ANALISIS MANAJEMEN PROGRAM TB PARU DI PUSKESMAS KECAMATAN KEMAYORAN JAKARTA PUSAT TAHUN 2014 Nuri Anggraeni¹, Pujiyanto² 1. Peminatan Manajemen Pelayanan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat 2. Departemen Administrasi Kebijakan Kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Email :
[email protected]
Abstrak Penelitian ini membahas analisis manajemen program TB paru di Puskesmas Kecamatan Kemayoran Jakarta Pusat tahun 2014. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis input dan proses berdasarkan analisis sistem. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data menggunakan metode wawancara mendalam, telaah dokumen dan daftar tilik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa analisis input diketahui jumlah petugas TB sudah cukup, terdapat laboratorium yang dilengkapi dengan peralatan diagnostik yang sesuai, ketersediaan obat TB sudah lengkap dan cukup, tatalaksana progam sudah tepat, pelaksanaan kegiatan berdasarkan kebijakan, tetapi anggaran belum dapat dinilai kecukupannya karena diperlukan analisis terhadap manfaat yang didapat, dan sasaran suspek TB paru tidak dapat diketahui karena tidak ada pencatatan dan pelaporan. Pada analisis proses diketahui bahwa kegiatan yang dilaksanakan berdasarkan perencanan yang dibuat, tugas pokok dan fungsi dtetapkan secara jelas, petugas diikutsertakan dalam pelatihan sebagai upaya pengembangan keterampilan, promosi kesehatan yang efektif adalah dengan penyuluhan kepada pasien, adanya kemitraan membantu dalam penanganan program TB paru, kegiatan pengawasan dilakukan 1 kali setahun melalui supervisi oleh tingkat Kabupaten/kota, sedangkan evaluasi didasarkan dari hasil pencatatan dan pelaporan namun terdapat pencatatan dan pelaporan yang belum lengkap. Guna meningkatkan kegiatan program TB paru di Puskesmas Kecamatan Kemayoran maka perlu ada pelatihan bagi petugas TB yang belum terlatih, melakukan analisis biaya guna mengetahui kecukupan anggaran kegiatan, meningkatkan penyuluhan sebagai bagian dari promosi kesehatan, dan melakukan pencatatan dan pelaporan pada setiap kegiatan program TB paru Kata kunci: Analisis, Manajemen, TB Paru Abstract In the research showed that the analysis input of TB officer in sufficient, has approriate laboratory with diagnostic equipment, availability medicine, effective managing program, implemetation of activities based on policies, but the budget can not be assessed for adequacy because there are no record keeping and reporting. On the analysis process is known as the activities carried out by the planning made, duties and clearly defined function. The officer participate in the training as skills development effort, effective health promotion counseling, the existent of partnership program help in pulmonary TB. Surveillance activities carried out once a year through supervision by any country or city level. While the evaluation is based on the keeping and reporting result, but the are keeping and reporting no yet completed. In order to increase the activity of pulmonary TB in Puskesmas Kecamatan Kemayoran, it is necessary to hold training for officer who have not been trained. Check cost analysis to determine the adequacy of budget activities, improvement counseling as a part of health promotion and keeping and reporting on any pulmonary TB progam activities. Keyword: Analysis, Pulmonary TB, Management
Analisis manajemen..., Nuri Anggraeni, FKM UI, 2014
Pendahuluan Secara nasional program pengendalian TB menunjukkan perkembangan yang meningkat dalam penemuan kasus dan tingkat kesembuhan, namun pencapaian di tingkat provinsi masih menunjukkan disparitas antar wilayah. Pada tahun 2009, hanya lima provinsi menunjukkan pencapaian CDR 70% dan angka kesembuhan 85%, yaitu Jawa Barat, Sulawesi Utara, Maluku, DKI Jakarta, dan Banten. Tahun 2010 diketahui bahwa fasilitas yang telah menerapkan DOTS antara lain Puskemas 98%, BP4 100%, RS Paru 100%, dan rumah sakit 30%. Tetapi keterlambatan dalam mengakses fasilitas pelayanan untuk diagnosis dan pengobatan TB paru merupakan tantangan utama di Indonesia dengan wilayah geografis yang luas. Keputusan Menteri Kesehatan RI No 364 Tahun 2009 menyebutkan bahwa WHO telah merekomendasikan strategi DOTS sebagai strategi dalam penanggulangan TB sejak tahun 1995. Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen, yaitu komitmen politisi, pemeriksaan dahak mikroskopis dengan mutu terjamin, pengobatan jangka pendek yang terstandar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana kasus yang tepat, jaminan ketersediaan OAT yang bermutu, dan sistem pencatatan dan pelaporan serta kinerja program secara keseluruhan. Dilihat dari kualitas pelayanan DOTS, banyak laboratorium belum mengikuti cross-check secara rutin akibat keterbatasan kapasitas balai layanan kesehatan, umpan balik tidak tepat waktu, dan belum tersedia laboratorium rujukan di tujuh provinsi baru. Sistem logistik obat yang belum berjalan dengan optimal juga merupakan hambatan pencapaian progam pengendalian TB paru. Pada tahun 2012 di DKI Jakarta diketahui bahwa jumlah kematian akibat TB paru sebanyak 155 dan jumlah kematian tertinggi dari wilayah Jakarta Pusat sebanyak 37 kasus, Jakarta Timur sebanyak 37 kasus, Jakarta Utara sebanyak 26 kasus, Jakarta Barat sebanyak 22 kasus, dan Jakarta Selatan sebanyak 33 kasus. Sedangkan Kepulauan seribu tidak ada kasus kematian akibat TB paru (Profil Kesehatan DKI Jakarta , 2012). Berdasarkan buku Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (2006), penyakit TB Paru dapat sembuh jika pasien menelan obat anti TB (OAT) secara teratur dan tepat waktu. Pengobatan penyakit TB dilakukan selama 6 bulan. Selama masa pengobatan, petugas melakukan pengamatan terhadap pasien dalam keteraturannya menelan OAT dengan cara mencatat pemberian dosis OAT kepada pasien. Pencatatan pemberian OAT sangat penting selama proses pengobatan TB Paru karena dapat digunakan sebagai acuan untuk mengetahui keteraturan pasien dalam minum OAT. Pengawasan petugas kesehatan terhadap pasien TB paru merupakan hal yang penting dalam program penanggulangan TB paru. Dalam sebuah penelitian disebutkan bahwa untuk dapat melakukan peningkatan capaian program TB paru maka diperlukan koordinasi di antar unit kerja. Adanya koordinasi dapat meningkatkan penemuan suspek TB dan prosedur kerja menjadi baik. Dalam hal pemeriksaan suspek TB diperlukan koordinasi antara petugas laboratorium dan koordinator program TB. Dalam hal pengawasan, supervisi yang jarang dilaksanakan akan menyebabkan perbaikan pemecahan masalah menjadi terhambat (Budi, Damayanti, & Wulandari, 2012). Dalam literatur lain disebutkan bahwa manajemen mempunyai peranan utama di dalam organisasi yang bertugas mengkoordinir kegiatan-kegiatan untuk menyesuaikan dengan lingkungan (Yasmi, 1982). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis manajemen pelaksanaan program TB Paru di Puskesmas Kecamatan Kemayoran Jakarta Pusat tahun 2014 berdasarkan analisis inpur dan proses.
Analisis manajemen..., Nuri Anggraeni, FKM UI, 2014
Tinjauan Teoritis Tuberkulosis Penyakit Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Mycrobacterium tuberculosis. Gejala umum penderita TB yaitu mengalami demam. Demam berlangsung pada waktu sore dan malam hari, keringat dingin tanpa melakukan kegiatan. Gejala lain adalah malaise/lesu, nafsu makan berkurang, badan kurus, serta mudah lelah. Gejala respiratorik atau gejala saluran pernapasan adalah batuk. Batuk dapat berlangsung terus menerus selama 3 minggu atau lebih yang ditandai dengan batuk darah (Departemen Kesehatan, 2011). Penyebab utama meningkatnya masalah TB paru antara lain : 1. Kemiskinan pada berbagai kelompok masyarakat 2. Kegagalan program TB yang diakibatkan oleh : a. Tidak memadainya komitmen politik dan pendanaan b. Tidak memadainya organisasi pelayanan TB, seperti kurang terakses oleh masyarakat, penemuan kasus yang tidak terstandar, penyediaan obat kurang terjamin, tidak dilakukan pemantauan, dan tidak dilakukan pencatatan dan pelaporan. c. Tidak memadainya tatalaksana kasus d. Salah persepsi terhadap manfaat dan efektiifitas BCG e. Infrastruktur yang belum baik. 3. Perubahan demografis karena meningkatnya jumlah penduduk 4. Dampak pandemik infeksi HIV Faktor risiko timbulnya kejadian penyakit TB paru antara lain status gizi kurang kondisi sosial ekonomi kurang, dan kondisi lingkungan tidak memenuhi syarat sehat. Pencegahan TB dapat dilakukan sejak usia bayi yaitu dengan memberikan vaksinasi BCG. BCG merangsang kekebalan, meningkatkan daya tahan tubuh tanpa menyebabkan kerusakan. Manajemen Manajemen menurut Sarwoto (1994) adalah suatu proses yang dinamik dan khas untuk mencapai tujuan dengan menggerakkan organisasi. Menurut Terry & Rue (1992), manajemen adalah suatu proses atau kerangka yang melibatkan bimbingan atau pengarahan suatu kelompok orang ke arah tujuan organisasi yang nyata. Manajemen adalah suatu bentuk kerja dan dalam melaksanakan pekerjaan harus melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu yang disebut dengan fungsi manajemen (Terry & Rue, 1992). Fungsi manajemen dikelompokkan menjadi 4, antara lain perencanaan, pengorganisasian, penggerakkan, dan pengawasan. Perencanaan adalah cara yang dirumuskan sebelum melakukan sesuatu (Swastha, 1996). Sedangkan perencanaan menurut (Sarwoto, 1994) proses suatu karya yang berjalan terus sejalan dengan jalannya suatu usaha. Syarat perencanaan yang baik adalah merumuskan tujuan secara jelas, bersifat sederhana, memuat analisa, bersifat fleksibel, ada keseimbangan dar kegiatan, tujuan, dan syarat, serta efektif dan efisien. Pengorganisasian merupakan keseluruhan proses pengelompokkan orang-orang, alat, tugas, tanggung jawab atau wewnang sehingga tercipta suatu organisasi yang dapat digerakkan sebagai suatu kesatuan dalam rangka mencapai tujuan (Swastha, 1996). Sedangkan pengorganisasian menurut Muninjaya (2004), adalah alat untuk memadukan dan mengatur semua kegiatan yang berkaitan dengan personil, finansial, material, dan tata cara untuk mencapai tujuan yang telah disepakati. Pengerakkan adalah tindakan-tindakan menjalankan suatu organisasi. Fungsi penggerakkan menekankan cara mengarahkan semua sumber daya untuk mencapai tujuan yang telah
Analisis manajemen..., Nuri Anggraeni, FKM UI, 2014
disepakati. Pengawasan adalah kegiatan yang mengusahakan agar pekerjaan-pekerjaan terlaksana sesuai dengan rencana yang ditetapkan dan hasil yang ingin dicapai. Sistem Sebuah sistem adalah kumpulan bagian yang saling terkait antara satu dengan lainnya sampai membentuk kesatuan (Robbins & Coulter, 2010). Menurut Azwar (1996), elemen dalam sistem dikelompokkan dalam enam unsur, antara lain masukan, proses, keluaran, umpan balik, dampak, dan lingkungan. Teori sistem saling bergantung dari organisasi dan tugas manajemen. Perspektif sebuah sistem akan lebih mudah mempertahankan keseimbangan antara kebutuhan dari berbagai bagian dan kebutuhan serta sasaran secara keseluruhan (Stoner, Edward Freeman, & JR, 1996). Manajemen Puskesmas Manajemen Puskesmas diselenggarakan sebagai proses pencapaian tujuan, proses mengkuadranaraskan tujuan organisasi dan tujuan pegawai, proses mengelola dan memberdayakan sumber daya, proses pengambilan keputusan dan pemecahan masalah, proses kerjasama dan kemitraan, dan proses mengelola lingkungan. Ukuran kemampuan manajerial dapat dilihat dari hasil kerja yang efektif dan efisien. Efektif adalah kemampuan mencapai hasil kerja sesuai dengan apa yang telah direncanakan. Sedangkan efisien adalah penggunaan sumber daya yang ada. Sumber daya yang dimaksud antara lain sumber daya manusia, dana/anggaran, perlengkapan, serta sumber daya waktu. Manajemen yang efisien ialah kemampuan seorang kepala Puskesmas yang dapat bekerja dengan menggunakan sumber daya yang dimiliki sesuai dengan kebutuhan yang direncanakan dan ditetapkan (Mahmoed, 2012). Program Pengendalian TB Paru 1. Sumber daya manusia a. Puskesmas rujukan mikroskopik dan pelaksana mandiri : kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 dokter, 1 perawat/petugas TB, dan 1 tenaga laboratorium. b. Puskesmas satelit : kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 dokter, 1 perawat/petugas TB. c. Puskesmas pembantu :kebutuhan minimal tenaga pelaksana terlatih terdiri dari 1 perawat/petugas TB. 2. Sarana dan Prasarana a. Laboratorium mikroskopik TB unit pelayanan kesehatan (UPK) 1) UPK dengan kemampuan pelayanan laboratorium hanya membuat sediaan apusan dahak dan fiksasi, misalnya Puskesmas Satelit (PS) 2) UPK dengan kemampuan pelayanan laoratorium mikroskopik deteksi BTA, dengan pewarnaan Ziehl Neelsen, dan pembacaan skala IUATLD, misalnya Puskesmas rujukan mikroskopik (PRM), Puskesmas pelaksana mandiri (PPM), RS, BP4, RSP. b. Laboratorium rujukan uji silang mikroskopik 1) Laboratorium laboratorium UPK ditambah dengan melakukan uji silang mikroskopis dari laboratorium UPK binaan dalam sistem jejaring. c. Obat-obatan
Analisis manajemen..., Nuri Anggraeni, FKM UI, 2014
Logistik OAT meliputi penyediaan paket OAT dewasa dan anak baik dalam bentuk obat kombinasi dosis tetap (KDT) maupun kombipak yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan (2011). d. Peralatan yang digunakan dalam rangkaian program pengendalian TB paru antara lain alat laboratorium, bahan diagnostik dan barang cetakan. 3. Tatalaksana TB paru Penegakkan diagnosa utama TB Paru dilakukan melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopik langsung. Pemeriksaan dahak dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak dalam dua hari berturut-turut berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS). Dahak Sewaktu (S) dikumpulkan pada saat suspek TB Paru datang berkunjung pertama kali. Dahak Pagi (P) dikumpulkan pada pagi di hari kedua setelah bangun tidur. Dahak Sewaktu (S) dikumpulkan di hari kedua saat menyerahkan dahak pagi. Penemuan kasus baru TB Paru pada anak berbeda dengan orang dewasa. Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang maka dilakukan pembobotan dengan sistem skoring. Pasien dengan jumlah skor lebih atau sama dengan 6 (≥ 6) harus diterapi pengobatan TB Paru dan mendapat OAT. Bila skor kurang dari 6 (< 6) tetapi secara klinis kecurigaan ke arah TB Paru kuat maka dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya (Departemen Kesehatan, 2006). Pengobatan TB Paru dilakukan dengan memberikan OAT dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Pengobatan TB dilakukan selama 6 bulan melalui dua tahap, yaitu tahap intensif dan tahap lanjutan. Sisipan, diberikan untuk tahap intensif kategori 1 selama 28 karena hasil pemeriksaan dahak ulang pada tahap intensif menunjukkan BTA positif. Menurut Idris (2004), hasil pengobatan penderita dapat dikategorikan sebagai sembuh, pengobatan lengkap, meninggal, pindah, default (lalai), drop out (putus berobat), dan gagal (Departemen Kesehatan, 2006). 4. Anggaran Anggaran digunakan untuk mendukung pengembangan kegiatan program. Alokasinya digunakan untuk biaya kunjungan pembinaan ke lapangan, pemeliharaan, dan pembelian alat penunjang kegiatan rutin program dan sebagainya (Muninjaya, 2004). 5. Kebijakan Kebijakan adalah pernyataan yang luas tentang maksud, tujuan dan cara yang membentuk kerangka kegiatan. Kebijakan dapat mengacu keapda kebijakan yang disusun dimana kebijakan tersebut digunakan sebagai batasan kegiatan atau suatu usulan (Mayys & Walt, 2014).. 6. Pengawasa Menelan Obat (PMO) Pengawas menelan obat (PMO) adalah orang yang bertugas menjamin keteraturan pengobatan agar sembuh atau sukses. Tugas PMO antara lain Mengawasi penderita TB agar menelan OAT secara teratur, Memberikan dorongan, Megingatkan penderita untuk periksa ulang dahak, Memberikan penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB, Membantu atau mendampingi penderita dalam pengambilan obat OAT, dan Membantu petugas kesehatan memantau perkembangan pasien TB. 7. Perencanaan Program
Analisis manajemen..., Nuri Anggraeni, FKM UI, 2014
Perencanaan merupakan suatu rangkaian kegaitan yang terus menerus sehingga merupakan suatu siklus, meliputi analisis situasi, identifikasi dan menetapkan masalah prioritas, menetapkan tujuan untuk mengatasi masalah, menetapkan alternatif pemecahan masalah, menyusun rencana kegiatan dan penganggaran, dan menyusun rencana pemantauan dan evaluasi 8. Pengembangan Sumber Daya Manusia Program Pendidikan dan pelatihan merupakan salah satu cara dalam pengembangan SDM kesehatan (Adisasmito, 2007). Dalam pengendalian program TB paru, pengembangan SDM meliputi pelatihan dan supervisi. Konsep pelatihan dalam program pengendalian TB terdiri dari pelatihan sebelum bertugas (pre service training) dan pelatihan dalam tugas (in service training). Pre service training dilakukan dengan memasukkan materi program penanggulangan TB dalam kurikulum institusi pendidikan. In service training meliputi pelatihan dasar program TB dan pelatihan lanjutan. 9. Promosi Kesehatan Strategi promosi pengendalian TB adalah dengan melakukan advokasi, komunikasi dan mobilisasi sosial. Promosi diarahkan agar masyarakat mampu mempraktekkan perilaku pencegahan dan pengobatan TB paru (Departemen Kesehatan, 2010). 10. Kemitraan Kemitraan dilakukan dengan berbagai pihak seperti seluruh sektor terkait, lembaga legislatif, dunia usaha, organisasi kemasyarakatan, perguruan tinggi, dan masyarakat. Kemitraan pada program TB paru menerapkan model kemitraan public private mix (PPM) antara sektor pelayanan kesehatan swasta dan sektor pelayanan kesehatan publik (Departemen Kesehatan , 2011). 11. Pengawasan dan Evaluasi Program Pemantauan dilakukan secara berkala untuk dapat segera mendeteksi apabila ditemukan masalah dalam pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan dan dapat segera dilakukan tindakan perbaikan. Evaluasi dilakukan setiap 6 bulan sampai dengan 1 tahun. Melalui evaluasi maka pencapaian hasil dapat dinilai sejauh mana tujuan dan target sudah dicapai. Hasi evaluasi berguna untuk kepentingan perencanaan program. Cara pemantauan dilakukan dengan menelaah laporan, pengamatan langsung dan wawancara dengan petugas pelaksana mauun dengan masyarakat sasaran. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Data primer dikumpulkan melalui proses wawancara mendalam kepada infoman. Wawancara mendalam dilakukan dengan tenggang waktu 20-30 menit setiap informan. Selain wawancara mendalam, data primer lain dikumpulkan dengan melakukan observasi secara langsung pada objek penelitian di tempat penelitian. Data sekunder dikumpulkan dengan cara melakukan telaah dokumen dan daftar tilik/checkist. Upaya menjaga validitas data dalam penelitian dilakukan dengan cara triangulasi data. Hasil Penelitian dan Pembahasan Input
Analisis manajemen..., Nuri Anggraeni, FKM UI, 2014
1. Petugas TB Jumlah tenaga kesehatan pelaksana TB paru di Puskesmas Kecamatan Kemayoran saat ini berjumlah 4 orang yang terdiri dari dokter, perawat, dan petugas laboratorium. Tiga orang petugas TB sudh mendapatkan pelatihan, yaitu dokter, satu orang petugas TB, dan petugas laboratorium, sedangkan satu orang petugas TB belum dilatih. Kualifikasi dan kompetensi petugas TB paru sesuai dengan jenjang pendidikan terakhir. Kebutuhan minimal Puskesmas Rujukan Mikroskopik (PRM) dan Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM) yaitu tenaga terlatih minimal terdiri dari satu orang dokter, satu orang petugas TB/perawat dan satu orang tenaga laboratorium (Departemen Kesehatan, 2011). Menurut Saputri, Misnaniarti, & Ainy, (2009), jumlah SDM kesehatan yang tidak sesuai kebutuhan (kekurangan) dapat menjadi masalah pelayanan kesehatan menjadi tidak optimal. Tidak hanya kecukupan jumlah petugas, pendidikan yang sesuai dapat mempengaruhi capaian kinerja. Untuk mencapai kesuksesan dalam bekerja maka diperlukan pendidikan yang sesuai dengan jabatan yang dipegang seseorang (Budi, Damayanti, & Wulandari, 2012). Kesesuaian kompetensi atau pendidikan untuk tiap jenis kegiatan pelayanan dapat meningkatkan Case Detection Rate (CDR) (Afrimelda & Retnaningsih, 2013). 2. Laboratorium Laboratorium hanya terdapat di Puskesmas Kecamatan sehingga setiap pemeriksaan dahak BTA dilakukan atau dirujuk ke Puskesmas Kecamatan Kemayoran. Laboratorium dilengkapi dengan peralatan diagnostik pemeriksaan BTA yang sudah sesuai dan lengkap, serta jumlah yang cukup. dengan tersedianya laboratorium maka penemua kasus TB paru dapt dideteksi dengan segera. Pemeriksaan uji kepekaan sangat penting dalam tatalaksana TB karena pernyataan kesembuhan juga didasarkan atas hasil pemeriksaan biakan BTA (Sjahrurachman, 2010). 3. Obat-obatan Ketersediaan OAT bagi penderita TB di Puskesmas Kecamatan Kemayoran memiliki jumlah cukup. Jenis OAT yang digunakan adalah OAT komposisi dosis tetap (KDT) yang terdiri dari KDT kategori I, kategori II, sisipan, dan KDT anak. Pengadaan OAT di Puskesmas Kecamatan Kemayoran direncanakan oleh petugas farmasi. Sedangkan petugas TB hanya membuat permintaan ke bagian farmasi sesuai kebutuhan. Pengadaan OAT di Puskesmas Kecamatan Kemayoran dilakukan melalui koordinasi dengan tingkat Suku Dinas Kesehatan setempat karena OAT merupakan obat yang sudah terstandar baik komposisi dan dosis. Apabila stok OAT menipis maka petugas dapat mengajukan permintaan ke Suku Dinas setempat. Pada tahun 2013, pengadaan OAT tidak melalui koordinasi dengan Suku Dinas Kesehatan karena terdapat perubahan peraturan mengenai pendistribusian OAT sehingga Puskesmas melakukan pembelian langsung. Dalam menjaga mutu obat, petugas farmasi dan petugas TB paru melakukan pemeriksaan kemasan obat sejak obat diterima yaitu kondisi kemasan, masa kadaluarsa. Ketersediaan yang cukup dan kontinu serta pemberian regiment OAT yang adekuat berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan yaitu angka kesembuhan meningkat (Manalu, 2010). Selain itu, kemampuan tenaga dalam membuat perencanaan obat dengan baik dapat mencukupi kebutuhan dalam memberikan pengobatan (Azis, M.J.Herman, & Mun'im, 2005). Sedangkan menurut Hartono (2007), apabila terjadi ketidaktepatan perencanaan kebutuhan obat disebabkan oleh data dasar yang kurang tepat, pelaksanaan pengobatan tidak rasional, perbedaan persepsi antara penulis resep dengan pelaksana farmasi, Puskesmas belum
Analisis manajemen..., Nuri Anggraeni, FKM UI, 2014
memahami tentang cara merencanakan obat yang tepat, dan standar pengobatan rasional di Puskesmas belum diterapkan dengan baik. 4. Tatalaksana Program Petugas memberi pengobatan berdasarkan diagnosa dokter sesuai dengan standar internasional. Konsep DOTS merupakan upaya penting dalam menjamin keteraturan berobat pasien. Penatalaksanaan TB yang tidak tepat akan menimbulkan resitensi obat, kasus TB meningkat, dan dapat menjadi kasus TB-MDR (Nofizar, Nawas, & Burhan, 2010). Pemasangan protap program P2TB merupakan salah satu dari strategi DOTS di ruang poliklinik Puskesmas yang bertujuan agar penatalaksanaan TB dilakukan dengan tepat (Froniatin, 2007). Memberikan pengobatan yang tepat dan cukup serta digunakan sesuai ketentuan dapat mencegah penularan (Departemen Kesehatan, 2005). 5. Kebijakan Pelaksanan program TB paru di Puskesmas Kecamatan Kemayoran. mengacu pada peraturan nasional mengenai penangulangan TB paru, standar pelayanan minima (SPM), dan standar operasional prosedur. Kebijakan memudahkan pemerintah berhak dan wajib untuk turut serta menegakkan tata tertib, memberikan ketetapan dalam melaksanakan kegiatan program, dan memberikan kemudahan dalam pelaksanaannya (Buse, Mays, & walt, 1994). Kebijakan berpengaruh terhadap pelaksanaan program dalam mencapai tujuan (Sopianti, 2013). Menurut Bramanty (2012), faktor yang mendukung kemajuan program pengendalian TB paru antara lain akses pelayanan semakin baik, pendanaan memadai, dukungan pemerintah pusat dan daerah, peran serta masyarakat dan swasta semakin meningkat dan berkembangnya teknologi. 6. Anggaran Anggaran progam TB paru berasal dari BOK, APBD, dan BLUD. Anggaran dialokasikan pada setiap kegiatan program TB paru sesuai dengan perencanaan yang dibuat. Setiap anggaran yang dianggarkan tidak semua dapat diterima secara keseluruhan tetapi disesuaikan dengan peraturan yang berlaku. Menurut Azwar (2010), anggaran disebut cukup apabila anggaran yang digunakan dapat mencapai sasaran sesuai perencanaan dan bermanfaat pada program tersebut. Kecukupan anggaran dapat dianalisis pada tahap perencanaan. Pendapat tersebutsama dengan Mahmudi (2009), bahwa anggaran cukup apabila melakukan dalam perencanaan membuat perbandingan alternatif yang paling efektif untuk mencapai tujuan sehingga alokasi dana yang terbatas dapat mempertajam sasaran program. Sehingga untuk mengetahui kecukupan anggran program TB paru di Puskesmas maka diperlukan analisis manfaat dan ketepatan biaya. 7. Sasaran Sasaran program TB paru di Puskesmas Kecamatan Kemayoran adalah suspek TB, pasien TB paru dan keluarga. Jumlah sasaran program TB paru meningkat dari tahun 2011 ke tahun 2013, namun tidak ada data suspek TB di Puskesmas Kecamatan Kemayoran. Tidak ada data suspek TB paru karena petugas tidak melakukan pencatatan pada formulir daftar suspek TB.Penjaringan suspek TB paru dapat dilakukan dengan merujuk pasien TB paru dari Puskesmas pembantu, dan petugas TB ke koordinator TB. Namun rujukan dapat tidak efektif apabila pasien tidak mau datang ke Puskesmas untuk melakukan pemeriksaan (Budi, Damayanti, & Wulandari, 2012). Sedangkan dalam penelitian Bramanty (2012), jumlah
Analisis manajemen..., Nuri Anggraeni, FKM UI, 2014
sasaran dapat ditemukan dan dibawa berobat ke unit pelayanan kesehatan melalui evaluasi kinerja program. Proses 1. Perencanaan Perencanaan dibuat berdasarkan hasil laporan dan monev meskipun beberapa kegiatan yang direncanakan merupakan kegiatan rutin setiap tahun. Perencanaan yang diuraikan secara jelas akan menjadikan petugas bertanggung jawab melaksanakan kegiatan sesuai dengan tugasnya (Mahmoed, 2012). 2. Tugas Pokok dan Fungsi Tugas pokok petugas TB di Puskesmas Kecamatan Kemayoran antara lain koordinator program TB termasuk 7 Puskesmas Keluruhan, memberikan pengobatan, tes mantux pada suspek TB anak, penyuluhan, kunjungan kontak serumah, pelacakan pasien mangkir, membuat perencanaan program TB paru. Sedangkan bimbingan teknis merupakan tugas pokok dan fungsi petugas TB paru tingkat kabupaten/kota. Adanya tugas pokok dan fungsi memudahkan petugas TB dalam melaksanakan pekerjaan. 3. Pelatihan Cara mengembangkan kemampuan dan keterampilan petugas di Puskesmas Kecamatan Kemayoran yaitu dengan mengikutsertakan petugas dalam pelatihan. Menurut Aboy (2013), pelatihan merupakan sarana yang baik dalam mengkomunikasikan program penanggulangan program TB paru. Menurut Afrimelda & Retnaningsih (2013), pelatihan dapat meningkatkan kinerja petugas dalam program pengendalian TB paru. Di dalam penelitiannya disebutkan bahwa banyaknya petugas yang belum terlatih menyebabkan angka penemuan kasus (CDR) belum mencapai target. Penelitian RYE, Saleh, & Hadiwijoyo (2009) juga menyebutkan bahwa petugas TB yang belum dilatih akan menghambat penemuan kasus baru TB paru dibanding dengan petugas TB yang terlatih. Petugas yang sudah dilatih tetapi dimutasikan ke bagian pelayanan lain dan diganti dengan petugas belum terlatih dapat menyebabkan pelatihan DOTS tidak maksimal dan penanganan kasus TB paru tidak efektif (Froniatin, 2007). Di Puskesmas Kecamatan Kemayoran, setiap petugas kesehatan yang mengikuti pelatihan maka petugas mentransferkan ilmunya kepada petugas kesehatan lainnya. Froniatin (2007) menyebutkan bahwa petugas yang telah mendapatkan pelatihan program P2TB Strategi DOTS dapat mentransfer ilmu kepada petugas lain. 4. Promosi Kesehatan Kegiatan promosi kesehatan yang dilakukan adalah penyuluhan dan pemsangan media informasi di dalam gedung Puskesmas. Komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) pada pasien tentang TB paru dapat membantu pasien mengerti penyakit dan pengobatan sehingga angka kesembuhan meningkat. Meskipun KIE diberikan kepada pasien, namun banyak pasien yang tidak melakukan pengobatan sesuai standar (Nofizar, Nawas, & Burhan, 2010). 5. Kemitraan Berkembangnya jejaring TB paru di Puskesmas dan BP4 serta kualitas program yang memadai akan mempermudah perluasan jejaring kemitraan dengan praktisi swasta. Kemitraan dapat mempermudah dalam melaksanakan action research dan menambah relevansi
Analisis manajemen..., Nuri Anggraeni, FKM UI, 2014
pengembangan jejaring. Namun ketidakterikatan Puskesmas dengan jejaring dalam kemitraan, dapat menjadi faktor penghambat angka kesembuhan TB paru karena tidak mengetahui mengenai kewajiban pelaporan penyakit menular (Prasudi & Utarini, 2005). Untuk peningkatkan kesembuhan TB paru melalui kemitraan, maka diperlukan regulasi yang baik antara pemerintah dan sektor swasta. 6. Pengawasan dan evaluasi Pertemuan rutin setiap 3 bulan dilakukan untuk mengetahui pencatatan dan pelaporan program TB paru. Dalam penyerahan pencatatan dan pelaporan terkadang ditemukan beberapa data yang lengkap terisi dan sehingga pencatatan dan pelaporan belum dapat dilaporkan. Untuk mendapatkan kelengkapan pencatatan dan pelaporan program TB paru maka koordinator program TB akan memberikan tenggang waktu kepada petugas untuk dapat melengkapi data tersebut. Saat ini pencatatan dan pelaporan program TB paru sudah menggunakan sistem informasi yang disebut sistem infomasi terpadu Tuberkulosis (SITT). Untuk memastikan data sudah terkirim, wasor tingkat Kabupaten /Kota dapat melakukan pengecekan terhadap data yang telah berhasil di kirim. Pelaksanaan supervisi dapat secara langsung untuk mengawasi kegiatan di lapangan dan menelaah secara langsung kemungkinan persoalan dan hambatan yang dihadapi petugas. Evaluasi dapat menjadi standar pengukuran keberhasilan Puskesmas dalam memperbaiki, melindungi, dan meningkatkan kesehatan masyarakat. Berdasarkan kinerja maka data yang tersedia dapat dilakukan perbandingan antara keadaan sebelum dimulainya program dengan keadaan pada periode akhir program untuk melihat adanya perbandingan (Mahmoed, 2012). Kesimpulan Uraian dan analisis yang telah dikemukan maka dapat disimpulkan pada input yaitu satu orang petugas pelaksana TB paru belum terlatih, ketersediaan laboratorium dapat membantu program TB paru dalam penemuan kasus baru TB paru, Obat untuk pengobatan TB paru sudah lengkap, jumlah persediaan cukup, tatalaksana TB dilakukan sesuai dengan kebijakan, dan SPM, dan SOP yang telah ditentukan, ketersediaan anggaran belum dapat dinilai cukup karena diperlukan analisis antara manfaat yang diperoleh dan capaian hasil, tidak ada data sasaran suspek TB paru karena tidak dilakukan pencatatan dan pelaporan. Sedangkan pada proses dapat disimpulkan bahwa kegiatan yang direncanakan adalah kegiatan rutin setiap tahun, telah dietapkan tugas dan fungsi petugas pelaksana TB, pelatihan memberikan manfaat yang besar dalam peningkatan keterampilan petugas, promosi kesehatan yang paling efektif adalah penyuluhan dengan cara edukasi, informasi dan komunikas langsung kepada pasien, pencatatan dan pelaporan program TB paru sudah menggunakan sistem infomasi dan digunakan sebagai evaluasi terhadap capaian kinerja, tetapi belum ada pencatatan dan pelaporan pada formulir suspek TB pada tahun 2011-2013 Saran Berdasarkan kesimpulan di atas maka saran untuk perbaikan capaian program yaitu mengikutsertakan petugas TB yang belum terlatih pada pelatihan berikutnya, melakukan analisis anggaran pada tahap perencanaan agar anggaran yang digunakan memiliki manfaat terhadap capaian kinerja, melakukan semua pencatatan dan pelaporan, Meningkatkan penyuluhan kepada masyarakat karena komunikasi, informasi, dan edukasi langsung dengan pasien lebih efektif dibanding dengan media informasi. Kepustakaan
Analisis manajemen..., Nuri Anggraeni, FKM UI, 2014
Adisasmito, W. (2007). Sistem Kesehatan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Azis, S., M.J.Herman, & Mun'im, A. (2005). Kemampuan Petugas Menggunakan Pedoman Evaluasi Pengelolaan Dan Pembiayaan Obat. Majalah Ilmu Kefarmasian, Vol 2 No 5 Hal 62-73. Budi, I. S., Damayanti, N. A., & Wulandari, R. D. (2012). Kontribusi Koordinasi Terhadap Penemuan Tuberkuosis Paru Di Kabupaten Madiun. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, Hal 7-11 Volume 15. Departemen Kesehatan . (2011). Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Departemen Kesehatan. (2005). Pharmaceutical Care untuk Penyakit Tuberkulosis. Jakarta: Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Departemen Kesehatan. (2006). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Departemen Kesehatan. (2010). Rencana Operasoinal Promosi Kesehatan dalam Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI Pusat Promosi Kesehatan. Departemen Kesehatan. (2011). Strategi Nasional Pengendalian TB Di Indonesia 2010-2014. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Menular dan Penehatan Lingkungan. Froniatin, S. Q. (2007). Studi Pelaksanaan Manajemen Program PenanggulanganTuberkulosis Paru Strategi DOTS Di Puskesmas Margandana Kota Tegal Tahun 2007. Skripsi. Mahmoed, A. (2012). Revitalisasi Puskesmas. Jakarta: Rajut Publishing. Manalu, H. S. (2010). Faktor-Faktor Yang Memepangaruhi Kejadian TB Paru Dan Upaya Penganggulangannya. Jurnal Ekologi Kesehatan, Vol 9 No 4 . Mayys, K. B., & Walt, G. (2014). Making Health Policy. Dipetik Juni 2014, dari www.kebijakankesehatanindonesia.net Muninjaya, A. A. (2004). Manajemen Kesehatan. Jakarta: EGC. Nofizar, D., Nawas, A., & Burhan, E. (2010). Identifikasi Faktor Risikko Tuberkulosis Multidrug Resitant (TB-MDR). Majalah Kedokteran Indonesia, Vol 60 No 12 Hal 537-545. Profil Kesehatan DKI Jakarta . (2012). Jakarta: Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta. Robbins, S. P., & Coulter, M. (2010). Manajemen. Jakarta : Erlangga. Sarwoto. (1994). Dasar-dasar Organisasi dan Manajemen. Jakarta: Ghalia Indonesia. Sjahrurachman, A. (2010). Diagnosis "Multi Drug Resistant Mycrobacterium" Tuberculosis. Jurnal Tuberkulosis Indonesia, Vol 7 . Swastha, B. (1996). Azas-Azas Manajemen Modern. Yogyakarta: Liberty. Terry, G. R., & Rue, L. W. (1992). Dasar-dasar Manajemen. Jakarta: PT Bumi Aksara. Yasmi, M. (1982). Organisasi dan Manajemen. Jakarta: PT Bina Aksara.
Analisis manajemen..., Nuri Anggraeni, FKM UI, 2014