105
ANALISIS EFEKTIFITAS PROGRAM LIFE SKILLS OLEH PKBM AL-WATHONIYAH
Menganalisis efektifitas PKBM Al-Wathoniyah berarti menganalisis sejauh mana tujuan pembentukan PKBM itu tercapai. Untuk menganalisis efektifitas program life skills yang dilaksanakan, terlebih dahulu diperlukan analisis terhadap kelembagaan PKBM Al-Wathoniyah itu sendiri, analisis proses pembentukan PKBM, pemenuhan syarat minimal pembentukan, analisis bidangbidang kegiatan yang dikelola, serta analisis indikator keberhasilan programprogram yang dicapai PKBM, termasuk di dalamnya program life skills. Selanjutnya, analisis efektifitas program life skills perlu dilakukan untuk mengetahui apakah jenis keterampilan yang dilaksanakan sudah sesuai dengan kehendak warga, apakah memberi manfaat bagi warga belajar, masyarakat, dan pemerintah misalnya dalam perluasan jaringan maupun peningkatan ekonomi. Analisis terhadap efektifitas PKBM tersebut di atas, adalah sebagaimana diuraikan di bawah ini. Analisis Kelembagaan PKBM Al-Wathoniyah PKBM dapat digolongkan dalam collective action sector karena dilakukan secara kolektif oleh elemen masyarakat, baik sebagai pengelola, tutor/nara sumber teknik, maupun warga belajar. Analisis kelembagaan PKBM AlWathoniyah sebagai collective action sector dengan melihat perubahan kelembagaan PKBM dalam dimensi historis dan prospek kelembagaan, pilarpilar yang diperlukan untuk menopang kelembagaan PKBM, serta melihat PKBM sebagai suatu sistem organisasi dan kontrol terhadap sumber daya, sebagai berikut: Perubahan Kelembagaan Menganalisis kelembagaan PKBM dari dimensi historis dan prospeknya, berkaitan dengan analisis terhadap penyelenggaraan PLS yang menjadi fokus kegiatannya. Kebijakan PKBM muncul setelah terjadi krisis ekonomi yang berkepanjangan, sehingga terjadi perubahan kebijakan dalam implementasi PLS dalam kehidupan masyarakat.
106
Merujuk pada teori Carney and Gedajlevic (2005, diacu oleh Nasdian 2008), bahwa perubahan bersama antara kelembagaan dan organisasi sebagai suatu “institutional and organizational co-evolution”, penyelenggaraan PLS di Desa Sukosono dapat dilihat berdasarkan perubahan atau evolusi antara pranata-pranata yang ada dengan organisasi penyelenggara yang terbentuk, seperti diuraikan di bawah ini. Istilah life long education atau pendidikan sepanjang hayat (PSH) telah dikenal lama dalam dunia pendidikan internasional, terlebih setelah PBB menetapkan PSH sebagai asas pendidikan. Konsep-konsep dalam PSH tersebut menyatakan terjadi perubahan paradigma terhadap dunia pendidikan, dari yang berorientasi sekolah (formal) menuju ke batasan pendidikan yang lebih luas, meliputi juga PLS. Beberapa hasil penelitian terhadap sekolah mengungkapkan bahwa peningkatan kuantitas dan kualitas sekolah tidak akan membantu memecahkan masalah kekurangan tenaga kerja, bahkan memperlebar jurang antara yang kaya dan miskin karena hanya yang kaya yang mendapat kesempatan sekolah. Kenyataannya, sepanjang kehidupan seseorang, dunia luar sekolah menempatkan porsi waktu yang lebih besar dibandingkan dunia sekolah. Sebagai ilustrasi dapat digambarkan: berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2006 (Badan Pusat Statistik 2006) berkaitan dengan Indeks Pembangunan Manusia, rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia adalah 7,3 tahun; rata-rata lama sekolah penduduk Propinsi Jawa Tengah mencapai 6,6 tahun, dan rata-rata lama sekolah penduduk Kabupaten Jepara adalah 6,9 tahun. Apabila asumsi angka harapan hidup penduduk Indonesia adalah 70 tahun, maka terlihat bahwa dunia sekolah hanya “menyita” waktu + sepersepuluh sepanjang hidup seorang penduduk Indonesia. Konsep PSH membawa perubahan pemikiran tentang pentingnya PLS. Yang menjadi tantangan adalah bagaimana mendayagunakan dan mengembangkan PLS agar berperan lebih besar dalam pembangunan. Joesoef (2004) menyebutkan bahwa PLS pada umumnya lebih banyak yang bersifat praktis, agar segera dapat menerapkan hasil pendidikannya dalam praktek kerja dan merupakan respons dari pada kebutuhan khusus yang mendesak. Sebenarnya, konsep PLS telah diterapkan pada Sistem Pendidikan Nasional sejak masa orde baru, melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989. Tetapi, penyelenggaraan PLS tampak
lebih bersifat sentralistik karena
berlandaskan pada konsep pembangunan (developmentalism), akibatnya ketika
107
mengalami krisis, masyarakat mengalami keterpurukan. Meskipun dunia pendidikan bukan satu-satunya yang harus bertanggung jawab terhadap krisis yang berkepanjangan, tetapi kenyataan ini mengindikasikan bahwa “proyek” PLS yang sentralistik tidak menciptakan masyarakat yang “tahan” terhadap terpaan krisis ekonomi. Pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003
yang penetapannya
dipicu setelah adanya
krisis
ekonomi yang
memunculkan gerakan reformasi, terjadi perubahan penyelenggaraan PLS melalui konsep broad based education, yaitu penyelenggaraan pendidikan berbasis keragaman dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat luas. Konsep ini memungkinkan pemerintah lebih mendorong masyarakat agar dapat turut andil dalam penyelenggaraan PLS, melalui regulasi yang lebih memihak. Masyarakat dapat berperan mendirikan lembaga-lembaga kursus, Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Terpadu Masyarakat (LPTM), dan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM). Depdiknas (2004) merumuskan batasan pengertian kelembagaan-kelembagaan pendidikan masyarakat tersebut sebagai berikut:
a) Lembaga kursus merupakan lembaga pendidikan non formal yang diselenggarakan oleh masyarakat (dulu dikenal dengan sebutan diklusemas kependekan dari pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat) yang berada di bawah pembinaan Dinas Pendidikan. Lembaga kursus berpengalaman menyelenggarakan pendidikan dan/atau latihan keterampilan dan profesi tertentu untuk masyarakat, didukung oleh fasilitas dan intruktur/tenaga pendidik yang kompeten.
b) LPTM adalah lembaga milik masyarakat yang menyelenggarakan kegiatan pendidikan atau pelatihan bagi masyarakat dalam rangka meningkatkan kemampuan (capacity building) masyarakat di bidang kecakapan hidup baik pangan maupun jasa. Sasaran LPTM adalah pemberdayaan masyarakat yang tergolong kurang beruntung.
c) PKBM merupakan salah satu satuan pendidikan non formal yang diprakarsai, dibentuk, dan dikelola sendiri oleh masyarakat, untuk pembelajaran dan pemberdayaan masyarakat sesuai dengan kebutuhan belajar masyarakat setempat.
Karenanya,
prinsip
PKBM
ialah
DOUM
dalam
rangka
mewujudkan pendidikan yang berbasis pada kebutuhan masyarakat.
108
Artinya bahwa prakarsa penyelenggaraan pembelajaran diharapkan dapat tumbuh dan berkembang atas prakarsa dan kebutuhan masyarakat sendiri, sehingga masyarakat setempat akan lebih mempunyai rasa memiliki yang selanjutnya kegiatan belajar tersebut dapat berkembang dan berkelanjutan. Dari pengertian tersebut, terlihat bahwa pemerintah mulai memberikan ruang yang luas bagi masyarakat dalam menyelenggarakan PLS, dengan didukung oleh regulasi yang lebih memihak dan stimulan anggaran. Meskipun dalam pelaksanaannya terkadang terdapat kendala misalnya terlambatnya petunjuk teknis diberikan, minimnya stimulan anggaran, serta pendampingan yang kurang maksimal, tetapi secara konsep, pemerintah telah berupaya mendorong masyarakat untuk berperan lebih besar dalam PLS. Selanjutnya yang perlu dilihat adalah bagaimana kebijakan ini diimplementasikan di lapangan. Berkepanjangannya
krisis
ekonomi
telah
mendorong
pemerintah
merumuskan reformasi pendidikan termasuk dalam penyelenggaraan PLS, dari yang bersifat sentralistik menuju pemberdayaan masyarakat. Kritikan terhadap penyelenggaraan PLS yang bersifat top-down seperti dipraktekkan pada masa orde baru, adalah bahwa dalam proses penyelenggaraannya, “program” identik dengan “proyek”. Dalam kebijakan yang baru, walaupun dalam proses penyelenggaraan tetap berpedoman pada “garis” kebijakan Sistem Pendidikan Nasional yang ditetapkan pemerintah, tetapi mengedepankan adanya partisipasi masyarakat. Hanya saja, dalam prakteknya, seperti ditemui oleh penulis di PKBM Al-Wathoniyah, prinsip partisipasi ini dalam program PLS (termasuk program life skills) tidak dibarengi dengan “konsistensi pendampingan” pemerintah dalam hal pendanaan, manajemen, dan kurikulum. Prinsip partisipasi ini tidak terlepas dari adanya pro-kontra pada awal pembentukan PKBM Al-Wathoniyah karena perbedaan persepsi di kalangan masyarakat Desa Sukosono, yaitu menganggap PKBM adalah partai politik. Pertama, dalam hal pendanaan, pada kenyataan yang ditemui penulis di lapangan, “partisipasi” masyarakat dalam hal ini tidak bisa lepas dari pendanaan pemerintah. Selain karena memang sudah teranggarkan dalam APBN/APBD, kondisi krisis yang berkepanjangan menyebabkan keterbatasan dana dari penyelenggara program (PKBM atau masyarakat), apalagi tidak adanya kontribusi berupa dana/iuran dari warga belajar yang notabene adalah warga miskin. Birokrasi pengucuran dana yang panjang, menjadikan penyelenggara
109
program tidak dapat melaksanakan tugasnya terutama pada awal tahun anggaran akibat keterbatasan dana, karena bergantung pada penetapan APBD/APBN yang sering terlambat. Kedua,
dalam
hal
manajemen,
keterbatasan
kemampuan
manajerial
pengelenggara program dan tutor, menuntut adanya pendampingan dari dinas terkait misalnya Dinas Pendidikan. Kenyataan di lapangan terlihat bahwa perekrutan tenaga tutor masih kurang optimal dari segi kualitas tutor itu sendiri. Tutor diambilkan dari masyarakat yang mengandalkan penguasaan keterampilan secara alami, yang diperoleh dari kursus bahkan otodidak, mengakibatkan program berjalan kurang maksimal. Ketiga, dalam hal kurikulum, sering terlambatnya panduan modul dan bahan ajar turut menyumbang keterlambatan penyelenggaraan pendidikan. Programprogram tertentu seperti life skills dan keaksaraan fungsional lebih banyak diserahkan kepada kreatifitas tutor dan pengelola program dalam perencanaan dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran, serta cara yang digunakan sebagai pedoman. Dalam kenyataannya, kurikulum ini menyulitkan tutor yang terbatas kemampuannya untuk mencari atau membuat “tema” ajar tersebut. Untuk itu, tenaga pendamping sangat diperlukan untuk memacu para tutor
dalam
menyelenggarakan
pendidikan.
Tetapi
keterbatasan
jumlah
pendamping dirasa kurang, yaitu TLD (Tenaga Lapangan Dikmas) sebanyak satu orang dan penilik PLS satu atau dua orang tiap kecamatan, apalagi untuk wilayah kecamatan yang luas dan terdapat banyak penyelenggaran program. TLD merupakan tenaga honor Dinas Pendidikan Propinsi, sedangkan penilik PLS merupakan pegawai Dinas Pendidikan setempat. Jika dalam pendidikan sekolah telah disusun kurikulum yang jelas dengan Tujuan Instruksional Umum (TIU) dan Tujuan Instruksional Khusus (TIK) untuk setiap mata pelajaran setiap harinya, di mana tenaga pengajarnya relatif lebih memadai, lain halnya dengan PLS. Kurikulum diserahkan kepada daya kreativitas tutor menyikapi kebutuhan warga belajar; di satu sisi dapat fleksibel menyesuaikan dengan keinginan dan kebutuhan warga belajar, tetapi di sisi lain dapat menyulitkan tutor dalam membuat bahan ajar, apalagi sering terlambatnya modul panduan yang diberikan oleh Depdiknas. Perubahan regulasi kelembagaan PLS sebagaimana diuraikan di atas dapat dilihat pada tabel berikut ini:
110
Tabel 17. Perubahan Kelembagaan Pendidikan Luar Sekolah
Sebelum krisis ekonomi 1998
Setelah krisis ekonomi
Evolusi bersama antara pranata sosial (UU Sisdiknas No. 2 Tahun 1989) dan paradigma PLS yang berorientasi sentralistik dan topdown berlandaskan pembangunan (developmentalism)
Evolusi bersama antara pranata sosial (UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003) dan paradigma PLS sebagai pengganti, penambah, pelengkap pendidikan sekolah yang berorientasi partisipasi dan otonomi daerah berlandaskan broad based education
Peran kelembagaan melaksanakan “proyek” pemerintah
sinergi antara program pemerintah dengan partisipasi masyarakat, antara lain membuahkan terbentuknya PKBM
Kurang efektif karena masyarakat tidak banyak terlibat sehingga tidak ada keberlanjutan
Efektif karena masyarakat terlibat aktif sehingga ada keberlanjutan
Perubahan kelembagaan
Efektivitas Kelembagaan
Berdasarkan teori perubahan kelembagaan atau “institutional and organizational co-evolution” tersebut, dapat dikonstruksikan hal-hal berikut: 1. Penyelenggaraan PLS di Desa Sukosono beradaptasi terhadap perubahan pranata sosial (Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan nilai-nilai dalam masyarakat) dari berbasis sentralistik dan top-down menjadi desentralistik yang berdasar partisipatoris. Perubahan ini melahirkan PKBM Al-Wathoniyah sebagai mitra pemerintah dalam menyelenggarakan PLS; 2. Respons terhadap perubahan pranata sosial tersebut menimbulkan bentuk kelembagaan PLS baru yang sesuai dengan kondisi masyarakat Sukosono; 3. Bentuk program yang baru tersebut merupakan sinergi dari pertukaran sistem norma dan nilai (asimilasi dan akulturasi) peraturan pemerintah dan nilai-nilai masyarakat Desa Sukosono. Pilar-Pilar Penopang Kelembagaan Perubahan
program
PLS
termasuk
program
life
skills
yang
diselenggarakan melalui PKBM tersebut di atas secara teoritis tidak hanya disebabkan oleh faktor regulasi, walaupun faktor ini yang dominan. Selain faktor tersebut faktor struktur sosial masyarakat dan faktor kultural merupakan faktor-
111
faktor yang dapat mempercepat atau memperlambat evolusi bersama pranata dan organisasi PKBM tersebut. Oleh karena itu, merujuk pendapat Scott (2008, diacu oleh Nasdian 2008), pada setiap tahap atau periode perubahan (evolusi bersama) tersebut perlu ditelaah apa dan bagaimana “pilar-pilar kelembagaan” yang mendukungnya. Tabel 18. Tiga Pilar Kelembagaan Regulatif Basis Pemenuhan
Kebijaksanaan
Basis Tatanan Aturan regulasi
Normatif
Cultural-Cognitive
Tanggung-jawab sosial
Pertukaran pemahaman
Ekspetasi
Skema pendukung
Mekanisme
Paksaan
Normatif
Meniru
Logika
Instrumental
Tepat-guna
Ortodoks
Indikator
Aturan, Hukum, Sanksi Sertifikat, Akreditasi
Pengaruh
Khawatir-mantap
Memalukan-Penghargaan Kepastian-Kebingungan
Basis Legitimasi
Sanksi-Legal
Tata pengaturan secara Secara kultural diduMoral kung dengan pemahaman pendukung setempat
Kepercayaan umum
Sumber: Nasdian (2007) Dari tiga pilar kelembagaan tersebut, kelembagaan PKBM berada pada pilar regulatif dan normatif yang mendasarkan pada aturan pemerintah dan kepentingan struktur sosial, dan bukan pada pilar cultural-cognitif yang berbasis pada nilai-nilai dalam masyarakat. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Basis Pemenuhan, PKBM menyelenggarakan PLS berdasarkan program pemerintah dan dilaksanakan sebagai bentuk tanggung jawab sosial terhadap masyarakat. Basis Tatanan, bahwa penyelenggaraan PLS diatur pelaksanaannya melalui Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional beserta aturan pelaksanaannya, yang dalam prakteknya disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat. Mekanisme yang dikembangkan bersifat normatif dan demi kepentingan struktur sosial, penyelenggaraan PLS berdasarkan kepentingan ekonomis, di mana PKBM sendiri mempunyai kepentingan struktur sosial. Logika dalam penyelenggaraan PLS adalah instrumental dengan menggunakan petunjuk-petunjuk pelaksanaan, yang dimaksudkan agar program berjalan dengan tepat-guna sesuai dengan kondisi masyarakat setempat.
112
Indikator keberhasilan program adalah apakah program dijalankan sesuai dengan aturan yang berlaku, akreditasi bagi penyelenggara program (PKBM), dan pemanfaatan ilmu dan keterampilan yang diperoleh. Pengaruh
dilaksanakannya
program,
mengindikasikan
pemerintah
telah
melaksanakan kewajibannya dalam bidang PLS. Basis Legitimasi PLS adalah legal karena diatur melalui undang-undang beserta petunjuk pelaksanaannya. Dari
penjelasan
di
atas,
pilar-pilar
kelembagaan
PKBM
dapat
digambarkan sebagai berikut: Gambar 9. Pilar Penopang Kelembagaan PKBM Al-Wathoniyah Pilar Penopang Kelembagaan PKBM
Regulative
Normative
CulturalCognitive
Kontinum
PKBM sebagai Organisasi dan Kontrol terhadap Sumber Daya Dari perspektif kelembagaan, PKBM dapat dianalisis sebagai sistem organisasi dan kontrol terhadap sumber daya menurut konsepsi Schmid (1972, diacu oleh Nasdian 2008), yaitu dengan melihat batas yurisdiksi; property rights; dan aturan representasi (rules of representation), sebagai berikut: 1. Batas Yurisdiksi; sampai sejauh mana peran kelembagaan dalam mengatur alokasi sumber daya. Kelembagaan PKBM bergerak pada sektor PLS, yaitu untuk memberikan layanan pendidikan bagi warga masyarakat yang tidak mungkin terlayani kebutuhan pendidikannya melalui jalur pendidikan formal/sekolah,
atau
untuk
memberikan
dukungan
dan
melengkapi
pendidikan formal di sekolah. Sasaran PLS diprioritaskan pada anak usia 0 – 6 tahun yang tidak terlayani dalam satuan pendidikan pra sekolah apa pun, penduduk buta huruf, siswa putus sekolah dalam dan antar jenjang, serta warga masyarakat lainnya yang ingin belajar kecakapan hidup untuk meningkatkan taraf hidupnya. 2. Property rights; “penguasaan” sumber daya oleh organisasi secara sosiologis tidak dapat dipisahkan dengan pengaturan oleh hukum formal-
113
positif, adat, dan tradisi serta kesepakatan-kesepakatan sosial yang mengatur hubungan antar-komunitas terhadap sumber daya. Dilihat dari segi ini, PKBM Al-Wathoniyah dimiliki oleh masyarakat, karena pembentukannya
atas
prakarsa
dan
partisipasi
aktif
dari
sebagian
masyarakat. Sehingga dalam pelaksanaan fungsinya harus menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan sosial politik Desa Sukosono, tidak sematamata menjalankan petunjuk pelaksanaan PLS yang ditetapkan pemerintah. Dalam kenyataannya, karena masih adanya ketergantungan yang tinggi terhadap pemerintah dalam hal dana, manajemen, dan kurikulum; maka penguasaan PKBM terhadap sumber daya masih lemah. 3. Rules of representation; kelembagaan berperan sebagai fasilitasi partisipasi multi-pihak dalam satuan wilayah dengan berlandaskan kaidah-kaidah representasi yang digunakan dalam proses pengambilan keputusan. Oleh karena itu, aturan representasi menentukan alokasi dan distribusi sumber daya yang dibatasi oleh pola hubungan vertikal. Kelembagaan PKBM Al-Wathoniyah menjadi fasilitator dalam mensinergikan kekuatan-kekuatan (multi-pihak) baik secara horizontal dan vertikal dalam batas wilayahnya. Secara vertikal mengacu pada aturan main yang ditetapkan pemerintah, khususnya Depdiknas dan Dinas P dan K Kabupaten Jepara. Secara horizontal, PKBM menjalin kemitraan dengan kelembagaan yang lain, misalnya Forum PKBM, Pemerintahan Desa Sukosono, pesantren, tokoh masyarakat dan tokoh agama, kumpulan musholla, kelembagaan pendidikan, dan kelembagaan agama demi tercapainya program PLS. Dalam hal ini PKBM Al-Wathoniyah belum maksimal dalam menjalin kemitraan secara horizontal. Dari uraian di atas, analisis kelembagaan sebagai suatu sistem dan kontrol terhadap sumber daya dalam lingkup fungsinya, PKBM Al-Wathoniyah lemah, tetapi dapat dikatakan sebagai rules of representation karena menjalin kemitraan dengan kelembagaan horizontal yaitu pesantren Mamba’ul Qur’an. Analisis Proses Pembentukan PKBM Al-Wathoniyah Upaya yang dilakukan oleh PKBM Al-Wathoniyah dalam memberikan pelayanan PLS kepada warga yang tidak terlayani kebutuhan formalnya sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dapat disebut
114
sebagai upaya pemberdayaan masyarakat. Beberapa program seperti life skills yang memberikan bekal keterampilan dan stimulan modal, secara nyata dapat menambah penghasilan bagi warga belajarnya sehingga bisa mendayagunakan dirinya dan tercipta kemandirian. Hal ini sesuai dengan Sumodiningrat (1999), yang secara sederhana mengemukakan bahwa pemberdayaan sebagai upaya memberi daya kepada mereka yang kurang atau tidak berdaya agar bisa mendayagunakan dirinya. Strategi pemberdayaan dilakukan secara kolektif dengan kelompok sebagai media intervensi untuk meningkatkan keterampilan yang dapat digunakan untuk mencari penghasilan. Beberapa program tidak berjalan sesuai dengan yang diinginkan, tetapi sebagai kegiatan yang dinamis hal tersebut selayaknya mendapatkan umpan balik demi perbaikan di masa mendatang. Sebagian warga belajar yang pada awalnya tidak mempunyai kegiatan positif dapat memberdayakan dirinya melakukan kegiatan yang menghasilkan. Jenis keterampilan yang dipilih adalah sesuai dengan penawaran dari PKBM yang disetujui bersama, bukan merupakan “paksaan” dari pengelola program tersebut. Hal ini mendorong rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki. Dalam perspektif pekerjaan sosial, apa yang dilakukan oleh PKBM merupakan ‘self determination’ yang pada intinya mendorong warga belajar untuk mengikuti program keterampilan yang sesuai dengan bakat dan minatnya, sehingga
warga
belajar
mempunyai
kesadaran
dan
kekuasaan
dalam
membentuk hari depannya. Kesesuaian PKBM dengan pengembangan masyarakat, ditelaah dari pengertian pengembangan masyarakat itu sendiri, yaitu sebagai suatu metode atau pendekatan pembangunan yang menekankan adanya partisipasi dan keterlibatan langsung penduduk dalam proses pembangunan, di mana semua usaha swadaya masyarakat diintegrasikan dengan usaha-usaha pemerintah setempat untuk menaikkan taraf hidup, dengan sebesar mungkin ketergantungan pada inisiatif penduduk sendiri, serta pelayanan teknis sehingga proses pembangunan berjalan efektif (Nasdian 2007). Sumardjo (2007) menyebutkan berbagai tafsiran makna partisipasi dalam pengembangan masyarakat, yaitu: 1. kontribusi sukarela dari seseorang dalam suatu hal/kegiatan; 2. adanya kesadaran (pemahaman), yang disertai disertai kemauan (sikap) dan kemampuan (tindakan) untuk menanggapi kegiatan;
115
3. suatu
proses
aktif
orang/kelompok
terkait,
mengambil
inisiatif
dan
menggunakan kebebasan untuk melakukan sesuatu hal; 4. keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam suatu perubahan yang dikehendakinya (ditentukan/diputuskannya sendiri). PKBM Al-Wathoniyah terbentuk dari partisipasi masyarakat, dapat dilihat dari adanya kontribusi sukarela dari beberapa pemrakarsa yaitu MIM (unsur pemerintah) dan MF (unsur masyarakat), serta mendapat persetujuan Petinggi (Kepala Desa) Sukosono waktu itu, AG. Berawal dari kebijakan pemerintah mengenai pembentukan PKBM, beberapa orang secara sukarela disertai kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk membentuk PKBM. Prakarsa ini ditindaklanjuti dengan musyawarah yang melibatkan kelompok masyarakat yang pada awalnya mendapatkan respon pro dan kontra. Respon ini menandakan bahwa tidak ada unsur paksaan dalam proses pembentukan PKBM AlWathoniyah. PKBM dibentuk dari, oleh, dan untuk masyarakatnya. Dari konsep ini terkandung makna partisipasi masyarakat dalam pembangunan karena di dalamnya terdapat keterlibatan aktif warga masyarakat secara perseorangan, kelompok, atau dalam kesatuan masyarakat dalam pelaksanaan program pemerintah di dalam lingkungan masyarakatnya atas dasar rasa dan kesadaran tanggung jawab sosialnya. Secara perseorangan partisipasinya terwujud dalam mengikuti program menjadi warga belajar maupun tutor, secara kelompok terwujud dalam PKBM Al-Wathoniyah yang menjalankan program, sedangkan dalam kesatuan masyarakat dapat dilihat dari dukungan kapital sosial seperti kelembagaan pesantren, kumpulan-kumpulan musholla, yayasan pendidikan, dan Cabang Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Kedung. Berdasarkan tipologi partisipasi menurut Bass et al (Sumardjo 2007) dan melihat proses pembentukan PKBM Al-Wathoniyah, maka jenis partisipasi yang digunakan adalah partisipasi fungsional, yaitu masyarakat membentuk kelompok untuk mencapai tujuan proyek. Pembentukan kelompok pada jenis partisipasi ini (biasanya) setelah ada keputusan-keputusan utama yang disepakati. Pada tahap awal, masyarakat tergantung kepada pihak luar, tetapi secara bertahap menunjukkan kemandiriannya. Musyawarah dilakukan setelah ada keputusan pemerintah mengenai pendirian PKBM, yang telah ditetapkan syarat-syarat, bidang kegiatan, dan indikator keberhasilan PKBM tersebut. Pada awalnya masih tergantung kepada pemerintah, tetapi secara bertahap berusaha menjalankan
116
program secara mandiri. Misalnya program life skills, penetapan jenis keterampilan didahului dengan perumusan ide dan dimusyawarahkan dengan calon pesertanya. Di sini peserta turut aktif merespon tawaran yang diberikan, kemudian setelah terjadi kesepakatan bersama, sehingga program dapat dijalankan. PKBM
Al-Wathoniyah
dibentuk
dengan
memanfaatkan
swadaya
masyarakat Sukosono dan berintegrasi dengan Cabang Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Kedung. Hal ini karena pembentukan PKBM bukanlah suatu keharusan bagi masyarakat, tetapi menekankan pada inisiatif dan swadaya masyarakat sendiri. KS (unsur pemerintah) menjelaskan: Sebagai mitra PLS, setiap ada kegiatan PLS dan berhubungan dengan bidang garapan PKBM, kita selalu komunikasikan. Mendirikan PKBM itu tidak mudah, Mas. Di Jepara saja tidak semua kecamatan terdapat PKBM, misalnya Kecamatan Pecangaan itu tidak ada. Kan dibutuhkan orang yang memang peduli untuk menjadi pengelola, kemudian harus mempunyai gedung walaupun statusnya sewa dan paling tidak mempunyai tiga kegiatan. Misalnya play group, kejar paket, atau life skills. Tujuan pendirian PKBM adalah untuk menaikkan pengetahuan dan keterampilan warga belajar, beberapa program di antaranya seperti life skills dapat langsung dimanfaatkan untuk mendapatkan penghasilan. Pendampingan tetap dilaksanakan oleh Penilik PLS dan TLD agar pelaksanaan program berjalan dengan efektif dan tercapai tujuannya. Menilik dari uraian tersebut, PKBM AlWathoniyah dapat dikategorikan sebagai pengembangan masyarakat.
Analisis Penyelenggaran Pendidikan Luar Sekolah oleh PKBM Pemenuhan Syarat Minimal Berdasarkan pemantauan yang dilakukan penulis, PKBM Al-Wathoniyah telah memenuhi persyaratan minimal pendirian yang ditetapkan oleh pemerintah: 1. memiliki gedung sekretariat. Pada kurun waktu 1998 s.d. 2008, sekretariat PKBM Al-Wathoniyah menempati gedung Raudhatul Athfal (RA) Muslimat Nahdlatul Ulama milik Yayasan Sultan Fattah yang berlokasi di RT 09 RW III Desa Sukosono di atas tanah seluas 725 m2 dengan luas bangunan 160 m2. Gedung tersebut oleh RA sebelumnya hanya digunakan insidentil, sehingga relatif kosong dan dapat dipergunakan oleh PKBM. Pada akhir tahun 2008,
117
PKBM Al-Wathoniyah telah memiliki gedung sekretriat sendiri yang terletak tidak jauh dari gedung RA tersebut; 2. pemanfaatan
gedung
RA
sebagai
sekretariat
PKBM
Al-Wathoniyah
mendapatkan persetujuan dari pihak Yayasan Sultan Fattah, yang telah berlangsung selama + sepuluh tahun, sehingga memenuhi syarat minimal lima tahun; 3. memiliki izin tertulis dari pihak berwenang. Meskipun secara legal formal baru mendapatkan izin pada tahun 2006 dengan Keputusan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jepara Nomor 421.7/05746 tanggal 5 September 2006 tentang Izin Operasional PKBM Kabupaten Jepara yang diperkuat dengan Akta Notaris H. Abdullah Qomar Nasikh Nomor 28 tanggal 27 September 2006 tentang Pendirian PKBM, PKBM Al-Wathoniyah telah beroperasi sejak tahun 1998 dan diakui keberadaannya oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jepara, karena proses pendiriannya telah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan pemerintah; 4. memiliki beberapa lokal kegiatan yang tersebar di wilayah Kecamatan Kedung, misalnya PAUD di gedung sekretariat, keaksaraan fungsional di kumpulan-kumpulan musholla yang diselenggarakan di masjid/musholla di Sukosono, life skills berlokasi di beberapa tempat seperti dijelaskan terdahulu, dan Kelompok Belajar Paket berlokasi di pesantren Mamba’ul Qur’an. Hal ini telah memenuhi syarat pendirian minimal mempunyai dua lokal kegiatan; 5. letaknya mudah dijangkau oleh masyarakat karena berada di tengah-tengah masyarakat dan memanfaatkan kelembagaan yang sebelumnya telah ada dalam masyarakat; serta 6. adanya warga masyarakat yang akan dibelajarkan. Sampai dengan tahun 2008, + 432 orang telah selesai mengikuti berbagai program PLS yang diselenggarakan PKBM Al-Wathoniyah, yaitu: - Kejar Keaksaraan Fungsional
: 130 orang
- Kejar Paket A
: 20 orang
- Kejar Paket B
: 145 orang
- Kejar KBU / life skills
: 95 orang
- PAUD
: 42 orang
Data-data di atas menunjukkan bahwa PKBM Al-Wathoniyah mempunyai sasaran program warga Desa Sukosono dan sekitarnya dan mendapatkan respon yang cukup positif.
118
Bidang-Bidang Kegiatan yang Dikelola Pemerintah menetapkan batasan bidang kegiatan yang dapat dikelola PKBM, yaitu pendidikan, pelayanan informasi, jaringan informasi dan kemitraan, serta pembinaan tenaga kependidikan PKBM. Sejauh pengamatan penulis, dapat diketahui bidang-bidang garapan yang selama ini dikelola oleh PKBM AlWathoniyah, yaitu: 1) pendidikan, meliputi: bimbingan, pengajaran, dan pelatihan keterampilan. Sebagian besar kegiatan PKBM Al-Wathoniyah meliputi bidang pendidikan ini. Kegiatan-kegiatan tersebut adalah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Program Pemberantasan Buta Aksara (PBA) atau Keaksaraan Fungsional (KF), Kelompok Belajar Paket B dan C, serta program life skills. a. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) PAUD yang diberi nama PAUD Al-Masithoh berdiri pada tanggal 17 Agustus 2004, diberi izin penyelenggara oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Tengah Nomor 893.3/04938 tanggal 4 Oktober 2004 tentang Izin Penyelenggaraan Kursus Pendidikan Luar Sekolah yang Diselenggarakan Masyarakat dan diperkuat dengan keputusan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jepara Nomor 421.1/00248 tanggal 14 Desember 2006 tentang Pemberian Izin Menyelenggarakan Kursus. PAUD Al-Masithoh didirikan karena melihat potensi pengembangan di masa mendatang, di mana tercatat terdapat 911 anak Sukosono usia 0 - 6 tahun yang belum terlayani pendidikan usia dini-nya (Profil Desa Sukosono 2007). Saat ini, dengan didukung oleh alat-alat permainan anak yang memadai, peserta didik PAUD Al-Masithoh meliputi 25 anak warga Desa Sukosono dan sekitarnya, yang diampu oleh lima orang tenaga pendidik. Pada tanggal 12 Desember 2008, PAUD Al-Masithoh mendapatkan kunjungan dan penilaian dari Tim Penilai Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal Depdiknas untuk mendapatkan akreditasi. Beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dari PAUD, menurut tim penilai tersebut, adalah agar kualifikasi tenaga pendidik berpendidikan sarjana, sementara pada saat ini sebagian tenaga pengajar PAUD AlMasithoh masih belum menamatkan sarjananya.
119
b. Pemberantasan Buta Aksara (PBA) atau Keaksaraan Fungsional (KF) Depdiknas menyelenggarakan PBA didasarkan pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia menurut penilaian UNDP masih berada pada urutan ke-111 dari 175 negara, di mana angka melek huruf Indonesia mencapai 90,9% yang artinya terdapat 9,1% penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas yang terindikasi buta aksara (BPS 2006). Penyelenggaraan PBA menggunakan metode tematik Pemberantasan buta aksara atau keaksaraan fungsional dilaksanakan PKBM Al-Wathoniyah di beberapa desa se-Kecamatan Kedung, yaitu Desa Jondang, Sowan Lor, Sowan Kidul, Wanusobo, Bugel, dan Sukosono, terbagi dalam 16 kelompok. Di luar kelompok-kelompok tersebut, terdapat pula kegiatan PBA yang diselenggarakan oleh selain PKBM Al-Wathoniyah, dengan total peserta 622 orang (Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jepara 2007). Di Desa Sukosono sendiri, jumlah kelompok PBA adalah 13 kelompok dengan jumlah total peserta 270 orang, 4 kelompok di antaranya diselenggarakan oleh PKBM AlWathoniyah dengan peserta sebanyak 77 orang, sedangkan yang lain diselenggarakan oleh Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Kabupaten Jepara 57 berjumlah orang, Forum PKBM Kabupaten Jepara sejumlah 51 orang, dan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Tematik IKIP Semarang sebanyak 67 orang. Mahasiswa KKN dapat menjadi penyelenggara PBA, setelah diadakan MoU antara pihak universitas dengan Depdiknas mengenai percepatan PBA dengan melibatkan mahasiswa KKN. Pembelajaran PBA “dipadatkan”, sehingga yang semula dialokasikan waktu 2 hari seminggu selama 6 bulan, oleh mahasiswa prosesnya menjadi 6 hari seminggu selama 2 bulan. Warga belajar tetap berhak mengikuti ujian dan mendapatkan SUKMA (Surat Keterangan Melek Aksara) atau dinyatakan lulus. Data penyelenggaraan PBA di Sukosono terlihat pada tabel berikut ini:
120
Tabel 19. Data Nama Kejar, Tutor, dan Penyelenggara Program PBA di Desa Sukosono Kecamatan Kedung Kabupaten Jepara No
NAMA KEJAR
TUTOR
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Al Firdaus Al Jannah Ar Rohman Ar Rokhim As Salamah I As Salamah II As Salamah III Al Wathoniyah 1 Al Wathoniyah 2 Al Wathoniyah 3
Moh. Sulkan, S.Sos. Kosim A. Jamaludin, A.Ma.Pd. Umi Hidayah, S.Sos.I. Nur Ayati Dewi Anisah M. Nurroin, S.Hi M.Sulhan, S.Sos.I. Musri’ah, A.Ma. Jazuli, S.Pd.I.
11
Al Firdaus A
Mahasiswa KKN
12
Al Firdaus B
Mahasiswa KKN
13
Al Firdaus C
Mahasiswa KKN
PENYELENGGARA
JML WB L P
PKBM Al Wathoniyah 20 PKBM Al Wathoniyah 20 PKBM Al Wathoniyah 20 PKBM Al Wathoniyah 3 17 SKB Jepara 20 SKB Jepara 20 SKB Jepara 3 17 Forum PKBM 8 12 Forum PKBM 1 19 Forum PKBM 20 KKN Tematik IKIP 24 PGRI Semarang KKN Tematik IKIP 2 22 PGRI Semarang KKN Tematik IKIP 1 21 PGRI Semarang JUMLAH 18 252 % 6,66 93,33 JUMLAH TOTAL 270
Sumber: PLS Cabang Dinas P dan K Kec. Kedung, Desember 2007, diolah Kekhasan penyelenggaraan PBA di Desa Sukosono adalah tempat penyelenggaraan di berbagai kumpulan musholla yang banyak terdapat di sana. Tutor “mendatangi” tempat para warga belajar berkumpul, yang diselenggarakan pada sore hari, dan menyelenggarakan pengajaran pada saat kegiatan kumpulan musholla tersebut selesai. Program PBA dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu tahap pemberantasan selama enam bulan dan telah dilaksanakan tahun 2007. Sasarannya adalah yang benar-benar tidak bisa calistung (baca, tulis, hitung) dan perlu bimbingan terus-menerus. Tahap kedua adalah pembinaan, dilaksanakan selama tiga bulan pada tahun 2008. Sasarannya adalah yang telah melewati tahap pemberantasan dan bisa calistung, tetapi masih perlu didampingi. Tahap ketiga pelestarian, agar warga belajar tidak lupa akan hasil belajarnya, dilaksanakan dalam tahun 2008. Pada tahun 2008, PBA dinyatakan sudah tuntas dan semua warga belajar mendapatkan SUKMA.
121
c. Kelompok Belajar Paket A, B, dan C Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1991, Kelompok Belajar Paket A dan B diselenggarakan bagi sekumpulan warga belajar untuk memperoleh pendidikan setara SD dan SLTP. Program Kejar Paket B, yaitu suatu kegiatan membelajarkan warga masyarakat melalui proses belajar dengan menggunakan buku Paket B sebagai sarana belajar utama, yang isinya terdiri atas pendidikan dasar umum dan pendidikan keterampilan untuk mengusahakan mata pencaharian, yang setara dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Sementara itu, Kejar Paket C, yaitu suatu kegiatan membelajarkan warga masyarakat melalui proses belajar yang setara dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Sejalan dengan konsep pendidikan berwawasan kemasyarakatan dan community based education, maka penyelenggaraan Kejar Paket A, B, dan C di Desa Sukosono dijalankan melalui kolaborasi antara PKBM Al-Wathoniyah dengan lembaga pesantren Mamba’ul Qur’an, dengan didampingi oleh dinas teknis terkait. Kolaborasi memungkinkan semua stakeholder yang terlibat dapat meningkatkan fungsi dan peranannya. Dalam hal ini, PKBM Al-Wathoniyah menyelenggarakan Kelompok Belajar Paket A, B, dan C sebagai bentuk fungsi dan peranannya dalam melayani kebutuhan pendidikan bagi masyarakat, dapat menunjukkan eksistensinya sebagai kelembagaan pendidikan di tengah masyarakat, selain karena alasan-alasan ekonomis. Bagi pemerintah khususnya Dinas dan
Cabang
Dinas
Pendidikan
dan
Kebudayaan,
mendampingi
penyelenggaraan program Kelompok Belajar Paket merupakan salah satu tugas
pokok
dan
fungsinya
sebagai
instansi
pemerintah
yang
bertanggung jawab dalam bidang pendidikan. Bagi pesantren Mamba’ul Qur’an, Kejar Paket B dapat melengkapi kegiatan pembelajaran bagi santrinya
berupa
ilmu-ilmu
duniawi
dan
ukhrowi
dalam
rangka
memberikan bekal pengetahuan bagi para santri. Sedangkan bagi warga belajar, yang terdiri dari santri serta masyarakat Sukosono dan sekitarnya, program ini turut membantu dalam menempuh pendidikan setara SLTP dan untuk memperoleh “ijasah negara” selain syahadah hafidz/hafidzoh (ijasah hapal Al-Qur’an dari pesantren) yang diterima para santri, sebagai bekal di dalam menjalani kehidupan di tengah masyarakat.
122
Kurikulum Kelompok Belajar Paket B sama dengan kurikulum yang dilaksanakan oleh sekolah formal setingkat SLTP, harus ditempuh oleh warga belajar selama tiga tahun penuh atau enam semester, dan wajib mengikuti ujian semesteran dan ujian nasional untuk dapat diluluskan. Begitu pula Kelompok Belajar Paket C, menggunakan kurikulum yang sama dengan yang dilaksanakan oleh SLTA dan ditempuh dalam enam semester. Sedangkan untuk Kejar Paket A, PKBM pada tahun 2002 meluluskan warga belajar sebanyak 20 orang. Sebagian besar warga belajar adalah santri pesantren Mamba’ul Qur’an yang berasal dari berbagai daerah yang tinggal di dalam pesantren, sebagian yang lain adalah warga Desa Sukosono dan sekitarnya. Kelompok Belajar Paket A, B, dan C dilaksanakan di lingkungan pesantren dengan memanfaatkan fasilitas pesantren. Kelas terbagi atas kelas laki-laki dan perempuan sesuai kebijakan pesantren, di mana tutor perempuan hanya dapat mengajar di kelas perempuan. Tetapi sebaliknya, tutor laki-laki dapat mengajar baik di kelas laki-laki maupun perempuan. Hal ini dapat dimaklumi karena kebijakan pesantren yang “membolehkan” laki-laki mengajar di kelas perempuan dan “melarang” perempuan mengajar di kelas laki-laki. Beberapa jenis pelajaran praktek seperti Pendidikan Jasmani dan Kesehatan, hanya diberikan secara teoritis saja karena ada pelarangan dari pesantren tersebut. Dari tahun 2000 sampai dengan sekarang, PKBM Al-Wathoniyah telah meluluskan warga belajar Paket B sebanyak dua kali dengan jumlah seluruhnya mencapai 57 orang, dan saat ini sedang menyelenggarakan Kejar Paket B Kelas 7 dengan jumlah warga belajar 20 orang. Penyelenggaraan program Kejar Paket B di Desa Sukosono merupakan kolaborasi antara PKBM dan pesantren, sebagai usaha untuk mempertemukan ”program pemerintah” dengan ”program pesantren”. Kolaborasi
ini
memperlihatkan
adanya
upaya
mengorganisasikan
masyarakat, memanfaatkan modal sosial yang ada dalam masyarakat, sehingga
terwujud
sebagai
suatu
kegiatan
yang
didukung
oleh
kelembagaan masyarakat yang telah tumbuh dan berkembang, dan tidak berpotensi menimbulkan konflik. Kebutuhan masyarakat akan pelayanan pendidikan dasar dapat dipenuhi. Hal-hal yang mendasari keberhasilan program ini adalah rekrutmen warga belajar yang merupakan para santri
123
di mana figur kyai sebagai tokoh sentral pesantren mendukung penyelenggaraan program, tidak dibatasi oleh usia dan wilayah, tidak mendapatkan ”saingan” dari program sejenis, serta mendapat dukungan dari segenap modal sosial yang ada dalam masyarakat. d. Program life skills Program life skills yang diselenggarakan di Sukosono, seperti telah diuraikan pada bab terdahulu, terdapat di Desa Sukosono, Desa Bulak Baru, dan Desa Surodadi. Di Desa Sukosono meliputi jenis keterampilan seni ukir/meubel, bobok, jahit-menjahit dan bordir, pembuatan rengginan, pembuatan roti bolu, dan sablon dengan jumlah total + 95 orang. Di Desa Bulak Baru adalah jenis keterampilan olah terasi, sedangkan di Desa Surodadi berupa pembudidayaan kepiting keramba. 2) pelayanan informasi: menghimpun dan memberikan layanan informasi dari PKBM kepada masyarakat sekitar dan lembaga luar; PKBM Al-Wathoniyah telah mensosialisasi program-programnya ke seluruh warga Desa Sukosono, meskipun belum menjangkau keseluruhan, sebagaimana disebutkan oleh Ms: PKBM memberi manfaat bagi warga masyarakat, karena ada kegiatannya dan melibatkan masyarakat. 75% warga sudah mengetahui keberadaan PKBM, yang gak tahu biasanya yang sepuhsepuh (tua) itu. Masyarakat menerima keberadaan PKBM, hubungannya baik dengan masyarakat. serta SMr: Yang masih perlu diperhatikan, PKBM saya lihat belum diketahui oleh semua orang. Masih ada beberapa bagian yang belum tersentuh, masih ada warga yang belum mengetahui keberadaan PKBM. Sebenarnya orang-orang ini sudah pernah diundang mengikuti pertemuan, tetapi mereka tidak datang. Memang untuk menyatukan pikiran banyak orang itu kan susah. Meskipun demikian, PKBM secara umum telah dikenal dalam lingkungan warga Desa Sukosono dan sekitarnya. 3) jaringan informasi dan kemitraan, meliputi: a. mengembangkan jaringan informasi dan kemitraan dengan lembaga lokal maupun di luar masyarakat Beberapa upaya mengembangkan jaringan informasi dilakukan melalui Forum PKBM Kabupaten Jepara yang mempertemukan para
124
pengelola PKBM se-Kabupaten Jepara dengan mengadakan pertemuan rutin, selain tetap intensif mengadakan jalinan informasi dua arah dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Jepara maupun Cabang Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Kedung. Hanya perlu mendapatkan perhatian yang lebih intensif, misalnya belum terbentuk jaringan dengan pengusaha untuk pemasaran produk life skills. Saat ini, PKBM Al-Wathoniyah merintis kerja sama dengan PT. Coca Cola Tbk untuk membuka usaha toko, sebagai upaya untuk memperoleh tambahan anggaran kegiatan. Dalam bentuk kegiatan untuk membuka jaringan informasi, PKBM Al-Wathoniyah mempunyai Taman Belajar Masyarakat (TBM), yaitu kegiatan semacam perpustakaan yang dibuka bagi masyarakat Desa Sukosono. Meskipun buku-buku yang disediakan kurang lengkap, tetapi sebagai sebuah usaha menjalin jaringan informasi dan kemitraan dengan masyarakat, keberadaan TBM dapat dirasakan manfaatnya. b. memelihara jaringan yang telah terbina, baik secara personal maupun institusional dengan stakeholder yang berkaitan. 4) pembinaan tenaga kependidikan PKBM meliputi: meningkatkan kualitas kinerja tenaga pengelola dan tenaga pendidik (tutor, instruktur, maupun nara sumber) baik dilakukan secara mandiri maupun difasilitasi dari luar (pemerintah). Beberapa
tutor
mendapatkan
kesempatan
untuk
meningkatkan
kapasitasnya sebagai tutor, terutama tutor PAUD. Terdapat tiga orang tutor yang pernah mendapatkan pelatihan PAUD tingkat Propinsi Jawa Tengah dan tingkat Kabupaten Jepara. Hanya saja, tutor untuk kegiatan lain belum mendapatkan kesempatan tersebut, hanya mengandalkan kemampuan alami (misalnya tutor life skills) dan back ground pendidikannya, misalnya tutor Kelompok Belajar Paket yang sebagian merupakan guru swasta. Analisis Indikator Keberhasilan PKBM Menganalisis efektifitas suatu kegiatan adalah untuk mengetahui apakah tujuan kegiatan tersebut telah dicapai. Jika efektif adalah melakukan hal yang benar (doing the right thing) yang berarti tercapai tujuannya, maka untuk mengetahui efektifitas PKBM diperlukan analisis apakah PKBM telah mencapai
125
keberhasilan sesuai dengan indikator yang ditetapkan oleh pemerintah karena pembentukan PKBM sendiri merupakan hasil dari kebijakan pemerintah. Indikator-indikator tersebut adalah: 1. keberhasilan pengelolaan a. setiap hari ada kegiatan pembelajaran; Beberapa program yang diselenggarakan PKBM menjalankan kegiatannya setiap hari. Misalnya PAUD menyelenggarakan kegiatan selama
lima
hari
dalam
seminggu.
Kelompok
Belajar
Paket
diselenggarakan setiap hari Selasa dan Jumat sore di pesantren Mamba’ul Qur’an, kegiatan PBA/KF setiap sore mengikuti jadwal kegiatan kumpulan musholla, sedangkan life skills kegiatannya menyesuaikan dengan keinginan warga belajar misalnya kegiatan jahit-menjahit dan bordir di pesantren, sedangkan beberapa jenis keterampilan sudah melakukan produksi setiap hari seperti pembuatan roti bolu dan rengginan, atau berdasarkan pesanan yaitu kegiatan sablon. Hal ini menandakan bahwa kegiatan pembelajaran dilakukan setiap hari. b. minimal diselenggarakan lima jenis kegiatan pembelajaran. Seperti telah dikemukakan di atas, terdapat enam kegiatan yang dilakukan PKBM saat ini yaitu PAUD, PBA/KF, Kejar Paket B, Kejar Paket C, TBM, dan life skills. Dengan kegiatan ini PKBM telah memenuhi persyaratan minimal diselenggarakannya kegiatan pembelajaran. 2. keberhasilan proses pembelajaran a. meningkatkan peran serta warga belajar dan masyarakat sekitarnya; Masyarakat dan warga berperan dalam proses pembentukan PKBM Al-Wathoniyah maupun proses pembelajarannya, antara lain peran serta sebagai penyelenggara program, peserta program atau warga belajar, maupun peran serta sebagai tutor atau nara sumber teknik. Peran serta ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang memberi kesempatan kepada masyarakat untuk menyelenggarakan program, di mana pemerintah hanya bertindak sebagai pendamping. b. terciptanya suasana belajar yang kondusif; Suasana belajar tercipta secara kondusif karena menyesuaikan dengan aktivitas warga belajar sendiri. Lokasi pembelajaran yang menyesuaikan dengan tempat warga melakukan kegiatan, misalnya PBA
126
di kumpulan musholla, life skills di masing-masing lokasi yang disepakati, Kelompok Belajar Paket di pesantren di mana sebagian besar warga belajar berada, menjadikan suasana belajar tercipta dengan baik. c. semakin meningkatnya kemampuan warga belajar dan warga masyarakat sekitar dalam mengelola sumber daya yang ada di lingkungannya atau sebagai mata pencaharian warga desa setempat; Beberapa lulusan program dapat memanfaatkan hasil belajarnya untuk
mencari
penghasilan,
misalnya
program
life
skills.
Jenis
keterampilan pembuatan rengginan, pembuatan roti bolu, dan sablon dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan penghasilan. d. semakin meningkatnya kualitas hidup warga belajar dan masyarakat sekitar PKBM Indikator kualitas hidup yang paling sederhana dapat diukur dengan peningkatan ilmu pengetahuan dan peningkatan penghasilan. Program PAUD, Kejar Paket, PBA/KF, dan TBM dapat meningkatkan ilmu pengetahuan warga belajar, sedangkan program life skills dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan. Uraian di atas menunjukkan bahwa secara normatif PKBM Al-Wathoniyah telah memenuhi indikator keberhasilan yang ditetapkan pemerintah. Meskipun tingkat keberhasilan tersebut masih relatif, tetapi dari segi penyelenggaraan, PKBM telah melaksanakannya sesuai dengan ketentuan. Analisis Efektifitas Program Life Skills KS (46 tahun), penilik PLS Kecamatan Kedung mengatakan perihal efektifitas program yang diselenggarakan PKBM Al-Wathoniyah berikut ini: Menurut saya, PKBM Al-Wathoniyah menunjukkan perkembangan yang baik, makin banyak kegiatannya. Sebagai mitra kami, mitra PLS, PKBM cukup berhasil menyelenggarakan program, meskipun ada beberapa hal yang perlu mendapatkan pembinaan lebih lanjut dan terkendala keterbatasan kemampuan tutor, agar semakin meningkat. Menurut saya apa yang dilaksanakan sudah cukup efektif, karena telah mengembangkan apa yang sudah terdapat di masyarakat. Misalnya, kegiatan life skills bobok, yang memang masyarakat sini sudah mempunyai keterampilan bobok bagi yang berkecimpung di bidang perkayuan. Bobok ini kan suatu keterampilan yang secara alamiah dimiliki oleh warga masyarakat dan dibutuhkan kreatifitas tinggi untuk dapat menguasainya. Tetapi karena masyarakat sudah
127
terbiasa dengan perkayuan, maka jenis keterampilan ini dapat dijadikan program pembinaan oleh PKBM agar masyarakat dapat lebih berkembang. Contoh lain, pembuatan rengginan. Rengginan itu kan sepintas hanya barang yang sepele. Tapi kalau berhasil dikembangkan, malah bisa menjadi “ikon” Desa Sukosono karena rasanya yang khas dan renyah, dan banyaknya permintaan warga. Ukuran efektifitas menurut KS di atas adalah bahwa jenis life skills yang dikembangkan sudah sesuai dengan yang terdapat dalam masyarakat. Tetapi batasan tersebut masih terlalu sederhana, apabila dikaitkan dengan definisi operasional life skills yang dikemukakan oleh Depdiknas, maupun definisi efektifitas dalam hal pencapaian tujuan kegiatan. Secara umum, program life skills memberikan manfaat bagi warga belajar, masyarakat, dan pemerintah baik dalam perluasan jaringan maupun peningkatan ekonomi, sebagai berikut: 1. manfaat bagi warga belajar Warga belajar mendapatkan manfaat dalam
hal penguasaan
keterampilan dari para tutor yang terlebih dahulu menguasai jenis keterampilan tersebut. Untuk jenis keterampilan seni ukir/meubel, meskipun warga belajar rata-rata sudah menguasainya, tetapi sedikit banyak program ini berusaha untuk meningkatkan kapasitas warga belajar untuk bukan hanya sebagai “tukang” tetapi dapat menjadi “pengusaha”. Hanya saja karena imbas pasang-surutnya industri permeubelan di Jepara, maka warga belajar pada akhirnya tidak melanjutkan usaha tersebut. Usaha perluasan jaringan dengan merintis kerja sama dengan LSM “FEDEP” belum membuahkan hasil karena ketergantungan anggaran PKBM kepada pemerintah. Begitu pun dengan keterampilan bobok, imbas permasalahan dalam industri meubel turut memberi andil terhadap berhentinya kegiatan life skills ini. Tetapi, beberapa peserta menjadi lebih menguasai bobok karena telah ada mesin bobok yang dapat digunakan berlatih. Dengan demikian, meskipun usaha bobok berhenti, pada akhirnya beberapa peserta mendapatkan hasil dengan menguasai jenis keterampilan ini. Jenis keterampilan jahit-menjahit dan bordir bagi para santri menjadi bekal manakala sudah lulus dari pesantren. Beberapa lulusan sudah memanfaatkan dengan menjalankan usaha jahit-menjahit, sebagaimana diceritakan oleh NI, tutor jahit-menjahit dan bordir bahwa dari 20 orang lebih yang diajari, ada beberapa yang sudah memanfaatkannya, sebagai berikut:
128
Ya, semua santri saya ajari. 20 orang lebih lah. Tapi yang bisa menguasai kan tidak semuanya, tergantung bakat dan ketekunannya. Beberapa yang sudah lulus sudah ada yang bisa membuka usaha jahit, misalnya Zarwati yang asal Demak. Setelah lulus dari mondok, kemarin sempat ketemu saya. Pas saya tanya sekarang kegiatannya apa, dia jawab kalau sekarang buka toko kecil-kecilan dan menerima jahitan. Katanya sih karena dulu saya ajari. Kalau yang lain saya tidak tahu soalnya kan rumahnya jauh-jauh. Ada yang dari Karimun Jawa, sekarang orangnya sudah menikah dengan orang Bugel. Tapi saya tidak tahu apakah dia juga jahitmenjahit atau tidak. Kalau yang bagus itu Juwariyah dan Siti Nur Anisah. Mungkin kalau sudah lulus mereka sudah mampu untuk usaha jahit atau konveksi. Demikian pula untuk jenis keterampilan pembuatan rengginan, pembuatan roti bolu, dan sablon, ketiga jenis keterampilan ini dapat dimanfaatkan oleh beberapa warga belajarnya, meskipun tidak semua warga belajar berkeinginan memanfaatkannya untuk memperoleh penghasilan. Dengan demikian, program life skills minimal dapat memberi manfaat bagi warga belajar dan tutor dari segi peningkatan ekonomi penularan ketrampilan, untuk: a) memiliki keterampilan, pengetahuan, dan kemampuan sebagai bekal untuk berusaha sendiri; b) memiliki penghasilan sendiri yang dapat digunakan untuk menghidupi diri sendiri dan keluarganya; c) memiliki keterampilan, pengetahuan, dan kemampuan yang dapat ditularkan dari tutor atau nara sumber teknik kepada warga belajar; Namun, dalam perluasan jaringan, masih diperlukan pengembangan karena selama ini hanya mengandalkan kemampuan alami tanpa didukung oleh tenaga pengajar / tutor / nara sumber teknik yang lebih profesional, jaringan usaha yang lebih luas, dan akses pemasaran yang masih terbatas. Rengginan akan lebih berkembang
apabila
didukung
oleh jaringan
pemasaran yang baik di samping regenerasi pembuatnya, begitu pula dengan roti bolu dan sablon dapat lebih berkembang apabila pengelola PKBM dan PLS lebih meningkatkan upaya-upaya pendampingan, tidak hanya diserahkan kepada kemampuan kelompok atau perorangan untuk berkembang sendiri. 2. manfaat bagi masyarakat Masyarakat Sukosono dan sekitarnya menerima manfaat berupa:
129
a) dapat menjalankan usaha sehingga terhindar dari menganggur Kondisi industri meubel yang menjadi mata pencaharian utama keluarga bagi masyarakat saat ini statis cenderung menurun, sehingga banyak warga yang menganggur lantaran “tidak ada order”. Kalaupun ada, maka hasilnya kurang bisa membantu perekonomian keluarga. Sehingga, diselenggarakannya life skills bagi masyarakat yang berminat dapat menjadi
alternatif
sumber
penghasilan,
untuk
menghindari
dari
pengangguran. b) dapat menciptakan aneka mata pencaharian baru Rengginan merupakan makanan tradisional yang banyak diminati warga dalam
acara-acara
pertemuan.
Sebelumnya
warga
Sukosono
mendapatkan rengginan ini dari membeli di pasar Bugel yang berjarak + 5 kilometer dari Sukosono. Dengan adanya program life skills, maka warga Sukosono sendiri dapat memenuhi kebutuhan akan rengginan. Demikian juga dengan usaha sablon dan pembuatan roti bolu, hal ini merupakan aneka mata pencaharian baru bagi masyarakat. Masyarakat terbantu dengan tidak terlalu jauh mendapatkan roti bolu dan rengginan, serta dapat memesan cetak undangan sablon untuk keperluannya. c) dapat meningkatkan penghasilan; Dengan mempunyai usaha, masyarakat yang sebelumnya menganggur dapat mempunyai penghasilan bagi dirinya maupun keluarganya. Dari segi peningkatan penghasilan, program ini telah menyentuh beberapa bagian masyarakat. Tetapi dari segi perluasan jaringan, masih perlu mendapatkan tinjauan. Program seni ukir/meubel dan bobok akan lebih berkembang apabila para pengusaha meubel di Sukosono dan sekitarnya dapat diberdayagunakan untuk membantu program, misalnya dari segi pemasaran. Demikian juga kerja sama dengan pemerintah desa, upayaupaya ini belum digarap dengan maksimal sebagaimana diakui oleh RT sebagai berikut: Pemerintah Desa memang tidak kita libatkan, Mas. Karena kecenderungannya, Pemerintah Desa biasanya merasa berjasa sehingga kalau ada bantuan dana turun, mereka “merasa harus mendapatkan bagian”. Hal ini yang kita hindari, takutnya dana yang seharusnya untuk kegiatan harus terpotong untuk aparat desa. Makanya, kita cukup memberitahukan saja kalau kegiatan itu sudah dilaksanakan. Biasanya yang berkaitan dengan pencairan dana, kita
130
mengajukan proposal langsung kepada yang memberi dana, misalnya PLS Propinsi Jawa Tengah, atau ke Dinas P dan K Kabupaten Jepara. Dalam kepengurusan PKBM sekarang, Petinggi kita tempatkan sebagai Pelindung, sebatas karena setiap kegiatan di Desa secara normatif harus sepengetahuan Pemerintah Desa. Pada awal pembentukan, kita sempat memasukkan unsur Pemerintah Kabupaten sampai dengan PLS Kecamatan Kedung sebagai Pembina dan Pengawas, tetapi akhirnya kita tiadakan dan pada saat kita bikin akta notarisnya, unsur Pemerintah tidak kita sebutkan selain Kepala Desa. Hal ini kami laksanakan agar jangan sampai ada anggapan bahwa PKBM ini hanya “milik” PLS saja, sehingga menutup diri dari instansi lain. Maksudnya, bila ada instansi lain yang akan bekerja sama dengan PKBM, kita dapat terbuka melaksanakan segala program yang dijalankan. Misalnya, bisa saja dari Depag melaksanakan Pendidikan Luar Sekolah dan memberikan dana, maka kita akan terbuka untuk itu karena PKBM bukan “milik” PLS saja. Hal ini juga sejalan dengan prinsip kemandirian PKBM, terbentuk dari, oleh, dan untuk masyarakat. Kalau pengusaha dan pemilik toko, kita memang belum sampai ke sana. Untuk sementara, hasil produksi life skills ini dipasarkan mereka sendiri langsung ke masyarakat sekitar. 3. manfaat bagi pemerintah a) melaksanakan kewajibannya dalam penyelenggaraan pendidikan; Sudah menjadi kewajiban pemerintah - dari aras pusat hingga daerah untuk menyelenggarakan pendidikan yang bermanfaat bagi masyarakat. Sektor pendidikan merupakan salah satu sektor pelayanan sosial selain jaminan sosial, pelayanan perumahan, kesehatan, dan pelayanan atau perawatan personal (Suharto 2007). Pemenuhan layanan sosial termasuk pendidikan - bagi pemerintah merupakan kewajiban utamanya dalam rangka mencapai kesejahteraan rakyatnya. Indonesia,
sebagai
negara
berkembang,
sebenarnya
secara
konstitusional menganut sistem welfare state atau negara kesejahteraan, sebagaimana tersebut dalam Pembukaan dan pasal 34 UUD 1945, yakni menempatkan negara secara aktif dalam pemenuhan pelayanan sosial dasar kepada warga negaranya, terutama mereka yang tergolong lemah dan rentan serta memerlukan perlindungan khusus. Sehingga apabila pemerintah
tidak
menciptakan
kebijakan
yang
memihak
kepada
kesejahteraan rakyat, maka tujuan negara tidak terwujud. Soelaiman (2007) menyebutkan tentang Sistem Negara Kesejahteraan, yaitu mekanisme masyarakat beradab untuk memenuhi kebutuhan warganya sebagai bagian dari
haknya, dan untuk
menciptakan
131
masyarakat yang lebih adil melalui penyediaan program dan pelayanan sosial untuk semua, dengan penekanan pendekatan institusional terhadap kesejahteraan dan dengan program paket dan manfaat universal, dengan tambahan selektif bila diperlukan bagi yang paling tidak beruntung. Dalam taraf implementasi penyelenggaraan pendidikan, tugas pemerintah tidak berhenti hanya dengan menciptakan suatu program saja, tetapi harus
konsekuen
memberikan
petunjuk
pelaksanaan,
kurikulum,
pendanaan, dan tenaga pendamping yang memadai. Selanjutnya, para pelaku pendidikan juga harus merespon kebijakan pemerintah tersebut dengan melaksanakannya sesuai dengan petunjuk pelaksanaan yang telah ditetapkan. Upaya pemerintah untuk terus berinovatif mengembangkan PLS, berarti pemerintah telah menjalankan tugasnya. PLS termasuk life skills dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui transfer ilmu pengetahuan dan keterampilan, masyarakat lebih produktif sehingga menumbuhkan kegiatan usaha ekonomi masyarakat. Apabila usaha ekonomi masyarakat berkembang
dengan
baik, maka kemajuan
pembangunan baik perdesaan dan perkotaan menjadi lebih baik. Melalui life skills yang diselenggarakan oleh PKBM dengan pendampingan anggaran dan teknis dari pemerintah, dari sisi pemerintah hal ini membawa manfaat bagi kesejahteraan rakyat. Namun, penetapan kebijakan sektor pendidikan ini seyogianya tidak “asal memenuhi kewajiban”, tetapi benar-benar diarahkan bagi kesejahteraan rakyat. b) mendorong penciptaan lapangan kerja Pemerintah Kabupaten Jepara menghadapi lesunya industri meubel yang menjadi sektor basis bagi sebagian besar masyarakat Jepara. Industri meubel yang berbasis pada ekspor, menghadapi situasi krisis ekonomi dan krisis finansial global yang saat ini terjadi. Akibat langsung dari kondisi
ini
pengangguran
adalah dan
sepinya
order
pemutusan
meubel
hubungan
sehingga
kerja.
Setiap
timbulnya elemen
Pemerintah Kabupaten Jepara harus berupaya melaksanakan kewajiban dalam bidang tugasnya karena upaya menghadapi krisis ini tidak dapat dilaksanakan sendiri-sendiri. Program PLS yang dilaksanakan Dinas P
132
dan K Kabupaten Jepara, termasuk life skills, dapat mendorong penciptaan lapangan kerja baru di luar sektor meubel. c) upaya menghindarkan masyarakat dari pengangguran Program life skills - atau tepatnya living skills education - dapat memberikan jenis ketrampilan praktis yang dapat langsung dimanfaatkan untuk
memperoleh
penghasilan.
Apabila
warga
belajar
berminat
mengembangkan jenis ketrampilan tersebut, maka hal ini dapat menghindarkan diri dari pengangguran. Pemerintah merasakan manfaat karena dapat memecahkan masalah pengangguran. Analisis Faktor Pendukung dan Faktor Penghambat Program Life Skills Program life skills yang diselenggarakan PKBM Al-Wathoniyah pada tahun 2003, sebagian membuahkan hasil dan berlanjut sampai dengan sekarang, sebagian yang lain berhenti dan tidak berlanjut karena beberapa kendala. Keberlanjutan program life skills tidak terlepas dari pasang-surutnya dunia usaha yang tumbuh dalam masyarakat, yang dipengaruhi oleh faktor-faktor pendukung dan faktor-faktor penghambat. Penulis berupaya menganalisis faktor-faktor tersebut, sebagaimana diuraikan di bawah ini. Faktor Pendukung Penulis mengidentifikasi beberapa faktor pendukung keberhasilan program life skills yang diselenggarakan PKBM Al-Wathoniyah, sebagaimana telah diuraikan pada bab terdahulu. Beberapa faktor pendukung tersebut yaitu: (a) terdapatnya peraturan perundangan yang mengatur tentang program ini, (b) terdapatnya anggaran dan pendampingan oleh dinas teknis terkait, (c) telah terbentuknya PKBM Al-Wathoniyah sebagai penyelenggara program, (d) keberadaan pesantren Mamba’ul Qur’an yang telah lama tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Sukosono serta dapat bekerjasama dengan PKBM untuk menyelenggarakan program, dan (e) adanya sasaran program yaitu para santri dan masyarakat sekitar pesantren. a. Peraturan Perundangan Undang-Undang
Dasar
1945
mengamanatkan
upaya
untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa serta agar Pemerintah mengusahakan dan
133
menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional yang diatur dengan undang-undang. Pembangunan nasional di bidang pendidikan adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia Indonesia dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur, serta memungkinkan para warganya mengembangkan diri baik berkenaan dengan aspek jasmaniah maupun rohaniah berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945. Menjalankan amanat UUD 1945 tersebut, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang diundangkan pada 8 Juli 2003 pada pasal 54 menyebutkan tentang hak masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal dan non formal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya untuk kepentingan masyarakat. Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan. Hal ini membuka peluang luas kepada masyarakat untuk mendirikan berbagai satuan
pendidikan
yang
menyelenggarakan
pendidikan
formal
dan
pendidikan non formal atau PLS, antara lain disebutkan dalam pasal 26 undang-undang tersebut meliputi lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majlis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Dengan pemberlakuan kebijakan tersebut, maka masyarakat mempunyai hak untuk mendirikan PKBM dalam rangka menyelenggarakan pendidikan non formal, termasuk pendidikan kecakapan
hidup
(life
skills).
Pembentukan
PKBM
sendiri
telah
disosialisasikan oleh Direktur Jenderal PLS dan Pemuda Depdiknas sejak tahun 1998 sebagai respon atas krisis ekonomi, sebelum diberlakukannya undang-undang sistem pendidikan nasional yang baru. Kebijakan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk turut menyelenggarakan pendidikan juga merupakan wujud dari demokratisasi pendidikan, di mana pendidikan bukan lagi bersifat “sentralistik” karena ditujukan dari, oleh, dan untuk masyarakat sendiri. Artinya, masyarakat berlaku sebagai subjek sekaligus objek pembangunan pendidikan. Kebijakan pemerintah tersebut bisa diartikan pula sebagai “pemberdayaan”, yaitu pemberian atau peningkatan “kekuasaan” (power) kepada masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan.
134
Sebagai peraturan penyelenggaraan PLS, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah, dan khusus tentang life skills Depdiknas menetapkan pedoman penyelenggaraan program kecakapan hidup (life skills) pada tahun 2004, serta Pedoman Program Kursus Wirausaha Pedesaan (KWD) pada tahun 2008. Dari uraian di atas disimpulkan bahwa pendirian PKBM tidak terlepas dari peraturan perundangan yang ditetapkan pemerintah, atau bahwa secara yuridis formal pembentukan PKBM berdasarkan pada ketetapan pemerintah. Dalam perspektif kelembagaan, pendirian PKBM ditopang oleh pilar regulatif, meskipun dalam proses pembentukannya melibatkan masyarakat yang berarti juga ditopang oleh pilar normatif dalam rangka memenuhi tanggung jawab sosial di bidang pendidikan. Peraturan perundangan tentang penyelenggaraan PLS yang sekarang berlaku, menurut RT sebagai berikut: Saya kira peraturan-peraturan yang ditetapkan Pemerintah sudah cukup baik dan cukup jelas untuk dilaksanakan dan tidak menghambat penyelenggaraan program. Hanya saja sering turun terlambat, sehingga yang mestinya bisa dikerjakan sekian bulan dalam satu tahun anggaran, kadang hanya dikerjakan dalam 3-4 bulan saja karena keterlambatan juknis (petunjuk teknis) diberikan. Kesaksian di atas menyebutkan bahwa tidak ada masalah dengan peraturan perundangan PLS yang selama ini diberlakukan. Dengan kata lain, peraturan perundangan ini menjadi faktor pendukung dari berdirinya PKBM dan penyelenggaraan PLS. b. Anggaran dan Pendampingan Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat, seperti tertera dalam pasal 55 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan
Nasional,
dapat
bersumber
dari
penyelenggara,
masyarakat, pemerintah, pemerintah daerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan
dengan
peraturan
perundang-undangan
yang
berlaku.
Lembaga pendidikan berbasis masyarakat, seperti PKBM, dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber lain secara adil dan merata dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Ketentuan ini menyiratkan bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan dana operasional kepada masyarakat yang menyelenggarakan pendidikan, melalui beberapa program.
135
Khusus tentang dana bantuan khusus yang diberikan bagi program life skills, pemerintah menetapkan pedoman penyelenggaraan program kecakapan hidup (life skills), yang antara lain mengatur tentang mekanisme pengajuan dana operasional life skills bagi penyelenggara program, yaitu lembagalembaga kursus, perguruan tinggi, LPTM (Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Terpadu Masyarakat), serta PKBM. Hanya saja, dalam implementasinya mekanisme penyaluran dana ini masih terbentur pada birokrasi yang relatif panjang, baik yang diajukan ke Dinas Pendidikan Propinsi maupun ke Depdiknas. Prosedur pelaksanaan dana bantuan harus melewati enam tahap (Depdiknas 2004), yaitu penyusunan proposal, pengajuan proposal, penilaian proposal, penetapan penerima bantuan, penandatanganan akad kerja sama penyaluran dana bantuan, dan pengambilan dana bantuan. Sebagai ilustrasi, jika pengajuan kepada dinas propinsi, maka penyusunan proposal dan pengajuan proposal dilakukan oleh PKBM, berarti waktu penyelesaiannya tergantung pada PKBM sendiri. Penilaian proposal dan penetapan penerima bantuan dilakukan oleh Tim Penilai yang dibentuk oleh Dinas Pendidikan Propinsi. Apabila banyak daerah yang mengajukan proposal, maka Tim Penilai harus berkunjung ke tiap daerah untuk memverifikasi langsung ke lapangan, ditambah dengan proses administrasi, hal ini membutuhkan waktu yang relatif lama. Selanjutnya pada tahap penandatanganan akad kerja sama, harus menghadirkan Kepala Dinas Propinsi, Ketua PKBM, Kasubdin PLS/PLSP Propinsi, dan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten, hal ini juga membutuhkan waktu. Sementara proses pengambilan dana bantuan melalui kantor pos langsung ke rekening PKBM. Mekanisme birokrasi diperlukan agar program dapat berjalan tertib, tetapi semua pihak yang terlibat harus konsekuen menjalankan tugas dan kewajibannya agar tidak terjadi proses birokrasi yang berbelit-belit. Berdasarkan data sekunder dan wawancara yang dilakukan terkait proses pencairan dana ini, ilustrasi di atas dapat diperlihatkan tabel berikut:
136
Tabel 20. Tahapan Pencairan Dana No
Jenis Tahapan
Lama (+)
Bulan
Pihak Terkait
Ket
1
Penyusunan proposal
1 bulan
Mei
Pengurus PKBM Pengumuman diterima PKBM bulan Maret-April PKBM, Cabang - Juni proposal diajukan Dinas Kec, dan diseleksi Dinas Kab, Dinas Kab dan 14 proposal menjadi 5 Dinas Prop atau 6 proposal - Juli diajukan untuk diseleksi Dinas Prop, jumlah yang diterima tergantung “kuota” APBN Dinas Prop, Tim Prop melakukan PKBM verifikasi ke lokasi yang lolos seleksi adm, 2 atau 3 lokasi tiap kabupaten Dinas Prop Jumlah penerima bantuan menyesuaikan “kuota” atau sesuai APBN
2
Pengajuan proposal
2 bulan
Jun-Jul
3
Penilaian proposal
2 bulan
AgstSept
4
Penetapan penerima bantuan
1 bulan
Okt
5
Penandatanganan akad kerja sama penyaluran bantuan
1 hari
Okt
Dinas Prop, Dinas Kab, PKBM
Bersama-sama dengan PKBM lain penerima bantuan se-Prop
6
Pengambilan dana bantuan
1 bulan
Nop
Dinas Prop, PKBM, bank yang ditunjuk
Penyaluran langsung melalui rekening PKBM, tidak melalui Dinas Kab.
Sumber: Depdiknas (2004) dan hasil wawancara, diolah Dari tabel di atas, terlihat bahwa pencairan dana dilaksanakan pada bulan Nopember, dua bulan sebelum tahun anggaran berjalan berakhir. Sisa waktu dua bulan tersebut harus dimaksimalkan oleh PKBM untuk menyelenggarakan kegiatan, hal ini menyebabkan PKBM harus “menyiasati” kegiatan dengan anggaran sendiri terlebih dahulu. Terkait birokrasi ini, ZER (32
tahun),
TLD
(Tenaga
Lapangan
Dikmas)
Kecamatan
Kedung
menjelaskan: Dana operasional PKBM tidak bisa diberikan setiap bulan. Kadang kegiatan sudah dilaksanakan tetapi honornya belum diberikan. Terkendala masalah birokrasi pencairan dana, apalagi yang bersumber pada APBN. Beberapa PKBM menyikapinya dengan “ditalangi” dulu, baru digantikan setelah dananya turun. Saya tahu sekarang kondisi PKBM Al-Wathoniyah baru kosong kasnya. Kadang SPJ harus dikirimkan dulu, baru dapat gantinya. Memang kendala di PLS ini seperti itu, karena kendala birokrasi pencairan ini sering ada keterlambatan. Bukan dari pengurus PKBM yang memperlambat, tetapi birokrasi pencairan yang berbelit-belit. Sumber dana PKBM bukan hanya dari pemerintah, tetapi kondisi krisis saat ini menjadikan PKBM sulit mencari sumber dana selain yang
137
diberikan pemerintah. Terdapat ketergantungan yang tinggi dari PKBM kepada pemerintah, hal ini menyiratkan bahwa pengelola PKBM diharapkan berupaya mencari terobosan pencarian dana. Dana dapat berlaku sebagai faktor pendukung kegiatan, karena setiap kegiatan membutuhkan dana. Dalam hal ini, dana bantuan pemerintah mempunyai arti penting bagi kelanjutan program life skills. Tetapi, minimnya dana juga menjadi faktor penghambat kegiatan, misalnya tidak semua proposal dapat disetujui meskipun proposal kegiatan tersebut cukup prospektif. Contohnya proposal pengembangan seni ukir PKBM yang akan bekerja sama dengan “FEDEP” sebenarnya bagus untuk dilaksanakan, tetapi harus “ditolak” karena keterbatasan dana. Honor tutor yang kecil dan tidak “lancar” juga menjadi sebab motivasi melaksanakan kegiatan “naik-turun”. Terkait
dengan
pendampingan,
Depdiknas
(2005)
berupaya
memberikan tenaga teknis pelaksanaan PLS kepada PKBM, berupa tenaga yang berstatus PNS yaitu pamong belajar dan penilik PLS, serta tenaga yang berasal dari masyarakat yaitu tutor, Fasilitator Desa Insentif (FDI), Tenaga Lapangan Dikmas (TLD), pamong PAUD, inisiator pemuda, Sarjana Penggerak Pedesaan (SP3), dan nara sumber teknik. Dalam program life skills di Desa Sukosono, yang berperan aktif adalah penilik PLS, nara sumber teknik, TLD, dan pengelola PKBM sendiri. Kolaborasi antara pemerintah dengan unsur masyarakat tersebut dimaksudkan agar penyelenggaraan life skills berjalan dengan efektif dan efisien. Berdasarkan fakta di lapangan, TLD sangat penting keberadaannya bagi keberhasilan program. TLD memberikan manfaat bagi warga belajar dalam pemberian motivasi dan menumbuhkan kegiatan belajar mandiri dengan sering berinteraksi dengan warga belajar; bagi PKBM senantiasa membantu penyelesaian permasalahan
yang
timbul terutama dalam
perencanaan, pelaksanaan, monitoring, dan evaluasi program; membantu penataan
administrasi,
serta
membantu
menjalin
kemitraan
dengan
stakeholder yang terlibat. Bagi tutor, TLD membantu permasalahan dalam proses belajar mengajar, mencari bahan ajar, dan menumbuhkan motivasi. Permasalahan yang berkaitan dengan kurikulum dan manajemen seperti disebutkan pada bab terdahulu, melalui pendampingan TLD ini diharapkan dapat diselesaikan dengan baik. Mengingat pentingnya keberadaan TLD ini,
138
seyogianya pemerintah memberikan insentif yang memadai dan memfasilitasi peningkatan profesionalisme TLD dalam melaksanakan tugasnya. Dengan demikian, dari uraian di atas, terlihat bahwa anggaran pemerintah dan pendampingan dari tenaga teknis merupakan faktor pendukung keberhasilan life skills. c. Adanya PKBM Adanya
PKBM
Al-Wathoniyah
merupakan
faktor
pendukung
keberhasilan program life skills. Hal ini karena PKBM Al-Wathoniyah berfungsi sebagai unsur masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan; sehingga melalui PKBM program life skills dilaksanakan di tengah masyarakat. Artinya, jika tidak terdapat PKBM maka program life skills ini tidak dapat dilaksanakan. PKBM didirikan dengan beragam motivasi. Mengenai motivasi pendirian PKBM Al-Wathoniyah, RT menjelaskan: Makna pendidikan bagi saya adalah membelajarkan masyarakat secara umum dengan prinsip life long education dan pendidikan untuk semua, yaitu bahwa semua masyarakat yang membutuhkan pendidikan harus dilayani dengan tidak pandang bulu, tidak memandang usia, tingkat ekonomi, status sosial, dan sebagainya. Motivasi menyelenggarakan PKBM adalah melayani masyarakat yang membutuhkan pendidikan tanpa pandang bulu. Mengelola PKBM tidak ada keuntungan secara materi, lebih komitmen pada masyarakat. Apabila saya lebih mementingkan materi, maka saya lebih baik memilih menjadi TLD (Tenaga Lapangan Dikmas), profesi yang saya tinggalkan setelah saya lebih fokus pada PKBM. Padahal, TLD saat ini lebih menjanjikan dari segi gaji/honor dari banyak kegiatan pendidikan, apalagi kemarin masuk dalam data base pegawai honorer yang akan diangkat menjadi PNS. Sementara mengelola PKBM banyak mengandung resiko karena harus berhadapan dengan masyarakat yang berkepentingan. Makanya mengelola PKBM harus luwes. Dengan motivasi yang baik, PKBM dapat menyelenggarakan program life skills dengan baik. Terbentuknya PKBM Al-Wathoniyah menjadi faktor pendukung keberhasilan life skills. d. Keberadaan Pesantren Pesantren Mamba’ul Qur’an merupakan lembaga keagamaan yang berakar dalam kehidupan masyarakat Sukosono, memberikan kontribusi
139
yang penting bagi syiar agama Islam. Kesadaran kyai pengasuh pondok pesantren untuk memberikan bekal ilmu pendidikan kepada santrinya bukan hanya
ilmu-ilmu
pengetahuan
agama saja,
dan
teknologi,
tetapi dilengkapi memberikan
jalan
dengan bekal ilmu bagi
PKBM
untuk
menyelenggarakan PLS termasuk life skills dalam lingkungan pesantren. Hal ini memberikan beberapa keuntungan dan dukungan bagi PKBM dan PLS, sebagai berikut: 1) keberadaan PKBM diakui oleh tokoh agama yang sedikit banyak mempunyai pengaruh dalam kehidupan masyarakat Sukosono. Hal ini memberi imbas yang baik dari unsur masyarakat lain, sehingga PKBM akan leluasa untuk menyelenggarakan program-program PLS. Pada saat awal pembentukan, timbulnya masyarakat yang kontra dapat diredam oleh adanya pengakuan keberadaan PKBM dari pesantren; 2) melalui pesantren, PKBM dapat mensosialisasikan program-programnya kepada masyarakat; 3) PKBM dapat memanfaatkan fasilitas yang dimiliki oleh pesantren untuk proses belajar mengajar, karena beberapa penyelenggaraan program dilaksanakan
dalam
lingkungan
pesantren.
Sebaliknya,
pesantren
mendapatkan manfaat dari PKBM berupa pembelajaran yang ditujukan kepada para santri dengan persyaratan yang mudah, juga mendapatkan bantuan berupa peralatan jahit-menjahit dan bordir; 4) memudahkan PKBM dalam perekrutan warga belajar, karena sebagian sasaran program adalah santri dan masyarakat sekitarnya. Kelembagaan pesantren bagi PKBM dapat menjadi kapital sosial yang sangat mendukung keberhasilan program PLS termasuk life skills. e. Adanya Sasaran Program Syarat minimal didirikannya PKBM adalah adanya warga masyarakat yang akan dibelajarkan. Di Desa Sukosono, terdapat banyak sasaran program yang meliputi santri, warga Desa Sukosono, dan sekitarnya. Sampai dengan tahun 2008, + 432 orang telah selesai mengikuti berbagai program PLS yang diselenggarakan PKBM Al-Wathoniyah. Kondisi saat ini, masih banyak terdapat sasaran program yang belum memanfaatkan pelayanan PKBM. Menjadi tantangan bagi pengelola PKBM yang didampingi oleh penilik
140
PLS dan TLD untuk terus menyadarkan masyarakat yang apatis terhadap dunia pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang terjangkau dan “mendekatkan”
masyarakat
dengan
lokasi
pendidikannya.
Apabila
masyarakat tetap apatis terhadap pendidikan dan tidak menerima PLS yang dikembangkan PKBM, maka PKBM Al-Wathoniyah pun tidak akan eksis. Artinya, PKBM tidak akan berlanjut keberadaannya apabila yang menjadi sasaran program tidak “tidak menyambut” dengan menjadi warga belajar. Adanya
sasaran
program
yang
harus
pendidikannya, menjamin keberlanjutan program
dilayani selain
kebutuhan
faktor
dana,
manajemen, kurikulum, dan motivasi penyelenggara. Menjadi hal yang tidak logis apabila PKBM menyelenggarakan program sedangkan tidak ada sasaran programnya. Faktor Penghambat Dalam pemetaan sosial, didapat beberapa faktor penghambat yang dihadapi dalam program life skills di Desa Sukosono, antara lain: (1) belum tersosialisasinya program dengan baik, (2) kendala persyaratan yang memberatkan PKBM, (3) jenis keterampilan yang tidak sesuai dengan yang diharapkan warga belajar, (4) kecenderungan warga belajar yang serba ingin “instant” untuk memperoleh penghasilan sehingga mempengaruhi motivasi, (5) anggaran pemerintah yang “terbatas”, serta (6) rendahnya honor dan kualitas tutor. Dalam diskusi yang diselenggarakan penulis selama melaksanakan penelitian bersama dengan pengurus PKBM, tutor, dan TLD Kecamatan Kedung, berbagai permasalahan tersebut dikelompokkan dalam empat permasalahan, seperti tertuang dalam diagram tulang ikan berikut ini:
141
Gambar 10. Diagram Tulang Ikan Permasalahan Penyelenggaraan Life Skills
KEBIJAKAN PEM-AN
SDM tutor motivasi tidak konsisten
kendala persyaratan
kesibukan
WB kendala penentuan waktu bljr
keterlambatan juknis
ingin serba instant
kesibukan personal
PKBM koordinasi intern dan ekstern krg
jenis keterampilan kurang sesuai
kualitas/penguasaan materi kurang maks
jaringan blm luas
pendampingan kurang maksimal
kurang sosialisasi
ketergantungan thd pengurus
pemanfaatan life skills oleh WB
honor tutor rendah
sulit mendapat sumber lain
kuota dan dana APBN/D terbatas
kurang dukungan APBN/D
banyak WB kurang mampu
MANAJEMEN
DANA
Dalam diagram tulang ikan di atas, terdapat empat masalah utama yang teridentifikasi, yaitu: 1. Sumber Daya Manusia a. Warga Belajar, terdapat permasalahan: motivasi yang tidak konsisten, kendala penentuan waktu belajar, kecenderungan warga belajar yang serba ingin “instant” untuk memperoleh penghasilan; b. Tutor, kualitas penguasaan materi kurang karena hanya mengandalkan keterampilan alami, kesibukan tutor dalam melakukan pekerjaan lain; c. Penyelenggara (PKBM): koordinasi intern dan ekstern organisasi masih kurang maksimal, kesibukan personil, dan ketergantungan kegiatan PKBM pada figur ketua dan beberapa pengurus. 2. Dana Pada uraian tentang faktor pendukung kegiatan, anggaran atau dana dapat berlaku sebagai faktor pendung maupun sebagai faktor penghambat
142
akibat minimnya dana yang dialokasikan. Dana dapat berlaku sebagai faktor pendukung kegiatan, karena setiap kegiatan membutuhkan dana. Dalam hal ini, dana bantuan pemerintah mempunyai arti penting bagi kelanjutan program life skills. Tetapi, minimnya dana juga menjadi faktor penghambat kegiatan, misalnya tidak semua proposal dapat disetujui meskipun proposal kegiatan tersebut cukup prospektif. Contohnya proposal pengembangan seni ukir PKBM yang akan bekerja sama dengan “FEDEP” sebenarnya bagus untuk dilaksanakan, tetapi harus “ditolak” karena keterbatasan dana. Honor tutor yang kecil dan tidak “lancar” juga menjadi sebab motivasi melaksanakan kegiatan “naik-turun”. Identifikasi dana sebagai faktor penghambat proses: a. Kurang dukungan APBN/D akibat minimnya anggaran yang dialokasikan untuk program ini menyebabkan kuota dan dana stimulan terbatas; b. sedikitnya honor tutor; c. banyak warga belajar kurang mampu sehingga tidak dapat memenuhi kesepakatan iuran; d. sulit mendapat dana dari sumber lain. 3. Manajemen a. masih terdapat warga masyarakat yang kurang mengetahui kegiatan life skills; b. beberapa jenis keterampilan tidak berhasil karena kendala pasangsurutnya dunia usaha, yang berarti ide yang dijalankan kurang sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada; c. jaringan pemasaran, kerja sama dengan pengusaha dan pemerintah desa belum maksimal; d. PKBM hanya sekali menyalurkan dana stimulan, kemudian masingmasing life skills “dibiarkan” berkembang sendiri tanpa pendampingan yang maksimal. 4. Kebijakan pemerintah a. kendala persyaratan dan birokrasi yang berbelit-belit; b. keterlambatan penyerahan petunjuk teknis dari pemerintah kepada PKBM. Berbagai
permasalahan
tersebut
bukan
berarti
tidak
menjamin
sustainability program asalkan permasalahan tersebut dapat diatasi. Untuk pengembangan kelembagaan life skills agar dapat menjalankan fungsinya,
143
diperlukan arah kebijakan berupa insentif-insentif kelembagaan (institutional incentives) berupa: 1. Sumber Daya Manusia, dilakukan dengan terus-menerus memupuk motivasi warga belajar dan mengatur waktu penyelenggaraan program, peningkatan kualitas tutor melalui pelatihan dan buku-buku, melakukan koordinasi intern dan ekstern pengelola program antara lain dengan pendampingan dari dinas terkait, dan melibatkan semua pihak bukan hanya pada figur ketua dan beberapa pengurus saja. 2. Dana, dilakukan dengan memberikan usulan dan pertimbangan bagi penambahan dana operasional kepada pihak terkait, yaitu Depdiknas, Dinas dan Cabang Dinas P dan K Kabupaten Jepara. Program PLS selayaknya mendapatkan dukungan dana seperti halnya pendidikan formal, misalnya melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang selama ini hanya diperuntukkan bagi sekolah formal. Selain itu, pencairan dana dari APBN/D tidak
seharusnya
terlambat.
Pihak-pihak
yang
berkompeten
dengan
pencairan dana perlu didorong untuk dapat merealisasikan dana tepat waktu. 3. Manajemen, dilakukan dengan konsisten mensosialisasikan program life skills kepada masyarakat melalui berbagai cara misalnya spanduk, pamflet, door to door, kumpulan musholla, pesantren, dan sebagainya. Selanjutnya memunculkan ide life skills (vocational skills) yang sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat sekarang. Yang juga perlu dikembangkan adalah jaringan pemasaran dan kerja sama dengan pengusaha dan pemerintah desa, sebagai upaya pengembangan bagi life skills yang masih berjalan. PKBM agar tetap konsisten mendampingi warga belajar yang telah melakukan usaha, sehingga tidak “berjalan sendiri-sendiri”. 4. Kebijakan pemerintah, memberi dorongan kepada pemerintah untuk membuat regulasi yang memihak kepada life skills, misalnya birokrasi pengajuan dan pencairan dana, menyetujui proposal yang potensial untuk dikembangkan, serta pemberian petunjuk teknis agar tidak terlambat. Insentif-insentif kelembagaan di atas dapat berjalan dengan efektif apabila dilakukan secara simultan demi tercapainya keberhasilan program.