ANALISIS PELAKSANAAN KEWENANGAN CAMAT DI BIDANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI KECAMATAN REMBOKEN Oleh : Familia Priesa Tendean NIM. 090813049 Abstrak Status kecamatan kini merupakan perangkat daerah kabupaten/kota yang setara dengan dinas dan lembaga teknis daerah, bahkan setara dengan kelurahan. Hal ini dinyatakan dengan jelas dalam Pasal 120 ayat (2) dari UU No. 32 Tahun 2004 tersebut, yakni : “Perangkat daerah kabupaten/kota terdiri atas sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah, lembaga teknis daerah, kecamatan dan kelurahan”. Kecamatan Remboken merupakan salah satu kecamatan yang sedikit telah mengalami pertumbuhan dan kemajuan dalam berbagai bidang bila dibandingkan beberapa kecamatan yang terdapat di Kabupaten Minahasa. Camat
sebagai
ujung
tombak
pemerintah daerah secara jelas dalam UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 126 ayat (3) menyatakan bahwa camat menjalankan tugas umum pemerintahan yang dalam pembahasan di atas disebut sebagai kewenangan atributif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan kewenangan camat dan factor-faktor yang mempengaruhinya. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif didapati hasil pelaksanaan kewenangan camat berjalan dengan efektif.
Keywords : Kewenangan, camat
1
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, camat selain menerima kewenangan yang bersifat delegatif juga memiliki kewenagan yang bersifat atributif. Hal ini juga diperjelas dalam PP Nomor 19 Tahun 2008 dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2). Dalam Pasal 126 UU No. 32 Tahun 2004 ayat (3), atau dalam PP Nomor 19 Tahun 2008 pada Pasal 15 ayat (1), tugas umum pemerintahan yang dimaksud yang juga merupakan kewenagan atributif meliputi:1 a. Mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat; b. Mengoordinasikan upaya penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum; c. Mengoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan; d. Mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum; e. Mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan; f. Membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan; dan g. Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau kelurahan. Kemudian dalam Pasal 15 ayat (2) PP Nomor 19 Tahun 2008 dijelaskan bahwa :” Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) camat melaksanakan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan oleh bupati/walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah, yang meliputi aspek: a. Perizinan; b. Rekomendasi; c. Koordinasi; d. Pembinaan; e. Pengawasan; f. Fasilitasi; g. Penetapan; h. Penyelenggaraan; dan i. Kewenangan lain yang dilimpahkan.” Sedangkan pada ayat (5) Pasal 15 PP Nomor 19 Tahun 2008 lebih jauh menegaskan tentang ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang camat diatur dengan peraturan bupati/walikota. Perubahan pada UU No. 32 Tahun 2004 yang memberikan kewenagan kepada camat antara lain kewenagan atributif dan kewenagan delegatif dipandang sebagai penyempurnaan atas UU No. 5 Tahun 1974 dan UU No. 22 Tahun 1999.2 Kecamatan Remboken merupakan salah satu kecamatan yang sedikit telah mengalami pertumbuhan dan kemajuan dalam berbagai bidang bila dibandingkan beberapa kecamatan yang terdapat di Kabupaten Minahasa. Camat sebagai ujung tombak pemerintah daerah secara jelas dalam UU No. 32 Tahun 2004 Pasal 126 ayat (3) menyatakan bahwa camat menjalankan tugas umum pemerintahan yang dalam pembahasan di atas disebut sebagai kewenangan atributif. Camat diharapkan mampu melihat potensi wilayah yang dimiliki dan ikut bertanggungjawab dan bertugas dalam hal kemajuan masyarakat dan lingkungan wilayah kerjanya. Persoalannya adalah kewenangan yang dimiliki camat dalam menjalankan tugas umum pemerintahan lebih banyak hanya sebatas mengkoordinasikan. Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan di Kecamatan Remboken, pelaksanaan tugas dan tanggungjawab camat lebih banyak mengarah pada suatu posisi camat yang tidak startegis dalam pengambilan keputusan. Camat menafsirkan bahwa posisinya yang hanya sebatas dikoordinasikan dan mengkoordinasikan kegiatan pemerintahan dalam wilayah kecamatan menyebabkan pelaksanaan tugas yang tidak jelas. Sebagai cantoh: pelaksanaan tugas dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat, penegakan peraturan perundang-undangan, ketentraman dan ketertiban umum, pembinaan, dan pelayanan kepada masyarakat telah terbagi habis pada semua 1 2
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2008
Sadu Wasistiono,Dkk, Perkembangan Organisasi Kecmatan dari Masa Ke Masa, Fokusmedia, Hal. 35.
2
UPTD, Instansi Vertikal, dan SKPD yang ada di daerah sehingga posisi camat dalam menjalankan kewenangan oleh undang-undang pun tidak terlalu rinci. Konsekuensinya adalah pelaksanaan kewenangan camat sebagai pimpinan SKPD kecamatan tidak terlalu nampak dan dirasakan oleh masyarakat. Perma salahan pelaksanaan kewenangan atributif yang kini dimiliki oleh camat menarik menjadi suatu fokus masalah penelitian untuk mengetahui seberapa jauh camat berpengaruh terhadap penyelenggaraan pemerintahan kecamatan. Dengan demikianjudul “Analisis Pelaksanaan Kewenagan Camat Di Kecamatan Remboken” diharapkan memberikan gambaran yang real tentang pelaksanaan kewenangan camat di era otonomi daerah. 1.2. Perumusan Masalah Berangkat dari identifikasi masalah dan pembatasan masalah di atas, maka masalah penelitiannya dapat dirumuskan sebagai berikut: a. Bagaimana pelaksanaan kewenangan Camat Remboken? b. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pelaksanaan kewenagan Camat Remboken? 1.3. Tujuan Penelitian Maksud penelitian ini untuk merumuskan tata pemerintahan kecamatan bidang kewenangan, sedangkan tujuannya antara lain: a. Untuk mengetahui pelaksanaan kewenangan Camat Remboken dalam penyelenggaraan pemerintahan kecamatan; b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kewenangan Camat Remboken.
1.4. Manfaat Penelitian Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi Pemerintah Kabupaten Minahasa secara khusus Kecamatan Remboken sebagai bahan pembuatan kebijakan mengenai pelaksanaan kewenangan oleh Camat Remboken dalam penyelenggaraan pemerintahan kecamatan. Sedangkan secara akademis, diharapkan dapat memperkaya kajian ilmu pemerintahan khususnya model/desain tata pemerintahan kecamatan di era otonomi daerah secara khusus tentang kewenangan camat.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Pemberdayaan Pengertian pemberdayaan sebenarnya mengacu pada istilah dalam bahasa inggris, yaitu “empowerment” yang merupakan konsep atau gagasan yang ingin menempatkan manusia sebagai subyek dari dunianya sendiri. Olehsebab itu, wajar konsep ini menunjukkan dua kecenderungan yaitu : 1. Bahwa pemberdayaan menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat atau individu agar menjadi lebih berdaya. 2. Bahwa pemberdayaan menekankan pada proses menstimulasi, mendorong dan memotivasi individu agar memiliki kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya. 3
Konsep pemberdayaan (empowerment) dapat dikatakan sebagai jawaban atas realitas ketidakberdayaan (disempowerment).Mereka yang tidak berdaya adalah pihak yang tidak memiliki daya atau kehilangan daya atau kekuatan (makalah CAI, 2002:19). Pemberdayaan mempunyai makna harafiah “membuat” seseorang berdaya. Istilah lain untuk pemberdayaan adalah penguatan (empowerment). Pemberdayaan pada intinya adalah manusia.Dalam arti, mendorong orang untuk menampilkan dan merasakan hak-hak asasinya.Pemberdayaan mengandung unsur pengakuan dan penguatan posisi seseorang.Melalui penegasan terhadap hak dan kewajiban yang dimiliki dalam suatu tantangan kehidupan.Pemberdayaan mengutamakan usaha sendiri dan orang yang diberdayakan untuk meraih keberdayaan.Oleh karena itu, pemberdayaan sangat jauh dari konotasi ketergantungan (Mulandar dan Thamrin, 1996:97).
2.1. Kewenangan Camat Menurut Pasal 126 ayat (3) UU Nomor 32 Tahun 2004 tenang Otonomi Daerah dan Pasal 15 ayat (1) PP Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan disebutkan bahwa: “Camat meneyelenggarakan tugas umum pemerintahan yang meliputi: a. Mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat; b. Mengoordinasikan upaya penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum; c. Mengoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan; d. Mengoordinasikan pemeliharaan prasarana dan fasilitas pelayanan umum; e. Mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan; f. Membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan; dan g. Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintahan desa atau kelurahan”. Tugas umum pemerintahan yang dimaksud dalam Pasal 126 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 berbeda maknanya dengan urusan pemerintahan umum sebagaimana dimaksud pada UU No. 5 Tahun 1974. Menurut Pasal 1 huruf (j) UU Nomor 5 Tahun 1974, yang dimaksud dengan urusan pemerintahan umum adalah: “Urusan pemerintahan yang meliputi bidang-bidang ketentraman dan ketertiban, politik, koordinasi, pengawasan dan urusan pemerintahan lainnya yang tidak termasuk dalam tugas sesuatu instansi dan tidak termasuk urusan rumah tangga daerah”. Urusan pemerintahan umum ini diselenggarakan oleh setiap kepala wilayah pada setiap tingkatan sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dalam rangka melaksanakan asas dekonsentrasi. Tugas umum pemerintahan yang diselenggarakan oleh camat tidak dimaksudkan sebagai “Pembinaan adalah suatu proses atau pengembangan yang mencakup urutan-urutan pengertian, diawali dengan mendirikan, membutuhkan, memelihara pertumbuhan tersebut yang disertai usaha-usaha perbaikan, penyempurnaan, dan mengembangkannya”. Menurut Pasal 126 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 bahwa:“Kecamatan dipimpin oleh camat yang dalam pelaksanaan tugasnya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang bupati atau walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah”. Selanjutnya pada Pasal 15 ayat (2) PP Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan ditambahkan rambu-rambu kewenangan yang perlu didelegasikan oleh bupati atau walikota kepada camat untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah, yang meliputi aspek:3 a. Perizinan; b. Rekomendasi; c. Koordinasi; d. Pembinaan; e. Pengawasan; f. Fasilitasi; 3
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2008 tentang
Kecamatan..
4
g. Penetapan; h. Penyelenggaraan; dan i. Kewenangan lain yang dilimpahkan.
5
BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian Jenis Penelitian adalah penelitian deskriptif kualitatif yaitu suatu tipe penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran atau lukisan situasi secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai objek yang diteliti di mana hasil deskriptif dilanjutkan dengan penjelasan secara rinci dan mendetail tentang situasi dan kondisi pelaksanaan kewenangan camat di Kecamatan Remboken Kabupaten Minahasa. 3.2. Fokus Penelitian Setelah berbagai uraian konsep tentang kegiatan penelitian dipaparkan maka untuk mempermudah memahami tujuan penelitian, yang dimaksud dengan pelaksanaan kewenagan camat adalah penyelenggaraan pemerintahan di Kecamatan Remboken berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang tugas umum pemerintahan, namun mengingat banyaknya kewenangan camat maka penelitian ini difokuskan pada 3 kewenangan camat: a. Mengoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat; b. Mengoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan; c. Mengoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat kecamatan; Dengan indikator: 1) Prinsip-prinsip kewenangan: a) Hasil (efektif/efesien) b) Defenisi fungsi (jelas dan terarah) c) Kejelasan hierarki jabatan terhadap kewenangan d) Jenjang kewenangan e) Kesatuan komando f) Tanggungjawab yang penuh/jelas g) Keseimbangan kewenangan 3.3.Informan Adapun informan yang diyakini akan dapat memberikan data dan atau informasi yang tepat dan akurat di dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Camat Remboken; b. Instansi Vertikal yang ada di Kecamatan Remboken; c. Kepala Desa yang ada di wilayah Kecamatan Remboken; d. Kepala Dinas Teknis Daerah/Unit Pelaksana Teknis Daerah yang ada di Kecamatan Remboken; e. Tokoh Masyarakat; 3.4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, yaitu : a. Observasi, b. Wawancara, c. Studi kepustakaan (library research), d. Penelusuran data online, 3.5.Teknik Analisis Data Di dalam penelitian ini, untuk menganalisis data yang telah dikumpulkan dan diseleksi digunakan teknik analisis data deskriptif-kualitatif, yaitu data-data yang telah dihimpun dan dikumpulkan baik primer maupun sekunder selanjutnya disusun, dianalisis, diinterpretasikan untuk kemudiandapat diambil kesimpulan sebagai jawaban atas masalah yang diteliti.
6
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Analisis Pelaksanaan Kewenangan Camat di Bidang Pemberdayaan Masyarakat Adanya kewenangan camat sebagaimana yang diamanahkan Peraturan Pemerintah tersebut menuntut camat lebih proaktif dalam menindaklanjuti pola pembangunan yang bersifat partisipatif dari “bawah ke atas”. Dari hasi wawancara dengan camat mengenai program-program pemberdayaan apa yang ada di kecmatan remboken, beliau memaparkan ada 5 program yakni : PNPM Mandiri, SPP (Simpan Pinjam Perempuan), Pemberdayaan usaha kecil, Pelatihan ibu-ibu PKK dan pemberian beasiswa untuk siswa-siswi miskin yang berprestasi.Dan dalam pengambilan keputusan juga berdasarkan aspirasi dari masyarakat sendiri.Baik melalui musrenbang maupun keluhan secara langsung kepada kami. Pernyataan tersebut didukung juga oleh bapak Jendri tokoh masyarakat di kecamatan remboken beliau mengatakan : di kecamatan remboken telah ada beberapa program pemberdayaan masyarakat yang sangat bermanfaat seperti PNPM, SPP, Pelatihan ibu PKK dan lainnya. Penetapan program tersebut tentu tidak terlepas dari peran camat sebagai koordinator wilayah dalam memberikan dorongan, pembinaan, pengawasan, serta evaluasi kinerja dari semua perangkat yang terkait untuk menciptakan sistem yang partisipatif dalam pembangunan. Selain hal tersebut di atas, dalam menjalankan kewenangan yang berkaitan dengan mengoordinasikan pemberdayaan masyarakat, camat aktif memberikan pembinaan wilayah dan berbagai himbanuan terkait pemberdayaan masyarakat. Camat yang masih dipersepsikan oleh sebagian masyarakat sebagai kepala wilayah bahkan sebagian dari kepala desa dan lurah dianggap sosok yang mampu memberikan pemikiran-pemikiran yang bersifat mempersatukan dan mampu memberikan solusi terhadap perkembangan yang ada. Persepsi yang ada pun ikut memperkuat kewenangannya dalam mengoordinasikan secara menyeluruh baik kepada kepala-kepala desa maupun kepada masyarakat secara langsung. Berikut adalah pernyataan Camat Remboken terkait upaya menggordinasikan pemberdayaan masyarakat: “...jadi upaya-upaya yang kami lakukan dan saya lakukan sebagai Camat Remboken dalam rangka memberdayakan masyarakat setelah saya menjabat sebagai camat, tentunya selalu melakukan koordinasi dengan para kepala desa melalui pertemuan-pertemuan atau rapat yang pada awal tahun kami sepakati bersama untuk mengadakan rapat koordinasi. Kami mengadakan apel bersama dalam rangka mendisiplinkan termasuk aparat pegawai untuk cepat hadir dalam melaksanakan tugasnya.Juga dalam hal pemberdayaan masyarakat kami menyepakati atau menyampaikan kepada para kepala desa untuk selalu mengadakan kegiatan kebersihan setiap hari jumat dalam bentuk gotong royong mulai dari tingkat dusun sampai kecamatan. Kemudian untuk memelihara keindahan yang berkaitan dengan lingkungan, serta menghimbau kepada masyarakat untuk menanam buah-buahan karena saya melihat sangat berkaitan dengan peningkatan ekonomi masyarakat di waktu yang akan datang terutama pembuatan jalan-jalan, renovasi pasar. Jadi untuk mengantisipasi masyarakat dihimbau untuk berpartisipasi aktif untuk melakukan penanaman buah-buahan, padi.Saya kira banyak kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dapat kami lakukan termasuk di dalamnya selalu menyampaikan atau melakukan koordinasike perangkat pemerintahan desa/kelurahan”. Hal ini mengindikasikan bahwa kewenangan atributif tentang menyelenggarakan tugas umum pemerintahan masih terhitung cukup efektif meskipun sebenarnya tidak terlepas dari persepsi yang masih terbangun dalam masyarakat bahwa camat masih berperan sebagai pelindung utama dalam dimensi kehidupan masyarakat. 7
Pelaksanaan kewenangan ini tidak hanya dilakukan camat kepada perangkat pemerintahan yang ada di kecamatan tetapi termasuk kepada swasta. Rapat koordinasi setiap tanggal 17 bulan berjalan adalah tempat efektif dan menjadi wujud dari pasal tersebut. Berikut pernyataan Camat Remboken: “...saya kira itu mutlak bahwa kegiatan pemerintahan dan selama ini dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan pemerintahan memang selalu kita koordinasikan bukan hanya kepada pemerintah di tingkat atas maupun katakanlah ke tingkat desa. Memang kita juga melibatkan atau mengkoordinasikan dengan pihak-pihak swasta seperti misalnya katanlah yang lalu-lalu ada beberapa pihak swasta yang cukup membantu kita di Kecamatan Remboken seperti misalnya pemborong Pasworan memang mereka secara sadar dan rela mau membantu kita termasuk dalam hal timbunan jalanan yang memang sedikit parah di Kecamatan Remboken dan tidak dipungut biaya itu berarti koordinasi kita dengan mereka bagus termasuk pihak swasta yang katakanlah PT atau CV yang kerja di bandara memang cukup memberikan bantuan yang bagus terutama memberikan bantuan dalam penimbunan jalan-jalan yang rusak di Kecamatan Remboken yang belum sempat dibiayai dari pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi bahkan dari pemerintah pusat. Walaupun tidak seberapa tetapi kita bersyukur bahwa kita bisa dibantu memalui koordinasi yang baik”. Hal tersebut menunjukkan bahwa camat masih memiliki peran penting dalam wilayah kecamatan. Camat masih berpengaruh besar terhadap semua instansi dan swasta tentu tidak terlepas dari persepsi yang dibangun masyarakat Remboken bahwa camat masih dalam posisinya sebagai kepala wilayah. 1.2. Analisis Faktor-Faktor yang Memperngaruhi Pelaksanaan Kewenangan Camat Camat dalam melaksanakan tugas, tanggungjawab, dan kewenangannya tidak terlepas dari faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kewenangan tersebut. Menurut Sadu Wasistino agar kewenangan yang diberikan kepada camat berjalan secara efektif maka pemberian kewenangan harus dibarengi dengan dukungan Sumber Daya Manusia (personil), logistik (sarana dan prasarana), dan anggaran yang memadai. Lebih lanjut Forland mengemukakan agar organisasi dapat berjalan dengan efektif maka perlu adanya kejelasan kewenangan dan pengaturannya, kejelasan tanggungjawab, kompetensi, dan pengawasan. Camat Remboken tentu tidak terlepas dari faktor-faktor tersebut dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Berikut adalah pembahasan berdasarkan hasil penelitian. a. Kejelasan kewenangan dan pengaturannya Pelaksanaan kewenangan camat tidak terlepas dari peraturan yang mengaturnya. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, PP Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan, Peraturan Bupati Minahasa Nomor 50 Tahun 2008 tantang Penjabaran Tugas dan Fungi Pemerintah Kecamatan Kabupaten Minahasa, adalah aturan-aturan yang menjadi landasan Camat Remboken dalam menjalankan Tugasnya. Meskipun demikian dalam pelaksanaannya tentu tidak terlepas dari kekurangan. Pemahaman yang benar terhadap aturan serta unsur kompetensi camat juga sangat berperan dalam hal ini. Menurut Lurah Remboken bahwa: “...kewenangan camat mungkin itu perlu tetapi jangan membatasi kewenangan yang ada di tingkat kelurahan karena walaupun bagaimana kewenangan di kelurahan itu interaksi langsung dengan masyarakat. Terkadang selama ini kan ada kewenangan yang seharusnya berada di tingkat kelurahan terkadang juga apakah dengan sengaja atau tidak, kadang diambil alih oleh kecamatan. Tetapi mudah-mudahan ke depan tidak terjadi seperti itu mungkin karena persoalan bukan juga karena tidak memahami tetapi bagaimana menerapkan TUPOKSI mungkin masih perlu pembenahan”. Persoalan yang dimaksud tersebut terkait dengan kewenangan retribusi pasar. Dalam pembahasan pelaksanaan kewenangan camat, Camat Remboken dalam rangka pemeliharaan fasilitas pelayanan publik maka menempatkan beberapa personil dalam pengelolaan pasar. Persolannya adalah kejelasan kewenangan itu kurang dalam artian pasar yang berada di wilayah 8
Kelurahan Remboken tetapi dalam pelaksanaannya personil Kecamatan Remboken yang secara teknis mengelolah pasar tersebut. Dalam Peraturan Bupati dan Perda pun tidak diperjelas. Jadi meskipun kewenangan camat dan lurah secara umum sudah diatur namun masih perlu peraturan yang lebih teknis terkait kewenangan camat dan lurah, termasuk institusi mereka yakni kecamatan dan kelurahan. b. Kejelasan Tanggun Jawab Pasal 14 ayat (2) PP Nomor 19 Tahun 2008 mengatakan bahwa “Camat berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada bupati/walikota melalui sekertaris daerah”. Hal ini menunjukkan bahwa arus pertanggungjawaban camat jelas. Melalui sekertaris daerah bukan berarti camat adalah bawahan langsung sekretaris daerah karena yang menjadi atasan langsung camat adalah bupati, sekertaris daerah sebagai elemen pelaporan pertanggungjawaban secara administrasi saja. Dalam pelaksanannya pemahaman terhadap hal ini telah berjalan berdasarkan pasal yang di maksud pada PP 19 Tahun 2008. c. Kompetensi Pasal 24 dalam PP Nomor 19 Tahun 2008 menyebutkan bahwa: “Camat diangkat oleh bupati/walikota atas usul sekretaris daerah kabupaten/kota dari pegawai negeri sipil yang menguasai pengetahuan teknis pemerintahan dan memenuhi persyaratan sesuai dengan peraturan perundangundangan. Kemudian Pasal 25 PP tersebut dikemukakan bahwa pengetahuan teknis pemerintahan meliputi: 1) Menguasai bidang ilmu pemerintahan dibuktikan dengan ijazah diploma/sarjana pemerintahan;dan 2) Pernah bertugas di desa, kelurahan, kecamatan paling singkat 2 (dua) tahun. Ketentuan di atas masih diperjelas lagi dengan Pasal 26 ayat (1) PP tersebut yang berbunyi bahwa: “Pegawai negeri sipil yang akan diangkat menjadi camat dan tidak memenuhi syarat, wajib mengikuti pendidikan teknis pemerintahan yang dibuktikan dengan sertifikat”. Terkait kompetensi camat ini, spesifikasi Camat Remboken nyaris tidak memenuhi syarat dalam PP tersebut. Hal ini dipertegas oleh berbagai informan penelitian termasuk Bupati Minahasa. “...khusus Camat Remboken, karena beliau bukan dari latar belakang pendidikan pemerintahan, sebenarnya sudah melaksanakan tugas dengan baik tapi masih butuh pembinaan dari pihak atasan atau instansi terkait dan juga masih perlu memperbanyak pengalaman.” Hal yang sama juga ditegaskan oleh Anggota DPRD Kabupaten Minahasa Ketua Komisi I bahwa: “...saya kira banyak faktor yang berpengaruh tidak maksimalnya pemerintahan kecamatan, katanlah SDM, latar belakang pendidikan. Pak Camat sekarang kan dari latar belakang pendidikan guru sementara tiba-tiba menjadi camat. Idealnya kan seorang camat minimal dari STPDN atau paling tidak pernah berkiprah di pemerintahan, tapi ini dari kepala sekolah masuk ke dinas pendidikan, kemudian kembali lagi menjadi kepala sekolah, jadi katakanlah jam terbangnya di bidang pemerintahan masih kurang. Tata pemerintahan di Minahasa ini “the right man on the right place” belum tepat.Saya kira karena SDM yang ada di Minahasa sudah cukup. Tetapi itu sebenarnya imbas dari otonomi daerah yang melibatkan unsur politis.Katakanlah dari awal ada komitmen-komitmen politik antara mereka”.Sebagai contoh sekcam dan kasi pemerintahan dari latar belakang pertanian, itu kan pasti biar bagaimana pun ada pengaruhnya kan ketimbang orang yang backround pemerintahan”. Jika anggota DPRD berpendapat bahwa hal ini karena penempatan yang tidak tepat sebagai imbas dari otonomi daerah dan kondisi politik, maka lain halnya dengan Tokoh Masyarat dan Pemerintahan yang lebih mengarah karena kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkompeten pada bidang pemerintahan. Menurut Yusuf Pangloli bahwa: “Umumnya, para aparatur yang ada di kecamatan itu latar belakang pendidikan mereka bukan dari pemerintahan jadi memang belum tepat pada posisi itu. Karena kita ini daerah 9
baru dan masih kekurangan personil dalam pemerintahan sehingga membuat tugas-tugas di kecamatan bahkan sampai ke kelurahan tidak begitu cepat dan tepat sesuai apa yang diinginkan Pak Bupati tetapi kalau ini dikembalikan kepada profesional pemerintahan kecamatan saya kira belum maksimal, kadang lambat dan tidak sesuai apa yang diinginkan”. Kurangnya personil yang sesuai dengan spesifikasi atauran tentang seorang camat di Kabupaten Minahasa juga dipaparkan oleh Asisiten Bupati Bidang Pemerintahan bahwa: “Jadi kan begini, camat kan eselon IIIa, anak- anak kita dari latar belakangnya STPDN itu kan baru berapa yang memiliki golongan setingkat itu, ada beberapa alumni STPDN itu yang sudah kita tempatkan sebagai camat, namun karena kecamatan-kecamatan yang ada di Kabupaten Minahasa ini tentunya kita melihat terlebih dahulu ya yang bisalah dalam melaksanakan pemerintahan itu, tetapi sebetulnya seandainya SDM kita sudah memadai dan kita memang akui SDM yang ada di Kabupaten Minahasa masih kurang terutama dalam penempatan-penempatan itu memang sementara dalam pembenahan untuk betul-betul kita tempatkan baik SKPD tingkat Kabupaten maupun di Kecamatan itu yang memang profesional. Itu memang yang kita harapkan karena bagaimanapun juga tentu SDM itukan yang banyak menentukan keberhasilan dari tugas-tugas yang kita laksanakan. Saya kira program pemerintah daerah ke depan menempatkan seseorang dalam bidang tugasnya sesuai dengan profesinya”. Kekurangan ini oleh semua kalangan merupakan hal yang realistis. Ada yang berpandangan bahwa hal tersebut terjadi karena sistem pemerintahan yang terbangun didominasi oleh kepentingan politik namun di sisi lain juga banyak berpandangan bahwa hal tersebut wajar mengingat Sumber Daya Manusia yang ada di Minahasa masih kurang pada level tersebut. Mengingat Camat Remboken yang berlatar pendidikan guru bukan berarti sifat-sifat kepemimpinan dan gaya kepemimpinan dalam sebuah organisasi juga tidak nampak. Di sisi lain ada juga kalangan yang melihat kepemimpinan Camat Remboken mampu membawa organisasi kecamatan dekat dengan masyarakat. Dalam Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Nomor 46A Tahun 2003 tentang Pedoman Penyusunan Standar Kompetensi Jabatan Struktural Pegawai Negeri Sipil. Kompetensi jabatan struktural meliputi kompetensi dasar dan kompetensi bidang. Kompetensi dasar mutlak dimiliki oleh setiap pemegang jabatan meliputi 5 (lima) bidang sebagaimana tersebut dalam Lampiran 1b Keputusan BKN Nomor 46A Tahun 2003, mencakup: 1) Integritas; 2) Kepemimpinan; 3) Perencanaan dan pengorganisasian; 4) Kerjasama; 5) Fleksibilitas. Hal tersebut setidaknya telah banyak memberi gambaran kepada masyarakat dan kalangan pemerintahan di Kecamatan Remboken terkait eksistensi seorang Camat Remboken. Kepala Desa dan Lurah memandang bahwa Camat Remboken meskipun tidak berlatar belakang pendidikan pemerintahan tetapi setidaknya dalam memimpin organisasi kecamatan mampu menjalin kerjasama yang baik kepada semua kalangan, perencanaan dan pengorganisasian yang baik serta gaya kepemimpinan yang demokratis. Berikut hal yang sama juga disebutkan oleh Kapolsek Remboken: “...kalau saya melihat beliau sangat demokratis. Jadi dalam sisi jabatan beliau sebagai camat setiap permasalahan selalu dilemparkan kepada semua khalayak.Sangat-sangat demokratis beliau memimpin disini.Mungkin dengan perubahan sesuai kondisi sekarang membuat kepemimpinan camat membawa dia ke tengah-tengah masyarakat dan sangat demokratis. Kalau saya lihat integritas pak camat itu sangat membangun, membentuk bagaimana warna yang ada disini khususnya di kecamatan yang dia pimpin, selalu membaur, dan seperti yang saya katakan tadi beliau itu sangat demokratis karena setiap permasalahan yang ada dia lepas kepada yang berkaitan untuk mendapatkan suatu keputusan yang mungkin beliau 10
sendiri sudah ada tetapi kurang enak kalau dengan satu suara saja untuk dia. Saya katakan tadi beliau sangat demokratis semua diberikan kesempatan untuk berpendapat masingmasing sehingga beliau bisa memutuskan dengan hasil pendapat orang banyak. Dari segi pengorganisasian beliau sangat eksis, beliau selalu mengkomunikasikan dengan pendapat dan saran-saran yang bagus dengan tujuan untuk membangun kecamatan ini”. Keadaan seperti itu sebagaimana yang diharapkan Bupati Minahasa. Adanya sebagian pemahaman yang masih memposisikan camat sebagai kepala wilayah dan unsur kepentingan politik tertu tidak terlepas dari kewenangan Bupati Minahasa dalam menempatkan seorang camat sebagaimana pernyataannya bahwa: “...yang diharapkan ialah bagaimana supaya setiap camat dapat menciptakan suasana di kecamatannya supaya tercipta suatu manajeman pemerintahan yang baik sehingga pelayanan kepada masyarakat itu tidak terbengkalai. Kedua, daerah itu, kecamatan itu bisa meningkat, maju, sama dengan daerah-daerah lain. Ketiga, saya harapkan supaya di wilayah itu tidak ada masalah, ada masalah tetapi mampu diredam.Jadi bagaimana memenage masalah supaya semua sektor pembangunan dapat berjalan sebagaimana mestinya.Keempat, diharapkan bahwa, di kecamatan itu tercipta suatu partisipasi, kekerjasamaan, kekompakan, dari semua elemen masyarakat untuk mendukung tugas-tugas camat”. Lebih lanjut Asisten Bupati Bidang Pemerintahan menyetakan hal yang sama bahwa: “...saya kira begini, memang para camat sebetulnya sesuai undang-undang itu diharapkan disiplin ilmunya dari pemerintahan, agar faktor-faktor yang harus kita lakukan dalam berpemerintahan minimal mengetahui apa yang harus dilakukan. Namun demikian sebetulnya, yang kuncinya disini ialah bagaimana memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.Saya kira aturan yang digunakan camat sekarang itu luwes, bisa kita lakukan dan perbuat yang penting untuk kepentingan orang banyak.Untuk kepentingan baik desa maupun kelurahan terutama dalam kepentingan secara umum.Walaupun sebetulnya katakanlah terbatas kewenangan yang diberikan oleh Bupati tetapi menurut saya dalam situasi Kabupaten Minahasa ini tugas-tugas camat itukan banyak yang harus dikoordinasikan terutama dalam bagaimana keamanan situasi dan kondisi yang harus dilakukan di kecamatan masing-masing. Olehnya sekarang itukan kelihatan yang Bapak Bupati tempatkan sebagai camat adalah betul-betul orang-orang yang berasal dari kecamatan itu karena harapan Pak Bupati tentunya dia tahu persis bagaimana keadaan, bagaimana yang harus kita perbuat sehingga para masyarakat kita itu peningkatan ekonominya bisa meningkat”. Meskipun demikian hal ini tetap merupakan kekuarangan bagi Kecamatan Remboken. Penempatan personil yang sesuai spesifikasi camat tetap diharapkan dalam rangka penciptaan sistem pemerintahan yang profesional dan proporsional. Di satu sisi Camat Remboken mampu memimpin dengan baik, namun di sisi yang lain mungkin ada hal yang tidak dikuasai karena pengetahuan tentang pemerintahan yang kurang. Jika hal tersebut sebagai imbas dari Pemilukada langsung tentu hal tersebut pun tidak kita harapkan terjadi mengingat semuanya berada dalam aturan yang jelas. d. Pengawasan Dalam organisasi kecamatan tentu pengawasan juga menjadi faktor utama dalam pencapaian tujuan organisasi tersebut. Bupati sebagai atasan langsung camat tentu yang berwenang dalam pengawasan pelaksanaan tugas kecamatan. Namun dalam pelaksanaannya, kewenangan atributif camat hanya bersifat menjalankan tugas umum pemerintahan yang lebih di dominasi koordinasi. Dengan demikian dari pernyataan Bupati Minahasa sebelumnya dapat digambarkan bahwa pengawasan itu tetap ada, tetap memastikan camat menjalankan tugasnya sesuai harapan bupati, serta selalu menyampaikan laporan ke bupati setiap saat berdasarkan kewenangan yang diatur dalam PP No. 19 Tahun 2008. e. Sarana dan Prasarana 11
Pengaturan standar sarana dan prasarana kerja organisasi pemerintahan, khusunya organisasi pemerintahan daerah telah di atur dalam Peraturan Mmenteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2006 tentang Standarisasi Sarana dan Prasarana Kerja Pemerintahan Daerah. Dalam ketentuan umum Permendagri disebutkan bahwa yang dimaksud sarana kerja adalah “Fasilitas yang secara langsung berfungsi sebagai penunjang proses penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam mencapai sasaran yang ditetapkan, antara lain: ruangan kantor, perlengkapan kerja dan kendaraan dinas”. Sedangkan prasarana kerja adalah “Fasilitas yang secara tidak langsung berfungsi menunjang terselenggaranya suatu proses kerja aparatur dalam meningkatkan kinerja sesuai dengan tugas dan tanggung jawab, seperti: gedung kantor, rumah jabatan, dan rumah instansi. Dalam laporan inventaris barang dan aset Kecamatan Remboken ditemukan semuanya dalam keadaan baik dan layak, semuanya boleh dikatakan memenuhi syarat seperti: milik kekayaan, kendaraan, gedung, tanah, ruangan, serta barang inventaris lainnya. Meskipun demikian dalam beberapa hal masih ditemukan kekurangan seperti kurangnya perangkat komputer, kendaraan yang sudah lama, serta perlunya beberapa tambahan fasilitas ruangan. Hal ini sebagaima disebutkan oleh Camat Remboken bahwa: “...kalau terkait dengan sarana dan sebenarnya sarana di Kecamatan Remboken dalam hal pelaksanaan tugas sudah cukup memadai namun sarana di bidang lain seperti peralatan komputer dan kendaraan masih ada kekurangan karena yang kami dapatkan disini setelah kami masuk adalah kendaraan yang hampir katanlah ambruk,mungkin karena sudah cukup tua. Kalau sarana-sarana lainnya seperti peralatan komputer, sound system, kursi, meja sebenarnya masih kurang, jadi kita program mudah-mudahan di masa yang akan datang bisa di tingkatkan”. Namun secara umum sarana dan prasarana sebenarnya cukup memadai bagi camat dalam melaksanakan tugas atributifnya. Hal ini dilihat dari kewenangan-kewenangan yang dijalankan lebih banyak hanya mengkoordinasikan. f. Anggaran Menurut Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara bahwa setiap Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah termasuk camat sebagai salah satu Kepala SKPD mempunyai tugas sebagai berikut: 1) Menyusun anggaran SKPD yang dipimpinnya; 2) Menyusun dokumen pelaksanaan anggaran; 3) Melaksanakan anggaran SKPD yang dipimpinnya; 4) Melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak; 5) Mengelola utang piutang daerah yang menjadi tanggung jawab SKPD yang dipimpinnya; 6) Mengelola barang milik/kekayaan daerah yang menjadi tanggung jawab SKPD yang dipimpinnya;dan 7) Menyusun dan menyampaikan laporan keuangan SKPD yang dipimpinnya. Kondisi obyektif perlakuan kecamatan khususnya anggaran kecamatan belum sepenuhnya dilakukan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi serta beban kerja kecamatan, tetapi masih menggunakan pendekatan pragmatis dan praktis dalam menentukan kriteria dan besaran alokasi anggaran sehingga cenderung di buat seragam. Dalam pelaksanaan kewenangannya, anggaran yang diberikan ke kecamatan sekarang ini sebenarnya masih minim. Menurut pendapat Camat Remboken bahwa: “...kalau kita liat dari anggaran yang ada di Kecamatan Remboken sebenarnya belum memadai karena seperi yang saya rasakan selama ini baru sekarang katakanlah pertengahan april, sampai maret kemarin ada lima kegiatan besar yang harus dibiayai oleh camat dalam hal pelaksanaan-pelaksanaan tugas yang memang cukup memakai dana yang agak besar seperti kegiatan Musrembang yang menghadirkan masyarakat yang begitu banyak, peringatan hari ulang tahun kabupaten yakni masyarakat di bawah ke kabupaten dengan cukup banyak, termasuk kegiatan-kegiatan kesenian dan olahraga di kabupaten. Jadi biaya transport dan biaya konsumsi di dalam serta kostum, itu sebenarnya kegiatan yang cukup 12
memberatkan bagi kami dengan minimnya dana yang diberikan termasuk yang baru-baru kami laksanakan yaitu MTQ di tingkat kelurahan di Aralle. Kami dari Remboken turut berpartisipasi, turut hadir.Juga dalam hal reses-reses atau rapat-rapat di tingkat desa juga termasuk kegiatan yang dilaksanakan di kabupaten dan provinsi perlu ditunjang dengan anggaran yang mencukupi. Ada beberapa kecamatan di Minahasa yang biaya operasional kecamatan hanya setara dengan dana ADD di tingkat desa, dulu masih ada sekitar 300 juta tapi sekarang ada yang tidak sampai 100 juta. Sekarang di Remboken masih agak bagus sudah sekitar 160 juta”. Hal tersebut menunjukkan bahwa anggaran yang diberikan ke Kecamatan Remboken khususnya camat dalam menjalankan kewenangan atributifnya masih kurang memadai. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa keseriusan menempatkan kecamatan sebagai ujung tombak pelayanan masyarakat belum tercermin. Jika kewenangan delegatif belum diturunkan dan berasumsi bahwa anggaran yang diberikan telah mampu menutupi tugas operasional kecamatan, dari pernyataan Camat Remboken belum tergambarkan. Meskipun demikian tanggung jawab camat dalam melaksanakan kewenangan atributifnya dapat dikatan berjalan walaupun beberapa ada yang berpendapat belum maksimal melihat dana yang kurang memadai serta pencairannya yang berbelitbelit. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Lurah Remboken bahwa: “...kalau persoalan anggaran saya merasa layak dana itu karena saya juga sudah tahu jumlahnya berapa cuman persoalannya itu dicairkan tidak sekaligus, itu dicairkan berdasarkan keinginan pemerintah kabupaten dalam hal ini leading sektor terkait yaitu dinas pengelolakeuangan andaikan dana itu direalisasikan hanya dalam dua tahap kemungkinan optimalisasi kinerja camat pasti sangat efektif”. Selain anggaran yang masih dianggap kurang memadai, juga sistem pencairan yang bertahap mengakibatkan penyelenggaraan pemerintahan kecamatan kurang optimal. Hal ini semakin memperjelas keseriusan pemerintah daerah dalam memberdayakan institusi kecamatan diluar kewenangan yang terbatas tidak tergambarkan. Jika kewenangan baik atributif maupun delegatif telah diberikan kepada camat, Sadu Wasistiono mengharapkan adanya dukungan-dukungan lain sebagaimana faktor-faktor yang telah kita bahas sebelumnya termasuk anggaran yang memadai. Namun melihat anggaran yang dimiliki Kabupaten Minahasa baik DAU maupun DAK yang minim, kebijakan pemerintah daerah terutama bupati untuk kecamatan saat ini mungkin adalah yang terbaik dengan angka sebagaimana yang disebutkan oleh Camat Remboken.
13
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 1.1. Kesimpulan Pada penelitian terhadap pelaksanaan kewenangan atributif camat di Kecamatan Remboken dengan berbagai hasil analisis data di lapangan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: a. Keberadaan institusi Kecamatan Remboken sampai saat ini tidak terlepas dari perubahan peraturan yang mengaturnya. UU Nomor 5 Tahun 1974 yang memposisikan camat sebagai kepala wilayah, kemudian UU Nomor 22 Tahun 1999 yang menjadikan kecamatan sebagai perangkat daerah dengan kewenangan delegatif, serta UU Nomor 32 Tahun 2004 yang memberikan koreksi terhadap UU Nomor 22 Tahun 1999 dengan tambahan kewenangan atributif kepada camat merupakan perjalanan panjang kecamatan dalam menemukan format yang ideal dalam penyelenggaraan pemerintahan Indonesia. b. Harapan masyarakat terhadap peran camat masih begitu tinggi. Persepsi yang dibangun oleh masyarakat bahkan bupati pun masih memposisikan camat pada perannya sebagai kepala wilayah. Hal ini sejalan dengan kewenangan atributif yang dimiliki camat dalam menjalankan tugas umum pemerintahan walaupun substansinya jauh berbeda dengan kewenangan kepala wilayah sebagaimana dalam UU Nomor 5 Tahun 1974. Keberadaannya sebagai pimpinan dan koordinator di wilayah kerjanya paling tidak memberikan kekuatan dalam mengatur kecamatan, mengsinkronisasikan segala bentuk kegiatan pemerintahan dalam wilayah kecamatan serta memberikan pembinaan wilayah untuk menciptakan situasi yang kondusif. c. Pelaksanaan kewenangan Camat Remboken secara umum berjalan secara efektif. Pertama, kewenangan mengoordinasikan yang meliputi 5 (lima) aktivitas sebagian besar tergambar dalam agenda rapat koordinasi; namun kewenangan mengkoordinasikan pada beberapa hal masih lemah mengingat persepsi yang terbangun masih memposisikan camat sebagai kepala wilayah. Kedua, kewenangan pembinaan pemerintahan ke desa dan kelurahan pada umumnya berjalan seperti kegiatan bimbingan, supervisi, fasilitasi, dan evaluasi; namun kewenangan ini belum memiliki metode dan sistem yang jelas karena pembinaan biasanya hanya dilakukan pada rapat koordinasi. Ketiga, kewenangan pelayanan masyarakat pada umumnya tidak jelas dalam pelaksanaannya, bidang-bidang pelayanan yang dimaksud belum jelas. Hal ini disebabkan tidak adanya kejelasan kewenangan yang rinci secara delegatif dari bupati. d. Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan kewenangan atributif camat antara lain pengawasan, sarana dan prasarana, serta kejelasan pertanggungjawaban dalam pelaksanaannya menunjukkan tidak ada permasalahan yang serius meskipun perlu perbaikan pada beberapa bidang pengawasan serta sarana dan prasarana; namun pada bidang lain ada beberapa catatan berdasarkan pelaksanaan lapangan. Pertama, kejelasan kewenangan dan pengaturannya kurang pemahaman oleh camat serta batasan yang tidak jelas. Kedua, proses pengangkatan camat yang kurang prosedural tanpa pertimbangan kompetensi yang ideal, tidak berdasarkan prasyarat peraturan perundang-undangan, serta cenderung bernuansa politis. Ketiga, anggaran yang kurang memadai menyebabkan ruang gerak kecamatan menjadi sempit serta realisasi program yang kurang dirasakan oleh masyarakat. 1.2. Saran Berdasarkan kesimpulan tersebut untuk perbaikan Kecamatan Remboken di masa yang akan datang dengan memperhatikan kondisi obyektif yang ada, maka dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut: a. Pelaksanaan kewenangan atributif camat yang meliputi mengoordinasikan dengan metode rapat koordinasi kecamatan seharusnya dipertahankan. Disamping itu camat harus memahami dan memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang kedudukan kecamatan serta camat berdasarkan PP No. 19 Tahun 2008. Kewenangan atributif camat yang meliputi pembinaan seharusnya menemukan format pelaksanaan yang ideal agar memiliki kejelasan metode pembinaan secara sistematis dan kongkrit dalam pelaksanaannya. Kewenangan 14
atributif camat yang meliputi pelayanan masyarakat harusnya memiliki kejelasan yang rinci mengingat camat bukan lagi kepala wilayah tetapi pimpinan SKPD kecamatan. Camat harus segera mendapat kewenangan yang rinci dari bupati mengenai pelayanan masyarakat yang dimaksud. Camat Remboken harus memahami arah kebijakan PP No. 19 Tahun 2008. b. Perlu pemahaman yang dalam terhadap posisi camat sekarang melihat fenomena yang masih terbangun pada posisi camat sebagai kepala wilayah.Untuk faktor-faktor yang berpengaruh pada pelaksanaan kewenangan atributif camat, saat ini Camat Remboken tidak sesuai spesifikasi camat berdasarkan PP Nomor 19 Tahun 2008 maka Bupati Minahasa dalam hal ini secepatnya memberikan pembinaan kepada camat sebagaimana yang diatur dalam PP Nomor 19 Tahun 2008 Pasal 26 ayat (1). Jika proses penyelenggaraan Kecamatan Remboken berjalan hanya berdasarkan kemampuan kepemimpinan dan pengalaman sebagai guru dalam memimpin organisasi Kecamatan Remboken, Kekhawatirannya adalah pelaksanaan tugas camat tidak berjalan efektif mengingat keberadaan kecamatan yang menggunakan berbagai pendekatan interdisiplin ilmu dalam pengambilan suatu kebijakan. Untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan kecamatan maka bupati seharusnya memberikan dukungan anggaran serta aparat yang berkompeten sehingga terjadi kesejajaran dengan kewenangan dan tanggungjawab yang dijalankan.
15
DAFTAR PUSTAKA Literatur Buku Aisyah, S dan Djaenuri, H.M. Aries., Koordinasi Pemerintahan Daerah. Modul 7. Blau, PM., 1963, Critical Remarks on Weber's Theory of Authority. The American Political Science Review , Hal: 305-316. Brouwer, J.G., 1998, dan Schilder, A Survey of Dutch Administrative Law. (Nijmegen: Ars Aeguilibri Hal. 16-17.) Budiarjo, Miriam., 2009, Dasar-Dasar Ilmu Politik. Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Dharmawan, Arya Hadi., 2008, Kelembagaan dan Tata Pemerintahan Kecamatan. Project Working Paper No. 07, Bogor. Handayanigrat, S., 1980, Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen. Penerbit: CV Haji Masangung, Jakarta. Indroharto, 1994, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie Lotulung. Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Penerbit: Citra Aditya Bakti, Bandung. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cetakan Pertama Edisi III, Jakarta: Balai Pustaka. Kinseng, R.A., 2008, Kelembagaan dan Tata Pemerintahan Kecamatan. Project Working Paper No. 03,Bogor. Labolo, Muhadam., 2008, Memahami Ilmu Pemerintahan. Penerbit: PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Ndara, Taliziduhu., 2003. Kybernology. Penerbit: PT RINEKA CIPTA, Jakarta. Nurcholis, H., 2005, Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Penerbit: PT. Grasindo, Hal 175. Pariata, Westra., 1997, Ensiklopedia Administrasi. Penerbit: Gunung Agnung, Jakarta. Reksohadiprodjo, S., 1992, Dasar-Dasar Manajemen. Edisi V, Penerbit: BPFE, Yogyakarta. Ryaas Rasyid, Afan G., dan Syaukani HR.H., 2009, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan. Penerbit: Pustaka Pelajar Offset, Yokyakarta. Wasistiono, S., 2002, Menata Ulang Kelembagaan Kecamatan. Pusat Kajian Pemerintahan STPDN. Penerbit PT. Citra Pindo, Bandung. Wasistiono, S., Nurdin, I., dan Fahrurozi, M., 2009, Perkembangan Organisasi Kecamatan Dari Masa ke Masa. Penerbit: Fokusmedia, Bandung. Silalahi, Ulber., 2009, Metode Penelitian Sosial. Penerbit: PT Refika Aditama, Bandung. Soekanto, S., 2003, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Penerbit: Raja Grafindo Persada, Jakarta. Sumaryadi, Nyoman., 2010, Sosiologi Pemerintahan. Penerbit: Ghalia Indonesia, Bogor. Swastha, B., 1985, Azas-Azas Manajemen Modern. Edisi I, Penerbit: Liberty, Yogyakarta. Syafiie, Inu Kencana., 2011, Etika Pemerintahan. Penerbit: PT RINEKA CIPTA, Jakarta. Terry, G.R.,2008, Prinsip-Prinsip Manajemen. Cetakan IX, Penerbit: PT Bumi Aksa, Jakarta. Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2005 tentang Kelurahan. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2008 tentang Kecamatan. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 158 Tahun 2004 tentang Pedoman Organisasi Kecamatan. 16