ANALISIS PENGEMBANGAN KOTA MAGELANG SEBAGAI PUSAT PERTUMBUHAN KAWASAN PURWOMANGGUNG JAWA TENGAH
Disusun oleh : Retno Zulaechah NIM. C2B007055 Dosen Pembimbing : Drs. H. Wiratno, M.Ec. NIP. 194602201973061001 ABSTRACT
The most important thing from the regional development by implementing the regional autonomy is improving the regional motivation to have a high growth rate. If that thing happens, it will cause the improvement of regional gap. One of the Central Java Government policies to create a balance between economy growth rate and per capita income is through regional cooperation concept. Purwomanggung region is one of the result of that policy which consist are these districts: Purworejo, Wonosobo, Magelang, Temanggung, and Magelang City as the growth pole. The problem of this research is Magelang as a growth pole is have not been a fast growth city yet, and the dominant contribution sector towards GDRP is still having a low growth. This research aims to identify the economic interaction Magelang City with hinterland and analize the potential economic sector for the development of Magelang City. The kind of data that used for this research are secondary data since 2003 – 2008. Analysis method that used are Gravity model, Location Quotient analysis, Growth Ratio Model, Overlay analysis, and Shift Share analysis. This research is show based on gravity analysis, the low economic interaction between Magelang City with hinterland. Based on Overlay and Shift Share analysis shows that Magelang City have many potential sector such as: electricity sector, building sector, transportation sector, trade sector, financial sector, and service sector. Among the sixth sectors that become the first priority of Magelang City development is transportation sector, the second is electricity sector, trade sector, financial sector and the third is service sector. From all those analysis above, it can be conclude that Magelang city has not complete yet some criteria of the growth pole, because Magelang City have less interesting view for hinterland, although it has potential sector, but the sector growth progress is still low. Key words : Regional Development, Growth Pole, Gravity Model, Overlay Analysis, Shift Share Analysis.
1
I.
1.1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah
daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta dengan tujuan menciptakan suatu lapangan pekerjaan baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut (Arsyad,2002).Pemerintah melalui UU No.32 Tahun 2004 tentang “Pemerintah Daerah” dan UU No.33 Tahun 2004 tentang “Perimbangan Keuangan antar Pemerintah Pusat dan Daerah”, mengenai pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk merencanakan dan mengelola pembangunan daerahnya masing – masing berdasarkan potensi dan permasalahan wilayah. Berlakunya otonomi daerah yang paling penting bagi pembangunan daerah dewasa ini adalah meningkatkan motivasi daerah untuk memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi melalui pemberdayaan potensi ekonomi lokal. Hal tersebut mengakibatkan daerah yang memiliki potensi ekonomi lokal yang melimpah akan semakin kaya, sedangkan daerah yang memiliki potensi ekonomi lokal yang terbatas akan semakin miskin.Apabila kondisi tersebut dibiarkan maka akan semakin meningkatkan kesenjangan antardaerah. Provinsi Jawa Tengah melalui Perda Provinsi Jawa Tengah No. 21 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2003 – 2018 dengan pembaruan Perda Provinsi Jawa Tengah No. 6 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009 – 2029 menetapkan daerah – daerah yang dijadikan kawasan kerjasama antardaerah kabupaten/kota. Diharapkan dengan adanya kawasan kerjasama, masing – masing daerah dalam suatu kawasan kerjasama akan saling berupaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pembangunan. Salah satu dari hasil kebijakan tersebut adalah dikelompokkannya beberapa daerah dalam Kawasan Purwomanggung yang terdiri dari Kabupaten Purworejo, Kabupaten Wonosobo, Kota Magelang, Kabupaten Magelang, dan Kabupaten Temanggung. Kota Magelang merupakan pusat pertumbuhan di Kawasan Purwomanggung. Kriteria
2
pusat pertumbuhan yaitu sebagai daerah cepat tumbuh, memiliki sektor unggulan dan memiliki interaksi ekonomi dengan daerah belakangnya. Kinerja perekonomian suatu daerah dapat dilihat dari nilai PDRB dan pertumbuhan PDRBnya. Sedangkan tingkat kesejahteraan masyarakat di suatu wilayah dapat dilihat daro PDRB per kapita. Berikut laju pertumbuhan PDRB dan PDRB per kapita kabupaten/kota di Kawasan Purwomanggung : Tabel 1.1 Laju Pertumbuhan PDRB Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Kawasan Purwomanggung Tahun 2003 – 2008 (persen) No 1 2 3 4 5
Kabupaten/Kota
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Kota Magelang Kabupaten Magelang Kabupaten Temanggung Kabupaten Wonosobo Kabupaten Purworejo Jawa Tengah
3,74 4,01 3,37 2,28 5,08 4,98
3,71 4,03 3,92 2,34 4,17 4,70
4,33 4,91 3,31 3.23 4,91 4,41
2,44 4,91 3,31 3,23 5,23 4,41
5,17 5,21 4,03 3,58 6,08 4,50
5,05 4,99 3,54 3,69 5,62 4,99
Rata – rata 4,07 4,68 3,58 3,06 5,18 4,67
Sumber : PDRB Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah, diolah Tabel 1.2 Rata – rata PDRB Per Kapita Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Kawasan Purwomanggung Tahun 2003 – 2008 No 1 2 3 4 5
Kabupaten/Kota Kota Magelang Kabupaten Purworejo Kabupaten Wonosobo Kabupaten Magelang Kabupaten Temanggung Jawa Tengah
Rata – rata PDRB per Kapita (Rupiah) 7.362.945,67 3.365.979,59 2.110.069,90 2.887.465,38 2.939.842,96 4.561.410,43
Sumber : PDRB per kapita Kabupaten/Kota Provinsi Jawa Tengah, diolah Rata – rata laju pertumbuhan ekonomi Kota Magelang dan rata – rata PDRB per kapita Kota Magelang antara tahun 2003 – 2008, dapat dijadikan dua indikator utama untuk mengetahui tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi Kota Magelang. Menurut Tipologi Klassen, Kota Magelang termasuk kriteria daerah maju tertekan karena memiliki pendapatan per kapita lebih tinggi, tetapi tingkat pertumbuhan ekonominya lebih rendah dibanding dengan Provinsi Jawa Tengah. Mengingat Kota Magelang adalah pusat pertumbuhan kawasan Purwomanggung, seharusnya memiliki kriteria cepat tumbuh. Berdasarkan Tabel 1.3 dapat dilihat sektor yang mempunyai kontribusi tiga terbesar dalam PDRB Kota Magelang pada tahun 2003 dan 2008 yaitu sektor 3
jasa – jasa, sektor pengangkutan dan komunikasi dan sektor bangunan, akan tetapi pertumbuhan ketiga sektor tersebut masih dibawah sektor lain yang bukan merupakan kontribusi utama dalam pembentukan PDRB. Tabel 1.3 PDRB Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 Kota Magelang Tahun 2003 dan 2008 No
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Lapangan Usaha
Tahun 2003
2008
(Jutaan Rupiah) 25.240,72 29.677,66 0 0 30.051,37 35.139,12 21.136,51 26.358,75 132.088,60 150.980,54 53.825,48 77.473,22 154.119,84 191.133,31 86.159,21 110.376,01 309.019,77 372.725,22 811.631,5 993.863,81
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa – Jasa Total PDRB
Perubahan Absolut Persen (Jutaan Rupiah) 4.436,94 0 5.087,75 5.222,24 18.891,94 23.647,74 37.013,47 24.216,80 63.705,45 182.232,31
Sumber : PDRB Kota Magelang, diolah Mencermati perkembangan perekonomian Kota Magelang sebagaimana diuraikan diatas maka menarik untuk mengkaji dan menganalisis interaksi ekonomi Kota Magelang sebagai pusat pertumbuhan Kawasan Purwomanggung dengan daerah belakangnya dan menganalisis mengenai pengembangan sektor ekonomi yang potensial untuk dikembangkan berdasarkan potensi dan permasalahan sumber daya wilayah yang ada menjadi leading sector bagi Kota Magelang. Oleh karena itu penelitian ini mengambil judul “ANALISIS PENGEMBANGAN
KOTA
MAGELANG
SEBAGAI
PUSAT
PERTUMBUHAN KAWASAN PURWOWANGGUNG JAWA TENGAH”. 1.2
Rumusan Masalah Masalah dalam penelitian ini adalah Kota Magelang sebagai pusat
pertumbuhan seharusnya memiliki kriteria cepat tumbuh, akan tetapi Kota Magelang masih berada pada kriteria daerah maju tertekan. Kota Magelang juga harus memiliki sektor unggulan, tetapi sektor ekonomi di Kota Magelang yang merupakan kontribusi utama terhadap PDRB
pertumbuhannya masih lambat.
Perlu dianalisis penetapan Kota Magelang sebagai pusat pertumbuhan Kawasan Purwomanggung, dilihat dari interaksi ekonomi dengan daerah belakangnya dan
4
17.58 0.00 16.93 24.71 14.30 43.93 24.02 28.11 20.62 22.45
sektor ekonomi apa yang merupakan sektor potensial serta bagaimana penentuan prioritas sektor potensial untuk pengembangan wilayah, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Kota Magelang dan menciptakan spread effect untuk daerah sekitarnya. 1.3
Tujuan dan Penelitian Penelitian ini bertujuan :
1.
Mengidentifikasi
interaksi
ekonomi
Kota
Magelang dengan
daerah
belakangnya dalam satu Kawasan Purwomanggung. 2.
Menganalisis sektor ekonomi yang potensial untuk dikembangkan sebagai penggerak perekonomian Kota Magelang.
3.
Menentukan prioritas sektor potensial untuk pengembangan wilayah Kota Magelang.
II.
2.1
TINJAUAN PUSTAKA
Landasan Teori
2.1.1
Teori Pertumbuhan Ekonomi Daerah 2.1.1.1 Teori Harrod-Domar dalam Sistem Regional
Teori Harrod-Domar berdasarkan pada asumsi antara lain perekonomian bersifat tertutup, hasrat menabung adalah konstan, proses produksi memiliki koefisien yang tetap, tingkat pertumbuhan angkatan kerja adalah konstan dan sama dengan tingkat pertumbuhan. Pertumbuhan jangka panjang yang mantap hanya bisa tercapai apabila terpenuhi syarat – syarat keseimbangan sebagai berikut : g=k=n
(2.1)
dimana : g = Growth (tingkat pertumbuhan output) k = Capital (tingkat pertumbuhan modal)
n = Tingkat pertumbuhan angka kerja
Agar terdapat keseimbangan maka antara tabungan (S) dan investasi (I) harus terdapat kaitan yang saling menyeimbangkan. Padahal peran k untuk menghasilkan tambahan produksi ditentukan oleh v (capital output ratio). Apabila tabungan dan investasi adalah sama (S=I),maka: I K
=
S K
=
S Y
=
Y K
=
S/Y K/Y
=
S V
(2.2)
5
agar pertumbuhan tersebut mantap, harus dipenuhi syarat g = n = s/v. Untuk perekonomian daerah, Harry W. Richardson (dikutip oleh Tarigan, 2005:50) menyatakan syarat bagi perekonomian daerah yang bersifat terbuka yaitu S + M = I + X, dimana X = ekspor dan M = impor
(2.3)
(s + m) Y = I + X
(2.4)
I Y
X
=s+m −Y n j=1 Mij
X= I Y
S
=Y=
Dengan
s.v v
=
(2.5) n j=1 mi Yj
dimana g =
demikian,
(2.6)
s
(2.7)
v
Richardson
(dikutip
oleh
Tarigan,
2005:51)
merumuskan persamaan pertumbuhan suatu wilayah adalah: g𝑖 =
𝑠𝑖 +𝑚 𝑖 − 𝑚 𝑗𝑖 𝑌𝑗 /𝑌𝑖
2.1.1.2
(2.8)
𝑣𝑖
Teori Pertumbuhan Neoklasik
Teori Solow – Swan, adanya pertumbuhan yang mantap disebabkan kemungkinan substitusi antara modal (K) dan tenaga kerja (L), serta dimasukkannya unsur kemajuan teknologi (T). Oleh sebab itu, fungsi produksinya berbentuk: 𝑌𝑖 = 𝑓𝑖 (𝐾, 𝐿, 𝑡) Dalam
kerangka
(2.9) ekonomi
wilayah,
Richardson
(dikutip
oleh
Tarigan,2005:53) kemudian menderivasikan rumus di atas menjadi sebagai berikut : 𝑌𝑖 = a𝑖 𝑘𝑖 + 1 − a𝑖 𝑛𝑖 + T dimana 𝑌𝑖 = Besarnya output 𝑇𝑖 = Kemajuan Teknologi
(2.10) 𝑘𝑖 = Tingkat Pertumbuhan Modal 𝑛𝑖 = Tingkat Pertumbuhan tenaga kerja
a = Bagian yang dihasilkan oleh faktor modal (1-a) = Bagian yang dihasilkan oleh faktor di luar modal 2.1.1.3 Teori Basis Ekspor Teori basis – ekspor membagi kegiatan sektor yang terdapat di suatu daerah menjadi kegiatan sektor basis adalah kegiatan yang bersifat exogenous artinya tidak terikat kondisi internal perekonomian daerah dan sekaligus berfungsi mendorong tumbuhnya kegiatan sektor lainnya dan kegiatan non basis adalah
6
kegiatan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di daerah itu sendiri. Hubungan antara perubahan pendapatan basis dengan perubahan total pendapatan, Tiebout (dikutip oleh Tarigan, 2005:37) merumuskan sebagai berikut : ∆𝑌𝑡 = 𝐾 . ∆𝑌𝑏
(2.12)
dimana, 𝑌𝑡 = Pendapatan total K = Pengganda basis 𝑌𝑏 = Pendapatan basis
Δ = Perubahan
2.1.1.4 Model Pertumbuhan Interegional Model Pertumbuhan Interegional memperluas teori basis – ekspor dengan memasukkan dampak dari daerah tetangga atau faktor eksogen, karena suatu daerah terikat kepada suatu sistem yang terdiri dari beberapa daerah yang berhubungan erat. Kegiatan yang dilakukan oleh daerah lain dapat memberikan pengaruh baik positif maupun negatif terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah. 2.1.2
Teori Pusat Pertumbuhan Pusat pertumbuhan dapat diartikan dengan dua cara, yaitu secara
fungsional, pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi konsentrasi kelompok usaha atau cabang industri yang karena sifat hubungannya memiliki unsur-unsur kedinamisan sehingga mampu mendorong kehidupan ekonomi baik ke dalam maupun ke luar. Secara geografis, pusat pertumbuhan adalah suatu lokasi yang banyak memiliki fasilitas dan kemudahan sehingga menjadi pusat daya tarik. Suatu kota dikatakan sebagai pusat pertumbuhan apabila memiliki empat ciri-ciri pusat pertumbuhan yaitu sebagai berikut : (Tarigan,2005) 1.
Adanya hubungan intern dari berbagai macam kegiatan
2.
Adanya unsur pengganda
3.
Adanya kosentrasi geografis
4.
Bersifat mendorong pertumbuhan daerah belakangnya
2.2
Penelitian Terdahulu Penelitian yang dilakukan oleh Wiyadi dan Rina Trisnawati dengan judul
analisis potensi daerah untuk mengembangkan wilayah di Eks-Karesidenan Surakarta menggunakan teori pusat pertumbuhan, memberikan kesimpulan bahwa berdasar analisis Location Quotient sektor basis adalah sektor listrik, keuangan,
7
dan jasa. Hasil analisis gravitasi menunjukkan interaksi kota-desa yang paling erat dengan Kota Surakarta adalah Kabupaten Sukoharjo. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Bayu Wijaya dan Hastarini Dwi Atmanti yang berjudul analisis pengembangan wilayah dan sektor potensial guna mendorong pembangunan di Kota Salatiga adalah sektor basis yang dimiliki Kota Salatiga dilihat dari analisis Location Quotient adalah sektor listrik, bangunan, pengangkutan, persewaan, dan jasa. Kota Salatiga menurut analisis Shift Share berspesialisasi pada sektor pertambangan, listrik, dan perdagangan. Model Garvitasi memperlihatkan Kota Salatiga memiliki interaksi yang tinggi dengan Kabupaten Semarang. Sektor yang potensial dikembangkan adalah sektor bangunan, pengangkutan, keuangan, dan jasa. 2.3
Kerangka Pemikiran Gambar 2.1 Alur Pikir Pengembangan Kota Magelang Sebagai Pusat Pertumbuhan Otonomi Daerah UU No 32 Tahun 2004 RTRW Provinsi Jawa Tengah : Kawasan Kerjasama Purwomanggung Kota Magelang Sebagai Pusat Pertumbuhan : Daerah Maju Tertekan (Tipologi Klassen) Potensi Ekonomi Kota Magelang
Pengembangan Interaksi Ekonomi Antardaerah Model Gravitasi : Interaksi Kuat Interaksi Lemah
Sektor Potensial dalam Pengembangan Kota Magelang LQ, MRP, dan Overlay : Sektor Unggulan Sektor non Unggulan
Daerah Interaksi Terkuat Sebagai Prioritas Daerah Kerjasama
Shift Share : Sektor keunggulan kompetitif dan spesialisasi Sektor keunggulan kompetitif Sektor spesialisasi Sektor ketidakunggulan kompetitif dan non spesialisasi
Sektor Prioritas untuk dikembangkan
Penetapan Kota Magelang Sebagai Pusat Pertumbuhan Kawasan Purwomanggung Jawa Tengah
8
III.
3.1
METODE PENELITIAN
Definisi Operasional Variabel Definisi operasional dan variabel yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu : 1.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah PDRB atas dasar harga konstan tahun 2000 dengan ukuran jutaan rupiah.
2.
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita adalah total PDRB pertahun dibagi dengan jumlah penduduk di daerah tersebut untuk tahun yang sama (Tarigan,2005:21). Satuan yang digunakan adalah rupiah.
3.
Interaksi ekonomi daerah adalah wujud dari adanya hubungan antara pusat pertumbuhan dan daerah belakangnya (Soepono,2000:418). Semakin tinggi nilai Indeks Gravitasi ( 𝐼12 ) maka interaksi ekonomi antar daerah semakin kuat.
4.
Pertumbuhan Ekonomi adalah total PDRB atau sektor pada tahun akhir dikurangi total PDRB atau sektor pada tahun awal dibagi total PDRB atau sektor pada tahun awal dikalikan seratus persen dengan hasil dalam persentase.
5.
Sektor Basis adalah sektor yang memiliki nilai Indeks Location Quotient lebih dari satu (LQ>1).
6.
Sektor non Basis adalah sektor yang memiliki nilai Indeks Location Qoutient kurang dari satu (LQ < 1).
7.
Sektor Spesialisasi adalah apabila memiliki nilai Komponen Proportional Shift (𝑃𝑟,𝑖 ) positif (+),
8.
Sektor Keunggulan Kompetitif adalah apabila memiliki nilai Komponen Differential Shift ( 𝐷𝑟,𝑖 ) positif (+).
9.
Sektor Potensial
9
adalah sektor yang mampu mengekspor outputnya ke daerah lain atau memiliki keunggulan komparatif dan memiliki keunggulan kompetitif serta spesialisasi. Cara memperolehnya dengan metode Overlay yang memiliki nilai positif (+) dan dengan metode Shift Share (SS) dengan nilai 𝑃𝑟,𝑖 dan 𝐷𝑟,𝑖 positif (+). 10. Sektor prioritas untuk pengembangan wilayah adalah sektor potensial yang memiliki jumlah skor terendah, skor tersebut diperoleh dari hasil perhitungan metode Location Quotient, pertumbuhan ekonomi sektoral, dan metode Shift Share yang telah diberi skor sesuai peringkat hasil absolut dari perhitungan tersebut. 3.2
Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berupa data time series
dengan periode pengamatan tahun 2003-2008. Sumber data antara lain: BPS Provinsi Jawa Tengah dan Kota Magelang, BAPPEDA Provinsi Jawa Tengah dan Kota Magelang, Dinas instansi terkait dan jurnal serta literatur yang berkaitan dengan penelitian ini. 3.3
Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data menggunakan metode dokumentasi yaitu
pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan cara mempelajari buku – buku terbitan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kota Magelang seperti BAPPEDA, BPS, dinas instansi terkait, artikel – artikel, jurnal – jurnal, dan buku – buku yang mempunyai relevansi dengan masalah yang diangkat dalam penelitian ini, yang diperoleh melalui perpustakaan dan download internet. 3.4
Metode Analisis 3.4.1
Model Gravitasi
Analisis ini digunakan untuk mengidentifikasikan interaksi ekonomi Kota Magelang dengan daerah belakangnya dan mencari daerah mana di sekitar Kota Magelang dalam satu Kawasan Purwomanggung yang memiliki interaksi ekonomi yang kuat dengan Kota Magelang. Adapun rumus yang digunakan untuk menghitung interaksi ekonomi antar daerah menurut Suwarjoko (dikutip oleh Wiyadi dan Rina,2002) adalah : b I12 = a(W1 P1 ) (W2 P2 )/J12
(3.1)
10
Keterangan : I12 : interaksi dalam wilayah 1 dan 2
P1 : jumlah penduduk wilayah 1
W1 : PDRB perkapita wilayah 1(rupiah)
P1 : jumlah penduduk wilayah 1
W2 : PDRB perkapita wilayah 2(rupiah)
J12 : jarak antar wilayah 1 dan 2 (meter)
a
b : konstanta yang nilainya 2
: konstanta yang nilainya 1
Nilai 𝐼12 menunjukkan eratnya hubungan antar wilayah 1 dan wilayah 2, semakin tinggi nilai 𝐼12 maka semakin erat hubungan antara dua wilayah, dengan demikian semakin banyak pula perjalanan kegiatan ekonomi atau arus barang dan jasa antar wilayah tersebut sebagai konsekuensi interaksi antar daerah dalam satu kawasan 3.4.2
Analisis Location Quotient
Alat analisis Location Quotient (LQ) membandingkan besarnya peranan sektor di suatu daerah (Kota Magelang) terhadap besarnya peranan sektor tersebut di tingkat daerah di atasnya (Provinsi Jawa Tengah). Analisis ini digunakan untuk mengidentifikasi potensi internal yang dimiliki daerah tersebut yaitu sektor basis dan sektor non basis. Rumus LQ dapat ditulis sebagai berikut : 𝐿𝑄 =
𝑠𝑖 /𝑆
(3.3)
𝑛 𝑖 /𝑁
Keterangan : LQ
: Indeks Location Quotient
𝑠𝑖
: PDRB sektor i di Kota Magelang dalam juta rupiah
𝑆
: PDRB total di Kota Magelang dalam juta rupiah
𝑛𝑖
: PDRB sektor i di Provinsi Jawa Tengah dalam juta rupiah
𝑁
: PDRB total di Provinsi Jawa Tengah dalam juta rupiah Kriteria
pengukuran
LQ
menurut
Bendavid-Val
(dikutip
oleh
Kuncoro,2002) yaitu LQ > 1 sektor tersebut merupakan sektor basis di daerah dan potensial untuk dikembangkan sebagai pendorong perekonomian daerah. LQ < 1 berarti sektor tersebut bukan merupakan sektor basis dan kurang potensial untuk dikembangkan sebagai penggerak perekonomian daerah. 3.4.3
Analisis Shift Share
Analisis Shift Share juga membandingkan perbedaan laju pertumbuhan berbagai sektor di daerah studi dengan daerah referensi, yang membedakan 11
dengan analisis Location Quetient adalah metode shift share memperinci penyebab perubahan atas beberapa variabel. Tujuan analisis ini adalah untuk menunjukkan sektor yang berkembang di suatu wilayah jika dibandingkan dengan perekonomian daerah diatasnya, selain itu analisis ini digunakan pula untuk melihat pertumbuhan PDRB dari sektor – sektor yang dimiliki baik dari pengaruh internal (faktor lokasional) maupun pengaruh eksternal (struktur industri). ∆𝐸𝑟,𝑖,𝑡 = (𝑁𝑠𝑖 +𝑃𝑟,𝑖 +𝐷𝑟,𝑖 )
(3.4)
𝑁𝑠𝑖,𝑡 = 𝐸𝑟,𝑖,𝑡−𝑛 (EN,t /EN,t−n ) − Er,i,t−n
(3.5)
𝑃𝑟,𝑖,𝑡 = {(𝐸𝑁,𝑖,𝑡 /𝐸𝑁,𝑖,𝑡−𝑛 ) − (𝐸𝑁,𝑡 /𝐸𝑁,𝑡−𝑛 )} × 𝐸𝑟,𝑖,𝑡−𝑛
(3.6)
𝐷𝑟 ,𝑖,𝑡 = {𝐸𝑖,𝑟,𝑡 − (𝐸𝑁,𝑖,𝑡 /𝐸𝑁,𝑖,𝑡−𝑛 )𝐸𝑟,𝑖,𝑡−𝑛 }
(3.7)
Keterangan : ∆
: Perubahan,tahun akhir (tahun t) dikurangi dengan tahun awal (tahun t-n)
N
: Provinsi Jawa Tengah
r
: Kota Magelang
E
: Total PDRB (juta rupiah)
i
: Sektor
t
: Tahun
t–n
: Tahun awal
𝑁𝑠𝑖
: National share (juta rupiah)
𝑃𝑟,𝑖
: Proportional shift (juta rupiah)
𝐷𝑟,𝑖
: Differential shift (juta rupiah) Pengukuran dari analisis Shift Share (Soepono,1999:45): 𝑁𝑠𝑖 bernilai
positif, menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor i di daerah lebih cepat dibanding dengan pertumbuhan sektor yang sama di daerah provinsi. Apabila 𝑁𝑠𝑖 bernilai negatif, menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor i di daerah lebih lambat dibanding dengan pertumbuhan sektor yang sama di daerah provinsi. 𝑃𝑟,𝑖 positif di daerah yang berspesialisasi di sektor secara nasional tumbuh lebih cepat dan negatif bila daerah berspesialisasi pada sektor yang tumbuh lebih lambat. 𝐷𝑟,𝑖 bernilai positif pada sektor yang memiliki keunggulan kompetitif dan 𝐷𝑟,𝑖 bernilai negatif pada sektor yang tidak memiliki keunggulan kompetitif. 3.4.4
Analisis Model Rasio Pertumbuhan
Model Rasio Pertumbuhan adalah perbandingan pertumbuhan suatu kegiatan dalam wilayah referensi (Provinsi Jawa Tengah) dan wilayah studi (Kota Magelang). Pendekatan MRP dibagi menjadi dua, yaitu : 1.
Rasio pertumbuhan wilayah referensi (RPr) 12
Dalam hal ini RPr membandingkan pertumbuhan masing – masing sektor dalam konteks wilayah referensi (Provinsi Jawa Tengah) dengan PDRB Kota Magelang. Rumus RPr yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
RPr = 2.
ΔE N ,i,t /E N ,i,t−n ΔE N ,t /E N ,t−n
(3.8)
Rasio Pertumbuhan Wilayah Studi Dalam hal ini RPs membandingkan pertumbuhan masing – masing sektor
dalam konteks wilayah studi (Kota Magelang) dengan pertumbuhan sektor Provinsi Jawa Tengah. Rumus RPs yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
RPs =
ΔE r ,i,t /E r ,i,t−n ΔE N ,i,t /E N ,i,t−n
(3.10)
Keterangan : RPr
: rasio pertumbuhan wilayah referensi (Provinsi Jawa Tengah)
RPs
: rasio pertumbuhan wilayah studi (Kota Magelang)
∆
: Perubahan,tahun akhir (tahun t) dikurangi dengan tahun awal (tahun t-n)
𝐸𝑟,𝑖
: PDRB sektor i di Kota Magelang
𝐸𝑁
: PDRB di Provinsi Jawa Tengah
𝐸𝑁,𝑖
: PDRB sektor i di Provinsi Jawa Tengah
t
: tahun
t–n
: tahun awal
Dari hasil analisis MRP akan diperoleh nilai riil dan nilai nominal kemudian hasil kombinasi keduanya dapat diperoleh deskripsi sektor ekonomi yang potensial dikembangkan di daerah kabupaten/kota di provinsi yang dapat diklasifikasikan menjadi empat bagian (Yusuf,1999), yaitu : a.
Klasifikasi 1, yaitu nilai RPr (+) dan RPs (+) berarti sektor tersebut memiliki pertumbuhan yang menonjol baik di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota. sektor ini disebut sebagai dominan pertumbuhan.
13
b.
Klasifikasi 2, yaitu nilai RPr (+) dan RPs (-) berarti sektor tersebut memiliki pertumbuhan yang menonjol di tingkat provinsi, namun belum menonjol di tingkat kabupaten/ kota.
c.
Klasifikasi 3, yaitu nilai RPr (-) dan RPs (+) berarti sektor tersebut memiliki pertumbuhan yang tidak menonjol di tingkat provinsi sementar pada tingkat kabupaten/kota termasuk menonjol.
d.
Klasifikasi 4, yaitu nilai RPr (-) dan RPs (-) berarti sektor tersebut memiliki pertumbuhan yang rendah baik di tingkat kabupaten/kota maupun di tingkat provinsi. 3.4.5
Analisis Overlay
Analisis Overlay digunakan untuk menentukan sektor unggulan dengan menggabungkan alat analisis dengan tujuan untuk menyaring hasil analisis yang paling baik, dimana hasil akhir dapat merupakan beberapa kemungkinan ataupun hanya merupakan hasil yang diinginkan saja. Dalam penelitian ini, analisis overlay merupakan rangkuman antara hasil dari analisis LQ dengan Model Rasio Pertumbuhan (MRP) yaitu Rasio pertumbuhan Wilayah Referensi (RPr) dan Rasio Pertumbuhan Wilayah Studi (RPs). Terdapat tiga kriteria dalam analisis overlay yaitu : a.
RPr, RPs, dan LQ ketiganya bernilai positif (+), berarti sektor tersebut mempunyai potensi daya saing kompetitif maupun komparatif yang lebih unggul dibanding kegiatan yang sama di tingkat provinsi.
b.
RPr bernilai negatif (-), sedangkan RPs dan LQ bernilai positif (+), berarti sektor tersebut merupakan spesialisasi kegiatan ekonomi di kabupaten/kota.
c.
RPr, RPs, dan LQ ketiganya bernilai negatif (-), berarti sektor tersebut kurang memiliki daya saing kompetitif maupun komparatif yang lebih unggul dibandingkan kegiatan yang sama pada tingkat provinsi. 3.4.6 Untuk
Menentukan Sektor Prioritas untuk Pengembangan menentukan
sektor
potensial
yang
diprioritaskan
dalam
pengembangan wilayah di Kota Magelang, menggunakan hasil analisis Location Quotient (LQ), pertumbuhan sektoral, dan analisis Shift Share untuk spesialisasi dan keunggulan kompetitif, yang semuanya diskorkan sesuai dengan nilai absolut yang ada di masing – masing sektor dalam kategori. Skala skor antara 1 sampai 8
14
sesuai dengan jumlah sektor yang ada di Kota Magelang, skor 1 untuk nilai tertinggi dan skor 8 untuk nilai terendah. Skala skor dapat digambar sebagai berikut : Gambar 3.1 Skala Skor Penentuan Sektor Prioritas untuk Pengembangan
A
B
C
D
E
F
G
H
1
2
3
4
5
6
7
8
IV.
4.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Model Gravitasi Dari hasil analisis gravitasi (lihat Tabel 4.1) dapat diketahui bahwa
kabupaten/kota di Kawasan Purwomanggung yang memiliki interaksi ekonomi paling kuat dengan Kota Magelang hanya satu yaitu Kabupaten Magelang. Sedangkan Kota Magelang, Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Purworejo memiliki interaksi ekonomi paling kuat dengan Kabupaten Magelang dan Kabupaten Wonosobo memiliki interaksi ekonomi paling kuat dengan Kabupaten Temanggung. Kota Magelang kurang memiliki daya tarik bagi daerah belakangnya, dilihat dari kekuatan interaksi ekonomi hasil analisis gravitasi berarti Kota Magelang tidak memenuhi kriteria pusat pertumbuhan yaitu daerah yang memiliki interaksi ekonomi dengan daerah belakangnya. Akan tetapi Kota Magelang perlu dianggap sebagai pusat pertumbuhan karena memiliki berbagai fasilitas kota yang tidak dimiliki oleh kabupaten lain di Kawasan Purwomanggung sehingga ada kosentrasi berbagai sektor dan menciptakan efisiensi di antara sektor – sektor yang saling membutuhkan yang dapat meningkatkan daya tarik dari
Kota
Magelang. Berbagai fasilitas yang ada di Kota Magelang merupakan daya tarik tersendiri bagi daerah – daerah sekitarnya, fasilitas – fasilitas yang ada antara lain
15
menyangkut jasa pelayanan yaitu jasa layanan perdagangan, pendidikan, fasilitas kesehatan, fasilitas transportasi, keuangan, pemukiman dan perumahan, dan hiburan atau rekreasi, serta fasilitas penunjang lainnya. Dimana jasa dan fasilitas tersebut masih menjadi pusat fasilitas jasa bagi daerah disekitarnya karena skala produksi maupun aspek teknologi yang lebih baik dibanding dari daerah – daerah sekitarnya. Kota Magelang memiliki keterkaitan yang kuat dengan Kabupaten Magelang dan Kabupaten Temanggung (lihat Tabel 4.1), ada baiknya dilakukan kerjasama dengan kedua daerah tersebut untuk pengembangan wilayah Kota Magelang dengan tidak mengabaikan potensi yang dimiliki Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo. Salah satu faktor yang akan mendorong kerjasama Kota Magelang dengan daerah sekitarnya adalah dukungan transportasi yang memadai diantara daerah. Maka dari itu, terlebih dahulu perlu adanya kerjasama penyelenggaraan layanan transportasi sehingga akan mendukung pengembangan fungsi – fungsi ragam layanan jasa di Kota Magelang dan memudahkan mobilitas ekonomi bergerak di antara Kota Magelang dan daerah sekitarnya (hinterland) di Kawasan Purwomanggung. Dengan demikian dapat meningkatkan peran Kota Magelang sebagai pusat pertumbuhan. Tabel 4.1 Indeks Gravitasi Rata – rata Antar Kabupaten/Kota di Kawasan Purwomanggung Tahun 2003 – 2008 Kota Magelang Kota Magelang Kabupaten Magelang Kabupaten Temanggung Kabupaten Purworejo Kabupaten Wonosobo
Kabupaten Magelang 140,63×1020
140,63×1020
Kabupaten Temanggung
Kabupaten Purworejo
Kabupaten Wonosobo
40,36×1020
12,32×1020
3,97×1020
50,54×1020
50,50×1020
9,36×1020
11,43×1020
21,70×1020
40,37×1020
50,54×1020
12,32×1020
50,50×1020
11,43×1020
3,97×1020
9,36×1020
21,93×1020
15,56×1020 15,56×1020
Sumber : data diolah 4.2
Analisis Location Quotient Rata – rata LQ dari sembilan sektor minus sektor pertambangan selama
periode pengamatan (lihat Tabel 4.8), terdapat tiga sektor yang memiliki nilai LQ
16
kurang dari satu (LQ < 1) yaitu sektor pertanian (0,14), sektor industri pengolahan (0,10) dan sektor perdagangan, hotel, dan restoran (0,32). Artinya menurut analisis LQ bahwa ketiga sektor tersebut merupakan sektor non basis dan kurang potensial untuk dikembangkan sebagai penggerak perekonomian Kota Magelang. Sedangkan sektor yang memiliki nilai koefisien LQ rata – rata lebih dari satu (LQ > 1) dalah sektor pengangkutan dan komunikasi (3,63), sektor jasa – jasa (3,47), sektor listrik, gas, dan air bersih (3,07), sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan (2,83), dan sektor bangunan (2,64). Artinya menurut analisis LQ kelima sektor tersebut adalah sektor basis dan potensial untuk dikembangkan sebagai penggerak perekonomian Kota Magelang. Tabel 4.2 Koefisien Location Quotient Kota Magelang Tahun 2003 – 2008 No
Lapangan Usaha
Koefisien LQ 2005 2006
2007
2008
0,14
0,14
0,14
LQ Ratarata 0,14
-
-
-
-
-
0,10
0,10
0,10
0,10
0,10
0,10
3,22
3,11
3,06
3,05
2,99
2,96
3,07
Bangunan
2,86
2,79
2,57
2,59
2,53
2,47
2,64
Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa – jasa
0,29
0,31
0,32
0,32
0,33
0,34
0,32
3,70
3,72
3,67
3,61
3,56
3,49
3,63
2,77
2,82
2,88
2,87
2,86
2,80
2,83
3,57
3,53
3,57
3,44
3,39
3,32
3,47
2003
2004
0,14
0,14
0,14
-
-
3
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan
0,11
4
Listrik, Gas dan Air Bersih
5 6
1 2
7 8 9
Sumber : data diolah 4.3 Analisis Model Rasio Pertumbuhan Hasil perhitungan Model Rasio Pertumbuhan (MRP) selama periode pengamatan yaitu pada tahun 2003 – 2008 (Lihat Tabel 4.3) menunjukkan bahwa di Kota Magelang tidak terdapat sektor yang memenuhi klasifikasi pertama. Kegiatan sektor yang tingkat pertumbuhannya memenuhi klasifikasi kedua adalah sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor bangunan, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan, dan sektor jasa – jasa berarti pada tingkat Kota Magelang sektor tersebut mempunyai pertumbuhan kurang menonjol namun pada tingkat Provinsi Jawa Tengah menonjol.
17
Tabel 4.3 Koefisien Model Rasio Pertumbuhan Kota Magelang Tahun 2003 – 2008 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa – jasa
RPr
RPs
Riil 0,79 0,97 1,47 1,35 0,98 1,33 1,14
Notasi + + + +
Riil 0,76 0,59 0,57 0,36 1,53 0,61 0,83
Notasi + -
1,26
+
0,56
-
Sumber : Lampiran E Kegiatan sektor yang tingkat pertumbuhannya memenuhi klasifikasi ketiga adalah sektor perdagangan, hotel, dan restoran, berarti kegiatan sektor tersebut pada tingkat Kota Magelang menonjol namun pada tingkat Provinsi Jawa Tengah kurang menonjol. Sedangkan kegiatan sektor yang tingkat pertumbuhannya memenuhi klasifikasi keempat adalah sektor pertanian dan sektor industri pengolahan, berarti berarti kegiatan kedua sektor tersebut pada tingkat Provinsi Jawa Tengah maupun Kota Magelang mampunyai pertumbuhan kurang menonjol. 4.4
Analisis Overlay Tabel 4.4 Analisis Overlay PDRB Kota Magelang
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa – jasa
Riil 0,79 -
RPr Notasi -
RPs Riil Notasi 0,76 -
Riil 0,15 -
LQ Notasi -
Overlay Notasi ---
0,97 1,47 1,35 0,98
+ + -
0,59 0,57 0,36 1,53
+
0,11 3,28 2,28 0,34
+ + -
--+-+ +-+ -+-
1,33
+
0,61
-
3,87
+
+-+
1,14
+
0,83
-
3,03
+
+-+
1,26
+
0,56
-
3,17
+
+-+
Sumber : data diolah
18
Hasil analisis Overlay menunjukkan bahwa selama periode tahun 2003 – 2008 (lihat Tabel 4.4) di Kota Magelang tidak terdapat kegiatan sektoral yang memenuhi kriteria pertama dan kriteria kedua. Kegiatan sektor yang memenuhi kriteria ketiga adalah sektor pertanian dan sektor industri pengolahan. Artinya kedua sektor tersebut kurang memiliki daya saing kompetitif maupun komparatif yang lebih unggul dibandingkan kegiatan yang sama pada tingkat Provinsi Jawa Tengah. Sektor – sektor lain yang tidak termasuk dalam ketiga kriteria analisis overlay mempunyai notasi yang bervariasi yaitu terdapat lima sektor yang memiliki nilai RPr dan LQ positif (+) sedangkan nilai RPs negatif (-) adalah sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor bangunan, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan, dan sektor jasa – jasa, yang berarti kelima sektor tersebut mempunyai pertumbuhan sektoral yang tinggi di tingkat Provinsi Jawa Tengah dan kontribusi sektoral di Kota Magelang lebih tinggi dari Provinsi Jawa Tengah. Sedangkan sektor lain yaitu sektor perdagangan, hotel, dan restoran memiliki nilai RPs positif (+) sedangkan nilai RPr dan LQ negatif (-), berarti kegiatan sektor tersebut di Kota Magelang lebih unggul dibandingkan sektor yang sama di tingkat Provinsi Jawa Tengah, tetapi kontribusi sektor tersebut di Kota Magelang lebih rendah dari Provinsi Jawa Tengah. 4.5
Analisis Shift Share Hasil analisis Shift Share (lihat Tabel 4.5) menunjukkan selama periode
tahun 2003 – 2008 pertumbuhan di Kota Magelang sebesar Rp 182.232,33 Juta, terwujud dari adanya pengaruh positif dari pertumbuhan Provinsi Jawa Tengah yaitu sebesar Rp 239.273,60 Juta, pengaruh positif dari spesialisasi sebesar Rp 56.290,77 Juta dan pengaruh negatif dari keunggulan kompetitif yang telah mengurangi pertumbuhan Kota Magelang sebesar Rp 113.332,04 Juta. Mencermati hasil analisis Shift Share sepanjang periode pengamatan (lihat Tabel 4.5) menunjukkan bahwa di Kota Magelang tidak ada sektor yang memiliki spesialisasi sekaligus keunggulan kompetitif. Walaupun sektor keunggulan kompetitif yang dimiliki Kota Magelang hanya satu yaitu sektor perdagangan, hotel, dan restoran karena faktor lokasional berupa satrategisnya lokasi Kota
19
Magelang yang berada di persilangan lalu lintas ekonomi, tetapi di Kota Magelang terdapat banyak sektor spesialisasi yaitu sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor bangunan, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan, dan sektor jasa – jasa. Sektor – sektor yang memiliki keunggulan kompetitif maupun spesialisasi tersebut merupakan sektor potensial untuk dikembangkan sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi Kota Magelang dan daerah sekitarnya. Tabel 4.5 Analisis Shift Share Kota Magelang Tahun 2003 – 2008 (Juta Rupiah) No
Lapangan Usaha
1
Pertanian
2 3
Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan
4
Listrik, Gas dan Air Bersih
5 6 7 8 9
Pengaruh Pertumbuhan Jawa Tengah (NSr,i) 7.438,16
Pengaruh Spesialisasi (Pr,i) -1.560,56
Pengaruh Pertumbuhan Kota Keunggulan Magelang Kompetitif (Dr,i) (ΔEr,i) -1.430,66 4.446,94
8.859,32
-274,44
-3.497,13
-
6.231,16
2.918,55
-3.927,47
5.222,24
Bangunan
38.940,47
13.463,59
-33.512,13
18.891,93
Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi
15.868,06
-382,31
8.161,99
23.647,74
45.435,41
14.973,36
-23.395,30
37.013,47
Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan Jasa – jasa Jumlah
25.400,23
3.632,68
-4.816,11
24.216,80
91.100,79 239.273,60
23.519,89 56.290,77
-50.915,23 -113.332,04
63.705,45 182.232,33
5.087,75
Sumber : data diolah 4.6
Menentukan Sektor Prioritas untuk Pengembangan Dari hasil penjumlahan skor nilai masing – masing kategori (Lihat Tabel
4.6), sektor prioritas untuk pengembangan Kota Magelang yaitu pertama dengan jumlah skor 13 adalah sektor pengangkutan dan komunikasi; kedua dengan jumlah skor 15 adalah sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, dan sektor keuangan ,persewaan, dan jasa perusahaan; ketiga dengan jumlah skor 16 adalah sektor jasa – jasa; keempat dengan jumlah skor 23 adalah sektor bangunan dan sektor pertanian; kelima dengan jumlah skor 24 adalah sektor industri pengolahan.
20
Dalam penelitian ini strategi pengembangan sektor potensial untuk mendorong perekonomian Kota Magelang diambil sektor prioritas utama yaitu sektor pengangkutan dan komunikasi; sektor listrik, gas, dan air bersih; sektor perdagangan, hotel dan restoran; sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan dan sektor jasa – jasa. Peran pemerintah Kota Magelang dalam pengembangan wilayah sebaiknya memberikan prioritas pengembangan terhadap kelima sektor tersebut karena memiliki potensi berkembang cukup besar sehingga dapat tumbuh dan berkembang cepat yang akan merangsang sektor – sektor lain terkait baik sebagai input maupun sebagai imbas untuk berkembang mengimbangi perkembangan kelima sektor tersebut.
V.
5.1
PENUTUP
Kesimpulan Kesimpulan yang dapat ditarik dari temuan dalam pelaksanaan penelitian
adalah sebagai berikut : 1.
Hasil analisis model gravitasi menunjukkan lemahnya interaksi ekonomi Kota Magelang dengan daerah belakangnya, berarti kurang tepatnya penetapan Kota Magelang sebagai pusat pertumbuhan. Sedangkan nilai indeks gravitasi Kota Magelang dengan Kabupaten Magelang dan Kabupaten Temanggung menunjukkan nilai indeks gravitasi tertinggi dan memiliki kecenderungan yang meningkat sehingga menjadikan kedua daerah tersebut sebagai prioritas pengembangan daerah kerjasama.
2.
Hasil analisis Location Quotient, Analisis Model Rasio Pertumbuhan, Analisis Overlay dan Analisis Shift Share menunjukkan hasil yang sama yaitu sektor yang merupakan sektor potensial untuk dikembangkan adalah sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, sektor bangunan,
sektor
pengangkutan
dan
komunikasi,
sektor
keuangan,
persewaan, dan jasa perusahaan, dan sektor jasa – jasa. 3. Hasil penentuan sektor prioritas untuk pengembangan wilayah Kota Magelang memperlihatkan sektor yang menjadi prioritas pertama adalah
21
sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor prioritas kedua adalah sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan, dan sektor prioritas ketiga adalah sektor jasa – jasa. 4.
Hasil perhitungan yang dilakukan dengan menggunakan alat – alat analisis yang dipakai menunjukkan bahwa pertimbangan penetapan Kota Magelang sebagai pusat pertumbuhan di Kawasan Purwomanggung hanya mengacu pada banyaknya sektor unggulan yang ditunjukkan oleh hasil analisis LQ, MRP, Overlay dan Shift Share, dan pendapatan per kapita Kota Magelang yang
lebih
tinggi
Purwomanggung
dibanding dan
daerah
Provinsi
lain
Jawa
dalam Tengah.
satu
Kawasan Keterkaitan
antardaerah/kekuatan interaksi ekonomi antardaerah dan laju pertumbuhan tidak dipertimbangkan. Dengan demikian penetapan Kota Magelang sebagai pusat pertumbuhan belum memenuhi kriteria sebagai pusat pertumbuhan. 5.
Peran Kota Magelang sebagai pusat pertumbuhan dapat ditingkatkan dengan mengembangkan fasilitas pelayanan jasa, mengembangkan kerjasama dengan daerah sekitarnya khususnya yang memiliki interaksi paling kuat (Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Magelang) tanpa mengabaikan kerjasama dengan Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Purworejo, dan pengembangan sektor prioritas dengan menjalin kerjasama dengan daerah belakangnya melalui pertukaran sektor potensial.
5.2
Keterbatasan Penelitian ini tidak terlepas dari keterbatasan – keterbatasan antara lain :
1.
Penelitian ini menggunakan jangka waktu penelitian selama enam tahun yakni tahun 2003 – 2008 dengan maksud untuk melihat perubahan pertumbuhan ekonomi dari tahun ditetapkannya Kota Magelang sebagai pusat pertumbuhan di Kawasan Purwomanggung sampai data tahun terbaru yang tersedia. Tapi karena jumlah penggunaan tahun yang sedikit sehingga perubahan pertumbuhan ekonomi kurang terlihat.
2.
Penelitian ini menganalisis sektor – sektor ekonomi hanya sampai pada sektor potensial yang dimiliki Kota Magelang, sehingga untuk mengetahui sektor yang dapat menarik dan mendorong sektor lain untuk lebih efektif dalam
22
menentukan strategi pengembangan diperlukan penelitian yang lebih mendalam. 5.3
Saran Saran yang dapat direkomendasikan dari dilakukannya penelitian ini
adalah sebagai berikut : 1.
Perlu dikembangkan kerjasama secara intensif dan berkelanjutan dengan daerah belakangnya terutama daerah yang memiliki interaksi ekonomi paling kuat yaitu Kabupaten Magelang dan Kabupaten Temanggung dengan mensinergikan program – program atau kegiatan – kegiatan guna menggerakkan perekonomian secara bersama – sama tanpa mengabaikan kerjasama dengan Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo.
2.
Pemerintahan Kota Magelang perlu menetapkan kebijakan pembangunan dengan prioritas sektor potensial yaitu sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan, sektor perdagangan, hotel, dan restoran, dan sektor jasa – jasa, dengan tetap memperhatikan sektor lainnya secara proporsional sesuai dengan potensi dan peluang pengembangannya.
3.
Pemerintahan Kota Magelang perlu meningkatkan kualitas jasa pelayanan seperti jasa pelayanan perdagangan, pendidikan, serta hiburan, dimana pelayanan jasa yang kurang dimiliki oleh daerah sekitarnya guna meningkatkan daya kompetitif dan daya tarik bagi masuknya sumber – sumber ekonomi dari luar Kota Magelang.
DAFTAR PUSTAKA Arsyad, Lincolin. 2002. Pengantar Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah. Yogyakarta: BPFE – Yogyakarta. Jhingan, MI.1992. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta: Grafindo Persada. Kuncoro,Mudrajad. 2002. “Evaluasi Penetapan Kawasan Andalan: Studi Empiris di Kalimantan Selatan 1993 – 1999”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 17, No. 1, h. 27 – 45
23
----------------- ------- .2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah Reformasi, Perencanaan, dan Peluang. Jakarta: Erlangga. Nugroho, SBM. 2004. “Model Ekonomi Basis Untuk Perencanaan Pembangunan Daerah”. Jurnal Pembangunan, Vol. 1, No. 1, h. 23 – 30 Richardson. 2001. Dasar – dasar Ilmu Ekonomi Regional. Jakarta: FEUI. Soepono, Prasetyo. 1993. “Analisis Shift – Share: Perkembangan dan Penerapan”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 10, No. 1, h. 43 – 54 --------------- ------- . 2000. “Model Gravitasi Sebagai Alat Pengukuran Hinterland dari Central Place : Suatu Kajian Teoritik”. Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Vol. 15, No. 4, h. 414 – 423 Susantono, B. 2009. Strategi dalam Penataan Ruang dan Pengembangan Wilayah. Jakarta: Kata Hasta Pustaka. Tarigan, Robinson. 2005a. Ekonomi Regional Teori dan Aplikasi. Edisi Revisi. Jakarta: PT Bumi Aksara. ------------- --------- . 2005b. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Edisi Revisi. Jakarta : PT Bumi Aksara. Todaro, Michael P. 2006. Pembangunan Ekonomi Jilid 1. Jakarta: Erlangga. Wijaya, B. dan Hastarini. 2006. “Analisis Pengembangan Wilayah dan Sektor Potensial Guna Mendorong Pembangunan di Kota Salatiga”.Jurnal Pembangunan, Vol. 3, No. 2, h. 101 – 118. Wiyadi
dan Rina Trisnawati. 2002. “Analisis Potensi Daerah untuk Mengembangkan Wilayah di Eks-Karesidenan Surakarta Menggunakan Teori Pusat Pertumbuhan”. Fokus Ekonomi, Desember 2002.
Yana, Maulana.1999. ”Model Rasio Pertumbuhan (MRP) Sebagai Salah Satu Alat Analisis Alternatif dalam Perencanaan Wilayah dan Kota Aplikasi Model, Wilayah Bangka – Belitung”. Jurnal Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Juni Vol. XLVII 2, h. 219 – 233.
24
Tabel 4.6 Prioritas Sektor Potensial untuk Pengembangan Kota Magelang Dilihat dari Analisis LQ, Pertumbuhan Sektoral, Analisis Shift Share No
Lapangan Usaha
1 Pertanian 2 Pertambangan dan Penggalian 3 Industri Pengolahan 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 5 Bangunan 6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 7 Pengangkutan dan Komunikasi 8 Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 9 Jasa – jasa Sumber :data diolah
LQ
Pertumbuhan sektoral Nilai Skor 3,31 6 -
Spesialisasi Nilai Skor -1.560,56 8 -
Keunggulan kompetitif Nilai Skor -1.430,66 2 -
Jumlah Prioritas skor sektor potensial 23 4 -
Nilai 0,14 -
Skor 7 -
0,10 3,07
8 3
3,26 4,53
7 3
-274,44 2.918,55
6 5
-3.497,13 -3.927,47
3 4
24 15
5 2
2,64 0,32
5 6
2,74 7,58
8 1
13.463,59 -382,31
3 7
-33.512,13 8.161,99
7 1
23 15
4 2
3,63
1
4,41
4
14.973,36
2
-23.395,30
6
13
1
2,83
4
5,08
2
3.632,68
4
-4.816,11
5
15
2
3,47
2
3,83
5
23.519,89
1
-50.915,23
8
16
3
25