1
ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP KASUS ASUSILA PADA ANAK (studi kasus Pengadilan Negeri Gorontalo dengan putusan perkara nomor 226/pid.b/2011/PN.grtlo dan putusan perkara nomor 11/pid.b/2013/PN.grtlo) Sulasmin Hudji Pembimbing I : Dr. Fence M. Wantu, SH.,MH Pembimbing II : Ismail Tomu, SH.,MH
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis putusan hakim terhadap kasus asusila pada anak dalam putusan perkara nomor 226/pid.b/2011/PN.grtlo dan putusan perkara nomor 11/pid.b/2013/PN.grtlo. metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif. Pendekatan hukum normatif ini dimaksudkan untuk mencakup tentang penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum serta penelitian terhadap sinkronisasi hukum. Adapun yang didapatkan dari penelitian ini. Pertama, dalam perkara ini Undang-Undang yang diterapkan adalah UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak Pasal 81 ayat 1 (satu) dan 2 (dua). Hal ini disebabkan karena terdakwa melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya, maka Undang-Undang khusus perlindungan anak yang mengaturnya. Kedua, dalam menjatuhkan hukuman terdapat pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan, yaitu pertimbangan hakim yang dapat memberatkan dan pertimbangan hakim yang dapat meringankan. Hal-hal yang memberatkan terdakwa, yaitu perbuatan terdakwa telah merusak masa depan saksi korban, perbuatan terdakwa tidak sepantasnya dilakukan terhadap anak dibawah umur, terdakwa adalah seorang guru yang seharusnya menjadi tauladan yang baik dan hal-hal yang meringankan terdakwa, yaitu terdakwa belum pernah dihukum, dan terdakwa memiliki tanggungan keluarga.
Kata Kunci : asusila, kekerasan, memaksa, dan melakukan persetubuhan
2
A. Pendahuluan Negara Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya dalam Pasal 1 ayat (3). Hal ini berarti bahwa seluruh aspek kehidupan di Negara ini diatur berdasarkan aturan hukum. Sebagaimana diketahui bahwa hukum adalah rangkaian peraturan-peraturan mengenai tingkah laku orang-orang sebagai anggota masyarakat, dan tujuan hukum itu adalah mengadakan keselamatan, kebahagian, dan tata tertib di dalam masyarakat. Masing-masing anggota masyarakat mempunyai berbagai kepentingan, sehingga anggota masyarakat dalam memenuhi kepentingannya tersebut mengadakan hubunganhubungan yang diatur oleh hukum menciptakan keseimbangan dalam kehidupan masyarakat. Putusan hakim pada umumnya dalam menyelesaikan suatu perkara tidak hanya melihat pada ketentuan undang-undang saja, tetapi juga harus mempertimbangkan rasa keadilan dan kemanfaatan. Pertimbangan terhadap kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan harus dapat diwujudkan demi syarat penegakan hukum yang baik.1 Dalam mengambil putusan, hakim harus benarbenar memperhatikan pertimbangan yang digunakan agar para pihak dapat mengerti mengapa hakim sampai pada kesimpulan suatu keputusan demikian. Hakim tidak boleh hanya tergantung pada keterangan saksi-saksi dan alat-alat bukti saja. Untuk itu pemahaman hakim harus diimbangi pula dengan pengembangan pengetahuan yang tidak hanya terbatas pada undang-undang saja. Hakim tidak boleh hanya berpatokan pada aturan tertulis yakni undang-undang saja, melainkan harus melihat juga peraturan yang hidup dan berlaku pada masyarakat.2
1
Fence M, Wantu, 2011, Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan, Dan Kemanfaatan (Implementasi Dalam Hukum Perdata). Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hlm 113 2 Ibid. Hlm 113
3
Analisis putusan hakim terhadap kasus asusila pada anak dengan nomor perkara 226/Pid.B/2011/PN.Grtlo, setelah putusan ditingkat pertama pada pengadilan Negeri Gorontalo memutuskan bahwa terdakwa terbukti dan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Maka terdakwa dijatuhkan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda sebesar Rp.30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).3 Putusan Pengadilan Negeri Gorontalo ini menimbulkan persoalan, disatu sisi pengaturan tentang ancaman minimum pidana dan ancaman maksimal pidana sesungguhnya menjadi pedoman dan batasan bagi para hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana pada terdakwa. Pada prateknya, hakim hanya memberikan hukuman kepada terdakwa dan denda tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Perlindungan Anak pasal 81 ayat (1 dan 2) yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002. Pada kasus selanjutnya analisis putusan hakim terhadap kasus asusila pada anak dengan nomor perkara 11/Pid.B/2013/PN.Grtlo, setelah putusan ditingkat pertama pada pengadilan Negeri Gorontalo memutuskan bahwa terdakwa terbukti dan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan,
memaksa,
melakukan
tipu
muslihat,
serangkaian
kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Maka terdakwa dijatuhkan pidana penjara selama 6 tahun dan denda sebesar Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).4 Dari analisis putusan hakim tersebut pelaku kejahatan asusila terhadap anak pada Nomor Perkara 226/Pid.B/2011/PN.Grtlo pada pengadilan tingkat pertama atau Pengadilan Negeri hakim menjatuhkan pidana penjara selama 6 tahun dan denda sebesar Rp.30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah), sedangkan pada Pengadilan Tinggi Gorontalo pelaku kejahatan asusila terhadap anak mendapatkan hukuman pidana
3
Isi putusan Pengadilan Negeri Gorontalo dengan Nomor Perkara 226/Pid.B/2011/PN.Grtlo. tentang Pemerkosaan yang dilakukan orang dewasa terhadap anak. Tanggal 16 April 2015 4 Isi putusan Pengadilan Negeri Gorontalo dengan Nomor Perkara 11/Pid.B/2013/PN.Grtlo. tentang pemerkosaan yang dilakukan orang dewasa terhadap anak. Tanggal 3 April
4
penjara paling lama 7(tujuh) tahun dan denda sebesar Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Dan pada Nomor Perkara 11/Pid.B/2013/PN.Grtlo pada Pengadilan Negeri hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda sebesar Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), sedangkan pada Pengadilan Tinggi Gorontalo hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda sebesar Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).5 B. Metode Penulisan Penelitian mengenai analisis putusan hakim terhadap kasus asusila pada anak ini merupakan penelitian hukum normatif. Menurut Bambang Sunggono penelitian hukum normatif ini mencakup tentang penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum serta penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum.6 C. Hasil dan Pembahasan 1. Analisis Putusan Hakim Terhadap Kasus Asusila Pada Anak Dengan Nomor Perkara 226/Pid.B/2011/PN.Grtlo dan 11/Pid.B/2013/PN.Grtlo Analisis putusan hakim terhadap kasus asusila dengan Nomor Perkara 226/Pid.B/2011/PN.Grtlo, setelah putusan ditingkat pertama atau Pengailan Negeri Gorontalo memutuskan bahwa terdakwa terbukti dan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya maka terdakwa dijatuhkan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan denda sebesar Rp. 30.000.000, (tuga puluh juta rupiah). Jika jaksa penuntut umum dan terdakwa menerima putusan tersebut dalam waktu yang telah ditentukan oleh Majelis Hakim maka dengan sendirinya putusan tersebut berkekuatan hukum tetap (inkracht). Namun, jika jaksa penuntut umum dan terdakwa menolak dan mengajukan banding terhadap 5
Isi putusan Pengadilan Negeri Gorontalo dengan Nomor Perkara 226/Pid.B/2011/PN.Grtlo. tentang pemerkosaan yang dilakukan orang dewasa etrhadap anak. Tanggal 16 April 2015. Dan nomor perkara 11/Pid.B/2013/PN.Grtlo. tentang pemerkosaan yang dilakukan orang dewasa terhadap anak. Tanggal 3 April 6
Bambang Sunggono, 1996, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta. Hlm 64
5
putusan Pengadilan Negeri Gorontalo tersebut dengan sendirinya putusan belum bisa dinyatakan berkekuatan hukum tetap. Putusan Pengadilan Negeri Gorontalo ini menimbulkan persoalan, disatu sisi pengaturan tentang ancaman minimum pidana dan ancaman maksimal pidana sesungguhnya menjadi pedoman dan batasan bagi para hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana pada terdakwa. pada prateknya, hakim hanya memberikan hukuman dan denda tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Perlindungan Anak Pasal 81 ayat 1 (satu) dan 2 (dua) yaitu UU No. 23 Tahun 2002. Secara teoritis, bahwa hakim tidak terikat dengan batasan pidana yang sudah ditentukan dalam suatu aturan, namun batasan pidana tersebut mengikat para hakim dalam menjatuhkan putusan pidana. Hakim dalam keadaan tertentu terkadang menganggap batasan yang diberikan dalam Undang-Undang tidak mengikatnya karena ada hal-hal khusus yang bersifat meringankan terdakwa hingga keadilan substansial didapat jika harus mengacu pada batasan pidana yang ada, hingga muncullah pemikiran untuk menghukum terdakwa lebih ringan daripada tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Berdasarkan putusan pada Pengadilan Tinggi Gorontalo dengan nomor perkara 07/Pid.B/2012/PT.Grtlo terdakwa RM sesuai dengan tuntutan Majelis Hakim di jatuhkan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun. Pada tuntutan Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Gorontalo terdakwa dijatuhi hukuman penjara selama 6 (enam) tahun. Namun Majelis Hakim pada Pengadilan Tinggi Gorontalo ini
mempebaiki
putusan
Pengadilan
Negeri
Gorontalo
nomor
226/Pid.B/2011/PN.Grtlo, tanggal 12 januari 2012 sekedar mengenai pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa dan besarnya denda. Maka Majelis Hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dan denda sebesar Rp. 60.000.000. (enam puluh juta rupiah) . 7ndangUndang yang mengatur. Sebagaimana fakta-fakta yang terungkap di persidangan bahwa putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Gorontalo sebagaimana tersebut 7
Putusan Pengadilan Tinggi Gorontalo dengan Nomor Perkara 07/Pid.B/2012/PT.Grtlo tentang kasus asuslia yang dilakukan orang dewasa terhadap anak, tanggal
6
dalam point 2 (dua) pidana pokok yakni kurang dari 2/3 dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum, hal ini sangatlah berdampak dalam tindakan represif dan prefentif khususnya bagi terdakwa itu sendiri serta penegakan hukum di bidang tindak pidana perlindungan anak pada umumnya. Bahwa putusan majelis Hakim Pengadilan Negeri Gorontalo sebagaimana tersebut dalam point 2 (dua) khususnya pidana denda yang mana Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gorontalo telah menjatuhkan denda terhadap terdakwa sejumlah Rp. 30.000.000 (tiga puluh juta rupiah), tidaklah sesuai dengan jiwa Pasal 82 ayat 2 UU No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak.8 Pada putusan perkara dengan Nomor Perkara 11/Pid.B/2013/PN.Grtlo setelah dianalisis oleh penulis, surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum memberikan tuntutan selama 10 (sepuluh) tahun
dikurangi dengan tahanan
sementara dan denda sebesar Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah), dengan artian bahwa hukuman yang diberikan oleh Jaksa Penuntut Umum sudah melebihi tuntutan 2/3 dari tuntutan yang biasanya. Jika dilihat dari syarat materil surat dakwaan ini, tentang bagaimana tindak pidana itu dilakukan dan apakah yang mendorong terdakwa melakukan tindak pidana perkosaan tersebut, maka Jaksa Penuntut Umum memberikan hukuman maksismal dari tuntutan 2/3 biasanya. Hakim dalam memeriksa perkara pidana ini berusaha mencari dan membuktikan kebenaran materil berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan, serta berpegang teguh pada apa yang dirumuskan dalam surat dakwaan penuntut umum. Berdasarkan posisi kasus yang telah diuraikan diatas,maka dapat disimpulkan bahwa putusan dalam perkara tersebut diatas telah sesuai dengan ketentuan baik hukum pidana formil maupun hukum pidana materil dan syarat dapat dipidananya seorang terdakwa, hal ini didasarkan pada pemeriksaan dalam persidangan, dimana alat bukti yang telah diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum, termasuk didalamnya keterangan saksi yang saling bersesuaian 8
Ibid. Hlm 13
7
ditambah dengan keterangan terdakwa yang mengakui secara jujur perbuatan yang dilakukannya.9 Berdasarkan
putusan
Pengadilan
Negeri
Gorontalo
yang
telah
menjatuhkan putusan kepada terdakwa, Pengadilan Tinggi Gorontalo dengan putusan perkara Nomor 25/Pid.B/2013/PT.Grtlo yang memeriksa dan mengadili perkara-perkara dalam peradilan tingkat banding, telah membaca berkas perkara dan surat-surat yang bersangkutan serta turunan putusan Pengadilan Negeri Gorontalo, menerima permintaan banding dari terdakwa dan Penuntut Umum, memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Gorontalo tanggal 30 April 2013 sekedar mengenai penyempurnaan kalimat pada amar putusan angka 2 (dua) dan 3 (tiga), maka Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Gorontalo menjatuhkan pidana terhadap terdakwa AHP dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan denda sebesar Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah).10 Pada analisis putusan perkara ini asas keadilan yang lebih diterapkan pada terdakwa, tanpa harus mengenyampingkan asas kepastian hukum dan kemanfaatan karena mengingat terdakwa adalah seorang guru yang seharusnya menjadi tauladan bagi siapapun maka adilkah sebuah putusan yang dijatuhkan kepada terdkwa untuk korban. 2. Perbedaan Dua Kasus Asusila Terhadap Anak Dengan Nomor Perkara 226/Pid.B/2011/PN.Grtlo dan 11/Pid.B/2013/PN.Grtlo
Putusan Nomor Perkara
Putusan Nomor Perkara
226/Pid.B/2011/PN.Grtlo
11/Pid.B/2013/PN.Grtlo
Perbuatan terdakwa dilakukan
Terdakwa adalah seorang guru
saat usia saksi korban masih
dan menjadi perwalian di kelas
berumur 15 (lima belas) tahun,
VI dan sekaligus pemegang
9
Wahyudin Sabudi, Analisis Perbandingan Dua Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Perkosaan di Pengadilan Negeri Gorontalo, Skripsi. Hlm 45 10 Putusan Pengadilan Tinggi Gorontalo dengan Nomor Perkara 25/Pid.B/2013/PT.Grtlo tentang kasus asuslia yang dilakukan orang dewasa terhadap anak, tanggal 13 april 2015
8
akibat
perbuatan
terdakwa
saksi
korban
tersebut
kunci
mengalami
sakit
pada
perpustakaan
kemaluannya
sesuai
hasil
setelah selesai les tambahan
dan
diruang perpustakaan terdakwa
Bahwa dari hasil pemeriksaan
tidak mengijinkan saksi korban
persidangan, telah secara jelas
untuk
terungkap dari keterangan saksi
dengan siswa lainnya
keterangan
saksi
pulang
bersama-sama
Di persidangan terdakwa telah membantah pernah berduaan
lainnya, terdakwa mendatangi
dengan
saksi korban berhasil diajak
tersebut
kerumah
keterangan saksi lainnya
terdakwa,
dapat
diperoleh suatu petunjuk bahwa terdakwa
secara
sadar
dan
saksi
korban,
berbeda
hal
dengan
Mengingat akan Pasal 81 ayat 1 (satu) UU No. 23 Tahun 2002
menghendaki adanya perbuatan
tentang
menyetubuhi saksi korban
maka Majelis Hakim mengadili
Untuk itu mengingat Pasal 81
terdakwa
AHP
ayat 2 (dua) UU No. 23 Tahun
bersalah
melakukan
2002
pidana
dengan
tentang
perlindungan
perlindungan
anak,
terbukti tindak sengaja
anak, Majelis Hakim mengadili
melakukan ancaman kekerasan
terdakwa
memaksa
Menyatakan bahwa terdakwa
persetubuhan dengannya
RM telah terbukti secara sah dan
meyakinkan
melakukan
sekolah
visum et repertum
dengan
dan
memberikan les tambahan di
korban apabila duhubungkan
perpustakaan
anak
melakukan
Menjatuhkan pidana terhadap
berslah
terdakwa AHP dengan pidana
pidana
penjara selama 6 (enam) tahun
tindak
dengan sengaja membujuk anak
dan
melakukan persetubuhan
60.000.000, (enam puluh juta
Menjatuhkan
pidana
denda
sebesar
Rp.
rupiah)
oleh
karena itu kepada terdakwa RM
9
Dan
memerintahkan
agar
dengan pidana penjara selama 6 (enam)
tahun
dan
terdakwa tetap ditahan
denda
sebesar Rp. 30.000.000 (tiga puluh juta rupiah)
Dan
memerintahkan
agar
terdakwa tetap ditahan
3. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Kasus Asusila Pada Anak Dengan Nomor Perkara 226/Pid.B/2011/PN.Grtlo dan 11/Pid.B/2013/PN.Grtlo Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan dapat digunakan sebagai bahan analisis tentang orientasi yang dimiliki hakim dalam menjatuhkan putusan juga sangat penting untuk melihat bagaimana putusan yang dijatuhkan itu relevan dengan tujuan pemidanaan yang telah ditentukan. Secara umum dapat dikatakan, bahwa putusan hakim yang tidak didasarkan pada orientasi yang benar, dalam arti tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan yang telah ditentukan, justru akan berdampak negatif terhadap proses penanggulangan kejahatan itu sendiri dan tidak akan membawa manfaat bagi terpidana. a. Pertimbangan Yuridis Pada Putusan Perkara Nomor 226/Pid.B/2011/PN dan 11/Pid.B/2013/PN.Grtlo Berdasarkan wawancara dengan hakim Pengadilan Negeri Gorontalo
Hi.
Abdullah
Marus
SH.,MH,
pertimbangan
hakim
dalam
menjatuhkan putusan dilihat dari 3 (tiga) asas yaitu asas kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Asas kepastian yaitu jika ancaman pidana minimal 3 (tiga) tahun hakim tidak boleh menjatuhkan dibawah 3 (tiga) tahun dan jika ancaman pidana maksimal 15 (lima belas tahun) maka hakim tidak boleh menjatuhkan pidana diatas maksimal, kecuali jika ada pemberatan. Asas keadilan, yaitu keadilan untuk korban dan terdakwa dan untuk hukum. Hukum itu sendiri meliputi korban maupun terdakwa. asas kemanfaatan, yaitu bermanfaat jika dijatuhkan pidana
10
seperti ini apabila terbukti bersalah maka harus dijatuhkan pidana jika tidak harus dibebaskan. Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam persidangan dan oleh undang-undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan. Pertimbangan yang bersifat yuridis di antaranya. Menimbang, bahwa dari hasil pemeriksaan persidangan, telah secara jelas terungkap dari keterangan saksi korban apabila dihubungkan dengan saksi lainnya terdakwa mendatangi saksi korban di rumahnya melalui pintu belakang, kemudian setelah saksi korban berhasil diajak kerumah terdakwa lalu terdakwa menyuruh saksi lainnya untuk pulang kerumah masing-masing, dapat diperoleh suatu petunjuk bahwa terdakwa secara sadar dan menghendaki adanya perbuatan menyetubuhi saksi korban. Menimbang, bahwa berdasarkan uraian tersebut, Majelis Hakim tidak sependapat dengan Penasehat Hukum terdakwa atas nota pembelaan tersebut harus dikesampingkan dan menurut Majelis Hakim yang adil sebagaimana tertera dalam amar putusan. Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan putusan maka terlebih dahulu Majelis Hakim akan mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan sebagai berikut Mengingat Pasal 81 ayat 2 (dua) UU No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak dan ketentuan pasal-pasal dari UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP ; MENGADILI 1. Menyatakan terdakwa RM telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja membujuk anak melakukan persetubuhan 2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa RM dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan denda sebesar Rp. 30.000.000, (tiga
11
puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila terdakwa tidak membayar denda tersebut maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan 3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan 4. Nemetapkan terdakwa tetap berada dalam tahanan 5. Nemetapkan terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1.000, (seribu rupiah). Mengingat pada putusan perkara ini seoarang guru yang menjadi terdakwa maka banyak peraturan yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan, erat kaitannya dengan Undang-Undang guru dan dosen yaitu Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen. Jika dilihat dari sudut pandang Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen maka sanksi yang diberikan kepada terdakwa yaitu pemecatan sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Jika dilihat pada pasal 10 ayat satu (1) menyatakan bahwa kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi propesional. Kompetensi pedagogik adalah kemampuan pemahaman terhadap peserta didik, pelaksanaan dan perancangan pembelajaran, evaluasi hasil belajar. Kompetensi kepribadian adalah kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, menjadi teladan bagipeserta didik dan berakhlak mulia. Kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar. Jika dihubungkan dengan asas keadilan, kepastian hukum
dan
kemanfaatan maka terdakwa dikenai asas kepastian hukum, dikarenakan terdakwa adalah seorang guru maka hukuman yang harus diberikan lebih berat daripada
pemberian
hukuman
pada
12
putusan
perkara
Nomor
226/Pid.B/2011/PN.Grtlo, agar supaya memberikan efek jera kepada terdakwa dan pada jajaran pegawai negeri sipil (PNS) lainnya. Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas maka unsur telah dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain telah terpenuhi dan terbukti secara sah dan meyakinkan menuru hukum. Bahwa terhadap pledoi dari terdakwa semuanya telah dipertimbangkan oleh Majelis Hakim dalam uraian unsur-unsur tersebut diatas dan perbuatan terdakwa telah terbukti dalam uraian unsur-unsur primair. MENGADILI 1. Menyatakan terdakwa AHP terbukti bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja melakukan ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa AHP dengan pidana penjara selama 6 (enam) tahun dan denda sebesar Rp. 60.000.000, (enam puluh juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kurungan 3. Menetapkan lamanya tahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangi seluruhnya 4. Memerintahkan agar terdakwa tetap ditahan 5. Membebankan terdakwa, untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 2.000, (dua ribu rupiah). b. Pertimbangan Non Yuridis Kajian non yuridis juga sebagai faktor yang mempengaruhi pertimbangan putusan hakim berkaitan dengan penjatuhan sanksi kepada terdakwa, terdiri dari beberapa faktor yaitu : 1. Filosofi Faktor filosofi djadikan sebagai faktor yang penting dari hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap terdakwa. dengan faktor ini hakim tidak
13
akan kehilangan orientasi yang didasarkan atas tujuan yang telah digariskan Undang-Undang yang bersangkutan. 2. Sosiologis Faktor sosiologis berguna unttuk mengkaji latar belakang sosial mengapa seoarang terdakwa melakukan suatu tindak pidana. Faktor yang menjadi pertimbangan hakim dalam penjatuhan sanksi terhadap terdakwa ini, diperoleh dari laporan kemasyarakatan dari BAPAS. 3. Pikologis Faktor psikologis merupakan faktor penting sebagai dasar penjatuhan sanksi terhadap terdakwa, dengan faktor psikologis ini akan berguna untuk mengkaji kondisi psikologis terdakwa pada saat melakukan tindak pidana dan setelah menjalani pidana. Untuk itu, faktor psikologis dijadikan pertimbangan hakim dalam hal penjatuhan pidana. D. kesimpulan dan Saran 1. Kesimpulan Berdasarkan uraian pembahasan yang telah dijelaskan maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Analisis putusan hakim pada nomor perkara 226/Pid.B/2011/PN.Grtlo dan 07/Pid.B/2012/PT.Grtlo, Majelis Hakim pada pengadilan tingkat pertama atau Pengadilan Negeri Gorontalo menjatuhkan pidana kepada terdakwa yang menurut Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Gorontalo tidak sesuai dengan jiwa Pasal 81 ayat 1 (satu) dan ayat 2 (dua), maka dari itu Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Gorontalo memperbaiki amar putusan Pengadilan Negeri Gorontalo. Pada putusan hakim nomor perkara 11/Pid.B/2013/PN.Grtlo dan 25/Pid.B/2013/PT.Grtlo, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Gorontalo menjatuhkan pidana kepada terdakwa dan
14
dikuatkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Gorontalo, tetapi hanya sekedar memperbaiki amar putusan nomor 2 dan nomor 3. 2. Perbedaan putusan pada nomor perkara 226/Pid.B/2011/PN.Grtlo dan 07/Pid.B/2012/PT.Grtlo,serta nomor perkara 11/Pid.B/2013/PN.Grtlo dan 25/Pid.B/2013/PT.Grtlo tersebut dilihat berdasarkan perbuatan terdakwa itu sendiri dan bagaimana terdakwa bersikap dalam mengikuti proses persidangan. 3. Dalam memutus perkara, Majelis Hakim mempunyai pertimbanganpertimbangan, sehingga meskipun dua kasus memuat perkara yang sama yaitu asusila, namun Majelis Hakim memiliki pertimbangan yang berbeda untuk kedua perkara ini. Pada persidangan dengan waktu pembuktian bersalah atau tidaknya pelaku pembuktian kasus lebih objektif, sementara pertimbangan menjatuhkan hukuman lebih subjektif. 2. Saran Berdasarkan uraian pembahasan tersebut, adapun yang menjadi saran penulis yaitu : 1. Dalam menganalisis suatu perkara dari Pengadilan tingkat pertama atau Pengadilan Negeri Gorontalo sampai pada Pengadilan Tinggi Gorontalo, sebaiknya Majelis Hakim memberikan putusan yang seberat-baratnya kepada terdakwa agar bisa membuat terdakwa jera dengan apa yang menjadi perbuatannya . 2. Dalam perbedaan kedua kasus tersebut Majelis Hakim memiliki faktafakta hukum tersendiri yang telah ditemukan selama proses persidangan. Mengingat anak sebagai korban dan generasi penerus bangsa maka sebaiknya pelaku harus diberikan sanksi yang lebih berat. 3. Sebelum Majelis Hakim memberikan pertimbanga kepada terdakwa sebaiknya hal-hal yang meringankan terdakwa dikesampingkan terlebih duhulu karena dalam kasus tersebut anak adalah sebagai korban. E. Daftar Pustaka
15
Fence M, Wantu, 2011, Idee Des Recht Kepastian Hukum, Keadilan, Dan Kemanfaatan (Implementasi Dalam Hukum Perdata). Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hlm 113 Wirjono Prodjodikoro, 2003, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, PT Refika Aditama. Bandung. Hlm 8 Isi
putusan
Pengadilan
Negeri
Gorontalo
dengan
Nomor
Perkara
226/Pid.B/2011/PN.Grtlo. tentang Pemerkosaan yang dilakukan orang dewasa terhadap anak. Tanggal 16 April 2015 Isi
putusan
Pengadilan
Negeri
Gorontalo
dengan
Nomor
Perkara
11/Pid.B/2013/PN.Grtlo. tentang pemerkosaan yang dilakukan orang dewasa terhadap anak. Tanggal 3 April Bambang Sunggono, 1996, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta. Hlm 64 Wahyudin Sabudi, Analisis Perbandingan Dua Putusan Hakim Dalam Tindak Pidana Perkosaan di Pengadilan Negeri Gorontalo, Skripsi. Hlm 45
16