ANALISIS PEMANFAATAN RUANG WILAYAH PESISIR DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN BURU, MALUKU
FAIZAL RUMAGIA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
ABSTRAK FAIZAL RUMAGIA, Analisis Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Buru, Maluku. Dibimbing oleh SANTOSO RAHARDJO dan AGUSTINUS M. SAMOSIR. Kabupaten Buru sebagai salah satu kabupaten yang baru dimekarkan di Propinsi Maluku akibat pelaksanaan undang-undang otonomi daerah, memiliki potensi yang besar dalam pengelolaan dan pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan lautan yang dimilikinya. Penelitian tentang Analisis Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah di Kabupaten Buru, Maluku, bertujuan untuk menganalisis kesesuain lahan untuk pemanfaatan wilayah pesisir bagi beberapa peruntukan, dan menganalisis pendapat stakeholder dalam penentuan prioritas kebijakan pemanfataan wilayah pesisir berdasarkan pada skenario kebijakan menurut alternatif pemanfaatannya di Kabupaten Buru. Data primer diperoleh langsung dari sumbernya melalui hasil survei, observasi dan wawancara secara langsung di lapangan. Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan dan dari dinas atau instansi terkait. Untuk menganalisis kesesuaian lahan bagi pemanfaatan wilayah pesisir digunanakan metode Sistem Informasi Geografis (SIG) dan untuk analisis pemecahan konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir digunakan metode Proses Hierarki Analitik (PHA). Hasil analisis kesesuaian lahan menggunakan SIG menunjukkan bahwa wilayah pesisir Kabupaten Buru memiliki peluang untuk berbagai program pembangunan bagi pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir, seperti : kawasan pemukiman penduduk, kawasan pelabuhan umum, kawasan pelabuhan perikanan, kawasan budidaya air payau dengan tambak konvensional, kawasan budidaya keramba jaring apung, kawasan budidaya rumput laut, dan kawasan konservasi untuk mangrove dan terumbu karang. Hasil analisis pemecahan konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir menggunakan PHA menunjukkan bahwa kriteria yang berpegaruh besar terhadap tujuan analisis pemecahan konflik adalah ketersediaan dan kesesuaian lahan, dan priorias pertama bagi alternatif pengembangan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru adalah pengembangan kawasan perikanan. Kata Kunci: Kabupaten Buru, wilayah pesisr, pemanfaan ruang, SIG, otonomi daerah, PHA, starategi kebijakan.
ABSTRACT FAIZAL RUMAGIA, Analysis of Coastal Zone Utilization on the Implementation of Decentralization in Buru Regency, Moluccas. Supervised by SANTOSO RAHARDJO and AGUSTINUS M. SAMOSIR. Buru regency as one of the newest region in Moluccas province, as the implementation on decentralization laws, have a big potential in development and management of their coastal zone. The research about Analysis of Coastal Zone Utilization on the Implementation of Decentralization in Buru Regency, Moluccas, aim to analyzing land use for coastal zone utilization for various utilization, and to analyzing the opinion of stakeholder on determination of policy priority of coastal zone utilize based to the policy scenario according to alternative of coastal utilization in Buru Regency. Primary data obtained directly from the source through survey result, observation and direct interview in the research area. Secondary data obtained from study of bibliography and from related institution. To analyze the land use for coastal zone utilization was determinate using the Geography Information System (GIS) and for land use resolving conflict determinate by Analytical Hierarchy Process (AHP). The land use analysis result using the GIS showed that coastal zone of Buru Regency have an opportunity for various developing program for coastal zone development and management, such as the settlement area, public port, fishery port, estuary pond aquaculture, lift net pond aquaculture, sea weed aquaculture, coastal tourism, also mangrove and coral reef conservation. The land use resolving conflict result shown that the most contribute criteria for the aim of the land use resolving was the availability and agreeable of the land, and the first priority for the alternative development of the coastal zone in Buru Regency are the fishery area. Keyword: Buru Regency, Coastal zone, Land use, GIS, Decentralization, AHP, Policy strategic.
@ Hak Cipta milik IPB, Tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
ANALISIS PEMANFAATAN RUANG WILAYAH PESISIR DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN BURU, MALUKU
FAIZAL RUMAGIA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Judul Tesis
: Analisis Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Kabupaten Buru, Maluku.
Nama
: Faizal Rumagia
NRP
: C251050161
Program Studi
: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui Komisi Pembimbing
Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil Anggota
Ir. Santoso Rahardjo, M.Sc Ketua
Diketahui
Ketua Departemen Manajenem Sumberdaya Perairan
Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc
Tanggal Ujian :
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul Analisis Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Kabupaten Buru, Maluku adalah hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2008
Faizal Rumagia NRP C251050161
PRAKATA Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala karunia dan keridhoan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul Analisis Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Kabupaten Buru, Maluku. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada: 1. Ir. Santoso Rahardjo, M.Sc dan Ir. Agustinus M. Samosir, M.Phil selaku ketua dan anggota komisi pembimbing, atas semua bantuan dan bimbingan yang telah diberikan kepada penulis mulai dari awal penelitian hingga tersusunnya tesis ini. 2. Pemerintah Kabupaten Buru, DPRD Kabupaten Buru, Camat dan Kepala Desa pada lokasi penelitian, civitas akademika Universitas Iqra Buru, masyrakat dan semua pihak di Kabupaten Buru yang terkait dengan penyusunan tesis ini, yang telah dengan ikhlas membantu penulis selama melakukan penelitian. 3. Ayahanda H. Umar Rumagia (Rahimakumullah), Ibunda Hj. Syarifah Rumagia, Kakak Fatmah S. Rumagia, S.Pi dan Adik Abd. Gafur Rumagia, S.Pi beserta istri serta kedua keponakan tersayang Khodijah dan Hudzaifah, atas segala doa, kasih sayang, pengertian dan pengorbanan yang telah di berikan dalam setiap langkah dan kehidupan penulis. 4. Mahasiswa SPs-IPB Program Studi SPL-IPB angkatan 12, khususnya Dinand, Haikal, Angga, Yusuf, Widhi, dan Evi, atas semua persahabatan, motivasi dan bantuannya
selama
penulis
menempuh
pendidikan.
Keluarga
kanda
Drs. Abunaim, M.Sc, keluarga besar “BENZIN”, Yeni, Mba Eka, Nico, Adith, Ancu, Yona, Andin, Santi, Sylvi, dan semua pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan pendidikan di IPB. Semoga tesis ini bermanfaat. Bogor, Januari 2008
Faizal Rumagia
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 22 November 1977 dari ayah H. Umar Rumagia dan ibu Hj. Syarifah Rumagia, sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Menyelesaikan pendidikan Taman Kanak-Kanak pada tahun 1984 di TK Al Fatah Ambon, dilanjutkan dengan pendidikan dasar ke SDN 6 Ambon yang diselesaikan pada tahun 1991, pendidikan menengah di SLTP Negeri 4 Ambon diselesaikan pada tahun 1993, kemudian menyelesaikan pendidikan menengah atas pada SMA Negeri 1 Ambon pada tahun 1996. Tahun 2001 penulis berhasil menyelesaikan pendidikan Strata Satu pada Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Muslim Indonesia Makassar. Sejak tahun 2001 sampai dengan 2003 penulis mengabdi sebagai Asisten Dosen pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Iqra Buru, dan dalam tahun 2003 penulis diangkat sebagai Dosen Tetap Yayasan Muslim Buru Universitas Iqra Buru dan ditugaskan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Tahun 2005 penulis melanjutkan studi strata dua pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti pendidikan Strata Dua, penulis terlibat aktif dalam organisasi kemahasiswaan IPB, khususnya pada Forum Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (Wacana Pesisir IPB) sebagai Sekretaris Umum Wacana Pesisir IPB periode 2006 – 2007.
DAFTAR ISI Halaman PRAKATA ...........................................................................................
viii
DAFTAR ISI ........................................................................................
x
DAFTAR TABEL .................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................
xviii
PENDAHULUAN ................................................................................. Latar Belakang ............................................................................ Rumusan Masalah ........................................................................ Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... Alur Pendekatan Studi .................................................................
1 1 3 4 4
TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ Pengertian Wilayah Pesisir .......................................................... Pengertian PengelolaanWilayah Pesisir Secara Terpadu dan Berkelanjutan ............................................................................... Penataan Ruang Wilayah Pesisir .................................................. Pengertian Otonomi Daerah/Desentralisasi .................................. Kelembagaan dan Perundang-undangan Pengelolaan Wilayah Pesisir ........................................................................................... Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam Penataan Ruang Wilayah Pesisir ............................................................................. Proses Pemecahan Konflik Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir ...........................................................................................
7 7 8 9 11 13 15 17
METODE PENELITIAN ...................................................................... Lokasi dan Waktu Penelitian ........................................................ Pengumpulan Data ....................................................................... Analisis Data ............................................................................... Analisis Kesesuaian Lahan .................................................... Analisis Pemecahan Konflik Pemanfaatan Ruang ..................
21 21 21 28 28 34
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN ................................. Gambaran Umum Kabupaten Buru .............................................. Fisiologi, Topografi dan Geomorfologi ........................................ Hidrologi dan Tanah .................................................................... Iklim ............................................................................................ Kondisi Fisik Perairan Kabupaten Buru ....................................... Kedalaman Perairan .............................................................. Pasang Surut .......................................................................... Arus ...................................................................................... Gelombang Laut ....................................................................
39 39 40 42 44 44 44 45 45 46
Suhu Perairan ........................................................................ Salinitas Perairan ................................................................... Kecerahan Perairan ...............................................................
47 48 48
Kondisi Kimia Perairan Kabupaten Buru ..................................... Klorofil-a .............................................................................. Oksigen Terlarut (DO) ........................................................... pH Perairan ........................................................................... Nutrient ................................................................................. Fosfat dan Silikat ................................................................... Logam Berat .......................................................................... Prasarana Wilayah ....................................................................... Prasarana Transportasi ........................................................... Prasarana Air Bersih .............................................................. Prasarana Pengairan dan Irigasi ............................................. Prasarana Listrik dan Komunikasi ......................................... Prasarana Perekonomian ........................................................ Potensi Sumberdaya Perikanan .................................................... Perikanan Budidaya ............................................................... Perikanan Tangkap ................................................................ Potensi Ekosistem Pesisir dan Laut .............................................. Ekosistem Mangrove ............................................................. Ekosistem Padang Lamun ...................................................... Ekosistem Terumbu Karang .................................................. Domografi dan Sosial Budaya ...................................................... Kelembagaan Penataan Ruang Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil di Wilayah Kabupaten Buru .................................................
49 49 50 50 51 51 52 52 52 54 54 54 55 57 57 59 62 62 62 63 64
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. Dampak Kegiatan Pembukaan Dataran Atas Terhadap Pesisir Kabupaten Buru ............................................................................ Analisis Kesesuaian Lahan .......................................................... Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Pemukiman Penduduk ..... Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Pelabuhan Umum ............ Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai .................................................................................... Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Budidaya Air Payau dengan Tambak Konvensional ............................................... Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Budidaya Keramba Jaring Apung ......................................................................... Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Budidaya Rumput Laut ..... Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Pariwisata Pantai ............. Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Konservasi ....................... Peta Komposit Kesesuaian Lahan ........................................... Analisis Pemecahan Konflik Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir .......................................................................................... Tujuan ................................................................................... Kriteria ..................................................................................
67
65
67 68 68 73 77 81 84 85 87 92 96 99 99 100
Alternatif ............................................................................... Sintesis Alternatif Menurut Kriteria ............................................. Prioritas Pertama : Kawasan Perikanan .................................. Prioritas Kedua : Kawasan Konservasi .................................. Prioritas Ketiga : Kawasan Pelabuhan ................................... Prioritas Keempat : Kawasan Pemukiman Penududuk ........... Prioritas Kelima : Kawasan Pariwisata Pantai ........................ Skenario Kebijakan ...................................................................... Pembahasan Komprehensif ..........................................................
103 110 111 114 115 117 118 120 122
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. Kesimpulan .................................................................................. Saran ...........................................................................................
127 127 129
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................
130
DAFTAR TABEL Tabel
Halaman
1.
Komponen Data dan Cara Pengumpulannya ..................................
24
2.
Matriks Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Pemukiman Penduduk .......................................................................................
30
3.
Matriks Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Pelabuhan Umum ........
30
4.
Matriks Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai ............................................................................................
31
5.
Matriks Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Budidaya Tambak .......
31
6.
Matriks Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Budidaya Keramba Jaring Apung ..................................................................................
31
Matriks Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Budidaya Rumput Laut ................................................................................................
32
8.
Matriks Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Pariwisata Pantai .........
32
9.
Matriks Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Konservasi ..................
32
10. Skala Banding Secara Berpasangan ...............................................
35
11. Dimensi Spasial Wilayah Ekologis Kabupaten Buru ......................
40
12. PDRB Kabupaten Buru Tahun 2001 – 2003 Berdasarkan Harga Konstan Tahun 1999 ......................................................................
56
13. Distribusi Infrastruktur Ekonomi Perikanan pada Kabupaten Buru ..............................................................................................
56
14. Jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) Perikanan Budidaya menurut Uraian Kegiatan Budidaya di Kabupaten Buru sejak Tahun 2002 – 2006 ...................................................................................
58
15. Jumlah Jenis Perahu Penangkap Ikan di Kabupaten Buru dari Tahun 2002 – 2006 ...................................................................................
61
16. Kondisi Alat Tangkap Ikan di Kabupaten Buru dari Tahun 2002 – 2006 ...................................................................................
61
17. Skala Prioritas Kriteria terhadap Tujuan dalam Penentuan Prioritas Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Buru........
101
7.
18. Skala Prioritas Berdasarkan Kriteria Ketersediaan dan Kesesuaian Lahan dalam Penentuan Prioritas Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Buru .................................................................
104
19. Skala Prioritas Berdasarkan Kriteria Kelestarian Sumberdaya Alam dan Lingkungan dalam Penentuan Prioritas Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Buru ........................................
105
20. Skala Prioritas Berdasarkan Kriteria Pengembangan Wilayah ke Masa yang Akan Datang dalam Penentuan Prioritas Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Buru ....................
107
21. Skala Prioritas Berdasarkan Kriteria Kontinyuitas Pembangunan dalam Penentuan Prioritas Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Buru ...................................................
108
22. Skala Prioritas Altrenatif Kegiatan Berdasarkan Kriteria dalam Penentuan Prioritas Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Buru ..............................................................................................
110
DAFTAR GAMBAR Gambar
Halaman
1.
Alur Pendekatan Studi ...................................................................
5
2.
Peta Lokasi Penelitian ....................................................................
22
3.
Alur Sistematika Proses Penelitian ..................................................
27
4.
Diagram Hierarki Analisis Prioritas Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Buru .................................................................
38
5.
Peta Wilayah Administratif Kabupaten Buru .................................
40
6.
Peta Wilayah Ekologis Kabupaten Buru .........................................
42
7.
Peta Daerah Aliran Sungai (DAS) Kabupaten Buru .......................
43
8.
Kondisi Sedimentasi di Perairan Teluk Kaiely Kabupaten Buru.......
49
9.
Peta Jaringan Transportasi Kabupaten Buru dan Propinsi Maluku....
53
10. Peta Zona Penangkapan Ikan Kabupaten Buru ...............................
60
11. Potensi Hutan Mangrove pada Wilayah Ekologis Teluk Kaiely Kabupaten Buru...............................................................................
63
12. Potensi Terumbu Karang pada Wilayah Ekologis Teluk Kaiely Kabupaten Buru ..............................................................................
64
13. Peta Kesesuaian Lahan Untuk Kawasan Pemukiman Penduduk di Wilayah Pesisir Kabupaten Buru .....................................................
71
14. Peta Kesesuaian Lahan Untuk Kawasan Pelabuhan Umum di Wilayah Pesisir Kabupaten Buru ...................................................
75
15. Peta Kesesuaian Lahan Untuk Kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai di Wilayah Pesisir Kabupaten Buru ...............................................
80
16. Peta Kesesuaian Lahan Untuk Kawasan Budidaya Air Payau dengan Tambak Konvensional di Wilayah Pesisir Kabupaten Buru ............
83
17. Peta Kesesuaian Lahan Untuk Kawasan Budidaya Keramba Jaring Apung di Wilayah Pesisir Kabupaten Buru ....................................
86
18. Peta Kesesuaian Lahan Untuk Kawasan Budidaya Rumput Laut di Wilayah Pesisir Kabuaten Buru .....................................................
88
19. Peta Kesesuaian Lahan Untuk Kawasan Pariwisata Pantai di Wilayah Pesisir Kabupaten Buru ...................................................
91
20. Peta Kesesuaian Lahan Untuk Kawasan Konservasi Mangrove dan Terumbu Karang di Wilayah Pesisir Kabupaten Buru ....................
94
21. Peta Komposit Kesesuaian Lahan di Wilayah Pesisir Kabupaten Buru .............................................................................
97
22. Diagram Batang Skala Prioritas Kriteria terhadap Tujuan dalam Penentuan Prioritas Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Buru ...............................................................................................
101
23. Grafik Skala Prioritas Pengembangan Kriteria Ketersediaan dan Kesesuaian Lahan terhadap Alternatif Pengembangan Kawasan di Wilayah Pesisir Kabupaten Buru ...................................................
105
24. Grafik Skala Prioritas Pengembangan Kriteria Kelestarian Sumberdaya Alam dan Lingkungan terhadap Alternatif Pengembangan Kawasan di Wilayah Pesisir Kabupaten Buru ........
106
25. Grafik Skala Prioritas Pengembangan Kriteria Pengembangan Wilayah ke Masa yang Akan Datang terhadap Alternatif Pengembangan Kawasan di Wilayah Pesisir Kabupaten Buru..........
108
26. Grafik Skala Prioritas Pengembangan Kriteria Kontinyuitas Pembangunan terhadap Alternatif Pengembangan Kawasan di Wilayah Pesisir Kabupaten Buru .....................................................
109
27. Diagram Batang Skala Prioritas Alternatif Kegiatan Berdasarkan Kriteria dalam Penentuan Prioritas Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Buru ........................................
110
28. Grafik Analisis Sensitivitas Pendapat Gabungan Responden ..........
120
29. Model Dinamika Analisis Sensivitas Pendapat Gabungan Responden .....................................................................................
121
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1.
Halaman
Data Kondisi Biofisik Perairan Pesisir Kabupaten Buru Pada 28 Stasiun Pengamatan ..........................................................
136
Penilaian Responden untuk Analisis Pemecahan Konflik Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Buru ....................
138
Bobot dan Prioritas Alternatif Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Buru .............................................................................
142
Model Skenario Kebijakan Bila Terjadi Perubahan pada Setiap Kriteria Pemanaatan Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Buru ........
143
5.
Kuisioner Data Government Stakeholder ........................................
147
6.
Kuisioner Data Non-Government Stakeholder ................................
152
2.
3.
4.
PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan dan peningkatan sumberdaya alam Indonesia untuk pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat, kini semakin ditingkatkan sebagai salah satu konsekuwensi dari keterpurukan ekonomi bangsa akibat krisis yang telah berlangsung sejak tahun 1997. Salah satu sektor yang menjadi harapan percepatan perbaikan ekonomi tersebut adalah sektor perikanan dan kelautan, yang diharapakan dapat menjadi andalan dalam pengembangan sumberdaya alam di Indonesia. Sejalan dengan digulirkannya sistem desentralisasi pembangunan melalui UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah yang disempurnakan dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dengan sendirinya telah mengakibatkan
terjadinya
perubahan
paradigma
pengelolaan
terhadap
sumberdaya perikanan dan kelautan dari pusat ke daerah, dan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah bersama jajarannya yang terkait beserta masyarakat setempat. Secara umum dapat dilihat bahwa potensi wilayah pesisir dan lautan di dareah-daerah menjadi potensi yang penting dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan dimasa depan, mengingat luas wilayah laut Indonesia adalah 62 % dari luas wilayah nasional, belum lagi ditambah dengan wilayah ZEE seluas 2,7 juta km per segi, serta ditunjang oleh kekayaan dan keanekaragaman hayati dan jasa-jasa lingkungan yang dapat diberikannya, sehingga menempatkan sumberdaya pesisir dan lautan memiliki nilai ekonomis dan ekologi yang tinggi. Sebagaimana yang tersirat dalam pembangunan yang berkelanjutan, bahwa pembangunan suatu kawasan akan bersifat berkesinambungan (sustainable) apabila laju pembangunan beserta segenap dampak yang ditimbulkan secara keseluruhan tidak melebihi daya dukung atau kemampuan lingkungan kawasan tersebut. Karena itu ketersediaan ruang (space) yang sesuai (suitable) untuk kegiatan ekonomi seperti kegiatan perikanan, pariwisata, industri maritim, dan kegiatan ekonomi lainnya di wilayah pesisir dapat mendukung pembangunan yang berkelanjutan (Dahuri, 2003)
2
Propinsi Maluku dikenal sebagai propinsi seribu pulau, yang memiliki garis pantai cukup panjang, memegang tanggung jawab yang sangat besar terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan dan kelautan yang dimilikinya, mengingat luas wilayahnya hampir 70% merupakan wilayah laut. Hal tersebut juga dirasakan oleh pemerintah daerah dan masyarakat di Kabupaten Buru yang merupakan salah satu kabupaten yang baru dibentuk, dalam mempercepat pembangunan di daerahnya dalam pemenuhan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor ini. Dengan diberlakukannnya Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999 tentang Pembentukan Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Juncto Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 46 Tahun 1999, maka sejak tanggal 12 Oktober 1999 Kabupaten Buru secara resmi terbentuk. Sejalan dengan pemekaran wilayah tersebut maka sebagai kabupaten yang baru, Kabupaten Buru diperhadapkan dengan berbagai kebutuhan yang mendasar yang perlu dibentuk dan dibangun secara terencana yang dilaksanakan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah yang dibuat oleh pemerintah, baik Pusat, Provinsi, maupun Kabupaten sendiri dalam mengoptimalkan pencapaian pembangunan di Kabupaten Buru. Merujuk pada Pola Dasar Pembangunan Daerah Kabupaten Buru Tahun 2002 – 2006, Pemerintah Daerah Kabupaten Buru telah menetapkan beberapa kebijakan dan strategi
yang akan dikembangkan, antara lain penataan ruang
wilayah, peningkatan kualitas sumberdaya manusia, peningkatan sarana dan prasarana pendukung pembangunan wilayah, pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan serta peningkatan peranan kelembagaan. Kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang telah ditetapkan dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang menyebutkan bahwa pengelolaan sumberdaya alam diserahkan kepada pemerintah daerah, pada kenyataannya banyak menimbulkan konflik dalam pelaksaannya. Konflik tersebut umumnya merupakan konflik antara kepentingan konservasi dan pembangunan ekonomi di kawasan pesisir dan laut, terutama pada wilayah yang memiliki potensi dan intensitas pembangunan yang tinggi. Kondisi seperti ini juga dirasakan terjadi di wilayah pesisir dan lautan Kabupaten Buru, sehingga menjadi salah satu perhatian yang serius bagi pemerintah daerah Kabupaten Buru dalam
3
menjabarkan dan melaksanakan berbagai kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang dimiliki oleh kabupaten ini, terutama kebijakan dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan lautnya. Dalam rangka mendukung dan mengimplementasikan rencana strategis pembangunan daerah dan pola dasar pembangunan daerah Kabupaten Buru, maka penelitian Analisis Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah Di Kabupaten Buru, Maluku ini dirasa perlu dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh mana kesesuaian pemanfaatan ruang wilayah pesisir, dalam rangka mendukung kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Buru dalam pengembangan wilayah pesisir dengan prinsip keterpaduan dan keberlanjutan. Rumusan Masalah Pemanfaatan sumberdaya di wilayah pesisir Kabupaten Buru sebagai bagian dalam pelaksanaan pembangunan daerah, telah memberikan pengaruh yang besar terhadap pemanfaatan ruang wilayah pesisir di daerah ini. Peningkatan pembangunan dan pemanfaatan ruang di wilayah pesisir Kabupaten Buru, telah mengakibatkan terjadinya berbagai perubahan lingkungan pesisir, baik dari aspek sumberdaya alam maupun pada pola pemanfaatan ruang untuk berbagai sektor pembangunan. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya degradasi lingkungan dan terjadinya konflik pemanfaatan ruang di wilayah pesisir Kabupaten Buru. Berdasarkan pada kondisi tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan pemanfaatan ruang wialayah pesisir Kabupaten Buru antara lain sebagai berikut : 1. Terjadinya degradasi wilayah pesisir sebagai akibat dari pemanfaatan ruangan yang kurang sesuai antara para pengguna potensi sumberdaya pesisir dan lautan (stakeholder) yang mengakibatkan terjadinya perubahan pada fungsi pemanfaatan lahan dan sumberdaya alam, sehingga mempengaruhi pola pembangunan wilayah pesisir dan lautan di Kabupaten Buru. 2. Belum tersedianya analisis kesesuaian lahan yang memadai bagi pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru, sehingga mengakibatkan pola pemanfaatan ruang yang bersifat sektoral, yang berpengaruh terhadap kelestarian sumberdaya alam di wilayah pesisir Kabupaten Buru.
4
3. Adanya konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir antar stakeholder yang memerlukan penyelesaian melalui penentuan prioritas pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru, sehingga menghasilkan pola pembangunan wilayah pesisr yang berkelanjutan. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah : 1.
Menganalisis penyebab degradasi lingkungan melalui penentuan kesesuaian lahan untuk pemanfaatan wilayah pesisir bagi pemukiman penduduk, pelabuhan umum, pelabuhan perikanan, budidaya tambak, budidaya keramba jaring apung, budidaya rumput laut, pariwisata pantai, serta konservasi mangrove dan terumbu karang di Kabupaten Buru.
2.
Menganalisis dan menyelesaikan konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir dengan penentuan prioritas kebijakan pemanfaatan wilayah pesisir melalui penilaian terhadap pendapat stakeholder (pemerintah,masyarakat dan swasta) yang berperan dalam pemanfaatan wilayah pesisir di Kabupaten Buru Manfaat yang diharapkan dari kegiatan penelitian ini adalah dapat menjadi
masukan dan acuan bagi pengambil keputusan dalam menyusun kebijakan dan program
pembangunan
serta
sebagai
pertimbangan
dan
arahan
dalam
pengembangan dan perencanaan bagi pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan yang berkelanjutan (sustained development) di Kabupaten Buru dalam konteks otonomi daerah. Alur Pendekatan Studi Berdasarkan karakteristik dan dinamika dari kawasan pesisir, potensi dan permasalahan pembangunan serta kebijakan pemerintah untuk sektor kelautan, maka dalam upaya mencapai pembangunan kawasan pesisir secara optimal dan berkelanjutan, diperlukan adanya suatu bentuk pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan. Penataan ruang wilayah pesisir dan laut Kabupaten Buru didasarkan pada kondisi potensi supply, potensi permintaan dan pemanfaatan saat ini. Potensi supply adalah kondisi sumberdaya alam kawasan baik secara fisik, kimia maupun
5
biologi dan mempunyai interaksi sama lain yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Potensi permintaan meliputi kondisi sosial
ekonomi
masyarakat
serta
stakeholder
lainnya
yang
dalam
perkembangannya membutuhkan pasokan sumberdaya alam yang memadai serta pengaturan pemanfaatan agar dapat terjamin kelestariannya. Unsur pemanfaatan saat ini antara lain pemukiman penduduk, pelabuhan umum, pelabuhan perikanan, budidaya perikanan, pariwisata pantai, dan konservasi, merupakan faktor penentu yang
perlu
diketahui
untuk
melakukan
perubahan-perubahan
ke
arah
penyempurnaan pengelolaan kawasan pesisir Kabupaten Buru. Selanjutnya dengan menggunakan kriteria kesesuaian lahan, dilakukan analisis terhadap ketiga komponen penentu tersebut yaikni potensi supply, potensi permintaan dan pemanfaatan saat ini, untuk menetapkan kawasan yang sesuai dengan kondisi sumberdaya alam dan kebutuhan manusia dalam konteks pembangunan berwawasan lingkungan. Alur pendekatan studi yang digunakan seperti terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Alur Pendekatan Studi
6
Penataan ruang pesisir dan laut dapat dilakukan melalui empat tahapan, yaitu : (i) penataan ruang pesisir secara menyeluruh bagi berbagai peruntukan, yakni bagi kawasan preservasi, konservasi dan pemanfaatan secara intensif, (ii) penataan ruang pessir yang diperuntukan bagi kawasan pemanfaatan secara intensif untuk berbagai kegiatan pembangunan yang dimaksudkan untuk menghindari terjadinya benturan dan tumpang tidih berbagai kegiatan pembangunan, (iii) penataan ruang pesisir dengan lahan atas untuk menghidari adanya dampak yang dapat menurunkan (degradasi) ekosistem dan aktivitas pembangunan diwlayah pessir dan laut, dan (iv) penempatan setiap kegiatan pembangunan sesuai dengan kebutuhan biofisik dari kegiatan tersebut. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa analisis kesesuaian lahan merupakan salah satu cara yang dapat memberikan kontribusi positif bagi perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Kabupaten Buru. Perencanaan pengeloalaan didasarkan pada hasil analisis kesesuaian lahan yang mengintegrasikan biogeofisik kawasan pesisir dan lautan Kabupaten Buru.
21
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Wilayah Pesisir Wilayah pesisir adalah suatu daerah peralihan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), maka suatu wilayah pesisir memiliki dua macam batas yaitu : batas yang sejajar garis pantai (longshore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (cross-shore), atau merupakan daerah pertemuan antara daratan dan lautan, dimana batas di daratan meliputi daerah-daerah yang tergenang air maupun yang tidak tergenang dengan air yang masih dipengaruhi oleh proses-proses laut seperti pasang surut, angin laut, gelombang, muka laut, suhu dan salinitas (Dahuri el al., 2004; Bengen, 2001; Djais et al., 2003; Kay and Alder, 1999; The World Bank, 1993). Wilayah pesisir (coastal zone) merupakan daerah yang unik, karena pada daerah ini hanya bisa dijumpai pasang surut, hutan mangrove, terumbu karang, hempasan gelombang, perairan pantai, dan pulau-pulau penghalang pantai. Akibat dari keberagaman dan perubahan yang sering terjadi di wilayah pesisir, kebanyakan negara menyatakan bahwa daerah pesisir merupakan daerah yang memerlukan perhatian khusus. Lebih jauh disebutkan pula bahwa, sebagai daerah transisi antara daratan dan lautan, wilayah pesisir merupakan daerah yang memiliki beberapa habitat yang produktif dan berharga dari biosfer, seperti estuari, laguna, lahan basah pesisir, dan ekosistem terumbu karang. Daerah ini juga merupakan daerah yang memiliki dinamika sumberdaya alam yang besar dimana proses transfer energi alami banyak terjadi dan kelimpahan yang besar dari organisme alami juga dapat ditemukan di wilayah ini (Clark, 1996; Fabbri, 1998; Dutton and Hotta, 1995). Pendefinisian wilayah pesisir dilakukan atas tiga pendekatan, yaitu pendekatan ekologis, pendekatan administratif, dan pendekatan perencanaan. Dilihat dari aspek ekologis, wilayah pesisir adalah wilayah yang masih dipengaruhi oleh proses-proses kelautan, dimana ke arah laut mencakup wilayah yang masih dipengaruhi oleh proses-proses daratan seperti sedimentasi. Dilihat dari aspek administratif, wilayah pesisir adalah wilayah yanag secara administrasi pemerintahan mempunyai batas terluar sebelah hulu dari Kabupaten atau Kota
22
yang mempunyai hulu, dan kearah laut sejauh 12 mil dari garis pantai untuk Provinsi atau 1/3 dari 12 mil untuk Kabupaten/Kota. Sedangkan dilihat dari aspek perencanaan, wilayah pesisir adalah wilayah perencanaan pengelolaan dan difokuskan pada penanganan isu yang akan ditangani secara bertanggung jawab (Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir, 2001). Pengertian Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu dan Berkelanjutan Konsep
pengelolaan
wilayah
secara
berkelanjutan
merujuk
pada
perencanaan wilayah yang membutuhkan keterpaduan antara perencanaan ekonomi, perencanaan fisik dan dan perencanaan lingkungan. Konsep pengelolaan wilayah ini akan menjelaskan bagaimana konsep keterpaduan wilayah dalam aktifitas pembangunan yang dilaksanakan. Konsep pengelolaan berkelanjutan wilayah ini dibentuk dari empat konsep dasar yang saling berkaitan satu dengan lainnya, yakni : (1) Wilayah merupakan suatu kesatuan sistem yang terdiri dari berbagai kepentingan yang kompleks terhadap pemanfaatan wilayah, (2) Sebuah wilayah dapat dikarakteristikkan berdasarkan pada struktur dan fungsinya, (3) Struktur dan fungsi wilayah memiliki pengaruh bagi keuntungan ekonomi dan pembiayanya, dan (4) Bentuk keberhasilan dari suatu wilayah, dapat dinilai dari kegunaanya dalam memenuhi kebutuhan manusia, melalui pengukuran rasio keuntungan ekonomi yang dihasilkan oleh wilayah tersebut dan biaya ekonomi yang digunakan dalam pengelolaan wilayah tersebut (Laak, 1992; Dahuri et al. 2004; Darmawan, 2000). Clark (1996) menyatakan bahwa pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu merupakan suatu kegiatan perencanaan untuk mengelola sumberdaya pesisir melalui partisipasi atau keterlibatan oleh sektor-sektor ekonomi, lembaga pemerintah, dan lembaga-lembaga non-pemerintah yang memiliki keterkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir tersebut. Lebih jauh dinyatakan juga bahwa, tujuan utama dari pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan secara terpadu (Intergrated Coastal Zone Management / ICZM) adalah untuk mengkoordinasikan dan mengoptimalkan sektor ekonomi wilayah pesisir untuk jangka panjang dalam rangka memperoleh keuntungan sosial-ekonomi jangka panjang, termasuk didalamnya penyelesaian terhadap permasalahan dan proses ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir.
23
Dimensi keterpaduan dalam Pengelolaan Peisir Terpadu / Integrated Coastal Management (ICM) meliputi lima aspek, yaitu (1) keterpaduan sektor, (2) keterpaduan
wilayah/ekologis,
(3)
keterpaduan
stakeholder
dan
tingkat
pemerintahan, (4) keterpaduan antar berbagai disiplin ilmu, dan (5) keterpaduan antar negara (Cincin-Sain, 1993; Turner et al., 1999). Secara mendasar, pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah sebuah proses perubahan dalam eksploitasi sumberdaya, pengarahan terhadap investasi, orientasi penggunaan teknologi pembangunan, dan perubahan institusional yang berlangsung secara harmonis. Keberlanjutan, sebagaimana yang didefinisikan, merupakan tujuan baru dalam pengelolaan wilayah. Karena adanya keterkaitan yang erat antara pembangunan sosial dan ekonomi dengan keberadaan sumberdaya, terkadang tujuan dari keberlanjutan pembangunan wilayah tersebut disusun sebagai, pembangunan lingkungan ekonomi dan sosial yang berkelanjutan (Lier, 1992). Dalam pengelolaan wilayah pesisir terpadu, mengintegrasikan antara kegiatan pemerintah, swasta dan masyarakat, perencanaan vertikal dan horisontal, ekosistem darat dan laut, sains dan manajemen, merupakan proses pengelolaan sumberdaya alam pesisir yang mengacu pada pengelolaan yang berkelanjutan dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berdomisili di wilayah tersebut. Oleh karenanya pengelolaan dan pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru harus terintegrasi dan harus melibatkan semua sektor serta stakeholders
yang
ada,
sehingga
dapat
mencapai
pembangunan
yang
berkelanjutan serta dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir khususnya dan masyarakat Kabupaten Buru pada umumnya Penataan Ruang Wilayah Pesisir Menurut Budiharsono (2001), ruang merupakan hal yang penting dalam pembangunan wilayah. Konsep ruang mempunyai beberapa unsur, yaitu : (1) jarak; (2) lokasi; (3) bentuk; dan (4) ukuran. Konsep ruang sangat berkaitan erat dengan waktu, karena pemanfaatan bumi dan segala kekayaannya membutuhkan organisasi/pengaturan ruang dan waktu. Unsur-unsur tersebut di atas secara bersama-sama menyusun unit tata ruang yang disebut wilayah. Disini kekhususan
24
tata ruang sebagai instrumen publik adalah perskripsi spasial secara langsung dan tidak langsung. Pola pemanfaatan ruang selalu berkaitan dengan aspek-aspek sebaran sumberdaya dan aktifitas pemanfaatannya menurut lokasi, setiap aktifitas menyebar dengan luas yang berbeda-beda dan tingkat penyebaran yang berbedabeda pula. Secara lebih tegas, penataan ruang dilakukan sebagai upaya : (1) Optimasi pemanfaatan sumberdaya (mobilisasi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya): (Prinsip efisiensi dan produktifitas); (2) Alat dan wujud distribusi sumberdaya:
azas
pemerataan,
keberimbangan
dan
keadilan;
dan
(3)
Keberlanjutan (sustainabillity) (Rustiadi et al. 2005; Nugroho dan Dahuri, 2004; Tarigan, 2005). Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota disusun oleh pemerintah daerah setempat. Rencana ini merupakan kebijakan pemerintah yang menetapkan lokasi dan pengelolaan kawasan lindung, kawasan budidaya, pola jaringan prasarana, dan
wilayah-wilayah
yang
diprioritaskan
pengembangannya.
Bagi
Kabupaten/Kota yang wilayahnya terdiri dari wilayah daratan, wilayah pesisir, dan wilayah laut, maka untuk melaksanakan pembangunan daerahnya harus mampu melihat ketiga wilayah tersebut sebagai satu kesatuan (Hardjowigeno et al. 2001). Tata ruang wilayah pesisir dikelompokan melalui pengaturan penggunaan lahan wilayah di dalam unit-unit yang homogen ditinjau dari keseragaman fisik, non-fisik, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan dan keamanan. Wilayah pesisir paling dikenal sebagai daerah peralihan antara ekosistem daratan dan lautan dimana merupakan kawasan dipermukaan bumi yang paling padat dihuni oleh umat manusia (Dahuri et al., 1997, 2004; Sugandhy, 1993). Fungsi penataan ruang dalam kebijakan pengembangan daerah adalah : (1) sebagai matra ruang dari kebijakan pembangunan daerah yang dituangkan dalam Rencana Strategis Pembangunan Daerah, (2) merupakan pedoman untuk menetapkan lokasi bagi kegiatan pembangunan dalam pemanfaatan ruang yang dituangkan dalam Rencana Tata Ruang, dan (3) sebagai alat untuk mengkoordinasikan perencanaan, pelaksanaan pemanfaatan ruang bagi kegiatan
25
yang memerlukan ruang, sehingga dapat menyelaraskan setiap program antar sektor yang terlibat (Djais et al, 2003). Pengertian Otonomi Daerah/Desentralisasi Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa, "Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan". Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip seluas-luasnya dalam arti daerah
diberikan
kewenangan
mengurus
dan
mengatur
semua
urusan
pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat (Pemerintah Republik Indonesia, 2004). Salam (2003) menyatakan bahwa, secara filosofi, penyelenggaraan otonomi daerah merupakan bentuk pengakuan pemerintah pusat terhadap kemandirian masyarakat dan pemerintah kabupaten dan kota. Karena itu sasaran akhir penyelenggaraan otonomi daerah adalah pemberdayaan masyarakat dan pemerintah daerah serta mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. Sementara itu juga dikemukakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan kekuasaan (wewenang, hak, kewajiban dan tanggung jawab) sejumlah urusan pemerintah dari pemerintah pusat ke daerah otonom sehingga daerah otonom itu dapat melakukan pengambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dalam masalah-masalah pengelolaan pembangunan untuk mendorong dan meningkatkan kinerja pembangunan. Secara teoritis, terdapat tiga sendi otonomi daerah, yaitu pembagian kekuasaan (sharing of power), distribusi pendapatan (distribution of income), dan pemberdayaan (empowering). Ketiga sendi otonomi daerah tersebut relatif telah terakomodasi, baik dalam UU Pemerintahan Daerah maupun UU Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Muchsan, 2000 diacu dalam Saad, 2003).
26
Menurut
Rondinelli (1993), desentralisasi dan otonomi daerah adalah
upaya-upaya pengentasan kemiskinan, pemerataan kesejahteraan masyarakat melalui peran serta proaktif kelompok masyarakat miskin yang dapat terlaksanakan secara efektif. Lebih jauh juga dikemukakan bahwa, kebijakan desentralisasi dapat memberikan keuntungan, yaitu (i) memberikan sumbangan untuk mencapai tujuan-tujuan politik yang luas, (ii) meningkatkan efektifitas administrasi, (iii) mempromosikan efisiensi ekonomi dan manejerial, (iv) meningkatkan
respon
pemerintah
menghadapi
beragam
kebutuhan
dari
pemerintahan; (v) memajukan ketahanan dan penentuan diri sendiri diantara organisasi dan kelompok-kelompok di daerah yang merupakan representasi kepentingan politik yang absah, dan (vi) memajukan cara yang memadai untuk mendesain dan mengimplementasikan program dan proyek pembangunan daerah. Dahuri (1999) menyatakan bahwa, berlakunya otonomi daerah merupakan peluang mengoptimalkan pengelolaan wilayah pesisir bagi pemerintah daerah, dan memberikan wewenang dalam hal : (1) adanya yuridiksi untuk mendapatkan tambahan dari sumberdaya alam hayati dan non hayati dan dapat menggali potensi-potensi lainnya yang ada di wilayah pesisir, (2) dalam menata dan melakukan pembangunan wilayah, pemerintah daerah dapat melakukannya sesuai dengan kemampuan wilayah pesisir serta pembangunan sarana dan prasarana. Dimasa otonomi daerah, optimalisasi pengelolaan wilayah pesisir dan lautan dapat berhasil karena : (i) Pengelolaan sumberdaya wilayah di dekatkan pada pelaku dan stakeholder terdekat (masyarakat dan daerah), (ii) Penghargaan dan akomodasi
terhadap
kearifan
lokal
dan
hukum-hukum
adat
setempat,
(iii) Transparansi dalam alokasi dan penetapan kebijaklan ruang dan sumberdaya, (iv) Pelibatan partisipasi aktif masyarakat dalam setiap pengambilan kebijakan, (v) Meningkatnya rasa memiliki masyarakat terhadap sumberdaya yang ada di wilayah pesisir (Idris, 2001). Pendekatan desentralisasi pengelolaan dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Secara Terdapadu (Integrated Coastal Zone Management/ICZM) adalah dengan memberikan kewenangan penuh kepada pemerintah daerah untuk melakukan pengelolaan pada wilayah pesisir di daerahnya, melalui pengaturan dan pemilihan rencana dan kegiatan pengelolaan yang lebih khusus untuk
27
kegiatan konservasi, ekonomi, dan kebutuhan-kebutuhan sosial masyarakat yang berperan dalam pengelolaan wilayah pesisirnya (Clark, 1996). Kelembagaan dan Perundang-undangan Pengelolaan Wilayah Pesisir Sesuai dengan amanat GBHN 1999 – 2004, arah kebijakan pembangunan daerah adalah untuk : (a) Mengembangkan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab dalam rangka pemberdayaan masyarakat, lembaga ekonomi, lembaga politik, lembaga hukum, lembaga keagamaan, lembaga adat dan lembaga swadaya masyarakat, serta seluruh potensi masyarakat dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia; (b) Melakukan kajian tentang berlakunya otonomi daerah bagi propinsi, kabupaten/kota dan desa; dan (c) Mewujudkan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah secara adil dengan mengutamakan kepentingan daerah yang lebih luas melalui desentralisasi perizinan dan investasi serta pengelolaan sumberdaya. Dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil disebutkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, pengendalian sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil antar sektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Lebih jauh dalam Undang-undang ini juga disebutkan bahwa, pengelolaan wilayah
pesisir
dan
pulau-pulau
kecil
meliputi
kegiatan
perencanaan,
pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian terhadap interaksi manusia dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil serta proses alamiah secara berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kesejahteran masyarakat dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil pada tingkat kabupaten/kota dilaksanakan secara terpadu yang dikoordinasi oleh dinas yang membidangi kelautan dan perikanan. Menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, disebutkan bahwa zona adalah ruang yang penggunaannya disepakati bersama antara berbagai pemangku kepentingan dan telah ditetapkan status hukumnya. Zonasi adalah suatu bentuk rekayasa teknik
28
pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumberdaya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pesisir. Zonasi adalah rencana yang menentukan arah penggunaan sumberdaya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak oleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan serta memperoleh izin. Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, disebutkan bahwa Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan/atau aspek fungsional. Selanjutnya dalam Undang-undang ini juga menyebutkan bahwa wewenang pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelengaraan penataan ruang meliputi: (a) pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis kabupaten/kota; (b) pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota; (c) pelaksanaan penataan kawasan straregis kabupaten/kota; dan (d) kerja sama penataan ruang antar kabupaten/kota. Berdasarkan
Keputusan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
Nomor:
KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, dinyatakan bahwa, untuk melaksanakan penyusunan Pengelolaan Pesisir Terpadu, maka diperlukan kelembagaan tersendiri yang berperan membantu instansi perencana yang ada, seperti Bappeda provinsi atau kabupaten/kota. Kelembagaan ini bersifat lintas sektor dan tidak permanen (adhoc) yang dibentuk selama proses penyusunan doumen Perencanaan PPT. Pelaksanaan dan
29
pengendalian Program PPT-nya akan dikoordinasikan Bappeda bersama Dinas Perikanan dan Kelautan serta instansi teknis atau unit pelaksana teknis di daerah. Ruang lingkup perencanaan tata ruang wilayah pesisir terkait erat dengan batasan wilayah pesisir. Ditinjau dari garis pantai, maka suatu wilayah pesisir memiliki dua kategori batas yaitu batas yang sejajar dengan garis pantai (longshore) dan batas yang tegak terhadap garis pantai (crosshore). Lingkup perencanaan wilayah dapat dilihat dari pendekatan karakter administratif dan pendekatan berdasarkan ekobiogeografis (Departemen Kelautan dan Perikanan, 2002; Ditjen Bangda Depdagri, 1998). Sebagai akhir proses perencanaan, rencana tata ruang yang telah disetujui bersama oleh pemerintah, DPRD dan masyarakat harus diundangkan dan dimuat dalam lembaran negara. Rencana Tata Ruang bukanlah akhir dari proses tetapi awal dari proses pengaturan pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan. Untuk itu Rencana Tata Ruang Nasional lebih banyak berupa kriteria dan pola pengelolaan kawasan lindung, budidaya dan kawasan tertentu, sedangkan Rencana Tata Ruang Kabupaten berupa pedoman pengendalian pemanfaatan ruang kabupaten. Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam Penataan Ruang Wilayah Pesisir Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu sistem
komputer yang
mempunyai kemampuan pemasukan, pengambilan, analisis data, dan tampilan data geografis yang sangat berguna bagi pengambil keputusan. Sistem komputer ini terdiri dari perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software) dan manusia (personal) yang dirancang untuk efisien memasukkan, menyimpan, memperbaharui, memanipulasi, menganalisa, dan menyajikan semua jenis informasi yang berorientasi geografis (ESRI, 1990; Purwanto, 2001). Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah suatu teknologi baru yang pada saat ini menjadi alat bantu (tools) yang sangat esensial dalam menyimpan, memanipulasi, menganalisis, dan menampilkan kembali kondisi-kondisi alam dengan bantuan data atribut dan data spasial (Prahasta, 2005; Purwadhi, 1998; Burrough, 1986). Dahuri et al. 2004 menyatakan bahwa, informasi yang dibutuhkan untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan sumberdaya pesisir dan lautan
30
secara berkelanjutan adalah informasi yang digunakan untuk : (1) Menyusun tata ruang kelautan, (2) Penentuan tingkat pemanfaatan sumberdaya alam yang dapat pulih, (3) Penentuan tingkat kerusakan lingkungan (dalam bentuk pencemaran, erosi/abrasi, perubahan bentang alam, dan lain-lain) yang dapat ditolerir oleh sistem lingkungan setempat. Burrough (1986), menyatakan bahwa, Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan sistem informasi yang bersifat terpadu, karena data yang dikelola adalah data spasial. Dalam SIG data grafis di atas peta dapat disajikan dalam dua model data spasial yaitu model data raster dan model data vektor. Model data vektor menyajikan data grafis (titik, garis, poligon) dalam struktur format vektor. Struktur data vektor adalah suatu cara untuk membandingkan informasi garis dan areal ke dalam bentuk satuan-satuan data yang mempunyai besaran, arah dan keterkaitan satu sama lainnya. Sistem Informasi Geografis (SIG) mempunyai kemampuan analisis keruangan (spatial analysis) maupun waktu (temporal analysis). Dengan kemampuan tersebut SIG dapat dimanfaatkan dalam perencanaan apapun karena pada dasarnya semua perencanaan akan terkait dengan dimensi ruang dan waktu. Dengan demikian setiap perubahan, baik sumberdaya, kondisi maupun jasa-jasa yang ada di wilayah perencanaan akan terpadu dan terkontrol secara baik (Rais et al. 2004). Gunawan (1998) menjelaskan bahwa, SIG umumnya dipahami memiliki kontribusi besar dalam pengelolaan wilayah pesisir, yakni (1) membantu memfasilitasi berbagai pihak sektoral, swasta dan Pemda yang merencanakan sesuatu, dapat dipetakan dan diintegrasikan untuk mengetahui pilihan-pilihan manajemen dan alternatif perencanaan yang paling optimal., (2) merupakan alat yang digunakan untuk menunjang pengelolaan sumberdaya pesisir yang berwawasan lingkungan. Dengan menggunakan SIG, kita dengan mudah dan cepat dapat melakukan analisis keruangan (spatial analysis) dan pemantauan terhadap perubahan lingkungan wilayah pesisir. Kemampuan SIG dalam analisis keruangan dan pemantauan dapat digunakan untuk mempercepat dan mempermudah penataan
31
ruang (pemetaan potensi) wilayah pesisir yang sesuai dengan daya dukung lingkungannya. Kelebihan SIG jika dibandingkan dengan sistem pengelolaan data dasar yang lain adalah kemampuannya untuk menyajikan informasi spasial maupun non spasial secara bersama-sama dalam bentuk vektor, raster ataupun data tabular (Barus dan Wiradisastra, 2000). Proses Pemecahan Konflik Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Proses pemecahan konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir, dapat dilakukan dengan menentukan prioritas pengembangan wilayah melalui penentuan kriteria-kriteria pemanfaatan dan pengelolaan yang berkelanjutan. Proses pemecahan konflik ini dapat diselesaikan dengan menggunakan metode Proses Hirarki Analitik (AHP). Proses Hirarki Analitik (Analitical Hierarchy Process /AHP) adalah salah satu alat analisis dalam pengambilan keputusan yang baik dan fleksibel. Metode ini berdasarkan pada pengalaman dan penilaian dari pelaku/pengambil keputusan. Metode yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty dua puluh tahun yang lalu, terutama sekali membantu pengambil keputusan untuk menentukan kebijaksanaan yang akan diambil dengan menetapkan prioritas dan membuat keputusan yang paling
baik
ketika
aspek
kualitatif
dan
kuantitatif
dibutuhkan
untuk
dipertimbangkan. Proses Hirarki Analitik (PHA) adalah suatu proses “rasionalitas sistematik”. Dengannya kita dimungkinkan untuk mempertimbangkan suatu persoalan sebagai satu keseluruhan dan mengkaji interaksi serempak dari berbagai komponennya di dalam suatu hirarki (Saaty, 1991). Selanjutnya dikemukakan pula bahwa, PHA menangani persoalan kompleks sesuai dengan interaksi-interaksi pada persoalan itu sendiri. PHA dapat digunakan untuk merangsang timbulnya gagasan untuk melaksanakan tindakan kreatif, dan untuk mengevaluasi keefektifan tindakan tersebut. Selain itu, untuk membantu para pemimpin menetapkan informasi apa yang patut dikumpulkan guna mengevaluasi pengaruh faktor-faktor relefan dalam situasi kompleks.
32
Marimin (2005) menyatakan bahwa, Analitical Hierarchy Process (AHP) memiliki banyak keunggulan dalam menjelaskan proses pengambilan keputusan, karena dapat digambarkan secara grafis, sehingga mudah dipahami oleh semua pihak yang telibat dalam pengambilan keputusan. Dengan AHP, proses keputusan kompleks dapat diuraikan menjadi keputusan-keputusan lebih kecil yang dapat ditangani dengan mudah. Selain itu, AHP juga menguji konsistensi penilaian, bila terjadi penyimpangan yang terlalu jauh dari nilai konsistensi sempurna, maka hal ini menunjukkan bahwa penilaian perlu diperbaiki, atau hirarki harus distruktur ulang. Analisis
kebijakan
yang
bertujuan
untuk
menyelesaikan
konflik
pemanfaatan ruang yang terjadi, dengan cara memilih/menentukan prioritas kegiatan/penggunaan lahan yang optimal, menggunakan pendekatan proses hirarki analitik (AHP) dengan bantuan perangkat lunak “Expert Choice” (Saaty, 1991; Tomboelu et al. 2000). Untuk dapat memberikan solusi yang diinginkan, ada 4 (empat) aspek yang dipertimbangkan, yaitu : aspek ekonomi, lingkungan, sosial dan teknologi. Dari keempat aspek tersebut terdapat beberapa faktor yang sangat mempengaruhi keputusan pada pemilihan atau penetapan prioritas penggunaan lahan dalam pemanfaatan ruang yang akan dikembangkan, selanjutnya disusun struktur hirarki fungsionalnya. Menurut Permadi (1992), kelebihan Proses Hirarki Analitik (PHA) lebih disebabkan oleh fleksibilitasnya yang tinggi terutama dalam pembuatan hirarki. Sifat fleksibilitas tersebut membuat model PHA dapat menangkap beberapa tujuan dan beberapa kriteria sekaligus dalam sebuah model atau sebuah hirarki. Bahkan model tersebut bisa juga memecahkan masalah yang mempunyai tujuan-tujuan yang saling berlawanan, kriteria-kriteria yang saling berlawanan, dan tujuan serta kriteria yang saling berlawanan dalam sebuah model. Karenanya, keputusan yang dilahirkan dari model PHA tersebut sudah memperhitungkan berbagai tujuan dan berbagai kriteria yang berbeda-beda atau bahkan saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Masalah-masalah seperti konflik, perencanaan, proyeksi, alokasi sumberdaya, adalah beberapa dari banyak masalah yang dapat diselesaikan dengan baik oleh model PHA.
33
Saaty (1991) mengemukakan bahwa tahapan dalam analisis data sebagai berikut : (1) identifikasi sistem, (2) penyusunan struktur hirarki, (3) membuat matriks
perbandingan/komparasi
berpasangan
(pairwise
comparison),
(4) menghitung matriks pendapat individu, (5) menghitung pendapat gabungan, (6) pengolahan horisontal, (7) pengolahan vertikal, dan (8) revisi pendapat. Selanjutnya Saaty (1991), menyatakan juga bahwa beberapa keuntungan menggunakan PHA sebagai alat analisis adalah sebagai berikut : 1. PHA memberi model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk beragam persoalan yang tidak terstruktur. 2. PHA memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem dalam memecahkan persoalan kompleks. 3. PHA dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam satu sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier. 4. PHA mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilah-milah elemen-elemen
suatu
sistem
dalam
berbagai
tingkat
berlainan
dan
mengelompokan unsur yang serupa dalam setiap tingkat. 5. PHA memberi suatu skala dalam mengukur hal-hal yang tidak terwujud untuk mendapatkan priorits. 6. PHA melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas. 7. PHA menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap alternatif. 8. PHA mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka. 9. PHA tidak memaksakan konsensus tetapi mensintesis suatu hasil yang representatif dari penilaian yang berbeda-beda. 10. PHA memungkinkan orang memperhalus definisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan.
34
Poerwowidagdo (2003), menyatakan bahwa di dalam penyelesaian persoalan dengan PHA terdapat tiga prinsip dasar yang harus di perhatikan, yaitu: (i) menggambarkan dan menguraikan secara hirarki, yaitu memecah-mecah persoalan menjadi unsur-unsur terpisah, (ii) pembedaan prioritas dan sintesis atau penetapan prioritas, yaitu menentukan peringkat elemen-elemen menurut relatif kepentingannya, dan (iii) konsistensi logis, yaitu menjamin bahwa semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkatkan secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria logis.
35
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil tempat di wilayah pesisir dari 3 (tiga) kecamatan di Kabupaten Buru Propinsi Maluku, yakni : Kecamatan Namlea, Kecamatan Waeapo dan Kecamatan Batabual. Pemilihan ketiga lokasi ini dikarenakan ketiga lokasi tersebut berada pada satu kesatuan wilayah ekologis, yakni wilayah ekologis Teluk Kaiely. Selain itu, ketiga kecamatan tersebut merupakan daerah yang memiliki potensi pengembangan wilayah pesisir yang sangat besar. Penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih sepuluh bulan, mulai dari bulan Juli 2006 sampai dengan April 2007. Untuk jelasnya lokasi studi dapat dilihat pada Gambar 3. Pengumpulan Data Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan dan pengukuran serta wawancara langsung di lapangan, serta studi kepustakaan bagi data-data penunjang penelitian. Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya melalui hasil survei, observasi dan wawancara secara langsung di lapangan. Data Primer, merupakan data ekologi yang meliputi komponenkomponen fisika, kimia dan biologi, yang terdiri dari : 1) Data komponen fisik antara lain : komponen fisik kawasan pesisir yang menyangkut data tentang, kedalaman perairan, kecerahan perairan, temperatur, salinitas, kecepatan arus, gelombang dan pasang surut. 2) Data komponen kimia antara lain : pH, nitrat, nitrit, fosfat dan klorofil-a. 3) Data komponen biologi antara lain : data ekosistem wilayah pesisir seperti ekosistem mangrove (luas dan tingkat pemanfaatannya, dan sebagainya), terumbu karang, padang lamun (luasannya), dan vegetasi pantai lainnya. Alat yang digunakan dalam pengumpulan data primer ini antara lain : hand GPS, grabs, meteran, stop watch, palem pasut, secchi disk, thermometer, refractometer, pH meter (lakmus). Sementara lokasi stasiun pengamatan dapat dilihat dalam Gambar 2 dan Lampiran 1.
17
22
Gambar 2. Peta Lokasi Penelitian
23
Data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan dan data dari dinas atau instansi terkait seperti Bappeda, Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Kehutanan, Dinas Pertanian, Dinas Perhubungan, BPS dan dinas-dinas terkait lainnya di Kabupaten Buru. Data Sekunder yang terdiri dari : (1) Data geologi, fisiologi, hidrologi, iklim, tata air, kemampuan lahan (kelerengan dan kedalaman efektif tanah, tekstur tanah, drainase, erosi tanah, sedimentasi) (2) Data Sosial Ekonomi dan Budaya, yang meliputi : data luas desa/kecamatan yang menjadi lokasi penelitian, jumlah penduduk, jumlah kepala keluarga, tingkat pendidikan, pendapatan, mata pencaharian, dan juga kelembagaan yang terdapat di daerah penelitian seperti koperasi, dan tempat pendaratan ikan (TPI). (3) Data Kelembagaan dan Perundang-undangan serta peraturan daerah yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir di lokasi penelitian. (4) Data pemanfaatan ruang seperti peruntukan untuk kegiatan perikanan (budidaya tambak, budidaya rumput laut, keramba jaring apung, dan sebagainya), pariwisata, pemukiman, dan konservasi. (5) Data Penunjang, yang meliputi : literatur-literatur penunjang dan peta-peta yang terkait dengan penelitian, seperti : Peta rupa bumi Kabupaten Buru. Peta wilayah admistrasi Kabupaten Buru. Peta wilayah perairan Kabupaten Buru. Peta topografi dan batimetri Kabupaten Buru. Peta pola pemanfaatan lahan Kabupaten Buru. Citra Satelit Landsat 7 ETM+ Kabupaten Buru Pengambilan responden dilakukan secara purposive dengan pertimbangan responden adalah aktor/pengguna lahan yang dianggap memiliki keahlian atau yang memiliki kemampuan dan mengerti permasalahan terkait, serta yang dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
24
Metode pengambilan responden dalam rangka menggali informasi/pendapat stakeholders adalah metode expert judgement (Pendapat Pakar). Pakar ditentukan secara purposive sampling. Pakar responden berjumlah 16 orang, yang merupakan key persons (tokoh kunci) yang mewakili kelompok-kelompok stakeholders yang diperoleh pada saat identifikasi stakeholders. Kelompok stakeholders ini meliputi setiap unsur yang terkait dengan pengelolaan kawasan pesisir Kabupaten Buru, yaitu dari unsur birokrasi yang diwakili oleh Bupati Kabupaten Buru, Ketua DPRD Kabupaten Buru, Kepala Bappeda Kabupaten Buru, Kepala-kepala Dinas Teknis terkait (Kadis. Perikanan, Kadis. Kehutanan, Kadis. Perhubungan, Kadis. Pendidikan), Camat dari ketiga kecamatan pada lokasi penelitian dan unsur Kepala Desa yang diwakili oleh Kepala Desa Masarete, akademisi yang diwakili oleh Universitas Iqra Buru, kelompok nelayan yang diwakili oleh ketua koperasi nelayan, lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli pada pengelolaan pesisir dan masyarakat umum, unsur pengusaha yang diwakili oleh pengusaha perikanan, dan unsur masyarakat umum yang diwakili oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Buru. Jenis data, satuan pengukuran, metode pengumpulan dan metode analisis serta bahan/alat yang digunakan dalam penelitian ini, disajikan dalam Tabel 1 berikut ini. Tabel 1. Komponen Data dan Cara Pengumpulannya. Komponen Data
Satuan
Metode Pengumpulan
1 A. Data Fisik - Kimia 1. Iklim Makro dan Mikro a. Suhu
2
3
O
Pengumpulan data sekunder dan Analisis Deskripif Pengumpulan data sekunder Pengumpulan data sekunder Pengumpulan data sekunder dan Analisis Deskriptif
Daftar Isian
m/dpl
Interpretasi Peta Topografi
Peta / Laporan
%
Interpretasi Peta Topografi
Peta / Laporan
c. Panjang Lereng
m
Interpretasi Peta Topografi
Peta / Laporan
d. Bentuk Wilayah
-
Interpretasi Peta Topografi
Peta / Laporan
b. Kelembaban c. Curah Hujan d. Hari Hujan 2. Topografi dan Fisiologi a. Ketinggian Tempat b. Kelerengan
C
Metode Analisi 4
% mm hari
Daftar Isian Daftar Isian Daftar Isian
Sumber Data 5
BMG Namlea BMG Namlea BMG Namlea BMG Namlea BMG Namlea
Proses Citra Satelit Proses Citra Satelit Proses Citra Satelit Proses Citra Satelit
25
Tabel 1. (Lanjutan) 1 3. Pola Penggunaan Lahan a. Penggunaan Lahan
4. Geologi a. Formasi Geologi 5. Kondisi Fisik Perairan a. Substrat Dasar Perairan b. Kedalaman Perairan
6. Hidro-Oseanografi a. Pola Arus
2
Peta / Laporan
Proses Citra Satelit/Bapped a Kab.Buru
Ha, %
Interpretasi Peta dan Studi Pustaka
Peta / Laporan
Proses Citra Satelit/BPN Kab.Buru
-
Pengamatan langsung di lapangan Pengukuran langsung di lapangan dan data sekunder
Daftar Isian
Observasi
Peta/Daftar Isian
Dishidros TNI AL/Observasi
Data sekunder dan pengukuran lapangan Data sekunder dan pengukuran di lapangan. Data sekunder, pengamatan lapangan dan estimasi. Pengukuran di lapangan. Pengukuran di lapangan. Pangukuran di lapangan. Pengukuran di lapangan.
Daftar Isian
Daftar Isian
Dishidros TNI AL/Observasi Dishidros TNI AL/Observasi Observasi
Daftar Isian Daftar Isian Daftar Isian Daftar Isian
Observasi Observasi Observasi Observasi
Data Sekunder
Laporan
Ton/Thn
Data Sekunder
Laporan
Diskan Kab.Buru Diskan Kab.Buru
Unit
Data Sekunder
Laporan
Km2,Bln
Data Sekunder/Wawancara
Laporan/ Kuisioner
Ton/Thn
Data Sekunder
Laporan
KK/Bln
Data Sekunder
Statistik
BPS Kab.Buru
Rp
Data Sekunder
Laporan
Unit
Data Sekunder
Laporan
Dispenda Kab.Buru Disperindag Kab.Buru
m
m/det
c. Gelombang
m
2. Perikanan Tangkap a. Unit Penangkapan b. Daerah dan Musim c. Produksi C. Data Sosekbud 1. Sosial Ekonomi a. Mata Pencaharian b. Pendapatan Masyarakat c. Fasilitas Perekonomian
5
Pengamatan Lapangan, pengumpulan data sekunder dan interpretasi peta serta studi pustaka
m
B. Data Perikanan 1. Perikanan Budidaya a. Luas Area Budidaya b. Produksi
4
-
b. Kecepatan arus
d. Kecerahan Air e. Suhu f. Salinitas g. pH
3
m C O /oo O
Ha
Daftar Isian
Diskan Kab.Buru Diskan Kab.Buru/ Responden Diskan Kab.Buru
26
Tabel 1. (Lanjutan) 1 2. Sosial Budaya a. Demografi Penduduk b. Komposisi Penduduk c. Tingkat Penididikan d. Adat Istiadat
2
3
4
5
Jiwa/KK
Data Sekunder
Statistik
BPS Kab. Buru
Sex ratio (%) -
Data Sekunder
Statistik
BPS Kab. Buru
Data Sekunder
Statistik
Masyara kat
Wawancara
Kuisioner
Dinas PKPO Kab. Buru Dinas PKPO Kab. Buru Responden
Perencanaan pengeloalaan didasarkan pada hasil analisis kesesuaian lahan yang mengintegrasikan biogeofisik kawasan pesisir dan lautan Kabupaten Buru. Alur sistematika proses penelitian yang dilaksanakan dapat dilihat pada Gambar 3 berikut.
23
27
Gambar 3. Alur Sistematika Proses Penelitian
28
Analisis Data Analisis Kesesuaian Lahan Dalam dimensi ekologis, penempatan setiap kegiatan pembangunan haruslah bersesuaian dengan ciri biologi-fisika-kimianya, sehingga terbentuk suatu kesatuan yang harmonis dalam arti saling mendukung satu sama lainnya. Analisis kesesuaian lahan di wilayah pesisir Kabupaten Buru meliputi kesesuaian lahan untuk kawasan pemukiman penduduk, budidaya tambak, budidaya rumput laut, pelabuhan umum, pelabuhan perikanan, periwisata pantai, dan kawasan konservasi. Secara umum terdapat empat tahapan analisis yang dilakukan, yaitu (1) penyusunan peta kawasan, (2) penyusunan matriks kesesuaian setiap kegiatan yang akan dilakukan, (3) pembobotan dan pengharkatan, dan (4) melakukan analisis spasial untuk mengetahui kesesuaian dari setiap kegiatan yang akan dilakukan. 1. Penyusunan Peta Kawasan Penggunaan kawasan mengacu pada kenyataan bagaimana kawasan tersebut digunakan. Penentuan kategori penggunaan kawasan didasarkan pada jenis penggunaan yang dominan pada kawasan tersebut. Jenis-jenis kegiatan yang memiliki kesamaan karakteristik digolongkan kedalam satu kategori dan dapat diperhitungkan sebagai salah satu jenis dalam dominasinya. Penyusunan peta kawasan pesisir Kabupaten Buru dilakukan dengan mengoverlaykan berbagai peta yang didapat dari berbagai sumber. Penyusunan peta kawasan dilakukan dengan Sistem Informasi Geografis (SIG), yaitu dengan melakukan query terhadap data SIG dengan menggunakan prinsip-prinsip kawasan sehingga informasi spasialnya dapat diketahui, seperti : Kawasan mana saja yang tersedia bagi kegiatan pembangunan atau konservasi, atau kawasan mana saja yang dijadikan sebagai kawasan lindung. Kegiatan penggunaan kawasan apa saja yang diperbolehkan dan apa saja yang tidak diperbolehkan.
29
Konflik
yang
terjadi,
antara
lain
kesesuaian
kawasan
dengan
peruntukannya dan penggunaan lahan dengan peruntukannya. Hasil penyusunan peta kawasan yang telah disesuaikan dengan peruntukannya dapat saja berbeda dengan penggunaan kawasan pada saat sekarang. 2. Penyusunan Matriks Kesesuaian Kesesuaian lahan kawasan pesisir untuk berbagai pemanfaatan seperti kawasan pemukiman penduduk, budidaya tambak, budidaya keramba jaring apung, budidaya rumput laut, pelabuhan umum, pelabuhan perikanan, pariwisata pantai, dan kawasan konservasi, didasarkan pada kriteria kesesuaian lahan untuk setiap aktivitas. Kriteria ini dibuat berdasarkan parameter biofisik yang cocok untuk masing-masing aktivitas. Matriks kesesuaian lahan dibuat berdasarkan hasil studi pustaka dan informasi dari pakar yang ahli dalam bidangnya. Matriks ini sangat penting untuk disusun, mengingat dari matriks tersebut akan dapat diketahui parameter data dan cara analisisnya sampai dengan hasil akhir dari analisis tersebut. Dalam penelitian ini, kesesuaian lahan dibagi dalam empat kelas : 1. Kelas S1 : Sangat Sesuai (Highly Suitable), yaitu : lahan tidak mempunyai pembatas yang berat untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari, atau hanya mempunyai pembatas yang kurang berarti dan tidak berpengaruh secara nyata terhadap produksi lahan tersebut, serta tidak akan menambah masukan (input) dari pengusahaan tersebut. 2. Kelas S2 : Sesuai (Suitable), yaitu : lahan yang mempunyai pembatas agak berat untuk suatu penggunaan tertentu yang lestari. Pembatas tersebut akan mengurangi produktivitas lahan dan keuntungan yang diperoleh serta meningkatkan masukan untuk mengusahakan lahan tersebut. 3. Kelas S3 : Sesuai Bersyarat (Conditional Suitable), yaitu : lahan yang mempunyai pembatas dengan tingkat sangat berat, akan tetapi masih memungkinkan diatasi/diperbaiki, artinya masih dapat ditingkatkan menjadi sesuai, jika dilakukan perbaikan dengan tingkat introduksi
30
teknologi yang masih tinggi atau dapat dilakukan dengan perlakuan tambahan dengan biaya rasional. 4. Kelas N : Tidak Sesuai Permanen (Permanently Not Suitable), yaitu : lahan yang mempunyai pembatas sangat berat/permanen, sehingga tidak mungkin dipergunakan terhadap suatu penggunaan tertentu yang lestari. Matriks kesesuaian lahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagaimana terlihat pada Tabel 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, dan 9 berikut : Tabel 2. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Pemukiman Penduduk. No
Parameter
1
Kemiringan Lahan (%) Ketersediaan air tawar (ltr/dtk) Landuse Jarak dari pantai (m) Drainase
2 3 4 5 6
Bobot
Jarak dari jalan yang berhubungan dengan sarana dan prasarana penting (m)
Kategori dan Skor Skor S3
S1
Skor
S2
Skor
N
Skor
3
3–8
4
8 – 15
3
0–2
2
> 16
1
6
> 20
4
15 – 20
3
10 – 15
2
< 10
1
4
A
4
B
3
C
2
D
1
3
> 200
4
100 – 200
3
50 – 100
2
< 50
1
4
Tidak tergenang
4
Tidak tergenang
3
Tergenang periodik
2
Tergenang permanen
1
5
0 – 200
4
200 – 500
3
500 – 1.000
2
> 1.000
1
Sumber : Sjafi’i, 2000; Sugiarti, 2000 (modifikasi) Keterangan :
A = Pengembangan industri, pengembangan perkotaan, sawah. B = Kebun campuran, sawah, semak belukar, alang-alang. C = Cadangan pengembangan, hutan produksi, rawa air asin, rawa air tawar. D = Hutan lindung, hutan suaka alam.
Tabel 3. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Pelabuhan Umum. No 1 2 3 4
5 6 7 8
Parameter Kemiringan Lahan (%) Kedalaman perairan (m) Dasar perairan Tinggi gelombang (cm) Kec. arus (cm/dtk) Fasilitas transportasi Amplitudo pasut (m) Keterlindungan
Bobot 3
S1
Skor
S2
0–2
4
2–8
Kategori dan Skor Skor S3 3
8 – 15
Skor
N
Skor
2
> 16
1
4
> 15
4
12 – 15
3
10 – 12
2
< 10
1
2
Lempung berpasir
4
Pasir berlumpur
3
Pasir berkarang
2
Karang
1
3
0 – 20
4
21 – 40
3
41 – 50
2
> 50
1
3
0 – 20
4
21 – 30
3
31 – 40
2
> 40
1
3
3
4
2
3
1
2
Tidak ada
1
3
0 – 0,5
4
0,6 – 1,5
3
1,6 – 2
2
>2
1
4
Sangat terlindung
4
Terlindung
3
Terlindung cenderung terbuka
2
Terbuka
1
Sumber : Kramadibrata, 1985 (modifikasi)
31
Tabel 4. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai No
Parameter
1
Produktivitas Perikanan (ton/thn) Kecepatan arus (cm/dtk) Tinggi Gelombang (cm) Amplitudo Pasut (m)
2 3
4 5
Bobot
Tipe Pasut
6
Kategori dan Skor Skor S3
S1
Skor
S2
Skor
N
Skor
3
> 800
4
600 – 800
3
400 – 600
2
< 400
1
2
0 – 20
4
21 – 30
3
31 – 40
2
> 40
1
2
0 – 20
4
21 – 40
3
41 – 50
2
> 50
1
2
0 – 0,5
4
0,6 – 1,5
3
1,6 – 2
2
>2
1
2
Harian Tunggal
4
Campuran Tunggal
3
Campuran Ganda
2
Campuran Ganda
1
2
<5
4
6 – 12
3
12 – 15
2
> 15
1
2
<5
4
5 – 10
3
11 – 15
2
> 15
1
8
Jarak dari Fishing Ground (mil) Jarak ke pemukiman nelayan (km) Keterlindungan
3
Sangat Terlindung
4
Terlindung
3
2
Terbuka
1
9
Tekstur tanah
1
4
2
Karang
1
Kemiringan lahan (%) Kedalaman perairan (m) Fasilitas transportasi
2
4
Pasir Berlumpur 2–8
3
10
Lempung Berpasir 0–2
3
Terlindung cenderung terbuka Pasir Berkarang 8 – 15
2
> 16
1
2
>9
4
6–9
3
3–6
2
<3
1
2
3
4
2
3
1
2
Tidak ada
1
7
11 12
Sumber : Masrul, 2002 (modifikasi)
Tabel 5. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Budidaya Tambak No
Parameter
Bobot
1 2 3
Kemiringan Lahan (%) Jenis tanah Fisiografi Wilayah
4 4 3
4 5 6 7 8 9
Salinitas (O/OO) Amplitudo pasut (m) Jarak dari sungai (m) Landuse Jarak dari pantai (m) Jarak dari jalan (m)
4 3 4 3 4 4
S1 0–2 Alluvial Dataran pasang surut 15 – 25 0,8 – 1,0 < 500 A < 2.000 < 1.000
Skor 3 3 3
3 3 3 3 3 3
Kategori dan Skor S2 Skor 2–8 2 Alluvial 2 Delta pasang 2 surut 25 – 35 1,0 – 1,5 500 – 2.000 B 2.000 – 4.000 1.000 – 2.000
2 2 2 2 2 2
N >8 Podsolik Perbukitan
Skor 1 1 1
> 35 > 1,5 > 2.000 C > 4.000 > 2.000
1 1 1 1 1 1
Sumber : Modifikasi dari Puslitbang Perikanan, 1992 dalam Poernomo, 1992. Keterangan :
A = Rawa air asin. B = Cadangan pengembangan sawah, semak belukar, alang-alang. C = Hutan lindung, hutan produksi, hutan suaka alam, kebun campuran, rawa air tawar, pengembangan industri, pengembangan perkotaan.
Tabel 6. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Budidaya Keramba Jaring Apung. No
Parameter
Bobot
1 2 3
Kecepatan arus (m/det) Tinggi Pasut Kedalaman air dari dasar jaring (m) pH perairan Oksigen terlarut Salinitas (ppm) Suhu Perairan (OC) Nitrat (mg/l) Phospat (mg/l)
4 5 6 7 8 9
4 4 4
S1 10 – 13 > 1,0 > 10
Skor 3 3 3
3 4 4 4 3 3
8 >6 > 30 30 – 32 < 0,1 < 0,1
3 3 3 3 3 3
Sumber : Modifikasi dari Tiensongrusmee et al. 1989.
Kategori dan Skor S2 Skor 3,8 – 10 2 0,5 – 1,0 2 4 – 10 2 6–9 3–5 20 – 30 28 – 30 0,1 – 0,9 0,1 – 0,9
2 2 2 2 2 2
N < 3,8 < 0,5 <4
Skor 1 1 1
<6&>9 <3 < 20 < 28 > 0,9 > 0,9
1 1 1 1 1 1
32
Tabel 7. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Budidaya Rumput Laut No
Parameter
1
Bobot
Kecepatan arus (cm/dtk) Tinggi gelombang (cm) Material dasar perairan
2
3
4
Kedalaman perairan (m) Salinitas perairan (ppm) Suhu Perairan (OC)
6
7
Skor
20 – 30
4
4
0 – 15
4
3
Pasir, karang dan lamun
4
3
7,5 – 8
4
3
1,0 – 2,5
4
4
4
pH perairan
5
S1
Kategori dan Skor S2 Skor
S3
Skor
3
< 20 & >40
2
15 – 25
3
25 – 35
2
Pasir, karang dan lamun
3
Pasir berkarang
2
7 – 7,5 & 8 – 8,5
3
<7 & >8,5
2
4
2,5 – 2,7
3
2,7 – 10
2
32 – 34
4
30 – 32
3
28 – 30
2
24 – 29
4
29 – 30
3
30 – 31
2
30 – 40
Sumber : Wahyuningrum, 2001 dalam Paliawaludin, 2004 (modifikasi)
Tabel 8. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Pariwisata Pantai No
Parameter
Bobot
1 2
Kedalaman Perairan (m) Material dasar perairan
6 3
3 4
Kecepatan arus (m/dtk) Kecerahan perairan (%)
5 5
5 6
Jarak dari pantai (m) Penutupan lahan pantai (vegetasi pantai)
4 4
7 8
Jarak dari sungai (m) Jarak dari sumber pencemar (m)
3 3
S1 0–5 Pasir
Skor 3 3
10 – 13 Tinggi ( > 75 ) < 100 Kelapa, lahan terbuka
3 3
< 500 > 5.000
3 3
3 3
Kategori dan Skor S2 Skor 5 – 10 2 Karang 2 berpasir 3,8 – 10 2 Sedang 2 ( > 50-75 ) 100 – 200 2 Semak, 2 belukar rendah, savana 500 – 2.000 2.000 – 5.000
2 2
N > 10 Lumpur
Skor 1 1
> 3,8 Rendah (< 25 ) > 200 Hutan bakau, pemukiman, pelabuhan > 2.000 < 2.000
1 1 1 1
1 1
Sumber : Bakorsurtanal, 1996, dan Dahyar, 1999 dalam Paliawaludin,2004 (modifikasi)
Tabel 9. Matriks Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Konservasi No
Parameter
Bobot
1
Jarak dari pantai (m)
3
S1
Skor
S2
< 100
4
100 – 150
Kategori dan Skor Skor S3 3
150 – 200
Skor
N
Skor
2
> 200
1
2
Vegetasi Pantai
3
Mangrove
4
Mangrove
3
Mangrove
2
3
Kemiringan (%)
2
0 – 15
4
15 – 25
3
2
4
Vegetasi Laut
3
Karang hidup
4
Karang hidup
3
25 – 40 Karang hidup
5
Salinitas (ppm)
6
Suhu Perairan (OC) Tekanan Penduduk Aspirasi masyarakat
7 8
2
3
30 – 32
4
32 – 34
3
30 – 31
2
3
29 – 30
4
30 – 33
3
28 – 29
2
4
Sangat serius
4
Serius
3
4
Sangat mendukung
4
Mendukung
3
Sumber : Soedharma et al. 1992 (modifikasi)
Kurang serius Kurang mendukung
2 2
Semak belukar > 40 Karang mati < 30 & >34 < 27 & > 33 Tidak serius Tidak mendukung
1 1 1 1 1 1 1
33
3. Pembobotan (Weighting) dan Pengharkatan (Scoring) Pembobotan pada setiap faktor pembatas/parameter ditentukan pada dominannya parameter tersebut terhadap suatu peruntukan. Besarnya pembobotan ditunjukan pada suatu parameter untuk seluruh evaluasi lahan, sebagai contoh : kemiringan/kelerengan mempunyai bobot yang lebih tinggi untuk budidaya dibandingkan dengan pemukiman. Pemberian nilai (scoring) ditujukan untuk menilai beberapa faktor pembatas/parameter/kriteria terhadap satu evaluasi kesesuaian. 4. Analisis Spasial Analisis spasial dilakukan untuk delapan jenis kesesuaian lahan, yaitu : (1) kawasan pemukiman penduduk, (2) kawasan pelabuhan umum, (3) kawasan pelabuhan perikanan, (4) kawasan budidaya air payau dengan tambak konvensional, (5) kawasan penangkaran ikan dengan keramba jaring apung, (6) kawasan budidaya rumput laut, (7) kawasan pariwisata pantai, dan (8) kawasan konservasi mangrove dan terumbu karang. Basis data dibentuk dari data spasial dan data atribut, kemudian dibuat dalam bentuk layers atau coverage dimana akan dihasilkan peta-peta tematik dalam format digital sesuai kebutuhan/parameter untuk masing-masing jenis kesesuaian lahan. Setelah basis data terbentuk, analisis spasial dilakukan dengan metode tumpang susun (overlay) terhadap parameter yang berbentuk poligon. Proses overlay dilakukan dengan cara menggabungkan (union) masing-masing layers untuk tiap jenis kesesuaian lahan. Penilaian terhadap kelas kesesuaian dilakukan dengan melihat nilai Indeks Overlay dari masingmasing jenis kesesuaian lahan tersebut. Pengolahan data SIG dilakukan dengan menggunakan program ArcView GIS Version 3.3.
34
Analisis Pemecahan Konflik Pemanfaatan Ruang Analisis pemecahan konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru dilakukan dengan cara menentukan prioritas pemanfaatan ruang dalam rangka pembangunan yang berkelanjutan dengan mengunakan metode Proses Hirarki Analitik (PHA). Proses Hirarki Analitik (PHA) atau Analitical Hierarchy Process (AHP) adalah suatu pendekatan yang biasanya digunakan untuk menganalisis kebijakan dalam pemanfaatan ruang agar dapat tepat sesuai dengan peruntukannya dengan tetap memperhatikan konsep pembangunan berkelanjutan, selain itu PHA juga dapat digunakan untuk memecahkan konflik pemanfaatan ruang diantara para pengguna (stakeholder). Langkah paling awal dalam PHA adalah merinci permasalahan kedalam komponen-komponennya, kemudian mengatur bagian dari komponen-komponen tersebut kedalam bentuk hirarki. Hirarki paling atas diturunkan kedalam beberapa elemen set lainnya, sehingga pada akhirnya terdapat elemen-elemen yang spesifik atau elemen-elemen yang dapat dikendalikan dalam situasi konflik. Untuk menganalisis dan memecahkan konflik pemanfaatan ruang kawasan pesisir Kabupaten Buru, digunakan pendekatan PHA dengan langkah-langkah sebagai berikut : 1. Identifikasi Sistem Identifikasi sistem dilakukan dengan cara mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi permasalahan/konflik pemanfaatan ruang dan menentukan variabel yang berpengaruh serta solusi yang diinginkan. 2. Penyusunan Struktur Hirarki Penyusunan struktur hirarki diawali dengan menentukan tujuan umum, kemudian sub-tujuan/kriteria dan kemungkinan alternatif pada tingkatan kriteria yang paling bawah. 3. Membuat Matriks Perbandingan / Komparasi Berpasangan Kondisi ini menggambarkan pengaruh relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan atau kriteria/kepentingan yang setingkat diatasnya. Penentuan tingkat kepentingan pada setiap tingkat hirarki dilakukan
35
dengan teknik komparasi berpasangan berdasarkan pendapat dari pengambil keputusan/para pakar atau bukan namun terlibat/memahami permasalahan. Dalam perhitungan matriks perbandingan/komparasi berpasangan, penilaian dilakukan dengan pembobotan untuk masing-masing komponen dengan komparasi berpasangan yang dimulai dari level tertinggi sampai level terendah. Pembobotan dilakukan berdasarkan penilaian para pengambil keputusan/para pakar berdasarkan nilai komparasi 1 – 9 (Saaty, 1991). Nilai skala komparasi digunakan untuk mengkuantitatifkan data yang bersifat kualitatif. Skala banding secara berpasangan tersebut sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 10 berikut. Tabel 10. Skala Banding Secara Berpasangan Intensitas/ Pentingnya 1
Definisi Kedua elemen sama pentingnya.
3
Elemen yang satu sedikit lebih penting ketimbang yang lainnya.
5
Elemen yang satu esensial atau sama penting ketimbang elemen yang lainnya. Satu elemen jelas lebih penting dari elemen yang lainnya.
7
9
Satu elemen mutlak lebih penting ketimbang elemen yang lainnya.
2, 4, 6, 8
Nilai-nilai antara di antara dua pertimbangan yang berdekatan. Jika untuk aktivitas imendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i.
Kebalikan
Sumber : Saaty, 1993.
Keterangan Dua elemen menyumbangnya sama besar pada sifat itu. Pengalaman dan pertimbangan sedikit menyokong satu elemen atas yang lainnya. Pengalaman dan pertimbangan dengan kuat menyokong satu elemen atas elemen yang lainnya. Satu elemen dengan kuat disokong, dan dominannya telah terlihat dalam praktik. Bukti yang menyokong elemen yang satu atas yang lain memiliki tingkat penegasan tertinggi yang mungkin menguatkan Kompromi diperlukan antara dua pertimbangan.
36
Dengan memakai skala 1 sampai 9 yang telah teruji keakuratannya, maka para responden model PHA dapat menyatakan persepsinya akan perbandingan dua buah elemen atau lebih. Hal yang perlu ditekankan pertama kali sebelum seorang responden menyatakan penilaiannya adalah, ia mengerti benar pengertian angka 1 sampai 9 dan bagaimana menggunakannya. Pengalaman menunjukkan bahwa umumnya para pemakai model PHA merasa puas akan pemakaian skala 1 sampai 9, akan mereka anggap dapat lebih menampung persepsi manusia dibandingkan dengan skala-skala lainnya (Permadi, 1992) 4. Menghitung Matriks Pendapat Individu Dilakukan dengan cara menghimpun semua pertimbangan yang diperlukan untuk mengembangkan perangkat matriks pada langkah ke 3 menjadi matriks pendapat individu. Untuk membentuk suatu matriks yang mewakili matriksmatriks pendapat individu yang ada. Untuk memadukan matriks pendapat individu yang berasal dari 16 orang responden tersebut menjadi vektor prioritas gabungan, digunakan rata-rata geometrik (GEOMETRIC MEAN) dengan formulasi sebagai berikut: m
RG = i Dimana:
m
Π B ij 1
RGi = rata-rata geometrik baris ke-i m
= responden (1-16)
Bij = vektor prioritas baris ke-i kolom ke-j 5. Menghitung Matriks Pendapat Gabungan Tujuan dari penyusunan matriks pendapat gabungan adalah untuk membentuk suatu matriks yang mewakili matriks-matriks pendapat individu yang ada. 6. Pengolahan Horisontal Pengolahan horisontal digunakan untuk menyusun prioritas elemen keputusan pada hirarki keputusan. 7. Pengolahan Vertikal Pengolahan vertikal digunakan untk menyusun prioritas pengaruh setiap elemen pada tingkat hirarki keputusan tertentu terhadap sasaran utama.
37
8. Revisi Pendapat Revisi pendapat dilakukan apabila nilai CR (Consistensy Ratio) cukup tinggi yaitu > 0,1 dengan mancari Root Mean Square (RMS) dan merevisi pendapat pada baris yang mempunyai nilai terbesar. Pengumpulan kueisioner
pendapat responden
terstruktur,
sedangkan
dilakukan
pengolahan
dengan
data
menggunakan
dilakukan
dengan
menggunakan program Expert Choice 2000 dan Microsoft Excel 2003. Struktur hirarki dalam mencapai tujuan prioritas pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru dapat dilihat dalam Gambar 4.
7
38
Gambar 4. Diagram Hirarki Analisis Prioritas Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Buru.
39
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
Gambaran Umum Kabupaten Buru Kabupaten Buru merupakan salah satu kabupaten yang baru dimekarkan dari Kabupaten Maluku Tengah pada tahun 2000. Secara astronomi Kabupaten Buru terletak pada 02º25’00” sampai dengan 04º00’00” Lintang Selatan (LS) dan 125º30’00” sampai dengan 127º30’00” Bujur Timur (BT), dengan luas wilayah adalah ± 15.982,00 km2 yang terdiri dari daratan seluas ± 12.655,58 km2 (79,19 %) dan lautan seluas 3.326,42 km2 (20,82 %), serta garis pantai sepanjang 512,1 km. Kabupaten Buru terdiri dari 13 buah pulau, 3 pulau diantaranya dihuni oleh penduduk yaitu pulau Buru, pulau Ambalau dan pulau Tengah, sementara 10 pulau lainnya tidak berpenghuni yakni pulau Batu Kapal, Nusa Geletan, Pombo, Buntal, Panjang, Batum, Fogi, Tengah, Tomahu dan Oki (Gambar 5). Secara geografis Kabupaten Buru dibatasi oleh laut Buru di bagian utara, laut Banda di bagian selatan, laut Buru dibagian barat dan selat Manipa di bagian timur, dengan kewenangan untuk mengelola perairan laut seluas 4 mil laut, menjadikan perairan kabupaten ini menjadi sangat potensial dan kaya akan sumberdaya pesisir dan laut dengan didukung oleh adanya berbagai ekosistem pesisir dan laut yang produktif seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun dan estuari serta ekosistem perairannya. Kabupaten Buru secara administratif terdiri dari 10 kecamatan, yakni (1) Kecamatan Namlea, (2) Kecamatan Waeapo, (3) Kecamatan Batabual, (4) Kecamatan Waplau, (5) Kecamatan Air Buaya, (6) Kecamatan Namrole (7) Kecamatan Waesama, (8) Kecamatan Leksula, (9) Kecamatan Kapala Madan, dan (10) Kecamatan Ambalau. Kabupaten Buru terdiri dari 94 desa dan 125 dusun. Sebagian besar wilayah administratif kabupaten ini berada di wilayah pesisir, dan merupakan daerah-daerah sentra produksi yang menopang pelaksanaan pembangunan di wilayah Kabupaten Buru.
40
Gambar 5. Peta Wilayah Administratif Kabupaten Buru. Fisiologi, Topografi dan Geomorfologi Wilayah Kabupaten Buru memiliki 4 (empat) wilayah ekologis yakni, Wilayah Ekologis Teluk Kaiely, Wilayah Ekologis Buru Utara, Wilayah Ekologis Buru Selatan, dan Wilayah Ekologis Buru Selatan Timur. Dimensi spasial wilayah ekologis Kabupaten Buru mencakup batas dan luas wilayah, serta panjang garis pantai, sebagaimana tertera pada Tabel 11 di bawah ini. Tabel 11. Dimensi Spasial Wilayah Ekologis Kabupaten Buru. Wilayah Ekologis Dimensi Spasial Wilayah Luas wilayah (km2) Panjang Garis Pantai (km) Luas Wilayah 4 mil laut (km2) Batas Wilayah 4 mil laut
Teluk Kaiely (Kec.Namlea, Waeapo & Batabual)
Buru Utara (Kec.Waplau & Air Buaya)
Buru Selatan (Kec.Leksula & Kapala Madan)
Buru Selatan Timur (Kec.Batabual, Waesama & Ambalau)
2,12
2,59
2,79
1,132
78,57
122,70
166,60
148,10
424,20
893,00
1.093,00
1.228,00
127.024712 BT 127.33.443 BT 3.102444 LS 3.386605 LS
126.072503 BT 127.064608 BT 2.991822 LS 3.188209 LS
125.927605 BT 126.694147 BT 3.052506 LS 3.924117 LS
126.678818 BT 127.339461 BT 3.354245 LS 3.970427 LS
Sumber : Data Pemerintah Daerah Kabupaten Buru, 2005.
41
Pada wilayah ekologis Teluk Kaiely ditemukan tiga satuan morfologi yakni dataran pantai, dataran tinggi dan perbukitan dengan variasi lereng topografi dari datar hingga sangat miring. Area dataran luas umumnya ditemukan di wilayah hulu teluk sepanjang muara hingga dataran alluvial Waeapu dan sekitarnya, sedangkan lereng miring hingga terjal umumnya ditemukan pada wilayah pantai tebing terjal laut dan lereng perbukitan denudasional terkikis sedang hingga kuat. Pesisir Namlea hingga Jikumerasa memiliki pantai berpasir dengan warna putih cerah, dimana dataran alluvial pantainya cukup lebar dan berpotensi sebagai daerah wisata pantai. Dengan menggunakan sisi pendekatan fisiologi, bentang alam Kabupaten Buru dikelompokkan atas daerah pantai, perbukitan dan pegunungan termasuk didalamnya dataran tinggi dengan kelerengan bervariasi. Kabupaten Buru di dominasi oleh kawasan pegunungan dengan jenis elevasi rendah berlereng agak curam yang meliputi luas 15,43 % dari keseluruhan luas wilayah. Jenis kelerengan lain yang dominan adalah elevasi rendah dengan lereng bergelombang dan agak curam di bagian utara, dan rata-rata berlereng curam di bagian barat, sedangkan di bagian timur terutama di daerah aliran sungai Waeapu yang merupakan daerah dengan elevasi rendah dengan jenis landai sampai agak curam. Topografi wilayah Kabupaten Buru sebagian besar merupakan daerah perbukitan dan pegunungan dengan kemiringan lereng 15 – 40 % dan > 40 %, sementara sebaran ketinggian datarannya bervariasi. Puncak gunung tertinggi adalah Gunung Kepala Madan yang berada pada wilayah Kecamatan Kepala Madan dengan elevasi 2.736 meter di atas permukaan laut (dpl), menyusul kawasan di sekitar Danau Rana dengan elevasi lebih dari 1.000 meter dpl, sementara untuk Danau Rana sendiri, diperkirakan berada pada kisaran 700 – 750 meter dpl. Disamping itu terdapat tanah dataran yang terbesar di Kecamatan Waeapo, yakni wilayah yang ditempati oleh para transmigran dari Pulau Jawa. Secara geomorfologi, lahan di Kabupaten Buru dapat dikelompokkan dalam beberapa bentuk lahan, yaitu (a) lahan bentukan asal vulkanik dicirikan dengan topografi bergunung dan berlereng terjal, (b) bentuk lahan asal denudasional dimana topografinya membentuk rangkaian pegunungan dan perbukitan berbentuk kubah, (c) bentuk lahan asal solusional, dan (d) bentuk lahan asal fluvial
42
membentuk topografi datar pada lembah-lembah sungai dengan dataran alluvial terluas di lembah Waeapo.
Gambar 6. Peta Wilayah Ekologis Kabupaten Buru. Hidrologi dan Tanah Kabupaten Buru mempunyai potensi sumber air yang cukup besar karena memiliki sejumlah sungai yang mengalir tetap sepanjang tahun walaupun pada musim kemarau. Kondisi hidrologi pada wilayah Kabupaten Buru bervariasi pada setiap wilayah ekologis. Pada wilayah ekologis Teluk Kaiely dijumpai 1 (satu) buah sungai besar, yakni sungai Waeapo dan beberapa sungai kecil di sekitarnya. Panjang total sungai Waeapo 588,1 km dan panjang sungai utamanya 93,7 km. Sungai ini merupakan sungai parenial, artinya memiliki aliran air sepanjang tahun. Sebagian sungai ini digunakan sebagai sumber air irigasi terutama di daerah pemukiman transmigrasi di dataran Waeapo, dan sebagian lagi digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. Pola aliran sungai yang berkembang di wilayah ini adalah pola dendritik pada bentuk lahan perbukitan dan pegunungan denidasional dengan panjang sungai utama bervariasi antara setiap lokasinya. Terdapat dua tipe aliran sungai di wilayah Kabupaten Buru yakni, sungai perenial dan sungai interniten. Sungai
43
perenial misalnya pada sungai Waemulang, Waemala, Waetina, Waenibe, Waeapo, dan beberapa sungai kecil seperti di wilayah Waohoka, Air Babunyi, Nalbessy, Waemasi, Waemsasi, Waeleko dan Waeula. Jenis tanah yang ada di Kabupaten Buru meliputi alluvial dengan bentang alam datar sampai berombak di daerah pasang surut dan di cekungan pelembaban, podzolik merah kuning dengan bentang alam berbukit sampai berombak di daerah dataran atau pasang surut, organosol dengan bentang alam berbukit sampai berombak di daerah dataran, dan tanah-tanah kompleks dengan bentang alam berbukit dan bergunung di daerah pegunungan. Sebagian besar jenis tanah di Kabupaten Buru adalah jenis tanah kompleks, sedangkan jenis alluvial meliputi wilayah yang paling luas yang tersebar pada dataran Waeapu. Jenis-jenis tanah tersebut menunjukkan sifat yang berbeda-beda yang disebabkan karena adanya perbedaan faktor iklim sehingga warna dan tingkat keasamannya bervariasi dari asam, netral sampai basa. Sifat tanah di lahan atas antara lain ditandai dengan kedalaman tanah sangat dangkal hingga sedang, sementara di lahan bawah ditandai dengan kedalaman tanah dalam hingga sangat dalam.
Gambar 7. Peta Daerah Aliran Sungai (DAS) Kabupaten Buru.
44
Iklim Kabupaten Buru memilki iklim tropis dan iklim muson, dimana iklimnya sangat dipengaruhi oleh lautan yang mengelilinginya dan berlangsung sejalan dengan musim yang ada yakni musim kemarau dan musim penghujan. Musim kemarau biasanya berlangsung dari bulan Juni – Nopember, sedangkan musim penghujan berlangsung dari bulan Desember – Mei. Terdapat empat tipe musim yang berbeda yang mempengaruhi kondisi perairan Kabupaten Buru, yakni musim Barat (Desember – Pebruari), musim Pancaroba I (Maret – Mei), musim Timur (Juni – Agustus), dan musim Pancaroba II (September – Nopember). Setiap musim memiliki karakteristik cuaca yang berbeda-beda yang ditunjukkan dengan suhu udara, pola angin, curah hujan, dan faktor cuaca lainnya. Suhu udara rata-rata tahunan di wilayah kecamatan empat wilayah ekologis di Kabupaten Buru adalah 21,4 – 26,0 OC. Pada tahun 2003, suhu udara berkisar dari 25,5 – 27,9 OC (rata-rata 26,7 OC), dengan suhu terendah sepanjang tahun biasanya dicapai dalam musim Timur (Juni – Agustus) dan suhu tertinggi pada musim Pancaroba II hingga musim Barat (September – Nopember). Curah hujan bulanan di Kabupaten Buru berkisar dari 0,3 – 311,6 mm dengan rata-rata bulanan 113,3 mm. Curah hujan terendah biasanya dicapai pada bulan September – Nopember (0,3 – 1,3 mm), dan tertinggi pada bulan Desember – Maret (137,2 – 311,6 mm). Kelembaban udara relatif berkisar dari 69 – 87 %, dengan rata-rata kelembaban bulanan 80 %. Penyinaran matahari terendah biasa terjadi pada bulan Desember – Maret dan Mei. Kecepatan angin rata-rata bulanan di Kabupaten Buru adalah sebesar 10 knot, dengan rata-rata maksimum pada bulan Mei – Oktober (10 – 11 knot) dengan arah 90O – 120O. Kecepatan angin maksimum terjadi pada setiap bulannya dengan kecepatan berkisar dari 23 – 26 knot. Kondisi Fisik Perairan Kabupaten Buru Kedalaman Perairan Wilayah perairan Kabupaten Buru sampai batas kedalaman 200 m menunjukkan variasi kedalaman perairan pada setiap wilayah ekologisnya. Kawasan ekologis Teluk Kaiely, Buru Selatan Timur, Buru Selatan dan Buru Utara memiliki area perairan antara 0 – 50 m yang lebih luas dibandingkan
45
perairan dengan kedalaman 50 – 100 m dan kedalaman 100 – 200 m. Kawasan Teluk Kaiely memiliki mintakat kedalam antara 0 – 50 m adalah seluas 73,2693 km2, Buru Selatan Timur seluas 193,1977 km2, Buru Selatan seluas 208,54 km2 dan Buru Utara seluas 81,3865 km2 (lihat Gambar 10). Adanya variasi distribusi isodepth antara setiap wilayah disebabkan oleh perbedaan banyaknya sungai yang bermuara di perairan, dimensi sungai dan tipe material batuan di daratan (Lembaga Penelitian Unpatti, 2005). Pasang Surut Pasang surut yang biasanya terjadi pada perairan Kabupaten Buru dan sekitarnya adalah pasang surut campuran yang cenderung harian ganda (mixed tide, prevailing semidiurnal) dengan dua kali pasang dan dua kali surut dalam kurun waktu sehari. Pasang pertama umumnya lebih besar dari pasang yang kedua dan juga berbeda waktu pasangnya. Kisaran pasang surut maksimum tercatat sebesar 2,3 meter pada saat pasang purnama (Dishidros, 2007). Pada teluk-teluk semi tertutup bahkan melampaui 3 meter, seperti yang terjadi pada perairan Teluk Kaiely. Arus Arus musiman yang berkembang terdiri dari arus pasut dan arus angin dengan kecepatan rata-rata sebesar 12 - 25 cm/detik. Pada musim Timur, dominasi arah arus dari Timur ke Timur Laut melewati Laut Buru menuju Selat Flores, dan dari Laut Banda menuju Selat Flores dengan kecepatan yang lebih besar yakni 24 - 50 cm/detik. Pada musim Pancaroba II, arus menuju dua arah yakni Barat Daya dari Laut Seram dan menuju selatan Buru dari Selat Flores dan Laut Banda, dengan kecepatan 6 - 25 cm/detik (Pemerintah Daerah Kabupaten Buru, 2005). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan atas kerjasama Dinas Perikanan dan Kelautan Maluku dengan Lembaga Penelitian Universitas Pattimura (2005) yang dilaksanakan dari bulan Januari sampai dengan Juni 2005, diketahui bahwa perairan Teluk Kaiely secara umum dipengaruhi oleh 2 tipe arus yaitu arus yang dibangkitkan oleh pasang surut dan arus yang dibangkitkan oleh angin, dengan didominasi oleh arus pasang surut. Ketika air pasang, arus bergerak masuk melalui
inlet
teluk
menuju
outlet
dengan
kecepatan
bervariasi
46
antara 0,05 – 0,33 m/det. Selama pasang, arus bergerak menyusuri perairan bagian tenggara dan selatan teluk, dan ketika air bergerak surut, arus mengalir menyusuri pantai bagian barat sampai utara Namlea menuju inlet selanjutnya ke luar teluk. Kecepatan arus pada periode surut bervariasi antara 0,16 – 0,19 m/det. Sumber utama massa air yang bergerak melintasi perairan Buru dan sekitarnya didominasi oleh massa air Samudera Pasifik. Pola pergerakan arus musiman ini terkadang menimbulkan fenomena front oseanik yang merupakan pertemuan antara dua massa air yang berbeda karakteristiknya, sehingga menjadi salah satu lokasi konsentrasi makanan bagi ikan pelagis. Gelombang Laut Pada musim Barat tinggi gelombang bervariasi antara 1 - 2 meter. Arah perambatan gelombang umumnya mengarah ke tenggara (135°) menuju perairan laut Banda. Hal ini mengindikasikan bahwa perairan bagian utara Pulau Buru lebih dominan mengalami tekanan gelombang pada musim ini dari pada bagian selatan. Hal sebaliknya terjadi pada musim Timur dimana daerah yang dominan mengalami gelombang adalah bagian selatan Pulau Buru dan Pulau Ambalau. Gelombang pecah yang sering ditemui adalah tipe plunging, dengan periode gelombang berkisar dari 3,35 - 8,16 detik. Gelombang di perairan Teluk Kaiely merupakan gelombang angin (variasi sea dan swell) dimana angin sebagai pembangkit utama. Pada musim timur (Juni – Agustus) perairan ini mendapat tekanan gelombang yang cukup signifikan. Sementara pada musim lainnya kondisi perairan relatif tenang terlindung oleh topografi perbukitan pada bagian utara hingga selatan teluk (Lembaga Penelitian Unpatti, 2005). Gelombang laut juga mempengaruhi dinamika dan penyebaran substrat, dimana komunitas biologis berada, berarti gelombang secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi penyebaran komunitas dan ekosistem perairan pesisir. Selain itu, gelombang juga mempengaruhi kecerahan air dan kelangsungan hidup tumbuhan laut di perairan pantai, dan upaya melekatkan diri (settlement) dari larva organisme bentik di dasar laut (proses metamorfosis). Informasi gelombang juga penting bagi kebutuhan pengembangan bangunan-bangunan air seperti halnya jembatan, maupun penempatan alat
47
penangkapan ikan dan konstruksi budidaya laut, hingga waktu melaut bagi nelayan. Pengaruh gelombang paling signifikan terjadi di hampir seluruh perairan Buru karena pada musim Timur dimana kondisi ombak dan gelombang besar, wilayah perairan Buru berhadapan langsung dengan perairan laut Banda, sehingga pengaruh ombak dan angin cukup terasa di perairan ini. Suhu Perairan Suhu di seluruh perairan Pulau Buru dan sekitarnya bervariasi secara musiman. Pada musim Timur, suhu akan mengalami penurunan hingga mencapai rata-rata 29 °C. Hal ini disebabkan oleh masuknya massa air yang lebih dingin yang mengalir dari Samudera Pasifik melalui Selat Formosa dan proses penaikan massa air dari lapisan kedalaman ke permukaan (up-welling) yang berlangsung di Laut Banda. Sedangkan, pada musim Barat massa air dari Samudera Hindia yang mengalir masuk ke perairan Pulau Buru dan sekitarnya melalui Laut Arafura dan Laut Flores akan mempengaruhi massa air yang ada, sehingga suhu akan mengalami kenaikan hingga mencapai rata-rata 32 °C. Berdasarkan pola sebaran suhu vertikal maka lapisan MLD (lapisan tercampur) yang ditemukan berkisar dari 3,7 m (perairan Buru Selatan dan Buru Utara Barat) hingga > 50 m (perairan Buru Selatan bagian Timur dan Ambalau). Variasi ketebalan MLD memiliki kontribusi terhadap distribusi vertikal beberapa jenis ikan pelagis, dan kedalaman setting peralatan penangkapan ikan pelagis seperti pancing ulur, rawai tuna, tonda (troll line), jaring insang hanyut dan jaring insang lingkar (purse seine) (Pemerintah Daerah Kabupaten Buru, 2005). Suhu diperairan Teluk Kaiely dan sekitarnya pada bulan Desember 2004 memiliki variasi secara vertikal maupun horisontal. Suhu pada lapisan permukaan berkisar dari 27 – 31,90 ºC. Suhu terendah umumnya ditemukan di bagian outlet teluk akibat suplai massa ait tawar dari Sungai Waeapo yang lebih rendah (26 – 27 ºC). Suhu perairan mengalami peningkatan ke arah inlet teluk yakni > 30 ºC (Lembaga Penelitian Unpatti, 2005).
48
Salinitas Perairan Tingginya penguapan (evaporasi) dan curah hujan (rainfall) serta kedudukan wilayah secara geografik merupakan penyebab teradinya variasi salinitas yang ekstrim. Nilai rata-rata salinitas di perairan Pulau Buru dan sekitarnya pada musim Timur bervariasi antara 32 – 34 ppm sedangkan pada musim Barat antara 29 – 38 ppm. Namun secara umum variasi ini masih dalam range salinitas dari laut-laut yang ada di perairan Maluku, yakni 31 – 35 ppm untuk Laut Banda dan 32 – 34,5 ppm untuk Laut Arafura. Pada musim Timur, massa air laut dengan salinitas rata-rata 33 ppm dari Samudera Pasifik yang mengalir melalui Laut Banda dan Laut Arafura akan memasuki perairan sekitar Pulau Buru. Sementara itu, pada musim Barat, massa air laut dengan salinitas yang tinggi mengalir dari Samudera Hindia melalui Laut Flores ke perairan, yang berdampak pada kenaikan salinitas rata-rata (Pemerintah Daerah Kabupaten Buru, 2005). Salinitas perairan di Teluk Kaiely dan sekitarnya pada lapisan permukaan berkisar dari 30 – 35 ppm. Nilai terendah ditemukan pada bagian dalam teluk terutama disekitar muara Sungai Waeapo. Salinitas berangsur-angsur meningkat kearah luar teluk dan perairan sekitarnya. Salinitas pada kedalaman 25 meter umumnya berkisar dari 34 – 35 ppm. Pada kedalaman 50 dan 100 meter, nilai salinitas lebih tinggi yakni 34,5 – 35 ppm. Pola distribusi salinitas pada kedua kedalaman ini memiliki kecenderungan yang hampir sama, dimana nilai yang lebih rendah terkonsentrasi pada perairan teluk bagian tenggara kemudian meningkat ke arah luar teluk (Lembaga Penelitian Unpatti, 2005). Kecerahan Perairan Kecerahan perairan Pulau Buru dan sekitarnya termasuk Pulau Ambalau bervariasi menurut lokasi dan musim. Kecerahan minimum antara 5 - 7 meter ditemukan pada perairan Buru Selatan bagian Timur saat musim Timur, sementara pada lokasi yang sama saat musim Barat kecerahan dapat mencapai 10 - 12 m. Kecerahan tertinggi terjadi pada musim Barat, dimana pada perairan Buru Selatan, Buru Utara Barat, Buru Utara Timur serta Pulau Ambalau, kecerahan berkisar antara 15 - 18 meter, bahkan di perairan Pulau Ambalau, kecerahan dapat mencapai lebih dari 20 m. Tingginya nilai kecerahan menyebabkan suatu perairan
49
nampak jernih dan penetrasi cahaya matahari dapat mencapai kedalaman tertinggi sehingga berdampak pada kesuburan serta tingginya aktivitas fotosintesis karang. Hal ini berdampak positif untuk pengembangan berbagai kegiatan wisata bahari dan perikanan budidaya. Tingkat kekeruhan di perairan Pulau Buru dan sekitarnya mengalami perubahan secara eksponensial terhadap perubahan kedalaman. Sumber penyebab kekeruhan didominasi oleh masuknya partikel tersuspensi (sedimen) yang berasal dari sungai, khususnya ketika berlangsung musim hujan serta proses pengikisan (erosi) tanah dari daerah pertanian, lokasi pemukiman, dan hasil resuspensi dasar perairan oleh ombak. Kisaran nilai kekeruhan yang digambarkan sebagai koefisien attenuasi (k) bervariasi dari 3 - 6. Nilai kekeruhan tertinggi ditemukan pada perairan Teluk Kaiely dan Teluk Tifu. Namun nilai ini masih layak untuk menunjang berbagai kegiatan perikanan, wisata bahari, dan konservasi.
Gambar 8. Kondisi Sedimentasi di Perairan Teluk Kaiely Kabupaten Buru. Kondisi Kimia Perairan Kabupaten Buru Klorofil-a Kepadatan partikel tersuspensi termasuk klorofil-a pada perairan Pulau Buru dan sekitarnya bervariasi menurut lokasi dan musim. Hasil pengamatan lewat data Citra Satelit TERA MODIS tanggal 22 Desember 2004 yang dilakukan dalam survey potensi perikanan Kabupaten Buru oleh Fakultas Perikanan dan Ilmu
50
Kelautan
Universitas
Pattimura,
menunjukkan
konsentrasi
klorofil-a
di Teluk Kaiely dan sekitarnya berkisar antara 0,3 sampai 0,6 mg/m3. Konsentrasi ini mengindikasikan bahwa perairan Teluk Kaiely dan sekitarnya sangat subur. Sementara itu konsentrasi material tersuspensi di perairan Buru Selatan berkisar antara 0,87 – 1,63 ppm/detik dan 0,21 - 0,85 ppm/detik di perairan Pulau Ambalau. Oksigen Terlarut (DO) Kandungan oksigen terlarut (DO) di permukaan perairan Pulau Buru dan sekitarnya bervariasi antar lokasi dan musim. Di perairan Buru Utara Barat kandungan DO berkisar antara 6,5 - 7,5 mg/l dan 6,2 3 - 10,41 mg/l (rata-rata 8,32 mg/l) di perairan Buru Selatan. Sementara di perairan Pulau Ambalau dan Buru Selatan bagian Timur, kandungan DO berkisar antara 3,52 - 4,48 mg/l (rata-rata 4,21 mg/1). Konsentrasi klorofil yang lebih tinggi dari 0,2 mg/l mengindikasikan bahwa perairan setempat mampu menunjang kegiatan perikanan tangkap komersil. Sebaran nilai oksigen terlarut di perairan Pulau Buru dan sekitarnya, semuanya tergolong normal menurut Standard Baku Mutu, dan layak untuk pengembangan perikanan budidaya, pariwisata bahari, maupun konservasi sumberdaya laut (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Buru, 2005). pH Perairan Nilai pH di perairan Pulau Buru dan sekitarnya termasuk Pulau Ambalau bervariasi sesuai dengan nilai pH perairan umumnya yakni 7,8 - 8,2. Di perairan Teluk Kaiely variasinya rendah antara 7,2 - 7,4, sedangkan di perairan Buru Utara Barat dan Pulau Ambalau (termasuk Buru Selatan bagian Timur), nilai tersebut sedikit lebih tinggi yakni antara 7,66 - 7,92 dan 7,0 - 8, 1. Nilai pH tertinggi ditemukan di perairan Buru Selatan yakni 7,5 - 8,4. Nilai pH ideal yang diperuntukkan bagi budidaya adalah 6,5 - 9,0 (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Buru, 2005).
51
Nutrient Fluktuasi nilai hara (nutrient) di perairan Pulau Buru dan sekitarnya sangat bergantung pada besarnya input yang diterima, terutama akibat masukan massa air dari Samudra Pasifik lewat Laut Banda. Kandungan hara yang tinggi dijumpai pada musim Timur sedangkan terendah pada musim Pancaroba. Konsentrasi Nitrat rata-rata di perairan tersebut adalah 0,111 mg/l di perairan Teluk Kaiely, 0,142 mg/l di perairan Buru Selatan, 0,144 mg/l di perairan Pulau Ambalau termasuk Buru Selatan bagian Timur, dan 0,217 mg/l di Buru Utara Barat. Untuk kepentingan kegiatan perikanan nilai nitrat yang diperbolehkan adalah 0,1 - 0,4 mg/l, dengan demikian nilai nitrat pada perairan Pulau Buru dan sekitarnya (0,15 mg/1) masih berada dalam kisaran yang ditentukan, baik untuk kepentingan tumbuhan aquatik maupun untuk kehidupan di laut (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Buru, 2005). Fosfat dan Silikat Konsentrasi fosfat di perairan Pulau Buru dan sekitarnya bervariasi menurut lokasi dan musim. Rata-rata konsentrasi fosfat adalah 0,099 mg/l, dimana konsentrasi fosfat pada perairan alami berkisar antara 0,005 - 0,02 mg/l sesuai dengan standard yang dikeluarkan oleh UNESCO/WHO/UNEP pada tahun 1992. Untuk kepentingan kegiatan perikanan, nilai fosfat yang diperbolehkan adalah 0,2 - 0,5 mg/t, dengan demikian nilai fosfat pada perairan Pulau Buru dan sekitarnya masih berada dalam kisaran yang ditentukan, baik untuk kepentingan tumbuhan aquatik maupun untuk kehidupan di laut. Kandungan silika di perairan Pulau Buru dan sekitarnya bervariasi menurut lokasi dan musim, dimana nilai rata-rata adalah sebesar 0,04 mg/l. Untuk perairan alami kadar silika kurang dari 5 mg/l, akan tetapi untuk perairan yang melewati batuan vulkanik dapat mencapai 100 mg/l. Dibandingkan dengan rata-rata kadar silikat yang diperoleh, maka nilai ini masih tergolong kecil atau tidak melebihi kadar yang normal (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Buru, 2005).
52
Logam Berat Konsentrasi logam berat (Pb, Cd, dan Hg) di perairan Pulau Buru dan sekitarnya termasuk perairan Pulau Ambalau masih tergolong rendah, yakni rata-rata 0,00343 mg/l (Pb), 0,00071 mg/l (Cd), dan 0,0000387 mg/l (Hg) dibandingkan dengan Standard Baku Mutu sesuai Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1990. Untuk kegiatan perikanan kadar logam berat yang diperbolehkan masing-masing sebesar 0,03 mg/l (Pb), 0,01 mg/l (Cd), dan 0,002 mg/l (Hg). Dengan demikian kisaran tersebut masih berada jauh dibawah ambang batas yang ditentukan dalam kriteria kualitas air untuk kepentingan perikanan maupun untuk kehidupan organisme aquatik (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Buru, 2005). Prasarana Wilayah Penyediaan sarana dan prasarana untuk berbagai kegiatan pembangunan wilayah, baik secara fisik maupun non-fisik merupakan suatu bentuk tanggung jawab pemerintah untuk kegiatan pelayanan bagi masyarakat, dalam rangka percepatan pembangunan. Penyediaan sarana dan prasarana yang dimaksudkan adalah untuk berbagai kegiatan publik dalam menunjang pelaksanaan kegiatan pembangunan di daerah, terutama dalam masa otonimi daerah yang dilaksanakan pada saat ini, sehingga proses pembangunan daerah yang diharapkan dapat terlaksana secara maksimal, baik untuk masyarakat maupun pemerintah. Prasarana Transportasi Prasarana transportasi yang dikembangkan di Kabupaten Buru dalam rangka peningkatan ekonomi masyarakat, sebagian besar didominasi oleh transportasi angkutan laut, walaupun terkadang sarana transportasi ini mengalami gangguan pada saat kondisi cuaca yang tidak memungkinkan untuk dilakukan pelayaran. Untuk menunjang kegiatan transportasi darat, hingga tahun 2004 telah dibuat sejumlah jalan sepanjang 908,91 km dengan rincian, jalan beraspal sepanjang 171,30 km (18,85%), jalan tanah sepanjang 253,80 km (27,92 %) dan jalan padatan sepanjang 138,50 km (15,24 %). Tidak semua daerah di wilayah Kabupaten Buru dapat dijangkau dengan pembangunan jalan ini, sehingga mengakibatkan pola pembangunan wilayah untuk masing-masing daerahnya
53
menjadi berbeda dan juga dipengaruhi oleh ketersediaan sarana transportasi yang dimiliki. Prasarana transportasi laut yang menjadi alat transporatasi utama yang sering digunakan oleh masyarakat di wilayah Kabupaten Buru, umumnya didominasi oleh kapal-kapal bermotor yang berukuran kecil yang merupakan kapal-kapal pelayaran lokal. Angkutan laut yang menyinggahi wilayah Kabupaten Buru, terdiri dari kapal-kapal pelayaran lokal, pelayaran rakyat dan perintis, dan kapal-kapal pelayaran nusantara. Hingga tahun 2004, tercatat di Kabupaten Buru telah tersedia 3 (tiga) buah pelabuhan yang dikelola oleh Dinas Perhubungan, yakni pelabuhan Namlea dengan kapasitas 45.800 DWT, Leksula dengan kapasitas 3.798 DWT dan Namrole dengan kapasitas 3.800 DWT. Prasarana transportasi udara yang ada di Kabupaetn Buru hanya terdapat di kecamatan Namlea dan Namrole, yakni lapangan udara untuk penerbangan perintis dengan ukuran landasan pacu 1.400 x 30 meter di Namlea yang merupakan lapangan terbang milik TNI AU, dan ukuran 800 x 23 meter di Namrole yang merupakan lapangan terbang milik Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Buru. Hingga tahun 2004, hanya terdapat satu maskapai penerbangan yang melayani jalur penerbangan antara Namlea – Ambon, yakni PT. Merpati Nusantara Air Lines (MNA).
Gambar 9. Peta Jaringan Transportasi Kabupaten Buru dan Propinsi Maluku.
54
Prasarana Air Bersih Sebagai salah satu kebutuhan hidup yang sangat vital bagi masyarakat perkotaan maupun masyarakat pedesaan dilihat dari segi kesehatan, faktor penyedian air bersih untuk minum menjadi kebutuhan utama wilayah pemukiman. Penyedian air bersih yang dikelola oleh PDAM di Kabupatern Buru belum dapat menjangkau beberapa kecamatan seperti Kecamatan Ambalau, Kecamatan Waesama, dan Kecamatan Namrole. Kebanyakan masyarakat ketiga kecamatan ini mendapatkan air bersih melalui swadaya masyarakat maupun bantuan dari Dinas Sosial Propinsi dan LSM. Disamping itu juga selain pembuatan bak-bak penampung dan instalasi air bersih dari instansi tersebut diatas, ada juga sebagian masyarakat yang memanfaatkan sumur sebagai sumber air bersih untuk kebutuhan sehari-hari. Prasarana Pengairan dan Irigasi Kesiapan sarana dan prasarana pengairan dan irigasi di Kabupaten Buru telah dilakukan sejak tahun 1980, dimana upaya pengembangan yang telah dilakukan sampai dengan tahun 1999/2000 baru sampai pada tahapan kondisi jaringan irigasi sederhana yang meliputi areal seluas 2.244 Ha, sementara areal persawahan yang membutuhkan pengairan adalah seluas 9.366 Ha. Pemanfaatan sungai-sungai sebagai sumber pengairan dan irigasi di wilayah Kabupaten Buru, diperoleh dari sungai-sungai yang memiliki pola aliran sepanjang tahun (sungai perennial) seperti sungai Waehoka, Waenunga, Waelihen, Waemala, Waetibaki, Waelua, Waeaga, Waewalo, Waelumara, Waefogi, Waekeka, Waewalut, Waetina, Waemulang, Waemala, Waetina, Waenibe dan Waeapo. Prasarana Listrik dan Komunikasi Dengan adanya program listrik masuk desa, pelistrikan di Kabupaten Buru telah menjangkau sampai ketingkat pedesaan, walaupun penyebarannya belum menjangkau seluruh desa yang ada di Kabupaten Buru, terutama di kecamatan Namrole dan kecamatan Waesama. Sedangkan di kecamatan Ambalau, seluruh desa yang ada sudah dapat terjagkau oleh jaringan listrik. Sampai tahun 2003 terdapat 1 (satu) unit/lokasi PLN yang menggunakan sumber listik dari Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD), yakni PLN Ranting Namlea,
55
sedangkan sub-ranting hanya ada di kecamatan Ambalau, Leksula, Waplau, Air Buaya dan Waeapo (Mako). Sementara di Elfule kecamatan Namrole dan Wamsisi kecamatan Waesama belum tercatat di PLN Wilayah IX Maluku. Kecamatan Namrole dan Waesama belum menikmati program listrik masuk desa, sehingga penerangan yang ada di dua kecamatan tersebut adalah merupakan milik pribadi ataupun milik swasta (perusahan). Perkembangan
sarana
Pos
dan
Telekomunikasi
diarahkan
untuk
meningkatkan kelancaran arus informasi dari suatu daerah ke daerah yang lain. Kelancaran informasi diharapkan mampu memacu kegiatan perekonomian antar daerah. Pada tahun 2004 di Kabupaten Buru tercatat ada 3 unit Kantor Pos Pembantu/Tambahan yang tersebar pada tiga kecamatan, yaitu kecamatan Namlea, Air Buaya dan Leksula. Di Kabupaten Buru tersedia, 1 buah kantor telepon, 2 buah sentral telepon, 1 buah sentral telegraph dan Warung Telekomunikasi (Wartel) sebanyak 6 buah. Jumlah pelanggan telepon Kabupaten Buru sampai Desember 2004 tercatat 896 pelanggan. Fasilitas telekomunikasi yang ada di Kabupaten Buru lebih banyak terkonsentrasi di kecamatan Namlea. Prasarana Perekonomian Secara sektoral kontribusi sektor yang paling tinggi terhadap perekonomian Kabupaten Buru dalam tahun 2003 adalah sektor pertanian (54,77 %), diikuti oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran serta jasa-jasa dengan kontribusi di atas 13 %. Hasil ini menunjukkan bahwa sektor pertanian dari aspek kontribusinya terhadap perekonomian daerah merupakan sektor unggulan. Khusus untuk sektor pertanian, kontribusi paling tinggi ialah dari sub sektor tanaman bahan makanan (43,55 %) dan peternakan dan hasil-hasilnya (29,35 %), sementara perikanan hanya memberikan kontribusi sebesar 8,03 % (Tabel 12). Distribusi infrastruktur ekonomi yang berhubungan langsung dengan pembangunan ekonomi perikanan, terdistribusi hanya pada beberapa kecamatan dalam lingkup Kabupaten Buru (Tabel 13). Eksistensi infrastruktur ekonomi penunjang pembangunan perikanan dan kelautan di Kabupaten Buru memberikan gambaran bahwa belum terjadi optimalisasi pemanfaatan atau tingkat pelayanan yang diberikan belum optimal dalam menggerakkan pembangunan perikanan dan kelautan di daerah ini. Hal ini bahwa kebutuhan terhadap infrastruktur ekonomi
56
masih tinggi, artinya pembangunan diseluruh wilayah, terutama wilayah-wilayah kecamatan yang baru dibentuk masih sangat tergantung dari efisiensi infrastruktur ekonomi yang harus dikembangkan. Tabel 12. PDRB Kabupaten Buru Tahun 2001 – 2003 Berdasarkan Harga Konstan Tahun 1999. No. 1
2 3 4 5 6 7 8 9
Lapangan Usaha Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan : a. Tanaman Bahan Makanan b. Peternakan dan Hasil-hasilnya c. Tanaman perkebunan d. Kehutanan e. Perikanan Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa
% Kontribusi Tahunan 2001 2002 2003 55,51
55,27
54,77
43,08 30,15 6,53 12,15 8,10 0,55 4,61 0,40 1,52 16,01 4,60 3,19 13,61
43,29 29,80 6,56 12,29 8,06 0,56 4,52 0,37 1,56 16,18 4,66 3,20 13,68
43,55 29,35 6,61 12,46 8,03 0,57 4,47 0,39 1,60 16,50 4,75 3,23 13,74
Sumber : BPS Kabupaten Buru, 2003 dan hasil analisis LP-UNPATTI, 2005. Tabel 13. Distribusi Infrastruktur Ekonomi Perikanan pada Kabupaten Buru. No. 1
Jasa Infrastruktur Hotel/Penginapan
Lokasi Namlea, Leksula
2
Pelabuhan kargo/rakyat
Namlea, Leksula, Namrole
3
Pelabuhan Perikanan
4
Bank
5
Pabrik Es
Waprea dan Masarete Namlea, Mako, Leksula Nametek (Namlea)
6 7
Cold Storage Pengolahan ikan tradisonal
Waetose
Pelabuhan Udara
Kota Namlea
8
Seluruh desa pesisir
Keterangan Fungsi Mendukung kegiatan ecotourism. Mendukung distribusi hasil perikanan internal dan ke luar kabupaten. Sedang dibangun Fasilitas kredit/ investasi untuk kegiatan perikanan produktif. Mempertahankan mutu hasil perikanan. Sedang dibangun. Kualitas dan kwantitas produksi belum mengalami pengembangan (produksi terbatas). Mendukung distribusi produk perikanan ke luar kabupaten.
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Buru, 2005.
57
Potensi Sumberdaya Perikanan Kabupaten Buru memiliki potensi perikanan dan kelautan yang didominasi oleh perikanan tangkap yang cukup besar, baik untuk kegiatan penangkapan jenis ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil, ikan demersal serta udang karang. Selain potensi perikanan tangkap, Kabupaten Buru juga memiliki potensi pada sektor perikanan budidaya, baik budidaya laut, budidaya darat, maupun budidaya payau. Setiap sektor memberikan kontribusi terhadap peningkatan ekonomi masyarakat dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Buru, sehingga pengembangan terhadap potensi-potensi yang dimiliki merupakan hal yang penting dalam pengembangan dan penentuan kebijakan pembangunan perikanan dan kelautan di Kabupaten Buru. Perikanan Budidaya Dengan dikeluarkannya KEPPRES No. 23 tahun 1982 tentang kegiatan budidaya laut, maka usaha budidaya mulai dikembangkan menjadi salah satu usaha bisnis yang menguntungkan. Karenanya usaha budidaya laut terus dikembangkan di Kabupaten Buru yang memiliki beberapa wilayah perairan yang potensial bagi pengembangan usaha budidaya ini. Luas wilayah perairan Kabupaten Buru yang dapat digunakan untuk pengembangan usaha budidaya perikanan dan kelautan adalah 2471,59 ha, yang tersebar pada 4 wilayah ekologis Kabupaten Buru, yakni wilayah ekologis Teluk Kaiely, Buru Utara, Buru Selatan dan Buru Selatan Timur termasuk pulau Ambalau. Melalui usaha budidaya laut diharapkan dapat tercapai dua aspek penting yang menjadi salah satu tujuan dari pengembangan perikanan nasional yaitu aspek ekonomi dan aspek konservasi. Sesuai hasil survey Direktorat Jenderal Perikanan yang bekerjasama dengan Universitas Gajah Mada tahun 1987, bahwa di Teluk Kaiely tersedia potensi pengembangan budidaya tambak seluas ± 4000 ha. Pada tahun 2004 Direktorat Jenderal Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan telah melakukan detail desain pertambakan rakyat seluas 600 ha. Hal ini memberikan prospek untuk pengembangan budidaya tambak di Kabupaten Buru dalam usaha peningkatan kesejahteraan petani pembudidaya dan peningkatan PAD.
58
Perairan di wilayah ekologis Teluk Kaiely yang dapat dikembangkan untuk kegiatan budidaya perikanan adalah di wilayah Teluk Kaiely dan Danau Jikumerasa. Potensi perikanan budidaya yang dapat dikembangkan di kedua wilayah ini antara lain, budidaya rumput laut, budidaya keramba jaring apung, budidaya ikan, dengan perkiraan pemanfaatan area budidaa seluas 975,8 ha. Sementara itu diwilayah Kecamatan Batabual yang memiliki perairan yang langsung berhadapan dengan perairan terbuka, maka pengembangan usaha perikanan budidaya di wilayah kecamatan ini menjadi sangat terbatas. Pada Kecamatan Waeapo telah tersedia sarana dan parasarana budidaya air tawar antara lain : Balai Benih Ikan (BBI) dan Pasar Benih Ikan (PBI) dengan luas kolam pembenihan 0,5 ha, sedangkan area tambak rakyat yang tersedia sebesar 20 ha yang melibatkan 20 RTP. Potensi pengembangan budidaya kerapu dan rumput laut tersebar di Teluk Kaiely, Teluk Bara, Teluk Leksula, Fogi dan kecamatan Ambalau. Banyaknya Rumah Tangga Perikanan (RTP) dalam kegiatan perikanan budidaya di Kabupaten Buru sejak tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 terus meningkat sebagaimana terlihat pada Tabel 14. Tabel 14. Jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) Perikanan Budidaya menurut Uraian Kegiatan Budidaya di Kabupaten Buru sejak Tahun 2002 – 2006. Uraian Kegiatan Budidaya Tambak RTP
Kolam Laut Jumlah
2
4
Tahun 2004 10
14
18
21
41
59
1.452
1.581
1.897
1.928
2.015
1.468
1.603
1.928
1.987
2.110
2002
2003
2005 18
2006 36
Sumber : Data Statistik Perikanan Kabupaten Buru, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Buru, 2006. Jenis ikan yang dikembangkan dalam kegiatan budidaya tambak di Kabupaten Buru antara lain ikan mas, ikan nila, ikan gurame dan ikan sepat. Sementara jenis komoditi yang dikembangkan untuk kegiatan pertambakan rakyat adalah ikan bandeng dan udang (udang putih dan udang windu). Benih bandeng dan udang diperoleh secara alami. Untuk kegiatan budidaya laut, komoditi yang
59
dikembangkan adalah rumput laut (jenis Euchema cottoni), ikan kerapu, lobster dan lainnya. Perikanan Tangkap Unit penangkapan ikan merupakan suatu kesatuan teknis yang terdiri dari kapal/perahu, alat penangkapan ikan dan nelayan yang mengoperasikannya. Berdasarkan alat penangkapan, unit penangkapan ikan di Kabupaten Buru terdiri dari jaring insang, pukat pantai, pukat cincin, jaring angkat, perangkap, dan pancing. Keenam jenis unit penangkapan ikan di Kabupaten Buru ini terdapat di Teluk Kaiely dan sekitarnya. Di wilayah ekologis Buru Utara Barat hanya terdapat unit penangkapan jaring insang dan pancing. Unit penangkapan pancing masih mendominasi jenis unit penangkapan di Kabupaten Buru,
sebagian besar kegiatan operasi penangkapan masih
menggunakan perahu tanpa motor. Selain pancing, unit penangkapan jaring insang banyak dijumpai dan tersebar merata di keempat wilayah ekologis. Kedua jenis alat penangkapan ini banyak digunakan oleh nelayan di Kabupaten Buru dibandingkan dengan jenis alat lainnya, karena jaring insang dan pancing mempunyai beberapa kelebihan. Unit penangkapan jaring angkat (bagan apung) merupakan salah satu unit penangkapan ikan yang diperkenalkan oleh nelayan dari Sulawesi Selatan. Berdasarkan komposisi jenis ikan hasil tangkapan, unit penangkapan dengan menggunakan pancing tuna dan jaring insang lingkar untuk ikan kembung mempunyai selektivitas yang tertinggi, sedangkan sero tancap mempunyai tingkat selektifitas yang rendah. Dikatakan demikian karena cara dan metode penangkapan pancing tuna dan jaring insang lingkar dikhususkan untuk ikan madidihang (Thunnus albacores) dan ikan kembung (Rastreliger kanagurta) yang telah diketahui tingkah lakunya. Akan tetapi untuk sero tancap, cara dan metode penangkapan dengan menjebak sernua jenis ikan yang beruaya untuk mencari makan di ekosistem hutan mangrove mengakibatkan selektivitasnya rendah terhadap spesies. Hasil tangkapan pancing tuna dengan target utama ikan madidihang (Thunus albacores) yang tertangkap di perairan bagian Utara Pulau Buru yang dibeli oleh pedagang pengumpul dikatagorikan kedalam 5 kelas ukuran.
60
Kelas ukuran ini didasarkan pada nilai hasil tangkapan. Kelas ukuran tersebut adalah 10 – 15 kg/ekor (Rp 2.500/kg), 15 – 20 kg/ekor (Rp 3.500/kg), 20 – 25 kg/ekor (Rp 5.600/kg), 25 – 30 kg/ekor (Rp 6.000/kg), dan > 30 kg/ekor (Rp 7.500/kg). Berdasarkan kelompok sumberdaya, produksi ikan pelagis besar merupakan kelompok sumberdaya yang tertinggi, kemudian pelagis kecil serta ikan demersal dan ikan karang. Total produksi ini diperoleh dari estimasi hasil tangkapan nelayan di tiga wilayah ekologis Teluk Kaiely dan sekitarnya, Buru Utara Barat, dan Buru Selatan. Sumbangan produksi ikan pelagis besar berasal dari daerah penangkapan bagian Utara Pulau Buru yang dihasilkan oleh nelayan di Teluk Kaiely dan sekitarnya serta Buru Utara Barat. Jumlah dan jenis perahu, serta kondisi alat tangkap di Kabupaten Buru dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 15 dan Tabel 16 berikut, sementara zona penangkapan ikan ditunjukkan dalam Gambar 10.
Gambar 10. Peta Zona Penangkapan Ikan Kabupaten Buru
61
Tabel 15. Jumlah Jenis Perahu Penangkap Ikan di Kabupaten Buru dari Tahun 2002 – 2006. Jenis Perahu
2002
2003
Tahun 2004
2005
2006
Motor Tempel 68 108 265 283 42 (5 GT) Perahu Mesin Ketinting Bermotor 68 148 295 302 40 (3 GT) Jumlah 82 136 256 560 585 Jukung (2 GT) 1.348 1.387 1.667 1.798 1.774 Kecil ( < 1 GT) 184 189 197 266 266 Perahu Sedang (1 GT) 45 54 61 65 66 Tanpa Besar (1,5 – 2 Motor 4 4 6 6 8 GT) 1.931 2.135 2.114 Jumlah 1.581 1.634 Sumber : Data Statistik Perikanan Kabupaten Buru, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Buru, 2006. Tabel 16. Kondisi Alat Tangkap Ikan di Kabupaten Buru dari Tahun 2002 – 2006. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Jenis Armada 2002 2003 2004 2005 2006 Pukat Pantai 46 55 61 62 64 Pukat Cincin 20 24 25 27 30 Jaring Hanyut 288 346 360 360 366 Jaring Lingkar 253 304 316 341 357 Jaring Tetap 98 118 122 146 287 Bagan Perahu 39 46 47 51 55 Bagan Tancap 5 6 6 6 9 Serok / Tango 28 34 40 46 53 Jaring Angkat Rawai Tetap 22 26 32 34 42 Huhate 16 19 20 25 75 Pancing Tonda 348 418 432 479 592 Pancing Lain 1.093 1.312 1.343 1.370 1.461 Sero 52 62 86 88 92 Bubu 142 170 189 192 226 Perangkap 40 48 59 61 79 Pengumpul 32 38 38 42 68 Lain-lain 328 348 418 436 479 Jumlah 2.850 3.374 3.594 3.766 4.335 Sumber : Data Statistik Perikanan Kabupaten Buru, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Buru, 2006.
62
Potensi Ekosistem Pesisir dan Laut Wilayah ekosistem perairan pesisir dan laut Kabupaten Buru memiliki 3 habitat utama perairan tropis yaitu hutan mangrove, padang lamun dan terumbu karang, yang menyebar secara tidak merata. Keberdaan dari setiap ekosistem sangat dipengaruhi oleh karakteristik dari masing-masing wilayah ekologis, sehingga potensi yang dimiliki oleh setiap wilayah terhadap ekosistem pesisir dan laut cukup bervariasi. Potensi dari setiap ekosistem pesisir dan laut seperti mangrove, padang lamun dan terumbu karang, juga mempengaruhi tingkat pendapatan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut oleh masyarakat yang bermukim di sekitas ekosistem tersebut. Selain itu, keberadaan ekosistem-ekosistem pesisir ini juga menjadi wilayah yang potensial dengan berbagai organisme yang menempati ekosistem ini, maupun organisme lain yang berasosiasi dengannya. Disamping itu juga ekosistem pesisir dan laut juga berfungsi sebagai peredam berbagai ancaman bencana yang datang dari wilayah perairan dan laut yang berada di sekitar Kabupaten Buru. Ekosistem Mangrove Kehadiran mangrove secara keseluruhan lebih menonjol pada perairan pesisir Teluk Kaiely (Gambar 11) seluas ± 4.588,3 ha, dengan spesesies mangrove yang dijumpai adalah Sonneratia alba, Rhizophora stylosa, R. mucronata, R. apiculata, Bruguiera gymnorrhiza, B. parviflora, B. cylindrica, Ceriops decandra, C. tagal, Xylocarpus granatum, X. mollucensis, Aegiceras crniculatum, Nypa fruticans dan Heritiera litoralis. Ekosistem Padang Lamun Sama seperti hutan mangrove, padang lamun memiliki sebaran dan luas yang berbeda antar wilayah ekologis perairan pesisir Kabupaten Buru. Komunitas lamun yang terdapat di perairan Teluk Kaiely dan sekitarnya diperkirakan seluas 335,3 Ha atau 3.353 km2, dimana spesies-spesies yang dijumpai adalah Holodule pinifolia, Cymodocea rotundata, C. serrulata, Syringodium isoetifolium, Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Halophila ovata, dan H. minor.
63
Gambar 11. Potensi Hutan Mangrove pada Wilayah Ekologi Teluk Kaiely, Kabupaten Buru. Ekosistem Terumbu Karang Habitat utama terumbu karang tersebar hampir merata di wilayah ekologi perairan Kabupaten Buru. Terumbu karang yang dominan di wilayah perairan Kabupaten Buru adalah terumbu karang pantai (fringing reef), sedangkan terumbu karang tenggelam (apron reefs) hanya di temukan pada perairan Buru Selatan. Perairan Teluk Kaiely memiliki luas terumbu karang 432,9 ha (Gambar 12), dengan katagori bentuk tumbuh bentik yang dijumpai sekitar 29 bentuk tumbuh karang, dimana hanya terumbu karang pada zona tepi tubir di Jikumarasa yang memiliki persen penutupan karang batu tertinggi yakni sebesar 86,64 % dan berada pada kondisi sangat baik (excellent). Meskipun kondisi terumbu karang di lokasi Jikumerasa termasuk kategori sangat baik dan Waelapia termasuk kategori baik, tetapi sebagian areal terumbu karang dari wilayah ekologis Teluk Kaiely telah berada di tingkat kategori kurang baik hingga buruk. Spesies karang yang tergolong dominant berdasarkan frekuensi kehadiran dan persen tutupan substrat dasar terumbu adalah Stylophora pistillata, Heliopora caerulea, Porites cylimdrica, Acropora microphthalma, Acropora nobilis, Acropora sp dan Porites
64
lutea. Akan tetapi hal yang sangat kontradiktif ditemukan di perairan pesisir Nametek, dimana karang lunak (soft coral) mendominasi areal terumbunya.
Gambar 12. Potensi Terumbu Karang pada Wilayah Ekologis Teluk Kaiely, Kabupaten Buru.
Domografi dan Sosial Budaya Penduduk di kawasan Teluk Kaiely dan sekitarnya secara administratif terdiri dari Kecamatan Namlea, Waeapo, Waplau dan Kecamatan Batabual. Total jumlah penduduk yang mendiami kawasan ini pada Tahun 2004 sebesar 48.193 jiwa, terdiri dari 9.640 rumah tangga. Penduduk yang mendiami wilayah ini sebagian besar mendiami kawasan pesisir kecuali di Kecamatan Waeapo karena dikenal sebagai lumbung padi Kabupaten Buru. Penduduk yang mendiami kecamatan ini umumnya adalah transmigran yang berasal dari pulau Jawa. Hanya tiga desa yang merupakan desa pesisir di kawasan pesisir di Kecamatan Waeapo yaitu desa Kaiely dengan 2 dusun (dusun Waetose dan dusun Kaki Air), Masarete dan desa Waclapia. Berdasarkan lapangan pekerjaan, penduduk di kawasan Teluk Kaiely dan sekitarnya sebagian besar penduduknya adalah petani (68,16%), nelayan (17,96%), peternak (8,71%), pedagang (1,32 %), PNS (0,28 %), TNI/Polri (0,18 %), dan lainnya (2,39 %). Sebagian besar penduduk di Kecamatan Waeapo berada di Desa Kaiely adalah nelayan dengan konsentrasi terbesar adalah di Dusun Kaki Air (100% nelayan). Konsentrasi nelayan di Kecamatan Namlea
65
berada di desa Namlea, Saliong, Sanleko, Nametek, Ubung, Jikumarasa, Waeperang dan Desa Sawa. Di Kecamatan Waplau, nelayan lebih terkonsentrasi pada Desa Waprea, Waelihang, Waeura dan Waepoti, sedangkan di Kecamatan Batabual terkonsentrasi di Desa Seith. Masyarakat di kawasan Teluk Kaiely dan sekitarnya umumnya adalah masyarakat pendatang, dan masing-masing anggota masyarakatnya masih mempunyai hubungan keluarga satu dengan lainnya. Kelembagaan Penataan Ruang Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil di Wilayah Kabupaten Buru. Kelembagaan dapat dipahami dalam dua pengertian, pertama yaikni kelembagaan sebagai suatu aturan main (role of the game) dalam interaksi inter personal. Dalam hal ini kelembagan diartikan sebagai sekumpulan aturan baik formal maupun informal, tertulis maupun tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia dan lingkungannya menyangkut hak-hak serta tanggung jawabnya. Pengertian yang lain, kelembagaan sebagai suatu organisasi yang memiliki hierarki. Eksistensi potensi kelembagaan dalam kaitannya dengan pembangunan perikanan dan kelautan Kabupaten Buru dibagi menjadi empat bagian besar, yaitu : (1) Kelembagaan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buru; (2) Kelembagan Lokal Desa; (3) Kelembagaan Pendukung; dan (4) Integrasi Kelembagaan. Kelembagaan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Buru secara struktural dalam menjalankan tugasnya dkepalai oleh Kepala Dinas yang dibantu oleh Kepala Tata Usaha, Kepala Bidang Program, Kepala Bidang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Kepala Bidang Usaha, Kepala Bidang Pendidikan dan Latihan serta empat UPT. Secara fungsional Kepala Dinas dibantu oleh Jabatan Fungsional yang ada. Kelembagaan Lokal Desa diwakili oleh kelembagaan masyarakat pada tingkatan desa mulai dari Kepala Desa hingga pada kelompok masyarakat perikanan yang permanen seperti Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir Mikro Mitra Mina (LEPP-M3) yang terintegrasi dalam satu lembaga Koperasi Nelayan. Selain itu juga terdapat kelompo-kelompok masyarakat yang dibentuk atas inisiatif masyarakat dalam melakukan pengembangan dan pengelolaan potensi perikanan yang dimiliki oleh setiap desa.
66
Kelembagaan pendukung adalah lembaga-lembaga yang terkait dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir dan lautan Kabupaten Buru, dimana lembaga pendukung ini merupakan lembaga yang berfungsi dalam aspek perekonomian. Di Kabupaten Buru, terdapat dua lembaga ekonomi yang berperan dalam menunjang proses pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan di daerah ini, lembaga tersebut adalah lembaga perbankan dan koperasi nelayan. Bank yang beroperasi di Kabupaten Buru adalah Bank Maluku dan Bank Rakyat Indonesia (sistem on-line), sementara koperasi nelayan tersebar di beberapa wilayah pesisir Kabupaten Buru. Integrasi kelembagaan penting untuk diperhatikan mengingat adanya pemanfaatan potensi yang overlap dalam pengelolaan wilayah pesisir dan lautan Kabupaten Buru. Paling tidak aspek fungsi/posisi menjadi bagian penting untuk membuat kebijakan bersama antara beberapa lembaga yang memiliki ruang kelola yang sama. Beberapa bentuk integrasi kelembaga yang dapat dijumpai dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir dan lautan Kabupaten Buru antara lain, integrasi antara Dinas Perikanan dan Kelautan dengan Dinas Kehutanan dalam pengelolaan hutan mangrove dan pengelolaan daerah konservasinya, Dinas Perikanan dan Kelautan dengan Dinas Pariwisata dalam pengelolaan ecotourism pada lokasi-lokasi yang potensial di sepanjang pesisir dan pulau-pulau kecil, Dinas Perikanan dan Kelautan dengan Dinas Koperasi dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir.
67
HASIL DAN PEMBAHASAN Dampak Kegiatan Pembukaan Dataran Atas Terhadap Pesisir Kabupaten Buru Pembukaan dataran atas sebagai bagian dari peningkatan aktivitas pengembangan pembangunan di Kabupaten Buru, merupakan konsekuensi yang menjadi salah satu sumber permasalahan yang memberikan pengaruh bagi wilayah pesisir dan lautannya. Dampak nyata yang dapat dilihat akibat dari kegiatan pembukaan dataran atas terhadap wilayah pesisir Kabupaten Buru dapat dijumpai pada muara Sungai Waeapo, yang terus mengalami perubahan akibat tingginya tingkat sedimentasi akibat dari pembukaaan lahan dan penebangan hutan oleh masyarakat maupun perusahaan HPH yang berada di dataran Waeapo dan sekitarnya. Hasil pengamatan di lapangan menunjukan bahwa dari waktu ke waktu telah terjadi pencemaran dan sedimentasi yang terus meningkat di perairan sekitar Teluk Kaiely, hal ini dibuktikan dengan semakin tingginya tingkat kekeruhan yang terjadi di wilayah perairan ini, terutama yang terbawa oleh aliran Sungai Waeapo. Berdasarkan hasil pantauan melalui Citra Satelit Landsat 7 ETM+ pada tanggal 15 September 2005, terlihat bahwa pada wilayah Teluk Kaiely telah mengalami kekeruhan akibat adanya sedimentasi di muara Sungai Waeapo (lihat Gambar 8). Bila kejadian ini terus berlangsung secara terus menerus dan tidak dilakukan tindakan antisipasi dalam bentuk tindakan preventif, maka secara perlahan-lahan akan mempengaruhi kondisi biofisik lingkungan dan ekosistem yang berada di sekitarnya, sehingga degradasi lingkungan dan sumberdaya alam dapat terjadi. Selain itu, adanya pemanfaatan pasir pantai dan penambangan terumbu karang bagi keperluan pembangunan perumahan dan infrastruktur lainnya di wilayah Kabupaten Buru yang dilakukan oleh masyarakat, memberikan pengaruh yang besar dan nyata bagi terjadinya abrasi pantai dan perubahan garis pantai yang semakin besar. Hal ini dijumpai di sekitar pesisir Desa Namlea hingga Desa Sanleko dan Desa Lala hingga Desa Waeperang
68
Untuk itu, perlu adanya penetapan pemanfaatan kawasan dan pemantauan perubahan penutupan lahan yang dilakukan secara berkelanjutan, dengan memperhatikan daya dukung lingkungannya, sehingga penetapan suatu kawasan untuk program pembangunan berikut penyediaan sarana dan prasaranga penunjangnya dapat bermanfaat dan memiliki nilai guna yang berkelanjutan. Analisis Kesesuaian Lahan Analisis kesesuaian lahan yang dilakukan dalam pengelolaan wilayah pesisir Kabupaten Buru meliputi delapan peruntukan kesesuaian lahan yaitu, untuk kawasan pemukiman penduduk, budidaya tambak, budidaya rumput laut, pelabuhan umum, pelabuhan perikanan, periwisata pantai, serta kawasan konservasi mangrove dan terumbu karang. Proses analisis dilakukan berdasarkan pada faktor-faktor yang menjadi pembatas bagi masing-masing peruntukan yang ditinjau dari aspek biofisiknya. Analisis yang dilaksanakan bertujuan untuk menilai kelayakan atau kesesuaian lahan dalam rangka penentuan arah pengemabangan pembangunan dari kedelapan peruntukan lahan yang dimaksudkan di atas. Hasil analisis kesesuaian yang diperoleh dikelompokan dalam empat kategori atau kelas kesesuaian, yakni Kelas S1 : Sangat Sesuai (Highly Suitable), Kelas S2 : Sesuai (Suitable), Kelas S3 : Sesuai Bersyarat (Conditional Suitable), dan Kelas N : Tidak Sesuai Permanen (Permanently Not Suitable). Berdasarkan pada hasil analisis spasial terhadap berbagai faktor-faktor pembatas untuk setiap peruntukan lahan yang ditinjau dari aspek biofisiknya, dengan menggunakan perangkat Sistem Informasi Geografis (SIG) melalui cara tumpang susun (overlay), maka diperoleh hasil analisis kesesuaian lahan untuk masing-masing peruntukan lahan bagi pengelolaan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru, adalah sebagai berikut : Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Pemukiman Penduduk Kesesuaian lahan untuk kawasan pemukiman penduduk diperoleh dari analisis parameter-parameter kesesuaian lahan untuk kawasan ini, yang meliputi kemiringan lahan, ketersediaan air tawar, land use, jarak dari pantai, drainase, dan jarak dari jalan yang berhubungan dengan sarana dan prasarana penting.
69
Berdasarkan pada hasil analisis spasial yang dilakukan terhadap 3 kecamatan yang menjadi lokasi dalam penelitian ini, ternyata untuk kategori sangat sesuai bagi pemukiman penduduk adalah seluas 35.119,80 ha. Wilayah yang termasuk dalam kategori sangat sesuai umumnya berada di wilayah pesisir Kecamatan Namlea serta sebagian wilayah pesisir Kecamatan Waeapo (Desa Kaiely dan Masarete serta sebagian desa Waelapia), sementara untuk Kecamatan Batabual, umumnya wilayah pesisirnya merupakan daerah yang juga termasuk dalam kategori ini. Daerah dengan kategori ini dicirikan dengan karakteristik sebagai berikut : memiliki kemiringan lahan 3 – 8 %, ketersediaan air tawar > 20 liter/detik, drainasenya tidak tergenang, jarak dari jalan 0 – 500 meter, jarak dari pantai 0 – 200 meter, dan landuse-nya adalah sebagai daerah pengembangan perkotaan, pengembangan industri dan persawahan. Untuk kesesuaian lahan dengan kategori sesuai bagi kawasan pemukiman penduduk adalah seluas 19.912,16 ha. Wilayah dengan kategori ini umumnya juga tersebar pada wilayah-wilayah pesisir yang sama sebagaimana pada wilayah dengan kategori sangat sesuai. Daerah dengan kategori ini dicirikan dengan karakteristik sebagai berikut : memiliki kemiringan lahan 8 – 15 %, ketersedian air tawar 15 – 20 liter/detik, drainasenya tidak tergenang, jarak dari jalan 200 – 500 meter, jarak dari pantai 100 – 200 meter, dan landuse-nya adalah sebagai kebun campuran, sawah, semak belukar dan alang-alang. Untuk kesesuaian lahan dengan kategori sesuai bersyarat bagi kawasan pemukiman penduduk adalah seluas 3.294,147 ha. Wilayah dengan kategori ini hampir sebagian besar berada di pesisir Kecamatan Waeapo dan Kecamatan Batabual, dengan karakteristik wilayah sebagai berikut: memiliki kemiringan lahan 0 – 2 %, ketersediaan air tawar 10 – 15 liter/detik, drainasenya tergenang periodei, jarak dari jalan 500 – 1.000 meter, jarak dari pantai 50 – 100 meter, dan memiliki landuse adalah sebagai cadangan pengembangan, rawa air asin, rawa air tawar dan hutan produksi. Untuk kesesuaian lahan dengan kategori tidak sesuai bagi kawasan pemukiman penduduk adalah seluas 498,48 ha. Wilayah ini umumnya berada di pesisir Kecamatan Waeapo dan Kecamatan Batabual, dengan karakteristik wilayah sebagai berikut : memiliki kemiringan lahan 0 – 2 % untuk lahan yang
70
dekat dengan pantai dan > 16 % untuk lahan yang jauh dari pantai, ketersediaan air tawar < 10 liter/detik, drainasenya tergenang permanen, jarak dari jalan > 1.000 meter, jarak dari panai < 50 meter, dan memiliki landuse adalah sebagai rawa air asin, rawa air tawar dan mangrove untuk lahan yang dekat dengan pantai, serta hutan lindung dan hutan suaka alam untuk lahan yang jauh dari pantai. Untuk jelasnya, peta hasil analisis kesesuaian lahan untuk kawasan pemukiman penduduk dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru dapat dilihat pada Gambar 13. Pengembangan pemukiman di wilayah pesisir Kabupaten Buru hendaknya merupakan suatu bagian dari proses pembangunan dan pemanfaatan ruang wilayah pesisir secara menyeluruh dimana pembangunan sarana dan prasana pembangunan terkait juga dengan pembangunan dan pengembangan kawasan pemukiman penduduk. Hal ini mengacu pada pengertian pemukiman menurut BAPPENAS (2000), yakni penggunaan lahan yang dimanfaatkan untuk pengembangan
perumahan,
sarana
dan
prasarana
umum,
perdagangan,
perkantoran, fasilitas rekreasi, dan banyak yang berhubungan dengan aktivitas kehidupan masyarakat. Penduduk di kawasan wilayah ekologis Teluk Kaiely dan sekitarnya secara administratif berada di wilayah Kecamatan Namlea, Waeapo, Waplau dan Batabual. Total jumlah penduduk yang mendiami kawasan ini hingga tahun 2004 sebanyak 48.193 jiwa yang terdiri dari 9.640 kepala rumah tanggga. Penduduk yang mendiami wilayah ini, sebagian besar mendiami kawasan pesisir kecuali di Kecamatan Waeapo yang hanya memiliki 3 desa pesisir yakni desa Kaiely, Masarete dan Waelapia. Berdasarkan pada kondisi di atas, maka jika dibandingkan dengan hasil analisis kesesuaian lahan di wilayah pesisir Kabupaten Buru yang menjadi lokasi dalam penelitian ini, maka untuk pengembangan kawasan pemukiman penduduk, masih dapat dikembangkan di seluruh wilayah pesisir Kabupaten Buru, dengan memperhatikan pada pola distribusi dan penyebaran penduduk. Selain itu faktor yang juga harus diperhatikan adalah penyediaan sarana dan prasarana serta berbaga infrastruktur yang menunjang kehidupan masyarakat yang bermukim di wilayah tersebut.
71
71
Gambar 13. Peta Kesesuaian Lahan Untuk Kawasan Pemukiman Penduduk di Wilayah Pesisir Kabupaten Buru.
72
Penduduk yang selama ini berdomisili di wilayah pesisir, umumnya menggunakan lahan hanya mempertimbangkan pada aspek kemudahan dalam memanfaatkan sumberdaya alam semata. Hal tersebut juga diiringi dengan terbatasnya sarana dan prasarana serta informasi yang memadai tentang pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan, sehingga mendorong terjadinya pemanfaatan wilayah dan sumberdaya alam yang tidak sesuai dengan peruntukan dan manfaatnya. Fenomena ini mendorong tumbuhnya pemukiman dan usahausaha penanganan dan pengelolaan sumberdaya alam dengan mengutamakan jarak yang mudah dicapai dan dekat dengan pasar, namun dilakukan secara tidak terkendali dan tidak terencana. Akibatnya, perkembangan tata ruang wilayah tidak terintegrasi dan tidak terarah serta terkesan tradisional dan kumuh. Menurut Dahuri et al. (2004), bentuk dan hakikat pemukiman dan perkotaan di wilayah pesisir harus merupakan bagian integral dan tidak bertentangan dengan proses dan fenomena ekologis pesisir secara menyeluruh. Hal yang prinsip adalah bahwa kebutuhan yang meningkat akan pemukiman, menuntut tata ruang pemukiman di wilayah pesisir secara terpadu yang berwawasan lingkungan. Tata ruang pemukiman di wilayah pesisir yang kacau dan tidak berwawasan lingkungan akan menyebabkan tejadinya degradasi mutu lingkungan yaitu erosi, sedimentasi, pencemaran lingkungan dan banjir. Proses pengambilan kebijakan dan alternatif pengembangan wilayah pesisir Kabupaten Buru bagi peruntukan kawasan pemukiman penduduk, layaknya memperhatikan berbagai aspek yang terkait dengan kebijakan ini, sehingga pengembangan dan pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru secara berkelanjutan dapat tercapai secara maksimal. Alternatif pengembangan wilayah juga harus memperhatikan aspirasi dan pendapat dari berbagai pihak, terutama pihak-pihak yang berkompetensi dalam pemanfaatan wilayah ini, sehingga konflik pemanfaatan ruang antar sektor dapat dihindari yang dengan sendirinya akan memberikan pengaruh yang baik terhadap pemanfaatan sumberdaya alam yang ada di wilayah pesisir Kabupaten Buru.
73
Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Pelabuhan Umum Kesesuaian lahan untuk kawasan pelabuhan umum diperoleh dari analisis parameter-parameter kesesuaian lahan untuk kawasan ini, yang meliputi 8 parameter, dimana 6 parameter yang digunakan untuk menganalisis kesesuaian lahan di wilayah perairan yaitu kedalaman perairan, material dasar perairan, tinggi gelombang, kecepatan arus, amplitudo pasut dan keterlindungan. Sementara 2 parameter lainnya adalah untuk kesesuaian lahan untuk wilayah daratan yaitu kemiringan lahan dan fasilitas sarana prasarana transportasi. Berdasarkan hasil analisis spasial yang dilakukan terhadap parameterparameter tersebut, diketahui bahwa total luas perairan yang masuk dalam kategori sangat sesuai untuk dilalui kapal dalam penentuan kawasan dermaga pelabuhan umum adalah seluas 2,828 mil2 atau 7,324 km2, sedangkan luas wilayah daratan yang sesuai untuk pembangunan sarana dan prasarana pelabuhan umum adalah seluas 19.912,16 ha. Wilayah perairan dengan kategori sangat sesuai dicirikan dengan karakteristik sebagai berikut : memiliki kedalaman perairan > 15 meter, material dasar perairannya adalah lempung berpasir, tinggi gelombang antara 0 – 20 cm, kecepatan arus berkisar antara 0 – 20 cm/detik, aplitudo pasut berkisar antara 0 – 0,5 meter, dan keterlindungannya adalah pada daerah yang perairannya sangat terlindung. Sedangkan untuk wilayah daratan yang masuk dalam kategori sangat sesuai untuk kawasan pembangunan saran dan prasarana pelabuhan umum, memiliki karakteristik wilayah yang kemiringan lahannya antara 0 – 2 % dan untuk fasilitas transportasinya diberikan diberi nilai 3 bagi daerah yang telah tersedia sarana dan prasarana transportasinya dan dapat diakses dengan mudah. Untuk kesesuaian lahan dengan kategori sesuai, total luas wilayah perairan yang sesuai untuk dilalui kapal adalah seluas 4,775 mil2 atau 12,367 km2, sedangkan total luas wilayah daratan yang sesuai untuk pembangunan sarana dan prasarana pelabuhan umum adalah seluas 19.912,16 ha. Wilayah perairan dengan kategori ini dicirikan dengan karakeristik sebagai berikut : memiliki kedalaman perairan antara 12 – 15 meter, material dasar perairannya adalah pasir berlumpur, tinggi gelombang antara 21 – 40 cm, kecepatan arus berkisar antara 21 – 30 cm/detik, amplitudo pasut antara 0,6 – 1,5 meter, dan keterlindunganya adalah
74
pada daerah yang perairannya terlindung. Sedangkan untuk wilayah daratan, memiliki kemiringan lahan antara 2 – 8 % dan untuk fasilitas transportasinya diberikan nilai 2 pada daerah yang cukup dekat dengan sarana dan prasarana transportasi yang telah tersedia. Untuk kesesuaian lahan dengan katergori sesuai bersyarat, total luas wilayah perairan yang sesuai bersyarat untuk dilalui kapal adalah seluas 2,599 mil2 atau 6,731 km2, sedangkan total luas wilayah daratan yang sesuai untuk pembangunan sarana dan prasarana pelabuhan umum adalah seluas 19.912,16 ha. Wilayah perairan dengan kategori ini dicirikan dengan karekteristik sebagai berikut : memiliki kedalaman perairan antara 10 – 12 meter, material dasar perairannya adalah pasir berkarang, tinggi gelombang antara 41 – 50 cm, kecepatan arus berkisar antara 31 – 40 cm/detik, amplitudo pasut berkisar antara 1,6 – 2 meter, dan keterlindungannya adalah pada daerah yang perairannya terlindung tetapi cenderung terbuka. Sedangkan untuk wilayah daratannya, memiliki kategori dengan kemiringan lahan antara 8 – 15 % dan untuk fasilitas transportasinya diberikan nilai 1 pada daerah yang sarana dan prasarana transportasinya sedang dibangun. Untuk kesesuaian lahan dengan kategori tidak sesuai, total luas wilayah perairannya adalah seluas 36,881 mil2 atau 95,521 km2, sedangkan total luas wilayah daratannya adalah seluas 19.912,16 ha. Wilayah perairan dengan kategori ini dicirikan dengan karakteristik sebagai berikut : memiliki perairan < 10 meter, material perairannya adalah karang, tinggi gelombangnya > 50 cm, kecepatan arusnya > 40 cm/detik, amplitudo pasutnya > 2 meter, dan berada pada daerah perairan yang terbuka. Sedangkan untuk wilayah daratannya, memiliki kategori dengan kemiringan lahan antara > 16 % dan untuk fasilitas transportasinya tidak diberikan nilai pada daerah yang belum memiliki sarana dan prasarana transportasi. Untuk jelasnya, peta hasil analisis kesesuaian lahan untuk kawasan pelabuhan umum dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru dapat dilihat pada Gambar 14.
75
75
Gambar 14. Peta Kesesuaian Lahan Untuk Kawasan Pelabuhan Umum di Wilayah Pesisir Kabupaten Buru.
76
Berdasarkan pada hasil analisis spasial kesesuaian lahan untuk penentuan kawasan pelabuhan umum dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru, maka apabila kebijakan yang akan diambil oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Buru dalam penentuan kawasan pelabuhan umum, direkomendasikan untuk dibangun di sekitar Desa Masarete Kecamatan Batabual karena daerah ini merupakan wilayah yang sangat sesuai untuk peruntukan dimaksud, dengan catatan bahwa Pemerintah Daerah Kabupaten Buru harus segera merampungkan pembangunan dan melengkapi sarana dan prasarana transportasi yang telah ada untuk menunjang pengembangan wilayah ini sebagai wilayah pelabuhan umum. Namum
apabila
Pemerintah
Daerah
Kabupaten Buru
akan
tetap
mengembangkan kawasan pelabuhan Namlea yang telah ada untuk tetap menjadi kawasan pelabuhan umum, maka diharapkan agar pemerintah setempat unutk terlebih dahulu membuat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang jelas terhadap wilayah tersebut, karena wilayah perairan yang berada tepat di depan lokasi pelabuhan yang ada saat ini merupakan daerah terumbu karang yang dapat menghalangi alur pelayaran kapal-kapal yang masuk atau keluar dari wilayah pelabuhan, terutama kapal-kapal PELNI yang memiliki ukuran diatas 6.385 DWT dengan draft kapal diatas 7 meter. Hal ini diperkuat dengan hasil pantauan Citra Satelit Landsat 7 ETM+ pada tanggal 15 September 2005, yang menunjukkan bahwa pada wilayah perairan ini terdapat beberapa terumbu karang (seluas 6,251 ha) yang berada pada alur pelayaran kapal-kapal yang menuju dan keluar dari dermaga pelabuhan pada koordinat antara 3O 16’ – 3O 17’ LS dan 127O 4’ – 127O 5’ BT. Dari kondisi ini, maka pemerintah setempat harus mengeruk terumbu karang tersebut sehingga kedalaman perairan tersebut dapat sesuai untuk alur pelayaran kapal yang berkisar antara 12 – 15 meter. Apabila hal ini dilaksanakan, maka kompensasi terhadap pengganti terumbu karang yang dikeruk juga harus dilakukan yakni dengan membuat terumbu karang buatan pada wilayah yang sesuai. Selain itu alternatif lain yang dapat dilakukan adalah dengan mengaktifkan rambu-rambu navigasi pelayaran yang telah ada di wilayah perairan ini, seperti lampu suar dan lainnya, sehingga olah gerak kapal dapat baik saat akan menuju dan meninggalkan dermaga.
77
Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai Kesesuaian lahan untuk kawasan pelabuhan perikanan pantai diperoleh dari analisis parameter-parameter kesesuaian lahan untuk kawasan ini, yang meliputi 12 parameter, dimana 7 parameter yang digunakan untuk menganalisis kesesuaian lahan di wilayah perairan yaitu kedalaman perairan, material dasar perairan, tinggi gelombang, kecepatan arus, amplitudo pasut, tipe pasut dan keterlindungan. 2 parameter untuk kesesuaian lahan untuk wilayah daratan yaitu kemiringan lahan dan fasilitas sarana prasarana transportasi. Sementara 3 parameter digunakan untuk penilaian kriteria teknis perikanannya yaitu produktivitas perikanan, jarak dari fishing ground dan jarak ke pemukiman nelayan. Proses analsis kesesuaian lahan untuk penentuan kesesuaian lahan pelabuhan perikanan pantai dilakukan dengan cara penggabungan kesesuaian wilayah daratan (pemukiman umum) untuk kategori sesuai dengan luas 19.912,16 ha dengan wilayah perairan yang disesuaikan dengan kriteria kesesuaiannya dan berdasarkan pertimbangan kriteria teknis perikanannya. Berdasrkan hasil analisis spasial yang dilakukan terhadap parameterparameter kesesuaian lahan tersebut di atas, diketahui bahwa total luas perairan yang masuk dalam kategori sangat sesuai untuk dilalui kapal dalam penentuan kawasan pelabuhan perikanan pantai adalah seluas 29,894 mil2 atau 77,425 km2, sedangkan luas wilayah daratan yang sesuai untuk pembangunan sarana dan prasarana pelabuhan perikanan adalah 19.912,6 ha. Wilayah perairan dengan kategori ini dicirikan dengan karakteristik sebagai berikut : memiliki kedalaman perairan > 9 meter, material dasar perairannya adalah lempung berpasir, tinggi geombang antara 0 – 20 cm, kecepatan arus berkisar antara 0 – 20 cm/detik, amplitudo pasut berkisar antara 0 – 0,5 meter, tipe pasutnya adalah pasut harian tunggal, dan keterlindungannya adalah pada daerah yang perairannya sangat terlindung. Untuk wilayah daratan bagi pembangunan sarana dan prasarana pelabuhan perikanan, memiliki karakteristik wilayah yang kemiringan lahannya antara 0 – 2 % dan fasilitas transportasinya diberikan nilai 3 bagi daerah yang sarana dan prasarana transportasinya telah tersedia dan mudah untuk dijangkau. Sementara itu, untuk aspek teknis perikanannya memiliki produksi perikanan
78
> 800 ton/tahun, jarak dari fishing ground < 5 mil, dan jarak ke pemukiman nelayan < 5 km. Untuk kesesuaian lahan dengan kategori sesuai, total luas perairan untuk dilalui kapal adalah seluas 0,602 mil2 atau 1,559 km2, sedangkan total luas wilayah daratan yang sesuai untuk pembangunan sarana dan prasarana pelabuhan perikanan pantai adalah seluas 19.912,6 ha. Wilayah peraian dengan kategori ini dicirikan dengan karakteristik sebagai berikut : memiliki kedalaman perairan antara 6 – 9 meter, material dasar perairannya adalah pasir berlumpur, tinggi gelombang antara 21 – 40 cm, kecepatan arus antara 21 – 30 cm/detik, amplitudo pasut antara 0,6 – 1,5 meter, tipe pasutnya adalah pasut campuran tunggal, dan keterlindungannya adalah pada daerah yang perairannya terlindung. Untuk wilayah daratannya, memiliki karakteristik wilayah yang kemiringan lahannya antara 0 – 2 % dan untuk fasilitas transportasinya diberikan nilai 2 bagi daerah yang sarana dan prasarana transportasinya telah tersedia. Untuk aspek teknis perikanannya, memiliki tingkat produksi perikanan antara 600 – 800 ton/tahun, jarak dari fishing ground antara 6 – 12 mil, dan jarak ke pemukiman nelayannya antara 5 – 10 km. Untuk kesesuaian lahan dengan kategori sesuai bersyarat, total luas peraiaran yang sesuai bersyarat untuk dilalui kapal adalah seluas 7,349 mil2 atau 19,034 km2, sedangkan total luas wilayah daratan yang sesuai untuk pembangunan sarana dan prasarana pelabuhan perikanan adalah seluas 19.912,6 ha.
Wilayah perairan dengan kategori sesuai bersyarat ini dicirikan dengan
karakteristik sebagai berikut : memiliki kedalaman perairan antara 3 – 6 meter, material dasar perairannya adalah pasir berkarang, tinggi gelombangnya antara 41 – 50 cm, kecepatan arusnya berkisar antara 31 – 40 cm/detik, amplitudo pasut antara 1,6 – 2 meter, tipe pasutnya adalah pasut campuran ganda, dan keterlindungannya adalah pada daerah yang perairannya terlindung tetapi cenderung terbuka. Untuk wilayah daratannya, memiliki karakteristik wilayah yang kemiiringan lahannya antara 0 – 2 % dan untuk fasilitas transportasinya diberikan nilai 1 pada daerah yang sarana dan prasarana transportasinya sedang atau baru akan dibangun. Untuk aspek teknis perikanannya, memiliki tingkat
79
produksi perikanan antara 400 – 600 ton/tahun, jarak dari fishing ground antara 12 – 15 mil, dan jarak dari pemukiman nelayannya antara 11 – 15 km. Untuk kesesuaia lahan dengan kategori tidak sesuai, totaluas perairan yang tidak sesuai untuk dilalui kapal adalah seluas 15,548 mil2 atau 40,269 km2, sedangkan total luas wilayah yang sesuai untuk pembangunan sarana dan prasarana pelabuhan perikanan adalah 19.912,6 ha. Wilayah perairan dengan katogori ini dicirikan dengan karakteristik sebagai berikut : memiliki kedalaman perairan < 3 meter, material dasar perairannya adalah karang, tinggi gelombangnya > 50 cm, kecepatan arusnya > 40 cm/detik, amplitudo pasutnya > 2 meter, tipe pasutnya adalah pasut campuran ganda, dan keterlindungannya adalah daerah yang berada pada daerah perairan yang terbuka. Untuk wilayah daratannya,
memiliki
karakteristik
wilayah
dengan
kemiringan
lahan
antara 0 – 2 % dan untuk fasilitas transportasinya tidak diberi nilai pada daerah yang belum memiliki sarana dan prasarana transportasi. Sementara itu, untuk aspek teknis perikanannya, merupakan daerah yang memiliki tingkat produksi perikanan yang < 400 ton/tahun, jarak dari fishing ground > 15 mil, dan jarak dari pemukiman nelayannya > 15 km. Untuk jelasnya, peta hasil analisis kesesuaian lahan untuk kawasan pelabuhan perikanan pantai dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru dapat dilihat pada Gambar 15. Berdasarkan hasil analisis spasial kesesuaian lahan untuk penentuan kawasan pelabuhan perikanan pantai dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru, maka kebijakan yang saat ini telah ditempuh dan dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Buru dalam menetapkan wilayah pesisir sekitar Desa Masarete (Kecamatan Waeapo) sebagai wilayah pelabuhan perikanan telah memenuhi kriteria sangat sesuai untuk dikembangkan sebagai wilayah pelabuhan perikanan pantai. Salah satu hal yang juga menjadi catatan penting untuk diperhatikan oleh pemerintah setempat adalah pembenahan dan peningkatan sarana dan prasarana transportasi jalan yang telah ada, sehingga aksesibilitas dan mobilisasi barang maupun jasa menuju dan dari daerah pelabuhan perikanan dapat dilakukan secara maksimal, yang pada akhirnya akan meningkatkan kegiatan produksi perikanan di daerah ini.
80
80
Gambar 15. Peta Kesesuaian Lahan Untuk Kawasan Pelabuhan Perikanan Pantai di Wilayah Pesisir Kabupaten Buru.
81
Selain
kebijakan
pembangunan
pelabuhan
perikanan
yang
telah
dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Buru saat ini, alternatif kebijakan lain yang dapat ditempuh oleh pemerintah setempat dalam penentuan kawasan pelabuhan perikanan pantai adalah di sekitar wilayah pesisir Desa Sanleko (Kecamatan Namlea). Pemilihan wilayah ini sebagai kawasan pelabuhan perikanan pantai, dikarenakan wilayah ini termasuk dalam kategori sesuai bersyarat, dimana apabila wilayah ini dijadikan sebagai kawasan pelabuhan perikanan pantai, maka faktor sedimentasi yang terjadi disekitar wilayah perairan ini harus menjadi perhatian tersendiri. Hal ini menjadi alasan penting karena berdasarkan hasil pantauan Citra Satelit Landsat 7 ETM+ pada tanggal 15 September 2005 (lihat Gambar 8), terlihat bahwa sedimentasi yang berasal dari Sungai Waeapo yang terbawa oleh arus masuk mengarah ke perairan di sekitar wilayah ini, sehingga akan menjadi permasalahan tersendiri dalam pengembangan daerah ini sebagai kawasan pelabuhan perikanan pantai.
Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Budidaya Air Payau dengan Tambak Konvensional Kesesuaian lahan untuk kawasan budidaya air payau dengan tambak konvensional diperoleh dari analisis parameter-parameter kesesuaian lahan untuk kawasan ini, yang meliputi 9 parameter, yaitu kemiringan lahan, jenis tanah, fisiografi wilayah, salinitas, amplitudo pasut, jarak dari sungai, jarak dari pantai, jarak dari jalan dan landuse. Berdasarkan hasil analisis spasial yang dilakukan terhadap parameterparameter tersebut, diketahui bahwa kategori lahan yang sangat sesuai untuk kegiatan budidaya tambak sebagian besar berada di wilayah pesisir Teluk Kaiely. Sebaran wilayah yang masuk dalam kategori ini mulai dari daerah di sekitar dermaga Namlea hingga wilayah Dusun Waetose Desa Masarete, sebagian wilayah pesisir antara Desa Jikumerasa dan Desa Ubung, dengan total luas lahan yang sangat sesuai adalah seluas 8.764,110 ha. Wilayah yang masuk dalam kategori ini ini umumnya berada di wilayah Kecamatan Namlea dan Waeapo, dengan dicirikan oleh karakteristik wilayah sebagai berikut : memiliki kemiringan lahan antara 0 – 2 % (datar), jenis tanahnya adalah alluvial, fisiografi wilayahnya
82
adalah merupakan dataran pasang surut, jarak dari sungainya < 500 meter, jarak dari jalan < 1.000 meter, jarak dari pantai < 2.000 meter, salinitas perairannya antara 15 – 25 ppm (untuk sungai Waeapo yang mesuplai air tawar, salinitasnya berkisar antara 2 – 12 ppm), amplitudo pasutnya berkisar antara 0,8 – 1 meter, dan landusenya adalah sebagai rawa air asin. Untuk kesesuaian lahan dengan kategori sesuai bagi kawasan budidaya tambak, umumnya tersebar wilayah Kecamatan Namlea, seperti di Desa Namlea, Jikumerasa, Ubung, Lala, Sanleko, dan Jamilu, sedangkan di wilayah Kecamatan Waeapo terdapat di sekitar wilayah Masarete, Waelapia dan Seith. Total luas lahan yang masuk dalam kategori ini adalah seluas 38.028,800 ha, yang dicirikan dengan karakteristik wilayah sebagai berikut : memiliki kemiringan lahan antara 2 – 8 % (datar dengan sedikir bergelombang), jenis tanahnya adalah alluvial, fisiografi wilayahnya adalah mewrupakan dataran pasang surut, jarak dari sungainya antara 500 – 2.000 meter, jarak dari jalan antara 1.000 – 2.000 meter, jarak dari pantai antara 2.000 – 4.000 meter, salinitas perairannya antara 25 – 35 ppm (untuk muara sungai Waeapo, salinitasnya berkisar antara 2 – 12 ppm), amplitudo pasutnya berkisar antara 1,0 – 1,5 meter, dan landusenya adalah sebagai cadangan pengembangan, sawah, semak belukar dan alang-alang. Untuk kesesuaian lahan dengan kategori tidak sesuai umumnya berada di wilayah yang memiliki topografi wilayah yang agak berbukit hingga berbukit, seperti yang terdapat di sebagian wilayah Desa Namlea, Jamilu, Sanleko, sebagian desa Waelapia, Seith, dan sebagian besar wilayah pesisir Kecamatan Batabual. Total luas lahan dengan kategori ini adalah seluas 136.159,090 ha, yang dicirikan dengan karakteristik sebagai berikut : memiliki kemiringan lahan yang > 8 % (agak berbukit), jenis tanahnya adalah podsolik, fisiografi wilayahnya adalah merupakan wilalayah perbukitan, jarak dari sungainya > 2.000 meter, jarak dari jalan > 2.000 meter, jarak dari pantai > 4.000 meter, dan landusenya adalah sebagai hutan lindung, hutan produksi, hutan suaka alam, kebun campuran, rawa air tawar, pengembangan industri dan pengembangan perkotaan. Untuk jelasnya, peta hasil analisis kesesuaian lahan untuk kawasan budidaya air payau dengan tambak konvensional dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru dapat dilihat pada Gambar 16.
83
83
Gambar 16. Peta Kesesuaian Lahan Untuk Kawasan Budidaya Air Payau dengan Tambak Konvensional di Wilayah Pesisir Kabupaten Buru.
84
Pengembangan usaha budidaya air payau dengan tambak konvensional yang dilaksanakan di wilayah pesisir Kabupaten Buru, hendaknya memperhatikan berbagai faktor-faktor kesesuaian lahan sebagaimana yang disebutkan dalam analisis kesesuaian lahan di atas, sehingga kegiatan budidaya tambak ini dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan dan memiliki nilai produksi yang maksimal. Hal ini cukup beralasan mengingat produksi perikanan di Kabupaten Buru masih di dominasi oleh kegiatan perikanan tangkap, sementara produksi perikanan dari bidang budidaya, terutama budidaya tambak masih sangat rendah, dimana hingga tahun 2006 luas area tambak rakyat yang tersedia masih seluas 20 ha yang melibatkan 20 RTP. Ini merupakan salah satu peluang yang sangat besar bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Buru untuk dapat meningkatkan sektor perikanan tambak menjadi lebih maju, dengan ditunjang oleh luas wilayah yang masih sangat besar untuk dikembangkan menjadi kawasan budidaya tambak. Selain itu, pemanfaatan teknologi yang tepat juga akan memberikan pengaruh yang besar terhadap tingkat keberhasilan usaha dan jumlah produksi yang dihasilkan dari kegiatan perikanan budidaya ini. Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Budidaya Keramba Jaring Apung Kesesuaian lahan untuk kawasan budidaya keramba jaring apung diperoleh dari analisis parameter-parameter kesesuaian lahan untuk kawasan ini, yang meliputi 9 parameter, yaitu kecepatan arus, tinggi pasang surut, kedalaman air dari dasar jaring, pH perairan, oksigen terlarut, salinitas perairan, suhu perairan, nitrat dan phosphat. Berdasarkan hasil analisis spasial yang dilakukan terhadap parameterparameter tersebut, diketahui bahwa kategori lahan yang sangat sesuai untuk kegiatan budidaya keramba jaring apung berada di wilayah Kecamatan Namlea dan Batabual, yakni di wilayah pesisir Desa Namlea hingga Desa Jamilu dan Desa Masarate hingga Desa Waelapia, dengan total luas perairan yang masuk dalam kategori ini adalah seluas 18,666 mil2 atau 48,345 km2. Wilayah perairan yang termasuk dalam kategori ini dicirikan dengan karakteristik wilayah sebagai berikut : memiliki kedalaman air dari dasar jaring > 10 meter, suhu perairan antara 30 – 32
O
C, salinitas perairannya > 30 ppm, kecepatan arus berkisar antara
85
10 – 13 cm/detik, tinggi pasang surut > 1 meter, pH perairannya 8, oksigen terlarut > 6 ppm, kadar nitrat < 0,1 mg/liter, dan kadar phosphat < 0,1 mg/liter. Untuk kesesuaian lahan dengan kategori sesuai bagi kawasan budidaya keramba jaring apung, total luas perairannya adalah seluas 9,054 mil2 atau 23,450 km2. Wilayah perairan yang masuk dalam kategori ini dicirikan dengan karakteristik sebagai berikut : memiliki kedalaman air dasar jaring antara 4 – 10 meter, suhu perairan antara 28 – 30 OC, salinitas perairannya antara 20 – 30 ppm, kecepatan arus berkisar antara 3,8 – 10 cm/detik, tinggi pasang surut antara 0,5 – 1 meter, pH perairan antara 6 – 9, oksigen terlarut antara 3 – 5 ppm, kadar nitrat antara 0,1 – 0,9 mg/liter, dan kadar phosphat antara 0,1 – 0,9 mg/liter. Untuk kesesuaian lahan dengan kategori tidak sesuai, total luas perairannya adalah seluas 17,730 mil2 atau 45,920 km2. Wilayah perairan yang masuk dalam kategori ini dicirikan dengan karakteristik sebagai berikut : memiliki kedalaman air dari dasar jaring < 4 memiliki kedalaman air dari dasr jaring < 4 meter, temperatur perairannya < 28 OC, salinitas perairannya < 20 ppm, kecepatan arus < 3,8 cm/detik, tinggi pasang surutnya < 0,5 meter, pH perairan < 6 dan > 9, oksigen terlarut < 3 ppm, kadar nitrat > 0,9 mg/liter, dan kadar phosphat > 0,9 mg/liter. Untuk jelasnya, peta hasil analisis kesesuaian lahan untuk kawasan budidaya keramba jaring apung dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru dapat dilihat pada Gambar 17. Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Budidaya Rumput Laut Kesesuaian lahan untuk kawasan budidaya rumput laut diperoleh dari analisis parameter-parameter kesesuaian lahan untuk kawasan ini, yang meliputi 7 parameter, yaitu kecepatan arus, tinggi gelombang, material dasar perairan, kedalaman perairan, pH perairan, salinitas perairan, dan suhu perairan. Berdasarkan hasil analisis spasial yang dilakukan terhadap parameterparameter tersebut, diketahui bahwa kategori lahan yang sangat sesuai untuk kegiatan budidaya rumput laut berada di sekitar perairan Kecamatan Namlea, Desa Namlea (dusun Batu Boy), Desa Siahoni, Desa Jamilu, dan sebagian wilayah perairan di sekitar Desa Waelapia di Kecamatan Waeapo. Total luas perairan yang
86
Gambar 17. Peta Kesesuaian Lahan Untuk Kawasan Budidaya Keramba Jaring Apung di Wilayah Pesisir Kabupaten Buru. 86
87
masuk dalam kategori ini adalah seluas 6,047 mil2 atau 15,662 km2. Wilayah perairan yang masuk dalam kategori sangat sesuai dicirikan dengan karakteristik sebagai berikut : memiliki kecapatan arus antara 20 – 30 cm/detik, tinggi gelombang antara 0 – 15 cm, material dasar perairannya adalah pasir, karang dan lamun, kedalaman perairannya antara 1,0 – 2,5 meter, pH perairan berkisar antara 7,5 – 8, salinitas perairannya antara 32 – 34 ppm, dan suhu perairannya antara 24 – 29 OC. Untuk kesesuaian lahan dengan kategori sesuai bagi kawasan budidaya rumput laut, total luas perairannya adalah seluas 24,747 mil2 atau 64,094 km2. Wilayah perairan yang masuk dalam kategori ini dicirikan dengan karakteristik sebagai berikut : kecapatan arusnya antara 30 – 40 cm/detik, tinggi gelombang berkisar antara 15 – 25 cm, material dasar perairannya adalah pasir, karang dan lamun, kedalaman perairannnya antara 2,5 – 2,7 meter, pH perairannya 7 – 7,5 dan 8 – 8,5, salinitas perairannya antara 30 – 32 ppm, dan suhu perairannya antara 29 – 30 OC. Untuk kesesuaian lahan dengan kategori sesuai bersyarat, total luas perairannya adalah seluas 14,384 mil2 atau 37,254 km2. Wilayah perairan dengan kategori ini dicirikan dengan karakteristik sebagai berikut : kecepatan arusnya antara 30 – 40 cm/detik, tinggi gelombangnya berkisar antara 25 – 35 cm, material dasar
perairannya
adalah
pasir
berkarang,
kedalaman
perairannya
antara 2,7 – 10 meter, pH perairannya 7 – 7,5 dan 8 – 8,5, salinitas perairannya antara 28 – 30 ppm, dan suhu perairannya antara 30 – 31 OC. Untuk jelasnya, peta hasil analisis kesesuaian lahan untuk kawasan budidaya rumput laut dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru dapat dilihat pada Gambar 18. Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Pariwisata Pantai Kesesuaian lahan untuk kawasan pariwisata pantai diperoleh dari analisis parameter-parameter kesesuaian lahan untuk kawasan ini, yang meliputi 8 parameter, yaitu kedalaman perairan, material dasar perairan, kecepatan arus, kecerahan perairan, jarak dari pantai, penutupan lahan pantai (vegetasi pantai), jarak dari sungai, dan jarak dari sumber pencemar.
88
88
Gambar 18. Peta Kesesuaian Lahan Untuk Kawasan Budidaya Rumput Laut di Wilayah Pesisir Kabupaten Buru.
89
Berdasarkan hasil analisis spasial yang dilakukan terhadap parameterparameter kesesuaian lahan untuk penentuan kawasan pariwisata pantai dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir di Kabupaten Buru, diketahui bahwa kategori lahan yang sangat sesuai untuk kegiatan pariwisata pantai tersebar sekitar wilayah pesisir Kecamatan Namlea (Desa Sawa, Jikumerasa, dan Namlea) serta sebagian wilayah pesisir kecamatan Waeapo yakni di sekitar pesisir Desa Masarete dan sebagian wilayah pesisir antara Desa Waelapia dan Desa Seith (Kecamatan Batabual). Total luas lahan pesisir yang masuk dalam kategori ini adalah seluas 939,952 ha. Wilayah yang masuk dalam kategori ini dicirikan dengan karakteristik lahan sebagai berikut : kedalaman perairannya berkisar antara 0 – 5 meter, material dasar perairannya adalah pasir, kecepatan arusnya antara 10 – 13 meter/detik, kecerahan perairannya tinggi (> 75 %), jarak dari pantainya < 100 meter, penutupan lahan pantai (vegetasi pantai) adalah pohon kelapa dan sedikit lahan terbuka, jarak dari sungai < 500 meter, dan jarak dari sumber pencemar > 5.000 meter. Untuk kesesuaian lahan dengan kategori sesuai, diketahui tersebar hampir di seluruh wilayah pesisir daerah kecamatan yang menjadi lokasi penelitian. Total luas lahan pesisir yang masuk dalam kategori ini adalah seluas 4.527,025 ha. Wilayah yang termasuk dalam kategori ini dicirikan dengan karakteristik lahan sebagai berikut : kedalaman perairannya antara 5 – 10 meter, material dasar perairannya
adalah
karang
berpasir,
kecepatan
arusnya
antara 3,8 – 10 meter/detik, kecerahan perairannya sedang (> 50 – 75 %), jarak dari pantai antara 100 – 200 meter, penutupan lahan pantai (vegetasi pantai) adalah semak, belukar rendah dan savana dengan sedikit lahan terbuka, jarak dari sungai antara 500 – 2.000 meter, dan jarak dari sumber pencemar adalah 2.000 – 5.000 meter. Untuk kesesuaian lahan dengan kategori tidak sesuai, diketahui berada di sekitar wilayah yang pesisir yang berdekatan dengan muara Sungai Waeapo di Kecamatan Waeapo dan sebagian di wilayah Tanjung Kayu Putih di Kecamatan Batabual, dengan total luas lahan adalah seluas 1.106,405 ha. Wilayah yang termasuk dalam kategori ini dicirikan dengan karakteristik lahan sebagai berikut : kedalaman perairannya > 10 meter, material dasar perairanya adalah lumpur,
90
kecepatan arusnya > 3,8 meter/detik, kecerahan perairannya rendah (< 25 %), jarak dari pantainya > 200 meter, penutupan lahan pantai (vegetasi pantai) adalah hutan bakau, wilayah pemukiman dan pelabuhan, jarak dari sungai > 2.000 meter, dan jarak dari sumber pencemar < 2.000 meter. Untuk jelasnya, peta hasil analisis kesesuaian lahan untuk kawasan pariwisata pantai dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru dapat dilihat pada Gambar 19. Permasalahan utama yang harus menjadi perhatikan oleh pemerintah Kabupaten Buru dalam pengembangan kawasan pariwisata pantai pada saat ini adalah penyediaan sarana dan prasarana penunjang kegiatan wisata dimaksud. Ketersediaan sarana dan prasarana yang disesuaikan dengan bentuk wisata pantai pada setiap wilayah yang dinilai sesuai dengan kategori kesesuaian wilayahnya, akan memberikan dampak yang signifikan terhadap berbagai usaha pengelolaan dan pemanfaatan kawasan tersebut seebagai wilayah kelola pariwisata pantai. Apabila pengembangan kawasan pariwisata pantai yang ditempuh oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Buru secara cermat dan tepat, yang disesuaikan dengan ketersediaan dan kesesuaian lahan, akan memberikan dampak yang positif terhadap pola pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru, dimana berbagai sektor pembangunan baik secara ekonomi maupun sosial budaya, dapat meningkat dengan tetap memperhatikan daya dukung dan fungsi lingkungan yang dimiliki. Selain itu, kebijakan yang ditempuh juga akan memberikan implikasi yang cukup besar dalam peningkatan pendapatan masyarakat yang bermuara pada peningkatan pendapatan asli daerah ini. Hal penting lainnya yang harus diperhatikan adalah sistem pengelolaan dan pemanfaatan wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan pariwisata pantai, hendaknya memperhatikan secara tepat fungsi lingkungan dan sumberdaya alam yang terdapat di wilayah tersebut, sehingga kelestarian sumberdaya alam dapat tetap terjaga, dan pengembangan kawasan ini dapat berkelanjutan.
91
91
Gambar 19. Peta Kesesuaian Lahan Untuk Kawasan Pariwisata Pantai di Wilayah Pesisir Kabupaten Buru.
92
Kesesuaian Lahan untuk Kawasan Konservasi Kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi (mangrove dan terumbu karang) diperoleh dari analisis parameter-parameter kesesuaian lahan untuk kawasan ini, yang meliputi 8 parameter, jarak dari pantai, vegetasi pantai, kemiringan lahan, vegetasi laut, salinitas perairan, suhu perairan, tekanan penduduk, dan aspirasi masyarakat. Berdasarkan hasil analisis spasial yang dilakukan terhadap parameterparameter kesesuaian lahan untuk penentuan kawasan konservasi dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir di Kabupaten Buru, diketahui bahwa kategori lahan yang sangat sesuai untuk kawasan konservasi mangrove tersebar wilayah Kecamatan Namlea dan Waeapo, dimana wilayah konservasi mangrove terbesar berada di sekitar Sungai Waeapo, dengan total luas wilayah konservasi mangrove yang masuk dalam kategori sangat sesuai adalah seluas 792,872 ha. Sementara itu, untuk kawasan konservasi terumbu karang yang masuk dalam kategori sangat sesuai, berada di depan wilayah perairan Desa Namlea dan Siahoni serta sebagian di perairan Dusun Waetose (Desa Waelapia), dengan total luas wilayah yang termasuk dalam kategori ini adalah seluas 0,548 mil2 atau 1,419 km2. Wilayah konservasi yang masuk dalam kategori ini dicirikan dengan karakteristik sebagai berikut : memilki jarak dari pantai < 100 meter, vegetasi pantai adalah mangrove, kemiringan lahannya antara 0 – 15 %, vegetasi lautnya adalah karang hidup, salinitas
perairannya
antara 29 – 30
berkisar
antara
30
–
32
ppm,
suhu
perairan
O
C, tekanan penduduknya sangat serius, dan aspirasi
masyarakatnya sangat mendukung terhadap kegiatan konservasi. Untuk kesesuaian lahan dengan kategori sesuai, total luas lahan yang sesuai untuk konservasi mangrove adalah seluas 1.110,614 ha, sedangkan untuk konservasi terumbu karangnya adalah seluas 1,261 mil2 atau 3,266 km2. Wilayah konservasi yang masuk dalam kategori ini dicirikan dengan karakteristik sebagai berikut : memiliki jarak dari pantai antara 100 – 150 meter, vegetasi pantainya adalah mangrove, kemiringan lahannya antara 15 – 25 %, vegetasi laut adalah karang hidup, salinitas perairannya berkisar antara 32 – 34 ppm, suhu perairan antara 30 – 33 OC, tekanan penduduknya serius, dan aspirasi masyarakatnya mendukung terhadap kegiatan konservasi.
93
Untuk kesesuaian lahan dengan kategori sesuai bersyarat, total luas wilayah konservasi mangrove yang masuk dalam kategori ini adalah seluas 885,623 ha, sedangkan untuk wilayah konservasi terumbu karang yang termasuk dalam kategori ini adalah seluas 1,410 mil2 atau 3,652 km2. Wilayah dengan kategori ini dicirikan
dengan
karakteristik
sebagai
berikut
:
jarak
dari
pantainya
antara 150 – 200 meter, vegetasi pantainya adalah mangrove, kemiringan lahan antara
25 – 40 %, vegetasi lautnya adalah karang hidup, salinitas perairannya
berkisar antara 30 – 31 ppm, suhu perairan berkisar antara 28 – 29 OC, tekanan penduduknya kurang serius, dan aspirasi masyarakatnya kurang mendukung terhadap kegiatan konservasi. Untuk kesesuaian lahan dengan kategori tidak sesuai, total luas wilayah konservasi mangrove yang termasuk dalam kategori ini adalah seluas 600,631 ha, sedangkan total luas wilayah untuk konservasi terumbu karang yang termasuk dalam kategori ini adalaha seluas 0,573 mil2 atau 1,484 km2. Wilayah yang termasuk dalam kategori ini dicirikan dengan karakteristik wilayah sebagai berikut : memiliki jarak dari pantai > 200 meter, vegetasi pantainya adalah semak belukar, kemiringan lahan yang > 40 %, vegetasi lautnya adalah karang mati, salinitas perairannya < 30 ppm dan > 34 ppm, suhu perairannya < 27 OC dan > 33 OC, tekanan penduduknya tidak serius, dan aspirasi masyarakatnya tidak mendukung terhadap kegiatan konservasi. Untuk jelasnya, peta hasil analisis kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi mangrove dan terumbu karang dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru dapat dilihat pada Gambar 20. Berdasarkan pada hasil analisis kesesuaian lahan dengan kategori-kategori kesesuaian lahan sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, maka apabila Pemerintah Daerah Kabupaten Buru dalam kebijakan pembangunan dan pengembangan wilayahnya menetapkan wilayah-wilayah yang menjadi kawasan pelabuhan, baik pelabuhan umum maupun pelabuhan perikanan pantai, maka keberadaan ekosistem mangrove dan terumbu karang yang berada di wilayah sekitarnya harus menjadi perhatian tersendiri, sehingga kebijakan untuk melakasnakan kegiatan konservasi terhadap ekosistem tersebut dapat dilaksanakan dengan tepat.
94
94
Gambar 20. Peta Kesesuaian Lahan Untuk Kawasan Konservasi Mangrove dan Terumbu Karang di Wilayah Pesisir Kabupaten Buru.
95
Sebagaimana yang telah diketahui sebelumnya, bahwa wilayah terumbu karang yang berada di sekitar perairan Desa Masarete, merupaka ekosistem yang memiliki potensi yang sangat baik dan termasuk dalam kategori sangat sesuai untuk dilakukan kegiatan konservasi terhadap ekosistem terumbu karang di wilayah ini. Akan tetapi, dengan melihat pada kebijakan pemerintah setempat yang menetapkan wilayah ini sebagai wilayah pelabuhan perikan, serta lokasi berdirinya cold storage bagi kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Buru, maka direkomendasikan untuk tidak dilakukan konservasi terhadap terumbu karang di wilayah ini. Hal ini dikarenakan apabila keberadaan pelabuhan perikanan ini semakin meningkat dalam kegiatan produksinya, maka berbagai aktifitas yang berlangsung di wilayah ini akan mempengaruhi keberadaan ekosistem terumbu karangnya, seperti sedimentasi akibat pembukaan lahan, adanya tumpahan minyak dan pembuangan air balas dari kapal-kapal yang beraktifitas di lokasi ini, dan aktifitas lainnya. Selain itu, kebijakan ini juga dapat memberikan keharmonisan dalam penataan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru untuk pemanfaatan lahan bagi kegiatan konservasi dan kegiatan pembangunan pelabuhan perikanan pantai di lokasi yang sama. Dalam mencapai pengelolaan ekosistem mangrove dan terumbu karang yang lestari dan berkelanjutan, maka diperlukan suatu kebijakan yang nantinya dijadikan acuan bagi pelaksanaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove dan terumbu karang, khususnya dari seluruh stakeholder. Adapun kebijakan yang dapat ditempuh oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Buru dalam menangani pengelolaan ekosistem pesisir dan lautan khususnya pengelolaan ekosistem mangrove dan terumbu karang, adalah : a) Perlu melakukan sosialisasi secara intensif kepada masyarakat umum tentang tujuan, fungsi, dan manfaat dari pengelolaan ekosistem mangrove dan terumbu karang yang berwawasan lestari dan berkelanjutan. b) Perlu melakukan bimbingan, penyuluhan dan pelatihan kepada seluruh stakeholder yang berkepentingan terhadap ekosistem mangrove dan terumbu karang, terutama yang berkaitan dengan masalah konservasi.
96
c) Perlu membuat master plan pengelolaan ekosistem mangrove dan terumbu karang sehingga akan jelas daerah yang berfungsi sebagai daerah pemanfaatan, daerah perlindungan dan daerah penyangga. d) Dalam pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem mangrove dan terumbu karang, maka pengelolaannya tidak berdasarkan batas administratif tetapi harus dikelola secara ekologis dimana antara wilayah satu dengan lainnya sangat berhubungan. e) Perlu melibatkan seluruh stakeholder dalam merumuskan kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove dan terumbu karang, khususnya pengelolaan yang lebih banyak mementingkan kepentingan masyarakat pesisir. f) Hendaknya dalam pengelolaan ekosistem mangrove, maka ego sektoral baik itu pemerintah, swasta maupun lembaga lainnya harus dihilangkan karena segala pemanfaatan dan pengelolaan ekosistem mangrove dan terumbu karang sangat berkaitan antara satu dengan yang lainnya. g) Penegakkan hukum perlu diterapkan, khususnya bagi oknum masyarakat yang melakukan pengrusakan terhadap ekosistem mangrove dan terumbu karang, sehingga kelestarian sumberdaya dari kedua ekosistem tersebut dapat tetap dipertahankan dan dapat berkelanjutan dalam pengelolaannya. Peta Komposit Kesesuaian Lahan Berdasarkan pada hasil analisis kesesuaian lahan yang telah dilakukan di wilayah pesisir Kabupaten Buru, untuk ke delapan jenis penggunaan lahan sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, maka didapatkan adanya lokasi yang tumpang tindih (overlaping) untuk beberapa peruntukan. Dengan melakukan overlay terhadap peta-peta kesesuaian yang telah dihasilkan sebelumnya, maka diperoleh hasil berupa peta komposit, sebagaimana yang disajikan pada Gambar 21. Hasil overlay yang diperoleh dari peta komposit, menunjukkan adanya beberapa wilayah pesisir yang memiliki potensi pengembangan dan pemanfaatan yang sama bagi beberapa peruntukan kawasan. Dari Gambar 20 terlihat bahwa pemanfaatan lahan untuk pengembangan kawasan seperti kawasan pemukiman penduduk mengalami overlaping dengan
pengembangan
kawasan budidaya
tambak dan kawasan konservasi mangrove. Kondisi seperti ini juga ditemui pada
97
Gambar 21. Peta Komposit Kesesuaian Lahan di Wilayah Pesisir Kabupaten Buru 97
98
pengembangan kawasan budidaya keramba jaring apung dan kawasan budidaya rumput laut, demikian juga pada pengembangan kawasan pelabuhan umum, pelabuhan perikanan dan kawasan konservasi terumbu karang. Sementara itu untuk kawasan pariwisata pantai hanya terjadi sedikit tumpang tindih pengembangannya dengan kawasan budidaya rumput laut dan pelabuhan perikanan pantai. Kondisi pemanfaatan wilayah yang tumpang tindih seperti yang terlihat pada Gambar 21 di atas, akan memberikan peluang yang besar pada terjadinya konflik pengelolaan dan pemanfaatan ruang wilayah pesisir di Kabupaten Buru, jika tidak di tangani secara tepat. Selain itu, penetapan peraturan dan perundangundangan dalam pengelolaan wilayah pesisir pada tingkat kabupaten menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Buru dalam penetapan dan pengembangan kawasan pesisirnya, dan juga disertai dengan penguatan kelembagaan yang menangani masalah pengelolaan dan pemanfaatan ruang wilayah pesisir di Kabupaten Buru. Penetapan pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir Kabupaten Buru, hendaknya ditetapkan dalan suatu Rencana Tata Ruang Wilayah Pesisir, Laut dan Pulau-pulau Kecil pada tingkat kabupaten dengan mengacu kepada undangundang dan peraturan pemerintah tentang pengelolaan wilayah pesisir, seperti UU No. 27/2007 tentang Pengeloalaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan UU No. 26/2007 tentang Penatan Ruang, sehingga pemanfaatan wilayah yang memiliki kondisi yang tumpang tindih dapat dikelola dengan baik dan konflik pemanfaatan ruang yang dapat dihindari.
99
Analisis Pemecahan Konflik Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Proses penentuan alternatif kebijakan pemanfaatan ruang wilayah pesisir dalam pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Buru, dilakukan dengan menggunakan analisis terhadap komponen/faktor yang berpengaruh dalam pengambilan kebijakan pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru, yang dalam hal ini diwakili oleh pendapat dari aktor/pengguna lahan (stakeholder) yang dianggap memiliki keahlian atau yang memiliki kemampuan dan mengerti permasalahan terkait, serta yang dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Proses Hirarki Analitik (PHA) digunakan dalam menilai penentuan alternatif kebijakan pemanfaatan ruang wilayah pesisir di Kabupaten Buru, didasarkan pada tujuan dari penelitian ini, yakni dapat memberikan pertimbangan dan arahan dalam pengembangan dan perencanaan serta pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan kelautan untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan (sustained development) di Kabupaten Buru. Prinsip dalam penilaian PHA adalah membandingkan tingkat kepentingan prioritas antara satu elemen dengan elemen lainnya yang berada pada tingkatan atau level yang sama berdasarkan pertimbangan tertentu. Struktur yang dibangun terdiri dari 3 tingkatan keputusan, yaitu : (i) tujuan, (ii) kriteria, dan (iii) alternatif. (i) Tujuan Merujuk pada Pola Dasar Pembangunan Daerah Kabupaten Buru Tahun 2002 – 2006, Pemerintah Daerah Kabupaten Buru telah menetapkan beberapa kebijakan strategis dalam pengembangan dan pembangunan kabupaten ini, diantaranya penataan ruang wilayah, peningkatan kuwalitas sumberdaya manusia, peningkatan
sarana
dan
prasarana
pendukung
pengembangan
wilayah,
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan serta peningkatan peran kelembagaan. Khusus untuk masalah pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, hal ini dijabarkan lebih jauh dalam Strategi Bidang Pembangunan yang meliputi Bidang Ekonomi khususnya sub Bidang Perikanan dan Kelautan, serta Bidang Pembangunan Daerah khususnya Sub Bidang Penataan Ruang, dimana arahan yang diambil dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan secara optimal, terpadu dan berkelanjutan demi
100
peningkatan kesejahteraan masyarakat, pengendalian kerusakan lingkungan akibat berbagai pemanfaatan, penataan kawasan lingkungan menurut proporsinya dan penerapan teknologi yang ramah lingkungan. Dalam pelaksanaan seluruh kebijakan sebagaimana yang dijabarkan di atas, dipastikan akan muncul berbagai permasalahan dan konflik dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir antara satu sektor dengan sektor lainnya, tergantung pada besarnya nilai manfaat yang diberikan oleh wilayah tersebut bagi pelaksanaan pembangunan bagi setiap sektornya. Salah satu cara yang digunakan dalam menghindari terjadinya konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir tersebut adalah dengan menggunakan model Proses Hirarki Analitik (PHA). Tujuan yang ingin dicapai dalam analisis PHA dalam penelitian ini adalah merumuskan “ Prioritas Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Buru “ sehingga kebijakan pemanfaatan dan pembangunan antar sektor dapat dilaksanakan secara terencana, terpadu, terarah dan sistematis berdasarkan skala prioritas pemanfaatan yang dihasilkan. (ii) Kriteria Untuk mencapai tujuan di atas, yakni prioritas pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru, maka terdapat 4 kriteria pembangunan yang bekelanjutan, yang harus diperhatikan yaitu, (1) ketersediaan dan kesesuaian lahan, (2) kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan, (3) pengembangan wilayah ke masa yang akan datang, dan (4) kontinyuitas pembangunan. Hasil analisis pendapat gabungan responden yang telah diolah dengan menggunakan program Expert Choice 2000 dan Microsoft Excel 2003, menunjukkan besarnya kontribusi yang diberikan oleh masing-masing kriteria terhadap tujuan yang ingin dicapai, seperti terlihat pada Tabel 17 dan Gambar 22.
101
Tabel 17. Skala Prioritas Kriteria terhadap Tujuan dalam Penentuan Prioritas Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Buru. No.
KRITERIA
1
Ketersediaan dan kesesuaian lahan Kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan Pengembangan wilayah ke masa yang akan datang Kontinyuitas pembangunan
2 3 4
NILAI
BOBOT
PERSEN TASE
PRIORITAS
110
0,514
51,4 %
1
84
0,187
18,7 %
2
64
0,183
18,3 %
3
50 308
0,116 1
11,6 % 100 %
4
Sumber : Analisis Data Primer
Model Name: ANALISIS KEBIJAKAN
Priorities Priorities with withrespect respect to: to: Goal:Prioritas PrioritasPemanfaatan Pemanfaatan Ruang Ruang Wil... Wil... Goal:
Ketersediaandan danKesesuaian Kesesuaian La La Ketersediaan KelestarianSDA SDA dan danLingkungan Lingkungan Kelestarian PengembanganWilayah Wilayah Pengembangan Kontinyuitas Pembangunan Kontinyuitas Pembangunan Inconsistency = 0.08 Inconsistency = 0.08 with 0 missing judgments. with 0 missing judgments.
Combined Combined
.514 .514 .187 .187 .183 .183 .116 .116
Gambar 22. Diagram Batang Skala Prioritas Kriteria terhadap Tujuan dalam Penentuan Prioritas Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Buru. Berdasarkan pada Tabel 17 dan Gambar 22 di atas, terlihat bahwa secara hirarki, kriteria yang paling utama menurut para responden dalam mencapai tujuan dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru adalah ketersediaan dan kesesuaian lahan dengan jumlah nilai 110 (51,4 %). Ketersediaan dan kesesuaian lahan merupakan dasar dalam perumusan suatu kebijakan
pemanfaatan
ruang.
Budiharsono
(2001)
menyatakan
bahwa
pemahaman tentang bagaimana keputusan mengenai lokasi mutlak diperlukan jika ingin membahas kegiatan pada ruang dan menganalisis bagaimana suatu wilayah tumbuh dan berkembang. Keputusan mengenai lokasi yang diambil oleh unit-unit pengambil keputusan akan menentukan struktur tata ruang wilayah yang terbentuk.
102
Terkadang suatu kebijakan pembangunan dalam pemanfaatan ruang wilayah hanya didasarkan pada ketersedian lahan yang dimiliki tanpa mempertimbangkan kesesuaian penggunaan lahan, sehingga tidak jarang menimbulkan konflik dalam pemanfaatan ruang antara setiap sektor yang merasa memiliki kepentingan dalam pengembangan ruang wilayah tersebut. Kriteria yang merupakan prioritas kedua dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru adalah kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan, dengan jumlah nilai 84 (18,7 %). Kondisi ini menggambarkan bahwa, dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang dimiliki, perlu didukung oleh perangkat kebijakan pembangunan, baik sarana prasarana maupun perundang-undangan, yang memberikan manfaat bagi kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Selain itu, kaidah-kaidah pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan pada kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan juga perlu menjadi acuan dalam penentuan prioritas pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan, sehingga tidak terjadi pemanfaatan yang berlebih (over exploitation) bahkan mengarah pada degradasi sumberdaya alam dan lingkungan. Kriteria ketiga yang menjadi prioritas pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru adalah pengembangan wilayah ke masa yang akan datang dengan jumlah nilai 64 (18,3 %). Dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan wilayah, perubahan terhadap lingkungan dan sumberdaya alam yang terdapat didalamnya juga menjadi salah satu faktor yang berpengaruh. Perubahan waktu ke waktu secara alami dari suatu wilayah dipengaruhi oleh perubahan jumlah penduduk maupun sumberdayanya, sehingga perencanaan pola pembangunan dan pemanfaatan ruang wilayah pesisir juga perlu memperhatikan perubahan yang terjadi, oleh karena itu perencanaan terhadap pembangunan dan pengembangan wilayah ke masa yang akan datang akan tetap terarah, dimana penguatan sarana dan prasarana penunjang pembangunannya juga dapat tetap konsisten dan searah dengan ketersediaan sumberdaya alam dan sarana pendukung pengelolaan yang telah dibangun sebelumnya. Urutan terakhir dari prioritas kriteria dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru adalah kontinyuitas pembangunan dengan jumlah nilai 50 (11,6 %). Kontinyuitas pembangunan merupakan salah satu kriteria yang harus
103
diperhatikan mengingat semakin meningkatnya berbagai kegiatan pembangunan yang mempengaruhi sumberdaya alam dan lingkungan wilayah pesisir, baik secara langsung maupun tidak langsung, akan memberikan pengaruh yang besar dalam pola perencanaan dan pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir dan berbagai ekosistem yang mendukungnya, sehingga perencaanan pembangunan yang berkelanjutan harus diperhatikan. Dahuri (2004) mengemukakan bahwa, pembangunan berkelanjutan pada dasarnya merupakan suatu startegi pembangunan yang memberikan semacam ambang batas (limit) pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Ambang batas ini tidaklah bersifat mutlak (absolute), melainkan merupakan batas yang luwes (flexible) yang bergantung pada kondisi teknologi dan sosial ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam, serta kemampuan biosfer untuk menerima dampak kegiatan manusia. Dengan kata lain, pembangunan berkelanjutan adalah suatu strategi pemanfaatan ekosistem alamiah sedemikian rupa, sehingga kapasitas fungsionalnya untuk memberikan manfaat bagi kehidupan umat manusia tidak rusak. Pemanfaatan yang berkelanjutan adalah alternatif dari pengurangan sumberdaya yang terkait dengan eksploitasi besarbesaran untuk keuntungan jangka pendek. (iii) Alternatif Hasil dari keempat kriteria di atas selanjutnya dirumuskan kedalam 5 alternatif kebijakan pemanfaatan dan pembangunan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru yang dirasa perlu dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Buru adalah (1) kawasan pemukiman penduduk, (2) kawasan perikanan, (3) kawasan pelabuhan, (4) kawasan pariwisata pantai, dan (5) kawasan konservasi mangrove dan terumbu karang. Berdasarkan pada hasil analisis pendapat gabungan terhadap 16 responden yang merupakan stakeholder kunci yang dianggap memiliki keahlian atau yang memiliki kemampuan dan mengerti permasalahan terkait, serta yang dapat mempengaruhi pengambilan kebijakan, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam permasalahan pengelolaan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru, maka dalam penentuan prioritas alternatif kegiatan yang dapat dilakukan oleh
104
Pemerintah Daerah Kabupaten Buru yang didasarkan pada setiap kriteria yang telah dijelaskan di atas, adalah sebagai berikut : 1. Alternatif pengembangan kawasan berdasarkan kriteria ketersediaan dan kesesuaian lahan. Hasil analisis pendapat gabungan responden dalam penentuan prioritas bagi alternatif kegiatan pengembangan kawasan berdasarkan kriteria ketersediaan dan kesesuaian lahan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Buru, dapat dilihat pada Tabel 18 dan Gambar 23 berikut. Tabel 18. Skala Prioritas Berdasarkan Kriteria Ketersediaan dan Kesesuaian Lahan dalam Penentuan Prioritas Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Buru.
1
ALTERNATIF PENGEMBANGAN Kawasan Pemukiman Penduduk
2
Kawasan Perikanan
140
0,176
17,6 %
1
3
Kawasan Pelabuhan
138
0,109
10,9 %
2
4
Kawasan Pariwisata Pantai
116
0,057
5,7 %
5
5
Kawasan Konservasi Mangrove dan Terumbu Karang Jumlah
122
0,080
8,0 %
4
648
0,514
51,4 %
No.
NILAI
BOBOT
132
0,092
PERSEN TASE 9,2 %
PRIORITAS 3
Sumber : Analisis Data Primer Hasil analisis pendapat gabungan terhadap responden terlihat bahwa, untuk kriteria ketersediaan dan kesesuaian lahan bagi penentuan pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru, maka kawasan yang menempati urutan pertama dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir adalah kawasan perikanan dengan nilai 140 (17,6 %), kemudian diikuti oleh kawasan pelabuhan dengan nilai 138 (10,9 %), kawasan pemukiman penduduk dengan nilai 132 (9,2 %), kawasan konservasi mangrove dan terumbu karang dengan nilai 122 (5,7 %), dan pada urutan terakhir adalah kawasan pariwisata pantai dengan nilai 116 (5,7 %). Dengan demikian, maka total presentase bagi kriteria ketersediaan dan kesesuaian lahan terhadap tujuan pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru yang ingin dicapai bagi kelima alternatif kegiatan pengembangan kawasan di wilayah pesisir Kabupaten Buru adalah sebesar 51,4 %.
105
Gambar 23. Grafik Skala Prioritas Pengembangan Kriteria Ketersediaan dan Kesesuaian Lahan terhadap Alternatif Pengembangan Kawasan di Wilayah Pesisir Kabupaten Buru. 2. Altrnatif pengembangan kawasan berdasarkan kriteria kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. Hasil analisis pendapat gabungan responden dalam penentuan prioritas bagi alternatif kegiatan pengembangan kawasan berdasarkan kriteria kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Buru, dapat dilihat pada Tabel 19 dan Gambar 24 berikut. Tabel 19. Skala Prioritas Berdasarkan Kriteria Kelestarian Sumberdaya Alam dan Lingkungan dalam Penentuan Prioritas Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Buru.
1
ALTERNATIF PENGEMBANGAN Kawasan Pemukiman Penduduk
2
Kawasan Perikanan
118
0,052
5,2 %
2
3
Kawasan Pelabuhan
100
0,018
1,8 %
4
4
Kawasan Pariwisata Pantai
110
0,037
3,7 %
3
5
Kawasan Konservasi Mangrove dan Terumbu Karang Jumlah
118
0,065
6,5 %
1
426
0,187
18,7 %
No.
Sumber : Analisis Data Primer
NILAI
BOBOT
98
0,015
PERSEN TASE 1,5 %
PRIORITAS 5
106
Hasil analisis pendapat gabungan terhadap responden terlihat bahwa, untuk kriteria kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan bagi penentuan pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru, maka kawasan yang menempati urutan pertama dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir adalah kawasan konservasi mangrove dan terumbu karang dengan nilai 118 (6,5 %), kemudian diikuti oleh kawasan perikanan dengan nilai 118 (5,2 %), kawasan pariwisata pantai dengan nilai 110 (3,7 %), kawasan pelabuhan dengan nilai 100 (1,8 %), dan pada urutan terakhir adalah kawasan pemukiman penduduk dengan nilai 98 (1,5 %). Dengan demikian, maka total presentase bagi kriteria kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan terhadap tujuan pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru yang ingin dicapai bagi kelima alternatif kegiatan pengembangan kawasan di wilayah pesisir Kabupaten Buru adalah sebesar 18,7 %.
Gambar 24. Grafik Skala Prioritas Pengembangan Kriteria Kelestarian Sumberdaya Alam dan Lingkungan terhadap Alternatif Pengembangan Kawasan di Wilayah Pesisir Kabupaten Buru.
3. Altrnatif pengembangan kawasan berdasarkan kriteria pengembagan wilayah ke masa yang akan datang. Hasil analisis pendapat gabungan responden dalam penentuan prioritas bagi alternatif kegiatan pengembangan kawasan berdasarkan kriteria pengembangan wilayah ke masa yang akan datang,
yang dapat dilakukan oleh Pemerintah
Daerah Kabupaten Buru, dapat dilihat pada Tabel 20 dan Gambar 25 berikut.
107
Tabel 20. Skala Prioritas Berdasarkan Kriteria Pengembangan Wilayah ke Masa yang Akan Datang dalam Penentuan Prioritas Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Buru.
1
ALTERNATIF PENGEMBANGAN Kawasan Pemukiman Penduduk
2
Kawasan Perikanan
136
0,071
7,1 %
1
3
Kawasan Pelabuhan
132
0,045
4,5 %
2
4
Kawasan Pariwisata Pantai
126
0,023
2,3 %
4
5
Kawasan Konservasi Mangrove dan Terumbu Karang Jumlah
122
0,019
1,9 %
5
644
0,183
18,3 %
No.
NILAI
BOBOT
128
0,025
PERSEN TASE 2,5 %
PRIORITAS 3
Sumber : Analisis Data Primer Hasil analisis pendapat gabungan terhadap responden terlihat bahwa, untuk kriteria pengembangan wilayah ke masa yang akan datang bagi penentuan pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru, maka kawasan yang menempati urutan pertama dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir adalah kawasan perikanan dengan nilai 136 (7,1 %), kemudian diikuti oleh kawasan pelabuhan dengan nilai 132 (4,5 %), kawasan pemukiman penduduk dengan nilai 128 (2,5 %), kawasan pariwisata pantai dengan nilai 126 (2,3 %), dan pada urutan terakhir adalah kawasan pariwisata konservasi mangrove dan terumbu karang dengan nilai 122 (1,9 %). Dengan demikian, maka total presentase bagi kriteria pengembangan wilayah ke masa depan lahan terhadap tujuan pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru yang ingin dicapai bagi kelima alternatif kegiatan pengembangan kawasan di wilayah pesisir Kabupaten Buru adalah sebesar 18,3 %.
108
Gambar 25. Grafik Skala Prioritas Pengembangan Kriteria Pengembangan Wilayah ke Masa yang Akan Datang terhadap Alternatif Pengembangan Kawasan di Wilayah Pesisir Kabupaten Buru. 4. Altrnatif
pengembangan
kawasan
berdasarkan
kriteria
kontinyuitas
pembangunan. Hasil analisis pendapat gabungan responden dalam penentuan prioritas bagi alternatif kegiatan pengembangan kawasan berdasarkan kriteria kontinyuitas pembangunan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Buru, dapat dilihat pada Tabel 21 dan Gambar 26 berikut. Tabel 21. Skala Prioritas Berdasarkan Kriteria Kontinyuitas Pembangunan dalam Penentuan Prioritas Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Buru. 1
ALTERNATIF PENGEMBANGAN Kawasan Pemukiman Penduduk
2
Kawasan Perikanan
110
0,042
4,2 %
1
3
Kawasan Pelabuhan
92
0,015
1,5 %
5
4
Kawasan Pariwisata Pantai
100
0,016
1,6 %
4
5
Kawasan Konservasi Mangrove dan Terumbu Karang Jumlah
102
0,026
2,6 %
2
504
0,116
11,6 %
No.
Sumber : Analisis Data Primer
NILAI
BOBOT
100
0,017
PERSEN TASE 1,7 %
PRIORITAS 3
109
Hasil analisis pendapat gabungan terhadap responden terlihat bahwa, untuk kriteria kontinyuitas pembangunan bagi penentuan pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru, maka kawasan yang menempati urutan pertama dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir adalah kawasan perikanan dengan nilai 110 (4,2 %), kemudian diikuti oleh kawasan konservasi mangrove dan terumbu karang dengan nilai 100 (2,6 %), kawasan pemukiman penduduk dengan nilai 100 (1,7 %), kawasan pariwisata pantai dengan nilai 100 (1,6 %), dan pada urutan terakhir adalah kawasan pelabuhan dengan nilai 92 (1,50 %). Dengan demikian, maka total presentase bagi kriteria pembangunan berkelanjutan terhadap tujuan pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru yang ingin dicapai bagi kelima alternatif kegiatan pengembangan kawasan di wilayah pesisir Kabupaten Buru adalah sebesar 11,6 %.
Gambar 26. Grafik Skala Prioritas Pengembangan Kriteria Kontinyuitas Pembangunan terhadap Alternatif Pengembangan Kawasan di Wilayah Pesisir Kabupaten Buru.
110
Sintesis Alternatif Menurut Kriteria Berdasarkan hasil analisis pendapat gabungan terhadap responden yang telah dilakukan, diketahui bahwa prioritas dari alternatif kegiatan yang dikembangkan dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru, merupakan sitesis dari pendapat seluruh responden terhadap alternatif kegiatan berdasarkan kriteria, sebagaimana terlihat pada Tabel 22 dan Gambar 27 berikut. Tabel 22. Skala Prioritas Altrenatif Kegiatan Berdasarkan Kriteria dalam Penentuan Prioritas Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Buru. 1
ALTERNATIF PENGEMBANGAN Kawasan Pemukiman Penduduk
2
Kawasan Perikanan
504
0,341
34,1 %
1
3
Kawasan Pelabuhan
462
0,187
18,7 %
3
4
Kawasan Pariwisata Pantai
452
0,133
13,3 %
5
5
Kawasan Konservasi Mangrove dan Terumbu Karang Jumlah
464
0,190
19,0 %
2
2.340
1
100 %
No.
NILAI
BOBOT
458
0,149
PERSEN TASE 14,9 %
PRIORITAS 4
Sumber : Analisis Data Primer
Gambar 27. Diagram Batang Skala Prioritas Alternatif Kegiatan Berdasarkan Kriteria dalam Penentuan Prioritas Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Buru. Hasil analisis sintesis alternatif berdasarkan kriteria sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 22 dan Gambar 27 di atas, terlihat bahwa dari keempat kriteria yang digunakan dalam penentuan alternatif pengembangan dan pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru, alternatif pengembangan kawasan perikanan menempati urutan pertama dalam pengembangan dan
111
pemafaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru dengan nilai 504 dan bobot 0,341 (34,1 %), diikuti oleh kawasan konservasi dengan nilai 464 dan bobot 0,190 (19,0 %), kawasan pelabuhan dengan nilai 462 dan bobot 0,187 (18,7 %), kawasan pemukiman penduduk dengan nilai 458 dan bobot 0,149 (14,9 %), dan urutan terakhirnya adalah kawasan pariwisata pantai dengan nilai 452 dan bobot 0,133 (13,3 %). Total persentase dari seluruh kriteria terhadap tujuan yang ingin dicapai dari kelima alternatif kegiatan dalam pengembangan dan pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru adalah sebesar 100 %. a. Prioritas Pertama : Kawasan Perikanan Kabupaten Buru memiliki potensi perikanan dan kelautan yang didominasi oleh perikanan tangkap yang cukup besar, baik untuk kegiatan penangkapan jenis ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil, ikan demersal serta udang karang. Selain potensi perikanan tangkap, Kabupaten Buru juga memiliki potensi pada sektor perikanan budidaya, baik budidaya laut, budidaya darat, maupun budidaya payau. Setiap sektor memberikan kontribusi terhadap peningkatan ekonomi masyarakat dan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Buru, sehingga pengembangan terhadap potensi sumberdaya alam dan ruang wilayah pesisir yang dimiliki merupakan hal yang penting dalam pengembangan dan penentuan kebijakan pembangunan perikanan dan kelautan di Kabupaten Buru. Secara umum, masyarakat Kabupaten Buru merupakan masyarakat pesisir, dimana sebagian besar desa-desa di kabupaten ini berada di wilayah pesisir. Hingga tahun 2005, jumlah desa nelayan sepanjang wilayah pesisir Kabupaten Buru adalah sebanyak 74 desa, dengan jumlah Rumah Tangga Perikanan (RTP) mencapai 3.750 RTP, dimana setiap RTP memiliki rata-rata 5 orang yang beraktifitas sebagai nelayan, sehingga jumlah nelayannya sekitar 8.750 orang nelayan. Kegiatan masyarakat nelayan ini ditunjang oleh sekitar 4.288 unit armada penangkapan yang terdiri dari, perahu tanpa motor sebanyak 4.006 unit dan perahu bermotor baru mencapai 282 unit (Pemerintah Kabupaten Buru, 2006). Dari seluruh desa pesisir yang terletak di lokasi penelitian (pesisir Kecamatan Namlea, Waeapo dan Batabual), sebagian besar merupakan desa nelayan yang memiliki tingkat produktifitas perikanan yang cukup tinggi, namun hal ini tidak serta merta menjadikan sektor perikanan sebagai sektor penggerak
112
utama (prime mover) dalam kegiatan pembangunan Kabupaten Buru, sementara hingga tahun 2006, produksi perikanan Kabupaten Buru mencapai total produksi sebesar 7.071,06 ton dan nilai produksi sebesar Rp. 21.422.242.500,-. Potensi sumberdaya ikan pelagis kecil dengan sebaran ± 2.631.150 km2, biomassa sebesar 4.686,32 ton/thn dengan Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) 1.875,06 ton/tahun. Sementara potensi sumberdaya ikan pelagis besar memilki sebaran 22.942.40 km2, jumlah biomassa 13.947,05 ton/tahun dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) 5.699.18 ton/tahun. Untuk potensi sumberdaya ikan demersal memiliki sebaran ± 847.30 km2, biomassa sebesar 1.213,50 ton/thn
dengan
jumlah tangkapan
yang diperbolehkan (JTB)
485,41 ton/tahun, dan potensi sumberdaya ikan karang dengan biomassa sebesar 1.062,00 ton/thn dengan Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) 424,90 ton/tahun. Secara keseluruhan jumlah biomassa komoditas perikanan dengan kewenangan untuk mengelola perairan laut seluas ± 26.771,17 km2 sebesar 20.908,87 ton/tahun dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 8.484,55 ton/tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2006 sebesar 7.056,10 ton yang berarti masih memiliki peluang untuk dikembangkan sekitar 1.428,45 ton/tahun (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Buru, 2006). Selain itu, saat ini di Kabupaten Buru telah dibangun 4 buah cold storage yang berlokasi di Waprea, Waitose, Wamkana dan Namrole juga akan dibangun di Desa Wamlana oleh pihak swasta, sehingga diharapkan akan memberikan pelayanan kepada masyarakat nelayan untuk memasarkan hasil tangkapan, memudahkan pengawasan dan pengendalian produk perikanan, dan memberikan peluang untuk peningkatan devisa dan PAD pada sektor perikanan. Luas wilayah perairan Kabupaten Buru yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan usaha budidaya perikanan adalah seluas 2471,59 ha, yang tersebar di 4 wilayah ekologis Kabupaten Buru. Perairan Teluk Kaiely merupakan areal terluas yang dapat digunakan sebagai areal kegiatan usaha bididaya laut dengan luas 975,8 ha. Sesuai hasil survey Direktorat Jenderal Perikanan yang bekerjasama dengan Universitas Gajah Mada tahun 1987, bahwa di Teluk Kaiely tersedia potensi pengembangan budidaya tambak seluas ± 4000 ha. Pada
113
tahun 2004, Direktorat Jenderal Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan telah melakukan detail disain pertambakan rakyat seluas 600 ha. Hal ini memberikan prospek untuk pengembangan budidaya tambak di Kabupaten Buru dalam usaha peningkatan kesejahteraan petani pembudidaya dan peningkatan PAD. Untuk pengembangan budidaya air tawar di dataran Waeapo telah tersedia sarana dan parasarana budidaya air tawar antara lain : Balai Benih Ikan (BBI) dan Pasar Benih Ikan (PBI) dengan luas kolam pembenihan 0,5 ha, sedangkan area tambak rakyat yang tersedia sebesar 20 Ha melibatkan 20 RTP. Berdasarkan hasil studi lapangan yang dilakukan selama kegiatan penelitian, diketahui bahwa prodiksi perikanan di Kabupaten Buru dihasilkan dari kegiatan perikanan rakyat yang berskala kecil. Kondisi ini terlihat pada jenis armada tangkap yang masih sedikit, terutama untuk jenis perahu bermotor, yang hingga tahun 2006 baru mencapai 282 unit dan perahu tanpa motor sebanyak 4006 unit. Jenis alat tangkap yang digunakan berupa pancing, bagan apung, sero tancap, pukat pantai, pukat cincin, jaring angkat perangkap, jaring insang (gill net) dan jaring lingkar (purse seine). Semetara itu, hasil tangkapan maupun produksi perikanan lainnya masih dipasarkan terbatas pada pasar lokal dan konsumsi keluarga, walaupun terkadang terdapat kapal pengumpul (khusus untuk jenis ikan tuna) yang datang dan membeli hasil ikan tangkapan nelayan. Pemanfaatan wilayah pesisir Kabupaten Buru sebagai sentra produksi perikanan, merupakan alternatif pembangunan yang harus diperhatikan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Buru dalam penentuan kebijakan pengembangan dan pembangunan wilayah pesisir, sehingga berbagai potensi sumberdaya alam yang telah disebutkan sebelumnya dapat dimanfaatkan dan ditingkatkan secara optimal. Kebijakan pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Buru sebagai sentra perikanan, juga haruslah ditunjang dengan penyediaan sarana dan prasarana perikanan yang memadai, agar dapat meningkatkan jumlah produksi dan nilai produksi perikanan yang mengarah pada peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat. Selain itu, perencanaan pembangunan dan pembangunan antar sektor yang terkait dengan pemanfaatan wilayah pesisir dan lautan Kabupaten Buru dalam konteks perikanan juga perlu diminimalisir tingkat konflik kepentingannya, agar
114
harmonisasi dan tujuan pengembangan wilayah pesisir yang diinginkan pada setiap sektor dapat terlaksana secara maksimal, dan berdampak positif terhadap eksistensi sumberdaya alam dan lingkungan yang ada di wilayah pesisir Kabupaten Buru, sehingga aspek kelestarian dan keberlanjutannya juga dapat terpenuhi. b. Prioritas Kedua : Kawasan Konservasi Wilayah pesisir Kabupaten Buru memiliki potensi sumerdaya alam yang cukup besar dan merupakan salah satu aset yang harus dipertahankan kelestariannya. Proses pembangunan yang giat dilaksanakan di Kabupaten Buru dalam rangka percepatan pembangunan dan pengembangan daerah, hendaknya memperhatikan nilai-nilai kelestarian sumberdaya alam, sehingga keberadaan sumberdaya alam ini tidak cepat habis atau bahkan hilang. Berdasarkan hasil studi lapangan, diketahui bahwa telah terjadi beberapa jenis kegiatan pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir yang tidak ramah lingungan, seperti penangkapan ikan-ikan karang dan ikan-ikan konsumsi lainnya di wilayah terumbu karang dan sekitarnya yang menggunakan bahan peledak (bom ikan) dan bahan beracun (potacium cianida) yang mengakibatkan rusaknya ekosistem terumbu karang yang berada di wilayah pesisir kabupaten ini. Hal ini dibuktikan dengan adanya karang mati di sepanjang perairan pantai wilayah ekologis Teluk Kaiely, seperti di pesisir Desa Ubung, Desa Lala, Dusun Nametek (Desa Namlea), Dusun Batu Boy (Desa Namlea), Desa Jamilu, Desa Sanleko, Desa Waelapia, Desa Seith, Desa Pela, Desa Batu Jungku hingga pesisir Desa Ilath. Selain kegiatan pengeboman ikan, proses degradasi sumberdaya terumbu karang juga terjadi akibat adanya kegiatan penambangan karang yang dijadikan sebagai bahan baku pembangunan rumah oleh masyarakat di sekitar wilayah pesisir Kabupaten Buru. Bentuk degradasi sumberdaya alam lainnya, juga terjadi pada pemanfaatan ekosistem hutan mangrove yang terdapat di wilayah pesisir Kabupaten Buru, terutama di wilayah ekologis Teluk Kaiely. Pemanfaatan hutan mangrove sebagai bahan bangunan rumah dan kayu bakar, telah menjadi ancaman bagi keberadaan ekosistem mangrove sebagai wilayah yang memiliki potensi bagi perkembangan berbagi sumberdaya ikan yang menjadikan ekosistem mangrove sebagai tempat
115
mencari makan (feeding ground), tempat memijah/berkembang biak (spawning ground) dan tempat pertumbuhan/pengasuhan (nursery ground), bagi sebagian besar biota laut lainya. Mengingat pada fungsi dan arti penting yang dimiliki oleh ekosistem sumberdaya pesisir dan laut yang berada di Kabupaten Buru, maka sudah sewajarnyalah
bahwa
dalam
penentuan
kebijakan
pengembangan
dan
pemanfaatan wilayah pesisir dan lautan Kabupaten Buru haruslah memperhatikan fungsi dan arti penting dari keberadaan ekosistem dan sumberdaya di wilayah pesisir dan lautan yang terdapat di kabupaten ini. Pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan di Kabupaten Buru memerlukan penanganan yang baik oleh semua pihak yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya-sumberdaya tersebut, sehingga bentuk-bentuk pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan yang bersifat destruktif dan mengancam fungsi dan keberadaan ekosistem dan sumberdaya alam dapat dihindari. Selain itu, penetapan beberapa wilayah pesisir sebagai kawasan konservasi juga merupakan salah satu alternatif pengembangan dan pemanfaatan wilayah pesisir dan lautan yang lestari dan berkelanjutan. c. Prioritas Ketiga : Kawasan Pelabuhan Sebagai salah satu kabupaten yang baru berkembang, Kabupaten Buru memerlukan berbagai sarana dan prasarana pembangunan dalam mempercepat dan memperlancar proses pembangunan dan pengembangan wilayahnya. Salah satu sarana dan prasarana penunjang yang dirasakan sangat penting dalam menunjang proses pembangunan di Kabupaten Buru adalah sarana pelabuhan. Sarana pelabuhan yang dimiliki Kabupaten Buru pada saat ini merupakan sarana pelabuhan yang dulunya diperuntukkan bagi pelayaran kapal-kapal perintis yang menghubungkan Kabupaten Buru dengan wilayah-wilayah lain di Propinsi Maluku. Dengan pemekaran wilayah yang baru saja dilakukan, tentunya Kabupaten Buru membutuhkan akses yang lebih luas dengan wilayah lainnya, baik antar kabupaten di Propinsi Maluku maupun antar propinsi di wilayah Kesatuan Republik Indonesia bahkan antar negara. Permasalahan peningkatan sarana dan prasarana pelabuhan ini telah ditindak lanjuti oleh pemerintah daerah setempat dengan meminta kepada PT. PELNI untuk dapat membuka jaringan pelayaran kapalnya untuk menyinggahi pelabuhan
116
Namlea. Namun pada kenyataannya, KM. Lambelu yang merupakan armada pelayaran PELNI yang selama ini melayani rute pelayaran nasional yang singgah di kabupaten ini, belum dapat merapat ke dermaga pelabuhan Namlea, hal ini dikarenakan adanya terumbu karang yang posisinya berada pada alur masukkeluar dan kolam putar kapal menuju dermaga, sehingga untuk menyulitkan kapal tersebut untuk melakukan olah gerak ketika akan memasuki wilayah perairan ini. Selain itu, pelabuhan Namlea juga belum didukung oleh sarana dan prasarana pelabuhan sebagaimana layaknya sebuah pelabuhan yang memadai, seperti penyediaan sarana halaman parkir, pergudangan, penyediaan air serta bahan bakar minyak bagi kapal-kapal yang merapat, sehingga kondisi ini memerlukan perhatian tersendiri dalam penyediaan sarana dan prasarana pelabuhan yang memadai. Dengan kondisi sebagaimana yang telah digambarkan sebelumnya, sampai saat ini KM. Lambelu hanya dapat berlabuh jangkar di sekitar perairan Teluk Kaiely pada posisi koordinat 3°16’ LS – 127°04’ BT dengan kedalaman perairan berkisar 23,5 meter dan berjarak sekitar 0,45 mil (833,4 meter) dari dermaga, sehingga transportasi penumpang dan barang dari dermaga menuju kapal dan sebaliknya masih menggunakan jasa speed boat serta kapal-kapal tongkang yang dikelola oleh Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) pelabuhan Namlea. Dengan dibukanya jalur pelayaran internasional Sea Line I, Sea Line II dan Sea Line III, maka Kabupaten Buru menjadi daerah yang sangat strategis karena berada pada jalur pelayaran internasional Sea Line III, dengan demikian akan menjadi titik persinggahan bagi kapal-kapal yang melayari rute ini sehingga dapat membuka akses Kabupaten Buru dengan daerah lain. Keuntungan lain yang diperoleh dengan adanya pembukaan jalur pelayaran ini yakni masyarakat di Kabupaten Buru dapat berinteraksi lebih luas dan dapat meyerap berbagai kebutuhan serta perkemabangan teknologi dari luar Kabupaten Buru dalam rangka mendukung pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan di daerah ini. Berdasarkan pada kondisi ini, maka upaya untuk mengoptimalkan pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru dan sekaligus membuka akses dengan wilayah lainnya, maka penyediaan kawasan pelabuhan merupakan salah satu alternatif yang penting dalam penentuan kebijakan pembangunan dan
117
pengembangan wilayah di Kabupaten Buru, dan harus mendapat dukungan dari semua pihak yag terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru. d. Prioritas Keempat : Kawasan Pemukiman Penduduk Kawasan pemukiman merupakan salah satu komponen yang sangat berpengaruh dalam penataan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru, dimana pengembangannnya akan sangat mempengaruhi pengembangan pusat-pusat kegiatan dan pertumbuhan masyarakat di daerah ini. Berdasarkan pada lokasi dan karakteristiknya, terdapat dua jenis kawasan pemukiman yang berbeda yang terdapat di wilayah pesisir yakni, kawasan pemukiman perkotaan dan kawasan pemukiman pedesaan. Distribusi pemukiman penduduk di wilayah Kabupaten Buru sangat parsial, dimana pusat-pusat pemukiman terkonsentrasi pada pusat-pusat utama kegiatan masyarakat seperti Namlea yang merupakan Ibukota Kabupaten Buru. Namun demikian, pusat-pusat pemukiman yang parsial ini juga ditemukan pada pusatpusat wilayah kecamatan. Konsekuensi pada sentralisasi pemukiman ini dikarenakan
berkembangnya
setiap
pusat
pemukiman
sebagai
pusat
penyelenggaraan dan pelayanan pemerintahan, disamping pelayanan jasa lainnya seperti pendidikan dan kesehatan. Jumlah penduduk Kabupaten Buru semakin bertambah terutama setelah pemekaran wilayah ini menjadi kabupaten dengan jumlah wilayah kecamatan yang juga bertambah dari tiga kecamatan menjadi 10 kecamatan. Bertambahnya wilayah-wilayah kecamatan ini juga menyebabkan semakin meningkatnya penyebaran penduduk ke wilayah-wilayah tersebut, walaupun pada kenyatannya telah terjadi konsentrasi jumlah penduduk yang sangat tinggi pada wilayah Kecamatan Namlea, yang berpengaruh pada penyediaan sarana pemukiman penduduk yang terus berkembang di wilayah ini. Jumlah penduduk Kabupaten Buru dalam tahun 2004 sebanyak 133.406 jiwa dengan tingkat kepadatan penduduk sebesar 18,61 jiwa per km2, dimana tingkat kepadatan ini tergolong jarang untuk wilayah yang baru berkembang seperti Kabupaten Buru dengan 10 kecamatannya.
118
Permasalahan pemukiman penduduk yang terus berkembang sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk di Kabupaten Buru dari tahun ke tahun, jika tidak diperhatikan dengan baik maka akan menimbulkan permasalahan tersendiri, baik di tingkat masyarakat hingga tingkat pemerintah daerah dalam hal perencanaan wilayah pemukiman penduduk, yang sebenarnya tidak sesuai dengan rencana tata ruang daerah yang ada. Hal ini sejalan dengan kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Buru yang tertuang dalam Pola Dasar Pembangunan Daerah Kabupaten Buru Tahun 2002 – 2006, yang dituangkan dalam strategi kebijakan pembangunan
di
bidang
perumahan
dan
pemukiman,
antara
lain
:
(a) pengembangan perumahan dan pemukiman di kawasan perkotaan dan pedesaan yang memenuhi standar kelayakan sebagai rumah yang sehat dan layak huni, (b) melakukan perencanaan dan pengawasan terhadap sistem pemukiman yang berwawasan lingkungan untuk mendukung keindahan, kebersihan dan kesehatan masyarakat, (c) meningkatkan perbaikan sistem perumahan dan pemukiman melalui perbaikan kawasan kumuh, dan (d) meningkatkan pembangunan perumahan dan penataan kembali pemukiman melalui perubahan peruntukan di kawasan yang sudah menjadi pemukiman yang padat dan kumuh. e. Prioritas Kelima : Kawasan Pariwisata Pantai Wilayah pesisir Kabupaten Buru merupakan wilayah yang memiliki potensi pariwisata pantai yang cukup besar, disebabkan beragamnya sumberdaya wilayah pesisir dan laut yang dimiliki di wilayah pesisir kabupaten ini. Kondisi ini memberikan peluang yang besar bagi pengembangan pariwisata pantai dalam penentuan kebijakan pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru, dalam rangka percepatan pembangunan daerah dan peningkatan ekonomi masyarakat maupun Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi kabupaten ini. Pengembangan wisata pantai yang selama ini dilaksanakan di Kabupaten Buru, khususnya di wilayah penelitian, berada di pesisir pantai Desa Jikumerasa (Kecamatan Namlea) yang berjarak sekitar 25 km dari kota Namlea. Dari hasil pengamatan yang dilakukan selama penelitian, terlihat bahwa sarana penunjang pariwisata pantai di wilayah Kabupaten Buru telah ada, namun belum tertata secara baik dan belum maksimal dalam pemanfaatannya. Pengembangan kawasan
119
pariwisata pantai yang dapat dilakukan di wilayah pesisir Kabupaten Buru dapat berupa wisata panorama, berenang, menyelam, maupun pemancingan ikan. Secara umum, manfaat atau fungsi ganda dari pemanfaatan sumberdaya alam yang terdapat di wilayah pesisir Kabupaten Buru sebagai kawasan wisata yang potensial antara lain, (i) wisata alam bagi masyarakat umum dan wisata pendidikan bagi lembaga-lembaga pendidikan, mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, untuk menikmati estetika flora dan fauna yang terdapat di lingkungan wilayah pesisir dan sumberdaya alamnya (ekosistem hutan mangrove dan terumbu karang) beserta dengan fungsi ekosistemnya, serta pengenalan terhadap sumberdaya alam perairan laut lainnya, (ii) wisata bahari di sekitar hutan mangrove dengan sasaran antara lain menikmati kegiatan budidaya laut dan komoditi perikanan budidaya, serta paket kegiatan memancing, dan (iii) terbukanya peluang usaha bisnis dan jasa sebagai penunjang kegiatan pariwisata pesisir yang dikembangkan dalam rangka peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat yang berada di sekitar wilayah pariwisata tersebut. Berbagai kegiatan pariwisata pantai yang dikembangkan akan mempunyai implikasi ekonomi yang cukup besar bagi peningkatan pendapatan masyarakat di wilayah pesisir Kabupaten Buru secara khusus dan masyarakat umum lainnya. Pada bagian lain, seluruh kegiatan sosial budaya dan sosial ekonomi pada kawasan pariwisata tersebut akan memberikan retribusi yang cukup memadai bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Buru melalui berbagai dinas/unit-unit teknis terkait, sesuai dengan kegiatan yang dilaksanakannya di kawasan pariwisata pantai yang dikembangkan. Dengan kondisi yang demikian, maka wilayah pesisir Kabupaten Buru dapat dimanfaatkan sebagai salah satu potensi dalam pengembangan dan pembangunan daerah, sehingga dibutuhkkan adanya dukung penuh dari semua pihak baik masyarakat maupun pemerintah setempat, baik dalam menjaga kelestarian sumberdaya alam maupun kebijakan pembangunan yang akan dilakasanakan di wilayah pesisir bagi sektor pariwisata terutama pariwisata pantai, dimana implementasinya ramah lingkungan dan tidak merusak sumberdaya alam sehingga pemanfaatan dan pengembangannya akan berkelanjutan dan memberikan nilai
120
estetika dan ekonomi lingkungan yang besar bagi pendapatan daerah Kabupaten Buru ke masa yang akan datang. Skenario Kebijakan Penerapan kebijakan pembangunan sektor tertentu, baik langsung maupun tidak langsung akan memberikan implikasi pada sektor lain. Untuk melihat implikasi dan tingkat sensitivitas perubahan skala prioritas dapat dilakukan dengan Sensitivity Analysis. Analisis sensitivitas ini dilakukan untuk melihat kecenderungan perubahan suatu skala prioritas terhadap faktor lain yang mempengaruhinya. Sebagaimana sebuah analisis multikriteria, AHP menurut Triantaphyllou and Alfonso (1997) yang diacu dalam Rifqi (2002) harus dilengkapi dengan analisis sensitifitas. Analisis sensitifitas ini digunakan untuk dapat melihat range (batasan) perubahan pendapat key person dalam pengambilan keputusan dengan AHP, dimana dengan analisis sensitifitas dapat dilihat komponen/elemen mana dari struktur hirarki yang paling sensitif terhadap perubahan bobotnya sehingga menghasilkan perubahan pada alternatif. Dari hasil analisis pendapat gabungan responden terlihat model dinamika analisis sensitivitas dari keempat kriteria dan kelima alteranatif pengembangan dan pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru seperti pada Gambar 28 dan Gambar 29.
Gambar 28. Grafik Analisis Sensitivitas Pendapat Gabungan Responden.
121
Input : Kriteria
Output : Alternatif
Gambar 29. Model Dinamika Analisis Sensivitas Pendapat Gabungan Responden. Pada kondisi awal, pendapat gabungan responden menunjukkan bahwa skala prioritas alternatif kebijakan pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru secara berturut-turut adalah kawasan perikanan 34,1 %, kawasan konservasi 19,0 %, kawasan pelabuhan 18,7 %, kawasan pemukiman penduduk 14,9 %, dan kawasan pariwisata pantai 13,3 %. Skala prioritas ini didasarkan atas kriteria aspek ketersediaan dan kesesuaian lahan 51,4 %, aspek kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan 18,7 %, aspek pengembangan wilayah ke masa yang akan datang 18,3 %, dan aspek kontinyuitas pembangunan 11,6 %. Seandainya preferensi stakeholders terhadap pertimbangan aspek-aspek kriteria meningkat secara ekstrim akibat adanya perubahan kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Buru dan atau adanya dorongan yang kuat dari masyarakat, kalangan Perguruan Tinggi, kalangan LSM, dan kalangan Legislatif di Kabupaten Buru, sehingga aspek-aspek tersebut meningkat secara ekstrim, maka urutan skala prioritas kriteria juga mengalami perubahan terutama pada nilai persentasinya, dengan rasio perubahan pada setiap aspeknya dan alternatif pengembangan wilayahnya juga akan meningkat atau turun dua kali lipat (Lampiran 4) . Kondisi yang ekstrim seperti ini tidak dianjurkan untuk dilakukan oleh Pemeriintah Daerah Kabupaten Buru, karena pada kondisi seperti ini, memang terdapat sektor yang mengalami peningkaan pengembangan yang sangat besar namun akan mematikan sektor pembangunan yang lainnya. Kondisi seperti ini tidak akan memberikan kontinyuitas dalam pembangunan, bahkan akan
122
menimbulkan konflik baru dalam pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan di Kabupaten Buru, yang dapat berpengaruh terhadap keberadaan sumberdaya alam di wilayah pesisir dan lautan daerah ini. Perencanaa tata ruang secara terpadu merupakan suatu kesatuan dari bebrbagai kegiatan pemanfaatan ruang di wilayah pesisir yang dilakukan secara terpadu dan menyeluruh serta mencakup pertimbangan waktu, modal, optimasi, daya dukung lingkungan dan kondisi geo-politik. Prinsip perencanaan tata ruang wilayah pesisir meliputi hubungan fungsional, saling ketergantungan antara kawasan,
fleksibilitas,
daya
dukung
lingkungan,
kehatia-hatian
serta
keterpaduaan. Pembahasan Komprehensif Secara umum dapat dijelaskan bahwa, permasalahan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan di Kabupaten Buru dapat dikelompokkan atas empat bagian, yaitu: i.) berkembangnya fenomena kerusakan bio-geofisik lingkungan pesisir; ii.) konflik pemanfaatan dan konflik jurisdiksi dari para pemangku kepentingan; iii.) adanya kekosongan dan ketidak pastian hukum, dan iv.) kurangnya effektifitas pengelolaan pesisir. Berdasarkan pada hasil analisis yang telah dilakukan dalam penelitian ini, baik analisis kesesuaian lahan maupun analisis pemecahan konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir, maka diketahui bahwa pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru memerlukan penanganan yang mengintegrasikan berbagai pihak yang terkait, baik pemerintah, masyarakat maupun stakeholder lainnya yang berkompetensi dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir Kabupaten Buru. Hasil analisis kesesuaian lahan terhadap pemanfaatan beberapa kawasan di wilayah
pesisir Kabupaten
Buru
menunjukkan
bahwa
kategori-kategori
kesesuaian lahan yang dihasilkan pada beberapa kawasan terlihat adanya tumpang tindih (overlapping) terhadap beberapa kriteria kesesuaian lahan yang dihasilkan pada beberapa kawasan. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan ruang di wilayah pesisir Kabupaten Buru harus benar-benar memprioritaskan wilayah dengan potensi pemanfaatan yang lebih utama dan
123
memerlukan pertimbangan dan kebijakan serta pemahaman yang sinergis antara setiap sektor yang berkepentingan dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah yang overlap tersebut, sehingga konflik pemanfaatan wilayah dapat diminimalisir atau bahkan dapat dihindari. Berdasarkan pengamatan di lapangan, terlihat adanya pemanfaatan lahan yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat pada wilayah pesisir Kabupaten Buru, yang memberikan dampak besar terhadap keberadaan ekosistem sumberdaya alam di wilayah pesisirnya. Pengembangan dan pembangunan beberapa sarana dan prasarana pembangunan yang telah dilakukan saat ini, dirasakan akan memberikan dampak terhadap keberlanjutan sumberdaya alam, seperti pembangunan dan pengembangan sarana pelabuhan umum di wilayah Namlea, mengakibatkan adanya kerusakan pada ekosistem mangrove dan terumbu karang di sekitar wilayah pelabuhan tersebut. Sementara itu, apabila disesuaikan dengan hasil analisis kesesuaian lahan yang telah dibuat dalam penelitian ini dengan wilayah yang sangat sesuai berada di wilayah pesisir Desa Masarete Kecamatan Waeapo, maka konsekuensi terhadap penyediaan sarana dan prasarana transportasi dari dan menuju lokasi ini harus diperhatikan dan secepanya harus disediakan, sehingga aksesibilitasnya dapat terjangkau oleh masyarakat di kabupaten ini. Selain itu, konversi lahan yang dilakukan pada saat ini dibeberapa wilayah pesisir Kabuaten Buru, juga telah memberikan perubahan terhadap kondisi wilayah pesisirnya. Pembukaan dataran atas untuk kegiatan pertanian, perkebunan dan pemukiman, berakses pada tinggginya tingkat sedimentasi dan pencemaran perairan yang terdistribusi oleh sungai-sungai yang bermuara ke wilayah pesisir, sehingga degradasi ekosistem wilayah pesisir menjadi semakin tinggi, selain itu juga dengan semakin tingginya pengerusakan ekosistem di wilayah pesisir untuk kegiatan pembangunan, juga menjadi penyebab terjadinya degradasi sumberdaya alam di wilayah pesisir Kabupaten Buru. Selain itu, perubahan terhadap karakteristik wilayah pesisir di kabupaten ini, juga akan memberikan dampak pada rentannya wilayah ini terhadap bencana alam yang mungkin terjadi akan semakin besar. Permasalah-permasalahan ini jika secepatnya tidak diantisipasi dan dicari alternatif pemanfaatannya, maka akan berpengaruh terhadap keberlanjutan
124
dan kelestarian ekosistem dan sumberdaya alam yang berada di wilayah pesisir kabupaten ini. Penentuan kebijakan dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir hendaknya dilakukan dengan mempertimbangkan dan mengacu pada ketersediaan dan kesesuaian lahan dari setiap sektor pembangunan yang akan dikembangkan serta daya dukung lingkungan dan sumberdaya alam yang dimiliki di wilayah pesisir Kabupaten Buru, sehingga konflik yang mungkin terjadi dapat diminimalisir. Dengan memperhatikan pada setiap kriteria kesesuaian lahan dan karakteristik sumberdaya alam, maka berdasarkan hasil analisis pendapat gabungan responden terhadap pemecahan konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir dalam penelitian ini, terlihat bahwa kebutuhan terhadap pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir Kabupaten Buru sangat besar dengan menitik beratkan pada kriteria ketersediaan dan kesesuaian lahan dimana sektor utama yang diharapkan dapat menjadi sektor penggerak pembangunan di wilayah ini adalah sektor perikanan. Berdasarkan analisis terhadap pendapat responden, terlihat adanya suatu kebutuhan yang besar terhadap adanya pengintegrasian kinerja antar setiap sektor yang terlibat dalam pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir Kabupaten Buru, terutama penguatan kelembagaan dan perundang-undangan dalam pengelolaan wilayah tersebut, sehingga kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir Kabupaten Buru dapat lebih terarah, dan konflik yang akan muncul dapat dihindari. Banyak faktor yang menyebabkan pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan menjadi tidak efektif, antara lain kuatnya pembangunan sektoral, konflik pengelolaan dan ambiguitas kepemilikan. Dalam banyak kasus, pendekatan pembangungan sektoral tidak kondusif mendorong penggunaan sumberdaya pesisir secara terpadu. Penekanan sektoral hanya memperhatikan keuntungan sektornya dan mengabaikan akibat yang timbul dari atau terhadap sektor lain, sehingga berkembang konflik penggunaan pengelolaan di kawasan pesisir. Pada dasarnya hampir di seluruh kawasan pesisir dan lautan Indonesia terjadi konflik-konflik antara berbagai kepentingan. Setiap pihak yang berkepentingan mempunyai tujuan, target dan rencana untuk mengeksploitasi
125
sumberdaya pesisir. Perbedaan tujuan, sasaran dan rencana tersebut mendorong terjadinya konflik pemanfaatan sumberdaya pesisir (user conflict) dan konflik kewenangan (jurisdictional conflict) (Cincin-Sain and Knetch, 1998). Konflik ini berkembang karena adanya kekosongan dan ketidak pastian hukum, sehingga tidak ada suatu aturan manajemen yang dapat diterapkan secara konsisten, dan tidak ada komitmen dalam menerapkan hukum yang berkelanjutan (graduated sanction). Ambiguitas pemilikan dan penguasaan sumberdaya pesisir masih sering terjadi di berbagai tempat (Bromley dan Cernea, 1989; Putra, 1998). Biasanya sumberdaya pesisir dianggap tanpa pemilik (open access property resources), tetapi berdasarkan pasal 33 UUD 1945, dan UU Pokok Perairan No. 6 Tahun 1996, dinyatakan milik pemerintah (state property). Namun ada dibeberapa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terjadi pengelolaan yang menunjukkan indikasi pemilikan pribadi (quasi private proverty). Dibeberapa wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil lain masih dipegang teguh sebagai milik kaum atau masyarakat adat (common property). Jika tidak ada kejelasan siapa yang berhak untuk mengelolanya, maka sumberdaya tersebut dianggap open akses. Siapa saja merasa berhak mengeksploitasinya tanpa ada aturan main. Berbagai stakeholder akan
datang
mengeksploitasi
sumberdaya
wilayah
pesisir
ini
untuk
kepentingannya, jika tidak maka pihak lain yang akan memanfaatkannya, sehingga
tidak
ada
insentif
untuk
melestarikannya,
sehingga
dalam
pemanfaatannya terjadi the tragedy of commons (Hardin 1968). Untuk itu diperlukan kebijakan pemerintah meregulasi mekanisme pemanfaatan sumberdaya pesisir melalui pengelolaan pesisir terpadu. Pencapaian pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir Kabupaten Buru secara berkelanjutan, memerlukan stimulasi yang efektif terhadap pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu. Untuk itu perlu dilihat secara holistik mulai dari penataan kelembagaan (institutional arrangement), faktor sosial-ekonomi dan budaya, serta faktor biofisik dan teknologi yang digunakan. Proses penentuan kebijakan dalam pengelolaan dan pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru melalui revisi pendapat yang dilakukan dalam penelitian ini, diharapkan dapat menjadi gambaran bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Buru bagaimana
126
menetapkan kebijakan dalam pengelolaan dan pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru, dengan melibatkan berbagai pihak yang terkait didalam proses pengelolaannya yang didasarkan pada kesesuaian wilayah melalui analisis kesesuaian lahan yang dilakukan, sehingga setiap stakeholder dapat memiliki gambaran yang jelas terhadap kondisi kesesuaian lahan serta proses pemanfaatan dan pengelolaan yang akan dilakukan pada setiap wilayah pesisir yang diinginkan.
127
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil dan pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka dapat disimpulkan : 1. Berdasarkan pada hasil analisis spasial terhadap kesesuai lahan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG), terlihat bahwa wilayah pesisir dan lautan Kabupaten Buru memiliki peluang untuk dikembangkan bagi
berbagai
kegiatan
pembangunan
dan
pengembangan
wilayah,
sebagimana pada hasil analisis kesesuaian lahan dimana wilayah pesisir dan lautan yang menjadi lokasi penelitian di Kabupaten Buru dapat dimanfaatkan untuk pengembangan beberapa sektor pembangunan seperti : kawasan pemukiman penduduk dengan kategori sangat sesuai seluas 35.119,80 ha, dimana sebagian besar wilayah pesisir tersebut berada di wilayah Kecamatan Namlea; kawasan pelabuhan umum dengan kategori sangat sesuai seluas 2,828 mil2 atau 7,324 km2 bagi wilayah perairanya sedangkan untuk kawasan sarana dan prasarana pelabuhan yang sesuai adalah seluas 19.912,16 ha, dimana lokasi ini terletak di pesisir Desa Masarete Kecamatan Waeapo; kawasan pelabuhan perikanan pantai dengan kategori sangat sesuai seluas 29,894 mil2 atau 77,425 km2 untuk wilayah perairan dan untuk kawasan sarana dan prasarana pelabuhannya adalah seluas
19.912,16 ha, yang
juga terletak di pesisir Desa Masarete Kecamatan Waeapo; kawasan budidaya air payau dengan tambak konvensional dengan kategori sangat sesuai seluas 8.764,110 ha, yang sebagian besar berada di wilayah pesisir Kecamatan Waeapo dan sebagian lagi di pesisir Kecamatan Namlea; kawasan budidaya keramba jaring apung dengan kategori sangat sesuai seluas 18,666 mil2 atau 48,345 km2, yang berada di wilayah Kecamatan Namlea dan Batabual, yakni di wilayah pesisir Desa Namlea hingga Desa Jamilu dan Desa Masarate hingga Desa Waelapia; kawasan budidaya rumput laut dengan kategori sangat sesuai seluas 6,047 mil2 atau 15,662 km2, yang berada di sekitar perairan Kecamatan Namlea, Desa Namlea (dusun Batu Boy), Desa Siahoni, Desa Jamilu, dan sebagian wilayah perairan di sekitar Desa Waelapia di Kecamatan
128
Waeapo; kawasan pariwisata pantai dengan kategori sangat sesuai seluas 939,952 ha, yang tersebar sekitar wilayah pesisir Kecamatan Namlea (Desa Sawa, Jikumerasa, dan Namlea) serta sebagian wilayah pesisir kecamatan Waeapo yakni di sekitar pesisir Desa Masarete dan sebagian wilayah pesisir antara Desa Waelapia dan Desa Seith (Kecamatan Batabual); dan kawasan konservasi dengan kategori sangat sesuai seluas 792,872 ha untuk konservasi mangrove yang terletak di wilayah pesisir Kecamatan Namlea dan Batabual, dimana wilayah konservasi mangrove terbesar berada di sekitar Sungai Waeapo, dan 0,548 mil2 atau 1,419 km2 untuk konservasi terumbu karang yang berada di depan wilayah perairan Desa Namlea dan Siahoni serta sebagian di perairan Dusun Waetose (Desa Waelapia). 2. Hasil analisis pemecahan konflik pemanfaatan ruang dalam menentukan alternatif kebijakan pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru yang dianalisis dengan menggunakan metode Proses Hirarki Analitik (PHA), menunjukkan bahwa : Hasil analisis pendapat gabungan responden yang telah diolah dengan menggunakan program Expert Choice 2000 dan Microsoft Excel 2003, menunjukkan besarnya kontribusi yang diberikan oleh masing-masing kriteria terhadap tujuan yang ingin dicapai, dimana kriteria ketersediaan dan kesesuaian lahan adalah sebesar 51,4 %, kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan sebesar 18,7 %, pengembangan wilayah ke masa yang akan
datang
sebesar
18,3
%,
dan
kontinyuitas
pembangunan
sebesar 11,6 %. Hasil analisis pendapat gabungan terhadap responden yang telah dilakukan, diketahui bahwa prioritas dari alternatif kegiatan yang dikembangkan dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru yang merupakan sitesis dari pendapat seluruh responden terhadap alternatif kegiatan berdasarkan keempat kriteria adalah : kawasan perikanan sebesar 34,1 % (prioritas 1), kawasan konservasi mangrove dan terumbu karang sebesar 19,0 % (prioritas 2), kawasan pelabuhan sebesar 18,7 % (prioritas 3), kawasn pemukiman penduduk sebesar 14,9 % (priorias 4), dan kawasan pariwisata pantai sebesar 13,3 % (prioritas 5).
129
3. Dalam penentuan kebijakan pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru, keterkaitan antar sektor merupakan hal utama yang harus diperhatikan sehingga konflik dan permasalahan dalam pengelolaan dan pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru dapat diminimalisir, serta proporsional dalam pemanfaatannya yang disesuaikan dengan pengalokasian ruang wilayah bagi setiap sktornya. Selain itu, kondisi politik, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat Kabupaten Buru, juga merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam penentuan alternatif kebijakan pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten
Buru,
sehingga
pemanfaatan
dan
pembangunan
yang
berkelanjutan dapat tercapai secara maksimal. Saran 1. Mengingat hasil analisis kesesuaian lahan yang telah dilakukan dalam penelitian ini bersifat general dalam perencanaan pemanfaatan wilayah pesisir dan lautan, maka diharapkan adanya penelitian lanjutan yang secara detail membahas tentang setiap aspek kesesuaian lahan seperti analisis daya dukung dari setiap kriteria kesesuaian lahan bagi setiap peruntukan yang berkaitan erat dengan perencanaan, pengembangan dan pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan lautan Kabupaten Buru. 2. Kebijakan pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru, sepatutnya searah dengan penentuan dan penetapan wilayah pengembangan yang proporsional yang disesuaikan dengan kriteria kesesuaian lahan, sehingga kebijakan yang diambil dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru
menjadi lebih terarah dan berkesesuaian dengan
peruntukan
pemanfaatan lahannya. 3. Penentuan kebijakan pemanfaatan ruang wilayah pesisir Kabupaten Buru sudah seharusnya diikuti dengan penetapan peraturan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Buru dalam suatu RENSTRA Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Kabupaten Buru, sehingga dapat digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan pembangunan dan pengembangan wilayah pesisir dan laut Kabupaten Buru yang berkelanjutan, dengan tetap memperhatikan pada kriteria kesesuaian lahan dan daya dukung sumberdaya alam yang dimiliki daerah ini.
130
DAFTAR PUSTAKA [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Buru, 2003. Buru dalam Angka Tahun 2003. BPS Kabupaten Buru. Namlea. [Bakosurtanal] Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, 1996. Pengembangan Prototipe Wilayah Pesisir dan Marine Kupang Nusa Tenggara Timur. Pusbina-Inderasig Bakosurtanal. Cibinong. Barus, B., dan U.S. Wiradisastra. 2000. Sistem Informasi Geografis Sarana Manajemen Sumberdaya. Laboratorium Pengindraan Jauh dan Kartografi Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB. Bogor. Bengen, D. G., 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL). Institut Pertanian Bogor. Bromley D.W. and Cernea M.M. 1989. The Management of Common Property Natural Resources: some conceptual and operational fallacies. The World Bank, Washington, D.C. Budiharsono, S., 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. Cetakan Pertama. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Burrough, P. A., 1986. Principles of Geographycal Informaion System for Land Resources Assesment. Monograph on Soil and Resources Surveys, No. 12. Oxford Science Publication. Cincin-Sain, B. and Knecht, R.W. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management: concepts and practices. Island Press, Washington, D.C. Cincin-Sain, B., 1993. Sustainable Development and Integrated Coastal Management. Ocean and Coastal Managemant, 21. Clark, J. R., 1996. Coastal Zone Management: Handbook. Lewis Publishers, Boca Raton New York London Tokyo. Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, dan M.J. Sitepu., 2004. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Cetakan Ketiga, Edisi Revisi. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. _________, 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap bidang pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Fakultas Perikanan dan Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
131
_________, 1999. Reposisi Pembangunan Kelautan Sebagai Implikasi Pelaksanaan Otonomi Daerah Dalam Menyongsong Milenium Ke-3. Makalah, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Darmawan, 2000. Siklus Penyusunan Program pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu. Prosiding Pelatihan untuk Pelatih pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu. Proyek Pesisir PKSPL – IPB, Bogor. Departemen Perikanan dan Kelautan RI, 2002. Pedoman Umum Penataan Ruang Pesisir dan Pulau-Pualau Kecil. Jakarta. [Ditjen Bangda] Direktorat Jenderal Pembangunan Daerah Departemen Dalam Negeri, 1998. Penyusunan Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia. Kerjasama dengan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) Institut Pertanian Bogor. Jakarta. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Buru, 2006. Laporan Statistik Perikanan Kabupaten Buru Tahun 2006. Diskan Kabupaten Buru. Namlea. _________, 2005. Laporan Statistik Perikanan Kabupaten Buru Tahun 2005. Diskan Kabupaten Buru. Namlea. Djais, F., A. Zawawi, S. Purnomo, Y. I. Pattinaja, P. Prahoro, M. Huda, dan H. Koeshandoko, 2003. Modul Sosialisasi Tata Ruang laut Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Dutton, I. M. And K. Hotta, 1995. Coastal Management in the Asia – Pacific Region: Issues and Approches. Japan International Marine Science and Technology Federation, Tokyo. ESRI, 1990. Understanding GIS : The Arc/Info Method Environment at System Research Institute. Redlands, CA. USA. Fabbri, P. K., 1998. A Methodology for Supporting Decision Making In Integrated Coastal Zone Management. Journal of Ocean and Coastal Management, Elsevier. Gunawan, I., 1998. Typical Geographic Information System (GIS) Aplication For Coastal Resources Management Indonesia. Jurnal Pengelolan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia (1998), I (1) : 1 – 12. Hardin, G. 1968. The tragedy of commons. Jurnal. Science (Vol. 166), p. 12431248 Hardjowigeno, S., Widiatmaka, dan A. S. Yogaswara, 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tataguna Tanah. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
132
Idris, I., 2001. Penjabaran Pelaksanaan Otonomi Daerah di Pesisir dan Laut. Makalah, disampaikan dalam Pelatihan ICZPM, Jakarta 8 – 20 oktober 2001. Kerjasama Direktorat Jenderal Pesisir, Pantai dan Pulau-pulau Kecil DKP dengan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL) IPB. Jakarta. Jawatan Hidro-Oseanogravi TNI AL, 2007. Daftar Pasang Surut (Tide Tables) Kepulauan Indonesia (Indonesian Archipelago) Tahun 2007. Jakarta. Kay, R. and J. Alder. 1999. Coastal Planning and Management. E & FN Spon. London. Kramadibrata, 1985. Perencanaan Pelabuhan. Ganeca Exact. Bandung. Laak, P.J.A. van de, (1992). A Framework for Sustainable Regional Planning. Edited by H. N. van Lier et al.(1994). Proceedings Paper, peform in International Workshop on Sustainable Land Use Planning, held on 2 – 4 September 1992, Wageningen, The Netherlands. Elsevier. AmsterdamLondon-New York-Tokyo. Lembaga Penelitian Universitas Pattimura [Unpatti], 2005. Rencana Tata Ruang Laut, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Wilayah Kabupaten Buru. Laporan. Kerjasama antara Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Maluku dengan Lembaga Penelitian Universitas Pattimura (Unpatti). Ambon. Lier, H. N. van, 1992. Land Use Planning In Prespective of Sustainability: An Introduction. Edited by H. N. van Lier et al.(1994). Proceedings Paper, peform in International Workshop on Sustainable Land Use Planning, held on 2 – 4 September 1992, Wageningen, The Netherlands. Elsevier. Amsterdam-London-New York-Tokyo. Marimin, 2005. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Cetakan Kedua. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta Masrul, M., 2002. Kajian Tata Ruang Wilayah Pesisir dan Lautan Kabupaten Garut, Aplikasi Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Naskah Akademik Pengelolaan Wilayah Pesisir, 2000. Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Jakarta. Nugroho, I. Dan R. Dahuri, 2004. Pembangunan Wilayah : Prespektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan. Cetakan Pertama. Penerbit Pustaka LP3ES Indonesia. Jakarta. Paliawaludin, L. O., 2004. Analisis Kesesuaian Lahan dan Kebijakan Pemanfaatan Ruang Kawasan Pesisir Teluk Kendari. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
133
Pemerintah Republik Indonesia, 2007. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pemerintah Republik Indonesia, 2004. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Pemerintah Republik Indonesia, 1992. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang. Pemerintah Daerah Kabupaten Buru, 2005. Profil Sumberdaya Perikanan dan Kelautan Kabupaten Buru. Pemda Kabupaten Buru. Namlea. _________, 2003. Program Pembangunan Daerah (PROPEDA) Kabupaten Buru Tahun 2002-2006. Pemerintah Daerah Kabupaten Buru. Namlea. _________, 2003. Pola Dasar Pembangunan Daerah Kabupaten Buru Tahun 2002-2006. Pemerintah Daerah Kabupaten Buru. Namlea. _________, 2003. Rencana Strategi (RENSTRA) Kabupaten Buru Tahun 20022006. Pemerintah Daerah Kabupaten Buru. Namlea. _________, 2000. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Buru. Pemerintah Daerah Kabupaten Buru. Namlea. Permadi, B. 1992. Buku Petunjuk Manual Mengenai Teori dan Aplikasi Model The Analytical Hierarchy Process (AHP). Pusat Antar Universitas – Studi Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta. Poernomo, A. 1992. Pemilihan Lokasi Tambak Udang Berwawasan Lingkungan. Balitbang Pertanian, Puslitbang Perikanan, kerjasama dengan United Stated Agancy for International Development Fisheries and Developmen Project (USAID/FRDP). Poerwowidagdo, S.J. 2003. Prosedur Analisis Sistem. Himpunan Materi Kuliah Program Pasca Sarjana. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Prahasta, E., 2005. Sistem Informasi Geografis, Konsep-konsep Dasar. Edisi Revisi, Cetakan Kedua. Penerbit Informatika. Bandung. Purwadhi, H. S., 1998. Sistem Informasi Geografis. Deputi Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, kerjasama LAPAN-BPPT dan Departemen Hankam. Jakarta. Putra, S 1998. Konflik Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dapat Mengancam Kelestarian Pemanfaatannya. Jurnal Pesisir dan Lautan Vol. 1, No. 2. PKSPL - IPB.
134
Rais, J., B. Sulistiyo, S. Diamar, T. Gunawan, M. Sumampouw, T.A. Soeprapto, I. Suhardi, A. Karsidi dan S. Widodo, 2004. Menata Ruang Laut Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Rifqi, M. 2002, Analisis Kebijakan Pengembangan Perikanan Wilayah Pesisir Kabupaten Padang Pariaman. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rondinelli, 1993. Development Projects As Policy Experiments, An Adaptive to Development Administration. Routledge News Latter. London. Rustiadi, E., S. Saefulhakim dan D.R. Panuju, 2005. Diktat Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Edisi: Januari 2006. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Saad, S. 2003. Politik Hukum Perikanan Indonesia. Lembaga Sentra Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta. Saaty, T. L. 1991. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin ; Proses Hirarki Analitik Untuk Pengambilan Keputusan Dalam Situasi Yang Kompleks. Seri Manajemen No. 134 (Terjemahan). PT. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta. Salam, D. S., 2003. Otonomi Daerah : Dalam Prespektif Lingkungan, Nilai, dan Sumber Daya. Cetakan ketiga (Edisi revisi). Penerbit Djambatan. Jakarta. Sjafi’i, B. I. E., 2000. Analisis Pemanfaatan Ruang Kawasan Pesisir Teluk Manado Sulawesi Utara. Tesis. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Soedharma, D., dan M. Rahman, 1992. Penanganan Pelestarian Penyu di Pantai Selatan Jawa Barat. Laporan Akhir. Kerjsama Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor dengan Biro Bina Kependudukan dan Lingkungan Hidup Setwilda Jawa Barat. Sugandhy, A. 1993. Tata Ruang dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Makalah, disampaikan pada Lokakarya Perencanaan dan Pengelolaan Lingkungan dalam Pembangunan Berkelanjutan. Pusat Penelitian Sriwidjaya dan Kantor Menteri Lingkungan Hidup. Jakarta. Sugiarti, 2000. Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Di Kota Pasuruan Jawa Timur. Tesis. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Tarigan, R., 2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Edisi Revisi. Penerbit PT. Bumi Aksara. Jakarta.
135
The World Bank, 1993. The Noordwijk Guidelines for Integrated Coastal Zone Management. Distributed at The World Coast Conference. Tiensongrusmee B., S.Pontjoprawiro, and K. Mintarjo, 1989. Sea Farming Resources Map. INS/81/008/Manual/7. Tomboele, N., D. G. Bengen dan V. P. H. Nikijuliw, 2000. Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Terumbu Karang Di Kawasan Bunaken Dan Sekitarnya, Sulawesi Utara. Jurnal Pesisir dan Lautan, 3 (1) ; 51 – 67. Turner, R.K., W.N. Adger, S. Crooks, I. Lorenzoni and L. Ledoux, 1999. Sustainabale Coastal Resources Management: Principles and Practice. Journal in Water Resources and Coastal Management, R.K. Turner and I.J. Bateman (Editors). An Elgar Reference Collection. Chetenham, UK.Northampton, MA, USA. 209 – 220.
136
Lampiran 1 : Data Kondisi Biofisik Perairan Pesisir Kabupaten Buru Pada 28 Stasiun Pengamatan Posisi Stasiun No. 1
Pengamatan 3O8'128'' LS 126O56'934'' BT
Kedalaman Perairan (Meter)
Temperatur Perairan (°C)
Kecepatan Arus (m/det)
Kecerahan Perairan (Meter
Salinitas Perairan (°/oo)
15
33
0,17
15
35
8,54
10
32
0,18
10
35
8,54
10
33
0,15
10
35
8,52
8
32
0,15
8
35
8,30
10
32
0,14
9
33,5
8,30
15
31
0,16
10
33,5
8,20
11
29
0,10
10
33
8,30
10
29
0,12
8
31,5
8,24
8
28
0,10
8
31,5
8,20
10
30
0,12
9
31,5
8,26
8
27
0,11
6
31,5
8,24
6
27
0,11
4
31
8,10
4
28
0,12
2
31
7,85
4
29
0,11
1,5
30,5
7,85
3
29
0,10
0.5
30
7,48
> 30
29
0,14
1,5
31
7,42
5
30
0,11
3
30,5
7,46
10
31
0,15
10
32,5
8,26
> 30
31
0,12
12
32,5
8,26
10
30 °C
0,11
10
33,5
8,30
15
32
0,16
15
35
8,30
> 30
32
0,17
15
35
8,42
25
33
0,17
15
35
8,24
> 30
33
0,21
15
35
8,24
> 30
33
0,32
15
35
8,10
15
31
0,24
10
35
8,10
15
32
0,24
14
35
8,14
15
32
0,23
10
35
8,10
pH
O
2
3 10'150" LS O
127 1'033" BT O
3
3 11'168" LS O
127 4'061" BT O
4
3 13'197" LS 127O6'095" BT O
5
3 14'847" LS 127O7'120" BT O
6
3 16'267" LS O
127 7'122" BT O
7
3 16'274" LS O
127 6'111" BT O
8
3 17'272" LS 127O5'099" BT O
9
3 16'262" LS O
127 5'094" BT O
10
3 16'255" LS O
127 5'086" BT O
11 12
3 15'250" LS O
127 4'075" BT 3O15'524" LS 127O3'054" BT O
13
3 15'590" LS O
127 2'040" BT O
14
3 17'277 LS O
127 2'045" BT O
15
3 19'303" LS O
127 2'490" BT O
16
3 19'305" LS 127O4'074" BT O
17
3 21'338" LS O
127 4'077" BT O
18
3 22'351" LS O
127 5'096" BT O
19
3 22'363" LS 127O7'124" BT O
20
3 22'354" LS O
127 8'137" BT O
21 22 23
3 19'329" LS O
127 8'144" BT 3O21'336" LS O
127 11'195" BT 3O21'342" LS 127O14'243" BT O
24
3 21'657" LS O
127 16'265" BT O
25
3 22'856" LS O
127 16'670" BT O
26
3 25'418" LS O
127 14'261" BT O
27
3 28'475" LS 127O14'257" BT O
28
3 31'004" LS O
127 14'259" BT
137
Lampiran 1. (Lanjutan) Posisi Stasiun No.
Pengamatan O
1
3 8'128'' LS O
126 56'934'' BT O
2
3 10'150" LS O
127 1'033" BT O
3
3 11'168" LS O
127 4'061" BT O
4
3 13'197" LS O
127 6'095" BT O
5
3 14'847" LS O
127 7'120" BT O
6
3 16'267" LS O
127 7'122" BT O
7
3 16'274" LS O
127 6'111" BT O
8
3 17'272" LS O
127 5'099" BT O
9
3 16'262" LS O
127 5'094" BT O
10
3 16'255" LS O
127 5'086" BT
Dasar Tipe Perairan Pantai Karang Berpasir Karang Berpasir Karang Berpasir Karang Berpasir Karang Berpasir Karang Berpasir Karang Berpasir Karang Berpasir Karang Berpasir Karang Berpasir
Curam Landai Landai Landai Curam Curam Curam Landai Curam Curam
O
11 12 13
Pasir 3 15'250" LS Landai O 127 4'075" BT Berlumpur O Pasir 3 15'524" LS Landai O 127 3'054" BT Berlumpur O Pasir 3 15'590" LS Landai O 127 2'040" BT Berlumpur O
14
3 17'277 LS O
127 2'045" BT
Karang Berpasir
Landai
O
15 16
Pasir 3 19'303" LS Landai O 127 2'490" BT Berlumpur O Pasir 3 19'305" LS Curam O 127 4'074" BT Berlumpur
Penutupan Lahan Pantai Kelapa Ketapang Kelapa, Ketapang Lahan Terbuka Kelapa Ketapang Kelapa Ketapang Kelapa Tumbuhan Lainnya Kelapa Ketapang Kelapa Ketapang Kelapa, Ketapang Tumbuhan Lainnya ----Kelapa, Ketapang Tumbuhan Lainnya Mangrove, Nipah Semak Belukar Mangrove Nipah Kelapa Mangrove Kelapa, Nipah Mangrove Mangrove, Nipah Semak Belukar Mangrove
Penutupan Jenis Karang Karang (%) Flat 10 Branch 35 20 20 5 5 ----20 5 10 2 25 30 20
Vegetasi Pantai Kelapa Ketapang
18 19
Pasir 3 21'338" LS Mangrove Landai O 127 4'077" BT Berlumpur O Pasir Kelapa, Ketapang 3 22'351" LS Landai O Tumbuhan Lainnya 127 5'096" BT O Karang Kelapa, Ketapang 3 22'363" LS Curam O Tumbuhan Lainnya 127 7'124" BT Berpasir O
20
3 22'354" LS O
127 8'137" BT O
21 22
3 19'329" LS O
127 8'144" BT 3O21'336" LS O
127 11'195" BT O
23
3 21'342" LS
Karang Berpasir Karang Berpasir Karang Berpasir Pasir
O
Landai Curam Curam Curam
127 14'243" BT O
24
3 21'657" LS
Pasir
O
Curam
127 16'265" BT O
25
3 22'856" LS O
127 16'670" BT O
26
3 25'418" LS O
127 14'261" BT O
27
3 28'475" LS O
127 14'257" BT O
28
3 31'004" LS O
127 14'259" BT
Karang Berpasir Karang Berpasir Karang Berpasir Karang Berpasir
Curam Curam Curam Curam
Mangrove Tumbuhan Lainnya Kelapa, Ketapang Tumbuhan Lainnya Kelapa Ketapang Kelapa, Ketapang Tumbuhan Lainnya Kelapa Ketapang Kelapa Ketapang Kelapa Tumbuhan Lainnya Kelapa Tumbuhan Lainnya Kelapa Ketapang
-----
Flat
Kelapa
Lamun
Branch
Ketapang
Makroalga
Flat
Kelapa
Lamun
Branch
Ketapang
Makroalga
Flat
Kelapa
Lamun
Branch
Ketapang
Makroalga
Kelapa
-----
Flat Branch Flat
Kelapa
Branch
Ketapang
-----
Flat
Kelapa
Lamun
Branch
Ketapang
Makroalga
Flat
Kelapa
Lamun
Branch
Ketapang
Makroalga
-----
-----
Flat Branch Flat
Kelapa
Branch
Ketapang
-----
Flat
Mangrove
Lamun
Branch
Nipah
Makroalga
Flat
Mangrove
Lamun
Branch
Nipah
Makroalga
Flat
Kelapa
Lamun
Branch
Mangrove
Makroalga
Flat
Kelapa, Nipah
Lamun
Branch
Mangrove
Makroalga
Mangrove
Lamun
Nipah
Makroalga
-----
Mangrove
-----
-----
-----
Mangrove
-----
-----
-----
-----
-----
O
17
Vegetasi Laut
5 54 30 10
Kelapa Ketapang
Flat
Kelapa
Lamun
Ketapang
Makroalga
Flat
Kelapa
Branch
Ketapang
-----
5
Lamun Makroalga
Flat
-----
10
Mangrove
-----
Branch
-----
5
Lamun Makroalga
Flat
-----
5
Kelapa Ketapang
Branch Branch
Lamun Makroalga
Kelapa Ketapang Kelapa Ketapang
Flat
Kelapa
Branch
Ketapang
Flat Branch Flat Branch
-----------------
Kelapa
-----
Kelapa
-----
Flat
Kelapa
Branch
Ketapang
-----
138
Lampiran 2. Penilaian Responden untuk Analisis Pemecahan Konflik Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Buru.
TUJUAN
: MENENTUKAN SKALA PRIORITAS PEMANFAATAN RUANG WILAYAH PESISIR KABUPATEN BURU
KRITERIA
: A. Ketersediaan dan kesesuaian lahan. B. Kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan. C. Pengembangan wilayah ke masa yang akan datang. D. Kontinyuitas pembangunan
ALTERNATIF : 1. 2. 3. 4. 5.
Kawasan Pemukiman Penduduk Kawasan Perikanan Kawasan Pelabuhan Kawasan Pariwisata Pantai Kawasan Konservasi Mangrove dan Terumbu Karang
PENILAIAN RESPONDEN UNTUK MENENTUKAN PRIORITAS KRITERIA DAN ALTERNATIF PEMANFAATAN RUANG WILAYAH PESISIR KABUPATEN BURU I. KRITERIA TERHADAP TUJUAN RESPOND KRITERIA
A B C D
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
JMLH
7 5 1 1 14
9 1 5 5 20
9 9 7 9 34
9 7 9 7 32
7 5 9 1 22
7 9 1 5 22
7 1 5 1 14
5 7 1 5 18
7 7 1 5 20
7 7 5 5 24
5 1 1 1 8
7 1 5 1 14
7 7 1 1 16
7 1 5 1 14
5 7 1 1 14
5 9 7 1 22
110 84 64 50 308
RATA RATA 6.88 5.25 4.00 3.13 19.25
BOBOT 0.514 0.187 0.183 0.116 1.000
SKALA PRIOR 1 2 3 4 138
1
139
Lampiran 2. (Lanjutan)
II.1. ALTERNATIF TERHADAP KRITERIA KETERSEDIAAN DAN KESESUAIAN LAHAN RESPOND ALTR
Pemukiman Perikanan Pelabuhan Pariwisata Konservasi
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
JMLH
9 9 7 7 7 25
7 9 9 7 7 23
9 9 9 7 7 25
9 9 7 7 9 25
7 7 9 7 9 21
7 9 9 7 7 23
7 9 7 9 7 25
9 9 9 7 7 25
9 9 9 7 9 25
9 9 9 7 7 25
7 9 9 7 7 23
7 9 9 7 7 23
9 7 9 9 9 25
9 9 9 7 7 25
9 9 9 7 7 25
9 9 9 7 9 25
132 140 138 116 122 648
RATA RATA 8.25 8.75 8.63 7.25 7.63 24.25
BOBOT 0.185 0.345 0.211 0.126 0.132 1.00
II.2. ALTERNATIF TERHADAP KRITERIA KELESTARIAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN RESPOND ALTR
Pemukiman Perikanan Pelabuhan Pariwisata Konservasi
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
JMLH
7 7 5 7 7 26
7 7 5 7 7 26
5 7 5 7 7 24
5 9 5 7 9 26
5 9 5 7 7 26
5 7 9 7 7 28
7 7 7 9 7 30
5 7 7 7 7 26
7 9 7 7 9 30
7 7 5 5 7 24
7 7 7 5 7 26
5 7 5 7 7 24
7 7 7 9 7 30
7 7 7 5 9 26
7 5 7 7 7 26
5 9 7 7 7 28
98 118 100 110 118 426
RATA RATA 6.13 7.38 6.25 6.88 7.38 26.63
BOBOT 0.076 0.277 0.095 0.201 0.351 1.00
139
140
Lampiran 2. (Lanjutan) II.3. ALTERNATIF TERHADAP KRITERIA PENGEMBANGAN WILAYAH KE MASA YANG AKAN DATANG RESPOND ALTR
Pemukiman Perikanan Pelabuhan Pariwisata Konservasi
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
JMLH
7 7 7 7 7 35
7 9 9 9 7 41
9 9 9 9 9 45
9 7 9 9 7 41
9 7 7 7 7 37
7 7 7 9 7 37
7 9 7 9 9 41
9 9 9 9 9 45
9 9 7 5 9 39
7 9 9 9 7 41
7 9 7 7 7 37
7 9 9 7 7 39
9 9 9 7 9 43
7 9 9 7 7 39
9 9 9 9 7 43
9 9 9 7 7 41
128 136 132 126 122 644
RATA RATA 8.00 8.50 8.25 7.88 7.63 40.25
BOBOT 0.145 0.359 0.263 0.126 0.107 1.00
II.4. ALTERNATIF TERHADAP KRITERIA KONTINYUITAS PEMBANGUNAN RESPOND ALTR
Pemukiman Perikanan Pelabuhan Pariwisata Konservasi
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
JMLH
7 7 7 7 7 35
7 7 7 7 7 35
7 7 7 7 7 35
9 7 5 7 7 35
5 7 5 7 9 33
7 7 5 9 5 33
5 5 9 7 7 33
5 7 5 7 7 31
7 7 5 5 7 31
7 7 5 5 5 29
5 7 3 5 5 25
5 7 7 5 3 27
5 7 7 5 7 31
7 7 5 5 7 31
5 7 5 7 5 29
7 7 5 5 7 31
100 110 92 100 102 504
RATA RATA 6.25 6.88 5.75 6.25 6.38 31.50
BOBOT 0.137 0.368 0.140 0.133 0.223 1.00
140
141
Lampiran 2. (Lanjutan) BOBOT KOMPONEN LEVEL 2 RELATIF TERHADAP LEVEL 1
KRITERIA ALTERNATIF Kawasan pemukiman penduduk Kawasan perikanan Kawasan pelabuhan umum Kawasan pariwisata pantai Kawasan konservasi mangrove dan terumbu karang Keterangan : Jumlah Responden (Tokoh Kunci/Key Person) = 16 Orang, yang terdiri dari : 1. Bupati Kabupaten Buru 2. Ketua DPRD Kabupaten Buru 3. Kepala Bappeda Kabupaten Buru 4. Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Buru 5. Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Buru 6. Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Buru 7. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Buru 8. Camat Namlea
A
B
C
D
JUMLAH
RATA-RATA
0.185 0.345 0.211 0.126 0.132 1
0.076 0.277 0.095 0.201 0.351 1
0.145 0.359 0.263 0.126 0.107 1
0.137 0.368 0.140 0.133 0.223 1
0.543 1.349 0.709 0.586 0.813 4
0.136 0.337 0.177 0.147 0.203 1
Skoring : 1 = Sama Penting 3 = Sedikit Lebih Penting 5 = Lebih Penting 7 = Jelas Lebih Penting 9 = Mutlak Lebih Penting
9. Camat Waeapo 10.Camat Batabual 11. Unsur Kepala Desa 12. Ketua Koperasi Nelayan 13. Unsur Perguruan Tinggi (Universitas Iqra Buru) 14. Unsur Pengusaha 15. Unsur LSM 16. Unsur Masyarakat Umum
141
142
Lampiran 3. Bobot dan Prioritas Alternatif Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Buru. Struktur
Responden 8 9
1
2
3
4
5
6
7
0.461 0.225 0.183 0.131 1.000
0.450 0.296 0.135 0.119 1.000
0.539 0.217 0.138 0.106 1.000
0.539 0.217 0.138 0.106 1.000
0.539 0.217 0.138 0.106 1.000
0.299 0.080 0.473 0.148 1.000
0.547 0.215 0.114 0.124 1.000
0.516 0.138 0.255 0.091 1.000
0.744 0.150 0.106 1.000
0.707 0.170 0.123 1.000
0.281 0.135 0.584 1.000
0.218 0.198 0.584 1.000
0.584 0.281 0.135 1.000
0.584 0.281 0.135 1.000
0.547 0.263 0.190 1.000
0.597 0.226 0.115 0.062 1.000
0.537 0.209 0.090 0.164 1.000
0.556 0.199 0.064 0.181 1.000
0.537 0.209 0.090 0.164 1.000
0.543 0.211 0.099 0.147 1.000
0.543 0.211 0.099 0.147 1.000
0.726 0.198 0.076 1.000
0.701 0.097 0.202 1.000
0.281 0.135 0.584 1.000
0.584 0.135 0.281 1.000
0.584 0.135 0.281 1.000
0.651 0.223 0.126 1.000
0.359 0.124 0.517 1.000
0.547 0.263 0.190 1.000
0.349 0.168 0.483 1.000
0.358 0.260 0.177 0.121 0.084 1.000
0.304 0.209 0.154 0.120 0.213 1.000
0.304 0.246 0.125 0.131 0.194 1.000
0.069 0.410 0.176 0.139 0.206 1.000
MEAN
P
10
11
12
13
14
15
16
0.299 0.080 0.473 0.148 1.000
0.560 0.225 0.120 0.095 1.000
0.539 0.217 0.138 0.106 1.000
0.539 0.217 0.138 0.106 1.000
0.539 0.217 0.138 0.106 1.000
0.516 0.138 0.255 0.091 1.000
0.543 0.195 0.153 0.109 1.000
0.543 0.195 0.153 0.109 1.000
0.490 0.183 0.175 0.111 0.959
0.511 0.191 0.182 0.116 1.000
P1 P2 P3 P4
0.584 0.281 0.135 1.000
0.281 0.135 0.584 1.000
0.281 0.135 0.584 1.000
0.281 0.135 0.584 1.000
0.281 0.135 0.584 1.000
0.349 0.168 0.483 1.000
0.584 0.281 0.135 1.000
0.584 0.135 0.281 1.000
0.584 0.135 0.281 1.000
0.433 0.179 0.278 0.890
0.487 0.201 0.312 1.000
P1 P3 P2
0.461 0.225 0.131 0.183 1.000
0.543 0.211 0.098 0.148 1.000
0.515 0.219 0.098 0.168 1.000
0.515 0.219 0.098 0.168 1.000
0.515 0.219 0.098 0.168 1.000
0.543 0.195 0.109 0.153 1.000
0.515 0.219 0.098 0.168 1.000
0.515 0.219 0.098 0.168 1.000
0.543 0.212 0.098 0.147 1.000
0.543 0.212 0.098 0.147 1.000
0.532 0.213 0.098 0.152 0.995
0.535 0.214 0.098 0.153 1.000
P1 P2 P4 P3
0.584 0.135 0.281 1.000
0.281 0.135 0.584 1.000
0.584 0.135 0.281 1.000
0.359 0.124 0.517 1.000
0.584 0.281 0.135 1.000
0.281 0.135 0.584 1.000
0.584 0.135 0.281 1.000
0.584 0.135 0.281 1.000
0.584 0.135 0.281 1.000
0.584 0.135 0.281 1.000
0.281 0.135 0.584 1.000
0.484 0.141 0.302 0.927
0.522 0.152 0.326 1.000
P1 P3 P2
0.584 0.135 0.281 1.000
0.584 0.135 0.281 1.000
0.547 0.263 0.190 1.000
0.281 0.135 0.584 1.000
0.281 0.135 0.584 1.000
0.584 0.135 0.281 1.000
0.584 0.135 0.281 1.000
0.584 0.135 0.281 1.000
0.584 0.135 0.281 1.000
0.584 0.135 0.281 1.000
0.584 0.135 0.281 1.000
0.584 0.135 0.281 1.000
0.500 0.153 0.300 0.953
0.525 0.161 0.315 1.000
P1 P3 P2
0.134 0.180 0.204 0.134 0.348 1.000
0.231 0.210 0.309 0.137 0.113 1.000
0.081 0.285 0.124 0.309 0.201 1.000
0.115 0.395 0.211 0.117 0.162 1.000
0.126 0.354 0.177 0.117 0.226 1.000
0.148 0.393 0.145 0.137 0.177 1.000
0.137 0.381 0.194 0.116 0.172 1.000
0.100 0.379 0.183 0.123 0.215 1.000
0.099 0.379 0.163 0.136 0.223 1.000
0.099 0.371 0.198 0.154 0.178 1.000
0.113 0.383 0.132 0.127 0.245 1.000
0.104 0.373 0.206 0.129 0.188 1.000
0.139 0.315 0.175 0.136 0.188 0.953
0.146 0.331 0.184 0.143 0.197 1.000
P4 P1 P3 P5 P2
Kriteria Tujuan Ketersediaan dan Kesesuaian Lahan Kelestarian SDA dan Lingkungan Pembangunan Wilayah ontinyuitas Pembangunan
Sub Kriteria Ketersediaan dan Kesesuaian Lahan a. Pemanfaatan ruang bagi setiap sektor. b. Pengurangan konflik pemanfaatan ruang secara sektoral. c. Peningkatan pemanfaatan wilayah pesisir.
Sub Kriteria Kelestarian SDA dan Lingkungan a. Pengurangan degradasi lingkungan dan SDA. b. SDA dapat pulih. c. SDA tidak dapat pulih. d. Jasa lingkungan.
Sub Kriteria Pengembangan Wilayah a. Peningkatan pembangunan infrastruktur. b. Percepatan pembangunan wilayah. c. Peningkatan ekonomi masyarakat dan PAD.
Sub Kriteria Kontinyuitas Pembangunan a. Pemanfaatan ruang wilayah pesisir secara tepat. b. Pembangunan wilayah pesisir yang lestari. c. Peningkatan partisipasi masyarakat dan peningkatan kelembagaan
Alternatif Kegiatan
142
PEMUKIMAN PENDUDUK PERIKANAN PELABUHAN PARIWISATA PANTAI KONSERVASI
143
Lampiran 4. Model Skenario Kebijakan Bila Terjadi Perubahan pada Setiap Kriteria Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Kabupaten Buru.
Input : Kriteria
Output : Alternatif
Model Dinamika bila Kriteria Ketersediaan dan Kesesuaian Lahan Meningkat Sampai 75 %. Input : Kriteria
Output : Alternatif
Model Dinamika bila Kriteria Kelestarian Sumberdaya Alam dan Lingkungan Meningkat Sampai 50 %.
144
Lampiran 4. (Lanjutan)
Model Dinamika bila Kriteria Kelestarian Sumberdaya Alam dan Lingkungan Meningkat Sampai 75 %.
Model Dinamika bila Kriteria Pengembangan Wilayah ke Masa yang Akan Datang Meningkat Sampai 50 %.
145
Lampiran 4. (Lanjutan)
Model Dinamika bila Kriteria Pengembangan Wilayah ke Masa yang Akan Datang Meningkat Sampai 75 %.
Model Dinamika bila Kontinyuitas Pembangunan Meningkat Sampai 50 %.
146
Lampiran 4. (Lanjutan) Input : Kriteria
Output : Alternatif
Model Dinamika bila Kontinyuitas Pembangunan Meningkat Sampai 75 %.
147
Lampiran 5. KUISIONER DATA GOVERNMENT STAKEHOLDER Kota/Kabupaten : …………………………………… Tanggal : …………………. Profil Lembaga Nama Lembaga : ……………………………………………………………………………………… Nama Pimpinan : 1. ……………………………………… 2. ……………………………………… 3. ……………………………………… 4. ……………………………………… Alamat : ...................................................................................................... ...................................................................................................... Telp./Faximile : ............................................................ E-mail : ............................................................ Struktur Organisasi : Ada (terlampir)
Tidak ada
Tipe Kegiatan : .......................................................................................................... Mitra Kerja Instansi Pemerintah No. Nama Instansi
Nama Program
Waktu
Keterangan
LSM/ORNOP No. Nama LSM/ORNOP
Nama Program
Waktu
Keterangan
Lembaga Internasional No. Nama Lembaga Int.
Nama Program
Waktu
Keterangan
148
Masyarakat No. Nama Kelompok Masy.
Nama Program
Waktu
Keterangan
Peran Dalam Perencanaan Partisipatif 1. Partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunanyang benar menurut Dinas/Instansi apabila masyarakatnya : Mengetahui Ikut dalam setiap proses Ada sosialisasi Ikut dan menetapkan Lainnya : ..................................................... Penjelasan : .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. 2. Keterlibatan Dinas/Instansi dalam perencanaan bersama masyarakat : Sering Pernah Tidak Pernah Penjelasan : .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. 3. Bentuk keterlibatan Dinas/Instansi dalam perencanaan pembangunan : Konsultasi Persetujuan Pelaksanaan Penjelasan : .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. 4. Apa tugas layanan masyarakat yang dilakukan Dinas/Instansi dalam pelaksanaan proyek/program pembangunan? Memfasilitasi Melatih Mendampingi Mengawasi Mengevaluasi Lainnya : ......................................................................................................... Penjelasan : .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. ..............................................................................................................................
149
Perencanaan Yang Partisipatif 1. Pendapat mengenai sistem partisipasi masyarakat di wilayah kerja Dinas/Instansi selama ini. Sudah Baik Cukup Baik Tidak Baik Alasan : .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. 2. Adakah hambatan pelaksanaan partisipasi pembangunan bersama masyarakat? Ada Tidak Ada Bila ada, apa hambatan utama tidak jalannya partisipasi masyarakat? .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. 3. Usulan perbaikan/peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan : .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. 4. Perlukah pelaku pembangunan (stakeholder) membentuk suatu forum dialog pembangunan? Perlu Tidak Perlu Tidak Tahu Alasan : .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. 5. Bila perlu, bentuk yang paling baik menurut Dinas/Instansi adalah : Forum Dialog NGS & GS Forum NGS saja Tidak Tahu Penjelasan : .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. 6. Bila perlu, siapa yang memfasilitasi pertemuan : Pemda NGS Tidak Tahu Penjelasan : .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. ..............................................................................................................................
150
Pengelolaan Sumberdaya Alam 1. Pilihlah salah satu/lebih dari sumberdaya pesisir berikut yang selama ini dimanfaatkan oleh stakeholders (pelaku pembangunan) dalam pengembangan kerja lembaga dalam pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam. Ekosistem Mangrove Ekosistem Pantai Ekosistem Estuaria Ekosistem Lamun Ekosistem Terumbu Karang Sumberdaya pesisir lainnya : ................................................ Penjelasan : .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. 2. Apakah kondisi sumberdaya pesisir tersebut saat ini mendukung kehidupan stakeholder atau masyarakat di sekitarnya? Mendukung Kurang Mendukung Tidak Mendukung Alasan : .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. 3. Masalah apa yang paling sering muncul dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir tersebut. .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. 4. Apakah konservsi sumberdaya pesisir pernah dijadikan sebagai salah satu pertimbangan dalam perencanaan pembangunan di wilayah kerja Dinas/Instansi selama ini? Sering Pernah Tidak Pernah Penjelasan : .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. 5. Pendapat tentang perlunya mempertimbangkan masalah konservasi dalam perencanaan pembangunan pesisir. Perlu Tidak Perlu Tidak Tahu Alasan : .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. ..............................................................................................................................
151
6. Pendapat tentang perlunya penataan ruang wilayah dalam perencanaan pembangunan pesisir. Perlu Tidak Perlu Tidak Tahu Alasan : .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. 7. Bila perlu, sektor apa yang dirasakan sangat penting untuk dilakukan penataan ruangnya dalam perencanaan pembangunan pesisir. Pemukiman Perikanan Pariwisata Pelabuhan umum Pertanian Perkebunan Konservasi Kelautan Lainnya : ........................................................................................................ Alasan : .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. 8. Dalam penataan ruang wilayah pesisir yang diharapkan, alternatif pengembangan kawasan yang saat ini dirasa harus segera dikembangkan untuk pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Buru adalah : Kawasan Pemukiman Penduduk Kawasan Pelabuhan Umum Kawasan Perikanan Kawasan Pariwisata Pantai Kawasan Konservasi Sumberdaya Alam Penjelasan : .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. ..............................................................................................................................
Namlea, .......................................2007 Dinas/Instansi
( .......................................................... )
Terima Kasih Atas Bantuan dan Kerjasamanya
152
Lampiran 6. KUISIONER DATA NON-GOVERNMENT STAKEHOLDER Kota/Kabupaten : ………………………………… Tanggal : …………………. Profil Lembaga Nama Lembaga Nama Pimpinan 5. Ketua 6. Wakil Ketua 7. Sekretaris 8. Bendahara Alamat
: ………………………………………………………………...... : : ……………………………………… : ……………………………………… : ……………………………………… : ……………………………………… : ...................................................................................................... ...................................................................................................... Telp./Faximile : ............................................................ E-mail : ............................................................ Tanggal berdiri : ............................................................ No. Akta : ............................................................ (bila ada) Struktur Organisasi : Ada (terlampir)
Tidak ada
Jenis Organisasi Yayasan Ormas Orpol Asosiasi CBO Koperasi Lainnya : .......................................................................... (sebutkan) Tipe Kegiatan : Penelitian Advokasi Info-com Pendanaan Pendidikan & Latihan B. Kemanusiaan Lainnya : .......................................................................................................... .......................................................................................................... Bidang Kegiatan : Perikanan Pertanian Sosial Perburuhan Kebudayaan Lingkungan Hidup Ibu & Anak Eko. Masyarakat Gizi & Makanan Industri Tek. Tepat Guna Masyarakat Adat Gender Industri Kecil Hak Asasi Manusia Keterampilan Lainnya : .......................................................................................................... ..........................................................................................................
153
Wilayah Kegiatan : Desa/Kelurahan Nasional
Kabupaten/Kota Internasional
Propinsi
Sumber Dana : Modal Sendiri Iuran Anggota Pemerintah Pinjaman Bank Donor Dalam Negeri Donor Luar Negeri Pengembangan Usaha Lainnya : .......................................................................................................... ..........................................................................................................
Mitra Kerja Instansi Pemerintah No. Nama Instansi
Nama Program
Waktu
Keterangan
LSM/ORNOP No. Nama LSM/ORNOP
Nama Program
Waktu
Keterangan
Lembaga Internasional No. Nama Lembaga Int.
Nama Program
Waktu
Keterangan
Masyarakat No. Nama Kelompok Masy.
Nama Program
Waktu
Keterangan
154
Peran Dalam Perencanaan Partisipatif 1. Apa yang dimaksud dengan partisipasi masyarakat dalam perencanaan pembangunan? .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. 2. Keterlibatan instansi/lembaga Anda dalam perencanaan bersama dalam masyarakat : Sering Pernah Tidak Pernah Penjelasan : .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. 3. Jika Anda pernah terlibat, dimana tingkat keterlibatannya : Desa/Kel. Kab./Kota Propinsi Nasional Penjelasan : .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. 4. Bentuk keterlibatan instansi Anda dalam perencanaan pembangunan : Konsultasi Persetujuan Pelaksanaan Penjelasan : .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. 5. Apa tugas layanan masyarakat yang dilakukan lembaga Anda dalam pelaksanaan proyek/program pembangunan? Memfasilitasi Melatih Mendampingi Mengawasi Mengevaluasi Lainnya : ......................................................................................................... Penjelasan : .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. Perencanaan Yang Partisipatif 1. Pendapat mengenai sistem partisipasi masyarakat di wilayah Anda selama ini. Sudah Baik Cukup Baik Tidak Baik
155
Alasan : .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. 2. Adakah hambatan pelaksanaan partisipasi pembangunan bersama masyarakat? Ada Tidak Ada Bila ada, apa hambatan utama tidak jalannya partisipasi masyarakat? .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. 3. Pendapat tentang peran Pemerinah sebagai fasilitator pembangunan : Sudah Baik Cukup Baik Tidak Baik Penjelasan : .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. 4. Usulan perbaikan/peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan : .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. 5. Perlukah pelaku pembangunan (stakeholder) membentuk suatu forum dialog pembangunan? Perlu Tidak Perlu Tidak Tahu Alasan : .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. 6. Bila perlu, bentuk yang paling baik menurut Anda adalah : Forum Dialog NGS & GS Forum NGS saja Tidak Tahu Penjelasan : .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. 7. Bila perlu, siapa yang memfasilitasi pertemuan : Pemda NGS Tidak Tahu Penjelasan : .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. ..............................................................................................................................
156
Pengelolaan Sumberdaya Alam 1. Pilihlah salah satu/lebih dari sumberdaya pesisir berikut yang selama ini dimanfaatkan oleh stakeholders (pelaku pembangunan) dalam pengembangan kerja lembaga dalam pembangunan dan pengelolaan sumberdaya alam. Ekosistem Mangrove Ekosistem Pantai Ekosistem Estuaria Ekosistem Lamun Ekosistem Terumbu Karang Sumberdaya pesisir lainnya : ................................................ Penjelasan : .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. 2. Apakah kondisi sumberdaya pesisir tersebut saaat ini mendukung kehidupan stakeholder atau masyarakat di sekitarnya? Mendukung Kurang Mendukung Tidak Mendukung Alasan : .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. 3. Masalah apa yang paling sering muncul dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir tersebut. .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. 4. Apakah konservsi sumberdaya pesisir pernah dijadikan sebagai salah satu pertimbangan dalam perencanaan pembangunan di wilayah Anda selama ini? Sering Pernah Tidak Pernah Penjelasan : .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. 5. Pendapat tentang perlunya mempertimbangkan masalah konservasi dalam perencanaan pembangunan pesisir. Perlu Tidak Perlu Tidak Tahu Alasan : .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. ..............................................................................................................................
157
6. Pendapat tentang perlunya penataan ruang wilayah dalam perencanaan pembangunan pesisir. Perlu Tidak Perlu Tidak Tahu Alasan : .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. 7. Bila perlu, sektor apa yang dirasakan sangat penting untuk dilakukan penataan ruangnya dalam perencanaan pembangunan pesisir. Pemukiman Perikanan Pariwisata Pelabuhan Pertanian Perkebunan Konservasi Industri perikanan Lainnya : ........................................................................................................ Alasan : .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. 8. Dalam penataan ruang wilayah pesisir yang diharapkan, alternatif pengembangan kawasan yang saat ini dirasa harus segera dikembangkan untuk pembangunan wilayah pesisir Kabupaten Buru adalah : Kawasan Pemukiman Penduduk Kawasan Pelabuhan Umum Kawasan Perikanan Kawasan Pariwisata Pantai Kawasan Konservasi Sumberdaya Alam Penjelasan : .............................................................................................................................. .............................................................................................................................. ..............................................................................................................................
Terima Kasih Atas Bantuan dan Kerjasamanya