ANALISIS PROSES PERUBAHAN STRUKTUR PRODUKSI DAN KETENAGAKERJAAN DI INDONESIA PADA MASA KENAIKAN HARGA INTERNASIONAL KOMODITAS PRIMER TAHUN 2002-2008 David Christian Rus’an Nasrudin Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Telepon: +62818-0781-0123 Email :
[email protected] Abstrak Pada tahun 2002-2008 terjadi kenaikan tajam pada harga internasional sejumlah komoditas primer. Studi ini mencoba menjelaskan bagaimana pola konvensional transformasi struktur produksi dan ketenagakerjaan di Indonesia dipengaruhi oleh kenaikan harga komoditas primer tersebut menggunakan regresi data panel 33 provinsi di Indonesia. Studi ini menemukan bahwa kenaikan harga internasional komoditas primer terbukti tidak menghambat pola konvensional transformasi struktur produksi dan ketenagakerjaan sebagaimana dijelaskan teori Chenery. Studi ini menawarkan sejumlah penjelasan mengapa kenaikan harga internasional komoditas primer tidak signifikan mempengaruhi struktur produksi, yang diukur dengan kontribusi produksi sektoral, maupun struktur ketenagakerjaan yang diukur dengan proporsi tenaga kerja sektoral. Kata Kunci
: Harga Internasional Komoditas Primer; Struktur Produksi; Struktur Ketenagakerjaan
Klasifikasi JEL
: O12, O13, Q31, Q33, Q37 Abstract
In 2002-2008, international primary commodity prices experienced significant increases. This study explains how the conventional pattern of transformation of production and labor market structure have been influenced by the rising international price of primary commodity, using panel data regression from 33 Indonesian provinces. This study finds no evidence that increases in international primary commodity prices have restricted the conventional pattern of transformation of both production and labor market structure, as explained by Chenery’s theory. This study offers some explanations of why increases in international primary commodity prices have not been significant in influencing neither the production structure nor the labor market structure. Key Words
: International Primary Commodity Prices; Labor Market Structure; Production Structure
JEL Classifications : O12, O13, Q31, Q33, Q37 PENDAHULUAN Indonesia adalah negara yang dikaruniai dengan sumber daya alam yang melimpah. Sejalan dengan hal itu, sektor komoditas primer memberikan peranan yang besar bagi perekonomian Indonesia. Menurut laporan World Bank (2010), pendapatan nasional dari ekspor komoditas setara dengan seperempat ukuran perekonomian Indonesia, dan lebih dari seperlima total pendapatan pemerintah pada tahun 2007. Sebagai negara eksportir komoditas, Indonesia cukup beruntung pernah mengalami beberapa masa di mana harga dunia komoditas-komoditas tersebut mengalami kenaikan, atau sering disebut dengan commodity boom. Dalam 100 tahun terakhir, sebenarnya dunia telah empat kali mengalami periode commodity boom. Periode boom terbaru adalah 2002-2008. Penyebab utama kenaikan harga komoditas pada periode ini berasal dari sisi permintaan, yaitu karena ekspansi ekonomi yang masif dari sejumlah emerging countries di Asia, khususnya Cina dan India. Terdapat beberapa dampak kenaikan harga internasional komoditas primer terhadap negara dominan pengekspor komoditas primer, terutama dari segi tambahan pendapatan negara yang didapatkan dari ekspor, serta pergerakan nilai tukar. Sementara itu, salah satu aspek penting dalam sebuah pembangunan ekonomi adalah terjadinya perubahan dalam struktur sosial dan ekonomi yang sering diasosiasikan dengan pertumbuhan ekonomi atau pendapatan per kapita dari sebuah negara. Beberapa proses yang saling terhubung satu sama lain dalam pembangunan ekonomi modern menyebabkan terjadinya transformasi kelompok masyarakat yang
Analisis Proses ..., David Christian, FE UI, 2013
rural dan berbasis pertanian, menjadi masyarakat yang mayoritas tinggal di wilayah urban dan berbasis industri. Proses inilah yang dinamakan transformasi struktural. Salah satu indikator proses transformasi struktural adalah terjadinya perubahan komposisi produksi sebuah negara seiring dengan meningkatnya pendapatan per kapita, yaitu bahwa peran sektor industri dalam total output meningkat, dan peran sektor primer (pertanian dan pertambangan) dalam total output semakin menurun. Bahkan, seiring dengan semakin majunya sebuah perekonomian, biasanya sektor lain yang lebih modern, yaitu sektor jasa, akan mengalami peningkatan peran produksinya juga dan sektor industri akan kembali menurun. Inilah pola yang sering disebut sebagai pola konvensional transformasi struktural, berdasarkan teori Chenery dan Syrquin yang akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian Tinjauan Referensi. Selain mempengaruhi variabel makroekonomi, ternyata commodity boom juga berpotensi mempengaruhi proses transformasi struktural yang terjadi di Indonesia. Analisis multisektor mengenai dampak commodity boom dapat memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai bagaimana proses transformasi struktural di Indonesia dipengaruhi oleh adanya commodity boom. Menurut Minara (2008), perindustrian Indonesia pasca 2000 menunjukkan gejala kemunduran (deindustrialisasi). Selain ditunjukkan oleh peran sektor industri yang stagnan bahkan cenderung menurun (28,37% pada 2004 dan 27,4% pada 2007), gejala deindustrialisasi ini semakin didukung oleh fakta bahwa tidak terjadi peningkatan signifikan pada penyerapan tenaga kerja di sektor industri, yaitu hanya berkisar 11,81%-13,31% pada periode 20002007. Pada periode yang sama (yang juga merupakan periode commodity boom), terlihat bahwa penyerapan tenaga kerja di sektor primer justru malah stabil di angka yang cukup tinggi (berkisar 41,24%-46,26%) (Perhatikan Tabel 1). Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah fenomena commodity boom menghambat pola konvensional transformasi struktural di Indonesia. Karena itu, studi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses transformasi struktural, khususnya struktur produksi dan ketenagakerjaan di Indonesia dipengaruhi oleh kenaikan harga internasional komoditas primer. Tabel 1. Proporsi PDB dan Tenaga Kerja Sektoral Indonesia (%) (2000-2007) PDB Sektoral Tambang Industri Pertanian & Galian Manufaktur 2001 15,54 11,68 27,65 2002 15,39 11,29 27,86 2003 15,24 10,63 28,01 2004 14,92 9,66 28,37 2005 14,50 9,44 28,08 2006 14,20 9,10 27,83 2007 13,83 8,73 27,40 Sumber: Diolah dari Minara (2008) Tahun
Trade, hotel & restoran 16,20 16,16 16,26 16,37 16,77 16,92 17,26
Jasa
Pertanian
9,30 9,23 9,20 9,23 9,18 9,24 9,27
45,28 43,77 44,34 46,26 43,33 44,04 42,05
Tenaga Kerja Sektoral Tambang Industri & Galian Manufaktur 12,96 20,58 13,31 19,24 13,21 19,43 12,04 18,56 11,81 20,40 12,27 19,90 12,46 20,13
Trade, hotel & restoran 21,18 23,69 23,03 23,14 24,46 23,79 25,37
Terdapat sejumlah studi terdahulu yang pernah membahas hubungan primary commodity boom dengan struktur produksi atau tenaga kerja di sebuah daerah. Black, et. al (2005) menganalisis dampak boom komoditas batu bara, di tahun 1970-1980-an terhadap pasar tenaga kerja lokal di Kentucky, Ohio, Pennsylvania, dan West Virginia. Ditemukan bahwa terjadi employment spillovers yang cukup tinggi ke sektor yang memproduksi traded goods berskala lokal, tetapi tidak terjadi ke sektor yang memproduksi traded goods berskala nasional. Untuk setiap 10 pekerjaan yang dihasilkan di sektor batu bara selama boom, hanya kurang dari 2 pekerjaan yang dihasilkan di sektor konstruksi, ritel, dan jasa lokal. Hampir serupa, Marchand (2012) mempelajari dampak boom harga komoditas energi terhadap perbedaan pertumbuhan penyerapan tenaga kerja dan penerimaan pekerja di sejumlah pasar tenaga kerja lokal di Kanada Barat. Ditemukan bahwa boom sektor primer menyebabkan shock pada permintaan tenaga kerja dan menyebabkan dampak langsung dan tak langsung yang signifikan baik terhadap penerimaan dan jumlah penyerapan tenaga kerja sektor energi yang ekstraktif, maupun sektor non-energi lokal lainnya. Qiang (2008), mencoba meneliti pengaruh boom komoditas di provinsi-provinsi yang kaya sumber daya alam bijih besi di Australia Barat terhadap perekonomian setempat, menggunakan pendekatan keseimbangan umum. Dari segi efek sektoral, industri yang dekat hubungannya dengan aktivitas konstruksi, industri yang menyalurkan energi serta menyediakan sejumlah jasa diestimasi mendapat keuntungan terbesar dari boom tersebut. Sementara itu, industri ekspor yang tidak sedang berkembang (non-expanding export industries) dan industri manufaktur yang bersaing dengan barang impor mengalami kontraksi atau menikmati keuntungan terkecil, dikarenakan apresiasi nilai tukar riil selama periode boom komoditas tersebut. Dari segi jumlah pekerjaan baru yang diciptakan di seluruh perekonomian, hanya sekitar 17%-19% yang diciptakan dalam industri pengolahan bijih besi itu sendiri, sementara lebih dari 80% tambahan pekerjaan baru diciptakan di industri lainnya, terutama industri jasa.
Analisis Proses ..., David Christian, FE UI, 2013
Stokke (2007) mempelajari dampak boom sumber daya alam di Afrika Selatan terhadap perubahan struktural dan pergerakan dinamis nilai tukar, dengan memperhitungkan efek tidak langsung yang diakibatkan oleh perubahan produktivitas sektoral relatif. Dijelaskan bahwa peningkatan konsumsi publik selama periode boom menyebabkan apresiasi nilai tukar dalam negeri yang menyebabkan ekspansi sektor jasa dan kemunduran sektor industri barang traded dan peningkatan kontribusi ekspor non-manufaktur. Kemudian, modal dan tenaga kerja banyak dialokasikan kepada sektor jasa, sehingga menyebabkan deindustrialisasi. Ini yang disebut sebagai efek pembelanjaan penerimaan dari resource boom. Studi lain yang lebih baru dilakukan juga oleh Kuralbayeva dan Stefanski (2013) yang menganalisis pengaruh tambahan penerimaan pemerintah secara tiba-tiba (yang disebabkan commodity boom) terhadap proses transformasi struktural, yang ditandai dengan perpindahan tenaga kerja dari sektor manufaktur ke sektor non-manufaktur. Salah satu fitur kunci yang dipelajari dalam studi ini adalah spesialisasi dan produktivitas tenaga kerja masing-masing sektor. Berlawanan dengan hasil studi Stokke (2007), studi ini menemukan bahwa transformasi struktural yang disebabkan oleh boom komoditas justru menyebabkan peningkatan produktivitas di sektor manufaktur dan menurunkan produktivitas di sektor non-manufaktur. Sudihartono & Muhyiddin (2008) mencoba menganalisis proses transformasi struktural di Indonesia, yang ditandai dari berpindahnya fokus dari sektor tradisional dan pertanian ke sektor modern dan manufaktur. Ditemukan oleh studi ini bahwa terdapat perpindahan sejumlah besar tenaga kerja dari sektor pertanian ke manufaktur selama tahun 1990-2004. Penyebab dari hal ini berasal dari sisi permintaan tenaga kerja, yaitu variabel output yang mempengaruhi penyerapan tenaga kerja di kedua sektor tersebut. Sementara itu, dari sisi penawaran tenaga kerja, variabel upah riil dan populasi ternyata tidak mempengaruhi penyerapan tenaga kerja di kedua sektor tersebut. Dengan demikian, memang belum ada studi yang secara eksplisit membahas transformasi struktur produksi dan ketenagakerjaan Indonesia yang diambil dari sudut kenaikan harga internasional komoditas primer (primary commodity boom). Maka dari itu, pertanyaan utama dari studi ini adalah apakah pola konvensional proses transformasi struktur produksi dan struktur ketenagakerjaan Indonesia pada tahun 2002-2008 dihambat oleh kenaikan harga internasional komoditas primer? Hipotesis studi ini adalah bahwa pola konvensional proses transformasi struktur produksi dan ketenagakerjaan Indonesia pada tahun 2002-2008 terhambat oleh kenaikan harga internasional komoditas primer, yang ditandai dengan meningkatnya aktivitas dan kontribusi produksi dan proporsi tenaga kerja di sektor primer, dan menurunnya kontribusi produksi serta proporsi tenaga kerja di sektor nonprimer, terutama industri. Untuk mengestimasi pengaruh kenaikan harga internasional komoditas primer terhadap proses transformasi struktur produksi dan ketenagakerjaan, analisis perlu lebih dispesifikkan dengan asumsi bahwa perekonomian Indonesia terdiri dari 4 sektor utama: pertanian (primer), pertambangan (primer), industri (nonprimer), dan jasa (nonprimer). Struktur produksi direpresentasikan oleh kontribusi produksi sektoral, sementara struktur ketenagakerjaan ditunjukkan oleh proporsi tenaga kerja di masing-masing sektor. Tingkat analisis data yang akan digunakan dalam studi ini adalah data panel 33 provinsi dari tahun 2002-2008. Sumber data akan diperoleh dari sejumlah publikasi statistik yang disediakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Metode estimasi yang akan digunakan dalam studi ini adalah regresi data panel, masingmasing untuk struktur produksi dan ketenagakerjaan. Studi ini menemukan bahwa kenaikan harga internasional komoditas primer tidak signifikan mempengaruhi struktur produksi maupun ketenagakerjaan di Indonesia, dan tidak mempengaruhi pola konvensionalnya sebagaimana dijelaskan Chenery. Bagian Hasil dan Analisis akan memberikan penjelasan lebih mendalam mengapa harga internasional komoditas primer tidak mempengaruhi signifikan kedua struktur tersebut. Dengan demikian, hipotesis studi ini tidak terbukti oleh uji empiris yang dilakukan oleh data Indonesia tahun 2002-2008. TINJAUAN REFERENSI Transformasi struktur produksi dan tenaga kerja adalah dua dari beberapa indikator proses transformasi struktural. Studi tentang proses transformasi struktural di negara berkembang didasarkan oleh beberapa teori pembangunan, antara lain Teori Lewis (1954) tentang perekonomian dua sektor, dan teori pola pembangunan dari Chenery dan Syrquin (1975). Selain itu, ada beberapa teori pembangunan lainnya yang memberikan penjelasan mengenai faktor yang dapat membentuk struktur produksi dan ketenagakerjaan, serta industrialisasi di sebuah negara, yaitu Teori Big Push dan Teori pembangunan O-Ring yang ditemukan Kremer (1993).
Analisis Proses ..., David Christian, FE UI, 2013
Menurut Kuncoro (2006), teori pembangunan Arthur Lewis ini membahas proses pembangunan yang terjadi antara daerah kota dan desa, serta mengikutsertakan proses urbanisasi yang terjadi dari desa ke kota. Asumsi yang digunakan dalam model Lewis adalah bahwa perekonomian sebuah negara terdiri dari dua sektor, yaitu: (1) perekonomian tradisional; (2) perekonomian industri. Sektor perekonomian tradisional menurut Todaro (2006) memiliki karakteristik berada di pedesaan, memusatkan aktivitas perekonomian pada bidang pertanian, memiliki populasi yang sangat berlebihan yang ditunjukkan dengan nilai nol pada produktivitas marjinal pekerja (MPL). Situasi ini yang menyebabkan Lewis menyebut sektor tradisional ini mengalami surplus tenaga kerja. Artinya, pekerja dari sektor tradisional dapat ditarik keluar ke sektor lainnya tanpa mengurangi output di sektor tradisional itu sendiri. Dua fokus utama dalam model Lewis ini adalah transfer tenaga kerja dari sektor tradisional dan pertumbuhan jumlah output dan jumlah tenaga kerja di sektor modern. Todaro (2006) menjelaskan bahwa kecepatan ekspansi di sektor modern ditentukan oleh tingkat investasi dan akumulasi modal di sektor ini, yang didapatkan dengan menginvestasikan ulang seluruh profit yang didapatkan oleh para pemilik modal di sektor modern. Selain itu, Lewis juga mengasumsikan bahwa tingkat upah di sektor modern bersifat tetap, dan secara rata-rata 30% di atas tingkat upah di sektor tradisional yang bersifat subsisten. Hal ini mengakibatkan tenaga kerja di sektor tradisional bersedia untuk pindah ke sektor modern, dan memiliki kurva penawaran tenaga kerja yang elastis sempurna. Menurut teori Lewis, dua proses utama dalam perekonomian, yaitu perpindahan tenaga kerja dari sektor tradisional ke sektor modern dan proses peningkatan output di sektor modern, akan terus terjadi (self-sustaining) sampai seluruh surplus dari tenaga kerja di sektor tradisional terserap di sektor modern. Pada titik ini, marginal product dari tenaga kerja di sektor tradisional tidak lagi bernilai nol. Segala proses yang telah dijelaskan di atas menunjukkan proses transformasi struktural dalam perekonomian dua sektor ini, di mana penekanan pada aktivitas ekonomi berpindah dari sektor tradisional pertanian di desa ke sektor modern industri di perkotaan. Sementara itu, teori Chenery dan Syrquin (1975) menjelaskan bahwa terdapat tiga fenomena yang menyebabkan terjadinya transformasi struktural pada sebuah negara yang sedang berkembang, yaitu akumulasi, alokasi, dan distribusi. Chenery dan Syrquin (1975) menemukan bahwa terjadi transformasi struktur produksi di sejumlah negara, yaitu sejalan dengan peningkatan per kapita, perekonomian sebuah negara akan bergeser dari yang semula mengandalkan sektor pertanian menuju ke sektor yang lebih modern seperti industri. Proses akumulasi didefinisikan sebagai penggunaan sumber daya untuk meningkatkan kapasitas produksi dalam sebuah perekonomian. Di dalam analisisnya, Chenery dan Syrquin memberikan sejumlah indikator proses akumulasi di beberapa NSB dalam regresinya, antara lain: (1) investasi (terdiri dari jumlah tabungan, investasi, dan aliran modal masuk), (2) penerimaan pemerintah (terdiri dari penerimaan pemerintah dan penerimaan pajak), (3) pendidikan (terdiri dari pengeluaran untuk pendidikan dan rasio partisipasi sekolah – school enrollment ratio). Chenery dan Syrquin (1975) mendefinisikan alokasi sumber daya sebagai sebuah proses yang menghasilkan perubahan yang sistematis pada komposisi sektoral dari permintaan domestik, perdagangan internasional, dan produksi, seiring dengan meningkatnya pendapatan. Fenomena ini disebabkan oleh interaksi efek permintaan yang berasal dari pendapatan yang meningkat, dengan efek penawaran dari perubahan dalam proporsi penggunaan faktor produksi dan teknologi. Secara empiris, studi Chenery dan Syrquin (1975) tentang proses alokasi dalam analisis antarnegara menggunakan beberapa variabel kunci yang diplot terhadap tingkat pendapatan (PNB per kapita). Variabel kunci yang menjadi indikator proses alokasi tersebut adalah: (1) nilai tambah produksi sektoral, di mana produksi dibagi menjadi empat sektor utama, yaitu pertanian dan pertambangan, manufaktur dan konstruksi, utilitas, dan jasa, (2) ekspor sektoral, di mana ekspor dibagi menjadi tiga sektor utama: primer, industri, dan jasa, (3) konsumsi domestik, terdiri dari dua jenis konsumsi: makanan dan bukan makanan. Proses yang ketiga dalam teori Chenery disebut proses distribusi. Proses ini sering juga diasosiasikan dengan perubahan demografis. Chenery dan Syrquin (1975) mengatakan bahwa distribusi pendapatan dipengaruhi oleh beberapa proses yang telah dijelaskan sebelumnya, seperti tingkat pendidikan, struktur produksi, dan jumlah penerimaan pemerintah yang dapat diredistribusikan. Distribusi ini juga dipengaruhi oleh beberapa proses sosioekonomi seperti mortalitas, fertilitas, dan urbanisasi – di mana faktor-faktor ini berkorelasi dengan tingkat pendapatan. Chenery dan Syrquin (1975) menentukan sejumlah indikator yang saling berinteraksi satu sama lain, yang dapat diukur dalam regresinya tentang proses perubahan demografi dan distribusi. Dari proses alokasi – transformasi struktur produksi, dapat disimpulkan bahwa perubahan komposisi produksi akan menentukan perubahan permintaan untuk tenaga kerja. Maka dari itu, indikator pertama dalam proses distribusi ini adalah alokasi tenaga kerja sektoral. Sementara itu, indikator-indikator lainnya bagi proses
Analisis Proses ..., David Christian, FE UI, 2013
distribusi adalah urbanisasi, transisi demografi, dan tingkat pemerataan pendapatan. Namun demikian, sesuai dengan maksud studi ini, maka penekanan penjelasan teori distribusi pada bagian ini akan diberikan pada alokasi tenaga kerja sektoral, yang menjadi basis bagi teori transformasi struktur tenga kerja. Dapat disimpulkan bahwa pola konvensional transformasi struktural Chenery dan Syrquin (1975) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan sebuah negara, maka aktivitas produksi akan bergeser dari sektor pertanian menuju sektor industri, dan kemudian ke sektor jasa. Akibatnya, seiring dengan pembangunan ekonomi sebuah negara, kontribusi produksi di sektor primer akan terus menurun dan kontribusi produksi sektor modern non-primer seperti industri dan jasa akan naik. Sejalan dengan hal tersebut, proporsi tenaga kerja di sektor primer akan terus menurun, dan proporsi tenaga kerja di sektor modern nonprimer akan meningkat. Dengan demikian, keterkaitan studi Chenery dan Syrquin (1975) dengan studi ini adalah bahwa studi ini ingin mengonfirmasi apakah telah terjadi pembalikkan pola konvensional transformasi struktural Chenery di Indonesia pada masa commodity boom 2002-2008. Selanjutnya, tentang teori dorongan besar, Todaro (2006) menyebutkan bahwa model dorongan besar (big push) adalah salah satu teori pembangunan yang membahas bagaimana adanya kegagalan pasar menimbulkan kebutuhan akan kebijakan ekonomi dan kebijakan publik yang dikoordinasikan bersama, agar dapat memulai atau mengakselerasi proses pembangunan ekonomi, terutama yang ditandai dengan industrialisasi. Kebutuhan ini didasarkan pada masalah kegagalan koordinasi (coordination failure problems) yang pada gilirannya akan menghambat keberhasilan industrialisasi, yang diperlukan untuk memacu pembangunan ekonomi, seperti dijelaskan pada proses alokasi dalam teori Chenery. Big push yang dimaksud dalam teori ini adalah upaya pemerintah untuk memastikan bahwa agen-agen perekonomian secara kolektif mau untuk berpindah dari ekuilibrium berupah rendah yang ditandai dengan tidak adanya industrialisasi menuju ekuilibrium berpendapatan tinggi, yang ditandai dengan tingkat upah tinggi serta terjadinya modernisasi produksi serta proses industrialisasi. Pada tingkat upah tertentu industrialisasi dalam perekonomian serta perpindahan tenaga kerja dari sektor tradisional dan modern tidak akan terjadi secara pasti dan natural mengikuti dorongan pasar (market force), dan oleh karenanya memerlukan dorongan besar (big push) dari pemerintah. Sebaliknya, pada tingkat upah tersebut dimungkinkan terjadi kegagalan koordinasi, di mana terdapat dua ekuilibrium dalam perekonomian, yaitu titik B (ada industrialisasi/modernisasi produksi) dan titik A (tidak ada industrialisasi). Studi Magruder (2012) membuktikan bahwa untuk kasus Indonesia, upah minimum dapat menjadi salah satu alat pemerintah untuk melakukan big push, sehingga hal ini dapat mendorong terjadinya modernisasi dan industrialisasi dalam perekonomian, secara khusus ditandai dengan perpindahan pekerja dari sektor nonformal ke formal. Secara singkat, keterkaitan antara teori big push dengan studi ini adalah bahwa tingkat upah memegang peranan penting dalam terjadinya transformasi struktural, yang antara lain ditandai dengan berpindahnya tenaga kerja dan produksi dari sektor tradisional (cottage production) menuju sektor modern (factory production). Salah satu teori pembangunan lainnya yang memberikan gambaran tentang low-level equilibrium adalah teori O-Ring yang dikembangkan Michael Kremer. Menurut Kremer (1993), sebuah produksi terdiri dari beberapa tugas yang harus dikerjakan secara sempurna agar produk yang dihasilkan dapat bernilai penuh. Karena itu, setiap pekerja diasumsikan memiliki tingkat keahlian yang mengukur probabilitas melakukan tugas tersebut dengan sempurna. Seharusnya, pekerja dengan keahlian yang lebih tinggi memiliki probabilitas untuk menyelesaikan tugas dengan sempurna dibanding pekerja berkeahlian rendah Fungsi produksi dalam teori O-Ring menurut Todaro (2006) mengikuti pola seperti berikut: BF(qiqj) = qiqj Nilai produksi ditentukan oleh q, indeks keahlian tenaga kerja i dan j. Teori ini menyatakan akan terjadi proses positive assortative matching, yang berarti pekerja-pekerja berkeahlian tinggi akan bekerja bersama, dan pekerja-pekerja berkeahlian rendah akan bekerja bersama. Kremer (1993) membahas beberapa aplikasi dan implikasi teori ini terhadap pembangunan dan pasar tenaga kerja. Secara khusus, aplikasi teori ini yang berhubungan dengan proses transformasi struktur produksi atau tenaga kerja adalah ketika diasumsikan produksi yang bersifat sekuensial. Dalam produksi sekuensial, di mana produksi terdiri dari beberapa proses, pekerja dengan indeks keahlian q tertinggi akan dialokasikan pada tahap akhir dalam produksi karena kesalahan pada tahap ini akan menghancurkan input bernilai lebih tinggi dibanding ketika pekerja tersebut diletakkan di tahap awal. Jadi, pada titik ekuilibrium, kurva upah bagi pekerja berkeahlian qj yang berada di tahap akhir produksi akan lebih curam dibanding upah bagi pekerja berkeahlian qi yang berada di tahap awal produksi. Implikasi dari teori tersebut adalah bahwa negara miskin memiliki proporsi produksi sektor primer (barang mentah ekstraksi yang belum memiliki nilai tambah) yang lebih besar. Implikasi lainnya adalah bahwa pekerja di sektor industri akan dibayar lebih tinggi dibanding pekerja di sektor primer karena
Analisis Proses ..., David Christian, FE UI, 2013
mereka berurusan dengan input yang bernilai lebih tinggi. Pekerja dengan indeks keahlian q yang lebih tinggi akan lebih mungkin untuk bekerja di tahap akhir produksi (misalnya di sektor industri atau jasa). Namun, untuk meningkatkan q, diperlukan akumulasi human capital, yang misalnya dilakukan dengan pendidikan. Secara singkat, salah satu konsekuensi teori O-Ring bagi proses transformasi struktur tenaga kerja dan produksi adalah bahwa tingkat keahlian (q), yang akan diproksi dengan pendidikan dalam studi ini mempengaruhi alokasi tenaga kerja sektoral dalam perekonomian, di mana pekerja dengan keahlian lebih tinggi akan lebih memiliki akses untuk bekerja di tahap-tahap akhir dalam produksi yang sekuensial (misalnya dalam sektor industri atau jasa). Pekerja dengan indeks keahlian (q) yang lebih tinggi dalam titik ekuilibrium akan menerima upah yang lebih tinggi karena mereka bekerja dengan input yang telah memiliki nilai tambah yang lebih tinggi, dibanding dengan input di sektor primer yang nilai tambahnya masih rendah karena masih berupa barang mentah. Selanjutnya akan dijabarkan beberapa teori mengenai sejumlah efek atau konsekuensi dari terjadinya kenaikan harga internasional komoditas primer. Beberapa efek yang disebabkan oleh commodity boom yang akan dibahas pada bagian ini adalah: (1) teori Stolper-Samuelson yang menjelaskan keterkaitan harga komoditas primer dengan return faktor produksi di sektor primer, (2) Penyakit Belanda (Dutch disease) yang menghubungkan boom di sektor primer dengan kemunduran di sektor industri. Stolper dan Samuelson (1941) dalam studinya menemukan apa yang disebut Stolper-Samuelson effect. Menurut Chipman (1969), teori Stolper-Samuelson menjelaskan adanya hubungan khusus antara harga sebuah komoditas dan harga faktor produksi, yaitu kenaikan pada harga komoditas tertentu akan menyebabkan peningkatan yang lebih tinggi (more than proportionate) pada harga faktor produksi yang intensif digunakan dalam produksi komoditas tersebut. Konsekuensi dari teori Stolper-Samuelson terhadap studi ini adalah bahwa ketika terjadi kenaikan harga internasional komoditas primer, maka upah riil bagi pekerja di sektor primer akan meningkat, relatif terhadap pekerja di sektor-sektor lainnya, seperti industri dan jasa. Selanjutnya, hubungannya dengan transformasi struktur tenaga kerja dan produksi adalah bahwa kenaikan upah riil di sektor primer akan menjadi insentif bagi pekerja di sektor lain untuk pindah bekerja ke sektor primer. Akibatnya, hal ini akan menghambat atau membalikkan proses transformasi struktur tenaga kerja dan produksi seperti dijelaskan dalam teori Lewis atau Chenery. Corden & Neary (1982) mencoba melakukan analisis sistematis terkait sejumlah fenomena yang sering dialami negara maju dan berkembang, yang sering disebut dengan Dutch disease: yaitu adanya subsektor yang mengalami kemajuan dan kemunduran secara bersamaan dalam sebuah sektor traded goods. Studi ini menemukan bahwa dalam beberapa kasus boom komoditas primer (ekstraktif), sektor manufaktur mengalami tekanan yang signifikan terutama disebabkan oleh apresiasi nilai tukar riil. Studi ini menjelaskan bagaimana tekanan ini akhirnya menyebabkan deindustrialisasi di negara yang bersangkutan. Selain itu, fenomena Dutch disease juga kerap diasosiasikan dengan dua efek: 1) resource movement effect, perpindahan faktor produksi ke sektor yang mengalami boom, sehingga mengakibatkan kenaikan tingkat upah serta penurunan output pada sektor yang ditinggalkan faktor tsb. 2) spending effect, yaitu peningkatan spending dari penerimaan sektor yang booming akan barang non-tradables, yang mengakibatkan terjadinya kenaikan permintaan barang non-tradables yang mendorong naik tingkat harga relatif, sehingga menghasilkan apresiasi nilai tukar riil. Kedua efek pada fenomena Dutch disease tersebut mendukung hipotesis studi ini bahwa commodity boom yang terjadi di sektor primer berpotensi menyebabkan perpindahan sumber daya produksi dalam perekonomian dari sektor industri ke arah sektor primer, sehingga menghambat pola konvensional transformasi struktur produksi maupun ketenagakerjaan di negara tersebut. METODE Untuk menjawab pertanyaan penelitian dalam studi ini, yaitu apakah pola konvensional proses transformasi struktur produksi dan struktur ketenagakerjaan Indonesia dipengaruhi oleh kenaikan harga internasional komoditas primer (commodity boom) 2002-2008, bagian ini akan mengelaborasi metode estimasi, spesifikasi model, keterangan dari setiap variabel yang akan digunakan, serta perolehan datanya. Metode estimasi struktur produksi dan ketenagakerjaan Indonesia yang digunakan dalam studi ini adalah regresi data panel, menggunakan data 33 provinsi Indonesia dari tahun 2002-2008. Terdapat dua spesifikasi model, masing-masing untuk struktur produksi dan ketenagakerjaan. Struktur produksi dan ketenagakerjaan di Indonesia akan diklasifikasikan ke dalam 4 sektor, yaitu pertanian, pertambangan, industri, dan jasa. Struktur produksi dalam studi ini akan diukur dengan kontribusi/proporsi output masing-masing sektor (pertanian, pertambangan, industri, jasa) terhadap output keseluruhan di masingmasing daerah. Dengan demikian, untuk masing-masing model akan dilakukan regresi sebanyak 4 kali untuk mengestimasi kontribusi produksi masing-masing sektor tersebut. Sedikit memodifikasi klasifikasi
Analisis Proses ..., David Christian, FE UI, 2013
sektoral dalam studi Anwar (1997), agregasi output 9 sektor menjadi output 4 sektor dalam studi ini mengikuti pola sebagai berikut: (1) Sektor Pertanian, (2) Sektor Pertambangan & Penggalian, (3) Sektor Industri yang terdiri dari Industri Pengolahan, Listrik, Gas & Air Bersih, dan Bangunan. (4) Sektor Jasa, terdiri dari Perdagangan, Hotel, & Restoran, Pengangkutan & Komunikasi, Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan, dan Jasa-Jasa. Dalam estimasi struktur produksi, variabel kunci yang menjadi fokus adalah harga internasional komoditas primer (pertanian dan pertambangan). Sementara itu, seperti telah dijelaskan pada Tinjauan Referensi, variabel-variabel lainnya yang mempengaruhi struktur produksi di sebuah provinsi, yang meliputi PDRB per kapita (PDBC), proksi kualitas/keahlian tenaga kerja (EDUCLAB), proksi stok modal dalam fungsi produksi seperti infrastruktur jalan (ROAD), luas lahan pertanian (AGLAND), proporsi tenaga kerja sektoral (LS), serta penyaluran listrik ke pelanggan industri (Log ELIND) akan dikontrol. Dengan demikian, model yang digunakan untuk mengestimasi struktur produksi di masing-masing provinsi dinotasikan sebagai berikut: YSsit = β 0 + β 1 log(PDBCit) + β2 log(AGLANDit) + β3 EDUCLABit + β4 ROADit + β5 log(ELIND)it + β6 LSsit + β7 PAGRCOMt +β8 PMINCOMt + uit Sementara itu, struktur ketenagakerjaan dalam studi ini akan dijelaskan dengan proporsi tenaga kerja sektoral untuk masing-masing provinsi. Klasifikasi sektoral struktur ketenagakerjaan mengikuti struktur produksi, yaitu 4 sektor: pertanian, pertambangan, industri, dan jasa. Dalam estimasi struktur ketenagakerjaan di model yang kedua ini, variabel kunci yang menjadi fokus juga adalah harga internasional komoditas primer pertanian (PAGRCOM) dan pertambangan (PMINCOM). Sementara itu, berdasarkan sejumlah teori yang telah dijelaskan pada Tinjauan Referensi, sejumlah variabel lain yang mempengaruhi alokasi tenaga kerja sektoral, seperti PDRB per kapita (PDBC), log upah riil di sektor s (Wsit), log upah riil di sektor selain s (W~sit), dan proksi kualitas/keahlian tenaga kerja (EDUCLAB) akan dikontrol. Dengan demikian, model yang digunakan untuk mengestimasi struktur ketenagakerjaan di masing-masing provinsi dinotasikan sebagai berikut: LSsit = γ 0 + γ 1 log(PDBCit) + γ 2 log(Wsit) + γ 3 log(W~sit) + γ 4 EDUCLABit+ γ 5 PAGRCOMt + γ 6 PMINCOMt + uit Penjelasan lebih mendalam mengenai keterangan masing-masing variabel dan hipotesis tandanya terhadap variabel dependen masing-masing dapat dilihat pada Tabel 2 untuk estimasi struktur produksi dan Tabel 3 untuk estimasi struktur ketenagakerjaan. Tabel 2. Rangkuman Penggunaan Variabel dalam Model Estimasi Struktur Produksi #
Variabel
1
YSsit
2
PAGRCOM
3
PMINCOM
4 5 6
Log PDBC Log AGLAND EDUCLAB
7
ROAD
8
Log ELIND
9
LSsit
Keterangan Kontribusi produksi sektor s terhadap PDRB secara keseluruhan (Dependen) Indeks harga internasional gabungan komoditas ekspor pertanian utama Indonesia (2002=100): coklat, minyak sawit, kopi, karet, dan tembakau Indeks harga internasional gabungan komoditas ekspor pertambangan utama Indonesia (2002=100): minyak bumi, batu bara, gas alam, tembaga, bijih besi, timah, dan nikel Logaritma dari PDRB per kapita Logaritma dari luas lahan pertanian (Ha) Proporsi tenaga kerja yang memiliki pendidikan terakhir tamat SMA atau lebih tinggi (proksi skill tenaga kerja) Rasio panjang jalan terhadap luas wilayah provinsi (km/km2) Banyaknya listrik yang didistribusikan ke pelanggan industri (GWh) Proporsi tenaga kerja yang bekerja di sektor s.
Agr n.a
Hipotesis Min Ind n.a n.a
Ser n.a
+
+
-
+/-
+
+
-
+/-
+ -
+ -
+ +
+ +
+/-
+/-
+
+
-
-
+
+
+
+
+
+
Sumber: Olahan pribadi dan studi literatur
Analisis Proses ..., David Christian, FE UI, 2013
Tabel 3. Rangkuman Penggunaan Variabel dalam Model Estimasi Struktur Ketenagakerjaan No
Variabel
1
LSsit
2
PAGRCOM
3
PMINCOM
4 5
Log PDBC EDUCLAB
6
Log Wsit
7
Log W~sit
Keterangan Proporsi tenaga kerja yang bekerja di sektor s (Dependen). Indeks harga internasional gabungan komoditas ekspor pertanian utama Indonesia (2002=100): coklat, minyak sawit, kopi, karet, dan tembakau Indeks harga internasional gabungan komoditas ekspor pertambangan utama Indonesia (2002=100): minyak bumi, batu bara, gas alam, tembaga, bijih besi, timah, dan nikel Logaritma dari PDRB per kapita Proporsi tenaga kerja yang memiliki pendidikan terakhir tamat SMA atau lebih tinggi (proksi skill tenaga kerja) Logaritma dari rata-rata upah riil pekerja di sektor s Logaritma dari rata-rata upah riil pekerja di sektor selain s
Agr n.a
Hipotesis Min Ind n.a n.a
Ser n.a
+
+
-
+/-
+
+
-
+/-
-
+/-
+ +
+ +
+
+
+
+
-
-
-
-
Sumber: Olahan pribadi dan studi literatur
Menurut hipotesis studi ini, parameter PAGRCOM dan PMINCOM) bernilai positif dan signifikan pada regresi proporsi output dan tenaga kerja di sektor primer (pertanian dan pertambangan), yang berarti bahwa kenaikan harga internasional komoditas primer akan meningkatkan jumlah tenaga kerja di sektor primer (pertanian dan pertambangan) relatif terhadap sektor lainnya. Sebaliknya, nilai kedua parameter ini pada regresi proporsi tenaga kerja sektor nonprimer (industri dan jasa) diekspektasikan negatif, yang berarti bahwa kenaikan harga internasional komoditas primer akan menurunkan jumlah tenaga kerja relatif di sektor nonprimer. Hipotesis ini diturunkan dari ide dasar teori Stolper-Samuelson yang telah dijelaskan pada Tinjauan Referensi. Namun demikian, khusus untuk sektor jasa, berdasarkan beberapa studi empiris yang menemukan employment spillover yang cukup besar ke sektor jasa di tengah kondisi primary commodity boom, maka arah hubungan harga komoditas dengan proporsi tenaga kerja yang bekerja di sektor jasa dapat bernilai positif maupun negatif. Terkait pengujian ekonometrika pada regresi data panel dalam studi ini, menurut Gujarati (2009), terdapat empat jenis metode utama estimasi data panel, yaitu: (1) Pooled OLS Model, atau sering disebut Pooled Least Squares (PLS), (2) Fixed effects least squares dummy variable model (LSDV), (3) Fixed effects withingroup model, (4) Random effects model (REM). Terdapat beberapa pengujian yang perlu dilakukan untuk menentukan metode estimasi yang tepat untuk digunakan dalam studi dengan data panel. Pengujian pemilihan model panel pertama yang perlu dilakukan adalah uji Lagrange Multiplier (LM) yang dikembangkan oleh Breusch dan Pagan. Gujarati (2009) menyatakan bahwa hipotesis nol dalam uji LM ini adalah bahwa terdapat efek acak (random effect) dalam data. Kegagalan menolak hipotesis nol dalam uji LM ini mengindikasikan bahwa tidak terdapat efek acak dalam data, sehingga metode PLS dapat digunakan. Sebaliknya, penolakan hipotesis nol dalam uji LM ini mengindikasikan bahwa REM lebih tepat untuk digunakan karena terdapat efek acak dalam data yang digunakan. Pengujian pemilihan model panel ketiga yang juga perlu dilakukan adalah uji Hausman. Uji Hausman dilakukan untuk memilih di antara FEM atau REM. Gujarati (2009) menyatakan bahwa hipotesis nol dalam uji Hausman adalah bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada estimator yang dihasilkan FEM maupun REM. Penolakan hipotesis nol pada uji Hausman mengindikasikan bahwa FEM lebih tepat digunakan karena perbedaan nilai estimator kedua model tersebut disebabkan oleh efek acak yang berkorelasi dengan satu atau lebih variabel independen. Sebaliknya, jika hipotesis nol tidak dapat ditolak, maka REM lebih tepat digunakan karena tidak terbukti bahwa efek acak berkorelasi dengan satu atau lebih variabel independen, sehingga parameter REM lebih efisien. Selanjutnya, akan dilakukan pengujian ekonometrika untuk menguji apakah estimator yang dihasilkan dalam regresi data merupakan best linear unbiased estimator (BLUE) (Gujarati, 2009). Terdapat tiga jenis pelanggaran asumsi utama dalam regresi linear, yaitu: (1) autokorelasi, (2) heteroskedastisitas, dan (3)
Analisis Proses ..., David Christian, FE UI, 2013
multikoliearitas. Definisi, identifikasi, serta perlakuan dalam model ekonometrika dengan pelanggaranpelanggaran asumsi tersebut dirangkum dalam Tabel 4. Tabel 4. Pemenuhan Asumsi BLUE pada Regresi Data Panel Pelanggaran
Identifikasi
Perlakuan
Autokorelasi: adanya hubungan antara error pada observasi yang berbeda.
Uji Breusch-Godfrey, Uji Wooldridge (2002) xtserial. Hipotesis nol menunjukkan tidak terdapat autokorelasi
Menggunakan standar error White-robust, melakukan regresi dengan Generalized Least Squares (GLS)
Heteroskedastisitas: Varians error tidak bernilai konstan (ditentukan oleh nilai variabel independen)
Uji Breusch-Pagan. Hipotesis nol menunjukkan tidak ada heteroskedastisitas
Menggunakan standar error White-robust, melakukan regresi dengan WLS atau GLS.
Multikolinearitas: Adanya hubungan linear antara sesama variabel independen.
Uji variance inflation factor (VIF). Nilai VIF lebih dari 10 menunjukkan kolinearitas yang tinggi pada variabel tersebut.
Menambah data, transformasi variabel independen, atau tidak melakukan apa-apa.
Sumber: Diolah dari Gujarati (2009)
HASIL DAN ANALISIS Berdasarkan hasil pengujian ekonometrika, metode regresi data panel yang digunakan dalam estimasi struktur produksi ini adalah Fixed Effects Model (FEM). Namun, karena terdapat pelanggaran asumsi, yaitu heteroskedastisitas dan autokorelasi pada keempat regresi FEM tersebut, maka regresi untuk mengestimasi kontribusi produksi sektoral akan ditransformasi dengan menggunakan teknik Generalized Least Squares (GLS). Hasil regresi data panel pada kontribusi produksi sektoral memberikan parameter yang terdapat dalam Tabel 5 berikut. Nilai statistik z yang menunjukkan uji signifikansi pada koefisien GLS ditunjukkan dalam tanda kurung di bawah nilai koefisien masing-masing variabel independen. Tabel 5. Rangkuman Hasil Regresi Data Panel untuk Model Struktur Produksi Variabel Independen Log PDBC
YSagriculture
YSmining
YSindustry
YSservice
-0,1938*** 0,5056*** 0,0636*** -0,3567*** (-13,35) (20,23) (4,06) (-18,88) Log AGLAND 0,0117* 0,0285*** -0,0078 -0,0313*** (1,84) (3,20) (-1,21) (-3,99) EDUCLAB 0,0427 -0,1855** -0,0374 0,1835*** (0,75) (-2,26) (-0,62) (2,67) ROAD 0,0628*** -0,0732** -0,1041*** 0,1170*** (2,60) (-2,14) (-4,26) (3,89) Log ELIND -0,0048 -0,0519*** 0,0286*** 0,0259*** (-1,37) (-11,03) (8,12) (5,90) LSs 0,3260*** -0,3613 0,4446*** 0,2682*** (7,55) (-0,62) (4,54) (3,28) PAGRCOM -0,0001 0,0005 0,0000 -0,0004 (-0,38) (0,96) (0,09) (-0,76) PMINCOM 0,0002 -0,0006* -0,0001 0,0004 (0,75) (-1,69) (-0,37) (1,58) Keterangan: * Signifikan pada α = 0,1; ** Signifikan pada α = 0,05; *** Signifikan pada α = 0,01 Dalam estimasi struktur produksi Indonesia tahun 2002-2008, nilai koefisien variabel pendapatan per kapita log PDBC menunjukkan besaran yang signifikan pada α=0,01, namun dengan arah yang tidak seluruhnya sesuai dengan teori transformasi struktural Chenery dan Syrquin (1975). PDRB per kapita Analisis Proses ..., David Christian, FE UI, 2013
mempengaruhi negatif kontribusi produksi sektor pertanian (sesuai teori Chenery) dan jasa (berlawanan dengan teori Chenery) dan mempengaruhi positif kontribusi sektor industri dan pertambangan. Luas lahan pertanian (AGLAND) terbukti secara positif mempengaruhi kontribusi produksi sektor primer (pertanian dan pertambangan). Hal ini sesuai dengan hipotesis, karena keberadaan luas lahan pertanian seharusnya mendorong produksi sektor primer. Sebaliknya, luas lahan pertanian berhubungan negatif dengan kontribusi produksi sektor nonprimer (industri dan jasa). Selanjutnya, tingkat pendidikan EDUCLAB ternyata ditemukan hanya signifikan mempengaruhi kontribusi produksi pada sektor pertambangan (negatif) dan jasa (positif). Hal ini sesuai dengan teori pola konvensional transformasi struktural, yaitu bahwa seiring dengan tingginya tingkat akumulasi sumber daya manusia di sebuah daerah, maka aktivitas sektor primer di daerah tersebut akan cenderung menurun. Temuan ini diperkuat dengan hubungan positif dan signifikan EDUCLAB dengan kontribusi sektor jasa yang juga sesuai dengan teori transformasi struktural. Artinya, kenaikan pada proporsi tenaga kerja lulusan SMA atau lebih di suatu daerah akan meningkatkan kontribusi produksi sektor jasa di daerah tersebut. Hal ini dapat terjadi karena memang aktivitas produksi di sektor jasa (misalnya keuangan, perdagangan, hotel, komunikasi, dsb) memang menuntut tingkat pendidikan yang lebih tinggi bagi tenaga kerja di sektor tersebut. Sementara itu, variabel ini tidak signifikan mempengaruhi kontribusi produksi sektor primer lainnya (pertanian) dan nonprimer lainnya (industri). Hal ini mengindikasikan bahwa aktivitas produksi di sektor pertanian dan industri tidak signifikan didasarkan pada tingkat pendidikan dari tenaga kerja dalam sektor tersebut. Ketersediaan infrastruktur jalan (ROAD) berhubungan signifikan pada semua regresi kontribusi produksi sektoral. Variabel ini memiliki hubungan positif dengan kontribusi produksi sektor pertanian dan jasa, serta memiliki hubungan negatif terhadap sektor pertambangan dan industri. Temuan studi ini sejalan dengan studi Antle (1983) bahwa peningkatan infrastruktur jalan akan meningkatkan kapasitas produksi sektor pertanian, dan mendukung aktivitas produksi sektor jasa. Namun, untuk sektor industri dan pertambangan, hal ini berlawanan dengan studi Permana (2009) yang menemukan bahwa pembangunan infrastruktur jalan pertumbuhan perekonomian sektor primer dan sekunder. Sementara itu, jumlah penjualan listrik untuk pelanggan sektor industri (Log ELIND) sesuai hipotesis terbukti memiliki hubungan negatif dengan kontribusi produksi sektor primer (pertanian dan pertambangan) serta memiliki hubungan positif dengan kontribusi produksi sektor nonprimer, yaitu industri dan jasa. Terakhir, proporsi tenaga kerja yang bekerja di sektor s menunjukkan hasil yang sesuai dengan hipotesis. Untuk regresi di 3 sektor: pertanian, industri, dan jasa, variabel proporsi tenaga kerja sektoral memiliki hubungan positif dan signifikan dengan kontribusi produksi di sektor masing-masing. Hal ini mengonfirmasi bahwa pola struktur produksi dipetakan oleh pola struktur ketenagakerjaan seperti dijelaskan teori derived demand. Variabel kunci dalam studi ini, yaitu harga internasional komoditas primer (pertanian dan pertambangan) ternyata tidak memiliki hubungan signifikan terhadap kontribusi produksi sektoral. Hanya dalam salah satu regresi sektoral saja (yaitu sektor pertambangan) harga internasional komoditas primer ini (dalam hal ini pertambangan) memiliki hubungan yang signifikan, itu pun pada level signifikansi 10% dan memiliki arah hubungan yang berlawanan dengan hipotesis. Sejumlah penjelasan berikut akan menjabarkan apa yang menyebabkan harga internasional komoditas primer tidak secara langsung mempengaruhi struktur produksi di Indonesia pada tahun 2002-2008, maupun pola konvensional transformasinya. Dalam hal hubungan antara harga global dan tingkat produksi komoditas primer, menarik untuk membandingkan dengan studi Heemskerk (2001). Studi tersebut menyatakan bahwa meskipun teori konvensional menyatakan bahwa peningkatan yang masif pada produksi sektor primer (natural resources booms) dipicu oleh peningkatan harga internasional komoditas tersebut, namun ternyata ditemukan bahwa boom dalam produksi barang sumber daya alam dapat terjadi secara independen dengan kondisi pasar global, menggunakan studi kasus penambangan emas di Suriname. Menurut Heemskerk (2001), tidak terjadinya penyesuaian antara tingkat produksi komoditas primer dengan harga internasionalnya dapat disebabkan oleh produksi komoditas primer domestik yang didominasi oleh produsen berskala kecil, dan bukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Alasan yang diungkapkan oleh Heemskerk (2001) untuk menjelaskan mengapa peningkatan harga internasional komoditas primer tidak signifikan mempengaruhi pola produksi di sektor primer adalah karena keputusan produksi dari produsen berskala kecil dengan produsen besar (contohnya: perusahaan multinasional) berbeda. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa peningkatan harga internasional komoditas primer memang tidak selalu mengakibatkan peningkatan masif pada produksi di sektor primer, terutama pada daerah di mana produksi sektor ekstraktif masih didominasi produsen tradisional. Hal inilah yang terjadi di Indonesia pada tahun 2002-2008, ditunjukkan Grafik 1. Grafik 1 memperlihatkan bahwa kenaikan produksi sektor pertanian hanya 24,98% selama 6 tahun dari tahun 2002-2008. Kenaikan jumlah produksi ini memiliki selisih yang sangat jauh dengan kenaikan harganya yang mencapai 182,4%. Kondisi yang lebih memperlihatkan ketidaksesuaian antara pola harga
Analisis Proses ..., David Christian, FE UI, 2013
dan pola produksi semakin jelas pada sektor pertambangan, di mana output riil dari sektor pertambangan justru malah menurun 3,65% dari tahun 2002 hingga akhir periode boom pada harga komoditas global di tahun 2008. Sebaliknya, sektor industri dan jasa malah mengalami peningkatan output riil yang lebih pesat pada periode ini, masing-masing 34,64% dan 50,14%. Salah satu alasan lainnya yang menyebabkan tidak signifikannya kenaikan harga internasional komoditas primer mempengaruhi pola konvensional transformasi struktur produksi sektoral adalah karena inelastisitas permintaan dan penawaran pada produk ekstraktif/primer. Hal ini juga yang mengakibatkan harga komoditas primer akan melambung tinggi ketika terdapat peningkatan permintaan global yang masif seperti terjadi pada 2002-2008. Menurut Hogendorn (1992), kebanyakan komoditas pertanian dan pertambangan memiliki nilai elastisitas penawaran jangka pendek yang sangat rendah (artinya: inelastis). Hal ini disebabkan oleh sulitnya meningkatkan output antara satu masa panen dengan periode berikutnya. Tanaman seperti coklat, kopi, teh, karet, dan minyak sawit (empat di antaranya digunakan dalam data untuk studi ini) bahkan memiliki tingkat elastisitas penawaran yang lebih rendah lagi, karena memerlukan waktu beberapa tahun untuk dapat dipanen setelah ditanam. Dalam jangka pendek, nilai ini akan semakin kecil, yang menunjukkan bahwa produk sektor primer semakin inelastis dalam jangka pendek. Grafik 1. Total Output Riil Sektoral 33 Provinsi pada tahun 2002-2008
350000000 300000000 250000000 YAGRIC
200000000
YMINING
150000000
YINDUS YSERVICE
100000000 50000000 0 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Sumber: Diolah dari BPS
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat dimengerti bahwa kenaikan harga internasional komoditas primer tidak akan memberikan dampak yang besar terhadap perubahan produksi komoditas primer tersebut, terutama dalam jangka pendek (misalnya 1 tahun). Hal ini disebabkan karena kebanyakan komoditas primer memiliki elastisitas penawaran terhadap harga yang sangat rendah dalam jangka pendek. Sehingga, jika besaran produksi dalam jangka pendek tidak dapat secara langsung merespon harga internasional, wajar jika kontribusi sektoral dari sektor primer (dan juga sektor lainnya) akhirnya tidak signifikan dipengaruhi oleh harga komoditas primer di pasar global. Penjelasan lainnya adalah karena studi ini belum memperhitungkan salah satu jalur transmisi yang disebut pass-through effect. Dengan adanya mekanisme pass-through yang unik di masing-masing provinsi, harga yang diterima produsen sektor primer di masing-masing provinsi seharusnya tidak sama, seperti diasumsikan dalam studi ini. Kegagalan penyesuaian harga komoditas primer domestik terhadap harga internasional akan menyebabkan inefisiensi serta distorsi dalam keputusan produksi di pasar domestik. Akan tetapi, karena materi ini terlalu luas untuk dibahas dalam lingkup studi ini, analisis lebih mendalam tentang mekanisme pass-through ini dapat dilakukan dalam studi berikutnya yang membahas tentang transmisi harga internasional sebuah barang terhadap struktur produksi di tingkat domestik. Permasalahan lain yang menjadi salah satu keterbatasan dari studi ini adalah persoalan model. Data panel sulit menangkap keterhubungan antar sektor. Bagaimana pengaruh boom produksi atau harga di sektor primer akan menyebar ke sektor nonprimer akan lebih dapat dijelaskan dengan metode berbasis input-output atau simulasi Computable General Equilibrium (CGE). Sementara itu, perlu diakui bahwa regresi data panel dalam studi ini masih belum dapat memberikan gambaran yang utuh akan interaksi struktur produksi antar sektor. Analisis Proses ..., David Christian, FE UI, 2013
Sementara itu, hasil regresi data panel pada proporsi tenaga kerja sektoral memberikan parameter yang terdapat dalam Tabel 6 yang telah merangkum nilai koefisien, arah hubungan, serta signifikansinya. Nilai statistik z yang menunjukkan uji signifikansi pada koefisien GLS ditunjukkan dalam tanda kurung di bawah nilai koefisien masing-masing variabel independen. Koefisien Log PDBC pada proporsi tenaga kerja sektoral memiliki pola yang sesuai dengan pola konvensional transformasi struktural Chenery dan Syrquin (1975). Dalam studi ini, ditemukan bahwa tingkat PDRB per kapita (Log PDBC) mempengaruhi kontribusi sektor pertanian secara negatif dan mempengaruhi kontribusi sektor lainnya secara positif, masing-masing pertambangan, industri, dan jasa. Namun, studi ini menemukan bahwa peningkatan PDRB per kapita dengan besaran yang sama akan mengakibatkan penurunan proporsi tenaga kerja sektor pertanian yang jauh melebihi peningkatan proporsi tenaga kerja di masing-masing sektor lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak terdapat satu sektor tertentu yang menjadi tujuan utama shifting sektoral dari tenaga kerja sektor pertanian. Artinya, perpindahan pekerja dari sektor pertanian ke tiga sektor lainnya terdistribusi secara cukup merata (meskipun koefisien sektoral menunjukkan bahwa tenaga kerja lebih mungkin untuk berpindah ke sektor industri dan jasa ketimbang pertambangan). Tabel 6. Rangkuman Hasil Regresi Data Panel untuk Model Struktur Ketenagakerjaan Variabel Independen Log PDBC Log W (agric) Log W (mining) Log W (indus) Log W (service) EDUCLAB PAGRCOM PMINCOM
LSagriculture
LSmining
LSindustry
LSservice
-0,3781*** (-8,10) 0,0796** (2,36) 0,0116 (0,50) 0,1156** (2,11) -0,0823 (-1,10) -0,0355 (-0,30) -0,0010 (-1,00) 0,0006 (0,97)
0,0097* (1,67) -0,0020 (-0,90) 0,0002 (0,15) -0,0002 (-0,09) 0,0008 (0,23) 0,0137 (1,30) -0,0000 (-1,61) 0,0001** (2,15)
0,0398* (1,78) -0,0048 (-0,67) -0,0037 (-1,05) -0,0045 (-0,52) -0,0130 (-1,12) -0,0689* (-1,91) -0,0000 (-0,13) -0,0000 (-0,05)
0,0834** (2,38) -0,0022 (-0,21) 0,0008 (0,17) -0,0042 (-0,35) 0,0285* (1,76) 0,1429*** (2,78) 0,0000 (0,12) 0,0001 (1,08)
Keterangan: * Signifikan pada α = 0.1; ** Signifikan pada α = 0.05; *** Signifikan pada α = 0.01
Sementara itu, koefisien tingkat upah riil sektoral (Log Ws dan Log W~s) menunjukkan hasil yang cukup beragam antar sektor. Studi ini menemukan bahwa secara umum, tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat upah riil sektoral dengan alokasi tenaga kerja sektoral. Tingkat upah riil sektoral terbukti signifikan dan positif mempengaruhi proporsi tenaga kerja di sektor tersebut hanya pada sektor pertanian dan jasa. Sementara itu, proporsi tenaga kerja di sektor pertambangan dan sektor industri tidak signifikan dipengaruhi oleh tingkat upah riil di masing-masing sektor. Sejalan dengan itu, studi ini menemukan bahwa tingkat upah riil di sektor selain s ternyata tidak signifikan menjadi faktor yang menarik pekerja dari sektor s untuk pindah bekerja di sektor ~s (yang ditunjukkan dengan penurunan proporsi tenaga kerja di sektor s). Seluruh parameter untuk variabel Log W~s pada keempat regresi sektoral tidak signifikan mempengaruhi proporsi tenaga kerja sektoral, kecuali upah riil sektor industri terhadap proporsi tenaga kerja sektor pertanian. Indikator akumulasi modal sumber daya manusia berupa pendidikan, yaitu EDUCLAB merupakan variabel kontrol terakhir dalam studi ini. Ditemukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan alokasi tenaga kerja di sektor pertanian maupun pertambangan. Sebaliknya, terdapat hubungan yang negatif dan signifikan (α=10%) antara tingkat pendidikan dengan proporsi tenaga kerja di sektor industri, serta hubungan yang positif dan signifikan (α=1%) antara tingkat pendidikan dengan proporsi tenaga kerja di sektor jasa. Untuk sektor jasa, hubungan positif ini sesuai dengan hipotesis karena umumnya pekerjaan di sektor jasa memerlukan tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Sebaliknya, untuk sektor industri, temuan studi ini berlawanan dengan hipotesis studi ini. Namun demikian, hal ini mengindikasikan bahwa umumnya industri yang dikembangkan oleh provinsi-provinsi di Indonesia tidak
Analisis Proses ..., David Christian, FE UI, 2013
mengandalkan kemampuan pendidikan yang tinggi dari tenaga kerjanya, sehingga ada ruang yang cukup untuk tenaga kerja berpendidikan relatif rendah untuk bekerja di sektor industri. Harga internasional komoditas primer (pertanian dan pertambangan), yang merupakan variabel kunci dalam studi ini ternyata secara umum juga tidak memiliki hubungan langsung yang signifikan terhadap proporsi tenaga kerja sektoral, kecuali pada sektor pertambangan. Hanya dalam regresi terhadap proporsi tenaga kerja di sektor pertambangan harga internasional komoditas pertambangan memiliki hubungan yang positif dan signifikan (α=5%) terhadap proporsi tenaga kerja di sektor pertambangan. Artinya, setiap kenaikan indeks harga internasional komoditas pertambangan sebesar 1 unit (dengan kata lain mengindikasikan peningkatan harga sebesar 1%), akan mengakibatkan peningkatan proporsi tenaga kerja di sektor pertambangan sebesar 0,01%. Penjelasan lebih lanjut diperlukan untuk menjabarkan apa yang menyebabkan harga internasional komoditas primer tidak secara langsung mempengaruhi struktur ketenagakerjaan di Indonesia pada tahun 2002-2008, maupun pola konvensional transformasinya. Menurut Gandolfo (1998), salah satu pengaruh boom di sektor ekstraktif terhadap pasar tenaga kerja adalah tidak diketahui apakah jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan di sektor non-traded akan meningkat atau menurun. Umumnya, spending effect dari commodity boom di sektor primer membawa kenaikan tingkat harga secara umum, termasuk pada barang non-traded. Akibatnya, upah riil pekerja di sektor primer, yang diukur dengan kemampuan membeli barang-barang non-traded (purchasing power) bisa meningkat atau menurun tergantung seberapa besar peningkatan upah nominalnya dan seberapa besar kontribusi konsumsi barang non-traded dalam konsumsinya. Sehingga, perubahan upah riil dari faktor produksi seperti tenaga kerja tidak dapat ditentukan secara a priori. Grafik 2. Perbandingan Struktur Produksi dengan Tenaga Kerja Sektoral 0.6
0.14
0.5
0.12 0.1
0.4 0.3 0.2
Average of Ysagric
0.08
Average of Ysmining
Average of Lsagric
0.06
Average of Lsmining
0.04
0.1
0.02
0
0 2002
2004
2006
2008
2002 2004 2006 2008
0.25
0.45 0.4
0.2
0.35 0.3
0.15
Average of Ysindus
0.1
Average of Lsindus
Average of Ysservice
0.25 0.2
Average of Lsservice
0.15 0.1
0.05
0.05 0
0 2002 2004 2006 2008
2002 2004 2006 2008
Sumber: Diolah dari BPS
Analisis Proses ..., David Christian, FE UI, 2013
Salah satu penjelasan mengapa harga internasional komoditas primer tidak berpengaruh terhadap struktur ketenagakerjaan adalah menggunakan kerangka berpikir permintaan dan penawaran di pasar tenaga kerja. Sebagaimana ditunjukkan Sudihartono & Muhyiddin (2008), bahwa dari sisi permintaan tenaga kerja, variabel output (produksi) mempengaruhi penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian dan industri. Sementara dari sisi penawaran tenaga kerja, justru variabel upah riil dan populasi tidak mempengaruhi penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian dan industri. Artinya, terdapat faktor lain yang menjelaskan penyerapan tenaga kerja di dua sektor kunci dalam konteks transformasi struktural di Indonesia, yaitu pertanian dan industri (karena jika digabung, menyumbang proporsi mayoritas dari jumlah tenaga kerja di Indonesia). Sementara itu, jika pengaruh boom harga komoditas internasional atau boom produksi komoditas primer memiliki dampak terhadap tingkat upah riil, hal ini belum tentu menghasilkan peningkatan penawaran tenaga kerja. Meskipun demikian, temuan dari studi ini, yaitu hubungan positif dan signifikan antara kontribusi produksi sektoral dengan proporsi tenaga kerja sektoral mendukung hasil studi Sudihartono & Muhyiddin (2008), di mana hal ini mengindikasikan bahwa dari sisi permintaan tenaga kerja, terdapat korelasi yang tinggi antara tingkat produksi sebuah sektor dengan intensnya penyerapan tenaga kerja di sektor tersebut. Dengan demikian, permintaan tenaga kerja di sebuah sektor berhubungan positif dengan besarnya produksi di sektor tersebut. Selanjutnya, walaupun teori konvensional transformasi dari Chenery dan Syrquin (1975) menyatakan bahwa pola struktur ketenagakerjaan akan mengikuti pola struktur produksi, namun terdapat selisih dari struktur produksi karena terdapat lag dalam proses penyesuaian struktur produksi terhadap struktur tenaga kerja. Penyesuaian struktur produksi dan tenaga kerja di Indonesia dalam studi ini mengikuti pola sebagaimana ditunjukkan dalam Grafik 2. Grafik 2 mendukung teori Chenery bahwa secara umum terdapat kesamaan tren antara struktur produksi dengan struktur tenaga kerja. Namun, temuan studi ini tidak mendukung temuan Chenery dan Syrquin (1975) tentang gap struktur tenaga kerja. Data Indonesia dalam studi ini menunjukkan bahwa struktur tenaga kerja lebih cepat berfluktuasi dalam jangka pendek dibandingkan dengan struktur produksi yang cenderung stabil antar waktu. Hal ini mengindikasikan mobilitas tenaga kerja antar sektor dalam Indonesia. Melihat arah perubahan, proporsi tenaga kerja sektor pertambangan cenderung stabil setelah tahun 2004. Artinya, perpindahan lebih banyak terjadi antara 3 sektor lainnya, yaitu pertanian, industri, dan jasa. Secara umum, pola konvensional transformasi struktur ketenagakerjaan hanya terbalik pada satu tahun pertama pada periode commodity boom ini, yaitu 2002-2003. Selepas 2003, Grafik 2 juga memperlihatkan bahwa struktur ketenagakerjaan Indonesia kembali mengikuti pola konvensional di mana proporsi sektor pertanian cenderung menurun, dan sektor industri dan jasa cenderung meningkat. Mencermati data Indonesia, penurunan proporsi tenaga kerja sektor pertanian dari tahun 2003 hingga 2008 mencapai 6,09%, sementara peningkatan di sektor industri pada periode yang sama hanya 1,81% dan peningkatan di sektor jasa mencapai 4,96%. Hal ini mengindikasikan bahwa shifting tenaga kerja lebih banyak terjadi dari sektor pertanian ke sektor jasa. Namun, mengingat gap kebutuhan keahlian yang cukup tinggi antara pekerjaan di sektor pertanian dengan jasa, kecil kemungkinan tenaga kerja sektor pertanian langsung berpindah ke sektor jasa. Sebagai gantinya, akan lebih memungkinkan bahwa terjadi perpindahan tenaga kerja sektor pertanian ke sektor industri, dan pada saat yang bersamaan tenaga kerja dari sektor industri berpindah ke sektor yang lebih modern namun memiliki gap keahlian yang cukup kecil, yaitu jasa. Mobilitas tenaga kerja antara sektor industri dan jasa (khususnya Sektor 7: Pengangkutan & Komunikasi dan Sektor 9: Jasa-Jasa) akan lebih mungkin terjadi ketimbang mobilitas langsung tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor jasa. Namun demikian, analisis dalam studi ini secara parsial mendukung hasil studi Marchand (2011) yang menemukan bahwa terdapat employment spillover ke beberapa sektor nonenergi pada saat terjadi boom produksi di sektor ekstraksi, yaitu ke sektor konstruksi, perdagangan, dan terutama jasa. SIMPULAN Secara umum ditemukan oleh studi ini bahwa pada masa kenaikan harga internasional komoditas primer (primary commodity boom) pada tahun 2002-2008, transformasi struktur produksi dan struktur ketenagakerjaan di Indonesia tetap mengikuti pola konvensional Chenery dan Syrquin (1975), kecuali pada satu tahun pertama hingga tahun 2003. Artinya, tidak terbukti bahwa terjadi pembalikan pola konvensional tersebut di Indonesia sebagai akibat dari kenaikan harga internasional komoditas primer yang cukup tinggi, sebagaimana menjadi hipotesis studi ini. Dalam analisis struktur produksi, di mana produksi perekonomian diklasifikasikan menjadi empat sektor: pertanian, pertambangan, industri, dan jasa, ditemukan oleh regresi data panel bahwa variabel PDRB
Analisis Proses ..., David Christian, FE UI, 2013
per kapita signifikan mempengaruhi kontribusi produksi sektoral, meskipun tidak sepenuhnya sesuai teori Chenery (ditandai dengan kontribusi sektor jasa yang menurun seiring dengan meningkatnya PDRB per kapita). Sejumlah variabel kontrol lain yang digunakan seperti luas lahan pertanian, tingkat pendidikan, ketersediaan infrastruktur jalan, jumlah listrik yang terjual untuk industri, dan proporsi tenaga kerja sektoral secara umum menunjukkan arah hubungan dengan kontribusi produksi sektoral yang cukup sesuai dengan hipotesis dalam studi ini (meskipun untuk beberapa regresi sektor tertentu, masih ditemukan arah hubungan yang terbalik dari variabel kontrol tersebut). Terkait variabel yang menjadi fokus dalam studi ini, yaitu harga internasional komoditas primer, terbukti bahwa secara umum harga internasional komoditas primer, baik pertanian maupun pertambangan, tidak signifikan mempengaruhi struktur produksi sektoral ataupun pola konvensional dari transformasinya pada tahun 2002-2008. Berdasarkan data dalam studi ini dan sejumlah perbandingan dengan studi literatur lainnya, studi ini memberikan sejumlah penjelasan mengapa hubungan harga internasional komoditas primer tersebut tidak signifikan mempengaruhi struktur produksi sektoral. Penjelasan pertama adalah bahwa kenaikan harga internasional komoditas primer tidak selalu menyebabkan boom produksi pada sektor primer, terutama ketika produksi barang ekstraktif didominasi oleh produsen berskala kecil (Heemskerk, 2001). Kemudian memang data Indonesia membuktikan tidak terjadinya boom produksi sektor primer yang konvergen dengan pola harga internasionalnya. Penjelasan kedua, seperti dijelaskan Hogendorn (1992) adalah karena kebanyakan produk sektor primer memiliki elastisitas penawaran yang cukup rendah dalam jangka panjang (inelastis), dan dalam jangka pendek menjadi sangat rendah (mendekati inelastis sempurna). Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa kenaikan harga internasional komoditas primer tidak akan memberikan dampak yang besar dan instan dalam jangka pendek (misalnya 1 tahun) terhadap produksi di sektor primer, sehingga tidak terlalu signifikan mempengaruhi struktur produksi sektoral atau arah transformasinya. Penjelasan ketiga adalah bahwa studi ini belum memperhitungkan mekanisme pass-through dari harga internasional ke harga domestik yang kemungkinan menyebabkan inefisiensi serta distorsi dalam keputusan berproduksi para produsen di pasar barang domestik. Penjelasan terakhir adalah karena keterbatasan model regresi panel yang kurang mampu menangkap interaksi antar sektor dalam perekonomian. Dalam analisis struktur ketenagakerjaan, ditemukan bahwa struktur ketenagakerjaan sektoral juga tidak dipengaruhi secara signifikan oleh variabel kunci dalam studi ini. Variabel kontrol yang digunakan, khususnya tingkat PDRB per kapita menunjukkan arah hubungan yang sesuai hipotesis dan teori Chenery. Sementara itu, variabel kontrol lainnya umumnya menunjukkan hasil yang tidak sesuai hipotesis, misalnya upah riil di sektor s maupun sektor selain s, secara umum terbukti tidak signifikan dalam mempengaruhi penyerapan tenaga kerja secara relatif (diukur dari proporsi tenaga kerja) pada sektor s tersebut. Studi ini juga menawarkan beberapa penjelasan, berdasarakan analisis data dan perbandingan studi literatur lainnya, untuk menjelaskan temuan tidak signifikannya harga internasional komoditas primer mempengaruhi alokasi tenaga kerja sektoral. Penjelasan pertama, adalah karena boom di satu sektor primer akan membawa kenaikan tingkat harga secara umum (termasuk di sektor non-traded), maka perubahan upah riil dari faktor produksi seperti tenaga kerja yang berada di sektor yang mengalami booming menjadi tidak dapat ditentukan secara a priori. Penjelasan kedua, berdasarkan perbandingan dengan studi Sudihartono & Muhyiddin (2008) adalah bahwa penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian dan industri (dua sektor dominan dalam perekonomian Indonesia) dari sisi penawaran tenaga kerja ternyata tidak dipengaruhi oleh tingkat upah riil – yang pada sektor primer dihipotesiskan naik selama periode kenaikan harga internasional komoditas primer. Dengan demikian, hal ini menjelaskan bahwa kenaikan harga internasional komoditas primer tidak terlalu mempengaruhi struktur insentif para tenaga kerja untuk bekerja di sektor pertanian atau industri tersebut, sehingga dapat dijelaskan bahwa harga internasional komoditas primer tidak mempengaruhi struktur ketenagakerjaan di Indonesia, ataupun pola konvensional transformasinya. Namun demikian, dari sisi permintaan tenaga kerja, data Indonesia dalam studi ini menunjukkan hubungan yang positif antara pola produksi sektoral dan penyerapan tenaga kerja sektoral. Selain itu, studi ini juga menemukan bahwa struktur tenaga kerja lebih memiliki variasi pergerakan (fluktuasi) yang lebih tinggi dibanding struktur produksi. Dalam analisis shift proporsi tenaga kerja sektoral, studi ini menemukan bahwa sektor jasa adalah sektor yang mengalami kenaikan jumlah tenaga kerja terbanyak pada periode 2002-2008, yaitu 4,96%. Sementara itu, sektor pertanian mengalami penurunan sebesar 6,09% pada periode yang sama. Hal ini mengindikasikan bahwa mobilitas tenaga kerja dari sektor pertanian ke industri, dan industri ke jasa terjadi pada periode ini. Dengan kata lain, pola konvensional
Analisis Proses ..., David Christian, FE UI, 2013
transformasi struktur ketenagakerjaan di Indonesia pada periode 2002-2008 tidak dipengaruhi oleh harga internasional komoditas primer yang terus meningkat. Studi ini memiliki sejumlah keterbatasan. Keterbatasan pertama adalah belum digunakannya mekanisme transmisi harga internasional menjadi harga di tingkat domestik, yang lebih menggambarkan struktur insentif produksi para produsen barang primer di dalam negeri. Efek pass-through ini seharusnya unik di masing-masing provinsi, sehingga harga komoditas primer masing-masing provinsi seharusnya juga berbeda, sementara studi ini masih mengasumsikan harga internasional komoditas primer yang diterima di masing-masing provinsi adalah sama. Keterbatasan kedua adalah ketersediaan data untuk mendukung studi ini. Setidaknya terdapat dua variabel yang belum tersedia datanya untuk memberikan gambaran yang lebih menyeluruh pada hubungan harga internasional komoditas primer dengan struktur produksi dan ketenagakerjaan, yaitu data ekspor sektoral dan produktivitas sektoral. Data ini sulit didapatkan karena analisis dalam studi ini dilakukan pada tingkat provinsi. Padahal, pengaruh harga internasional komoditas primer akan lebih jelas terlihat jika dilakukan analisis pada jumlah ekspor atau penerimaan ekspor di masing-masing provinsi. Sementara ketidaktersediaan data produktivitas sektoral masing-masing provinsi, menyebabkan analisis struktur ketenagakerjaan menjadi sangat terbatas. Metode analisis dalam studi ini juga menjadi keterbatasan tersendiri. Sebagaimana telah disebutkan pada bagian sebelumnya, model regresi data panel kurang dapat menangkap gambaran utuh interaksi antar sektor dalam perekonomian. Sehingga, untuk menangkap dampak shock pada salah satu sektor, terhadap sektor-sektor lain (dan mencermati transformasi struktur produksi/ketenagakerjaan yang terjadi di dalamnya) studi berikutnya dapat mencoba model berbasis input-output, Social Accounting Matrix (SAM), atau Computable General Equilibrium (CGE). Saran bagi peneliti selanjutnya pada topik yang sama, perlu mengingat dan memperdalam analisis pada aspek ekspor sektoral dan produktivitas sektoral yang belum ditangkap oleh studi ini. Selain itu, memasukkan mekanisme pass-through ke dalam studi lebih lanjut akan lebih memperkaya analisis jalur transmisi harga internasional hingga ke pasar domestik. Sementara itu, untuk pemerintah sebagai pengambil kebijakan, studi ini menunjukkan bahwa kenaikan harga internasional komoditas primer tidak selalu membawa dampak langsung yang positif bagi aktivitas produksi di sektor primer maupun tenaga kerja di sektor primer. Oleh karena itu, pemerintah perlu tetap menjaga ketahanan sektor primer nasional bahkan di masa harga internasional komoditas primer yang terus meningkat (commodity boom). Beberapa kebijakan seperti mekanisme penentuan harga domestik dan kebijakan di pasar tenaga kerja dibutuhkan agar tidak terus terjadi penurunan pada sektor primer, terutama pertanian. Hal ini mengingat peranan sektor primer yang cukup penting dalam sebuah perekonomian sebagai sektor pendukung. Pemerintah perlu berhati-hati dalam menerapkan kebijakan penentuan harga komoditas primer secara domestik sebagai respon dari fluktuasi harga internasional, karena produk primer akan menjadi barang input bagi sektor industri – yang jika salah ditentukan akan menaikkan tingkat harga secara umum dan berpotensi menjadi inflasi dan memangkas daya beli konsumen khususnya yang berpendapatan rendah. Studi ini juga menunjukkan bahwa menyerahkan seluruh perekonomian pada mekanisme pasar (dalam hal ini adalah harga internasional komoditas primer tertentu) ternyata tidak cukup untuk membawa perubahan struktur baik produksi maupun ketenagakerjaan dalam perekonomian. Perlu usaha/peran aktif pemerintah untuk mengarahkan pola transformasi struktur produksi dan ketenagakerjaan yang serupa dengan model big push. Studi ini juga menunjukkan bahwa kenaikan harga internasional komoditas primer tidak dapat dijadikan penyebab mandeknya sektor industri di Indonesia selepas tahun 2002, sehingga pemerintah perlu melakukan dorongan yang besar untuk kembali memajukan sektor industri dalam negeri.
Analisis Proses ..., David Christian, FE UI, 2013
DAFTAR PUSTAKA Antle, J.M. (1983). Infrastructure and Aggregate Agricultural Productivity: International Evidence. Economic Development and Cultural Change, 31 (3), 609-619. Anwar, M.A. (1997). Transformasi Ketenagakerjaan menurut Jenis Pekerjaan di Indonesia, 1985-1995. In M.A. Arsjad, A. Ananta, & A. Kuncoro (Eds.), Widjoyo Nitisastro 70 Tahun. Pembangunan Nasional: Teori, Kebijakan, dan Pelaksanaannya (Vol. 1, pp. 951-973). Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Badan Pusat Statistik. (Berbagai Tahun Terbitan). Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia. Jakarta: BPS. Badan Pusat Statistik. (Berbagai Tahun Terbitan). Keadaan Pekerja di Indonesia. Jakarta: BPS. Badan Pusat Statistik. (Berbagai Tahun Terbitan). Pendapatan Dometstik Regional Bruto Propinsi-Propinsi di Indonesia Menurut Lapangan Usaha. Jakarta: BPS. Badan Pusat Statistik. (Berbagai Tahun Terbitan). Statistik Listrik PLN. Jakarta: BPS. Black, D.A., McKinnish, T.G., & Sanders, S.G. (2005). The Economic Impact of the Coal Boom and Bust. The Economic Journal, 115 (503), 449-476. Chenery, H.B. & Syrquin, M. (1975). Patterns of Development: 1950-1970. London: Oxford University Press. World Bank Research Publication. Chipman, J.S. (1969). Factor Price Equalization and the Stolper-Samuelson Theorem. International Economic Review, 10 (3), 399-406. Corden, W.M & Neary, J.P. (1982). Booming Sector and Deindustrialization in A Small Open Economy. The Economic Journal, 92 (368), 825-848. Gandolfo, G. (1998). International Trade Theory and Policy. Berlin: Springer. Gujarati, D.N. & Porter, D.C. (2009). Basic Econometrics Fifth Edition. Singapore: McGraw-Hill/Irwin. Heemskerk, M. (2001). Do International Commodity Prices Drive Natural Resource Booms? An Empirical Analysis of Small-Scale Gold Mining in Suriname. Ecological Economics 39, 295-308. Hogendorn, J.S. (1992). Economic Development, 2nd Edition. New York: HarperCollins Publishers Inc. Kremer, M. (1993). The O-Ring Theory of Economic Development. The Quarterly Journal of Economics, 108 (3), 551-575. Krugman, P. & Obstfeld, M. (2009). International Economics: Theory & Policy 8th Edition. Pearson AddisonWesley. Kuncoro, M. (2006). Ekonomika Pembangunan: Teori, Masalah dan Kebijakan.
Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
Kuralbayeva, K., Stefanski, R. (2013). Windfalls, Structural Transformation and Specialization. Journals of International Economics (2013), http://dx.doi.org/10.1016/j.jinteco.2013.02.003 Magruder, J.R. (2012). Can Minimum Wages Cause a Big Push? Evidence from Indonesia. Journal of Development Economics, 100 (2013), 48-62. Marchand, J. (2012). Local Labor Market Impacts of Energy Boom-Bust-Boom in Western Canada. Journal of Urban Economics 71, 165-174. Minara, I. (2008). Industrialisasi di Indonesia: Dalam Jebakan Mekanisme Pasar dan Desentralisasi. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Ekonomi. Jakarta. Permana, R.C (2009). Pengaruh Pembangunan Infrastruktur Jalan Terhadap Proses Transformasi Struktural. Tesis MPKP UI. Jakarta: FEUI. Qiang, Y. (2008). Commodity Booms and Their Impacts on the Western Australian Economy: The Iron Ore Case. Resources Policy 33, 83-101. Radetzki, M. (2006). The Anatomy of Three Commodity Booms. Resources Policy 31 (2006), 56-64. Setianto. (2010). Dampak Perubahan Harga Internasional Komoditas Ekspor Utama Terhadap Perekonomian Indonesia. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Stokke, H. (2008). Resource Boom, Productivity Growth and Real Exchange Rate Dynamics – A Dynamic General Equilibrium Analysis of South Africa. Economic Modelling 25, 148-160.
Analisis Proses ..., David Christian, FE UI, 2013
Stolper, W.F. & Samuelson, P.A. (1941). Protection and Real Wages. Review of Economic Studies 9 (1), 58-73. Sudihartono, Y & Muhyiddin. (2008). Structural Transformation from Agricultural to Manufacturing Sector in Indonesia. Journal of Development Planning. Edition: 03/Tahun XIV, 2008. Todaro, M.P. & Smith, S.C. (2006). Economic Development, 9th Edition. Pearson Addison-Wesley. World Bank. (2010). A Trade Development Report: Boom, Bust, and Up Again? Evolution, Drivers and Impact of Commodity Prices: Implications for Indonesia. The World Bank Office Jakarta.
Analisis Proses ..., David Christian, FE UI, 2013