WP/12/2015
WORKING PAPER
PEMETAAN DAN DETERMINAN INTRA-ASEAN FOREIGN DIRECT INVESTMENT (FDI): STUDI KASUS INDONESIA
Shinta R. I. Soekro Triono Widodo (Konsultan)
Desember, 2015
Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia.
PEMETAAN DAN DETERMINAN INTRA-ASEAN FOREIGN DIRECT INVESTMENT (FDI): STUDI KASUS INDONESIA Shinta R.I. Soekro* dan Triono Widodo (Konsultan)
Abstrak Sebagai salah satu pilar dari KEA, aliran modal diharapkan akan semakin masif antarnegara ASEAN dengan diimplementasikannya KEA akhir 2015. Sebagai negara dengan perekonomian terbesar di ASEAN, Indonesia merupakan penerima terbesar foreign direct investment (FDI) dari kawasan. Investasi tersebut diharapkan tidak hanya untuk memperluas pasar dan mencari sumber daya, tetapi juga menjadikan Indonesia sebagai basis produksi untuk ekspor. Penelitian ini bertujuan untuk memetakan FDI yang berasal dari ASEAN-5 ke Indonesia dan mengidentifikasi determinan FDI tersebut. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk menganalisis perilaku outward FDI Indonesia ke ASEAN-5 serta melihat bagaimana pergeseran pola FDI ke sektor ekonomi yang lebih memiliki teknologi tinggi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data panel dinamis dengan Generalized Method of Moments (GMM) dan analisis structural breaks Bai dan Perron. Hasil penelitian menunjukkan bahwa determinan inward FDI intra-ASEAN ke Indonesia adalah FDI tahun sebelumnya, PDB Indonesia, PDB negara asal, jarak, produktivitas relatif, sumber daya alam, infrastruktur jalan, perdagangan bilateral, dan volume ekspor. Sementara itu determinan outward FDI Indonesia adalah PDB negara tujuan, perdagangan bilateral, dan karakteristik negara Singapura. FDI yang masuk ke Indonesia cenderung berorientasi mengejar pasar lokal, seperti halnya outward FDI Indonesia. Dalam hal pergeseran inward FDI Indonesia ke sektor yang berteknologi lebih tinggi, ditemukan bahwa tidak terjadi pergeseran yang berkelanjutan ke arah tersebut. Hasil penelitian menemukan bahwa FDI intra-ASEAN ke Indonesia cenderung bergeser ke arah sektor tersier.
Key words
: FDI, intra-ASEAN, pasar lokal, data panel dinamis, structural breaks
JEL Classification : F23, F00, C33
*
Penulis mengucapkan apreasiasi kepada R. Aga Nugraha (BI Institute), Lutzardo Tobing (BI Institute) dan Sandy Juli Maulana (Asisten Peneliti).
1
I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Investasi asing langsung atau foreign direct investment (FDI) diyakini
merupakan salah satu sumber penting pembiayaan bagi suatu negara, khususnya negara-negara berkembang. FDI yang merupakan arus masuk modal jangka panjang dan relatif tidak rentan terhadap gejolak perekonomian sangat diharapkan untuk membantu mendorong pertumbuhan investasi yang berkesinambungan (sustainable) di negara-negara emerging, termasuk Indonesia. Dengan pertimbangan arus investasi asing langsung yang berkesinambungan merupakan bagian penting dalam strategi pembangunan jangka panjang suatu negara, negara-negara anggota ASEAN sepakat untuk memasukkan investasi sebagai salah satu elemen dari pilar single market and production base yang merupakan satu dari empat pilar ASEAN Economic Community. Salah satu perwujudan komitmen negara ASEAN dalam kerja sama regional adalah disepakatinya ASEAN Vision 2020 di Kuala Lumpur, Malaysia pada Desember 1997 pada ASEAN Summit. Visi tersebut mengarah pada perwujudan suatu komunitas ASEAN (ASEAN Community) yang berlandaskan pada tiga pilar, yaitu ASEAN Economic Community (AEC), ASEAN Political and Security Community (ASPC), dan ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC). Ketiga pilar tersebut secara paralel akan mengarah pada terbentuknya suatu ASEAN Community pada tahun 2020. Selanjutnya pada ASEAN Summit di Cebu, Filipina bulan Januari 2007 disepakati bahwa pembentukan komunitas ASEAN tersebut akan dipercepat menjadi tahun 2015. Percepatan pencapaian visi tersebut dilatarbelakangi oleh upaya negara-negara ASEAN untuk mengurangi risiko berpindahnya arus modal asing di tengah meningkatnya persaingan ekonomi regional seiring dengan pesatnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok dan India serta untuk mendorong ekonomi negara ASEAN agar lebih efisien dan tumbuh lebih cepat (Kurniati, Prasmuko, dan Yanfitri, 2007). Komunitas Ekonomi ASEAN (KEA) tersebut akan efektif dan resmi dimulai pada tanggal 31 Desember 2015.
2
Gambar 1. ASEAN Economic Community
Secara konseptual pembentukan KEA dilakukan melalui empat kerangka kerja strategis (pilar) yang dituangkan dalam cetak biru KEA2 (Gambar 1). Salah satu konsep yang digagas adalah menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi internasional dengan elemen aliran bebas barang (free flow of goods), aliran bebas jasa (free flow of services), aliran bebas investasi (free flow of investment), dan aliran lebih bebas arus modal (freer flow of capital), serta aliran bebas tenaga kerja terampil (free movement of skilled labour). Keempat kerangka kerja strategis tersebut diharapkan mampu meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan negara-negara ASEAN. Meski disadari bahwa KEA sebagai salah satu wadah kerja sama kawasan akan memberikan banyak manfaat bagi negara anggotanya, tidak dapat dipungkiri bahwa kerja sama kawasan ini pada kenyataannya menimbulkan perdebatan, baik di antara kaum birokrat, teknokrat, maupun akademisi. Bagi mereka yang mendukung, kerja sama kawasan dianggap sebagai building block karena bentuk
2
Dicuplik dari buku Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015: Memperkuat Sinergi ASEAN di Tengah Kompetisi Global, Bank Indonesia (2008)
3
kerja sama itu akan mendorong mempercepat proses integrasi ekonomi global. Sementara itu, mereka yang kurang sependapat menganggap bahwa kerja sama kawasan merupakan stumbling block. Hal itu disebabkan terbentuknya kerja sama kawasan umumnya akan diikuti oleh berbagai regulasi yang berbeda bagi negara anggota dengan non-anggota sehingga dikhawatirkan akan menghambat integrasi ekonomi global3. Pada dasarnya dua elemen dalam pilar pasar tunggal dan basis produksi, yaitu perdagangan (arus barang dan jasa) dan investasi (arus modal), memiliki hubungan yang sangat erat. Perdagangan antardua negara atau lebih yang semakin meningkat akan mendorong investor untuk mulai membuka fasilitas produksi di negara tempat ekspor ke negara tersebut tinggi, yaitu berupa investasi asing langsung (foreign direct investment–FDI). Hal itu dimaksudkan untuk mengurangi berbagai hambatan yang dialami ketika akan melakukan perdagangan antarnegara, seperti hambatan tarif dan nontarif. Bagi perusahaan multinasional, FDI memberikan peluang menekan biaya produksi sekaligus meningkatkan pangsa pasar. Di sisi lain, FDI diyakini memberikan manfaat kepada negara penerima, antara lain berupa pertumbuhan ekonomi, pemasukan modal dan teknologi baru, serta peningkatan penyerapan tenaga kerja Untuk menarik FDI, setiap negara melakukan langkah yang berbeda-beda, tergantung pada karakteristik negara tersebut, seperti infrastruktur, rezim perdagangan yang dianut, ketersediaan tenaga terampil, dan kualitas kelembagaan. Beberapa negara ASEAN menawarkan insentif khusus kepada investor asing seperti tax holiday, import duty exemption, dan peningkatan ketersediaan infrastruktur. Di Indonesia, tren perkembangan FDI mengalami peningkatan selama kurun waktu lebih dari 40 tahun (1970–2014) dan mulai meningkat secara signifikan sejak tahun 2001 (Grafik.1). Demikian pula dengan tren perkembangan perdagangan Indonesia yang juga terus meningkat selama kurun waktu 30 tahun lebih (Grafik 2). Apabila dilihat lebih jauh per kawasan, tampak bahwa perkembangan FDI intraASEAN Indonesia terus menguat, sementara perdagangan intra-ASEAN Indonesia mengalami penurunan pada tiga tahun terakhir. Bahkan, pertumbuhan FDI setelah
3
Dicuplik dari Kompasiana Perdebatan Seputar Keberadaan Regionalism Ekonomi, 29 Oktober 2013.
4
tahun 2012 cenderung lebih tinggi jika dibandingkan dengan pertumbuhan perdagangan.
2013
2011
2009
2007
2005
2003
2001
1999
1997
1995
1993
(4,550)
(10,000)
2012
2009
2006
2003
2000
1997
1994
1991
1988
1985
1982
1979
1976
1973
1970
(5,000)
1991
145
-
1989
5,000
1987
10,000
1985
juta USD
juta USD
15,000
1983
20,000
450,000 400,000 350,000 300,000 250,000 200,000 150,000 100,000 50,000 -
1981
22,580
25,000
Sumber : UNCTAD
Grafik 1. Perkembangan FDI Indonesia (1970–2014)
Grafik 2. Perkembangan Perdagangan Indonesia (1981–2013)
Seiring dengan terus meningkatnya arus FDI ke Indonesia dan pertumbuhan FDI lebih tinggi dari pertumbuhan perdagangan internasional yang selama 3 tahun terakhir cenderung menurun (Grafik 3), dipandang perlu pengkajian mengenai karakteristik FDI yang masuk dan keluar Indonesia, khususnya dari dan ke empat negara ASEAN (Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina) serta faktor-faktor yang menarik FDI masuk ke Indonesia. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui arah perkembangan produk FDI selain ingin mengetahui apakah investasi asing bergerak menghasilkan produk yang lebih canggih (sophisticated) atau justru sebaliknya. FDI yang lebih canggih umumnya cenderung memiliki produk ekspor dengan nilai tambah yang lebih tinggi. Bukti empiris menunjukkan bahwa dengan produk ekspor yang lebih canggih, pertumbuhan ekonomi akan lebih tinggi dalam jangka panjang (Jarreau dan Poncety, 2009). Salah satu faktor yang memengaruhi tingkat kecanggihan dari produk ekspor adalah spillover perusahaan FDI atau dalam hal ini perusahaan multinasional (Iwamoto dan Nabeshima, 2012). Dengan memasukkan aspek arah perkembangan FDI ke produk yang lebih canggih, penelitian ini diharapkan dapat menangkap secara utuh fenomena FDI yang terjadi di Indonesia.
5
persen
50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 (10.0) (20.0) 2011
2012
2013
Trade ASEAN
2014
FDI dari ASEAN
Sumber: ASEAN Stat, UNCTAD, SEKI, diolah
Grafik 3. Pertumbuhan FDI dan Perdagangan Internasional Indonesia
1.2
Tujuan Penelitian Dengan latar belakang pentingnya FDI sebagai
salah satu sumber
pembiayaan bagi pembangunan suatu negara karena (i) sifatnya yang tidak volatile, menetap lebih lama, dan sengaja diundang pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja, meningkatan kapasitas produksi, transfer teknologi, dan mengatasi kesenjangan tabungan investasi (S-I gap); (ii) tidak ada kewajiban pembayaran pokok
bagi
FDI
yang
berbentuk
penyertaan
di
satu
sisi;
serta
(iii)
mempertimbangkan FDI merupakan salah satu elemen penting dalam KEA yang akan mulai diimplementasikan pada akhir 2015 di sisi lain, dipandang penting pemahaman lebih jauh terhadap faktor-faktor yang memengaruhi perkembangan FDI yang masuk dan keluar Indonesia, khususnya dari dan ke negara ASEAN-5 serta pemahaman karakteristiknya. Hipotesis awal menunjukkan bahwa FDI yang masuk ke Indonesia mengalami pergeseran ke arah FDI yang memproduksi barang-barang yang lebih canggih. Meskipun begitu, FDI di Indonesia diduga masih tetap didominasi oleh aktivitas produksi untuk mendekati pasar lokal dan bukan untuk menjadikan Indonesia, dalam hal ini adalah host-country, sebagai negara basis produksi untuk ekspor. Berdasarkan penjelasan tersebut, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Memetakan FDI yang masuk ke Indonesia (negara asal, sektor, komoditas, dan aspek kebijakannya) yang berasal dari empat negara ASEAN (Malaysia, Singapura¸ Thailand, dan Filipina) atau ASEAN-5.
1
2. Mengidentifikasi inward factors (push-and-pull factors) atas FDI yang masuk ke Indonesia dari negara ASEAN-5 dan outward factors (push-and-pull factors) dari Indonesia ke ASEAN-5. 3. Mengidentifikasi karakteristik tujuan dari inward FDI ke Indonesia dari negara ASEAN-5 dan outward FDI dari Indonesia ke negara ASEAN-5. Apakah perusahaan yang melakukan FDI di Indonesia bertujuan mengekspor kembali atau untuk menjualnya di pasar dalam negeri (export oriented vs local market). 4. Mengidentifikasi kemungkinan terjadinya pergeseran (changing landscape) atas FDI di Indonesia ke arah FDI yang lebih canggih.
2
II. TINJAUAN LITERATUR
2.1
Tinjauan Teori FDI Pada dasarnya FDI dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu inward FDI
dan outward FDI. Definisi dari inward FDI adalah ketika suatu perusahaan berinvestasi atau memulai operasional perusahaannya di negara (host-country) yang berbeda dengan negara asalnya (home-country). Sementara itu, outward FDI adalah ketika
perusahaan
domestik
berekspansi
dan
melakukan
operasional
perusahaannya di negara lain, baik dalam bentuk investasi baru (greenfield investment), penggabungan dan pengambilalihan usaha (merger and acquisition), atau bentuk ekspansi usaha lain yang memanfaatkan fasilitas di negara tujuan (host-country). Penelitian ini mengacu pada teori dan model yang menjelaskan kehadiran FDI dan faktor-faktor yang menentukannya. Pertama, teori O-L-I (ownership-locationinternalization) yang menjelaskan alasan mengapa suatu perusahaan melakukan FDI. Kedua, model gravitasi (gravity model). Model ini digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor pendorong dan penarik FDI (push-and-pull factors).
2.1.1 Teori O-L-I (Ownership-Location-Internalization) Teori O-L-I merupakan suatu pendekatan eklektik yang menjelaskan keberadaan FDI di suatu negara (Dunning, 2001; Petri, 2012; Masron, 2013). Teori O-L-I disebut pendekatan eklektik karena teori ini menerangkan alasan mengapa suatu perusahaan memilih FDI di antara berbagai alternatif pilihan lain. Selanjutnya Xaypanya, Rangkakulnuwat, dan Paweenawat (2015) menjelaskan setiap elemen teori O-L-I tersebut. Pertama, ownership-specific menjelaskan keunggulan kompetitif yang dimiliki oleh suatu perusahaan yang mendorong perusahaan tersebut untuk terlibat dalam produksi di luar negara asalnya. Keunggulan tersebut termasuk permodalan, teknologi, pemasaran, kemampuan manajerial dan organisasi, serta keunggulan dalam hal skala ekonomis. Kedua, location-specific menjelaskan bahwa keunggulan spesifik yang dimiliki suatu negara menciptakan daya tarik bagi suatu perusahaan di luar negara tersebut untuk masuk ke negara bersangkutan (host country). Keunggulan tersebut misalnya adalah resources endowment, potensi pasar yang besar, infrastruktur yang mendukung, kondisi pasar tenaga kerja, tingkat upah yang bersaing, dan fasilitas investasi lain 3
yang diberikan oleh pemerintah kepada investor asing. Ketiga, internalizationspecific menjelaskan keunggulan yang dimiliki perusahaan apabila memilih untuk membuka fasilitas produksi daripada alternatif lain, seperti mengekspor atau melakukan joint-venture. Paradigma
O-L-I
tersebut
dapat
diturunkan
menjadi
motivasi
bagi
perusahaan multinasional untuk memilih lokasi berinvestasi. Terdapat empat motivasi yang dapat diturunkan dari paradigma O-L-I tersebut, yaitu resource seeking, market seeking, efficiency seeking, dan strategic asset seeking (Franco, et al., 2010; Wadhwa dan Reddy, 2011; Hoang, 2012). Resource seeking menjelaskan bahwa perusahaan memilih untuk menanamkan modalnya di suatu negara karena terdapat sumber daya, baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam, yang tidak tersedia di negara asal perusahaan tersebut atau terdapat sumber daya dengan biaya yang lebih murah secara relatif jika dibandingkan dengan negara asal perusahaan tersebut. Misalnya, perbandingan upah tenaga kerja antara negara asal (home country) dan negara tujuan investasi (home country). Sementara itu, market seeking menjelaskan bahwa perusahaan memilih suatu negara sebagai tujuan investasinya karena mengejar potensi pasar yang ada di negara tersebut. Perusahaan memutuskan untuk membuka fasilitas produksi karena beberapa alasan, misalnya mengikuti pemasok atau konsumen yang sebelumnya telah membangun fasilitas produksi di negara tersebut dalam rangka mengeksplorasi selera pasar lokal, dan meminimalkan biaya transportasi. Efficiency seeking menjelaskan bahwa perusahaan memilih suatu negara sebagai tujuan investasi karena ingin mengefisienkan proses produksinya. Menurut Franco et al. (2010) terdapat dua pendapat mengenai apakah efficiency seeking berbeda dengan resource seeking. Pertama, pendapat yang menyatakan bahwa efficiency seeking dan resource seeking adalah dua hal yang sama karena hanya mengejar biaya yang lebih murah, misalnya dengan mencari negara dengan upah yang relatif lebih murah. Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa kedua motif tersebut berbeda karena efficiency seeking lebih mengarah pada pencapaian skala ekonomi dan mendapatkan keuntungan dari diversifikasi aset yang dilakukannya. Motif yang terakhir adalah strategic asset seeking. Motif ini menjelaskan bahwa perusahaan memilih untuk berinvestasi di suatu negara karena ingin mendapatkan akses terhadap suatu teknologi yang terdapat di negara tujuan investasi yang tidak dimiliki oleh perusahaan tersebut.
4
Paradigma O-L-I di atas berhubungan erat dengan pengelompokan FDI berdasarkan karakteristik sebagaimana dijelaskan oleh Miroudot dan Ragoussis (2008). Berdasarkan karakteristiknya FDI dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu FDI horizontal dan FDI vertikal. FDI horizontal adalah investasi asing yang bertujuan untuk membangun basis produksi di negara lain dengan tujuan untuk mengejar potensi pasar (market seeking). FDI horizontal akan membangun fasilitas produksinya di negara yang menjadi tujuan pasarnya. Sementara itu, FDI vertikal adalah investasi asing yang bertujuan untuk membangun sebagian fasilitas produksi di negara lain dalam rangka mengejar efisiensi (efficiency seeking) yang terkait dengan rantai pasokan (supply chain) dari proses produksinya. FDI vertikal akan menciptakan fragmentasi proses produksi di negara tujuan investasi. Meskipun begitu, klasifikasi berdasarkan horizontal dan vertikal tidak dapat diaplikasikan secara kaku (rigid). Hal tersebut disebabkan fenomena yang terjadi di lapangan tidak sesederhana konsep horizontal atau vertikal sebagaimana diuraikan di atas. Pendekatan lain yang dapat digunakan adalah dengan memanfaatkan kerangka production network dalam dua dimensi, yaitu lokasi penjualan produk dan asal bahan baku intermediate (Damuri, 2015).
Lokal assembly FDI
Share of output sold lokally
Pure horizontal FDI
100%
‘Networked’ FDI
Pure ‘HQ’ vertical FDI (trade invisibles)
Pure outward processing FDI (i.e export)
Resource extraction FDI FDI Increasingly Market Seeking
0%
Share of 100% intermediates sourced lokally
Sumber: Damuri, 2015
Grafik 1. Kerangka FDI dan Perdagangan Internasional
5
Damuri lebih lanjut mengemukakan bahwa untuk dapat melihat bagaimana pola FDI dalam hal market seeking, dapat dilihat apakah titik perusahaan FDI semakin jauh posisinya dari garis horizontal. Jika posisi titik perusahaan semakin jauh dari garis horizontal, perusahaan FDI tersebut semakin berorientasi pada mengejar potensi pasar lokal. Grafik 1 mengilustrasikan fenomena FDI yang terjadi di lapangan ditinjau dari dua hal, yaitu pangsa penjualan untuk pasar lokal dan pangsa input antara (intermediate input) lokal yang digunakan. Kategori FDI menurut kombinasi kedua hal tersebut (lokasi penjualan produk dan asal bahan baku intermediate) adalah sebagai berikut. a. Pure horizontal FDI, yaitu perusahaan FDI menjual 100 persen produknya ke pasar lokal dan membeli 100 persen input antara dari lokal. b. Pure HQ vertical FDI, yaitu perusahaan FDI menjual sebagian besar produknya untuk ekspor dan membeli 100 persen input antara dari lokal. c. Pure outward processing FDI, yaitu perusahaan FDI menjual 100 persen produknya untuk ekspor dan membeli 100 persen input antara dari pasar luar negeri. d. Resource extraction FDI, yaitu perusahaan FDI menjual 100 persen produknya untuk ekspor, tetapi memperoleh 100 persen input antaranya dari lokal. e. Local assembly FDI, yaitu perusahaan FDI menjual 100 persen produknya ke pasar lokal, tetapi mengimpor 100 persen input antaranya. f. Networked FDI, yaitu perusahaan FDI menjual sebagian produknya ke pasar lokal dan sebagian produk lainnya untuk ekspor serta memperoleh sebagian produknya dari pasar lokal dan mengimpor sebagian lainnya.
2.2
Model Gravitasi FDI Diakui bahwa terdapat berbagai model yang umum digunakan untuk
menganalisis keberadaan FDI dalam sebuah perekonomian. Sehubungan dengan penelitian ini, model yang digunakan sebagai acuan adalah model gravitasi (gravity model). Model gravitasi yang diaplikasikan dalam ilmu ekonomi merupakan adopsi dari hukum Newton mengenai gravitasi (Newton’s Law of Gravitation). Anderson (2010) mengaplikasikan hukum Newton tersebut ke dalam persamaan dasar model gravitasi yang menjelaskan interaksi antara dua wilayah sebagai berikut.
6
𝑋𝑖𝑗 =
𝑌𝑖 𝐸 𝑗
(1)
2 𝑑𝑖𝑗
Keterangannya adalah sebagai berikut, yaitu 𝑖 menunjukkan wilayah asal, 𝑗 menunjukkan wilayah tujuan. 𝑌𝑖 adalah massa atau ukuran perekonomian dalam bentuk barang atau tenaga kerja atau faktor-faktor produksi lain yang ditawarkan oleh daerah tujuan. 𝐸𝑗 adalah massa atau ukuran perekonomian dalam bentuk barang atau tenaga kerja atau faktor-faktor produksi lain yang diminta oleh wilayah tujuan; sedangkan, 𝑑𝑖𝑗 merupakan jarak yang menjadi hambatan interaksi kedua wilayah tersebut. Interaksi kedua wilayah tersebut ditunjukkan dengan pergerakan barang atau tenaga kerja antar 𝑖 dan 𝑗 yang dinotasikan dengan 𝑋𝑖𝑗 . Secara sederhana, penjelasan model tersebut adalah interaksi dua wilayah dalam hal pergerakan arus barang, jasa, dan faktor-faktor produksi lainnya yang berbanding lurus dengan ukuran perekonomian kedua wilayah dan berbanding terbalik dengan jarak. Ukuran perekonomian wilayah tujuan mencerminkan besarnya permintaan terhadap barang, jasa, atau faktor-faktor produksi lainnya, sedangkan
ukuran
perekonomian
wilayah
asal
mencerminkan
kapasitas
penawaran. Dengan memodifikasi model dasar di atas menjadi model logaritma natural, diperoleh rumus 𝑙𝑛𝑋𝑖𝑗 = 𝛽1 𝑙𝑛𝑌𝑖 + 𝛽2 𝑙𝑛𝐸𝑗 + 𝛼 𝑙𝑛𝑑𝑖𝑗
(2)
yang dapat dijelaskan 𝛽1 > 0, 𝛽2 > 0, dan 𝛼 < 0. Selain output perekonomian, variabel lain yang umum digunakan untuk melihat ukuran wilayah adalah jumlah populasi. Salah satu yang diaplikasikan oleh Kahouli dan Maktou (2014) yang menggunakan GDP dan populasi sebagai variabel massa atau ukuran perekonomian dengan spesifikasi model adalah sebagai berikut. 𝐹𝐷𝐼𝑖𝑗 = 𝛽0 𝐺𝐷𝑃𝑖 𝛽1 𝐺𝐷𝑃𝑗 𝛽2 𝑃𝑂𝑃𝑖 𝛽3 𝑃𝑂𝑃𝑗 𝛽4 𝐷𝐼𝑆𝑇𝑖𝑗 𝛽5 𝐹𝑖𝑗 𝛽6
(3) Penjelasanya adalah i merupakan subscript untuk negara tujuan (host country) dan j merupakan negara asal FDI (home country). GDP menunjukkan output perekonomian, sedangkan POP menunjukkan jumlah penduduk di setiap wilayah, dan DIST merupakan jarak fisik antarnegara tujuan dan negara asal FDI. Pada model ini, 𝐹 merupakan faktor lain yang menstimulasi arus FDI antarkedua wilayah atau negara. Koefisien β menunjukkan elastisitas variabel independen terhadap FDI.
7
Selanjutnya model tersebut dimodifikasi menjadi bentuk logaritma natural sehingga menjadi 𝑙𝑛𝐹𝐷𝐼𝑖𝑗 𝑖𝑗 = 𝛽1 𝑙𝑛𝐺𝐷𝑃𝑖 + 𝛽2 𝑙𝑛𝐺𝐷𝑃𝑗 + 𝛽3 𝑙𝑛𝑃𝑂𝑃𝑖 + 𝛽4 𝑙𝑛𝑃𝑂𝑃𝑗 + 𝛽5 𝑙𝑛𝐷𝐼𝑆𝑇𝑖𝑗 + 𝛽6 𝑙𝑛𝐹𝑖 (4) Persamaan (4) merupakan contoh model gravitasi statis yang menjelaskan bagaimana arus FDI antarkedua negara.
2.2.1 Tahapan Integrasi Ekonomi Untuk melihat posisi FDI intra-ASEAN dalam tahapan integrasi ekonomi, digunakan pendekatan teori Balassa (1961). Balassa mengemukakan bahwa upaya untuk menuju integrasi ekonomi harus melalui berbagai tahapan. Tahapan-tahapan tersebut dibagi menjadi lima, dimulai dari free trade area (FTA) dan custom union, kemudian dilanjutkan dengan common market dan economic union integration, dan terakhir total economic (Grafik 2). Free trade area (FTA) adalah kerja sama kawasan tempat tarif dan kuota antarnegara anggota dihapuskan, tetapi tiap-tiap negara anggota tetap menerapkan tarif masing-masing terhadap negara non-anggota. Custom union (CU) adalah kerja sama free trade area yang meniadakan hambatan pergerakan komoditas antarnegara anggota, tetapi menerapkan tarif yang sama terhadap negara bukan anggota. Sementara common market (CM) adalah kerja sama custom union yang juga meniadakan hambatan-hambatan pada pergerakan faktor-faktor produksi (barang, jasa, dan aliran modal). Kesamaan harga dari faktor-faktor produksi diharapkan dapat menghasilkan alokasi sumber yang efisien. Economic union integration (EU) adalah kerja sama common market dengan tingkat harmonisasi kebijakan ekonomi nasional yang signifikan, termasuk kebijakan struktural. Sementara itu, total economic (TE) adalah kerja sama berupa penyatuan moneter, fiskal, dan kebijakan sosial yang diikuti dengan pembentukan lembaga supranasional dengan keputusankeputusan yang mengikat bagi seluruh negara anggota. Dari uraian tersebut FDI intra-ASEAN dapat dikategorikan sebagai kerja sama kawasan pada tahap common market dan hal itu merupakan tahap integrasi ekonomi KEA selanjutnya. Pada tahap ini faktor produksi, terutama modal, bergerak dengan bebas antarnegara anggota ASEAN untuk mencapai tujuan, seperti skala ekonomi, keuntungan komparatif, dan efisiensi produksi. 8
Grafik 2. Tahapan Integrasi Ekonomi Balassa
2.3
Tinjauan Literatur Determinan FDI Beragam penelitian telah dilakukan terkait determinan FDI. Berbagai faktor
pendorong dan penarik FDI dianalisis, baik dalam konteks perekonomian suatu negara maupun kawasan. Xaypanya et al. (2015) dalam penelitiannya terhadap FDI di ASEAN mengemukakan bahwa terdapat perbedaan tingkat pembangunan (stage of development) di antara negara-negara anggota ASEAN sehingga perlu dibedakan karakteristik determinan FDI di negara ASEAN-5 (Indonesia, Singapura, Malaysia, Filipina, dan Thailand) dengan ASEAN-3 (Laos, Kamboja, dan Vietnam). Periode pengamatan yang dilakukan adalah 2000–2011 yang diestimasi menggunakan model data panel dengan first-differencing untuk mendapatkan estimator yang tidak bias.
Perbedaan
utama
spesifikasi
model
ASEAN-5
dan
ASEAN-3
adalah
penggunaan variabel official development assistance (ODA). Variabel tersebut hanya digunakan pada spesifikasi model data panel ASEAN-3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk negara ASEAN-3, variabel yang signifikan dan menjadi determinan FDI masuk ke negara ASEAN-3 adalah tingkat inflasi, infrastruktur telekomunikasi, dan tingkat keterbukaan (openness). Variabel pertumbuhan ekonomi (produk domestik bruto/PDB) negara ASEAN-3 tidak signifikan memengaruhi arus FDI masuk. Hal tersebut menunjukkan bahwa FDI masuk ke negara ASEAN-3 bukan untuk mengejar pasar. Sementara itu, hasil estimasi model data panel ASEAN-5 menunjukkan variabel yang signifikan menjadi determinan FDI adalah tingkat inflasi, infrastruktur telekomunikasi, dan PDB negara ASEAN-5 yang dijadikan tujuan FDI. Signifikansi pada variabel PDB 9
menunjukkan bahwa negara ASEAN-5 dituju oleh investor karena faktor pasarnya yang cukup besar. Penelitian ini berhasil menjelaskan bahwa terdapat perbedaan karakteristik antara determinan FDI di ASEAN-3 dan ASEAN-5. Meskipun begitu, penelitian ini tidak menggunakan variabel yang distandardisasi (standardized) atau dalam bentuk logaritma sehingga antara model persamaan ASEAN-3 dan ASEAN-5 tidak dapat dibandingkan per variabelnya, terutama dalam hal magnitude tiap-tiap variabel. Misalnya, tidak dijelaskan bagaimana perbedaan pengaruh kondisi infrastruktur antara ASEAN-3 dan ASEAN-5 dalam hal menarik FDI. Sementara itu, Thangavelu dan Narjoko (2014) melakukan studi mengenai determinan FDI di negara-negara anggota ASEAN, baik FDI yang berasal dari sesama negara ASEAN maupun non-ASEAN. Khusus untuk FDI yang berasal dari sesama negara ASEAN, studi yang dilakukan Thangavelu dan Narjoko ini menganalisis pula dampak perjanjian kerja sama perdagangan bebas, baik bilateral maupun multilateral yang dilakukan negara ASEAN. Untuk menganalisis determinan FDI dan dampak perjanjian kerja sama perdagangan tersebut digunakan model gravitasi. Data yang digunakan adalah data bilateral FDI di ASEAN dengan negaranegara ASEAN lainnya dan non-ASEAN selama periode 2000–2009. Metode estimasi yang digunakan adalah analisis data panel dengan fixed effect. Hasil estimasi data panel menunjukkan bahwa faktor market size berpengaruh terhadap arus FDI ke negara ASEAN, dan FDI yang masuk didominasi oleh FDI horizontal export-platform. Selain itu, perjanjian bilateral dan multilateral berpengaruh positif dan signifikan terhadap arus FDI antarnegara ASEAN. Hal ini menunjukkan bahwa perjanjian kerja sama dengan negara ASEAN, baik dengan sesama negara ASEAN maupun dengan non-ASEAN lebih dominan menciptakan perdagangan (trade creation effects) daripada mengalihkan perdagangan (trade diversion effects). Namun, dampak implementasi ASEAN Free Trade Area (AFTA) justru berpengaruh negatif dan signifikan terhadap arus FDI ke ASEAN. Namun, isu ini tidak ditindaklanjuti lebih jauh dalam penelitian ini. Studi ini juga menemukan bahwa FDI cenderung memilih lokasi di negara yang memiliki tingkat perkembangan sumber daya manusia (human capital) yang kuat. Wattanadumrong, Collins, dan Snell (2014) mengambil studi kasus FDI di Thailand selama kurun waktu 1970–2004. Penelitian itu menggunakan data tahunan arus FDI ke Thailand dari 10 negara utama FDI (Jepang, US, Inggris, Jerman, Kanada, Australia, Hongkong, Singapura, Taiwan, dan Korea) dan menggunakan aplikasi ekonometrik data panel dinamis GMM. Wattanadumrong et 10
al. menganalisis apakah variabel-variabel makroekonomi memengaruhi arus FDI. Dari studi tersebut disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi di negara asal FDI (home country) merupakan salah satu faktor pendorong (push factors) FDI karena semakin tinggi pertumbuhan ekonomi negara asal akan memperluas akses pendanaan untuk berekspansi ke luar negeri. Selain itu, perdagangan bilateral juga berperan sebagai pendorong FDI karena semakin baik dan semakin eratnya kerja sama perdagangan antara negara asal FDI dan Thailand, akan semakin deras arus FDI ke Thailand dari negara bersangkutan. Sementara itu, faktor penarik (pull factors) FDI ke Thailand adalah iklim investasi, stabilitas makroekonomi domestik, dan kondisi kelembagaan. Kebijakan pemberian insentif investasi seperti tax holiday terbukti mampu menarik FDI ke Thailand. Studi lain terkait determinan FDI di ASEAN yang menganalisis berdasarkan motivasi berupa market seeking, resource seeking, atau efficiency seeking dilakukan oleh Masron (2013). Dalam studinya Masron menganalisis dampak adanya ASEAN Investment Area (AIA) dan AFTA terhadap FDI di ASEAN guna melihat apakah FDI intra-ASEAN merupakan pelengkap dari FDI yang berasal dari negara maju. Studi ini menggunakan data arus FDI intra-ASEAN selama periode 1998–2009. Metode analisis yang digunakan adalah analisis data panel dinamis yang diestimasi dengan menggunakan fully modified OLS (FMOLS) untuk mengatasi masalah endogenitas yang terjadi. Dari hasil studi tersebut disimpulkan bahwa investasi di ASEAN yang berasal dari intra-ASEAN bersifat resource seeking atau efficiency seeking. Selain itu, studi ini juga menemukan bahwa faktor biaya tenaga kerja (labor cost) berpengaruh positif dan signifikan terhadap FDI intra-ASEAN. Selain biaya tenaga kerja, variabel lain yang juga berpengaruh adalah risiko politik. FDI intra-ASEAN lebih tertarik pada negara yang memiliki dinamika politik yang lebih stabil. Sementara itu, studi yang dilakukan oleh Hoang (2012) menganalisis FDI inward ke negara ASEAN-6 yang dikaitkan dengan fenomena krisis keuangan Asia 1997. Periode analisis dalam studi tersebut adalah 1991–2009 dan ditemukan bahwa krisis keuangan Asia 1997 berpengaruh terhadap masuknya FDI ke ASEAN. Hasil studi menunjukkan bahwa potensi pasar menjadi faktor yang cukup penting sebagai daya tarik bagi FDI yang masuk ke ASEAN. Simpulan empiris lain dari studi ini adalah bahwa faktor infrastruktur, tingkat keterbukaan, stabilitas politik, dan tingkat upah juga menjadi faktor penting yang memengaruhi FDI berinvestasi di ASEAN. Khusus untuk variabel tingkat upah, Hoang menggunakan beberapa variasi tingkat upah, yaitu tingkat upah nominal, tingkat upah relatif terhadap 11
produktivitas, dan interaksi tingkat upah dengan produktivitas. Ditemukan bahwa meskipun tingkat upah nominal tinggi, investor cenderung lebih memperhatikan masalah produktivitas dan tingkat keterampilan tenaga kerja. Dengan kata lain, biaya tenaga kerja yang sedikit mahal bukan merupakan hambatan bagi investor untuk melakukan investasi sepanjang dikompensasi dengan tingkat produktivitas yang tinggi. Sementara itu, dari hasil uji stabilitas parameter, perilaku FDI ini tidak berubah, baik sebelum maupun sesudah krisis Asia 1997. Terdapat beberapa studi lain yang mengaitkan determinan FDI dengan hubungan perdagangan bilateral antara negara asal (home country) dan negara tujuan FDI (host country) sebagaimana yang dilakukan oleh Cho (2013) dan Blonigen (2005). Dalam studinya, Cho (2013) menganalisis hubungan perdagangan yang dilakukan India dengan delapan negara maju, yaitu dengan Korea, Jepang, Singapura, Tiongkok, US, Inggris, Jerman, dan Belanda. Dalam hal ini ingin diketahui apakah hubungan perdagangan internasional memengaruhi arus FDI dari delapan mitra dagang tersebut ke India. Data yang digunakan adalah data triwulanan selama periode 2004–2012 dan diestimasi dengan menggunakan metode vector autoregression (VAR) granger causality test. Hasil estimasi menunjukkan bahwa kausalitas antara perdagangan bilateral dan arus FDI antara India dan empat negara Asia Timur, yaitu Korea, Jepang, Singapura, dan Tiongkok terbukti tidak signifikan. Sebaliknya, terdapat kausalitas antara perdagangan bilateral yang dilakukan dan arus FDI antara India dan US, Inggris, Jerman, dan Belanda, baik hubungan dua arah (two-way) maupun satu arah (one-way). Hal ini membuktikan bahwa hubungan kausalitas antara perdagangan bilateral dan arus FDI akan tumbuh apabila telah terbangun hubungan dagang kedua negara yang cukup lama mengingat sejarah hubungan dagang India dengan keempat negara barat itu lebih lama jika dibandingkan dengan keempat negara Asia Timur. Sementara itu, Blonigen (2005) melakukan literature review terhadap sejumlah penelitian yang dilakukan selama periode awal 1990-an hingga pertengahan 2000-an yang menganalisis hubungan antara keputusan perusahaan multinasional (Multinational Enterprises/MNEs) untuk melakukan FDI dan lokasi yang dipilih untuk melakukan FDI tersebut. Blonigen menyimpulkan bahwa keterkaitan FDI dengan perdagangan bilateral berhubungan dengan bagaimana hubungan antarperusahaan secara vertikal, misalnya perusahaan penyedia input dengan perusahaan manufaktur. Salah satu contoh yang disebutnya adalah kelompok konglomerat asal Jepang yang lazim disebut Keiretsu. Dikemukakan 12
bahwa terdapat pengaruh kuat dari para anggota Keiretsu terhadap keputusan lokasi FDI yang akan dipilih. Selain itu, Blonigen juga menemukan bahwa terdapat hubungan negatif atau positif antara keberadaan FDI dan perdagangan bilateral kedua negara. FDI dan perdagangan bilateral akan berhubungan negatif atau memiliki efek substitusi apabila FDI dikategorikan sebagai FDI horizontal atau market seeking. Dalam hal ini FDI menggantikan impor barang dari negara asal FDI dengan barang yang diproduksi secara domestik dari hasil investasi langsung tersebut. Sementara itu, FDI dan perdagangan bilateral memiliki hubungan positif atau memiliki efek komplementer jika FDI dikategorikan sebagai FDI vertikal atau efficiency seeking sehingga FDI akan meningkatkan impor sekaligus ekspor. Barang yang diimpor adalah bahan baku yang akan diolah oleh FDI untuk selanjutnya diekspor kembali dalam bentuk barang yang telah diolah. Analisis determinan FDI lainnya adalah dengan menggunakan pendekatan sektoral maupun institusional seperti yang dilakukan oleh Walsh dan Yu (2010). Kedua peneliti tersebut melakukan studi terhadap 27 negara yang masuk kategori negara maju (advanced economies) dan negara emerging markets. Data yang digunakan adalah data tahunan arus FDI selama kurun waktu 1985–2008. Data FDI tersebut selanjutnya diperinci secara sektoral menjadi tiga sektor utama, yaitu sektor primer, sekunder, dan tersier yang diestimasi menggunakan metode dinamis generalized method of moments (GMM). Hasil estimasi menunjukkan bahwa terdapat perbedaan determinan FDI pada setiap sektor ekonomi. Determinan FDI pada sektor pertanian tidak memiliki keterkaitan dengan stabilitas makroekonomi, tingkat pembangunan, atau kualitas kelembagaan. Determinan utama FDI pada sektor primer ini adalah lokasi bahan baku atau sumber daya alam (resources), misalnya pertambangan mineral dan minyak bumi. Sebaliknya, FDI di sektor sekunder dan tersier dipengaruhi oleh stabilitas makroekonomi dan kualitas kelembagaan meskipun dengan derajat dan intensitas yang berbeda. Kondisi stabilitas makroekonomi, misalnya, lebih kuat memengaruhi sektor tersier daripada sektor sekunder. Dalam hal terjadi depresiasi nilai tukar secara mendalam pada mata uang negara tujuan, hal ini akan mendorong lebih banyak FDI pada sektor sekunder dan secara bersamaan mengurangi FDI pada sektor tersier. Arus FDI di sektor tersier akan meningkat jika terjadi peningkatan yang pesat pada pertumbuhan ekonomi. Lebih lanjut, kualitas kelembagaan juga memengaruhi kedua sektor tersebut secara signifikan. Dalam hal terdapat pasar 13
tenaga kerja fleksibel dan pasar keuangan yang maju, hal itu akan mendorong arus FDI pada sektor sekunder. Sementara, jika terdapat infrastruktur yang maju dan lembaga hukum yang lebih independen, hal itu akan mendorong peningkatan arus FDI pada sektor tersier. Cadarajat dan Yanfitri (2008) melakukan penelitian untuk melihat hubungan kausalitas antara FDI dan perdagangan internasional serta struktur industri dan motif penanaman FDI investor asing yang memengaruhi hubungan antara FDI dan perdagangan internasional. Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data FDI sektoral yang dilakukan oleh tiga investor utama di Indonesia, yaitu Jepang, USA, dan UK dari tahun 1990–2006. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji kausalitas Granger pada data panel, baik secara bivariate maupun multivariate. Hasil estimasi terhadap data FDI outflows 17 negara OECD ke Indonesia dan data ekspor-impor Indonesia terkait negara tersebut menunjukkan adanya kausalitas dua arah antara impor dan FDI, yaitu impor berpengaruh positif terhadap FDI, tetapi FDI berpengaruh negatif terhadap impor. Selain itu, terdapat kausalitas dua arah antara FDI inflows dari Jepang dan impor Indonesia dari Jepang. Hal tersebut diduga terkait dengan dua hipotesis, yaitu lebih kuatnya motif market seeking jika dibandingkan dengan motif efficiency seeking dari FDI Jepang dan/atau terjadi pengalihan tujuan ekspor dari FDI Jepang ke negara lain. Sebagaimana halnya FDI dari Jepang, FDI dari Amerika bersifat substitusi terhadap impor. Selain itu, FDI dari Amerika berpengaruh negatif terhadap ekspor Indonesia ke Amerika. Hal tersebut diduga terkait struktur FDI dari Amerika yang sebagian besar terjadi pada sektor pertambangan dan sektor nonmanufaktur. Sementara itu, FDI dari Inggris mempunyai kausalitas dua arah dengan ekspor dan impor sehingga mengarah pada hubungan yang komplementer antara FDI dan perdagangan crossborder antara Indonesia dan Inggris. Kurniati, Prasmuko, dan Yanfitri (2007) melakukan studi untuk mengetahui faktor-faktor determinan masuknya aliran modal FDI di Asia dan di Indonesia serta menguji dampak investasi yang masuk ke Tiongkok terhadap FDI yang masuk ke Indonesia. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Dunning dan model gravitasi dengan estimasi dilakukan secara panel dan OLS. Negara yang menjadi sampel dalam melakukan pengolahan meliputi Tiongkok, Filipina, India, Indonesia, Korea, Malaysia, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Periode waktu yang digunakan adalah antara tahun 1990–2005 dengan jenis data tahunan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang menentukan masuknya FDI ke 14
negara-negara di kawasan Asia Tenggara, Tiongkok, dan India adalah pertumbuhan ekonomi, upah buruh, infrastruktur, nilai tukar efektif, dan perjanjian bilateral.
III. DATA DAN METODE PENELITIAN
3.1
Sumber Data Penelitian ini menggunakan data panel bilateral inward foreign direct
investment (FDI) sektoral Indonesia dari empat negara ASEAN (Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina) dengan periode waktu tahunan dari 2000 s.d. 2013. 15
Penelitian ini menggunakan beberapa sumber data sesuai dengan variabel yang digunakan. Deskripsi lengkap tentang variabel, indikator, dan sumber data terdapat pada Tabel 1. Data FDI yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Bank Indonesia. Sementara itu, data outward FDI yang digunakan bersumber dari ASEAN Secretariat. Data FDI tersebut merupakan data bilateral, yaitu arus investasi dari empat negara ASEAN untuk tiap sektor pada titik waktu tertentu, misalnya FDI dari Malaysia untuk sektor pertanian pada tahun 2009, atau FDI dari Thailand untuk sektor jasa lainnya. Data tersebut merupakan data net inflow, yaitu data yang sudah memperhitungkan asset dan liabilities-nya. Data PDB yang digunakan dalam penelitian ini bersumber dari Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia. Sementara itu, data PDB untuk negara ASEAN diperoleh dari database CEIC dan World Bank. Kedua data tersebut menggunakan perhitungan harga konstan (PDB riil). Data jarak diperoleh dari perhitungan penulis menggunakan website Global Distance Calculator4. Jarak tersebut merupakan jarak fisik garis lurus yang menghubungkan dua titik, yaitu antara ibu kota negara asal investasi (home country) dan ibu kota negara tujuan investasi (host country). Jarak tersebut dihitung dalam satuan kilometer (km). Data jarak tersebut selanjutnya dikali dengan harga minyak dunia (brent) untuk melihat pergerakan biaya angkut setiap tahun yang diasumsikan mengikuti fluktuasi harga minyak dunia. Data productivity yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari publikasi ESCAP, Statistical Yearbook for Asia and the Pacific 20145. Produktivitas diperoleh dengan membagi nilai tambah bruto ekonomi total (gross value added/GVA) dengan jumlah orang yang bekerja di suatu negara. Untuk membandingkan produktivitas dengan negara asal (produktivitas relatif), variabel produktivitas yang digunakan adalah rasio produktivitas antara Indonesia dan negara asal. Resource endowment (sumber daya alam) dihitung dengan rasio PDB riil sektor primer terhadap total PDB riil. PDB sektor primer mencakup PDB sektor
4 5
distancecalculator.globefeed.com/world_distance_calculator.asp (The United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (ESCAP), 2014)
16
pertanian (dalam arti luas) dan PDB sektor pertambangan dan galian. Data yang diambil bersumber dari CEIC Database. Data infrastruktur yang digunakan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu infrastruktur jalan dan infrastruktur listrik. Kedua infrastruktur tersebut penting bagi operasi bisnis suatu perusahaan. Infrastruktur jalan dalam hal ini adalah data road paved, yaitu data panjang jalan yang permukaannya minimal berbatu atau sudah beraspal terhadap total jalan. Data road paved diperoleh dari World Development Indicator (WDI) World Bank. Khusus untuk data tahun 2012– 2013 merupakan data ekstrapolasi karena terkait masalah ketersediaan data. Sementara itu, data infrastruktur listrik merupakan rasio kapasitas listrik per kapita yang bersumber dari data Asian Development Bank (ADB). Dua variabel lain yang terkait perdagangan adalah volume ekspor dan perdagangan bilateral. Volume ekspor menunjukkan bagaimana ketertarikan perusahaan asing terhadap potensi ekspor dari Indonesia. Data yang digunakan adalah data total volume ekspor Indonesia ke seluruh partner dagang. Data tersebut bersumber dari Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI), Bank Indonesia. Data perdagangan bilateral merupakan data perdagangan antara dua negara pada titik tahun tertentu. Data tersebut mencakup ekspor negara asal FDI ke negara tujuan FDI dan impor negara asal FDI dari negara tujuan FDI. Data tersebut diperoleh dari UN Comtrade.
Tabel 1. Penjelasan Variabel Model No.
Variabel
1.
Inward FDI Indonesia Intra-ASEAN Sektoral
Definisi Net inflow FDI sektoral dari 4 negara ASEAN
Perhitungan Total net inflow FDI per sektor
Sumber Data SEKI/BI
Expected Sign +
Tabel 1. (lanjutan) No.
Variabel
Definisi
Perhitungan
2.
Outward FDI
FDI Bilateral Outward Indonesia ke negara ASEAN4
Net flow outward FDI Indonesia ke negara ASEAN4
Sumber Data ASEAN Secretariat
Expected Sign +
17
3.
PDB Indonesia
Total PDB Indonesia dengan harga konstan
Total PDB Indonesia dengan harga konstan
SEKI/BI
+
4.
PDB negara asal investasi
Total PDB negara asal FDI dengan harga konstan
Total PDB negara asal FDI dengan harga konstan
CEIC, World Bank.
+
5.
Jarak
Jarak fisik antara Indonesia dengan negara asal FDI dengan denominator harga minyak Brent
Jarak Antara Jakarta dengan negara asal FDI x harga minyak Brent rata-rata setahun
Global Calculator Distance; Bloomberg
-
6.
Produktivitas Relatif
Rasio produktivitas tenaga kerja total Indonesia terhadap produktivitas tenaga kerja total negara asal FDI
Produktivitas Indonesia/ Produktivitas negara asal FDI; Produktivitas: total nilai tambah bruto/jumlah tenaga kerja
Statistical Yearbook for Asia and the Pacific 2014, ESCAP Statistics Division
+
7.
Pangsa Sektor Primer terhadap PDB (natural resource)
Kontribusi sektor primer (pertanian dan pertambangan) terhadap total PDB harga konstan
((Total PDB CEIC sektor Database Pertanian+ Total PDB sektor pertambangan)/ total PDB)x100
+
8.
Infrastruktur jalan
Rasio panjang jalan yang berbatu, kerikil, dan aspal terhadap panjang jalan keseluruhan
((Jumlah jalan yang berbatu+ jumlah jalan kerikil+jumlah jalan beraspal)/ panjang jalan keseluruhan) x 100
World Developmen t Index
+
Sumber Data
Expected Sign
Tabel 1. (lanjutan) No.
Variabel
Definisi
Perhitungan
9.
Infrastruktur listrik
Rasio kapasitas listrik per kapita
Kapasitas produksi listrik dibagi jumlah penduduk
ADB
+
18
11.
Volume Ekspor
Volume ekspor Indonesia ke seluruh negara partner dagang
Total volume ekspor
SEKI/BI
+
12.
Perdagangan Bilateral
Total perdagangan negara Indonesia dengan negara asal FDI
(Ekspor Indonesia dengan negara asal FDI+Impor Indonesia dengan negara asal FDI)
UN Comtrade
+
Variabel-variabel
yang
digunakan
sebagaimana
dipaparkan
di
atas
menggunakan data makro, sedangkan FDI yang sesungguhnya merupakan perusahaan
individual.
Penggunaan
data
makro
dalam
penelitian
ini
dilatarbelakangi oleh ketidakmudahan memperoleh data individual FDI atau firm level (data mikro), terutama data firm level dari ASEAN-5.
3.2
Metode Analisis Setiap tujuan dalam penelitian ini memiliki metode analisis tersendiri.
Adapun metode yang dimaksud adalah sebagai berikut. a) Metode analisis untuk tujuan pertama adalah metode statistik deskriptif. Metode tersebut terkait pemetaan arus inward FDI ke Indonesia dari ASEAN5 (negara asal, sektor, komoditas, dan aspek kebijakan). b) Metode analisis untuk mengidentifikasi push factor dan pull factor adalah metode analisis regresi data panel dinamis (dynamic panel data). c) Metode analisis untuk mengidentifikasi karakteristik arus FDI antarnegara ASEAN-5 (export base atau local market) dengan analisis regresi data panel dinamis (dynamic panel data). d) Metode analisis untuk mengidentifikasi pergeseran arus FDI antarnegara ASEAN-5 ke arah yang lebih sophisticated dengan menggunakan regresi multiple structural breaks (Bai dan Perron, 1998).
3.2.1 Metode Data Panel Dinamis dan GMM Metode data panel dinamis merupakan pengembangan analisis data panel standar yang mengadopsi model dinamis data time-series. Data panel yang 19
dimaksud adalah data yang memiliki struktur gabungan cross-section dan timeseries, sedangkan model dinamis yang dimaksud adalah adanya lag variabel dependen (autoregressive; AR) pada sisi kanan (variabel independen). Oleh karena itu, data panel dinamis merupakan model yang memiliki struktur data panel dan memiliki autoregressive untuk variabel dependennya. Salah satu keunggulan data panel adalah mampu menangkap dinamika perekonomian daripada data pure cross-section atau time-series (Gudjarati dan Porter, 2009; Verbeek, 2004). Salah satu model pengembangan data panel adalah model data panel dinamis. Model data panel dinamis merupakan model data panel yang memiliki komponen lag variabel dependen (AR1) atau distributed lag dalam modelnya. Seperti halnya dalam model dynamic time-series, penggunaan lag dalam data panel terkait perilaku-perilaku dinamika antarvariabel yang berhubungan dengan adjustment, persistence, atau perilaku hubungan jangka pendek-jangka panjang antara dua variabel. Model data panel dinamis merupakan model yang menspesifikasi variabel lag dengan variabel individual spesifik (Wawro, 2002). Salah satu masalah dalam model data panel autoregressive adalah metode estimasinya. Pada kasus model data statik, pemilihan antara POLS (pooled OLS), fixed effect (FE), dan random effect (RE) GLS (generalized least square) dapat ditentukan berdasarkan bagaimana perilaku parameter dan asumsi mengenai korelasi antara regressor dan error. Dalam model panel statik, POLS dapat bias karena terdapat heterogenitas antarunit individu. Untuk menanggulangi bias tersebut, digunakan fixed effect atau random effect. Selanjutnya, pilihan antara keduanya bergantung pada bagaimana asumsi mengenai korelasi antara regressor dan error-nya. Pada kasus data panel dinamis, terdapat perlakukan khusus karena munculnya AR1. AR1 tersebut secara konstruksi memiliki keterkaitan dengan individual effect. Hal itu melanggar asumsi dalam least square yang mengharuskan kovarians antara regresor dan error sama dengan nol. Ilustrasi model AR1 pada random effect model data panel adalah sebagai berikut. 𝑦𝑖,𝑡 = 𝛿𝑦𝑖,𝑡−1 + 𝛽𝑥𝑖,𝑡 + 𝑒𝑖,𝑡
(5)
𝑒𝑖,𝑡 = 𝛼𝑖 + 𝜀𝑖,𝑡
(6)
Dalam random effect model, komponen e terbagi menjadi dua, yaitu individual spesifik dan error. Dalam model tersebut, asumsi bahwa regressor independen terhadap error tidak terpenuhi. Hal tersebut terjadi karena 𝑦𝑖,𝑡 berhubungan dengan 20
𝛼𝑖 (variabel individual spefisik berpengaruh terhadap variabel dependen). Oleh karena itu, 𝑦𝑖,𝑡−1 berhubungan pula dengan variabel spesifik. Baltagi (2005) menyebut bahwa random effect GLS bias karena variabel quasi-demeaning dalam GLS berkorelasi dengan error-nya. Sementara itu, untuk fixed effect model, Baltagi (2005) menyebut bahwa within estimator yang diperoleh dari demeaning-form memang menghilangkan masalah korelasi antara individual spesifik dan AR1. Akan tetapi, bentuk AR1 hasil demeaning-transformation
tersebut
berkorelasi
dengan
error
yang
juga
ditransformasi demeaning (Verbeek, 2004), kecuali jika jumlah N (cross section) dan T (time series-nya) tak terhingga. Fixed effect estimator untuk transformasi first difference juga bias dan inkonsisten karena terdapat pula hubungan antara AR1 dan error yang telah menjadi first difference. Ilustasinya adalah sebagai berikut. 𝑦𝑖,𝑡 − 𝑦𝑖,𝑡−1 = 𝛿(𝑦𝑖,𝑡−1 − 𝑦𝑖,𝑡−2 ) + 𝛽(𝑥𝑖,𝑡 − 𝑥𝑖,𝑡−1 ) + (𝜀𝑖,𝑡 − 𝜀𝑖,𝑡−1 )
(7)
Variabel (𝑦𝑖,𝑡−1 − 𝑦𝑖,𝑡−2 ) berkorelasi dengan (𝜀𝑖,𝑡 − 𝜀𝑖,𝑡−1 ) karena secara definisi 𝑦𝑖,𝑡−1 berkorelasi dengan 𝜀𝑖,𝑡−1 . Salah satu teknik estimasi yang disarankan untuk menanggulangi masalah tersebut dalam data panel adalah metode generalized method of moments (GMM). Metode GMM yang biasa digunakan dalam hal ini adalah yang digagas oleh Arellano dan Bond. Teknik tersebut merupakan pengembangan dari teknik instrumental variabel yang disarankan oleh Anderson dan Hsiao (Greene, 2007; Baltagi, 2005). Menurut Arellano dan Bond, metode instrumental variable yang ditawarkan oleh Anderson dan Hsiao tidak efisien karena tidak menggunakan semua kondisi momen yang tersedia. Secara sederhana, Anderson dan Hsiao hanya menggunakan salah satu variabel lag yang lebih panjang atau bentuk difference variabel lag yang lebih panjang untuk menjadi instrumen. Oleh karena Arellano dan Bond menggunakan kondisi momen yang tersedia, GMM difference merupakan metode yang tepat untuk mengestimasi model tersebut. Masalah endogeneity pada data panel dinamis akibat adanya AR 1 ditanggulangi dengan GMM difference dengan menggunakan teknik instrumental variabel yang digagas oleh Arellano dan Bond tersebut. Arellano dan Bond (Verbeek, 2004; Baltagi, 2005) mengambil ide bahwa pada persamaan first difference akan digunakan instrument variable yang lebih banyak untuk menjamin kondisi momen yang lebih banyak. Ilustrasi sederhana adalah sebagai berikut, misalnya pada T=3: 21
(8)
𝑦𝑖,3 − 𝑦𝑖,2 = 𝛿(𝑦𝑖,2 − 𝑦𝑖,1 ) + 𝛽(𝑥𝑖,3 − 𝑥𝑖,2 ) + (𝜀𝑖,3 − 𝜀𝑖,2 )
Jika terdapat korelasi antara 𝑦𝑖,2 dan 𝜀𝑖,2 , menurut Arellano dan Bond 𝑦𝑖,1 adalah instrumen yang tepat. Untuk kasus T=4: (9)
𝑦𝑖,4 − 𝑦𝑖,3 = 𝛿(𝑦𝑖,3 − 𝑦𝑖,2 ) + 𝛽(𝑥𝑖,4 − 𝑥𝑖,3 ) + (𝜀𝑖,4 − 𝜀𝑖,3 )
Jika terdapat korelasi antara 𝑦𝑖,3 dan 𝜀𝑖,3 ; 𝑦𝑖,2 dan 𝑦𝑖,1 adalah instrumen yang tepat sehingga instrumen yang digunakan adalah sebagai berikut: [(yi,1), (yi,1,yi,2), (yi,1, yi,2, yi,3),..., (yi,1,...,yi,t-2)]. Dari instrumen tersebut, dapat diturunkan moment condition, yang kemudian diderivasi berdasarkan metode GMM pada umumnya. Model tersebut menggunakan bentuk first difference sebagai dasar persamaan sehingga disebut GMM-diff dalam literatur data panel dinamis. Terdapat pula pengembangan dari GMM-diff berdasarkan penambahan moment
condition-nya.
Pengembangan
tersebut
disebut
GMM-sys
karena
mengeksploitasi kondisi momen yang diperoleh dari sistem persamaan bentuk difference dan persamaan level. Hal tersebut menyebabkan penambahan moment condition sehingga meningkatkan efisiensi. Roodman (2009) menyebutkan bahwa GMM-diff dan GMM-sys diaplikasikan pada kasus tertentu tergantung/kondisional pada asumsi mengenai data generating process (DGP). a. Terdapat proses dinamis, yaitu pengaruh kondisi masa lalu terhadap yang sedang berjalan. b. Terdapat pola heteroskedastik dan korelasi serial (diselesaikan dengan twostep method). c. Data panel memiliki dimensi waktu (T) yang tidak terlalu besar. d. Instrumen yang digunakan bersumber dari internal model. e. Untuk GMM-sys dapat berisi variabel time-invariant. f. Beberapa regressor mengalami masalah endogenitas. Dalam hal model yang digunakan merupakan model distributed-lag, teknik estimasi akan tergantung pada bagaimana asumsi mengenai lag variabel x tersebut (Bond, 2002). Selayaknya AR1 pada model dasar, penggunaan lag akan merujuk pada penggunaan distributed-lag-nya sebagai instrumental variable. 𝑙𝑛𝐹𝐷𝐼𝑖𝑗𝑡 = 𝛽0 + 𝛼𝑙𝑛𝐹𝐷𝐼𝑖𝑗𝑡−1 + 𝛽1 𝑙𝑛𝐺𝐷𝑃𝑖𝑡 + 𝛽2 𝑙𝑛𝑀𝐷𝑖𝑠𝑡𝑖𝑗 + 𝛽3 𝑙𝑛𝐺𝐷𝑃𝑗𝑡 + 𝛽3 𝑙𝑛𝑅𝑒𝑙𝑝𝑟𝑜𝑑𝑖𝑗𝑡 + 𝛽4 𝑅𝑒𝑠𝑖𝑡 + 𝛽5 𝐼𝑛𝑓𝑟𝑎𝑟𝑜𝑎𝑑𝑖𝑡 + 𝛽6 𝐼𝑛𝑓𝑟𝑎𝑒𝑙𝑒𝑐𝑡𝑖𝑡 + 𝛽7 𝑙𝑛𝑉𝑜𝑙𝐸𝑥𝑝𝑗𝑡 + 𝛽8 𝑙𝑛𝐵𝑖𝑙𝑡𝑟𝑎𝑑𝑒𝑖𝑗𝑡 + 𝑢𝑖𝑡
(10)
𝑢𝑖𝑡 = 𝜇𝑖 + 𝜐𝑖𝑡
22
Dalam bentuk aslinya, model yang akan digunakan dalam penelitian ini ditunjukkan pada persamaan 10. Subscript i menunjukkan cross-section negara tujuan dan j menunjukkan negara asal, sedangkan t menunjukan tahun. Komponen 𝑢 terdiri atas 𝜇 yang merupakan fixed effect dan 𝜐 yang merupakan error term. FDI menunjukan data inward FDI Indonesia sektoral dari empat negara ASEAN, GDP menunjukan GDP harga konstan Indonesia, Mdist merupakan distance yang berupa perkalian dari jarak fisik dengan harga minyak dunia (brent), Relprod merupakan data produktivitas relatif Indonesia yang dibandingkan dengan negara asal, Res merupakan
data
resources
endowment,
Infraroad
merupakan
variabel
infrastruktur jalan yang diproksi dengan persentase jalan berbatu dan beraspal terhadap total jalan, infraelect merupakan variabel infrastruktur listrik, Exp merupakan data volume ekspor total Indonesia untuk seluruh komoditas, dan Biltrade merupakan perdagangan bilateral antara Indonesia dan negara asal FDI. Model tersebut akan diestimasi dengan menggunakan teknik estimasi GMM difference dan two-step procedure. Untuk model outward FDI Indonesia ke intra-ASEAN, model yang digunakan sama. Namun, terdapat beberapa perbedaan dalam variabel karena masalah ketersediaan data, yaitu tidak menggunakan variabel infrastruktur listrik. Model untuk outward FDI Indonesia tersebut adalah sebagai berikut. 𝑙𝑛𝑂𝐹𝐷𝐼𝑖𝑗𝑡 = 𝛽0 + 𝛼𝑙𝑛𝑂𝐹𝐷𝐼𝑖𝑗𝑡−1 + 𝛽1 𝑙𝑛𝐺𝐷𝑃𝑖𝑡 + 𝛽2 𝑙𝑛𝑀𝐷𝑖𝑠𝑡𝑖𝑗 + 𝛽3 𝑙𝑛𝐺𝐷𝑃𝑗𝑡 + 𝛽3 𝑙𝑛𝑅𝑒𝑙𝑝𝑟𝑜𝑑𝑖𝑗𝑡 + (11)
𝛽4 𝑅𝑒𝑠𝑖𝑡 + 𝛽5 𝐼𝑛𝑓𝑟𝑎𝑟𝑜𝑎𝑑𝑖𝑡 + 𝛽6 𝑙𝑛𝑉𝑜𝑙𝐸𝑥𝑝𝑗𝑡 + 𝛽7 𝑙𝑛𝐵𝑖𝑙𝑡𝑟𝑎𝑑𝑒𝑖𝑗𝑡 + 𝑢𝑖𝑡
OFDI menunjukkan data outward FDI Indonesia Sektoral keempat negara ASEAN, GDP menunjukkan GDP harga konstan Indonesia, Mdist merupakan distance yang berupa perkalian dari jarak fisik dengan harga minyak dunia, Relprod merupakan data produktivitas relatif Indonesia yang dibandingkan dengan negara asal, Res merupakan
data
resources
endowment,
Infraroad
merupakan
variabel
infrastruktur jalan yang diproksi dengan persentase jalan berbatu dan beraspal terhadap total jalan, Exp merupakan data volume ekspor total Indonesia untuk seluruh komoditas, dan Biltrade merupakan perdagangan bilateral antara Indonesia dan negara asal FDI.
3.2.2 Metode Multiple Structural Breaks Bai dan Perron (1998) Salah satu metode yang digunakan untuk melihat perubahan dalam struktur dari data runtun waktu adalah dengan mengidentifikasi structural break. Data 23
runtun waktu biasanya memiliki break ketika terjadi perubahan perilaku parameter data. Metode standar yang biasa digunakan adalah sampel dibagi menjadi dua bagian. Titik pembeda dua data runtun waktu sampel tersebut adalah titik break yang dimaksud. Kemudian, nilai error sum of square dihitung dan dibandingkan antara sampel yang tidak dibagi dan yang dibagi. Dalam penelitian ini akan diaplikasikan metode Bai and Perron multiple structural breaks. Metode tersebut pada dasarnya merupakan metode untuk melihat adanya structural break lebih dari 1 yang periode breaks-nya tidak ditentukan secara priori, tetapi murni ditentukan berdasarkan data. Metode Bai dan Perron menggunakan kerangka analisis yang mendasarkan pada regresi linear berganda dengan m breaks dan m+1 rezim. Secara formal, model Bai dan Perron dapat ditulis sebagai berikut (diadaptasi dari Guesmi, et al. (2013)): 𝑦𝑡 = 𝛽𝑗 𝑥𝑡 + 𝑢𝑡
(12)
𝑡 = 𝑇𝑗−1 + 1, … . , 𝑇𝑗
(13)
Penjelasannya adalah 𝑗 = 1, … . , 𝑚 + 1; 𝑦 merupakan variabel endogen; 𝑥 merupakan covariates; 𝑢 merupakan error pada waktu t; 𝑇1 , … , 𝑇𝑚 merupakan titik breaks yang tidak diketahui; dan m menunjukkan jumlah dari titik breaks. Model ini ingin mengestimasi parameter regresi dan titik breaks. Hipotesis dalam model tersebut adalah bahwa 𝐻0 : 𝛽𝑗 = 𝛽0 𝑗 = 1, … , 𝑛 yang hipotesis alternatifnya setidaknya adalah koefisien berubah pada satu titik waktu. Bai dan Perron menerapkan beberapa restriksi pada beberapa kemungkinan periode breaks. Adapun restriksi tersebut adalah mengikuti set untuk angka positif 𝜀 sebagai berikut. 𝜆𝜀 = {(𝜆1 , … , 𝜆𝑚 ); |𝜆𝑖+1 − 𝜆𝑖 | ≥ 𝜀, 𝜆1 ≥ 𝜀, 𝜆𝑚 ≥ 1 − 𝜀} Estimasi model regresi linear tersebut dapat dilakukan dengen metode least square. Untuk setiap partisi m (𝑇1 , … , 𝑇𝑚 ), nilai koefisien 𝛽𝑗 diperoleh dengan meminimumkan sum of square residual yaitu ST. Titik breaks yang ingin diestimasi (𝑇̂1 , … , 𝑇̂𝑚 ) diperoleh dari rumus sebagai berikut. (𝑇̂1 , … , 𝑇̂𝑚 ) = arg min ST (𝑇1 , … , 𝑇𝑚 ) (𝑇1 ,…,𝑇𝑚 )
Beberapa penelitian mengaplikasikan metode Bai dan Perron untuk melihat bagaimana perubahan struktur dari variabel runtun waktu. Guesmi, et al. (2013) mengaplikasikan metode Bai dan Perron untuk melihat bagaimana perubahan 24
volatilitas harga saham di negara OECD. Atkis (2002) menggunakan metode tersebut untuk menganalisis suku bunga nominal dan tingkat inflasi negara Kanada dan US. Onel (2005) menggunakan metode yang sama untuk menganalisis suku bunga nominal dan inflasi di Turki dari periode 1980–2004.
3.3
Kerangka Pikir Penelitian Untuk mengetahui faktor determinan masuknya FDI ASEAN-5 ke Indonesia
dan keluarnya FDI Indonesia ke negara ASEAN-5 serta untuk mengetahui karakteristik tujuan FDI di Indonesia dan dari Indonesia ke ASEAN-5 yang menggunakan metode GMM, alur berpikir penelitian ini dapat dilihat secara ringkas pada Gambar 2. Alur berpikir penelitian tersebut mencakup pula tujuan keempat, yaitu mengidentifikasi kemungkinan terjadinya pergeseran struktur FDI di Indonesia menggunakan metode multiple structural break Bai dan Perron. Mapping: sector, source
FDI Inward
Determinan: Gravity Model
Tujuan 1
Push Factor
Home Country
Pull Factor
Host Country (Indonesia)
Tujuan 2
Repatriasi
BOP
Long Run
?
Export Base CA (XM)
Exchange Rate: BI’s Responsibility
Short Run
KA +
Market Seeking
CA ↑
Tujuan 3
CA ↓
Level of Technology: High vs Low
Tujuan 4
Gambar 2. Kerangka Pemikiran Penelitian
25
IV. PEMETAAN FOREIGN DIRECT INVESTMENT: ASEAN DAN INDONESIA
Dalam rangka memetakan FDI yang masuk ke Indonesia yang merupakan tujuan penelitian nomor 1, pembahasan pada bab ini akan dibagi menjadi dua bagian. Pada bagian pertama akan diulas gambaran umum FDI di ASEAN, sedangkan pada bagian kedua bab ini akan diuraikan FDI di Indonesia.
4.1 Gambaran Umum FDI di ASEAN Sebagaimana disinggung dalam Bab Pendahuluan bahwa dua elemen dalam pilar pasar tunggal dan basis produksi dalam kerangka KEA ialah perdagangan (arus barang dan jasa) dan investasi (arus modal) Kedua elemen itu memiliki hubungan yang sangat erat. Perdagangan antardua negara atau lebih yang semakin meningkat akan mendorong investor untuk mulai membuka fasilitas produksi di negara tempat ekspor ke negara tersebut tinggi. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi berbagai hambatan yang dialami ketika akan melakukan perdagangan antarnegara, seperti hambatan tarif dan nontarif. Dengan latar belakang itu pembahasan pada subbab ini akan dimulai dari ulasan mengenai perdagangan internasional negara kawasan ASEAN, kemudian dilanjutkan dengan uraian FDI negara kawasan. a. Perdagangan internasional negara ASEAN
26
Selama ini negara anggota ASEAN cenderung lebih banyak berdagang dengan negara non-ASEAN atau ekstra-ASEAN jika dibandingkan dengan sesama negara ASEAN sendiri (intra-ASEAN). Hal itu tercermin dari pangsa perdagangan ekstraASEAN yang lebih besar dari perdagangan intra-ASEAN. Tercatat bahwa selama lebih dari dua puluh tahun (1993–2014) tren perdagangan intra-ASEAN relatif stabil, yaitu berada pada angka 24%–25%. Sementara itu, tren perdagangan ekstra-ASEAN cenderung sedikit meningkat dari 74,9 persen pada tahun 1993 menjadi 75,9 persen pada tahun 2014 (Grafik 3). Perdagangan ekstra-ASEAN tahun 2014 tersebut (75,9 persen) jauh di atas perdagangan intra-ASEAN yang hanya sebesar 24.1 persen.
1993
2003
IntraASEAN, 25.1
ExtraASEAN, 74.9
2014
IntraASEAN, 24.5
ExtraASEAN, 75.5
IntraASEAN, 24.1
ExtraASEAN, 75.9
Sumber : ASEAN Statistic, www.asean.org/resources
Grafik 3. Perkembangan Perdagangan Intra-ASEAN dan EkstraASEAN
Berdasarkan data tahun 2014 yang disusun oleh ASEAN Statistics, negara yang menjadi mitra dagang utama ASEAN adalah negara ASEAN sendiri (24,1 persen), kemudian diikuti Tiongkok (14,5 persen), Uni Eropa (9,8 persen), Jepang (9,1 persen), dan US (8,4%) (Grafik 4).
ASEAN
24.1
China
14.5
EU 28
9.8
Japan
9.1
US
8.4
Republic of Korea
5.2
Australia
2.8
India
2.7
Russia
0.9
Canada
0.5
New Zealand
0.4
Pakistan
0.3 0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
Sumber: ASEAN Statistics. www.asean.org/resources
27
Grafik 4. Perdagangan ASEAN Berdasarkan Mitra Dagang (2014)
Sementara itu, untuk perdagangan sesama negara anggota ASEAN, Laos merupakan negara yang paling banyak berdagang dengan negara anggota ASEAN (intra-ASEAN), yaitu sebesar 64,9 persen, kemudian diikuti oleh Myanmar (42,0 persen) dan Brunei Darussalam (27,2 persen) (Grafik 5). Perdagangan intra-ASEAN oleh Indonesia tercatat sebesar 25,6 persen. Jika ditinjau dari sisi perdagangan ekstra-ASEAN, Vietnam merupakan negara yang paling banyak berdagang dengan negara non-ASEAN (86,1 persen), kemudian diikuti oleh Filipina (80,4 persen) dan Thailand (77,4 persen). Sementara itu, perdagangan ekstra-ASEAN oleh Indonesia tercatat sebesar 74,4 persen. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa Indonesia cenderung berdagang dengan negara di luar ASEAN daripada dengan negara anggota ASEAN lainnya.
Viet Nam
13.9
Philippines
86.1
19.6
Thailand
80.4
22.6
77.4
Indonesia
25.6
74.4
Cambodia
25.7
74.3
Singapore
26.2
73.8
Malaysia
26.9
73.1
Brunei Darussalam
27.2
72.8
Myanmar
42.0
Lao PDR
58.0 64.9
0%
20% Intra-Trade
35.1 40%
60%
80%
100%
Extra-Trade
Sumber: ASEAN Statistics, www.asean.org/resources
Grafik 5. Perdagangan Intra dan Ekstra ASEAN (2014)
Jika dilihat dari aspek komoditas yang diekspor, ASEAN merupakan netexporter untuk produk pertanian dan manufaktur dengan nilai surplus perdagangan untuk tiap-tiap sektor sebesar 44 miliar USD dan 7 miliar USD serta komoditas 28
beras dengan nilai surplus perdagangan sebesar 6,5 miliar USD6. Apabila ditinjau lebih jauh lagi, dua komoditas utama yang diekspor oleh ASEAN, baik ke negara di kawasan ASEAN maupun non-ASEAN adalah machinery/ electrical dan mineral products (Tabel 2).
Tabel 2. Perdagangan ASEAN Per Komoditas Berdasarkan HS Code Tahun 2014 Intra-ASEAN HS Code (2 digit)
Deskripsi
Ekspor
Impor
Ekstra-ASEAN Total Perdagangan
Ekspor
Impor
Total Perdagangan
Trade Balance
01-05.
Animal and Animal Products
3.091
2.543
5.634
13.036
15.478
28.514
-2.442
06-15.
Vegetable Products
10.305
9.047
19.352
61.017
21.137
82.154
39.879
16-24.
Foodstuffs
15.592
10.802
26.394
31.052
26.435
57.487
4.617
25-27.
Mineral Products
88.141
84.971
173.113
128.590
190.233
318.823
-61.642
28-38.
Chemicals & Allied Industries
21.612
17.708
39.321
57.106
71.332
128.438
-14.226
39-40.
Plastics/Rubbers
18.661
15.584
34.245
57.691
39.900
97.591
17.791
41-43.
Raw Hides, Skins, Leather, and Furs
855
687
1.541
4.861
5.652
10.513
-791
44-49.
Wood and Wood Products
9.260
6.507
15.767
28.648
13.115
41.762
15.533
50-63.
Textiles
5.275
4.620
9.895
54.351
39.352
93.703
14.999
64-67.
Footwear/ Headgear
830
705
1.536
17.458
2.341
19.799
15.117
68-71.
Stone/Glass
6.554
6.890
13.444
28.407
27.400
55.807
1.007
72-83.
Metals
18.881
15.491
34.371
32.145
90.780
122.925
-58.635
84-85.
Machinery/ Electrical
99.458
81.219
180.677
330.919
320.814
651.732
10.105
86-89.
Transportation
17.181
12.845
30.026
38.894
47.196
86.090
-8.302
90-97.
Miscellaneous
10.564
7.272
17.836
45.083
35.277
80.360
9.807
98-99.
Service
3.439
1.728
5.167
33.675
11.226
44.901
22.450
Sumber: ASEAN Secretariat, diolah
Perkembangan perdagangan ASEAN juga dapat dianalisis berdasarkan barang primer, barang antara, barang modal, dan barang konsumsi7. Grafik 6
6ASEAN 7
Secretariat News, 28 Oktober 2014 Klasifikasi menggunakan kode BEC menurut klasifikasi dalam Ueki, Yasushi (2011). “Intermediate Goods Trade in East" in Intermediate Goods Trade in East Asia: Economic Deepening Through FTAs/EPAs. Edited by KAGAMI Mitsuhiro. Bangkok Research Center,
29
menunjukkan perdagangan intra-ASEAN dan ekstra-ASEAN untuk ketiga kategori barang tersebut. Tampak dari grafik, baik perdagangan intra-ASEAN maupun ekstra-ASEAN didominasi oleh barang-barang antara (intermediate goods). Dalam grafik tampak bahwa perdagangan barang sesama negara ASEAN (intra-ASEAN) menunjukkan peningkatan. Hal itu mengindikasikan semakin terintegrasinya ASEAN sebagai basis produksi tunggal. Peningkatan tersebut juga terjadi untuk perdagangan ASEAN dengan negara lain untuk barang antara. Hal itu diduga terkait dengan perdagangan ASEAN dengan negara-negara di Asia Timur.
Sumber : UN Comtrade, diolah
Grafik 6. Perkembangan Perdagangan Berdasarkan Jenis Barang (IntraASEAN dan Ekstra-ASEAN) b. Foreign Direct Investment di ASEAN Arus FDI global ke negara ASEAN pada tahun 2014, berdasarkan data UNCTAD, tercatat meningkat lebih dari 10 kali lipat dibanding tahun 1992, yaitu dari 12,7 miliar USD (1992) menjadi 132,8 miliar USD (2014). Jika dilihat dari pangsanya, arus FDI ke ASEAN mencapai 10,8 persen dari total arus FDI global, lebih tinggi dari tahun 1970 sebesar 3,5 persen (Grafik 7). Kenaikan arus FDI ke ASEAN ini antara lain disebabkan ASEAN merupakan salah satu kawasan yang menawarkan tingkat pengembalian investasi (return on investment/roI) yang paling tinggi (ASEAN Secretariat, 2013).
IDE-JETRO, Bangkok, Thailand http://www.ide.go.jp/English/Publish/Download/Brc/05. html
30
12.00
10.8
10.00 8.00
7.5
%
6.00 4.00
3.5
5.3
6.2
4.9
4.1
2.00
1970 1972 1974 1976 1978 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014
0.00
Sumber: UNCTAD Statistics, diolah
Grafik 7. Pangsa Inward FDI Intra-ASEAN terhadap Arus FDI Global Angka di dalam kotak coklat menunjukkan rata-rata pangsa FDI ASEAN pada periode tersebut. Terlihat bahwa ASEAN mengalami naik turun dalam hal menjadi tujuan utama FDI dunia. Pada periode 1987 hingga sebelum krisis Asia, ASEAN memiliki pangsa yang cukup besar, tetapi pascakrisis, ASEAN terpuruk. Setelah 2008 ASEAN kembali menjadi primadona bagi investasi asing. Enam besar asal investor FDI di ASEAN adalah European Union (EU), ASEAN sendiri, Jepang, US, Hongkong, dan Tiongkok meskipun urutannya tidak selalu sama setiap tahunnya (Grafik 8). Tampak bahwa FDI dari negara ASEAN selalu menduduki peringkat kedua selama kurun waktu lima tahun (1993–2014). Grafik 8 juga menunjukkan bahwa nilai FDI intra-ASEAN terus mengalami peningkatan secara signifikan dari sebesar 6,3 miliar USD pada tahun 2009 menjadi 24,4 miliar USD pada tahun 2014 yang berarti meningkat lebih dari tiga kali lipat. Masuknya ASEAN dalam enam besar investor tersebut serta nilai FDI intra-ASEAN yang terus meningkat menunjukkan semakin pentingnya peran FDI intra-ASEAN di kawasan.
Sumber: ASEAN Investment Report berbagai tahun, diolah
Grafik 8. Negara/Kelompok Negara Asal FDI Terbesar ke ASEAN
31
Apabila diamati pangsa arus investasi intra-ASEAN terhadap total FDI yang masuk ke ASEAN (inward FDI ASEAN), nilainya relatif kecil, yaitu sebesar 9,6 persen. Meskipun begitu, nilai pangsanya semakin meningkat yaitu dari 9,6 persen pada tahun 2005 menjadi 17,9 persen pada tahun 2014 (Grafik 9). Kondisi itu mencerminkan semakin besarnya arus investasi antara negara ASEAN yang merefleksikan semakin besarnya peran FDI antarnegara ASEAN di kawasan ASEAN itu sendiri. 25
21.03
persen
20 13.92
13.6
15 9.64 10
15.15 15.61
18.08 17.51 17.9
11.35
5 0 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Sumber: ASEAN Statistics berbagai tahun, diolah
Grafik 9. Perkembangan Pangsa FDI Intra-ASEAN terhadap Total Inward FDI ASEAN
Jika dilihat secara sektoral atau jenis industri, FDI intra-ASEAN umumnya didominasi oleh sektor manufaktur (29,30 persen); keuangan dan asuransi (23,48 persen); real estate (22,23 persen); pertanian, kehutanan, dan perikanan (7,94 persen); serta perdagangan besar dan eceran, perbaikan kendaraan bermotor dan sepeda motor (4,28 persen) (Tabel 3). Tampak bahwa FDI yang berasal dari intraASEAN mendominasi sektor-sektor non-tradable. Hal itu mengindikasikan bahwa orientasi FDI intra-ASEAN didominasi oleh upaya untuk mengejar potensi pasar domestik ASEAN yang terus membesar dan berkembang.
Tabel 3. FDI Intra-ASEAN dan Ekstra-ASEAN Berdasarkan Sektor (2013) No.
Sektor
Nominal (juta USD) Intra
1.
Agriculture, forestry, and fishing
1.599
Ekstra 747
Persentase Intra
Ekstra
7,94
0,73
32
No.
Nominal (juta USD)
Sektor
Intra 2.
Mining and quarrying
3.
Manufacturing
4.
Electricity, gas, steam and air conditioning supply
5.
Water supply; sewerage, waste management and remediation activities
6.
Construction
Persentase
Ekstra
Intra
Ekstra
468
7.715
2,32
7,58
5.899
34.865
29,30
34,24
248
909
1,23
0,89
25
577
0,12
0,57
-50
653
-0,25
0,64
Tabel 3. (lanjutan) No.
Sektor
Nominal (juta USD) Intra
Persentase
Ekstra
Intra
Ekstra
7.
Wholesale and retail trade; repair of motor vehicles and motorcycles
862
6.534
4,28
6,42
8.
Transportation and storage
311
1.377
1,54
1,35
9.
Accommodation and food service activities
114
147
0,57
0,14
10.
Information and communication
389
1.807
1,93
1,77
11.
Financial and insurance activities
4.726
28.013
23,48
27,51
12.
Real estate activities
4.475
4.657
22,23
4,57
13.
Professional, scientific and technical activities
76
636
0,38
0,62
14.
Administrative and support service activities
104
191
0,52
0,19
15.
Education
14
52
0,07
0,05
16.
Human health and social work activities
17
112
0,08
0,11
17.
Arts, entertainment and recreation
-
219
-
0,22
18.
Other services activities
855
9.375
4,25
9,21
19.
Others/unspecified
-
3.232
-
3,17
Total
20.132 101.818 100,00 100,00
Sumber: ASEAN Investment Report 2013–2014, ASEAN Secretariat
Dalam upaya mengejar potensi sumber daya alam (resource endowment) yang ada di ASEAN, terdapat perbedaan karakteristik dalam berinvestasi antara FDI 33
intra-ASEAN dan FDI ekstra-ASEAN. FDI intra-ASEAN lebih banyak berinvestasi pada sektor pertanian, terutama pada subsektor perkebunan dengan komoditas utama kelapa sawit sedangkan FDI ekstra-ASEAN lebih mendominasi investasi di sektor pertambangan, yaitu untuk mencari sumber daya mineral yang dibutuhkan sebagai bahan baku bagi sektor manufaktur di negara asalnya (Grafik 10).
Sumber: ASEAN Investment Report 2013–2014, ASEAN Secretariat
Grafik 10. FDI Intra-ASEAN dan Ekstra-ASEAN Berdasarkan Sektor (2013)
4.2 Foreign Direct Investment di Indonesia Arus masuk FDI ke Indonesia selama kurun waktu 40 tahun lebih (1970– 2014) menunjukkan tren yang meningkat, meski sempat turun selama periode 1997–2000 yang disebabkan oleh krisis keuangan Asia 1997/98 (Grafik 11). Peningkatan arus masuk FDI mulai terjadi sejak tahun 1988 dan meningkat secara signifikan sejak tahun 2004. Tercatat arus masuk FDI ke Indonesia meningkat dari 145,4 juta USD pada tahun 1970 menjadi 22,3 miliar USD pada tahun 2014.
34
22,276
23,000
Juta USD
18,000
13,000 8,000
2014
2012
2010
2008
2006
2004
2002
2000
1998
1996
1994
1992
1990
1988
1986
1984
1982
1980
1978
1976
1974
1972
(2,000)
1970
3,000
(7,000)
Sumber: UNCTAD
Grafik 11. Perkembangan Arus Masuk FDI ke Indonesia (Net), 1970–2014 Tren peningkatan arus FDI per GDP Indonesia terjadi selama periode Asian Miracle, yaitu sejak tahun 1980 hingga sebelum krisis finansial tahun 1997/1998 (Grafik 12). Tren arus FDI per GDP kembali meningkat sejak tahun 2006–2014 meski sempat turun pada tahun 2009 yang disebabkan oleh krisis subprime mortgage. Peningkatan tren FDI per GDP tersebut menunjukkan semakin besarnya kontribusi FDI terhadap PDB. Krisis keuangan Asia tahun 1997/1998 dan krisis subprime mortgage tahun 2009 telah menyebabkan arus FDI per GDP Indonesia mengalami penurunan. Namun, dampak yang ditimbulkan oleh krisis subprime mortage terhadap arus masuk FDI ke Indonesia tidak separah dibandingkan dampak krisis keuangan Asia tahun 1997/1998. Grafik 12 menunjukkan bahwa selama periode 1998–2001 (periode krisis keuangan Asia tahun 1997/1998) arus FDI per GDP berada di bawah 0 persen atau minus, sementara arus FDI per GDP pada tahun 2009 (krisis subprime mortgage) masih di atas 0 persen. Hal itu ditengarai pada saat terjadi krisis subprime mortage, fundamental ekonomi Indonesia sudah lebih kuat dibandingkan dengan krisis sebelumnya sehingga shock yang terjadi yang bersumber dari luar negeri tidak berpengaruh besar terhadap investasi langsung asing di Indonesia.
35
5.0
3.0
Asian Economic Miracle
2.0
Krisis Keuangan Global
Krisis Keuangan Asia Dampak Krisis Keuangan Asia
4.0
1.0 0.0 -1.0 -2.0
2014
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
1989
1988
1987
1986
1985
1984
1983
1982
1981
1980
1979
1978
1977
1976
1975
1974
1973
1972
1971
1970
-3.0
Sumber: UNCTAD
Grafik 12. Perkembangan Arus FDI Per GDP
Dilihat berdasarkan komponennya, FDI yang masuk ke Indonesia terdiri atas tiga komponen, yaitu: (i) equity, (ii) reinvested earnings, dan (iii) other capital inflow in FDI. Kedua komponen equity dan reinvested earnings umumnya memiliki nilai yang lebih tinggi daripada other capital inflow in FDI, baik untuk FDI yang berasal dari ASEAN maupun non-ASEAN (Grafik 13 dan Grafik 14). Apabila diamati lebih jauh tampak bahwa tren ketiga komponen FDI tersebut mengalami peningkatan selama periode 2004–2014. 14,000 12,000 10,000
Million USD
8,000 6,000 4,000 2,000 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014
(2,000)
Other Capital Inflow in FDI Equity and Reinvested Earning
Grafik 13. Total Inward FDI Indonesia per Komponen
Grafik 14. Inward FDI IntraASEAN di Indonesia per Komponen
Sebagai salah satu negara dengan output perekonomian terbesar di ASEAN, Indonesia merupakan negara yang menjadi tujuan utama FDI intra-ASEAN. Tercatat pangsa arus investasi ke Indonesia pada tahun 2014 sebesar 55,2 persen terhadap total FDI intra-ASEAN. Selanjutnya posisi kedua ditempati oleh Singapura (18,6 36
persen), diikuti Malaysia (11,4 persen), dan Vietnam (6,3 persen) (Tabel 4 dan Grafik 15).
Tabel 4. FDI Intra-ASEAN dan Ekstra-ASEAN (2014) Pangsa terhadap Total (2014) Negara
Intra-ASEAN
Ekstra-ASEAN
Total Net Inflow
Brunei Darussalam
0,6
0,4
0,4
Kamboja
1,5
1,2
1,3
55,2
7,9
16,4
Lao PDR
0,6
0,7
0,7
Malaysia
11,4
7,1
7,9
Myanmar
2,8
0,2
0,7
Filipina
0,3
5,5
4,6
18,6
60,4
52,9
Thailand
2,7
9,7
8,5
Viet Nam
6,3
6,8
6,8
100,0
100,0
100,0
Indonesia
Singapura
Total Sumber: ASEAN Statistics, 2014
Sementara itu, untuk FDI di luar ASEAN (FDI ekstra-ASEAN) lebih memilih Singapura sebagai tujuan utamanya dalam berinvestasi yakni mencapai 60,4 persen terhadap total FDI ASEAN yang berasal dari non-ASEAN. Selanjutnya diikuti oleh Thailand (9,7 persen), Indonesia (7,9 persen), dan Malaysia (7,1 persen) (Tabel 4). Boks 1 menguraikan lebih dalam mengenai FDI di Singapura.
Philippines Lao PDR Brunei Darussalam Cambodia Thailand Myanmar Viet Nam Malaysia Singapore Indonesia Intra-ASEAN
0.3 0.6 0.6 1.5 2.7 2.8 6.3 11.4 18.6 55.2 0
10
20
30
40
50
60
persen
Sumber : ASEAN Secretariat, 2014
Grafik 15. Pangsa FDI Intra-ASEAN Terhadap Total Net Inflow FDI 37
Meski Indonesia menduduki posisi teratas dalam menarik FDI dari kawasan, pangsa FDI total (intra-ASEAN dan ekstra-ASEAN) terhadap PDB Indonesia masih relatif kecil, yaitu sebesar 2,6 persen pada tahun 2014 (Tabel 5). Pangsa FDI Indonesia terhadap PDB tersebut kurang lebih sama nilainya dengan Malaysia (3,3 persen) dan Thailand (2,8 persen). Sementara itu, Singapura memiliki pangsa yang jauh di atas negara ASEAN-10 lainnya, yaitu sebesar 23,9 persen. Bagi Singapura, FDI merupakan salah satu penggerak utama roda perekonomian negara tersebut. Sementara itu, untuk perekonomian Indonesia, rendahnya nilai pangsa tersebut mengindikasikan masih besarnya peluang asing untuk berinvestasi di Indonesia.
Tabel 5. Perbandingan Pangsa FDI terhadap PDB negara ASEAN (2014) (dalam juta USD) Negara Singapore Cambodia Lao PDR Viet Nam Brunei Darussalam Malaysia Thailand Indonesia Philippines Myanmar
PDB 301,193 16,435 11,667 186,599 14,971 326,113 405,533 848,025 285,098 67,628
Total Share per Nominal GDP 72,098 23.94 1,727 10.50 913 7.83 9,200 4.93 568 3.80 10,714 3.29 11,538 2.85 22,276 2.63 6,201 2.17 946 1.40
Negara Cambodia Indonesia Singapore Lao PDR Myanmar Brunei Darussalam Malaysia Viet Nam Thailand Philippines
PDB 16,435 848,025 301,193 11,667 67,628 14,971 326,113 186,599 405,533 285,098
Intra Share per Nominal GDP 373 2.27 13,459 1.59 4,533 1.50 138 1.18 684 1.01 141 0.94 2,771 0.85 1,547 0.83 654 0.16 79 0.03
Sumber: UNCTAD, diolah
Dari keseluruhan arus masuk FDI ke Indonesia, sebagian besar inward-FDI ke Indonesia berasal dari luar ASEAN atau didominasi oleh FDI ekstra-ASEAN. Tercatat FDI ekstra-ASEAN di Indonesia pada tahun 2014 sebesar 60,42 persen, sementara FDI intra-ASEAN sebesar 39,58 persen (Tabel 6). Meski pangsa inward FDI Indonesia dari intra-ASEAN relatif lebih rendah, nilai pangsa yang hampir mencapai 50 persen
38
pada tahun 2011 dan 2013 mengindikasikan semakin pentingnya peran FDI intraASEAN sebagai sumber investasi langsung di Indonesia.
Tabel 6. Inward FDI Indonesia Persentase
2011
2012
2013
2014
Intra-ASEAN
43,31
39,65
47,28
39.58
Ekstra-ASEAN
56,69
60,35
52,72
60.42
Total Net Inflow
100,00
100,00
100,00
100,00
Sumber: ASEAN Statistics (2014)
Sektor ekonomi yang dituju untuk berinvestasi di Indonesia oleh FDI umumnya bergantung pada negara asal FDI (Tabel 7). Pada sektor industri pengolahan, FDI banyak berasal dari Jepang dan US. Hal itu terkait dengan karakteristik perekonomian kedua negara tersebut sebagai negara industri. Sektor pertambangan dan penggalian banyak diminati oleh investor dari Tiongkok, US, dan Jepang. Sektor ini dituju oleh ketiga negara tersebut karena kebutuhan perkembangan ekonomi negara asalnya yaitu negara industri yang membutuhkan barang tambang dan penggalian untuk industri di negara bersangkutan. Sementara itu, negara asal ASEAN seperti Singapura dan Malaysia banyak berinvestasi pada sektor primer dan tersier.
Tabel 7. FDI di Indonesia berdasarkan negara asal dan sektor Ekonomi (Akumulasi 2004–2014) Negara
Jepang
Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan
Industri Pengolahan
Pertambangan dan Penggalian
Transporasi, Pergudangan, dan Komunikasi
Perdagangan Besar dan Eceran
Lembaga Perantara Keuangan
91.5
28,453.7
1,478.2
502.5
1,640.6
1,550.7
1,460.9
2,688.0
433.1
(3.8)
627.1
3,106.4
76.4
3,226.3
2,442.1
112.9
(316.5)
230.7
Malaysia
105.1
384.0
131.3
520.8
18.7
(193.0)
Tiongkok
1.0
185.6
3,631.4
0.0
27.6
2.9
6,637.5
17,605.8
13,091.8
14,679.1
8,860.0
5,247.4
Singapura USA
Lainnya
Sumber: Statistik Eonomi dan Keuangan Indonesia, Bank Indonesia, April 2015 Keterangan: Biru menunjukkan nilai investasi terbesar per negara (horizontal line) Merah menunjukkan nilai investasi terbesar per sektor (vertical line)
39
Secara sektoral terdapat perbedaan antara FDI intra-ASEAN dan FDI ekstraASEAN dalam hal berinvestasi. FDI intra-ASEAN umumnya berinvestasi pada sektor pertanian, industri pengolahan, dan lembaga perantara keuangan (Tabel 8). Dengan demikian, FDI intra-ASEAN cenderung pada sektor primer dan tersier. Sementara itu, FDI ekstra-ASEAN lebih dominan berinvestasi pada sektor industri pengolahan; pertambangan dan penggalian; serta transportasi, pergudangan, dan komunikasi. Dengan demikian, FDI yang berasal dari non-ASEAN cenderung pada sektor pertambangan dan penggalian serta sektor tersier.
Tabel 8. Kontribusi Sektoral FDI Intra-ASEAN dan Ekstra-ASEAN Pada Inward FDI di Indonesia No.
Sektor
Intra-ASEAN
Ekstra-ASEAN
2005
2013
2014
2005
2013
2014
1.
Pertanian, Perburuan, dan Kehutanan
2,45
17,80
27,86
-0,01
-0,05
0,62
2.
Perikanan
0,00
-0,10
-0,06
0,12
1,01
1,29
3.
Pertambangan dan Penggalian
3,62
6,69
6,05
15,98
21,38
21,59
Tabel 8. (lanjutan) No.
Sektor
Intra-ASEAN
Ekstra-ASEAN
2005
2013
2014
2005
2013
2014
4.
Industri Pengolahan
70,99
33,30
27,78
62,07
61,46
42,25
5.
Listrik, Gas, dan Air
0,00
0,63
0,23
2,18
3,49
2,64
6.
Konstruksi
0,18
-0,29
0,30
1,72
3,76
0,69
7.
Perdagangan Besar dan Eceran; Perbaikan Kendaraan Bermotor; BarangBarang Rumah Tangga
1,53
4,82
8,37
0,62
5,61
9.16
8.
Hotel dan Restoran
0,00
0,31
0,12
0,00
-0,39
-0,27
9.
Transportasi, Pergudangan, dan Komunikasi
12,78
5,24
7,36
3,63
16,85
16,78
10.
Lembaga Perantara Keuangan
17,19
19,55
14,36
8,40
-18,75
-4,81
40
11.
Real Estate, Persewaan, dan Jasa Bisnis
-0,58
9,02
7,06
0,29
-1,17
4,77
12.
Administrasi Pemerintahan dan Pertahanan; Jaminan Sosial
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
13.
Pendidikan
0,00
0,00
0,00
0,00
-0,01
0,00
14.
Kesehatan dan Pekerjaan Sosial
0,00
-0,01
0,01
0,00
0,11
0,08
15.
Jasa Kemasyarakatan, Sosial, dan Perseorangan Lainnya
0,00
-0,02
-0,01
0,00
0,04
0,03
16.
Lainnya
-8,15
3,06
0,55
5,00
6,64
5,19
Jumlah
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
100,00
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (Bank Indonesia, April 2015)
Ditinjau dari aspek negara asal FDI, Indonesia banyak menerima FDI dari negara di luar ASEAN (ekstra-ASEAN) (Grafik 16). Pada tahun 2014, pangsa FDI ekstra-ASEAN tercatat sebesar 60,4 persen, sementara pangsa FDI intra-ASEAN sebesar 39,6%. Meskipun lebih rendah dari pangsa FDI ekstra-ASEAN, pangsa FDI intra-ASEAN yang meningkat pada tahun 2013—walaupun sempat turun pada tahun 2012 dan 2014—mengindikasikan bahwa peran ASEAN dalam perekonomian global semakin penting, khususnya untuk Indonesia sebagai sumber investasi asing.
80.0
persen
60.0 40.0 20.0
43.3
60.4
56.7 39.6
47.3 52.7
60.4 39.6
0.0
2011
2012 Intra
2013
2014
Extra
Sumber: ASEAN Secretariat, 2014
Grafik 16. Inward FDI Indonesia (Intra-ASEAN dan Ekstra-ASEAN) 41
Apabila dilihat negara asal untuk arus masuk FDI ke Indonesia dari ASEAN-5 tampak bahwa Singapura dan Malaysia merupakan investor asing terbesar yang melakukan FDI di Indonesia (Grafik 17). Tingginya arus FDI dari Singapura dan Malaysia tersebut kemungkinan disebabkan oleh kedua negara itu memiliki GDP yang besar serta letak geografis kedua negara
yang sangat dekat dengan Indonesia.
Singapura terus mendominasi arus masuk FDI ke Indonesia dengan pangsa yang relatif stabil, yaitu sebesar 93 persen pada tahun 2010 dan 92 persen pada tahun 2014. Sementara itu, pangsa FDI Malaysia di Indonesia stabil pada angka 6 persen.
2010
2014 Malaysia 6%
Vietnam 0%
Thailand 2%
Filipina 0%
Thailand 1%
Singapura 93%
Vietnam 0%
Malaysia 6%
Filipina 0%
Singapura 92%
Sumber: SEKI, Bank Indonesia
Grafik 17. Negara ASEAN-5 Asal Inward FDI Intra-ASEAN Apabila FDI dari ASEAN-5 diperinci lebih jauh, tampak bahwa investor asal ASEAN-5 juga memiliki perbedaan karakter dalam hal berinvestasi di Indonesia. Singapura sebagai negara di kawasan ASEAN yang melakukan FDI terbesar ke Indonesia mendominasi sektor lembaga perantara keuangan, kemudian diikuti sektor manufaktur dan pertanian (Tabel 9). Besarnya investasi Singapura pada sektor finansial diduga terkait erat dengan peran negara tersebut sebagai salah satu pusat keuangan (financial centre) dunia. Sementara itu, Malaysia memilih sektor transportasi, pergudangan, dan komunikasi, kemudian diikuti dengan sektor manufaktur. Filipina, Thailand, dan Vietnam banyak berinvestasi di sektor manufaktur. Meskipun berbeda, tampaknya ada kesamaan dari negara tersebut, yaitu
adanya
kecenderungan
menempatkan
dana
pada
sektor
manufaktur.
Berdasarkan sektor ekonominya, Singapura hampir menguasai seluruh sektor ekonomi untuk inward FDI Indonesia yang berasal dari ASEAN-5. Sektor tersebut mencakup
pertanian;
pertambangan;
industri
manufaktur,
listrik
dan
gas;
perdagangan besar dan eceran; lembaga perantara keuangan; dan real estate, persewaan, dan jasa bisnis. 42
Tabel 9. FDI Intra-ASEAN Indonesia berdasarkan Negara Asal dan Sektor Ekonomi (Akumulasi 2004–2013) Negara
Singapura Malaysia Thailand Filipina Vietnam
Pertanian
1.098,24
22,12
-
0,05
-
Perikanan
(10,25)
8,17
0,06
-
-
Pertambangan
159,88
131,29
0,21
-
0,05
1.550,19
63,91
21,53
1,58
1,20
Utility
18,57
1,62
-
-
-
Konstruksi
(2,80)
-
-
-
0,26
(90,56)
24,05
21,99
1,09
0,34
6,70
-
-
-
-
36,68
84,96
0,10
0,05
(0,04)
Lembaga Perantara Keuangan
601,35
(265,20)
0,12
0,02
-
Real Estate, Persewaan, dan Jasa Bisnis
449,77
-
0,05
(21,20)
-
Manufaktur
Perdagangan Hotel dan Restoran Transportasi, Pergudangan, dan Komunikasi
Sumber: SEKI Keterangan: Biru menunjukkan nilai investasi terbesar per negara. Merah menunjukkan nilai investasi terbesar per sektor.
Sebagaimana disinggung sebelumnya, pangsa arus masuk FDI dari negara ASEAN (intra-ASEAN) terhadap PDB Indonesia tercatat baru 2,6 persen (Tabel 4), sedangkan pangsa FDI negara anggota ASEAN lainnya berkisar antara 0 persen hingga 2 persen. Hal itu menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki peluang cukup besar dalam menarik FDI dari negara anggota ASEAN lainnya (intra-ASEAN). Indonesia pada dasarnya masih dapat bersaing dengan negara anggota ASEAN lainnya dalam menarik FDI intra-ASEAN karena pangsa FDI intra-ASEAN Indonesia yang cukup besar (55,2 persen) serta kontribusi FDI intra-ASEAN terhadap PDB Indonesia yang relatif moderat jika dibandingkan dengan negara anggota ASEAN lainnya. Namun, kondisi itu tampaknya tidak sejalan dengan iklim investasi yang ditunjukkan dalam survei World Bank “Ease of Doing Business” (Grafik 18).
43
127
134 167 Laos
Kmbj
103
109
Fil
INA
90 Viet
84 Brun D
84 Tiong
49
18
1 Sgp
Mly Thai
Myr
Sumber: http://www.doingbusiness.org/, diolah
Grafik 18. Peringkat Ease of Doing Business di Negara Anggota ASEAN Dan Tiongkok
Berdasarkan Ease of Doing Business 2015 yang disusun oleh World Bank, yaitu survei untuk melihat kemudahan melakukan bisnis pada setiap negara8 ditunjukkan bahwa Indonesia berada pada posisi di bawah Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam, Vietnam, dan Filipina. Secara agregat, Indonesia berada pada peringkat 109 dari 189 negara yang disurvei. Tiga negara ASEAN-5 berada pada posisi 30 besar, yaitu Singapura (peringkat 1), Malaysia (peringkat 18), dan Thailand (peringkat 49). Bahkan, Vietnam yang bukan merupakan ASEAN-5 berada pada peringkat 90, jauh di atas Indonesia. Apabila dilihat lebih lanjut per komponen ease of doing business, nilai masingmasing komponen untuk Indonesia adalah yang paling rendah secara peringkat, yaitu masalah penegakan hukum (enforcing contracts), memulai usaha (starting business), pembayaran pajak termasuk prosedur, dan registrasi properti (registering property) (Tabel 10). Bahkan dalam hal penegakan hukum, posisi Indonesia berada pada peringkat 170 dari 189. Komponen ease of doing business Indonesia yang nilainya relatif baik adalah resolving insolvency (peringkat 73), getting credit (peringkat 71), dan getting electricity (peringkat 45).
Tabel 10. Komponen Ease of Doing Business Komponen
8
Peringkat
Semakin tinggi peringkat suatu negara mengindikasikan iklim usaha di negara tersebut kondusif untuk memulai dan mengoperasikan bisnis. Jumlah negara yang disurvei sebanyak 189 negara.
44
Enforcing Contracts
170
Starting a Business
163
Paying Taxes
160
Registering Property
131
Dealing with Construction Permits
110
Trading Across Borders
104
Protecting Minority Investors
87
Resolving Insolvency
73
Getting Credit
71
Getting Electricity
45
Sumber: http://www.doingbusiness.org/, diolah
Dalam upaya menarik investasi asing dari berbagai negara untuk berinvestasi pada berbagai sektor ekonomi, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai kebijakan dan reformasi pada bidang investasi yang meliputi hal-hal berikut. 1. UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. UU No. 1 Tahun 1967 merupakan kebijakan PMA yang pertama kali dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia. Pengertian investasi asing, bentuk, dan hal-hal lain terkait investasi asing diatur dalam UU ini. Modal asing dalam aturan itu dianggap sebagai pelengkap dari modal dalam negeri. 2. UU No. 11 Tahun 1970 merupakan penambahan dan penyempurnaan UU No. 1 Tahun 1967, khususnya mengenai pembebasan bea masuk untuk impor barang pelengkap seperti mesin dan alat kerja serta kelonggaran di bidang perpajakan seperti pajak perseroan dan pajak dividen. 3. UU No. 10 Tahun 1994 Pasal 31A mengatur pemberian fasilitas perpajakan kepada wajib pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau daerah tertentu. 4. PP No. 20 Tahun 1994 merupakan kebijakan deregulasi investasi. Kepemilikan saham secara perseorangan atau secara individu hingga 100 persen oleh peserta asing (investor asing) sangat dimungkinkan. Ketentuan itu telah mengubah filsafat UU PMA tahun 1967 dengan mengakui secara transparan akan sumbangan potensial modal asing pada ekonomi dan pembangunan. 5. UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal mengatur kebijakan dasar penanaman modal. Pemerintah memberikan perlakuan yang sama bagi penanam 45
modal dalam negeri dan penanam modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional, menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha. Dalam hal ini berbagai insentif diberikan pemerintah seperti beberapa hal berikut. a. Keringanan pajak bumi dan bangunan untuk: (1) bidang usaha tertentu dan (2) wilayah atau daerah atau kawasan tertentu. b. Pembebasan atau penghapusan pajak untuk industri tertentu. c. Pembebasan atau pengurangan bea masuk atas impor barang tertentu. Arah kebijakan Indonesia mengenai investasi asing pada era orde baru dapat dibagi menjadi beberapa periode berikut. a. Periode 1967–1973 Presiden Suharto mengadopsi kebijakan yang condong mengundang FDI masuk dengan beberapa pokok kebijakan. a) Jaminan bahwa dalam 30 tahun tidak akan ada pengambilalihan oleh pemerintah. b) Insentif disediakan dalam bentuk pengurangan pajak impor dan tax holiday. c) Perusahaan dapat dimiliki asing hingga 100 persen. d) Tidak terdapat persyaratan untuk divestasi. e) Sektor ekonomi yang dilarang untuk asing-masuk mulai dikurangi. b. Periode 1974–1985 Karena didorong oleh sentimen nasionalis pada 1970, pendulum kebijakan bergeser kearah lebih restriktif. Beberapa kebijakan yang diadopsi oleh pemerintah adalah sebagai berikut. a) Pelarangan
kepemilikan
asing
100
persen,
perusahaan
asing
dalam
berpartisipasi joint venture dibatasi maksimum 80 persen b) Terdapat ketentuan divestasi untuk kepemilikan Indonesia pada 10 tahun c) Sektor-sektor tertentu ditutup untuk investasi asing d) FDI diharuskan mendapat persetujuan presiden e) Dibentuknya BKPM untuk melakukan screening proposal FDI f) Mulai dibentuknya biro perizinan investasi satu pintu g) Pembatasan kapasitas produksi dan jumlah lisensi yang diberikan untuk setiap sektor dibatasi
46
h) Penghapusan kebijakan tax holiday terkait dengan reformasi di bidang perpajakan. c. Periode 1986–1993 Keharusan untuk menyesuaikan dinamika ekonomi dengan berakhirnya booming harga minyak memaksa pemerintah untuk mencari modal tambahan untuk pembangunan. Pemerintah melihat FDI selain sebagai sumber pendanaan juga sebagai sumber alih teknologi, kapabilitas manajerial, dan akses pada pasar ekspor. Adapun kebijakan yang dikeluarkan pada masa tersebut adalah sebagai berikut. a) Peningkatan secara maksimal kepemilikan asing menjadi 95 persen untuk industri yang berorientasi ekspor di Indonesia Timur, penggunaan teknologi tinggi dan diharuskan lebih besar dari 10 juta USD. b) Periode divestasi diperpanjang hingga 15 tahun c) Pengadopsian daftar prioritas yang lebih transparan dengan definisi baku ISIC d) Pengurangan pembatasan pada kapasitas dan jumlah lisensi e) Investor asing dapat mendiversifikasi hingga 30 persen dari kapasitas usaha yang sudah ada tanpa harus mengajukan lisensi baru. f) Sektor ekonomi yang diperbolehkan untuk asing-masuk diperluas mencakup pariwisata, pengolahan garmen, kimia, dan permesinan. Daftar negatif investasi diperkenalkan dengan dikurangi komponennya secara bertahap dari 64 jenis usaha menjadi 35 yang mencakup sektor penting di bidang retail. g) Impor peralatan diperbolehkan untuk produksi. h) Perusahaan asing diperbolehkan untuk mengekspor produknya sendiri dan berpartisipasi dalam aktivitas perdagangan.
d. Periode 1994–1998 Pemerintah merespons perlambatan ekonomi pada tahun 1992 dengan paket deregulasi pada tahun 1994. Adapun kebijakan yang dikeluarkan adalah sebagai berikut. a) Asing dibolehkan untuk memiliki usaha hingga 100 persen. b) Kebijakan divestasi setelah 15 tahun diserahkan kepada investor c) Sembilan sektor dengan kepentingan publik yang ditutup kini dibuka untuk joint venture. d) Persyaratan modal minimum dihapuskan.
47
Pada era Pemerintahan Presiden Joko Widodo telah dikeluarkan serangkaian paket kebijakan (I-VII) yang mendorong masuknya arus FDI ke Indonesia lebih tinggi lagi dalam rangka merespons kondisi perekonomian global yang tidak pasti, terutama disebabkan normalisasi kebijakan moneter the FED dan perlambatan ekonomi Tiongkok. Berbagai kebijakan yang dikeluarkan antara lain ialah deregulasi, proyek strategis
nasional,
kebijakan
investasi
properti,
penyederhanaan
kebijakan
penanaman modal, dan insentif untuk reinvested earnings. Di samping upaya menarik investasi dari sisi penyempurnaan kebijakan dalam negeri, pemerintah Indonesia juga meningkatkan kerja sama kawasan dalam rangka mendorong percepatan arus investasi asing masuk dan keluar Indonesia. Dalam kaitan itu, sampai dengan Agustus 2015 Indonesia telah melakukan perjanjian investasi bilateral (bilateral investment treaty, BIT) dengan 66 negara (UNCTAD, Investment Agreement Navigator, 2015). Dari jumlah tersebut Indonesia telah menandatangani BIT dengan enam negara anggota ASEAN, yaitu Malaysia (Januari 1994), Singapura (Februari 2005), Filipina (November 2011), Thailand (Februari 1998), Vietnam (Oktober 1991), dan Kamboja (Maret 1999). BIT merupakan perjanjian antardua negara yang berisikan promosi dan proteksi investasi yang bertujuan untuk meningkatkan investasi di antara kedua negara yang melakukan perjanjian. Pada dasarnya penandatanganan BIT dengan negara-negara tersebut telah mulai dilakukan pada tahun 1968, yaitu dengan Denmark, tetapi intensitas kerja sama investasi di bawah kerangka BIT mulai meningkat sejak tahun 1990-an. Di samping menandatangani bilateral investment treaty, Indonesia juga tergabung dalam kawasan perdagangan bebas atau free trade area (FTA) dengan World Trade Organization (WTO) dan ASEAN. Secara kawasan, Indonesia sebagai negara anggota ASEAN juga telah melakukan FTA dengan ASEAN+1, yaitu ASEANKorea, ASEAN-India, ASEAN-New Zealand dan Australia, serta ASEAN-Tiongkok. Berbagai kerja sama investasi itu memberikan manfaat berupa akses pasar dalam rangka meningkatkan ekspor dan meningkatkan investasi pada kedua negara serta terciptanya alih teknologi. Grafik 19 merupakan grafik analisis kejadian (event analysis) untuk inward FDI di Indonesia. Tampak bahwa FDI mulai mengalami peningkatan yang signifikan sejak tahun 1990 meskipun sempat turun pada saat krisis keuangan Asia 1997/1998 yang berdampak terhadap FDI hingga tahun 2000. Peningkatan arus masuk FDI ke Indonesia sejak 1988 diduga disebabkan oleh berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait investasi langsung asing, terutama semakin intensnya 48
pemerintah menandatangani berbagai kerja sama investasi (BIT dan FTA) dengan banyak negara.
25000.0
UU No. 11 Thn 1970 ttg Perubahan dan Tambahan UU No. 1 Thn 1967 ttg PMA
UU No. 25 Thn 2007 ttg Penanaman Modal
20000.0 ASEAN-Korea FTA di ttd di Sgp, pd 13 Des 2005
15000.0
UU No. 1 Thn 1967 ttg PMA
ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership (AJCEP) (2008)
ASEAN Comprehensive Investment Agreemnt (ACIA), berlaku 29 Maret 2012
AC FTA di ttd di Phnom Penh, (2002)
10000.0
4 paket kebijakan SBY Penyelamat an Ekonomi Nasional (2013)
PP No. 20/1994 ttg Pemilikah Saham dlm persh yg didirikan d.r. PMA
5000.0
1970 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
0.0
-5000.0 7 BIT
0 BIT
14 BIT
31 BIT
-10000.0 FDI Flow BOP
Deklarasi Presiden Megawati untuk meningkatkan investasi (2003)
AANZ-FTA di ttd di Hua Hin, Thailand (2009)
Grafik 19. Event Analysis Inward FDI di Indonesia
Grafik 20 menunjukkan lebih jauh perkembangan arus inward FDI (flow) ke Indonesia pada periode 1970–1990. Setelah krisis Pertamina 1973–1974, terdapat lonjakan yang cukup besar pada FDI masuk pada tahun 1975, terutama pada tiga sektor, yaitu sektor industri dasar, sektor kehutanan, dan sektor pertambangan. Salah satu contoh industri dasar yang dikembangkan adalah Proyek Asahan. Hal itu dicatat pada Nota Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 1975/1976, 1976/1977, dan 1977/1978.
49
1,400 1,200
Melarang kepemilikan asing 100 persen, menurunkan menjadi 80 persen
1,000
Juta USD
Melonjaknya investasi asing di sektor industri dasar, kehutanan, pertambangan (NK APBN 1975/76, 1976/77, 1977/78)
800
Deregulasi mulai dijalankan secara penuh
Dimulainya paket deregulasi ekonomi
600 400
FDI mulai meningkat bertahap
200
1990
1989
1988
1987
1986
1985
1984
1983
1982
1981
1980
1979
1978
1977
1976
1975
1974
1973
1972
1971
1970
-
Sumber: UNCTAD
Grafik 20. Perkembangan Arus Inward FDI 1970–1990
Pada awal tahun 1980-an, tepatnya 1983, terdapat kebijakan pemerintah untuk melakukan deregulasi sebagai respons dari berakhirnya booming minyak yang menyebabkan turunnya pendapatan, baik pemerintah maupun dunia usaha. Oleh karena itu, untuk menggantikan peran minyak dalam perekonomian Indonesia, usaha yang dilakukan adalah mengeluarkan paket kebijakan deregulasi untuk menggenjot sektor industri nonmigas. Deregulasi perekonomian dimulai pada tahun 1983 dengan berbagai penghapusan aturan yang menghambat perkembangan dunia usaha. Akan tetapi, dampak dari deregulasi tersebut tidak langsung meningkatkan minat modal asing untuk masuk ke Indonesia. Peningkatan modal asing masuk ke Indonesia mulai deras setelah tahun 1986 pada saat reformasi kebijakan FDI diperkenalkan. Setelah tahun 1986 berbagai kebijakan diarahkan untuk melanjutkan liberalisasi
dan
deregulasi.
Pada
tahun
1986
kepemilikan
maksimal
asing
ditingkatkan menjadi 95 persen untuk industri yang berorientasi ekspor di Indonesia timur, penggunaan teknologi tinggi, dan pensyaratan modal lebih dari 10 juta USD. Pada tahun 1987 periode hingga divestasi ditingkatkan sampai 15 tahun. Selain itu, dibuat kebijakan untuk memperlakukan investasi asing sama dengan investasi domestik. Mulai dari 1987, investor juga dapat berekspansi atau mendiversifikasi hingga mencapai 30 persen kapasitasnya tanpa harus memiliki lisensi baru. Sektorsektor juga semakin dibuka untuk modal asing, termasuk pariwisata, garmen, kimia, 50
dan mesin. Impor untuk perlengkapan yang digunakan juga diperbolehkan. Pada tahun 1987 itu pula perusahaan asing diperbolehkan untuk mengekspor produknya dan terlibat dalam aktivitas perdagangan. Selanjutnya, pada tahun 1989 daftar negatif investasi diperkenalkan dan mulai dikurangi komponennya dari 64 jenis usaha menjadi 35 jenis usaha. Selain menarik arus modal asing agar masuk ke Indonesia (FDI), kebijakan kerja sama investasi juga merupakan kesempatan bagi perusahaan asal Indonesia untuk berekspansi ke negara lain, khususnya ASEAN. Terdapat beberapa alasan melakukan investasi ke luar negeri (outward FDI), yaitu hambatan perdagangan oleh negara tujuan (host countries), seperti hambatan tarif dan nontarif, penghindaran i pengenaan kuota perdagangan di negara berpendapatan tinggi, dan diversifikasi risiko (Lecraw, D.J, 1993). Jumlah perusahaan asal Indonesia yang beroperasi di kawasan ASEAN masih jauh di bawah negara ASEAN-5 lainnya. Berdasarkan laporan ASEAN Secretariat 2014, disebutkan bahwa jumlah perusahaan yang menjadi pemain di kawasan ASEAN adalah 35 perusahaan Singapura, 20 perusahaan Malaysia, 7 perusahaan Thailand, dan 6 asal Indonesia. Perusahaan Indonesia tersebut bergerak di bidang manufaktur (Fajar Suhendra), pertambangan dan migas (Pertamina), telekomunikasi (Northstar Equity Partners), perkebunan dan agribisis (Sinarmas Group), dan konstruksi dan infrastruktur (Semen Indonesia dan Bukit Asam). Berbagai perusahaan multinasional tersebut biasanya terhubung dalam global supply/value chain (GSC/GVC) yang umumnya didukung oleh usaha kecil menengah (UKM) negara setempat (Kimura, 2008). Berdasarkan laporan ASEAN Secretariat 2014, beberapa UKM menjadi pemain di kawasan, tetapi UKM tersebut didominasi oleh UKM yang berasal dari Singapura dan Malaysia. Selain kedua negara tersebut, terdapat pula UKM dari Thailand, Filipina, dan Vietnam. Sementara itu, UKM asal Indonesia belum dapat menjadi pemain di kawasan atau mendukung pasokan rantai nilai (global value/supply chain). Hal itu diduga karena UKM Indonesia belum memiliki keterampilan teknis dan manajerial yang memadai untuk berkompetisi di level regional (Kimura, 2008). Penjelasan lebih dalam mengenai UKM di negara kawasan ASEAN dapat dilihat pada Boks 2. Untuk mengidentifikasi karakteristik inward FDI di Indonesia berdasarkan hubungan pangsa local sales dan local input, digunakan pendekatan Damuri (2015) pada Gambar 3. Analisis tersebut menunjukan jumlah perusahaan FDI yang membeli input dari dalam negeri dan menjual output-nya ke pasar lokal. 51
Dari hasil analisis tersebut FDI di Indonesia cenderung banyak pada kategori networked FDI. Subsektor yang berjenis pure horizontal (membeli input dari domestik dan menjual produk di pasar lokal) adalah subsektor (1) penerbitan, percetakan, dan reproduksi media perekam (ISIC 22); (2) pengolahan batu arang, produk minyak bumi olahan, dan bahan bakar nuklir (ISIC 23); (3) daur ulang (ISIC 37); dan (4) pengolahan perlengkapan transportasi lainnya (ISIC 35). Sementara itu, kategori resource extraction FDI terdiri atas subsektor (1) pengolahan kayu dan produk kayu, gabus (di luar furnitur), serta pengolahan barang jerami dan anyaman (ISIC 20); (2) pengolahan furnitur dan pengolahan produk lain (ISIC 36). Sementara itu, kategori pure outward processing adalah pengolahan alatalat kesehatan, presisi, optik, jam tangan, dan jam (ISIC 33), serta pengolahan alatalat perkantoran dan stasioneri (ISIC 30). Subsektor lain, selain yang disebutkan, termasuk pada kategori networked FDI yang sebagian input-nya diimpor dan
Local Assembly
100
produknya sebagian diekspor serta sebagian dijual di dalam negeri.
16
Pure Horizontal
23
35
22
80
34 37
24 17 19 26
60
local_sales
29
25 15 31
27
28
40
33
18
20
21 32
20
30 36
Pure outward processing
0
20
40
60
80
100
local_input
Resource Extraction
Sumber: Statistik Industri Besar dan Sedang, 2006; diolah
Gambar 3. Keterkaitan Antara Local Sales dan Local Input untuk Perusahaan FDI (ISIC Digit 2) Berdasarkan
kategorisasi
tersebut,
dapat
dilihat
pula
bagaimana
kecenderungan subsektor, apakah mengejar potensi pasar lokal atau ekspor. Berdasarkan analisis pada Gambar 3, kecenderungannya adalah subsektor yang mengejar pasar ekspor adalah subsektor yang Indonesia memiliki sumber daya dalam
52
hal tersebut (kecuali peralatan radio). Sementara itu, barang-barang konsumen Indonesia memiliki subsektor FDI yang cenderung market seeking (Tabel 11).
Tabel 11. Subsektor Ekonomi dan Pangsa Penjualan Pasar Lokal dan Input yang Diimpor Market Seeking
ISIC
Industri
15
Manufacture of food products and beverages
Local Local Input Sales 84,1
57,6
ISIC
Industri
Local Local Input Sales
27
Manufacture of basic metals
50,2
53,4
33,7
46,9
16
Manufacture of tobacco products
59,2
99,5
28
Manufacture of fabricated metal products, except machinery and equipment
17
Manufacture of textiles
58,3
65,2
29
Manufacture of machinery and equipment n.e.c.
41,3
67,0
18
Manufacture of wearing apparel; dressing and dyeing of fur
30
Manufacture of office, accounting and computing machinery
31,8
18,4
19
Tanning and dressing of leather; manufacture of luggage, handbags, saddlery, harness and footwear
31
Manufacture of electrical machinery and apparatus n.e.c.
43,9
53,2
44,2
61,0
41,9
66,4
Tabel 11. (lanjutan) ISIC 20
Industri Manufacture of wood and of products of wood
Local Local Input Sales 93,0
21,0
ISIC
Industri
32
Manufacture of radio, television and
Local Local Input Sales 61,4
34,5
53
and cork, except furniture; manufacture of articles of straw and plaiting materials
communication equipment and apparatus
33
Manufacture of medical, precision and optical instruments, watches and clocks
1,9
44,0
44,3
86,0
21
Manufacture of paper and paper products
22
Publishing, printing and reproduction of recorded media
95,8
89,4
34
Manufacture of motor vehicles, trailers and semi-trailers
23
Manufacture of coke, refined petroleum products and nuclear fuel
91,5
98,2
35
Manufacture of other transport equipment
68,6
96,2
24
Manufacture of chemicals and chemical products
40,1
75,1
36
Manufacture of furniture; manufacturing n.e.c.
65,2
12,8
25
Manufacture of rubber and plastics products
82,4
57,9
37
Recycling
100,0
77,6
26
Manufacture of other non-metallic mineral products
58,3
63,3
62,1
38,5
Jika dilihat lebih detail pada ISIC level digit 3, akan terlihat produk-produk tertentu yang memiliki kategori FDI berdasarkan pangsa penjualan ekspor dan input yang diimpornya (Gambar 4). Hasil tersebut mendukung simpulan pada analisis level ISIC digit 2 bahwa barang-barang yang cenderung market seeking dan mengarah pada horizontal FDI merupakan barang-barang konsumen (ISIC: 160, 155, 359, 154, 273, 232, 221, dan 37). Produk FDI yang cenderung besar pangsa ekspornya adalah barang-barang yang di Indonesia memiliki sumber dayanya seperti furnitur serta pengolahan dan penggergajian kayu. Selain itu, FDI di Indonesia juga banyak mengekspor beberapa barang berteknologi tinggi seperti alat kontrol listrik, alat optik, dan beberapa mesin.
54
Meskipun Indonesia bergantung pada ekspor komoditas, seperti karet dan sawit, FDI Indonesia untuk barang tersebut termasuk dalam networked FDI karena porsi ekspor tidak sebesar furnitur. Kecenderungan dalam hal jumlah adalah bahwa networked FDI merupakan jumlah komoditi terbanyak berdasarkan ISIC digit 3. Sementara itu, industri padat karya seperti tekstil dan alas kaki, yang di Indonesia memiliki keunggulan, cenderung mengejar potensi pasar lokal meskipun sebagian
Local Assembly
100
dari hasil output-nya diekspor pula.
352231 342
152
273
160 155 359
232 221
172
Pure Horizontal
80
341 243 242 293
154
311
60
Local Sales (%)
241 271 291 319 313
281
331
372
252 343 192 153 26 292 171 173 323 314
315
40
181 322 332
20
272 191
222
321 361
202 201
369
351
0
312
151
210
300
Pure outward processing
251
289
0
20
40 60 Local Input (%)
80
100
Resource Extraction
Sumber: Statistik Industri Besar dan Sedang, 2006; diolah
Gambar 4. Keterkaitan Antara Pemasaran Lokal (Local Sales) dan Masukan Lokal (Local Input) untuk Perusahaan FDI (ISIC Digit 3)
Tabel 12 menunjukkan tingkatan FDI berdasarkan orientasinya, dalam hal ini apakah semakin mengarah pada market seeking. Semakin tua warna pada Tabel 12, kecenderungannya adalah bahwa FDI untuk produk tersebut banyak mengejar potensi
pasar.
Namun,
jika
warna
pada
kolom
terang,
bahkan
putih,
kecenderungannya adalah bahwa FDI pada produk tersebut berorientasi ekspor (export oriented). Misalnya produk-produk furnitur yang memiliki pangsa pasar lokal hanya sebesar 18 persen.
55
Tabel 12. Subsektor Ekonomi dan Pangsa Penjualan Pasar Lokal dan Input yang Diimpor Market Seeking
ISIC
Industri
Local Sales (%)
ISIC
Industri
Local Sales (%)
151
Production, processing and preservation of meat, fish, fruit, vegetables, oils and fats
39,18
273
Casting of metals
99,90
152
Manufacture of dairy products
99,93
281
Manufacture of structural metal products, tanks, reservoirs and steam generators
50,16
153
Manufacture of grain mill products, starches and starch products, and prepared animal feeds
64,86
289
Manufacture of other fabricated metal products; metal working service activities
45,96
154
Manufacture of other food products
81,68
291 Manufacture of general purpose machinery
59,29
155
Manufacture of beverages
97,82
292 Manufacture of special purpose machinery
63,75
160
Manufacture of tobacco products
99,54
293 Manufacture of domestic appliances n.e.c
76,02
171
Spinning, weaving and finishing of textiles
61,29
300
Manufacture of office, accounting and computing machinery
18,43
172
Manufacture of other textiles
93,26
311
Manufacture of electric motors, generators and transformers
65,28
Tabel 12. (lanjutan)
56
ISIC
Industri
Local Sales (%)
ISIC
Industri
Local Sales (%)
173
Manufacture of knitted and crocheted fabrics and articles
59,70
312
Manufacture of electricity distribution and control apparatus
8,07
181
Manufacture of wearing apparel, except fur apparel
41,89
313
Manufacture of insulated wire and cable
52,85
191
Tanning and dressing of leather; manufacture of luggage, handbags, saddlery and harness
27,20
314
Manufacture of accumulators, primary cells and primary batteries
52,93
192
Manufacture of footwear
69,15
315
Manufacture of electric lamps and lighting equipment
71,46
201
Sawmilling and planing of wood
15,52
319
Manufacture of other electrical equipment n.e.c.
58,05
202
Manufacture of products of wood, cork, straw and plaiting materials
21,39
321
Manufacture of electronic valves and tubes and other electronic components
25,25
210
Manufacture of paper and paper products
38,47
322
Manufacture of television and radio transmitters and apparatus for line telephony and line telegraphy
40,35
221
Publishing
100,00
323
Manufacture of television and radio receivers, sound or video recording or reproducing apparatus, and associated goods
55,16
222
Printing and service activities related to printing
28,52
331
Manufacture of medical appliances and instruments and appliances for measuring, checking, testing, navigating and other purposes, except optical instruments
48,82
Tabel 12. (lanjutan) 57
ISIC
Industri
Local Sales (%)
ISIC
Industri
Local Sales (%)
100,00
332
Manufacture of optical instruments and photographic equipment
32,63
89,14
231
Manufacture of coke oven products
232
Manufacture of refined petroleum products
98,21
341
Manufacture of motor vehicles
241
Manufacture of basic chemicals
70,76
342
Manufacture of bodies (coachwork) for motor vehicles; manufacture of trailers and semitrailers
242
Manufacture of other chemical products
81,69
343
Manufacture of parts and accessories for motor vehicles and their engines
77,22
243
Manufacture of man made fibres
81,29
351
Building and repairing of ships and boats
9,37
251
Manufacture of rubber products
50,13
352
Manufacture of railway and tramway locomotives and rolling stock
252
Manufacture of plastics products
77,40
359
Manufacture of transport equipment n.e.c.
97,86
Manufacture of non metallic mineral products
64,07
361
Manufacture of furniture
18,37
271
Manufacture of basic iron and steel
63,11
369
Manufacturing n.e.c.
10,62
272
Manufacture of basic precious and nonferrous metals
30,65
26
37 Recycling
100,00
100,00
77,58
58
BOKS 1 Gambaran Umum FDI di Singapura
Menurut Global Investment Report 2014 yang disusun oleh UNCTAD disebutkan bahwa Singapura merupakan negara kelima penerima terbesar FDI di dunia serta negara ketiga terbesar di Asia Timur dan Asia Tenggara. Investor asing yang datang ke Singapura terutama berasal dari US, Belanda, Inggris, dan Jepang. Sektor utama yang diminati investor di Singapura adalah sektor jasa keuangan dan asuransi, manufaktur, perdagangan besar dan eceran, profesional dan teknikal, jasa administratif dan pendukung, transportasi dan pergudangan, serta sektor properti. Meskipun berbagai sektor ekonomi dibuka pada investor asing, terdapat beberapa sektor yang masih didominasi oleh negara tersebut, yaitu jasa keuangan, jasa profesional, media, dan telekomunikasi. Pemerintah Singapura memberikan preferensi untuk berinvestasi pada sektor manufaktur dan jasa yang memiliki nilai tambah (value added) yang tinggi sebagai bagian strategi untuk menggantikan aktivitas yang memiliki labor-intensive dan value added yang rendah yang telah bergeser ke negara lain, khususnya ke Tiongkok. Berdasarkan ease of doing business yang disusun World Bank, Singapura merupakan negara yang paling mudah untuk melakukan bisnis. Faktor-faktor yang menjadikan Singapura sebagai negara tujuan berinvestasi yang menarik adalah kemudahan memberikan pinjaman kepada investor asing; sistem regulasi (regulatory system) yang sederhana; sistem pajak yang menarik, yaitu pemberian insentif pajak berupa keringanan pajak; kualitas industri properti yang sangat baik; politik yang stabil; dan ketiadaan korupsi. Singapura merupakan satu dari negara yang paling sejahtera (kaya) dan stabil di kawasan Asia. Regulasi dan peraturan oleh pemerintah Singapura memberikan level-playing field yang sama, baik bagi investor asing maupun bagi investor dalam negeri karena tidak dibatasinya kepemilikan asing dan ketiadaan kontrol devisa (no foreign exchange controls). Dalam salah satu studi dikemukakan bahwa sistem pajak dan iklim regulasi (regulatory environment) yang favourable di Singapura telah membantu negara tersebut menarik FDI melebihi negara lainnya di dunia dalam kurun waktu lima tahun sejak krisis keuangan global. Selama kurun waktu tersebut, Singapura telah berhasil menarik FDI ekuivalen 74% dari GDP-nya atau sebesar 203 miliar USD secara keseluruhan. Kondisi yang kondusif tersebut telah mendorong perusahan59
perusahaan asing seperti Yahoo, Google, Apple, PayPal, and LinkedIn untuk membangun kantor regional Asia di negara tersebut. Terdapat lebih dari 7.000 perusahaan multinasional (MNCs) dan sekitar 10.000 UKM asing yang telah membangun basis di Singapura. Di samping fasilitas keringanan pajak yang diberikan, Singapura juga memiliki tenaga kerja yang sangat berpendidikan, infrastruktur yang sangat memadai, dan ekosistem yang canggih yang umumnya diperlukan perusahaan multinasional pada saat mereka memutuskan untuk membangun usahanya di luar negeri. Dalam rangka melindungi investasi asing, Singapura melakukan langkahlangkah antara lain sebagai berikut. 1. Penandatanganan investment promotion and protection agreements dengan sejumlah negara yang bertujuan melindungi perusahaan di kedua negara terhadap
perang
dan
risiko
nonkomersial
berupa
expropriation
dan
nasionalisasi untuk 15 tahun atau lebih. 2. Singapura tidak memiliki hukum yang memaksa investor asing untuk mengalihkan kepemilikan kepada pihak lokal sehingga tidak ada dispute yang masih di-pending di UNCTAD. 3. Memperkenankan asing untuk membeli properti di Singapura. Dalam hal ini, Singapura tidak memiliki hukum yang memaksa investor asing untuk mengalihkan kepemilikan ke lokal serta tidak memiliki expropriated terhadap properti. Posisi Singapura dalam arus FDI global adalah sebagai hub (penghubung) untuk investasi asing (Haigh, 2006; Kelkar, 2011). Sumber FDI dibedakan menjadi ultimate source dan intermediate source. Ultimate source adalah negara asal perusahaan multinasional tersebut berada, sedangkan intermediate source adalah suatu negara tempat perusahaan multinasional membuka cabangnya di negara tersebut sebelum berinvestasi ke negara lain.
BOKS 2
60
Gambaran Umum Keterkaitan UKM dengan FDI
A. Keterkaitan (Integrasi) UKM dengan FDI di Thailand9 UKM atau small medium enterprises (SME) di Thailand didefinisikan sebagai perusahaan yang memiliki usaha kurang dari 200 pekerja dan modal tetap sebanyak 5,6 juta USD dan memberikan kontribusi dalam PDB sektor manufaktur sebesar ± 33 persen. Sektor UKM yang banyak ditemui di Thailand adalah makanan dan minuman, furnitur, serta kimia dan produk kimia. Sebelum tahun 2000 Thailand tidak memiliki aturan dasar mengenai UKM yang memberikan arahan bagi pengembangan UKM jangka panjang. Kebijakan mengenai UKM tercantum dalam rencana pembangunan nasional secara umum dan dilakukan secara umum di berbagai kementerian dan biro. Karena kedua alasan tersebut yang diperburuk dengan tidak adanya koordinasi antarlembaga yang menangani masalah tersebut, pengembangan UKM di Thailand selama periode sebelum 2000 tidak memberikan hasil yang optimal. Krisis
keuangan
1997/1998
menyadarkan
pemerintah
Thailand
akan
pentingnya UKM sebagai agen penting dalam perekonomian. Oleh karena itu, diperlukan
kebijakan
khusus
untuk
mempromosikannya.
Berangkat
dari
argumentasi tersebut, pada tahun 2000 pemerintah Thailand mengeluarkan SME Promotion Act dan pada tahun yang sama dibentuk pula Kantor Promosi UKM (SME Promotion Office) sebagai lembaga koordinasi antar-agen pemerintahan yang bertujuan untuk mengembangkan UKM di Thailand. Tugas-tugas SME Promotion Office antara lain adalah sebagai berikut: 1. memformulasikan master plan dan kebijakan untuk pengembangan UKM; 2. mempersiapkan rencana aksi untuk pengembangan UKM regional dan sektoral; 3. menyediakan pusat informasi UKM dan menjadi organisasi sentral yang melakukan penelitian dan pengkajian mengenai UKM, termasuk early warning system; 4. mengembangkan sistem informasi dan networks untuk mendukung kegiatan operasi UKM; dan
9
Sumber: Punyasavatsut, C. (2008), ‘SMEs in the Thai Manufacturing Industry: Linking with MNES’, in Lim, H. (ed.), SME in Asia and Globalization, ERIA Research Project Report 20075, pp.287-321. Available at: http://www.eria.org/SMEs%20in%20The%20Thai%20 Manufacturing%20Industry_Linking%20with%20MEs.pdf
61
5. mengadministrasikan venture capital fund untuk UKM (fasilitasi permodalan). Selanjutnya di bawah rezim Thaksin (2001–2006) diterapkan dual track system dalam
pembangunan
ekonomi
Thailand,
yaitu
mendorong
industri
menjadi
pengekspor, mendorong terciptanya permintaan, dan mendorong pengembangan UKM. Di bawah rezim Thaksin diciptakan ukuran kemajuan UKM serta diberikan dukungan finansial. Berbagai kebijakan UKM yang diperkenalkan Thaksin antara lain adalah dana desa, bank rakyat, dan One-TAMBON-One-Product (OTOP). OTOP merupakan proyek yang bertujuan untuk mendukung komunitas paling bawah (grass root) untuk menggunakan pengetahuan lokalnya dalam mengembangkan produk dengan bantuan teknis dari pemerintah. First SME Promotion Plan (2002–2006) bertujuan untuk mengembangkan wirausahawan dan mendorong UKM untuk mencapai standar internasional. Untuk mencapai tujuan tersebut, beberapa kebijakan ditempuh seperti (i) managerial and technological upgrading; (ii) pengembangan SDM; (iii) ekspansi pasar; (iv) penguatan kapabilitas keuangan; (v) perbaikan iklim usaha; (vi) pemajuan bisnis skala kecil dan komunitas bisnis grass root; dan (vii) pembangunan jejaring perusahaan. Fokus kebijakan diarahkan pada tiga hal, yaitu sebagai berikut. 1. Promosi investasi UKM, yaitu dengan membentuk board investment promotion (BOI). 2. Financial assistance, yaitu dengan mendirikan SME Development Bank of Thailand dan mengarahkan Krung Thai Bank dan Siam City Bank untuk menyediakan pendanaan bagi UKM, serta mendirikan venture capital fund untuk UKM. 3. Technical
and
management
consultancy,
yaitu
dengan
menyusun
new
entrepreneurs creation program (NEC) di bawah Kementerian Perindustrian untuk menyediakan konsultasi teknis dan manajerial ketika UKM mengalami masalah. Second SME Promotion Plan (2007–2011). Rencana promosi ini adalah untuk melanjutkan pembangunan UKM agar dapat kuat dan berkelanjutan dalam hal (i) pengetahuan dan keterampilan perbaikan kualitas produk; (ii) pembangunan incubator bisnis di daerah; (iii) trade fair; (iv) pembangunan exhibition centers untuk promosi UKM ke seluruh wilayah; (v) perbaikan jalur distribusi dan logistik; dan (vi) pembentukan klaster dan jaringan industri. Tiga hal yang mendorong kemajuan UKM-MNE (multinational enterprises) di Thailand ialah sebagai berikut.
62
1. Globalisasi dan perubahan teknologi (ICT) telah mendorong MNE untuk beroperasi dengan cara subkontrak. Hal itu memberi peluang bagi UKM di Thailand untuk ambil bagian dalam bekerja sama dengan MNE. 2. Kebijakan yang diterbitkan tahun 1978 perihal kewajiban menggunakan konten lokal (local content) dipandang sebagai cikal bakal tumbuhnya industri komponen di Thailand. Kebijakan itu telah mendorong MNE untuk bekerja sama dengan UKM dalam bentuk kerja sama subkontrak pemasok. Hal tersebut memberi peluang perusahaan lokal untuk tumbuh dan membangun industri pendukung MNE. Selanjutnya, setelah munculnya UKM yang memproduksi parts dan komponen, banyak perusahaan otomotif mulai tertarik untuk membangun perusahaannya di Jepang dengan memanfaatkan UKM pemasok di Thailand tersebut pada era 1990. Kebijakan konten lokal (local content) yang dihapuskan pada awal tahun 2000, sebagaimana perusahaan
rencana otomotif
awal,
semakin
Thailand
ke
mendorong
luar
negeri.
lebih
jauh
Kebijakan
ekspansi kewajiban
menggunakan konten lokal (local content) ditambah dengan sistem dan jaringan procurement dalam sektor otomotif yang dibangun menjadikan UKM dan MNE di Thailand terintegrasi. Ciri khusus dari UKM pemasok otomotif di Thailand adalah pelayanan yang tidak hanya pada satu konsumen saja, tetapi banyak MNE sehingga tercapai skala ekonomis dan menghasilkan efek spillover. 3. Tumbuhnya jaringan industri yang diinisiasi, baik oleh pemerintah maupun oleh MNE telah mendorong terciptanya berbagai pengetahuan (knowledge sharing) antara UKM dan MNE dan antarUKM itu sendiri. Salah satu contoh adalah yang diinisiasi Toyota, yaitu Toyota Corporation Club (TCC) yang merupakan forum pemasok Toyota. Forum tersebut melakukan berbagai kegiatan, termasuk berbagi pengalaman dan pengetahuan teknis serta manajerial. Untuk tujuan itu, Toyota kemudian membangun Toyota Production System (TPS) untuk menangani sistem produksi yang melibatkan banyak pemasok. Kebijakan pengintegrasian UKM-MNE di Thailand dilakukan dengan cara mendirikan
Bureau
of
Supporting
Industries
Development
(BSID)
di
bawah
Kementerian Perindustrian yang bertujuan mendorong perusahaan Jepang untuk membantu berkembangnya industri pendukung di Thailand. Industri pendukung tersebut mencakup berbagai jenis, mulai dari produksi barang dan penyediaan jasa. Para pelaku industri pendukung tersebut banyak yang merupakan pengusaha kecil, tetapi berinteraksi dengan perusahaan besar seperti Toyota. Kebijakan yang 63
dilakukan pemerintah di bawah BSID adalah (i) menyediakan bantuan teknis dan pelatihan untuk industri pendukung; (ii) merancang dan mengembangkan produk prototype; dan (iii) mengembangkan sistem subkontrak, misalnya mengorganisasi buyer’s village. BUILD (BOI Unit for 314 Industrial Linkage Development) adalah pelayanan berorientasi pasar di bawah naungan BOI (Board of Investment of Thailand) sejak tahun 1992. Program itu dirancang untuk mendorong perusahaan besar agar mengambil/membeli bahan dari pemasok lokal dan sekaligus membantu pemasok lokal untuk memperbaiki kualitas barang, melakukan efisiensi produk, serta meningkatkan produktivitas. Kebijakan yang dikeluarkan oleh BUILD tidak tertuju pada insentif pajak, tetapi lebih pada insentif jasa pelayanan. BUILD juga membentuk Vendors Meet Customers Program (VMC) dalam rangka membantu UKM melaksanakan subkontrak dengan perusahaan asing.
B. Keterkaitan (Integrasi) UKM dengan FDI di Malaysia Latar belakang kebijakan pengembangan industri kecil menengah (IKM) di Malaysia adalah perkembangan manufaktur di Malaysia, terutama yang didorong oleh FDI dari Jepang dengan memanfaatkan zona bebas. Perusahaan Jepang menjadikan Malaysia sebagai export platform. Namun, perusahaan Jepang tersebut tidak menggunakan perusahaan lokal untuk industri pendukungnya. Perusahaan Jepang cenderung menggunakan perusahaan Jepang di Malaysia yang terafiliasi atau perusahaan yang berada di Jepang. Hal itu menjadikan lemahnya integrasi antara FDI dan perusahaan lokal. Manfaat yang didapat Malaysia hanyalah dari penciptaan lapangan kerja. Seiring dengan mulai aktifnya negara ASEAN menarik FDI, Malaysia menjadi tersaingi sebagai negara tujuan FDI. Hal itu menyadarkan Malaysia untuk menciptakan keunggulan kompetitif agar dapat bersaing dengan negara ASEAN lainnya, yaitu dengan mengembangkan IKM yang berperan sebagai supporting industry dalam industrialisasi. Hadirnya perusahaan Jepang di Malaysia menciptakan pasar bagi IKM untuk memasok kebutuhan pendukung perusahaan Jepang tersebut. Pada awalnya, barang pendukung di-supply oleh perusahaan Jepang yang terafiliasi di Malaysia atau dikirim dari Jepang. Namun, seiring berjalannya waktu perusahaan Jepang tersebut ingin meningkatkan pasokan barang pendukung dari dalam negeri (Malaysia), 64
terutama dari pengusaha lokal. Hal itu dilakukan untuk mengurangi biaya impor barang dan mengurangi waktu pengiriman. Namun, perusahaan lokal Malaysia tidak mampu memenuhi ekspektasi perusahaan Jepang, terutama dalam hal kualitas. Hal itu menjadikan perusahaan Jepang mengundang perusahaan-perusahaan produk pendukung di Jepang untuk membuka anak perusahaan di Malaysia agar dapat memenuhi ekspektasi perusahaan. Setelah tahun 1980 banyak IKM dari Jepang yang membuka anak perusahaan di Malaysia dalam rangka memasok kebutuhan perusahaan ekspor Jepang di Malaysia. Pemerintah Malaysia berharap kehadiran IKM dari Jepang akan terjadi transfer teknologi ke IKM lokal sehingga Pemerintah Malaysia sangat aktif untuk menarik IKM dari luar negeri. Pada dasarnya perusahaan Jepang tidak terlalu concern dengan perolehan pasokan barang, apakah dari IKM Jepang atau IKM lokal. Namun, banyak IKM lokal tidak mampu memenuhi kriteria yang diinginkan. Meskipun IKM lokal memiliki keunggulan dalam hal harga yang rendah, kualitas produk mereka pun juga rendah. Alhasil, IKM lokal hanya memasok barang-barang bernilai tambah rendah, seperti bahan plastik atau kemasan. Pengusaha Jepang mengeluhkan bahwa IKM lokal tidak dapat memenuhi ekspektasi dalam hal kualitas, waktu pengiriman (delivery time), dan attitudes management. IKM lokal tersebut kebanyakan tidak lolos tes untuk menjadi subkontraktor perusahaan Jepang. Terdapat dualisme dalam status perkembangan IKM di Malaysia. IKM yang dimiliki oleh perusahaan Jepang menjadi subkontraktor untuk pekerjaan yang membutuhkan keahlian teknologi tinggi, sedangkan IKM lokal hanya mengerjakan pekerjaan yang sederhana saja. Hal itu disebabkan adanya kesenjangan (gap) kemampuan teknologi dan manajerial antara IKM lokal dan IKM dari Jepang. Pemerintah menyadari bahwa tumbuhnya sektor manufaktur di Malaysia yang ditopang oleh perusahaan Jepang memunculkan potensi pasar bagi industri pendukung, khususnya IKM. Di sisi lain, IKM lokal tidak mampu mengoptimalkan potensi tersebut karena terhalang masalah kapabilitas sehingga disusun kebijakan untuk mendorong IKM lokal agar menjadi industri pendukung melalui vendor development programs (VDP) yang dikeluarkan tahun 1988. Program itu bertujuan menghubungkan perusahaan besar yang ditunjuk oleh pemerintah untuk membina IKM secara manajerial dan teknis. Perusahaan anchor yang ditunjuk pemerintah tersebut diharuskan untuk menerima barang dari IKM yang dibina. Contoh
65
perusahaan anchor adalah Proton (perusahaan anchor pertama), Sapura Holding, Sony, General Lumber Furniture, Perbadanan Group, JVC Group, dan Matsuhita. IKM tersebut akan memperoleh bantuan finansial dari pemerintah. Dalam hal ini, IKM akan memperoleh pinjaman bebas bunga selama lima tahun di bawah pengawasan Kementerian Industri dan Perdagangan (MITI). Bantuan keuangan diberikan dalam bentuk soft loan, bukan hibah. Pemerintah, dalam hal ini, berperan sebagai perantara antara bank dan perusahaan anchor. Evaluasi terhadap kebijakan VDP di kalangan IKM menunjukkan pihaknya sangat senang bekerja sama dengan perusahaan anchor. Dengan bekerja sama subkontrak, bisnis IKM secara keseluruhan menjadi lebih stabil. Mereka juga mampu meningkatkan kemampuan manajerial dan teknis dari bekerja sama dengan perusahaan besar. Sementara itu, evaluasi dari sisi perusahaan anchor justru sebaliknya. Mereka merasa bahwa bisnis IKM terlalu bergantung pada perusahaan anchor, baik dari sisi dukungan keahlian manajerial, teknis, hingga penjualan. Perusahaan anchor merasa bahwa belum terjadi peningkatan kemampuan pada IKM sehingga MNC Jepang akhirnya kembali untuk bekerja sama dengan IKM dari Jepang seperti sebelumnya. MNC Jepang juga ingin meningkatkan jumlah aktivitas dengan IKM lokal yang sudah ada sebagai subkontraktor, tetapi pemerintah Malaysia menghendaki MNC Jepang meningkatkan kerja sama dengan lebih banyak IKM lokal. Dalam konteks ini, VDP dapat dinilai kurang berhasil mencapai tujuan yang dikehendaki. Selanjutnya muncul kebijakan baru di bawah kerangka Industrial Linkage Program (ILP). Tujuannya adalah agar industri pendukung di Malaysia dapat lebih efisien dan berdaya saing internasional. Pada dasarnya ILP merupakan perbaikan dari VDP. Program itu berada di bawah naungan SMIDEC (Small and Medium Industries Developing Cooperation). Peran SMIDEC dalam ILP adalah sebagai manajer proyek dan koordinator, sedangkan pemasok teknologinya dapat dilakukan oleh MNC yang bersangkutan atau lembaga riset independen. Perbedaannya dengan VDP adalah bahwa selain IKM yang dioperasikan Bumiputera, IKM yang dimiliki oleh nonBumiputera juga dapat berpartisipasi sebagai subkontraktor level kedua. Selain itu, terdapat berbagai insentif bagi perusahaan anchor.
66
IV. HASIL ESTIMASI DAN ANALISIS
5.1 Hasil Estimasi dan Analisis Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa pangsa FDI intra-ASEAN ke Indonesia terhadap total ASEAN cukup besar (55,2 persen), tetapi berdasarkan ease of doing business yang disusun oleh World Bank, peringkat iklim usaha di Indonesia lebih rendah jika dibandingkan dengan negara ASEAN-5, bahkan di bawah Vietnam. Dengan latar belakang tersebut, dipandang penting untuk mengetahui determinan inward FDI intra-ASEAN Indonesia sehingga diketahui faktor-faktor apa saja yang dapat menarik investasi langsung asing sehingga diharapkan akan membantu dalam merumuskan kebijakan terkait FDI di Indonesia. Analisis lebih lanjut dilakukan dengan menggunakan pendekatan ekonometrika sebagaimana dibahas di bawah ini. Untuk keperluan analisis tersebut, sistematika penulisan dibagi menjadi (i) hasil estimasi inward, (ii) hasil analisis inward, (iii) hasil estimasi dan analisis outward, dan (iv) changing landscape. Berdasarkan pengujian empiris model panel dinamis dengan menggunakan metode GMM, diperoleh hasil sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 13. Hasil uji spesifikasi validitas instrument menunjukkan bahwa model yang digunakan valid. Demikian pula, autokorelasi pada orde kedua dan hasil over-indentifying sargan test menunjukkan bahwa model valid. Pengujian autokorelasi dengan metode ArellanoBond yang hipotesis null-nya adalah tidak terdapat autokorelasi menunjukkan bahwa hipotesis null tidak ditolak. Artinya, tidak terdapat autokorelasi pada orde kedua sehingga dapat dilanjutkan pada interpretasi koefisien.
5.1.1 Hasil Estimasi Inward FDI Hasil estimasi model pada persamaan 11 ditampilkan pada Tabel 13.
Tabel 13. Hasil Estimasi Model Panel Dinamis Inward FDI Indonesia dari ASEAN-5 (Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina) (GMM System) 67
Variabel
Expected Sign
FDI Tahun Sebelumnya (t-1)
+
Koefisien 0,8954*** (532,19)
GDP Indonesia
+
0,2870*** (12,96)
GDP Negara Asal
+
0,1635*** (20,03)
Jarak (Indonesia-Source)
-
-0,0174*** (-13,61)
Produktivitas Relatif
+
0,0750*** (6,82)
Sumber Daya Alam
+
0,0397*** (13,11)
Infrastruktur Listrik
+
-0,1733 (-14,93)
Infrastruktur Jalan
+
0,0005* (1,91)
Perdagangan Bilateral
+
0,0524*** (20,20)
Volume Ekspor Indonesia
+
0,0418*** (9,64)
Konstanta
+
-6,5898 (-14,60)
Sargan Test
44,497
Prob, (Sargan Test)
0,251
Autocorrelation (1)
-2,137
Prob, (Auto 1) Autocorrelation (2) Prob, (Auto 2)
0,033 -1,478 0,140
Keterangan: nilai dalam kurung merupakan nilai z-statistik. *** signifikan pada level 1 persen, ** signifikan pada level 5 persen, * signifikan pada level 10 persen; semua variabel dalam bentuk logaritma natural (ln), kecuali Sumber daya alam dan jalan.
Variabel yang berpengaruh signifikan terhadap inward FDI ke Indonesia pada level 1 persen adalah FDI Indonesia tahun sebelumnya (0,8954), PDB Indonesia (host country) (0,2879), PDB negara asal (home country) (0,1635), produktivitas relatif 68
(0,0750), perdagangan bilateral (0,0524), volume perdagangan (0.0418), sumber daya alam (0,0397), dan jarak (-0,0174). Sementar itu, infrastruktur jalan berpengaruh pada level 10 persen (0,0005). PDB Indonesia, produktivitas relatif, volume perdagangan, dan infrastruktur jalan merupakan pull factor terjadinya FDI di Indonesia. Sementara itu, PDB negara asal dan sumber daya alam merupakan push factor. Infrastruktur listrik merupakan satu-satunya variabel dalam persamaan yang tidak signifikan mempengaruhi inward FDI Indonesia. Pengaruh PDB Indonesia terhadap inward FDI Indonesia adalah sebesar 0,29. Hal itu berarti setiap pertumbuhan PDB Indonesia sebesar 1 persen akan meningkatkan inward FDI ke Indonesia dari ASEAN sebesar 0,29 persen. Sementara itu, pengaruh PDB negara asal terhadap inward FDI Indonesia adalah sebesar 0,16. Hal tersebut berarti setiap pertumbuhan 1 persen PDB di negara asal investor akan mendorong peningkatan inward FDI ke Indonesia sebesar 0,16 persen, sedangkan koefisien jarak antara negara asal FDI dan Indonesia bertanda negatif dan signifikan Hal itu.yang menunjukkan bahwa semakin jauh jarak suatu negara dengan Indonesia semakin rendah minat negara tersebut untuk melakukan investasi di Indonesia jika dibandingkan dengan negara yang lebih dekat. Nilai koefisien variabel produktivitas relatif adalah positif dan signifikan. Hal itu brarti bahwa setiap peningkatan rasio produktivitas Indonesia terhadap negara asal investor sebesar 1 persen akan meningkatkan inward FDI ke Indonesia sebesar 0,075 persen. Demikian pula dengan koefisien sumber daya alam bertanda positif dan signifikan. Hal itu berarti setiap peningkatan 1 persen produksi sumber daya alam di negara tersebut akan meningkatkan inward FDI ke Indonesia sebesar 0,04 persen. Nilai koefisien infrastruktur listrik terhadap inward FDI ke Indonesia berbeda dengan expected sign-nya. Dengan demikian, infrastruktur listrik tidak berpengaruh terhadap inward FDI ke Indonesia. Sementara itu, nilai koefisien infrastruktur jalan adalah positif dan signifikan terhadap inward FDI, tetapi dengan tingkat kepercayaan yang lebih rendah dan dengan nilai koefisien yang cukup rendah. Setiap peningkatan jalan yang dibangun sebesar 1 persen hanya akan meningkatkan inward FDI ke Indonesia sebesar 0,0005 persen. Variabel perdagangan bilateral memiliki tanda positif dan signifikan. Hal itu menunjukkan bahwa setiap peningkatan intensitas perdagangan bilateral antara negara asal FDI (source country) dan Indonesia sebesar 1 persen akan meningkatkan inward FDI ke Indonesia sebesar 0,05 persen. Sementara itu, peningkatan volume
69
ekspor Indonesia ke partner dagang Indonesia akan meningkatkan inward FDI ke Indonesia sebesar 0,042 persen. Selisih antara koefisien variabel potensi pasar (PDB Indonesia) dan variabel basis ekspor (volume ekspor) adalah sebesar 0,24 (t-stat 23,0704). Perbedaan tersebut signifikan pada level 5 persen. Hal itu menunjukkan bahwa pengaruh variabel potensi pasar secara statistik lebih besar jika dibandingkan dengan variabel basis ekspor. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa inward FDI dari ASEAN-5 berorientasi pasar di Indonesia.
5.1.2 Hasil Analisis Determinan Inward FDI Indonesia Sebagaimana disinggung pada subbab sebelumnya bahwa hasil estimasi menunjukkan variabel-variabel yang berpengaruh signifikan terhadap arus FDI dari negara ASEAN-5 ke Indonesia adalah FDI tahun sebelumnya, PDB Indonesia, PDB negara asal, produktivitas relatif, perdagangan bilateral, volume perdagangan, sumber daya alam (resource), jarak, dan infrastruktur jalan. Sementara itu, infrastruktur listrik tidak berpengaruh terhadap inward FDI. PDB Indonesia (host country) berpengaruh paling besar terhadap arus FDI dari negara ASEAN-5. Hal itu mengindikasikan bahwa FDI yang berasal dari negara ASEAN-5 umumnya berjenis horizontal platform dan memiliki motif market seeking. FDI tersebut cenderung mengejar potensi pasar domestik Indonesia yang besar jika dibandingkan dengan menjadikan Indonesia sebagai basis ekspor (export base). Hasil penelitian itu sejalan dengan penelitian Thangavelu dan Narjoko (2014) dan Hoang (2012) untuk FDI di ASEAN. Perkembangan positif ekonomi Indonesia pascakrisis keuangan Asia 1997/1998 ditengarai telah mendorong investor asing cenderung menjadikan Indonesia sebagai market-based daripada export-base untuk FDI-nya. Selama tahun 2004–2014, perekonomian Indonesia tumbuh pesat dengan rata-rata 5,6 persen dan ditunjang oleh populasi yang produktif lebih dari 65 persen (World Development Indicators, 2015). Di samping itu, tumbuhnya populasi middle income class dari 37,7 persen pada tahun 2003 menjadi 56,5 persen pada tahun 2010 turut serta mendorong Indonesia sebagai pasar yang potensial, terutama untuk produk keuangan, asuransi, dan properti sebagai salah satu bidang usaha yang diminati investor ASEAN-5, bahkan diproyeksikan pada tahun 2020, lebih dari 60 juta orang akan masuk dalam middle income class, yaitu ketika mereka akan menerima pendapatan sekitar Rp2.000.000,00 s.d. Rp3.000.000,00 di atas pendapatan yang 70
diterima tahun 2012, yaitu kurang dari 1,5 juta rupiah (Grafik 21). Kondisi itu perlu diwaspadai karena akan semakin menjadikan Indonesia sebagai basis pasar lokal.
>7,5 Juta 5-7,5 Juta 3-5 Juta 2-3 Juta
2012
1-2 Juta
2020
1-1,5 Juta <1 Juta
0
20
40
60
80
Juta orang
Sumber: Adaptasi dari www.bcgperspectives.com
Grafik 21. Proyeksi Pertumbuhan Kelas Menengah pada Tahun 2012–2020
PDB negara asal (home country) berpengaruh terhadap inward FDI intraASEAN Indonesia. Hal itu menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di negara asal (home country) menjadi pendorong bagi masuknya arus FDI ke Indonesia. Dalam ASEAN Investment Report 2012 disebutkan bahwa motivasi yang mendorong perusahaan-perusahaan ASEAN termasuk Indonesia berinvestasi di intra-ASEAN adalah keterbatasan pasar domestik untuk berekspansi. Perusahaan domestik di setiap negara ASEAN berkembang menjadi kampiun di negaranya sehingga secara alamiah perusahaan tersebut akan berekspansi ke luar negeri untuk meraih keunggulan kompetitif (ASEAN, 2012). Dengan demikian, banyak perusahaan di ASEAN menjadi pemain regional ASEAN karena keunggulan kompetitif yang mereka miliki. Hal itu dimungkinkan terjadi ketika mereka telah memperoleh keunggulan kompetitif di negara asalnya. Keunggulan kompetitif yang mereka miliki tersebut pada dasarnya tidak terlepas dari perkembangan perekonomian di negara asal FDI tersebut. Produktivitas berpengaruh terhadap masuknya FDI dari intra-ASEAN ke Indonesia. Hal itu menunjukkan bahwa semakin tinggi produktivitas tenaga kerja Indonesia relatif dibandingkan dengan produktivitas negara asal akan meningkatkan minat investor untuk menempatkan modalnya di Indonesia. Produktivitas yang tinggi akan meningkatkan keuntungan bagi investor asing karena dengan biaya dan jumlah 71
input yang sama, perusahaan asing tersebut akan memproduksi lebih banyak. Penelitian ini sejalan dengan temuan Artige dan Nicolini (2006) di Eropa bahwa produktivitas merupakan determinan inward FDI.
Sumber : ESCAP, 2015
Grafik 22. Perkembangan Produktivitas Beberapa Negara Asia
Perbandingan relatif produktivitas di negara Asia ditunjukkan pada Grafik 22. Berdasarkan data, Singapura memiliki tingkat produktivitas tenaga kerja yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, bahkan lebih tinggi daripada Tiongkok (Grafik 22). Namun, meskipun Tiongkok memiliki tingkat produktivitas tenaga kerja yang lebih rendah dibandingkan dengan Singapura, tren tingkat produktivitas tenaga kerja di Tiongkok mengalami peningkatan yang cukup pesat, tercatat meningkat dari USD3,210.87 pada tahun 1991 menjadi USD5,561.08 pada tahun 2000 dan secara signifikan meningkat menjadi USD19,654.10 pada tahun 2014. Apabila diamati lebih jauh, tingkat produktivitas tertinggi di kawasan ASEAN adalah Singapura diikuti dengan Malaysia dan Thailand. Sementara itu, tingkat produktivitas Indonesia hampir sama dengan Filipina dengan pergerakan yang kurang lebih sama. Meskipun hampir sama dengan Filipina, tingkat produktivitas tenaga kerja Indonesia masih relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat produktivitas tenaga kerja India. Rendahnya produktivitas tenaga kerja Indonesia menuntut perhatian akan perlunya kebijakan untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja Indonesia agar dapat bersaing dengan negara lainnya. Menurut hasil estimasi model inward FDI, keberadaan FDI di Indonesia kemungkinan dimulai dari perdagangan (ekspor dan impor) antarkedua negara secara terus-menerus (perdagangan bilateral) baru selanjutnya investor asing melakukan 72
investasi di Indonesia. Hal itu ditunjukkan oleh variabel perdagangan bilateral yang signifikan dan berpengaruh positif yang mengindikasikan bahwa FDI yang masuk ke Indonesia pada dasarnya bersifat horizontal platform, dalam arti investor asing yang semula melakukan ekspor-impor bergeser operasinya dengan membuka fasilitas produksi di Indonesia. Hal yang melatarbelakangi pergeseran tersebut kemungkinan disebabkan untuk mengurangi biaya perdagangan antarnegara (trade cost) dan/atau meningkatkan efisiensi. Volume perdagangan merupakan salah satu determinan inward FDI ke Indonesia dari ASEAN-5. Volume perdagangan yang berkembang menunjukkan kapasitas negara tersebut untuk mengekspor barang ke pasar dunia. Hal itu menjadi determinan FDI yang ingin menjadikan negara tersebut basis ekspor karena mengharapkan akan ikut berpartisipasi dalam perdagangan internasional pula. Variabel sumber daya alam (pangsa sektor primer terhadap PDB) berpengaruh positif dan signifikan terhadap arus FDI dari ASEAN-5. Hal itu menunjukkan minat investor ASEAN-5 untuk berinvestasi di Indonesia dipengaruhi oleh kondisi sumber daya alam Indonesia (pull factor). Hasil sumber daya alam itu selanjutnya akan diekspor dan diproses lebih lanjut. Sebagai contoh, dalam ASEAN Investment Report 2014 (ASEAN, 2014) disebutkan bahwa dalam supply chain produk perawatan rambut di kawasan ASEAN, Indonesia memiliki peran sebagai pemasok bahan baku mentah dan bahan packaging yang selanjutnya diekspor ke Malaysia untuk diolah menjadi oleo-chemicals yang kemudian diekspor ke Thailand untuk dijadikan barang konsumsi akhir (Gambar 5). Hal yang menarik adalah investor asing yang memasok bahan baku dari Indonesia dalam regional value chain produk tersebut merupakan salah satu perusahaan yang berasal dari ASEAN-5, yaitu Singapura.
73
Sumber: ASEAN Secretariat
Gambar 5. Global Supply Chain ASEAN untuk Produk Perawatan Rambut
Variabel jarak negara asal FDI dengan Indonesia juga berpengaruh terhadap masuknya FDI ke Indonesia. Hal itu sesuai dengan prediksi model gravitasi yang menyebutkan bahwa arus perdagangan dan investasi antara dua daerah akan dipengaruhi oleh jarak. Akan tetapi, pada kasus inward FDI Indonesia nilai koefisiennya cukup kecil. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaruhnya tidak terlalu besar dalam keputusan berinvestasi di suatu negara. Hal itu dilatarbelakangi oleh semakin majunya teknologi informasi dan komunikasi yang menyebabkan jarak yang merepresentasikan biaya untuk mengontrol investasi semakin kecil. Kondisi infrastruktur jalan di Indonesia berpengaruh, tetapi dengan koefisien yang cukup kecil. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Rehman et al. (2011) yang menyatakan bahwa infrastruktur memberikan dampak positif dalam menarik investasi langsung-asing dalam jangka pendek dan panjang di Pakistan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Thorbecke dan Salike (2013) juga mengemukakan bahwa kualitas infrastruktur suatu negara memainkan peran penting dalam kemampuan negara tersebut menarik FDI. Hasil kajian Susanto (2012) mengemukakan bahwa infrastruktur jalan tahun sebelumnya berpengaruh positif terhadap PMA langsung. Temuan itu mendukung hipotesis bahwa ketersediaan infrastruktur jalan di negara-negara ASEAN merupakan faktor penentu bagi masuknya PMA langsung ke wilayah tersebut. Sementara itu, Fitriandi, Kakinaka, dan Kotani (2014) mengemukakan bahwa pengembangan infrastruktur akan meningkatkan investasi asing langsung. Alat ukur yang digunakan 74
dalam penelitian ini meliputi distribusi listrik per area, panjang jalan per area, distribusi air per penduduk, dan kapasitas air per penduduk. Namun, dikemukakan bahwa pemerintah Indonesia telah berusaha untuk membangun infrastruktur, tetapi masih tertinggal jauh jika dibandingkan dengan negara ASEAN-5 lain. Infrastruktur berupa listrik, jalan, dan rel kereta tampaknya masih belum memadai. Global Competitiveness Index 2014–2015 yang disusun oleh World Bank mengonfirmasikan bahwa kondisi infrastruktur Indonesia belum memadai sehingga Indonesia berada pada posisi/peringkat 56 dari 143 negara (Tabel 14). Posisi Indonesia masih berada di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Dalam indepth interview dengan akademisi dan praktisi dikemukakan bahwa pada dasarnya infrastruktur bukan merupakan faktor yang mendorong investor asing untuk melakukan investasi langsung ke Indonesia. Dalam hal infrastruktur belum tersedia, investor asing bersedia untuk membangun prasarana dan sarana untuk kebutuhan pembangunan proyek (investasi langsung asing).
Tabel 14. Global Competitiveness Index 2014–2015 Infrastruktur No.
Negara/Ekonomi
2014
2015
Peringkat
Nilai
Peringkat
Nilai
2
6,41
2
6,54
1
Singapura
2
Malaysia
29
5,19
25
5,46
3
China
48
4,51
46
4,66
4
Thailand
47
4,53
48
4,58
5
Brunei Darussalam
58
4,29
N/A
N/A
6
Indonesia
61
4,17
56
4,37
7
Vietnam
82
3,69
81
3,74
8
India
85
3,65
87
3,58
9
Filipina
96
3,4
91
3,49
10
Laos
84
3,66
94
3,38
11
Cambodia
101
3,26
107
3,05
12
Myanmar
141
2,01
137
2,05
Sumber: Global Competitiveness Index 2014--2015, World Bank
75
5.2 Hasil Analisis Outward FDI Indonesia Selain memberikan dampak pada negara tujuan (host country), FDI juga memiliki pengaruh pada negara asal (home country). Dari sisi negara asal, arus keluar investasi asing (FDI) tersebut dikategorikan sebagai outward FDI. Seperti halnya manfaat yang diterima oleh suatu negara yang menerima inward FDI, FDI yang beroperasi di luar negeri juga akan memperoleh keuntungan dari kegiatan investasinya. Perusahaan yang berinvestasi di luar negeri (outward FDI) akan menciptakan spillover productivity di negara asal (home country). Perusahaan FDI akan mendapatkan keterampilan (skill) yang lebih superior dari pengalaman beroperasi di luar negeri dan akan mentransfer keterampilan (skill) tersebut ke usaha dalam negeri melalui mobilitas tenaga kerja (Tang and Altshuler, 2015). Hal itu disebabkan perusahaan FDI tersebut menginvestasikan modalnya ke luar negeri untuk memperoleh akses teknologi dan kemampuan manajerial yang lebih baik, selain untuk memperoleh potongan pajak, potensi pasar yang besar, dan tenaga kerja yang lebih berkualitas dan ekonomis. Perusahaan di negara asal (home country) juga akan belajar melalui observasi dan imitasi dari pengalaman outward FDI tersebut. Manfaat outward FDI terhadap perekonomian negara asal (home country) dapat dibagi menjadi dua, yaitu manfaat bagi perusahaan itu sendiri dan manfaat terhadap perusahaan lain di negara asal (home country) dan perekonomian negara asal secara umum (Vahter and Masso, 2006). Perusahaan FDI menjadi lebih kompetitif dengan belajar dari tekanan kompetisi internasional, seperti halnya pada learning-byexporting. Suatu anak perusahaan yang menempatkan operasi perusahaannya di suatu negara lain yang knowledge-intensive akan memberikan manfaat pada perusahaan induknya dari sisi adopsi teknologi. Outward FDI juga akan memperbaiki produktivitas dengan memfasilitasi peningkatan spesialisasi dan alokasi sumber daya yang lebih baik. Di samping itu, perusahaan juga dapat mengimpor bahan baku yang lebih murah dari perusahan afiliasinya di negara tempat FDI didirikan (Hsu et al., 2011). Uraian di atas mengimplikasikan bahwa perusahaan yang paling produktif akan berekspansi ke luar negeri melalui outward FDI. Sementara itu, perusahaan yang agak kurang produktif akan berekspansi ke luar melalui perdagangan internasional (ekspor), sedangkan perusahaan yang tidak kompetitif hanya akan beroperasi dan menjual barang di dalam negeri saja. Oleh karena itu, analisis
76
mengenai bagaimana perilaku outward FDI penting untuk dilakukan, terutama untuk Indonesia yang akan menghadapi persaingan dalam KEA 2015.
Tabel 15. Hasil Estimasi Model Panel Dinamis Outward FDI Indonesia (Sistem GMM) Variabel FDI tahun sebelumnya (t-1)
Expected Sign +
Koefisien 0,155 (1,300)
GDP negara tujuan
+
0,991*** (2,630)
GDP Indonesia
+
-1,697 (-2,190)
Jarak (Host–Indonesia)
-
0,077 (1,100)
Produktivitas relatif
+
-0,503 (-5,000)
Sumber daya alam
+
-0,010 (-0,440)
Infrastruktur listrik
+
-0,191 (-0,550)
Perdagangan bilateral
+
0,342* (1,740)
Dummy Singapura
+/-
3,385*** (4,000)
Konstanta
+
14,565 (1,340)
Sargan Test
40,435
Prob. (Sargan Test)
(0,407)
Autocorrelation (1)
-1,376
Prob. (Auto 1) Autocorrelation (2) Prob. (Auto 2)
0,169 -0,785 0,433
Keterangan: nilai dalam kurung merupakan nilai z-statistik. *** signifikan pada level 1 persen, ** signifikan pada level 5 persen, * signifikan pada level 10 persen
77
Tabel 15 menunjukkan hasil estimasi model outward FDI Indonesia ke intraASEAN 5. Variabel yang signifikan berpengaruh terhadap keputusan outward FDI Indonesia adalah GDP negara tujuan, perdagangan bilateral, dan dummy Singapura. GDP Indonesia dan perdagangan bilateral berpengaruh positif terhadap outward FDI Indonesia. GDP negara tujuan memiliki koefisien bertanda positif dan bernilai sebesar 0,99. Hal itu berarti jika GDP negara tujuan tumbuh 1 persen, maka akan meningkatkan outward FDI ke negara tersebut sebesar 0,99 persen. Koefisien perdagangan bilateral bertanda positif dan memiliki nilai 0,34. Hal itu berarti bahwa setiap peningkatan perdagangan bilateral sebesar 1 persen akan meningkatkan outward FDI sebesar 0,34 persen. Pada model outward FDI, penelitian ini memasukkan variabel dummy Singapura. Adapun alasan yang melatarbelakangi penggunaan dummy variable khusus untuk outward FDI (dan tidak digunakan dalam inward FDI Indonesia) adalah Singapura merupakan negara yang menjadi intermediate source bagi FDI dan share outward FDI Indonesia ke Singapura lebih dari 90 persen. Hasil analisis menunjukkan koefisien untuk dummy Singapura bertanda positif dan bernilai 3,39. Hal itu berarti bahwa dengan asumsi variabel lain konstan (ceteris paribus), rata-rata outward FDI Indonesia ke Singapura lebih tinggi 3,39 persen daripada ke negara lain. Besarnya koefisien itu menunjukkan bahwa karakteristik khas yang dimiliki oleh Singapura— jika dibandingkan negara lain—menjadi daya tarik yang cukup kuat bagi investor dari negara lain untuk berinvestasi di Singapura. Karakteristik tersebut mencakup regulasi yang diberikan Singapura, karakteristik negaranya sebagai intermediate source, dan karakteristik lainnya (lihat Boks 1). Faktor pendorong (push factor) yang diharapkan berpengaruh terhadap outward FDI Indonesia tidak terbukti secara statistik signifikan. Hal tersebut dapat diduga karena pasar Indonesia sendiri belum jenuh. Adapun faktor yang mendorong perusahaan untuk ekspansi ke luar negeri lebih disebabkan oleh faktor internal perusahan FDI itu sendiri untuk memperoleh return yang lebih tinggi. Hasil itu konsisten dengan hasil analisis empiris pada determinan inward FDI intra-ASEAN dan juga sejalan dengan hasil temuan Hatari et al. (2010). Selain itu, Ismail et al. (2009) mengemukakan bahwa pengaruh PDB negara asal
(home country)
pembangunan
terhadap
ekonomi
suatu
outward
FDI
negara
(stage
berkaitan of
erat
dengan
development),
tingkat
antara
lain
ketidaksiapan bisnis untuk bersaing di luar negeri, cenderung fokus pada pasar 78
dalam negeri, dan kurangnya kebijakan yang mendorong ekspansi ke luar negeri. Hal tersebut menjadi faktor lain yang tidak mendorong terciptanya outward FDI. Dalam penelitian ini disadari bahwa keterbatasan data menyebabkan hasil estimasi menjadi kurang robust dan beberapa tanda koefisien tidak sesuai dengan yang diharapkan. Meskipun begitu, hasil estimasi dengan menggunakan model pada persamaan 11 dapat menambah kazhanah penelitian terkait outward FDI intraASEAN untuk Indonesia.
5.3 Changing Landscape FDI Sektor Manufaktur Subbab
ini
mengulas
perkembangan
tingkat
teknologi
perusahaan
multinasional pada sektor manufaktur yang masuk ke Indonesia melalui FDI, baik yang intra-ASEAN maupun yang ekstra-ASEAN. Pada subbab ini akan dianalisis pergeseran kontribusi FDI untuk sektor manufaktur berdasarkan tingkat teknologi yang digunakan. Perkembangan tingkat teknologi yang digunakan mengacu pada Changwatchai (2010) yang menggunakan klasifikasi ekonomi FDI dari Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD)10. Klasifikasi tersebut terdiri atas empat tingkat, yaitu low, medium low, medium high, dan high. Klasifikasi tersebut berdasarkan International Standard Industrial Classification of All Economic Activities (ISIC) versi 3. Selanjutnya dilakukan penyelerasan dengan data yang dikeluarkan oleh BKPM yang tidak berbentuk ISIC, tetapi terdapat kesamaan dalam hal jenis subsektor dan terdiri atas tingkat produk. Untuk melihat secara detail periode ketika terjadi pergeseran struktural, digunakan metode multiple structural breaks dari Bai dan Perron (1996). Metode tersebut mendasarkan pada analisis regresi linear dengan menggunakan tren waktu dan melihat apakah terjadi structural break pada beberapa titik waktu. Penentuan structural breaks tidak seperti pada uji Chow, yaitu periode atau titik break ditentukan secara a priori. Dalam metode Bai dan Perron, penentuan periode breaks dilakukan berdasarkan data yang ada.
10
Selain Changwatchai (2010) terdapat pula klasifikasi lain berdasarkan Rahmaddi dan Ichihashi (2013) yang diadaptasi dari klasifikasi Aswicahyono dan Pangestu (2000).
79
Low
Medium Low
Medium High
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
100.0 90.0 80.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0
High
Sumber: Perhitungan penulis berdasarkan data realisasi investasi BKPM (CEIC Database); klasifikasi berdasarkan Changwatchai (2010)
Grafik 23. Pangsa Inward FDI Indonesia Berdasarkan Tingkat Teknologi (1990–2013)
Secara umum terdapat kecenderungan yang berkebalikan dari hipotesis awal. Hasil penelitian menunjukkan inward FDI Indonesia justru meningkat porsinya untuk level low dan medium low technology (Grafik 23). Sementara itu, penurunan paling besar terjadi pada tingkat medium high karena pada tahun 1990 FDI pada tingkat teknologi tersebut mendominasi total FDI di Indonesia. Pada tahun 1990 inward FDI Indonesia untuk medium high sebesar 59,04 persen dan untuk tingkat high sebesar 1,95 persen. Persentase tersebut menurun menjadi 21,71 persen (medium high) dan 0,42 persen (high) pada tahun 2013. Secara total inward FDI dengan tingkat teknologi tinggi turun dari 61 persen (1990) menjadi 22 persen (2013). Apabila diamati lebih lanjut, sesungguhnya inward FDI ke Indonesia pernah mengalami pergeseran tingkat teknologi ke arah yang lebih maju, yaitu pada periode 1990–1997 (Grafik 24 dan Grafik 25). Tampak dalam grafik bahwa pangsa inward FDI Indonesia terhadap total inward FDI untuk medium high dan high level of technology terus meningkat. Namun, setelah tahun 1998 inward FDI jenis ini justru stagnan, bahkan mengalami penurunan drastis sejak tahun 2009. Sebaliknya, yang terjadi adalah inward FDI untuk tingkat teknologi yang low dan medium low justru semakin meningkat.
80
Semakin timpangnya FDI Low dan Med Low dengan Med High dan High
Era Sebelum krisis 1997-1998
100.0
80.0 60.0 40.0 20.0
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
Medium High and High Low and Medium Low
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
0.0
Sumber: Perhitungan penulis berdasarkan data realisasi investasi BKPM (CEIC Database); klasifikasi berdasarkan Changwatchai (2010)
Grafik 24. Pangsa Inward FDI Indonesia Berdasarkan Tingkat Teknologi (1990–2013)
100.0
Era Sebelum krisis 1997-1998
Semakin timpangnya FDI Low dan Med Low dengan Med High dan High
80.0 60.0 40.0 20.0
Medium High and High
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
2004
2003
2002
2001
2000
1999
1998
1997
1996
1995
1994
1993
1992
1991
1990
0.0
Low and Medium Low
Sumber: Perhitungan penulis berdasarkan data realisasi investasi BKPM (CEIC Database); klasifikasi berdasarkan Changwatchai (2010)
Grafik 25. Smoothing Inward FDI Indonesia Berdasarkan Tingkat Teknologi (1990–2013)
Selanjutnya untuk melihat periode ketika terjadi pergeseran struktur FDI, analisis multiple structural breaks diaplikasikan. Data yang digunakan dikelompokan menjadi teknologi tinggi dan rendah. Teknologi tinggi mencakup pangsa FDI pada kelompok medium high dan high, sedangkan teknologi rendah mencakup FDI kelompok low dan medium low. Hasil estimasi sebagaima tampak pada Tabel 16 dan digambarkan dalam Grafik 26. Hasil estimasi tersebut menunjukkan pada periode kapan saja pergeseran struktur inward FDI per kelompok tingkat teknologi signifikan. 81
Hasil analisis menunjukan bahwa periode inward FDI pada kedua kelompok, baik teknologi tinggi dan rendah, terjadi pada empat periode yang berbeda.
Tabel 16. Periode Multiple Structural Breaks FDI Inward Indonesia Berdasarkan Tingkat Teknologi Low dan Medium Low
Medium High dan High
Periode (tahun)
1990–1990
1990–1990
1
1991–1993
1991–1993
3
1994–2009
1994–2009
16
2010–2013
2010–2013
4
Hasil estimasi multiple structural breaks menunjukkan bahwa pergeseran struktur dari teknologi tinggi dan teknologi rendah terjadi pada periode 199–1993. Pada periode 1994–2009 inward FDI kelompok teknologi tinggi cenderung stagnan karena tidak ada perubahan struktur yang berarti. Selanjutnya, setelah tahun 2009 inward FDI kelompok teknologi tinggi justru menurun pangsanya terhadap total inward FDI. Dari hasil pengamatan itu dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi pergeseran FDI ke industri yang berteknologi tinggi, bahkan kecenderungan yang terjadi adalah adanya pergeseran FDI ke arah FDI yang berteknologi rendah seperti sebelum tahun 1990.
90
Low and Medium Low Technology
70
Medium High and High Technology
80
60
70
50
60
40 50 15 15
40
10
30
30 10 20 5 10
5
0 0
-5
-5
-10
-10 -15
-15 90
92
94
96
98
00
Residual
02
04
Actual
06
08
Fitted
10
12
90
92
94
96
98
00
Residual
02
04
Actual
06
08
10
12
Fitted
Grafik 26. Multiple Structural Breaks FDI Sektor Manufaktur Indonesia
82
V. SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan Dari uraian sebelumnya khususnya hasil analisis, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. 1. FDI Indonesia lebih banyak bersumber dari ekstra-ASEAN daripada intraASEAN. Meskipun begitu, share FDI Indonesia dari negara ASEAN trennya terus meningkat. 2. Determinan FDI intra-ASEAN yang ke Indonesia (inward FDI) adalah FDI tahun sebelumnya, PDB Indonesia (host country), PDB negara asal (home country), produktivitas relatif, perdagangan bilateral, volume pedagangan, sumber daya alam, jarak, dan infrastruktur jalan. Untuk determinan outward FDI intraASEAN untuk Indonesia adalah PDB negara tujuan, perdagangan bilateral, dan karakteristik Singapura. 3. FDI intra-ASEAN yang ke Indonesia lebih berorientasi pada pasar lokal daripada sebagai basis ekspor. Hal itu dikhawatirkan akan menekan neraca pembayaran dari sisi transaksi berjalan. 4. Secara sektoral, inward FDI intra-ASEAN cenderung mengarah pada sektor tersier yang diikuti sektor manufaktur. 5. Pada sektor manufaktur berdasarkan tingkat teknologinya, FDI ke Indonesia sudah mulai bergeser ke teknologi tinggi pada era 1990-an, tetapi berbalik arah sejak tahun 2009 ke arah tingkat teknologi rendah. 6. Inward FDI intra-ASEAN untuk Indonesia yang mengejar pasar lokal daripada basis ekspor memerlukan perhatian khusus oleh pemerintah mengingat tujuan KEA menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dikhawatirkan tidak dapat dinikmati oleh Indonesia.
6.2 Saran Untuk mendorong inward FDI yang berorientasi ekspor, dipandang perlu peningkatan peran lembaga/institusi terkait seperti berikut.
83
a. Pemerintah 1. Indonesia diharapkan mampu menarik lebih banyak FDI intra-ASEAN pada saat KEA diimplementasikan, terutama diarahkan untuk investasi yang berorientasi ekspor selain pasar lokal. Apabila hal ini tidak diperhatikan dalam jangka panjang, neraca pembayaran Indonesia akan semakin berat.Untuk itu, pemerintah dapat menerapkan persentase ekspor tertentu dari produksi yang wajib diekspor dan dijual ke pasar dalam negeri. 2. Pemberian insentif kepada industri yang berorientasi ekspor dan menciptakan iklim investasi yang baik sehingga FDI di Indonesia menjadi basis ekspor dan sejalan dengan kecenderungan yang sekarang terjadi agar menjadi bagian dari global supply chain. 3. Peningkatan domestic absorption capacity dengan mendorong kebijakan prioritas nasional yang mengarahkan kegiatan UKM agar terintegrasi dengan PMA dan PMDN yang berorientasi ekspor. 4. Keberlangsungan investasi di sektor pengolah komoditas primer dengan berakhirnya era commodity boom perlu diperhatikan..
b. Bank Indonesia 1. Meningkatkan keterampilan tenaga kerja untuk dapat mengadopsi teknik dalam proses high tech sehingga mampu menarik FDI manufaktur, terutama pada bidang usaha yang memiliki teknologi tinggi untuk memproses lebih lanjut hasil produksi sektor primer. Untuk itu, Bank Indonesia harus dapat melakukan (i) peningkatan pendampingan kepada pelaku-pelaku klaster melalui penguatan KPwDN sehingga dapat meningkatkan keterampilan yang akan meningkatkan produktivitas, (ii) penggunaan teknologi untuk penambahan value-added, dan (iii) pemberian informasi (market access) sehingga dapat berpartisipasi dalam global value chain. 2. Menyempurnakan pencatatan FDI dengan melihat secara detail FDI yang bersumber dari intermediate dan ultimate source country (caveat) untuk melihat bagaimana FDI tersebut sesungguhnya berasal. 3. Mengekstrak data ekspor-impor sehingga dapat menyajikan informasi yang lebih detail mengenai potential buyer (nama perusahaan, negara asal, alamat, sektor
84
ekonomi, contact person, dan lain-lain) untuk kepentingan KPwDN dalam rangka pendampingan.
Further Research (caveat): Dari pembahasan sebelumnya, terdapat beberapa area penelitian yang perlu dieksplor (diteliti) lebih lanjut agar dapat memberikan sumbangan berarti bagi penelitian terkait FDI di Indonesia. Beberapa hal yang perlu menjadi perhatian adalah sebagai berikut. 1. Diperlukan analisis mengenai ultimate dan intermediate source country dalam hal FDI intra-ASEAN karena salah satu negara penerima dan pengirim FDI terbesar di ASEAN, yaitu Singapura, diduga merupakan intermediate source country. 2. Diperlukan studi lebih lanjut mengenai determinan dan perilaku FDI secara khusus per komponen, misalnya reinvested earning, karena komponen itu dapat meningkatkan FDI di Indonesia. 3. Diperlukan analisis pengaruh FDI terhadap ekspor perlu di-breakdown ke unit analisis yang lebih kecil, misalnya subsektor, kelompok atau level perusahaan (firm level). Analisis dapat dilakukan dengan melihat komponen produksi antara yang dijual oleh perusahaan multinasional ke pasar lokal dan ekspor. 4. Diperlukan penyempurnaan secara detail pencatatan outward FDI untuk kebutuhan analisis studi perilaku outward FDI yang lebih baik. 5. Diperlukan studi mengenai pengaruh FDI terhadap export sophistication dan diversification. 6. Diperlukan studi mengenai keterkaitan UKM dengan MNC dalam konteks production network dan supply chain.
DAFTAR PUSTAKA 85
Anderson, J.E. (2010). “The Gravity Model”. NBER Working Paper. ASEAN Secretariat (2013). ASEAN Investment Report 2012. ASEAN Secretariat (2014). ASEAN Investment Report 2013--2014. Aswicahyono, H. and Pangestu, M. (2000). “Indonesia’s Recovery: Exports and Regaining Competitiveness”. The Developing Economies, 38: 454–489. Atkis, F. J. (2002). “Multiple Structural Breaks in the Nominal Interest Rate and Inflation in Canada and the United States”. Department of Economics Discussion Paper 2002–2007. Bai, J., & Perron, P. (1998). “Estimating and Testing Linear Moels with Multiple Structural Changes”. Econometrica, 47--78. Balassa, B. (1961). “The Theory of Economic Integration”. Routledge. Baltagi, B. H. (2005). “Econometric Analysis of Panel Data”. Wiley. Bellak, C., Leibrecht, M., & Riedl, A. (2008). “Labour Costs and FDI Flows into Central and Eastern European Countries: A Survey of the Literature and Empirical Evidence”. Structural Change and Economic Dynamics Vol. 19. Blonigen, B. A. (2005). “A Review of the Empirical Literature on FDI Determinants”. Dalam Atlantic Economic Journal Vol. 33. Bond, S. (2002). “Dynamic Panel Data Models: A Guide to Micro Data Methods and Practice”. CEMMAP Working Paper. Cadarajat dan Yanfitri (2008). “FDI vs Trade: Komplemen atau Subtitusi?”. Working Paper (16/2008). Calderón, C., Loayza, N., & Servén, L. (2004). “Greenfield Foreign Direct Investment and Mergers and Acquisitions: Feedback and Macroeconomic Effects”. World Bank Policy Research Working Paper 3192. Chan, M. L., Hou, K., Li, X., & Mountain, D. C. (2013). “Foreign Direct Investment and Its Determinants: A Regional Panel Causality Analysis”. The Quarterly Review of Economics and Finance. Changwatchai, Piyaphan. (2010). “The Determinants of Fdi Inflows By Industry To Asean (Indonesia, Malaysia, Philippines, Thailand, And Vietnam)”. Dissertation, Department of Economics The University of Utah. Cheng, L., & Kwan, Y. K. (2000). “The Location of Foreign Direct Investment in Chinese Regions Further Analysis of Labor Quality.” The Role of Foreign Direct Investment in East Asian Economic Development, NBER-EASE Volume 9. Cho, C. (2013). “The Causal Relationship between Trade and FDI: Implication for India and East Asian Countries”. KIEP Working Paper 1 3--06. Damuri, Yose Rizal. 2015. “ASEAN’s FDI in Indonesia: A Framework of Thinking”. Denisia, V. (2010, December). “Foreign Direct Investment Theories: An Overview of the Main FDI Theories”. Dalam European Journal of Interdicplinary Studies, 2(2). Dornbusch, R., Fischer, S., & Startz, R. (1998). Macroeconomics. New York: McGrawHill. Dunning, J.H. (1998). “Location and the Multinational Enterprise: A Neglected Factor”. Dalam Journal of International Business Studies, 45--66. 86
Dunning, J. H. (2000). “The Eclectic Paradigm as an Envelope for Economics and Business Theories of MNE Activity”. International Business Review, 163--190. Dunning, J. H. (2001). “The Eclectic (OLI) Paradigm of International Production: Past, Present and Future”. Dalam International Journal of the Economics of Business, 173--190. Fontagné, L. (1999). “Foreign Direct Investment and International Trade: Complements or Substitutes? OECD Science, Technology, and Industry”. Working Papers 1999/03, OECD Publishing. http://dx.doi.org/10.1787/788565713012. Franco, C., Renticchini, F., & Marzetti, G. V. (2010). “Why do firms invest abroad? An analysis of the motives underlying Foreign Direct Investments”. Dalam Icfai University Journal of International Business Law, 42--65. Greene, W. H. (2007). “Econometrics Analysis”. Prentice Hall. Gudjarati, D., & Porter, D. (2009). Basic Econometrics. New York: McGraw-Hill Education. Guesmi, K., Kaabia, O., & Kazi, I. (2013). “Does Shift Contagion Exist Between OECD Stock Markets During the Financial Crisis?” Dalam International Journal of Applied Business Research Vol 29 (3). Haigh, M. (2006). “Ultimate sources and destinations of New Zealand‟s direct investment”. Statistics New Zealand, 85, Wellington, New Zealand. Hoang, H. H. (2012). Foreign Direct Investment in Southeast Asia: Determinants and Spatial Distribution. Depocen Working Paper. Hsu, W.-C., Gao, X., Zhang, J., & Lin, H. M. (2011). “The Effects of Outward FDI on Home Country Productivity”. Dalam Journal of Chinese Economic and Foreign Trade Studies, Vol. 4 Iss 2 , 99–116. Iwamoto, Manabu & Nabeshima, Kaoru. (2012). "Can FDI promote export diversification and sophistication of host countries? : dynamic panel system GMM analysis," IDE Discussion Papers 347, Institute of Developing Economies, Japan External Trade Organization(JETRO). Kahouli, B., & Maktou, S. (2014). “The Determinants of FDI and the Impact of the Economic Crisis on The Implementation of RTAs: A Static and Dynamic Gravity Model.” International Business Review. Kelkar, Mallika, and Statistics New Zealand Skills. (2011) "The Ultimate Sources of Foreign Direct Investment." New Zealand Association of Economists Conference, Wellington. Kurniati, Prasmuko, Yanfitri. (2007). “Determinan FDI (Faktor-faktor Menentukan Investasi Asing Langsung)”.Working Paper (WP/06/2007)
yang
Kusluvan, S. (1998). “A Review of Theories of Multinational Enterprises”. D.E.U.I.I.B.F. Dergisi, 13(1), 163--180. Lecraw, Donald (1977) “Direct Investment by Firms from Less Developed Countries”. Oxford Economic Papers, Lipsey, R. E., & Sjöholm, F. (2011). “Foreign direct investment and growth in East Asia: lessons for Indonesia”. Dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies Vol. 47(1).
87
Lopes, T. d. (2010). “Using History to Help Refine International Business Theory: Ownership Advantages and The Eclectic Paradigm”. The York Management School Working Paper, 1–19. Masron, T. A. (2013). “Promoting Intra-ASEAN FDI: The role of AFTA and AIA”. Economic Modelling Vol. 31 . Miroudot, S., & Ragoussis, A. (2008). “Vertical Trade, Trade Cost, and FDI”. OECD Trade Policy Working Paper No. 89. Mukhtar, A., Ahmad, M., Waheed, M., Kaleen, U., & Inam, H. (2014). “Determinants of Foreign Direct Investment Flow in Developing Countries”. Dalam International Journal of Academic Research in Applied Science Vol. 3 (3). Narula, R. (2010). “Keeping the Eclectic Paradigm Simple: A Brief Commentary and Implications for Ownership Advantages”. Multinational Business Review, 3--23. Nayak, D., & Choudhury, R. N. (2014). “A Selective Review of Foreign Direct Investment Theories”. ARTNet Working Paper Series (143). Okamoto, Y., & Sjoholm, F. (2005). “FDI and the Dynamics of Productivity in Indonesian Manufacturing”. Dalam Journal of Development Studies Vol 41 (1). Onel, G. (2005). “Testing for multiple structural breaks: an application of Bai-Perron test to the nominal interest rates and inflation in Turkey”. D. E. Ü. İİ. B. F. Dergisi, 20 (2), 81–93. Petri, P.A. (2012). “The determinants of bilateral FDI: Is Asia different?” Dalam Journal of Asian Economics, Vol 12 (3). Rahmaddi, R., & Ichihashi, M. (2013). “The role of foreign direct investment in Indonesia's manufacturing exports”. Dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies,49 (3), 329--354. Rehman, A., Ilyas, M., Alam, H. M., & Akram, M. (2011). “The Impact of Infrastructure on Foreign Direct Investment: The Case of Pakistan”. Dalam International Journal of Business and Management, Vol 6, No 5 (2011). Rooadman, D. (2009). “How to do xtabond2: An introduction to difference and system GMM in Stata”. Centre for Global Development Working Paper. Rowley, A. H. (2006). “Foreign Firms Put Their Funds Into The 'New Economy'”. Dalam Wall Street Journal, p. A17. Rowley, A. H. (2006). “New Government Aims to Accelerate Inward Investment”. Dalam Asian Wall Street Journal, p. 8. Rugman, A.M. (2010). “Reconciling Internalization Theory and The Eclectic Paradigm”. Multinational Business Review, 1–12. Stefanovic, S. (2008). “Analytical Framework of FDI Determinants: Implementation of the OLI Model”. Economics and Organization, 5 (3), 239–249. Susanto, J. (2012). “Determinan Penanaman Modal Langsung di ASEAN”. Dalam Jurnal Riset Manajemen & Bisnis Vol 07, Nomor 01, Tahun 2012. Tang, J., & Altshuler, R. (2015). “Spillover Effects of Outward Foreign Direct Investment on Home COuntries: Evidence from the United States”. (January 4, 2015). Available at SSRN: http://ssrn.com/abstract=2545129. Thangavelu, S. M., & Narjoko, D. (2014). “Human Capital, FTAs and Foreign Direct Investment Flows Into ASEAN”. Dalam Journal of Asian Economics, 65–76.
88
Thangavelu, S. M., & Narjoko, D. (2014). “Human Capital, FTAs and Foreign Direct Investment Flows into ASEAN”. Dalam Journal of Asian Economics Vol. 35. The United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (ESCAP). (2014). “Statistical Yearbook for Asia and the Pacific 2014”. Thorbecke, W., & Salike, N. (2013). “Foreign Direct Investment in East Asia”. RIETI Policy Discussion Paper Series 13-P-003 March 2013. Vahter, P., & Masso, J. (2006). “Home Versus Host Country Effects of FDI: Searching for New Evidence of Productivity Spillovers”. William Davidson Institute Working Paper No. 820. Verbeek, M. (2004). A Guide to Modern Econometrics. Wiley. Wadhwa, K., & Reddy, S. (2011). “Foreign Direct Investment into Developing Asian Countries: The Role of Market Seeking, Resource Seeking and Efficiency Seeking Factors”. Dalam International Journal of Business and Management Vol. 6(11). Walsh, J. P., & Yu, J. (2010). “Determinants of Foreign Direct Investment: A Sectoral and Institutional Approach”. IMF Working Paper. Wattanadumrong, B., Collins, A., & Snell, M. C. (2014). “Taking the Thai trail: Attracting FDI via macro-level policy”. Dalam Journal of Policy Modelling Vol. 36. Wawro, G. (2002). “Estimating Dynamic Panel Data Models in Political Science”. Political Analysis. Xaypanya, P., Rangkakulnuwat, P., & Paweenawat, S. W. (2015). “The Determinants of Foreign Direct Investment in ASEAN: The First Differencing Panel Data Analysis”. Dalam International Journal of Social Economics Vol.42. Zarotiadis, G. (2008). “FDI and International Trade Relations: A Theoretical Approach”. International Trade and Finance Asso ciation Working Papers 2008.
89