ANALISIS PENGARUH FOREIGN DIRECT INVESTMENT (FDI) TERHADAP INDUSTRI BESI BAJA DI INDONESIA
OLEH RAFILI MUHAMMAD HILMAN H14089501
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN
RAFILI MUHAMMAD HILMAN. Analisis Pengaruh Foreign Direct Investment (FDI) terhadap Industri Besi Baja di Indonesia (dibimbing oleh DEDI BUDIMAN HAKIM).
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang di dunia membutuhkan dana yang cukup besar dalam melaksanakan pembangunan nasional, ditengah maraknya globalisasi dan liberalisasi pada perekonomian dunia. Ketersediaan dana pembangunan di Indonesia masih sangat minim karena masih terbatasnya tabungan dalam negeri di Indonesia sebagai salah satu sumber pembiayaan investasi. Dana dari dalam negeri (investasi) dirasakan tidak mencukupi untuk melakukan pembangunan sehingga pemerintah berupaya untuk menarik dana yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Investasi merupakan syarat mutlak untuk memacu pertumbuhan ekonomi nasional bagi Indonesia. Aliran modal yang masuk dapat berasal dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), atau juga sumber pembiayaan luar negeri/Foreign Direct Investment (FDI). Indonesia merupakan salah satu tempat strategis bagi FDI perusahaan multinasional dari berbagai negara. Jumlah penduduk Indonesia sebesar 240 juta orang, sehingga Indonesia menawarkan pasar domestik yang luas dengan lebih dari 50 persen dari penduduk Indonesia tinggal di daerah perkotaan. Indonesia merupakan pasar yang terkenal dengan sumber daya alamnya, bahkan dari prospek bahan mineral dikatakan lebih menarik dibandingkan negara lain seperti Afrika Selatan, Australia dan Kanada. Globalisasi dan liberalisasi ekonomi yang terlihat melalui aliran FDI telah membawa perubahan yang sangat cepat bagi dunia perekonomian. Dampak yang sangat dirasakan yaitu semakin ketatnya persaingan sektor industri di berbagai negara. Industri pengolahan yang perlu mendapatkan perhatian adalah industri logam dasar, khususnya industri besi baja. Tingkat konsumsi dan volume impor besi baja di Indonesia sangat besar, sedangkan fakta menunjukkan ada investasi pada sektor ini baik dalam bentuk FDI atau PMDN. Penelitian ini akan membahas suatu analisis mengenai pengaruh FDI terhadap industri besi baja di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini yaitu: (1) menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi output PDB industri besi baja di Indonesia, (2) menganalisis pengaruh shock FDI sektor industri besi baja terhadap output PDB industri besi baja di Indonesia, (3) menganalisis pengaruh shock FDI sektor industri besi baja terhadap variabel nilai tukar, ekspor neto, PMDN, suku bunga internasional (LIBOR), suku bunga pinjaman investasi (4) menganalisis kontribusi variabel nilai tukar, ekspor neto, PMDN, LIBOR, suku bunga terhadap FDI sektor industri besi baja. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Granger Causality (Kausalitas Granger), Vector Auto Regression (VAR) dan Vector Error Correction Model (VECM) dalam mengolah beberapa data time series. Metode
yang akan digunakan untuk melakukan analisis pengaruh guncangan FDI sektor industri besi baja terhadap output PDB industri besi baja di Indonesia dan variabel makroekonomi seperti yang telah disebutkan adalah analisis impuls respon (IRF) dan analisis peramalan dekomposisi ragam galat (FEVD). Data utama yang digunakan dalam studi ini adalah data sekunder dan jenis data yang dikumpulkan diantaranya data nilai tukar USD/Rp, PDB sektor industri besi baja, suku bunga internasional (LIBOR), suku bunga pinjaman investasi, Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sektor industri besi baja, Foreign Direct Investment (FDI) sektor industri besi baja, dan ekspor neto logam dasar besi baja. Hasil estimasi VECM model penelitian menunjukkan faktor-faktor yang memengaruhi output PDB industri besi baja di Indonesia terbagi dalam dua periode. Periode jangka pendek menunjukkan bahwa variabel PDB industri besi baja lag kedua berpengaruh signifikan positif, LIBOR lag pertama dan lag kedua berpengaruh signifikan negatif terhadap output PDB industri besi baja di Indonesia. Periode jangka panjang menunjukkan bahwa variabel nilai tukar dan ekspor neto besi baja berpengaruh signifikan yang negatif, FDI sektor industri besi baja, PMDN sektor industri besi baja, LIBOR, dan suku bunga pinjaman investasi berpengaruh signifikan yang positif terhadap output PDB industri besi baja di Indonesia. Pengaruh guncangan FDI sektor industri besi baja terhadap output PDB industri besi baja dan variabel makroekonomi (PMDN, suku bunga pinjaman investasi, LIBOR, nilai tukar, eskpor neto) menunjukkan fakta bahwa FDI sektor industri besi baja memengaruhi fluktuasi output PDB industri besi baja hingga kuartal ke-12, sedangkan variabel makroekonomi rata-rata sampai pada kisaran kuartal ke-20 hingga kuartal ke-50. Kesimpulan lain yang dapat diambil dari penelitian ini yaitu berdasarkan hasil FEVD secara keseluruhan menunjukkan bahwa variabel PMDN, suku bunga, output PDB besi baja, nilai tukar, LIBOR, serta ekspor neto memberikan proporsi yang relatif lebih tinggi terhadap FDI sektor industri besi baja dalam kuartal yang lebih panjang, sedangkan FDI yang dipengaruhi oleh shock FDI sendiri memberikan proporsi yang relatif lebih tinggi dalam kuartal awal dan pertengahan. Volume impor besi baja yang masih sangat besar dapat dikurangi dengan meningkatkan perkembangan dan pertumbuhan industri besi baja di Indonesia. Kondisi ini dapat ditunjang salah satunya dengan peningkatan realisasi investasi baik investasi asing seperti Foreign Direct Investment (FDI) ataupun investasi dalam negeri (PMDN). Hal ini memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk dapat meningkatkan realisasi FDI yang masuk juga ke sektor sekunder seperti industri pengolahan besi baja salah satunya dengan memberikan insentif suku bunga bagi para investor baik investor dalam negeri maupun investor asing. Otoritas moneter selain itu harus memiliki mekanisme yang tepat untuk memelihara kestabilan kurs Rupiah baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang karena ketidakstabilan kurs akan memicu fluktuasi harga barang tradable (ekspor-impor) besi baja di Indonesia. Pemerintah juga dapat memberikan insentif ekspor bagi eksportir besi baja domestik dalam bentuk pajak ekspor yang ringan untuk memacu peningkatan produksi output besi baja di Indonesia.
ANALISIS PENGARUH FOREIGN DIRECT INVESTMENT (FDI) TERHADAP INDUSTRI BESI BAJA DI INDONESIA
Oleh RAFILI MUHAMMAD HILMAN H14089501
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama
: Rafili Muhammad Hilman
Nomor Registrasi Pokok
: H14089501
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Analisis Pengaruh Foreign Direct Investment (FDI) Terhadap Industri Besi Baja di Indonesia
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui, Dosen Pembimbing,
Dedi Budiman Hakim, Ph.D NIP. 19641022 198903 1 003
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi,
Dedi Budiman Hakim, Ph.D NIP. 19641022 198903 1 003 Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM DIGUNAKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, Juli 2011
Rafili Muhammad Hilman H14089501
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Bandar Lampung pada tanggal 16 Januari 1988. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara, dari pasangan Ir. H. Irwansyah dan Hj. Ammelina, S.E. Riwayat pendidikan penulis diawali di TK Cinta Manis Palembang lulus tahun 1994, SDN 2 Palapa Bandar Lampung lulus tahun 2000, SLTPN 2 Bandar Lampung lulus tahun 2003, dan MAN Insan Cendekia Serpong lulus tahun 2006. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008. Penulis berhasil meraih peringkat II Mahasiswa Berprestasi tingkat Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB 2011, dan peringkat I Mahasiswa Berprestasi tingkat Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB 2011. Penulis aktif sebagai ketua UKM IPB Debating Community (IDC) 2009-2010, ketua (pioneer) AIESEC LC IPB 2010, kepala departemen hubungan eksternal BEM FEM IPB 2009-2010, anggota departemen eksternal UKM IAAS LC IPB 2008-2010, juga anggota aktif UKM FORCES IPB 2008-2011. Penulis aktif mengikuti konferensi dan seminar internasional seperti 3rd ASEAN Economics Business Student Summit 2010, One Day Seminar-Beyond Crisis: Be Creative-Be survivor 2010, In Youth in Agriculture Expo & Talk Show 2009, serta nasional event seperti “Agromedicine: Traditional Food for Healthy Life” di Semarang 2009, AIESEC National Planning Conference di Surabaya 2010, AIESEC National Election Conference di Padang 2010, juga IAAS National Congress di Semarang 2009. Penulis
menjadi
ketua
panitia
Konferensi
Mahasiswa
Indonesia
Internasional 2008, serta aktif pada berbagai kepanitiaan. Penulis aktif sebagai Master of Ceremonies acara-acara Internasional seperti International Scholarship Education Expo 2009, Bayern Young Environmental Envoy 2009, In Youth in Agriculture Expo 2009, dan nasional event IAAS Olympic 2008. Penulis menjadi moderator pada acara 9th Economic Contest 2011, serta IAAS on Training 2009. Penulis aktif mengikuti lomba debat bahasa Inggris baik di level IPB serta level nasional. Pengalaman kerja penulis antara lain: asisten ekonomi umum IPB 20102011, IAAS English tutor 2009, Chief Debating Adjudicator Enthusiastic Goes 2 SMAN 1 Bogor 2010, juri debat Politik Ceria 2011, juri debat Attention 2009, serta juri Telling News “National Scout Agricultural Competition 2010”.
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb. Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa, karena hanya dengan kekuatan dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini dibuat sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi di Institut Pertanian Bogor. Penulis berharap melalui skripsi ini dapat menguraikan suatu analisis pengaruh Foreign Direct Investment (FDI) terhadap Industri Besi Baja di Indonesia. Penulis juga menyampaikan banyak terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini, antara lain: 1. Bapak Dedi Budiman Hakim, Ph.D, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan waktu dalam pembimbingan penulisan skripsi ini serta bantuan materi penulisan. 2. Bapak Iman Sugema, Ph.D, selaku penguji utama skripsi yang telah memberikan kritik dan saran yang sangat berharga dalam penyempurnaan skripsi ini. 3. Ibu Dr. Yeti Lies Purnadewi, selaku komisi pendidikan yang telah memberikan saran dalam tata cara penulisan skripsi ini. 4. Kedua orang tua penulis, Ir. H. Irwansyah dan Hj. Ammelina S.E yang telah memberikan dukungan, motivasi, dan bimbingan bagi penulis selama pembuatan skripsi ini. 5. Staf Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), perpustakaan research Bank Indonesia (BI), Badan Pusat Statistik (BPS) dan juga Rina Hartini dari Statistics Centre, yang telah membantu dalam menyediakan dan mengolah data skripsi ini dengan baik. 6. Teman-teman satu bimbingan: Embang Maryana, Yudi Aditya, dan Avy Luthfiandy yang telah banyak membantu selama proses pembuatan skripsi.
7. Ratih Kusuma Ningrum atas semangat, motivasi, dan dukungan moril selama proses pembuatan skripsi ini dari awal hingga selesai. 8. Teman-teman IE 43, IE 44, IE 45, IE 46 yang telah banyak membantu penulis dalam menambah literatur serta informasi yang bermanfaat perihal proses pembuatan skripsi. 9. Teman-teman di FEM IPB serta semua pihak yang telah membantu selama proses pembuatan dan penyelesaian skripsi. 10. Teman-teman UKM IPB Debating Community, BEM FEM IPB kabinet Orange Beraksi, tim ekspansi AIESEC LC IPB, UKM IAAS LC IPB, UKM FORCES IPB, yang telah memberikan bantuan moriil selama proses penyelesaian skripsi. Akhir kata, semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat luas baik dalam ruang lingkup IPB ataupun dalam skala global. Wassalamualaikum Wr. Wb.
Bogor, Juli 2011
Rafili Muhammad Hilman H14089501
i
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR ISI………………………………….……………………..
i
DAFTAR TABEL…………………………………………………...
v
DAFTAR GAMBAR……………………….……………….............
vi
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………...
viii
I.
II.
PENDAHULUAN…………………………………...................
1
1.1. Latar Belakang……………………………………………..
1
1.2. Perumusan Masalah..………………………………………
7
1.3. Tujuan Penelitian.…………………………….....................
9
1.4. Manfaat Penelitian……………………..…………………..
10
1.5.Ruang Lingkup Penelitian………………………………….
10
TINJAUAN PUSTAKA……………………..………………....
11
2.1. Dampak Foreign Direct Investment………………………..
11
2.1.1. Pengertian Foreign Direct Investment.....................
11
2.1.2. Dampak Foreign Direct Investment di Indonesia....
13
2.1.3. Analisis Dampak Foreign Direct Investment untuk Negara Sumber Investasi dan Penerima Investasi…………………………………….……...
15
2.1.4. Hambatan pada Investasi Swasta……………….....
18
2.2. Pengertian Industri Besi Baja…..………….…....................
19
2.2.1. Pengertian Industri……………………..……….....
19
2.2.2. Pengertian Industri Besi Baja…………..………….
22
2.3. Tinjauan Teoritis……………………………….…………..
23
2.3.1. Konsep Gross Domestic Product (GDP)…………..
23
2.3.2. Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN)….…....
23
2.3.3. Suku Bunga Pinjaman Investasi……………….…..
26
2.3.4. Konsep Nilai Tukar…………………………….….
27
2.3.4.1. Definisi Nilai Tukar…………………………...
27
2.3.4.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Nilai Tukar..
28
ii
III.
2.3.4.3. Sistem Nilai Tukar di Indonesia…….………...
29
2.3.5. Konsep Suku Bunga Internasional………..……….
30
2.3.6. Konsep Ekspor Neto……………………….…........
31
2.3.7. Fungsi Produksi, dan Keterkaitan Output dengan Investasi, Nilai Tukar, Suku Bunga, Ekspor Neto..........................................................................
31
2.3.8. Konsep Inflasi……………………………………...
33
2.3.8.1.Definisi Inflasi……………………………........
33
2.3.8.2.Pengukuran Laju Inflasi……………………….
34
2.3.9. Teori John Dunning……………………....……......
35
2.3.10. Konsep Pertumbuhan Ekonomi………………........
36
2.4.Studi Penelitian Terdahulu…………………………….........
38
2.4.1. Penelitian mengenai Industri Besi Baja di Indonesia…………………………………………..
38
2.4.2. Penelitian mengenai Foreign Direct Investment di Indonesia…………………………………………..
41
2.5.Kerangka Pemikiran………………………………………...
44
2.6.Hipotesis Penelitian…………………………………….......
46
METODE PENELITIAN………..………………………….......
47
3.1.Jenis dan Sumber Data………………..…………………….
47
3.2.Variabel dan Definisi Operasional…………………….........
48
3.3.Metode Analisis dan Pengolahan Data…………………......
49
3.3.1. Metode Granger Causality (Kausalitas Granger)…
49
3.3.2. Metode Vector Auto Regression (VAR)……….......
50
3.3.3. Metode Vector Error Correction Model (VECM)...
56
3.3.4. Pengujian Pra Estimasi………………………….....
59
3.3.4.1.Uji Stasioneritas Data……………………….....
59
3.3.4.2.Pengujian Lag Optimal………………………...
61
3.3.4.3.Uji Stabilitas VAR…………………………......
62
3.3.5. Uji Kointegrasi………………………………….....
63
3.3.6. Innovation Accounting………………………….....
64
3.3.6.1.Impulse Response Function (IRF)..……………
64
iii
IV.
V.
3.3.6.2.Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)………………………………………...
65
3.3.7. Mekanisme Analisis Olah Data………………........
66
3.3.8. Model Penelitian……………………………….......
68
GAMBARAN UMUM……………………………………........
70
4.1.Perkembangan Realisasi Foreign Direct Investment di Indonesia……………………………………………………
70
4.2.Perkembangan Industri Besi Baja di Indonesia………….....
73
4.2.1. Sejarah Industri Besi Baja…………………………
73
4.2.1.1.Periode Antara 1950-1960……………………..
73
4.2.1.2.Periode Antara 1960-1965…………………......
74
4.2.1.3.Periode Antara 1965-1997…………………......
75
4.2.1.4.Periode Antara 1997-2011……………………..
76
4.2.2. Perkembangan Volume Produksi, Jumlah Tenaga Kerja, Jumlah Perusahaan, Ekspor Impor besi baja di Indonesia…………………………...…….............
84
4.2.3. Perkembangan Investasi Sektor Industri Besi Baja (Foreign Direct Investment dan Penanaman Modal Dalam Negeri), serta Produk Domestik Bruto Industri Besi Baja Indonesia……..............................
91
HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………
95
5.1.Pengujian Pra Estimasi……………………………………..
95
5.1.1. Kestasioner Data…………………………………...
95
5.1.2. Pengujian Lag Optimal………………………….....
97
5.1.3. Uji Stabilitas Vector Auto Regression…..…………
98
5.2.Uji Kointegrasi………………………………………….......
99
5.3.Hasil Uji Kausalitas Granger……………………………….
100
5.4.Hasil Penelitian……………………………………………..
101
5.4.1. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Memengaruhi output Produk Domestik Bruto Industri Besi Baja di Indonesia………………………………………..
101
5.4.2. Analisis Pengaruh Foreign Direct Investment Sektor Industri Besi Baja…………………………..
107
5.4.2.1.Respon Dinamis Shock Foreign Direct Investment Sektor Industri Besi Baja terhadap
iv
Produk Domestik Bruto Industri Besi Baja……………………………….....................
107
5.4.2.2.Respon Dinamis Shock Foreign Direct Investment terhadap Variabel Makroekonomi...................................................
109
5.4.3. Analisis Kontribusi Keragaman Variabel terhadap Foreign Direct Investment Sektor Industri Besi Baja…………………………………………...........
112
KESIMPULAN DAN SARAN………………………………...
116
6.1.Kesimpulan…………………………………………………
116
6.2.Saran……………………………………………………......
121
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………….........
123
LAMPIRAN……………………………………………………….......
129
VI.
v
DAFTAR TABEL
Nomor 1.1.
Halaman
Perbandingan Impor dan Ekspor Besi Baja di Indonesia Tahun 2004-2010………………..……………………………
6
1.2.
Harga Baja di Dunia Tahun 2002-2007..……………………..
8
2.1.
Persebaran Potensi Bahan Baku Industri Baja di Indonesia Tahun 2005...………………………………………………...
22
Pertumbuhan Subsektor Industri Pengolahan Indonesia 19962000………………………………………………………......
77
Laba Bersih Perseroan Terbatas Krakatau Steel Tahun 20052010…......................................................................................
82
Perkembangan Volume Beberapa Produk Besi Baja Dasar di Indonesia Tahun 2006-2007………...……………..…………
86
Persebaran Perusahaan Baja, Non Ferro, Logam Hilir Indonesia Tahun 2005...…………………………………........
89
5.1.
Uji Akar Unit…………………………………………………
96
5.2.
Uji Lag Optimal………………………………………………
98
5.3.
Hasil Uji Kointegrasi…………………………………………
99
5.4.
Uji Kausalitas Granger untuk Model Penelitian……………...
100
5.5.
Hasil Estimasi Vector Error Correction Model (VECM) Model Industri Besi Baja di Indonesia......................................
102
Dekomposisi Varians Foreign Direct Investment Sektor Industri Besi Baja di Indonesia……………………………….
114
4.1. 4.2. 4.3. 4.4.
5.6.
vi
DAFTAR GAMBAR
Nomor 1.1.
Halaman
Sasaran Aliran Foreign Direct Investment di Dunia Tahun 2011…………………………………………………………..
3
Pertumbuhan Foreign Direct Investment di Indonesia Tahun 1990-2010…………………………………………………….
4
1.3.
Konsumsi Baja Nasional Tahun 2004-2008………………….
5
1.4.
Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Industri Besi Baja dan Pertumbuhan Foreign Direct Investment di Indonesia Periode 2001-2009………………………………………………….....
7
Dampak Foreign Direct Investment untuk Negara Sumber dan Penerima Investasi.............................................................
15
2.2.
Teori Klasik tentang Tingkat Bunga………………………….
26
2.3.
Keterkaitan Investasi, Suku Bunga, dan Output……………...
32
2.4.
Keterkaitan Output, Nilai Tukar, Ekspor Neto……………….
33
2.5.
Kerangka Pemikiran…………………………………………..
45
3.1.
Proses Analisis Vector Auto Regression dan Vector Error Correction Model……………………….……………………….
66
Proporsi Negara Asal Foreign Direct Investment di Indonesia Tahun 2006-2010……………………………………………..
70
Perkembangan Realisasi Foreign Direct Investment dan Penanaman Modal Dalam Negeri di Indonesia Tahun 20002010…………………………………….…………………….
71
Perbandingan Realisasi Foreign Direct Investment di Indonesia Berdasarkan Sektor Tahun 2006-2010…………….
72
Perkembangan Realisasi Foreign Direct Investment di Indonesia Berdasarkan Lokasi Tahun 2006-2010………….....
73
Indeks Produksi Besi dan Baja di Indonesia Tahun 20062010..………………………...……………………………….
86
Perkembangan Jumlah Perusahaan Industri Besi dan Baja di Indonesia Tahun 2001-2009….……………………..………..
88
Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja Industri Besi dan Baja di Indonesia Tahun 2004-2009…….………………….……...
90
Ekspor dan Impor Logam Dasar Besi Baja di Indonesia di Indonesia Tahun 2000-2010…….………………...………….
91
1.2.
2.1.
4.1. 4.2.
4.3. 4.4. 4.5. 4.6. 4.7. 4.8.
vii
4.9.
Aliran Foreign Direct Investment pada Sektor Industri Besi Baja di Indonesia Tahun 2001-2009….………………………
92
4.10. Aliran Penanaman Modal Dalam Negeri pada Sektor Industri Besi Baja di Indonesia Tahun 2000-2009.……………………
93
4.11. Produk Domestik Bruto Industri Besi Baja di Indonesia Berdasarkan Harga Konstan Tahun 20002010…………………………………......................................
94
5.1. 5.2. 5.3.
Respon Produk Domestik Bruto terhadap Shock Foreign Direct Investment …………………………………………...
108
Respon Variabel Makroekonomi terhadap Shock Foreign Direct Investment......................................................................
110
Dekomposisi Varians Foreign Direct Investment……………..
115
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1.
Uji Korelasi Variabel Data……………………………............
130
2.
Uji Stasioneritas Data…….…………………………………..
131
3.
Hasil Uji Kausalitas Granger……….…………………………
146
4.
Hasil Estimasi Vector Auto Regression Second Difference…..
148
5.
Hasil Uji Stabilitas Vector Auto Regression……….…………
151
6.
Hasil Uji Lag Optimum………………………………………
152
7.
Hasil Uji Kointegrasi…………………………………………
153
8.
Hasil Estimasi Vector Error Correction Model………………
159
9.
Impulse Response Function Shock Foreign Direct Investment terhadap Variabel…..................................................................
166
Dekomposisi Varians Foreign Direct Investment….................
167
10.
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang di dunia membutuhkan dana yang cukup besar dalam melaksanakan pembangunan nasional, ditengah maraknya globalisasi dan liberalisasi pada perekonomian dunia. Ketersediaan dana pembangunan di Indonesia masih sangat minim karena masih terbatasnya tabungan dalam negeri di Indonesia sebagai salah satu sumber pembiayaan investasi. Dana dari dalam negeri (investasi) dirasakan tidak mencukupi untuk melakukan pembangunan sehingga pemerintah berupaya untuk menarik dana yang berasal dari dalam maupun luar negeri (Lumbanraja, 2006). Pesatnya aliran modal masuk merupakan kesempatan untuk memperoleh dana pembiayaan pembangunan ekonomi (Parasmala, 2005). Investasi merupakan syarat mutlak untuk memacu pertumbuhan ekonomi nasional bagi Indonesia (Siahaan, 2005). Aliran modal yang masuk dapat berasal dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), atau juga sumber pembiayaan luar negeri/Foreign Direct Investment (FDI). FDI merupakan alternatif sumber dana pembangunan yang relatif aman dibandingkan dengan pinjaman luar negeri. Pinjaman luar negeri baik dalam bentuk pinjaman bank maupun pinjaman resmi adalah bentuk instrumen utang dimana negara penerima pinjaman harus membayar jumlah pokok ditambah bunga apapun kondisi ekonominya (Parasmala, 2005). FDI adalah bentuk instrumen modal, imbalan yang harus diberikan tidak dalam jumlah yang pasti, melainkan tergantung pada kondisi
2
ekonomi negara penerima. Negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, instrumen modal jauh lebih baik daripada instrumen utang. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan tingginya tingkat pertumbuhan modal swasta asing yang masuk ke negara-negara berkembang di Asia Tenggara seperti Indonesia. Salah satu faktor yang memengaruhi adalah tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi negara-negara di kawasan ini (Setyadi, 2006). Foreign Direct Investment menjadi salah satu sumber pembiayaan terbesar bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia (Siahaan, 2005). Foreign Direct Investment juga merupakan sumber pembiayaan luar negeri yang paling potensial karena dapat menjamin kelangsungan pembangunan dibandingkan dengan aliran modal portofolio, sebab terjadinya FDI di suatu negara akan diikuti dengan transfer teknologi, keahlian manajemen, resiko usaha relatif kecil dan lebih menguntungkan (Parasmala, 2005). Indonesia merupakan salah satu tempat strategis bagi FDI perusahaan multinasional dari berbagai negara. Jumlah penduduk Indonesia sebesar 240 juta orang, sehingga Indonesia menawarkan pasar domestik yang luas dengan lebih dari 50 persen dari penduduk Indonesia tinggal di daerah perkotaan. Indonesia merupakan pasar yang terkenal dengan sumber daya alamnya, bahkan dari prospek bahan mineral dikatakan lebih menarik dibandingkan negara lain seperti Afrika Selatan, Australia dan Kanada. Indonesia merupakan salah satu target dari tujuan negara asing dalam menanamkan FDI, seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 1.1.
3
Sasaran Aliran FDI di Dunia 25% Persen
20% 15% Sasaran Aliran FDI di Dunia
10% 5% China Amerika India Brazil Federasi Asia Inggris Raya Jerman Australia Indonesia Kanada Vietnam Mexico Polandia Prancis
0%
Negara
Sumber: UNCTAD, 2011.
Gambar 1.1. Sasaran Aliran Foreign Direct Investment di Dunia Tahun 2011. Undang-Undang PMA No. 1/1967 mengatur FDI dalam bentuk penjaminan investor asing dalam melakukan investasi asing pada semua bidang kecuali sektor minyak dan gas, perbankan, asuransi dan leasing dan dikelola oleh sebuah institusi panitia teknis (tahun 1997 institusi panitia teknis berganti nama menjadi Badan Koordinasi Penanaman Modal [BKPM]). Proyek FDI masih dianggap berguna untuk pembangunan di Indonesia kemudian BKPM dapat memperpanjang izin sesudah 30 tahun yang diberikan pada awal proyeknya (Lumbanraja, 2006). Revisi pada Peraturan Pemerintah Nomor 20/1994 menjadi UU PMA No. 25/2007 terjadi dalam periode selanjutnya dimana UU ini memberikan
perlakuan
yang
sama
kepada
semua
investor
dan
juga
memungkinkan pemulangan modal tanpa adanya suatu hambatan. Perkembangan FDI menunjukkan peningkatan yang sangat cepat sebelum terjadi krisis ekonomi dan politik di Indonesia (Siahaan, 2005). Hal ini disebabkan oleh perekonomian yang membaik dan keberhasilan pemerintah dalam
4
meliberalisasikan iklim investasi di Indonesia, sehingga investor asing tertarik untuk menanamkan modalnya. Krisis ekonomi yang melanda sejak pertengahan tahun 1997 menyebabkan nilai FDI di Indonesia menurun drastis dari tahun 1998 hingga tahun 2000. Hal ini diduga diakibatkan oleh ketidakstabilan keadaan makroekonomi dan politik sehingga meningkatkan resiko berinvestasi bagi investor. Grafik pertumbuhan dari realisasi FDI di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 1.2.
Pertumbuhan FDI di Indonesia Periode 1990-2010 Persen
300 200 100 -100
1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
0 -200 Tahun
Pertumbuhan FDI
Sumber: BKPM (diolah), 2011.
Gambar 1.2. Pertumbuhan Foreign Direct Investment di Indonesia Tahun 19902010. Pertumbuhan FDI di Indonesia cenderung fluktuatif dari tahun 1990 hingga 2010. Pertumbuhan negatif terjadi di tahun 1993, 1995, 1996, 2000, 2001, 2003, 2005, dan 2008, dan pada tahun selain itu pertumbuhan FDI cenderung positif. Kondisi pertumbuhan yang berfluktuasi ini menunjukkan bahwa terjadi dinamika dari aliran FDI di Indonesia. Globalisasi dan liberalisasi ekonomi yang terlihat melalui aliran FDI telah membawa perubahan yang sangat cepat bagi dunia perekonomian. Dampak yang sangat dirasakan yaitu semakin ketatnya persaingan sektor industri di berbagai
5
negara. Sektor industri mampu berkembang dalam ketatnya persaingan dunia pada saat ini dengan syarat industri harus mampu meningkatkan perekonomian yang berdaya saing tinggi. Industri pengolahan yang perlu mendapatkan perhatian adalah industri logam dasar, khususnya industri baja. Industri baja selain termasuk salah satu industri penting dalam sektor pengolahan juga merupakan salah satu industri yang strategis dalam menopang pembangunan (Bahri, 2008). Permintaan produk besi baja makin meningkat seiring dengan makin meningkatnya jumlah penduduk dan taraf hidup masyarakat (Darmayanti, 2007). Kebutuhan akan industri baja domestik yang terlihat dari tingkat konsumsi masyarakat terhadap produk baja dan turunannya secara keseluruhan dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Peningkatan konsumsi baja terjadi untuk crude steel sepanjang tahun 2004 hingga 2008, sedangkan untuk apparent steel hampir di setiap tahun terjadi peningkatan dengan pengecualian pada tahun 2006 yang menurun sebanyak 13,68 persen dari jumlah pada tahun 2005 (Harjakusumah, 2010). Tingkat konsumsi baja nasional tahun 2004 hingga 2008 terlihat pada Gambar 1.3.
10000
Grafik Konsumsi Baja Nasional
Ton
8000 6000 4000
Crude Steel
2000
Apparent Steel
0 2004
2005
2006 Tahun
2007
2008
Sumber: GAPBESI, 2009.
Gambar 1.3 Konsumsi Baja Nasional Tahun 2004-2008.
6
Ketergantungan yang besar industri logam dasar besi baja terhadap impor juga terlihat dari proporsi impor yang dilakukan industri besi baja ini. Perbandingan antara impor dengan ekspor besi baja di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.1. Tabel 1.1. Perbandingan Impor dan Ekspor Besi Baja di Indonesia Tahun 20042010.
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Ribu Ton 4.783 6.740 6.327 7.219 8.647 6.174 8.140
IMPOR Ribu USD 2.729.502 4.479.093 4.760.487 5.740.132 8.912.582 5.272.201 7.483.091
EKSPOR Ribu Ton Ribu USD 1.297 790.168 1.466 918.676 2.114 1.614.138 2.405 1.921.293 2.161 2.351.750 1.380 1,255.007 1.480 1.717.769
Sumber: BPS, 2011.
Perbandingan jumlah impor dan jumlah ekspor logam dasar besi baja seperti yang diuraikan pada Tabel 1.1 diatas menunjukkan bahwa jumlah impor dari logam dasar besi baja masih lebih besar dibandingkan jumlah ekspornya baik dalam skala ribu ton ataupun skala ribu USD selama periode tahun 2004 hingga 2010. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat suatu ketergantungan impor logam dasar besi baja yang besar dalam pemenuhan kebutuhan besi baja masyarakat. Pertumbuhan aliran FDI memiliki keterkaitan terhadap pertumbuhan industri besi baja di Indonesia. Pertumbuhan aliran FDI di sektor industri besi baja, memiliki kecenderungan pertumbuhan yang cenderung fluktuatif apabila dibandingkan dengan pertumbuhan PDB industri besi baja dengan harga konstan dalam periode waktu yang sama seperti yang terlihat pada Gambar 1.4.
7
1,200
Grafik Pertumbuhan PDB Industri Besi Baja dan Pertumbuhan FDI Sektor Industri Besi Baja di Indonesia Pertumbuhan PDB Industri Besi Baja
1,000
Persen
800 600 400
Pertumbuhan FDI Sektor Industri Besi Baja
200 (200)
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tahun
Sumber: BKPM dan BPS (diolah), 2011.
Gambar 1.4. Grafik Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Industri Besi Baja dan Pertumbuhan Foreign Direct Investment Sektor Industri Besi Baja di Indonesia Periode 2001-2009. Gambar 1.4 menunjukkan bahwa pergerakkan pertumbuhan PDB industri besi baja tahun 2001 ke 2002, 2003 ke 2004, 2008 ke 2009 searah dengan pergerakan pertumbuhan FDI di sektor industri besi baja pada periode waktu yang sama. Periode 2002 ke 2003, 2004 ke 2005, 2005 ke 2006, 2006 ke 2007, 2007 ke 2008 pertumbuhan PDB industri besi baja tidak searah dengan pertumbuhan FDI di sektor industri besi baja. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat pergerakan yang searah dan tidak searah antara aliran FDI di sektor industri besi baja dengan pertumbuhan PDB Industri besi dan baja dalam harga konstan.
1.2 Perumusan Permasalahan. Kenaikan harga minyak dunia pada awal tahun 2005 menyebabkan harga produk baja di pasaran dunia mengalami tren yang cenderung meningkat. Kenaikan harga baja dunia mendorong perusahaan domestik untuk melakukan
8
ekspor guna mengejar keuntungan yang optimal bagi perusahaan. Bahri (2008) menyatakan adanya kenaikan harga baja dunia yang menyebabkan kebutuhan domestik tidak terpenuhi akibat tindakan ekspor perusahaan domestik selain itu timbulnya dominasi yang berlebihan oleh beberapa perusahaan serta dampak regulasi yang dikeluarkan secara spontanitas dan visi jangka panjang industri baja yang masih diragukan menunjukkan adanya keadaan yang menyimpang dalam bentuk terbatasnya ketersediaan output besi baja disaat terdapat investasi yang menunjang pada sektor industri besi baja tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa diperlukan suatu analisis mengenai pengaruh Foreign Direct Investment (FDI) terhadap industri besi baja di Indonesia, untuk mengetahui seberapa besar pengaruh dari FDI terhadap ketersediaan output PDB besi baja di Indonesia. Harga baja dunia dapat dilihat pada Tabel 1.2. Tabel 1.2. Harga Baja di Dunia Tahun 2002-2007. Tahun
Harga Baja ($/ton)
2002
400
2003
475
2004
450
2005
596
2006
610
2007
990
Sumber: Kementerian Perindustrian, 2008.
Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini memiliki beberapa permasalahan yang kemudian berusaha untuk dipecahkan. Rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut:
9
1. Apakah faktor-faktor yang memengaruhi output PDB industri besi baja di Indonesia? 2. Bagaimanakah pengaruh shock yang berasal dari Foreign Direct Investment sektor industri besi baja terhadap output PDB industri besi baja di Indonesia? 3. Bagaimanakah respon dari variabel nilai tukar, ekspor neto besi baja, Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sektor industri besi baja, suku bunga internasional (LIBOR), dan suku bunga pinjaman investasi akibat dari adanya shock yang berasal dari Foreign Direct Investment sektor industri besi baja di Indonesia? 4. Bagaimana kontribusi dari variabel nilai tukar, ekspor neto besi baja, PMDN sektor industri besi baja, LIBOR, dan suku bunga pinjaman investasi terhadap Foreign Direct Investment sektor industri besi baja?
1.3.Tujuan Penelitian. Dengan perumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi output PDB industri besi baja di Indonesia. 2. Menganalisis pengaruh shock yang berasal dari Foreign Direct Investment sektor industri besi baja terhadap output PDB industri besi baja di Indonesia. 3. Menganalisis respon dari variabel nilai tukar, ekspor neto besi baja, PMDN sektor industri besi baja, LIBOR, dan suku bunga pinjaman
10
investasi akibat dari adanya shock yang berasal dari Foreign Direct Investment sektor industri besi baja. 4. Menganalisis kontribusi dari variabel nilai tukar, ekspor neto besi baja, PMDN sektor industri besi baja, LIBOR, dan suku bunga pinjaman investasi terhadap Foreign Direct Investment sektor industri besi baja
1.4.Manfaat Penelitian. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pemerintah dan pihak-pihak terkait lainnya untuk memberikan gambaran terkait dengan pengaruh Foreign Direct Investment (FDI) sektor industri besi baja terhadap output PDB industri besi baja di Indonesia. Penelitian ini memberikan rekomendasi kebijakan kepada pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan industri besi baja pada periode yang akan datang. Penelitian ini khusus bagi penulis sangat bermanfaat dalam memperkaya pengetahuan dan wawasan.
1.5. Ruang Lingkup Penelitian. Penelitian ini memiliki ruang lingkup penelitian dalam batasan output PDB industri pengolahan besi baja yang dipengaruhi oleh nilai tukar, FDI sektor industri besi baja, ekspor neto besi baja, PMDN sektor industri besi baja, LIBOR, dan suku bunga pinjaman investasi, dengan periode penelitian dari tahun 2000 tahun 2009.
II.
2.1.
TINJAUAN PUSTAKA
Dampak Foreign Direct Investment (FDI).
2.1.1. Pengertian Foreign Direct Investment (FDI). Foreign Direct Investment (FDI) adalah investasi riil dalam bentuk pendirian perusahaan, pembangunan pabrik, pembelian barang modal, tanah, bahan baku, dan persediaan oleh investor asing dimana investor tersebut terlibat langsung dalam manajemen perusahaan dan mengontrol penanaman modal tersebut. FDI ini biasanya dimulai dengan pendirian subsidiary atau pembelian saham mayoritas dari suatu perusahaan dimana dalam konteks internasional, bentuk investasi ini biasanya dilakukan oleh perusahaan multinasional dengan operasi dibidang manufaktur, industri pengolahan, ekstrasi pengolahan, ekstrasi sumber alam, industri jasa dan sebagainya (Hady, 2004). Pengertian FDI dari segi hukum adalah kegiatan usaha yang didirikan di Indonesia oleh perusahaan asing dengan hak-hak dan kewajiban yang secara spesifik ditentukan dalam undang-undang dan peraturan dikembangkan. Foreign Direct Investment meliputi investasi ke dalam aset-aset secara nyata berupa pembangunan pabrik-pabrik, pengadaan berbagai macam barang modal, pembelian tanah untuk keperluan produksi, pembelanjaan berbagai peralatan inventaris, dan sebagainya (Salvatore, 1997). Foreign Direct Investment berarti bahwa perusahaan dari negara penanam modal secara langsung melakukan pengawasan atas aset yang ditanam di negara pengimpor modal. Foreign Direct Investment dapat mengambil beberapa bentuk,
12
yaitu: pembentukan suatu cabang perusahaan di negara pengimpor modal; pembentukan suatu perusahaan dimana perusahaan dari negara penanam modal memiliki mayoritas saham; pembentukan suatu perusahaan di negara pengimpor yang semata-mata dibiayai oleh perusahaan yang terletak di negara penanam modal; mendirikan suatu korporasi di negara penanam modal untuk secara khusus beroperasi di negara lain; atau menaruh aset (aktiva tetap) di negara lain oleh perusahaan nasional dari negara penanam modal (Jhingan, 2003). Foreign Direct Investment dalam pengertian yang lain adalah arus modal internasional dimana perusahaan dari suatu negara mendirikan atau memperluas perusahaannya di negara lain. Tidak hanya terjadi pemindahan sumber daya, tetapi juga terjadi pemberlakuan kontrol terhadap perusahaan di luar negeri (Krugman, 1991). Pemberlakuan kontrol ini memiliki makna bahwa perusahaan multinasional tersebut memiliki kendali yang besar terhadap cabang perusahaan multinasional yang didirikan di negara lain. Definisi FDI yang lain dapat memberikan gambaran di sisi yang berbeda. International Monetary Fund (IMF) mendefinisikan FDI sebagai investasi yang dibuat untuk melaksanakan target operasi perusahaan, sedangkan keputusan investor hanya berhubungan dengan pengelolaan perusahaannya. Definisi ini menggambarkan bahwa investor asing memiliki peran dalam setiap keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan perusahaan yang mendapat bantuan modal dari investor tersebut. Kesimpulan dapat diambil secara ringkas dari beberapa pengertian di atas bahwa FDI adalah investasi riil sebagai arus modal internasional yang ditanamkan
13
investor asing disuatu negara dalam bentuk aset, yang disertai dengan keterampilan manajerial, dan pengetahuan teknis dari negara penanam modal dimana negara penanam modal melakukan pengawasan langsung terhadap aset tersebut dan juga negara penanam modal dapat memperluas usahanya dengan hakhak dan kewajiban yang secara spesifik ditentukan dalam undang-undang dan peraturan yang dikembangkan. Investasi asing langsung sebagai salah satu aliran modal internasional memiliki berbagai motif baik bagi negara asal investasi diantaranya: (1) mendapatkan return yang lebih tinggi melalui tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, perpajakan yang lebih menguntungkan dan infrastruktur yang lebih baik; (2) untuk melakukan diversifikasi resiko (risk diversification); (3) untuk tetap memiliki “competitive advantage” melalui “direct control”, dan (4) untuk menghindari tarif dan non tarif barrier yang dibebankan kepada impor dan sekaligus memanfaatkan berbagai insentif dalam bentuk subsidi yang diberikan oleh pemerintah lokal untuk mendorong FDI (Hady, 2004).
2.1.2. Dampak Foreign Direct Investment di Indonesia. Foreign Direct Investment sebagai arus modal internasional mempunyai dampak positif bagi negara penerima investasi, akan tetapi FDI juga berdampak negatif terhadap perekonomian negara penerima FDI tersebut. Dampak positifnya adalah FDI merupakan salah satu saluran utama transfer teknologi dari negara maju ke negara berkembang. Negara berkembang memiliki beberapa kelemahan dalam
struktur perekonomiannya
seperti
tingkat
pendidikan,
penduduk,
14
infrastruktur, liberalisasi perekonomian, kestabilan sosial politik, dan sebagainya sehingga kurang memiliki kemampuan dalam melakukan inovasi dan menemukan teknologi baru yang dapat menjadi mesin pendorong pertumbuhan ekonomi. Kelemahan ini membuat negara berkembang melakukan adopsi teknologi asing melalui FDI. Transfer teknologi tinggi yang dibawa oleh perusahaan multinasional dapat terjadi melalui proses pembelajaran yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan dalam negeri (Siahaan, 2005). Dampak positif lain yang diperoleh negara penerima investasi asing langsung adalah dalam peningkatan kualitas tenaga kerja dengan meningkatkan keahlian dan kemampuan manajerial perusahaan lokal. Foreign Direct Investment merupakan aliran modal yang tidak memiliki resiko tinggi bagi negara berkembang. Negara penerima investasi tidak harus membayar ganti rugi atas modal yang telah diinvestasikan apabila suatu proyek tidak berhasil. Hal ini tentu berbeda dengan indikator utang, dimana bila terjadi kerugian perusahaan tetap harus membayar cicilan utang dan bunganya (Rivayani, 2000). Dampak negatif yang ditimbulkan oleh FDI yakni: (1) munculnya dominasi industrial; (2) ketergantungan teknologi; (3) dapat mengakibatkan perubahan budaya; (4) dapat mengakibatkan gangguan pada perencanaan ekonomi; dan (5) dapat terjadi intervensi oleh home government dari perusahaan multinasional (Hady, 2004). Masuknya perusahaan multinasional selain itu dapat mematikan bisnis perusahaan lokal yang tidak mampu bersaing dengan perusahaan multinasional dalam hal efisiensi produksi. Perusahaan multinasional mampu menekan biaya produksi dan menjual produk dengan harga yang lebih
15
murah dibandingkan dengan perusahaan lokal. Perusahaan lokal akan kalah bersaing dari perusahaan multinasional, sehingga mereka akan meminta proteksi. Tingginya permintaan proteksi akan meningkatkan pengeluaran pemerintah untuk membiayai proteksi tersebut. Perusahaan multinasional yang berbasis substitusi impor pada umumnya mendapatkan perlakuan khusus dari pemerintah seperti pemotongan pajak dan hak monopoli pasar. Hal ini tentu saja berdampak negatif bagi perusahaan lokal. Foreign Direct Investment juga berdampak pada meningkatnya korupsi yang dilakukan oleh oknum pemerintah melalui berbagai pungutan-pungutan liar dalam proses administrasi (Rivayani, 2000).
2.1.3. Analisis Dampak Foreign Direct Investment untuk Negara Sumber Investasi dan Penerima Investasi.
H T
Sumber: Salvatore, 1997.
Gambar 2.1. Dampak Foreign Direct Investment untuk Negara Sumber Investasi dan Penerima Investasi.
16
Analisis dampak FDI untuk negara sumber investasi dan penerima investasi dapat dianalisis dari kurva dampak FDI untuk negara sumber dan penerima investasi pada Gambar 2.1. Asumsikan misalkan dua negara yakni negara 1 dan negara 2 memiliki cadangan modal sebesar OO’. Sebagian diantara seluruh cadangan modal itu, yakni sebesar OA dimiliki oleh negara 1, sedangkan sisanya yakni O’A dimiliki oleh negara 2. Kurva-kurva VMPK1 dan VMPK2 menunjukkan nilai produk marginal modal di negara 1 dan negara 2. Hal ini berlaku untuk setiap tingkatan investasi. Nilai produk marginal modal dalam kondisi kompetitif dalam arti terjadi persaingan secara penuh diantara unit-unit ekonomi yang ada tersebut merupakan tingkat hasil, atau keuntungan yang dibuahkan oleh modal itu. Negara 1 akan menanamkan modalnya sebanyak OA di dalam negeri dalam kondisi isolasi (tidak ada perdagangan), dan tingkat hasil yang akan diperoleh adalah sebanyak OC. Total produk yang akan diperoleh (diukur berdasarkan luas wilayah atau bidang yang berada dibawah kurva nilai produk marginal) sama dengan OFGA. Sebagian diantaranya yakni sebanyak OCGA akan diterima oleh para pemilik modal di negara 1 sedangkan sisanya yakni sebanyak CFG akan diterima oleh para pemilik faktor produksi lainnya (tenaga kerja dan tanah). Demikian pula dalam kondisi isolasi negara 2 akan menginvestasikan seluruh modalnya sebanyak O’A di dalam negeri yang akan memberinya tingkat hasil O’H. Total produknya sama dengan O’JMA. Sebagian diantaranya yakni O’HMA akan diterima oleh para pemilik modal di negara 2, sedangkan sisanya yakni sebanyak HJM akan diterima oleh pemilik faktor-faktor produksi lainnya.
17
Tingkat hasil modal di negara 2 (O’H) lebih tinggi daripada yang terdapat di negara 1 (OC), sehingga kemudian sebagian modal di negara 1 akan berpindah ke negara 2 (sebanyak AB). Hal ini terjadi apabila diasumsikan kedua negara tersebut
mengadakan
hubungan
ekonomi
(perdagangan
atau
investasi
internasional) sehingga berlangsunglah pergerakan modal internasional diantara keduanya. Perpindahan modal ini lambat laun akan menyamakan tingkat hasil modal di kedua negara tersebut sebesar BE (ON=O’T). Total produksi domestik di negara 1 berubah menjadi OFEB. Hasil investasi di luar negeri itu juga harus ditambahkan yakni sebesar ABER karena sebagian modalnya berada di negara lain, sehingga pendapatan nasional negara 1 adalah OFERA. Tingkat
produksi
itu
lebih
tinggi
daripada
yang ada
sebelum
berlangsungnya investasi antar negara tersebut. Berpindahnya sebagian modalnya ke negara lain yang tingkat hasilnya lebih tinggi menyebabkan total pendapatan nasional negara 1 meningkat sebanyak ERG. Adanya arus modal internasional secara bebas tersebut menyebabkan total tingkat hasil modal di negara 1 meningkat menjadi ONRA, sedangkan tingkat hasil bagi faktor-faktor produksi lainnya menurun menjadi NFE. Arus masuk modal dari negara 1 sebanyak AB ke negara 2 akan menurunkan tingkat hasil modal di negara itu dari O’H menjadi O’T. Modal yang dimiliki oleh negara 2 kini lebih banyak, sehingga total produksi domestiknya akan bertambah dari O’JMA menjadi O’JEB. Sebagian dari kenaikan produksi tersebut yakni sebanyak ABER akan diterima oleh para investor asing, sehingga keuntungan neto berupa kenaikan total produksi yang diterima oleh negara 2
18
sebesar ERM. Tingkat hasil bagi para pemilik modal domestik di negara 2 akan turun dari O’HMA menjadi O’TRA. Tingkat hasil bagi faktor-faktor produksi sementara itu secara keseluruhan meningkat dari HJM menjadi TJM. Total produksi meningkat dari OFGA + O’JMA menjadi OFEB + O’JEB berdasarkan sudut pandang dari kedua negara, atau bertambah sebesar daerah EGM. Arus modal internasional tersebut meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya secara internasional dan memperbesar output dunia sekaligus meningkatkan kesejahteraan bagi kedua negara yang terkait. Semakin landai kurva VMPK1 dan VMPK2 akan semakin besar keuntungan yang diperoleh kedua negara itu dari berlangsungnya arus modal internasional.
2.1.4. Hambatan pada Investasi Swasta. Faktor-faktor yang dapat menghambat aliran investasi asing ke negara berkembang tidak hanya faktor ekonomi tetapi juga faktor politik, hukum dan budaya. Faktor-faktor tersebut adalah: (1) kecilnya pasar domestik yang menyebabkan Rate of Return pasar modal rendah; (2) kekurangan fasilitas dasar, seperti transportasi, tenaga dan keperluan lainnya, sistem perbankan dan kredit, dan buruh terampil; (3) pembatasan pada pembayaran laba dan repatriasi modal, atau kekhawatiran akan penolakan; (4) ancaman pengambilalihan, nasionalisasi, pemilikan oleh negara, dan reservasi jenis industri tertentu bagi perusahaan domestik; (5) pengaturan perusahaan asing secara ketat untuk tujuan nasional dengan menetapkan pagu penghasilan, dengan diskriminasi pajak laba dan enggan mewajibkan perusahaan asing untuk melatih dan memperkerjakan sejumlah
19
tertentu buruh lokal tidak hanya pada posisi biasa tetapi pada posisi eselon-tinggi; (6) pengendalian devisa yang ketat dan khususnya kelambatan administratif yang berkaitan dengan pengendalian nilai tukar; (7) kekhawatiran diskriminasi pada pengadilan lokal karena perbedaan konsepsi hukum; dan (8) ketidakstabilan politik.
2.2.
Pengertian Industri Besi Baja.
2.2.1. Pengertian Industri. Pengertian industri adalah kumpulan perusahaan sejenis. Pengertian lain mengatakan perusahaan adalah unit produksi yang bergerak dalam bidang tertentu dan ruang lingkup kecil. Bidang ini antara lain bidang pertanian, bidang pengolahan dan jasa (Djojodipuro dalam Kuncoro, 2000). Perusahaan industri adalah suatu kegiatan usaha untuk merubah bahan dasar menjadi barang setengah jadi maupun barang jadi untuk selanjutnya memiliki nilai ekonomis yang dapat diperdagangkan (BPS, 2004). Dumairy (1995) mengatakan ada dua pengertian industri. Pertama, industri adalah himpunan perusahaan sejenis. Kedua, industri diartikan sebagai suatu sektor ekonomi yang di dalamnya terdapat kegiatan produktif yang mengolah bahan mentah menjadi barang jadi atau barang setengah jadi. Pengertian mengenai industri dapat dibedakan dalam lingkup mikro dan makro. Pengertian industri secara mikro adalah kumpulan perusahaan-perusahaan yang menghasilkan barang-barang yang homogen atau barang-barang yang memiliki sifat saling menciptakan nilai tambah, yakni semua produk barang maupun jasa. Pengertian
20
industri secara luas adalah suatu unit usaha yang melakukan kegiatan ekonomi yang bertujuan untuk menghasilkan barang dan jasa yang terletak dalam lokasi tertentu serta memiliki catatan administratif tersendiri mengenai produksi dan struktur biaya serta ada seseorang atau lebih yang bertanggung jawab atas resiko usaha tersebut (Hasibuan, 1993). Industri logam dasar besi dan baja merupakan salah satu dari berbagai macam industri manufaktur yang ada. Industri manufaktur menurut BPS (1990), adalah suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan mengubah suatu barang dasar menjadi barang jadi atau setengah jadi dan barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya dan sifatnya lebih dekat kepada pemakai akhir secara mekanis, kimia, atau dengan tangan. Perusahaan industri manufaktur dibagi dalam empat golongan berdasarkan jumlah tenaga kerja yaitu sebagai berikut (BPS, 1990): 1. Industri besar dengan tenaga kerja 100 orang atau lebih. 2. Industri sedang dengan tenaga kerja antara 20 orang sampai 99 orang. 3. Industri kecil dengan tenaga kerja antara 5 orang sampai 19 orang. 4. Industri kerajinan rumah tangga dengan tenaga kerja kurang dari 5 orang. Badan Pusat Statistik mengembangkan sistematik klasifikasi kelompok industri yang dikenal Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia atau dikenal sebagai KLUI. Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia menggunakan sistem lima digit. Digit pertama menunjukkan sektor, kedua subsektor, ketiga golongan pokok, keempat golongan dan kelima subgolongan. Sektor yang dicakup sebanyak enam sektor, antara lain:
21
1. Sektor pertanian dalam arti luas. 2. Sektor pertambangan dalam arti luas. 3. Sektor industri pengolahan. 4. Sektor gas, listrik dan air minum. 5. Sektor jasa. 6. Sektor yang belum jelas kegiatan dan batasannya. Konsep lain menyebutkan keuntungan KLUI adalah tidak memungkinkan interprestasi yang berbeda dan uraian tidak memakan banyak tempat (Djojodipuro dalam Kuncoro, 2000). Industri pengolahan dibagi kedalam dua kelompok besar (BPS, 1990). Pembagian industri tersebut antara lain: 1. Industri migas, yang terdiri atas: a. Industri pengilangan minyak. b. Industri gas alam cair. 2. Industri bukan migas, yang terdiri atas: a. Industri makanan, minuman, dan tembakau. b. Industri tekstil, barang kulit dan alas kaki. c. Industri barang kayu dan hasil hutan lain. d. Industri barang kertas dan barang cetakan. e. Industri pupuk, kimia dan barang dari karpet. f. Industri semen dan barang galian bukan logam. g. Industri logam dasar besi dan baja. h. Industri alat angkutan, mesin dan peralatan. i. Industri barang lainnya.
22
2.2.2. Pengertian Industri Besi Baja. Industri besi baja adalah sebuah kegiatan ekonomi yang melakukan aktivitas pengubahan/pengolahan logam dasar secara mekanis maupun kimiawi dengan barang setengah jadi ataupun barang jadi. Di Indonesia yang kaya dengan berbagai macam sumberdaya alam terdapat potensi untuk dikembangkan industri baja dalam skala besar (BPS, 2003). Industri baja tersebut dapat didirikan dengan mempertimbangkan ketersediaan bahan baku dan kemampuan pemerintah daerah untuk melakukan pengawasan secara langsung kepada industri tersebut serta akses pengiriman barang hingga ke tangan konsumen. Potensi untuk dikembangkan industri baja di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.1. Tabel 2.1. Persebaran Potensi Bahan Baku Industri Baja di Indonesia Tahun 2005. Sumberdaya Kandungan No Daerah Potensi Sifat Potensi (ton) (% Fe) 1
Aceh
884.000
Indikatif
54-59
2
SumateraBarat-
30.545.883
Indikatif
53-59
3
Tapanuli Riau-Babel
1.098.785
Indikatif
38-63
4
Lampung
16.652.237
Indikatif
65-69
5
Kalimantan Barat
254.930.000
Indikatif
35-65
6
Kalimantan Selatan
11.995.100
Indikatif
31-70
7
Kalimantan Tengah
1.080.000
Indikatif
Belum
8
Kalimantan Timur
18.033.000
Indikatif
Dianalisis 47-63
9
Flores
726.000
Indikatif
58-67
10
Papua
757.000.000
Indikatif
Asosiasi
11
Sulawesi Utara
17.500.000
Hipotetik
Emas Belum
12
Bengkulu-Jambi-
1.557.312
Indikatif
Dianalisis 18-67
Sumber: Direktorat Sumber Daya Mineral, 2005. SumateraInventarisasi Selatan
/
23
2.3.
Tinjauan Teoritis.
2.3.1. Konsep Gross Domestic Product. Gross Domestic Product (GDP) atau disebut juga dengan Produk Domestik Bruto (PDB) adalah pendapatan nasional yang diukur menurut pendekatan output; sama dengan jumlah semua nilai tambah pada perekonomian, atau sama dengan nilai semua barang jadi yang dihasilkan pada perekonomian. Perhitungan dari sisi pengeluaran adalah jumlah pengeluaran konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah dan ekspor-impor (Lipsey, 1995). Gross Domestic Product dikategorikan menjadi dua, yaitu nominal dan riil. Dikatakan GDP nominal apabila GDP total yang dinilai pada harga-harga sekarang. Gross Domestic Product yang dinilai pada harga-harga periode dasarnya disebut GDP riil yang sering disebut sebagai pendapatan nasional riil. Ukuran kemakmuran ekonomi yang lebih baik akan menghitung output barang dan jasa perekonomian dan tidak akan dipengaruhi oleh perubahan harga. Konsep GDP riil yaitu nilai barang dan jasa diukur dengan menggunakan harga konstan. Gross Domestic Product riil menunjukkan apa yang akan terjadi terhadap pengeluaran atas output jika jumlah berubah tetapi harga tidak.
2.3.2. Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Pengertian PMDN yang terkandung dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 tentang Penanaman Modal adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri.
24
Penanam modal dalam negeri adalah perseorangan warga negara Indonesia, badan usaha Indonesia, negara Republik Indonesia, atau daerah yang melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia, sedangkan modal dalam negeri adalah modal yang dimiliki oleh negara Republik Indonesia, perseorangan warga negara Indonesia, atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum. Penanaman modal dalam negeri dapat dilakukan dalam bentuk badan usaha yang berbentuk badan hukum, tidak berbadan hukum atau usaha perseorangan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tujuan penyelenggaraan penanaman modal antara lain untuk (Undang-Undang No. 25 Tahun 1997): 1. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional. 2. Menciptakan lapangan kerja. 3. Meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan. 4. Meningkatkan kemampuan daya saing usaha nasional. 5. Meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional. 6. Mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan. 7. Mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang berasal baik dari dalam negeri maupun luar negeri. 8. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 juga menjelaskan bahwa pemerintah menetapkan bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri, dengan berdasarkan kriteria kesehatan, moral, kebudayaan, lingkungan hidup, pertahanan dan keamanan nasional, serta kepentingan nasional
25
lainnya. Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan berdasarkan kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam, perlindungan, pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk pemerintah. Bentuk fasilitas-fasilitas yang diberikan oleh pemerintah kepada penanaman modal dapat berupa (Undang-Undang No. 25 Tahun 1997): 1. Pajak penghasilan melalui pengurangan penghasilan neto sampai tingkat tertentu terhadap penanaman modal yang dilakukan dalam waktu tertentu. 2. Pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin, atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri. 3. Pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu. 4. Pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai atas impor barang modal atau mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri selama jangka waktu tertentu. 5. Penyusutan atau amortisasi yang dipercepat. 6. Keringanan Pajak Bumi dan Bangunan khususnya untuk bidang usaha tertentu pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu.
26
2.3.3. Suku Bunga Pinjaman Investasi. Analisis biaya investasi adalah lebih rumit daripada biaya komoditi lain karena barang-barang modal adalah berumur panjang. Harga dari modal harus dihitung apabila membeli barang-barang yang berumur panjang, yang dalam hal ini dinyatakan dalam tingkat bunga pinjaman atau kredit (Putra, 2010). Pengaruh dari suku bunga pinjaman terhadap investasi juga dijelaskan oleh pemikiran ahli-ahli ekonomi klasik yang menyatakan bahwa investasi adalah fungsi dari tingkat bunga. Semakin tinggi tingkat bunga maka keinginan untuk melakukan investasi juga makin kecil pada konsep investasi. Hal ini memiliki alasan bahwa seorang investor akan menambah pengeluaran investasinya apabila keuntungan yang diharapkan dari investasi lebih besar dari tingkat bunga yang harus dia bayarkan untuk dana investasi tersebut yang merupakan ongkos dari penggunaan dana (cost of capital). Semakin rendah tingkat bunga, maka investor akan lebih terdorong untuk melakukan investasi sebab biaya penggunaan dana juga semakin kecil (Nopirin, 1992). Suku Bunga i1 i2 i3 Sumber: Deliarnov, 1995.
Investasi I1
I2
I3
Gambar 2.2. Teori Klasik Tentang Tingkat Bunga. Gambar 2.2 menunjukkan bahwa investor hanya melakukan investasi sebesar I1 pada tingkat bunga sebesar i1. Kondisi ketika tingkat bunga turun menjadi i2, investor cenderung menambah pengeluaran investasinya menjadi sebesar I2. Investor akan semakin menambah pengeluaran investasinya, yaitu
27
menjadi sebesar I3 apabila tingkat bunga semakin mengalami penurunan, yaitu menjadi sebesar i3. Hal ini dikarenakan semakin rendah tingkat bunga, maka biaya penggunaan dana yang digunakan oleh para investor untuk melakukan investasi juga semakin rendah. Para investor akan lebih tertarik untuk melakukan investasi pada kondisi tingkat bunga yang rendah. 2.3.4. Konsep Nilai Tukar. 2.3.4.1. Definisi Nilai Tukar. Nilai tukar merupakan salah satu variabel terpenting perekonomian terbuka disamping variabel ekonomi lainnya seperti suku bunga, harga, neraca transaksi berjalan (selisih nilai ekspor dengan impor), neraca pembayaran (balance of payment), serta variabel lainnya. Nilai tukar (exchange rate) atau kurs adalah harga suatu negara terhadap mata uang negara lainnya. Nilai tukar nominal adalah harga relatif dari mata uang dua negara (Mankiw, 2003). Nilai tukar (NT) didefinisikan sebagai nilai valuta asing terhadap Rupiah (Simorangkir dan Suseno, 2004). NT dapat diformulasikan sebagai berikut: NTUSD/IDR = Dollar Amerika yang diperlukan untuk membeli satu Rupiah, Nilai Tukar dalam hal ini apabila meningkat maka berarti Rupiah mengalami apresiasi, sedangkan jika NT menurun maka Rupiah akan mengalami depresiasi. Nilai tukar riil adalah nilai tukar nominal yang sudah dikoreksi dengan harga relatif yaitu harga-harga di dalam negeri dibandingkan dengan harga-harga di luar negeri. Nilai tukar riil dapat dihitung dengan menggunakan rumus dibawah ini:
28
ER = EN
P P*
dimana ER adalah nilai tukar riil, EN adalah nilai tukar nominal, P adalah tingkat harga domestik dan P* adalah tingkat harga di luar negeri. Pengukuran nilai tukar riil suatu negara terhadap mitra dagangnya juga memperhitungkan laju inflasi dan nilai tukar dari masing-masing negara tersebut.
2.3.4.2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Nilai Tukar. Perubahan nilai tukar dalam jangka panjang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: harga relatif, tarif dan kuota, preferensi terhadap barang domestik dibandingkan dengan barang luar negeri dan produktivitas (Moosa, 2003). Terdapat tiga faktor utama menurut Simorangkir dan Suseno (2004), yang memengaruhi permintaan valuta asing. Pertama, faktor pembayaran impor. Semakin tinggi impor barang dan jasa, maka semakin besar permintaan terhadap valuta asing sehingga nilai tukar cenderung melemah. Permintaan valuta asing sebaliknya akan menurun juga jika impor menurun sehingga mendorong menguatnya nilai tukar dengan asumsi faktor-faktor lain tidak berubah (ceteris paribus). Asumsi ini berlaku juga untuk aliran modal keluar/masuk dan ekspor. Kedua, faktor aliran modal keluar (capital outflow). Semakin besar aliran modal keluar, maka semakin besar permintaan valuta asing dan akhirnya akan memperlemah nilai tukar. Aliran modal keluar meliputi pembayaran hutang penduduk Indonesia (baik swasta dan pemerintah) dan penempatan dana penduduk Indonesia ke luar negeri. Ketiga, kegiatan spekulasi. Semakin banyak kegiatan spekulasi valuta asing yang dilakukan, maka semakin besar permintaan
29
terhadap valuta sehingga memperlemah nilai tukar mata uang lokal terhadap mata uang asing. Penawaran valuta asing dipengaruhi oleh dua faktor utama. Pertama, faktor penerimaan hasil ekspor. Semakin besar volume penerimaan ekspor barang dan jasa, maka semakin besar jumlah valuta asing yang dimiliki oleh suatu negara sehingga akan membuat nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing cenderung mengalami apresiasi. Kedua, faktor aliran modal masuk (capital inflow). Semakin besar aliran modal masuk, maka nilai tukar akan cenderung semakin menguat. Aliran modal masuk tersebut dapat berupa penerimaan hutang luar negeri, penempatan dana jangka pendek oleh pihak asing (portofolio investment) dan investasi langsung pihak asing (Foreign Direct Investment). 2.3.4.3. Sistem Nilai Tukar di Indonesia. Indonesia telah mengimplementasikan sistem nilai tukar yang berbedabeda dalam periode tiga dekade terakhir. Rezim nilai tukar yang dianut Indonesia sekitar tahun 1960 adalah multiple exchange rate system. Indonesia menganut fixed exchange rate system sejak Agustus 1971 sampai dengan November 1978. Indonesia selanjutnya menganut managed floating system setelah November 1978 sampai September 1992. Indonesia lalu menganut Managed Floating dengan crawling band system dari September 1992 sampai dengan 13 Agustus 1997. BI terakhir mengubah arah kebijakan menjadi free floating/flexible system sejak tanggal 14 Agustus 1997 hingga saat ini. Hal tersebut berkaitan dengan terjadinya currency turmoil dan keterbatasan cadangan devisa yang dimiliki BI.
30
2.3.5. Konsep Suku Bunga Internasional. London Interbank Offered Rate (LIBOR) adalah tingkat suku bunga pinjaman yang diberlakukan antar bank satu sama lain untuk tingkat periode pinjaman dengan jatuh tempo satu bulan, tiga bulan, enam bulan dan satu tahun. Tingkat suku bunga LIBOR yang diberlakukan oleh bank-bank di London biasanya dipublikasikan dan digunakan sebagai landasan untuk tingkat suku bunga bank di seluruh dunia sebagai tingkat suku bunga internasional. London Interbank Offered Rate dikompilasikan oleh British Bankers Association (BBA) dan dipublikasikan setiap pukul sebelas pagi setiap harinya dengan kolaborasi bersama Reuters. Tampilan yang dipublikasikan terdiri dari panel bank-bank yang mewakili negara-negara dalam mata uang masing-masing. LIBOR biasanya digunakan sebagai panduan bank-bank dalam mengatur tingkat suku bunga pinjaman yang adjustable. Konsep keterkaitan LIBOR dengan suku bunga pinjaman investasi di Indonesia adalah apabila suku bunga pinjaman investasi di Indonesia lebih besar atau lebih tinggi dari pada suku bunga internasional ini, maka hal tersebut akan menarik masuknya modal asing. Investor akan berusaha mencari cara yang tepat untuk mendapatkan return yang tinggi bagi dana yang ditanamkannya. Dana-dana yang masuk ke Indonesia tersebut akan dikonversikan ke dalam nilai Rupiah dalam sistem perbankan Indonesia. Hal ini akan menyebabkan meningkatnya arus valuta asing yang dimiliki sistem perbankan Indonesia. Hal ini dengan kata lain akan cenderung menimbulkan apresiasi mata uang domestik (Rupiah) sehingga mata uang asing akan terdepresiasi. Kurs dollar terhadap Rupiah akan menurun,
31
sebaliknya jika suku bunga pinjaman investasi di Indonesia menurun relatif terhadap suku bunga Internasional LIBOR maka kurs valuta asing atau kurs US Dollar terhadap Rupiah akan meningkat.
2.3.6. Konsep Ekspor Neto. Ekspor neto (net export) dapat didefinisikan sebagai jumlah ekspor dikurangi jumlah impor (NX = EX – IM). Konsep ekspor neto riil dalam penelitian ini adalah selisih antara jumlah ekspor dengan jumlah impor dari logam dasar besi baja dengan satuan berat ton.
2.3.7. Fungsi Produksi dan Keterkaitan Output dengan Variabel Investasi, Nilai Tukar, Suku Bunga, Ekspor Neto. Hubungan antara input dan output yang disusun dalam fungsi produksi (Production Function) yang berbentuk: Q = f (K,LM,…) dimana q mewakili output barang-barang tertentu selama satu periode, K mewakili mesin (modal) yang digunakan selama periode tertentu, L mewakili input jam tenaga kerja, dan M mewakili bahan mentah yang digunakan (Nicholson, 2002). Bentuk dari notasi ini menunjukkan adanya kemungkinan variabel-variabel lain yang memengaruhi proses produksi. Penelitian ini menggambarkan bahwa investasi baik dalam bentuk FDI atau PMDN akan menjadi variabel yang memengaruhi tingkat modal (teknologi) dan tenaga kerja yang digunakan untuk memproduksi output besi baja, dan jumlah realisasi investasi FDI dan PMDN secara berturut-turut dipengaruhi oleh suku bunga
32
internasional LIBOR dan suku bunga pinjaman investasi domestik. Keterkaitan investasi dengan suku bunga beserta output dapat ditunjukkan pada Gambar 2.3. Kurva Investasi r r r0 r0 r1 r1
I0
I1
I
Y1
Y2
Y
Sumber: Mankiw, 2003. Gambar 2.3. Keterkaitan Investasi, Suku Bunga, dan Output.
Investasi memiliki keterkaitan dengan suku bunga. Suku bunga yang tinggi akan menurunkan minat investor untuk menanamkan modalnya karena akan menjadi cost of capital yang tinggi bagi investor tersebut. Investasi pada suatu industri akan meningkat akibat suku bunga yang turun dari ro ke r1. Investasi yang meningkat ini akan meningkatkan output yang dihasilkan oleh industri tersebut dari Y1 ke Y2. Peningkatan jumlah output yang dihasilkan dalam sebuah industri dapat disebabkan oleh faktor nilai tukar. Kondisi dimana kurs turun dari e2 ke e1 akan meningkatkan ekspor bersih dari NX(e2) ke NX(e1). Hal ini akan meningkatkan output dari Y1 ke Y2, dan menjadi suatu indikasi bahwa semakin rendah nilai tukar akan membuat semakin tinggi tingkat output yang dihasilkan oleh industri. Keterkaitan antara nilai tukar, jumlah output dan ekspor bersih dapat dilihat pada Gambar 2.4.
33
Kurva Ekspor Bersih e
e
e2
Kurva IS*
e2
e1
e1
NX2
NX1
NX
Y1
Y2
Y
Sumber: Mankiw, 2003.
Gambar 2.4. Keterkaitan Output, Ekspor Neto, dan Nilai Tukar.
2.3.8. Konsep Inflasi. 2.3.8.1.Definisi Inflasi Inflasi dalam penelitian ini digunakan untuk mendapatkan nilai riil dari variabel penelitian seperti LIBOR dan suku bunga pinjaman investasi. Definisi inflasi adalah kenaikan rata-rata semua tingkat harga. Kadang-kadang kenaikannya terus-menerus dan berkepanjangan (Lipsey et al, 1995). Konsep inflasi menurut Friedman dalam Mishkin (2001) adalah suatu fenomena moneter yang selalu terjadi dimanapun. Inflasi dapat terjadi melalui dua sisi yaitu dari sisi penawaran (cost-push inflation) dan sisi permintaan (demand-pull inflation). Inflasi dari sisi penawaran terjadi apabila terdapat penurunan penawaran terhadap barang-barang dan jasa karena adanya kenaikan dalam biaya produksi yang diakibatkan oleh keinginan meningkatnya tingkat upah riil pekerja karena adanya ekspektasi inflasi dimasa depan akan meningkat. Peningkatan upah ini akan membuat produsen untuk menurunkan tingkat produksinya dibawah tingkat produksi optimal sehingga akan
34
meningkatkan harga dan akan meningkatkan tingkat pengangguran. Kegiatan ekonomi diarahkan untuk meningkatkan output sampai tingkat optimal (full employment) jika pemerintah memiliki target untuk menurunkan tingkat pengangguran
dan
meningkatkan
pertumbuhan
ekonomi
sehingga
akan
meningkatkan tingkat permintaan secara agregat dan akan meningkatkan harga. Kondisi ini disebut sebagai cost-push inflation apabila proses tersebut terus menerus berlangsung dan akan mengakibatkan kenaikan dalam tingkat harga tanpa mengubah output dalam jangka panjang. Inflasi dari sisi permintaan (demand-pull inflation) terjadi apabila secara agregat terjadi peningkatan terhadap barang-barang dan jasa dalam memenuhi permintaan yang mendorong produsen untuk menambah dana produksi dan menyebabkan pergeseran kurva permintaan. Kondisi ini secara langsung dapat mengakibatkan inflasi karena menyebabkan naiknya harga output. Peristiwa ini dinamakan demand-pull inflation (Mishkin, 2001). 2.3.8.2.Pengukuran Laju Inflasi. Pengukuran laju inflasi dapat dilakukan dengan indikator Consumer Price Index (CPI). Consumer Price Index adalah suatu ukuran harga rata-rata berbagai komoditi yang biasanya dibeli rumah tangga (Lipsey et al, 1995). Consumer Price Index disebut juga Indeks Harga Konsumen (IHK) paling banyak digunakan untuk menghitung laju inflasi termasuk Indonesia. Indeks Harga Konsumen dapat digunakan untuk menghitung laju inflasi bulanan, triwulan, semesteran dan tahunan (BPS, 2003). Perhitungan dengan menggunakan rumus sebagai berikut: LIt =
IHK t − IHK t −1 IHK t −1
X 100%
(2.3)
35
dimana: LIt
: Laju inflasi pada tahun atau periode t,
IHK
: Indeks Harga Konsumen pada tahun atau periode t,
IHKt
: Indeks Harga Konsumen pada tahun atau periode t-1,
2.3.9. Teori John Dunning. John Dunning mengemukakan teori ekletika yang mengidentifikasikan tiga faktor yang menjadi penarik mengalirnya modal asing dari suatu negara ke negara lain (Salvatore, 1997). Ketiga faktor tersebut adalah: 1. Investor harus memiliki keuntungan kepemilikan atas saingan-saingannya di negara penerima investasi. Keuntungan kepemilikan tersebut bisa dalam bentuk hak monopoli atas suatu produk, teknologi, pengetahuan pasar, dan teknik pemasaran yang lebih baik. 2. Negara penerima investasi harus memiliki keuntungan lokasi yang menarik bagi investor. Hal ini bisa dalam bentuk pasar domestik yang besar dan potensial pertumbuhannya, tenaga kerja murah, sumber daya alam yang melimpah, biaya transportasi yang murah, dan berbagai insentif yang diberikan oleh pemerintah negara penerima investasi. 3. Harus ada keuntungan internalisasi yang akan mendorong investor untuk memilih menanamkan modalnya secara langsung daripada menanamkan modal dalam bentuk perjanjian-perjanjian lisensi lainnya.
36
2.3.10. Konsep Pertumbuhan Ekonomi. Salah satu indikator yang digunakan untuk menganalisis pembangunan ekonomi di suatu negara adalah pertumbuhan ekonomi (Rahmayani, 2005). Pertumbuhan ekonomi juga didefinisikan sebagai suatu proses kenaikan output per kapita jangka panjang yang terjadi apabila ada kecenderungan output perkapita naik yang bersumber dari kekuatan yang berada dalam perekonomian itu sendiri (Boediono, 1989). Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses dimana Produk Domestik Bruto (PDB) riil meningkat secara terus menerus melalui kenaikan produktivitas per kapita. Peningkatan ini dilihat dalam bentuk kenaikan produksi riil perkapita dan taraf hidup yang ditempuh melalui penyediaan dan pengerahan berbagai sumber produksi (Salvatore, 1997). Pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk menyediakan berbagai barang ekonomi kepada
penduduknya.
Kenaikan
kapasitas
itu
sendiri
ditentukan
atau
dimungkinkan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian-penyesuaian teknologi, institusional dan ideologis terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada (Todaro dan Stephen, 2002). Model pertumbuhan Harrod-Domar mengungkapkan bahwa terdapat hubungan langsung antara tingkat tabungan neto suatu negara (s) dengan tingkat pertumbuhan outputnya (g) melalui persamaan g = s / k, adapun k adalah rasio modal-output (Lumbanraja, 2006).
37
Istilah
perkembangan
dan
pertumbuhan
ekonomi
sering
kali
disamaartikan. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi menurut beberapa ahli mempunyai makna yang berbeda. Pertumbuhan ekonomi dipakai untuk negara yang sudah maju sedangkan perkembangan ekonomi dipakai untuk masalah negara berkembang dan negara terbelakang. Pengertian lain adalah pertumbuhan ekonomi sebagai pertambahan output (pendapatan nasional) yang disebabkan oleh pertambahan alami dari tingkat pertambahan penduduk dan tingkat tabungan, sedangkan perkembangan ekonomi adalah perubahan spontan dan terputus-putus dalam keadaan stasioner yang senantiasa mengubah dan mengganti situasi keseimbangan sebelumnnya. Pertumbuhan ekonomi/perkembangan ekonomi pada negara berkembang pada umumnya menggunakan Gross Domestik Product (GDP) berbeda dengan negara maju yang menggunakan Gross National Product (GNP). Tujuan penggunaan perhitungan GDP adalah agar dapat menghitung pendapatan perkapitanya dengan mengetahui data mengenai jumlah penduduk pada tahun yang sama dengan pendapatan nasional. Pertumbuhan ekonomi yang dalam pembahasan ini diproksi dari besaran GDP riilnya adalah salah satu faktor yang memengaruhi penanaman modal asing dan nilai tukar. Besarnya GDP riil secara sistematik menggambarkan kondisi finansial suatu dan pangsa pasar suatu negara. Tingkat GDP riil yang besar menunjukkan ukuran pasar, sehingga akan meningkatkan minat investor untuk menanamkan modalnya. Hubungan GDP riil dengan perubahan nilai tukar adalah
38
peningkatan dalam GDP akan meningkatkan permintaan mata uang domestik oleh masyarakat sehingga nilai mata uang domestik akan terapresiasi.
2.4.
Studi Penelitian Terdahulu. Perbedaan penelitian ini dengan jenis penelitian-penelitian di atas terlihat
dalam aspek tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini sendiri. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh dari Foreign Direct Investment sektor industri besi baja terhadap output PDB industri besi baja di Indonesia, dengan metode yang digunakan adalah metode Granger Causality, VAR, dan VECM. 2.4.1. Penelitian mengenai Industri Besi dan Baja Indonesia. Penelitian yang mengamati mengenai industri baja diantaranya adalah penelitian Safitri (2006) yang bertujuan untuk menganalisa struktur pasar dan kinerja industri besi baja di Indonesia, hubungan struktur pasar dengan kinerja yang ada dan perilaku pasar yang terjadi. Metode analisis yang digunakan yaitu Ordinary Least Square (OLS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur pasar pada industri besi baja adalah oligopoli ketat dan ada persaingan dalam merebut pangsa pasar antara perusahaan, walaupun dalam kenyataan memang ada perusahaan mendominasi pasar. Industri besi baja dilihat dari segi kinerja menerima margin keuntungan atas biaya langsung (PCM) rata-rata sebesar 36,68 persen sedangkan efisiensi-X yang tercapai (XEF) rata-rata adalah 71,70 persen. Diduga ada beberapa perilaku dari perusahaan dominan yang dapat menjelaskan pengaruh positif dari struktur pasar terhadap kinerja pada industri besi baja di
39
Indonesia berdasarkan analisis perilaku perusahaan pada industri ini, yang antara lain adalah strategi harga, produk, promosi dan distribusi. Penelitian lain seperti pada penelitian Bahri (2008) dalam analisis dampak pengurangan proteksi bea masuk impor baja terhadap kinerja industri baja Indonesia. Dampak pengurangan regulasi bea masuk impor yang ditujukan pemerintah untuk menekan laju ekspor baja ini dianalisis melalui metode Structure, Conduct and Performance (SCP) yang menunjukkan bahwa pengurangan bea masuk tidak mampu menumbuhkan pemerataan perusahaan di industri baja Indonesia tetapi lebih untuk mengamankan pasokan baja dalam negeri. Penelitian Darmayanti (2007) menganalisis struktur pasar dan juga kinerja industri logam dasar besi dan baja di Indonesia dan klaster industri logam dasar besi dan baja di Indonesia, serta mengidentifikasi kabupaten-kabupaten yang merupakan klaster (pengelompokan) industri besi baja di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa struktur industri besi dan baja di Indonesia adalah oligopoli ketat dengan CR4 sebesar 71,15 persen. Adanya krisis ekonomi telah melemahkan struktur industri karena sejak krisis ekonomi nilai rasio konsetrasinya terus mengalami penurunan sehingga keuntungan yang diperoleh semakin menurun. Sejumlah kondisi yang ada menyebabkan kinerja industri besi baja nasional terganggu sehingga menurunkan kontribusi industri besi baja terhadap industri manufaktur dalam penyerapan tenaga kerja, nilai tambah, dan jumlah unit usahanya. Dapat disimpulkan dari analisis sebaran geografis bahwa
40
sampai tahun 2004 diindikasikan terdapat satu klaster terbesar industri besi baja di Indonesia yaitu terletak di Kabupaten Cilegon, Propinsi Banten. Penelitian Harjakusumah (2010) mengidentifikasi perkembangan dan posisi industri besi baja Indonesia dalam implementasi ACFTA, menganalisa kesiapan industri besi dan baja Indonesia dalam implementasi ACFTA dengan melihat posisi daya saing di pasar dunia dan dalam hubungan perdagangan bilateral perdagangan besi dan baja Indonesia-Cina, dan menganalisa dampak perubahan net ekspor industri besi dan baja terhadap sektor-sektor perekonomian dan distribusi pendapatan nasional sebagai skenario kemungkinan positif dan negatif yang ditimbulkan oleh ACFTA. Penelitian ini menggunakan metode Revealed Comparative Advantage (RCA), metode Revealed Comparative Advantage Bilateral (RCAB). Penelitian ini selain itu menggunakan alat analisis Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE). Hasil penelitian dengan metode RCA menunjukkan bahwa industri besi dan baja Indonesia selama periode 1996-2008 memiliki daya saing yang lebih lama atau tidak memiliki keunggulan komparatif di pasar internasional dibandingkan dengan Cina. Indonesia tidak memiliki kemampuan untuk melakukan penetrasi produk besi dan baja mereka ke dalam pasar domestik Indonesia berdasarkan analisis daya saing bilateral dengan menggunakan RCAB. Hasil analisis dengan menggunakan SNSE menunjukkan faktor produksi perubahan pendapatan terbesar diterima oleh faktor produksi bukan tenaga kerja dan institusi perusahaan. Hal ini mengindikasikan bahwa industri besi dan baja Indonesia merupakan industri yang bersifat padat modal
41
(faktor produksi bukan tenaga kerja) yang sebagian besar dimiliki oleh institusi perusahaan. 2.4.2. Penelitian mengenai Foreign Direct Investment (FDI) di Indonesia. Setyadi (2006) menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi aliran modal asing di Indonesia, menganalisa pengaruh modal asing terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia, juga menganalisa bagaimana pengaruh variabel lain yang dianalisis terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Metode yang digunakan adalah metode TSLS (Two Stage Least Square). Hasil penelitian menunjukkan bahwa aliran modal asing di Indonesia dipengaruhi oleh variabel makroekonomi dan situasi politik dan keamanan. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh positif yang signifikan, pengeluaran pemerintah berpengaruh positif yang signifikan, inflasi periode sebelumnya berpengaruh negatif yang signifikan dan dummy politik krisis ekonomi berpengaruh negatif yang signifikan. Nilai tukar Rupiah dan perbedaan suku bunga secara statistik tidak signifikan. Andriani (2008) menganalisis pengaruh neraca perdagangan dan capital inflow terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada jangka pendek dan jangka panjang juga menganalisis respon pertumbuhan ekonomi apabila terjadi perubahan neraca perdagangan dan capital inflow. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Vector Auto Regression (VAR) yang dilanjutkan dengan metode Vector Error Correction Model (VECM) karena data yang digunakan dalam penelitian tidak stasioner dan terkointegrasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa neraca perdagangan riil pada jangka pendek tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap GDP riil. Neraca perdagangan riil
42
pada jangka panjang mempunyai pengaruh yang negatif terhadap GDP riil yang signifikan secara statistik. Capital Inflow riil pada jangka pendek dan jangka panjang tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap GDP riil. Hasil tes Impulse Response Function (IRF) menyatakan bahwa estimasi respon GDP riil terhadap perubahan variabel neraca perdagangan riil menunjukkan bahwa pada periode awal hingga periode empat, perubahan neraca perdagangan riil akan berpengaruh positif terhadap GDP riil. Pada periode lima hingga periode 30 menunjukkan perubahan neraca perdagangan riil justru akan berpengaruh negatif terhadap GDP riil. Hasil estimasi respon GDP riil terhadap perubahan variabel capital inflow riil menunjukkan bahwa pada periode awal hingga periode 30, perubahan capital inflow riil berpengaruh negatif terhadap GDP riil. Parasmala (2005) membahas bagaimana hubungan kausalitas dan hubungan hubungan jangka panjang antara FDI dengan variabel makroekonomi seperti nilai tukar, inflasi, impor barang modal, dan PDB riil di Indonesia. Metode yang digunakan adalah metode Vector Auto Regression (VAR). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan dua arah antara FDI dengan nilai tukar dan inflasi, sedangkan PDB riil hanya satu arah jadi hanya FDI yang dipengaruhi oleh PDB riil, tidak demikian sebaliknya. Hal ini berarti bahwa FDI di Indonesia tidak signifikan memberikan kontribusi terhadap PDB riil. Hal ini dikarenakan FDI sebagai aliran modal juga memiliki dampak negatif bagi negara penerima. Nilai tukar dan inflasi dalam jangka panjang berpengaruh terhadap FDI sedangkan PDB berpengaruh positif terhadap FDI. FDI berpengaruh negatif terhadap nilai tukar dan inflasi.
43
Silaen (2005) melihat pengaruh modal asing terhadap tabungan domestik dan pertumbuhan ekonomi. Model yang digunakan adalah model persamaan Gupta dengan metode TSLS (Two Stage Least Square). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pinjaman luar negeri pemerintah mempunyai pengaruh negatif dan pinjaman luar negeri lainnya mempunyai pengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Siahaan (2005) menganalisis pengaruh FDI terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia, menganalisis faktor-faktor apa saja yang memengaruhi peningkatan Foreign Direct Investment dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia, dan juga memberikan saran yang terkait dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan FDI. Metode yang digunakan adalah metode TSLS (Two Stage Least Square). Hasil penelitian menunjukkan bahwa Foreign Direct Investment memiliki pengaruh positif terhadap perekonomian Indonesia. Faktor-faktor lain yang dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi adalah term of trade, kredit domestik, dan utang luar negeri. Faktor-faktor yang diharapkan dapat memengaruhi pertumbuhan FDI adalah nilai tukar riil, pengeluaran pemerintah, dan inflasi periode sebelumnya. Hasil regresi pada persamaan FDI menunjukkan bahwa pengaruh dari nilai tukar riil dan pengeluaran pemerintah adalah positif dan secara statistik signifikan, sedangkan pengaruh dari inflasi periode sebelumnya adalah negatif terhadap FDI. Lumbanraja (2006) menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi aliran Foreign Direct Investment (FDI) di Indonesia, menganalisis pengaruh FDI terhadap nilai tukar Rupiah, juga menganalisis pengaruh variabel lain yang
44
memengaruhi nilai tukar Rupiah. Metode yang digunakan adalah metode TSLS (Two Stage Least Square). Hasil penelitian menunjukkan bahwa aliran FDI di Indonesia dipengaruhi oleh variabel makroekonomi dan situasi politik dan keamanan. Nilai tukar Rupiah berpengaruh positif yang signifikan, inflasi berpengaruh negatif yang signifikan dan dummy politik atau kerusuhan berpengaruh negatif yang signifikan. Gross Domestic Product (GDP) berpengaruh positif tetapi secara statistik tidak signifikan. FDI sebagai fokus penelitian memberikan pengaruh negatif (mengapresiasikan) terhadap nilai tukar Rupiah dengan koefisien sebesar -0,039303, yang artinya adalah peningkatan sebesar satu persen FDI akan menyebabkan nilai tukar Rupiah terapresiasi sebesar 0,039303. Kondisi FDI turun sebesar satu persen maka nilai tukar akan terdepresiasi sebesar 0,039303 persen, asumsi ceteris paribus. Pengaruh FDI terhadap nilai tukar relatif kecil dikarenakan oleh bahan baku produksi yang masih bergantung pada impor.
2.5.
Kerangka Pemikiran. Kerangka Pemikiran dalam pembuatan skripsi ini dimulai dari konsep
industri. Output PDB Industri besi baja salah satunya dipengaruhi oleh tingkat investasi yang terdapat dalam suatu negara, baik itu berasal dari dalam negeri seperti Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) ataupun investasi asing dalam hal ini Foreign Direct Investment (FDI). PMDN dipengaruhi oleh suku bunga pinjaman investasi, sedangkan FDI dipengaruhi oleh suku bunga internasional (LIBOR) serta nilai tukar riil Rupiah terhadap IHK Amerika Serikat. Output PDB industri besi baja selain itu dipengaruhi oleh ekspor neto besi baja Indonesia.
45
Aliran FDI di Indonesia mengalami dinamika dalam proses realisasinya, dan juga aliran FDI memiliki dampak terhadap variabel makroekonomi lain di Indonesia. Rekomendasi kebijakan diambil melalui analisis deskriptif dari model VAR dan VECM dalam aspek analisis pengaruh FDI terhadap industri besi baja dan variabel makroekonomi lainnya melalui mekanisme guncangan (shock) FDI di dalamnya. Kerangka pemikiran secara sistematis dapat dijelaskan dalam Gambar 2.5.
Suku Bunga Internasional (LIBOR)
FDI sektor Industri Besi Baja
PMDN sektor Industri Besi Baja
PDB INDUSTRI BESI BAJA
Nilai Tukar
Ekspor Neto Besi Baja Indonesia
Suku Bunga Pinjaman Investasi
Memengaruhi Secara Langsung terhadap Output PDB Industri Besi Baja. Memengaruhi Secara Tidak Langsung terhadap Output PDB Industri Besi Baja. Gambar 2.5. Kerangka Pemikiran.
46
2.6. Hipotesis Penelitian. 1. Foreign Direct Investment (FDI) memiliki hubungan positif dengan output industri besi baja di Indonesia. 2. Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) memiliki hubungan positif dengan output besi baja di Indonesia. 3. Ekspor neto memiliki hubungan positif dengan output PDB besi baja di Indonesia. 4. Suku bunga pinjaman investasi memiliki hubungan positif dengan output PDB besi baja di Indonesia. 5. Suku bunga internasional (LIBOR) memiliki hubungan negatif dengan output PDB industri besi baja di Indonesia. 6. Nilai tukar memiliki hubungan negatif dengan output PDB besi baja di Indonesia. 7. Foreign Direct Investment sektor industri besi baja memiliki pengaruh terhadap variabel nilai tukar, ekspor neto, PMDN, LIBOR, dan suku bunga pinjaman investasi. 8. Foreign Direct Investment sektor industri besi baja memiliki kontribusi keragaman yang dominan terhadap FDI sektor industri besi baja sendiri. 9. Variabel lain seperti output PDB industri besi baja, nilai tukar, ekspor neto, PMDN sektor industri besi baja, LIBOR, dan suku bunga pinjaman investasi memiliki kontribusi keragaman yang bervariasi terhadap FDI sektor industri besi baja.
III.
METODE PENELITIAN
3.1.Jenis dan Sumber Data. Data utama yang digunakan untuk diolah pada penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari International Financial Statistics (IFS) yang diakses melalui Bank Indonesia (BI), Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI) yang diakses melalui situs Bank Indonesia, data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Literatur tambahan berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS), jurnal internasional, textbook, skripsi, United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral, Departemen Perindustrian, serta GAPBESI. Data yang digunakan untuk diolah pada penelitian ini adalah data nilai tukar USD/Rp, PDB sektor industri besi baja, suku bunga internasional (LIBOR), suku bunga pinjaman investasi, Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sektor industri besi baja, Foreign Direct Investment (FDI) sektor industri besi baja, dan ekspor neto logam dasar besi baja. Semua data yang diolah pada pembahasan penelitian ini adalah data kuartalan dan untuk memudahkan analisis serta mendapatkan hasil analisis yang lebih valid dan konsisten, semua data ditransformasikan dalam bentuk logaritma natural kecuali data untuk suku bunga pinjaman investasi, LIBOR, serta net ekspor logam dasar besi baja. Periode waktu variabel penelitian ini mencakup kuartal pertama tahun 2000 sampai dengan kuartal keempat tahun 2009.
48
3.2. Variabel dan Definisi Operasional. Peubah yang digunakan bersama definisi operasionalnya adalah sebagai berikut: a. PDB adalah data Output Produk Domestik Bruto industri besi baja di Indonesia. b. FDI adalah data Foreign Direct Investment sektor industri besi baja di Indonesia. c. PMDN adalah data Penanaman Modal Dalam Negeri sektor industri besi baja di Indonesia. d. SB adalah data suku bunga pinjaman investasi dari bank umum di Indonesia. e. LIBOR adalah data suku bunga internasional. f. NETEXP adalah ekspor neto logam dasar besi baja di Indonesia. g. NILAITUKAR adalah data nilai tukar riil Rupiah terhadap IHK Amerika Serikat, dimana cara perhitungannya adalah nilai tukar nominal dikali dengan IHK Amerika Serikat dan dibagi IHK Indonesia (Mankiw, 2003). ER = EN ER adalah nilai tukar riil. EN adalah nilai tukar nominal. P* adalah IHK Amerika Serikat. P adalah IHK Indonesia.
49
3.3. Metode Analisis dan Pengolahan Data. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Granger Causality (Kausalitas Granger), Vector Auto Regression (VAR) dan Vector Error Correction Model (VECM) dalam mengolah beberapa data time series. 3.3.1.
Metode Granger Causality (Kausalitas Granger). Studi kausalitas ditujukan untuk mengukur kekuatan hubungan antar
variabel dan menunjukkan arah hubungan sebab akibat yaitu X menyebabkan Y, Y menyebabkan X, atau X menyebabkan Y dan Y juga menyebabkan X. Uji kausalitas Granger dipercaya jauh lebih bermakna dari uji korelasi biasa (Ascarya dalam Ayyuniyyah, 2010). Penggunaan uji kausalitas Granger dapat mengetahui beberapa hal, sebagai berikut: •
Apakah X mendahului Y, apakah Y mendahului X, atau hubungan X dan Y timbal balik.
•
Suatu variabel X dikatakan menyebabkan variabel lain Y, apabila Y saat ini diprediksi lebih baik dengan menggunakan nilai-nilai masa lalu X.
•
Asumsi dalam uji ini adalah bahwa X dan Y dianggap sepasang data runtut waktu yang memiliki kovarians linier yang stasioner.
Persamaan kausalitas Granger ini secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut: Yt
= ∑aiYt-1 + ∑bjXt-j + vti X → Y jika bj > 0
(3.1)
Yt
= ∑ciXt-1 + ∑djXt-j + uti Y → X jika dj < 0
(3.2)
50
3.3.2.
Metode Vector Auto Regression (VAR). Pendekatan VAR dikembangkan oleh Sims dalam Enders (2004), dimana
VAR adalah suatu sistem persamaan yang memperlihatkan setiap peubah sebagai fungsi linier dari konstanta dan nilai lag dari peubah lain yang ada dalam sistem. Pemisahan variabel eksogen dan endogen dalam VAR diabaikan dan menganggap bahwa semua variabel yang digunakan dalam analisis berpotensi menjadi variabel endogen. Univariate Auto Regression merupakan suatu persamaan tunggal (single-variable linear model), dimana nilai sekarang dari masing-masing variabel dijelaskan oleh lag-nya sendiri, maka VAR merupakan sebuah n-persamaan (nequation) dengan n-variabel (n –variabel), dimana masing-masing variabel dijelaskan oleh nilai lag-nya sendiri, serta nilai saat ini dan masa lampaunya (current and past values). Konteks ekonometrika modern dengan demikian termasuk ke dalam multivariate time series analysis (Firdaus, 2010). Vector Auto Regression menyediakan cara yang sistematis untuk menangkap perubahan yang dinamis dalam multiple time series, serta memiliki pendekatan yang kredibel dan mudah untuk dipahami bagi pendeskripsian data, forecasting (peramalan), inferensi struktural, serta analisis kebijakan. Alat analisa yang disediakan oleh VAR bagi deskripsi data, peramalan, inferensi struktural, dan analisis kebijakan melalui empat macam penggunaannya, yakni Forecasting, Impulse Response Function (IRF), Forecast Error Variance Decomposition (FEVD), dan Granger Causality Test. Forecasting merupakan ekstrapolasi nilai saat ini dan masa depan seluruh variabel dengan memanfaatkan seluruh informasi masa lalu variabel. Impulse Response Function (IRF) sementara adalah melacak
51
respon saat ini dan masa depan setiap variabel akibat perubahan atau shock suatu variabel tertentu. Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) merupakan prediksi kontribusi presentase varians setiap variabel terhadap perubahan suatu variabel tertentu. Granger Causality Test sedangkan bertujuan untuk mengetahui hubungan sebab-akibat antar variabel (Firdaus, 2010). Vector Auto Regression juga meliputi serangkaian proses spesifikasi dan identifikasi model. Spesifikasi model VAR sesuai dengan kriteria Sims dalam Enders (2004), meliputi pemilihan variabel yang sesuai dengan teori ekonomi yang relevan dan sesuai dengan pemilihan lag yang digunakan dalam model (Ayuniyyah, 2010). Identifikasi model adalah melakukan identifikasi persamaan sebelum melakukan estimasi model. Proses identifikasi di dalamnya akan dijumpai beberapa kondisi. Kondisi overidentified akan diperoleh jika jumlah informasi yang dimiliki melebihi jumlah parameter yang ingin diestimasi, sementara kondisi exactly identified atau just identified akan tercapai jika jumlah informasi dan jumlah parameter yang diestimasi sama. Keadaan yang underidentified terjadi jika jumlah informasi kurang dari jumlah parameter yang diestimasi. Proses estimasi hanya dapat dilakukan dalam keadaan overidentified dan exactly identified atau just identified. Pemilihan selang optimal yang dipakai dapat memanfaatkan kriteria informasi seperti Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Information Criterion (SC), maupun Hannan-Quinn Criterion (HQ). Model VAR dikembangkan sebagai solusi atas kritikan terhadap model persamaan simultan (Gianini dan Gianini, 1997), yaitu:
52
1. Spesifikasi dari sistem persamaan simultan terlalu berdasarkan pada agregasi dari model keseimbangan parsial, tanpa memperhatikan pada hasil yang hilang (omitted interrelation). 2. Struktur dinamis pada model seringkali dispesifikasikan dengan tujuan untuk memberikan restriksi yang dibutuhkan dalam mendapatkan identifikasi dari bentuk struktural. Usaha mengatasi kritikan tersebut terutama untuk menentukan variabel endogen dan eksogen, pendekatan VAR berusaha membiarkan data tersebut berbicara dengan membuat semua variabel berpotensi menjadi variabel endogen. Diperlukan secara simetris di dalam sistem persamaan yang mengandung regressor set yang sama dari kerangka VAR setiap variabel baik dalam level maupun first difference (McCoy, 1997). Enders (2004) memformulasikan sistem tradisional bivariat orde pertama sebagai berikut: yt = b10 – b12zt + γ11zt-1 + γ12zt-1 + εyt
(3.3)
zt = b20 – b21yt + γ21yt-1 + γ22zt-1 + εzt
(3.4)
Kedua persamaan di atas menunjukkan bahwa yt dan zt saling memengaruhi satu sama lain. –b12 merupakan efek serentak (contemporaneous effect) dari perubahan zt terhadap yt dan γ12 merupakan efek dari perubahan zt-1 terhadap yt. Persamaan (3.3) dan persamaan (3.4) bukanlah persamaan dalam bentuk reduced-form karena yt memiliki efek serentak terhadap zt dan zt memiliki efek serentak terhadap yt.
53
Bentuk persamaan primitif di atas dapat diperoleh bentuk transformasi VAR ke dalam bentuk standar (reduced-form). Persamaan umum VAR adalah sebagai berikut (Enders, 2004): yt = A0 + A1yt-1 + A2yt-2 +…+ Apyt-p +et
(3.5)
dimana, yt
= vektor berukuran (n x 1) yang berisikan n variabel yang terdapat dalam
sebuah model VAR, A0
= vektor intersep berukuran (n x 1),
Ai
= matriks koefisien/parameter berukuran (n x n) untuk setiap i = 1,2,..,p,
et
= vektor error berukuran (n x 1). Model VAR dalam bentuk standar dari persamaan di atas sementara itu
dapat ditulis dalam bentuk persamaan bivariate sebagai berikut: yt = a10 + a11yt-1 + a12zt-1 + eyt
(3.6)
zt = a20 + a21yt-1 + a22zt-1 + ezt
(3.7)
dimana yet dan ezt merupakan gabungan dari εyt dan εzt, dan dalam bentuk notasi matriks VAR adalah sebagai berikut :
= +
+
Model multivariat seperti yang dilakukan di dalam penelitian ini menggambarkan model VAR menjadi seperti berikut: ∆PDBt = β10 + β111∆PDBt-1 + β112∆PDBt-2 + β121∆NILAITUKARt-1 + β122∆NILAITUKARt-2 + β131∆FDIt-1 + β132∆FDIt-2 + β141∆NETEXPt-1 + β142∆NETEXPt-2 + β151∆PMDNt-1 + β152∆PMDNt-2 + β161∆LIBORt-1 + β162∆LIBORt(3.8) 2 β171∆SBt-1 + β172∆SBt-2 ∆NILAITUKARt = β20 + β211∆PDBt-1 + β212∆PDBt-2 + β221∆NILAITUKARt-1 + β222∆NILAITUKARt-2 + β231∆FDIt-1 + β232∆FDIt-2 + β241∆NETEXPt-1 +
54
β242∆NETEXPt-2 + β251∆PMDNt-1 + β252∆PMDNt-2 + β261∆LIBORt-1 + β262∆LIBORt(3.9) 2 + β271∆SBt-1 + β272∆SBt-2 ∆FDIt = β30 + β311∆PDBt-1 + β312∆PDBt-2 + β321∆NILAITUKARt-1 + β322∆NILAITUKARt-2 + β331∆FDIt-1 + β332∆FDIt-2 + β341∆NETEXPt-1 + β342∆NETEXPt-2 + β351∆PMDNt-1 + β352∆PMDNt-2 + β361∆LIBORt-1 + β362∆LIBORt(3.10) 2 + β171∆SBt-1 + β172∆SBt-2 ∆NETEXPt = β40 + β411∆PDBt-1 + β412∆PDBt-2 + β421∆NILAITUKARt-1 + β422∆NILAITUKARt-2 + β431∆FDIt-1 + β432∆FDIt-2 + β441∆NETEXPt-1 + β442∆NETEXPt-2 + β451∆PMDNt-1 + β452∆PMDNt-2 + β461∆LIBORt-1 + β462∆LIBORt(3.11) 2 + β471∆SBt-1 + β472∆SBt-2 ∆PMDNt = β50 + β511∆PDBt-1 + β512∆PDBt-2 + β521∆NILAITUKARt-1 + β522∆NILAITUKARt-2 + β531∆FDIt-1 + β532∆FDIt-2 + β541∆NETEXPt-1 + β542∆NETEXPt-2 + β551∆PMDNt-1 + β552∆PMDNt-2 + β561∆LIBORt-1 + β562∆LIBORt(3.12) 2 + β571∆SBt-1 + β572∆SBt-2 ∆LIBORt = β10 + β611∆PDBt-1 + β612∆PDBt-2 + β621∆NILAITUKARt-1 + β622∆NILAITUKARt-2 + β631∆FDIt-1 + β632∆FDIt-2 + β641∆NETEXPt-1 + β642∆NETEXPt-2 + β651∆PMDNt-1 + β652∆PMDNt-2 + β661∆LIBORt-1 + β662∆LIBORt(3.13) 2 + β671∆SBt-1 + β672∆SBt-2 ∆SBt = β70 + β711∆PDBt-1 + β712∆PDBt-2 + β721∆NILAITUKARt-1 + β722∆NILAITUKARt-2 + β731∆FDIt-1 + β732∆FDIt-2 + β741∆NETEXPt-1 + β742∆NETEXPt-2 + β751∆PMDNt-1 + β752∆PMDNt-2 + β761∆LIBORt-1 + β762∆LIBORt(3.14) 2 + β771∆SBt-1 + β772∆SBt-2 dimana: PDB
: Output Produk Domestik Bruto industri besi baja (miliar Rupiah),
NILAITUKAR
: Nilai Tukar riil Rupiah terhadap IHK Amerika Serikat (Rupiah/USD),
FDI
: Foreign Direct Investment sektor industri besi baja (Ribu USD),
NETEXP
: Ekspor neto logam dasar besi baja (Ton),
PMDN
: Penanaman Modal Dalam Negeri sektor industri besi baja (miliar Rupiah),
55
LIBOR
: Suku bunga internasional (persen),
SB
: Suku bunga pinjaman investasi (persen), Achsani et al (2005) merepresentasikan model umum VAR sebagai
berikut: xt = µt + ∑ + xt-1 + εt
(3.15)
xt merupakan vektor dari variabel endogen dengan dimensi (n x 1), µt merupakan vektor dari variabel eksogen, termasuk konstanta (intersep) dan tren, Ai adalah koefisien matriks dengan dimensi (n x n), dan εt adalah vektor dari residual. yt dipengaruhi oleh zt periode sebelumnya dan saat ini dalam sistem bivariat sederhana, sementara zt dipengaruhi oleh nilai yt periode sebelumnya dan periode saat ini. Keunggulan metode VAR dibandingkan metode ekonomi konvensional menurut Gujarati (2003) adalah: 1. Metode VAR mengembangkan model secara bersamaan di dalam suatu sistem yang kompleks (multivariat), sehingga dapat menangkap hubungan keseluruhan variabel di dalam persamaan itu. 2. Uji VAR yang multivariat bisa menghindarkan parameter yang bias akibat tidak dimasukkannya variabel yang relevan. 3. Uji VAR dapat mendeteksi hubungan antar variabel di dalam sistem persamaan dengan menjadikan seluruh variabel sebagai endogen. 4. Metode VAR terbebas dari berbagai batasan teori ekonomi yang sering muncul termasuk gejala perbedaan palsu (spurious variable) karena bekerja berdasarkan data di dalam model ekonometrika konvensional
56
terutama pada persamaan simultan, sehingga menghindari penafsiran yang salah. Model VAR namun memiliki banyak kritik akibat memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan VAR menurut Gujarati (2003) antara lain: 1. Model VAR lebih bersifat ateori karena tidak memanfaatkan informasi dari teori-teori terdahulu. 2. Model VAR dianggap tidak sesuai untuk implikasi kebijakan karena lebih menitikberatkan pada peramalan (forecasting). 3. Tantangan terberat VAR adalah pemilihan panjang lag yang tidak tepat. 4. Semua variabel yang digunakan dalam model VAR harus stasioner. 5. Koefisien dalam estimasi VAR sulit untuk diinterpretasikan.
3.3.3
Metode Vector Error Correction Model (VECM). Vector Error Correction Model atau VECM merupakan bentuk VAR yang
terestriksi (Enders, 2004). Restriksi tambahan ini harus diberikan karena keberadaan bentuk data yang tidak stasioner pada level, tetapi terkointegrasi. VECM kemudian memanfaatkan informasi restriksi kointegrasi tersebut ke dalam spesifikasinya. VECM karena itu sering disebut sebagai desain VAR bagi series non-stasioner yang memiliki hubungan kointegrasi. Kointegrasi adalah terdapatnya kombinasi linear antara variabel yang non stasioner yang terkointegrasi pada ordo yang sama (Enders, 2004). Dianjurkan untuk memasukkan persamaan kointegrasi ke dalam model yang digunakan setelah dilakukan pengujian kointegrasi pada model yang digunakan. Data time
57
series kebanyakan memiliki tingkat stasioneritas pada perbedaan pertama (first difference) atau I(1). Digunakan VECM apabila ternyata data yang digunakan memiliki derajat stasioneritas untuk mengantisipasi hilangnya informasi jangka panjang. Caranya adalah dengan mentransformasi persamaan awal pada level menjadi persamaan baru sebagai berikut : ∆yt
= b10 + b11∆yt-1 + b12∆zt-1 – λ(yt-1 – a10 – a11yt-2 + a12zt-1) + εyt.
(3.16)
∆zt
= b20 + b21∆yt-1 + b22∆zt-1 – λ(zt-1 – a20 – a21yt-1 + a22zt-2) + εyt.
(3.17)
dimana a merupakan koefisien regresi jangka panjang, b merupakan koefisien regresi jangka pendek, λ merupakan parameter koreksi error, dan persamaan dalam tanda kurung menunjukkan kointegrasi di antara variabel y dan z. Model VECM (k-1) secara umum adalah sebagai berikut (Siregar dan Ward, 2000) : k −1
∆yt = ∑ Γi∆yt − 1 + µ 0 + µ 1t + αβ yt − 1 + εt i =1
dimana: ∆yt
= yt – yt-1,
k-1
= ordo VECM dari VAR,
Γi
= matriks koefisien regresi (b1, ..bi),
µ0
= vektor intercept,
µ1
= vektor koefisien regresi,
t
= time trend,
α
= matriks loading (penyesuaian),
β
= vektor kointegrasi,
y = variabel yang digunakan dalam analisis.
(3.18)
58
Sehingga, di dalam penelitian ini menjadi : ∆PDBt = ∑
+ ∑
+ ∑
+ ГPDBt-1 ГNILAITUKARt-1 ГFDIt-1
∑ ГNETEXPt-1 ∑ ГPMDNt-1 + ∑ ГLIBORt-1 + ∑ ГSBt-1 + εt (3.19)
∆NILAITUKARt = ∑
ГPDBt-1 + ∑ ГNILAITUKARt-1 + ∑ ГFDIt-1 +
∑
(3.20) ГNETEXPt-1 ∑ ГPMDNt-1 + ∑ ГLIBORt-1 + ∑ ГSBt-1 + εt
∆FDIt = ∑
+ ∑
+ ∑
+ ГPDBt-1 ГNILAITUKARt-1 ГFDIt-1
∑ ГNETEXPt-1 ∑ ГPMDNt-1 + ∑ ГLIBORt-1 + ∑ ГSBt-1 + εt (3.21)
∆NETEXPt = ∑
ГPDBt-1 + ∑ ГNILAITUKARt-1 + ∑ ГFDIt-1 +
∑
(3.22) ГNETEXPt-1 ∑ ГPMDNt-1 + ∑ ГLIBORt-1 + ∑ ГSBt-1 + εt
∆PMDNt = ∑
ГPDBt-1 + ∑ ГNILAITUKARt-1 + ∑ ГFDIt-1 +
∑
(3.23) ГNETEXPt-1 ∑ ГPMDNt-1 + ∑ ГLIBORt-1 + ∑ ГSBt-1 + εt
∆LIBORt = ∑
ГPDBt-1 + ∑ ГNILAITUKARt-1 + ∑ ГFDIt-1 +
∑ ГNETEXPt-1 ∑ ГPMDNt-1 + ∑ ГLIBORt-1 + ∑ ГSBt-1 + εt (3.24)
∆SBt = ∑
ГPDBt-1 + ∑ ГNILAITUKARt-1 + ∑ ГFDIt-1 + ∑ ГNETEXPt
(3.25) 1 ∑ ГPMDNt-1 + ∑ ГLIBORt-1 + ∑ ГSBt-1 + εt
dimana: PDB
: Output Produk Domestik Bruto industri besi baja (miliar Rupiah),
NILAITUKAR
: Nilai Tukar riil Rupiah terhadap IHK Amerika Serikat (Rupiah/USD),
FDI
: Foreign Direct Investment sektor industri besi baja (Ribu USD),
NETEXP
: Ekspor neto logam dasar besi baja (Ton),
PMDN
: Penanaman Modal Dalam Negeri sektor industri besi baja (miliar Rupiah),
LIBOR
: Suku bunga internasional (persen),
SB
: Suku bunga pinjaman investasi (persen),
59
Achsani et al (2005) merepresentasikan model umum VECM sebagai berikut : ∆xt
= µt + πxt-1 + ∑
Гi∆xt-1 + εt
(3.26)
Dimana π dan Г merupakan fungsi dari Ai (lihat persamaan 3.18). Matriks τ
π dapat dipecah menjadi dua matriks λ dan β dengan dimensi (n x r). π = λ β , dimana λ merupakan matriks penyesuaian, β merupakan vektor kointegrasi, dan τ merupakan rank kointegrasi.
3.3.4
Pengujian Pra Estimasi.
3.3.4.1 Uji Stasioneritas Data. Langkah awal yang harus dilakukan dalam mengestimasi sebuah model yang akan digunakan adalah uji stasioneritas atau disebut dengan unit root test. Data yang stasioner menurut Gujarati (2003), akan mempunyai kecenderungan untuk mendekati nilai rata-rata dan berfluktuasi di sekitar nilai rata-ratanya. Pengujian stasioneritas untuk itu sangat penting dilakukan apabila menggunakan data time series dalam analisis. Hal tersebut dikarenakan data time series pada umumnya mengandung akar unit (unit root) dan nilai rata-rata serta variansnya berubah sepanjang waktu. Nilai yang mengandung unit root atau non-stasioner apabila dimasukkan dalam perhitungan statistik pada model regresi sederhana, maka kemungkinan besar estimasi akan gagal mencapai nilai yang sebenarnya atau disebut sebagai spurious estimation (Nachrowi, 2006). Penelitian ini menggunakan uji Augmented Dickey-Fuller (ADF) untuk menguji ada atau tidaknya akar unit pada data yang digunakan. Uji stasioneritas
60
data menurut Gujarati (2003), dengan menggunakan uji Dickey-Fuller dimulai dari sebuah proses autoregresi orde pertama, yaitu: Yt
= ρYt-1 + ut
(3.27)
dimana:
ut = white noise error term dengan mean nol dan varians konstan. Kondisi di atas disebut sebagai random walk, dimana variabel Yt ditentukan oleh variabel sebelumnya (Yt-1). Persamaan (3.27) mengandung akar unit atau tidak stasioner jika nilai ρ sama dengan 1. Persamaan (3.27) kemudian dapat dimodifikasi dengan mengurangi Yt-1 pada kedua sisi persamaan, sehingga persamaan (3.27) dapat diubah menjadi : Yt - Yt-1
= ρYt-1 – Yt-1 + ut = (ρ-1)Yt-1 + ut
(3.28)
Persamaan di atas maka dapat ditulis sebagai berikut: ∆ = δYt-1 + ut
(3.29)
dimana: ∆ = (ρ-1), ∆ = perbedaan pertama (first difference). Hipotesis pada persamaan (3.29), H0: δ = 0 melawan hipotesis alternatifnya atau H1: δ < 0. Nilai H0: δ = 0 akan menunjukkan bahwa persamaan tersebut tidak stasioner, sementara H1: δ < 0 maka menunjukkan persamaan tersebut mengikuti proses yang stasioner. Data time series tersebut stasioner apabila kita menolak H0, dan sebaliknya.
61
Pada persamaan (3.29) diasumsikan bahwa error term (ut) tidak berkorelasi. Kasus error term-nya berkorelasi maka contoh persamaan yang dapat diuji stasioneritas melalui Augmented Duckey-Fuller (ADF) dapat ditulis sebagai berikut (Gujarati, 2003): ∆Yt = β1 + β2t + δYt-1 + α∑ ∆Yt-1 + εt
(3.30)
dimana: εt
= pure white noise error term,
∆Yt-1 = (Yt-1 – Yt-2), ∆Yt-2 = (Yt-2 – Yt-3), dan seterusnya. Kasus persamaan seperti ini pengujian hipotesis yang dilakukan masih sama dengan sebelumnya yaitu H0 adalah δ = 0 (tidak stasioner) dengan hipotesis alternatifnya yaitu H1 adalah δ < 0 (stasioner). Artinya jika H0 ditolak dan menerima H1 maka data stasioner dan begitu juga sebaliknya. Uji yang dilakukan untuk mengetahui apakah sebuah data time series bersifat stasioner atau tidak adalah dengan melakukan uji Ordinary Least Square (OLS) dan melihat nilai t statistik dari estimasi δ. Uji statistik memiliki rumus sebagai berikut jika δ adalah nilai dugaan dan Sδ adalah simpangan baku dari δ maka: thit =
(3.31)
Keputusannya adalah tolak H0 apabila nilai t-statistik lebih kecil dari nilai statistik ADF (dalam nilai kritikal 1 persen, 5 persen, atau 10 persen). Dengan kata lain data bersifat stasioner dan begitu juga sebaliknya. 3.3.4.2 Pengujian Lag Optimal. Langkah penting yang harus dilakukan dalam menggunakan model VAR adalah penentuan jumlah lag yang optimal yang digunakan dalam model.
62
Pengujian panjang lag yang optimal dapat memanfaatkan beberapa informasi yaitu dengan menggunakan Akaike Information Criterion (AIC), Schwarz Criterion (SC) dan Hannan-Quin Criterion (HQ). Langkah sebelumnya adalah ˆ ) untuk dapat menentukan menentukan nilai determinan dari kovarian residual ( Ω
lag ini, yang dapat dihitung sebagai berikut (Eviews 6 User’s Guide):
1 eˆt eˆt' Ω = det ∑ T − p t
(3.32)
dimana p adalah angka parameter dari tiap persamaan dalam VAR. Selanjutnya, log likelihood value dengan mengasumsikan distribusi normal (Gaussian) dapat dihitung: l=-
{
T ˆ k (1 + log 2π ) + log Ω 2
}
(3.33)
dimana k adalah banyaknya parameter yang diestimasi dan T adalah jumlah observasi. Dilanjutkan kemudian dengan menggunakan Nilai AIC, SC maupun HQ dan dipilih nilai yang terkecil. Rumus perhitungannya dapat dilihat dalam tabel dibawah ini (Eviews 6 User’s Guide) : AIC
−2 ( l / T ) + 2 ( k / T )
SC
−2 ( l / T ) + k log(T ) / T
HQ
−2 ( l / T ) + 2k log(log(T )) / T
(3.34)
3.3.4.3.Uji Stabilitas VAR. Metode yang akan digunakan untuk melakukan analisis pengaruh guncangan Foreign Direct Investment sektor industri besi baja terhadap output
63
PDB industri besi baja di Indonesia serta variabel makroekonomi adalah analisis impuls respon (IRF) dan analisis peramalan dekomposisi ragam galat (FEVD). Sistem persamaan VAR yang telah terbentuk harus diuji stabilitasnya terlebih dahulu sebelum kedua analisis tersebut, melalui VAR stability condition check. Uji stabilitas VAR dilakukan dengan menghitung akar-akar dari fungsi polinomial atau dikenal dengan roots of characteristic polinomial. Model VAR tersebut dianggap stabil jika semua akar dari fungsi polinomial tersebut berada didalam unit circle atau jika nilai absolutnya lebih kecil dari 1 sehingga IRF dan FEVD yang dihasilkan dianggap valid (Windarti, 2004).
3.3.5.
Uji Kointegrasi. Uji kointegrasi bertujuan untuk menentukan apakah variabel-variabel yang
tidak stasioner terkointegrasi atau tidak. Konsep kointegrasi dikemukakan oleh Engle dan Granger dalam Enders (2004) sebagai kombinasi linear dari dua atau lebih variabel yang tidak stasioner akan menghasilkan variabel yang stasioner. Kombinasi linear ini dikenal dengan istilah persamaan kointegrasi dan dapat diinterpretasikan sebagai hubungan keseimbangan jangka panjang diantara variabel (Eviews 6 User’s Guide). Dalam penelitian ini untuk menguji apakah kombinasi variabel yang tidak stasioner terkointegrasi dapat diuji dengan menggunakan uji kointegrasi Johansen, yang ditunjukkan oleh persamaan matematis berikut ini :
∆ y t = β 0 + Π y t −1 +
p
∑
i =1
Γ i ∆ y t −1 + ε t
(3.35)
64
Persamaan tersebut terkointegrasi jika trace statistic > critical value. Dengan demikian H0 = non-kointegrasi dengan hipotesis alternatifnya H1 = kointegrasi. Kita tolak H0 atau terima H1 jika trace statistic > critical value, yang artinya terjadi kointegrasi. Tahapan analisis dilanjutkan dengan analisis Vector Error Correction Model (VECM) setelah jumlah persamaan yang terkointegrasi telah diketahui.
3.3.6. Innovation Accounting. 3.3.6.1.Impulse Response Function (IRF). Cara yang paling baik untuk mencirikan struktur dinamis dalam model adalah dengan menganalisa respon dari model terhadap guncangan (Enders, 2004). Ada dua cara dalam melakukan hal tersebut, yaitu dengan analisis IRF (Impulse Response Function) atau analisis FEVD (Forecast Error Variance Decomposition). Impulse Response Function dapat meneliti hubungan antar variabel dengan menunjukkan bagaimana variabel endogen bereaksi terhadap sebuah shock dalam variabel itu sendiri dan variabel endogen lainnya. Impulse Response Function menurut Pindyk dan Rubinfeld (1998) adalah suatu metode yang digunakan untuk menentukan respon suatu variabel endogen terhadap suatu shock tertentu karena sebenarnya shock variabel misalnya ke-i tdk hanya berpengaruh terhadap variabel ke-i itu saja tetapi ditransmisikan kepada semua variabel endogen lainnya melalui struktur dinamis atau struktur lag dalam VAR. Impulse Response Function dengan kata lain mengukur pengaruh suatu
65
shock pada suatu waktu kepada inovasi variabel endogen pada saat tersebut dan dimasa yang akan datang. Analisis fungsi impuls respon (Impulse Response Function) atau disingkat dengan IRF dalam analisis ini dilakukan untuk menilai respon dinamik variabel nilai tukar, PMDN sektor besi baja, ekspor neto besi baja, LIBOR, suku bunga pinjaman investasi, dan PDB besi baja terhadap adanya guncangan (shock) variabel FDI sektor besi baja. Impulse Response Function sementara itu bertujuan untuk mengisolasi suatu guncangan agar lebih spesifik artinya suatu variabel yang dapat dipengaruhi oleh shock atau guncangan tertentu. Shock spesifik tersebut tidak dapat diketahui melainkan shock secara umum apabila suatu variabel tidak dapat dipengaruhi oleh shock. 3.3.6.2.Forecast Error Variance Decomposition (FEVD). Metode yang dapat dilakukan untuk melihat bagaimana perubahan dalam suatu variabel yang ditunjukkan oleh perubahan error variance dipengaruhi oleh variabel-variabel lainnya adalah FEVD. Metode ini mencirikan suatu struktur dinamis dalam model VAR. Metode ini dapat melihat kekuatan dan kelemahan masing-masing variabel dalam memengaruhi variabel lainnya dalam kurun waktu yang panjang. Metode ini merinci ragam dari peramalan galat menjadi komponenkomponen yang dapat dihubungkan dengan setiap variabel endogen dalam model. Seberapa besar perbedaan antara error variance sebelum dan sesudah terjadinya shock yang berasal dari dirinya sendiri maupun dari variabel lain dapat dilihat dengan menghitung presentase kuadrat prediksi galat k-tahap ke depan dari
66
sebuah variabel akibat inovasi dalam variabel-variabel lain. Dapat diketahui melalui FEVD secara pasti faktor-faktor yang memengaruhi fluktuasi dari variabel tertentu. 3.3.7.
Mekanisme Analisis Olah Data. Proses analisis VAR dan VECM secara sederhana melalui berbagai
tahapan. Tahapan itu menunjukan proses secara menyeluruh dalam analisis pengolahan data dalam penelitian ini. Proses ini dapat dilihat pada Gambar 3.1 di bawah ini. Data Transformation (Natural Log)
No
Stationary at level [I(0)]
Unit Root Test
Data Exploration
Yes
Stationary at first difference [I(1)]
No
Yes
Between Error
Cointegration Test
VECM
Low
High
Correlation Test
s-term
L-term
Optimal Order S-VAR L-term
VAR Level L-term
(k-1) Order
Cointegration Rank
VAR First Difference
s-term
Innovation Accounting: IRF & FEVD
Sumber : Ascarya dalam Ayuniyyah, 2010.
Gambar 3.1. Proses Analisis Vector Auto Regression dan Vector Error Correction Model.
67
Data ditansformasi ke bentuk logaritma natural (In) setelah data dasar siap, kecuali untuk tingkat suku bunga pinjaman investasi, LIBOR, dan ekspor neto logam dasar besi baja, untuk mendapatkan hasil yang konsisten dan valid. Uji pertama yang dilakukan adalah uji unit root untuk mengetahui apakah data stasioner atau masih mengandung tren. VAR dapat dilakukan pada level, jika data stasioner di level. VAR level dapat mengestimasi hubungan jangka panjang antar variabel. Data harus diturunkan pada tingkat pertama (first difference) jika data tidak stasioner pada level. Data apabila kembali tidak stasioner pada turunan pertama, akan diturunkan kembali sampai semua data stasioner pada derajat integrasi yang sama. Data turunan itu mencerminkan selisih atau perubahan. Data akan diuji untuk keberadaan kointegrasi antarvariabel jika data stasioner pada turunan pertama. Vector Auto Regression hanya dapat dilakukan pada turunan pertamanya jika tidak ada kointegrasi antar variabel, dan VAR hanya dapat mengestimasi hubungan jangka pendek antar variabel. Innovation accounting tidak akan bermakna untuk hubungan jangka panjang antar variabel. Vector Error Correction Model dapat dilakukan menggunakan data tingkat pertama jika ada kointegrasi antar variabel, hal ini untuk mendapatkan hubungan jangka panjang antarvariabel. Vector Error Correction Model dapat mengestimasi hubungan jangka pendek maupun jangka panjang antarvariabel. Innovation accounting untuk VAR dan VECM akan bermakna untuk hubungan jangka panjang (Ascarya dalam Ayuniyyah, 2010).
68
3.3.8. Model Penelitian. Model VAR dan VECM yang digunakan dalam penelitian ini dalam bentuk matriks adalah sebagai berikut: Model Penelitian: !_#$% !_&' '()*+ 4 3 !_,$' 3 &-(-.# 3= !_#/$& 3 3 '%0+ 2 1% 4 3 : 3 ; 3 < 3 = 3 > 2
: ; < = > !_#$% 5 4 4 !_&' '()*+ 4 : ; < = > 3 6 3 3 !_,$' 3 3 : : :: :; :< := :> 3 &-(-.# 7 3 + ; ; ;: ;; ;< ;= ;> 3 3+ !_#/$& 3 < < <: <; << <= <> 3 3 '%0+ 8 3 = = =: =; =< == => 3 3 9 2 > > >: >; >< >= >> 2 1% 2
dimana: Ln_PDB
: Output Produk Domestik Bruto industri besi baja,
Ln_NILAITUKAR
: Nilai Tukar riil Rupiah terhadap IHK Amerika,
Ln_FDI
: Foreign Direct Investment sektor industri besi baja,
NETEXP
: Ekspor neto logam dasar besi baja.
Ln_PMDN
: Penanaman Modal Dalam Negeri sektor industri besi baja,
LIBOR
: Suku bunga internasional,
SB
: Suku bunga pinjaman investasi. Semua data estimasi yang dipergunakan dalam VAR adalah dalam
bentuk logaritma natural sesuai dengan pendapat Sims dalam Enders (2004), kecuali data yang sudah dalam bentuk persen atau data tersebut memiliki
69
koefisien yang negatif (sangat kecil) yang tidak mungkin untuk diubah dalam bentuk logaritma natural. Salah satu alasannya adalah untuk memudahkan analisis, karena baik dalam impulse respons maupun variance decomposition, pengaruh shock dilihat dalam standar deviasi yang dapat dikonversi dalam bentuk presentase. Semua variabel adalah variabel endogen dalam metode VAR, sehingga dalam model penelitian ini dapat dilihat hubungan saling ketergantungan antara semua variabel.
IV. GAMBARAN UMUM
4.1.
Perkembangan Realisasi Foreign Direct Investment di Indonesia.
Dana investasi akan selalu tertuju ke negara-negara atau kawasan yang menjanjikan tingkat hasil finansial dan kepastian yang paling tinggi atau dengan kata lain yang tingkat resikonya paling kecil. Indonesia merupakan salah satu negara yang masih memiliki tingkat risiko yang fluktuatif dalam pelaksanaan investasi dalam bentuk Foreign Direct Investment (FDI). Negara-negara di Asia masih memegang proporsi terbesar dari realisasi investasi FDI di Indonesia, yang kemudian diikuti oleh Eropa, Afrika, Amerika, dan Australia. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia adalah salah satu tujuan dari perusahaan multinasional yang memberikan FDI. Negara asal FDI biasanya melakukan investasi pada daerah yang dianggap strategis untuk melaksanakan bisnis.
Proporsi negara-negara yang memberikan FDI di Indonesia menyebar berdasarkan benua asalnya, seperti yang dapat dilihat pada Gambar 4.1.
Persen
100% 80%
Afrika
60%
Australia
40%
Amerika
20%
Eropa
0%
Asia 2006
2007
2008
2009
2010
Tahun
Sumber: BKPM (diolah), 2011.
Gambar 4.1. Proporsi Negara Asal Foreign Direct Investment di Indonesia Tahun 2006-2010.
71
Tingkat realisasi FDI di Indonesia dalam kurun waktu 1990-2010 memiliki jumlah yang lebih besar daripada Penanaman Modal Dalam Negeri seperti yang ditunjukkan dalam perbandingan realisasi FDI dan PMDN seperti pada Gambar 4.2. Grafik Realisasi FDI dan PMDN di Indonesia Periode 1990-2010 25000
juta US$
20000 15000
Realisasi FDI Realisasi PMDN
10000 5000 0
1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 Tahun
Sumber: BKPM (diolah), 2011.
Gambar 4.2. Perkembangan Realisasi Foreign Direct Investment dan Penanaman Modal Dalam Negeri di Indonesia Tahun 1990-2010.
Jumlah realisasi FDI yang lebih tinggi dari jumlah realisasi PMDN ternyata memiliki gambaran realisasi berdasarkan sektor ruang lingkup terjadinya realisasi. Perbandingan realisasi berdasarkan sektor pada FDI dapat dilihat pada Gambar 4.3.
72
100%
Persen
80% Tersier
60%
Sekunder
40%
Primer
20% 0% 2006
2007
2008
2009
2010
Tahun Sumber: BKPM, 2011.
Gambar 4.3. Perbandingan Realisasi Foreign Direct Investment di Indonesia Berdasarkan Sektor Tahun 2006-2010. Gambar 4.3 menunjukkan bahwa sektor sekunder (industri pengolahan) mendapatkan proporsi yang lebih rendah, rendah, dan FDI lebih cenderung kepada sektor tersier (jasa, perdagangan, dll). Negara-negara di dunia lebih cenderung untuk memberikan FDI pada sektor tersier jika melihat data realisasi FDI per sektor
diatas. Perkembangan realisasi dari FDI apabila ditinjau dari segi lokasi penanaman modal di Indonesia dapat ditunjukkan ditunjukkan oleh Gambar 4.4.
73
100% Papua
Persen
80%
Maluku
60%
Sulawesi Kalimantan
40%
Bali & NT 20%
Jawa Sumatera
0% 2006
2007
2008 Tahun
2009
2010
Sumber: BKPM (diolah), 2011.
Gambar 4.4. Perkembangan Realisasi Foreign Direct Investment di Indonesia Berdasarkan Lokasi.Tahun 2006-2010 Perkembangan realisasi FDI dari negara asal perusahaan multinasional berdasarkan lokasi penanaman investasi di Indonesia dari tahun 2006 sampai 2010 menunjukkan bahwa pulau Jawa masih menguasai lokasi penanaman investasi asing, diikuti pulau Sumatera, pulau pulau Kalimantan, pulau Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, Maluku, dan yang terakhir adalah Papua. Faktor potensi dari lokasi investasi menjadi pertimbangan dalam penanaman modal baik PMDN ataupun
FDI.
4.2.
Perkembangan Industri Besi Baja di Indonesia.
4.2.1. Sejarah Industri Besi Baja. 4.2.1.1.Periode Antara 1950-1960. Perkembangan industri masih berat sebelah karena perindustrian masih berorientasi pada barang-barang konsumsi yang sebagian besar bahan baku atau penolong masih harus diimpor dari luar negeri. Pertumbuhan industri pada sektor
pembuatan barang-barang modal (capital goods atau mesin-mesin) atau
74
perindustrian kimia dasar dilakukan untuk membantu mengurangi ketergantungan dari luar negeri, namun hal ini kurang mendapat perhatian yang semestinya. Pertumbuhan industri menjadi tidak terarah dan tidak seimbang sehingga impor bahan baku, penolong atau mesin-mesin masih dirasakan sebagai beban yang berat (kurang lebih 35 persen dari devisa untuk impor). Bahan baku atau penolong yang diperlukan untuk aktivitas industri besi baja masih harus diimpor dari luar negeri. Hal ini akan mengganggu kontinuitas produksi karena membutuhkan stok bahan baku atau penolong yang sangat banyak sedangkan devisa Indonesia masih terbatas. Pemerintah pada tahun 1955 mulai memikirkan untuk membangun industri besi baja dengan menunjuk sebuah firma dari Jerman Barat yang bergerak dalam bidang Engineering dan Consulting untuk mengadakan survei dan mempelajari kemungkinan didirikannya industri besi baja yang didasarkan pada bahan baku dalam negeri yang bisa diperoleh. Hasil yang diperoleh dari penyelidikan-penyelidikan tersebut memberikan saran-saran untuk mendirikan tiga buah pabrik yang mempunyai keseluruhan hasil produksi 300.000 ton/tahun dan sebuah tanur tinggi (Blast Furnance) di Lampung dengan kapasitas produksi 35.000 ton/tahun. Periode 1950-1960 telah didirikan Reroller (1956) yang mempunyai kapasitas permulaan sebesar 5.000 ton/tahun (Darmayanti, 2007). 4.2.1.2.Periode Antara 1960-1965. Periode ini setelah pemerintah menerima hasil survei sebuah firma Jerman Barat yang bergerak dalam bidang Engineering dan Consulting yang ditunjuk pemerintah untuk survei dalam mendirikan industri besi baja di Indonesia.
75
Terdapat tiga proyek pada tahun 1960 yang direncanakan untuk direalisir yakni tanur tinggi di Lampung, pabrik baja di Cilegon dan sebuah pabrik integrasi yang terletak di Kalimantan Selatan dengan menggunakan bahan baku dari dalam negeri. Tanur tinggi di Lampung direncanakan untuk menghasilkan 35.000 ton setiap tahunnya dengan memakai biji besi lokal serta double coke dari batu bara Bukit Asam sebagai bahan baku. Persiapan telah diadakan pada awal 1960 akan tetapi proyek ini tidak terealisasikan. Realisasi pembangunan pabrik besi baja tersebut pada tahun 1962 dilaksanakan dan direncanakan akan selesai pada tahun 1968 tetapi pembangunannya terhenti pada tahun 1965 karena meletusnya pemberontakan G30S PKI (Darmayanti, 2007). 4.2.1.3.Periode Antara 1965-1997. Tahun 1965 merupakan sejarah baru bagi negara dan bangsa Indonesia karena tumbangnya orde lama dan digantikan oleh orde baru. Tahun 1966 pemerintah menitikberatkan pada rehabilitasi ekonomi, stabilisasi moneter, produksi pangan dan pembangunan fasilitas-fasilitas infrastruktur untuk mendukung produksi pangan nasional. Undang-Undang Penanaman Modal Asing pada tahun 1967 dikeluarkan pada tahun 1968 dilanjutkan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri. Kedua Undang-Undang tersebut sebagai perangsang bagi pemilik modal untuk berinvestasi di Indonesia. Pelanjutan program pembangunan tersebut pada tanggal 20 Desember 1967 dikeluarkan Instruksi Presiden untuk merubah Proyek Baja Trikora menjadi bentuk Perseroan Terbatas (PT) dengan nama PT Krakatau Steel yang diresmikan
76
pada tanggal 27 Oktober 1971 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 tanggal 31 Agustus 1970. Proyek baja Kalimantan yang telah diintegrasikan direncanakan untuk memberikan hasil produksi permulaan sebesar 250.000 ton baja/tahun. Berbagai penyelidikan dilaksanakan dan beberapa pengusaha swasta melakukan survei terhadap kemungkinan pembangunan sebuah pabrik baja. Pemerintah pada bulan April 1969 memulai Repelita pertama dimana difokuskan pada produksi pangan terutama produksi beras, meningkatkan ekspor dan membangun fasilitas-fasilitas infrastruktur yang harus saling menunjang. Pemakaian baja berakibat meningkat secara mencolok sehingga terjadi perkembangan yang pesat di pasaran baja. Hal ini menarik perusahaan-perusahaan untuk menanamkan modalnya pada sektor ini. Banyaknya jumlah perusahaan yang bergerak dalam bidang ini dari tahun ke tahun semakin meningkat. Proyekproyek pembangunan di dalam telah berjalan dengan baik sehingga terdapat peningkatan konsumsi besi baja. Kondisi industri besi baja oleh karena itu menunjukkan hasil yang baik. Industri besi baja nasional pada tahun 1985 mulai melakukan ekspor perdana yang dilakukan oleh PT. Krakatau Steel ke beberapa negara seperti Jepang, Amerika, Inggris, India, China, Timur Tengah, dan Korea. Industri besi baja Indonesia hingga tahun 1995 terus mengadakan proyek-proyek perluasan industrinya (Darmayanti, 2007). 4.2.1.4.Periode Antara 1997-2011. Tahun 1997 merupakan awal terjadinya krisis ekonomi yang melanda beberapa negara Asia yang juga melanda Bangsa Indonesia. Krisis ekonomi berdampak buruk terhadap perkembangan industri terutama perkembangan
77
industri manufaktur karena kebanyakan berbahan baku impor yang tinggi sehingga menyebabkan industri ini cukup sulit untuk mempertahankan industrinya. Tabel 4.1 Pertumbuhan Subsektor Industri Pengolahan Indonesia Tahun 1996-2000
Subsektor
Pertumbuhan Subesektor Industri Pengolahan (persen) 1996 1997 1998 1999 2000
Makanan, minuman, dan tembakau
17,2
14,9
-3,1
5,3
0,7
Tekstil, barang kulit dan alas kaki
8,7
-4,4
-14,0
8,0
10,5
Barang kayu dan hasil hutan
3,2
-2,1
-26,0
-13,7
6,1
lainnya Kertas dan barang cetakan
6,9
9,0
-5,4
3,2
10,2
Pupuk kimia dan barang dari karet
9,0
3,4
-15,0
9,8
12,8
Semen dan barang galian non
11,0
4,5
-30,5
5,3
7,3
logam Logam dasar besi dan baja
8,0
-1,4
-25,6
-1,1
16,2
Alat angkut, mesin, dan peralatan
4,6
-0,4
-52,6
-10,3
51,5
Barang lainnya
9,7
6,0
-34,7
-2,8
8,1
Total
11,7
7,4
-14,4
3,8
7,2
Sumber: BPS, 2011.
Krisis ekonomi menyebabkan fluktuasi nilai tukar yang tajam, hal ini mengakibatkan industri mengalami pertumbuhan negatif. Krisis ekonomi berdampak kurang baik bagi kondisi industri besi baja di Indonesia karena dengan krisis ekonomi menyebabkan adanya kenaikan biaya-biaya input produksi yang sangat besar sehingga dengan krisis ekonomi jumlah perusahaan dan tenaga kerja industri besi baja di Indonesia mengalami penurunan. Kondisi industri besi baja belum menunjukkan perbaikan yang baik sejak terjadinya krisis ekonomi hingga tahun 1999. Di tahun 2000 walaupun terjadi penurunan jumlah unit usaha akan tetapi kondisi industri besi baja nasional secara keseluruhan sudah menunjukkan
78
adanya perbaikan ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang membaik seiring dengan berjalannya proyek-proyek pembangunan kembali infrastruktur yang rusak. Industri besi baja nasional pada tahun 2001 hingga saat ini sangat terancam dengan masuknya produk-produk baja ilegal dan produk baja dengan harga dumping karena menyebabkan adanya persaingan usaha yang tidak sehat. Berbagai kasus mengenai adanya produk baja dumping dan ilegal ini telah ditangani oleh Komite Anti Dumping Indonesia (KADI). Beberapa negara pada tahun 2003 seperti Cina, Irak, dan Rusia sedang giat-giatnya dalam melakukan pembangunan sehingga hampir sebagian besar bahan baku baja terserap untuk keperluan pembangunan negara tersebut. Komite Studi Ekonomi Internasional Iron and Steel Institute (IISI) melaporkan bahwa pada tahun 2003 impor besi baja Cina mencapai 257 juta ton/tahun. Cina menyerap sepertiga dari total impor besi baja dunia. Konsumsi besi baja Cina hingga tahun 2004 meningkat kembali menjadi 290 juta ton/tahun (Warta Ekonomi, 2006). Hal ini menyebabkan telah terjadi kelangkaan bahan baku baja untuk keperluan produksi besi baja di Indonesia. Besarnya permintaan bahan baku besi baja menyebabkan terjadinya kenaikan harga bahan baku baja tersebut sehingga dapat berpengaruh pada aktifitas produksi industri besi baja dalam negeri yang sebagian besar bahan bakunya impor. Cina mengalami kelebihan pasokan besi baja pada awal 2006 hasil produksi yang berlebihan sehingga banyak produk-produk baja Cina mengalami kelebihan pasokan besi baja hasil produksi yang berlebihan sehingga banyak produk-produk baja Cina yang masuk ke Indonesia dan diketahui ada beberapa produk yang disalurkan dengan harga dumping. Cina dikabarkan pada
79
tahun 2006 mengalami kelebihan pasokan sebanyak 116 juta ton (Darmayanti, 2007). Konsumsi baja di Indonesia pada tahun 2007 masih sangat rendah, yaitu sekitar 33 kg perkapita yang masih dibawah konsumsi negara-negara di Asia Tenggara yang rata-rata mengkonsumsi 45 kg perkapita. Produksi baja nasional pada tahun 2007 belum mampu memenuhi kebutuhan seluruh kebutuhan baja. Indikasi impor produk baja dari luar negeri terutama dari Cina dan India karena harga yang relatif murah dengan perbandingan harga domestik dapat mencapai dua kali lipat dari harga impor, meski secara kualitas belum tentu sebaik baja produksi Krakatau Steel dan industri baja dalam negeri lainnya. Relatif murahnya harga baja dari Cina dan India ini selain karena industri baja di negara asal syarat dengan insentif, hambatan perdagangan seperti kuota impor bagi masuknya produk baja luar negeri ke Indonesia juga relatif kecil. Di sisi lain penerapan standar mutu bagi produk baja dari luar negeri (melalui peberapan SNI) belum secara efektif diberlakukan. Industri baja domestik banyak yang bangkrut akibat mudahnya produk baja luar negeri masuk ke Indonesia sebagai konsekuensi kalah bersaing dengan produk serupa dari negara lain khususnya Cina. Indikasi kebangkrutan ini antara lain ditandai dengan adanya penutupan sekitar 30% perusahaan baja di dalam negeri dalam kurun waktu lima tahun sebelumnya. Jumlah perusahaan baja nasional berdasarkan data Gabungan Pengusaha Besi dan Baja pada 2001 tercatat mencapai 201 unit usaha, namun pada 2006 menyusut tinggal 134 perusahaan. Volume impor baja asal Cina hanya 4 juta ton senilai USD 1.68 miliar pada 2001,
80
sedangkan pada tahun 2006 angka impor itu meroket menjadi 6.18 juta ton dengan nilai USD 4.2 miliar. Industri baja nasional juga relatif tertinggal dan kalah efisien bila dibandingkan dengan negara-negara lain. Utilisasi kapasitas produksi industri baja relatif sangat rendah (rata-rata sekitar 56 persen). Banyak hal yang menyebabkan kondisi ini terjadi, antara lain (i) industri penyedia bahan baku belum berkembang; (ii) kurangnya ketersediaan dan meningkatnya harga energi industri baja hulu; (iii) ketergantungan permanen industri baja nasional pada bahan baku impor; (iv) rendahnya jumlah investasi pembangunan industri; (v) rendahnya pertumbuhan konsumsi baja nasional; (vi) rendahnya daya saing dari berbagai sisi; (viii) regulasi yang kurang efektif sehingga perlu adanya penataan kembali terutama dari sisi pengawasan. Kebutuhan baja nasional akan meningkat seiring dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk. Proyeksi konsumsi pada tahun 2020 mencapai 70 kg perkapita. Ini adalah tantangan yang tidak mudah bagi industri baja nasional untuk dapat memenuhi kebutuhan baja yang tinggi tersebut, ditengah kondisi baja nasional yang kini terseok-seok. Pemerintah selaku regulator dan pemilik baja terbesar di Indonesia (yaitu Krakatau Steel) harus menyiapkam langkah-langkah strategis bagi peningkatan kapasitas industri baja nasional Indonesia. Industri baja nasional memang membutuhkan peningkatan kapasitas untuk memenuhi defisit baja nasional. Langkah ini akan sulit terealisasi bila industri baja nasional Indonesia dibiarkan bertarung dengan pemain global yang sudah kuat. Langkah pemerintah membiarkan tarif impor bagi baja luar negeri lebih
81
rendah dibandingkan negara lain (seperti Thailand dan Malaysia) dalam jangka pendek memang dapat dibenarkan bila dilihat dari kepentingan konsumen. Kebijakan ini dalam jangka panjang akan menyebabkan matinya industri baja dalam negeri yang ujungnya akan merugikan kepentingan konsumen. Inisiatif dari pemerintah pada tahun 2010 untuk menjual Krakatau Steel ke pihak asing bukan solusi yang tepat bila dikaitkan untuk meningkatkan produksi baja Krakatau Steel dan nasional. Krakatau Steel apabila dijual ke asing dalam keadaan masih merugi (distress) harganya pasti akan jatuh. Banyak kasus akuisisi baja diluar ini yang mengalami kegagalan karena masalah incompatible motive, incompatible culture, overpromising, cheating, minimum commitment on development, dan sebagainya yang perlu menjadi pelajaran bagi Indonesia. Krakatau Steel sebagai aset strategis seharusnya tetap dipertahankan pemerintah untuk sewaktu-waktu dibutuhkan dalam rangka menjaga gawang pemerintah pada industri baja nasional. Peningkatan kapasitas produksi baja nasional dapat dilakukan dengan membuka investasi baru yang seluas-luasnya bagi pemain baru (lokal dan asing). Hambatan regulasi pada sektor investasi baja perlu dibenahi untuk mengatasi berbagai problem pada industri baja nasional (Sunarsip dan Nasution, 2007). Industri besi baja pada tahun 2010 dikejutkan dengan rencana privatisasi Krakatau Steel (KS). Krakatau Steel mempunyai kinerja yang cukup baik dari tahun 2005 sampai awal tahun 2010, dengan laba bersih dapat dilihat pada Tabel 4.2. Terdapat suatu kondisi sehingga perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) strategis ini diprivatisasi oleh pemerintah dengan alasan ingin meningkatkan
pembenahan
perusahaan,
yaitu:
peningkatan
efisiensi,
82
pertumbuhan, dan perbaikan pengelolan manajemen. Ada dua cara untuk melakukan privatisasi ini yaitu Initial Public Offering (IPO), dan Strategic Sales (SS). Tabel 4.2. Laba Bersih Perseroan Terbatas Krakatau Steel Tahun 2005-2010.
2005 Laba 184 bersih milyar (Rupiah)
2006 135 milyar
Tahun 2007 2008 313 460 milyar milyar
2009 495 milyar
2010 998 milyar
Sumber: Rakyat Merdeka, 2011.
Privatisasi ini juga merupakan jalan menuju rencana pendirian perusahaan joint venture antara perusahaan baja pelat merah KS dan perusahaan baja terbesar ketiga di dunia, Posco milik Korea Selatan. Krakatau Steel merupakan salah satu BUMN yang berkecimpung pada produksi baja terbesar di Indonesia. Terjadi privatisasi KS melalui penerbitan dan penjualan saham baru berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 67 tahun 2010. Krakatau Steel telah resmi tercatat di Bursa Efek Indonesia tepat pada tanggal 10 November. Initial Public Offering KS dijual seharga Rp. 850 per lembar. Angka ini terbilang rendah dari harapan, karena awalnya harga saham melalui IPO KS diperkirakan bisa mencapai Rp 1.150 per lembar. Krakatau Steel dengan begitu bisa mendapat dana maksimal lebih dari Rp 3,1 trilyun. Alasan Kementerian BUMN di balik penentuan harga saham perdana KS sebesar Rp 850 per unit itu agar bisa memberi ruang kepada investor untuk memperoleh capital gain menarik. Di perusahaan joint venture yang diberi nama Krakatau Posco (KP) itu KS hanya akan memiliki saham minoritas sebesar 30 persen. Perusahaan patungan itulah yang untuk selanjutnya akan mengambil peran besar melakukan ekspansi. Krakatau Steel pada setiap
83
ekspansi berkewajiban menyetorkan tambahan modal kepada perusahaan KP. Hal itu kelihatannya akan sulit dilakukan tanpa harus menjual lagi aset maupun saham pemerintah di KS. Konsekuensi dari hal ini adalah saham pemerintah di KS akan berkurang, begitu juga dengan posisi KS di perusahaan joint venture KP akan melemah. Industri besi baja pada tahun 2011 mengalami berbagai kondisi. Cuaca buruk dan ekstrem yang terjadi pada tahun 2011 tidak hanya mengganggu pasokan komoditas pangan saja, baja pun ikut terkena imbas negatifnya. Hal ini bakal mendongkrak harga baja pada tahun 2011 sebesar 11-23 persen. Harga bahan baku baja saat ini sudah naik dibanding akhir Desember 2010. Harga baja scrap naik 16 persen dari USD 450 per ton di akhir 2010 menjadi USD 520 per ton pada Januari 2011. Harga Iron ore akan naik 7 persen dari USD 174 per dmtu menjadi USD 186 per dmtu dan kenaikan ini disebabkan adanya pembatasan ekspor dari India. Harga slab naik 17 persen dari USD 580 per ton menjadi USD 680 per ton dan hal ini disebabkan Arcelor Mittal menghentikan aktivitas produksi 3 bless furnished di Eropa akhir tahun 2010 serta produsen baja Sidor di Venezuela menghentikan produksinya sementara karena ada ledakan. Harga Billet naik 14 persen dari 592 per ton menjadi USD 670 per ton. Asosiasi Besi dan Baja Nasional menyatakan Indonesia masih harus mengimpor baja kurang lebih 3 juta ton tahun 2011 ini. Impor dilakukan untuk memenuhi tingginya kebutuhan baja dalam negeri. Kondisi demand baja nasional adalah 8-9 juta ton/tahun sedangkan produksi nasional hanya 4-5 juta ton/tahun. Produksi Krakatau Steel adalah 2,75 juta ton jadi total konsumsi 7,425 juta ton,
84
sehingga impor menjadi kurang lebih 3 juta ton. Sektor pendorong konsumsi baja yaitu sektor manufaktur dan konstruksi yang diperkirakan akan naik tajam tahun ini sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang diramal bisa tembus 6,4 persen. Sektor manufaktur diprediksikan tumbuh menjadi 4,4 persen pada tahun 2011 dari 4 persen pada tahun 2010. Sektor konstruksi tumbuh menjadi 7,3 persen pada 2011 dari 6,8 persen pada tahun 2008. Konsumsi baja juga didorong oleh peningkatan produksi otomotif. Peningkatan produksi mobil berdasarkan data Gaikindo sebesar 15 persen pada tahun 2010 menjadi 560.000 unit dari sebelumnya berjumlah 483.000 pada tahun 2009. Sektor motor mengalami peningkatan sebesar 11 persen yaitu 5,9 juta unit pada tahun 2009 menjadi 6,5 juta unit pada tahun 2010. Permintaan baja nasional terhadap sektor otomotif secara otomatis mengalami kenaikan. Produksi HR (baja hitam) naik dari 236.000 ton pada tahun 2009 menjadi 275.000 pada tahun 2010 atau naik 20 persen, sedangkan produksi CR (baja putih) naik dari 239.000 pada tahun 2009 naik menjadi 267.000 pada tahun 2010 atau naik 10 persen (detik, 2011).
4.2.2. Perkembangan Volume Produksi, Jumlah Tenaga Kerja, Jumlah Perusahaan, dan Ekspor-Impor Besi Baja di Indonesia. Industri logam dasar besi dan baja yang merupakan salah satu industri strategis dan vital harus cukup mendapatkan perhatian dari pemerintah karena perannya ini sangat dibutuhkan bagi pembangunan-pembangunan industri-industri penting lainnya. Dampak dari adanya globalisasi ini dapat dirasakan oleh negaranegara di dunia, berupa adanya pembangunan-pembangunan infrastruktur yang memadai oleh banyak negara. Pembangunan infrastruktur yang banyak
85
berdampak peran industri besi dan baja tidak dapat diabaikan karena tentu saja permintaan besi dan baja ini akan meningkat. Industri logam dasar besi baja harus pula meningkatkan produksinya (Darmayanti, 2007). Kendala sekaligus tantangan yang harus dihadapi oleh industri ini yaitu adanya ancaman dari negara luar yang menjual produk-produk yang lebih murah daripada yang diproduksi di dalam negeri, dengan salah satu contoh adalah produk tin plate. Perusahaan pembuat tin plate dalam negeri menilai adanya politik dumping yang dilakukan negara pengimpor karena harga yang ditawarkan lebih murah di Indonesia dibandingkan harga yang dijual di negaranya sendiri. Hal ini tentu saja sangat merusak dan dapat mematikan produksi dalam negeri karena produk dalam negeri akan sulit bersaing (Harjakusumah, 2010). Adanya ancaman masuknya produk impor dengan cara dumping dan ilegal sangat berpengaruh pada produksi industri besi baja di Indonesia, karena produk baja nasional menjadi kalah bersaing dalam harga yang dipasarkan. Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) menyatakan bahwa KADI pernah menangani kasus anti dumping pipa baja dari Jepang, Cina, dan Korea Selatan. Komite Anti Dumping Indonesia kemudian menangani dua kasus anti dumping terhadap produk baja impor yaitu lembaran baja canai panas (HRC) dari India, Rusia, Cina, dan Ukraina pada tahun 2002. Komite Anti Dumping Indonesia selain itu juga menangani kasus anti dumping besi beton wire rod impor dari India dan Turki pada tahun yang sama (Darmayanti, 2007). Perkembangan Indeks produksi industri besi dan baja dapat dilihat pada Gambar 4.5.
86
Indeks
Indeks Produksi Besi dan Baja 180.00 170.00 160.00 150.00 140.00 130.00 120.00
Indeks Produksi Besi dan Baja 2006
2007
2008
2009
2010
Tahun
Sumber : BPS, 2011.
Gambar 4.5. Indeks Produksi Besi dan Baja di Indonesia Tahun 2006-2010. Dapat dilihat bahwa indeks produksi besi dan baja di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2006 hingga 2008. Penurunan terjadi dari tahun 2008 ke tahun 2009 dan kemudian naik kembali pada tahun 2010. Perkembangan volume produksi dalam sektor besi dan baja dasar berdasarkan jenis produk besi dan baja dapat dilihat pada Tabel 4.3. Tabel 4.3 Perkembangan Volume Produksi Beberapa Produk Besi Baja Dasar Indonesia Tahun 2006-2007. No Kelompok 2006 (ribu ton) 2007 (ribu ton) 1
Besi Spons
1200,2
1322,7
2
Slap Baja
1291,8
1364,6
3
Billet/Ingot/Bloom
2512,7
2795,4
4
Besi Beton
1821,4
1842,6
5
Batang Kawat Baja
834,1
919,6
6
HRC & Plate
2494,1
3120,0
7
Pipa Las Lurus/Spiral
779,2
2243,0
8
CRC/Sheet
762,0
1350,0
9
BjLS/warna
322,3
1200,0
10
Tin Plate
83,5
130,0
Sumber: Kementrian Perindustrian, 2008.
87
Gagasan untuk mendirikan pabrik baja muncul pada tahun 1956 yang saat itu dimotori oleh Perdana Menteri Republik Indonesia. Alternatif kota yang akan dijadikan lokasi berdirinya pabrik baja pertama di Indonesia antara lain: Lampung, Cilegon, Merak dan Probolinggo. Kota Cilegon dipilih sebagai lokasi yang didirikan pabrik besi baja, dengan alasan dipilihnya kota ini dikarenakan pusat perekonomian saat itu masih tersentralisasi di Jakarta disamping dekat dengan sarana pelabuhan kapal laut karena untuk memudahkan impor bahan baku/pellet (Safitri, 2006). Tahun 1962 realisasi pembangunan pabrik besi baja tersebut dilaksanakan dan direncanakan akan selesai pada tahun 1968, namun terhenti pada tahun 1965 akibat meletusnya pemberontakan G30S PKI. Usaha melanjutkan program pembangunan pabrik tersebut pada tanggal 30 Desember 1967 dikeluarkan Instruksi Presiden untuk merubah Proyek Baja Trikora menjadi bentuk Perseroan Terbatas, dengan nama PT Krakatau Steel yang diresmikan berdiri pada tanggal 27 Oktober 1971 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 tanggal 31 Agustus 1970 (GAPBESI, 2006). Kemunculan perusahaan besi baja mendorong munculnya perusahaanperusahaan baru yang bergerak dibidang industri besi baja. Kondisi industri baja yang mengalami penambahan perusahaan tidak mencerminkan adanya persaingan yang sehat antara sesamanya akan tetapi industri baja dalam negeri didominasi oleh empat perusahaan besar yakni PT Krakatau Steel, PT Gunawan Dian Jaya Steel, PT Jayapsari Steel dan PT Indonesia Tube Work Steel. Keempat perusahaan tersebut mampu berproduksi dalam skala besar dan menciptakan Economies of
88
Scale sehingga dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri hingga melakukan ekspor baja keluar negeri (Bahri, 2008). Jumlah perusahaan besi baja ini dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan yang cukup besar. Perkembangan jumlah perusahaan industri besi baja dapat dilihat pada Gambar 4.6.
Perkembangan Jumlah Perusahaan Industri Besi dan Baja 290 Jumlah
270 250 230
Jumlah Perusahaan
210 190 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tahun
Sumber : BPS, 2011.
Gambar 4.6. Perkembangan Jumlah Perusahaan Industri Besi dan Baja di Indonesia Tahun 2001-2009.
Jumlah perusahaan industri besi baja mengalami penurunan dari tahun 2001 hingga 2003, serta dari tahun 2004 ke 2005, dan dari tahun 2006 hingga 2009. Jumlah perusahaan industri besi baja naik dari tahun 2003 ke tahun 2004, dan dari tahun 2005 hingga 2006. Jawa Barat merupakan propinsi yang memiliki perusahaan baja terbanyak yakni 74 buah. Penyebaran industri logam termasuk besi baja dapat dilihat pada Tabel 4.4.
89
Tabel 4.4. Persebaran Perusahaan Baja, Non Ferro dan Logam Hilir Indonesia Tahun 2005. Propinsi
Baja
Non Ferro
Logam Hilir
Bali
-
-
2
Banten
42
22
91
Bangka Belitung
-
2
-
Yogyakarta
2
-
-
Jakarta
37
12
88
Jawa Barat
71
14
153
Jawa Tengah
22
1
18
Jawa Timur
61
27
86
Kalimantan Barat
1
-
1
Kalimantan
-
-
1
Kalimantan Timur
1
-
-
Kepulauan Riau
3
1
9
Lampung
1
-
3
Riau
9
-
6
Sulawesi Selatan
5
-
3
Sulawesi Tenggara
1
-
-
Sulawesi Utara
1
-
1
Sumatera Selatan
2
-
-
Sumatera Utara
11
5
23
Total
270
84
485
Selatan
Sumber: BPS, 2005. Perusahaan terdiri dari tenaga kerja yang mengoperasikan perusahaan tersebut. Perkembangan jumlah tenaga kerja industri besi dan baja di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 4.7.
90
Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja Industri Besi Baja di Indonesia Jumlah
70,000 65,000 60,000
Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja Industri Besi Baja di Indonesia
55,000 50,000 2004
2005
2006
2007
2008
2009
Tahun
Sumber: BPS, 2011.
Gambar 4.7. Perkembangan Jumlah Tenaga Kerja Industri Besi Baja di Indonesia Tahun 2004-2009. Perkembangan jumlah tenaga kerja industri besi baja di Indonesia cenderung mengalami perubahan yang tidak signifikan dari tahun 2004 hingga tahun 2009. Kenaikan jumlah tenaga kerja terjadi dari tahun 2005-2006, dan selebihnya dari tahun 2004-2005, 2006-2009 cenderung untuk mengalami penurunan. Pentingnya peranan besi baja dalam pembangunan suatu negara membuat kebutuhan akan barang ini terus meningkat, disertai dengan meningkatnya jumlah populasi. Kondisi ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga terjadi di seluruh negara di dunia (Safitri, 2006). Hasil produksi industri logam dasar besi dan baja Indonesia tidak hanya dimanfaatkan oleh industri-industri hilir di dalam negeri, tetapi juga telah diekspor ke negara-negara yang membutuhkan besi dan baja (Darmayanti, 2007). Perkembangan impor dan ekspor logam dasar besi baja di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 4.8.
91
Jumlah (Ton)
Perkembangan Ekspor dan Impor Logam Dasar Besi Baja di Indonesia 10,000 9,000 8,000 7,000 6,000 5,000 4,000 3,000 2,000 1,000 0
Ekspor Impor
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Tahun
Sumber : BPS, 2011.
Gambar 4.8. Perkembangan Ekspor dan Impor Logam Dasar Besi Baja di Indonesia Tahun 2000-2010. Gambar 4.8 di atas menunjukkan bahwa volume impor logam dasar besi baja di Indonesia masih lebih tinggi dibandingkan volume ekspornya. Hal ini mengindikasikan bahwa ekspor neto logam dasar besi baja memiliki angka yang negatif diantara rentang tahun 2000 hingga 2010.
4.2.3. Perkembangan Investasi Sektor Industri Besi Baja (Foreign Direct Investment dan Penanaman Modal Dalam Negeri) serta Produk Domestik Bruto Industri besi baja di Indonesia. Aliran Foreign Direct Investment (FDI) sektor industri besi baja mengalami kondisi yang fluktuatif dalam pelaksanaannya. Perkembangan aliran FDI di sektor industri besi baja dapat dilihat pada Gambar 4.9.
92
FDI Sektor Industri Besi Baja di Indonesia Jumlah (USD)
300,000.00 250,000.00 200,000.00 150,000.00
FDI pada Sektor Industri Besi Baja di Indonesia
100,000.00 50,000.00 0.00 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Tahun
Sumber : BKPM (diolah), 2011.
Gambar 4.9. Aliran Foreign Direct Investment pada Sektor Industri Besi Baja di Indonesia Tahun 2001-2009. Aliran FDI pada sektor industri besi baja di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2001 hingga 2005, dan dari tahun 2007 hingga 2008. Aliran FDI di sektor ini mengalami penurunan pada tahun 2005 hingga 2007, dan dari tahun 2008 hingga 2009. Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi fluktuasi pada aliran Foreign Direct Investment untuk mendukung iklim investasi pada sektor industri besi baja di Indonesia. Aliran Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sektor industri besi baja di Indonesia mengalami kondisi yang dinamis seperti aliran FDI pada sektor yang sama. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4.10.
93
Jumlah (Miliar Rupiah)
PMDN Sektor Industri Besi Baja di Indonesia 2,500,000.00 2,000,000.00 1,500,000.00 1,000,000.00 500,000.00 0.00
PMDN sektor Industri Besi Baja di Indonesia
Tahun
Sumber: BKPM (diolah), 2011.
Gambar 4.10. Aliran Penanaman Modal Dalam Negeri Sektor Industri Besi Baja di Indonesia Tahun 2000-2009. Gambar 4.10 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan aliran PMDN sektor industri besi baja pada tahun 2001 ke 2002, 2003 ke 2004, 2004 ke 2005, 2005 ke 2006, serta tahun 2007 ke 2008. Aliran PMDN di sektor industri besi baja mengalami penurunan pada tahun 2000 ke 2001, 2002 ke 2003, 2006 ke 2007, serta tahun 2008 hingga 2009. Dinamika aliran investasi baik investasi asing langsung dalam bentuk Foreign Direct Investment (FDI) juga Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) memiliki hubungan dengan jumlah PDB dari industri besi baja sendiri. Dinamika perkembangan PDB industri besi baja di Indonesia berdasarkan harga konstan dapat dilihat pada Gambar 4.11.
94
2,400 2,300 2,200 2,100 2,000 1,900 1,800 1,700 2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
PDB Industri Besi Baja di Indonesia
2000
Jumlah (Miliar Rupiah)
PDB Industri Besi Baja di Indonesia
Tahun
Sumber : BI, 2011.
Gambar 4.11 PDB Industri Besi Baja di Indonesia Berdasarkan Harga Konstan Tahun 2000-2010. . Jumlah PDB industri besi baja di Indonesia mengalami peningkatan pada tahun 2001 ke 2002, 2004 ke 2005, 2005 ke 2006, 2006 ke 2007. 2008 hingga 2010. Penurunan jumlah PDB industri besi baja terjadi pada tahun 2000 ke 2001, 2002 ke 2003, 2003 ke 2004, serta dari tahun 2007 hingga 2008. Hal ini mengindikasikan bahwa pergerakan dari jumlah PDB industri besi baja di Indonesia dapat memiliki pergerakan yang searah ataupun berlawanan arah dari pergerakan aliran Foreign Direct Investment sektor industri besi baja serta Penanaman Modal Dalam Negeri pada sektor industri besi baja.
V.
5.1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian Pra Estimasi.
5.1.1. Kestasioneran Data. Data time series biasanya memiliki permasalahan terkait stasioneritas. Data time series (deret waktu) memerlukan pengujian terlebih dahulu terhadap kestasionerannya, dan tahapan ini penting untuk melihat ada tidaknya unit root yang terkandung di antara variabel sehingga hubungan antar variabel dalam persamaan menjadi valid serta tidak menghasilkan spurious regression atau regresi lancung (Firdaus, 2010). Uji Augmented Dickey Fuller (ADF) terlebih dahulu dilakukan sebelum masuk pada tahapan analisis VAR, dimana dalam pengujian ini melihat ada atau tidaknya unit root dalam variabel. Kriteria uji dalam ADF ini membandingkan antara nilai statistik dengan nilai kritikal dalam tabel Dickey Fuller. Data bersifat stasioner apabila nilai ADF statistik lebih kecil dari nilai Mc Kinnon Critical Value, sedangkan data bersifat non-stasioner apabila nilai ADF statistik lebih besar dari nilai Mc Kinnon Critical Value. Hipotesis yang diuji adalah: H0 : δ = 0 (data tidak stasioner atau mengandung unit root) H1 : δ < 0 (data stasioner) Keputusan uji ADF adalah tolak H0 yang berarti data tidak mengandung unit root yang berarti data stasioner dan sebaliknya. Pemeriksaan kestasioneran data time series pada setiap variabel dalam tingkat level, first difference, second difference dengan mengunakan uji ADF dapat dilihat dalam Tabel 5.1.
96
Tabel 5.1. Uji Akar Unit. Variabel
Level Nilai
Ket
ADF Log_PDB
-1,741
First Difference
Second Difference
Nilai
Nilai
Ket
ADF Tidak
Ket
ADF
-6,8909
Stasioner
-10,629
Stasioner
-6,6620
Stasioner
-10,038
Stasioner
-9,5183
Stasioner
-13,344
Stasioner
-2,6985
Stasioner
-25,993
Stasioner
Stasioner
-7,0728
Stasioner
Tidak
-11,081
Stasioner
-5,2838
Stasioner
Stasioner Log_NILAI
-2,438
TUKAR Log_FDI
Tidak Stasioner
-2,295
Tidak Stasioner
NETEXP
-2,350
Tidak Stasioner
Log_PMDN
-4,557
LIBOR
-2,375
10%
Stasioner -8,1465 Tidak
-1,4007
Stasioner SB
-6,215
Stasioner
Stasioner -10,664
Stasioner
Sumber : Lampiran 2, data diolah.
Uji stasioneritas pada data level berdasarkan hasil dari Tabel 5.1 dapat dilihat bahwa data Output Produk Domestik Bruto industri besi baja (PDB), Foreign Direct Investment sektor industri besi baja (FDI), Nilai Tukar riil Rupiah terhadap IHK Amerika Serikat (NILAITUKAR), ekspor neto logam dasar besi baja di Indonesia (NETEXP), suku bunga internasional (LIBOR) tidak stasioner karena nilai ADF kelima variabel tersebut lebih besar dari nilai kritis Mc Kinnon, sedangkan variabel suku bunga pinjaman investasi (SB) dan Penanaman Modal Dalam Negeri sektor industri besi baja (PMDN) stasioner pada level untuk tingkat kritis 1%, 5% dan 10%. Kondisi lima variabel lainnya yang tidak stasioner maka perlu dilanjutkan pada uji akar unit pada first difference. Konsekuensi dari tidak
97
terpenuhinya asumsi stasioneritas pada tingkat level atau derajat nol atau I(0) maka akan dilakukan uji derajat integrasi. Data didiferensiasikan pada uji ini dalam derajat tertentu sampai semua data menjadi stasioner pada derajat yang sama. Uji stasioneritas pada data first difference menunjukkan bahwa semua data kecuali LIBOR sudah stasioner. Semua data bersifat stasioner berdasarkan hasil akar unit tingkat derajat terintegrasi dua I(2) atau second difference, hal tersebut dikarenakan nilai ADFnya lebih kecil daripada nilai kritis Mac Kinnon. Penggunaan data perbedaan pertama (first difference) dan kedua (second difference) menurut Sims dalam Enders (2004) tidak direkomendasikan sebab akan menghilangkan informasi jangka panjang. Digunakan data level untuk menganalisis informasi jangka panjang sehingga model VAR akan dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan (error correction model) menjadi VECM. 5.1.2. Pengujian Lag Optimal. Pengujian panjang lag optimal ini sangat berguna untuk menghilangkan masalah autokorelasi dalam sistem VAR. Penggunaan lag optimal dengan tujuan permasalahan terkait autokorelasi tidak muncul kembali. Jumlah lag yang optimal dalam penelitian ini didasarkan pada nilai Akaike Information Criteria (AIC) dan Schwarz Information Criterion yang terkecil atau minimum. Hasil penetapan lag optimal model penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5.2.
98
Tabel 5.2. Uji Lag Optimal. Lag (Kuartal)
AIC
SC
0
40,38091
40,68882
1
37,52678
39,99003*
2
36,42824*
41,04683
Sumber: Lampiran 6, data diolah.
5.1.3. Uji Stabilitas Vector Auto Regression. Hasil estimasi sistem persamaan VAR yang telah terbentuk perlu diuji stabilitasnya melalui VAR stability condition check yang berupa roots of characteristic polynomial terhadap seluruh variabel yang digunakan dikalikan jumlah lag dari masing-masing VAR sebelum masuk pada tahapan analisis yang lebih jauh lagi. Persamaan VAR dikategorikan stabil jika modulus dari seluruh roots of characteristic polynomial lebih kecil dari 1. Dapat dilakukan estimasi terhadap VECM setelah sistem persamaan VAR stabil. Jumlah variabel yang digunakan dalam model penelitian sebanyak tujuh variabel dengan lag sebanyak 2, maka jumlah root yang diuji sebanyak 7 (7*2=14). Sistem VAR yang digunakan dapat disimpulkan adalah bersifat stabil berdasarkan hasil uji stabilitas VAR. Hal tersebut dapat dibuktikan dari 14 root yang diuji memiliki modulus dari seluruh roots of characteristic polynomial dengan kisaran 0.847588- 0.271024. Informasi yang lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 5.
99
5.2. Uji Kointegrasi. Keberadaan variabel yang tidak stasioner meningkatkan potensi adanya hubungan kointegrasi antara variabel. Variabel yang tidak stasioner memenuhi syarat untuk proses kointegrasi, yaitu semua variabel yang stasioner pada derajat yang sama yaitu derajat I(2). Suatu kondisi dinamakan kointegrasi apabila terdapat kombinasi linear antara variabel non-stasioner yang terkointegrasi pada ordo yang sama (Enders, 2004). Kointegrasi digunakan untuk memperoleh persamaan jangka panjang yang stabil. Uji kointegrasi pada analisis ini digunakan untuk melihat apakah metode VECM dapat digunakan atau tidak. Metode VECM dapat digunakan dalam analisis, jika terdapat lebih dari nol rank kointegrasi. Uji kointegrasi yang dipakai berdasarkan Johansen Cointegration Test dengan Trace Statistic digunakan untuk mengetahui jumlah persamaan yang terkointegrasi di dalam sistem. Hipotesis H1 yang menyatakan jumlah rank kointegrasi dapat diterima apabila nilai Trace statistic lebih besar dari nilai kritis pada tingkat tersebut. Model PDB industri besi baja berdasarkan Tabel 5.3 menunjukkan empat persamaan yang terkointegrasi. Tabel 5.3. Hasil Uji Kointegrasi. Hypothesized No. Of CE(s) None * At most 1 * At most 2 * At most 3 * At most 4
Trace Statistic Eigenvalue 0,945518 0,757873 0,592233 0,586921 0,414635
259,6239 151,9579 99,48099 66,28975 33,57746
Critical Value 5% 150,5585 117,7082 88,80380 63,87610 42,91525
Sumber: Lampiran 7, data diolah.
Restriksi umum (general restriction atau just identifying restriction) dapat dibuat berdasarkan metode Johansen setelah rank kointegrasi diketahui, yaitu
100
dengan membuat matriks identitas berukuran jumlah rank kointegrasi yang terdapat pada model PDB industri besi baja. Informasi jumlah rank kointegrasi ini akan digunakan sebagai model koreksi kesalahan (error correction model) yang akan dimasukkan kedalam model VAR menjadi VECM. Restriksi umum pada model VAR dan VECM secara lebih lengkap dapat dilihat dalam lampiran uji kointegrasi.
5.3. Hasil Uji Kausalitas Granger. Uji kausalitas Granger dilakukan untuk melihat hubungan kausalitas di antara variabel-variabel yang ada di dalam model. Hipotesis awal atau Ho yang diuji adalah tidak adanya hubungan kausalitas, sedangkan hipotesis alternatifnya atau H1 adalah adanya hubungan kausalitas. Penerimaan atau penolakan H0 dapat dilakukan dengan membandingkan nilai probabilitas dengan nilai kritis yang digunakan. H0 ditolak apabila nilai probabilitas lebih kecil dari nilai kritis yang telah ditentukan, sehingga terdapat hubungan kausalitas pada variabel-variabel yang diuji. Hasil dari pengujian kausalitas di dalam model dapat dilihat pada Tabel 5.4. Tabel 5.4. Uji Kausalitas Granger untuk Model Penelitian. Peubah Tak Bebas Peubah Bebas
Probability
PDB
NETEXP
0.0466
SB
NILAITUKAR
2.10-2
PDB
0.0364
FDI
0.0464
SB
0.0022
NILAITUKAR Sumber: Lampiran 3, data diolah.
101
Hasil uji kausalitas Granger pada model penelitian dengan signifikansi taraf nyata 5 persen menunjukkan bahwa terdapat beberapa hasil penting dari pengujian tersebut. Hasil penting yang pertama adalah terdapat hubungan kausalitas antara suku bunga pinjaman investasi dengan nilai tukar riil Rupiah terhadap IHK Amerika Serikat. Nilai tukar riil memiliki pengaruh juga terhadap PDB industri besi baja, FDI sektor industri besi baja. PDB sendiri memiliki pengaruh terhadap ekspor neto logam dasar besi baja.
5.4.
Hasil Penelitian.
5.4.1. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Memengaruhi Output Produk Domestik Bruto Industri Besi Baja di Indonesia. Tabel 5.5 berikut ini merupakan hasil estimasi VECM pada model output industri besi baja di Indonesia yang memperlihatkan hubungan variabel pada jangka pendek maupun jangka panjang. Variabel dependen pada estimasi di dalam model tersebut adalah output PDB industri besi baja di Indonesia dengan menggunakan cointegration equation pertama, sedangkan variabel independennya adalah Foreign Direct Investment (FDI) sektor industri besi baja, Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sektor industri besi baja, suku bunga pinjaman investasi, suku bunga internasional (LIBOR), nilai tukar Rupiah terhadap USD Amerika Serikat, serta ekspor neto dari output besi baja di Indonesia. Hasil uji kointegrasi sebelumnya terdapat empat persamaan yang terkointegrasi. Model VECM output PDB Industri besi baja Indonesia menunjukkan bahwa persamaan yang terkointegrasi mempunyai dugaan parameter error correction -1,068412 yang secara statistik signifikan sehingga
102
dugaan parameter error correction dapat digunakan untuk mengoreksi persamaan jangka pendek menuju jangka panjang. Hasil estimasi model VECM output PDB industri besi baja menyatakan bahwa dalam jangka pendek terdapat tiga variabel yang signifikan terhadap output PDB industri besi baja di Indonesia. Enam variabel pada jangka panjang berpengaruh signifikan. Hal ini terjadi karena suatu variabel bereaksi terhadap variabel lainnya membutuhkan waktu (lag) dan pada umumnya reaksi suatu variabel terhadap variabel lainnya terjadi dalam jangka panjang. Terbukti adanya mekanisme penyesuaian dari jangka pendek ke jangka panjangnya pada model output industri besi baja di Indonesia yang ditunjukkan dengan kointegrasi kesalahan yang bernilai negatif dan secara statistik signifikan dan secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 5.5. Tabel 5.5. Hasil Estimasi Model Vector Error Correction Model Industri Besi Baja di Indonesia. Variabel Koefisien T-statistik Jangka Pendek D(PDB(-2))
0,236894
1,96993
D(LIBOR(-1))
-0,047022
-4,31490
D(LIBOR(-2))
-0,020477
-2,81282
CointeEq1
-1,068412
-6,29860
Jangka Panjang Ln_NILAITUKAR(-1)
-0,255761
-5,48915
Ln_FDI(-1)
0,027750
7,08520
NETEXP(-1)
-0,000046
-4,83822
Ln_PMDN(-1)
0,007531
3,93001
LIBOR(-1)
0,016318
7,31788
SB(-1)
0,004238
3,65624
*Signifikan pada tingkat 5% Sumber: Lampiran 8, data diolah.
103
Terdapat dugaan parameter error correction sebesar -1,068412 persen yang secara statistik signifikan. Hasil estimasi VECM jangka pendek menunjukkan bahwa variabel PDB lag kedua berpengaruh positif yang signifikan terhadap output PDB industri besi baja di Indonesia, yakni ketika terjadi kenaikan output PDB industri besi baja lag kedua sebesar satu persen, maka akan terjadi peningkatan output PDB industri besi baja sebesar 0,236894 persen. Hal ini menyatakan bahwa output PDB industri besi baja dipengaruhi oleh lag sebelumnya (lag kedua) dari output PDB industri besi baja sendiri. Variabel lain yang berpengaruh signifikan pada jangka pendek terhadap output PDB industri besi baja adalah variabel LIBOR lag pertama dan lag kedua. Setiap kenaikan variabel LIBOR lag pertama sebesar satu persen, akan menyebabkan terjadinya penurunan output PDB industri besi baja sebesar 0,047022 persen, sedangkan setiap kenaikan variabel LIBOR lag kedua sebesar satu persen, akan menyebabkan terjadinya penurunan output PDB industri besi baja sebesar 0,020477 persen. Hal ini sesuai dengan teori bahwa kenaikan LIBOR akan menyebabkan terjadinya penurunan FDI sektor industri besi baja yang pada akhirnya penurunan investasi asing ini akan menyebabkan terjadinya penurunan output PDB industri besi baja. Tabel 5.5 juga menunjukkan bahwa dalam jangka panjang terdapat enam variabel yang berpengaruh signifikan terhadap output PDB industri besi baja di Indonesia dalam jangka panjang. Variabel nilai tukar berpengaruh negatif yang signifikan terhadap output PDB industri besi baja, yakni setiap apresiasi nilai tukar sebesar satu persen akan menyebabkan terjadinya penurunan output PDB
104
industri besi baja sebesar 0,255761. Hal ini sesuai dengan teori bahwa apresiasi nilai tukar Rupiah terhadap Dollar akan menyebabkan lebih murahnya harga output besi baja di luar negeri, sehingga biaya untuk mengimpor besi baja dari luar negeri menjadi lebih murah dibandingkan memproduksi output besi baja di Indonesia, dan hal ini pada akhirnya akan menurunkan output besi baja yang diproduksi di Indonesia. Foreign Direct Investment (FDI) berpengaruh positif yang signifikan terhadap output PDB industri besi baja, yakni ketika terjadi kenaikan FDI sektor industri besi baja sebesar satu persen, maka akan meningkatkan output PDB industri besi baja sebesar 0,027750 persen. Hal ini sesuai dengan teori bahwa faktor investasi adalah salah satu faktor penting dalam memproduksi output pada suatu industri. Tingkat produksi output dipengaruhi oleh faktor modal dan tenaga kerja. Investasi dalam bentuk FDI dapat meningkatkan kualitas modal dalam bentuk teknologi, dan juga peningkatan kualitas tenaga kerja domestik sehingga akan mampu menyebabkan peningkatan output produksi dalam industri besi baja sendiri. Setiap kenaikan investasi dalam bentuk FDI dapat memengaruhi peningkatan dari output yang diproduksi dalam industri tersebut. Variabel ekspor neto besi baja berpengaruh negatif yang signifikan terhadap output PDB industri besi baja di Indonesia dalam jangka panjang, yakni ketika terjadi kenaikan ekspor neto besi baja sebesar satu persen, maka akan menurunkan output PDB industri besi baja sebesar 0,000046 persen. Hal ini sesuai dengan fakta bahwa dalam jangka panjang kenaikan ekspor neto dapat disebabkan oleh kenaikan volume ekspor. Semakin besar volume penerimaan dari
105
ekspor besi baja, maka semakin besar jumlah valuta asing yang dimiliki oleh suatu negara sehingga akan membuat nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing cenderung mengalami apresiasi begitu besarnya. Nilai tukar yang terapresiasi ini akan membuat harga output besi baja luar negeri menjadi lebih murah, sehingga terjadi peningkatan juga pada volume impor besi baja sendiri. Volume impor yang juga meningkat dalam jangka panjang ini dapat mengurangi jumlah output yang dihasilkan dalam industri besi baja sendiri dikarenakan produk berupa output industri besi baja di Indonesia akan kalah bersaing dengan produk-produk impor berupa output besi baja dari luar negeri. Variabel Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) berpengaruh positif yang signifikan terhadap output PDB industri besi baja dalam jangka panjang, yakni ketika terjadi kenaikan PMDN sektor industri besi baja sebesar satu persen, maka akan meningkatkan output PDB industri besi baja sebesar 0,007531 persen. Hal ini sesuai dengan teori bahwa faktor investasi adalah salah satu faktor penting dalam memproduksi output pada suatu industri. Tingkat produksi output dipengaruhi oleh faktor modal dan tenaga kerja. Investasi dalam bentuk PMDN dapat meningkatkan kualitas modal dalam bentuk teknologi, dan juga peningkatan kualitas tenaga kerja domestik sehingga akan mampu menyebabkan peningkatan output produksi dalam industri besi baja sendiri. Setiap kenaikan investasi dalam bentuk PMDN dapat memengaruhi peningkatan dari output yang diproduksi dalam industri tersebut. Variabel suku bunga internasional LIBOR berpengaruh positif yang signifikan terhadap output PDB industri besi baja di Indonesia dalam jangka
106
panjang, yakni ketika terjadi kenaikan LIBOR sebesar satu persen, maka akan meningkatkan output PDB industri besi baja sebesar 0,016318 persen. Hal ini sesuai dengan kondisi apabila terjadi kenaikan LIBOR yang menyebabkan suku bunga pinjaman investasi domestik menjadi lebih rendah daripada LIBOR sendiri, maka akan terjadi peningkatan investasi dalam negeri dalam bentuk PMDN yang pada akhirnya akan meningkatkan jumlah output dalam industri tersebut. Variabel suku bunga pinjaman investasi berpengaruh signifikan yang positif terhadap output PDB industri besi baja di Indonesia, yakni apabila terjadi kenaikan suku bunga sebesar satu persen, maka akan meningkatkan output PDB industri besi baja sebesar 0,004238 persen. Hal ini sesuai dengan teori bahwa kenaikan suku bunga pinjaman investasi domestik akan menyebabkan terjadinya peningkatan capital inflow dalam bentuk FDI sektor industri besi baja, dan pada akhirnya kenaikan investasi asing dalam bentuk FDI di sektor industri besi baja akan meningkatkan output PDB industri besi baja di Indonesia. Model VAR (Vector Auto Regression) yang dikombinasikan dengan Vector Error Correction Model (VECM) digunakan untuk menganalisis pengaruh dari guncangan FDI sektor industri besi baja terhadap output PDB industri besi baja dan variabel makroekonomi lainnya. Pengaruh dan peranan shock FDI sektor industri besi baja terhadap output PDB industri besi baja dan variabel makroekonomi lainnya dapat diidentifikasi melalui guncangan struktural dengan menggunakan cholesky decomposition. Tahapan analisis selanjutnya yang akan digunakan adalah Impulse Respons Function (IRF) dan Forecast Error Variance Decomposition (FEVD).
107
5.4.2. Analisis Pengaruh Foreign Direct Investment Sektor Industri Besi Baja. Analisis IRF akan menjelaskan dampak dari guncangan (shock) pada satu variabel terhadap variabel lain, dimana dalam analisis ini tidak hanya dalam waktu pendek tetapi dapat menganalisis untuk beberapa horizon kedepan (kuartal) sebagai infomasi jangka panjang. Dapat dilihat pada analisis ini respon dinamika setiap variabel apabila ada inovasi (shock) tertentu sebesar satu standar error pada setiap persamaan. Sumbu horisontal merupakan periode dalam kuartal, sedangkan sumbu vertikal menunjukkan nilai respon dalam standar deviasi yang dapat dikonversi dalam bentuk presentase. Dalam analisis ini digunakan variabel output PDB industri besi baja dan variabel makroekonomi lainnya yang dipengaruhi oleh adanya shock FDI sektor industri besi baja. Terdapat enam variabel pada analisis IRF dalam model penelitian. Pertama, variabel output Produk Domestik Bruto industri besi baja (PDB). Kedua, Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sektor industri besi baja. Ketiga, suku bunga pinjaman investasi (SB). Keempat, nilai tukar riil Rupiah (NILAITUKAR) terhadap Indeks Harga Konsumen Amerika. Kelima, suku bunga internasional (LIBOR). Keenam, ekspor neto logam dasar besi baja di Indonesia (NETEXP). 5.4.2.1.Respon Dinamis Guncangan Foreign Direct Investment terhadap Output Produk Domestik Bruto Industri Besi Baja di Indonesia. Analisis impuls respon (IRF) pada model penelitian bertujuan untuk menganalisis pengaruh guncangan FDI sektor industri besi baja terhadap output PDB industri besi baja dan variabel makroekonomi lainnya. Analisis ini penting
108
untuk melihat pengaruh guncangan FDI tersebut terhadap output PDB industri besi baja di Indonesia.
Response PDB Satu to Cholesky Respon PDB terhadap of Inovasi Standar Deviasi FDI One S.D. FDI Innovation
.024
.020
.016
.012
.008
.004
.000 5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Sumber: Lampiran 9, data diolah.
Gambar 5.1. Respon output Produk Domestik Bruto Industri Besi Baja terhadap Guncangan Foreign Direct Investment Sektor Industri besi baja. Gambar 5.1 menunjukkan bahwa guncangan sebesar satu standar deviasi FDI pada kuartal pertama tidak mengakibatkan perubahan output PDB industri besi baja. Guncangan FDI mulai menyebabkan terjadinya fluktuasi pada output industri besi baja dimana terjadi peningkatan output pada kuartal ke-2, ke-3, ke-5, ke-6, ke-11 dan kuartal lain, tetapi pengaruh guncangan juga dapat menyebabkan terjadinya penurunan output PDB industri besi baja berturut-turut pada kuartal ke-9, ke-15, dan kuartal lain seperti terlihat pada Gambar 5.1. Guncangan FDI sektor industri besi baja terhadap output PDB industri besi baja akan menyebabkan kondisi yang fluktuatif hingga kuartal 12. Perubahan output PDB industri besi baja sebagai respon guncangan FDI sektor industri besi baja sesuai dengan teori dan fakta yang terjadi, yaitu apabila
109
terjadi guncangan pada sektor investasi suatu industri, maka hal tersebut akan berpengaruh pada ketidakstabilan output yang dihasilkan dari industri tersebut sendiri. Output PDB industri besi baja terus menerus mengalami perubahan hingga kuartal ke-12, namun pengaruh guncangan FDI sektor industri besi baja terhadap output PDB industri besi baja mulai konvergen pada kuartal ke-13. Hal ini menjadi indikasi bahwa sektor investasi asing dalam bentuk Foreign Direct Investment ini memiliki pengaruh yang penting bagi industri besi baja sendiri. Sektor FDI yang mengalami guncangan akan memengaruhi terjadinya fluktuasi berupa peningkatan atau penurunan output PDB industri besi baja secara berkelanjutan hingga kuartal 13.
5.4.2.2.Respon Dinamis Guncangan Foreign Direct Investment terhadap Variabel Makroekonomi di Indonesia. Guncangan sebesar satu standar deviasi FDI pada kuartal pertama dalam jangka pendek akan tidak mengakibatkan perubahan nilai tukar, penurunan ekspor neto sebesar 114,5895 standar deviasi, kenaikan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) sebesar 1,4133 standar deviasi, kenaikan suku bunga internasional (LIBOR) sebesar 0,0626717 standar deviasi, dan kenaikan suku bunga pinjaman investasi (SB) sebesar 4,7748 standar deviasi. Kuartal ke-2, guncangan FDI akan menyebabkan apresiasi nilai tukar sebesar 0,0459 standar deviasi, kenaikan ekspor neto sebesar 4,8452 standar deviasi, kenaikan PMDN sebesar 1,10471 standar deviasi, kenaikan LIBOR sebesar 0,046982 standar deviasi, dan penurunan SB sebesar 0,2211 standar deviasi.
110
Pengaruh guncangan variabel FDI menyebabkan terjadinya fluktuasi nilai tukar, begitu pula pada variabel ekspor neto, PMDN, LIBOR, serta suku bunga pinjaman investasi dalam jangka panjang. Pada kuartal ke-25 mengakibatkan depresiasi nilai tukar sebesar 0,029740 standar deviasi, penurunan ekspor neto sebesar 0,9256 standar deviasi, kenaikan PMDN sebesar 0,8727 standar deviasi, kenaikan LIBOR sebesar 0,4251 standar deviasi, dan kenaikan SB sebesar 0,9591 standar deviasi. Respon Variabel Makroekonomi terhadap Inovasi Satu Standar Deviasi FDI Response to Cholesky One S.D. Innovations
Respon NILAITUKAR terhadap FDI Response of NILAITUKAR to FDI
Respon NETEXP terhadap FDI Response of NETEXP to FDI
.06
300
.04
200
.02
100
.00
0
-.02
-100
-.04
-200
-.06
-300 5
10
15
20
25
30
35
40
45
5
50
Respon PMDN terhadap FDI Response of PMDN to FDI
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Respon LIBOR terhadap FDI Response of LIBOR to FDI
1.6
.5
.4 1.2 .3 0.8
.2
.1 0.4 .0 5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
45
50
5
10
15
20
25
30
35
40
45
50
Respon SB of terhadap FDI Response SB to FDI 5 4 3 2 1 0 -1 -2 5
10
15
20
25
30
35
40
Sumber: Lampiran 9, data diolah.
Gambar 5.2. Respon Variabel Makroekonomi terhadap Guncangan Foreign Direct Investment Sektor Industri Besi Baja.
111
Apresiasi nilai tukar akan menurunkan harga barang impor bila dinilai dalam satuan mata uang domestik. Impor besi baja sebagai dampak apresiasi nilai tukar rupiah dapat menurunkan output PDB industri besi baja di Indonesia, karena akan lebih murah membeli besi baja dari luar negeri dibandingkan dengan biaya untuk memproduksi besi baja itu sendiri dalam industri. Bank Sentral akan menurunkan tingkat suku bunga pinjaman investasi supaya investor dalam negeri dapat membelanjakan uangnya untuk investasi domestik dalam negeri. Penurunan suku bunga pinjaman investasi akan menurunkan ketertarikan para investor asing untuk berinvestasi di sektor industri besi baja sehingga akan menurunkan output PDB pada sektor ini. Indikatornya adalah investor asing akan tertarik untuk menanam modal di dalam negeri apabila suku bunga pinjaman investasi lebih tinggi daripada suku bunga internasional LIBOR. Pengaruh guncangan FDI menyebabkan terjadinya depresiasi nilai tukar dari kuartal ke-6 hingga kuartal ke-50 yang menyebabkan terjadinya penguatan ekspor yang pada akhirnya meningkatkan ekspor neto. Guncangan FDI sektor industri besi baja juga menyebabkan penurunan suku bunga pinjaman investasi di dalam negeri dan hal ini menyebabkan dapat menghilangkan para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, di sisi lain juga dapat meningkatkan investasi oleh investor dalam negeri di sektor ini akibat penurunan suku bunga pinjaman investasi tersebut. Kondisi ini diakibatkan oleh tidak stabilnya perekonomian domestik yang dicirikan dengan menguat nilai tukar Rupiah sehingga investor menilai investasi di Indonesia relatif kurang menguntungkan karena saat ini daya beli masyarakat melemah. Berkurangnya para investor asing
112
ini membuat output PDB industri besi baja pun berkurang. Dalam jangka panjang nilai tukar riil Rupiah dapat mulai membaik dengan adanya intervensi dari otoritas moneter dan pemerintah dan kepercayaan para investor asing untuk berinvestasi pun semakin membaik seiring dengan membaiknya perekonomian domestik. Dapat disimpulkan bahwa dengan adanya guncangan FDI akan membuat output PDB industri besi baja berfluktuasi hingga kuartal ke-12, sedangkan variabel makroekonomi seperti nilai tukar berfluktuasi hingga kuartal ke-20, ekspor neto hingga kuartal ke-50, PMDN hingga kuartal ke-50, LIBOR hingga kuartal ke-50, dan suku bunga pinjaman investasi hingga kuartal ke-30. Hal ini mengindikasikan bahwa FDI sektor industri besi baja memiliki pengaruh terhadap output PDB industri besi baja dan variabel lain apabila FDI tersebut berfluktuasi dalam bentuk shock FDI sendiri.
5.4.3. Analisis Kontribusi Keragaman Variabel terhadap Foreign Direct Investment Sektor Industri Besi Baja. Fluktuasi setiap variabel akibat terjadinya suatu guncangan (shock) dapat dilakukan dengan menganalisis peranan setiap guncangan dalam menjelaskan fluktuasi variabel-variabel makroekonomi melalui analisis FEVD atau disebut juga sebagai analisis dekomposisi varians, dimana dalam analisis ini kontribusi dari guncangan variabel dalam sistem terhadap perubahan variabel tertentu dapat diketahui. Hasil FEVD secara keseluruhan menunjukkan bahwa diperlukan kestabilan nilai tukar Riil Rupiah terhadap Dollar. Fluktuasi nilai tukar Rupiah maka akan memengaruhi harga barang tradable (ekspor dan impor).
113
Analisis dekomposisi varian FDI model VAR melalui simulasi FEVD. Simulasi pada model dalam Gambar 5.5 dan Tabel 5.6 sebagai berikut.
Dekomposisi Varians FDI 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 1 PDB
5
10
NILAITUKAR
15
20 FDI
25 NETEXP
30
35 PMDN
40
45
LIBOR
50 SB
Sumber: Lampiran 11, data diolah.
Gambar 5.5. Dekomposisi Varians Foreign Direct Investment Sektor Industri Besi Baja di Indonesia
Pada kuartal pertama guncangan FDI dipengaruhi oleh dirinya sendiri sebesar 91,62 persen, kontribusi dari PDB sebesar 7,75 persen, serta kontribusi dari nilai tukar sebesar 0,61 persen. Kontribusi dari variabel lain pada kuartal ke-2 bervariasi, dimana PDB memberikan kontribusi sebesar 6,02 persen, FDI dipengaruhi oleh diri sendiri sebesar 71,70 persen, PMDN sebesar 1,22 persen, suku bunga sebesar 12,35 persen, LIBOR sebesar 0,03 persen, ekspor neto sebesar 8,16 persen, nilai tukar riil sebesar 0,48 persen.
114
Tabel 5.6. Dekomposisi Varians Foreign Direct Investment Sektor Industri Besi Baja di Indonesia. Peri
Guncangan (%)
ode 1 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50
PDB
NILAI TUKAR
FDI
NETEXP
PMDN
LIBOR
SB
7,7579 8,7761 8,0974 7,5934 7,2798 7,1861 7,1747 7,1079 7,0604 7,0313 7,0187
0,6170 4,8711 6,3378 4,8053 3,9880 3,4574 3,0349 2,7157 2,4720 2,2819 2,1196
91,6250 48,9882 32,8960 25,2763 21,1250 18,8411 17,1114 15,7453 14,6493 13,8364 13,1818
0,00000 17,4835 28,7609 35,6093 39,6304 41,5257 43,2406 44,6231 45,7059 46,4601 47,0988
0,0000 0,7692 1,0784 1,3429 1,1260 0,98091 0,87020 0,76967 0,68857 0,62088 0,56624
0,00000 5,90955 12,9254 17,2242 19,6990 21,5046 22,4415 23,1769 23,7887 24,3326 24,7272
0,0000 13,202 9,9039 8,1482 7,1515 6,5038 6,1263 5,8612 5,6350 5,4366 5,2875
Sumber: Lampiran 11, data diolah.
Guncangan FDI pada kuartal ke-3 hingga kuartal ke-50 secara rata-rata dipengaruhi oleh dirinya sendiri mengalami penurunan dari kontribusi sebesar 55,41 persen hingga 13,18 persen. PDB memberikan kontribusi dalam rentang 8,41 persen hingga 7,01 persen, nilai tukar riil sebesar 5,31 persen hingga 2,11 persen, PMDN dalam rentang 0,93 persen hingga 0,56 persen, suku bunga sebesar 14,48 persen hingga 5,28 persen, LIBOR
mengalami kenaikan sebesar 1,80
persen hingga 24,72 persen, ekspor neto sebesar 13,61 persen hingga 47,09 persen. Variabel FDI yang dipengaruhi oleh shock FDI sendiri memberikan proporsi kontribusi yang relatif lebih tinggi kuartal awal, dan mengalami penurunan hingga kuartal ke-50. Nilai tukar Rupiah relatif lebih berfluktuasi dari
115
waktu kewaktu dibandingkan rezim mengambang terkendali setelah Indonesia menerapkan sistem nilai tukar mengambang bebas, hal tersebut dapat dilihat pada analisis IRF dan FEVD yang menunjukkan bahwa nilai tukar Rupiah relatif sangat dipengaruhi oleh fluktuasi FDI. Arah kebijakan bank sentral sementara itu saat ini berupa Inflation Targetting Framework yang memiliki tujuan utama untuk mencapai kestabilan harga dalam arti untuk menjaga nilai tukar Rupiah dan tingkat inflasi, dimana Bank Sentral mengumumkan atau membuat pernyataan resmi ke publik mengenai target inflasi untuk jangka waktu beberapa tahun kedepan (Sitaresmi, 2006).
VI.
6.1.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Faktor-faktor yang memengaruhi output PDB industri besi baja di
Indonesia dapat dilihat dalam dua periode, yaitu periode jangka pendek dan jangka panjang. Periode jangka pendek menunjukkan bahwa variabel output PDB industri besi baja lag kedua dan variabel suku bunga internasional LIBOR lag pertama dan lag kedua signifikan terhadap output PDB industri besi baja. Periode jangka panjang menunjukkan bahwa variabel nilai tukar Rupiah terhadap Dollar, Foreign Direct Investment (FDI), ekspor neto besi baja, Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), suku bunga internasional (LIBOR), dan suku bunga pinjaman investasi berpengaruh signifikan terhadap output PDB industri besi baja di Indonesia. Variabel PDB lag kedua pada jangka pendek signifikan yang positif terhadap output PDB industri besi baja, hal ini menyatakan bahwa output PDB industri besi baja dipengaruhi oleh lag sebelumnya dari variabel itu sendiri. Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar berpengaruh signifikan yang negatif terhadap output PDB industri besi baja, yakni setiap apresiasi nilai tukar Rupiah terhadap Dollar akan menyebabkan terjadinya penurunan output PDB industri besi baja. Hal ini sesuai teori bahwa apresiasi nilai tukar Rupiah akan menyebabkan harga output besi baja luar negeri menjadi lebih murah sehingga biaya untuk mengimpor besi baja dari luar negeri menjadi lebih murah dibandingkan memproduksi besi baja di
117
dalam negeri, pada akhirnya hal ini akan menyebabkan terjadinya output PDB industri besi baja di Indonesia. Foreign Direct Investment pada jangka panjang berpengaruh positif terhadap output PDB industri besi baja dan hal ini sesuai dengan teori bahwa faktor investasi adalah salah satu faktor penting dalam memproduksi output pada suatu industri. Setiap kenaikan investasi dalam bentuk FDI dapat memengaruhi peningkatan dari output yang diproduksi dalam industri tersebut. Ekspor neto pada jangka panjang berpengaruh negatif terhadap output PDB industri besi baja dan hal ini sesuai dengan fakta bahwa dalam jangka panjang kenaikan ekspor neto dapat disebabkan oleh kenaikan volume ekspor. Semakin besar volume penerimaan dari ekspor besi baja, maka semakin besar jumlah valuta asing yang dimiliki oleh suatu negara sehingga akan membuat nilai tukar mata uang domestik terhadap mata uang asing cenderung mengalami apresiasi begitu besarnya. Nilai tukar yang terapresiasi ini akan membuat harga besi baja luar negeri menjadi lebih murah, sehingga terjadi peningkatan juga pada volume impor besi baja sendiri. Volume impor yang juga meningkat dalam jangka panjang ini dapat mengurangi jumlah output yang dihasilkan dalam industri besi baja sendiri dikarenakan produk berupa output industri besi baja di Indonesia yang akan kalah bersaing dengan produk-produk impor berupa output besi baja dari luar negeri. Penanaman Modal Dalam Negeri pada jangka panjang berpengaruh positif terhadap output PDB industri besi baja dan hal ini sesuai dengan teori bahwa faktor investasi adalah salah satu faktor penting dalam memproduksi output pada
118
suatu industri. Setiap kenaikan investasi dalam bentuk PMDN dapat memengaruhi peningkatan dari output yang diproduksi dalam industri tersebut. Suku bunga internasional LIBOR pada jangka panjang berpengaruh positif terhadap output PDB industri besi baja dan hal ini sesuai dengan teori apabila terjadi kenaikan LIBOR yang menyebabkan suku bunga pinjaman investasi domestik menjadi lebih rendah daripada LIBOR sendiri, maka akan terjadi peningkatan investasi dalam negeri dalam bentuk PMDN yang pada akhirnya akan meningkatkan jumlah output dalam industri tersebut. Suku bunga pinjaman investasi berpengaruh signifikan yang positif terhadap output PDB industri besi baja di Indonesia, yakni setiap kenaikan suku bunga pinjaman investasi domestik akan meningkatkan output PDB industri besi baja di Indonesia. Kenaikan suku bunga pinjaman investasi domestik akan memicu terjadinya capital inflow dalam bentuk FDI sektor industri besi baja, yang pada akhirnya investasi asing dalam bentuk FDI ini dapat berpengaruh dalam peningkatan output yang diproduksi oleh industri besi baja di Indonesia. Pengaruh guncangan FDI sektor industri besi baja terhadap PDB industri besi baja dan variabel makroekonomi (PMDN, suku bunga pinjaman investasi, LIBOR, nilai tukar, eskpor neto) menunjukkan fakta bahwa FDI sektor industri besi baja memiliki pengaruh terhadap variabel-variabel tersebut. Hasil estimasi IRF menunjukkan bahwa guncangan FDI sektor industri besi baja memengaruhi fluktuasi output PDB industri besi baja dan variabel makroekonomi hingga kisaran kuartal ke-12. Guncangan FDI sektor industri besi baja memengaruhi variabel makroekonomi seperti nilai tukar hingga kuartal ke-20, ekspor neto besi
119
baja hingga kuartal ke-50, PMDN sektor industri besi baja hingga kuartal ke-50, suku bunga internasional LIBOR hingga kuartal ke-50, dan suku bunga pinjaman investasi hingga kuartal ke-30 Adanya guncangan FDI sektor industri besi baja mengakibatkan nilai tukar riil Rupiah terapresiasi sangat tajam yang mengakibatkan penurunan harga impor besi baja bila dinilai dalam satuan mata uang domestik, dan memicu turunnya ekspor neto besi baja karena impor besi baja yang meningkat tersebut. Guncangan FDI sektor industri besi baja juga menyebabkan penurunan suku bunga pinjaman investasi di dalam negeri dan hal ini menyebabkan dapat menghilangkan para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, di sisi lain juga dapat meningkatkan investasi oleh investor dalam negeri di sektor ini akibat penurunan suku bunga pinjaman investasi tersebut. Kondisi ini diakibatkan oleh tidak stabilnya perekonomian domestik yang dicirikan dengan menguat nilai tukar Rupiah sehingga investor menilai investasi di Indonesia relatif kurang menguntungkan karena saat ini daya beli masyarakat melemah. Berkurangnya para investor asing ini membuat output PDB industri besi baja pun berkurang. Nilai tukar riil Rupiah dalam jangka panjang mulai membaik adanya intervensi dari otoritas moneter dan pemerintah dan kepercayaan para investor asing untuk berinvestasi pun semakin membaik seiring dengan membaiknya perekonomian domestik. Kesimpulan lain yang dapat diambil dari penelitian ini yaitu berdasarkan hasil FEVD secara keseluruhan menunjukkan bahwa variabel PMDN, suku bunga, output PDB besi baja nasional, nilai tukar, LIBOR, dan ekspor neto
120
memberikan proporsi yang relatif lebih tinggi dalam kuartal yang lebih panjang, sedangkan FDI yang dipengaruhi oleh shock FDI sendiri memberikan proporsi yang relatif lebih tinggi dalam kuartal awal dan pertengahan dari hasil estimasi dengan menggunakan FEVD tersebut.
121
6.2.
Saran Volume impor besi baja yang masih sangat besar diharapkan dapat
dikurangi dengan upaya meningkatkan perkembangan dan pertumbuhan industri besi baja di Indonesia. Hal ini dapat ditunjang salah satunya dengan peningkatan realisasi investasi baik dalam bentuk investasi asing seperti Foreign Direct Investment (FDI) dan investasi dalam negeri (PMDN) yang pada penelitian ini terbukti berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan output PDB industri besi baja pada jangka panjang. Aliran FDI di Indonesia lebih mengarah kepada sektor tersier (Joordan dan Jacob, 2009). Hal ini memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk dapat meningkatkan realisasi FDI yang masuk ke sektor sekunder seperti industri pengolahan besi baja, salah satunya dengan memberikan insentif suku bunga bagi para investor baik investor dalam negeri maupun investor asing. Sebuah konsekuensi terjadi apabila semakin besar aliran FDI sektor industri besi baja, maka nilai tukar akan cenderung semakin menguat. Nilai tukar yang menguat ini akan menyebabkan harga bahan baku besi baja atau output besi baja dari luar negeri menjadi lebih murah, yang pada akhirnya akan meningkatkan kembali jumlah impor besi baja di Indonesia. Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 secara implisit mengamanatkan kebijakan moneter yang ditempuh oleh Bank Indonesia berdasarkan Inflation Targeting Framework yang diberlakukan sejak tahun 2000, dimana tujuan utama kebijakan moneter diarahkan untuk menjaga nilai tukar Rupiah dan inflasi. Otoritas moneter harus memiliki mekanisme yang tepat untuk memelihara kestabilan kurs Rupiah baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang karena ketidakstabilan kurs akan memicu
122
fluktuasi harga barang tradable (ekspor-impor) besi baja di Indonesia. Pemerintah juga dapat memberikan insentif ekspor bagi eksportir besi baja domestik dalam bentuk pajak ekspor yang ringan untuk memacu peningkatan produksi output besi baja di Indonesia.
123
DAFTAR PUSTAKA
Andriani, P. 2008. Analisis Pengaruh Neraca Perdagangan dan Capital Inflow Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia. [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen: IPB, Bogor. Aufa, F. 2010. Analisis Integrasi dan Pengaruh Variabel Makroekonomi Terhadap Kinerja Pasar Saham di Negara-Negara Utama Utama ASEAN. [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen: IPB, Bogor. Achsani, N.A., Holtemoller, O., dan Sofyan, H. 2005. Econometric and Fuzzy Modelling of Indonesian Money Demand dalam Cizek, P., Hardle, W., dan Werom, R. Statistical Tool for Finance and Insurance. Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Jerman. Ayuniyyah, Q. 2010. Analisis Pengaruh Instrumen Moneter Syariah dan Konvensional Terhadap Pertumbuhan Sektor Riil di Indonesia. [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen: IPB, Bogor. Badan Koordinasi Penanaman Modal. 2011. Laporan Tahunan 1990-2010. http://www.bkpm.go.id/contents/p16/publications-statistics/17. [2 Maret 2011] Badan
Pusat
Statistik.
2011.
http://www.bps.go.id/about
Industri
Indonesia
1990-2010.
us.php?id_subyek=09&tabel=1&fl=1.
[5
Maret 2011] Bahri, S. 2008. Dampak Pengurangan Proteksi Bea Masuk Impor Baja Terhadap Kinerja Industri Baja Indonesia. [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen: IPB, Bogor. Bank
Indonesia.
2011.
Statistik
Ekonomi
dan
Keuangan
Indonesia.
http://www.bi.go.id/web/id/Statistik/Statistik+Ekonomi+dan+Keuangan+I ndonesia/Versi+HTML/Sektor+Moneter/. [2 Maret 2011]
124
Boediono. 1989. Teori Pertumbuhan Ekonomi, Seri Sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi. Edisi ke-4. BPFE, Yogyakarta. Darmayanti, M. 2007. Analisis Struktur, Kinerja dan Kluster Industri Logam Dasar Besi dan Baja di Indonesia. [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen: IPB, Bogor. Deliarnov. 1995. Pengantar Ekonomi Makro. Jakarta: UI Press. Detik.
2011.
Informasi
Mengenai
Industri
Besi
Baja
di
Indonesia.
http://www.detikfinance.com/read/2011/01/17/123758/1548175/1036/harg a-baja-naik-hingga-23-di-2011. [2 Maret 2011] Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral. 2005. Persebaran Potensi Bahan Baku Industri Baja di Indonesia. Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral Indonesia, Jakarta. Dumairy. 1995. Perekonomian Indonesia. Erlangga, Jakarta. Enders, W. 2004. Applied Economic Time Series. 2nd Edition. New York: John Wiley & Sons, Inc. Firdaus, M. 2010. Teori dan Aplikasi Deret Waktu Banyak Ragam. Hasil Kerjasama Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor dengan Badan Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Keuangan Republik Indonesia. GAPBESI. 2006. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tanggal 31 Agustus 1970. Jakarta: Gabungan Pengusaha Besi Baja Indonesia. GAPBESI, 2006. Road Map Industri Baja Nasional. Kadin Indonesia, Jakarta. GAPBESI, 2009. Industri Baja Nasional. Kadin Indonesia, Jakarta. Gujarati, D. 2003. Basic Econometrics. Mc Graw-Hill, Singapura. Jakarta: Erlangga. Gianini, A. dan C. Gianini. 1997. Topic in Structural VAR Econometrics. Second, Revised and Enlarged Edition. Springer, Germany.
125
Hady, H. 2004. Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijakan Keuangan Internasional. Ghalia Indonesia, Jakarta. Harjakusumah, Y.Z. 2010. Industri Besi dan Baja Indonesia dalam Perdagangan Internasional : Potensi dan Tantangan dalam Implementasi ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA). [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen: IPB, Bogor. Hasibuan, N. 1993. Ekonomi Industri: Persaingan Monopoli dan Regulasi. LP3ES, Jakarta. International Monetary Fund. 2011. International Financial Statistics Compact Disk ROM (CD ROM) Version. Jhingan, M. L. 2003. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Guritno [penerjemah]. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Joordan, J and Jacob, R. 2009. Determinant of FDI Location in Indonesia 19962007. Amsterdam: Vrije Universiteit Amsterdam, Netherland. Kementerian
Perindustrian.
2011.
Industri
Indonesia
1990-2010.
http://www.kemenperin.go.id/Content6.aspx?kd6dg=060109#060109.
[7
Maret 2011] Kementerian Perindustrian. 2008. Road Map Industri Baja Nasional. Jakarta: Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. Krugman, O. 1991. Ekonomi Internasional: Teori dan Kebijaksanaan. Rajawali Press, Jakarta. Kuncoro, M. 2000. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah, dan Kebijakan. Yogyakarta: UPP AMP YKPN. Lipsey, R. G, P. N. Courant, D. D. Purvis, dan P. O. Steiner. 1995. Pengantar Makroekonomi. Edisi Kesepuluh. Binarupa Aksara, Jakarta. Lumbanraja, T. G. 2006. Analisis Pengaruh Foreign Direct Investment (FDI) terhadap Nilai Tukar Rupiah. [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen: IPB, Bogor.
126
Mankiw, G. 2003. Teori Makroekonomi. Edisi ke-5. Imam Nurmawan [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. McCoy, D. 1997. How Useful is Structural VAR Analysis for Irish Economics. A Paper Presented at an Internal Seminar of the Central Bank of Ireland, February 6th 1997, and at the 11thAnnual Conference of the Irish Economics Association, 4-6 September 1997, Athlone. Mishkin, F.S. 2001. The Economics of Money, Banking, and Financial market, Sixth Edition. Columbia University, Columbia. Moosa, I. A. 2003. International Finance: An Analytical Approach. 2nd Edition. New York: McGraw Hill. Nachrowi, D.N. 2006. Pendekatan Populer dan Praktis Ekonometrika untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Nicholson, W. 2002. Mikroekonomi Intermediate dan Aplikasinya. Edisi ke-8. Ign Bayu Mahendra [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Nopirin. 1992. Ekonomi Moneter. Yogyakarta: BPFE. Parasmala, E. 2005.Analisis Hubungan Kausalitas Foreign Direct Investment (FDI) dengan Variabel Makroekonomi di Indonesia. [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan Manajemen: IPB, Bogor. Pindyck, R.S. dan Rubinfield, D.L. 1998. Mikroekonomi Edisi Keempat. Prenhollindo, Jakarta. Putra, V. A. 2010. Analisis Pengaruh Suku Bunga Kredit, PDB, Inflasi, dan Tingkat Teknologi Terhadap PMDN di Indonesia Periode 1986-2008. [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi: Universitas Diponegoro, Semarang. Rahmayani, R. 2005. Hubungan Kausalitas Antara Uang Dengan Pertumbuhan Ekonomi (Aplikasi Model Pertumbuhan Moneter Neoklasik). Fakultas Ekonomi dan Manajemen: IPB, Bogor.
127
Rivayani, 2000. Dampak FDI terhadap Pertumbuhan Ekonomi ASEAN. [Skripsi]. Fakultas Ekonomi: Universitas Indonesia, Depok. Rochman, N.T. 2003. “Baja dan Baja Super, Pilar Masyarakat Berbasis Industri”. [Kompas Online]. www.nano.lipi.go.id/ [Maret 2011]. Safitri, S. 2006. Analisis Struktur Perilaku Kinerja Industri Besi Baja di Indonesia. [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen: IPB, Bogor. Salvatore. 1997. Ekonomi Internasional. Munandar dan Sumiharti [penerjemah]. Erlangga, Jakarta. Santosa, T. 2010. “Inilah Cara Sederhana Menghitung Keanehan Penjualan Saham Krakatau Steel”. [Rakyat Merdeka 8 November Online). http://www.rakyatmerdeka.co.id/news.php?id=8916. [5 April 2011). Setyadi, P.A. 2006. Analisis Pengaruh Aliran Modal Asing Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen: IPB, Bogor. Siahaan, N. 2005.Pengaruh Foreign Direct Investment Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen: IPB, Bogor. Silaen, L.C. 2005. Pengaruh Arus Modal Asing Terhadap Tabungan Domestik dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 1997-2003. [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen: IPB, Bogor. Simorangkir, S. dan Suseno. 2004. Sistem dan Kebijakan Nilai Tukar. Bank Indonesia, Jakarta. Siregar, H. dan B. D. Ward. 2000. “Can Monetary Policy/Shock Stabilize Indonesia Macro-Economics Fluctuations?” A Paper Presented at the 25th Annual Conference of Federation of ASEAN Economis Association, 7-8 September 2000, Singapore.
128
Sitaresmi, N. 2006. Analisis Pengaruh Guncangan Kurs Yen dan USD terhadap Rupiah dalam Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter melalui Jalur Nilai Tukar di Indonesia. [Skripsi]. Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen: IPB, Bogor. Sunarsip dan Nasution, N. 2007. “Industri Baja Nasional di Tengah Konsolidasi Industri Baja Global”. REPUBLIKA. Rubrik Pareto: hal. 15. Kamis, 13 Desember. Todaro, P. dan Stephen C.S. 2002. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi ke-8. Erlangga, Jakarta. Warta
Ekonomi.
2006.
“Industri
Baja:
Defisit
Mengancam”.
http://www.wartaekonomi.com/indikator.asp?aid=7211&cid=25. [7 Maret 2011] United Nations Conference on Trade and Development. 2011. World Investment Prospect Survey in the Entire Prospect of Return within 2009-2011. http://www.unctad.org/Templates/Page.asp?intItemID=1584&lang=1.
[8
Maret 2011] Windarti, R. P. 2004. Pengaruh Perubahan Nilai Tukar Terhadap Harga: Analisis SVAR Pasca Penerapan Sistem Nilai Tukar Mengambang Bebas di Indonesia. [Disertasi]. Fakultas Ekonomi: Universitas Indonesia, Depok. Verbeek, M. 2000. A Guide to Modern Econometrics. John Wiley & Sons, Ltd. New York, USA.
LAMPIRAN
130
Lampiran 1. Uji Korelasi Variabel Data.
Covariance Analysis: Ordinary Date: 05/22/11 Time: 07:50 Sample: 2000Q1 2009Q4 Included observations: 40 Correlation NILAITUKAR Probability PDB
PDB 1.000000 -----
FDI
PMDN
SB
LIBOR
FDI
-0.487727 0.0014
1.000000 -----
PMDN
-0.338529 0.0326
0.582453 0.0001
1.000000 -----
SB
0.193129 0.2325
0.002583 0.9874
-0.069675 0.6692
1.000000 -----
LIBOR
0.321228 0.0433
-0.310558 0.0511
-0.074924 0.6459
-0.146878 0.3658
1.000000 -----
NILAITUKAR
-0.657542 0.0000
0.659947 0.0000
0.504984 0.0009
-0.314026 0.0485
-0.598777 0.0000
1.000000 -----
NETEXP
0.389424 0.0130
-0.590866 0.0001
-0.499522 0.0010
0.184576 0.2542
-0.270606 0.0912
-0.293817 0.0657
PDB NILAITUKAR FDI NETEXP PMDN LIBOR SB d(PDB,2) d(NILAITUKAR,2) d(FDI,2) d(NETEXP,2) d(PMDN,2) d(LIBOR,2) d(SB,2)
NETEXP
1.000000 -----
131
Lampiran 2. Uji Stasioneritas Data.
Null Hypothesis: PDB has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.741629 -3.610453 -2.938987 -2.607932
0.4030
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(PDB) Method: Least Squares Date: 05/22/11 Time: 07:52 Sample (adjusted): 2000Q2 2009Q4 Included observations: 39 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
PDB(-1) C
-0.164299 1.252201
0.094336 0.720624
-1.741629 1.737662
0.0899 0.0906
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.075769 0.050790 0.040570 0.060899 70.67230 3.033273 0.089883
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-0.002808 0.041641 -3.521656 -3.436346 -3.491048 1.951535
Null Hypothesis: D(PDB) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
t-Statistic
Prob.*
-6.890963 -3.615588 -2.941145 -2.609066
0.0000
132
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(PDB,2) Method: Least Squares Date: 05/22/11 Time: 07:53 Sample (adjusted): 2000Q3 2009Q4 Included observations: 38 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(PDB(-1)) C
-1.107996 -0.004785
0.160790 0.006663
-6.890963 -0.718174
0.0000 0.4773
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.568787 0.556809 0.041021 0.060578 68.46711 47.48538 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-0.002490 0.061618 -3.498269 -3.412080 -3.467603 2.085575
Null Hypothesis: D(PDB,2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-10.62986 -3.621023 -2.943427 -2.610263
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(PDB,3) Method: Least Squares Date: 05/22/11 Time: 07:54 Sample (adjusted): 2000Q4 2009Q4 Included observations: 37 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(PDB(-1),2) C
-1.536721 -0.002990
0.144567 0.008823
-10.62986 -0.338824
0.0000 0.7368
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood
0.763504 0.756747 0.053661 0.100781 56.75507
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter.
-0.001295 0.108800 -2.959733 -2.872657 -2.929035
133
F-statistic Prob(F-statistic)
112.9938 0.000000
Durbin-Watson stat
2.172629
Null Hypothesis: NILAITUKAR has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.438328 -3.610453 -2.938987 -2.607932
0.1383
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(NILAITUKAR) Method: Least Squares Date: 05/22/11 Time: 07:55 Sample (adjusted): 2000Q2 2009Q4 Included observations: 39 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
NILAITUKAR(-1) C
-0.189707 1.697201
0.077802 0.685863
-2.438328 2.474547
0.0197 0.0180
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.138442 0.115156 0.155516 0.894850 18.26729 5.945445 0.019676
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.025944 0.165326 -0.834220 -0.748909 -0.803611 2.095459
Null Hypothesis: D(NILAITUKAR) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
t-Statistic
Prob.*
-6.662036 -3.615588 -2.941145 -2.609066
0.0000
134
Dependent Variable: D(NILAITUKAR,2) Method: Least Squares Date: 05/22/11 Time: 07:55 Sample (adjusted): 2000Q3 2009Q4 Included observations: 38 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(NILAITUKAR(-1)) C
-1.100364 0.025907
0.165169 0.027636
-6.662036 0.937435
0.0000 0.3548
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.552143 0.539702 0.168048 1.016640 14.88091 44.38273 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-0.004328 0.247693 -0.677942 -0.591754 -0.647277 2.022418
Null Hypothesis: D(NILAITUKAR,2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-10.03881 -3.621023 -2.943427 -2.610263
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(NILAITUKAR,3) Method: Least Squares Date: 05/22/11 Time: 07:56 Sample (adjusted): 2000Q4 2009Q4 Included observations: 37 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(NILAITUKAR(-1),2) C
-1.480866 -0.003366
0.147514 0.036533
-10.03881 -0.092123
0.0000 0.9271
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.742226 0.734861 0.222171 1.727596 4.186738 100.7777 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.004660 0.431469 -0.118202 -0.031125 -0.087503 2.411860
135
Null Hypothesis: FDI has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.295439 -3.626784 -2.945842 -2.611531
0.1788
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(FDI) Method: Least Squares Date: 05/22/11 Time: 07:56 Sample (adjusted): 2001Q1 2009Q4 Included observations: 36 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
FDI(-1) D(FDI(-1)) D(FDI(-2)) D(FDI(-3)) C
-0.412681 -0.381968 -0.443279 -0.582220 3.739895
0.179783 0.171425 0.151040 0.130863 1.394127
-2.295439 -2.228188 -2.934845 -4.449076 2.682607
0.0286 0.0333 0.0062 0.0001 0.0116
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.622029 0.573259 3.236928 324.8089 -90.67671 12.75423 0.000003
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.309843 4.955082 5.315373 5.535306 5.392135 1.637583
Null Hypothesis: D(FDI) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(FDI,2) Method: Least Squares Date: 05/22/11 Time: 07:56
t-Statistic
Prob.*
-9.518355 -3.626784 -2.945842 -2.611531
0.0000
136
Sample (adjusted): 2001Q1 2009Q4 Included observations: 36 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(FDI(-1)) D(FDI(-1),2) D(FDI(-2),2) C
-2.950582 1.296350 0.673231 0.793854
0.309989 0.228019 0.132771 0.579597
-9.518355 5.685273 5.070625 1.369665
0.0000 0.0000 0.0000 0.1803
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.833341 0.817717 3.446086 380.0163 -93.50230 53.33622 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.001381 8.071468 5.416795 5.592741 5.478205 1.606222
Null Hypothesis: D(FDI,2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-13.34485 -3.632900 -2.948404 -2.612874
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(FDI,3) Method: Least Squares Date: 05/22/11 Time: 07:57 Sample (adjusted): 2001Q2 2009Q4 Included observations: 35 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(FDI(-1),2) D(FDI(-1),3) D(FDI(-2),3) C
-3.639553 1.703169 0.835183 -0.021633
0.272731 0.205779 0.105896 0.668254
-13.34485 8.276699 7.886845 -0.032372
0.0000 0.0000 0.0000 0.9744
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.931594 0.924974 3.952354 484.2541 -95.63993 140.7246 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-0.049710 14.42942 5.693710 5.871464 5.755071 2.196452
137
Null Hypothesis: NETEXP has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.350878 -3.632900 -2.948404 -2.612874
0.1626
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(NETEXP) Method: Least Squares Date: 05/22/11 Time: 07:57 Sample (adjusted): 2001Q2 2009Q4 Included observations: 35 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
NETEXP(-1) D(NETEXP(-1)) D(NETEXP(-2)) D(NETEXP(-3)) D(NETEXP(-4)) C
-0.295001 0.097531 -0.021329 -0.149265 0.914936 -685.4580
0.125486 0.168296 0.147484 0.137227 0.157817 326.5358
-2.350878 0.579520 -0.144619 -1.087721 5.797458 -2.099182
0.0257 0.5667 0.8860 0.2857 0.0000 0.0446
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.866254 0.843194 703.6375 14358066 -275.8412 37.56571 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-124.7429 1776.920 16.10521 16.37184 16.19725 1.601330
Null Hypothesis: D(NETEXP) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(NETEXP,2) Method: Least Squares
t-Statistic
Prob.*
-2.698562 -3.639407 -2.951125 -2.614300
0.0847
138
Date: 05/22/11 Time: 07:57 Sample (adjusted): 2001Q3 2009Q4 Included observations: 34 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(NETEXP(-1)) D(NETEXP(-1),2) D(NETEXP(-2),2) D(NETEXP(-3),2) D(NETEXP(-4),2) C
-1.551919 0.654508 0.274891 -0.142100 0.548208 -50.76875
0.575091 0.556347 0.434608 0.324729 0.219689 124.8254
-2.698562 1.176438 0.632504 -0.437595 2.495382 -0.406718
0.0117 0.2493 0.5322 0.6650 0.0187 0.6873
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.948377 0.939159 701.6268 13783844 -267.7589 102.8798 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-47.41176 2844.518 16.10347 16.37282 16.19532 2.257117
Null Hypothesis: D(NETEXP,2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-25.99355 -3.632900 -2.948404 -2.612874
0.0001
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(NETEXP,3) Method: Least Squares Date: 05/22/11 Time: 07:59 Sample (adjusted): 2001Q2 2009Q4 Included observations: 35 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(NETEXP(-1),2) D(NETEXP(-1),3) D(NETEXP(-2),3) C
-4.055898 2.085474 1.085552 55.32970
0.156035 0.119233 0.064351 130.5634
-25.99355 17.49081 16.86925 0.423776
0.0000 0.0000 0.0000 0.6747
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood
0.978204 0.976095 769.2795 18345521 -280.1299
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter.
-105.4857 4975.524 16.23600 16.41375 16.29736
139
F-statistic Prob(F-statistic)
463.7634 0.000000
Durbin-Watson stat
1.605362
Null Hypothesis: PMDN has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-4.557575 -3.610453 -2.938987 -2.607932
0.0007
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(PMDN) Method: Least Squares Date: 05/22/11 Time: 08:00 Sample (adjusted): 2000Q2 2009Q4 Included observations: 39 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
PMDN(-1) C
-0.602958 6.887804
0.132298 1.530133
-4.557575 4.501441
0.0001 0.0001
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.359546 0.342236 3.258886 392.9525 -100.3861 20.77149 0.000055
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.332194 4.018224 5.250568 5.335879 5.281177 1.746312
Null Hypothesis: D(PMDN) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level *MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation
t-Statistic
Prob.*
-8.146596 -3.615588 -2.941145 -2.609066
0.0000
140
Dependent Variable: D(PMDN,2) Method: Least Squares Date: 05/22/11 Time: 08:00 Sample (adjusted): 2000Q3 2009Q4 Included observations: 38 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(PMDN(-1)) C
-1.192198 0.115629
0.146343 0.590098
-8.146596 0.195949
0.0000 0.8458
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.648324 0.638555 3.624581 472.9531 -101.8265 66.36702 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-0.290892 6.028884 5.464550 5.550739 5.495216 2.172328
Null Hypothesis: D(PMDN,2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 1 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-7.072802 -3.626784 -2.945842 -2.611531
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(PMDN,3) Method: Least Squares Date: 05/22/11 Time: 08:00 Sample (adjusted): 2001Q1 2009Q4 Included observations: 36 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(PMDN(-1),2) D(PMDN(-1),3) C
-1.956508 0.281706 -0.076132
0.276624 0.155880 0.824997
-7.072802 1.807192 -0.092281
0.0000 0.0799 0.9270
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.784577 0.771521 4.942019 805.9771 -107.0354 60.09340 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-0.012428 10.33906 6.113080 6.245040 6.159138 2.069606
141
Null Hypothesis: LIBOR has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 8 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-2.375135 -3.661661 -2.960411 -2.619160
0.1566
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LIBOR) Method: Least Squares Date: 05/22/11 Time: 08:01 Sample (adjusted): 2002Q2 2009Q4 Included observations: 31 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
LIBOR(-1) D(LIBOR(-1)) D(LIBOR(-2)) D(LIBOR(-3)) D(LIBOR(-4)) D(LIBOR(-5)) D(LIBOR(-6)) D(LIBOR(-7)) D(LIBOR(-8)) C
-0.435997 0.498682 -0.072346 0.084567 0.528717 0.023629 0.435143 0.121902 0.524252 1.000549
0.183567 0.212322 0.188241 0.196682 0.183230 0.190302 0.228491 0.282470 0.243564 0.488855
-2.375135 2.348700 -0.384324 0.429971 2.885538 0.124167 1.904417 0.431557 2.152423 2.046721
0.0271 0.0287 0.7046 0.6716 0.0088 0.9024 0.0706 0.6705 0.0431 0.0534
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.647586 0.496551 0.885351 16.46079 -34.17550 4.287667 0.002861
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-0.054627 1.247780 2.850032 3.312609 3.000821 1.871553
Null Hypothesis: D(LIBOR) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 3 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-1.400785 -3.632900 -2.948404 -2.612874
0.5707
142
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LIBOR,2) Method: Least Squares Date: 05/22/11 Time: 08:01 Sample (adjusted): 2001Q2 2009Q4 Included observations: 35 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(LIBOR(-1)) D(LIBOR(-1),2) D(LIBOR(-2),2) D(LIBOR(-3),2) C
-0.536689 -0.404211 -0.442326 -0.556402 -0.141877
0.383134 0.302139 0.242252 0.161470 0.184538
-1.400785 -1.337832 -1.825896 -3.445851 -0.768826
0.1715 0.1910 0.0778 0.0017 0.4480
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.732949 0.697342 1.038968 32.38363 -48.30319 20.58448 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.079466 1.888539 3.045896 3.268089 3.122597 1.930209
Null Hypothesis: D(LIBOR,2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 2 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-11.08137 -3.632900 -2.948404 -2.612874
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(LIBOR,3) Method: Least Squares Date: 05/22/11 Time: 08:01 Sample (adjusted): 2001Q2 2009Q4 Included observations: 35 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(LIBOR(-1),2) D(LIBOR(-1),3) D(LIBOR(-2),3) C
-3.238775 1.441024 0.716521 -0.067683
0.292272 0.225194 0.115803 0.179496
-11.08137 6.399033 6.187401 -0.377074
0.0000 0.0000 0.0000 0.7087
143
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.913958 0.905632 1.054969 34.50174 -49.41193 109.7635 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
0.113067 3.434208 3.052110 3.229864 3.113471 2.075103
Null Hypothesis: SB has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-6.215334 -3.610453 -2.938987 -2.607932
0.0000
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(SB) Method: Least Squares Date: 05/22/11 Time: 08:02 Sample (adjusted): 2000Q2 2009Q4 Included observations: 39 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
SB(-1) C
-1.022720 15.93670
0.164548 3.202509
-6.215334 4.976318
0.0000 0.0000
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.510779 0.497556 11.89296 5233.375 -150.8740 38.63038 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-0.066221 16.77824 7.839691 7.925002 7.870300 1.996935
Null Hypothesis: D(SB) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 0 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-10.66421 -3.615588 -2.941145 -2.609066
0.0000
144
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(SB,2) Method: Least Squares Date: 05/22/11 Time: 08:02 Sample (adjusted): 2000Q3 2009Q4 Included observations: 38 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(SB(-1)) C
-1.519141 -0.090886
0.142452 2.390057
-10.66421 -0.038027
0.0000 0.9699
R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
0.759560 0.752881 14.73324 7814.460 -155.1164 113.7254 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
-0.017294 29.63774 8.269285 8.355474 8.299951 2.304589
Null Hypothesis: D(SB,2) has a unit root Exogenous: Constant Lag Length: 4 (Automatic based on SIC, MAXLAG=9)
Augmented Dickey-Fuller test statistic Test critical values: 1% level 5% level 10% level
t-Statistic
Prob.*
-5.283873 -3.646342 -2.954021 -2.615817
0.0001
*MacKinnon (1996) one-sided p-values.
Augmented Dickey-Fuller Test Equation Dependent Variable: D(SB,3) Method: Least Squares Date: 05/22/11 Time: 08:02 Sample (adjusted): 2001Q4 2009Q4 Included observations: 33 after adjustments Variable
Coefficient
Std. Error
t-Statistic
Prob.
D(SB(-1),2) D(SB(-1),3) D(SB(-2),3) D(SB(-3),3) D(SB(-4),3) C
-6.091077 3.648603 2.216925 1.032405 0.297537 0.079194
1.152768 1.022435 0.768220 0.464493 0.184182 3.163410
-5.283873 3.568542 2.885794 2.222649 1.615448 0.025034
0.0000 0.0014 0.0076 0.0348 0.1178 0.9802
R-squared Adjusted R-squared
0.918663 0.903601
Mean dependent var S.D. dependent var
0.014372 58.52789
145
S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood F-statistic Prob(F-statistic)
18.17186 8915.843 -139.2098 60.99066 0.000000
Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
8.800591 9.072683 8.892142 1.657950
146
Lampiran 3. Hasil Uji Kausalitas Granger.
Pairwise Granger Causality Tests Date: 05/22/11 Time: 20:11 Sample: 2000Q1 2009Q4 Lags: 2 Null Hypothesis:
Obs
F-Statistic
Prob.
NILAITUKAR does not Granger Cause PDB PDB does not Granger Cause NILAITUKAR
38
3.66834 0.29002
0.0364 0.7501
FDI does not Granger Cause PDB PDB does not Granger Cause FDI
38
0.50241 2.35315
0.6096 0.1108
NETEXP does not Granger Cause PDB PDB does not Granger Cause NETEXP
38
0.72827 3.37050
0.4903 0.0466
PMDN does not Granger Cause PDB PDB does not Granger Cause PMDN
38
1.98698 2.40727
0.1532 0.1057
LIBOR does not Granger Cause PDB PDB does not Granger Cause LIBOR
38
1.01850 2.11796
0.3722 0.1363
SB does not Granger Cause PDB PDB does not Granger Cause SB
38
1.23199 1.16144
0.3048 0.3255
FDI does not Granger Cause NILAITUKAR NILAITUKAR does not Granger Cause FDI
38
2.14042 3.37584
0.1336 0.0464
NETEXP does not Granger Cause NILAITUKAR NILAITUKAR does not Granger Cause NETEXP
38
0.44105 1.11719
0.6471 0.3393
PMDN does not Granger Cause NILAITUKAR NILAITUKAR does not Granger Cause PMDN
38
1.01739 1.80840
0.3726 0.1798
LIBOR does not Granger Cause NILAITUKAR NILAITUKAR does not Granger Cause LIBOR
38
2.14397 0.57219
0.1332 0.5698
SB does not Granger Cause NILAITUKAR NILAITUKAR does not Granger Cause SB
38
68.5027 7.40923
2.E-12 0.0022
NETEXP does not Granger Cause FDI FDI does not Granger Cause NETEXP
38
0.87652 0.42249
0.4257 0.6589
PMDN does not Granger Cause FDI FDI does not Granger Cause PMDN
38
0.46121 1.11683
0.6345 0.3394
LIBOR does not Granger Cause FDI FDI does not Granger Cause LIBOR
38
2.11227 0.96714
0.1370 0.3907
SB does not Granger Cause FDI FDI does not Granger Cause SB
38
0.50911 1.05133
0.6057 0.3609
147
PMDN does not Granger Cause NETEXP NETEXP does not Granger Cause PMDN
38
0.77946 0.13556
0.4669 0.8737
LIBOR does not Granger Cause NETEXP NETEXP does not Granger Cause LIBOR
38
0.24438 2.25981
0.7846 0.1203
SB does not Granger Cause NETEXP NETEXP does not Granger Cause SB
38
0.50285 0.24472
0.6094 0.7843
LIBOR does not Granger Cause PMDN PMDN does not Granger Cause LIBOR
38
0.65011 0.08936
0.5285 0.9147
SB does not Granger Cause PMDN PMDN does not Granger Cause SB
38
0.18411 2.09329
0.8327 0.1394
SB does not Granger Cause LIBOR LIBOR does not Granger Cause SB
38
1.08734 0.38278
0.3489 0.6850
148
Lampiran 4. Hasil Estimasi VAR Second Difference
Vector Autoregression Estimates Date: 05/22/11 Time: 08:04 Sample (adjusted): 2001Q1 2009Q4 Included observations: 36 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ]
D(PDB,2)
D(NILAITUKAR, 2)
D(FDI,2)
D(NETEXP,2)
D(PMDN,2)
D(LIBOR,2)
D(SB,2)
D(PDB(-1),2)
-0.829756 (0.17639) [-4.70407]
0.343725 (0.46553) [ 0.73835]
5.783740 (26.9808) [ 0.21436]
-15003.70 (8981.76) [-1.67046]
-3.062086 (20.8025) [-0.14720]
13.06406 (5.95468) [ 2.19391]
-67.54151 (45.9898) [-1.46862]
D(PDB(-2),2)
-0.223586 (0.16817) [-1.32956]
-0.128395 (0.44382) [-0.28929]
-8.292373 (25.7227) [-0.32238]
-16915.56 (8562.92) [-1.97544]
17.84728 (19.8324) [ 0.89990]
11.14482 (5.67701) [ 1.96315]
-131.0878 (43.8452) [-2.98979]
D(NILAITUKAR(-1),2)
-0.008667 (0.08100) [-0.10700]
0.151117 (0.21377) [ 0.70691]
6.935394 (12.3895) [ 0.55978]
-676.2080 (4124.40) [-0.16395]
0.418682 (9.55243) [ 0.04383]
1.386791 (2.73437) [ 0.50717]
-114.1757 (21.1184) [-5.40647]
D(NILAITUKAR(-2),2)
0.056284 (0.09016) [ 0.62430]
0.411471 (0.23794) [ 1.72932]
-11.63214 (13.7902) [-0.84351]
671.4715 (4590.67) [ 0.14627]
12.34696 (10.6324) [ 1.16126]
2.355020 (3.04350) [ 0.77379]
-48.94300 (23.5058) [-2.08217]
D(FDI(-1),2)
0.000117 (0.00185) [ 0.06331]
-0.003200 (0.00488) [-0.65636]
-0.576555 (0.28259) [-2.04028]
-97.53078 (94.0714) [-1.03677]
-0.101961 (0.21788) [-0.46797]
-0.007062 (0.06237) [-0.11323]
0.077189 (0.48168) [ 0.16025]
D(FDI(-2),2)
0.001149 (0.00196) [ 0.58536]
-0.003716 (0.00518) [-0.71710]
-0.038055 (0.30035) [-0.12670]
-112.9049 (99.9857) [-1.12921]
0.017289 (0.23157) [ 0.07466]
0.040606 (0.06629) [ 0.61257]
-0.196061 (0.51196) [-0.38296]
D(NETEXP(-1),2)
1.83E-06
-5.11E-06
0.001281
-1.134695
6.72E-05
0.000335
0.000590
149 (8.6E-06) [ 0.21209]
(2.3E-05) [-0.22378]
(0.00132) [ 0.96882]
(0.44023) [-2.57750]
(0.00102) [ 0.06591]
(0.00029) [ 1.14724]
(0.00225) [ 0.26178]
D(NETEXP(-2),2)
5.78E-06 (6.6E-06) [ 0.87140]
2.27E-06 (1.8E-05) [ 0.12973]
0.002277 (0.00102) [ 2.24281]
-0.843078 (0.33792) [-2.49492]
0.001015 (0.00078) [ 1.29706]
0.000309 (0.00022) [ 1.37986]
-0.002000 (0.00173) [-1.15582]
D(PMDN(-1),2)
0.003020 (0.00187) [ 1.61384]
0.002335 (0.00494) [ 0.47281]
0.250302 (0.28622) [ 0.87451]
-123.4431 (95.2813) [-1.29556]
-0.592293 (0.22068) [-2.68395]
0.036855 (0.06317) [ 0.58343]
0.114204 (0.48787) [ 0.23408]
D(PMDN(-2),2)
0.003257 (0.00174) [ 1.86641]
0.004610 (0.00460) [ 1.00103]
0.200749 (0.26689) [ 0.75219]
-67.40168 (88.8451) [-0.75864]
-0.273745 (0.20577) [-1.33033]
0.035036 (0.05890) [ 0.59482]
0.754818 (0.45492) [ 1.65924]
D(LIBOR(-1),2)
-0.013973 (0.01424) [-0.98138]
0.028602 (0.03758) [ 0.76117]
0.787342 (2.17780) [ 0.36153]
-229.4732 (724.977) [-0.31652]
0.068954 (1.67911) [ 0.04107]
-0.178193 (0.48064) [-0.37074]
1.880388 (3.71214) [ 0.50655]
D(LIBOR(-2),2)
-0.012317 (0.00870) [-1.41566]
0.029694 (0.02296) [ 1.29319]
2.236001 (1.33081) [ 1.68019]
-720.9733 (443.017) [-1.62742]
1.444905 (1.02606) [ 1.40820]
0.292484 (0.29371) [ 0.99583]
-1.869043 (2.26840) [-0.82395]
D(SB(-1),2)
-0.000361 (0.00081) [-0.44435]
0.012747 (0.00215) [ 5.94042]
-0.040138 (0.12437) [-0.32274]
29.59663 (41.4004) [ 0.71489]
0.091381 (0.09589) [ 0.95301]
0.006008 (0.02745) [ 0.21889]
-1.539045 (0.21198) [-7.26018]
D(SB(-2),2)
-0.000109 (0.00134) [-0.08156]
0.008059 (0.00353) [ 2.28051]
-0.124697 (0.20481) [-0.60884]
33.40125 (68.1801) [ 0.48990]
0.133098 (0.15791) [ 0.84287]
0.021814 (0.04520) [ 0.48260]
-0.269965 (0.34911) [-0.77330]
C
-0.000210 (0.00786) [-0.02676]
0.004414 (0.02073) [ 0.21289]
0.221917 (1.20168) [ 0.18467]
-149.7052 (400.031) [-0.37423]
0.143531 (0.92650) [ 0.15492]
0.056997 (0.26521) [ 0.21491]
-0.576974 (2.04830) [-0.28168]
0.648184 0.413641 0.045587 0.046592 2.763596
0.858811 0.764685 0.317530 0.122965 9.124062
0.532242 0.220403 1066.583 7.126686 1.706785
0.584088 0.306814 1.18E+08 2372.431 2.106533
0.482648 0.137747 634.0356 5.494740 1.399381
0.613292 0.355486 51.95185 1.572863 2.378892
0.904572 0.840953 3098.887 12.14768 14.21862
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic
150 Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
69.00810 -3.000450 -2.340650 0.000462 0.060845
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
34.07087 -1.059493 -0.399693 -0.002294 0.253488 1988195. 45695.84 -550.7082 36.42824 41.04683
-112.0783 7.059906 7.719706 0.001381 8.071468
-321.1600 18.67555 19.33535 -38.16667 2849.499
-102.7163 6.539796 7.199596 0.001167 5.917385
-57.68416 4.038009 4.697808 -0.022421 1.959182
-131.2768 8.126490 8.786289 -0.085724 30.46004
151
Lampiran 5. Hasil Uji Stabilitas VAR.
Roots of Characteristic Polynomial Endogenous variables: D(PDB,2) D(NILAITUKAR,2) D(FDI,2) D(NETEXP,2) D(PMDN,2) D(LIBOR,2) D(SB,2) Exogenous variables: C Lag specification: 1 2 Date: 05/22/11 Time: 08:04 Root -0.847588 -0.766358 - 0.239662i -0.766358 + 0.239662i 0.035351 - 0.800936i 0.035351 + 0.800936i -0.516453 - 0.586293i -0.516453 + 0.586293i -0.110320 - 0.705346i -0.110320 + 0.705346i -0.619034 -0.296712 - 0.363323i -0.296712 + 0.363323i 0.038093 - 0.268334i 0.038093 + 0.268334i No root lies outside the unit circle. VAR satisfies the stability condition.
Modulus 0.847588 0.802958 0.802958 0.801716 0.801716 0.781322 0.781322 0.713922 0.713922 0.619034 0.469086 0.469086 0.271024 0.271024
152
Lampiran 6. Hasil Uji Lag Optimum.
VAR Lag Order Selection Criteria Endogenous variables: D(PDB,2) D(NILAITUKAR,2) D(FDI,2) D(NETEXP,2) D(PMDN,2) D(LIBOR,2) D(SB,2) Exogenous variables: C Date: 05/22/11 Time: 08:05 Sample: 2000Q1 2009Q4 Included observations: 36 Lag
LogL
LR
FPE
AIC
SC
HQ
0 1 2
-719.8565 -619.4820 -550.7082
NA 156.1380 80.23609*
8.13e+08 49348818 22768415*
40.38091 37.52678 36.42824*
40.68882 39.99003* 41.04683
40.48838 38.38652 38.04025*
* indicates lag order selected by the criterion LR: sequential modified LR test statistic (each test at 5% level) FPE: Final prediction error AIC: Akaike information criterion SC: Schwarz information criterion HQ: Hannan-Quinn information criterion
153
Lampiran 7. Hasil Uji Kointegrasi. Date: 05/22/11 Time: 08:06 Sample (adjusted): 2000Q4 2009Q4 Included observations: 37 after adjustments Trend assumption: Linear deterministic trend (restricted) Series: PDB NILAITUKAR FDI NETEXP PMDN LIBOR SB Lags interval (in first differences): 1 to 2 Unrestricted Cointegration Rank Test (Trace) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Trace Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None * At most 1 * At most 2 * At most 3 * At most 4 At most 5 At most 6
0.945518 0.757873 0.592233 0.586921 0.414635 0.260191 0.068180
259.6239 151.9579 99.48099 66.28975 33.57746 13.76323 2.612791
150.5585 117.7082 88.80380 63.87610 42.91525 25.87211 12.51798
0.0000 0.0001 0.0068 0.0309 0.3082 0.6771 0.9190
Trace test indicates 4 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegration Rank Test (Maximum Eigenvalue) Hypothesized No. of CE(s)
Eigenvalue
Max-Eigen Statistic
0.05 Critical Value
Prob.**
None * At most 1 * At most 2 At most 3 * At most 4 At most 5 At most 6
0.945518 0.757873 0.592233 0.586921 0.414635 0.260191 0.068180
107.6661 52.47688 33.19124 32.71229 19.81423 11.15044 2.612791
50.59985 44.49720 38.33101 32.11832 25.82321 19.38704 12.51798
0.0000 0.0056 0.1732 0.0423 0.2539 0.4980 0.9190
154 Max-eigenvalue test indicates 2 cointegrating eqn(s) at the 0.05 level * denotes rejection of the hypothesis at the 0.05 level **MacKinnon-Haug-Michelis (1999) p-values Unrestricted Cointegrating Coefficients (normalized by b'*S11*b=I): PDB 27.60700 -0.146460 9.719648 -29.87387 -7.025183 -2.839737 16.18817
NILAITUKAR 0.909851 -9.688628 1.050317 1.622980 -5.984179 -9.661389 6.490779
FDI -0.194962 0.476250 0.480906 0.044751 0.029246 0.352329 0.184560
NETEXP 0.000639 -0.001567 0.001190 0.001634 -0.000199 0.001189 0.001247
PMDN -0.288387 -0.299780 -0.305807 -0.053529 -0.053140 0.482416 -0.088953
LIBOR -0.403073 -0.941155 0.362202 0.855194 -0.026897 -0.558898 1.207418
SB -0.019402 0.176368 -0.301628 0.107611 -0.004943 -0.250242 0.070411
@TREND(00Q2) 0.246639 -0.001382 0.036575 0.014629 0.024976 0.047196 0.101827
-0.000243 0.037790 -1.073661 39.82448 0.585476 0.094399 -0.136866
-0.001887 -0.036298 -1.317930 -51.40816 0.803878 0.022382 1.803321
0.015792 -0.001395 0.919575 -364.6019 1.231003 0.088198 -0.815008
0.004433 0.004542 0.798265 85.66856 -0.097137 -0.291983 5.072599
0.003312 0.010047 -0.400662 -140.9992 -1.089428 0.041583 -0.966643
0.000472 1.99E-05 -0.210670 95.19508 -0.079883 -0.165718 0.298931
Log likelihood
-472.6639
PMDN -0.010446 (0.00127)
LIBOR -0.014600 (0.00412)
SB -0.000703 (0.00083)
@TREND(00Q2) 0.008934 (0.00042)
Unrestricted Adjustment Coefficients (alpha): D(PDB) D(NILAITUKAR) D(FDI) D(NETEXP) D(PMDN) D(LIBOR) D(SB)
-0.020949 0.015226 2.443250 -1213.968 1.226738 0.585540 0.757113
1 Cointegrating Equation(s):
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) PDB NILAITUKAR FDI NETEXP 1.000000 0.032957 -0.007062 2.31E-05 (0.03205) (0.00160) (6.7E-06) Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(PDB) -0.578339 (0.14117) D(NILAITUKAR) 0.420350 (0.40697) D(FDI) 67.45079
155
D(NETEXP) D(PMDN) D(LIBOR) D(SB)
(18.1165) -33514.00 (4447.37) 33.86656 (17.9621) 16.16500 (4.89665) 20.90161 (51.6971)
2 Cointegrating Equation(s):
Log likelihood
-446.4255
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) PDB NILAITUKAR FDI NETEXP 1.000000 0.000000 -0.005445 1.78E-05 (0.00152) (6.2E-06) 0.000000 1.000000 -0.049073 0.000162 (0.00993) (4.0E-05) Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(PDB) -0.578303 -0.016704 (0.14116) (0.04976) D(NILAITUKAR) 0.414815 -0.352282 (0.33733) (0.11891) D(FDI) 67.60804 12.62530 (16.9228) (5.96507) D(NETEXP) -33519.83 -1490.375 (4440.96) (1565.38) D(PMDN) 33.78081 -4.556310 (17.6127) (6.20824) D(LIBOR) 16.15117 -0.381841 (4.86358) (1.71435) D(SB) 20.92166 2.014909 (51.6913) (18.2205)
3 Cointegrating Equation(s):
Log likelihood
-429.8298
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses)
PMDN -0.011472 (0.00128) 0.031115 (0.00841)
LIBOR -0.017811 (0.00235) 0.097409 (0.01542)
SB -0.000103 (0.00083) -0.018202 (0.00545)
@TREND(00Q2) 0.008934 (0.00043) 7.59E-06 (0.00280)
156 PDB 1.000000
NILAITUKAR 0.000000
FDI 0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
NETEXP 2.57E-05 (6.7E-06) 0.000233 (5.3E-05) 0.001447 (0.00085)
PMDN -0.013583 (0.00159) 0.012086 (0.01247) -0.387768 (0.20028)
LIBOR -0.013783 (0.00209) 0.133710 (0.01643) 0.739713 (0.26390)
SB -0.002721 (0.00102) -0.041802 (0.00802) -0.480909 (0.12884)
@TREND(00Q2) 0.008466 (0.00054) -0.004206 (0.00423) -0.085870 (0.06785)
PMDN -0.007531 (0.00177) 0.066837 (0.01844) -0.047090 (0.19851) -235.4759 (58.3938)
LIBOR -0.016318 (0.00206) 0.110777 (0.02146) 0.597020 (0.23100) 98.62873 (67.9528)
SB -0.004238 (0.00107) -0.055524 (0.01115) -0.566292 (0.12008) 59.01607 (35.3233)
@TREND(00Q2) 0.004818 (0.00049) -0.037208 (0.00507) -0.291218 (0.05456) 141.9363 (16.0498)
Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(PDB) -0.596641 -0.018685 0.003061 (0.14917) (0.04989) (0.00359) 0.062010 -0.390406 -0.002427 D(NILAITUKAR) (0.27231) (0.09106) (0.00655) D(FDI) 54.79822 11.24106 -1.621474 (15.8437) (5.29837) (0.38128) D(NETEXP) -34019.50 -1544.370 230.9216 (4696.69) (1570.64) (113.025) D(PMDN) 41.59422 -3.711983 0.426256 (17.9526) (6.00360) (0.43203) D(LIBOR) 16.36872 -0.358332 -0.058437 (5.15422) (1.72365) (0.12404) D(SB) 38.44930 3.908967 0.654438 (53.5773) (17.9170) (1.28933)
4 Cointegrating Equation(s):
Log likelihood
-413.4737
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) PDB NILAITUKAR FDI NETEXP 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000 0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(PDB) -1.068412 0.006945
0.003768
1.06E-05
157
D(NILAITUKAR) D(FDI) D(NETEXP) D(PMDN) D(LIBOR) D(SB)
(0.15704) 0.103676 (0.38890) 27.32697 (21.0264) -23127.43 (5828.19) 4.819388 (23.0618) 13.73392 (7.32083) 62.79676 (76.1953)
5 Cointegrating Equation(s):
(0.03726) -0.392670 (0.09226) 12.73351 (4.98808) -2136.111 (1382.62) -1.714090 (5.47094) -0.215189 (1.73672) 2.586225 (18.0757)
(0.00265) -0.002489 (0.00656) -1.580321 (0.35483) 214.6052 (98.3524) 0.481345 (0.38918) -0.054490 (0.12354) 0.617965 (1.28582)
Log likelihood
-403.5666
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) PDB NILAITUKAR FDI NETEXP 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000
(9.9E-06) -9.50E-05 (2.5E-05) 0.003179 (0.00133) -1.495274 (0.36744) 0.002835 (0.00145) 0.000397 (0.00046) 0.001512 (0.00480)
PMDN 0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(PDB) -1.099555 -0.019583 0.003897 (0.15387) (0.04204) (0.00256) 0.071764 -0.419852 -0.002357 D(NILAITUKAR) (0.39210) (0.10713) (0.00653) D(FDI) 21.71901 7.956545 -1.556975 (20.0003) (5.46434) (0.33313) D(NETEXP) -23729.27 -2648.767 217.1107 (5856.42) (1600.05) (97.5471) D(PMDN) 5.501793 -1.132805 0.478504
9.68E-06 (9.6E-06) -9.59E-05 (2.4E-05) 0.003021 (0.00125) -1.512284 (0.36515) 0.002854
LIBOR -0.000456 (0.00762) -0.030001 (0.04914) 0.696205 (0.25126) 594.6102 (185.294) 2.106294 (0.86838)
0.005610 (0.00189) -0.004786 (0.00482) -0.071350 (0.24607) 368.8390 (72.0547) -0.835854
SB -0.014501 (0.00376) 0.035559 (0.02428) -0.630464 (0.12412) -261.8819 (91.5367) -1.362763 (0.42899)
@TREND(00Q2) 0.000966 (0.00118) -0.003019 (0.00758) -0.315306 (0.03876) 21.48231 (28.5844) -0.511534 (0.13396)
158
D(LIBOR) D(SB)
(23.3677) 15.78515 (6.91417) 27.16082 (61.3670)
6 Cointegrating Equation(s):
(6.38434) 1.532091 (1.88904) -27.76912 (16.7663)
(0.38922) -0.063029 (0.11517) 0.766319 (1.02216)
Log likelihood
-397.9914
Normalized cointegrating coefficients (standard error in parentheses) PDB NILAITUKAR FDI NETEXP 1.000000 0.000000 0.000000 0.000000
(0.00146) 0.000455 (0.00043) 0.000505 (0.00383)
(0.28750) -0.193211 (0.08507) -0.954710 (0.75503)
PMDN 0.000000
LIBOR 0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
Adjustment coefficients (standard error in parentheses) D(PDB) -1.108961 -0.051584 0.005064 (0.15112) (0.05364) (0.00281) 0.043233 -0.516921 0.001183 D(NILAITUKAR) (0.38177) (0.13551) (0.00709) D(FDI) 22.85679 11.82750 -1.698140 (19.6976) (6.99147) (0.36582) D(NETEXP) -23328.87 -1286.519 167.4326 (5722.00) (2030.96) (106.268) D(PMDN) 8.595482 9.392583 0.094666 (21.1281) (7.49921) (0.39239) D(LIBOR) 15.66707 1.130339 -0.048378 (6.91891) (2.45580) (0.12850) D(SB) 29.90583 -18.43000 0.425742 (60.8475) (21.5972) (1.13005)
1.36E-05 (1.0E-05) -8.39E-05 (2.6E-05) 0.002544 (0.00134) -1.679898 (0.39029) 0.001559 (0.00144) 0.000504 (0.00047) -0.000644 (0.00415)
0.007208 (0.00253) 6.06E-05 (0.00638) -0.264635 (0.32933) 300.8188 (95.6665) -1.361411 (0.35324) -0.173150 (0.11568) -1.421034 (1.01731)
SB -0.014702 (0.00351) 0.022327 (0.01701) -0.323407 (0.12200) 0.367451 (37.3456) -0.433795 (0.11022) -0.441044 (0.18305)
0.019524 (0.00530) -0.061781 (0.01339) 0.537190 (0.69111) 197.9109 (200.763) 0.909917 (0.74131) -0.256714 (0.24276) 0.183634 (2.13491)
@TREND(00Q2) 0.000909 (0.00118) -0.006778 (0.00572) -0.228080 (0.04105) 95.98007 (12.5653) -0.247640 (0.03709) -0.125288 (0.06159)
159
Lampiran 8. Hasil Estimasi Vector Error Correction Model.
Vector Error Correction Estimates Date: 07/17/11 Time: 20:30 Sample (adjusted): 2000Q4 2009Q4 Included observations: 37 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq:
CointEq1
CointEq2
CointEq3
CointEq4
PDB(-1)
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
NILAITUKAR(-1)
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
FDI(-1)
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
NETEXP(-1)
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
PMDN(-1)
-0.007531 (0.00192) [-3.93001]
0.066837 (0.01991) [ 3.35617]
-0.047090 (0.21441) [-0.21962]
-235.4759 (63.0725) [-3.73342]
LIBOR(-1)
-0.016318 (0.00223) [-7.31788]
0.110777 (0.02317) [ 4.78011]
0.597020 (0.24951) [ 2.39275]
98.62873 (73.3974) [ 1.34376]
SB(-1)
-0.004238 (0.00116) [-3.65624]
-0.055524 (0.01205) [-4.60906]
-0.566292 (0.12970) [-4.36612]
59.01607 (38.1536) [ 1.54680]
@TREND(00Q1)
0.004818 (0.00053) [ 9.14812]
-0.037208 (0.00547) [-6.79775]
-0.291218 (0.05893) [-4.94158]
141.9363 (17.3357) [ 8.18750]
C
-7.545446
-8.211665
6.769462
908.2680
160
Error Correction:
D(PDB)
D(NILAITUKAR)
D(FDI)
D(NETEXP)
D(PMDN)
D(LIBOR)
D(SB)
CointEq1
-1.068412 (0.16963) [-6.29860]
0.103676 (0.42006) [ 0.24681]
27.32697 (22.7111) [ 1.20324]
-23127.43 (6295.16) [-3.67384]
4.819388 (24.9096) [ 0.19347]
13.73392 (7.90740) [ 1.73684]
62.79676 (82.3003) [ 0.76302]
CointEq2
0.006945 (0.04024) [ 0.17259]
-0.392670 (0.09965) [-3.94046]
12.73351 (5.38774) [ 2.36342]
-2136.111 (1493.40) [-1.43037]
-1.714090 (5.90929) [-0.29007]
-0.215189 (1.87587) [-0.11471]
2.586225 (19.5240) [ 0.13246]
CointEq3
0.003768 (0.00286) [ 1.31627]
-0.002489 (0.00709) [-0.35117]
-1.580321 (0.38326) [-4.12340]
214.6052 (106.233) [ 2.02014]
0.481345 (0.42036) [ 1.14508]
-0.054490 (0.13344) [-0.40835]
0.617965 (1.38884) [ 0.44495]
CointEq4
1.06E-05 (1.1E-05) [ 0.98749]
-9.50E-05 (2.6E-05) [-3.58610]
0.003179 (0.00143) [ 2.22034]
-1.495274 (0.39688) [-3.76753]
0.002835 (0.00157) [ 1.80499]
0.000397 (0.00050) [ 0.79634]
0.001512 (0.00519) [ 0.29137]
D(PDB(-1))
-0.054409 (0.13153) [-0.41367]
0.174877 (0.32571) [ 0.53691]
-12.88144 (17.6100) [-0.73148]
-2725.132 (4881.22) [-0.55829]
-15.00684 (19.3147) [-0.77696]
7.787834 (6.13134) [ 1.27017]
-95.93625 (63.8150) [-1.50335]
D(PDB(-2))
0.236894 (0.12025) [ 1.96993]
0.116413 (0.29780) [ 0.39091]
-26.68733 (16.1008) [-1.65752]
-3236.058 (4462.88) [-0.72511]
8.395173 (17.6594) [ 0.47539]
1.646012 (5.60586) [ 0.29362]
-107.4673 (58.3458) [-1.84190]
D(NILAITUKAR(-1))
-0.052501 (0.06478) [-0.81039]
0.087356 (0.16043) [ 0.54451]
-2.328678 (8.67391) [-0.26847]
529.5675 (2404.27) [ 0.22026]
3.794619 (9.51358) [ 0.39886]
-1.112716 (3.02003) [-0.36845]
-75.19399 (31.4325) [-2.39224]
D(NILAITUKAR(-2))
-0.039173 (0.08318) [-0.47092]
-0.195571 (0.20600) [-0.94939]
1.001842 (11.1374) [ 0.08995]
-2660.194 (3087.11) [-0.86171]
13.53706 (12.2156) [ 1.10818]
2.334271 (3.87775) [ 0.60197]
16.52508 (40.3596) [ 0.40945]
D(FDI(-1))
-0.003690 (0.00215) [-1.71712]
0.001167 (0.00532) [ 0.21926]
0.353464 (0.28773) [ 1.22844]
-198.3638 (79.7554) [-2.48715]
-0.462291 (0.31559) [-1.46486]
0.056805 (0.10018) [ 0.56702]
-0.683752 (1.04269) [-0.65576]
D(FDI(-2))
-0.002102
-0.003023
0.194494
-155.8844
-0.162734
0.114351
-0.709589
161 (0.00177) [-1.18848]
(0.00438) [-0.69030]
(0.23681) [ 0.82132]
(65.6388) [-2.37488]
(0.25973) [-0.62655]
(0.08245) [ 1.38692]
(0.85813) [-0.82690]
D(NETEXP(-1))
-1.71E-05 (1.1E-05) [-1.61986]
4.86E-05 (2.6E-05) [ 1.86582]
-0.001656 (0.00141) [-1.17525]
-0.297288 (0.39066) [-0.76098]
-0.001316 (0.00155) [-0.85140]
0.000613 (0.00049) [ 1.24927]
-0.002692 (0.00511) [-0.52707]
D(NETEXP(-2))
-1.96E-06 (8.0E-06) [-0.24503]
4.15E-05 (2.0E-05) [ 2.09452]
-0.000492 (0.00107) [-0.45915]
-0.037982 (0.29728) [-0.12776]
-8.98E-06 (0.00118) [-0.00763]
0.000210 (0.00037) [ 0.56216]
-0.003527 (0.00389) [-0.90750]
D(PMDN(-1))
-0.001588 (0.00201) [-0.79090]
0.002301 (0.00497) [ 0.46275]
0.175775 (0.26881) [ 0.65391]
-305.3868 (74.5088) [-4.09867]
0.218689 (0.29483) [ 0.74175]
0.119854 (0.09359) [ 1.28061]
1.125845 (0.97410) [ 1.15578]
D(PMDN(-2))
0.000210 (0.00165) [ 0.12695]
0.000229 (0.00410) [ 0.05599]
0.104994 (0.22141) [ 0.47421]
-153.7614 (61.3715) [-2.50542]
0.138089 (0.24284) [ 0.56863]
0.072187 (0.07709) [ 0.93640]
1.043245 (0.80235) [ 1.30024]
D(LIBOR(-1))
-0.047022 (0.01090) [-4.31490]
0.024109 (0.02699) [ 0.89337]
1.149625 (1.45906) [ 0.78792]
-1419.892 (404.430) [-3.51085]
0.738808 (1.60031) [ 0.46167]
1.348619 (0.50801) [ 2.65472]
-1.162434 (5.28735) [-0.21985]
D(LIBOR(-2))
-0.020477 (0.00728) [-2.81282]
0.058325 (0.01803) [ 3.23524]
1.289926 (0.97470) [ 1.32341]
-733.9739 (270.172) [-2.71669]
1.276467 (1.06906) [ 1.19401]
0.650478 (0.33936) [ 1.91675]
-2.656599 (3.53211) [-0.75213]
D(SB(-1))
-0.003345 (0.00178) [-1.87501]
-0.006696 (0.00442) [-1.51554]
-0.072626 (0.23886) [-0.30405]
-38.69409 (66.2096) [-0.58442]
0.161535 (0.26199) [ 0.61657]
0.023164 (0.08317) [ 0.27853]
-0.472903 (0.86560) [-0.54633]
D(SB(-2))
-0.002077 (0.00138) [-1.49958]
-0.004863 (0.00343) [-1.41789]
0.017819 (0.18543) [ 0.09609]
-54.63258 (51.3982) [-1.06293]
0.173774 (0.20338) [ 0.85443]
0.070222 (0.06456) [ 1.08767]
0.430949 (0.67196) [ 0.64133]
C
-0.014511 (0.00545) [-2.66468]
0.042464 (0.01349) [ 3.14895]
0.331944 (0.72910) [ 0.45528]
-244.2069 (202.094) [-1.20838]
-0.076614 (0.79968) [-0.09581]
0.106063 (0.25385) [ 0.41781]
-0.040716 (2.64209) [-0.01541]
0.808891
0.934534
0.771481
0.867765
0.523286
0.589198
0.758785
R-squared
162 Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
0.617782 0.010956 0.024671 4.232619 97.80780 -4.259881 -3.432653 -0.006250 0.039906
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
0.869068 0.067187 0.061095 14.27516 64.25624 -2.446283 -1.619055 0.023889 0.168844
0.542962 196.3990 3.303189 3.376003 -83.38149 5.534135 6.361363 0.301468 4.886042
0.735530 15089551 915.5918 6.562304 -291.4947 16.78350 17.61073 -67.48649 1780.385
1860.524 11.99860 -413.4737 31.26885 38.45267
Vector Error Correction Estimates Date: 07/17/11 Time: 20:31 Sample (adjusted): 2000Q4 2009Q4 Included observations: 37 after adjustments Standard errors in ( ) & t-statistics in [ ] Cointegrating Eq:
CointEq1
CointEq2
CointEq3
CointEq4
PDB(-1)
1.000000
0.000000
0.000000
0.000000
PMDN(-1)
0.000000
1.000000
0.000000
0.000000
LIBOR(-1)
0.000000
0.000000
1.000000
0.000000
SB(-1)
0.000000
0.000000
0.000000
1.000000
NILAITUKAR(-1)
0.255761 (0.04659) [ 5.48915]
6.687780 (3.20572) [ 2.08620]
9.994778 (1.89826) [ 5.26523]
9.980994 (7.10842) [ 1.40411]
FDI(-1)
-0.027750 (0.00392)
-0.882087 (0.26947)
-0.670352 (0.15957)
-2.399250 (0.59752)
0.046571 236.2639 3.622951 1.097692 -86.80031 5.718936 6.546164 0.051914 3.710379
0.178396 23.80843 1.150083 1.434263 -44.34448 3.424026 4.251254 -0.189070 1.268814
0.517571 2579.086 11.97007 3.145688 -131.0198 8.109177 8.936405 -0.004522 17.23376
163 [-7.08520]
[-3.27344]
[-4.20111]
[-4.01532]
NETEXP(-1)
4.62E-05 (9.5E-06) [ 4.83822]
-0.002172 (0.00066) [-3.30882]
0.002971 (0.00039) [ 7.64294]
0.003313 (0.00146) [ 2.27583]
@TREND(00Q1)
0.009935 (0.00113) [ 8.79111]
-0.300258 (0.07776) [-3.86158]
0.245015 (0.04604) [ 5.32149]
0.797533 (0.17242) [ 4.62564]
C
-9.791593
-62.86190
-83.91327
-95.19333
Error Correction:
D(PDB)
D(PMDN)
D(LIBOR)
D(SB)
D(NILAITUKAR)
D(FDI)
D(NETEXP)
CointEq1
-1.068412 (0.16963) [-6.29860]
4.819388 (24.9096) [ 0.19347]
13.73392 (7.90740) [ 1.73684]
62.79676 (82.3003) [ 0.76302]
0.103676 (0.42006) [ 0.24681]
27.32697 (22.7111) [ 1.20324]
-23127.43 (6295.16) [-3.67384]
CointEq2
0.005846 (0.00211) [ 2.77685]
-0.841016 (0.30915) [-2.72038]
-0.208727 (0.09814) [-2.12685]
-0.685153 (1.02143) [-0.67078]
-0.004545 (0.00521) [-0.87177]
-0.028930 (0.28187) [-0.10264]
373.3914 (78.1295) [ 4.77914]
CointEq3
0.021495 (0.00561) [ 3.83389]
0.298425 (0.82332) [ 0.36247]
-0.241326 (0.26136) [-0.92336]
-0.220183 (2.72021) [-0.08094]
-0.056044 (0.01388) [-4.03658]
0.334732 (0.75065) [ 0.44592]
121.4109 (208.069) [ 0.58351]
CointEq4
0.002632 (0.00148) [ 1.77247]
-0.030544 (0.21806) [-0.14007]
0.008028 (0.06922) [ 0.11598]
-0.670464 (0.72047) [-0.93059]
0.017168 (0.00368) [ 4.66867]
0.259718 (0.19882) [ 1.30632]
6.847685 (55.1088) [ 0.12426]
D(PDB(-1))
-0.054409 (0.13153) [-0.41367]
-15.00684 (19.3147) [-0.77696]
7.787834 (6.13134) [ 1.27017]
-95.93625 (63.8150) [-1.50335]
0.174877 (0.32571) [ 0.53691]
-12.88144 (17.6100) [-0.73148]
-2725.132 (4881.22) [-0.55829]
D(PDB(-2))
0.236894 (0.12025) [ 1.96993]
8.395173 (17.6594) [ 0.47539]
1.646012 (5.60586) [ 0.29362]
-107.4673 (58.3458) [-1.84190]
0.116413 (0.29780) [ 0.39091]
-26.68733 (16.1008) [-1.65752]
-3236.058 (4462.88) [-0.72511]
D(PMDN(-1))
-0.001588 (0.00201)
0.218689 (0.29483)
0.119854 (0.09359)
1.125845 (0.97410)
0.002301 (0.00497)
0.175775 (0.26881)
-305.3868 (74.5088)
164 [-0.79090]
[ 0.74175]
[ 1.28061]
[ 1.15578]
[ 0.46275]
[ 0.65391]
[-4.09867]
D(PMDN(-2))
0.000210 (0.00165) [ 0.12695]
0.138089 (0.24284) [ 0.56863]
0.072187 (0.07709) [ 0.93640]
1.043245 (0.80235) [ 1.30024]
0.000229 (0.00410) [ 0.05599]
0.104994 (0.22141) [ 0.47421]
-153.7614 (61.3715) [-2.50542]
D(LIBOR(-1))
-0.047022 (0.01090) [-4.31490]
0.738808 (1.60031) [ 0.46167]
1.348619 (0.50801) [ 2.65472]
-1.162434 (5.28735) [-0.21985]
0.024109 (0.02699) [ 0.89337]
1.149625 (1.45906) [ 0.78792]
-1419.892 (404.430) [-3.51085]
D(LIBOR(-2))
-0.020477 (0.00728) [-2.81282]
1.276467 (1.06906) [ 1.19401]
0.650478 (0.33936) [ 1.91675]
-2.656599 (3.53211) [-0.75213]
0.058325 (0.01803) [ 3.23524]
1.289926 (0.97470) [ 1.32341]
-733.9739 (270.172) [-2.71669]
D(SB(-1))
-0.003345 (0.00178) [-1.87501]
0.161535 (0.26199) [ 0.61657]
0.023164 (0.08317) [ 0.27853]
-0.472903 (0.86560) [-0.54633]
-0.006696 (0.00442) [-1.51554]
-0.072626 (0.23886) [-0.30405]
-38.69409 (66.2096) [-0.58442]
D(SB(-2))
-0.002077 (0.00138) [-1.49958]
0.173774 (0.20338) [ 0.85443]
0.070222 (0.06456) [ 1.08767]
0.430949 (0.67196) [ 0.64133]
-0.004863 (0.00343) [-1.41789]
0.017819 (0.18543) [ 0.09609]
-54.63258 (51.3982) [-1.06293]
D(NILAITUKAR(-1))
-0.052501 (0.06478) [-0.81039]
3.794619 (9.51358) [ 0.39886]
-1.112716 (3.02003) [-0.36845]
-75.19399 (31.4325) [-2.39224]
0.087356 (0.16043) [ 0.54451]
-2.328678 (8.67391) [-0.26847]
529.5675 (2404.27) [ 0.22026]
D(NILAITUKAR(-2))
-0.039173 (0.08318) [-0.47092]
13.53706 (12.2156) [ 1.10818]
2.334271 (3.87775) [ 0.60197]
16.52508 (40.3596) [ 0.40945]
-0.195571 (0.20600) [-0.94939]
1.001842 (11.1374) [ 0.08995]
-2660.194 (3087.11) [-0.86171]
D(FDI(-1))
-0.003690 (0.00215) [-1.71712]
-0.462291 (0.31559) [-1.46486]
0.056805 (0.10018) [ 0.56702]
-0.683752 (1.04269) [-0.65576]
0.001167 (0.00532) [ 0.21926]
0.353464 (0.28773) [ 1.22844]
-198.3638 (79.7554) [-2.48715]
D(FDI(-2))
-0.002102 (0.00177) [-1.18848]
-0.162734 (0.25973) [-0.62655]
0.114351 (0.08245) [ 1.38692]
-0.709589 (0.85813) [-0.82690]
-0.003023 (0.00438) [-0.69030]
0.194494 (0.23681) [ 0.82132]
-155.8844 (65.6388) [-2.37488]
D(NETEXP(-1))
-1.71E-05 (1.1E-05)
-0.001316 (0.00155)
0.000613 (0.00049)
-0.002692 (0.00511)
4.86E-05 (2.6E-05)
-0.001656 (0.00141)
-0.297288 (0.39066)
165 [-1.61986]
[-0.85140]
[ 1.24927]
[-0.52707]
[ 1.86582]
[-1.17525]
[-0.76098]
D(NETEXP(-2))
-1.96E-06 (8.0E-06) [-0.24503]
-8.98E-06 (0.00118) [-0.00763]
0.000210 (0.00037) [ 0.56216]
-0.003527 (0.00389) [-0.90750]
4.15E-05 (2.0E-05) [ 2.09452]
-0.000492 (0.00107) [-0.45915]
-0.037982 (0.29728) [-0.12776]
C
-0.014511 (0.00545) [-2.66468]
-0.076614 (0.79968) [-0.09581]
0.106063 (0.25385) [ 0.41781]
-0.040716 (2.64209) [-0.01541]
0.042464 (0.01349) [ 3.14895]
0.331944 (0.72910) [ 0.45528]
-244.2069 (202.094) [-1.20838]
0.808891 0.617782 0.010956 0.024671 4.232619 97.80780 -4.259881 -3.432653 -0.006250 0.039906
0.523286 0.046571 236.2639 3.622951 1.097692 -86.80031 5.718936 6.546164 0.051914 3.710379
0.589198 0.178396 23.80843 1.150083 1.434263 -44.34448 3.424026 4.251254 -0.189070 1.268814
0.758785 0.517571 2579.086 11.97007 3.145688 -131.0198 8.109177 8.936405 -0.004522 17.23376
0.934534 0.869068 0.067187 0.061095 14.27516 64.25624 -2.446283 -1.619055 0.023889 0.168844
0.771481 0.542962 196.3990 3.303189 3.376003 -83.38149 5.534135 6.361363 0.301468 4.886042
0.867765 0.735530 15089551 915.5918 6.562304 -291.4947 16.78350 17.61073 -67.48649 1780.385
R-squared Adj. R-squared Sum sq. resids S.E. equation F-statistic Log likelihood Akaike AIC Schwarz SC Mean dependent S.D. dependent
Determinant resid covariance (dof adj.) Determinant resid covariance Log likelihood Akaike information criterion Schwarz criterion
1860.524 11.99860 -413.4737 31.26885 38.45267
166
Lampiran 9. Hasil Impulse Response Function Shock Foreign Direct Investment.
Period
PDB
NILAITUKAR
NETEXP
PMDN
LIBOR
SB
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
0.000000 0.002002 0.014892 0.014578 0.014794 0.017993 0.015298 0.014209 0.012196 0.014982 0.018122 0.020088 0.016849 0.016114 0.015441 0.016798 0.015990 0.016826 0.017134 0.017856 0.016432 0.016296 0.016321 0.017158 0.016556 0.016692 0.016765 0.017254 0.016572 0.016471 0.016546 0.017086 0.016726 0.016645 0.016648 0.017006 0.016704 0.016599 0.016619 0.016950 0.016771 0.016663 0.016642 0.016884 0.016761 0.016668 0.016652 0.016855 0.016780 0.016693
0.000000 0.045959 0.021083 0.026691 0.007882 -0.043370 -0.042055 -0.036729 -0.029270 -0.015076 -0.017775 -0.024877 -0.036420 -0.039163 -0.032553 -0.027252 -0.028956 -0.029635 -0.028640 -0.028716 -0.032484 -0.033628 -0.030890 -0.028248 -0.029740 -0.031093 -0.030445 -0.029529 -0.031030 -0.031830 -0.030583 -0.029119 -0.030103 -0.031220 -0.030803 -0.029811 -0.030414 -0.031137 -0.030673 -0.029751 -0.030203 -0.030976 -0.030798 -0.030046 -0.030255 -0.030822 -0.030711 -0.030108 -0.030243 -0.030747
-114.5895 4.845287 182.7953 158.0754 -131.2574 255.2422 236.8232 145.1198 -197.5087 83.58553 196.3388 156.4570 -88.91827 85.15821 179.4012 139.8545 -70.28145 50.03580 154.1242 148.1786 -19.59210 49.95194 131.4700 133.5199 0.925617 45.54562 119.0166 130.9452 24.85367 45.94446 105.0531 121.6535 39.53566 48.14620 96.95860 116.2486 52.03929 50.65566 88.99198 109.4316 60.91688 54.44514 84.15526 103.9889 67.29829 57.70971 80.19680 98.94452 71.93499 61.15548
1.413312 1.110471 1.303084 1.086490 1.119885 0.285546 0.434156 0.757970 1.068853 0.827546 0.697175 0.836988 0.903891 0.653748 0.571859 0.772939 0.952223 0.802858 0.678754 0.749809 0.854982 0.748411 0.675910 0.762959 0.872740 0.789121 0.698129 0.739861 0.830469 0.783634 0.717169 0.748941 0.824306 0.790151 0.727229 0.742464 0.806034 0.789825 0.740569 0.747391 0.797667 0.788724 0.747134 0.747589 0.788796 0.787616 0.754768 0.750900 0.782754 0.785117
0.062671 0.046982 0.322790 0.327920 0.485794 0.197544 0.254087 0.345641 0.480748 0.323604 0.350129 0.384451 0.467139 0.321124 0.320060 0.366961 0.458993 0.362106 0.344802 0.365249 0.433014 0.362384 0.345593 0.365330 0.425129 0.375080 0.353559 0.363598 0.411414 0.377297 0.357910 0.364984 0.404819 0.381549 0.362349 0.364736 0.396977 0.382666 0.366343 0.366410 0.392141 0.383379 0.369135 0.367320 0.387843 0.383412 0.371693 0.368770 0.384783 0.383024
4.774854 -0.221149 1.146598 -0.006622 -1.820062 1.793910 1.802263 1.444585 1.758408 1.071023 0.732446 0.332370 0.903554 1.719067 1.597045 0.912293 0.922360 1.239321 1.233162 0.872417 0.979782 1.346665 1.370737 0.999788 0.959126 1.193933 1.258591 1.026943 1.018718 1.221060 1.275407 1.060124 1.005120 1.160122 1.239818 1.095944 1.043004 1.155790 1.222549 1.106848 1.048881 1.135834 1.205627 1.125185 1.069158 1.128918 1.188923 1.130516 1.079509 1.122704
Cholesky Ordering: PDB NILAITUKAR FDI NETEXP PMDN LIBOR SB
167
Lampiran 10. Dekomposisi Varians Foreign Direct Investment
Period
S.E.
PDB
NILAITUKAR
FDI
NETEXP
PMDN
LIBOR
SB
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50
0.024671 0.033817 0.044387 0.049965 0.058752 0.065535 0.069735 0.073140 0.076870 0.081878 0.087493 0.092909 0.097256 0.101068 0.104727 0.108636 0.112344 0.115939 0.119473 0.123075 0.126424 0.129553 0.132574 0.135688 0.138728 0.141675 0.144539 0.147420 0.150203 0.152888 0.155515 0.158176 0.160789 0.163330 0.165811 0.168300 0.170745 0.173133 0.175474 0.177823 0.180145 0.182418 0.184647 0.186874 0.189079 0.191246 0.193376 0.195502 0.197611 0.199687
7.757933 6.023454 8.416418 8.261539 8.776183 9.963898 9.189818 8.496577 8.049054 8.097443 7.683792 7.509051 7.537036 7.749228 7.593421 7.446685 7.356635 7.418175 7.321516 7.279887 7.273678 7.338341 7.262829 7.205588 7.186174 7.232846 7.191001 7.153793 7.141112 7.174749 7.147130 7.115155 7.100468 7.123272 7.107915 7.086088 7.074257 7.088907 7.078073 7.060409 7.049933 7.060118 7.053876 7.040621 7.031313 7.037437 7.033247 7.022982 7.014984 7.018705
0.617017 0.485526 5.319067 5.418614 4.871134 6.368024 5.730740 6.578554 6.742398 6.337832 5.931052 5.480516 5.284234 5.040200 4.805398 4.614279 4.444303 4.277157 4.116844 3.988068 3.896122 3.755079 3.628316 3.528284 3.457430 3.351839 3.253935 3.172213 3.116515 3.034963 2.957494 2.891651 2.843950 2.778852 2.715770 2.661565 2.622075 2.570118 2.517930 2.472064 2.437286 2.394747 2.351148 2.312290 2.281986 2.246695 2.209816 2.176331 2.149433 2.119648
91.62505 71.70978 55.41243 49.64703 48.98821 43.69454 39.18120 34.50141 34.63649 32.89602 30.58238 28.10924 27.48841 26.50147 25.27631 23.76983 23.45963 22.85252 22.07818 21.12500 20.78146 20.33541 19.76353 19.09933 18.84117 18.52955 18.09942 17.59112 17.34725 17.11149 16.79106 16.40587 16.19190 15.99876 15.74535 15.44153 15.25319 15.09397 14.89236 14.64931 14.48332 14.34624 14.18079 13.98232 13.83644 13.71758 13.58019 13.41601 13.28713 13.18183
0.000000 8.166787 13.61831 18.16988 17.48352 21.57722 25.03666 27.53537 26.33410 28.76090 31.41971 33.76614 33.40527 34.32758 35.60935 37.09720 37.08319 37.85819 38.73317 39.63047 39.62585 40.13237 40.79350 41.46428 41.52576 41.88408 42.38492 42.90245 42.99095 43.24063 43.61408 44.02092 44.13513 44.33295 44.62313 44.94374 45.05886 45.21472 45.44465 45.70591 45.82215 45.95144 46.13569 46.34906 46.46014 46.57010 46.72091 46.89810 47.00297 47.09882
0.000000 1.222283 0.936468 0.857452 0.769265 0.832603 0.930162 0.853638 1.071091 1.078404 1.300261 1.341030 1.306837 1.409171 1.342968 1.276039 1.211337 1.190207 1.162249 1.126005 1.084885 1.080826 1.045868 1.017706 0.980917 0.965630 0.937611 0.912756 0.883883 0.870207 0.847111 0.826536 0.802883 0.788484 0.769672 0.751852 0.732574 0.719336 0.703697 0.688573 0.672644 0.660481 0.647377 0.634264 0.620884 0.609912 0.598728 0.587416 0.576051 0.566246
0.000000 0.038724 1.809650 3.271643 5.909552 5.704090 8.963340 11.51642 13.42409 12.92543 13.68174 15.07420 16.77706 16.75987 17.22428 17.95209 18.97077 18.98141 19.23667 19.69901 20.44665 20.53243 20.71654 21.00771 21.50467 21.59458 21.73287 21.95681 22.34041 22.44159 22.54361 22.70043 22.98514 23.08868 23.17695 23.30030 23.51966 23.61800 23.69253 23.78873 23.95909 24.05147 24.11875 24.19795 24.33261 24.41653 24.47678 24.54295 24.65117 24.72725
0.000000 12.35345 14.48765 14.37385 13.20214 11.85962 10.96809 10.51803 9.742777 9.903966 9.401059 8.719817 8.201147 8.212485 8.148267 7.843874 7.474128 7.422338 7.351381 7.151555 6.891362 6.825534 6.789412 6.677093 6.503883 6.441475 6.400247 6.310861 6.179876 6.126372 6.099511 6.039431 5.940532 5.889003 5.861220 5.814934 5.739381 5.694950 5.670757 5.635004 5.575575 5.535513 5.512371 5.483502 5.436615 5.401745 5.380324 5.356207 5.318260 5.287507
Cholesky Ordering: PDB NILAITUKAR FDI NETEXP PMDN LIBOR SB