ANALISIS NILAI TAMBAH PENGOLAHAN TEPUNG TAPIOKA DI KABUPATEN BOGOR
ALTRI HARWANTO
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
ABSTRAK ALTRI HARWANTO. Analisis Nilai Tambah dan Keuntungan Pengolahan Tepung Tapioka, di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh DWI RACHMINA. Nilai ubi kayu akan meningkat bila diolah lebih lanjut menjadi berbagai bahan pangan, salah satunya dengan mengolah ubi kayu menjadi tepung tapioka. Pengolahan tapioka dapat dilakukan pada unit pengolahan tepung tapioka dengan skala yang berbeda. Pengolahan ubi kayu tentunya dapat meningkatkan nilai tambah, namun besarnya nilai tambah tersebut belum diketahui secara pasti. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis besarnya nilai tambah dan keuntungan dari pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka. Analisis dilakukan dengan membandingkan nilai tambah dan keuntungan per kilogram tepung tapioka pada skala unit pengolahan yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai tambah dan keuntungan unit pengolahan skala besar lebih tinggi yakni Rp 273.60 per kg dan Rp 285.23 per kg dibandingkan nilai tambah dan keuntungan unit pengolahan skala kecil sebesar Rp 206.74 per kg dan Rp 165.13 per kg. Biaya produksi pada unit pengolahan skala besar lebih kecil yakni Rp 1 352.27 per kg dibandingkan unit pengolahan skala kecil sebesar Rp 1 463.00 per kg. Kata kunci: unit pengolahan tepung tapioka, keuntungan, nilai tambah, ubi kayu
ABSTRACT ALTRI HARWANTO. Added Value and Profit Analysis of Tapoica Processing in Bogor. Supervised by DWI RACHMINA. Cassava added value will be increased if it is processed to other varieties of food such us tapioca. Tapioca was processed by every level of processing unit. Though processing is certainly will increase the added value of tapioca, the certain amount of the added value increased is still unkown. This study aimed to analyze the added value and profit that was obtained from cassava processing. The analysis was conducted by comparing the added value and the profit per kilogram of tapioca for every scale of processing unit. The result indicated that the added value and the profit of large scale processing unit was higher, by Rp 273.60 per kg of added value and Rp 285.23 per kg of profit, than the added value and the profit of small scale processing unit, which were Rp 206.74 per kg added value and Rp 165.13 of profit. Production cost large scale processing unit had lower cost, which was Rp 1 352.27 per kg, than that of small scale processing unit which was 1 463.00 per kg. Keywords : added value, cassava, profit, tapioca
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Nilai Tambah Pengolahan Tepung Tapioka di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2014
Altri Harwanto NIM H34114027
ANALISIS NILAI TAMBAH PENGOLAHAN TEPUNG TAPIOKA DI KABUPATEN BOGOR
ALTRI HARWANTO
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014
Judul Skripsi : Analisis Nilai Tambah Pengolahan Tepung Tapioka di Kabupaten Bogor Nama : Altri Harwanto NIM : H34114027
Disetujui oleh
Dr Ir Dwi Rachmina. MSi Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Dwi Rachmina. MSi Ketua Departemen
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi sebagai kaya akhir dengan judul Analisis Nilai Tambah Pengolahan Tepung Tapioka di Kabupaten Bogor sebagai salah satu syarat kelulusan pada Program Alih Jenis Agribisnis Institut Pertanian Bogor. Laporan ini merupakan hasil penelitian penulis yang dilaksanakan di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor. Penyelesaian penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih secara tertulis sebagai bentuk penghargaan kepada kedua orang tua tercinta yang telah memberikan dukungan, doa, dan materi yang mengantarkan penulis menuju satu titik menuju masa depan, Dr Ir Dwi Rachmina MSi sebagai dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, Pengusaha unit pengolahan tapioka kasar di Desa Pasir Laja dan Desa Cijujung yang telah memberikan data, serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Bogor, Mei 2014
Altri Harwanto
DAFTAR ISI DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Ubi Kayu sebagai Bahan Baku Unit pengolahan Perhitungan dan Alokasi Nilai Tambah Pengaruh Skala Industri Terhadap Nilai Tambah yang Diciptakan Teknologi Pengolahan Tapioka KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Konsep Nilai Tambah Hubungan Skala Unit Pengolahan dengan Biaya Produksi Kerangka Pemikiran Operasional METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Jenis dan Sumber Data Metode Penentuan Sampel Metode Pengumpulan dan Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Kecamatan Sukaraja Gambaran Umum Unit pengolahan Tapioka Kasar Analisis Nilai Tambah Keuntungan Total Unit pengolahan Tapioka Kasar SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
vi vii viii viii 1 1 4 5 5 5 5 7 9 10 11 11 11 12 14 16 16 16 17 17 19 19 21 25 31 38 38 39 40 41
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Produksi Tanaman Pangan di Jawa Barat Tahun 2008 - 2012 (Ton) Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Ubi Kayu di Pulau Jawa Tahun 2012 Luas Panen, Produktivitas dan Produksi Ubi Kayu di Jawa Barat Tahun 2008-2012 Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Ubi Kayu di Kabupaten Bogor Tahun 2008-2011 Prosedur Perhitungan Nilai Tambah Metode Hayami Klasifikasi Penduduk Kecamatan Sukaraja Menurut Agama Tahun 2011 Jumlah Rumah Tangga Kecamatan Sukaraja Berdasarkan Pekerjaan Tahun 2011 Karakteristik Unit Pengolahan Tapioka Kasar Skala Besar dan Skala Kecil Tahun 2013 Perhitungan Rata-Rata Nilai Tambah Pengolahan Tepung Tapioka Kasar di Kabupaten Bogor Tahun 2013 Proporsi Penggunaan Tenaga Kerja Unit Pengolahan Tepung Tapioka Berdasarkan Skala Produksi Tahun 2013 Sumbangan Input Lain Pengolahan Ubi Kayu Menjadi Tepung Tapioka Kasar di Kabupaten Bogor Tahun 2013 Biaya-Biaya Tetap Pengolahan Tepung Tapioka di Kabupaten Bogor Tahun 2013 Biaya-Biaya Variabel Pengolahan Tepung Tapioka Skala Besar di Kabupaten Bogor Tahun 2013 Biaya-Biaya Variabel Pengolahan Tepung Tapioka Skala Kecil di Kabupaten Bogor Tahun 2013 Perhitungan Keuntungan Unit Pengolahan Tepung Tapioka di Kabupaten Bogor Tahun 2013 Perbandingan Nilai Tambah Dan Keuntungan Pengolahan Tapioka Kasar Per Kg Ubi Kayu di Kabupaten Bogor Tahun 2013
1 1 2 3 18 20 20 24 27 28 29 32 34 35 36 37
DAFTAR GAMBAR 1 2 3
Rata-Rata Biaya Produksi Jangka Panjang Kerangka Pemikiran Operasional Analisis Nilai Tambah Pengolahaan Ubi Kayu Proses Pengolahan Ubi Kayu Menjadi Tepung Tapioka Kasar
13 15 22
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6
Distribusi Nilai Tambah Unit Pengolahan Tapioka Kasar Skala Besar Distribusi Nilai Tambah Unit Pengolahan Tapioka Kasar Skala Kecil Distribusi Marjin Unit Pengolahan Tapioka Kasar Skala Besar Distribusi Marjin Unit Pengolahan Tapioka Kasar Skala Kecil Penyusutan Alat Pengolahan Tapioka Kasar di Kabupaten Bogor Tahun 2013 Perhitungan HOK Pengolahan Tepung Tapioka Kasar di Kabupaten Bogor Tahun 2013
41 41 42 42 46 46
PENDAHULUAN Latar Belakang Subsektor pertanian terdiri dari subsektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, perikanan, dan peternakan. Subsektor pertanian memiliki peranan penting dalam memenuhi kebutuhan pokok manusia, namun yang paling utama adalah tanaman pangan. Tanaman pangan adalah tanaman yang diproduksi atau dibudidayakan untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok atau pangan sampingan. Tanaman pangan dapat langsung dikonsumsi atau diolah terlebih dahulu agar manfaatnya lebih banyak dan memberikan nilai yang lebih tinggi. Tanaman pangan menurut Badan Pusat Statistik terdiri dari komoditas padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang hijau, dan kedelai. Produksi tanaman pangan di Jawa Barat memiliki laju pertumbuhan yang cenderung positif berkisar antara 0.74% sampai 15.18% per tahun kecuali pada komoditas kacang hijau menurun sebesar 1.96% per tahun (Tabel 1). Tabel 1 Produksi tanaman pangan di Jawa Barat tahun 2008 - 2012 (Ton) 2012
Laju (%/thn)
Komoditi
2008
2009
2010
2011
Padi Ubi Kayu Jagung Ubi Jalar Kacang Tanah Kedelai Kacang Hijau
10 111 069
11 322 681
11 737 070
11 633 891
11 271 861
2.91
2 034 854
2 086 187
2 014 402
2 058 785
2 131 123
1.20
639 822
787 599
923 962
945 104
376 490
469 646
430 998
429 378
436 577
4.45
78 512
89 454
99 058
73 705
76 574
0.74
32 921
60 257
55 823
56 166
47 425 15.18
12 187
16 195
14 624
14 221
10 198 -1.96
1 028 653 12.88
Sumber: Badan Pusat Statistik Jawa Barat 2008 – 2012 (diolah)
Salah satu tanaman pangan yang dapat langsung dikonsumsi dan dapat juga diolah lebih lanjut adalah ubi kayu. Ubi kayu perlu diolah lebih lanjut untuk meningkatkan nilai ubi kayu. Jawa Barat menempati urutan ketiga sebagai propinsi yang memproduksi ubi kayu dengan tingkat produksi ketiga terbanyak di Pulau Jawa tahun 2012 terlihat pada Tabel 2. Tabel 2 Luas panen, produktivitas, dan produksi ubi kayu di Pulau Jawa tahun 2012 Provinsi Jawa Tengah Jawa Timur Jawa Barat Yogyakarta DKI Jakarta Total
Luas Panen (Ha) 168 501 194 142 108 678 61 769 5 533 095
Sumber : Badan Pusat Statistik 2012 (diolah)
Produktivitas (Ku/Ha) 205.29 165.12 202.85 148.77 114.18 836.21
Produksi (ton) 345 923.5 320 576.8 220 454.2 91 890.7 5.7 978 850.9
2
Jawa Barat memiliki tingkat produktivitas ubi kayu kedua tertinggi di Pulau Jawa meskipun luas area panen yang dimiliki hanya berada pada urutan ketiga tertinggi. Tingkat produksi dan produktivitas tersebut menunjukkan bahwa ubi kayu di Jawa Barat masih memiliki potensi untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi berbagai bahan makanan yang dapat menambah nilai ekonomi dari ubi kayu tersebut. Salah satu cara untuk menambah nilai ekonomi dari ubi kayu yakni dengan mengolah ubi kayu menjadi bahan pangan langsung atau bahan setengah jadi (bahan baku unit pengolahan). Bahan pangan langsung misalnya diolah menjadi berbagai macam makanan seperti kue atau keripik, sedangkan bahan baku unit pengolahan misalnya diolah menjadi tepung tapioka, tepung mokaf, dan bioethanol. Luas panen ubi kayu di Jawa Barat memiliki pertumbuhan yang cenderung menurun. Laju pertumbuhan luas panen ubi kayu menurun sebesar 2.14% per tahun. Penurunan luas panen tersebut disebabkan karena adanya konservasi lahan atau alih fungsi lahan yang saat ini banyak terjadi pada lahan pertanian. Pertumbuhan luas panen ubi kayu di Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Luas panen, produktivitas dan produksi ubi kayu di Jawa Barat tahun 2008-2012 Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 Laju (%/thn)
Luas Panen (Ha) 109 354.00 110 827.00 105 023.00 103 244.00 100 159.00 -2.14
Produktivitas (Ku/Ha) 186.08 188.24 191.81 199.41 212.77 3.43
Produksi (Ton) 2 034 854.00 2 086 187.00 2 014 402.00 2 058 785.00 2 131 123.00 1.20
Sumber : Badan Pusat Statistik Jawa Barat 2008 – 2012 (diolah)
Produksi ubi kayu di Jawa Barat memiliki kecenderungan pertumbuhan yang positif berdasarkan Tabel 3. Laju pertumbuhan produksi ubi kayu di Jawa Barat sebesar 1.20% per tahun. Laju pertumbuhan produksi yang positif memberikan arti bahwa ubi kayu adalah komoditas yang memiliki peluang untuk diolah lebih lanjut karena produksi yang meningkat. Ketersediaan ubi kayu yang meningkat memungkinkan para pengusaha pengolahan ubi kayu untuk mengembangkan usahanya. Produktivitas ubi kayu di Jawa Barat memiliki kecenderungan yang meningkat, disebabkan karena teknik budidaya yang semakin berkembang walaupun luas panen ubi kayu semakin berkurang. Ratarata pertumbuhan produktivitas ubi kayu di Jawa Barat sebesar 3.43% per tahun, menunjukkan bahwa ketersediaan ubi kayu di Jawa Barat semakin meningkat dan dapat diolah lebih lanjut menjadi berbagai macam olahan makanan. Kabupaten Bogor merupakan salah satu daerah yang membudidayakan ubi kayu. Produksi ubi kayu di Kabupaten Bogor memiliki pertumbuhan yang cenderung menurun sebesar 8.22% per tahun karena adanya konservasi lahan ubi kayu menjadi lahan non ubi kayu. Produktivitas ubi kayu di Kabupaten Bogor memiliki pertumbuhan yang positif sebesar 3.29% per tahun. Produktivitas ubi kayu meningkat karena teknik budidaya yang semakin berkembang. Luas panen, produktivitas, dan produksi ubi kayu di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 4.
3
Tabel 4 Luas panen, produktivitas, dan produksi ubi kayu di Kabupaten Bogor tahun 2008-2011 Tahun Luas Panen (Ha) Produktivitas (Ku/Ha) Produksi (Ton) 2008 10 073.00 197.16 198 597.00 2009 8 342.00 192.67 160 728.00 2010 8 357.00 202.36 169 113.00 2011 7 718.00 216.76 167 295.00 Laju (%/thn) -8.22 3.29 -4.98 Sumber : Departemen Pertanian 2008-2011 (Diolah)
Produksi ubi kayu di Kabupaten Bogor mengalami pertumbuhan yang menurun sebesar 4.98% per tahun. Pertumbuhan produksi ubi kayu menurun disebabkan lahan ubi kayu yang semakin berkurang akibat pergantian komoditas pada lahan atau alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Petani kurang tertarik untuk membudidayakan ubi kayu karena harga ubi kayu relatif murah walaupun produktivitas ubi kayu memiliki pertumbuhan yang positif. Ubi kayu merupakan bahan baku industri pengolahan seperti gaplek dan tapioka. Pengolahan ubi kayu akan meningkatkan nilai tambah. Besarnya nilai tambah yang diciptakan tergantung dari pengolahan yang dilakukan terhadap ubi kayu. Ubi kayu dapat diolah menjadi bahan baku unit pengolahan seperti unit pengolahan tepung tapioka. Adanya unit pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka tentunya memberikan nilai tambah bagi ubi kayu itu sendiri. Teknologi yang diterapkan oleh masing-masing unit pengolahan tapioka akan menghasilkan nilai tambah yang bervariasi. Adanya variasi besarnya nilai tambah yang diciptakan oleh unit pengolahan tapioka dan perbedaan alokasi nilai tambah dari setiap unit pengolahan menjadi suatu yang unik untuk dianalisis lebih lanjut. Untuk itu perlu dilakukan penelitian mengenai besarnya nilai tambah yang diciptakan dari pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka. Ubi kayu dalam keadaan segar tidak tahan lama. Untuk pemasaran yang memerlukan waktu lama, ubi kayu harus diolah terlebih dahulu menjadi bentuk lain yang lebih awet salah satunya diolah menjadi tepung tapioka. Tepung tapioka yang dibuat dari ubi kayu mempunyai banyak kegunaan, antara lain sebagai bahan pembantu dalam berbagai industri. Dibandingkan dengan tepung jagung, kentang, dan gandum atau terigu, komposisi zat gizi tepung tapioka cukup baik sehingga mengurangi kerusakan tenun, juga digunakan sebagai bahan bantu pewarna putih1. Unit pengolahan tapioka berperan penting untuk menghasilkan produk tepung tapioka yang berkualitas. Unit pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka memiliki karakteristik yang berbeda. Karakteristik yang pertama yaitu unit pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka yang menghasilkan tepung dengan tekstur yang masih kasar, sedangkan karakteristik yang kedua yaitu unit pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka yang menghasilkan tepung dengan tekstur yang halus.
1
http://www.iptek.net.id/ind/warintek/?mnu=6&ttg=6&doc=6b30 (diakses 2 Mei 2013)
4
Perumusan Masalah Nilai tambah dipandang cukup penting dalam meningkatkan nilai ubi kayu. Permintaan ubi kayu sebagai bahan baku industri pengolahan cenderung lebih besar dari pada permintaan sebagai bahan pangan langsung. Salah satu yang dilakukan untuk meningkatkan nilai tambah yakni dengan mengolah ubi kayu menjadi tepung tapioka. Pengolahan tersebut dilakukan oleh unit pengolahan tapioka. Unit pengolahan tapioka terdiri dari unit pengolahan tapioka kasar dan unit pengolahan tapioka halus. Proses pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka dapat dibedakan menjadi dua tahap pengolahan yaitu tahap pengolahan menjadi tepung tapioka kasar dan tahap pengolahan menjadi tepung tapioka halus. Masing-masing tahap diproses pada unit pengolahan yang berbeda. Perbedaan unit pengolahan tersebut menjadi karakteristik tersendiri bagi unit pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka. Masing-masing karakter juga memiliki skala produksi yang berbeda-beda. Unit pengolahan dengan karakteristik menghasilkan tepung tapioka kasar merupakan unit pengolahan tapioka kasar yang dijalankan sebagai tahap awal proses pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka. Pada unit pengolahan tapioka kasar, ubi kayu digiling menggunakan mesin penggiling yang tergolong sederhana dan akan diperoleh output berupa tepung tapioka kasar sesuai dengan skala produksi. Tepung tapioka kasar yang dihasilkan akan dijadikan bahan baku pada unit pengolahan tepung tapioka halus guna diolah lebih lanjut. Unit pengolahan tepung tapioka halus merupakan unit pengolahan tapioka yang menghasilkan tepung tapioka halus. Unit pengolahan tapioka halus mengolah tepung tapioka kasar menggunakan mesin yang lebih canggih dari unit pengolahan tapioka kasar sehingga dihasilkan tepung tapioka yang lebih halus. Adanya karakteristik unit pengolahan tapioka yang berbeda, menghasilkan nilai tambah dan alokasi yang berbeda terhadap tenaga kerja dan pengusaha. Besarnya nilai tambah pengolahan tepung tapioka belum diketahui secara pasti. Skala unit pengolahan yang berbeda tentu akan menghasilkan nilai tambah yang berbeda. Untuk itu peneliti menganalisis besarnya nilai tambah yang diciptakan dari pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka. Pengolahan tepung tapioka selain meningkatkan nilai tambah juga meningkatkan keuntungan. Keuntungan yang diperoleh masing-masing skala unit pengolahan juga belum diketahui secara pasti. Keuntungan sebagai indikator keberhasilan unit pengolahan tepung tapioka juga perlu dianalisis demi keberlanjutan unit pengolahan. Berdasarkan uraian tersebut, maka muncul pertanyaan yang perlu dijawab pada penelitian ini yaitu : 1. Berapakah nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka pada masing-masing unit pengolahan ? 2. Berapakah keuntungan yang diperoleh oleh unit pengolahan pada masingmasing skala ?
5
Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah, maka tujuan penelitian adalah : 1. Menganalisis nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka. 2. Menganalisis keuntungan yang diperoleh unit pengolahan tapioka pada masing-masing skala.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat berguna bagi unit pengolahan ubi kayu sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan yang harus dijalankan serta keputusan pengembangan usaha yang berkaitan dengan peningkatan nilai tambah. Penelitian ini juga diharapkan sebagai penerapan ilmu yang telah diperoleh selama masa perkuliahan bagi penulis sehingga menambah wawasan dan pengetahuan penulis. Penelitian ini memberikan informasi sebagai referensi atau literatur bagi pembaca mengenai nilai tambah dan keuntungan pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka, selain itu juga sebagai masukkan bagi penelitian selanjutnya.
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dan batasan penelitian yang berjudul Analisis Nilai Tambah Pengolahan Ubi Kayu Menjadi Tepung Tapioka di Kecamatan Sukaraja Kabupaten Bogor, dikhususkan membahas mengenai analisis nilai tambah pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka pada unit pengolahan tapioka kasar. Unit pengolahan tapioka kasar merupakan unit pengolahan tapioka yang menghasilkan output berupa tepung tapioka kasar. Penelitian ini juga membandingkan nilai tambah dan keuntungan unit pengolahan penggilingan per skala dari hasil pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka kasar. Nilai tambah dan keuntungan yang dibandingkan adalah nilai tambah dan keuntungan dari setiap kilogram tepung tapioka kasar yang dihasilkan.
TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Ubi Kayu Sebagai Bahan Baku Unit pengolahan Ubi kayu (Manihot esculenta, Crautz) termasuk tumbuhan berbatang pohon lunak atau getas (mudah patah). Ubi kayu berbatang bulat dan bergerigi yang terjadi dari bekas pangkal tangkai daun, bagian tengahnya bergabus dan termasuk tumbuhan yang tinggi. Ubi kayu bisa mencapai ketinggian 1-4 meter. Pemeliharaannya mudah dan produktif. Ubi kayu dapat tumbuh subur di daerah yang berketinggian 1 200 meter di atas permukaan air laut. Daun ubi kayu
6
memiliki tangkai panjang dan helaian daunnya menyerupai telapak tangan, dan tiap tangkai mempunyai daun sekitar 3-8 lembar. Tangkai daun tersebut berwarna kuning, hijau atau merah2. Jenis singkong Manihot esculenta pertama kali dikenal di Amerika Selatan kemudian dikembangkan pada masa pra-sejarah di Brasil dan Paraguay. Bentukbentuk modern dari spesies yang telah dibudidayakan dapat ditemukan bertumbuh liar di Brasil selatan. Meskipun spesies Manihot yang liar ada banyak, semua varitas M. esculenta dapat dibudidayakan. Ketela pohon atau ubi kayu merupakan tanaman sumber karbohidrat dan dalam program diversifikasi pangan digunakan sebagai bahan pangan alternatif selain beras. Tanaman ubi kayu bukan merupakan tanaman pokok, namun selalu diusahakan petani untuk menunjang kebutuhan pangan sehari-hari, terutama masyarakat pedesaan. Tanaman ini juga dianggap kurang mempunyai nilai ekonomis karena harga umbi yang rendah dan selera masyarakat dewasa ini yang kurang menyukai untuk mengkonsumsi umbinya. Selain diambil umbinya, ubikayu juga dipanen daunnya sebagai sayuran yang mempunyai nilai gizi3. Menurut Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Departemen Pertanian-Jakarta (2005), singkong merupakan bahan baku berbagai produk unit pengolahan seperti unit pengolahan makanan, farmasi, tekstil dan lain-lain. Unit pengolahan makanan dari singkong cukup beragam mulai dari makanan tradisional seperti getuk, timus, keripik, gemblong, dan berbagai jenis makanan lain yang memerlukan proses lebih lanjut. Dalam unit pengolahan makanan, pengolahan singkong dapat digolongkan menjadi tiga yaitu hasil fermentasi singkong (tape/peuyem), singkong yang dikeringkan (gaplek) dan tepung singkong atau tepung tapioka. Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2011), singkong atau ubikayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan salah satu sumber karbohidrat lokal Indonesia yang menduduki urutan ketiga terbesar setelah padi dan jagung. Tanaman ini merupakan bahan baku yang paling potensial untuk diolah menjadi tepung. Singkong segar mempunyai komposisi kimiawi terdiri dari kadar air sekitar 60%, pati 35%, serat kasar 2.5%, kadar protein 1%, kadar lemak, 0.5% dan kadar abu 1%, karenanya merupakan sumber karbohidrat dan serat makanan, namun sedikit kandungan zat gizi seperti protein. Singkong segar mengandung senyawa glokosida sianogenik dan bila terjadi proses oksidasi oleh enzim linamarase maka akan dihasilkan glukosa dan asam sianida (HCN) yang ditandai dengan bercak warna biru, akan menjadi toxin (racun) bila dikonsumsi pada kadar HCN lebih dari 50 ppm. Pengelompokan ubikayu berdasarkan kadar HCN menjadi 3 kelompok, yaitu (1) tidak boleh dikonsumsi bila kadar HCN lebih dari 100 ppm (rasa pahit), seperti varietas Adira II, Adira IV dan Thailand, (2) dianjurkan tidak dikonsumsi bila kadar HCN 40 – 100 ppm, seperti varietas UJ-5 dan (3) boleh dikonsumsi kadar HCN kurang dari 40 ppm (tidak pahit), seperti varietas Adira I dan Manado. Ada korelasi antara kadar HCN ubikayu segar dengan kandungan pati. Semakin tinggi kadar HCN semakin pahit dan kadar pati meningkat dan sebaliknya. Oleh karena itu, unit pengolahan tapioka umumnya menggunakan varietas berkadar HCN tinggi atau varietas pahit. Di 2 3
http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php?id=151 (Diakses 10 April 2013) http://dinpertantph.jatengprov.go.id/tutorialubikayu.htm (Diakses 10 April 2013)
7
samping itu, ubikayu segar mengandung senyawa polifenol dan bila terjadi oksidasi akan menyebabkan warna coklat (browning secara enzimatis) oleh enzim fenolase, sehingga warna tepung kurang putih. Berdasarkan kadar amilosa, ubikayu dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu ubikayu gembur (kadar amilosa lebih dari 20%) yang ditandai secara fisik bila kulit ari yang berwarna coklat terkelupas dan kulit tebalnya mudah dikupas, dan ubikayu kenyal (kadar amilosa kurang dari 20%) yang ditandai bila kulit ari warna coklat tidak terkelupas atau lengket pada kulit tebalnya dan kulit tebalnya sulit dikupas.
Perhitungan dan Alokasi Nilai Tambah Nilai tambah merupakan nilai yang tercipta akibat adanya proses pengubahan input dengan berbagai perlakuan sehingga meningkatkan nilai output yang dihasilkan. Perlakuan tersebut meliputi pengubahan bentuk, waktu, dan tempat. Nilai tambah yang diciptakan dari hasil pengolahan input pertanian menjadi berbagai macam output berbeda-beda. Salah satu contoh penelitian Pertiwi (2013) mengenai analisis nilai tambah dan pemasaran minyak Gaharu pada CV. Aromindo. Analisis nilai tambah bertujuan untuk mengetahui besarnya nilai tambah dan balas jasa terhadap faktor-faktor produksi akibat adanya aktivitas yang terjadi mulai dari pengadaan bahan baku gaharu sampai produk jadi minyak gaharu. Metode perhitungan nilai tambah yang digunakan adalah metode Hayami. Minyak gaharu yang dihasilkan dari bahan baku sebanyak 18 000 kg adalah 18 kg. Nilai faktor konversi sebesar 0.001 didapat dari pembagian antara nilai output yang dihasilkan dengan nilai input yang digunakan. Nilai konversi menunjukkan arti bahwa setiap satu kilogram gaharu yang digunakan akan menghasilkan 0.001 kg minyak gaharu, atau setiap penambahan 18 000 kg gaharu akan menghasilkan 18 kg minyak gaharu. Nilai koefisien tenaga kerja langsung sebesar 0.312 yang diperolah dari pembagian antara nilai hari orang kerja (HOK) sebesar 5 616 HOK dengan nilai bahan baku yang menunjukkan bahwa untuk mengolah satu kilogram gaharu menjadi minyak gaharu dibutuhkan tenaga kerja sebesar 0.312 HOK, atau setiap penambahan 1 000 kg gaharu menjadi satu kilogram minyak gaharu membutuhkan tenaga kerja langsung sebanyak 312 HOK. Upah rata-rata tenaga kerja dari pengolahan gaharu menjadi minyak gaharu sekitar Rp 28 205 per HOK, diperoleh dari hasil bagi antara total upah tenaga kerja langsung dengan total HOK yang dibutuhkan. Nilai produk didapat dari perkalian faktor konversi dengan harga produk. Harga yang ditetapkan adalah Rp 130 000 000 per kilogram miyak gaharu, sehingga didapat nilai minyak gaharu sebesar Rp 130 000 yang berarti bahwa setiap pengolahan satu kilogram gaharu akan menghasilkan nilai minyak gaharu sebesar Rp 130 000 per kilogram. Nilai minyak gaharu dikurangi dengan harga minyak gaharu dan harga input lain menghasilkan nilai tambah sebesar Rp 66 342 per kilogram. Nilai tambah tersebut akan menghasilkan rasio nilai tambah sebesar 51.032% bila dibagi dengan nilai produk. Rasio nilai tambah menunjukkan arti bahwa dari Rp 130 000 nilai produk, sebesar 51.032 persennya merupakan nilai tambah dari pengolahan produk. Nilai tambah ini merupakan nilai tambah kotor bagi pengolah karena masih mengandung imbalan
8
terhadap tenaga kerja langsung dan keuntngan perusahaan pengolah. Imbalan bagi tenaga kerja langsung sebesar Rp 8 800 per kilogram dengan bagian tenaga kerja terhadap nilai tambah sebesar 13.265%. Nilai imbalan tenaga kerja langsung diperoleh dari perkalian antara koefisien tenaga kerja dengan upah rata-rata tenaga kerja per HOK. Keuntungan yang diperoleh dari pengolahan satu kilogram gaharu menjadi minyak gaharu sekitar Rp 57 542 per kilogram bahan baku, dimana nilai tersebut merupakan nilai tambah bersih karena telah dikurangi dengan imbalan tenaga kerja langsung. Pengolahan minyak gaharu menghasilkan nilai tambah sebesar 51.032%, dimana 86.735% dialokasikan untuk keuntungan bagi pengusaha dan 13.26% dialokasikan untuk imbalan tenaga kerja. Hasil alokasi nilai tambah tersebut menunjukkan bagaimana karakteristik CV. Aromindo. Alokasi terbesar dari nilai tambah yakni untuk keuntungan pengusaha, artinya bahwa CV. Aromindo sebagai unit pengolahan minyak gaharu merupakan unit pengolahan yang memiliki karakteristik padat modal. Sedangkan jika alokasi nilai tambah terbesar untuk imbalan tenaga kerja CV. Aromindo merupakan unit pengolahan dengan karakteristik padat karya. Penelitian mengenai nilai tambah bahan pangan dilakukan oleh Tunggadewi (2009). Penelitian bertujuan menganalisis profiitabilitas dan nilai tambah usaha tahu di Kelurahan Tegal Gundil dan usaha tempe di Kelurahan Cilendek Timur. Tunggadewi (2009) menganalisis profitabilitas dengan menghitung pendapatan, titik impas, marginal income ratio (MIR), serta marginal of safety (MOS) dan juga menganalisis nilai tambah menggunakan metode Hayami. Hasil penelitian menunjukkan bahwa usahsa tahu melakukan produksi sebanyak 300 kg per hari, sedangkan usaha tempe memproduksi 400 kg per hari. Faktor konversi usaha tahu sebesar 2.7 sedangkan usaha tempe sebesar 2.17 yang menunjukkan bahwa setiap mengolah satu kg bahan baku akan menghasilkan output sebesar nilai faktor konversi. Harga tahu yang ditentukan sebesar Rp 4 972 per kg dan harga tempe sebesar Rp 5 283 per kg. Nilai output yang dihasilkan usaha tahu dan tempe sebesar Rp 13 426 per kg dan Rp 11 470 per kg kedelai yang diolah. Analisis nilai tambah yang dilakukan terhadap usaha tahu dan tempe menunjukkan adanya perbedaan nilai tambah antara kedua usaha. Nilai tambah dari pengolahan kedelai untuk usaha tahu sebesar Rp 6 881 per kg, sedangkan usaha tempe sebesar Rp 4 947 per kg. Berdasarkan rasio nilai tambah terhadap nilai output, untuk usaha tahu menunjukan setiap Rp 100 nilai ouput tahu yang dihasilkan akan diperoleh nilai tambah sebesar Rp 51 dan usaha tempe memperoleh nilai tambah sebesar Rp 43. Usaha tahu memiliki nilai tambah yang lebih besar, namun usaha tahu dan tempe memiliki kesamaan tingkat keuntungan sebesar 93%. Besarnya keuntungan yang diperoleh dari pengolahan kedelai yang dilakukan masingmasing usaha yaitu sebesar Rp 6 381 untuk usaha tahu dan Rp 4 587 untuk usaha tempe. Usaha tahu memperoleh keuntungan dan nilai tambah yang lebih besar walau pun kedelai yang diolah usaha tempe lebih banyak karena proses produksi tahu lebih singkat dibandingkan proses produksi tempe. Proses produksi tempe lebih singkat karena kedelai yang diolah menjadi tempe harus melalui beberapa tahapan dalam proses produksinya, yaitu perendaman, pencucian, dan fermentasi, dimana masing-masing tahapan tersebut membutuhkan waktu satu hari. Bagian tenaga kerja dari keuntungan nilai
9
tambah yang diperoleh usaha tahu dan tempe sama yaitu satu % dengan besar imbalan yang diperoleh tenaga kerja pada masing-masing usaha per hari sebesar Rp 500 untuk usaha tahu dan Rp 360 untuk usaha tempe. Imbalan untuk tenaga kerja pada masing-masing usaha terlihat kecil, namun kedua Pengusaha usaha telah mengatasinya dengan memberikan fasilitas seperti tempat tinggal dan makanan sehari-hari.
Pengaruh Skala Industri Terhadap Nilai Tambah yang Diciptakan Skala unit pengolahan input bisa jadi mempengaruhi nilai tambah yang diciptakan, semakin besar skala unit pengolahan maka akan semakin besar nilai tambah yang diciptakan. Pengaruh skala unit pengolahan terhadap nilai tambah yang diciptakan dari pengolahan input telah dilakukan oleh banyak peneliti sebelumnya. Salah satu contoh seperti yang dilakukan oleh Munawar (2010) yang menganalisis nilai tambah dan pemasaran kayu sengon gergajian. Penelitian dilakukan di Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor dengan mengambil sampel sebanyak 13 pengelola kayu gergajian, distributor dua orang, pedagang material dua orang, dan pedagang pengecer kayu sengon sebanyak satu orang. Penggolongan skala unit pengolahan berdasarkan banyaknya mesin utama gergajian yang digunakan, skala kecil menggunakan satu mesin utama, skala menengah menggunakan dua mesin utama, dan skala besar menggunakan tiga mesin utama. Dasar perhitungan nilai tambah pada kegiatan pengolahan kayu sengon gergajian menggunakan per satuan meter kibuk kayu gergajian sebagai bahan baku utama. Analisis nilai tambah bertujuan untuk mengetahui besarnya nilai tambah pengolahan bahan baku kayu menjadi produk kayu olahan, serta mengetahui distribusi marjin kepada faktor-faktor produksi yang digunakan. Munawar (2010) juga membandingkan nilai tambah yang diperoleh berdasarkan skala unit pengolahan. Masing-masing skala memiliki perbedaan nilai pada komponen perhitungan nilai tambah. Nilai pada perhitungan nilai tambah tidak selalu berbanding lurus dengan skala unit pengolahan, terkadang terdapat nilai unit pengolahan menengah yang lebih besar dari skala unit pengolahan kecil dan besar. Nilai tersebut terdapat pada komponen koefisien tenaga kerja, harga output, harga input bahan baku, nilai produk, rasio tenaga kerja, dan imbalan tenaga kerja. Perbedaan nilai tersebut disebabkan oleh kualitas dan ukuran kayu, serta biaya transportasi pada masing-masing skala unit pengolahan. Nilai tambah yang diciptakan dari pengolahan kayu gergajian berbanding lurus dengan skala unit pengolahan. Nilai tambah yang diciptakan oleh skala unit pengolahan kecli sekitar Rp 103 879 per meter, skala menengah sebesar Rp 117 972 per meter, dan skala besar Rp 137 348 per meter, dengan rasio nilai tambah untuk unit pengolahan skala kecil sebesar 18%, skala, menengah 19.09%, dan skala besar 24.22%. Distribusi marjin terbesar pertama adalah kepada perusahaan, kedua adalah sumbangan input lain, dan ketiga adalah pendapatan tenaga kerja. Kecilnya distribusi marjin kepada tenaga kerja menunjukkan bahwa kegiatan pengolahan pada unit pengolahan kayu gergajian sengon merupakan kegiatan padat modal. Hasil perhitungan nilai tambah yang
10
dilakukan Munawar (2010) pada unit pengolahan kayu gergajian skala kecil, menengah, dan besar, menunjukkan bahwa adanya pengaruh skala indusri pengolahan terhadap nilai tambah yang diciptakan. Semakin besar skala unit pengolahan gergajian maka akan semakin meningkatkan nilai tambah. Skala unit pengolahan tidak selalu berbanding lurus dengan nilai tambah. Rochaeni et al (2003) meneliti tentang prospek pengembangan unit pengolahan kecil tapioka di Sukaraja Kabupaten Bogor. Tujuan penelititan untuk mengkaji kondisi umum, nilai tambah, dan prospek pengembangan unit pengolahan kecil tapioka. Penelitian dilakukan dengan menganalisis profitabilitas, nilai tambah, dan SWOT dari unit pengolahan kecil tapioka. Unit pengolahan tapioka dibagi menjadi tiga skala yaitu skala besar, sedang, dan kecil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa skala sedang memiliki nilai tambah dan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan skala besar dan kecil. Rochaeni et al (2003) menggabungkan produk utama dengan produk sampingan yakni tepung kasar dan onggok, sehingga perhitungan nilai tambah yang dilakukan dengan menghitung nilai tambah tepung kasar dan onggok. Skala unit pengolahan berbanding terbalik dengan biaya rata-rata per kilogram yang dikeluarkan. Semakin besar skala unit pengolahan tapioka maka semakin menurun biaya ratarata per kilogram yang dikeluarkan. Perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian penulis terletak pada perlakukan produk sampingan. Produk sampingan pada penelitian terdahulu diperlakukakn sebagai tambahan pendapatan produk utama, sedangkan penulis memperlakukan produk sampingan sebagai pengurang biaya produk utama.
Teknologi Pengolahan Tapioka Pada unit pengolahan tepung tapioka, teknologi yang digunakan dapat dikelompokkan menjadi tiga. Pertama tradisional, yaitu unit pengolahan tapioka yang masih mengandalkan sinar matahari dan produksinya sangat tergantung pada musim. Kedua semi modern, yaitu unit pengolahan tapioka yang menggunakan mesin pengering (oven) dalam melakukan proses pengeringan. Ketiga full otomate, yaitu unit pengolahan tapioka yang menggunakan mesin dari proses awal sampai produk jadi. Unit pengolahan tapioka yang menggunakan peralatan full otomate ini memiliki efisiensi tinggi, karena proses produksi memerlukan tenaga kerja yang sedikit, waktu lebih pendek dan menghasilkan tapioka berkualitas (Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Departemen Pertanian 2005). Berdasarkan penelitian terdahulu maka peneliti ingin menganalisis lebih jauh mengenai nilai tambah pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka berdasarkan skala unit pengolahan. Peneliti akan melihat besarnya nilai tambah pada masing-masing skala unit pengolahan, kemudian menganalisis keuntungan secara keseluruhan pada unit pengolahan tapioka kasar.
11
KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Kerangka pemikiran teoritis merupakan teori-teori yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui nilai tambah dari pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka dan pengaruh skala unit pengolahan terhadap nilai tambah yang diciptakan. Teori yang digunakan adalah teori yang dikemukakan oleh Hayami et al. (1987) mengenai nilai tambah yang diciptakan dari hasil kegiatan pengolahan input pada unit pengolahan.
Konsep Nilai Tambah Menurut Hayami et al (1987), definisi nilai tambah adalah pertambahan nilai suatu komoditas karena adanya input fungsional yang diberlakukan pada komoditas tersebut. Input fungsional tersebut berupa proses perubahan bentuk (form utility), pemindahan tempat (place utility), maupun penyimpanan (time utility). Nilai tambah dapat dihitung dengan dua cara yaitu menghitung nilai tambah selama proses pengolahan dan menghitung nilai tambah selama proses pemasaran. Tujuan dari analisis nilai tambah untuk mengukur besarnya balas jasa yang diterima pelaku sistem (pengolah) dan kesempatan kerja yang dapat diciptakan oleh sistem tersebut. Menurut Rahardjo (1986), definisi nilai tambah adalah selisih nilai produk bruto dengan pengeluaran. Nilai produk bruto yang dimaksud adalah nilai output ditambah dengan nilai jasa yang diberikan. Total pengeluaran yang dimaksud meliputi gaji atau upah, bahan baku, bahan bakar, dan biaya lainnya. Konsep nilai tambah adalah suatu pengembangan nilai yang terjadi karena adanya input yang diperlukan pada suatu komoditas. Input yang menyebabkan terjadinya nilai tambah dari suatu komoditas dapat dilihat dari adanya perubahan bentuk, tempat, dan waktu. Semakin banyak perubahan yang diperlakukan terhadap komoditas maka akan semakin besar nilai tambah yang diperoleh. Salah satu perubahan bentuk dapat dilakukan dengan cara mengolah komoditas agar dapat dikonsumsi. Secara umum nilai tambah berdasarkan metode Hayami diperoleh dengan menghitung nilai variabel-variabel output, input, harga output, harga bahan baku, dan sumbangan input lain serta balas jasa dari masing-masing faktor produksi. Nilai tambah yang dihasilkan akan dialokasikan untuk keuntungan dan tenaga kerja. Persentase nilai tambah yang dihasilkan dari proses pengolahan produk dapat ditunjukkan dengan rasio nilai tambah. Komponen pendukung dalam perhitungan nilai tambah terdiri dari tiga komponen yakni faktor konversi, faktor koefisien tenaga kerja, dan nilai produk. Faktor konversi menunjukkan banyaknya output yang dihasilkan dari satu satuan input, sedangkan faktor koefisien tenaga kerja menunjukkan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk mengolah satu satuan input, dan nilai produk menunjukkan nilai output persatuan input.
12
Hubungan Skala Unit pengolahan dengan Biaya Produksi Penggolongan unit pengolahan menurut Hayami et al (1987) didasarkan pada tempat berlangsungnya kegiatan pengolahan, yaitu: a) dalam rumah tangga (home processing) yang dilakukan sendiri oleh tenaga kerja dalam keluarga dengan bahan baku yang berasal dari pertanian mereka sendiri, b) dalam bangunan yang menempel atau terpisah dari rumah tempat tinggal tetapi masih dalam satu pekarangan dengan bahan baku yang dibeli dari pasar dan terutama menggunakan tenaga kerja dalam keluarga, c) dalam perusahaan kecil, menengah, atau besar yang menggunakan tenaga kerja upahan dengan jumlah tenaga kerja lebih dari 12 orang,tetapi tenaga kerja dalam keluarga juga digunakan secara intensif. Penggolongan unit pengolahan berdasarkan jumlah tenaga kerja menurut Badan Pusat Statistik (BPS) terdiri dari empat golongan yaitu: 1. Unit pengolahan Besar, unit pengolahan yang memiliki tenaga kerja sebanyak 100 orang atau lebih. 2. Unit pengolahan Sedang, unit pengolahan yang memiliki tenaga kerja sebanyak 20-99 orang. 3. Unit pengolahan Kecil, unit pengolahan yang memiliki tenaga kerja sebanyak 5-19 orang. 4. Unit pengolahan Rumah Tangga, unit pengolahan yang memiliki tenaga kerja sebanyak 1-4 orang. Hoselitz dalam Rahardjo (1986) mengemukakan bahwa nampaknya ada korelasi antara tingkat perkembangan ekonomi atau unit pengolahan suatu negara dengan kriteria kuantitatif yang ditentukan oleh negara bersangkutan untuk mengukur besar kecilnya perusahaan, ini bisa berdasarkan ukuran modal (fixed assets), jumlah buruh, dan nilai produksi dalam satu tahun. Doll dan Orazem (1984) menyatakan skala usaha berkaitan dengan biaya produksi suatu pengolahan input menjadi output. Terdapat teori tentang hubungan skala dengan biaya produksi yang ditunjukkan pada Gambar 1. Peningkatan skala produksi akan berdampak pada penurunan biaya per satuan output yang dikeluarkan. Titik A merupakan titik pertemuan kurva rata-rata biaya per satuan output jangka pendek dengan kurva rata-rata biaya per satuan output jangka panjang dimana suatu usaha mengeluarkan biaya minimum dengan kuantitas optimum. Suatu usaha akan mengeluarkan biaya yang lebih tinggi bila menambah jumlah produksi. Pengusaha cenderung akan mengembangkan usahanya dengan memperbesar skala usaha seiring dengan meningkatnya jumlah produksi. Kemampuan manajerial pengusaha akan meningkat karena adanya pengalaman, pembelajaran dan kematangan. Dalam jangka panjang pengusaha akan mampu merubah ukuran bisnisnya. Perubahan yang dilakukan adalah perubahan yang meningkatkan efisiensi produksi sehingga tujuan usaha tercapai.
13
Rp LRAC SRAC Rp*
0
A
Q*
Q
Gambar 1 Rata-rata biaya produksi jangka panjang Kurva biaya jangka pendek atau Sort Run Average Cost (SRAC) menunjukkan biaya rata-rata per satuan output yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam jangka pendek. Kurva biaya jangka panjang atau Long Run Average Cost (LRAC) menunjukkan biaya rata-rata per satuan output yang dikeluarkan perusahaan dalam jangka panjang. Kondisi dari nol sampai Q* merupakan kondisi dimana perusahaan berproduksi dengan biaya rata-rata per satuan output yang semakin menurun atau disebut juga kondisi decreasing cost. Sedangkan kondisi dari Q* sampai Q merupakan kondisi dimana perusahaan berproduksi dengan biaya rata-rata per satuan output yang semakin menurun atau disebut juga kondisi increasing cost.
Produk Gabungan dan Produk Sampingan Proses produksi dalam suatu perusahaan tidak akan terhindar dari biayabiaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan suatu produk. Perusahaan adakalanya menghasilkan produk secara serentak dalam satu kali proses produksi, hal ini disebut produksi gabungan. Perbedaan produk yang dihasilkan biasanya disebut dengan produk utama dan produk sampingan. Menurut Charles, Srikant, dan George (2008) produk utama adalah jika proses produksi gabungan menghasilkan satu produk dengan total nilai jual yang tinggi dibandingkan dengan total nilai jual produk lainnya dari proses tersebut, sedangkan produk sampingan adalah produk yang dihasilkan dari proses produksi gabungan yang memiliki total nilai jual lebih rendah dibandingkan total nilai jual produk utama. Mulyadi (2005) mengemukakan pengertian produk gabungan dan produk sampingan. Produk gabungan atau bersama adalah dua produk atau lebih yang diproduksi secara serentak dengan serangkaian proses atau dengan proses gabungan. Produk sampingan adalah satu produk atau lebih yang nilai jualnya relatif lebih rendah, yang diproduksi bersama dengan produk lain yang nilai jualnya lebih tinggi. Perbedaan antara produk gabungan dan produk sampingan didasarkan pada nilai jual relatifnya. Metode akuntansi yang digunakan untuk memperlakukan produk sampingan dibagi dalam dua golongan yakni metode
14
tanpa harga pokok (non-cost methods) dan metode dengan harga pokok ( cost method). Perlakuan produk sampingan menggunakan metode tanpa harga pokok (non-costs method) dibedakan menjdai empat macam yaitu: 1. Pendapatan penjualan produk sampingan diperlakukan sebagai pendapatan di luar usaha. 2. Pendapatan penjualan produk sampingan diperlakukan sebagai tambahan pendapatan penjualan produk utama. 3. Pendapatan penjualan produk sampingan diperlakukan sebagai pengurang harga pokok penjualan. 4. Pendapatan penjualan produk sampingan diperlakukan sebagai pengurang total biaya produksi. Ronny (1990) juga mengemukakan pengertian produk gabungan atau bersama adalah produk yang dihasilkan bersamaan dari suatu proses atau melalui tahapan proses produksi. Pengertian ini menekankan bahwa dari suatu proses tercipta beberapa jenis produk yang memiliki hubungan kuantitas tertentu, namun hubungan ini tidak naik atau turun secara proporsional dalam arti penambahan dalam satu jenis produk tidak secara otomatis menambah atau mengurangi produk lain dengan jumlah yang selaras. Produksi sampingan adalah satu atau lebih produk dalam jumlah yang relatif kecil yang dihasilkan secara bersama, dengan produk utama yang memiliki nilai relatif besar. Terdapat tiga jenis produk sampingan yakni pertama, produk sampingan yang terjadi akibat dari pembersihan produk utama. Kedua, produk sampingan merupakan sisa pembuangan yang tidak terpakai lagi. Ketiga, produk sampingan yang tidak diperoleh dari suatu proses pengolahan, melainkan timbul dari pengolahan bahan baku sebelum diproses ke dalam pabrik untuk memproduksi produknya. Produk sampingan juga dapat dapat dikelompokkan dalam dua kategori sesuai dengan kondisi pemasarannya pada saat dipisahkan yakni produk sampingan yang dapat dijual dalam bentuk seadanya tanpa memerlukkan proses pengolahan dan produk sampingan yang dapat dijual apabila telah selesai proses pengolahan lebih lanjut.
Kerangka Pemikiran Operasional Ubi kayu merupakan komoditas pangan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan langsung atau sebagai bahan baku industri pengolahan. Ubi kayu atau singkong sebagai bahan baku industri pengolahan memiliki banyak manfaat yang dapat dijadikan bioethanol, mokaf, tepung tapioka, dan berbagai macam olahan makanan dari ubi kayu. Permintaan ubi kayu sebagai bahan baku industri pengolahan lebih besar dibandingkan permintaan ubi kayu sebagai bahan pangan langsung. Pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka memiliki tambahan manfaat atau kegunaan yang dihitung melalui besarnya nilai tambah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya nilai tambah yang didapat dari hasil pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka yang dianalisis menggunakan metode Hayami. Perhitungan nilai tambah dimulai dengan menghitung output dibagi dengan bahan baku yang dibutuhkan sehingga didapatkan faktor konversi, kemudian dikalikan dengan harga output untuk
15
mendapatkan nilai output. Nilai output dikurangi dengan sumbangan input lain dan harga bahan baku akan menghasilkan nilai tambah. Nilai tambah yang dihitung adalah nilai tambah pada masing-masing skala unit pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka. Kemudian akan dibandingkan besarnya nilai tambah yang diciptakan dari pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka pada masing-masing skala unit pengolahan. Dari nilai tambah tersebut dapat dicari rasio nilai tambah, bagian tenaga kerja, dan keuntungan, setelah itu dapat juga dicari nilai balas jasa dari masing-masing faktor produksi yaitu imbalan tenaga kerja, sumbangan input lain dan keuntungan. Secara umum kerangka pemikiran pada penelitian ini dapat dilihat dari Gambar 2.
Ubi Kayu dapat Dimanfaatkan sebagai Bahan Pangan Langsung atau Bahan Baku Industri Pengolahan
Industri Pengolahan Tapioka
Unit Pengolahan Tapioka Kasar
Skala Industri Pengolahan
Nilai Tambah
Bagian Tenaga Kerja
Keuntungan
Rekomendasi
Gambar 2 Kerangka pemikiran operasional analisis nilai tambah pengolahaan ubi kayu
16
Input produksi merupakan berbagai faktor produksi yang mempengaruhi besarnya nilai tambah yang diciptakan. Penggunaan input produksi berupa singkong, tenaga kerja, bahan pembantu lainnya dengan jumlah yang berbeda akan berpengaruh terhadap besarnya nilai tambah yang diciptakan dan besarnya nilai tambah yang dialokasikan kepada pekerja dan pengusaha. Selain itu teknologi yang digunakan juga berpengaruh pada besarnya nilai tambah yang diciptakan. Teknologi yang digunakan berhubungan dengan faktor konversi. Penggunaan teknologi yang relatif sama akan menghasilkan faktor konversi dengan nilai yang sama. Penggunaan input produksi dengan jumlah yang berbeda juga akan menghasilkan jumlah output produksi yang berbeda. Output produksi berupa tepung tapioka memiliki tekstur yang kasar dengan warna putih bersih dan kering.
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelititan dilakukan pada unit pengolahan pengolahaan ubi kayu menjadi tepung tapioka di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor tepatnya di Desa Cijujung dan Desa Pasir Laja. Pengumpulan data dimulai dari bulan September hingga November 2013. Lokasi tersebut dipilih karena pertimbangan sebagai berikut: 1. Bogor merupakan salah satu daerah penghasil tepung tapioka di Jawa Barat. 2. Kecamatan Sukaraja merupakan daerah sentra penghasil tepung tapioka di Bogor. 3. Desa Cijujung dan Desa Pasir Laja merupakan desa yang memiliki unit pengolahan tapioka terbanyak di Kecamatan Sukaraja. Penelitian ini menganalisis besarnya nilai tambah yang diciptakan dari hasil pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka. Penelitian dilakukan di Kabupaten Bogor Jawa Barat tepatnya di Kecamatan Sukaraja. Kondisi alam wilayah Kabupaten Bogor sangat mendukung adanya pembudidayaan ubi kayu. Dengan adanya lahan ubi kayu yang tersebar di wilayah Kabupaten Bogor tentunya juga akan memicu adanya unit pengolahan tapioka di wilayah tersebut, karena dekat dengan bahan baku. Kecamatan Sukaraja merupakan daerah yang memiliki unit pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka dan juga sebagai daerah sentra penghasil tepung tapioka di Bogor.
Jenis dan Sumber Data Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari sumber atau objek yang sedang diteliti melalui observasi, pengisian kuesioner dan wawancara langsung dengan responden. Data primer terdiri dari komponen jumlah input dan output, harga
17
input dan output, biaya, dan lain-lain yang berhubungan dengan tujuan penelitian. Sedangkan data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Dinas Koperasi Usaha Kecil Menengah Perunit pengolahanan dan Perdagangan, buku literatur, Jurnal, dan sumber lain yang menunjang penelitian.
Metode Penentuan Sampel Metode penentuan sampel pada penelitian ini menggunakan metode sampling sederhana secara proporsional dengan populasi adalah unit pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka di Desa Cijujung dan Desa Pasir Laja yang terdapat di Kecamatan Sukaraja, kemudian menghitung jumlah populasi di masing-masing Desa. Total populasi sebanyak 53 unit pengolahan tapioka kasar yakni 33 unit pengolahan di Desa Cijujung dan 20 unit pengolahan di Desa Pasir Laja. Jumlah sampel pada masing-masing Desa ditentukan secara proporsional agar sampel yang terpilih dapat mewakili populasi. Penetuan sampel pada populasi dilakukan secara acak sehingga didapat 10 pengusaha yang bersedia memberikan informasi terdiri dari enam sampel di Desa Cijujung dan empat sampel di Desa Pasir Laja.
Metode Pengumpulan dan Analisis Data Pengumpulan data primer melalui bantuan kuesioner dan wawancara langsung dengan responden. Kuesioner yang digunakan berisi pertanyaan mengenai pemakaian input, jumlah input, harga input, tenaga kerja, jam kerja, harga output, dan pertanyaan lain yang dapat membantu menjawab tujuan penelitian. Data-data yang telah dikumpulkan kemudian diolah menggunakan metode Hayami untuk menjawab tujuan penelitian. Pengolahan data dilakukan dengan bantuan software yakni Microsoft Exel 2010. Metode Hayami memiliki beberapa kelebihan yakni lebih tepat digunakan untuk proses pengolahan produk-produk pertanian, dapat diketahui produktivitas produksinya (rendemen dan efisiensi tenaga kerja), dapat diketahui balas jasa bagi PengusahaPengusahai faktor produksi, dan dapat dimodifikasi untuk nilai tambah selain subsistem pengolahan. Distribusi nilai tambah berhubungan dengan teknologi yang diterapkan pada unit pengolahan, kualitas tenaga kerja berupa keahlian dan keterampilan, serta kualitas bahan baku. Apabila penerapan teknologi cenderung padat karya makan proporsi bagian tenaga kerja akan lebih besar daripada proporsi bagian keuntungan bagi pengusaha, sedangkan apabila diterapkan teknologi padal modal maka besarnya proporsi bagian manajemen lebih besar daripada proporsi bagian tenaga kerja. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam perhitungan nilai tambah yaitu output yang dihasilkan, bahan baku, harga output, harga baha baku, harga input lain, hari orang kerja, dan upah tenaga kerja. Harga input dan harga output merupakan harga rata-rata pada tahun 2013. Prosedur perhitungan nilai tambah metode Hayami dapat dilihat pada Tabel 5.
18
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
14. 15.
Tabel 5 Prosedur perhitungan nilai tambah metode Hayami Variabel Nilai Output, Input dan Harga Output (kg/bulan) A Bahan baku (kg/bulan) B Tenaga kerja (HOK/bulan) C Faktor konversi D = A/B Koefisien tenaga kerja E = C/B Harga output F Upah rata-rata tenaga kerja (Rp/HOK) G Pendapatan dan Keuntungan (Rp/kg) Harga bahan baku H Sumbangan input lain I Nilai output J=DxF a. Nilai tambah K = J-I-H b. Rasio nilai tambah L% = (K/J) x 100% a. Imbalan tenaga kerja M=ExG b. Bagian tenaga kerja N% = (M/K) x 100% a. Keuntungan O = K-M b. Tingkat keuntungan P% = (O/K) x 100% Balas Jasa dari Masing-masing Faktor Produksi Marjin Q% = (J/H) x 100% a. Imbalan teaga kerja R% = (M-Q) x 100% b. Sumbangan input lain S% = (I-Q) x 100% c. Keuntungan T% = (O-Q) x 100%
Sumber: Hayami, 1987
Melalui analisis nilai tambah metode Hayami akan diperoleh informasi sebagai berikut: 1. Perkiraan besarnya nilai tambah (Rp). 2. Rasio nilai tambah terhadap nilai produk yang dihasilkan (%), menunjukkan persentase nilai tambah dari nilai produk. 3. Imbalan bagi tenaga kerja (Rp), menunjukkan besarnya upah yang diterimaoleh tenaga kerja langsung. 4. Bagian tenaga kerja dari nilai tambah yang dihasilkan (%), menunjukkan persentase imbalan tenaga kerja dari nilai tambah. 5. Keuntungan pengolahan (Rp), menunjukkan bagian yang diterima pengusaha karena menanggung risiko usaha. 6. Tingkat keuntungan pengusaha terhadap nilai output (%), menunjukkan persentase keuntungan terhadap nilai tambah. 7. Marjin pengolahan (Rp), menunjukkan kontribusi Pengusaha faktor produksi selain bahan baku yang digunakan dalam proses produksi. 8. Persentase pendapatan tenaga kerja langsung terhadap marjin (%). 9. Persentase keuntungan perusahaan terhadap marjin (%). 10. Persentase sumbangan input lain terhadap marjin (%).
19
Proses pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka menghasilkan dua macam output berupa tepung tapioka kasar sebagai produk utama dan produk sampingan berupa onggok. Onggok sebagai produk sampingan memberikan penerimaan lebih bagi pengusaha, selain itu juga dapat mengurangi biaya produksi untuk tepung kasar sebagai produk utama. Metode penetapan biaya produksi sampingan menurut Mulyadi (2005) terdiri dari empat cara. Cara pertama yakni produk sampingan dinyatakan sebagai pendapatan lain. Cara kedua yakni penjualan produk sampingan dinyatakan sebagai penambah penjualan produk utama. Cara ketiga yakni produk sampingan dinyatakan sebagai pengurang harga pokok penjualan produk utama. Cara keempat yakni produk sampingan dinyatakan sebagai pengurang biaya produksi produk utama. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Mulyadi dengan cara kedua yakni penjualan produk sampingan dinyatakan sebagai penambah penjualan produk utama.
HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Kecamatan Sukaraja Kondisi Goegrafis Kecamatan Sukaraja merupakan salah satu daerah yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Bogor dengan luas wilayah seluas ± 42 km2 dan berbatasan di sebelah Utara dengan Kecamatan Cibinong, sebelah Selatan dengan Kecamatan Ciawi, Sebelah Timur dengan Kecamatan Babakan Madang, dan sebelah Barat dengan Kota Bogor. Kecamatan Sukaraja mencakup 13 Desa yakni Desa Cibanon, Gunung Geulis, Nagrak, Sukatani, Sukaraja, Cikeas, Cadas Ngampar, Pasirlaja, Cijujung, Cimandala, Pasir Jambu, Cilebut Timur, dan Cilebut Barat. Kecamatan Sukaraja memliki hari hujan rata-rata sebanyak 7.33 hari per bulan dangan curah hujan rata-rata 151 mm per bulan. Kondisi Demografi Pekerjaan penduduk di kecamatan Sukaraja cukup beragam. Mayoritas masyarakatnya bekerja sebagai pegawai berbagai lembaga atau perusahaan seperti perusahaan di bidang jasa, perdagangan, hotel dan restoran, serta lembaga keuangan. Selain itu sebagian masyarakat di kecamatan Sukaraja juga bekerja di bidang unit pengolahan, pertanian, dan konstruksi. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor tahun 2012, tercatat jumlah penduduk di Kecamatan Sukaraja berjumlah 159 421 jiwa terdiri dari laki-laki sebanyak 81 525 jiwa dan perempuan sebanyak 77 896 jiwa. Sosial Budaya Mayoritas penduduk Kecamatan Sukaraja merupakan suku sunda dengan bahasa sehari-hari yang digunakan adalah Bahasa Sunda. Penduduk Kecamatan Sukaraja sangat terbuka dengan adanya pendatang baru sehingga masayarakat
20
dapat menerima kehadiran masyarakat baru yang ingin hidup berdampingan dan saling menghormati. Masyarakat Kecamatan Sukaraja mayoritas beragama Islam, selain itu juga terdapat masyarakat dengan agama-agama lain. Data klasifikasi penduduk berdasarkan agama dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Klasifikasi penduduk Kecamatan Sukaraja menurut Agama tahun 2011 No. Agama Jumlah (Jiwa) %tase (%) 1. Islam 156 550 98.20 2. Katolik 1 020 0.64 3. Protestan 1 058 0.66 4. Hindu 481 0.30 5. Budha 312 0.20 Sumber : Sukaraja Dalam Angka, 2012
Berdasarkan data klasifikasi penduduk menurut agama pada Tabel 6, penduduk Kecamatan Sukaraja yang beragama Islam sebanyak 156.550 jiwa atau sekitar 98.20%. Sebagian penduduk lainnya menganut agama Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha. Hal tersebut membuktikan bahwa masyarakat Kecamatan Sukaraja sangat terbuka bagi pendatang baru. Kondisi Ekonomi Mayoritas penduduk Kecamatan Sukaraja bermata pencaharian sebagai pegawai pada lembaga atau perusahaan yang bergerak di bidang jasa. Sebagian penduduk Kecamatan Sukaraja juga bekerja di bidang lain. Data jumlah rumah tangga berdasarkan pekerjaan atau mata pencaharian dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Jumlah rumah tangga Kecamatan Sukaraja berdasarkan pekerjaan tahun 2011 No. Jenis Pekerjaan Jumlah (Jiwa) %tase (%) 1. Pertanian 4 147 9.21 2. Unit pengolahan 4 719 10.48 3. Konstruksi 2 143 4.76 4. Perdagangan 7 630 16.95 5. Angkutan 3 849 8.55 6. BPR 144 0.32 7. Jasa-jasa 17 320 38.47 8. Lembaga Keuangan Lainnya 5 074 11.27 Sumber : Sukaraja Dalam Angka, 2012
Berdasarkan Tabel 7 maka dapat diketahui rumah tangga di Kecamatan Sukaraja memiliki pekerjaan yang beragam. Pekerjaan dalam bidang jasa-jasa merupakan jenis pekerjaan terbanyak yakni sebanyak 17 320 rumah tangga atau sekitar 38.47%. Sebagian rumah tangga lainnya bekerja pada bidang perdagangan, lembaga keuangan, unit pengolahan, pertanian, angkutan, dan BPR.
21
Gambaran Umum Unit pengolahan Tapioka Kasar Penyediaan bahan baku Bahan baku yang digunakan adalah ubi kayu yang diperoleh dari pemasok di Sukabumi dan petani ubi kayu disekitar unit pengolahan. Namun pada umumnya bahan baku diperoleh dari pemasok yang menjadi langganan Pengusaha unit pengolahan. Pemasok akan mengirimkan bahan baku sesuai dengan permintaan Pengusahai unit pengolahan. Harga yang diberikan pemasok rata-rata sebesar Rp 1 200 per kilogram untuk unit pengolahan skala besar dan Rp 1 250 per kilogram untuk skala kecil. Harga tersebut sudah termasuk biaya transportasi untuk pengiriman sampai ke unit pengolahan. Sistem pembayaran yang dilakukan yakni secara tunai. Ubi kayu yang diperoleh dari pemasok merupakan ubi kayu yang telah dikupas kulitnya. Jenis ubi kayu yang dikirim pada umumnya berwarna kuning atau putih. Berdasarkan pengalaman unit pengolahan, ubi kayu kuning memiliki kandungan aci atau pati ubi kayu yang lebih banyak dibandingkan ubi kayu putih. Bahan lain yang digunakan pada unit pengolahan tapioka kasar adalah air, pemutih, karung, dan listrik. Air diperoleh dari sumur yang digunakan khusus untuk unit pengolahan tapioka kasar. Air yang digunakan harus air yang jernih agar menghasilkan tepung yang bersih. Rata-rata unit pengolahan tapioka kasar masih menggunakan pemutih untuk mendapatkan tepung yang putih bersih. Pemutih ini diperoleh dari pasar tradisional yang berada disekitar unit pengolahan penggilingan dengan harga Rp 30 000 sampai Rp 40 000 per kilogram. Perbandingan pemutih yang digunakan yakni setengah kilogram pemutih untuk satu ton bahan baku singkong. Unit pengolahan penggilingan menggunakan karung sebagai kemasan tepung kasar. Karung yang digunakan berukuran 50 kilogram yang dibeli dari pasar dengan harga Rp 1 000 sampai Rp 2 500 per buah. Mesin dan Peralatan Mesin yang digunakan pada unit pengolahan tapioka kasar yakni mesin diesel sebagai motor penggerak utama. Mesin diesel ini digunakan pada proses pencucian, penggilingan, dan pengayakan. Selain mesin diesel, pompa air juga diperlukan untuk mengalirkan air dari sumur ke unit pengolahan karena proses pengolahan membutuhkan air. Peralatan lain yang digunakan yakni keranjang, tampah atau tampir, dan serokan. Keranjang digunakan untuk wadah pati ubi kayu setelah diendapkan, tampir digunakan sebagai wadah untuk menjemur tepung kasar, sedangkan serokan digunakan untuk mengangkat ubi kayu dari bak pencucian ke bak penggilingan. Proses produksi Proses produksi pembuatan tepung kasar dimulai dari pencucian ubi kayu, kemudian dilanjutkan dengan penggilingan dan pengayakan, serta pengendapan, penggerusan, penjemuran, dan pengepakan.
22
Gambar 3 Proses pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka kasar 1.
Pencucian Pencucian ubi kayu dilakukan pada bak pencucian yang telah diisi dengan air kurang lebih setengah bagian, kemudian ubi kayu dicuci dengan cara diputar menggunakan alat berupa kayu berbentuk baling-baling yang dihubungkan ke mesin diesel sebagai tenaga pemutar. Ubi kayu dicuci sampai kotoran yang menempel pada ubi kayu hilang. 2. Penggilingan Setelah dicuci, ubi kayu dimasukkan ke bak penggilingan dan mulai digiling satu persatu. Ubi kayu digiling menggunakan alat parut berbentuk tabung yang dihubungkan ke mesin diesel sebagai tenaga pemutar sambil diberi air. Tujuan penggilingan untuk memudahkan pengambilan pati ubi kayu pada proses pengayakan. 3. Pengayakan Ubi kayu yang telah digiling akan berbentuk halus dan langsung disalurkan ke pengayak yakni alat berbentuk segi empat dengan permukaan berupa saringan halus berukuran 1 x 1 m sebanyak empat buah dan disusun memanjang. Pengayak ini juga terhubung dengan mesin diesel sebagai penggerak maju dan mundur. Pada proses pengayakan ini air diberikan secara terus menerus dengan semprotan air yang kecil. Tujuan dari pengayakan adalah untuk memisahkan pati ubi kayu dengan ampasnya, ciri-cirinya bila ampas kita peras maka tidak ada air putih yang keluar tetapi air bening. 4. Pengendapan Pati yang larut dalam air tadi akan dialirkan ke bak pengendapan. Dalam satu penggilingan rata-rata memiliki tujuh buah bak pengendapan. Proses pengendapan berlangsung rata-rata selama enam sampai tujuh jam, setelah itu
23
air sisa pengendapan dibuang melalui saluran pembuangan dan endapan berupa aci siap untuk di angkat dan dihancurkan. 5. Penghancuran Proses penghancuran dilakukan dengan memarut pati ubi kayu yang telah padat pada saringan kawat berbentuk persegi panjang hingga berbentuk remahan-remahan atau tepung kasar. Tepung kasar tersebut diletakkan dalam tampir atau tampah kemudian dijemur. 6. Penjemuran Dibutuhkan tampir dalam jumlah banyak untuk menjemur tepung kasar karena tepung yang dimasukkan ke dalam tampir tidak boleh tebal. Hal ini bertujuan agar kadar air yang terkandung dalam tepung cepat mengering. Proses penjemuran dilakukan rata-rata selama enam jam. Lamanya penjemuran dipengaruhi oleh cuaca. 7. Pengepakan Tepung kasar akan kering setelah dijemur selama enam jam, kemudian tepung tersebut diangkat dan dikemas dalam karung berukuran 50 kilogram. Setelah dikemas, tepung kasar tersebut dikirim ke unit pengolahan tapioka halus guna dihaluskan lebih lanjut hingga berbentuk tepung dengan tekstur yang lebih halus. Pemasaran Tepung dikemas dalam karung berukuran 50 kilogram tanpa diberi label. Tepung kasar diberi harga rata-rata sebesar Rp 5 000 sampai Rp 6 500 per kilogram. Harga tersebut disesuaikan dengan kualitas tepung, bila tepung berwarna putih bersih maka harga akan tinggi, namun bila tepung berwarna putih pudar maka harga akan lebih rendah. Penentuan harga dilakukan oleh unit pengolahan tapioka halus, sedangkan unit pengolahan tapioka kasar mengikuti harga yang telah ditentukan. Unit pengolahan tapioka halus juga turut mempengaruhi keberlangsungan proses produksi pada unit pengolahan tapioka kasar karena unit pengolahan tapioka halus tidak akan menerima semua tepung kasar bila persediaan tepung tapioka unit pengolahan tapioka halus masih banyak, sehingga unit pengolahan unit pengolahan tapioka kasar juga harus menyesuaikan proses produksi dengan persediaan tepung yang ada di unit pengolahan tapioka halus. Ketika hal ini terjadi maka unit pengolahan tapioka kasar mengurangi produksi hingga pihak unit pengolahan tapioka halus memberikan informasi lebih lanjut. Pengiriman tepung kasar ke unit pengolahan tapioka halus menggunakan kendaraan berupa mobil pick up. Tepung kasar dikirim ke unit pengolahan tapioka halus yang telah menjadi langganan bagi masing-masing unit pengolahan tapioka kasar. Kendala Usaha Unit pengolahan tapioka kasar yang telah lama berjalan tidak terlepas dari permasalahan atau kendala yang harus dihadapi. Masalah yang paling berpengaruh pada keberlangsungan usaha ini adalah iklim, terutama pada musim penghujan. Unit pengolahan tapioka kasar akan mengurangi jumlah produksi bahkan menghentikan produksi bila musim hujan tiba, namun saat ini musim penghujan tidak dapat dipastikan kejadiannya. Cuaca yang cerah namun tiba-tiba hujan sering terjadi sehingga pengusaha kesulitan untuk mengatur produksi.
24
Masalah lain yang juga dihadapi adalah penentuan harga yang ditetapkan oleh unit pengolahan tapioka halus. Pengusaha tapioka kasar membeli ubi kayu mentah dari tengkulak dengan harga rata-rata yakni Rp 1 200 sampai Rp 1 250 per kilogram, namun harga di unit pengolahan tapioka halus tidak stabil sehingga mempengaruhi pendapatan unit pengolahan tapioka kasar. Ketika harga tepung kasar menurun maka pendapatan pengusaha tapioka kasar juga mengalami penurunan. Pengusaha tapioka kasar tidak memiliki posisi tawar yang kuat sehingga harga ditentukan oleh unit pengolahan tapioka halus. Hingga saat ini, masalah tersebut masih berlangsung dan belum menemukan solusi. Unit pengolahan tapioka kasar selalu berada pada posisi tawar yang lemah. Karakteristik produsen Jumlah produksi pada masing-masig unit pengolahan berbeda. Pembagian skala produksi dihitung berdasarkan rata-rata produksi dari 10 unit pengolahan. Rata-rata produksi unit pengolahan tapioka kasar sebesar 1.7 ton per hari, sehingga unit pengolahan yang berproduksi lebih dari 1.7 ton per hari termasuk dalam skala besar dan unit pengolahan yang berproduksi kurang dari 1.7 ton per hari termasuk dalalm skala kecil. Berdasarkan penggolongan skala tersebut maka didapat skala besar sebanyak dua unit pengolahan dan skala kecil sebanyak delapan unit pengolahan. Tenaga kerja yang digunakan oleh masingmasing unit pengolahan tapioka kasar diambil dari tenaga kerja luar keluarga. Rata-rata volume produksi pada unit pengolahan skala besar sebanyak 3.6 ton per hari dengan tenaga kerja sebanyak tujuh orang. Pengusaha unit pengolahan skala besar merupakan orang yang memiliki pengalaman yang baik dalam menjalankan usaha pengolahan tepung tapioka kasar. Pengetahuan mengenai tapioka didapat dari orang-orang terdahulu yang telah melakukan pengolahan tapioka kasar. Jumlah produksi pada unit pengolahan skala kecil rata-rata sebanyak 1.2 ton per hari dengan tenaga kerja yang digunakan rata-rata sebanyak tiga orang. Pengusaha tapioka kasar skala kecil memperoleh pengalaman dari pengusaha tapioka kasar skala besar. Tabel 8 Karakteristik unit pengolahan tapioka kasar skala besar dan skala kecil tahun 2013 Satuan Skala Besar Skala Kecil No. Komponen (per hari) n=2 n=8 1. Volume Produksi ton 3.6 1.2 2. Jumlah Tenaga Kerja orang 7 3 3. Pengalaman tahun 24 12 4. Usia Pengusaha tahun 50 47 5. Pendidikan Pengusaha persen 100 90 SD persen 0 0 SMP persen 0 10 SMA
25
Usia mempengaruhi seseorang dalam melakukan pekerjaan. Pengusaha unit pengolahan yang relatif muda biasanya memiliki fisik yang kuat sehingga dapat melakukan pekerjaan yang berat. Pengusaha unit pengolahan yang lebih tua biasanya memiliki pengalaman yang lebih baik dalam menjalankan usaha pengolahan tapioka kasar. Terlihat pada Tabel 8 yang menunjukkan umur Pengusaha unit pengolahan skala besar yang lebih tua dibandingkan umur Pengusaha unit pengolahan skala kecil yang menggambarkan pengalaman skala besar yang lebih lama dalam melakukan pengolahan tapioka kasar dibandingkan pengalaman skala kecil. Pengalaman unit pengolahan juga dapat dilihat dari umur usaha pengolahan pada masing-masing skala. Unit pengolahan skala besar lebih lama melakukan pengolahan tapioka kasar dibandingkan skala kecil. Dapat dikatakan bahwa pengusaha skala kecil merupakan pengikut dari pengusaha skala besar. Pengusaha skala kecil menerapkan teknologi yang sama dengan skala besar, yang menjadi pembeda adalah volume produksi yang diterapkan. Sebagian besar pengusaha unit pengolahan tapioka kasar hanya menempuh pendidikan sampai tingkat Sekolah Dasar (SD). Hanya 10% yang menempuh pendidikan sampai tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA). Hal ini disebabkan latar belakang keluarga yang tergolong pada ekonomi rendah sehingga tidak mampu membiayai sekolah. Tingkat pendidikan mempengaruhi pola pikir dalam mengambil suatu keputusan. Tingkat pendidikan yang baik merupakan salah satu faktor yang mempermudah pengusaha untuk menerima informasi teknologi guna pengembangan usaha.
Analisis Nilai Tambah Kegiatan pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka kasar merupakan kegiatan pengubahan bentuk sehingga menimbulkan nilai tambah. Manfaat dari kegiatan tersebut dapat dinikmati oleh pengusaha, dan tenaga kerja. Besarnya nilai tambah dapat dihitung menggunakan metode nilai tambah. Adapun jenis bahan baku yang digunakan dalam pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka kasar adalah ubi kayu berwarna putih atau kuning. Ubi kayu tersebut dibeli dari pemasok atau tengkulak yang berada di Sukabumi dan di sekitar wilayah unit pengolahan tapioka kasar. Ubi kayu yang dikirim pemasok adalah ubi kayu yang telah dikupas dengan harga rata-rata sebesar Rp 1 200 per kilogram utnuk skala besar dan Rp 1 250 per kilogram untuk skala kecil. Proses pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka kasar dapat meningkatkan nilai tambah, oleh karena itu harga tepung tapioka kasar lebih tinggi dibandingkan dengan harga ubi kayu. Harga tepung tapioka kasar dengan kualitas terbaik dapat mencapai Rp 6 500 per kilogram, lebih tinggi sekitar enam kali lipat dari harga ubi kayu mentah. Hal tersebut membuktikan adanya penambahan nilai dengan melakukan proses pengolahan terhadap ubi kayu menjadi tepung tapioka kasar. Analisis nilai tambah dilakukan untuk mengetahui besarnya nilai tambah dan balas jasa terhadap faktor-faktor produksi akibat adanya aktivitas yang terjadi dimulai dari pengadaan bahan baku ubi kayu sampai dengan hasil olahan berupa tepung tapioka kasar, serta mengetahui distribusi marjin yang diperolah dari aktivitas pengolahan tersebut. Terdapat komponen-komponen yang
26
digunakan dalam perhitungan nilai tambah, antara lain output tepung tapioka kasar, bahan baku, tenaga kerja langsung, dan sumbangan input lain. Dasar perhitungan dalam analisis nilai tambah pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka kasar menggunakan per satuan kilogram ubi kayu sebagai bahan baku utama selama periode produksi rata-rata satu tahun. Perhitungan nilai tambah dilakukan dengan membandingkan unit pengolahan penggilingan skala besar dan unit pengolahan penggilingan skala kecil. Proses produksi dilakukan rata-rata sebanyak 26 hari dalam satu bulan, terdiri dari 16 hari dengan produksi normal dan 10 hari dengan produksi rendah sehingga dalam satu tahun terdapat 312 hari produksi. Produksi normal dan produksi rendah terjadi karena perubahan cuaca, sehingga unit pengolahan penggilingan tidak selalu melakukan produksi dengan jumlah yang normal. Produksi rendah dilakukan pada saat musim penghujan dengan jumlah produksi setengah dari jumlah produksi normal. Rata-rata produksi yang dilakukan pada unit pengolahan tapioka kasar skala besar adalah sebanyak 3 634.6 kg bahan baku per hari dan sebanyak 1 231.7 kg bahan baku per hari pada unit pengolahan skala kecil, sehingga ubi kayu yang diolah selama satu tahun pada unit pengolahan tapioka kasar skala besar adalah sebanyak 1 134 000 kg dan sebanyak 384 300 kg pada unit pengolahan tapioka kasar skala kecil. Satu kilogram ubi kayu yang diolah akan menghasilkan 0.25 kg tepung tapioka kasar, artinya pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka memiliki rendemen sebesar 25%. Besarnya rendemen tergantung dari jenis ubi kayu yang diolah. Berdasarkan pengalaman Pengusaha unit pengolahan, jenis ubi kayu yang memiliki rendemen tinggi adalah jenis ubi kayu kuning. Harga yang digunakan dalam perhitungan nilai tambah ini adalah harga bahan baku ubi kayu yang diberikan pemasok sebesar Rp 1 200 per kilogram untuk skala besar dan Rp 1 250 per kilogram untuk skala kecil. Harga rata-rata tepung tapioka kasar pada pabrik-pabrik tapioka yakni sebesar Rp 5 950 per kg untuk unit pengolahan skala besar dan Rp 5 913 per kg untuk unit pengolahan skala kecil. Harga ubi kayu ditentukan oleh pemasok dan tidak berdasarkan jumlah ubi kayu yang dibeli, maksudnya tidak ada potongan harga untuk pembelian dalam jumlah banyak. Harga tepung kasar ditentukan oleh pabrik tapioka dengan dasar penentuan yakni berdasarkan kualitas tepung kasar yang dihasilkan unit pengolahan tapioka kasar. Kualitas tepung kasar dikatakan baik jika tepung kasar berwarna putih bersih dan struktur yang tidak terlalu kasar. Harga akan turun jika warna tepung kasar pudar dan terlalu kasar atau dapat juga disebabkan karena banyaknya kotoran yang ada dalam tepung kasar akibat proses produksi yang kurang baik. Hasil perhitungan nilai tambah pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka kasar dapat dilihat pada Tabel 9.
27
Tabel 9
Perhitungan rata-rata nilai tambah pengolahan tepung tapioka kasar di Kabupaten Bogor tahun 2013 No. Variabel Skala Besar Skala Kecil Output, Input dan Harga 1. Tepung Kasar (kg/tahun) 283 500.00 96 075.00 2. Ubi Kayu (kg/tahun) 1 134 000.00 384 300.00 3. Tenaga Kerja (HOK/tahun) 2 422.71 1 039.05 4. Faktor Konversi (1)/(2) 0.25 0.25 5. KoefisienTenaga Kerja (3)/(2) 0.002 0.003 6. Harga Tepung Kasar 5 950.00 5 912.50 7. Upah Rata-rata Tenaga Kerja (Rp/HOK) 38 606.87 40 286.71 Pendapatan dan Keuntungan (Rp/kg) 8. Harga Bahan Baku (Rp/kg) 1 200.00 1 250.00 9. Sumbangan Input Lain (Rp/kg) 13.90 21.39 10. Nilai Tepung Kasar (4)x(6) (Rp/kg) 1 487.50 1 478.13 11. a. Nilai tambah (10-8-9) (Rp/kg) 273.60 206.74 b. Rasio Nilai Tambah ((11/10)x100) (%) 18.39 13.99 12. a. Imbalan Tenaga Kerja (5x7) (Rp/kg) 90.80 119.98 b. Bagian Tenaga Kerja ((12a/11a)x100) (%) 33.19 58.03 13. a. Keuntungan (11a-12a) (Rp/kg) 182.80 86.76 b. Tingkat Keuntungan ((13a/11a)x100) (%) 66.81 41.97 Balas Jasa dari Masing-masing Faktor Produksi 14. Marjin (10-8) (Rp) 287.50 228.13 15. a. Imbalan Tenaga Kerja ((12a/14)x100) (%) 31.58 52.59 b. Sumbangan input lain ((9/14)x100) (%) 4.84 9.38 c. Keuntungan ((13a/14)x100) (%) 63.58 38.03
Berdasarkan perhitungan nilai tambah pada Tabel 9 terlihat bahwa nilai faktor konversi dihitung berdasarkan pembagian antara nilai output yang dihasilkan dengan nilai input yang digunakan. Nilai faktor konversi yang diperoleh pada unit pengolahan tapioka kasar relatif sama, hal ini disebabkan karena teknologi yang digunakan oleh pengusaha juga sama. Nilai faktor konversi yang diperoleh sebesar 0.25%, artinya dengan mengolah ubi kayu sebanyak satu kg maka akan memperoleh hasil berupa tepung kasar sebanyak 0.25 kg sehingga tepung kasar yang dihasilkan unit pengolahan tapioka kasar sebanyak 283 500 kg pada unit pengolahan skala besar dan 96 075 kg pada unit pengolahan skala kecil. Jumlah tepung kasar yang diperoleh berasal dari perkalian antara jumlah ubi kayu yang diolah dalam satu tahun dengan faktor konversi pada masing-masing skala unit pengolahan penggilingan. Nilai faktor konversi yang sama menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh jumlah bahan baku yang diolah dengan skala unit pengolahan yang dijalankan. Tenaga kerja yang digunakan pada masing-masing unit pengolahan berbeda. Rata-rata tenaga kerja yang digunakan pada unit pengolahan skala besar sebanyak tujuh orang, sedangkan pada unit pengolahan skala kecil sebanyak tiga orang. Masing-masing tenaga kerja melakukan pekerjaan selama tujuh jam per hari selama 26 hari kerja dalam satu bulan. Jumlah hari orang
28
kerja dalam pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka kasar adalah 312 hari, sehingga dibutuhkan sebesar 2 422.71 hari orang kerja (HOK) per tahun pada unit pengolahan skala besar untuk mengolah ubi kayu sebanyak 1 134 000.00 kg, sedangkan pada unit pengolahan skala kecil dibutuhkan sebesar 1 039.05 HOK per tahun untuk mengolah ubi kayu sebanyak 384 300 kg. Jika masingmasing nilai tenaga kerja tersebut dibagi dengan bahan baku yang digunakan maka diperoleh nilai koefisien tenaga kerja masing sebesar 0.002 pada unit pengolahan skala besar dan 0.003 pada unit pengolahan skala kecil. Artinya dibutuhkan waktu selama 0.002 hari atau dua menit 53 detik untuk melakukan pengolahan satu kilogram ubi kayu menjadi tepung kasar pada unit pengolahan skala besar, sedangkan pada unit pengolahan skala kecil dibutuhkan waktu selama 0.003 hari atau empat menit 19 detik untuk melakukan pengolahan satu kilogram ubi kayu menjadi tepung kasar. Koefisien tenaga kerja pada unit pengolahan skala besar lebih kecil karena adaya penghematan penggunaan tenaga kerja pada unit pengolahan skala besar dibandingkan penggunaan tenaga kerja pada unit pengolahan skala kecil. Penggunaan tenaga kerja pada indusutri tapioka kasar pada masing-masing skala produksi dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Proporsi penggunaan tenaga kerja unit pengolahan tepung tapioka berdasarkan skala produksi tahun 2013 Skala Skala Kegiatan Besar Kecil 178.29 72.43 Pencucian (HOK/tahun) 729.00 220.05 Penggilingan dan Pengayakan (HOK/tahun) 312.00 300.86 Pengendapan (HOK/tahun) Penghancuran (HOK/tahun) 178.29 61.29 Penjemuran (HOK/tahun) 735.43 295.29 Pengepakan (HOK/tahun) 289.71 89.14 Total Tenaga Kerja (HOK/tahun) 2 422.71 1 039.05 Total Produksi per Tahun (kg/tahun) 1 134 000.00 384 300.00 Efisiensi Tenaga Kerja (HOK/kg) 0.002 0.003 Perhitungan hari orang kerja (HOK) diperoleh dari perkalian antara jumlah jam kerja yang dibutuhkan untuk mengerjakan satu proses dengan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan kemudian dibagi dengan jumlah jam kerja dalam satu hari. Hasil perhitungan HOK tersebut merupakan jumlah HOK per hari. Jumlah HOK per tahun diperoleh dari hasil perkalian antara jumlah HOK per hari dengan jumlah hari yang dibutuhkan untuk melakukan proses produksi dalam satu tahun seperti yang terlihat pada Tabel 10. Hasil perhitungan nilai koefisien tenaga kerja menunjukan bahwa proses pengolahan ubi kayu pada unit pengolahan skala kecil belum tepat dalam penggunaan tenaga kerja karena membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengolah ubi kayu menjadi tepung kasar dibandingkan waktu yang dibutuhkan unit pengolahan skala kecil. Upah rata-rata tenaga kerja adalah hasil bagi nilai total upah tenaga kerja selama satu tahun dangan jumlah HOK dalam satu tahun, sehingga diperoleh nilai upah rata-rata tenaga kerja sebesar Rp 38 606.87 per HOK pada unit pengolahan skala besar dan Rp 40 286.71 per HOK pada unit pengolahan skala
29
kecil. Upah rata-rata tenaga kerja pada unit pengolahan skala besar lebih rendah dibandingkan unit pengolahan skala kecil. Perbedaan tersebut disebabkan karena jumlah tenaga kerja yang digunakan pada unit pengolahan skala besar lebih banyak dibanding unit pengolahan skala kecil sehingga proporsi kerja pada unit pengolahan skala besar lebih ringan dan membutuhkan waktu pengerjaan yang lebih cepat dibandingkan dengan proposi kerja dan waktu pengerjaan pada unit pengolahan skala kecil. Sumbangan input lain dalam menghasilkan tepung tapioka kasar adalah sebesar Rp 13.90 per kg bahan baku pada unit pengolahan skala besar dan sebesar Rp 21.39 per kg bahan baku pada unit pengolahan skala kecil. Sumbangan input lain merupakan pembagian total sumbangan input lain dengan jumlah bahan baku yang digunakan. Besarnya sumbangan input lain dapat dilihat pada Tabel 11. Komponen dalam perhitungan sumbangan input lain terdiri dari penyusutan, pemutih, solar, karung, dan listrik. Tabel 11 Sumbangan input lain pengolahan ubi kayu menjadi kasar di Kabupaten Bogor tahun 2013 Skala Besar Sumbangan Input Lain (Rp/Tahun) 7 695 000.00 Penyusutan 1 946 880.00 Pemutih Solar 3 292 236.89 Karung 730 080.00 Listrik 2 100 000.00 Total per Tahun (Rp) 15 764 196.89 Total per Input Bahan Baku (Rp/kg) 13.90
tepung tapioka Skala Kecil (Rp/Tahun) 1 630 000.00 1 292 601.66 3 455 598.01 790 920.00 1 050 000.00 8 219 119.67 21.39
Berdasarkan Tabel 11, nilai sumbangan input lain pada unit pengolahan skala besar lebih rendah dibandingkan dengan nilai sumbangan input lain pada unit pengolahan skala kecil. Perbedaan tersebut disebabkan adanya penghematan penggunaan input lain pada unit pengolahan skala besar yakni bahan bakar. Penggunaan bahan bakar pada unit pengolahan skala besar lebih hemat dibandingkan dengan unit pengolahan skala kecil. Penggunaan bahan bakar juga mengakibatkan rata-rata biaya bahan bakar pada unit pengolahan skala kecil menjadi lebih tinggi yakni sebesar Rp 3 455 598.01 per tahun dibandingkan dengan penggunaan rata-rata bahan bakar pada unit pengolahan skala besar yakni sebesar Rp 3 292 236.89 per tahun. Nilai tepung kasar didapat dari dari perkalian faktor konversi dengan harga rata-rata tepung kasar. Nilai tepung kasar yang diperoleh unit pengolahan skala besar adalah Rp 1 487.50 per kg, sedangkan nilai output yang diperoleh unit pengolahan skala kecil adalah sebesar Rp 1 478.13 per kg. Nilai tersebut menunjukkan bahwa setiap pengolahan satu kilogram bahan baku akan menghasilkan tepung kasar senilai Rp 1 487.50 pada unit pengolahan skala besar dan senilai Rp 1 478.13 pada unit pengolahan skala kecil. Nilai tepung kasar pada unit pengolahan skala besar lebih tinggi dibandingkan dengan nilai tepung kasar pada unit pengolahan skala kecil. Perbedaan tersebut karena kualitas tepung yang dihasilkan oleh unit pengolahan skala besar lebih baik sehingga
30
harga jualnya lebih tinggi yakni Rp 5 950.00 per kg tepung kasar dibandingkan kualitas tepung yang dihasilkan unit pengolahan skala kecil Rp 5 912.50 per kg tepung kasar. Kualitas tepung kasar yang dihasilkan dipengaruhi oleh keterampilan Pengusaha unit pengolahan dalam melakukan pengolahan. Nilai tambah merupakan selisih nilai output dengan harga bahan baku dan sumbangan input lain. Nilai tambah tersebut merupakan nilai tambah kotor karena masih mengandung bagian untuk pendapatan tenaga kerja. Nilai tambah yang diperoleh dari pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka kasar pada unit pengolahan skala besar adalah Rp 273.60 per kg tepung kasar dan sebesar Rp 206.74 per kg tepung kasar pada unit pengolahan skala kecil. Dari nilai tambah tersebut dapat diketahui besarnya rasio nilai tambah dengan membagi nilai tambah dengan nilai output, dengan kata lain rasio nilai tambah merupakan %tase nilai tambah terhadap nilai output. Besarnya rasio nilai tambah pada unit pengolahan skala besar adalah 18.39%, artinya dari nilai tepung kasar sebesar Rp 1 487.50 terdapat 18.39% nilai tambah dari pengolahan tepung kasar pada unit pengolahan skala besar. Rasio nilai tambah yang diperoleh unit pengolahan skala kecil adalah 13.99%, artinya dari nilai tepung kasar sebesar Rp 1 478.13 terdapat 13.99 nilai tambah dari pengolahan tepung kasar pada unit pengolahan kecil. Perbedaan nilai tambah pada setiap skala unit pengolahan disebabkan oleh perbedaan besarnya nilai tepung kasar dan nilai sumbangan input lain. Imbalan tenaga kerja pada unit pengolahan skala besar adalah Rp 90.80 per kg ubi kayu, dengan demikian bagian tenaga kerja dari nilai tambah pada unit pengolahan skala besar adalah sebesar 33.19%. Imbalan tenaga kerja pada unit pengolahan skala kecil adalah Rp 119.98 per kg ubi kayu, dengan demikian bagian tenaga kerja dari nilai tambah pada unit pengolahan skala kecil adalah sebesar 58.03%. Imbalan tenaga kerja pada unit pengolahan skala kecil lebih besar karena tenaga kerja yang digunakan lebih sedikit dibandingkan jumlah tenaga kerja unit pengolahan skala besar. Tenaga kerja pada unit pengolahan skala kecil dapat melakukan beberapa proses pengolahan sekaligus dalam satu siklus produksi, sehingga mendapatkan imbalan yang lebih banyak dibandingkan imbalan yang diterima oleh tenaga kerja pada unit pengolahan skala besar. Imbalan tenaga kerja merupakan pendapatan yang diterima tenaga kerja sebagai hasil perkalian antara koefisien tenaga kerja dengan upah rata-rata tenaga kerja per HOK. Imbalan tenaga kerja adalah pendapatan yang diperoleh tenaga kerja dari setiap pengolahan satu kilogram ubi kayu sebagai bahan baku. Imbalan tenaga kerja tersebut tidak termasuk dalam nilai tambah bagi pengusaha. Nilai tambah bagi pengusaha dapat dilihat melalui keuntungan yang diperoleh. Pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka telah memberikan keuntungan bagi pengusaha. Keuntungan yang diperoleh pada unit pengolahan skala besar adalah Rp 182.80 per kg tepung kasar, sedangkan keuntungan yang diperoleh pada unit pengolahan skala kecil adalah Rp 86.76 per kg tepung kasar. Nilai keuntungan tersebut merupakan selisih antara nilai tambah dengan imbalan tenaga kerja, sehingga dapat dikatakan sebagai nilai tambah bersih karena telah dikurangi dengan imbalan tenaga kerja. Tingkat keuntungan pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka kasar pada unit pengolahan skala besar adalah 66.81% dari nilai tambah sedangkan tingkat keuntungan pada unit pengolahan skala kecil adalah 41.97% dari nilai tambah. Nilai keuntungan menunjukkan
31
besarnya imbalan yang diterima oleh pengusaha atas usaha tapioka kasar. Tingkat keuntungan unit pengolahan skala kecil lebih rendah dibandingkan tingkat keuntungan pada unit pengolahan skala besar. Perbedaan tersebut disebabkan karena imbalan tenaga kerja pada unit pengolahan skala kecil lebih tinggi dibandingkan dengan imbalan tenaga kerja pada unit pengolahan skala besar. Distribusi nilai tambah pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka kasar terhadap imbalan tenaga kerja dan keuntungan pengusaha pada unit pengolahan skala besar dapat dilihat pada Lampiran 2 dan unit pengolahan skala kecil pada Lampiran 3. Kontribusi faktor-faktor produksi selain bahan baku utama ditunjukkan melalui marjin yang diperoleh dari hasil pengurangan nilai tepung kasar dengan harga ubi kayu. Kontribusi faktor- faktor produksi terdiri dari pendapatan untuk tenaga kerja, input lain, dan tingkat keuntungan. Besarnya distribusi marjin terhadap imbalan tenaga kerja, sumbangan input lain dan keuntungan pada unit pengolahan skala besar dapat dilihat pada Lampiran 4 dan unit pengolahan skala kecil pada Lampiran 5. Marjin yang diperoleh dari hasil pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka kasar pada skala besar adalah Rp 287.50 per kg terdiri dari 31.58% untuk tenaga kerja, 4.84 % untuk sumbangan input lain, dan 63.58% untuk keuntungan pengusaha. Marjin yang diperoleh dari hasil pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka kasar pada unit pengolahan skala kecil sebesar Rp 228.13 per kg, terdiri dari 52.59% untuk tenaga kerja, 9.38% untuk sumbangan input lain, dan 38.03% untuk keuntungan pengusaha. Marjin yang didistribusikan untuk tenaga kerja dan sumbangan input lain pada unit pengolahan skala kecil lebih besar dibandingkan pada unit pengolahan skala besar disebabkan karena imbalan tenaga kerja dan sumbangan input lain pada unit pengolahan skala kecil juga lebih besar dari pada unit pengolahan skala besar. Kecilnya marjin yang didistribusikan untuk tenaga kerja dibandingkan untuk keuntungan pada unit pengolahan skala besar menunjukkan bahwa unit pengolahan tepung tapioka kasar skala besar merupakan kegiatan padat modal. Proporsi tenaga kerja dan keuntungan terhadap nilai tambah dapat menunjukkan apakah usaha pengolahan tapioka kasar tersebut padat modal atau padat karya. Padat modal mengartikan bahwa dalam melakukan kegiatan pengolahan tepung tapioka kasar dengan skala besar dibutuhkan lebih banyak modal dari pada tenaga kerja. Besarnya marjin yang didistribusikan untuk tenaga kerja dibandingkan untuk keuntungan pada unit pengolahan skala kecil menunjukkan bahwa unit pengolahan tapioka kasar skala kecil merupakan kegiatan padat karya. Padat karya mengartikan bahwa dalam melakukan kegiatan pengolahan pengolahan tapioka kasar dengan skala kecil dibutuhkan lebih banyak tenaga kerja dibandingkan modal.
Keuntungan Total Unit pengolahan Tapioka Kasar Pelaksanaan proses produksi pengolahan tepung kasar selain untuk mengetahui besarnya nilai tambah yang diperoleh, juga untuk mengetahui keuntungan yang diperoleh oleh masing-masing unit pengolahan tapioka kasar. Keuntungan dijadikan sebagai indikator keberlanjutan unit pengolahan tapioka
32
kasar pada masing-masing skala. Keuntungan yang diperoleh pada masingmasing skala unit pengolahan sudah tentu berbeda, namun perbedaan tersebut bisa dijadikan indikator untuk mempertimbangkan pengembangan unit pengolahan tapioka kasar apakah harus meningkatkan skala produksi atau tetap bertahan pada skala produksi yang dijalankan saat ini. Unit pengolahan tapioka kasar selain menghasilkan tepung kasar juga menghasilkan ampas atau disebut onggok. Kegiatan usaha unit pengolahan tapioka kasar tidak terlepas dari biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melakukan kegiatan produksi menghasilkan tepung tapioka kasar dan onggok. Sebelum mengetahui besarnya keuntungan, maka harus diketahui terlebih dahulu biayabiaya yang dikeluarkan. Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh unit pengolahan tapioka kasar terdiri dari biaya tetap dan biaya variabel, sehingga dapat diketahui besarnya biaya keseluruhan yang dikeluarkan oleh unit pengolahan tapioka kasar dalam melakukan pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka kasar dan onggok. Biaya tetap adalah biaya yang dikeluarkan selama melakukan produksi dan tidak dipengaruhi oleh besar kecilnya output yang dihasilkan. Biaya tetap dari unit pengolahan tapioka kasar dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Biaya-biaya tetap pengolahan tepung tapioka di Kabupaten Bogor tahun 2013 Skala Besar Skala Kecil Biaya Jenis Biaya Biaya per Biaya per Biaya per per Bulan Tahun Tahun Bulan Biaya Pemeliharaan 246 000 2 952 000 246 000 2 952 000 Biaya Listrik 175 000 2 100 000 87 500 1 050 000 Pajak Mobil 1 800 000 Biaya Transportasi 200 000 2 400 000 780 000 9 360 000 Biaya Penyusutan 7 695 000 1 630 000 Total Biaya Tetap 16 947 000 14 992 000 Biaya tetap pengolahan tepung tapioka kasar terdiri dari biaya pemeliharaan, listrik, pajak mobil, transprotasi, dan penyusutan. Total biaya tetap yang dikeluarkan oleh unit pengolahan skala besar sebesar Rp 16 947 000 per tahun, sedangkan unit pengolahan skala kecil sebesar Rp 14 992 000 per tahun. Biaya pemeliharaan dikeluarkan setiap bulan yakni biaya service untuk mesin diesel sebesar Rp 246 000 per bulan untuk tiga mesin. Mesin diesel adalah mesin penggerak utama unutuk melakukan proses pencucian, penggilingan, dan pengayakan sehingga kondisi mesin harus dipelihara dengan baik agar tidak menghambat proses produksi. Jumlah mesin diesel pada masing-masing skala unit pengolahan berjumlah tiga mesin, sehingga biaya pemeliharaan mesin diesel pada masin-masing skala unit pengolahan sama yakni sebesar Rp 2 952 000 per tahun. Listrik yang digunakan pada unit pengolahan penggilingan merupakan listrik yang berasal dari PLN. Pengusaha unit pengolahan memasang amperemeter yang dikhususkan untuk keberlangsungan proses produksi dan tidak digabung dengan amperemeter dari rumah. Unit pengolahan skala besar
33
menggunakan listrik bertegangan 900 watt sehingga biaya yang dikeluarkan untuk listrik lebih besar dari biaya listrik unit pengolahan skala kecil yanng menggunakan listrik bertegangan 450 watt. Biaya listrik tersebut dikeluarkan setiap bulan yakni rata-rata sebesar Rp 175 000 per bulan untuk indistri skala besar dan sebesar Rp 87 500 per bulan untuk unit pengolahan skala kecil, sehingga unit pengolahan skala besar mengeluarkan biaya untuk lisrik sebesar Rp 2 100 000 per tahun sedangkan unit pengolahan skala kecil mengeluarkan biaya listrik sebesar Rp 1 050 000 per tahun. Kendaraan yang digunakan oleh unit pengolahan skala besar adalah mobil milik pribadi sehingga terdapat pajak mobil yang harus dibayarkan setiap tahunnya. Penentuan tarif pajak berdasarkan biaya pajak yang dikeluarkan oleh Pengusaha unit pengolahan tiap tahun. Kendaraan yang digunakan adalah mobil jenis pick up dengan nama model yakni mitshubisi L300. Mobil tersebut dibeli dengan harga Rp 120 000 000 per unit. Unit pengolahan skala besar membayar pajak mobil sebesar Rp 1 800 000 per tahun. Pengusaha unit pengolahan tapioka kasar merupakan orang yang taat hukum, sehingga membayarkan pajak mobil setiap tahun sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Biaya transportasi adalah biaya pengiriman ke pabrik tapioka yang dikeluarkan oleh unit pengolahan tapioka kasar. Unit pengolahan skala besar mengeluarkan biaya transportasi untuk bahan bakar mobil karena menggunakan mobil milik sendiri untuk mengirim tepung kasar dan onggok ke pabrik. Biaya yang dikeluarkan oleh unit pengolahan skala besar adalah sebesar Rp 200 000 per bulan. Unit pengolahan skala kecil mengeluarkan biaya transportasi untuk penyewaan mobil pick up karena unit pengolahan skala kecil tidak memiliki mobil. Biaya sewa yang dikenakan untuk satu kali kirim adalah sebesar Rp 5 000 per karung. Dalam satu kali kirim, unit pengolahan skala kecil rata-rata mengirim enam karung tepung kasar ukuran 50 kg, sehingga unit pengolahan skala kecil mengeluarkan biaya sewa sebesar Rp 780 000 per bulan. Biaya penyusutan adalah biaya yang dikeluarkan akibat adanya penggunaan peralatan atau investasi dengan umur pakai lebih dari satu tahun kecuali bangunan dan tanah. Penyusutan terdiri dari mesin diesel, pompa air, dan mobil. Peralatan atau investasi tersebut memiliki umur ekonomi selama lima tahun untuk mesin diesel dan pompa air, serta 10 tahun untuk mobil. Biaya penyusutan yang dikeluarkan oleh unit pengolahan skala besar dalam melakukan pengolahan tepung kasar adalah sebesar Rp 7 695 000 per tahun, sedangkan biaya penyusutan pada unit pengolahan skala kecil sebesar Rp 1 630 000 per tahun. Biaya penyusutan pada unit pengolahan skala besar terlihat jauh lebih besar dari pada unit pengolahan skala kecil karena unit pengolahan skala besar memiliki mobil pribadi yang harus dihitung biaya penyusutannya. Biaya variabel juga harus diketahui sebelum mengetahui keuntungan. Biaya-biaya variabel unit pengolahan penggilingan tentu berbeda pada masingmasing skala unit pengolahan. Unit pengolahan skala besar mengeluarkan biaya variabel lebih tinggi dibandingkan unit pengolahan skala kecil. Tabel 13 menunjukkan biaya-biaya variabel yang dikeluarkan oleh unit pengolahan skala besar dalam melakukan pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka kasar dan onggok.
34
Tabel 13
Biaya-biaya variabel pengolahan tepung tapioka skala besar di Kabupaten Bogor tahun 2013 Skala Besar
Jenis Biaya Ubi Kayu Pemutih Solar Karung Tenaga Kerja Total Biaya Variabel
Satuan per Hari kg kg liter buah orang
Jumlah per Hari 3 634.6 1.8 22.4 18 7
Harga (Rp)
Biaya per Bulan (Rp)
Biaya per Tahun (Rp)
1 200 40 000 5 500 1 500 42 500
113 400 000 1 890 000 3 196 050 708 750 7 182 500
1 360 800 000 22 680 000 38 352 600 8 505 000 86 190 000 1 516 527 600
Biaya variabel tertinggi pada unit pengolahan skala besar terdapat pada pengeluaran untuk pembelian ubi kayu rata-rata sebanyak 3 634.6 kg per hari dengan harga Rp 1 200 per kg. Unit pengolahan skala besar mampu mengolah ubi kayu rata-rata sebanyak 94 500 kg per bulan dalam waktu 26 hari kerja atau 1 134 000 kg per tahun dalam 312 hari kerja. Dengan mengetahui jumlah ubi kayu yang diolah selama satu tahun tersebut maka diperoleh biaya variabel yang dikeluarkan untuk membeli bahan baku ubi kayu sebesar 113 400 000 per bulan atau Rp 1 360 800 000 per tahun. Pemutih yang dibutuhkan unit pengolahan skala besar rata-rata sebanyak 1.8 kg per hari untuk mengolah ubi kayu sebanyak 3 634.6 kg per hari dengan harga Rp 40 000 per kg. Pemutih yang dibutuhkan untuk mengolah ubi kayu sebanyak 1 134 000 kg per tahun adalah 567 kg, sehingga biaya yang dikeluarkan unit pengolahan skala besar untuk memenuhi kebutuhan pemutih adalah sebesar Rp 1 890 000 per bulan atau Rp 22 680 000 per tahun. Pemutih tersebut digunakan agar tepung kasar yang dihasilkan lebih putih bersih sehingga dapat meningkatkan kualitas dan harga jual. Solar dibutuhkan sebagai bahan bakar mesin penggerak pada pencucian serta penggilingan dan pengayakan. Solar yang dibutuhkan sebanyak tiga liter untuk melakukan pengolahan selama satu jam. Proses pencucian serta penggilingan dan pengayakan pada unit pengolahan skala besar menghabiskan waktu rata-rata selama 7.5 jam sehingga dibutuhkan solar sebanyak 22.4 liter per hari. Pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka kasar dan onggok pada unit pengolahan skala besar mengeluarkan biaya solar sebanyak Rp 122 925 per hari, sehingga dalam satu tahun mengeluarkan biaya solar sebanyak Rp 38 352 600 untuk mengolah ubi kayu sebanyak 1 134 000 kg. Karung dibutuhkan sebagai kemasan untuk tepung kasar yang telah kering setelah dijemur. Karung yang digunakan berukuran 50 kg per buah. Unit pengolahan skala besar menghasilkan tepung kasar rata-rata sebanyak 908.7 kg per hari, sehingga dibutuhkan karung sebanyak 18 buah. Karung diperoleh dari pasar tradisional disekitar unit pengolahan tapioka kasar yang dibeli dengan harga rata-rata unit pengolahan skala besar Rp 1 500 per buah, sehingga unit pengolahan skala besar mengeluarkan biaya karung sebesar Rp 27 000 per hari atau Rp 8 505 000 per tahun.
35
Tenaga kerja yang digunakan unit pengolahan skala besar rata-rata sebanyak tujuh orang dengan sistem upah harian. Upah rata-rata tenaga kerja pada unit pengolahan skala besar adalah Rp 42 500 per hari, sehingga unit pengolahan skala besar mengeluarkan biaya teaga kerja sebesar Rp 7 182 500 per bulan atau Rp 86 190 000 per tahun. Total biaya variabel pada unit pengolahan skala besar diperoleh dari penjumlahan input-input variabel pada unit pengolahan skala besar per tahun, jadi unit pengolahan skala besar mengeluarkan total biaya variabel sebesar Rp 1 516 527 600 per tahun. Total biaya variabel pada unit pengolahan skala kecil juga dapat diketahui dengan menjumlahkan input-input variabel yang dibutuhkan pada skala kecil selama satu tahun. Tabel 14 menunjukkan kebutuhan biaya variabel pada unit pengolahan skala kecil. Biaya-biaya variabel pengolahan tepung tapioka skala kecil di Kabupaten Bogor tahun 2013 Satuan Skala Kecil Jenis Biaya per Jumlah Harga Biaya per Biaya per Hari per Hari (Rp) Bulan (Rp) Tahun (Rp)
Tabel 14
Ubi Kayu Pemutih Solar Karung Tenaga Kerja Total Biaya Variabel
kg kg liter buah orang
1 231.7 0.5 8 6 3
1 250 36 000 5 500 1 625 44 375
40 031 250 425 250 1 136 850 260 203 3 749 688
480 375 000 5 103 000 13 642 200 3 122 438 44 996 250 547 238 888
Biaya variabel tertinggi pada unit pengolahan skala kecil juga terdapat pada pengeluaran untuk pembelian ubi kayu rata-rata sebanyak 1 231.7 kg per hari dengan harga Rp 1 250 per kg. Unit pengolahan skala kecil mampu mengolah ubi kayu rata-rata sebanyak 32 025 kg per bulan dalam 26 hari kerja atau 384 300 kg per tahun dalam 312 hari kerja. Dengan mengetahui jumlah ubi kayu yang diolah selama satu tahun tersebut maka diperoleh biaya variabel yang dikeluarkan untuk membeli bahan baku ubi kayu sebesar Rp 40 031 250 per bulan atau Rp 480 375 000 per tahun. Pemutih yang dibutuhkan unit pengolahan skala kecil rata-rata sebanyak 0.5 kg untuk mengolah ubi kayu sebanyak 1 231.7 kg per hari dengan harga Rp 36 000 per kg. Pemutih yang dibutuhkan untuk menggolah ubi kayu sebanyak 384 300 kg per tahun adalah 141.75 kg, sehingga biaya yang dikeluarkan unit pengolahan skala kecil untuk memenuhi kebutuhan pemutih adalah sebesar Rp 425 250 per bulan atau 5 103 000 per tahun. Solar dibutuhkan pada unit pengolahan skala kecil juga sebagai bahan bakar mesin penggerak pada pencucian serta penggilingan dan pengayakan. Solar yang dibutuhkan sebanyak tiga liter untuk melakukan pengolahan selama satu jam. Proses pencucian serta penggilingan dan pengayakan pada unit pengolahan skala kecil menghabiskan waktu rata-rata selama 2.6 jam sehingga dibutuhkan solar sebanyak 8 liter per hari. Pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka kasar dan onggok pada unit pengolahan skala kecil mengeluarkan biaya solar sebanyak Rp 43 725 per hari, sehingga dalam satu tahun unit pengolahan
36
skala kecil mengeluarkan biaya solar sebanyak Rp 1 136 850 pe bulan atau Rp 13 642 200 per tahun. Karung dibutuhkan sebagai kemasan untuk tepung kasar yang telah kering setelah dijemur. Karung yang digunakan berukuran 50 kg per buah. Unit pengolahan skala kecil menghasilkan tepung kasar rata-rata sebanyak 307.9 kg per hari, sehingga dibutuhkan karung sebanyak enam buah. Karung diperoleh dari pasar tradisional di sekitar unit pengolahan tapioka kasar yang dibeli dengan harga rata-rata unit pengolahan skala besar Rp 1 625 per buah, sehingga unit pengolahan skala kecil mengeluarkan biaya karung sebesar Rp 9 750 per hari atau Rp 3 122 438 per tahun. Tenaga kerja yang digunakan unit pengolahan skala kecil rata-rata sebanyak tiga orang dengan sistem upah yang diterapkan juga sistem upah harian. Upah rata-rata tenaga kerja pada unit pengolahan skala kecil adalah Rp 44 375 per hari, sehingga unit pengolahan skala kecil mengeluarkan biaya tenaga kerja sebesar Rp 3 749 688 per bulan atau Rp 44 996 250 per tahun. Total biaya variabel pada unit pengolahan skala kecil diperoleh dari penjumlahan input-input variabel pada unit pengolahan skala kecil per tahun. Pengolahan skala kecil mengeluarkan total biaya variabel sebesar Rp 547 238 888 per tahun. Pengusaha pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka kasar dapat mengetahui besarnya nilai tambah dan keuntungan per satuan bahan baku menggunakan metode Hayami. Pengusaha juga dapat mengetahui penerimaan dan keuntungan total secara ekonomi dari pengolahan ubi kayu menjadi tepung tapioka kasar setelah menghitung total biaya tetap dan biaya variabel pada masing-masing skala unit pengolahan. Besarnya penerimaan total tersebut diperoleh dari perkalian antara jumlah output dengan harga output. Penerimaan total tersebut merupakan penerimaan kotor karena belum dikurangi dengan total biaya yang digunakan. Total penerimaan dikurang dengan total biaya akan menghasilkan keuntungan bersih bagi unit pengolahan. Penerimaan yang diperoleh unit pengolahan tapioka kasar merupakan penerimaan yang berasal dari penjualan tepung kasar dan ditambah dengan penjualan onggok. Onggok diperlakukan sebagai penambah penerimaan tepung kasar. Adapun perhitungan penerimaan dan keuntungan bersih unit pengolahan penggilingan berdasarkan skala unit pengolahan dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15 Perhitungan keuntungan unit pengolahan tepung tapioka di Kabupaten Bogor tahun 2013 No. Komponen Skala Besar Skala Kecil 1. Penerimaan (TR = P x Q) 1 686 825 000 568 043 438 Tepung Kasar 170 100 000 57 645 000 Onggok 16 947 000 14 992 000 2. Biaya Tetap (TFC) 1 516 527 600 547 238 888 3. Biaya Variabel (TVC) 323 450 400 63 457 550 4. Keuntungan { = TR – (TFC+TVC)} Output dari unit pengolahan tapioka kasar terdiri dari dua macam yakni tepung tapioka kasar sebagai produk utama dan onggok yang berasal dari ampas ubi kayu sebagai produk sampingan, sehingga total penerimaan adalah penjumlahan antara total penerimaan tepung tapioka kasar per tahun dengan
37
total penerimaan onggok per tahun. Penerimaan unit pengolahan skala besar berasal dari perkalian antara harga tepung kasar sebesar Rp 5 950 per kg dengan jumlah tepung kasar sebanyak 283 500 kg per tahun, kemudian dijumlahkan dengan penerimaan onggok yang diperoleh dari perkalian antara harga onggok sebesar Rp 1 500 per kilogram dengan jumlah onggok sebanyak 113 400 kg per tahun. Besarnya keuntungan pada unit pengolahan skala besar dapat diketahui dengan menghitung selisih antara total penerimaan dengan total biaya pada indusutri skala besar. Total penerimaan unit pengolahan skala besar yakni sebesar Rp 1 856 925 000 per tahun dengan total biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 1 533 474 600 per tahun, sehingga diperoleh keuntungan total unit pengolahan skala besar sebesar Rp 323 450 400 per tahun. Penerimaan unit pengolahan skala kecil juga berasal dari perkalian antara harga tepung kasar sebesar Rp 5 913 per kilogram dengan jumlah tepung kasar sebanyak 96 075 kg per tahun, kemudian dijumlahkan dengan penerimaan onggok yang diperoleh dari perkalian antara harga onggok per kg dengan jumlah onggok per tahun. Besarnya keuntungan pada unit pengolahan skala kecil juga dapat diketahui dengan menghitung selisih antara total penerimaan dan total biaya pada unit pengolahan skala kecil. Total penerimaan unit pengolahan skala kecil sebesar Rp 625 688 438 per tahun dengan total biaya yang dikeluarkan sebesar Rp 562 230 888 per tahun, sehingga diperoleh keuntungan total pada unit pengolahan skala kecil sebesar Rp 63 457 550 per tahun. Keuntungan total unit pengolahan tapioka kasar pada masing-masing skala merupakan keuntungan bersih yang diterima oleh pengusaha unit pengolahan secara total. Perbandingan keuntungan akan lebih jelas jika dilihat dari biaya, nilai tambah, dan keuntungan per kilogram ubi kayu yang diolah pada masingmasing skala unit pengolahan. Tabel 16 menunjukkan perbedaan biaya, nilai tambah, dan keuntungan per kilogram ubi kayu pada indsutri tapioka kasar di Kecamatan Sukaraja. Tabel 16 Perbandingan nilai tambah dan keuntungan pengolahan tapioka kasar per kg ubi kayu di Kabupaten Bogor tahun 2013 Perbandingan Skala Besar (Rp) Skala Kecil (Rp) Biaya 1 352.27 1 463.00 Nilai Tambah 273.60 206.74 Keuntungan 285.23 165.13 Berdasarkan Tabel 16 maka dapat diketahui bahwa biaya yang dikeluarkan unit pengolahan skala kecil per kilogram ubi kayu yang diolah ternyata lebih besar dari pada unit pengolahan skala besar. Biaya pada unit pengolahan skala besar sebesar Rp 1 352.27 per kg sedangkan biaya pada unit pengolahan skala kecil sebesar Rp 1 463.00 per kg. Biaya pada unit pengolahan skala kecil memiliki selisih sebesar Rp 110.73 per kg dari unit pengolahan skala besar. Biaya pada unit pengolahan skala kecil lebih besar karena adanya penggunaan tenaga kerja unit pengolahan skala besar yang lebih efisien dalam melakukan pengolahan tepung tapioka kasar dibanding unit pengolahan skala kecil. Penggunaan tenaga kerja yang lebih efisien pada unit pengolahan skala besar mengakibatkan biaya pada unit pengolahan skala kecil menjadi lebih tinggi dibandingkan biaya pada unit pengolahan skala besar. Biaya tersebut adalah
38
sumbangan input lain, atau lebih tepatnya terdapat pada penggunaan bahan bakar solar. Unit pengolahan skala kecil akan efisien bila melakukan peningkatan jumlah produksi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada perhitungan nilai tambah. Peningkatan produksi pada unit pengolahan skala kecil akan menurunkan biaya khususnya pada biaya bahan bakar solar. Nilai tambah pada unit pengolahan skala besar sebesar Rp 273.60 per kg sedangkan nilai tambah pada unit pengolahan skala kecil sebesar Rp 206.74 per kg ubi kayu yang diolah menjadi tepung tapioka kasar. Nilai tambah per kg pada unit pengolahan skala kecil lebih rendah dibandingkan nilai tambah per kg pada unit pengolahan skala besar. Nilai tambah yang lebih rendah pada unit pengolahan skala kecil juga disebabkan oleh penggunaan bahan baku utama yang tidak efisien. Nilai tambah akan meningkat bila penggunaan bahan baku efisien. Keuntungan unit pengolahan skala besar lebih tinggi dibandingkan keuntungan unit pengolahan skala kecil. Keuntungan unit pengolahan skala besar sebesar Rp 285.23 per kg sedangkan pada unit pengolahan skala kecil sebesar Rp 165.13 per kg. Perbedaan tersebut disebabkan karena unit pengolahan skala besar mengolah bahan baku lebih banyak dibandingkan unit pengolahan skala kecil. Hal tersebut menunjukkan bahwa keuntungan akan semakin tinggi seiring dengan bertambahnya bahan baku yang diolah pada unit pengolahan tapioka kasar.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan pembahasan dari hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Nilai tambah pada unit pengolahan penggilingan skala besar lebih tinggi dibandingkan dengan unit pengolahan skala kecil. Hal tersebut karena penggunaan tenaga kerja pada unit pengolahan skala besar lebih hemat dibandingkan unit pengolahan skala kecil. Nilai tambah pada unit pengolahan skala besar sebesar Rp 273.60 per kg sedangkan nilai tambah pada unit pengolahan skala kecil sebebsar Rp 206.74 per kg. 2. Keuntungan yang diperoleh unit pengolahan skala besar juga lebih tinggi dibandingkan dengan indstri skala kecil. Unit pengolahan skala kecil memiliki biaya per kg yang lebih tinggi sebesar Rp 1 352.27 dibandingkan biaya pada unit pengolahan skala besar sebesar Rp 1 463.00 per kg bahan baku yang diolah. Perbedaan tersebut disebabkan penggunaan input pada unit pengolahan skala besar yang lebih efisien dibandingkan unit pengolahan skala kecil.
39
Saran Berdasarkan hasil pembahan dan simpulan, maka saran yang dapat disampaikan dalam penelitian ini yaitu : 1. Unit pengolahan tapioka kasar hendaknya membentuk kelompok unit pengolahan tapioka kasar agar memiliki posisi tawar yang kuat terhadap harga tapung kasar. 2. Unit pengolahan skala kecil mengeluarkan biaya per kg lebih tinggi. Unit pengolahan skala kecil hendaknya melakukan efisiensi input produksi untuk mengurangi biaya per kg yang dikeluarkan dengan meningkatkan produksi.
40
DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2011. Inovasi Pengolahan Singkong Meningkatkan Pendapatan dan Diversifikasi Pangan. Jakarta: Agroinovasi. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Produksi Tanaman Pangan di Jawa Barat. [Internet]. [diunduh 2013 Mar 12]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/tnmn_pgn.php?kat=3. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Konsep Penggolongan Unit pengolahan. [Internet]. [diunduh 2013 Apr 11]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id/menutab.php?tabel=1&kat=2&id_subyek=09. Budhi GS. 2010. Dilema Kebijakan dan Tantangan Pengembangan Diversifikasi Usahatani Tanaman Pangan. [Jurnal]. Bogor: Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 8 No 3. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Departemen Pertanian. 2012. Basis Data Pertanian di Kabupaten Bogor. [Internet]. [diunduh 2014 Mar 24]. Tersedia pada: aplikasi.pertanian.go.id/bdsp/hasil_lok.asp. Direktorat Pengolahan Hasil Pertanian. 2005. Pengembangan Usaha Pengolahan Tepung Tapioka. [Jurnal]. Jakarta. Departemen Pertanian. Doll JP, Orazem F. 1984. Production Economics Theory With Aplications. Canada: Jhon Wiley and Sons Inc. Hayami Y, Toshihiko K, Yhosinori M, dan Masdjidin S. 1987. Agricultural Marketing and Processing In Upland Java: A Prospectif From A Sunda Village, Bogor. Horngren C T, Srikant M D, dan George F. 2008. Akuntansi Biaya dengan Penekanan Manajerial. Jakarta: Penerbit Erlangga. Kustiari R. 2012. Analisis Nilai Tambah dan Imbalan Jasa Faktor Produksi Pengolahan Hasil Pertanian. [Jurnal]. Bogor. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Mulyadi. 2005. Akuntansi Biaya. Edisi 5. Yogyakarta: UPP AMP YKPN. Munawar A. 2010. Analisis Nilai Tambah dan Pemasaran Kayu Sengon Gergajian (Studi Kasus di Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor). [Skripsi]. Bogor. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Pertiwi A G. 2013. Analisis Nilai Tambah dan Pemasaran Minyak Gaharu (Studi Kasus di CV Aromindo). [Skripsi]. Bogor. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Rahardjo, M. Dawam. 1986. Transformasi Pertanian, Unit pengolahanalisasi dan Kesempatan Kerja. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Rochaeni, Soekarto S.T, Zakaria F.R. 2003. Kajian Prospek Pengembangan Unit pengolahan Kecil Tapioka di Sukaraja Kabupaten Bogor. [Jurnal]. Bogor: MPI. Volume 2 No 2. Ronny H. 1990. Akuntansi Biaya, Pengantar Untuk Perencanaan dan Pengendalian Biaya Produksi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Tunggadewi A T. 2009. Analisis Profitabilitas serta Nilai Tambah Usaha Tahu dan Tempe. [Skripsi]. Bogor. Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
41
LAMPIRAN Lampiran 1 Distribusi nilai tambah unit pengolahan tapioka kasar skala besar
66.81% 18.39 % Nilai tambah Rp 273.60 per kg 33.19%
Nilai tepung kasar Rp 1 487.50 per kg 80.67%
0.93%
Keuntungan Rp 182.80 per kg Imbalan tenaga kerja Rp 90.80 per kg
Bahan baku Rp 1 200 per kg Input lain Rp 13.90 per kg
Lampiran 2 Distribusi nilai tambah unit pengolahan tapioka kasar skala kecil 41.97% 13.99 % Nilai tambah Rp 206.74 per kg 58.03%
Nilai tepung kasar Rp 1 478.13 per kg 84.57%
1.45%
Bahan baku Rp 1 250 per kg Input lain Rp 21.39 per kg
Keuntungan Rp 86.76 per kg Imbalan tenaga kerja Rp 119.98 per kg
42
Lampiran 3 Distribusi marjin unit pengolahan tapioka kasar skala besar 80.67%
Bahan baku Rp 1 200 per kg
Nilai tepung kasar Rp 1 478.50 per kg
31.58%
Imbalan tenaga kerja Rp 90.80 per kg
4.84%
Input lain Rp 13.90 per kg
63.58%
Keuntungan Rp 182.80 per kg
Marjin 19.45%
Rp 287.50 per kg
Lampiran 4 Distribusi marjin unit pengolahan tapioka kasar skala kecil
84.57%
Bahan baku Rp 1 250 per kg
Nilai tepung kasar Rp 1 478.13 per kg
52.59%
Imbalan tenaga kerja Rp 119.98 per kg
9.38%
Input lain Rp 21.39 per kg
38.03%
Keuntungan Rp 86.76 per kg
Marjin 15.43%
Rp 228.13 per kg
46
Lampiran 5 Penyusutan alat pengolahan tapioka kasar di Kabupaten Bogor tahun 2013 No
Peralatan
Skala Besar
Jumlah
Harga Beli
Skala Kecil
Total Harga
Umur Ekonomis
Nilai Sisa
Penyusutan per Tahun
Jumlah
Harga Beli
Total Harga
Umur Ekonomis
Nilai Sisa
Penyusutan per Tahun
1
Mesin Diesel
3
2 500 000
7 500 000
5
0
1 500 000
3
2 500 000
7 500 000
5
0
1 500 000
2
Pompa Air
3
325 000
975 000
5
0
195 000
2
325 000
650 000
5
0
130 000
3
Tampir
3 250
1 000
3 250 000
1
0
863
1 000
863 000
1
0
4
Serokan
2
25 000
50 000
1
0
2
25 000
50 000
1
0
5
Keranjang
7
25 000
175 000
1
0
6
Mobil
10
25 000
250 000
1
0
1
120 000 000
120 000 000
10
60 000 000
Total Penyusutan per Tahun
6 000 000
0
7 695 000
1 630 000
Lampiran 6 Perhitungan HOK pengolahan tepung tapioka kasar di Kabupaten Bogor tahun 2013 Skala Besar No
Kegiatan
Tenaga Kerja (orang)
Waktu Pengerjaan (jam)
Total HOK
Skala Kecil Biaya Upah
Tenaga Kerja (orang)
Waktu Pengerjaan (jam)
Total HOK
Biaya Upah
1
Pencucian
2
2
0.6
24 286
2
0.8
0.2
10 301
2
Penggilingan dan Pengayakan
3
5.5
2.3
99 303
3
1.8
0.7
31 297
3
Pengendapan
1
7
1.0
42 500
1
6.8
1.0
42 790
4
Penghancuran
4
1
0.6
24 286
2
0.6
0.2
8 717
5
Penjemuran
3
6.5
2.4
100 179
1
6.6
0.9
41 998
6
Pengepakan
7
1
0.9
39 464
3
0.6
0.3
12 679
7.8
330 017
3.3
147 782
2 422.7
102 965 357.1
1 039.1
46 107 843.75
Total HOK per Hari Total HOK per Tahun Upah Per HOK
42 500
44 375
43
44
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Propinsi Raiu tepatnya di Desa Sukajadi, Kecamatan Lirik, Kabupaten Indragiri Hulu pada tanggal 21 Maret 1989. Penulis merupakan anak dari Bapak Ruwanto dan Ibu Yuni Hartati. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara. Tahun 2008 penulis lulus dari sekolah menengah kejuruan di SMKN 1 Pasir Penyu jurusan Mekanisasi Pertanian. Pada tahun 2011 penulis memperoleh gelar Ahli Madya di Program Diploma IPB dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk IPB dan ditermia di Program Alih Jenis Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah berpartisipasi sebagai anggota seksi publikasi dalam acara Masa Perkenalan Departemen tahun 2012 dan sebagai ketua pelaksana kegiatan Siang Keakraban tahun 2013. Pada bulan Februari 2013 sampai April 2014 penulis melakukan penelitian di Unit Pengolahan Tapioka Kasar yang terletak di Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor. Penulis juga aktif mengikuti lomba Sportakuler yang diselenggarakan oleh Fakulatas Ekonomi dan Manajemen pada tahun 2011 pada cabang Tenis Meja Putra dan tahun 2013 pada cabang Badminton Putra.