ANALISIS KONSUMSI LUXURY FASHION DI JAKARTA DAN SEKITARNYA: FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SIKAP DAN INTENSI PEMBELIAN Fabiola Indah Puspitosari (
[email protected]) dan Elevita Yuliati (
[email protected]) Program Studi S1 Reguler, Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Abstrak : Skripsi ini membahas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi sikap konsumen di Jakarta terhadap pembelian barang-barang luxury fashion dan melihat ada atau tidaknya pengaruh dari sikap konsumen terhadap intensi pembelian barang-barang luxury fashion. Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan analisis regresi dalam program SPSS 20. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa brand consciousness, materialism, dan fashion involvement terbukti secara positif mempengaruhi sikap konsumen di Jakarta terhadap pembelian barang-barang luxury fashion. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan antara sikap terhadap pembelian barang-barang luxury fashion dengan intensi pembelian barang-barang luxury fashion. Kata Kunci : Luxury fashion, barang mewah, sikap, intensi pembelian, konsumsi Abstract : This thesis analyzes factors influencing Jakarta’s consumer attitudes towards purchasing luxury fashion goods and predicts the influence of attitudes on the intention to buy these luxury items. The data collected was processed with SPSS 20, using factor analysis and regression method. The results of this research indicates that brand consciousness, materialism, and fashion involvement proved to positively influence consumer attitudes in Jakarta towards the purchase of luxury fashion goods. The results shows that a significant relationship between attitudes toward luxury fashion goods with the purchase intention of buying luxury fashion goods.
Analisis Konsumsi..., Fabiola Indah Puspitosari, FE UI, 2013
Keywords : Luxury fashion, luxury goods, attitude, purchase intention, consumption 1. Latar Belakang Eropa dan Amerika Serikat dianggap sebagai pasar utama bagi penjualan barang luxury, namun saat ini Asia mulai diakui sebagai pasar yang berkembang dalam bidang ini. Dengan jumlah penduduk 237 juta (2010) yang diperkirakan akan mencapai lebih dari 250 juta pada tahun 2020, Indonesia tidak hanya menjadi negara terbesar di Asia Tenggara tetapi juga menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di dunia. Hal ini dilihat dari tingkat pertumbuhan tahunan yang melebihi 5% dari tujuh hingga delapan
tahun
terakhir,
sebagian
besar
dikarenakan
meningkatnya
perekonomian kelas menengah di Indonesia (Petcu, 2012). Analis Frederick Gibson dari Moody’s Analytics di Sydney dalam Sentana (2012) menyatakan, meningkatnya jumlah kelas menengah di Indonesia dianggap sebagai pemicu konsumsi barang luxury dalam jangka panjang. Berdasarkan data Bank Dunia, rata-rata pendapatan penduduk Indonesia meningkat 12.9% selama tiga tahun terakhir. Bank Dunia menyebutkan bahwa 56.5% dari 237 juta populasi Indonesia masuk kategori kelas menengah, berarti saat ini ada sekitar 134 juta warga kelas menengah di Indonesia. Terkait dengan pendapatan serta jumlah kelas menengah yang meningkat, hal tersebut mempengaruhi peningkatan pada nilai yang dibelanjakan kelas menengah, salah satunya nilai belanja untuk pakaian dan alas kaki yang mencapai Rp113,4 triliun pada tahun 2010 (Suweca, 2012). Adapun nilai ritel barang mewah yang terjual di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun 2007 - 2012. Perusahaan riset pasar Euromarket menyatakan nilai tersebut naik mendekati dua kali lipat dibandingkan tahun 2007 (Sentana, 2012). Melihat adanya indikasi positif dari pertumbuhan perekonomian Indonesia merupakan alasan banyaknya label luxury fashion dunia melakukan ekspansi ke Indonesia, khususnya Jakarta. CPP Luxury Industry Management Consultant Ltd. memperkirakan nilai luxury fashion di Indonesia sebesar US$650 juta pada tahun 2011 dan diharapkan mengalami pertumbuhan 15% pada tahun 2012 (Sentana, 2012). Ravi Thakran yang merupakan Head of
Analisis Konsumsi..., Fabiola Indah Puspitosari, FE UI, 2013
LVMH for South Asia, South East Asia, & Middle East dalam Nayak (2012) menyatakan Indonesia akan menjadi pasar luxury terbesar di Asia Tenggara untuk beberapa tahun ke depan. Terbentuknya sikap konsumen terhadap barang-barang luxury fashion yang mendorong untuk melakukan pembelian ataupun tidak dapat disebabkan dari tingkat kesadaran merek (brand consciousness) yang dimiliki seseorang, sifat materialistis (materialism), lingkungan di sekitar konsumen yang menciptakan perbandingan sosial (social comparison), inovasi fesyen (fashion innovativeness) yang terus berkembang, dan keterlibatan (fashion involvement) seseorang terhadap dunia fesyen. 2. Landasan Teori 2.1.
Luxury Fashion Goods Luxury atau kemewahan adalah obyek dari keinginan yang memberikan kenikmatan. Sebagai barang atau jasa yang tidak esensial, objek ini berkontribusi terhadap hidup mewah dengan menyediakan indulgensi atau kenyamanan di luar batas minimum yang sangat diperlukan (Wiedman, Hennigs dan Siebels, 2007 dalam Li, et.al., 2012). Luxury merupakan keinginan simbolik masyarakat yang dimiliki oleh sebuah kelas sosial yang elit (Kapferer dan Bastien, 2008 dalam Kim, 2012). Jackson (2004) mendefinisikan luxury fashion brand ditandai dengan eksklusivitas, harga premium, citra dan status, yang digabungkan untuk membuat mereka diinginkan untuk alasan lain selain fungsinya (Li, et.al., 2012). Menurut Husic (2009), umumnya luxury fashion goods memiliki harga yang mahal dan eksklusif. Konsumen lebih memilih luxury fashion goods yang memiliki nilai keunggulan pada mereknya yang berupa signature marking, simbol khusus tersebutlah yang menjadi alat komunikasi dengan makna yang tersirat di dalamnya (Thwaites dan Ferguson, 2012) karena memiliki luxury fashion goods menyampaikan status sosial individu dan nilai simbolik (Solomon, 1983 dalam Kim, 2012). Luxury fashion goods adalah pakaian, aksesoris, tas, sepatu, jam tangan, perhiasan, dan parfum yang digunakan hanya untuk memamerkan produk bermerek tertentu akan membawa prestise kepada pemilik, terlepas dari kegunaan fungsional
Analisis Konsumsi..., Fabiola Indah Puspitosari, FE UI, 2013
(Vigneron dan Johnson, 2004 dalam Gao, Norton, Zhang, Zhi-ming dan Kin-man, 2009). 2.2.
Brand Conciousness Menurut Nickels dan McHugh (2008) dalam Amaniyah (2013), brand atau merek adalah sebuah nama, simbol, atau desain (atau kombinasi dari ketiganya) yang menjadi identitas dari sebuah barang atau jasa dari satu penjual atau kelompok penjual dan menjadi pembeda dengan barang dan jasa dari kompetitornya. Menurut Gardner dan Levy (1995) dalam Caisario (2012), nama sebuah brand lebih dari sekedar label yang diberikan sebagai pembeda dengan produk manufaktur lainnya. Ini adalah simbol yang kompleks yang merepresentasikan variasi dari ide dan atribut yang dikenakan. Brand sangat baik dalam membangun suatu image yang membuat konsumen dapat mengidentifikasi apa yang spesial dan unik dibanding brand lainnya (Keller, 1998 dalam Caisario, 2012). Sedangkan
brand consciousness
atau
kesadaran
merek
didefinisikan sebagai preferensi psikologis terhadap nama brand barang yang terkenal (Sproles dan Kendall, 1986 dalam Kim, 2012). Menurut Lee (2006) dalam Amaniyah (2013), brand consciousness adalah tingkat dimana konsumen mengorientasikan pembelian produk dengan brand yang sudah cukup dikenal. Konsumen sering bingung antara harga, kualitas dan brand (Deeter-Schmel, et.al., 2000 dalam Kim, 2012) dan menggunakan brand sebagai indikator kualitas (Husic dan Cicic, 2009 dalam Kim, 2012). Hal yang dikemukakan Liebeck (2006) pada penelitian yang dilakukan oleh Rausch (2002) dalam Amaniyah (2013), bahwa di Amerika Serikat sebuah brand menjadi faktor penting dalam mempengaruhi keputusan pembelian, dengan brand yang sudah dikenal maka produk tersebut menjadi produk favorit untuk dipilih saat berbelanja. Hal ini berkaitan dengan persepsi konsumen bahwa sebuah brand yang sudah terkenal mempunyai kualitas yang baik (Amaniyah, 2013). Konsumen Asia melihat barangbarang luxury fashion sebagai simbol untuk menunjukkan status atau meningkatkan pengakuan diri mereka.
Analisis Konsumsi..., Fabiola Indah Puspitosari, FE UI, 2013
H1: Brand consciousness berpengaruh positif terhadap sikap atas pembelian barang-barang luxury fashion. 2.3.
Materialism Konsep materialisme berkaitan dengan keyakinan bahwa harta melambangkan identitas individu (Chatterjee dan Hunt, 1996 dalam Muzinicha, Pecoticha, Putrevu, 2003) dan kepentingan bahwa orang melekat pada kepemilikan benda (Richins dan Dawson, 1992 dalam Muzinicha, et.al., 2003). Menurut Rossiter dan Percy (1997) materialism adalah image yang berorientasi pada motif sosial untuk menyesuaikan
dengan
lingkungannya.
Sementara
hal
serupa
ditambahkan oleh Richin dan Dawson (1992) dalam Caisario (2012), yang mengatakan bahwa masing-masing individu percaya bahwa simbol kepemilikan bertujuan digunakan di satu sisi sebagai identitas dan juga di satu sisi sebagai objek. Materialisme mempengaruhi tujuan pribadi dan mempengaruhi gaya hidup dan perilaku (Richins dan Dawson, 1992 dalam Muzinicha, et.al., 2003). Individu yang materialistis percaya harta menyampaikan status, kesuksesan, dan prestise (Richins, 1994 dalam Rhee, 2012). Individu yang materialistis dapat dipengaruhi untuk membeli produk bermerek karena merek sukses menyampaikan makna termasuk status dan kepribadian (Richins dan Dawson, 1992 dalam Rhee, 2012) dan individu yang materialistis mungkin menginginkan individu lain mempunyai kesan sesuai dengan makna yang diinginkan. Orang yang materialistis sangat bergantung pada isyarat eksternal, mendukung harta bendanya yang dipakai atau dikonsumsi di tempat umum. Hal ini menunjukkan bahwa konsumen dengan materialistis yang kuat cenderung menggunakan pakaian untuk pengelolaan kesan (Richins, 1994),
menempatkannya
di
posisi
sentral
dalam
kehidupan,
menggunakannya untuk menyampaikan kesuksesan dan menerima kebahagiaan dari hal itu (Cass, 2001). Materialism tampaknya menjadi faktor penting dalam membuat keputusan pembelian (Heaney, 2005 dalam Gil, 2012). Sehingga, materialism dapat menjadi pengaruh
Analisis Konsumsi..., Fabiola Indah Puspitosari, FE UI, 2013
sebagai motivasi seseorang untuk mengkonsumsi. Dengan demikian, hipotesis berikut dikembangkan: H2: Materialism berpengaruh positif terhadap sikap atas pembelian barang-barang luxury fashion. 2.4.
Social Comparison Perbandingan sosial, perbandingan antara diri dan orang lain adalah mekanisme psikologis fundamental yang mempengaruhi penilaian, pengalaman, dan perilaku masyarakat. Menurut teori social comparison, individu membandingkan dirinya dengan orang lain untuk mengevaluasi diri. Ketika seorang individu tidak dapat menemukan cara obyektif atau non-social untuk menilai dirinya sendiri, dia akan menemukan cara untuk membandingkan dirinya dengan orang lain dalam rangka untuk mengevaluasi pendapat dan kemampuan dirinya (Festinger, 1954 dalam Kim, 2012). Individu dianggap lebih berpikiran duniawi jika mereka sering berinteraksi dengan rekan-rekannya dan lebih mudah dipengaruhi oleh orang lain (Achenreiner, 1997; Moschis dan Churchill, 1978 dalam Kim, 2012). Chan dan Prendergast (2007) menunjukkan bahwa rekan komunikasi, pengaruh teman sebaya bersifat normatif, motivasi untuk melihat
iklan,
perbandingan
sosial
dengan
teman-teman
dan
perbandingan sosial dengan tokoh-tokoh media, semua memiliki efek positif pada keterikatan harta duniawi (Kim, 2012). Konsumen ingin memiliki luxury goods untuk mengesankan orang lain terhadap status yang diinginkan dengan merepresentasikan luxury goods. Konsumen yang kurang kaya membeli sejumlah kecil luxury goods setiap tahun untuk dapat diterima oleh orang kaya (Husic dan Cicic, 2009 dalam Kim, 2012), karena dalam kelas sosial yang sama atau referensi sekelompok orang akan menyesuaikan diri dengan berperilaku yang tepat (Tse, 1996 dalam Kim, 2012). Dengan demikian, hipotesis berikut dikembangkan:
Analisis Konsumsi..., Fabiola Indah Puspitosari, FE UI, 2013
H3: Social Comparison berpengaruh positif terhadap sikap atas pembelian barang-barang luxury fashion. 2.5.
Fashion Innovativeness Menurut Rogers (1995), proses adopsi fashion tergantung pada dua sub-proses: imitasi dan diferensiasi (Kim, 2012). Artinya, inovator fashion terus mencoba untuk membedakan diri dari orang lain dengan mencari gaya baru dan berbeda untuk menjaga status mereka sebagai inovator, sedangkan pengikut fashion menjalankan peran imitasi (Beaudoin dan Lachance, 2006 dalam Kim, 2012). Inovator fashion memiliki pengetahuan tentang fashion dan mungkin sangat terlibat dengan fashion baru. Menurut Muzinich, et.al., (2003), fashion innovativeness sangat berkaitan dengan pemantauan diri (selfmonitoring). Dengan kata lain, inovator fashion menempatkan nilai pada penampilan mereka, perilaku, dan tata krama, dan seberapa jauh hal ini sesuai dengan situasi sosial. Ketika melihat lebih dekat pada proses pembuatan keputusan konsumsi fashion, Muzinich et al. (2003) menemukan bahwa beberapa isyarat ekstrinsik seperti brand secara signifikan berhubungan dengan fashion innovativeness (Kim, 2012). Oleh karena itu, adalah mungkin untuk mengasumsikan bahwa ada hubungan positif antara inovasi fashion dan sikap konsumen terhadap pembelian barang-barang luxury fashion. Dengan demikian, hipotesis berikut dikembangkan: H4: Fashion Innovativeness berpengaruh positif terhadap sikap atas pembelian barang-barang luxury fashion.
2.6.
Fashion Involvement Durgee (1986) mendefinisikan fashion involvement sebagai relevansi individu yang dirasakan terhadap fashion atas dasar kebutuhan bawaan individu, nilai-nilai (values), dan ketertarikan (interest) (Kim, 2012). Menurut Tigert, Ring dan King (1976), fashion involvement terdiri dari lima dimensi adopsi fashion terhadap perilaku yang berhubungan dengan: (1) Inovasi fashion dan waktu pembelian,
Analisis Konsumsi..., Fabiola Indah Puspitosari, FE UI, 2013
(2) komunikasi interpersonal fashion, (3) ketertarikan fashion, (4) pengetahuan fashion, dan (5) kesadaran fashion dan reaksi terhadap tren fashion yang berubah (Kim, 2012). Artinya, dibandingkan dengan konsumen yang kurang terlibat dengan fashion, konsumen yang lebih terlibat dengan fashion cenderung lebih awal mengadopsi dan bereksperimen, sangat komunikatif dan mempunyai pengaruh untuk menyampaikan informasi mengenai fashion, sangat tertarik pada fashion, relatif berpengetahuan tentang fashion, gaya, dan mengikuti tren, dan aktif memantau tren fashion. Keinginan
konsumen
terhadap
barang
prestise
sangat
tergantung pada tingkat keterlibatannya (Deeter-Schmelz, et.al., 2000 dalam Kim, 2012). Konsep keterlibatan memainkan peran penting dalam menjelaskan perilaku konsumen seperti pembentukan sikap (Summers, et.al., 2006 dalam Kim, 2012). Shim et.al., (1989) menunjukkan bahwa sikap konsumen terhadap pakaian dalam negeri dan impor sangat dipengaruhi oleh tingkat keterlibatan (Kim, 2012). Berdasarkan penelitian sebelumnya, hipotesis berikut dikembangkan: H5: Fashion involvement berpengaruh positif terhadap sikap atas pembelian barang-barang luxury fashion. 2.7.
Attitude Towards Purchasing Luxury Fashion Goods dan Purchase Intention Sikap terhadap luxury brand adalah kecenderungan untuk menanggapi luxury brand dengan cara tertentu (Katz, 1960; Rosenberg, 1960; Tsai, 2005 dalam Bian, 2012). Sikap terhadap luxury brand mengkomunikasikan keyakinan pusat (Katz, 1960; Wilcox et al, 2009 dalam Bian, 2012), sehingga memotivasi individu untuk mengkonsumsi luxury brand untuk mengekspresikan karakteristik individu mereka (Snyder dan DeBono, 1985; Wilcox et al, 2009 dalam Bian, 2012). Sedangkan, purchase intention atau intensi pembelian adalah kombinasi dari minat di dalam diri konsumen dan kemungkinan untuk membeli produk. Sebagai hasil dari banyak penelitian, hal tersebut sangat berkaitan dengan sikap dan preferensi terhadap suatu
Analisis Konsumsi..., Fabiola Indah Puspitosari, FE UI, 2013
brand
atau
produk
sehingga
mengukur
purchase
intention
mengasumsikan perilaku masa depan konsumen berdasarkan sikap mereka (Kim, Kim dan Johnson, 2010; Kim dan Ko, 2010b, Kim dan Lee, 2009; Lloyd dan Luk, 2010 dalam Kim, 2012). Purchase intention adalah variabel untuk mengukur sikap pelanggan di masa depan untuk berkontribusi terhadap suatu brand. Menurut Morrison (1979) dalam Amaniyah (2013), purchase intention merupakan sesuatu yang mampu menentukan dan membuat konsumen melakukan pembelian. Penelitian yang ada menegaskan bahwa sikap presentasi diri konsumen meningkatkan purchase intention mereka terhadap luxury brand sebagai simbol kemakmuran dan status sosial (Park, Rabolt dan Jeon, 2008 dalam Bian, 2012) dan bahwa konsumen yang memiliki sikap presentasi diri yang kuat membeli luxury brand untuk nilai simbolis mereka (Park dan Young, 1986; Van Kempen, 2004 dalam Bian, 2012). Niat terhadap perilaku diperkirakan oleh sikap (Fishbein dan Ajzen, 1975 dalam Bian, 2012), karena sikap (sikap ekspresi diri dan sikap presentasi diri) terhadap luxury brand diharapkan dapat memprediksi purchase intention untuk luxury brand. Dengan demikian, hipotesis berikut dikembangkan: H6: Sikap terhadap pembelian barang-barang luxury fashion berpengaruh positif terhadap purchase intention atas barang-barang luxury fashion. Berikut ini adalah gambar model penelitian yang digunakan di dalam penelitian ini:
Analisis Konsumsi..., Fabiola Indah Puspitosari, FE UI, 2013
Gambar 3.1. Model Dasar Penelitian Bopeng Zhang & Jung-Hwan Kim (2012 Sumber : Bopeng Zhang, Jung-Hwan Kim. “Luxury fashion consumption in China: Factors affecting attitude and purchase intent.” (2012)
)
3. Metode Penelitian Pelaksanaan awal penelitian dilakukan peneliti dengan melakukan pilot study terlebih dahulu. Kuesioner pilot study disebar kepada 50 responden dengan range usia 19 – 50 tahun yang berdomisili di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Penelitian dilakukan dengan memberikan daftar yang terdiri dari lima kategori barang yang termasuk barang-barang luxury fashion, yaitu: pakaian, sepatu, tas, jam tangan, dan parfum. Peneliti melakukan analisis dengan distribusi frekuensi. Brand yang paling banyak disebutkan oleh responden dari setiap kategori barang-barang luxury fashion dimasukkan ke dalam kuesioner inti sebagai contoh dari luxury fashion brand. Setelah melakukan penyusunan kuesioner inti, penelitian dilakukan dengan metode survey dengan menyebarkan kuesioner kepada responden berusia 19 – 50 tahun yang berdomisili di wilayah Jakarta dan sekitarnya, tidak membeli barang-barang luxury fashion yang asli selama satu tahun terakhir. Dari penyebaran yang dilakukan, peneliti berhasil mengumpulkan data 170 responden dari 200 kuesioner yang disebar, dimana terdapat 30
Analisis Konsumsi..., Fabiola Indah Puspitosari, FE UI, 2013
kuesioner yang tidak dimasukkan karena responden tersebut tidak memenuhi karakteristik responden yang menjadi target penelitian ini. Sebelum melakukan pengumpulan data, peneliti melakukan pre-test terlebih dahulu pada akhir bulan Mei 2013 untuk menguji reliabilitas dan validitas dari pertanyaan yang digunakan. Pretest dilakukan dengan menyebar kuesioner kepada 30 orang responden. Tabel 1. Hasil Uji Reliabilitas Variabel Brand Consciousness
Nilai Cronbach's Alpha
Keterangan
0.788
Reliabel
Materialism
0.892
Reliabel
Social Comparison Fashion Innovativeness
0.83
Reliabel
0.911
Reliabel
Fashion Involvement
0.866
Reliabel
Attitude
0.887
Reliabel
Purchase Intention
0.858
Reliabel
Sumber: Output SPSS hasil olahan peneliti
Berdasarkan hasil pengujian realibilitas pada Tabel 1. di atas dengan melihat cronbach’s alpha, semua variabel memiliki nilai cronbach’s alpha di atas 0,6. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh variabel penelitian kuesioner tersebut memiliki tingkat reliabilitas yang baik dan dapat digunakan dalam penelitian ini. Tabel 2. Hasil Uji KMO Measure of Sampling Adequacy Variabel Brand Consciousness Materialism Social Comparison Fashion Innovativeness Fashion Involvement Attitude Purchase Intention
Nilai KMO 0.848 0.911 0.682 0.866 0.909 0.774 0.500
Keterangan Analisis dapat dilanjutkan Analisis dapat dilanjutkan Analisis dapat dilanjutkan Analisis dapat dilanjutkan Analisis dapat dilanjutkan Analisis dapat dilanjutkan Analisis dapat dilanjutkan
Sumber: Output SPSS hasil olahan peneliti
Analisis Konsumsi..., Fabiola Indah Puspitosari, FE UI, 2013
Tabel 2. Di atas menunjukkan seluruh variabel memiliki nilai KMO di atas 0,5 yang berarti memenuhi persyaratan minimalnya. Dengan demikian, seluruh item pertanyaan yang diikutsertakan pada pengujian ini layak diproses lebih lanjut. Untuk mengukur validitas dari setiap item pertanyaan pada variabel, peneliti melihat dari nilai factor loading yang terdapat pada tabel component matrix. Seluruh item pertanyaan dari variabel social comparison, fashion innovativeness, attitude, dan purchase intention menunjukkan ngka positif di atas 0,5. Artinya item-item pertanyaan tersebut dinyatakan valid dan memiliki korelasi positif yang kuat terhadap variabelnya, sehingga dapat diproses lebih lanjut. Sedangkan, item-item pertanyaan dari variabel brand consciousness, materialism, dan fashion involvement memiliki nilai factor loading di bawah 0,5. Agar item-item pertanyaan lainnya pada ketiga variabel dapat diproses lebih lanjut, item-item pertanyaan dengan nilai di bawah 0,5 dihapus satu per satu. Untuk variabel brand consciousness terdapat dua item pertanyaan yang dihapus, yaitu item pertanyaan B1 dan B7. Sedangkan, variabel materialism terdapat tiga item pertanyaan yang dihapus, yaitu item pertanyaan C2, C11, dan C14. Untuk variabel fashion involvement terdapat enam item pertanyaan yang dihapus, yaitu item pertanyaan F9, F11, F12, F13, F14, dan F15. 4. Temuan dan Diskusi Setelah melakukan pengujian reliabilitas dan validitas, peneliti kemudian melakukan analisis regresi untuk mengukur variabel-variabel brand consciousness, materialism, social comparison, fashion innovativeness, dan fashion involvement terhadap variabel attitude. Metode analisis regresi yang digunakan adalah analisis regresi berganda dan analisis regresi sederhana. analisis regresi berganda dilakukan untuk melihat pengaruh dari variabelvariabel brand consciousness, materialism, social comparison, fashion innovativeness, fashion involvement terhadap variabel attitude. Dari hasil analisis regresi berganda ditemukan tiga variabel yang secara signifikan dapat mempengaruhi attitude. . Ketiga variabel tersebut adalah brand consciousness, materialism, dan fashion involvement, karena ketiga variabel tersebut
Analisis Konsumsi..., Fabiola Indah Puspitosari, FE UI, 2013
memiliki signifikansi di bawah 0,05. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3. Coefficients (Multiple Regression) berikut ini: Tabel 3. Coefficientsa (Multiple Regression) Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients Model t B Std. Error Beta 1 (Constant) .025 .063 .397 Factor Score Brand .154 .077 .155 1.992 Conciousness, Factor Score .291 .081 .292 3.596 Materialism, Factor Score Social .079 .084 .079 .934 Comparison, Factor Score Fashion -.041 .099 -.041 -.408 Innovativeness, Factor Score Fashion .245 .101 .245 2.428 Involvementb a. Dependent Variable: Factor score attitude
Sig. .692 .048 .000 .352 .684 .016
Sumber: Output SPSS hasil olahan peneliti
Selanjutnya, analisis regresi sederhana dilakukan untuk melihat pengaruh dari variabel attitude terhadap Purchase Intention. Dari hasil analisis regresi sederhana bahwa attitude secara signifikan dapat mempengaruhi purchase intention karena nilai signifikansi attitude adalah 0,000 dimana nilai tersebut berada di bawah 0,05 sehingga dianggap signifikan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4. berikut ini:
Model
Tabel 4.19. Coefficientsa (Simple Regression) Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients t Std. B Beta Error -.019 .051 -.368
(Constant) 1Factor score .751 .051 .749 14.639 attitude a. Dependent Variable: REGR factor score 1 for analysis 1 Sumber: Output SPSS hasil olahan peneliti
Analisis Konsumsi..., Fabiola Indah Puspitosari, FE UI, 2013
Sig.
.713 .000
5. Kesimpulan dan Implikasi Manajerial Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa yang mempengaruhi attitude atau sikap konsumen terhadap pembelian barang-barang luxury fashion, adalah brand consciousness, materialism, dan fashion involvement, sedangkan social comparison dan fashion innovativeness tidak berpengaruh terhadap attitude atau sikap terhadap pembelian barang-barang luxury fashion. Hal ini berarti konsumen tidak terlalu memperhatikan gaya busana orang lain dan kurang mengikuti tren fashion karena lebih memilih berpakaian untuk kenyamanan. Attitude atau sikap terhadap pembelian barang-barang luxury fashion terbukti berpengaruh terhadap purchase intention atau intensi pembelian barang-barang luxury fashion. Hal ini berarti faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap terhadap pembelian barang-barang luxury fashion harus mendapat perhatian. Oleh karena itu, peneliti akan mencoba memberikan beberapa saran manajerial terkait dengan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, yaitu : a. Materialism terbukti berpengaruh positif terhadap attitude atau sikap terhadap pembelian barang-barang luxury fashion. Materialistis dapat menjadi pengaruh sebagai motivasi seseorang untuk mengkonsumsi. Dengan demikian, konsumen dengan sifat materialistis yang kuat cenderung menggunakan harta benda yang dipakai untuk membuat kesan. Konsumen dengan materialistis yang kuat merasa senang dengan membuat orang lain terkesan dengan memiliki harta benda yang lebih bagus. Sehingga, merek-merek luxury fashion dapat terus mengeluarkan koleksi limited edition secara berkala karena barang-barang limited edition merupakan suatu hal yang membuat orang lain terkesan. Hal ini akan menarik perhatian konsumen yang memiliki sifat materialistis. b. Fashion involvement terbukti berpengaruh positif terhadap attitude atau sikap terhadap pembelian barang-barang luxury fashion. Dibandingkan dengan konsumen yang kurang terlibat dengan fashion, konsumen yang lebih terlibat dengan fashion cenderung lebih awal mengetahui informasi tentang fashion, sangat komunikatif dan tertarik dengan fashion, relatif berpengetahuan tentang fashion, mengikuti tren dan aktif memantau tren fashion. Konsumen dengan tingkat keterlibatan fashion yang tinggi
Analisis Konsumsi..., Fabiola Indah Puspitosari, FE UI, 2013
menganggap barang-barang fashion merupakan suatu hal yang penting dan akan memberikan effort lebih untuk mendapat informasi tentang barangbarang tersebut. Oleh karena itu untuk menarik perhatian konsumen dengan fashion involvement yang tinggi, merek-merek luxury fashion lebih memaksimalkan dalam memberikan informasi terhadap pelanggan, misalnya dengan tampilan website yang lebih dimengerti sehingga memudahkan pelanggan dalam mencari informasi dan membuat tampilan website yang menarik sesuai dengan image dari brand tersebut. Selain itu, merek-merek luxury fashion dapat mengadakan event rutin seperti fashion show atau acara launching barang-barang fashion terbaru agar mengikuti perkembangan tren yang ada. Merek-merek luxury fashion dapat bekerja sama dengan fashion blogger untuk membahas barang-barang fashion terbaru dari suatu merek fashion agar lebih dikenal. c. Brand consciousness terbukti berpengaruh positif terhadap attitude atau sikap terhadap pembelian barang-barang luxury fashion. Konsumen dengan brand consciousness yang tinggi akan mengorientasikan pembelian produk dengan nama brand yang terkenal. Brand consciousness merupakan faktor yang berpengaruh besar pada konsumsi, harga yang lebih tinggi dapat membuat produk tampak lebih menarik bagi konsumen yang membeli produk sebagai symbol status. Oleh karena itu, sebaiknya untuk barang-barang luxury fashion tidak melakukan promosi dengan cara memberikan
diskon
atau
menurunkan
harga
karena
konsumen
menganggap semakin tinggi harga suatu produk semakin baik kualitasnya. Jadi, untuk pemasar luxury fashion tetap menonjolkan ciri khas dari merek luxury fashion dengan mempertahankan image mewah dan lebih mengkomunikasikan mereknya dengan media iklan yang tepat, salah satunya seperti di majalah-majalah fashion yang high end. Referensi Amaniyah, K. (2013, January 9). Pengaruh variabel personal, sosial budaya, dan pemasaran terhadap sikap serta intensi pembelian produk body lotion khusus pria. Skripsi. Depok, Jawa Barat, Indonesia: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Analisis Konsumsi..., Fabiola Indah Puspitosari, FE UI, 2013
Bian, Q. S. F. (2012). Purchase intention for luxury brands: A cross-cultural comparison. Journal of Business Research. Bloomberg.com: Retrieved May 28, 2013, http://www.bloomberg.com/news/201305-20/louis-vuitton-loses-ground-as-world-s-most-valuable-luxury-brand.html Caisario, A. L. (2012, June 28). Analisis Pengaruh Attitude Towards Behavior dalam Pembelian Luxury Brands terhadap Customer Equity (Studi Kasus Pembelian Tas Louis Vuitton). Skripsi. Depok, Jawa Barat, Indonesia: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Cass, A. O. (2001). Consumer Self-monitoring, Materialism and Involvement in Fashion Clothing. Australasian Marketing Journal. Gao, L., Norton, M. J.T., Zhang, Zhi-ming, & Chester Kin-man. (2009). Potential niche markets for luxury fashion goods in China. Journal of Fashion Marketing and Management. Gil, L.A., K.-N. K. (2012). Impact of self on attitudes toward luxury brands among teens. Journal of Business Research. Jiyoung, J. K. H. (2012). The role of emotional aspects in younger consumer-brand relationships. Journal of Product and Brand Management. Kim, A. J. (2012). Do social media marketing activities enhance customer equity? An empirical study of luxury fashion brand. Journal of Business Research.
Kim, H. (2012). The dimensionality of fashion-brand experience: Aligning consumerbased brand equity approach. Journal of Fashion Marketing and Management. Li, G., Guofeng., L., & Kambele, Z., (2012). Luxury fashion brand consumers in China: Perceived value, fashion lifestyle, and willingnes to pay. Journal of Business Research. Malhotra, N. K. (2010). Marketing Research: An Applied Orientation, 6/E. Prentice Hall. Muzinicha, N., Pecoticha, A., & Putrevu, S. (2003). A model of the antecedents and consequents of female fashion innovativeness. Journal of Retailing and Consumer Services. Nayak, S. (2012, March 1). Indonesia to Be Largest Luxury Market in SE Asia:
Analisis Konsumsi..., Fabiola Indah Puspitosari, FE UI, 2013
LVMH. Retrieved May 11, http://www.cnbc.com/id/46583892
2013,
from
www.CNBC.com:
Petcu, O. (2012, June 24). The huge potential of Indonesia's luxury market (part 1). Retrieved May 11, 2013, from www.cpp-luxury.com: http://www.cppluxury.com/the-huge-potential-of-indonesias-luxury-market/
Rhee, K. K. J. (2012). Predicting adolescents' apparel brand preference. Journal of Product & Brand Management. Sentana, M. (2012, October 11). Indonesia Lures More Luxury Brands. Retrieved May 21, 2013, from CPP-LUXURY.COM: http://www.cppluxury.com/indonesia-lures-more-luxury-brands/ Sentana, M. (2012, October 11). Lebih banyak Hermes dan Gucci di Indonesia. Retrieved May 11, 2013, from www.indo.wsj.com: http://indo.wsj.com/posts/2012/10/11/lebih-banyak-hermes-dan-gucci-diindonesia/ Shukla, P. & Purani, K. (2012). Comparing the importance of luxury value perceptions in cross-national contexts. Journal of Business Research. Suweca, I. K. (2012, January 17). Kelas Menengah dan Perilaku Konsumtif. Retrieved May 11, 2013, from www.ekonomi.kompasiana.com: http://ekonomi.kompasiana.com/bisnis/2012/01/17/kelas-menengah-danperilaku-konsumtif-428023.html
Zhang, B. & Kim, J. (2012). Luxury fashion consumption in China: Factors affecting attitude and purchase intent. Journal Retailing and Consumer Services.
Analisis Konsumsi..., Fabiola Indah Puspitosari, FE UI, 2013