ANALISIS PENATAAN FASILITAS KESEHATAN KECAMATAN KOTA BOGOR DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
Oleh : Vega Haryanto A14303044
Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor 2007
RINGKASAN
VEGA HARYANTO. Analisis Penataan Fasilitas Kesehatan Kecamatan Kota Bogor Dalam Pembangunan Wilayah. Dibawah bimbingan NINDYANTORO. Kedudukan Kota Bogor yang dekat dengan Ibu Kota Republik Indonesia memberikan dampak yang sangat luas dalam pembangunan wilayah. Perkembangan wilayah Kota Bogor yang pesat menyebabkan pertumbuhan penduduk yang tinggi. Menurut Badan Pusat Statistik Kota Bogor, setiap tahunnya penduduk Kota Bogor mengalami peningkatan, dengan luas wilayah yang tetap maka kepadatan penduduk tidak dapat dihindari. Akibatnya permintaan terhadap sarana dan prasarana kota semakin tinggi diantaranya seperti fasilitas kesehatan. Analisis dalam penelitian ini memakai tiga analisis. Analisis skalogram untuk mengetahui penyebaran dan hirarki fasilitas kesehatan antar kecamatan di Kota Bogor, analisis deskriptif terhadap standar kebutuhan fasilitas kesehatan, Sumber Daya Manusia (SDM), mutu pelayanan dan efisiensi pengelolaan fasilitas Rumah sakit dan puskesmas. Analisis ini digunakan untuk melihat sejauh mana daya layan dari fasilitas kesehatan. Dalam analisis terhadap Rumah Sakit dan Puskesmas digunakan dengan pertimbangan kedua fasilitas tersebut memegang peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan kesehatan di Kota Bogor. Berdasarkan hasil analisis skalogram terhadap fasilitas kesehatan kecamatan Kota Bogor dapat disimpulkan bahwa setiap kecamatan di Kota Bogor tidak ada yang memiliki fasilitas kesehatan yang lengkap. Kecamatan dengan jumlah total jenis unit fasilitas kesehatan terlengkap adalah Kecamatan Bogor Barat dengan 175 unit, sedangkan Kecamatan Tanah Sareal menempati peringkat terakhir dalam hirarki fasilitas kesehatan ini dengan 55 unit. Berdasarkan hasil analisis deskriptif terhadap standar kebutuhan fasilitas kesehatan dalam Revisi RTRW Kota Bogor 2002-2012, kebutuhan fasilitas kesehatan sampai tahun 2012 di Kota Bogor secara umum terus mengalami kenaikan. Kecamatankecamatan yang bisa dikatakan cukup memadai dalam kuantitas fasilitas kesehatannya adalah Bogor Barat, Bogor Utara dan Bogor Tengah. Sementara kecamatan yang belum memadai dalam fasilitas kesehatan adalah Kecamatan Tanah Sareal, Bogor selatan dan Bogor Timur. Dalam analisis deskriptif standar kebutuhan tenaga kesehatan, diketahui bahwa mutu pelayanan fasilitas Rumah Sakit Kota Bogor masih belum optimal. Kebutuhan akan tenaga ahli di 8 Rumah Sakit Kota Bogor belum terpenuhi semua, masih banyak dokter ahli bekerja sebagai dokter tamu atau dokter tidak tetap. Dalam analisis Mutu pelayanan Fasilitas Rumah Sakit Kota Bogor yang melakukan akreditasi hanya 4 Rumah Sakit. Dari standar kebutuhan tenaga kesehatan pada 24 Puskesmas induk yang ada masih diperlukan tenaga tambahan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dasar di puskesmas perkotaan yakni dibutuhkan 2 orang dokter ahli untuk Puskesmas rujukan. Dalam analisis mutu pelayanan Puskesmas, Puskesmas Kota Bogor sudah meningkat dalam hal jumlahnya dan cakupan pelayanannya. Dalam pemanfaatannya pun meningkat setiap tahun, terutama dari masyarakat kurang mampu atau miskin. Dalam analisis efisiensi pengelolaan Rumah Sakit Kota Bogor, menerangkan bahwa Rumah Sakit swasta
yang ada di Kota Bogor secara umum belum berada pada wilayah efisien (BOR, TOI, LOS, BTO). Berdasarkan hasil analisis P-Median terhadap penentuan lokasi optimal RSUD dengan menggunakan tiga bobot yang berbeda dapat disimpulkan bahwa masing-masing bobot menghasilkan output yang berbeda. Berdasarkan bobot jumlah penduduk dan bobot sama pengaruh jarak didapat lokasi optimal adalah Kecamatan Bogor Tengah dan lokasi optimal alternatif dengan asumsi 2 lokasi adalah Kecamatan Tanah Sareal. Berdasarkan bobot luas wilayah pengaruh jarak didapat lokasi optimal adalah Kecamatan Bogor Tengah dan lokasi optimal alternatif dengan asumsi 2 lokasi adalah Kecamatan Bogor Barat. Berdasarkan usulan Sarembang Kecamatan Tanah Sareal 2007 dan kebutuhan akan Puskesmas pembantu (Pustu) maka dianalisis lokasi optimal Pustu di Kecamatan Tanah Sareal. Berdasarkan bobot jumlah penduduk, luas wilayah dan bobot sama pengaruh didapat lokasi optimal ya ng sama yakni Kelurahan Suka Damai dan lokasi optimal alternatif dengan asumsi 2 lokasi adalah Kelurahan Kayu Manis. Keterkaitan antara usulan Sarembang Kecamatan Tanah Sareal tahun 2007 dari usulan masyarakat dan Dinas Kesehatan dengan hasil Sarembang tingkat Kota oleh Pemda dan hasil analisis P-median menunjukkan hasil yang berbeda. Hasil Sarembang tingkat Kota memprioritaskan pembangunan Puskesmas baru untuk Kecamatan Tanah Sareal, sedangkan usulan Sarembang dari usulan masyarakat dan Dinas Kesehatan mengusulkan pembangunan Pustu di Kelurahan Kencana dan Sukaresmi. Hasil analisis P-Median terhadap lokasi optimal Pustu menunjukkan lokasi optimal di Kelurahan Suka Damai dan Kayu Manis.
ANALISIS PENATAAN FASILITAS KESEHATAN KECAMATAN KOTA BOGOR DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : Vega Haryanto A14303044
Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor 2007
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL ”ANALISIS PENATAAN FASILITAS KESEHATAN KECAMATAN KOTA BOGOR DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH” ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU.
Bogor, Mei 2007
Vega Haryanto A14303044
RIWAYAT PENULIS Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 17 Januari 1986 dari pasangan Muslimin Irwanto dan Sriwulan sebagai anak keempat dari empat bersaudara. Penulis mengawali pendidikan dari TK Kemala Bayangkari pada tahun 1990. Pada tahun 1991 penulis melanjutkan pendidikan ke SD Negeri Srogol 1 Bogor hingga lulus tahun1997 dan melanjutkan pendidikan di SLTP Negeri 1 Cijeruk Bogor sampai dengan tahun 2000. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMUN 4 Bogor sampai dengan tahun 2003. Selanjutnya pada tahun 2003 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada Fakultas Pertanian, Departemen Ilmu- ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama masa kuliah penulis aktif diberbagai organisasi kampus seperti Himpunan Profesi MISETA tahun 2003/2004, BEM Fakultas Pertanian tahun 2005/2006 dan juga aktif diberbagai organisasi Pers kampus seperti D’Green Faperta dan Aer On News EPS.
UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan rasa syukur yang sebesar-besarnya kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, hanya dengan rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa penulis ingin mengucapkan terimakasih atas segala dukungan yang telah diberikan selama ini kepada :
1. Keluarga Tercinta : Bapak,Ibu, Kakak serta keponakanku.Terima kasih atas keceriaan dan dorongan moril yang telah diberikan selama ini. Semua itu tak kan terbalas oleh apapun... 2. Ir.Nindyantoro, MSP. Selaku pembimbing skripsi yang telah membimbing dan memberikan masukan serta nasihat bagi penulis dalam penyelesaian skripsi. 3. Sahara, SP, MSi. atas kesediaannya menjadi dosen penguji utama pada sidang skripsi dan telah memberikan saran dan kritik yang membangun bagi penulis dalam penyelesaian skripsi. 4. A.Farobby.Falatehan, SP. ME. atas kesediaannya menjadi dosen penguji akademik pada sidang skripsi dan telah memberikan saran dan kritik yang membangun bagi penulis dalam penyelesaian skripsi. 5. M.Firdaus, SP, MS. Selaku pembimbing akademik selama penulis kuliah. Yang telah memberikan bimbingan dan dorongan semangat yang melecut penulis untuk lebih baik lagi dalam kuliah. 6. Instansi Pemerintah di tingkat Kota Bogor (BPS, Bapeda, DLLAJ, Dinas Kesehatan) atas kesempatan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis sehingga dapat melakukan penelitian tanpa hambatan berarti. 7. Bpk.Naufal Isnaeni, S.Si. atas kerjasama, bimbingan dan pelajaran yang sangat berarti bagi penulis selama penyelesaian skripsi. 8. Dr.Rubaeah, Kepala Bagian Pelayanan Kesehatan dan seluruh staf Dinas Kesehatan Kota Bogor atas pengetahuan kesehatan yang sangat berarti bagi penulis.
9. Sahabatku yang tak pernah lekang dalam ingatan: teman EPS40 dan EPS semua angkatan tanpa terkecuali, teman kos Al-Azhar (Pura, Jaka, Benni, Warno, Fadli,dll), BEMFaperta05/06, Miseta03/04, D’Green& Aer on News, Crew POJOKBNI-IPB, VIKING PERSIB BOGOR. Hiasan kalian telah tertancap dihatiku kawan... 10. Rekan
seperjuangan
:
Vitha
Oktaviani
terima
kasih
atas
kerjasamanya..,Karisma dan Ajeng atas dukungannya. 11. Segala hal yang telah memberi inspirasi dan lecutan semangat dalam hidup kepada penulis sehingga semangat, kreativitas dan kerja keras itu terasa indah dengan kalian... KEPINGAN-KEPINGAN INDAH...HINGGA MENGINGATNYA
KISAH
SAATNYA KEMBALI.
ITU
KUHARAP
NANTI MENGINGAT
AKU
AKAN AKAN
INSTITUSI
BERAKHIR TERSENYUM
YANG
MEMBERIKAN BERMILYAR-MILYAR PENGETAHUAN BAGI KU....
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
TELAH
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Analisis Penataan Fasilitas Kesehatan Kecamatan Kota Bogor Dalam Pembangunan Wilayah” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu- ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadaridalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari sempurna. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Mei 2007
Vega Haryanto
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...................... ............................................................ . ......iv DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... vi
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ....................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah................................................................................ 3 1.3. Tujuan Penelitian.................................................................................... 6 1.4. Manfaat Penelitian ................................................................................. 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rumah Sakit ........................................................................................... 8 2.1.1. Tingkat Efisiensi Pengelolaan Rumah Sakit Umum ....................... 9 2.2. Puskesmas ............................................................................................ 10 2.2.1. Fungsi dan Peran Puskesmas......................................................... 11 2.3. Teori Barang Publik......................... .................................................... 14 2.4. Penelitian Terdahulu ............................................................................ 15 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 . Kerangka Teoritis ................................................................................ 18 3.1.1. Konsep Perkotaan ....................................................................... 18 3.1.2. Definisi Most Accessible ............................................................ 20 3.1.3. Teori Tempat Sentral .................................................................. 21 3.1.4. Teori Hakimi ............................................................................... 23 3.1.5. Teori Lokasi ............................................................................... 23 3.1.6. Perencanaan Pusat Pelayanan ..................................................... 24 3.2. Kerangka Penelitian ............................................................................ 25 IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian................................................................ 30 4.2. Metode Pengumpulan Data .................................................................. 30 4.3. Metode Analisis Data ........................................................................... 30 4.4. Ruang lingkup dan Keterbatasan Penelitian......................................... 35 V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1. Kondisi Fisik Wilayah Kota Bogor ...................................................... 37 5.1.1. Kondisi Topografi ...................................................................... 37 5.1.2. Geologi .................................................................. 38 5.1.3. Hidrologi .................................................................. 38 5.1.4. Penggunaan Lahan .................................................................. 39 5.1.5. Klimatologi .................................................................. 41 5.1.6. Lingkungan Hidup .................................................................. 41 5.2.Keadaan Sosial Ekonomi .................................................................. 42
5.2.1. Kependudukan .................................................................. 42 5.2.2. Pertumbuhan, Mobilitas, Tingkat Fertilitas dan Persebaran Penduduk ............................................................ 42 5.2.3. Distribusi Penduduk Menurut Mata Pencaharian........................ 44 5.2.4. Distribusi Penduduk Miskin........................................................ 44 5.3. Kondisi Perekonomian....... ................................................................. 45 5.4. Pembangunan Kota Bogor .................................................................. 47 5.5. Arah Pengembangan Pembangunan Fisik Kota .................................. 48 VI. RENCANA PENGEMBANGAN DAN PENATAAN RUANG KOTA BOGOR TAHUN 1999-2009 6.1. Rencana Struktur Tata Ruang ............................................................. 49 6.2. Rencana Pengembangan Sistem Perwilayahan................................... 51 6.3. Rencana Penggunaan Lahan................................................................ 52 6.4. Rencana Penyediaan Fasilitas Kesehatan............................................ 52 VII. HASIL DAN PEMBAHASAN 7.1. Hirarki Aktual Fasilitas Kesehatan Kecamatan Kota Bogor Berdasarkan Metode Skalogram ............................................................................... 54 7.2. Analisis Deskriptif Standar Kebutuhan Fasilitas Rumah Sakit dan Puskesmas di Kota Bogor.............................................................. 60 7.2.1. Analisis Deskriptif Standar Kebutuhan Fasilitas Puskesmas Kota Bogor .................................................................................... 60 7.2.2. Analisis Deskriptif Standar Kebutuhan Fasilitas Rumah Sakit Kota Bogor .................................................................................... 61 7.3. Analisis Deskriptif Standar Kebutuhan Fasilitas Kesehatan Kota Bogor Tahun 2000-2012 ................................................................................. 61 7.4. Analisis Deskriptif Mutu Fasilitas Rumah Sakit Kota Bogor .............. 65 7.5. Analisis Deskriptif Mutu Fasilitas Puskesmas Kota Bogor ................. 66 7.6. Analisis Deskriptif Efisiensi Pengelolaan Fasilitas Rumah Sakit Kota Bogor ........................................................................................... 68 7.7. Analisis Penentuan Lokasi Optimal Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Bogor ........................................................................................... 69 7.7.1. Analisis Penentuan Lokasi Optimal RSUD Kota Bogor dengan Analisis P-Median....................................................................... 71 7.7.2. Faktor Jarak ................................................................................. 73 7.7.3. Faktor bobot ................................................................................ 73 7.7.4. Hasil Analisis P-Median.............................................................. 73 7.7.4.1. Dengan Bobot Jumlah Penduduk ......................................... 73 7.7.4.2. Dengan Bobot Luas Wilayah ............................................... 74 7.7.4.3. Dengan Bobot Sama, Pengaruh Jarak .................................. 74 7.7.4.4. Hubungan antara Hasil Analisis P-Median dan Skalogram. 75 7.8. Analisis Penentuan Lokasi Optimal Puskesmas Pembantu Kecamatan Tanah Sareal dengan Analisis P-Median .............................................. 75 7.8.1. Hasil Analisis P-Median.............................................................. 77 7.8.1.1. Berdasarkan Bobot Jumlah Penduduk .................................. 77 7.8.1.2. Berdasarkan Bobot Luas Wilayah........................................ 78 7.8.1.3. Berdasarkan Bobot Sama, Pengaruh Jarak........................... 78
7.8.1.4. Keterkaitan Usulan Sarembang Kecamatan Tanah Sareal Tahun 2007 dari Usulan masyarakat dan Dinas Kesehatan dengan Hasil Sarembang Tingkat Kota Oleh Pemda dan Hasil Analisis P-Median................................................... 79 VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpula n........................................................................................... 80 8.2. Saran ................................................................................................. 82 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR TABEL No. Tabel.1 Tabel.2 Tabel.3 Tabel.4 Tabel.5 Tabel.6 Tabel.7 Tabel.8 Tabel.9 Tabel.10 Tabel.11 Tabel.12
Teks
Halaman
Luas Wilayah, Banyaknya Penduduk dan Kepadatan Penduduk Kota Bogor per Kecamatan Tahun 2005...................... 3 Indeks Kesehatan per Kecamatan di Kota Bogor Tahun 2000-2004 .......................................................................... 4 Perbedaan antara barang swasta dan barang publik .................... 14 Kemiringan Lereng Berdasarkan Luas Lahan Tahun 2005 ....... 38 Persentase Luasan Penggunaan Lahan........................................ 40 Pertumbuhan Penduduk dan Persebaran Penduduk Menurut Kecamatan di Kota Bogor Tahun 2005 ....... 43 Angka Kesuburan Total (TFR) di Kota Bogor Tahun 2000-2005 ........................................................................ 43 Distribusi Penduduk Usia 10 Tahun Keatas Berdasarkan Lapangan Usaha di kota Bogor Tahun 2005 ............................. 44 Distribusi Penduduk Miskin di kota Bogor Tahun 2005 ............ 45 PDRB Kota Bogor Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan (2000) Tahun 2001-2005 ................. 46 Hirarki Fasilitas Kesehatan di Kota Bogor 2005 ........................ 54 Jumlah Puskesmas, Puskesmas pembantu dan Puskesmas keliling Kota Bogor Tahun 2005 .............................................................. 56
Tabel.13 Tabel.14 Tabel.15
Jumlah Rumah Sakit dan tempat tidur Kota Bogor Tahun 2005. 56 Jumlah Fasilitas Kesehatan Dasar di Kota Bogor Tahun 2005... 57 Distribusi fasilitas penunjang kesehatan Kota Bogor Tahun 2005.................................................................................. 58
Tabel.16
Pola Perilaku Pencarian Pengobatan di Kota Bogor Tahun 2005.................................................................................. 59
Tabel.17
Rencana Kebutuhan Fasilitas Kesehatan Kecamatan Bogor Barat 2000-2012 ................................................................................... 61
Tabel.18 Tabel.19
Rencana Kebutuhan Fasilitas Sosial Ekonomi Berdasarkan Jumlah Penduduk Kecamatan Bogor Selatan Tahun 2007 – 2012 .......... 62 Rencana Kebutuhan Fasilitas Umum dan Sosial Kecamatan Bogor Timur Berdasarkan Penduduk Tahun 2007-2012 ....................... 63
Tabel.20
Rencana Kebutuhan Fasilitas Umum dan Sosial Kecamatan Bogor Utara Berdasarkan Penduduk Tahun 2007-2012 ........................ 63
Tabel.21
Rencana Kebutuhan Fasilitas Kesehatan Kecamatan Tanah Sareal Berdasarkan Proyeksi Penduduk Tahun 2007 Dan 2012 ............ 64
Tabel.22
Rencana Kebutuhan Fasilitas kesehatan Kecamatan Bogor Tengah Berdasarkan Proyeksi Penduduk Tahun 2007 Dan 2012 ..................................................................................... 64
Tabel.23
Akreditasi Rumah Sakit di Kota Bogor tahun 2005.................. 66
Tabel.24
Jumlah Puskesmas menurut Kecamatan ......................... ...........66
Tabel.25
Kunjungan Puskesmas di Kota Bogor Tahun 2003-2005 ....... . 67
Tabel.26
Efisiensi Pengelolaan Rumah Sakit di Kota Bogor Tahun 2005................................................................................ 68
Tabel.27
Puskesmas, Pustu dan Kelurahan di Kecamatan Tanah Sareal.......................................................................... ....77
DAFTAR GAMBAR No.
Teks
Halaman
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Analisis Penataan Fasilitas Kesehatan Kecamatan di Kota Bogor Dalam Pembangunan Wilayah .......... 29 Gambar 2. Lokasi Optimal Satu Dimensi (Garis Lurus)................................ 33
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Dalam suatu negara yang sangat luas dan kondisi fisik serta geografi wilayah yang sangat beragam seperti Indonesia, pembangunan wilayah sangat penting dalam pembangunan nasional. Permasalahan pembangunan wilayah yang terjadi selama ini adalah timbulnya ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah, dimana wilayah yang dekat dengan pusat pertumbuhan lebih berkembang dibandingkan wilayah yang jauh dari pusat. Untuk mengurangi ketimpangan tersebut maka pembangunan wilayah menghendaki adanya penataan lokasi agar tercapai efisiensi dan optimalisasi bagi suatu kegiatan ekonomi maupun pelayanan sosial, baik dilihat dari kegiatan itu sendiri maupun dari kaitannya dengan kegiatan-kegiatan ditempat-tempat lain (Purliana, 2003). Pembangunan wilayah didalamnya memerlukan pendekatan multidisiplin, seperti geografi, ekonomi, perencanaan kota, teori lokasi dan disiplin ilmu lainnya. Studi pembangunan wilayah terkait dengan lokasi dan tata ruang. Secara umum studi mengenai lokasi adalah melihat kedekatan atau jauhnya satu kegiatan dengan kegiatan lain dan apa dampaknya atas kegiatan masing-masing karena lokasi yang berdekatan atau berjauhan tersebut. Lokasi berbagai kegiatan, seperti rumah tangga, pertokoan, pabrik, pertanian, pertambangan, sekolah, fasilitas kesehatan dan lainnya tidaklah asal saja atau acak berada di lokasi tersebut, melainkan menunjukkan pola dan susunan (mekanisme) yang dapat diselidiki dan dapat dimengerti. Lokasi berbagai kegiatan akan lebih efektif dan efisien apabila berada pada lokasi yang optimal. Selain untuk memberikan pelayanan yang optimal bagi masyarakat juga untuk membantu dalam hal penataan kota yang baik bagi pemerintah setempat. Pembangunan Indonesia pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sekaligus untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang memadai termasuk didalamnya pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya. Dalam usaha untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan faktor produksi baik itu Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang
2
berkualitas. Menurut Tjondronegoro, dkk (1994) dalam Statistik Kesehatan Indonesia tahun 2004, rendahnya kualitas SDM ditandai dengan tingkat pendidikan dan tingkat kesehatan yang rendah. Sehingga untuk meningkatkan kualitas SDM diperlukan berbagi strategi pembangunan dibidang pendidikan, kesehatan dan bidang lain seperti tenaga kerja, fertilitas, perumahan dan lain-lain. Status kesehatan masyarakat merupakan faktor penting dari seluruh indikator yang ada selain pendidikan dan merupakan faktor penting dari produktifitas ekonomi. Untuk meningkatkan kesehatan masyarakat, pemerintah melakukan berbagai program antara lain melalui pendidikan kesehatan, imunisasi, pemberantasan penyakit menular,
penyediaan
air
bersih
serta
pelayanan
kesehatan.
Pemerintah
memprioritaskan pelayanan kesehatan yang terjangkau oleh masyarakat umum, dengan perhatian khusus kepada masyarakat berpenghasilan rendah, daerah kumuh perkotaan, daerah pedesaan, daerah terpencil dan kelompok masyarakat terasing. Ha l tersebut dikarenakan pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh banyak faktor selain dana, misalnya pendapatan masyarakat, akses ke pelayanan kesehatan, dan faktor lainnya. Tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kualitas SDM serta kualitas kehidupan dan usia harapan hidup manusia, meningkatkan kesejahteraan keluarga dan masyarakat melalui peningkatan mutu dan jangkauan pelayanan kesehatan yang merata. Kedudukan Kota Bogor yang dekat dengan Ibu Kota Republik Indonesia memberikan dampak yang sangat luas dalam pembangunan wilayah bagi Kota Bogor. Kota Bogor pada saat ini berkembang dengan cepat, dengan tumbuhnya daerahdaerah kegiatan ekonomi seperti pusat perbelanjaan dan lainnya. Sebagian besar kegiatan perekonomian dan ketersediaan prasarana dan sarana pelayanan sosial di Kota Bogor terpusat pada suatu wilayah yang dekat ibukota Bogor yakni Kecamatan Bogor Tengah. Dengan adanya otonomi daerah, pembangunan Kota Bogor semakin maju. Pertumbuhan Kota Bogor bisa dilihat dari luasnya yang semakin bertambah, setelah otonomi daerah luas Kota Bogor bertambah menjadi 11.850 Ha dari sebelumnya yang hanya sebesar 2000 Ha. Pertambahan luas yang begitu besar ini menuntut penyebarluasan pembangunan diberbagai wilayah dan tidak lagi
3
terkonsentrasi di pusat kota yaitu di Bogor Tengah, tetapi memberikan sarana pembangunan di wilayah lain sehingga arus bangkitan baik bangkitan sarana maupun transportasi dapat memecah ke segala wilayah (Bapeda Kota Bogor, 2005). Perkembangan wilayah Kota Bogor yang pesat menyebabkan pertumb uhan penduduk yang tinggi. Akibatnya permintaan terhadap sarana dan prasarana kota semakin tinggi, di antaranya ialah fasilitas kesehatan. Sejalan dengan tujuan pembangunan kesehatan yakni percepatan pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang optimal dengan salah satu caranya adalah mendekatkan pelayanan kepada masyarakat melalui upaya- upaya program yang efektif, efisien dan tepat sasaran. Maka penataan fasilitas kesehatan kecamatan di Kota Bogor mutlak diperlukan agar tercapai pelayanan kesehatan yang merata pada setiap masyarakat.
1.2 Perumusan Masalah Menurut Badan Pusat Statistik Kota Bogor, setiap tahunnya penduduk Kota Bogor mengalami peningkatan. Namun demikian penyebaran penduduk di Kota Bogor masih belum merata. Jumlah Penduduk Kota Bogor pada tahun 2005 mencapai 855.085 jiwa yang terdiri dari 431.862 jiwa penduduk laki- laki dan 423.223 jiwa penduduk perempuan, sebagian besar adalah penduduk yang bermukim di Kecamatan Bogor Barat yang memiliki luas wilayah paling besar diantara kecamatan di Kota Bogor. Peningkatan penduduk Kota Bogor dapat dilihat pada Tabel 1:
4
Tabel 1. Luas Wilayah, Banyaknya Penduduk dan Kepadatan Penduduk Kota Bogor per Kecamatan Tahun 2005 Luas Wilayah
Jumlah Penduduk
Kepadatan Penduduk (per Km2 )
1 Bogor Selatan
30,82
166.745
5.412
2 Bogor Timur
10,15
86.978
8.569
3 Bogor Utara
17,72
149.578
8.441
4 Bogor Tengah
8,13
103.176
12.691
5 Bogor Barat
32,85
190.421
5.797
6 Tanah Sareal Kota Bogor
18,84 11,850
158.187 855.085
8.396 7.216
No
Kecamatan
Sumber : BPS Ko ta Bogor, 2005
Dari Tabel 1 dapat dijelaskan bahwa penduduk Kota Bogor pada tahun 2005 telah mencapai 855.085 jiwa. Apabila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2000 Kota Bogor berpenduduk sebesar 760.329 jiwa sedangkan tahun 2004 meningkat menjadi 831.571 jiwa dengan luas wilayah yang tetap, maka kepadatan penduduk tidak dapat dihindari. Peningkatan penduduk akan mempengaruhi pembangunan fasilitas sosial seperti fasilitas kesehatan. Indeks kesehatan adalah salah satu indikator dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang diperhitungkan dari Indikator Harapan Hidup saat lahir. Angka Kematian Bayi adalah Indikator Utama yang mempengaruhi Angka Harapan Hidup. Indeks Kesehatan menunjukkan jarak yang telah ditempuh untuk mencapai maksimum Angka Harapan Hidup sebesar 85 tahun. Sejak tahun 2000 hingga 2004 indeks kesehatan terus meningkat dan sudah menunjukkan angka diatas 70.
5
Tabel 2. Indeks Kesehatan per Kecamatan di Kota Bogor Tahun 2000-2004 Kecamatan Bogor Selatan Bogor Timur Bogor Utara Bogor Tengah Bogor Barat Tanah Sareal Kota Bogor
2000 66,57 71,94 70,32 67,05 72,54 68,33 71,37
2001 66,77 72,16 70,54 67,26 72,76 68,54 71,58
2002 66,85 72,24 70,62 67,34 72,84 68,62 71,67
2003 71,96 77,60 75,90 72,47 78,23 73,81 77,00
2004 72,69 78,37 76,66 73,21 79,00 74,56 77,77
Sumber : BPS Kota Bogor, 2004
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa untuk Kecamatan Bogor Barat dari tahun 2000-2004 selalu menduduki peringkat pertama dan untuk Kecamatan Bogor Selatan selalu menduduki peringkat terakhir. Hal ini dapat dikatakan bahwa masyarakat Kecamatan Bogor Barat lebih memperhatikan kesehatan dibandingkan dengan masyarakat di Kecamatan Bogor Selatan. Kecamatan Bogor Selatan yang merupakan kecamatan dengan kepadatan penduduk terendah di Kota Bogor, memiliki Indeks Kesehatan paling rendah. Hal ini diantaranya disebabkan jauhnya jangkauan dan ketersediaan fasilitas kesehatan di wilayah tersebut. Namun secara umum dari tahun 2000-2004 di setiap kecamatan di Kota Bogor Indeks Kesehatannya menunjukan peningkatan. Indeks Kesehatan Kota Bogor diatas menunjukan bahwa status kesehatan masyarakat di tiap kecamatan Kota Bogor tidak merata. Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor seperti ketersedian sarana dan prasarana kesehatan yang memadai, biaya kesehatan dan akses terhadap fasilitas kesehatan di tiap wilayah. Saat ini pemerintah Kota Bogor memiliki beberapa permasalahan terutama yang berkaitan dengan penataan ruang fasilitas sosial seperti pusat perbelanjaan dan fasilitas kesehatan, yang tidak sama antar wilayah kecamatan dan laju pertumbuhan penduduk. Permasalahan mengenai fasilitas kesehatan yang kurang merata di Kota Bogor berlangsung sampai saat ini. Euforia otonomi daerah, menyebabkan pertumbuhan Kota Bogor makin menuju ke arah positif. Perkembangan yang terjadi di Kota Bogor di sektor Ekonomi ternyata belum berpengaruh secara signifikan pada pemerataan fasilitas kesehatan kecamatan. Oleh karena itu diharapkan adanya suatu
6
perencanaan yang komprehensif untuk penataan fasilitas kesehatan agar tercapai tujuan pembangunan kesehatan bagi Kota Bogor yang merata. Berdasarkan uraian permasalahan diatas maka penelitian ini akan menjawab beberapa permasalahan yaitu: 1. Bagaimana penyebaran fasilitas kesehatan di setiap kecamatan Kota Bogor? 2. Bagaimana standar kebutuhan, mutu pelayanan dan efisiensi pengelolaan fasilitas kesehatan kecamatan khususnya Rumah Sakit dan Puskesmas Kota Bogor? 3. Apakah lokasi rencana pembangunan RSUD Kota Bogor sudah optimal? Apabila belum, bagaimana lokasi optimal untuk RSUD Kota Bogor? 4. Bagaimana lokasi optimal dalam prioritas pengadaan Puskesmas Pembantu di kecamatan yang mempunyai skoring terendah dalam hirarki fasilitas kesehatan?
1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengkaji penyebaran fasilitas kesehatan kecamatan Kota Bogor. Sehingga akan terlihat wilayah mana yang masih kurang lengkap ataupun yang sudah lengkap fasilitas kesehatannya. (2) Mengkaji standar kebutuhan, mutu pelayanan dan efisiensi pengelolaan sarana dan prasarana kesehatan kecamatan Kota Bogor. Sehingga akan terlihat fasilitas kesehatan mana yang masih kurang ataupun yang sudah optimal dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. (3) Menganalisis lokasi optimal RSUD Kota Bogor agar mencapai pilihan lokasi dan pelayanan yang optimal, sehingga dengan terpilihnya lokasi penataan yang optimal maka dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan oleh pembuat kebijakan dalam hal ini Pemerintah Kota Bogor dalam pengalokasian ruang bagi fasilitas kesehatan. (4) Menganalisis lokasi optimal dalam prioritas pengadaan Puskesmas Pembantu di kecamatan yang mempunyai skoring terendah dalam hirarki fasilitas kesehatan.
7
I.4 Manfaat Penelitian Selain sebagai sarana pembelajaran mengenai pembangunan wilayah, penulis juga mengharapkan penelitian ini dapat membawa manfaat- manfaat sebagai berikut : 1. Bagi pihak Pemerintah Daerah Kota Bogor Sebagai masukan dalam menyusun rencana pembangunan di wilayahnya dan selain itu dapat berguna untuk menganalisis dan pandangan yang lain tentang wilayahnya. 2. Bagi dunia ilmu ekonomi pertanian dan sumberdaya Memberikan masukan tentang analisis pembangunan wilayah di tempat penelitian, sehingga dapat dijadikan tambahan ilmu dalam pembangunan regional (kedaerahan) dan sebagai referensi bagi para peneliti selanjutnya. 3. Bagi penulis Memberikan gambaran secara langsung bagaimana teori yang diterima selama di kuliah dapat diterapkan dalam dunia praktek dan untuk memperluas wawasan penulis tentang konsep pembangunan wilayah. .
II. KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Kerangka Teoritis 2.1.1 Konsep perkotaan Menurut Tarigan (2002), dalam perencanaan wilayah, sangat perlu untuk menetapkan suatu tempat permukiman atau tempat berbagai kegiatan itu sebagai kota atau bukan. Hal ini karena kota memiliki fungsi yang berbeda sehingga kebutuhan fasilitasnya pun berbeda dibanding dengan daerah pedesaan. Dalam menetapkan apakah suatu konsentrasi permukiman sudah dapat dikategorikan sebagai kota atau belum, perlu ada kriteria yang jelas untuk membedakannya. Biro Pusat Statistik (BPS), dalam pelaksanaan survei status desa/kelurahan tahun 2000, menggunakan kriteria untuk menetapkan apakah suatu desa dikategorikan sebagai desa atau kota. Kriteria yang digunakan adalah : 1. kepadatan penduduk per km2 , 2. persentase rumah tangga yang mata pencaharian utamanya pertanian atau non pertanian, 3. persentase rumah tangga yang memiliki telepon, 4. persentase rumah tangga yang menjadi pelanggan listrik, 5. fasilitas umum yang ada di desa/kelurahan, seperti: fasilitas pendidikan, pasar, tempat hiburan, kompleks pertokoan, dan fasilitas lain seperti hotel, bilyar, diskotik, karaoke, panti pijat, dan salon. Masing- masing fasilitas diberi skor (nilai). Atas dasar skor yang dimiliki desa/kelurahan tersebut maka ditetapkan desa/kelurahan tersebut masuk dalam salah satu kategori berikut: perkotaan besar, perkotaan sedang, perkotaan kecil, dan pedesaan. Pada dasarnya untuk melihat apakah konsentrasi itu sebagai kota atau tidak, adalah dari seberapa banyak jenis fasilitas perkotaan yang tersedia dan seberapa jauh kota itu menjalankan fungsi perkotaan. Fasilitas perkotaan/fungsi perkotaan antara lain adalah sebagai berikut. 1. Pusat perdagangan, yang tingkatannya dapat dibedakan atas melayani masyarakat kota itu sendiri, melayani masyarakat kota dan daerah pinggiran
9
(daerah perbatasan), melayani beberapa kota kecil (pusat kabupaten), melayani pusat provinsi atau pusat kegiatan perdagangan antar pulau/ekspor di provinsi tersebut dan pusat beberapa provinsi sekaligus. 2. Pusat pelayanan jasa baik jasa perorangan maupun jasa perusahan. Jasa perorangan, misalnya tukang pangkas, salon, tukang jahit, dokter, notaris atau warung kopi/nasi. Jasa perusahaan, misalnya perbankan, perhotelan, asuransi. 3. Tersedianya prasarana perkotaan, seperti sistem jalan kota yang baik, jaringan listrik, jaringan telepon, jaringan air minum, pelayanan sampah, sistem drainase, taman kota, atau pasar. 4. Pusat penyediaan fasilitas sosial atau seperti prasarana pendidikan (universitas, akademi, SMU, SLTP, SD), termasuk berbagai kursus keterampilan, prasarana kesehatan dengan berbagai tingkatannya, termasuk apotik, prasarana sosial seperti gedung pertemuan, dan lain- lain. 5. Pusat pemerintahan, banyak kota yang sekaligus merupakan lokasi pusat pemerintahan. 6. Pusat komunikasi dan pangkalan transportasi, artinya kota tersebut masyarakat bisa berhubungan ke banyak tujuan dengan berbagai pilihan alat penghubungan. 7. Lokasi permukiman yang tertata, suatu lokasi dikatakan kota karena jumlah penduduknya banyak Hal ini berarti kota sekaligus merupakan lokasi permukiman, dan semestinya di kota, permukiman itu tertata karena harus meminta IMB apabila ingin membangun. Makin banyak fungsi dan fasilitas perkotaan, makin meyakinkan bahwa lokasi konsentrasi adalah sebuah kota. Penentuan orde perkotaan dapat didasarkan atas gabungan beberapa variabel. Variabel yang umum dianggap berpengaruh dalam menetapkan orde perkotaan adalah sebagai berikut. 1. Jumlah penduduk perkotaan 2. Banyaknya fasilitas yang dimiliki seperti luas pasar, luas kompleks pertokoan, jumlah fasilitas pendidikan, jumlah fasilitas kesehatan, beragam jasa yang dimiliki (seperti jasa bank, jasa asuransi, jasa perbengkelan) dan lainnya.
10
3. Tingkat aksesibilitas dari kota tersebut terhadap kota terdekat yang memiliki orde lebih tinggi di wilayah itu (misalnya ibukota kabupaten/provinsi).
2.1.2 Definisi Most Accesible Lokasi untuk pelayanan umum biasanya ditentukan oleh biaya yang dapat dijangkau masyarakat, sehingga memiliki banyak pilihan untuk menentukan berada dalam posisi most accesible. Sedangkan masyarakat pada faktanya tersebar tidak merata sama untuk mencukupi kebutuhan hidupnya mereka cenderung akan memilih lokasi pelayanan yang berada pada posisi most accesible. Menurut Rushton, (1979) berusaha memberi batasan pada most accesible untuk seseorang jika fasilitas- fasilitas ya ng didapat : 1. Jarak total dari tempat seseorang ke pusat pelayanan minimum ini disebut jarak agregat minimum, ini juga sama dengan jarak rata-rata minimum, jadi yang menjadi kriteria adalah jarak rata-rata. 2. Jarak terjauh dari tempat seseorang ke pusat pelayanan adalah minimum, ini disebut jarak minimax. 3. Jumlah masyarakat pada daerah terdekat yang mengelilingi pusat pelayanan selalu sama dengan jumlah yang telah ditetapkan, hal ini disebut batas keseimbangan. 4. Jumlah masyarakat pada daerah terdekat yang mengelilingi pusat pelayanan selalu lebih besar dari jumlah yang telah ditetapkan, ini disebut batas ambang. 5. Jumlah masyarakat yang terdapat mengelilingi pusat pelayanan tidak pernah lebih besar dari jumlah yang telah ditentukan. Ini disebut batas kapasitas (daya tampung). Most accesible adalah mudah atau tidaknya seseorang mencapai lokasi pusat pelayanan terdekat. Ada berbagai unsur yang mempengaruhi tingkat akses tersebut. Misal: kondisi jalan, jenis alat angkutan yang tersedia, frekuensi keberangkatan, jarak, dan lain- lain (Alifah , 2005).
11
2.1.3
Teori Tempat Sentral Menurut Glasson (1974) dalam Sitohang (1977), dari semua model mengenai
struktur spasial, teori tempat sentral (central place theory) adalah yang paling banyak diteliti dan paling terkenal. Teori ini bermaksud untuk menghubungkan tempat sentral dengan daerah belakangnya dan mendefinisikan tempat sentral sebagai suatu pemukiman yang menyediakan jasa-jasa bagi penduduk daerah-belakangnya. Namun teori ini hanyalah
berkenaan dengan intensitas dan lokasi dari industri jasa dan
dengan demikian hanya dapat memberi penjelasan parsial tentang struktur regional. Teori tempat sentral (central place theory) diperkenalkan oleh Walter Christaller dan karya perintisnya tentang The Central Places of Southern Germany pada tahun 1933. Menurut Christaller (1933) suatu hirarkhi dari kegiatan-kegiatan jasa, berlingkup mulai dari pelayanan pada “tingkat rendah” yang terdapat pada setiap pusat -- kota atau kampung – sampai pelayanan pada “tingkat tinggi” yang hanya terdapat di pusat-pusat yang besar. Masing- masing kegiatan jasa mempunyai penduduk ambang dan lingkup pasar. Penduduk ambang
(threshold population ) adalah jumlah minimum
penduduk yang harus ada untuk dapat menopang kegiatan jasa. Jumlah minimum ini dapat bermaca m-macam, umpamanya jumlah 250 orang untuk menopang suatu warung kecil, atau 150.000 orang untuk menopang suatu pertunjukan. Jika jumlah penduduk lebih kecil daripada tingkat ambang, maka kegiatan tersebut akan mengalami kerugian dan terancam gulung tikar. Jika jumlah penduduk bertambah di atas minimum perusahaan jasa dapat memperoleh laba yang lebih besar. Lingkup pasar (market range) dari suatu kegiatan jasa adalah jarak yang ditempuh oleh penduduk untuk mencapai tempat penjualan jasa tersebut, dengan catatan bahwa penempuhan jarak itu adalah berdasarkan kesediaan orang yang bersangkutan. Lingkup ini adalah batas terluar dari daerah pasar bagi suatu kegiatan jasa, diluar batas mana orang akan mencari pusat lain. Lingkup pasar dapat merupakan
suatu
fungsi
sederhana
dari
jarak
linear
kemungkinannya dipengaruhi oleh faktor waktu dan biaya.
tetapi
lebih
besar
12
Menurut Christaller (1933) konsep dasar atau unsur-unsur pokok tempat sentral adalah sebagai berikut : 1. Wilayah yang dilayani oleh tempat sentral merupakan wilayah komplementer bagi tempat sentral. 2. Tempat sentral yang mempunyai kegiatan sentral, yaitu yang melayani wilayah yang terluas disebut tempat sentral orde tertinggi sedangkan tempat sentral yang melayani wilayah yang lebih kecil tempat sentral orde rendah. 3. Batas pelayanan dari tiap kegiatan sentral digambarkan sebagai batas jangkauan dari tiap komoditi. 4. Permintaan dan konsumsi terhadap sentral tersebut tergantung secara timbal balik pada distribusi dan variasi kondisi sosial-ekonomi penduduk serta konsentrasi penduduk di tiap tempat sentral. 5. Permintaan terhadap kegiatan sentral tergantung pada jarak dan usaha konsumen untuk memperoleh komoditi tersebut. Diasumsikan bahwa permintaan terhadap komoditi tersebut akan semakin berkurang hingga titik nol, yaitu berdasarkan pertambahan jarak dari tempat. Berdasarkan prinsip -prinsip Christaller (1933) hirarki tempat sentral adalah sebagai berikut : a. Prinsip pemasaran atau penawaran, yaitu berdasarkan prinsip bahwa setiap tempat sentral hanya dapat melayani secara maksimum sepertiga dari enam sub tempat sentral (titik-titik heksagonal) ditambah dengan tempat sentral itu sendiri. Jumlah tempat sentral yang dominan adalah tiga, dan Christaller menyatakan bahwa nilai k=3, yaitu jumlah pemukiman dengan orde tertentu dila yani oleh suatu tempat sentral yang ordenya lebih tinggi. Penerapan ini mewujudkan pola tata ruang yang memaksimumkan distribusi barang dan jasa dengan jumlah tempat sentral yang sedikit. b. Prinsip transportasi, yaitu berdasarkan prinsip jarak minimum diantara tempat sentral utama dan sub tempat sentral yang dilayani dan terletak pada jalur-jalur lalu lintas diantara tempat sentral utama. Sub tempat sentral pada jalur ini berfungsi ganda, melayani tempat sentral utama dan sub tempat sentral utama
13
dengan nilai k=4. Dalam penerapan prinsip ini, mobilitas barang adalah maksimum dengan ongkos minimum. Untuk mencapai keadaan ini, sejauh mungkin tempat sentral berlokasi pada jalur-jalur lurus. c. Prinsip administrasi, yaitu berdasarkan prinsip kontrol atau pengelolaan dan pemerintah dalam pengertian bahwa fungsi tiap tempat sentral mengontrol keenam sub tempat sentral yang mengelilinginya dengan nilai k=7.
2.1.4
Teori Hakimi Menurut Hakimi (1964) dalam Rushton (1979) mengeluarkan suatu teori yang
menunjukkan bagaimana menemukan satu titik optimum dalam suatu jaringanjaringan. Dengan adanya jarak yang tetap diantara simpul-simpul yang ada dalam jaringan, maka akan dapat ditemukan satu simpul diantara semua simpul yang ada, yang mempunyai jarak terpendek dan mempunyai kriteria bobot yang ditetapkan. Simpul atau titik yang dimaksudkan disebut sebagai titik tengah dari jaringan. Ini merupakan teori yang penting, karena itu dianjurkan untuk menggunakan teori ini dalam
menyelesaikan
permasalahan-permasalahan
penaksiran
simpul- simpul
alternatif pada jalur network. Secara ringkas teori hakimi berbunyi: ”ada satu simpul dalam jaringan yang meminimumkan jumlah jarak terpendek yang berbobot dari semua simpul terhadap satu simpul tertentu dimana simpul tersebut juga merupakan bagian dari jarak tersebut”.
2.1.5
Teori Lokasi Budiharsono (2001) menyatakan pemahaman tentang bagaimana keputusan
mengenai lokasi mutlak diperlukan jika ingin membahas kegiatan pada ruang dan menganalisis bagaimana suatu wilayah tumbuh dan berkembang. Keputusan mengenai lokasi yang diambil oleh unit- unit pengambil keputusan akan menentukan struktur tata ruang wilayah yang terbentuk. Unit-unit pengambil keputusan dalam penentuan lokasi dapat dibagi menjadi tiga dan setiap unit-unit pengambil keputusan mempunyai kepentingan tersendiri bersumber dari aktivitas ekonomi yang dilakukan, yaitu :
14
1. Rumah tangga Aktivitas ekonomi rumah tangga yang paling pokok adalah : a. Penjualan jasa tenaga kerja b. Konsumsi Setiap rumah tangga dihadapkan pada masalah pengambilan keputusan mengenai lokasi permukiman, lokasi penjualan jasa (kerja) dan lokasi konsumsi, karena diasumsikan bahwa setiap rumah tangga akan memaksimalkan kegunaan (utility) barang dan jasa. 2. Perusahaan Kegiatan ekonomi dari suatu perusahaan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu : a. Pengumpulan input b. Proses produksi c. Proses pemasaran Pengambilan keputusan tentang lokasi oleh suatu perusahaan adalah suatu usaha untuk memaksimalkan keuntungan yang diperolehnya. 3. Pemerintah Peran pemerintah adalah melindungi kepentingan masyarakat. Selain itu, pemerintah secara langsung bertindak sebagai locator dari berbagai sarana dan fasilitas pelayanan umum. Penentuan lokasi oleh pemerintah biasanya berdasarkan kepada usaha bagaimana untuk memaksimalkan pelayanan kepada masyarakat. Pengambilan kep utusan mengenai lokasi bersifat jangka panjang. Sehingga membutuhkan biaya yang besar jika terjadi pemindahan lokasi. Menurut Hanafiah (1989) dalam Budiharsono (2001) faktor-faktor lokasi yang menentukan pemilihan suatu lokasi untuk suatu kegiatan dapat dikelompokkan menjadi : 1. Input Lokal Input lokal adalah semua barang dan jasa yang ada pada suatu lokasi dan sangat sukar atau tidak mungkin dipindahkan ke tempat lain. Contoh input lokal adalah : lahan, iklim, kualitas udara, kualitas air, keadaan lingkunga n, pelayanan umum yang ada pada suatu lokasi dan sebagainya. Salah satu sifatnya adalah ketersediaannya
15
suatu lokasi tergantung dari keadaan lokasi itu sendiri dan ketersediaa nnya tidak dipengaruhi oleh transfer input dari lokasi lain. 2. Permintaan lokal Permintaan lokal atau output yang tidak dapat ditransfer (nontransferable output) adalah permintaan akan output secara lokal yang tidak dapat di transfer pada suatu lokasi. Contohnya adalah permintaan tenaga kerja oleh pabrik lokal, permintaan akan pelayanan lokal seperti masjid, bioskop, tukang cukur dan sebagainya. 3. Input yang dapat ditransfer Input yang dapat ditransfer adalah persediaan input yang dapat ditransfer dari sumber-sumber di luar suatu lokasi, yang sampai batas tertentu merupakan pencerminan biaya transfer atau biaya transportasi dari sumber-sumber input ke lokasi tersebut. 4. Permintaan dari luar Permintaan dari luar atau output yang dapat ditransfer adalah permintaan bersih yang diperoleh dari penjualan output yang dapat ditransfer ke pasar di luar lokasi, yang merupakan pencerminan dari biaya transfer atau biaya transportasi dari lokasi tersebut ke pasar-pasar.
2.1.6
Perencanaan Pusat Pelayanan Tujuan identifikasi pusat pelayanan adalah untuk : (1) mengidentifikasi pusat-
pusat pelayanan dan daerah pelayanan pada tingkat yang berbeda. (2) penentuan dari fasilitas infrastruktur pokok untuk memuaskan kebutuhan beragam sektor dari penduduk. (3) pengintegrasian atau pengelompokan pelayanan pada tingkat yang berbeda dan penentuan dari keterkaitan atau jaringan jalan untuk mengembangkan aksesibilitas dan efisiensi. Konsep pusat pelayanan mempunyai beberapa asumsi, yaitu : (1) penduduk didistribusikan pada beragam ukuran pemukiman. (2) mereka mempunyai kebutuhan biofisik sama baiknya dengan kebutuhan sosial ekonomi. (3) mereka menggunakan sumber daya alam dan manusia seperti barang-barang dan jasa untuk kebutuhan mereka. (4) mereka membentuk pemukiman dalam bentuk rumah, dusun kecil, desa
16
dan kota serta meneruskan untuk tinggal bersama selama sumberdaya mncukup i atau keinginan yang terbatas. (5) mereka menggunakan sumberdaya untuk kebutuhan dasar yang dibatasi atau keinginan yang terbatas. (6) mereka berpindah ke tempat lain (migrasi) untuk mencari barang-barang dan jasa yang tidak mereka dapat di permukiman mereka. Pusat dan daerah belakang (hinterland) dalam suatu wilayah nodal mempunyai fungsi yang spesifik sehingga keduanya tergantung secara internal. Fungsi dari pusat antara lain adalah: (1) pusat permukiman, (2) pusat pelayanan, (3) pusat industri, (4) pusat perdagangan bahan mentah. Sedangkan fungsi daerah belakang: (1) penyedia bahan mentah dan sumberdaya pasar, (2) daerah pemasaran barang-barang
industri,
(3)
pusat
kegiatan
pertanian.
Faktor- faktor
yang
menyebabkan timbulnya pusat-pusat wilayah adalah: (1) faktor lokasi ekonomi dan letak strategis, (2) faktor ketersediaan sumber daya, (3) kekuatan aglomerasi, (4) faktor investasi pemerintah. Pada dasarnya pusat wilayah mempunyai hierarki yang ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu: (1) jumlah penduduk yang bermukim pada pusat tersebut, (2) jumlah fasilitas pelayanan umum yang tersedia, dan (3) jumlah jenis fasilitas pelayanan umum yang tersedia.
2.2 Penelitian Terdahulu Secara umum, penelitian tentang analisis lokasi optimal terhadap suatu wilayah telah dilakukan oleh beberapa peneliti. Kurniawan (2006) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Lokasi Optimal Pusat Pemerintahan dalam Rangka Pengembangan Wilayah dan Efisiensi Pelayanan di Kabupaten Lampung barat, Provinsi Lampung mencoba menganalisis penentuan lokasi optimal dari pusat pemerintahan dalam rangka pengembangan wilayah dan efisiensi pelayanan. Menggunakan
perhitungan
dengan
P- median,
hasil
perhitungan
program
menunjukkan bahwa berdasarkan bobot jumlah penduduk dan bobot sama pengaruh jarak, waktu dan biaya serta bobot luas permukiman, pengaruh waktu dan biaya, program ternyata merekomendasikan hasil yang sama sebagai lokasi optimal pusat
17
pemerintahan yaitu kecamatan Balik bukit (kota Liwa). Hasil ini sesuai dengan kepentingan Pemda yang menentapkan kota tersebut sebagai pusat pemerintahan. Faisal Ashar (2002, Teknik Planologi-ITB) 1 dalam penelitiannya yang berjudul Studi penentuan lokasi optimal terminal penumpang di kota Padang menganalisis lokasi yang optimal bagi terminal angkutan umum penumpang di Kota Padang. Dengan menggunakan metoda P-Median yang merupakan jenis Model Optimasi Lokasi yang dikembangkan dari dalil Hakimi yang memakai algoritma Teitz dan Bart, maka dibuat program lokasi yang mampu untuk menentukan lokasi terminal angkutan umum yang optimal tersebut. Dan optimasi yang telah dilakukan terbukti bahwa lokasi terminal angkutan umum penumpang dipengaruhi oleh pertumbuhan dan penyebaran penduduk serta penambahan ruas jaringan jalan di suatu kota. Hasil tersebut membuktikan bahwa pengope rasian Terminal Regional Bingkuang di Air Pacah belum optimal dan sisi lokasi. Lokasi terminal angkutan umum penumpang yang optimal di Kota Padang adalah di simpul 156 yang terletak di Kelurahan Kalumbuk Kecamatan Kuranji, dan berada di ruas jalan By-Pass. Bilang Nauli Harahap (1999, Teknik Planologi-ITB)2 dalam penelitiannya yang berjudul Arahan lokasi fasilitas pendidikan sekolah lanjutan tingkat pertama di wilayah Bandung Timur mencoba membantu memecahkan masalah tersebut dengan mengidentifikasi kebutuhan nyata terhadap fasilitas SLTP. Analisis yang digunakan dalam studi ini ialah perhitungan kebutuhan dan sediaan fasilitas SLTP di setiap kelurahan. Kebutuhan fasilitas SLTP kelurahan yang melebihi sediaannya dianggap menggunakan fasilitas di kelurahan la in terdekat. Metode yang digunakan dalam perhitungan penggunaan fasilitas SLTP adalah metode P-median dan analisis peta dengan menggunakan ARC/INFO. Analisis dilakukan dalam dua periode waktu yaitu tahun 1998 dan 2004, karena lama pendidikan di SD 6 tahun. Hasil yang diperoleh dari studi ini ialah sebagai berikut. Terdapat tiga pola pengelompokan penggunaan fasilitas SLTP, yaitu kelompok kelurahan/desa
1
Departemen Teknik Planologi-ITB Studi penentuan lokasi optimal terminal penumpang di kota Padang dikutip dari Http://www.itb.ac.id (17 Desember 2006) 2
Loc.cit
18
Margasenang, Pasir Wangi dan Pasir Endah. Kebutuhan fasilitas SLTP baru pada periode pertama tahun 1998 ialah sembilan SLTP, yang dialokasikan untuk kelompok kelurahan Margasenang, dua SLTP di Kujangsari. Untuk kelompok kelurahan Pasir Wangi, dua SLTP di Pasanggrahan, satu SLTP di Cipadung, satu SLTP di Palasari dan satu SLTP di Ujungberung. Untuk kelompok kelurahan Pasir Endah, satu SLTP di. Antapani dan satu SLTP di Mandalajati. Kebutuhan terhadap fasilitas SLTP tahun 2004 ialah sebanyak 11 SLTP. Kelompok Margasenang memperoleh alokasi satu SLTP, ditempatkan di Cipamokolan. Kelompok Pasir Wangi memperoleh enam SLTP, satu SLTP di Mekarmulya, empat SLTP di Cipadung dan satu SLTP di Pasanggrahan.Kelompok Pasir Endah memperoleh alokasi empat SLTP, satu SLTP di Cisaranten Kulon, dua SLTP di Antapani dan satu SLTP di Mandalajati. Selain 1okasinya, diperoleh juga pola penggunaan fasilitas SLTP yaitu pemakaian sendiri, dan pemakaian bersama fasilitas SLTP oleh beberapa kelurahan. Jumlah SLTP yang dibutuhkan di wilaya h Bandung Timur sampai tahun 2004 sebanyak 20 SLTP. Untuk memenuhi kebutuhan ini dapat dilakukan dengan beberapa alternatif, yaitu membangun 20 sekolah baru, penambahan ruangan kelas pada sekolah yang sudah ada, pemakaian SLTP dua kali sehari (dua shift) dan partisipasi swasta dalam menyediakan fasilitas pendidikan SLTP. Berdasarkan perbandingan hasil studi dengan perkiraan kebutuhan dalam RDTRK dan beberapa standar, dapat disimpulkan bahwa standar yang paling mendekati ialah perkiraan kebutuhan dalam RDTRK, sehingga perkiraan kebutuhan dalam RDTRK dapat diterapkan setelah disesuaikan dengan hasil studi ini. Penyesuaian dilakukan terutama dalam melihat kebutuhan fasilitas SLTP setiap kelurahan, sehingga pelayanan fasilitas SLTP menjadi lebih baik dan lebih mudah dijangkau penduduk. Alifah (2005) dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Penentuan Lokasi Optimal Pasar Sebagai Terminal Agribisnis di DKI Jakarta yang bertujuan untuk mencari alternatif lokasi yang paling baik bagi penentuan lokasi optimal dari sebuah terminal agribisnis di DKI Jakarta untuk mencari alternatif yang terbaik. Maka digunakan program komputer Java Applets P-median problem sebagai alat analisisnya, untuk meminimumkan jarak yang akan ditempuh dengan berdasarkan
19
pada bobot masing- masing simpul. Berdasarkan bobot jumlah penduduk, hasil perhitungan program menunjukkan bahwa lokasi optimal pada Kelurahan Rawa buaya. Sedangkan berdasarkan bobot jarak, lokasi optimal terletak pada Kelurahan Cengkareng barat.
2.3 Kerangka Penelitian Pembangunan wilayah merupakan suatu perubahan ke arah positif untuk kemajuan dalam suatu wilayah. Pembangunan wilayah pada hakikatnya adalah pelaksanaan pembangunan nasional di suatu wilayah/region yang disesuaikan dengan kemampuan fisik dan sosial region tersebut seperti Sumberdaya Alam (SDA), Sumberdaya Manusia (SDM) dan kondisi sosial ekonomi. Dalam suatu wilayah terdapat penyebaran sumberdaya alam yang tidak merata dan adanya kegiatan ekonomi yang terkonsentrasi, maka sering terjadi ketimpanganketimpangan dalam pembangunan, seperti ketimpangan pertumbuhan, pendapatan, pengangguran, kemudahan pelayanan, investasi dan sebagainya. Untuk mengurangi ketimpangan tersebut maka pengembangan wilayah menghendaki adanya penataan lokasi agar tercapai efisiensi dan optimalisasi bagi suatu kegiatan ekonomi maupun pelayanan sosial. Sasaran utama dari perencanaan pembangunan wilayah pada dasarnya adalah untuk menghasilkan penggunaan terbaik. Yang dapat dikelompokkan atas tiga sasaran umum, seperti (i) efisiensi dan produktifitas, (ii) pemerataan keadilan dan aksesibilitas masyarakat, dan (iii) keberlanjutan. Kesehatan memegang peranan penting bagi setiap individu dalam menentukan kualitas hidup disamping faktor lain seperti pendidikan. Selain itu dengan kesehatan pula akan menentukan peluang kerja dan akhirnya akan berpengaruh pada pendapatan. Variabel- variabel tersebut merupakan efek lanjutan dari status kesehatan yang baik. Untuk mencapai status kesehatan yang baik di suatu wilayah, maka salah satu upaya yang diperlukan adalah dengan penataan terhadap fasilitas kesehatan. Kota Bogor dengan jumlah penduduk pada tahun 2005 sebesar 855.085 jiwa termasuk kedalam kriteria kota besar dengan kriteria jumlah penduduk 500.0001.000.000 jiwa (Dinas PU Propinsi Jawa Barat, 1990). Kota Bogor yang terbagi
20
menjadi 6 kecamatan, memiliki demand yang cukup besar dalam penyediaan fasilitas pelayanan, seperti fasilitas kesehatan. Saat ini pemerintah Kota Bogor memiliki berbagai permasalahan dalam penataan fasilitas kesehatannya. Hal yang paling mendasar adalah tidak meratanya fasilitas kesehatan di setiap kecamatan Kota Bogor. Walaupun bila dilihat dari segi kuantitas fasilitas kesehatan dasar maupun rujukan di Kota Bogor sudah memadai untuk memberikan pelayanan bagi masyarakat. Dilihat dari kepadatan penduduk di Kota Bogor cenderung mengelompok di pusat kota atau Kecamatan Bogor Tengah, hal ini dikarenakan Kecamatan Bogor Tengah merupakan pusat kegiatan/pelayanan sosial-ekonomi/jasa
dan
perkantoran/pemerintahan
Kota
Bogor.
Walaupun
Kecamatan Bogor Tengah ini mempunyai luas wilayah yang paling kecil dari kecamatan lain (8,13 km2 ). Sedangkan Kecamatan yang cukup luas wilayahnya seperti Bogor Selatan dan Tanah Sareal masih minim dalam hal fasilitas kesehatannya. Selain itu, Kota Bogor sampai saat ini belum memiliki Rumah Sakit rujukan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dibawah otoritas pemerintah daerah. Rumah Sakit rujukan diserahkan kepada Rumah Sakit swasta. Dari permasalahan diatas untuk mencapai penataan fasilitas kesehatan yang efisien dan optimal bisa dilakukan dengan mengetahui penyebaran fasilitas kesehatan setiap kecamatan Kota Bogo r terlebih dahulu. Dengan tujuan untuk mengetahui kecamatan mana yang memiliki hirarki fasilitas kesehatan yang lengkap dan kurang lengkap. Metode skalogram bisa digunakan untuk menganalisis ini karena bisa memberikan hasil terhadap hirarki fasilitas kesehatan Kota Bogor. Selanjutnya analisis dilakukan secara deskriptif terhadap fasilitas kesehatan pada standar kebutuhan, mutu pelayanan dan efisiensi pengelolaan khususnya pada Rumah Sakit dan Puskesmas. Hal ini untuk melihat sejauh mana daya layan dari fasilitas kesehatan tersebut. Analisis deskriptif ini merupakan analisis dari segi non-lokasi untuk lebih mempertajam dalam penelitian. Mengingat Kota Bogor yang berencana untuk membangun Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) nya, agar tercapai lokasi yang optimal dalam pelayanan perlu dicari lokasi yang optimal.
21
Dalam RTRW Kota Bogor 1999-2009, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) direncanakan di Kelurahan Tanah Sareal Kecamatan Tanah Sareal dengan luas 1,47334 Ha. Dengan metode P-Median, bisa dilihat apakah lokasi tersebut telah mencapai lokasi optimal atau belum. Selain itu pula metode ini dapat menunjukkan lokasi optimal RSUD bila lokasi tersebut belum optimal. Kemudian dari hasil analisis skalogram dilakukan analisis kebutuhan fasilitas kesehatan pada kecamatan yang memiliki skor terendah dalam hirarki fasilitas kesehatan, yaitu Kecamatan Tanah Sareal. Dengan berbagai pertimbangan seperti wilayah yang cukup luas dan melihat kebutuhan akan Puskesmas pembantu (Pustu) cukup besar maka ditentukan pula lokasi optimal Puskesmas pembantu (Pustu) di Kecamatan Tanah Sareal. Selain itu, berdasarkan usulan Sarasehan Pembangunan (Sarembang) Kecamatan Tanah Sareal tahun 2007 memang direncanakan untuk pembangunan Pustu. Dari uraian diatas dapat diambil suatu pemahaman bahwa dalam mencapai suatu penataan fasilitas kesehatan yang efisien dan optimal selain memperhatikan ketersediaan dan lokasi optimal fasilitas kesehatan, juga perlu memperhatikan faktor non- lokasi seperti daya layan suatu fasilitas kesehatan baik dari segi fisik maupun Sumber Daya Manusia (SDM) tenaga kesehatan.
22
Kerangka Penelitian Pembangunan Wilayah
SDA
SDM
Pembangunan Kesehatan
Kondisi sosial ekonomi Kualitas individu, Peluang kerja, Pendapatan
Penataan Fasilitas Pelayanan
Kurang merata Fasilitas Kesehatan Analisis Penyebaran
Fasilitas Kesehatan Kota Bogor
Analisis Deskriptif Fasilitas Kesehatan
Belum adanya RSUD sebagai RS rujukan
Penentuan Lokasi Optimal RSUD Kota bogor
Metode Skalogram Skor Tertinggi
Usulan Sarembang
Skor Terendah
Analisis Standar kebutuhan, mutu pelayanan dan efisiensi pengelolaan RS dan Puskesmas
Kebutuhan Fasilitas kesehatan
Penentuan Lokasi Optimal Pustu
Analisis Penataan Fasilitas Kesehatan Kota Bogor
Metode P-Median
Luas Wilayah Kecamatan Jumlah Penduduk Jarak antar simpul yang terpilih
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Analisis Penataan Fasilitas Kesehatan Kecamatan di Kota Bogor Dalam Pembangunan Wilayah
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kota Bogor, Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive (sengaja) dengan pertimbangan bahwa Kota Bogor merupakan kota yang pembangunan wilayahnya sedang berkembang di Jawa Barat dan merupakan pintu gerbang Jawa Barat menuju ibu kota DKI Jakarta sehingga merupakan jalur strategis dan akan berpengaruh terhadap pembangunan wilayahnya. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Januari-Maret 2007.
3.2 Metode Pengumpulan Data Penelitian ini dilakukan di tingkat kecamatan. Penelitian di tingkat kecamatan ini adalah untuk memperoleh kejelasan tentang fasilitas kesehatan untuk mencari pelayanan dari fasilitas kesehatan secara optimal. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan beberapa staf Dinas kesehatan, Bapeda, arsip daerah dan instansiinstansi terkait lainnya. Data sekunder diperoleh dari instansi yang terkait seperti, Bapeda Kota Bogor, Badan Pusat Statistik Kota Bogor, Badan Pusat Statistik pusat di Jakarta, Dinas kesehatan, Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (DLLAJ) Kota Bogor.
3.3 Metode Analisis Data 3.3.1 Metode Skalogram Metode ini dapat digunakan untuk menentukan peringkat pemukiman atau wilayah dan kelembagaan atau fasilitas pelayanan. Metode ini memberikan hirarki yang lebih tinggi kepada pusat pertumbuhan dan pelayanan yang memiliki jumlah unit sarana dan prasarana pembangunan yang lebih banyak. Metode skalogram lebih menekankan kriteria kualitatif dibandingkan kriteria yang menyangkut derajat fungsi sarana dan prasarana pembangunan. Distribusi penduduk dan luas jangkauan pelayanan sarana dan prasarana pembangunan secara spesial tidak dipertimbangkan
24
secara spesifik. Tetapi metode ini dapat memberikan informasi tentang hirarki pusatpusat pelayanan yang disebabkan oleh penyebaran sarana dan prasarana pembangunan yang terdapat dalam wilayah tersebut (Afrianto, 2000). Tahapantahapan metode skalogram, misalnya akan disusun hirarki peringkat kecamatankecamatan dalam suatu kabupaten, adalah sebagai berikut : 1. Kecamatan-kecamatan disusun urutannya berdasarkan peringkat jumlah penduduk. 2. Kemudian kecamatan-kecamatan tersebut
disusun urutannya berdasarkan
jumlah jenis fasilitas yang ada pada wilayah tersebut. 3. Fasilitas- fasilitas disusun urutannya berdasarkan jumlah wilayah yang memiliki jenis fasilitas tersebut. 4. Peringkat jenis fasilitas disusun urutannya berdasarkan jumlah total unit fasilitas. 5. Yang terakhir, peringkat kecamatan disusun urutannya berdasarkan jumlah total fasilitas yang dimiliki oleh masing- masing wilayah tersebut. Penelitian ini memakai analisis skalogram karena metode ini dapat mengetahui hirarki wilayah dengan cepat berdasarkan fasilitas pelayanan yang tersedia. Metode skalogram ini mempunyai kekuatan dan kelemahan. Kekuatan metode skalogram ini antara lain dapat digunakan untuk : 1. Memperlihatkan dasar diantara jumlah penduduk dan tersedianya fasilitas pelayanan. 2. Secara cepat dapat mengorganisasikan data dan mengenal wilayah. 3. Membandingkan pemukiman-pemukiman dan wilayah-wilayah berdasarkan ketersediaan fasilitas pelayanan. 4. Memperlihatkan hirarki pemukiman atau wilayah. 5. Secara potensial dapat digunakan untuk merancang fasilitas baru dan memantaunya. Kelemahan dari metode skalogram ini, yaitu : 1. Hasil akhir dipengaruhi oleh pemilihan indikator sarana dan prasarana pembangunan yang diamati,
25
2. Tidak memberikan informasi tentang ukuran, kondisi dan kualitas pelayanan prasarana dan sarana pembangunan, 3. Tidak mencakup faktor lokasi tata ruang, 4. Hasil perhitungannya kasar.
3.3.2
Metode P-Median Algoritma Dasar metode P- median Algoritma adalah teorema yang dikembangkan oleh
Hakimi (1964) dalam Rushton (1979) menyatakan bahwa titik optimum dari suatu jaringan yang dapat meminimumkan jumlah perkalian jarak-jarak terpendek dengan bobot dari semua simpul adalah titik yang berasal dari simpulan jaringan tersebut. Untuk persoalan meminimumkan jarak rata-rata, teorema Hakimi masih mampu memecahkan persoalan yang ada dengan lokasi dari simpul-simpul pada jaringan. Dengan memperhitungkan simpul-simpul yang dilayani sebagai lokasi potensial untuk pusat pelayanan. Penentuan lokasi dan alokasi untuk meminumkan jarak dapat ditunjukkan oleh rumus berikut : Meminimumkan Z = ∑ ∑ aij wi dij Dimana : Z = Sekian Y km, yang maknanya adalah semua Y dari semua simpul dengan sekian km untuk mencapai pusat pelayanan. aij = 1, jika simpul dilayani i lebih dekat ke simpul pelayanan j dari pada ke simpul pelayanan lainnya, selain dari itu = 0 wi = 1 bobot dari simpul yang dilayani i dij = jarak terpendek antara simpul yang dilayani idan j Perhitungan P-Median ini diselesaikan dengan menggunakan program komputer Java Applet P-Median Problem, karena program ini dapat digunakan untuk analisa dengan sejumlah besar simpul. Program komputer ini akan menandai solusi terbaik node dengan warna hijau. Sedangkan untuk hasil-hasil yang dipertimbangkan (under consideration) dari iterasi- iterasi tertentu akan ditandai dengan lingkaran merah pada node (Kurniawan, 2006).
26
Dalam kasus satu dimensi (garis lurus) penentuan lokasi optimal, fungsi objektif dapat dirumuskan sebagai berikut : Minimum Z = ∑ |Pi – X| Misalkan 0-10 ada jarak antar kantor kecamatan (asumsi lokasi pusat pelayanan kesehatan), titik iterasi adalah 5 untuk X maka didapat nilai sebagai berikut : Z=|1-5| + |3-5| + |4-5| + |6-5| + |10-5| = 13 Jika titik iterasi adalah 4 untuk X maka didapat nilai sebagai berikut : Z=|1-4| + |3-4| + |4-4| + |6-4| + |10-4| = 12 Jika titik iterasi adalah 6 untuk X maka didapat nilai sebagai berikut : Z=|1-6| + |3-6| + |4-6| + |6-6| + |10-6| = 14
Titik Pelayanan A
B
C
D
E
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
|
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Koordinat Nilai Lokasi Gambar 2. Lokasi Optimal Satu Dimensi (Garis Lurus) Jika ia berpindah ke lokasi 6, kemudian sebuah titik koordinat kurang dari 5 (lokasi sebelumnya adalah x) masing- masing akan menyumbangkan satu unit peningkatan terhadap nilai fungsi objektif. Terdapat tiga macam titik dalam kasus ini jadi penambahannya terjadi 3 unit. Sebaliknya, semua titik dengan koordinat lebih besar 6 akan memberikan masing- masing satu unit penurunan terhadap fungsi. Terdapat dua macam titik, jadi penurunnya terhadap nilai fungsi sebesar dua unit. Efek keuntungan perpindahan lokasi x dari 5 ke 6 adalah sebuah peningkatan nilai fungsi objektif dari 13 ke 14 unit. Alternatifnya, sebuah perpindahan x dari posisi 5 ke 4 akan menyebabkan penurunan masing- masing satu unit untuk tiga titik pertama dan peningkatan masing- masing satu unit dua titik.
27
Dalam metode P-Median ada 2 buah faktor yang perlu dipertimbangkan yaitu faktor lokasi jarak antara simpul-simpul dan faktor bobot simpul yang akan dianalisis. Penggunaan P-Median dimaksudkan karena metode ini dapat mengkombinasikan 2 buah faktor dalam analisis sehingga menghasilkan solusi terbaik yang diinginkan. Ini memungkinkan kita dapat melihat optimasi suatu lokasi tidak dari sisi satu aspek saja, melainkan beberapa aspek. Disamping itu, penentuan faktor jarak dan bobot tergantung pada 3 hal yaitu : 1. Masalah apa yang sedang diselidiki 2. Kelengkapan data yang diperlukan 3. Pertimbangan lain yang ada hubungannya dengan masalah yang diselidiki Adapun yang dimaksud dengan faktor jarak dan bobot dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Faktor Jarak Pengertian jarak dalam studi kasus ini erat kaitannya dengan lokasi suatu tempat dalam ruang. Ada 2 pengertian mengenai lokasi, yaitu : 1.
Lokasi absolut, yaitu posisi yang erat kaitannya dengan suatu sistem jaringan konvensional atau dinyatakan dengan garis lintang dan garis bujur astronomis. Pada dasarnya lokasi yang demikian tidak berubah letaknya dan satuan jarak yang umumnya diapaki ialah mil, km, dan m, misalnya alamat perusahaan X.
2.
Lokasi relatif, ialah posisi yang dinyatakan dalam bentuk jarak atau diidentikkan dengan salah satu faktor lain. Misalnya kota X terletak 100 km dari kota Y atau kota X terletak 3 jam perjalanan mobil dari kota Y. Disamping itu, lokasi relatif dapat pula dinyatakan dalam bentuk karcis bus atau kereta api.
b. Faktor Bobot Pengukuran massa dari suatu simpul tertentu sangat tergantung pada masalah yang sedang diteliti. Bobot tersebut dapat berbentuk sebagai jumlah penduduk suatu kota, jumlah komoditi suatu daerah, jumlah tenaga kerja, pendapatan daerah, besarnya modal yang ditanam, jumlah keluarga, jumlah kendaraan, jumlah tempat tidur di rumah sakit dan lain- lain.
28
Data yang diperlukan untuk analisa dengan metode P-Median dengan program komputer Java Applets P-Median Problem ini adalah data sekunder yang terdiri dari : a. Data Jarak Sesuai dengan program yang digunakan, maka data jarak yang dibutuhkan adalah jarak dari setiap calon pusat ke simpul lain yang jaraknya lebih kecil dari batasan jarak maksima l implisit yang ditentukan. b. Data Bobot Bobot simpul ditentukan oleh besarnya kebutuhan pelayanan. Pengukuran bobot dari suatu simpul tertentu sangat tergantung pada masalahnya yang sedang diselidiki. Dalam penelitian ini bobot yang akan dipakai adalah jumlah penduduk dan luas wilayah. c.
Jumlah Pusat-pusat yang Dipilih Jumlah pusat ditentukan oleh jumlah seluruh kebutuhan pusat pelayanan. Dalam
studi kasus Kota Bogor ini jumlah pusat pelayanan ditentukan oleh simpul yang dijadikan alternatif pemilihan fasilitas kesehatan Kota Bogor.
3.3.3
Analisis Deskriptif Fasilitas Kesehatan Analisis deskriptif fasilitas kesehatan dilakukan dengan kajian literatur
dengan mengumpulkan data dan informasi tentang data-data fasilitas kesehatan, standar kebutuhan, mutu pelayanan dan efisiensi pengelolaan fasilitas kesehatan di Kota Bogor. Dari kajian literatur tersebut akan didapatkan fasilitas kesehatan mana yang sudah optimal dan yang belum optimal dari segi non-lokasi dalam pelayanan kesehatan.
3.4
Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Dalam melakukan penelitian, penulis hanya menganalisis aspek spasial dari
fasilitas kesehatan Kota Bogor dengan menekankan pada variabel bobot jumlah penduduk, bobot luas pemukiman dan bobot sama dalam pengaruh jarak serta analisis pada aspek non-spasial pada standar kebutuhan dan pelayanan fasilitas kesehatannya. Dalam penelitian, lebih difokuskan pada Rumah Sakit dan Puskesmas dikarenakan
29
permasalahan yang terjadi lebih mengarah pada pemenuhan kebutuhan masyarakat akan kedua fasilitas tersebut. Dan kedua fasilitas tersebut cukup penting dan lebih jamak digunakan oleh masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan kesehatan. Keterbatasan penelitian : (1) Penelitian tidak menganalisis faktor- faktor lain diluar variabel bobot jumlah pendud uk bobot luas pemukiman dan bobot sama dalam pengaruh jarak. Seperti aspek kepuasan terhadap fasilitas kesehatan. (2) Program PMedian memiliki kelemahan statis, yaitu tidak berpengaruh terhadap perkembangan waktu, faktor lain diluar faktor yang ditekankan dalam penelitian tidak dapat digunakan dalam program ini sehingga hasil analisis berdasarkan masing- masing faktor terdapat kemungkinan berbeda. (3) Dalam penentuan simpul-simpul dalam analisis P-Median memakai kantor kecamatan sebagai simpul dalam penentuan lokasi optimal RSUD Kota Bogor dan memakai kantor kelurahan dalam penentuan lokasi optimal Puskesmas pembantu (Pustu) Kecamatan Tanah Sareal dengan asumsi kantor kecamatan dan kantor kelurahan berfungsi pula sebagai pusat pelayanan. (4) Untuk mendukung analisis penyebaran fasilitas kesehatan dan analisis P-Median tentang lokasi optimal RSUD Kota Bogor dan Puskesmas Pembantu (Pustu), penelitian tidak menggunakan analisis selain analisis terhadap standar kebutuhan fasilitas kesehatan, mutu pelayanan, efisiensi pengelolaan dari Rumah sakit dan Puskesmas. (5) Dalam analisis penyebaran fasilitas kesehatan dengan metode skalogram, tidak memakai Posyandu dengan alasan kuantitas yang sangat memadai di Kota Bogor dan bisa mempengaruhi hasil perhitungan dengan signifikan. (6) Dalam penentuan lokasi optimal Puskesmas pembantu (Pustu) Kecamatan Tanah Sareal memakai data tahun 2004 dikarenakan keterbatasan data yang didapat.
IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Fisik Wilayah Kota Bogor Wilayah Kota Bogor meliputi areal seluas 118,50 km2 dibagi atas enam kecamatan yang terdiri dari kecamatan Bogor Selatan, Bogor Timur, Bogor Utara, Bogor Tengah, Bogor Barat dan Tanah Sareal. Secara geografis wilayah administrasi Kota Bogor terletak pada koordinat 106° 43`30” BT, 106°51’00” BT dan 6 ° 36`30’30” LS- 6° 41’00” LS. Serta mempunyai ketinggian rat-rata minimal 190 m dan maksimal 350 m dengan jarak ± 60 km dari Kota Jakarta. Terdiri dari 6 kecamatan 68 kelurahan, yang berbatasan dengan : a. Sebelah Utara
: Wilayah Kecamatan Kemang, Kecamatan Bojong Gede
dan Kecamatan Sukaraja. b. Sebelah Barat
: Wilayah Kecamatan Dramaga Kabupaten Bogor dan
Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor c. Sebelah Timur : Wilayah Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi Kabupaten Bogor. d. Sebelah Selatan : Wilayah Kecamatan Cijeruk dan Kecamatan Caringin Kabupaten Bogor.
4.1.1 Kondisi Topografi Kemiringan Kota Bogor berkisar antara 0-15 persen dan sebagian kecil daerahnya mempunyai kemiringan antara 15-30 persen. Jenis tanah hampir dalam seluruh wilayah adalah lotosil cokelat kemerahan dengan kedalaman efektif tanah lebih dari 90 cm dengan tektur tanah yang halus serta bersifat agak peka terhadap erosi. Kota Bogor merupakan daerah perbukitan bergelombang dengan perbedaan ketinggian yang cukup besar, bervariasi antara 0 s/d > 350 m diatas permukaan laut dengan kemiringan lereng berkisar antara kelompok 0 - 2 % adalah datar yaitu dengan luas 1.763,94 Ha, 2 – 5 % adalah landai yaitu dengan luas 8.091,27 Ha, 15 –
31
25 % adalah agak curam yaitu dengan luas 1.109,89 Ha, 25 – 40 % adalah curam yaitu dengan luas 764, 96 Ha, dan > 40 % adalah sangat curam yaitu dengan luas 119,94 Ha. Tabel 3. Kemiringan Lereng Berdasarkan Luas Lahan Tahun 2005 Kemiringan Lereng (Ha) Kecamatan 0-2% 2-15% 15-25% 25-40% > 40% Agak Sangat Datar landai Curam Curam Curam Bogor Utara 137,85 1.565,65 68,00 0,50 Bogor Timur 182,30 722,70 56,00 44,00 10,00 Bogor Selatan 169,10 1.418,40 1.053,89 350,37 89,24 Bogor Tengah 125,44 560,47 117,54 9,55 Bogor Barat 618,40 2.502,14 153,81 10,65 Tanah Sareal 530,85 1.321,91 31,24 Kota Bogor 1.763,94 8.091,27 1.109,89 764,96 119,94
JLH (Ha) 1.772 1.015 3.081 813 3.825 1.884 11.850
Sumber : Data Pokok Pembangunan Kota Bogor, Tahun 2002
4.1.2. Geologi Secara umum Kota Bogor ditutupi oleh Batuan Vulkanik yang berasal dari endapaan (batuan sedimen) dua gunung berapi, yaitu Gunung Pangrango (berupa satuan breksi tupaan / kpbb) dan Gunung Salak (berupa aluvium/Kal dan kipas aluvial/ kpal). Lapisan batuan ini berada agak dalam dari permukaan tanah dan jauh dari daerah aliran sungai. Endapan permukaan umumnya berupa aluvial yang tersusun oleh tanah, pasir dan kerikil hasil dari pelapukan endapan baik untuk vegetasi. Dari struktur geologi tersebut, maka Kota Bogor memiliki jenis Aliran Andesit seluas 2.719,61 ha, Kipas Aluvial seluas 3.249,98 Ha, Endapan 1.372,68 Ha. Tufan 3.395,75 Ha dan Lanau Breksi Tufan dan Capili seluas 1.112,56 Ha.
4.1.3. Hidrologi Wilayah Kota Bogor dialiri oleh 2 (dua) sungai besar, yaitu Sungai Ciliwung dan Sungai Cisadane, dengan 7 (tujuh) anak sungai. Secara keseluruhan anak - anak sungai yang ada membentuk pola aliran paralel-subparalel sehingga mempercepat waktu mencapai debit puncak (t ime to peak) pada sungai Ciliwung dan Cisadane sungai utamanya. Pada umumnya aliran sungai tersebut dimanfaatkan oleh sebagian
32
Kota Bogor sebagai sarana MCK dan usaha perikanan Karamba serta sumber air baku bagi PDAM. Selain beberapa aliran sungai yang mengalir di Wilayah Kota Bogor , terdapat
juga beberapa mata air yang umumnya dimanfaatkan oleh masyarakat
untuk kebutuhan air bersih sehari-hari. Kemunculan mata air tersebut umumnya terjadi karena pemotongan bentuk lahan atau topografi, sehingga secara otomatis aliran air tersebut terpotong . kondisi tersebut bisa dilihat diantaranya di tebing jalan Tol Jagorawi, pinggiran sungai Ciliwung di Kampung Lebak Kantin, Babakan Sirna dan Bantar Jati dengan besaran debit bervariasi. Pemanfaatan potensi sumber air baku (raw water) yang dikelola oleh PDAM Kota Bogor selain memanfaatkan sungai Cisadane juga memanfaatkan mata air yang berlokasi di Kabupaten Bogor untuk memenuhi kebutuhsn air bersih bagi masyarakat Kota Bogor. Kapasitas air bersih PDAM 1.045,10 liter/ detik, dengan sumber-sumber sebagai berikut: a.
Mata Air Kota Batu
= 45,57 liter / detik
b.
Mata Air Bantar Kambing
= 164,75 liter / detik
c.
Mata Air Tangkil
=105,53 liter / detik
d.
WTP Dekeng
= 523,90 liter / detik
e.
WTP Cipaku
= 205,35 liter / detik
Dari jumlah kapasitas tersebut, cakupan pelayanan air bersih PDAM tahun 2003 sebanyak 65.287 pelanggan atau 65 % dengan konsunmsi rata-rata 29,05 m3 /bulan. Karena secara teknis tidak semua wilayah di Kota Bogor bisa dilayani oleh PDAM, maka ada beberapa wilayah yang memakai mata air sebagai pemenuhan air bersih. Layanan air bersih tersebut dibangun oleh pemerintah dan dikelola langsung oleh masyarakat yang dimanfaatkan oleh sekitar 1.044KK dengan debit mencapai 8,5 liter / detik dari 7 buah mata air.
4.1.4. Penggunaan Lahan Pola penggunaan lahan identik dengan struktur penggunaan lahan dimana wilayah Kota Bogor memiliki luas 11.850 Ha. Dari luas wilayah tersebut yang terdistribusi ke dalam kegiatan penggunaan lahan permukiman pertanian, sosial dan
33
kegiatannya. Luas lahan permukiman wilayah seluas 8.296,63 Ha/70,01 persen dan pada umumnya permukiman ini berkembang secara linier mengikuti jaringan jalan yang ada di Kota Bogor. Penggunaan lahan untuk pertanian baik sawah maupun ladang seluas 1.288,66 Ha/10,87 persen dan penggunaan kebun campuran mencapai 154,55 Ha/1,30 persen. Sedangkan penggunaan lahan untuk hutan kota seluas 141,50 Ha/1,19 persen dan sisanya untuk kegiatan lainnya seperti fasilitas sosial, perdagangan dan jasa, perkantoran kuburan, taman dan lapangan olahraga lokasi menyebar di wilayah Kota Bogor. Untuk lebih jelasnya penggunaan lahan di Kota Bogor pada tabel.
Tabel 4. Persentase Luasan Penggunaan Lahan Eksisting Tahun 1999 Jenis Penggunaan
Luas (Ha)
Persentase
8.296,63
70,01
Terminal Agrobisnis
9,21
0,08
Kolam Oksidasi IPAL
1,50
0,01
1.288,66
10,87
Kebun Campuran
154,55
1,30
Industri
115,03
0,97
Perdagangan dan jasa
362,60
3,06
Perkantoran/Pemerintahan
85,28
0,72
Hutan Kota
141,50
1,19
Taman/Lapangan Olaharaga
250,48
2,11
Kuburan
299,28
2,53
Sungai/situ/danau
342,07
2,89
Jalan
529,62
4,47
Terminal dan Sub terminal
1,51
0,01
Stasiun Kereta Api
5,60
0,05
11.850,00
100,00
Permukiman
Pertanian
Total Sumber : RTRW Kota Bogor 1999-2009
34
4.1.5. Klimatologi Jumlah curah hujan rata-rata di wilayah Kota Bogor berkisar antara 3.000 sampai 4.000 mm/tahun. Curah hujan bulanan berkisar antara 250 – 355 mm dengan waktu curah hujan minimum terjadi di bulan September sebanyak 128 mm, sedangkan curah hujan maksimum terjadi di bulan Oktober sekitar 346 mm. Temperatur rata-rata wilayah Kota Bogor berada pada suhu 26°C, temperatur tertinggi sekitar 30,4° dengan kelembaban udara rata-rata kurang lebih 70 %.
4.1.6. Lingkungan Hidup Berdasarkan Buku Neraca Kualitas Lingkungan Hidup (NKLD) kualitas udara kota secara umum masih relatif baik, dilihat dari hasil pengujian selama 5 tahun dibeberapa lokasi, seperti Warung Jambu, Tugu Kujang, Pancasan, Jembatan Merah, Pasar Mawar, Ciawi, Dramaga, terminal Bubulak, Jl. Baru Kemang, Ciluar, Pertigaan Regina Pacis, Pasar Bogor dan Depan Balaikota, menunjukkan bahwa semua parameter di lokasi tersebut terutama CO 2 , SO2 , H2 S, Hidro Karbon, Timbal dan NH3 pada umumnya masih di bawah ambang batas Baku mutu Lingkungan (BML), kecuali beberapa parameter sudah berada di atas ambang batas BML, seperti NO2 di sekitar Jambu Dua dan Jembatan Merah. Sedangkan untuk tingkat kebisingan telah melewati Baku Mutu yaitu di sekitar Pancasan, Jembatan Merah, Pasar Mawar, Jambu Dua dan Tugu Kujang. Sedangkan kualitas air sungai hasil pengujian air di beberapa titik menunjukkan beberapa parameter kualitas air telah melampaui nillai Baku Mutu Lingkungan (BML) yaitu dilihat dari parameter BOD, COD dan DO pada Sungai Cisadane, Ciliwung dan Saluran Cipakancilan hampir sama, kualitas air tersebut masih memungkinkan untuk media budidaya perikanan namun tidak sesuai untuk minum.
35
4.2. Keadaan Sosial Ekonomi 4.2.1. Kependudukan Jumlah penduduk Kota Bogor pada tahun 2004 sebanyak 835,571 jiwa terdiri dari laki- laki 424.819 jiwa dan 406.752 jiwa perempuan meningkat pada tahun 2005 menjadi 855.085 jiwa, terdiri dari laki- laki sebanyak 431,864 jiwa dan perempuan 423,221 jiwa dengan kepadatan penduduk 7,215 jiwa per km2 . Dilihat dari kepadatan penduduk, yang terpadat berada di Kecamatan Bogor Tengah mencapai 12,386 jiwa/km2 , sedangkan di 5 kecamatan lainnya kepadatan penduduk merata yaitu berturut-turut di Kecamatan Bogor Utara 8.441 jiwa/km2. Kecamatan Bogor Timur 8.569 jiwa/km2 , Kecamatan Tanah Sareal 7.507 jiwa/km2, Kecamatan Bogor Selatan 5.2828 jiwa/ km2 dan Kecamatan Bogor Barat 5.199 jiwa/km2 . Laju pertumbuhan penduduk (LPP) Kota Bogor tahun 2005 sebesar 2,35 persen meningkat dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk pada tahun 2004 sebesar 2,35 persen. Pada komposisi umur penduduk Kota Bogor bergeser ke level yang lebih tinggi tingkatannya yaitu mengalami transisi dari struktur umur penduduk “muda” ke “tua”. Pada tahun 2004 komposisi penduduk usia anak-anak dan remaja (usia 20 tahun ke bawah) sebesar 37,93 persen bergeser naik menjadi 38 persen pada tahun 2005. Sedangkan pada kelompok usia tua dan lansia (usia 55 tahun ke atas) kondisi baik yaitu pada tahun 2004 adalah 8,07 % menjadi 8% pada tahun 2005.
4.2.2. Pertumbuhan, Mobilitas, Tingkat Fertilitas dan Persebaran Penduduk Angka pertumbuhan penduduk Kota Bogor mencapai 2,54 % dengan angka pertumbuhan tertinggi di Kecamatan tanah Sareal mencapai 12,93%. Sedangkan kepadatan penduduk Kota Bogor mencapai 666 jiwa/km2 dengan kepadatan tertinggi di Bogor tengah mencapai 11.515 jiwa/km2. sedangkan untuk pertumbuhan penduduk di Kota Bogor dapat dilihat pada tabel.
36
Tabel 5. Pertumbuhan Penduduk dan Persebaran Penduduk Menurut Kecamatan di Kota Bogor Tahun 2005 Luas Rata2 JML Pddk Kep Jml Jml RT Sensus 2000 No Kecamatan Wil Jiwa/ Pddk Kel (KK) (km2 ) RT L P JML (/km2 ) 1 Tanah Sareal 21,07 11 35,517 4 79,958 78,233 158,187 7.507 2 Bogor Tengah 8,33 11 24,256 4 52,034 51,142 103,176 12.386 3 Bogor Utara 17,72 8 35,187 4 74,999 74,579 149,578 8.441 4 Bogor Selatan 28,61 16 39,050 4 85,058 81,627 166.745 5.828 5 Bogor Timur 10,15 6 18,594 5 43,486 43,492 86.978 8.569 6 Bogor Barat 32,62 16 41,753 4 96,333 94,088 190,421 5.199 KOTA BOGOR 18,5 68 194,357 26 431,864 423,221 855,085 7.215 Sumber : BPS, 2005
Kecamatan
Bogor
mempunyai potensi untuk
Tengah merupakan
kecamatan
terpadat
sehingga
penularan penyakit. Seperti kasus Demam Berdarah,
Pneumoni, dan TBC. Sehingga program penyakit menular lebih dikonsentrasikan kepada Kecamatan Bogor Tengah. Untuk Mobilitas Penduduk tidak dapat disajikan karena sampai saat ini belum ada data penduduk yang beremigrasi dan berimigrasi. Tetapi secara asumsi karena adanya kemudahan transportasi dan kecepatan arus transportasi penduduk kota Bogor banyak yang bekerja di luar wilayah Kota Bogor terutama di Kota Jakarta dan BOTABEK ha l ini mempengaruhi penularan penyakit menular terutama Demam Berdarah. Untuk Tingkat Kesuburan Penduduk (Fertilitas) di Kota Bogor dalam kurun waktu 5 tahun (2000-2005) terlihat pada tabel berikut:
Tabel 6. Angka Kesuburan Total (TFR) di Kota Bogor Tahun 2000-2005 Tahun Total Fertilitas Rate (TFR) 2000 1,71 2001 1,70 2002 1,68 2003 1,69 2004 1,69 2005 1,69 Sumber : (BKKBN Kota Bogor, tahun 2000-2005)
37
Dari tabel ini menunjukkan bahwa rata-rata ibu di Kota bogor melahirkan 1-2 anak saja. Hal ini menguntungkan bagi sektor kesehatan karena seorang ibu akan lebih banyak punya waktu untuk membina anaknya dalam kehidupan yang sehat.
4.2.3. Distribusi Penduduk Menurut Mata Pencaharian Tabel 7. Distribusi Penduduk Usia 10 Tahun Keatas Berdasarkan Lapangan Usaha di Kota Bogor Tahun 2005 Penduduk Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan Industri Listrik,gas,air Konstruksi Perdagangan Angkutan Keuangan Jasa
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
4136 1551 55319 517 21197 54802 25850 11891 32571
0 0 14993 517 1034 20680 0 5687 21714
4136 1551 70312 1034 22231 75482 25850 17578 54285
Sumber : Suseda Tahun 2005
Pada Tabel diatas menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk produktif mempunyai mata pencaharian pada sektor perdagangan (27.7 persen), industri (25.81 persen), jasa (19.92 persen). Gambaran ini sesuai dengan kondisi Kota Bogor yang merupakan tempat pusat pelayanan jasa, perdagangan dan pariwisata.
4.2.4. Distribusi Penduduk Miskin Keluarga miskin (Gakin) di Kota Bogor tersebar ditiap kecamatan, dengan proporsi adalah 11,2 persen dibandingkan dengan KK seluruhnya. Begitupun dengan penduduk miskin (Penkin) tersebar pada tiap kecamatan dengan proporsi 11 persen dibandingkan penduduk seluruhnya. Untuk lebih jelasnya distribusi penduduk miskin di Kota Bogor tahun 2005 dapat dilihat pada tabel 8.
38
Tabel 8. Distribusi Penduduk Miskin di kota Bogor Tahun 2005 No
Kecamatan
KK
Jml Pddk
Total
Total
Proporsi %
Miskin
Miskin
KK
Penduduk
Gakin
Penkin
1
Tanah Sareal
4082
12.882
35.517
150.636
11,5
8,5
2
Bogor Utara
2978
13.499
35.187
148.187
8,5
9,1
3
Bogor Barat
5121
21.181
41.753
184.464
12,3
11,5
4
Bogor Selatan
4729
21.308
39.050
163.295
12,1
13,0
5
Bogor Timur
2214
9.304
18.594
83.907
11,9
11,0
6
Bogor Tengah
2771
10.048
24.256
101.162
11,4
9,9
21.914
92.087
194.357
831.671
11,2
11,0
JUMLAH
Sumber: P2KT Puskesmas, tahun 2005
Pada tabel tersebut tampak bahwa jumlah Gakin terendah terdapat di Kecamatan Bogor Utara dengan proporsi 8,5 persen, sedangkan Penkin terendah terdapat di Kecamatan Tana h Sareal dengan proporsi 8,5 persen dan Kecamatan Bogor Utara dengan proporsi 9,1 persen. Dengan adanya penduduk miskin ini maka program-program penanggulangan kemiskinan harus diadakan misalnya mulai dari pelayanan dasar di puskesmas sampai dengan rujukan ke rumah sakit.
4.3.
Kondisi Perekonomian Indikator makro perekonomian diukur dari Produk Domestik Bruto (PDRB),
yaitu PDRB Kota Bogor tahun 2003 berdasarkan Harga berlaku sebesar Rp 3.645.650,79 juta. Meningkat 11,1 persen menjadi sebesar Rp 4.051.722,6 juta tahun 2004. Pada tahun 2005 sebesar Rp 450.000.000 juta. Sedangkan berdasarkan Harga Konstan sebesar Rp 3.361.586,14 juta meningkat pada tahun 2004. Laju pertumbuhan ekonomi Kota Bogor tahun 2005 sebesar 6,12 persen meningkat sebesar 0,02 persen dari tahun 2004 yaitu sebesar 6,10 persen. Laju inflasi tahun 2005 sebesar 8,47 persen menurun 0,03 persen dibanding tahun 2004 sebesar 7,61 persen. Meningkatnya PDRB tersebut berimplikasi terhadap meningkatnya pendapatan perkapita masyarakat Bogor, yaitu berdasarkan harga berlaku sebesar 111.070.000
juta menjadi
39
111.140.000 juta, sedangkan berdasarkan harga konstan sebesar Rp 106.070.000 juta menjadi Rp 106.100.000 juta.
PDRB Kota Bogor Ditinjau atas dasar harga berlaku, PDRB Kota Bogor tahun 2005 secara umum seluruh sektor lapangan usaha mengalami kenaikan pertumbuhan sebesar 30,33 persen dibanding tahun 2004, yaitu dari Rp 5.245.746,83 juta pada tahun 2004 menjadi Rp 6.836.918,89 juta di tahun 2005. PDRB atas dasar harga konstan 2000 mengalami peningkatan sebesar 6,12 persen dari Rp 3.361.438,93 juta di tahun 2004 menjadi Rp 3.567.230,91 juta pada tahun 2005. Keadaan PDRB Kota Bogor atas dasar harga berlaku dan PDRB atas dasar harga konstan 2000 kurun waktu 20012005 disajikan pada tabel.
Tabel 9. PDRB Kota Bogor Atas Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan (2000) Tahun 2001-2005 (jutaan Rp) No
Tahun
PDRB Atas Dasar Harga
PDRB Atas Dasar Harga
Berlaku
Konstan
1
2001
2.994.826,20
2.823.430,21
2
2002
3.456.398,20
2.986.837,37
3
2003
4.165.569,12
3.168.185,54
4
2004*)
5.245.746,83
3.361.438,93
5
2005**)
6.836.918,89
3.567.230,91
*) Angka Perbaikan **) Angka Sementara Sumber : BPS Kota Bogor, 2005
Dengan melihat bahwa PDRB atas dasar harga berlaku sebesar Rp 2.994.826,20 juta ditahun 2001 meningkat menjadi Rp 6.836.918,89 juta ditahun 2005 dan PDRB konstan pun mengalami peningkatan dari Rp 2.823.430,21 juta pada tahun 2001 menjadi Rp 3.567.230,91 juta tahun 2005. Maka hal ini menggambarkan bahwa dalam kurun waktu lima tahun belakangan ini telah terjadi peningkatan rill yang walaupun tidak terlalu besar tetapi cukup menunjukkan bahwa peningkatan
40
yang terjadi bukan hanya peningkatan yang disebabkan oleh harga yang jauh meningkat atau inflasi yang terjadi. 4.4.
Pembangunan Kota Bogor Pada saat ini, Kota Bogor memiliki banyak sekali perubahan dibandingkan
dengan beberapa tahun kebelakang. Masyarakat telah merasakan hasil pembangunan dan perkembangan yang luar biasa yang terjadi di Kota Bogor ini. Sebagai contoh, ditahun 1995-an di sekitar jalan Pajajaran Bogor, hanya diramaikan oleh suasana perkuliahan di kampus IPB dan beberapa Mall seperti Internusa, tetapi lima tahun kemudian puluhan Outlet di sepanjang jalan Pajajaran mulai dari Warung Jambu sampai ke jalan Ciawi bermunculan. Dibalik pertumbuhan sarana dan perekonomian yang ada saat ini, Badan Perencanaan Daerah (BAPEDA) inilah yang mempunyai peran yang cukup penting dalam menata dan mengatur Kota Bogor ini3 . BAPEDA bekerjasama dengan berbagai instansi pemerintah yang lain seperti DLLAJ, Deperindagkop, Dinkes, Dispenda, dan instansi lainnya membuat suatu rancangan untuk menata Kota Bogor lebih tertib, nyaman dan dapat dirasakan manfaatnya oleh semua masyarakat. Menurut Ir. Fahmi Hakim, Kasubid Tata Ruang Bapeda 4 menjelaskan bahwa Bapeda telah melakukan sosialisasi dan menampung aspirasi masyarakat dengan mengadakan pameran perencanaan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTR) diwilayah Kecamatan Bogor Utara, Bogor Selatan, Bogor Tengah, Bogor Timur, Bogor Barat dan Kecamatan Tanah Sareal. RDTR adalah rencana pemanfaatan ruang bagian wilayah kota/kawasan perkotaan secara rinci disusun untuk menyiapkan perwujudan ruang dalam rangka pelaksanaan programprogram pembangunan perkotaan. RDTR ini merupakan rencana yang menetapkan blok peruntukan pada kawasan fungsional perkotaan, sebagai penjabaran ”kegiatan” kedalam wujud ruang, dengan memperhatikan antara kegiatan penunjang dalam kawasan fungsional tersebut. Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) kota Bogor seperti yang tersaji dalam Lampiran 8. antara lain sepert i pengembangan Bogor “Outer Ring 3
Bapeda Kota Bogor. Quo Vadis Pembangunan Kota Bogor dikutip dari Majalah TPSN, Edisi 8, 1729 Oktober 2005, hal.17) 4 Loc.cit
41
Road ” yang bertujuan untuk mengembangkan beban lalu lintas sehingga tidak terpusat kedalam kota dan membagi beban penumpang lebih merata adalah salah satu program yang akan dikembangkan dalam waktu dekat. Selain itu, pemind ahan terminal Baranangsiang ke wilayah Tanah Baru, pembangunan jalan tol dari Sentul sampai Yasmin dan pembangunan stasiun kereta di Kedung Halang (stasiun antara Bogor dan Cilebut) akan segera menyusul.
4.5.
Arah Pengembangan Pembangunan Fisik Kota Perkembangan kegiatan Kota cenderung menuju ke segala arah terutama
pada wilayah perluasan dengan mengalih- fungsikan lahan pertanian yang kurang produktif. Adapun arah perkembangan fisik Kota Bogor sebagai berikut (BAPEDA Kota Bogor, 2001) : a. Bagian Barat, yaitu Kecamatan Bogor Barat berpotensi sebagai daerah permukiman yang ditunjang oleh obyek wisata b. Bagian Selatan, yaitu Kecamatan Bogor Selatan berpotensi sebagai daerah permukiman dengan KDB rendah dan ruang terbuka hijau c. Bagian Timur, yaitu Kecamatan Bogor Timur berpotensi sebagai daerah permukiman d. Bagian Tengah, yaitu Kecamatan Bogor Tengah berpotensi sebagai pusat perdagangan dan jasa yang ditunjang oleh perkantoran dan wisata ilmiah e. Bagian Utara, Kecamatan Bogor Utara berpotensi sebagai daerah industri non polutan dan sebagai penunjangnya adalah pemukiman beserta perdagangan dan jasa, Kecamatan Tanah Sareal berpotensi sebagai permukiman serta Fasilitas pelayanan kesehatan.
V. RENCANA PENGEMBANGAN DAN PENATAAN RUANG KOTA BOGOR TAHUN 1999-2009
5.1 Renc ana Pengembangan Tata Ruang Kota Rencana pengembangan tata ruang kota mencakup rencana struktur tata ruang dan rencana pengembangan sistem perwilayahan yang dijabarkan dalam bentuk pengembangan kegiatan kota yang meliputi pengaturan pemanfaatan ruang kota sesuai dengan fungsi kota.
5.1.1 Rencana Struktur Tata Ruang Rencana struktur tata ruang merupakan rencana pengaturan, pemanfaatan dan pengembangan ruang Kota Bogor secara terpadu dan optimal yang dibentuk oleh pusat-pusat kegiatan secara struktur menurut hirarki pelayanan. Rencana struktur tata ruang kota didasarkan melalui pendekatan-pendekatan sebagai berikut : 1. Mengintegrasikan semua kegiatan di setiap wilayah; 2. Pemerataan pertumbuhan kegiatan kota di setiap wilayah, sehingga terbentuk keseimbangan perkembangan kota; 3. Jelasnya kedudukan fungsi kota dan peranannya; 4. Penempatan lokasi kegiatan utama pada lokasi yang diperkirakan akan menajadi bangkitan atau penarik pergerakan. Berdasarkan hal tersebut diatas maka secara struktural, tata ruang di Kota Bogor direncanakan terdiri dari :
A. Struktur Kegiatan Primer Struktur kegiatan primer merupakan kegiatan pelayanan kota dengan skala pelayanan regional, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Perdagangan Regional Kegiatan perdagangan dengan skala pelayanan regiona l yang telah terdapat di pusat
kota
tetap
dipertahankan
dan
untuk
pengembangannya
diarahkan
43
penyebarannya ke kota-kota satelit, terutama pada jalan-jalan utama yang memiliki tingkat aksesibilitas tinggi, seperti Jalan Raya Pajajaran, Jalan Raya Baru Kemang, Jalan Raya Sindangbarang, Jalan Raya Tajur dan Jalan Ring Road. b. Terminal Regional Terminal Regional yang merupakan Terminal Type A diarahkan pada Kota Satelit IV yaitu Kecamatan Bogor Utara Desa Ciluar. c. Kebun Raya Bogor dan CIFOR Kebun Raya Bogor dan CIFOR mempunyai fungsi ekologis menjaga keseimbangan ekosistem kota dan berfungsi wisata ilmiah yang mempunyai pelayanan skala regional. d. Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Pengembangan RPH ditujukan untuk memenuhi kebutuhan daging di Kota Bogor dan Kabupaten Bogor yang berlokasi di Desa Bubulak Kecamatan Bogor Barat. e. Rumah Sakit Pengembangan rumah sakit ditujukan untuk memenuhi pelayanan kesehatan di Kota Bogor dan daerah sekitarnya yang direncanakan di Kelurahan Tanah Sareal Kecamatan Tanah Sareal yang pengelolaannya oleh Pemerintah Daerah dan rumah sakit yang telah ada tetap dipertahankan seperti Rumah Sakit PMI, Rumah Sakit Azra, Rumah Sakit Bhakti, Rumah Sakit Islam, dan Rumah Sakit Salak. f. Pendidikan Pengembangan pendidikan Perguruan Tinggi/Akademi yang direncanakan di Desa Marga Jaya Kecamatan Bogor Barat dan di Desa Rancamaya Kecamatan Bogor Selatan, sedangkan untuk Perguruan Tinggi/Akademi yang ada tetap dipertahankan seperti Universitas Pakuan, Universitas Ibnu Khaldun, Universitas Nusa Bangsa, Institut Pertanian Bogor, serta beberapa akademi dan sekolah tinggi lainnya.
B. Struktur Kegiatan Sekunder Struktur kegiatan sekunder merupakan kegiatan dengan skala pelayanan kota, yang meliputi : (1) Perdagangan lokal yang dikembangkan pada pusat-pusat kegiatan Kota Satelitnya. (2) Perkantoran/Pemerintahan yang ditujukan untuk tercapainya
44
kegiatan secara merata serta mengurangi terkonsentrasinya kegiatan di pusat kota. (3) Kegiatan Industri yang telah ada di Kota Bogor keberadaannya tetap dipertahankan sedangkan untuk pe ngembangannya diarahkan pada kota satelit IV Kecamatan Bogor Utara. (4) Pendidikan dikembangkan menjadi pendidikan tingkat wilayah kota, pendidikan tingkat kecamatan, dan pendidikan tingkat lingkungan. (5) Permukiman ditujukan untuk memenuhi kebutuhan per umahan di Kota Bogor dan tertatanya lingkungan perumahan, sehingga terciptanya lingkungan permukiman yang layak huni. (6) Sub -Terminal pengembangan kegiatan ini penempatannya di kota-kota satelit yaitu di perbatasan antara Kota Bogor dan Kabupaten Bogor.
5.1.2 Rencana Pengembangan Sistem Perwilayahan Dalam upaya menjangkau pelayanan penduduk Kota Bogor dan sekitarnya secara merata, maka diperlukan rencana pengembangan sistem perwilayahan agar menjadi satu kesatuan yang utuh dalam sistem perkotaan, yang didasarkan atas : 1. Fungsi dan kedudukan Kota Bogor di wilayah Jawa Barat 2. Fungsi dan kedudukan Kota Bogor dalam konsistensi Jabodetabek 3. Potensi perkembangan dan kemampuan berkembang Kota Bogor. Dengan demikian sistem perwilayahan yang sesuai dengan Kota Bogor adalah Model Sistem Kota Satelit yaitu Pusat yang dikelilingi Satelit. Pusat Kota adalah Kecamatan Bogor Tengah sedangkan yang menjadi kota satelitnya adalah Kecamatan Bogor Selatan, Kecamatan Bogor Barat, Kecamatan Bogor Utara, Kecamatan Bogor Timur dan Kecamatan Tanah Sareal. Adapun fungsi dari masing-masing kecamatan atau satelitnya sebagai berikut : 1. Kecamatan Bogor Tengah sebagai Pusat Kota Satelit, Fungsi utamanya sebagai pusat kegiatan perdagangan dan jasa ditunjang oleh kegiatan perkantoran/pemerintahan, permukiman dan obyek wisata. 2. Kecamatan Bogor Selatan sebagai Kota Satelit I, Fungsi utamanya sebagai pusat kegiatan permukiman yang ditunjang oleh kegiatan perdagangan dan jasa serta merupakan daerah konservasi. 3. Kecamatan Bogor Barat sebagai Kota Satelit II,
45
Fungsi utamanya sebagai kegiatan permukiman yang ditunjang oleh kegiatan perdagangan dan jasa serta merupakan daerah obyek wisata dan daerah konservasi. 4. Kecamatan Tanah Sareal sebagai Kota Satelit III, Fungsi utamanya sebagai kegiatan perkantoran/pemerintahan yang ditunjang oleh kegiatan permukiman serta perdagangan dan jasa. 5. Kecamatan Bogor Utara sebagai Kota Satelit IV, Fungsi utamanya sebagai kegiatan industri non-polutan, yang ditunjang oleh kegiatan permukiman serta perdagangan dan jasa. 6. Kecamatan Bogor Timur sebagai Kota Satelit V, Fungsi utamanya sebagi kegiatan permukiman yang ditunjangoleh kegiatan industri non-polutan serta perdagangan dan jasa.
5.1.3 Rencana Penggunaan Lahan Secara umum rencana penggunaan lahan sampai dengan tahun 2009 terdiri dari kawasan lahan terbangun, kawasan lahan belum terbangun dan kawasan lahan yang tidak boleh dibangun atau lahan konservasi. 1. Kawasan lahan terbangun terdiri dari pemanfaatan lahan permukiman, pendidikan, peribadatan, kesehatan, perdagangan dan jasa, industri, perkantoran/pemerintahan, rumah potong hewan/pasar hewan, IPAL, terminal dan stasiun Kereta Api serta jalan. 2. Kawasan lahan belum terbangun terdiri dari jenis pemanfaatan lahan pertanian dan kebun campuran. 3. Kawasan lahan tidak boleh dibangun atau daerah konservasi terdiri dari Kebun Raya, hutan kota, taman dan jalur hijau, kawasan hijau, lapangan olahraga, daerah aliran sungai serta situ-situ alami maupun buatan.
5.1.4 Rencana Penyediaan Fasilitas Kesehatan Rencana penyediaan fasilitas keseha tan di Kota Bogor sampai tahun 2009 ditujukan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat mulai dari tingkat
46
lingkungan sampai tingkat kota, meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan dari fasilitas yang ada dan mengembangkan sesuai dengan kebutuhan. Adapun rencana pengembangan fasilitas kesehatan diarahkan sebagai berikut : 1. Sebagai upaya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dibawah otoritas pemerintah daerah maka perlu diadakan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD), yang direncanakan di Kelurahan Tanah Sareal KecamatanTanah Sareal dengan luas 1,47334 Ha. 2. Poliklinik dengan skala pelayanan 1.600 jiwa sebagai penunjang fasilitas kesehatan pada tingkat lingkungan, perlu penambahan sebanyak sebanyak 58 unit. 3. Praktek Dokter dengan skala pelayanan 5.000 jiwa sebagai penunjang fasilitas kesehatan pada tingkat lingkungan, perlu penambahan sebanyak 46 unit. 4. Apotik dengan skala pelayanan 10.000 jiwa, penambahan sebanyak 48 unit. 5. Pengembangan fasilitas kesehatan lainnya seperti posyandu, puskesmas harus sesuai denga n standar kebutuhan yang berlaku dan ditempatkan pada lokasi yang sesuai dengan peruntukkannya. 6. Memindahkan fasilitas kesehatan yang berada pada lokasi bukan peruntukkannya ke lokasi yang sesuai. 7. Rehabilitasi gedung fasilitas kesehatan yang sudah rusak berat yang masih sesuai dengan peruntukkan.
V1. GAMBARAN UMUM FASILITAS KESEHATAN RUMAH SAKIT DAN PUSKESMAS
6.1 Rumah Sakit Pengertian Rumah Sakit menurut Wolper dan Pena dalam Kurnia (2005) adalah tempat dimana orang sakit mencari dan menerima pelayanan kedokteran serta tempat dimana pendidikan klinik untuk mahasiswa kedokteran, perawat dan berbagai tenaga profesi kesehatan lainnya diselenggarakan. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa fungsi Rumah Sakit adalah tempat
untuk
menyelenggarakan
pelayanan
medik
keperawatan
serta
menyelenggarakan pelayanan pendidikan klinik untuk mahasiswa kedokteran, perawat dan tenaga kesehatan lainnya. Pengklasifikasian jenis Rumah Sakit menurut DEPKES RI (2003) adalah sebagai berikut: a. Rumah Sakit Umum (RSU), yaitu Rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan untuk semua jenis penyakit dari bersifat dasar hingga sub -spesial b. Rumah Sakit Jiwa (RSJ), yaitu Rumah sakit yang khusus menyelenggarakan pelayanan kesehatan jiwa c. Rumah Sakit Khusus, yaitu Rumah sakit yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan berdasarkan penyakit atau disiplin ilmu tertentu, meliputi : RS kusta (RSK), RS Tuberkulosa Paru (RSTP), RS Mata, RS Orthopedi, RS Bersalin dan RS Khusus lain seperti : RS Jantung, RS Kanker, dsb. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Tahun 1998 No.159b/Menkes/II/1988 yang tercantum dalam Bab II Pasal 3, rumah sakit dapat dimiliki dan diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta. RS Pemerintah dimiliki dan diselenggarakan oleh DEPKES, Pemda, TNI atau BUMN. Sedangkan RS Swasta dimiliki dan diselenggarakan oleh yayasan, PT dan badan hukum lain yang bersifat sosial. Pengklasifikasian Rumah Sakit umum baik pemerintah maupun swasta menurut
tingkat
kemampuannya
terbagai
menjadi
5
kelas,
yaitu:
48
1. Kelas A, merupakan Rumah Sakit ya ng mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialitik dan sub-spesialtik luas. 2. Kelas B II (B+), merupakan Rumah Sakit yang mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik spesialitik luas dan sub-spesialtik terbatas. RS A+ dan B+ dapat berfungsi sebagai RS Pendidikan. 3. Kelas B I, merupakan Rumah Sakit yang memiliki sekurang-kurangnya 11 jenis spesialitik. 4. Kelas C, Rumah Sakit medik yang memiliki sekurang-kurangnya 5 spesialitik 4 dasar pelayanan lengkap, yaitu bedah, penyakit dalam, kesehatan anak serta kebidanan dan kandungan. 5. Kelas D, Rumah Sakit yang sekurang-kurangnya mempunyai pelayanan medik dasar. 6.1.1
Tingkat Efisiensi Pengelolaan Rumah Sakit Umum Menurut Soejadi (1996) dalam Efisiensi pengelolaan Rumah Sakit Umum
(RSU) dapat digambarkan dengan melihat empat indikator yaitu rata-rata lama dirawat (Length of Stay-LOS), selang waktu pemakaian tempat tidur (Turn Over Interval - TOI), rata-rata pemakaian tempat tidur (Bed Occupancy Rate - BOR), dan frekuensi pemakaian tempat tidur (Bed turn over-BTO). Efisiensi pendayagunaan sarana rumah sakit biasanya dinilai dari indikator BOR, TOI dan BTO dan mutu pelayanan dari indikator TOI dan LOS. Angka ideal indikator efisiensi pengelolaan Rumah Sakit : 1. BOR : Bed Occupacion Rate (Angka rata-rata tempat tid ur terisi dalam satu tahun) Tempat tidur yang dimaksud adalah tempat tidur di ruang rawat inap. Angka BOR ideal berkisar antara 75%-85%. 2. AvLOS : Average Length of Stay (Angka rata-rata lamanya seorang pasien dirawat) Angka ideal : 3-12 hari 3. TOI : Turn Over Interval (Angka rata-rata sebuah tempat tidur tidak terisi) Angka ideal : 1-3 hari
49
4. BTO : Bed Turn Over (Tingkat penggunaan sebuah tempat tidur dalam satu tahun) Angka ideal : lebih dari 30 kali
6.1.2 Puskesmas Pengertian Puskesmas adalah suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat disamping memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok. Dengan kata lain Puskesmas mempunyai wewenang dan tanggung jawab atas pemeliharaan kesehatan masyarakat dalam wilayah kerjanya. Wilayah kerja Puskemas meliputi satu kecamatan atau sebagian dari kecamatan. Faktor kepadatan penduduk, luas daerah, keadaan geografik dan keadaan infrastruktur lainnya merupakan bahan pertimbangan dalam menentukan wilayah kerja Puskesmas. Puskesmas merupakan perangkat Pemerintah Daerah Tingkat II, sehingga pembagian wilayah kerja puskesmas ditetapkan oleh Bupati atau Walikota, dengan saran teknis dari kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Sasaran penduduk yang dilayani oleh sebuah Puskesmas rata-rata 30.000 penduduk setiap Puskesmas. Untuk perluasan jangkauan pelayanan kesehatan maka Puskesmas perlu ditunjang dengan unit pelayana n kesehatan yang lebih sederhana yang disebut Puskesmas Pembantu dan Puskesmas Keliling. Khusus untuk kota besar dengan jumlah penduduk satu juta atau lebih, wilayah kerja Puskesmas bisa meliputi 1 Kelurahan. Puskesmas di ibukota Kecamatan dengan jumlah penduduk 150.000 jiwa atau lebih, merupakan “Puskesmas Pembina“ yang berfungsi sebagai pusat rujukan bagi Puskesmas kelurahan dan juga mempunyai fungsi koordinasi. Dalam perkembangannya, batasan-batasan di atas makin kabur seiring dengan diberlakukannya UU Otonomi Daerah yang lebih mengedepankan desentralisasi. Dengan Otonomi, setiap daerah tingkat II punya kesempatan mengembangkan Puskesmas sesuai Rencana Strategis ( renstra ) Kesehatan Daerah dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah ( RPJMD ) Bidang Kesehatan sesuai situasi dan kondisi daerah Tingkat II. Konsekuensinya adalah perubahan struktur organisasi
50
kesehatan serta tugas pokok dan fungsi yang menggambarkan lebih dominannya aroma kepentingan daerah tingkat II, yang memungkinkan terjadinya perbedaan penentuan skala prioritas upaya peningkatan pelayanan kesehatan di tiap daerah tingkat II, dengan catatan setiap kebijakan tetap mengacu kepada Renstra Kesehatan Nasional. Di sisi lain daerah tingkat II dituntut melakukan akselerasi di semua sektor penunjang upaya pelayanan kesehatan. Pelayanan Kesehatan Menyeluruh Pelayanan Kesehatan yang diberikan Puskesmas adalah pelayanan kesehatan menyeluruh yang meliputi pelayanan: a. Kuratif (pengobatan) b. Preventif (upaya pencegahan) c. Promotif (peningkatan kesehatan) d. Rehabilitatif (pemulihan kesehatan) Pelayanan tersebut ditujukan kepada semua pendud uk, tidak membedaan jenis kelamin dan golongan umur, sejak pembuahan dalam kandungan sampai tutup usia. Pelayanan Kesehatan Integratif sebelum ada Puskesmas, pelayanan kesehatan di Kecamatan meliputi Balai Pengobatan, Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak, Usaha Hyegiene Sanitasi Lingkungan, Pemberantasan Penyakit Menular, dan lain- lain. Usaha-usaha tersebut masih bekerja sendiri-sendiri dan langsung melapor kepada Kepala Dinas Kesehatan Dati II. Petugas Balai Pengobatan tidak tahu menahu apa yang terjadi di BKIA, begitu juga petugas BKIA tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh petugas Hygiene Sanitasi dan sebaliknya. Dengan adanya sistem pelayanan kesehatan melalui Pusat Kesehatan Masyarakat yakni Puskesmas, maka berbagai kegiatan pokok Puskesmas dilaksanakan bersama dibawah satu koordinasi dan satu pimpinan.
6.1.3 Fungsi dan peran Puskesmas 1. Fungsi Puskesmas: 1. Sebagai Pusat Pembangunan Kesehatan Masyarakat di wilayah kerjanya. 2. Membina peran serta masyarakat di wilayah kerjanya dalam rangka meningkatkan kemampuan untuk hidup sehat
51
3. Memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya. Proses dalam melaksanakan fungsinya, dilaksanakan dengan cara: a. Merangsang masyarakat termasuk swasta untuk melaksanakan kegiatan dalam rangka menolong dirinya sendiri. b. Memberikan
petunjuk
kepada
masyarakat
tentang
bagaimana
menggali dan menggunakan sumberdaya yang ada secara efektif dan efisien. c. Memberikan bantuan yang bersifat bimbingan teknis materi dan rujukan medis maupun rujukan kesehatan kepada masyarakat dengan ketentuan bantuan tersebut tidak menimbulkan ketergantungan. d. Memberikan pelayanan kesehatan langsung kepada masyarakat. Bekerja sama dengan sektor-sektor yang bersangkutan dalam melaksanakan program Puskesmas.
2. Peran Puskesmas: Dalam konteks Otonomi Daerah saat ini, Puskesmas mempunyai peran yang sangat vital sebagai institusi pelaksana teknis, dituntut memiliki kemampuan manajerial dan wawasan jauh ke depan untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Peran tersebut ditunjukkan dalam bentuk ikut serta menentukan kebijakan daerah melalui sistem perencanaan yang matang dan realisize, tatalaksana kegiatan yang tersusun rapi, serta sistem evaluasi dan pemantauan yang akurat. Rangkaian manajerial di atas bermanfaat dalam penentuan skala prioritas daerah dan sebagai bahan kesesuaian dalam menentukan RAPBD yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Adapun ke depan, Puskesmas juga dituntut berperan dalam pemanfaatan teknologi informasi terkait upaya peningkatan pelayanan kesehatan secara komprehensif dan terpadu.
3. Kedudukan Puskesmas: 1. Kedudukan secara administratif: Puskesmas merupakan perangkat teknis
52
Pemerintah Daerah Tingkat II dan bertanggung jawab langsung baik teknis maupun administratif kepada Kepala Dinas Kesehatan Dati II. 2. Kedudukan dalam hirarki pelayanan kesehatan: Dalam urutan hirarki pelayanan kesehatan, sesuai SKN maka Puskesmas berkedudukan pada Tingkat Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pertama. Yang dimaksud Pelayanan Kesehatan
Tingkat
Pertama
adalah
fasilitas,
sedangkan
dalam
hal
pengembangan pelayanan kesehatan, Puskesmas dapat meningkatkan dan mengembangkan diri ke arah modernisasi sistem pelayanan kesehatan di semua lini, baik promotif, preventif, kuratif maupun rehabilitatif sesuai kebijakan Rencana Strategis daerah tingkat II di bidang kesehatan. Sebagai contoh: Di bidang promotif, Puskesmas dimungkinkan menggunakan LCD Proyektor sebagai sarana penyuluhan kesehatan dengan memanfaatkan teknologi terkini yang bersifat interaktif menggunakan perangkat audiovisual multimedia. Penyuluhan Kesehatan Interaktif : Di bidang penunjang kuratif, Puskesmas dapat mengembangkan Laboratorium modern menggunakan Elektro Fotometri, USG, EEG dan lain- lain secara bertahap, agar mutu pelayanan meningkat dan masyarakat dapat menikmati berbagai pelayanan kesehatan di Puskesmas. Di bidang pengembangan SDM petugas, pimpinan Puskesmas dapat mengupayakan medical review dan prosedur tetap pelayanan medis, agar upaya kuratif lebih bermutu dan dapat dipertanggung jawabkan. Di bidang preventif, Puskesmas dapat mengembangkannya dalam bentuk pembuatan brosur semisal Brosur jadwal imunisasi, brosur DBD, Diare dan lain- lain sesuai skala priotitas dan kondisi tiap Puskesmas. Di bidang rehabilitatif, juga dapat dikembangkan transfer pengetahuan kesehatan kepada khalayak berupa brosur, Semisal brosur jadwal makan Diabetes saat Puasa dan lain- lain.
VII. HASIL DAN PEMBAHASAN
7.1 Hirarki Aktual Fa silitas Kesehatan Kecamatan Kota Bogor Berdasarkan Metode Skalogram Untuk mengetahui hirarki fasilitas kesehatan kecamatan Kota Bogor yang tersebar digunakan metode skalogram. Seperti yang telah disebutkan dalam metodologi penelitian, metode ini memberikan hirarki yang lebih tinggi kepada pusat pertumbuhan dan pelayanan yang memiliki jumlah unit sarana
dan prasarana
pembangunan yang lebih banyak. Metode skalogram lebih menekankan kriteria kualitatif dibandingkan kriteria yang menyangkut derajat fungsi sarana dan prasarana pembangunan, distribusi penduduk dan jangkauan pengaruh pelayanan secara spasial tidak dipertimbangkan secara spesifik. Metode skalogram ini digunakan dalam penelitian untuk mengidentifikasi kecamatan mana di Kota Bogor yang belum lengkap atau yang sudah lengkap dalam ketersediaan fasilitas kesehatan. Berdasarkan jumlah dan jenis unit fasilitas kesehatan pada setiap kecamatan di Kota Bogor dapat disusun skalogram untuk fasilitas kesehatan kecamatan Kota Bogor seperti disajikan pada tabel lampiran 1 skalogram. Pada skalogram tersebut dapat diperoleh informasi hirarki fasilitas kesehatan di setiap kecamatan Kota Bogor dari peringkat teratas sampai dengan yang terbawah seperti disajikan dalam tabel.
Tabel 10. Hirarki Fasilitas Kesehatan di Kota Bogor 2005 No
Kecamatan
Jumlah
Jml unit fas
Jml jenis fas
Penduduk
kesehatan
kesehatan
Peringkat
1
Tanah Sareal
158.187
55
10
6
2
Bogor Tengah
103.176
138
12
2
3
Bogor Utara
149.578
119
11
3
4
Bogor Selatan
166.745
66
10
4
5
Bogor Barat
190.421
175
11
1
6
Bogor Timur
86.978
62
11
5
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Bogor 2005 (diolah)
54
Berdasarkan tabel Skalogram diatas terlihat bahwa setiap kecamatan di Kota Bogor belum ada yang memiliki fasilitas kesehatan yang lengkap. Kecamatan dengan jumlah total jenis unit fasilitas kesehatan terlengkap adalah Kecamatan Bogor Barat dengan 175 unit, sedangkan Kecamatan Tanah Sareal menempati peringkat terakhir dalam hirarki fasilitas kesehatan ini dengan 55 unit. Dalam jumlah total jenis fasilitas kesehatan terlengkap adalah Kecamatan Bogor Tengah dengan 12 jenis (85,71%) dari 14 jenis. Sedangkan yang memiliki jumlah total jenis fasilitas kesehatan terbatas adalah Kecamatan Tanah Sareal dan Bogor Selatan dengan 10 jenis (71,4%). Hal diatas bisa juga menandakan bahwa fasilitas kesehatan di Kota Bogor belum merata di tiap Kecamatan. Jika dilihat dari jumlah penduduk, pada umumnya semakin besar jumlah penduduk suatu wilayah maka akan semakin besar pula kebutuhan akan ketersediaan fasilitas sosial seperti fasilitas kesehatan. Wilayah yang memiliki peringkat jumlah fasilitas pelayanan lebih tinggi atau sama bila dibandingkan dengan peringkat jumlah penduduk tentu akan lebih mudah untuk melayani penduduk yang membutuhkan pelayanan. Kecamatan yang termasuk kategori ini adalah Kecamatan Bogor Barat dengan jumlah penduduk yang paling banyak di Kota Bogor sebesar 190.421 jiwa, telah memiliki fasilitas kesehatan yang mencukupi untuk melayani masyarakatnya. Wilayah yang memiliki peringkat jumlah fasilitas pelayanan lebih rendah dari pada peringkat jumlah penduduk adalah Kecamatan Bogor Selatan dan Tanah Sareal. Kecamatan yang juga memiliki jumlah penduduk yang cukup banyak seperti Bogor Selatan (166.745 jiwa) dan Tanah Sareal (158.187 jiwa) belum memiliki fasilitas kesehatan yang cukup untuk melayani masyarakatnya. Walaupun kita berasumsi bahwa semakin banyak jumlah penduduk, maka akan semakin banyak pula fasilitas pelayanan yang dibutuhkan, kenyataannya ini belum mampu menunjukan bahwa kebutuhan masyarakat akan fasilitas pelayanan telah seimbang dengan kelengkapan fasilitas yang ada. Hirarki fasilitas kesehatan Kota Bogor seperti terlihat dalam analisis skalogram terlihat sangat beragam dan belum merata. Untuk melihat hierarki fasilitas kesehatan tiap kecamatan di Kota Bogor secara detail dapat disajikan seperti di bawah ini.
55
Tabel 11. Jumlah Puskesmas, Puskesmas pembantu dan Puskesmas keliling Kota Bogor Tahun 2005 Puskesmas
Jumlah TT
Puskesmas
Puskesmas
RRI
Puskesmas
pembantu
keliling
Bogor Selatan
4
11
5
2
Bogor Timur
2
8
3
1
Bogor Utara
2
4
2
Bogor Tengah
5
6
4
Bogor Barat
5
7
3
Tanah Sareal
5
13
2
Kecamatan
Sumber : BPS Kota Bogor, 2005
Berdasarkan tabel diatas dapat disimpulkan bahwa jumlah fasilitas Puskesmas untuk beberapa kecamatan terlihat cukup merata. Kecamatan Bogor Selatan memiliki jumlah puskesmas paling banyak. Hal ini mungkin diantisipasi sebagai alternatif penyediaan fasilitas kesehatan bagi masyarakat di Bogor Selatan karena kecamatan ini belum memilki fasilitas kesehatan yang lengkap seperti rumah sak it. Tabel 12. Jumlah Rumah Sakit dan tempat tidur Kota Bogor Tahun 2005 Kecamatan
Rumah sakit
Tempat Tidur
Bogor Selatan
-
-
Bogor Timur
1
45
Bogor Utara
1
91
Bogor Tengah
2
416
Bogor Barat
3
881
Tanah Sareal
1
39
Kota Bogor
8
1472
2004
8
1429
2003
7
1521
2002
6
1401
2001
6
693
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Bogor, 2005
56
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa Kecamatan Bogor Barat kembali mempunyai fasilitas rumah sakit paling banyak dan Kecamatan Bogor Selatan menjadi kecamatan di Kota Bogor yang belum memiliki fasilitas Rumah Sakit. Dari tahun ke tahun antara 2001-2005 Kota Bogor mengalami peningkatan dalam jumlah fasilitas Rumah Sakit. Rumah Sakit umum di Kota Bogor pada sampai tahun 2005 berjumlah 8 buah dengan rincian 7 buah Rumah Sakit swasta dan 1 buah Rumah Sakit pemerintah. Jumlah tempat tidur yang ada 1.472 dan perbandingan jumlah tempat tidur dirumah sakit dengan penduduk Kota Bogor adalah 1:606 dengan demikian fasilitas di Rumah Sakit umum di Kota Bogor masih sangat kurang, sehingga perlu dibantu dengan pelayanan kesehatan yang menyediakan tempat tidur.
Tabel 13. Jumlah Fasilitas Kesehatan Dasar di Kota Bogor Tahun 2005 Praktek dokter Kecamatan
Praktek
BP/Klinik
Lab.Kes
Jumlah
7
4
3
45
17
6
8
2
56
56
27
14
7
2
106
Bogor Tengah
42
50
14
3
7
116
Bogor Barat
70
51
25
-
3
149
Tanah Sareal
19
12
8
4
1
44
Kota Bogor
236
162
74
26
18
516
2004
274
136
130
83
17
640
2003
-
425
124
38
16
617
2002
-
452
104
77
19
652
Umum
Spesialis
Dokter Gigi
Bogor Selatan
26
5
Bogor Timur
23
Bogor Utara
Sumber : Bogor Dalam Angka tahun 2006
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa dari segi fasilitas kesehatan dasar, kecamatan Bogor Barat menempati peringkat pertama. Sementara untuk kecamatan Tanah Sareal menempati peringkat terakhir. Dengan demikian fasilitas kesehatan yang ada di Kecamatan Tanah Sareal masih kurang, sehingga perlu dibantu dengan penambahan fasilitas kesehatan dasar.
57
Untuk menunjang fasilitas kesehatan terdapat optik, apotik dan toko obat seperti terlihat dalam Tabel 14. Tabel 14. Distribusi fasilitas penunjang kesehatan Kota Bogor tahun 2005 Kecamatan
Optik
Apotik
Toko Obat
Laboratorium
Bogor Selatan
4
12
6
2
Bogor Barat
0
17
2
3
Bogor Timur
1
9
4
3
Bogor Tengah
3
33
3
2
Tanah Sareal
22
8
10
7
Bogor Utara
2
18
3
10
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Bogor, 2005
Jumlah Optik yang ada di Kota Bogor saat ini ada 32 optik, yang sudah berijin sebanyak 18 buah. Dari jumlah tersebut yang terbanyak ada di wilayah Kecamatan Tanah Sareal yaitu sebanyak 22 optik. Untuk yang akan datang perlu adanya pengaturan perijinan optikal dan pengawasan juga pengendalian dalam hal perijinan. Sedangkan untuk Apotik di wilayah Kota Bogor saat ini berjumlah 97 apotik, semua sudah berijin. Untuk penyebaran apotik pun sama seperti optik yaitu Kecamatan Bogor Tengah yang terbanyak sebanyak 33 apotik. Sehingga untuk hal tersebut perlu adanya pemerataan pengaturan lokasi. Dalam hal pelaporan narkotik, psikotropik belum semua apotik melaporkan ke Dinas Kesehatan Kota Bogor. Untuk itu akan dilaksanakan pembinaan teknis yang lebih intensif. Sementara untuk toko obat, saat ini jumlah toko obat di wilayah Kota Bogor sebanyak 28 toko obat, yang sudah berijin sebanyak 14 buah terbanyak di wilayah Kecamatan Tanah Sareal, sebanyak 10 buah. Masalah toko obat yang paling utama yaitu tentang adanya penjualan terhadap obat-obat yang harus dibeli dengan resep dokter. Untuk tindak lanjut masalah ini mungkin perlu adanya pemerataan, pengaturan lokasi dan pengawasan yang lebih ketat, yang dilakukan bersama-sama Balai Besar POM. Hasil dari analisis deskriptif terhadap berbagai fasilitas kesehatan yang dijelaskan diatas, dapat disimpulkan bahwa dari segi kuantitas fasilitas kesehatan dasar maupun fasilitas penunjang kesehatan di Kota Bogor sudah memadai untuk
58
memberikan pelayanan bagi masyarakat. Namun demikian masih ditemukan beberapa permasalahan terkait dengan fasilitas tersebut, seperti penyebaran fasilitas kesehatan kebanyakan terpusat di satu kecamatan, misalnya Kecamatan Bogor Barat. Sedangkan di kecamatan lain seperti Kecamatan Bogor Selatan masih kurang dalam ketersediaan fasilitas kesehatannya. Hal ini dapat dijadikan pertimbangan oleh Pemerintah Kota Bogor dalam rencana pembangunan kesehatan Kota Bogor di waktu yang akan datang, misalnya penambahan jumlah fasilitas kesehatan di kecamatankecamatan yang masih kurang, seperti Kecamatan Bogor Selatan. Dalam analisis selanjutnya, penelitian ini mengambil konsentrasi pada fasilitas Rumah Sakit dan Puskesmas dikarenakan permasalahan yang terjadi lebih mengarah pada pemenuhan kebutuhan masyarakat akan kedua fasilitas tersebut. Selain itu karena dalam perilaku pencarian obat masyarakat Kota Bogor lebih memilih kedua fasilitas tersebut. Seperti terlihat dalam tabel 15 dibawah ini.
Tabel 15. Pola Perilaku Pencarian Pengobatan di Kota Bogor Tahun 2005 Rawat Jalan No
Fasilitas Tempat Berobat
Rawat Inap
(jml kunjungan) 2004
2005
2004
2005
1
RS. Pemerintah
-
-
-
-
2
RS. Swasta
-
623.494
-
77.409
3
Praktek dokter
-
-
-
-
4
Puskesmas
-
704.710
-
465
5
Puskesmas pembantu
-
-
-
-
6
Posyandu
-
-
-
-
Sumber : Laporan Puskesmas, 2004-2005
Pada Tabel diatas pola pencarian pengobatan belum dapat tergambarkan, karena proses pelaporan dan pencatatan dari data tersebut belum terdokumentasikan dengan lengkap. Namun demikian apab ila dilihat dari kunjungan rawat jalan terlihat bahwa pasien memilih pengobatan ke Rumah Sakit swasta dan Puskesmas. Dari
59
kedua sarana pelayanan tersebut selama 2 tahun berturut-turut, pencarian pengobatan menunjukan bahwa puskesmas lebih banyak dikunjungi dibandingkan Rumah sakit. Sementara pendapatan daerah Kota Bogor dari sektor kesehatan menempatkan puskesmas sebagai penyumbang terhadap PAD yang paling banyak diantara fasilitas kesehatan lain5 , yakni sebesar Rp.2.450.667.000,- dari PAD Kota Bogor yang sebesar Rp.63.830.553.398,- hal ini menandakan peran Puskesmas sangat membantu bagi pembangunan Kota Bogor.
7.2. Analisis Deskriptif Standar Kebutuhan Fasilitas Rumah Sakit dan Puskesmas di Kota Bogor Seperti yang telah disebutkan dalam akhir bagian analisis deskriptif hirarki fasilitas kesehatan bahwa penelitian ini akan menganalisis pada konsentrasi fasilitas Rumah Sakit dan Puskesmas Kota Bogor. Analisis standar kebutuhan akan membahas dari segi Sumber Daya Manusia (SDM) dan dari segi fasilitasnya. Hal ini dilakukan untuk lebih mempertajam dalam analisis deskriptif dan tidak melihat dari satu sisi saja sehingga bisa membantu dalam menghasilkan kesimpulan yang baik.
7.2.1. Analisis Deskriptif Standar Kebutuhan SDM Fasilitas Puskesmas Kota Bogor Dari standar kebutuhan tenaga kesehatan pada 24 Puskesmas induk yang ada masih diperlukan tenaga tambahan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas perkotaan antara lain dibutuhkan 2 orang dokter ahli untuk Puskesmas rujukan dan menghadapi pengembangan puskesmas entitas mandiri dalam meningkatkan pelayanan kesehatan dasar maupun peningkatan retribusi atau pendapatan puskesmas. Adapun standar kebutuhan tenaga kesehatan puskesmas dapat dilihat pada lampiran 2.
5
Subag Keuangan Dinas Kesehatan Kota Bogor.Profil Kesehatan Kota Bogor,p 113
60
7.2.2 Analisis Deskriptif Standar Kebutuhan SDM Fasilitas Rumah sakit Kota Bogor Kebutuhan akan tenaga ahli di 8 Rumah Sakit yang ada di Kota Bogor belum terpenuhi semua, masih banyak dokter ahli bekerja sebagai dokter tamu atau dokter tidak tetap, sehingga tidak memenuhi standar yang telah ditetapkan sesuai dengan PP Nomor 32 tahun 1996. Kebutuhan tenaga dokter di Rumah Sakit di Kota Bogor dapat digambarkan sebagaimana tabel. dalam lampiran 3. Kekurangan dokter ahli dapat digambarkan sebagaimana tabel lampiran. berjumlah 40 orang yang terdiri dari dokter ahli kebidanan dan kandungan 6 orang, dokter ahli anestesi 7 orang, dokter ahli penyakit dalam 6 orang, dan dokter ahli radiologi 7 orang dan ahli radiologi klinis 2 orang dalam rangka menekan angka Tb. Paru. 7.3. Analisis Deskriptif Standar Ke butuhan Fasilitas Kesehatan Kota Bogor Tahun 2000-2012 Kota Bogor terbagi yang menjadi 6 (enam) kecamatan mempunyai luas 118,50 Km2 , dengan jumlah penduduk sebesar 855.085 jiwa. Menurut BPS Kota Bogor, setiap tahunnya terjadi peningkatan penduduk di Kota Bogor dengan luas wilayah yang tetap sehingga kepadatan penduduk tidak dapat dihindari. Peningkatan penduduk akan mempengaruhi pembangunan fasilitas sosial seperti fasilitas kesehatan. Analisis Deskriptif Standar Kebutuhan Fasilitas Kesehatan Kota Bogor Tahun 2000-2012 tersaji dalam beberapa tabel dibawah ini. Tabel 16. Rencana Kebutuhan Fasilitas Kesehatan Kecamatan Bogor Barat 2000-2012 No Jenis Fasilitas Kesehatan 1 Balai Pengobatan 2 Puskesmas 3 Posyandu
Standar Penduduk
10.000 30.000 2.500
Tahun 2007 Tahun 2012 (196,946 jiwa) (224,880 jiwa) Kebutuh Kebu- Penam- Kebutuh PenamJumlah an tuhan bahan an bahan Tahun 2000
7 8 167
4 Apotik 10.000 10 5 Rumah Sakit 240.000 3 Sumber :Revis i RTRW Kota Bogor 2002 -2012
16 5 66
20 7 79
13 0 0
23 8 90
3 0 0
16 1
20 1
10 0
23 1
3 0
61
Berdasarkan tabel standar kebutuhan fasilitas kesehatan Kecamatan Bogor Barat dalam rencana kebutuhan fasilitas umum dan sosial 2000-2012, kecamatan ini pada tahun 2000 jumlah eksisiting fasilitas kesehatannya secara umum sudah memadai dalam pelayanan kesehatan bagi masyarakat, seperti Rumah Sakit. Akan tetapi pada tahun-tahun yang akan datang dalam rencana tata ruang sampai tahun 2012 masih memerlukan penambahan dalam mengatasi peningkatan penduduk yang diproyeksikan sebesar 196,946 jiwa (tahun 2007) dan 224,880 jiwa (tahun 2012). seperti fasilitas Balai Pengobatan dan Apotik. Tabel 17. Rencana Kebutuhan Fasilitas Sosial Ekonomi Berdasarkan Jumlah Penduduk Kecamatan Bogor Selatan Tahun 2007 - 2012
No
Jenis Fasilitas
Standar Penduduk
Tahun 2000 Jumlah
Kebutuh an
10.000
2
Kesehatan Balai Pengobatan Puskesmas
30.000
8
3 4 5 6
Posyandu Praktek Dokter Apotik Rumah Sakit
2.500 5.000 10.000 240.000
195 18 -
1
1
Tahun 2007 Tahun 2012 (158.017 jiwa) (172.642 jiwa) Kebu- Penam Kebutuh Penam tuhan -bahan an -bahan 16
16
17
1
5
5
63
63 32 16 1
0
6
1
0 32 0 1
69 35 17 1
6 3 1 1
Sumber :Revisi RTRW Kota Bogor 2002 -2012
Berdasarkan tabel standar kebutuhan fasilitas kesehatan Kecamatan Bogor Selatan dalam rencana kebutuhan fasilitas umum dan sosial 2000-2012, kecamatan ini sampai tahun 2007 masih belum memiliki fasilitas Rumah Sakit. Oleh karena itu kebutuhan fasilitas kesehatan diperuntukan untuk memenuhi fasilitas Rumah Sakit. Metode yang dipakai dalam proyeksi jumlah penduduk pada tahun 2007 dan tahun 2012 adalah metode polinomial.
62
Tabel 18. Rencana Kebutuhan Fasilitas Umum dan Sosial Kecamatan Bogor Timur Berdasarkan Penduduk Tahun 2007-2012 No
Jenis Fasilitas
Tahun 2000 Standar Penduduk Jumlah Kebutuh an
Tahun 2007 KebuPenamtuhan bahan
Tahun 2012 Kebutuh Penam an -bahan
Kesehatan 1 Balai Pengobatan 2 Puskesmas
10.000 30.000
6 7
8 3
10 3
4 -
11 4
1 1
3 Posyandu 4 Rumah Sakit
2.500 240.000
73 1
31 -
39 -
-
45 -
6 -
Sumber :Revisi RTRW Kota Bogor 2002 -2012
Berdasarkan tabel standar kebutuhan fasilitas kesehatan Kecamatan Bogor Timur dalam rencana kebutuhan fasilitas umum dan sosial 2000-2012, kecamatan ini secara umum sudah memadai dalam segi kuantitasnya. Kecamatan ini pun sudah memiliki Rumah Sakit. Fasilitas lain yang masih memerlukan penambahan dalam RTRW sampai tahun 2012 seperti balai pengobatan sebesar 11 unit. Tabel 19. Rencana Kebutuhan Fasilitas Umum dan Sosial Kecamatan Bogor Utara Berdasarkan Penduduk Tahun 2007-2012
No
Jenis Fasilitas
1 2 3 4
Kesehatan Balai Pengobatan Puskesmas Posyandu Rumah Sakit
Standar Penduduk
10.000 30.000 2.500 240.000
Tahun 2007 (148.970 jiwa) Kebutuh Kebu- PenamJumlah an tuhan bahan Tahun 2000
7 9 103 2
13 4 51 1
15 5 60 1
8 0 0 0
Tahun 2012 (161.868) Kebut Penamuhan bahan 16 5 65 1
1 0 5 0
Sumber :Revisi RTRW Kota Bogor 2002 -2012
Berdasarkan tabel standar kebutuhan fasilitas kesehatan Kecamatan Bogor Utara dalam rencana kebutuhan fasilitas umum dan sosial 2000-2012, kecamatan ini memiliki jumlah eksisting fasilitas kesehatan yang sudah memadai. Contohnya fasilitas Posyandu yang mencapai 103 unit.
63
Tabel 20. Rencana Kebutuhan Fasilitas Kesehatan Kecamatan Tanah Sareal Berdasarkan Proyeksi Penduduk Tahun 2007 Dan 2012
No
Jenis Fasilitas
Standar Penduduk
Tahun 2000 Jumlah
Kesehatan 1 Balai Pengobatan 10.000 12 2 Puskesmas 30.000 8 3 Posyandu 2.500 126 4 Rumah Sakit 240.000 1 Sumber :Revisi RTRW Kota Bogor 2002 -2012
Kebutuh an 13 4 51 1
Tahun 2007 (143.097jiwa) KebuPenamtuhan bahan 14 5 57 1
2 0 0 0
Tahun 2012 (155.117 jiwa) Kebutu Penamhan bahan 16 5 62 1
2 0 5 0
Berdasarkan tabel lampiran standar kebutuhan fasilitas kesehatan Kecamatan Tanah Sareal dalam rencana kebutuhan fasilitas umum dan sosial 2000-2012, kecamatan ini memiliki jumlah eksisting fasilitas kesehatan cukup memadai. Akan tetapi menurut kebutuhan sampai tahun 2012, masih perlu penambahan fasilitas kesehatan seperti balai pengobatan dengan rencana kebutuhan pada tahun 2012 sebesar 16 unit. Kebutuhan terbesar pada tahun 2012 adalah Posyandu sebesar 62 unit.
Tabel 21. Rencana Kebutuhan Fasilitas kesehatan Kecamatan Bogor Tengah Berdasarkan Proyeksi Penduduk Tahun 2007 Dan 2012 Tahun 2000 Standar Penduduk Jumlah Kebutuhan
No
Jenis Fasilitas
1
Kesehatan Balai Pengobatan
10.000
12
2 3
Puskesmas Posyandu
30.000 2.500
9
4 Praktek Dokter 5.000 5 Apotik 10.000 26 6 Rumah Sakit 240.000 1 Sumber :Revisi RTRW Kota Bogor 2002 -2012
Tahun 2007
Tahun 2012 Pena Kebumtuhan bahan
Kebutuhan
Penambahan
10
10
-2
10
0
3 41
3 42
-6 42
3 42
0 0
21 10 0
21 10 0
21 -16 -1
21 10 0
0 0 0
64
Berdasarkan tabel standar kebutuhan fasilitas kesehatan Kecamatan Bogor Tengah dalam rencana kebutuhan fasilitas umum dan sosial 2000-2012, kecamatan ini sudah memiliki jumlah eksisting fasilitas kesehatan yang memadai. Hal ini dikarenakan Bogor Tengah yang merupakan pusat kota sehingga fasilitas kesehatannya cukup memadai di kecamatan ini. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa, kebutuhan fasilitas kesehatan dalam Revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sampai tahun 2012 di Kota Bogor secara umum terus mengalami kenaikan. Kecamatan-kecamatan yang bisa dikatakan cukup memadai dalam kuantitas fasilitas kesehatannya adalah Bogor Barat, Bogor Utara dan Bogor Tengah. Kebutuhan fasilitas kesehatan yang perlu diperhatikan adalah di Kecamatan Bogor Selatan yakni fasilitas Rumah Sakit, kecamatan ini belum memiliki fasilitas Rumah Sakit. Untuk Kecamatan Bogor Timur diperlukan penambahan pada fasilitas kesehatan pendukung seperti Balai pengobatan dan Puskesmas. Begitu pula dengan Kecamatan Tanah Sareal yang memerlukan penambahan pada fasilitas yang sama. Hal ini berarti adanya keterkaitan antara hasil analisis skalogram hirarki fasilitas kesehatan setiap kecamatan Kota Bogor dengan analisis standar kebutuhan fasilitas kesehatannya, yang menggambarkan bahwa kecamatan yang perlu mendapatkan perhatian dalam pemerataan fasilitas kesehatan adalah Kecamatan Tanah Sareal, Bogor selatan dan Bogor Timur.
7.4. Analisis Deskriptif Mutu Fasilitas Rumah Sakit Kota Bogor Analisis mutu fasilitas Rumah Sakit digunakan untuk melihat sejauh mana daya layan fasilitas Rumah Sakit di Kota Bogor terhadap masyarakat terutama dari variabel mutu atau akreditasi Rumah Sakit. Pada tabel dibawah ini terlihat bahwa hanya 4 buah Rumah Sakit di Kota Bogor yang telah melaksanakan akreditasi. Hal tersebut menunjukan bahwa mutu pelayanan
di
2
rumah
sakit
yang
belum
terakreditasi,
belum
dapat
dipertanggungjawabkan sehingga Dinas Kesehatan harus mendorong agar Rumah Sakit tersebut segera melaksanakan akreditasi agar dapat menjamin pelayanan kesehatan yang aman dan bermutu bagi masyarakat Kota Bogor.
65
Tabel 22. Akreditasi Rumah Sakit di Kota Bogor tahun 2005 Akreditasi No
Nama Rumah Sakit
1
RS Karya Bhakti
2
Type
Sudah
Belum
C+
Tahun 2002 (12 pelayanan)
RS Salak
B
Tahun 2002 (5 pelayanan)
3
RS Azra
C+
4
RS PMI
B
5
RS Islam
C
6
RS Marzoeki Mahdi
A
7
RS Hermina
8
RS BMC
Tahun 2000 (5 pelayanan)
Tahun 2002 (5 pelayanan)
Sumber : Laporan Tahunan Rumah Sakit, tahun 2004 dalam Profil Kesehatan Kota Bogor 2005
7.5 Analisis Deskriptif Mutu Fasilitas Puskesmas Kota Bogor Jenis Puskesmas di Kota Bogor sebanyak 44 Puskesmas yang tersebar di enam kecamatan seperti terlihat pada tabel berikut : Tabel 23. Jumlah Puskesmas menurut Kecamatan Kecamatan
Jumlah Puskesmas per 30.000 penduduk
Bogor Selatan
9
Bogor Timur
6
Bogor Utara
5
Bogor Tengah
9
Bogor Barat
8
Tanah Sareal
7
Kota Bogor
44
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Bogor, 2004
Sejak Pelita IV sampai dengan tahun 2004 jumlah Puskesmas di Kota Bogor telah terjadi peningkatan. Peningkatan ini ada yang berupa pembangunan puskesmas baru maupun peningkatan fisik dari Puskesmas pembantu menjadi Puskesmas.
66
Peningkatan sarana puskesmas dari Puskesmas pembantu menjadi Puskesmas induk telah dilakukan sejak adanya pengembangan wilayah Kota Bogor. Untuk meningkatkan cakupan pelayanan dan agar petugas dapat lebih efektif melakukan pelayanan diluar gedung, dikembangkan juga puskesmas keliling (pusling), pada tahun 2004 tercatat jumlah Puskesmas keliling sebanyak 3 buah. Secara umum pemanfaatan fasilitas kesehatan dasar di Puskesmas se Kota Bogor sudah cukup baik, hal ini ditunjukan dengan kecenderungan peningkatan kunjungan Puskesmas setiap tahun sebagaimana terlihat pada tabel berikut :
Tabel 24. Kunjungan Puskesmas di Kota Bogor Tahun 2003-2005 Jumlah Kunjungan No
Jenis Kunjungan
2003
2004
2005
675.778
695.788
705.175
820.707
831.571
855.085
0,82
0,84
0,82
Jumlah kunjungan Gakin
683.988
92.298
79.859
Jumlah Penduduk Gakin
89.735
92.087
21.895
7,6
10
27,4
Jumlah kunjungan ASKES
97.030
107.608
90.864
Jumlah Peserta ASKES
72.289
258.377
211.685
1,34
0,42
0,42
Jumlah kunjungan 24 1
Puskesmas Jumlah Penduduk Contact Rate
2
Contact Rate
3
Contact Rate Sumber : lb1 Puskesmas, tahun 2003-2005
Berdasarkan jenis kunjungan, contact rate yang paling tinggi yaitu kunjungan oleh orang miskin Kota Bogor memanfaatkan fasilitas Puskesmas sebagai sarana pelayanan kesehatan. Menurut Dinas Kesehatan dalam Profil Kesehatan Kota Bogor salah satu indikator untuk utilisasi atau dapat diartikan sebagai daya layan Puskesmas adalah jumlah kunjungan pasien dalam satu tahun.
67
7.6 Analisis Deskriptif Efisiensi Pengelolaan Rumah Sakit Kota Bogor Pada saat ini di Kota Bogor belum terdapat Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) sehingga pelayanan kesehatan rujukan dilaksanakan oleh rumah sakit swasta. Untuk melihat efisiensi pengelolaan Rumah Sakit terlihat pada tabel berikut. Hal ini juga bisa dipergunakan untuk mengetahui kebutuhan Rumah Sakit di Kota Bogor. Apakah mencukupi atau belum mencukupi dalam pelayanannya bagi masyarakat Tabel 25. Efisiensi Pengelolaan Rumah Sakit di Kota Bogor Tahun 2005 No
Rumah Sakit
Jml TT
1 2 3 4 5
Salak Islam Azra PMI Karya Bakti Hermina BMC
6 7
1
Jml hari lama dirawat 33.964 6.158 20.852 77.852 38.112
BOR % (N=6080%) 75.85 2.55 63.5 73.5 53.08
LOS TOI BTO GDR(%) (N=6- (N=1- (N=40- (N=<45 9) 3) 50) 1000)
183 37 109 262 196
Jml Hari Perawa tan 44.964 5.898 21.039 72.033 37.974
3.12 2.55 4.0 4.2 4.19
1.31 3.98 2.3 1.3 3.69
0.04 59.87 4.8 70.1 46
0.02 0.02 1.7 5.2 13
NDR( %) (N=<2 5/1000 0.04 0.01 1.2 2.8 10
43 54 892
6.940 9.765 28.373
7.175 12.980
44.2 49.54 56.2
3.11 4.04 3.60
3.81 2.41 2.68
53 66.92
0.83 2.4 3.31
0.43 1.12 2.2
49
9
7.95
3.75
1.08
Marzoeki 641 Mahdi
189.294
80.90
Sumber: Laporan Rumah Sakit, Tahun 2005
Bila dilihat pada tabel diatas, rumah sakit swasta yang ada di Kota Bogor secara umum belum berada pada wilayah efisien (BOR, TOI, LOS, BTO). Secara umum Rumah Sakit yang ada di kota Bogor seluruhnya belum mencapai kinerja yang baik berdasarkan indikator-indikator yang tertera pada tabel. Bila dilihat dari BOR tampaknya Kota Bogor belum memerlukan tambahan Rumah Sakit baru, karena ratarata hunian semua Rumah Sakit masih 56,2 persen. Sedangkan untuk Rumah Sakit Marzoeki Mahdi tidak dapat dinilai berhubung adanya perubahan status dari Rumah Sakit Jiwa ke Rumah Sakit Umum, sehingga indikator-indikator tidak dapat dipakai.
68
7.7 Analisis Penentuan Lokasi Optimal Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Bogor Kota Bogor layaknya kota-kota satelit lainnya seperti Depok, Tanggerang dan Bekasi yang berfungsi sebagai Counter Magnet Metropolitan Jakarta. Kota Bogor memerlukan dukungan infrastruktur dan fasilitas sosial yang memadai guna menjadikan Kota Bogor ideal sebagai Hint erland Ibukota. Kebijakan RTRW Jawa Barat (Perda No.2 Tahun 2003) yang memfungsikan Kota Bogor sebagai Kawasan Andalan dengan kegiatan utama industri, pariwisata, jasa, dan sumberdaya manusia. Sejak diberlakukannya Perda No.1 Tahun 2000 tentang RTRW tahun 1999-2009 terdapat beberapa perubahan-perubahan kebijakan, diantaranya perubahan visi Kota Bogor dari sebelumnya “Kota dalam Taman Menuju Kota Internasional” menjadi “ Kota Jasa yang Nyaman dengan Masyarakat Madani dan Pemerintahan yang Amanah”. Rencana Pe ngembangan dan Penataan Ruang Kota Bogor Tahun 1999-2009 memuat tentang rencana penyediaan fasilitas kesehatan di Kota Bogor sampai tahun 2009 yang ditujukan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat mulai dari tingkat lingkungan sampai tingkat kota, meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan dari fasilitas yang ada dan mengembangkan sesuai dengan kebutuhan. Adapun rencana pengembangan fasilitas kesehatan diarahkan sebagai berikut : a. Sebagai upaya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dibawah otoritas pemerintah daerah maka perlu diadakan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD), yang direncanakan di Kelurahan Tanah Sareal Kecamatan Tanah Sareal dengan luas 1,47334 Ha. b. Poliklinik dengan skala pelayanan 1.600 jiwa sebagai penunjang fasilitas kesehatan pada tingkat lingkungan, perlu penambahan sebanyak sebanyak 58 unit. c. Praktek Dokter dengan skala pelayanan 5.000 jiwa sebagai penunjang fasilitas kesehatan pada tingkat lingkungan, perlu penambahan sebanyak 46 unit. d. Apotik dengan skala pelayanan 10.000 jiwa, penambahan sebanyak 48 unit.
69
e. Pengembangan fasilitas kesehatan lainnya seperti posyandu, puskesmas harus sesuai dengan standar kebutuhan yang berlaku dan ditempatkan pada lokasi yang sesuai dengan peruntukkannya. f. Memindahkan fasilitas kesehatan yang berada pada lokasi bukan peruntukkannya ke lokasi yang sesuai. g. Rehabilitasi gedung fasilitas kesehatan yang sudah rusak berat yang masih sesuai dengan peruntukkan. Sampai sejauh ini, Kota Bogor belum memiliki pelayanan Rumah sakit dibawah otoritas pemerintah daerah dalam hal ini Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD). Seperti tercantum dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Bogor (RTRW) tahun 1999-2009 akan direncanakan tentang pengadaan RSUD bagi Kota Bogor. Hal ini bukan tanpa sebab, pengadaan RSUD Kota Bogor bisa dikarenakan beberapa faktor, antara lain karena Kota Bogor masih mengandalkan pelayanan kesehatan rujukan pada Rumah sakit swasta. Hal ini bisa sangat memberatkan bagi masyarakat kurang mampu atau masyarakat miskin. Selain itu terdapat beberapa permasalahan dengan fasilitas kesehatan swasta, seperti belum seluruh fasilitas kesehatan swasta menerapkan standar mutu pelayanan, belum adanya peraturan daerah tentang pola pengaturan fasilitas kesehatan swasta di Kota Bogor. Oleh karena itu pengadaan RSUD Kota Bogor menjadi perlu,melihat beberapa faktor diatas dan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan oleh pemerintah daerah pada masyarakat. Walaupun melihat standar kebutuhan dan analisis efisiensi pengelolaan rumah sakit Kota Bogor menunjukan bahwa Kota Bogor belum memerlukan rumah sakit baru. Akan tetapi sebagai bahan antisipasi dan alternatif dalam meningkatkan dan pemerataan pelayanan kesehatan di Kota Bogor RSUD bisa dijadikan sebagai solusi. Permasalahannya dimana lokasi yang tepat untuk pengadaan RSUD Kota Bogor. Lokasi yang tepat dari suatu fasilitas pelayanan merupakan suatu jaminan bagi terwujudnya efisiensi, baik teknis maupun ekonomis dan pelayanan yang baik (Alifah, 2005). Keputusan lokasi yang optimal sangatlah sulit, karena banyaknya pertimbangan dan sering terjadi konflik kepentingan antara kelompok masyarakat.
70
7.7.1 Analisis Penentuan Lokasi Optimal RSUD Kota Bogor dengan Analisis P-Median Untuk mencari alternatif yang paling baik bagi penentuan lokasi optimal dari sebuah RSUD maka digunakan program komputer Java Applets P-Median Problem sebagai alat analisis. Pada prinsipnya penggunaan ini bertujuan untuk meminimalkan jarak yang akan ditempuh berdasarkan pada bobot masing- masing simpul. Pada penelitian ini pemilihan lokasi didasarkan pada lokasi pusat kota-kota satelit dari tiap kecamatan Kota Bogor yang tercantum dalam Rencana Pengembangan Sistem Perwilayahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bogor. Berdasarkan asumsi bahwa pusat kota-kota satelit tersebut merupakan pusat pelayanan seperti pelayanan sosial dan pusat pemerintahan. Adapun alternatif lokasi yang ditunjuk sebagai lokasi optimal RSUD Kota Bogor adalah masing-masing ibukota atau kantor kecamatan dengan fungsinya sebagai berikut : a. Kecamatan Bogor Tengah sebagai Pusat Kota Satelit, Fungsi utamanya sebagai pusat kegiatan perdagangan dan jasa ditunjang oleh kegiatan perkantoran/pemerintahan, permukiman dan obyek wisata. b. Kecamatan Bogor Selatan sebagai Kota Satelit I, Fungsi utamanya sebagai pusat kegiatan permukiman yang ditunjang oleh kegiatan perdagangan dan jasa serta merupakan daerah konservasi. c. Kecamatan Bogor Barat sebagai Kota Satelit II, Fungsi utamanya sebagai kegiatan permukiman yang ditunjang oleh kegiatan perdagangan dan jasa serta merupakan daerah obyek wisata dan daerah konservasi. d. Kecamatan Tanah Sareal sebagai Kota Satelit III, Fungsi utamanya sebagai kegiatan perkantoran/pemerintahan yang ditunjang oleh kegiatan permukiman serta perdagangan dan jasa. e. Kecamatan Bogor Utara sebagai Kota Satelit IV, Fungsi utamanya sebagai kegiatan industri non-polutan, yang ditunjang oleh kegiatan permukiman serta perdagangan dan jasa.
71
f.
Kecamatan Bogor Timur sebagai Kota Satelit V, Fungsi utamanya sebagi kegiatan permukiman yang ditunjangoleh kegiatan industri non-polutan serta perdagangan dan jasa.
7.7.2 Faktor Jarak Pengertian jarak dalam studi ini mengikuti pengertian lokasi relatif, yaitu posisi yang berkenaan dengan posisi lain. Dalam studi kasus ini jarak yang dilihat adalah jarak antar lokasi yang terdapat disetiap kecamatan. Satuan jarak yang dipakai adalah km, sedangkan simpulnya adalah ibukota kecamatan. Asumsi dalam faktor jarak ini hanya mencakup jarak dari ibukota kecamatan dengan aksesibilitas penduduk disekitar atau diwilayah yang terkait.
7.7.3 Faktor Bobot Pengukuran dari nilai suatu simpul tertentu akan sangat mempengaruhi hasil dari pengolahan dan sangat tergantung pada masalah analisa. Pada penelitian ini faktor bobot yang dilihat sebagai berikut: 1. Jumlah Penduduk Asumsi jumlah penduduk dari tiap kecamatan dapat mewakili suatu lokasi. Sehingga dengan semakin besar jumlah penduduk maka bobot suatu wilayah akan semakin besar pula dan terkait dengan keberadaan suatu RSUD untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat. 2. Luas Wilayah Luas wilayah yang memadai dianggap merupakan syarat bagi pembangunan RSUD dan akan disesuaikan dengan hasil yang akan diperoleh dengan Metode Analisis P-Median.
7.7.4 Hasil Analisis P-Median 7.7.4.1 Dengan Bobot Jumlah Penduduk Berdasarkan
bobot
jumlah
penduduk,
hasil
perhitungan
program
menunjukkan bahwa lokasi optimal pada Kecamatan Bogor Tengah. Hal ini terlihat
72
dari hasil olahan program komputer yang menunjukan bahwa Kecamatan Bogor Tengah melalui satu kali iterasi dengan nilai upper bound 402,0 dan nilai lower bound 402,0 (lampiran 5). Nilai upper bound
menunjukan nilai estimasi
kemungkinan terburuk dari skenario sedangkan nilai lower bound menunjukan nilai estimasi kemungkinan terbaik dari skenario. Karenanya nilainya sama, menurut program ini solusi optimal dari permasalahan telah ditemuk an. Karena pertimbangan lokasi yang telah memiliki fasilitas lengkap dan kepadatan penduduk maka dicarikan alternatif lokasi lain dengan asumsi 2 lokasi. Untuk hasil lokasi optimal kedua adalah Kecamatan Bogor Barat.
7.7.4.2 Dengan Bobot Luas Wilayah Berdasarkan bobot Luas Wilayah, hasil perhitungan program menunjukkan bahwa lokasi optimal pada Kecamatan Bogor Tengah. Hal ini terlihat dari hasil olahan program komputer yang menunjukan bahwa Kecamatan Bogor Tengah melalui satu kali iterasi dengan nilai upper bound 424,0 dan nilai lower bound 424,0 (lampiran 6). Nilai upper bound menunjukan nilai estimasi kemungkinan terburuk dari skenario sedangkan nilai lower bound menunjukan nilai estimasi kemungkinan terbaik dari skenario. Karenanya nilainya sama, menurut program ini solusi optimal dari permasalahan telah ditemukan. Karena pertimbangan lokasi yang telah memiliki fasilitas lengkap dan luas wilayah yang sempit maka dicarikan alternatif lokasi lain dengan asumsi 2 lokasi. Untuk hasil lokasi optimal kedua adalah Kecamatan Tanah Sareal.
7.7.4.3 Dengan Bobot Sama, Pengaruh Jarak Berdasarkan bobot sama pengaruh jarak, hasil perhitungan program menunjukkan bahwa lokasi optimal pada Kecamatan Bogor Tengah. Hal ini terlihat dari hasil olahan program komputer yang menunjukan bahwa Kecamatan Bogor Tengah melalui satu kali iterasi dengan nilai upper bound 22,0 dan nilai lower bound 22,0 (lampiran 7). Nilai upper bound menunjukan nilai estimasi kemungkinan terburuk dari skenario sedangkan nilai lower bound menunjukan nilai estimasi
73
kemungkinan terbaik dari skenario. Karenanya nilainya sama, menurut program ini solusi optimal dari permasalahan telah ditemukan. Karena pertimbangan lokasi yang telah memiliki fasilitas lengkap dan kepadatan penduduk maka dicarikan alternatif lokasi lain dengan asumsi 2 lokasi. Untuk hasil lokasi optimal kedua adalah Kecamatan Tanah Sareal.
7.7.4.4 Hubungan antara Hasil Analisis P-Median dan Skalogram Penentuan lokasi optimal Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Bogor dengan metode P-Median adalah memilih lokasi yang mudah dijangkau oleh masyarakat dari berbagai daerah sekitar dengan meminimalkan jarak tempuh. Semakin minimal jarak tempuh yang dibutuhkan untuk mencapai lokasi tersebut, maka oleh program akan dipilih suatu lokasi yang paling optimal dan efisien. Metode Skalogram mencoba mengetahui hirarki wilayah berdasarkan fasilitas kesehatan yang tersedia. Dengan menggabungkan kedua hasil analisis tersebut, maka akan didapat kesimpulan dari hasil analisis Skalogram didapatkan bahwa kecamatan yang memiliki hirarki fasilitas kesehatan yang terendah adalah Kecamatan Tanah Sareal. Dengan berbagai pertimbangan pengadaan RSUD maka dianalisis lokasi optimal dengan metode P-Median. Hasil analisis menunjukan bahwa lokasi optimal RSUD Kota Bogor adalah Kecamatan Bogor Tengah dan alternatif lokasi lain dengan asumsi 2 lokasi adalah Kecamatan Tanah Sareal. Analisis ini merupakan analisis dengan bobot jumlah penduduk dan bobot sama pengaruh jarak. Sedangkan dengan bobot luas wilayah alternatif lokasi adalah Kecamatan Bogor Barat. Hasil yang optimal adalah dengan menempatkan RSUD di Kecamatan Tanah Sareal mengingat kecamatan tersebut memiliki skoring terendah dalam hiraki fasilitas kesehatan di Kota Bogor.
7.7.5 Analisis Penentuan Lokasi Optimal Puskesmas Pembantu Kecamatan Tanah Sareal dengan Analisis P-Median Berdasarkan hasil analisis penyebaran dan hirarki fasilitas kesehatan kecamatan di Kota Bogor, menunjukan bahwa Kecamatan Tanah Sareal merupakan Kecamatan yang menempati peringkat terakhir dalam ketersediaan fasilitas kesehatan
74
di Kota Bogor. Dengan alasan tersebut, maka perencanaan penataan fasilitas kesehatan sangat diperlukan. Salah satunya dengan pengadaan puskesmas pembantu. Puskesmas di Kecamatan Tanah Sareal sudah memadai namun untuk puskesmas pembantu yang berfungsi untuk menjangkau penduduk yang jauh dari suatu puskesmas induk dan juga dikarenakan wilayah yang luas dari Tanah Sareal maka pengadaan puskesmas pembantu menjadi suatu kebutuhan. Perencanaan Puskesmas pembantu (Pustu) menurut Dinas Kesehatan Kota Bogor telah masuk dalam usulan hasil Sarembang (Sarasehan Pembangunan) Kecamatan Tanah Sareal tahun 2007. Perencanaan Puskesmas berawal dari usulan Sarembang tingkat Kelurahan yang biasanya dilakukan setiap bulan Februari. Setelah itu dibawa ke Sarembang Kecamatan dan Kota untuk membahas kebutuhan Pustu. Setelah disetujui oleh DPRD kemudian diserahkan ke Dinas yang terkait yakni Dinas Kesehatan. Untuk selanjutnya disinkronisasi dengan adanya Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Setelah itu ditindak lanjuti dengan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) lalu setelah disetujui oleh DPRD maka dibuat Rencana Kerja Anggaran (RKA) dan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) oleh Dinas Kesehatan. Perencanaan Puskesmas pembantu (Pustu) di Kecamatan Ta nah Sareal berdasarkan usulan hasil Sarembang Kecamatan Tanah Sareal Tahun 2007 menetapkan Pustu pada Kelurahan Sukaresmi dan Kencana. Alasan perencanaan lokasi Pustu di kelurahan tersebut menurut Dinas Kesehatan adalah adanya usulan masyarakat dalam Sarembang, upaya mendekatkan lokasi dan ketersediaan lokasi. Hal yang sering menjadi permasalahan dalam penentuan lokasi Pustu adalah status tanah, letak dari lokasi yang direncanakan, apakah strategis atau tidak dan ketersediaan Sumberdaya Manusia (SDM) dalam hal ini tenaga ahli kesehatan. Puskesmas pembantu (Pustu) mencakup beberapa kelurahan yang mempunyai jarak yang cukup jauh dari puskesmas induk. Cakupan sebuah Pustu yang meliputi beberapa kelurahan di Kecamatan Tanah Sareal dapat dilihat dalam tabel.
75
Tabel 26. Puskesmas, Pustu dan Kelurahan di Kecamatan Tanah Sareal No Puskesmas Puskesmas Pembantu Kelurahan 1
Tanah Sareal
Tanah Sareal
2
Pondok Rumput
Kebon Pedes Kedung Badak
3
Kedung Badak
Kedung Waringin
Kedung Jaya Kedung Waringin Kayu Manis
4
Kayu Manis
Cibadak Kencana Suka Resmi
5
Mekar Wangi
Mekar Wangi
Suka Damai Mekar Wangi
Sumber : Dinas Kesehatan Kota Bogor, 2004
Dari tabel diatas dapat dijelaskan bahwa Kecamatan Tanah Sareal yang memiliki wilayah yang cukup luas, hanya memiliki 2 Pukesmas pembantu (Pustu) dengan 11 kelurahan. Hal ini menandakan bahwa keberadaan puskesmas pembantu di Kecamatan Tanah Sareal memang merupakan kebutuhan, mengingat jumlah kelurahan yang cukup banyak dan wilayah yang cukup luas. sampai tahun 2005 Kecamatan Tanah Sareal hanya mempunyai 2 Puskesmas pembantu yang menjangkau 6 kelurahan. Sementara kelurahan yang tidak tercakup oleh 2 Pustu itu mengandalkan pada pelayanan Puskesmas induk. Faktor jarak yang digunakan adalah jarak antar kelurahan yakni antar kantor kelurahan. Dengan asumsi bahwa kantor kelurahan merupakan pusat pelayanan sosial dan pusat pemerintahan. Bobot yang digunakan adalah bobot jumlah penduduk, luas wilayah dan bobot sama pengaruh jarak.
76
Hasil Analisis P-Median 7.7.5.1 Dengan Bobot Jumlah Penduduk Berdasarkan
bobot
jumlah
penduduk,
hasil
perhitungan
program
menunjukkan bahwa lokasi optimal pada Kelurahan Suka Damai . Hal ini terlihat dari hasil olahan program komputer yang menunjukan bahwa Kelurahan Suka Damai melalui satu kali iterasi dengan nilai upper bound 157,0 dan nilai lower bound 157,0 (lampiran 9.). Nilai upper bound menunjukan nilai estimasi kemungkinan terburuk dari skenario sedangkan nilai lower bound menunjukan nilai estimasi kemungkinan terbaik dari skenario. Karenanya nilainya sama, menurut program ini solusi optimal dari permasalahan telah ditemukan. Karena pertimbangan lokasi yang telah dicakup oleh puskesmas pembantu dan kepadatan penduduk maka dicarikan alternatif lokasi lain dengan asumsi 2 lokasi. Untuk hasil lokasi optimal kedua adalah Kelurahan Kayu Manis.
7.7.5.2 Dengan Bobot Luas Wilayah Berdasarkan bobot Luas Wilayah, hasil perhitungan program menunjukkan bahwa lokasi optimal pada Kelurahan Suka Damai. Hal ini terlihat dari hasil olahan program komputer yang menunjuk an bahwa Kelurahan Suka Damai melalui satu kali iterasi dengan nilai upper bound 188,0 dan nilai lower bound 188,0 (lampiran.10). Nilai upper bound menunjukan nilai estimasi kemungkinan terburuk dari skenario sedangkan nilai lower bound menunjukan nilai estimasi kemungkinan terbaik dari skenario. Karenanya nilainya sama, menurut program ini solusi optimal dari permasalahan telah ditemukan. Karena pertimbangan lokasi yang telah dicakup oleh puskesmas pembantu dan luas wilayah yang sempit maka dicarikan alternatif lokasi lain dengan asumsi 2 lokasi. Untuk hasil lokasi optimal kedua adalah Kelurahan Kayu Manis.
7.7.5.3 Dengan Bobot Sama, Pengaruh Jarak Berdasarkan bobot sama pengaruh jarak, hasil perhitungan program menunjukkan bahwa lokasi optimal pada Kelurahan Suka Damai. Hal ini terlihat dari
77
hasil olahan program komputer yang menunjukan bahwa Kelurahan Suka Damai melalui satu kali iterasi dengan nilai upper bound 18,0 dan nilai lower bound 18,0 (lampiran 11). Nilai upper bound menunjukan nilai estimasi kemungkinan terburuk dari skenario sedangkan nilai lower bound menunjukan nilai estimasi kemungkinan terbaik dari skenario. Karenanya nilainya sama, menurut program ini solusi optimal dari permasalahan telah ditemukan. Karena pertimbangan lokasi yang telah me miliki fasilitas lengkap dan kepadatan penduduk maka dicarikan alternatif lokasi lain dengan asumsi 2 lokasi. Untuk hasil lokasi optimal kedua adalah Kelurahan Kayu Manis.
7.8 Keterkaitan antara Usulan Sarembang Kecamatan Tanah Sareal Tahun 2007 dari Usulan masyarakat dan Dinas Kesehatan dengan Hasil Sarembang Tingkat Kota Oleh Pemda dan Hasil Analisis P-median Hasil usulan Sarembang tentang kebutuhan fasilitas kesehatan di Kecamatan Tanah Sareal di tingkat Kota, memutuskan untuk meloloskan pembangunan Puskesmas di Kelurahan Cibadak. Sementara dari usulan Sarembang dari masyarakat dan Dinas Kesehatan mengajukan Puskesmas pembantu (Pustu) di Kelurahan Sukaresmi dan Kencana. Dalam penetapan prioritas untuk meloloskan suatu kebutuhan fasilitas di Sarembang tingkat Kota hanya memilih 1 prioritas, sedangkan di tingkat kelurahan hanya boleh mengusulkan 3 prioritas. Penetapan prioritas pembangunan Puskesmas di Kelurahan Cibadak mungkin merupakan prioritas yang diutamakan oleh pemda. Dilihat dari kebutuhan akan Puskesmas pembantu menurut Dinas Kesehatan cukup besar mengingat target yang seharusnya dicapai atau standar kebutuhannya adalah 1 kelurahan mempunyai 1 Pustu. Hal ini menimbulkan ketidaksinkronan dalam permintaan atau kebutuhan masyarakat akan suatu fasilitas kesehatan puskesmas. Sementara Hasil analisis P-median untuk menetapkan lokasi Puskesmas pembantu (Pustu) Kecamatan Tanah Sareal adalah Kelurahan Sukadamai dan sebagai asumsi alternatif 2 lokasi adalah Kelurahan Kayu Manis. Hal ini tidak sesuai dengan hasil usulan Sarembang Kecamatan Tanah Sareal Tahun 2007 yang menetapkan
78
Kelurahan Sukaresmi dan Kencana dalam rencana penetapan Pustu. Hal ini bisa disebabkan karena analisis P- median melihat lokasi optimal ditengah wilayah tersebut. Padahal dalam kondisi riil, kebutuhan Pustu lebih diarahkan pada Kelurahan Sukaresmi dan Kencana yang notabene merupakan keluarahan yang letaknya jauh dan tidak strategis. Hal ini merupakan salah satu kelemahan dari analisis P- median itu sendiri.
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN
8.1 Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil analisis skalogram terhadap fasilitas kesehatan kecamatan Kota Bogor dapat disimpulkan bahwa setiap kecamatan di Kota Bogor tidak ada yang memiliki fasilitas kesehatan yang lengkap. Kecamatan dengan jumlah total jenis unit fasilitas kesehatan terlengkap adalah Kecamatan Bogor Barat dengan 175 unit, sedangkan Kecamatan Tanah Sareal menempati peringkat terakhir dalam hirarki fasilitas kesehatan ini dengan 55 unit. 2. Menurut hasil skalogram, wilayah yang memiliki peringkat jumlah fasilitas pelayanan lebih tinggi atau sama bila dibandingkan dengan peringkat jumlah penduduk tentu akan lebih mudah untuk melayani penduduk yang membutuhkan pelayanan. Kecamatan yang termasuk kategori ini adalah Kecamatan Bogor Barat dengan jumlah penduduk yang paling banyak di Kota Bogor sebesar 190.421 jiwa, telah memiliki fasilitas kesehatan yang mencukupi untuk melayani masyarakatnya. Wilayah yang memiliki peringkat jumlah fasilitas pelayanan lebih rendah dari pada peringkat jumlah penduduk adalah Kecamatan Bogor Selatan dan Tanah Sareal. Kecamatan yang juga memiliki jumlah penduduk yang cukup banyak seperti Bogor Selatan (166.745 jiwa) dan Tanah Sareal (158.187 jiwa) belum memiliki fasilitas kesehatan yang cukup untuk melayani masyarakatnya. 3. Berdasarkan hasil analisis deskriptif terhadap standar kebutuhan fasilitas kesehatan dalam Revisi RTRW Kota Bogor 2002-2012, kebutuhan fasilitas kesehatan sampai tahun 2012 di Kota Bogor secara umum terus mengalami kenaikan. Kecamatan-kecamata n yang bisa dikatakan cukup memadai dalam kuantitas fasilitas kesehatannya adalah Bogor Barat, Bogor Utara dan Bogor Tengah. Sementara kecamatan yang perlu mendapatkan perhatian dalam pemerataan fasilitas kesehatan adalah Kecamatan Tanah Sareal, Bogor selatan dan Bogor Timur.
80
4. Dalam analisis selanjutnya, penelitian mengambil konsentrasi pada fasilitas Rumah Sakit dan Puskesmas dikarenakan permasalahan yang terjadi lebih mengarah pada pemenuhan kebutuhan masyarakat akan kedua fasilitas tersebut. Selain itu karena dalam perilaku pencarian obat masyarakat Kota Bogor lebih memilih kedua fasilitas tersebut. Dalam analisis deskriptif standar kebutuhan tenaga kesehatan, mutu pelayanan terhadap fasilitas Rumah Sakit Kota Bogor, secara umum masih belum optimal. Kebutuhan akan tenaga ahli di 8 Rumah Sakit yang ada di Kota Bogor belum terpenuhi semua, masih banyak dokter ahli bekerja sebagai dokter tamu atau dokter tidak tetap. Dalam analisis mutu pelayanan fasilitas Rumah Sakit Kota Bogor yang melakukan akreditasi hanya 5 Rumah Sakit. 5. Dari standar kebutuhan tenaga kesehatan pada 24 Puskesmas induk yang ada masih diperlukan tenaga tambahan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas perkotaan antara lain dibutuhkan 2 orang dokter ahli untuk Puskesmas rujukan. Dalam analisis mutu pelayanan Puskesmas, Puskesmas Kota Bogor sudah meningkat dalam hal jumlahnya dan cakupan pelayanannya. Dalam pemanfaatannya pun meningkat setiap tahunnya, terutama dari masyarakat kurang mampu atau miskin. 6. Dalam analisis efisiensi pengelolaan Rumah Sakit Kota Bogor, menerangkan bahwa Rumah Sakit swasta yang ada di Kota Bogor secara umum belum berada pada wilayah efisien (BOR, TOI, LOS, BTO). Secara umum Rumah Sakit yang ada di kota Bogor seluruhnya belum mencapai kinerja yang baik. Bila dilihat dari BOR tampaknya Kota Bogor belum memerlukan tambahan Rumah Sakit baru, karena rata-rata hunian semua Rumah Sakit masih 56,2 persen. 7. Pada saat ini di Kota Bogor belum terdapat Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) sehingga pelayanan kesehatan rujukan dilaksanakan oleh Rumah Sakit swasta. Berdasarkan hasil analisis P-Median terhadap penentuan lokasi optimal RSUD dengan menggunakan tiga bobot yang berbeda dapat disimpulkan bahwa masing- masing bobot menghasilkan output yang berbeda.
81
Namun adapula yang sama, Berdasarkan bobot jumlah penduduk pengaruh jarak didapat lokasi optimal adalah Kecamatan Bogor Tengah dan lokasi optimal alternatif dengan asumsi 2 lokasi adalah Kecamatan Tanah Sareal. Berdasarkan bobot luas wilayah pengaruh jarak didapat lokasi optimal adalah Kecamatan Bogor Tengah dan lokasi optimal alternatif dengan asumsi 2 lokasi adalah Kecamatan Bogor Barat. Berdasarkan bobot sama pengaruh jarak didapat lokasi optimal adalah Kecamatan Bogor Tengah dan lokasi optimal alternatif dengan asumsi 2 lokasi adalah Kecamatan Tanah Sareal. 8. Berdasarkan usulan Sarembang Kecamatan Tanah Sareal 2007 dan kebutuhan akan Puskesmas pembantu maka dianalisis lokasi optimal Pustu di Kecamatan Tanah Sareal, Berdasarkan bobot jumlah penduduk pengaruh jarak didapat lokasi optimal adalah Kelurahan Suka Damai dan lokasi optimal alternatif dengan asumsi 2 lokasi adalah Kelurahan Kayu Manis. Berdasarkan bobot luas wilayah pengaruh jarak didapat lokasi optimal adalah Kelurahan Suka Damai dan lokasi optimal alternatif dengan asumsi 2 lokasi adalah Kelurahan Kayu Manis. Berdasarkan bobot sama pengaruh jarak didapat lokasi optimal adalah Kelurahan Suka Damai dan lokasi optimal alternatif dengan asumsi 2 lokasi adalah Kelurahan Kayu Manis. 9. Keterkaitan antara usulan Sarembang Kecamatan Tanah Sareal tahun 2007 dari usulan masyarakat dan Dinas Kesehatan dengan hasil Sarembang tingkat Kota oleh Pemda dan hasil analisis P-median menunjukkan hasil yang berbeda. Hasil Sarembang tingkat Kota memprioritaskan pembangunan Puskesmas baru
untuk Kecamatan Tanah Sareal, sedangkan usulan
Sarembang dari usulan masyarakat dan Dinas Kesehatan mengusulkan pembangunan Pustu di Kelurahan Kencana dan Sukaresmi. Hasil analisis PMedian terhadap lokasi optimal Pustu menunjukkan lokasi optimal di Kelurahan Suka Damai dan Kayu Manis.
82
8.2 Saran 1. Pemerintah Kota Bogor diharapkan lebih meningkatkan penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan di kecamatan-kecamatan yang masih kurang lengkap, seperti Kecamatan Tanah Sareal dan Bogor Selatan. 2. Dalam penataan fasilitas kesehatan sebaiknya Pemerintah Kota Bogor meningkatkan pula daya layan fasilitas kesehatan seperti mutu pelayanan, standar
kebutuhan
fasilitas,
tenaga
kesehatan
(SDM)
dan
efisiensi
pengelolaanya. 3. Sebaiknya Fasilitas kesehatan dikembangkan dengan mendekatkan diri dengan masyarakat. Agar terjangkau secara lokasi dan biaya oleh masyarakat. 4. Perlu penelitian lebih lanjut terhadap pengembangan pembangunan kesehatan Kota Bogor di kecamatan-kecamatan yang masih kurang lengkap dalam fasilitas kesehatannya.
DAFTAR PUSTAKA
Alifah, Hilmiyatil. 2005. Analisis Penentuan Lokasi Optimal Pasar sebagai Terminal Agribisnis di DKI Jakarta. Skripsi. Departemen Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Afrianto, Rozi. 2000. Analisis Pembangunan Wilayah Pertanian dalam Menghadapi Otonomi Daerah (Studi kasus: Kabupaten Limapuluh Kota, Propinsi Sumatera Barat). Skripsi. Departemen Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Badan Pusat Statistik 2005. Statistik Kesehatan Indonesia Tahun 2004. Badan Pusat Statistik Pusat. Jakarta Badan Pusat Statistik 2006. Kota Bogor dalam Angka 2005. Badan Pusat Statistik Kota Bogor. Bogor Bapeda Kota Bogor 2005. Indeks Pembangunan Manusia Kota Bogor Tahun 2004. Bapeda Kota Bogor. Bogor ----------------------------------. Revisi RTRW Kota Bogor 2002-2012. Bapeda Kota Bogor. Bogor. ----------------------------------. Rencana Pengembangan dan Penataan Ruang Kota Bogor Tahun 1999-2009.. Bapeda Kota Bogor. Bogor. Bud iharsono, Sugeng. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. Pradyna Paramita. Jakarta. Dinas Kesehatan Kota Bogor 2006. Profil Kesehatan Kota Bogor Tahun 2005. Dinas Kesehatan Kota Bogor. Bogor. Dinas Kesehatan Kota Bogor 2007. Usulan Sarembang Kecamatan Tanah Sareal Tahun 2007. Dinas Kesehatan Kota Bogor. Bogor. Kurnia, Nia. 2005. Analisis Segmentasi Rumah Sakit (Studi Pada Rumah Sakit Karya Bhakti Bogor). Skripsi. Departemen Manajemen. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor Kurniawan, Ade. 2006. Analisis Lokasi Optimal Pusat Pemerintahan dalam Rangka Pengembangan Wilayah dan Efisiensi Pelayanan di Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung. Skripsi. Departemen Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Ins titut Pertanian Bogor. Bogor.
Mangkoesoebroto, Guritno. 2001. Ekonomi Publik. BPFE Yogyakarta. Yogyakarta Purliana, Indah. 2003. Analisis Sektor Basis Perekonomian dan Peranan Fasilitas Pelayanan terhadap Pembangunan Wilayah Kota Tegal dalam Otda. Skripsi. Departemen Ilmu Ekonomi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor Rushton. 1979. Optimal Location of Facilities. COMPress. Inc. Wentworth. Sitohang, Paul. 1977. Pengantar Perencanaan Regional. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Tarigan, Robinson. 2002. Perencanaan Pembangunan Wilayah Pendekatan Ekonomi dan Ruang. Departemen Pendidikan Nasional. Medan.
Lampiran 1. Rencana Kebutuhan dan Standar Kebutuhan Fasilitas Kesehatan Kota Bogor Tabel 1. Rencana Kebutuhan Fasilitas Kesehatan Kecamatan Bogor Barat 2000 -2012
Jenis Fasilitas Kesehatan Balai Pengobatan Puskesmas Posyandu Apotik Rumah Sakit
1 2 3 4 5
Tahun 2007 (196,946 jiwa) Kebutuh Kebut Penamb an uhan ahan
Tahun 2012 (224,880 jiwa) Kebutuh Penamb an ahan
16 5 66 16 1
23 8 90 23 1
Tahun 2000
Standar Penduduk
Jumlah
10000 30000 2500 10000 240000
7 8 167 10 3
20 7 79 20 1
13 0 0 10 0
3 0 0 3 0
Sumber :Revisi RTRW Kota Bogor 2002-2012 Tabel 2. Rencana Kebutuhan Fasilitas Sosial Ekonomi Berdasarkan Jumlah Penduduk Kecamatan Bogor Selatan Tahun 2007 - 2012 No Jenis Fasilitas
2 3 4
Kesehatan Balai Pengobatan Puskesmas Posyandu Praktek Dokter
5 6
Apotik Rumah Sakit
1
Tahun 2007 Tahun 2012 (158.017 jiwa) (172.642 jiwa) Kebutuh Kebutuh Penam Kebutuh Penam an an bahan an bahan
Tahun 2000
Standar Penduduk
Jumlah
10000 30000 2500 5000
8 195
5 63
10000 240000
18 -
1
16
16
17
1
5 63 32
0 0 32
6 69 35
1 6 3
16 1
0 1
17 1
1 1
Sumber :Revisi RTRW Kota Bogor 2002-2012 Tabel 3. Rencana Kebutuhan Fasilitas Umum dan Sosial Kecamatan Bogor Timur Berdasarkan Penduduk Tahun 2007-2012 No Jenis Fasilitas
Tahun 2000 Tahun 2007 Tahun 2012 Standar Kebutuh Kebutuh Penambah Kebutuh Penam Penduduk Jumlah an an an an bahan
1 2 3
Kesehatan Balai Pengobatan 10000 Puskesmas 30000 Posyandu 2500
6 7 73
8 3 31
10 3 39
4 -
11 4 45
1 1 6
4
Rumah Sakit
1
-
-
-
-
-
240000
Sumber :Revisi RTRW Kota Bogor 2002-2012
Tabel 4. Rencana Kebutuhan Fasilitas Umum dan Sosial Kecamatan Bogor Utara Berdasarkan Penduduk Tahun 2007-2012
No Jenis Fasilitas
Standar Penduduk
Tahun 2007 (148.970 jiwa) Kebutuh Kebutu Penambah Jumlah an han an
Tahun 2012 (161.868) Kebut Penamba uhan han
Tahun 2000
1
Kesehatan Balai Pengobatan 10000
7
13
15
8
16
1
2 3 4
Puskesmas Posyandu Rumah Sakit
9 103 2
4 51 1
5 60 1
0 0 0
5 65 1
0 5 0
30000 2500 240000
Sumber :Revisi RTRW Kota Bogor 2002-2012 Tabel 5. Rencana Kebutuhan Fasilitas kesehatan Kecamatan Tanah Sareal Berdasarkan Proyeksi Penduduk Tahun 2007 Dan 2012
No Jenis Fasilitas Kesehatan Balai Pengobatan Puskesmas Posyandu Rumah Sakit
1 2 3 4
Standar Penduduk
10000 30000 2500 240000
Tahun 2007 (143097jiwa) Kebutuh Kebutuh Penambaha Jumlah an an n
Tahun 2012 (155117 jiwa) Kebutu Penamba han han
12 8 126
13 4 51
14 5 57
2 0 0
16 5 62
2 0 5
1
1
1
0
1
0
Tahun 2000
Sumber :Revisi RTRW Kota Bogor 2002-2012 Tabel 6. Rencana Kebutuhan Fasilitas kesehatan Kecamatan Bogor Tengah Berdasarkan Proyeksi Penduduk Tahun 2007 Dan 2012
No Jenis Fasilitas
Standar Penduduk
Tahun 2007
Tahun 2000 Jumlah
Tahun 2012
Kebutuha Kebutu Penambah Kebut Penamba n han an uhan han
Kesehatan 1 2 3
Balai Pengobatan 10000 Puskesmas 30000 Posyandu 2500
4 5 6
Praktek Dokter 5000 Apotik Rumah Sakit
10000 240000
12 9
26 1
10 3 41
10 3 42
-2 -6 42
10 3 42
0 0 0
21 10 0
21 10 0
21 -16 -1
21 10 0
0 0 0
Sumber :Revisi RTRW Kota Bogor 2000-2012
Lampiran 2. Keadaan Tenaga dan Kebutuhan Tenaga Di Puskesmas Kota Bogor tahun 2005 No
Tempat Kerja
Jenis Tenaga
Tenaga Medis
Standar
Kurang
Ket
4
2
Ahli anak Obgyn,
ada
Puskesmas 1
Yang
Dr. Ahli
2
P. dalam
2
Tenaga Kesehatan
Dr. Umum/S2
0
0
0
Dr. Umum
58
40
0
Drg
35
30
0
S2 Kesmas
0
0
0
SKM
1
24
23
APK/AKL
18
24
6
SPPH
3
24
21
Apoteker
0
0
0
Analis Farmasi
0
24
24
Ass Apoteker
22
24
2
S1 Keperawatan
1
0
0
AKPER
55
24
0
AKBID
9
80
71
SPK
56
20
0
Bidan (D1)
90
100
10
SPR Gigi
17
20
3
AKZI
10
24
14
SPAG
14
0
0
Fisioterapi
1
6
5
APRO
1
6
5
AKNES
2
2
0
Masyarakat
3
4
5
6
Tenaga Kefarmasian
Tenaga Keperawatan
Tenaga Gizi
Tenaga Keterampilan Fisik
7
Tenaga Ketehnisan Medis
ATEM
1
2
0
7
7
4
2
0
SMA
76
24
0
SMEA
0
10
10
KPAA/SMKK
0
3
3
SMP/KPA/ST
8
10
2
577
526
114
Tehnisi E Med 8
Tenaga Non Tehnis
S1 Non Kesehatan
JUMLAH Sumber : Dinas Kesehatan Kota Bogor, tahun 2005
Lampiran 3. Keadaan Tenaga Dokter Ahli, Dr Umum, Dr Gigi dan Kebutuhannya di Rumah sakit di Kota Bogor Tahun 2005
No Tempat Kerja
JenisTenaga
Dr Umum, Dr Ahli,
Standar
Kurang
ada
Rumah Sakit 1
Yang
Dr. Umum
91
89
3
Dr. Ahli Bedah
7
12
5
Dr. Ahli Peny. Dalam
6
12
6
Dr. Ahli Anak
8
12
4
Dr. Ahli Radiologi
5
12
7
Dr. Ahli Radiologi klinis
5
6
1
Dr. Ahli Anestesi
5
6
1
Dr. Ahli Jiwa
4
6
2
Dr. Ahli Mata
6
6
0
Dr. Ahli THT
6
6
0
Dr. Ahli Kulit & Kelamin
6
6
0
Dr. Ahli Kardiologi
6
6
0
Dr. Ahli Paru
6
6
0
Dr. Ahli Syaraf
8
8
0
Dr. Bedah Syaraf
6
4
0
Dr. Patologi Forensik
3
3
0
Dr. Orthopedi
6
3
0
Dr. Urologi
6
3
0
Dr. Ahli Rehab Medik
6
6
0
Dr. Gigi
21
12
0
Dr. Ahli Obgyn
6
12
6
Dr. Patologi Anatomi
4
3
0
Jumlah
228
224
40
Dr Gigi
Sumber: Dinas Kesehatan Kota Bogor, Tahun 2005
Ket
Lampiran 4 Jumlah Penduduk Enam Kecamatan di Kota Bogor, Tahun 2005 No 1 2 3 4 5 6
Kecamatan Bogor Selatan Bogor Timur Bogor Utara Bogor Tengah Bogor Barat Tanah Sareal Total
Jumlah Penduduk 166.745 86.978 149.578 103.176 190.421 158.187 855.085
Bobot 20 10 17 12 22 19 100
Luas Wilayah Enam Kecamatan di Kota Bogor, Tahun 2005 No 1 2 3 4 5 6
Kecamatan Bogor Selatan Bogor Timur Bogor Utara Bogor Tengah Bogor Barat Tanah Sareal Total
Luas Wilayah (Ha) 30,82 10,15 17,72 8,13 32,85 18,84 118,50
Bobot 26 9 15 7 28 15 100
Matriks Jarak dalam satuan Km Kecamatan Kota Bogor No 1 2 3 4 5 6
Kecamatan Bogor Selatan Bogor Timur Bogor Utara Bogor Tengah Bogor Barat Tanah Sareal
1 4 8 4 8 10
2 4 5 3 8 5
3 8 5 4 6 5
4 4 3 4 5 6
5 8 8 6 5 3
6 10 5 5 6 3 -
Lampiran 5
HASIL P-MEDIAN SOLVER LOKASI OPTIMAL RSUD KOTA BOGOR BOBOT JUMLAH PENDUDUK
Lokasi Optimal berdasarkan bobot jumlah penduduk di Kecamatan Bogor Tengah (Bobot 12) dan Kecamatan Bogor Barat (Bobot 22) sebagai lokasi alternatif dengan asumsi 2 lokasi.
Hasil : Satu kali iterasi dengan nilai upper bound 402,0 dan nilai lower bound 402,0
Lampiran 6
HASIL P-MEDIAN SOLVER LOKASI OPTIMAL RSUD KOTA BOGOR BOBOT LUAS WILAYAH
Lokasi Optimal berdasarkan bobot jumlah penduduk di Kecamatan Bogor Tengah (Bobot 7) dan Kecamatan Tanah Sareal (Bobot 15) sebagai lokasi alternatif dengan asumsi 2 lokasi.
Hasil : Satu kali iterasi dengan nilai upper bound 424,0 dan nilai lower bound 424,0
Lampiran 7
HASIL P-MEDIAN SOLVER LOKASI OPTIMAL RSUD KOTA BOGOR BOBOT SAMA PENGARUH JARAK
Lokasi Optimal berdasarkan bobot jumlah penduduk di Kecamatan Bogor Tengah (Bobot 1) dan Kecamatan Tanah Sareal (Bobot 1) sebagai lokasi alternatif dengan asumsi 2 lokasi. Hasil : Satu kali iterasi dengan nilai upper bound 22,0 dan nilai lower bound 22,0
Lampiran 9
HASIL P-MEDIAN SOLVER LOKASI OPTIMAL PUSTU KECAMATAN TANAH SAREAL BOBOT JUMLAH PENDUDUK
Lokasi Optimal berdasarkan bobot jumlah penduduk di Kelurahan Suka Damai (Bobot 7) dan Kelurahan Kayu Manis (Bobot 6) sebagai lokasi alternatif dengan asumsi 2 lokasi.
Hasil : Satu kali iterasi dengan nilai upper bound 157,0 dan nilai lower bound 157,0
Lampiran 10
HASIL P-MEDIAN SOLVER LOKASI OPTIMAL PUSTU KECAMATAN TANAH SAREAL BOBOT LUAS WILAYAH
Lokasi Optimal berdasarkan bobot jumlah penduduk di Kelurahan Suka Damai (Bobot 5) dan Kelurahan Kayu Manis (Bobot 12) sebagai lokasi alternatif dengan asumsi 2 lokasi.
Hasil : Satu kali iterasi dengan nilai upper bound 188,0 dan nilai lower bound 188,0
Lampiran 11
HASIL P-MEDIAN SOLVER LOKASI OPTIMAL PUSTU KECAMATAN TANAH SAREAL BOBOT SAMA PENGARUH JARAK
Lokasi Optimal berdasarkan bobot jumlah penduduk di Kelurahan Suka Damai (Bobot 1) dan Kelurahan Kayu Manis (Bobot 1) sebagai lokasi alternatif dengan asumsi 2 lokasi.
Hasil : Satu kali iterasi dengan nilai upper bound 18,0 dan nilai lower bound 18,0