ANALISIS MIKROSKOPIS DAN KOMPONEN BIOAKTIF TANAMAN GENJER (Limnocharis flava) DARI KELURAHAN SITU GEDE BOGOR
Oleh:
RACHMAWATI RUSYDI
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
RINGKASAN RACHMAWATI RUSYDI. C34060003. Analisis Mikroskopis dan Komponen Bioaktif Tanaman Genjer (Limnocharis flava) dari Kelurahan Situ Gede Bogor. Dibimbing oleh AGOES M. JACOEB dan ASADATUN ABDULLAH. Tanaman genjer (Limnocharis flava) merupakan tanaman air yang termasuk famili Limnocharitaceae. Tanaman genjer menghasilkan beberapa komponen bioaktif, diantaranya flavonoid, total fenolik, β-karoten. Analisis jaringan dari organ tanaman genjer adalah salah satu analisis yang tepat dalam karakterisasi tanaman dan metabolit yang dihasilkan. Proses pengolahan tanaman genjer diantaranya pengukusan yang dapat mengakibatkan perubahan zat gizi tertentu dalam tanaman tersebut. Penelitian ini bertujuan mengetahui sifat mikroskopis jaringan tanaman genjer, kandungan gizi tanaman genjer sebelum dan setelah proses pengukusan serta komponen bioaktif tanaman genjer secara kualitatif. Metode penelitian ini terdiri atas tahap pengukuran dimensi tanaman genjer, pembuatan preparat dan pengamatan jaringan dengan metode parafin seri Johansen-TBA, analisis fitokimia dan analisis proksimat serta total karoten dari tanaman segar dan setelah pengukusan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jaringan daun terdiri atas selapis epidermis dan derivatnya berupa stomata bertipe parasitik, selapis parenkim palisade, lapisan parenkima spons dengan sejumlah lakuna, dan stele beserta seludang pembuluhnya. Daun bertipe amphistomatous. Jaringan batang memiliki selapis epidermis dengan kutikula yang tipis, korteks mengandung kloroplas, pati dan memiliki sistem lakuna, stele bertipe konsentris amfikribral. Jaringan akar terdiri atas rhizodermis, korteks dengan sistem lakuna, endodermis berlapis banyak, stele dengan susunan xilem tipe eksark dan kelompok protoxilem tipe poliarch. Sejumlah lakuna menyebabkan kadar air sangat tinggi dan menurunkan persentase zat gizi lainnya. Komposisi gizi tanaman genjer segar bagian daun, yaitu kadar air 91,76%, kadar abu 12,40%, kadar lemak 7,95%, kadar protein 22,96%, kadar serat kasar 11,93% dan kadar total karoten 219,01 μg/g. Bagian batang genjer memiliki kadar air sebesar 95,33%, kadar abu 16,38%, kadar lemak 5,62%, kadar protein 13,23%, kadar serat kasar 16,12%, kadar total karoten 92,99 μg/g. Persentase kadar air, abu, dan serat kasar paling tinggi di bagian batang, sedangkan persentase kadar lemak dan protein paling tinggi di bagian daun. Proses pengukusan mengakibatkan persentase serat kasar tanaman menurun, tetapi meningkatkan persentase mineral, lemak, dan protein. Penurunan kadar air genjer kukus tidak signifikan dibandingkan genjer segar. Kadar total karoten daun meningkat setelah pengukusan, namun total karoten menurun pada batang genjer. Komponen bioaktif pada daun tanaman genjer adalah flavonoid, fenol hidrokuinon, gula pereduksi, dan asam amino. Komponen bioaktif pada batang tanaman genjer berupa flavonoid, gula pereduksi, dan asam amino. Flavonoid dan gula pereduksi merupakan metabolit sekunder utama pada daun dan batang genjer.
ANALISIS MIKROSKOPIS DAN KOMPONEN BIOAKTIF TANAMAN GENJER (Limnocharis flava) DARI KELURAHAN SITU GEDE BOGOR
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
Oleh: RACHMAWATI RUSYDI C34060003
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul
: Analisis Mikroskopis dan Komponen Bioaktif Tanaman Genjer (Limnocharis flava) dari Kelurahan Situ Gede Bogor
Nama
: Rachmawati Rusydi
NRP
: C34060003
Menyetujui,
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol. NIP. 195911271986011005
Asadatun Abdullah, S.Pi, M.Si, M.S.M NIP. 198304052005012001
Mengetahui, Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, MPhil NIP. 195805111985031002
Tanggal Pengesahan: ……………………………….
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Analisis Mikroskopis dan Komponen Bioaktif Tanaman Genjer (Limnocharis flava) dari Kelurahan Situ Gede Bogor adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, November 2010
Rachmawati Rusydi C34060003
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat dan salam penulis haturkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya sekalian. Penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Analisis Mikroskopis dan Komponen Bioaktif Tanaman Genjer (Limnocharis flava) dari Kelurahan Situ Gede Bogor. Skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan laporan ini, terutama kepada: 1) Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol. dan Asadatun Abdullah, S.Pi, M.Si, M.S.M selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan, arahan, nasihat, dan semangat yang telah diberikan kepada penulis selama ini. 2) Dr. Ir. Nurjanah, M.S selaku dosen penguji, atas segala saran dan arahan yang telah diberikan kepada penulis dalam penyempurnaan skripsi ini. 3) Dra. Ella Salamah, M.Si selaku dosen pembimbing akademik, atas segala perhatian dan bimbingannya yang diberikan kepada penulis selama penulis menempuh pendidikan. 4) Dr. Ir. Dorly, MS selaku dosen yang membimbing penulis dalam penelitian mengenai analisis jaringan tanaman genjer. 5) Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, MPhil selaku Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan. 6) Seluruh dosen dan staf administrasi THP yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini. 7) Ayah dan mama yang selalu memberikan motivasi, doa, nasihat, dukungan moril maupun materil, serta kasih sayang yang tidak pernah putus kepada penulis. Semoga harapan ayah dan mama dapat penulis wujudkan dengan baik. 8) Bu Ema, Mba Lastri, dan Mba Silvi yang telah membantu penulis selama melakukan penelitian.
v
9) Teman-teman yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan kepada penulis (Ratih, Yesti, Ayes, Kak Desi, Kamel, Nico, Nanda, Tyas Bio 43, Kak Goto Bio 42, Kak Ira S2 Bio, Deksu, UU). 10) Teman-teman THP 43 dan kakak THP 42 yang telah banyak memberikan masukan dan informasi kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. 11) Adik-adikku Ayu dan Razi, terima kasih atas semangat dan doanya kepada penulis. Semoga kita menjadi anak yang dapat membahagiakan kedua orang tua kita kelak. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang dapat membangun dalam penyempurnaan skripsi tentang Analisis Mikroskopis dan Komponen Bioaktif Tanaman Genjer (Limnocharis flava) dari Kelurahan Situ Gede Bogor.
Bogor, November 2010
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Langsa, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, pada tanggal 24 April 1988 dari pasangan Bapak Rusydi M. Daud dan Ibu Warsiti Asma sebagai anak pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan formal dimulai di TK 5 Tamansiswa, Lhokseumawe dan lulus pada tahun 1994. Pada tahun 2000, penulis lulus dari sekolah dasar di SD 3 Tamansiswa, Lhokseumawe. Pada tahun 2003, penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SMP Yapena, Lhokseumawe. Pada tahun 2006, penulis menyelesaikan pendidikan menengah umum di SMAN 2 Modal Bangsa, Aceh Besar. Di tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) di Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif dalam beberapa organisasi kemahasiswaan, antara lain organisasi Ikatan Keluarga Muslim TPB (IKMT) sebagai anggota pada tahun 2006-2007. Selama periode 2007-2008, penulis menjadi anggota UKM FORCES. Penulis juga aktif dalam kepengurusan Himpunan Profesi HIMASILKAN pada periode 2007-2008 dan 2008-2009. Penulis juga memiliki pengalaman mengajar menjadi asisten mata kuliah Metode Statistika periode 2008-2009 dan 2009-2010, asisten mata kuliah Biokimia Hasil Perairan pada tahun 2009, asisten Fisiologi Degradasi Metabolit Hasil Perairan pada tahun 2009, dan asisten Biotoksikologi pada tahun 2009-2010. Penulis melakukan penelitian ini sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dengan judul “Analisis Mikroskopis dan Komponen Bioaktif Tanaman Genjer (Limnocharis flava) dari Kelurahan Situ Gede Bogor”, di bawah bimbingan Dr. Ir. Agoes M. Jacoeb, Dipl.-Biol dan Asadatun Abdullah, S.Pi, M.Si, M.S.M.
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL…………………………………………………………...
ix
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………...
x
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………………...
xii
1 PENDAHULUAN………………………………………………………..
1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………….......
1
1.2 Tujuan Penelitian………………………………………………….…...
3
2 TINJAUAN PUSTAKA…………………………………………………..
4
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Tanaman Genjer (Limnocharis flava)……...
4
2.2 Komposisi Gizi Tanaman Genjer……………………………………... 2.2.1 Protein………………………………………………………….. 2.2.2 Lemak………………………………………………………….. 2.2.3 Karbohidrat…………………………………………………….. 2.2.4 Mineral……………………………………………………….… 2.2.5 Air…………………………………………………………….... 2.2.6 Vitamin A…………………………………………………….…
5 6 7 8 9 10 11
2.3 Anatomi dan Jaringan Tumbuhan…………………………………….. 2.3.1 Akar…………………………………………………………….. 2.3.2 Batang……………………………………………………….…. 2.3.3 Daun………………………………………………………….… 2.3.3.1 Stomata………………………………………………...
12 13 15 18 20
2.4 Pemeriksaan Histologi Tumbuhan………………………………….…
21
2.5 Persiapan Preparat dengan Metode Parafin…..…………………….…. 2.5.1 Fiksasi……………………………………………………….…. 2.5.2 Dehidrasi…………………………………………………….…. 2.5.3 Penjernihan, infiltrasi dan penanaman dengan metode parafin... 2.5.4 Penyayatan dan penempelan sayatan………………………....... 2.5.5 Pewarnaan…………………………………………………........
22 22 23 24 25 26
2.6 Komponen Bioaktif...…………………………..................................... 2.6.1 Terpenoid/steroid…………………………………………….… 2.6.2 Alkaloid dan metabolit nitrogen lainnya…………………….…. 2.6.3 Metabolit fenol……………………………………………….…
27 27 28 30
2.7 Proses Pengukusan………………………………………………….…
32
3 METODE PENELITIAN………………………………………………...
33
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian………………………………………....
33
3.2 Bahan dan Alat…………………………………………………….......
33
3.3 Prosedur Penelitian………………………………………………….… 3.3.1 Pengukuran dimensi tanaman genjer…………………………...
34 35
viii
3.3.2 Pembuatan preparat dengan metode parafin dan pengamatan jaringan…………………….................................... 3.3.3 Analisis fitokimia tanaman genjer (Harborne 1987)………....... 3.3.4 Analisis proksimat dan total karoten……………………............ 1) Kadar air (AOAC 2007)……………………………………. 2) Kadar abu (AOAC 2007)…………………………………... 3) Kadar protein kasar (AOAC 2007)………………………… 4) Kadar lemak kasar (AOAC 2007)………………………...... 5) Kadar serat kasar (AOAC 2007)…………………………… 6) Analisis total karoten (Parker 1996)…………...…………... 3.3.5 Pengolahan data dan pengujian hipotesis……………………....
36 37 41 41 42 42 43 44 44 45
4 HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………………...
47
4.1 Anatomi dan Morfologi Tanaman Genjer (Limnocharis flava)…….… 4.1.1 Deskripsi histologi daun……………………………………….. 4.1.2 Deskripsi histologi batang…………………………………….... 4.1.3 Deskripsi histologi akar………………………………………...
47 47 52 55
4.2 Dimensi Tanaman Genjer (Limnocharis flava)…………………….….
57
4.3 Komposisi Kimia Tanaman Genjer Segar dan Kukus……………….... 4.3.1 Kadar air……………………………………………………....... 4.3.2 Kadar abu…………………………………………………….… 4.3.3 Kadar lemak………………………………………………….… 4.3.4 Kadar protein………………………………………………....... 4.3.5 Kadar serat kasar…………………………………………….….
60 62 64 67 69 71
4.4 Kadar Total Karoten……………………………………………….…..
73
4.5 Komponen Bioaktif Tanaman Genjer (Limnocharis flava)...………....
75
5 KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………………...
81
5.1 Kesimpulan………………………………………………………….…
81
5.2 Saran…………………………………………………………………...
81
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..
83
LAMPIRAN………………………………………………………………….
89
DAFTAR TABEL
Nomor
Teks
Halaman
1 Komposisi gizi tanaman genjer (Limnocharis flava)……………….
6
2 Sistem jaringan, jaringan, dan jenis sel penyusun jaringan tanaman……………………………………………………………..
13
3
Komposisi rangkaian larutan dehidran TBA……………………….
24
4
Subklasifikasi terpenoid….................................................................
28
5
Klasifikasi alkaloid dan metabolit-nitrogen lainnya pada tanaman...
29
6
Klasifikasi bagian-bagian fenolik…………………………………..
31
7
Peralatan dan bahan yang digunakan dalam penelitian…………….
33
8
Pengamatan stomata daun genjer…………………………………...
49
9
Hasil pengukuran tanaman genjer (Limnocharis flava)…………….
57
10 Komposisi kimia daun dan batang tanaman genjer segar…………..
61
11 Komposisi kimia daun dan batang tanaman genjer kukus………….
61
12 Hasil pengujian hipotesis t-student dua populasi………………...…
62
13 Kadar total karoten tanaman genjer segar dan kukus………………
73
14 Rendemen ekstrak kasar daun dan batang tanaman genjer (Limnocharis flava) pada pelarut dengan tingkat kepolaran berbeda
76
15 Kandungan fitokimia daun dan batang genjer (Limnocharis flava)..
77
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Teks
Halaman
1 Tanaman genjer (Limnocharis flava)………………………………..
4
2 Struktur molekul vitamin A…………………………………………
12
3 Struktur anatomi akar pada tumbuhan Monocotyledoneae dan Dicotyledoneae...................................................................................
15
4 Penampang batang monokotil……………………………………….
17
5 Penampang jaringan daun…………………………………………...
20
6 Jenis-jenis stomata daun…………………………………………….
21
7 Beberapa terpenoid dan alkaloid steroid…...………………………..
28
8 Beberapa penggolongan alkaloid…………………………………....
30
9 Beberapa senyawa aromatik fenol sederhana……….………………
31
10 Dandang pengukusan dan bagian dalamnya……………………......
32
11 Diagram alir prosedur penelitian……………………………………
35
12 Diagram alir pembuatan preparat dengan metode parafin.…………
38
13 Diagram alir pembuatan ekstrak daun dan batang genjer…………..
39
14 Morfologi tanaman genjer (Limnocharis flava)…………………….
47
15 Penampang melintang daun genjer (Limnocharis flava)…………....
48
16 Stomata daun epidermis atas……………………………………..…
50
17 Stomata daun epidermis bawah……………………………………..
50
18 Irisan melintang batang genjer segar………………………………..
52
19 Berkas pembuluh pada batang genjer beserta epidermis dan korteks batang………………………………………………………
54
20 Morfologi akar tanaman genjer (Limnocharis flava)…………….…
55
21 Penampang melintang akar tanaman genjer beserta berkas pembuluhnya………………………………………………………..
56
22 Sebaran luas dan keliling daun tanaman genjer…………………….
58
23 Sebaran panjang dan tebal batang tanaman genjer………………….
59
24 Sebaran panjang akar tanaman genjer………………………………
60
25 Perbandingan kadar air tanaman genjer…………………………….
63
26 Perbandingan kadar abu tanaman genjer……………………………
65
27 Perbandingan kadar lemak tanaman genjer…………………………
67
xi
28 Perbandingan kadar protein tanaman genjer………………………..
70
29 Perbandingan kandungan serat kasar tanaman genjer………………
71
30 Perbandingan kadar total karoten tanaman genjer………………….
74
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1 Data hasil pengukuran tanaman genjer…………………………..
88
2 Komposisi larutan seri Johansen, larutan FAA, dan tahapan pewarnaan jaringan…………………………………………….…
89
3 Hasil analisis proksimat tanaman genjer segar dan kukus……..
90
4 Data hasil analisis total karoten tanaman genjer dan stomata daun
91
5 Data rendemen ekstrak kasar daun dan batang genjer………...…
92
6 Gambar proses pembuatan preparat jaringan dengan metode parafin.............................................................................................
93
7 Gambar proses pengukuran tanaman beserta alat ukurnya………
94
8 Gambar bahan dan alat analisis proksimat…………………..…
95
9 Gambar hasil pengujian fitokimia daun dan batang genjer……....
96
10 Lokasi pengambilan sampel dan pemeliharaan sampel………….
97
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis. Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan (Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan). Tanaman air tawar merupakan salah satu biota yang hidup di lingkungan perairan tawar, baik yang hidup liar maupun yang ditujukan untuk pengolahan. Tanaman air memiliki karakteristik dengan vegetasi yang seluruhnya tenggelam dan bunga yang mengapung, atau dengan daunnya yang mengapung dan bunga yang mengapung, atau vegetasi yang muncul ke permukaan dan bunga yang mengapung di air. Tanaman air memiliki banyak spesies. Salah satu keluarga tanaman air yang termasuk dalam tanaman Angiospermae adalah Alismatales. Beberapa jenis yang termasuk dalam ordo Alimatales adalah Alismataceae, Butomaceae, Hydrocharitaceae, Limnocharitaceae, dan Najadaceae. Tanaman genjer (Limnocharis flava) merupakan tanaman air yang termasuk spesies dari famili Limnocharitaceae (Haynes dan Les 2004). Pemanfaatan tanaman ini diantaranya sebagai sayuran, pakan ternak, tanaman fitofiltrasi terhadap polusi air, tanaman penghias kolam, dan pupuk (Abilash et al. 2009; Bergh 1994). Tanaman genjer diolah menjadi makanan oleh masyarakat India dan sebagian besar Asia Tenggara dimana daunnya mengandung protein 1-1,6%, sebagai alternatif dari tanaman bayam (Haynes dan Les 2004). Selain itu, tanaman genjer termasuk tanaman liar yang menghasilkan beberapa zat metabolit sekunder yang dikenal sebagai zat bioaktif. Salah satu zat bioaktif yang terkandung di dalam tanaman ini adalah flavonoid. Penelitian Maisuthisakul et al. (2008) menunjukkan bahwa Limnocharis flava di wilayah Thailand mengandung total fenolik sebesar 5,4 mg GAE/g db dan total flavonoid sebesar 3,7 mg RE/ g db. Penelitian Ogle et al. (2001), diacu dalam Flyman dan Afolayan (2006) menunjukkan bahwa Limnocharis flava mengandung β-karoten 50 μg/g .
2
Tanaman genjer sebagai organisme tingkat tinggi memiliki penyebaran fungsi vital untuk organ-organ dan jaringan yang terpisah. Fungsi-fungsi dari jaringan dan organ tersebut merupakan hasil dari aktivitas sel-sel yang terintegrasi. Keragaman jenis sel yang berbeda dapat menggambarkan keadaan fisiologis tanaman termasuk karakteristik gen dan ekspresi protein. Selain itu, komponen berberat molekul rendah, yakni lemak, karbohidrat, vitamin, maupun hormon yang menjadi penyusun bagian-bagian sel juga memberikan informasi tentang karakteristik tanaman tersebut. Oleh karena itu, analisis jaringan dari bagian-bagian tanaman merupakan salah satu analisis yang tepat dalam karakterisasi tanaman dan metabolit yang dihasilkan. Analisis jaringan dapat dilakukan dengan analisis mikroskopis melalui beberapa metode diantaranya metode beku, metode seloidin, metode parafin, metode penanaman rangkap (Suntoro 1983). Metode parafin merupakan metode yang sesuai bagi pemula dalam mempelajari jaringan dan memiliki prinsip-prinsip pokok metode histologis. Menurut Suntoro (1983), kelebihan metode parafin diantaranya irisan dapat jauh lebih tipis daripada menggunakan metode beku atau metode seloidin. Irisan-irisan yang bersifat seri dapat dikerjakan dengan mudah bila menggunakan metode ini dan prosesnya jauh lebih cepat dibandingkan dengan metode seloidin. Pengolahan tanaman genjer di Indonesia dilakukan dengan cara pengukusan, perebusan, maupun penumisan yang menghasilkan makanan berupa tumisan, lalapan, pecel, campuran gado-gado, dan sayur bubur. Pengukusan adalah proses pemanasan yang bertujuan menonaktifkan enzim yang akan mengubah warna, cita rasa, maupun nilai gizi yang dilakukan pada suhu air lebih dari 66 ºC, tetapi kurang dari 82 ºC (Romdhijati 2010). Pengaruh proses pengukusan tanaman genjer dapat mengakibatkan penurunan atau peningkatan zat gizi tertentu dalam tanaman tersebut. Oleh karena itu, kajian secara kuantitatif kandungan gizi tanaman genjer setelah pengukusan perlu dilakukan dalam meninjau pengaruhnya terhadap gizi, disamping menganalisa potensi komponen bioaktif tanaman genjer.
3
1.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian tentang Analisis Mikroskopis dan Komponen Bioaktif Tanaman Genjer (Limnocharis flava) dari Kelurahan Situ Gede adalah: 1) Menentukan sifat mikroskopis jaringan tanaman genjer meliputi jaringan daun, batang, dan akar. 2) Menentukan kandungan gizi tanaman genjer sebelum dan setelah proses pengukusan. 3) Menentukan komponen bioakif yang terkandung di dalam tanaman genjer secara kualitatif dan menghubungkannya dengan manfaat zat bioaktif berdasarkan teori.
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Tanaman Genjer (Limnocharis flava) Tanaman genjer (Limnocharis flava) merupakan tanaman asli wilayah tropis dan subtropis Amerika, diperkenalkan ke Asia Tenggara lebih dari satu abad lalu. Saat ini, tanaman genjer menjadi tanaman yang secara alamiah ada di Indonesia (Jawa, Sumatera), Malaysia, Thailand, Burma, dan Sri Lanka. Tanaman ini tumbuh di rawa-rawa, perairan dangkal misalnya sawah, kolam ikan, dan paritparit dengan ketinggian mencapai 1300 m (Bergh 1994). Morfologi tanaman genjer dapat dilihat pada Gambar 1. Adapun klasifikasi tanaman genjer adalah (Plantamor 2008): Kingdom
: Plantae
Subkingdom : Tracheobionta Superdivisi
: Spermatophyta
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Liliopsida
Subkelas
: Alismatidae
Ordo
: Alismatales
Famili
: Limnocharitaceae
Genus
: Limnocharis
Spesies
: Limnocharis flava (L.) Buch
Gambar 1 Tanaman genjer (Limnocharis flava) (Sumber: Suehiro 2007)
Tanaman genjer merupakan tumbuhan yang hidup bertahun-tahun, tegak, laticiferous, tanaman akuatik hingga rawa-terestrial, memiliki ketinggian 20 cm
5
hingga 100 cm. Batang tanaman memiliki panjang 5-75 cm, tebal, berbentuk segitiga dengan banyak ruang udara, terdapat pelapis pada bagian dasar. Helaian daun bulat, luasan berbentuk bulat panjang atau bulat telur berukuran 5-30 cm x 4-25 cm, berwarna kuning-hijau, bergurat, 9-13 gurat utama dengan sejumlah gurat paralel melintang yang bertindak sebagai gurat sekunder (Bergh 1994). Bunga berjumlah 3 hingga 15, panjang ibu tangkai bunga mencapai 90 cm, tegak ketika berbunga, melengkung bawah ketika berbuah, bunga di dalam axil dari tanaman berselaput. Tangkai bunga memiliki panjang 2-7 cm, kelopak berjumlah 3 dengan panjang 2 cm, mahkota berjumlah 3 dengan bentuk bulat telur hingga bulat dan panjang 1,5-3 cm, berwarna kuning. Benang sari berjumlah lebih dari 15 dan dikelilingi oleh lingkaran staminodia, indung telur berjumlah 10-20. Komponen buah tersusun dari daun buah matang bersama globose atau benda berbentuk elips yang lebar dan diameter 1,5-2 cm, tertutup oleh kelopak. Biji berbentuk seperti sepatu kuda dengan panjang 1-1,5 mm, dilengkapi dengan mahkota yang melintang, berwarna coklat gelap. Kotiledon memiliki panjang 8-11,5 mm (Bergh 1994). Tanaman genjer dapat mereproduksi secara vegetatif dan dengan biji. Biji yang terkandung dalam kapsul matang atau folikel merupakan biji yang ringan dan dapat disebarkan oleh aliran air. Reproduksi secara vegetatif, yakni kapsul yang menekuk ke arah air, menyediakan biji-biji untuk dilepas. Kapsul yang kosong dapat berkembang menjadi tanaman vegetatif yang membentuk tanaman inang atau mengapung untuk menetap di tempat lain. Tanaman ini selalu berbunga sepanjang tahun di wilayah dengan kelembaban yang cukup. Namun, tanaman ini dapat menjadi tanaman tahunan dimana kelembaban bersifat musiman (Department of Primary Industries and Fisheries 2007). 2.2 Komposisi Gizi Tanaman Genjer Pemanfaatan tanaman genjer (Limnocharis flava) dilakukan terhadap daun muda dengan petiole dan buah yang belum terbuka yang dimakan sebagai sayuran, di Indonesia terutama di Jawa Barat, di Malaysia, dan di Thailand. Tanaman ini biasanya tidak dimakan mentah tetapi dipanaskan di atas api atau dimasak untuk waktu yang singkat. Daun tua memiliki rasa yang pahit. Tanaman ini dapat diberikan sebagai makanan hewan untuk babi atau ikan. Tanaman ini
6
juga dapat dijadikan tanaman penghias di kolam. Tanaman genjer juga sering dijadikan pupuk hijau dalam pembajakan di sawah (Bergh 1994). Daun dan bunga dari tanaman genjer (Limnocharis flava) berkhasiat sebagai penambah nafsu makan. Kandungan kimia dari daun dan bunga tanaman genjer diantaranya kardenolin, flavonoida dan polifenol. Pengolahan genjer sebagai penambah nafsu makan adalah dengan pengukusan genjer segar hingga setengah matang dan dikonsumsi sebagai lalapan (Anonim 2009). Komposisi gizi tanaman genjer (Limnocharis flava) adalah: Tabel 1 Komposisi gizi tanaman genjer (Limnocharis flava) Komposisi gizi Energi Protein kasar Lemak kasar Karbohidrat Abu Kalsium Fosfor Besi Potasium Tembaga Magnesium Zinc Natrium Vitamin A Vitamin B1 Vitamin C Air Serat kasar B.D.D
Jumlah/100 g bahan (a) 33 kkal 1,7 g 0,2 g 7,7 g 62 mg 33 mg 2,1 mg 3.800 mg 0,07 mg 54 mg 90 g 70%
Jumlah (b) 343,26±9,75 kJ/100 g 0,28±0,01% 1,22±0,01% 14,56±0,14% 0,79±0,03% 770,87±105,26 mg/100 g 4202,5±292,37 mg/100g 8,31±1,83 mg/100 g 228,1±15,26 mg/100 g 0,66±0,05 mg/100 g 107,72±17,15 mg/100 g 79,34±0,15% 3,81±0,04% -
Sumber: (a) Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan (1992), diacu dalam Astawan dan Kasih (2008) (b) Saupi et al. (2009), jumlah dalam berat kering
2.2.1 Protein Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N serta mengandung fosfor dan belerang. Sebuah asam amino terdiri dari sebuah gugus amino (-NH2), sebuah karboksil (-COOH), sebuah atom hidrogen, dan gugus R yang terikat pada sebuah atom C yang dikenal sebagai karbon α, serta gugus R merupakan rantai cabang. Protein berfungsi sebagai enzim, alat pengangkut dan penyimpan, pengatur pergerakan, penunjang mekanis,
7
pertahanan tubuh, media perambatan impuls syaraf, dan pengendalian pertumbuhan (Winarno 2008). Protein tersusun atas 20 asam amino utama yang berbeda dan terhubung dengan ikatan amida, tetapi beberapa protein tidak mengandung satu atau beberapa dari 20 asam amino. Jenis-jenis asam amino penyusun molekul protein tumbuhan terdiri atas kelompok alifatik, basik, asidik, mengandung belerang, terhidroksil, heterosiklik, dan kelompok aromatik. Kelompok alifatik terdiri atas glisin, alanin, valin, leusin, dan isoleusin. Kelompok basik adalah arginin dan lisin. Kelompok asidik adalah asam aspartat, asam glutamat, asparagin, glutamin. Kelompok yang mengandung belerang adalah sistein dan metionin. Kelompok terhidroksil terdiri dari serin dan threonin. Kelompok heterosiklik terdiri dari prolin, triptofan, histidin, sedangkan kelompok aromatik terdiri atas tirosin dan fenilalanin. Asam amino yang tergolong alifatik dan aromatik lebih sukar larut dalam air dibanding asam amino basik, asidik, dan terhidroksil (Lakitan 2007). Tanaman dapat mensintesis asam amino protein dari komponen nitrogen sederhana, misalnya nitrat dan amoniak. Asimilasi nitrat terjadi dalam dua tahap proses yaitu perubahan nitrat (NO3-) menjadi nitrit (NO2-) yang dikatalisis oleh enzim nitrat reduktase dan perubahan nitrit menjadi amoniak (NH4+) yang dikatalisis oleh enzim nitrit reduktase. NO2- yang terbentuk akan berpindah ke bagian kloroplas pada daun atau proplastida di akar (Chesworth et al. 1998). Organel di dalam sel yang berfungsi mensintesis protein adalah ribosom. Ribosom terdapat di dalam mitokondria dan kloroplas. Ribosom juga terdapat pada sitoplasma. Protein yang disintesis oleh ribosom pada sitoplasma kemudian akan diangkut ke mitokondria maupun kloroplas (Lakitan 2007). 2.2.2 Lemak Lemak merupakan zat yang dibentuk dari unit-unit terstruktur dengan suatu hidrofobisitas yang tegas, larut dalam pelarut organik tetapi tidak dalam air. Komponen utama dari lemak adalah turunan asam lemak. Asam lemak dapat digolongkan menjadi asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh. Asam lemak jenuh dicirikan dengan tidak bercabang, rantai molekul lurus dengan jumlah atom karbon genap yang dominan pada asam lemak ini. Asam lemak tak jenuh
8
memiliki ikatan ganda yang biasanya ditunjukkan sebagai jenis isolene atau asam lemak non-konjugasi (Belitz et al. 2009). Dalam tanaman, lemak disintesis dari satu molekul gliserol dengan tiga molekul asam lemak yang terbentuk dari kelanjutan oksidasi karbohidrat dalam proses respirasi. Proses pembentukan lemak dalam tanaman dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu pembentukan gliserol, pembentukan asam lemak, kemudian kondensasi asam lemak dengan gliserol membentuk lemak. Lemak nabati mengandung fitosterol dan lebih banyak mengandung asam lemak tak jenuh sehingga umumnya berbentuk cair (Winarno 2008). Fraksi lipida terdiri atas minyak/lemak, malam (wax), fosfolipida, sterol, hidrokarbon, dan pigmen. Pigmen yang termasuk dalam fraksi lipid diantaranya klorofil, karotenoid, xantofil yang merupakan komponen penting dalam penangkapan cahaya dan proses pengangkutan elektron dari fotosintesis (Winarno 2008; Murphy 1999). Lemak jarang terkandung dalam jaringan daun, batang, dan akar, tetapi sering dijumpai pada biji dan kadang pada daging buah. Di dalam sel tumbuhan, lemak disimpan dalam oleosom pada sitoplasma (Lakitan 2007). Jenis asam lemak yang umum terkandung pada jaringan tumbuhan adalah laurat, miristat, palmitat, stearat, oleat, linoleat, linolenat Pembentukan asam lemak diawali oleh karboksilasi asetil Ko-A yang memiliki prekursor berupa karbon dioksida. Dalam jaringan yang mendukung fotosintesis (berwarna hijau), yaitu daun, karbon dioksida ditempatkan dalam stroma dari kloroplas untuk membentuk triosa fosfat. Triosa fosfat kemudian diubah menjadi pirufat dan membentuk asetil Ko-A oleh enzim glikolitik. Hal ini dapat menjelaskan bahwa sintesis asetil Ko-A untuk pembentukan asam lemak terjadi di dalam kloroplas (Murphy 1999). 2.2.3 Karbohidrat Karbohidrat memiliki bentuk molekul yang dikesankan sebagai komposisi unsur yang dinamakan Cx(H2O)y), yang mengandung atom karbon bersama dengan hidrogen dan oksigen dalam rasio yang sama. Komponen karbohidrat alami yang dihasilkan oleh organisme tidak dalam bentuk formula empiris yang sederhana, melainkan dalam bentuk oligomer (oligosakarida) atau polimer (polisakarida) dari gula sederhana (BeMiller dan Whistler 1996).
9
Polisakarida merupakan polimer molekul-molekul monosakarida yang dapat berantai lurus atau bercabang dan dapat dihidrolisis dengan enzim-enzim yang spesifik kerjanya. Polisakarida dalam bahan makanan berfungsi sebagai penguat tekstur (selulosa, hemiselulosa, pektin, lignin) dan sebagai sumber energi (pati, dekstrin, glikogen, fruktan). Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik dan terdiri atas dua fraksi yakni amilosa dan amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa, sedangkan amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa. Pati di dalam jaringan tanaman mempunyai bentuk granula (butir) yang berbeda-beda sesuai dengan bentuk, ukuran, letak hilum, dan sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi (Winarno 2008). Serat-serat banyak berasal dari dinding sel berbagai sayuran dan buahbuahan. Secara kimia, dinding sel tersebut terdiri dari beberapa jenis karbohidrat yaitu selulosa, hemiselulosa, pektin, dan nonkarbohidrat, misalnya polimer lignin, beberapa gumi, dan mucilage. Pada proses pematangan, penyimpanan, atau pengolahan, komponen selulosa dan hemiselulosa mengalami perubahan sehingga terjadi perubahan tekstur (Winarno 2008). Komponen gula utama di dalam sayuran adalah glukosa dan fruktosa (0,34%), seperti halnya sukrosa (0,1-12%). Pati banyak tersimpan pada sayuran akar dan batang. Polisakarida berupa pektin memiliki peranan dalam kekokohan tanaman (Belitz et al. 2009). Pektin terdapat di dalam dinding sel primer tanaman, khususnya di sela-sela antara selulosa dan hemiselulosa. Senyawa-senyawa pektin diklasifikasikan menjadi asam pektat, asam pektinat (pektin), dan protopektin. Asam pektat dapat membentuk garam dalam jaringan tanaman diantaranya kalsium dan magnesium. Asam pektinat juga dapat membentuk garam yang disebut garam pektinat (Winarno 2008). 2.2.4 Mineral Mineral merupakan unsur pokok yang bersisa sebagai abu setelah pembakaran dari jaringan tanaman maupun hewan. Mineral dibagi menjadi elemen utama, trace element, dan ultra-trace element. Elemen utama terdiri atas Na, K, Ca, Mg, Cl, P, merupakan elemen esensial bagi kehidupan manusia dalam jumlah >50 mg/hari. Trace elements terdiri atas Fe, I, F, Zn, Se, Cu, Mn, Cr, Mo,
10
Co, Ni, esensial dalam konsentrasi < 50 mg/hari. Ultra-trace elements terdiri atas Al, As, Ba, Bi, B, Br, Cd, Cs, Ge, Hg, Li, Pb, Rb, Sb, Si, Sm, Sn, Sr, Ti, W, Tl, merupakan elemen yang pada dasarnya telah diuji dalam percobaan hewan lebih dari beberapa generasi dan gejala kekurangannya telah ditemukan di bawah kondisi ekstrim (Belitz et al. 2009). Komposisi akhir dari bagian-bagian tanaman yang dapat dimakan dipengaruhi dan dikontrol oleh kesuburan tanah, genetik tanaman, dan lingkungan pertumbuhan tanaman. Mineral dalam abu merupakan bentuk metal oksida, sulfida, fosfat, nitrat, klorida, dan halida lainnya. Mineral tidak dapat dirusak dengan pemaparan panas, cahaya, zat pengoksidasi, pH ekstrim. Sejumlah mineral memiliki kelarutan di dalam air. Secara umum, perebusan dalam air menyebabkan hilangnya mineral lebih banyak pada sayuran daripada pengukusan (Miller 1996). Sebagian besar unsur yang dibutuhkan tanaman diserap dari larutan tanah melalui akar, kecuali karbon dan oksigen yang diserap dari udara oleh daun. Penyerapan unsur hara secara umum lebih lambat dibandingkan dengan penyerapan air oleh akar tanaman (Lakitan 2007). Unsur mineral terbanyak dalam sayuran adalah potasium, selanjutnya kalsium, sodium, dan magnesium. Anion mayor yang terkandung dalam sayuran adalah fosfat, klorida, dan karbonat (Belitz et al. 2009). 2.2.5 Air Air terikat merupakan istilah yang umum dipakai untuk air yang terdapat dalam bahan makanan. Air terikat dianggap sebagai suatu sistem yang mencakup air yang mempunyai derajat keterikatan berbeda-beda dalam bahan. Menurut derajat „keterikatan air, air terikat di dalam bahan dibagi atas empat tipe, yaitu (Winarno 2008): a) Tipe 1 adalah molekul air yang terikat pada molekul-molekul lain melalui suatu ikatan hidrogen yang berenergi besar. Molekul air membentuk hidrat dengan molekul-molekul lain yang mengandung atom-atom O dan N. Air ini tidak membeku pada proses pembekuan, tetapi sebagian air dapat dihilangkan dengan pengeringan biasa. b) Tipe 2 adalah molekul-molekul air membentuk ikatan hidrogen dengan molekul air lain, terdapat dalam mikrokapiler. Air jenis ini lebih sukar
11
dihilangkan dan penghilangannya akan mengakibatkan penurunan Aw. Penghilangan sebagian air tipe ini dapat mengurangi pertumbuhan mikroba dan reaksi kimia yang bersifat merusak bahan makanan. c) Tipe 3 adalah air yang secara fisik terikat dalam jaringan matriks bahan, seperti membrane, kapiler, serat. Air tipe 3 disebut dengan air bebas karena mudah diuapkan dan dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroba dan media bagi reaksi-reaksi kimiawi. d) Tipe 4 adalah air yang tidak terikat dalam jaringan suatu bahan atau air murni, dengan sifat-sifat air biasa dan keaktifan penuh Air yang terkandung di dalam jaringan tanaman umumnya berkisar 80% hingga 90% berat segar dari tanaman basah dan kurang dari 20% berat dari tanaman kering. Pengaruh dari hilangnya air pada tanaman adalah tanaman menjadi layu dan kehilangan berat serta secara tidak langsung menimbulkan perubahan yang diinginkan ataupun yang tidak dinginkan (Fennema 1996). 2.2.6 Vitamin A Vitamin A merupakan jenis vitamin yang aktif dan terdapat dalam beberapa bentuk yaitu vitamin A alkohol (retinol), vitamin A aldehida (retinal), vitamin A asam (asam retinoat), vitamin A ester (ester retinil). Vitamin A termasuk dalam vitamin yang dapat larut dalam lemak (Winarno 2008). Senyawa dengan aktivitas vitamin A yang terdapat dalam tanaman, termasuk kelompok karotenoid akan diubah menjadi vitamin A pada proses metabolisme tubuh setelah dikonsumsi oleh manusia dan hewan (Andarwulan dan Koswara 1992). Karotenoid merupakan prekursor vitamin A disebut provitamin A. Provitamin A yang paling potensial adalah β-karoten yang ekuivalen dengan 2 vitamin A. Sumber provitamin A adalah sayuran atau buah-buahan yang berwarna hijau atau kuning (Andarwulan dan Koswara 1992). Di antara ratusan karotenoid yang terdapat di alam, hanya bentuk α, β, γ, dan kriptosantin yang berperan sebagai provitamin A. β-karoten adalah provitamin A yang paling aktif. Karotenoid terdapat di dalam kloroplas tanaman dan berperan sebagai katalisator dalam fotosintesis. Karotenoid paling banyak terdapat dalam sayuran berwarna hijau tua (Almatsier 2006).
12
Provitamin A sangat sensitif terhadap oksidasi, ontooksidasi, dan cahaya, tetapi stabil terhadap panas dalam atmosfer inert (bebas O2). Apabila terdapat oksigen, kerusakan karotenoid terjadi lebih banyak dan dipacu oleh cahaya, enzim, ko-oksidasi dengan hidroperoksida lemak. Pengukusan menghasilkan kerusakan β-karoten lebih sedikit dibandingkan perebusan. Hasil penelitian pada pembuatan 20 jenis makanan menunjukkan bahwa karoten sangat stabil selama pengolahan (Andarwulan dan Koswara 1992). β-karoten dapat bertindak sebagai antioksidan dengan cara menangkap radikal oksigen tunggal, hidroksil, dan superoksida serta bereaksi dengan radikal peroksil ROO (Gregory 1996). Struktur molekul dari vitamin A dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Struktur molekul vitamin A (Sumber: Winarno 2008)
2.3 Anatomi dan Jaringan Tumbuhan Jaringan merupakan sekelompok sel yang mempunyai asal, struktur, dan fungsi yang sama. Jaringan dewasa penyusun organ tumbuhan tingkat tinggi antara lain jaringan pelindung (epidermis), jaringan dasar (parenkim), jaringan penguat (penyokong), jaringan pengangkut (vaskuler), jaringan sekretoris. Organ pada tumbuhan dibedakan menjadi organ vegetatif dan organ reproduksi. Organ vegetatif meliputi batang, akar, dan daun, sementara organ reproduksi terdiri dari bunga, buah, dan biji (Nugroho et al. 2006). Sistem jaringan, jaringan, dan jenis sel penyusun jaringan dapat dilihat pada Tabel 2.
13
Tabel 2 Sistem jaringan, jaringan, dan jenis sel penyusun jaringan tanaman Sistem jaringan Sistem jaringan dasar
Jaringan Jaringan parenkima Jaringan kolenkima Jaringan sklerenkima Xilem
Sistem jaringan pengangkut
Floem
Epidermis Sistem jaringan pelindung
Peridermal
Jenis sel Sel-sel parenkima Sel-sel kolenkima Sel-sel sklerenkima (sklereid, serat) Trakeid, elemen pembuluh, sel parenkima, serat Elemen pembuluh saringan, companion cells, sel-sel parenkima, serat Sel-sel parenkima, sel-sel penjaga, trikoma Sel-sel gabus, sel-sel kambium gabus, parenkima gabus.
Sumber: Berg (2008)
2.3.1 Akar Akar merupakan organ tanaman yang berfungsi untuk memperkuat berdirinya tubuh tumbuhan, menyerap air dan unsur hara tumbuhan dari dalam tanah, mengangkut air dan unsur hara ke bagian tumbuhan yang memerlukan, dan tempat penimbunan zat makanan cadangan. Anatomi akar primer yang dipotong membujur adalah tudung akar, epidermis akar, korteks, endodermis, dan stele (Nugroho et al. 2006). Akar tanaman Monocotyledoneae dewasa biasanya berupa akar serabut dan berkembang dari batang. Umumnya, akar ini tidak mengalami penebalan sekunder. Tipe paling umum akar pada Monocotyledoneae adalah sistem akar serabut (Mulyani 2006). Gambaran anatomi akar primer adalah sebagai berikut. a) Tudung akar, merupakan penutup ujung akar yang tersusun dari sel-sel parenkima. Selain melindungi meristem, sel-sel tudung akar berfungsi dalam pengaturan pertumbuhan (misalnya tanggapan gravitasi) dan dalam produksi serta sekresi sejumlah getah. Tudung akar berasal dari aktivitas meristem apikal akar dan terdiri atas sejumlah akar yang terletak di tengah, sel-sel kolumela yang lurus longitudinal, dan sel-sel peripheral terluar. Kolumela mengandung
sekumpulan
pati
amiloplas,
sedangkan
mengeluarkan getah yang disebut mucigel (Dickison 2000).
sel
peripheral
14
b) Epidermis (epiblem/lapisan piliferous). Sel-sel epidermis akar berdinding tipis dan biasanya tidak mengandung kutikula. Rambut-rambut akar berkembang dari sel-sel epidermis di daerah dekat ujung akar. Epidermis akar biasanya dijumpai saat akar masih muda. Apabila akar sudah dewasa, epidermisnya telah mengalami kerusakan dan fungsinya digantikan oleh lapisan terluar dari korteks yang disebut eksodermis (Nugroho et al. 2006). c) Korteks, umumnya tersusun atas sel-sel parenkim yang kadang-kadang mengandung karbohidrat dan kadang mengandung kristal. Lapisan sklerenkim umum dijumpai pada akar tumbuhan Monocotyledoneae. Lapisan terluar dari korteks kadang berdiferensiasi menjadi lapisan eksodermis yang dinding selselnya mengalami penebalan dengan zat suberin, lapisan terdalam dari korteks biasanya berdiferensiasi menjadi endodermis (Nugroho et al. 2006). Sel parenkim korteks tidak mempunyai klorofil, tetapi pada tumbuhan air, akar udara, dan epifit terdapat klorofil (Fahn 1991; Mulyani 2006). d) Endodermis, tersusun oleh satu lapis sel yang berbeda secara fisiologi, struktur, dan fungsi dengan lapisan sel di sekitarnya. Endodermis primer mengalami penebalan berupa titik-titik Caspary dari suberin dan kutin. Endodermis sekunder mengalami penebalan berupa pita Caspary dari zat lignin. Endodermis tersier mengalami penebalan membentuk huruf U yang mengandung lapisan suberin dan selulose pada dinding radial dan tangensial bagian dalam (Nugroho et al. 2006). e) Stele. Lapisan terluar dari stele adalah perisikel/perikambium sehingga letaknya di sebelah dalam dari endodermis dan di sebelah luar dari berkas pengangkut. Sistem berkas pengangkut pada akar biasanya tersusun oleh jari-jari xilem (trakea) yang jumlahnya bervariasi berselang-seling dengan floem. Pada akar, xilem dan floem tidak terletak dalam radius yang sama. Xilem mungkin membentuk sumbu sentral ataupun bagian tengah terisi oleh sel-sel parenkim ataupun sklerenkim. Akar dapat terdiri dari 1, 2, 3, 4, 5 atau banyak jari-jari xilem yang secara berurutan disebut monarch, diarch, triarch, tetrarch, pentarch ataupun poliarch. Protoxilem akar berada di sebelah luar dari metaxilem (Nugroho et al. 2006).
15
Pada Monocotyledoneae, biasanya tidak terjadi penebalan sekunder, tetapi terjadi sklerifikasi pada sebagian atau seluruh perisiklus. Biasanya perisiklus Angiospermae hanya selapis, tetapi pada kebanyakan Monocotyledoneae, perisiklus terdiri atas beberapa lapisan sel. Akar tumbuhan air dan parasit tidak terdapat perisiklus (Fahn 1991; Mulyani 2006). Struktur anatomi akar tumbuhan Monocotyledoneae dan Dicotyledoneae dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Struktur anatomi akar pada tumbuhan Monocotyledoneae dan Dicotyledoneae (Sumber: Arnett dan Braungart (1970), diacu dalam Nugroho et al. (2006))
2.3.2 Batang Batang tanaman memiliki tiga fungsi utama, yaitu mendukung daun dan struktur reproduksi, menyediakan pengangkut bagian dalam, dan menghasilkan jaringan baru (Berg 2008). Perbedaan nyata antara penampang melintang batang dan penampang melintang akar hanyalah ukuran unsur-unsur pengangkutan dalam batang yang lebih besar dan lokasinya yang jauh dari pusat batang (Fisher dan Dunham 1992). Pada organ batang terdapat tiga bagian pokok yang berkembang dari jaringan protoderm, prokambium, dan meristem dasar, yaitu epidermis dan derivatnya, korteks, dan stele (Nugroho et al. 2006). a) Epidermis tersusun oleh satu lapis sel dan biasanya berbentuk rektanguler tersusun rapat tanpa adanya ruang antar sel, dinding luar mengalami penebalan dari zat kutin. Susunan ini menyebabkan terjadinya pengurangan transpirasi dan melindungi jaringan di sebelah dalamnya dari kerusakan mekanik dan
16
serangan hama. Derivat epidermis adalah stomata, trikoma, sel silika, dan sel gabus (Nugroho et al. 2006). b) Korteks yang paling sederhana seluruhnya terdiri atas sel parenkim berdinding tipis. Daerah di luar korteks yang berbatasan dengan epidermis terdiri atas kolenkim atau serabut. Korteks batang ini dapat juga berisi sklereida, sel sekretori, dan latisifer (Mulyani 2006). Beberapa tumbuhan memiliki parenkim korteks bagian tepi yang mengandung kloroplas sehingga dapat berfotosintesis, yang disebut klorenkim (Nugroho et al. 2006). Sel parenkim korteks juga dapat menyimpan granula dan kristal pati (Berg 2008). c) Stele merupakan daerah sebelah dalam dari endodermis yang terdiri atas perikamium, parenkim, dan berkas pengangkut (Nugroho et al. 2006). Terdapat dua tipe jaringan pembuluh, yaitu floem yang biasanya terletak di bagian luar dan xilem yang biasanya terletak di bagian dalam. Xilem berfungsi untuk mengangkut air dan mineral terlarut dari akar menuju batang, sedangkan floem berfungsi mengangkut karbohidrat terlarut (sukrosa) dari daun menuju batang (Berg 2008). Posisi xilem dan floem dalam berkas pembuluh dapat dibedakan (Hidayat 1995): 1) Ikatan pembuluh kolateral, floem bertempat di sebelah luar xilem. 2) Ikatan pembuluh bikolateral, seperti kolateral namun terdapat floem di sebelah dalam xilem sehingga ada floem eksternal dan floem internal. 3) Ikatan pembuluh konsentris amfikribral, floem mengelilingi xilem dan sering terdapat pada paku. 4) Ikatan pembuluh konsentris amfivasal, xilem mengelilingi floem. 5) Ikatan pembuluh radial, letak berkas xilem bergantian dan berdampingan dengan berkas floem. Batang Monocotyledoneae memiliki tipe berkas pengangkut kolateral tertutup, yakni bila di antara xilem dan floem tidak terdapat kambium, tetapi terdapat parenkim penghubung. Sebagian besar Monocotyledoneae, sistem pembuluh primer terdiri atas sejumlah berkas pengangkut yang tersebar tidak beraturan sehingga tidak dapat dibedakan secara tegas batas antara korteks, silinder pembuluh, dan empelur. Batang monokotil tidak mengalami pertumbuhan sekunder dan berkas pengangkutnya mempunyai selubung sklerenkim. Penebalan
17
batang berasal
dari
pembelahan dan pembesaran sel
parenkim
dasar
(Mulyani 2006). Batang tumbuhan air berisi suatu sistem ruang antar sel yang meluas sehingga melalui ruang tersebut terjadi difusi gas secara bebas. Absorpsi gas juga dipermudah karena dinding tipis epidermis dan jaringan di sebelah dalamnya. Pada daun dan batang yang tenggelam dari tumbuhan air, kloroplas ada pada sel epidermis. Kebanyakan hidrofit yang tenggelam, epidermis tidak berstomata (Fahn 1991). Pada korteks batang tumbuhan air dan jaringan dasar petiol dan mesofil, terdapat ruang skizogen antar sel tempat berlangsungnya pertukaran udara lakuna. Lakuna terjadi di tengah-tengah korteks batang. Korteks bagian luar terdiri atas parenkima dan kolenkima yang padat. Bagian dalam korteks yang mengelilingi silinder pembuluh juga terdiri atas kolenkima yang rapat. Lakuna dapat tersusun dalam satu lingkaran atau beberapa lingkaran maupun dalam suatu pola retikulasi. Lakuna dipisahkan sewaktu-waktu oleh lempengan atau diafragma, yang memperkuat organ-organ dan dapat juga meniadakan bahaya penyumbatan air melalui luka. Pada tumbuhan akuatik yang tidak tenggelam, ruang antar diafragma dipenuhi parenkima berbentuk bintang (Fahn 1991). Penampang jaringan batang monokotil dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Penampang batang monokotil (Sumber: Berg 2008)
18
2.3.3 Daun Daun biasanya tersusun oleh berbagai macam jaringan, tetapi secara garis besar tersusun atas jaringan pelindung (epidermis dan derivatnya), jaringan dasar (mesofil), jaringan pengangkut, jaringan penguat, jaringan sekretori. Sebagian besar tumbuhan Monocotyledoneae dan beberapa jenis Dicotyledoneae memiliki tipe daun isobilateral, yakni struktur daun dengan jaringan tiang yang seragam antara permukaan atas dan bawah (Nugroho et al. 2006). a) Epidermis daun beragam dalam jumlah lapisan, bentuk, struktur, susunan stomata, munculnya trikoma dan susunannya, serta adanya sel khusus. Jaringan epidermis permukaan daun dibedakan menjadi permukaan adaksial dan permukaan abaksial. Permukaan adaksial adalah permukaan daun yang lebih dekat dengan ruas di atasnya dan biasanya menghadap ke atas, sedangkan permukaan bawah merupakan permukaan abaksial (Fahn 1991). b) Mesofil daun terdiri atas jaringan parenkim yang terdapat di sebelah dalam epidermis. Mesofil mengalami diferensiasi membentuk jaringan fotosintetik yang berisi kloroplas. Kebanyakan tumbuhan terdapat dua tipe parenkim dalam mesofil, yaitu parenkim palisade (jaringan tiang) dan parenkim spons (jaringan bunga karang). Sel parenkim palisade memanjang dan pada penampang melintangnya tampak berbentuk batang yang tersusun dalam deretan. Sel palisade terdapat di bawah epidermis unilateral (selapis) atau multilateral (berlapis banyak) (Mulyani 2006). Sel palisade tegak pada permukaan daun, rapat satu sama lain, dan banyak mengandung kloroplas, berfungsi untuk menangkap cahaya. Jaringan bunga karang tersusun oleh sel-sel yang tak teratur, berdinding tipis, lepas, dan mengandung kloroplas dalam jumlah sedikit (Nugroho et al. 2006). c) Jaringan pengangkut pada daun sebagian besar tanaman adalah secara kolateral, dengan susunan xilem pada posisi secara adaksial dan floem secara abaksial. Xilem terdiri atas sejumlah sel-sel protoxilem dan metaxilem sedangkan floem mengandung protofloem dan metafloem. Pembuluh daun monokotil biasanya dicirikan oleh serangkaian pembuluh longitudinal yang memanjang sejajar sejauh helaian daun. Pembuluh utama pada daun monokotil terhubungkan dengan pembuluh yang melintang secara transversal (Dickison 2000).
19
d) Jaringan penguat daun berupa kolenkim dan sklerenkim. Kolenkim biasanya terdapat dekat tulang daun yang besar tepat di bawah epidermis. Tumbuhan Monocotyledoneae banyak dijumpai serat pada berkas pengangkut. Epidermis dengan susunan sel yang kompak tanpa adanya ruang antar sel dan terdapat kutikula pada permukaan luarnya akan berfungsi sebagai jaringan penguat daun (Nugroho et al. 2006). e) Jaringan sekretori berupa kelenjar dengan struktur berupa masa sel-sel parenkim padat dan terdapat di ujung berkas-berkas pembuluh. Substansi sekretori dapat pula dijumpai dalam idioblas. Sel resin dijumpai pada tumbuhan suku Rubiceae dan Euphorbiaceae, sel tanin pada Anacardiaceae (Nugroho et al. 2006). Struktur tanaman hidrofit kurang beragam karena suhu, udara, konsentrasi dan komposisi garam dalam air mempengaruhi struktur tumbuhan air. Tumbuhan air memiliki sedikit jaringan penyokong dan pelindung, jumlah jaringan pembuluh sedikit, xilem mengecil, dan mempunyai ruang udara (Mulyani 2006). Epidermis tumbuhan air tidak berfungsi untuk perlindungan, tetapi untuk pengeluaran zat makanan, senyawa air, dan pertukaran gas. Kutikula dan dinding selnya sangat tipis. Sel epidermis berisi kloroplas. Daun yang mengapung mempunyai stomata hanya pada permukaan atas daun. Daun yang tenggelam biasanya tidak mempunyai stomata. Beberapa tumbuhan air yang tenggelam mempunyai sekelompok sel yang disebut hydropotes, yang berfungsi untuk memudahkan pengangkutan air dan garam ke luar dan ke dalam tumbuhan. Hidrofit yang tenggelam mempunyai sangat sedikit sklerenkim atau bahkan tidak mempunyai (Mulyani 2006). Pada daun hidrofit terdapat ruangan udara yang berisi gas, bentuknya beraturan, terdapat di seluruh daun. Ruangan udara ini adalah lakuna yang biasanya dipisahkan oleh partisi tipis satu atau dua lapisan sel yang mengandung kloroplas. Lakuna berisi diafragma yang merupakan lapisan tunggal sel-sel dengan interselular yang kecil dan tampak sebagai pori, berfungsi membiarkan laluan gas dan bukannya air (Fahn 1991). Penampang jaringan daun dapat dilihat pada Gambar 5.
20
Gambar 5 Penampang jaringan daun (Sumber: Davidson 2005)
2.3.3.1 Stomata Stoma (jamak: stomata) adalah lubang atau celah yang terdapat pada epidermis organ tumbuhan yang berwarna hijau, dibatasi oleh sel khusus yang disebut sel penutup. Sel penutup dikelilingi oleh sel-sel yang bentuknya sama atau berbeda dengan sel-sel epidermis lainnya dan disebut sel tetangga. Sel tetangga berperan dalam perubahan osmotik yang menyebabkan gerakan sel penutup yang mengatur lebar celah (Nugroho et al. 2006). Sel penjaga atau sel penutup berperan mengatur pertukaran gas dari daun. Pada malam hari pertukaran gas sedikit dibutuhkan sehingga celah stomata hampir tertutup. Selain itu, suhu malam hari lebih rendah dibandingkan siang hari sehingga kehilangan air dari daun dalam jumlah minimal (Scott 2008). Keseluruhan bagian stomata umumnya dibatasi terhadap permukaan bagian bawah dari lamina (lapisan terluar epidermis) disebut hypostomatous. Stomata ada kalanya terletak di kedua lapisan bagian atas dan bawah epidermis disebut amphistomatous atau stomata terbatas hanya pada lapisan atas yang disebut epistomatous. Jenis-jenis stomata dari angiospermae berdasarkan penampakan stomata dewasa adalah (Dickison 2000): a) Anomositik, yaitu stoma dikelilingi oleh sejumlah sel yang ukuran, bentuknya tidak terbedakan dari sel epidermis lainnya. b) Anisositik, yaitu stoma yang dikelilingi oleh tiga tetangga yang salah satunya lebih kecil dibandingkan dua sel lainnya.
21
c) Parasitik, yaitu stoma didampingi oleh satu atau lebih sel tetangga yang sejajar terhadap sumbu panjang dari celah dan sel penjaga. d) Diasitik, yaitu stoma yang ditutupi oleh sepasang sel tetangga, yang dinding kedua sel tetangga tegak lurus terhadap sumbu panjang sel penjaga. e) Tetrasitik, yaitu stoma dikelilingi oleh empat sel tetangga; dua lateral dan dua terminal. f) Aktinositik, yaitu stoma dikelilingi oleh sel tetangga yang melingkar atau memanjang secara radial, membentuk suatu cincin pada setiap stoma. g) Siklositik, yaitu stoma yang dikelilingi oleh empat atau lebih sel tetangga yang membentuk cincin pada setiap stoma. h) Heksasitik, stoma didampingi oleh enam sel tetangga yang terdiri dari dua lateral berpasangan paralel terhadap sumbu panjang celah, dan dua terminal. Gambar dari jenis-jenis stoma dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Jenis-jenis stomata daun (Sumber: Dickison 2000)
2.4 Pemeriksaan Histologi Tumbuhan Jaringan (merupakan kesatuan sejumlah sel, serupa dalam asal-usul dan fungsi utama, bersifat terus-menerus. Ilmu yang mempelajari struktur internal tanaman disebut histologi tanaman. Histologi tumbuhan umumnya dikaji melalui teknik mikroskopis. Kajian objektif untuk mengidentifikasi histologi pada tanaman diukur dalam gambaran mikroskopis. Morfologi sel digambarkan dengan ukuran sel dan bentuk dan dengan ketebalan dinding sel (Guillemin et al. 2004).
22
Metode umum untuk mempelajari jaringan diantaranya metode beku, metode seloidin, metode parafin, metode penanaman rangkap. Metode parafin banyak digunakan karena hampir semua macam jaringan dapat dipotong dengan baik bila menggunakan metode ini. Kelebihan metode parafin diantaranya irisan dapat jauh lebih tipis daripada menggunakan metode beku atau metode seloidin. Irisan-irisan yang bersifat seri dapat dikerjakan dengan mudah bila menggunakan metode ini dan prosesnya jauh lebih cepat dibandingkan dengan metode seloidin (Suntoro 1983). Metode
pembuatan
preparat
terlebih
dahulu
dilakukan
sebelum
mempelajari histologi tanaman. Metode pembuatan preparat dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu preparat segar, preparat utuh (whole mount), dan preparat yang dilakukan proses penanaman (embedding). Pembuatan preparat segar dilakukan dengan sayatan tipis melintang dan diletakkan pada gelas objek kemudian diwarnai. Pembuatan preparat utuh merupakan metode pembuatan preparat sampel secara utuh biasanya untuk tanaman dengan ukuran kecil. Tahapan untuk preparat ini terdiri atas fiksasi bertahap, penggunaan xilol berseri, pewarnaan, inkubasi, dehidrasi, dan perekatan ke gelas preparat, dan dilakukan penutupan. Proses pembuatan preparat embedding terdiri atas gelatin embedding, paraffin embedding, nitrocellulose embedding, double embedding, dan embedding pada plastik (Kiernan 1990, diacu dalam Kristiono 2009). 2.5 Persiapan Preparat dengan Metode Parafin Hal yang penting dalam persiapan jaringan adalah meningkatkan kemampuan pewarnaan dari bagian-bagian jaringan dan mengubah indeks bias ke arah jarak penglihatan yang ditingkatkan (Humason 1967). Tahapan dalam persiapan preparat adalah fiksasi, dehidrasi (dehydration), penjernihan (clearing), infiltrasi, penanaman (embedding), penyayatan (sectioning), penempelan sayatan, dan pewarnaan (staining). 2.5.1 Fiksasi Fiksasi merupakan langkah awal dalam menyiapkan materi segar untuk pengamatan mikroskopis. Tujuan fiksasi adalah mencegah efek post-mortem pada jaringan, memisahkan fase solid protoplasma dari fase yang mengandung air, mengubah bagian sel menjadi material yang tidak dapat larut selama perlakuan
23
selanjutnya, dan melindungi sel dari penyimpangan dan penyusutan. Larutan fiksasi disebut fiksatif. Beberapa fiksatif yang digunakan adalah fiksatif Gomori Susa, Zenker, Helly, Bouin, formalin, Carnoy, dan sebagainya (Humason 1967). Waktu yang dibutuhkan untuk mematikan jaringan dan pengerasan material sangat beragam dan hal tersebut ditentukan oleh karakteristik cairan fiksatif yang digunakan. Salah satu jenis fiksatif yang banyak digunakan adalah FAA. Formula FAA adalah (Sass 1951): Etil alkohol (95%)
: 55 cc
Glasial asam asetat
: 5 cc
Formaldehid (37-40%)
: 10 cc
Air
: 35 cc Fiksatif ini stabil dan memberikan pengerasan jaringan yang baik, material
dapat disimpan selama bertahun-tahun. FAA cocok untuk beragam objek misalnya ranting berkayu, batang herbal, dan akar tua (Sass 1951). Formalin-aceto (atau propiono)-alkohol merupakan fiksatif terbaik untuk beragam struktur misalnya alga berfilamen dan batang berkayu, namun biasanya memberikan fiksasi yang buruk terhadap kromosom dan melarutkan mitokondria. Lamanya waktu fiksasi minimal 18 jam (Johansen 1940). 2.5.2 Dehidrasi Jaringan yang telah difiksasi akan mempertahankan kandungan air yang tinggi, suatu kondisi yang menjadi penghambat untuk proses selanjutnya, sehingga jaringan perlu didehidrasi (penghilangan air). Cairan dalam jaringan dapat menyebabkan jaringan lunak, berisi lumen atau celah cekung dan mudah rusak oleh penyayatan. Penghilangan air dari jaringan biasanya dicapai dalam suatu rangkaian larutan alkohol dengan persentase yang meningkat secara bertahap. Perubahan konsentrasi bertahap, yakni 30%, 50%, 70%, 80%, 95% dan alkohol absolut bertujuan mengurangi penyusutan pada jaringan. Jika tahap dehidrasi tidak dilakukan dalam suatu rangkaian, maka dapat dilakukan dengan langkah 30% dan 80% alkohol, dan penggantian tetap 50%. Waktu yang dibutuhkan untuk setiap tahap bergantung pada ukuran objek, yakni ½ jam hingga 2 jam, 3 jam untuk kasus yang ekstrim. Penggantian kedua dari alkohol absolut
24
harus dapat menghilangkan air dengan sempurna (Humason 1967). Sampel yang difiksasi dengan FAA, mulai didehidrasi dalam alkohol 50% (Sass 1951). Dehidrasi dengan Tertiary Butyl Alcohol (TBA) merupakan metode yang lebih memuaskan. Rangkaian larutan dari air, etil, dan tertiary butyl alcohol dapat dilihat pada Tabel 3 (Johansen 1940). Tabel 3 Komposisi rangkaian larutan dehidran TBA Tingkatan Jumlah persentase alkohol Air Etanol 95% Tertiary butyl alcohol Etanol 100%
1 50 50 40 10 -
2 70 30 50 20 -
3 85 15 50 35 -
4 95 45 55 -
5 100 75 25
Sumber: Johansen (1940)
Setiap tingkatan dari dehidran TBA membutuhkan waktu minimal selama 1 jam. Rangkaian tersebut kemudian diikuti dengan 100% TBA murni yang dilakukan sebanyak 3 kali (Johansen 1940). 2.5.3 Penjernihan, infiltrasi, dan penanaman dengan metode parafin Hidrokarbon benzena, toluena, dan xylene merupakan reagen yang umumnya digunakan untuk tujuan penjernihan. Jika selama penjernihan, zat penjernih (xylene, toluena, atau benzena) menjadi keruh, menunjukkan bahwa air masih ada pada jaringan dan jaringan tidak terdehidrasi dengan sempurna dan dapat
dilakukan
pengulangan
ke
dalam
alkohol
absolut.
Penjernihan
menghilangkan atau menjernihkan jaringan yang tidak tembus cahaya menjadi transparan (Humason 1967). Infiltrasi merupakan tahapan dimana medium untuk menanam dimasukkan ke dalam jaringan secara bertahap. Medium yang umum digunakan untuk menanam adalah parafin. Parafin terdiri atas parafin lunak dan parafin keras. Titik leleh parafin lunak berada pada kisaran 50-52 ºC atau 53-55 ºC, titik leleh parafin keras berkisar 56-58 ºC atau 60-68 ºC. Pemilihan titik leleh bergantung pada ketebalan jaringan yang akan disayat, parafin keras untuk jaringan keras dan parafin lunak untuk jaringan lunak. Jika sayatan yang diinginkan mencapai ketebalan 5-7 mikro maka menggunakan parafin dengan kisaran 56-58 ºC
25
(Humason 1967). Tujuan infiltrasi adalah membantu memudahkan pemotongan dalam potongan-potongan jaringan yang sangat tipis (Maidie et al. 1974). Material yang telah didehidrasi dengan serangkaian larutan TBA siap untuk infiltrasi. Pemindahan material dari butyl alcohol ke parafin harus dilakukan secara berangsur-angsur. Pemindahan dapat dilakukan ke dalam campuran minyak parafin dan tertiary butyl alcohol dengan jumlah yang sama. Material diletakkan di atas parafin beku yang ada di dalam wadah kemudian ditutupi dengan campuran minyak parafin dan butyl alcohol. Kemudian wadah ditempatkan di dalam oven parafin selama 1 jam. Kemudian, campuran tersebut diganti dengan parafin murni dan dilakukan di dalam oven. Pengulangan dari pergantian parafin dilakukan dua kali setiap 6 jam (Johansen 1940). Jaringan, yang telah diinfiltrasi, ditempatkan dalam sebuah kotak kertas yang telah diisi dengan lelehan parafin dan segera didinginkan dalam air. Saat sejumlah kecil parafin siap memadat, parafin tersebut dapat didinginkan di dalam air, lebih baik pada suhu 10-15 ºC. Blok parafin yang terbaik adalah parafin dengan kristal yang berdekatan satu sama lain, tampak jernih dan homogen (Humason 1967). 2.5.4 Penyayatan dan penempelan sayatan Material siap disayat bila parafin telah membeku. Blok jaringan dipotong dengan pisau tajam. Panjang blok kurang dari 2 cm dan dimensi blok dibedakan dengan bentuk seperti empat persegi panjang. Blok parafin ditanamkan di atas blok kayu (holder) (Johansen 1940). Faktor
yang mempengaruhi penyayatan
adalah kualitas parafin, infiltrasi yang tepat, orientasi penempelan material, kekakuan penempelan, suhu, kekerasan atau kerapuhan material. Pemotongan menggunakan mikrotom (Sass 1951). Sejumlah pita parafin ditempelkan pada setiap slide. Seluruh permukaan slide diolesi dengan bahan perekat dan dialiri dengan air. Selanjutnya, pita parafin yang panjang diletakkan di atas kaca tersebut menggunakan pisau bedah. Air yang berlebihan pada slide dikeringkan, lalu preparat diamati dengan mikroskop. Sayatan pada slide ditutup dengan kaca penutup dan ditempatkan di atas penangas dengan suhu tidak lebih dari 43 ºC (Johansen 1940). Bahan perekat dalam
26
sebagian besar formula adalah gum arab, albumin, atau gelatin (Sass 1951). Bahan perekat albumin dapat dibuat dengan campuran (Maidie et al. 1974): 1) Putih telur
50 cc
2) Gliserin
50 cc
3) Thymol atau Na-salicylat 1 gram 2.5.5 Pewarnaan Sebelum sayatan dapat diwarnai, parafin harus dihilangkan dengan menggunakan xilol. Slide ditempatkan pada rak dan dimasukkan dalam wadah xilol selama 5 menit, xilol hendaknya dapat menutupi slide. Slide kemudian dipindahkan ke dalam campuran etanol absolut dan xilol dengan jumlah yang sama. Pemindahan selanjutnya dilakukan ke dalam campuran alkohol absolut dan eter selama 5-10 menit. Slide lalu diangin-anginkan hingga sayatan menunjukkan tanda keputih-putihan. Kemudian slide dicelupkan dalam serangkaian alkohol, dimulai dengan 95%, 70%, 35% masing-masing 5 menit (Johansen 1940). Safranin merupakan salah satu zat warna yang termasuk dalam golongan azine. Golongan azine adalah golongan zat warna yang mengandung cincin orthoquinonoid yang dihubungkan dengan bentuk cincin lainnya melalui 2 atom N. Safranin adalah suatu chloride dan zat warna basa yang kuat, sangat cocok untuk mewarnai kromatin dan terutama kromosom (Suntoro 1983). Kelarutannya dalam air adalah 5,45% dan 3,41% dalam alkohol. Safranin digunakan untuk morfologi dan sitologi. Setelah jaringan diwarnai dengan safranin, pewarna yang berlebihan harus dicuci dengan air sehingga tidak meninggalkan sisa pada jaringan (Johansen 1940). Larutan baku safranin berkonsentrasi 3% di dalam alkohol 50%. Bila akan digunakan, larutan baku diencerkan 1-4 kali dengan alkohol 50%. Pewarnaan yang sangat insentif akan dapat diperoleh dengan mengencerkan satu volume anilin aquosa (1 cc anilin dengan 20 cc akuades). Setelah menggunakan fiksatif Flemming, zat warnanya dihilangkan dengan akuades dan selanjutnya dideferensiasi dengan alkohol 70% hingga hanya ada warna merah yang tertinggal di dalam sitoplasma selama 0,5-10 menit. Kemudian preparat didehidrasi dengan cepat (Suntoro 1983).
27
Aniline blue bersifat sangat asam dan merupakan kelompok triaminotrifenil metana. Anilin blue dapat mewarnai selulosa dinding sel dan gambar achromatic, serta zat warna terbaik untuk filamentous dan chlorophyta. Selain itu, zat warna ini dapat mewarnai sitoplasma. Aniline blue 1% harus disediakan dalam alkohol 95% dan pengasaman sedikit dengan asam hidroklorida. Kombinasi safranin dan aniline blue memberikan diferensiasi yang lebih akurat dibandingkan dengan fast green (Johansen 1940). 2.6 Komponen Bioaktif Tanaman menghasilkan tiga kelompok utama dari komponen yang bertindak sebagai zat pertahanan, yaitu terpenoid, fenol, dan nitrogen yang mengandung komponen organik (Scott 2008). Bentuk metabolit sekunder menunjukkan sejumlah molekul yang sedikit penting terhadap tanaman dan memiliki peranan utama dalam perlindungan tanaman dari tekanan lingkungan atau dalam pengontrollan pertumbuhan tanaman (Harborne 1999). Tanaman genjer (Limnocharis flava) yang berasal dari Thailand mengandung total fenolik 5,4 mgGAE/ g BDD, total flavonoid 3,7 mg RE/ g BDD, dan aktivitas antiradical 0,1/ EC50 (Maisuthisakul et al. 2008). 2.6.1 Terpenoid/steroid Terpenoid atau isoprenoid dicirikan dengan biosintesis dari isopentenil dan dimetilalil pirofosfat dan sifatnya yang secara umum lipofilik. Terpenoid adanya di kelenjar trikoma daun, di pucuk exudates dan kayu damar. Secara kimia, terpenoid pada dasarnya hidrokarbon tidak jenuh siklik, dengan derajat keragaman oksigenasi dalam kelompok pengganti yang dilekatkan terhadap kerangka karbon utama. Terpenoid dikelompokkan berdasarkan jumlah 5-atom karbon (C5) (Harborne 1999). Monomer aktif dari isoprenoid adalah isopentenilpirofosfat (IPP) yang digunakan untuk membangun monoterpen (C10), sesquiterpen (C15), dan diterpen (C20) (Edwards dan Gatehouse 1999). Terpenoid memiliki potensi anti-inflamasi tidak hanya in-vivo pada sel hewan, tetapi juga ex-vivo. Beberapa terpenoid bertindak sebagai hormon tanaman yang mengatur fungsi fisiologis yang berbeda dan metabolit sekunder lainnya berperan dalam pertahanan dan perlindungan tumbuhan/hewan dari patogen (Heras et al. 2003). Subklasifikasi terpenoid dapat dilihat pada Tabel 4.
28
Tabel 4 Subklasifikasi terpenoid Kelas terpenoid Monoterpenoid Iridoid Sesquiterpenoid Sesquiterpen lakton Diterpenoid Triterpenoid saponin Steroid saponin Kardenolid dan bufadienolid Fitosterol Cucurbitacin Nortriterpenoid Triterpenoid lainnya Karotenoid
Deskripsi Volatil, unsur minyak esensial Lakton yang berasa pahit, biasanya dalam bentuk glikosidik Unsur minyak esensial yang tinggi titik didihnya Karakteristik dari famili Compositae Asam dammar dan giberelin Glikosida hemolitik Glikosida hemolitik Racun bagi jantung dan toxin Unsur-unsur membrane Pahit, terutama Cucurbitaceae Limonoid dan Quassinoid Lupanes, hapanes, ursanes, dsb Pigmen kuning hingga merah
Sumber: Harborne (1999)
Komponen terpenoid yang menunjukkan aktivitas insektisidal adalah steroid. Bentuk steroid dapat berupa komponen kardenolid dan saponin yang dapat melawan herbivora mamalia. Kardenolid berasa pahit dan sangat beracun serta dapat menyebabkan penyakit jantung. Saponin merupakan komponen yang dapat larut di dalam air dan lemak, serta memiliki sifat seperti sabun (Scott 2008). Struktur beberapa terpenoida dapat dilihat pada Gambar 7 berikut.
Gambar 7 Beberapa terpenoid dan alkaloid steroid (Sumber: Robinson 1995)
2.6.2 Alkaloid dan metabolit nitrogen lainnya Alkaloid merupakan basa-basa organik yang memiliki sebuah atom nitrogen sebagai bagian dari srukturnya, biasanya terkait ke dalam suatu sistem
29
siklik lima atau enam karbon. Distribusi alkaloid terbatas pada tumbuhan tingkat tinggi, sekitar 20% dari spesies Angiospermae. Metabolit-nitrogen juga terbatas di alam. Keterbatasan distribusi metabolit ini disebabkan oleh ketersediaan unsur dari metabolit ini juga terbatas. Metabolit-nitrogen merupakan turunan dari satu atau lebih asam amino protein (Harborne 1999). Metabolit-nitrogen lainnya yang berperan penting adalah glukosinolat, cianogenik glikosida, dan asam amino non-protein. Bentuk lebih lanjut dari metabolit-nitrogen adalah betalain, pigmen tanaman. Asam amino lisin, ornitin, fenilalanin, tirosin, triptofan, dan histidin merupakan sumber N dari mayoritas alkaloid pada tanaman (Edwards dan Gatehouse 1999). Alkaloid biasanya diekstraksi dari tumbuhan dengan pelarut alkohol yang bersifat asam lemah (HCl 1M atau asam asetat 10%), kemudian diendapkan dengan amoniak pekat. Pemurnian selanjutnya dilaksanakan dengan ekstraksi pelarut (ekstraksi cair-cair). Adanya alkaloid pada ekstrak nisbi kasar dapat diuji dengan menggunakan berbagai pereaksi alkaloid (Harborne 1987). Klasifikasi alkaloid dan metabolit-nitrogen lainnya dapat dilihat Tabel 5. Struktur senyawa alkaloid dapat dilihat pada Gambar 8 berikut. Tabel 5 Klasifikasi alkaloid dan metabolit-nitrogen lainnya pada tanaman Metabolit Alkaloid: 1) Amaryllidaceae 2) Betalain 3) Diterpenoid (kadang beracun) 4) Indol 5) Isoquinolin (kelompok terbesar alkaloid) 6) Likopodium 7) Monoterpen 8) Sesquiterpen 9) Peptida 10) Pirolidin dan piperidin Sumber: Harborne (1999)
Metabolit 11) Pirolizidin 12) Quinolin 13) Quinolizidin 14) Steroidal 15) Tropana Asam amino non-protein Amina Cianogenik glikosida Glukosinolat Purin dan Pirimidin (termasuk kafein pada kopi dan teh)
30
Gambar 8 Beberapa penggolongan alkaloid (Sumber: Robinson 1995)
2.6.3 Metabolit fenol Komponen fenol merupakan metabolit sekunder dengan molekul dasar dari beragam jenis senyawa adalah struktur fenol yang merupakan kelompok hidroksil pada sebuah cincin aromatik. Komponen fenol menunjukkan beragam fungsi bagi tanaman termasuk pertahanan dari herbivor dan patogen, penyerapan cahaya, penarik pollinator, penghambat pertumbuhan dari tanaman pesaing, dan simbiosis dengan bakteri penyedia nitrogen (Wildman 2001). Fenol turut andil dalam biosintetis dari fenilalanin, merupakan salah satu dari tiga asam amino protein yang dibentuk dari sedoheptulosa melalui jalur shikimate. Asam p-hidroksisinamik dibentuk dari fenilalanin melalui deaminasi dan p-hidroksilasi, yang menempati peranan sentral dalam pembentukan beragam kelas dari fenol tanaman (Harborne 1999). Flavonoid merupakan kelompok polifenol yang paling dikenal, memiliki rangka karbon yang sama dengan flavon atau 2-fenilbenzopiron dan terdiri dari 4000 struktur. Flavonoid dapat ditemukan di sebagian besar tanaman dan sama dengan struktur fenilpropanoid dan asam hidroksibenzoat (Harborne 1999). Flavonoid adalah turunan dari chalcones yang dibentuk dari shikimate dan prekursor asetat (Edwards dan Gatehouse 1999). Sebagian besar karakteristik dari fenolik adalah kemampuan untuk mengionisasi. Beberapa polifenol memiliki kelompok catechol dan karena itu memiliki kemampuan untuk mengkelat ion logam divalen atau trivalen. Beberapa antosianin menjadi pengkelat terhadap magnesium atau besi. Fenol dengan substitusi o- atau p-dihidroksi dapat teroksidasi sesuai dengan quinon dan beberapa p-quinon (Harborne 1999). Klasifikasi bagian-bagian fenolik dapat
31
dilihat pada Tabel 6 dan struktur dari beberapa metabolit fenolik di tanaman dapat dilihat pada Gambar 9. Tabel 6 Klasifikasi bagian-bagian fenolik Subkelas
Deskripsi
Subkelas
Antosianin
Pigmen merah hingga biru pada bunga
Lignan
Antoklors
Benzofuran
Chromones
Kumarin Minoritas flavonoid Flavon dan flavonol Isoflavonoid
Pigmen kuning pada bunga: chalcones dan aurones Ada pada tumbuhan tingkat tinggi dan lichen Kelompok kecil dari zat pengobatan Lebih dari 700 struktur, tersebar luas pada tanaman Flavanon dan dihidroflavonol Struktur banyak, terutama dalam kombinasi glikosidik Karakteristik dari Leguminosae, dalam bentuk bebas
Fenol dan asam fenolik Fenolik keton
Fenilpropanoid
Quinonoid Stilbenoid
Deskripsi Umumnya ada pada kayu dan kulit kayu Beberapa asam yang umum pada tanaman Ada pada buah hop dan pakis Strukturnya banyak, tersebar luas Benzoquinon, naphthoquinon dan anthraquinon Termasuk dihidrofenantrin
Tanin
Kental dan dapat dihidrolisis
Xanton
Terutama pada Gentianaceae dan Guttiferae
Sumber: Harborne (1999)
Gambar 9 Beberapa senyawa aromatik fenol sederhana (Sumber: Robinson 1995)
32
2.7 Proses Pengukusan Pengukusan adalah proses pemanasan yang bertujuan menonaktifkan enzim yang akan mengubah warna, cita rasa, maupun nilai gizi. Pengukusan dilakukan dengan suhu air lebih tinggi dari 66 ºC, tetapi kurang dari 82 ºC. Pengukusan dan perebusan adalah metode konvensional yang telah lama dikenal untuk memasak (Romdhijati 2010). Pengukusan merupakan pemasakan bahan makanan dengan uap dari air yang mendidih. Alat yang digunakan berupa dandang, yaitu wadah perebusan yang terdiri dari dua bagian. Bagian bawah digunakan untuk air pengukus, sedangkan bagian atas yang dilengkapi dengan alas berlubang-lubang digunakan untuk tempat sayuran (Novary 1999). Pengukusan akan mengurangi zat gizi, namun tidak sebesar pada proses perebusan. Pemanasan pada proses pengukusan kadang tidak merata karena bahan makanan di bagian tepi tumpukan biasanya mengalami pengukusan berlebihan, sementara di bagian tengah mengalami pengukusan lebih sedikit. Pengukusan juga sering dilakukan industri sebelum proses pengalengan, bertujuan untuk menonaktifkan enzim, bukan untuk membunuh mikroba. Dalam kondisi enzim tidak aktif, perubahan warna, cita rasa, atau nilai gizi yang tidak dikehendaki selama proses penimpanan dapat dicegah (Romdhijati 2010). Metode pengukusan memberikan beberapa keuntungan, yaitu kandungan gizi tidak banyak berkurang; rasa sayuran lebih enak, renyah, dan harum; serta kemungkinan sayuran hangus hampir tidak ada (Novary 1999). Dandang pengukusan dapat dilihat pada Gambar 10 berikut.
Gambar 10 Dandang pengukusan dan bagian dalamnya
3 METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian mengenai Analisis Mikroskopis dan Komponen Bioaktif Tanaman Genjer (Limnocharis flava) di Kelurahan Situ Gede, Bogor dilaksanakan pada tanggal 17 April 2010 hingga 28 Agustus 2010. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Formulasi dan Diversifikasi Hasil Perairan; dan Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan; Pusat Antar Universitas; Laboratorium Analisis dan Keteknikan Pemanenan Hasil Hutan, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan; dan Laboratorium Mikroteknik, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. 3.2 Bahan dan Alat Tanaman genjer (Limnocharis flava) diperoleh dari wilayah Desa Cilubang-Nagrak, Kelurahan Situ Gede, Bogor. Tanaman diambil dari dua sawah yang berbeda di wilayah tersebut. Alat-alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Peralatan dan bahan yang digunakan dalam penelitian No 1) 2)
Tahap penelitian Tahap pengukuran Tahap pembuatan preparat dan pengamatan jaringan
Bahan
Alat
Akar, batang, daun tanaman genjer Akar, batang, daun tanaman genjer larutan FAA, etanol absolut, TBA, minyak parafin, parafin, xilol, larutan Gifford, etanol 95%; 70%; 50%; 30%, akuades, safranin 2%, dan fast green 0,5%, aniline blue, entellan
Penggaris, jangka sorong, planimeter, kurvimeter Botol film dan botol kaca kecil, holder, kotak blok, pinset, kuas, oven, mikrotom Yamato RV240, hot plate, gelas obyek, rak pewarna, mikroskop cahaya Olympus tipe CH20 dan kamera mikroskop Olympus DP12
34
Tabel 7 Lanjutan 3) Tahap analisis fitokimia
4) Tahap analisis proksimat dan total karoten
Ekstrak daun dan batang genjer, kloroform, amoniak, asam sulfat 2N, anhidrida asetat, HCl 2N, asam sulfat pekat, serbuk magnesium, amil alkohol, alkohol, etanol 70%, FeCl3 5%, air panas, pereaksi molisch, pereaksi Dragendorf, Wagner, dan pereaksi Meyer, pereaksi Liebermen Burchad, pereaksi biuret, serta ninhidrin 0,1% Sampel, akuades, K2SO4, selenium, H2SO4 pekat dan 1,25%, H2O2, asam borat 4%, NaOH, Na2S2O3, HCl 0,2 M, n-heksan, alkohol, KOH 5% dalam metanol, aseton, gas N2, Na2SO4
Tabung reaksi, beaker glass, kompor listrik, pipet tetes, pipet 1-10 ml, dan mortar
Dandang, oven, cawan porselen, gegep, desikator, timbangan, tanur pengabuan, kertas saring, kapas, selongsong lemak, labu lemak, soxhlet, erlenmeyer, gelas piala, labu kjeldahl, alat destilasi, biuret, gelas ukur, pipet volumetrik, corong Buchner, spektrofotometer
3.3 Prosedur Penelitian Penelitian ini terdiri atas beberapa tahapan, yaitu tahap pengukuran anatomi luar tanaman, tahap pembuatan preparat dan pengamatan jaringan, analisis fitokimia, serta analisis proksimat dan total karoten dari tanaman segar dan setelah proses pengukusan. Diagram alir prosedur penelitian dapat dilihat pada Gambar 11. Proses pengukusan untuk analisis proksimat tanaman genjer kukus dilakukan pada suhu yang berkisar 65-86 ºC selama 10 menit. Lama waktu pengukusan ditetapkan berdasarkan parameter pemasakan sayuran segar dan sayuran beku (Loh 2004, diacu dalam Bernhardt dan Schlich 2005). Batang dan daun genjer segar terlebih dahulu dibersihkan, dicuci dan dipisahkan dari akarnya, kemudian dipotong menjadi bagian daun dan batang. Pengukusan daun dan batang dilakukan secara bersamaan dengan menggunakan dandang.
35
Tanaman genjer
Pengukuran anatomi luar (32 sampel): 1) Luas dan keliling daun 2) Panjang dan ketebalan batang 3) Panjang akar
Analisis fitokimia (3 ulangan): 1) Daun 2) Batang
Analisis proksimat (4 ulangan) dan total karoten (2 ulangan) Sampel segar: 1) Daun 2) Batang Sampel kukus: 1) Daun 2) Batang
Analisis jaringan (2 ulangan): 1) Penampang daun 2) Penampang batang (atas, tengah, bawah) 3) Penampang akar
Karakteristik tanaman genjer: 1) Ukuran batang, daun, dan akar 2) Jaringan batang, daun, dan akar 3) Komponen bioaktif dalam daun dan batang 4) Kandungan gizi tanaman segar dan setelah pengukusan Gambar 11 Diagram alir prosedur penelitian 3.3.1 Pengukuran dimensi tanaman genjer Proses pengukuran tanaman genjer dilakukan terhadap daun, batang, dan akar tanaman. Tanaman genjer yang diukur berjumlah 32 sampel dan diambil dari wilayah Cilubang Nagrak, Kelurahan Situ Gede, Bogor. Pengukuran daun meliputi luas permukaan dengan alat planimeter dan keliling daun dengan alat kurvimeter. Daun terlebih dahulu digambar pada kertas dengan perbandingan skala 1:1. Kemudian daun diukur luas dan kelilingnya berdasarkan garis cetakan daun. Pengukuran batang tanaman dilakukan terhadap panjang batang dan ketebalan batang. Panjang batang diukur dari ujung batang dekat daun hingga pangkal batang dekat akar dengan menggunakan penggaris.
36
Ketebalan batang diukur dengan menggunakan jangka sorong. Pengukuran akar tanaman dilakukan terhadap panjang akar menggunakan penggaris. 3.3.2 Pembuatan preparat dengan metode parafin dan pengamatan jaringan Pengamatan jaringan tanaman diawali dengan pembuatan preparat tanaman genjer (Limnocharis flava) kemudian pengambilan gambar objek pada mikroskop. Pembuatan preparat dilakukan dengan metode parafin. Tahapannya terdiri atas fiksasi, pencucian, dehidrasi dan penjernihan, infiltrasi, penanaman dalam blok, penyayatan, perekatan, dan pewarnaan. Bagian tanaman genjer yang diambil adalah daun, batang atas, batang tengah, batang bawah, dan akar. Fiksasi dilakukan selama > 24 jam (5 hari) dalam larutan FAA, setelah itu larutan fiksasi dibuang dan sampel dicuci dengan etanol 50% sebanyak 4 kali dengan waktu penggantian masing-masing selama 30 menit. Kemudian dilakukan dehidrasi dan penjernihan secara bertahap melalui perendaman dalam larutan seri Johansen I-VII pada suhu ruang dengan perincian: 1) Johansen I selama 2 jam 2) Johansen II selama 24 jam 3) Johansen III selama 2 jam 4) Johansen IV selama 2 jam 5) Johansen V selama 2 jam 6) Johansen VI (TBA murni) selama 24 jam 7) Johansen VI (TBA murni) selama 2 jam 8) Johansen VI (TBA murni) selama 2 jam 9) Johansen VI (TBA murni) selama 2 jam 10) Johansen VII selama 4 jam Proses infiltrasi dimulai dari perendaman sampel dalam Johansen VII (TBA : minyak parafin 1:1) dan 1/3 parafin beku dan disimpan pada suhu kamar selama 4 jam yang dilanjutkan pengovenan pada suhu 58 ˚C selama 18 jam. Kemudian pergantian parafin dilakukan setiap 5 jam sekali sebanyak 4 kali pergantian. Proses penanaman dilakukan dengan cara sampel dari tahap infilrasi dimasukkan ke dalam blok kotak yang berisi parafin cair dan disimpan pada suhu ruang hingga benar-benar membeku. Proses penyayatan dilakukan dengan menggunakan mikrotom putar setebal 10 μm. Blok parafin terlebih dahulu
37
dipotong dan dirapihkan kemudian ditempelkan pada holder lalu disayat. Hasil sayatan direkatkan pada gelas obyek yang telah diolesi albumin-gliserin dan ditetesi air. Gelas berisi pita parafin kemudian dipanaskan pada hot plate dengan suhu 45 ºC selama 3-5 jam. Proses pewarnaan dilakukan dengan safranin 2% dalam air dan fast green 0,5% dalam etanol 95% serta safranin 2% dan aniline blue dalam alkohol 88%. Pewarnaan diawali dengan perendaman gelas obyek ke dalam larutan xilol 1 dan 2 masing-masing selama 15 menit, dilanjutkan perendaman dalam etanol absolut (100%), 95%, 70%, 50%, dan 30% masing-masing selama 3 menit. Setelah itu, obyek dibilas dengan akuades dan dimasukkan ke dalam safranin 2% selama 2 hari. Selanjutnya, gelas obyek dibilas ke dalam akuades dan dimasukkan ke dalam etanol 30%, 50%, 70%, 95%, dan absolut masing-masing selama 3 menit. Kemudian obyek dimasukkan ke dalam pewarna fast green 0,5% selama 10 menit lalu etanol absolut 1 dan 2 selama 3 menit. Gelas obyek kemudian direndam dalam xilol 1 dan xilol 2 selama 10 menit. Pewarnaan dengan aniline blue dilakukan sebagai pengganti fast green. Gelas obyek dimasukkan ke dalam aniline blue + alkohol 88% selama 10 menit, setelah etanol 70%. Kemudian obyek dimasukkan ke dalam etanol 95% + HCl 2 tetes selama beberapa detik dan dilanjutkan ke dalam etanol 95% selama 3 menit, seterusnya. Proses selanjutnya adalah penutupan dengan pemberian entellan atau canada balsam pada gelas obyek dan ditutupi dengan gelas penutup. Proses pengambilan gambar dilakukan dengan mikroskop cahaya Olympus CH20 dan kamera digital merek Olympus DP12. Diagram alir pembuatan preparat dapat dilihat pada Gambar 12. 3.3.3 Analisis fitokimia tanaman genjer (Harbone 1987) Analisis fitokimia tanaman genjer diawali dengan pembuatan ekstrak genjer meliputi ekstrak daun genjer dan ekstrak batang genjer dengan menggunakan pelarut n-heksana, etil asetat, dan metanol. Proses ekstraksi meliputi penghancuran sampel, maserasi, penyaringan, dan evaporasi. Diagram alir pembuatan ekstrak daun dan batang genjer dapat dilihat pada Gambar 13.
38
Tanaman genjer
Pemotongan bagian tanaman
Fiksasi dengan FAA
Pencucian dengan etanol 50%
Dehidrasi dan penjernihan dengan larutan seri Johansen
Infiltrasi dengan parafin
Penanaman dalam parafin
Penyayatan blok parafin
Perekatan pada gelas objek
Pewarnaan dengan safranin 2% + fast green 0,5% dan safranin 2% + aniline blue
Pengamatan dengan mikroskop Gambar 12 Diagram alir pembuatan preparat dengan metode parafin
39
Sampel
Pencucian dan pencacahan
Penimbangan
Pemasukan dalam erlenmeyer
Maserasi
Maserasi dalam n-heksana (24 jam) + goyangan
Ampas Filtrat n-heksana Maserasi dalam etil asetat (24 jam) + goyangan
Ampas
Filtrat etil asetat
Maserasi dalam metanol (24 jam) + goyangan
Ampas Filtrat metanol
Pengevaporasian dengan vacum evaporator (30-40 ºC)
Ekstrak kasar n-heksana, etil asetat, metanol Gambar 13 Diagram alir pembuatan ekstrak daun dan batang genjer (Sumber: Quinn 1988, diacu dalam Hardiningtyas 2007)
40
1) Alkaloid Pengukuran kandungan alkaloid dilakukan dengan melarutkan ekstrak sampel dalam beberapa tetes asam sulfat 2N kemudian diuji dengan tiga pereaksi alkaloid, yaitu Dragendorff, Meyer, dan Wagner. Sampel positif mengandung alkaloid bila terbentuk endapan berwarna merah sampai jingga pada pereaksi Dragendorff, endapan putih kekuningan pada pereaksi Meyer, dan endapan coklat pada pereaksi Wagner. 2) Steroid/triterpenoid Sejumlah ekstrak sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform dalam tabung reaksi yang kering, lalu ke dalamnya ditambahkan 10 tetes anhidrida asetat dan 3 tetes asam sulfat pekat. Terbentuknya larutan berwarna merah untuk pertama kali, kemudian berubah menjadi biru dan hijau menunjukkan reaksi positif. 3) Flavonoid Sejumlah ekstrak sampel ditambahkan serbuk magnesium 0,1 mg dan 0,4 ml amil alkohol (campuran HCL 37% dan etanol 95% dengan volume yang sama) dan ditambahkan 4 ml alkohol kemudian campuran dikocok. Terbentuknya warna merah, kuning, atau jingga pada lapisan amil alkohol menunjukkan adanya flavonoid. 4) Saponin Saponin dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. Busa yang stabil selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2N menunjukkan adanya saponin. 5) Fenol hidrokuinon Sebanyak 1 gr sampel diekstrak dengan 20 ml etanol 70%. Larutan yang dihasilkan diambil sebanyak 1 ml kemudian ditambahkan 2 tetes larutan FeCl 3 5%. Terbentuknya warna hijau atau hijau biru menunjukkan adanya senyawa fenol dalam bahan. 6) Uji molisch Sebanyak 1 ml larutan sampel diberi 2 tetes pereaksi molisch dan 1 ml H2SO4 pekat melalui dinding tabung. Uji positif yang menunjukkan adanya karbohidrat ditandai oleh terbentuknya kompleks berwarna ungu di antara dua lapisan cairan.
41
7) Uji benedict Larutan sampel sebanyak 8 tetes dimasukkan ke dalam 5 ml pereaksi benedict. Campuran dikocok dan dididihkan selama 5 menit. Terbentuknya warna hijau, kuning, atau endapan merah bata menunjukkan adanya gula pereduksi. 8) Uji biuret Sebanyak 1 ml larutan sampel ditambahkan 4 ml pereaksi biuret. Campuran dikocok dengan seksama. Terbentuknya larutan berwarna ungu menunjukkan hasil positif adanya senyawa peptida. 9) Uji ninhidrin Sebanyak 2 ml larutan sampel ditambahkan beberapa tetes larutan ninhidrin 0,1%. Campuran dipanaskan dalam penangas air selama 10 menit. Terbentuknya larutan berwarna ungu menunjukkan reaksi yang positif terhadap adanya asam amino. 3.3.4 Analisis proksimat dan total karoten Analisis proksimat dilakukan terhadap tanaman genjer segar dan tanaman genjer setelah proses pengukusan dengan pembedaan bagian daun dan batang, ulangan sebanyak 4 kali. Analisis proksimat terdiri atas kadar air, kadar abu, kadar protein kasar, kadar lemak kasar, dan serat kasar. 1) Kadar air (AOAC 2007) Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar air adalah mengeringkan cawan porselen dalam oven pada suhu 105 ºC selama 1 jam. Cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator (±15 menit) dan dibiarkan sampai dingin kemudian ditimbang. Cawan tersebut ditimbang kembali hingga beratnya konstan, sebanyak 5 gram contoh dimasukkan ke dalam cawan tersebut, kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 105 ºC selama 5 jam. Setelah selesai proses, cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator dan dibiarkan sampai dingin dan selanjutnya ditimbang kembali. Perhitungan kadar air sampel adalah:
% Kadar air =
x 100%
42
2) Kadar abu (AOAC 2007) Preparasi
sampel
tanaman
untuk
zat
mineral
adalah
dengan
menghilangkan seluruh bahan asing dari sampel, terutama tanah yang melekat atau pasir, namun untuk mencegah terjadinya pelepasan, maka tidak mencuci sampel secara berlebihan. Sampel segera dikeringkan untuk mencegah dekomposisi atau kehilangan berat. Sampel sebanyak 2 gram ditimbang dalam porselen dan tempatkan dalam suhu terkontrol dari tanur yang dipanaskan hingga 600 ºC. Pengabuan berlangsung selama 2 jam. Porselen segera dipindahkan ke dalam desikator untuk didinginkan dan penimbangan berat akhir sampel. % (w/w) abu =
x 100%
3) Kadar protein kasar (AOAC 2007) Tahap dalam analisis kadar protein terdiri atas destruksi, destilasi, dan titrasi. Analisis kadar protein dilakukan dengan metode Kjeldahl. Sampel sebanyak 0,7-2,2 gram dimasukkan ke dalam labu destruksi kemudian ditambahkan 0,7 gram HgO atau 0,65 metallic Hg, 15 gram serbuk K2SO4 atau Na2SO4 serta 25 mL H2SO4. Labu kemudian ditempatkan dalam posisi miring dan dipanaskan secara perlahan hingga buih menghilang. Larutan sampel dididihkan hingga larutan jernih pada suhu 410 ºC selama ± 2 jam. Sampel didinginkan dan ditambahkan 200 mL H2O, 25 mL larutan sulfida atau tiosulfat serta dicampurkan dengan percepatan Hg. Selanjutnya, sampel ditambahkan sedikit bubuk Zn dan ditambahkan 15 gram NaOH. Kemudian, labu dihubungkan ke pipa destilasi pada kondensor. Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer 125 yang berisi 25 mL asam borat (H3BO3) 4% yang mengandung indikator bromcherosol green 0,1% dan methyl red 0,1% dengan perbandingan 2:1. Erlenmeyer digoyangkan perlahan untuk mencampurkan hasil destilasi dan labu dipanaskan hingga seluruh NH3 terdestilasi (≥ 150 mL hasil destilasi). Hasil destilasi kemudian dititrasi dengan larutan standar NaOH atau standar HCl 0,2 N hingga terjadi perubahan warna merah muda yang pertama kalinya.Volume titran dibaca dan dicatat. Kadar protein saat HCl standar digunakan adalah:
43
%N=
Kadar protein saat H2SO4 standar digunakan adalah:
% N=
4) Kadar lemak kasar (AOAC 2007) Sampel sebanyak 1-5 gram (S) yang mengandung 100-200 mg lemak dimasukkan ke dalam selongsong selulosa. Banyaknya sampel berdasarkan kandungan lemaknya: Lemak kasar (%)
Berat sampel (g)
<2
5
5
2-4
10
1-2
>20
1
Selongsong yang berisi sampel dikeringkan pada suhu 102±2 ºC selama 2 jam. Pelarut dan sampel harus bebas dari air untuk mencegah ekstraksi komponen yang larut air. Kapas bebas lemak dapat ditambahkan sebagai penutup selongsong sebelum
pengeringan.
Ekstraktor
dipanaskan
dan
kondensor
pendingin
dinyalakan. Tabung ekstraksi kosong ditimbang sebagai T. Selongsong dimasukkan ke dalam tabung ekstraksi dan sejumlah pelarut heksan ditambahkan ke dalam tabung ekstraksi hingga menutupi sampel. Tabung ekstraksi ditempatkan di bawah kolom ekstraksi. Selongsong dibenamkan ke dalam pelarut dan dididihkan selama 20 menit. Selongsong diangkat dari pelarut lalu diekstraksi kembali selama 40 menit. Selanjutnya, pelarut dalam tabung didestilasi hingga menjadi murni dan mencapai kondisi kering. Tabung ekstraksi dipindahkan dari ekstraktor dan ditempatkan dalam proses penguapan untuk menyelesaikan evaporasi pelarut pada suhu rendah. Tabung ekstaksi kemudian dikeringkan dalam 102±2 ºC selama 30 menit untuk menghilangkan kelembaban. Selanjutnya, tabung ekstraksi didinginkan pada suhu ruang dalam desikator dan ditimbang sebagai F.
44
% Lemak kasar (ekstrak heksan) =
x 100%
5) Kadar serat kasar (AOAC 2007) Ekstrak sampel sebanyak 2 gram (W1) dengan eter ataupun petroleum eter dimasukkan ke dalam gelas piala 600 ml dan ditambahkan 0,25-05 gram bumping granule, kemudian ditambahkan 200 ml H2SO4 1,25% yang hampir mendidih. Larutan dididihkan selama 30 menit dan digoyangkan secara berkala. Kemudian larutan disaring dengan kertas saring dan bantuan corong Buchner lalu divakumkan pada tekanan 25 mm Hg. Residu dibilas dengan air yang hampir mendidih sebanyak 40-50 ml sebanyak 4 kali, kemudian disaring. Residu dari kertas saring + corong Buchner dibilas dengan NaOH 1,25% yang hampir mendidih ke dalam gelas piala dan direfluks selama 30 menit. Kemudian larutan disaring dan divakum kembali. Residu dibilas kembali dengan air yang hampir mendidih. Residu kembali dibilas dengan 25-30 ml H2SO4 1,25% (hampir mendidih) sebanyak 1 kali dan dibilas dengan 20-30 ml air (hampir mendidih) sebanyak 2 kali lalu. Residu beserta kertas saring dikeringkan pada suhu 130±2 ºC selama 2 jam atau semalam pada 110 ºC dan didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang (W2). Residu + kertas saring diabukan pada suhu 550±10 ºC selama 2 jam, didinginkan dalam desikator dan ditimbang (W3). Serat kasar % =
x 100%
W2
: Bobot residu sebelum diabukan tanpa kertas saring dan cawan
W3
: Bobot residu setelah diabukan tanpa cawan
6) Analisis total karoten (Parker 1996) Sampel sebanyak ± 10 gram ditimbang lalu ditambahkan 30 ml heksan dan diaduk selama 15 menit. Ekstraksi karotenoid dilakukan dengan cara membilas sampel menggunakan campuran heksan aseton (1:1) sebanyak 15 ml dengan dua kali pengulangan. Larutan pengektrak tersebut dikumpulkan dan ditambahkan 10 ml akuades kemudian diaduk, lapisan atas (lapisan heksan) dipisahkan. Larutan heksan dikeringkan dengan gas N2 dalam tabung reaksi tertutup sehingga
45
diperoleh lemak. Ekstraksi karotenoid dilakukan sebelum maupun sesudah penyabunan. Penyabunan dilakukan dengan menambahkan 5 ml KOH 5% dalam metanol sebanyak 5 ml ke dalam tabung reaksi yang berisi lemak kemudian dipanaskan selama 30 menit pada suhu 60 °C. Larutan kemudian didinginkan dan ditambahkan akuades sebanyak 5 ml lalu divorteks. Selanjutnya, larutan tersebut ditambahkan 5 ml heksan dengan pengulangan sebanyak 3 kali dan larutan heksan dikumpulkan. Larutan heksan dicuci dengan 5 ml air kemudian lapisan heksan dipisahkan dengan menyaringnya melewati Na2SO4 anhidrat. Heksan kembali dikeringkan dengan gas N2 dan residu dilarutkan kembali dalam heksan 10 ml. Absorbansi diukur pada panjang gelombang 450 nm. Rumus perhitungan total karoten adalah: Total karoten (μg/g) =
3.3.5 Pengolahan data dan pengujian hipotesis Pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan software Minitab 15 dan Microsoft Excel 2007. Pendugaan terhadap penurunan nilai gizi dan vitamin A dari tanaman genjer setelah proses pengukusan diperiksa dengan menggunakan suatu uji hipotesis dua populasi melalui uji t-student. Pengujian hipotesis dua populasi dilakukan terhadap nilai tengah dua populasi dari nilai gizi tanaman segar (μ1) dan nilai gizi tanaman setelah pengukusan (μ2). Adapun hipotesis yang diajukan adalah: H0 : Komposisi gizi tanaman genjer setelah pengukusan (μ2) mengalami peningkatan persentase atau sama dengan komposisi gizi tanaman genjer segar (μ1) (μ1 ≤ μ2). H1 : Komposisi gizi tanaman genjer setelah pengukusan (μ2) mengalami penurunan persentase dibandingkan komposisi gizi tanaman genjer segar (μ1) atau (μ1 > μ2). Asumsi: 1) Populasi nilai gizi dari tanaman segar dan setelah pengukusan menyebar normal.
46
2) Ragam kedua populasi σ1 dan σ2 adalah sama. Nilai statistik uji t-student adalah (Walpole 1992):
t=
v = n1 + n2 – 2, σ1 = σ2 tetapi tidak diketahui s2 p =
Keterangan: n1
: Jumlah contoh dari tanaman genjer segar
n2
: Jumlah contoh dari tanaman genjer setelah pengukusan
x1
: Nilai rataan dari komposisi gizi tanaman genjer segar
x2
: Nilai rataan dari komposisi gizi tanaman setelah pengukusan
d0
: Selisih dari x1 dan x2
s1
: Simpangan baku dari komposisi gizi tanaman genjer segar
s2
: Simpangan baku dari komposisi gizi tanaman genjer setelah pengukusan
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Anatomi dan Morfologi Tanaman Genjer (Limnocharis flava) Tanaman genjer ini diperoleh dari Desa Cilubang-Nagrak, Kelurahan Situ Gede, Bogor dan diambil di wilayah persawahan seluas 300 m2 dan 1300 m2. Morfologi tanaman genjer (Limnocharis flava) dapat dilihat pada Gambar 14 berikut.
Daun
Batang
Akar Gambar 114 Morfologi tanaman genjer (Limnocharis flava) Tanaman genjer memiliki daun berwarna hijau muda hingga hijau tua dengan bentuk oval dan bulat telur. Tepi daun berombak dan daunnya merupakan daun tunggal, yakni satu batang hanya memiliki satu daun. Daun memiliki uraturat halus yang memotong urat halus utama longitudinal. Batang tanaman berbentuk hampir segitiga dan berwarna hijau muda. Batang juga menopang buah dan bunga. Akar tanaman berupa akar serabut dan memiliki rambut-rambut halus. Tanaman ini memiliki bunga dengan kelopak berwarna kuning dan buah yang berbentuk bulat. Setiap buah terdiri atas selaput berlapis yang berisi biji berwarna coklat. 4.1.1 Deskripsi histologi daun Daun tanaman genjer tersusun atas jaringan epidermis, jaringan dasar (mesofil), jaringan pengangkut, jaringan penguat berupa kolenkim dan sklerenkim. Permukaan atas dan bawah daun genjer dilapisi oleh jaringan
48
epidermis. Menurut Berg (2008) bahwa jaringan epidermis terdiri atas sel-sel parenkima, sel-sel penjaga, dan trikoma. Epidermis daun genjer tidak memiliki trikoma yaitu struktur padat seperti tonjolan, struktur kelenjar, dan duri. Sel-sel penyusun epidermis memiliki bentuk yang tidak seragam dan tidak beraturan, tersusun rapat membentuk lapisan padat dan tidak terdapat ruang antar sel. Lapisan epidermis bagian atas dan bawah daun terdiri atas satu lapis sel tunggal. Dinding sel penyusun epidermis memiliki panjang sisi dinding bagian atas lebih besar daripada di bagian bawah. Sisi dinding bagian samping dari sel penyusun epidermis memiliki permukaan bundar dan berukuran lebih kecil dibandingkan sisi dinding atas dan bawah dari sel tersebut. Panjang dinding suatu sel epidermis sebesar ±10 μm. Ketebalan lapisan epidermis sebesar ±2,5 μm. Penampang melintang daun genjer dapat dilihat pada Gambar 15.
Gambar 15 Penampang melintang daun genjer (Limnocharis flava) (10 x 10) [A: epidermis atas, B: parenkim palisade, C: parenkim spons, D: berkas pembuluh, E: seludang pembuluh, F: epidermis bawah] Jaringan epidermis daun genjer memiliki derivatnya berupa stomata daun. Stoma merupakan lubang atau celah yang terdapat pada epidermis organ tumbuhan yang berwarna hijau, dibatasi oleh sel khusus yang disebut sel penutup (Nugroho et al. 2006). Stomata pada daun genjer terdapat pada kedua sisi atas dan bawah daun, dikategorikan sebagai daun amphistomatous. Jenis stomata yang terdapat pada epidermis daun tanaman genjer berdasarkan penampakan stomata dewasa adalah jenis parasitik, yaitu stoma yang didampingi oleh satu atau lebih sel tetangga yang sejajar terhadap sumbu panjang dari celah dan sel penjaga
49
(Dickison 2000). Pengamatan stomata di bagian epidermis atas dan bawah daun genjer dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Pengamatan stomata daun genjer Bagian daun Epidermis atas Epidermis bawah
Ulangan 1 2 3 1 2 3
Kerapatan stomata (per mm2) 91,51±12,33 99,93±6,86 68,63±10,07 90,30±11,26 107,16±9,89 69,83±23,16
Ukuran stomata (μm) Panjang
Lebar
Indeks stomata
32,37±0,81 30,25±1,29 30,81±1,35 32,93±0,52 30,87±1,81 33,12±0,98
16,62±0,40 16,18±0,60 16,81±0,26 17,37±0,95 17,50±0,38 19,68±0,58
10,13±1,33 10,36±0,50 8,41±1,21 10,41±1,08 11,42±0,84 9,04±2,48
Kerapatan stomata merupakan jumlah stomata per mm2 area daun (Mulyani 2006). Kerapatan stomata daun genjer pada bagian epidermis atas dan bawah tidak jauh berbeda, yakni berkisar 90-107/mm2. Kerapatan stomata yang kecil (ulangan 3) menunjukkan bahwa jumlah stomata yang sedikit per mm 2, mengingat pengamatan kerapatan stomata dilakukan pada bidang pandang yang dekat dengan gurat pembuluh daun. Mulyani (2006) menyatakan bahwa kekerapan stomata menurun dengan menurunnya intensitas sinar. Intensitas sinar matahari yang diterima oleh daun genjer diduga hampir sama di semua bagian daun dan tegaknya daun hampir menyamai posisi vertikal, sehingga kerapatan stomata daun bagian atas dan bawah tidak berbeda jauh. Ukuran stomata daun genjer meliputi panjang dan lebar stomata. Panjang stomata diperoleh dari pengukuran panjang celah ataupun sel penjaga stomata yang berkisar 30-33 μm. Lebar stomata merupakan gabungan lebar kedua sel penjaga yang berkisar 16-19 μm. Sel penjaga stomata daun genjer berbentuk seperti ginjal dan melengkung ke dalam. Sel penjaga atau sel penutup berperan mengatur pertukaran gas dari daun (Scott 2008). Indeks stomata menunjukkan persentase jumlah stomata terhadap seluruh sel epidermis. Indeks stomata daun genjer berkisar 8-11. Bentuk dan penyebaran stomata daun genjer dapat dilihat pada Gambar 16 dan 17.
50
1
2
Gambar 16 Stomata daun epidermis atas (1: 40x10, 2: 10x10) [A, D: sel tetangga, B: sel penjaga, C: celah stomata, E: inti sel tetangga] 1
2
Gambar 17 Stomata daun epidermis bawah (1: 40x10, 2: 10x10) [A, D: sel tetangga, B: sel penjaga, C: celah stomata, E: inti sel tetangga] Jaringan epidermis daun genjer dilapisi oleh suatu lapisan senyawa yang dinamakan kutikula. Lapisan kutikula dibentuk dengan menempatkan kutin di antara mikroserabut selulosa lapisan dinding paling luar, tempat terdapatnya pektin dan hemiselulosa (Mulyani 2006). Daun genjer berkutikula tipis. Hal ini sesuai dengan teori bahwa epidermis tumbuhan air tidak berfungsi untuk perlindungan, tetapi untuk pengeluaran zat makanan, senyawa air, dan pertukaran gas. Kutikula dan dinding selnya sangat tipis (Mulyani 2006). Mesofil daun genjer terdiri atas parenkim palisade dan parenkim spons. Parenkim palisade terletak di bawah lapisan epidermis daun bagian atas. Parenkim palisade pada penampang melintang jaringan daun genjer tampak tegak lurus dan berbentuk seperti lobus yang bercabang, tersusun dalam deretan. Parenkim palisade tersebut tersusun hanya selapis dan rapat satu sama lain. Parenkim palisade ini terdapat di bagian atas penampang jaringan dan banyak mengandung kloroplas. Kloroplas ditunjukkan oleh titik-titik yang tersebar di dalam parenkim palisade. Menurut Nugroho et al. (2006), sel palisade tegak pada permukaan daun,
51
rapat satu sama lain, dan banyak mengandung kloroplas, berfungsi untuk menangkap cahaya. Ketebalan parenkim palisade mencapai ±25 μm. Parenkim palisade daun genjer membentuk ruang antar sel di antara lobus-lobus sel, yakni tampak celah-celah di antara sel-sel parenkim palisade pada penampang melintang daun, sehingga udara dapat menjangkau parenkim palisade. Parenkim spons tanaman genjer terletak di bawah parenkim palisade dan di atas epidermis bawah. Parenkim spons, pada penampang melintang daun genjer, berbentuk seperti lobus yang berongga. Parenkim spons juga mengandung kloroplas namun tidak sebanyak kloroplas pada parenkim palisade. Berdasarkan teori bahwa, jaringan bunga karang (spons) tersusun oleh sel-sel yang tak teratur, berdinding tipis, lepas, dan mengandung kloroplas dalam jumlah sedikit (Nugroho et al. 2006). Rongga-rongga yang terbentuk dari lobus-lobus palisade dan spons diduga merupakan rongga udara pada daun genjer. Rongga udara ini menyebabkan daun genjer bersifat ringan dan mengapung jika diletakkan di atas air. Menurut Fahn (1991), ruangan udara ini adalah lakuna yang biasanya dipisahkan oleh partisi tipis satu atau dua lapisan sel yang mengandung kloroplas. Lakuna berisi diafragma yang merupakan lapisan tunggal sel-sel dengan interselular yang kecil dan tampak sebagai pori, berfungsi membiarkan laluan gas dan bukannya air. Berkas pembuluh pada penampang melintang daun genjer tampak membentuk sistem yang berkaitan dan terkumpul di tengah penampang melintang daun. Berkas pembuluh ini merupakan tulang daun genjer. Berkas pembuluh ini terdiri atas xilem dan floem. Sel xilem pada berkas pembuluh daun genjer tampak berukuran besar dan berbentuk tak beraturan. Xilem terletak dekat parenkim spons dan parenkim palisade. Sel floem tampak berukuran kecil, tak beraturan, dan tersebar di bawah pembuluh xilem. Berkas pembuluh dikelilingi oleh lapisan seludang pembuluh yang terdiri atas sel-sel parenkim, disamping itu terdapat pula perluasan seludang pembuluh. Perluasan seludang pembuluh terdapat di bawah pembuluh floem. Menurut Dickison (2000) bahwa susunan xilem pada posisi adaksial (dekat dengan ruas atas daun) sedangkan floem pada posisi abaksial (dekat dengan ruas bawah daun).
52
4.1.2 Deskripsi histologi batang Batang tanaman berperan dalam mendukung daun dan struktur reproduksi tanaman, menyediakan pengangkut bagian dalam, dan menghasilkan jaringan baru (Berg 2008). Deskripsi histologi batang tanaman genjer dibagi ke dalam tiga bagian yaitu batang dekat daun, batang tengah, dan batang dekat akar. Batang genjer berbentuk seperti segitiga dan terdapat banyak rongga udara yang berbentuk segi enam. Dalam keadaan segar, irisan melintang batang genjer dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 18 Irisan melintang batang genjer segar Batang tanaman genjer berwarna hijau muda, diduga batang tanaman ini memiliki stomata pada lapisan epidermisnya. Jaringan yang terdapat pada batang genjer diduga adalah jaringan epidermis dan derivatnya, korteksnya, dan stele. Lapisan terluar batang tanaman genjer adalah lapisan epidermis. Lapisan epidermis batang dapat dilihat pada Gambar 19 Z. Jaringan epidermis batang genjer terdiri atas satu lapis sel dan tersusun rapat. Pada penampang melintang batang genjer, bentuk sel epidermis tidak beraturan, umumnya hampir menyamai bentuk persegi panjang. Dinding sel epidermis bagian atas berukuran lebih panjang daripada dinding sel bagian bawah. Dinding sel sisi samping tampak tegak dan berukuran lebih kecil dibandingkan dinding sel bagian atas. Dinding luar sel epidermis tampak tidak mengalami penebalan dari zat kutin, diduga kutikula yang terdapat pada batang sangat tipis sehingga penebalan yang terjadi tidak terlihat. Nugroho et al. (2006) menyatakan bahwa susunan epidermis menyebabkan terjadinya pengurangan transpirasi dan
53
melindungi jaringan di sebelah dalamnya. Dalam hal ini, lapisan epidermis batang genjer diduga tidak mendukung terjadinya pengurangan transpirasi, karena lapisan kutikulanya sangat tipis dan memungkinkan transpirasi lebih banyak terjadi. Derivat epidermis batang genjer adalah stomata. Korteks batang tanaman genjer terdiri atas sel parenkim. Lapisan korteks batang dapat dilihat pada Gambar 19 Z. Pada gambar tersebut, terlihat bahwa selsel parenkim pada korteks mengandung kloroplas yang ditandai dengan adanya butiran hijau. Disamping itu, sel parenkim korteks juga diduga mengandung pati yang ditandai oleh adanya butiran berwarna ungu pada sel parenkim tersebut. Di antara sel-sel parenkim penyusun korteks terdapat ruang antar sel yang mencolok besarnya, dan dikelilingi oleh sel-sel yang berukuran lebih kecil. Ruang antar sel tersebut merupakan bagian dalam empelur. Batang tumbuhan air berisi suatu sistem ruang antar sel yang meluas sehingga melalui ruang tersebut terjadi difusi gas secara bebas (Fahn 1991). Selsel parenkim pada korteks batang genjer juga berkembang menjadi sistem ruang antar sel yang sangat luas. Ruang antar sel yang disebut lakuna tampak jelas berbentuk seperti segi enam ataupun segi lima. Lakuna ini mendominasi pada penampang melintang batang genjer. Lakuna dipisahkan oleh diafragma yang tersusun atas satu lapisan sel-sel parenkim. Sel-sel parenkim yang membentuk ruang antar sel disebut juga aerenchym. Ruang antar sel ini berfungsi sebagai tempat berlangsungnya pertukaran udara (Fahn 1991). Ruang antar sel pada batang dekat daun berukuran lebih kecil dibandingkan ruang antar sel pada batang tengah, sedangkan batang dekat akar memiliki ruang antar sel lebih banyak dan berukuran lebih kecil daripada batang dekat daun dan batang tengah. Jaringan batang dekat akar lebih kompleks dibandingkan bagian batang lainnya, hal ini diduga karena batang dekat akar merupakan bagian batang paling tua. Disamping itu, batang dekat akar menjadi bagian tanaman yang pertama kali menerima serapan unsur hara dan absorbsi gas dari akar untuk ditransportasikan hingga ke daun. Ruang-ruang antar sel pada batang genjer dapat dilihat pada Gambar 19 berikut.
54
W
X
Y
Z
Gambar 19 Berkas pembuluh pada batang genjer beserta epidermis dan korteks batang W: batang dekat daun (4 x 10), X: batang tengah (4 x 10), Y: batang dekat akar (4 x 10), Z: lapisan epidermis dan korteks batang genjer (10 x 10) [A: sel epidermis, B: korteks, C: lakuna, D: diafragma, E: endodermis, F: floem, G: xilem]. Berkas pembuluh pada batang dekat daun dan batang tengah tersusun tegak lurus terhadap penampang batang genjer yang berbentuk segitiga. Berkas pembuluh pada batang dekat akar juga tersusun tegak lurus, namun terdapat pula berkas pembuluh yang tersebar pada lengkungan batang tersebut sebagai perpanjangan dari kedua sisi dari segitiga batang. Berkas pembuluh batang genjer dikelilingi oleh sejumlah sel yang merupakan bagian endodermis. Berkas pembuluh batang terbagi atas floem dan xilem. Floem terdiri atas sel-sel yang berukuran kecil dan mengelilingi pembuluh xilem. Pembuluh xilem terdapat di sebelah dalam dari pembuluh floem, yang terdiri atas protoxilem dan metaxilem. Protoxilem tampak berukuran lebih kecil dibandingkan metaxilem dan tersusun mengelilingi metaxilem. Metaxilem terletak di tengah berkas pembuluh dan berukuran sangat besar dibandingkan pembuluh lainnya.
55
Sistem jaringan pembuluh pada batang tanaman genjer adalah tipe berkas konsentris amfikribral, yaitu floem mengelilingi xilem (amfikribral). Menurut Hidayat (1995), tipe sistem jaringan pembuluh ini sering ditemukan pada paku dan sebagai ikatan pembuluh kecil pada bunga, biji, buah Angiospermae. Berkas pembuluh batang genjer dapat dilihat pada Gambar 19 W, X, dan Y. 4.1.3 Deskripsi histologi akar Anatomi akar tanaman genjer terdiri atas jaringan epidermis akar (rhizodermis), korteks, endodermis dan stele. Akar tanaman genjer merupakan akar serabut dan berkembang dari batang tanaman. Akar tanaman ini memiliki rambut akar yang berfungsi menyerap air dan garam mineral. Menurut Mulyani (2006) bahwa tumbuhan air tidak memiliki rambut akar. Tanaman ini menancap pada substat lumpur di rawa-rawa maupun sawah yang berair, sehingga epidermis akar membentuk tonjolan berupa rambut akar untuk mendukung fungsi akar. Morfologi akar tanaman genjer dapat dilihat pada Gambar 20.
Gambar 120 Morfologi akar tanaman genjer (Limnocharis flava) Lapisan epidermis akar merupakan lapisan terluar dari anatomi akar genjer, yang disebut dengan rhizodermis. Lapisan rhizodermis tersebut terdiri atas sel-sel parenkim yang berbentuk tidak beraturan. Sel-sel epidermis akar berdinding tipis dan biasanya tidak mengandung kutikula (Nugroho et al. 2006). Penampang melintang akar tanaman genjer dapat dilihat pada Gambar 21.
56
Gambar 21 Penampang melintang akar tanaman genjer (4 x 10) beserta berkas pembuluhnya (10 x 10) [A: rhizodermis, B: ruang antar sel, C: korteks, D: endodermis, E: floem, F: metaxilem yang dikelilingi protoxilem] Korteks, umumnya tersusun atas sel-sel parenkim yang kadang-kadang mengandung karbohidrat dan kadang mengandung kristal. Pada korteks akar sering terdapat ruang antar sel yang terbentuk secara skizogen. Korteks akar Palmae sering terdapat saluran udara yang besar (Nugroho et al. 2006; Mulyani 2006). Bagian korteks akar tanaman genjer yang ditunjukkan oleh penampang melintang akar terlihat lebar dan memiliki ruang antar sel. Sel-sel parenkim penyusun korteks berbentuk tidak beraturan dan tidak memiliki kloroplas. Ruang antar sel pada korteks tersebut diduga sebagai saluran udara pada akar. Korteks akar tanaman genjer juga membentuk lapisan endodermis. Endodermis tersebut tersusun oleh satu lapisan sel yang berbeda bentuknya. Endodermis tersusun rapat dan menjadi pembatas antara lapisan korteks dan stele akar. Menurut Nugroho et al. (2006), endodermis, tersusun oleh satu lapis sel yang berbeda secara fisiologi, struktur, dan fungsi dengan lapisan sel di sekitarnya. Endodermis terbagi menjadi endodermis primer, sekunder, dan endodermis tersier. Lapisan endodermis akar genjer diduga terbagi menjadi lapisan primer, sekunder, dan tersier sehingga terdapat beberapa lapisan yang mengelilingi berkas pembuluh (stele). Bagian stele akar tanaman genjer terdiri atas berkas pengangkut. Jaringan pengangkut akar genjer yang tampak pada penampang melintang akarnya adalah xilem dan floem. Berkas pengangkut xilem terdiri atas metaxilem yang berbentuk
57
bulat berukuran besar dan protoxilem yang berbentuk bulat berukuran sedang dan mengelilingi metaxilem. Susunan xilem akar, dimana protoxilem terletak di sebelah luar dari metaxilem disebut eksark (Mulyani 2006). Jumlah kelompok protoxilem akar tanaman genjer termasuk poliarch, yaitu protoxilem berjumlah banyak. Berkas pengangkut floem terdapat di sekitar protoxilem bagian luar. Bentuk berkas floem tidak beraturan berukuran lebih kecil dibandingkan berkas xilem. 4.2 Dimensi Tanaman Genjer (Limnocharis flava) Sampel tanaman genjer yang diambil untuk pengukuran tanaman adalah 32 sampel yang diharapkan dapat mewakili seluruh sampel yang digunakan dalam penelitian ini. Besaran yang digunakan dalam pengukuran tanaman genjer pada penelitian ini adalah luas dan keliling daun, panjang dan tebal batang, serta panjang akar. Secara umum, hasil pengukuran tanaman genjer dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Hasil pengukuran tanaman genjer (Limnocharis flava) Besaran pengukuran Luas daun Keliling daun Panjang batang Tebal batang Panjang akar
Satuan
Selang ukuran
cm2 cm cm cm cm
65,75±13,88 29,00±3,14 21,65±2,76 0,66±0,11 10,25±3,69
Ukuran minimal 38,20 22,00 15,90 0,43 6,00
Ukuran maksimal 94,13 35,00 30,00 0,97 22,40
Hasil pengukuran daun genjer yang diteliti meliputi luas dan keliling daun menunjukkan bahwa luas daun genjer berkisar pada 65,75±13,88 cm2 dengan keliling daun berkisar 29,00±3,14 cm. Panjang batang genjer yang digunakan menunjukkan selang ukuran sebesar 21,65±2,76 cm. Ketebalan batang tanaman genjer mencapai 0,66±0,11 cm. Panjang akar tanaman berkisar 10,25±3,69 cm. Ukuran dari daun, batang, dan akar tanaman genjer dapat menggambarkan karakteristik morfologi tanaman genjer yang digunakan dalam penelitian ini. Ukuran tanaman genjer yang diteliti dapat dilihat secara spesifik dalam diagram box plot untuk masing-masing besaran dengan ukuran pemusatan adalah kuartil 1 (Q1), median (Q2), kuartil 3 (Q3), batas atas (BA), batas bawah (BB). Sebaran
58
hasil pengukuran terhadap luas dan keliling daun tanaman genjer dapat dilihat pada Gambar 22 berikut.
Luas Daun Tanaman
Keliling Daun Tanaman
100
36
BA
BA
34 32
80
Keliling Daun (cm)
Luas Daun (cm2)
90
Q3 70
Q2 60
Q1 50
30
Q3 Q2
28 26
Q1
24
BB
40
22
BB
Gambar 22 Sebaran luas dan keliling daun tanaman genjer (luas daun (cm2) Q1: 54,55; Q2: 66,15; Q3: 74,30; BA: 94,13; BB: 38,20 dan keliling daun (cm) Q1: 26,50; Q2: 29,00; Q3: 31,37; BA: 35,00; BB: 20,00) Sebaran nilai luas daun genjer menunjukkan bahwa sebanyak 75% daun genjer yang digunakan dalam penelitian ini memiliki luas daun sebesar ≤ 74,3 cm2 dan ukuran luas daun ini bervariasi dengan simpangan baku 13,88 cm2. Ukuran luas daun terpusat pada nilai 54,55 cm2 hingga 74,3 cm2. Rata-rata luas daun genjer yang digunakan adalah 65,75 cm2. Hasil pengukuran keliling daun genjer memperlihatkan bahwa sebanyak 75% dari sampel yang digunakan dalam penelitian ini memiliki keliling daun sebesar ≤ 31,37 cm. Rata-rata ukuran keliling daun genjer adalah 29 cm dengan simpangan baku 3,14 cm. Keragaman nilai keliling daun yang kecil menggambarkan bahwa ukuran keliling daun berukuran seragam. Nilai dari ukuran keliling daun genjer ini terpusat pada 26,5 cm hingga 31,37 cm. Luas daun tanaman genjer (total leaf area) dapat berguna untuk mengetahui cakupan berat unsur mineral dalam sel, mengetahui kapasitas asimilasi
karbon
dari
daun,
mengetahui
pertumbuhan
tanaman,
dan
menggambarkan rasio dari fotosintesis (Heddy 2001). Luas daun yang diamati ini didukung oleh data-data mengenai keliling daun yang dapat dicapai oleh daun genjer selama perkembangannya. Selain itu, karakteristik tanaman genjer dalam penelitian ini juga dijelaskan melalui ukuran batang genjer meliputi panjang dan
59
tebal batang. Distribusi data panjang dan tebal batang genjer dapat dilihat pada Gambar 23.
Panjang Batang Tanaman
Tebal Batang Tanaman 1.0
30.0
0.9
BA
25.0
Q3 22.5
Q2 20.0
Q1
Tebal Batang (cm)
Panjang Batang (cm)
27.5
0.7
Q3 Q2
0.6
Q1
0.5
17.5
BB 15.0
BA
0.8
BB 0.4
Gambar 23 Sebaran panjang dan tebal batang tanaman genjer (panjang batang (cm) Q1: 19,52; Q2: 21,90; Q3: 23,20; BA: 24,70; BB: 15,90 dan tebal batang (cm) Q1: 0,60; Q2: 0,67; Q3: 0,73; BA: 0,81; BB: 0,43) Hasil pengukuran terhadap panjang batang genjer menunjukkan bahwa sebesar 75% dari sampel yang diukur memiliki panjang batang ≤ 23,2 cm. Ukuran panjang batang dari sampel genjer ini seragam dengan simpangan baku yang kecil yakni 2,76 cm. Nilai panjang batang genjer terpusat pada 19,52-23,2 cm. Rataan panjang batang genjer adalah 21,65 cm. Ukuran maksimum panjang batang dari sampel genjer adalah 30 cm yang merupakan nilai pencilan panjang batang. Hasil pengukuran tebal batang tanaman genjer menunjukkan bahwa 75% dari sampel genjer yang diukur memiliki ketebalan batang ≤ 0,73 cm. Ukuran ketebalan batang genjer bervariasi dengan simpangan baku 0,11 cm. Nilai ketebalan batang genjer terpusat pada 0,60 cm hingga 0,73 cm, sedangkan ratarata tebal batang genjer adalah 0,66 cm. Ukuran maksimum dari tebal batang genjer adalah 0,97 cm yang merupakan ukuran pencilan dari ketebalan batang genjer. Sebaran panjang dan tebal batang tanaman genjer dapat memberikan informasi mengenai karakteristik batang genjer dan dikaitkan dengan jaringan batang yang diamati. Bila tanaman genjer memiliki panjang batang maksimum maka jaringan semakin kompleks dan jaringan pengangkut yang terbentuk akan
60
menyesuaikan dengan panjang batang tersebut. Semakin besar ketebalan batang maka diduga akan semakin banyak pula rongga udara yang terbentuk pada jaringan batang yang diamati. Sebaran data mengenai panjang akar dapat dilihat pada Gambar 24. Panjang Akar Tanaman 22.5
Panjang Akar (cm)
20.0 17.5
BA
15.0 12.5 10.0 7.5 5.0
Q3 Q2 Q1 BB
Gambar 24 Sebaran panjang akar tanaman genjer (Q1: 7,32; Q2: 9,40; Q3: 12,00; BA: 17,00; BB: 6,00) Sebaran panjang akar tanaman genjer memperlihatkan bahwa 75% dari sampel genjer yang diukur memiliki panjang akar ≤ 12 cm. Ukuran panjang akar genjer sangat bervariasi dengan simpangan baku 3,69 cm. Ukuran panjang akar genjer yang diteliti memiliki rata-rata 10,25 cm dan terpusat pada 7,32 cm hingga 12 cm. Ukuran panjang akar genjer terbesar adalah 22,4 cm yang merupakan ukuran pencilan dari panjang akar genjer. Akar tanaman berperan dalam pengambilan nutrien dan air dari tanah, mengasimilasi nitrat, dan fiksasi nitrogen (Chesworth et al. 1998). Peranan organ akar tanaman genjer sangat penting untuk kelangsungan hidup tanaman. Panjang akar yang dimiliki oleh tanaman genjer membantu tanaman dalam pelekatan pada substrat yang semakin kuat dan pencapaian akar terhadap sumber nutrien. 4.3 Komposisi Kimia Tanaman Genjer Segar dan Kukus Pemanfaatan tanaman genjer sebagai sayuran terutama lalapan erat kaitannya dengan zat gizi yang terkandung dalam tanaman genjer. Pengolahan tanaman ini dilakukan dengan menggunakan panas atau pemasakan karena
61
masyarakat tidak mengonsumsinya dalam bentuk mentah (Bergh 1994). Analisis zat gizi tanaman genjer dilakukan melalui uji proksimat dengan pembedaan bagian tanaman antara daun dan batang dalam kondisi segar dan setelah pengukusan. Komposisi kimia tanaman genjer segar dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Komposisi kimia daun dan batang tanaman genjer segar Analisa proksimat Kadar air Kadar abu Lemak Protein Serat kasar
Daun Berat basah 91,76±0,14% 1,02±0,05% 0,65±0,01% 1,89±0,03% 0,98±0,03%
Berat kering 12,40±0,84% 7,95±0,25% 22,96±0,71% 11,93±0,23%
Batang Berat basah Berat kering 95,33±0,07% 0,76±0,08% 16,38±1,72% 0,26±0,00% 5,62±0,09% 0,61±0,01% 13,23±0,14% 0,75±0,00% 16,12±0,23%
Proses pemasakan yang umumnya dilakukan terhadap komoditas sayuran adalah pengukusan dan perebusan. Pengukusan adalah proses pemanasan yang bertujuan menonaktifkan enzim yang akan mengubah warna, cita rasa, maupun nilai gizi. Pengukusan dilakukan dengan suhu air berkisar 66-82 ºC. Pengukusan dan perebusan adalah metode konvensional yang telah lama dikenal untuk memasak. Pengukusan akan mengurangi zat gizi, namun tidak sebesar pada proses perebusan (Romdhijati 2010). Komposisi kimia daun dan batang tanaman genjer setelah pengukusan dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Komposisi kimia daun dan batang tanaman genjer kukus Analisa proksimat Kadar air Kadar abu Lemak Protein Serat kasar
Daun Berat basah 91,06±0,13% 1,34±0,06% 1,30±0,40% 2,39±0,31% 1,06±0,08%
Berat kering 15,29±1,42% 14,90±4,09% 27,40±4,67% 11,30±0,91%
Batang Berat basah Berat kering 94,15±0,19% 1,05±0,21% 18,54±2,83% 1,08±0,12% 18,63±2,66% 0,90±0,04% 15,52±0,51% 0,70±0,09% 12,09±1,01%
Dugaan penurunan atau peningkatan nilai gizi tanaman genjer setelah pengukusan dapat dianalisis melalui uji statistika dengan cara pengujian hipotesis memakai uji t-student. Uji hipotesis melalui uji t-student bertujuan untuk memperkuat dugaan berdasarkan statistika, selain penyajian data secara deskriptif. Pengujian hipotesis dilakukan terhadap dua populasi yaitu tanaman genjer segar dan tanaman genjer yang telah dikukus yang diwakili oleh contoh dari masing-
62
masing populasi. Contoh dari populasi segar adalah masing-masing nilai proksimat dari gabungan batang dan daun tanaman genjer segar. Contoh dari populasi kukus adalah nilai proksimat dari gabungan batang dan daun genjer kukus. Adapun hasil pengujian hipotesis dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12 Hasil pengujian hipotesisi t-student dua populasi Variabel
Kadar air
Kadar abu
t-stat 0,95 -1,82 t-critical one tail 1,78 1,78 Keputusan Terima H0 Terima H0
Kadar Kadar Kadar lemak protein serat kasar -7,17 -1,01 2,35 1,78 1,78 1,78 Terima H0 Terima H0 Terima H1
4.3.1 Kadar air Kadar air merupakan kandungan air yang terdapat dalam bahan makanan dengan derajat keterikatan berbeda-beda dalam bahan (Winarno 2008). Air yang terkandung di dalam jaringan tanaman umumnya berkisar 80% hingga 90% berat segar dari tanaman basah (Fennema 1996). Tanaman ini memiliki kandungan air yang sangat tinggi terutama pada bagian batang tanaman. Adapun kadar air tanaman genjer di bagian daun adalah 91,76±0,14%, sedangkan pada bagian batang sebesar 95,33±0,07%. Berdasarkan hasil uji statistika terhadap kadar air tanaman genjer segar dan setelah pengukusan menunjukkan bahwa kadar air tanaman genjer setelah pengukusan (μ2) sama dengan kadar air tanaman genjer segar (μ1). Penurunan kadar air setelah pengukusan tidak terlalu signifikan berbeda sehingga dianggap sama dengan kadar air tanaman genjer segar. Tanaman genjer merupakan tanaman yang hidup bertahun-tahun dan tumbuh di rawa-rawa, perairan dangkal misalnya sawah, kolam ikan, dan paritparit dengan ketinggian mencapai 1300 m (Bergh 1994). Habitat perairan sebagai tempat hidupnya menyebabkan kadar air tanaman genjer sangat tinggi. Jaringan penyusun organ menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan membentuk sistem ruang tempat terjadinya difusi gas secara bebas. Gas terdapat di udara dan larut di dalam air. Difusi gas ke dalam sel-sel tanaman diduga berawal dari pengangkutan sejumlah air oleh sistem pembuluh, kemudian terjadi penyerapan gas dengan tidak mengikutsertakan air melalui diafragma dari ruang antar selnya. Oleh karena itu, semakin banyak gas yang dibutuhkan oleh tanaman air maka semakin besar pula
63
persentase air yang dikandung tanaman. Perbandingan kadar air tanaman genjer
Jumlah dalam berat basah (%)
segar dan setelah pengukusan dapat dilihat pada Gambar 25.
96 95 94 93 92 91 90 89 88
95,33 94,15 91,76 91,06
Daun Batang Bagian tanaman genjer
Gambar 25 Perbandingan kadar air tanaman genjer [
: segar,
: kukus]
Batang tumbuhan air berisi suatu sistem ruang antar sel yang meluas sehingga melalui ruang tersebut terjadi difusi gas secara bebas. Pada korteks batang tumbuhan air dan jaringan dasar petiol dan mesofil, terdapat ruang skizogen antar sel tempat berlangsungnya pertukaran udara. Lakuna terjadi di tengah-tengah korteks batang. Lakuna berisi diafragma, yakni lapisan tunggal selsel interselular, berfungsi membiarkan laluan gas dan bukannya air (Fahn 1991). Persentase kandungan air pada batang tanaman genjer lebih besar dibandingkan pada bagian daun karena struktur jaringan batang tanaman genjer memiliki sistem ruang antar sel yang lebih besar sesuai dengan besarnya ketebalan batang. Kuantitas air yang terangkut pada batang lebih besar dan difusi gas dari air ke dalam sel lebih banyak terjadi. Hal ini menyebabkan bobot batang yang ringan oleh adanya gas namun mengandung banyak air. Epidermis tumbuhan air tidak berfungsi untuk perlindungan, tetapi untuk pengeluaran zat makanan, senyawa air, dan pertukaran gas. Kutikula dan dinding selnya sangat tipis. Sel epidermis berisi kloroplas. Daun yang mengapung mempunyai stomata hanya pada permukaan atas daun (Mulyani 2006). Sejumlah air, yang diangkut oleh pembuluh xilem ke daun, dapat menguap saat terjadinya pertukaran gas melalui stomata daun. Selain itu, epidermis daun juga berperan
64
dalam pengeluaran air dari tanaman sehingga kadar air yang ada pada daun lebih rendah dibandingkan batang tanaman genjer. Proses pengukusan menyebabkan kadar air tanaman genjer baik di bagian daun maupun batang menurun. Pengukusan merupakan proses pemanasan dengan suhu air 66-82 ºC (Romdhijati 2010). Pengaruh dari hilangnya air pada tanaman adalah tanaman menjadi layu dan kehilangan berat serta secara tidak langsung menimbulkan perubahan yang diinginkan ataupun yang tidak dinginkan (Fennema 1996). Kadar air daun segar 91,76% menurun menjadi 91,06% dan kadar air batang segar 95,33% menurun menjadi 94,15%. Penurunan kadar air setelah pengukusan dapat disebabkan oleh adanya proses pemanasan selama pengukusan yang mengakibatkan sejumlah air dalam bahan, yaitu air terikat tipe 1, tipe 3 maupun tipe 4, mudah menguap. Pemasakan ini juga memacu pelunakan jaringan tanaman atau tanaman menjadi layu sehingga tanaman genjer dapat dikonsumsi. 4.3.2 Kadar abu Kadar abu merupakan salah satu analisa proksimat yang menunjukkan kandungan mineral dari jaringan tanaman maupun hewan setelah pembakaran. Mineral dibagi menjadi elemen utama, trace element, dan ultra-trace element (Belitz et al. 2009). Kandungan air yang sangat tinggi pada tanaman genjer turut mempengaruhi kandungan mineral yang menjadi lebih kecil jika dibandingkan dengan sayuran lainnya. Hasil uji statistika terhadap kadar abu tanaman genjer segar dan setelah pengukusan menunjukkan bahwa kadar abu tanaman genjer setelah pengukusan (μ2) mengalami peningkatan persentase atau sama dengan kadar abu tanaman genjer segar (μ1). Hasil kajian dari Direktorat Gizi (1992), diacu dalam Astawan dan Kasih (2008) serta Saupi et al. (2009) menunjukkan bahwa kadar abu tanaman genjer segar di Malaysia dalam berat kering adalah 0,79±0,03% dengan komposisi mineral penyusunnya adalah kalsium, fosfor, besi, potasium, tembaga, magnesium, zinc, dan natrium. Penelitian Maisuthisakul et al. (2008) menunjukkan bahwa kadar abu Limnocharis flava dari Thailand adalah 11,3 gram/100 gram bahan. Gambaran perbandingan kadar abu tanaman genjer segar dan setelah pengukusan dapat dilihat pada Gambar 26.
Jumlah dalam berat kering (%)
65
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
18,54 15,29
16,38
12,40
Daun Batang Bagian tanaman genjer
Gambar 26 Perbandingan kadar abu tanaman genjer [
: segar,
: kukus]
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persentase kadar abu tanaman genjer dalam berat kering adalah 12,40±0,84% di bagian daun dan di bagian batang 16,38±1,72%. Kandungan mineral tanaman genjer dari Kelurahan Situ Gede, Bogor, lebih tinggi dibandingkan kandungan mineral tanaman genjer dari Malaysia dan Thailand. Hal ini dapat disebabkan oleh kondisi habitat dan kandungan mineral di dalam tanah maupun lumpur yang berbeda. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Miller (1996), komposisi akhir dari bagian-bagian tanaman yang dapat dimakan dipengaruhi dan dikontrol oleh kesuburan tanah, genetik tanaman, dan lingkungan pertumbuhan tanaman. Jenis mineral yang banyak terdapat di tanaman genjer diduga adalah kalsium, potasium, magnesium, fosfor, dan besi. Hal ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Saupi et al. (2009) serta Astawan dan Kasih (2008) yang dapat dilihat pada Tabel 1 mengenai komposisi tanaman genjer (Limnocharis flava), persentase mineral paling besar adalah kalsium dan potassium. Hasil penelitian Maisuthisakul et al. (2008) menunjukkan jenis mineral paling banyak adalah kalsium dan besi. Kandungan mineral di bagian batang tanaman genjer lebih besar dibandingkan bagian daunnya, dan berkaitan dengan berkas pengangkut batang yaitu xilem dan floem. Pembuluh xilem melakukan pemindahan air dan ion-ion hara, sedangkan pemindahan hasil-hasil fotosintesis dilakukan oleh pembuluh floem. Perbedaan nyata antara penampang melintang batang dan penampang
66
melintang akar hanyalah ukuran unsur-unsur pengangkutan dalam batang yang lebih besar dan lokasinya yang jauh dari pusat batang (Fisher dan Dunham 1992). Mineral dari akar terlebih dahulu diedarkan ke seluruh bagian batang dan sisanya diangkut ke bagian daun, diduga akumulasi mineral lebih tinggi di batang. Mineral pada organ tanaman juga berkaitan dengan kandungan serat penyusun dinding sel dari jaringan tanaman. Pektin terdapat di dalam dinding sel primer tanaman, khususnya di sela-sela antara selulosa dan hemiselulosa. Senyawa-senyawa pektin diklasifikasikan menjadi asam pektat, asam pektinat (pektin), dan protopektin. Asam pektat dapat membentuk garam dalam jaringan tanaman diantaranya kalsium dan magnesium. Asam pektinat juga dapat membentuk garam yang disebut garam pektinat (Winarno 2008). Penebalan batang Monocotyledoneae berasal dari pembelahan dan pembesaran sel parenkim dasar (Nugroho et al. 2006; Mulyani 2006). Oleh karena itu, penebalan dan pembesaran mengakibatkan pembentukan dinding sel semakin banyak dan komponen asam pektat dan pektin yang terbentuk juga semakin banyak sehingga persentase garam mineral di bagian batang lebih tinggi daripada daun. Elemen mineral tidak dapat dirusak dengan pemaparan panas, cahaya, zat pengoksidasi, pH ekstrim maupun faktor lainnya yang mempengaruhi zat gizi organik. Mineral dapat dihilangkan dengan pelepasan atau pemisahan secara fisik. Sejumlah mineral memiliki kelarutan di dalam air. Secara umum, perebusan dalam air menyebabkan hilangnya mineral lebih banyak pada sayuran daripada pengukusan (Miller 1996). Kandungan
mineral
tanaman
genjer
setelah
pengukusan
adalah
15,29±1,42% di bagian daun dan 18,54±2,83% di bagian batang. Kadar abu tanaman genjer setelah pengukusan diduga tidak mengalami reduksi yang terlalu besar, sejumlah mineral yang hilang hanya melalui penguapan air yang terkandung dalam tanaman. Persentase air yang hilang dari tanaman genjer dalam jumlah sedikit sehingga kehilangan mineral yang larut air juga sangat sedikit. Peningkatan persentase kadar abu disebabkan oleh perubahan persentase kadar air yang menurun sehingga menaikkan persentase abu dari tanaman genjer ini.
67
4.3.3 Kadar lemak Lemak merupakan zat yang dibentuk dari unit-unit terstruktur dengan suatu hidrofobisitas yang tegas, larut dalam pelarut organik tetapi tidak dalam air. Komponen utama dari lemak adalah turunan asam lemak (Belitz et al. 2009). Dalam tanaman, lemak disintesis dari satu molekul gliserol dengan tiga molekul asam lemak yang terbentuk dari kelanjutan oksidasi karbohidrat dalam proses respirasi (Winarno 2008). Kadar lemak tanaman genjer dalam basis kering adalah 7,95±0,25% pada bagian daun dan 5,62±0,09% pada bagian batang. Kadar lemak tanaman genjer di wilayah Situ Gede ini lebih tinggi dibandingkan dengan kadar lemak tanaman genjer yang berasal dari Malaysia. Hasil penelitian Saupi et al. (2009) bahwa kandungan lemak tanaman genjer sebesar 1,22±0,01%. Perbedaan kadar lemak ini diduga karena perbedaan lokasi tumbuh dan keadaaan alam antara wilayah Situ Gede dengan wilayah Malaysia. Adapun perbandingan persentase lemak pada tanaman genjer dapat dilihat pada
Jumlah dalam berat kering (%)
Gambar 27 berikut.
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
18,63 14,9
7,95 5,62
Daun Batang Bagian tanaman genjer
Gambar 27 Perbandingan kadar lemak tanaman genjer [
: segar,
: kukus]
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar lemak daun genjer segar lebih besar dibandingkan bagian batang genjer segar. Tahap awal dari pembentukan asam lemak adalah karboksilasi asetil Ko-A yang memiliki prekursor berupa karbon dioksida. Dalam jaringan yang mendukung fotosintesis (berwarna hijau), yakni daun, karbon dioksida ditempatkan dalam stroma dari kloroplas untuk membentuk triosa fosfat. Triosa fosfat kemudian diubah menjadi pirufat dan
68
membentuk asetil Ko-A oleh enzim glikolitik. Hal ini dapat menjelaskan bahwa sintesis asetil Ko-A untuk pembentukan asam lemak terjadi di dalam kloroplas (Murphy 1999). Menurut Ramadan et al. (2008) bahwa glikolipid merupakan komponen lemak utama dari seluruh membran kloroplas dan membran fotosintetik dari Cyanobacteria. Fraksi lipida terdiri atas minyak/lemak, malam (wax), fosfolipida, sterol, hidrokarbon, dan pigmen. Kandungan lemak dalam bahan pangan adalah lemak kasar dan merupakan kandungan total lipida dalam jumlah sebenarnya (Winarno 2008). Lipid juga meliputi pigmen misalnya klorofil, karotenoid, dan xantofil yang merupakan komponen penting dalam penangkapan cahaya dan proses pengangkutan elektron dari fotosintesis (Murphy 1999). Semakin banyak kandungan klorofil pada organ tanaman maka kandungan lemak juga semakin besar. Daun genjer merupakan organ fotosintesis dan memiliki banyak organel kloroplas yang dibuktikan oleh kepekatan warna hijau daunnya, sehingga hal ini menjadi faktor penyebab tingginya persentase kadar lemak pada daun. Batang genjer juga memiliki organel kloroplas namun tidak sebanyak kloroplas pada daun. Warna hijau batang genjer yang lebih muda menunjukkan pigmen klorofil yang lebih sedikit dibandingkan daun. Oleh karena itu, persentase kadar lemak pada batang lebih rendah dibandingkan daun. Hasil uji hipotesis dua populasi melalui uji t-student menunjukkan bahwa kadar lemak tanaman genjer setelah pengukusan (μ2) mengalami peningkatan persentase atau sama dengan kadar lemak tanaman genjer segar (μ1). Kadar lemak tanaman
genjer
setelah
pengukusan
mengalami
peningkatan
persentase
dibandingkan dengan sebelum pengukusan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gokoglu et al. (2004) yaitu pengaruh efek metode pemasakan terhadap komposisi proksimat dari ikan air tawar Oncorhynchus mykiss adalah persentase lemak yang meningkat dari ikan mentah menjadi ikan rebus. Selain itu, penelitian dari Bernhardt dan Schilch (2005) menunjukkan bahwa terdapat peningkatan kadar trans β-karoten dan cis βkaroten pada sayuran brokoli setelah pengukusan. β-karoten merupakan prekursor vitamin A yang larut dalam lemak.
69
Kadar lemak tanaman genjer setelah pengukusan dalam berat kering adalah 14,90±4,09% di bagian daun dan 18,63±2,66% di bagian batang. Peningkatan persentase kadar lemak tanaman ini dapat disebabkan oleh perubahan persentase komposisi proksimat setelah pengukusan dimana komponen air mengalami pelepasan dari bahan, didukung pula oleh tidak terjadinya perubahan signifikan komponen lemak di dalam bahan. Berdasarkan penelitian Thanh et al. (2005) bahwa pemanasan pada suhu 50 ºC selama beberapa minggu tidak menunjukkan variasi yang signifikan dalam kandungan fitosterol dari minyak bunga matahari, zaitun, dan campuran 4 jenis minyak. 4.3.4 Kadar protein Protein adalah sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N serta mengandung pula fosfor, belerang. Protein berperan penting dalam proses metabolisme tanaman, hewan, dan manusia. Protein berfungsi sebagai enzim, alat pengangkut dan penyimpan, pengatur pergerakan, penunjang mekanis, pertahanan tubuh, media perambatan impuls syaraf, dan pengendalian pertumbuhan. (Winarno 2008). Kadar protein tanaman genjer segar dalam berat kering adalah 22,96±0,71% di bagian daun dan 13,23±0,14% di bagian batang. Hasil uji hipotesis dua populasi, melalui uji t-student menunjukkan bahwa kadar protein tanaman genjer setelah pengukusan (μ2) mengalami peningkatan persentase atau sama dengan kadar protein tanaman genjer segar (μ1). Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase kadar protein tanaman genjer lebih tinggi di bagian daun daripada di bagian batang. Salah satu unsur protein yang membedakannya dari metabolit lainnya adalah nitrogen (N). Tanaman dapat mensintesis asam amino protein dari komponen nitrogen sederhana misalnya nitrat dan amoniak. Asimilasi nitrat terjadi dalam dua tahap proses yaitu perubahan nitrat (NO3-) menjadi nitrit (NO2-) yang dikatalisis oleh enzim nitrat reduktase dan perubahan nitrit menjadi amoniak (NH4+) yang dikatalisis oleh enzim nitrit reduktase. NO2- yang terbentuk akan berpindah ke bagian kloroplas pada daun atau proplastida di akar (Chesworth et al. 1998). Perbandingan kadar protein tanaman genjer segar dan setelah pengukusan dapat dilihat pada Gambar 28.
Jumlah dalam berat kering (%)
70
27,40
30 25
22,96
20 15
13,23
15,52
10 5 0 Daun Batang Bagian tanaman genjer
Gambar 28 Perbandingan kadar protein tanaman genjer [
: segar,
: kukus]
Pada dasarnya, organel yang berfungsi mensintesis protein adalah ribosom. Ribosom tedapat di dalam mitokondria dan kloroplas. Ribosom juga terdapat pada sitoplasma. Protein yang disintesis oleh ribosom pada sitoplasma kemudian akan diangkut ke mitokondria maupun kloroplas (Lakitan 2007). Bila organel kloroplas banyak terdapat pada salah satu organ tanaman, maka diduga kandungan protein juga tinggi pada organ tersebut. Organel kloroplas lebih banyak terdapat di daun genjer dibandingkan dengan batang genjer, sehingga sintesis protein banyak terjadi di bagian daun. Proses asimilasi nitrat maupun asimilasi komponen nitrogen sederhana lainnya dapat terjadi lebih banyak di bagian daun oleh karena banyaknya organel kloroplas dan membentuk hasil akhir berupa protein. Metode pengukusan merupakan metode pemasakan sayuran yang umumnya dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Pengukusan yang dilakukan terhadap tanaman genjer menyebabkan persentase kadar protein meningkat dibandingkan persentase kadar protein tanaman genjer segar. Adapun persentase kandungan protein tanaman genjer setelah pengukusan meningkat dari 22,96±0,71% menjadi 27,40±4,67% pada bagian daun dan 13,23±0,14% menjadi 15,52±0,51% pada bagian batang. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Lewu et al. (2009) tentang efek pemasakan terhadap komposisi proksimat dari herbal taro cocoyam (Colocasia esculanta), dimana kandungan protein meningkat setelah perebusan pada suhu 100 ºC selama 5 menit.
71
Peningkatan kadar protein tanaman genjer setelah pengukusan diduga karena adanya penguraian tanin pada daun maupun batang tanaman genjer. Tanin merupakan senyawa polifenol yang dapat mengendapkan protein dari larutan. Tanin mengandung gugus o-hidroksifenol yang dapat membentuk ikatan hidrogen dan ikatan hirofobik dengan protein (Chesworth et al. 1998). Berdasarkan hasil penelitian Lewu et al. (2009) bahwa tanin dapat membentuk suatu kompleks dengan protein, sehingga menghambat ketersediaan protein. 4.3.5 Kadar serat kasar Serat-serat banyak berasal dari dinding sel berbagai sayuran dan buahbuahan. Secara kimia, dinding sel tersebut terdiri dari selulosa, hemiselulosa, pektin, dan nonkarbohidrat seperti polimer lignin, beberapa gumi, dan mucilage. Serat pada bahan pangan merupakan komponen dari jaringan tanaman yang tahan terhadap proses hidrolisis oleh enzim dalam lambung dan usus kecil (Winarno 2008). Kandungan serat kasar tanaman genjer segar berkisar 11,93±0,23% di bagian daun dan 16,12±0,23% di bagian batang. Hasil uji hipotesis dua populasi, dengan metode uji t-student menunjukkan bahwa kadar serat kasar tanaman genjer setelah pengukusan (μ2) mengalami penurunan persentase dibandingkan kadar serat kasar tanaman genjer segar (μ1). Penurunan persentase serat kasar jelas terlihat pada batang tanaman genjer setelah pengukusan. Perbandingan kadar serat
Jumlah dalam berat kering (%)
kasar tanaman genjer dapat dilihat pada Gambar 29.
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
16,12 11,93 11,3
12,09
Daun Batang Bagian tanaman genjer
Gambar 29 Perbandingan kandungan serat kasar tanaman genjer [ kukus]
: segar,
:
72
Kandungan serat kasar banyak terdapat di bagian batang tanaman genjer dibandingkan dengan daun genjer. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Popovic et al. (2001) tentang kandungan protein dan serat pada daun dan batang tanaman Alfalfa, bahwa kandungan serat batang yang dipotong pada tahun pertama lebih tinggi dibandingkan kandungan serat daun yang dipotong pada tahun pertama. Persentase serat kasar di bagian batang genjer lebih besar daripada daun genjer. Batang memiliki epidermis yang tersusun satu lapis sel yang berbentuk rektanguler dan tersusun rapat. Dinding luar mengalami penebalan dari zat kutin, dimana penebalan batang Monocotyledoneae tersebut berasal dari pembelahan dan pembesaran sel parenkim dasar (Nugroho et al. 2006; Mulyani 2006). Kadar serat yang tinggi pada batang genjer diduga karena batang mengalami penebalan dinding yang berasal dari pembelahan dan pembesaran sel parenkim. Pembelahan dan pembesaran sel ini memungkinkan jumlah sel lebih banyak dan lebih sel lebih besar, sehingga persentase komponen selulosa, hemiselulosa, pektin, dan nonkarbohidrat juga mengalami peningkatan. Daun juga memiliki epidermis dan susunan jaringan lainnya, namun dinding sel dari epidermis daun sangat tipis dan dilapisi oleh kutikula. Oleh karena itu, persentase kadar serat, terutama pada dinding selnya sedikit. Selain faktor penyusun dinding sel, perbedaan persentase kadar serat pada batang dan daun diduga karena tingkatan pertumbuhan dari batang dan daun yang berbeda. Menurut Lemaire et al. (1994), diacu dalam Popovic et al. (2001) bahwa interaksi pemotongan tingkat pertumbuhan memiliki pengaruh yang tinggi terhadap kadar protein kasar dan serat pada daun dan batang. Kadar serat batang dan daun alfalfa di tahun kedua menjadi meningkat di tahun keempat. Pertumbuhan batang genjer lebih dahulu terjadi kemudian dilanjutkan dengan pertumbuhan daun genjer dan perkembangannya. Tingkatan pertumbuhan batang yang lebih dulu menjadi tua menyebabkan kadar serat batang genjer lebih besar dibandingkan daun genjer. Pemasakan dengan metode pengukusan menyebabkan penurunan kadar serat tanaman genjer baik di daun maupun di batang. Penurunan kadar serat tanaman genjer terjadi dari 11,93±0,23% menjadi 11,30±0,91% di bagian daun
73
dan 16,12±0,23% menjadi 12,09±1,01% di bagian batang. Hasil penelitian ini identik dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kristiono (2009) bahwa pengukusan tanaman semanggi air (Marsilea crenata) dapat menurunkan persentase kadar serat tanaman tersebut. Pada proses pematangan, penyimpanan, atau pengolahan, komponen selulosa dan hemiselulosa mengalami perubahan sehingga terjadi perubahan tekstur (Winarno 2008). Penurunan kadar serat tanaman genjer setelah pengukusan diduga karena adanya pemanasan mengakibatkan hilangnya sebagian komponen air yang terikat dalam polimer penyusun dinding sel, sehingga beberapa polimer selulosa, hemiselulosa, maupun pektin terhidrolisis dan menghasilkan molekul karbohidrat yang lebih sederhana. Selain itu, pektin memiliki sifat terdispersi dalam air dan bila dipanaskan di dalam air maka pektin akan larut ke dalam air, sehingga jaringan tumbuhan akan menjadi lunak. 4.4 Kadar Total Karoten Vitamin A merupakan jenis vitamin yang aktif dan terdapat dalam beberapa bentuk yaitu vitamin A alkohol (retinol), vitamin A aldehida (retinal), vitamin A asam (asam retinoat), vitamin A ester (ester retinil). Karotenoid merupakan prekursor vitamin A (provitamin A), β-karoten adalah provitamin yang paling potensial dan ekuivalen dengan 2 vitamin A (Winarno 2008; Andarwulan dan Koswara 1992). Dalam penelitian ini, kadar vitamin A ditentukan melalui kadar total karoten. Kadar total karoten tanaman genjer segar dan kukus dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Kadar total karoten tanaman genjer segar dan kukus Bagian tanaman genjer Daun Batang
Segar 219,01 μg/g 92,99 μg/g
Kukus 260,40 μg/g 77,61 μg/g
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan total karoten lebih tinggi pada bagian daun tanaman genjer dibandingkan di bagian batang. Total karoten tanaman genjer segar adalah 219,01 μg/g di bagian daun dan 92,99 μg/g di bagian batang. Berdasarkan teori, di antara ratusan karotenoid yang terdapat di alam, hanya bentuk α, β, γ, dan kriptosantin yang berperan sebagai provitamin A. β-
74
karoten adalah provitamin A yang paling aktif. Karotenoid terdapat di dalam kloroplas tanaman dan berperan sebagai katalisator dalam fotosintesis. Karotenoid paling banyak terdapat dalam sayuran berwarna hijau tua (Almatsier 2006). Kloroplas paling banyak terdapat di bagian daun genjer dibuktikan dengan warna hijau daun yang lebih tua dibandingkan dengan batang genjer. Oleh karena itu, total karoten paling tinggi terdapat di bagian daun genjer. Perbandingan kadar
Jumlah dalam berat kering (μg/g)
total karoten antara tanaman segar dan kukus dapat dilihat pada Gambar 30.
300 250
260,4 219,01
200 150 100
92,99
77,61
50 0 Daun Batang Bagian tanaman genjer
Gambar 30 Perbandingan kadar total karoten tanaman genjer [ kukus]
: segar,
:
Proses pengukusan pada dasarnya dapat menurunkan total karoten dari tanaman. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Miglio et al. (2008) bahwa dampak proses pengukusan terhadap sayuran wortel dan courgettes adalah menurunkan kadar total karoten kedua sayuran tersebut, namun proses pengukusan menyebabkan peningkatan total karoten dari sayuran brokoli. Pemasakan sayuran segar berwarna hijau, telah dilaporkan, dapat meningkatkan pelepasan karoten dari matriks yang menyebabkan gangguan dari kompleks karotenoid-protein. Hal ini memacu kemampuan ekstraksi yang lebih baik dan konsentrasi karotenoid yang lebih tinggi dalam sayuran yang dimasak. Pelepasan karotenoid, terutama lutein dari sel-sel dapat secara sebagian berkontribusi untuk meningkatkan karotenoid pada sampel yang dikukus dan direbus (Miglio et al. 2008). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses pengukusan dapat meningkatkan kadar total karoten daun genjer, namun menyebabkan penurunan
75
total karoten pada batang genjer. Kandungan total karoten daun genjer segar 219,01 μg/g meningkat menjadi 260,40 μg/g, sedangkan batang genjer segar memiliki total karoten 92,99 μg/g menurun menjadi 77,61 μg/g. Peningkatan total karoten daun genjer setelah pengukusan diduga dapat disebabkan oleh terjadinya pelepasan karotenoid dari suatu matriks yang mengganggu kompleks karotenoidprotein dengan bantuan pemanasan. Provitamin A sangat sensitif terhadap oksidasi, ontooksidasi, dan cahaya, tetapi stabil terhadap panas dalam atmosfer inert (bebas O2). Apabila terdapat oksigen, kerusakan karotenoid terjadi lebih banyak dan dipacu oleh cahaya, enzim, ko-oksidasi dengan hidroperoksida lemak (Andarwulan dan Koswara 1992). Kandungan total karoten pada batang genjer menurun setelah pengukusan. Penurunan total karoten diduga karena terjadinya oksidasi oleh oksigen yang terjadi selama pengukusan. Selain itu, dehidrasi selama pengukusan lebih terlihat pada bagian batang genjer dibandingkan daun genjer, misalnya penurunan persentase kadar air batang genjer yang telah dikukus. Dehidrasi pada batang genjer yang dikukus menyebabkan stabilitas karotenoid terganggu, sehingga total karoten menurun. Berdasarkan hasil penelitian Miglio et al. (2008) bahwa penurunan total karotenoid dapat disebabkan dehidrasi, kontak terhadap oksigen dan cahaya yang berkepanjangan. 4.5 Komponen Bioaktif Tanaman Genjer (Limnocharis flava) Tanaman menghasilkan tiga kelompok utama dari komponen yang bertindak sebagai zat pertahanan, yaitu terpenoid, fenol, dan nitrogen yang mengandung komponen organik (Scott 2008). Fitokimia terdapat dalam beragam bagian dari tanaman dan memiliki fungsi yang berbeda termasuk menentukan kekuatan tanaman, menarik serangga untuk polinasi dan pembuahan, pertahanan dari serangan predator, memperkuat warna (Ibegbulem et al. 2003, diacu dalam Igwe et al. 2007). Komponen bioaktif dianalisis secara kualitatif melalui uji fitokimia dengan menggunakan ekstrak kasar daun dan batang genjer. Ekstraksi yang dilakukan adalah ekstraksi maserasi bertingkat termodifikasi dengan pelarut secara berturut-turut adalah pelarut n-heksan (non polar), etil asetat (semipolar), dan metanol (polar).
76
Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan dari bahan padat maupun cair dengan bantuan pelarut. Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan hingga memenuhi standar baku yang ditetapkan (Tavipiono 2010). Rendemen ekstrak kasar daun dan batang untuk masing-masing pelarut dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14 Rendemen ekstrak kasar daun dan batang tanaman genjer (Limnocharis flava) pada pelarut dengan tingkat kepolaran berbeda Bagian tanaman Daun
Batang
Pelarut N-heksan Etil asetat Metanol N-heksan Etil asetat Metanol
Rendemen (%) 5,32 11,62 31,17 10,22 6,25 31,09
Ekstrak kasar yang diperoleh dalam penelitian ini berupa ekstrak cair. Rendemen ekstrak terbesar diperoleh dari ekstrak dengan pelarut metanol sebesar 31,17% dari daun segar dan 31,09% dari batang segar. Menurut hasil penelitian Ahmad et al. (2010) bahwa pengekstrakan dengan metanol menghasilkan rendemen dua kali lipat daripada n-heksan. Kuantitas ekstrak n-heksan menghasilkan rendemen yang minimum. Besarnya kuantitas ekstrak metanol dapat disebabkan oleh tingkat kepolaran pelarut yang dapat mengekstrak sebagian besar komponen bioaktif yang terkandung pada tanaman genjer. Penelitian Salamah et al. (2008) menunjukkan bahwa rendemen ekstrak tertinggi dan sifat antioksidan paling baik diperoleh dari pelarut metanol. Metanol merupakan pelarut polar yang dapat mengekstraksi zat aktif yang bersifat polar juga. Rendemen ekstrak metanol paling besar diduga karena tanaman genjer lebih banyak
mengandung
komponen
yang
bersifat
polar,
misalnya
protein
dibandingkan komponen yang bersifat non polar di dalam selnya. Keberadaan beberapa metabolit sekunder berkaitan dengan perbedaan organ tumbuhan. Kandungan fitokimia tanaman genjer (Limnocharis flava) di bagian daun dan batang dapat ditunjukkan oleh Tabel 15.
77
Tabel 15 Kandungan fitokimia daun dan batang genjer (Limnocharis flava) Bagian tanaman
Daun
Batang
Uji fitokimia Alkaloid Steroid Flavonoid Saponin Fenol hidrokuinon Molisch Benedict Biuret Ninhidrin Alkaloid Steroid Flavonoid Saponin Fenol hidrokuinon Molisch Benedict Biuret Ninhidrin
N-heksan ++ ++ -
Pelarut Etil asetat ++ ++ -
Metanol + ++ ++ +
Keterangan : -
: Tidak teridentifikasi
+
: Teridentifikasi
++
: Teridentifikasi kuat
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman genjer (Limnocharis flava) mengandung sejumlah metabolit sekunder, baik di bagian daun maupun di bagian batang. Metabolit sekunder yang terdapat di bagian daun tanaman genjer adalah flavonoid, fenol hidrokuinon, gula pereduksi, dan asam amino. Bagian batang tanaman genjer mengandung metabolit sekunder berupa flavonoid, gula pereduksi, dan asam amino. Kandungan flavonoid pada daun dan batang tanaman genjer menunjukkan hasil teridentifikasi kuat. Uji flavonoid positif ditandai dengan terbentuknya warna jingga pada lapisan amil alkohol. Flavonoid dapat diekstrak dalam pelarut n-heksan yang berarti flavonoid merupakan senyawa yang bersifat non-polar. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Maisuthisakul et al. (2008) bahwa tanaman genjer mengandung total flavonoid sebesar 3,7 mg RE/g BDD. Flavonoid merupakan kelompok polifenol yang paling dikenal, memiliki rangka karbon yang
78
sama dengan flavon atau 2-fenilbenzopiron dan terdiri dari 4000 struktur (Harborne 1999). Flavonoid berperan sebagai bahan pemberi rasa dari rempah-rempah dan sayuran. Selain itu, zat ini juga dapat memberi efek anti oksidasi pada hewan (Enwere 1998, diacu dalam Ujowundu et al. 2008). Dalam hal ini, flavonoid yang termasuk dalam komponen fenol menunjukkan fungsi bagi tanaman termasuk pertahanan dari herbivor dan patogen, penyerapan cahaya, penarik pollinator, penghambat pertumbuhan dari tanaman pesaing (Wildman 2001). Flavonoid terdapat di kedua bagian, daun dan batang, sehingga dapat disimpulkan bahwa komponen flavonoid merupakan komponen bioaktif utama yang dihasilkan oleh tanaman genjer. Komponen fenol hidrokuinon ditemukan pada bagian daun dari tanaman genjer. Uji fenol hidrokuinon positif ditandai dengan terbentuknya warna hijau kebiruan pada larutan uji. Fenol hidrokuinon juga termasuk dalam kelompok metabolit fenol yang memiliki gugus o- atau p-dihidroksi substitusi yang mudah teroksidasi sama seperti kuinon (Harborne 1999). Komponen fenol dapat bertindak sebagai terminator oksidasi dengan cara menangkap radikal untuk membentuk radikal stabil (Rice-Evans et al. 1997, diacu dalam Maisuthisakul et al. 2008). Hasil penelitian Maisuthisakul et al. (2008) menunjukkan adanya total fenol sebesar 5,4 mgGAE/ g BDD pada tanaman genjer. Komponen fenol hidrokuinon diduga bersifat semi polar yang dapat terekstrak dalam pelarut etil asetat. Komponen fenol hidrokuinon yang terdeteksi dalam penelitian ini tidak menjadi komponen bioaktif utama yang dapat disintesis oleh tanaman genjer, karena komponen ini tidak terdapat di bagian batang dan hanya terdapat di daun saja. Hal ini diduga berkaitan dengan kandungan protein pada daun yang lebih tinggi dibandingkan pada batang, dimana sintesis komponen fenol dapat terjadi melalui deaminasi asam amino protein yaitu fenilalanin. Tanaman genjer ini diduga cenderung membentuk flavonoid daripada fenol hidrokuinon dalam metabolisme sekundernya. Flavonoid juga termasuk dalam metabolit fenol yang terbentuk dari asam amino protein melalui jalur shikimate. Menurut teori bahwa fenol turut andil dalam biosintetis dari fenilalanin, merupakan salah satu dari tiga
79
asam amino protein yang dibentuk dari sedoheptulosa melalui jalur shikimate. Asam p-hidroksisinamik dibentuk dari fenilalanin melalui deaminasi dan phidroksilasi, yang menempati peranan sentral dalam pembentukan beragam kelas dari fenol tanaman (Harborne 1999). Gula pereduksi adalah glukosa dan gula-gula lain yang mampu mereduksi senyawa pengoksidasi (senyawa penerima elektron). Gula pereduksi akan dioksidasi pada gugus karbonilnya, dan senyawa pengoksidasi menjadi tereduksi (Lehninger 1982). Uji gula pereduksi dilakukan melalui uji benedict yang memberikan reaksi positif berupa terbentuknya warna hijau pada larutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gula pereduksi terkandung pada daun dan batang genjer. Gula pereduksi di bagian daun teridentifikasi kuat pada larutan etil asetat dan teridentifikasi lemah pada larutan metanol. Bagian batang mengandung gula pereduksi yang teridentifikasi kuat dalam larutan metanol. Gula pereduksi ini memiliki sifat mudah dilarutkan dalam air karena memiliki molekul polar. Adanya gula pereduksi merupakan hasil metabolisme primer berupa karbohidrat, terutama glukosa dan gula-gula lainnya. Komponen gula yang terkandung di dalam tanaman genjer berperan dalam menyediakan dan metabolisme energi, menyediakan material untuk sintesis beberapa komponen struktural pada tanaman, yakni struktur protein dan berikatan dengan komponen fenolik yang terdapat pada dinding sel (Smith 1999). Sifat gula pereduksi yang dapat mereduksi komponen pengoksidasi diduga berpotensi dalam mengurangi senyawa pengoksidasi seperti hidrogen peroksida, ferisianida, atau ion kupri (Cu2+). Kandungan asam amino pada tanaman genjer teridentifikasi kuat pada bagian daun, sedangkan di bagian batang dapat teridentifikasi namun diduga memiliki kadar yang kecil. Uji kualitatif asam amino dilakukan melalui uji ninhidrin dengan reaksi positif yang ditimbulkan berupa pembentukan warna ungu pada larutan. Asam amino sebagai komponen bioaktif dari tanaman genjer diduga merupakan asam amino non protein. Asam amino yang dapat terdeteksi pada tanaman genjer memiliki sifat polar karena dapat terekstrak dalam pelarut metanol yang bersifat polar. Hal ini berarti bahwa asam amino tersebut diduga memiliki sifat hidrofilik (menyukai air). Berdasarkan teori bahwa gugus R dari asam amino
80
polar lebih larut di dalam air karena mengandung gugus fungsional yang membentuk ikatan hidrogen dengan air (Lehninger 1982). Selain itu, semakin tingginya aktivitas sintesis asam amino yang terjadi di dalam daun memungkinkan aktivitas pembentukan metabolit sekunder yang melibatkan asam amino juga semakin tinggi. Hasil penelitian Maisuthisakul et al. (2009) memberikan gambaran bahwa hubungan antara kandungan total fenolik dan komposisi kimia tanaman adalah komponen fenolik dihasilkan dari jalur shikimic acid yang terjadi dalam respirasi tanaman. Komponen fenolik seperti acid cinnamic, p-coumaric, caffeic, ferulic, chlorogenic, protocatechuic, dan gallic acid merupakan turunan dari asam amino fenilalanin dan tirosin. Komponen bioaktif alkaloid, steroid dan saponin tidak terdeteksi pada tanaman genjer. Komponen alkaloid merupakan basa-basa organik yang memiliki sebuah atom nitrogen, biasanya terkait ke dalam suatu sistem siklik lima atau enam karbon. Distribusi alkaloid terbatas pada tumbuhan tingkat tinggi, sekitar 20 % dari spesies angiospermae (Harborne 1999). Ketersediaan metabolit-nitrogen seperti alkaloid umumnya sedikit pada tanaman diduga karena ketersediaan unsur dari metabolit-nitrogen yang terbatas. Komponen steroid dan saponin merupakan metabolit yang termasuk dalam kelompok terpenoid. Steroid memiliki struktur sama dengan struktur lemak yang mengandung suatu rangkaian triterpen siklik. Steroid tanaman dikenal dengan fitosterol (Belitz et al. 2009). Kandungan lemak pada tanaman genjer baik di daun maupun di batang lebih rendah dibandingkan komposisi gizi lainnya. Rendahnya persentase lemak pada tanaman genjer diduga menyebabkan sintesis komponen steroid sangat sedikit dan zat pembentuk steroid juga terbatas pada tanaman tersebut. Saponin terdiri atas suatu aglikon (sapogenin) dan satu atau dua gula. Saponin banyak ditemukan dalam legume dan berperan dalam memberikan rasa kacang kedelai (Belitz et al. 2009). Saponin merupakan komponen yang dapat larut dalam air dan lemak dan memiliki sifat seperti sabun (Scott 2008). Komponen saponin tidak dapat terdeteksi pada tanaman genjer diduga karena unsur pembentuk saponin sangat terbatas pada tanaman genjer seperti aglikon.
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa jaringan daun terdiri atas selapis epidermis dan derivatnya berupa stomata bertipe parasitik, selapis parenkim palisade, lapisan parenkima spons dengan sejumlah lakuna, dan stele beserta seludang pembuluhnya. Daun bertipe amphistomatous. Jaringan batang memiliki selapis epidermis dengan kutikula yang tipis, korteks mengandung kloroplas, pati dan memiliki sistem lakuna, stele bertipe konsentris amfikribral. Jaringan akar terdiri atas rhizodermis, korteks dengan sistem lakuna, endodermis berlapis banyak, stele dengan susunan xilem tipe eksark dan kelompok protoxilem tipe poliarch. Sejumlah lakuna menyebabkan persentase kadar air sangat tinggi dan menurunkan persentase zat gizi lainnya. Persentase kadar air, abu, dan serat kasar paling tinggi di bagian batang, sedangkan persentase kadar lemak dan protein paling tinggi di bagian daun. Proses pengukusan mengakibatkan persentase serat kasar tanaman menurun, tetapi meningkatkan persentase mineral, lemak, dan protein. Penurunan kadar air genjer kukus tidak signifikan dibandingkan genjer segar. Kadar total karoten daun meningkat setelah pengukusan, namun total karoten menurun pada batang genjer. Komponen bioaktif pada daun tanaman genjer adalah flavonoid, fenol hidrokuinon, gula pereduksi, dan asam amino. Komponen bioaktif pada batang tanaman genjer berupa flavonoid, gula pereduksi, dan asam amino. Flavonoid dan gula pereduksi merupakan metabolit sekunder utama pada daun dan batang genjer. 5.2 Saran Saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah pengujian lebih lanjut terhadap aktivitas antioksidan dari komponen bioaktif, karotenoid, dan mineral dari tanaman genjer segar maupun setelah pengukusan. Pengidentifikasian berbasis DNA terhadap tanaman genjer dan penelitian tentang pemanfataan serat tanaman genjer sebagai bahan fortifikasi dalam produk olahan perikanan diharapkan dapat dilakukan dalam penelitian mendatang. Di samping itu, pemanfaatan tanaman genjer sebagai pakan ikan komersil dapat dilakukan dalam
82
penelitian selanjutnya sehingga diharapkan mampu meningkatkan kualitas gizi ikan. Kajian tentang potensi tanaman genjer, terutama di wilayah Situ Gede, sebagai fitofiltrasi polusi perairan perlu dilakukan untuk mengetahui kandungan logam berat dari tanaman genjer yang dikonsumsi sehingga tidak melebihi batas aman konsumsi manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Abilash PC, Pandey VC, Srivastava P, Rakesh PS, Chandran S, Singh N, Thomas AP. 2009. Phytofiltration of cadmium from water by Limnocharis flava (L.) Buchenau grown in free-floating culture system. Journal of Hazardous Materials. Vol. 170: 791-797. Ahmad A, Alkarkhi AF, Hena S, Siddique BM, Dur KW. 2010. Optimization of soxhlet extraction of herba Leonuri using factorial design of experiment. International Journal of Chemistry. Vol. 2 (1): 198-205. Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Andarwulan N dan Koswara S. 1992. Kimia Vitamin. Jakarta: Rajawali Pers. Anonim. 2009. Umnocharis flava (L) Buch. www. warintek.ristek.go.id/ pangan_kesehatan/tanaman_obat/.../4-059.pdf [20 November 2009]. AOAC International. 2007. Official Methods of Analysis of AOAC International 18th Edition 2005 Revision 2. USA: AOAC International. Astawan M dan Kasih AL. 2008. Khasiat Warna-warni Makanan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Belitz HD, Grosch W, Schieberle P. 2009. Food Chemistry 4th Revised and Extended Edition. German: Springer-Verlag Berlin Heidelberg. BeMiller JN dan Whistler RL. 1996. Carbohydrates. Di dalam: Fennema OR, editor. Food Chemistry. United States of America: Marcel Dekker, Inc. hlm. 157-224. Berg L. 2008. Introductory Botany Plants, People, and The Environment. United States of America: Thomson Brooks Cole. Bergh vdM.H. 1994. Limnocharis flava (L.) Buchenau. Di dalam: Siemonsma JS dan Piluek K, editor. Plant Resources of South-East Asia. Bogor: Prosea. hlm 192-194. Bernhardt S & Schlich E. 2005. Impact of different cooking methods on food quality: retention of lipophilic vitamins in fresh and frozen vegetables. Journal of Food Engineering. Vol. 6 (40). Chesworth JM, Stuchbury T, Scaife JR. 1998. Agricultural Biochemistry. London: Chapman & Hall. Davidson MW. 2005. Jaringan daun. http://micro.magnet.fsu.edu /cells/leaftissue/images/leafstructurefigure1.jpg [24 Maret 2010]. Department of Primary Industries and Fisheries. 2007. Limnocharis: Limnocharis flava. www.dpi.qld.gov.au [5 Januari 2010]. Dickison WC. 2000. Integrative Plant Anatomy. United States of America: Elsevier.
84
Edwards R dan Gatehouse JA. 1999. Secondary metabolism. Di dalam: Lea PJ dan Leegood RC, editor. Plant Biochemistry and Molecular Biology. England: John Wiley & Sons Ltd. hlm. 193-218 Fahn A. 1991. Anatomi Tumbuhan. Ahmad Soediarto; penerjemah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Plant Anatomy. Fennema OR. 1996. Water and ice. Di dalam: Fennema OR, editor. Food Chemistry. United States of America: Marcel Dekker, Inc. hlm. 17-94. Fisher NM & Dunham RJ. 1992. Morfologi akar dan pengambilan zat hara. Tohari: penerjemah; Goldsworthy PR: editor. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Flyman MV & Afolayan AJ. 2006. The suitability of wild vegetables for alleviating human dietary deficiencies. South African Journal of Botany. Vol. 72: 492-497. Gregory JF. 1996. Vitamins. Di dalam: Fennema OR, editor. Food Chemistry. United States of America: Marcel Dekker, Inc. hlm. 531-616. Gokoglu N, Yerlikaya P, Cengiz E. 2004. Effect of cooking methods on the proximate composition and mineral contents of rainbow trout (Oncorhynchus mykiss). Journal of Food Chemistry. Vol. 8: 19-22. Guillemin F, Devaux MF, Guillon F. 2004. Evaluation of plant histology by automatic clustering based on individual cell morphological features. Image Anal Stereol of Original Research Paper. Vol. 23: 13-22. Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia: penuntun cara modern menganalisis tumbuhan. Bandung: Penerbit ITB. Harborne JB. 1999. Classes and function of secondary products from plants. Di dalam: Walton NJ dan Brown DE, editor. Chemicals from Plants: perspectives on plant secondary products. London: Imperial College Press. hlm. 1-26. Hardiningtyas SD. 2009. Aktivitas antibakteri ekstrak karang lunak Sarcophyton sp. yang difragmentasi dan tidak difragmentasi di perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu [skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Haynes RR & Les DH. 2004. Alismatales (water plantains). www.els.net [5 Januari 2010]. Heddy S. 2001. Ekofisiologi Tanaman : suatu kajian kuantitatif pertumbuhan tanaman. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Heras BDL, Rodriguez B, Bosca L, Villar AM. 2003. Terpenoids: source, structure elucidation and therapeutic potential in inflammation. Journal of Medicinal Chemistry. Vol. 3 (2): 171-185. Hidayat EB. 1995. Anatomi Tumbuhan Berbiji. Bandung: Penerbit ITB. Humason GL. 1967. Animal Tissue Techniques. San Fransisco: W. H. Freeman and Company.
85
Igwe CU, Nwaogu LA, Ujuwondu CO. 2007. Assessment of the hepatic effects, phytochemical and proximate compositions of Phyllanthus amarus. African Journal of Biotechnology. Vol. 6 (6): 728-731. Johansen DA. 1940. Plant Microtechnique. New York dan London: McGraw-Hill Book Company Inc. Kristiono SS. 2009. Analisis mikroskopis dan fitokimia semanggi air (Marsilea crenata Presl (Marsileaceae) [skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Lakitan B. 2007. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Lehninger AL. 1982. Dasar-dasar Biokimia. Maggy Thenawidjaja: penerjemah. Jakarta: Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Principles of Biochemistry. Lewu MN, Adebola PO, Afolayan AJ. 2009. Effect of cooking on the proximate composition of the leaves of some accessions of Colocasia esculenta (L.) Schott in KwaZulu-Natal Province of South Africa. Journal of Biotechnology. Vol. 8 (8): 1619-1622. Maidie MS, Budiarso IT, Rumawas W. 1974. Ilmu Penyakit Hewan Bagian Ketiga: teknik histologi dan histopatologi. Bogor: Biro Penataran, Institut Pertanian Bogor. Maisuthisakul P, Pasuk S, Ritthiruangdej P. 2008. Relationship between antioxidant properties and chemical composition of some Thai plants. Journal of Food Composition and Analysis. Vol. 21: 229-240. Miglio C, Chiavaro E, Visconti A, Fogliano V, Pellegrini N. 2008. Effect of different cooking methods on nutritional and physicochemical characteristics of selected vegetables. Journal of Agriculture and Food Chemistry. Vol. 56 (1): 139-147. Miller DD. 1996. Minerals. Di dalam: Fennema OR, editor. Food Chemistry. United States of America: Marcel Dekker, Inc. hlm. 617-649. Mulyani S. 2006. Anatomi Tumbuhan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Murphy DJ. 1999. Plant lipids – their metabolism, function, and utilization. Di dalam: Lea PJ & Leegood RC, editor. Plant Biochemistry and Molecular Biology. England: John Wiley & Sons Ltd. hlm. 119-136. Novary EW. 1999. Penanganan dan Pengolahan Sayuran Segar. Jakarta: Penerbit Swadaya. Nugroho H, Purnomo, Sumardi I. 2006. Struktur dan Perkembangan Tumbuhan. Jakarta: Penebar Swadaya. Parker RS. 1996. Absorption, metabolism, and transport of carotenoids. FASEB Journal. Vol. 10: 542-551. Plantamor. 2008. Genjer. [30 Januari 2010].
http://www.plantamor.com/index.php?plant=777
86
Presiden Republik Indonesia. 2004. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Jakarta: Presiden Republik Indonesia. Popovic S, Stjepanovic M, Grljusic S, Cupic T, Tucak M. 2001. Protein and fiber contents in alfalfa leaves and stems. Journal of American Society of Agronomy. Vol. 27 (2): 81-99. Ramadan MF, Asker MMS, Ibrahim ZK. 2008. Functional bioactive compounds and biological activities of Spirulina platensis lipids. Czech Journal Food Science. Vol. 26 (3): 211-222. Robinson T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi. Kosasih Padmawinata: penerjemah. Bandung: Penerbit ITB. Terjemahan dari: The Organic Constituents of Higher Plants 6th Edition. Romdhijati L. 2010. Olahan dari Kentang. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Salamah E, Ayuningrat E, Purwaningsih S. 2008. Penapisan awal komponen bioaktif dari kijing Taiwan (Anodonta woodiana Lea.) sebagai senyawa antioksidan. Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia. Vol. 11 (2): 119-133. Sass JE. 1951. Botanical Microtechnique. Iowa: The Iowa State College Press. Saupi N, Zakaria MH, Bujang JS. 2009. Analytic chemical composition and mineral content of yellow velvetleaf (Limnocharis flava L. Buchenau)‟s edible parts. Journal of Applied Sciences. Vol. 9 (16): 2969-2974. Scott P. 2008. Physiology and Behaviour of Plants. England: John Wiley & Sons Ltd. Smith CJ. 1999. Carbohydrate biochemistry. Di dalam: Lea PJ & Leegood RC, editor. Plant Biochemistry and Molecular Biology. England: John Wiley & Sons Ltd. hlm. 81-118. Suehiro S. 2007. きばなおもだか (黄花面高). http://www.botanic.jp/plantska/kiomod_1.jpg [25 Januari 2010]. Suntoro H. 1983. Metode Pewarnaan (Histologi dan Histokimia). Jakarta: Penerbit Bhratara Karya Aksara. Tavipiono RM. 2010. Prinsip ekstraksi maserasi. http://kumpulilmu.blogspot.com /2010/04/prinsip-ekstraksi-maserasi.html [ 28 September 2010]. Thanh TT, Vergnes MF, Kaloustian J, El-Moselhy T, Carlin MJA, Portugal H. 2005. Effect of storage and heating on phytosterol concentrations in vegetable oils determined by GC/MS. Journal of The Science of Food and Agriculture. Vol. 86 (2): 220-225. Ujowundu CO, Igwe CU, Enemor VHA, Nwaogu LA, Okafor OE. 2008. Nutritive and anti-nutritive properties of Boerhavia diffusa and Commelina nudiflora Leaves. Journal of Nutrition. Vol. 7 (1): 90-92. Walpole RE. 1992. Pengantar Statistika. Bambang Sumantri: penerjemah. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Introduction to Statistics 3rd Edition.
87
Wildman REC. 2001. Classifying nutraceuticals. Di dalam: Wildman REC, editor. Handbook of Nutraceuticals and Functional Foods. New York: CRC Press. hlm 13-30. Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: M-BRIO Press.
88
Lampiran 7 Data hasil pengukuran tanaman genjer No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Luas daun (cm2) 71,00 53,26 56,30 59,73 85,30 86,73 93,63 52,23 80,83 65,83 54,36 38,20 45,26 50,40 57,40 64,00 59,40 55,10 46,10 54,10 68,93 74,36 78,33 73,30 69,86 66,46 69,06 67,50 61,36 77,40 74,10 94,13
Keliling daun (cm) 31,00 26,00 27,00 28,00 33,00 33,50 35,00 25,50 32,50 29,00 26,50 22,00 24,00 26,00 27,50 28,50 27,50 26,50 25,00 26,00 30,00 31,50 32,00 30,50 30,50 29,00 31,00 29,00 28,00 32,00 30,00 34,50
Panjang batang (cm) 21,30 17,90 17,60 18,80 21,00 21,50 23,20 17,80 19,50 24,50 22,90 21,20 22,50 22,30 23,00 23,00 18,90 19,60 15,90 20,00 19,50 21,50 20,00 23,90 23,20 24,10 24,70 23,50 23,00 24,00 23,20 30,00
Tebal batang (cm) 0,68 0,64 0,50 0,48 0,73 0,81 0,97 0,64 0,63 0,74 0,55 0,43 0,51 0,69 0,70 0,74 0,64 0,58 0,60 0,60 0,56 0,62 0,74 0,66 0,67 0,78 0,67 0,67 0,68 0,80 0,73 0,81
Panjang akar (cm) 11,10 6,80 6,40 22,40 7,90 8,00 7,30 6,90 15,60 14,20 11,80 17,00 12,50 12,00 11,60 6,50 7,80 8,00 10,30 12,10 12,00 7,80 8,00 6,00 11,20 9,40 12,00 7,00 7,40 14,80 7,00 9,40
89
Lampiran 8 Komposisi larutan seri Johansen, larutan FAA, dan tahapan pewarnaan jaringan Komposisi larutan seri Johansen Komposisi larutan Air Etanol 95 % Etanol absolut Tertier butil alkohol Minyak paraffin
I 50 % 40 % 10 % -
II 30 % 50 % 20 % -
Larutan Johansen III IV V 15 % 50 % 45 % 25 % 35 % 55 % 75 % -
VI 100 % -
VII 50 % 50 %
Komposisi larutan FAA Komposisi larutan Etanol 70 % Asam asetat glacial Formaldehyde
Jumlah 90 bagian 5 bagian 5 bagian
Tahapan pewarnaan jaringan Jenis larutan 1
Waktu
Xilol 1 Xilol 2 Etanol absolut Etanol 95 % Etanol 70 % Etanol 50 % Etanol 30 % Akuades Safranin 2 % Akuades Etanol 30 % Etanol 50 % Etanol 70 % Etanol 95 % Fast green 0,5 % Etanol absolut Xilol 1 Xilol 2
15 menit 15 menit 3 menit (2 kali) 3 menit 3 menit 3 menit 3 menit 3 kali celup 48 jam (± 2 hari) 3 kali celup 3 menit 3 menit 3 menit 3 menit 10 menit 3 menit (2 kali) 10 menit 10 menit
Larutan 1: Safranin + fast green Larutan 2: Safranin + aniline blue
Jenis larutan 2 Xilol 1 Xilol 2 Etanol absolut Etanol 95 % Etanol 70 % Etanol 50 % Etanol 30 % Akuades Safranin 2 % Akuades Etanol 30 % Etanol 50 % Etanol 70 % Aniline blue + alkohol 88 % Etanol 95 % + HCl 2 tetes Etanol 95 % Etanol absolut Xilol 1 Xilol 2
Waktu 15 menit 15 menit 3 menit (2 kali) 3 menit 3 menit 3 menit 3 menit 3 kali celup 48 jam (± 2 hari) 3 kali celup 3 menit 3 menit 3 menit 10 menit 1 kali celup 3 menit 3 menit (2 kali) 10 menit 10 menit
90
Lampiran 3 Hasil analisis proksimat tanaman genjer segar dan kukus Hasil analisis proksimat tanaman genjer segar Analisa proksimat Kadar air
Kadar abu
Kadar lemak
Kadar protein
Kadar serat kasar
Daun Berat basah (%) Berat kering (%) 91,90 91,88 91,64 91,65 1,04 12,84 1,08 13,30 1,01 12,08 0,95 11,38 0,67 8,27 0,65 8,00 0,66 7,89 0,64 7,66 1,94 23,95 1,87 23,03 1,88 22,49 1,87 22,40 0,94 11,60 0,97 11,95 1,01 12,08 1,01 12,10
Batang Berat basah (%) Berat kering (%) 95,26 95,27 95,39 95,41 0,88 18,57 0,72 15,22 0,78 16,92 0,68 14,81 0,26 5,49 0,27 5,71 0,26 5,64 0,26 5,66 0,63 13,29 0,63 13,32 0,60 13,02 0,61 13,29 0,75 15,82 0,76 16,07 0,75 16,27 0,75 16,34
Hasil analisis proksimat tanaman genjer kukus Analisa proksimat Kadar air
Kadar abu
Kadar lemak
Kadar protein
Kadar serat kasar
Daun Berat basah (%) Berat kering (%) 91,22 90,99 90,99
Batang Berat basah (%) Berat kering (%) 94,03 94,04 94,38
1,41 1,33 1,28
16,91 14,76 14,21
1,30 0,95 0,92
21,81 16,91 16,90
1,18 0,98 1,76
13,44 11,75 19,53
1,08 0,97 1,21
18,09 16,28 21,53
2,70 2,41 2,08
32,37 26,75 23,09
0,95 0,89 0,86
15,91 14,93 15,72
0,97 1,11 1,11
11,05 10,54 12,32
0,74 0,77 0,60
12,40 12,92 10,97
91
Lampiran 4 Data hasil analisis total karoten tanaman genjer dan data stomata daun Hasil analisis total karoten tanaman genjer No 1 2 3 4
Total karoten (μg/g) I II 77,6870 77,5350 276,0240 244,7895 217,8497 220,1869 90,1122 95,8799
Sampel Batang kukus Daun kukus Daun segar Batang segar
Data stomata daun genjer Preparat
Epidermis atas 1
Epidermis atas 2
Epidermis atas 3
Epidermis bawah 1
Epidermis bawah 2
Epidermis bawah 3
Bidang pandang 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Koordinat 128; 10,5 125,3; 14 127; 13,9 127; 14 130; 13,5 139,5; 13,5 139,5; 12 140; 12,5 140; 13 140;14,5 149; 15,5 148,5; 15 149; 13,5 150; 13 150;17 140,5; 12 140; 9 141; 9 141; 8 142;9,5 146; 9,5 146; 11 146,5; 12 147,5; 11,5 145,5;12,5 133,5; 15 133,5; 13,5 132; 13,5 132,5; 13,5 150,5;13,5
Jumlah stomata 13 17 16 13 17 17 18 17 16 15 11 9 13 11 13 17 14 13 17 14 19 15 19 18 18 16 10 14 6 12
Jumlah sel epidermis 143 134 124 128 146 143 145 148 141 140 132 122 120 122 124 125 127 123 136 133 140 136 140 137 136 117 119 116 99 122
Ukuran stomata Panjang Lebar 14;14;14;11 7;6,5;6;7 12;14;13;12 7;6;6;7 12;13;14;11 6,5;7;7;7 14;14;12;13 6;6;7;7 15;13;13;11 6;7,5;6,5;7 14;13;10;11 6,5;7;7;7 13;13;13;11 6;6,5;6;7 13;12;13;12 6;7;6;6 12;11;11;11 7;5;7;7 13;11;13;12 6;7;6;6,5 14;11;13;11,5 7;7;6;7 12;13;11;13 6,5;7;7;6 12;14;13;13 7;7;7;6 10;12;12;12 6,5;7;7;7 14;13;12;11 6,5;7;7;6 14;12;13;13 8;7;7;8 14;13;13;13 7;7,5;7;6 13;14;14;13 6;8;6;7 12;14;14;12 6;6;7;7 12;15;13;12,5 7;7;7;7,5 13;13;10,5;12 6;7;7,5;7,5 14;14;15;10,5 6,5;6;7;8 12;11;11;12 8;7;7,5;6,5 14;11;13;13 7;7;7;7 13;11;11;13 7;7,5;7;6 13;14;13;11 8;7;8;7 14;13;15;11 8,5;7,5;8;8,5 14;14;13;14 8;7;7,5;9 13;14;13;14 7,5;8;8;8 14;13;13;12 8;8;8;8
92
Lampiran 5 Data rendemen ekstrak kasar daun dan batang genjer Jenis pelarut
Sampel Daun
N-heksan Batang
Daun Etil asetat Batang
Daun Metanol Batang
Ulangan
Berat awal (g)
1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3
25,12 25,23 25,04 25,01 25,02 25,05 25,12 25,23 25,04 25,01 25,02 25,05 25,12 25,23 25,04 25,01 25,02 25,05
Volume akhir (ml) 0,90 0 3,10 1,90 3,80 2,00 1,10 1,80 5,85 1,30 1,65 1,75 7,60 7,90 8,00 8,00 7,75 7,60
Rendemen (%) 3,58 0 12,38 7,59 15,18 7,98 4,38 7,13 23,36 5,19 6,59 6,98 30,25 31,31 31,95 31,98 30,97 30,34
Contoh perhitungan rendemen ekstrak kasar daun dan batang genjer : Rendemen (%) = = = 3,58 %
x 100% x 100%
Rata-rata (%) 5,32
10,22
11,62
6,25
31,17
31,09
93
Lampiran 6 Gambar proses pembuatan preparat jaringan dengan metode parafin
94
Lampiran 7 Gambar proses pengukuran tanaman beserta alat ukurnya
95
Lampiran 8 Gambar bahan dan alat analisis proksimat
96
Lampiran 9 Gambar hasil pengujian fitokimia daun dan batang genjer
Flavonoid daun
Fenol daun
Benedict daun
Hinhidrin daun
Flavonoid batang
Benedict batang
Ninhidrin batang
97
Lampiran 10 Lokasi pengambilan sampel dan pemeliharaan sampel