Analisis Materi Peraturan Perundang-Undangan tentang….… (Mardianis)
ANALISIS MATERI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG IZIN PELUNCURAN WAHANA ANTARIKSA Mardianis Peneliti Bidang Pengkajian Hukum Kedirgantaraan, LAPAN ABSTRACT According to Outer Space Treaty 1967, every State shall be liable of its national space activities. By Law Number 16 Year 2002, Indonesia has ratified this treaty, therefore, Indonesia shall be liable of its space activities. Space activities include launching vehicle into outer space. Therefore, all responsible parties of a launching space vehicle in Indonesia shall hold Indonesian government license. There are two kinds of licenses: the first regarding the launching field and the second concerning to the launching operation. Indonesian government will consider both technical and/or financial capabilities of the concerned parties, before granting the license. This paper investigates the necessary substance of the regulation of space activities licensing in Indonesia. For these purposes, the researcher takes the benefit of each arrangement settled by the United States, by Brazilia, and by Australia. ABSTRAK Menurut Space Treaty 1967, setiap negara bertanggung jawab atas kegiatan keantariksaan nasionalnya. Traktat Antariksa ini telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2002, karena itu, Indonesia wajib bertanggung jawab terhadap kegiatan keantariksaannya. Peluncuran wahana antariksa termasuk kegiatan keantariksaan. Karena itu, semua pihak yang terkait pada suatu peluncuran wahana antariksa di Indonesia harus memperoleh izin dari pemerintah Indonesia. Ada dua jenis izin yaitu izin yang berkaitan dengan tempat peluncuran dan izin peluncuran itu sendiri. Pemerintah Indonesia akan mempertimbangkan kemampuan teknis dan atau keuangan para pihak sebelum mengeluarkan izin tersebut. Makalah ini menguraikan tentang materi pengaturan tentang izin kegiatan antariksa di Indonesia. Untuk maksud tersebut, perlu diteliti manfaat pengaturan yang dibuat oleh masing masing Negara Amerika Serikat, Brazil dan Australia. 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kemajuan keantariksaan ini telah menunjukkan peran dan keunggulannya yang cukup besar dalam memenuhi kebutuhan dan memecahkan masalahmasalah tertentu dalam pembangunan negara-negara baik yang berisikan kesejahteraan maupun keamanan. Dengan melihat peranan dan keungulannya itu, minat negara-negara untuk berpartisipasi dalam kegiatan keantariksaan terus meningkat. Peningkatan keterlibatan negaranegara tersebut dapat dilakukan melalui partisipasi dalam pembuatan wahana antariksa, peluncurannya, dan pembangunan stasiun bumi serta melalui pemanfaatan
jasa-jasa yang dihasilkan kegiatan keantariksaan tersebut. Kegiatan keantariksaan termasuk dalam kelompok kegiatan yang berbahaya. Beberapa bahaya yang mungkin timbul adalah (i) bahaya peluncuran seperti kegagalan peluncuran, pencemaran lingkungan, bahaya nuklir, pengaruh terhadap operasi antariksa berawak dan pengaruh lain (ii) bahaya tabrakan seperti tabrakan dengan Pesawat terbang, satelit/ wahana antariksa, debris berukuran besar/ kecil (iii) bahaya konflik antar Negara. Khusus di bidang peluncuran, saat ini beberapa negara telah membangun dan mengoperasikan stasiun peluncuran wahana antariksa. Beberapa di antara stasiun peluncuran tersebut digunakan 51
Jurnal Analisis dan Informasi Kedirgantaraan Vol. 5 No. 1 Juni 2008:51-68
untuk meluncurkan wahananya sendiri dan juga ada yang dikomersilkan untuk peluncuran wahana antariksa negara lain. Dengan semakin meningkatnya permintaan peluncuran, dan kemampuan teknologi peluncuran, maka pengoperasian stasiun peluncuran dipandang belum cukup memenuhi kebutuhan pangsa pasar peluncuran. Oleh karena itu, berbagai temuan sistem teknologi peluncuran baru, telah ditawarkan untuk memenuhi kebutuhan peluncuran tersebut. Berdasarkan lokasi awal peluncuran suatu wahana peluncur atau biasa disebut roket peluncur, secara garis besar stasiun peluncuran dapat dibagi menjadi 2 bagian yaitu stasiun peluncuran yang statis dan stasiun peluncuran yang bergerak/mobile. Sistem peluncuran statis yaitu sistem peluncuran dari stasiun peluncuran/bandar antariksa statis. Sedangkan sistem peluncuran bergerak adalah sistem peluncuran wahana antariksa yang dilakukan dari stasiun/ tempat peluncuran yang bergerak pula. Sistem peluncuran bergerak/mobile dapat terbagi menjadi sistem peluncuran dari darat, dari laut/perairan dan sistem peluncuran dari udara atau dari pesawat udara. Indonesia masih tergolong negara yang memanfaatkan stasiun peluncuran negara lain. Namun demikian pada waktu mendatang berkeinginan untuk ikut ambil bagian dalam kegiatan peluncuran ini secara menyeluruh. Hal ini didasarkan pada kondisi wilayah Indonesia yang secara geografis terletak di garis khatulistiwa dan mempunyai wilayah laut yang sangat luas yang dipandang sangat strategis bagi peluncuran wahana antariksa. Beberapa lokasi wilayah Indonesia pernah diminati oleh negara-negara lain untuk membangun dan mengoperasikan stasiun peluncuran, namun upaya tersebut belum berhasil sampai sekarang. Salah satu lokasi yang diminati tersebut adalah pulau Biak. Pulau Biak apabila dilihat sebagai tempat peluncuran wahana antariksa, mempunyai nilai lebih dari lokasi lainnya di Indonesia yang juga diminati oleh negara lain. Kelebihan tersebut meliputi, (i) secara 52
geografis pulau Biak terletak di jalur garis ekuator, (ii) sarana dan prasarana dasar telah dimiliki wilayah daerah Tingkat II/Kabupaten Biak Numfor, seperti sarana perhubungan udara internasional, pelabuhan laut yang masih memungkinkan untuk dikembangkan lebih lanjut. Keunggulan pulau Biak sebagai lokasi peluncuran wahana antariksa dibuktikan dengan munculnya keinginan Federasi Rusia untuk memanfaatkan pulau Biak sebagai intermediate based “air launch system” yang merupakan sistem peluncuran wahana antariksa dan telah dikembangkan dan akan dikomersilkan oleh Rusia. Dengan ditandatanganinya perjanjian kerja sama antara Pemerintah Indonesia dan pemerintah Federasi Rusia tanggal 1 Desember 2006 (Agreement between the Government of the Russian Federation and the Government of the Republic of Indonesia on Cooperation in the Field of the Exploration and Use of Outer Space for Peaceful Purposes), diharapkan dapat merintis upaya untuk mewujudkan terjadinya peluncuran dari dan di wilayah Indonesia. Salah satu aplikasi dari persetujuan ini adalah pengoperasian sistem peluncuran melalui pesawat udara (Air Launch system) di Pulau Biak. Outer Space Treaties (terdiri dari Space Treaty 1967, Rescue Agreement 1968, Liability Convention 1972, Registration Convention 1975 dan Moon Agreement 1979) merupakan perjanjian internasional yang mengatur kegiatan keantariksaan negaranegara. Salah satu prinsipnya menyatakan bahwa Negara bertanggung jawab secara internasional terhadap kegiatan keantariksaan nasionalnya (state responsibility), baik yang dilakukan oleh institusi Pemerintah maupun swasta nasionalnya. Di samping itu juga terdapat beberapa prinsip pokok Outer Space Treaties yang perlu ditaati oleh Negara-negara dan/atau pihak-pihak yang melakukan kegiatan keantariksaan yaitu antara lain prinsip adanya tanggung jawab internasional (international liability) atas kerugian yang diakibatkan oleh bendabenda antariksa, serta prinsip perlindungan lingkungan dalam kegiatan keantariksaan.
Analisis Materi Peraturan Perundang-Undangan tentang….… (Mardianis)
Dalam kaitan dengan beberapa prinsip yang tertuang dalam Outer Space Treaties tersebut di atas, maka Negara yang diwakili oleh Pemerintahnya melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap semua kegiatan keantariksaan nasionalnya, yang diwujudkan dalam penetapan perizinan kegiatan keantariksaan, termasuk perizinan atau lisensi peluncuran wahana antariksa. Penetapan perizinan untuk kegiatan keantariksaan ini analog dengan ketentuan di bidang penerbangan sesuai dengan ketentuan International Civil Aviation Organization (ICAO), yaitu diperlukannya perizinan dalam kegiatan penerbangan sipil seperti Izin Operasi Penerbangan (Air Operator Certificate), Izin Terbang (Flight Approval) dan Izin Operasi Bandara. Pada umumnya yang menjadi dasar dari penetapan perizinan atau lisensi bagi setiap peluncuran kegiatan keantariksaan termasuk peluncuran wahana antariksa adalah: Menjamin keselamatan masyarakat dan harta benda, melindungi keamanan nasional dan kebijakan luar negeri, serta sebagai pertanggungan jawab Negara dalam kaitan sebagai pihak atau peserta dalam perjanjian/kesepakatan internasional di bidang keantariksaan (Outer Space Treaties).
perundang-undangan tentang izin peluncuran wahana antariksa, dengan tujuan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam penyusunan peraturan nasional tentang izin peluncuran wahana antariksa tersebut. B. Metode Penulisan Dalam penulisan Makalah ini digunakan metode normatif dan komparatif yaitu dengan melihat berbagai aplikasi peluncuran dan persyaratan teknis, administratif dan prosedur yang ditempuh di negara lain, kemudian dianalisis kemungkinan aplikasinya yang terbaik di Indonesia, dengan mempertimbangkan kemampuan baik pemerintah, swasta atau individu dalam pelaksanaannya. Berdasarkan cara tersebut, maka dalam Makalah ini akan dijelaskan tentang informasi berkaitan dengan peluncuran wahana antariksa baik internasional maupun nasional, berbagai bentuk aplikasi perizinan yang telah dilakukan di beberapa Negara, landasan perlunya izin peluncuran wahana antariksa, serta berbagai bentuk perizinan baik pemohon, pelaksana, perolehan perizinan, kelembagaan serta hal-hal terkait lainnya dengan izin peluncuran wahana antariksa. 2
Sebagai konsekuensi dari diratifikasinya empat (4) perjanjian internasional keantariksaan oleh Indonesia, maka untuk berlangsungnya kegiatan peluncuran wahana antariksa tersebut perlu adanya peraturan perundang-undangan tentang izin peluncuran wahana antariksa. Hal ini mengingat bahwa semua kegiatan keantariksaan, sesuai dengan perjanjian internasional keantariksaan tersebut adalah merupakan tanggung jawab Negara. Dalam rangka mengaplikasikan tanggung jawab Negara tersebut maka setiap peluncuran wahana antariksa wajib memperoleh izin terlebih dahulu. A. Maksud dan Tujuan Makalah ini dimaksudkan untuk menjelaskan materi muatan peraturan
IZIN PELUNCURAN WAHANA ANTARIKSA DI BEBERAPA NEGARA
A. Amerika Serikat Dalam rangka melakukan peluncuran antariksa komersial atau mengoperasikan suatu tempat peluncuran komersial di Amerika Serikat, perlu memperoleh suatu bentuk izin dari pemerintah Amerika Serikat. Berdasarkan Liability Convention 1972, pemerintah bertanggung jawab atas kecelakaan atau kerusakan terhadap pihak ketiga disebabkan oleh wahana peluncur atau payloads yang diluncurkan di bawah yurisdiksinya. Dalam rangka mengendalikan tanggung jawab ini dan menjamin keselamatan umum, Pemerintah Amerika Serikat telah membentuk kerangka pengaturan operasi komersial wahana 53
Jurnal Analisis dan Informasi Kedirgantaraan Vol. 5 No. 1 Juni 2008:51-68
peluncur dan tempat peluncurannya (launch vehicles and launch sites). The Federal Aviation Administration’s Associate Administrator for Commercial Space Transportation (AST) memberikan izin dan mengatur kegiatan peluncuran komersial Amerika Serikat berdasarkan wewenang yang ditetapkan oleh Executive Order 12465 and Commercial Space Launch Activities, Title 49 of the United States Code, Subtitle IX, Chapter 701 (formerly the Commercial Space Launch Act of 1984). Misi AST adalah untuk mengatur industri peluncuran komersial Amerika Serikat, memberikan izin operasi-operasi peluncuran komersial untuk menjamin keselamatan dan kesehatan publik dan keselamatan hak milik, serta melindungi keamanan nasional dan kepentingan-kepentingan kebijakan luar negeri Amerika Serikat selama operasi peluncuran komersial. Sedangkan the Federal Aviation Administration (FAA) secara langsung berupaya mendorong, memfasilitasi, dan meningkatkan peluncuran antariksa komersial. AST mempunyai wewenang legislatif untuk memberikan izin seseorang melakukan kegiatan peluncuran komersial (termasuk pengoperasian tempat peluncuran) dalam wilayah Amerika Serikat. AST juga mempunyai wewenang legislatif dalam kasus seorang warga Negara Amerika Serikat, atau suatu lembaga yang mengoperasikan di bawah yurisdiksi Amerika Serikat, melakukan suatu peluncuran atau mengoperasikan suatu tempat peluncuran di luar Amerika Serikat (FAA: 1999). Yang dapat memperoleh izin peluncuran dan izin tempat peluncuran adalah (1) Setiap orang yang melakukan suatu operasi peluncuran atau mengoperasikan suatu tempat peluncuran dalam wilayah Amerika Serikat. (2) Setiap warga Negara Amerika Serikat atau lembaga/badan yang mengoperasikan berdasarkan yurisdiksi Amerika Serikat melakukan suatu peluncuran atau mengoperasikan suatu tempat peluncuran di luar Amerika Serikat. (3) Lembaga/badan asing dimana seorang warga Negara Amerika Serikat mempunyai suatu 54
kepentingan pengendalian jika lembaga/ badan itu ingin mengoperasikan di wilayah internasional dan bukan di bawah yurisdiksi Amerika Serikat melalui beberapa persetujuan pemerintah (FAA: 1999). AST tidak mereview kegiatan roket amatir (yaitu sebagai kegiatan peluncuran yang dilakukan pada tempat pribadi yang melibatkan roket dengan berat a total impulse of 200,000 pound-seconds or less, waktu pengoperasian kurang dari 15 detik, dan a ballistic coefficient less than 12 psi). AST juga tidak mereview kegiatan antariksa yang dilakukan oleh atau atas nama Pemerintah Amerika Serikat. Sehingga masalah keamanan dicakup melalui caracara lain. AST mengeluarkan 2 bentuk lisensi: Lisensi peluncuran khusus Adalah bentuk lisensi peluncuran hanya berwenang untuk melakukan satu kali peluncuran. Lisensi peluncuran khusus ini berakhir ketika peluncuran telah dilakukan. Lisensi ini juga berakhir apabila tanggalnya berakhir, kecuali tanggal berakhirnya diperpanjang. Lisensi operator peluncuran Adalah mengizinkan satu operator peluncuran untuk melakukan peluncuran dari salah satu jenis wahana yang diberikan untuk tempat peluncuran dengan pengelompokan khusus payloads. Lisensi ini berlaku untuk jangka waktu 5 tahun terhitung sejak dikeluarkan. Lisensi dapat diperbarui dengan suatu permohonan yang dibuat sekurangkurangnya 90 hari sebelum izin berakhir. Persyaratan pembaruan izin sama dengan persyaratan izin asli dan dapat ditiadakan jika permohonan pembaruan tidak memenuhi atau jika perubahan permohonan izin peluncuran tidak dapat diterima. Dalam rangka pemberian izin tersebut, maka terdapat beberapa elemen yang dinilai dalam proses izin peluncuran wahana antariksa dan berbagai persyaratan teknis khusus apabila peluncuran melewati wilayah berpenduduk sebagaimana tersebut dalam Tabel 2-1 dan Tabel 2-2 (FAA: 1999):
Jurnal Analisis dan Informasi Kedirgantaraan Vol. 5 No. 1 Juni 2008:51-68
Tabel 2-1: ELEMENTS IN THE LAUNCH LICENSING PROCESS No.
Proses Izin
1.
Pre-Application Consultation
2.
Policy Review
3.
Safety Evaluation
4.
Payload Review
5.
Financial Responsibility Determination
6.
Environmental Review
Tujuan This process allows a prospective applicant to familiarize AST with its proposal and likewise be familiarized with the details of the licensing process. The Policy Review entails reviewing an application for issues affecting U.S. national security, foreign policy interests, or international obligations. The purpose of the Safety Evaluation is to determine whether an applicant can safety launch vehicle(s) and payload(s). The payload is reviewed by AST to determine whether its launch would jeopardize public health and safety, U.S. national security or foreign policy interests, or international obligations of the United States. All licensees must demonstrate the financial ability to make compensation for the maximum probable loss from claims. AST must consider the environmental effects of a commercial space launch.
Soucers: special report; commercial space transportion licensing, SR-4
Tabel 2-2: REQUIREMENTS FOR FLIGHT SAFETY ANALYSIS DEPENDING ON TYPE OF SYSTEM
56
Jurnal Analisis dan Informasi Kedirgantaraan Vol. 5 No. 1 Juni 2008:51-68
B. Brazil Brazil mempunyai dua (2) bandar antariksa (spaceport) yaitu : (i) Barreira do Inferno Rocket Range (CLFBI), dengan posisi 5.30º Selatan Ekuator, diresmikan 15 Desember 1965. Saat ini bekerja sama dengan ESA sebagai stasiun Penjejak (Tracking Station) untuk semua peluncuran Ariane dari Kourou. (2) Alcantara Launch Center (CLA), beroperasi tahun 1990, posisi 2.18º Selatan Equator. Motivasi utama Brazil dalam membangun kegiatan keantariksaannya adalah (i) masuknya CLA dalam pasar peluncuran dunia, (ii) menjadikan keunggulan geografis untuk keuntungan ekonomi (iii) menawarkan peluncuran alternatif yang kompetitif bagi swasta asing (iv) menarik negara lain dan investasi swasta berpatisipasi pada kegiatan keantariksaan. Tujuan inilah yang merubah kebijakan keantariksaan Brazil, khususnya sejak pertengahan tahun 1990-an, dimana pada waktu yang bersamaan, muncul tuntutan kebutuhan untuk mengatur secara domestik kegiatan keantariksaan ini. Brazil telah memasukkan kedalam hukum nasionalnya prinsip-prinsip dalam Pasal VI, VII dan VIII Outer Space Treaty 1967, Liability Convention 1972 dan Registration Convention 1975. Tujuan dari materi ketentuan ini adalah memasukkan ke dalam hukum nasional kewajibankewajiban internasional untuk menanggung tanggung jawab (responsibility and liability) bagi kegiatan keantariksaan (d.h.i peluncuran) dari lembaga non-pemerintah di wilayah Brazil serta mendaftarkan benda-benda yang diluncurkan ke antariksa ini (José Monserrat Filho; 2003). Peraturan nasional pertama Brazil dalam kegiatan keantariksaan adalah Keputusan Presiden untuk Pembentukan Komisi Nasional tentang Kegiatan Antariksa ditandatangani oleh Presiden Janio Quadros tanggal 3 Agustus 1961. Keputusan inilah yang melandasi dibentuknya the Organizing Group for the National Commission on Space Activities (GOCNAE). 40 tahun kemudian, pada 56
tanggal 20 Juni 2001, Brazil mengeluarkan peraturan perundang-undangan pertama yang mengatur partisipasi swasta dalam kegiatan keantariksaan dalam wilayahwilayah yurisdiksi nasionalnya, termasuk menanggung tanggung jawab internasional baik dalam arti responsibility maupun liability. Ketentuan ini merupakan peraturan administratif (Administrative Edict N. 27), yang menyetujui pengaturan prosedur, persyaratan untuk mengajukan permohonan, evaluasi, pengeluaran izin, pengendalian dan ditindaklanjuti dengan izin untuk melaksanakan kegiatan peluncuran di wilayah Brazil. Tidak lebih dari satu tahun kemudian, tanggal 21 Februari 2002, peraturan kedua yang melengkapi ketentuan tersebut dikeluarkan yaitu Administratif Edict N. 05, yang mensahkan pengaturan prosedur untuk kewenangan melakukan operasi peluncuran kegiatan antariksa di wilayah Brazil. Kedua ketentuan ini disusun oleh the Brazilian Space Agency (AEB), dan disahkan oleh Dewan Tinggi AEB serta Presiden AEB. Kedua ketentuan ini tepatnya berlaku pada tanggal 21 Juni 2001 dan 25 Februari 2002, sejak dimasukkan dalam Lembaran Negara Brazil (the Union’s Official Gazette). Sebagai konsekuensi dari kedua ketentuan ini, adanya kewajiban untuk setiap lembaga swasta yang berminat untuk melaksanakan kegiatan peluncuran keantariksaan di wilayah Brazil harus mendapatkan izin terlebih dahulu setelah itu baru berwenang melakukan kegiatan tersebut. Izin dan kewenangan ini merupakan dasar pengendalian pemerintah terhadap kegiatan peluncuran swasta di Brazil. Menurut Professor Frans G. von der Dunk, Brazil merupakan Negara berkembang pertama dari 9 negara di dunia yang mengatur kegiatan swasta di bidang keantariksaan dalam hukum nasionalnya. Delapan Negara terdahulu adalah Norwegia (1969), Amerika Serikat (1970), Swedia (1982), Inggris (1986), Rusia (1993), Afrika Selatan (1993), Ukraina (1996) dan Australia (1998).
Analisis Materi Peraturan Perundang-Undangan tentang….… (Mardianis)
AEB yang dibentuk dengan Undangundang N. 8.854, tanggal 10 Februari 1994 mempunyai kompetensi hukum untuk memecahkan masalah pengaturan administratif, yang secara hukum mengikat, pada masalah-masalah penting berkaitan dengan kegiatan keantariksaan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 3, § XIII, AEB mempunyai kompetensi untuk membentuk peraturan, dan mengeluarkan izin serta berwenang berkenaan dengan kegiatan keantariksaan. Hal ini merupakan hal yang unik di Brazil mengingat bahwa berdasarkan Konstitusi Brazil tahun 1988 Pasal 22, § X, menyatakan bahwa kompetensi untuk membentuk peraturan tentang masalah berkaitan dengan keantariksaan kewenangan mutlak Union (Federal Administration and National Congress) (the 1988 Brazilian Constitution, Article 22, § X). Hal lain yang perlu dicatat bahwa pada Pasal 3 at § XII wewenang AEB untuk mengidentifikasi kemungkinan komersialisasi penggunaan teknologi antariksa dan aplikasinya dalam rangka memotivasi swasta untuk menawarkan jasa-jasa dan memproduksi barang-barang. Kewenangan inilah yang menjadi dasar hukum bagi AEB untuk mengembangkan rencana komersialisasi pusat peluncuran Alcantara (Alcantara Launching Center-CLA). Namun semenjak tahun 1999, AEB berada di bawah the Ministry of Science and Technology. Semua inisiatif AEB dan keputusan-keputusannya diawasi dan dikontrol oleh kementerian ini. Hal ini menimbulkan kerangka administrasi yang unik. AEB dipimpin oleh Presiden dan sebuah Dewan Tinggi yang mempunyai 17 anggota termasuk sejumlah perwakilan dari beberapa kementerian. the Ministry of Science and Technology sebagai pengawas AEB, juga berdiri di atas kementerian lainnya, minimal dalam kaitan dengan masalah keantariksaan, hal ini merupakan hal yang tidak lazim. Pengaturan izin terdiri dari 6 Bab dan 27 Pasal, dan pengaturan otorisasi terdiri dari 5 Bab dan 20 Pasal. Tabel 2-3
adalah judul bab dari kedua ketentuan tersebut. Berdasarkan ketentuan tersebut jelas bahwa Brazil mempunyai dua prosedur yang berbeda yaitu (i) mendapatkan izin tanpa otorisasi (ii) mendapatkan otorisasi tanpa izin. Sehingga izin itu sendiri tidak cukup untuk menerima suatu otorisasi. Untuk memperoleh otorisasi perlu untuk melengkapi beberapa persyaratan tambahan. Dengan demikian, kedua ketentuan Administrasi tersebut semata-mata berkaitan dengan kegiatan peluncuran dan partisipasi swasta terhadapnya. Hal ini sama dengan hukum Norwegia (1969) dan Australia (1998), yang hanya ditujukan untuk peluncuran antariksa serta sama dengan Hukum khusus Amerika Serikat (1984, 1988, 1994 and 1998) tentang peluncuran swasta komersial. Pengertian “License” is defined, in Article 2 of its Regulation, as “The administrative deed, within the competence of AEB, authorized by a Resolution of its Higher Council, granted to a legal person, single, an association or consortium, for the purpose of carrying out launching space activities on Brazilian territory, in compliance with the terms and conditions established in this Regulation.” Sedangkan “Authorization” is defined in Article 2 of its Regulation, as “The administrative act, within the competence of AEB, issued by a Resolution of its High Council, to operate a specific space launching in the Brazilian territory, in compliance with the terms and conditions established in this Regulation and pertinent laws.” Untuk pengertian peluncuran adalah The License Regulation defines “Space Launching Activities” as “the set of actions associated with the launching of satellites and other kinds of orbital and sub-orbital payloads, by means of launch vehicles, including the preparation and carrying out of the operation, as well as the elaboration of all technical and administrative documentation related to the launching.” Sebaliknya the Authorization Regulation defines “Space Launching” as “the operation to place or attempt to place a launching vehicle and its payload in sub-orbital trajectory, in Earth orbit or otherwise in outer space.” 57
Jurnal Analisis dan Informasi Kedirgantaraan Vol. 5 No. 1 Juni 2008:51-68
Tabel 2-3: PENGATURAN IZIN DAN PENGATURAN OTORISASI License Regulation
Authorization Regulation
General provisions
General provisions
Documents required and enabling procedures
Procedures for authorization
Enabling procedures Administrative sanctions
Administrative sanctions
Administrative appeal
Administrative appeal
Final provisions
Final provisions
Untuk memperoleh izin, sesuai dengan Pasal 6 the License Regulation, pemohon harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: Legal personality; Technical qualifications; Economic and financial qualifications; Tax regularity. Untuk menerima otorisasi, sesuai dengan Pasal Article 9, § 2 the Authorization Regulation pemohon harus memberikan penjelasan tentang benda tersebut dan memenuhi persyaratan sebagai berikut : Draft of the space launching service contract to be signed by the Licensee; Space launching plan, including orbital data, trajectory and respective timetable; Description of the launching vehicle, including propellants to be used in Earth stage; Description of the payloads, including their purpose or mission, as well as their owners’ identification; List of all legal persons involved in the space launching operation along with their respective attributions; Proof of an insurance contract for space launching operation; Proof of payment of all due fees. Sedangkan untuk badan hukum asing The License Regulation memberikan persyaratan tertentu yaitu pemohon menghadirkan “statements by their respective home countries as to their being 58
licensed to perform the launching activities intended”. Hal ini merupakan cara untuk menjamin bahwa Negara dari pemohon asing akan memenuhi kewajiban internasionalnya sebagai Negara peluncur. Di samping itu, AEB menambahkan persyaratan adanya persetujuan keselamatan berkaitan dengan pemindahan teknologi (“the existence of a safeguard agreement relating to technology transfer” di antara kedua Negara. C. Australia Ketentuan keantariksaan Australia (Space Activities Act 1998, No. 123, 1998) berlaku sejak tanggal 21 Desember 1998 dan the Space Licensing and Safety Office (“SLASO”) dibentuk sebagai kantor untuk administrasinya. Kemudian ketentuan ini diubah dengan adanya bilateral Agreement tentang peluncuran kegiatan swasta dengan pihak Rusia pada tahun 2001, selanjutnya pada tahun 2002 diubah kembali dengan cara rektifikasi (rectifying Amendments). Undang-undang ini bukanlah satu-satunya ketentuan yang berlaku untuk kegiatan antariksa Australia, karena ada beberapa ketentuan lain yang secara langsung berkaitan dengan Undang-undang ini yaitu (Ricky J. Lee, New York 2003 : 119-120): The Radiocommunications Act 1992 (Cth), regulating the frequency and apparatus use in the ground control facilities and on board the launch vehicle and/or the payload; The Civil Aviation Safety Regulations 1998 (Cth) and, in particular, Part 101 thereof,
Analisis Materi Peraturan Perundang-Undangan tentang….… (Mardianis)
which came into force on 1 July 2002 and deals with airspace clearances and airspace exclusion areas for space launch operators; The Customs (Prohibited Exports) Regulations 1958 (Cth) that implements Australia’s international obligations concerning export controls on rocket, missile and satellite technologies, such as those under the Wassenaar Arrangement on Export Controls for Conventional arms and Dual Use Goods and Technologies and the international Missile Technology Control Regime; The Transport Safety Investigation Bill 2002 (Cth), currently proceeding through the Senate, regulates all accident investigations conducted by the Australian Transport Safety Bureau (the “ATSB”); The Christmas Island Space Centre (APSC Proposal) Ordinance 2001 and the corresponding Christmas Island Space Centre (APSC Proposal) Regulations 2001, which are legislative instruments for Christmas Island and relate to the on going construction and use of land for a commercial launch facility on Christmas Island; and The Customs Tariff Amendment (No 4) Act 2001 (Cth), which amends the Customs Tariff Act 1995 (Cth) to provide for the exemption of the goods and equipment imported into Australia in direct connection with a space launch from import duties and tariffs.
Ketentuan tentang perizinan kegiatan keantariksaan dimuat dalam bagian 3. Undang-undang keantariksaan ini dengan judul “Regulation of space activities”. Materi ketentuan ini terdiri dari 9 divisi yaitu: Certain space activities require approvals;
Space licences; Launch permits; Overseas launch certificates; Authorisation of return of overseaslaunched space objects; Exemption certificates; Insurance/financial requirements; Launch Safety Officer; Administration etc.
Pada umumnya, hampir semua peraturan perundang-undangan atau kerangka pengaturan untuk peluncuran wahana antariksa, kegiatan swasta di antariksa diatur secara umum oleh satu ketentuan perizinan. Ketentuan perizinan di Australia terdiri dari beberapa kelompok pengaturan perizinan yang berbeda untuk kegiatan peluncuran yang berbeda pula. Pengelompokan tersebut adalah sebagai berikut. (Ricky J. Lee, 2003: 121) : A Space Licence for operating a launch facility in Australia in conjunction with a specific launch vehicle along particular flight paths; A Launch Permit for a launch operator to launch a space object or a series of space objects from Australia and any associated returns, either the launch vehicle or the payload, to Australia; An Overseas Launch Certificate for an Australian satellite owner to launch a space object or a series of space objects overseas; An Authorisation of Return for the return to Australia of a space object that was launched from overseas; and An Exemption Certificate to provide for emergency launches. Adapun perbedaan untuk perolehan perizinan tersebut sebagaimana dimuat dalam Tabel 2-4 berikut :
59
Jurnal Analisis dan Informasi Kedirgantaraan Vol. 5 No. 1 Juni 2008:51-68
Tabel 2-4: REGULASI KEGIATAN ANTARIKSA
Terdapat beberapa kriteria untuk memperoleh izin operator peluncuran wahana antariksa di Australia yaitu: demonstrated competence of the launch operator, or its key personnel, to operate the launch facility and the launch vehicle; obtaining all necessary environmental approvals and, unless required under another Australian law, the preparation of an Environmental Plan for monitoring and mitigating any adverse effects of the launch facility on the environment; the risk to public health and public safety posed by the launch facility, launch vehicle or the flight paths are “as low as reasonably practicable”, or the lowest practicable risk outcomes within the bounds of reasonable cost; there are no reasons arising from Australia’s national security, foreign policy or international obligations that make the grant of the Space Licence to the applicant undesirable; and the launch facility and the launch vehicle must be effective and safe for their intended purposes. 60
Semua persyaratan ini harus tercermin dalam informasi dan dokumen yang diajukan oleh operator peluncuran dalam proses permohonannya. Di samping itu, untuk masing-masing jenis izin tersebut mempunyai persyaratan yang berbeda. 3
PELUNCURAN WAHANA ANTARIKSA DAN STATUSNYA DI INDONESIA
A. Pengertian Sebagaimana lazimnya dalam penyusunan suatu peraturan perundangundangan terlebih dahulu perlu dijelaskan pengertian dari peraturan perundangundangan yang akan disusun tersebut. Sehubungan dengan hal ini, perlu dijelaskan terlebih dahulu tentang dua istilah yaitu (i) wahana antariksa dan (ii) peluncuran. 1. Wahana antariksa Dalam berbagai ketentuan keantariksaan internasional (Space Treaties) dan ketentuan nasional negara-negara tentang
Analisis Materi Peraturan Perundang-Undangan tentang….… (Mardianis)
keantariksaan terdapat berbagai yang sering digunakan yaitu:
istilah
Satelit adalah suatu benda yang beredar di ruang angkasa dan mengelilingi Bumi, berfungsi sebagai stasiun radio yang menerima dan memancarkan atau memancarkan kembali dan atau menerima, memproses dan memancarkan kembali sinyal komunikasi radio; Aerospace object. Definisi yang diberikan didasarkan pada dua kriteria yaitu : (i) melakukan perjalanan melalui antariksa dan (ii) tetap berada di ruang udara untuk periode waktu tertentu. Dengan kata lain, definisi aerospace object dapat dikatakan peralatan yang mampu terbang dengan peralatan aerodinamik dan non aerodinamik (seperti roket); Payloads adalah sesuatu yang setiap benda melakukan transportasi ke dari atau di antariksa, atau sub orbitnya dengan menggunakan wahana transportasi antariksa, tetapi tidak termasuk wahana transportasi antariksa itu sendiri kecuali untuk komponen itu yang secara khusus didesain untuk itu; Stasiun Bumi adalah stasiun yang terletak di permukaan bumi atau di dalam sebagian atmosfer Bumi dan dimaksudkan untuk berkomunikasi; Stasiun Antariksa/angkasa adalah suatu stasiun yang terletak pada suatu benda yang sebagian besar berada di luar atmosfer Bumi, yang akan melintasi sebagian besar atmosfer Bumi dan atau pernah melintasi sebagian besar atmosfer Bumi; Wahana peluncur (launch vehicle) adalah suatu peralatan dibangun atau dibuat untuk meluncurkan suatu wahana antariksa. Sehubungan dengan pengertian wahana antariksa ini terdapat istilah space object (benda antariksa). Dalam Liability Convention 1972 dinyatakan tentang pengertian benda antariksa yaitu : Istilah benda antariksa (space object) meliputi komponen-komponen benda antariksa, kendaraan peluncur dan bagianbagiannya.
Dalam konteks Bahasa Indonesia penggunaan istilah space object ini dapat juga diartikan sebagai benda langit lainnya (atau dalam pengertian benda alamiah di antariksa seperti Bulan dan benda langit lainnya). Oleh karena itu, dalam konteks bahasa Indonesia tidaklah tepat menyebut benda antariksa untuk semua objek yang disebutkan di atas. Sehubungan dengan hal ini dalam peraturan perundangundangan ini maka untuk mencakup semua benda tersebut di atas digunakan istilah wahana antariksa dengan pengertian yaitu setiap benda yang dimaksudkan untuk ditempatkan atau diluncurkan ke antariksa dari dan di wilayah yurisdiksi nasional Indonesia untuk tujuan tertentu. 2. Peluncuran Berdasarkan Pasal I Liability Convention, 1972 dan Registration Convention, 1975 memuat materi yang dapat dikatakan sama tentang launching state yaitu (i) Suatu negara yang meluncurkan atau berperan serta dalam pelaksanaan peluncuran benda antariksa (A State which launches or procures the launching of a space object); (ii) Suatu negara yang menyediakan wilayah atau fasilitasnya untuk peluncuran benda antariksa (A State from whose territory or facility a space object is launched). Kedua materi Konvensi juga menambahkan bahwa istilah “benda antariksa” (space object) termasuk bagian komponen dari suatu benda antariksa dan wahana peluncur serta bagian-bagiannya. Di samping itu, Liability Convention 1972 juga menambahkan bahwa istilah peluncuran (launching) termasuk percobaan peluncuran. Berdasarkan pengertian dari Negara peluncur tersebut maka yang dimaksud dengan “peluncuran” dalam naskah akademis dan peraturan perundangundangan yang akan disusun ini adalah penempatan atau usaha menempatkan berbagai bentuk wahana antariksa ke suborbitnya atau peluncuran wahana antariksa yang mengangkut/memuat beban dari permukaan bumi ke antariksa. 61
Jurnal Analisis dan Informasi Kedirgantaraan Vol. 5 No. 1 Juni 2008:51-68
3. Sistem peluncuran wahana antariksa Berdasarkan lokasi awal peluncuran suatu wahana peluncur atau biasa disebut roket peluncur, secara garis besar stasiun peluncuran dapat terbagi menjadi 2 bagian yaitu stasiun peluncuran yang statis dan stasiun peluncuran yang bergerak/mobile. a. Sistem peluncuran statis Pada tahun-tahun pertama kegiatan keantariksaan yaitu sejak diluncurkannya satelit pertama pada tahun 1957, peluncuran satelit-satelit lebih banyak dilakukan dari lokasi/stasiun peluncuran/ bandar antariksa yang statis. Dengan digunakannya sistem peluncuran dari stasiun peluncuran/bandar antariksa statis maka berat roket maupun muatannya relatif tidak terbatas. Beberapa contoh stasiun peluncuran statis yang telah operasional di dunia antara lain: Cape Kennedy Space Center dan Vandenberg Air Force Base di Amerika Serikat, Baykonur Satellite Launch Center di Rusia/Kazakstan, Kourou Space Center di Guyana Perancis, Woomera Rocket Range di Australia, Jiugan dan Xichang Satellite Launch Center di RRC, Srihira kota di India, Kagoshima dan Tanegashima Space Center di Jepang, Suparco Flight Test Range di Pakistan, Alcantara Launch Center di Brasilia. Stasiun peluncuran atau bandar antariksa tersebut di atas pada umumnya digunakan untuk meluncurkan wahanawahana antariksa milik negara-negara yang bersangkutan. Beberapa wahana peluncur atau roket yang biasa diluncurkan dari beberapa stasiun peluncuran tersebut antara lain: Roket-roket Atlas, Titan, Delta dan Space Shuttle dari Amerika Serikat, Roket-roket Arianne dari Perancis/ESA (European Space Agency), Roket-roket Proton dari Rusia/Uni Soviet, Roket-roket Longmarch dari RRC, 62
Roket-roket Type H (H-1, H-2 dll) dari Jepang, Roket-roket Type SLV dari India. Roket/wahana peluncur tersebut biasa digunakan untuk meluncurkan berbagai satelit maupun peralatan penelitian dan stasiun antariksa baik milik negara bersangkutan maupun milik negara-negara lainnya. Sebagai contoh beberapa seri satelit Palapa milik Indonesia diluncurkan oleh roket-roket milik Amerika Serikat dari bandar antariksa di Amerika Serikat dan roket-roket Ariane milik Perancis dari bandar antariksa di Kourou/ Gyana Perancis. Di samping itu stasiun peluncuran atau bandar antariksa tersebut di atas juga dapat dimanfaatkan untuk meluncurkan berbagai roket/wahana peluncur yang termasuk dalam jenis yang dapat diluncurkan oleh sistem peluncuran yang bergerak/mobile terutama yang sistem peluncuran bergerak di darat (land mobile). Karena pada prinsipnya tidak banyak perbedaan antara sistem peluncuran bergerak/mobile dan yang tetap/statis, perbedaan utama terletak pada perangkat penunjang roket, sedangkan tempat peluncurannya atau “launch pad” nya relatif sama. b. Sistem peluncuran bergerak/mobile Sistem peluncuran bergerak/mobile dapat terbagi menjadi sistem peluncuran dari darat, dari laut/perairan dan sistem peluncuran dari udara atau dari pesawat udara. Pada umumnya sistem peluncuran ini dilakukan dari lokasi yang dapat berpindah-pindah atau bergerak/mobile. Oleh karena itu sistem peluncuran ini mempunyai keterbatasan, terutama berat dari roket dan muatannya akan menjadi terbatas atau lebih kecil apabila dibandingkan dengan sistem peluncuran statis. Sistem peluncuran bergerak dari darat merupakan pengembangan ke arah penggunaan komersial dari wahanawahana peluncur/roket persenjataan seperti ICBM (Intercontinental Balistic Missile). Salah satu contoh wahana peluncur yang
Analisis Materi Peraturan Perundang-Undangan tentang….… (Mardianis)
biasa digunakan dengan sistem peluncuran bergerak di darat adalah roket milik Rusia/ Ukraina yang biasa disebut roket “Kodak” dan “Cyclone” yang berasal dari senjata kendali SS–3 dan SS–4. Dalam pelaksanaan peluncuran ini, roket beserta perangkat penunjangnya dibawa oleh satu kendaraan transportable vehicle ke suatu tempat yang telah ditentukan, yang pada prinsipnya lokasi atau tempat peluncurannya dapat berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat yang lain. Pada saat ini kedua roket milik Ukraina tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk meluncurkan satelit-satelit komersial, baik untuk orbit rendah, menengah maupun GSO. Sistem peluncuran bergerak dari laut/perairan pada saat ini dikenal dengan apa yang dinamakan “Sea Launch”. Dengan Perkiraan akan makin meningkatnya jasa peluncuran satelit komersial di masa yang akan datang, baik untuk orbit rendah, menengah, geostationer maupun orbit elips (HEO), maka pada bulan April 1995 di bentuk perusahaan Sea Launch yang merupakan gabungan antara Boeing Commercial Space Co. dari USA dan Ukraina yang menyediakan roketnya. Perusahaan Sea Launch mengkhususkan diri pada pemberian jasa peluncuran satelit dari lokasi di lautan, dalam arti “Launch port” nya dapat berpindah-pindah sesuai kebutuhan. Diharapkan dengan sistem peluncuran yang “mobile” tersebut dapat memberikan jasa peluncuran satelit yang lebih fleksibel, nyaman dalam arti murah dan mempunyai keandalan yang baik. Sistem Sea Launch terdiri dari dua (2) sub sistem yaitu : sebuah kapal laut yang dinamakan Assembly & Command Ship (ACS) dan Launch Platform (LP). ACS berfungsi sebagai kapal pengangkut, assembling roket dan kapal komando peluncuran sedang LP adalah suatu Platform/rig yang ditempatkan di lautan untuk meluncurkan roket. Sistem Sea Launch ini dapat bergerak dan ditempatkan di mana saja di lautan sesuai dengan kebutuhan peluncuran, misal untuk meluncurkan satelit ke GSO,
ia akan ditempatkan di sekitar garis khatulistiwa, sedangkan untuk peluncuran satelit ke orbit polar (utara – selatan), ia akan ditempatkan di lautan yang berada pada garis LU lebih besar. Dengan kemampuan yang mobile tersebut ia akan memperoleh keuntungan biaya peluncuran yang relatif lebih rendah. Selain sistem peluncuran “sea Launch” yang dilakukan dari permukaan laut, pada saat ini juga telah dimanfaatkan sistem peluncuran bergerak dari kapal selam atau dari suatu kedalaman laut. Pemanfaatan teknologi peluncuran ini juga dikembangkan dari sistem persenjataan atau peluru kendali yang digunakan oleh kapal-kapal selam untuk menembak sasaran yang berada di udara. c. “Air launch system” Selain sistem peluncuran bergerak dari laut dan dari darat tersebut di atas, pada saat ini juga telah dikembangkan sistem peluncuran bergerak dari udara atau dari pesawat udara yang dikenal dengan nama “Air launch System”. “Air launch System” adalah suatu sistem peluncuran roket pengangkut muatan atau satelit yang menggunakan pesawat udara yang terbang pada suatu ketinggian tertentu. pada sistem ini roket pengangkut satelit dibawa oleh pesawat udara yang diterbangkan pada suatu ketinggian yang telah ditetapkan, dimana kemudian roket peluncur tersebut dilepaskan dan diluncurkan ke antariksa dengan komando jarak jauh (remote control). Teknologi ini dikembangkan oleh Orbital Sciences Corporation dari Amerika Serikat, dengan roket yang dinamakan “Pegasus”. Roket Pegasus ini pada awalnya dibawa/diangkut oleh pesawat terbang jenis Boeing 747 menuju suatu ketinggian di udara (pada ketinggian + 10.000 m di atas permukaan laut atau ketinggian jelajah dari pesawat tersebut) untuk kemudian dilepaskan dan dinyalakan motor roketnya. Diharapkan dengan cara ini pengaruh gravitasi bumi dan daya hambat udara menjadi lebih kecil, sehingga tenaga yang dibutuhkan oleh roket tersebut tidak perlu 63
Jurnal Analisis dan Informasi Kedirgantaraan Vol. 5 No. 1 Juni 2008:51-68
terlalu besar. Sistem peluncuran dari pesawat udara inipun pada awalnya dikembangkan dari sistem persenjataan pesawat terbang. Berdasarkan metode peluncurannya, maka sistem ini dapat dibagi menjadi 5 kategori yaitu : captive on top (roket peluncur di tempatkan di atas pesawat terbang); captive on bottom (roket peluncur di tempatkan di bawah pesawat terbang); Towed (Roket peluncur ditarik oleh pesawat terbang); Aerial refueled (pesawat terbangnya merupakan juga roket peluncur yang diisi bahan bakar roket di atas udara oleh pesawat tanker); Internally carried (roket peluncur di tempatkan di dalam pesawat terbang). Berdasarkan status dan perkembangan sistem peluncuran tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa dilihat dari sisi wilayah peluncuran wahana antariksa maka dimungkinkan untuk dilakukan peluncuran tersebut dari : (1) wilayah dan yurisdiksi nasional, (ii) zona bebas (wilayah internasional) (iii) wilayah dan yurisdiksi negara lain (asing). B. Status peluncuran wahana antariksa di Indonesia 1. Peluncuran yang dilakukan oleh LAPAN LAPAN semenjak dibentuk tahun 1963 telah melakukan berbagai uji coba peluncuran roket dengan berbagai serial roket. Terakhir LAPAN melakukan kerja sama dengan TU-Berlin dalam membuat satelit LAPAN-TUBSAT dan diluncurkan dengan Roket India tanggal 10 Februari 2007. 2. Peluncuran yang dilakukan instansi terkait lainnya
oleh
Sampai dengan saat ini, Indonesia telah mengoperasikan beberapa satelit yang diluncurkan oleh di dan dari luar wilayah Indonesia. Beberapa satelit tersebut, tahun peluncuran, wahana peluncuran, operatornya serta tempat
64
peluncurannya sebagaimana dimuat dalam Tabel 3-1. 3. Peluncuran dilakukan oleh Cina Pada April 2007 telah ditandatangani agreement antara Indonesia dan Cina yaitu Agreement on Deployments of The People’s Republic of China’s MV Yuanwang Intrumentation Ships to Sulawesi sea and Banda Sea For TT&C Support of the Compass Navigation Satellite Launch Missions. Perjanjian ini berlaku untuk periode 2007 s/d 2009. Dalam persetujuan ini, diberikannya izin oleh Pemerintah Indonesia untuk melakukan peluncuran satelit navigasi Cina dari wahana bergerak Kapal Yuanwang yang dilakukan dari wilayah Indonesia yaitu Laut Sulawesi dan Laut Banda. Dalam rangka pelaksanaan Agreement ini dibuat Special Arrangement (Annexes) baik untuk peluncuran dari wilayah Sulawesi maupun Laut Banda secara terpisah. Dalam special arrangement, pelaksanaan peluncuran harus dihadiri oleh Pihak Indonesia yang dalam hal ini adalah Wakil-wakil dari Departemen Luar Negeri, Kementerian Negara Riset dan Teknologi (KNRT), LAPAN dan Departemen Pertahanan. Peluncuran dari wilayah Laut Sulawesi telah dilakukan dan dengan memenuhi persyaratan tersebut. Sedangkan peluncuran dari Laut Banda berlangsung pada Bulan Januari 2008. Berdasarkan status peluncuran di Indonesia tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa dilihat dari sisi wilayah peluncuran wahana antariksa maka Indonesia telah melakukan peluncuran dari : (i) wilayah dan yurisdiksi nasional, (ii) wilayah dan yurisdiksi negara lain (asing) dengan menyewakan jasa pembuatan satelit dan peluncurannya serta (iii) wilayah nasionalnya digunakan untuk peluncuran negara lain. Sedangkan dilihat dari pihak yang terlibat dalam peluncuran sudah beragam baik pemerintah, swasta nasional, maupun asing (baik negara maupun swasta).
Analisis Materi Peraturan Perundang-Undangan tentang….… (Mardianis)
Tabel 3-1: TAHUN PELUNCURAN, WAHANA PELUNCURAN, OPERATORNYA SERTA TEMPAT PELUNCURANNYA
1. 2. 3. 4.
Palapa A1 dan A2 Palapa B1-B2 Palapa C 1, dan C2 Cakrawarta 1
Delta/Amerika Delta/Amerika Ariane 44L/ Perancis Ariane 4
Tahun Diluncurkan 1976 dan 1977 1983 1996 dan 1996 1997
5. 6.
Aces Garuda 1 Telkom 1 dan 2
Proton/Rusia Ariane/Perancis
2000 1999 dan 2005
No.
Satelit
Peluncur/negara
4
IZIN PELUNCURAN WAHANA ANTARIKSA A. Tujuan pemberian izin peluncuran Pemberian izin peluncuran wahana antariksa dimaksudkan untuk: mendukung kepentingan dan keamanan nasional; mentaati peraturan perundang-undangan sebagai akibat kewajiban internasional Indonesia pada ketentuan internasional dengan memperhatikan dan mempertimbangkan kepentingan dalam eksplorasi dan penggunaan antariksa; pengembangan pasar jasa keantariksaan; perlindungan kepentingan pengguna. B. Subyek hukum izin peluncuran Subjek hukum izin peluncuran wahana antariksa adalah badan hukum, perusahaan, individu, warga negara dan organisasi asing yang melakukan kegiatan antariksa di bawah yurisdiksi Indonesia. Di samping itu, subjek izin ini termasuk juga produksi dan percobaan dari roket secara keseluruhan, dan bagian komponennya, penyimpanan, persiapan peluncuran, meluncurkan dan menggunakan wahana antariksa, dan misi pengontrolan transportasi antariksa. C. Landasan izin peluncuran 1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pengesahan Traktat mengenai Prinsip-Prinsip yang Mengatur Kegiatan Negara-Negara dalam Eksplorasi dan Penggunaan Antariksa, Termasuk Bulan dan Benda-Benda Langit Lainnya, 1967 (Treaty on Principles Governing the Activities the Exploration and Use of Outer Space, including the Moon and Other Celestial Bodies, 1967)
Operator
PT Satelindo PT.Media Citra Indostar Aces, PSN dll. PT. Telkom
Pasal VI Traktat Antariksa 1967 menegaskan bahwa negara-negara harus bertanggung jawab secara internasional atas kegiatan antariksa nasionalnya, baik yang dilakukan oleh badan-badan pemerintah maupun non pemerintah, dan menjamin kegiatan nasionalnya dilaksanakan sesuai ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Traktat Antariksa, 1967. Badanbadan non pemerintah (swasta) yang hendak melaksanakan kegiatan antariksa harus mendapatkan otorisasi dan dalam pengawasan secara terus menerus oleh negara yang bersangkutan. Di samping itu, ditegaskan pula bahwa negara atau kelompok negara yang tergabung dalam organisasi antar pemerintah harus bertanggung jawab terhadap masalahmasalah praktis yang timbul akibat kegiatan negara atau organisasi antar pemerintah tersebut. Prinsip ini telah dijabarkan lebih lanjut dalam “Convention on International Liability for Damage Caused by Space Object, 1972. 2. Keputusan Presiden Nomor 20 tahun 1996 tentang Pengesahan Convention on International Liability for Damages caused by Space Objects of 1972 (Konvensi tentang Tanggung Jawab Internasional terhadap Kerugian yang Disebabkan oleh Benda-Benda Antariksa, 1972) Berdasarkan Pasal II Liability Convention 1972 dinyatakan bahwa Negara peluncur harus bertanggung jawab secara mutlak atas segala kerugian yang diakibatkan oleh kegiatan keantariksaannya, yang terjadi di permukaan bumi atau terhadap pesawat udara yang sedang dalam penerbangan. Dalam keadaan ini 65
Jurnal Analisis dan Informasi Kedirgantaraan Vol. 5 No. 1 Juni 2008:51-68
negara penyebab kerugian (negara peluncur) bertanggung jawab penuh dan mutlak, artinya harus mengganti seluruh kerugian yang diderita pihak ketiga sesegera mungkin setelah terjadinya kerugian. Pihak yang dirugikan tidak perlu melakukan pembuktian tentang adanya unsur kesalahan pada pihak penyebab kerugian, tetapi cukup dengan menunjukkan fakta tentang adanya kerugian yang disebabkan oleh benda antariksa yang diidentifikasi sebagai milik negara peluncur tersebut. Diterapkannya prinsip tanggung jawab ini adalah dengan maksud untuk melindungi pihak ketiga dari resiko bahaya yang tinggi (extra hazardous activity), yang tanpa keinginannya terpaksa harus ikut merasakan akibatnya. 3. Agreement between the Government of the Russian Federation and the Government of the Republic of Indonesia on Cooperation in the Field of the Exploration and Use of Outer Space for Peaceful Purposes, 2006. Berdasarkan Pasal 3 Persetujuan ini dinyatakan bahwa Badan berwenang yang bertanggung jawab untuk pengembangan dan pengkoordinasian kerjasama dalam rangka pelaksanaan Persetujuan ini adalah: untuk Pihak Indonesia - Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, untuk Pihak Rusia – Badan Antariksa Federal (selanjutnya dalam Persetujuan ini disebut sebagai "Badan Berwenang"). Dalam hal salah satu Pihak menetapkan organisasi lain sebagai badan berwenangnya, Pihak tersebut harus segera memberitahukan penetapan tersebut kepada Pihak lainnya secara tertulis melalui saluran diplomatik. Selanjutnya dalam Pasal 3 ayat (2) dinyatakan bahwa berdasarkan perundangundangan masing-masing Negara, Para Pihak dapat menetapkan kementeriankementerian dan badan-badan lain, dan badan-badan berwenang dapat menunjuk organisasi lain, selaku subjek hukum publik atau perdata dari Negara Para Pihak, untuk melaksanakan kegiatankegiatan tertentu dalam kerangka Persetujuan ini (selanjutnya dalam Persetujuan ini disebut "organisasi 66
pelaksana"). Dan dalam ayat (4) dinyatakan bahwa Para peserta kegiatan bersama harus mematuhi peraturan-peraturan internal yang dibentuk oleh badan-badan yang berwenang dari Para Pihak dalam pelaksanaan Persetujuan ini. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dapatlah ditetapkan bahwa mengingat kegiatan antariksa merupakan tanggung jawab negara, maka LAPAN sebagai lembaga pemerintah Non Departemen yang bergerak di bidang keantariksaan adalah tepat mempunyai kewenangan untuk menunjuk lembaga/institusi, perorangan baik swasta atau pemerintah sebagai pelaksana kegiatan keantariksaan. D. Materi muatan peraturan izin peluncuran Dari berbagai uraian tersebut di atas, beberapa substansi materi peraturan perundang-undangan tentang izin peluncuran antara lain sebagai berikut: 1. Tujuan pemberian izin: mendukung kepentingan dan keamanan nasional; mentaati peraturan perundang-undangan sebagai akibat kewajiban internasional Indonesia; pengembangan pasar jasa keantariksaan; perlindungan kepentingan pengguna. 2. Subjek hukum perizinan adalah badan hukum, pengusaha individu, warga negara dan organisasi asing yang melakukan kegiatan antariksa di bawah yurisdiksi Indonesia. Perizinan termasuk produksi dan uji-coba roket secara keseluruhan, dan bagian komponennya, penyimpanan, persiapan peluncuran, meluncurkan dan menggunakan wahana antariksa, dan misi pengontrolan antariksa. 3. Bentuk-bentuk perizinan yang diberikan. 4. Izin untuk tujuan ilmiah dan tujuan lain. 5. Proses untuk memperoleh izin. 6. Lembaga yang berwenang memberikan Izin. 7. Permohonan untuk warga negara asing perlu persyaratan tambahan. 8. Permohonan izin bila perlu dapat minta pengujian ahli.
Analisis Materi Peraturan Perundang-Undangan tentang….… (Mardianis)
9. Waktu dan lamanya proses perolehan izin. 10. Jangka waktu yang diberikan untuk masing-masing bentuk perizinan. 11. Batasan-batasan bagi pemegang izin. 12. Akibat hukum dalam pelanggaran izin. 13. Hak-hak dari pemberi dan pemegang izin. 14. Pendanaan. 5
KESIMPULAN
1. Terdapat berbagai istilah dalam penyebutan benda-benda yang diluncurkan keantariksa seperti Space Object, satelit dan lain sebagainya, namun dalam konteks penyusunan peraturan perundang-undangan adalah lebih tepat digunakan istilah wahana antariksa. 2. istilah “peluncuran” dalam peraturan perundang-undangan sebaiknya diartikan adalah penempatan atau usaha menempatkan berbagai bentuk wahana antariksa ke suborbitnya atau peluncuran wahana antariksa yang mengangkut/ memuat beban dari permukaan bumi ke antariksa. 3. Istilah peluncuran terkait dengan sistem peluncuran, operator, dan wilayah peluncuran. Oleh karena itu untuk pengelompokkannya dalam pemberian izin perlu memperhatikan hal tersebut. 4. Sungguhpun terdapat berbagai bentuk perizinan dalam kegiatan keantariksaan, namun pada umumnya negara-negara lebih cenderung membagi dalam dua kelompok utama yaitu izin peluncuran dan izin lokasi peluncuran. Oleh karena itu dalam penyusunan peraturan perundang-undangan sebaiknya juga mengacu pada pembagian tersebut. 5. Substansi materi yang perlu diatur dalam peraturan perundang-undangan Indonesia tentang izin peluncuran wahana antariksa sekurang-kurangnya meliputi materi yang telah diidentifikasi pada butir IV D. DAFTAR RUJUKAN Agreement between the Government of the Russian Federation and the Government of the Republic of
Indonesia on Cooperation in the Field of the Exploration and Use of Outer Space for Peaceful Purposes, 2006. Administrative Edict N. 05, Approving the “Regulation of procedures for the authorization to carry out space launching operations in the Brazilian territory”. Article 3, § XIII, Law N. 8.854, 2000. the AEB is competent “to establish rules and issue licenses and authorizations regarding space activities”. 400, 401, 404, et al. Commercial Space Transportation Reusable Launch Vehicle and Reentry Licensing Regulations; Final Rule, September 19. Department of Transportation Federal Aviation Administration, 14 CFR Parts 401, 406, 413, et al. Licensing and Safety Requirements for Launch; Final Rule, August 25, 2006. Department of Transportation Federal Aviation Administration, 14 CFR Parts. José Monserrat Filho, 2003. Brazilian Launch Licensing and Authorizing Regimes, dimuat dalam Proceedings United Nations/International Institute of Air and Space Law Workshop on Capacity Building in Space Law, United Nations, New York. Keputusan Presiden Nomor 20 tahun 1996 tentang Pengesahan Convention on International Liability for Damages caused by Space Objects of 1972 (Konvensi tentang Tanggung Jawab Internasional terhadap Kerugian yang Disebabkan oleh Benda-Benda Antariksa, 1972). Ricky J. Lee, 2003. The Australian Space Activities Act 1998: Building The Regulatory Capacity For A Launch Industry, dimuat dalam Proceedings United Nations/International Institute of Air and Space Law Workshop on Capacity Building in Space Law, United Nations, New York. 67
Jurnal Analisis dan Informasi Kedirgantaraan Vol. 5 No. 1 Juni 2008:51-68
“FAA,
1999. Commercial Space Transportation Licensing”, 4th Quarter 1999, United States Department of Transportation • Federal Aviation Administration Associate Administrator for Commercial Space Transportation, 800 Independence Ave. SW Room 331, Washington, D.C. 20591. “FAA, 1999. Licensing of Commercial Launch Sites, 1st Quarter 2000, United States Department of Transportation • Federal Aviation Administration, Associate Administrator for Commercial Space Transportation, 800 Independence Ave. SW Room 331, Washington, D.C. 20591. Soewarto Hardienata, 2007. Kemandirian Teknologi, Aplikasi dan Prospek Industri Satelit, Temu Pakar Satelit Tingkat Nasional : Kemandirian Teknologi Satelit dan Aplikasinya serta Strategi Panetrasi Pasar Afrika, Bandung 26-27 Juni.
68
The 1988 Brazilian Constitution (Article 22, § X), the competence to legislate on issues related to space activities belongs exclusively to the Union (Federal Administration and National Congress). Tonda Priyanto, 2007. Strategi Bisnis Telkom Menembus Asia-Afrika, Temu Pakar Satelit Tingkat Nasional : Kemandirian Teknologi Satelit dan Aplikasinya serta Strategi Panetrasi Pasar Afrika, Bandung 26-27 Juni. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2002 tentang Pengesahan Traktat mengenai Prinsip-Prinsip yang Mengatur Kegiatan Negara-Negara dalam Eksplorasi dan Penggunaan Antariksa, Termasuk Bulan dan Benda-Benda Langit Lainnya, 1967 (Treaty on Principles Governing the Activities the Exploration and Use of Outer Space, including the Moon and Other Celestial Bodies, 1967).