1
ANALISIS METAGENOM UNTUK PENCIRIAN KOMUNITAS BAKTERI DAN FUNGI PADA TEMPE
CECILIA ANNA SEUMAHU
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
2
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul ‘Analisis Metagenom untuk Pencirian Komunitas Bakteri dan Fungi pada Tempe’ adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi dimanapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dalam disertasi ini.
Bogor, September 2012 Cecilia Anna Seumahu G361080011
3
ABSTRACT CECILIA ANNA SEUMAHU, Metagenome Analysis to fingerprint Bacterial and Fungi Communities in Tempe. Supervised by ANTONIUS SUWANTO (Major Advisor), IMAN RUSMANA, DEDY DURYADI SOLIHIN (Co advisor). Tempe is an Indonesian traditional fermented food produced using Rhizopus as a starter culture. In practice, however, the starter culture as well as fermentation processes would involved a polymicrobial fermentation, which generated a unique tempe flavor and texture. This condition makes Indonesian tempe as one of the most complex fermented food, while at the same time would make it difficult to scale up tempe production with uniform quality and consistency. Because of complex microbial communities involved, cultureindependent methods or metagenomic analysis would be an essential tool to unravel this complex microbial fermentation. The aim of this study was to compare a number of tempe microbial communities based on Amplified Ribosomal Intergenic Sequence Analysis (ARISA). Fresh tempe samples were obtained from tempe producers in Java and Moluccas. 16S rRNA gene libraries and DNA sequencing were employed to analyze further the nature of microbial diversity in two selected tempe samples. The results of our study showed that different tempe producer possessed different Bacterial ARISA (BARISA) or fungi ARISA (FARISA) profiles. However, BARISA profiles were found to be more discriminative than FARISA, and therefore BARISA would be more useful for tempe genetic fingerprint or barcoding. Bacterial communities in two tempe samples (EMP and SDJD) were further investigated employing DNA sequence analysis of their 16S rRNA gene libraries. Sequences closely related to Klebsiella sp were found to be the majority among bacterial communities present in SDJD sample, while sequences closely related to Acetobacter sp. were found as predominant isolates in EMP samples. These significant differences in bacterial communities might reflect differences in tempe flavor or texture associated with their unique production or locality. Key Word: Tempe microbial community, ARISA, barcoding system.
4
RINGKASAN Sebagai makanan fungsional tradisional Indonesia, tempe dikonsumsi dalam jumlah yang relatif tinggi dan dapat ditemukan dalam berbagai variasi jenis dan cara pengolahan. Variasi ini perlu dijaga karena menjadi ciri khas makanan Indonesia yang dapat dikembangkan dalam menghadapi program perdagangan bebas ASEAN. Walau demikian, database mikroorganisme yang terlibat dalam proses fermentasi tempe belum pernah dibuat dan ditelaah peluang adanya hubungan antara rasa tempe yang berbeda pada daerah sentra produksi terhadap komposisi mikroorganisme dan jaminan keamanan pangannya Dalam proses pengolahannya, fermentasi tempe tidak hanya melibatkan cendawan tetapi juga melibatkan bakteri. Upaya mempelajari total komunitas mikroorganisme yang terlibat, dapat dilakukan dengan menggunakan metode deteksi yang cukup sensitif dalam memberi gambaran secara menyeluruh. Teknik tidak terkultur merupakan teknik yang dapat memberi gambaran tentang komposisi mikroorganisme terkultur maupun tidak terkultur dari suatu lingkungan ekologi. Kendala yang dihadapi dalam menggunakan teknik ini adalah pada metode ekstraksi DNA sebagai tahapan awal yang penting. Rendemen dan kualitas DNA yang rendah dapat mengurangi profil keragaman yang dapat diperoleh dari suatu lingkungan ekologi. Permasalahan ini dapat diatasi dengan melakukan pemilihan dan optimasi metode analisa yang dapat memberikan hasil yang reprodusibel. Pada penelitian ini telah dilakukan optimasi metode ekstraksi DNA dari sampel tempe sehingga diperoleh suatu metode standar yang dapat digunakan untuk mempelajari total komunitas mikroorganisme pada tempe. Optimasi dilakukan dengan membandingkan kemampuan dua kit komersil (Fermentas DNA Purification Kit-FDEK dan PowerFood Microbian DNA Isolation Kit-PFMDIK) untuk melakukan analisis metagenom mikroorganisme yang ada di tempe. Berdasarkan hasil dari beberapa parameter yang diamati, metode PFMDIK sangat baik digunakan untuk menganalisis keragaman mikroorganisme di tempe secara metagenomik. Metode ini memberikan rendemen dan kualitas DNA tinggi sehingga dapat diperoleh hasil PCR yang reprodusibel dan ragam mikroorganisme yang lebih tinggi daripada metode FDEK. Parameter yang dipakai sebagai data penunjang hasil ini adalah pengukuran konsentrasi
5
DNA serta kemurnian DNA dengan rasio 260/280, amplifikasi gen 16S rRNA, visualisasi hasil amplifikasi sekuen ITS 16S-23S rRNA serta analisis ARISA untuk komunitas bakteri dan fungi di tempe. Hasil penelitian selanjutnya juga menunjukkan bahwa sidik jari komunitas mikroorganisme dari delapan tempe yang berasal dari delapan pengrajin berbeda menunjukkan ragam dan komposisi mikroorganisme berbeda. Hasil analisis BARISA menunjukkan bahwa tidak ada satupun Operational Taxonomic Unit (OTU) dalam BARISA type dengan ukuran sama yang dapat ditemukan pada kedelapan contoh tempe dari pengrajin berbeda. Sebaliknya diperoleh delapan OTU dalam FARISA type yang ditemukan secara berulang pada tempe dari delapan pengrajin. Data ini menunjukkan bahwa komunitas bakteri diduga lebih diskriminatif menentukan perbedaan karakteristik tempe. Hal ini diperkuat dengan adanya analisis pustaka gen 16S rRNA dari dua tempe EMP dan SDJD. Analisis ini menunjukkan bahwa komunitas bakteri yang mendominasi populasi bakteri pada dua contoh tempe tersebut sangat berbeda. Pada tempe EMP, komunitas bakteri didominasi oleh bakteri Acetobacter dan Lactobacillus sedangkan pada tempe SDJD, komunitas bakteri lebih didominasi oleh bakteri Klebsiella dan Klebsiella yang tidak terkultur. Profil BARISA juga dapat menunjukkan bahwa isolat Klebsiella dan Bacillus yang terdapat pada tempe secara genetik dapat berbeda dengan spesies yang bersifat patogen pada manusia (Klebsiella pneumoniae ATCC35657 dan Bacillus cereus ATCC10876).
6
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karyailmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan atau memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
7
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan atas segala hikmat dan kebijaksanaan yang telah dilimpahkan bagi penulis sehingga disertasi dengan judul “Analisis Metagenom Untuk Pencirian Komunitas Bakteri dan Fungi pada Tempe” ini dapat diselesaikan dengan baik. Bagian dari disertasi ini juga telah dipublikasikan pada Hayati Journal of Bioscience Vol 19 No 2. Juni 2012 dengan judul : “Comparison of DNA Extraction Methods for Microbial Community Analysis in Indonesian Tempe Employing Amplified Ribosomal Intergenic Spacer Analysis”. Penelitian ini juga terlaksana atas bantuan berbagai pihak. Untuk itu penulis sangat berterima kasih kepada berbagai pihak: 1. Para pembimbing: Prof. Dr. Antonius Suwanto, M.Sc., Dr, Iman Rusmana, M.Si dan Dr. Dedy Duryadi Solihin, DEA atas segala bimbingan dan arahan yang diberikan selama penelitian dan penulisan disertasi ini dilakukan. 2. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atas beasiswa pendidikan BPPS yang penulis terima. 3. Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atas dana penelitian yang diberikan melalui penelitian Hibah Strategies Nasional dengan nomor kontrak 524/SP2H/PP/DP2M/VII/2010, Tanggal 24 Juli 2010 dan 406/SP2H/PL/Dit.Litabmas/IV/2011, Tanggal 14 April 2011. 4. Dekan dan Civitas Akademika Fakultas Teknobiologi Atmajaya Indonesia di Jakarta atas semua fasilitas laboratorium dan ijin penggunan isolat Klebsiella pneumoniae ATCC35657 koleksi Fakultas Teknobiologi UNIKA Atmajaya yang mendukung kelancaran penelitian ini. 5. Para Penguji Luar Komisi: Prof. Dr. Anja Meryandini, Prof. Dr. Suyanto Pawiroharsono, Prof. Dr. Aris Tri Wahyudi dan Dr. Yuri Sutanto yang berkenan meluangkan waktu untuk menguji dan memberi masukan demi perbaikan disertasi ini. 6. Dr. Tati Barus untuk kesediaannya memberikan ijin menggunakan dua isolat koleksi: Klebsiella 135 dan Bacillus CR9 pada penelitian ini.
8
7. Arhad Kamahayanikam Vratyastoma dan Alvonsus Alvin atas semua bantuan dan kebersamaan selama penelitian ini berlangsung di Lab Riset FTB UNIKA Atmajaya. 8. Ibu Tati, Ibu Yunning, Pak Bambang, Pak Ridwan, Pak Dahrul, Pak Dahni dan Pak Nurdin atas semua bantuan selama penelitian ini dilakukan. 9. Dr. Nikmans Hatu yang telah membantu pengurusan dana penelitian. Dra. Cynthia Wattimena, M.Sc. yang telah meluangkan waktu untuk mencari literatur yang penulis butuhkan. Sanita Suryani, M.Si dan Ibu Lisa HitalessyTelussa atas bantuannya selama penulis melakukan pengambilan sampel. Handy E.P. Leimena, S.Si., M.Si. atas semua arahannya dalam bidang Ekologi. Ir. Delly Matruti, M.Si yang selalu bersedia dititipkan sampel sebelum dibawa ke lab. 10. Teman-teman seangkatan MIK 2008 dan 2009 atas kebersamaannya selama kuliah. 11. Papa dan Mama (alm), Papa dan Mama mertua (alm) dan semua saudarasaudara: John, Odie, Ella, Ain, Anes, Ici dan Eten yang selalu memberi dukungan Doa dan bantuan yang tidak terhingga. 12. Corinus Titihalawa dan Cecilia Daniela Titihalawa, suami dan anak tercinta atas semua pengorbanan dan dukungannya selama penulis menempuh pendidikan dan penelitian. 13. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu yang telah banyak memberikan kontribusi selama penelitian ini berjalan. Atas semua kebaikan yang diberikan, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Penulis tidak dapat membalas semua kebaikan ini namun biarlah Tuhan yang empunya segala berkat melimpahkan berkat atas semua kebaikan yang diberikan.
Bogor, September 2012
Cecilia Anna Seumahu
9
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Malang pada tanggal 19 April 1972 dari ayah Drs. Johannis Gerzon Seumahu, M.Pd. M.AppSc, dan Ibu Dra. Cecilia Cornelia Haullussy. Penulis menyelesaikan pendidikan S1 di Jurusan Biologi FMIPA IPB pada tahun 1997. Pendidikan S2 diselesaikan penulis pada tahun 2005 di Program studi Bioteknologi Sekolah Pasca Sarjana IPB Bogor dan pada tahun 2008 tercatat sebagai mahasiswa program S3 di Mayor Mikrobiologi Departemen Biologi FMIPA IPB. Pada Tahun 1999, penulis diangkat sebagai tenaga pengajar tetap pada jurusan pendidikan Biologi FKIP Universitas Pattimura dan pada Tahun 2000, penulis ditetapkan sebagai staf pengajar tetap pada Jurusan Biologi FMPIA Universitas Pattimura Ambon hingga saat ini
10
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL…………………………………………………………...
Halaman vii
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………..
ix
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………
xi
PENDAHULUAN Latar Belakang…………………………………………………………... Perumusan Masalah……………………………………………………... Tujuan Penelitian……………………………………………………….. Manfaat Penelitian………………………………………………………. Kebaruan (Novelty)…………………………………………………………… Hipotesis Penelitian……………………………………………………… Bagan Alir Penelitian……………………………………………………
1 2 3 3 3 3 4
TINJAUAN PUSTAKA Proses Fermentasi yang Melibatkan Konsorsium Mikroba………..……. Pentingnya Fingerprinting Komunitas Sebagai Sistem Barcoding pada Proses Fermentasi…….…………………………………………….…… Teknik Culture-Independent untuk Mempelajari Mikroba yang Terlibat dalam Suatu Proses Fermentasi Makanan..……………………………… Automated Intergenic Spacer Analysis (ARISA)….……………………. Pustaka Gen 16S rRNA…………………………………………………. Tempe Sebagai Makanan Tradisional yang Kaya Nutrisi………………. METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian…………………………………………… Bahan Penelitian………………………………………………………… Pengambilan Sampel…………………………………………………… Penyiapan Sampel……………………………………………………….. Ekstraksi dengan Metode Fermentas DNA Purification Kit (FDEK)…………………………………………………………………... Ekstraksi dengan Metode Power Food Microbial DNA Isolation Kit MOBIO (PFMDIK-MOBIO)……………………………………………. Analisis Kuantitas dan Kualitas DNA Hasil Ekstraksi………………….. Analisis Inhibitor PCR………………………………………………….. Analisis Keragaman Komposisi Mikroorganisme………………………. Kloning dan Sequencing Gen 16S rRNA……………………………….. Analisis Isolat Tunggal dengan ARISA……………………………….... HASIL Optimasi Metode Ekstraksi DNA Mikroba di Tempe………..…………. Analisis Profil ARISA Type Tempe dari Sejumlah Produsen Tempe…..
5 6 7 8 11 12
17 17 17 17 18 19 19 20 20 21 22
23 29
11
Analisis Gen 16s rRNA yang Berasal dari Komunitas Bakteri pada Tempe …………………..…………………………………………..…… Analisis profil ARISA Isolat Tunggal Bakteri, Suatu Upaya Analisis Keamanan Pangan…………………………………………………..…. PEMBAHASAN Optimasi Metode Ekstraksi DNA Mikroba di Tempe………….……. Analisis Profil ARISA Type Tempe dari Sejumlah Produsen Tempe……………………………………………………………………. Analisis Gen 16S rRNA yang Berasal dari Komunitas Bakteri pada Tempe ………...……………………………………………………….… Analisis Profil ARISA Isolat Tunggal Bakteri, Suatu Upaya Analisis Keamanan Pangan………………………………………………………..
39 40 45 50 57 63
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan…………………………………………………………….….. Saran……………………………………………………………….……
65 65
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………..
67
LAMPIRAN………………………………………………………………….
77
12
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Bakteri dan khamir yang dilaporkan berasosiasi dengan proses fermentasi tempe…………………………………………………………………………..
14
Konsentrasi DNA dan rasio A260/280 dan A260/230 untuk hasil ekstraksi dengan menggunakan metode FDEK dan PFMDIK………..……………….
23
Perbandingan profil OTU BARISA type dan FARISA type yang diperoleh dari DNA hasil ekstraksi dengan metode FDEK dan PFMDIK …………….………
25
4.
Profil perbedaan perlakuan proses pembuatan tempe pada berbagai produsen..
30
5.
Keragaman OTU pada BARISA type dan FARISA type dari Berbagai Produsen tempe………………………………………………..…….……….
36
6.
Ukuran Profil BARISA Isolat Tunggal Bacillus………………………………
41
7.
Ukuran Profil BARISA Isolat Tunggal Klebsiella……………………………
42
2.
3.
13
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.
Prinsip dasar Automated Ribosomal Intergenic Spacer Analysis……..
9
2.
Kedudukan primer ITSF dan ITSReub………………………………
10
3.
Kedudukan dan ukuran amplikon yang dihasilkan dari primer 2234C dan 3126T……………………………………………………………..
11
4.
Amplifikasi PCR gen 16S rRNA dari sampel tempe…………………
24
5.
Profil BARISA type dari intergenic spacer yang diamplifikasi dengan dua metode ekstraksi DNA…………………………………………..
25
Profil FARISA type dari daerah intergenic spacer yang diamplifikasi dengan dua metode ekstraksi DNA…………………………………..
26
Profil BARISA type (tiga ulangan) dari intergenic spacer yang diamplifikasi dari DNA hasil ekstraksi dengan metode PFMDIK……
27
Profil FARISA type (tiga ulangan) dari intergenic spacer yang diamplifikasi dari DNA hasil ekstraksi dengan metode PFMDIK……
28
Profil BARISA dari intergenic spacer yang diamplifikasi dari DNA hasil ekstraksi dari beberapa tempe…………………………………
32
Profil BARISA dari intergenic spacer yang diamplifikasi dari DNA hasil ekstraksi dari beberapa tempe…………………………………
33
Profil FARISA dari intergenic spacer yang diamplifikasi dari DNA hasil ekstraksi dari beberapa tempe..……………………………….
34
Profil FARISA dari intergenic spacer yang diamplifikasi dari DNA hasil ekstraksi dari beberapa tempe..……………………………….
35
Pohon filogenetik hubungan keterkaitan delapan komunitas bakteri pada delapan tempe berdasarkan Sorensen’s Similarity coefficient…...
37
Pohon filogenetik hubungan keterkaitan delapan komunitas fungi pada delapan tempe berdasarkan Sorensen’s Similarity coefficient.......
38
Persentase spesies bakteri yang dominan ditemukan pada tempe SDJD…………………………………………………………………..
39
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12
13.
14
15.
16.
Persentase spesies bakteri yang dominan ditemukan pada tempe EMP………………………………………………………………….
40
14
17.
18.
Perbandingan profil BARISA isolat tunggal Bacillus yang terkultur dan diisolasi dari tempe dibandingkan terhadap isolat ATCC……..
41
Perbandingan profil BARISA isolat tunggal Klebsiella yang terkultur dan diisolasi dari tempe dibandingkan terhadap isolat ATCC………
43
15
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1.
Proses pengolahan pada delapan produsen tempe yang diamati….……
79
2.
BARISA type yang ditemukan dalam jumlah yang melimpah dan berulang pada tempe…………….……………….………….….……….
80
FARISA type yang ditemukan dalam jumlah yang melimpah dan berulang (dishading) pada tempe………………………….………….
81
4.
Matriks Sorensen’s Similarity coefficient komunitas OTU BARISA…..
82
5.
Matriks Sorensen’s Similarity coefficient komunitas OTU FARISA…..
82
6.
Identitas bakteri hasil analisis sequencing dari gen 16S rRNA yang berhasil dikloning ke vektor pGEMT-Easy…………………………….
83
3.
16
ANALISIS METAGENOM UNTUK PENCIRIAN KOMUNITAS BAKTERI DAN FUNGI PADA TEMPE
CECILIA ANNA SEUMAHU
Disertasi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Doktor pada Mayor Mikrobiologi
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
17
Penguji Luar Komisi Pembimbing:
Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup (18 Oktober 2012) 1. Prof. Dr. Anja Meryandini (Guru Besar Departemen Biologi FMIPA IPB) 2. Prof. Dr. Suyanto Pawiroharsono (Deputi Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi-Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi,BPPT)
Penguji Luar Komisi Ujian Terbuka (14 November 2012) 1. Prof. Dr. Aris Tri Wahyudi (Guru Besar Departemen Biologi FMIPA IPB) 2. Dr. Yuri Sutanto (Senior Scientist-Aquaculture Technology Division pada PT. Central Proteinemaprima, Tbk)
18
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Disertasi Nama NRP
: Analisis Metagenom untuk Pencirian Komunitas Bakteri dan Fungi pada Tempe : Cecilia A. Seumahu : G361080011
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Antonius Suwanto, M.Sc. Ketua
Dr. Iman Rusmana, M.Si Anggota
.
Dr. Dedy Duryadi Solihin, DEA Anggota
Diketahui, Ketua Mayor Mikrobiologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Anja Meryandini
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.
Tanggal Ujian Tebuka: 14 November 2012
Tanggal Lulus:
19
PENDAHULUAN Latar Belakang Sebagai makanan tradisional Indonesia, tempe telah banyak diketahui sebagai makanan yang dibuat dengan memanfaatkan fungi dari genus Rhizopus. Perkembangan penelitian tempe mencatat bahwa proses fermentasi tempe tidak hanya melibatkan Rhizopus saja tetapi juga melibatkan sejumlah bakteri dan khamir yang berperan dalam peningkatan nilai gizi tempe (Liem et al. 1977; Klus et al. 1993; Keuth & Bisping 1994; Denter et al. 1998; Klus & Bars 1998; Moreno et al. 2002; Kim et al. 2006; Barus et al. 2008; Sari 2009; Stefania 2009). Sampai saat ini penelitian yang dilakukan lebih diarahkan pada peran masingmasing mikroba secara terpisah-pisah padahal dalam suatu proses fermentasi mikroba akan bekerja dalam bentuk suatu konsorsium (Ampe et al. 1999; Randazo et al. 2002; Ogier et al. 2004; Scheirlinck et al. 2007, 2008). Konsorsium mikroba serta kondisi proses fermentasinya perlu dilihat secara menyeluruh karena sangat berpengaruh terhadap cita rasa, tekstur, kandungan nutrisi serta jaminan keamanan tempe (Watanabe et al. 2007; Hubert et al. 2008; Hugenholtz 2008; Rohm et al. 2010). Indonesia merupakan negara yang mengkonsumsi tempe terbesar di dunia. Konsumsi tempe rata-rata perkapita seminggu meningkat mulai dari tahun 2009 sebesar 0.135 kg menjadi 0.140 kg (Data BPS pada bulan Agustus 2011). Indonesia juga dikenal karena tempe yang dihasilkan memiliki keunikan citarasa dari daerah-daerah di Indonesia. Perbedaan standar prosedur pengolahan antara satu produsen dengan produsen lain dapat menimbulkan variasi karakteristik tempe (Astuti et al. 2000). Keunikan karakteristik ini dapat menjadi nilai tambah tempe Indonesia dalam menghadapi perdagangan bebas ASEAN. Sampai saat ini di Indonesia belum pernah dilakukan penelitian mengenai pengaruh perbedaan standar prosedur pengolahan di berbagai daerah terhadap komunitas mikroba total yang terlibat. Informasi ini menjadi penting untuk pemuliaan tempe sebagai makanan fungsional Indonesia yang unik dan konsisten. Informasi ini dapat menjadi dasar perancangan kultur starter andal dan pengendalian proses
20
fermentasi untuk memperoleh tempe dengan kandungan nutrisi serta tingkat keamanan pangan yang tinggi. Perumusan Masalah Tahapan penting dalam pemuliaan tempe sebagai makanan tradisional bernilai gizi penting adalah perlunya dilakukan identifikasi mikroba yang berperan dalam proses fermentasinya. Hal ini menjadi penting karena mikroba yang terlibat selama proses fermentasi berperan dalam pembentukan cita rasa, tekstur serta produksi komponen nutrisi pada makanan fermentasi. Informasi tentang mikroba yang terlibat, dapat digunakan sebagai acuan dalam merancang kultur starter dan dapat menjamin pengontrolan proses terkendali serta memiliki jaminan keamanan pangan. Teknik yang digunakan dalam mempelajari bakteri pada tempe sampai saat ini masih terbatas pada teknik culture-dependent saja. Dalam suatu proses fermentasi dapat dilibatkan berbagai macam jenis mikroba baik terkultur maupun tidak terkultur. Saat ini teknik yang berbasis culture-independent telah dikembangkan dengan baik untuk mengontrol produksi dan jaminan kualitas makanan. Teknik ini dapat memberi gambaran utuh tentang mikroba yang terlibat dalam proses fermentasi tempe. Upaya pemuliaan tempe dapat didasari dengan melakukan karakterisasi peran mikroba dalam memberi kontribusi tertentu untuk kandungan gizi serta aspek keamanan pangannya. Pengetahuan ini dapat menjadi aset penting dalam pemuliaan tempe sebagai makanan tradisional. Berdasarkan hal yang dikemukakan di atas, dapat dirumuskan masalah dasar penelitian ini: 1. Perlunya metode ekstraksi DNA yang bisa memberikan gambaran yang menyeluruh tentang komunitas mikroba dalam proses fermentasi. 2. Bagaimana pengaruh variasi pola produksi tempe terhadap komunitas mikroba pada produk akhir fermentasi Tempe? 3. Apakah profil komunitas bakteri atau fungi pada tempe dapat digunakan sebagai penciri atau barcode? 4. Apakah bakteri yang selama ini teridentifikasi sebagai Klebsiella pneumoniae dan Bacillus cereus pada tempe merupakan bakteri dengan kesamaan genetik seperti bakteri patogen?
21
Tujuan Penelitian Menganalisis
keragaman
komunitas
mikroorganisme
(bakteri
dan
cendawan) dan mencari sistem diagnostik keragaman komunitas terbaik yang dapat digunakan sebagai penciri genetik (barcode) atau “fingerprinting” pada tempe. Manfaat Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian dasar yang memberikan informasi tentang variasi keragaman mikroba yang terdapat dalam tempe Indonesia. Penelitian ini diharapkan dapat membuka jalan untuk identifikasi dan inventarisasi mikroba pada tempe agar dapat membantu pengembangan proses fermentasi yang lebih andal. Informasi ini juga menjadi batu loncatan untuk pengembangan kontrol kualitas tempe. Kebaruan (Novelty) Penelitian ini merupakan penelitian pertama untuk pencirian tempe dan melihat pengaruh keragaman mikroba terhadap perbedaan karakteristik tempe di Indonesia. Penelitian ini tidak hanya dilakukan untuk melihat keberadaan mikroba yang terkultur tetapi juga melihat keberadaan mikroba tidak terkultur. Penelitian ini juga memberikan informasi tentang adanya plasma nutfah mikroba baru yang masih dapat dieksplorasi lebih lanjut. Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka pemikiran yang dikemukakan, maka hipotesis yang dapat dirumuskan adalah: Proses produksi tempe yang berbeda antar produsen tempe di Indonesia memungkinkan munculnya mikroba dengan peran berbeda dalam proses fermentasi. Mikroba yang muncul dalam proses fermentasi diduga berasal dari lingkungan produksi dan memberikan pengaruh terhadap karakteristik tempe Indonesia. Mikroba pada tempe Indonesia dapat merupakan plasma nutfah mikroba khas yang mungkin belum pernah dieksplorasi. Beberapa mikroba yang ditemukan pada tempe memiliki kesamaam ciri dengan mikroba patogen, walaupun demikian mikroba tersebut belum tentu sama secara genetik.
22
Bagan Alir Penelitian
Sampel Tempe
Isolasi DNA Metode FDEK
Isolasi DNA Metode PFMDIK
Pengukuran Kuantitas DNA dan Uji Penghambatan PCR
A
R
I
S
A
Profil DNA Metode FDEK
Proil DNA Metode PFMDIK
Metode Standar untuk Isolasi Mikroba dari Tempe
Sampel Tempe Bogor
Sampel Tempe Ambon
Sampel Tempe Malang
Sampel Tempe Sidoarjo
Profil ARISA Mikroba dalam Proses Fermentasi Tempe
Pembuatan Pustaka Gen 16S rRNA dari Dua Tempe
Profil ARISA Dua Isolat Bakteri dari Tempe dengan dua Isolat ATCC
Gambaran Struktur Komunitas Bakteri pada Tempe yang Berbeda
Perbandingan Kesamaan Isolat secara Genetik
Novelty: Informasi dasar tentang keragaman mikroba pada tempe yang menyebabkan adanya keragaman karakteristik tempe di Indonesia
23
TINJAUAN PUSTAKA
Proses Fermentasi yang Melibatkan Konsorsium Mikroba Makanan fermentasi adalah substrat makanan yang ditumbuhi oleh mikroba, dapat dimakan (edible) dan mengandung berbagai macam enzim yaitu: amilase, protease, lipase dan enzim penghidrolisis polisakarida. Selain itu pada makanan fermentasi dapat ditemukan pula protein dan lipid sebagai produk non toksik serta cita rasa, aroma serta tekstur yang menyenangkan dan menarik untuk dikonsumsi oleh manusia (Steinkraus 1997). Proses fermentasi makanan dapat dikategorikan menjadi proses fermentasi spontan yang tidak menggunakan kultur starter (NKS) dan proses fermentasi menggunakan kultur starter (KS). Kultur starter yang digunakan dapat berupa isolat tunggal atau kultur campuran. Proses fermentasi spontan (NKS) maupun fermentasi KS, masih memungkinkan masuknya berbagai mikroba lain yang akhirnya terlibat dalam proses fermentasi tersebut (Holzapfel 2002). Proses tersebut dapat pula melibatkan berbagai jenis bakteri terkultur maupun tidak terkultur (Ampe et al. 1999). Tahapan proses fermentasi dapat didominasi oleh mikroba yang berbedabeda. Hal ini disebabkan karena adanya kondisi pertumbuhan yang dibentuk oleh komunitas mikroba dalam proses fermentasi (Ampe et al. 1999; Randazo et al. 2002; Ogier et al. 2004). Variasi jenis dan lokasi mikroba pada proses fermentasi juga melibatkan perannya yang berbeda-beda. Adanya interaksi mikroba yang berkorelasi secara negatif maupun positif dengan menekan pertumbuhan organisme tertentu atau mendukung pertumbuhan organisme lain (Caplice & Fitzgerald 1999; Monier et al. 2008). Perubahan populasi mikroba dalam suatu proses fermentasi terjadi karena metabolit tertentu dapat dibentuk oleh mikroba tertentu untuk menunjang suksesinya dengan menciptakan lingkungan yang memungkinkan pertumbuhannya (Van der Meulen et al. 2007). Jenis mikroba berbeda dapat mensintesis metabolit berbeda walaupun pada bahan makanan yang sama. Jenis metabolit yang disintesis pada bahan makanan tertentu sangat dipengaruhi oleh jenis mikroba dalam proses fermentasinya (de Reu et al. 1994; Bauman & Bisping 1995; Denter et al. 1998; Hubert et al. 2008).
24
Komposisi mikroba yang terlibat dalam proses fermentasi makanan sangat penting karena berkontribusi terhadap cita rasa, tekstur dan nilai gizi dari makanan. Produksi komponen aroma juga dapat dihasilkan atau dimodifikasi dari eksopolisakarida dan protein yang ada pada bahan makanan. Komponen nutrisi seperti vitamin juga dapat dihasilkan karena peranan mikroba dalam proses fermentasi (Holzaffel 2002; Hugenholtz 2008). Secara tradisional komposisi mikroba dalam proses fermentasi yang menghasilkan produk tertentu dapat digunakan kembali untuk mempercepat kondisi fermentasi pada proses fermentasi selanjutnya. Hal ini dilakukan dengan menggunakan kultur backslopping atau dengan menggunakan residu fermentasi kering (Holzaffel 2002; Kourkoucas et al. 2006).
Pentingnya Fingerprinting komunitas Sebagai Sistem Barcoding Pada Proses Fermentasi Produk fermentasi yang beragam dapat dihasilkan dari bahan baku yang sama. Mikroba merupakan parameter paling sulit untuk dikontrol selama proses fermentasi. Mikroba dalam proses fermentasi keju, dapat berasal dari kultur bakteri asam laktat yang ditambahkan maupun kultur bakteri asam laktat lain dalam starter. Bakteri lain, khamir dan fungi dapat juga timbul secara spontan dari lingkungan. Populasi mikroba yang tumbuh selama proses fermentasi sangat sulit dikontrol karena kompleksnya dinamika dan interaksi antar mikroba. Pengetahuan tentang struktur dan dinamika dari komunitas mikroba yang terlibat menjadi penting karena dapat memberi pemahaman lebih baik tentang variasi karakteristik produk fermentasinya. Hal ini disebabkan adanya pertumbuhan dan metabolisme mikroba yang ada. Kontrol komposisi mikroba akan memudahkan pemilihan karakteristik tertentu dan mencegah penurunan kualitas produk fermentasi (Jani & Barbier 2008). Komposisi mikroba dalam suatu proses fermentasi sangat tergantung pada teknologi yang digunakan seperti pada keju (Ogier et al. 2004) serta daerah geografis tempat proses fermentasi tersebut dilakukan (Scheirlinck et al. 2007). Upaya memperoleh gambaran tentang hasil produksi fermentasi yang reprodusibel perlu dilakukan dengan diawali tahapan pembuatan database dan fingerprinting
25
mikroba dalam proses fermentasinya secara menyeluruh (Ogier et al. 2004). Studi tentang fingerprinting komunitas kultur starter akan membantu memberi pemahaman hubungan antara keragaman mikroba dan karakteristik spesifik yang dihasilkan. Analisis ini dapat menjadi dasar perancangan suatu kultur starter dan pengontrolan proses fermentasi (Lv et al. 2012)
Teknik Culture-Independent untuk Mempelajari Mikroba yang Terlibat dalam Suatu Proses Fermentasi Makanan Upaya untuk mempelajari komunitas mikroba dalam suatu proses fermentasi makanan secara tradisional perlu dilakukan dan tidak hanya terbatas pada teknik culture-dependent saja tetapi juga penting untuk melihat keragaman komunitas dengan menggunakan teknik berbasis culture-independent (Ampe et al. 1999). Keterbatasan metode culture-dependent dalam kurun waktu dua dekade menyebabkan
adanya
pengembangan
teknik
culture-independent
yang
berdasarkan pada analisa asam nukleat. Teknik ini juga telah banyak digunakan dalam mempelajari komunitas mikroba pada ekosistem makanan untuk mengontrol produksi dan jaminan kualitas makanan yang baik (Juste et al. 2008). Teknik culture-independent merupakan teknik yang mampu memberikan gambaran komunitas dalam suatu sistem makanan. Keterbatasan teknik cultureindependent sangat dipengaruhi oleh kemampuan metode ekstraksi DNA yang digunakan. Ekstraksi DNA dari makanan dan ada tidaknya nuklease maupun inhibitor PCR yang dapat terekstraksi dari bahan makanan tersebut sangat mempengaruhi kualitas DNA hasil ekstraksi (Metwally et al. 2008). Metode yang digunakan haruslah metode terbaik untuk sampel spesifik, kriteria utamanya didasarkan pada kualitas dan kuantitas DNA hasil ekstraksi (Jara et al. 2008). Kuantitas dan kualitas DNA bersifat sangat kritis untuk interpretasi analisis komunitas mikroba (Thakuria et al. 2008). Ekstraksi DNA dari tempe belum banyak dipelajari padahal metode ekstraksi sangat bersifat spesifik untuk matriks atau bahan dasar makanan yang berbeda (Abrioruel et al. 2006; Jara et al. 2008). Teknik culture-independent umumnya melibatkan teknik PCR sehingga penting untuk memperhatikan gen yang menjadi target dasar analisa serta metode ekstraksi DNA-nya. Pemilihan gen sebagai marker genetik harus dapat
26
membedakan variasi organisme secara luas. Sekuen gen yang dipilih harus memiliki sekuen variabel dan konservatif dimana domain yang variabel memungkinkan diskriminasi dalam selang yang luas dari suatu tingkatan taksonomi. Sekuen target ini harus diapit oleh daerah yang koservatif. Gen yang dapat digunakan sebagai penanda (marker) dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu ubiquitously conserved genes dan functional genes (Juste et al. 2008).
Automated Intergenic Spacer Analysis (ARISA) Metode rRNA Intergenic Spacer Analysis (RISA) merupakan salah satu metode culture-independent yang melibatkan amplifikasi PCR daerah intergenik antara gen 16S dan 23S rRNA. Daerah ini menunjukkan heterogenitas tinggi yang bergantung pada spesies baik dalam hal panjang amplikon maupun sekuen yang dihasilkan (Gambar 1). Kedua tipe variasi pada teknik ARISA ini telah banyak digunakan untuk membedakan strain-strain maupun spesies yang berkerabat secara dekat (Jensen et al. 1993; Maes et al. 1997) dan daerah ini dapat pula digolongkan sebagai ubiquitously conserved genes. Fisher dan Triplett (1999) menggunakan teknik ini dengan memodifikasi teknik RISA dan menggunakan primer oligonukleotida terlabel fluoresens pada proses PCR. Teknik ini selanjutnya disebut Automated RISA (ARISA). Metode ARISA sangat memudahkan analisis data yang dihasilkan. Analisis ARISA digunakan sebagai tahapan lanjut analisis konsorsium mikroba tempe karena daerah sekuen intergenik 16S-23S rRNA memiliki variasi panjang dengan variasi ketidak miripan (dissimilarity) sekuen yang tinggi (35100%) (Song et al. 2004). Organisme dengan 99% kesamaan pada analisis gen 16S rRNA dapat terdeteksi sebagai organisme berbeda dengan teknik ini. Teknik ini mampu mengkarakterisasi dan membedakan struktur genetik komunitas mikroba berdasarkan kehadiran masing-masing populasi mikroba dalam komunitas tersebut (Ranjard et al. 2001; Danovaro et al. 2006). Tempe diproduksi dengan standar prosedur bervariasi sehingga sangat membutuhkan teknik ARISA untuk menganalisis konsorsium mikroba yang ada dan diduga cukup kompleks. Teknik ini memungkinkan mempelajari struktur komunitas mikroba pada tempe karena memiliki sensitivitas tinggi dan dapat mengukur intensitas profil yang
27
terdeteksi secara tepat (Ranjard et al. 2001). Profil ARISA (Gambar 1) sangat bergantung pada jumlah kopi operon gen rRNA yang ada pada sel (Dafonchio et al. 2003) dan bersifat spesifik karena mampu memilah keragaman mikroba sampai pada tingkat strain (Jensen et al. 1993).
Gambar 1 Prinsip dasar Automated Ribosomal Intergenic Spacer Analysis (ARISA-Dafonchio et al, 2003). Aplikasi teknik ARISA perlu ditunjang dengan penggunaan primer yang tepat dan andal terutama dalam menganalisa bahan makanan. Hal ini perlu diperhatikan agar tidak menutupi kemungkinan ditemukannya mikroba yang secara teknis tidak diinginkan atau belum pernah terdeteksi keberadaannya pada bahan makanan dan sulit teridentifikasi dengan teknik yang berbasis culturedependent (Ogier et al. 2004). Cardinale et al. (2004), telah mencoba membandingkan satu set primer dan menemukan bahwa pasangan primer ITSF dan ITSReub yang didisainnya mampu menunjang analisa ARISA. Pemanfaatan
28
primer tersebut mampu mengeksplorasi keragaman bakteri dengan memberikan tingkat keragaman yang tinggi, tidak menyebabkan bias dan menghasilkan fingerprinting molekuler yang mudah dianalisis (Gambar 2). Pasangan primer ini telah diuji terhadap berbagai macam sumber sampel dan mampu mereduksi bias dalam analisa ARISA yang memungkinkan diperolehnya gambaran secara global tentang komunitas suatu sistem ekologi. Pada analisis keragaman fungi, Ranjard et al. (2001) telah merancang pasangan primer 2234C dan 3126T yang mampu mendeteksi variasi fungi dan dapat digunakan untuk melihat keragaman fungi dalam kelompok taksonomi utama fungi (Gambar 3). Analisis keragaman dilakukan dengan melihat fragmen DNA yang muncul dengan ukuran berbeda sebagai peak dalam ARISA type. Fragmen DNA ini didefinisikan sebagai OTU (Operational Taxonomic Unit) (Hewson & Fuhrman 2004; Ramete 2009).
Gambar 2 Kedudukan primer ITSF dan ITSReub (Cardinale et al. 2004).
Profil ARISA yang baik sangat bergantung pada kualitas DNA total hasil isolasi. Metode ekstraksi DNA sangat mempengaruhi kuantitas dan kualitas DNA untuk berhasilnya tahapan amplifikasi (Simon et al. 1996; Abriouel et al. 2006; Thakuria et al. 2008). Metode yang digunakan dalam ekstraksi DNA total perlu dioptimasi untuk mendapatkan metode terbaik untuk memberi gambaran menyeluruh tentang total komunitas mikroba dalam suatu sistem ekologi. Bahan makanan dapat mengandung bahan pengganggu PCR dan metode yang digunakan harus mampu mengekstrak semua DNA dari sampel. Hal ini diperlukan agar dapat memberikan profil yang sebenarnya tentang semua mikroba yang ada (Abriouel et al. 2006; Ranjard et al. 2001). Faktor yang perlu diperhatikan dalam proses tersebut adalah korelasi nyata antara jumlah ribotipe reprodusibel yang dihasilkan dan ekstrak DNA hasil ekstraksi. Metode yang digunakan dalam ekstraksi DNA
29
total juga perlu dioptimasi untuk mendapatkan metode terbaik (Ranjard et al. 2001).
Gambar 3 Kedudukan dan ukuran amplikon yang dihasilkan dari primer 2234C dan 3126T (Ranjard et al.2001). Pustaka Gen 16S rRNA Gen 16S rRNA merupakan gen yang selalu ada pada semua prokariot dan menjalankan fungsi sama. Perubahan sekuen pada gen ini akan menandai jarak evolusi antara mikroba yang berkerabat. Intensitas perubahan dapat terjadi dengan kecepatan dan lokasi dalam gen 16S rRNA yang tidak seragam antara setiap mikroba. Panjang gen 16S rRNA adalah sekitar 1550 bp dan tersusun atas daerah variable dan konservatif. Gen ini cukup besar dan memiliki sifat polimorfisme interspesifik yang dapat digunakan sebagai pembeda nyata secara statistik. Primer universal dirancang sebagai fragmen komplemen pada awal dan ujung gen. Daerah gen yang variable diapit oleh primer dan dapat digunakan dalam analisis komparatif taksonomi (Clarridge 2004).
30
Weisburg et al. (1991) telah menemukan bahwa amplifikasi gen 16SrRNA, kloning dan sekuensing merupakan metode untuk mengidentifikasi mikroorganime tanpa harus dikulturkan. Pendekatan pustaka gen 16S rRNA dapat dimanfaatkan dalam mengidentifikasi spesies spesifik yang berpotensi sebagai indikator dalam mempelajari struktur suatu komunitas (Hartman & Widmer, 2006). Marchesi et al. (1998) telah merancang sepasang primer yang dapat digunakan untuk mengamplifikasi gen 16S rRNA dari kelompok bakteri yang disebut primer 63F dan 1387R.
Tempe Sebagai Makanan Tradisional yang Kaya Nutrisi Kedelai merupakan bahan makanan yang unik karena kaya akan nutrisi. Kedelai mengandung karbohidrat kompleks, protein nabati, lipid, serat, oligosakarida, senyawa fitokimia (khususnya isoflavon) dan mineral. Protein kedelai dikenal sebagai protein yang lengkap dan setara dengan albumin telur. Substitusi protein hewani dengan protein kedelai akan mereduksi ekskresi kalsium urin dan mereduksi osteoporosis. Kandungan serat yang larut dan tidak larut juga memberi keuntungan bagi kesehatan, sedangkan oligosakaridanya berperan sebagai komponen prebiotik di kolon. Isoflavon genistein dan daidzein dari kedelai memiliki sejumlah fungsi biologis dan mineralnya berada dalam bentuk yang tersedia sehingga menjadi penting karena mereduksi osteoporosis dan hipertensi (Anderson et al. 1999). Kedelai juga mengandung asam lemak gliserid seperti asam palmitat, stearat, oleat, linoleat dan linoleat (de Reu et al. 1994). Zamora & Veum (1979) menyatakan bahwa nutrisi kacang kedelai yang difermentasi dengan adanya fungi lebih signifikan meningkatkan average daily gain (ADG) dan rasio gain:feed (G:F) dari tikus. Hal ini menunjukkan bahwa proses fermentasi berperan penting dalam menyediakan nutrisi yang lebih siap untuk diserap. Tempe merupakan makanan fermentasi tradisional Indonesia yang secara prinsip dibuat dari kedelai. Tempe di Indonesia terutama diproduksi oleh industri skala kecil dengan skala produksi 10 kg sampai 4 metrik ton per hari. Diduga terdapat lebih dari 100.000 produsen tempe yang tersebar di Indonesia (Astuti et al. 2000). Chan et al. (2007) melaporkan bahwa tempe merupakan sumber zinc,
31
besi dan kalsium yang terbaik bagi bayi karena kandungan mineralnya relatif tinggi dan kandungan phytat-nya rendah. Tempe yang berbahan dasar kedelai dan diproses melalui fermentasi tradisional diproses melalui tahapan proses soaking (perendaman dalam kondisi asam), dehulling (pengelupasan mantel biji), cooking (perebusan) dan fermentasi. Karena kedelai sebagai bahan baku tempe mengandung sejumlah senyawa antinutrisi dan senyawa yang bersifat toksik, Egounlety & Aworh (2003) melaporkan bahwa tahapan preparasi sebelum proses fermentasi perlu dilakukan sebagai tahapan persiapan substrat untuk selanjutnya mengalami pemecahan secara enzimatik oleh fungi. Pada tahapan preparasi ini juga, proses cooking secara signifikan mereduksi inhibitor trypsin pada kacangkacangan, dehulling mengeliminasi tannin dan fermentasi dengan Rhizopus oligosporus mereduksi asam phytat sebanyak 30,7% pada kedelai. Proses Soaking-dehulling-cooking
dan
fermentasi
dengan
Rhizopus
oligosporus
mengeliminasi stachyose yang merupakan oligosakarida yang sangat flatulent. Galur Rhizopus yang digunakan sebagai starter sangat beragam. Baumann & Bisping (1995) pernah melaporkan adanya 36 strain Rhizopus asal Indonesia yang biasa digunakan untuk membuat tempe. Rhizopus yang digunakan dalam pembuatan tempe mampu membentuk karotenoid dan menurunkan jumlah tocopherol dengan jumlah vitamin E yang tetap, menurunkan asam lemak gliserid (de Reu et al. 1994), mampu melakukan proteolisis, meningkatkan jumlah asam amino bebas dalam suatu proses fermentasi tempe (Baumann & Bisping 1995), serta memproduksi ergosterol (Denter et al. 1998). Proses fermentasi ini dapat memberikan hasil yang berbeda bila galur fungi dikombinasikan dengan bakteri dalam proses fermentasi (de Reu et al. 1994; Baumann & Bisping 1995; Denter et al. 1998). Kemampuan proteolisis R. stolonifer, R. oryzae dan R oligosporus dalam melakukan proteolisis sangat beragam, bahkan sangat bergantung pada galur dan bukan spesies (Baumann & Bisping 1995). Rhizopus juga telah dilaporkan mampu mensintesis β-carotene namun kemampuan ini tidak dimiliki oleh semua spesies ini (Denter et al. 1998). Jenis asam lemak yang didegradasi dan dihasilkan juga sangat beragam (de Reu et al. 1994). Walaupun proses fermentasi tempe umumnya menggunakan kultur starter tunggal yang terdiri atas fungi dari kelompok Rhizopus, beberapa penelitian telah
32
melaporkan adanya keterlibatan mikroba lain seperti bakteri dan kapang dalam proses ini. Liem et al. (1977) pernah membuktikan peran bakteri dalam membentuk vitamin B12 pada tempe (Tabel 1).
Tabel 1 Bakteri dan khamir yang dilaporkan berasosiasi dengan proses fermentasi tempe Bakteri dan Khamir
Produk yang dihasilkan
Sumber
Asam, Asam, invertase Asam Asam, invertase Asam, invertase, αgalactosidase Asam Vitamin B12
Mulyowidarso et al. 1989 Mulyowidarso et al. 1989 Mulyowidarso et al. 1989 Mulyowidarso et al. 1989 Mulyowidarso et al. 1989 Mulyowidarso et al. 1989 Mulyowidarso et al. 1989 Mulyowidarso et al. 1989
Vitamin B12
Keuth & Bisping 1994; Barus et al. 2008
Brevibacterium epidermidis
Factor 2
Klus et al. 1993
Microbacterium aborescens
Factor 2 dan Glycitein
Klus et al. 1993
Micrococcus
Isoflavon polyhydroxylasi
Klus & Bars 1998
Arthrobacter
Isoflavon polyhydroxylasi
Klus & Bars 1998
Enterococcus faecium LMG 19827
Bakteriosin B1
Moreno et al. 2002
Enterococcus faecium LMG 19828
Bakteriosin B2
Moreno et al. 2002
Bacillus subtilis
Protease serin dari kelompok subtilisin
Kim et al. 2006; Barus et al. 2008
Enterobacteria
bersifat proteolitik
Barus et al. 2008
Acetobacter indonesiensis
-
Barus et al. 2008
Flavobacterium sp.
-
Barus et al. 2008
Klebsiella sp.
-
Barus et al. 2008
Brevundimonas sp.
-
Barus et al. 2008
Bacillus sp.
-
Barus et al. 2008
Pseudomonas putida
-
Barus et al. 2008
Invertase -
Barus et al. 2008 Mulyowidarso et al. 1989. 1991 Mulyowidarso et al. 1989 Mulyowidarso et al. 1989
Lactobacillus casei Streptococcus faecium Sterptococcus dysgalactiae Staphilococcus epidermidis Citrobacter diversus Enterobacter aglomerans Enterobacter cloacae Klebsiella pneumoniae Klebsiella Ozaenae Bacillus brevis Citrobacter freundii Klebsiella pneumoniae
Acinetobacter Pichia burtonii (khamir) Candida diddensiae (khamir) Rhodotorula rubra (Khamir)
Mulyowidarso et al. 1989 Mulyowidarso et al. 1989 Keuth & Bisping 1994
Analisa yang berdasarkan teknik culture-independent menggunakan Amplified Ribosomal DNA Restriction Analysis (ARDRA) telah pula dilakukan dan ditemukan 60 filotipe bakteri pada tempe tidak pahit (Stefania 2009) dan 58 filotipe bakteri dari tempe dengan rasa pahit (Sari 2009) yang menggambarkan
33
tingginya keragaman bakteri pada tempe. Keterlibatan khamir dalam fermentasi tempe di Malaysia juga telah dilaporkan oleh Moreno et al. (2002). Bakteri asam laktat juga telah dilaporkan berpengaruh terhadap komposisi beberapa produk makanan dengan bahan baku kedelai. Bakteri ini dilaporkan berpengaruh terhadap komposisi senyawa fitokimia dan sifat antioksidan dari kecambah kedelai sebagai hasil proses fermentasinya (Hubert et al. 2008). Pada produk pasta kedelai (doenjang), bakteri asam laktat dan bakteri-bakteri lain seperti Bacillus dilaporkan berperan dalam membentuk komponen-komponen pembentuk cita rasa, protein dan bakteriosin pada makanan ini (Kim et al. 2009). Kondisi lingkungan yang berbeda antara daerah penghasil tempe juga dapat berpengaruh terhadap hasil fermentasi. Baumann dan Bisping (1995) menyatakan bahwa suhu yang rendah akan menurunkan kecepatan fermentasi, namun justru dapat meningkatkan kandungan asam amino bebas pada tempe. Mengacu pada penelitian yang dikemukakan di atas terlihat bahwa dalam proses fermentasi tempe di Indonesia melibatkan sangat banyak spesies Rhizopus sebagai kultur starter pada daerah produsen tempe yang berbeda-beda. Selain itu karena kondisi lingkungan produsen tempe yang berbeda-beda, dapat terjadi bahwa proses fermentasi melibatkan banyak sekali mikroba lain selain kultur starter. Varietas biji kedelai yang digunakan produsen tempe juga berbeda pada daerah penghasil tempe yang berbeda. Hal ini dapat berpengaruh pada hasil akhir fermentasi. Peran kapang Rhizopus, selain menyediakan beberapa komponen penting juga berperan untuk menyediakan substrat bagi bakteri dalam mensintesis komponen cita rasa dan komponen nutrisi lain. Perbedaan rasa pada tempe dari berbagai daerah di Indonesia diduga dapat disebabkan karena adanya variasi komunitas mikroba, karena variasi bahan serta tempat proses fermentasi yang juga beragam (Astuti et al. 2000). Hal ini tentu saja menjadi faktor penunjang ciri khas rasa tempe yang dihasilkan pada daerah berbeda di seluruh Indonesia. Scheirlinck et al. (2007, 2008) menemukan bahwa dalam proses fermentasi sourdough yang dilakukan secara spontan melibatkan suatu konsorsium mikroba. Penelitian tersebut menemukan bahwa tidak terdapat kesamaan komunitas bakteri asam laktat pada proses fermentasi sourdough pada daerah yang berbeda.
Skor plot dari Principal Component Analysis (PCA)
34
menunjukkan bahwa sampel sourdough yang berasal dari depositor yang sama akan dikelompokkan bersama. Korelasi antara tipe tepung, propinsi penghasil atau karakteristik teknologi (pH, waktu fermentasi dan suhu) tidak ditemukan demikian pula asosiasi signifikan antara spesies bakteri asam laktat tertentu dengan salah satu dari variabel yang diamati. Keragaman variasi komunitas bakteri asam laktat ini secara signifikan sangat dipengaruhi oleh lingkungan bakery tempat terjadinya fermentasi sourdough. Walaupun berkontribusi secara positif, ternyata mikroba yang terlibat dalam proses fermentasi tempe dapat juga memberi dampak yang merugikan. Rhizonin adalah hepatotoksik siklopeptida dari kultur fungi Rhizopus microspores yang tumbuh pada kacang-kacangan di Mozambique. Penelitian menunjukkan bahwa toksin ini sebenarnya tidak diproduksi oleh fungi tetapi oleh bakteri dari genus Burkhoderia yang merupakan endosimbion dalam sitosol fungi (PartidaMartinez et al. 2007a, 2007b.). Rohm et al. (2010) menunjukkan bahwa bakteri toksigenik ini juga ditemukan pada kultur starter dalam produksi tempe atau sufu. Profil metabolik dari fungi selama kondisi standar untuk produksi tempe atau sufu, menunjukkan bahwa toxin dan rhizonin diproduksi dalam jumlah cukup kritis. Biogenik amin berimplikasi terhadap kejadian keracunan yang berasosiasi dengan konsumsi makanan hasil fermentasi. Pada proses fermentasi makanan berbahan kedelai telah dilaporkan terjadi pada fermentasi sufu di Taiwan. Dari sembilan biogenik amin pada semua sampel sufu kurang dari 5 mg/100g, ternyata diperoleh satu sampel sufu cokelat yang memiliki kandungan histamin terbesar (15.8 mg/100 g) yang lebih besar dari 5.0 mg/100 g, limit standar yang diijinkan oleh US Food and Drug Administration (Kung et al. 2007). Pada bahan makanan fermentasi, bakteri asam laktat sangat berperan dalam memberikan aroma dan tekstur yang baik (Hugenholtz 2008). Walau demikian, bakteri asam laktat juga merupakan bakteri yang banyak memproduksi senyawa biogenik amin ini sehingga pengontrolan dan seleksi komposisi mikroba dalam proses fermentasi perlu dilakukan untuk menjaga keamanan pangan makanan hasil fermentasi (Marcobal et al. 2005).
35
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen laboratorium. Penelitian ini
dilakukan di
Laboratorium Riset
Fakultas
Teknobiologi UNIKA Atmajaya Jakarta mulai bulan Agustus 2010 hingga bulan April 2012.
Bahan Penelitian Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel Tempe yang berasal dari beberapa daerah (Jawa Barat, Jawa Timur dan luar JawaAmbon), Isolat Klebsiella 135 (Hanjaya 2001), Bacillus GR9 (Wati 2011), Klebsiella pneumoniae ATCC 35657 (Koleksi Fakultas Teknobiologi-UNIKA Atmajaya Jakarta) dan Bacillus cereus ATCC10876 (Koleksi IPBCC, Bogor).
Pengambilan Sampel Sampel diambil dari delapan pengrajin dari empat daerah yaitu di Jawa Barat (Bogor), Jawa Timur (Malang dan Sidoarjo) dan Maluku (Ambon). Sampel tempe diambil dari dua produsen di tiap-tiap daerah. Proses pembuatan tempe pada setiap produsen dicatat dan dirangkum sebagai data penunjang dalam penelitian ini.
Penyiapan Sampel Sampel tempe sebanyak 1.5 Kg diambil dari rak yang berbeda pada produsen dan dipotong menjadi potongan-potongan kecil. Tempe dalam wadah selanjutnya diaduk dan ditimbang 25 g untuk 3 ulangan. Tempe yang ditimbang selanjutnya diberikan 225 ml larutan garam fisiologis dan diblender selama 30 detik, dibiarkan selama satu menit dalam posisi terbalik dan kemudian diblender lagi selama 30 detik (Dry and wet mill, National Omega MX-T2GN). Slurry tempe yang dihasilkan selanjutnya diambil sebanyak 9 ml dengan cara diambil sambil diaduk untuk mendapatkan partikel slurry yang seragam. Slurry tempe
36
selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 800xg (Sorval Legend Micro 17R Centrifuge) selama 1 menit dan supernatan diambil untuk selanjutnya disentrifugasi lagi dengan kecepatan 13,000xg untuk diambil peletnya. Pelet yang diperoleh selanjutnya dicuci dengan larutanTris-EDTA (TE) pH 8.0 dan disentrifugasi lagi pada 13,000xg. Supernatan dibuang dan selanjutnya pelet siap diekstraksi dengan menggunakan kit ekstraksi komersil sesuai prosedur yang dijelaskan oleh perusahaan (Fermentas DNA purification Kit (FDEK) dan Power Food Microbial DNA Isolation Kit MOBIO (PFMDIK)).
Ekstraksi dengan Metode Fermentas DNA Purification Kit (FDEK) Tahapan ini dilakukan dengan melakukan ekstraksi dan purifikasi DNA dari sampel tempe yang diambil dengan menggunakan metode Fermetas DNA purification kit. Pelet hasil pencucian dengan TE selanjutnya diresuspensikan dengan 200 μl TE dan selanjutnya ditambahkan 400 μl lysis solution dan diinkubasi pada 650C selama 5 menit. Kloroform selanjutnya ditambahkan sebanyak 600 μl, dibolak-balik sebentar dan selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 10,000xg (Sorval Legend Micro 17R Centrifuge) selama 2 menit. Fase bagian atas selanjutnya dipindahkan ke tabung eppendorf baru dan ditambahkan 800 μl precipitation solution 1x dan dibiarkan pada suhu ruang selama 1-2 menit. Sentrifugasi selanjutnya dilakukan dengan kecepatan 10,000xg selama 2 menit. Supernatan selanjutnya dibuang dan pellet dilarutkan dalam 100 μl NaCl. Campuran divortex cepat dan ditambahkan etanol absolut sebanyak 300 μl. Campuran diinkubasi pada suhu -200C selama 10 menit. Sentrifugasi selanjutnya dilakukan pada kecepatan 10,000xg selama 3-4 menit. Supernatan dibuang dan pellet dicuci dengan ethanol 70% satu kali dan dikeringanginkan. Pelet DNA selanjutnya dilarutkan dalam 100 μl ddH2O. Konsentrasi dan kemurnian DNA yang dihasilkan selanjutnya diukur dengan menggunakan NanoDrop 2000 Spectrophotometer (Thermo Scientific).
37
Ekstraksi dengan Metode Power Food Microbial DNA Isolation Kit MOBIO (PFMDIK). Tahapan ini diawali dengan melakukan ekstraksi dan purifikasi DNA dari sampel tempe yang diambil dengan menggunakan metode PFMDIK. Ekstraksi dengan kit ini dimulai dengan meresuspensikan pelet pada 450 μl solution PF1 yang telah dihangatkan pada suhu 550C. Suspensi kemudian dipindahkan ke tabung MicroBead dan diletakkan secara horizontal pada vortex serta dilakukan pengadukkan selama 10 menit dengan kecepatan maksimum (2500 rpm-Heidolp REAX control). Sentrifugasi selanjutnya dilakukan pada kecepatan 13,000xg selama 1 menit, supernatan yang diambil dan dipindahkan pada tabung baru serta diberi 100 μl larutan PF3 yang dicampur dengan cara divortex. Inkubasi dilakukan pada suhu 40C selama 5 menit dan selanjutnya disentrifugasi lagi dengan kecepatan 13,000xg selama 1 menit. Supernatan diambil dan ditambah dengan 900 μl larutan PF3 serta divortex. Campuran selanjutnya dipipet dan dimasukkan ke tabung spin filter untuk selanjutnya dilakukan sentrifugasi selama 1 menit. Tahapan ini diulang sampai semua campuran habis. Spin filter selanjutnya dipindahkan pada tabung yang baru dan diteteskan larutan PF4 sebanyak 650 μl dan disentrifugasi lagi pada 13,000xg selama 1 menit. Larutan yang terbuang melalui filter dibuang dan filter kembali ditetesi 650 μl larutan PF5 dan dilakukan sentrifugai lagi pada kecepatan 13,000xg selama 1 menit. Larutan yang terbuang melalui filter selanjutnya dibuang dan dilakukan sentrifugasi lagi selama 2 menit pada kecepatan 13,000xg. Spin filter selanjutnya dipindahkan pada tabung baru yang bersih dan ditetesi 100 μl larutan PF6. Sentrifugasi dilakukan lagi dengan kecepatan 13,000xg selama 1 menit. DNA yang diperoleh selanjutnya disimpan pada suhu -200C.
Analisis Kuantitas dan Kualitas DNA Hasil Ekstraksi Pada kedua metode diatas, kualitas DNA dicek dengan elektroforesis pada 1% (w/v) gel agarose-buffer TAE (Tris-Acetate EDTA, pH 8.0) dan konsentrasi seta kemurniab DNA dikuantifikasi dengan menggunakan NanoDrop 2000 Spectrophotometer (Thermo Scientific). Hasil DNA yang diperoleh dengan
38
kualitas yang baik harus menunjukkan rasio absorbansi 260/230 nm dan 260/280 nm lebih besar atau sama besar dengan 1.80 (Sambrook et al. 1998)
Analisis Inhibitor PCR Pada analisis inhibitor PCR, amplifikasi gen 16S rRNA dilakukan dengan menggunakan primer 1387r dan 63f (Marchesi et al. 1998) dengan kondisi PCR: pradenaturasi 940C, 5 menit; denaturasi 940C, 30 detik; pelekatan primer 550C, 30 detik pemanjangan 720C, 1 menit dan tahap akhir 720C, 20 menit dengan 35 siklus PCR (C1000TMThermal Cycler-BIORAD). Amplifikasi dilakukan dengan menggunakan GoTaq Green Master Mix (Promega) dan hasil amplifikasi dilarikan pada gel agarose dengan konsentrasi 1%.
Analisis Keragaman Komposisi Mikroorganisme Analisa ARISA dilakukan dengan menggunakan metode yang dijelaskan oleh Cardinale et al. (2004) dengan menggunakan primer ITSF dan ITSFReub untuk kelompok bakteri (B-ARISA) dan primer 2234C dan 3126T untuk kelompok fungi (F-ARISA) (Ranjard et al. 2001) sampai ditemukan profil ARISA yang maksimum dan konsisten Untuk primer ITSF/ITSFReub (B-ARISA) dan primer 2234C dan 3126T (F-ARISA), diamplifikasi dalam reaksi yang mengandung 1 x buffer PCR, 1.5 U Taq DNA polymerase, 0.2 mM (masing-masing) dNTP dan 0.25 μM (masingmasing) primer dalam volume akhir 25 μl. Campuran direaksikan pada 940C selama 3 menit, diikuti 30 siklus amplifikasi dengan kondisi pradenaturasi 94 0C selama 45 detik, annealing 56.80C selama 1 menit Untuk B-ARISA dan 60.70C untuk F-ARISA, dan pemanjangan 720C selama 2 menit dengan reaksi akhir dilakukan pada 720C selama 7 menit. Jumlah standar dari produk PCR (antara 0.5 dan 1 μl) bersama dengan 0.8 μl internal size standard, 1000 atau 2500 ROX ditambahkan ke 13 μl formamide deionized dan campuran didenaturasi pada 950C selama 5 menit diikuti 2 menit pendinginan di es. Fragmen sampel kemudian dipisahkan dengan menggunakan ABI 310 genetic analyzer (Perkin-Elmer), dimana DNA dielektroforesis dalam
39
tabung kapiler yang diisi dengan electrophoresis polymer POP-4 (Applied Biosystem). Sampel dilarikan pada kondisi ABI 310 denaturing elektrophoresis selama 1 jam untuk masing-masing sampel, dan data dianalisa menggunakan GeneScan 3.1 software program (Perkin-Elmer). Keluaran program berupa sejumlah puncak (electropherogram), ukurannya diestimasi melalui perbandingan terhadap internal size standard. Software GeneScan akan menghitung tinggi dan area puncak yang proporsional dengan kuantitas DNA dalam fragment. Semua perlakuan ARISA di ulang sebanyak tiga kali. Reprodusibilitas masing-masing sampel DNA makanan diukur sebagai rata-rata dan standar deviasi relatif dari jumlah puncak yang dikalkulasi dari 3 ulangan percobaan yang tidak saling terkait. Data profil ARISA selanjutnya diedit dan diolah untuk melakukan perhitungan karakter ekologi yaitu nilai keragaman. Fragmen DNA dengan ukuran berbeda yang muncul sebagai peak dalam ARISA type didefinisikan sebagai OTU (Operational Taxonomic Unit) (Hewson & Fuhrman 2004; Ramete 2009). Nilai indeks Shannon-Wiener dan Index Simpson selanjutnya dihitung dengan rumus yang digunakan oleh Hewson & Fuhrman (2004). Karakter OTU yang ada pada profil komunitas bakteri dan fungi selanjutnya dianalisis dengan menghitung Sorensen’s Index (Lampiran 4 dan 5). Analisis pengelompokan dilakukan dengan metode unweighted-pair-group mean-average (UPGMA) dan software MEGA5.1 (Hewson & Fuhrman 2004; Nimnoi et al. 2010)
Kloning dan Sequencing Gen 16S rRNA Kloning gen 16S rRNA dilakukan dengan melakukan amplifikasi gen 16S rRNA dari dua produsen tempe (SDJD dan EMP) menggunakan primer 63f dan 1387r (Marchesi et al. 1998). Gen hasil amplifikasi selanjutnya dikloning ke vector pGEM T-Easy (Promega) dan ditransformasi ke E. coli DH5α sesuai dengan metode yang dikemukakan oleh Sambrook et al. (1998). Verifikasi plasmid rekombinan selanjutnya dilakukan dengan mengamplifikasi gen 16S rRNA yang terkloning menggunakan primer M13f dan M13r. Hasil kloning gen 16S rRNA selanjutnya disekuens untuk 30 sampel dari tiap tempe. Sequencing DNA dilakukan pada PT. Genetika Sains. Identifikasi sekuen gen 16S rRNA
40
dilakukan dengan mencari kesamaan sekuen pada data base National Center for Biotechnology Information (NCBI).
Analisis Isolat Tunggal dengan ARISA Analisis ini dikerjakan dengan melakukan ekstraksi genom isolat tunggal beberapa bakteri yang diperoleh langsung dari tempe: Klebsiella 135 ( Hanjaya, 2001) dan Bacillus GR9 (Wati, 2011) maupun yang merupakan isolat ATCC: Klebsiella pneumoniae ATCC 35657 (Koleksi FTB-UNIKA Atmajaya Jakarta) dan Bacillus cereus ATCC10876 (Koleksi IPBCC, Bogor). Amplifikasi daerah intergenik gen 16S-23S rRNA dilakukan dengan menggunakan primer ITSF/ITSFReub dan analisis ARISA dilakukan sesuai kondisi yang dikemukakan oleh Cardinale et al. (2004). Analisis ini dilakukan di PT. Wilmar Benih Indonesia-Cikarang, Jawa Barat . Reprodusibilitasnya diukur sebagai rata-rata dan standar deviasi relatif dari jumlah puncak yang dihitung dari 3 ulangan percobaan yang tidak saling terkait.
41
HASIL
Optimasi Metode Ekstraksi DNA Mikroba di Tempe Kuantitas dan Kualitas DNA. Kuantitas dan kualitas DNA yang baik perlu diperoleh sebelum analisis metagenomik komunitas mikroba dilakukan. Dua metode ekstraksi DNA mikroba digunakan untuk memperoleh metode terbaik dalam mempelajari komposisi mikroba yang ada pada tempe. Hasil ekstraksi DNA mikroba dari dua metode tersebut selanjutnya diukur konsentrasi dan kualitasnya. Tabel 2 menunjukkan bahwa konsentrasi DNA yang tinggi diperoleh dari hasil ekstraksi dengan menggunakan metode PFMDIK. Hasil ekstraksi DNA genom dengan metode PFMDIK tervisualisasi sebagai pita yang smear dan sangat tipis pada gel agarose. DNA genom hasil ekstraksi dengan metode FDEK sama sekali tidak tervisualisasi walaupun keduanya divisualisasi dengan konsentrasi DNA yang sama sebesar 100 ng/μl (data tidak ditampilkan). Konsentrasi DNA hasil ekstraksi juga menunjukkan hasil yang tidak berbias antar ulangan dibandingkan dengan metode FDEK. Kualitas DNA yang baik juga diperoleh dengan menggunakan metode PFMDIK. Rasio A260/280 menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan pada metode FDEK (Tabel 2). Kontaminasi protein lebih direduksi dengan melakukan ekstraksi metode PFMDIK. Nilai A260/230 yang diperoleh dari kedua metode ekstraksi tergolong sangat kecil (Tabel 2). Walaupun nilai ini pada hasil ekstraksi dengan metode PFMDIK sangat kecil dibandingkan dari metode FDEK, kontaminasi bahan organik tidak banyak berkontribusi sebagai inhibitor proses PCR (Gambar 4). Tabel 2 Konsentrasi DNA dan rasio A260/280 dan A260/230 untuk hasil ekstraksi dengan menggunakan metode FDEK dan PFMDIK. Sampel
Rata-rata Kons DNA (ng/μl) ± SD(n=3)
Rata-rata Rasio A260/280 ± SD (n=3)
Rata-rata Rasio A260/230 ± SD (n=3)
TU-FDEK
3.47 ± 1.55
1.05 ± 0.20
0.95 ± 0.14
TU-PFMDIK
6.9 ± 0.60
1.50 ± 0.03
0.29 ± 0.18
42
Uji Penghambatan PCR. Kualitas DNA hasil ekstraksi perlu dianalisis lebih lanjut untuk melihat kemungkinan terbawanya inhibitor PCR. Inhibitor PCR akan mengganggu proses amplifikasi sehingga gambaran komunitas mikroba yang ada pada suatu lingkungan menjadi terbatas. Amplifikasi DNA dilakukan terhadap gen 16S rRNA. Metode PFMDIK lebih memungkinkan diperolehnya hasil amplifikasi gen 16S rRNA yang lebih baik (Gambar 4). Hal ini menunjukkan bahwa inhibitor PCR lebih banyak tereduksi dengan menggunakan metode ini dibandingkan metode FDEK. Walaupun nilai A260/230 dari hasil ekstraksi dengan metode PFMDIK rendah (Tabel 2), tetapi inhibitor proses PCR asal makanan telah direduksi selama proses ekstraksi DNA. Kontaminasi bahan organik yang ada tidak berpengaruh terhadap proses PCR karena inhibitor PCR yang berasal dari makanan telah dihilangkan. Hasil amplifikasi gen 16S rRNA dari DNA hasil ekstraksi dengan metode FDEK sebaliknya akan semakin menipis bila templat DNA yang digunakan disimpan dalam waktu lama. Validasi metode terbaik perlu dilakukan dengan melihat profil ARISA (Gambar 5 dan 6) yang dihasilkan oleh kedua metode. Metode PFMDIK lebih memberikan gambaran komunitas OTU mikroba pada tempe secara lebih baik (Tabel 3).
Gambar 4 Amplifikasi PCR gen 16S rRNA dari sampel tempe. Lajur 1. Marker Molekuler (1 Kb ladder), 2. TU1-PFMDIK, 3. TU2- PFMDIK, 4. TU3PFMDIK, 5. TU1-FDEK, 6. TU2- FDEK, 7. TU3- FDEK. Profil Automated Ribosomal Intergenic Spacer Analysis (ARISA).
43
Nilai keragaman Index Shannon-Wienner (H’) yang lebih tinggi untuk keragaman OTU pada profil BARISA type maupun FARISA type diperoleh dari metode PFMDIK. Jumlah OTU dalam ARISA type yang lebih baik juga diperoleh dengan metode PFMDIK (Tabel 3). OTU dalam ARISA type yang lebih bervariasi ditemukan dengan metode ekstraksi PFMDIK dibandingkan dengan metode FDEK (Gambar 5,6). Table 3 Perbandingan profil OTU BARISA type dan FARISA type yang diperoleh dari DNA hasil ekstraksi dengan metode FDEK dan PFMDIK Metode
Jumlah OTU dalam ARISA type
Index Shannon-Wienner (H)
BARISA type
FARISA type
BARISA type
FARISA type
FDEK
17
6
0,946
0,510
PFMDIK
79
44
1,036
0,977
a.
b.
Gambar 5 Profil BARISA type dari intergenic spacer yang diamplifikasi dengan dua metode ekstraksi DNA: a. PFMDIK, b. FDEK.
44
a.
b.
Gambar 6 Profil FARISA type dari daerah intergenic spacer yang diamplifikasi dengan dua metode ekstraksi DNA: a. PFMDIK, b. FDEK
Reprodusibilitas metode juga perlu dilakukan untuk melihat apakah metode yang digunakan menimbulkan bias. Ulangan analisis ARISA dilakukan untuk tiga tempe yang diproduksi selama tiga hari pada satu produsen. Metode PFMDIK memberikan gambaran profil ARISA reprodusibel dan peak dengan ukuran OTU yang sama dihasilkan untuk tiga hari ulangan (Gambar 7).
45
a.
b.
c.
Gambar 7 Profil BARISA type (tiga ulangan) dari intergenic spacer yang diamplifikasi dari DNA hasil ekstraksi dengan metode PFMDIK.
46
a.
b.
c.
Gambar 8 Profil FARISA type (tiga ulangan) dari intergenic spacer yang diamplifikasi dari DNA hasil ekstraksi dengan metode PFMDIK.
47
Analisis Profil ARISA Type Tempe dari Sejumlah Produsen Tempe Variasi Proses Pembuatan Tempe dari sejumlah Produsen Tempe. Tempe diproduksi melalui proses fermentasi kacang kedelai dengan menggunakan inokulum sebagai starter. Walaupun menghasilkan produk yang sama dan umumnya dilakukan oleh produsen dengan latar belakang asal daerah Jawa, namun proses produksi tempe itu sendiri sangat bervariasi antar satu produsen dengan produsen yang lain. Proses pengolahan tempe dilakukan dengan cara yang sangat berbeda dengan urutan proses berbeda. Perlakuan awal terhadap biji kacang kedelai sampai perlakuan fermentasi dilakukan secara berbeda. Perlakuan awal pada produsen umumnya dimulai dengan proses perebusan kacang kedelai baik sampai matang maupun hanya setengah matang. Walau demikian beberapa produsen lebih memilih untuk merendam biji kacang kedelai saja sebagai tahap awal proses. Proses perebusan dilakukan secara berbeda pula. Pada produsen tertentu, proses perebusan dilakukan sebelum perendaman dan sesudah perendaman. Pada produsen lain proses perebusan hanya dilakukan sebelum perendaman atau sesudah perendaman saja. Lama proses perendaman juga sangat bervariasi antar produsen dan berkisar antara beberapa jam hingga semalam (Tabel 4). Hal lain yang ditemukan juga adalah penggunaan kultur starer yang berbeda pada beberapa daerah. Kultur starter meliputi kultur starter yang dibuat LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) maupun starter dari perusahan lokal. Kultur starter pada daerah Malang bahkan disediakan sendiri dengan membuat inokulum berupa spora fungi pada daun Waru (Hibiscus tiliaceus) maupun dengan membeli inokulum pada daun Waru yang telah tersedia di pasar lokal. Penggunaan komposisi starter juga berbeda khususnya pada produsen SDJD yang menggunakan dua macam starter. Produsen ini meracik kultur starter dengan mencampur starter LIPI dengan starter yang diproduksi oleh perusahaan lokal. Semua hal ini menunjukkan bahwa proses pembuatan tempe di Indonesia sangat bervariasi karena selain metode yang berbeda juga digunakan kultur starter berbeda. Kultur starter yang digunakan dapat berupa isolat murni maupun kultur dengan komposisi tidak terdefinisi. Sumber air yang digunakan juga sangat berbeda antar produsen. Produsen WJB, HTN dan WHR cenderung lebih
48
menggunakan sumber air dari Perusahaan Air Minum (PAM) sedangkan produsen lain menggunakan sumber air dari sumur. Proses fermentasi tempe yang dilakukan oleh produsen di Sidoarjo juga berbeda dari produsen lain. Proses fermentasi dilakukan dua kali yaitu di dalam wadah yang tertutup rapat dan fermentasi di atas rak (Tabel 4). Proses ini dilakukan dengan harapan mendapatkan tempe dengan fungi yang tumbuh seperti kapas. Tekstur tempe yang dihasilkan akan terlihat lebih mudah hancur dan bila diproses dengan menggoreng, tempe akan menyusut. Tekstur ini berbeda dengan tekstur tempe dari malang yang padat karena kedelai difermentasi dengan ditindih oleh marmer atau batu bata. Tahapan proses dan kultur starter yang berbeda tentu saja sangat berpengaruh terhadap hasil akhir bervariasi karena membuka peluang yang berbeda bagi masuknya mikroba dalam proses fermentasi tempe. Tabel 4 Profil perbedaan perlakuan proses pembuatan tempe pada berbagai produsen Sampel
Perlakuan Awal
Perlakuan Perebusan
Perlakuan Fermentasi
Lama Fermentasi
Sumber Air
Jenis Ragi yang digunakan
WJB EMP
Direbus, masak Direbus, masak
2 kali 1 kali
1 kali 1 kali
1 malam 2 hari
PAM Sumur
Raprima Raprima
1 kali
1 kali
3 hari
PAM
Raprima
Jempol
1 kali
1 kali
2-3 hari
PAM
Raprima
Jempol
2 kali
1 kali
2 hari
Sumur
Daun Waru
Jempol, GCU
2 kali
1 kali
2 hari
Sumur
Daun Waru
Jempol
2 kali
2 kali
2 x 1 hari
Sumur
Jago & Raprima
Jempol, Bola
1 kali
2 kali
2 x 1 hari
Sumur
Jago
Jempol, Bola
WHR HTN MLGS MLGA SDJD SDJK
Direndam air panas semalam Direndam air panas 1 jam Direbus, tidak mendidih Dimasak ½ matang Direbus 1 malam Direndam air hangat 8 jam
Selain faktor-faktor yang dijelaskan di atas, faktor skala produksi juga sangat berbeda antar produsen. Produsen yang melakukan produksi dalam skala kecil cenderung lebih mampu mengontrol produksi dibandingkan dengan produsen dengan skala produksi yang besar. Produsen seperti HTN dan WJB melakukan produksi dalam skala kecil sehingga lebih menerapkan proses pengolahan pada lingkungan yang relatif bersih. Sedangkan pengolahan pada
Jenis Kedelai yang digunakan Jempol Jempol, Gunung
49
produsen seperti EMP, MLGA dan SDJD agak kurang memperhatikan kebersihan lingkungan proses produksi. Beberapa tahapan pengolahan bahkan dilakukan di daerah dengan peluang kontaminasi tinggi seperti pada WC. Bahan baku kedelai yang digunakan juga bervariasi. Selain itu untuk mengurangi bahan baku dan untuk alasan produk yang lebih baik pemakaian bahan tambahan seperti beras, tepung beras dan jagung putih dilakukan. Penggunaan bahan tambahan akan berpengaruh terhadap komunitas mikroba yang terdapat dalam proses fermentasi dan produk akhir. Profil ARISA type dan Keragaman OTU Komunitas Bakteri dan Fungi dari Delapan Tempe. Adanya variasi bahan baku dan proses pengolahan akan berpengaruh terhadap keragaman dan kelimpahan mikroba yang terlibat dalam proses fermentasi tempe. Keragaman dan kelimpahan mikroba pada tempe ini dapat dilihat secara menyeluruh melalui gambaran BARISA type maupun FARISA type sebagai fingerprint mikroba yang muncul pada delapan tempe berbeda. Analisis ARISA menunjukkan bahwa setiap profil OTU BARISA type maupun FARISA type menunjukkan adanya pola komunitas berbeda sehingga dapat digunakan sebagai fingerprinting komunitas bakteri maupun fungi dari delapan tempe yang dianalisis (Gambar 9, 10, 11 dan 12). Fingerprinting komunitas ini dapat digunakan sebagai barcoding system tempe dengan daerah asal produksi yang berbeda. Perbedaan ini dapat disebabkan karena komunitas mikroba pada tempe yang berasal dari kultur starter maupun dari lingkungan dan tahapan proses berbeda.
50
a.
b.
c.
d.
Gambar 9 Profil BARISA dari intergenic spacer yang diamplifikasi dari DNA hasil ekstraksi dari beberapa tempe a. EMP (Bogor), b. WJB (Bogor), c. MLGA (Malang), dan d. MLGS (Malang).
51
a.
b.
c.
d.
Gambar 10 Profil BARISA dari intergenic spacer yang diamplifikasi dari DNA hasil ekstraksi dari beberapa tempe a. HTN (Ambon), b. WHR (Ambon), c. SDJD (Sidoarjo) dan d. SDJK (Sidoarjo).
52
a.
b.
c.
d.
Gambar 11 Profil FARISA dari intergenic spacer yang diamplifikasi dari DNA hasil ekstraksi dari beberapa tempe a. EMP (Bogor), b. WJB (Bogor), c. MLGA (Malang), dan d. MLGS (Malang).
53
a.
b.
c.
d.
Gambar 12 Profil FARISA dari intergenic spacer yang diamplifikasi dari DNA hasil ekstraksi dari beberapa tempe a. HTN (Ambon), b. WHR (Ambon), c. SDJD (Sidoarjo) dan d. SDJK (Sidoarjo). Profil OTU ARISA type sangat terbatas untuk menduga kelimpahan dan dominansi spesies, walaupun demikian keragaman OTU dapat dihitung untuk melihat pengaruh perbedaan proses fermentasi terhadap profil ARISA (Yannarell
54
dan Triplett 2005). Profil ARISA type yang diperoleh selanjutnya dianalisis untuk melihat keragaman OTU dalam komunitas mikroba pada tempe. Keragaman OTU yang dianalisis berdasarkan profil BARISA type dan FARISA type (Tabel 5) menunjukkan bahwa keragaman OTU tertinggi dalam komunitas pada BARISA type yang ditunjukkan oleh nilai H’ (Index Shannon-Wienner) ditemukan pada produsen di wilayah Malang dan Sidoarjo. Keragaman OTU dalam komunitas fungi pada tempe WJB dan HTN tergolong rendah dan keragaman OTU fungi yang tinggi diperoleh pada tempe di daerah Malang (MLGA, MLGS), tempe SDJK di Sidoarjo dan tempe EMP di Bogor. Index Simpson (D) untuk semua komunitas fungi relatif rendah. Nilai D (Index Simpson) OTU bakteri pada Tabel 5 menunjukkan bahwa OTU komunitas bakteri lebih kecil dari nilai D (Index Simpson) OTU fungi. Hal ini berarti OTU komunitas bakteri lebih beragam dibandingkan OTU fungi. Data ini mendukung nilai indeks H’ dan menunjukkan adanya keragaman OTU pada profil ARISA.
Tabel 5 Keragaman OTU pada BARISA type dan FARISA type dari Berbagai Tempe Sampel
Asal Sampel
Index ShannonWienner (H’)
WJB EMP HTN WHR MLGS MLGA SDJD SDJK
Bogor Bogor Ambon Ambon Malang Malang Sidoarjo Sidoarjo
1,34 1,17 1,09 1,22 1,61 1,53 1,57 1,62
BARISA Index Simpson (D)
0,11 0,09 0,11 0,11 0,04 0,05 0,04 0,04
Jumlah OTU dalam “BARISA type” 83 46 37 66 104 93 90 91
Index ShannonWienner (H’) 0,88 1,46 0,71 1,09 1,62 1,57 1,39 1,50
FARISA Index Simpson (D)
0,22 0,11 0,30 0,21 0,05 0,06 0,08 0,07
Jumlah OTU dalam “FARISA type” 36 131 29 46 145 145 104 124
Pencirian tempe dapat dilakukan dengan menggunakan fingerprinting komunitas mikroba yang ada pada tempe. Tahapan awal yang harus dilakukan adalah mencari komunitas mikroba yang bersifat diskriminatif mencirikan tempe. Analisis pengelompokan tempe dapat dilakukan dengan melihat kesamaan OTU antar komunitas mikroba pada tempe yang dianalisis. Komunitas bakteri pada delapan BARISA type yang ada lebih diskriminatif memilah tempe berdasarkan daerah asal produksinya (Gambar 13, 14). Percabangan pohon filogenetik
55
menunjukkan bahwa ada tidaknya OTU bakteri dalam suatu profil BARISA menyebabkan terbentuknya dua kelompok besar yang terbentuk yaitu kelompok tempe EMP dan kelompok dengan tujuh tempe lain (Gambar 13). Pada kelompok dengan tujuh tempe, terlihat bahwa kelompok ini membentuk dua kelompok utama lagi dimana komunitas bakteri pada tempe WHR telihat sama dengan tempe
MLGA.
Komunitas
bakteri
pada
tempe
HTN
lebih
memiliki
kecenderungan kemiripan dengan tepe WHR dan MLGA. Tempe SDJD dan SDJK memiliki komunitas bakteri yang mirip. Tempe MLGS juga memiliki kecederungan kemiripan komunitas dengan tempe SDJD dan SDJK.
Sorensen’s Similarity Coefficient
Gambar 13 Pohon filogenetik hubungan keterkaitan delapan komunitas bakteri pada delapan tempe berdasarkan Sorensen’s Similarity coefficient
56
Profil FARISA type (Gambar 14) menunjukkan adanya dua pengelompokan yang utama yaitu kelompok dengan tempe HTN dan tujuh tempe lain. Pengelompokan tujuh tempe yang ada menunjukkan adanya dua sub pengelompokkan lagi yang menunjukkan kemiripan komunitas fungi pada tempe. Tempe MLGA memiliki komunitas yang lebih mirip dengan tempe EMP sedangkan tempe SDJD memiliki kemiripan komunitas fungi dengan tempe SDJK. Komunitas MLGS memiliki kemiripan komunitas yang sama dengan keempat tempe di atas. Tempe WJB sebaliknya lebih memiliki kemiripan komuitas dengan tempe WHR.
Sorensen’s Similarity Coefficient Gambar 14 Pohon filogenetik hubungan keterkaitan delapan komunitas fungi pada delapan tempe berdasarkan Sorensen’s Similarity coefficient
Bila komunitas fingerprinting BARISA type dan FARISA type dibandingkan dan akan dipilih sebagai barcode tempe, maka profil BARISA terlihat lebih diskriminatif. Fingerprinting BARISA type lebih diskriminatif memilah tempe berdasarkan asal produsen tempe karena keragaman OTU BARISA type yang lebih tinggi. Nilai koefisien Sorensen’s komunitas bakteri yang relative lebih kecil dibandingkan komunitas fungi menunjukkan bahwa OTU bakteri yang beragam masih mampu memilah tempe secara lebih diskriminatif. Keragaman yang rendah
57
pada komunitas fungi disebabkan karena ada tumpang tindih karena adanya OTU yang berulang dalam komunitas OTU FARISA type dibandingkan OTU pada bakteri (Lampiran 2 dan 3). Kesamaan OTU yang muncul menunjukkan bahwa proses fermentasi tempe diperantarai oleh kelompok fungi yang sama.
Analisis Gen 16S rRNA yang Berasal dari Komunitas Bakteri pada Tempe Identifikasi Bakteri yang Melimpah pada Produsen yang Berbeda. Identifikasi spesies bakteri yang ada pada tempe, perlu dilakukan dengan pendekatan pembuatan pustaka gen 16S rRNA. Identifikasi ini bertujuan untuk melihat apakah komposisi spesies bakteri yang terlibat dalam proses fermentasi pada produsen benar-benar berbeda sesuai hasil yang tergambarkan pada Gambar 13. Tiga puluh koloni E. coli DH5α yang membawa gen 16S rRNA dari total komunitas bakteri dan terinsersi pada vector pGEM-T Easy selanjutnya dipilih. Insert gen 16S rRNA selanjutnya diambil dan disekuensing (Lampiran 6). Komposisi bakteri pada tempe dari produsen SDJD dan EMP benar-benar berbeda. Bakteri pada tempe dari produsen SDJD lebih didominasi oleh Klebsiella dan uncultured Klebsiella (Gambar15). Tempe pada produsen EMP lebih didominasi oleh bakteri dari genus Acetobacter dan Lactobacillus (Gambar 16). Acetobacter merupakan bakteri yang baru pernah dilaporkan terlibat pada proses fermentasi tempe.
Gambar 15 Persentase spesies bakteri yang dominan ditemukan pada tempe SDJD (dari Sidoarjo)
58
Gambar 16 Persentase spesies bakteri yang dominan ditemukan pada tempe EMP (dari Bogor) Perbedaan komunitas bakteri ini tentu saja akan berimplikasi terhadap karakteristik tempe yang dihasilkan. Berdasarkan hasil penelitian ini, diduga bahwa bakteri turut berperan dalam perbedaan karakteristik, komposisi Gizi, dan flavor pada tempe.
Analisis Profil ARISA Isolat Tunggal Bakteri, Suatu Upaya Analisis Keamanan Pangan. Profil ARISA Isolat Bacillus. Bakteri seperti Bacillus cereus merupakan bakteri yang bersifat patogen karena menghasilkan toksin. Analisis keamanaan pangan perlu dilakukan untuk melihat kemiripan bakteri yang ditemukan pada tempe dengan bakteri dari ATCC (American type culture collection). Hasil menunjukkan bahwa isolat Bacillus GR9 yang telah teridentifikasi sebagai Bacillus cereus berdasarkan sekuen gen 16S rRNA-nya ternyata merupakan isolat yang berbeda secara genetik dengan Bacillus cereus ATCC10876 (Tabel 6, Gambar 17). Isolat Bacillus GR9 menunjukkan profil BARISA type dengan OTU yang lebih banyak dibandingkan dengan Bacillus cereus ATCC10876 (Tabel 6). Hasil yang diperoleh juga menunjukkan adanya OTU dengan ukuran berbeda yang tidak ditemukan pada kedua isolat. Perbedaan ini merupakan ciri pembeda isolat dan OTU yang sama dapat menjadi ciri spesifik bakteri dari genus Bacillus.
59
Tabel 6 Ukuran profil BARISA isolat tunggal Bacillus Bacillus GR9 Ukuran OTU dalam Luas Area ‘BARISA type’ 226, 03 ± 0,02 227,11 ± 0,12 454,63 ± 0,00 455,68 ± 0,01
Gambar
58704,33 ± 7158,24 89288,33 ± 7281,73 13881,67 ± 3855,40 12245,67 ± 3564,63
Bacillus cereus ATCC10876 Ukuran OTU Luas Area dalam ‘BARISA type’ 225,93 ± 0,03 55136,33 ± 2596,88 226,93 ± 0,02 7810 ± 258,28 451,97 ± 0,04 9164,67 ± 1058,82
17 Perbandingan profil BARISA isolat tunggal Bacillus yang terkultur dan diisolasi dari tempe dibandingkan terhadap isolat ATCC (a. Bacillus GR9, b. Bacillus cereus ATCC10876).
60
Profil ARISA Isolat Klebsiella. Secara medis bakteri dari genus Klebsiella
merupakan
bakteri
yang
membahayakan
kesehatan
karena
berkontribusi terhadap timbulnya penyakit paru-paru. Hasil menunjukkan bahwa walaupun Klebsiella 135 asal tempe telah teridentifikasi sebagai Klebsiella pneumoniae, namun secara genetik bakteri ini berbeda dengan Klebsiella pneumoniae ATCC35657 (Tabel 7, Gambar 18). Klebsiella 135 menunjukkan profil BARISA type yang sangat berbeda dari Klebsiella pneumoniae ATCC35657 dalam hal jumlah maupun ukuran OTU yang ada (Tabel 7). Analisis ini memang memberi gambaran yang sangat berbeda namun konfirmasi untuk jaminan keamanan pangan masih perlu dilakukan dengan melihat keragaman schyzotype yang lebih diskriminatif dan deteksi adanya gen patogen spesifik pada bakteri-bakteri ini.
Tabel 7 Ukuran profil BARISA isolat tunggal Klebsiella Klebsiella 135 Ukuran ‘BARISA Luas Area type’ 287,48 ± 0,06 37690,33 ± 5467,20 430,83 ± 0,14 106966,67 ± 4292,73 507,88 ± 0,17 6108,33 ± 491,73 508,96 ± 0,19 23325,67 ± 1879,59 515,80 ± 0,23 29186,33 ± 1880,76 516,81 ± 0,21 11531,00 ± 1460,341 585,59 ± 0,19 19189,33 ± 2104,28
Klebsiella pneumonia ATCC35657 Ukuran ‘BARISA Luas Area type’ 280,10 ± 0,00 14433,67 ± 1038,05 423,04 ± 0,00 44127,33 ± 3038,69 431,13 ± 0,01 13959,00 ± 917,20 507,84 ± 0,04 13181 ± 1085,27 509,63 ± 0,06 2523,00 ± 2071,58
61
Gambar 18 Perbandingan profil BARISA isolat tunggal Klebsiella yang terkultur dan diisolasi dari tempe dibandingkan terhadap isolat ATCC (a. Klebsiella 135, b. Klebsiella pneumoniae ATCC35657).
62
PEMBAHASAN
Optimasi Metode Ekstraksi DNA Mikroba di Tempe Kuantitas dan Kualitas DNA. Secara ideal, metode ekstraksi DNA haruslah merupakan metode yang sederhana, cepat dan efisien. Memilih metode ekstraksi seringkali harus mempertimbangkan biaya yang dikeluarkan, hasil optimal yang diperoleh dan terbuangnya substansi yang dapat berpengaruh terhadap proses PCR. Walaupun demikian, metode yang dipilih haruslah metode yang benar-benar baik untuk sampel yang spesifik dengan kriteria utama yang harus dipenuhi didasarkan pada kualitas dan kuantitas DNA yang dihasilkan (Jara et al. 2008). Kuantitas dan kualitas DNA bersifat sangat kritis untuk interpretasi analisis komunitas mikroba (Thakuria et al. 2008). Ekstraksi DNA dari tempe belum banyak dipelajari, padahal metode ekstraksi bersifat spesifik untuk matriks makanan yang berbeda (Abrioruel et al. 2006; Jara et al. 2008). Jara et al. (2008) menyatakan bahwa ekstraksi DNA seringkali merupakan kompromi antara hasil dan kemurnian. Metode yang memberikan
hasil
konsentrasi
DNA
yang
tinggi
seringkali
membawa
ketidakmurnian yang berpengaruh terhadap analisis. Sebaliknya metode yang memberikan kemurnian DNA yang tinggi justru memberikan hasil konsentrasi DNA yang rendah. Ekstrasi DNA mikroba asal tempe dilakukan dengan dua metode ekstraksi DNA yaitu metode FDEK dan metode PFMDIK. Pemilihan kedua metode dilakukan atas dasar cara lisis sel yang berbeda. Pada metode FDEK, lisis sel dilakukan hanya dengan melakukan lisis secara kimiawi sedangkan lisis pada metode PFMDIK dilakukan secara kimiawi dan mekanik. Selain itu, metode PFMDIK juga memiliki tambahan tahapan penghilangan inhibitor PCR asal makanan. Metode PFMDIK lebih efektif melisis sel karena metode lisis yang digunakan merupakan kombinasi proses lisis kimiawi dan lisis mekanik. Tahapan penghilangan inhibitor PCR juga dilakukan pada metode ini dan DNA mikroba total hasil ekstraksi dicuci dalam kondisi terikat pada membran filter sehingga dapat diperoleh DNA dengan kuantitas dan kualitas yang lebih baik.
63
Metode FDEK merupakan metode ekstraksi DNA yang relatif murah, tetapi metode ini tidak memberikan hasil lisis yang baik. Hal ini terlihat dari rendemen DNA yang lebih rendah dan kemurnian DNA yang berfluktuatif. Hasil sebaliknya menunjukkan bahwa walaupun lebih mahal, ekstraksi DNA menggunakan metode PFMDIK menghasilkan DNA dengan kualitas yang lebih baik untuk nilai rasio A260/280 walaupun tidak mencapai nilai standar 1.8 (Sambroek et al. 1989). Metode PFMDIK mampu memberikan rendemen dan kemurnian DNA dengan rasio A260/280 yang tinggi dan menghasilkan dua hingga tiga kali konsentrasi DNA yang lebih banyak dibandingkan dengan metode FDEK. Kontaminasi protein pada ekstrak DNA dengan metode PFMDIK lebih rendah daripada dengan metode FDEK. Metode FDEK menghasilkan rasio relatif rendah untuk nilai rasio A260/280 dan kontaminasi protein relatif tinggi pada hasil ekstraksi DNA dengan metode FDEK. Walaupun menghasilkan rasio A260/230 yang kecil dan sangat kurang dari nilai 1.8 (sambroek et al. 1989), DNA hasil ekstraksi dengan metode PFMDIK tidak menimbulkan akibat negatif terhadap proses PCR. Metode ekstraksi yang memberikan rendemen DNA yang tinggi dibutuhkan karena memiliki kemampuan melisis sel secara efisien dan mampu mengekstraksi jumlah DNA yang dapat mewakili populasi yang akan diamplifikasi sehingga menjamin sensitivitas deteksi yang tinggi (Metwally et al. 2008). Uji Penghambatan PCR. Faktor yang dapat menghambat amplifikasi asam nukleat dengan PCR seringkali ditemukan bersama DNA target dari beberapa sumber. Inhibitor umumnya bekerja dengan salah satu mekanisme dari tiga reaksi yang mungkin terjadi: dengan menghambat lisis sel yang merupakan tahapan penting dalam ekstraksi, melakukan degradasi asam nukleat atau menghambat kerja enzim polimerase dalam proses amplifikasi DNA target (Wilson 1997). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa selain rendemen DNA yang rendah, inhibitor PCR dan nuklease mungkin ikut diekstraksi dan terbawa pada ekstrak DNA total menggunakan metode FDEK. Hal ini teramati secara jelas ketika dilakukan amplifikasi gen 16S rRNA dan untuk analisis ARISA type, hasil amplifikasi tidak menunjukkan hasil yang baik karena pita 16S rRNA tidak teramplifikasi dan profil ARISA type tidak banyak memunculkan variasi OTU. Hasil amplifikasi akan berkurang bila proses PCR dilakukan dengan templat yang
64
sama dalam jarak waktu tertentu, bahkan dapat hilang sama sekali. Keberadaan nuklease akan mendegradasi DNA templat sehingga ketersediaan templat menjadi berkurang. Adanya inhibitor PCR juga akan menghambat proses amplifikasi PCR. Hasil yang juga menunjang pendapat ini ditunjukkan dengan ekstraksi yang menggunakan jumlah ‘slurry’ tempe yang ditingkatkan. Walaupun jumlah DNA yang diekstraksi dengan metode FDEK meningkat secara signifikan dan lebih tinggi dari metode PFMDIK, tetapi ketebalan pita 16S rRNA hasil amplifikasi tidak lebih tebal dari pita hasil amplifikasi gen 16S rRNA dari ekstrak DNA total dengan metode PFMDIK bahkan bila amplifikasi gen 16S rRNA diulang hasil amplikon dapat hilang sama sekali. Total genom hasil ekstraksi dengan metode FDEK juga tidak tervisualisasi pada gel agarosa, sebaliknya dengan metode PFMDIK tervisualisasi sebagai pita tipis walaupun terlihat agak terdegradasi (data tidak ditampilkan). Pirodini et al. (2010) menjelaskan bahwa DNA yang diekstrak dengan kit komersial dari matriks makanan cenderung terdegradasi dan terlihat sebagai pita yang sangat tipis karena banyaknya bahan pengganggu.
Fakta yang dikemukakan ini cukup memberi
petunjuk adanya nuklease dan inhibitor PCR yang terekstraksi bersama-sama. Matriks makanan seperti keju merupakan medium yang kaya akan nuklease dan inhibitor PCR (Rossen et al., 1992). Hal yang sama diduga terjadi pula pada tempe. Hasil yang berbeda justru diperoleh dengan menggunakan metode PFMDIK. Hasil amplifikasi gen 16S rRNA yang diperoleh cukup tebal, dan bila proses amplifikasi diulang dalam jangka waktu tertentu, hasil yang diperoleh tetap bersifat reprodusibel. Kontaminasi bahan organik yang terdeteksi melalui nilai A260/230 yang rendah tidak menghambat proses PCR. Hal ini disebabkan karena pada metode PFMDIK terdapat tahapan pembuangan inhibitor PCR yang spesifik untuk makanan. Kualitas DNA yang rendah dapat disebabkan karena terbawanya substansi yang mengganggu reaksi PCR (Rossen et al. 1992). Matriks makanan berbeda juga akan memberikan efek penghambatan yang berbeda dan sangat berpengaruh terhadap jumlah dan kemampuan amplifikasi DNA yang dihasilkan (Abrioruel et al. 2006; Jara et al. 2008). Sumber substansi penghambat PCR dapat berupa kontaminan endogenus seperti bahan organik, senyawa fenolik, glikogen, lemak
65
dan Ca2+ yang berasal dari bahan makanan. Keberadaan substansi ini menyebabkan DNA target untuk amplifikasi menjadi tidak murni. Pemblokiran DNA target atau DNA primer secara tidak spesifik dapat menghambat amplifikasi atau menyebabkan amplifikasi yang tidak spesifik dan munculnya pita yang bervariasi selama ‘typing’ dengan dasar PCR (Wilson 1997). Masalah lain yang sering dihadapi adalah terhambatnya fungsi enzim polimerase dari sumber yang berbeda oleh inhibitor PCR (Abu Al-.Soud & Radstrom 1998; Kim et al. 2000). Sel bakteri dan debris, protein dan polisakarida yang dapat menyebabkan penghambatan pada beberapa studi disebabkan karena efek fisik, seperti menyebabkan tidak tersedianya DNA bagi aktivitas enzim polimerase. Beberapa nuklease juga dihasilkan oleh beberapa bakteri dan menunjukkan stabilitas panas yang tidak umum dan mampu menghidrolisis DNA genom dan DNA primer selama reaksi amplifikasi (Wilson 1997). DNA yang diekstraksi dengan berbagai metode dapat tetap membawa inhibitor PCR. Usaha untuk mengatasi masalah ini, dapat dilakukan dengan penambahan fasilitator PCR dan perlakuan penghilangan inhibitor PCR (Rossen et al. 1992; Jiang et al. 2005). Jenis enzim polimerase perlu diprioritaskan karena enzim yang dipilih haruslah enzim yang tidak terlalu sensitif terhadap inhibitor PCR. Enzim Taq polymerase yang digunakan pada penelitian ini adalah enzim Taq polymerase yang berasal dari bakteri (Promega). Taq polymerase lebih tahan terhadap kontaminasi seperti kolagen dan lebih tepat digunakan untuk amplifikasi PCR yang bersifat sensitif dibandingkan dengan Pwo polymerase (Kim et al. 2000). Profil Automated ribosomal intergenic spacer analysis (ARISA). Pada analisis keragaman mikroba dalam proses fermentasi tempe, metode yang dipilih haruslah metode yang memberikan gambaran keragaman mikroba dalam populasi yang maksimal (Ogier et al. 2004; Abrioruel et al. 2006). ARISA merupakan metode yang potensial karena memungkinkan untuk memonitor adanya mikroba yang terkultur maupun tidak terkultur. Metode ini dapat diimplementasikan dalam aplikasi yang membutuhkan resolusi filogenetik yang tinggi, reprodusibel dan hasilnya akurat (Popa et al. 2009). Teknik ini juga memungkinkan pemisahan yang baik dan dapat memberi gambaran sidik jari komunitas mikroba dari lingkungan bahan makanan yang berbeda (Abriouel et al. 2006). Walaupun
66
demikian, teknik ini sangat bergantung pada metode ekstraksi DNA dan proses amplifikasi PCR, yang harus dioptimasi sebelum melakukan ARISA. Amplifikasi sekuen intergenik dan analisis ARISA dari DNA templat hasil ekstraksi dengan metode FDEK dan PFMDIK menghasilkan profil yang sangat berbeda. Profil ARISA yang diperoleh dengan metode PFMDIK lebih banyak karena kemampuan lisis sel mikoba lebih tinggi pada metode ini dan lebih banyak variasi intergenic sequence yang dapat teramplifikasi. Walaupun profil kedua ARISA type (BARISA dan FARISA type) dari metode FDEK dan metode PFMDIK menunjukkan beberapa profil OTU dengan ukuran yang sama, metode PFMDIK menunjukkan keragaman dan jumlah OTU dalam ARISA type yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode FDEK (Tabel 3). Ukuran OTU dalam ARISA type hasil amplifikasi DNA total dengan metode PFMDIK lebih bervariasi dibandingkan terhadap metode FDEK. Kedua metode menghasilkan profil yang reprodusibel untuk tiga ulangan. Walaupun demikian, profil ARISA hasil amplifikasi DNA hasil ekstraksi dengan metode PFMDIK lebih memungkinkan adanya penggambaran profil komunitas secara lebih menyeluruh. Metode ini menjamin tervisualisasinya semua populasi mikroba yang mungkin ada dalam komunitas mikroba pada tempe. Gambaran profil yang baik ini akan lebih memberikan gambaran komunitas sebenarnya dalam proses fermentasi tempe. Gambaran profil ini seringkali menjadi terbatas karena metode ekstraksi DNA mikroba yang digunakan. Reprodusibilitas metode PFMDIK selanjutnya diverifikasi menggunakan sampel tempe untuk tiga hari berurutan dari produsen tempe yang sama. Hasilnya menunjukkan bahwa walaupun ARISA type yang diperoleh berfluktuasi dalam kuantitas, namun jumlah OTU dalam ARISA type tetap ditemukan dalam jumlah yang tinggi dengan profil yang reprodusibel. Metode PFMDIK memberikan hasil keragaman yang tinggi dan sidik jari BARISA type dan FARISA type yang lebih reprodusibel dibandingkan terhadap metode FDEK. Hal ini disebabkan karena kualitas DNA yang dihasilkan lebih baik dengan metode PFMDIK. Proses amplifikasi PCR juga berlangsung tanpa gangguan inhibitor PCR karena adanya tahapan pembuangan inhibitor PCR. Metode ini memungkinkan untuk eksplorasi mikroba yang terlibat dalam proses fermentasi tempe yang dapat digunakan
67
sebagai metode terbaik untuk penentuan sidik jari dan barcoding tempe dari daerah produsen yang berbeda. Secara keseluruhan terlihat bahwa metode PFMDIK merupakan metode yang sesuai untuk ekstraksi DNA dalam mempelajari komunitas mikroba dengan menggunakan metode ARISA.
Analisis Profil ARISA Type Tempe dari Sejumlah Produsen Tempe Variasi Proses Pembuatan Tempe dari Sejumlah Produsen. Lv et al. (2012) menyatakan bahwa kontrol mikroba pada suatu proses fermentasi perlu dipelajari karena akan berpengaruh terhadap kualitas makanan fermentasi yang akan dihasilkan. Kultur starter yang tidak sama dapat menyebabkan proses fermentasi yang tidak terkontrol dan kualitas produk fermentasi yang tidak stabil. Jung et al. (2012) juga menyatakan bahwa proses fermentasi dengan kondisi yang memungkinkan masuknya mikroba lain secara alami akan menyebabkan sulitnya diperoleh hasil fermentasi dengan kualitas yang seragam. Pada penelitian ini terlihat bahwa kontrol proses pembuatan tempe sangat bergantung pada proses pengolahan termasuk jenis kultur starter. Peluang mikroba muncul secara lebih spontan dari lingkungan lebih besar, sehingga sangat berpengaruh terhadap karakteristik tempe hasil fermentasi. Hal ini terlihat dengan beragamnya profil mikroba pada tempe yang diamati karena adanya proses pengolahan yang berbeda antar produsen tempe. Proses pengolahan antar produsen tempe sangat bervariasi terutama dalam urutan pengolahan bahan baku kedelai hingga tahapan fermentasi. Selain itu terdapat juga variasi jenis biji kedelai yang digunakan, starter yang berbeda serta penggunaan bahan tambahan yang berbeda. Pada proses pembuatan tempe, tahapan awal yang digunakan dalam persiapan kedelai sebagai bahan baku sangat berpengaruh terhadap mikroba yang akan terlibat pada proses fermentasi (Lampiran 1). Tuncel dan Goktan (1990) juga melaporkan bahwa proses perendaman awal sangat menentukan munculnya bakteri
patogen
seperti
Bacillus
cereus,
Klebsiella
pneumoniae
dan
Staphylococcus aureus. Kondisi asam yang terbentuk akan menghambat pertumbuhan bakteri patogen. Proses degradasi makromolekul yang ada di biji kedelai oleh embrio biji yang muncul selama perendaman maupun oleh mikroba yang muncul kemudian juga sangat ditentukan oleh tahapan awal pengolahan.
68
Mulyowidarso et al. (1991a) melaporkan bahwa enzim invertase dan αgalaktosidase pada perendaman awalnya dihasilkan oleh fraksi embrio kedelai yang muncul. Hal ini karena perendaman untuk mendegradasi polisakarida yang ada pada kecambah kedelai. Proses ini selanjutnya menarik bakteri yang ada untuk bersama-sama melanjutkan degradasi polisakarida ini. Bakteri berbeda yang ada pada tahap awal akan menghasilkan gula-gula berbeda dan berakibat pada cita rasa yang berbeda yang ditimbulkannya. Bakteri Streptococcus faecium, Staphylococcus epidermidis dan khamir Pichia burtonii mampu menghasilkan enzim invertase sedangkan Klebsiella pneumonia mampu menghasilkan enzim invertase dan α-galaktosidase. Enzim invertase dan α-galaktosidase yang dihasilkan mikroba sangat penting karena walaupun dihasilkan oleh kecambah kacang yang muncul waktu perendaman biji kacang, aktivitas enzim ini akan menurun karena matinya kecambah dengan meningkatnya konsentrasi asam hasil fermentasi gula pada proses perendaman (Mulyowidarso et al. 1991a; 1989). Proses pemasakan biji kedelai sebelum perendaman akan mereduksi karbohidrat yang terdegradasi dan menyebabkan tidak terbentuknya gula-gula bebas yang dihasilkan oleh kecambah kacang kedelai. Hubert et al. (2008) juga melaporkan dalam kondisi berkecambah, kacang kedelai lebih banyak mengandung senyawa antioksidan yang bila difermentasi dengan adanya bakteri asam laktat, konsentrasinya akan lebih meningkat. Perlakuan pemasakan akan menghilangkan tahapan germinasi sehingga peluang terbentuknya senyawa antioksidan akan semakin berkurang pula. Proses fermentasi pada delapan produsen yang ada menunjukkan bahwa tahapan awal sebelum perendaman selalu diawali dengan pemasakan kacang kedelai sehingga akan mengurangi senyawa antioksidan pada tempe. Secara tidak langsung hal ini dan mengurangi komposisi senyawa penting dari tempe. Hal ini juga menunjukkan bahwa tidak semua tempe di Indonesia memiliki kandungan gizi yang sama. Keterbatasan kandungan gizi ini terjadi karena kurangnya pengetahuan akan peran masing-masing tahapan proses pengolahan tempe sehingga pengolahan lebih cenderung dilakukan atas dasar teknik yang diturunkan orang tua.
69
Mulyowidarso et al. (1991b) melaporkan bahwa bakteri yang muncul pada proses perendaman akan sangat berpengaruh terhadap konsentrasi asam organik yang terbentuk. Selama proses perendaman, keasaman air rendaman meningkat karena asam-asam pada biji kedelai (asam valerat, propionat, format dan asetat) akan tercuci ke dalam air rendaman dan dengan bantuan mikroba yang ada akan diubah menjadi asam laktat dan malat. Pada akhir proses rendaman asam laktat dan malat merupakan asam utama yang ditemukan dalam biji kedelai. Hal ini karena terdifusi dari air rendaman ke dalam biji kacang kedelai. Keberadaan asam ini juga akan mempengaruhi pH air rendaman. Bakteri asam laktat juga merupakan salah satu jenis bakteri yang juga ditemukan pada tahapan perendaman yang berfungsi menghasilkan asam-asam organik seperti asam laktat dan malat (Mulyowidarso et al. 1991b). Asam organik pada proses perendaman selain dihasilkan oleh biji kacang kedelai juga dihasilkan oleh bakteri asam laktat. Asam organik yang dihasilkan dapat menyebabkan timbulnya cita rasa asam (Ardhana & Fleet 2003). Selain itu asam organik yang dihasilkan dapat menciptakan kondisi pH yang baik untuk pertumbuhan fungi dan menekan pertumbuhan bakteri pembusuk (Tuncel & Goktan, 1990). Daerah yang berbeda memiliki proses pengolahan tempe yang sangat berbeda dengan urutan proses yang juga berbeda. Perlakuan awal berupa proses perebusan akan mereduksi pembentukan embrio dan menghambat baktei yang berperan dalam pembentukan enzim invertase dan α-galaktosidase. Perlakuan perendaman tanpa perebusan kembali seperti pada proses pengolahan tempe EMP memungkinkan masuknya bakteri pada tahap perendaman ke proses fermentasi. Kultur starter yang berbeda juga berkontribusi terhadap masuknya mikroba lain selain fungi yang dibutuhkan dalam proses pembentukan tempe. Bahan baku kedelai, skala produksi dan proses pengolahan yang berbeda juga berkontribusi terhadap variasi mikroba yang muncul.
70
Profil ARISA dan Keragaman OTU Komunitas Bakteri dan Fungi dari Delapan Tempe. Konsorsium mikroba yang terlibat dalam proses fermentasi tempe perlu dipelajari. Teknik ARISA sangat baik digunakan karena memiliki resolusi yang lebih baik untuk mendeteksi taxa yang ada dalam jumlah yang kecil. Teknik ini juga mampu mendeteksi keragaman mikroba yang jauh lebih tinggi. Teknik ARISA lebih efektif untuk memilah filotipe spesies-spesies berdasarkan gen 16S rRNA dengan kesamaan 99%. Hal ini penting dari sisi implikasi ekologi karena daerah intergenik spacer (ITS) dengan panjang yang berbeda dapat berkorelasi dengan fenotipe dengan peran ekologi berbeda. Profil ARISA lebih baik digunakan sebagai sidik jari (fingerprinting) komunitas dibandingkan profil T-RFLP karena teknik ARISA memberikan gambaran keragaman komunitas yang lebih tinggi dan spesifik pada tingkat spesies bahkan galur (Danovaro et al. 2006). Profil ARISA diperoleh dengan menggunakan teknik metagenom yang memanfaatkan adanya heterogenitas dari daerah intergenik operon rRNA. Teknik ini sangat sensitif untuk mendeteksi perbedaan struktur genetik komunitas mikroba karena adanya perbedaan kondisi lingkungan (Yannarell & Triplett 2005; Banning et al. 2011). Karakteristik suatu komunitas yang bersifat diskriminatif dapat
dibedakan
dengan
melakukan
pengelompokan
berdasarkan
profil
komunitas. Analisis clustering dilakukan berdasarkan sidik jari (fingerprinting) komunitas yang ada (Ampe & Miambi 2000; Havemann & Foster 2008). Perbandingan komunitas mikroba yang ada pada tempe selanjutnya dapat dilakukan dengan melakukan pengelompokan berdasarkan Index Similarity antar komunitas OTU dalam ARISA type (Hewson & Fuhrman 2004; Nimnoi et al. 2010). Analisis clustering menunjukkan bahwa pengelompokan komunitas bakteri pada tempe tidak tergantung pada jenis starter yang digunakan karena tidak terlihat kecenderungan pengelompokan tempe karena penggunaan starter yang sama (Gambar 13). Pengelompokan komunitas bakteri tempe juga tidak dipengaruhi oleh lama fermentasi dan nilai Index Keragaman (H’), walaupun demikian, proses fermentasi yang sama terlihat dapat mengelompokkan komunitas bakteri pada tempe SDJD dan SDJK. Tempe ini adalah tempe yang berasal dari daerah yang sama dan diproduksi dalam lingkungan yang berdekatan
71
(bertetangga). Pengelompokan ini disebabkan karena proses fermentasi kedua tempe yang sama dalam hal waktu dan cara fermentasi. Jenis starter yang digunakan pada dasarnya memiliki kesamaan yaitu keduanya menggunakan starter Jago dan starter modifikasi Raprima dan Jago. Komposisi OTU pada komunitas bakteri kedua tempe terlihat memiliki kemiripan karena kedua produsen ada di daerah yang berdekatan. Hasil lain juga menunjukkan bahwa tempe EMP membentuk cabang yang terpisah pada pohon filogenetk karena proses pembuatan tempe ini memiliki perbedaan. Pada pengolahan biji kedelai, tidak dilakukan proses perebusan lagi setelah proses perendaman. Hasil yang dikemukakan di atas secara jelas memberi gambaran bahwa komunitas bakteri pada tempe cenderung masuk sebagai kontaminan dari lingkungan proses karena tidak ditambahkan sebagai starter tetapi menunjukkan keragaman yang tinggi antar produsen. Pengelompokan pada komunitas fungi menunjukkan bahwa kemiripan komunitas sangat bergantung pada starter yang digunakan (Gambar 14). Profil OTU juga menunjukkan bahwa ada profil OTU fungi yang berulang (Lampiran 3) sedangkan OTU bakteri lebih bersifat spesifik produsen (Lampiran 2). Hasil ini menunjukkan bahwa ada fungi spesifik yang terlibat dalam proses fermentasi tempe, walaupun demikian ada juga fungi atau khamir lain yang masuk selama proses pembuatan tempe. Komunitas fungi dengan starter seperti daun Waru, Jago dan Raprima dan Jago cenderung mengelompok pada pohon filogenetik pada cabang bagian atas. Starter-starter ini cenderung menimbulkan variasi yang tinggi karena starter ini diproduksi sendiri atau diproduksi dengan bahan baku yang tidak diketahui komposisinya secara jelas. Komunitas tempe EMP dengan starter raprima mengelompok bersama komunitas tempe dengan starter yang berbeda karena proses pembuatan tempenya yang berbeda dari tempe lain. Pengelompokan komunitas fungi juga terlihat sangat dipengaruhi oleh Index Keragaman (H’). Komunitas fungi dengan nilai Index Keragaman yang kecil cenderung mengelompok pada cabang pohon terbawa pada komunitas fungi tempe WJB, WHR dan HTN. Tempe HTN dengan nilai Index Keragaman yang kecil membentuk cabang pohon yang terpisah karena dalam prosesnya, dilakukan penambahan tepung beras sebelum proses fermentasi dilakukan. Tepung beras
72
dapat menjadi substrat tambahan yang mempengaruhi pertumbuhan cendawan. Tempe WJB dan WHR mengelompok karena hari fermentasi yang berbeda dari tempe lain. Tempe WJB difermentasi dalam waktu satu malam dan diduga suksesi pertumbuhan fungi belum maksimal terjadi karena masih ada pada tahap awal pertumbuhan fungi (0-36 jam). Kondisi ini berpengaruh pada keragaman fungi yang tumbuh. Sebaliknya tempe WHR yang difermentasi selama tiga hari telah memasuki tahapan kematangan kedua (36-60 jam) dimana sudah mulai terjadi deteriorasi fungi sehingga mengurangi keragaman fungi yang ada di tempe (RuitzTeran & Owen 1996). Pada analisis pengelompokan fungi juga terlihat bahwa tempe SDJK dan SDJD memiliki kecenderungan pengelompokan yang sama dengan pada komunitas bakteri. Kecenderungan pengelompokan ini terlihat sangat dipengaruhi oleh proses fermentasi yang berbeda dari tempe yang lain. Penambahan bahan tambahan berupa jagung putih dan butiran beras tidak berpengaruh pada pengelompokan seperti pada tempe HTN karena ditambahkan setelah proses fermentasi pertama untuk mengurangi bahan baku biji kedelai yang digunakan. Barcoding system tempe dapat digunakan untuk menjamin keaslian komposisi mikroorganisme yang dapat berimbas pada komposisi nutrisi tempe Indonesia. Baik komunitas bakteri maupun fungi pada penelitian ini dapat digunakan sebagai barcoding system tempe, walaupun demikian dari koefisien Sorensen’s komunitas, terlihat bahwa bakteri lebih diskriminatif dalam memilah tempe karena memiliki nilai kemiripan yang kecil. Tempe SDJD dan SDJK yang cenderung mengelompok baik pada komunitas bakteri maupun komunitas fungi dapat digunakan sebagai pembanding. Pada komunitas bakteri, kemiripan komunitas pada kedua tempe ini cenderung kecil sebaliknya kemiripan komunitas funginya lebih besar. Hasil ini menunjukkan bahwa komunitas bakteri lebih baik digunakan dalam membedakan tempe dan dapat digunakan sebagai barcoding system tempe di Indonesia. Hal ini juga didukung oleh nilai index Simpson (D) OTU BARISA yang relatif lebih kecil dibandingkan OTU FARISA. Index Simpson (D) menunjukkan peluang dua OTU ditemukan sebagai OTU yang sama dalam suatu komunitas (Krebs 1989). Hal ini terjadi karena pada komunitas OTU BARISA, peluang ditemukan dua OTU yang sama relative lebih kecil
73
dibandingkan OTU FARISA dan keragaman OTU (nilai H’) juga relatif lebih tinggi dibandingkan dengan fungi. Walaupun demikian, profil FARISA dapat tetap digunakan untuk melakukan pencirian berdasarkan komunitas fungi yang ada di tempe karena keragaman komunitas OTU fungi juga relatif tinggi. Pengelompokan mikroba yang terlihat membedakan satu produsen terhadap produsen yang lain terjadi karena proses pengolahan yang berbeda antar produsen dan kondisi lingkungan maupun sanitasi yang mendukung proses fermentasi tempe. Scheirlink et al. (2007) menyatakan bahwa untuk fermentasi yang terbuka, struktur komunitas mikroba yang terlibat dalam proses fermentasi sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempat proses fermentasi. Komunitas mikroba utama yang berperanpun bahkan dapat bervariasi pada waktu yang berbeda. Variasi bakteri yang tinggi ini disebabkan karena proses pengolahan yang tidak terlalu bersih. Produsen SDJD lebih memilih untuk mencuci kedelai hasil perendaman dan fermentasi tahap pertama di kamar mandi. Produsen MLGA bahkan melakukan perebusan di toilet yang masih digunakan. Produsen di daerah Sidoarjo lebih cenderung melakukan proses fermentasi dua kali sehingga memungkinkan masuknya lebih banyak mikroba. Metode yang digunakan oleh delapan produsen sangat bervariasi dan tidak memiliki urutan pengolahan yang sama walaupun produsen dari daerah yang sama. Pada daerah Sidoarjo, variasi mikroba yang tinggi diduga disebabkan karena adanya proses fermentasi yang dilakukan dua kali dan adanya starter yang dimodifikasi dengan mencampur dua macam starter. Pada daerah Malang variasi mikroba yang tinggi disebabkan karena starter yang digunakan adalah starter yang berupa spora yang tumbuh di atas daun tanaman waru (Hibiscus tiliaceus) yang telah dijual bebas di pasar. Konsorsium mikroba yang kelihatan berbeda dapat digunakan untuk menghasilkan produk fermentasi yang sama. Konsorsium ini dapat mengandung spesies yang berbeda maupun spesies yang secara berulang ditemui (Ampe & Miambi 2000). Pada proses fermentasi tempe, terdapat OTU dalam FARISA type yang secara berulang dijumpai dan diduga merupakan penciri isolat yang sama karena ditambahkan sebagai kultur starter. Variasi OTU dalam BARISA type lebih bersifat diskriminatif karena tidak ditambahkan sebagai kultur starter
74
melainkan muncul secara spontan dari lingkungan tempat fermentasi dilakukan. Implikasi variasi mikroba yang berbeda menyebabkan karakteristik tempe hasil fermentasi yang berbeda. Komunitas mikroba yang berbeda dapat menimbulkan variasi cita rasa seperti pada fermentasi anggur atau keju. Hal ini mengakibatkan adanya perbedaan karakteristik karena adanya komposisi senyawa kimia yang berbeda dan berakibat pada sensori produk hasil fermentasi pada daerah geografis berbeda (Kallithraka et al. 2001). Produk fermentasi dengan kualitas yang sama dapat diperoleh, akan tetapi perancangan kultur starter perlu mempertimbangkan keberadaan beberapa spesies sehingga dapat diperoleh produk dengan cita rasa yang konsisten. Walaupun tidak dilakukan analisis organoleptik untuk delapan tempe yang digunakan, studi literatur menunjukkan bahwa komunitas berbeda yang ditemukan pada jenis proses fermentasi yang sama dapat memberikan hasil cita rasa yang berbeda (Andora et al. 2012; Yun et al. 2012). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komunitas bakteri pada delapan tempe dari daerah yang berbeda menunjukkan variasi yang signifikan. Variasi ini diduga berpengaruh terhadap cita rasa yang berbeda antara tempe satu daerah dengan daerah lain. Secara umum dapat terlihat bahwa bakteri yang berasal dari lingkungan proses fermentasi diduga berkontribusi dalam menentukan perbedaan karakter tempe antar daerah produsen yang berbeda. Peran bakteri ini terlihat dari BARISA type yang sangat berbeda yang ditemukan pada produsen yang berbeda meskipun menggunakan kultur starter yang sama. Dalam usaha untuk memahami peran bakteri ini lebih lanjut perlu dilakukan identifikasi bakteri-bakteri ini secara lebih detail.
Analisis Gen 16S rRNA yang Berasal dari Komunitas Bakteri pada Tempe Identifikasi Bakteri yang Melimpah pada Produsen yang Berbeda. Bakteri yang terlibat dalam proses fermentasi tempe perlu diidentifikasi lebih lanjut karena keunikan komposisi pada produsen yang berbeda yang diduga berperan dalam keunikan cita rasa tempe sesuai hasil yang ditunjukkan pada analisis clustering (Gambar 13). Analisis ini penting untuk melihat bakteri-bakteri yang secara dominan terlibat dalam proses fermentasi tempe pada produsen yang
75
berbeda. Identifikasi ini memungkinkan dipahaminya kondisi fermentasi tempe yang mampu membedakan karakter satu tempe terhadap tempe lain. Komunitas mikroba harus dipelajari dengan pendekatan ‘deep sequencing’ karena memberi gambaran lengkap tentang komposisi mikroba yang ada dalam suatu sistem fermentasi (Nam et al. 2012). Analisis pustaka gen 16S rRNA dapat menjadi salah satu pilihan pendekatan yang cukup baik yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi komunitas mikroba pada suatu komunitas. Informasi pustaka gen 16S rRNA ini dapat menjadi data dasar dalam mempelajari komposisi, peran dan interaksi anggota komunitas ini lebih lanjut dalam suatu lingkungan (Lowe et al. 2011). Analisis gen 16S rRNA dilakukan dengan tujuan melihat komposisis bakteri dan profil bakteri yang dominan dalam proses fermentasi tempe. Komposisi bakteri tidak dapat dilihat dari profil ARISA karena walaupun bersifat diskriminatif dalam memilah komunitas mikroba, teknik ARISA memiliki kelemahan. Teknik ini tidak memungkinkan identifikasi langsung mikroba berdasarkan ukuran panjang fragmen OTU dalam electropherogram karena satu spesies dapat dicirikan oleh lebih dari satu peak (Popa et al, 2009). Analisis ini dilakukan pada tempe dari dua produsen, yaitu produsen dari Sidoarjo (SDJD-1) dan dari Bogor (EMP-3). Alasan pemilihan kedua produsen ini adalah berdasarkan inokulum yang digunakan, pada tempe SDJD digunakan starter modifikasi dengan mencapur dua macam starter dengan merek yang berbeda, sedangkan pada produsen EMP hanya digunakan satu macam starter. Kedua produsen sebenarnya menggunakan starter dengan jenis yang sama, akan tetapi pada produsen SDJD starter yang digunakan dikombinasikan dengan starter lokal dengan komposisi yang tidak diketahui. Pemilihan ini menarik karena seharusnya ditemukan komunitas fungi dan bakteri yang sama bila starter yang digunakan juga sama. Tetapi hasil ini akan berbeda jika dilakukan modifikasi dengan penambahan starter lain. Produsen EMP juga dipilih karena penelitian komunitas bakteri pernah dilakukan dan telah tersedia data sebelumnya yang dapat digunakan sebagai perbandingan (Barus et al. 2008).
76
Sebelum pembuatan pustaka gen 16S rRNA, kloning daerah intergenik antara gen 16S rRNA dan 23S rRNA telah dilakukan. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa teknik ini cukup baik memberi gambaran tentang spesies pada tempe, akan tetapi identitas bakteri yang teridentifikasi tidak terlalu valid karena
prosentasi
kesamaan dengan database
yang ada di
European
Bioinformatics Institute (EBI) sangat rendah. Hal ini diduga karena ketersediaan data sekuen intergenik gen 16S-23S rRNA pada database yang masih sangat minim. Keterbatasan ini berpengaruh pada identifikasi daerah ITS yang terklon dari populasi tempe EMP dimana dari sepuluh klon yang dianalisa, hanya dua klon yang teridentifikasi walaupun dengan prosentasi identitas yang rendah. Tiga puluh klon dari masing-masing pustaka gen 16S rRNA tempe asal EMP dan SDJD diambil secara acak untuk disekuen dan diidentifikasi bakteri yang dominan. Hasil yang diperoleh (Gambar 15 dan 16) menunjukkan bahwa Klebsiella sp. dan uncultured Klebsiella sp. merupakan bakteri yang mendominasi komunitas bakteri pada tempe dari produsen SDJD. Pada tempe EMP teridentifikasi bahwa Acetobacter sp. merupakan bakteri yang paling dominan diikuti oleh bakteri Lactobacillus sp. Perbedaan komunitas bakteri pada tempe berbeda dapat disebabkan karena perbedaan bahan baku (Kim & Chun 2005) atau proses fermentasi (termasuk starter) yang berbeda. Perbedaan ini menyebabkan kualitas sensori tempe yang berbeda. Hal ini teramati pada proses fermentasi kimchi seperti yang dilaporkan oleh Jung et al. (2012). Proses fermentasi secara umum sangat bergantung pada mikroba indogenus yang terbawa oleh substrat makanan. Hal ini berimplikasi terhadap mikroba yang akan mempengaruhi komposisi dan aktivitas dari komunitas dalam proses fermentasi. Hal ini memberi dampak langsung terhadap kualitas dan konsistensi (reprodusibel) proses fermentasi. Substrat fermentasi memiliki komposisi fisiko-kimia yang sangat heterogen sehingga memungkinkan munculnya relung kehidupan mikroba berbeda oleh galur-galur terspesialisasi. Galur-galur yang ada akan berinteraksi untuk memperoleh nutrisi melalui berbagai mekanisme dan menghasilkan karakteristik berbeda pula (Siuwerts et al. 2008).
77
Spesies dominan juga dapat digunakan sebagai spesies indikator yang dapat menjadi penciri tempe. Pada tempe EMP, Lactobacillus dan Acetobacter adalah bakteri yang pernah dilaporkan muncul selama proses perendaman biji kedelai (Mulyowidarso 1991b; Barus et al. 2008) dan pada proses pengolahan pada produsen ini, setelah perendaman tidak dilakukan perebusan lagi seperti pada produsen lain. Keberadaan bakteri ini pada tempe dapat disebabkan karena terbawa dari air rendaman walaupun komposisi bakteri ini sangat berbeda dengan komposisi bakteri yang ditemukan Mulyowidarso et al (1989) pada air rendaman. Hal ini diduga karena proses perendaman yang dilakukan produsen EMP adalah setelah dilakukan perebusan dan setelah perendaman proses perebusan tidak dilakukan. Hal ini menyebabkan bakteri yang ada di air rendaman terbawa pada proses perendaman karena bakteri pada air perendaman tidak tereduksi oleh proses perebusan setelah perendaman. Bakteri yang dominan akan berkontribusi terhadap galur bakteri lain yang dimungkinkan tumbuh karena adanya aktivitas metabolisme dari isolat yang dominan tersebut dan berkontribusi pula terhadap karakteristik tempe yang dihasilkan. Publikasi sebelumnya telah melaporkan adanya rasa pahit dengan intensitas yang tinggi pada tempe EMP (Barus et al, 2008). Walupun demikian dominansi Acetobacter dan Lactobacillus pada tempe EMP (Bogor) yang ditemukan pada penelitian ini dapat menjelaskan salah satu penyebab munculnya rasa asam pada tempe. Bakteri asam asetat merupakan bakteri yang penting dalam industri cuka karena mampu menghasilkan asam asetat dari ethanol dengan adanya oksigen. Bakteri ini dapat diisolasi dari berbagai sumber seperti buahbuahan, bunga dan makanan fermentasi (Sengun & Karabiyikli 2011). Pada fermentasi cocoa, bakteri asam asetat ternyata sangat dibutuhkan bersama-sama dengan bakteri asam laktat dan khamir karena proses fermentasinya akan menghasilkan flavor. Karakteristik ‘vinegar-like’ pada fermentasi biji cocoa merupakan kontribusi bakteri asam asetat. Bakteri asam asetat juga dapat memetabolisme gula-gula dan asam organik untuk menghasilkan aldehid, senyawa keton dan produk volatil lain yang dapat berpengaruh terhadap kualitas sensori dari biji cocoa (Ardhana & Fleet 2003).
78
Bakteri asam laktat merupakan salah satu jenis bakteri yang dapat ditemukan pada tahapan perendaman tempe yang berfungsi menghasilkan asamasam organik seperti asam laktat dan malat yang dapat menekan pertumbuhan bakteri penyebab pembusukan dan bakteri patogen yang mungkin muncul selama proses perendaman (Mulyowidarso et al. 1991).
Hubert et al. (2008) juga
menyatakan bahwa fermentasi kecambah kacang kedelai dengan adanya bakteri asam laktat akan meningkatkan komposisi dan kandungan senyawa antioksidan. Bila proses pembuatan tempe dibuat dengan tahapan perendaman tanpa pemasakan terlebih dahulu dan dengan adanya bakteri asam laktat yang terlibat dalam proses fermentasi, maka kandungan senyawa antioksidan akan lebih tinggi. Walaupun bakteri asam laktat ditemukan pada tempe EMP, belum tentu tempe ini mengandung senyawa antioksidan yang tinggi karena pembuatan tempenya telah diawali dengan perebusan yang mencegah pembentukan kecambah biji kedelai. Lactobacillus reuteri CRL1098 merupakan salah satu bakteri yang diisolasi dari sourdough, telah dilaporkan mampu mereduksi gliserol dengan membentuk 1,3-propenediol sebagai produk akhir (Taranto et al. 2003). Santos et al. (2008) bahkan telah mengkonfirmasi bahwa corrinoid yang diproduksi oleh galur bakteri asam laktat pada kondisi anaerobik adalah suatu pseudovitamin B12. Saat ini, isolat ini telah digunakan dalam susu kedelai sebagai isolat yang bisa mensintesis vitamin B12 dan mencegah defisiensi vitamin pada mencit uji (Molina et al. 2012). Tidak tertutup kemungkinan bahwa secara alami isolat ini juga dapat ditemukan di tempe dan menghasilkan vitamin B12. Proses pembuatan tempe SDJD diawali perebusan sebelum fermentasi tanpa perendaman. Pada tempe ini, bakteri yang dilaporkan Tuncel dan Goktan (1990) muncul dan dapat tereduksi pada awal perendaman seperti Klebsiella pneumoniae tetap terbawa dan bahkan menjadi bakteri dominan. Tahapan perendaman tempe tidak ditemukan dalam proses pengolahan sehingga reduksi bakteri seperti Klebsiella tidak terjadi di awal fermentasi (Tuncel & Goktan 1990). Mulyowidarso et al. (1989) juga telah melaporkan peran Klebsiella pneumonia yang mampu menghasilkan asam laktat dan asam sitrat selama proses perendaman kacang kedelai. Walaupun demikian, konsentrasi asam yang dihasilkan masih jauh konsentrasinya dibandingkan bakteri asam laktat.
79
Dominansi bakteri dari kelompok Enterobacteriaceae pada tempe SDJD (Sidoarjo) dapat disebabkan karena kelompok bakteri ini mampu menghasilkan bakteriosin sesuai laporan Moreno et al. (2002). Kondisi ini memungkinkan bakteri ini lolos karena proses pemasakan tidak terlalu mempengaruhi jumlah bakteri ini karena jumlah bakteri ini pada bahan baku dan karena kemampuan kompetisinya menyebabkan bakteri dari kelompok ini diduga bertahan dalam jumlah yang tinggi (Mulyowidarso et al. 1989). Masuknya bakteri ini juga dimungkinkan karena proses pencucian yang dilakukan setelah proses fermentasi tahap pertama dilakukan di kamar mandi dengan sumber kontaminasi yang besar. Keuth dan Bisping (1994) telah melaporkan bahwa bakteri Klebsiella pneumonia yang dihasilkan dari tempe mampu menghasilkan vitamin B 12 sehingga dapat diduga bahwa tempe SDJD akan mengandung banyak vitamin B12 berdasarkan komunitas bakteri yang ditemukan pada tempe SDJD. Klebsiella juga telah dilaporkan sebagai bakteri yang memiliki enzim invertase dan α-galaktosidase yang mampu medegradasi karbohidrat (sukrosa dan stachyose) yang ada pada tempe sehingga berkontribusi terhadap cita rasa yang terbentuk pada tempe (Mulyowidarso et al. 1991). Dominansi bakteri seperti Klebsiella dan Acetobacter menunjukkan bahwa proses produksi pada dua produsen sangat berbeda sehingga memungkinkan bakteri yang berbeda tumbuh dan bertahan dalam sistem fermentasi. Tidak tertutup kemungkinan bakteri Klebsiella dan Acetobacter juga telah terbawa dari starter yang digunakan. Bakteri-bakteri ini bisa tetap bertahan hidup atau hilang selama proses fermentasi karena tekanan seleksi oleh bakteri lain. Komposisi starter yang berbeda akan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap cita rasa yang berbeda (Andora et al. 2012). Pada penelitian ini, teramati pula bahwa hasil identifikasi perbandingan gen 16S rRNA hasil kloning dengan data base NCBI memberikan kesamaan sekuen yang umumnya kurang dari 97% (Lampiran 4). Hal ini menunjukkan bahwa spesies bakteri yang terlibat pada proses fermentasi tempe kemungkinan besar adalah isolat bakteri yang dapat dikategorikan sebagai isolat yang baru tereksplorasi dari tempe Indonesia.
80
Analisis Profil ARISA Isolat Tunggal Bakteri, Suatu Upaya Analisis Keamanan Pangan. Keamanan pangan tempe pada penelitian ini dilakukan dengan melihat perbandingan isolat tunggal antara isolat yang berasal dari tempe dengan isolat komersil patogen. Teknik ARISA lebih baik digunakan dalam menganalisis isolat tunggal karena teknik ini mampu memilah spesies-spesies dengan kesamaan 99% berdasarkan sekuen gen 16S rRNA. Danovaro et al. (2006) telah menggunakan teknik ini dan mampu memilah spesies Pseudomonas yang dengan teknik T-RFLP terdeteksi sebagai spesies yang sama. Popa et al. (2009) juga menyatakan bahwa metode ARISA sangat baik digunakan untuk monitoring bakteri dalam aplikasi yang membutuhkan resolusi filogenetik yang tinggi. Dengan teknik ini galur Shewanella dapat dibedakan secara baik berdasarkan sidik jari ARISA yang disebut filotipe. Analisis profil ARISA isolat tunggal juga dilakukan dengan tujuan melihat potensi isolat yang ditemukan ditempe sebagai isolat yang sama atau tidak dengan isolate ATCC yang bersifat patogen. Untuk melihat apakah isolat tersebut sama atau berbeda, dilakukan analisis perbandingan profil BARISA antara isolat yang telah diisolasi dari tempe dengan isolat ATCC. Isolat bakteri yang digunakan meliputi Klebsiela 135 yang teridentifikasi sebagai Klebsiella pneumoniae dengan uji biokimia (Hanjaya 2011) dan Bacillus GR9 yang teridentifikasi sebagai Bacillus cereus berdasarkan sekuen gen 16S rRNA (Wati 2011) yang diperoleh dari tempe (koleksi FTB-UNIKA Atmajaya Jakarta) dan dua isolat pembanding yaitu Bacillus cereus ATCC 10876 (koleksi IPBCC) dan Klebsiella pneumonia ATCC 35657 (koleksi FTB-UNIKA Atmajaya Jakarta). Profil ARISA isolat tunggal bakteri menunjukkan bahwa isolat tunggal terdiri dari lebih dari satu BARISA type yang menunjukkan bahwa analisis ARISA bersifat sangat spesifik bahkan pada tingkatan intraspesies. Walaupun ditemukan BARISA type yang merupakan penciri isolat dalam genus yang sama seperti BARISA type dengan ukuran 226 dan 227 yang mencirikan Bacillus (Gambar 17) dan BARISA type dengan ukuran 430, 507 dan 509 yang dapat mencirikan Klebsiella (Gambar 18) terlihat bahwa isolat yang ditemukan pada tempe adalah isolat yang berbeda dari
81
isolat ATCC (Tabel 6,7). Hal ini menunjukkan bahwa isolat yang ditemukan pada tempe belum tentu merupakan isolat yang sama karena berbeda secara genetik. Beberapa laporan menunjukkan bahwa proses fermentasi melibatkan Klebsiella pneumoniae (Liem et al. 1997; Keut & Bisping 1994) sebagai penghasil vitamin B12 dan Bacillus cereus (Tuncel & Goktan 1990; Kiers et al. 2000) sebagai penghasil enzim proteolitik dalam proses fermentasi. Walaupun menguntungkan, isolat-isolat ini tergolong isolat yang tidak aman untuk dikosumsi walaupun belum pernah dilaporkan adanya kasus penyakit akibat konsumsi tempe. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa isolat Klebsiella 135 yang teridentifikasi sebagai Klebsiella pneumoniae dengan uji biokimia (Hanjaya 2011) dan Bacillus GR9 yang teridentifikasi sebagai Bacillus cereus berdasarkan sekuen gen 16S rRNA (Wati 2011) merupakan isolat yang berbeda sama sekali dari galur ATCC secara genetik. Hasil ini didukung pula oleh penelitian Keuth & Bisping (1994) yang menyatakan tidak ditemukannya gen penyandi shiga like toxin pada bakteri Klebsiella pneumoniae yang digunakannya dalam proses fermentasi tempe. Walaupun demikian masih perlu dilakukan konfirmasi lebih lanjut. Konfirmasi ini dapat dilakukan dengan melakukan perbandingan dengan analisis genetik yang lebih diskriminatif antara lain Schizotyping (Macrorestriction Fragment Length Polymorphism) antara galurgalur bakteri (Suwanto & Kaplan 1989; Suwanto 1994), dan konfirmasi patogenisitasnya melalui amplifikasi gen yang mengkodekan sifat patogen.
82
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Profil BARISA type dan FARISA type dapat digunakan sebagai barcoding penciri genetik tempe. Walaupun demikian profil BARISA type lebih diskriminatif memilah tempe karena bakteri lebih muncul secara spontan dan terlibat dalam proses fermentasi tempe. Analisis gen 16S rRNA menunjukkan bahwa banyak bakteri spesies baru yang ditemukan pada tempe. Kebaruan spesies ini ditunjukkan oleh prosentasi kesamaan sekuen gen 16S rRNA dengan data base pada NCBI yang kurang dari 97%. Pada penelitian ini juga ditemukan keterlibatan bakteri Acetobacter yang belum pernah dilaporkan ada pada penelitian tempe sebelumnya. Profil BARISA dari spesies Bacillus GR9 dan Klebsiella 135 yang terdapat pada tempe menunjukkan bahwa secara genetik isolat yang terdapat pada tempe tidak sama dengan isolat yang diketahui sebagai bakteri patogen yaitu Bacillus cereus ATCC10876 dan Klebsiella pneumoniae ATCC35657.
Saran Profil ARISA isolat tunggal dan Pembuatan pustaka gen 16S rRNA yang berasal dari tempe lain perlu dilakukan untuk mempelajari komunitas bakteri dan fungi yang ada secara lebih baik. Data tambahan berupa uji organoleptik tempe perlu dilakukan untuk menunjukkan kecenderungan pengelompokan bakteri karena pengaruh lingkungan produksi terhadap perbedaan cita rasa tempe antar daerah.
83
DAFTAR PUSTAKA Abriouel H, Omar NB, Lopez RL, Martinez-Canamero M, Keleke, Galvez A. 2006. Culutre-independent analysis of the microbial composition of the African traditional fermented food poto poto and degue by using three different DNA extraction methods. Int J Food Microbiol, 111:228-233. Abu Al-Soud W, Rǻtstrǒm, P. 1998. Capacity of nine thermostable DNA polymerase to mediate DNA amplification in the presence of PCR inhibiting sample. Appl Environ Microbiol 64:3748-3753. Andorrà I, Berradre M, Mas A, Esteve-Zarzoso B, Guillamón JM. 2012. Effect of mixed culture fermentations on yeast populations and aroma profile. J Food Sci Technol 49:8-13. Ampe F, Benomar N, Moizan C, Wacher C, Guyot J. 1999. Polyphasic study of microorganism in Mexican pozol, a fermented maize dough, demonstrates the need for cultivation-independent method to investigate traditional fermentation. Appl Environ Microbiol 65:5464-5473. Ampe F, Miambi E. 2000. Cluster analysis, richness and biodiversity indexes derived from denaturing gradient gel electrophoresis fingerprints of bacterial communities demonstrate that traditional maize fermentations are driven by transformation process. Int J Food Microbiol 60:91-97. Anderson JW, Smith BM, Washnock CS. 1999. Cardiovascular and renal benefit of dry bean and soybean intake. Am J Clin Nutr 70:464S-74S. Ardhana MM, Fleet GH. 2003. The microbial ecology of cocoa bean fermentation in Indonesia. Int J Food Microbiol 86:87-99. Astuti M, Meliala A, Dalasis FS, Wahlqvist ML. 2000. Tempe, a nutrition and healthy food from Indonesia (Review Article). Asia Pacific J Clin Nutr 9:322-325. Banning NC, Gleeson DB, Grigg AH, Grant CD, Andersen GL, Brodie EL, Murphy DV. 2011. Soil microbial community successional patterns during forest ecosystem restoration. Appl Environ Microbiol 77:6158-6164. Barus T, Suwanto A, Wahyudi AT,Wijaya H. 2008. Role of bacteria in tempe bitter taste formation; microbiological and molecular biological analysis based on 16S rRNA gene. Microbiol Indones 2:17-21.
84
Baumann U, Bisping B. 1995. Proteolysis during tempe fermentation. Food Microbiol 12:39-47. Caplice E, Fitzgerald GF. 1999. Food fermentations: role of microorganisms in food production and preservation. Int J Food Microbiol 50:131-149. Cardinale M, Brusetti L, Quatrini P, Borin S, Puglia AM, Rizzi A, Zanardini E, Sorlini C, Corselli C, Daffonchio D. 2004. Comparison of different primer sets for use in automated ribosomal intergenic spcer analysis of complex bacterial communities. Appl Environ Microbiol 70:6147-6156. Chan SSL, Ferguson EL, Bailey K, Fahmida U, Harper TB, Gibson RS. 2007. The concentrations of iron, calcium, zinc and phytate in cereals and legumes habitually consumed by infants living in East Lombok, Indonesia. J Food Composit Analy 20:609-617. Clarridge JE. 2004. Impact of 16S rRNA Gene Sequence Analysis for Identification of Bacteria on Clinical Microbiology and Infectious Diseases. Clin Microbiol Rev 17:840-862. Daffonchio D, Cherif A, Brusetti L, Rizzi A, Mora D,Boudabous A, Borin, S.2003. Nature of polymorphisms in 16S-23S rRNA gene intergenic transcribed spacer fingerprinting of Bacillus and related genera. Appl Environ Microbiol 69: 5128–5137 Danovaro R, Luna GM, Dell’ano A, Pietrangeli B. 2006. Comparison of two fingerprinting techniques, Terminal Restriction Fragment Length Polymorphism and Automated Ribosomal Intergenic Spacer analysis. Appl Environ Microbiol 72:5982-5989. Denter J, Rehm H, Bisping B. 1998. Changes in the contents of fat-soluble vitamins and provitamins during tempe fermentation. Int J Food Microbiol 45:129-134. De Reu JC, Ramdaras D, Rambouts FM, Nout MJR. 1994. Changes in soya bean lipids during tempe fermentation. Food Chem 50:171-175. Egounlety M, Aworh OC. 2003. Effect of soaking, dehulling, cooking and fermentation with Rhizopus oligosporus on the oligosaccharides, trypsin inhibitor, phytic acid and tannins of soybean (Glycine max Merr.), cowpea (Vigna unguiculata L. Walp) and groundbean (Macrotiloma geocarpa Harms.). J Food Eng 56:249-254.
85
Fisher MM, Triplett EW. 1999. Automated approach for ribosomal intergenic spacer analysis of microbial diversity and its application to freshwater bacterial communities. Appl Environ Microbiol 65:4630-4636. Hanjaya I. 2011. Isolasi dan analisis keragaman Klebsiella sp. dari tempe dengan teknik Enterobacterial Repetitive Intergenic Consensus Polymerase Chain Reaction (ERIC-PCR) [skripsi]. Jakarta: Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. Hartman M, Widmer F. 2006. Community structure analysis are more sensitive to differences in soil bacterial communities than anonymous diversity indices. Appl Environ Microbiol 72:7804-7812. Haveman SA, Foster JS. 2008. Comparative characterization of the microbial diversities of an artificial microbialite model and a natural stromatolite. Appl Environ Microbiol 74:7410-7421. Hewson I, Fuhrman JA. 2004. Richness and Diversity of Bacterioplankton Species along an Estuarine Gradient in Moreton Bay, Australia. Appl Environ Microbiol 70:3425-3433. Holzapfel WH. 2002. Appropriate starter culture technologies for small-scale fermentation in developing countries. Int J Food Microbiol 75:197-212. Hubert J, Berger M, Nepveu F, Paul F, Dayde J. 2008. Effects of fermentation on the phytochemical composition and antioxidant properties of soy germ. Food Chem 109:709-721. Hugenholtz J. 2008. The lactic acid bacterium as a cell factory for food ingredients production. Int Dairy J 18:466-475. Jani J, Barbier G. 2008. Culture-independent methods for identifying microbial communities in cheese. Food Microbiol 25:839-848. Jara C, Mateo E, Gullamǒn JM, Torija MJ, Mas A. 2008. Analysis of several method for the extraction of high quality DNA from acetic acid bacteria in wine and vinegar for characterization by PCR-based methods. Int J Food Microbiol 128:336-341. Jensen MA, Webster JA, Strauss N. 1993. Rapid identification of bacteria on the basis of polymerase chain reaction-amplified ribosomal DNA spacer polymorphism. Appl Environ Microbiol 59:945-952.
86
Jiang J, Alderisio KA, Singh A, Xiao L. 2005. Development of procedures for direct extraction of Cryptosporodium DNA from water concentrates and for relief of PCR inhibitors. Appl Environ Microbiol 71:1135-1141. Jung JY, Lee SH, Lee HJ, Seo, H, Park, W, Jeon CO. 2012. Effects of Leuconostoc mesenteroides starter cultures on microbial communities and metabolites during kimchi fermentation. Int J Food Microbiol 153:378-387. Juste A, Thomma BPHJ, Lievens B. 2008. Recent advances in molecular techniques tp study microbial communities in food-associated matrices and processes. Food Microbiol 25:745-761. Kallithraka S, Arvanitoyannis IS, Kefalas P, El-Zajouli A, Soufleros E, Psarra, E. 2001. Instumental and sensory analysis of Greek wines; implementation of principal component analysis (PCA) for classification according to geographical origin. Food Chem 73:501-514. Keuth S, Bisping B. 1994. Vitamin B12 production by Citrobacter freundii or Klebsiella pneumonia during tempeh fermentation and proof of enterotoxin absence by PCR. Appl Environ Microbiol 60:1495-1499. Kiers JL,Van laeken AEA, Rombouts FM, Nout MJR. 2000. In vitro digestibility of Bacillus fermented soya bean. Int. J Food Microbiol, 60:163–169 Kim S, Labbe RG, Ryu S. 2000. Inhibitory effects of collagen on the PCR for detection of Clostridium perfringens. Appl Environ Microbiol 66:12131215. Kim M, Chun J. 2005. Bacterial community structure in kimchi, a Korean fermented vegetable food, as revealed by 16S rRNA gene analysis. Int J Food Microbiol 103:91-96. Kim S, Lee D, Cheigh C, Choe E, Lee S, Hong Y, Choi H, Pyun Y. 2006. Purification and characterization of a fibrinolytic subtilisin-like protease of Bacillus subtilis TP-6 from an Indonesian fermented soybean, tempeh. J. Indust Microbiol Biotech 33:436-444.
Kim T, Lee J, Kim S, Park M, Chang HC, Kim H. 2009. Analysis of microbial communities in doenjang, a Korean fermented soybean paste, using nested PCR-denaturing gradient gel electrophoresis. Int J Food Microbiol 131:265271.
87
Klus K, Borger-Papendorf G, Barz W. 1993. Formation of 6,7,4’Trihydroxyisoflavone (factor 2) from soybean seed isoflavones by bacteria isolated from tempe. Phytochemistry 34:979-981. Klus K, Barz W. 1998. Formation of polyhydoxylated isoflavones from the isoflavones genistein and biochanin A by bacteria isolated from tempe. Phytochemistry 47:1045-1048. Kung H, Lee Y, Chang S, Wei C, and Tsai Y. 2007. Histamine contents and histamine-forming bacteria in sufu products in Taiwan. Food Control 18:381–386. Kourkoucas Y, Kandylis P, Panas P, Dooley JSG, Nigam P, Koutinas AA. 2006. Evaluation of freeze-dried kefir co culture as starter in feta-type cheese production. Appl Environ Microbiol 72:6124-6135. Krebs CJ. 1989. Ecological Methodology. New York. Harper Collins Publisher, Inc. Liem IT, Steinkraus KH, Cronk TC. 1977. Production of vitamin B-12 in tempeh, a fermented soybean food. Appl Environ Microbiol 34:773-776. Lowe BA, Marsh TL, Isaacs-Cosgrove N, Kirkwood RN, Kiupel M, Mulks MH. 2011. Microbial communities in the tonsils of healthy pigs. Veterinary Microbiology 147:346–357 Lv XC, Weng X, Zhang W, Rao PF, Ni L. 2012. Microbial diversity of traditional fermentation starters for Hong Qu glutinous rice wine as determined by PCR-mediated DGGE. Food Control 28:426-434. Maes N, Gheldre YD, Ryck RD, Vaneechoutte M, Meugnier H, Etienne J, Struelens MJ. 1997. Rapid and accurate identification of Staphylococcus species by tRNA intergenic spacer length polymorphism analysis. J Clin Microbiol 35:2477-2481. Marchesi JR, Sato T, Weihtman J, Martin TA, Fry JC, Hiom SJ, Wade WG. 1998. Design and evaluation of useful bacterium-specific PCR primers that amplify genes coding bacterial 16S rRNA. Appl Env Microbiol 64:795-799. Marcobal A, de las Rivas B, Moreno-Arribas V, Munoz, R. 2005. Multiplex PCR method for the simultaneous detection of histamine-, tyramine-, and putrscine-producing lactic acid bacteria in foods. J Food Protect 68:874878.
88
Metwally L, Fairley DJ, Coyle PV, Hay RJ, Hedderwick S, McCloskey B, O’Neil, HJ, Webb CH, Elbaz W, McMullan R. 2008. Improving molecular detection of Candida DNA in whole blood: comparison of seven fungal DNA extraction protocol using real-time PCR. J Med Microbiol 57:296-303. Molina V, Medici M, de Valdez GF, Taranto, MP. 2012. Soybean-based functional food with vitamin B12-producing lactic acid bacteria. J Functional Foods. http://dx.doi.org/10.1016/j.jff.2012.05.011. Mounier J, Monnet C, Vallaeys T, Arditi R, Santhou A, Helias A, Irlinger F. 2008. Microbial interaction within a cheese microbial community. Appl Environ Microbiol 74:172-181. Moreno MRF, Leisner JJ, Tee LK, Ley C, Radu S, Rusul G, Vancanneyt M, De Vuyst L. 2002. Microbial analysis of Malaysian tempeh, and characterization of two bacteriocins produced by isolates of Enterococcus faecium. J Appl Microbiol 92:147-157. Mulyowidarso RK, Fleet GH, Buckle KA. 1989. The microbial ecology of soybean soaking for tempe production. Int J Food Microbiol 8:35-46. Mulyowidarso RK, Fleet GH, Buckle KA. 1991a. Changes in the concentration of carbohydrates during the soaking of soybean for tempe production. Int. J Food Sci Technol 26:595-606. Mulyowidarso RK, Fleet GH,Buckle KA. 1991b. Changes in the concentration of organic the soaking of acids during soybeans for tempe production. Int J Food Sci Technol 26:607-614. Nam Y, Lee S, Lim S. 2012. Microbial community analysis of Korean soybean pastes bynext-generation sequencing. Int J Food Microbiol 155:36-42. Nimnoi P, Pongsilp N, Lumyong S. 2010. Genetic diversity and community of endophytic actinomycetes within the roots of Aquilaria crassna Pierre ex Lec assessed by Actinomycetes-specific PCR and PCR-DGGE of 16S rRNA gene. Biochem Syst Ecol 38:595–601. Ogier JC, Lafarge V, Girard V, Rault A, Maladen V, Gruss A, Leveau JY, Delacroix-Buchet. 2004. Molecular fingerprinting of dairy microbial ecosystems by use of temporal temperature and denaturing gradient gel electrophoresis. Appl Environ Microbiol 70:5628-5643.
89
Partida-Martinez LP, de Looβ CF, Ishida K, Ishida M, Roth M, Buder K, Hertweck C. 2007a. Rhizonin, the first mycotoxin isolated from the Zygomycota, is not a fungal metabolite but is produce by bacterial endosymbionts. Appl Environ Microbiol 73:793-797. Partida-Martinez LP, Monajembashi S, Greulich K, Hertweck C. 2007b. Endosymbiont-Dependent Host Reproduction Maintains Bacterial-Fungal Mutualism. Curt Biol 17:773–777. Pirondini A, Bonas U, Maestri E, Visioli G, Marmiroli M, Marmiroli N. 2010. Yield and amplificability of different DNA extraction procedures for traceability In the dairy food chain. Food Control 21:663-668. Popa R, Popa R, Marshall MJ, Nguyen H, Tebo BM, Brauer S. 2009. Limitation and benefits of ARISA intra-genomic diversity fingerprinting. J Microbiol Methods 78:111-118. Ramette A. 2009. Quantitative Community Fingerprinting Methods for Estimating the Abundance of Operational Taxonomic Units in Natural Microbial Communities. Appl Environ Microbiol 75:2495-2505. Randazzo CL, Torriani S, Akkermans DL, de Vos WM, Vaughan EE. 2002. Diversity, dynamics, and activity of bacterial communities during production of an artisanal Sicilian cheese as evaluated by 16S rRNA analysis. Appl Environ Microbiol 68:1882-1892. Ranjard L, Poly F, Lata JC, Mougel C, Thioulouse J, Nazaret S. 2001. Characterization of bacterial and fungal soil communities by automated ribosomal intergenic spacer analysis fingerprints: biological and methodological variability. Appl Environ Microbiol 67:4479-4487. Rohm B, Scherlach K, Möbius N, Partida-Martinez LP, Hertweck C. 2010. Toxin production by bacterial endosymbionts of a Rhizopus microsporus strain used for tempe/sufu processing. Int J Food Microbiol 136:368–371. Rossen L, Norskov P, Holmstorm K, Rasmussen OF. 1992. Inhibition of PCR by components of food samples, microbial diagnostic assays and DNAextraction solution. Int J Food Microbiol 17: 37-45. Ruiz-Teran F, Owen JD. 1996. Chemical and Enziymic changes during the fermentation of bacteria-free soya bean tempe. J Sci Food Agric 71:523530.
90
Sambrook J, Fritsch EF, Maniatis T. 1989. Molecular Cloning: A Laboratory Manual, Ed ke-2. New York: Cold Spring Harbor Laboratory. Santos F, Vera JL, van der Heijden R, Valdez G, de Vos WM, Sesma F, Hugenholtz J. 2008. The complete coenzyme B12 biosynthesis gene cluster of Lactobacillus reuteri CRL1098. Microbiology 154:81–93 Sari MA. 2009. Analisis keragaman dan dinamika populasi bakteri pada sampel tempe pahit: Amplified Ribosomal DNA Restriction Analysis (ARDRA) [skripsi]. Jakarta: Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. Scheirlinck I, Van der Meulen R, Van Schoor A, Vancanneyt M, de Vuyst L, Vandamme P, Huys G. 2007. Influence of geographical origin and flour type on diversity of lactic acid bacteria in traditional Belgian sourdough. Appl Environ Microbiol 73:6262-6269. Scheirlinck I, Van der Meulen R, Van Schoor A, Vancanneyt M, de Vuyst L, Vandamme P, Huys G. 2008. Taxonomic structure and stability of the bacterial community in Belgian sourdough ecosystems as assessed by culture and population fingerprinting. Appl Environ Microbiol 74:24142423. Sengun I, Karabiyikli, S. 2011. Importance of acetic acid bacteria in food industry. Food Control 22:647-656. Siuwerts S, de Bok FAM, Hugeholtz J, van Hylckama Vlieq JET. 2008. Unraveling microbial interactions in food fermentations: from classical to genomics approaches. Appl Environ Microbiol 74:4997-5007. Simon MC, Gray DI, Cook N. 1996. DNA extraction and PCR methods for the detection of Listeria monocytogenes in cold-smoked salmon. Appl Environ Microbiol 62:822-824. Song J, Lee S, Kang J, Baek H, Suh J. 2004. Phylogenetic analysis of Streptomyces spp. Isolated from potato scab lesions in Korea on the basis of 16S rRNA gene and 16S-23S rDNA internally transcribed spacer sequences. Int J Syst Evol Microbiol 54:203-209. Stefania. 2009. Dinamika keragaman komunitas bakteri tempe tidak pahit: Amplified Ribosomal DNA Restriction Analysis [skripsi]. Jakarta: Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.
91
Steinkraus KH. 1997. Classification of fermented food: worldwide review of household fermen ation techniques. Food Control 8:311-317. Suwanto A, Kaplan S. 1989. Physical and genetic mapping of the Rhodobacter sphaeroides 2.4.1 genome: genome size, fragment identification, and gene localization. J Bacteriol 171:5840-5849. Suwanto A. 1994. Pulsed-field gel electrophoresis: a resolution in microbial genetics. As Pac J Mol Bio Biotech 2:78-85. Taranto MP, Vera JL, Hugenholtz J, Font G, Sesma F. 2003. Lactobacillis reuteri CRL1098 produces cobalamin. J Bacteriol 185:5643–5647. Thakuria D, Schmidt O, Siurtain MM, Egan D, Doohan FM. 2008. Importance of DNA quality in comparative soil microbial community structure analyses. Soil Biol Biochem 40:1390-1403. Tuncel G, Goktan D. 1990. Effect of Different Methods of Soaking the Growth Soya Beans on the growth of Bacillus cereus, Klebsiella pneumoniae and Staphylococcus aureus in Tempeh. J Sci Food Agric 53:287-296. Van der Meulen R, Scheirlinck I, Van Schoor A, Huys G, Vancanneyt M, Vandamme P, De Vuyst L. 2007. Population dynamics and metabolite target analysis of lactic acid bacteria during laboratory fermentations of wheat and spelt sourdoughs. Appl Environ Microbiol 73:4741-4750. Watanabe N, Fujimoto K, Aoki H. 2007. Antioxidant activities of the watersoluble fraction in Tempeh-like fermented soybean (GABA-tempeh). Int J Food Sci Nutri 58: 577-587 Wati L. 2011. Isolasi, analisis aktivitas proteolitik dan analisis keragaman Bacillus sp. dari tempe dengan teknik 16S Ribosomal DNA-Polymerase Chain Reaction (16S rDNA-PCR) [skripsi]. Jakarta: Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya. Weisburg WG, Barns SM, Pelletier DA, Jane DJ. 1991. 16S ribosomal DNA amplification for phylogenetic study. J Bacteriol 173:697-703. Wilson IG. 1997. Inhibition and facilitation of nucleic acid amplification. Appl Environ Microbiol 63:3741-3751. Yannarell AC, Triplett EW. 2005. Geographic and environmental sources of variation in lake bacterial community composition. Appl Environ Microbiol 71:227-239.
92
Yun J, Li X, Fan X, Tang Y, Xiao Y, Wan S. 2012. Effect of gamma irradiation on microbial load, physicochemical and sensory characteristics of soybeans (Glycine max L. Merrill). Rad Phys Chem 81:1198-1202. Zamora RG, Veum TL. 1979. The nutritive value of dehulled soybeans fermented with Aspergillus oryzae or Rhizopus oligosporus as evaluated by rats. J Nutr 109:1333-1339.
93
LAMPIRAN
94
Lampiran1 Proses pengolahan pada delapan produsen tempe yang diamati. EMP (Bogor)
WJB (Bogor)
MLGS (Malang)
MLGA (Malang)
SDJD (Sidoarjo)
SDJK (Sidoarjo)
HTN (Ambon)
WHR (Ambon)
Kedelai direbus (masak)
Rebus kedelai sampai masak
Kedelai direbus hanya sampai mendidih
Kedelai direbus sampai ½ masak
Kedelai direbus 1 malam
Kedelai direndam air suam-suam kuku (1/2 hari)
Kedelai direndam air panas 1 jam
Kedelai direndam air panas 1 malam
Rendam semalam (sampai asam)
Giling & cuci
Dinginkan & rendam sampai bengkak
Giling & cuci
Giling & cuci
Giling & cuci
Giling & cuci
Giling & cuci
Giling & saring
Rendam 1 malam
Giling
Rendam semalam
Digodok 1 hari
Rendam semalam
Rendam 1 malam
Rebus sampai masak
Cuci sampai hilang asamnya
Rebus sampai air mendidih saja
Rendam semalam
Ganti air, direbus sampai masak
Dinginkan & beri laru
Cuci dan rebus
Rebus sampai masak
Angkat, tiriskan
Tiriskan sampai kering
Tiriskan & beri laru
Ganti air, rebus sampai masak
Dinginkan & beri laru
Simpan semalam di tong
Tiriskan & beri laru
Angkat, tiriskan
Beri laru & tepung beras
Beri laru dan kemas
Cetak di meja, ditindih
Tiris & dinginkan seharian
Gelar di rak, dirindih
Dinginkan, beri bahan tambahan
Bungkus dengan karung plastic baru semalam
Beri laru & tepung beras
Fermentasi 2-3 hari
Fermentasi 2 hari (sampai putih)
Fermentasi 1 malam
Campur dengan laru
Fermentasi 2 Hari
Cuci & tiriskan
Cuci & tiris
Fermentasi 2-3 hari
Cetak di rak & Fermentasi 1 malam
Cetak di rak & Fermentasi 1 malam
Cetak, tindih dan Fermentasi 2 hari
95
Lampiran 2 BARISA type yang ditemukan dalam jumlah yang melimpah pada tempe WJB
EMP
HTN
WHR
MLGA
MLGS
SDJD
SDJK
SIZE
%
SIZE
%
SIZE
%
SIZE
%
SIZE
%
SIZE
%
SIZE
%
SIZE
%
175,29 ± 0,01
1,17
263,28 ± 0,17
5,79
305,64 ± 0,01
1,67
329,22 ± 0,04
17,14
272,56 ± 0,09
6,89
272,64 ± 0,02
1,69
272,66 ± 0,03
1,014
272,67 ± 0,03
3,05
301,10 ± 0,06
2,07
281,34 ± 0,23
10,57
311,42 ± 00
13,06
330,26 ± 0,02
17,83
273,46 ± 0,08
6,59
273,78 ± 0,01
2,28
273,79 ± 0,03
2,39
273,64 ± 0,03
5,97
305,60 ± 0,05
5,38
300,80 ± 0,06
9,091
325,55 ± 0,04
16,21
332,03 ± 0,03
12,64
279,77 ± 00
4,55
279,37 ± 0,04
2,14
280,18 ± 0,05
2,53
280,20 ± 0,05
2,31
311,41 ± 0,06
10,21
375,87 ± 0,14
10,19
326,46 ± 0,04
18,88
333,06 ± 0,03
2,89
306,30 ± 0,02
7,41
280,20 ± 0,04
5,10
306,29 ± 0,03
5,25
288,01 ± 0,04
1,57
399,42 ± 0,06
6,71
387,38 ± 0,41
7,98
327,97 ± 0,04
9,39
432,88 ± 0,08
10,16
307,29 ± 0,03
1,32
281,52 ± 0,12
5,09
326,70 ± 0,01
3,87
305,66 ± 0,03
2,71
407,14 ± 0,06
1,24
394,19 ± 0,07
1,62
328,98 ± 0,04
2,01
433,87 ± 0,06
9,09
328,27 ± 0,20
8,81
306,18 ± 0,13
6,77
328,28 ± 0,01
6,34
306,34 ± 0,03
5,44
408,10 ± 0,06
4,24
456,29 ± 0,15
9,67
408,14 ± 0,05
7,36
522,56 ± 0,08
1,63
329,38 ± 0,01
1,54
307,25 ± 0,03
1,43
329,30 ± 0,04
2,17
357,31 ± 0,04
2,28
418,31 ± 0,06
3,80
476,45 ± 0,07
5,89
416,30 ± 0,02
5,55
524,58 ± 0,06
3,66
330,42 ± 0,01
1,76
312,70 ± 0,02
4,07
357,30 ± 0,04
1,35
364,80 ± 0,06
3,86
426,58 ± 0,07
6,10
477,51 ± 0,07
8,057
418,64 ± 0,01
1,41
526,61 ± 0,12
7,67
364,52 ± 0,16
8,048
357,20 ± 0,07
3,55
366,72 ± 0,27
6,20
365,92 0,01
1,24
433,80 ± 0,19
1,07
536,79 ± 0,06
4,95
426,65 ± 0,05
7,13
365,72 ± 0,07
1,61
365,53 ± 0,93
1,28
380,61 ± 00
2,88
380,64 ± 0,05
1,73
456,72 ± 0,06
2,12
829,73 ± 0,24
15,66
492,46 ± 0,04
7,56
380,53 ± 00
1,96
376,55 ± 0,04
1,50
382,17 ± 0.05
3,58
382,46 ± 0,16
5,25
490,88 ± 0,02
1,71
387,81 ± 0,15
4,01
380,48 ± 0,21
3,02
383,03 ± 0,1
4,16
387,85 ± 0,01
2,07
495,91 ± 0,01
27,64
418,49 ± 0,05
1,68
404,96 ± 0,02
3,18
387,83 ± 0,03
1,36
398,79 ± 0,00
1,77
497,63 ± 0,01
2,09
423,30 ± 0,05
7,77
406,14 ± 0,06
1,67
418,16 ± 0,08
1,43
405,08 ± 0,02
1,60
514,39 ± 0,13
1,32
437,55 ± 0,03
1,07
410,88 ± 0,10
2,01
423,65 ± 0,07
6,61
423,64 ± 0,08
7,46
526,48 ± 0,06
1,83
456,96 ±0,04
1,90
423,76 ± 0,17
5,94
431,42 ± 0,05
2,77
431,45 ± 0,05
4,87
505,12 ± 0,02
1,36
478,08 ± 0,08
1,87
504,81 ± 0,06
1,30
452,44 ± 0,02
1,85
509,87 ± 0,01
2,44
492,71 ± 0,11
10,97
508,11 ± 0,08
1,25
462,43 ± 0,05
1,45
526,79 ± 0.05
1,57
495,55 ± 0,06
3,11
688,18 ± 0,25
4,962
508,11 ± 0,03
1,02
689,20 ± 0,07
1,66
497,20 ± 00
2,23
689,39 ± 0,13
7,58
571,77 ± 0,04
1,42
508,87 ± 0,08
3,056
702,30 ± 0,13
5,27
577,43 ± 0,05
1,97
509,77 ± 0,12
2,53
689,23 ± 0,19
7,96
577,35 ± 0,15
1,14
702,64 ± 0,11
1,65
689,13 ± 0,12
1,54
703,98 ± 0,22
1,50
753,26 ± 0,13
5,24
96
Lampiran 3 FARISA type yang ditemukan dalam jumlah yang melimpah dan berulang (dishading) pada tempe MLGS-FARISA Rata-Rata Size
MLGA-FARISA
% Area
Rata-Rata Size
SDJD-FARISA
% Area
Rata-Rata Size
SDJK-FARISA
% Area
Rata-Rata Size
WJB-FARISA
% Area
Rata-Rata Size
EMP-FARISA
% Area
Rata-Rata Size
HTN-FARISA
% Area
Rata-Rata Size
WHR-FARISA
% Area
Rata-Rata Size
%Area
277,54 ± 0,00
0,71
277,56 ± 0,05
0,77
277,60 ± 0,06
0,67
277,59 ± 0,05
0,93
277,48 ± 0,01
0,26
277,23 ± 0,01
0,82
152,65 ± 0,08
0,11
274,44 ± 0,06
0,24
278,41 ± 0,04
0,28
278,43 ± 0,05
0,30
278,47 ± 0,01
0,32
278,50 ± 0,05
0,38
278,32 ± 0,06
0,18
278,08 ± 0,05
0,25
156,48 ± 0,12
0,38
275,57 ± 0,07
0,351
279,44 ± 0,04
0,45
279,46 ± 0,00
0,49
279,46 ± 0,01
0,63
279,52 ± 0,04
0,71
279,36 ± 0,06
0,46
279,11 ± 0,00
0,57
276,50 ± 0,06
0,076
276,52 ± 0,01
0,366
280,38 ± 0,00
0,82
280,38 ± 0,00
0,86
280,40 ± 0,04
0,93
280,45 ± 0,01
0,91
280,30 ± 0,00
0,86
280,07 ± 0,06
0,81
277,52 ± 0,06
0,24
277,48 ± 0,06
1,27
283,44 ± 0,00
0,43
283,44 ± 0,01
0,48
283,46 ± 0,02
0,48
283,48 ± 0,01
0,51
283,30 ± 0,00
0,50
283,10 ± 0,07
0,44
278,37 ± 0,00
0,10
278,36 ± 0,01
0,52
285,53 ± 0,05
0,99
285,52 ± 0,03
0,99
285,60 ±0,01
1,36
285,60 ± 0,01
1,28
285,43 ± 0,06
1,90
285,24 ± 0,02
1,10
279,42 ± 0,06
0,23
279,39 ± 0,00
0,91
286,49 ± 0,00
0,79
286,51 0,03
0,78
286,54 ± 0,03
1,17
286,58 ± 0,01
1,10
286,40 ± 0,01
1,85
286,23 ± 0,03
0,85
280,37 ± 0,06
0,31
280,30 ± 0,00
1,29
385,24 ± 0,06
1,10
491,48 ± 0,10
7,71
377,06 ± 0,03
2,62
363,31 ± 0,15
3,17
379,23 ± 0,06
14,54
378,01 ± 0,10
5,75
283,38 ± 0,06
0,12
282,33 ± 0,01
0,57
412,83 ± 0,05
3,91
508,80 ± 0,02
1,23
378,94 ± 0,16
7,00
377,19 ± 0,17
9,45
471,58 ± 0,05
1,23
459,42 ± 0,06
1,16
285,44 ± 0,05
0,35
283,34 ± 0,01
0,68
473,38 ± 0,04
1,44
517,59 ± 0,11
8,24
518,33 ± 0,04
7,51
378,72 ± 0,13
6,77
486,32 ± 0,43
28,76
471,18 ± 0,09
1,17
286,41 ± 0,07
0,30
285,46 ± 0,02
1,75
518,64 ± 0,09
5,86
518,69 ± 0,04
8,85
526,35 ± 0,23
12,33
379,42 ± 0,09
8,72
526,36 ± 0,07
30,99
508,51 ± 0,09
1,68
471,76 ± 0,07
6,40
286,44 ± 0,06
1,49
520,99 ± 0,05
4,74
526,59 ± 0,10
3,99
528,70 ± 0,12
9,86
518,28 ± 0,05
1,79
528,26 ± 0,08
7,13
525,98 ± 0,04
6,41
489,13 ± 0,03
1,89
459,68 ± 0,11
1,81
523,86 ± 0,08
3,79
532,75 ± 0,06
1,05
534,58 ± 0,05
0,47
526,57 ± 0,02
5,08
534,70 ± 0,09
0,99
534,43 ± 0,05
1,07
498,62 ± 0,06
5,64
490,80 ± 0,17
5,36
525,94 ± 0,12
8,02
534,54 ± 0,09
1,99
573,78 ± 0,06
4,32
528,32 ± 0,18
14,42
592,68 ± 0,02
1,19
525,94 ± 0,10
26,95
508,96 ± 0,00
2,45
527,03 ± 0,08
8,84
643,33 ± 0,49
10,57
591,74 ± 0,11
1,63
534,63 ± 0,05
0,59
681,31 ± 0,23
11,44
534,72 ± 0,03
0,254
526,38 ± 0,11
11,21
528,56 ± 0,04
2,054
682,37 ± 0,20
6,53
682,64 ± 0,18
10,66
573,73 ± 0,05
6,92
685,46 ± 0,26
29,04
593,33 ± 0,06
5,11
528,52 ± 0,17
39,90
534,59 ± 0,02
0,95
685,15 ± 0,13
10,74
684,83 ± 0,17
14,22
713,67 ± 0,06
10,04
713,18 ± 0,22
2,44
685,16 ± 0,13
44,74
532,86 ± 0,13
1,90
542,37 ± 0,18
1,06
693,17 ± 0,08
1,78
737,71 ± 0,13
1,11
534,68 ± 0,06
1,85
593,34 ± 0,05
12,93
564,56 ± 0,12
1,37
614,24 ± 0,05
1,73
586,51 ± 0,10
1,08
693,22 ± 0,04
1,14
603,23 ± 0,13
1,55
97
Lampiran 4. Matriks Sorensen’s Similarity coefficient komunitas OTU BARISA WJB
EMP
HTN
WHR
MLGA
MLGS
SDJD
SDJK
WJB EMP
0,186047
HTN
0,316667 0,192771
WHR
0,483221
0,125 0,271845
MLGA 0,420455 0,244604 0,230769 0,503145 MLGS SDJD SDJK
0,320856 0,333333
0,22695 0,247059 0,406091
0,16185 0,132353 0,141732 0,179487 0,382514 0,412371 0,126437 0,145985
0,125 0,089172 0,282609 0,317949 0,563536
Lampiran 5. Matriks Sorensen’s Similarity coefficient komunitas OTU FARISA MLGS
MLGA
SDJD
SDJK
WJB
EMP
HTN
MLGS MLGA 0,606897 SDJD
0,48996 0,618474
SDJK
0,498141 0,587361 0,614035
WJB
0,276243 0,331492 0,442857
0,3625
EMP
0,5 0,637681 0,570213 0,611765 0,323353
HTN
0,195402 0,195402 0,255639 0,169935 0,307692
WHR
0,225
0,34555 0,397906 0,546667 0,423529 0,585366 0,440678 0,293333
WHR
98
Lampiran 6 Identitas bakteri hasil analisis sequencing dari gen 16S rRNA yang berhasil dikloning ke vektor pGEMT-Easy. Klon 16S EMP 3-3
16S EMP 3-5 16S EMP 3-6 16S EMP 3-7 16S EMP 3-8 16S EMP 3-9
16S EMP 3-10
16S EMP 3-11
16S EMP 3-12 16S EMP 3-16
16S EMP 3-17
16S EMP 3-18 16S EMP 3-21 16S EMP 3-22
16S EMP 3-23
16S EMP 3-26
16S EMP 3-27
16S EMP 3-28 16S EMP 3-29
16S EMP 3-31 16S EMP 3-33
Spesies
% Identity
Spesies
% Identity
Acetobacter cibinongensis (HM218002.1) Azospirilum amazonense (HM485596.1) Azospirilum amazonense (HM485596.1) Azospirilum amazonense (HM485596.1) Lactobacillus mucosae (AB425911.1) Acetobacter indonesiensis (AB052715.1) Acetobacter cibinongensis (HM218002.1) Acetobacter indonesiensis (AB052715.1) Lactobacillus fermentum (AB26052.1) Acetobacter indonesiensis (AB052715.1) Acetobacter cibinongensis (HM218002.1) Lactobacillus fermentum (EF101306.1) Acetobacter orientalis (HM217982.1) Lactobacillus delbrueckii subsp. delbrueckii (FJ915697.1) Acetobacter indonesiensis (AB052715.1) Lactobacillus delbrueckii subsp. bulgaricus (FJ915697.1) Acetobacter indonesiensis (AJ419841.1) Novospingobium sp. (AB377503.1) Lactobacillus delbrueckii subsp. bulgaricus (CP002341.1) Lactobacillus mucosae (FR693800.1) Lactobacillus fermentum (EU825658.1)
99%
16S SDJD 1-1
Klebsiella pneumonia subsp. Pneumonia (CP000647.1) Uncultured Klebsiella sp. (GQ416564.1) Uncultured Klebsiella sp. (GQ416300.1) Uncultured Klebsiella sp. (GQ416025.1) Uncultured Klebsiella sp. (GQ416564.1) Klebsiella pneumonia subsp. Pneumonia (AP006725.1) Enterobacter sp. (EF419181.1)
99%
91%
16S SDJD 1-2
95%
16S SDJD 1-3
92%
16S SDJD 1-4
98%
16S SDJD 1-5
98%
16S SDJD 1-6
99%
16S SDJD 1-7
98%
16S SDJD 1-8
Uncultured Klebsiella sp.(GQ418077.1)
96%
99%
16S SDJD 1-9
99%
98%
16S SDJD 1-10
Klebsiella sp (GU374010.1) Uncultured Klebsiella sp. (GQ416561.1)
99%
16S SDJD 1-11
Klebsiella pneumonia (HQ907956.1)
97%
95%
16S SDJD 1-12
96%
96%
16S SDJD 1-13
96%
16S SDJD 1-14
Enterobacter sp. (HQ413276.1) Klebsiella sp. (HM352371.1) Serratia sp. (JF513189.1)
97%
16S SDJD 1-15
Uncultured Klebsiella sp. (GQ416029)
96%
98%
16S SDJD 1-16
Klebsiella pneumonia (JN545035.1)
95%
96%
16S SDJD 1-17
Serratia sp. (JF513189.1)
95%
90%
16S SDJD 1-19
97%
98%
16S SDJD 1-20
Klebsiella sp. (HM352315.1) Uncultured Klebsiella sp. (GQ416025.1)
98%
16S SDJD 1-21
98%
97%
16S SDJD 1-22
Uncultured Klebsiella sp. (GQ416553.1) Acinetobacter baumanii (JN668097.1)
Klon
96% 99% 97% 98% 99%
98%
99%
97% 95%
97%
97%
99
16S EMP 3-34 16S EMP 3-41
16S EMP 3-42 16S EMP 3-43 16S EMP 3-44 16S EMP 3-45
16S EMP 3-46
16S EMP 3-47
Acetobacter pasterianus (BAC601000075.1) Acetobacter indonesiensis (AB052715.1) Sphingomonas (HM536969.1) Acetobacter sp. (FN397903.1) Acetobacter sp. (FN397903.1) Acetobacter cibinongensis (HM218002.1) Acetobacter indonesiensis (AB052715.1) Acetobacter cibinongensis (HM218002.1)
94%
16S SDJD 1-25
98%
16S SDJD 1-26
97%
16S SDJD 1-28
93%
16S SDJD 1-29
91%
16S SDJD 1-30
96%
16S SDJD 1-31
99%
93%
Acinetobacter baumanii. (JQ839145.1) Cronobacter sakazaki (GU122210.1)
99%
Klebsiella pneumonia (GQ259887.2) Klebsiella sp. (GQ415998.1) Uncultured Klebsiella sp.(GQ415922.1) Klebsiella pneumonia (AB680063.1)
96%
16S SDJD 1-32
Cronobacter sakazaki (GU227685.1)
95%
16S SDJD 1-33
Cronobacter sakazaki (FJ906925.1)
94%
95%
98% 96% 97%