67
ANALISIS PROFIL PROGRAM LIFE SKILLS DI PKBM AL-WATHONIYAH
Pada bab terdahulu telah disinggung mengenai pentingnya pendidikan dalam pengentasan kemiskinan. Suharto (2006) mengungkapkan bahwa, secara ekonomis, yang tampaknya menjadi sorotan bahwa seseorang atau sekelompok orang menjadi miskin adalah karena lack of resources (ketiadaan atau ketidakmampuan mengakses sumber daya) yang disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan keterampilan, serta kurangnya dukungan pemerintah dan kelompok kuat, yang mana hal ini telah memudarkan spirit mereka untuk berupaya meningkatkan kesejahteraan. Sehingga mereka hidup dengan sikap apatis dan putus asa yang pada gilirannya memicu munculnya berbagai permasalahan sosial. Dengan kata lain, sektor pendidikan dipandang sebagai modal penting untuk memutuskan rantai kemiskinan dan penanggulangan kemiskinan dalam jangka menengah dan panjang. Dalam dunia pendidikan dikenal adanya jalur pendidikan sekolah dalam bentuk pendidikan formal dan pendidikan luar sekolah yang meliputi pendidikan informal dan non formal, sebagaimana tersebut dalam bab terdahulu. Bentuk formal biasa kita kenal sebagai pendidikan yang berstruktur dan berprogram, sedangkan bentuk non formal biasanya singkat waktunya dan tujuannya untuk memperoleh bentuk-bentuk pengetahuan atau keterampilan tertentu yang langsung dapat dimanfaatkan oleh pemiliknya. Bentuk pendidikan informal tidak mengenal jangka waktu tertentu serta tidak berstruktur, dan terjadi seumur hidup karena melibatkan proses interaksi dan adaptasi dengan lingkungan sosial masyarakat. PKBM bergerak dalam bidang PLS atau pendidikan non formal, sehingga PKBM menjadi bagian yang berkontribusi positif dalam pemberian pengetahuan dan keterampilan bagi masyarakat yang belum tersentuh pendidikan formal secara maksimal. Hubungan antara kemiskinan dengan pendidikan di mana PKBM termasuk di dalamnya, dapat dilihat pada Gambar 8 sebagai berikut:
1
Gambar 8. Diagram Alir Hubungan Kemiskinan dengan Pendidikan
Lack of resources Penguasaan iptek rendah
Kurangnya dukungan
formal
Apatis,putus asa,semangat -
informal
Non formal
kemiskinan
Kebodohan/ keterbelakangan
IPM rendah
Pendidikan
pesantren
Sekolah formal
Keluarga, lingkungan Pendidikan luar sekolah
Kursus
TK SD SLTP SLTA Diploma Sarjana S2 S3 Partisipasi masyarakat
PKBM
Kesehatan rendah
Life skills PAUD
Kejar paket A,B,C
Pendidikan perempuan
Kelompok Belajar Usaha
Magang
Keaksaraan fungsional
Ket: diolah dari berbagai sumber 68
69
Asas pendidikan long life education menegaskan bahwa proses pendidikan tidak hanya terjadi dalam lingkungan sekolah, tetapi berlangsung sepanjang hidup seseorang. Bagi sebagian besar orang, proses pendidikan di luar sekolah yang meliputi pendidikan informal dan non formal justru menempati porsi terbesar selama hayatnya. Untuk melengkapi dan memberikan alternatif kebutuhan pendidikan bagi masyarakat inilah maka PKBM Al-Wathoniyah didirikan di tengah-tengah masyarakat Sukosono dan menjalankan fungsinya. Sejalan
dengan
visi
pendidikan
nasional
yang
mengutamakan
kemandirian, PKBM Al-Wathoniyah memberikan alternatif pendidikan life skills yang dimaksudkan kepada penguasaan keterampilan praktis agar peserta/warga belajar dapat memanfaatkan keterampilan tersebut sebagai bekal untuk hidup mandiri, di samping alternatif PLS lainnya. PKBM Al-Wathoniyah dalam proses penyelenggaraan
pendidikannya
sejalan
dengan
konsep
demokratisasi
pendidikan karena memberikan alternatif perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan bagi masyarakat sekitarnya, dengan memberdayakan dan mendayagunakan berbagai institusi kemasyarakatan, serta melakukan upaya kerjasama dengan dunia usaha dan industri terkait dengan program life skills. Demikian pula PKBM Al-Wathoniyah telah menjalankan konsep pendidikan berwawasan kemasyarakatan yang berlandaskan pada pendidikan berbasis masyarakat (community based education). Hal ini karena program yang ditawarkan bermuara pada pembelajaran partisipatif yang berdasarkan pada keinginan dan kebutuhan warga belajar, menyesuaikan dengan kondisi lingkungan yang ada demi kebermanfaatan dan kebermaknaan warga belajar. Berbasis masyarakat karena mengadopsi konsep dari, oleh, dan untuk masyarakat sendiri. Lebih lanjut, PKBM Al-Wathoniyah menjalankan tiga aspek pendidikan yaitu pembentukan kepribadian, pengembangan ilmu pengetahuan, dan penerapan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh manakala warga belajar telah menyelesaikan program. Dalam keterkaitan dengan penyelenggaraan PLS, PKBM Al-Wathoniyah melakukan tiga model pendekatan sesuai dengan Mujahidin (2005), yaitu model pelengkap (supplementary model), model sejajar (parallel model), dan model alternatif (alternative model). Sebagai model pelengkap, karena sebagian warga belajarnya adalah siswa/lulusan sekolah pendidikan formal sehingga jenis keterampilan diberikan misalnya sablon dan jahit-menjahit dapat melengkapi pendidikan formalnya. Sebagai model sejajar, beberapa program yang dijalankan
70
yaitu program Kelompok Belajar Paket B dan C merupakan program yang ditujukan bagi warga belajar yang tidak mengenyam pendidikan formal setingkat SLTP dan SLTA; program-program tersebut sejajar kedudukannya dengan sekolah formal untuk memenuhi kebutuhan pendidikan bagi warga belajarnya. Sedangkan sebagai model alternatif, PKBM Al-Wathoniyah menyediakan berbagai kursus dan pelatihan praktis bagi penguasaan keterampilan. Berbagai program yang dilaksanakan dimaksudkan sebagai salah satu intervensi komunitas bagi pemberdayaan dan partisipasi masyarakat sesuai dengan konsep community development.
Proses Pembentukan PKBM Al-Wathoniyah Berdasarkan ketentuan-ketentuan mengenai PKBM seperti disebutkan pada bab terdahulu, di Desa Sukosono Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara dibentuk PKBM Al-Wathoniyah pada tanggal 5 Oktober 1998, yang mendapatkan izin operasional pada tahun 2006 dengan Keputusan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jepara Nomor 421.7/0546 tanggal 5 September 2006 tentang Izin Operasional Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Kabupaten Jepara, dan disahkan oleh Notaris H. Abdullah Qomar Nasikh, S.H. dengan Akta Nomor 28 tanggal 27 September 2006. Tetapi walaupun izin operasional baru berlaku tahun 2006, menurut RT (35 tahun, Ketua PKBM AlWathoniyah) tidak ada masalah dengan kelulusan warga belajarnya, semuanya diakui karena mendapatkan ijasah langsung dari Dirjen PLS dan Pemuda Depdiknas. Pembentukan diprakarsai oleh Penilik PLS waktu itu, MIM (unsur pemerintah) dan MF (unsur masyarakat), serta mendapat persetujuan Petinggi Sukosono - sebutan Kepala Desa dalam masyarakat Sukosono - waktu itu, AG, pada tahun 1998. Sebagian masyarakat antara lain pihak pesantren sempat menolak kehadiran PKBM ini karena pada saat itu suasana masyarakat sedang “panas” sebagai imbas adanya gerakan reformasi dan pendirian banyak partai politik, sehingga PKBM sempat dianggap sebagai pembentukan partai baru yaitu PKB “Matori”. Pada saat itu, terjadi krisis dalam tubuh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang antara lain dipicu oleh konflik antara K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur, mantan presiden ke-4 RI) selaku pendiri partai dengan Matori Abdul Jalil (salah seorang kader partai PKB, mantan Menteri Pertahanan era
71
Presiden Megawati). Akibat konflik ini, simpatisan PKB masyarakat Sukosono yang lebih memihak kepada Gus Dur mencurigai pembentukan PKBM sebagai partai politik baru bentukan Matori. Setelah diadakan dialog dengan pihak yang menolak, pada akhirnya masyarakat Sukosono menerima kehadiran PKBM. Dalam perkembangan selanjutnya, RT dikirim untuk mengikuti pelatihan PKBM di Kabupaten Karanganyar Propinsi Jawa Tengah selama 1 (satu) minggu. Pelatihan diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah dan dihadiri langsung oleh Direktur Jenderal Pendidikan Masyarakat Depdiknas saat itu, Umberto Sihombing. Kesempatan pelatihan tersebut dimanfaatkan lebih jauh untuk mengenal seluk-beluk PKBM. Pembentukan
PKBM
Al-Wathoniyah
berawal
dari
masyarakat,
diselenggarakan oleh masyarakat, dan diperuntukkan bagi masyarakat sendiri. Berawal dari informasi Penilik PLS bahwa terdapat program PKBM dari pemerintah pusat, kemudian direspon oleh masyarakat yang peduli dengan pendidikan dengan mengadakan rapat, dan dibentuklah PKBM Al-Wathoniyah. Penyelenggaraan PKBM Al-Wathoniyah didirikan dengan motivasi melayani masyarakat yang membutuhkan pendidikan, membelajarkan masyarakat secara umum dengan prinsip long life education dan pendidikan untuk semua, yaitu bahwa semua orang yang membutuhkan pendidikan harus dilayani dengan tidak pandang bulu, tidak memandang usia, tingkat ekonomi, status sosial, dan sebagainya. PKBM Al-Wathoniyah yang bersifat independen, sosial, dan tidak di bawah organisasi politik ini, pembentukannya dilatarbelakangi dengan semangat menyelenggarakan pendidikan masyarakat sebagaimana dirumuskan dalam visi, misi, maksud dan tujuan yang tertuang dalam Akta Notaris Pendirian PKBM AlWathoniyah sebagai berikut: 2. Visi: terwujudnya masyarakat yang cerdas, terampil, mandiri, gemar belajar, berdaya saing, dan bertakwa; 3. Misi a. melaksanakan upaya pemberdayaan melalui tindakan terpadu yang berdimensi pembelajaran masyarakat; b. mengembangkan jaringan strategis dalam penguatan unit usaha dan menggali sumber-sumber yang ada; c. memperkuat kemandirian organisasi PKBM dalam pembelajaran, usaha ekonomi, dan pengembangan SDM.
72
4. Maksud dan tujuan a.
melaksanakan program pendidikan non formal (PNF);
b.
memberdayakan masyarakat melalui program pembelajaran latihan keterampilan dan membentuk unit-unit usaha dengan menggali segenap potensi yang ada;
c.
melaksanakan pelatihan tutor, pelatihan nara sumber teknik, dan pelatihan-pelatihan lainnya;
d.
membantu program pemerintah dalam bidang pembangunan manusia seutuhnya yang beriman dan bertakwa;
e.
meningkatkan taraf hidup serta memperbaiki lingkungan hidup sehat. Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut di atas, pendirian PKBM Al-
Wathoniyah dapat berkoordinasi dengan Forum Komunikasi Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (FK PKBM) Pusat Jakarta serta menyelenggarakan berbagai program pembelajaran atau pelatihan sesuai kebutuhan sebagai berikut: a. melaksanakan program-program pendidikan anak usia dini, Kelompok Belajar Keaksaraan Fungsional, Paket A, Paket B, Paket C, dan Kelompok Belajar Usaha, serta kegiatan pembelajaran masyarakat lainnya; b. mendirikan perpustakaan dan atau taman belajar masyarakat; c. menerbitkan buku-buku, majalah-majalah, brosur-brosur serta surat kabar dan media komunikasi lainnya sesuai dengan kemajuan teknologi; d. mendirikan kursus-kursus, sekolah keterampilan, dan lainnya; e. program kelompok belajar olahraga dan seni budaya; f.
mendirikan unit-unit usaha kewirausahaan koperasi;
g. program pemberdayaan ekonomi desa; h. mengadakan ceramah, dialog, seminar umum yang diisi oleh para nara sumber yang diperlukan baik dari dalam maupun luar negeri; i.
menjalankan program-program lain erat hubungannya dengan Pusat Kegaiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Program pembelajaran atau pelatihan tersebut di atas, meskipun belum
sepenuhnya dapat dilaksanakan mengingat berbagai keterbatasan, tetapi dari segi normatif, perencanaan PKBM telah dirumuskan dengan baik, untuk mengantisipasi segala kegiatan PLS yang tidak tertangani dalam pendidikan formal. Dilihat dari sisi ini, terdapat “semangat” dalam menyelenggarakan kegiatannya, selanjutnya tergantung kepada bagaimana PKBM tetap konsisten
73
dan konsekuen, bukan hanya berhenti pada perumusan secara normatif semata. Pengorganisasian dan struktur PKBM Al-Wathoniyah yang berlaku selama lima tahun adalah sebagai berikut: 1. Pengorganisasian a. sasaran, adalah seluruh masyarakat yang ingin meningkatkan diri sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki; b. pengelola atau penanggung jawab PKBM adalah warga masyarakat sendiri yang memiliki kecakapan dan kemampuan serta setia mengabdi pada tugas-tugas kemasyarakatan. 2. Struktur Pengurus a. Pembina
: Drs. H. Masjhadi Fasja, M.Si. (pendiri)
b. Pelindung
: Petinggi (Kepala Desa) Sukosono
c.
Penanggung Jawab/Pengelola: 1) Ketua
: Rochmat Tamrin, SE
2) Sekretaris : Achmad Jamaluddin 3) Bendahara : Jazuli, S.Pd.I d. Koordinator-koordinator: - Penyelenggara Paket A, B, dan C : Rochmat Tamrin, SE - Penyelenggara PAUD
: Suyanti
- Penyelenggara TBM
: Abdul Ghofur
- Penyelenggara Kursus
: Siti Istiqomah, S.Pd
Struktur Pengurus PKBM Al-Wathoniyah ini mengalami pergantian beberapa kali, sampai pada kepengurusan yang sekarang. RT menjelaskan sebagai berikut: Pada awal pembentukan, kita sempat memasukkan unsur Pemerintah Kabupaten sampai dengan PLS Kecamatan Kedung sebagai Pembina dan Pengawas, tetapi akhirnya kita tiadakan dan pada saat kita bikin akta notarisnya, unsur pemerintah tidak kita sebutkan selain kepala desa. Hal ini kami laksanakan agar jangan sampai ada anggapan bahwa PKBM ini hanya “milik” PLS saja, sehingga menutup diri dari instansi lain. Maksudnya, bila ada instansi lain yang akan bekerja sama dengan PKBM, kita dapat terbuka melaksanakan segala program yang dijalankan. Misalnya, bisa saja dari Depag melaksanakan pendidikan luar sekolah dan memberikan dana, maka kita akan terbuka untuk itu karena PKBM bukan “milik” PLS saja. Hal ini juga sejalan dengan prinsip kemandirian PKBM, di mana terbentuk dari, oleh, dan untuk masyarakat. Dalam kepengurusan PKBM sekarang, Petinggi kita tempatkan sebagai
74
Pelindung, sebatas karena setiap kegiatan di Desa secara normatif harus sepengetahuan pemerintah desa. Dari data-data sekunder yang diperoleh, beberapa prestasi dan program yang dihasilkan PKBM Al-Wathoniyah sampai dengan tahun 2008, adalah: Tabel 11. Penghargaan yang Pernah Diperoleh No
Bentuk Penghargaan
Diperoleh dari
Tahun
1
Juara 3 Lomba Paket A Tingkat Jawa Tengah
Gubernur Jawa Tengah
1999
2
Juara 1 Lomba PKBM se-eks Karesidenan Pati
PLS Karesidenan Pati
2000
Sumber: Mengenal PKBM Al-Wathoniyah, Juli 2008 Tabel 12. Program yang Telah Dihasilkan No
Tamatan Program
Jumlah WB
Tahun
1
Kejar KF/PBA
130 orang
2006 -2008
2
Kejar Paket A
20 orang
2001
3
Kejar Paket B
145 orang
2001 - 2008
4
Kejar KBU / life skills
95 orang
1999 - 2008
5
PAUD
42 orang
2004 - 2008
JUMLAH
432 orang
Sumber: Mengenal PKBM Al-Wathoniyah, Juli 2008 Beberapa prestasi yang pernah didapat menunjukkan kesungguhan dalam menyelenggarakan program. Hal ini juga berarti bahwa PKBM AlWathoniyah mempunyai potensi yang baik dalam pengembangan program PLS di masa yang akan datang. Sarana Belajar Pada awal pendirian PKBM tahun 1998, ditandaskan oleh Dirjen PLS dan Pemuda Depdiknas bahwa PKBM harus menempati gedung tersendiri, atau bekas gedung sekolah yang kosong dan tidak dimanfaatkan, serta minimal mempunyai tiga lokal. Hal ini dimaksudkan agar PKBM benar-benar didirikan untuk melaksanakan PLS, tanpa didominasi oleh kepentingan ekonomis. Tetapi pada kebijakan saat ini dibuka peluang menyelenggarakan PKBM kepada
75
banyak lembaga kursus, Taman Pendidikan Qur’an (TPQ), dan lembaga pendidikan masyarakat lainnya yang sebetulnya sudah menggunakan gedung yang dimilikinya untuk kegiatan lain. Hal ini sebenarnya membuka peluang bagi pengelola program dalam melaksanakan kegiatan semata-mata hanya untuk mencari anggaran; tujuan penyelenggaraan PLS akhirnya mengarah kepada faktor ekonomis. Gedung sekretariat PKBM Al-Wathoniyah saat ini menempati tanah milik keluarga RT, yang baru dibangun dan dioperasikan pada akhir tahun 2008. Pada saat PKBM didirikan, sebenarnya gedung sekretariat PKBM akan dipusatkan di Pesantren Mamba’ul Qur’an dan sudah mendapat persetujuan oleh kyai pondok pesantren tersebut, MK, bahwa PKBM Al-Wathoniyah akan menggunakan salah satu gedung pesantren selama 5 (lima) tahun. Tetapi, dengan segala pertimbangan akhirnya rencana tersebut tidak dilaksanakan dan gedung yang dipakai kemudian adalah gedung Raudhatul Athfal (setingkat Taman KanakKanak) Muslimat Nahdlatul Ulama milik yayasan Sultan Fattah. Hal ini karena, keberadaan kegiatan di pesantren dikhawatirkan mengganggu para santri yang tujuan pokoknya adalah mengaji dan menghapal Al-Qur’an. Apabila program hanya ditujukan kepada para santri, waktu penyelenggaraan kegiatan bisa disiasati agar tidak mengganggu kegiatan pengajian. Tetapi karena melibatkan warga sekitar sebagai peserta, di mana akan banyak warga yang keluar masuk lingkungan pesantren untuk mengikuti program, yang tentu saja akan mengganggu kegiatan mengaji. Urgensi kepemilikan gedung sekretariat ini, karena kemungkinan pengembangan PLS pada masa mendatang akan dipusatkan di PKBM. Artinya pemerintah berkepentingan terhadap pengembangan PKBM untuk menangani kegiatan-kegiatan PLS, demi kemajuan pembangunan di bidang pendidikan. Mempunyai
gedung
sendiri
memungkinkan
pengembangan
PKBM
Al-
Wathoniyah lebih baik di masa yang akan datang. Berkaitan dengan sarana dan prasarana, beberapa prasarana telah tersedia, yaitu: gedung sekretariat, meja, kursi, lemari, komputer (7 unit), televisi (1 unit), kamera digital (1 buah), dan alat-alat keterampilan (mesin jahit, mesin bordir, perlengkapan sablon, mesin bobok, peralatan pertukangan, alat press plastik, timbangan kripik), dan peralatan permainan program PAUD / play group. Hanya saja sarana kegiatan belajar mengajar yang belum memadai, terkait
76
dengan modul yang sering terlambat diterimakan dari dinas pendidikan sedikit banyak mengganggu jalannya pengajaran. Sarana belajar yang digunakan terlihat pada tabel berikut: Tabel 13. Sarana Belajar yang Digunakan
No
Jenis Program
Data Dinding / Administrasi Program 1:1 1:2 1:3 1:1 1:2 1:3 Lengkap Cukup Kurang Meja Kursi
Modul
1
PAUD
-
-
√
-
-
√
-
√
-
2
Keaksaraan Fungsional
-
-
-
-
-
-
-
-
-
3
Kejar KPB Kelas 1
-
-
√
√
-
-
-
√
-
4
Kejar KPB Kelas 3
-
-
√
√
-
-
-
√
-
5
Kejar Usaha/life skills
-
-
√
-
-
√
-
-
√
6
Kursus Bahasa Inggris
-
-
√
√
-
-
-
√
-
7
Kursus Komputer
√
-
-
√
-
-
-
√
-
8
TPQ
√
-
-
-
-
-
-
√
-
9
Majlis Taklim
-
-
-
-
-
-
-
-
√
10
Magang
-
-
-
-
-
-
-
-
-
11
TBM
-
-
-
-
-
-
-
√
-
Sumber: Laporan Perkembangan PKBM Al-Wathoniyah, September 2008 Keterangan : 1:1 = 1 sarana belajar dipakai 1 orang warga belajar 1:2 = 1 sarana belajar dipakai 2 orang warga belajar 1:3 = 1 sarana belajar dipakai 3 orang warga belajar Beberapa sarana dan prasarana kegiatan untuk keaksaraan fungsional, life skills, dan majlis taklim, dipenuhi dengan memanfaatkan sarana dan prasarana di tempat penyelenggaraan. Misalnya untuk kegiatan keaksaraan fungsional dan majlis taklim, karena berlokasi di kumpulan-kumpulan musholla dan masjid, maka sarana dan prasarana yang digunakan adalah inventaris musholla dan masjid. Kegiatan Kelompok Belajar Paket B, C, dan life skills yang diselenggarakan di pesantren Mamba’ul Qur’an juga memanfaatkan sarana dan prasarana yang dimiliki pesantren. Hal ini menunjukkan adanya kolaborasi yang baik antar stakeholder penyelenggara dalam memanfaatkan apa yang telah dimiliki. Terlihat adanya dukungan dari berbagai elemen masyarakat terkait penyelenggaraan PLS, yang berarti bahwa modal sosial masyarakat Desa Sukosono cukup membantu keberhasilan program.
77
Pesantren Mamba’ul Qur’an Pesantren Mamba’ul Qur’an merupakan pesantren yang didirikan atas prakarsa seorang kyai, MK, pada tahun 1980 dan termasuk pesantren tertua di wilayah Kecamatan Kedung. Pesantren yang ditujukan untuk mencerdaskan bangsa khususnya dalam bidang pengetahuan agama ini, baru mendapatkan akta notaris tahun 2007, karena sebelumnya belum pernah didaftarkan pada Kantor Departemen Agama Kabupaten Jepara. Meskipun demikian, menurut penuturan kyai MK, bukan berarti tidak mendapatkan persetujuan operasional dari Kantor Departemen Agama Kabupaten Jepara karena kegiatan pesantren ini telah diketahui, tetapi secara legal formal baru diajukan pada tahun 2006. Pesantren ini merupakan pesantren milik pribadi kyai MK dan bukan pada yayasan tertentu, sebagaimana dituturkan oleh kyai MK (57 tahun) sendiri sebagai berikut: Pesantren ini bisa dikatakan milik pribadi. Mulai dari tanah milik sampai dengan bangunan, memang diniatkan untuk menjadi pesantren. Awalnya dipakai untuk rumah kemudian berkembang membuat bangunan pesantren sampai dengan sekarang. Pada waktu pembangunan, memang ada bantuan dari sana-sini dari orang-orang yang memahami dan bersedia menafkahkan harta di jalan Allah. Pembangunan juga bertahap sampai dengan kondisi saat ini. Pesantren ini berdiri tahun 1980/1981. Jadi usianya sudah 28 tahun, termasuk pesantren tertua di sini. Dari awal saya berinisiatif sendiri mendirikan pesantren ini, berkembang mulai dari kecil sampai dengan sekarang. Sampai dengan tahun 2007 memang tidak saya daftarkan registrasinya ke Depag, tapi sebenarnya Depag sudah tahu kalau di sini ada pesantren. Baru pada tahun 2006, saat beberapa pesantren mengajukan anggaran ke Kabupaten, saya juga akhirnya mengajukan anggaran. Hanya saja karena belum ada akta notarisnya, artinya dari segi legal-formal belum resmi, usulan saya belum disetujui. Akhirnya tahun 2007 saya mengajukan akta notaris kepada Notaris Dahlan Kosim Jepara, atas nama pesantren. Dalam akta itu disebutkan maksud dan tujuan pesantren didirikan dan sebagainya. Pesantren Mamba’ul Qur’an, walaupun tidak “besar” karena secara fisik hanya terdiri dari beberapa bangunan dan tidak menempati tanah yang luas, tetapi penting keberadaannya bagi masyarakat Desa Sukosono dan sekitarnya dalam lingkup Kabupaten Jepara, terutama untuk penyebarluasan ilmu-ilmu agama Islam. Sesuai dengan Thaba (1996) sebagaimana diuraikan dalam bab terdahulu, dalam pesantren ini juga terdapat lima elemen dasar “tradisi pesantren” yang tidak terpisahkan yaitu pondok, pengajaran kitab-kitab kuning, santri, kyai, dan masjid. Untuk elemen yang terakhir, yaitu masjid, meskipun tidak
78
terletak dalam lingkungan pesantren, tetapi berada tidak terlalu jauh dari pesantren. Untuk kegiatan sholat berjamaah, disediakan sebuah ruangan khusus. Sejalan dengan Ziemek (Thaba 1996), dalam pesantren ini juga terdapat ciri-ciri pesantren, yaitu kyai MK sebagai pendiri, pelaksana, dan guru; santri yang terdiri dari santri mukim (tinggal dalam asrama) sebanyak 50 orang dan nglajo (pulangpergi dari rumahnya) sebanyak + 250 orang yang diajari secara pribadi berbagai kitab-kitab kuning, dan khusus bagi santri mukim, santri-santri tersebut tinggal bersama dalam pondok (asrama) beserta kyai dan pengajarnya serta membentuk suatu komunitas. Kehidupan komunitas pesantren ini tidak terlepas dari kharisma kyai MK. Dalam menjalankan kehidupannya, sesuai dengan Arifin (Mujahidin 2005), pesantren
Mamba’ul
Qur’an
terklasifikasi
dalam
jenis
pesantren
salafi
(tradisional), yaitu pesantren yang hanya memberikan materi agama kepada para santrinya. Tujuan pokok dari pesantren ini adalah mencetak kader-kader dai yang akan menyebarkan Islam di tengah masyarakatnya. Banyak lulusannya kemudian mendirikan TPQ-TPQ, menjadi dai, menjadi hafidz/hafidzoh, atau melanjutkan nyantri ke pesantren yang lain. Dengan berciri khas pengajaran kitab suci Al-Qur’an, santri Mamba’ul Qur’an dididik dengan ilmu-ilmu agama berdasarkan kitab-kitab kuning yang memang lebih disukai oleh kaum nahdliyin, serta tidak mengikutkan santrinya ke jalur pendidikan formal. Yang diajarkan dalam pesantren ini bercirikan pada pengajaran Al-Qur’an, selain mengajarkan qitobah, qiro’ah, kitab tauhid, kitab fiqih, kitab ushul fiqih, kitab tafsir, kitab hadits, kitab tasawuf, kitab nahwu shorof, dan kitab akhlak. Secara umum, pesantren Mamba’ul Qur’an membagi dua jurusan bagi para santri, yaitu jurusan hafidzoh atau bil ghaib yang mengkhususkan untuk hapalan Al-Qur’an, dan jurusan kitab atau bin nadzor yang mempelajari kitab-kitab kuning tersebut. Kyai MK menjelaskan sebagai berikut: Ciri khas pondok ini adalah pengkajian Al-Qur’an, mulai dari pembelajaran alif ba ta, sampai dengan menghapal al-Qur’an. Tetapi kajian kitab-kitab salaf juga diberikan. Memang untuk pesantren NU, kitab-kitab salaf (kitab-kitab kuning, misal kitab fiqih, ushul fiqih, dsbpen) lebih disukai. Pemberian kajian kitab-kitab ini saya bagi tahap demi tahap, mulai dari tingkatan awal sampai dengan tingkat pendalaman. Dalam perkembangannya, kyai MK kemudian memperkenankan PKBM Al-Wathoniyah menjalankan program PLS berupa Kelompok Belajar Paket B,
79
Paket C, serta program life skills, tetapi tetap memprioritaskan tujuan pesantren yaitu pengajaran ilmu-ilmu agama Islam. Penyelenggaraan PLS ini tidak terlepas dari kesadaran kyai MK bahwa pemberian pelajaran setara pendidikan formal dan kecakapan hidup dapat menunjang seorang santri manakala sudah boyong (lulus) dan kembali ke masyarakatnya. Pesantren Mamba’ul Qur’an sesuai klasifikasi Ziemek (Mujahidin 2005), termasuk ke dalam jenis pesantren klasik/tradisional. Pesantren memiliki asrama bagi para santri yang sekaligus digunakan sebagai tempat tinggal dan tempat belajar yang sederhana. Komplek kediaman para santri terdiri dari beberapa bangunan untuk kamar dan ruangan-ruangan belajar yang terpisah. Saat ini pesantren mempunyai lima bangunan terpisah yang terdiri dari enam lokal untuk pengajian termasuk yang dipakai untuk Paket B dan C, tujuh lokal untuk asrama, termasuk enam water closet (WC) dan kamar mandi. Meskipun dalam perkembangannya juga memberikan pengajaran pendidikan non formal dan keterampilan praktis, tetapi hal itu tetap bukan menjadi prioritas bagi pesantren tersebut. Dalam kehidupan masyarakat Sukosono, pesantren Mamba’ul Qur’an mempunyai pola hubungan yang saling menguntungkan dan saling melengkapi. Pesantren cukup berbaur dengan masyarakat terutama yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan dan kegiatan PLS yang diselenggarakan bersama dengan PKBM Al-Wathoniyah. Di luar kegiatan tersebut, pesantren ini membatasi diri agar tidak terjebak dalam pengkotak-kotakan masyarakat Sukosono terkait dengan kegiatan kepartaian. Secara umum, pola hubungan yang saling menguntungkan ini sebagaimana dituturkan oleh kyai MK sebagai berikut: Tanggapan masyarakat dengan berdirinya pesantren ini alhamdulillah, antusias masyarakat sangat luar biasa. Sebelumnya tentu saya komunikasikan dengan tokoh-tokoh masyarakat sini. Saya sendiri bukan asli Sukosono, asli Kerso. Tetapi dari awal memang saya niatkan untuk mendirikan pesantren di Sukosono. Pada awalnya, saya hanya mengundang 25 orang calon wali murid di ruangan ini (ruang wawancara - pen), tetapi yang datang ada sekitar 100 orang. Tiap ada acara harlah, para alumni kita undang, yang hapal Al-qur’an biasanya mempunyai acara sendiri tahtiman Qur’an. Santrinya mulai dari sekitar Sukosono sendiri, saya memang berjuang diam-diam. Makin lama makin dikenal, dalam sepuluh tahun sudah banyak santri yang datang dari luar desa, lingkupnya seJepara. Bahkan ada dari luar Jepara sendiri. Termasuk yang angkatan pertama, ada anak Desa Rau yang semula dipesantrenkan di Kudus, tetapi begitu tahu bahwa di sini didirikan pesantren, orang tuanya kemudian memasukkan di pesantren ini.
80
Pesantren rutin mengadakan pengajian untuk warga sekitar. Setiap hari Ahad habis dzuhur saya melaksanakan pengajian umum untuk ibu-ibu sekitar sini. Jumlahnya ada sekitar 150 orang. Saya sendiri yang berceramah. Untuk bapak-bapaknya setiap hari Jumat 15 hari sekali, peserta sekitar 25 orang. Babak-bapaknya juga rata-rata sudah sepuh, pengajian khusus fida’an. Pesertanya tetap. Dulunya banyak, tetapi beberapa sudah meninggal. Memang yang masih aktif mengaji rata-rata yang sudah sepuh. Kegiatan pengajian rutin yang diselenggarakan pesantren dapat ditelaah dari pernyataan SMr (31 tahun), seorang warga Sukosono dan pembuat roti bolu, sebagai berikut: Pondok sering rutin mengadakan majlis taklim tiap minggu bagi ibuibu sekitar pondok. Banyak juga warga yang ikut kegiatan di pesantren misalnya ikut Kejar Paket. Jadi peserta Kejar Paket bukan hanya para santri, tetapi warga masyarakat sendiri. Selain itu, ada juga warga yang nyantri di sana. Pak Kyai Muhammad sendiri juga mengajar di beberapa sekolah, yaitu di Diniyah, di Wustho juga. Jadi pondok kesannya berbaur dan baik di mata masyarakat. Demikian juga dengan Y (24 tahun), seorang santri Mamba’ul Qur’an, menceritakan tentang kegiatan pesantren dengan masyarakat sekitar berikut ini: Setiap minggu diadakan majlis taklim buat ibu-ibu warga Sukosono, yang ngisi biasanya Pak Kyai. Kalau Bu Nyai biasanya ngisi pengajian tiap Selasa 2 minggu sekali, pesertanya juga ibu-ibu warga Sukosono. Kalau hari Kamis 2 minggu sekali, anaknya Pak Kyai ngisi acara manakiban. Terus tiap hari Jumat 2 minggu sekali juga diadakan fida’an, kalau pagi khusus untuk ibu-ibu, kalau siang habis Jumatan khusus untuk bapak-bapak warga Sukosono. Jadi hubungan dengan masyarakat juga terjalin baik. Kalau ada acara peringatan hari besar agama dan diadakan kegiatan, warga juga hadir dan kadang memberikan bantuan. Pola hubungan yang saling menguntungkan tersebut dapat digambarkan berikut ini: a. Pesantren Mamba’ul Qur’an berkepentingan untuk menjalankan syiar Islam kepada masyarakat sekitarnya, serta mencetak para hafidz/hafidzoh (penghapal Al-Qur’an). Para santri adalah dari berbagai lapisan masyarakat Sukosono dan sekitarnya dalam lingkup Kabupaten Jepara, bahkan luar kabupaten
seperti
Salatiga
dan
Purwodadi,
terutama
bagi
yang
mempercayakan pendidikan anak-anaknya kepada pendidikan agama Islam; b. Masyarakat antusias memasukkan anak-anaknya (usia SD s.d. SMA) ke dalam pesantren, dengan harapan anaknya menjadi para alim dalam ilmu
81
agama Islam, dengan biaya yang relatif terjangkau, yaitu Rp 10.000,00/bulan dan tambahan Rp 75.000,00/bulan bagi santri mukim yang digunakan untuk biaya operasional dan biaya makan/minum sehari-hari santri. Penyelenggaraan program PLS khususnya Kelompok Belajar Paket B, C, dan life skills hasil kerja sama pesantren dengan PKBM Al-Wathoniyah memungkinkan masyarakat selain para santri dapat keluar-masuk lingkungan pesantren, menjadikan pesantren bukanlah suatu lembaga “eksklusif” yang menjauhkan diri dari kehidupan masyarakat; c. Pesantren sering mengadakan pengajian khusus bagi para warga Desa Sukosono dan sekitarnya, baik yang diselenggarakan rutin maupun insidental dengan mengundang kyai dari daerah lain menjadi penceramah. Berbagai kegiatan rutin seperti majlis taklim bagi ibu-ibu, manakiban, fida’an, dan tafsir Al-Qur’an, mendapatkan respon yang cukup positif di mata warga. Tidak jarang masyarakat memberikan bantuan sumbangan uang bagi kegiatan operasional pesantren, yang dimaksudkan untuk beramal. Profesi lain kyai MK sebagai guru Diniyah (setingkat SD), Wustho (setingkat SLTP), serta tutor Kejar Paket di Desa Sukosono, turut menggambarkan hubungan yang inklusif antara pesantren dengan masyarakat sekitarnya. Pesantren Mamba’ul Qur’an hanya berkonsentrasi pada pengajaran hapalan Al-Qur’an dan pengkajian kitab-kitab kuning, tidak berafiliasi pada partai politik tertentu seperti beberapa pesantren lainnya. Hal ini, seperti dituturkan oleh kyai MK, karena dibutuhkan orang yang “kuat” mental untuk dapat berkecimpung dalam politik praktis. Sementara kyai MK berpegangan bahwa menyikapi permasalahan partai politik adalah dengan diam, mendasarkan pada sabda Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa jika tidak mengetahui permasalahannya, lebih baik diam karena siapa yang diam maka dia akan selamat. Saya tidak sependapat dengan cara-cara seperti itu (cara-cara kelompok Islam yang memaksakan kehendak dan mengadakan pengrusakan - pen). Sebenarnya, hal itu disebabkan karena mereka belum mengetahui Islam yang sebenarnya. Kalau mereka mendalami Islam sebenar-benarnya, tentu mereka tidak akan melakukan hal semacam itu. Kalau menghadapi orang yang seperti itu, sebaiknya mereka diberitahukan secara baik-baik. Saya berpegangan pada sabda Rasul, bahwa jika tidak mengetahui permasalahannya, lebih baik diam. Karena siapa yang diam maka dia akan selamat.
82
Dulu pada waktu ada kasus di desa sebelah, Desa Dongos (pertikaian antara PKB dan P3 tahun 1999, satu orang meninggal pen), situasinya sangat “berbahaya”. Yang diam saja mendapatkan imbas, apalagi yang berbicara tapi tidak tahu yang dibicarakan. Di saat seperti itu saya lebih memilih diam karena berpegangan pada sabda Rasul tadi, bahwa yang diam akan selamat. Sampai ada yang mengatakan bahwa di Sukosono “tidak ada kyai” karena hanya diam saja. Semua harus disikapi bil hikmah, pasti ada hikmah. Pada akhirnya semua sudah dapat diredakan. Sekarang tidak terjadi lagi. Pesantren salafi seperti Mamba’ul Qur’an berpegangan pada sikap dan kharisma kyai pesantrennya. Setiap pendapat dan sikap kyai bisa diartikan sebagai perwujudan dari arah dan kebijakan pesantren. Dapat dikatakan bahwa pesantren ini hanya memilih untuk pengajaran kitab-kitab dan pengkajian AlQur’an semata, dan tidak berkecimpung dalam politik praktis, tidak melakukan upaya pemaksaan kehendak seperti halnya beberapa kelompok Islam, dan menekankan pada hubungan yang harmonis antara pesantren dengan masyarakat sekitarnya. Sehubungan dengan program PLS yang diselenggarakan PKBM AlWathoniyah, pesantren Mamba’ul Qur’an cukup mendapatkan manfaat yang positif. Para santri dapat mengenyam pendidikan Paket B dan C yang setara dengan jenjang pendidikan formal SMP dan SMA, selain mendapatkan jenis keterampilan sablon serta jahit-menjahit dan bordir melalui program life skills. Para santri mendapatkan ilmu-ilmu agama yang menjadi prioritas, ditunjang dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan keterampilan praktis. Di lain pihak, kesediaan
pesantren
memberikan
tempat
beserta
sarana
prasarana
pembelajaran Paket B dan C membuka peluang kepada warga masyarakat untuk keluar masuk lingkungan pesantren, menjadikan pesantren bukan termasuk kelembagaan yang eksklusif di tengah masyarakat. Pemilihan Program Program yang diselenggarakan oleh PKBM Al-Wathoniyah sebagaimana tertuang dalam akta pendirian, pada dasarnya telah dan sedang berlangsung sampai dengan saat ini. Beberapa program merupakan lanjutan dari program pemerintah pusat, di mana kurikulum dan petunjuk teknis diberikan oleh pemerintah, dan PKBM tinggal melaksanakan. Beberapa program ini antara lain PAUD, Kelompok Belajar Paket, Keaksaraan Fungsional, Pemberantasan Buta Aksara, dan Taman Belajar Masyarakat. Sementara beberapa program yang lain
83
diselenggarakan berdasarkan perencanaan yang dirumuskan PKBM sendiri, misalnya Kelompok Belajar Usaha dan life skills. Sampai dengan tahun 2007, data program PLS yang diselenggarakan PKBM Al-Wathoniyah dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 14. Program Pendidikan Luar Sekolah yang Diselenggarakan oleh PKBM Al-Wathoniyah Tahun 2007 No PROGRAM
DESA
PENYELENGGARA
1. PAUD 2. PROGRAM PBA
Sukosono Jondang
PKBM PKBM
3. 4. 5. 6. 7.
NAMA KELOMPOK
PAUD Al Mashitoh Al Barokah, Al-Ikhlas, Al-Karomah, An Nur, Ar-Rahman Sowan Lor PKBM Nahdlotus Syubbyan, Nur Aini Sukosono PKBM Al Firdaus, Al Jannah, Ar Rahman, Ar Rohim Sowan Kidul PKBM At Taqwa, Al Muttaqin Wanusobo PKBM As- Salam Bugel PKBM Mangun Sejati KF Sukosono PKBM Al-Wathoniyah PAKET B Sukosono PKBM dan ponpes Mamba’ul Qur’an PAKET C Sukosono PKBM dan ponpes Mamba’ul Qur’an TBM Sukosono PKBM Mamba’ul Qur’an LIFE SKILLS Sukosono PKBM Al-Wathoniyah Bulak Baru PKBM/Olah Terasi Al-Wathoniyah Surodadi PKBM/Kepiting Keramba Al-Wathoniyah
Sumber: Data PLS Kecamatan Kedung Tahun 2007, diolah Keterangan: - PAUD - PBA - KF - Paket B - Paket C - TBM - Life Skills
: : : : : : :
Pendidikan Anak Usia Dini Pemberantasan Buta Aksara Keaksaraan Fungsional Pendidikan Luar Sekolah setara SLTP Pendidikan Luar Sekolah setara SLTA Taman Belajar Masyarakat Kecakapan Hidup
Program life skills berbeda pengertiannya dengan program Kelompok Belajar Usaha (KBU) yang pernah dilaksanakan oleh PKBM. KBU merujuk pada wadah kegiatan, fokusnya adalah pengembangan usaha; sedangkan life skills menunjuk pada jenis keterampilan dan fokusnya pada pemberian pelatihan keterampilan. Tidak semua jenis keterampilan yang diberikan melalui life skills diterapkan untuk usaha, misalnya jenis pelatihan jahit-menjahit dan bordir yang diberikan kepada para santri Mamba’ul Qur’an yang rata-rata masih berusia SD
84
s.d. SMA, maka life skills ini lebih kepada pemberian bekal keterampilan setelah mereka lulus dari pondok. KS (46 tahun), Penilik PLS Kecamatan Kedung, menyebutkan perbedaannya: Tentu berbeda, Mas. Kalau life skills itu kan yang diajarkan adalah keterampilan yang diminati warga, ditujukan untuk memproduksi, menciptakan, atau mencetak produk. Tujuannya agar peserta menjadi terampil. Kalau KBU kan ujungnya melakukan usaha atau untuk jualan lah. Setelah lulus apakah mereka pergunakan atau tidak, itu terserah kepada mereka sendiri. Melihat
penuturan
tersebut,
sebenarnya
terjadi
“penyimpangan”
pengertian life skills dengan living skills education / income earning skills. Life skills merujuk pada semua jenis kecakapan hidup yang meliputi kecakapan personal, sosial, intelektual/akademis dan vokasional, sementara pengertian yang dimaksudkan penilik PLS tersebut lebih kepada kecakapan vokasional yang lebih tepat disebut living skills education. Pada awalnya, jenis keterampilan praktis yang diberikan melalui program life skills PKBM ini meliputi seni ukir, jahitmenjahit, pembuatan krupuk (rengginan), dan roti bolu. Sejalan dengan perkembangannya, beberapa jenis keterampilan ini ada yang tetap eksis, ada yang tidak berjalan dengan beberapa alasan, ada pula yang merupakan penambahan jenis keterampilan. Jenis keterampilan yang pernah dicoba diselenggarakan walaupun akhirnya harus putus di tengah jalan adalah keterampilan seni ukir dan bobok. Sedangkan yang merupakan penambahan dan berlanjut sampai dengan saat ini adalah sablon. Perubahan jenis keterampilan ini menyesuaikan dengan minat dan situasi kondisi warga belajar sendiri. Secara umum, penetapan jenis keterampilan ditempuh melalui identifikasi pengelola PKBM bekerja sama dengan Penilik PLS, menghasilkan beberapa ide jenis keterampilan. Ide tersebut dilontarkan pada musyawarah dengan calon peserta yang diselenggarakan oleh PKBM, untuk dilakukan pembahasan apakah calon peserta menyetujuinya, atau mempunyai ide lain. Melalui forum musyawarah inilah, kemudian jenis keterampilan life skills ini ditetapkan. Hal ini diceritakan oleh RT sebagai berikut: Proses pemilihan program sendiri, melibatkan peserta sendiri. Jadi, pengurus PKBM didampingi oleh PLS, setelah melihat dan menganalisis kemungkinan pengembangannya antara lain melihat apakah jenis keterampilan ini sudah ada embrionya walaupun kecil, artinya apakah sudah ada yang menguasainya. Kemudian dirumuskan ide jenis keterampilan yang akan diberikan melalui life skills. Setelah itu kita mengundang orang-orang di wilayah Sukosono
85
yang sekiranya dapat dijadikan koordinator masing-masing kegiatan. Orang-orang ini tentunya kita kenal dengan baik karena tetanggatetangga kita sendiri. Kemudian diadakan musyawarah. Pada saat itulah ide itu kita keluarkan, dan menawarkan apakah mereka mau menerima dan bergabung, atau mengemukakan ide lain. Yang menjadi pertimbangan penetapan jenis keterampilan ini adalah, berdasarkan permintaan warga atau persetujuan warga atas penawaran kami, dan permintaan pasar sehingga ke depannya dapat lebih menjanjikan. Sebenarnya pengelola dan masyarakat bisa saling melengkapi. Artinya, PKBM berkeinginan menjalankan program PLS tetapi masyarakat juga dapat terpenuhi kebutuhan pendidikannya. Kadang karena persyaratan dan prosedur yang berbelit-belit, masyarakat jadi malas untuk mengikutinya. Di sisi lain, kita juga njagani agar jangan sampai masyarakat itu jadi nyagerke kepada kita dalam hal penyelenggaraan program. Menjawab
pertanyaan
apakah
ada
“pemaksaan”
terhadap
jenis
keterampilan yang ditetapkan, RT menjelaskan: Tentu tidak dipaksakan oleh pengurus, Mas. Karena kita mengharapkan program ini dapat berkesinambungan, maka harus didukung oleh peserta program sendiri. Saat itu kita menawarkan keterampilan seni ukir, jahit-menjahit dan bordir, pembuatan krupuk (rengginan), dan roti bolu. Masing-masing jenis keterampilan ini, sesuai dengan ketentuan pendirian KBU yang ditetapkan PLS, membentuk kelompok-kelompok kecil sebanyak 5 (lima) orang, sehingga memenuhi jumlah minimal 20 orang. Mereka dijadikan koordinator sekaligus tutor karena mereka sudah menguasai jenis keterampilan tersebut dan bersedia melaksanakan program, dan diharapkan dapat mencari warga lainnya yang mempunyai bakat dan minat yang sama. Masing-masing kelompok ini diberikan dana stimulan sebesar Rp 500.000,00 yang mereka gunakan sebagai modal awal untuk membeli perlengkapan dan bahan-bahan produksi. Setelah itu mereka mengadakan pelatihan sekalian praktek selama 3 (tiga) hari dipandu oleh masing-masing koordinatornya. Setelah itu, mereka berjalan sendiri dan melaksanakan usaha. Keterlibatan PLS Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Kedung dalam penetapan jenis keterampilan life skills, sebagaimana dituturkan oleh KS sebagai berikut: Jadi alurnya seperti ini, Mas. Pemerintah dalam hal ini Pendidikan Luar Sekolah, menginformasikan dan mendorong kepada masyarakat untuk membentuk PKBM. Nah, PKBM ini kan harus mempunyai kegiatan. Pengurus didampingi PLS melihat situasi dan menggagas jenis keterampilan apa yang bisa dikembangkan di desa tersebut. Dari ide itu, kemudian ditawarkan kepada masyarakat, mereka mau menerima dan melaksanakan atau tidak. Apabila mau dan bersedia, baru kemudian diberikan materi pembelajaran. Kalau ada potensi yang bisa dikembangkan, maka PKBM kemudian membuat proposal pengajuan dana kepada Pemerintah Kabupaten
86
dan Propinsi untuk modal usaha. Soalnya kalau masyarakat sendiri kan tidak mempunyai jalur, memang harus melalui pengajuan PKBM ini. PLS Kecamatan menyetujui, dan selanjutnya apabila proposal diterima dan akan diberikan dana, diberikan langsung kepada pengelola. Dalam hal dana, Dinas Kecamatan tidak menerima tetapi dari Pemerintah Propinsi (jika itu APBD Propinsi - pen) langsung diberikan kepada Pengelola PKBM melalui rekening mereka. Kerja sama yang baik antara PKBM Al-Wathoniyah dengan seksi PLS Cabang Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Kedung tidak terlepas dari kedudukan PKBM sebagai “mitra” PLS, artinya banyak kegiatan pendidikan luar sekolah yang menjadi tanggung jawab seksi PLS yang dipercayakan penyelenggaraannya kepada PKBM, selain oleh beberapa lembaga kursus/ yayasan yang juga bergerak di bidang PLS. Sebagai “mitra”, antara PKBM dan seksi PLS dituntut adanya kolaborasi dan komunikasi timbal-balik demi keberhasilan program-program PLS. Seksi PLS berkepentingan melaksanakan tugas pokoknya dalam mendampingi penyelenggaraan PLS di wilayahnya, sedangkan PKBM berkepentingan menunjukkan eksistensinya dalam kehidupan bermasyarakat.
Perekrutan Tutor dan Warga Belajar Perekrutan tenaga tutor atau nara sumber teknik dilakukan oleh PKBM dengan memfungsikan tenaga lokal yang sudah ada dalam masyarakat sendiri, sebagian adalah para guru sekolah swasta atau guru honor sekolah negeri, dengan kualifikasi pendidikan SMA, diploma, dan sarjana pendidikan. Profesi sebagai
guru
sekolah
turut
membantu
profesionalisme
mereka
dalam
menularkan ilmu pengetahuan sesuai dengan kurikulum yang ditetapkan pemerintah. Hanya saja, terkait dengan tutor, yang masih menjadi kendala adalah tingkat kesejahteraan tutor yang relatif rendah ditandai dengan minimnya honor/uang transport yang diberikan, selain tidak adanya guru PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang khusus diberikan tugas untuk menjadi tutor sehingga dapat mencurahkan segala kemampuannya untuk memajukan program. Selama ini, guru PNS hanya sebagai guru pamong, yaitu menjalankan tugas sebagai tutor di sela-sela kesibukannya sebagai guru sekolah formal. Sedangkan para tutor yang belum PNS, hanya mendapatkan honor yang relatif kecil. Berbagai upaya telah dilakukan, antara lain dengan “subsidi silang” anggaran antar program yang menjadi bidang garapan PKBM. Upaya lainnya adalah dengan mengajukan usul
87
peningkatan status para tutor menjadi PNS, karena posisi PNS dianggap sebagai posisi yang penting bagi para tutor dalam peningkatan penghasilan dan status sosial dalam masyarakat. Profesi sebagai tutor merangkap sebagai guru di berbagai sekolah swasta dalam rangka mendapatkan penghasilan lebih, kiranya dapat melemahkan semangat dan konsentrasi para tutor tersebut dalam memajukan program. Upaya mendapatkan anggaran uang transport dari Pemerintah
Kabupaten
Jepara
juga
telah
dilaksanakan,
tetapi
belum
mendapatkan respon yang positif mengingat keterbatasan APBD. Sasaran program yang dilaksanakan PKBM adalah seluruh warga Desa Sukosono dan sekitarnya yang membutuhkan pelayanan PLS. Beberapa cara telah ditempuh dalam perekrutannya, antara lain melalui cara door to door, penyebaran pamflet, pemasangan spanduk, melalui kumpulan-kumpulan mushola, sampai dengan pendekatan kepada tokoh masyarakat / tokoh agama. Pendekatan kepada pengurus pesantren Mamba’ul Qur’an pun dilakukan, sehingga banyak santri yang menjadi warga belajar Kelompok Belajar Paket B, Paket C, maupun life skills. Ruang lingkup pengembangan tidak hanya difokuskan di Desa Sukosono, tetapi juga membuka kelas di sekitar Desa Sukosono. Sehubungan dengan perekrutan tenaga tutor atau nara sumber teknik dan warga belajar untuk program life skills, seperti diuraikan di atas, dilakukan setelah pengurus dan PLS Kecamatan Kedung merumuskan ide jenis keterampilan yang akan ditawarkan kepada masyarakat. Perumusan ide ini termasuk memperhatikan siapa yang menjadi tutor, memperhatikan permintaan pasar, dan kemungkinan pengembangan life skills bagi pesertanya. Orang-orang yang direkrut untuk menjadi tutor dianggap sudah menguasai keterampilan dan bersedia untuk mengembangkannya, selain karena unsur kedekatan dengan pengurus secara personal. Para tutor ini kemudian merekrut beberapa warga untuk ikut bergabung dan menjadi peserta.
Proses Pencairan Dana Dalam menjalankan semua jenis kegiatannya, PKBM mendapatkan dana dari berbagai macam sumber, sebagaimana termaktub dalam akta pendirian PKBM Al-Wathoniyah adalah sebagai berikut: Harta kekayaan PKBM terdiri atas dan didapat dari:
88
1. Menerima bantuan, infaq, shodaqoh yang halal dan tidak mengikat dari perorangan atau badan-badan; 2. Menerima sokongan-sokongan/sumbangan-sumbangan atau subsidi berupa uang tunai, maupun benda/barang dari masyarakat maupun lembagalembaga pemerintah dan/atau badan swasta dari dalam maupun luar negeri yang tidak mengikat; 3. Menerima hibah, hibah wakaf, dan hibah biasa; 4. Sumbangan-sumbangan tetap; 5. Usaha-usaha PKBM lain yang sah serta tidak mengikat PKBM serta tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku; 6. Menerima penghasilan dari usaha-usaha dan pendapatan-pendapatan lain yang sah sesuai dengan hukum yang berlaku; 7. Kekayaan PKBM yang berbentuk barang, barang apa pun juga tidak boleh dipergunakan untuk keperluan apa pun juga yang bertentangan dengan Anggaran Dasar serta maksud dan tujuan dari PKBM Menelaah dari sumber-sumber kekayaan PKBM di atas, terlihat bahwa sebagian besar mengandalkan pada sumbangan pihak lain. Hal ini menunjukkan kerentanan
PKBM
terhadap
kesinambungan
program,
manakala
tidak
memperoleh sumbangan dana maka program akan berhenti. Sementara mengandalkan dari usaha dan iuran peserta sendiri masih kesulitan, karena peserta sendiri pada umumnya berasal dari masyarakat ekonomi lemah, dan usaha yang dirintis belum banyak menghasilkan. Beberapa jenis usaha, misalnya pendirian toko ATK (alat tulis kantor) dan kerja sama dengan PT Coca Cola Tbk, masih dalam proses perintisan. Selama ini sumber dana PKBM yang didapatkan berasal dari APBN, APBD Kabupaten dan Propinsi, iuran peserta, dan sumbangan yang tidak mengikat. Misalnya kegiatan Kelompok Belajar Paket, yang didapat melalui dua jalur pembiayaan. Pertama melalui APBN, yang diberikan setiap tahun anggaran kepada satu penyelenggara dalam satu kecamatan yang ditentukan oleh Cabang Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Kedung. Kedua melalui swadana, diselenggarakan dengan anggaran sendiri yang diusahakan oleh penyelenggara, misalnya dengan iuran dari warga belajar, yang besarannya ditetapkan sesuai dengan kesepakatan bersama. Sebagai contoh, pada tahun 2008, PKBM Al-Wathoniyah mendapatkan anggaran program Kelompok Belajar Paket B yang
89
bersumber pada APBN sebesar Rp 3.767.000,00 untuk tiga bulan yang diperuntukkan bagi honor / transport tutor sebesar Rp 135.000,00/bulan/tutor, ATK penyelenggara, honor penyelenggara sebesar Rp 100.000,00/bulan/orang, serta ATK Kelompok Belajar. Sedangkan untuk kegiatan Kejar Paket C bersumber pada iuran warga belajar, yang ditetapkan sebesar Rp 10.000,00 s.d. Rp 20.000,00 per bulan menurut kesanggupan masing-masing warga belajar. Berkaitan dengan program life skills, dana diperoleh dari APBN. Dana yang sifatnya block grant tersebut telah diberikan sebesar Rp 25.000.000,00 pada tahun 2003 untuk menjalankan semua jenis kegiatan meliputi Kelompok Belajar Paket, Kelompok Belajar Usaha atau life skills, Taman Belajar Masyarakat, Keaksaraan Fungsional, dan Magang. Proses penetapan besaran masing-masing kegiatan tersebut ditentukan melalui musyawarah pengurus dan segenap anggotanya secara transparan. Pencairan dana sendiri, langsung diberikan oleh Depdiknas kepada PKBM melalui rekening PKBM, tidak melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah maupun Kabupaten Jepara. Hal ini untuk mencegah timbulnya “potongan-potongan” anggaran dari instansi pemerintah. Dari kesepakatan antara pengelola PKBM dan warga belajar, diperoleh angka Rp 500.000,00 per jenis kegiatan life skills sebagai modal awal dalam penyelenggaraan program. Penyelenggaraan Program Life Skills Program life skills yang diselenggarakan oleh PKBM Al-Wathoniyah meliputi seni ukir/meubel, bobok, jahit-menjahit dan bordir, pembuatan rengginan, pembuatan roti bolu, dan sablon yang diselenggarakan di wilayah Desa Sukosono. Beberapa program life skills juga dilaksanakan di luar desa, yaitu kepiting keramba di Desa Surodadi dan pengolahan terasi di Desa Bulak Baru, masih dalam lingkup Kecamatan Kedung. Terkait perkembangan life skills di luar Desa Sukosono, KS menceritakan: PKBM Al-Wathoniyah juga menyelenggarakan life skills di luar Sukosono, yaitu kepiting keramba di Desa Surodadi dan pembuatan terasi di Bulak Baru. Kalau yang kepiting keramba memang tidak bisa berkembang atau gagal. Hal ini lebih disebabkan oleh faktor alam yaitu kadar air laut yang kurang sesuai dengan kepiting yang dikembangkan, selain memang dibutuhkan ketekunan pengelolanya. Tetapi untuk terasi malah bisa berkembang. Pada awalnya, terasi dari Bulak Baru ini sudah dikerjakan oleh warga desa tersebut.
90
Hanya saja untuk pemasarannya malah dikirimkan ke Juwana Pati tanpa merk, kemudian oleh para pengusaha terasi di Juwana diberi merk Juwana. Ini kan jadi merugikan. PKBM kemudian mengelola terasi ini, dikemas di Bulak Baru sendiri dan dipasarkan sendiri. Ini bisa memberi nilai tambah dan ternyata diminati pasar. Buktinya pada waktu pameran PLS se-Jawa Tengah beberapa waktu lalu di Kabupaten Purworejo, terasi dan ikan asin dari Jepara yang paling laku diminati pengunjung. Kalau produk yang lain misalnya, asbak dan tempat Qur’an dari kayu malah tidak begitu diminati. Penuturan di atas menyiratkan bahwa jenis keterampilan yang selama ini ada dalam masyarakat dapat dikembangkankan dan tepat guna apabila dikelola dengan baik. Life skills yang diselenggarakan di Desa Sukosono dapat ditelaah dari proses pemilihan program, perekrutan tutor dan warga belajar, lokasi dan waktu penyelenggaraan kegiatan, keterlibatan stakeholder, dan pencairan dana pada masing-masing jenis keterampilan tersebut, sebagai berikut: 1. Seni ukir / meubel Pada kegiatan pemetaan sosial yang dilaksanakan pada bulan Pebruari 2008, terlihat bahwa sebagian besar penduduk Sukosono bergerak dalam sektor permeubelan. Jenis keterampilan meubel, baik ukir maupun polosan, merupakan jenis keterampilan yang secara turun-temurun dikuasai oleh
sebagian
besar
masyarakat
Sukosono,
dan
menjadi
sumber
penghasilan bagi mereka. Industri meubel di Jepara merupakan kerajinan warisan leluhur yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan telah menjadi produk unggulan. Berawal dari kerajinan tangan yang menjadi industri kerajinan, meubel Jepara terus berkembang. Sektor ini menyerap banyak tenaga kerja di Sukosono, baik sebagai buruh industri maupun pengusaha meubel skala kecil dan sedang. Hanya saja lebih banyak yang menjadi tukang kayu atau buruh industri meubel daripada yang menjadi pengusaha, artinya para tukang ini rentan terhadap pasang-surutnya meubel, tergantung kepada pengusaha meubel yang mempunyai modal dan akses pemasaran yang lebih baik. Sementara tukang hanya mengerjakan apa yang menjadi pesanan, selebihnya apabila tidak ada pesanan dan tidak berproduksi maka mereka pun akan menganggur, atau mencari pekerjaan menjadi tukang di tempat
lain.
Melihat
fenomena
ini,
pengurus
PKBM
berencana
mengembangkan kapasitas para tukang ini untuk bukan hanya bekerja sebagai pelaksana saja, tetapi diberi akses modal dan pemasaran sehingga
91
lebih meningkat statusnya menjadi pengusaha meubel melalui program life skills. Beberapa tukang diajak bergabung menjadi peserta program, diberikan stimulan modal yang dapat dipakai untuk membeli peralatan meubel dan menjalankan usaha secara kolektif. Tidak susah untuk merekrut tutor karena rata-rata sudah menguasai dan mahir dalam permeubelan, sehingga hanya diperlukan seseorang sebagai koordinator. Koordinator inilah yang merekrut lima orang (sesuai persyaratan) untuk bergabung, selanjutnya mereka menjalankan usaha meubel. Pada saat itu lokasi pelaksanaan program ditempatkan di brak (bengkel) meubel milik RT, dan langsung menjalankan usaha. Kondisi saat ini menyebabkan sektor permeubelan mengalami pasang-surut, terutama berkaitan dengan pengadaan bahan baku kayu, harga produksi, dan kompetitifnya harga barang jadi. Hal ini berimbas pada kesinambungan program, yang akhirnya berhenti dan tidak dilanjutkan. Menjadi seorang tukang lebih disukai daripada menjadi pengusaha karena tidak
dituntut
untuk
berfikir
dan
berusaha
”memutar
uang”
demi
meminimalkan pengeluaran dan memperoleh keuntungan. Menjadi tukang lebih realistis pada masa sekarang di mana sektor meubel cenderung menurun. Seorang pengusaha belum tentu dapat meraup keuntungan, sementara seorang tukang pasti mendapatkan penghasilan sebagai bayaran atas
produktifitasnya.
RT
sebagai
pengusaha
meubel
menceritakan
kesinambungan program life skills meubel ini sebagai berikut: Kalau ukir (meubel), memang tidak berkembang bahkan orangorangnya kembali kepada profesi lamanya yaitu menjadi tukang di brak-brak meubel. Hal ini terkait dengan pasang-surutnya industri meubel juga. Harga bahan baku menjadi mahal, sedangkan harga bahan jadi cenderung tetap. Jadi hasil penjualan tidak seimbang dengan proses produksi. Sebagai ilustrasi, harga kayu dulu Rp 400.000,00/kubik. Kalau dijadikan kursi bisa jadi 2 stel yang harganya per buah Rp 420.000,00. Berarti ada keuntungan + 50% setelah dikurangi bahan-bahan pelengkap lainnya seperti lem, paku, tenaga, dsb. Kalau sekarang, harga kayu per kubik menjadi Rp 700.000,00/kubik. Sementara harga kursi tetap Rp 420.000,00 per buah. Kan bisa tekor. Dari kendala ini, mereka akhirnya tidak melanjutkan usaha ini. Alat-alat yang mereka beli dari modal awal dulu, sekarang masih ada tersimpan. Memang kalau untuk mengembangkan meubel, dibutuhkan dana yang banyak. Upaya untuk tetap menjalankan program seni ukir dan meubel tetap dilakukan dengan kembali mengajukan proposal anggaran kepada Dinas
92
Pendidikan Propinsi Jawa Tengah, tetapi karena keterbatasan kuota Pemerintah terkait proposal yang dapat diterima, akhirnya usaha ini belum membuahkan hasil. RT menuturkan usaha tersebut sebagai berikut: Sebenarnya ukir ini saya berniat untuk mengembangkannya bekerja sama dengan LSM FEDEP (Forum of Economic Development and Employment Promotion), suatu LSM yang berpusat di tetangga desa yaitu Desa Sukodono yang bergerak di bidang pengembangan keterampilan dengan program unggulan seni ukir yang dibiayai oleh Bank Dunia. Rencananya, PKBM akan merekrut warga masyarakat untuk menjadi peserta dan FEDEP yang memberikan pelatihan ukir dari pengolahan bahan baku sampai dengan finishing disertai dengan teorinya, dan mungkin diberikan cara-cara pemasaran yang baik. Tetapi sayangnya, proposal yang kami ajukan kepada PLS Propinsi tidak diterima sehingga ini pada akhirnya hanya sebatas rencana. Asumsi saya, mungkin anggaran pemerintah terbatas (Rp 25.000.000,00 per proposal yang diterima - pen) sementara yang mengajukan mungkin dinilai lebih membutuhkan dan berprospek bagus dibandingkan kami. Stakeholder yang terlibat dalam kegiatan life skills seni ukir/meubel adalah PLS Kecamatan Kedung dan pengurus PKBM sebagai penggagas ide, Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Tengah sebagai pemberi dana stimulan, para tukang yang direkrut sebagai peserta, dan RT sebagai pengusaha meubel yang berperan menyediakan tempat dan mencari order (pesanan) serta memasarkannya kepada gudang-gudang besar pemesan. Berkaitan dengan modal awal, seperti disinggung di atas, kelompok seni ukir/meubel ini medapatkan dana stimulan dari PKBM sebesar Rp 500.000,00 yang digunakan antara lain untuk membeli peralatan pertukangan dan bahan baku produksi meubel. 2. Bobok Jenis keterampilan bobok kayu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari industri meubel di Jepara. Beberapa barang jadi meubel memerlukan bobok selama proses produksinya, misalnya meja, kursi, almari; yang memerlukan pelubangan. Bobok diperlukan untuk melubangi kayu sesuai dengan pola yang diinginkan, berfungsi sebagai gergaji kecil untuk melubangi kayu, yang digerakkan dengan mesin. Seperti halnya jenis keterampilan seni ukir/meubel, bobok telah berkembang dan dikuasai oleh tukang yang berkecimpung di bidang perkayuan. Bobok merupakan suatu keterampilan yang secara alamiah
93
dimiliki oleh warga masyarakat dan dibutuhkan kreatifitas tinggi untuk dapat menguasainya. Tetapi karena masyarakat sudah terbiasa dengan perkayuan, maka jenis keterampilan ini dapat dijadikan program pembinaan oleh PKBM agar masyarakat dapat lebih berkembang. Perekrutan tenaga tutor dan warga belajar, seperti halnya seni ukir/ meubel, didahului dengan perumusan ide oleh pengelola PKBM termasuk siapa orang yang akan melaksanakan kegiatan bobok ini. Koordinator diserahkan kepada Jz (29 tahun, Bendahara PKBM Al-Wathoniyah) yang kemudian mencari lima orang yang akan diajak bergabung, menentukan waktu dan tempat penyelenggaraan, dan menjalankan usaha yang berkaitan dengan bobok. Mesin bobok dibeli dari modal awal yang diberikan sebesar Rp 500.000,00. Setelah mendapatkan lima orang, beberapa di antaranya belum menguasai bobok dengan baik sehingga kegiatan ini dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan keterampilan bobok. Kegiatan yang dilakukan adalah mencari order pengerjaan bobok pada brak-brak meubel yang memerlukan jasa bobok. Dalam perkembangannya, jenis usaha bobok juga tidak begitu berkembang. Hal ini karena pasar tidak merespon dengan baik, karena kebanyakan pengusaha meubel yang memerlukan pembobokan kayu, sudah memiliki mesin bobok sendiri karena harga mesin bobok relatif murah yaitu di bawah Rp 1.000.000,00. Sehingga jasa bobok yang ditawarkan oleh PKBM kurang mendapatkan respon balik dari pengusaha tersebut, karena sedikitnya order yang diterima. Permasalahan ini ditambah dengan lesunya industri meubel, menyebabkan warga belajar kembali kepada profesi sebelumnya yaitu menjadi tukang. Beberapa di antaranya memutuskan untuk pergi merantau ke Jakarta. Kegiatan yang dipusatkan di rumah HS (52 tahun) orang tua Jz ini hanya menyisakan mesin bobok yang tersimpan dan tidak terpakai. Tetapi sedikit banyak life skills bobok ini dapat meningkatkan keterampilan bagi beberapa pesertanya. Melihat permasalahan ini, yang perlu mendapatkan perhatian bagi koordinator adalah kerja sama dengan beberapa pengusaha meubel yang terdapat di Sukosono dan sekitarnya untuk memberi order pembobokan kayu kepada mereka secara rutin sehingga kegiatan tidak berhenti. Diperlukan perluasan jaringan untuk menawarkan jasa bobok, selain peningkatan mutu hasil bobokannya sehingga dapat diterima pasar. Hal ini yang belum dilakukan secara maksimal.
94
Dari deskripsi dua jenis kegiatan life skills di atas, terlihat kurang maksimalnya peran PKBM, selain tidak terlepas dari situasi dan kondisi pasangsurutnya industri meubel di Jepara. Kritikan terhadap PKBM atas beberapa jenis keterampilan yang tidak berkembang, antara lain disampaikan oleh Am (32 tahun), warga Desa Sukosono dan tutor kegiatan sablon sebagai berikut: Kelemahan PKBM itu menurut saya adalah kegiatannya bersifat temporer dan tidak terkoordinir. Absensi kegiatannya sering tidak ada, jadi dari segi administrasi masih kurang. Kalau dipaksakan membuat administrasi pasti kesulitan, datanya bisa jadi fiktif semua. Terus, biasanya kalau terbentuk kegiatan, setelah dilaksanakan kemudian masing-masing berjalan sendiri-sendiri. Contohnya kegiatan life skills ini. Setelah program dijalankan, bantuan modal diberikan, kemudian masing-masing kelompok menjalankan kegiatannya sendiri-sendiri. Faktor lain yang menyebabkan ketidakberhasilan program di atas adalah faktor psikologi warga Sukosono, yang kurang ulet dan kurang sabar dalam menjalankan usaha, mengharapkan keuntungan yang banyak seperti pada saat industri meubel mengalami keemasan pada kurun waktu 1998 s.d. 2004. Alasan ini dikemukakan oleh RT sebagai berikut: Secara umum, jenis keterampilan ini kan memerlukan ketekunan dan kesabaran. Padahal masyarakat Sukosono yang terbiasa dengan meubel, di mana biasanya menjanjikan hasil yang lebih besar dan instant artinya kerja hari ini langsung bisa mendapatkan hasil atau paling lama dibayar mingguan, sementara kalau mengerjakan usaha lain seperti yang diberikan, kadang tidak langsung mendapatkan hasil. Diperlukan kesabaran dan ketekunan, kadang hasilnya juga tidak sebesar meubel. Istilahnya di sini adalah “maliter” artinya gengsi tidak mau mengurusi usaha dengan keuntungan kecil, maunya langsung menerima hasil yang besar. Uraian di atas menunjukkan bahwa dalam penyelenggaraan program, terdapat beberapa kelemahan yang berasal dari kondisi eksternal misalnya kondisi permeubelan dan permintaan pasar, maupun internal misalnya motivasi penyelenggara dan warga belajar. Pemilihan jenis keterampilan, permintaan pasar, keuletan, serta kesabaran peserta menjadi kunci yang perlu diperhatikan. Meskipun terdapat beberapa kelemahan dalam penyelenggaraan life skills, tetapi beberapa jenis keterampilan dapat berkembang dan berlanjut sampai dengan sekarang. Manfaat life skills ini dibenarkan oleh Jz sebagai berikut: Sebenarnya program life skill membekali warga belajar dengan keterampilan praktis. Ada keterampilan jahit dan bordir untuk warga belajar putri. Untuk putra, dibekali dengan keterampilan sablon. Dulu ada pertukangan, tetapi sepertinya warga belajar sudah pada mahir
95
dalam bidang perkayuan ini sehingga ditiadakan. Kita sendiri mengharapkan keterampilan ini dipakai warga belajar menaikkan taraf hidup kalau sudah lulus, Mas. Contohnya, ada lulusan life skills yang kemudian membuka usaha sablon di desa ini. Kalau untuk jahit, saya belum pantau sampai ke sana. Soalnya santri-santri ini rumahnya relatif jauh. Jadi kalau sudah lulus nyantri akan kembali ke daerah asalnya. Misalnya ada yang berasal dari Karimun Jawa dan Kalimantan. Beberapa jenis keterampilan hasil life skills masih berjalan sampai saat ini, seperti dideskripsikan dalam uraian di bawah ini. Beberapa jenis keterampilan tersebut adalah jahit-menjahit dan bordir, pembuatan rengginan, pembuatan roti bolu, dan usaha sablon. 3. Jahit-menjahit dan bordir Seperti halnya penetapan jenis keterampilan life skills yang lain, penetapan jahit-menjahit dan bordir dilakukan setelah dirumuskan oleh pengurus PKBM didampingi PLS Kecamatan Kedung. NI (34 tahun) sebelumnya telah menguasai jenis keterampilan jahit-menjahit dari lembaga kursus “Jenggala Course” Jepara, sedangkan keterampilan bordir dia peroleh dengan belajar sendiri dari buku. Sebelumnya, NI adalah santri Mamba’ul Qur’an yang sudah boyong dan kembali ke rumahnya, tetapi sebagai alumni, hubungan baiknya tetap terjaga dengan pesantren. Sebelum menikah, sering diminta oleh nyai pesantren untuk mengajari berbagai jenis keterampilan menyulam, kristik, keterampilan merangkai bunga kepada santri putri, atau membuat taplak-taplak meja sebagai barang inventaris pesantren. Melihat bahwa NI menguasai jahit-menjahit dan bordir serta mempunyai hubungan baik dengan pesantren, maka pengurus PKBM (RT dan Jz) merekrut NI sebagai tutor dan meminta izin kepada kyai sesuai tradisi pesantren untuk menyelenggarakan life skills di pesantren. PKBM menawarkan program life skills dengan sasaran para santri. Tujuan penyelenggaraan life skills di pesantren bukan mengarah pada pembentukan Kelompok Belajar Usaha, tetapi dimaksudkan untuk pemberian life skills sebagai bekal bagi para santri manakala sudah boyong dan kembali ke masyarakat. PKBM memberikan bantuan dana sesuai kesepakatan musyawarah sebesar Rp 500.000,00 kepada nyai pesantren, yang kemudian digunakan untuk membeli mesin jahit biasa, mesin jahit portable, dan mesin juki (bordir). Untuk menyiasati waktu kegiatan mengaji bagi para santri, maka lokasi life
96
skills ditempatkan di lingkungan pesantren, dalam sebuah ruangan khusus di mana semua mesin ditempatkan. Waktu penyelenggaraan seminggu sekali kepada santri yang berjumlah + 20 orang. Meskipun tidak terpakai untuk kegiatan usaha, tetapi life skills ini dirasakan manfaatnya bagi santri, seperti dijelaskan kyai MK: Manfaatnya positif, diamalkan setiap hari. Manfaatnya, alat-alat jahit, bordir, obras bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan pondok, untuk seragam santri, atau kebutuhan pakaian mereka sendiri. Beberapa anak mahir jahit-menjahit dan bisa memenuhi kebutuhan sendiri dan teman-temannya dengan keahlian itu. Dulu ada latihan, sekarang rata-rata sudah bisa jadi tidak diajari lagi. Latihannya menyesuaikan dengan waktu luang dan jadwal pondok. Para santri dapat memanfaatkan keterampilan yang diperoleh untuk memenuhi kebutuhan seragam bagi santri sendiri. Prospek untuk usaha sebenarnya ada, tetapi kebijakan pesantren yang lebih menekankan kepada penguasaan ilmu agama melihat bahwa keterampilan yang diberikan hanya sebatas tambahan, sesuai dengan konsistensi pesantren sebagai pesantren salafi. Hal ini tidak menjadi permasalahan, karena tujuan life skills sendiri adalah memberikan bekal keterampilan kepada peserta, selanjutnya setelah lulus dapat dimanfaatkan untuk berusaha dan mendapatkan penghasilan. Saat ini life skills jahit-menjahit dan bordir masih dilaksanakan, tetapi tutornya diserahkan kepada para santri yang telah menguasai dengan baik. Hal ini karena NI memilih membuka usaha jahitan dan mengurus keluarga di rumahnya,
yang jaraknya + 500 m dari pesantren, sehingga tidak
mempunyai waktu luang untuk mengajar jahit-menjahit bagi santri. Tetapi, beberapa orang santri yang sudah diajarinya dan menguasai keterampilan tersebut, menggantikan posisinya sebagai tutor. Waktu pelaksanaan lebih fleksibel karena santri di waktu luangnya dapat setiap saat belajar dari santri lain yang sudah menguasai. Hal ini diceritakan oleh NI sebagai berikut: Dulu seminggu sekali saya mengajari menjahit di pondok kepada para santri perempuan. Kalau sekarang saya sudah jarang ke sana, karena pesenan jahitan saya banyak, sehingga jarang ada waktu luang ke sana. Dulu saya dibantu sama Santi dan Tutik, sekarang sudah pada “boyong” (lulus dari pondok - pen). Jadi kegiatan jahitmenjahit sekarang dipegang oleh Juwariyah. Kalau bordir, sepertinya sudah jarang digunakan karena tidak ada yang mengajari lagi. Bordir itu kan butuh ketekunan dan harus tiap hari latihan biar tangannya bisa luwes. Karena saya sekarang sibuk dengan pekerjaan rumah dan menjahit, tidak bisa sering ke sana lagi. Beda kalau mesin
97
bordirnya ditaruh di sini, saya bisa mengajari lagi kepada para santri. Tapi ya mereka yang harus bolak-balik ke sini. Kayaknya sih ini juga susah diambil waktunya, karena mereka kan tujuan utamanya mengaji, jadi kadang gak ada waktu untuk ke sini. Jadinya memang susah mencari waktu yang pas. Makanya mesin juki-nya jarang dipakai lagi kayaknya. Memang tidak mudah menguasai bordir, Mas. Dibutuhkan ketekunan dan kesabaran. Meskipun tidak dimanfaatkan untuk usaha, life skills jahit-menjahit dan bordir di pesantren terus dilanjutkan oleh para santri sebagai bekal tambahan di luar ilmu agama dan hapalan Al-Qur’an yang menjadi fokus pengajian. 4. Pembuatan rengginan Berawal
dari
tradisi
tahlilan
ruwahan,
yaitu
tahlilan
yang
diselenggarakan tiap bulan Sya’ban (Ruwah) sebelum bulan Ramadhan oleh warga Desa Sukosono, PKBM melihat peluang jenis makanan ringan rengginan untuk dijadikan usaha. Tahlilan ruwahan dilaksanakan dengan berkumpul, dan disuguhkan beberapa minuman dan makanan ringan sebagai jaminan (makanan ringan). Rengginan menjadi makanan yang sering disuguhkan dan disukai oleh warga. Karena sebelumnya harus dibeli di pasar karena belum ada warga Sukosono yang membuatnya, maka PKBM mengemukakan ide pembuatan rengginan tersebut dalam musyawarah. Ide yang ditawarkan disambut baik oleh Ms (38 tahun), kakak RT, yang bersedia menyelenggarakan life skills rengginan. Sebagai tutor adalah Mb T (75 tahun), nenek RT, yang menguasai jenis keterampilan ini karena pada saat itu belum ada yang bisa. Warga Sukosono berjumlah + 10 orang belajar membuat rengginan di rumah Mb T. Metodenya adalah berlatih sekaligus praktek karena pembuatan rengginan lebih cepat dikuasai apabila langsung dipraktekkan. Saat ini, kelompok Mb T sebanyak lima orang tetap menjalankan usaha, dan berkembang bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan acara tahlilan ruwahan, tetapi untuk memenuhi kegiatan hajatan nikah, sunat, dan permintaan pedagang-pedagang pasar untuk dijual kembali. Selain Desa Sukosono, lingkup pemasaran juga meliputi desa-desa sekitar yaitu Rau, Petekeyan, Bugel, Langon, dan Ngabul dalam wilayah Kecamatan Kedung. Keuntungan produksi ini rata-rata mencapai 25%, ditunjang oleh prospek pemasaran yang cukup baik. Ms menjelaskannya sebagai berikut: Kalau ramai, banyak permintaan misalnya banyak hajatan, bisa menghabiskan 2 kwintal beras ketan. Modalnya + 250 ribu rupiah.
98
Kalau penjualannya, tiap 1 kg beras ketan, sekarang harganya 8.000 rupiah, menghasilkan rengginan 20 buah. Satu buahnya dijual seharga 600 rupiah. Kalau pesanannya sedikit ya untungnya sedikit. Rata-rata keuntungannya, + 25% dari modal. Kita bikin, kadang untuk memenuhi pesanan, kadang untuk stok. Tapi pasti habis karena banyak yang berminat. Sebenarnya prospeknya bagus. Sejalan dengan Ms berkaitan dengan prospek pengembangan rengginan, KS menyatakan: Rengginan itu kan sepintas hanya barang yang sepele. Tapi kalau berhasil dikembangkan, malah bisa menjadi “ikon” Desa Sukosono karena rasanya yang khas dan renyah, dan banyaknya permintaan warga sekitarnya. Di sini, setiap warga melaksanakan hajatan, biasanya rengginan menjadi hidangan ringan yang laris. Demikian juga dengan kegiatan-kegiatan yang mengumpulkan warga seperti pertemuan-pertemuan, kumpulan RT maupun pengajian. Artinya, banyaknya permintaan akan rengginan ini dapat dimanfaatkan untuk kegiatan usaha. Dari hal yang sepele bisa menjadi aset yang bernilai apabila dikembangkan dengan ketekunan. Contohnya, di daerah Kaliputu Kudus, itu ada pengusaha makanan “marning” (makanan ringan berasal dari jagung yang digoreng - pen) yang karena ketekunannya bisa menjadi sukses bahkan dapat mengekspor “marning” tersebut ke luar negeri. Dalam
pengembangannya
terdapat
beberapa
kendala
yang
seharusnya mendapatkan perhatian dari PKBM. Pertama, rengginan Desa Sukosono belum mempunyai izin usaha dari Pemerintah, sehingga persyaratan legal formal usaha belum terpenuhi. Kedua, masih mengandalkan pembuatan bumbunya kepada Mb T, sementara generasi berikutnya mengaku belum seenak Mb T dalam meracik bumbu. Ketiga, proses produksi masih memakai peralatan tradisional, yaitu panci besar, kompor kayu bakar, dan untuk menjemur dengan tampah besar yang disebut tèdè. Selain itu, proses pengeringan rengginan masih mengandalkan sinar matahari, yang berarti produksi hanya bisa dilakukan selama musim kemarau. 5. Pembuatan roti bolu Nara sumber teknik pembuatan roti bolu adalah SMr (31 tahun) yang diajak
bergabung
oleh
PKBM.
SMr
adalah
lulusan
Sekolah
Panti
Keterampilan Jepara yang diselenggarakan oleh Dinas Sosial Kabupaten Jepara untuk jenis keterampilan jahit-menjahit. Selepas kursus, kemudian membuka usaha jahit dan mengembangkan hobi memasak. Jenis masakan yang ditekuni adalah kateringan, pembuatan krupuk bawang, kripik singkong,
99
dan goreng-gorengan; dan menjadi usaha rumah tangga yang menghasilkan. Jadi sebelum menjadi tutor, SMr telah mempunyai usaha rumah tangga pembuatan makanan ringan tersebut. Keaktifannya di PKBM membuat RT memintanya untuk menjadi nara sumber teknik pembuatan makanan ringan, dengan membentuk kelompok dan mengerjakan usaha secara kolektif. SMr membentuk dua kelompok sebanyak sepuluh orang masing-masing lima orang diberi nama kelompok Cempaka yang berlokasi di rumahnya, mengajari sekaligus mempraktekkan bersama, dan melakukan produksi. Bermodal keterampilan dan bantuan sebesar Rp 500.000,00 dari PKBM, Kelompok Cempaka memulai usaha dan mendapatkan omzet yang cukup besar. SMr menceritakannya sebagai berikut: Omzetnya lumayan, Mas. Untuk pembuatan krupuk bawang setiap bulan menghabiskan 100 kg tepung, itu bisa menghasilkan 120 kg krupuk. Waktu itu harganya 7.500 rupiah per kilo. Jadi bisa sampai 8 juta rupiah sebulan. Kalau dibagi rata, setelah dikurangi bahan-bahan, masing-masing anggota mendapatkan 500 ribu rupiah. Besarnya sih bervariasi, itungannya dihitung tiap orang dapat membuat gorengan, krupuk, dan sebagainya itu berapa kilo, kemudian yang menjualnya itu dapat berapa per bulan. Dari situ kemudian kita bagi keuntungan berdasarkan produktifitasnya. Pemasarannya ke toko-toko di sepanjang jalan di Sukosono. Tiap posyandu juga kami yang menyediakan makanannya. Selama 2 tahun kami mengerjakan itu, tapi akhirnya bubar dan masing-masing mempunyai usaha sendiri sampai sekarang. Saya kemudian membuat roti bolu dan kateringan snack seperti dulu lagi. Selepas kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) tahun 2005, usaha makanan ringan kelompok Cempaka mengalami kemunduran, dan berakhir pada pembubaran kelompok. Kenaikan harga barang yang menyebabkan penurunan kualitas produksi, dan penurunan daya beli masyarakat
menjadi
penyebab
omzet
penjualan
menurun
sampai
setengahnya. Modal yang terkumpul beserta peralatan memasak dibagi habis dengan para anggota, yang kemudian memutuskan untuk menjalankan usaha rumah tangga sendiri-sendiri dengan bekal keterampilan telah yang diperoleh. SMr sendiri mengembangkan usaha kateringan makanan ringan untuk hajatan dan kumpulan, serta pembuatan roti bolu dibantu oleh lima orang saudaranya. Keuletan dan kesabaran berusaha membuahkan hasil yang baik. Usaha
rumah
tangga
yang
ditekuninya
mencapai
omzet
Rp
1.000.000,00/bulan, dipasarkan sendiri ke lingkup Desa Sukosono. Roti bolu
100
dan kateringan makanan ringan dipasarkan kepada warga yang mempunyai hajat, sedangkan untuk produksi sehari-hari dipasarkan ke sekolah-sekolah se-Sukosono: SD, MI, MTs, dan TPQ. Tetapi, kondisi saat ini, dipicu oleh kenaikan harga BBM bulan Mei tahun 2008 menyebabkan penciutan pemasaran sebagai imbas dari kenaikan harga barang dan penurunan daya beli masyarakat. Berkaitan dengan manfaat yang diperoleh setelah bergabung dengan PKBM Al-Wathoniyah, SMr memberi kesaksian: PKBM banyak manfaatnya. Ibu-ibu yang biasanya jagong (ngerumpi - pen), bisa diberi pekerjaan yang menghasilkan. Daripada jagong kan lebih baik bekerja. Ibu-ibu bisa diberi keterampilan, bisa menggunakan keterampilan itu untuk mendapatkan penghasilan. Hanya saja, PKBM cuma memberikan modal satu kali. Setelah itu kita yang harus memutar modal itu sendiri. Harapan saya untuk PKBM, kalau berlanjut akan lebih bagus. Yang dikembangkan, gorengan sama roti bolu sama-sama jalan. Modal tidak diberikan hanya satu kali saja. Life skills pembuatan roti bolu bermula dari usaha rumah tangga yang dijalankan oleh SMr, kemudian berkembang dan dilaksanakan secara berkelompok. Kenaikan harga BBM menjadi pemicu pembubaran kelompok, sehingga para anggota kelompok kemudian menjalankan usaha rumah tangga sendiri-sendiri. Dengan demikian, life skills ini sedikit banyak memberi manfaat kepada pesertanya. 6. Sablon Sablon mendapatkan perhatian PKBM untuk dikembangkan karena melihat
prospek
yang
baik.
Am
(32
tahun)
mengembangkan usaha sablon sebelumnya
yang
belum
ditawari
untuk
menguasai jenis
keterampilan ini, tetapi karena beberapa temannya mempunyai usaha sablon, Am bersedia untuk belajar dan mempraktekkan usaha ini. Setelah menguasai, Am yang adalah lulusan Mamba’ul Qur’an menjadi tutor sablon dengan sasaran awal para santri. Kyai MK menyediakan waktu seminggu sekali bagi para santri untuk belajar sablon sebagai kegiatan tambahan. Hanya saja, seperti diakui Am, mengajarkan sablon kepada para santri mempunyai kendala waktu penyelenggaraan. Sebelumnya saya belum pernah nyablon, Mas. Tapi pada saat ada tawaran dari PKBM, tidak ada salahnya saya mencobanya. Saya
101
baca buku-buku tentang sablon, dan mempraktekkannya. Saya juga belajar dari teman saya yang mempunyai usaha sablon dan percetakan off set. Setelah bisa, saya mencoba mengajarkan dan sekaligus mempraktekkannya kepada anak-anak pondok pesantren Mamba’ul Qur’an. Tetapi ada dilema manajemen waktu. Anak-anak pondok ini tujuan utamanya kan ngaji dan menghapalkan Qur’an. Membutuhkan konsentrasi yang tinggi dan waktu setiap hari. Pokoknya setiap hari mereka mengaji, sedikit waktu luangnya. Padahal belajar sablon tidak bisa dalam waktu yang sebentar. Dulu dikasih waktu selama + 2 jam, tetapi untuk membuat satu buah sablon saja, untuk membuat klisenya, bisa lebih dari 2 jam. Kalau dihentikan dulu, gak bisa karena membuat klise itu kalau tidak langsung jadi maka screen-nya akan rusak, ketutup tinta. Akibatnya tidak bisa dipakai lagi. Memang susah menentukan waktu yang tepat. Sementara kalau disuruh belajar di rumah saya, juga tidak bisa karena anak-anak pondok itu tidak bisa setiap saat keluar dari pesantren, terutama yang mukim. Tidak maksimal memberi pengajaran kepada santri, walaupun pihak pesantren telah berinisiatif memenuhi kebutuhan alat-alat sablon, Am mencoba mengajarkan kepada para remaja Desa Sukosono, dan murid MTs Sultan Fattah sebanyak + 20 orang dengan mengambil lokasi di MTs Sultan Fattah. Faktor ketelatenan dan kesabaran proses pembuatan sablon menjadi kendala yang menyebabkan jenis keterampilan ini kurang bisa ditularkan kepada orang lain. Tingkat kesulitan dan ketelitian tinggi dalam pembuatan sablon, terutama untuk menjaga kestabilan tinta pada saat pembuatan klise, menjadi sebab para remaja yang diajari tidak sabar telaten untuk hal ini, akhirnya mereka kesulitan dan tidak bersedia lagi mencoba nyablon. Saat ini, Am masih menjalankan usaha sablon khususnya sablon kertas. Prospek yang baik sebagaimana disampaikan oleh Am berikut ini: Ketika menguasai cetak (sablon), prospek ke depannya bagus. Jika ditunjang alat-alat yang baik plus kemampuan program komputer corel/photoshop, bisa menerima pesanan. Hanya memang terbentur modal. Dulu diberi modal sebesar 500 ribu, itu dipakai untuk belanja screen per kotak plus bingkainya 54 ribu, kemudian rakel 2500/cm, kemudian hair dryer untuk pengeringan, screen spanduk 200 ribu. Saya dulu mencoba sablon kain, tapi kesulitan akhirnya saya mundur. Kalau lagi musim hajatan, yang membutuhkan cetak undangan kan banyak. Daripada memesan ke luar desa, kan bisa dilayani di sini sendiri tidak usah jauh-jauh. Jadi prospeknya itu bagus. Stakeholder yang terlibat dalam proses sablon, seperti diceritakan Am, adalah PKBM Al-Wathoniyah sebagai pemberi modal dan penanggung jawab kegiatan life skills, teman-teman Am yang telah lebih dahulu mempunyai
102
usaha sablon, penyedia bahan baku sablon dan kertas cetak yang diperoleh dari Kudus, dan masyarakat pengguna jasa sablon (cetak undangan). Dari berbagai jenis keterampilan life skills seperti diuraikan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Proses pemilihan jenis keterampilan berawal dari ide yang dicetuskan oleh pengurus PKBM Al-Wathoniyah dan PLS Kecamatan Kedung, dengan memperhatikan situasi dan kondisi masyarakat, permintaan pasar, dan kemungkinan pengembangannya termasuk penentuan personil yang akan ditawari menjadi koordinator atau tutor; 2. Rumusan ide tersebut dibawa ke dalam forum diskusi yang diselenggarakan oleh
PKBM
pesantren
Al-Wathoniyah
Mamba’ul
dengan
Qur’an,
serta
mengundang personil
tokoh
yang
masyarakat,
dianggap
bisa
mengembangkan jenis keterampilan life skills; 3. Dalam forum musyawarah tersebut, ditawarkan apakah ide tersebut dapat diterima dan dilaksanakan, atau terdapat usulan lain. PKBM membuka diri untuk mendapatkan masukan, termasuk berapa jumlah modal awal yang diberikan,
bagaimana
proses
penyelenggaraan
kegiatan/usaha,
dan
seterusnya; 4. Penyelenggaraan life skills diserahkan kepada para koordinator setelah mendapatkan dana stimulan yang disepakati sebesar Rp 500.000,00 per jenis keterampilan. Lokasi dan waktu penyelenggaraan menyesuaikan situasi dan kondisi tergantung kesepakatan anggota kelompok yang akan terbentuk, sebagai berikut: keterampilan seni ukir/meubel di brak meubel milik RT, keterampilan bobok di rumah HS, jahit-menjahit di lingkungan pesantren Mamba’ul Qur’an, rengginan di rumah Mb T, roti bolu di rumah SMr, dan sablon di rumah Am; yang semuanya tersebar di wilayah Desa Sukosono. Hal ini menguntungkan dari segi sosialisasi program kegiatan bagi seluruh warga, meskipun masih terdapat sebagian warga yang belum mengetahui keberadaan PKBM Al-Wathoniyah; 5. Beberapa kendala ditemukan, antara lain pengawasan, pemantauan, dan pendampingan yang kurang maksimal dari PKBM. Sehingga setelah modal awal diberikan, para koordinator menjalankan kegiatan tersebut sendiri. “Pembiaran” ini menurut pengurus PKBM karena mengingat keterbatasan personil dan dimaksudkan untuk mendorong kemandirian bagi warga belajar
103
untuk mengembangkan diri. Stakeholder pengembangan kegiatan belum maksimal, misalnya stakeholder pemasaran produk dan kerja sama dengan pihak pengusaha; 6. Pencairan dana life skills dilakukan setelah proposal disetujui Dinas Pendidikan Propinsi Jawa Tengah, dan diserahkan dalam bentuk block grant untuk membiayai semua jenis kegiatan PKBM. Hal ini menandakan bahwa keberlangsungan PKBM masih tergantung dari dana block grant yang diberikan Pemerintah, sementara sumber pendanaan yang lain belum tergali. Uraian tentang perkembangan life skills di atas dapat disajikan dalam bentuk tabel berikut ini: Tabel 15. Jenis Life Skills, Koordinator, Peserta, dan Tingkat Keswadayaan yang Diselenggarakan PKBM Al-Wathoniyah Peserta
Tingkat Keswadayaan Modal awal keg Omzet/ keuntungan skrg Pemrth Masy
Jenis Life Skills
Koordinator/ nara sumber teknik
1.
Seni ukir/meubel
MKh (masyarakat)
-
-
2
3
500.000 1.000.000
2.
Bobok
Jz (masyarakat)
-
-
5
-
500.000
3.
Jahitmenjahit dan bordir Pembuatan rengginan
NI, Jw (masy, santri)
-
20
-
-
500.000
Ms (masyarakat)
-
-
-
5.
Pembuatan roti bolu
SMr (masyarakat)
-
-
10
-
500.000
6.
Usaha sablon
Am (masyarakat/ alumni ponpes MQ)
20
5
20
-
500.000
No
4.
Santri Masy. L P L P
10 500.000
Keterangan
-
• Tidak berlanjut • Kendala: - bahan baku mahal - harga barang jadi tetap - industri meubel lesu - motivasi berkurang • alat tersimpan • Tidak berlanjut • Kendala: - pemasaran kurang baik krn kebanyakan pengusaha meubel sudah memiliki alat sendiri - kurang menjalin jaringan - industri meubel lesu - motivasi kurang - peserta ada yang memilih merantau ke Jakarta • alat tersimpan 300.000 • dimanfaatkan sebagai pembelajaran keterampilan santri putri • untuk kebutuhan intern santri 80.000 25% dari modal • Berlanjut, prospek bagus • Kendala: - belum punya izin usaha - mengandalkan pembuatan bumbu pada 1 orang - memakai peralatan tradisional - tergantung pd sinar matahari 500.000 1.000.000/orang • Berlanjut sebagai usaha perorangan • Prospek bagus • kendala modal 500.000 30% dari • Berlanjut, prospek bagus pembelian bahan • hanya dikembangkan 1 orang • pangsa pasar menengah ke bawah • Kendala: - kendala modal - ketekunan dan keuletan tinggi
104
Berdasarkan uraian di atas, teridentifikasi beberapa stakeholder yang berperan dalam input, proses, dan output untuk masing-masing jenis life skills tersebut, yang dapat disajikan dalam bentuk tabel berikut ini: Tabel 16. Identifikasi Stakeholder Life Skills di Sukosono
No.
Jenis Life Skills
1
Seni ukir/meubel
2
Bobok
3
Jahitmenjahit dan bordir
4
Pembuatan rengginan
5
Pembuatan roti bolu
6
Usaha sablon
Stakeholder Input
Depdiknas yang menetapkan juklak/juknis, Dinas P dan K Prop. Jateng memberi stimulan dana, Dinas P dan K Kab. Jepara memberi dana dan juknis, Cabang Dinas P dan K Kec. Kedung sebagai pendamping, PKBM sebagai penggagas ide dan penyelenggara program, lembaga kursus
Proses
Output
para tukang yang direkrut sebagai peserta dan pelaksana kegiatan, pengusaha meubel yang mencari order (pesanan), penyedia bahan baku meubel, penyedia sarana transportasi peserta dan pelaksana kegiatan, koordinator yang mencari order (pesanan), penyedia bahan baku meubel, penyedia sarana transportasi Peserta kegiatan (para santri), penyedia bahan baku jahit-menjahit, kyai pesantren Penyedia bahan baku (ketan, bumbu-bumbu), peserta Penyedia bahan baku (toko/ pedagang pasar Bugel dan Jepara), peserta Peserta, penyedia bahan baku (kertas, tinta, alat sablon; di Kudus dan Jepara), pemilik percetakan off set
Pengusaha meubel yang menampung hasil produksi di gudanggudang meubel, konsumen
Pengusaha meubel yang memerlukan jasa bobok
Santri, kyai/nyai pesantren
Konsumen (warga masyarakat, pedagang pasar) Konsumen (warungwarung, anak sekolah, warga masyarakat, posyandu, TPA) Masyarakat