ANALISIS KONSUMSI DAN POLA PENYEDIAAN PANGAN KELUARGA NELAYAN DI DESA GROGOL, KECAMATAN GUNUNG JATI, KABUPATEN CIREBON
Oleh: Ahmad Wahyudin
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
ANALISIS KONSUMSI DAN POLA PENYEDIAAN PANGAN KELUARGA NELAYAN DI DESA GROGOL, KECAMATAN GUNUNG JATI, KABUPATEN CIREBON
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh: Ahmad Wahyudin
PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
LEMBAR PENGESAHAN Judul
: Analisis Konsumsi dan Pola Penyediaan Pangan Keluarga Nelayan di Desa Grogol, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon Nama Lengkap : Ahmad Wahyudin NRP
: A54103075
Program Studi : Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga
Bogor,
2008 Menyetujui,
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc NIP 131 669 952
Ir. Yayat heryatno, MPS NIP 132 146 239
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian,
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta, tanggal 7 Juni 1986 dari pasangan Bapak. H. Abdul Latief, S.Ag dan Ibu E. Rusmini. Penulis adalah anak pertama dari empat bersaudara. Penulis lulus Sekolah Dasar Negeri 01, Duri Kepa pada tahun 1997. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan sekolah di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 191, Duri Kepa. Setelah lulus SLTP pada tahun 2000, penulis kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Umum Negeri 16 Jakarta dan lulus tiga tahun kemudian. Pada tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan di program studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, IPB.
Penulis diterima di IPB melalui jalur Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama kuliah penulis aktif di beberapa organisasi dan kepanitiaan intra kampus, diantaranya Forum Komunikasi Rohis Departemen Fakultas Pertanian, Forum Keluarga Musholla GMSK (FKMG) pada periode 2004/2005 dan periode 2005/2006, Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Gizi Pertanian (Himagita) sebagai staf pengembangan sumberdaya manusia (PSDM) pada periode 2004/2005, anggota Bina Desa GMSK periode 2005/2006, dan anggota GMSK English Club (GEC) periode 2005/2006. Selain itu, penulis juga pernah aktif dalam berbagai kepanitiaan acara-acara intra kampus, diantaranya kepanitiaan MPKMB 41 dan MPF Pertanian 41, keduanya pada tahun 2004 dan bertindak sebagai pendamping kelompok, musyawarah nasional Ikatan Senat Mahasiswa Pertanian Indonesia (ISMPI) tahun 2004, Food and Nutrition Competition tahun 2004 dan 2005 masing-masing sebagai staf logtrans dan wakil ketua, serta Seminar Gaya Hidup Sehat dan Menarik tahun 2007 sebagai ketua panitia.
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat yang diberikan kepada penulis termasuk salah satunya dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Analisis Konsumsi dan Pola Penyediaan Pangan Keluarga Nelayan di Desa Grogol, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon”. Terima kasih penulis sampaikan kepada : 1. Ayahanda, Ustadz. H. Abdul Latief, S.Ag dan Ibunda, E. Rusmini, serta adikadikku yang kucintai, Eneng, Wardah, Siti, Herman, keponakanku Zaenal, 2. Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc dan Ir. Yayat Heryatno, MPS atas bimbingan dan arahan selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini, 3. Dr. Ir. Yayuk Baliwati, MS sebagai dosen pembimbing akademik, 4. Dr. Ir. Dadang Sukandar, MSc atas kesediaannya hadir dan memberikan kritik dan saran kepada penulis pada sidang skripsi penulis, 5. Dr. Ir. Retnaningsih, MS atas kesediaannya meluangkan waktu untuk memandu seminar hasil penelitian penulis, 6. Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS sebagai peneliti utama kegiatan penelitian “Analisis Determinan dan Indikator Kelaparan di Kabupaten Cirebon”, 7. Seluruh dosen serta staf departemen Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga atas ilmu dan pelayanan yang diberikan, 8. Keluarga besar (Alm) Ahim di Leuwiliang, Kabupaten Bogor dan Keluarga besar Bpk. Casmita di Buah Batu, Bandung, 9. Seluruh enumerator di Desa Grogol (Dian, Putri, Jowie, dan Ira) dan Desa Mertasinga (Ida, Dewi, dan Tiches) atas bantuannya dalam mengumpulkan data, 10. Bambang, Kuswan, Aris, Andi, Sendi, Dhika, Irul, Maning, Sanya, Anna, Dewi, , Asti, serta teman-teman GMSK 40 lainnya, teman-teman di FK-UIN (Tuti, dkk), teman-teman di ponpes Nurul Huda Leuwiliang, pondok AlIkhwan, dan pondok Savana, dan seluruh pihak yang telah membantu penulis baik langsung maupun tidak langsung, baik material maupun spiritual. Semoga
skripsi
ini
dapat
berguna
bagi
semua
pihak
yang
membutuhkannya.
Bogor, Agustus 2008 Penulis
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL.............................................................................................. viii DAFTAR GAMBAR .........................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................
xii
PENDAHULUAN .............................................................................................
1
Latar Belakang ......................................................................................
1
Perumusan Masalah..............................................................................
5
Tujuan Penelitian...................................................................................
6
Manfaat Penelitian.................................................................................
6
TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................................
7
Ketahanan Pangan................................................................................
7
Konsep Ketahanan pangan ...........................................................
7
Konsumsi sebagai Subsistem Ketahanan Pangan........................
10
Pola Penyediaan Pangan ..............................................................
11
Nelayan .................................................................................................
12
KERANGKA PEMIKIRAN................................................................................
17
METODE PENELITIAN ...................................................................................
19
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian .................................................
19
Populasi dan Sampel Penelitian ............................................................
19
Jenis dan Cara Pengambilan Data ........................................................
19
Pengolahan dan Analisis Data ..............................................................
20
Definisi Operasional ..............................................................................
22
HASIL DAN PEMBAHASAN ...........................................................................
24
Kondisi Umum Lokasi Penelitian ...........................................................
24
Kondisi Geografis dan Klimatologis ...............................................
24
Keadaan Sosial, Ekonomi, dan Demografi ....................................
26
Karakteristik Demografi Keluarga Contoh .............................................
27
Besar Keluarga ..............................................................................
27
Usia KK dan Istri ............................................................................
28
Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Contoh .....................................
29
Tingkat Pendidikan KK dan Istri.....................................................
29
Tingkat dan Alokasi Pengeluaran Keluarga Contoh ......................
29
Kepemilikan Aset ...........................................................................
32
Konsumsi Pangan Keluarga ..................................................................
33
Penilaian Keragaman Konsumsi Pangan ..............................................
35
Kontribusi Energi dan Protein Beberapa Kelompok Pangan .........
35
Pola Pangan Harapan ...................................................................
37
Pola Penyediaan Pangan ......................................................................
45
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Konsumsi Pangan................
51
Pengeluaran ..................................................................................
51
Besar Keluarga ..............................................................................
52
Usia KK dan Istri ............................................................................
53
Tingkat Pendidikan KK dan Istri.....................................................
56
Pembahasan Umum ..............................................................................
58
KESIMPULAN DAN SARAN ...........................................................................
62
Kesimpulan.............................................................................................
62
Saran ......................................................................................................
63
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................
64
DAFTAR TABEL Tabel 1
Persentase balita menurut status gizi di Indonesia pada tahun 2005
9
Tabel 2
Variabel penelitian dan parameternya .............................................
23
Tabel 3
Pembagian pemanfaatan lahan di desa Grogol, kecamatan Gunung Jati ...................................................................................................
25
Tabel 4
Sebaran keluarga berdasarkan jumlah anggota keluarga ...............
28
Tabel 5
Sebaran keluarga berdasarkan usia KK dan Istri ............................
28
Tabel 6
Sebaran keluarga menurut tingkat pendidikan KK dan Istri.............
29
Tabel 7
Sebaran keluarga berdasarkan pengeluaran per kapita per bulan..
29
Tabel 8
Sebaran keluarga menurut tingkat pengeluaran dan kesejahteraan
30
Tabel 9
Persentase setiap jenis pengeluaran terhadap total pengeluaran per kapita per hari ..................................................................................
31
Tabel 10 Sebaran keluarga berdasarkan kepemilikan aset............................
33
Tabel 11 Tingkat konsumsi pangan keluarga .................................................
34
Tabel 12 Sebaran keluarga berdasarkan tingkat konsumsi energi.................
34
Tabel 13 Sebaran keluarga berdasarkan tingkat konsumsi protein................
34
Tabel 14 Kontribusi rata-rata setiap kelompok pangan terhadap konsumsi energi aktual per kapita per hari ......................................................
35
Tabel 15 Kontribusi setiap kelompok pangan terhadap konsumsi energi per kapita per hari dan harapan.............................................................
36
Tabel 16 Kontribusi setiap kelompok pangan terhadap konsumsi protein per kapita per hari ..................................................................................
37
Tabel 17 Skor PPH konsumsi pangan seluruh keluarga contoh ....................
38
Tabel 18 Skor PPH konsumsi pangan keluarga miskin..................................
38
Tabel 19 Skor PPH konsumsi pangan keluarga tidak miskin .........................
39
Tabel 20 Sebaran keluarga berdasarkan cara penyediaan beberapa jenis pangan.............................................................................................
47
Tabel 21 Sebaran keluarga berdasarkan frekuensi pembelian beberapa jenis pangan.............................................................................................
48
Tabel 22 Sebaran keluarga menurut pengeluaran per kapita per bulan dengan tingkat konsumsi energi ...................................................................
51
Tabel 23 Sebaran keluarga menurut pengeluaran per kapita per bulan dengan tingkat konsumsi protein ..................................................................
52
Tabel 24 Sebaran keluarga berdasarkan besar keluarga, tingkat kemiskinan, dan tingkat konsumsi energi ............................................................
52
Tabel 25 Sebaran keluarga berdasarkan besar keluarga, tingkat kemiskinan, dan tingkat konsumsi protein per kapita per hari .............................
53
Tabel 26 Sebaran keluarga berdasarkan kategori usia kepala keluarga, tingkat kemiskinan, dan tingkat konsumsi energi per kapita per hari ..........
54
Tabel 27 Sebaran keluarga berdasarkan kategori usia kepala keluarga, tingkat kemiskinan, dan tingkat konsumsi protein per kapita per hari .........
54
Tabel 28 Sebaran keluarga berdasarkan kategori usia istri, tingkat kemiskinan, dan tingkat konsumsi energi per kapita per hari ..............................
55
Tabel 29 Sebaran keluarga berdasarkan kategori usia istri, tingkat kemiskinan, dan tingkat konsumsi protein per kapita per hari .............................
55
Tabel 30 Sebaran keluarga berdasarkan kategori tingkat pendidikan kepala keluarga, tingkat kemiskinan, dan tingkat konsumsi energi per kapita per hari ..................................................................................
56
Tabel 31 Sebaran keluarga berdasarkan kategori tingkat pendidikan kepala keluarga, tingkat kemiskinan, dan tingkat konsumsi protein per kapita per hari ..................................................................................
57
Tabel 32 Sebaran keluarga berdasarkan kategori tingkat pendidikan istri, tingkat kemiskinan, dan tingkat konsumsi energi per kapita per hari ..........
57
Tabel 33 Sebaran keluarga berdasarkan kategori tingkat pendidikan istri, tingkat kemiskinan, dan tingkat konsumsi protein per kapita per hari .........
57
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian “Analisis Konsumsi Pangan Keluarga Nelayan di Desa Grogol, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon”.......................................................................
20
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Daftar mata pencaharian penduduk dan jumlah orang yang menggelutinya ............................................................................
68
Lampiran 2 Kuesioner Penelitian ...................................................................
69
Lampiran 2 Hasil Uji Korelasi Pearson ..........................................................
76
Lampiran 3 Hasil Uji ANOVA .........................................................................
77
ANALISIS KONSUMSI DAN POLA PENYEDIAAN PANGAN KELUARGA NELAYAN DI DESA GROGOL, KECAMATAN GUNUNG JATI, KABUPATEN CIREBON
Analysis of Consumption and Food Supply Pattern of Fishermen Family in Grogol Village, Gunung Jati Sub-District, Cirebon District Ahmad Wahyudin1) Hartoyo2) Yayat Heryatno3) Abstract High price of fuel and life necessities give impact to high operational cost of fishermen. Due to this situation, fishermen obtain low income so that they face difficulty to fulfill their necessities, including food. The general objective of this research was to analyze and to study the food security situation in fishermen family. The particular objectives of the research were: (1) to identify demographic and social economic characteristics of fishermen family, (2) to analyze fishermen family’s food consumption, (3) to analyze fishermen family’s food supply pattern, (4) to analyze the correlation between fishermen family’s characteristics and food consumption. The research using cross sectional study design was conducted in Grogol Village, Gunung Jati Sub-District, Cirebon District from June to July 2007. The samples were 34 fishermen families classified in pra sejahtera and sejahtera I categories chosen by random sampling. The result shows that the samples are in moderate size of family with breadwinners and wives are young adult and not educated. More than half samples have expenditure above the poverty line. The energy consumption level of sample is lower than its Recommended Dietary Allowance (RDA). On the contrary, the protein consumption level exceeds its RDA. The score of Desirable Dietary Pattern is 73.1 which only two groups of food reach maximum score, they are crops and oil and fat groups. Almost all foods are provided from purchasing, except fresh fish and salty fish. Foods provided daily are rice, vegetable oil, and lump sugar. Foods provided weekly are noodle, chicken egg, tempe, tofu, and some vegetables and fruits. Pearson Correlation Test shows that there is significant correlation between energy consumption level and expenditure (r=0.530; p=0.001) and between age of wife and energy consumption level of sample (r=0.396; p=0.020). ANOVA Test shows no significant difference among all categories of variable, except categories of expenditure variable (sig=0.023).
Keywords: consumption, food supply pattern, fisherman
RINGKASAN Ahmad Wahyudin. Analisis Konsumsi dan Pola Penyediaan Pangan Keluarga Nelayan di Desa Grogol, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon. (Di bawah bimbingan Hartoyo dan Yayat Heryatno) Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mengkaji kondisi ketahanan pangan keluarga nelayan. Adapun tujuan khususnya adalah: (1) mengidentifikasi karakteristik demografi dan sosial ekonomi keluarga nelayan; (2) Menganalisis konsumsi pangan keluarga nelayan; (3) menganalisis pola penyediaan pangan keluarga nelayan; (4) Menganalisis hubungan antara karakteristik keluarga nelayan dengan konsumsi pangannya. Desain penelitian ini adalah cross-sectional study. Penelitian ini dilaksanakan di desa Grogol, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Contoh penelitian ini adalah 34 keluarga nelayan yang tergolong keluarga pra sejahtera atau keluarga sejahtera I yang dipilih secara acak. Proses pengambilan data berlangsung dari pertengahan Juni hingga awal Juli 2007. Jenis data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer (data karakteristik demografi keluarga, pengeluaran pangan dan non-pangan, kepemilikan aset keluarga, konsumsi dan pola penyediaan pangan keluarga) diperoleh dengan wawancara terstruktur menggunakan kuesioner. Data sekunder yang mencakup data umum wilayah, demografi penduduk dikumpulkan dari kantor desa. Data diedit dan diberi kode. Pengolahan data dilakukan secara deskiptif dan inferensia. Pengolahan inferensia yang dilakukan adalah korelasi Pearson dan ANOVA. Uji korelasi dilakukan untuk melihat hubungan antar variabel (besar keluarga, usia kepala keluarga/istri, tingkat pendidikan kepala keluarga/istri, dan tingkat pengeluaran per kapita per bulan) dengan rata-rata konsumsi energi dan protein per kapita per hari, sedangkan uji Anova dan Tukey’s digunakan untuk melihat ada tidaknya perbedaan antar kategori setiap variabel penelitian. Seluruh proses tersebut dilakukan dengan bantuan software Microsoft Excel dan SPSS versi 12.0 for windows. Secara umum keluarga contoh penelitian ini tergolong keluarga berukuran sedang (4-6 jiwa), yaitu dengan rata-rata 4.6 jiwa. Rata-rata usia kepala keluarga sebesar 40.2 tahun dan lebih dari separuhnya (55.9%) berusia antara 20-40 tahun, sedangkan rata-rata usia istri adalah 36.2 tahun dan sebagian besarnya (64.7%) juga berusia antara 20-40 tahun. Proporsi terbesar kepala keluarga (47.1%) dan istri (41.2%) berpendidikan tidak sekolah. Sebagian besar (85.3%) keluarga memiliki pengeluaran per kapita per bulan di atas garis kemiskinan (Rp. 146 837.00). Rata-rata pengeluaran per kapita per bulan sebesar Rp. 262 753.78 (± 79 persen di atas garis kemiskinan) dimana lebih dari setengahnya (51.9%) digunakan untuk kebutuhan non pangan. Walaupun mereka tergolong keluarga prasejahtera dan sejahtera I, sebagian keluarga contoh memiliki rumah, sepeda, jaring, emas, dan televisi. Rata-rata konsumsi energi keluarga adalah sebesar 1 813 Kal/kap/hr, masih lebih rendah dari angka kecukupan energinya (2 020 Kal/kap/hr) atau rata-rata tingkat konsumsinya adalah 89.7 persen. Sementara itu, rata-rata konsumsi proteinnya sebesar 58.6 gram/kap/hr, sudah lebih dari angka kecukupannya (53.1 gram/kap/hr) atau rata-rata tingkat konsumsi proteinnya adalah 114.1 persen. Jumlah keluarga yang mengalami defisit energi sebesar 61.7 persen (21 keluarga), sedangkan keluarga yang mengalami defisit protein sebanyak 18 keluarga (52.9%). Berdasarkan garis kemiskinan, keluarga keluarga yang tergolong miskin adalah lima keluarga dan yang tidak miskin sebanyak 29 keluarga. Keluarga miskin semuanya mengalami defisit energi dan protein. Adapun pada keluarga tidak miskin jumlah keluarga yang konsumsi energinya tergolong defisit sebanyak 16 keluarga, sedangkan yang lebih dari angka kecukupan sebanyak 13 keluarga.
Kelompok pangan penyumbang energi terbanyak adalah kelompok padi-padian (1 062 Kal). Adapun yang paling banyak menyumbang protein adalah pangan hewani (26.1 g). Skor Pola Pangan Harapan (PPH) keseluruhan keluarga adalah 73.1 dimana hanya dua kelompok pangan yang mencapai skor maksimal, yaitu padi-padian dan minyak dan lemak. Hampir semua jenis pangan disediakan dari membeli kecuali ikan segar dan ikan asin. Jenis pangan yang umum disediakan secara harian adalah beras, minyak sayur, dan gula batu, sedangkan yang umumnya disediakan secara mingguan diantaranya mie, telur ayam, tempe, tahu, dan sebagian sayur dan buah. Berdasarkan ukurannya, keluarga yang berukuran kecil banyak memiliki tingkat konsumsi energi dan protein di atas anjuran, sedangkan keluarga berukuran sedang mengalami defisit energi dan protein. Sebagian besar keluarga yang berkepala keluarga berusia dewasa muda mengalami defisit energi dan protein, begitu juga halnya dengan sebagian besar keluarga yang istrinya berusia dewasa muda. Hasil yang tidak berbeda terjadi pada keluarga yang tingkat pendidikan kepala keluarga dan istri tamat sekolah dasar. Sebagian besar mereka mengalami defisit energi dan protein. Hasil uji korelasi pearson untuk seluruh variabel karakteristik demografi dan sosial ekonomi dengan tingkat konsumsi protein keluarga seluruhnya tidak menunjukkan hubungan yang signifikan. Adapun hasil uji korelasi seluruh variabel karakteristik demografi dan sosial ekonomi dengan tingkat konsumsi energi keluarga seluruhnya tidak menunjukkan hasil yang signifikan, kecuali pengeluaran dan usia istri. Tingkat konsumsi energi menunjukkan hubungan nyata dengan variabel pengeluaran (r=0.530; p=0.001), begitu juga dengan variabel usia istri dengan tingkat konsumsi energi keluarga (r=0.396; p=0.020). Uji ANOVA yang digunakan untuk menganalisis perbedaan rata-rata tingkat konsumsi antar kategori semua variabel penelitian, hampir seluruhnya menunjukkan hasil tidak signifikan, kecuali kategori-kategori pada variabel pengeluaran per kapita per bulan (sig=0.023).
PENDAHULUAN Latar Belakang Ketahanan pangan mempengaruhi kestabilan dan ketahanan dunia. Karena pangan, dua orang, kelompok orang, golongan atau bahkan bangsa bisa berseteru. Menyikapi hal tersebut, sebagai organisasi penyatu bangsa-bangsa di dunia, PBB menetapkan delapan sasaran pembangunan milenium (Millennium Development Goal’s) dengan pengentasan kemiskinan dan kelaparan sebagai sasaran nomor satu. Sasaran tersebut memberitahukan bahwa dunia bercita-cita mengurangi angka penduduk yang berpendapatan USD 1 atau kurang dan penduduk yang kelaparan menjadi setengah dari jumlahnya pada tahun dasar 1990 pada tahun akhir 2015. Sasaran tersebut mengacu pada deklarasi Roma yang dihasilkan dalam World Food Summit (WFS) tahun 1996. Deklarasi Roma berisi komitmen seluruh masyarakat dunia untuk menciptakan kondisi tahan pangan dan jauh dari kelaparan. Millennium Development Goal’s (MDGs) merupakan salah satu komitmen dunia terhadap masalah ketahanan pangan. Komitmen ini diambil sebagai tindak lanjut dari banyaknya kejadian kasus kelaparan. Food and Agriculture Organization menyatakan bahwa pada tahun 2002 terdapat sekitar 815 juta jiwa orang masih mengalami kelaparan. Organisasi dunia yang menangani masalah pangan dan pertanian ini memperkirakan terjadi satu kasus kematian setiap detik akibat permasalahan ini. Data FAO juga menyebutkan bahwa 55% dari 12 juta anak-anak di beberapa negara sedang berkembang meninggal karena malnutrisi. Terjadinya
kasus-kasus
kelaparan
dan
gizi
buruk
di
suatu
wilayah
mengindikasikan bahwa keadaan ketahanan pangan daerah tersebut masih lemah (Suryana 2001). Komitmen untuk mewujudkan masyarakat yang tahan pangan juga dimiliki oleh Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan keikutsertaan Indonesia dalam program-program pangan dunia termasuk World Food Summit dan MDGs. Selain itu, komitmen pemerintah juga terlihat dengan dibentuk dan disahkannya Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang pangan yang disusul dengan dikeluarkannya peraturan pemerintah No. 68 tahun 2002 tentang ketahanan pangan dan keputusan presiden No. 83 tahun 2006 tentang pembentukan Dewan Ketahanan Pangan yang dipimpin langsung oleh presiden. Komitmen ini tidak hanya pada tingkat pusat, tetapi juga tingkat pemerintah daerah. Hal ini ditunjukkan dengan dilaksanakannya Konferensi Dewan Ketahanan Pangan
2
2006 mengenai perwujudan ketahanan pangan wilayah dan nasional yang menghasilkan
Kesepakatan
Bersama
Gubernur/Ketua
Dewan
Ketahanan
Pangan Provinsi. Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang pangan mengartikan ketahanan pangan sebagai “kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau”. Mengacu pada pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa ketahanan pangan tersusun dari konsumsi, keamanan, distribusi, dan keterjangkauan (akses) pangan oleh keluarga. Apabila salah satu saja
bagian
tersebut
terganggu,
maka
akan
mengakibatkan
terjadinya
ketidaktahanan pangan atau yang sering disebut rawan pangan. Kejadian kerawanan pangan sering diindikasikan dengan kasus malnutrisi (gizi kurang atau gizi buruk) pada balita. Berdasarkan hasil susenas tahun 2005 diketahui bahwa jumlah balita di seluruh Indonesia yang mengalami kasus gizi kurang dan gizi buruk masing-masing sebesar 19,20% dan 8,80%. Kasus gizi kurang tertinggi terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur, yaitu sebesar 28%, sedangkan kasus gizi buruk tertinggi terdapat di Provinsi Gorontalo dengan persentase sebesar 15,40%. Provinsi dengan kasus gizi kurang dan gizi buruk terendah dimiliki oleh Provinsi DI Yogyakarta, yaitu sebesar 11% untuk kasus gizi kurang dan 4,10% untuk kasus gizi buruk. Jumlah ini diperkirakan masih akan bertambah, karena terus meningkatnya harga-harga kebutuhan hidup termasuk pangan. Kerawanan pangan dapat bersifat kronik atau akut. Kerawanan pangan yang bersifat kronik berarti sudah terjadi dalam waktu yang lama. Jenis kerawanan pangan ini, disebabkan oleh rendahnya pengetahuan gizi dan kemampuan keluarga atau masyarakat untuk mendapatkan pangan, seperti rendahnya akses ekonomi terhadap pangan bergizi (Samhadi 2006). Kerawanan pangan dikatakan akut apabila terjadi dalam waktu singkat, seperti pada saat terjadi bencana. Dari kedua jenis kerawanan pangan tersebut, rawan pangan yang bersifat kronik memiliki dampak negatif paling besar, baik bagi individu yang mengalaminya maupun bagi negara dalam konteks yang lebih luas. Para ahli telah sepakat bahwa ketahanan pangan setidaknya tersusun dari konsumsi dan aksesibilitas. Dengan demikian, masyarakat akan merasa rentan atau bahkan rawan pangan kronis jika pangan tidak tersedia dalam waktu yang lama dan atau tidak mampu untuk menjangkau pangan.
3
Penyebab yang paling umum dan banyak mengakibatkan terjadinya kerawanan pangan adalah masalah daya beli masyarakat terhadap pangan, baik langsung dikarenakan oleh ketiadaan sumberdaya atau kelangkaan pangan di pasar maupun rendahnya daya jangkau masyarakat. Keluarga miskin adalah kelompok masyarakat yang sangat rentan terhadap pangan. Kerentanan yang dialami kelompok ini lebih diakibatkan oleh rendahnya kemampuan untuk menjangkau pangan yang terlihat dari rendahnya pendapatan, sedangkan persentase pengeluaran pangannya justru tinggi (Fitchen 1997). Keluarga miskin, dengan kemiskinannya, memiliki sedikit uang untuk memperoleh pangan (Fitchen 1997; Suhardjo 1993). Keluarga
miskin
umumnya
menghabiskan
lebih
dari
60%
total
pengeluarannya untuk pangan (Ariani, Handewi & Rachman 2003). Walaupun tingkat pengeluaran pangannya lebih besar, bukan berarti kebutuhan pangannya terpenuhi. Ariani et al. (2003) juga menyebutkan bahwa rendahnya keadaan ekonomi masyarakat miskin, membuat mereka sulit membeli pangan dengan jumlah yang cukup dan jenis yang beragam, sehingga pangan yang dikonsumsi cenderung pangan yang memiliki harga murah dan kurang beragam. Selain itu, konsumsi pangan keluarga miskin umumnya masih didominasi oleh pangan sumber karbohidrat, lemak, dan gula. dan konsumsi pangan sumber energi lebih dari 80%. Kekurangan asupan pangan, yang berarti defisit zat gizi, pada balita dan anak-anak dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan tubuh dan otak sehingga dapat menurunkan kecerdasan mereka. Selain itu, pada orang dewasa kekurangan asupan pangan dapat menurunkan kemampuan kerja, sehingga mengakibatkan penurunan produktivitas (Moeloek 1999). Apabila keadaan ini terus berlanjut, dapat meningkatkan angka kesakitan dan penurunan pendapatan bahkan dapat menyebabkan kehilangan generasi (lost generation). Kerawanan pangan
akan
berdampak
buruk
terhadap
proses
pencapaian
tujuan
pembangunan nasional, yaitu menciptakan sumberdaya manusia yang cerdas, sehat, sejahtera, aktif dan produktif (Suryana 2001). Berdasarkan survey yang diadakan oleh BPS (2006) tercatat sekitar 39,05 juta jiwa (17,75%) penduduk Indonesia masih tergolong miskin. Angka tersebut merupakan akumulasi dari jumlah penduduk miskin di daerah kota dan desa yang masing-masing sebesar 14,29 juta jiwa dan 24,76 juta jiwa. Jumlah tersebut meningkat sebesar 1,78% dari tahun sebelumnya. Jumlah penduduk
4
miskin yang tergolong tinggi tersebut, membutuhkan komitmen yang tinggi pula untuk menyelamatkan mereka supaya mampu hidup secara mandiri (Suryana 2004). Pemerintah memiliki tugas berat untuk menjawab bagaimana mencukupi kebutuhan pangan masyarakat terutama rakyat miskin (Krisnamurthi 2003). Namun, selain harus memperhatikan masyarakat miskin, pemerintah juga harus mengantisipasi kelompok masyarakat yang hampir miskin dan hampir tidak miskin (Suyono 2003). Data BPS (2006) mencatat peningkatan jumlah penduduk miskin merupakan akumulasi dari penduduk miskin lama, hampir miskin, dan hampir tidak miskin yang kemudian masuk ke dalam kelompok miskin. Salah satu kelompok masyarakat yang sering dilekatkan dengan kemiskinan adalah kelompok masyarakat nelayan. Dalam kehidupan sosial ekonominya, nelayan kerap kali terstratifikasi ke dalam dua kelompok besar, nelayan kaya dan nelayan miskin. Mereka yang tergolong ke dalam nelayan kaya adalah para juragan yang memiliki modal dan peralatan sehingga dapat memperoleh keuntungan besar dari usahanya. Sedangkan mereka yang tergolong nelayan miskin terdiri dari nelayan yang menjadi buruh juragan dan nelayan yang bekerja secara perorangan (Mulyadi 2005). Ketiadaan modal, kapal, dan peralatan untuk menangkap ikan, membuat sebagian orang bekerja menjadi buruh. Sistem pembayaran gaji dilakukan dengan metode bagi hasil. Sebagai pemilik kapal dan modal, tentunya para juragan akan mendapat bagian yang besar dan sisanya dibagikan kepada para awak buah kapal (buruh). Oleh karena jumlah ABK dalam setiap kapal tidak sedikit, sehingga bagian yang diperoleh oleh masing-masing ABK relatif kecil. Keadaan seperti inilah yang membuat kelompok nelayan buruh tetap berada dalam kemiskinan bahkan mungkin lebih parah (Mulyadi 2005). Berbeda dengan nelayan buruh, nelayan perseorangan memiliki kapal dan peralatan untuk menangkap ikan, tetapi masih tergolong sederhana dan tradisional. Dengan modal dan peralatan yang serba minim serta kondisi laut yang tidak dapat diperkirakan, membuat daya jangkau pencarian ikan rendah dan tidak dapat melaut setiap hari. Keadaan ini berimplikasi pada rendahnya hasil tangkapan yang berarti juga rendahnya pendapatan. Pendapatan yang rendah menyulitkan upaya pemenuhan kebutuhan, sehingga membuat keluarga tersebut mengalami kemiskinan. Inilah yang banyak terjadi pada keluarga nelayan tradisional (Mulyadi 2005).
5
Perumusan masalah Harga bahan bakar dan kebutuhan hidup yang semakin mahal menyebabkan semakin tingginya biaya operasional, sedangkan modal yang dimiliki sangat minimal.
Hal tersebut juga mengakibatkan kemampuan untuk
melaut juga berkurang, sehingga pendapatan yang diperoleh semakin berkurang. Hal ini membuat sebagian nelayan melakukan eksploitasi, menangkap ikan dengan cara-cara yang cenderung merusak ekosistem perairan atau mereka beralih melakukan penangkapan di daerah pantai dengan modal yang lebih kecil, tetapi juga dengan hasil yang lebih sedikit. Keadaan ini memberi dampak buruk terhadap kesejahteraan nelayan (Mardiana 2005). Sulitnya kehidupan para nelayan, menggiring mereka menjadi kelompok masyarakat miskin. Mereka memiliki kemampuan rendah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, termasuk untuk menyediakan pangan. Hal ini membuat mereka sangat rentan terhadap kelaparan dan malnutrisi, yang menjadi indikator terjadinya kerawanan pangan. Hal tersebut menimbulkan beberapa pertanyaan yang menggiring penulis untuk melakukan penelitian ini. Bagaimanakah karakteristik demografi dan sosial ekonomi keluarga nelayan? Bagaimanakah konsumsi pangan mereka? Bagaimanakah pola penyediaan pangannya? dan faktor-faktor apasajakah yang berhubungan dengan konsumsi pangan mereka? Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mengkaji kondisi ketahanan pangan keluarga nelayan. Adapun tujuan khususnya adalah: 1. Mengidentifikasi karakteristik demografi dan sosial ekonomi keluarga nelayan, 2. Menganalisis konsumsi pangan keluarga nelayan, 3. Menganalisis pola penyediaan pangan keluarga nelayan, 4. Menganalisis hubungan antara karakteristik keluarga dengan konsumsi pangan.
6
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada seluruh pihak terutama bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang pangan dan gizi. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah daya kritis dan memperluas wawasan penulis tentang ketahanan pangan, kemiskinan dan hal-hal serta kebijakan-kebijakan yang terkait dengan keduanya. Selain itu, hasil penelitian ini dapat menjadi gambaran tentang keadaan konsumsi pangan keluarga nelayan serta menjadi masukan, sumber informasi, dan bahan pertimbangan dalam pengambilan kebijakan ketahanan pangan dan pengentasan kemiskinan, khususnya pada masyarakat di daerah nelayan.
TINJAUAN PUSTAKA Ketahanan Pangan Konsep Ketahanan Pangan Ketahanan pangan sering diartikan sebagai kemampuan setiap orang mendapatkan pangan setiap waktu sehingga dapat hidup dengan aktif dan sehat (Senauer & Roe 1997). Undang-undang pangan No. 7 tahun 1996 dan peraturan pemerintah No. 68 tahun 2002, mendefinisikan ketahanan pangan sebagai suatu kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat diketahui bahwa syarat untuk mendapatkan predikat tahan pangan adalah ketersediaan pangan secara kuantitas (jumlah) dan kualitas kapan pun dan di mana pun. Apabila persyaratan tersebut tidak tercapai, maka yang akan terjadi adalah kondisi ketidaktahanan pangan atau sering disebut kerawanan pangan. Keadaan tahan pangan harus tercapai pada semua tingkatan hingga pada tingkat rumah tangga bahkan individu sebagai unit terkecil, sehingga pada akhirnya dapat tercipta situasi ketahanan pangan secara holistik (Baliwati & Roosita 2004; Senauer & Roe 1997; Suhardjo 1993). Walaupun secara nasional tahan pangan, tetapi di tingkat provinsi, kabupaten/kota, bahkan rumah tangga ketahanan pangan belum tentu sudah tercapai, hal ini dikarenakan kemampuan setiap rumah tangga untuk menjangkau pangan tidak selalu sama, baik secara fisik maupun secara ekonomi (Suryana 2004; Jamal, Sadra & Saptana 2005). Jamal et al. menambahkan bahwa ketahanan pangan di tingkat nasional dan wilayah adalah suatu keharusan jika menginginkan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Suryana (2004) mengatakan, ketahanan pangan harus dilihat dari dua wilayah kajian berbeda, kajian makro dan mikro, dengan elemen-elemen utama yang berbeda untuk keduanya. Pada kajian makro, ketahanan pangan memiliki elemen-elemen utama diantaranya produksi dan produktivitas, pengangkutan atau distribusi, pengolahan dan pemasaran pangan (termasuk impor dan ekspor),
dan
pengelolaan
konsumsi
pangan
masyarakat.
Sedangkan,
berdasarkan sudut pandang mikro, ketahanan pangan memiliki elemen-elemen utama berupa kemampuan masyarakat memperoleh pangan secara mandiri dan
8
mengelolanya dengan baik dan benar serta pada rumah tangga miskin dilihat pula kondisi penyelenggaraan pemberian bantuan akses. Ketidaktahanan
pangan
terjadi
pada
saat
suatu
rumah
tangga,
masyarakat, atau daerah tidak dapat mencukupi kebutuhan pangannya sehingga dapat mengganggu pertumbuhan dan kesehatan setiap individu di dalamnya (Suryana 2004). Suryana menambahkan, kerawanan pangan dapat terjadi dalam waktu yang panjang (kronik) atau dalam jangka waktu yang singkat atau sementara (akut/transitori). Ketidaktersediaan pangan dalam waktu yang lama lebih
disebabkan
karena
rendahnya
kemampuan
rumah
tangga
untuk
menjangkau pangan dan sering disebut sebagai kelaparan. Keadaan ini banyak dialami oleh rumah tangga miskin (Setiawan 2004), sedangkan kerawanan pangan akut banyak terjadi ketika ada bencana dan kecelakaan. Tiga hal yang dapat mengakibatkan lemahnya ketahanan pangan diantaranya jumlah pangan yang rendah, distribusi yang kurang baik, dan atau daya beli masyarakat yang rendah (Jamal et al. 2005). Ketahanan pangan, dalam proses pencapaiannya, harus melihat beberapa hal penting, diantaranya ketersediaan cukup, kestabilan dari kondisi ketersediaan tersebut, daya jangkau fisik dan ekonomi, dan kualitas konsumsi dan keamanan pangan (Ariani 2005) serta keberlanjutannya (Setiawan 2004). Menurut Suryana (2004) untuk terwujudnya ketahanan pangan dibutuhkan kestabilan pasokan dan harga pangan yang merata dan berkelanjutan. Tinggi rendahnya harga pangan akan menentukan konsistensi ketahanan pangan (Tabor, Soekirman & Martianto 2000). Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang tersusun dan dipengaruhi oleh tiga komponen (subsistem), yaitu ketersediaan dan stabilitas pangan, aksesibilitas masyarakat dan distribusi yang tercermin dari kondisi sarana dan prasarana penyaluran pangan, dan konsumsi pangan (Chung 1997 diacu dalam Setiawan 2004; Senauer & Roe 1997; Suryana 2004). Namun sebagian ahli sepakat, bahwa ketahanan pangan setidaknya terdiri dari dua unsur pokok, yaitu ketersediaan pangan dan akses yang memadai dari masyarakat (Arifin 2004; Suryana 2004). Komponen ketersediaan sangat erat terkait dengan produksi dan faktor-faktornya. Distribusi dimaksudkan untuk memudahkan masyarakat menjangkau pangan. Akses rumah tangga terhadap pangan tergantung pada harga pangan dan kepemilikan sumberdaya. Komponen
9
konsumsi merupakan subsistem pemanfaatan pangan yang akan menghasilkan luaran berupa status gizi (Chung 1997 diacu dalam Setiawan 2004). Rumah tangga tahan pangan diindikasikan dengan ketersediaan dan konsumsi pangan yang diterjemahkan dalam bentuk konsumsi energi dan protein per kapita per hari (Suryana 2004). Selain itu, ketahanan pangan rumah tangga juga ditunjukkan dengan proporsi pengeluaran pangannya (Arifin 2004). Arifin melanjutkan bahwa semakin besar proporsi pengeluaran pangan rumah tangga, semakin tidak tahan pangan rumah tersebut. Hal ini sejalan dengan hukum Engel yang
mengatakan
bahwa
apabila
pendapatan
meningkat,
maka
porsi
pengeluaran pangan rumah tangga akan semakin rendah (Tabor et al. 2000). Haddad et. al diacu dalam Maxwell (1996) mengumpulkan beberapa indikator tidak langsung dalam memprediksi ketahanan pangan keluarga, diantaranya kepemilikan asset, ukuran rumah tangga, dan tingkat ketergantungan rumah tangga terhadap pangan. Kerawanan pangan sering digambarkan dengan kondisi status gizi, masyarakat yang rendah. Berdasarkan kelompok rentan pangan, kerawanan pangan terbagi menjadi rawan pangan ekologis, sosio-ekonomis, dan biologis. Kerawanan pangan ekologis melihat kejadian rawan pangan dari letak geografis tempat tinggal. Pada kerawanan sosio-ekonomis kelompok rentan dipisahkan berdasarkan kedudukan seseorang atau rumah tangga di masyarakat, sedangkan kerawanan biologis didasarkan pada usia dan jenis kelamin (Baliwati & Roosita 2004). Baliwati dan Roosita juga menyebutkan kelompok yang rawan berdasarkan ukuran biologis diantaranya bayi dan anak sekolah, ibu hamil dan menyusui, orang yang sedang sakit dan dalam masa penyembuhan, orang cacat, dan jompo. Akan tetapi, kelompok yang paling mendapat perhatian lebih adalah bayi dan anak-anak. Tabel 1 Persentase balita menurut status gizi di Indonesia pada tahun 2005 Status gizi Gizi Buruk Gizi Kurang Gizi Baik Gizi Lebih
Persentase (%) 8,8 19,2 68,5 3,5
Sumber : Atmarita (2005)
Purwantini, Ariani, dan Marisa pernah melakukan penelitian tentang kerawanan pangan dan kaitannya dengan desentralisasi pembangunan yang dilakukan di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Berdasarkan penelitian tersebut diperoleh ciri-ciri umum daerah dengan resiko rawan pangan tinggi,
10
yaitu terbatasnya lahan pertanian, rendahnya kualitas sumberdaya manusia, dan terbatasnya sarana dan prasarana. Karakteristik rumah tangga rawan pangan berdasarkan penelitian tersebut adalah pendidikan anggota rumah tangganya rendah, pemilikan lahan sedikit, pendapatan rendah, dan proporsi pengeluaran pangan yang besar (Purwantini, Ariani & Marisa 2005). Konsumsi Sebagai Subsistem Ketahanan Pangan Ketersediaan pangan dan gizi akan sangat mempengaruhi imunitas tubuh (Chandra 1991 diacu dalam Haddad et al. 1996). Rendahnya kekebalan tubuh seorang penderita malnutrisi menyebabkan dia mudah sakit. Hal inilah yang menjadikan malnutrisi sebagai masalah yang rumit, karena seseorang yang mengalami kasus malnutrisi tidak hanya sebatas kekurangan gizi, tetapi juga menderita penyakit infeksi. Konsumsi, menurut Suhardjo (1993) dan Suryana (2004) dipengaruhi oleh jumlah pangan yang diproduksi, ketersediaan pangan di pasaran dan atau di dalam rumah tangga, pendapatan, pengetahuan gizi kepala keluarga atau orang yang berpengaruh terhadap pangan, dan kebiasaan makan. Selain itu, konsumsi rumah tangga atau individu juga dipengaruhi oleh kondisi ekonominya (Moeloek 1999; Suryana 1993). Suryana (1993) juga menyebutkan bahwa kemampuan ekonomi yang cukup akan mendukung terciptanya konsumsi pangan yang beragam. Dalam keadaan cateris paribus, semakin besar pendapatan maka semakin besar daya beli pangan. Oleh karena itu menurut Ariani, Handewi, dan Rochman (2003) untuk mengurangi jumlah kelompok rawan pangan dan meningkatkan konsumsi pangannya dapat dilakukan dengan cara meningkatkan pendapatan dan pengetahuan gizi mereka. Penurunan daya beli diperlihatkan oleh naiknya jumlah dan persentase penduduk miskin serta peningkatan jumlah pengangguran (Hardinsyah et al. 1999). Secara umum, diketahui bahwa penyebab dari kejadian ketidaktahanan pangan dan kelaparan adalah kemiskinan (Senauer & Roe 1997). Kemiskinan dan rendahnya ketersediaan pangan merupakan pra-kondisi untuk kejadian malnutrisi (Harper et al. 1988).
Kerawanan pangan dan kemiskinan memiliki
hubungan yang sangat erat, bahkan Krisnamurthi (2003) mengibaratkan keduanya bagaikan dua sisi mata uang logam. Sumarwan dan Sukandar (1998) mengatakan bahwa penduduk miskin adalah mereka yang rawan pangan karena konsumsinya rendah.
11
Meningkatnya pendapatan dan ketersediaan pangan rumah tangga dapat mencegah dan menghilangkan kelaparan (Braun & Kennedy 1994 diacu dalam Haddad
et
al.
1996).
Kebijakan-kebijakan
tentang
keduanya
apabila
dilaksanakan secara bersama-sama akan menurunkan angka kemiskinan dan malnutrisi secara signifikan (Fitchen 1997). Di beberapa negara berkembang penghapusan kemiskinan berarti penghapusan gizi buruk dan peningkatan sumberdaya manusia. Perubahan kondisi ekonomi dan pendapatan akan merubah ketersediaan pangan rumah tangga miskin sekurang-kurangnya pada makanan penghasil energi (Senauer & Roe 1997) dan juga dapat merubah pola atau susunan makanan yang dikonsumsi (Harper et al. 1988). Namun sebaliknya, rendahnya pendapatan dapat mengakibatkan terjadinya kerawanan pangan (Suryana 2001). Senauer dan Roe (1997) juga mengatakan bahwa rumah tangga dengan total pendapatan rendah akan memberikan respon lebih besar terhadap perubahan harga pangan. Kenaikan harga pangan akan membuat penurunan jumlah dan jenis pangan yang dapat dibeli oleh rumah tangga, sehingga mereka harus mengganti jenis pangan yang biasa dikonsumsi ke pangan yang harganya lebih murah (Alderman 1986 diacu dalam Senauer & Roe 1997). Pola Penyediaan Pangan Pola pangan terbentuk oleh adanya kebiasaan pangan yang dipengaruhi melalui kegiatan budaya suatu keluarga, kelompok masyarakat, negara, atau suatu
bangsa
(Suhardjo
1989).
Suhardjo
menambahkan
kebudayaan
menentukan pangan-pangan apa saja yang bisa dan boleh atau tidak boleh dimakan, siapa saja yang boleh memakan makanan tersebut, dan bagaimana cara memakannya. Madanijah (2004) menyebutkan pangan bisa menunjukkan asal budaya seseorang. Pola
penyediaan
pangan
keluarga
berkaitan
dengan
frekuensi
penyediaan pangan yang dilakukan oleh keluarga tersebut dan asalnya (Suhardjo 1989).
Frekuensi penyediaan pangan terkait dengan berapa kali
rumah tangga menyediakan pangan dalam satu waktu tertentu, sedangkan asal pangan menjelaskan darimana pangan tersebut diperoleh. Kebiasaan pangan manusia dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik (Khumaidi 1989).
Faktor intrinsik terdiri dari asosiasi emosional,
kesehatan jasmani dan rohani, dan penilaian terhadap mutu pangan. Adapun faktor ekstrinsik terdiri dari lingkungan alam, lingkungan sosial, lingkungan
12
budaya dan agama, dan lingkungan ekonomi. Selain itu, penyediaan pangan juga ditentukan oleh produksi pangan rumah tangga dan pengeluaran uang untuk pangan (Suhardjo 1989). Produksi pangan rumah tangga dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu pemilihan tanaman, neraca uang dan tanaman pangan, sumberdaya produksi, terdapatnya tanah untuk tanaman pangan, pembagian kerja, besarnya panen dan mutunya, penjualan hasil tanaman, kerugian saat produksi dan pasca panen. Adapun pengeluaran uang untuk pangan dipegaruhi oleh ada tidaknya subsidi pangan dan berapa jumlahnya, pangan yang dikeluarkan untuk dibagikan ke anggota masyarakat lainnya, jumlah dan ragam pangan yang dibeli, harga pangan, persediaan di pasar, jumlah pendapatan yang dibelanjakan untuk pangan, dan total pendapatan rumah tangga. Nelayan Nelayan, sebagaimana tertera dalam Undang-undang No. 31 tahun 2004 tentang perikanan ditujukan kepada setiap orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Penangkapan ikan oleh nelayan dilakukan di wilayah perairan yang bukan merupakan suatu usaha pembudidayaan. Namun, umumnya kata nelayan sangat melekat pada orang-orang yang melakukan penangkapan ikan di laut (Dahuri Tanpa tahun), termasuk teknisi kapal dan anak buah kapal (ABK) (Amanah, Utami & Savitri 2005). Nelayan menggunakan perahu atau kapal untuk melakukan aktivitasnya. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah pulau sekitar 71.508 buah dan memiliki lautan yang luas serta garis pantai yang panjang yaitu masing-masing 5,8 juta km2 dan 81.000 km (Dahuri tanpa tahun; Mulyadi 2005). Dengan keunggulan ini indonesia memiliki sumber daya kelautan, khususnya perikanan yang melimpah. Sehingga tidaklah aneh apabila di Indonesia terdapat banyak masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari laut sebagai nelayan atau pembudidaya ikan (Dahuri tanpa tahun). Nelayan merupakan bagian dari sebuah masyarakat yang hidup di daerah pesisir. Masyarakat-masyarakat di pedesaan pesisir memiliki kekhasan tersendiri yang berbeda dengan kondisi masyarakat di luar komunitasnya, baik dari sudut pandang geo-ekologi, ekonomi, maupun sosial. Secara ekologi dan geografis masyarakat pesisir diuntungkan dengan luasnya lahan garapan mereka. Namun di sisi lain, mereka memiliki kesulitan untuk mengelola bagian daratan. Secara ekonomis, masyarakat di daerah pesisir berhadapan dengan ketidakpastian. Modal dan pendapatan mereka umumnya rendah, sedangkan biaya yang harus
13
dikeluarkan cukup besar. Dan secara sosial, masyarakat nelayan memiliki akses yang rendah terhadap pelayanan sosial, social-bonding masih cukup tinggi, dan cenderung untuk tidak mematuhi hukum positif. Nelayan, sebagai suatu komunitas masyarakat memiliki sistem sosial yang berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya. Secara tidak langsung, nelayan distratifikasi berdasarkan kepemilikan aset atau alat penangkapan, terutama setelah dicanangkannya modernisasi perikanan (Dahuri tanpa tahun). Dahuri menyebutkan, berdasarkan teknik dan alat yang digunakan, nelayan terbagi menjadi nelayan tradisional dan nelayan modern. Nelayan tradisional memiliki ciri-ciri seperti memiliki modal kecil, sedikit inovasi teknologi, kelembagaan yang lemah, dan cenderung subsisten. Sedangkan yang disebut nelayan modern adalah mereka yang memiliki modal dan kelembagaan yang kuat dan menggunakan teknologi mutakhir serta tidak lagi bersifat subsisten. Semakin modern peralatan yang dimiliki, maka daerah penangkapannya pun semakin luas, sehingga hasil yang diperoleh pun akan semakin banyak (Ismail 2001). Selain berdasarkan cara dan penggunaan peralatan, nelayan juga tergolong-golongkan berdasarkan kepemilikan perlengkapan produksi dan status kegiatannya sebagai nelayan. Penggolongan menurut penguasaan aset membagi nelayan menjadi nelayan pemilik dan nelayan buruh. Sedangkan berdasarkan status kegiatannya, nelayan dibedakan ke dalam nelayan penuh (nelayan sebagai pekerjaan utama), nelayan sebagai sambilan utama, dan nelayan sebagai sambilan tambahan (Dahuri tanpa tahun). Nelayan juga dikelompokkan berdasarkan jenis kapal yang dimiliki (Tijtroresmi 2001). Tjitroresmi, berdasarkan penelitiannya di Kabupaten Cilacap, membagi nelayan menjadi nelayan kaya, yaitu nelayan yang memiliki kapal berukuran besar (30-50 GT) dengan jumlah ABK yang dibutuhkan sekitar 12-18 orang. Kelompok kedua yaitu nelayan compreng dengan kapasitas mesin kapal sekitar 5-8 GT dan cukup untuk 3-4 orang ABK. Kelompok terakhir adalah kelompok nelayan yang paling sederhana, yaitu nelayan yang hanya menggunakan motor tempel untuk operasionalnya. Berdasarkan pemilikan alat dan keterlibatan orang lain dalam usaha penangkapan ikan, Mulyadi (2005) membedakan nelayan menjadi nelayan juragan, nelayan buruh, dan nelayan perorangan. Sedangkan Hermanto (1986) diacu dalam Mardiana (2005) mengklasifikasikan nelayan menjadi lima
14
kelompok. Nelayan kelompok pertama adalah juragan darat yang memiliki perlengkapan dan modal, tetapi tidak ikut serta dalam proses penangkapan ikan dan hanya mendapat bagi hasil dari total tangkapan. Kelompok yang kedua adalah juragan laut yang tidak memiliki peralatan, tetapi memegang tanggung jawab penuh terhadap operasional ketika melaut. Selanjutnya adalah juragan darat–laut. Berbeda dengan dua kelompok juragan sebelumnya, juragan daratlaut menguasai seluruh peralatan dan modal, tetapi juga ikut melaut. Dua kelompok lainnya adalah, buruh (ABK) dan anggota suatu kelompok nelayan yang melakukan penangkapan secara bersama-sama dengan peralatan dan modal patungan. Pemilahan-pemilahan
tersebut
semakin
memperlihatkan
terjadinya
ketimpangan sosial ekonomi kehidupan masyarakat nelayan. Berdasarkan penelitian di Desa Pesisir, Besuki, Situbondo terdapat 12 strata pekerjaan dalam sebuah kapal, dari juragan hingga petugas pembagi hasil (Kusnadi 2000 diacu dalam Amanah et al 2005). Para juragan, sebagai pemilik aset dan modal ditambah lagi dengan perlengkapan modern pastinya akan memperoleh pendapatan yang paling tinggi berapa pun jumlah ikan yang ditangkap. Namun, nelayan tradisional yang hanya memiliki sedikit modal dan peralatan seadanya, hasil yang diperoleh pun hanya sekadarnya dengan keuntungan kecil. Amanah et al. (2005) mengkategorikan nelayan ke dalam empat kategori. Pengkategorian nelayan dilakukan menurut tingkat kebesaran usaha. Nelayan dikategorikan menjadi nelayan tradisional (peasant-fisher), nelayan tradisional yang sudah menggunakan teknologi (post pesant-fisher), nelayan komersil (commercial-fisher), dan nelayan industri (Industrial-fisher). Hasil tangkapan nelayan, selain dipengaruhi oleh alat yang digunakan juga
sangat
bergantung
pada
kondisi
lingkungan
laut
dan
geografis
penangkapan ikan. Keduanya mempengaruhi jenis peralatan yang harus dibawa oleh nelayan dan banyak sedikitnya hasil tangkapan. Hal ini akan berpengaruh pada besar kecilnya pendapatan dan keuntungan yang diperoleh dan selanjutnya menentukan kondisi sosial ekonominya (Ismail 2001). Pusat Kajian Ekonomi Kelautan dan Pengembangan Ekonomi Wilayah Pantai, Universitas Trisakti pada tahun 2003 telah melakukan indentifikasi biaya dan pendapatan nelayan di Desa Panimbang Jaya, Kecamatan Panimbang dan Desa Teluk, Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. berdasarkan hasil penelitian di Desa Panimbang, diketahui bahwa untuk pergi
15
melaut dengan menggunakan kapal kecil, dengan kapasitas empat orang membutuhkan biaya sekitar Rp. 50.000,00 hingga Rp. 100.000,00, sedangkan untuk kapal berukuran sedang menghabiskan biaya sebesar Rp. 300.000,00. Pendapatan rata-rata yang diterima oleh setiap nelayan berkisar antara Rp. 400.000,00-800.000,00. Penelitian di Desa Teluk menunjukkan biaya untuk melaut dengan perahu kecil membutuhkan dana sebesar Rp. 90.000-100.000 dan pendapatan yang diperoleh oleh setiap penangkap ikan sebesar Rp. 300.000,00-600.000,00. Biaya yang harus dikeluarkan oleh nelayan untuk melakukan berproduksi (melaut) terdiri dari biaya nyata dan biaya tidak nyata. Biaya nyata juga terbagi menjadi biaya yang harus dibayar kontan dan biaya yang dapat ditunda. Kebutuhan yang memerlukan biaya kontan diantaranya bahan bakar motor, bahan pengawet ikan, konsumsi, dan pajak. Sedangkan keperluan yang dapat ditunda/tidak kontan diantaranya gaji awak kapal. Biaya yang termasuk ke dalam biaya tidak nyata adalah biaya penyusutan peralatan. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, secara garis besar nelayan dibedakan menjadi juragan, buruh dan perorangan. Dari ketiga kelompok nelayan tersebut, nelayan buruh dan perorangan adalah kelompok dengan tingkat ekonomi rendah, bahkan keduanya dapat masuk ke dalam kategori penduduk miskin. Dengan jumlahnya yang mayoritas, kedua kelompok nelayan tersebut telah membuat citra tentang kemiskinan menjadi lekat pada keadaan nelayan secara umum. Secara luas, nelayan sudah dikenal sebagai kelompok yang terpinggirkan dan kurang diperhatikan dari segala bidang. Kemiskinan pada nelayan dapat disebabkan oleh rendahnya keberadaan sarana dan prasarana di daerah tersebut yang disebut kemiskinan prasarana. Selain itu, kemiskinan terjadi pada nelayan karena memang kondisi sosial ekonomi keluarganya yang rendah, sehingga digolongkan menjadi keluarga miskin. Rendahnya sarana dan prasarana juga dapat menyebabkan kemiskinan keluarga, bahkan bisa mengakibatkan keluarga yang hampir miskin dan tidak miskin jatuh menjadi keluarga miskin. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan pada masyarakat nelayan dapat dikelompokkan berdasarkan masalah yang dialami, yaitu masalah kepemilikan alat tangkap, akses modal, sistem bagi hasil yang merugikan, sarana penyimpanan ikan, hak atas wilayah tangkapan, dan perusakan sistem organisasi masyarakat.
16
Kemiskinan yang dialami oleh nelayan dapat diibaratkan sebagai “lingkaran setan”. Hal ini dikarenakan kesulitan yang harus dihadapi oleh nelayan dari keadaan yang serba sulit. Selain jenis pekerjaannya yang sangat tergantung musim, nelayan-nelayan perorangan masih banyak menggunakan cara-cara dan peralatan tradisional yang menyebabkan hasil tangkapannya sangat minim walaupun pada saat musim ikan. Hasil tangkapan yang diperoleh mungkin hanya dapat memenuhi kebutuhannya untuk beberapa hari saja atau mungkin hanya untuk hari itu saja, sehingga nelayan tidak memiliki dana simpanan untuk melakukan penangkapan pada waktu berikutnya. Keadaan ini akan lebih parah apabila berada pada musim paceklik. Kondisi seperti ini juga dirasakan oleh para buruh, yang tidak memiliki alat tangkap sendiri. Keadaan ini memaksa mereka untuk menerima pekerjaan apa pun yang ditawarkan. Seringkali sistem bagi hasil yang dilakukan oleh juragan tidak menguntungkan mereka.
KERANGKA PEMIKIRAN Ketahanan pangan mensyaratkan dua hal penting yaitu, ketersediaan di tingkat wilayah dan aksesibilitas masyarakat terhadap pangan. Untuk tingkat keluarga kondisi tahan pangan dicapai apabila setiap individu di dalamnya dapat dengan mudah mendapatkan dan mengkonsumsi pangan setiap saat. Oleh karena itu untuk mencapai tingkatan tahan pangan, setiap keluarga harus menyediakan pangan dalam jumlah yang cukup dan beragam. Konsumsi pangan keluarga dipengaruhi oleh kemampuannya untuk memperoleh pangan yang dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonominya. Indikatorindikator yang digunakan untuk melihat keadaan sosial ekonomi keluarga diantaranya tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, dan besarnya pendapatan dan pengeluaran. Selain itu pada keluarga nelayan, keadaan sosial ekonomi juga diindikasikan dengan kepemilikan aset perikanan, seperti kapal dan peralatan penangkapan ikan. Letak dan kondisi geografis wilayah, musim, dan stabilitas harga merupakan variabel lingkungan yang turut mempengaruhi ketersediaan dan pola penyediaan pangan yang selanjutnya menentukan konsumsi pangan keluarga. Pola penyediaan pangan melihat bagaimana cara contoh penelitian menyediakan pangan, dari mana asalnya dan bagaimana frekuensinya. Jumlah pangan yang tersedia dan harus disediakan dalam suatu keluarga dipengaruhi oleh ukuran dan komposisi anggota keluarga tersebut. keluarga berukuran besar harus menyediakan pangan yang lebih banyak pula dibandingkan dengan keluarga yang berukuran kecil. Komposisi keluarga berpengaruh pada konsumsi pangan berdasarkan usia dan jenis kelamin anggota keluarga. Semakin tua usia kepala keluarga atau istri diharapkan semakin baik kondisi konsumsi keluarganya, karena banyaknya ilmu dan pengalaman yang dimiliki.
18
= Pengaruh yang diteliti Karakteristik Demografi Keluarga :
= Pengaruh yang tidak diteliti
1. Ukuran Keluarga
= Variabel yang diteliti
2. Usia KK/Istri
= Variabel yang tidak diteliti Pola penyediaan pangan
Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga : 1. Tingkat pendidikan KK/Istri 2. Pendapatan keluarga 3. Kepemilikan aset
Konsumsi Pangan 1. Tingkat konsumsi pangan 2. Pola pangan harapan
Lingkungan : 1. Musim 2. Stabilitas harga pangan 3. Letak geografis Gambar 1. Kerangka pemikiran penelitian “Analisis Konsumsi dan Pola Penyediaan Pangan Keluarga Nelayan di Desa Grogol, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon”
METODE PENELITIAN Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian ini merupakan penelitian survey dengan menggunakan desain cross-sectional
study.
Pengamatan
terhadap
variabel-variabel
dependent
(terpengaruh) dan independent (pengaruh) dilakukan pada satu waktu. Penelitian ini dilaksanakan di desa Grogol, Kecamatan Gunung Jati, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Daerah ini dipilih secara purposive karena merupakan daerah pesisir dan muara sungai, sehingga banyak dihuni oleh keluarga nelayan. Pengumpulan data primer dilaksanakan selama lebih kurang satu bulan, pertengahan Juni hingga Juli 2007. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh keluarga dengan kepala keluarga bermatapencaharian sebagai nelayan yang termasuk keluarga pra sejahtera atau sejahtera I menurut kriteria BKKBN.
Sampel yang digunakan
untuk penelitian ini berjumlah 34 keluarga yang dipilih secara acak dari 80 keluarga yang menjadi sampel penelitian payung tentang Analisis Konsumsi dan Strategi Koping Keluarga Nelayan. Hal ini dilakukan karena ada tidak semua data sampel penelitian payung dapat diolah lebih lanjut. Jenis dan Cara Pengambilan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer yang dikumpulkan meliputi data karakteristik demografi (besar keluarga dan usia kepala keluarga dan istri), sosial ekonomi keluarga, tingkat pendidikan kepala keluarga dan istri, pengeluaran, dan kepemilikan aset keluarga), dan konsumsi pangan keluarga.
Seluruh data primer tersebut
diperoleh dari hasil wawancara dengan responden dengan menggunakan kuesioner. Data-data sekunder mencakup data umum wilayah dan demografi penduduk yang dikumpulkan dari kantor desa. Data yang dikumpulkan mencakup beberapa variabel beserta parameternya.
20
Tabel 2. Variabel penelitian dan parameternya No.
Peubah Utama
1
Karakteristik Demografi Keluarga
2
Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga
3
Kepemilikan Aset
4
Konsumsi Pangan
5
Pola Penyediaan Pangan
Parameter
- Ukuran Keluarga (jiwa)
- Usia KK (tahun) - Usia Istri (tahun) - Tingkat pendidikan KK/Istri (tahun sekolah) - Pengeluaran pangan per bulan (rupiah) - Pengeluaran non-pangan per bulan (rupiah) - Rumah - Ternak - Kendaraan - Perhiasan - Tabungan - Asuransi - Barang elektronik - Kapal dan peralatan nelayan - Aset lainnya - Jenis-jenis pangan yang dikonsumsi - Berat pangan yang dikonsumsi - Jenis-jenis pangan yang disediakan - Cara mendapatkan pangan (pembelian, produksi sendiri, dan - Frekuensi penyediaan pangan
Cara pengumpulan data Wawancara terstruktur menggunakan Kuesioner dan tabel food frequency
Pengolahan dan Analisis Data Tahapan selanjutnya, dilakukan editing dan coding terhadap data yang sudah terkumpul.
Data yang sudah diberi kode kemudian dientri dan diolah
secara deskiptif dan inferensia.
Pengolahan data dilakukan dengan bantuan
program Microsoft Excel dan SPSS versi 12.0. Untuk melihat besarnya sebaran contoh beberapa variabel disusun dalam ukuran tertentu atau kategori. Besar keluarga dikategorikan berdasarkan jumlah anggota keluarga, yaitu keluarga kecil (≤ 4 jiwa), sedang (5-6 jiwa), dan besar ( > 6 jiwa). Pengkategorian usia kepala keluarga (KK) dan istri mengacu kepada kategori usia menurut Papalia dan Olds (1986), yaitu jenjang dewasa muda (2040 tahun), dewasa madya apabila (40-65 tahun), dan dewasa lanjut (lebih dari 65
21
tahun).
Akan tetapi, untuk menghindari terjadinya penumpukkan data, maka
selang dewasa muda dibuat menjadi dua, yaitu antara 20-30 tahun dan 30-40 tahun. Variabel pengeluaran dikategorikan berdasarkan garis kemiskinan (GK) nasional 2007 untuk wilayah pedesaan, yaitu Rp 146 837.00. Dengan angka tersebut, diperoleh empat kategori, yaitu keluarga miskin apabila pengeluarannya lebih rendah GK, keluarga hampir miskin apabila pengeluarannya antara GK hingga 1.25 GK (Rp 183 546.25), keluarga hampir tidak miskin apabila pengeluarannya antara Rp 183 546.25 sampai Rp 220 255.5 (1.5 GK), dan keluarga tidak miskin apabila pengeluarannya lebih besar dari Rp 220 255.5. Selanjutnya untuk memudahkan dalam menganalisis hubungan antar variabel kategori pengeluaran tersebut diringkas menjadi dua kategori utama, yaitu miskin dan tidak miskin (hampir miskin, hampir tidak miskin, dan tidak miskin). Pengukuran konsumsi pangan digambarkan dengan konsumsi energi dan protein per kapita per hari. Angka tersebut diperoleh dengan mengonversi berat pangan, yang telah dikumpulkan dengan form isian yang merupakan modifikasi dari form food frequency (FFQ), ke dalam bentuk kilo kalori energi dan gram protein. Proses ini dilakukan terpisah untuk setiap keluarga. Sebagai rujukan dalam melakukan konversi, digunakan daftar komposisi bahan makanan (DKBM).
Langkah selanjutnya adalah mencari nilai rata-rata dari semua
keluarga.
Selanjutnya hasil yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan
angka kecukupan yang dianjurkan (Energi = 2 020 Kal; Protein =53.1 gram) untuk memperoleh tingkat konsumsinya.
Perhitungan tingkat konsumsi
menggunakan rumus: Tingkat Konsumsi Zat Gizi y (%) = (Ky/AKGy) x 100 % Keterangan: Ky
= Konsumsi zat gizi y
AKGy = Angka kecukupan zat gizi y yang dianjurkan Tingkat konsumsi zat gizi dibagi menjadi empat kategori yaitu sangat kurang (tingkat konsumsinya < 70 %), kurang (tingkat konsumsi 70 - 100 %), normal (tingkat konsumsi 100 - 110 % AKG), kelebihan (tingkat konsumsi ≥ 110 % AKG).
Pada tabulasi silang kategori-kategori tersebut disederhanakan
menjadi dua kategori besar yaitu kurang dari angka kecukupan gizi (< AKG) dan lebih dari atau sama dengan angka kecukupan gizi (≥ AKG). Hal ini dilakukan untuk mempermudah dalam melakukan tabulasi silang menggunakan tiga
22
variabel. Keragaman konsumsi dianalisis menggunakan perhitungan pola pangan harapan (PPH). Penelitian ini juga melihat pola penyediaan pangan keluarga, yaitu dengan menghitung sebaran contoh berdasarkan cara menyediakannya (pembelian, produksi sendiri, atau pemberian). Khusus untuk pangan-pangan yang diperoleh dengan cara dibeli dilihat pula keragaan frekuensi pembeliannya (harian, mingguan, bulanan). Hubungan antara besar keluarga, usia KK/istri, tingkat pendidikan KK/istri, pendapatan, pengeluaran, dan aset dengan rata-rata konsumsi energi dan protein per kapita per hari dianalisis secara inferensia dengan menggunakan korelasi Pearson.
Selain itu, dilakukan pula uji ANOVA untuk melihat ada
tidaknya perbedaan rata-rata konsumsi energi dan protein pada setiap kategori dari variabel yang diteliti. Definisi Operasional Keluarga nelayan
: sekumpulan orang yang tinggal dalam satu atap dan makan dari satu dapur dimana setiap anggota di dalamnya terikat dengan perkawinan, ikatan darah, adopsi dengan mata pencaharian utama kepala keluarga sebagai nelayan.
Aset keluarga
: Seluruh harta kekayaan yang dimiliki oleh sebuah keluarga yang bukan berupa uang tunai dan dapat diuangkan, terdiri dari tempat tinggal, kendaraan, aset
perikanan,
barang
elektronik,
perhiasan,
tabungan, asuransi, ternak, dan lainnya. Pengeluaran keluarga per bulan
: Total biaya yang dikeluarkan oleh sebuah keluarga untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya, baik pangan maupun non pangan selama satu bulan (rupiah per kapita per bulan).
Pola penyediaan pangan : Susunan jenis dan jumlah pangan yang disediakan keluarga serta frekuensi penyediaan dan asal pangan tersebut. Konsumsi per kapita per hari
: Jumlah rata-rata energi dan protein yang dikonsumsi oleh satu orang dalam sebuah keluarga dalam satu hari yang diterjemahkan dalam bentuk Kilokalori
23
energi dan gram protein, baik berasal dari produksi sendiri, pembelian, maupun pemberian. Kontribusi pangan Harapan
: Persentase energi yang diharapkan disumbangkan dari setiap kelompok pangan terhadap angka kecukupan gizi yang dianjurkan (2 000 Kal energi dan 52 gram protein).
Kontribusi pangan aktual : Persentase energi atau protein yang disumbangkan oleh setiap kelompok pangan terhadap total energi atau protein yang dikonsumsi. Tingkat kecukupan energi/protein
: Persentase energi/protein yang dikonsumsi per kapita per hari dibagi dengan angka kecukupan energi/protein anjuran.
Angka kecukupan energi/protein
: Sejumlah
energi/protein
yang
seharusnya
dikonsumsi oleh setiap orang berdasarkan umur dan jenis kelamin (mengacu pada widyakarya pangan dan gizi tahun 2004).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kondisi Geografis dan Klimatologis Desa Grogol adalah salah satu desa di Kecamatan Gunung Jati yang merupakan pemekaran dari Kecamatan Cirebon Utara.
Lokasi ibukota desa
dengan ibukota kecamatan berjarak sekitar 5 km dan dapat ditempuh dalam waktu 10 menit menggunakan angkutan kota. Sebelah timur desa ini berbatasan langsung dengan Laut Jawa, sedangkan di sebelah Barat berbatasan dengan Desa Babadan, sebelah Utara dan Selatan masing-masing berbatasan dengan Desa Mertasinga dan Kalisapu. Desa Grogol merupakan daerah dataran rendah yang terdiri dari lima dusun dan terbagi menjadi enam wilayah Rukun Warga (RW) dan 25 Rukun Tetangga (RT). Luas keseluruhan desa ini sekitar 173 hektar dan 20.6 persen diantaranya digunakan sebagai lahan pemukiman. Sungai Bondet adalah pembatas antara Desa Grogol dengan Desa Mertasinga. Daerah aliran sungai ini dimanfaatkan sebagai tempat bersandarnya perahu-perahu nelayan, tempat membuat perahu baru dan memperbaiki perahuperahu dan jaring yang rusak. Selain itu, banyak warga yang memanfaatkan lahan kosong di tepi sungai ini sebagai tempat menjemur ikan asin. Pemerintah setempat telah membuat bendungan di Sungai Bondet. Bendungan ini dibuat untuk mengirigasi lahan persawahan di desa ini. Bendungan ini mampu menampung air sebanyak 800 m3. Adapun Kebutuhan air minum penduduk desa bersumber dari sumur gali dan PAM (PDAM). Jumlah sumur gali yang masih terpakai sebanyak 720 unit dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan air minum sekitar 1 219 kepala keluarga (KK).
Jumlah
pelanggan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di desa ini sebanyak 100 KK, sedangkan jumlah keluarga yang menggunakannya sebanyak 912 KK. Luas total Desa Grogol sekitar 173 hektar dan digunakan untuk berbagai keperluan/kegiatan.
Lahan persawahan di desa ini memiliki luasan terbesar
dibandingkan dengan jenis penggunaan lainnya. Sebanyak 43.2 persen dari 173 hektar lahan digunakan untuk memproduksi padi. hektar
sawah
di
desa
ini
mampu
Dalam sekali panen, tiap
memberikan
penghasilan
sebesar
Rp 4 050 000,-. Apabila mengacu pada harga gabah kering yang ditetapkan
25
oleh pemerintah pada tahun 2005 (Rp. 1 740,-/kg), maka rata-rata per hektar menghasilkan sekitar 2.3 ton gabah kering atau sekitar 7 sampai 8 kuintal beras. Tanaman pangan lain yang juga dibudidayakan di desa ini salah satunya adalah jagung.
Namun, jumlah luasan lahan yang digunakan untuk jagung
hanya tiga hektar.
Pada tahun 2005, dari setiap hektar lahan dapat
menghasilkan sekitar setengah ton jagung. Dengan hasil tersebut, petani dapat memperoleh penghasilan sebesar Rp. 800 000,- per hektarnya. Selain itu, ada juga petani yang menanam kacang tanah dengan total luas lahan dua hektar. Berdasarkan catatan di dalam buku potensi desa, tidak ada jenis tanaman pangan lainnya yang sengaja dibudidayakan di desa ini baik oleh pemerintah desa, masyarakat, maupun swasta. Adapun tanaman buah-buahan yang sering ditemukan di desa ini adalah mangga, pisang, dan pepaya.
Akan tetapi,
jumlahnya tidak banyak dan tidak dibudidayakan secara klhusus di lahan luas. Tanaman-tanaman tersebut hanya ditanam disekitar pekarangan rumah warga. Tanaman perkebunan yang banyak ditanam di daerah ini adalah kelapa. Hal ini dinilai wajar karena tipologinya sebagai daerah pantai/pesisir yang cocok dan bagus untuk tanaman berbatok keras ini. Luasan total lahan yang digunakan untuk menanam kelapa sekitar satu hektar pada tahun 2005 dengan hasil sebanyak satu ton. Tabel 3 Pembagian pemanfaatan lahan di Desa Grogol, kecamatan Gunung Jati Penggunaan lahan Sawah irigasi Sawah Irigasi ½ teknis Sawah tadah hujan Tegal/ladang Pemukiman Pasang surut Fasilitas umum Total
Luas (Ha) 11.0 60.0 3.7 0.6 35.7 55.6 6.4 173.0
% 6.4 34.7 2.1 0.3 20.6 32.1 3.7 100.0
Sumber: Badan Pemberdayaan Masyarakat, Kabupaten Cirebon (2005)
Jenis ternak yang dipelihara oleh warga Desa Grogol meliputi sapi, kambing, ayam, dan bebek.
Pada tahun 2005, Jumlah sapi yang dipelihara
hanya sebanyak dua ekor, sedangkan kambing sebanyak 160 ekor.
Untuk
memenuhi pakannya di desa ini juga terdapat sekitar satu hektar ladang gembalaan. Ayam merupakan ternak yang paling banyak dipelihara, yaitu sekita 1 200 ekor, sedangkan jumlah bebek yang dipelihara sebanyak 500 ekor.
26
Sebagai
desa
yang
berada
di
daerah
pesisir,
maka
kegiatan
perekonomian utama yang banyak dilakukan oleh penduduknya adalah jenis kegiatan perikanan. Kegiatan utama adalah sebagai nelayan penangkap ikan di laut, petani tambak, dan empang. Lahan yang digunakan untuk tambak adalah lahan pasang surut di sekitar pantai. Dari 55.6 hektar lahan pasang surut, 22.5 persennya digunakan untuk tambak sedangkan sisanya dibiarkan kosong dan beberapa digunakan untuk menanam kelapa. Tambak-tambak tersebut dapat menghasilkan sebanyak satu ton ikan bandeng per tahunnya.
Ikan yang
dibudidayakan di empang/kolam adalah jenis ikan mujair dan lele. Dari sekitar 33 hektar laha yang digunakan untuk empang dihasilkan dua ton ikan mujair dan setengah ton ikan lele per tahunnya. Sama seperti daerah lain di Indonesia, khususnya Pulau Jawa, Desa Grogol memiliki dua musim, kemarau dan hujan.
Curah hujan di daerah ini
mencapai 1200-1300 mm per tahun dengan jumlah bulan hujan selama tiga bulan.
Setiap akan memasuki musim hujan, daerah ini selalu diserang oleh
angin kumbang yang mengganggu kegiatan perikanan nelayan, bahkan membuat hampir seluruh nelayan di daerah ini merantau ke daerah lain, seperti Jakarta. Rata-rata suhu harian di desa yang memiliki ketinggian 2 meter di atas permukaan laut ini berkisar antara 28-30 0C. Keadaan Sosial, Ekonomi, dan Demografi Jumlah penduduk yang tinggal di Desa Grogol pada tahun 2006 mencapai 4 288 jiwa lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai jumlah 4 435 jiwa. Jumlah tersebut diperoleh dari 1 120 keluarga yang juga lebih rendah jumlahnya sekitar dari tahun 2005 (1 219 keluarga). Dengan angka tersebut maka pada tahun 2006, rata-rata jumlah anggota keluarga adalah 3.8 jiwa. Dengan angka ini, diperkirakan apabila seluruh keluarga di Desa Grogol ini merupakan keluarga lengkap (bapak, ibu, dan anak), maka satu orang kepala keluarga bertanggung jawab atas dua orang. Keluarga di desa ini, apabila dikelompokkan ke dalam tingkat kesejahteraannya, terbagi menjadi keluarga pra sejahtera yaitu sebanyak 267 keluarga, keluarga sejahtera I sebanyak 410 keluarga, keluarga sejahtera II sebanyak 354 keluarga, keluarga sejahtera III sebanyak 89 keluarga dan tidak ada satu pun keluarga yang masuk ke dalam kelompok keluarga sejahtera III plus.
27
Letak desa yang berbatasan langsung dengan laut dan merupakan daerah
hilir
sungai,
menjadikan
kebanyakan
masyarakat
Desa
Grogol
menggantungkan hidupnya dari kegiatan perikanan laut. Dari 2 856 orang jumlah angkatan kerja (penduduk usia 15 – 55 tahun), tercatat sebesar 62.9 persen atau sebanyak 1 798 orang penduduk (Lampiran 1) memiliki mata pencaharian utama sebagai nelayan.
Jumlah ini jauh lebih banyak dari jumlah penduduk yang
melakukan kegiatan ekonomi lainnya, seperti pengrajin (pembuat jaring, kapal, dll)
dan buruh swasta yang masing-masing merupakan kegiatan ekonomi
terbanyak kedua dan ketiga setelah nelayan dengan jumlah 209 orang (7.3%) dan 192 orang (6.7%). Penduduk Desa Grogol umumnya berpendidikan rendah. Hal ini terlihat dari jumlah penduduk berusia 7–45 tahun yang tidak pernah sekolah yaitu sebanyak 378 orang dan penduduk yang tidak tamat SD/sederajat yaitu sebanyak 1 533 orang. Keadaan ini diduga diakibatkan oleh kondisi ekonomi masyarakat yang rendah sehingga tidak dapat memperoleh pendidikan yang layak. Namun diharapkan keadaan ini tidak berlanjut dengan dicanangkannya program wajib belajar sembilan tahun dan BOS oleh pemerintah pusat. Sementara itu, di desa ini terdapat satu taman kanak-kanak, empat sekolah dasar, dan dua sekolah lanjutan tingkat pertama. Karakteristik Demografi Keluarga Contoh Besar Keluarga Jumlah anggota keluarga diukur untuk mengetahui besarnya sumberdaya manusia yang dimiliki (Baliwati, Pranadji & Retnaningsih 1992). Keluarga yang menjadi contoh penelitian ini memiliki jumlah anggota paling sedikit tiga orang dan paling banyak sepuluh orang. Rata-rata jumlah anggota keluarga contoh adalah sebanyak 4.6 jiwa. Oleh
karena
jumlahnya
yang
beragam,
maka
besar
keluarga
dikategorikan menjadi tiga kategori, yaitu keluarga kecil, keluarga sedang, dan keluarga besar. Keluarga dikatakan kecil apabila jumlah anggota di dalamnya maksimal empat orang, keluarga sedang antara 5-6 orang, dan keluarga besar apabila memiliki jumlah minimal tujuh orang.
Merujuk pada Tabel 4 terlihat
bahwa lebih dari setengah keluarga contoh (52.9 %) memiliki anggota kurang dari atau sama dengan empat orang. Angka ini tidak menggambarkan jumlah anak yang dimiliki keluarga, karena banyak dari keluarga tersebut yang anaknya sudah menikah dan pisah rumah serta ada juga yang bekerja menjadi TKW.
28
Tabel 4 Sebaran keluarga berdasarkan besar keluarga Besar Keluarga kecil (≤ 4 orang) sedang (5 – 6 orang) besar (≥ 7 orang) Total
n 18 14 2 34
% 52.9 41.2 5.9 100.0
Usia KK dan Istri Seluruh kepala keluarga dan istri berada pada masa dewasa, karena usia mereka sudah lebih dari 20 tahun (Papalia & Olds 1986). Usia termuda kepala keluarga (KK) adalah 25 tahun dan yang paling tua berusia 70 tahun, sedangkan pada istri usia termuda dan tertua masing-masing adalah 23 dan 65 tahun. Tabel 5 Sebaran keluarga berdasarkan usia KK dan Istri KK
Usia Dewasa muda Dewasa madya Dewasa lanjut
n 5 14 13 2 34
20-30 30-40 40-65 > 65 Total
Istri % 14.7 41.2 38.2 5.9 100.0
n 10 12 11 1 34
% 29.4 35.3 32.4 2.9 100.0
Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh rata-rata usia KK adalah 40.2 tahun dan istri 36.2 tahun. Tabel 5 menunjukkan lebih dari setengah kepala keluarga contoh berusia 20–40 tahun (dewasa muda). terdapat pada kelompok istri.
Hal yang sama juga
Keadaan ini disebabkan oleh banyaknya
pasangan suami istri yang menikah pada usia relatif muda. Keadaan tersebut dibuktikan dari jarak antara usia ibu dan anak pertama mereka dimana rata-rata selisih usia antara usia ibu dan anak pertamanya sebesar 19.4 tahun. Angka ini dapat diartikan bahwa umumnya istri menikah pada usia remaja (< 20 tahun). Bahkan ada ibu yang baru berumur 24 tahun, tetapi sudah memiliki anak berusia 13 tahun. Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga Contoh Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga dan Istri Tingkat pendidikan akan menentukan seberapa besar pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang.
Berdasarkan tingkat pendidikannya, kepala keluarga
dan istri dalam penelitian ini dikelompokkan ke dalam tiga kategori yaitu tidak sekolah, tidak tamat SD, dan tamat SD.
29
Tabel 6 Sebaran keluarga menurut tingkat pendidikan kepala keluarga dan istri KK
Pendidikan
n 16 5 13 34
Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD Total
Istri % 47.1 14.7 38.2 100.0
n 14 7 13 34
% 41.2 20.5 38.2 100.0
Jumlah keluarga contoh yang kepala keluarganya tidak sekolah cukup besar, yaitu hampir setengah dari seluruh keluarga contoh (47.1%). Keadaan yang sama juga terdapat pada kelompok istri dimana 41.2 persennya tidak sekolah. Hal ini menunjukkan secara umum pendidikan kepala keluarga dan istri tergolong rendah.
Rendahnya tingkat pendidikan KK dan istri semakin jelas
terlihat dari rata-rata lama sekolah yang dijalani, yaitu selama 3.2 tahun untuk KK dan 3.3 tahun untuk istri.
Angka tersebut setara dengan kelas tiga sekolah
dasar. Keadaan ini masih jauh dari program wajib belajar sembilan tahun yang dicanangkan pemerintah. Tingkat dan Alokasi Pengeluaran Keluarga Contoh Rata-rata pengeluaran keluarga adalah sebesar Rp. 262 753.78 per kapita per bulan. Jumlah tersebut masih lebih besar bila dibandingkan dengan garis kemiskinan nasional tahun 2007 untuk wilayah pedesaan, yaitu sebesar Rp. 146 837.00. Hal ini menunjukkan bahwa secara umum, berdasarkan pengeluaran per kapita per bulannya, keluarga yang menjadi contoh penelitian ini tidak tergolong sebagai keluarga miskin. Tabel 7 Sebaran keluarga berdasarkan tingkat pengeluaran per kapita per bulan Tingkat Pengeluaran < 146 837.00 (miskin) 146 837.00-183 546.25 (hampir miskin) 183 546.25-220 255.5 (hampir tidak miskin) > 220 255.5 (tidak miskin) Total Rata-rata ± SD
n % 5 14.7 3 8.8 6 17.6 20 58.8 34 100.0 262 753.78 ± 154 762.16
Besarnya rata-rata pengeluaran yang menunjukkan ketidakmiskinan keluarga contoh semakin diperkuat dengan penyebarannya menurut tingkat kemiskinan (Tabel 7).
Hasil yang diperoleh memperlihatkan sebagian besar
keluarga (85.3%) memiliki pengeluaran per kapita per bulan lebih besar dari Rp 146 837.00 (garis kemiskinan) dan lebih dari setengahnya terlihat jelas tergolong sebagai keluarga tidak miskin.
30
Tabel 8 Sebaran keluarga menurut tingkat pengeluaran dan kesejahteraan Tingkat Pengeluaran < 146 837.00 146 837.00-183 546.25 183 546.25-220 255.50 > 220 255.50 Total
Pra Sejahtera n % 3 25.0 1 8.3 2 16.7 6 50.0 12 100.0
Sejahtera I n % 2 9.1 2 9.1 4 18.2 14 63.6 22 100.0
Total n 5 3 6 20 34
% 14.7 8.8 17.6 58.8 100.0
Tingkat kesejahteraan keluarga diperoleh dari hasil survei yang dilakukan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Adapun tingkat pengeluaran diperoleh dari penentuan garis kemiskinan yang dilakukan oleh Biro Pusat Statistik (BPS). Pemilihan keluarga contoh penelitian ini didasarkan pada tingkat kesejahteraan keluarga, yaitu keluarga pra sejahtera dan keluarga sejahtera I. Penentuan kedua kategori kesejahteraan tersebut diharapkan dapat mewakili dan menggambarkan kemiskinan keluarga contoh.
Akan tetapi
walaupun seluruh keluarga contoh tergolong pra sejahtera dan sejahtera I, sebagian besarnya tergolong tidak miskin (85.3%) seperti yang terlihat pada Tabel 8 di atas. Hal yang membedakan ukuran tingkat kesejahteraan dan kemiskinan adalah pada variabel pengukuran yang digunakan. Biro Pusat Statistik hanya menggunakan variabel ekonomi dalam menentukan garis kemiskinan, yaitu pendapatan/pengeluaran (BPS 2005). Adapun BKKBN tidak hanya melihat dari variabel ekonomi saja, melainkan juga variabel sosial dan spiritual.
Dengan
perbedaan tersebut menyebabkan hasil yang diperoleh dari keduanya juga akan berbeda. Keluarga yang tergolong pra sejahtera dan sejahtera I belum tentu tergolong miskin menurut BPS karena bisa saja keluarga tersebut memiliki pengeluaran besar tetapi tergolong keluarga sejahtera I (BPS 2005). Secara umum, pengeluaran terbagi menjadi pengeluaran untuk makanan dan bukan makanan. Keduanya memiliki pengaruh dan ketergantungan satu sama lain.
Kontribusi dari keduanya pasti selalu berjumlah 100%.
Pada
keluarga-keluarga yang menjadi contoh terlihat kontribusi pengeluaran non pangannya lebih besar 3.8 persen daripada pengeluaran pangan. Sumbangan setiap jenis pengeluaran terhadap total pengeluaran per kapita per bulan ditunjukkan dengan jelas pada Tabel 9.
31
Hasil pada Tabel 9 semakin memperkuat pernyataan bahwa keluarga contoh penelitian ini bukanlah keluarga miskin. Alderman (1986) diacu dalam Senauer dan Roe (1997) menyatakan bahwa orang miskin adalah mereka yang pengeluaran pangannya lebih dari 60 persen dari total pengeluarannya. Adapun rata-rata pengeluaran pangan seluruh keluarga contoh hanya sebesar 48.1 persen dari total pengeluarannya. Tabel 9 Persentase setiap jenis pengeluaran terhadap total pengeluaran per kapita per hari Jenis Pengeluaran Pangan Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak&lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur&buah Lainnya Sub total Non pangan Kesehatan Pendidikan Energi Dapur dan rumah Pakaian Pesta Rokok Lainnya Sub total Total
Rata-rata Pengeluaran (Rp/kap/bln)
% Terhadap Subtotal
% Terhadap Total
43 576.26 4 011.87 34 237.20 7 302.79 772.20 7 391.12 7 250.57 17 550.19 4 371.63 126 463.82
34.5 3.2 27.1 5.8 0.6 5.8 5.7 13.9 3.5 100.0
16.6 1.5 13.0 2.8 0.3 2.8 2.8 6.7 1.7 48.1
11 447.15 17 399.48 70 338.30 395.22 4 023.98 4 023.83 27 442.84 1 219.16 136 289.96 262 753.78
8.4 12.8 51.6 0.3 3.0 3.0 20.1 0.9 100.0
4.4 6.6 26.8 0.2 1.5 1.5 10.4 0.5 51.9 100.0
Berdasarkan Tabel 9, dapat diketahui bahwa pengeluaran pangan keluarga contoh didominasi oleh kelompok pangan padi-padian, yaitu sebesar Rp. 43 576.26 per kapita per bulan (34.5%), sedangkan yang paling rendah adalah pengeluaran untuk kelompok pangan buah/biji berminyak (0.6%). Pada pengeluaran non pangan, kontribusi terbesar digunakan untuk konsumsi energi (bahan bakar), yaitu sebanyak Rp. 70 338.30 per kapita per bulan dan yang paling rendah adalah pengeluaran untuk pembelian dan pemeliharaan alat dapur dan rumah (0.3%).
32
Besarnya pengeluaran untuk energi disebabkan oleh kenaikan harga bahan bakar minyak, baik yang digunakan untuk melaut (solar) maupun keperluan keluarga (minyak tanah).
Dengan kenaikan harga bahan bakar
menunjukkan modal untuk melaut menjadi semakin bertambah besar, sedangkan hasil tangkapan semakin menurun. Apabila keadaan ini terus berlanjut, tidak menutup kemungkinan jumlah keluarga miskin akan semakin bertambah. Kepemilikan Aset Keluarga yang memiliki banyak aset diduga akan lebih tahan ketika dilanda masalah finansial karena dapat menjual atau menggadaikan aset yang dikuasainya.
Pada penelitian ini kepemilikan aset keluarga masih tergolong
rendah. Hal ini terlihat dari sedikitnya jumlah aset yang dimiliki oleh masingmasing keluarga. Tabel 10 memperlihatkan hanya lima jenis aset yang dimiliki oleh lebih dari setengah keluarga contoh (rumah, sepeda, jaring, emas, dan televisi), sedangkan jenis aset lain hanya dikuasai oleh beberapa keluarga saja. Tabel 10 memperlihatkan sebesar 58.8 persen responden memiliki rumah sendiri, sedangkan sisanya masih menumpang di rumah orang tua mereka. Jenis kendaraan yang banyak dimiliki adalah sepeda. Kendaraan ini banyak dimiliki karena harganya yang murah dan relatif lebih mudah penggunaan dan perawatannya.
Aset lainnya yang juga banyak dimiliki adalah alat tangkap
rajungan. Alat tangkap yang digunakan oleh sebagian besar keluarga contoh adalah jaring “kejer”, dan hanya beberapa keluarga contoh saja yang menggunakan alat tangkap lain (bubu). Biaya pembuatan kapal yang mahal menyebabkan tidak semua keluarga contoh dapat memilikinya.
Untuk pembuatan kapal berukuran 8 x 2.5 meter
menghabiskan biaya tidak kurang dari lima juta rupiah. Hanya nelayan yang berani meminjam uang kepada bakul (tengkulak) saja yang bisa memiliki kapal dengan konsekuensi nelayan tersebut harus selalu menjual hasil tangkapannya kepada bakul yang memberinya modal. Harga yang diberikan bakul kepada si peminjam modal biasanya lebih murah daripada kepada nelayan lainnya, karena dipotong untuk membayar cicilan hutangnya. patron linkage (Mulyadi 2005).
Hubungan seperti ini disebut
33
Tabel 10 Sebaran keluarga berdasarkan kepemilikan aset Aset Rumah Sepeda motor Sepeda Kapal Jaring (alat tangkap) Emas Tabungan Ayam Bebek Tambak TV Tape/radio VCD RiceCook Magic Jar Kulkas Kipas angin Lainnya (setrika, dll) Sofa Kompor gas
Punya n 20 2 18 9 34 18 4 5 1 1 18 14 2 1 4 1 6 5 8 1
% 58.8 5.9 52.9 26,5 100 52.9 11.8 14.7 2.9 2.9 52.9 41.2 5.9 2.9 11.8 2.9 17.6 14.7 23.5 2.9
Tidak punya n % 14 41.2 32 94.1 16 47.1 25 73.5 0 0.0 16 47.1 30 88.2 29 85.3 33 97.1 33 97.1 16 47.1 20 58.8 32 94.1 33 97.1 30 88.2 33 97.1 28 82.4 29 85.3 26 76.5 33 97.1
Konsumsi Pangan Keluarga Salah satu hasil Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) ke-VIII yang dilaksanakan pada tahun 2004 adalah angka kecukupan gizi (AKG) orang Indonesia berdasarkan usia, jenis kelamin, berat badan dan tinggi badan, jenis kegiatan, dan kondisi fisiologis. Angka kecukupan gizi berfungsi sebagai acuan dalam menentukan seberapa besar gizi, terutama energi dan protein, yang dibutuhkan oleh seseorang sesuai dengan karakteristiknya, seperti yang dilakukan pada penelitian ini. Pada penelitian ini, angka kecukupan energi dan protein setiap anggota keluarga dihitung menggunakan AKG berdasarkan usia dan jenis kelaminnya, kemudian dijumlahkan dan dicari rata-rata kecukupan energi dan protein untuk seluruh anggota keluarga tersebut. Setelah diperoleh angka kecukupan energi (AKE) dan angka kecukupan protein (AKP) masingmasing keluarga, kemudian dihitung rata-rata AKE dan AKP untuk seluruh keluarga.
Dari hasil perhitungan diperoleh rata-rata AKE per kapita per hari
sebesar 2 020 Kal dan rata-rata AKP per kapita per hari sebesar 51.3 g. Secara umum, keluarga contoh penelitian ini mengalami defisit energi. Hal ini terlihat dari rata-rata konsumsi energinya (1 813 Kal) yang belum memenuhi angka kecukupannya, yaitu 2 020 Kal (Tabel 11). bertolak belakang dengan besar pengeluarannya.
Hasil tersebut
Keluarga contoh yang
34
mayoritas merupakan keluarga tidak miskin, tetapi memiliki komsumsi energi yang rendah. Hal tersebut dikarenakan alokasi pengeluaran pangannya yang lebih rendah dibandingkan dengan alokasi untuk pengeluaran non-pangan. Keadaan yang berbeda terlihat pada konsumsi protein seluruh keluarga contoh. Tabel 11 Tingkat konsumsi pangan keluarga Zat Gizi Energi (Kal) Protein (g)
Rata-rata Konsumsi 1 813 58.6
AKG 2 020 51.3
Tingkat Konsumsi (%) 89.7 114.1
Tabel 12 di bawah ini berisi informasi sebaran keluarga contoh menurut konsumsi energi per kapita per hari. Sebanyak 21 keluarga atau sebesar 61.8 persen keluarga contoh mengalami defisit energi dan separuh diantaranya tergolong sangat kurang (tingkat konsumsi energi < 70%). Tabel 12 Sebaran keluarga berdasarkan tingkat konsumsi energi Tingkat Konsumsi Energi < 70 % (sangat kurang) < AKE 70 - 100 % (kurang) 100 - 110 % (normal) ≥ AKE ≥ 110 % (kelebihan) Total Rata-rata ± SD
Rata-rata (Kal) 981 1 704 2 260 2 595
n
% 11 32.4 10 29.4 3 8.8 10 29.4 34 100.0 1 813 ± 671
Berbeda dengan konsumsi energi, rata-rata konsumsi protein keluarga contoh sudah lebih tinggi 14.1 gram dari yang dianjurkan (51.3 g/kap/hr). Namun demikian, berdasarkan tingkat konsumsinya terlihat lebih dari separuh keluarga contoh mengalami defisit protein (< AKP) dan hanya dua keluarga contoh saja yang memiliki rata-rata konsumsi protein tergolong normal. Keadaan ini terjadi disebabkan oleh banyaknya keluarga contoh yang mengalami kelebihan protein, sehingga rata-rata konsumsi keluarga contoh yang mengalami defisit tertutupi oleh rata-rata konsumsi keluarga contoh yang kelebihan protein dan pada akhirnya rata-rata konsumsi dan tingkat konsumsi secara total menjadi tinggi. Tabel 13 Sebaran keluarga berdasarkan tingkat konsumsi protein Tingkat Konsumsi Protein < 70 % (sangat kurang) < AKP 70 - 100 % (kurang) 100 - 110 % (normal) ≥ AKP ≥ 110 % (kelebihan) Total Rata-rata ± SD
Rata-rata (g) 26.5 43.6 56.6 91.3
n 10 8 2 14 34
% 29.4 23.5 5.9 41.2 100.0 58.6 ± 41.8
35
Penilaian Keragaman Konsumsi Pangan Kontribusi Energi dan Protein Beberapa Kelompok Pangan Besarnya konsumsi energi dan protein keluarga akan sangat bergantung pada kemampuannya menjangkau dan menyediakan pangan secara beragam, berimbang, dan berkelanjutan.
Berdasarkan pola pangan harapan (PPH),
pangan dikelompokkan menjadi sembilan kelompok pangan (Kantor Menteri Urusan Pangan diacu dalam Hardinsyah et al 2001). Setiap kelompok berisi bahan pangan dengan kandungan energi dan protein serta zat gizi lainnya yang spesifik. Tabel 14 berisi kontribusi dari setiap kelompok pangan terhadap rata-rata konsumsi energi keluarga contoh. Dari Tabel 14 terlihat secara umum kontribusi terbesar diberikan oleh kelompok pangan padi-padian, yaitu sebesar 58.6 persen atau sebanyak 1 062 Kal.
Hasil yang sama terlihat apabila keluarga contoh
dibagi menjadi kelompok miskin dan tidak miskin. Sumbangan energi terbesar, baik pada keluarga miskin maupun tidak miskin juga diberikan oleh kelompok pangan padi-padian. Tabel 14 Rata-rata konsumsi energi per kapita per hari berdasarkan kelompok pangan Kelompok Pangan Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak dan lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain Total
Miskin (n=5) Kal % 791 65.5 31 2.5 52 4.3 184 15.2 16 1.3 61 5.0 44 3.7 30 2.5 0 0.0 1 208 100.0
Konstribusi Energi Tidak miskin (n=29) Kal % 1 109 57.8 66 3.4 219 11.4 278 14.5 19 1.0 82 4.3 93 4.8 51 2.7 0 0.0 1 917 100.0
Total (n=34) Kal % 1 062 58.6 61 3.4 195 10.7 264 14.6 18 1.0 79 4.3 86 4.7 48 2.6 0 0.0 1 813 100.0
Tabel 14 juga memperlihatkan adanya kecenderungan hubungan antara konsumsi pangan dengan kondisi ekonomi keluarga. Hubungan tersebut terlihat jelas dari konsumsi energi keluarga miskin yang lebih rendah dari keluarga tidak miskin. Perbedaan ini juga terlihat pada kontribusi energi dari setiap kelompok pangan.
Terdapat empat kelompok pangan pada keluarga miskin yang
kontribusi energinya lebih besar dibandingkan pada keluarga tidak miskin, yaitu padi-padian, minyak dan lemak, buah/biji berminyak, dan kacang-kacangan.
36
Selain dilakukan perhitungan untuk mendapatkan besar kontribusi setiap kelompok pangan terhadap rata-rata total konsumsi energi keluarga contoh, juga dihitung kontribusinya terhadap angka kecukupan energi keluarga contoh (Tabel 15). Besarnya kontribusi yang diberikan oleh setiap kelompok pangan kemudian dibandingkan dengan kontribusi harapannya.
Kontribusi harapan adalah
besarnya jumlah energi yang seharusnya tersumbang dari setiap kelompok pangan. Kontribusi harapan dari setiap kelompok pangan berbeda-beda sesuai dengan kandungan energi dan fungsinya. Dari Tabel 15 terlihat bahwa secara umum terdapat dua kelompok pangan yang kontribusi energinya sudah mencapai nilai yang diharapkan, yaitu kelompok pangan padi-padian (52.6%) dan minyak dan lemak (13.1%). Adapun kontribusi energi dari kelompok pangan lainnya terlihat masih kurang dari harapan. Berdasarkan tingkat kemiskinan keluarga dapat diketahui bahwa pada keluarga miskin tidak ada satu pun kelompok pangan yang kontribusi energinya mencapai harapan. Adapun pada keluarga tidak miskin kontribusi energi dari masing-masing kelompok pangan hampir sama dengan yang diperoleh pada seluruh keluarga contoh, bahkan kelompok pangan yang memberikan kontribusi sesuai harapan juga sama, yaitu padi-padian (54.9%) dan minyak dan lemak (13.8%).
Dengan hasil pada tersebut, dapat diketahui bahwa energi yang
dikonsumsi oleh keluarga contoh tidak berasal dari pangan yang beragam. Tabel 15 Rata-rata kontribusi kelompok pangan terhadap AKE dan kontribusi harapannya Kontribusi Aktual (%) Kontribusi Harapan (%) Miskin (n=5) Tidak Miskin (n=29) Total (n=34) Padi-padian 50.0 39.2 54.9 52.6 Umbi-umbian 6.0 1.5 3.3 3.0 Pangan hewani 12.0 2.6 10.9 9.6 Minyak dan lemak 10.0 9.1 13.8 13.1 Buah/biji berminyak 3.0 0.8 0.9 0.9 Kacang-kacangan 5.0 3.0 4.1 3.9 Gula 5.0 2.2 4.6 4.2 Sayur dan buah 6.0 1.5 2.5 2.4 Lain-lain 3.0 0.0 0.0 0.0 Total 100.0 59.8 94.9 89.7 Kelompok Pangan
Penelitian ini juga menghitung besarnya kontribusi protein dari setiap kelompok pangan terhadap rata-rata angka kecukupan protein keluarga contoh (Tabel 16). Berdasarkan Tabel 16 dapat diketahui bahwa secara umum separuh (50.9%) protein yang dikonsumsi, disumbangkan oleh kelompok pangan hewani.
37
Hal ini terjadi karena seluruh keluarga contoh penelitian ini adalah keluarga nelayan, sehingga mudah mengakses pangan hewani khususnya ikan. Kelompok pangan padi-padian merupakan penyumbang protein terbesar di antara kelompok pangan sumber protein nabati lainnya. Hal ini dimungkinkan karena fungsi kelompok pangan ini sebagai pangan pokok yang banyak dikonsumsi dan biasa dikonsumsi dalam jumlah banyak. Seperti halnya pada kontribusi energi setiap kelompok pangan, pada kontribusi protein juga terlihat adanya kecenderungan hubungan antara kondisi ekonomi dengan konsumsi protein keluarga contoh. Hal tersebut terlihat dari rata-rata konsumsi protein keluarga tidak miskin yang lebih besar daripada keluarga miskin.
Pada keluarga contoh tidak miskin konsumsi proteinnya
sebesar 30.7 gram, masih kurang sekitar 40 persen dari AKP, sedangkan pada keluarga contoh tidak miskin konsumsi proteinnya sebesar 63.4 gram.
Pada
keluarga contoh miskin kontribusi protein terbesar diberikan oleh kelompok pangan padi-padian (29.7%), sedangkan pada keluarga tidak miskin kelompok pangan yang memberikan sumbangan protein terbanyak adalah kelompok pangan hewani (57.6%). Tabel 16 Kontribusi setiap kelompok pangan terhadap konsumsi protein per kapita per hari Kelompok Pangan Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak dan lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain Total
Miskin (n=5) Gram % 15.2 29.7 0.4 0.7 6.2 12.0 0.0 0.0 0.4 0.8 7.4 14.4 0.0 0.0 1.2 2.3 0.0 0.0 30.7 59.9
Kontribusi Protein Tidak miskin (n=29) Gram % 21.7 42.3 0.8 1.5 29.6 57.6 0.0 0.0 0.3 0.6 8.5 16.6 0.0 0.0 2.5 4.9 0.0 0.0 63.4 123.6
Total (n=34) Gram % 20.8 40.4 0.7 1.4 26.1 50.9 0.0 0.0 0.3 0.6 8.4 16.3 0.0 0.0 2.3 4.5 0.0 0.0 58.6 114.2
Pola Pangan Harapan Secara kualitas, konsumsi pangan dapat dilihat dari keragamannya yang dihitung menggunakan metode Pola Pangan Harapan (PPH). Skor pola pangan harapan adalah hasil perbandingan antara skor AKE dan skor maksimal kelompok pangan. Skor AKE adalah nilai yang diperoleh dari hasil perkalian antara persen AKE dengan tetapan kontribusi pangan (bobot), sedangkan skor maksimal pangan adalah nilai yang harus dicapai oleh kelompok pangan
38
sehingga konsumsinya dianggap mencukupi.
Akumulasi skor maksimal dari
seluruh kelompok pangan akan berjumlah seratus.
Apabila skor AKE satu
kelompok pangan lebih rendah dari skor maksimalnya, maka skor AKE tersebut yang dijadikan skor PPH. Akan tetapi apabila skor AKE-nya sudah sama atau lebiah besar dari skor maksimal, maka skor maksimal kelompok pangan tersebutlah yang menjadi skor PPH.
Total dari skor PPH setiap kelompok
pangan menunjukkan keragaman dan kualitas konsumsi. Hasil perhitungan skor PPH keluarga contoh adalah sebesar 73.1 (Tabel 17). Tabel 17 Skor PPH konsumsi pangan keluarga Kelompok Pangan Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak dan lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain Total
Skor AKE* 26.3 1.5 19.3 6.5 0.5 7.8 2.1 11.9 0.0 75.9
Skor Maks 25 2.5 24 5 1 10 2.5 30 0
Skor PPH 25.0 1.5 19.3 5.0 0.5 7.8 2.1 11.9 0.0 73.1
Mengacu pada Tabel 17, terlihat jelas hanya dua jenis pangan yang skor AKE-nya sudah lebih dari skor maksimal, yaitu kelompok pangan padi-padian dan minyak dan lemak. Konsumsi kedua kelompok pangan ini sudah baik dan harus dipertahankan.
Akan tetapi, konsumsi jenis pangan lainnya harus
ditingkatkan. Keanekaragaman pangan dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan seluruh zat gizi yang tidak dapat dipenuhi dari satu jenis pangan saja. Tabel 18 Skor PPH konsumsi pangan keluarga miskin Kelompok Pangan Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak dan lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain Total
Skor AKE 19.6 0.8 5.1 4.5 0.4 6.0 1.1 7.5 0.0 45.0
Skor Maks 25.0 2.5 24.0 5.0 1.0 10.0 2.5 30.0 0.0
Skor PPH 19.6 0.8 5.1 4.5 0.4 6.0 1.1 7.5 0.0 45.0
39
Tabel 18 menampilkan skor PPH rata-rata dari masing-masing kelompok pangan pada keluarga miskin. Berdasarkan Tabel 18 tersebut diketahui bahwa tidak ada satupun kelompok pangan yang memiliki skor PPH maksimal. Skor PPH tertinggi diperoleh oleh kelompok pangan padi-padian. Tabel 19 Skor PPH konsumsi pangan keluarga tidak miskin Kelompok Pangan Padi-padian Umbi-umbian Pangan hewani Minyak dan lemak Buah/biji berminyak Kacang-kacangan Gula Sayur dan buah Lain-lain Total
Skor AKE 27.4 1.6 21.7 6.9 0.5 8.1 2.3 12.6 0.0 81.2
Skor Maks 25.0 2.5 24 5 1 10 2.5 30 0
Skor PPH 25.0 1.6 21.7 5.0 0.5 8.1 2.3 12.6 0.0 76.9
Berbeda dengan keluarga miskin, keluarga yang tidak miskin memiliki dua kelompok pangan yang skor AKE-nya lebih besar dari skor PPH maksimal. Kelompok pangan yang dimaksud adalah kelompok pangan padi-padian dan minyak dan lemak. Skor AKE keduanya masing-masing adalah 27.4 dan 6.9, sedangkan skor PPH-nya adalah 25.0 dan 5.0. Berdasarkan tingkat kemiskinannya, terlihat jelas keluarga miskin memiliki skor PPH lebih rendah dibandingkan dengan keluarga tidak miskin. Skor PPH keluarga miskin adalah sebesar 45.0, sedangkan skor PPH keluarga tidak miskin sebesar 76.9. Walaupun demikian, skor PPH keduanya masih jauh dari yang diharapkan, yaitu 100. Dengan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa konsumsi pangan keluarga-keluarga yang menjadi contoh penelitian ini baik miskin maupun tidak miskin masih belum beragam. Pembahasan selanjutnya akan melihat lebih dalam jenis pangan apa saja dari masing-masing kelompok pangan yang paling besar menyumbang energi dan protein. a. Padi-padian Secara umum, kelompok pangan padi-padian sudah memberikan kontribusi energi sesuai harapan.
Energi yang tersumbang dari kelompok
pangan ini sebesar 1 062 Kal, sedangkan kontribusi harapannya adalah sebesar 1000 Kal.
Kontribusinya yang besar membuat skor pola pangan harapan
kelompok pangan ini mencapai skor maksimal, yaitu 25.0.
Hasil ini
mengisyaratkan konsumsi jenis-jenis pangan kelompok padi-padian sudah cukup
40
dan salah satu penyebabnya adalah fungsinya sebagai pangan pokok (sumber energi utama). Penghitungan PPH berdasarkan tingkat kemiskinan, memperlihatkan keluarga miskin mengalami defisit konsumsi kelompok pangan padi-padian. Hal ini dibuktikan dari skor PPH kelompok padi-padiannya yang hanya sebesar 19.6 atau kurang tujuh poin dari skor maksimal.
Hasil berbeda diperoleh oleh
keluarga tidak miskin dimana skor PPH kelompok padi-padiannya sudah mencapai maksimal. Selain sebagai sumber energi, kelompok pangan ini juga berfungsi sebagai sumber protein nabati.
Kelompok pangan ini memberikan kontribusi
protein terbesar di antara sumber protein nabati lainnya dan merupakan terbesar kedua setelah pangan hewani. Protein yang tersumbang dari kelompok pangan ini adalah sebanyak 20.8 gram atau sebesar 39.9 persen dari 58.6 gram protein yang dikonsumsi. Sama dengan daerah lain di Indonesia, khususnya pulau jawa, pangan pokok di daerah penelitian adalah beras.
Hal ini dibuktikan oleh kontribusi
energinya yang mencapai 91.4 persen dari total energi yang disumbangkan oleh kelompok padi-padian.
Selain itu, jenis pangan ini dikonsumsi oleh seluruh
keluarga yang menjadi contoh penelitian. Jenis pangan lain dalam kelompok padi-padian yang dikonsumsi oleh hampir seluruh keluarga contoh adalah mie dengan kontribusi sebesar 4.7 persen. Hasil tersebut memberi informasi bahwa untuk pangan pokok keluarga contoh masih tergantung pada beras. b. Umbi-umbian Kontribusi kelompok pangan umbi-umbian terhadap rata-rata konsumsi energi keluarga contoh adalah sebesar 3.4 persen, sedangkan terhadap AKE sebesar 3.0 persen. Kedua-duanya masih lebih rendah dari yang diharapkan (6%).
Adapun kontribusi kelompok pangan ini terhadap rata-rata konsumsi
protein keluarga contoh adalah sebesar 1.4 persen. Kontribusi energi kelompok pangan umbi-umbian pada keluarga miskin lebih rendah dibanding pada keluarga tidak miskin. Pada keluarga tidak miskin kontribusinya sebesar 3.3 persen, sedangkan pada keluarga miskin kontribusinya sebesar 1.5 persen.
Kedua-duanya masih lebih rendah dari kontribusi yang
diharapkan. Rendahnya kontribusi kelompok pangan ini semakin terbukti dari skor PPH-nya yang masih kurang dari skor maksimal (2.5). Secara umum skor PPH kelompok pangan ini hanya sebesar 1.5, sedangkan apabila dilihat
41
berdasarkan tingkat kemiskinannya, keluarga miskin memiliki skor PPH yang lebih rendah dari keluarga tidak miskin.
Skor PPH kelompok pangan umbi-
umbian pada keluarga miskin adalah sebesar 0.8 dan pada keluarga tidak miskin sebesar 1.6. Jenis pangan yang memberikan kontribusi paling besar terhadap rata-rata total konsumsi energi umbi-umbian adalah ubi kayu (singkong) dan ubi jalar. Kontribusi masing-masing pangan tersebut adalah 52.4 dan 44.6 persen. Kedua jenis pangan tersebut juga memberikan sumbangan yang besar terhadap total kontribusi protein kelompok umbi-umbian, yaitu 56.9 persen oleh ubi jalar dan 37.3 persen oleh ubi kayu. Sumbangan kedua jenis pangan ini hampir sama, karena peranan keduanya hanya sebagai pangan jajanan dan dikonsumsi dalam jumlah yang hampir sama. Selain itu, kandungan energi dan protein keduanya juga hampir sama. Dalam seratus gram singkong terkandung 146.0 Kal energi dan 1.2 gram protein, sedangkan pada ubi jalar dengan berat yang sama mengandung 123.0 Kal energi dan 1.8 gram protein. c. Pangan Hewani Secara umum kontribusi energi kelompok pangan hewani masih 2.4 persen lebih rendah dari yang diharapkan (12.0%). diperoleh
apabila
keluarga
contoh
Hasil yang sama juga
dikelompokkan
menurut
tingkat
kemiskinannya. Pada keluarga miskin energi yang terkontribusi dari kelompok pangan ini sebesar 2.6 persen, sedangkan pada keluarga tidak miskin kontribusinya lebih besar 10.9 persen. Jenis pangan yang memberikan sumbangan terbesar terhadap total kontribusi energi kelompok pangan hewani adalah ikan segar dengan kontribusi sebesar 52.9 persen.
Jenis pangan lain yang memberikan kontribusi cukup
besar adalah telur ayam (13.6%), ikan asin (12.7%), dan daging ayam (5.0%). Telur ayam memberikan kontribusi yang lebih besar dari daging ayam karena harga per satuan jual telur ayam relatif lebih murah dibandingkan dengan daging ayam. Selain sebagai sumber energi, kelompok pangan hewani juga sangat dibutuhkan peranannya sebagai sumber protein. Hal ini terbukti pada seluruh keluarga yang menjadi contoh penelitian ini, pangan hewani memberikan sumbangan protein terbesar (50.2%) terhadap rata-rata konsumsi proteinnya. Akan tetapi berdasarkan tingkat kemiskinannya ternyata hanya pada keluarga tidak miskin saja pangan hewani mendominasi konsumsi protein, sedangkan
42
kontribusi protein pangan hewani pada keluarga miskin masih kalah dari padipadian.
Sumbangan protein pangan hewani pada keluarga tidak miskin
sebanyak 29.6 gram, sedangkan pada keluarga miskin sebanyak 6.2 gram (padipadian 15.2 gram). Seperti pada konsumsi energi, jenis pangan yang berkontribusi paling besar adalah ikan segar (59.7%), disusul oleh ikan asin (19.5%), dan telur ayam (8.0%). Tingginya kontribusi ikan segar dan ikan asin sangat terkait dengan jenis mata pencaharian utama kepala keluarga contoh sebagai nelayan. d. Minyak dan Lemak Sama halnya dengan kelompok pangan padi-padian, kontribusi kelompok pangan minyak dan lemak pada keluarga miskin belum maksimal, sedangkan pada keluarga tidak miskin sudah mmenuhi harapan. Hal ini terlihat dari 10.0 persen kontribusi energi yang diharapkan, konsumsi kelompok pangan ini pada keluarga miskin baru sebesar 9.1 persen, sedangkan pada keluarga tidak miskin sebanyak 13.8 persen. Walaupun demikian, secara keseluruhan kontribusi yang diberikan kelompok pangan ini terhadap rata-rata konsumsi energi keluarga contoh sudah melebihi angka yang diharapkan yaitu sebesar 13.1 persen. Kelompok pangan minyak dan lemak memiliki kandungan energi yang tinggi, namun fungsinya bukan sebagai pangan pokok dan hanya dikonsumsi dalam jumlah sedikit.
Selain itu jenis-jenis pangan dalam kelompok pangan
minyak dan lemak sangat minim protein, oleh karena itu kelompok pangan ini bukan merupakan sumber protein yang baik. Besarnya kontribusi kelompok pangan minyak dan lemak pada keluarga contoh penelitian ini, ternyata hanya berasal dari satu jenis bahan pangan (100.0%), yaitu minyak kelapa sawit atau yang akrab disebut minyak sayur. Alasan keluarga contoh menggunakan minyak kelapa sawit karena konsumsinya di pasar lebih banyak, sehingga lebih mudah diperoleh. e. Buah/biji Berminyak Kelompok pangan buah/biji berminyak juga merupakan kelompok pangan sumber energi. Kelompok pangan ini diharapkan dapat menyumbangkan energi sebesar tiga persen dari total energi.
Akan tetapi, pada keluarga contoh
penelitian ini kontribusinya baru 0.9 persen.
Selain itu, kontribusi protein
kelompok pangan ini juga rendah. Kontribusinya hanya 0.3 gram (0.6%) dari rata-rata protein yang dikonsumsi. Hal ini dikarenakan rendahnya kandungan protein dari setiap jenis pangan di dalam kelompok ini. Dengan hasil ini dapat
43
diketahui bahwa konsumsi pangan-pangan yang masuk ke dalam kelompok ini perlu ditingkatkan, sehingga sesuai dengan harapan. Berdasarkan kategori miskin dan tidak miskin, kontribusi kelompok pangan ini pada keduanya hampir sama, yaitu 0.8 persen pada keluarga miskin dan 0.9 persen pada keluarga tidak miskin. Seperti kontribusi energinya, ratarata konsumsi protein kelompok pangan buah/biji berminyak keluarga miskin dan tidak miskin juga hampir sama (0.4 dan 0.3 gram). Hasil ini menunjukkan tidak adanya kecenderungan hubungan antara peningkatan pengeluaran terhadap konsumsi pangan buah/biji berminyak. Kelapa merupakan jenis pangan buah/biji berminyak yang dikonsumsi oleh sebagian besar (85.2%) keluarga contoh. Oleh karena itu, kontribusi energi kelapa merupakan yang paling besar di antara jenis pangan lain dalam kelompoknya.
Sebesar 61.9 persen atau sebanyak 11.4 kilo kalori energi
tersumbang dari bahan pangan ini. Jenis bahan pangan lainnya yang turut memberikan sumbangan energi terhadap kelompok pangan buah/biji berminyak adalah kemiri.
Energi yang
tersumbang dari jenis pangan ini adalah sebesar 38.1 persen. Jumlah energi yang disumbangkan tersebut memang lebih kecil dari kelapa, tetapi kemiri memberikan sumbangan protein yang lebih besar.
Protein yang tersumbang
sebanyak 66.0 persen. Rendahnya kontribusi kelompok pangan buah/biji berminyak disebabkan oleh fungsi dan peranannya di masyarakat. Bahan pangan yang termasuk ke dalam kelompok pangan ini umumnya hanya digunakan sebagai bumbu masakan, bukan sebagai bahan pangan utama atau lauk pendamping makanan pokok.
Hal inilah yang diduga menyebabkan rendahnya kontribusi kelompok
pangan ini terhadap rata-rata konsumsi energi keluarga contoh. f.
Kacang-kacangan Secara umum energi yang disumbangkan oleh kelompok pangan kacang-
kacangan baru sebesar 3.9 persen, masih lebih rendah 1.1 persen dari lima persen yang diharapkan. Dengan konsumsi tersebut diperoleh skor PPH yang juga rendah yaitu 7.8. Selain itu kontribusi energi kelompok pangan ini, baik pada keluarga miskin maupun tidak miskin, belum ada yang memenuhi harapan. Pada keluarga miskin kontribusi energinya sebesar 3.0 dan pada keluarga tidak miskin sebesar 4.1.
44
Kelompok pangan kacang-kacangan merupakan salah satu kelompok pangan utama sumber protein. Oleh karena itu, kelompok pangan ini sangat diharapkan kontribusinya dalam memenuhi kebutuhan protein selain yang berasal dari pangan hewani. Selain itu, pangan-pangan dalam kelompok pangan ini juga dapat dijadikan subtitusi dari pangan hewani karena harganya yang relatif lebih murah. Pada kelompok pangan kacang-kacangan sumbangan energi dan protein terbesar diberikan oleh jenis pangan olahan kedelai, yaitu tempe.
Kontribusi
energi dan protein yang diberikan oleh tempe masing-masing adalah sebesar 57.9 persen dan 66.9 persen. Sementara itu, tahu yang berbahan dasar sama dengan tempe memberikan kontribusi energi sebesar 18.2 persen dan protein sebesar 19.7 persen.
Walaupun kontribusi keduanya berbeda jauh, tetapi
keduanya sama-sama dikonsumsi oleh hampir seluruh keluarga contoh (94.1% dan 97.1%). g. Gula Kelompok pangan gula diharapkan dapat berkontribusi sebanyak 110 Kal terhadap total konsumsi energi. Akan tetapi, pada keluarga contoh penelitian ini, gula hanya menyumbang energi sebanyak 86 Kal atau sebesar 4.7 persen saja. Dengan kata lain, kontribusi energi dari kelompok pangan ini belum memenuhi harapan. Hal ini juga terbukti dari skor PPH kelompok pangan ini yang juga tidak mencapai skor maksimal. Konsumsi kelompok pangan gula pada keluarga miskin dinilai masih rendah. Hal ini terlihat dari kontribusinya yang masih lebih rendah (2.0%) dari harapan (5.0%). Keadaan yang sama juga terjadi pada keluarga tidak miskin dimana kontribusinya masih kurang 0.8 persen dari harapan. Energi yang disumbangkan oleh kelompok pangan gula didominasi oleh jenis gula batu. Kontribusi gula batu terhadap total energi kelompok pangan gula sebesar 65.3 persen.
Gula batu lebih disukai oleh masyarakat di daerah
penelitian karena harganya lebih murah dan pada takaran yang sama rasanya lebih manis dibandingkan dengan gula pasir. Hal ini terbukti dari jumlah keluarga contoh yang mengonsumsi gula batu mencapai seratus persen, sedangkan keluarga contoh yang mengonsumsi gula pasir hanya sebanyak 7 keluarga atau sebesar 20.5 persen.
Adapun kontribusi gula pasir terhadap total energi
kelompok pangan gula sebesar 7.9 persen. Sama halnya dengan kelompok pangan minyak dan lemak, kelompok pangan ini tidak mengandung protein.
45
h.
Sayur dan Buah Kelompok pangan sayur dan buah memberikan sumbangan sebesar 2.6
persen terhadap konsumsi energi keluarga contoh dan 2.4 persen terhadap AKE (2 020 Kal). Keadaan ini menunjukkan bahwa konsumsi kelompok pangan ini masih kurang dan harus ditingkatkan, sehingga kontribusinya sesuai dengan yang diharapkan, yaitu enam persen dari total energi yang dikonsumsi. Kelompok pangan ini bukan merupakan sumber protein, sehingga sumbangannya terhadap rata-rata total konsumsi protein keluarga contoh juga rendah. Secara umum kelompok pangan ini menyumbang 2.3 gram protein atau sekitar 4.5 persen dari angka kecukupan protein yang dianjurkan. Khusus pada kelompok sayuran, energi yang tersumbang sebesar 27 Kal, 7.7 persen lebih besar dari kelompok buah-buahan. Jenis sayuran yang banyak dikonsumsi dan berkontribusi cukup besar terhadap total energi sayur dan buah diantaranya kangkung (29.0%), sedangkan pada kelompok buah-buahan, jenis buah yang memberikan kontribusi energi terbesar adalah mangga yaitu sebesar 46.2 persen. Buah mangga banyak dikonsumsi karena lokasinya yang dekat dengan daerah penghasil mangga, seperti Indramayu dan beberapa daerah di Kabupaten Cirebon, sehingga buah ini dapat diperoleh dengan mudah terutama pada saat musim panen. Kontribusi protein dari kelompok pangan sayur dan buah sangat rendah. Hal ini bukan hanya disebabkan oleh konsumsinya yang rendah, tetapi juga karena memang jenis-jenis pangan yang masuk ke dalam kelompok ini mengandung sedikit protein. Secara keseluruhan kelompok pangan sayur dan buah menyumbang sebanyak 2.3 gram protein per kapita per hari.
Angka
tersebut akumulasi dari kontribusi sayur sebesar 2.0 gram dan buah sebesar 0.3 gram. Pola Penyediaan Pangan Penyediaan pangan keluarga sangat dipengaruhi faktor kebiasaan makan yang merupakan sebuah bagian kecil dari gaya hidup keluarga tersebut (Suhardjo 1989).
Suhardjo juga menyebutkan faktor-faktor yang membentuk
sebuah gaya hidup diantaranya penghasilan, pendidikan, keluarga, dan agama. Penyediaan pangan yang dikonsumsi dalam keluarga berkaitan erat dengan kemampuannya mengakses pangan yang juga terkait dengan kemampuan memproduksi pangan, kesempatan kerja, dan pendapatan (Suryana 2004).
46
Pangan yang dikonsumsi dapat berasal dari hasil pembelian, panen (produksi sendiri), atau pemberian.
Pada keluarga yang menjadi contoh
penelitian ini, pangan-pangan yang umumnya dibeli adalah beras, ubi kayu, ubi jalar, telur ayam, minyak sayur, kelapa, tempe, tahu, gula, kacang panjang, kangkung, sawi, mentimun, mangga, rambutan, duku, dan lain-lain.
Sesuai
dengan mata pencahariannya sebagai nelayan, maka bahan pangan yang diperoleh dari hasil produksi sendiri (menangkap) adalah ikan segar. Selain itu, beberapa keluarga memperoleh buah dari tanaman miliknya seperti mangga, pepaya, dan pisang. Adapun pangan-pangan yang sering diberi atau didapat dari pemberian adalah ikan asin dan buah (mangga, pisang, duku, pepaya). Biasanya pangan-pangan tersebut diperoleh dari tetangga atau saudara. Pembelian pangan oleh keluarga contoh dilakukan di warung-warung sekitar tempat tinggal. Hanya sedikit sekali keluarga yang berbelanja ke pasar karena menurut mereka perbedaan harga antara di pasar dengan di warung tidak terlalu jauh. Selain itu, mereka beralasan tidak memiliki waktu yang cukup untuk pergi berbelanja ke pasar. Proses pembelian pangan dapat berlangsung apabila keluarga memiliki sumberdaya yang dapat ditukar dengan pangan. Sumberdaya tersebut dapat berupa bahan pangan (natura) atau barang ekonomis lainnya (termasuk uang). Pada keluarga nelayan jenis pangan yang sering tersedia dan dapat dipertukarkan adalah ikan. Akan tetapi, karena ikan yang diperoleh dari kegiatan melaut tidak menentu, jadi tidak selalu keluarga nelayan memiliki ikan sebagai persediaan. Ketika hasil tangkapannya banyak, maka pendapatan mereka meningkat sehingga dapat membeli pangan dan membayar hutang dengan mudah.
Akan tetapi, ketika pendapatan mereka sedikit, mereka kesulitan
membeli pangan yang mereka butuhkan sehingga memaksa mereka untuk menghutang.
47
Tabel 20 Sebaran keluarga berdasarkan cara penyediaan pangan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Bahan Pangan Beras*) Mie Ubi Jalar Ubi kayu Ikan Asin*) Ikan Segar*) Telur ayam Daging ayam Minyak Sayur Kelapa Tempe Tahu Gula Batu Gula Merah Kangkung Kol Kcg Pjg Sawi Jeruk Pisang
Pembelian
Sendiri**)
n % 34 100.0 31 91.2 23 67.6 24 70.6 14 41.2 10 29.4 30 88.2 12 35.3 34 100.0 26 76.5 32 94.1 32 94.1 28 82.4 28 82.4 34 100.0 32 94.1 31 91.2 25 73.5 23 67.6 20 58.8
n % 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 12 35.3 25 73.5 0 0.0 0 0.0 0 0.0 1 2.9 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 1 2.9 0 0.0 0 0.0 0 0.0 0 0.0 3 8.8
Pemberian n 4 0 0 0 2 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1
% 11.8 0.0 0.0 0.0 5.9 2.9 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 2.9 2.9
Tidak Menyediakan n % 0 0.0 3 8.8 11 32.4 10 29.4 8 23.5 3 8.8 4 11.8 22 64.7 0 0.0 7 20.6 2 5.9 2 5.9 6 17.6 6 17.6 0 0.0 3 8.8 3 8.8 9 26.5 10 29.4 10 29.4
*) terdapat kombinasi cara penyediaan pada beberapa keluarga **) hasil menangkap, hasil peliharaan, memetik dari kebun sendiri, atau memungut
Berdasarkan frekuensi pembelian pangan, pangan yang dibeli secara harian memberikan sumbangan energi yang paling besar, yaitu sebesar 90.1 persen. Pangan-pangan yang dibeli secara harian diantaranya beras, minyak sayur (sawit), dan gula, sedangkan pangan-pangan yang dibeli secara mingguan diantaranya mie, roti, ubi jalar, ubi kayu, telur ayam, ikan (segar dan asin), minyak sayur (sawit), kelapa, tempe, tahu, gula, kacang panjang, kangkung, kol, mentimun, dan sawi.
Adapun pangan-pangan yang dibeli secara bulanan
diantaranya ubi kayu, ubi jalar, telur ayam, dan daging ayam. Pangan-pangan yang dibeli tahunan umumnya adalah jenis buah-buahan musiman, seperti mangga, rambutan, dan duku, sedangkan jenis pangan lainnya adalah daging ayam dan kentang, umumnya keduanya dibeli pada saat hari raya (lebaran).
48
Tabel 21 Sebaran keluarga berdasarkan frekuensi pembelian pangan Jenis Pangan Beras Mie Ubi jalar Ubi kayu Ikan asin Ikan Segar Telur ayam Daging ayam Minyak sayur Kelapa Tempe Tahu Gula batu Gula merah Kangkung Kol Kacang panjang Sawi Jeruk Pisang
Harian n % 27 79.4 3 9.7 1 4.3 1 4.2 3 23.1 1 10.0 3 10.0 0 0.0 15 44.1 0 0.0 8 25.0 6 18.8 19 67.9 11 39.3 6 17.6 6 18.8 4 12.9 6 24.0 11 33.3 2 10.0
Mingguan n % 7 20.6 22 71.0 12 52.2 12 50.0 4 30.8 7 70.0 19 63.3 5 41.7 17 50.0 19 73.1 22 68.8 24 75.0 8 28.6 12 42.9 24 70.6 24 75.0 25 80.6 17 68.0 18 54.5 10 50.0
Bulanan n % 0 0.0 6 19.4 10 43.5 11 45.8 6 46.2 2 20.0 8 26.7 7 58.3 2 5.9 7 26.9 2 6.3 2 6.3 1 3.6 5 17.9 4 11.8 2 6.3 2 6.5 2 8.0 4 12.1 8 40.0
Total n % 34 100.0 31 100.0 23 100.0 24 100.0 13 100.0 10 100.0 30 100.0 12 100.0 34 100.0 26 100.0 32 100.0 32 100.0 28 100.0 28 100.0 34 100.0 32 100.0 31 100.0 25 100.0 33 100.0 20 100.0
Pola penyediaan pangan juga erat kaitannya dengan pengelolaan keuangan dalam keluarga yang juga terkait dengan alokasi waktu untuk pangan. Akan tetapi setiap keluarga memiliki pengelolaan yang berbeda tergantung banyak sedikitnya sumberdaya yang dimiliki dan kebutuhan yang harus dipenuhi. Seperti telah diketahui bahwa pada keluarga nelayan tidak setiap hari mereka dapat memegang uang, sehingga akan ada perbedaan dalam frekuensi pembelian pangan masing-masing keluarga. a. Padi-padian Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pangan kelompok padi-padian seluruh keluarga contoh berasal dari pembelian. Beberapa jenis pangan yang dikonsumsi diantaranya beras, mie, dan roti. Namun, dari ketiga jenis pangan tersebut, beraslah yang paling banyak menyumbangkan energi. Sebagian besar keluarga yang menjadi contoh penelitian mengaku membeli beras setiap hari (79.4%) dan hanya tujuh keluarga yang membeli secara mingguan. Ini menunjukkan keluarga contoh tergolong rentan pangan karena konsumsi pangannya, khususnya beras, hanya terjamin pada hari itu saja dan tidak ada jaminan konsumsi untuk hari-hari berikutnya.
Alasan mereka
adalah kekhawatiran tidak bisa membeli jenis pangan lain apabila membeli beras dalam jumlah banyak sekaligus.
49
Berbeda dengan penyediaan beras, dari 31 keluarga yang menyediakan mie, 71.0 persennya melakukan secara mingguan dan hanya 9.7 persen keluarga contoh saja yang menyediakan mie secara harian.
Walaupun
dikonsumsi oleh hampir seluruh keluarga contoh, tetapi mie tidak dapat disebut sebagai pangan pokok utama karena energi yang disumbangkan tidak terlalu besar. b. Umbi-umbian Sama seperti kelompok pangan sebelumnya, konsumsi kelompok pangan umbi-umbian seratus persen diperoleh dari pembelian. Jenis pangan yang dibeli adalah ubi kayu (singkong) dan ubi jalar. Ubi kayu dikonsumsi oleh 70.6 persen keluarga contoh dan 50 persennya mengaku menyediakan secara mingguan, 45.8 persen secara bulanan dan sisanya secara harian. Tidak jauh berbeda dengan ubi kayu, ubi jalar dikonsumsi oleh hampir 70.0 persen keluarga contoh dimana lebih dari setengahnya menyediakan mingguan, 43.5 persennya bulanan, dan sisanya harian. c. Pangan Hewani Kelompok pangan hewani merupakan sumber protein utama, selain kacang-kacangan.
Akan tetapi sangat disayangkan karena menurut hasil
penelitian ini tidak ada satu pun jenis pangan hewani yang dikonsumsi oleh seluruh keluarga contoh.
Beberapa jenis pangan yang biasa dikonsumsi
diantaranya ikan asin, ikan segar, dan telur ayam. Sebanyak 76.4 persen keluarga contoh mengaku selalu menyediakan ikan asin, sedangkan ikan segar dikonsumsi oleh hampir seluruh (94.1%) keluarga contoh.
Penyediaan ikan asin umumnya (65.3%) dilakukan secara
mingguan dan hanya 11.5 persen keluarga saja yang menyediakan harian. Adapun ikan segar umumnya (75%) juga dikonsumsi secara mingguan. d. Minyak dan Lemak Kelompok pangan minyak dan lemak merupakan salah satu penghasil energi terbesar setelah kelompok padi-padian. Pada penelitian ini, kontribusinya hanya berasal dari satu jenis pangan, yaitu minyak kelapa sawit atau minyak sayur. Minyak sayur sangat penting dalam mengolah makanan, terutama untuk menggoreng atau menumis masakan. Hal ini dibuktikan dengan penyediaannya yang dilakukan oleh seluruh keluarga contoh.
Minyak sayur seratus persen
50
diperoleh dari pembelian dimana lima puluh persen keluarga contoh membeli secara mingguan, 44.1 persen secara harian, dan sisanya bulanan. e. Buah/biji Berminyak Kelompok pangan lainnya yang juga merupakan sumber energi adalah kelompok buah/biji berminyak. Sama seperti bahan pangan pada kelomok pangan sebelumnya, bahan pangan pada kelompok pangan ini juga mayoritas diperoleh dari pembelian.
Salah satu bahan pangannya adalah kelapa yang
dikonsumsi oleh sebagian besar (85.2%) keluarga contoh dan sebanyak 73.1 persennya dilakukan secara mingguan. f.
Kacang-kacangan Kelompok pangan kacang-kacangan berisikan bahan pangan-bahan
pangan sumber protein nabati. Konsumsinya dibutuhkan melengkapi beberapa jenis protein yang tidak terdapat pada pangan hewani.
Jenis pangan yang
banyak menyumbangkan energi dan protein ini adalah tempe dan tahu. Kontribusi yang besar dari keduanya diduga disebabkan oleh konsumsinya yang hampir dilakukan oleh seluruh keluarga contoh (94.1% dan 97.1%). Keluarga contoh mengaku menyediakan tempe dan tahu dengan cara membeli. Kebanyakan (68.8%) dari mereka membeli tempe secara mingguan. Hal yang sama juga pada bahan pangan tahu dimana sebanyak 75.0 persennya menyediakan pangan ini secara mingguan. g. Gula Jenis gula yang paling banyak dan paling sering dikonsumsi adalah gula batu dan gula merah.
Tercatat sebanyak 28 keluarga (82.3%) menyediakan
kedua jenis gula. Mayoritas keluarga contoh (67.9%) menyediakan gula batu secara harian, sedangkan gula merah dikonsumsi secara mingguan (42.9%). Gula batu digunakan sebagai pemanis pada minuman seperti kopi atau teh. h. Sayur dan Buah Kelompok pangan ini bukan merupakan sumber energi dan protein, tetapi sumber serat, vitamin, dan mineral. Jenis pangan dari kelompok pangan ini yang dikonsumsi oleh seluruh responden adalah kangkung. Sebagian besar (75.0%) contoh menyediakannya secara mingguan.
Selain kangkung, jenis pangan
lainnya yang juga dikonsumsi oleh banyak responden adalah kol, kacang panjang, dan sawi.
Kol dikonsumsi oleh hampir seluruh (94.1%) keluarga
contoh, kacang panjang dikonsumsi oleh 91.2 persen keluarga contoh, dan sawi
51
dikonsumsi oleh 73.5 persen keluarga contoh.
Ketiga jenis pangan tersebut
paling banyak dikonsumsi secara mingguan. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Konsumsi Pangan Konsumsi pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya jumlah pangan yang diproduksi, ketersediaan pangan di pasaran dan atau di dalam keluarga, pendapatan, pengetahuan gizi kepala keluarga atau orang yang berpengaruh terhadap pangan, dan kebiasaan pangan (Suryana 2004). Berikut ini pembahasan mengenai hubungan variabel-variabel penelitian terhadap konsumsi pangan, dimana tingkat konsumsi energi dan protein digunakan sebagai indikator. Pengeluaran Tabulasi silang antara pengeluaran keluarga contoh dengan tingkat konsumsi energinya memperlihatkan adanya kecenderungan hubungan antara keduanya (Tabel 22).
Dari Tabel 22 terlihat dengan semakin meningkatnya
pengeluaran, persentase keluarga contoh yang memiliki tingkat konsumsi di atas AKE juga meningkat. Tabel 22 memperlihatkan seluruh keluarga contoh yang berpengeluaran lebih rendah dari Rp. 146 837.00 dan antara Rp. 146 837.00-183 546.25 mengalami defisit energi.
Sebagian besar keluarga contoh yang tingkat
konsumsi energinya lebih dari angka kecukupan, memiliki pengeluaran > Rp. 220 255.5 (60.0%). Tabel 22 Sebaran keluarga menurut pengeluaran per kapita per bulan dengan tingkat konsumsi energi Pengeluaran (Rp) < 146 837.00 146 837.00-183 546.25 183 546.25-220 255.50 > 220 255.50
< AKE n % 5 100.0 3 100.0 5 83.3 8 40.0
≥ AKE n % 0 0.0 0 0.0 1 16.7 12 60.0
Total n 5 3 6 20
% 100.0 100.0 100.0 100.0
Kecenderungan hubungan juga terlihat pada hasil tabulasi silang antara pengeluaran dengan tingkat konsumsi energi keluarga contoh (Tabel 23). Pada Tabel 23 terlihat semakin besar pengeluaran semakin besar pula persentase keluarga contoh yang memiliki tingkat konsumsi protein lebih dari angka kecukupannya. Uji korelasi pearson antara pengeluaran dengan tingkat konsumsi energi menunjukkan hasil yang signifikan (r=0.536; p=0.001).
Hasil yang berbeda
52
diperoleh dari hasil korelasi pearson antara pengeluaran dengan tingkat konsumsi protein dimana tidak diperoleh hasil signifikan (r=0.262; p=0. 134). Dengan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa pada keluarga-keluarga yang menjadi keluarga contoh penelitian ini tingkat konsumsi energinya berhubungan erat dengan besar pengeluarannya, dan sebaliknya pada tingkat konsumsi proteinnya. Hasil uji ANOVA menunjukkan adanya perbedaan rata-rata tingkat konsumsi energi antar kategori pengeluaran (sig 0.023). Tabel 23 Sebaran keluarga menurut pengeluaran per kapita per bulan dengan tingkat konsumsi protein Pengeluaran (Rp) < 146 837.00 146 837.00-183 546.25 183 546.25-220 255.50 > 220 255.50
< AKP n % 5 100.0 2 66.7 3 50.0 9 45.0
≥ AKP n % 0 0.0 1 33.3 3 50.0 11 55.0
Total n 5 3 6 20
% 100.0 100.0 100.0 100.0
Besar Keluarga Besar keluarga berhubungan dengan kejadian kurang gizi terutama pada keluarga miskin (Suhardjo 1989).
Dengan bertambahnya anggota keluarga
dapat berdampak pada berkurangnya jatah pangan untuk setiap orang di dalamnya. Tabel 24 Sebaran keluarga berdasarkan besar keluarga, tingkat kemiskinan, dan tingkat konsumsi energi per kapita per hari Besar keluarga ≤ 4 (kecil) 5-6 (sedang) ≥ 7 (besar)
Miskin Tidak miskin ≥ AKE < AKE < AKE n % n % n % 2 100.0 6 37.5 10 62.5 1 100.0 10 76.9 3 23.1 2 100.0 0 0.0 0 0.0
Total ≥ AKE < AKE n % n % 8 44.4 10 55.6 11 78.6 3 21.4 2 100.0 0 0.0
Secara keseluruhan, dari 18 keluarga contoh yang tergolong keluarga kecil 55.6 persen atau sepuluh keluarga diantaranya memiliki tingkat konsumsi energi lebih besar dari angka kecukupan energi (2 020 Kal).
Jumlah ini
merupakan yang terbesar di antara keluarga-keluarga yang memiliki tingkat konsumsi energi lebih besar dari AKE.
Adapun jumlah terbanyak yang
mengalami defisit energi terdapat pada keluarga contoh berukuran sedang, yaitu sebanyak 11 keluarga. Seluruh keluarga miskin, baik yang berukuran kecil, sedang, maupun besar, mengalami defisit energi (Tabel 24). Pada keluarga tidak miskin yang banyak mengalami kekurangan energi adalah keluarga contoh berukuran sedang
53
(10 keluarga), sedangkan yang banyak memiliki tingkat konsumsi di atas anjuran adalah keluarga contoh berukuran kecil (10 keluarga).
Pada keluarga tidak
miskin terlihat adanya kecenderungan semakin besar keluarga, semakin besar kemungkinan mengalami defisit energi. Sebaran keluarga miskin berdasarkan tingkat konsumsi proteinnya sama persis dengan sebarannya berdasarkan tingkat konsumsi energi (Tabel 25). Adapun pada keluarga tidak miskin berbeda dengan keluarga miskin. Lebih dari separuh keluarga tidak miskin memiliki tingkat konsumsi protein lebih dari yang dianjurkan (51.3 g). Jumlah terbanyak terdapat pada kategori keluarga contoh berukuran kecil, yaitu sebanyak 9 keluarga. Pada Tabel 25 terlihat bahwa pada keluarga tidak miskin, terdapat kecenderungan hubungan negatif antara ukuran keluarga dengan tingkat konsumsi proteinnya. Tabel 25 Sebaran keluarga berdasarkan besar keluarga, tingkat kemiskinan, dan tingkat konsumsi protein per kapita per hari Besar keluarga ≤ 4 (kecil) 5-6 (sedang) ≥ 7 (besar)
Miskin < AKP n % 2 100.0 1 100.0 2 100.0
Tidak miskin ≥ AKP < AKP n % n % 7 43.8 9 56.3 7 53.8 6 46.2 0 0.0 0 0.0
Total < AKP n % 9 50.0 8 57.1 2 100.0
≥ AKP n % 9 50.0 6 42.9 0 0.0
Hasil uji korelasi pearson menunjukkan tidak terdapat hubungan yang nyata antara besar keluarga dengan tingkat konsumsi energi (r=-0.298; p=0.087) dan protein keluarga contoh (r=0.246; p=0.161). Dengan hasil tersebut, dapat diketahui bahwa semakin besar ukuran keluarga tidak serta merta meningkatkan atau menurunkan tingkat konsumsi pangan keluarga.
Hasil uji ANOVA tidak
memberikan hasil signifikan, berarti tidak terdapat perbedaan nyata tingkat konsumsi energi dan protein antara kategori keluarga kecil, sedang, dan besar. Usia KK dan Istri Usia KK dan istri digunakan untuk menggambarkan siklus kehidupan keluarga. Pembentukan keluarga adalah upaya yang dilakukan manusia untuk mempertahankan
keberadaannya
dengan
menggunakan
kemampuan
reproduksinya. Keterkaitan antara usia dan konsumsi pangan dapat terlihat pada besar keluarga dan keadaan ekonominya. Keluarga yang sudah lama terbentuk lebih berpotensi untuk memiliki banyak keturunan yang siap bekerja dan membantu meningkatkan keadaan ekonomi keluarga.
54
Tabel 26 Sebaran keluarga berdasarkan kategori usia kepala keluarga, tingkat kemiskinan, dan tingkat konsumsi energi per kapita per hari Miskin Tidak Miskin Total Usia KK < AKE < AKE ≥ AKE < AKE ≥ AKE n % n % n % n % n % 20-30 1 100.0 3 75.0 1 25.0 4 80.0 1 20.0 30-40 3 100.0 7 63.6 4 36.4 10 71.4 4 28.6 40-65 1 100.0 5 41.7 7 58.3 6 46.2 7 53.8 > 65 0 0.0 1 50.0 1 50.0 1 50.0 1 50.0 Tabel 26 memperlihatkan hasil tabulasi silang antara usia kepala keluarga dengan tingkat konsumsi energi keluarga contoh. Berdasarkan Tabel 26 dapat diketahui mayoritas keluarga contoh yang memiliki tingkat konsumsi energi lebih dari angka kecukupannya adalah yang dikepalai oleh KK yang tergolong dewasa madya (berusia 40-65 tahun), yaitu sebanyak tujuh keluarga. Adapun defisiensi energi, paling banyak terjadi pada keluarga contoh yang KK-nya berusia 30-40 tahun (7 keluarga). Keadaan yang tidak jauh berbeda terjadi pada sebaran usia kepala keluarga contoh berdasarkan tingkat konsumsi protein (Tabel 27).
Keluarga
contoh yang dipimpin oleh KK yang berusia 30-40 tahun menjadi kelompok terbanyak yang mengalami defisit protein (9 keluarga). Adapun pada keluarga contoh yang memiliki konsumsi protein lebih besar dari AKP, kebanyakan dari mereka memiliki kepala keluarga berusia antara 40-65 tahun (7 keluarga). Tabel 27 Sebaran keluarga berdasarkan kategori usia kepala keluarga, tingkat kemiskinan, dan tingkat konsumsi protein per kapita per hari Usia KK 20-30 30-40 40-65 > 65
Miskin < AKP n % 1 100.0 3 100.0 1 100.0 0 0.0
Tidak miskin ≥ AKP < AKP n % n % 2 50.0 2 50.0 6 54.5 5 45.5 5 41.7 7 58.3 1 50.0 1 50.0
Total < AKP n % 3 60.0 9 64.3 6 46.2 1 50.0
≥ AKP n % 2 40.0 5 35.7 7 53.8 1 50.0
Sebaran keluarga contoh berdasarkan tingkat konsumsi energi dan usia istri memperlihatkan sebanyak 15 keluarga yang istrinya tergolong dewasa muda (20-40 tahun) mengalami defisit energi (Tabel 28).
Akan tetapi apabila
dipisahkan menjadi dua kategori 20-30 tahun dan 30-40 tahun, terlihat persentasenya berbeda dan semakin menurun seiring dengan bertambahnya usia istri.
Pada kelompok yang konsumsi energinya lebih besar dari AKE
didominasi oleh keluarga dengan istri berusia 40-65 tahun (dewasa madya).
55
Disamping itu, terlihat adanya peningkatan persentase keluarga yang memiliki tingkat konsumsi energi di atas AKE seiring dengan bertambahnya usia istri. Hal ini diduga terjadi karena pengetahuan, pengalaman, dan kemampuan istri, dalam hal yang terkait pangan, semakin bertambah dengan bertambahnya usia. Tabel 28 Sebaran keluarga berdasarkan kategori usia istri, tingkat kemiskinan, dan tingkat konsumsi energi per kapita per hari Usia Istri 20-30 30-40 40-65 > 65 Hasil
Miskin < AKE n % 4 100.0 0 0.0 1 100.0 0 0.0 pada
Tabel
Tidak miskin ≥ AKE < AKE n % n % 4 66.7 2 33.3 7 63.6 4 36.4 5 45.5 6 54.5 0 0.0 1 100.0 28
memperlihatkan
Total < AKE n % 8 80.0 7 63.6 6 50.0 0 0.0 secara
≥ AKE n % 2 20.0 4 36.4 6 50.0 1 100.0
umum
terdapat
kecenderungan positif antara pertambahan usia istri dengan persentase keluarga contoh yang memiliki tingkat konsumsi energi lebih besar dari rekomendasi. Hal yang sama terjadi pada keluarga tidak miskin. Adapun pada keluarga miskin tidak terlihat adanya kecenderungan hubungan antara usia istri dengan tingkat konsumsi energi keluarga contoh. Sebaran keluarga contoh berdasarkan konsumsi protein dan usia istri memperlihatkan sebanyak 68.4 persen (13 keluarga) yang mengalami defisit energi adalah keluarga dengan istri berusia 20-40 tahun.
Adapun keluarga
contoh yang konsumsi energinya lebih besar dari AKE didominasi oleh keluarga dengan istri berusia 40-65 tahun (dewasa madya). Tabel 29 Sebaran keluarga berdasarkan kategori usia istri, tingkat kemiskinan, dan tingkat konsumsi protein per kapita per hari Usia Istri 20-30 30-40 40-65 > 65
Miskin < AKP n % 4 100.0 0 0.0 1 100.0 0 0.0
Tidak miskin ≥ AKP < AKP n % n % 2 33.3 4 66.7 7 63.6 4 36.4 5 45.5 6 54.5 0 0.0 1 100.0
Total < AKP n % 6 60.0 7 63.6 6 50.0 0 0.0
n 4 4 6 1
≥ AKP % 40.0 36.4 50.0 100.0
Uji korelasi antara usia KK dengan tingkat konsumsi energi dan protein keluarga contoh tidak menunjukkan hasil yang signifikan (r=0.331; p=0.056 dan r=181; p=0.301).
Uji korelasi pearson terhadap usia istri dengan tingkat
konsumsi energi memberikan hasil yang signifikan (r=0.396; p=0.020), sedangkan pengujian antara tingkat konsumsi protein dan usia istri tidak
56
menunjukkan hasil signifikan (r=0.200; p=0.257). Hasil signifikan antara tingkat konsumsi energi dengan usia istri diduga dipengaruhi oleh variabel (faktor) lain, karena pada kenyataannya peningkatan usia istri tidak serta merta diikuti dengan peningkatan tingkat konsumsi pangan. Faktor-faktor tersebut tidak sempat diteliti oleh penulis dan diharapkan dapat dijadikan bahan penelitian lain yang akan mengamati hal-hal yang serupa dengan penelitian ini. Dengan hasil tersebut dapat diketahui dengan bertambahnya usia KK dan istri, belum tentu meningkatkan tingkat konsumsi protein keluarga contoh, tetapi tingkat konsumsi energi keluarga akan meningkat seiring dengan peningkatan usia istri. Hasil uji ANOVA menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata pada rata-rata tingkat konsumsi energi dan protein antar kategori usia KK dan istri. Tingkat pendidikan KK dan Istri Tingkat pendidikan dijadikan alat pendekatan untuk menggambarkan pengetahuan seseorang, karena semakin tinggi tingkat pendidikan, keterampilan dan pengetahuan yang diperoleh juga akan semakin banyak termasuk salah satunya pengetahuan gizi.
Berkaitan dengan pangan, tingkat pendidikan
seseorang akan mempengaruhi sikapnya dalam memilih dan menyediakan pangan.
Dengan pengetahuan pangan dan gizi yang dimilikinya, seseorang
akan selektif dalam memilih dan mengolah pangan, sehingga makanan yang dikonsumsi aman, bergizi, dan beragam. Tabel 30 Sebaran keluarga berdasarkan kategori tingkat pendidikan kepala keluarga, tingkat kemiskinan, dan tingkat konsumsi energi per kapita per hari Tingkat Pendidikan KK Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD
Miskin < AKE n % 1 100.0 1 100.0 3 100.0
Tidak miskin < AKE ≥ AKE n % n % 7 46.7 8 53.3 0 0.0 4 100.0 7 70.0 3 30.0
Total < AKE ≥ AKE n % n % 8 50.0 8 50.0 1 20.0 4 80.0 10 76.9 3 23.1
Tabel 30 berisi informasi tentang hasil tabulasi silang antara tingkat pendidikan kepala keluarga seluruh keluarga contoh dengan tingkat konsumsi energinya. Dari Tabel 30 dapat diketahui lebih dari separuh keluarga contoh (10 keluarga) yang mengalami defisit energi adalah keluarga dengan kepala keluarga tamat sekolah dasar.
57
Tabel 31 Sebaran keluarga berdasarkan kategori tingkat pendidikan kepala keluarga, tingkat kemiskinan, dan tingkat konsumsi protein per kapita per hari Tingkat Pendidikan KK Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD
Miskin < AKP n % 1 100.0 1 100.0 3 100.0
Tidak miskin < AKP ≥ AKP n % n % 7 46.7 8 53.3 0 0.0 4 100.0 7 70.0 3 30.0
Total < AKP n % 8 50.0 1 20.0 10 76.9
≥ AKP n % 8 50.0 4 80.0 3 23.1
Sama seperti pada Tabel 30, hasil pada Tabel 31 menunjukkan bahwa kategori tingkat pendidikan kepala keluarga tamat sekolah dasar adalah yang paling banyak memiliki jumlah keluarga defisit protein (52.6%). Adapun keluarga yang konsumsi proteinnya lebih dari angka kecukupan, paling banyak terjadi pada keluarga yang kepala keluarganya tidak sekolah (Tabel 31). Tabel 32 Sebaran keluarga berdasarkan kategori tingkat pendidikan istri, tingkat kemiskinan, dan tingkat konsumsi energi per kapita per hari Tingkat Pendidikan Istri Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD
Miskin < AKE n % 1 100.0 1 100.0 3 100.0
Tidak miskin < AKE ≥ AKE n % n % 7 53.8 6 46.2 2 33.3 4 66.7 7 70.0 3 30.0
Total < AKE ≥ AKE n % n % 8 57.1 6 42.9 3 42.9 4 57.1 10 76.9 3 23.1
Hasil yang tidak berbeda terjadi pada pengkategorian keluarga berdasarkan pendidikan istri dan tingkat kemiskinannya. Hasil yang diperoleh memperlihatkan lebih dari separuh keluarga miskin, istrinya tamat sekolah dasar dan seluruhnya memiliki konsumsi energi rendah. Selain itu pada keluarga yang tidak miskin, kategori keluarga contoh yang istrinya tidak tamat sekolah dasar memiliki konsumsi energi dan protein lebih besar dari angka kecukupannya. Tabel 33 Sebaran keluarga berdasarkan kategori tingkat pendidikan istri, tingkat kemiskinan, dan tingkat konsumsi protein per kapita per hari Tingkat Pendidikan Istri Tidak sekolah Tidak tamat SD Tamat SD
Miskin < AKP n % 1 100.0 1 100.0 3 100.0
Tidak miskin < AKP ≥ AKP n % n % 6 46.2 7 53.8 1 16.7 5 83.3 7 70.0 3 30.0
Total < AKP n % 7 50.0 2 28.6 10 76.9
n
≥ AKP % 7 50.0 5 71.4 3 23.1
Uji korelasi pearson menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan baik antara tingkat pendidikan kepala keluarga dengan tingkat konsumsi energi (r=-0.256; p=0.144) maupun dengan tingkat konsumsi protein (r=-0.203; p=0.249). Hasil yang sama juga diperoleh dari uji korelasi pearson
58
antara tingkat pendidikan istri dengan tingkat konsumsi energi dan protein keluarga contoh (r=-0,275; p=0.155). adapun uji korelasi antara tingkat konsumsi energi dengan usia istri menunjukkan hasil yang signifikan (r=-0.248; p=0.157). Dengan demikian, diketahui bahwa pada keluarga-keluarga yang menjadi contoh, peningkatan pendidikan KK dan istri tidak akan mempengaruhi tingkat konsumsi keluarganya. Selain itu, uji ANOVA juga tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Hasil tersebut berarti bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara rata-rata tingkat konsumsi energi dan protein keluarga yang memiliki KK atau istri dewasa muda dengan dewasa madya, dewasa muda dengan dewasa lanjut, dan dewasa madya dengan dewasa lanjut. Pembahasan Umum Hasil penelitian ini menunjukkan secara umum telah terjadi satu masalah gizi (malnutirisi) pada keluarga-keluarga yang menjadi contoh penelitian, yaitu defisiensi energi. Hal ini terlihat dari masih rendahnya rata-rata konsumsi energi keluarga contoh terhadap angka kecukupan energi (AKE).
Energi yang
dikonsumsi keluarga contoh sebesar 1 813 Kal, sedangkan angka kecukupan energinya sebesar 2 020 Kal. Menurut Rimbawan dan Baliwati (2004) masalah gizi merupakan gangguan yang disebabkan oleh tidak terpenuhinya kebutuhan gizi seseorang atau masyarakat. Masalah gizi yang terjadi pada contoh dapat dikategorikan sebagai kekurangan energi kronis (KEK) karena selain terjadi dalam waktu yang lama, rata-rata total konsumsi proteinnya tidak tergolong defisit. menderita
KEK
umumnya
memiliki
badan
kurus
Orang-orang yang
(IMT
rendah)
dan
produktifitasnya menurun. Rata-rata konsumsi protein keluarga contoh adalah sebesar 58.6 gram, 7.3 gram lebih besar dari angka kecukupan proteinnya (53.1 gram). Dengan angka tersebut diperoleh tingkat konsumsi protein keluarga contoh sebesar 114.1 persen dan berdasarkan kategori tingkat konsumsi, secara umum keluarga contoh tergolong kelebihan protein. Protein adalah zat gizi terbanyak kedua setelah air yang menyusun selsel dan organ-organ tubuh.
Fungsi protein adalah untuk pertumbuhan dan
pemeliharaan jaringan tubuh. Zat gizi ini merupakan penyusun enzim, hormon, dan DNA. Selain itu protein juga merupakan salah satu zat gizi utama penghasil energi (Davidson 1979; Sediaoetama 1987). Akan tetapi protein bukan zat gizi yang paling diharapkan untuk menyumbang energi, melainkan untuk diambil
59
manfaat asam amino penyusunnya.
Penggunaan protein menjadi energi
menunjukkan telah terjadi kekurangan konsumsi karbohidrat dan hal tersebut dapat mengganggu proses metabolisme seluruh zat gizi dalam tubuh. Selain itu, juga dapat menyebabkan penderitanya mudah terserang berbagai penyakit, karena produksi antibodi dalam tubuh terhambat. Konsumsi protein yang berlebih dapat menyebabkan kerja ginjal menjadi berat dan pada kondisi yang sudah parah dapat menyebabkan proteinuria. Dalam kondisi normal urin tidak mengandung protein, akan tetapi dengan kelebihan konsumsi protein dalam waktu yang lama dan tidak disertai dengan konsumsi air dalam jumlah cukup menyebabkan darah menjadi pekat dan dapat memperberat fungsi penyaringan ginjal. Oleh karena kerjanya yang berat, ginjal dapat mengalami kebocoran sehingga zat-zat yang seharusnya tidak terdapat dalam urin, seperti protein, ikut masuk dan terbuang lewat urin. Apabila keadaan ini dibiarkan dan terjadi terus-menerus dapat menimbulkan masalah yang lebih parah, yaitu gagal ginjal. Kasus yang terjadi pada keluarga contoh penelitian ini adalah rendahnya konsumsi
energi dan tingginya konsumsi protein.
Berdasarkan pada kasus
tersebut dapat diperkirakan protein tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Protein, yang sebagian besar disumbangkan oleh pangan hewani, digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi yang tidak tercukupi dari pangan-pangan sumber energi. Dengan demikian walaupun tingkat konsumsi protein keluarga contoh sudah tergolong kelebihan, tetapi tidak menutup kemungkinan keluarga contoh mengalami defisiensi protein. Berdasarkan sebaran keluarga contoh menurut tingkat konsumsi energi dan proteinnya terlihat dapat diketahui keluarga contoh yang mengalami defisit energi jumlahnya lebih dari separuh, begitu juga halnya dengan keluarga contoh yang mengalami defisit protein.
Apabila menganggap bahwa keluarga yang
mengalami defisit energi adalah keluarga yang juga mengalami defisit protein, maka masalah gizi yang dialami oleh keluarga contoh penelitian ini adalah kekurangan energi dan protein (KEP). Sama dengan KEK, kejadian KEP pada orang dewasa dapat menyebabkan penurunan produktifitas dan peningkatan kemungkinan terserang penyakit.
Adapun pada balita dan anak-anak dapat
menghambat pertumbuhan dan perkembangannya.
60
Berdasarkan sisi ekonomi, masalah gizi yang terjadi pada keluarga contoh penelitian ini diduga disebabkan oleh rendahnya akses mereka terhadap pangan. Walaupun berdasarkan pengeluarannya, secara umum keluarga contoh tidak tergolong miskin, tetapi diduga pendapatan (tunai) yang diperoleh tidak seimbang dengan kebutuhan (pengeluaran). Kondisi tersebut memaksa mereka untuk mencari cara untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin hari harganya semakin mahal.
Cara yang banyak dilakukan adalah dengan
menghutang, baik uang maupun makanan, kepada keluarga, tetangga, atau warung tempat mereka berbelanja. Dengan demikian kebutuhan hidup mereka terutama pangan dapat selalu terpenuhi walaupun mereka tidak memperoleh pendapatan tunai. Hutang-hutang mereka akan dibayar pada saat mereka memperoleh uang lebih dari hasil melaut. Oleh karena hasil tangkapan mereka tidak menentu sehingga terkadang mereka juga tidak bisa membayar hutang mereka yang semakin membesar, kalaupun bisa mereka tidak membayar secara lunas dan harus menghutang lagi keesokan harinya. Keadaan seperti inilah yang terusmenerus menjerat mereka dalam hutang dan “lingkaran setan” kemiskinan. Selain menghutang, berdasarkan penuturan responden, ada beberapa cara yang dilakukan oleh keluarga-keluarga nelayan di Desa mereka dalam upaya meningkatkan pendapatannya.
Salah satu upaya yang paling banyak
dilakukan yaitu memberangkatkan istri atau anak remaja perempuan mereka ke luar negeri sebagai TKW. Umumnya di luar negeri mereka menjadi pembantu rumah tangga (PRT).
Menurut mereka, hanya dengan begitu mereka dapat
memperoleh banyak uang dan dapat merubah kehidupan mereka, namun tidak merubah mata pencaharian utama mereka sebagai nelayan. Pilihan mempekerjakan istri dan anak perempuan mereka dan memilih pekerjaan sebagai PRT didasarkan pada rendahnya tingkat pendidikan dan pengetahuan yang mereka miliki. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kepala keluarga dan istri yang tidak bersekolah (tabel 7).
Dengan begitu mereka
merasa kesempatan untuk memperoleh pekerjaan lain yang menghasilkan uang lebih banyak sudah tertutup.
Adapun alasan mereka memilih negara lain
sebagai tempat bekerja karena gaji yang diterima jauh lebih besar dibanding dengan di dalam negeri. Walaupun demikian, responden juga menuturkan kalau kebanyakan dari para TKW hanya tahan bekerja sekitar 1 tahun dan setelah itu mereka tidak bekerja kembali, kecuali dalam keadaan yang sangat mendesak.
61
Oleh karena itu, setelah kembali ke rumah mereka tetap beraktifitas sebagai istri atau anak seorang nelayan “miskin”. Berdasarkan pembahasan di atas, permasalahan utama keluarga contoh adalah masih rendahnya pengetahuan gizi dan kondisi ekonomi mereka. Ini menyebabkan kebutuhan gizi mereka tidak tercukupi dengan baik dan berpotensi menimbulkan masalah lainnya. Dengan demikian dibutuhkan upaya untuk mengeluarkan mereka dari kondisi yang tidak menguntungkan tersebut. Pemerintah, swasta, dan masyarakat harus mau bekerja sama untuk mengatasi masalah-masalah yang terjadi. Salah satu upaya yang harus dilakukan adalah peningkatan pendapatan mereka karena berkaitan erat dengan konsumsi pangan dan konsumsinya. Pemerintah diharapkan dapat memberikan lapangan pekerjaan bagi anggota keluarga nelayan yang berada pada usia kerja. Tingkat pendidikan yang rendah
bukan
menjadi
hambatan
untuk
terlaksananya
upaya
tersebut.
Pemerintah bisa memberikan pelatihan atau kursus dengan biaya murah bagi mereka, terutama para remaja dan ibu keluarga, agar mereka dapat ikut aktif meningkatkan pendapatan keluarga.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Secara umum keluarga contoh penelitian ini tergolong keluarga berukuran sedang (4-6 jiwa), yaitu dengan rata-rata 4.6 jiwa.
Rata-rata usia kepala
keluarga sebesar 40.2 tahun dan lebih dari separuhnya (55.9%) berusia antara 20-40 tahun, sedangkan rata-rata usia istri adalah 36.2 tahun dan sebagian besarnya (64.7%) juga berusia antara 20-40 tahun. Proporsi terbesar kepala keluarga (47.1%) dan istri (41.2%) berpendidikan tidak sekolah. Sebagian besar (85.3%) keluarga memiliki pengeluaran per kapita per bulan di atas garis kemiskinan (Rp. 146 837.00).
Rata-rata pengeluaran per kapita per bulan
sebesar Rp. 262 753.78 (± 79 persen di atas garis kemiskinan) dimana lebih dari setengahnya (51.9%) digunakan untuk kebutuhan non pangan.
Walaupun
mereka tergolong keluarga prasejahtera dan sejahtera I, sebagian keluarga contoh memiliki rumah, sepeda, jaring, emas, dan televisi. Rata-rata konsumsi energi keluarga adalah sebesar 1 813 Kal/kap/hr, masih lebih rendah dari angka kecukupan energinya (2 020 Kal/kap/hr) atau ratarata tingkat konsumsinya adalah 89.7 persen. Sementara itu, rata-rata konsumsi proteinnya sebesar 58.6 gram/kap/hr, sudah lebih dari angka kecukupannya (53.1 gram/kap/hr) atau rata-rata tingkat konsumsi proteinnya adalah 114.1 persen. Jumlah keluarga yang mengalami defisit energi sebesar 61.7 persen (21 keluarga), sedangkan keluarga yang mengalami defisit protein sebanyak 18 keluarga (52.9%). Berdasarkan garis kemiskinan, keluarga keluarga yang tergolong miskin adalah lima keluarga dan yang tidak miskin sebanyak 29 keluarga.
Keluarga miskin semuanya mengalami defisit energi dan protein.
Adapun pada keluarga tidak miskin jumlah keluarga yang konsumsi energinya tergolong defisit sebanyak 16 keluarga, sedangkan yang lebih dari angka kecukupan sebanyak 13 keluarga. Kelompok pangan penyumbang energi terbanyak adalah kelompok padipadian (1 062 Kal). Adapun yang paling banyak menyumbang protein adalah pangan hewani (26.1 g).
Skor Pola Pangan Harapan (PPH) keseluruhan
keluarga adalah 73.1 dimana hanya dua kelompok pangan yang mencapai skor maksimal, yaitu padi-padian dan minyak dan lemak. Hampir semua jenis pangan disediakan dari membeli kecuali ikan segar dan ikan asin. Jenis pangan yang umum disediakan secara harian adalah beras, minyak sayur, dan gula batu,
63
sedangkan yang umumnya disediakan secara mingguan diantaranya mie, telur ayam, tempe, tahu, dan sebagian sayur dan buah. Berdasarkan ukurannya, keluarga yang berukuran kecil banyak memiliki tingkat konsumsi energi dan protein di atas anjuran, sedangkan keluarga berukuran sedang mengalami defisit energi dan protein. Sebagian besar keluarga yang berkepala keluarga berusia dewasa muda mengalami defisit energi dan protein, begitu juga halnya dengan sebagian besar keluarga yang istrinya berusia dewasa muda. Hasil yang tidak berbeda terjadi pada keluarga yang tingkat pendidikan kepala keluarga dan istri tamat sekolah dasar. Sebagian besar mereka mengalami defisit energi dan protein. Hasil uji korelasi pearson untuk seluruh variabel karakteristik demografi dan sosial ekonomi dengan tingkat konsumsi protein keluarga seluruhnya tidak menunjukkan hubungan yang signifikan.
Adapun hasil uji korelasi seluruh
variabel karakteristik demografi dan sosial ekonomi dengan tingkat konsumsi energi keluarga seluruhnya tidak menunjukkan hasil yang signifikan, kecuali pengeluaran dan usia istri.
Tingkat konsumsi energi menunjukkan hubungan
nyata dengan variabel pengeluaran (r=0.530; p=0.001), begitu juga dengan variabel usia istri dengan tingkat konsumsi energi keluarga (r=0.396; p=0.020). Uji ANOVA yang digunakan untuk menganalisis perbedaan rata-rata tingkat konsumsi
antar
kategori
semua
variabel
penelitian,
hampir
seluruhnya
menunjukkan hasil tidak signifikan, kecuali kategori-kategori pada variabel pengeluaran per kapita per bulan (sig=0.023). Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis merasa perlu adanya upaya peningkatan keterampilan pengelolaan keuangan keluarga. Hal ini terlihat dari tingginya ketergantungan keluarga nelayan terhadap pangan yang berasal dari pembelian, sedangkan keuangan (pendapatan) mereka tidak menentu dan sangat tergantung pada musim. Selain itu, masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih banyak untuk melihat dan mengukur perbedaan ketersediaan pangan keluarga miskin nelayan pada saat musim panen dengan musim paceklik. Penelitian lanjutan juga diperlukan untuk mengkaji keadaan nelayan miskin di daerah lain dan dengan jenis tangkapan, serta jenjang hirarki yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA Amanah S, Utami HN, & Savitri TL. 2005. Perilaku nelayan dalam pengelolaan wisata bahari di kawasan Pantai Lovina, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali. Laporan penelitian. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Ariani M. 2005. Penguatan ketahanan pangan daerah untuk mendukung ketahanan nasional. Di dalam: Jamal E, Sadra DK & Saptana, editor. Penguatan Ketahanan Pangan Rumah Tangga dan Wilayah sebagai Basis Ketahanan Pangan Nasional. Pusat Analisis Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Monograph. No. 26. Ariani M, Handewi & Rochman PS. 2003. Analisis tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Media Gizi dan Keluarga. No. 2 Vol 27. Arifin B. 2004. Penyediaan dan aksesibilitas ketahanan pangan. Di dalam: Hardinsyah et al, editor. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta: LIPI Atmarita. 2005. Status gizi balita SUSENAS 2005. www.gizi.net Baliwati YF & Roosita K. 2004. Sistem pangan dan gizi. Di dalam Baliwati et al., editor. Pengantar Pangan dan Gizi. Penebar Swadaya: Bogor. [BPS] Biro Pusat Statistik. 2005. Analisis dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan Tahun 2005. Jakarta: BPS. [BPS] Biro Pusat Statistik. 2007. Tingkat kemiskinan di indonesia tahun 20062007. Berita Resmi Statistik. No. 38 Th. X. http://www.bps.go.id/ Dahuri R. Tanpa tahun. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Bogor: IPB Press. Davidson SS, Passmore R, Brock GF & Truswell AS. 1979. Human Nutrition and Dietetics. 7th ed. Curchhill Livingstone: London. Fitchen JM. 1997. Hunger, Malnutrition, and poverty in the Contemporary United States. [ed]. Counihan C & Penny van esterik. Food and culture. USA: Routledge. Haddad L, Bhattarai S, Immink M & Kumar S. 1996. Managing Interactions between Household Food Security and Preschooler Health. [IFPRI] International Food Policy Research Institute. Hardinsyah, Baliwati YF, Martianto D, Rachman HS, Widodo A, Subiyakto. Pengembangan Konsumsi Pangan dengan Pendekatan PPH. LPPSKPG-IPB: Bogor.
Hardinsyah, Martianto D, Hartoyo, Briawan D, Dwiriani CM & Setiawan B. 1999. membangun sistem ketahanan pangan dan gizi yang tangguh. Di dalam: Thaha R, Hardinsyah & Ala A, editor. Pembangunan Gizi dan Pangan dari Perspektif Kemandirian Lokal. Harper LJ, Deaton BJ & Driskel JA. 1986. Pangan dan Gizi Pertanian Edisi ke2. Suhardjo, penerjemah. Jakarta : UI Press. Ismail Z. 2001. Lingkungan laut dan kondisi geografi ekonomi nelayan. Di dalam: Masyhuri, editor. Adaptasi Kelembagaan Ekonomi Masyarakat dalam Pemanfaatan Sumberdaya Alam. Jakarta: LIPI. Jamal E, Sadra DK & Saptana. 2005. Penguatan Ketahanan Pangan Rumah Tangga dan Wilayah sebagai Basis Ketahanan Pangan Nasional (Sinopsis). Pusat Analisis Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Monograph. No. 26. Khumaidi. 1989. Gizi Masyarakat. PAU: Bogor. Krisnamurthi B. Pangan.
2003.
Rekonstruksi kebijakan pangan Indonesia.
Majalah
Madanijah S. 2004. Pola konsumsi pangan. Di dalam Baliwati et al., editor. Pengantar Pangan dan Gizi. Penebar Swadaya: Bogor. Mardiana H. 2005. Tingkat pendapatan usaha nelayan Gillnet di Desa Pangandaran, Kecamatan Pangandaran, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Maxwell DG. 1996. Measuring Food Insecurity: The Frequency and severity of coping strategies. [IFPRI] International Food Research Institute. Moeloek FA. 1999. Gizi sebagai basis pengembangan sumberdaya manusia Indonesia sehat 2010. Di dalam: Thaha R, Hardinsyah, Ala A, editor. Pembangunan Gizi dan Pangan dari Perspektif Kemandirian Lokal. Mulyadi S. 2005. Ekonomi Kelautan. Rajagrafindo Persada: Jakarta. Purwantini TB, Ariani M & Marisa Y. 2005. Analisis kerawanan pangan wilayah dalam perspektif desentralisasi pembangunan (kasus provinsi NTT). Di dalam: Jamal E, Sadra DK & Saptana, editor. Penguatan Ketahanan Pangan Rumah Tangga dan Wilayah sebagai Basis Ketahanan Pangan Nasional. Pusat Analisis Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Monograph. No. 26. Senauer B & Roe T. 1997. Food security and the household. Di dalam: Peters GH & Braun JV, editor. Food Security: Diversification and Resource Management Refocusing the Role of Agriculture?. Proceedings of 23rd International Conference of Agri Economist. Ahgate: UK.
Setiawan B. 2004. Ketahanan Pangan. Di dalam Baliwati et al., editor. Pengantar Pangan dan Gizi. Penebar Swadaya: Bogor. Sediaoetama A D. 1987. Ilmu Gizi. Dian Rakyat: Jakarta. Suhardjo. 1989. Sosio Budaya Gizi. PAU: Bogor. Suhardjo. 1993. Strategi di bidang konsumsi pangan dalam mendorong terwujudnya swasembada pangan dan perbaikan gizi. Di dalam: Prosiding Seminar Kebijakan dan Strategu Menuju Tercapainya Swasembada Pangan. Bogor: LP-PSKPG IPB Sumarwan U & Sukandar D. 1998. Analisis ketahanan pangan keluarga dan kesejahteraan keluarga. Media Gizi dan Keluarga. No. 1 Vol 22. Suryana A. 1992. Poverty Measurement and Agriculture Development Related to Poverty Alleviation. Indonesian Food Journal. No. 6 Vol III. Hal 5-16. Suryana A. 2001. Tantangan dan kebijakan ketahanan pangan. Di dalam: Hardinsyah, Rahardjo A, Martianto D, Andrestian MD, editor. Prosiding Seminar Nasional Pemberdayaan Masyarakat untuk Mencapai Ketahanan Pangan dan Pemulihan Ekonomi. Bogor. Suryana A. 2004. Ketahanan Pangan di Indonesia. Di dalam: Hardinsyah et al, editor. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII. Jakarta: LIPI. Tabor SS, Soekirman & Martianto D. 2000. Keterkaitan antara krisis ekonomi, kemiskinan, ketahanan pangan dan keadaan gizi. Prosiding Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. Jakarta: LIPI. Tjitroresmi E. 2001. Pemasaran ikan dan ekonomi nelayan. Di dalam: Masyhuri, editor. Adaptasi Kelembagaan Ekonomi Masyarakat dalam Pemanfaatan Sumberdaya Alam. Jakarta: LIPI.
Lampiran 1 Daftar beberapa mata pencaharian pokok penduduk dan jumlah orang yang menggelutinya No Mata Pencaharian Jumlah (orang) 1
Petani
53
2
Buruh tani
127
3
Buruh/swasta
192
4
Pengrajin
209
5
Pedagang
65
6
Peternak
12
7
Nelayan
8
Montir
9
Penjahit
10
Jasa
1 798 25 5 60
Lampiran 2 Kuesioner Penelitian
KUESIONER PENELITIAN ANALISIS KONSUMSI DAN POLA PENYEDIAAN PANGAN KELUARGA NELAYAN DI DESA GROGOL, KECAMATAN GUNUNG JATI, KABUPATEN CIREBON Keterangan Tempat Tinggal Dan Keluarga 1 No urut keluarga 2 Kabupaten/kota 3 Kecamatan 4 Desa/kelurahan 5 Rw 6 Rt 7 Nama kepala keluarga Keterangan enumerator 8 Nama enumerator 9 Tanggal wawancara 10 Tanda tangan Keterangan evaluator 11 Nama evaluator 12 Tanggal evaluasi 13 Tanda tangan Keterangan entri data 14 Nama pengentri 15 Tanggal entri data 16 Tanda tangan Keterangan Kode : Kabupaten Kota Desa Kelurahan No urut Keluarga
1 2 1 2 01-70
Keterangan Anggota Keluarga
No
Nama Anggota Keluarga
Hubungan dengan KK
Jenis Kelamin Lk 1; Pr 2
1
2
3
4
Umur Tahun
Bulan 5
untuk ART berusia 0-59 bulan BB TB 6 7
Pekerjaan
Status 8
Utama 10
Kode kolom 3 : Hubungan dengan Kepala keluarga
Kode kolom 8 : Status Perkawinan
1 Kepala keluarga
4 menantu
7 Famili lain
1 Belum Kawin
3 Cerai Hidup
2 Istri/suami
5 Cucu
8 Pembantu RT
2 Kawin
4 Cerai mati
3 Anak
6 Orang tua
9 Lainnya
Tambahan 11
Kode Kolom 10 dan 11 : Pekerjaan 1 nelayan
4 Karyawan
7 Wiraswasta
2 Pedagang
5 Buruh
8 Guru
3 PNS
6 Jasa angkutan
9 lainnya
Aset/Barang yang masih dimiliki Nama Barang I. Rumah Luas tanah Luas bangunan Luas pekarangan II. Kendaraan Motor Sepeda Lain-lain III Aset perikanan Kapal/perahu Motor kapal Jaring IV Barang elektronik Televisi Radio Tape/compo VCD Komputer Rice cooker Kulkas Mesin cuci
Kepemilikan (sendiri = 1; sewa =2)
Luas/jumlah
Nilai bila diuangkan
Keterangan
Lama bersekolah 12
Kipas Angin Lain-lain V perhiasan Emas Perak VI Tabungan Suami Istri Anak VII pertanian, Perikanan dan Ternak Sawah Kambing Ayam bebek tambak lain-lain VIII Lainnya Toko Sofa Kompor gas Peralatan Dapur Berharga lebih dari Rp.100 000,Boks es Lain-lain
Keterangan Pengeluaran Non-Pangan Keluarga Jenis Pengeluaran I. kesehatan Obat/jamu Sabun Pasta gigi sampo bedak lipstik minyak telon balsem lainnya II pendidikan SPP Peralatan sekolah Uang Saku uang transport uang jajan Seragam Lainnya
Hari Satuan Rp/sat
Minggu Satuan Rp/sat
Bulan Satuan Rp/sat
Tahun Satuan Rp/sat
III Dapur BBM Minyak tanah kayu bakar solar listrik gas peralatan dapur lainnya IV perumahan sewa/cicilan perbaikan rumah lainnya V pakaian Sarung baju Lainnya VI Pesta VII lain-lain Sumbangan Tabungan Telpon Rokok Pembantu Lainnya
Pola Penyediaan Pangan Frekuensi Penyediaan No
1
Nama Pangan
Padi-Padian Beras Jagung Terigu
Mie Roti 2
Umbi-umbian Ubi Kayu Ubi Jalar Sagu Kentang
3
Pangan Hewani Daging Sapi Daging Ayam Daging Itik Telur Ikan Segar Rajungan Cumi-cumi/ sotong Ikan Asin Susu
4
Minyak dan Lemak Minyak Kacang Tanah Minyak Kelapa Minyak Sawit Lemak
5
Buah/Biji Berminyak Kelapa Biji Berminyak (kemiri,dll)
Asal
Ka li
gr
UR T
Hari Har ga
% kons
%nonkons
Ka li
gr
Minggu Har % URT ga kons
%nonkons
Ka li
gr
Bulan Har URT ga
% kons
%nonkons
6
Kacang-kacangan Kacang Tanah Kacang Kedelai Kacang Hijau Tempe Tahu
7
Gula Gula Pasir Gula Merah
8
Sayur dan Buah Sayur Ketimun Kacang Merah Kacang Panjang Buncis Kol / Kubis Sawi Tomat Wortel Kangkung Terung Lobak Rumput laut Buah Jeruk Pisang Duku Durian Jambu Mangga Nenas Pepaya Rambutan
9
Lain-lain Minuman Bumbu Lainnya
Lampiran 3 Tabel hasil uji Analysis of Variance
Besar Keluarga
Usia Kepala Keluarga
Usia Istri
Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga
Tingkat Pendidikan Istri
Pengeluaran per Kapita per Bulan
Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares 2.489 9.981 12.471 2.139 19.625 21.765 4.945 20.584 25.529 1.446 27.289 28.735 3.136 23.834 26.971 11.193 30.366 41.559
df 3 30 33 3 30 33 3 30 33 3 30 33 3 30 33 3 30 33
Mean Square .830 .333
F 2.494
Sig. .079
.713 .654
1.090
.368
1.648 .686
2.402
.087
.482 .910
.530
.665
1.045 .794
1.316
.288
3.731 1.012
3.686
.023
Lampiran 2 Tabel hasil uji korelasi terhadap seluruh variabel penelitian BK Besar Keluarga (BK)
Pearson Correlation
umur_KK umur_Is sek_KK sek_Is pengel sejahtera Energi/kap/hr Protein/kap/hr
1.000
Sig. (2-tailed) N
34.000
Usia Kepala Keluarga
Pearson Correlation
.255
(umur_KK)
Sig. (2-tailed)
.146
N Usia Istri (umur_is)
1.000
34
34.000
Pearson Correlation
.272
.934**
Sig. (2-tailed)
.119
.000
34
34
34.000
N
1.000
Tingkat Pendidikan
Pearson Correlation
.054
-.254
-.360*
Kepala Keluarga
Sig. (2-tailed)
.760
.147
.037
34
34
-.131
**
-.565**
.459
.001
.000
34
34
34
-.321
.135
.163
-.193
-.197
.065
.448
.358
.275
.263
34
34
34
34
(sek_KK)
N
Tingkat Pendidikan Istri Pearson Correlation (sek_is)
Sig. (2-tailed) N
Pengeluaran per Kapita Pearson Correlation per Bulan (pengel)
Sig. (2-tailed) N
-.546
1.000
34 34.000 .698** 1.000 .000 34 34.000 1.000
34 34.000
Lampiran 2 Tabel hasil uji korelasi terhadap seluruh variabel penelitian (lanjutan) ART
umur_KK umur_Is sek_KK sek_Is pengel sejahtera %kckpn_E %kckpn_P
tingkat kesejahteraan
Pearson Correlation
.301
.122
.169
.004
.074
-.232
(sejahtera)
Sig. (2-tailed)
.084
.493
.339
.982
.678
.186
34
34
34
34
34
34
34.000
-.333
.331
.396*
-.256
-.275
.530**
.051
.054
.056
.020
.144
.115
.001
.773
34
34
34
34
34
34
34
34.000
-.158
.181
.200
-.203
-.248
.246
.018
.576**
.372
.306
.257
.249
.157
.161
.919
.000
34
34
34
34
34
34
34
34
N Konsumsi Energi per
Pearson Correlation
Kapita per Hari
Sig. (2-tailed)
(Energi/kap/hr)
N
Konsumsi Protein per
Pearson Correlation
Kapita per Hari
Sig. (2-tailed)
(Protein/kap/hr)
N
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
1.000
1.000
1.000
34.000