ANALISIS PERANAN KEMITRAAN TERHADAP RANTAI NILAI SAPI POTONG PETERNAKAN RAKYAT DI KABUPATEN BANJARNEGARA, PROVINSI JAWA TENGAH
HEPI RISENASARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Peranan Kemitraan Terhadap Rantai Nilai Usaha Peternakan Sapi Potong Rakyat di Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa tengah adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2013
Hepi Risenasari NIM H45100051
RINGKASAN HEPI RISENASARI. Analisis Peranan Kemitraan Terhadap Rantai Nilai Usaha Peternakan Sapi Potong Rakyat di Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah. (NUNUNG KUSNADI sebagai Ketua, dan RACHMAT PAMBUDY sebagai Anggota Komisi Pembimbing) Sub-sektor peternakan, khususnya sapi potong, di dominasi oleh peternak rakyat. Peternak rakyat tersebut menyumbang sebesar 70 persen kebutuhan daging sapi nasional, sedangkan 30 persen sisanya disumbang oleh industri peternakan sapi skala besar (Ditjennak 2008). Banyaknya proporsi usaha ternak rakyat dibandingkan peternakan skala besar berpotensi menjadi penyebab belum terpenuhinya kebutuhan daging sapi nasional yang terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Peternak rakyat memiliki karakteristik khusus yaitu memelihara ternak secara tradisional dengan skala usaha yang terbatas. Sebagian besar peternak rakyat beromisili di daerah pedesaan yang jauh dari sentra konsumsi daging sapi. Adanya karakteristik yang demikian dapat menyebabkan munculnya permasalahan dalam rantai pemasaran sapi potong. Rantai pemasaran sapi potong domestik di Indonesia diidentifikasikan sebagai rantai pemasaran yang panjang dengan jumlah pedagang perantara yang banyak. Banyaknya pelaku pasar dari sentra produksi ke sentra konsumsi menyebabkan besarnya marjin dan tingginya biaya transaksi. Dengan demikian, pemasaran sapi potong menjadi tidak efisien dan mengakibatkan tingginya harga daging sapi. Analisis rantai nilai merupakan analisis yang merangkum aktifitas pemasaran dan kemampuan para lembaga pemasar dalam mengakses lingkungan pendukung. Hal yang paling penting dalam analisis rantai nilai adalah adanya pengelolaan hubungan/koordinasi antar aktor dari mulai bahan mentah sampai ke produk jadi (Porter 1985). Salah satu strategi yang dapat meningkatkan kualitas hubungan/koordinasi adalah kemitraan. Dengan adanya kemitraan, rantai pemasaran menjadi lebih pendek dan kinerja rantai nilai bisa ditingkatkan. Oleh karena itu, tujuan dari penelitian ini adalah : 1) mendeskripsikan peranan rantai nilai terhadap pembentukan rantai pemasaran sapi potong, 2) menganalisis peranan kemitraan terhadap kinerja pelaku pemasaran dalam rantai nilai sapi potong, 3) menganalisis struktur biaya dan marjin pemasaran yang terbentuk di rantai nilai sapi potong. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah.Peternak dipilih berdasarkan skala usaha, waktu dan transaksi yang dilakukan selama transaksi. Analisis yang digunakan adalah analisis rantai nilai dengan mengadaptasi model rantai nilai Kaplinsy&Morris (2000). Tahap pertama analisis adalah analisis entry point yaitu analisis karakteristik usaha peternak sapi potong, selanjutnya adalah mapping value chain, dalam analisis ini di petakan saluran pemasaran dan lembaga atau aktor yang terlibat, analisis yang terakhir adalah analisis kinerja rantai nilai (performance) yaitu analisis kinerja aktor dalam mengakses lingkungan pendukung dan efisiensi pemasaran dihitung melalui marjin pemasaran, farmers share, hitungan profit/biaya, dan ratio R/C. Berdasarkan analisis karakteristik peternak (entry point), peternak tidak bermitra adalah peternak yang mengusahakan ternaknya secara mandiri baik dari
v
produksi maupun pemasaran, sehingga seluruh resiko maupun keuntungan ditanggung sendiri. Peternak dengan sistem kemitraan adalah peternak yang memelihara sapi milik pemilik modal. Sistem kemitraan yang berkembang di Kecamatan Wanayasa adalah sistem Gaduh atau dapat digolongkan sebagai pola kemitraan Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA). Hubungan kemitraan ini memposisikan pemilik modal sebagai penyedia bakalan dan penjamin pasar, sedangkan peternak memiliki kewajiban untuk memelihara atau menggemukan sapi, menyediakan sapronak, dan menyerahkan sapi pada waktu tertentu untuk kemudian di jual oleh pemilik modal. Lebih lanjut, karakteristik peternak baik yang bekerja dalam sistem kemitraan maupun tidak bermitra menentukan jumlah lembaga dan panjangpendeknya saluran yang terbentuk. Berdasarkan analisis saluran pemasaran, terdapat empat saluran yang teridentifikasi. Saluran 1 atau saluran kemitraan adalah saluran yang melibatkan tiga lembaga pemasar, yaitu peternak dan pemilik modal sekaligus pedagang, dan pedagang pemotong. Saluran 2 adalah saluran yang melibatkan empat lembaga yaitu peternak (tipe satu), pedagang desa, pedagang kecamatan, dan pedagang pemotong. Saluran 3 adalah saluran yang melibatkan 3 lembaga yaitu peternak (tipe 2), pedagang kecamatan, dan pedagang pemotong. Sedangkan saluran 4 melibatkan tiga lembaga, yaitu peternak (tipe 1), pedagang desa, dan pedagang pemotong. Kinerja rantai nilai merupakan penilaian kemampuan aktor/lembaga pemasaran dalam mengakses lingkungan pendukung yaitu akses terhadap infrastruktur, transportasi, informasi dan pengetahuan serta akses terhadap organisasi. Peternak mitra memiliki akses yang lebih baik terhadap lingkungan pendukung dibandingkan peternak tidak bermitra. Pedagang kecamatan memiliki akses yang lebih baik dibandingkan dengan pedagang desa. Sedangkan pedagang pemotong memiliki akses yang paling baik diantara seluruh lembaga pemasar. Peternak mitra dan pedagang/peternak besar memiliki hubungan yang erat dan dilandasi dengan perjanjian sehingga memudahkan kedua belah pihak dalam mengkontrol kualitas dan kuantitas sapi potong serta tata cara pembayaran. Berdasarkan analisis struktur biaya dan marjin, saluran satu memiiki total marjin paling kecil, total biaya paling kecil, dan farmer’s share yang paling tinggi, rasio keuntungan dan biaya yang paling besar, dan R/C rasio yang paling besar. Dari hasil analisis tesebut, maka saluran satu diientifikasikan sebagai saluran yang paling efisien, sedangkan saluran dua merupakan saluran yang paling tidak efisien.Sehingga dapat disimpulkan bahwa sistem kemitraan memiliki kinerja rantai nilai yang lebih baik dibandingkan dengan sistem tidak bermitra. Perbaikan sistem kemitraan secara lebih professional diharapkan mampu meningkatkan kinerja rantai nilai sehingga aktifitas pasokan daging sapi dapat menjadi lebih baik. Kata kunci : peternak rakyat, rantai nilai pangan, sapi potong.
vi
SUMMARY HEPI RISENASARI. The Role of Partnership Analysis to Value Chain of Smallscale Beef Cattle farming in Banjarnegara District, Central Java Province (NUNUNG KUSNADI as a Chairman, and RACHMAT PAMBUDY as a Member of the Advisory Committee) The smallscale domestic beef catte producers have supplied only 70 percent of the national neeed (Ditjennak 2008).This condition potentially caused problem to meet the increasing demand of beef. Smallholder farmers have special characteristics that raise livestock traditionally with a limited scale. The existence of such characteristics can cause problems in the beef marketing chain. Domestic beef marketing chain in Indonesia is identified as a long marketing chain by the number of middlemen. Many market participants from centers of production to centers of consumption causes the magnitude margins and high transaction costs. Thus, the performance of marketing system is inefficient and lead to higher beef prices. Value chain analysis is an analysis that summarizes the marketing activities and the ability of the institutions supporting marketers in accessing environment. The most important thing in the value chain analysis is a relationship management / coordination among the actors of the starting raw material to the finished product. One strategy that can improve the quality of the relationship / coordination is a partnership. With the partnership, the chain becomes shorter marketing so that value chain performance can be improved. Therefore, the purpose of this study is to: 1) describe the role of the value chain of the beef marketing chain formation, 2) analyze the role of marketing partnerships on the performance of actors in the value chain of beef cattle, 3) analyze the cost structure and marketing margins are formed in chains value of beef cattle. The research was conducted in the District Wanayasa, Banjarnegara, Java Tengah.Peternak selected based on the scale of effort, time and transactions made during the transaction. The analysis used is the value chain model adapting Kaplinsy & Morris (2000). The first phase of the analysis is the entry point of analysis is the analysis of the business characteristics of the cattle farmers, the next is the mapping value chain, in this analysis mapped marketing channels and institutions or actors involved, the final analysis is the analysis of value chain performance (performance) that analyzes the performance of actor in accessing supportive environment and marketing efficiency was calculated through marketing margins, farmers share, a matter of profit / cost, and the ratio R / C. Based on the analysis of the characteristics of farmers (entry point), farmers are not partnered cattle ranchers seek independent both of production and marketing, so that all risks and benefits borne alone. Parnership farmers are keeping cattle, meanwhilethe other party provided the capital such as breeding . System developed in partnership Wanayasa District is rowdy or systems can be classified as a partnership Operational Sustainability (KOA). In tis partnership type, there are to parties, farmers and capital owner. Capital owner is a big farmers/traders who provide cattle and guarantee the marketing of beef cattle. Meanwhile farmers obligate to provide input of beef cattle farming and sell cattle to te capital owners. Furthermore, the characteristics of both farmers who work in partnership system and farmers who do not work in the partnership scheme
vii
specify the number of partner agencies and the length of the channel is formed. Based on the analysis of marketing channels, four channels are identified. Channel 1 or channel is a partnership involving three institutions channel marketers, the breeders and owners of capital and as a merchant, and the merchant cutters. Channel 2 is channel involving four institutions, namely farmers (type one), traders village, district merchants, and traders cutters. Channel 3 is the channel that involves three institutions namely farmers (type 2), district merchants, and processors traders. While channels 4 is channel involving three institutions, namely farmers (type 1), village merchants, and processor traders. Performance assessment of the value chain is the ability of an actor / marketing agencies in accessing supportive environment that access to infrastructure, transportation, information and knowledge as well as access to the organization. Breeder partners have better access to the enabling environment than farmers not partnered. Merchant districts have better access than the village merchants. While processor traders have access to the most among all institutions. Farmer and merchant partners / large farmers have a close relationship and based on the agreement making it easier for both parties in controlling the quality and quantity of beef cattle as well as methods of payment. Based on the analysis of the cost structure and margin, total margin line one coined the smallest, least total cost, and the farmer's share of the most high, and the cost benefit ratio of the greatest, and the R / C ratio of the greatest. From the analysis of proficiency level, then line one diientifikasikan as the most efficient channel, while channel two is the most channels efisien.Sehingga not be concluded that the system has a performance value chain partnership better than a system with no partner. Repair system in a more professional partnership is expected to improve the performance of the value chain so that the beef supply activities can be better.
Keywords: beef cattle, food value chain, smallholder farmers.
viii
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ix
ANALISIS PERANAN KEMITRAAN TERHADAP RANTAI NILAI SAPI POTONG PETERNAKAN RAKYAT DI KABUPATEN BANJARNEGARA, PROVINSI JAWA TENGAH
HEPI RISENASARI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Agribisnis
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
x
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir Heny K Daryanto M Ec
Penguji Wakil Komisi Pendidikan
: Siti Jahroh, Phd
xi
Judul Tesis : Analisis Peranan Kemitraan terhadap Rantai Nilai Sapi Potong Peternakan Rakyat di Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah Nama : Hepi Risenasari NIM : H451100051
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Nunung Kusnadi, MS Ketua
Dr Ir Rachmat Pambudy, MS Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Agribisnis
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Ir Rita Nurmalina, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 12 Juni 2013
Tanggal Lulus:
xii
PRAKATA Bismillahirrahmanirrahim. Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini yang berjudul : “ Analisis Peranan Kemitraan terhadap Rantai Nilai Peternakan Rakyat Sapi Potong di Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah”. Penelitian ini dilakukan dalam rangka penulisan tesis unuk memperoleh gelar Magister pada Mayor Agrbisnis, Departemen Agribisnis, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada komisi pembimbing Dr.Ir.. Nunung Kusnadi,MS selaku pembimbing utama dan Dr.Ir.Rachmat Pambudy selaku anggota komisi pembimbing yang telah dengan sabar membimbing dan memberikan arahan serta saran yang sangat bermanfaat dalam proses penelitian dan penulisan tess ini. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada : 1. Direktorat Pendidikan Tinggi, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang telah mensponsori penulis baik dalam studinya di IPB maupun di Goettingen University Germanny melalui Beasiswa Unggulan (BPKLN) dan Beasiswa Unggulan Luar Negeri. Prof. Dr. Ir. Rita Nurmalina Suryana, MS selaku ketua mayor Agribisnis 2. dan Dr.Ir. Suharno, MAdev selaku sekertaris program studi dan Dr.Ir.Andriono Kilat Adhi,MS yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan studi program double degree ini serta seluruh staf pengajat yang telah memberikan bimbingan dan proses pembelajaran selama perkuliahan pada Mayor Agribisnis IPB. Prof. Stephan Von Cramon, Frau Greta Thinggaard, Prof Matin Qaim dan Christoph Saenger, Phd yang telah memberikan bimbingan, arahan selama penulis menyelesaikan studi di Goettingen University. 3. Dr.Ir. Heny KS Daryanto, M.Ec selaku Penguji Luar Biasa Komisi dan Siti Jahroh, Phd selaku Penguji Wakil Mayor, yang telah memberikan masukan untuk penyempurnaan tesis ini. 4. Kepala UPT Kesehatan Hewan Pasar Banjarnegara (Pak Bowo) dan Pasar Hewan Wonosobo serta tenaga penyuluh Kecamatan Wanayasa (Pak Haryono) yang telah membantu selama penelitian dan memberikan informasi dalam penulisan tesis ini. 5. Para peternak dan pedagang Sapi Potong di Wilayah Kecamatan Wanayasa yang telah bersedia membantu dan memberikan informasi tentang usaha penggemukan sapi potong. Bapak H. Agus, Bapak H. Wandi dan Bapak H. Suparno yang telah banyak memberikan informasi seputar perdagangan sapi potong. 6.. Andrianto Pratama yang telah membantu penulis megumpulkan data di lapangan. 7. Seluruh staf Mayor Agribisnis (Mbak Yuni, Teteh Nia, Bu Yoyoh, Pak Yusuf) yang selalu meluangkan waktu membantu penulis selama perkuliahan sampai penulis menyelesaikan studi di Mayor Agribisnis 8. Teman-teman MSA angkatan 1, terima kasih atas bimbingan dan persahabatan bapak/ibu terutama untuk setiap diskusi dan bantuan yang diberikan.
xiii
9.
Teman-teman Goettinger Sieben (Cila, Ratna Mega, Ratna Sogian, Anisa Dwi Utami, Efita FL) terima kasih atas dukungan moral, fisik, dan doa yang diberikan kepada penulis baik selama di IPB maupun selama di Goettingen. Kalian adalah teman seperjuangan sekaligus teman diskusi yang tiada duanya. 10. Teman-teman di Goettingen (Kak Essy, Dwi,Mbak Ira, Mbak Besti, Bang Firman, Bang Ichsan, Bang Rezky, Ami, Bang Adnan, Mbak Nura) yang telah membantu selama penulis menjalankan studi di Goettingen dan melakukan persiapan penulisan thesis. Saudara pondok iwan dan cici, yusda, ika , wening, dan Eja yang telah seringkali mengingatkan penulis untuk menyelesaikan studi tepat waktu. Secara khusus dengan penuh rasa cinta kasih dan hormat, penulis mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada Bapak Drs. Suseno dan Mama Dra. Rishi Mardiningsih, MPd dan Bapak Agus Ristianto dan Ibu Ita Kristanti yang telah berkorban dan senantiasa memberikan dukungan, cinta dan doa untuk kelancaean penyelesaian studi penulis. Terima kasih yang dalam juga penulis ucapkan pada suami Penulis Bayu Kristianto, SE yang telah memberikan semangat,kesabaran, doa, dan diskusi untuk menyelesaikan studi magister ini. Besar harapan penulis bahwa penelitan ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan sektor pertanian, khususnya peternakan sapi potong di Indonesia. Semoga Allah SWT menerima karya ini sebagai amal kebaikan dan tanda syukur penulis. Amin.
Bogor, Juni 2013 Penulis
xiv
xv
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR 1
2
3
4
5
PENDAHULUAN Latar belakang Rumusan masalah Tujuan TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik peternak rakyat Penelitian tentang rantai nilai Metode pengukuran rantai nilai Pemasaran sapi potong peternakan rakyat Kinerja rantai nilai Peran kemitraan dalam rantai nilai KERANGKA PEMIKIRAN Perkembangan teori rantai nilai (Value Chain) Deskripsi konsep rantai nilai (Value Chain) Review metode analisis rantai Konsep Kemitraan Konsep efisensi pemasaran Konsep marjin pemasaran Konsep farmer’s share Rasio keuntungan dan biaya Kerangka konseptual METODE PENELITIAN Lokasi dan waktu penelitian Jenis dan sumber data Metode penentuan responden Metode pengolahan dan analisis data Analisis entry point Analisis peranan kemitraan terhadap rantai pemasaran Analisis peranan kemitraaan terhadapkinerja rantai nilai Analsis marjin pemasaran Analisis Farmer’s Share Rasio keuntugan dari biaya pemasaran Rasio penerimaan dari biaya pemasaran KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK PETERNAK SAPI POTONG Kondisi topografi Kondisi penduduk Karakteristik usaha ternak sapi potong (entry point) Perbedaan kemitraan dan tidak bermitra Karakteristik rumah tangga peternak Keadaan usaha penggemukan sapi potong
xvii xviii
1 4 6 6 6 7 7 8 10 12 14 13 13 16 19 21 21 22 23 23 25 25 25 25 26 26 27 27 29 30 30 30 31 35 34 36 36 37 40
xvi
6
PERANAN KEMITRAAN DALAM PEMETAAN DAN PENINGKATANKINERJA RANTAI NILAI Organisasi dalam rantai nilai Saluran pemasaran sapi potong Saluran pemasaran sistem kemitraan Saluran pemasaran sistem tidak bermitra Akses terhadap lingkungan Akses terhadap infrastruktur dan ketersediaan transportasi Akses informasi dan pengetahuan Akses terhadap keberadaan organisasi Governance structure dan hubungan yang terbentuk antar aktor Sistem pembayaran dan pembentukan harga Analisis biaya dan marjin pemasaran Analisis biaya pemasaran Analisis marjin pemasaran Efisiensi pemasaran Hubungan karakteristik peternak, saluran kemitraan, dan kinerja Rantai nilai sapi potong KESIMPULAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA
50 50 52 51 54 60 60 63 66 68 71 72 72 73 77 78 84 84 85
xvii
DAFTAR TABEL
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
18. 19.
Kondisi peternakan sapi potong di Kabupaten Banjarnegara 2007 Jumlah populasi sapi potong di Kabupaten Banjarnegera 2008 Penggunaan lahan di Kecamatan Wanayasa tahun 2008 Tarnak, luas panen, dan produksi pertanian Kecamatan Wanayasa Data kependudukan kecamatan wanayasa tahun 2008 Perbedaan peternak mitra dan tidak bermitra Karakteristik rumah tangga peternak di Kecamatan Wanayasa Tahun 2012 Karakteristik usaha penggemukan sapi potong Sebaran karakteristik pemeliharaan tarnak sapi potong Sebaran penilaian kemampuan aktor terhadap akses ketersediaan infrstruktur Sebaran penilaian kemampun aktor terhadap akses ketersediaan transportasi Sebaran penilaian kemampuan aktor terhadap akses terhadap kemampuan mengakses informasi dan pengetahuan Sebaran penilaian kemampuan aktor terhadap akses keberadaan Orgnisasi Pola hubungan yang terbentuk di masing-masing sistem Sistem pembayaran transaksi jual-beli sapi potong oleh lembaga/aktor pemasaran sapi potong Struktur biaya pemasaran di masing-masing lembaga pemasaran Marjin pemasaran di masing-masing lembaga pemasaran Lembaga dan saluran pemasran ternak sapi potong di wilayah Kabupaten Banjarnegara per Juni 2012 (Pola Kemitraan) Marjin pemasaran pada setiap lembaga dan saluran pemasran ternak sapi potong di Kabupaten Banjarnegara per(Pola Mandiri) Sebaran biaya, marjin pemasaran dan farmer’s share
33 34 34 35 36 36 38 41 47 62 63 64 66 69 72 73
74 76 77
xviii
DAFTAR GAMBAR
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Saluran pemasaran daging sapi di Pulau Jawa tahun 2001 Rantai nilai sederhana dalam pertanian Konsep marjin pemasaran Kerangka pemikiran konseptual Peta Kabupaten Banjarnegara Distribusi pemasaran ternak sapi potong dan karkas kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara Mei-Juni 2012 Saluran pemasaran tarnak sapi potong dengan sistem kemitraan di wilayah Kecamatan Wanayasa Saluran pemasaran ternak sapi potong dengan sistem tidak kemitraan di wilayah Kecamatan Wanayasa
10 15 22 24 33 51 52 54
1 PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang
Daging merupakan salah satu sumber pangan yang sangat penting dalam memenuhi kebutuhan gizi masyarakat serta merupakan salah satu komoditas ekonomi yang memiliki nilai strategis. Secara nasional, konsumsi daging di Indonesia selalu meningkat sejalan dengan bertambanya jumlah penduduk, peningkatan pendapatan, dan kesejahteraan masyarakat, serta semakin tingginya kesadaran masyarakat akan pentingnya kebutuhan protein hewani. Salah satu jenis ternak yang memiliki andil cukup besar dalam pemenuhan kebutuhan daging nasional, adalah sapi potong. Rata-rata kontribusi daging sapi terhadap kebutuhan daging nasional selama kurun waktu lima tahun terakhir mencapai 18.92 persen dari total jumlah produksi daging ternak di Indonesia pada tahun 2007-2009. Tingginya kontribusi daging sapi di Indonesia disebabkan oleh peningkatan konsumsi daging sapi dari beberapa tahun terakhir. Konsumsi daging sapi meningkat sebesar 1,95 persen perkapita pada tahun 2007, dan meningkat sebesar 2 kg perkapita pada tahun 2008, selanjutnya meningkat 2.24 kg perkapita pada tahun 2009 (Data Ditjennak 2009a). Peningkatan konsumsi ini berperan dalam peningkatan kebutuhan daging dan jeroan dari 455.755 ton pada tahun 2008 dan 2,746 ton pada tahun 2009. Kebutuhan jumlah sapi tersebut setara dengan jumlah sapi sebanyak 2,432 juta ekor sapi pada tahun 2008 dan 2,746 ekor sapi pada tahun 2009 (Bappenas 2010). Sedangkan produksi daging sapi lokal selama kurun waktu 2005 sampai dengan 2009 sangat fluktuatif yang menunjukkan bahwa ketersediaan daging yang berasal dari dalam negeri tidak konsisten. Periode tahun 2005-2006 produksi daging mengalami peningkatan yaitu sebesar 19.2 persen, kemudian terjadi penurunan pada tahun 2007 sebesar 18.8 persen dan meningkat lagi sampai dengan tahun 2009 dengan rata-rata peningkatan sebesar 9.1 persen. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka impor sapi dan jeroan meningkat sebesar 110.246 ton serta sapi bakalan meningkat sebesar 768.133 mensuplai daging sapi sebesar 49 persen dari total kebutuhan daging sapi nasional pada tahun 2009 (BPS dan Statistik Peternakan 2009). Sejalan dengan hal tersebut di atas, pemerintah berusaha mencapai swasembada ternak berbasis sumberdaya lokal melalui Program Percepatan Swasembada Daging Sapi Tahun 2014 (PSDS 2014). Program swasembada tersebut diujudkan melalui pencapaian pemenuhan 90 persen dari kebutuhan daging sapi nasional. Harapannya dengan adanya program tersebut, Indonesia akan mencapai kemandirian dalam penyediaan daging sapi melalui pengembangan agribisnis yang secara simultan dapat beriringan dengan terjadinya peningkatan kesejahteraan peternak kecil yang mendominasi penyediaan daging sapi lokal. (Bappenas 2010). Pada kenyataanya, pencapaian program tersebut tidaklah ringan. Pada tahun 2009, impor daging sapi mencapai 30 persen dari total kebutuhan daging sapi nasional. Impor daging sapi kemudian menurun sebesar 20
2
persen pada tahun 2011. Berdasarkan data dugaaan model ramalan konsumsiproduksi daging sapi tahun 2009-2013 (Bappenas 2010) konsumsi dan penawaran daging diperkirakan akan berfluktuasi, dan cenderung meningkat dengan laju peningkatan yang lebih cepat dibandingkan dengan penawaran. Fenomena ini memicu peningkatan harga daging, yang selanjutnya dapat merangsang peternak rakyat untuk menjual sapinya, termasuk sapi yang masih produktif. Peningkatan harga daging selama kurun waktu 2008-2012 meningkat rata-rata sebesar 18.94 persen, dengan harga daging tertinggi terjadi pada akhir tahun 2012 yaitu sebesar Rp.85.000-Rp.105.000,- kg. Kenaikan harga daging seharusnya dapat memberikan insentif kepada peternak sapi potong untuk meningkatkan penawaran daging sapi yang salahsatunya ditunjukan dari peningkatan populasi sapi potong domestik. Pada kenyataanya, besarnya populasi sapi potong domestik belum mampu mencukupi kebutuhan daging sapi nasional. Menurut data dari Kementrian Pertanian proyeksi kebutuhan daging sapi tahun 2013 mencapai 549,7 ribu ton, dimana 474,4 ribu ton dipenuhi dari populasi ternak sapi domestik, sedangkan sisanya sekitar 80 ribu ton (14,6 persen) harus di impor. (www.setkab.go.id). Hal ini sejalan dengan penelitian Bappenas (2010) dan Sukanata (2008) yang menyatakan bahwa harga daging domestik tidak berpengaruh pada penawaran sapi peternak, hal ini disebabkan oleh tidak responsifnya peternak terhadap peningkatan harga daging sapi domestik. Salah satu penyebab tidak responsifnya peternak terhadap kenaikan harga adalah karakterisitik usaha ternak di Indonesia dimana sebagian besar merupakan usaha ternak rakyat. Peternakan sapi rakyat diperkirakan menyumbang sekitar 70 persen produk daging nasional, sedangkan 30 persen sisanya merupakan peternakan komersial (Ditjennak 2008). Apabila dibandingkan dengan peternakan komersial, peternak rakyat tidak memiliki sumberdaya untuk menghasilkan daging sapi sesuai dengan yang diproyeksikan dalam program Swasembada Daging 2014. Hal ini sejalan dengan karakteristik peternak rakyat yang mengusahakan usaha ternaknya secara subsisten dengan skala usaha yang terbatas. Sebagian besar peternak rakyat tinggal di daerah pedesaan dan berjarak cukup jauh dengan lokasi konsumen daging sapi. Selain itu, usaha ternak sapi potong peternakan rakyat bukan merupakan usaha utama dalam rumah tangga peternak, melainkan sebagai usaha sampingan. Peternak rakyat lebih responsif terhadap produksi dari pada harga sapi, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Hal ini menunjukkn bahwa dalam penjualan ternaknya, sebagian besar peternak lebih mengedepankan produksi dari pada harganya. Peternak dengan karakteristik tersebut cenderung tidak memiliki orientasi pasar sehingga peternak seringkali tidak mengharapkan ternaknya sebagai penghasil daging, melainkan sebagai tabungan pada saat peternak membutuhkan uang tunai (Priyanti et al 2012). Sejalan dengan hal tersebut diatas, peternak kurang responsif terhadap perubahan harga sapi potong
3
di pusat konsumsi (seperti Jakarta), sehingga peningkatan harga daging di pusat konsumsi lebih banyak dinikmati pedagang. Hal ini menunjukkan bahwa peternak menjadi pihak yang lebih lemah dalam perdagangan sapi potong. Kondisi ini sesuai dengan hasil penelitian Syahyuti (1999) dan Rahmanto (2004) bahwa pedagang memiliki bargaining position yang lebih tinggi dihadapan peternak terutama dalam penentuan harga. Dengan demikian, peternak sangat tergantung pada jasa pedagang dan tidak memiliki akses pasar termasuk akses informasi didalamnya. Adanya ketergantungan peternak terhadap pedagang perantara membuat rantai pemasaran sapi potong menjadi panjang . Rantai yang panjang juga ditunjukan dari jumlah pedagang perantara yang tinggi di sepanjang rantai dari sentra produksi ke sentra konsumsi. Banyaknya pelaku pasar sejak dari sentra produksi dan konsumsi menyebabkan besarnya marjin keuntungan, tingginya biaya pemasaran, dan penurunan berat badan sapi sehingga konsumen harus membayar daging lebih mahal. Hal ini menjadikan pemasaran tidak efisien dan harga daging sapi menjadi lebih mahal dari pada daging sapi impor apabila dibandingkan denga perbandingan kualitas daging. Sistem pemasaran dapat dikatakan efisien apabila dapat memberikan suatu balas jasa yang seimbang kepada semua pelaku pemasaran yang terlibat yaitu peternak sebagai produsen, pedagang perantara dan konsumen akhir. Efisiensi pemasaran dapat diukur dengan optimasi dari nisbah ouput dan input. Suatu perubahan yang dapat perubahan yang dapat mengurangi biaya input dalam suatu kegiatan pemasaran tanpa mengurangi kepuasan konsumen dari output menunjukan tingkat efisiensi yang lebih baik. Sehingga, penciptaan hubungan/koordinasi antara peternak sebagai produsen, processor dan pedagang perantara sangat penting untuk dilakukan. Dengan adanya hubungan yang tercipta antara ketiga elemen tersebut, biaya transaksi dapat diturunkan dan pemasaran menjadi semakin efisien. Salah satu analisis yang dapat merangkum aktifitas rantai pemasaran sapi potong adalah analisis rantai nilai. Analisis rantai nilai memandang perusahaan sebagai suatu bagian dari rantai nilai produk. Rantai nilai merupakan aktifitas yang berawal dari bahan mentah sampai dengan penanganan purna jual yang terjadi karena adanya hubungan dengan pemasok (supplier linkages) dan dengan konsumen (customer linkages). Poter (1998) membagi aktifitas rantai nilai menjadi dua aktifitas yang berbeda, yaitu : aktifitas primer atau aktifitas rantai pasok dan aktifitas sekunder yang berupa lingkungan pendukung. Dalam kasus Industri sapi potong di Indonesia, aktifitas rantai nilai digambarkan sebagai aktifitas aliran sapi potong sampai menjadi daging sapi dan produk turunannya. Kinerja rantai nilai, sangat didukung oleh kinerja yang dilakukan oleh lembaga atau aktor dan terlibat dalam mengakses aktifitas pemasaran dan lingkungan pendukung seperti ketersediaan infrastruktur dan logistik, ketersediaan akses informasi dan pengetahuan dan ketersediaan akses organisasi. Kinerja
4
pemasaran peternakan seringkali terganggu oleh adanya infrastruktur yang buruk, jasa pendukung lain yang tidak memadai dan kelembagaan yang lemah sehingga meningkatan biaya transaksi dan menyebabkan volatilitas harga. Sehingga, baik buruknya kinerja dinilai dari seberapa besar seluruh aktor mampu berkoordinasi membentuk sebuah hubungan yang terintegrasi untuk menciptakan nilai tambah dan memperkecil biaya. Kualitas dan kuantitas standar yang diberikan oleh konsumen daging sapi sulit dilakukan apbila peternak rakyat bekerja secara sendiri-sendiri. Salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja rantai nilai adalah melalui pengelolaan hubungan melalui kemitraan. Kemitraan usaha dalam manajemen rantai nilai menjadi sesuatu yang penting dilakukan untuk menjamin kesinambungan usaha, meningkatkan sumberdaya kelompok mitra dan peningkatan skala usaha dalam rangka menubuhkan dan meningkatkan kelompok mitra secara mandiri. Dengan adanya kemitraan usaha berarti menggambarkan kesepakatan satu pelaku untuk melakukan tindakan ekonomi kepada pihak lain. Hal ini akan mengurangi pelanggaran dalam manajemen rantai nilai dan meningkatkan koordinasi antar level dalam rantai nilai produk peternakan. Karena itu, kemitran yang terjalin dengan baik menciptakan ketergantungan yang saling menguntungkan. Kemitraan yang dilakukan peternak dan pihak lain juga dapat membangun spesialisasi kerja yang meningkatkan efisiensi usaha, pembagian resiko (sharing risk), adanya jaminan pemasaran dan dapat meningkatkan kemampuan peternak dalam mengakses program pemerintah. 1 1.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan penyebaran populasi, sapi potong menyebar di seluruh propinsi di Indonesia. Ada 8 wilayah propinsi dengan populasi tertinggi sebagai kawasan pengembangan sapi potong yaitu Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, NTB, NTT, Bali, dan beberapa wilayah di Sumatera. Propinsi Jawa Tengah, adalah kawasan sentra pengembangan sapi potong terbesar nomor dua setelah Propinsi Jawa Timur. Berdasarkan data DITJENNAK (2009) Propinsi Jawa Tengah menyumbang 12 persen dari total keseluruhan populasi sapi potong. Hal ini disebabkan kondisi geografis dan iklim yang mendukung pengembangan sapi potong, terutama untuk penggemukan sapi potong. Peternakan sapi potong di Propinsi Jawa Tengah didominasi oleh peternak rakyat yang mengusahakan sapi potong sebagai usaha sampingan untuk mendukung pendapatan keluarga. Peternak tersebut bekerja secara mandiri (menggunkan modal sendiri) maupun bekerja dengan cara memelihara ternak sapi orang lain (Gaduh). Sejak jaman dahulu, sistem kemitraan gaduh sudah dikenal di kalangan peternak sapi potong. Gaduh berasal dari bahasa Jawa yang secara 1
Arief Daryanto, Kemitraan dan Rantai Nilai. Artikel dapat diakses di majalah Trobos, edisi Mei 2009
5
sederhana dapat diartikan sebagai seseorang yang memberikan modal yang dimilikinya untuk dikembangkan orang lain. Gaduh berasal dari bahasa Jawa yang secara sederhana dapat diartikan sebagai seseorang yang memiliki modalnya untuk dikembangkan orang lain. Sistem Gaduh dilaksanakan melalui mekanisme bagi hasil antara pemilik modal dan peternak. Mekanisme gaduh ini kemungkinan terbukti menguntungkan kedua belah pihak terutama peternak. Peternak bertanggung jawab atas penyediaan pakan, kandang, dan tenaga kerja. Sedangkan perusahaan bertanggung jawab atas sapi (bakalan) dan pemasaran sapi. Menurut Ilham (2009) adanya organisasi (roles) dan aturan main (rules) akan menentukan seberapa banyak pelaku yang terlibat dan bagaimana proses transaksi terjadi. Dengan demikian walaupun komoditas yang diperdagangkan sama, perbedaan jumlah organisasi (roles) dan aturan main (rules) akan membedakan bagaimana kinerja rantai nilai sapi potong. Adanya pola kemitraan akan membuat suatu bentuk orgaisasi (roles) dan aturan main (rules) yang berbeda dengan pola tidak bermitra. Adanya keterkaitan hubungan antara peternak dengan perusahaan membuat saluran pemasaran yang terbentuk menjadi lebih pendek. Saluran kemitraan cenderung lebih pendek apabila dibandingkan dengan saluran yang terbentuk pada pola tidak bermitra. Hal ini sehubungan dengan jumlah pelaku yang terlibat di pola kemitraan yag cenderung lebih sedikit dibandingkan saluran tidak bermitra. Saluran yang lebih pendek ini berarti mengurangi marjin, dan memperkecil biaya pemasaran sehingga saluran tersebut kemungkinan menjadi saluran yang lebih efisien dibandingkan dengan saluran tidak bermitra yang cenderung melibatkan banyak organisasi/pelaku pemasaran. Sejalan dengan hal tersebut, saluran yang lebih pendek menyebabkan produsen atau peternak dapat mengakses lingkungan pendukung lebih baik dari pada peternak pada pola tidak bermitra. Dengan rantai yang lebih pendek, peternak dapat dengan mudah mengakses lingkungan pendukung seperti infrastruktur, informasi dan pengetahuan melalui kemampuan perusahaan pemilik modal dalam mengakses lingkungan pendukung tersebut. Dengan demikian, adanya kontrak kemitraan kemungkinan dapat mendorong peternak untuk meningkatkan produktifitas, dan kualitas produk yang lebih baik dan mampu mengakses pasar yang lebih luas. Dengan kata lain, pola kemitraan dapat meningkatkan kinerja rantai nilai secara keseluruhan. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka penting untuk mempelajari rantai nilai sapi potong dari sisi keterlibatan peternak, atau pelaku pemasaran dalam pola kemitraan. Permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana peranan kemitraan terhadap pembentukan rantai pemasaran sapi potong. 2. Bagaimana peranan kemitraan terhadap kinerja pelaku pemasaran dalam rantai nilai sapi potong 3. Berapa besar struktur biaya dan marjin pemasaran yang terbentuk di rantai nilai sapi potong
6
1.4. Tujuan Terkait dengan pertanyaan-pertanyaan yang melandasi dilakukannya penelitian, maka tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mendeskripsikan peranan kemitraan terhadap pembentukan rantai pemasaran sapi potong. 2. Menganalisis peranan kemitraan terhadap kinerja pelaku pemasaran dalam rantai nilai sapi potong 3. Menganalisis struktur biaya dan marjin pemasaran yang terbentuk di rantai nilai sapi potong. 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Karakteristik Peternak Rakyat
Menurut Wahyuni (2007) eksistensi “usahaternak sapi potong pola rakyat (USPPR) secara intensif baru dikenal, yaitu mulai tahun 1990 melalui program panca usaha ternak sapi potong yang menekankan pada pertambahan berat badan yang dikenal dengan nama sapi kereman. Usaha ternak rakyat banyak dilakukan secara terintegrasi dengan usaha tani lainnya,baik usaha tani pangan seperti sayuran dan padi-padian maupun usaha tani non pangan seperti sawit. Peternakan rakyat di identifikasikan dengan usaha dengan skala usaha yang relatif kecil, merupakan usaha rumah tangga, cara pemeliharaan yang masih tradisional dan ternak sering digunakan sebagai tenaga kerja di usaha tani lainnya. (Yusdza dan Ilham 2004). Terdapat dua tipe peternak yang dikenal di masyarakat, yaitu peternak yang mengarahkan usahanya secara komersial, dan peternak yang mengarahkan usahanya secara non- komersial. Peternak dengan jumlah kepemilikan sapi 1-4 ekor cenderung mengarahkan usahanya ke arah non komersial dan atau semi komersial dimana peternak tidak terlalu berorientasi pasar dan keuntungan. Sementara itu, peternak dengan jumlah kepemilikan sapi lebih dari 25 ekor termasuk peternak yang cenderung mengarahkan usahanya secara lebih komersial dan cenderung lebih memperhitungkan keuntungan secara ekonomis. (Priyanti et al 2012). Karena keterbatasan skala usaha tersebut, peternak rakyat memiliki beberapa kendala dalam mengakses faktor produksi. Baloyi (2010) menyebutkan bahwa dalam mengakses faktor produksinya petani atau peternak rakyat memiliki keterbatasan dalam hal akses lahan, akses terhadap saluran irigasi dan pengairan, akses terhadap input produksi, akses terhadap mekanisasi dan teknologi serta keterbatasan akses finansial sehubungan dengan keterbatasan asset. Adanya kendala akses terhadap sumber daya produksi tersebut mempengaruhi perilaku peternak dalam mengusahakan ternaknya. Menurut Marthin dan Jagadish (2006), pada musim-musim tanam yang berbeda, dimana petani ternak harus mengusahakan dua jenis usaha yaitu ternak sapi potong dan tanaman, peternak cenderung memiliki preferensi mengusahakan produk yang lebih menguntungkan dari pada produk lainnya. Preferensi peternak untuk mengusahakan dua komoditas atau lebih tersebut sangat mempengaruhi
7
ketersediaan produk. Salah satu faktor yang mempengaruhi preferensi peternak, adalah harga komoditas tertentu dan keterkaitannya dengan keterbatasan akses produksi. Ketika harga komoditas tertentu, pada waktu tertentu diprediksikan mengalami kenaikan, maka peternak akan cenderung mengalokasikan lahan dan modal untuk mengusahakan komoditas tersebut dan mengurangi jumlah alokasi untuk komoditas lainnya sejalan dengan keterbatasan modal, lahan dan tenaga kerja yang dimiliki oleh satu rumah tangga peternak. Sejalan dengan hal tersebut, menurut Marsetyo et al (2009) dengan keterbatasan modal, lahan dan tenaga kerja akan sangat mempengaruhi ketersediaan pakan terutama pakan hijauan dan konsentrat. Pakan merupakan salah satu hal yang sangat penting untuk pertumbuhan berat badan ternak. Selain kendala tersebut, peternak menghadapi kendala lain dalam pemenuhan hijauan sebagai pakan utama bagi peternak rakyat seperti keterbatasan peternak dalam mengakses pengetahuan tentang pakan yang baik dan berkualitas, keterbatasan peternak rakyat terhadap spesies hijauan yang produktif, keterbatasan peternak dalam penyediaan lahan yang produktif untuk pertumbuhan pakan hijauan, dan ketidaksesuaian musim. 2.2 2.2.
Penelitian Tentang Rantai Nilai
Metode Pengukuran Rantai Nilai
Langkah awal yang perlu dilakukan untuk menganalisis rantai nilai adalah analisis entry point atau analisis titik masuk. Analisis entry point adalah analisis kasus pembuka atau isu utama yang dapat dijadikan awal analisis rantai nilai. Analisis berikutnya adalah analisis rantai pemasaran, atau beberapa literature menyebutnya sebagai rantai pasok (Supply Chain Management atau SCM). Aktivitas yang menjadi landasan adalah mengkoordinasi organisasi, orang, aktivitas, informasi, dan sumberdaya yang terlibat secara fisik atau virtual dari supplier ke tangan konsumen (Andri 2009). Penelitian Ton (2012) meneliti tentang analisis rantai nilai peternakan rakyat di afrika. Analisis entry point yang digunakan adalah analisis isu mengenai kondisi peternak dan peternakan rakyat di Afrika. Model yang digunakan adalah model kompilasi dimana analisis pemasaran peternakan digunakan sebagai analisis awal, kemudian di dukung dengan analisis faktor yang mempengaruhi keseluruhan perdagangan ternak, seperti analisis ketersediaan infrastruktur dan analisis governance. Sedangkan analisis yang digunakan untuk menganalisis rantai nilai adalah analisis kualitatif. Kelemahan dari analisis ini adalah tidak terlihatnya nilai tambah yang terjadi sepanjang rantai. Pendekatan kualitatif juga digunakan oleh Schipmann (2007). Penelitian ini menggunakan isu kondisi petani dan produsen cabai merah skala kecil ketika harus menghadapi persaingan global. Model rantai nilai dianalisis dengan cara membandingkan situasi pasar, aliran produk, aktor yang terlibat, struktur governance di pasar Internasional dan pasar lokal, dari mulai produk segar sampai ke produk olahan. Kinerja rantai nilai dinilai dengan menggunakan analisis nilai tambah atau dalam hal ini adalah analisis profit yang diperoleh masing-masing aktor dengan menggunakan analisis rasio input-output
8
Selain analisis kualitatif, penelitian tentang rantai nilai juga bisa dilengkapi dengan analsis kuantitatif. Muchara (2010) melakukan penelitian analisis rantai nilai peternak skala kecil di Afrika dengan menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif yang digunakan adalah analisis rantai nilai yang berdasarkan pada analisis pemetaan rantai nilai dengan menggunakan pendekatan berdasarkan komoditas. Pemetaan rantai nilai disini sama dengan analisis saluran pemasaran dimana analisis dilakukan dengan menganalisis producer (petani skala kecil), pedagang, dan konsumen. Untuk melengkapi analisis pemetaan rantai nilai atau analisis kinerja, digunakan analisis kuantitatif yaitu menggunakan analisis efisiensi teknis dengan Stocastic Frontier Analysis. Pendekatan lain digunakan oleh Spies (2011) yang melakukan penelitian rantai nilai peternakan rakyat (smallholder) daging sapi dan domba dengan menggunakan pendekatan Structure, Conduct, Performance (SCP), pemetaan commodities (mapping) dan “lean thingking” analisis. Metode ini adalah metode pengukuran kinerja dengan cara membuang “Waste” berupa biaya tambahan akan tetapi tidak penting untuk meningkatkan nilai tambah. Analisis kinerja ini digunakan untuk melihat efisiensi ekonomi dan termasuk komponen nilai tambah didalamnya, seperti: biaya produksi, penerimaan di level dan jalur distribusi (rantai pemasaran) yang berbeda, biaya transaksi, pengumpulan dan distribusi informasi dan pemberlakuan kontrak, benchmarking dan upgrading. Penelitian diatas menggunakan dua analisis yaitu analisis kualitatif untuk menyajikan informasi mengenai isu peternak atau petani skala kecil dalam menghadapi situasi pasar atau permintaan terkait kualitas dan kuantitas, saluran pemasaran produk, dan identifikasi aktor dari produser sampai ke tangan konsumen dan analisis kuantitatif untuk menilai kinerja dari rantai serta analisis nilai tambah. Pada penelitian rantai nilai sapi potong peternakan rakyat ini, analisis dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Hal ini sejalan dengan pendapat Hellin and Meijer (2006), dimana analisis rantai nilai dapat dianalisis melalui dua pendekatan yaitu pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Tidak ada pendekatan yang lebih baik daripada pendekatan lainnya. Pendekatan kuantitatif yang dinilai berdasarkan hasil pengolahan kuesioner yang mendekati kejadian sesungguhnya dan pendekatan kualitatif dapat melengkapi informasi yang tidak dapat di hasilkan melalui hasil pengolahan kuantitatif. Pendekatan kualitatif dapat menggambarkan kondisi rantai nilai baik aktor dan kesempatan maupun tantangan yang didapatkan masing-masing aktor dalam setiap rantai. Dengan demikian analisis rantai nilai peternakan sapi potong rakyat di Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara ini menggunakan metode analisis rantai nilai yang dimulai dengan analisis karakteristik peternak sebagai analisis entry point, analisis rantai pasok atau rantai pemasaran dan analisis kinerja rantai pemasaran. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan cara mendeskripsikan ketiga komponen analisis rantai nilai. 2.2.2
Pemasaran Sapi Potong Peternakan Rakyat
Karakteristik pemasaran produk pertanian adalah saluran pemasaran produk dari petani sampai ke tingkat konsumen akhir yang panjang. Adanya saluran yang panjang tersebut, mengindikasikan banyaknya lembaga pemasaran yang terlibat. Selain panjang, keterlibatan lembaga pemasaran juga membentuk
9
saluran pemasaran yang bervariasi antar petani satu dengan petani lain dalam satu wilayah.Ton (2012) dam Spies (2011) menyebutkan rantai pemasaran yang terbentuk adalah sapi potong dari peternak di pedesaan (rural area) dijual ke pedagang perantara, baik pedagang perantara yang datang ke desa, maupun pedagang yang lebih besar yang menguasai wilayah lebih luas. Dari pedagang perantara, sapi potong dalam keadaan hidup dibawa ke pasar hewan di wilayah kecamatan maupun district untuk kemudian dijual ke pedagang pemotong atau langsung dibawa ke pemotongan hewan. Dari pemotongan hewan, sapi telah berubah bentuk menjadi daging, dan siap untuk dipasarkan di pasar-pasar lokal atau tradisional. Sullivan dan Dwiyanto (2007), Ilham (2009) menyebutkan bahwa pada pasar sapi potong, pelaku yang terlibat dalam pemasaran ternak dan daging sapi bervariasi antar daerah. Pelaku yang terlibat adalah : peternak/feedlotter, pedagang pengumpul desa, makelar di pasar hewan tertentu, pedagang antar provinsi (antar pulau), importir daging/pedagang pejagal, pengecer di pasar tradisional, supermarket, meatshop dan pedagang keliling. Pola saluran tataniaga di daerah sentra produksi sapi potong relatif lebih banyak melibatkan pedagang ternak sapi, sebaliknya, di sentra konsumsi relatif lebih banyak melibatkan pedagang sapi. Pemasaran peternak rakyat di daerah tertentu. hanya mencapai pasar tradisional lokal dan sangat tergantung pada pedagang. Rahmanto (2004) menyebutkan bahwa pola peternak dalam memasarkan ternaknya sangat tergantung pada jasa pedagang, baik pedagang pengumpul ke blantik dadung dan kemudian ke pedagang antar daerah. Akan tetapi tidak semua peternak tergantung kepada pedagang, peternak yang memiliki peran peternak atau pedagang dapat menjual secara langsung sapi tanpa melalui pedagang perantara, seperti yang dijelaskan oleh Wahyuni (2007) menyebutkan ada tiga jenis variasi peternak rakyat, yaitu peternak yang telah melakukan manajemen kandang yang intensif yaitu dengan menggunakan kandang permanen, mmiliki pakan khusus untuk penggemukan dan memiliki standar pertambahan berat badan. Peternak tipe ini umumya hanya bersifat sebagai produsen yang menjual ternak ke blantik atau pedagang pengumpul. Tipe peternak kedua adalah gabungan tipe peternak pertama ditambah dengan adanya usaha untuk pengadaan pakan. Tipe peternak kedua berperan ganda yaitu sebagai peternak sekaligus sebagai pedagang sapi dan pedagang pakan. Tipe peternak selanjutnya adalah gabungan peternak tipe dua yang memiliki rumah potong hewan. Tipe peternak ke tiga ini memiliki multiperan yaitu selain sebagai produsen, mereka juga berperan sebagai pedagang yang melakukan jual beli sapi dalam keaadaan hidup di pasar hewan dan daging sapi melalui pemotongan sapi. Garis besar aliran pemasaran sapi dapat dilihat pada gambar 2.1
10
Pedagang perantara (Pedagang Desa)
Peternak Rakyat (Breeding)
Peternak Rakyat (Penggemukan)
Pedagang Perantara
Pasar Hewan Hidup
Pedagang Kabupaten
Pedagang antar provinsi Rumah Potong hewan Pedagang Daging Besar konsumen Retailler Pasar Tradisional
Retailler Supermarket
Retailler Meatshop
Pasar Daging
Gambar 2.1 Saluran pemasaran daging sapi di Pulau Jawa tahun 2001 (Hadi et al 2002)
2.2.3 Kinerja Rantai Nilai Kinerja dalam analisis rantai nilai dapat di identifikasikan sebagai kapasitas lembaga atau aktor dalam mengakses pasar dan lingkungan pendukung. Aktivitas pendukung ini senantiasa akan menyatukan fungsi-fungsi yang melintasi aktivitas primer yang beraneka ragam, serta bermanfaat untuk membagi lebih lanjut aktivitas primer yang ada di sepanjang rantai untuk kemudian menciptakan nilai tambah. Adanya revolusi peternakan seiring dengan peningkatan pendapatan dan perubahan gaya hidup membuat peternak sapi potong menghadapi tantangan dalam mengakses pasar. Secara umum, aktor dalam rantai nilai menghadapi kendala dalam mengakses pasar terkait dengan kemampuan peternak dalam mengakses pasar. Baloyi (2010) menyebutkan peternak rakyat menghadapi kendala dalam mengakses transportasi, menghasilkan produk dengan kualitas dan kuantitas yang kecil dan tidak konsisten sehingga harga produk menjadi rendah, keterbatasan dalam usaha untuk bekerja secara bersama-sama, keterbatasan jarak yang jauh antara domisili peternak dan pasar, dan keterbatasan market informasi. Sedangkan Ton (2012), menyebutkan tiga hal yang mempengaruhi kinerja peternak yaitu kemampuan peternak dalam mengakses pengetahuan dan modal, tidak tersedianya infrastruktur fisik yang memadai, dan lemahnya kelembagaan yang bekerja disepanjang rantai pasar. Sementara itu, menurut Martin dan Jagadish (2006), dalam mengakses kinerja sistem pemasaran petani dengan menggunakan standar penghitungan pemasaran dan kinerja rantai pasok untuk meciptakan nilai. Peneliti menilai
11
kinerja petani kecil dalam menciptakan nilai dengan cara melihat bagaimana petani dan aktor lain dalam satu rantai nilai memperoleh keuntungan dan margin yang sedikit dibandingkan aktor lainnya, yaitu: (1) akses terhadap manajemen kualitas, dimana semakin panjang rantai, semakin komplek manajemen kualitas yang harus dilakukan masing masing aktor, (2) akses terhadap infrastruktur dan logistik, dalam hal ini petani yang berada jauh di pedesaan memiliki akses yang rendah terhadap infrastruktur dan logistik, hal ini akan sangat mempengaruhi biaya yang dikeluarkan petani., (3) Akses terhadap informasi. Semakin panjang rantai yang terbentuk, maka akan semakin kecil akses informasi yang didapatkan peternak, (4) Hubungan yang terbentuk, dimana keeratan hubungan tergantung pada market segmen dan karakteristik produk. Hubungan yang tepat akan mempengaruhi peternak maupun pemasar mengatasi kendala dalam ketiga aspek penilaian kinerja yang sebelumnya. Kinerja selanjutnya yang dapat dinilai dalam rantai nilai adalah adanya governance structure yang dipengaruhi keterikatan hubungan antar aktor. Schipman (2006) menunjukan bahwa semakin kompleks segmen dan kriteria pasar yang akan dituju, maka governance structure akan semakin komplek, sehingga membutuhkan keterikatan hubungan yang semakin kuat. Semakin kuat keterikatan hubungan antara petani dan pedagang, maka akan semakin banyak keuntungan yang akan didapatkan petani dari segi akses pasar. Semakin erat hubungan, penentuan harga akan semakin mudah,informasi akan semakin tersebar dan pada akhirnya keuntungan akan semakin tinggi. Adanya kinerja di atas selanjutnya mempengaruhi nilai tambah atau marjin yang didapatkan oleh peternak. (Martin and Jagadish 2006, Schipman 2006, Spies 2011). Nilai tambah atau margin terdiri dari berbagai macam komponen biaya pemasaran. Ilham (2009) menyebutkan dua komponen utama marjin pemasaran adalah keuntungan dan biaya pemasaran. Sedangkan Rahmanto (2004) menyebutkan bahwa biaya pemasaran terdiri dari biaya-biaya angkut, biaya akomodasi, pakan ternak, komisi blantik, dan retribusi pasar. Biaya-biaya tersebut memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap biaya total.Menurut Ilham dan yusdja (2004) persentase biaya pemasaran terhadap biaya total adalah sebesar 2,30-9.08 persen, dimana biaya transportasi merupakan komponen utama dalam biaya pemasaran. Sehingga semakin panjang rantai, kemungkinan akan mempertinggi biaya transaksi (transaction cost) dan akan menyebabkan rantai pemasaran bekerja tidak efisien. Menurut Ilham (2009), besarnya biaya pemasaran tergantung pada banyaknya pelaku pasar sejak dari sentra produksi dan konsumsi. Peternak memiliki ketergantungan tinggi terhadap jasa pedagang pengumpul dalam memasarkan ternaknya, meskipun tersedia fasilitas pasar ternak yang cukup memadai. Hal ini karena beberapa faktor diantaranya : (1) tingkat skala usaha yang relatif kecil sehingga pengeluaran biaya angkutan yang tidak efisien, (2) peternak tidak memiliki cukup pengetahuan tentang kondisi pasar, (3) transaksi didasarkan atas taksiran pembeli sehingga tidak ada standard tertentu untuk mengukur berat badan, (4) adanya blantik yang berpotensi mengurangi pendapatan peternak. Dengan demikian, kinerja peternak rakyat dinilai dari bagaimana peternak mengakses lingkungan pendukung baik peternak yang bekerja secara bermitra maupun tidak bermitra. Kemampuan peternak dalam mengakses lingkungan
12
pendukung mencerminkan baik atau tidaknya kinerja peternak rakyat. Kinerja peternak rakyat juga didukung dengan adanya analisis marjin pemasaran dan efisiensi pemasaran. Sehingga, semakin baik kinerja pemasaran dalam rantai nilai sapi potong, semakin meningkatkan kinerja rantai nilai yang dimiliki oleh masingmasing aktor. Semakin panjang rantai pemasaran, maka marjin pemasaran juga akan semakin kecil. 3.2.4 Peran Kemitraan dalam Rantai Nilai Kemitraan dimaksudkan sebagai upaya pengembanan usaha yang dilandasi kerja sama antara perusahaan dan peternakan rakyat, yang pada dasarnya merupakan kerja sama vertikal. Kerja sama tersebut mengandung pengertian bahwa ke dua belah pihak harus memperoleh keuntungan dan manfaat. Menurut Saptana (2006) kemitraan adalah suatu jalinan kerja sama berbaai plaku agribisnis, mulai dari kegiatan pra produksi sampai dengan pemasaran. Kemitraan dilandasi oleh asas kesetaraan kedudukan, saling membutuhkan, dan saling menguntungkan serta adanya persetujuan di antara pihak yang bermitra untuk saling berbagi biaya, resiko, dan manfaat. Penarapan konsep kemitraan antara peternak sebagai mitra dan pihak perusahaan perlu diakukan sebagai upaya khusus agar usaha ternak sapi potong, baik sebagai usaha pokok maupun pendukung dapat berjalan seimbang. Upaya khusus tersebut, meliputi pembinaan finansial dan teknik serta aspek manajemen. Pembinaan manajemen yang baik, terarah, dan konsisten terhadap peternak sapi potong sebagai mitra akan meningkatkan kinerja usaha, yang akhirnya dapat meningkatkan pendapatan. Oleh karena itu, melaui kemitraan baik yang dilakukan secara pasif maupun aktif akan menumbuhkan jalinan kerja saa dan membentuk hubungan bisnis yang sehat. Kemitraan antara peternak dan perusahaan memiliki peran penting terhadap jalannya aktifitas rantai nilai sapi potong. Peran kemitraan dalam aktifitas rantai nilai dapat terlihat dari kemudahaan pengadaan produk sesuai dengan kualitas dan kuantitas yang diminta oleh pasar sejalan dengan hubungan yang terbentuk antara peternak dengan perusahaan. Melalui hubungan kemitraan, resiko produksi, resiko harga, dan resiko pasar dapat diatasi. Hal ini sesuai dengan penelitian Baloyi (2010), Kinerja rantai nilai, terutama dalam hal perbaikan produksi dan akses pasar, dapat ditingkatkan melalui pembentukan kelompok atau organisasi kerja peternak. Peningkatan kinerja pola kemitraan dapat memberikan pengaruh yang positif pada peningkatan kinerja rantai nilai sapi potong peternak skala kecil. Meningkatnya kinerja rantai nilai pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan peternak sejalan dengan peningkatan kemampuan peternak untuk memenuhi permintaan sapi potong baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Peternak maupun aktor yang lain dalam rantai nilai dapat mengambil manfaat dengan adanya pola kemitraan ini baik dari segi pemasaran dan produksi. Panjangnya rantai pada pola kemitraan dapat diputus dengan cara menciptakan keterkaitan hubungan yang terjadi antara peternak mitra dan perusahaan. Peternak mitra mendapatkan jaminan pasar dari perusahaan sehingga peternak tidak perlu berhubungan dengan pedagang perantara. Hasil penelitian Supriyatna (2006), peternak yang memiliki hubungan kemitraan dapat mengakses langsung ke pasar yang lebih modern dan konvensional
13
sekaligus. Sementara itu, peternak mandiri umumnya melakukan penjualan melalui pedagang pengumpul. Hal ini menunjukan bahwa rantai yang terbentuk di pola kemitraan lebih pendek dibandingkan dengan pola mandiri. Dengan kata lain, pola kemitraan ini lebih menguntungkan dalam hal perolehan marjin dibandingkan peternak mandiri. Kemitraan memiliki manfaat untuk meningkatkan kinerja,baik bagi peternak maupun perusahaan. Peternak mudah mengakses lingkungan pendukung sejalan dengan kemampuan perusahaan inti dalam mengakses lingkungan pendukung. Penelitian Kumar, et al (2011) menyebutkan bahwa dengan adanya rantai nilai yang terintegrasi antar aktor, produsen akan mendapatkan manfaat dari peningkatan informasi dan pengetahuan, kualitas dan keamanan pangan yang lebih baik, mengurangi biaya dan kerugian, mempertinggi penjualan dan adanya pertambahan nilai yang lebih baik dalam proses produksi. Akan tetapi, adanya kemitraan tersebut juga memiliki dampak negatif bagi para pelaku ternak. Hal ini dijelaskan dalam Vanzetti (2010), bahwa sisi negatif dari penerapan pola kemitraan ini adalah adanya pembagian keuntungan yang tidak sesuai diantara kedua belah pihak. Peternak memiliki resiko tinggi dalam produksi sementara inti memiliki resiko lebih tinggi dari produksi dan pemasaran sejalan dengan karakterestik peternak kecil. Hal ini sejalan dengan penelitian Hadi et al (2002) dimana kinerja kemitraan antara feedlotter dan peternak rakyat dinilai kurang berhasil akibat adanya perilaku peternak yang melanggar perjanjian seperti proses operasi yang tidak standar dan ketidak mampuan perusahaan untuk mendampingi peternak secara intensif. Dengan demikian, adanya sistem kemitraan dapat meningkatkan kinerja rantai nilai para aktor atau lembaga yang terlibat. Melalui kemitraan, rantai pemasaran akan dipotong dimana ternak dari peternak langsung di jual ke pedagang atau perusahaan yang memiliki mitra. Ternak dari perusahaan akan dijual ke pemotongan. Selain itu, kemitraan juga dapat meningkatkan kinerja lembaga dalam mengakses lingkungan pendukung terutama untuk peternak mitra. Peternak akan lebih mudah mengakses lingkungan pendukung sehubungan dengan hubungan yang terbentuk antara peternak mitra dengan perusahaan.
14
3. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 3.1.1
Perkembangan Teori Rantai Nilai (Value Chain)
Deskripsi Konsep Rantai Nilai (Value Chain) Pengertian rantai nilai menurut Kaplinsky dan Moris (2001) adalah :
….“full range of activities which are required to bring a product or service from conception, through the intermediary phases of production, delivery to final consumers and final disposal after use”
Dari pengertian tersebut, Analisis Rantai Nilai memandang suatu perusahaan sebagai salah satu bagian dari rantai nilai produk. Analisis rantai nilai memandang perusahaan sebagai salah satu bagian dari rantai nilai produk. Rantai nilai produk merupakan aktifitas yang berawal dari pengadaan bahan mentah (raw material) sampai dengan penanganan purna jual. Rantai nilai ini mencakup aktivitas yang terjadi karena adanya hubungan antara perusahaan dengan pemasok (supplier linkages), dan hubungan dengan konsumen (Consumer linkages). Sehingga dalam hal ini analisis rantai nilai membantu suatu perusahaan memahami posisi perusahaan pada rantai nilai produk untuk meningkatkan keunggulan kompetitif.Sedangkan menurut Stringer (2009) rantai nilai adalah salah satu konsep pendekatan bagaimana menambah nilai suatu aktifitas dan memperbesar nilai produk secara maksimal dalam tatanan suatu rantai pasok. Porter (1985) mengidentifikasikan aktifitas rantai nilai sebagai satu set kombinasi Sembilan aktifitas generic dalam suatu perusahaan. Kesembilan aktifitas tersebut kemudian dibagi menjadi dua aktifitas yaitu aktifitas primer dan aktifitas pendukung. Aktifitas primer yaitu serangkaian aktifitas yang terdiri dari proses logistic inbound (pengadaan input), operasi, outbound logistic, pemasaran dan penjualan serta pelayanan setelah penjualan. Sedangkan aktifitas pendukung adaah infrastruktur, manajemen sumberdaya manusia, pengembangan teknologi dan pengadaan. Aktifitas pendukung ini senantiasa akan menyatukan fungsifungsi yang melintasi aktifitas primer serta bermanfaat untuk membagi lebih lanjut aktifitas spesifik yang ada di dalam rantai. Kedua aktifitas tersebut kemudian di satukan dalam penilaian nilai tambah. Aktifitas rantai nilai yang dideskripsikan porter ini kemudian dikembangkan oleh beberapa peneliti yang men Untuk lebih memahami konsep rantai nilai, perlu diketahui secara lebih mendalam penggunaan istilah rantai nilai dan rantai pasok (Hoobs and Young 1999). Analisis rantai nilai berbeda dengan analsis rantai pasok dalam beberapa hal. Analisis rantai pasok berhubungan dengan rantai atau aktivitas hubungan vertikal dari rangkaian aktivitas-aktivitas dalam industri. Rantai pasok adalah aktifitas untuk mentransmit sinyal dari konsumen ke perusahaan pangan serta mengirimkan produk dari petani ke meja konsumen. Komponen utama dari rantai pasok ini adalah pasokan, produksi, proses atau manufactur dan retailing. Menurut Kaplinsky dan Morris (2001) membedakan antara rantai nilai dan rantai pasok dalam hal hubungan dan keterikatan antar aktor dalam satu tingkat produksi. Hubungan tersebut didefinisikan oleh KIT et al (2006) dimana aktor dalam rantai nilai memiliki kekuatan untuk melakukan negosiasi dan menawar harga, dengan demikian mereka mampu untuk melakukan suatu investasi dalam
15
rantai dan mendukung aktivitas aktor lain didalam rantai nilai, dan demikian sebaliknya dengan aktor dalam rantai pasok. Aktivitas rantai pasok dan rantai nilai dibedakan dari fungsi nya . Webber dan Labaste (2009) Analisis rantai pasok digunakan untuk menganalisis setiap aktivitas logistic dan aktivitas procedural yang berkaitan dengan produksi dan pengiriman produk atau jasa, oleh karena itu analisis rantai pasok ini dideskripsikan sebagai “from supplier’s supplier to the customer’s customer”. Fokus utama analisis rantai pasok adalah management untuk mengatur over-stock, biaya transaksi yang lebih murah, dan meningkatkan persyaratan dan kepuasan konsumen. Akan tetapi dalam beberapa literature rantai nilai mengintegrasikan aktivitas rantai pasok dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumen melalui pengembangan produk dan jasa konsumen, produksi, dan operasi distribusi. (Altenburg 2007, Stringer 2009). Analisis rantai nilai di sektor pertanian dibedakan menjadi dua hubungan, yaitu hubungan vertikal dan hubungan horizontal. Hubungan vertikal terjadi ketika sebuah usaha tani melakukan spesialisasi di bagian khusus dari rantai nilai dan mempererat hubungan dengan para pemasok (supplier), processor dan distributor. Sedangkan hubungan horizontal terjadi ketika ada hubungan dengan perusahaan atau usaha yang sama dalam satu level di value chain (Kaplinsky dan Morris 2001). Sedangkan Boelje et al (1999) menyebutkan bahwa produksi pertanian di negara maju telah mengalami perubahan dari industri yang didominasi oleh keluarga, petani kecil dan perusahaan ke satu industri yang lebih ketat keterikatanya dari proses produksi dan distribusi dalam satu rantai nilai. Di satu sisi, di negara berkembang, aktor dalam rantai nilai dideskripsikan sebagai petani dan perusahaan, tradisional maupun modern, akses pasar lokal maupun global. Dari deskripsi rantai nilai diatas, dalam konteks penelitian dibidang pertanian, rantai nilai memiliki fungsi untuk menumbuhkan kekuatan petani kecil (smallholder) untuk dapat lebih bersaing dan mengakses pasar global (Humphrey and Schmitz 2000). Aktor dalam analisis rantai nilai dalam pertanian dideskripsikan oleh Heillen dan Meijer (2006) adalah orang-orang yang melakukan transaksi dengan produk yang sama yang berpindah dalam satu rantai nilai, dari mulai input (supplier), petani, pedagang, processor, pengangkut/distributor, pedagang besar, pedagang retail dan sampai produk ke tangan konsumen akhir. Gambar 3.1 menunjukan bagaimana struktur rantai nilai bekerja pada sektor pertanian secara umum. Pemasok
Petani
Pedagang
Pengolah
Retailers
Pelanggan
Gambar 3.1 Rantai nilai sederhana dalam pertanian (Sumber : Heillen dan Meijer 2006)
3.1.2
Review Metode Analisis Rantai Nilai
Sebagaimana disebutkan di atas, rantai nilai dapat dianalisis dengan snalisis rantai nilai (VCA) (Heillen and Meijer 2006). Rantai nilai dalam setiap industri memiliki kharakteristik khusus untuk menganalisisnya. Setiap analisis
16
harus melihat karakter secara spesifik tentang objek yang akan diteliti berdasarkan tujuan penelitian untuk dijadikan sebuah pertimbangan. Pada penelitian ini, dimana subjek penelitian adalah peternak rakyat dan komoditasnya adalah sapi hidup, maka analisis yang dilakukan tentu saja berbeda dengan penelitian yang menggunakan sistem transaksi yang lebih modern seperti di industri pangan lainnya. Tahap-tahap dalam menganalisis rantai nilai dapat dilihat melalui framework Global Comodity Chain yang dikembangkan oleh Kaplinsky dan Morris (2000) yaitu aalisis entry point, analisis pemetaan rantai nilai, analisis segment pasar dan critical success factor, analisis pemetaan governance, proses up gradding dan analisis isu-isu distribusi. Dalam penelitian ini, ke lima tahap tersebut disesuaikan dengan entry point yaitu peternak skala kecil. Beberapa penelitian menyederhanakan analisis tersebut menjadi analisis pemetaan komoditas (Schipman,2006;Muchara, 2010;Spies 2011;Ton 2012). Penyederhanaan juga dilakukan oleh Rich et al (2009) Analisis rantai nilai kemudian dianalisis dalam tiga tahap yaitu tahapan pengidentifikasian entry point atau identifikasi isu, tahapan identifikasi pemetaan rantai nilai atau dalam hal ini identifikasi saluran pemasaran, dan tahap identifikasi kinerja, yaitu kapabilitas atau kemampuan setiap aktor dalam melakukan transaksi dan mengakses lingkungan pendukung, tahap analisis governance structure dan isu distribusi penerimaan. Sehingga analisis rantai nilai melalui tahap-tahap sebagai berikut : 1. Identifikasi The point of entry. Memilih entry point adalah titik awal untuk mengeksekusi metodologi analisis rantai nilai. Entry point meliputi isu-isu yang spesifik atau terkait dengan aktor-aktor yang spesifik. Kaplinsky dan Morris (2000) menyebutkan ada dua belas kasus yang mungkin menjadi entry point dalam penelitian , yaitu : distribusi pendapatan pada pemasaran global, retailers, pembeli spesifik, produsen kunci, produser spesifik komoditas tertentu, produser dalam bidang pertanian (smallholder), usaha skala kecil, produsen dan pedagang yang informal secara ekonomi, perempuan, anak-anak dan kelompok lain yang termarjinalisasi yang dieskploitasi dalam suatu grup. Entry point dalam penelitian ini adalah karakteristik peternak rakyat yang bekerja di dua sistem yaitu sistem kemitraan dan sistem tidak bermitra. 2. Pemetaan rantai nilai (mapping the value chain). Tahap pemetaan rantai nilai dalam beberapa penelitian diidentifikasikan sebagai tahap mengidentifikasikan rantai pemasaran.Tahap kedua ini adalah tahap untuk memetakan informasi yang terkait dengan aktor atau lembaga yang teridentifikasi membentuk rantai pemasaran. Informasi tersebut terkait dengan aktor kunci di setiap saluran yang terbentuk, mengidentifikasi aliran produk, termasuk didalamnya informasi, tujuan pemasaran dari tangan produsen sampai ke tangan konsumen. 3. Tahapan selanjutnya adalah analisis kinerja. Kinerja sendiri adalah tingkat keberhasilan didalam melaksanakan tugas serta kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kinerja dikatakan baik dan sukses apabila tujuan yang diinginkan dapat dicapai denganbaik (Gibson et al 1984). Selanjutnya Griffin (1985) menjelaskan bahwa kinerja merupakan suatu kumpulan total dari perilaku kerja yang ada pada pekerja. Suatu kegiatan usaha pasti ingin mencapai sasaran yang telah ditetapkan atau ingin dicapai.
17
Penilaian kinerja menjadi penting, sebab (1) merupakan ukuran keberhasilan suatu kegiatan usaha dalam kurun waktu tertentu dan (2) merupakan masukan untuk perbaikan atau peningkatan kinerja kegiatan usaha selanjutnya (Riyanti, 2003). Kinerja rantai nilai di nilai berdasarkan kemampuan produsen untuk mengakses lingkungan pendukung dan perolehan nilai tambah. Pada tahap analisis kinerja ini, terdapat indikator penilaian kinerja rantai nilai, indikator tersebut adalah sebagai berikut (Ton 2012, Baloyi 2010, Muchara 2010, Martin and Jagadish 2006) 1) Infrastruktur Fisik dan Ketersediaan Transportasi Ketersediaan infrastruktur dan transportasi merupakan salah satu aspek yang krusial dalam pemasaran suatu produk pertanian. Infrastruktur yang dimaksudkan adalah fasilitas jalan yang baik proper road network), fasilitas pasar hewan, dan fasilitas rumah potong hewan seperti timbangan, peralatan, lahan parker, sanitasi dan sebagainya. Keterbatasan akses infrastruktur akan sangat mempengaruhi transaksi terutama dalam hal biaya transaksi. Jalan yang kurang baik akan mempengaruhi kemampuan peternak/aktor dalam mengakses pasar secara tepat dan mempengaruhi kualitas ternak, akibatnya biaya transportasi semakin tinggi. Keterbatasan terhadap akses fasilitas akan mempengaruhi kondisi ternak (kualitas produk).Sedangkan transportasi atau logistik penting untuk mengankut ternak sampai ke tujuan. Tanpa adanya alat transportasi, peternak atau aktor lain akan memiliki kendala dalam biaya transportasi dan kualitas produk (susut berat badan) 2) Akses Informasi dan Pengetahuan Peternak atau petani memiliki sejumlah karakteristik yang dapat mempengaruhi perilaku peternak dalam mengakses pasar. Karakteristik tersebut dipengaruhi oleh pendapatan, tingkat pendidikan, jenis ternak, ketersediaan informasi dan jarak dengan pasar. Informasi dan pengetahuan merupakan aspek yang krusial dalam pengembangan usaha ternak/tani. Aliran informasi dalam kerangka rantai nilai adalah aliran informasi mengenai harga, spesifikasi produk baik produk sebelum maupun sesudah, informasi tentang pasar (tempat dan waktu yang tepat untuk menjual produk, dan pembeli potensial) dan informasi tentang kebijakan yang sedang berpengaruh. Semakin pendek saluran rantai nilai, maka aliran informasi akan menyebar sebakin baik (Martin and Jagadish 2006). 3) Akses terhadap keberadaan organisasi Organisasi dalam pertanian seringkali di identikan dengan kelompok tani/ternak. Mosher (1987) menyatakan bahwa salah satu syarat sukses terlaksananya kekuatan pembangunan pertanian yaitu adanya suatu kegiatan kelompok tani. Kelompok tani dibentuk untuk mensejahterakan masyarakat petani/ternak melalui kenaikan produktifitas serta distribusi pendapatan yang lebih merata. Abbas (1995) menyatakan bahwa terdapat beberapa peranan kelompok tani, yaitu: (1) sebagai kelas belajar bagi para petani agar terjadi interaksi, guna meningkatkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan dalam
18
berusahatani yang lebih baik serta berperilaku lebih mandiri untuk mencpai kehidupan yang lebih sejahtera, (2) sebagai unit produksi dalam pengertian kelompok tani merupakan kesatuan unit usaha untuk mewujudkan kerjasama dalam mencapai skala ekonomi yang lebih menguntungkan dan (3) sebagai wahana kerjasama antara anggota dan antara kelompok tani dengn pihak lain untuk memperkuat kerjasama dalam menghadapi berbagai macam ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan. Berdasarkan uraian di atas, keterlibatan peternak atau aktor lainnya dalam kelompok akan mempengaruhi kinerja rantai nilai. Semakin sering proses interaksi terjadi antara sesama anggota, maka proses pertukaran dan distribusi pengalaman akan berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan pengelolaan usaha sapi potong termasuk di dalam nya produksi dan pemasaran. Terkait dengan sistem kemitraan yang ada, organisasi juga diidentikan dengan keterlibatan peternak dalam sistem kemitraan. 4.
Governance structure dan hubungan antar aktor Pada pemetaan governance ini berhubungan erat dengan hubungan antar aktor. Menurut Williamson (1985), perintah (governance) ekonomi merujuk ke bagaimana institusi ekonomi yang berbeda memberikan kontribusi dalam memfasilitasi produksi dan perdagangan.Governance berhubungan erat dengan hubungan kontraktual dalam setiap hubungan yang berkelanjutan dan merupakan salah satu bagian dari nilai. Berdasarkan Spithoven dan Van and berg (2010) governance structure berhubungan dengan langkah penting untuk mengkoordinasikan transaksi dimana para aktor dapat menggunakan cara negosiasi didalam pasar, dimana aktor dalam pasar diidentifikasikan secara autonomous. Dalam konteks rantai nilai, governance terjadi dalam setiap hubungan yang terbentuk di sepanjang rantai. Kaplinsky dan Morris (2001) mendeskripsikan governance structure sebagai interaksi antar perusahaan sepanjang rantai nilai. Interaksi ini menunjukan level organisasi secara lebih teratur dalam hal pengaturan rules dan kekuatan. Rantai nilai memiliki governance structure apabila parameter persyaratan kualifikasi produk, proses dan logistic merupakan konsekuensi bagi keselurhan bagian dari rantai nilai baik produsen, distributor maupun pedagang untuk memenuhi keinginan pelanggan tersebut sesuai dengan aktifitas, peran, dan fungsi dari masingmasing aktor atau lembaga dalam rantai nilai. Atau dalam hal ini, rantai nilai akan ter govern dengan baik apabila tercipta suatu hubungan yang berkelanjutan antar aktor sehingga kualifikasi persyaratan pelanggan dapat dipenuhi bersama-sama. Legitimasi kekuatan governance tersebut diukur dari seberapa kuat hubungan antar aktor dengan parameter penilaian sebagai berikut : panjangnya kontrak, tipe prosedur pemesanan, tipe hubungan kontraktual, tipe titik inspeksi yang digunakan dalam menerima penerimaan, tingkatan keterikatan perusahaan satu dengan yang lain, tipe pendampingan secara teknik yang mengalir sepanjang rantai, tipe dan cara berkomunikasi, pembayaran serta penentuan harga.
19
3.2
Konsep Kemitraan
Menurut Pasal 1 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997, kemitraan adalah kerjasama usaha antara usaha kecil dengan usaha besar atau usaha menengah disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah dan usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling memiliki. Sehingga kemitraan adalah suatu jalinan kerjasama antara pelaku agribisnis mulai dari kegiatan pra produksi, produksi, pemasaran maupun lingkungan pendukung. Kemitraan dilandasi oleh azas kesetaraan, kedudukan, saling membutuhkan dan saling menguntungkan serta adanya persetujuan diantara kedua belah pihak yang bermitra untuk saling berbagi biaya, resiko dan manfaat. Lahirnya konsep kemitraan usaha antara perusahaan pertanian (BUMN, swasta, koperasi) dengan pertanian rakyat (petani kecil) menurut Saptana (2005) didasarkan atas dua argument, pertama, adanya perbedaan dalam penguasaaan sumberdaya (lahan dan capital) atara masyarakat industrial dan masyarakat petani di pedesaan. Masyarakat industrial memiliki sumberdaya modal dan pengetahuan yang besar, namun kurang dalam lahan dan tenaga kerja, dan sebaliknya. Argumen kedua adalah perbedaan sifat hubungan biaya per satuan output dengan skala usaha pada masing-masing sistem agribisnis. Sehingga dalam hal ini, lahirnya konsep kemitraan didasarkan pada kondisi setiap pelaku usaha yang memiliki potensi, kemampuan, dan keistimewaan masing-masing dengan perbedaan jenis, sifat dan tempat usahanya. Dari pelaku usaha yang memiliki kelebihan dan kekurangan diharapkan dapat saling menutupi kekurangan masingmasing dengan kondisi demikian akan timbul suatu kebutuhan untuk melakukan kerjasama melalui hubungan kemitraan. Menurut Suryana (2009) sedikitnya ada lima manfaat pembangunan pertanian yang berkelanjutan melalui pendekatan agribisnis dan kemitraan, yaitu 1) mengoptimalkan alokasi sumberdaya pada satu titik waktu dan lintas generasi, 2) meningkatkan efisiensi dan produktifitas produk peternakan karena adanya keterpaduan produk berdasarkan tarika permintaan (demand driven), 3) meningkatkan efisiensi masing-masing subsistem agribisnis dan harmonisasi keterkaitan antara subsistem melalui keterpaduan antarpelaku, 4) terbangunnya kemitraan usaha agribisnis yang saling memperkuat dan menguntungkan, dan 5) adanya kesinambungan usaha yang menjamin stabilitas dan kontinuitas pendapatan seluruh pelaku agribsinis. Berdasarkan Keputusan Mentri Pertanian Nomor 940 Tahun 1997, kemitraan usaha pertanian dapat dilaksanakan dengan pola berikut ini: 1) Pola Kemitraan Inti Plasma Pola inti plasma merupakan hubungan kemitraan antara kelompok mitra usaha sebagai plasma dengan perusahaan inti yang bermitra. Salah satu contoh pola inti plasma adalah pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR). Perusahaan inti menyediakan input produksi, sarana produksi, bimbingan teknis, manajemen, menampung, mengelola, dan memasarkan hasil produksi. Kelompok mitra memenuhi kebutuhan perusahaan dengan menjual hasil produksi kepada perusahaan inti sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati dan mematuhi aturan atau petunjuk yang diberikan oleh perusahaan inti. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 Pasal 3,
20
perusahaan inti berkewajiban untuk membina dan mengembangkan plasmanya dalam hal: a) penyediaan dan penyiapan lahan; b) penyediaan sarana produksi; c) pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi; d) perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan; e) pembiayaan; dan f) pemberian bantuan lainnya yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha. 2) Pola Kemitraan Sub Kontrak Pola sub kontrak merupakan bentuk kemitraan antara perusahaan mitra dengan kelompok mitra yang memproduksi komponen yang diperlukan oleh perusahaan mitra sebagai bagian dari produksinya. Bentuk kemitraan ini ditandai dengan adanya kesepakatan kontrak bersama yang diantaranya mencakup volume, harga, mutu, dan waktu. Pola kemitraan ini sangat bermanfaat dan kondusif bagi terciptanya alih teknologi, modal, ketrampilan dan produktivitas, serta terjaminnya pemasaran produk dari kelompok mitra. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 Pasal 4, perusahaan besar memberikan bantuan kepada perusahaan mitranya berupa: a) kesempatan untuk mengerjakan sebagian produksi dan atau komponen; b) kesempatan yang seluas-luasnya dalam memperoleh bahan baku yang diproduksinya secara berkesinambungan dengan jumlah dan harga yang wajar; c) bimbingan dan kemampuan teknis produksi atau manajemen; d) perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan; e) pembiayaan. 3) Pola Kemitraan Dagang Umum Pola kemitraan dagang umum merupakan bentuk hubungan usaha dalam pemasaran hasil antara pihak perusahaan pemasar dengan pihak kelompok usaha pemasok kebutuhan yang diperlukan oleh perusahaan pemasar. Beberapa petani atau kelompkok tani bergabung dalam bentuk koperasi atau badan usaha lainnya bermitra dengan perusahaan pemasar untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan persyaratan yang telah disepakati bersama. Peranan kelompok mitra adalah memasok kebutuhan yang diperlukan perusahaan mitra dan perusahaan mitra memasarkan produk dari kelompok mitra tersebut ke konsumen atau industri. 4) Pola Kemitraan Keagenan Pola kemitraan keagenan merupakan bentuk kemitraan dimana perusahaan mitra berskala menengah atau besar memberikan hak khusus kepada perusahaan kecil atau kelompok mitranya untuk memasarkan barang atau jasa perusahaan mitra. Perusahaan mitra bertanggung jawab atas mutu dan volume produk, sedangkan kelompok mitra berkewajiban memasarkan produk tersebut. Pihak-pihak yang bermitra memiliki kesepakatan tentang targettarget yang harus dicapai dan besarnya komisi.
21
5) Pola Kemitraan Lainnya Contoh pola kemitraan ini adalah kerjasama operasional agribisnis (KOA). Pola kemitraan KOA merupakan hubungan bisnis antara kelompok mitra sebagai penyedia lahan, sarana, dan tenaga dengan perusahaan mitra sebagai penyedia biaya, modal, manajemen, dan pengadaaan sarana produksi untuk mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditas tertentu. Perusahaan mitra juga sering berperan sebagai penjamin pasar produk atau pengolah produk tersebut yang kemudian dikemas untuk dipasarkan. Pihak-pihak yang bermitra memiliki kesepakatan tentang pembagian hasil dan risiko usaha. 3.3 Efisiensi Pemasaran Efisiensi pemasaran dapat diukur melalui dua cara, yaitu efisiensi harga dan efisiensi operasional. Menurut Dahl dan Hammond (1977) efisiensi operasional menunjukkan biaya minimum yang dapat dicapai dalam pelaksanaan fungsi dasar pemasaran, yaitu pengumpulan, transportasi, penyimpanan, pengolahan, distribusi, aktifitas fisik dan fasilitas. Efisiensi operasional berhubungan dengan penanganan rasio dari output-input pemasaran. Untuk menganalisis efisiensi operasional didekati degan menghitung marjin pemasaran, farmer’s share, dan rasio biaya dan keuntungan tataniaga.Sedangkan efisiensi harga adalah bentuk kedua dari efisiensi pemasaran Efisiensi ini menekankan kepada kemampuan dari sistem pemasaran yang diinginkan oleh konsumen. Efisiensi ini dapat dihitung dengan menggunakan analisis keterpaduan atau integrasi pasar. 3.3.1
Konsep Marjin Pemasaran
Kohls dan Uhl (1990) mendefinisikan marjin pemasaran sebagai selisih harga yang dibayarkan konsumen dengan yang diterima oleh petani produsen. Adanya perubahan atau selisih harga tersebut merupakan indikator yang memperlihatkan total biaya yang dikeluarkan, keuntungan serta jasa dan peningkatan nilai tambah yang dilakukan oleh pelaku pemasaran yang terlibat. Sehingga komponen dari marjin ini adalah biaya pemasaran (marketing cost) dan keuntungan pemasaran (marketing profit).Dengan kata lain, marjin pemasaran adalah harga dari keseluruhan aktifitas penambahan nilai serta kinerja dan fungsi yang dilakukan oleh lembaga pemasaran. Harga termasuk biaya dalam kinerja pemasaran dan semua biaya yang menggerakan produk dari produsen hingga ke konsumen akhir serta keuntungan dari lembaga pemasaran yang terlibat. Harga yang dibayarkan konsumen menentukan persaingan dan posisi tawar dari petani dan lembaga pemasaran. Harga tersebut merefleksikan biaya dalam memproduksi produk pertanian dan biaya jasa pemasaran. Marjin pemasaran yang rendah tidak selalu merefleksikan tingkat efisiensi pemasaran yang tinggi. Tinggi atau rendahnya marjin pemasaran suatu produk termasuk produk peternakan dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor fisik pemasaran seperti pengangkutan, penyimpanan dan sebagainya. Tingginya marjin pemasaran tidak selalu karena banyaknya pedagang perantara yang terlibat sehingga marjin dapat diturunkan dengan cara memperpendek saluran pemasaran. Pada kenyataanya, tinggi atau rendahnya marjin pemasaran bergantung pada banyaknya fungsi yang
22
dilakukan oleh lembaga pemasaran bukan pada banyaknya lembaga pemasaran yang terlibat. Pada gambar 3.2 marjin pemasaran digambarkan sebagai perbedaan harga di tingkat lembaga pemasaran (Pr) dengan harga di tingkat produsen (Pf). Nilai marjin pemasaran (value of marketing margin) merupakan perkalian antara marjin pemasaran dengan volume produk yang terjual [(Pr-Pf)*Qrf]. P Sr Sf
Pr Dr
Pf
Df
Q
Qr.f
Gambar 3.3 Konsep Marjin Pemasaran (Sumber : Hammond and Dahl, 1977 3.3.2
Farmer’s Share Farmer’s share merupakan perbandingan antara harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima petani. Farmer’s share biasanya dinyatakan dalam presentase dan memiliki hubungan yang negatif dengan marjin pemasaran. Semakin tinggi marjin pemasaran suatu produk, maka semakin rendah farmer’s share yang diterima petani dan sebaliknya, semakin rendah marjin pemasaran suatu produk maka semakin tinggi farmer’s share yang diterima petani. Kohl dan Uhl (2002) menyatakan bahwa farmer’s share adalah selisih antara harga ditingkat akhir dengan marjin pemasaran. Bagian dari harga yang dibayarkan oleh konsumen yang diterima oleh petani dinyatakan dalam persentase harga konsumen. Komoditas yang diberi nilai tambah yang lebih banyak oleh lembaga pemasaran selain petani akan memiliki farmer’s share yang lebih rendah. 3.3.3. Rasio Keuntungan dan Biaya Tingkat efisiensi suatu sistem pemasaran dapat dilihat dari rasio keuntungn terhadap biaya pemasaran. Rasio keuntungan dan biaya menunjukkan perbandingan antara biaya yang dikeluarkan dengan keuntungan yang dihasilkan. Angka rasio keuntungan dan biaya sama satu menunjukkan bahwa keuntungan yang dihasilkan sama besar dengan biaya yang dikeluarkan dan lebih besar daripada satu menunjukkan baha keuntungan lebih besar daripada biaya yang ikeluarkan. Semakin meratanya marjin pemasaran dan rasio keuntungan terhadap
23
biaya pemasaran, mnunjukkan bahwa secara operasional sistem pemasaran tersebut semakin efisien. 3.4
Kerangka Konseptual
Peningkatan jumlah penduduk menyebabkan rantai nilai produk peternakan termasuk sapi potong semakin panjang dan komplek.Sebaliknya, aktifitas agroindustri sapi potong pada saat ini masih belum terintegrasi dan bersinergi dengan kegiatan di sektor hulunya (Bappenas 2010).Salah satu strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerja rantai nilai adalah melalui sebuah hubungan baik vertikal maupun horizontal atau yang biasa disebut kemitraan. Adanya konsep kemitraan ini akan membentuk suatu organisasi pemasaran yang berbeda dengan organisasi pemasaran yang dibentuk oleh peternak yang bekerja secara mandiri. Rantai nilai sapi potong di Indonesia merupakan rantai nilai yang cukup panjang dan komplek. Peternak sapi potong khususnya di Pulau Jawa melakukan usaha ternak dalam dua sistem yaitu sistem kemitraan dan non kemitraan. Kedua sistem tersebut akan membentuk organisasi pasar dan mempengaruhi kinerja rantai nilai sapi potong peternakan rakyat di Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dalam menganalisis rantai nilai. Analisis rantai nilai dilakukan melalui tiga tahap, yaitu mengidentifikasi entry point, dimana entry point analisis ini adalah karakteristik peternak mitra dan peternak tidak bermitra. Hasil dari analisis entry point tersebut kemudian digunakan untuk mengidentifikasi saluran pemasaran dan peran aktor dalam analisis pemetaan rantai nilai dan menganalisis kinerja rantai nilai. Analisis kinerja rantai nilai dideskripsikan sebagai analisis kapasitas masing-masing aktor atau lembaga dalam mengakses lingkungan pendukung seperti akses terhadap infrastruktur dan transportasi, akses terhadap informasi dan pengetahuan, akses terhadap keberadaan organisasi, dan akses terhadap pembentukan governance structure dan hubungan antar aktor. Analisis kinerja juga dilakukan dengan cara menganalisis struktur biaya dan besarnya marjin yang diperoleh masing-masing saluran yang terbentuk. Keseluruhan analisis baik analisis entry point, analisis pemetaan dan analisis kinerja membandingkan dua sistem yaitu sistem kemitraan dan sistem tidak bermitra. Oleh karena itu, berdasarkan analisis perbandingan dua sistem yaitu sistem kemitraan dan tidak bermitra dapat diambil kesimpulan mengenai sejauh mana peran kemitraan dalam memetakan rantai nilai, meningkatkan kinerja dan pembentukan struktur biaya serta besarnya marjin rantai nilai (Gambar 3.3)
24
-Aktifitas agroindustri sapi potong belum terintegrasi dengan kegiatan di sektor hulu (peternakan skala kecil). Rantai pemasaran yang panjang dan tidak efisien disebabkan banyaknya pedagang.
Kemitraan membentuk struktur organisasi dan peran dalam rantai pemasaran di dalam rantai nilai Kemitraan dapat meningkatkan kinerja rantai nilai
Analisis peranan kemitraan terhadap rantai nilai Sapi Potong Peternakan Rakyat
Analisis Entry point (Analisis Karakteristik Peternak Mitra dan Tidak Bermitra)
Pembentukan saluran pemasaran (Analisis Aktor dan Aktivitas Rantai Pemasaran)
Analisis Kinerja Rantai Nilai (Performance) Analisis akses lingkungan pendukung 1. Akses terhadap Infrastruktur dan Transportasi 2. Akses terhadap informasi dan pengetahuan 3. Akses terhadap organisasi
Analisis Efisiensi 1. Marjin Pemasaran 2. Farmer’s Share 3. Rasio Keuntungan/Biaya 4. Rasio penerimaan/total biaya
Analisis Structure Governance
Alternatif saluran di rantai nilai yang berkinerja lebih baik
Gambar 3.3 Kerangka pemikiran konseptual (Adaptasi dari model rantai nilai Kaplinsky dan Morris 2001)
25
4. METODE PENELITIAN 4.1
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian mengenai analisis rantai nilai peternakan sapi potong rakyat dilakukan di Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara, Provinsi Jawa Tengah. Pemilihan lokasi penelitian mempertimbangkan beberapa hal, antara lain : (1) Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi sentra sapi potong di Indonesia dimana Kabupaten Banjarnegara adalah salah satu wilayah sentra sapi potong, (2) wilayah Kecamatan Wanayasa merupakan salah satu wilayah penting ( jumlah populasi terbesar) dalam pengembangan penggemukan sapi potong di Banjarnegara. Peternak sapi potong di Kecamatan Wanayasa terbagi menjadi dua kelompok peternak,yaitu peternak yang bermitra dan peternak yang tidak bermitra. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Mei-Juni 2012. 4.2
Jenis dan Sumber Data
Penelitian menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung di lapangan, wawancara, dan pengisian kuesioner oleh pelaku-pelaku dalam rantai nilai sapi potong. Data primer meliputi data karakteristik peternak mitra yang terdiri dari umur dan jenis kelamin peternak, tingkat pendidikan, pengalaman usaha peternak, skala usaha, kepemilikan asset dan modal, luas dan status pengusahaan lahan, dan deskripsi usaha ternak. Sedangkan data primer mengenai keseluruhan aktivitas yang dilakukan masing-masing pelaku berdasarkan peran dan fungsi, digunakan untuk menganalisis pemetaan rantai nilai. Data sekunder adalah data pelengkap yang diperoleh berdasarkan literature-literatur yang diambil dari buku dan artikel serta lembaga atau instansi terkait, seperti Badan Pusat Statistik (BPS), data keragaan dan kebijakan industri sapi potong dari Direktorat Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan, data badan penyuluh pertanian, peternakan, dan kesehatan hewan Kecamatan Wanayasa, jurnal dan artikel ilmiah terkait topik penelitian 4.3
Metode Penentuan Responden
Penelusuran dan pemilihan responden dalam penelitian ini dilakukan secara sengaja (purposive) dimana setelah penentuan lokasi penelitian, maka responen yang dipilih adalah responden yang bekerja pada dua sistem yang berbenda, yaitu sistem kemitraan dan sistem yang tidak bermitra. Metode penentuan sampel digunakan untuk memperoleh data primer yang mewakili populasi yang ada karena tidak semua peternak sapi potong dijadikan sumber data primer. Peternak yang dipilih adalah peternak yang sedang mengusahakan usaha penggemukan sapi potong dalam kurun waktu dua tahun terakhir atau yang sedang melakukan jual-beli sapi potong yang berasal dari enam desa, yaitu Desa Kajiwan, Desa Kasimpar, Desa Sibebek, Desa Gumelem, Desa Logok, dan Desa Wanayasa. Sehubungan dengan tidak adanya data yang menyebutkan jumlah populasi peternak yang melakukan usaha dengan sistem kemitraan maupun non
26
kemitraan, maka metode penentuan responen didasarkan pada jumlah peternak yang melakukan transaksi dalam kurun waktu satu tahun terakhir, yaitu sebesar 30 peternak yang bekerja dengan sistem kemitraan dan 30 peternak yang bekerja dengan sistem tidak bermitra. Sementara penentuan responden untuk pedagang ditentukan dengan metode snowball sampling dengan mengikuti alur komoditas berjalan mulai dari peternak sampai ke tangan konsumen. Metode ini digunakan berdasarkan informasi dari responden sebelumnya sehingga responden yang terpilih di saluran pemasaran, akan disesuaikan dengan pola pemasaran yang terjadi di lokasi penelitian. Responden pedagang terdiri atas pedagang desa sebanyak lima orang, pedagang kecamatan sebanyak dua orang (dua orang adalah pedagang sekaligus peternak /nucleus), dan pedagang pemotong sebanyak tiga orang. 4.4
Metode Pengolahan dan Analisis Data
Metode pengolahan data yang dilakukan adalah dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan untuk mengintepretasikan dan mendeskripsikan analisis karakteristik peternak sapi potong rakyat sebagai entry point, mendeskripsikan saluran pemasaran baik tipe saluran maupun deskripsi lembaga pemasaran (aktor) dan fungsi masing-masing lembaga pemasaran, serta analisis kinerja rantai nilai berdasarkan Metode analisis rantai nilai Kaplinsky dan Morris (2000). Analisis kuantitatif digunakan untuk menganalisis besarnya marjin dan farmer’s share pemasaran sapi potong. Alat analisis data kuantitatif yang digunakan adalah Microsoft Excel dan sistem tabulasi data. Pemilihan metode ini berdasarkan pendapat Heillen dan Meijer (2006) Tidak ada aturan pasti dalam menganalisis rantai nilai, atau dengan kata lain tidak ada analisis yang lebih baik dari pada analisis yang lain. Hal yang paling tepat adalah menggunakan analisis kualitatif terlebih dahulu untuk menggambarkan peta rantai nilai, dan apabila waktu dan sumberdaya tersedia kemudian dilanjutkan analisis kuantitatif. 4.4.1
Analisis Entry point
Analisis entry point adalah analisis awal sebelum analisis value chain akan dilakukan. Kaplinsky and morris (2000) menyebutkan bahwa entry point dapat berupa isu-isu yang terkait dengan kondisi usaha atau industri, maupun terkait dengan aktor utama atau aktor khusus yang menjadi point utama sebelum menganalisis value chain. Dalam penelitian ini, entry point yang digunakan adalah peternak rakyat yang bekerja dalam dua sistem, yaitu kemitraan dan tidak bermitra. Isu penting yang terkait dengan peternak rakyat adalah karakteristik usaha ternak sapi potong yang kemudian dihubungkan dengan akses peternak terhadap organisasi dan kinerja value chain. Variabel yang menjadi karakteristik usaha ternak adalah karteristik sosio ekonomi peternak yang meliputi umur dan jenis kelamin peternak, tingkat pendidikan, pengalaman usaha peternak, skala usaha, kepemilikan asset, akses modal, luas dan status pengusahaan lahan, dan deskripsi usaha ternak.
27
4.4.2 Analisis Peranan Kemitraan Pemasaran dalam Rantai Nilai
terhadap
Pembentukan
Rantai
Setelah analisis entry point dilakukan, analisis selanjutnya adalah analisis pembentukan rantai pemasaran berdasarkan hasil dari analisis entry point. Analisis yang pertama adalah analisis struktur rantai nilai. Analisis struktur rantai nilai menggambarkan anggota utama atau aktor dari jaringan dan peran dari masing-masing aktor. Analisis selanjutnya adalah analisis kegiatan aktifitas pemasaran yang terstruktur yang dirancang untuk menghasilkan output tertentu (termasuk didalamnya tipe fisik produk, dan informasi). 4.4.3. Analisis Peranan Kemitraan terhadap Kinerja Rantai Nilai Tahapan analisis yang ke empat adalah analisis kinerja rantai nilai berdasarkan aktifitas pendukung dalam aktifitas pemasaran. Aktifitas pendukung yang dinilai kinerjanya adalah akses terhadap infrastruktur dan transportasi, akses terhadap informasi dan pengetahuan, akses terhadap keberadaan organisasi, pembentukan governance dan pola hubungan antar aktor, dan terakhir adalah analisis efisiensi pemasaran. Semakin baik kemampuan aktor rantai nilai dalam mengakses lingkungan pendukung tersebut, maka akan semakin baik kinerjanya. Semakin baik governance dan keterikatan hubungan maka akan semakin baik kinerjanya. Semakin efisien rantai yang terbentuk maka akan semakin baik kinerjanya dan sebaliknya. Kinerja rantai nilai dibendakan ke dalam dua tipe yaitu sistem kemitraaan dan sistem yang tidak bermitra. Metode untuk mengukur kinerja aktor dalam mengakes lingkungan seperti akses terhadap infrastrruktur, akses terhadap transportasi, akses terhadap informasi dan pengetahuan dan akses terhadap orgnisasi menggunakan metode skala likert. Dengan menggunakan skala likert, maka variable yang diukur dijabarkn menjadi dimensi, dimensi dijabarkan menjadi sub variable, kemudian sub varibel dijabarkan lagi menjadi indikator-indikator lagi yang dapat di ukur. Akhirnya indikator-indiktor yang terukur ini menjadi titik tolak untuk membuat instrument yang berupa pertanyaan atau pertanyaan yang perlu di jawab oleh responden. Setiap jawaban dihubungkan dengan pertanyaan dengan bentuk pernyataan atau dukungan sikap yang diungkapkan dengan kata-kata sebagai berikut : Pernyataan positif Sangat tinggi (5), tinggi (4), sedang (3), rendah (2), dan sangat rendah (1) Pernyataan negatif Sangat tinggi (1), tinggi (2), sedang (3), rendah (4), dan sangat rendah (5)
28
Penelitian ini menggunakan skala likert tiga tingkat dan termasuk pernyataan positif:
1 Tinggi
2 Sedang
3 Rendah
Skala likert ini digunakan untuk mengukur kinerja rantai nilai yang di lakukan oleh aktor baik peternak maupun pedagang. Kinerja rantai nilai di ukur dari dengan menggunakan empat pertanyaan positif. Seluruh jawaban pertanyaan tersebut akan dijumlahkan dan dibuat persentase setiap responden, untuk mengetahui seberapa besar kinerja peternak aktor dalam rantai nilai. Semakin tinggi persentase akses terhadap lingkungan pendukung, maka semakin tinggi kinerja. Keterangan : 1. Akses terhadap infrastruktur Akses terhadap infrastruktur adalah akses terhadap ketersediaan infrastruktur fisik seperti jalan yang bagus, fasilitas yang memadai meliputi fasilitas pasar, fasilitas informasi pasar, dan fasilitas rumah pemotongan. Akses terhadap infrastruktur diidentifikasikan dengan kategori tinggi ketika aktor mampu mengakses jalan yang bagus (aspal), fasilitas pasar hewan dan fasilitas rumah potong hewan yang memadai. Akses dikategorikan sedang, ketika aktor memiliki akses yang baik terhadap infrastruktur jalan, akan tetapi tidak memiliki akses yang baik terhadap pasar dan rumah potong hewan. Akses dikategorikan rendah apabila aktor tidak memiliki akses sama sekali terhadap keberadaan jalan yang bagus dan fasilitas yang memadai. 2. Akses terhadap keberadaan transportasi Akses terhadap keberadaan transportasi adalah akses aktor terhadap tersedianya alat transportasi untuk mengangkut sapi potong. Akses terhadap keberadaan transportasi dikategorikan tinggi apabila aktor memiliki akses transportasi untuk engangkut sapi dan menggunkannya pada setiap transaksi. Akses terhadap transportasi dikategorikan tinggi, apabila aktor memiliki alat transportasi dan menggunakannya untuk mengangkut ternak sapi pada saat trnsaksi. Akses terhadap transportasi dikategorikan sedang apabila aktor tidak memiliki alat transportasi akan tetapi aktor dengan mudah menghubungi pedagang apabila ingin menjual ternak atau aktor masih bias menyewa alat transportasi. Akses terhadap transportasi dikategorikan rendah apabila aktor tidak memiliki akses transportasi dan tidak memiliki akses untuk menghubungi pedagang. Aktor ini sangat tergantung pada pedagang tingkat selanjutnya, sehingga terkadang harga yang diterima murah dan biaya transportasi tinggi.
29
3. Akses terhadap informasi dan pengetahuan. Informasi dan pengetahuan dalam penelitian ini adalah informasi dan pengetahuan mengenai harga, kebijakan, kondisi pasar dan teknologi. Akses terhadap informasi dan pengetahuan dikategorikn tinggi apabila aktor memiliki akses tinggi terhadap informasi dan pengetahuan dan mampu menggunakan informasi dan pengetahuan tersebut untuk kemajuan usahanya. Aktor yang memiliki akses sedang terhadap informasi dan pengetahuan adalah aktor yang sebenarnya memiliki kemampuan untuk mengakses informasi dan pengetahuan akan tetapi tidak mampu menggunakannya untuk memajukan usaha ternaknya. Aktor yang dikategorikan rendah dalam mengakses informasi adalah aktor yang tidak memiliki kemampuan sama sekali dalam akses informasi, sehingga aktor tersebut tidak memperoleh tambahan informasi dan pengetahuan. 4.4.3
Analisis Marjin Pemasaran
Analisis marjin pemasaran digunakan untuk mengetahui tingkat efisiensi pemasaran dari peternak sampai ke tangan konsumen. Manjin pemasaran merupakan perbedaan harga di tingkat konsumen dengan harga yang diterima peternak. Secara matematis dapat di rumuskan sebagai berikut : M = Pr – Pf…………………………………………………………………. (1) Keterangan: M : Marjin pemasaran Pr : harga di tingkat konsumen Pf : harga di tingkat produsen /peternak Analisis marjin pemasaran yang digunakan untuk mengetahui marjin pemasaran total yang mencakup fungsi-fungsi, biaya, dan kelembagaan yang terlibat dan keseluruhan sistem mulai dari peternak (primary supply) sampai pada konsumen akhir (Primary demand), dirumuskan sebagai berikut : M = Pr – Pf = C + πi = ∑ Mi………………………………………………... (2) Dimana Mi = Pji – Pbi………………………………………………………. (3) Keterangan: M : marjin pemasaran Pr : harga di tingkat konsumen Pf : harga yang diterima peternak C : biaya-biaya dari adanya pelaksanaan fungsi pemasaran Π : keuntungan lembaga pemasaran’ Mi : marjin pada tingkat pemasaran ke-i, dimana i = 1,2,3,….n Pji : harga penjualan untuk lembaga pemasaran ke-i Pbi : harga pembelian untuk lembaga pemasaran ke-i 4.4.4
Analisis Farmer’s Share Analisis farmer’s share digunakan untuk melihat persentase harga yang diterima oleh petani dengan harga yang diterima konsumen akhir. Semakin banyak lembaga pemasaran yang terlibat, akan semakin kecil tingkat farmer’s share yang didapat peternak. Farmer’s share memiliki perbandingan negatif
30
dengan marjin pemasaran. Secara matematis farmer’s share dirumuskan sebagai berikut : Farmer’s share = Pf x 100 %...................................................................... (4) Pr Keterangan : Pf : harga ditingkat peternak Pr : harga ditingkat konsumen 4.4.5
Rasio Keuntungan dari Biaya Pemasaran
Penyebaran marjin pemasaran tarmac sapi potong dapat dilihat berdasarkan persentase keuntungan terhadap biaya pemasaran pada masingmasing lembaga pemasaran. Secara matematis, perhitungannya sebagai berikut : Rasio keuntungan dan biaya = (xi/Bi) x 100 %............................................. (5) 4.4.6
Rasio Penerimaan dari Total Biaya Pemasaran
Penyebaran marjin pemasaran ternak sapi potong juga dapat dilihat berdasarkan perhitungan persentase penerimaan terhadap total biaya pemasaran pada masing-masing lembaga pemasaran. Secara matematis perhitungan keuntungan pemasaran dapat dirumuskan sebagai berikut : Rasio penerimaan/total bkiaya= {Hji/(Hbi+Bi)} x 100 %............................... (6) Definisi Operasional : 1. Umur adalah lamanya (tahun) hidup responden, diukur sejak responden dilahirkan sampai dengan wawancara dilakukan. Pengelompokan umur menggunakan skala rasio. 2. Status dalam rumah tangga dan jumlah anggota keluarga adalah status responden dalam rumah tangga peternak dan jumlah tanggungan yang dimiliki oleh peternak termasuk peternak itu sendiri, dihitung berdasarkan kondisi pada saat wawancara dilakukan. 3. Pendidikan formal adalah lamanya (tahun) responden mengenyam pendidikan formal, diukur berdasarkan lamanya responden menempuh pendidikan sekolah hingga wawancara dilakukan menggunakan skala rasio. Kemudian lamanya pendidikan dikategorikan ke dalam pendidikan rendah dan menengah. 4. Pengalaman berusaha ternak adalah lamanya (tahun) responden beternak sapi potong, diukur sejak mulai memelihara sapi potong sampai dengan wawancara dilakukan. Pengukuran diukur dengan menggunakan skala rasio, kemudian dikelompokkan ke dalam kategori rendah atau tinggi. 5. Skala usaha adalah jumlah ternak sapi yang dipelihara dalam satuan ternak (ST), diukur berdasarkan jumlah kepemilikan satuan ternak (setara ternak dewasa) pada saat wawancara dilakukan menggunakan rasio, kemudian dikelompokkan menjadi skala rendah dan tinggi. 6. Kepemilikan asset adalah jumlah aset yang dimiliki oleh masing-masing rumah tangga peternak pada saat wawancara dilakukan.
31
7. Akses modal adalah cara peternak dalam mengakses modal dalam mengusahakan usaha penggemukan sapi potong. Baik akses modal tunai maupun modal kredit. 8. Akses terhadap lahan adalah total luas lahan yang dimiliki oleh peternak pada saat wawancara dilakukan 9. Deskripsi usahatani ternak adalah deskripsi tentang tata laksana pengusahaan ternak baik dari segi penyediaan pakan, kandang, penanganan penyakit dan akses terhadap penyuluh pertanian. 10. Aktor adalah pelaku dalam value chain sapi potong berdasarkan fungsi masing-masing, pada saat wawancara dilakukan. Aktor kemudian dikategorikan berdasarkan fungsi dan peran yang dijalankan. 11. akses terhadap infrastruktur dan transportasi adalah akses terhadap ketersediaan infrastruktur dan alat transportasi untuk mengankut hasil ternak pada saat wawancara dilakukan. Kemampuan aktor dalam mengakses kemudian di kategorikan menjadi rendah, sedang, dan tinggi. 12. akses terhadap informasi dan pengetahuan adalah akses terhadap informasi dan pengetahuan mengenai produksi dan pemasaran sapi potong, yang dilakukan berdasarkan wawancara. Kemampuan aktor dalam mengakses informasi dan pengetahuan kemuadian dikategorikan menjadi rendah, sedang dan tinggi. 13. akses terhadap keberadaan organisasi adalah akses yang dimiliki oleh para pelaku untuk menjadi anggota sebuah organisasi baik formal maupun non formal ketika wawancara berlangsung. Kemampuan aktor dalam mengakses organisasi kemudian dikategorikan menjadi rendah, sedang dan tinggi. 14. akses terhadap governance dan hubungan adalah kemampuan aktor dalam berkoordinasi dalam pemasaran sapi potong pada saat wawancara berlangsung. Kemampuan ini dihubungkan dengan tingkat keeratan hubungan antar aktor. Kemampuan aktor dalam mengakses governance dan hubungan kemudian dikategorikan menjadi rendah, sedang, dan tinggi.
32
5. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK PETERNAK SAPI POTONG DI KABUPATEN BANJARNEGARA 5.1
Kondisi Topografi
Kabupaten Banjarnegara merupakan salah satu kabupaten yang terletak di Provinsi Jawa Tengah. Secara geografis Kabupaten Banjarnegara terletak antara 712”-713” lintang selatan dan 231”-308” bujur timur. Luas area Kabupaten Banjarnegara mencapai 1064.52 Km2 yang terbagi kedalam 20 Kecamatan dan 248 desa. Masing-masing wilayah memiliki ketinggian bervariasi antara 40-2300 m di atas permukaan laut. Hal ini membuat suhu di Kabupaten Banjarnegara bervariasi antara 20-26 derajat celcius. Letak Kabupaten Banjarnegara berbatasan dengan Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Batang di sebelah utara, Kabupaten Wonosobo di sebelah timur dan Kabupaten Purbalingga dan Kabupaten Banyumas di sebelah barat. Secara fisiologi, wilayah Kabupaten Banjarnegara terbagi ke dalam tiga tipe wilayah, yaitu wilayah utara, wilayah selatan, dan wilayah tengah (Gambar 6).
Gambar 5.1 Peta Kabupaten Banjarnegara (Sumber : www.banjarnegara.go.id)
Dengan kondisi alam yang mendukung, Kabupaten Banjarnegara menjadi salah satu Kabupaten di Indonesia yang berpotensi untuk pengembangan sapi potong. Jumlah sapi potong di Banjarnegara sekitar 1.55 persen dari jumlah sapi potong di Jawa Tengah, namun volume perdagangan sapi potong yang terjadi cukup tinggi, Jumlah sapi potong yang masuk dan keluar Banjarnegara mencapai 6.95 persen dan 3.16 persen dari total sapi potong yang masuk dan keluar Jawa Tengah. Tingginya volume perdagangan sapi potong salah satunya disebabkan oleh jumlah produksi daging dan jumlah pemotongan sapi di Kabupaten yang cukup tinggi apabila dibandingkan dengan jumlah populasi di Banjarnegara. Kondisi peternakan sapi potong Kabupaten Banjarnegara tahun 2007 dapat dilihat pada tabel 5.1. Tingginya volume perdagangan sapi di Banjarnegara disebabkan oleh adanya pasar hewan yang cukup besar. Pasar hewan tersebut beroperasi setiap hari
33
Senin dan dapat menampung lebih dari 900 sapi. Pedagang sapi, peternak sapi potong, pedagang pemotong dari berbagai daerah melakukan transaksi jual beli sapi di pasar ini. Pedagang dan pengusaha sapi pemotongan sapi berasal dari beberapa Kabupaten, seperti Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Garut. Tabel 5.1 Kondisi peternakan sapi potong di Kabupaten Banjarnegara 2007 No Uraian Jumlah Presentase dari Jumlah Total Provinsi Jawa Tengah (%) 1. Populasi (ekor) 21.596 1,55 2. Pemotongan sapi (ekor) 6.728 2,85 3. Jumlah sapi keluar (ekor) 5.166 3,16 4. Jumlah sapi masuk (ekor) 4.118 6,95 5. Produksi daging (kg) 1.642.689 3,26 6. Jumlah Rumah Potong 4 3,45 Hewan (unit) Source : Dinas Peternakan Kabupaten Jawa Tengah, 2008
Sapi-sapi siap potong yang diperdagangkan di Pasar Hewan berasal dari wilayah Banjarnegara dan sekitarnya. Sedangkan sapi pedet yang diperdagangkan di pasar hewan ini biasanya berasal dari daerah Boyolali, Lembang, Blora, Malang dan Pasuruan. Berdasarkan data dari pengelola pasar Hewan Banjarnegara, Aliran perdagangan dari bulan Agustus sampai dengan Desember 2009 rata-rata mencapai 770 ekor per minggu. Jumlah ini sempat menurun pada tahun 2010 dan 2011, dengan total jumlah 40 persen adalah sapi siap potong dan 60 persen adalah sapi bakalan. Transaksi jual beli yang terjadi di Pasar Hewan Banjarnegara hanya mencakup 60 persen dari total transaksi jual beli sapi potong di wilayah Banjarnegara secara keseluruhan. Sekitar 30 persen transaksi terjadi di pasar hewan Kabupaten Wonosobo dan 10 persen lainnya terjadi tanpa melalui pasar hewan. Ditinjau dari segi potensi wilayah, Kabupaten Banjarnegara memiliki 48.660 hektar lahan dan 45 persen merupakan tegalan. (BPS Banjarnegara, 2010). Sebagian besar lahan tegalan tersebut digunakan untuk pertanian sayuran dan sumber bahan pangan. Selain menghasilkan bahan pangan, lahan tersebut juga menghasilkan bahan pakan untuk sapi potong berupa rumput gulma dan limbah pertanian. Secara umum, untuk satu hektar lahan rumput gajah bisa mencukupi kebutuhan 10 ekor sapi potong (Abidin 2002) 2. Pengembangan peternakan sapi potong di Kabupaten Banjarnegara juga didukung adanya upaya kepedulian pemerintah terhadap sektor peternakan terutama melalui program Percepatan Swasembada Daging. Program tersebut dilangsungkan di beberapa kecamatan sentra sapi potong. Kecamatan Wanayasa merupakan kecamatan di Banjarnegara yang memiliki potensi sapi potong terbesar jumlah sapi potong di Kecamatan Wanayasa adalah sekitar 8047 atau sekitar 19 persen dari total keseluruhan populasi sapi di Banjarnegara. (Tabel 5.2).
2
Abidin z.2002. penggemukan sapi potong, depok : agromedia pustaka
34
Table 5.2 Jumlah populasi sapi potong di Kabupaten Banjarnegara 2008 No Kecamatan Jumlah Ternak Proporsi (Ekor) terhadap total (%) 1. Wanayasa 8.047 19.32 2. Kalibening 5.593 13.43 3. Karangkobar 4.678 11.23 4. 3.188 7.6 Bawang 5.
Pandanarum
2.745
6. Total Area in Banjarnegara 41.638 Sumber: BPS Banjarnegara (Banjarnegara Dalam Angka, 2008)
6.59 100
Potensi sapi potong di Kecamatan Wanayasa disebabkan kesesuaian kondisi wilayah Kecamatan Wanayasa untuk budidaya sapi potong. Ketinggian rata-rata wilayah Kecamatan Wanayasa adalah 1.135 meter di atas permukaan laut dengan suhu rata-rata 15 sampai dengan 20 derajat celcius. Ketinggian tempat tersebut merupakan kondisi yang sangat sesuai untuk budidaya sapi potong terutama sapi potong keturunan Eropa seperti silangan Brahman dengan Simmental, silangan Simmental dengan Fries Holstein, silangan Brahman dengan Fries Holstein (Abidin, 2002). Kondisi ini yang menyebabkan hampir seluruh sapi potong yang tersebar di Kecamatan Wanayasa merupakan sapi potong keturunan Eropa. Kesesuaian wilayah ini juga didukung dengan luas lahan yang dapat digunakan sebagai sumber pakan sapi. Secara umum, topografi wilayah Kecamatan Wanayasa berupa dataran tinggi yang berbukit-bukit, terutama di wilayah Kecamatan Wanayasa bagian utara. Kondisi ini disebabkan oleh letak Kecamatan Wanayasa yang termasuk ke dalam rantai pegunungan dataran tinggi Dieng. Tipe pemukiman desa-desa di Kecamatan Wanayasa relative sama, yaitu memusat di sepanjang jalan dan di kelilingi lahan pertanian. Kondisi wilayah Kecamatan Wanayasa berdasarkan penggunaan lahannya dapat dilihat pada Tabel 5.3. Tabel 5.3 Penggunaan Lahan di Kecamatan Wanayasa tahun 2008 No
Penggunaan Lahan
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Sawah irigasi sederhana Sawah tadah hujan Tanah Pekarangan Tegalan/Kebun Kolam Hutan produksi
Luas (hektar)
100,73 271,82 237,84 4.324,34 39.96 2.222,82
Proporsi dari luas kecamatan Wanayasa (%) 1,23 3,31 2,90 52.73 0.49 27,10
Sumber : Kecamatan Wanayasa dalam Angka 2008, BPS Kabupaten Banjarnegara 2008 Berdasarkan Tabel 5.4, usaha perekonomian masyarakat untuk sektor pertanian komoditi yang dapat dikembangkan adalah tanaman pangan dan holtikultura. Penggunaan lahan paling luas adalah untuk tegalan atau kebun, yaitu sebesar 52.73 persen dari total keseluruhan lahan. Tegalan atau kebun sebagian besar digunakan untuk menanam jagung dan sayuran seperti kentang, kubis,
35
wortel dan sayuran lainnya yang merupakan commodities utama di Kecamatan Wanayasa. (Tabel 5.4) Sebagian kecil lahan digunakan untuk menanam rumput gajah yang merupakan pakan utama sapi potong. Hasil sampingan baik berupa gulma maupun limbah pertanian pascapanen mendukung usaha peternakan sapi potong dalam hal ketersediaan pakan ternak Tabel 5.4 Komoditas, luas panen, dan produksi pertanian Kecamatan Wanayasa Commodities Padi Sawah Jagung Ubi Kayu Bawang daun Cabe besar Cabe rawit Kentang Kol/Kubis
Luas Panen (hektar) Kec. Kab. 392 24603 5634 25788 50 11616 184 715 89 300 64 300 261 6361 531 3217
Kec
Produksi (ton) Kab 1937 138079 17684 86842 1439 250797 14195 54247 4923 11193 2588 7826 51062 964677 123514 635758
Sumber : Kecamatan Wanayasa dalam angka 2008 5.2
Kondisi Penduduk
Kecamatan Wanayasa memiliki jumlah penduduk 43.891 orang yang terbagi menjadi 10.726 kepala rumah tangga. Kepadatan penduduk Kecamatan Wanayasa adalah 535 per kilometer persegi. Penduduk dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu penduduk dewasa yang diasumsikan bertindak sebagai kelompok penduduk yang memasuki angkatan kerja dan penduduk anak-anak yang termasuk ke dalam penduduk bukan angkatan kerja. Secara umum jumlah penduduk wanita cenderung lebih banyak daripada jumlah penduduk laki-laki, dengan sex rasio 99, 7. Jumlah penduduk dewasa memiliki proporsi yang lebih banyak sehingga hal tersebut sangat mendukung usaha pengembangan peternakan penggemukan sapi potong maupun usaha pertanian lainnya yang membutuhkan tenaga kerja. (Tabel 5.5). Sementara itu, dari total jumlah penduduk dewasa yang bekerja, jumlah penduduk yang bekerja pada sektor pertanian memiliki proporsi paling besar diantara penduduk dengan jenis pekerjaan yang lainnya. Sebagian besar penduduk yang bekerja pada sektor pertanian baik tanaman pangan maupun non pangan, juga memelihara ternak baik untuk kebutuhan sendiri maupun komersil. Jenis ternak yang dipelihara adalah sapi potong, kambing, domba, dan kelinci.
36
Tabel 5.5 Data kependudukan kecamatan Wanayasa tahun 2008 No
Deskripsi
Ukuran
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Jumlah laki laki Jumlah Perempuan Sex ratio Jumlah usia dewasa laki-laki Jumlah usia dewasa perempuan Jumlah anak laki-laki Jumlah anak anak perempuan Jumlah kelahiran Jumlah kematian
21913 orang 21978 orang 99.7 L/P 15245 orang 15760 orang 6553 orang 6333 orang 775 orang 211 orang
Persentase Kabupaten (%) 4,82 4.83 4.82 4.83 4.82 4.83 6.56 5.11
dari
Sumber : Kecamatan wanayasa dalam angka 2008, BPS Kabupaten Banjarnegara 2008 6. KARAKTERISTIK USAHA TERNAK SAPI POTONG (ENTRY POINT) 6.1
Perbedaan Peternak dengan Sistem Kemitraan dan Tidak Bermitra
Peternak merupakan sumber atau entry point analisis aliran pemasaran sapi potong. Peternak dalam penelitian ini dibagi menjadi dua tipe, yaitu peternak yang bermitra dan peternak yang tidak bermitra. Perbedaan petani ini berikutnya akan menentukan tipe aliran pemasaran mana yang akan terjadi dan jumlah pelaku yang terkoordinasi dalam satu aliran. Perbadaan fungsi dan peran dapat di lihat pada Tabel 6.1. Pada Tabel 6.1, peternak yang mandiri menyediakan keseluruhan sumberdaya produksi baik kandang, bakalan, pakan, obat-obatan serta pemasaran. Peternak mandiri tidak tergantung pada pihak manapun dalam menentukan keputusan produksinya. Sehingga, peternak mandiri menanggung untung dan rugi dalam mengusahakan ternaknya sendiri. Dalam hal ini, peternak mandiri manganggung semua resiko baik resiko produksi maupun resiko pemasaranya sendiri. Table 6.1 Perbedaan petani mitra dan tidak bermitra No 1. 2. 3.
4. 5.
Keterangan Kandang Aset Lain Input a. Sapi b. Pakan c. Obat-obatan Biaya Transportasi Untung/rugi
6.
Kesehatan
7.
Pemasaran
Kemitraan Disediakan peternak Disediakan peternak
Tidak bermitra Disediakan peternak Disediakan peeternak
Disediakan pemilik modal Disediakan peternak Disediakan peternak Disediakan pedagang Di bagi antara peternak dengan pemilik modal Disediakan peternak atas kontrol pemilik moda; Di sediakan pemilik modal
Disediakan peternak Disediakan peternak Disediakan peternak Disediakan peternak Hanya ditanggung peternak Disediakan Peternak Disediakan peternak
Note. Sumber : survey.
Sistem kemitraan yan berkembang pada usaha ternak sapi potong di Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara digolongkan sebagai pola
37
kemitraan Kerjasama Operasional Agribisnis (KOA). Hubungan kemitraan ini diatur dalam kesepakatan perjanjian yang memuat secara jelas hak dan kewajiban kedua belah pihak. Pada table 6.1. terlihat bahwa hak dan kewajiban pedagang/peternak besar sebagai pemilik modal tidak sama dengan peternak. Pedagang atau pemilik modal memiliki kewajiban untuk menyediakan bakalan sapi yang baik, memberikan bimbingan atau penyuluhan kepada peternak mitra serta temporal,kredit sapronak serta memberikan jaminan pasar. Sedangkan hak yang diterima oleh pemilik modal adalah menerima hasil produksi sapi potong dengan berat badan yang sesuai, menerima pembayaran kredit, mandapatkan bagian keuntungan dari penjualan dan menentukan apakah sistem kemitraan akan berlanjut atau tidak. Persyaratan yang diterapkan pedagang/peternak besar untuk menjadi mitra tarnak tidaklah sulit, calon anggota hanya perlu menghubungi peternak besar dengan menyertakan foto copy KTP, informasi lahan, dan ketersediaan kandang. Dalam perjanjian kemitraan, aspek-aspek perjanjian berupa identitas calon anggota mitra, luas areal tanaman untuk pakan, dan kandang, lokasi kandang, bentuk kandang, kwajiban pihak pedagang, kewajiban pihak peternak, harga beli pedagang, pengaturan waktu tanam, standar kualitas, dan waktu pembayaran hasil penjualan. Hak dan kewajiban kedua belah pihak diatur secara lisan. Pedagang/peternak besar memiliki kewajiban untuk menyediakan bakalan yang baik, memberikan informasi harga yang dapat dipertanggung jawabkan, memberikan penyuluhan khususnya yang berkaitan dengan kesehatan hewan (pemberian vitamin, obat-obatan dan cara pemeliharaan), memberikan teknis penyuluhan tentang pakan, dan menjamin ketersediaan pasar. Sedangkan hak yang dimiliki oleh perusahaan adalah mendapatkan keuntungan 40 persen maupun 50 persen tergantung dari keuntungan, memutuskan waktu pemotongan sapi yang dipelihara oleh peternak mitra. Peternak mitra memiliki kewajiban untuk menyediakan kandang, peralatan budidaya, dan pakan hijauan yang cukup dan berkualitas, memberikan obat cacing dan antibiotik secara rutin selama 4 bulan sekali, bertanggung jawab terhadap keamanan sapi, melakukan proses budidaya secara baik yang meliputi keteraturan pemberian pakan, pemberian pakan yang cukup, serta menjaga kebersihan sapi dan kandang sapi. Hak yang yang dimiliki oleh peternak mitra dalah mendapatkan bagian dari keuntungan sebesar 60 atau 50 persen, mendapatkan bakalan yang berkualitas, membantu menanggung kerugian perusahaan akibat kematian sapi yang dipelihara peternak mitra, mendapatkan pembinaan. 6.2
Karakteristik Rumah Tangga Peternak
Karakteristik rumah tangga responden meliputi umur dan jenis kelamin peternak, status dalam rumah tangga dan jumlah tanggungan keluarga, tingkat pendidikan responden, pengalaman usaha ternak.Pengetahuan mengenai potensi peternak secara mendetail akan membantu dalam ketepatan program up grading atau perbaikan dalam rantai nilai.Kecepatan terjadinya perubahan individu ditentukan oleh sinergitas variabel-variabel internal yang dimiliki oleh peternak.
38
Tabel 6.2 Karakteristik rumah tangga peternak di Kecamatan Wanayasa tahun 2012 No
1.
2.
3.
3.
4.
Karakteristik Peternak Responden Umur a. <15 b. 15-64 c. >64 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah Anggota Keluarga 1-5 orang 6-10 orang Tingkat Pendidikan a. SD b. SLTP c. SLTA Lama Usaha Tarnak a. < 5 tahun b. 6-15 tahun c. > 15 tahun
Kemitraan Jumlah Petani (orang,n=30) 0 25 5
Jenis Peternak Tidak bermitra Persentase Jumlah (orang,n=30)
83 17
0 23 7
Persentase
77 23
30 0
100
30 0
100
28 2
93 7
23 7
77 23
27 3
90. 10.
27 2 1
90 7 3
3 17 10
1. 57 33
1 18 11
3 60 37
1. Umur dan Jenis Kelamin Umur peternak merupakan salah satu faktor penunjang dalam menjalankan usaha sapi potong, karena perbedaan umur dapat menggambarkan perbedaan perilaku seseorang yang diperoleh dari perbedaan pengalaman yang dimiliki serta hakekat dan jenis dari struktur dalam bersikap (attitude). Pada tabel 6.2, baik peternak mitra maupun peternak mandiri sebagian besar pada usia produktif yaitu 15-64 tahun yaitu 83.33 persen peternak mitra dan 76.67 persen peternak tidak bermitra. Secara psikologis peternak yang berada pada kelompok umur produktif memiliki kelebihan relatif senang mencoba cara-cara baru dan belajar lebih cepat dalam hal penguasaan teknologi serta mampu mempertahankan retensi belajar dalam jumlah besar baik secara sendiri-sendiri maupun berkelompok dan memiliki sikap cepat dalam mengadopsi inovasi (Yusuf 2010). Selain itu kelompok usia produktif memiliki potensi fisik dan sosiologis yang baik dalam mengelola usaha ternak sapi potong. Pada kelompok usia ini, peternak lebih cenderung memiliki semangat untuk melakukan pengembangan usaha baik dengan mandiri maupun bermitra. Peternak usia tua cenderung lebih banyak untuk bersikap “pasrah” atau “nerimo” terhadap keadaan usaha ternak mereka yang tidak sepenuhnya berhasil. Peternak usia tua enggan untuk mengikuti kegiatan penyuluhan atau bergabung
39
dengan program-program yang dicanangkan oleh pemerintah terutama terkait dengan program percepatan swasembada sapi 2014. Sebaliknya, peternak usia produktif cenderung aktif mengkuti berbagai program dan berani untuk menambah jumlah sapi yang dimilikinya dalam rangka memperbaiki pendapatan keluarga. Sementara itu, keseluruhan responden berjenis kelamin laki-laki. Peternak tersebut bertindak sekaligus sebagai kepala keluarga dalam rumah tangga peternak. Hal itu membuat peternak bertanggung jawab penuh atas keberlangsungan hidup anggota keluarganya. Meskipun demikian, peternak dibantu oleh anggota keluarga wanita baik istri mapun anaknya dalam melakukan usahaternaknya. Anggota keluarga berjenis kelamin perempuan memiliki tugas membersihkan sekitar kandang dan terkadang member makan ternak Jumlah anggota keluarga peternak akan mempengaruhi keputusan produksi, dalam hal mempengaruhi ketersediaan tenaga kerja keluarga dan akan mempengaruhi biaya tunai dan biaya tidak tunai usaha ternak. Ketersediaan tenaga kerja keluarga dapat mempengaruhi kemampuan peternak dalam pengelolaan usaha, karena usaha ternak memerlukan tenaga kerja untuk melakukan kegiatan, seperti : pembuatan kandang, pemeliharaan ternak yang meliputi penanganan kesehatan, pembersihan dan pemeliharaan kandang serta pemberian pakan.Tabel 6.2 memberikan gambaran tengang pengelolaan usaha sapi potong di dua skema yaitu mitra dan tidak bermitra didominasi oleh jumlah anggota keluarga kategori sedang yaitu 2-5 orang adalah 93 persen untuk peternak mitra dan 76.67 persen untuk peternak yang tidak bermitra. 2. Tingkat Pendidikan Peternak Pendidikan, baik formal maupun non formal merupakan salah satu faktor yang mendukung kompetensi peternak. Tingkat pendidikan formal dibutuhkan dalam pengembangan usaha ternak sapi potong karena usaha penggemukan sapi potong membutuhkan kecakapan, pengalaman serta wawasan tertentu terutama dalam hal mengadopsi teknologi dan ketrampilan. Hal tersebut karena pengetahuan yang dimiliki dapat mempengaruhi untuk berpikir secara lebih rasional, memilih alternative dan cepat menerima atau melaksanakan suatu inovasi (Soekartawi 2005). Tabel 6.2 menunjukkan bahwa sebagian besar peternak baik mitra maupun non mitra berada pada level pendidikan dasar (SD) yaitu 90 persen untuk peternak mitra dan 90 persen untuk peternak tidak bermitra. Hanya tiga orang dari peternak mitra dan dua orang peternak non mitra yang merupakan lulusan sekolah menengah. Perbedaan tingkat pendidikan mempengaruhi peternak dalam mengelola usaha ternaknya. Semakin tinggi tingkat pendidikan peternak cenderung semakin kuat potensi dan daya kritisnya dalam berpikir lebih rasional dan menentukan pilihan untuk mengembangkan usahanya, dengan cara menambah jumlah sapi, mengadopsi atau tidak suatu teknologi dan inovasi baru tentang budidaya penggemukan sapi potong dan pemasaran. Selain itu, pendidikan meningkatkan kemampuan peternak dalam mencari, memperoleh, dan mengelola informasi yang berguna tentang input-input produksi. Hal ini yang mungkin dapat menjadi alasan mengapa peternak tidak banyak meningkatkan produktifitas dan jumlah sapinya. Akan tetapi, fakta dilapangan menunjukan bahwa beberapa peternak dapat berhasil meningkatkan
40
bobot sapi secara optimal, memasarkan sapi secara teratur dan menggunakan input produksi secara tepat. Hal tersebut disebabkan oleh keikutsertaan peternak dalam pelatihan maupun kemampuan peternak untuk mencari informasi tentang penggemukan sapi dari peternak besar lain yang jauh lebih bagus manajemen usahanya. 3. Pengalaman beternak Pengalaman adalah segala sesuatu yang muncul dalam riwayat hidup seseorang. Pengalaman menentukan perkembangan ketrampilan, kemampuan dan kompetensi.Yusuf (2010) menyebutkan bahwa pengalaman merupakan hasil dari proses yang dialami seseorang yang mempengaruhi terhadap pembentukan pandangan individu untuk memberikan tanggapan dan penghayatan. Tidak adanya pengalaman terhadap suatu objek tertentu, akan membentuk suatu pandangan yang cenderung negatif terhadap objek tersebut. Sedangkan adanya pengalaman dalam waktu tertentu, akan membuat seseorang cenderung terampil dan memperoleh hasil yang lebih baik daripada orang yang tidak memiliki pengalaman. Tabel 6.2 menunjukkan bahwa dari variabel pengalaman usaha, terdapat perbedaan antara peternak mitra dan peternak yang tidak bermitra.Peternak yang bermitra memiliki pengalaman beternak rata-rata lebih lama dari pada peternak yang tidak bermitra. Rata-rata pengalaman usaha peternak mitra maupun tidak bermitra adalah 6-15 tahun. Beberapa peternak memiliki pengalaman beternak di bawah 5 tahun dan sisanya memiliki pegalaman lebih dari 15 tahun. Pengalaman peternak bermitra memiliki hubungan dengan program kemitraan yang dilakukan perusahaan penggemukan sapi potong di Kecamatan Wanayasa yang dimulai semenjak tahun 1993. Pengalaman berusaha peternak yang lebih tinggi ini seharusanya berpengaruh terhadap usahanya sehubungan dengan sejumlah pengalaman dan informasi yang membuat peternak lebih matang dalam melakukan usaha, akan tetapi pada kenyataanya, usaha ternak yang dilakukan oleh beberapa peternak berpengalaman tidak mengalami perbaikan secara signifikan. Sebagai contoh, peternak (Pak Senen) merupakan peternak mitra yang memiliki pengalaman beternak kurang dari sepuluh tahun, hasil produksi sapi potongnya memiliki bobot lebih baik dari pada peternak yang lain yang cenderung lebih lama melakukan usaha ternak. 6.3
Keadaan Usaha Penggemukan Sapi potong
Karakteristik selanjutnya adalah keadaan usaha penggemukan sapi potong. Karakteristik usaha ini meliputi kondisi status usaha, tenaga kerja, jumlah kepemilikan sapi potong, asset, tipe kandang, akses lahan, luas lahan, dan akses finansial. Melalui deskripsi usaha di masing-masing tipe usaha baik mitra maupun tidak bermitra, akan diketahui bagaimana peternak rakyat di lokasi penelitian melaksanakan usahanya secara mendetail. Hal tersebut akan mempengaruhi bagaimana pengambilan keputusan peternak dalam menjalankan usahanya serta melaksanakan pemasaran. Karakteristik usaha dapat dilihat pada tabel 6.3.
41
Tabel 6.3 Karakteristik usaha penggemukan sapi potong No
Karakteristik Kemitraan (orang,n=30)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7..
Status Usaha a. Usaha utama b.Usaha Sampingan Tenaga Kerja a.Tenaga Kerja Keluarga b.Tenaga Kerja Sewa Jumlah Kepemilikan Sapi Potong a.1-3 b.4-6 c. >6 Tipe Kandang a.Permanen b.Semi Permanen Akses Lahan a. Lahan milik sendiri b. Lahan Sewa Kepemilikan lahan a. 0-1 ha b. 1-3 ha c. >3 ha Akses Finansial a. Tinggi (skor 3) b. Sedang (Skor 2) c. Rendah (Skor 1)
Tipe Peternak Persentase Tidak bermitra (orang,n=30)
Persentase
0 30
100
2 28
7 93
30
100
28
93
2
7
-
30 -
100
25 5 1
83 13 3
20 10
67 33
16 14
53 47
28
93
30
100
2
7
-
26 4 -
87 13
25 4 1
83 13 3
18 12
60.00 40.00
1 4 25
3 13 83
1. Status usaha Status usaha dikategorikan menjadi dua, yaitu sebagai pekerjaan utama dan sebagai usaha sampingan. Klasifikasi ini berdasarkan curahan waktu yang dilakukan peternak dalam melakukan pekerjaanya, dimana curahan waktu yang lebih banyak dapat dikategorikan sebagai pekerjaan utama. Pada tabel 6.3, sebagian besar peternak baik peternak mitra maupun peternak yang tidak bermitra menjadikan usaha ternak sebagai usaha sampingan, hanya ada 1 orang peternak mitra dan dua orang peternak yang tidak bermitra menjadikan usaha sapi sebagai pekerjaan utama. Hal ini dapat dilihat dari curahan waktu peternak dalam satu hari kerja, peternak lebih banyak menghabiskan waktunya untuk melakukan kegiatan lain tarutama yang berhubungan dengan pertanian. Rata-rata peternak memiliki lahan yang ditanami berbagai tanaman terutama sayuran seperti kentang, wortel dan kubis. Beberapa peternak lain merupakan buruh di perusahaan penggemukan di daerah setempat. Deskripsi status usaha peternak dapat di asosiasikan dengan motivasi peternak dalam mengusahakan sapinya. Rata-rata peternak memiliki tujuan memelihara sapi sebagai tambahan penghasilan maupun tabungan.
42
Peternak memiliki tujuan memelihara sapi sebagai tabungan: “saya memelihara sapi semenjak tujuh tahun yang lalu sejumlah satu ekor, saya memelihara sapi untuk mendapatkan keuntungan pada hari raya. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan hidup, saya bekerja di peternakan/pedagang sebagai pengangkut sapi ‘-Pak Senen (Peternak Mitra)
Pengakuan peternak sebagai petani dan motivasi beternak sebagai tabungan : “Saya memelihara sapi semenjak kurang lebih 16 tahun yang lalu, jumlah sapi yang saya pelihara sebesar 2 dan tidak pernah bertambah. Aktivitas saya sehari-hari adalah bertani kubis dan kentang, terkadang jagung. Tergantung pada harga sayuran mana yang sedang bagus. Sedangkan sapi berfungsi untuk berjaga-jaga jika keluarga saya membutuhkan sesuatu. Beberapa hari lalu, saya menjual sapi, karena anak saya akan menikah” Pak haryono (Peternak non mitra)
2. Jumlah kepemilikan sapi, aset dan tipe kandang Jumlah kepemilikan sapi memiliki asosiasi dengan skala usaha. Skala usaha berpengaruh terhadap kemampuan peternak dalam mengelola usaha sapi potong. Besar kecilnya jumlah ternak yang dimiliki, akan mendorong bangkitnya motivasi peternak untuk mengembangkan ternak sapi potong karena sapi potong merepresentasikan modal yang dimiliki peternak. Hal ini sesuai dengan pernyataan Schultze (2007) ternak diasumsikan sebagai representasi modal yang dimiliki peternak rakyat. Hal tersebut sehubungan dengan sikap dan motivasi peternak dalam memelihara ternak sebagai cadangan atau tabungan apabila suatu saat membutuhkan uang tunai. Dalam hal ini, ternak menjadi instrument keuangan bagi peternak rakyat, karena ternak dapat dijual kapan saja ketika membutuhkan uang tunai. Usaha penggemukan sapi potong di Kecamatan Wanayasa masih tergolong usaha sampingan, hal ini dapat dilihat dari jumlah kepemilikan sapi yang masih rendah yaitu secara keseluruhan rata-rata 1-3 ekor sapi baik mitra maupun tidak bermitra. Hanya ada empat orang peternak dengan kepemilikan 4 ekor sapi, dan 1 orang peternak dengan kepemilikan 7 ekor sapi. Jumlah kepemilikan sapi akan mempengaruhi tipe usaha dan biaya yang dikeluarkan. Peternak dengan kepemilikan sapi 1-3 ekor sapi adalah peternak yang mengusahakan ternak untuk kepentingan tabungan dan sebagian kecil untuk tambahan pendapatan. Sedangkan peternak dengan kepemilikan 4 ekor sapi ke atas, menggunakan ternak sebagai tambahan pendapatan dan sebagai cabang usaha yang menyumbang hampir 65 persen total pendapatan keluarga. Menurut Rahardi (2003) 3 secara umum tipologi usahaternak adalah (1) sebagai usaha sambilan, dengan tingkat pendapatan yang diperoleh di bawah 30 persen dari pendapatan keluarga, (2) sebagai cabang usaha, dengan total pendapatan 30-70 persen dari total pendapatan keluarga, (3) usaha pokok, dengan tingkat pendapatan 70-100 persen dari total pendapatan keluarga. Tipe usaha ini mempengaruhi jumlah kepemilikan asset dan tipe kandang. Usaha ternak dengan jumlah kepemilikan sapi 1-3 ekor memiliki aset yaitu gendak, tali, arit, pacul dan keranjang rumput masing-masing 1-2 unit. Sedangkan usaha ternak dengan kepemilikan sapi lebih dari empat memiliki jumlah aset yang lebih banyak.
43
Karakteristik selanjutnya adalah perkandangan. Kandang berfungsi sebagai tempat peneduh atau berlindung dari hujan serta sebagai tempat istirahat yang nyaman. Kandang sapi potong biasanya dibuat dari bahan-bahan sederhana dan murah, tetapi harus dibuat dengan konstruksi yang kuat. Abidin (2002) berpendapat bahwa pembuatan kandang harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : (1) dibuat dari bahan berkualitas, (2) luas kandang harus sesuai dengan jumlah sapi, (3) konstruksi kandang harus dibuat dengan memperhatikan kemudahan dalam melakukan pembersihan, memandikan ternak dan tidak licin, (4) ventilasi udara juga harus memungkinkan sirkulasi. Konstruksi kandang sesuai dengan arah a ngin dan deat sungai. Pada kenyataanya, kandang sapi milik peternak rata-rata adalah kandang permanen dengan ukuran per satuan adalah 2 m2 per ekor. Hanya saja, kondisi kandang tidak sesuai dengan peraturan kandang yang baik. Kandang sapi tidak terlihat bersih dan lantai kandang licin. Fasilitas sirkulasi udara tidak lancer sehingga menimbulkan bau yang tidak sedap. Pemilihan lokasi kandang tidak mempertimbangkan letak strategis, dan dibangun di dalam rumah, atau berdekatan dengan lingkungan tempat tinggal. Sebagian besar peternak membangun kandang di dalam atau di dekat tempat tinggalnya dengan jarak kurang dari 10 m. Jarak tersebut memungkinkan peternak untuk mengawasi ternak.Padahal idealnya lokasi kandang adalah cukup jauh dari lokasi pemukiman, dan tidak jauh dari lokasi kebun minimum 50 m atau dengan dibangun tembok dan pagar tanaman setinggi tiga meter untuk meredam angin. Lokasi ini juga seharusnya lokasi yang terbuka dan tidak tertutup bangunan (Sarwono dan Arianto, 2001)
Foto 1. Kandang Peternak besar (1) dan Kandang Peternak rakyat (2) 4. Luas dan status pengusahaan lahan Lahan adalah salah satu faktor produksi yang penting bagi usaha ternak sapi potong. Beberapa penelitian menyebutkan akses terhadap lahan memiliki peran yang krusial terhadap produktifitas pertanian dan merupakan bahan pertimbangan yang fundamental bagi peningkatan pendapatan peternak di pedesaan. Lahan dalam usaha ternak terkait dengan ketersediaan pakan terutama pakan hijauan yang merupakan komponen penting bagi peningkatan bobot sapi. Baik peternak mitra maupun tidak bermitra, rata-rata memiliki lahan sendiri dengan rata-rata kepemilikan 0-1 hektar, hanya ada beberapa yang memiliki lahan lebih luas dari pada satu hektar. Lokasi lahan paling jauh adalah
44
700 m dari tempat tinggal peternak Kecilnya luas lahan yang dimiliki oleh peternak disebabkan oleh pola pembagian lahan waris yang diterapkan secara turun-temurun. Dari bagian lahan yang diterimanya, kemudian peternak yang sekaligus juga petani membagi lahanya untuk melakukan beberapa usaha tani. Fukui (2009) menyebutkan bahwa petani di Jawa memiliki karakter sebagai pemilik lahan yang terbatas yang disebabkan oleh fragmentasi lahan. Fragmentasi lahan ini berhubungan dengan peningkatan populasi dan sistem waris. Pada kenyataanya, peternak sekaligus petani di Kecamatan Wanayasa banyak mengalihkan lahanya untuk kepentingan non usaha tani, seperti perumahan. Adanya fragmentasi lahan mendorong peternak memiliki karakteristik lain adalah karakteristik produksi, ketersediaan tenaga kerja, dan ketersediaan produk yang cenderung musiman. Hal ini dikarenakan peternak sebagian besar mengusahakan ternaknya dengan cara integrasi tanaman-ternak. Sistem integrasi tanaman-ternak tersebut mempengaruhi motivasi peternak dalam mengusahakan ternaknya terkait dengan modal dan tenaga kerja yang tersedia dalam satu rumah tangga peternak. Menurut Upton (2000), dengan adanya integrasi dan sistem penanaman atau pengusahaan yang musiman membuat petani menanam satu tanaman tertentu dan atau mengusahakan ternak tertentu tergantung pada kondisi harga komoditi tersebut pada musim tertentu. Pola ini membuat pasokan makanan menjadi terancam, terutama pada saat musim kering. Peternak akan melakukan penanaman maupun usaha ternak pada musim penghujan, hal ini terkait dengan ketersediaan air dan kesuburan tanah. Sehingga pada saat musim tersebut ketersediaan komoditas tertentu akan melimpah dan harga menjadi turun. Pada musim penghujan ini, peternak harus memilih mengalokasikan lahannya untuk menanam tanaman pangan atau rumput hijauan.
Foto 2. Fragmentasi lahan dan lokasi penanaman rumput gaja 5. Akses terhadap modal dan kredit Akses terhadap modal serta besarnya modal yang dimanfaatkan, biasanya dapat digunakan sebagai petunjuk majunya tingkat usahatani/ternak. Akses permodalan bisa saja berupa kredit atau pinjaman barang, seperti pinjaman sapi dan obat-obatan pada peternak mitra. Pernyataan tersebut didukung oleh Tamba (2007) bahwa tersedianya akses permodalan berupa kredit akan mempengaruhi kemampuan petani dalam membuat rencana dan melaksanakan usahatani/ternaknya serta memiliki kemampuan dalam mengatasi masalah usahatani/ternaknya. Selain itu, besar kecilnya modal akan mempengaruhi produktifitas usaha ternak. Jika modal atau bantuan kredit cukup, peternak dapat
45
mengoptimalkan sumberdaya usahaternaknya dalam meningkatkan keuntungan usaha yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petan (Sudaryanto dan Agustian, 2003). Pengelolaan usaha sapi potong di kedua pola mitra maupun tidak bermitra memiliki tipe penggunaan modal. Peternak mitra menggunakan modal pinjaman atau sewa berbentuk ternak sapi potong bakalan dan obat-obatan. Sedangkan, modal sendiri digunakan untuk mengusahakan pakan, alat, kandang, dan tenaga kerja. Sedangkan peternak tidak bermitra menggunakan modal sendiri dengan pemanfaatan modal yang masih tergolong rendah, karena keterbatasan peternak dalam mengusahakan usaha ternaknya. Peternak mitra yang memiliki akses financial yang tinggi adalah peternak yang sudah lama bergabung dan dengan mudah mengajukan tambahan modal berupa ternak kepada pemilik modal, sejumlah peternak ini berarti memiliki kinerja yang baik dimata pemilik modal. Sedangkan peternak dengan akses financial sedang adalah peternak yang harus dinilai dan diperhitungkan secara intensif dan hati-hati dalam mengakses tambahan modal, peternak ini adalah peternak mitra yang memiliki kinerja yang rendah. Peternak tidak bermitra yang memilki akses terhadap financial tinggi adalah peternak yang memiliki cukup aset untuk diagunkan, peternak ini adalah peternak dengan jumlah kepemilikan sapi lebih dari 6 dan atau memilki kemudahan untuk mengakses tambahan modal. Sedangkan peternak dengan akses financial sedang adalah peternak yang masih bisa mendapatkan modal pinjaman secara formal maupun informal dari pedagang. Sedangkan untuk peternak dengan akses financial rendah adalah peternak yang tidak memiliki kesempatan meminjam sama-sekali karena keterbatasan yang dimiliki. 6. Pemeliharaan ternak sapi potong Periode pemeliharaan sapi bervariasi diantara peternak. Perbedaan periode pemeliharaan disebabkan oleh perbedaan umur bakalan yang digunakan serta terkait dengan tujuan utama peternak memelihara sapi potong yaitu sebagai sumber pendapatan utama maupun sebagai tabungan, dimana peternak dengan orientasi tabungan biasanya lebih lama dalam memelihara. Tabel 6.4 menunjukan bahwa periode pemeliharaan oleh peternak mitra maupun tidak bermitra rata-rata adalah dalam periode 6-12 bulan. Hanya ada beberapa peternak yang sabar menggemukan sapi sampai 18 bulan. Menurut Sugeng (2006) berdasarkan umur sapi yang akan digemukan, lama penggemukan dibedakan menjadi tiga, yaitu untuk sapi bakalan dengan umur kurang dari 1 tahun, lama penggemukan berkisar antara 8-9 bulan, untuk sapi bakalan umur 1-2 tahun lama penggemukan berkisar antara 6-7 bulan, dan untuk sapi bakalan umur 2-2.5 tahun, lama penggemukan 46 bulan. Bakalan yang digunakan diperoleh dari bakalan yang dibeli, bukan bakalan hasil pembibitan sendiri. Pada umumnya bakalan yang digunakan adalah bakalan peranakan simental. Jenis sapi ini sudah menjadi perhatian peternak, dimana peternak cenderung menggunakan bakalan persilangan dari pada bakalan lokal. Hal ini karena sapi hasil persilangan menunjukan produksi yang lebih baik, terlihat dari pertumbuhan bobot badan yang lebih tinggi daripada sapi lokal (Indrayani, 2011). Ditinjau dari umur bakalan yang digunakan, maka penggunaan
46
bakalan dibagi dua yaitu untuk bakalan yang kurang dari 1 tahun dan bakalan yang berumur 1-2.5 tahun. Tabel 6.4 menunjukan bahwa peternak mitra lebih menggunakan sapi bakalan cukup umur dibandingkan dengan peternak yang tidak bermitra. Peternak mitra yang menggunakan bakalan kurang dari satu tahun berarti ketersediaan bakalan yang sesuai dengan standar pemilik modal hanya bakalan usia mendekati satu tahun. Pada umumnya peternak yang membeli sapi bakalan dengan umur dibawah 1 tahun disebabkan faktor keterbatasan modal yang dimiliki, dimana sapi yang berumur lebih kecil berarti sapi tersebut lebih murah. Indrayani (2011) menjelaskan bahwa konsekuansi dari ternak dengan umur bakalan yang masih muda adalah pemeliharaan yang umumnya lebih lama hingga sapi tersebut layak jual yaitu 1.5-2.5 tahun. Kecenderungan berbeda pada usaha penggemukan sapi bakalan dengan menggunakan umur 1.0-2.5 tahun, umumnya melakukan pemeliharaan dalam jangka waktu yang lebih pendek yaitu berkisar 4-12 bulan. Pembatasan usia ini dilakukan atas dasar bahwa pada usia tersebut ternak telah mengalami fase pertumbuhan dalam pembentukan kerangka maupun jaringan daging, sehingga apabila pakan yang diberikan itu jumlah kandungan protein, mineral, dan vitaminnya mencukupi, sapi dapat cepat menjadi gemuk. Karakteristik selanjutnya adalah pertambahan bobot badan sapi. Usaha penggemukan adalah suatu usaha pemeliharaan sapi yang bertujuan untuk mendapatkan produksi daging dengan pemberian bobot badan yang tinggi melalui pemberian pakan yang berkualitas dan dengan waktu yang sesingkat mungkin. Berdasarkan tabel 6.4, pertambahan bobot badan sapi untuk peternak mitra maupun tidak bermitra rata-rata berada pada selang 0.50-0.75 kg per hari atau sekitar 0.6 kg per hari untuk peternak mitra dan 0.56 kg per hari untuk peternak yang tidak bermitra. Sedangkan beberapa peternak yang tidak bermitra memiliki pertumbuhan bobot badan tinggi yaitu pada selang lebih dari 0.75 kg per hari. Adanya pertambahan bobot sapi yang rendah menyebabkan harga sapi peternak tidak terlalu tinggi. Potensi pertambahan bobot yang baik adalah 0.8 kg perhari. Hal ini bisa dilihat dengan pertambahan bobot sapi yang dimiliki oleh peternak yang lebih besar yaitu mencapai lebih dari 0.8 kg per hari. Pertumbuhan bobot badan sapi dipengaruhi oleh pemberian pakan oleh peternak. Secara tradisional, sapi potong hanya membutuhkan hijauan sebagai pakan. Berbeda dengan cara tradisional, usaha penggemukan yang berorientasi terhadap keuntungan harus memperhatikan penggunaan pakan konsentrat. Hal ini dimaksudkan agar tercapai keuntungan dalam waktu yang relatif singkat. (Abidin, 2002). Pengelolaan pakan sangat menentukan keberhasilan pemeliharaan ternak sapi. Karena itu, cara-cara pengelolaanya harus dipahami oleh peternak. Peternak di lokasi penelitian sebagian besar menggunakan pakan hijauan sebagai pakan utama. Hijauan yang diberikan pada ternak sapi umumnya berasal dari rumput lapangan dan rumput unggul (rumput gajah) yang ditanam di areal kebun rumput milik peternak maupun lahan marginal seperti pematang sawah. Beberapa peternak menggunakan pakan tambahan yaitu limbah dari hasil pertanian yang tersedia di sekitar wilayah produksi
47
Tabel 6.4 Sebaran karakteristik pemeliharaan ternak sapi potong No
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Karakteristik Pemeliharaan Tarmac Periode Pemeliharan Ternak Sapi Potong (bulan) a. < 6 b. 6-12 c. >12 Umur sapi bakalan a. < 1 tahun (belum cukup umur) b. 1-2.5 tahun (cukup umur) Pertambahan bobot badan sapi (Kg/hari) a. < 0.5 b. 0.50-0.75 c. >0.75 Penggunaan Pakan a. Dengan Konsentrat b. Tanpa Konsentrat Obat-obatan a. Teratur (periode tertentu) b. Tidak teratur c. Tidak mengkonsumsi Akses terhadap Penyuluhan a. Ada (skor 2) b. Tidak (skor 1)
Kemitraan (orang. n=30)
Tipe Peternak Persentase Tidak bermitra (orang,n=30)
Persentase
2 24 4
7 80 13
6 21 3
20 70 10
11
3
21
70
19
63
9
30
4 22 4
13 73 13
8 19 3
27 63 10
5 25
17 83
3 27
10 90
20
67
12
40
7 3
23 10
10 8
33 27
100 0
30 70
Seharusnya, pemberian pakan untuk ternak sapi potong bila ternak dikandangkan yaitu berupa hijauan (70 persen) dan konsentrat (30 persen). Pemberian pakan yang baik ini akan meningkatkan bobot sapi secara optimal. Acuan terbaik adalah sesuai dengan definisi dari society for range management (1974) dalam Santosa (2003) bahwa satu unit ternak adalah setara dengan seekor sapi induk dewasa seberat 455 kg yang kebutuhan konsumsinya adalah 9.1 kg hijauan dalam bentuk batang kering per hari. Dengan demikian seekor sapi jantan dengan bobot badanya 700 kg atau seekor sapi muda yang bobot badanya 225 kg perhitungan konsumsi pakan sehari-harinya adalah sebagai berikut. Kebutuhan seekor sapi jantan seharusnya adalah 14 kg (700/455 x 9.1 kg =14 kg), dan kebutuhan konsumsi seekor sapi muda adalah 4.5 kg hijauan dalam bentuk bahan kering. Akan tetapi pada kenyataanya, pakan sapi yang diberikan rata-rata oleh peternak baik mitra maupunt tidak bermitra adalah hijauan segar sebesar 10-15 Kg perhari atau 2-3 kg perhari rumput kering. Sebagian peternak baik mitra (5 orang) dan tidak bermitra (3 orang) menggunakan pakan penguat dengan variasi yang berbeda-beda seperti dedak, kulit ubi, wortel dan menggunakan mineral.Campuran dari berbagai jenis pakan penguat disebut konsentrat. Pemberian pakan dilakukan dua kali sehari yaitu pada pagi hari sekitar pukul 6.00
48
WIB dan sore hari sekitar pukul 16.00 WIB. Untuk peternak yang juga menyertakan konsentrat, pemberian konsentrat dilakukan sebelum memberikan pakan hijauan. Harga konsentrat yang mahal menjadi faktor penyebab peternak tidak menggunakan konsentrat dalam pemberian pakan sapi. Selain pakan, faktor lain yang sangat penting dalam keberhasilan pemeliharaan sapi adalah penanganan kesehatan sapi. Penyakit biasanya ditimbulkan dari parasit dalam, terutama pada ternak muda dan ternak yang sedang bertumbuh. Parasit ini menyebabkan ternak menjadi kurus dan lemah. Selain itu, penyakit lain yang menular seperti penyakit mulut dan kuku (PMK), dan lain lain. Penanganan penyakit salah satunya melalui pemberian obat-obatan secara teratur. Pengobatan yang dilakukan peternak pada ternak sapi potong meliputi pemberian vitamin, obat cacing, antibiotik dan pemberian obat lainnya. Obat-obatan berupa vitamin biasanya diberikan pada saat awal sapi sampai kandang atau awal masa pemeliharaan, dan selanjutnya enam bulan berikutnya. Namun berdasarkan data responden, belum semua ternak terutama ternak yang tidak bermitra memberikannya secara teratur. Sedangkan untuk pengobatan cacing umumnya diberikan secara teratur satu kali dalam tiga bulan. Antibiotik diberikan jika ternak mengalami luka, atau penyakit kulit. Pemberian vitamin dan antibiotic dengan injeksi biasanya menggunakan jasa petugas kesehatan hewan, akan tetapi pada kenyataanya pemberian vaksin ini dilakukan oleh peternak yang lebih besar dan dianggap memiliki pengetahuan dalam pemberian vaksin ini. Hal ini disebabkan tidak adanya tenaga kesehatan yang mengetahui secara spesifik tentang sapi potong di Kecamatan Wanayasa. Upaya pencegahan penyakit juga merupakan hal penting dalam usaha penggemukan sapi potong. Selah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan menjaga kebersihan melalui kegiatan sanitasi kandang secara teratur, hal ini agar ternak sapi yang digemukan dalam keadaan sehat dan mampu bertambah bobot badanya secara optimal. Kegiatan sanitasi kandang yang dilakukan meliputi pembersihan lantai kandang, selokan, tempat pakan, tempat air minum, dan peralatan. Akan tetapi pada kenyataanya, kondisi kandang peternak, terutama peternak yang tidak bermitra memiliki kondisi yang kotor dan tidak terawat . 7. Lembaga pendukung dan akses terhadap lembaga pendukung (Penyuluhan) Terjadinya interaksi antara peternak dengan penyuluh menunjukkan terjadinya komunikasi antara kedua belah pihak, baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Interaksi tersebut dapat membuka cara berpikir dan wawasan peternak sehingga peternak lebih terbuka dalam menerima pengetahuan baru. Menurut Kartasapoetra (1987) hubungan yang kontinu antara penyuluh dan peternak dapat menciptakan rasa kekeluargaan serta mempermudah dan memperlancar pemberian dan penerimaan informasi. Tabel 6.4 menunjukan bahwa terdapat dukungan layanan penyuluhan pada kedua pola mitra sehubungan dengan adanya hak dan kewajiban antar ke dua belah pihak dan tidak terdapat layanan penyuluhan (70 persen) untuk tidak bermitra dan terdapat layanan penyuluhan (30 persen) untuk peternak tidak bermitra lainnya . Hal tersebut menggambarkan bahwa proses interaksi langsung maupun tidak langsung antara peternak dengan penyuluh belum terjalin dengan baik.Parameter rendahnya layanan penyuluhan dari penyuluh pertanian, terlihat dari beberapa indikator sebagai berikut:
49
-
-
-
-
Tingkat layanan informasi oleh kedua pola peternak terutama dalam informasi tentang akses teknologi dan kebijakan masih bersifat kadangkadang, ketika sedang ada proyek baru yang diperkenalkan. Tingkat pelayanan mencari mitra usaha, terutama pada pola tidak bermitra tergolong sangat kurang. Penyuluh melakukan layanan ini, apabila ada evaluasi program pemerintah tentang percepatan swasembada daging Tingkat penyuluhan dalam memberi dukungan pengembangan pengetahuan di kedua pola usaha masing-masing tergolong kurang, hal ini dilakukan dua kali dalam setahun. Materi pengembangan usaha yang diajarkan penyuluh kepada peternak di kedua pola usaha sebenarnya tergolong sesuai yaitu tentang kesehatan ternak dan manajemen pengelolaan sapi potong yang baik, akan tetapi pemberian materi tersebut tidak berlanjut. Hal ini karena kompetensi penyuluh adalah penyuluh pertanian, bukan penyuluh peternakan.
Hal tersebut menggambarkan bahwa peran penyuluh pertanian di dua pola usaha belum maksimal dalam merubah perilaku berusaha peternak ke arah yang lebih optimal. Penyuluh belum optimal dalam berkomunikasi dengan peternak, sehingga pengelolaan usaha sapi potong dari tahun ke tahun relative menghadapi permasalahan yang sama. Adanya program kemitraan dengan peternak yang lebih besar, membuat peternak terbantu dalam hal kegiatan teknis seperti pengetahuan dalam memberikan pakan yang baik, memelihara sapi untuk mendapatkan bobot yang optimal dan pelayanan kesehatan.
50
7. PERANAN KEMITRAAN DALAM PEMBENTUKAN RANTAI PEMASARAN DAN KINERJA RANTAI NILAI Pada bab ini membahas tentang tahap-tahap dalam mengidentifikasi rantai nilai yaitu pemetaan aktor maupun lembaga pemasaran, saluran pemasaran serta peran dan fungsi dari masing-masing lembaga pemasaran baik dalam sistem kemitraan dan sistem tidak bermitra yang dikategorikan dalam analisis struktur organisasi atau mapping. Pemetaan rantai nilai ini akan mengelaborasi informasi berdasarkan pengamatan pada proses pemasaran dari produsen (peternak) dan pemasar (marketers). Dari informasi tersebut akan diketahui jawaban dari pertanyaan : Bagaimana saluran pemasaran terbentuk baik sistem mitra maupun tidak bermitra? Berapa tipe saluran yang diidentifikasi berdasarkan informasi dari peternak (entry point), Bagaimana peran produsen dalam menyediakan produk, pedagang dalam mengirimkan produk, pengaruh produsen (peternak) terhadap peran lembaga pemasaran yang lain?Analisis selanjutnya adalah analisis kinerja rantai nilai terkait dengan peranan sistem kemitraan terhadap kinerja lembaga pemasaran. 7.1 7.1.1
Organisasi Rantai Nilai
Saluran Pemasaran Sapi Potong
Saluran pemasaran adalah saluran produk atau jasa dari tangan produsen sampai ke tangan konsumen. Saluran pemasaran sapi potong di Kecamatan Wanayasa diawali dari produsen yaitu peternak sapi potong yang tersebar di beberapa desa. Peternak di wilayah Kecamatan Wanayasa membeli sapi bakalan dari dua sumber utama yaitu peternak lain yang lebih besar di Kecamatan Wanayasa atau pedagang yang datang ke rumah peternak. Sementara itu, berdasarkan tipe wilayah pemasaran dan tipe pedagang, pendistribusian sapi potong dibagi menjadi dua wilayah pasar akhir, yaitu pasar di Kabupaten Banjarnegara dan pasar di Kabupaten Wonosobo. Pendistribusian sapi potong dari peternak rakyat ke wilayah Kabupaten Wonosobo melalui rumah potong hewan di Kabupaten Wonosobo mencapai porsi paling besar (53.3 persen). Hal tersebut disebabkan jarak ke Kabupaten Wonosobo relatif dekat dan mudah di tempuh dibandingkan jarak ke Kabupaten Banjarnegara. Selain itu kebutuhan di wilayah Kabupaten Wonosobo juga lebih banyak dibandingkan wilayah Kabupaten Banjarnegara. Kebutuhan tersebut yaitu Kecamatan Banjarnegara (30 persen) dan Kecamatan Wanayasa sendiri (16.7 persen). Pendistribusian daging sapi di Wilayah Wonosobo paling banyak di sub wilayah kecamatan Wonosobo (pedagang bakso, 70 persen) dan sub wilayah pasar kota wonosobo (30 persen). Hal ini terkait dengan kedekatan pasar dengan RPH. Sementara itu, untuk wilayah Kecamatan Banjarnegara pendistribusian daging sapi terbagi kedalam dua kelompok pedagang bakso (56 persen) dan pedagang eceran (44 persen). Pendistribusian ke wilayah Kecamatan Wanayasa adalah sebagai berikut: pedagang bakso (20 persen), pedagang makanan lain (5.6 persen) dan sisanya ke retailer (75.6 persen). Sedangkan untuk produk sampingan sapi yaitu kulit, jeroan, kaki, kepala dan tulang, masing-masing RPH atau pedagang
51
pemotong sudah memiliki langganan tetap yaitu pedagang kulit, penjual makanan dengan bahan baku tulang, kikil, kepala dan kaki. Sehingga, berdasarkan lembaga pemasaran yang teridentifikasi, maka pemasaran ternak sapi potong di Kecamatan Wanayasa melibatkan pedagang desa, pedagang kecamatan, pedagang pemotong dan retailer seperti yang terlihat pada gambar 7. Pada gambar saluran yang berbeda yang kemudian disebut saluran tipe 1 (tipe kemitraan), saluran tipe 2, tipe 3, dan tipe 4 yaitu saluran tipe mandiri. 1. Mitra : 0 % 2. Mandiri : 66.7 30 % BH
Pedagang Desa 37 % BH
Peternak
63 % BH
100 % Bobot hidup
Wilayah Kec Banjarnegara
Pedagang Pemotong Kab. Banjarnegara 46.7 % BH
Pedagang Kecamatan 1. Mitra : 100 % 2. Mandiri : 33.3 %
53.3 % BH
Wilayah Kec Wanayasa 16.7 %, BH
Pedagang Pemotong Kab wonosobo
Gambar 7.1 Distribusi pemasaran ternak sapi potong dan karkas Kecamatan Wanayasa, Kabupaten Banjarnegara Mei-Juni 2012 Pada Gambar 7.1 terdapat dua segment pasar yang menjadi tujuan akhir dari peternak dan aktor lainnya, yaitu pasar tradisional (wet market) dan pedagang pengolah daging skala kecil. Hal ini terkait dengan kualitas dan kuantitas sapi potong yang diproduksi oleh peternak rakyat hanya mencukupi pasar lokal saja (Fauzi dan Djajanegara 2004, Rahmanto 2004, Ilham 2009). Selain itu, kuantitas dan kualitas daging sapi maupun sapi potong hidup yang tidak konsisten, membuat produk tidak bisa di jual ke segment yang lebih bervariasi seperti supermarket, meat shop, restaurant dan hotel yang cenderung membutuhkan kualitas dan kuantitas daging sapi yang standard dan konsisten. 7.1.2
Saluran Pemasaran Sistem Kemitraan (Tipe 1)
Sesuai dengan sistem kemitraan yang terbentuk di Kecamatan Wanayasa, ada dua tingkat lembaga yang terlibat dalam pola kemitraan yaitu peternak dan pedagang. Jumlah total sapi yang diperdagangkan di saluran kemitraan ini adalah 34 ST dengan rata-rata kepemilikan 1 ekor sapid an kepemiikan maksimal 3 ekor sapi. Sapi potong hidup dari peternak langsung di jual ke pedagang pemotong di
52
tingkat Kabupaten untuk kemudian di potong di Rumah Potong Hewan (RPH) di masing-masing wilayah. Setelah pemotongan berlangsung, sapi hidup berubah bentuk menjadi karkas sebelum akhirnya berubah bentuk menjadi daging sapi siap jual. Saluran pemasaran sapi potong dengan sistem kemitraan dapat di lihat pada gambar 7.2. Peternak
Pedagang/ Peternak besar
Pedagang pemotong/Pegecer
Gambar 7.2. Saluran pemasaran ternak sapi potong dengan sistem kemitraan Gambar 7.2 menunjukkan bahwa produsen (peternak) dan peternak besar sekaligus sebagai pemilik modal dan pedagang merupakan satu kesatuan organisasi pemasaran. Peternak dan pemilik modal kemudian menjual sapi potong ke pedagang pemotong/pengecer dan pedagang pemotong/pengecer langsung menjual produknya ke konsumen. Hal ini sesuai dengan pendapat Sinaga (2002) yang menyatakan bahwa secara umum terdapat dua kombinasi pemasaran yaitu saluran pemasaran yang tidak memiliki tingkat perantara dan sauran pemasaran tidak langsung yaitu saluran yang memiliki satu atau lebih tingkat perantara. Ada atau tidaknya tingkat perantara kemungkinan dapat mempengaruhi harga dan informasi yang dimiliki oleh peternak. Pada saluran pemasaran sistem kemitraan, wilayah domisili dari pedagang perantara adalah di Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara, dimana wilayah tersebut merupakan wilayah dengan jumlah konsumen paling banyak dibandingkan wilayah lainnya. Sehubungan dengan hal tersebut, persyaratan kuantitas dan kualitas daging menjadi prioritas bagi pedagang pemotong/ritel. Fungsi dan peran yang dimiliki oleh kedua belah pihak sesuai dengan hak dan kewajiban yang terdapat pada sistem kemitraan. Fungsi dan peran peternak mitra adalah peternak mendapatkan sapi bakalan dari peternak besar/pedagang untuk kemudian digemukan selama beberapa waktu tertentu. Selama periode penggemukan, peternak mengeluarkan biaya pakan, tenaga kerja dan biaya input lainnya. Selain mengeluarkan biaya, peternak juga mendapatkan pinjaman modal untuk modal pembelian sapronak apabila dibuutuhkan, penyuluhan tentang budidaya dan kesehatan. Setelah cukup waktu atau cukup umur, sapi yang sudah siap jual kemudian diserahkan ke pedagang/peternak besar. Penyerahan sapi tersebut dengan cara peternak mitra menghubungi pemilik modal untuk mengambil sapi di tempat tinggal peternak. Pengangkutan disediakan oleh pemilik modal. Sehingga dalam hal ini peternak tidak memiliki fungsi pertukaran,fungsi penyimpanan maupun fungsi pengangkutan. Fungsi dan peran selanjutnya adalah fungsi dan peran yang dimiliki oleh pedagang/peternak besar atau pemilik modal. Pemilik modal membeli bakalan dari Pasar Hewan Wonosobo atau Pasar Hewan Banjarnegara pada hari-hari pasaran tertentu sesuai dengan permintaan peternak. Sapi bakalan kemudian diberikan kepada peternak mitra. Setelah 8-15 bulan periode masa pemeliharaan, peternak menghubungi pemilik modal untuk mengambil sapi siap jual tersebut. Sapi yang berasal dari peternak kemudian sebagian besar di simpan terlebih dahulu di kandang pemilik modal sampai hari tertentu, dimana pemilik modal atau pedagang melakukan transaksi dengan pedagang pemotong di Kabupaten. Biaya
53
yang dikeluarkan oleh pedagang atau pemilik modal adalah biaya transportasi, tenaga kerja, biaya retribusi dan biaya penyimpanan. Sapi potong dari pemilik modal atau pedagang kemudian di standarisasi berdasarkan bobot sapi dan kondisi sapi dari segi fisik maupun kesehatan. Sapi denga bobot badan cukup (lebih dari 357 Kg/ST) kemudian di jual ke pedagang pemotong di Kabupaten. Sedangkan sisanya, sapi dengan kondisi sakit atau berat badan kurang di jual ke pedagang pemotong di tingkat Kecamatan. Fungsi dan peran selanjutnya adalah fungsi dan peran yang dimiliki oleh pedagang pemotong. Pedagang pemotong melakukan pembelian langsung dari peternak maupun pedagang perantara di bawahnya. Pedagang pemotong memiliki karakteristik khusus, yaitu pedagang yang memiki banyak unit usaha. Unit usaha tersebut adalah peternakan penggemukan sapi potong, perdagangan sapi bakalan, usaha pemotongan, dan usaha pengecer daging. Beberapa usaha tersebut di kelola dalam satu manajemen yang bersifat professional (dalam hal ini jelas pembagian tugas dan peran tenaga kerjanya). Sapi potong yang telah disepakati, akan di antar oleh pedagang perantara ke rumah pemotongan hewa milik pemerintah. Rumah pemotongan hewan ini adalah rumah pemotongan hewan tipe B, dimana rumah pemotongan hewan tipe B adalah RPH berkapasitas leih dari 500 ekor sapi dan sudah dilengkapi dengan fasilitas pemotongan dan sanitasi yang baik. Rata-rata jumlah transaksi yang dilakukan pedagang pemotong adalah 7 kali transaksi, masing-masing transaksi 12 ekor sapi dalam satu minggu pada saat hari biasa, dan 2-4 ekor sapi pada saat hari-hari menjelang ramadhan, hari raya dan hari menjelang idul adha. Pedagang pemotong tidak melakukan penyimpanan sapi potong hidup karena penyimpanan dilakukan di RPH sebelum pemotongan dilakukan. Pedagang pemotong juga tidak melakukan penyimpanan hasil pemotongan, karena daging hasil pemotongan sudah terjual di tempat atau langsung dijual ke pasar daging. Standarisasi yang dilakukan oleh pedagang pemotong adalah kualitas daging, bagian daging (has dalam, daging sirloin, dan produk sampingan). Standar pemotongan lain adalah standar nilai persentase karkass. Dalam hal pengepakan, pedagang perantara tidak melakukan pengepakan khusus. Daging yang telah siap jual kemudian langsung di packing dalam plastik sesuai grading sebelum dijual ke pasar daging. Setiap proses transaksi pasti memilki peluang dan hambatan untuk di kelola. Permasalahan yang terjadi di saluran kemitraan ini terkait dengan permasalahan yang terjadi di tingkat peternak terkait dengan hak dan kewajiban yang dimiliki oleh peternak dan pedagang. Peternak mitra seringkali tidak mematuhi perjanjian terutama terkait perjanjian sistem penggemukan (periode pemeliharaan, pemberian pakan konsentrat, dan kebersihan). Oleh karena itu, peternak mitra rentan memiliki resiko penyakit pada ternaknya. Adanya penyakit tersebut mempegaruhi berat badan dan kondisi fisik yang dimiliki oleh sapi sehingga nantinya mempengaruhi kualitas karkass dan daging. Permasalahan selanjutnya adalah terkait dengan pembayaran dan presentase karkass dari pedagang pemotong ke pedagang perantara. Resiko pembayran berupa kemacetan pembayaran yang seharusnya dilakukan satu minggu setelah pemotongan di lakukan, kemacetan tersebut bisa terjadi karena beberapa hal, diantaranya karena kelalaian pedaang pemotong maupun disebabkan oleh keterlambatan pembayaran ditingkat pembeli. Resiko seanjutnya adalah persentase karkass, karkass dari
54
pedagang pemotong seringkali tidak sesuai dengan penghitungan pedagang perantara. Hal ini merugikan pedagang perantara karena harga yang diterima pedagang perantara bisa saja lebih kecil dari harga yang seharusnya. 7.1.3
Saluran Pemasaran Sistem Tidak Bermitra
Tipe saluran berikutnya adalah tipe saluran tidak bermitra atau saluran dimana sapi potong berasal dari produsen atau peternak yang bekerja secara mandiri. Lembaga pemasaran atau aktor yang terlibat dalam sistem pemasaran sapi potong tipe mandiri meliputi pedagang penerima (pedagang desa), pedagang kecamatan, pedagang pemotong dan pedagang kecamatan yang sekaligus memiliki peran sebagai pedagang pemotong dan retailer. Berdasarkan lembaga pemasaran yang terlibat, maka terdapat 3 saluran pemasaran ternak sapi potong di tipe mandiri. (Gambar 7.3). Peternak
Pedagang Kecamatan
Pedagang pemotong/Pegecer
Pedagang Desa
Pedagang pemotong/Pegecer Tingkat Kecamatan
Gambar 7.3 Saluran pemasaran ternak sapi potong Kecamatan Wanayasa sistem tidak bermitra Berdasarkan gambar 7.3, terdapat 3 saluran pemasaran yang terbentuk : 1. Saluran 2. Pada saluran 2, ada empat aktor yang terlibat, yaitu peternak, pedagang desa, pedagang kecamatan, dan pedagang pemotong sekaligus retailer. Peternak menjual sapi ke pedagang desa yang datang ke lokasi atau desa tempat peternak berdomisili. Pedagang desa kemudian melakukan tawar-menawar dengan peternak dengan informasi harga yang berasal dari peternak desa. Dari pedagang desa, sapi potong kemudian dijual ke pedagang tingkat kecamatan. Sapi potong dari pedagang kecamatan, kemudian di potong di pedagang pemotong. Sapi potong di pedagang pemotong mengalami perubahan bentuk, dari sapi hidup ke karkass sebelum menjadi daging sapi siap jual. Dari pedagang pemotong, daging sapi kemudian di salurkan ke konsumen individu maupun konsumen yang memiliki usaha pengolahan daging sapi. Sedangkan produk sampingan dari sapi, akan dibeli oleh pedagang pemborong yang sudah berlangganan. Sistem pembayaran di saluran dua ini dibagi menjadi dua yaitu sistem pembayaran tunai dan piutang. Peternak yang menjual ke pedagang desa akan cenderung memilih untuk di bayar tunai apabila pedagang desa yang datang adalah pedagang yang tidak ia kenal. Sedangkan apabila pedagang desa yang datang adalah pedagang
55
yang mereka kenal, peternak bersedia dibayar satu minggu setelah transaksi berlangsung atau ditukar dengan sapi bakalan dan akan dibayar selisih harga nya. Sedangkan pedagang pemotong atau pengecer melakukan pembayaran secara bertahap setelah seluruh hasil potonganya laku di jual kepada pedagang kecamatan, sehingga pedagang kecamatan terkadang harus membayar pedagang desa satu minggu setelah transaksi. 2. Saluran 3. Pada saluran 3, terdapat tiga aktor atau lembaga pemasaran yang terlibat, yaitu peternak, pedagang kecamatan, dan pedagang pemotong. Peternak menjual sapi potong hidup ke pedagang kecamatan. Dari pedagang kecamatan, sapi potong kemudian dijual ke pedagang pemotong di tingkat Kabupaten.. Pembayaran yang terjadi antara peternak dan pedagang kecamatan adalah sistem pembayaran tunai, sedangkan pembayaran antara pedagang pemotong dan pedagang kecamatan adalah sistem pembayaran tidak tunai. Pada tipe saluran ini, para aktor sudah saling mengenal dalam jangka waktu yang lama, sehingga sudah ada kepercayaan antar aktor. 3. Saluran 4. Pada saluran 4, terdapat tiga lembaga pemasar, yaitu peternak, pedagang desa dan pedagang kecamatan yang memiliki usaha sekaligus sebagai pedagang pemotong. Peternak menjual sapi potong hidup ke pedagang desa, kemudian pedagang desa menjual sapi potong kepada pedagang kecamatan sekaligus sebagai pedagang pemotong dan retailer. Pembayaran pada saluran ini dilakukan dengan pembayaran kredit atau satu minggu setelah transaksi dilakukan. Hal ini mengingat antara peternak, pedagang desa dan pedagang pemotong biasanya sudah saling mengenal. Peran dan fungsi masing-masing aktor di saluran tidak bermitra di jelaskan sebagai berikut : Peternak Peternak tidak bermitra yang teridentifikasi dibagi kedalam dua tipe, yaitu tipe satu atau tipe peternak yang menjual sapi potong ke pedagang desa, dan tipe dua yaitu tipe peternak yang menjual sapi potong ke pedagang kecamatan. Perbedaan peternak mitra dengan peternak yang tidak bermitra adalah dari segi penyidiaan faktor produksi dan Dari 30 responden peternak tidak bermitra yang teridentifikasi, sejumlah empat orang peternak menjual sapinya langsung ke pedagang kecamatan tanpa melalui pedagang perantara. Mereka adalah peternak yang memiliki akses baik dari segi jarak maupun ketersediaan transportasi dengan pedagang kecamatan.Sedangkan ke dua puluh enam peternak lainnya adalah peternak yang menjual ternak sapi potong ke pedagang desa. Mereka adalah peternak yang memiliki lokasi cukup jauh dari pedagang kecamatan maupun peternak yang tidak diterima produknya oleh pedagang kecamatan meskipun lokasinya berdekatan. Peternak tipe satu membeli sapi bakalan dari pedagang desa yang keliling dari satu rumah peternak ke peternak lainnya pada hari-hari tertentu. Pedagang desa yang datang , menawarkan sapi dengan harga yang sudah di sepakati. Penimbangan sapi dihitung berdasarkan lingkar dada dan judging dari peternak maupun pedagang. Dalam sistem judging ini masing-masing pedagang sudah memiliki rumus yang mereka peroleh berdasarkan kebiasaan. Ada kalanya rumus
56
tersebut sesuai dengan bobot badan sapi yang sebenarnya, akan tetapi seringkali rumus tersebut tidak sesuai dengan bobot sapi yang sebenarnya. Pembelian sapi dilakukan secara tunai, maupun tidak tunai. Sebelumnya, pedagang lebih memilih membayar dengan sistem utang akan tetapi beberapa saat belakangan, peternak enggan menunda pembayaran karena pedagang seringkali tidak datang lagi atau menghilang. Sistem lainnya adalah sistem tukar tambah, dimana peternak mendapatkan bakalan yang ditukar dengan sapi yang akan dijual dengan pembayaran selisih dari harga kedua sapi tersebut. Peternak ini memiliki karakteristik lain yaitu sangat tergantung kepada pedagang desa yang datang. Sehingga berapapun tawaran yang diberikan pedagang desa, peternak biasanya menyetujui. Peternak tipe dua membeli sapi bakalan dari pedagang desa maupun pedagang kecamatan. Peternak datang ke lokasi penjualan sapi atau kandang pedagang kecamatan dan mulai menaksir beberapa sapi yang di jual. Penimbangan sapi dihitung berdasarkan lingkar dada yang dimiliki oleh sapi. Harga jual sapi potong dibedakan berdasarkan kondisi sapi mapun jenis sapi. Sapi Brahman cross akan di jual lebih tinggi dibandingkan sapi lainnya. Kondisi sapi yang sehat dan tegak juga dihargai lebih tinggi dari pada sapi yang memiliki kondisi tidak prima. Selanjutnya, setelah sapi di gemukan, pada jangka waktu 618 bulan, sapi yang siap potong kemudian di jual pada pedagang kecamatan. Penimbangan atau penentuan bobot sapi juga didasarkan pada sistem judging lingkar dada dan kondisi luar sapi. Penentuan harga jual sapi oleh peternak didasarkan pada : 1) biaya produksi, 2) frekuensi pembelian dan penjualan, 3)kualitas sapi, 4) kondisi permintaan dan penawaran pasar Pengangkutan ternak sapi potong untuk tipe satu dilakukan dengan menggunakan angkutan yang dimiliki oleh pedagang desa, atau dengan cara membayar sewa angkutan. Sedangkan untuk peternak tipe dua, pengangkutan dilakukan dengan cara menyewa angkutan dengan biaya sewa Rp.50.000 sekali jalan atau menggunakan angkutan milik sendiri. Resiko yang dihadapi oleh peternak tipe satu adalah resiko penyakit dan kematian. Adanya penyakit maupun kematian sapi membuat peternak mengalami kerugian yang cukup besar. Selain itu peternak tipe satu lebih rentan terhadap resiko pembayaran yang macet dari pedagang desa dari pada peternak tipe dua. Peternak tipe dua memiliki kepercayaan yang tinggi kepada pedagang kecamatan, karena pedagang kecamatan mudah ditemukan. Pedagang perantara Aktor yang berikutnya adalah pedagang perantara. Pedagang perantara dibedakan menjadi pedagang desa dan pedagang kecamatan. Pedagang desa adalah pedagang perantara yang melakukan penjualan bakalan dan pembelian sapi potong secar berkeliling dari satu desa ke desa lainnya.Sapi potong dari peternak kemudian di jual ke pedagang kecamatan baik pedagang kecamatan yang langsung memotong maupun pedang kecamatan yang berfungsi sebagai pedagang penerima atau pedagang perantara tipe kedua.Pedagang perantara tipe satu atau pedagang desa dapat digolongkan menjadi pedagang kecil. Karakterstik pedagang ini adalah jumlah pedagang yang banyak, domisili biasanya jauh dari lokasi ternak (berbeda desa), membeli sapi dengan kualitas yang sama dan tidak terlalu memperhatikan standar. Karakteristik ini sesuai yang
57
di jelaskan Martin and Jagadish (2006) dimana pedagang kecil menyuplai sejumlah produk segar dengan kualitas yang relatif rendah, harga yang rendah, berpindah dan menyimpan produk dengan sangat cepat dan sering, dibiayai atau dimodali oleh diri sendiri, dan memiliki sangat sedikit investasi dalam hal investasi aset tetap, membayar pekerja dengan bayaran yang rendah, dan menjalankan usaha dengan biaya rendag, resiko rendah akan tetapi keuntungan cukup tinggi. Pada kenyataanya, pedagang desa memiliki resiko dalam hal modal dan pembayaran. Banyak pedagang desa yang kehabisan modal, sehingga terjadi keterlambatan dalam hal pembayaran ke peternak. Hal ini membuat kepercayaan peternak terhadap pedagang desa menurun. Resiko lainya adalah ketidak mampuan pedagang desa untuk memenuhi kualitas yang dipersyaratkan pedagang kecamatan, meskipun demikian hal tersebut tidak menjadi masalah bagi pedagang desa. Pedagang desa bisa memilih pembeli dimanapun, meskipun dengan harga yang lebih murah daripada pedagang kecamatan. Pedagang perantara berikutnya adalah pedagang kecamatan. Pedagang ini di golongkan menjadi pedagang besar, karena frekuensi pembelian yang cukup besar setiap minggunya, yaitu 3-5 ekor sapi (ST). Pedagang kecamatan menjual bakalan ke peternak dan membeli sapi dari peternak. Pedagang kecamatan membeli bakalan di Pasar Hewan Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara setiap hari-hari pasaran tertentu. Pembelian dilakukan dalam dua hari dalam seminggu.Setelah pembelian dilakukan, pedagang menghubungi beberapa pembeli atau peternak yang sudah memesan sebelumnya atau menjual dengan cara membuka sistem lelang dengan beberapa peternak. Sapi-sapi dari peternak maupun pedagang desa yang telah di gemukan kemudian di jual kembali ke pedagang kecamatan. Pedagang kecamatan memiliki karakteristik menjual atau membeli produk dengan kualitas yang lebih baik daripada pedagang desa. Martin dan Jagadish (2006) menjelaskan bahwa pedagang besar memiliki karakteristik menjual produk dengan kualitas yang lebih baik dari pedagang kecil. Mereka memiliki aset tetap seperti truk maupun kandang, dan mereka menggunakan tenaga kerja dalam keluarga. Mereka mengenal baik pemasok yaitu peternak sekaligus mengenal baik pembeli, pedagang kecamatan memiliki usaha yang spesifik serta mudah di temukan karena usahanya diketahui setiap orang. Pada kenyataanya, pedagang kecamatan di Kecamatan Wanayasa tidak banyak menggunakan tenaga kerja keluarga dan memiliki sejumlah alat transportasi serta kandang untung penyimpanan. Pengangkutan dilakukan oleh pedagang kecamatan dengan menggunakan mobil pick up berkapasitas dua ekor sapi dewasa (ST). Biaya yang dikeluarkan oleh pedagang kecamatan adalah biasa transportasi, biaya simpan, dan biaya bongkar muat. Penyimpanan dilakukan di kandang permanen yang dimiliki oleh pedagang. Masa penyimpanan biasaya dalam jangka waktu 1-3 hari sebelum sapi di jual ke pedagang pemotong. Resiko yang dihadapi pedagang kecamatan adalah ketidak konsistenan kualitas sapi potong dari peternak.Resiko lain adalah resiko pembayaran dari peternak yang macet maupun resiko pembayaran dari pedagang pemotong yang macet. Resiko ini harus didukung dengan kepemilikan modal yang cukup besar. Pedagang kecamatan juga menghadapi resiko berkurangnya bobot sapi,dan kaki sapi yang patah saat pengangkutan.Hal ini mengakibatkan berkurangnya
58
keuntungan yang didapatkan oleh pedagang.Selain resiko diatas,beberapa tahun terakhir ini, pedagang mengeluhkan adanya fluktuasi harga daging maupun bakalan yang sulit dipresidiksi, hal ini menyebabkan berkurangnya jumlah pembelian bakalan. Pedagang pemotong kecamatan Pedagang pemotong di Kecamatan Wanayasa melakukan pembelian langsung kepada peternak maupun pedagang desa di wilayah Kecamatan Wanayasa. Pedagang pemotong tipe ini adalah pedagang yang memiliki berbagai macam usaha sekaligus, yaitu sebagai peternak, pedagang perantara, pedagang pemotong serta pedagang pengecer. Pembelian ternak sapi potong dari pedagang desa atau dari peternak dalam bentuk ternak hidup dengan bobot hidup rata-rata 255 Kg dan frekuensi pembelian dan pemotongan rata-rata 1-2 ekor per hari.Pemotongan di lakukan di Rumah Potong Hewan milik Kecamatan Wanayasa. Pedagang pemotong kemudian menjual dalam bentuk daging, tulang, jeroan, dan tetelan, sedangkan untuk kulit dijual kepada penampung kulit yang datang ke RPH. Pedagang pemotong/pengecer juga melakukan penjualan daging sapi potong kepada sesama pedagang pengecer, akan tetapi dalam jumlah kecil yaitu sebesar 12-15 kg per hari. Dengan tipe bisnis ganda, pedagang pemotong/pengecer tipe ini melakukan aktifitas penyimpanan ternak sapi potong sehubungan dengan pembelian ternak yang dilakukan satu atau dua hari sebelum pemotongan.Tempat penyimpanan ini berbentuk kandang permanen dengan ukuran 2x2 m persegi.Oleh karena itu, pedagang pemotong mengeluarkan biaya untuk penyimpanan berupa biaya pakan dan tenaga kerja. Pedagang pemotong juga memiliki alat penyimpanan daging selaku fungsinya sebagai pedagang pengecer. Alat penyimpanan itu berupa mesin pendingin. Penyimpanan dilakukan apabila daging tidak laku, dan atau apabila ada pemesanan khusus yang dilakukan oleh konsumen akhir. Pengangkutan yang dilakukan oleh pedagang pemotong/pengecer di wilayah kecamatan wanayasa adalah satu kali pengangkutan dengan menggunakan mobil pick up sendiri berkapasitas 8 kg karkas. Selanjutnya pengangkutan daging yang dilakukan oleh pedagang pemotong/pengecer ke pasar tradisional di Kecamatan menggunakan mobil atau motor. Standarisasi yang dilakukan oleh pedagang pemotong/pengecer digolongkan berdasarkan jenis sapi, bobot badan dan penampilan luar. Standar pemotongan sapi potong di wilayah kecamatan wanayasa ini berbeda dengan standar pemotongan di wilayah Kabupaten, penghitungan bobot sapi tidak menggunakan berat karkas akan tetapi berat ke empat kaki atau disebut sampir empat. Penghitungan dengan menggunakan sistem sampir empat membuat prosentase daging yang dimiliki oleh sapi lebih kecil dari pada penghitungan karkas, sehingga banyak peternak atau pedagang yang lebih besar enggan untuk memotong ke pemotongan Wanayasa. Penggolongan untuk potongan hasil ternak yang di jual ke konsumen di Wilayah Kecamatan Wanayasa dibedakan menjadi daging, usus, limpa, tetelan, paru, babat, tulang, hati, buntut serta kulit. Penggolongan daging yang dijual di Wilayah ini hanya membedakan daging has dalam dan bukan daging has dalam.
59
Resiko yang biasa dialami oleh pedagang pemotong/pengecer kecamatan adalah presentase hasil sampir empat yang rendah, segingga total harga jual yang diperoleh lebih rendah daripada harga beli ternak hidup karena pembelian dilakukan dalam bentuk ternak hidup. Selain itu, kualitas sapi yang di jual oleh peternak atau pedagang desa kurang, sehingga bobot daging yang di peroleh sangat kecil. Pedagang pemotong/pengecer kecamatan juga meghadapi resiko keterlambatan atau bahkan macetnya pemabayaran karena sebagian besar pembeli melakukan pembayaran secara tidak tunai, hal ini dikarenakan pedagang pengecer tidak secara langsung menjual habis dagangannya pada waktu tersebut. Pedagang Pemotong di Wilayah Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara Tipe pedagang pemotong yang kedua adalah pedagang pemotong di Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara. Pedagang pemotong/pengecer di kedua wilayah ini tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Pedagang pemotong atau pengecer adalah pedagang pemotong yang memotong di RPH milik pemerintah Kabupaten Wonosobo maupun Kabupaten Banjarnegara. Pedagang pemotong/pengecer melakukan pembelian ternak sapi potong dari pedagang/peternak besar dalam bentuk ternak hidup, dengan bobot hidup rata-rata 280 Kg/ekor dan frekuensi pembelian rata-rata 2 sampai 3 ekor per minggu dari dua peternak di Kecamatan Wanayasa atau rata-rata 2 ekor perhari pemotongan di RPH pada hari-hari biasa, dan lebih dari 2 ekor/hari pada hari-hari tertentu seperti hari besar dan hari libur. Pedagang pemotong ini kemudian melakukan penjualan di pasar, baik itu penjualan daging kepada konsumen maupun pedagang pengecer. Harga beli yang ditetapkan oleh pedagang pemotong adalah harga per kg bobot hidup yang kemudian di kalkulasikan menjadi bobot karkas. Harga ini pula yang kemudian menjadi patokan dalam penentuan harga ke peternak mitra. Penjualan potongan hasil ternak dilakukan di pasar. Penjualan dilakukan dalam bentuk daging, tulang, tetelan, jeroan di jual pada pemborong jeroan. Sedangkan kulit akan dijual langsung kepada para pengepul yang datang ke RPH. Pedagang pemotong tidak melakukan penyimpanan ternak sapi potong karena penyimpanan ternak sapi potong di lakukan di RPH dan langsung di lakukan pemotongan setelah proses pembelian dilakukan. Pedagang pemotong/pengecer juga tidak melakukan penyimpanan atau pemotongan terhadap hasil ternak sapi potong, karena begitu pemotongan selesai dilakukan, maka hasil pemotongan langsung dijual di tempat maupun diangkut ke pasar. Pengangkutan yang dilakukan oleh pedagang pemotong/pengecer di wilayah Wonosobo maupun Banjarnegara dengan menggunakan mobik pick up sendiri dengan kapasitas 8 ekor karkas. Selanjutnya pengangkutan dilakukan ke wilayah pasar di masing-masing kabupaten dengan menggunakan kendaraan dari masingmasing pembeli. Standarisasi yang dilakukan oleh pedagang pemotong di setiap wilayah digolongkan berdasarkan jenis sapi, jenis kelamin, bobot badan dan penampilan luar sapi seperti kondisi kesehatan mulut, telinga serta kaki. Jenis sapi yang banyak di beli adalah sapi Limousine, simental, dan Brahman cross. Standar pemotongan di kedua wilayah ini memiliki standar yang hampir sama, akan tetapi di wilayah Kabupaten Wonosobo pada proses pemotongan dan pembersihan lebih
60
baik dari pada di kabupaten Banjarnegara. Pemotongan di Wilayah Wonosobo lebih bersih dibandingkan dengan di Kabupaten Banjarnegara karena semua lemak dibersihkan hingga lemak yang melekat pada daging. Hal ini menyebabkan presentase karkas yang keluar juga berbeda dengan selisih 4-7 %. Penggolongan untuk potongan hasil ternak yang dijual ke konsumen di kedua wilayah dibedakan menjadi daging, usus, tetelan, paru, babat, tulang, hati, buntut dan kulit dengan harga yang berbeda. Penggolongan harga daging dibedakan berdasarkan daging paha depan dan daging paha belakang dengan harga yang berbeda. Pedagang pengecer tidak melakukan pengepakan khusus, hanya digunakan pengepakan secara sederhana yaitu dengan menggunakan plastic. Resiko yang dihadapi oleh pedagang pemotong/pengecer di kedua wilayah adalah presentase karkas yang rendah, sehingga total harga jual yang diterima lebih rendah dari pada harga beli ternak hidup, karena pembelian dilakukan dalam bentuk ternak hidup. Resiko tersebut biasa dialami oleh pedagang pemotong/pengecer yang kurang berpengalaman dalam memperkirakan presentase karkas. Selain itu, resiko lain adalah resiko keterlambatan pembayaran yang dilakukan oleh konsumen baik konsumen lembaga maupun konsumen individu karena sebagian besar konsumen adalah konsumen pemiliki rumah makan atau usaha pengolahan daging terutama bakso. Selain itu resiko daging tidak terjual habis di pasar, namun pedagang menyiasatinya dengan melakukan penyimpanan untuk kemudian di jual dengan harga yang lebih renda 7.2
Akses Terhadap Lingkungan Pendukung
Aktivitas rantai nilai dikategorikan menjadi dua jenis,yaitu aktivitas pemasaran yang kemudian di sebut aktivitas primer dan aktivitas pendukung seperti akses terhadap infrastruktur, manajemen sumberdaya manusia, pengembangan teknologi dan pengadaan. Aktivitas pendukung ini senantiasa akan menyatukan fungsi-fungsi yang melintasi aktivitas primer yang beraneka ragam, serta bermanfaat untuk membagi lebih lanjut aktivitas primer yang ada di sepanjang rantai untuk kemudian menciptakan nilai tambah. 7.3.1
Akses Terhadap Infrastruktur dan Ketersediaan Transportasi
Ketersediaan infrastruktur dan transportasi merupakan akses yang memiliki peran signifikan terhadap kemampuan lembaga pemasaran dalam mengakses pasar (Muchara 2011). Infrastruktur dalam usaha ternak penggemukan sapi potong yang dimaksudkan di sini adalah ketersediaan akses jalan, akses terhadap lembaga kesehatan hewan, akses pasar hewan, akses rumah potong hewan yang memadai, dan akses terhadap pusat informasi harga. Ton (2012) menyebutkan bahwa dalam rantai nilai, keterbatasan akses infrastruktur yang dimiliki aktor dapat diartikan sebagai ketiadaaan fasilitas pemasaran seperti jalan penghubung yang baik, pasar yang baik, dan rumah potong hewan yang memenuhi persyaratan kualias. Selain itu keberadaan sarana transportasi dapat diartikan sebagai ketersediaan alat angkut untuk mengangkut ternak. Adanya infstruktur yang baik ditunjang dengan ketersediaan alat transportasi sangat membantu peternak dan pedagang dalam meningkatkan kinerjanya.
61
Pada table 7.1, kemampuan aktor dalam mengakses infrastruktur bervariasi tergantung kepada lokasi aktor tersebut berada dan tipe aktor atau lembaga yang diidentifiksi di bab sebelumnya. Kemampuan akses infrastruktur yang dimiliki oleh peternak mitra tergolong sedang (53 persen). Kemampuan akses sedang dapat diartikan bahwa peternak mitra memiliki akses terhadap keberadaan jalan yang baik (aspal) karena lokasi tempat tinggal atau kandang peternak berada dekat dengan akses Jalan Raya. Akan tetapi, peternak mitra tidak memilki akses terhadap keberadaan fasilitas lain, seperti fasilitas pasar hewan dan fasilitas RPH. Kemampuan peternak mitra rendah (47 persen) disebabkan peternak berada di lokasi jauh dari pusat Kecamatan dan tidak memiliki akses langsung terhadap pasar. Kemampuan peternak tidak bermitra tipe satu tergolong rendah (31 persen), peternak dengan akses rendah ini berarti tidak memiliki akses terhadap keberadaan infrastruktur fisik yang memadai. Kemampuan peternak tidak bermitra tipe dua digolongkan memiliki akses sedang terhadap keberadaan infrastruktur (83 persen). Peternak tidak bermitra tipe dua memiliki lokasi tempat tingga dekat dengan pusat kecamatan dan mampu mengakses jalan raya (beraspal). Kemampuan peternak dalam mengakses infrastruktur tersebut kemudian mempengaruhi peternak untuk mengakses pasar. Hal ini dapat dibuktikan dengan akses pedagang yang dimiliki oleh peternak. Peternak tidak bermitra tipe satu dengan akses yang rendah menjual ke pedagang desa disebabkan oleh ketidak mampuan peternak membawa ternak ke pusat Kecamatan. Sedangkan peternak tipe dua, dengan akses sedang langsung terhadap pedagang tingkat Kecamatan. Perbedaan kemampuan akses ini kemudian mempengaruhi nilai marjin yang terbetuk di masing-masing rantai. Kemampuan pedagang desa untuk mengakses infrastruktur tergolong sedang (100 persen). Hal ini disebabkan oleh kondisi jalan yang harus dilalui pedagang desa yaitu jalan desa yang berjarak lebih dari 20 Km dari pusat kecamatan, dan hampir 50 Km dari pusat pasar di Kabupaten dengan kondisi infrastruktur jalan yang rusak dan landscape pegunungan yang berkelok-kelok. Meskipun demikian, pedagang desa masih tetap memiliki kesempatan dan kemampuan untuk mengakses jalan yang baik ketika menjual produknya. Kemampuan pedagang kecamatan dan pedagang pemotong dalam mengakses infrastruktur dan transportasi tergolong tinggi dengan skor 3. Kemampuan akses tersebut dapat dilihat dari bagaimana situasi yang dihadapi pedagang dalam menjual dan membeli produknya. Meskipun pedagang kecamatan harus menempuh jarak 30-35 Km ke pusat kota, akan tetapi ketersediaan kendaraan dan infrastruktur jalan yang bagus memungkinkan pedagang kecamatan mengantarkan ternak tepat pada waktunya. Pedagang kecamatan dan pedagang pemotong juga dapat dengan mudah mengakses pasar hewan dan berbagai fasilitas yang tersedia di pasar tersebut. Akses lain adalah akses ke rumah potong hewan di Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara, dimana RPH di kedua kabupaten tersebut telah dilengkapi fasilitas pemotongan dan tergolong dalam RPH kelas B, sedangkan RPH di kecamatan Wanayasa merupakan RPH tipe C atau tipe RPH dengan daya tamping kurang dari 20 ternak per pemotongan.
62
Tabel 7.1. Sebaran penilaian kemampuan aktor terhadap akses ketersediaan infrastruktur Tingkat Akses Jumlah 1. Peternak mitra (n=30) Tinggi Sedang Rendah 2.Peternak NM tipe 1 (n=22) Tinggi Sedang Rendah 3.Peternak NM tipe 2 (n=8) Tinggi Sedang Rendah 4.Pedagang desa (n=5) Tinggi Sedang Rendah 5.Pedagang kecamatan(n=2) Tinggi Sedang Rendah 6.Pedagang pemotong (n=3) Tinggi Sedang Rendah
Nilai Akses Persentase (%)
16 14
53 47
20 2
31 3
5 3
63 38
5
100
2
100
2 1
67 33
Akses selanjutnya adalah akses terhadap keberadaan alat transportasi untuk mengangkut ternak. Pada table 7.2 Kemampuan aktor dalam mengakses alat trasportasi bervariasi tergantung pada ketersediaan modal. Kemampuan peternak mitra dalam mengakses transportasi tergolong sedang (93 persen). Peternak tersebut tidak memiliki akses sarana transportasi sendiri, akan tetapi peternak dapat dengan mudah menyediakan alat transportasi sehubungan dengan sistem kemitraan yang diikuti. Peternak yang tidak memiliki akses sama sekali (7 persen) yaitu peternak yang mengalami kesulitan baginya untuk menghubungi pemilik modal. Kemampuan akses peternak tidak bermitra tipe satu terhadap transportasi tergolong sedang (63 persen) dan tinggi (57 persen). Kemampuan peternak yang sedang adalah peternak yang tidak memiliki alat transportasi akan tetapi dengan mudah menghubungi pedagang kapanpun dia membutuhkan. Kemampuan peternak tinggi dapat diartikan bahwa peternak memiliki alat transportasi. Akses pedagang desa terhadap ketersediaan transportasi yaitu rendah (20 persen), sedang (20 persen) dan tinggi (60 persen). Kemampuan pedagang desa yang rendah ketika pedagang desa tidak memiliki ketersediaan transportasi dan
63
sangat tergantung kepada pedagang tingkat atasnya, sehingga biaya transportasi menjadi lebih tinggi. Kemampuan pedagang desa yang sedang yaitu ketika pedagang desa tidak memiliki alat transportasi akan tetapi dapat mengakses alat transportasi dengan cara menyewa secara kolektif. Pedagang yang memiliki akses tinggi berarti memiliki alat transportasi. Pedagang kecamatan dan pedagang pemotong memiliki akses yang tinggi terhadap transportasi (100 persen). Tabel 7.2 Sebaran penilaian kemampuan aktor terhadap akses ketersediaan transportasi Tingkat Akses Jumlah 1.Peternak mitra (n=30) Tinggi Sedang Rendah 2.Peternak NM tipe 1 (n=22) Tinggi Sedang Rendah 3.Peternak NM tipe 2 (n=8) Tinggi Sedang Rendah 4.Pedagang desa (n=5) Tinggi Sedang Rendah 5.Pedagang kecamatan(n=2) Tinggi Sedang Rendah 6.Pedagang pemotong (n=3) Tinggi Rendah Sedang
7.3.2
Nilai Akses Persentase (%)
21 9
70 30
22
100
5 3
63 38
3 1 1
60 20 20
2
100
3
100
Akses Terhadap Informasi dan Pengetahuan
Informasi dan pengetahuan memiliki peranan penting dalam keberhasilan aktor atau lembaga mengakses pasar dan menciptakan nilai. Menurut Martin&Jagadish (2006) penciptaaan nilai sepanjang rantai didukung oleh aliran informasi. Informasi ini bersifat timbal balik dan menghubungkan pemasok dengan pasar, dan pasar dengan pemasok. Aliran infomasi cenderung tersebar di sepanjang rantai dan akan menentukan orientasi dari partisipan. Semakin terintegrasi rantai, maka informasi semakin tersebar merata. Aliran informasi juga
64
mempengaruhi biaya transaksi yang di keluarkan oleh masing-masing lembaga pemasaran. Semakin banyak informasi yang diterima oleh aktor atau lembaga, maka biaya transaksi akan semakin rendah, dan partisipasi dalam akses pasar meningkat. (Baloyi 2010). Informasi yang penting di akses oleh peternak maupun pedagang adalah informasi mengenai harga, persyaratan produk baik segi kualitas maupun kuantitas, keberadaan kemungkinan infrastruktur yang baik, informasi mengenai pengetahuan dan teknologi baru dalam mengelola usaha sapi potong dan informasi mengenai kebijakan. Tabel 7.3 Sebaran penilaian aktor terhadap kemampuan mengakses informasi dan pengetahuan Tingkat Akses Jumlah 1.Peternak mitra (n=30) Tinggi Sedang Rendah 2.Peternak NM tipe 1 (n=22) Tinggi Sedang Rendah 3.Peternak NM tipe 2 (n=8) Tinggi Sedang Rendah 4.Pedagang desa (n=5) Tinggi Sedang Rendah 5.Pedagang kecamatan(n=2) Tinggi Sedang Rendah 6.Pedagang pemotong (n=3) Tinggi Sedang Rendah
Nilai Akses Persentase (%)
8 16 6
27 53 20
2 19
3 86
6 2
75 25
3 2
60 40
2
100
2
100
Sedangkan pengetahuan adalah kemampuan seseorang untuk mengingatingat sesuatu idea tau fenimena yang pernah diajarkan, dialami, dan dilakukan melalui proses belajar. Kompeternsi pengetahuan yang dimiliki peternak adalah kemampuan untuk mengetahui syarat-syarat paket teknologi yang harus diterapkan dalam menerapkan sapi potong, terkait dengan penambagan bobot badan, pemilihan bibit, perkandangan, pemberian pakan, penanganan kesehatan dan pemasaran ternak.
65
Tabel 7.3 menunjukkan bahwa akses peternak mitra terhadap informasi dan pengetahuan memiliki akses sedang (53 persen), tinggi (27 persen) dan rendah (20 persen). Akses tinggi yang dimiliki oleh peternak yaitu ketika peternak memiliki akses informasi dan pengetahuan dari pihak pemilik modal dan menggunakannya untuk meningkatkan produktifitas usanya. Peternak yang memiliki akses sedang adalah peternak yang memiliki kemampuan untuk mengakses informasi dan pengetahuan, akan tetapi peternak tersebut tidak memiliki kemauan untuk menggunakan informasi dan pengetahuan tersebut dalam mengelola usaha ternaknya. Peternak dengan akses rendah berarti peternak tersebut tidak memiliki kemampuan mengakses informasi karena ketidak tauan akan informasi dan pengetahuan apa yang harus ia akses. Akses terhadap informasi dan pengetahuan yang dimiliki oleh peternak tidak bermitra tipe 1 adalah rendah (86 persen) dan sedang (14 persen). Kemampuan akses ini dipengaruhi oleh bagaimana hubungan dan frekuensi interaksi peternak dan pedagang, serta bagaimana kemampuan pedagang desa dalam mengakses informasi dan pengetahuan. Berikut pernyataan peternak tidak bermitra tipe 2 ketika mengakses informasi dan pengetahuan: “Saya mengetahui harga dan perkembangan kondisi pemasaran sapi dari peternak besar atau pedagang kecamatan. Pedagang kecamatan biasanya membawa informasi yang mereka dapat dan kemudian membagikannya kepada kami. Begitu juga dengan pengetahuan terutama pemberian pakan dan manajemen budidaya yang lain. Peternak besar atau pedagang kecamatan yang menjadi langganan saya, tidak segan untuk membagi komposisi pakan dan mengajarkan saya bagaimana memelihara sapi agar bobot yang didapat maksimal” –Peternak Tidak Bermitra tipe 2.
Akses informasi dan pengetahuan yang dimiliki oleh pedagang desa tergolong rendah, hal ini disebabkan interaksi dan komunikasi pedagang desa serta kemungkinan pedagang desa untuk melakukan transaksi dengan pihak luar selain di wilayah tersebut sangat kecil. Sedangkan akses tinggi dimiliki oleh pedagang kecamatan maupun pedagang pemotong. Hal ini disebabkan oleh kecakapan, kemampuan, dan frekuensi pedagang dalam menjaring hubungan dengan pihak luar di liar wilayahnya terutama antar sesame pedagang di Pasar Hewan Banjarnegara dan Pasar Hewan Wonosobo. Semakin sering pedagang bertransaksi di pasar tersebut, maka aliran informasi akan semakin banya dan sebaliknya. “saya banyak memperoleh informasi karena pergaulan di pasar hewan dengan sesame pedagang dari berbagai daerah dan dari penyuluh serta petugas di pasar hewan. Contohnya ketika import sapi dibatasi, maka ketersediaan pasokan bakalan menurun, saya mengubah strategi dengan membeli bakalan dari luar daerah..” _pedagang
kecamatan. Menurut Martin dan Jagadish (2006), bahwa semakin pendek rantai, maka akan semakin mungkin informasi dan pengetahuan tersebar. Hal ini dapat dilihat dari identifikasi rantai dalam saluran 1 dan saluran tiga yang melibatkan peternak mitra dan peternak non mitra tipe 2. Dalam rantai yang cenderung pendek, pedagang langsung berhubungan dengan peternak mitra. Sebaliknya dengan rantai yang lebih panjang, pedagang dan peternak akan mengalami kesulitan dalam
66
menyebarkan informasi, karena informasi tersebut harus melewati beberapa lembaga pemasaran. 7.3.3 Akses Terhadap Keberadaan Organisasi Keterlibatan peternak maupun pedagang dalam organisasi akan mempengaruhi tingkat kompetensi dalam mengelola usaha ternak sapi potong. Semakin sering proses interaksi yang terjadi antar anggota, maka proses pertukaran atau distribusi pengetahuan serta pengalaman akan berpengaruh terhadap peningkatan kemampuan peternak maupun pedagang dalam mengelola usahanya. Selain itu, ketersediaan organisasi dapat membantu peternak dan pedagang dalam mengakses lingkungan pendukung lain. Tabel 7.4 Sebaran penilaian peternak terhadap akses keberadaan organisasi Tingkat Akses Jumlah 1.Peternak mitra (n=30) Tinggi Sedang Rendah 2.Peternak NM tipe 1 (n=22) Tinggi Sedang Rendah 3.Peternak NM tipe 2 (n=8) Tinggi Sedang Rendah 4.Pedagang desa (n=5) Tinggi Sedang Rendah 5.Pedagang kecamatan(n=2) Tinggi Sedang Rendah 6.Pedagang pemotong (n=3) Tinggi Sedang Rendah
Nilai Akses Persentase (%)
24 6
80 20
22
100
3 5
38 63
5
100
2
100
2
67
1
33
Peternak. Selah satu organisasi yang ditemukan ditingkat peternak adalah kelompok ternak. Mosher (1987) menyatakan bahwa salah satu syarat sukses terlaksananya kekuatan pembangunan pertanian yaitu adanya suatu kegiatan kelompok tani. Kelompok tani atau kelompok ternak ini dibentuk untuk mensejahterakan
67
masyarakat petani melalui kenaikan produktifitas serta distribusi pendapatan yang lebih merata. . Hal ini sejalan dengan pernyataan Abbas (1995), peran kelompok tani dalam memajukan petani adalah sebagai beriku (1) sebagai kelas belajar bagi para petani agar terjadi interaksi, guna meningkatkan pengetahuan,sikap dan ketrampilan dalam berusaha tani yang lebih baik serta berperilaku lebih mandiri untuk mencapai kehidupan yang lebih sejahtera, (2) sebagai unit produksi dalam pengertian kelompok tani merupakan kesatuan unit usaha untuk mewujudkan kerja sama dalam mencapai skala ekonomi yang lebih menguntungkan dan (3) sebagai wahana kerjasama antara anggota dan antara kelompok tani dengan pihak lain untuk memperkuat kerjasama dalam menghadapi berbagai ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan. Selain itu adanya organisasi juga memudahkan penyuluh mengontrol dan mengevaluasi usahaternak, serta mendistribusikan informasi mengenai program bantuan dan kebijakan terutama kebijakan Program Percepatan Swasembada Sapi 2014. Beberapa parameter yang digunakan untuk mengetahui keterlibatan peternak dalam kelompok petani adalah : a) tingkat keterlibatan peternak pada pertemuan dan kegiatan kelompok tani dalam sebulan, b) tingkat hubungan komunikasi dengan sesame anggota peternak dalam sebulan, c) jumlah tugas dan peran yang dilaksanakan anggota kelompok dalam sebulan dan d) pendapat anggota dalam menilai kekompakan kelompoknya. (Yusuf, 2010) Tabel 7.4 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan keterlibatan peternak dalam organisasi dari kedua pola. Akses peternak mitra terhadap keberadaan organisasi adalah tinggi sebesar 80 persen dan sedang sebesar 20 persen. Akses tinggi berarti peternak aktif bergabung dan berinteraksi antar sesame dalam sebuah lebaga kemitraan. Akses yang sedang berarti peternak memiliki keanggotaan suatu organisasi akan tetapi tidak aktif bergabung sebagai anggota. Akses peternak tiak bermitra tipe 1 terhadap keberadaan organisasi terglong rendah (100 persen), peternaik tipe ini tidak memiliki akses sama sekali terhadap keberadaan organisasi. Akses peternak tidak bermitra tipe 2 tergolong tinggi (38 persen) dan rendah sebanyak 63 persen. Ada tidakny organisasi di tingkat peternak berpengaruh terhadap perilaku peternak dalam menyerap informasi dan pengetahuan, serta dalam mengakses pasar. Peternak yang aktif di organisasi, mampu menapatkan informasi dan mengelolanya untuk memajukan usahanya. Akan tetapi, keberadaan organisasi formal di Kecamatan Wanayasa tidak terlalu diminati karena persayaratan yang susah an terkadang organisasi bersifat temporal. Peternak ini tergabung dalam kelompok ternak yang baru terbentuk pada bulan diadakan penelitian ini. Kelompok ternak tersebut dibentuk atas dasar kebutuhan peternak akan pengelolaan ternak yang lebih baik dan persyaratan yang diberikan pemerintah agar peternak dapat mengakses bantuan berupa ternak bakalan dan kandang. Keberadaan organisasi ini membuat peternak lebih giat dalam mengusahakan ternaknya “Saya memutuskan bergabung dengan kelompok tani, karena adanya program yang memungkinkan saya menambah jumlah ternak yang saya pelihara…” Peternak Tidak bermitra yang tergabung dalam organisasi Akses pedagang desa terhaap keberadaan organisasi tergolong rendah, hal ini disebabkan oleh ketiadaan organisai. Akses pedagang kecamatan rendah
68
terhadap keberadaan organisasi. Pedagang kecamatan tidak memiliki organisasi pedagang di tingkat Kecamatan Wanayasa maupun Kabupaten. Pedagang Kecamatan berpendapat bahwa, proses penyerapan informasi dan pengetahuan bisa didapatkan dengan cara menjaring jaringan yang seluas luasnya antar seama pedagang. Pedagang Pemotong memiliki akses tinggi terhadap organisasi. Hal ini dibuktikan dengan berdirinya asosiasi pedagang daging di Kabupaten. Asosiasi tersebut mengatur tentang harga dan memberikan banyak informasi yang berguna bagi keberlangsungn usaha pedagang pemotong. 7.3.4
Governance dan Hubungan yang terbentuk antar aktor Strukutur governance adalah jaringan antar aktor atau lembaga, yang digambarkan melalui koordinasi pemasaran (marketing coordination). Struktur governance ditentukan oleh jumlah input (bakalan) dan output (sapi siap potong). Jumlah input dan output ini dipertimbangkan berdasarkan bobot dan jumlah. Menurut Humprey (2005), Governance terjadi ketika lembaga di sepanjang rantai menyepakati peraturan yang ditetapkan oleh pihak lain. Kesepakatan tersebut ditandai dengan adanya pasokan produk yang berkelanjutan atau jumlah pasokan yang lebih besar daripada sebelumnya. Governance dalam rantai nilai sapi potong ditempatkan pada tiga kategori (1) adanya aliran informasi sepanjang rantai, informasi ini penting untuk mengkoordinasikan aktifitas perdagangan sapi potong di sepanjang rantai. (2) level dimana informasi tersebut mudah untuk di komunikasikan dan di kode oleh pedagang dan peternak, (3) Level dimana peternak memiliki kemampuan untuk dapat mencapai apa yang diinginkan oleh konsumen dan pasar. Sehingga, aktifitas struktur governance dapat dinilai melalui pola hubungan yang terjadi antar lembaga pemasaran. Hubungan (termasuk didalamnya informasi) yang terjadi di antara lembaga pemasaran dapat mempengaruhi penciptaan nilai di sepanjang rantai. Tipe-tipe hubungan yang terbentuk dipengaruhi oleh karakteristik produk dan segmen pemasaran. Dalam penelitian ini, karakteristik produk cenderung homogen, yaitu sapi jantan siap potong. Perbedaan yang dapat dilihat dari produk ini adalah perbedaan jenis sapi (bakalan : PO, Limmousine, Brahmancross) dan perbedaan bobot sapi. Segmen pasar yang terdapat dalam rantai nilai cenderung homogen. Hal ini ditandai dengan tidak adanya standardisasi dan grading daging. Tidak adanya segmen pasar ini mempengaruhi tersedianya kontrak formal mengenai kualitas dan kuantitas sapi potong atau daging sapi serta pembentukan harga . Menurut Martin dan Jagadish (2006) ketika tidak terjadi hubungan, maka akan tercipta perbedaan besarnya kekuatan yang dimiliki oleh petani dan pedagang. Pada kenyataanya, ada tidaknya hubungan dapat mempengaruhi keputusan yang terjadi dalam transaksi sapi potong.
69
Tabel 7.5 Pola hubungan yang terbentuk di masing-masing saluran Lembaga Status Lama Deskripsi hubungan hubungan (th) 1.Pola Kemitraan a. Pt-P Ada Hubungan 12.3 Hubungan persetujuan sistem Formal kemitraan b. P-Pm/Pgc Ada Hubungan 16 Hubungan dalam pengadaan Informal sapi potong, di hari normal maupun hari besar/Langganan 2. Pola tidak bermita Saluran 2 a. Pt-Pd Tidak ada hubungan b. Pd-P Tidak ada hubungan c. P-Pm/Pgc Ada hubungan 13.5 Hubungan dalam pengadaan informal sapi potong, di hari normal maupun hari besar/Langganan Saluran 3 a. Pt-P Ada hubungan 9.5 Hubungan dalam pengadaan Informal sapi potong, di hari normal maupun hari besar b. P-Pm/Pgc Ada hubungan 13.5 Hubungan dalam pengadaan Informal sapi potong, di hari normal maupun hari besar Saluran 4 a. Pt-Pd Tidak ada hubungan b. Pd-Pm/Pgc Tidak ada hubungan Ket : Pt : Peternak, Pd : Pedagang desa, P: Pedagang Kecamatan, Pm/Pgc : Pedagang pemotong/pengecer. Hubungan yang terbentuk antara peternak dan pedagang dibedakan ke dalam dua tipe yaitu hubungan yang terbentuk di saluran kemitraan dan saluran tidak bermitra. Tabel 7.5 menunjukkan pola dan keeratan hubungan yang terbentuk diantara peternak dan pedagang. Peternak rata-rata memiliki hubungan yang cukup lama dengan pedagang sekaligus sebagai pemilik modal. Peternak dan pedagang memiliki hubungan paling minimal yaitu dua tahun, atau peternak ini baru bergabung dengan kemitraan dua tahun kebelakang. Hubungan paling lama terjadi selama 16 tahun. Lama tidaknya hubungan sangat mempengaruhi tingkat kepercayaan yang dimiliki oleh pemilik modal untuk melanjutkan kerja sama bagi hasil. Peternak yang memiliki hubungan lebih dari 10 tahun cenderung memiliki kinerja dan kecocokan baik secara personal dan cara kerja terhadap pemilik
70
modal. Peternak ini lebih mudah mendapatkan tambahan modal berupa sapi apabila suatu saat ingin menambah jumlah sapi yang dipelihara. Hubungan yang terjadi antara pedagang dan pedagang pemotong adalah hubungan yang informal. Hubungan ini sudah berlangsung lama yaitu sekitar 14 tahun. Lamanya hubungan ini mempengaruhi sistem penetapan harga, pemenuhan kualitas yang diminta pedagang pemotong dan pembayaran. Permasalahan yang terjadi dalam pola hubungan kemitraan ini adalah, level kemampuan peternak yang kurang dalam mengintepretasikan infomasi mengenai kualitas dan kuantitas, yang ditandai dengan masih rendahnya bobot sapi potong peternak, yaitu rata-rata 387.74 kg bobot hidup untuk peternak mitra dan 385 kg bobot hidup per peternak untuk peternak tidak bemitra tipe 2, 350 kg Bobot hidup untuk peternak tidak bermitra tipe 1. Bobot ini sangat kecil apabila dibandingkan dengan bobot ratarata yang dimiliki peternak dengan skala lebih besar yaitu 480 kg. Hubungan pada pola tidak bermitra di bagi berdasarkan karakteristik peternak. Pada tabel 7.5, tidak terdapat hubungan antara peternak dan pedagang desa, maupun pedagang desa dan pedagang kecamatan di saluran 2. Ketiadaan hubungan ini disebabkan oleh banyak nya jumlah pedagang desa yang datang dan pergi ke tempat domisili peternak dan pedagang kecamatan. Meskipun demikian, antara peternak dan pedagang desa, maupun pedagang desa dan pedagang kecamatan memiliki hubungan saling mengenal satu sama lain. Pada saluran 3, hubungan terjadi diantara peternak maupun pedagang kecamatan dan pedagang kecamatan dan pedagang pemotong. Hubungan ini berupa hubungan berlangganan, dimana peternak memiliki keterikatan secara tidak langsung terhadap pedagang kecamatan dan sebaliknya. Pada Saluran 4, tidak terdapat hubungan antara peternak dan pedagang desa, dan pedagang desa dengan pedagang kecamatan. “saya telah mengenal Pak Parno sebagai pedagang pemotong semenjak saya mulai berbisnis jual-beli sapi potong. Pernah suatu ketika, saya mencoba memotong di tempat pemotongan yang berbeda,tetapi ternyata penghitungan karkasnya tidak sesuai dengan yang saya harapkan. Sedangkan ketika saya memotong di Pak Parno, saya merasa puas dan terus melanjutkan hubungan” Pedagang Kecamatan.
Ada dan tidaknya hubungan menciptakan keterikatan baik secara langsung maupun tidak langsung. Pada saluran 2 dan saluran 4, ketiadaan hubungan berpengaruh pada permasalahan ketidak konsistenan kualitas dan kuantitas serta ketepatan pembayaran. Peternak mengeluhkan komitmen pedagang desa untuk membayar tepat pada waktunya. Pedagang desa mengeluhkan adanya ketidak konsistenan kondisi sapi di tingkat peternak, begitu juga pedagang kecamatan mengeluhkan kualitas sapi yang tidak sesuai dengan standar yang dia miliki. Hubungan dan penyediaan sapi : “Sebagai pedagang pemotong dan pengecer, saya membutuhkan pasokan sapi potong secara teratur terutama pada saat sulit seperti pada tahun 2010 dan tahun 2011. Saya sangat mengandalkan pedagang atau peternak besar yang memotong ternaknya pada saya untuk memenuhi permintaan konsumen. Adanya pedagang pemotong yang saya kenal baik sangat membantu saya dalam menentukan jumlah sapi sesuai dengan kebutuhan konsumen saya. Saya juga memiliki kemudahan untuk berkomunikasi dan berbagi informasi dengan pedagang tersebut.” Pedagang Pemotong Wonosobo
71
Hubungan dan ketepatan pembayaran : “Saya bertransaksi dengan pedagang desa karena saya tidak memiliki alat transportasi untuk menjual sapi saya ke pedagang kecamatan. Pedagang desa yang datang dan menawar sapi saya terkadang sampai 3 atau 4 orang, tidak tentu. Dulu saya bertransaksi kepada pedagang mana saja yang datang ke rumah saya, akan tetapi pedagang tersebut terkadang tidak memenuhi janji pembayaran sesuai dengan waktu dan jumlahnya. Sehingga saya memutuskan untuk menjual ke pedagang desa yang saya kenal dan tempat tinggalnya saya ketahui, sehingga mudah bagi saya untuk menagih apabila ada keterlambatan pembayaran”
_Peternak tidak bermitra 7.4.
Sistem Pembayaran dan pembentukan harga
Sistem pembayaran yang dilakukan pada setiap tingkat lembaga pemasaran berbeda-beda. Berdasarkan table 7.6 rata-rata sistem pembayaran yang dilakukan oleh peternak ketika melakukan transaksi dengan pedagang desa adalah hutang/tidak tunai. Pembayaran dilakukan satu atau dua minggu setelah proses pembelian oleh pedagang desa. Sistem pembayaran yang dilakukan oleh peternak mitra dengan pedagang adalah hutang/tidak tunai, dengan masa pembayaran 3 hari sampai satu minggu. Akan tetapi, apabila peternak membutuhkan dana mendesak, pemilik modal bersedia memberikan hasil penjualan dengan menggunakan uang pemilik modal. Rata-rata penjualan peternak tidak bermitra yang melakukan transaksi dengan pedagang kecamatan yaitu dilakukan secara hutang/tidak tunai, pembayaran dilakukan dalam jangka waktu 3-7 hari setelah proses pembelian dilkukan. Pembayaran tunai biasanya dilakukan pada saat idul adha, ataupun disebabkan oleh adanya tuntutan dari peternak yang segera membutuhkan uang tunai dalam jangka watu singkat. Lamanya proses pembayaran ditentukan oleh pembayaran ditingkat lembaga pemasaran selanjutnya maupun jumlah modal yang dimiliki oleh masing-masing aktor pemasaran. Resiko dari proses pembayaran secara hutang ini adalah tidak terbayarnya uang hasil penjualan, hal ini terutama terjadi di tingkat pedagang desa dan peternak. Keeratan hubungan dan kepercayaan mempengaruhi proses pembayaran dan keberlangsungan transaksi antar lembaga pemasaran. Penentuan harga sapi berbeda pada setiap tingkat. Menurut Fauzi dan Djajanegara (2004) perilaku, posisi, peran dan kekuatan setiap lembaga pemasaran menentukan arah dan harga sapi. Peternak khususnya peternak tidak bermitra tipe satu adalah lembaga paling lemah dalam penentuan harga. Peternak tidak bermitra tipe satu memiliki keterbatasan dalam informasi harga, sehingga penentuan harga berdasarkan informasi yang dibawa oleh pedagang desa. Sedangkan untuk peternak dengan pola tidak bermitra, memiliki informasi harga yang lebih baik sehingga penentuan harga berdasarkan harga pasar dan tawar-menawar. Harga yang terbentuk di pedagang pemotong dan pedagang kecamatan tidak melakukan penawaran harga karkas, akan tetapi menentukan harga karkas berdasarkan harga yang disepakati sesuai dengan harga pasar. Harga umumnya ditentukan oleh pedagang pemotong dengan selisih harga Rp.500-Rp. 1000 dibawah harga pasar. Posisi yang paling kuat dimiliki oleh pedagang kecamatan dan pedagang pemotong. Selain bermodal besar, pedagang kecamatan dan pedagang pemotong menguasai informasi harga dan mendapatkan dukungan
72
informasi harga dan kebijakan dari pemerintah serta kemudahan akses financial dari perbankan. Pedagang kecamatan dan pedagang pemotong biasanya juga memiliki usaha sebagai peternak besar dan sekaligus jagal sapi dan berdagang daging sendiri sehingga memiliki informasi harga dari hulu ke hilir Tabel 7.6 Sistem Pembayaran Transaksi jual-beli sapi potong oleh lembaga/aktor pemasaran sapi potong Pembeli Penjual Jumlah Sapi Transaksi Jual-beli Tunai (%) Hutang (%) Pedagang Peternak 27 7 93 desa Pedagang mitra 34 21 79 pemotong Pedagang Peternak tidak 21 14 90 Kecamatan bermitra Pedagang Pedagang 15 13 87 Kecamatan Desa Pedagang Pedagang 12 100 pemotong Desa Pedagang Pedagang 37 5 95 pemotong Kecamatan
7.5
Analisis Biaya dan Marjin Pemasaran
7.5.1. Analisis Biaya Pemasaran Dalam melaksanakan aktifitas pemasaran, setiap lembaga pemasaran mengeluarkan biaya pemasaran. Jumlah biaya pemasaran yang dikeluarkan berbeda untuk setiap tingkatan lembaga pemasaran. Jumlah biaya tersebut tergantung pada tambahan nilai dari tarmac sapi potong, seperti nilai guna, bentuk dan kepemilikan. Komponen biaya pemasaran juga berbeda untuk setiap lembaga pemasaran tergantung pada fungsi dan peran lembaga tersebut. Komponen biaya pemasaran sapi potong dapat dilihat pada tabel 7.7. Berdasarkan tabel 7.7, komponen biaya untuk pedagang desa adalah biaya pengangkutan/transportasi, biaya pakan, tenaga kerja, retribusi rph dan pajak potong. Biaya transportasi merupakan biaya yang dikeluarkan untuk melakukan pengangkutan ternak sapi potong dari tempat pembelian ke tempat penjualan. Biaya transpostasi dihitung berdasarkan pengeluaran bahan bakar yang digunakan dan biaya sewa kendaraan. Dari ke empat pedagang, proporsi biaya transportasi terbesar dimiliki oleh pedagang desa yaitu 65 persen, selanjutnya pedagang kecamatan 14 persen, pedagang pemotong kecamatan 10 persen dan pedagang pemotong kabupaten 14 persen.
73
Tabel 7.7 Struktur biaya pemasaran di masing-masing tingkat lembaga pemasaran Jenis biaya
Pedagang desa
Pedagang kecamatan
Pedagang pemotong 1
Pedagang pemotong 2
Rp/kg
(%)
Rp/kg
(%)
Rp/kg
(%)
Rp/kg
(%)
Biaya transportasi
210
65
127.6
40
95
23
140
35
tenaga kerja
68.8
21
88.62
28
186.5
45
198
50
Pakan
42.3
13
42.3
13
14.2
3
14.2
4
62
19
71.01
17
42.85
11
43.5
11
retribusi rph pajak potong Biaya total
321.1
320.52
410.21
395.05
Biaya tenaga kerja adalah biaya yang dikeluarkan lembaga pemasaran untuk membayar upah pegawai dan pemakaian jasa tenaga selama penjualan sapi maupun pemotongan sapi. Pada tabel 7.7 terlihat bahwa untuk pedagang pemotong biaya tenga kerja merupakan komponen biaya terbesar dari total biaya pemasaran. Hal ini disebabkan oleh fungsi dan peran yang dimiliki oleh pedagang pemotong yaitu mengubah bentuk bobot hidup menjadi karkas dan daging melalui proses pemotongan di RPH.Biaya pakan yang dikeluarkan lembaga pemasaran adalah biaya yang dikeluarkan untuk pemberian pakan agar kondisi tubuh ternak tidak mengalami penurunan bobot badan. Biaya pakan dikeluarkan sebelum ternak diserahkan ke pedagang selajutnya atau selama dalam masa penampungan. Masa penampungan ternak yaitu sekitar 1-3 hari tergantung dari jadwal pedagang kecamatan/pedagang pemotong melakukan penjualan/pemotongan. Biaya pakan paling besar dikeluarkan oleh pedagang kecamatan yaitu sebesar 13 persen dari total biaya pemasaran. Hal ini disebabkan oleh jadwal penjualan sapi yang dimiliki pedagang kecamatan yaitu satu minggu dua kali. Komponen biaya lainnya seperti retribusi rph, dan pajak potong dikeluarkan oleh pedagang kecamatan maupun pedagang pemotong yang melakukan aktifitas pemotongan di RPH. Total biaya adalah jumlah seluruh komponen biaya yang dikeluarkan setiap lembaga pemasaran yang terlibat dalam kegiatan pemasaran sapi potong. Total biaya pemasaran terbesar dimiliki oleh pedagang pemotong tingkat Kabupaten dengan jumlah biaya sebesar Rp 410.21/kg bobot hidup. 7.5.2. Analisis Marjin Pemasaran Marjin merupakan selisih harga yang dibayarkan konsumen dengan harga yang diterima oleh produsen. Menurut Ilham (2009) dua komponen utama marjin pemasaran adalah keuntungan dan biaya pemasaran. Besar marjin pemasaran dapat dihitung dengan menjumlahkan biaya-biaya pemasraan dengan besarnya keuntungan pada setiap lembaga/aktor. Marjin ini dapat pula ditunjukan dengan perbedaan harga jual dan harga beli pada setiap saluran. Hal ini disebabkan oleh perbedaan harga jual, biaya pemasaran yang dikeluarkan dan keuntungan dari setiap lembaga pemasaran di saluran tersebut. Perbedaan besarnya biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh setiap lembaga berbeda, hal ini tergantung pada nilai tambah yang diberikan terhadap komoditi oleh setiap lembaga pemasaran. Nilai tambah tersebut meliputi nilai guna, bentuk, waktu, tempat dan kepemilikan.
74
Analisis Marjin Pemasaran Sistem Kemitraan Analisis marjin pemasaran pada tipe kemitraan hanya memiliki satu saluran, yaitu peternak mendapatkan sapi potong dari pedagang, peternak menjual sapi potong kepada pedagang dan kemudian pedagang menjual sapi potong kepada pedagang pemotong/pengecer. Harga yang dibayarkan oleh pedagang dan pedagang sapi potong dalam satuan Rp/kg bobot hidup. Struktur biaya, besar biaya, dan marjin pemasaran pada saluran dengan pola kemitraan dapat dilihat pada tabel 7.8. Tabel 7.8 Marjin pemasaran pada setiap lembaga dan saluran pemasaran ternak sapi potong di wilayah Kabupaten Banjarnegara per Juni 2012 (Pola Kemitraan) Lembaga pemasaran 1. Peternak Mitra/Plasma Harga Jual 2. Peternak/Pedagang inti A. Harga beli B.Total Biaya Pemasaran C. Marjin Pemasaran D. Harga Jual 4. Pedagang Pemotong /Pengecer A. Harga beli B.Total Biaya Pemasaran C. Marjin Pemasaran D. Harga Jual Total Marjin Pemasaran
Saluran 1 (Kemitraan, n=30) Rp/kg BB Persentase (%) 0.00
23950
23950 397.92 1100 25050 1550
0.00 0.00 0.00 95.60
93.92 1.56 6.08 100
Dari tabel 7.8 dapat diketahui bahwa pada sistem kemitraan, harga yang diterima peternak sebenarnya sama dengan harga yang diterima oleh pedagang. Harga yang diterima peternak mitra adalah harga yang ditentukan berdasarkan hitungan biaya produksi peternak (termasuk biaya input atau bakalan yang dikeluarkan oleh pedagang. Dari informasi harga berdasarkan hitungan pedagang/peternak besar tersebut, peternak besar kemudian mematok harga jual sapi sesuai dengan biaya transportasi, tenaga kerja, dan retribusi pasar dan harga sapi pasar sapi potong jenis tertentu dewasa yaitu sebesar Rp. 23950 /kg. Berdasarkan informasi tersebut, maka total marjin yang di terima di sistem kemitraan ini adalah marjin yang diterima oleh pedagang pemotong yaitu sebesar Rp. 1100/kg bobot hidup. Farmer’s share yang diterima oleh produsen (dalam hal ini peternak dan pedagang/peternak besar adalah 95.60 persen artinya produsen menerima 95.60 persen dari harga, dan sisanya dinikmati oleh aktor lain dalam rantai pemasaran. Farmer’s share yang besar pada saluran kemitraan menunjukan bahwa harga jual di saluran kemitraan dengan harga jual akhir di tingkat pedagang pemotong hampir sama besar. Farmer’share yang besar menunjukkan bahwa sebenarnya usaha ternak dengan sistem kemitraan tersebut berpotensi untuk
75
dikembangkan mengingat dari segi harga jual cukup menguntungkan. Akan tetapi, sesuai dengan konsep kemitraan yang ada, harga jual tersebut tidak sepenuhnya diterima oleh peternak mitra, akan tetapi dibagi dengan sistem proporsi bagi hasil. Peternak mendapatkan 50 persen dari hasil keuntungan yang didapatkan, sedangkan pemilik modal juga mendapatkan 50 persen dari total keuntungan penjualan yang didapatkan. Analisis Marjin Pemasaran Pola Tidak Bermitra Analisis selanjutnya adalah analisis marjin pemasaran pola tidak bermitra. Berbeda dengan pola bermitra, pada pola tidak bermitra peternak bekerja secara mandiri dan tidak tergantung pada pihak lain. Terdapat tiga saluran pemasaran yang terbentuk berdasarkan tipe peternak yang teridentifikasi, saluran dua, saluran tiga dan saluran empat. Masing-masing saluran memiliki tingkatan lembaga pemasaran yang berbeda (keterlibatan lembaga) yang pada akhirnya mempengaruhi biaya dan marjin pemasaran. Saluran yang terbentuk adalah sebagai berikut : (2) Peternak tipe dua Pedagang Desa Pedagang Kecamatan Pedagang pemotong/pengecer, (3) Peternak tipe satu Pedagang Kecamatan Pedagang pemotong/pengecer (4) Peternak tipe dua Pedagang Desa Pedagang pemotong/pengecer. Pada tabel 7.9 dapat diketahui bahwa keuntungan yang diterima peternak dari harga yang dibayarkan peternak (farmer’s share) konsumen akhir berbedabeda, begitu pula keuntungan yang diterima di setiap lembaga pemasaran. Perbedaan ini berdasarkan bentuk saluran pemasaran yang dilaluinya. Pada saluran dua, farmer’s share sebesar 84.096 persen, artinya peternak menerima harga sebesar 83.50 persen dari harga yang dibayarkan konsumen akhir, sedangkan sisanya 16.50 persen dinikmati oleh lembaga pemasaran lainnya. Pada saluran 3 dan 4 farmer’s share yang diterima adalah sebesar 88.72 persen dan 86.63 persen. Hal ini disebabkan oleh harga yang dibayarkan oleh konsumen akhir pada saluran tiga lebih besar dari pada saluran dua, dan harga yang diterima konsumen akhir pada saluran empat lebih kecil dari pada saluran yang lain. Harga yang diterima peternak paling kecil adalah harga pada saluran empat, yaitu sebesar Rp. 20192. Penentuan harga di tingkat peternak berdasarkan kualitas sapi (bobot dan kondisi badan secara umum) di tingkat peternak dan kepada siapa peternak menjual sapinya. Harga di saluran dua lebih tinggi dari pada harga di saluran empat meskipun tipe peternaknya sama. Harga di saluran dua yaitu sebesar Rp. 20982,- Perbedaan harga tersebut di sebabkan pada saluran dua kondisi sapi lebih baik dari pada saluran empat. Harga di saluran tiga merupakan harga paling tinggi diantara kedua saluran yang lain yaitu sebesar Rp. 22225,-. Perbedaan harga tersebut juga disebabkan oleh tipe peternak ini menjual sapinya langsung ke pedagang kecamatan. Sedangkan harga yang diterima oleh konsumen akhir pada ketiga saluran di atas berbeda-beda berdasarkan tipe pedagang pemotong yang menerimanya. Harga di tingkat akhir pada saluran dua dan tiga yaitu sebesar Rp. 25550/kg dan Rp. 24950/kg atau sekitar Rp. 51000/kg karkass dan Rp 49900/kg Karkass. Harga di tingkat akhir saluran 4 adalah sebesar
76
Rp. 23309. Harga tersebut di perhitungkan dari harga daging sapi tingkat lokal di Kecamatan Wanayasa dan sekitarnya. Tabel 7.9 Marjin pemasaran pada setiap lembaga dan saluran pemasran ternak sapi potong di Kabupaten Banjarnegara
Lembaga pemasaran
Saluran 2 (n: 13) Rp/Kg BB (%)
Saluran 3 (n=8) Rp/Kg BB (%)
21082
22225
Saluran 4 (n=9) Rp/Kg BB (%)
1. Peternak Harga Jual
83.50
88.72
20192
86.63
2. Pedagang Desa
A. Harga beli B.Total Biaya Pemasaran C. Marjin Keuntungan D. Marjin Pemasaran E. Harga Jual 3. Pedagang Kecamatan A. Harga beli B.Total Biaya Pemasaran C. Marjin Keuntungan D. Marjin Pemasaran E. Harga Jual 4. Pedagang Pemotong /Pengecer A. Harga beli B.Total Biaya Pemasaran C. Marjin Keuntungan D. Marjin Pemasaran E. Harga Jual Total Marjin Pemasaran
21082 301 1006.8 1293 22375
83.50 1.21 1.15 5.18 89.68
22375 89.68 275 1.10 1149.38 4.61 1425 5.71 23950 95.39
23950 394 905 1300 25250 4168
95.39 1.56 3.59 4.61 100
20192 86.67 341 1.4 745 3.1 1187 4.6 21279 0.95 22225 280.82 1444.18 1725 23800
88.72 1.12 5.77 6.89 95.61
23800 397 752 1150 24950 2875
95.61 1.59 3.01 4.39 100
21279 94.72 424 1.82 1606 6.89 1930 5.28 23309 100 3017
Pola saluran 2 merupakan pola yang paling panjang karena terdapat seluruh lembaga pemasaran yang terlibat yaitu pedagang desa, pedagang kecamatan dan pedagang pemotong. Berdasarkan satuan Rp/Kg bobot hidup, maka marjin pemasaran yang diterima oleh pedagang perantara yaitu masingmasing sebesar Rp.1293/Kg, Rp.1425/Kg dan Rp 1300 untuk pedagang pemotong. Berdasarkan satuan Rp/Kg bobot hidup, maka saluran 3 menunjukan saluran yang melibatkan tiga tingkatan lembaga, yaitu peternak tipe dua, pedagang kecamatan dan pedagang pemotong. Marjin yang didapatkan oleh pedagang perantara di saluran tiga masing-masing yaitu sebesar Rp. 1725 untuk pedagang kecamatan dan Rp.1150 untuk pedagang pemotong. Lebih kecilnya marjin ditingkat pedagang pemotong pada saluran dua dan saluran tiga disebabkan oleh peran pedagang pemotong yang berhubungan langsung dengan konsumen akhir sehingga harga ditingkat pedagang pemotong telah menjadi harga pasaran. Pola saluran empat menunjukan keterlibatan peternak, pedagang desa dan pedagang pemotong tanpa melalui pedagang kecamatan. Meskipun demikian,
77
marjin yang diperoleh pedagang desa lebih kecil dibandingkan marjin yang diperoleh pedagang desa pada saluran dua, yaitu sebesar Rp. 1006. Besarnya marjin tersebut disebabkan oleh rendahnya kualitas produk ternak yang diperoleh oleh pedagang desa sehingga penjualan tarnak langsung ke pedagang pemotong tingkat kecamatan. Sebaliknya, marjin pemasaran yang diperoleh pedagang pemotong di saluran empat lebih besar dibandingkan marjin pemasaran di saluran lain. Hal ini disebabkan pada saluran empat, jumlah pedagang pemotong yang mau menerima sapi dengan kualitas yang dimiliki oleh peternak tipe dua tidak terlalu banyak, sehingga meskipun harga akhirnya adalah harga pasar, pedagang desa tidak serta merta bebas menentukan harga. Total marjin pemasaran untuk saluran 2,3 dan 4 masing-masing yaitu sebesar Rp. 4168/kg bobot hidup, Rp 2825/kg bobot hidup, dan Rp. 3017/kg bobot hidup. Saluran dua memiliki marjin pemasaran paling besar, hal ini disebabkan oleh keterlibatan lembaga pemasaran yang paling banyak diantara saluran lainnya. Sedangkan saluran 3 merupakan saluran yang paling efisien di pola tidak bermitra, hal ini dilihat dari total marjin terkecil yang diperoleh saluran tiga. Efisiensi Pemasaran Berdasarkan analisis biaya dan marjin pemasaran maka dapat dihitung efisiensi pemasaran yang diterima oleh keseluruhan saluran, baik saluran bermitra maupun saluran tidak bermitra. Tabel 7.10 menunjukkan indikator efisiensi pemasaran yaitu dari sisi biaya total, farmers share, total marjin pemasaran dan R/C rasio. Pada tabel 7.10 total biaya terbesar dimiliki oleh saluran dua yaitu sebesar Rp 2189.6/kg bobot hidup, sedangkan biaya terkecil dimiliki oleh saluran satu yaitu sebesar Rp.1035.42/kg bobot hidup.Besarnya biaya menunjukan, semakin panjang rantai maka harga yang dibayarkan oleh konsumen semakin tinggi. Hal ini disebabkan oleh setiap lembaga pemasaran yang terlibat berusaha melakukan fungsi pemasaran sehingga biaya yang dikeluarkan semakin besar. Tabel 7.10 Sebaran biaya, marjin pemasaran, dan farmer’share Keterangan Total Biaya (Rp/kg) Total Marjin (Rp/kg) Farmer’s share (%) R/C rasio
Saluran 1 (Kemitraan)
Saluran 2
397.92 1100 95.60 1.29
970.82 4168 83.49 1.16
Saluran 3 678.74 2725 89.08 1.17
Saluran 4 765.45 3117 86.63 1.20
Indikator efisiensi berikutnya adalah besarnya marjin. Perbedaan marjin tersebut menunjukan panjang pendeknya saluran pemasaran. Saluran 2 merupakan saluran yang paling panjang atau saluran dengan umlah lembaga pemasaran paling banyak dibandingkan saluran yang lain yaitu sebesar Rp.4168. Sebaliknya saluran satu atau salurn kemitraan memiliki marjin paling kecil yaitu Rp.1100. Perbedaan marjin tersebut belum mampu menggambarkan tentang efisiensi pemasaran secara umum, karena efisiensi pemasaran juga bisa diukur melalui perbandingan farmer’share. Farmer share yang paling kecil dimiliki oleh saluran dua yaitu sebesar 83.50 persen, sedangkan farmer’s share paling tinggi diterima ole saluran satu yaitu sebesar 95.60 persen. Apabila dilihat dari ke tiga indikator
78
di atas saluran yang paling efisien adalah saluran 1, selanjutnya saluran 3, saluran empat dan terakhir adalah saluran 2. Namun, total marjin pemasaran yang kecil tidak dapat dijadikan tolak ukur untuk menyatakan saluran pemasaran tersebut efisien. Tetapi lebih kepada penerimaan yang didapat sesuai dengan biaya pemasaran. Penerimaan, biaya pemasaran dan rasio penerimaan/biaaya pemasaran pada sertiap lembaga dapat dilihat pada lampiran 1 Rasio penerimaan/biaya digunakan untuk mengetahui penyebaran rasio penerimaan dan biaya yang diperoleh oleh setiap lembaga pemasaran yang terlibat di masing-masing saluran pemasaran. Berdasarkan harga Kg/bobot hidup menunjukkan bahwa total penerimaan yang dimiliki oleh pedagang pemotong di masing-masing saluran berturur-turut adalah Rp. 31463/Kg bobot hidup, Rp. 30913/Kg bobot hidup, Rp. 31013/Kg bobot hidup, dan Rp. 29272/Kg bobot hidup. Komponen penerimaan pedagang pemotong tersebut merupakan komponen yang paling besar diantara ke dua jenis pedagang perantara lainnya. Hal ini disebabkan oleh adanya komponen tambahan yaitu penerimaan yang berasal dari produk sampingan seperti kepala, tulang, kaki, ekor, kulit, jeroan dan buntut. Produk sampingan tersebut memberikan penerimaan yang cukup besar untuk pedagang pemotong karena tidak adanya biaya tambahan untuk memproduksi produk sampingan tersebut. Berdasarkan total penerimaan dan biaya maka R/C rasio untuk pedagang pemotong masing-masing saluran yaitu sebesar 1.29, 1.28, 1.28 dan 1.35. Hal ini menunjukkan bahwa setiap Rp.1/ kg bobot hidup sapi potong, maka pedagang pemotong memiliki penerimaan masing-masing sebesar Rp. 8180/kg untuk saluran kemitraan dan masing-masing Rp. 8037/kg untuk saluran 2, Rp. 7753/kg untuk saluran 3 dan Rp.9047/kg untuk saluran 3. Rasio penerimaan/biaya total untuk masing masing saluran berdasarkan rasio penerimaan/biaya adalah sebagai berikut. Saluran kemitraan memiliki rasio penerimaan/biaya total sebesar 1.29, saluran dua sebesar 1.16, saluran tiga sebesar 1.17 dan saluran empat sebesar 1.20. Rasio penerimaan paling besar diterima oleh saluran kemitraan dengan nilai sebesar 1.29, artinya untuk setiap Rp 1/Kg bobot hidup yang dikeluarkan oleh lembaga pemasaran maka akan diperoleh keuntungan sebesar Rp.0.29/kg bobot hidup. Rasio penerimaan ini menunjukkan bahwa pada saluran satu, total pengeluaran pemasaran lebih kecil dibandingkan saluran yang lain, karena saluran tersebut hanya melibatkan dua lembaga pemasaran. Sedangkan saluran dua merupakan saluran dengan R/C terkecil, hal ini disebabkan total pengeluaran yang ditmiliki merupakan total pengeluaran terbesar diantara saluran lainnya. 7.6. Hubungan Karakteristik Peternak, Saluran Pemasaran dan Kinerja Rantai Nilai Sapi Potong Secara umum karakteristik peternak rakyat baik yang bermitra maupun tidak bermitra di wilayah penelitian dapat digambarkan sebagai peternak dengan penggunaan teknologi yang sederhana, bentuk usaha skala rumah tangga, corak usaha sebagai usaha tambahan pendapatan keluarga, dan skala usaha yang ditunjukkan dengan kepemilikan tarnak yang kecil. Adanya sistem kemitraan mempengarhui karakteristik peternak, untuk selanjutnya dapat mempengaruhi pembentukan saluran pemasaran dan kinerja rantai nilai.
79
7.6.1. Hubungan Karakteristik Peternak dengan Pembentukan Saluran Pemasaran Sapi Potong Berdasarkan karakteristik peternak mitra dan tidak bermitra, peternak rakyat memiliki peran dalam pembentukan saluran pemasaran berdasarkan pada jenis peternak rakyat, yaitu sebagai berikut : 1. Peternak bermitra adalah peternak rakyat dengan jumlah sapi 1-3 ekor sapi per rumah tangga. Sapi-sapi tersebut merupakan sapi milik pemilik modal. Peternak tersebut mengusahakan sapinya sebagai usaha sampingan atau usaha tambahan pendapatan selain usaha lainnya. Rata-rata peternak memiliki usaha tani sayuran sebagai usaha utamanya, hal tersebut memiliki pengaruh bagi karakteristik peternak dalam memelihara ternak terutama dalam hal penggunaan modal usaha. Meskipun bergabung dengan sistem kemitraan, akan tetapi tidak seluruh peternak mampu untuk mengaplikasikan pengetahuan tentang budidaya sapi potong yang baik sehingga bobot badan sapi dan kondisi sapi masih jauh dari apa yang diharapkan. Kendala ini disebabkan oleh karakteristik individu peternak berkaitan dengan pendidikan, pengalaman, dan juga pengaruh motivasi usaha sehingga alokasi modal lebih banyak di alokasikan ke usaha tani sebagai usaha utamanya. Saluran yang terbentuk dari tipe peternak ini adalah saluran kemitraan, dimana hanya terdapat dua lembaga pemasar yang terlibat yaitu pemilik modal dan pedagang pemotong. Sapi-sapi yang di potong kemudian di jual ke wilayah lokal di pasar tradisional Kabupaten Banjarnegara/Kab. Wonosobo. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa hasil ternak dari peternak rakyat sebagian besar di jual ke pasar tradisional di wilayah lokal. 2. Peternak tidak bermitra dibagi menjadi dua tipe. Tipe pertama adalah peternak yang menjual sapi ke pedagang desa keliling karena lokasi tempat tinggal yang cukup jauh dari wilayah Kecamatan. Peternak tidak bermitra tipe pertama cenderung memilki usaha tarnak yang relatif kecil, bersifat tradisional dan merupakan usaha sampingan atau usaha pendukung keluarga. Peternak tipe pertama ini sebagian besar memiliki usaha utama yaitu usaha tani sayuran dengan lahan dan modal yang terbatas. Keterbatasan ini mempengaruhi usaha ternak terutama dalam hal pemberian pakan, obat-obatan dan waktu pemeliharaan. Berkaitan dengan karakteristik tersebut, peternak tidak memelihara sapi sebagai pengahasil daging akan tetapi lebih mengarah sebagai tabungan, atau sebagai investasi pada saat memerlukan modal tambahan usaha utamanya. Karakteristik yang demikian menyebabkan sapi potong yang dihasilkan memiliki berat badan dan kualitas daging yang rendah. Berat badan ratarata sapi peternak tipe satu hanya 350.82 kg bobot hidup dengan kondisi sapi yang kurus dan tidak terawat. Sapi dengan bobot badan tersebut oleh pedagang desa di hargai sangat murah karena pembeli sapi kemudian juga menghargai sapi tersebut dengan harga yang rendah. Sapi-sapi tersebut kemudian dijual ke pedagang pemotong tingkat Kecamatan, dengan kapasitas usaha dan jangkauan pasar yang lebih kecil dari pada pedagang tingkat Kabupaten. Untuk peternak tipe satu yang memiliki sapi dengan
80
bobot badan lebih baik, maka sapi dijual ke pedagang Kecamatan untuk kemudian dijual ke pedagang pemotong kabupaten. 3. Peternak selanjutnya adalah peternak tidak bermitra tipe dua. Peternak tidak bermitra tipe dua adalah peternak rakyat yang menjual hasil ternaknya langsung ke tingkat pedagang Kecamatan. Peternak tipe dua memiliki jumlah sapi minimal 1 ekor dan maksimal 6 ekor per rumah tangga. Akan tetapi, jumlah peternak tipe dua lebih sedikit apabila dibandingkan dengan jumlah peternak tipe pertama. Peternak tipe dua ini memiliki karakteristik usaha yang hampir sama dengan peternak sebelumnya, hanya saja lebih baik dalam pengelolaan usahanya terutama dalam hal pemberian pakan, pembersihan kandang, pemberian konsentrat, pemberian obat-obatan dan vitamin. Sehingga, sapi-sapi yang dihasilkan memiliki bobot badan yang lebih baik, dengan bobot rata-rata 385 Kg Bobot hidup per ekor. Kondisi sapi yang demikian membuat peternak mampu menjual sapinya ke Pedagang Kecamatan dengan harga yang jauh lebih baik dari pada apabila sapi di jual ke pedagang desa, dan sapi dari pedagang pemotong langsung di jual ke pedagng pemotong tingkat Kabupaten. 4. Berdasarkan analisis tipe peternak diatas, secara umum, kesimpulan yang dapat diambil adalah peternak memasarkan hasil ternaknya sangat tergantung pada jasa pedagang, mulai dari pedagang pengumpul (pedagang desa), pedagang kecamatan, sampai dengan pedagang pemotong. Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya, yang menyatakan hal yang sama. Ketergantungan ini dapat dilihat dari kemampuan peternak untuk menentukan harga dan memilih ke pada siapa peternak harus menjual. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Syahjuti (1999), Rahmanto (2004) dan Ilham (2009) yang menyatakan bahwa pedagang memiliki posisi tawar (bargaining position) yang lebih tinggi dari pada peternak, terutama dalam penentuan harga, waktu penjualan, tempat pemotongan serta waktu pembayaran.Apabila dibandingkan dengan peternak dengan skala usaha yang lebih besar, peternak rakyat tidak bisa secara langsung menjual ke pedagang pemotong. Sedangkan peternak lebih besar memiliki akses secara langsung ke rumah pemotongan maupun ke pedagang pemotong sehubungan dengan karakteristik peternak tersebut yang memiliki dua atau tiga usaha yang berbeda, yaitu sebagai peternak, pedagang sapi potong hidup, dan pedagang pengecer. 7.6.2. Hubungan Karakteristik Peternak dengan Kinerja Rantai Nilai Berdasarkan karakteristik peternak Berdasarkan karakteristik peternak rakyat, kinerja rantai nilai masingmasing tipe peternak dan lembaga pemasaran yang terlibat pada saluran yang terbentuk adalah sebagai berikut : 1. Pada saluran kemitraan (saluran 1), Apabila dibandingkan dengan pemilik modal/peternak besar sekaligus pedagang pemotong, peternak rakyat memiliki kinerja atau kemampuan mengakses lingkungan pendukung yang rendah. Apabila dibandingkan dengan tipe peternak lainnya, peternak mitra memiliki akses lebih baik terutama untuk transportasi, informasi dan pengetahuan, dan akses terhadap organisasi. Kemampuan akses peternak
81
tipe 1 yang lebih baik sangat dipengaruhi oleh kemampuan pemilik modal dalam mengakses lingkungan pendukung.Sedangkan tipikal peternak besar/pemilik modal adalah memiliki akses yang tinggi terhadap lingkungan pendukung yang disebabkan besarnya modal dan kemampuan untuk mengakses pasar yang lebih luas. 2. Pada saluran tidak bermitra (2), peternak tipe satu memiliki kinerja akses terhadap lingkungan pendukung yang rendah, baik dari akses terhadap transportasi, akses terhadap keberadaan infrastruktur, akses terhadap informasi dan pengetahuan, akses terhadap keberadaan organisasi, dan tidak terdapat koordinasi berdasarkan hubungan yang terbentuk antar lembaga pemasaran. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa peternak menghadapi kendala akses dalam transportasi, infrstruktur, informasi dan pengetahuan yang dapat menyebabkan peternak memiliki keterbatasan akses terhadap pasar dan kualitas dan kuantitas produk yang dihasilkan peternak tidak konsisten dan rendah. Peternak tidak bermitra tipe satu memiliki ketergantungan terhadap pedagang desa. Kemampuan peternak dalam mengakses lingkungan pendukung sesuai dengan kemampuan pedagang desa dalam mengakses lingkungan pendukung. Peternak tipe satu sebagian besar tidak memiliki banyak pilihan untuk menjual hasil ternak ke pedagang yang lain, sehingga meskipun peternak telah melakukan usaha dalam jangka waktu yang lama, peternak tidak mengalami kemajuan dalam usahanya atau mengalami peningkatan skala usaha. 3. Pada saluran tidak bermitra (3), peternak tipe dua memiliki akses yang lebih baik terhadap infrastruktur, transportasi, informasi dan pengetahuan serta akses organisasi. Peternak tipe dua memiliki hubungan informal berupa hubungan langgan dengan pedagang Kecamatan, sehingga aliran informasi pasar lebih baik dari pada peternak tipe pertama. Hubungan langgan ini juga mempengaruhi kemampuan peternak dalam menentukan harga, menaikkan kualitas dan kuantitas daging karena keuntungan yang diperoleh besar.Ketergantungan peternak tipe dua kepada pedagang kecamatan dapat dilihat dari kemampuan peternak tipe dua dalam mengakses lingkungan pendukung. Peternak tipe dua memiliki kemampuan akses yang lebih baik seiring dengan kemampuan pedagang kecamatan dalam mengakses lingkungan pendukung. 4. Keterikatan hubungan antar aktor dapat mempengaruhi kinerja peternak maupun lembaga pemasaran sehingga konsistensi kualitas dan kuantitas produk dapat terpenuhi. Penelitian sebelumnya menunjukan bahwa semakin komplek segmen pasar dan kriteria pasar yang dituju, maka structure governance semakin komplek, demikian sebaliknya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada segmen maupun kriteria pasar yang spesifik. Seluruh hasil akhir produk ditujukan untuk pasar tradisional lokal, sehingga keterikatan hubungan secara formal tidak terjadi di setiap lembaga. Keterikatan hubungan terjadi antara peternak mitra dan pemilik modal, sehingga pemilik modal sekaligus pedagang memiliki kemampuan untuk memasok sapi potong setiap minggu sesuai dengan permintaan konsumennya (pedagang pemotong). Meskipun demikian, karena karakteristik peternak rakyat yang tidak konsisten dalam mengusahakan
82
tarnak, pemilik modal seringkali tidak bisa bergantung pada peternak mitra. Keterikatan hubungan secara informal terjadi antara pedagang kecamatan dan pedagang pemotong. Hubungaan informal ini ditandai dengan pemenuhan kriteria tarnak yang disyaratkan pedagang pemotong yaitu kekonsistenan bobot sapi dan kondisi sapi yang baik. 5. Pengaruh keberadaan pedagang terlihat dari harga, biaya, dan marjin pemasaran yang diperoleh masing-masing saluran pemasaran. Dari ke tiga tipe peternak di atas, terbentuk empat saluran pemasaran yang bervariasi baik dari segi keterlibatan lembaga pemasaran maupun aliran uang, produk dan informasi. Berdasarkan analisis marjin pemasaran, saluran kemitraan merupakan alternatif saluran yang paling efisien dibandingkan ke empat saluran yang lain. Hal ini bisa dilihat dari besarnya biaya pemasaran, marjin pemasaran yang kecil, farmer’s share yang besar, dan R/C rasio yang paling besar. Marjin pemasaran yang kecil menunjukan bahwa biaya pemasaran yang terbentuk di saluran tersebut kecil. Farmer’s share yang besar menunjukan bahwa harga yang diterima pihak peternak kemitraan mendekati harga tingkat akhir, hal ini disebabkan peternak mitra melalui pemilik modal dapat langsung mengakses ke pedagang pemotong. Saluran yang paling tidak efisien adalah saluran dua. Hal ini bisa dilihat dari biaya pemasaran yang besar, marjin pemasaran yang besar, farmer’s share terkecil dan R/C rasio terkecil. Adanya marjin yang besar menunjukan bahwa rantai pemasaran yang terbentuk panjang, sehingga informasi harga tidak menyebar dengan baik. 6. Berdasarkan hasil analisis biaya dan marjin, farmer’s share yang terbentuk di keempat saluran menunjukan nilai yang cukup besar yaitu lebih dari 80 persen di masing-masing saluran dan nilai R/C yang lebih dari satu. Nilai farmer’s share dan rasio kentungan yang cukup besar sebenarnya telah ditemukan dibeberapa penelitian sebelumnya yaitu sebesar 72-78 persen. (Hasanah 2000, Fauzi dan djajanegara 2004, Wahyuni 2006, Ratniati 2007).Besarnya farmer’s share tersebut menunjukan bahwa presentase harga yang harus dibayarkan oleh konsumen ke peternak besar. Harga yang diterima oleh peternak merupakan harga yang didapatkan dari pedagang perantara berdasarkan informasi harga pasar yang dimiliki oleh pedagang. Adanya farmer’s share yang besar terutama bagi peternak mitra menunjukan bahwa peternak seharusnya memiliki insentif untuk mengusahakan tarnak dengan skala usaha yang lebih besar ketika terjadi kenaikan harga sapi maupun daging sapi. Akan tetapi pada kenyataanya peternak tidak merespon kenaikan harga tersebut dengan menambah jumlah ternaknya dalam jangka pendek. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya kenaikan jumlah sapi potong dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Hal ini sejalan dengan penelitian Sukanata (2008) dan Bappenas (2010) yang menyebutkan bahwa harga daging sapi domestik tidak berpengaruh pada penawaran daging sapi peternak rakyat, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dalam penelitian Sukanata (2008) total penawaran sapi potong lebih responsif terhadap produksi dari pada harga sapi. Sedangkan penelitian Bappenas (2010) dalam blue print swasembada daging 2014 menyebutkan bahwa kenaikan harga daging domestik sebesar 1 persen hanya direspon dengan penawaran peternak rakyat sebesar 0.23 persen.
83
Alasan ketidak-responsifan peternak terhadap harga adalah karakteristik peternak rakyat yang memelihara sapi untuk tabungan dan memanfaatkannya sebagai tenaga kerja, sehingga kurang memperhatikan rugi laba. Jika pemeliharaan ternak sudah dirasa cukup dan sapi tersebut diperkirakan tidak dapat tumbuh besar lagi, maka peternak akan menjual sapinya tersebut. Fenomena di lapangan berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa, peternak rakyat baik peternak mitra maupun tidak bermitra, memiliki karakteristik usaha sampingan dan sederhana tidak memungkinkan peternak untuk menambah jumlah sapi baik dari segi jumlah sapi per-rumah tangga maupun peningkatan bobot badan sehingga pemenuhan kebutuhan akan daging terpenuhi. Peternak cenderung mengusahakan sapi untuk tambahan pendapatan bukan sebagai usaha utama, sehingga peternak tidak mementingkan hitungan keuntungan yang didapatkan dari per ekor tarnak. Hal ini berbeda apabila dibandingkan dengan peternak yang mengusahakan usaha ternaknya sebagai usaha utama. Peternak tersebut bergantung sepenuhnya terhadap usaha ternaknya sehingga cenderung memiliki usaha yang lebih banyak untuk meningkatkan bobot badan sapi sehingga tarnak sapi dapat menghasilkan keuntungan bagi rumah tangga peternak. Peternak besar adalah peternak komersial dengan manajemen usaha ternak yang jauh lebih baik dari pada peternak rakyat. Melalui kemitraan dengan peternak besar, seharusnya peternak dapat memiliki kinerja rantai nilai yang lebih baik sehingga mampu menambah penghasilan peternak sekaligus mampu meningkatkan skala usaha peternak. Adanya kemitraan dapat memutus panjangnya rantai sehingga peternak memiliki kemampuan untuk mengakses lingkungan pendukung dan mendapatkan keuntungan yang lebih banyak. Akan tetapi, konsep kemitraan sapi potong adalah konsep bagi hasil, dimana peternak bertindak sebagai penyewa sapi. Pembagian kentungan dan resiko yang dimiliki oleh kedua belah pihak tidak sebanding. Pemilik modal memiliki resiko yang lebih besar dibandingkan peternak mitra, sehingga pemilik modal terkadang lebih memiliki motivasi sosial untuk membantu peternak rakyat dari pada untuk mendukung permintaan pasokan sapi dari pada motif ekonomi. Adanya pembagian hasil dan peraturan kemitraan juga menjadi alasan peternak tidak bermitra tidak bergabung dengan kemitraan ini. Peternak menganggap bahwa pola bagi hasil tidak memberikan pendapatan yang besar Hal-hal tersebut di atas lah yang harus diperhatikan oleh pembuat kebijakan. Peternak rakyat memang memiliki jumlah yang lebih besar dari pada peternak komersil. Akan tetapi, peternak rakyat tidak memilki kemampuan untuk mencukupi kebutuhan daging sapi sesuai yang ditetapkan, sebalikanya peternak dengan manajemen yang lebih baik memilki potensi sebagai pihak yang dapat memenuhi kebutuhan daging sapi. Adanya konsep kemitraan antar peternak besar atau perusahaan dengan peternak rakyat mampu meningkatkan kinerja peternak rakyat, sehingga pemantapan sistem kemitraan yang professional dan terintegrasi menjadi salah satu rekomendasi kebijakan yang dapat dilakukan.
84
8. KESIMPULAN 8.1
Kesimpulan
1. Peran kemitraan terhadap pembentukan rantai pemasaran yaitu dapat memperpendek rantai pemasaran sapi potong. Dengan adanya sistem kemitraan, jumlah lembaga pemasaran yang terlibat dalam rantai pemasaran sapi potong menjadi berkurang terutama jumlah pedagang perantara. Dengan demikian, peternak rakyat mampu mengakses kinerja pemasaran dengan lebih baik dibandingkan peternak yang bekerja di sistem tidak bermitra. 2. Sejalan dengan pendeknya rantai pemasaran di saluran kemitraan, peternak memiliki akses yang lebih baik terhadap lingkungan pendukung terutama akses keberadaan alat transportasi, akses informasi dan pengetahuan, dan akses terhadap keberadaan organisasi. Adanya akses yang lebih baik tersebut dipengaruhi oleh kemampuan pemilik modal/peternak besar dan pedagang pemotong dalam mengakses lingkungan pendukung. Peran kemitraan juga terlihat pada pembentukan structure of governance dimana peternak bermitra memiliki keterikatan hubungan dengan pemilik modal, sehingga aliran informasi tentang produk, aliran produk sapi potong dan sistem pembayaran lebih baik dibandingkan lembaga yang bekerja pada sistem tidak bermitra. 3. Sejalan dengan pendeknya rantai pemasaran, saluran kemitraan merupakan saluran yang paling efisien. Hal ini terkait dengan kecilnya biaya, kecilnya marjin pemasaran, besarnya farmer’s share (95 persen), dan besarnya R/C rasio.
85
8.2
Saran
1) Berkenaan dengan analisis rantai pemasaran dan kinerja, peternak sebaiknya bekerja dalam secara bersama-sama dengan membentuk kelompok atau bergabung dengan kemitraan. Kelompok ini bisa berbentuk kelompok ternak, kelompok usaha bersama maupun penguatan sistem kemitraan.Sistem kemitraan ini tidak hanya berkaitan dengan sistem bagi hasil semata, dimana tidak ada jaminan atas kemakmuran peternak maupun peningkatan kemampuan pedagang untuk meningkatkan kinerja, akan tetapi sistem kemitraan yang mengarah pada kemitraan yang bersifat professional dengan menganggap peternak dan pedagang memiliki kedudukan yang sama. Peternak tidak hanya berfungsi sebagai buruh atau pekerja yang membesarkan ternak tanpa memperhitungkan keuntungan yang diperoleh, akan tetapi peternak juga harus ikut serta dalam memperhitungkan peningkatan kualitas ternak yang diperhitungkan dari kenaikan bobot sapi potong. 2) Berkenaan dengan analisis kinerja rantai nilai, perlu adanya upaya untuk meningkatkan kemampuan lembaga pemasar terutama peternak sebagai upaya memperbaiki rantai nilai (up grading). Strategi tersebut harus berkaitan dengan perbaikan infrastruktur jalan dan fasilitas, menyediakan alat transportasi murah yang bisa diakses dengan mudah (penyewaan kendaraan imasing-masing kecamatan), membentuk kelompok ternak untuk menyebarkan informasi dan pengetahuan secara cepat dan merata, atau memberdayakan penyuluh untuk memberikan penyuluhan terkait dengan proses budidaya yang baik dan benar. Dengan adanya perbaikan lingkungan pendukung, niscaya peternak dan lembaga pemasar lain dapat memperbaiki kinerja rantai nilai sapi potong peternakan rakyat. 3) Berkenaan dengan keterbatasan penelitian, diperlukan adanya penelitian tentang pengaruh karakteristik peternak terhadap kinerja peternak dalam rantai nilai serta optimalisasi biaya yang dilakukan dengan menggunakan analisis ekonometrik dalam lingkup cakupan wilayah yang lebih luas. Selanjutnya, sehubungan dengan pola kemitraan dan pola tidak bermitra, penelitian yang perlu dilakukan adalah penelitian mengenai pengaruh karakteristik peternak dengan dua pola yang berbeda terhadap efisiensi produksi dan kinerja rantai nilai masing-masing peternak.
86
DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Banjarnegara.2008 (ID). Banjarnegara Dalam Angka 2008.Banjarnegara: Badan Pusat Statistik Kabupaten Banjarnegara Abbas,S. 1995. 90 tahun penyuluhan pertanian di Indonesia (1905-1995). Jakarta (ID) : Deptan Alternberg,T .2007. Donor Approaches to Supporting Pro-Poor Value Chain”. Report Prepared For The Donor Comitte For Enterprise Development Working Group On Linkages And Value Chains, German Development Institute. Tersedia at www.enterprise-development.or Dahl, Dale C dan Hammond, Jerome W. 1977. Market and Price Analysis. The Agricultural Industries. USA (US) : Mc Graw-Hill. Dekayanti.2008.Analisis potensi pengembangan usaha penggemukan sapi potong di Kota Tangerang [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor Delgado, C., Rosegrant,M. Steinfeld,H., Ehui, S. and Courbois.1999. Livestock to 2020. The Next Food Revolution. Food, Agriculture and Environment Discussion Paper 28,pp 1-72. Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Jawa Tengah. Ststistik Peternakan. Semarang (ID): Disnak Jateng. Direktorat Jendral peternakan.2011.Statistik Peternakan. Direktorat Jendral Peternakan, Jakarta ---------------------------------. Peternakan, Jakarta
2009a.Statistik
Peternakan.
Direktorat
Jendral
BAPPENAS. 2010.Strategi dan Kebijakan dalam percepatan pencapaian swasembada daging 2014.Direktorat Pangan dan Pertanian. Jakarta (ID) : Kementrian Perencenaan Pembangunan Nasional. Fausi, Ahmad S, Djajanegara, Andi.2004. Kajian pemasaran sapi potong dalam pengembangan sistem integrasi tanaman tarnak. Dipresentasikan dalam Seminar Nasional Sstem Integrasi Tanaman Tarnak Firwiyanto,M.2008.Analisis Pendapatan dan Tingkat Kepuasan Peternak terhadap pelaksanaan kemitraan ayam broiler [skripsi] Bogor (ID) : Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Fukui, S.2009.Land tenancy market and determinants of the contract. Iwamoto dan S Hartono (eds) Economic Structure and Social Institutions in Rural Java. Yogyakarta (ID) : Gadjah Mada Univerity Press Griffin.1986.Educational Psycology.London (GB) : Longman Group
87
Hadi, P.U. N, Ilham, A. Thahar, B. Winarso, D. Vincent and D. Quierke.2002. Improving Indonesian’s beef industry [laporan penelitian] Australian Center for International Agricultural Research (ACIAR) Monograph 35:128. Harijati S.2007. Potensi dan pengembangan kompetensi agribisnis petani berlahan sempit : kasus petani sayuran di kota dan pinggiran Jakarta dan Bandung [disertasi]. Bogor (ID) : Sekolah Pascasarjana IPB Hasanah, M.2000.Anlisis sistem tata niaga sapi potong Kecamatan Jenkrik, Madura [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor Hellin, Jon. Meijer Madelon.2006. Guidelines for Value Chain Analysis. Hermawan, A. Sarjana dan Subiharta.2006. Tingkat efisiensi dan kontribusi pendapatan usaha ternak bagi petani miskin di Kabupaten Blora dan Temanggung. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner.2006. Tersedia online di : http://peternakan.litbang.deptan.go.id/publikasi/semnas/Pro06-56pdf (6 Januari 2013) Hoobs , J.E and Young, L.M.1999.Increasing vertical linkages in agrifood supply chains : A conceptual model and some preliminary evidence. Paper presented at the Canadian Agricultural Economics Society and The World Agricultural Economic Society. Fargo. North Dakota, USA, 10-14 July 1999. Humphrey, J Gereffi .2005. Is Commercial Agriculture Becoming too Challenging for Smallholders? Institut Of Development Studies. Diunduh : 19 Juni 2012. Tersedia online : www.princeton.edu Humphrey,J and Scmitz, H.2000.Governance in global value chains. Institute of Development Studies, University of Sussex. Indrayani, Ida. 2011. Analisis produksi dan daya saing usaha penggemukan sapi potong di kabupaten agam, provinsi sumatera barat [thesis]. Bogor (ID) : Sekolah Pascasarjana IPB. Kalamkar S.S. 2010.Poultry value chain, food security and poverty allevation in India [jurnal] Agricultural economic research review,Vol.23 Kaplinsky R, Morris, M. 2001. A handbook for value chain research. prepared for the idrc. Diunduh: 14 April 2012. Tersedia online di : wwww.ids.ac.uk Kariyasa, K. 2004. Analisis penawaran dan permintaan daging sapi di Indonesia sebelum dan sesudah krisis ekonomi : suatu analisis proyeksi swasembada daging 2005 [jurnal] Jurnal SOCA 4(3) : 283-293 Kartasapoetra, AG.1987.Teknologi Penyuluhan Pertanian. Jakarta : Bina aksara.
88
KIT and IRR.2008.”Trading up: Building Cooperation Between Farmers and Trader in Africa”.Royal Tropical Institute, Amsterdam, The Netherlands and International Institute of rural reconstruction, Nairobi, Kenya. Kohl, L.R. and Uhls, J.N.2002. Marketing of Agricultural Products. New York (US): Macmillan Publishing Company. Mahyudi, Ichsan.2009.Perbandingan Pendapatan Peternak dari dua sistem kemitraan inti plasma yang berbeda pada usaha pembesaran ayam ras pedaging [tesis]. Bogor (ID) : Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Markelova, et al. 2008. Collective Action For Smallholder Market Access [internet]. Diunduh pada 13 Agustus 2012. Food policy issues Volume 34, February 2009, Issue 1 : 1-7. Tersedia online: http://www.sciencedirect.com/ Martin, Sandra and Jagadish, Ayyamani. 2006. Agricultural Marketing and Agribusiness Supply Chain Issues in Developing Economics : The Case of Fresh Produce in Papua New Guinea. Paper Presented at New Zeland Agricultural and Resource Economics Society Confrence, 25-27 August 2006. Mc.Dermott,JJ et all.2010. Sustaining Intensification of Smallholder Livestock System in Tropics. Diunduh pada 13 Agustus 2012. Food and agriculture review. Tersedia online di Science Direct. www.elsevier.com/locate//lvsci Muchara, Binganidzo. 2011. Analysis of food value chain in smallholder crop and livestock enterprises in eastern cape province cape province of south Africa. [thesis] Fort hare (tZA) : Faculty of Agricultural Ecoomic. University of Fort Hare. Porter, Michael E. 1985.Competitive Advantage : Creating And Sustaining Superior Performance With New Introduction. New York (US): Free Press Puspitawati, eka. 2004. Analisis Kemitraan antara PT Pertani (Persero) dengan petani penangkar benih padi di Kabupaten Karawang [tesis] Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana, IPB Rachmatia, Nur Rizky,2013.Struktur biaya dan pendapatan usaha ternak ayam ras pedaging pola mandiri dan kemitraan perusahaan inti rakyat, kecamatan pamijahan, kabupaten bogor [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor Rahardi, F (2003).Agribisnis Peternakan. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Rahmanto, Bambang.2004.Analisis usaha peternakan sapi potong rakyat [makalah] ICASERD Working Paper No.59. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Departemen Pertanian RI.
89
Ratniati, Ni Ketut.2007.Analisis sistem pemasaran sapi potong PT Great Giant Liveztock Company Lampung Tengah [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor Rich, Karl M. Baker Derek, et all. 2009. Concept, spplication, of value chain analysis to livestock system in developing countries Contributed For Paper prepared for presentation at the international Assosiation of agricultural economist Conference, Beijing China, August 2009. Saptana dan Ashari,2007.Pembangunan pertanian berkelanjutan melalui kemitraan usaha Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 26(4) Sarwanto, Catur. 2004. Kemitraan, Produksi dan pendapatan peternak rakyat pada ayam ras pedaging. (Studi ksus di Kabupaten Karanganyar, Sukoharjo) [tesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sarwono dan Arianto. 2006.Penggemukan Sapi Potong Secara Cepat. Jakarta (ID) :Penebar Swadaya Schipmann, Christin.2006. Value Chains for A Better Integration of Smallholders to trader-the Case of Chili in Ghana [thesis]. Berlin (DE) : Departement of Agricultural Economics and Social Science University of Berlin Siregar, M. dan Ilham, N.2003. Upaya penigkatan efisiensi usaha ternak ditinjau dari aspek agribisnis yang berdaya saing. Forum Penelitian Agro-Ekonomi 21(1) 44-56. Soekartawi AS, Dillon L, Hardaker J.1986. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Jakarta (ID): Universitas Indonesia Press. Soekartawi.2005.Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Jakarta (ID) : Universitas Indonesia Press Spies, David Cornellius.2011.Analysis and quantification of the south African red meat value chain [disertasi] Bloemfontein (DE): Faculty of natural and agricultural sciences, University of free state,. Sudaryanto T, Agustian A.2003. Peningkatan daya saing usahatani padi : aspek kelembagaan “ [makalah] Analisis Kebijakan Pertanian Supriyatna, Yana. Wahyuni, Sri. Dan Rusastra, I Wayan. 2006. Analisis kelembagaan kemitraan usahaternak ayam ras pedaging : studi kasus di Propindsi Bali” [makalaj]. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2006. Suryana.2009. Pengembangan Usaha Ternak Sapi Potong Berorientasi Agribisnis dengan Kemitraan [jurnal]. Jurnal Litbang Pertanian 28 (1) 2009.
90
Syahyuti.1999.Keragaan subsistem tata niaga peternakan di Indonesia : suatu analisis sosiologis pelaku pemasaran commodities peternakan. Buletin Ilmu Peternakan Indonesia, Wartazoa, 8(1) : 1-8. Tamba M, 2007. Kebutuhan informasi pertanian dan aksesnya bagi petani sayuran : pengembangan model penyediaan informasi pertanian pemberdayaan petani, kasus di Provinsi Jawa Barat [disertasi]. Bogor (ID) : Sekolah Pascasarjana, IPB. Tawaf,R.2009.Dampak impor daging sapi dari Australia terhadap bisnis Feedlot di Indonesia [makalah]. Bandung (ID) :Fakultas Peternakan Universitas Pajajaran.Bandung Ton, Anna F.2012. Livestock for Development” [thesis]. Utrcecht (NL): International of Development studies University Utrecht Upton, Martin.2000.The livestock revolution’. implication for smallholder agriculture : A case study of milk and poultry production In Kenya” [jurnal]. Food and Argicultural Organization (FAO). Livestock Information and Policy Branch, AGAL. Vanzetti, David. et al. 2010. The Revival of Interest in Self Sufficiency in Indonesia and Its Likely Consequences. Thirteen Annual conferences on Global Economic Analysis, Penang Malaysia, June 9-11, 2010. Yusuf.2010. Kompetensi Peternak dalam Mengelola Sapi Potong di Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara [thesis]. Bogor (ID): Sekolah Pascasarjana IPB Zubair, Annas. 2003. Analisis Kelembagaan Kelayakan Usaha Sistem Kontrak Tani Informal (Contract Farming) pada tata niaga sayuran [tesis]. Bogor (ID) : Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
91
Lampiran 1 Tabel Sebaran penerimaan, pengeluaran dan R/C berdasarkan penerimaan /kg bobot hidup Saluran Pemasaran Lembaga Pemasaran
1
1. Pedagang Desa a. Penerimaan (Revenue) (Rp/kg bobot hidup)
2
3
4
22375
21279
1) Pengeluaran (Rp/Kg bobot hidup)
21082
20192
2) Biaya Pemasaran (Rp/kg bobot hidup)
301.1
341.1
21383.1
20533.1
1.05
1.04
b. Pengeluaran (Cost) (Rp/Kg bobot hidup)
Total c. R/C Ratio 2. Pedagang Kecamatan a. Penerimaan (Revenue) (Rp/kg bobot hidup)
23950
23800
b. Pengeluaran (Cost) (Rp/Kg bobot hidup) 1) Pengeluaran (Rp/Kg bobot hidup)
21082
22225
2) Biaya Pemasaran (Rp/kg bobot hidup)
275.62
280.82
21357.6
22505.82
1.12
1.06
25500
25250
24950
23309
5963
5963
5963
5963
31463
31213
30913
29272
1) Pengeluaran (Rp/Kg bobot hidup)
23950
23950
23800
21279
2) Biaya Pemasaran (Rp/kg bobot hidup)
397.92
394.1
397.92
424.35
24348
24344
24198
21703
1.29
1.28
1.28
1.35
25500
71575
48750
44588
5963
5963
5963
5963
31463
77538
54713
50551
1) Pengeluaran (Rp/Kg bobot hidup)
23950
66114
46025
41471
2) Biaya Pemasaran (Rp/kg bobot hidup)
397.92
970.82
678.74
765.45
24348
67085
46704
42236
1.29
1.16
1.17
1.20
Total c. R/C Ratio 3. Pedagang Pemotong/Pengecer a. Penerimaan (Revenue) (Rp/kg bobot hidup) Penerimaan produk sampingan Total b. Pengeluaran (Cost) (Rp/Kg bobot hidup)
Total c. R/C Ratio 4. Total (1+2+3) a. Penerimaan (Revenue) (Rp/kg bobot hidup) Penerimaan produk sampingan Total b. Pengeluaran (Cost) (Rp/Kg bobot hidup)
Total c. R/C ratio
92
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah pada tanggal 29 September 1987 dari pasangan Bapak Suseno dan Ibu Rishi Mardiningsih. Penulis merupakan putrri kedua dari dua bersaudara. Pada tahun 2005 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Pemalang dan melanjutkan ke Institut Pertanian Bogor pada jurusan Agribisnis lewat jalur PMDK dan lulus pada bulan Agustus tahun 2009. Pada tahun 2010 penulis melanjutkan studi pascasarjana program Magister Sains Agribisnis (MSA) Institut Pertanian Bogor dengan sponsor Beasiswa Unggulan (BU) BPKLN. Pada tahun 2011-2012 penulis melanjutkan studi ke Sustainable International Agriculture (SIA), Georg August Goettingen University Germany melalui program Double Degree dengan sponsor Beasiswa Unggulan (BU) Luar Negeri.