1
ANALISIS PENGAWET PARABEN DALAM KOSMETIKA
OLEH : Ni Made WidiAstuti, S.Farm.,M.Si., Apt.
JURUSAN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS UDAYANA 2016
2
Analisis Pengawet Paraben dalam Kosmetika Ni Made Widi Astuti, S.Farm., M.Si., Apt. Jurusan Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Udayana Kampus Bukit Jimbaran, Badung, Bali Januari 2015 RINGKASAN : Pengawet dalam kosmetika digunakan untuk menjaga stabilitas dan efektivitas dari produk kosmetika itu sendiri. Analisis kualitatif dan kuantitatif pengawet paraben dalam kosmetika penting untuk mengontrol kualitas dan menjamin mutu dari produk tersebut. Metode yang paling umum dipakai untuk determinasi pengawet yaitu LC dengan deteksi UV/Vis dan TLC. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam analisis pengawet tersebut diantaranya jenis dan jumlah pengawet yang ingin dianalisis, matriks sampel, instrumen yang tersedia dan tingkat akurasi yang diperyaratkan. Metode ekstraksi dan analisis yang dipilih dapat disesuaikan kebutuhan peneliti. Preparasi sampel dapat dilakukan secara ekstraksi caircair atau LLE. Analisis kualitatif pengawet paraben dapat dilakukan dengan TLC menggunakan plat Silika gel 60 F254 sebagai fase diam dan fase gerak N-pentane : Asam asetat glasial (88:12), deteksi dengan lampu UV dan reagen Millon dimana bercak warna merah menunjukkan adanya paraben. Sementara analisis kuantitatif dilakukan dengan HPLC fase balik menggunakan kolom C18, dengan campuran tetrahidrofuran-air-metanol-asetonitril (5:60:10:25) sebagai fase gerak, suhu kolom 250C, laju alir 1,5 mL/menit, dan detektor UV 280nm. PENDAHULUAN : Kosmetika merupakan hal yang sangat relevan berhubungan dengan kehidupan sehari-hari kita. Rata-rata orang dewasa menggunakan lebih dari 5 produk kosmetika berbeda setiap harinya. Tujuan penggunaan dari kosmetika pun bermacam-macam mulai dari untuk menjaga kebersihan diri, mempercantik diri, serta meningkatkan rasa percaya diri. Oleh karena itu sangatlah penting untuk menjaga dan mempertahankan komposisi serta stabilitas dari produk kosmetika tersebut demi menjaga mutu dari produk tersebut agar tetap efektif dan aman penggunaannya bagi tubuh kita. Dalam hal ini zat pengawet memegang peranan yang sangat penting untuk mencegah pertumbuhan bakteri dan menghindarkan produk kosmetika dari kerusakan. Oleh karena itu sangatlah penting untuk mengetahui metode analisis yang dapat dipakai untuk menetapkan kadar dari pengawet khususnya golongan paraben yang paling sering dan paling banyak digunakan. DEFINISI KOSMETIKA Kosmetika merupakan kategori consumer products yang dipasarkan di dunia, dengan tujuan dan fungsi yang universal sesuai dengan budaya masing-masing orang. Kosmetik berasal dari bahasa Yunani yaitu Kosm tikos, dimana terdiri dari kosmein yang berarti “memiliki kekuatan untuk menyusun, keterampilan dalam dekorasi dan kosmos ”harmoni”. Istilah kosmetik didefinisikan dalam seksi 201 (i) pada Food, Drug, and Cosmetic Act (FD & C Act) tahun 1938 : sediaan yang dimaksudkan untuk digosok, dituang, diteteskan, atau 3
disemprotkan, yang diaplikasikan pada tubuh manusia atau bagian manapun untuk tujuan pembersihan, mempercantik, promosi daya pikat, atau mengubah penampilan (Barel, et al, 2001). Menurut Permenkes RI No.445/MENKES/PER/V/1998 tentang bahan, zat warna, substratum, zat pengawet, dan tabir surya pada kosmetika, definisi kosmetika adalah sediaan atau paduan bahan yang siap untuk digunakan pada bagian luar badan (epidermis, rambut, kuku, bibir, dan organ kelamin luar), gigi, rongga mulut, untuk membersihkan, menambah daya tarik, mengubah penampakan, melindungi supaya dalam keadaan baik, memperbaiki bau badan, tetapi tidak dimaksudkan untuk mengobati atau menyembuhkan penyakit. PENGGOLONGAN KOSMETIKA Adapun kategori produk kosmetik yaitu produk bayi, sediaan untuk mandi, sediaan eye makeup, sediaan fragrance/ keharuman, sediaan untuk rambut (bukan pewarna), sediaan pewarna rambut, sediaan makeup (yang bukan untuk mata), sediaan manicuring, produk oral hygiene, pembersih personal, shaving preparations/ sediaan untuk bercukur, sediaan perawatan kulit (krim, lotion, bedak, dan spray), suntan preparations (yang membuat kulit berwarna coklat setelah berjemur) (Barel, et al, 2001). Sementara penggolongan kosmetik menurut Keputusan BPOM RI No. HK00.05.4.1745 tentang kosmetik, berdasarkan bahan dan penggunaannya serta untuk maksud evaluasi produk kosmetik dibagi menjadi 2 (dua) golongan yaitu : • Kosmetik golongan I adalah : a) Kosmetik yang digunakan untuk bayi b) Kosmetik yang digunakan disekitar mata, rongga mulut, dan mukosa lainnya c) Kosmetik yang mengandung bahan dengan persyaratan kadar dan penandaan d) Kosmetik yang mengandung bahan dan fungsinya belum lazim serta belum diketahui keamanan dan kemanfaatannya • Kosmetik golongan II adalah kosmetik yang tidak termasuk golongan I. DEFINISI PENGAWET Definisi zat pengawet menurut Permenkes RI No.445/MENKES/PER/V/1998 adalah zat yang dapat mencegah kerusakan kosmetika yang disebabkan oleh mikroorganisme. Istilah “agen antimikroba” secara umum digunakan untuk agen kimia yang terdapat dalam kosmetika atau produk rumah tangga baik yang memiliki aktivitas bakterisidal ataupun bakteriostatik selama penggunaannya. Fungsi dari antibakteri adalah untuk melindungi produk (Barel, et al., 2001). Mikroorganisme akan tumbuh pada kondisi dimana terdapat nutrisi yang berlimpah, lingkungan yang lembab, dan suhu yang sesuai. Berbagai kosmetik, khususnya formulasi tipe emulsi, menyediakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri dan jamur (Butler, 2000). Dalam suatu sediaan/produk sering ditambahkan pengawet untuk menstabilkan sediaan dari degradasi kimia dan fisika yang berhubungan dengan kondisi lingkungan (Barel, et al., 2001). MEKANISME KERJA PENGAWET Pengawet mempengaruhi dan mengganggu pertumbuhan mikroba, multiplikasi, dan metabolisme melalui mekanisme modifikasi permeabilitas membran sel dan menyebabkan 4
kebocoran komponen penyusun sel (lisis parsial), penghambatan metabolisme seluler seperti menghambat sintesis dinding sel, oksidasi komponen seluler, koagulasi komponen sitoplasma yang tidak dapat balik/irreversible, dan hidrolisis. Tabel 1. Mekanisme kerja dari beberapa pengawet
Pemilihan pengawet harus didasarkan pada pertimbangan berikut yaitu pengawet dapat mencegah pertumbuhan tipe mikroorganisme tertentu terutama yang sering mengkontaminasi sediaan, pengawet cukup larut dalam air untuk mencapai konsentrasi yang cukup dalam fase air dari sistem yang terdiri dari dua atau lebih fase, komposisi pengawet tetap tidak terdisosiasi pada pH dimana sediaan tersebut dapat mempenetrasi mikroorganisme dan mengganggu integritasnya, konsentrasi pengawet yang diperlukan tidak boleh mempengaruhi keamanan dan kenyamanan pasien selama penggunaan sediaan tersebut (nonirritating, nonsensitizing, dan nontoxic), pengawet harus stabil dan tidak berkurang konsentrasinya akibat dekomposisi kimia dan penguapan sepanjang umur dari sediaan, pengawet harus cocok/kompatibel dengan semua komponen formula sediaan (tidak saling mengganggu aktivitas masing-masing). Mikroorganisme yang dimaksud dalam hal ini adalah kapang, jamur, dan bakteri, dimana bakteri umumnya lebih menyukai medium yang sedikit basa dan yang lainnya menyukai medium asam. Pengawet yang dipilih tidak boleh tedisosiasi pada pH sediaan. Pengawet yang bersifat asam seperti asam sorbat, benzoat, dan borat tidak terdisosiasi dan lebih efektif dalam medium yang lebih asam. Kebalikannya, pengawet yang bersifat basa kurang efektif pada medium yang bersifat asam ataupun netral dan lebih efektif dalam medium yang bersifat basa (Allen, et al., 2011). JENIS_JENIS PENGAWET DALAM KOSMETIKA Jenis pengawet yang sering digunakan adalah paraoxybenzoates atau yang sering dikenal dengan paraben. Paraben juga merupakan pengawet yang banyak digunakan dalam makanan (Mitsui, 1998). Adapun jenis-jenis pengawet yang digunakan dalam kosmetika, yaitu: 1) Asam organik dan garam serta esternya Contohnya yaitu asam dehidroasetat, asam sorbat, asam salisilat, asam propionat dan garamnya, juga asam benzoat berserta garamnya dan alkil ester. 4-hydroxybenzoic acid yang paling banyak digunakan beserta alkil esternya (umumnya dikenal sebagai paraben) dan garamnya. Adapun pengawet tersebut diantaranya metilparaben, etil paraben, propil paraben, dan butil paraben. Aktivitas antimikroba golongan tersebut meningkat seiring dengan peningkatan jumlah karbon pada rantai alkilnya tetapi kelarutannya dalam air menurun. 5
2) Aldehid dan pengawet yang melepaskan formaldehid Contoh yang paling digunakan adalah formaldehid yang dikenal sebagai oxymethylene atau formalin. Formalin tersebut memiliki keuntungan murah, lebih mudah larut dalam air daripada minyak dan lemak, digunakan pada media yang berair seperti sampo, gel mandi, sabun cair untuk cuci tangan. Tetapi formalin tersebut memiliki kekurangan diantaranya tidak berwarna, menimbulkan gas yang iritan dapat menyebabkan mata berair, sensasi terbakar pada mata dan tenggorokan, mual, susah bernafas, dan alergi. Berdasarkan keputusan Cosmetic, Toiletry, and Fragrance Association (CTFA) dan EU Scientific Committee on Consumers Products (SCCP), ditetapkan bahwa batas maksimum pengawet ini didasarkan pada pelepasan kandungan formaldehidnya yaitu maksimum formaldehid yang dilepaskan sebesar 0,2% contohnya benzilhemiformal 0.15% sebanding dengan 0,044% formaldehid. 3) Amina, amida, piridin dan garam benzalkonium Contohnya triclocarbon, hexamidin, klorhexidin, dan benzalkonium klorida. 4) Fenol dan derivatnya Contohnya fenol, klorofen, dan triklosan. 5) Alkohol dan derivatnya Contohnya benzil alkohol, fenoxietanol, dan klorobutanol. 6) Derivat Imidazol Contohnya Climbazole, DMDM hydantoin, Imidazolidinilurea, dan urea diazolidnil. 7) Pengawet lainnya Contohnya Bronidox dan Methylisothiazolinone. (Salvador and Chrisvert, 2007) BATASAN PENGGUNAAN PENGAWET DALAM KOSMETIKA Pengguaan bahan tambahan pengawet dalam kosmetika harus tetap memenuhi batasan kadar yang dipebolehkan ditambahkan dalam kosmetika. Berikut ini merupakan contoh beberapa pengawet yang sering digunakan dalam kosmetika, yaitu : Tabel 2. Pengawet yang paling sering digunakan dalam kosmetik
(Barel, et al., 2001) 6
Berikut ini merupakan beberapa agen atimikroba yang ditetapkan dalam Japan’s comprehensive licensing sstandards of cosmetics : Tabel 3. Agen atimikroba dalam Japan’s comprehensive licensing sstandards of cosmetics
(Mitsui, 1998) 7
Tabel 4. Pembatasan penggunaan agen antimikroba dalam kosmetik
(Mitsui, 1998) Zat pengawet yang diizinkan digunakan dalam kosmetik dengan persyaratan penggunaan dan kadar maksimum yang diperbolehkan dalam produk akhir (Keputusan BPOM RI No. HK 00.05.4.1745). Adapun beberapa bahan pengawet dan kadar maksimum yang diizinkan digunakan dalam kosmetik (Peraturan Kepala BPOM RI No. HK 00.05.42.1018) yaitu :
8
Tabel 5. Kadar maksimum pengawet dalam kosmetik menurut peraturan BPOM RI
PARABEN Paraben yang umum dalam kosmetik adalah butylparaben, methylparaben, propylparaben, isobutylparaben dan isopropylparaben.. Paraben memiliki memili struktur dasar seperti gambar berikut :
Gambar 1. Struktur molekul pengawet golongan paraben
9
Berat molekul (g/mol) berbagai ester paraben adalah sebagai berikut: metil paraben 152,15; etil paraben 166,18; propil paraben 180,21; butil paraben 194,23; dan heptil paraben 236,21. Data kelarutan komponen ini ditampilkan pada tabel berikut : Tabel 6. Data kelarutan senyawa Paraben Kelarutan (g/100g) Pelarut Suhu Metil Etil Propil Butil Heptil Air 25 C 0,25 0,17 0,05 0,02 1,5 mg 10 C 0,20 0,07 0,025 0,005 80 C 2,0 0,86 0,30 0,15 Etanol 25 C 52,0 70,0 95,0 210,0 50 % (25 C) 18,0 18,0 10 % (25 C) 0,5 0,1 Propilen glikol 25 C 22,0 25,0 26,0 110,0 50 % (25 C) 2,7 0,9 10 % (25 C) 0,3 0,06 Minyak zaitun 25 C 2,9 3,0 5,2 9,9 Minyak kacang 25 C 0,5 1,0 1,4 5,0 (Geis, 2006) Metil paraben memiliki ciri-ciri serbuk hablur halus, berwarna putih, hampir tidak berbau dan tidak mempunyai rasa kemudian agak membakar diikuti rasa tebal (Depkes, 1979; Rowe, dkk., 2005). Metil paraben banyak digunakan sebagai pengawet dan antimikroba dalam kosmetik, produk makanan dan formulasi farmasi dan digunakan baik sendiri atau dalam kombinasi dengan paraben lain atau dengan antimikroba lain. Pada kosmetik, metil paraben adalah pengawet antimikroba yang paling sering digunakan. Jenis paraben lainnya efektif pada kisaran pH yang luas dan memiliki aktivitas antimikroba yang kuat. Metil paraben sering dicampur dengan bahan tambahan yang berfungsi meningkatkan kelarutan. Kemampuan pengawet metil paraben ditingkatkan dengan penambahan propilen glikol (Rowe., dkk, 2005). Propil paraben merupakan serbuk kristalin putih, tidak berbau dan tidak berasa serta berfungsi sebagai pengawet. Konsentrasi propil paraben yang digunakan pada sediaan topikal adalah 0,01-0,6%. Propil paraben efektif sebagai pengawet pada rentang pH 4-8, peningkatan pH dapat menyebabkan penurunan aktivitas antimikrobanya. Propil paraben sangat larut dalam aseton dan etanol, larut dalam 250 bagian gliserin dan sukar larut di dalam air. Larutan propil paraben dalam air dengan pH 3-6, stabil dalam penyimpanan selama 4 tahun pada suhu kamar, sedangkan pada pH lebih dari 8 akan cepat terhidrolisis (Rowe., dkk, 2005). METODE ANALISIS PENGAWET Berkaitan dengan peraturan/regulasi pemerintah untuk melindungi konsumen dan menjamin mutunya, perlu dikembangkan metode analisis untuk mengidentifikasi dan menetapkan kadar pengawet dalam kosmetika secara akurat dan sensitif. Penetapan kadar pengawet dalam kosmetik biasanya agak sulit karena berhubungan dengan kompleksitas dari matriks sampel. Oleh karena itu hal yang penting perlu diperhatikan dalam pengembangan
10
metode analsis tersebut adalah pemilihan prosedur ekstraksi yang sesuai dan dilakukan evaluasi menggunakan nilai perolehan kembali (recovery). Prosedur yang digunakan untuk mengekstraksi pengawet dari kosmetik tergantung pada sifat dari produknya (emulsi, krim, sampo, atau yang lainnya) dan karakteristik dari teknik analisis yang digunakan (Salvador and Chrisvert, 2007). Sebagai contoh, ada penelitian yang menetapkan kadar paraben yang berbeda dalam produk yang berbeda (gel, krim, lotion) menggunakan simple vortex extraction menggunakan campuran air/asetonitril (dibantu dengan pemanasan) dan dianalisis dengan liquid chromatography (LC)-UV/V, kolom C18, dengan recovery >86.0% untuk spiked samples 0.1, 0.2, dan 0.4% (Hashim et al., 2005). Menurut metode analisis untuk identifikasi dan determinasi/penetapan kadar pengawet dalam produk kosmetik dalam EU framework (96/45/EC), prinsip preparasi sampel metil, etil, propil, butil, dan benzil paraben untuk analisis secara TLC yaitu sampel diasamkan dengan larutan HCl, lalu pengawet diekstraksi dengan aseton dengan bantuan pemanasan (600C), pH diadjust sampai ≤3 dengan larutan HCl, disaring, lalu filtrat dicampur dengan air, pH diadjust dengan kalsium hidroksida sampai ±10. Ditambahkan kalsium klorida dihidrat dan dikocok, disaring. Dalam medium basa, asam lemak akan diendapkan dalam bentuk garam kalsium. Analit dalam campuran aseton/air basa diektraksi dengan dietileter untuk menghilangkan senyawa lipofil. Diambil fase air lalu diadjust pH sampai ±2 dengan larutan HCl dan pengawet diekstraksi kembali dengan dietileter. Lalu aliquot dietileter siap untuk dianalisis lebih lanjut dengan TLC. Sementara preparasi sampel paraben untuk analisis secara LC/HPLC yaitu sampel diasamkan larutan asam sulfat dan disuspensikan dalam campuran etanol/air. Panaskan campuran utuk melelehkan fase lipid, dinginkan campuran dalam kulkas atau air dingin, saring, lalu aliquot filtrat dapat disimpan dalam kulkas dan dilanjutkan dengan analisis menggunakan HPLC fase balik (96/45/EC). Menurut peraturan Kepala BPOM RI No.HK.03.1.23.08.11.07331 tahun 2011 metode analisis untuk identifikasi dan penetapan kadar pengawet dalam kosmetika adalah kromatografi lapis tipis (KLT/TLC) dan kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT/HPLC). Untuk analisis secara kromatografi, umumnya sampel dilarutkan dalam pelarut yang sesuai (Salvador and Chrisvert, 2007). Menurut 96/45/EC metode TLC digunakan untuk identifikasi pengawet golongan paraben dan metode LC-UV/V untuk penetapan kadarnya. Identifikasi pengawet dengan TLC dilakukan dengan cara menotolkan sampel pada plat KLT silika gel 60 F254 (ukuran 20x20cm). Setelah pengembangan/elusi plat menggunakan fase gerak campuran N-pentane : Asam asetat glasial (88:12), kromatogram diamati dibawah sinar UV dan divisualisasi dengan reagen Millon’s (96/45/EC). Penetapan kadar pengawet dengan HPLC dilakukan dengan menggunakan sistem fase balik menggunakan fase diam kolom stainless steel, 25cmx4,6mm (atau 12,5cmx4,6mm) dikemas dengan Nucleosil 5C18, fase gerak : campuran tetrahidrofuran/air/metanol/asetonitril (5:60:10:25 v/v/v/v), dengan laju alir 1,5 mL/menit, detektor UV dengan panjang gelombang deteksi 280 nm, dan menggunakan standar internal yaitu isopropil 4-hydroxybenzoate atau benzofenon (96/45/EC). Suhu kolom 250C dan volume injeksi 20 µL.
11
Secara umum metode preparasi sampel dan prosedur analisis yang ditetapkan menurut peraturan Kepala BPOM RI No.HK.03.1.23.08.11.07331 tahun 2011 baik untuk analisis pengawet paraben secara TLC maupun HPLC hampir sama dengan yang ditetapkan pada ketentuan pemerintah Eropa (96/45/EC). Dalam pengerjaan analisis secara TLC tersebut terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu plat TLC sebelum digunakan harus diaktivasi terlebih dahulu pada suhu 1000C selama 10 menit, pengaplikasian pereaksi Millon dilakukan dengan cara dioleskan atau diteteskan jangan disemprotkan karena sifatnya yang sangat toksik. Analisis kualitatif pegawet paraben secara TLC dilakukan dengan mengamati nilai Rf dan perubahan warna yang terjadi seteh dilakukan reaksi warna. Ester dari asam 4hidroksibenzoat tampak sebagai bercak warna merah. Perkiraan nilai Rf dan warna yang dihasilkan dari pengawet paraben dapat dilihat dalam penelitian Kruijf et al. (1987) atau menggunakan tabel berikut : Tabel 7. Data nilai Rf dan warna dari analisis pengawet paraben secara TLC Senyawa Rf Warna Metilparaben 0,12 Pink ++++ Etilparaben 0,17 Pink +++ Propilparaben 0,21 Pink ++ Butilparaben 0,26 Pink muda (Peraturan Kepala BPOM RI No.HK.03.1.23.08.11.07331 tahun 2011) Apabila pemisahan antara metil paraben dan asam 4-hidroksibenzoat atau benzil paraben dan etil paraben tidak berhasil dipisahkan secara TLC, maka dilakukan pengujian secara HPLC untuk konfirmasi dengan cara membandingkan waktu retensi (Rt) dengan standar/larutan baku. Dalam analisis secara HPLC penetapan kadar pengawet dilakukan dengan membuat kurva kalibrasi antara rasio luas puncak dengan konsentrasi larutan baku masing-masinng pengawet, dan dihitung kadar dengan persamaan garis regresi kurva kalibrasi. Selain itu dalam analisis kuantatif pengawet secara HPLC ini juga dihitung beberapa parameter kromatografi seperti daya pisah puncak/resolusi (dengan ketentuan tidak kurang dari 0,9) dan faktor asimetri/As (dengan ketentuan faktor asimetri puncak antara 0,9-1,5) (Peraturan Kepala BPOM RI No.HK.03.1.23.08.11.07331 tahun 2011). Menurut Ahuja dan Dong (2005) harga Rs yang baik adalah ≥ 1,5. Rumus perhitungan resolusi (Rs) yaitu :
12
Gambar 2. Kromatogram dengan nilai resolusi 1,5 (Ahuja dan Dong, 2005)
Keterangan: Rs : Resolusi tR1, tR2 : Waktu Retensi puncak pertama dan kedua Wb : Lebar Puncak Nilai tailing factor (Tf) dapat dihitung dengan persamaan berikut, dengan nilai 1 mengindikasikan puncak yang simetris sempurna (Ahuja dan Dong, 2005):
Gambar 3. Perhitungan tailing factor pada HPLC Keterangan : Tf : Tailing Factor W0,05 : Lebar puncak dari ketinggian 5% tinggi puncak f : Lebar antara titik A dan B KESIMPULAN Analisis pengawet metil, etil, propil, dan butil paraben secara kualitatif dapat dilakukan menggunakan TLC dengan membandingkan nilai Rf dengan pustaka dan dikombinasikan dengan reaksi warna menggunakan reagen Millon dimana adanya paraben ditunjukkan bercak warna merah. Analisis kuantitatif pengawet tersebut dilakukan secara HPLC melalui persamaan garis regresi kurva kalibrasi yang diperoleh dari larutan baku dengan menggunakan isopropil 4-hydroxybenzoate sebagai standar internal.
13
DAFTAR PUSTAKA 1. Ahuja, S. dan M. W. Dong. 2005. Handbook of Pharmaceutical Analysis by HPLC. New York: Elsevier. 2. Allen, L.V., N.G. Popovich, and H.C. Ansel. 2011. Ansel’s Pharmaceutical Dosage Forms and Drug Delivery Systems. Philadelpha : Lippincott Williams and Wilkins. 3. Barel, A.O., M. Paye, and H.I. Malbach. 2001. Handbook of Cosmetic Science and Technology. New York : Marcel Dekker. 4. Butler, H. 2000. Poucher’s Perfumes, Cosmetics and Soaps. Dordrecht : Kluwer Academic Publishers. 5. De Kruijf, N., M.A.H. Rijk, L.A. Pranoto-Soetardhi, and A. Schouten. 1897. Determinaton of Preservatives in Cosmetic Products : I. Thin-layer Chromatographic Procedure for The Identification of Preservatives in Cosmetic Products. Journal of Chromatography A, Volume 410, Pages 395-411. 6. DepKes RI. 1979. Farmakope Indonesia III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 7. Geis, P. A. 2006. Preservation Strategies. Didalam Geis, P. A. (eds). Cosmetic Microbiology : A Practical Approach. Taylor & Francis Group, LLC, New York. 8. Keputusan Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor : HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik Tahun 2003. 9. Mitsui, T. 1998. New Cosmetic Science. Amsterdam : Elsevier. 10. Peraturan Kepala Badam Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor : HK.00.05.42.1018 tentang Bahan Kosmetik Tahun 2008. 11. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor : HK.03.1.23.08.11.07331 tentang Metode Analisis Kosmetika tahun 2011. 12. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.445/MENKES/PER/V/1998 tentang Bahan, Zat Warna, Substratum, Zat Pengawet, dan Tabir Surya pada Kosmetika. 13. Rowe, R. C., P.J. Sheskey, dan M.E. Quinn. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients Sixth Edition. London : Pharmaceutical Press. 14. Salvador, A. and A. Chrisvert. 2007. Analysis of Cosmetic Products. Amsterdam : Elsevier.
14