ANALISIS PELAKSANAAN PROGRAM KEMITRAAN PEMELIHARAAN BROILER DI KABUPATEN LIMA PULUH KOTA Sri Nofianti1), Asdi Agustar2), Yonariza2)
1)
Staf pengajar Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh
2)
Staf pengajar Fakultas Pertanian Universitas Andalas email :
[email protected]
Abstract The aims are to describe the partnership approach broiler breeder is going on and know the income of farmers in different patterns of partnership in the maintenance of broiler in the Lima Puluh Kota District. This research was conducted in the Lima Puluh Kota Districtfrom September to November 2014, using survey methods. The data analysis by descriptive statistics. The results showed that partnerships are executed in this district can be distinguished by two patterns, PIR and non-PIR pattern. There are differences in the profile of farmers and companies that implement a partnership program with non-PIR PIR. Judging from the implementation of the obligations and rights that must be met each of the parties (companies and farmers) in running partnership in the District either the PIR or non-PIR has been running with the category in accordance with the agreements made. However, when viewed from the implementation of the obligations and rights of each offender as provided for in Regulation 44 of 1997 has not been carried out. The role of each actor partnerships and non PIR PIR new run with low to moderate category. This is due to an agreement made between the perpetrators of partnership has not fully load the existing rules in the regulations about the partnership. Revenue per kilogram results in one period of the business acquired by breeders program partnership PIR greater than that obtained by a partnership of nonPIR this is caused by a scale factor of production, the price of the means of production and the selling price of the harvest and the incentives received by breeders program partnership PIR. Keywords: Implementation Partnership, Broiler, Revenue 1. PENDAHULUAN Berbagai upaya untuk mendorong pengembangan agribisnis peternakan, khususnya pada peternakan broiler telah dilakukan oleh pemerintah salah satunya adalah
melalui program kemitraan. Kemitraan dipandang sebagai solusi agar tidak terjadinya ketimpangan antara sektor tradisional (peternakan rakyat) dengan usaha besar (industri) dengan melibatkan peranan koperasi dan swasta.Undang Undang No 9 Tahun 1995 tentang usaha kecil mendefenisikan bahwa kemitraan itu adalah sebagai kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Secara spesifik batasan kemitraan dalam agribisnis adalah hubungan bisnis usaha pertanian yang melibatkan satu atau kelompok orang/badan hukum dengan satu atau kelompok atau beberapa orang dimana masing-masing pihak memperoleh penghasilan dari usaha bisnis yang sama atau saling berkaitan dengan tujuan menjamin terciptanya keseimbangan, keselarasan dan keterpaduan yang didasari rasa saling menguntungkan dan saling melaksanakan etika bisnis (Hafsah 1999). Berbagai pola kemitraan telah berkembang selama ini diantaranya adalah: pola inti plasma, kemitraan dagang umum, kemitraan subkontrak dan kemitraan operasional agribisnis (Gani, 2008). Sementara itu pada agribisnis peternakan, khususnya peternakan broiler dilakukan dalam bentuk pola kemitraan inti plasma yang dikenal juga dengan Pola Inti Rakyat (PP No. 44 tahun 1997 tentang kemitraan).Pola kemitraan inti plasma adalah hubungan kemitraan dimana perusahaan mitra sebagai inti dan peternak sebagai plasma.Perusahaan inti menjamin penyediaan sarana produksi, menampung dan membeli hasil produksi, mengolah hasil dan pemasaran serta melaksanakan bimbingan teknis/manajemen kepada peternak serta mengusahakan permodalan.Sedangkan peternak sebagai plasma melakukan budidaya ternak (Saragih 2000 dalam T PSbang Suryanto 2004). Pelaksanaan program kemitraan pada usaha perunggasan di Sumatera Barat memperlihatkan adanya sambutan masyarakat.Hal ini terlihat dari jumlah peternak yang sudah bermitra dengan perusahaan peternakan pada tahun 2013 adalah sebanyak 505 orang (Lampiran 1). Menurut Hafsah (1999), kemitraan bertujuan untuk memperbaiki semua aspek yaitu ekonomi, sosial budaya, teknologi, manajemen. Pada aspek ekonomi bertujuan unutuk : a. Meningkatkan pendapataan usaha kecil dan masyarakat; b. Meningkatkan perolehan nilai tambah bagi pelaku kemitraan; c. Meningkatkan pemerataan dan pemberdayaan masyarakat dan usaha kecil; d. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi pedesaan, wilayah dan nasional; e. Memperluas kesempatan kerja; f. Meningkatkan ketahanan ekonomi nasional. Pada aspek sosial budaya tujuan yang ingin dicapai adalah pemberian pembinaan dan pembimbingan kepada pengusaha kecil, sehingga dapat tumbuh, dan berkembang sebagai komponen ekonomi yang tangguh dan mandiri.Pada akhirnya diharapkan akan disertai dengan tumbuhnya pusat-pusat ekonomi baru sebagai upaya pemerataan pendapatan sehingga dapat mencegah kesenjangan sosial. Tujuan dalam konteks teknologi adalah terjadinya perbaikan teknologi mitra yang lemah dan berskala kecil menjadi lebih baik melalui bimbingan dan transfer teknologi dari perusahaan besar.Diharapkan secara manajemen dapat tercapai perbaikan manajemen usaha kecil kearah yang lebih baik yaitupeningkatan
produktivitas individu yang melaksanakan kerja, dan peningkatan produktivitas organisasi di dalam kerja yang dilaksanakan. Dengan demikian pola kemitraan secara umum diharapkan dapat menjadi wahana untuk mengangkat kondisi ekonomi petani sehingga tercapai sasaran strategis pembanguan pertanian seperti peningkatan pendapatan dan produktivitas peternak, nilai tambah, pemberdayaan peternak kecil dan pembangunan pertanian yang berorientasi agribisnis, pemerataan dan stabilitas.Dampak akhirnya terjadinyamultiplier effectdari kemitraan dalam sistem agribisnis pertanian ini diharapkan bisa menjadi pengerak pertumbuhan ekonomi di kawasan pedesaan dan berdampak pada keberhasilan pembangunan wilayah pedesaan. KabupatenLima Puluh Kota merupakan sentra peternakan unggas di Sumatera Barat. Di Kabupaten ini kemitraan pada usaha peternakan telah dijalankan sejak tahun 2003 dengan berbagai macam pola, baik yang diprakarsai oleh pemerintah maupun non-pemerintah antara peternak kecil dengan pengusaha dibidang peternakan. Sejauh ini belum diketahui bagaimana sesungguhnya pola kemitraan tersebut berjalan.Untuk itu maka dilakukan penelitian dengan judul Pelaksanaan Program Kemitraan Pemeliharaan Broiler Di Kabupaten Lima Puluh Kota. Adapun tujuan dari penelitian ini berdasarkan permasalahan yang ada adalah: (1) Mendeskripsikan pelaksanaan pola kemitraan peternak broiler yang terjadi di Kabupaten Lima Puluh Kota. (2) Mengetahui pendapatanusaha peternak pada pola kemitraan yang berbeda dalam pemeliharaan broiler di Kabupaten Lima Puluh Kota. 2. METODOLOGI Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Lima Puluh Kota. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan secara sengaja (purposive). Penelitian ini menggunakan metodesurvey. Penelitian metode survey merupakan pendekatan penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan gejala-gejala dan mencari keterangan secara faktual dari suatu kelompok atau daerah (Nazir, 2003). Metode survey ini merupakan penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpul data utama.Yang menjadi responden penelitian adalah: (a) Peternak yang melakukan kemitraan. (b) Pelaku usaha yang mengelola perusahaan mitra, selain itu juga dilengkapidata primer yang bersumber dari informan kunci. Populasi dari penelitian ini adalah seluruh peternak yang memelihara broiler di Kabupaten Lima Puluh Kota dengan pola kemitraan. Berdasarkan data yang terdapat pada Dinas Peternakan di daerah ini terdapat 106 peternak broiler yang bermitra dengan Pola Inti Rakyat (PIR) dan 126 peternak yang bermitra dengan pola non-PIR. Kemitraan dengan pola PIR dilaksanakan antara 5 perusahaan peternakan dengan 106 peternak, sedangkan pola non-PIR dilaksanakan oleh 2 poultry shop, 1 perusahan peternakan dan 3 pedagang ayam dengan 126 peternak broiler. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 70 orang. Pengambilan sampel peternak dengan cara simple random samplingpada masing - masing pola kemitraan. Perhitungan penentuan sampel dan responden dilakukan secara proposional berdasarkan jumlah peternak pada masing-masing pola kemitraan.
Untuk mendeskripsikan pelaksanaan kemitraan yang dijalankan di lokasi penelitian dilakukan analisis deskriptif berupa frekuensi dan persentase (%). Pelaksanaan pola kemitraan diukur berdasarkan pendapat responden apa yang dilakukan berkenaan dengan 1) kesesuaian antara pelaksanaan kewajiban dan pemenuhan hak yang telah ditetapkan dalam kesepakatan/kontrak kerjasama, 2) item-item yang menjadi peran perusahaan maupun peternak dalam kegiatan kemitraan sesuai dengan PP No. 44 tahun 1997 tentang kemitraan.Dalam penggolahan data hasil kuesioner penulis menggunakan skala Guttman, yaitu untuk jawaban “Ya” diberi skor satu, sedangkan untuk jawaban “Tidak” diberi skor Nol dengan ketentuan yang dikemukakan oleh Sugiono (2009) mengenai skala Guttman. Kemudian untuk menentukan tingkat pelaksanaan kemitraan, selang nilai tertinggi dan terendah dibagi menjadi empat bagian.Program dapat dikatakan telah dijalankan baik atau belum diukur berdasarkan 4 tingkatan penilaian yaitu : a. Sangat baik: apabila ≥ 76% dari peran masing-masing pelaku kemitraan telah dijalankan sesuai dengan ketentuan/ peraturan yang ada. b. Baik: apabila ≥ 51% - 75% dari peran masing-masing pelaku kemitraan telah dijalankan sesuai dengen ketentuan/ peraturan yang ada. c. Sedang: apabila ≥ 26% - 50% dari peran masing-masing pelaku kemitraan telah dijalankan sesuai dengen ketentuan/ peraturan yang ada. d. Rendah: apabila ≤ 25% dari peran masing-masing pelaku kemitraan telah dijalankan sesuai dengen ketentuan/ peraturan yang ada Sedangkan untukmenganalisis pendapatan peternak broiler pada masing-masing pola kemitraan dilakukan dengan merujuk kepada formula yang dikemukakan oleh Soekartawi (2002) dan Suratiyah (2006) :Pd = TR - TC Dimana : Pd : Pendapatan bersih (Rupiah/ Proses produksi) TR : Total penerimaan (Rupiah/Proses produksi) TC : Total Biaya (Rupiah/ Proses produksi) TR = R1 + R2 + Z+ R4 + R5 Dimana R1 : Penerimaan dari hasil penjualan ayam yang sesuai standar R2 : Penerimaan dari hasil penjualan ayam yang tidak sesuai standar Z : Penerimaan dari hasil penjualan kotoran ayam R4 : Penerimaan dari insentif FCR dan insentif harga R5 : Penerimaan dari hasil penjualan karung pakan TC = TFC + TVC Dimana : TFC : Total Fixed Cost yang meliputi : Penyusutan kandang dan Peralatan, Sewa lahan TVC : Total Variabel Cost yang meliputi : Biaya produksi ( pakan, bibit, obatobatan), Biaya tenaga kerja ( pemeliharaan, bongkar pakan, panen), Biaya operasional peternak ( listrik, pemanas, sekam)
Berdasarkan perhitungan diatas maka peneliti melihat pendapatan peternak pada masing-masing pola kemitraan baik dengan pola PIR dan non-PIR broiler. Perolehan hasil pendapatan peternak ini akan dideskripsikan dengan mentabulasikan pendapatan peternak kemudian dibandingkan dengan analisa perbandingan untuk masing-masing pola tersebut. 3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Pelaksanaan Kemitraan Usaha Peternakan Broiler Di Kabupaten Lima Puluh Kota Tabel 1.Profil Peternak Broiler Peserta Kemitraan di Kabupaten Lima Puluh Kota Profil Peternak Broiler Kelompok Umur < 20 Tahun 20 – 40 Tahun 41 – 60 Tahun Tingkat Pendidikan SLTP SLTA D3-S1 Pengalaman Beternak dan Bermitra < 2 tahun 2 - 5 Tahun 6 - 10 tahun > 10 tahun Status Usaha Ternak Broiler Utama Sampingan Status Usaha Ternak Broiler Peternak Petani Peg. Negeri/ pensiunan Peg. Swasta Pedagang umum Skala Usaha Ternak Broiler 500 – 2.000 Ekor >2.000 – 5.000 Ekor >5.000 – 10.000 Ekor >10.000 Ekor
Pola PIR Jumlah Resp (%) (org)
non-PIR Jumlah (%) Resp (org)
0 20 11
0 64,5 35,5
0 21 18
0 53,9 46,1
0 12 19
0 38,7 61,3
5 23 11
12,8 59,0 28,2
4 20 5 2
12,9 64,5 16,1 6,5
7 23 9 0
17,9 59,0 23,1 0
6 25
19.4 80.6
2 37
5.2 94.8
6 0 11 9 5
19,35 0 35,48 29,03 16,13
2 22 3 4 8
5,13 56,41 7,69 10,26 20,51
0 16 13 2
0 53 43 4
37 2 0 0
95 5 0 0
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemitraan yang dijalankan di kabupaten ini dapat dibedakan dengan dua pola yaitu pola PIR dan pola non-PIR.Berdasarkan tabel 1,terlihat bahwa profil peternak yang melaksanakan program kemitraan pola PIR dengan non- PIR berbeda terutama dalam hal tingkat pendidikan, jenis pekerjaan utama peternak danskala usaha yang dijalankan. Kemitraan pola PIR dijalankan oleh peternak pada golongan ekonomi menengah ke atas dengan tingkat pendidikan
dominan perguruan tinggi dan pekerjaan pokok sebagai PNS dan pegawai swasta atau pedagang serta skala usaha cukup besar, sedangkan kemitraan non-PIR terjadi pada peternak kecil dengan kemampuan ekonomi menengah kebawah dengan tingkat pendidikan SLTA, dan pekerjaan pokok sebagai petani serta skala usaha yang masih kecil. Pada Tabel 2, dapat terlihat bahwa profil perusahaan yang terlibat pada pola PIR dan non-PIR juga berbeda dimana pada pola PIR perusahaan yang terlibat berupa perusahaan dalam bentuk PT yang bergerak pada budidaya dan perdagangan input serta pemasaran broiler dengan pengalaman dan mitra dengan skala usaha yang lebih besar dari pada perusahaan mitra pada pola non-PIR Tabel 2.Profil Perusahaanyang Terlibat Kemitraan di Kabupaten Lima Puluh Kota Profil Peternak Broiler Jenis Usaha Budidaya dan perdagangan input peternakan serta pemasaran broiler Perdagangan sapronak dan pemasaran broiler Poultry shop dan pemasaran broiler Pemasaran broiler Bentuk Usaha PT CV UD/Perseorangan Wilayah Pemasaran Lokal Luar daerah + Lokal Pengalaman Bermitra < 5 Tahun 5 – 10 Tahun 11 – 20 Tahun Jumlah Mitra
Pola PIR Jumlah Resp (%) (org)
non-PIR Jumlah (%) Resp (org)
3
60
0
0
2 0 0
40 0 0
1 2 1
25 50 25
3 2 0
60 40 0
0 1 3
0 25 75
0 5
0 100
1 3
25 75
2 4 3 106
22 45 33 45,7
4 2 3 126
45 22 33 54,3
Pelaksanaan kemitraan broiler yang dijalankan di Kabupaten Lima Puluh Kota dapat dilihat berdasarkan proses terjadinya kemitraan, persyaratan kemitraan dan pelaksanaan kewajiban serta pemenuhan hak masing-masing pihak yang bermitra.Proses terjadinya kemitraan antara pola PIR dengan Pola non-PIR terlihat adanya beberapa perbedaan diantaranya pertama pada tahap dokumentasi pelaksanaan, dimana pada pola PIR kegiatan kerjasama di dokumentasikan dengan penandatangani perjanjian/ kontrak secara tertulis antara kedua belah pihak, sedangkan pada pola Non-PIR perjanian atau kontrak hanya terjadi secara lisan. Kedua pada tahap survey kelayakan peternak dan kandang, pada pola PIR harus sesuai dengan standar perusahaan sedangkan pada pola non-PIR persyaratan kelayakan lebih fleksibel hanya berdasarkan standar minimal dan sesuai kemampuan peternak. Berdasarkan bentuk hubungan kemitraaan usaha, pelaksanaan kerjasama kemitraan usaha peternakan broiler antara Pola PIR dan non-PIR hampir sama, dimana baik pola
PIR dan non-PIR melakukan hubungan kerjasama pada aspek permodalan, pemasaran, dan bantuan teknis dengan peternak plasmanya, hanya terdapat perbedaan dalam hal landasan legalitas kerjasama pada pola PIR dan non-PIR. Sedangkan dalam hal persyaratan kerjasama yang harus dipenuhi antara peternak dengan pengusaha mitra di Kabupeten Lima Puluh Kota yang dijalankan pola PIR dan Pola non-PIR terdapat perbedaan.Masing-masing pola memiliki syarat dan ketentuan pelaksanaan kemitraan yang berbeda serta memiliki ciri khas tersendiri.Perbedaan tersebut diantaranya adalah dokumentasi persyaratan pada pola PIR dalam bentuk tertulis sedangkan pada pola non- PIR bersifat lisan, demikian juga perbedaan persyaratan tentang jumlah kapasitas produksi minimal, jaminan usaha serta perhitungan bagi hasil anatara peternak dengan perusahaan mitra. Dalam pelaksanaan kewajiban dan pemenuhan hak pengusaha mitra pada pola PIR dan non-PIR tidak terdapat perbedaan yang berarti untuk setiap item kewajiban dan hak perusahaan dalam kemitraan yang dijalankan.Hal ini terlihat dari pendapat peternak mitra terhadap pelaksanaan kewajiban dan pemenuhan hak dari perusahaan mitra (Tabel 3). Berdasarkan Tabel 3 di bawah dapat terlihat bahwa pendapat peternak tentang pelaksanaan kewajiban yang telah dilakukan setiap perusahaan baik pola PIR atauppun non-PIR rata-rata berada pada tingkat antara sesuai dan sangat sesuai.Ratarata pelaksanaan kewajiban oleh perusahaan pada pola PIR cenderung lebih tinggi dari pada pada pola non-PIR. Pada pola PIR rata-rata sebanyak 88% peternak berpendapat perusahaan tealh melaksanakan dengan kategori sesuai dan sangat sesuai, sedangkan pada pola non-PIR rata-rata jumlah peternak yang berpendapat perusahaan telah melaksanakan kewajiban pada ketegori sesuai sampai sangat sesuai hanya sebanyak 81% peternak. Jika dilihat dari hak yang yang harus diterima oleh perusahaan mitra pada pola PIR dan pola non-PIR juga tidak terdapat perbedaan yang nyata.Dimana rata-rata seluruh hak yang harus diterima oleh perusahaan mitra telah terpenuhi dengan kategori sesuai dan sangat sesuai dengan kesepakatan yang dibuat (Tabel 3).Dari dua aspek diatas dapat dilihat bahwa pelaksanaan kewajiban yang harus dilakukan perusahaan masih belum dijalankan sepenuhnya sesuai kesepakatan sedangkan hak yang akan diterima perusahaan telah terlaksana sebagaimana mestinya.
Tabel 3.Pendapat Peternak Tentang Pelaksanaan Kewajiban yang Harus Dilakukan dan Hak Yang Harus Dipenuhi oleh Perusahaan Mitra Pada Kemitraan Pemeliharaan Broiler Pola PIR Jenis Kewajiban Pengusaha 1. 2. 3. 4.
Menyedikan bibit, pakan dan obat-obatan secara kredit Memasarkan hasil produksi Memberikan bimbingan teknis kepada peternak Membayar secara tunai hasil panen peternak plasma setelah hasil panen di terima oleh perusahaan
Sangat Sesuai
Sesuai
Tidak Sesuai
22,58
61,29
16,13
23,08
48,72
28,21
19,35
67,74
12,90
17,95
74,36
7,69
45,16
48,39
6,45
28,21
53,85
17,95
35,48
51,61
12,90
23,08
56,41
20,51
Pola PIR Jenis Hak Pengusaha 1. 2. 3. 4.
5.
6.
Penentuan harga bibit, pakan dan obat-obatan Penentuan harga jual hasil panen dan waktu panen Penentuan jadwal pengiriman bibit dan pakan Melakukan pemotongan hasil panen untuk pembayaran kredit sapronak Perusahaan sewaktu-waktu dapat membatalkan kerjasama apabila peternak melanggar kesepakatan Menerima jaminan dari plasma berupa BPKB ataupun uang tunai
Pola Non-PIR Sangat Tidak Sesuai Sesuai Sesuai
Pola Non-PIR
Sangat Sesuai
Sesuai
Tidak Sesuai
Sangat Sesuai
Sesuai
Tidak Sesuai
29,03
70,97
0,00
20,51
79,49
0,00
16,13
77,42
6,45
33,33
66,67
0,00
32,26
67,74
0,00
35,90
53,85
10,26
64,52
35,48
0,00
30,77
69,23
0,00
12,90
87,10
0,00
33,33
71,79
2,56
9,68
90,32
0,00
35,90
74,36
5,13
Pelaksanaan kewajiban yang harus dipenuhi oleh peternak mitra dan hak yang harus peternak terima dalam kegiatan kemitraan dapat dilihat pada Tabel 4.Berdasarkan hasil penelitian pada Tabel 4 di bawah dapat terlihat perbedaan antara kewajiban yang harus dilakukan peternak terhadap perusahaan yaitu pada item pemberia jaminan kredit.Jaminan kredit hanya terdapat pada kewajiban pada pola PIR dan tidak pada pola non-PIR.Namun secara keseluruhan kewajiban yang harus dilakukan peternak dalam kemitraan telah berjalan sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam perjanjian/kesepakatan. Dilihat dari rata-rata tingkat pelaksanaan kewajiban peternak mitra terhadap ketentuan kerjasama pada pola PIR dengan nonPIR tidak terdapat perbedaan yang besar.Peternak di kedua pola telah melaksanakan
kewajiban dengan kategori sesuai sampai sangat sesuai, walaupun rata-rata secara keseluruhannya tingkat penerapan pada pola PIr lebih baik dari pola non-PIR. Demikian juga halnya dalam hal pemenuhan hak yang harus dilakukan peternak terhadap ketentuan kerjasama, dimana tingkat pemenuhan hak oleh peternak pada pola PIR lebih baik dibandingankan pada pola non-PIR.Hal ini disebabkan oleh karena pada pola PIR ketentuan tersebut telah diatur dalam aturan tertulis yang jelas dan memiliki kekuatan hukum, sehingga peternak lebih bertanggungjawab atas kesepakatan yang dibuat. Tabel 4.Pendapat Perusahaan Tentang Pelaksanaan Kewajiban yang harus dilakukan dan Hak yang Harus Dipenuhi oleh Peternak Mitra pada Kemitraan Pemeliharaan Broiler Pola PIR Jenis Kewajiban Peternak 1. 2.
3.
4.
5.
Menyediakan kandang dan peralatan kandang Menerima harga bibit, pakan, obat-obatan dan hasil panen sesuai dengan kesepakatan kontrak. Membayar kredit sapronak dengan pemotongan hasil panen Memberikan jaminan atas kredit sapronak yang diberikan perusahaan dalam bentuk uang tunai atau BPKB Mematuhi teknis budidaya dan kesepakatan kontrak yang dibuat
Pola non-PIR
Sangat Sesuai
Sesuai
Tidak Sesuai
Sangat Sesuai
Sesuai
Tidak Sesuai
25,81
74,19
0,00
33,33
48,72
17,95
19,35
80,65
0,00
25,64
66,67
7,69
12,90
87,10
0,00
38,46
61,54
0,00
38,71
61,29
0,00
0,00
0,00
0,00
22,58
77,42
0,00
33,33
53,85
12,82
Pola PIR Jenis Hak Peternak 1. 2. 3. 4.
Mendapatkan bibit, pakan dan obat-obatan secara kredit Mendapatkan kepastian pasar hasil produksi Mendapatkankan bimbingan teknis dari perusahaan Menerima secara tunai hasil panen dan insentif/bonus setelah hasil panen di terima oleh perusahaan
Pola Non-PIR
Sangat Sesuai
Sesuai
Tidak Sesuai
Sangat Sesuai
Sesuai
Tidak Sesuai
16,13
54,84
29,03
23,08
61,54
15,38
9,68
64,52
25,81
33,33
64,10
0,00
22,58
54,84
22,58
28,21
58,97
12,82
16,13
74,19
9,68
23,08
76,92
0,00
Pelaksanaan program kemitraan pemeliharaan broiler di Kabupaten Lima Puluh Kota, apabila dilihat berdasarkan peran atau kewajiban perusahaan mitra dan peternak dalam melaksanakan program kemitraan menunjukkan bahwa ke tiga kemitraan yang dijalankan di belum dilaksanakan dengan baik. Tingkat pelaksanaan peran inti bernilai sedang yaitu hanya >26%-32% dari perusahaan mitra yang telah dijalankan sesuai ketentuan atau aturan PP No. 44 tahun 1997 tentang kemitraan.Walaupun apabila dilihat berdasarkan subperan ada sebagian yang telah mampu dijalankan dengan sangat baik (Tabel 5). Tabel
5.Persentase Pelaksanaan Program Kemitraan Pemeliharaan Broiler Berdasarkan Peran Masing-Masing Pelaku Sesuai PP No. 44 tahun 1997 di Kabupaten Lima Puluh Kota Tahun 2014 Tahun 2014 Pola kemitraan
Pola PIR W X dan Ciomas Y Z Pola Non-PIR Subkontrak Dengan Garuda Jaya PS Subkontrak Dengan Torang Jaya PS Subkontrak Dengan Bina Ayam Mandiri Subkontrak Dengan Pedagang Ayam
Pelaksanaan Isi PP (%)
Kriteria
31.40 28.84 29.74 27.54
Sedang Sedang Sedang Sedang
29.96 26.67 24.88 20.99
Sedang Sedang Rendah Rendah
Berdasarkan Table 5 diatas, dapat terlihat bagaimana pelaksanaan program kemitraan pemeliharaan broiler yang dijalankan dengan mengacu pada peraturan yang ada. Rata-rata tiap perusahaan mitra dalam kemitraan pola PIR baru mampu menjalankan perannya yang sesuai dengan isi PP No. 44 tahun 1997 dengan kisaran tertinggi adalah 31,40 % dan terendah 27,54 %, dengan kriteria sedang. Terjadi perbedaan antara pelaksanaan kemitraan yang dinilai berdasarkan kesesuaian dengan kontrak kerjasama dan kesesuaian dengan peraturan yang dianjurkan.Menurut perusahaan mitra pelaksanaan kemitraan yang mereka jalankan telah sesuai dengan kontrak yang mereka sepakati dengan plasma (Tabel 4).Kondisi ini menunjukkan bahwa dalam membuat kontak kemitraan perusahaan mitra belum sepenuhnya memasukkan aturan yang ada dalam PP No.44 tahun 1997. . 3.2 Analisis Pendapatan Usaha Peternakan Broiler Analisis yang digunakan untuk melakukan pengukuran tingkat pendapatan yang diperoleh plasma dalam usaha ternak ayam broiler system kemitraan ini adalah dengan menghitung total penerimaan dikurangi dengan total pengeluaran. Dalam perhitungan biaya dan pendapatan yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan nominal, yaitu pendekatan perhitungan biaya dan penerimaan tanpa
memeperhitungkan nilai uang menurut waktu (time value of money) tetapi hanya menggunakan harga yang berlaku pada biaya dan penerimaan dalam periode tersebut (Suratiyah, 2006). Pendapatan yang diterima oleh masing-masing peternak pada program kemitraan merupakan imbalan jasa dari keseluruhan aktivitas dalam proses budidaya ternak broiler. Menurut Soekartawi (2002) pendapatan usahatani merupakan selisih antara penerimaan total dan semua biaya yang dikeluarkan. Penerimaan total adalah nilai produksi komoditas secara keseluruhan sebelum dikurangi dengan biaya produksi. Menurut Rasyid et al (2007) pendapatan pada peternakan broiler dengan sistem kemitraan ditentukan oleh beberapa hal diantaranya adalah harga jual produk dan insentif prestasi dari usahanya dan pemasaran yang dilakukan oleh perusahaan Tabel 6.
Pola Kemitraan
Rataan Jumlah Populasi, Penerimaan, Biaya, Pendapatan Peternak dan Pendapatan/ Ekor Pada Masing-Masing Pola Kemitraan dalam Satu Periode Produksi Tahun 2014 Jumlah Popolasi
Berat Penerimaan Ayam (kg) (Rp)
Biaya (Rp)
Pendapatan Pendapatan/ (Rp) kg (Rp)
Pola PIR W
7,853
15,294.19
255,282,282
240,349,229
14,933,053
941
X
6,676
12,896.73
211,909,579
200,021,378
11,888,201
884
Y
6,000
11,502.48
194,228,442
186,445,650
7,782,792
608
Z
5,000
9,549.85
161,798,025
156,004,667
5,793,359
625
Pola Selain PIR (Sub Kontrak) R PS
1,624
1,764.98
29,647,122
28,219,439
1,427,682
812
S PS
1,375
1,482.21
24,852,764
23,660,123
1,192,641
808
T PS
1,750
1,875.30
31,154,050
29,698,968
1,455,082
774
Toke
730
786.63
13,106,927
12,502,724
604,203
765
Dari Tabel 6terlihat bahwa rata-rata pendapatan yang diperoleh dalam mengelolaan usaha peternakan broilenya pada satu periode bervariasi disetiap pola kemitaan yang diikuti oleh peternak. Dimana rata-rata pendapatan lebih tinggi pada mengusahakan peternakan broiler dengan pola kemitraan pola PIR dibandingkan kemitraan pola nonPIR yaitu Subkontrak. Pada kerjasama pola PIR pendapatan tertinggi terdapat pada perusahaan W yaitu Rp. 941,- per kilogram ayam dan yang paling rendah adalah pendapatan peternak yang mengusahakan pola kemitraan dengan perusahaan Y yaitu Rp. 608,per kilogram. Perbedaan pendapatan yang diperoleh peternak pada masing-masing peternak disebabkan oleh beberapa hal diantaranya perbedaan skala usaha, harga jual per satuan produk, harga sarana produksi, dan kebijakan insentif yang di tetapkan oleh masing-masing perusahaan. Hal ini sesuai dengan pendapat Siregar dalam Fitriza et al (2012) bahwa pendapatan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain skala usaha, pemilikan cabang usaha, efesiensi penggunaan tenaga kerja, tingkat produksi
yang dihasilkan, modal, pemasaran hasil dan tingkat pengetahuan peternakan dalam mengangani usaha peternakan. Pada kemitraan pola subkontrak pendapatan tertinggi terdapat pada kerjasama antara peternak dengan Garuda jaya farm yaitu sebesar Rp. 812.- per kilogram sedangkan yang terendah terdapat pada kerjasama dengan pedagang ayam yaitu hanya sebesar Rp. 765.- per kilogram. Perbedaan pendapatan pada masing-masing perusahaan pola non-PIR yang terjadi dipengaruhi oleh skala produksi, harga jual ayam, harga sarana produksi dan berat badan ayam saat panen. Secara umum berdasarkan hasil yang diperoleh pada Tabel 31 pendapatan yang diperoleh oleh peternak dengan kemitraan pola PIR yang dijalankan oleh perusahaan besar (W dan X) lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan lokal.Hal ini disebabkan oleh kedua perusahaan besar ini memiliki pengaruh yang kuat dalam menentukan harga sarana produksi dan harga jual ayam di pasar, sedangkan perusahaan lokal dengan skala usaha yang kecil biasanya lebih banyak sebagai pengikut kebijakan harga yang terjadi di pasar. Dilihat berdasarkanpendapatan tertinggi per kilogram yang mampu diberikan oleh bentuk kemitraan pola subkontrak lebih rendah 16% dari pendapatan tertinggi pada kemitraan pola PIR.Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan yang diberikan kemitraan pola subkontrak pada pemeliharaan broiler masih bisa bersaing dengan kemitraan pola PIR.Di samping itu, pendapatan yang diberikan oleh kemitraan pola subkontrak mampu menambah pendapatan peternak kecil tanpa membutuhkan investasi yang besar.Namun pendapatan pada kemitraan pola subkontrak sangat rentan dipengaruhi oleh harga jual ayam dipasaran.Perusahaan mitra yang terdiri atas perusahaan lokal dan kecil tidak memiliki kekuatan dalam menentukan harga pasar. Pada umumnya harga jual ayam yang berlaku dipasaran dipengaruhi oleh total jumlah produksi ayam yang dihasilkan pada saat tersebut. Apabila jumlah produksi banyak yaitu jumlah panen dari kandang perusahaan peternakan besar maka harga ayam dipasaran akan rendah dan peternak kecil akan mengalami kerugian. Artinya kemitraan pola PIR memberikan pengaruh lebih besar terhadap peningkatan pendapatan peternak dibandingkan pola Subkontrak. Apabila dilihat pendapatan per satuan hasil berdasarkan satuan waktu yang sama, terlihat bahwa pendapatan peternak pola non-PIR per kilogram per satu bulan lebih besar yaitu Rp. 866.- per kilogram per bulan dari pada pendapatan per kilogram per bulan pada pola PIR yaitu Rp. 753,- per kilogram per bulan. Hal ini disebabkan oleh faktor waktu pengusahaan dalam satu periode atau umur panen dan harga jual produk. Semakin lama pemeliharaan dalam satu periode maka akan mempengaruhi FCR yang dihasilkan. Berdasarkan penelitian umur panen pola non-PIR lebih rendah yaitu ratarata 25,6 hari sedangkan pada pola PIR rata-rata umur panen adalah 38,4 hari. Kondisi ini sesuai dengan pendapat Bahari et al (2012) bahwa FCR sangat dipengaruhi oleh lama waktu proses produksi atau umur panen.
4.
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan Dari hasil penelitian yang dilakukan, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Kemitraan pemeliharaan broiler di Kabupaten Lima Puluh Kota dijalankan dalam dua bentuk kerjasama yaitu kemitraan pola PIR dengan selain PIR. Kemitraan pola PIR terjadi antara peternak dengan perusahaan peternakan dan kemitraan selain PIR dalam bentuk subkontrak terjadi antara peternak dengan poultry shop dan pedagang ayam pengumpul. Dalam pelaksanaan kemitraan broiler yang dijalankan selama ini dapat disimpulkan bahwa a. Profil peternak pada pola PIR dengan selain PIR sangat berbeda terutama dalam hal tingkat pendidikan, jenis pekerjaan utama peternak danskala usaha yang dijalankan. Kemitraan PIR dijalankan oleh peternak pada golongan ekonomi menengah keatas dengan tingkat pendidikan dominan perguruan tinggi dan pekerjaan pokok sebagai PNS dan pegawai swasta atau pedagang serta skala usaha cukup besar, sedangkan kemitraan non-PIR terjadi pada peternak kecil dengan kemampuan ekonomi menengah kebawah dengan tingkat pendidikan SLTA, dan pekerjaan pokok sebagai petani serta skala usaha yang masih kecil. b. Profil perusahaan yang terlibat pada pola PIR dan non-PIR juga berbeda dimana pada pola PIR perusahaan yang terlibat berupa perusahaan dalam bentuk PT yang bergerak pada budidaya dan perdagangan input serta pemasaran broiler dengan pengalaman dan mitra dengan skala usaha yang lebih besar dari pada perusahaan mitra pada pola non-PIR. c. Pelaksanaan program kemitraan dilihat dari tingkat pelaksanaan kewajiban dan hak yang harus dipenuhi masing-masing pihak (perusahaan dan peternak) dalam menjalankan kemitraan di Kabupaten Lima Puluh Kota baik pola PIR ataupun non-PIR telah berjalan dengan kategori sesuai dengan kesepakatan yang dibuat. Akan tetapi, bila dilihat dari pelaksanaan kewajiban dan hak masing-masing pelaku sebagaimana diatur dalam PP 44 tahun 1997belum dijalankan dengan baik. Peran masing-masing pelaku kemitraan PIR maupun non PIR baru dijalankan dengan kategori rendah sampai sedang. Hal ini disebabkan oleh kesepakatan kerjasama yang dibuat antara pelaku kemitraan belum sepenuhnya memuat aturan yang ada dalam peraturan pemerintah tentang kemitraan. Perusahaan mitra hanya baru memenuhi perannya pada 2 aspek yaitu : a) telah memberikan pembinaan dan penyediaan sarana produksi peternakan seperti DOC, pakan dan obat-obatan, 2) aspek pembinaan dan pengembangan teknologi yang berhubungan dengan budidaya broiler. Pada aspek permodalan, aspek pemasaran, pembinaan dan pengembangan sumberdaya manusia, aspek manajemen masih terabaikan. Disisi lainnya peran peternak mitra sebagai telah dijalankan dengan cukup baik, dimana lebih dari 75% peternak plasma telah memenuhi perannya dalam hal penyediaan kandang dan perlengkapan kandang, tenaga kerja, melaksanakan ketentuan teknis dan kegiatan budidaya sesuai dengan ketentuan dari perusahaan dan melakukan penjualan ternak ke perusahaan mitra. Hanya pada aspek peningkatan
manajemen dan organisasi dianatar sesama peternak plasma belum tercipta sampai saat ini. Untuk peran pemerintah atau lembaga Pembina lainnya belum berperan penuh dalam pelaksanaan kegiatan kemitraan didaerah ini. 2. Terdapat perbedaan pendapatan yang diperoleh peternak pada pola kemitraan yang berbeda. Pendapatan per kilogram yang diperoleh oleh peternak pada program kemitraan pola PIR lebih besar dari pada pendapatan yang diperoleh oleh kemitraan non-PIR hal ini disebabkan oleh faktor skala produksi, harga sarana produksi dan harga jual hasil panen serta insentif yang diterima oleh peternak program kemitraan pola PIR. Berdasarkan perhitungan pendapatan per kilogram per bulan maka pendapatan peternak pola non-PIR lebih besar daripada pendapatan per kilogram hasil per bulan yang diperoleh peternak pola PIR. Kondisi ini disebabkan oleh lama pemeliharaan atau umur panen dan harga jual produk. 5.1
Saran Berdasarkan kesimpulan diatas serta memperhatikan secara langsung pelaksanaan kemitraan di Kabupaten Lima Puluh Kota, maka dapat diajukan beberapa saran antara lain: 1. Diperlukan pembinaan dan pengembangan kemitraan pola selain PIR oleh pemerintah melalui instansi terkait karena jenis kemitraan ini lebih mampu dijangkau oleh peternak kecil untuk meningkatkan pendapatan rumah tangganya. 2. Diperlukan peran lembaga pembina sebagai fasilitator dalam memberikan saran dan masukan kepada kedua belah pihak yang bermitra agar masing-masing pihak dapat menjalankan perannya dengan baik dan sepenuhnya. 3. Bagi pemerintahan Kabupaten Lima puluh Kota melalui instansi terkait kiranya melakukan usaha yang lebih dalam bentuk memberikan pembinaan dan pengembangan kualitas sumberdaya manusia peternak dan memfasilitasi pembentukan organisasi di tingkat peternak sehingga pada akhirnya mampu menciptakan posisi tawar yang sama kuat anatar perusahaan besar dengan perternakan rakyat dalam bentuk kelompok peternak 5. DAFTAR PUSTAKA Arikunto.(2007). Manajemen Penelitian.Jakarta : Rienika Cipta Bahari, M. Muslich Mustajab, Nuhfil Hanani, dan T PSbang Ali Nugroho. 2012. Analisis Contract Farming Usaha ayam Broiler. Jurna Agro Ekonomi. Volume 30 No. 2, Oktober 2012. Halaman : 109-127 Departemen Pertanian 2002. Pedoman Kemitraan Usaha Agribisnis. Direktorat Pengembangan Usaha. Peraturan Pemerintah RI Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraa.Keputusan Menteri Pertanian Nomor 940/Kpts/OT.210/10/97 tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian. Jakarta. Dinas Peternakan. 2013. Laporan Kegiatan Pertemuan Kemitraan dan Workshop Perunggasan Sumatera Barat Tahun 2013. Padang.
Erfit. 2011. Pengembangan Pola Kemitraan Pada Agribisnis Hortikultura. Disertasi Doctor.Program Pascasarjana. Universitas Andalas. Padang. Fitriza, Yulien Tika F. Trisakti Haryadi, dan Suci Paramitasari Syahlani. 2012. Analisis Pendapatan Dan Persepsi Peternak Plasma Terhadap Kontrak Perjanjian Pola Kemitraan Ayam Pedaging Di Propinsi Lampung. Buletin Peternakan Vol. 36(1) hal: 57-65, Februari 2012. ISSN 0126-4400 Gani, Azhar. A. 2008. Potret Kemitraan Agribisnis: Model Pengembangan Perkebunan Berbasis Inti Plasma Harian Aceh Independen, 5 Mei 2008. Diakses Tanggal l2 September 2013 Hafsah, M.J. 1999. Kemitraan Usaha: Konsepsi dan Strategi. Cetakan Ke- 1. Penerbit Swadaya. Jakarta. Irawan, et al., 2001 Kebijaksanaan Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan Hortikultura.Pusat Penelitian Dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian Dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Nazir, Moh. 2003. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta Novian.2006. Strategi Pengembangan Peternakan Ayam Ras Pedaging Dengan Meningkatkan Pendapatan Peternakan Melalui Kemitraan Di Kota Pekanbaru.Tesis. Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor. Peraturan Gubernur Sumatera Barat No. 19 Tahun 2013 Tentang Pedoman Pelaksanaan Pola Kemitraan Ayam Pedaging. Padang. Priyono, Basuki Sigit, Nurhayatin Nufus, Dan Dessy K. 2004. Peforman Pelaksanaan Kemitraan PT. Primatama Karya Persada Dengan Peternakan Ayam Ras Pedaging Di Kota Bengkulu.Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia.Volume 6 No. 2, 2004.ISSN. 1411-0067 Rasyid, Ilham dan Sirajuddin, Siti Nurani.2007. Peranan Pola Kemitraan Inti Plasma Pada Peternak Usaha Ayam Broiler.Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. Salam. Thamrin, Mufidah Muis, dan Alfian E.N. Rumengan. 2006. Analisis Finansial Usaha Peternakan Ayam Broiler Pola Kemitraan. Jurnal Agrisistem, Juni 2006, Vol 2 No. 1. ISSN 1858-4330 .hal 32-39 Sarwanto, Catur 2004. Kemitraan, Produksi Dan Pendapatan Peternak Rakyat Ayam Ras Pedaging (Studi Kasus Di Kabupaten Karanganyar Dan Sukaharjo). Tesis. Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor Sayaka, T PSbang Dan Yana Supriatna (2008).Kemitraan Pemasaran Bawang Merah di Kabupaten Brebes Jawa Tenggah; Kasus PT Indofood Sukses Makmur.Prosiding Seminar.Pusat Analisis Social Ekonomi Dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Soekartawi 2002a. Prinsip Dasar Ekonomi Pertania. Teori Dan Aplikasinya. Edisi Revisi. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Soekartawi.2002b. Analisis Usaha Tani. UI Press. Jakarta Soemardjo, Jaka S. Wahyu AD. 2004. Teori Dan Praktik Kemitraan Agribisnis. Penebar Swadaya. Jakarta Sugiono, DR. 2009. Statistik untuk Penelitian. Penerbit Alfabeta. Bandung. Suparta. N. 2001 Perilaku Agribisnis Dan Kebutuhan Penyuluh Peternak Ayam Ras Pedaging. Disertasi Doktor. Program Pascasarjana.IPB. Bogor. Supriayati dan Roosganda Elizabeth. 2009. Pensejahteraan Petani dan Pengembangan Agribisnis Melalui Pengembangan Kelembagaan Kemitraan Dalam Pemasaran Cabe Merah :Kasus Antara PT. Heinz ABC Indonesia Dengan Petani Cabe Merah Di Jawa Tengah. Prosiding Seminar. Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorintasi Kesejahteraan Petani. Pusat Analisis Social Ekonomi Dan Kebijakan Pertanian. Bogor Suratiyah, Ken. 2006. Ilmu Usahatani. Penebar Swadaya. Cetakan I. Jakarta.