface Height (SSH) Retracking dan Non Retracking Hasil waveform retracking pada kategori jarak dari pinggir pantai 0 – 10 km, 10 – 50 km, 50 – 100 km, dan 100 – 200 km setiap stasiun berturut-turut ditunjukan pada Tabel 7, 8, 9 dan 10. Berdasarkan keempat tabel tersebut metode retracking yang bekerja paling optimal menggunakan threshold level sebesar 20% dan 30% seperti, metode ice, threshold 20%, improved threshold 20% dan improved threshold 30% pada jarak 0 – 200 km dari pinggir pantai. Metodemetode ini memiliki nilai presentase IMP tertinggi dan STD terendah dibandingkan antara metode waveform retracking lain dengan metode waveform tanpa retracking. Hasil pengamatan performa metode waveform retracking pada kategori jarak 0 – 10 km sesuai dengan pendapat Davis (1997). Namun ditemukan hasil yang berbeda pada kategori jarak 10 – 200 km. Menurut Davis (1997), penggunaan threshold level 20% dan 30% dilakukan pada proses retracking di wilayah pantai (0 – 10 km dari garis pantai) sedangkan untuk jarak lebih dari 10 km, metode threshold dan improved threshold waveform retracking menggunakan threshold level 50 %. Pada penelitian waveform retracking Satelit Jason 2 di Perairan California, threshold level 50% dan metode ocean tidak bekerja dengan optimal (Lee et al., 2010). Metode threshold 50% tidak mampu menunjukan perubahan performa di wilayah laut dalam, sedangkan metode yang menggunakan threshold level 20% dan 30% bekerja optimal di perairan dalam. Selain itu menurut Deng dan Featherstone (2005), threshold level 50% tidak selalu bekerja optimal pada wilayah perairan, khususnya perairan pantai. Penggunaan 6 (enam) stasiun masih kurang sahih untuk menilai performa metode retracking untuk keseluruhan wilayah laut di Bumi. Namun jika pengamatan hanya ditujukan pada suatu wilayah perairan, misalnya perairan Jawa Timur maka hasil pengamatan performa metode waveform retracking yang diperoleh sesuai dengan kondisi perairan dan bentuk pantai di wilayah tersebut. Penggunaan metode threshold dan improved threshold dengan threshold level 20% dan 30%, sesuai pada kategori jarak 0 – 10 km di wilayah pantai Jawa Timur. Hal ini dikarenakan bentuk waveform yang ditemukan pada kategori jarak ini didominasi oleh bentuk peaky echoes dan ‘peaky + noise’ echoes. Menurut
31
Hwang et al. (2006), metode threshold dapat bekerja optimal jika waveform mengandung satu slope sedangkan untuk waveform dengan lebih dari satu slope akan lebih baik menggunakan metode improved threshold. Bentuk waveform yang mengandung satu slope atau lebih akan ditemukan di wilayah perairan pantai, seperti ditunjukan oleh peak echoes dan ‘peaky + noise’ yang ditemukan pada jarak 0 – 10 km. Peak echoes memiliki satu slope, sedangkan ‘peaky + noise’ memiliki lebih dari satu slope. Oleh karena itu metode threshold dan improved threshold akan bekerja optimal pada jarak 0 – 10 km. Metode ocean menghasilkan performa tinggi pada Stasiun 1, Stasiun 3 dan Stasiun 5. Namun metode ocean tidak sukses melakukan retracking di wilayah dekat dengan daratan. Nilai presentase success rate metode ocean pada masingmasing stasiun, yaitu sebesar 50% (Stasiun 1), 52.77% (Stasiun 3) dan 83.78% (Stasiun 5). Sebaliknya metode lain memiliki nilai presentase success rate sebesar 100%. Menurut Lee et al. (2010), bentuk waveform non ocean like tidak mampu mengikuti model ocean sehingga beberapa nilai pengukuran hilang ketika mendekati daratan. Nilai SSH ocean hilang di wilayah dekat pantai pada jarak 0 – 10 km di Stasiun 3 (Gambar 21). Data SSH yang hilang ini menyebabkan penurunan success rate metode ocean dalam proses waveform retracking.
Gambar 21. Visualisasi SSH metode waveform retracking, non retracking dan geoid Stasiun 3 kategori jarak 0 – 10 km
Metode Waveform Retracking Raw Ocean OCOG Ice Threshold 20% Threshold 50% Improved Threshold 20% Improved Threshold 30% Improved Threshold 50%
1 STD IMP (%) (m) 1.5498 0.1183 92.3539* 1.5135 2.3300 0.2142 86.1849 0.2618 83.1103
Tabel 7. Statistik hasil waveform retracking pada kategori jarak 0 – 10 km Stasiun 2 3 4 5 STD STD STD IMP STD IMP (%) IMP (%) IMP (%) (m) (m) (m) (%) (m) 2.6027 6.7119 0.6174 6.6684 2.8005 -20.7274 0.8146 87.8823** 0.1278 80.9596 0.2008 97.0291*** 2.8573 -9.7817 1.7508 73.9152 0.3159 52.9467 1.1473 82.7955 1.4157 45.6069 1.0361 84.5634 0.0733 89.0786 0.8925 86.6156 0.7033 72.9782 1.1130 83.4172 0.1368 79.6233 1.7939 73.0982
6 STD (m) 0.1782 0.7421 1.8704 0.6162 1.9943
IMP (%) 4.9977 -160.4156 14.2008 -177.6744
0.2712
82.4983
1.9520 24.9989
1.0044
85.0361
0.0856 87.2545 0.8968 86.5515
0.6667 7.1683
0.2142
86.1849
0.8874 65.9051
0.9830
83.3572
0.0650 90.3219 0.8707 86.9435
2.2999 -220.2174
0.2753
82.2355
1.4772 44.3936
0.9695
85.5550
0.0744 88.9222 0.8972 86.5455
0.6443 10.2902
0.3491
77.4715
2.1106 18.9082
00.9865 85.3019
0.0964 85.6452 0.9162 86.2606
0.6987 2.7218
Keterangan : * success rate 50% ** success rate 52.77% *** success rate 83.78% IMP = Improvement Percentage STD = Standar Deviasi
32
Metode Waveform Retracking Raw Ocean OCOG Ice Threshold 20% Threshold 50% Improved Threshold 20% Improved Threshold 30% Improved Threshold 50%
STD (m) 0.9275 0.0604 0.1669 0.0521 0.0492
Tabel 8. Statistik hasil waveform retracking pada kategori jarak 10 – 50 km Stasiun 1 2 3 4 5 STD STD IMP STD STD IMP (%) IMP (%) IMP (%) IMP (%) (m) (m) (%) (m) (m) 0.1074 0.1621 0.3447 0.5430 93.5055 0.0701 34.0709 0.0672 58.5634 0.0880 74.4713 0.0818 84.9398 82.0054 0.1702 -58.4787 0.1848 -14.0207 0.2448 28.9728 0.0674 87.5861 94.3895 0.0655 39.0177 0.0578 64.3731 0.0605 82.4345 0.0674 87.5861 0.0644 60.3043 0.0554 83.9373 0.0521 90.4041 94.6916 0.0640 40.4539
6 STD IMP (%) (m) 0.3124 0.0804 74.2645 0.2802 10.3062 0.0624 80.0414 0.0687 78.0010
0.0582 93.7274
0.0664
38.1490
0.0608
62.4913
0.0768
77.7065
0.0805
85.1718
0.0821
73.7087
0.0494 94.6701
0.0642
40.2527
0.0614
62.1448
0.0568
83.5367
0.0603
88.8949
0.0710
77.2702
0.0526 94.3326
0.0656
38.9686
0.0565
65.1525
0.0630
81.7361
0.0723
86.6794
0.0700
77.5892
0.0597 93.5656
0.0672
37.4854
0.0628
61.2708
0.0812
76.4580
0.0846
84.4141
0.0880
71.8363
Keterangan : IMP = Improvement Percentage STD = Standar Deviasi
33
Tabel 9. Statistik hasil waveform retracking pada kategori jarak 50 – 100 km Stasiun Metode Waveform 1 2 4 5 Retracking STD (m) IMP (%) STD (m) IMP (%) STD (m) IMP (%) STD (m) IMP (%) Raw 0.0774 0.0822 0.1594 0.0969 Ocean 0.0635 18.5097 0.0625 23.9330 0.0938 41.1438 0.0790 18.3969 OCOG 0.1790 -130.2728 0.1603 -95.0413 0.2142 -34.3814 0.1918 -98.0681 Ice 0.0566 28.0873 0.0589 28.3337 0.0729 54.2593 0.0638 34.1311 Threshold 0.0664 18.1394 0.0592 28.0084 0.0700 56.0973 0.0591 38.9983 20% Threshold 0.0501 0.0538 46.3530 0.0816 15.7865 36.0558 34.5108 0.0855 50% Improved 0.0644 18.1394 0.0595 27.6157 0.0714 55.2168 0.0627 35.2240 Threshold 20% Improved 0.0523 33.5395 0.0545 33.7573 0.0745 53.2647 0.0745 23.0931 Threshold 30% Improved 0.0514 34.3243 0.0558 32.1255 0.0906 43.1836 0.0853 11.9311 Threshold 50%
6 STD (m) 0.1551 0.0809 0.1800 0.0646 0.0668
IMP (%) 47.8243 -16.0694 58.3608 56.9066
0.0862
44.4334
0.0678
56.2586
0.0726
53.1571
0.0901
41.8870
Keterangan : IMP = Improvement Percentage STD = Standar Deviasi
34
Tabel 10. Statistik hasil waveform retracking pada kategori jarak 100 – 200 km Metode Waveform Retracking Raw Ocean OCOG Ice Threshold 20% Threshold 50% Improved Threshold 20% Improved Threshold 30% Improved Threshold 50%
Stasiun 1 2 STD STD IMP (%) IMP (%) (m) (m) 0.1309 0.0936 0.0667 49.0219 0.0604 35.4043
STD (m) 0.0836 0.0632
3 24.4242
STD (m) 0.1860 0.1168
4
0.1756 -33.9964 0.1699 0.0535 59.0490 0.0513 0.0578 55.8466 0.0565
-81.5933 45.1650 39.5896
0.1749 0.0551 0.0501
0.0560
57.1440
0.0472
49.5373
0.5559
57.2727
0.5610
0.0516 0.0586
5
37.2154
STD (m) 0.1070 0.0778
-109.2168 0.1948 34.1025 0.1075 0.1012 40.0648
-4.7420 42.2332 45.6105
2.0064
35.8743
0.1150
40.0197
0.0628
37.8547
60.5042
0.04083 48.3896
0.0540
55.1756
0.0496
0.0555
46.9889
6
27.2811
STD (m) 0.1435 0.0807
43.7895
0.1712 0.0707 0.0650
-60.0754 33.9107 39.2739
0.1965 0.0743 0.0646
-36.8912 48.2206 54.9740
38.1927
0.0844
21.1015
0.0833
41.9631
0.1036
44.3068
0.0662
38.1236
0.0720
49.8220
35.4217
0.1104
40.6584
0.0771
27.9164
0.0794
44.6861
33.5868
0.1175
36.8066
0.0875
18.2333
0.0906
36.8708
IMP (%)
IMP (%)
IMP (%)
IMP (%)
Keterangan : IMP = Improvement Percentage STD = Standar Deviasi
35
36
Metode waveform retracking mampu bekerja dengan baik di perairan bagian utara dan selatan Jawa Timur berdasarkan nilai STD metode waveform retracking yang lebih kecil terhadap STD metode waveform tanpa retracking (Raw). Hal ini dibuktikan dengan grafik SSH untuk jarak 0 – 10 km (Gambar 22), 10 – 50 km (Gambar 23), 50 – 100 km (Gambar 24), dan 100 – 200 km (Gambar 25) di Stasiun 1. Nilai SSH dari metode waveform retracking tidak mengalami perubahan drastis ketika mendekati wilayah pantai dibandingkan dengan SSH metode waveform tanpa retracking. SSH metode waveform tanpa retracking (ditunjukan sebagai SSH Raw) mengalami perubahan drastis ketika mendekati wilayah pantai akibat pengaruh daratan yang mengganggu pengukuran nilai range.
Gambar 22. Visualisasi SSH metode waveform retracking, tanpa retracking dan geoid Stasiun 1 kategori jarak 0 – 10 km
37
Gambar 23. Visualisasi SSH metode waveform retracking, tanpa retracking dan geoid Stasiun 1 kategori jarak 10 – 50 km
Gambar 24. Visualisasi SSH metode waveform retracking, tanpa retracking dan geoid Stasiun 1 kategori jarak 50 – 100 km
38
Gambar 25. Visualisasi SSH metode waveform retracking, tanpa retracking dan geoid Stasiun 1 kategori jarak 100 – 200 km 4.3
Analisis IMP Hasil Waveform Retracking Periode 2009-2012 Selain melakukan waveform retracking berdasarkan kategori jarak pada
masing-masing stasiun, proses retracking juga dilakukan pada satu titik selama periode 2009 – 2012 pada masing-masing stasiun untuk melihat performa metode retracking secara tahunan dan pengaruh presisi antara SSH metode waveform retracking dengan SSH metode waveform tanpa retracking (Raw). Hasil waveform retracking pada enam titik pengukuran selama bulan Januari 2009 hingga Oktober 2012 disajikan pada Tabel 11. Lokasi pengukuran enam titik pengamatan tersebut diperlihatkan pada Gambar 14. Berdasarkan Tabel 11, metode waveform tanpa retracking menghasilkan nilai SSH yang memiliki presisi rendah selama periode 2009 – 2012 pada semua titik pengukuran. Hal ini didasarkan kepada nilai STD yang lebih kecil dan nilai presentase IMP yang lebih besar dari metode waveform retracking dibandingkan dengan STD dan IMP metode waveform tanpa retracking (Raw) pada semua titik pengukuran.
39
Metode OCOG tidak bekerja optimal pada titik pengukuran ke-1, 2, 3 dan 6. Nilai presentase IMP metode ini sangat kecil pada keempat titik pengukuran tersebut. (Tabel 11). Berdasarkan statisitik hasil waveform retracking pada bagian 4.2, metode OCOG dan metode threshold 50% juga tidak bekerja optimal pada kategori jarak 0 – 10 km maupun kategori jarak 10 – 50 km. Hal ini dikarenakan, metode OCOG tidak berjalan dengan baik ketika waveform kontaminasi noise (Deng et al., 2002). Berdasarkan hasil pengamatan terhadap nilai STD dan IMP di antara metode retracking secara tahunan selama periode 2009 – 2012 diperoleh bahwa metode ice, threshold 20%, improved threshold 30% dan improved threshold 20% bekerja optimal pada proses retracking di enam titik pengukuran. Keempat metode waveform retracking tersebut memiliki nilai presentase IMP terbesar pada masing-masing titik pengukuran (Tabel 11). Hal ini sesuai dengan pendapat Davis (1997) bahwa penggunaan threshold level 20% dan 30% dilakukan pada proses retracking di wilayah pantai (0 – 10 km dari garis pantai). Keenam titik pengukuran ini berada pada kategori 0 – 10 km. Selain itu juga penelitian mengenai waveform retracking Satelit Jason 2 di Perairan California, metode waveform retracking yang menggunakan threshold level 20% dan 30% bekerja optimal di perairan pantai. (Lee et al., 2010) Hasil pengukuran terhadap rentang SSH selama tahun 2009 – 2012 dari metode waveform retracking teroptimal pada masing-masing titik pengukuran didapatkan bahwa nilai rentang SSH pada Stasiun 1 sampai Stasiun 6 berturutturut adalah 30.87 – 33.45 m, 32.13 – 33.16 m, 34.38 – 35.08 m, 32.32 – 35.13 m, 30.17 – 32.23 m, dan 26.31 – 27.08 m. Kemudian nilai rata-rata SSH selama tahun 2009 – 2012 pada Stasiun 1 sampai Stasiun 6 berturut-turut sebesar 33.13 m, 32.43 m, 35.76 m, 32.56 m, 30.89 m, dan 27.58 m. Berdasarkan Gambar 26 hingga Gambar 31, trend nilai SSH tidak terlalu signifikan peningkatan atau penurunan SSH selama tahun 2009 – 2012. Hal ini dibuktikan dari hasil perhitungan trend dari SSH metode waveform retracking teroptimal. Hasil perhitungan trend nilai SSH untuk periode 2009 – 2012 pada titik pengamatan 1 – 6 di perairan Jawa Timur berturut-turut sebesar 0.6, 0.2, -1.6, 0.2, – 0.4, dan -1.4 mm/tahun.
Metode Waveform Retracking Raw Ocean OCOG Ice Threshold 20 % Threshold 50 % Improved Threshold 20 % Improved Threshold 30 % Improved Threshold 50 %
STD (m) 2.8445 1.0093 2.1056 0.3123 0.4579
Tabel 11. Statistik hasil waveform retracking SSH selama tahun 2009 – 2012 Titik Pengamatan 1 2 3 4 5 IMP STD STD IMP STD IMP STD IMP IMP (%) (%) (m) (m) (%) (m) (%) (m) (%) 0.7003 3.1353 0.8795 4.5747 64.5179 0.2369 66.192 0.8668 86.6792 0.3044 64.3873 0.3044 93.3470 25.9747 3.2156 -383.6195 0.9431 69.9185 0.5043 42.6621 0.4739 89.6411 0.2922 90.6791 0.2419 72.4927 0.3099 93.2265 89.0206 0.2550 63.5787 83.2678 0.1971 71.8612 0.2983 90.4854 0.2515 71.3995 0.3086 93.2532
1.8211 35.978
6 STD (m) 0.7607 0.2562 0.5620 0.2445 0.2395
IMP (%) 65.3176 20.4786 66.3954 66.1043
0.1981
71.7126
0.3047
90.2825 0.2443
72.2254 0.3137
93.1423 0.7990
-13.0673
0.5182 81.7836 0.2110
69.8643
0.2952
90.5855 0.2407
72.6286 0.2920
93.6164 0.2887
59.1535
0.5005 82.4051 0.2102
69.9841
0.2921
90.6835 0.2417
72.5192 0.2980
93.4855 0.2386
66.2431
2.0925 26.4365 0.2819
59.7449
0.2966
90.5397 0.2592
70.5225 0.3037
93.3605 0.2430
65.6207
Keterangan : IMP = Improvement Percentage STD = Standar Deviasi
40
41
Gambar 26. Nilai SSH hasil retracking dan tanpa retracking di Stasiun 1 selama tahun 2009-2012
Gambar 27. Nilai SSH hasil retracking dan tanpa retracking di Stasiun 2 selama tahun 2009-2012
42
Gambar 28. Nilai SSH hasil retracking dan tanpa retracking di Stasiun 3 selama tahun 2009-2012
Gambar 29. Nilai SSH hasil retracking dan tanpa retracking di Stasiun 4 selama tahun 2009-2012
43
Gambar 30. Nilai SSH hasil retracking dan tanpa retracking di Stasiun 5 selama tahun 2009-2012
Gambar 31. Nilai SSH hasil retracking dan tanpa retracking di Stasiun 6 selama tahun 2009-2012
44
4.4
Validasi SSH Hasil Waveform Retracking Periode 2009 – 2012 Nilai koefisien korelasi dan standar deviasi antara pengukuran stasiun
pasang surut in situ terhadap nilai SLA hasil waveform retracking ditampilkan pada Tabel 12. Metode ice pada titik pengukuran ke-1 dan 6 memiliki nilai koefisien korelasi terbesar, yaitu sebesar 0.78 dan 0.95. Hal ini berarti data pasang surut pada Stasiun Pasut Semarang dan Stasiun Pasut Prigi berhubungan erat dengan SLA metode ice di Stasiun 1 dan Stasiun 6. Perubahan nilai pasang surut pada Stasiun Semarang diikuti dengan perubahan nilai SLA yang dihasilkan metode ice selama bulan Juni hingga Oktober Tahun 2012 pada titik pengukuran ke-1. Hal ini ditunjukan pada Gambar 32. Jika Gambar 33 diamati secara cermat, perubahan nilai pasang surut di Stasiun Prigi diikuti oleh SLA metode ice selama tahun 2009 (Stasiun 6). Untuk SSH dari metode ice yang dihasilkan selama tahun 2009 – 2012 untuk Stasiun ke-1 dan 6 memiliki nilai presisi yang tinggi. Selain itu juga berdasarkan hasil validasi kedua titik pengukuran tersebut yang mewakili titik pengukuran lainnya, dapat juga disimpulkan bahwa SSH metode ice (Stasiun 1 dan 6), threshold 20% (Stasiun 2), improved threshold 20% (Stasiun 3), dan improved threshold 30% (Stasiun 4 dan 5) menghasilkan SSH paling akurat. Tabel 12. Koefisien korelasi dan standar deviasi antara data pasang surut in situ dengan SLA hasil waveform retracking Metode Waveform Retracking OCOG Ice Ocean MLE 4 Threshold 20% Threshold 50% Impoved Threshold 20% Improved Threshold 30% Improved Threshold 50%
Stasiun 1 Koefisien STD (m) Korelasi 0.24 0.21 0.36 0.78 0.09 0.39 0.26 0.69 0.44 0.71 0.12 0.62
Stasiun 6 Koefisien STD (m) Korelasi 0.49 0.45 0.82 0.95 0.79 0.63 0.79 0.91 0.15 -0.05 0.71 0.85
0.21
0.61
0.77
0.88
0.08
0.38
0.77
0.74
45
Gambar 32. Perbandingan nilai SLA metode waveform retracking terhadap data in situ pasang surut bulan Mei - Oktober 2012 di Stasiun 1
Gambar 33. Perbandingan nilai SLA metode waveform retracking terhadap data in situ pasang surut bulan Januari - Desember 2012 di Stasiun 6
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan pengamatan terhadap performa metode waveform retracking tiap kategori jarak setiap stasiun pengamatan diperoleh performa tiap metode waveform retracking berbeda. Penggunaan threshold level 20% dan 30% pada metode threshold paling sesuai untuk wilayah perairan Jawa Timur. Hasil validasi pengukuran SSH selama periode 2009 – 2012 terhadap data pasang surut in situ menunjukan bahwa metode waveform retracking menghasilkan pengukuran SSH yang lebih akurat. Hasil pengukuran terhadap rentang SSH selama tahun 2009 – 2012 dari metode waveform retracking teroptimal untuk Stasiun 1 sampai Stasiun 6 berturut-turut adalah 30.87 – 33.45 m, 32.13 – 33.16 m, 34.38 – 35.08 m, 32.32 – 35.13 m, 30.17 – 32.23 m, dan 26.31 – 27.08 m. Nilai rata-rata SSH selama tahun 2009 – 2012 di Stasiun 1 sampai Stasiun 6 adalah 33.13 m, 32.43 m, 35.76 m, 32.56 m, 30.89 m, dan 27.58 m.
5.2 Saran Perlu dilakukan pengamatan performa metode threshold dan improved threshold yang menggunakan threshold level 20% dan 30% untuk wilayah perairan lain di Indonesia. Selain itu perlu ditambahkan rentang waktu pengamatan SSH untuk mendapatkan rentang, rata-rata, dan trend nilai SSH yang baik dan lebih mendekati kenyataan di alam. Kemudian penentuan titik pengukuran harus disesuaikan dengan lokasi pasang surut sehingga proses validasi leboih optimal.
46
DAFTAR PUSTAKA Abidin HZ. 2001. Geodesi Satelit. Jakarta:PT. Pradnya Paramita Benveniste J. 2010. Radar Altimetry:Past, Present, Future-Coastal Altimetry. New York:Springer Brooks RL, Lockwood DW, dan Lee JE. 1998. Land effects on TOPEX radar altimeter measure-ments in Pacific Rim Coastal Zones. Remote Sensing of the Pacific Ocean by Satellites. 1(1):175–198 Chelton DB, Ries JC, Haines BJ, Fu L-L, Callahan PS, dan Vignudelli S. 2001. Satellite Altimetry. In: Fu L-L, Cazenave A (eds). Satellite Altimetry and Earth Sciences: a handbook of techniques and application. San Diego:Academic CNES, EUMETSAT, JPL, NOAA. 2011. OSTM/Jason 2 Products Handbook. http://www.aviso.oceanobs.com/fileadmin/documents/ data/tools/hdbk_j2.pdf. [1 Juli 2012] Davis CH. 1995. Growth of the Greenland ice sheet: a performance assessment of altimeter retracking algorithms. IEEE Trans Geosei Remote Sens[Internet].[10 Oktober 2012];33(5):1108-1116 Davis CH. 1997. A Robust Threshold Retracking Algorithm For Measuring IceSheet Surface Elevation Change From Satellite Radar Altimeter. IEEE Trans Geosensing Remote Sensing. Internet. [10 Oktober 2012];35(4):974979 [Depdagri] Departemen Dalam Negeri. 2011. Provinsi Jawa Timur. http://www.depdagri.go.id/pages/profil-daerah/provinsi/detail/35/jawatimur. [18 Desember 2012] Deng, X. 2003. Improvement of Geodetic Parameter Estimation in Coastal Regions from Satellite Radar Altimetry[Tesis]. Kent St(AU): Curtin University of Technology. Deng X, W.E. Featherstone. 2005. A coastal retracking system for satellite radar altimetry waveforms : application to ers-2 around australia. Journal of Geophysical Research. 111(1).
47
48
Gommenginger C, P Thibaut, L. Fenoglio-Marc, G. Quartly, X. Deng J. GomezEnri, P. Chellanor, dan Y. Gao. 2010. Retracking Altimeter Waveforms Near the Coasts. In: Vignudelli S, Kostianoy A, Cipollini P, dan Benveniste J. Coastal Altimetry. New York:Springer Handoko EY. 2004. Satelit Altimetri dan Aplikasinya dalam Bidang Kelautan. Surabaya: ITS Press Hwang C, Guo JY, Deng XL, Hsu HY, dan Liu YT. 2006. Coastal Gravity Anomalies From Retracked Geosat/Gm Altimetry:Improvement, Limitation And The Role of Airborne Gravity Data. J Geod. Internet. 30 Mei 2006;[10 Oktober 2012]; 80(1):204-216. Jin-Yun GUO, Yon-Gang GAO, Xiao-Tao C, Cheinway H. 2010. Optimized Threshold Algorithm of Envisat Waveform Retracking over Coastal Sea. Chinese Journal of Geophysics. 53(2):231-239 Lee H, William Emery, C.K. Shum, Stephant Calmant, Xiaoli Deng, Chung Yen Kuo, Carolyn Roesler, Yuchan Yi. 2010. Validation of Jason-2 Altimeter Data by Waveform Retracking over California Coastal Ocean. Marine Geodesy. 33(S1):304-316 Martin TV, Zwally HJ, Brenner AC, Bindschadler RA. 1983. Analysis And Retracking of Continen-Tal Ice Sheet Radar Altimeter Waveform. J Geophys Remote sensing. 8(1):1608–1616 Wingham DJ, Rapley CG, dan Grififths H. 1986. New techniques in satellite tracking system. In proceeding of IGARSS’ 86 symposium, Zurich, pp 1339-1344 Yang L, Lin M, Bai Y, dan Pan D. 2008. Retracking Jason1 Altimeter Waveform over China Coastal Zone. Microwave Remote Sensing of The Atmosphere and Environment. Internet. 2008; [10 Oktober 2012];7154(6).
LAMPIRAN
Lampiran 1. Visualisasi pengamatan waveform berdasarkan kategori jarak setiap stasiun di perairan Jawa Timur
49
50
Lampiran 1. Visualisasi pengamatan waveform berdasarkan kategori jarak setiap stasiun di perairan Jawa Timur (lanjutan)
51
Lampiran 1. Visualisasi pengamatan waveform berdasarkan kategori jarak setiap stasiun di perairan Jawa Timur (lanjutan)
52
Lampiran 1. Visualisasi pengamatan waveform berdasarkan kategori jarak setiap stasiun di perairan Jawa Timur (lanjutan)
53
Lampiran 1. Visualisasi pengamatan waveform berdasarkan kategori jarak setiap stasiun di perairan Jawa Timur (lanjutan)
54
Lampiran 1. Visualisasi pengamatan waveform berdasarkan kategori jarak setiap stasiun di perairan Jawa Timur (lanjutan)
55
Lampiran 1. Visualisasi pengamatan waveform berdasarkan kategori jarak setiap stasiun di perairan Jawa Timur (lanjutan)
56
Lampiran 1. Visualisasi pengamatan waveform berdasarkan kategori jarak setiap stasiun di perairan Jawa Timur (lanjutan)
57
Lampiran 1. Visualisasi pengamatan waveform berdasarkan kategori jarak setiap stasiun di perairan Jawa Timur (lanjutan)
58
Lampiran 1. Visualisasi pengamatan waveform berdasarkan kategori jarak setiap stasiun di perairan Jawa Timur (lanjutan)
59
Lampiran 2. Visualisasi nilai SSH retracking perairan Jawa Timur
60
Lampiran 2. Visualisasi nilai SSH retracking perairan Jawa Timur (lanjutan)
61
Lampiran 2. Visualisasi nilai SSH retracking perairan Jawa Timur (lanjutan)
62
Lampiran 2. Visualisasi nilai SSH retracking perairan Jawa Timur (lanjutan)
63
Lampiran 2. Visualisasi nilai SSH retracking perairan Jawa Timur (lanjutan)
64
Lampiran 2. Visualisasi nilai SSH retracking perairan Jawa Timur (lanjutan)
65
Lampiran 2. Visualisasi nilai SSH retracking perairan Jawa Timur (lanjutan)
66
Lampiran 2. Visualisasi nilai SSH retracking perairan Jawa Timur (lanjutan)
67
Lampiran 2. Visualisasi nilai SSH retracking perairan Jawa Timur (lanjutan)
68
Lampiran 3. Data Stasiun Pasut Semarang untuk validasi di Stasiun 1 selama bulan April hingga Oktober 2012 Waktu 15/05/2012 2:03 25/05/2012 0:11 03/06/2012 22:10 13/06/2012 20:08 23/06/2012 18:07 03/07/2012 16:05 13/07/2012 14:02 23/07/2012 12:02 02/08/2012 10:01 12/08/2012 7:49 22/08/2012 5:58 01/09/2012 3:57 11/09/2012 1:56 20/09/2012 23:54 30/09/2012 21:52 10/10/2012 19:51 20/10/2012 17:49
SSH (m) 0.566 0.64 0.619 0.534 0.173 0.192 0.151 0.252 0.299 0.356 0.495 0.599 0.425 0.523 0.811 0.886 0.818
69
Lampiran 4. Data Stasiun Pasut Prigi untuk validasi di Stasiun 6 selama bulan Januari hingga Desember 2012 Waktu 01/01/2009 13:16 10/01/2009 11:14 21/01/2009 9:13 31/01/2009 7:11 10/02/2009 5:10 20/02/2009 3:08 02/03/2009 1:07 11/03/2009 23:05 21/03/2009 21:04 31/03/2009 19:02 10/04/2009 17:01 20/04/2009 14:59 10/05/2009 10:56 20/05/2009 8:56 30/05/2009 6:53 09/06/2009 4:52 19/06/2009 2:51 29/06/2009 0:59 08/07/2009 22:48 18/07/2009 22:48 28/07/2009 18:46 07/08/2009 16:43 17/08/2009 14:42 27/08/2009 12:40 06/09/2009 10:39 16/09/2009 8:37 26/09/2009 6:36 06/10/2009 4:34 16/10/2009 2:33 26/10/2009 0:31 04/11/2009 22:30 14/11/2009 20:28 24/11/2009 18:27 04/12/2009 16:25 14/12/2009 14:24 24/12/2009 12:23
SSH (m) 2.184 2.741 2.267 2.044 1.914 1.888 1.875 1.678 1.62 1.738 1.825 1.565 1.24 2.231 3.769 3.436 2.851 2.511 2.928 3.599 3.629 3.368 2.843 2.667 2.62 2.767 3.424 3.597 3.478 2.76 2.231 2.745 3.99 4.51 3.951 3.126
70
Lampiran 5. Sintaks waveform retracking untuk pengamatan performa metode retracking %Sintak ini akan digunakan dalam tahap pengolahan data altimetri satelit %Jason 2. Kegunaan sintak ini ialah mengukur tinggi muka laut dari titik %awal masing-masing stasiun hingga 50 km menjauh dari daratan. %Sintak ini dikembangkan oleh Kadek Surya Sumerta (Mahasiswa S1 Ilmu dan %Teknologi Kelautan, IPB) %% Menentukan direktori file dan memilih file clear;clc; cprintf('K','*Welcome Users!*\n'); cprintf('*green','==================================================================\n'); fprintf ... ('Define your directory nc files!\n'); fprintf('Please enter! "'); cprintf('error','enter'); cprintf('text','"!\n'); cprintf('*magenta','------------------------------------------------------------------\n'); pause nc_dir= uigetdir; cd(nc_dir); nc = uigetfile('*.nc','Choose your nc file!'); %% Baca Variabel-variabel didalam data satelit
lat = ncread(nc,'lat'); lat_20hz = ncread(nc,'lat_20hz'); lon = ncread(nc,'lon'); lon_20hz = ncread(nc,'lon_20hz'); waveforms_20hz_ku = ncread(nc,'waveforms_20hz_ku'); wvf_ind = ncread(nc,'wvf_ind'); surface_type = ncread(nc,'surface_type'); time = ncread(nc,'time'); alt = ncread(nc,'alt'); alt_echo_type = ncread(nc,'alt_echo_type'); alt_20hz = ncread(nc,'alt_20hz'); range_ku = ncread(nc,'range_ku'); range_ku_mle3 = ncread(nc,'range_ku_mle3'); range_20hz_ku= ncread(nc,'range_20hz_ku'); range_20hz_ku_mle3= ncread(nc,'range_20hz_ku_mle3'); ice_range_20hz_ku= ncread(nc,'ice_range_20hz_ku'); tracker_20hz_ku = ncread(nc,'tracker_20hz_ku'); tracker_diode_20hz_ku = ncread(nc,'tracker_diode_20hz_ku'); geoid = ncread(nc,'geoid'); agc_20hz_ku = ncread(nc,'agc_20hz_ku'); meanseasurface=ncread(nc,'mean_sea_surface'); load_tidel_sol1= ncread(nc,'load_tide_sol1'); rad_surf_type=ncread(nc,'rad_surf_type'); doppler_corr_ku=ncread(nc,'doppler_corr_ku'); modeled_instr_corr_range_ku=ncread(nc,'modeled_instr_corr_range_ku'); model_dry_tropo_corr = ncread(nc,'model_dry_tropo_corr'); model_wet_tropo_corr = ncread(nc,'model_wet_tropo_corr'); inv_bar_corr = ncread(nc,'inv_bar_corr'); hf_fluctuations_corr = ncread(nc,'hf_fluctuations_corr'); solid_earth_tide = ncread(nc,'solid_earth_tide'); ocean_tide_sol1 = ncread(nc,'ocean_tide_sol1'); pole_tide = ncread(nc,'pole_tide'); sea_state_bias_ku = ncread(nc,'sea_state_bias_ku'); sea_state_bias_ku_mle3 = ncread(nc,'sea_state_bias_ku_mle3'); iono_corr_alt_ku = ncread(nc,'iono_corr_alt_ku'); iono_corr_alt_ku_mle3 = ncread(nc,'iono_corr_alt_ku_mle3'); rad_wet_tropo_corr =ncread(nc,'rad_wet_tropo_corr');
71
Lampiran 5. Sintaks waveform retracking untuk pengamatan performa metode retracking (lanjutan) %% Menentukan titik awal dan akhir pengamatan pada masing-masing stasiun %DMS atau DD cprintf('*green','==================================================================\n'); fprintf ... ('Give your latitude poin position in DMS(Degrees, Minutes, and Seconds)!\n'); %dmsordd = input... %('Type 1 for DMS or 2 DD\n >> '); %if dmsordd == 1; point1a = input... ('1a. Type degree value for the first point!\n >> '); point1b = input... ('1b. Type minute value for the first point!\n >> '); point1c = input... ('1c. Type second value for the first point!\n >> '); x1 = point1a; y1 = point1b/60; if point1a < 0 y1=y1*-1; end z1 = point1c/3600; if point1a < 0 z1=z1*-1; end point1 = (x1+y1+z1);
%% Bagian arah laut dari pantai yang akan diamati cprintf('*green','==================================================================\n'); ad = input(['Wilayah laut yang ingin Anda amati mengarah ke Utara atau Selatan?\n',... 'jika Utara = 1 dan Selatan = 2. Ketik!\n >> ']); cprintf('*magenta','------------------------------------------------------------------\n'); if ad==1 Arah='Utara'; elseif ad==2 Arah='Selatan'; end %% Seleksi wilayah lintang 20Hz berdasarkan 5 kelompok J10u=point1+0.09009; J10s=point1-0.09009; J50u=point1+0.4505; J50s=point1-0.4505; J100u=point1+0.9009; J100s=point1-0.9009; J200u=point1+1.8018; J200s=point1-1.8018; if lat_20hz(1,1) < 0 && ad == 1; %Ascending, laut bagian utara pulau [r1,c1]= find(lat_20hz >= (point1) & lat_20hz <= (J10u)); %Stasiun 1 [r2,c2]= find(lat_20hz > (J10u) & lat_20hz <= (J50u));%Stasiun 2 [r3,c3]= find(lat_20hz > (J50u) & lat_20hz <= (J100u)); %Stasiun 3 [r4,c4]= find(lat_20hz > (J100u) & lat_20hz <= (J200u)); %Stasiun 3 elseif lat_20hz(1,1)<0 && ad == 2; %Ascending, laut bagian selatan pulau [r1,c1]= find(lat_20hz <= (point1) & lat_20hz >= (J10s)); %Stasiun 2 [r2,c2]= find(lat_20hz <= (J10s) & lat_20hz >= (J50s)); %Stasiun 2 [r3,c3]= find(lat_20hz <= (J50s) & lat_20hz >= (J100s)); %Stasiun 2 [r4,c4]= find(lat_20hz <= (J100s) & lat_20hz >= (J200s)); %Stasiun 2 elseif lat_20hz(1,1) > 0 && ad == 1; [r1,c1]= find(lat_20hz >= (point1) & lat_20hz <= (J10u)); %Stasiun 2
72
Lampiran 5. Sintaks waveform retracking untuk pengamatan performa metode retracking (lanjutan) [r2,c2]= find(lat_20hz >= (J10u) & lat_20hz <= (J50u)); %Stasiun 2 [r3,c3]= find(lat_20hz >= (J50u) & lat_20hz <= (J100u)); %Stasiun 2 [r4,c4]= find(lat_20hz >= (J100u) & lat_20hz <= (J200u)); %Stasiun 2 elseif lat_20hz(1,1) > 0 && ad == 2; [r1,c1]= find(lat_20hz <= (point1) & lat_20hz>= (J10s)); %Stasiun 1 [r2,c2]= find(lat_20hz <= (J10s) & lat_20hz >= (J50s)); %Stasiun 2 [r3,c3]= find(lat_20hz <= (J50s) & lat_20hz>= (J100s)); %Stasiun 3 [r4,c4]= find(lat_20hz <= (J100s) & lat_20hz>= (J200s)); %Stasiun 3 end %menyatukan kelompok2 lintang ke dalam satu variabel r row={[r1];[r2];[r3];[r4]}; col={[c1];[c2];[c3];[c4]}; %Seleksi Variabel 20hz sesuai dengan Point of Interest (POI) for i=1:length(row) for j=1:length(row{i,1}) latkelompok_20hz{i,1}(j,1)=lat_20hz((row{i,1}(j,1)),(col{i,1}(j,1))); lonkelompok_20hz{i,1}(j,1)=lon_20hz((row{i,1}(j,1)),(col{i,1}(j,1))); altkelompok_20hz{i,1}(j,1)=alt_20hz((row{i,1}(j,1)),(col{i,1}(j,1))); agckelompok_20hz{i,1}(j,1)=agc_20hz_ku((row{i,1}(j,1)),(col{i,1}(j,1))); trackerkelompok_20hz{i,1}(j,1) =tracker_20hz_ku((row{i,1}(j,1)),(col{i,1}(j,1))); tracker_diode_kelompok_20hz{i,1}(j,1) = tracker_diode_20hz_ku((row{i,1}(j,1)),(col{i,1}(j,1))); waveformakelompok_20hz{i,1}(:,j)=waveforms_20hz_ku(:,(row{i,1}(j,1)),(col{i,1}(j,1))); rangekelompok_20hz{i,1}(j,1) =range_20hz_ku((row{i,1}(j,1)),(col{i,1}(j,1))); rangekelompok_20hz_ku_mle3{i,1}(j,1) =range_20hz_ku_mle3((row{i,1}(j,1)),(col{i,1}(j,1))); ice_range_20hz_kukelompok{i,1}(j,1) =ice_range_20hz_ku((row{i,1}(j,1)),(col{i,1}(j,1))); alt_echo_typekelompok{i,1}(j,1) =alt_echo_type((col{i,1}(j,1))); rad_surf_typekelompok{i,1}(j,1) =rad_surf_type((col{i,1}(j,1))); end end for i=1:length(row) size_wf{i,1}=size(waveformakelompok_20hz{i,1}); for j=1:size_wf{i,1}(1,2) waveformkelompok_20hz{i,1}{j,1}=waveformakelompok_20hz{i,1}((1:104),j); end end
%% Mengambil data geophysical correction 1Hz if lat_20hz(1,1) < 0 ; %Ascending, laut bagian utara pulau [r1geo,c1geo]= find(lat >= -12 & lat<= -3.5); %Stasiun 1 elseif lat_20hz(1,1) > 0 ; [r1geo,c1geo]= find(lat <=-3.5 & lat>=-12); %Stasiun 2 end doppler_corr_kelompok= doppler_corr_ku(r1geo,1); modeled_instr_corr_range_kelompok= modeled_instr_corr_range_ku(r1geo,1); ocean_tide_sol1_kelompok = ocean_tide_sol1(r1geo,1); model_dry_tropo_corr_kelompok = model_dry_tropo_corr(r1geo,1); hf_fluctuations_corr_kelompok = hf_fluctuations_corr(r1geo,1); inv_bar_corr_kelompok = inv_bar_corr(r1geo,1); solid_earth_tide_kelompok = solid_earth_tide(r1geo,1); pole_tide_kelompok = pole_tide(r1geo,1); sea_state_bias_ku_kelompok = sea_state_bias_ku(r1geo,1); iono_corr_alt_ku_kelompok = iono_corr_alt_ku(r1geo,1); sea_state_bias_ku_kelompok_mle3 = sea_state_bias_ku_mle3(r1geo,1); iono_corr_alt_ku_kelompok_mle3 = iono_corr_alt_ku_mle3(r1geo,1); rad_wet_tropo_corr_kelompok = rad_wet_tropo_corr(r1geo,1); meanseasurface_kelompok = meanseasurface(r1geo,1); load_tidel_sol1_kelompok = load_tidel_sol1(r1geo,1); doppler_corr_kelompok(1:(length(r1geo)),2)= lat(r1geo,1);
73
Lampiran 5. Sintaks waveform retracking untuk pengamatan performa metode retracking (lanjutan) modeled_instr_corr_range_kelompok(1:(length(r1geo)),2)= lat(r1geo,1); ocean_tide_sol1_kelompok(1:(length(r1geo)),2) = lat(r1geo,1); model_dry_tropo_corr_kelompok(1:(length(r1geo)),2) = lat(r1geo,1); hf_fluctuations_corr_kelompok(1:(length(r1geo)),2) = lat(r1geo,1); inv_bar_corr_kelompok(1:(length(r1geo)),2) = lat(r1geo,1); solid_earth_tide_kelompok(1:(length(r1geo)),2) = lat(r1geo,1); pole_tide_kelompok(1:(length(r1geo)),2) = lat(r1geo,1); sea_state_bias_ku_kelompok(1:(length(r1geo)),2) = lat(r1geo,1); iono_corr_alt_ku_kelompok(1:(length(r1geo)),2) = lat(r1geo,1); sea_state_bias_ku_kelompok_mle3(1:(length(r1geo)),2) = lat(r1geo,1); iono_corr_alt_ku_kelompok_mle3(1:(length(r1geo)),2) = lat(r1geo,1); rad_wet_tropo_corr_kelompok(1:(length(r1geo)),2) = lat(r1geo,1); meanseasurface_kelompok(1:(length(r1geo)),2) = lat(r1geo,1); load_tidel_sol1_kelompok(1:(length(r1geo)),2) = lat(r1geo,1); doppler_corr_kelompok(isnan(doppler_corr_kelompok(:,1)),:)=[]; modeled_instr_corr_range_kelompok(isnan(modeled_instr_corr_range_kelompok(:,1)),:)=[]; ocean_tide_sol1_kelompok(isnan(ocean_tide_sol1_kelompok(:,1)),:)=[]; model_dry_tropo_corr_kelompok(isnan(model_dry_tropo_corr_kelompok(:,1)),:)=[]; hf_fluctuations_corr_kelompok(isnan(hf_fluctuations_corr_kelompok(:,1)),:)=[]; inv_bar_corr_kelompok(isnan(inv_bar_corr_kelompok(:,1)),:)=[]; solid_earth_tide_kelompok(isnan(solid_earth_tide_kelompok(:,1)),:)=[]; pole_tide_kelompok(isnan(pole_tide_kelompok(:,1)),:)=[]; sea_state_bias_ku_kelompok(isnan(sea_state_bias_ku_kelompok(:,1)),:)=[]; iono_corr_alt_ku_kelompok(isnan(iono_corr_alt_ku_kelompok(:,1)),:)=[]; rad_wet_tropo_corr_kelompok(isnan(rad_wet_tropo_corr_kelompok(:,1)),:)=[]; meanseasurface_kelompok(isnan(meanseasurface_kelompok(:,1)),:)=[]; load('Geophysical Correction127.mat') %% Interpolasi data 1hz menjadi data 20hz for i=1:length(row) ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{i,1} = interp1(ocean_tide_sol1_kelompok(:,2),ocean_tide_sol1_kelompok(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); geoidkelompok_20hz{i,1} = interp1(geoidglobal(:,1),geoidglobal(:,3),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); model_dry_tropo_corr_kelompok_20hz{i,1}= interp1(model_dry_tropo_corr_kelompok(:,2),model_dry_tropo_corr_kelompok(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); hf_fluctuations_corr_kelompok_20hz{i,1}= interp1(hf_fluctuations_corr_kelompok(:,2),hf_fluctuations_corr_kelompok(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); inv_bar_corr_kelompok_20hz{i,1}= interp1(inv_bar_corr_kelompok(:,2),inv_bar_corr_kelompok(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); solid_earth_tide_kelompok_20hz{i,1}= interp1(solid_earth_tide_kelompok(:,2),solid_earth_tide_kelompok(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); pole_tide_kelompok_20hz{i,1}= interp1(pole_tide_kelompok(:,2),pole_tide_kelompok(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); sea_state_bias_ku_kelompok_20hz_mle3{i,1}= interp1(sea_state_bias_ku_kelompok_mle3(:,2),sea_state_bias_ku_kelompok_mle3(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); iono_corr_alt_ku_kelompok_20hz_mle3{i,1}= interp1(iono_corr_alt_ku_kelompok_mle3(:,2),iono_corr_alt_ku_kelompok_mle3(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); sea_state_bias_ku_kelompok_20hz{i,1}= interp1(sea_state_bias_ku_kelompok(:,2),sea_state_bias_ku_kelompok(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); iono_corr_alt_ku_kelompok_20hz{i,1}= interp1(iono_corr_alt_ku_kelompok(:,2),iono_corr_alt_ku_kelompok(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); rad_wet_tropo_corr_kelompok_20hz{i,1}= interp1(rad_wet_tropo_corr_kelompok(:,2),rad_wet_tropo_corr_kelompok(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); meanseasurface_kelompok_20hz{i,1}= interp1(meanseasurface_kelompok(:,2),meanseasurface_kelompok(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); load_tidel_sol1_kelompok_20hz{i,1}= interp1(load_tidel_sol1_kelompok(:,2),load_tidel_sol1_kelompok(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline'); doppler_corr_kelompok_20hz{i,1}=interp1(doppler_corr_kelompok(:,2),doppler_corr_kelompok(:,1),latkelompok_20hz{i, 1},'spline'); modeled_instr_corr_range_kelompok_20hz{i,1}=interp1(modeled_instr_corr_range_kelompok(:,2),modeled_instr_corr_ra nge_kelompok(:,1),latkelompok_20hz{i,1},'spline');
74
Lampiran 5. Sintaks waveform retracking untuk pengamatan performa metode retracking (lanjutan)
end %% Proses Retracking Data % Retracker OCOG, threshold, threshold+improved for i=1:length(row) for k=1:length(waveformakelompok_20hz{i,1}(1,:)) tLEP_OCOG{i,1}(k,1)= retracker_ocog(1:104,waveformakelompok_20hz{i,1}(:,k)); tLEP_threshold20{i,1}(k,1) = retracker_threshold(1:104,waveformakelompok_20hz{i,1}(:,k),0.2); tLEP_threshold30{i,1}(k,1) = retracker_threshold(1:104,waveformakelompok_20hz{i,1}(:,k),0.3); tLEP_threshold50{i,1}(k,1) = retracker_threshold(1:104,waveformakelompok_20hz{i,1}(:,k),0.5); subwaveforms{i,1}{k,1}= retracker_ithreshold(1:104,waveformakelompok_20hz{i,1}(:,k),'hwang'); end end for i=1:length(row) for k=1:length(waveformakelompok_20hz{i,1}(1,:)) Bar_sub{i,1}{k,1}=size(subwaveforms{i,1}{k,1}); end end for i=1:length(row) for k=1:length(waveformakelompok_20hz{i,1}(1,:)) for l=1:Bar_sub{i,1}{k,1}(1,1) dt_threshold220{i,1}{k,1}(l,1) = retracker_subwaveform(subwaveforms{i,1}{k,1}{l,1},subwaveforms{i,1}{k,1}{l,2},0.2); dt_threshold230{i,1}{k,1}(l,1) = retracker_subwaveform(subwaveforms{i,1}{k,1}{l,1},subwaveforms{i,1}{k,1}{l,2},0.3); dt_threshold250{i,1}{k,1}(l,1) = retracker_subwaveform(subwaveforms{i,1}{k,1}{l,1},subwaveforms{i,1}{k,1}{l,2},0.5); end end end for j= 1:length(row); for k=length(waveformakelompok_20hz{j,1}(1,:)) F{j,1} = repmat(32.5,k,1); end end %% Menghitung Range hasil retracking for j= 1:length(row); for k=1:length(waveformakelompok_20hz{j,1}(1,:)) dt_OCOG{j,1}(k,1) = (tLEP_OCOG{j,1}(k,1)-F{j,1}(k,1)).*0.468425715625; dt_threshold50{j,1}(k,1) = (tLEP_threshold50{j,1}(k,1)-F{j,1}(k,1)).*0.468425715625; dt_threshold20{j,1}(k,1) = (tLEP_threshold20{j,1}(k,1)-F{j,1}(k,1)).*0.468425715625; dt_ice{j,1}(k,1) = (tLEP_threshold30{j,1}(k,1)-F{j,1}(k,1)).*0.468425715625; end end %% Koreksi range %raw range for j= 1:length(row); tracker_20hz{j,1}=trackerkelompok_20hz{j,1}+doppler_corr_kelompok_20hz{j,1}+modeled_instr_corr_range_kelompok _20hz{j,1}; end %terhadap koreksi range retracking for j= 1:length(row); range_20hz_OCOG{j,1} = tracker_20hz{j,1} + dt_OCOG{j,1}; range_20hz_threshold50{j,1} = tracker_20hz{j,1} + dt_threshold50{j,1}; range_20hz_threshold20{j,1} = tracker_20hz{j,1} + dt_threshold20{j,1}; range_20hz_ice{j,1} = tracker_20hz{j,1} + dt_ice{j,1}; end for j= 1:length(row);
75
Lampiran 5. Sintaks waveform retracking untuk pengamatan performa metode retracking (lanjutan) SSH_OCOG{j,1} = altkelompok_20hz{j,1} - range_20hz_OCOG{j,1} model_dry_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1}-... (hf_fluctuations_corr_kelompok_20hz{j,1}+inv_bar_corr_kelompok_20hz{j,1}) - ... ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1} - solid_earth_tide_kelompok_20hz{j,1} - ... pole_tide_kelompok_20hz{j,1} - rad_wet_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1} sea_state_bias_ku_kelompok_20hz{j,1}-... iono_corr_alt_ku_kelompok_20hz{j,1}; SSH_threshold50{j,1} = altkelompok_20hz{j,1} - range_20hz_threshold50{j,1} model_dry_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1}-... (hf_fluctuations_corr_kelompok_20hz{j,1}+inv_bar_corr_kelompok_20hz{j,1}) - ... ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1} - solid_earth_tide_kelompok_20hz{j,1} - ... pole_tide_kelompok_20hz{j,1} - rad_wet_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1} sea_state_bias_ku_kelompok_20hz{j,1}-... iono_corr_alt_ku_kelompok_20hz{j,1}; SSH_threshold20{j,1} = altkelompok_20hz{j,1} - range_20hz_threshold20{j,1} model_dry_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1}-... (hf_fluctuations_corr_kelompok_20hz{j,1}+inv_bar_corr_kelompok_20hz{j,1}) - ... ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1} - solid_earth_tide_kelompok_20hz{j,1} sea_state_bias_ku_kelompok_20hz{j,1}-... pole_tide_kelompok_20hz{j,1} - rad_wet_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1} -... iono_corr_alt_ku_kelompok_20hz{j,1}; SSH_ocean{j,1} = altkelompok_20hz{j,1} - rangekelompok_20hz{j,1} model_dry_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1}-... (hf_fluctuations_corr_kelompok_20hz{j,1}+inv_bar_corr_kelompok_20hz{j,1}) - ... ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1} - solid_earth_tide_kelompok_20hz{j,1} - ... pole_tide_kelompok_20hz{j,1} - rad_wet_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1} sea_state_bias_ku_kelompok_20hz{j,1}-... iono_corr_alt_ku_kelompok_20hz{j,1}; SSH_ice{j,1}= altkelompok_20hz{j,1} - range_20hz_ice{j,1} - model_dry_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1}-... (hf_fluctuations_corr_kelompok_20hz{j,1}+inv_bar_corr_kelompok_20hz{j,1}) - ... ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1} - solid_earth_tide_kelompok_20hz{j,1} - ... pole_tide_kelompok_20hz{j,1} - rad_wet_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1} sea_state_bias_ku_kelompok_20hz{j,1}-... iono_corr_alt_ku_kelompok_20hz{j,1}; SSH_raw{j,1}= altkelompok_20hz{j,1} - tracker_20hz{j,1} - model_dry_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1}-... (hf_fluctuations_corr_kelompok_20hz{j,1}+inv_bar_corr_kelompok_20hz{j,1}) - ... ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1} - solid_earth_tide_kelompok_20hz{j,1} - ... pole_tide_kelompok_20hz{j,1} - rad_wet_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1} sea_state_bias_ku_kelompok_20hz{j,1}-... iono_corr_alt_ku_kelompok_20hz{j,1}; end
%% Memilih nilai SSH subwaveform 20 % dan 50 % terbaik for i=1:length(row) for k=1:length(waveformakelompok_20hz{i,1}(1,:)) for l=1:Bar_sub{i,1}{k,1}(1,1) diffsubThre20{i,1}{k,1}(l,1)=abs(dt_threshold220{i,1}{k,1}(l,1)-dt_threshold20{i,1}(k,1)); diffsubThre30{i,1}{k,1}(l,1)=abs(dt_threshold230{i,1}{k,1}(l,1)-dt_ice{i,1}(k,1)); diffsubThre50{i,1}{k,1}(l,1)=abs(dt_threshold250{i,1}{k,1}(l,1)-dt_threshold50{i,1}(k,1)); end end end for j=1:length(row) for k=1:length(waveformakelompok_20hz{j,1}(1,:)) [roww20{j,1}(k,1),coll20{j,1}(k,1)]=find(diffsubThre20{j,1}{k,1} == (min(diffsubThre20{j,1}{k,1}))); [roww30{j,1}(k,1),coll30{j,1}(k,1)]=find(diffsubThre30{j,1}{k,1} == (min(diffsubThre30{j,1}{k,1}))); [roww50{j,1}(k,1),coll50{j,1}(k,1)]=find(diffsubThre50{j,1}{k,1} == (min(diffsubThre50{j,1}{k,1}))); end end for j=1:length(row) for k=1:length(waveformakelompok_20hz{j,1}(1,:)) dt_IMPThres20{j,1}(k,1)=dt_threshold220{j,1}{k,1}(roww20{j,1}(k,1),coll20{j,1}(k,1));
76
Lampiran 5. Sintaks waveform retracking untuk pengamatan performa metode retracking (lanjutan) dt_IMPThres30{j,1}(k,1)=dt_threshold230{j,1}{k,1}(roww30{j,1}(k,1),coll30{j,1}(k,1)); dt_IMPThres50{j,1}(k,1)=dt_threshold250{j,1}{k,1}(roww50{j,1}(k,1),coll50{j,1}(k,1)); end end for j=1:length(row) for k=1:length(waveformakelompok_20hz{j,1}(1,:)) range_20hz_threshold220{j,1}(k,1) = tracker_20hz{j,1}(k,1) + dt_IMPThres20{j,1}(k,1); range_20hz_threshold230{j,1}(k,1) = tracker_20hz{j,1}(k,1) + dt_IMPThres30{j,1}(k,1); range_20hz_threshold250{j,1}(k,1) = tracker_20hz{j,1}(k,1) + dt_IMPThres50{j,1}(k,1); end end
%% SSH Improved Threshold 20 % dan 50 % for j= 1:length(row); SSH_ImpThres20{j,1}= altkelompok_20hz{j,1}- range_20hz_threshold220{j,1}model_dry_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1}-... (hf_fluctuations_corr_kelompok_20hz{j,1}+inv_bar_corr_kelompok_20hz{j,1}) - ... ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1} - solid_earth_tide_kelompok_20hz{j,1} - ... pole_tide_kelompok_20hz{j,1}- rad_wet_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1} sea_state_bias_ku_kelompok_20hz{j,1}-... iono_corr_alt_ku_kelompok_20hz{j,1}; SSH_ImpThres30{j,1}= altkelompok_20hz{j,1} - range_20hz_threshold230{j,1} model_dry_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1}-... (hf_fluctuations_corr_kelompok_20hz{j,1}+inv_bar_corr_kelompok_20hz{j,1}) - ... ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1} - solid_earth_tide_kelompok_20hz{j,1} - ... pole_tide_kelompok_20hz{j,1} - rad_wet_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1}sea_state_bias_ku_kelompok_20hz{j,1}-... iono_corr_alt_ku_kelompok_20hz{j,1}; SSH_ImpThres50{j,1}= altkelompok_20hz{j,1} - range_20hz_threshold250{j,1} model_dry_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1}-... (hf_fluctuations_corr_kelompok_20hz{j,1}+inv_bar_corr_kelompok_20hz{j,1}) - ... ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1} - solid_earth_tide_kelompok_20hz{j,1} - ... pole_tide_kelompok_20hz{j,1} - rad_wet_tropo_corr_kelompok_20hz{j,1}sea_state_bias_ku_kelompok_20hz{j,1}-... iono_corr_alt_ku_kelompok_20hz{j,1}; end %% Perhitungan Beda SSH dengan Geoid Height for j= 1:length(row); Dif_OCOG{j,1} = SSH_OCOG{j,1}-geoidkelompok_20hz{j,1}; Dif_threshold50{j,1} = SSH_threshold50{j,1}-geoidkelompok_20hz{j,1}; Dif_threshold20{j,1} = SSH_threshold20{j,1}-geoidkelompok_20hz{j,1}; Dif_threshold220{j,1} = SSH_ImpThres20{j,1}-geoidkelompok_20hz{j,1}; Dif_threshold230{j,1} = SSH_ImpThres30{j,1}-geoidkelompok_20hz{j,1}; Dif_threshold250{j,1} = SSH_ImpThres50{j,1}-geoidkelompok_20hz{j,1}; Dif_ocean{j,1} = SSH_ocean{j,1}-geoidkelompok_20hz{j,1}; Dif_ice{j,1} = SSH_ice{j,1}-geoidkelompok_20hz{j,1}; Dif_raw{j,1} = SSH_raw{j,1}-geoidkelompok_20hz{j,1}; end for j= 1:length(row); STD_OCOG{j,1} = std(Dif_OCOG{j,1}); STD_threshold50{j,1} = std(Dif_threshold50{j,1}); STD_threshold20{j,1} = std(Dif_threshold20{j,1}); STD_threshold220{j,1} = std(Dif_threshold220{j,1}); STD_threshold230{j,1} = std(Dif_threshold230{j,1}); STD_threshold250{j,1} = std(Dif_threshold250{j,1}); STD_ocean{j,1} = std(Dif_ocean{j,1}); STD_ice{j,1} = std(Dif_ice{j,1});
77
Lampiran 5. Sintaks waveform retracking untuk pengamatan performa metode retracking (lanjutan) STD_raw{j,1} = std(Dif_raw{j,1}); end %hitung IMP for i= 1:length(row) IMP_OCOG(i,1)=(((STD_raw{i,1}-STD_OCOG{i,1})/STD_raw{i,1})*100); IMP_threshold50(i,1)=(((STD_raw{i,1}-STD_threshold50{i,1})/STD_raw{i,1})*100); IMP_threshold20(i,1)=(((STD_raw{i,1}-STD_threshold20{i,1})/STD_raw{i,1})*100); IMP_threshold220(i,1)=(((STD_raw{i,1}-STD_threshold220{i,1})/STD_raw{i,1})*100); IMP_threshold230(i,1)=(((STD_raw{i,1}-STD_threshold230{i,1})/STD_raw{i,1})*100); IMP_threshold250(i,1)=(((STD_raw{i,1}-STD_threshold250{i,1})/STD_raw{i,1})*100); IMP_ice(i,1)=(((STD_raw{i,1}-STD_ice{i,1})/STD_raw{i,1})*100); IMP_ocean(i,1)=(((STD_raw{i,1}-STD_ocean{i,1})/STD_raw{i,1})*100); end
%% Menghitung SSH hasil retracking for j= 1:length(row); SLA_OCOG{j,1}=SSH_OCOG{j,1}+ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1}-meanseasurface_kelompok_20hz{j,1}load_tidel_sol1_kelompok_20hz{j,1}; SLA_threshold50{j,1}=SSH_threshold50{j,1}+ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1}meanseasurface_kelompok_20hz{j,1}-load_tidel_sol1_kelompok_20hz{j,1}; SLA_threshold20{j,1}=SSH_threshold20{j,1}+ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1}meanseasurface_kelompok_20hz{j,1}-load_tidel_sol1_kelompok_20hz{j,1}; SLA_threshold220{j,1}=SSH_ImpThres20{j,1}+ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1}meanseasurface_kelompok_20hz{j,1}-load_tidel_sol1_kelompok_20hz{j,1}; SLA_threshold230{j,1}=SSH_ImpThres30{j,1}+ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1}meanseasurface_kelompok_20hz{j,1}-load_tidel_sol1_kelompok_20hz{j,1}; SLA_threshold250{j,1}=SSH_ImpThres50{j,1}+ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1}meanseasurface_kelompok_20hz{j,1}-load_tidel_sol1_kelompok_20hz{j,1}; SLA_ocean_mle4_on_board{j,1}=SSH_ocean{j,1}+ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1}meanseasurface_kelompok_20hz{j,1}-load_tidel_sol1_kelompok_20hz{j,1}; SLA_ice{j,1}=SSH_ice{j,1}+ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1}-meanseasurface_kelompok_20hz{j,1}load_tidel_sol1_kelompok_20hz{j,1}; SLA_raw{j,1}=SSH_raw{j,1}+ocean_tide_sol1_kelompok_20hz{j,1}-meanseasurface_kelompok_20hz{j,1}load_tidel_sol1_kelompok_20hz{j,1}; end %% Perhitungan nilai Improvement Precentage(IMP)
for j= 1:length(row) figure(j) plot(latkelompok_20hz{j,1},SSH_OCOG{j,1},'-k','LineWidth',1.5); hold on; plot(latkelompok_20hz{j,1},SSH_threshold20{j,1},'-r','LineWidth',1.5); hold on; plot(latkelompok_20hz{j,1},SSH_ImpThres20{j,1},'-.r','LineWidth',1.5); hold on; plot(latkelompok_20hz{j,1},SSH_ice{j,1},'-m','LineWidth',1.5); hold on; plot(latkelompok_20hz{j,1},SSH_ImpThres30{j,1},'-.m','LineWidth',1.5); hold on; plot(latkelompok_20hz{j,1},SSH_threshold50{j,1},'-b','LineWidth',1.5); hold on; plot(latkelompok_20hz{j,1},SSH_ImpThres50{j,1},'-.b','LineWidth',1.5); hold on; plot(latkelompok_20hz{j,1},SSH_ocean{j,1},'-y','LineWidth',1.5); hold on; plot(latkelompok_20hz{j,1},SSH_raw{j,1},'-.g','LineWidth',1.5); hold on; plot(latkelompok_20hz{j,1},geoidkelompok_20hz{j,1},'-g','LineWidth',1.5)
78
Lampiran 5. Sintaks waveform retracking untuk pengamatan performa metode retracking (lanjutan) title('Perbandingan Tinggi Muka Laut Antara Metode Retracking, Non-Retracking, dan Geoid Perairan Jawa Timur Bagian Selatan Stasiun 5 Jarak 0-10 Km Satelit Jason 2 Cycle 90 Pass 140',... 'fontsize',12,'fontweight','b','color','black'); xlabel('Lintang (^O)','fontweight','b'); ylabel('Tinggi Muka Laut (m)','fontweight','b'); grid on hleg1 = legend('SSH OCOG','SSH Threshold 20%','SSH Improve Threshold 20%','SSH Ice','SSH Improve Threshold 30%','SSH Threshold 50%','SSH Improve Threshold 50%','SSH Ocean','SSH Raw','Geoid EGM2008','Location','South'); end for j=1 kmlwrite('track',latkelompok_20hz{j,1},lonkelompok_20hz{j,1},'Icon','http://maps.google.com/mapfiles/kml/shapes/place mark_circle.png'); winopen('track.kml') end
Lampiran 6. Sintak waveform retracking untuk pengamatan pada enam titik selama tahun 2009 – 2012 %Sintak ini akan digunakan dalam tahap pengolahan data altimetri satelit %Jason 2. Kegunaan sintak ini ialah mengukur tinggi muka laut dari titik %awal masing-masing stasiun hingga 50 km menjauh dari daratan. %Sintak ini dikembangkan oleh Kadek Surya Sumerta (Mahasiswa S1 Ilmu dan %Teknologi Kelautan, IPB) %% Menentukan direktori file dan memilih file clear;clc; cprintf('K','*Welcome Users!*\n'); cprintf('*green','==================================================================\n'); fprintf ... ('Define your directory nc files!\n'); fprintf('Please enter! "'); cprintf('error','enter'); cprintf('text','"!\n'); cprintf('*magenta','------------------------------------------------------------------\n'); pause nc_dir= uigetdir; cd(nc_dir); nc = uigetfile('*.nc',... 'Choose your nc file!', ... 'MultiSelect', 'on'); %% Baca Variabel-variabel didalam data satelit for i = 1:length(nc) lat{i,1} = ncread(nc{1,i},'lat'); lat_20hz{i,1} = ncread(nc{1,i},'lat_20hz'); lon{i,1} = ncread(nc{1,i},'lon'); lon_20hz{i,1} = ncread(nc{1,i},'lon_20hz'); waveforms_20hz_ku{i,1} = ncread(nc{1,i},'waveforms_20hz_ku'); wvf_ind{i,1} = ncread(nc{1,i},'wvf_ind'); surface_type{i,1} = ncread(nc{1,i},'surface_type'); time{i,1} = ncread(nc{1,i},'time'); alt{i,1} = ncread(nc{1,i},'alt'); alt_20hz{i,1} = ncread(nc{1,i},'alt_20hz'); range_ku{i,1} = ncread(nc{1,i},'range_ku'); range_20hz_ku{i,1}= ncread(nc{1,i},'range_20hz_ku'); tracker_20hz_ku{i,1} = ncread(nc{1,i},'tracker_20hz_ku'); geoid{i,1} = ncread(nc{1,i},'geoid'); agc_20hz_ku{i,1} = ncread(nc{1,i},'agc_20hz_ku'); meanseasurface{i,1}=ncread(nc{1,i},'mean_sea_surface'); time_20hz{i,1}=ncread(nc{1,i},'time_20hz');
79
Lampiran 6. Sintak waveform retracking untuk pengamatan pada enam titik selama tahun 2009 – 2012 (lanjutan)
model_dry_tropo_corr{i,1} = ncread(nc{1,i},'model_dry_tropo_corr'); model_wet_tropo_corr{i,1} = ncread(nc{1,i},'model_wet_tropo_corr'); inv_bar_corr{i,1} = ncread(nc{1,i},'inv_bar_corr'); hf_fluctuations_corr{i,1} = ncread(nc{1,i},'hf_fluctuations_corr'); solid_earth_tide{i,1} = ncread(nc{1,i},'solid_earth_tide'); ocean_tide_sol1{i,1} = ncread(nc{1,i},'ocean_tide_sol1'); pole_tide{i,1} = ncread(nc{1,i},'pole_tide'); sea_state_bias_ku{i,1} = ncread(nc{1,i},'sea_state_bias_ku'); sea_state_bias_ku_mle3{i,1} = ncread(nc{1,i},'sea_state_bias_ku_mle3'); iono_corr_alt_ku{i,1} = ncread(nc{1,i},'iono_corr_alt_ku'); iono_corr_alt_ku_mle3{i,1} = ncread(nc{1,i},'iono_corr_alt_ku_mle3'); rad_wet_tropo_corr{i,1} =ncread(nc{1,i},'rad_wet_tropo_corr'); load_tidel_sol1{i,1}= ncread(nc{1,i},'load_tide_sol1'); end %% Menentukan titik awal dan akhir pengamatan pada masing-masing stasiun %DMS atau DD cprintf('*green','==================================================================\n'); fprintf ... ('Give your latitude poin position in DMS(Degrees, Minutes, and Seconds)!\n'); %dmsordd = input... %('Type 1 for DMS or 2 DD\n >> '); %if dmsordd == 1; point1a = input... ('1a. Type degree value for the first point!\n >> '); point1b = input... ('1b. Type minute value for the first point!\n >> '); point1c = input... ('1c. Type second value for the first point!\n >> '); x1 = point1a; y1 = point1b/60; if point1a < 0 y1=y1*-1; end z1 = point1c/3600; if point1a < 0 z1=z1*-1; end point1 = (x1+y1+z1); %% Seleksi lokasi global 1 Hz for i=1:length(nc); [r1geo{i,1},c1geo{i,1}]= find(lat{i,1} >=(point1-2) & lat{i,1}<=(point1+2)); end %% Seleksi posisi global 20 Hz for i=1:length(nc); [r1_20hz_geo{i,1},c1_20hz_geo{i,1}]= find(lat_20hz{i,1} >= (point1-0.01) & lat_20hz{i,1}<= (point1+0.01)); end for i=1:length(nc); for j = 1:length(r1geo{i,1}) doppler_corr_global{i,1}(j,1)= doppler_corr_ku{i,1}(r1geo{i,1}(j,1)); modeled_instr_corr_range_global{i,1}(j,1)= modeled_instr_corr_range_ku{i,1}(r1geo{i,1}(j,1)); ocean_tide_sol1_global{i,1}(j,1) = ocean_tide_sol1{i,1}(r1geo{i,1}(j,1)); model_dry_tropo_corr_global{i,1}(j,1) = model_dry_tropo_corr{i,1}(r1geo{i,1}(j,1)); hf_fluctuations_corr_global{i,1}(j,1) = hf_fluctuations_corr{i,1}(r1geo{i,1}(j,1)); inv_bar_corr_global{i,1}(j,1) = inv_bar_corr{i,1}(r1geo{i,1}(j,1)); solid_earth_tide_global{i,1}(j,1) = solid_earth_tide{i,1}(r1geo{i,1}(j,1)); pole_tide_global{i,1}(j,1) = pole_tide{i,1}(r1geo{i,1}(j,1));
80
Lampiran 6. Sintak waveform retracking untuk pengamatan pada enam titik selama tahun 2009 – 2012 (lanjutan) sea_state_bias_ku_global{i,1}(j,1) = sea_state_bias_ku{i,1}(r1geo{i,1}(j,1)); iono_corr_alt_ku_global{i,1}(j,1) = iono_corr_alt_ku{i,1}(r1geo{i,1}(j,1)); rad_wet_tropo_corr_global{i,1}(j,1) = rad_wet_tropo_corr{i,1}(r1geo{i,1}(j,1)); meanseasurface_global{i,1}(j,1) = meanseasurface{i,1}(r1geo{i,1}(j,1)); load_tidel_sol1_global{i,1}=meanseasurface{i,1}(r1geo{i,1}(j,1)); end end for i=1:length(nc); for j = 1:length(r1geo{i,1}) doppler_corr_global{i,1}(j,2) = lat{i,1}(r1geo{i,1}(j,1),1); modeled_instr_corr_range_global{i,1}(j,2) = lat{i,1}(r1geo{i,1}(j,1),1); ocean_tide_sol1_global{i,1}(j,2) = lat{i,1}(r1geo{i,1}(j,1),1); model_dry_tropo_corr_global{i,1}(j,2) = lat{i,1}(r1geo{i,1}(j,1),1); hf_fluctuations_corr_global{i,1}(j,2) = lat{i,1}(r1geo{i,1}(j,1),1); inv_bar_corr_global{i,1}(j,2) = lat{i,1}(r1geo{i,1}(j,1),1); solid_earth_tide_global{i,1}(j,2) = lat{i,1}(r1geo{i,1}(j,1),1); pole_tide_global{i,1}(j,2) = lat{i,1}(r1geo{i,1}(j,1),1); sea_state_bias_ku_global{i,1}(j,2) = lat{i,1}(r1geo{i,1}(j,1),1); iono_corr_alt_ku_global{i,1}(j,2) = lat{i,1}(r1geo{i,1}(j,1),1); rad_wet_tropo_corr_global{i,1}(j,2) = lat{i,1}(r1geo{i,1}(j,1),1); meanseasurface_global{i,1}(j,2) = lat{i,1}(r1geo{i,1}(j,1),1); load_tidel_sol1_global{i,1}(j,2)=lat{i,1}(r1geo{i,1}(j,1),1); end end for i=1:length(nc); doppler_corr_global{i,1}(isnan(doppler_corr_global{i,1}),:)=[]; modeled_instr_corr_range_global{i,1}(isnan(modeled_instr_corr_range_global{i,1}),:)=[]; iono_corr_alt_ku_global{i,1}(isnan(iono_corr_alt_ku_global{i,1}),:)=[]; ocean_tide_sol1_global{i,1}(isnan(ocean_tide_sol1_global{i,1}),:)=[]; model_dry_tropo_corr_global{i,1}(isnan(model_dry_tropo_corr_global{i,1}),:)=[]; hf_fluctuations_corr_global{i,1}(isnan(hf_fluctuations_corr_global{i,1}),:)=[]; inv_bar_corr_global{i,1}(isnan(inv_bar_corr_global{i,1}),:)=[]; solid_earth_tide_global{i,1}(isnan(solid_earth_tide_global{i,1}),:)=[]; pole_tide_global{i,1}(isnan(pole_tide_global{i,1}),:)=[]; sea_state_bias_ku_global{i,1}(isnan(sea_state_bias_ku_global{i,1}),:)=[]; iono_corr_alt_ku_global{i,1}(isnan(iono_corr_alt_ku_global{i,1}),:)=[]; rad_wet_tropo_corr_global{i,1}(isnan(rad_wet_tropo_corr_global{i,1}),:)=[]; meanseasurface_global{i,1}(isnan(meanseasurface_global{i,1}),:)=[]; load_tidel_sol1_global{i,1}(isnan(meanseasurface_global{i,1}),:)=[]; end %Seleksi Variabel 20hz global for i = 1:length(nc) for j = 1:length(r1_20hz_geo{i,1}) latglobal_20hz{i,1}(j,1)=lat_20hz{i,1}((r1_20hz_geo{i,1}(j,1)),(c1_20hz_geo{i,1}(j,1))); longlobal_20hz{i,1}(j,1)=lon_20hz{i,1}((r1_20hz_geo{i,1}(j,1)),(c1_20hz_geo{i,1}(j,1))); altglobal_20hz{i,1}(j,1)=alt_20hz{i,1}((r1_20hz_geo{i,1}(j,1)),(c1_20hz_geo{i,1}(j,1))); trackerglobal_20hz{i,1}(j,1) =tracker_20hz_ku{i,1}((r1_20hz_geo{i,1}(j,1)),(c1_20hz_geo{i,1}(j,1))); waveformglobal_20hz{i,1}(:,j)=waveforms_20hz_ku{i,1}(:,(r1_20hz_geo{i,1}(j,1)),(c1_20hz_geo{i,1}(j,1))); rangeglobal_20hz{i,1}(j,1) =range_20hz_ku{i,1}((r1_20hz_geo{i,1}(j,1)),(c1_20hz_geo{i,1}(j,1))); timeglobal_20hz_julian{i,1}(j,1) =time_20hz{i,1}((r1_20hz_geo{i,1}(j,1)),(c1_20hz_geo{i,1}(j,1))); end end load('Geophysical Correction140.mat') %% Interpolasi data 1hz menjadi data 20hz for i=1:length(nc) for j = 1:length(r1_20hz_geo{i,1}) ocean_tide_sol1_global_20hz{i,1}(j,1) = interp1(ocean_tide_sol1_global{i,1}(:,2),ocean_tide_sol1_global{i,1}(:,1),latglobal_20hz{i,1}(j,1),'nearest'); geoidglobal_20hz{i,1}(j,1) = interp1(geoidglobal(:,1),geoidglobal(:,3),latglobal_20hz{i,1}(j,1),'nearest');
81
Lampiran 6. Sintak waveform retracking untuk pengamatan pada enam titik selama tahun 2009 – 2012 (lanjutan) model_dry_tropo_corr_global_20hz{i,1}(j,1)= interp1(model_dry_tropo_corr_global{i,1}(:,2),model_dry_tropo_corr_global{i,1}(:,1),latglobal_20hz{i,1}(j,1),'nearest'); hf_fluctuations_corr_global_20hz{i,1}(j,1)= interp1(hf_fluctuations_corr_global{i,1}(:,2),hf_fluctuations_corr_global{i,1}(:,1),latglobal_20hz{i,1}(j,1),'nearest'); inv_bar_corr_global_20hz{i,1}(j,1)= interp1(inv_bar_corr_global{i,1}(:,2),inv_bar_corr_global{i,1}(:,1),latglobal_20hz{i,1}(j,1),'nearest'); solid_earth_tide_global_20hz{i,1}(j,1)= interp1(solid_earth_tide_global{i,1}(:,2),solid_earth_tide_global{i,1}(:,1),latglobal_20hz{i,1}(j,1),'nearest'); pole_tide_global_20hz{i,1}(j,1)= interp1(pole_tide_global{i,1}(:,2),pole_tide_global{i,1}(:,1),latglobal_20hz{i,1}(j,1),'nearest'); sea_state_bias_ku_global_20hz{i,1}(j,1)= interp1(sea_state_bias_ku_global{i,1}(:,2),sea_state_bias_ku_global{i,1}(:,1),latglobal_20hz{i,1}(j,1),'nearest'); iono_corr_alt_ku_global_20hz{i,1}(j,1)= interp1(iono_corr_alt_ku_global{i,1}(:,2),iono_corr_alt_ku_global{i,1}(:,1),latglobal_20hz{i,1}(j,1),'nearest'); rad_wet_tropo_corr_global_20hz{i,1}(j,1)= interp1(rad_wet_tropo_corr_global{i,1}(:,2),rad_wet_tropo_corr_global{i,1}(:,1),latglobal_20hz{i,1}(j,1),'nearest'); meanseasurface_global_20hz{i,1}(j,1)= interp1(meanseasurface_global{i,1}(:,2),meanseasurface_global{i,1}(:,1),latglobal_20hz{i,1}(j,1),'nearest'); doppler_corr_global_20hz{i,1}(j,1)=interp1(doppler_corr_global{i,1}(:,2),doppler_corr_global{i,1}(:,1),latglobal_20hz{i, 1}(j,1),'nearest'); modeled_instr_corr_range_global_20hz{i,1}(j,1)=interp1(modeled_instr_corr_range_global{i,1}(:,2),modeled_instr_corr_r ange_global{i,1}(:,1),latglobal_20hz{i,1}(j,1),'nearest'); load_tidel_sol1_global_20hz{i,1}(j,1)=interp1(load_tidel_sol1_global{i,1}(:,2),load_tidel_sol1_global{i,1}(:,1),latglobal_ 20hz{i,1}(j,1),'nearest'); end end
%% Proses Retracking Data % Retracker OCOG, threshold, threshold+improved for j=1:length(nc) for k=1:length(r1_20hz_geo{j,1}) tLEP_OCOG{j,1}(k,1)= retracker_ocog(1:104,waveformglobal_20hz{j,1}(:,k)); tLEP_threshold50{j,1}(k,1) = retracker_threshold(1:104,waveformglobal_20hz{j,1}(:,k),0.5); tLEP_threshold20{j,1}(k,1) = retracker_threshold(1:104,waveformglobal_20hz{j,1}(:,k),0.2); subwaveforms{j,1}{k,1}= retracker_ithreshold(1:104,waveformglobal_20hz{j,1}(:,k),'hwang'); tLEP_ice{j,1}(k,1) = retracker_threshold(1:104,waveformglobal_20hz{j,1}(:,k),0.3); end end for i=1:length(nc) for k=1:length(r1_20hz_geo{i,1}) Bar_sub{i,1}{k,1}=size(subwaveforms{i,1}{k,1}); end end for j= 1:length(nc); for k=1:length(r1_20hz_geo{j,1}) F{j,1}(k,1) = 32.5; end end for i=1:length(nc) for k=1:length(r1_20hz_geo{i,1}) for l=1:Bar_sub{i,1}{k,1}(1,1) dt_threshold220{i,1}{k,1}(l,1) = retracker_subwaveform(subwaveforms{i,1}{k,1}{l,1},subwaveforms{i,1}{k,1}{l,2},0.2); dt_threshold230{i,1}{k,1}(l,1) = retracker_subwaveform(subwaveforms{i,1}{k,1}{l,1},subwaveforms{i,1}{k,1}{l,2},0.3); dt_threshold250{i,1}{k,1}(l,1) = retracker_subwaveform(subwaveforms{i,1}{k,1}{l,1},subwaveforms{i,1}{k,1}{l,2},0.5); end end end
82
Lampiran 6. Sintak waveform retracking untuk pengamatan pada enam titik selama tahun 2009 – 2012 (lanjutan) for j= 1:length(nc); for k=1:length(r1_20hz_geo{j,1}) dt_OCOG{j,1}(k,1) = (tLEP_OCOG{j,1}(k,1)-F{j,1}(k,1)).*0.468425715625; dt_threshold50{j,1}(k,1) = (tLEP_threshold50{j,1}(k,1)-F{j,1}(k,1)).*0.468425715625; dt_threshold20{j,1}(k,1) = (tLEP_threshold20{j,1}(k,1)-F{j,1}(k,1)).*0.468425715625; dt_ice{j,1}(k,1) =(tLEP_ice{j,1}(k,1)-F{j,1}(k,1)).*0.468425715625; end end %% Koreksi range %raw range for j= 1:length(nc); for k=1:length(r1_20hz_geo{j,1}) tracker_20hz{j,1}(k,1)=trackerglobal_20hz{j,1}(k,1)+doppler_corr_global_20hz{j,1}(k,1)+modeled_instr_corr_range_glo bal_20hz{j,1}(k,1); end end %terhadap koreksi range retracking for j= 1:length(nc); for k=1:length(r1_20hz_geo{j,1}) range_20hz_OCOG{j,1}(k,1) = tracker_20hz{j,1}(k,1) + dt_OCOG{j,1}(k,1); range_20hz_threshold50{j,1}(k,1) = tracker_20hz{j,1}(k,1) + dt_threshold50{j,1}(k,1); range_20hz_threshold20{j,1}(k,1) = tracker_20hz{j,1}(k,1) + dt_threshold20{j,1}(k,1); range_20hz_ice2{j,1}(k,1) = tracker_20hz{j,1}(k,1) + dt_ice{j,1}(k,1); range_20hz_ocean{j,1}(k,1) = rangeglobal_20hz{j,1}(k,1); end end for j= 1:length(nc); for k=1:length(r1_20hz_geo{j,1}) SSH_global_OCOG{j,1}(k,1) = altglobal_20hz{j,1}(k,1) - range_20hz_OCOG{j,1}(k,1) model_dry_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1)-... (hf_fluctuations_corr_global_20hz{j,1}(k,1) + inv_bar_corr_global_20hz{j,1}(k,1)) - ... ocean_tide_sol1_global_20hz{j,1}(k,1) - solid_earth_tide_global_20hz{j,1}(k,1) - ... pole_tide_global_20hz{j,1}(k,1) - rad_wet_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1) sea_state_bias_ku_global_20hz{j,1}(k,1) -... iono_corr_alt_ku_global_20hz{j,1}(k,1); SSH_global_threshold50{j,1}(k,1) = altglobal_20hz{j,1}(k,1) - range_20hz_threshold50{j,1}(k,1) model_dry_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1)-... (hf_fluctuations_corr_global_20hz{j,1}(k,1) + inv_bar_corr_global_20hz{j,1}(k,1)) - ... ocean_tide_sol1_global_20hz{j,1}(k,1) - solid_earth_tide_global_20hz{j,1}(k,1) - ... pole_tide_global_20hz{j,1}(k,1) - rad_wet_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1) sea_state_bias_ku_global_20hz{j,1}(k,1) -... iono_corr_alt_ku_global_20hz{j,1}(k,1); SSH_global_threshold20{j,1}(k,1) = altglobal_20hz{j,1}(k,1) - range_20hz_threshold20{j,1}(k,1) model_dry_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1)-... (hf_fluctuations_corr_global_20hz{j,1}(k,1) + inv_bar_corr_global_20hz{j,1}(k,1)) - ... ocean_tide_sol1_global_20hz{j,1}(k,1) - solid_earth_tide_global_20hz{j,1}(k,1) - ... pole_tide_global_20hz{j,1}(k,1) - rad_wet_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1) sea_state_bias_ku_global_20hz{j,1}(k,1) -... iono_corr_alt_ku_global_20hz{j,1}(k,1); SSH_global_ocean{j,1}(k,1) = altglobal_20hz{j,1}(k,1) - range_20hz_ocean{j,1}(k,1) model_dry_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1)-... (hf_fluctuations_corr_global_20hz{j,1}(k,1) + inv_bar_corr_global_20hz{j,1}(k,1)) - ... ocean_tide_sol1_global_20hz{j,1}(k,1) - solid_earth_tide_global_20hz{j,1}(k,1) - ... pole_tide_global_20hz{j,1}(k,1) - rad_wet_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1) sea_state_bias_ku_global_20hz{j,1}(k,1) -... iono_corr_alt_ku_global_20hz{j,1}(k,1); SSH_global_ice{j,1}(k,1)= altglobal_20hz{j,1}(k,1) - range_20hz_ice2{j,1}(k,1) model_dry_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1)-... (hf_fluctuations_corr_global_20hz{j,1}(k,1) + inv_bar_corr_global_20hz{j,1}(k,1)) - ... ocean_tide_sol1_global_20hz{j,1}(k,1) - solid_earth_tide_global_20hz{j,1}(k,1) - ...
83
Lampiran 6. Sintak waveform retracking untuk pengamatan pada enam titik selama tahun 2009 – 2012 (lanjutan) pole_tide_global_20hz{j,1}(k,1) - rad_wet_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1) sea_state_bias_ku_global_20hz{j,1}(k,1) -... iono_corr_alt_ku_global_20hz{j,1}(k,1); SSH_global_raw{j,1}(k,1)= altglobal_20hz{j,1}(k,1) - tracker_20hz{j,1}(k,1) model_dry_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1)-... (hf_fluctuations_corr_global_20hz{j,1}(k,1) + inv_bar_corr_global_20hz{j,1}(k,1)) - ... ocean_tide_sol1_global_20hz{j,1}(k,1) - solid_earth_tide_global_20hz{j,1}(k,1) - ... pole_tide_global_20hz{j,1}(k,1) - rad_wet_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1) sea_state_bias_ku_global_20hz{j,1}(k,1) -... iono_corr_alt_ku_global_20hz{j,1}(k,1); end end %% Memilih nilai SSH subwaveform 20 % dan 50 % terbaik for i=1:length(nc) for k=1:length(r1_20hz_geo{i,1}) for l=1:Bar_sub{i,1}{k,1}(1,1) diffsubThre20{i,1}{k,1}(l,1)=abs(dt_threshold220{i,1}{k,1}(l,1)-dt_threshold20{i,1}(k,1)); diffsubThre30{i,1}{k,1}(l,1)=abs(dt_threshold230{i,1}{k,1}(l,1)-dt_ice{i,1}(k,1)); diffsubThre50{i,1}{k,1}(l,1)=abs(dt_threshold250{i,1}{k,1}(l,1)-dt_threshold50{i,1}(k,1)); end end end for j=1:length(nc) for k=1:length(r1_20hz_geo{j,1}) [roww20{j,1}(k,1),coll20{j,1}(k,1)]=find(diffsubThre20{j,1}{k,1} == (min(diffsubThre20{j,1}{k,1}))); [roww30{j,1}(k,1),coll30{j,1}(k,1)]=find(diffsubThre30{j,1}{k,1} == (min(diffsubThre30{j,1}{k,1}))); [roww50{j,1}(k,1),coll50{j,1}(k,1)]=find(diffsubThre50{j,1}{k,1} == (min(diffsubThre50{j,1}{k,1}))); end end for j=1:length(nc) for k=1:length(r1_20hz_geo{j,1}) dt_IMPThres20{j,1}(k,1)=dt_threshold220{j,1}{k,1}(roww20{j,1}(k,1),coll20{j,1}(k,1)); dt_IMPThres30{j,1}(k,1)=dt_threshold230{j,1}{k,1}(roww30{j,1}(k,1),coll30{j,1}(k,1)); dt_IMPThres50{j,1}(k,1)=dt_threshold250{j,1}{k,1}(roww50{j,1}(k,1),coll50{j,1}(k,1)); end end for j=1:length(nc) for k=1:length(r1_20hz_geo{j,1}) range_20hz_threshold220{j,1}(k,1) = tracker_20hz{j,1}(k,1) + dt_IMPThres20{j,1}(k,1); range_20hz_threshold230{j,1}(k,1) = tracker_20hz{j,1}(k,1) + dt_IMPThres30{j,1}(k,1); range_20hz_threshold250{j,1}(k,1) = tracker_20hz{j,1}(k,1) + dt_IMPThres50{j,1}(k,1); end end %% SSH Improved Threshold 20 % dan 50 % Ala Brat for j=1:length(nc) for k=1:length(r1_20hz_geo{j,1}) SSH_global_threshold220{j,1}(k,1)= altglobal_20hz{j,1}(k,1) - range_20hz_threshold220{j,1}(k,1) model_dry_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1)-... (hf_fluctuations_corr_global_20hz{j,1}(k,1)+inv_bar_corr_global_20hz{j,1}(k,1)) - ... ocean_tide_sol1_global_20hz{j,1}(k,1) - solid_earth_tide_global_20hz{j,1}(k,1) - ... pole_tide_global_20hz{j,1}(k,1) - rad_wet_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1) -... iono_corr_alt_ku_global_20hz{j,1}(k,1); SSH_global_threshold230{j,1}(k,1)= altglobal_20hz{j,1}(k,1) - range_20hz_threshold230{j,1}(k,1) model_dry_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1)-... (hf_fluctuations_corr_global_20hz{j,1}(k,1)+inv_bar_corr_global_20hz{j,1}(k,1)) - ... ocean_tide_sol1_global_20hz{j,1}(k,1) - solid_earth_tide_global_20hz{j,1}(k,1) - ... pole_tide_global_20hz{j,1}(k,1) - rad_wet_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1) -... iono_corr_alt_ku_global_20hz{j,1}(k,1); SSH_global_threshold250{j,1}(k,1)= altglobal_20hz{j,1}(k,1) - range_20hz_threshold250{j,1}(k,1) model_dry_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1)-...
84
Lampiran 6. Sintak waveform retracking untuk pengamatan pada enam titik selama tahun 2009 – 2012 (lanjutan) (hf_fluctuations_corr_global_20hz{j,1}(k,1)+inv_bar_corr_global_20hz{j,1}(k,1)) - ... ocean_tide_sol1_global_20hz{j,1}(k,1) - solid_earth_tide_global_20hz{j,1}(k,1) - ... pole_tide_global_20hz{j,1}(k,1) - rad_wet_tropo_corr_global_20hz{j,1}(k,1) -... iono_corr_alt_ku_global_20hz{j,1}(k,1); end end %% Menghitung SSH dan Mean Sea Surface POI for i=1:length(nc) SSH_OCOG(i,1)= interp1(latglobal_20hz{i,1},SSH_global_OCOG{i,1},point1,'nearest'); SSH_threshold50(i,1)= interp1(latglobal_20hz{i,1},SSH_global_threshold50{i,1},point1,'nearest'); SSH_threshold20(i,1)= interp1(latglobal_20hz{i,1},SSH_global_threshold20{i,1},point1,'nearest'); SSH_threshold220(i,1)= interp1(latglobal_20hz{i,1},SSH_global_threshold220{i,1},point1,'nearest'); SSH_threshold230(i,1)= interp1(latglobal_20hz{i,1},SSH_global_threshold230{i,1},point1,'nearest'); SSH_threshold250(i,1)= interp1(latglobal_20hz{i,1},SSH_global_threshold250{i,1},point1,'nearest'); SSH_ocean(i,1)= interp1(latglobal_20hz{i,1},SSH_global_ocean{i,1},point1,'nearest'); SSH_ice(i,1)= interp1(latglobal_20hz{i,1},SSH_global_ice{i,1},point1,'nearest'); SSH_raw(i,1)= interp1(latglobal_20hz{i,1},SSH_global_raw{i,1},point1,'nearest'); Geoid(i,1)= interp1(latglobal_20hz{i,1},geoidglobal_20hz{i,1},point1,'nearest'); meanseasurface_poi(i,1)=interp1(latglobal_20hz{i,1},meanseasurface_global_20hz{i,1},point1,'nearest'); timejulian_poi(i,1)=interp1(latglobal_20hz{i,1},timeglobal_20hz_julian{i,1},point1,'nearest'); ocean_tide_sol1_poi_20hz(i,1)=interp1(latglobal_20hz{i,1},ocean_tide_sol1_global_20hz{i,1},point1,'nearest'); load_tidel_sol1_poi_20hz(i,1)=interp1(latglobal_20hz{i,1},load_tidel_sol1_global_20hz{i,1},point1,'nearest'); end %% Menghitung SLA Ala Brat for j= 1:length(nc); SLA_OCOG(j,1)=SSH_OCOG(j,1)-meanseasurface_poi(j,1); SLA_threshold50(j,1)=SSH_threshold50(j,1)-meanseasurface_poi(j,1); SLA_threshold20(j,1)=SSH_threshold20(j,1)-meanseasurface_poi(j,1); SLA_threshold220(j,1)=SSH_threshold220(j,1)-meanseasurface_poi(j,1) SLA_threshold230(j,1)=SSH_threshold230(j,1)-meanseasurface_poi(j,1); SLA_threshold250(j,1)=SSH_threshold50(j,1)-meanseasurface_poi(j,1); SLA_ocean(j,1)=SSH_ocean(j,1)-meanseasurface_poi(j,1); SLA_ice(j,1)=SSH_ice(j,1)-meanseasurface_poi(j,1); SLA_raw(j,1)=SSH_raw(j,1)-meanseasurface_poi(j,1); end
Lampiran 7. Fungsi MATLAB tentang metode retracking OCOG function tLEP = retracker_ocog(t,P,n1,n2) % fungsi untuk melakukan retracking menggunakan metode Offset Centre of % Gravity (OCOG). Inputnya t (waktu), P (power), n1 dan n2 (jumlah 'bin' % yang terpengaruh oleh aliasing pada awal dan akhir data waveform. % Outputnya waktu saat Leading Edge Position (tLEP). % Untuk n1 dan n2, apabila tidak diisi maka akan diset default, yaitu % n1=n2=4 (dari Hwang et al. 2006) if (exist('n1')==0) && (exist('n2')==0); n1 = 4; n2 = 4; end % N = jumlah sampel dalam waveform N = length(t); % menghitung Amplitude A = sqrt( (sum(P(1+n1:N-n2).^4)) / (sum(P(1+n1:N-n2).^2)) ); % menghitung panjang waveform W = sum((P(1+n1:N-n2).^2))^2 / sum(P(1+n1:N-n2).^4); % menghitung COG COG = sum([1+n1:N-n2]' .* P(1+n1:N-n2).^2) / (sum(P(1+n1:N-n2).^2)); % menghitung Leading Edge Position (LEP)
85
Lampiran 7. Fungsi MATLAB tentang metode retracking OCOG (lanjutan) tLEP = COG - W/2; % menghitung waktu kembali gelombang % tLEP = t(round(LEP)); %metode lama, masih dibuletin, ga dipake
Lampiran 8. Fungsi MATLAB tentang metode retracking threshold function tLEP = retracker_threshold(t,p,th_value) % Nilai threshold value(th_value) (berdasarkan Davis(1997)): % 50%(A-pn) untuk surface scattering waveform % 10-20%(A-pn) % Untuk n1 dan n2 diset default, yaitu % n1=n2=4 (dari Hwang et al. 2006) n1 = 4; n2 = 4; N = length(t); % menghitung Amplitude A = sqrt( (sum(p(1+n1:N-n2).^4)) / (sum(p(1+n1:N-n2).^2)) ); % Thermal noise pn = 1/5*sum(p(1:5)); % Threshold Level Tl = pn + th_value*(A-pn); % mencari power of retracked gate k = min(find(p>=Tl)); %--> nomor gate yang pertama kali melewati threshold if k ==1 k = k+1; % buat kasus mahiwal end gk = k; gk_1 = k-1; tLEP = gk_1 +((Tl - p(k-1))/(p(k)-p(k-1))); %power dari retracked gate
Lampiran 9. Fungsi MATLAB tentang metode retracking improved threshold function subwaveforms2 = retracker_ithreshold(t,p,eps_value) % Nilai threshold value(th_value) (berdasarkan Davis(1997)): % 50%(A-pn) untuk surface scattering waveform % 10-20%(A-pn) % Nilai epsilon valued diisi dan dihitung sbb: % -'hwang' : menggunakan e1 = 8 dan e2 = 2(Hwang et al.,2008) % -'fenoglio' : menggunakan e1=0.2*S dan e2 = 0.2*S1 . S dan S1 dihitung % secara terpisah (Fenoglio-Marc et a., 2009) % Untuk n1 dan n2 diset default, yaitu n1=n2=4 (dari Hwang et al. 2006) % output dari fungsi ini adalah subwaveform (t dan P) dari % data. format filenya adalah cell. % file output: % | t1 P1 | dari subwaveform 1 % | t2 P2 | dari subwaveform 2 %|: :| % | tn Pn | dari subwaveform n N = length(t); if strcmp(eps_value,'hwang') % 8 dan 2 e1=8;e2=2; else strcmp(eps_value,'fenoglio') S = hitung_S(p,N); S1 = hitung_S1(p,N);
86
Lampiran 9. Fungsi MATLAB tentang metode retracking improved threshold (lanjutan) e1=0.2*S e2=0.2*S1 end subwaveform=[]; i=5; while i+1<=N-5 d2 = 0.5*(p(i+1)-p(i)); if (d2>e1) k=1; while i+k<=N-5 d1 = p(i+k+1)-p(i+k); if d1<=e2 break end k=k+1; end subwaveform = [subwaveform;[i-4:i+(k+i)+4]';0]; i=i+k+4; end i=i+1; end % mengubah ke format struct j=1; subwaveforms{j,1}(1,1)=NaN;%cuma untuk pendefinisian aja for i = 1:length(subwaveform) if subwaveform(i)>0 subwaveforms{j,1} = [subwaveforms{j,1};subwaveform(i)]; else subwaveforms{j,1}(1)=[]; %pendefinisian diatas diilangin j=j+1; subwaveforms{j,1}(1,1)=NaN; %cuma untuk pendefinisian lagi end end subwaveforms{j,1}=[]; %pendefinisian diatas diilangin lagi %note: karena ga bisa diilangin, file subwaveforms yang berbentuk cell %array mempunyai 'buntut' yang isinya ga ada. % di-arrange supaya dapetnya [t P] N = length(subwaveforms); for i=1:N-1 % tambahan supaya tidak error kalau2 si subwaveform ada di 'buntut' % yang bikin t nya jadi diatas 104 if max(subwaveforms{i,1})>length(t) subwaveforms{i,1}(subwaveforms{i,1}>length(t)) = []; end subwaveforms2{i,1} = t(subwaveforms{i,1}); subwaveforms2{i,2} = p(subwaveforms{i,1}); if (i >= 3) break % lieur ah, silakan ditelusuri aja kenapa end end end % end of function function S = hitung_S(p,N) d2=0; d2i=0; for i=1:N-2 d2=d2+(0.5*(p(i+2)-p(i)))^2; d2i=d2i+0.5*(p(i+2)-p(i)); end S = sqrt( ((N-2)*d2 - d2i^2)/((N-2)*(N-3))); end function S1 = hitung_S1(p,N)
87
Lampiran 9. Fungsi MATLAB tentang metode retracking improved threshold (lanjutan) d1=0; d1i=0; for i=1:N-1 d1=d1+(p(i+1)-p(i))^2; d1i=d1i+(p(i+1)-p(i)); end S1 = sqrt( ((N-1)*d1 - d1i^2)/((N-1)*(N-2))); end function dt = retracker_subwaveform(t,p,th_value) % Nilai threshold value(th_value) (berdasarkan Davis(1997)): % 50%(A-pn) untuk surface scattering waveform % 10-20%(A-pn) N = length(t); % menghitung Amplitude A = sqrt( (sum(p(1:N).^4)) / (sum(p(1:N).^2)) ); % Thermal noise pn = 1/5*sum(p(1:5)); % Threshold Level Tl = pn + th_value*(A-pn); % mencari power of retracked gate k = min(find(p>=Tl)); %--> nomor gate yang pertama kali melewati threshold if k ==1 k = k+1; % buat kasus mahiwal end gk = k; gk_1 = k-1; tLEP = (t(1)-1)+gk_1 + ((Tl - p(k-1))/(p(k)-p(k-1))); %power dari retracked gate dt = (tLEP - 32.5) * 0.468425715625;
88
Lampiran 10. Penomoran jalur lintasan Satelit Jason 2 dan nilai koordinat
89
Lampiran 10. Penomoran jalur lintasan Satelit Jason 2 dan nilai koordinat (lanjutan...)
90
Lampiran 11. Perkembangan satelit berikut dengan misi masing-masing satelit Misi Skylab
Tahun/Instansi 1973/NASA
GEOS-2
1975-1978/NASA
Seasat
1978/NASA
Geosat
1985-1989/US Navy
ERS-1
1991-1995/ESA
TOPEX/POSEIDON
1992-2006/NASA dan CNES
Geosat Follow on
1998-2008/ US Navy
Jason-1
2001-sekarang/NASA dan CNES
Envisat
2002-sekarang
Jason-2
2008-sekarang/NASA dan CNES
Tujuan Pembuktian pertama kali konsep pengukuran altimetri dari satelit Mengumpulkan data untuk meningkatkan kualitas parameter geodetik dan geofisik yang diperoleh sebelumnya Didesain untuk memberikan data ukuran dari tinggi gelombang, topografi lautan global, dan geoid lautan. Satelit oseanografik militer yang didesain untuk pemetaan presisi dan detail dari geoid di wilayah lautan Didesain untuk analisa muka laut rata-rata dan geoid lautan Eksperimen topografi lautan untuk mengukur dan memetakan muka laut pada dua frekuensi 5.3 dan 13.6 GHz, untuk meningkatkan pengetahuan tentang sirkulasi lautan berskala luas dan mengamati kejadian El-nino pada tahun 1997-1998 Untuk memberikan data topografi laut secara kontinu kepada Angkatan Laut Amerika dan pengguna komersial NOAA untuk berbagai keperluan Memperluas informasi mengenai topografi laut, memahami arus global, dan mengubah peramalan kejadian cuaca Mengamati perubahan lingkungan dan perubahan cuaca Memiliki misi sama dengan Jason-1
91
Lampiran 11. Perkembangan satelit berikut dengan misi masing-masing satelit (lanjutan..) Misi Cryosat
Tahun/Instansi 2009-sekarang/ESA
SARAL
2009-sekarang/ISRO dan CNES
HY-2
2010-??/Cina
Sentinel 3
2012-sekarang/ESA
Tujuan Memperolah pengukuran akurat terhadap ketebalan laut es sehingga dapat dideteksi secara tahunan dan melakukan survei permukaan lembaran es dengan akurasi yang cukup untuk dapat mendeteksi perubahan kecil Mengukur topografi permukaan laut, kecepatan angin permukaan, tinggi gelombang permukaan, berkontribusi terhadap sistem ARGOS secara kontinu untuk menyimpan dan distribusi data lingkungan Memonitor dinamika lingkungan laut untuk mendeteksi kecepatan angin permukaan, tinggi permukaan laut, dan suhu permukaan laut Mengukur topografi permukaan laut, mengukur suhu permukaan laut dan daratan, mendukung peramalan sistem kelautan, dan memonitor lingkungan iklim
Lampiran 12. Perencanaan satelit-satelit di bidang Altimetri dimulai dari tahun 2008 hingga 2022
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 30 Oktober 1990 dari ayah I Made Suma dan ibu Ni Wayan Numasi Nuryanti. Penulis adalah putra kedua dari dua bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri 3 Bandar Lampung pada Tahun 2008. Pada tahun tersebut penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB dan diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum Oseanografi Umum pada tahun ajaran 2010/2011 dan 2011/2012. Penulis terpilih menjadi Koordinator Asisten Praktikum Oseanografi Umum pada Tahun 2011. Penulis pernah berpartisipasi pada penelitian Tinggi Muka Laut Se-Asia Tenggara beserta Workshop dan Training RESELECASEA yang diadakan insitusi Badan Informasi Geospasial (BIG) selama bulan Juni 2012 sampai bulan November 2012. Penulis bersama dengan team membuat paper berjudul “An Initial Retracking of Satelit Altimetry in Indonesia Coastal Water” dan disajikan pada Workshop RESELECASEA. Penulis juga aktif sebagai anggota Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma (KMHD) IPB selama tahun 2008-2011. Pada tahun 2010, penulis terpilih menjadi ketua KMHD IPB periode 2010-2011. Peneliti juga mendapatkan beasiswa Bank Indonesia selama tahun 2011 dan 2012.