ANALISIS KONSENTRASI PENETRASI PASAR DAN DISTRIBUSI PENYALURAN KREDIT BANK PERKREDITAN RAKYAT (BPR) DI PULAU JAWA
OLEH MOHAMAD FIKRI RAMDHANI H14104076
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
2
RINGKASAN
MOHAMAD FIKRI RAMDHANI. Analisis Konsentrasi Penetrasi Pasar dan Distribusi Penyaluran Kredit Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Pulau Jawa (dibimbing oleh NUNUNG NURYARTONO).
Saat ini perekonomian Indonesia bertumpu pada usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Hal itu menyebabkan pemerintah menetapkan strategi pemulihan ekonominya dengan melakukan pemberdayaan UMKM. Bahkan Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 6 Tahun 2007 tentang percepatan pengembangan sektor riil dan UMKM. Lembaga keuangan mikro yang menjadi andalan pemerintah untuk melakukan pemberdayaan UMKM adalah Bank Perkreditan Rakyat (BPR), bank yang selama ini melakukan pelayanan perbankan pada usaha mikro dan kecil (Bank Indonesia, 2006). Ironisnya, meski dibesar-besarkan bahwa sektor usaha mikro, kecil dan menengah menjadi pilar pertumbuhan ekonomi, faktanya sektor ini masih terpinggirkan. Buktinya, dalam data Bank Indonesia (2007), terjadi penurunan porsi kredit perbankan nasional terhadap UMKM, yaitu dari 52,86 persen menjadi hanya 51,73 persen. Kondisi ini disadari dan diakui oleh Bank Indonesia, bahwa sekalipun kecenderungan kinerja BPR untuk kurun waktu lima tahun terakhir positif dan memiliki kontribusi positif pada pertumbuhan ekonomi, tetapi pada kenyataannya masih banyak UMKM dan masyarakat pedesaan yang belum terlayani jasa perbankan. Sehingga tuntutan atas peran BPR untuk melayani masyarakat pedesaan dan UMKM semakin membesar (Bank Indonesia, 2006). Jika dilihat dari data statistik Bank Indonesia (2008) berdasarkan distribusi jumlah BPR, mayoritas BPR berada di wilayah Pulau Jawa dengan 68,72 persen. Hal ini bisa dimaklumi karena sebagian besar UMKM yang diperkirakan berjumlah 40 juta, sebagian besar beroperasi di pulau Jawa. Namun, dari jumlah 40 juta UMKM itu, baru 0,15 persen yang mendapatkan kucuran kredit (Bank Indonesia, 2007). Artinya terdapat sekitar 99,85 persen pangsa pasar yang belum tergarap secara optimal. Karena itu, BPR harus mempertajam penetrasi pasarnya untuk meningkatkan jumlah kredit yang bisa disalurkan sehingga terjadi pemerataan dalam distribusi kredit oleh BPR di Pulau Jawa. Tujuan Penelitian ini adalah untuk menganalisa bagaimana kondisi penetrasi pasar BPR dan menganalisa distribusi penyebaran penyaluran kredit BPR di Pulau Jawa. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yaitu data total kredit BPR-BPR di Pulau Jawa (Wilayah Jabodetabekten (Direktorat Kredit BPR dan UMKM (DKBU)), Propinsi Jawa Barat, Propinsi Jawa Tengah, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Propinsi Jawa Timur) tahun 2006 dan tahun 2007. Penelitian ini menggunakan metode analisis Concentration Ratio (CR4), Herfindahl Hirschman Index (HHI) dan indeks Koefisien Gini.
3
Berdasarkan hasil analisis data yang dikumpulkan dari seluruh wilayah Pulau Jawa dan diolah dengan menggunakan metode analisis Concentration Ratio (CR4) dan Herfindahl Hirschman Index (HHI), maka diperoleh hasil bahwa hampir di seluruh wilayah Pulau Jawa ( Wilayah Jabodetabekten (DKBU), Propinsi Jawa Barat, Propinsi Jawa Tengah, Propinsi Jawa Timur dan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ) memiliki nilai Concentration Ratio (CR4) yang kurang dari 40 persen dan nilai Herfindahl Hirschman Index (HHI) kurang dari 1000 persen. Sehingga disimpulkan penetrasi pasar untuk BPR di Pulau Jawa adalah berbentuk Oligopoli longgar sesuai dengan klasifikasi Shepherd (1985). Namun, ada dua daerah yang memiliki atau cenderung mengikuti pasar bertipe Oligopoli ketat, yakni Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Barat. Penetrasi pasar ini tidak berubah, ketika dilakukan klasifikasi berdasarkan strata (sesuai dengan modal inti). Sebelum dilakukan klasifikasi berdasarkan strata sesuai dengan modal inti yang dimiliki BPR, di pulau Jawa pada umumnya terjadi peningkatan rasio konsentrasi dan nilai indeks HHI. Sehingga bisa dikatakan pasar terkonsentrasi pada empat BPR terkemuka. Dari data yang sudah diolah didapatkan bahwa terjadi peningkatan dalam kekuatan pasar dan daya penetrasi pasar. Namun, kekuatan penetrasi pasar ini tidak signifikan dan tidak merata untuk semua BPR, sehingga menimbulkan ketimpangan dalam penyaluran kredit di hampir semua wilayah kerja di Pulau Jawa. Setelah dilakukan klasifikasi berdasarkan strata, baru bisa dilihat secara rinci bahwa kebanyakan BPR di pulau Jawa tidak memiliki kekuatan pasar yang cukup memadai dan memiliki kelemahan dalam melakukan penetrasi pasar. Hal itu ditandai dengan angka CR4 dan indeks HHI yang terus menurun. Namun, untuk distribusi penyaluran kredit, analisis berdasarkan strata menunjukkan bahwa distribusi berdasarkan strata lebih merata dibandingkan jika kita mengukur distribusi penyaluran kredit tanpa memilah-milah dengan stratifikasi. Selain itu, ada dua daerah yang menarik untuk diamati, yakni propinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah. Di Jawa Barat, rasio konsentrasi tinggi, artinya BPR dikuasai oleh empat BPR yang dominan, walaupun penetrasi pasarnya bagus, tetapi distribusi penyaluran kreditnya tidak merata. Sedangkan di Jawa Tengah terjadi hal tidak normal (kondisi paradoks), bahwa nilai konsentrasi rasionya rendah, tetapi distribusi penyaluran kreditnya tidak merata, padahal kekuatan pasar dan daya penetrasinya tergolong bagus. Penelitian selanjutnya dapat menganalisa penetrasi pasar BPR dan distribusi penyaluran kreditnya di seluruh wilayah kerja BPR di Indonesia.
4
ANALISIS KONSENTRASI PENETRASI PASAR DAN DISTRIBUSI PENYALURAN KREDIT BANK PERKREDITAN RAKYAT (BPR) DI PULAU JAWA
OLEH MOHAMAD FIKRI RAMDHANI H14104076
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
5
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN DEPARTEMEN ILMU EKONOMI
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh, Nama Mahasiswa
: Mohamad Fikri Ramdhani
Nomor Registrasi Pokok
: H14104076
Program Studi
: Ilmu Ekonomi
Judul Skripsi
: Analisis Konsentrasi Penetrasi Pasar dan Distribusi Penyaluran Kredit Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Pulau Jawa
dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor
Menyetujui, Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si. NIP. 132 104 952 Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Ekonomi
Dr. Ir. Rina Oktaviani, MS. NIP. 131 846 872
Tanggal Kelulusan :
6
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH BENARBENAR
HASIL
DIGUNAKAN
KARYA
SEBAGAI
SAYA SKRIPSI
SENDIRI ATAU
YANG KARYA
BELUM
PERNAH
ILMIAH
PADA
PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN.
Bogor, September 2008
Mohamad Fikri Ramdhani H14104076
7
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Mohamad Fikri Ramdhani lahir pada tanggal 25 Mei 1986 di Bogor, Jawa Barat. Penulis anak ketujuh dari tujuh bersaudara, dari pasangan Soedjono dan Siti Djumenah (ALM). Jenjang pendidikan penulis dilalui tanpa hambatan, penulis menamatkan sekolah dasar pada SD Negeri Pengadilan I Bogor, kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri 11 Bogor dan lulus pada tahun 2001. Pada tahun yang sama, penulis diterima di SMU KORNITA IPB Darmaga Bogor dan lulus pada tahun 2004. Penulis melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2004. Penulis masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis sering berpartisipasi dalam berbagai kegiatan kemahasiswaan di Institut Pertanian Bogor. Kegiatan yang pernah diikuti oleh penulis diantaranya adalah kepanitian Lomba Karya Tulis Mahasiswa Hipotex-R FEM IPB tahun 2006 sebagai Seksi Logistik dan Transportasi.
8
KATA PENGANTAR
Puji Syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Judul skripsi ini adalah “Analisis Konsentrasi Penetrasi Pasar dan Distribusi Penyaluran Kredit Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Pulau Jawa”. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis banyak memperoleh dukungan dari beberapa pihak. Oleh karena itu dengan segala ketulusan dan kerendahan hati, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada : 1.
Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang memberikan ilmu dan membimbing penulis dengan sabar dalam proses penyusunan skripsi ini sehingga dapat diselesaikan dengan baik.
2.
Dr. Ir. Muhammad Firdaus, M.Si selaku dosen penguji utama yang telah bersedia menguji dan memberikan masukan, kritik dan ilmu yang bermanfaat untuk penyempurnaan skripsi ini.
3.
Fifi Diana Thamrin, M.Si selaku dosen penguji komisi pendidikan yang telah memberikan masukan dalam perbaikan tata bahasa untuk penyempunaan skripsi ini.
4.
Dr. Ir. Anny Ratnawati, MS selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingannya selama ini.
5.
Orang tua penulis yaitu Soedjono dan Siti Djumenah (ALM), serta saudara penulis yaitu Rahmat Supana, Muhammad Ridwan (ALM), Sri Windawati, Sri Widiyastuti, Bambang Widiantoro dan Sri Rezeki atas dukungan, doa, kasih sayang, bimbingan dan perhatian yang telah dicurahkan selama ini. Ocha atas segala bantuan moril, dorongan, dan perhatian yang telah diberikan.
9
6.
Lembaga InterCAFE beserta staf-nya, Bapak Iman Sugema, Bapak Noer Azam Achsani, Bapak Tony Bahtiar, Ibu Triana Anggraeni, Ibu Nuning, Ibu Heti, Ibu Mita, Ka Ade, Ka Toni, Ka Iqbal, Teh Heni, Teh Nilam, Desi, Ka Dayat dan Ka Wahyu.
7.
Teman-teman satu bimbingan skripsi; Rista, Imeh, Rizki, Pri dan tak lupa Azis terima kasih atas semangat, dukungan, dan perjuangan selama proses penyusunan skripsi.
8.
Dani, Anggit, Akbar, Dwi, Hardy, Tyo, Refa, Adit, Islam, Fajri, Irvan, Irwan, Dado, Agita, Dewi, Ratih, Fitsol, Ririn, Indri, Ka Irfan, Ka Rini, Asti, dan teman-teman lain-lain yang tidak dapat disebutkan satu-persatu atas semangat, bantuan, dan persahabatannya.
9.
Teman-teman penulis dan seluruh IE angkatan 41. Terima kasih atas semangat, dukungan dan bantuan selama proses penyusunan skripsi. Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak
dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang semata-mata ditujukan untuk memperbaiki berbagai kelemahan yang ada sangat penulis harapkan. Semoga hasil dari skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, September 2008
Mohamad Fikri Ramdhani H14104076
10
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR DAFTAR ISI ................................................................................................
i
DAFTAR TABEL ......................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................
vi
DAFTAR ISTILAH ....................................................................................
viii
I. PENDAHULUAN ...................................................................................
1
1.1. Latar Belakang ...................................................................................
1
1.2. Perumusan Masalah ...........................................................................
4
1.3. Tujuan Penelitian ...............................................................................
7
1.4. Manfaat Penelitian .............................................................................
7
1.5. Ruang Lingkup ...................................................................................
8
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................
9
2.1. Bank Perkreditan Rakyat (BPR) .........................................................
9
2.1.1. Sejarah Singkat Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Indonesia .
9
2.1.2. Landasan Hukum dan Pengertian BPR......................................
11
2.1.3. Lingkup Kegiatan BPR ..............................................................
11
2.1.4. Arsitektur Perbankan Indonesia (API).......................................
12
2.1.5. Posisi Strategis BPR ..................................................................
13
2.2. Kredit ..................................................................................................
14
2.2.1. Definisi Kredit dan Distribusi Kredit ........................................
14
2.2.2. Unsur-Unsur Kredit ...................................................................
14
2.2.3. Tujuan Kredit .............................................................................
16
2.2.4. Manfaat Kredit ...........................................................................
16
2.3. Penetrasi Pasar ....................................................................................
17
2.3.1. Pengertian Penetrasi Pasar .........................................................
17
2.3.2. Klasifikasi Penetrasi Pasar .........................................................
18
11
2.4. Penelitian Terdahulu ...........................................................................
22
2.5. Kerangka Pemikiran ............................................................................
24
2.6. Hipotesis .............................................................................................
27
III. METODE PENELITIAN ...................................................................
28
3.1. Jenis Sumber Data ...............................................................................
28
3.2. Unit Analisis .......................................................................................
28
3.3. Metode Analisis dan Pengolahan Data ............................................ ..
29
3.3.1. Rasio Konsentrasi (Concentration Ratio)..................................
30
3.3.2. Herfindahl Hirschman Index (HHI) ..........................................
32
3.3.3. Koefisien Gini............................................................................
33
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................
36
4.1. Gambaran Umum Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Pulau Jawa....... 36 4.2. Penetrasi Pasar Kredit dan Distribusi Penyaluran Kredit Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Wilayah Jabodetabekten ( Direktorat Kredit BPR dan UMKM (DKBU) ) .................................
40
4.3. Penetrasi Pasar Kredit dan Distribusi Penyaluran Kredit Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)………. ......................................
45
4.4. Penetrasi Pasar Kredit dan Distribusi Penyaluran Kredit Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di propinsi Jawa Barat ....................
48
4.5. Penetrasi Pasar Kredit dan Distribusi Penyaluran Kredit Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di propinsi Jawa Tengah .................
52
4.6. Penetrasi Pasar Kredit dan Distribusi Penyaluran Kredit Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di propinsi Jawa Timur ...................
56
V. KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................
60
5.1. Kesimpulan .........................................................................................
60
5.2. Saran ...................................................................................................
61
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
65
LAMPIRAN ................................................................................................
67
12
DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1.1. Jumlah Unit UMKM dan Besar, Jumlah Tenaga Kerja UMKM dan Besar Tahun 2006-2007 ................................................................
5
3.1. Klasifikasi Tipe Pasar Berdasarkan Concentration Ratio (CR4).........
32
4.1. Jumlah BPR di Pulau Jawa Berdasarkan Stratifikasi BPR ..................
36
4.2. Persentase CR4 dan HHI Tahun 2006 dan Tahun 2007 Berdasarkan Strata di Wilayah Jabodetabekten ( Direktorat Kredit dan UMKM (DKBU) ) .............................................................................................
41
4.3. Nilai Koefisien Gini Penyaluran Kredit BPR di Wilayah Jabodetabekten ( Direktorat Kredit BPR dan UMKM (DKBU) ) Tahun 2006 dan Tahun 2007................................................................
43
4.3. Koefisien Gini Penyaluran Kredit BPR di Wilayah Jabodetabekten (DKBU) Berdasarkan Strata .......................................
39
4.4. Nilai Koefisien Gini Penyaluran Kredit BPR Berdasarkan Strata di Wilayah Jabodetabekten ( Direktorat Kredit dan UMKM (DKBU) Tahun 2006 dan Tahun 2007.................................................
44
4.5. Nilai Koefisien Gini Penyaluran Kredit BPR di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Tahun 2006 dan Tahun 2007 .................
46
4.6. Koefisien Persentase CR4 dan HHI Tahun 2006-2007 Berdasarkan Strata di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) .......................
48
4.7. Nilai Koefisien Gini Penyaluran Kredit BPR Berdasarkan Strata di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ......................................
48
4.8. Nilai Koefisien Gini Penyaluran Kredit BPR di Propinsi Jawa Barat Tahun 2006 dan Tahun 2007................................................................
50
4.9. Persentase CR4 dan HHI Tahun 2006-2007 Berdasarkan Strata di Propinsi Jawa Barat ..........................................................................
51
4.10. Nilai Koefisien Gini Penyaluran Kredit BPR Berdasarkan Strata di Propinsi Jawa Barat Tahun 2006 dan Tahun 2007 ..........................
51
4.11. Nilai Koefisien Gini Penyaluran Kredit BPR di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2006 dan Tahun 2007................................................................
54
4.12. Persentase CR4 dan HHI Tahun 2006 dan Tahun 2007 Berdasarkan Strata di Propinsi Jawa Tengah ............................................................
55
4.13. Nilai Koefisien Gini Penyaluran Kredit BPR Berdasarkan Strata di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2006 dan Tahun 2007 ...........................
55
13
4.14. Nilai Koefisien Gini Penyaluran Kredit BPR di Propinsi Jawa Timur Tahun 2006 dan Tahun 2007................................................................
58
4.15. Persentase CR4 dan HHI Tahun 2006 dan Tahun 2007 Berdasarkan Strata di Propinsi Jawa Timur ..............................................................
58
4.16. Nilai Koefisien Gini Penyaluran Kredit di Propinsi Jawa Timur Berdasarkan Strata Tahun 2006 dan Tahun 2007 ................................
59
14
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1.1. Perkembangan Total Kredit BPR dan Jumlah BPR Tahun 2006-2007 di Indonesia .........................................................................................
3
2.1. Kerangka Pemikiran Operasional ........................................................
26
3.1. Penurunan Koefisien Gini dari Kurva Lorenz .....................................
34
4.1. Persentase Jumlah BPR di Pulau Jawa Berdasarkan Stratifikasi BPR Tahun 2006-2007.........................................................................
36
4.2. Persentase Total Kredit BPR di Pulau Jawa Tahun 2006-2007 ...........
38
4.3. Persentase CR4 dan HHI Total Kredit BPR Tahun 2006-2007 di Wilayah Jabodetabekten ( Direktorat Kredit BPR dan UMKM (DKBU) ) .............................................................................................
41
4.4. Kurva Lorenz Penyaluran Kredit di Jabodetabekten ( Direktorat Kredit BPR dan UMKM (DKBU) ) Tahun 2006 dan Tahun 2007 ......
44
4.5. Persentase CR4 dan HHI Total Kredit BPR Tahun 2006-2007 di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ............................................
45
4.6. Kurva Lorenz Penyaluran Kredit BPR di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Tahun 2006 dan Tahun 2007 .................................
46
4.7. Persentase CR4 dan HHI Total Kredit BPR Tahun 2006-2007 di Propinsi Jawa Barat ..........................................................................
49
4.8. Kurva Lorenz Penyaluran Kredit BPR di Propinsi Jawa Barat Tahun 2006 dan Tahun 2007................................................................
50
4.9. Persentase CR4 dan HHI Total Kredit BPR Tahun 2006-2007 di Propinsi Jawa Tengah ......................................................................
53
4.10. Kurva Lorenz Penyaluran Kredit BPR di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2006 dan Tahun 2007................................................................
54
4.11. Persentase CR4 dan HHI Total Kredit BPR Tahun 2006-2007 di Propinsi Jawa Timur ........................................................................
57
4.12. Kurva Lorenz Penyaluran Kredit BPR di Wilayah Propinsi Jawa Timur Tahun 2006 dan Tahun 2007............................................
58
15
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Persentase CR4 dan HHI Total Kredit BPR Tahun 2006-2007 di Wilayah Jabodetabekten ( Direktorat Kredit BPR dan UMKM (DKBU) ) ................................................................................................
67
2. Kurva Lorenz Penyaluran Kredit BPR di Wilayah Jabodetabekten ( Direktorat Kredit BPR dan UMKM (DKBU) ) ....................................
67
3. Persentase CR4 dan HHI Total Kredit BPR Tahun 2006-2007 di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ...............................................
68
4. Kurva Lorenz Penyaluran Kredit BPR di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Tahun 2006 dan Tahun 2007 ....................................
68
5. Persentase CR4 dan HHI Total Kredit BPR Tahun 2006-2007 di Propinsi Jawa Barat.............................................................................
69
6. Kurva Lorenz Penyaluran Kredit BPR di Propinsi Jawa Barat Tahun 2006 dan Tahun 2007...................................................................
69
7. Persentase CR4 dan HHI Total Kredit BPR Tahun 2006-2007 di Propinsi Jawa Tengah .........................................................................
70
8. Kurva Lorenz Penyaluran Kredit BPR di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2006 dan Tahun 2007...................................................................
70
9. Persentase CR4 dan HHI Total Kredit BPR Tahun 2006-2007 di Propinsi Jawa Timur ...........................................................................
71
10. Kurva Lorenz Penyaluran Kredit BPR di Wilayah Propinsi Jawa Timur Tahun 2006 dan Tahun 2007.................................................................. 71 11. CR4, HHI, Koefisien Gini di Pulau Jawa Tahun 2006 ..........................
72
12. CR4, HHI, Koefisien Gini di Pulau Jawa Tahun 2007 ..........................
72
13. Nilai Koefisien Gini Penyaluran Kredit BPR Berdasarkan Strata di Wilayah Jabodetabekten ( Direktorat Kredit BPR dan UMKM (DKBU) ) Tahun 2006 ...........................................................................
73
14. Nilai Koefisien Gini Penyaluran Kredit BPR Berdasarkan Strata di Wilayah Jabodetabekten ( Direktorat Kredit BPR dan UMKM (DKBU) ) Tahun 2007 ...........................................................................
73
15. Jumlah BPR di Pulau Jawa Berdasarkan Stratifikasi BPR ....................
74
16. Persentase Jumlah BPR di Pulau Jawa Berdasarkan Stratifikasi BPR ..
74
16
17. Persentase Total Kredit dan Jumlah BPR di Pulau Jawa Tahun 2006 dan Tahun 2007 ......................................................................................
75
18. Persentase CR4 dan HHI Tahun 2006 dan Tahun 2007 Berdasarkan Strata di Wilayah Jabodetabekten ( Direktorat Kredit BPR dan UMKM (DKBU) ) ............................................................................................... 75 19. Persentase CR4 dan HHI Tahun 2006 dan Tahun 2007 Berdasarkan Strata di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) .........................
76
20. Persentase CR4 dan HHI Tahun 2006 dan Tahun 2007 Berdasarkan Strata di Propinsi Jawa Barat .................................................................
76
21. Persentase CR4 dan HHI Tahun 2006 dan Tahun 2007 Berdasarkan Strata di Propinsi Jawa Tengah ..............................................................
76
22. Persentase CR4 dan HHI Tahun 2006 dan Tahun 2007 Berdasarkan Strata di Propinsi Jawa Timur ................................................................
77
17
DAFTAR ISTILAH
API
: Arsitektur Perbankan Indonesia
BKD
: Badan Kredit Desa
BKPD
: Bank Karya Produksi Desa
BPR
: Bank Perkreditan Rakyat
CR4
: Concentration Ratio 4 BPR terbesar
DIY
: Daerah Istimewa Yogyakarta
DKBU
: Direktorat Kredit BPR dan UMKM
HHI
: Herfindahl Hirschman Index
InterCAFE
: International Center for Applied Finance and Economics
Jabodetabekten
: Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi dan Banten
KC
: Kantor Cabang
KK
: Kantor Kas
KP
: Kantor Pusat
LDKP
: Lembaga Dana Kredit Pedesaan
LPS
: Lembaga Penjamin Simpanan
PAKTO
: Paket Kebijakan Oktober
ROA
: Return on Asset
ROE
: Return on Equity
SPI
: Statistik Perbankan Indonesia
Strata 1
: BPR kecil
Strata 2
: BPR menengah
Strata 3
: BPR besar
UMKM
: Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
18
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Beberapa tahun belakangan ini, sektor keuangan mikro menjadi pembicaraan
global. Bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjadikan keuangan mikro sebagai strategi untuk mengurangi kemiskinan. Salah satu program PBB sampai dengan tahun 2015 adalah mengurangi penduduk miskin hingga separuh penduduk dunia, seperti tercantum dalam Program Millenium Developments Goals. Melalui lembaga keuangan mikro, penduduk miskin dan pengusaha kecil diberi akses untuk melakukan berbagai aktivitas keuangan yang memungkinkan mereka dapat melakukan kegiatan produktif dan mengembangkan usahanya (Ibrahim, 2005). Usaha kecil dan menengah telah diakui memiliki peran strategis dalam pembangunan ekonomi nasional, selain berperan dalam pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja juga dalam pendistribusian hasil-hasil pembangunan (Hafsah, 2004). Karena itu pengembangan UKM di Indonesia mendapatkan perhatian yang sangat serius dari pemerintah. Bank Indonesia (2006) mengakui bahwa saat ini perekonomian Indonesia bertumpu pada usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Hal itu menyebabkan pemerintah menetapkan strategi pemulihan ekonominya dengan melakukan pemberdayaan UMKM. Bahkan Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 6 Tahun 2007 tentang percepatan pengembangan sektor riil dan UMKM. Lembaga keuangan mikro yang menjadi andalan pemerintah untuk melakukan pemberdayaan
19
UMKM adalah Bank Perkreditan Rakyat (BPR), bank yang selama ini melakukan pelayanan perbankan pada usaha mikro dan kecil. Ironisnya, meski dibesar-besarkan bahwa sektor usaha mikro, kecil dan menengah menjadi pilar pertumbuhan ekonomi, faktanya sektor ini masih terpinggirkan. Buktinya, dalam data Bank Indonesia (2007), terjadi penurunan porsi kredit perbankan nasional terhadap UMKM, yaitu dari 52,86 persen menjadi hanya 51,73 persen. Kondisi ini disadari dan diakui oleh Bank Indonesia, bahwa sekalipun kecenderungan kinerja BPR untuk kurun waktu lima tahun terakhir positif dan memiliki kontribusi positif pada pertumbuhan ekonomi, tetapi pada kenyataannya masih banyak UMKM dan masyarakat pedesaan yang belum terlayani jasa perbankan. Sehingga tuntutan atas peran BPR untuk melayani masyarakat pedesaan dan UMKM semakin membesar (Bank Indonesia, 2006). Data statistik Bank Indonesia (2008), menunjukkan bahwa BPR telah berkembang pesat, baik dari sisi jumlah kantor, total aset, dan total kredit. Pada perkembangan jumlah kantor, terjadi peningkatan jumlah kantor BPR dari 3.173 kantor pada bulan Desember 2006 menjadi 3.289 kantor pada Mei 2008 yang terdiri dari 1.811 Kantor Pusat (KP), 686 buah Kantor Cabang (KC), dan 792 buah Kantor Kas (KK). Sehingga mengindikasikan bahwa terjadi perkembangan yang nyata dalam peningkatan jangkauan pelayanan BPR kepada UMKM. Jika dilihat dari perkembangan aset dan modal inti BPR, data menunjukkan adanya tingkat keragaman yang tinggi. Total aset BPR tertinggi mencapai Rp. 1,16 trilyun, tetapi masih ada BPR yang memiliki volume usaha sebesar Rp. 11,63 juta.
20
Namun, sebagian besar BPR di Indonesia (64,83 persen) memiliki aset pada kisaran Rp. 1 milyar hingga 10 milyar. Hanya sekitar 1,49 persen BPR memiliki aset di bawah Rp. 500 juta. Dicermati dari kondisi modal inti, masih terdapat 16,40 persen BPR yang beroperasi dengan modal inti kurang dari Rp. 500 juta. Di sisi lain juga terdapat BPR dengan modal inti mencapai Rp. 161,66 milyar. Namun, mayoritas BPR (52,45 persen) memiliki modal inti sebesar Rp. 1 milyar hingga 10 milyar. Perkembangan penyaluran kredit BPR juga menarik untuk diamati. Hal ini bisa dilihat pada Gambar 1.1 berikut :
Perkembangan Total Kredit dan Jumlah BPR 80.00 60.00 40.00 20.00 0.00
65.38
68.72
64.10
35.90
34.62
2006
2007 Kredit Luar Pulau Jawa
31.28
68.72 31.28
2006
2007
Jumlah BPR Pulau Jawa
Gambar 1.1. Perkembangan Total Kredit BPR dan Jumlah BPR Tahun 2006-2007 di Indonesia Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah). Total kredit di luar Pulau Jawa mengalami peningkatan dari 34,62 persen tahun 2006 menjadi 35,90 persen tahun 2007. Sedangkan total kredit di Pulau Jawa mengalami penurunan dari 65,38 persen tahun 2006 menjadi 64,10 persen tahun
21
2007. Walaupun total kredit di Pulau Jawa mengalami penurunan, namun penyaluran kredit BPR di Pulau Jawa lebih besar daripada di luar pulau Jawa. Dari sisi distribusi jumlah BPR, mayoritas BPR berada di wilayah Pulau Jawa dengan 68,72 persen. Hal ini bisa dimaklumi karena sebagian besar UMKM yang diperkirakan berjumlah 40 juta, sebagian besar beroperasi di pulau Jawa. Namun, dari jumlah 40 juta UMKM itu, baru 0,15 persen yang mendapatkan kucuran kredit (Bank Indonesia, 2007). Artinya terdapat sekitar 99,85 persen pangsa pasar yang belum tergarap secara optimal. Karena itu, BPR harus mempertajam penetrasi pasarnya untuk meningkatkan jumlah kredit yang bisa disalurkan sehingga terjadi pemerataan dalam distribusi kredit oleh BPR di Pulau Jawa.
1.2.
Perumusan Masalah Porsi kredit usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) terhadap total kredit
perbankan nasional sepanjang 2007 terus menurun. Hal ini terjadi karena perbankan lebih banyak menyalurkan kredit ke sektor korporasi yang berskala besar. Berdasarkan data Bank Indonesia pada akhir Desember 2007, posisi kredit UMKM secara nasional mencapai Rp. 502,79 trilyun atau 50,2 persen terhadap total kredit perbankan nasional sebesar Rp. 1.000,02 trilyun. Porsi ini lebih kecil dibandingkan dengan angka tahun 2006 yang mencapai 52 persen. Kredit UMKM adalah pinjaman dengan plafon di bawah Rp. 5 milyar. Sedangkan pinjaman di atas Rp. 5 milyar disebut kredit korporasi. Kredit UMKM terdiri dari kredit menengah (Rp. 500 juta hingga Rp. 5 milyar), kredit kecil (Rp. 50 juta hingga Rp. 500 juta), dan kredit mikro (di bawah Rp. 50 juta).
22
Dalam setahun terakhir, kredit korporasi tumbuh lebih cepat mencapai 30,2 persen dibandingkan dengan kredit UMKM yang meningkat 22,5 persen. Turunnya porsi kredit UMKM dalam setahun belakangan ini kontras dengan kondisi selama tahun 2002-2006. Hingga kini, sebenarnya penetrasi pembiayaan ke segmen UMKM tergolong rendah (Bank Indonesia, 2008). Data di atas menunjukan bahwa kemampuan BPR untuk melakukan penetrasi pasar mengalami ujian. Pangsa pasar yang begitu besar, seperti yang bisa dilihat di Tabel 1.1 belum termanfaatkan secara optimal. Tabel 1.1. Jumlah Unit UMKM dan Besar, Jumlah Tenaga Kerja UMKM dan Besar Tahun 2006-2007 Jumlah UMKM dan Tahun Besar (dalam juta) 2006 48,78 48,79 2007 49,84 49,85 Sumber : Departemen Koperasi, 2008. Jumlah UMKM (dalam juta)
Jumlah Tenaga Kerja UMKM (dalam juta)
Jumlah Tenaga Kerja UMKM dan Besar (dalam juta)
89,54 91,75
91,99 94,27
Data di atas menunjukkan terjadi peningkatan jumlah UMKM, yakni pada 2006 berjumlah 48,78 juta menjadi 49,84 pada tahun 2007. Terjadi pula peningkatan dalam penyerapan tenaga kerja dari 89,54 juta pada tahun 2006 menjadi 91,75 pada 2007. Sekalipun demikian, Bank Indonesia mengetahui adanya keluhan kurangnya pemenuhan kebutuhan masyarakat atas pelayanan perbankan, yang ditandai dengan kurangnya akses terhadap kredit dan tingginya suku bunga kredit. Pandangan masyarakat ini cukup beralasan karena walaupun kredit koorporasi dan UMKM mulai tumbuh tetapi tingkat penetrasi kredit masih rendah (Bank Indonesia, 2008).
23
Rendahnya kemampuan penetrasi BPR menurut Bank Indonesia karena beberapa hal seperti struktur pendanaan, kualitas sumberdaya manusia, perilaku nasabah, dan tingkat konsentrasi. Karena keterbatasannya, BPR tidak didukung dengan permodalan yang kuat sehingga membatasi tingkat ekspansinya. Kualitas sumberdaya manusianya belum memadai di tingkat manajerial maupun operasional menyebabkan biaya operasional tinggi yang mempengaruhi tingkat bunga. Perilaku nasabahnya juga mempengaruhi penghimpunan dana dan mendorong tingginya cost of fund. Tingkat konsentrasi BPR di pulau Jawa menyebabkan pelayanan BPR kepada UMKM tidak merata di Indonesia. Persoalan lain yang sering muncul adalah banyak BPR yang tidak percaya kepada calon debitur atau pengusaha yang ingin meminjam dana kepada BPR. Menurut Sulaeman (2001), hal ini dikarenakan pada : 1) lemahnya akses informasi kredit kepada UMKM, 2) lemahnya informasi UMKM yang benar-benar potensial ke perbankan, disamping masih adanya trauma kredit macet (NPL) di masa lalu, 3) banyak UMKM yang potensial dan cukup layak tetapi tidak bankable. Kelemahan ini harus cepat diperbaiki karena BPR memiliki tujuan mulia untuk membantu masyarakat kecil dalam pembiayaan usahanya. Karena itu, perlu dilakukan sebuah penelitian untuk melihat sejauh mana sebenarnya penetrasi BPR yang ada untuk mengambil manfaat dari pangsa pasar yang besar pada sektor UMKM. Dengan mengetahui masalah penetrasi pasar BPR memudahkan untuk menerapkan strategi apa yang harus dilakukan pemerintah untuk meningkatkan peran serta BPR dalam peningkatan perekonomian masyarakat pedesaan dan UMKM. Sehingga diharapkan BPR dapat meningkatkan fungsi intermediasinya.
24
Oleh karena itu, dalam penelitian ini perlu dijawab beberapa pertanyaan di bawah ini : 1. Bagaimana kemampuan penetrasi pasar Bank Perkreditan Rakyat (BPR) berdasarkan penyaluran kredit di Pulau Jawa? 2. Bagaimana distribusi penyaluran kredit Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Pulau Jawa?
1.3.
Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis kondisi penetrasi pasar Bank Perkreditan Rakyat (BPR) berdasarkan penyaluran kredit di Pulau Jawa. 2. Menganalisis distribusi penyaluran kredit Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Pulau Jawa.
1.4.
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini, di antaranya:
1. Bagi Bank Indonesia, penulisan ini dapat menjadi masukan dalam membuat implikasi kebijakan berdasarkan kemampuan penetrasi pasar BPR dan distribusi penyaluran kredit BPR di Pulau Jawa. 2. Bagi mahasiswa dan perguruan tinggi, penulisan ini dapat menjadi bahan referensi pembaca dan peneliti lainnya untuk melakukan penelitian lebih lanjut.
25
3. Bagi penulis, penulisan ini dapat dijadikan sebagai proses belajar yang akan memberi banyak tambahan ilmu dan pengetahuan. Juga dapat dijadikan sebagai bentuk pemahaman dan pengaplikasian dari materi-materi yang didapat dari perkuliahan atas peristiwa ekonomi yang terjadi.
1.5.
Ruang Lingkup Penelitian ini hanya terbatas pada analisis kemampuan penetrasi pasar BPR
dan distribusi penyaluran kredit BPR. Dari analisis ini diharapkan dapat menggambarkan seberapa besar penetrasi pasar BPR berdasarkan penyaluran kredit dan distribusi penyaluran kredit BPR di Pulau Jawa (Wilayah Jabodetabekten atau Direktorat Kredit BPR dan UMKM (DKBU), Propinsi Jawa Barat, Propinsi Jawa Tengah, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan Propinsi Jawa Timur) dari tahun 2006 hingga tahun 2007.
26
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1.
Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
2.1.1. Sejarah Singkat Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Indonesia Sejarah lembaga perkreditan rakyat dimulai pada masa kolonial Belanda pada abad ke-19 dengan dibentuknya Lumbung Desa, Bank Desa, Bank Tani, dan Bank Dagang Desa, dengan tujuan membantu para petani, pegawai, dan buruh untuk melepaskan diri dari jerat pelepas uang (rentenir) yang memberikan kredit dengan bunga tinggi. Pasca kemerdekaan Indonesia, didirikan beberapa jenis lembaga keuangan kecil dan lembaga keuangan di pedesaan seperti Bank Pasar, Bank Karya Produksi Desa (BKPD), dan mulai awal 1970an Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP) oleh Pemerintah Daerah. Pada tahun 1988, Pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober 1988 (PAKTO 1988) melalui Keputusan Presiden RI No.38 yang menjadi momentum awal pendirian BPR-BPR baru. Kebijakan tersebut memberikan kejelasan mengenai keberadaan dan kegiatan usaha Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Dengan dikeluarkannya Undang-Undang No.7 tentang Perbankan tahun 1992 (UU No.7/1992 tentang Perbankan), BPR diberikan landasan hukum yang jelas sebagai salah satu jenis bank selain Bank Umum. Sesuai UU No.7/1992 tentang Perbankan, Lembaga Keuangan Bukan Bank yang telah memperoleh izin usaha dari Menteri Keuangan dapat menyesuaikan kegiatan usahanya sebagai bank. Selain itu, dinyatakan juga bahwa lembaga-lembaga keuangan kecil seperti Bank Desa, Lumbung Desa, Bank Pasar, Bank Pegawai, LPN,
27
LPD, BKD, BKK, KURK, LPK, BKPD, dan lembaga-lembaga lainnya yang dipersamakan dengan itu dapat diberikan status sebagai BPR dengan memenuhi persyaratan dan tata cara yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah (PP). Selanjutnya PP No.71/1992 memberikan jangka waktu sampai dengan 31 Oktober 1997 bagi lembaga-lembaga keuangan tersebut untuk memenuhi persyaratan menjadi BPR. Sampai dengan batas waktu yang ditetapkan, namun tidak seluruh lembaga keuangan tersebut dapat dikukuhkan sebagai BPR karena tidak dapat memenuhi persyaratan yang ditetapkan. BPR yang didirikan sesudah PAKTO 1988 maupun Lembaga Keuangan yang dikukuhkan menjadi BPR sesuai dengan PP No.71/1992, tunduk pada ketentuanketentuan yang diatur dalam undang-undang Perbankan dan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai otoritas pengawas bank. Khusus Badan Kredit Desa (BKD), meskipun lembaga tersebut sesuai UU No.7/1992 tentang Perbankan yang diberikan status sebagai BPR, namun karena organisasi dan manajemennya relatif sederhana, lingkup usahanya sangat kecil, serta operasionalnya tidak setiap hari, maka pengaturan dan pengawasan terhadap BKD pun tidak dapat disamakan dengan BPR. Sampai dengan akhir Juli 2006 terdapat 5.345 BKD yang tersebar di pulau Jawa dan Madura, namun dari jumlah tersebut sebanyak 863 diantaranya tidak melakukan kegiatan (non aktif). Dengan mempertimbangkan karakteristik yang spesifik, jumlah dan sebarannya serta secara historis sebelum PAKTO 1988 pengawasan BKD dibawah kewenangan BRI maka pengawasan BKD dilakukan oleh BRI untuk dan atas nama Bank Indonesia. Pada akhir bulan Juli 2006 jumlah BPR
28
mencapai 1.935 terdiri dari BPR yang didirikan setelah PAKTO 1988 sebanyak 1.277 (66 persen), dan Bank Pasar atau Bank Desa, BKPD dan bank milik Pemerintah Daerah lainnya yang telah beroperasi sebelum PAKTO 1988 sebanyak 658 (34 persen) (Bank Indonesia, 2006). 2.1.2. Landasan Hukum dan Pengertian BPR Landasan Hukum BPR adalah UU No.7/1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No.10/1998. Dalam UU tersebut secara tegas disebutkan bahwa BPR sebagai satu jenis bank yang kegiatan usahanya terutama ditujukan untuk melayani usaha-usaha kecil dan masyarakat di daerah pedesaan. Dalam pelaksanaan kegiatan usahanya BPR dapat menjalankan usahanya secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah (Bank Indonesia, 2006). 2.1.3. Lingkup Kegiatan BPR Kegiatan usaha yang direncanakan dilakukan oleh BPR sangat terbatas dibandingkan dengan Bank Umum, yaitu hanya meliputi penghimpunan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu, memberikan kredit serta menempatkan dana dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito dan/atau tabungan pada bank lain. BPR tidak diperkenankan menerima simpanan berupa giro dan ikut serta dalam lalu lintas pembayaran serta melakukan kegiatan usaha selain yang diperkenankan. Selain itu, BPR tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing kecuali sebagai pedagang valuta asing dengan izin Bank Indonesia, melakukan penyertaan modal, dan melakukan usaha
29
perasuransian. Adapun wilayah kantor operasionalnya dibatasi dalam 1 (satu) propinsi (Bank Indonesia, 2006). 2.1.4. Arsitektur Perbankan Indonesia (API) Dalam rangka memperkuat fundamental industri perbankan serta memberikan arah dan strategi perbankan ke depan telah disusun Arsitektur Perbankan Indonesia (API). API merupakan suatu kerangka dasar sistem perbankan di Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan untuk rentang waktu sampai sepuluh tahun berlandaskan visi mencapai suatu sistem perbankan yang sehat, kuat, dan efisien, guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka membantu mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk mencapai visi tersebut, salah satu sasaran yang ingin dicapai yaitu menciptakan struktur perbankan domestik yang sehat dan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat serta mendorong pembangunan ekonomi nasional yang berkesinambungan. Melalui kebijakan tersebut diharapkan dapat tercapai struktur perbankan yang terdiri dari empat strata bank yaitu bank internasional yang memiliki kapasitas dan kemampuan beroperasi di wilayah internasional serta memiliki modal diatas Rp. 50 trilyun, bank nasional yang memiliki cakupan usaha sangat luas dan beroperasi secara nasional serta memiliki modal antara Rp. 10 trilyun sampai dengan Rp. 50 trilyun, bank dengan fokus usaha tertentu yaitu bank yang kegiatan usahanya terfokus pada segmen usaha tertentu sesuai dengan kapabilitas dan kompetensi masing-masing bank serta memiliki modal antara Rp. 100 milyar sampai dengan Rp. 10 trilyun, serta BPR dan bank dengan kegiatan usaha terbatas yang memiliki modal di bawah Rp. 100
30
milyar. Dalam rangka mencapai visi tersebut di atas, program-program API telah memberikan perhatian pada perlunya penguatan permodalan, kelembagaan dan manajemen BPR, serta penyempurnaan pengaturan dan pengawasan BPR (Bank Indonesia, 2006). 2.1.5. Posisi Strategis BPR Disadari bahwa selama ini sebagian besar pengusaha mikro dan kecil, serta masyarakat di daerah pedesaan belum mendapatkan pelayanan jasa keuangan perbankan baik dari aspek pembiayaan maupun penyimpanan dana. Adapun lembaga keuangan yang tepat dan strategis untuk melayani kebutuhan masyarakat tersebut adalah BPR dengan pertimbangan: 1.
BPR merupakan lembaga intermediasi sesuai dengan UU Perbankan.
2.
BPR merupakan lembaga keuangan yang diatur dan diawasi secara ketat oleh Bank Indonesia.
3.
Adanya penjaminan oleh LPS atas dana masyarakat yang disimpan di BPR.
4.
BPR berlokasi di sekitar UMK dan masyarakat pedesaan, serta memfokuskan pelayanannya sesuai dengan kebutuhan masyarakat tersebut.
5.
BPR
memiliki
karakteristik
operasional
yang
spesifik
yang
memungkinkan BPR dapat menjangkau dan melayani UMK dan masyarakat pedesaan. Posisi BPR yang strategis tersebut perlu dipertahankan dan ditingkatkan agar keberadaan BPR memberikan
31
manfaat yang lebih besar bagi masyarakat dan mendorong perekonomian daerah (Bank Indonesia, 2006). 2.2.
Kredit
2.2.1. Definisi Kredit dan Distribusi Kredit Kredit berasal dari bahasa yunani yaitu credere. Kredit adalah Penyerahan barang, jasa atau uang dari satu pihak (kreditor/ pemberi pinjaman) atas dasar kepercayaan kepada pihak lain (nasabah/ pengutang (borrower)) dengan janji membayar kepada pemberi kredit pada tanggal yang telah disepakati kedua belah pihak (Rivai dan Veithzal, 2006). Pengertian Distribusi Kredit adalah suatu pekerjaan atau kegiatan yang menyalurkan kredit dari produsen (perusahaan) kepada konsumen dengan berbagai teknik dan cara. Pihak yang melakukan distribusi adalah distributor atau penyalur. 2.2.2. Unsur-Unsur Kredit Kredit diberikan atas dasar kepercayaan sehingga pemberian kredit adalah pemberian kepercayaan. Hal ini berarti bahwa prestasi yang diberikan benar-benar diyakini dapat dikembalikan oleh penerima kredit sesuai dengan waktu dan syaratsyarat yang telah disepakati bersama. Berdasarkan hal tersebut, unsur-unsur kredit tersebut adalah sebagai berikut (Rivai dan Veithzal, 2006) : 1.
Adanya dua pihak, yaitu pemberi kredit (kreditor) dan penerima kredit (nasabah). Hubungan pemberi kredit dan penerima kredit yang didasarkan atas kerja sama yang saling menguntungkan.
2.
Adanya kepercayaan pemberi kredit kepada penerima kredit yang didasarkan atas credit rating penerima kredit.
32
3.
Adanya persetujuan, berupa kesepakatan pihak bank dengan pihak lainnya yang berjanji membayar dari penerima kredit kepada pemberi kredit.
4.
Adanya penyerahan barang, jasa, atau uang dari pemberi kredit kepada penerima kredit.
5.
Adanya unsur waktu (time element). Kredit akan ada karena unsur waktu, baik dilihat dari pemberi kredit maupun dilihat dari penerima kredit.
6.
Adanya unsur risiko (degree of risk) baik di pihak pemberi kredit maupun di pihak penerima kredit. Risiko di pihak pemberi kredit adalah risiko gagal bayar (risk of default), baik karena kegagalan usaha maupun ketidakmampuan membayar. Risiko di pihak nasabah adalah kecurangan dari pihak kreditor, seperti pemberian kredit yang semula dimaksudkan oleh pemberi kredit untuk mencaplok perusahaan yang diberi kredit atau tanah yang dijaminkan.
7.
Adanya unsur bunga sebagai kompensasi (prestasi) kepada pemberi kredit. Bagi pemberi kredit, bunga tersebut terdiri dari berbagai komponen seperti biaya modal (cost of capital), biaya umum (overhead cost), risk premium, dan sebagainya. Jika credit rating penerima kredit tinggi, risk premium dapat dikurangi dengan safety discount.
2.2.3. Tujuan Kredit Tujuan kredit mencakup lingkup yang luas. Pada dasarnya terdapat dua fungsi yang saling berkaitan dari kredit, yaitu sebagai berikut (Rivai dan Veithzal, 2006) :
33
1.
Profitability, yaitu tujuan untuk memperoleh hasil dari kredit berupa keutungan yang diraih dari bunga yang harus dibayar oleh nasabah. Oleh karena itu, bank hanya akan menyalurkan kredit kepada usaha-usaha nasabah yang diyakini mampu dan mau mengembalikan kredit yang telah diterimanya. Dalam faktor kemampuan dan kemauan ini tersimpul unsur keamanan (safety) dan sekaligus juga unsur keuntungan (profitability) dari suatu kredit sehingga kedua unsur tersebut saling berkaitan. Dengan demikian, keuntungan merupakan tujuan yang terjelma dalam bentuk bunga yang diterima.
2.
Safety, yaitu keamanan dari prestasi atau fasilitas yang diberikan harus benar-benar terjamin sehingga tujuan profitability dapat benar-benar tercapai tanpa hambatan yang berarti. Oleh karena itu, keamanan ini dimaksudkan agar prestasi yang diberikan dalam bentuk uang, barang atau jasa itu betul-betul terjamin pengembaliannya sehingga keuntungan (profitability) yang diharapkan dapat menjadi kenyataan.
2.2.4. Manfaat Kredit Perkreditan melibatkan beberapa pihak, yaitu kreditur (bank) dan debitur (penerima kredit), otoritas moneter dan masyarakat. Oleh karena itu, manfaat kredit berbeda-beda tergantung pada pihak-pihak tersebut, di antaranya (Dendawijaya, 2001) : 1.
Bagi Kreditur (Bank) a. Perkreditan merupakan sumber utama pendanaanya.
34
b. Pemberian kredit merupakan perangsang pemasaran produk-produk lainnya dalam persaingan. c. Perkreditan merupakan instrumen penjaga likuiditas, solvabilitas, dan profitabilitas bagi bank. 2.
Bagi Debitur (Penerima Kredit) a. Kredit berfungsi sebagai sarana untuk membuat kegiatan usaha semakin besar dan kinerja usaha semakin membaik. b. Kredit meningkatkan minat berusaha dan keuntungan sebagai jaminan kelangsungan kehidupan perusahaan. c. Kredit memperluas kesempatan berusaha dan bekerja dalam perusahaan.
2.3.
Penetrasi Pasar
2.3.1. Pengertian Penetrasi Pasar Industri pasar perbankan seperti juga dalam industri perusahaan lainnya memiliki struktur pasar sendiri. Jaya (2001) mengatakan industri pasar perbankan memiliki beberapa lapisan. Hal itu ditandai dengan adanya persaingan bank-bank besar di kota bersaing memperebutkan nasabah di pasar lokal. Model persaingan antar bank bisa berbentuk pasar kompetitif atau monopoli. Norman, Pepall dan Richards (2002) mengatakan suatu pasar disebut pasar kompetitif (Competitive Market) jika dalam pasar terdiri dari banyak perusahaan dan pangsa pasar yang diperebutkan kecil. Norman, Pepall dan Richards juga menegaskan bahwa dalam teori ekonomi mikro pasar seperti inilah yang akan bekerja lebih baik, terutama jika perusahaan-perusahaan relatif kecil untuk ukuran pasarnya.
35
Pelaku industri dalam pasar berbeda jumlahnya untuk setiap jenis produk. Kadang dalam sebuah pasar ada dua atau tiga perusahaan dan di pasar yang lain bisa mencapai delapan perusahaan. Umumnya, pasar akan memiliki kecenderungan mendekati atau menjauh dari benchmark kompetitif. Karena itu kita harus memiliki beberapa indikator yang bisa menggambarkan sebuah struktur industri itu mendekati pasar persaingan sempurna (Perfect Competition) atau pasar monopoli (Monopoly). Salah satu cara untuk melihat besaran sebuah industri dalam pasar adalah Concentration Ratio (CRn) yang didefinisikan sebagai pangsa pasar pada sejumlah n industri terbesar. Di Amerika Serikat pilihan yang sering digunakan adalah FourFirm Concentration Ratio (CR4). Pangsa pasar inilah yang akan diperebutkan oleh setiap pelaku industri dalam sebuah pasar produk tertentu. Perusahaan akan berusaha mengambil pangsa pasar melalui persaingan antar industri dalam pasar itu. Usaha perusahaan untuk mengambil pangsa pasar dengan produk yang ada dan terbaru disebut penetrasi pasar. 2.3.2. Klasifikasi Penetrasi Pasar Kekuatan penetrasi pasar bagi sebuah industri ditentukan oleh seberapa besar kemampuannya dalam menguasai pangsa pasar. Jaya (2001) menyebut perusahaan memiliki pangsa pasarnya sendiri dan berkisar antara 0 hingga 100 persen dari total penjualan seluruh pasar. Artinya semakin besar penguasaan terhadap pangsa pasar semakin besar perusahaan mendominasi pasar dan bahkan bisa mendekati perusahaan monopoli dengan penguasaan pangsa pasar 100 persen. Pangsa pasar inilah yang akan menentukan posisi sebuah perusahaan dalam pasar. Perusahaan dengan pangsa pasar lebih baik akan menikmati keuntungan penjualan produk dan kenaikan harga
36
sahamnya. Besarnya keuntungan perusahaan juga ditentukan seberapa besar skala ekonomi perusahaan itu. Jika skala ekonomi besar, maka tingkat keuntungan yang diraih juga semakin tinggi karena pangsa pasarnya naik. Besarnya keuntungan yang bisa didapatkan dari pangsa pasar mencerminkan kekuatan pasar (Market Power) perusahaan itu, sekaligus memperlihatkan kekuatan penetrasi pasarnya. Cabral (2003) menjelaskan dari sudut pandang perusahaan kekuatan pasar memiliki implikasi keuntungan yang besar dan nilai perusahaan yang tinggi. Oleh karena itu, agar terjadi persaingan yang sehat dalam memperebutkan pangsa pasar, pemerintah harus melakukan intervensi dengan sejumlah regulasi sehingga tidak ada pasar yang dimonopoli oleh satu perusahaan. Satu langkah untuk mengetahui model pasar dalam suatu industri seperti perbankan adalah dengan melihat struktur pasar. Cabral (2003) mengklasifikasikan struktur pasar industri dari pasar monopoli hingga pasar yang berkompetisi. Menurut Cabral pasar terbagi dalam 4 klasifikasi, yaitu monopoli (Monopoly), oligopoli (Oligopoly), monopolistik kompetisi (Monopolistic Competition), dan persaingan sempurna (Perfect Competition). Berikut penjelasan dari masing-masing pasar tersebut. 1.
Monopoli (Monopoly) Monopoli murni adalah sebuah situasi dimana sebuah perusahaan menguasai 100 persen pangsa pasar. Model monopoli bersandar pada asumsi bahwa hanya ada satu perusahaan dalam pasar sehingga perusahaan bisa menentukan harga produknya. Kekuatan monopoli 1lebih sensitif dengan menggunakan pangsa pasar. Jika perusahaan hanya menguasai 50 persen atau lebih pangsa
37
pasar, maka perusahaan itu disebut sebagai perusahaan yang dominan menguasai pasar. 2.
Oligopoli (Oligopoly) Model pasar oligopoli merupakan bentuk pasar di antara struktur monopoli dan
persaingan sempurna. Ciri-ciri dari pasar oligopoli adalah sedikit
perusahaan yang ada dalam pasar, produknya homogen dan terdiferensiasi, dan hambatan masuk tinggi. 3.
Monopolistik kompetisi (Monopolistic Competition) Model pasar monopolistik kompetisi terdapat taraf pemusatan yang rendah, tetapi tiap perusahaan memiliki sedikit tingkat monopoli. Pangsa pasar pada kompetisi monopolistik tidak lebih dari 10 persen. Sehingga asumsi dari pasar ini adalah adanya perbedaan produk, pesaing bebas keluar masuk pasar, tidak ada saling ketergantungan antar individu perusahaan. Karena itu, dalam model pasar ini diasumsikan bahwa terdapat sejumlah perusahaan besar dimana masing-masing perusahaan tidak memiliki pengaruh berarti pada pesaingnya.
4.
Persaingan sempurna (Perfect Competition) Model pasar persaingan sempurna (Perfect Competition) didasarkan pada lima asumsi. Yaitu, pasar terdiri dari banyak perusahaan, produknya homogen, ada informasi yang sempurna, tentang harga yang ditentukan oleh setiap perusahaan, mempunyai akses yang sama pada teknologi produksi dan bebas keluar masuk pasar. Dalam pasar ini perusahaan sebagai penerima harga. Pasar ini juga mengimplikasikan adanya efisiensi penggunaan teknologi yang tersedia. Namun, homogenitas produk dalam pasar persaingan sempurna
38
seringkali dikritik karena artinya semua perusahaan akan memproduksi barang yang sama. Padahal banyak industri yang memiliki perusahaan besar memproduksi barang yang tidak sama. Dari ke empat kategori tersebut, pasar monopoli (Monopoly) adalah bentuk konsentrasi industri yang paling tinggi. Semakin terkonsentrasi suatu industri, kekuatan pasar (Market Power) untuk menentukan harga dari suatu perusahaan dalam suatu industri juga akan meningkat. Umumnya, margin laba akan suatu perusahaan meningkat ketika kekuatan pasar yang dimilikinya meningkat. Hal lain yang juga penting dalam pengklasifikasian industri terhadap penetrasi pasar adalah bahwa jumlah perusahaan dalam suatu industri memainkan peran dalam menentukan apakah perusahaan-perusahaan secara eksplisit mempertimbangkan tindakan yang dilakukan perusahaan pesaingnya dalam industri tersebut. Dalam pasar monopolistik kompetisi (Monopolistic Competition), arah yang dibuat oleh perusahaan nampaknya tidak mempertimbangkan tindakan yang dilakukan perusahaan pesaing. Sedangkan dalam pasar oligopoli (Oligopoly), dengan jumlah perusahaan lebih kecil, setiap perusahaan secara eksplisit melakukan pengambilan keputusan strategis dengan mempertimbangkan tindakan yang akan diambil oleh perusahaan pesaing.
2.4.
Penelitian Terdahulu Penetrasi pasar kredit dan distribusi penyaluran kredit merupakan salah satu
pokok terpenting dalam industri BPR. Dalam penelitian ini ada beberapa penelitian terdahulu yang menjadi bahan rujukan. InterCAFE (2008) melakukan penelitian
39
mengenai Pemetaan Profil BPR dalam Rangka Penyusunan Stratifikasi Industri BPR. Penelitian tersebut membagi BPR menjadi 3 stratifikasi berdasarkan modal inti. Strata 1 adalah BPR dengan modal inti kurang dari 1 milyar. Strata 2 adalah BPR dengan modal inti 1 hingga 10 milyar, dan Strata 3 adalah BPR dengan modal inti lebih dari 10 milyar. Adelaja, Menzo dan Mccay (1998) melakukan penelitian tentang kekuatan pasar pada perusahaan penangkapan ikan. Penelitian ini menggunakan analisis rasio konsentrasi (CR4), Koefisien Gini dan model harga Bertrand untuk melihat kekuatan pasar dan menguji kekuatan monopoli perusahaan yang terlibat dalam pasar. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa kekuatan pasar ternyata tidak berlaku pada nelayan di Amerika. Ariyanto (2004) melakukan penelitian mengenai Profil Persaingan Usaha dalam Industri Perbankan Indonesia yang menggunakan Analisis Concentration Ratio (CR4) dan Herfindahl Hirschman Index (HHI). Hasil penelitiannya adalah Berbagai kebijakan perbankan di Indonesia cenderung mengarah kepada restrukturisasi dan konsolidasi perbankan, diantaranya melalui merjer atau akuisisi. Kebijakan tersebut dapat menimbulkan dampak negatif bagi iklim persaingan usaha, terutama bila ditinjau dari sudut struktur industri perilaku serta kinerja bank. Beberapa praktek bisnis bank berpotensi untuk mengarah kepada pelanggaran terhadap persaingan usaha yang sehat seperti abuse of dominant position, perjanjian tertutup serta praktek tying. Dibutuhkan pengawasan yang ketat terhadap berbagai praktek tersebut, untuk memastikan tidak terjadi pelanggaran persaingan usaha sehat sekaligus untuk melindungi kepentingan konsumen.
40
Dari perspektif kebijakan, secara konseptual dan empiris, kebijakan yang lebih bersifat penjagaan kestabilan akan mengorbankan aspek efisiensi dan iklim kompetisi, dan juga sebaliknya. Dalam kondisi tersebut, sangat sulit untuk memperoleh kedua tujuan sekaligus. Tantangan untuk regulator dan policy maker perbankan adalah bagaimana menyeimbangkan antara dua kepentingan tersebut. Penyeimbangan dapat dilakukan dengan maksimasi fungsi kestabilan sekaligus menekan dampak negatif terhadap iklim kompetisi atau memaksimalkan fungsi persaingan antar bank sehingga dapat meminimalkan dampak negatif terhadap kestabilan dan kesehatan perbankan. Oleh karena itu, Bank Indonesia dituntut lebih proaktif dalam menjaring aspirasi para stakeholder sebelum menetapkan berbagai kebijakan sektor perbankan. Jaya, et al (1997) pernah melakukan penelitian mengenai rasio konsentrasi terhadap industri bank swasta nasional. Variabel yang digunakan adalah aset, dana pihak ketiga (DPK), dan kredit. Hasil studi memperlihatkan pada tahun 1996 aset industri bank swasta nasional sebesar 40,6 persen dikuasai oleh empat bank terbesar. Sedangkan besarnya kredit yang disalurkan sebanyak 42,36 persen berasal dari empat bank terbesar pada industri tersebut. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Simanjuntak (2004) melakukan penelitian mengenai Analisis Kemiskinan dan Pemerataan Propinsi Banten dengan menggunakan metode analisis Koefisien Gini. Hasil Analisis Kemiskinan dan Pemerataan Propinsi Banten adalah ketimpangan dan distribusi pendapatan pada level nasional dan Banten nyaris sama. Hanya saja ketimpangan nasional sedikit lebih besar di bandingkan Banten. Secara nasional menunjukkan angka 0,3445498 sedang
41
Banten 0,3404433. Nilai Koefisien Gini lebih dekat dengan 0, dibandingkan dengan 1. Nilai Koefisien Gini yang nyaris sama ini menjelaskan bahwa, karakteristik perekonomian Banten merupakan miniatur dari karakteristik perekonomian nasional. Dengan membandingkan hasil ouput kurva Lorenz nasional dan Banten nyaris serupa. Dengan meggunakan data decile, tergambar bahwa tingkat ketimpangan dan distribusi pendapatan pada level nasional dan Banten nyaris sama. Hanya saja ketimpangannya lebih besar pada level nasional.
2.5.
Kerangka Pemikiran Bank Perkreditan Rakyat adalah lembaga keuangan mikro yang diharapkan
menjadi ujung tombak pemerintah dalam melakukan peran sebagai lembaga intermediasi keuangan untuk sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Namun, kerja BPR masih banyak diragukan karena sekalipun kecenderungan kinerja BPR bagus, tetapi banyak UMKM dan masyarakat pedesaan yang belum terlayani jasa perbankan. Artinya, pangsa pasar BPR yang belum tergarap dengan baik masih cukup besar. Data Bank Indonesia (2007) menunjukkan bahwa hampir 99,85 persen pangsa pasar BPR yang merupakan UMKM belum tersentuh. Besarnya pangsa pasar yang belum tergarap oleh BPR menunjukkan kurangnya pemenuhan kebutuhan masyarakat atas pelayanan perbankan oleh BPR. Jangkauan pelayanan yang terbatas ini juga masih ditambah dengan lemahnya akses masyarakat dan UMKM terhadap kredit dan tingginya suku bunga kredit. Sehingga sekalipun data Bank Indonesia menunjukkan kredit untuk UMKM mulai tumbuh, tetapi tingkat penetrasi dan distribusinya masih rendah.
42
Kelemahan dalam penetrasi dan distribusi pasar diakui karena struktur pendanaan, kualitas sumberdaya manusia, perilaku nasabah, dan tingkat konsentrasi. Fakta menunjukkan sebagian besar BPR di Indonesia berdomisili di Pulau Jawa. BPR juga tidak didukung dengan permodalan yang kuat sehingga membatasi tingkat ekspansinya. Tingginya biaya operasional BPR menyebabkan tingginya beban bunga (cost of fund). Permasalahan kemampuan penetrasi pasar kredit BPR berkaitan erat dengan kekuatan pasar kredit yang dimiliki BPR yang bisa kita urai jika mengetahui bagaimana struktur dan model pasar kredit industri BPR di Indonesia, terutama di pulau Jawa. Karena itu menarik untuk dilakukan penelitian tentang penetrasi pasar dan distribusi penyaluran kredit BPR di pulau Jawa. Pulau Jawa selain menjadi tempat dimana pertumbuhan BPR yang cepat dan besar, juga tempat di mana UMKM yang menjadi segmen pasar BPR sebagian besar berlokasi di pulau Jawa. Untuk lebih jelas peneliti menguraikannya dalam bentuk flow chart pada gambar 2.1.
43
Porsi Kredit Perbankan Nasional
KORPORASI
UMKM
BPR
Distribusi Penyaluran Kredit UMKM
Koefisien Gini
BANK UMUM
Konsentrasi Penetrasi Pasar
Concentration Ratio (CR4)
Herfindahl Hirschman Index (HHI)
Implikasi Kebijakan Berdasarkan Hasil Penelitian
Gambar 2.1. Kerangka Pemikiran Operasional
44
2.6. 1.
Hipotesis Konsentrasi Penetrasi pasar kredit BPR di Pulau Jawa diukur oleh Rasio Konsentrasi (CR4) dan Herfindahl Hirschman Index (HHI).
2.
Distribusi penyaluran kredit BPR di Pulau Jawa di ukur berdasarkan Kurva Lorenz dan nilai indeks Koefisien Gini.
3.
Jika dilihat dari kinerja BPR di pulau Jawa, maka pasar industri BPR diperkirakan berbentuk oligopoli, monopoli kompetisi atau persaingan sempurna. Dalam ketiga model pasar ini, tidak ada BPR yang menguasai pangsa pasar hingga 100 persen. Kecenderungan pasar dalam industri perbankan seperti BPR maksimal hanya mendominasi penyaluran kredit, tidak menguasai seluruh pangsa pasar.
4.
Kekuatan penetrasi pasar BPR di Pulau Jawa masih didominasi oleh empat BPR besar, sedangkan distribusi penyaluran kredit masih belum merata.
5.
Jika BPR di pulau Jawa dibagi dalam tiga strata berdasarkan modal inti, maka yang terjadi adalah pasar cenderung pada model kompetisi monopoli dan penyaluran kreditnya merata.
45
III. METODE PENELITIAN
3.1.
Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang
diperoleh dari hasil studi sebelumnya. Diantaranya adalah laporan Blue Print Bank Perkreditan Rakyat (BPR), Bank Indonesia tahun 2006-2007, Statistik Perbankan Indonesia (SPI) bulan Mei 2008, Departemen Koperasi tahun 2008 dan referensi lain yang relevan. Data yang digunakan adalah total kredit BPR-BPR di Pulau Jawa (Wilayah Jabodetabekten atau Direktorat Kredit BPR dan UMKM (DKBU), Propinsi Jawa Barat, Propinsi Jawa Tengah, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), dan Propinsi Jawa Timur). Data tersebut digunakan untuk melakukan analisis Penetrasi Pasar Kredit BPR dan Distribusi Penyaluran kreditnya.
3.2.
Unit Analisis BPR yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah BPR yang berada
di wilayah kerja Pulau Jawa. Berdasarkan hasil penelitian interCAFE (2008), BPR tersebut kemudian dibagi menjadi 3 Strata BPR berdasarkan modal inti. Pengkatagorian ini selanjutnya disebut sebagai Strata ( Strata 1 (BPR kecil), Strata 2 (BPR menengah), dan Strata 3 (BPR besar) ). Strata 1 adalah BPR dengan modal inti lebih kurang dari 1 milyar. Strata 2 adalah BPR dengan modal inti 1 hingga 10 milyar, dan Strata 3 adalah BPR dengan modal inti lebih dari 10 milyar. Pembagian 3 Strata ini dilakukan untuk menjelaskan bahwa tingkat persaingan, distribusi penyaluran kredit, dan tingkat penetrasi BPR kecil dan BPR
46
besar itu tidak sama. Sehingga pembuatan implikasi kebijakan pada BPR akan berbeda pula. Namun, pada penelitian ini akan dilakukan dari dua sisi yaitu sebelum dan setelah dilakukan stratifikasi. Indikator modal inti ini dijadikan dasar stratifikasi karena lebih stabil dibandingkan jika menggunakan aset sebagai dasar stratifikasi BPR (InterCAFE, 2008). Penelitian sebelumnya juga menjelaskan bahwa modal inti dapat dibuktikan berdasarkan korelasi antar waktu, seperti diperlihatkan pada modal inti tahun 2006 dengan modal inti tahun 2007 yang nilainya sebesar 0,98. Penggunaan modal inti atau aset sebagai dasar stratifikasi juga tidak boleh mengesampingkan korelasi antar waktu. InterCAFE (2008) menyebut aset sebenarnya memiliki korelasi antar waktu lebih tinggi dibandingkan dengan modal inti. Namun, aset tidak dapat dijadikan sebagai dasar stratifikasi, karena lebih fluktuatif dibandingkan modal inti.
3.3.
Metode Analisis dan Pengolahan Data Metode yang digunakan dalam menganalisis data pada penelitian ini adalah
metode analisis deskriptif sebelum dan setelah stratifikasi BPR. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software Stata 10.0, SPSS 15.0, dan Microsoft Office Excell 2007. Metode analisis deskriptif yang digunakan dalam penelitian ini adalah Concentration Ratio (CR4) dan Herfindahl Hirschman Index (HHI) untuk menggambarkan penetrasi pasar BPR. Kemudian metode analisis deskriptif yang
47
digunakan untuk menggambarkan distribusi penyaluran kreditnya adalah Koefisien Gini yang akan membentuk Kurva Lorenz. 3.3.1. Rasio Konsentrasi (Concentration Ratio) Untuk melihat model pasar pada industri lembaga keuangan mikro BPR, maka akan dilakukan analisa rasio konsentrasi. Konsentrasi atau pemusatan merupakan kombinasi pangsa pasar dari perusahaan-perusahaan oligopoli, dimana di antara perusahaan terjadi saling ketergantungan. Jaya (2001) menjelaskan terjadi hubungan positif antara keuntungan dengan produk-produk dengan konsentrasi tinggi. Hal itu pada akhirnya akan menyebabkan pelaku pasar yang baru sulit masuk ke dalam pasar. Cabral (2003), menghitung
rasio konsentrasi (Concentration Ratio) dari
persentase output industri yang dimiliki oleh beberapa perusahaan besar. Rasio konsentrasi untuk n perusahaan besar dalam suatu industri dapat dihitung dengan menjumlahkan total pangsa pasar dari perusahaan-perusahaan besar. Rasio konsentrasi yang umum dipergunakan adalah Four-Firm Concentration Ratio atau CR4. Four-Firm Concentration Ratio atau CR4 merefleksikan total pangsa pasar yang dimiliki oleh empat perusahaan terbesar dalam suatu industri. Metode Analisis ini dapat diformulasikan dalam sebuah persamaan di bawah ini.
Dimana, Si adalah pangsa pasar empat perusahaan terbesar.
48
Jika data pangsa pasar tidak tersedia, maka dapat dilakukan perhitungan dengan cara lain untuk memperoleh gambaran tentang porsi kontribusi suatu perusahaan dalam suatu industri. Misalnya, pangsa pasar dihitung dengan membandingkan pendapatan individual suatu perusahaan dibandingkan dengan pendapatan total industri. Akan tetapi, Kelemahan dari rasio konsentrasi adalah ketidakmampuan untuk menunjukkan tingkat dominansi dari suatu perusahaan di dalam pasar. Sehingga di dalam analisis metode Rasio Konsentrasi (Concentration Ratio (CR4)) diperlukan lebih lanjut metode lain yaitu dengan penghitungan melalui metode analisis Herfindahl Hirschman Index (HHI). Berdasarkan
kekuatan
pasar,
Adelaja,
Menzo
dan
Mccay
(1998)
mengklasifikasikan pasar industri sebuah perusahaan ke dalam empat katagori yaitu, monopoli murni, perusahaan dominan, oligopoli ketat, dan kompetisi efektif. Industri dikatakan monopoli murni atau dominan menguasai 50-100 persen pangsa pasar. Di setiap pasar perusahaan mencoba untuk memperoleh dan memanfaatkan pangsa pasar untuk mencapai keuntungan maksimum. Ketika perusahaan-perusahaan itu bersaing maka tidak ada perusahaan yang mampu meraih pangsa pasar besar. Kondisi ini dikatakan berada dalam kondisi bersaing sempurna. Perusahaan yang dominan menguasai sebagian besar pangsa pasar dan tidak ada pesaing yang kuat. Shepherd (1985) melakukan klasifikasi lebih rinci dari tipe pasar monopoli murni hingga persaingan murni. Berikut dapat dijelaskan pada Tabel 3.1 di bawah ini.
49
Tabel 3.1. Klasifikasi Tipe Pasar Berdasarkan Concentration Ratio (CR4) No.
Tipe Pasar
Kondisi Utama
1.
Monopoli murni Suatu perusahaan memiliki 100 persen dari pangsa pasar. 2. Perusahaan Suatu perusahaan yang memiliki 50-100 persen dari yang dominan pangsa pasar dan tanpa pesaing yang kuat. (dominant firm) 3. Oligopoli ketat Penggabungan 4 perusahaan terkemuka yang memiliki pangsa pasar 60-100 persen. Kesepakatan di antara mereka untuk menetapkan harga relatif mudah. 4. Oligopoli Penggabungan 4 perusahaan terkemuka yang longgar memiliki pangsa pasar kurang dari atau sama dengan 40 persen. Kesepakatan di antara mereka untuk menetapkan harga sebenarnya tidak mungkin. 5. Persaingan Banyak pesaing yang efektif, tidak satu pun yang monopolistik memiliki pangsa pasar lebih dari 10 persen. 6. Persaingan Lebih dari 50 pesaing yang mana tidak satu pun yang murni memiliki pangsa pasar yang berarti. Sumber : Shepherd (1985). 3.3.2. Herfindahl Hirschman Index (HHI) Cara lain yang lebih memberikan banyak informasi tentang pemusatan (Concentration) perusahaan dalam sebuah pasar industri adalah Herfindahl Hirschman Index (HHI). Herfindahl Hirschman Index (HHI) merupakan jumlah dari kuadrat pangsa pasar seluruh perusahaan dalam industri. Nilai Herfindahl Hirschman Index (HHI) berkisar antara 0 hingga 10.000 persen. Jika nilai Herfindahl Hirschman Index (HHI) semakin mendekati 10.000, maka semakin besar konsentrasi industri. Sebaliknya jika semakin mendekati 0, maka semakin kecil konsentrasi industri (Norman, Pepall dan Richards, 2002).
50
Untuk menghitung Herfindahl Hirschman Index (HHI), Cabral (2000) melakukannya dengan menjumlahkan kuadrat pangsa pasar setiap perusahaan dalam suatu industri. Hal ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
Dimana, Si adalah 1,2…..N (pangsa pasar masing-masing perusahaan). Jika Herfindahl Hirschman Index (HHI) berada dibawah nilai 1000 maka pasar dikatagorikan tidak terkonsentrasi (Unconcentrated). Sedangkan jika pangsa pasar (Herfindahl Hirschman Index (HHI)) berada di antara 1000-1800 persen maka dikatagorikan moderat, dan di atas 1800 persen dikatagorikan sebagai terkonsentrasi tinggi. Metode analisis Herfindahl Hirschman Index (HHI) lebih baik dibandingkan metode analisis Concentration Ratio (CR4), berikut kelebihan dari Herfindahl Hirschman Index (HHI) dibandingkan dengan Concentration Ratio (CR4), adalah: 1. HHI merefleksikan distribusi dari pangsa pasar dari keempat perusahaan teratas dan komposisi dari pasar diluar keempat perusahaan tersebut. 2. HHI memberikan bobot yang lebih besar secara proporsional kepada pangsa pasar untuk perusahaan-perusahaan yang lebih besar. Hal ini mencerminkan peran yang lebih dominan bagi perusahaan yang lebih besar di dalam interaksi kompetisi.
51
3.3.3. Koefisien Gini Indeks Koefisien Gini biasanya digunakan untuk mengukur distribusi pendapatan.
Todaro
(2003)
mengatakan
Koefisien
Gini
adalah
ukuran
ketidakmerataan atau ketimpangan agregat (secara keseluruhan) yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan yang sempurna). Penggunaan Indeks Koefisien Gini untuk persoalan ekonomi, dilakukan oleh Ferguson (1988) yang berpendapat bahwa Indeks Koefisien Gini bisa digunakan untuk melihat konsentrasi pasar. Hal ini dapat di lihat pada Gambar 3.1.
Akumulasi Persentase Output
A
C B 100 Gambar 3.1. Penurunan Koefisien Gini dari Kurva Lorenz Sumber : Ferguson (1988). O
Akumulasi Persentase Perusahaan (dari yang
terkecil)
Gambar 3.1 menunjukkan kurva Lorenz untuk sebuah industri. Pada kurva Lorenz ini perusahaan diurutkan berdasarkan ukuran dari perusahaan tersebut berdasarkan akumulasi persentase perusahaan (dari yang terkecil hingga yang terbesar) dan akumulasi persentase output. Jika jarak garis kurva Lorenz semakin
52
jauh dari garis diagonal, semakin tinggi tingkat ketimpangannya. Sebaliknya semakin dekat jarak kurva Lorenz dari garis diagonal, semakin tinggi tingkat pemerataannya. Nilai Koefisien Gini dapat diperoleh dengan menghitung rasio bidang yang terletak antara garis diagonal dan kurva Lorenz (sumbu AOC) dibagi dengan luas separuh bidang dimana kurva Lorenz itu berada (sumbu AOB). Berdasarkan penjelasan di atas, Koefisien Gini di hitung menggunakan variabel output. Namun dalam penelitian ini penghitungan Koefisien Gini di hitung berdasarkan variabel kredit, karena ingin mengetahui distribusi penyaluran kredit industri BPR di suatu wilayah atau propinsi BPR berada.
53
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Gambaran Umum Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Pulau Jawa Pulau Jawa merupakan wilayah dengan jumlah BPR terbesar di Indonesia,
yaitu berjumlah 1.215 BPR atau 69 persen dari seluruh BPR di Indonesia. Sisanya sejumlah 553 BPR atau 31 persen tersebar di luar Pulau Jawa (Bank Indonesia, 2007). Jika dilihat dari jumlah dan persentase BPR berdasarkan stratifikasi BPR di Pulau Jawa. Hal ini dapat dijelaskan pada Tabel 4.1 dan Gambar 4.1. Tabel 4.1. Jumlah BPR di Pulau Jawa Berdasarkan Stratifikasi BPR Tahun 2006-2007 Stratifikasi BPR
Tahun 2006
Tahun 2007
Strata 1 636 Strata 2 558 Strata 3 21 Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah).
60 50
509 668 38
55
52 42
46
Persen
40 Tahun 2006
30
Tahun 2007 20 10
2
3
Strata 1
Strata 2
Strata 3
Gambar 4.1. Persentase Jumlah BPR di Pulau Jawa Berdasarkan Stratifikasi BPR Tahun 2006-2007 Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah).
54
Dari sejumlah 1.215 BPR yang ada di Pulau Jawa, BPR Strata 1 dengan modal inti kurang dari 1 milyar berjumlah 636 BPR pada tahun 2006 dan jumlah ini menurun menjadi 509 BPR pada tahun 2007. Selanjutnya, BPR Strata 2 dengan modal inti antara 1 hingga 10 milyar berjumlah 558 pada tahun 2006 dan meningkat jumlahnya pada tahun 2007 menjadi 668 BPR. Sedangkan jumlah BPR Strata 3 dengan modal inti diatas 10 milyar, pada tahun 2006 berjumlah 21 BPR dan meningkat menjadi 38 BPR pada tahun 2007. Dari data diatas dapat dijelaskan bahwa telah terjadi perkembangan yang cukup nyata pada sejumlah BPR dari Strata 1 hingga Strata 3, sehingga stratifikasi BPR ini menjadi lebih kuat. Namun, pertumbuhan ini masih relatif stabil. Misalnya BPR pada kelompok Strata 1 terjadi penurunan jumlah BPR sebesar 127 BPR. Namun, pada Strata 2 terjadi peningkatan jumlah BPR sebesar 110 BPR, begitu juga dengan kelompok Strata 3 dimana terjadi kenaikan jumlah BPR yang memiliki modal inti di atas 10 milyar sejumlah 17 BPR. Adanya pertumbuhan modal inti menunjukkan kemampuan BPR untuk membiayai masyarakat khususnya pengusaha UMKM di wilayah kerja BPR Pulau Jawa semakin besar. Pertumbuhan modal inti pada Strata 2 dan 3 menunjukkan adanya penguatan dalam struktur pasar industri BPR di Pulau Jawa. Sejumlah BPR pada Strata 1 tahun 2006 hanya memiliki modal di bawah 1 milyar, sudah berkembang memiliki modal di atas 1 milyar dan di bawah 10 milyar, sehingga pada tahun 2007 Strata 2 jumlahnya meningkat. Demikian juga terjadi pertumbuhan pada Strata 2 tahun 2006 masih memiliki modal di bawah 10 milyar, pada tahun 2007 sejumlah 17 BPR telah meningkat permodalannya menjadi di atas 10 milyar rupiah.
55
Kondisi keuangan industri BPR di Pulau Jawa dapat dilihat dari indikatorindikator keuangan industri BPR, yaitu pada akhir Desember 2006 dan 2007 total aset industri BPR hanya mencapai 15,003 triliun meningkat menjadi 17,567 triliun (Statistik Perbankan Indonesia, 2008). Peningkatan aset dari tahun ke tahun membuat BPR di pulau Jawa juga memiliki kemampuan memberikan kredit di atas 10 milyar lebih besar dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Perkembangan ini menunjukkan adanya peningkatan dalam penghimpunan dana pihak ketiga, dan kemampuan dalam penyaluran kredit (Gambar 4.2). Karena itu, BPR semakin mampu melayani kebutuhan masyarakat (UMKM) lebih luas bahkan di luar kabupaten BPR. Perkembangan ini tentu sejalan dengan tujuan dan target BPR sebagai bank yang melayani UMKM dan masyarakat pedesaan.
Total Kredit BPR di Pulau Jawa 80.0
71,00
68,39
70.0
Persen
60.0 Tahun 2006
50.0
Tahun 2007
40.0 23.49 19,19
30.0 20.0
9,79 8,10
10.0 0.0
Kredit < 1 M
Kredit 1-10 M
Kredit > 10 M
Gambar 4.2. Persentase Total Kredit BPR di Pulau Jawa Tahun 2006-2007 Sumber : Bank Indonesia, 2007. Berdasarkan Gambar 4.2, terjadi perubahan menarik dalam perkembangan penyaluran kredit pada tahun 2006 dan tahun 2007. Jumlah BPR yang mampu
56
memberikan kredit di atas 10 milyar meningkat dari 19,19 persen menjadi 23,49 persen, padahal BPR yang memiliki modal inti di atas 10 milyar hanya meningkat 1 persen dari tahun 2006 ke tahun 2007 (Gambar 4.1). Hal ini sangat berbeda dengan perubahan yang terjadi di Strata 2, dimana jumlah BPR yang memiliki modal inti 1 hingga 10 milyar meningkat sebesar 9 persen yaitu 46 persen pada tahun 2006 menjadi 55 persen pada tahun 2007, tetapi justru kemampuan BPR menyalurkan kredit antara 1 hingga 10 milyar menurun dari 71,00 persen menjadi 68,39 persen. Hal yang sama terjadi pada kelompok Strata 1, dimana terjadi penurunan jumlah BPR yang mampu memberikan kredit di bawah 1 milyar, yakni dari 9,79 persen pada tahun 2006 menjadi 8,10 persen BPR pada tahun 2007. Hal itu disebabkan karena terjadi penurunan dalam jumlah BPR yang memiliki modal kurang dari 1 milyar yakni sebesar 10 persen, dari 52 persen pada tahun 2006 menjadi 42 persen pada tahun 2007 (Gambar 4.1). Perubahan peningkatan penyaluran kredit di atas 10 milyar bisa menjadi indikasi bahwa terjadi perkembangan yang signifikan pada UMKM dan BPR di pulau Jawa. Hal ini bisa dilihat dari perkembangan jumlah aset terus meningkat dari tahun 2006 hingga tahun 2007 dan menunjukkan adanya peningkatan pelayanan BPR pada kelompok usaha ini. Laporan Bank Indonesia tahun 2006, terdapat sekitar 15 juta UMK berbadan hukum dan 12 juta diantaranya belum mendapatkan kredit atau pelayanan perbankan. Pangsa pasar ini merupakan peluang bagi BPR untuk terus meningkatkan kinerja dan efisiensinya. Selama ini kinerja dari BPR terutama yang berada di Pulau Jawa terbilang baik, terlihat dari indikator Return on Asset (ROA) yang dimiliki oleh BPR sebesar
57
2,21 persen pada tahun 2006 dan meningkat pada tahun 2007 dengan 3,99 persen. Demikian juga dengan nilai Return on Equity (ROE) yang meningkat dari tahun 2006 sebesar 19,25 persen menjadi 20,98 persen tahun 2007. Sekalipun indikator-indikator industri BPR membaik, rata-rata BPR di Pulau Jawa belum efisien. Terutama belum bisa memaksimalkan penyaluran kredit pada usaha-usaha kecil menengah. Berdasarkan hasil dari pengolahan data dengan menggunakan metode analisis Koefisien Gini pada penelitian ini, terlihat adanya pemerataan yang rendah dalam penyaluran kredit dan kemampuan penetrasi pasar yang besar di sejumlah BPR Pulau Jawa seperti di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Barat. BPR di kedua propinsi ini memiliki kemampuan luar biasa jika dilihat dari aset BPR yang dimiliki. Meski belum efisien, tetapi secara berangsur-angsur telah terjadi perbaikan efisiensi industri BPR. InterCAFE (2008), telah mengukur efisiensi industri BPR dan diperoleh hasil yang menggembirakan dengan menggunakan perbandingan tahun 2006 dan 2007. Secara keseluruhan telah terjadi peningkatan efisiensi industri BPR.
4.2.
Penetrasi Pasar Kredit dan Distribusi Penyaluran Kredit Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Wilayah Jabodetabekten ( Direktorat Kredit BPR dan UMKM (DKBU) ) Sebelum dilakukan klasifikasi berdasarkan strata, di wilayah Jabodetabekten
(DKBU) nilai rasio konsentrasi (CR4) pada tahun 2006 adalah 10,59 persen. Angka ini meningkat pada tahun 2007 menjadi 11,14 persen. Demikian juga dengan nilai Herfindahl Hirschman Index (HHI) pada tahun 2006 berada pada posisi 98,90 dan meningkat menjadi 102,49. Kondisi ini memperlihatkan adanya hubungan positif
58
antara kenaikan angka rasio konsentrasi (CR4) dan Herfindahl Hirschman Index (HHI) perusahaan BPR di wilayah Jabodetabekten (DKBU) sebelum dilakukan perbedaan strata. Hal ini menunjukkan bahwa saat konsentrasi rasio naik, terjadi peningkatan pangsa pasar yang tentunya merupakan pertumbuhan penyaluran kredit dan tentunya berujung pada peningkatan pendapatan BPR (Gambar 4.3 dan Tabel 4.2). 120.00 100.00 80.00
98,90
102,49
60.00
CR4 HHI
40.00 20.00 0.00
10,59 Tahun 2006
11,14 Tahun 2007
Gambar 4.3. Persentase CR4 dan HHI Total Kredit BPR Tahun 2006-2007 di Wilayah Jabodetabekten ( Direktorat Kredit BPR dan UMKM (DKBU) ) Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah). Tabel 4.2. Persentase CR4 dan HHI Tahun 2006 dan Tahun 2007 Berdasarkan Strata di Wilayah Jabodetabekten ( Direktorat Kredit dan UMKM (DKBU) ) CR4 CR4 CR4 Strata 1 Strata 2 Strata 3 2006 12,70 12,71 2007 3,13 13,46 Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah). Tahun
HHI Strata 1 147,72 6,94
HHI Strata 2 141,57 137,79
HHI Strata 3 -
59
Nilai rasio konsentrasi yang rendah pada industri BPR di wilayah Jabodetabekten (DKBU) menunjukkan bahwa pasar tidak terkonsentrasi pada empat BPR yang besar, dan cenderung menyebar. Namun, pertumbuhan kredit sebagai akibat dari kenaikan pangsa pasar relatif kecil, hanya 4 persen. Sehingga bisa diduga BPR-BPR yang ada di wilayah Jabodetabekten (DKBU) tidak terlalu besar atau BPR di wilayah ini adalah BPR-BPR yang kecil dan berdaya saing rendah. Rendahnya kemampuan melakukan persaingan menyebabkan BPR-BPR di wilayah ini memiliki kemampuan penetrasi pasar yang rendah. Meskipun demikian, pasar di wilayah ini, sebelum dibagi dalam strata tergolong pada pasar oligopoli longgar menurut klasifikasi Shepherd (1985). Perubahan atas konsentrasi rasio (CR4) dan nilai Herfindahl Hirschman Index (HHI) terjadi ketika pasar dibagi dalam strata sesuai dengan modal inti yang dimiliki BPR. Pada Strata 1, terjadi penurunan nilai konsentrasi rasio (CR4), yakni pada tahun 2006 bernilai 12,70 persen (tergolong pasar oligopoli longgar) mengecil menjadi 3,13 persen (cenderung mengarah pada pasar persaingan monopolistik). Penurunan nilai rasio konsentrasi (CR4) ini juga diikuti dengan penurunan nilai indeks Herfindahl Hirschman Index (HHI) dari 147,2 pada tahun 2006 menjadi hanya 6,94 persen. Data ini menunjukkan betapa lemahnya kemampuan penetrasi pasar bagi BPR yang berada di Strata 1 (Tabel 4.2). Kondisi yang berbeda didapatkan pada strata 2 yang memiliki modal inti 1-10 milyar. Pada strata ini, terjadi peningkatan nilai rasio konsentrasi (CR4) dari 12,71 persen menjadi 13,46 persen. Namun, peningkatan nilai rasio konsentrasi ini ternyata tidak diikuti dengan peningkatan nilai indeks HHI, bahkan berbanding terbalik atau
60
mempunyai hubungan negatif. Pada tahun 2006 nilai HHI di strata 2 mencapai 141, 57 persen sedangkan pada tahun 2007 menurun menjadi 137,79 persen (Tabel 4.2). Angka-angka ini menunjukkan bahwa peningkatan rasio konsentrasi (CR4) disebabkan karena jumlah perusahaan BPR di Strata 2 menurun. Penurunan jumlah BPR selain meningkatkan nilai rasio konsentrasi (CR4) juga mengurangi penyaluran kredit dan pendapatan BPR. Hal ini juga berarti permintaan efektif pasar BPR di wilayah ini hanya dapat dilayani oleh BPR-BPR besar dan dominasi empat BPR besar yang tidak bisa disaingi perusahaan lain. Perusahaan-perusahaan BPR yang kecil tidak mampu mengambil pangsa pasar atau gagal melakukan penetrasi pasar, bahkan keluar dari pasar. Sedangkan pelaku industri yang baru sulit masuk pasar. Sehingga total penyaluran kredit industri BPR di wilayah Jabodetabekten (DKBU) menurun. Meski total penyaluran kredit BPR menurun, tetapi jika dilihat dari nilai Koefisien Gini rasio untuk penyaluran kredit di wilayah Jabodetabekten cukup baik (merata) dengan nilai Koefisien Gini 0,55 pada tahun 2006 demikian juga dengan tahun 2007. Tabel 4.3. Nilai Koefisien Gini Penyaluran Kredit BPR di Wilayah Jabodetabekten ( Direktorat Kredit BPR dan UMKM (DKBU) ) Tahun 2006 dan Tahun 2007 Tahun
Wilayah
Koefisien Gini
2006
DKBU
0,55
2007 DKBU Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah).
0,55
61
Tahun 2006
Tahun 2007
Gambar 4.4. Kurva Lorenz Penyaluran Kredit di Jabodetabekten ( Direktorat Kredit BPR dan UMKM (DKBU) ) Tahun 2006 dan Tahun 2007 Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah). Pemerataan distribusi penyaluran kredit di wilayah Jabodetabekten lebih jelas lagi ketika dilakukan pembagian strata. Pada seluruh strata didapatkan nilai koefisien gini yang kurang dari atau sama dengan 0,50. Tabel 4.4. Nilai Koefisien Gini Penyaluran Kredit BPR Berdasarkan Strata di Wilayah Jabodetabekten ( Direktorat Kredit dan UMKM (DKBU) ) Tahun 2006 dan Tahun 2007 Koefisien Gini Koefisien Gini Strata 1 (satuan) Strata 2 (satuan) 2006 0,46 0,41 2007 0,50 0,40 Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah). Tahun
Koefisien Gini Strata 3 (satuan) -
Tabel 4.4 menunjukkan bahwa dalam kelompok Strata 1 pada tahun 2006 di wilayah Jabodetabekten (DKBU) nilai Koefisien Gininya sebesar 0,46 dan meningkat tahun 2007 sebesar 0,50. Nilai Koefisien Gini pada Strata 2 mengalami penurunan dari 0,41 pada tahun 2006 menjadi 0,40 pada tahun 2007. Artinya, tidak ada perubahan signifikan dalam pemerataan penyaluran kredit di wilayah ini.
62
4.3.
Penetrasi Pasar Kredit dan Distribusi Penyaluran Kredit Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Analisa CR4 untuk propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebelum
dilakukan stratifikasi menunjukkan adanya hubungan positif antara kenaikan nilai CR4 terhadap nilai HHI. Pada tahun 2006 nilai CR4 berada di posisi 38,81 persen dan meningkat menjadi 41,99 pada tahun 2007. Nilai HHI pada tahun 2006 sebesar 557,99 persen dan meningkat menjadi 598,73 pada tahun 2007. Dengan demikian berdasarkan klasifikasi tipe pasar Shepherd (1995), pasar yang terjadi pada BPR di propinsi Yogyakarta pada tahun 2007 adalah tipe Oligopoli ketat. Padahal pada tahun sebelumnya, BPR di propinsi Yogyakarta masih dikatagorikan pada tipe pasar oligopoli longgar (Gambar 4.5). 700.00 600.00 500.00 400.00 300.00 200.00 100.00 0.00
557,99
598,73 CR4 HHI
38,81 Tahun 2006
41,99 Tahun 2007
Gambar 4.5. Persentase CR4 dan HHI Total Kredit BPR Tahun 2006-2007 di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah). Angka rasio konsentrasi (CR4) dan HHI yang meningkat menunjukkan bahwa pangsa pasar kredit di propinsi Yogyakarta dikuasai oleh empat BPR besar. Alasanalasan yang menyebabkan penguasaan pangsa pasar oleh empat BPR di propinsi Yogyakarta, diduga adalah alasan teknis, yakni perusahaan-perusahaan BPR itu bekerja makin efisien. Adanya intervensi pemerintah dan perilaku kolusi pihak
63
swasta. Selain itu, peningkatan rasio konsentrasi (CR4) biasanya karena jumlah perusahaan BPR di daerah itu berkurang atau kompetitor baru yang masuk ke dalam pasar belum mampu bersaing. Fakta lain yang menunjukkan bahwa empat BPR besar dominan menguasai pasar di propinsi Yogyakarta, adalah tingginya nilai indeks Koefisien Gini BPR di propinsi Yogyakarta. Artinya distribusi penyaluran kredit tidak merata atau timpang. Nilai Koefisien Gini BPR di propinsi Yogyakarta selama tahun 2006-2007 ternyata konstan sebesar 0,62 (Tabel 4.5 dan Gambar 4.6). Dari data di atas bisa dijelaskan ternyata jika CR4 meningkat, HHI meningkat, maka ada kecenderungan angka indeks Gini juga meningkat. Tabel 4.5. Nilai Koefisien Gini Penyaluran Kredit BPR di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Tahun 2006 dan Tahun 2007 Tahun
Propinsi
Koefisien Gini
2006 DIY 2007 DIY Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah). Tahun 2006
0,62 0,62
Tahun 2007
Gambar 4.6. Kurva Lorenz Penyaluran Kredit BPR di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Tahun 2006 dan Tahun 2007 Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah).
64
Gambaran atas dominasi empat BPR besar di Yogyakarta lebih jelas terlihat saat dilakukan klasifikasi berdasarkan strata. Pada tahun 2006 angka konsentrasi rasio pada Strata 1 cukup tinggi 57,43 persen, tetapi mengalami menurun 36,6 persen menjadi 35,83 pada tahun 2007. Sedangkan pada Strata 2 angka rasio konsentrasi (CR4) adalah 54,44 persen pada tahun 2006 dan menurun 13,33 persen menjadi 41,11 persen pada tahun 2007 (Tabel 4.6). Sekalipun nilai konsentrasi rasio pada Strata 1 pada tahun 2006 1ebih tinggi dibandingkan Strata 2, tetapi situasi ini terbalik pada tahun 2007 dimana indeks HHI Strata 2 lebih tinggi dibandingkan dengan Strata 1. Pada tahun 2006 indeks HHI Strata 1 dan 2 adalah 985,52 persen dan 1026,24 persen. Sedangkan pada tahun 2007 indeks HHI Strata 1 dan 2 sebesar 669,01 persen dan 635,48 persen (Tabel 4.6). Hal ini menunjukkan bahwa empat BPR besar di Strata 2 memiliki kemampuan penetrasi pasar yang tinggi dibandingkan dengan BPR lain yang ada di wilayah kerjanya pada tahun 2006. Sedangkan pada Strata 1 empat BPR besar sekalipun menguasai pasar, tetapi masih harus bekerja keras untuk mendapatkan pangsa pasar yang lebih besar. Situasi terbalik terjadi pada tahun 2007, dimana empat BPR besar di Strata 1 lebih unggul dalam indeks HHI dibandingkan dengan Strata 2. Hal itu menunjukkan penurunan rasio konsentrasi disebabkan karena meningkatnya jumlah BPR
yang ada, atau juga terjadi inefisiensi pada empat BPR besar di
Yogyakarta. Adanya penurunan angka indeks Koefisien Gini pada BPR di Strata 1, menjelaskan bahwa telah terjadi pemerataan penyaluran kredit lebih baik karena hadirnya kompetitor baru yang lebih efisien. Juga telah terjadi penguatan permodalan
65
oleh BPR yang ada di wilayah kerja sehingga kemampuan untuk melakukan penetrasi pasar lebih besar. Sekalipun terjadi penurunan dominasi empat BPR besar di kelompok Strata 2 dari tahun 2006 ke 2007, tetapi terjadi peningkatan indeks Koefisien Gini rasionya, dari 0,37 menjadi 0,45 (Tabel 4.7). Sehingga diyakini penurunan rasio konsentrasi pada Strata 2 akibat dari peningkatan jumlah pelaku pasar, perusahaan-perusahaan yang lebih efisiensi, sehingga terjadi pemerataan dalam penyaluran kredit. Namun, kelompok empat besar BPR di Strata 2 tetap lebih dominan (Tabel 4.7). Tabel 4.6. Persentase CR4 dan HHI Tahun 2006-2007 Berdasarkan Strata di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) CR4 CR4 CR4 Strata 1 Strata 2 Strata 3 2006 57,43 54,44 2007 35,83 41,11 Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah). Tahun
HHI Strata 1 985,52 669,01
HHI Strata 2 1026,24 635,48
HHI Strata 3 -
Tabel 4.7. Nilai Koefisien Gini Penyaluran Kredit BPR Berdasarkan Strata di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Tahun 2006
Koefisien Gini Strata 1 0,67
Koefisien Gini Strata 2 0,37
2007 0,33 0,45 Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah).
4.4.
Koefisien Gini Strata 3 -
Penetrasi Pasar Kredit dan Distribusi Penyaluran Kredit Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di propinsi Jawa Barat Pangsa pasar industri BPR di wilayah propinsi Jawa Barat cukup besar, dan
bahkan paling besar di Pulau Jawa pada tahun 2006-2007. Industri BPR di propinsi
66
Jawa Barat tidak didominasi oleh BPR-BPR yang besar, hal ini dapat diperlihatkan pada Gambar 4.7 dibawah ini. 900.00 800.00 700.00 600.00
769,92 668,93
500.00 CR4
400.00
HHI
300.00 200.00 100.00
35,83
36,68
0.00 Tahun 2006
Tahun 2007
Gambar 4.7. Persentase CR4 dan HHI Total Kredit BPR Tahun 2006-2007 di Propinsi Jawa Barat Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah). Dari pengolahan data kredit tahun 2006 nilai HHI yang menunjukkan pangsa pasar kredit BPR sekitar 668,93 persen dan meningkat pada tahun 2007 menjadi 769,92 persen. Begitu pula dengan nilai Concentration Ratio (CR4) yaitu sebesar 35,83 persen pada 2006 dan meningkat menjadi 36,68 persen pada 2007. Dengan nilai CR4 kurang dari 40 persen dan nilai Herfindahl Hirschman Index (HHI) kurang dari 1000 persen, maka industri BPR di Jawa Barat tergolong pasar oligopoli longgar menurut klasifikasi Shepherd (1985). Nilai rasio konsentrasi yang meningkat berbanding lurus dengan peningkatan nilai indeks HHI, menunjukkan bahwa terjadi
pengurangan jumlah pelaku industri BPR sehingga
pangsa pasar yang bisa diperebutkan jumlahnya lebih besar. Angka indeks HHI dan
67
konsentrasi rasio yang meningkat juga menunjukkan kekuatan pasar dan kemampuan penetrasi pasar BPR di Jawa barat yang meningkat. Dominasi empat BPR besar dan rendahnya kemampuan kompetitor lain di wilayah Jawa Barat bisa dilihat dari nilai Koefisien Gini rasio yang cukup tinggi, sebesar 0,70. Penguasaan pangsa pasar oleh empat BPR besar telah menimbulkan ketimpangan dalam penyaluran kredit (Tabel 4.8 dan Gambar 4.8). Tabel 4.8. Nilai Koefisien Gini Penyaluran Kredit BPR di Propinsi Jawa Barat Tahun 2006 dan Tahun 2007 Tahun
Propinsi
Koefisien Gini
2006 Jawa Barat 2007 Jawa Barat Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah). Tahun 2006
0,70 0,70
Tahun 2007
Gambar 4.8. Kurva Lorenz Penyaluran Kredit BPR di Propinsi Jawa Barat Tahun 2006 dan Tahun 2007 Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah). Berdasarkan kurva Lorenz propinsi Jawa Barat (Gambar 4.8), daerah yang diarsir merupakan nilai dari Koefisien Gini propinsi Jawa Barat. Begitu pula berdasarkan Tabel 4.8, nilai Koefisien Gini propinsi Jawa Barat merupakan nilai tertinggi di antara wilayah-wilayah di Pulau Jawa yaitu sebesar 0,70 di tahun 2006
68
dan tahun 2007. Hal ini membuktikan bahwa terjadi pemerataan yang paling rendah di wilayah Pulau Jawa dan mendekati ketimpangan antara BPR yang kecil dan BPR besar di propinsi Jawa Barat. Ketimpangan penyaluran kredit ternyata tidak terjadi jika unit analisis diubah berdasarkan Strata, terutama pada Strata 1. Begitu pula dengan kemampuan penetrasi berubah sesuai dengan perubahan pada CR4 dan indeks HHI (Tabel 4.9. dan Tabel 4.10). Tabel 4.9. Persentase CR4 dan HHI Tahun 2006-2007 Berdasarkan Strata di Propinsi Jawa Barat CR4 CR4 CR4 Strata 1 Strata 2 Strata 3 2006 6,88 23,54 88,84 2007 14,70 20,40 80,12 Sumber Bank Indonesia, 2007 (data diolah). Tahun
HHI Strata 1 88,93 135,10
HHI Strata 2 251,80 213,06
HHI Strata 3 3821,54 4473,85
Tabel 4.10. Nilai Koefisien Gini Penyaluran Kredit BPR Berdasarkan Strata di Propinsi Jawa Barat Tahun 2006 dan Tahun 2007 Koefisien Gini Koefisien Gini Strata 1 Strata 2 2006 0,34 0,49 2007 0,38 0,50 Sumber Bank Indonesia, 2007 (data diolah). Tahun
Koefisien Gini Strata 3 0,49 0,59
Tabel 4.9 menunjukkan bahwa pada strata 1 terjadi hubungan positif antara peningkatan nilai CR4 yakni dari 6,88 persen tahun 2006 menjadi 14,7 persen pada tahun 2007 dengan peningkatan nilai indeks HHI, yakni dari 88,93 persen menjadi 135,10 persen. Hal ini menunjukkan kenaikan nilai CR4 terjadi karena terjadi pengurangan jumlah perusahaan BPR dalam pasar, sehingga terjadi penguatan pada
69
kelompok empat besar. Tipe penetrasi pasar yang terjadi berubah dari oligopoli longgar ke oligopoli ketat. Uniknya, sekalipun pada klasifikasi Strata 2 dan 3 terjadi penurunan nilai CR4 dan nilai HHI pada kurun waktu 2006-2007, tetapi pada Strata 3 justru terdapat kenaikan indeks HHI dari 3.821 pada tahun 2006 menjadi 4.473 pada tahun 2007. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan nilai rasio konsentrasi (CR4) disebabkan karena meningkatnya jumlah pelaku pasar dalam industri BPR yang memiliki nilai modal inti lebih antara 1-10 milyar. Sedangkan pada Strata 3 sekalipun terjadi penurunan CR4, tetapi empat perusahaan BPR tetap mendominasi pangsa pasar karena terlalu tangguh untuk disaingi oleh kompetitor baru yang masuk ke dalam pasar, karena perusahaan BPR dalam Strata 3 cenderung memonopoli pasar.
4.5. Penetrasi Pasar Kredit dan Distribusi Penyaluran Kredit Perkreditan Rakyat (BPR) di propinsi Jawa Tengah
Bank
Kondisi yang Paradoks terjadi di Propinsi Jawa Tengah. Propinsi ini memiliki nilai CR4 dan HHI yang rendah, tetapi memiliki nilai Koefisien Gini rasio yang tinggi. Secara teoritis jika nilai CR4 dan HHI rendah maka bisa diperkirakan nilai Koefisien Gini rasio juga rendah di bawah 0,50, tetapi untuk propinsi Jawa Tengah terjadi sebaliknya. Hal ini bisa jadi karena perbedaan nilai Concentration Ratio di atasnya, seperti CR5, CR6 dan seterusnya tidak terlalu berbeda nyata dengan CR4. Gambar 4.9 menunjukkan bahwa nilai CR4 memiliki hubungan positif dengan kenaikan nilai HHI. Nilai CR4 di propinsi ini pada tahun 2006 sebesar 12,21 persen dan meningkat menjadi 13,95 persen pada tahun 2007. Sedangkan untuk nilai HHI
70
pada tahun 2006 sebesar 112,36 persen naik menjadi 127,43 persen pada 2007. Nilai CR4 dan HHI propinsi Jawa Tengah menggambarkan bahwa pasar industri BPR di Jawa Tengah adalah Oligopoli longgar (Gambar 4.9). Dalam pasar oligopoli longgar masih dimungkinkan terjadi kesepakatan tentang pembagian pasar. Dalam pasar seperti ini seharusnya persaingan masih terbuka sehingga pangsa pasar terdistribusi merata. Jika pangsa pasar terdistribusi secara merata maka penyaluran kredit juga menyebar merata. Ironisnya, dalam kasus yang terjadi di Jawa Tengah, penyebaran penyaluran kredit tidak merata. Hal itu ditunjukkan dengan tingginya nilai Koefisien Gini rasio yakni sebesar 0,62 pada 2006 dan meningkat menjadi 0,64 pada 2007 (Tabel 4.11 dan Gambar 4.10). Kondisi seperti ini hanya dimungkinkan jika perusahaan-perusahaan atau industri BPR sebenarnya memiliki kekuatan yang sama. Sehingga kekuatan pasar tidak hanya dikuasai empat perusahaan BPR besar saja, melainkan bisa jadi dikuasai lebih dari empat, bisa lima, enam, tujuh atau bahkan delapan perusahaan. 140.00 120.00 Persen
100.00
127,43 112,36
80.00 CR4
60.00
HHI
40.00 20.00 0.00
12,21
13,95
Tahun 2006
Tahun 2007
Gambar 4.9. Persentase CR4 dan HHI Total Kredit BPR Tahun 2006-2007 di Propinsi Jawa Tengah Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah).
71
Tabel 4.11. Nilai Koefisien Gini Penyaluran Kredit BPR di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2006 dan Tahun 2007 Tahun
Propinsi
Koefisien Gini
2006 Jawa Tengah 2007 Jawa Tengah Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah). Tahun 2006
0,62 0,64
Tahun 2007
Gambar 4.10. Kurva Lorenz Penyaluran Kredit BPR di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2006 dan Tahun 2007 Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah). Jawaban atas paradoks yang terjadi di Jawa Tengah sebenarnya terjawab ketika dilakukan pengklasifikasian dalam strata. BPR yang masuk dalam Strata 1 (memiliki modal inti dibawah 1 milyar) memiliki penurunan nilai CR4 dari 22,74 persen pada tahun 2006 menjadi 8,57 persen pada tahun 2007. Sehingga ada pergeseran model penetrasi pasar dari oligopoli ketat menjadi monopolistik kompetisi. Perubahan ini tentu saja berdampak pada distribusi penyaluran kredit. Sehingga terjadi perubahan dari distribusi yang timpang menjadi lebih merata. Hal itu ditunjukkan dengan penurunan nilai Koefisien Gini dari 0,6 pada tahun 2006 menjadi 0,33 pada tahun 2007 (Tabel 4.11). Sehingga bisa disimpulkan kekuatan penetrasi pasar BPR di Jawa Tengah pada kelompok Strata 1 ini tidak hanya dimiliki oleh
72
empat perusahaan besar saja, tetapi juga bisa mencapai delapan perusahaan besar atau lebih. Pemerataan penyaluran kredit dan pasar penetrasi di Jawa Tengah bisa dilihat jika analisa dan di pertajam pada lingkup Strata seperti dalam Tabel 4.12 dan Tabel 4.13. Tabel 4.12. Persentase CR4 dan HHI Tahun 2006 dan Tahun 2007 Berdasarkan Strata di Propinsi Jawa Tengah CR4 CR4 CR4 Strata 1 Strata 2 Strata 3 2006 22,74 13,57 52,60 2007 8,57 11,81 36,05 Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah). Tahun
HHI Strata 1 239,40 107,52
HHI Strata 2 144,91 115,36
HHI Strata 3 1094,13 633,72
Tabel 4.13. Nilai Koefisien Gini Penyaluran Kredit BPR Berdasarkan Strata di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2006 dan Tahun 2007 Tahun 2006
Koefisien Gini Strata 1 0,60
Koefisien Gini Strata 2 0,46
Koefisien Gini Strata 3 0,25
2007
0,33
0,46
0,31
Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah). Tabel 4.12 juga menunjukkan bahwa perusahaan BPR pada Strata 2 tidak terjadi perubahan yang signifikan pada tingkat konsentrasi perusahaannya, tetapi terjadi perubahan yang berarti dalam indeks HHI. Sehingga sekalipun empat perusahaan besar menguasai pangsa pasar, tetapi karena mereka bersepakat dalam pasar yang oligopoli longgar, maka dimungkinkan untuk perusahaan-perusahaan BPR baru masuk ke dalam pasar dan melakukan penetrasi. Dengan demikian penyaluran kredit tidak menjadi dominannya empat perusahaan besar saja, tetapi menyebar ke
73
perusahaan lain dalam kelompok ini. Hal itu juga diperlihatkan oleh nilai Koefisien Gini rasio yang tidak berubah. Pada kelompok Strata 3, terjadi hubungan positif antara penurunan nilai CR4, yakni dari 52,60 persen pada tahun 2006 menjadi 36,05 persen dengan penurunan nilai indeks HHI dan juga Koefisien Gini rasio. Angka-angka ini mengisyaratkan bahwa jumlah pelaku industri BPR dalam pasar pada kelompok ini sedikit, bisa jadi kurang dari empat perusahaan, tetapi memiliki kekuatan penetrasi pasar yang cukup berimbang sehingga tidak satupun perusahaan yang terlalu kuat, sehingga mereka dominan dalam kelompok ini. Karena itulah, kita bisa melihat adanya pemerataan dalam penyebaran penyaluran kredit yang ditandai dengan nilai Koefisien Gini yang berkisar 0,25 hingga 0,33.
4.6.
Penetrasi Pasar Kredit dan Distribusi Penyaluran Kredit Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di propinsi Jawa Timur Di propinsi Jawa Timur, pasar BPR juga berbentuk oligopoli longgar. Seperti
umumnya kondisi BPR lainnya di Pulau Jawa, kenaikan nilai CR4 juga berpengaruh pada kenaikan nilai indeks HHI dan Koefisien Gini rasio. Gambar 4.11 menjelaskan nilai CR4 dan HHI cukup rendah. Pada tahun 2006 industri BPR Jawa Timur memiliki CR4 sebesar 17,15 persen, dan nilai HHI sebesar 137,65 persen. Pada tahun 2007 nilai CR4 meningkat menjadi 18,65 persen dan nilai indeks HHI membaik menjadi sebesar 152,28 persen. Artinya terjadi perubahan dalam konsentrasi perusahaan BPR sebagai akibat dari pengurangan jumlah perusahaan BPR yang berada di dalam pasar, sementara perusahaan BPR lain yang akan masuk tidak mampu bersaing.
74
160.00 140.00 120.00
152,28 137,65
100.00 80.00
CR4
60.00
HHI
40.00 20.00 0.00
17,15
18,65
Tahun 2006
Tahun 2007
Gambar 4.11. Persentase CR4 dan HHI Total Kredit BPR Tahun 2006-2007 di Propinsi Jawa Timur Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah). Perusahaan-perusahaan BPR dalam oligopoli longgar seperti di Jawa Timur ini akan terus memberdayakan kekuatan pasar dan penetrasi pasar mereka untuk kepentingan perusahaan-perusahaan BPR yang ada dalam propinsi ini. Namun, karena terus berkurang jumlah pelaku pasar, maka penyebaran kredit di Jawa Timur cenderung tidak merata. Pelaku pasar atau industri yang memiliki kemampuan penetrasi pasar dan cukup dominan keluar dari pasar dan digantikan oleh pelakupelaku yang kurang kompetitif. Sehingga muncullah nilai Koefisien Gini rasio yang cenderung mendekati angka 0,6 atau menunjukkan ketimpangan. Tabel 4.14 dan Gambar 4.12 menjelaskan bahwa di Propinsi Jawa Timur nilai Koefisien Gini di wilayah Propinsi Jawa Timur yakni sebesar 0,53 tahun 2006 dan meningkat sebesar 0,55 tahun 2007. Artinya nilai Koefisien Gini mendekati dari 0,60 membuat propinsi Jawa Timur menjadi propinsi yang tidak merata dalam distribusi kreditnya.
75
Tabel 4.14. Nilai Koefisien Gini Penyaluran Kredit BPR di Propinsi Jawa Timur Tahun 2006 dan Tahun 2007 Tahun
Wilayah
Koefisien Gini
2006 Jawa Timur 2007 Jawa timur Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah). Tahun 2006
0,53 0,55
Tahun 2007
Gambar 4.12. Kurva Lorenz Penyaluran Kredit BPR di Wilayah Propinsi Jawa Timur Tahun 2006 dan Tahun 2007 Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah). Jika Penetrasi pasar dan distribusi penyaluran kredit BPR di analisis berdasarkan Strata BPR, maka akan terlihat bahwa distribusi penyaluran kreditnya lebih tersebar, kecuali pada Strata 3 yang hanya dikuasai satu atau dua perusahaan BPR. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.16. Tabel 4.15. Persentase CR4 dan HHI Tahun 2006 dan Tahun 2007 Berdasarkan Strata di Propinsi Jawa Timur CR4 CR4 CR4 Strata 1 Strata 2 Strata 3 2006 11,32 13,62 2007 10,74 8,56 Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah). Tahun
HHI Strata 1 116,29 121,72
HHI Strata 2 107,58 78,28
HHI Strata 3 -
76
Tabel 4.16. Nilai Koefisien Gini Penyaluran Kredit di Propinsi Jawa Timur Berdasarkan Strata Tahun 2006 dan Tahun 2007 Tahun 2006
Koefisien Gini Strata 1 0,40
Koefisien Gini Strata 2 0,40
2007 0,38 0,38 Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah).
Koefisien Gini Strata 3 -
Tabel 4.15 menunjukkan bahwa pada Strata 1, terjadi penurunan nilai CR4 dan HHI dari tahun 2006 hingga 2007. Begitu pula terjadi pada Strata 2, dimana penurunan angka CR4 dibarengi dengan penurunan nilai indeks HHI. Kondisi ini mencerminkan bahwa pada Strata 1 dan 2 perubahan penurunan rasio konsentrasi disebabkan masuknya perusahaan BPR baru. Jika di lihat pada Strata 3, nilai CR4 tidak bisa di hitung karena jumlah perusahaan kurang dari empat, maka untuk kelompok ini tidak dilakukan pengkajian lebih lanjut. Berdasarkan klasifikasi Strata 1 hingga Strata 2, nilai CR4 berada di bawah 40 persen dan sementara indeks HHI jauh berada dibawah 1000 persen. Sehingga bisa disimpulkan tipe pasar yang terbentuk adalah oligopoli longgar. Selain itu, Tabel 4.16 menjelaskan bahwa di Strata 1 dan 2 terjadi penurunan nilai Koefisien Gini yang sama besarnya yakni 0,40 tahun 2006 dan menurun menjadi 0,38 tahun 2007. Data itu menunjukkan adanya distribusi penyaluran kredit yang merata di propinsi Jawa Timur.
77
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. 1.
Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data yang dikumpulkan dari seluruh wilayah Pulau Jawa dan diolah dengan menggunakan metode analisis Concentration Ratio (CR4) dan Herfindahl Hirschman Index (HHI), maka diperoleh hasil bahwa hampir di seluruh wilayah Pulau Jawa ( Wilayah Jabodetabekten (DKBU), Propinsi Jawa Barat, Propinsi Jawa Tengah, Propinsi Jawa Timur dan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ) memiliki nilai Concentration Ratio (CR4) yang kurang dari 40 persen dan nilai Herfindahl Hirschman Index (HHI) kurang dari 1000 persen. Sehingga disimpulkan penetrasi pasar untuk BPR di Pulau Jawa adalah berbentuk Oligopoli longgar sesuai dengan klasifikasi Shepherd (1985). Namun, ada dua daerah yang memiliki atau cenderung mengikuti pasar bertipe Oligopoli ketat, yakni Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Barat. Penetrasi pasar ini tidak berubah, ketika dilakukan klasifikasi berdasarkan strata (sesuai dengan modal inti).
2.
Sebelum dilakukan klasifikasi berdasarkan strata sesuai dengan modal inti yang dimiliki BPR, di pulau Jawa pada umumnya terjadi peningkatan rasio konsentrasi dan nilai indeks HHI. Sehingga bisa dikatakan pasar terkonsentrasi pada empat BPR terkemuka. Dari data yang sudah diolah didapatkan bahwa terjadi peningkatan dalam kekuatan pasar dan daya penetrasi pasar. Namun, kekuatan penetrasi pasar ini tidak signifikan dan
78
tidak merata untuk semua BPR, sehingga menimbulkan ketimpangan dalam penyaluran kredit di hampir semua wilayah kerja di Pulau Jawa. 3.
Setelah dilakukan klasifikasi berdasarkan strata, baru bisa dilihat secara rinci bahwa kebanyakan BPR di pulau Jawa tidak memiliki kekuatan pasar yang cukup memadai dan memiliki kelemahan dalam melakukan penetrasi pasar. Hal itu ditandai dengan angka CR4 dan indeks HHI yang terus menurun. Namun, untuk distribusi penyaluran kredit, analisis berdasarkan strata menunjukkan bahwa distribusi berdasarkan strata lebih merata dibandingkan jika kita mengukur distribusi penyaluran kredit tanpa memilah-milah dengan stratifikasi.
4.
Ada dua daerah yang menarik untuk diamati, yakni propinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah. Di Jawa Barat, rasio konsentrasi tinggi, artinya BPR dikuasai oleh empat BPR yang dominan, walaupun penetrasi pasarnya bagus, tetapi distribusi penyaluran kreditnya tidak merata. Sedangkan di Jawa Tengah terjadi hal tidak normal (kondisi paradoks), bahwa nilai konsentrasi rasionya rendah, tetapi distribusi penyaluran kreditnya tidak merata, padahal kekuatan pasar dan daya penetrasinya tergolong bagus.
5.2. 1.
Saran Implikasi kebijakan yang bisa dilakukan pemerintah dalam hal ini Bank Indonesia, membuat regulasi yang memungkinkan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang memiliki modal inti yang rendah bisa melakukan penyatuan (merjer), karena ketika dilakukan stratifikasi atas BPR itu rata-rata mengalami
79
penurunan dalam rasio konsentrasi dan nilai indeks HHI. Sehingga kekuatan pasar dan daya penetrasinya lemah. 2.
Perlu regulasi juga untuk memberikan penguatan modal pada BPR yang fokusnya untuk melayani UMKM dengan modal inti di bawah 1 milyar rupiah. Karena ada kecenderungan BPR dengan modal inti di bawah 1 milyar rupiah (Strata 1) kemampuan penetrasi pasarnya terus menurun, terindikasi dari nilai CR4 yang menurun dengan diikuti dengan penurunan nilai indeks HHI sehingga pangsa pasar yang ada tidak bisa diraih, karena keterbatasan dana dan sumberdaya manusia.
3.
Kebijakan berbeda perlu diberikan pada kelompok Strata 2, dimana kemampuan permodalannya lebih baik yaitu antara 1 hingga 10 milyar. BPR dengan modal inti yang cukup besar ini, jumlahnya meningkat pada kurun waktu 2006-2007. Tetapi jumlah penyaluran kreditnya menurun. Karena itu, perlu pengawasan yang lebih ketat dari Bank Indonesia untuk mengevaluasi kinerja BPR pada Strata ini. Sehingga modal yang ada bisa dioptimalkan membantu kelompok UMKM. Begitu juga dengan aturan untuk tidak mengambil pangsa pasar kelompok strata 1, karena ada kecenderungan pasar dikuasai oleh kelompok strata 2.
4.
Peningkatan jumlah BPR pada Strata 3 (modal inti di atas 10 milyar) juga mulai terlihat, dan kemampuan BPR yang jumlahnya sedikit ini untuk menguasai pasar sangat besar, terutama terlihat di propinsi Jawa Barat, Jabodetabekten (DKBU), Jawa Timur, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sehingga perlu dorongan pemerintah untuk mendorong
80
BPR di kelompok ini untuk mengembangkan usaha perbankannya dengan meningkatkan kekuatan pasarnya dan daya penetrasinya tanpa harus mengambil pasar dari kelompok strata 1 dan 2. Penguatan dalam tubuh BPR kelompok 3 sendiri perlu dilakukan dengan melakukan banyak langkah penting seperti dengan melakukan kerja-sama dengan bank umum lainnya yang memiliki skema kredit untuk UMKM. Perbaikan teknologi juga menjadi suatu keharusan dilakukan oleh BPR untuk meningkatkan mutu pelayanan. 5.
Jika dilihat dari keunggulan komparatif yang dimiliki BPR, maka sebenarnya BPR sudah unggul dalam hal prosedur pelayanan sederhana, prosesnya cepat, dan skema kredit yang fleksibel. BPR juga dikenal dengan bank yang memilih pendekatan personal lebih besar dibandingkan dengan pertimbangan kelayakan bank yang umum dilakukan di bank umum. Hal ini memudahkan masyarakat untuk mendapatkan akses perbankan. Karakteristik BPR seperti itu dapat dimanfaatkan untuk menyalurkan kredit kepada UMKM dan kredit usaha rakyat yang sekarang sedang direncanakan pemerintah untuk penyalurannya. Karena sifat BPR yang seperti ini, maka sebenarnya peluang terjadi kredit macet sangat besar, karena itu pemerintah disarankan bisa memberikan pengawasan kepada BPR dengan lebih baik lagi.
6.
Jika melihat Nilai Koefisien Gini yang tinggi di beberapa daerah di pulau Jawa menegaskan adanya ketimpangan dalam penyaluran kredit untuk usaha kecil menengah. Oleh karena itu, pemerintah melalui Bank Indonesia harus mengantisipasi ketimpangan ini, jangan sampai masyarakat kecil yang tidak mempunyai akses perbankan yang baik tidak bisa memperoleh kredit yang
81
sebenarnya ditujukan pada mereka. Oleh karena itu, jika ketimpangan penyaluran kredit dibiarkan berlarut-larut maka kepercayaan masyarakat pada BPR akan menurun, apalagi jika kredit macet karena penyaluran dana lebih dari 10 milyar cukup besar. Hal ini perlu dipikirkan oleh pemerintah untuk lebih memeratakan penyaluran kredit usaha kecil di tengah masyarakat. Faktor lain yang perlu diperbaiki adalah faktor sumberdaya manusia. Dimana sumberdaya manusia BPR harus ditingkatkan kemampuan profesionalitasnya sehingga bisa menyamai kualitas SDM bank-bank umum. Dengan demikian BPR bisa bersaing untuk menyerap pangsa pasar yang terus meningkat dari tahun ke tahun. 7.
Penelitian selanjutnya disarankan untuk menganalisa penetrasi pasar BPR dan distribusi penyaluran kreditnya di seluruh wilayah kerja BPR di Indonesia. Kemudian dapat di analisis lebih mendalam menggunakan metode analisis lain yang lebih modern.
82
DAFTAR PUSTAKA
Adelaja, A., J. Menzo, dan B. Mccay. 1998. “Market Power, Industrial Organization and Tradeable Quotas”. Department of Agricultural Economics and Marketing, Rutgers University, 13: 589-601. Arianto, E. 2008. “Klasifikasi dan Konsentrasi Minyak Sawit Indonesia”. http://www.strategika.wordpress.com. [03 Februari 2008]. Ariyanto, T. 2004. “Profil Persaingan Usaha Dalam Industri Perbankan Indonesia”. Perbanas Finance and Banking Journal, 6: 95-108. Bank Indonesia. 2006. “Cetak Biru Bank Perkreditan Rakyat”. Direktorat Pengawasan Bank Perkreditan Rakyat. Bank Indonesia. Jakarta. Bank Indonesia. 2006. Statistik Bank Perkreditan Rakyat (BPR) November 2006. Bank Indonesia. Jakarta. Bank Indonesia. 2006. Kompilasi Neraca BPR Konvensional Desember 2006. Bank Indonesia. Jakarta. Bank Indonesia. 2007. Kompilasi Neraca BPR Konvensional Desember 2007. Bank Indonesia. Jakarta. Bank Indonesia. 2008. Statistik Perbankan Indonesia 2008. Bank Indonesia. Jakarta. Cabral, L. M. B. 2000. Introduction To Industrial Organization. Massachusetts Institute of Technology Cambridge. Dendawijaya, L. 2001. Manajemen Perbankan. Ghalia Indonesia. Jakarta. Departemen Koperasi. 2008. Unit Usaha Kecil, Menengah dan Besar Tahun 20052007. Jakarta. Ferguson. P. R. (1988). Industrial Economics: Issues and Perspectives. Macmillan Education LTD. London. Hafsah, M. J. 2004. “Upaya Pengembangan Usaha Kecil Menengah (UKM)“. Infokop No. 25 Tahun XX. Jakarta. Ibrahim, M. 2005. “Sambutan Deputi Gubernur Bank Indonesia dalam Seminar dan Bedah Buku Revolusi Keuangan Mikro: Pelajaran dari Indonesia“. Bandung.
83
InterCAFE, 2008. “Pemetaan Profil BPR Dalam Rangka Penyusunan Stratifikasi Industri BPR”. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM). Institut Pertanian Bogor. Bogor. Jaya, W. K. 2001. Ekonomi Industri. Fakultas Ekonomi dan Pasca Sarjana. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Norman, G., L. Pepall, dan D. J. Richards. 2002. Industrial Organization : Contemporary Theory and Practice. Edition 2nd. United State of America. South Western. Rivai. V dan A. P. Veithzal. 2006. Credit Management Handbook : Teori, Konsep, Prosedur, dan Aplikasi Panduan Praktis Mahasiswa, Bankir, dan Nasabah. Penerbit PT Raja Grafindo, Jakarta. Simanjuntak, D. A. 2004. “Analisis Kemiskinan dan Pemerataan Propinsi Banten”. Lembaga Kajian Pembangunan Indonesia (LKPI). Banten. Shepherd, W. G. (1995). The Economics of Industrial Organization. Edition 2nd. Englewood. Cliffs, NJ : Prentice-Hall, Inc. Sulaeman, 2001. “Layanan Fasilitasi Pembiayaan Bagi Pengembangan Bisnis Usaha Kecil dan Menengah”. http://www.smecda.com. Todaro, M. P. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Jilid I. Edisi Ketujuh. Penerbit Erlangga, Jakarta.
84
LAMPIRAN
85
Lampiran 1. Persentase CR4 dan HHI Total Kredit BPR Tahun 2006-2007 di Wilayah Jabodetabekten ( Direktorat Kredit BPR dan UMKM (DKBU) ) 120.00 100.00 102,49
98,90 80.00 60.00
CR4 HHI
40.00 20.00 10,59
11,14
Tahun 2006
Tahun 2007
0.00
Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah). Lampiran 2. Kurva Lorenz Penyaluran Kredit BPR di Wilayah Jabodetabekten ( Direktorat Kredit BPR dan UMKM (DKBU) ) Tahun 2006 dan Tahun 2007 Tahun 2006
Tahun 2007
0,55
Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah).
0,55
86
Lampiran 3. Persentase CR4 dan HHI Total Kredit BPR Tahun 2006-2007 di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 700.00 600.00 500.00
598,73 557,99
400.00
CR4 300.00
HHI
200.00 100.00 0.00
41,99 Tahun 2007
38,81 Tahun 2006
Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah).
Lampiran 4. Kurva Lorenz Penyaluran Kredit BPR di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Tahun 2006 dan Tahun 2007 Tahun 2006
Tahun 2007
0,62
Sumber : bank Indonesia, 2007 (data diolah).
0,62
87
Lampiran 5. Persentase CR4 dan HHI Total Kredit BPR Tahun 2006-2007 di Propinsi Jawa Barat 900.00 800.00 700.00 600.00
769,92 668,93
500.00 CR4
400.00
HHI
300.00 200.00 100.00
36,68
35,83
0.00 Tahun 2006
Tahun 2007
Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah). Lampiran 6. Kurva Lorenz Penyaluran Kredit BPR di Propinsi Jawa Barat Tahun 2006 dan Tahun 2007 Tahun 2006
Tahun 2007
0,70
Sumber : Bank Indonesia, 2006-2007 (data diolah).
0,70
88
Lampiran 7. Persentase CR4 dan HHI Total Kredit BPR Tahun 2006-2007 di Propinsi Jawa Tengah 140.00 120.00
Persen
100.00
127,43 112,36
80.00 CR4
60.00
HHI
40.00
20.00 0.00
12,21
13,95
Tahun 2006
Tahun 2007
Sumber : Bank Indonesia, 2006-2007 (data diolah). Lampiran 8. Kurva Lorenz Penyaluran Kredit BPR di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2006 dan Tahun 2007 Tahun 2006
Tahun 2007
0,62
Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah).
0,64
89
Lampiran 9. Persentase CR4 dan HHI Total Kredit BPR Tahun 2006-2007 di Propinsi Jawa Timur 160.00 140.00 120.00
152,28 137,65
100.00
80.00
CR4
60.00
HHI
40.00 20.00 17,15
18,65
Tahun 2006
Tahun 2007
0.00
Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah).
Lampiran 10. Kurva Lorenz Penyaluran Kredit BPR di Wilayah Propinsi Jawa Timur Tahun 2006 dan Tahun 2007 Tahun 2006
Tahun 2007
0,53
Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah).
0,55
90
Lampiran 11. CR4, HHI, Koefisien Gini di Pulau Jawa Tahun 2006 CR4
HHI
Koefisien Gini
(persen)
(persen)
(satuan)
No
Propinsi
1
DKBU
10,59
98,90
0,55
2
Jatim
17,15
137,65
0,53
3
DIY
38,81
557,99
0,62
4
Jateng
12,21
112,36
0,62
5
Jabar
35,83
668,93
0,70
Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah).
Lampiran 12. CR4, HHI, Koefisien Gini di Pulau Jawa Tahun 2007 CR4
HHI
Koefisien Gini
(persen)
(persen)
(satuan)
DKBU
11,14
102,49
0,55
2
Jatim
18,65
152,28
0,55
3
DIY
41,99
598,73
0,62
4
Jateng
13,95
127,43
0,64
5
Jabar
36,68
769,92
0,70
No
Propinsi
1
Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah).
91
Lampiran 13. Nilai Koefisien Gini Penyaluran Kredit BPR Berdasarkan Strata di Wilayah Jabodetabekten ( Direktorat Kredit BPR dan UMKM (DKBU) ) Tahun 2006 Propinsi
DKBU
Jatim
DIY
Jateng
Jabar
0,46
0,40
0,67
0,60
0,34
0,41
0,40
0,37
0,46
0,49
0,00
0,39
-
0,25
0,49
Koefisien Gini Strata1 Koefisien Gini Strata2 Koefisien Gini Strata3
Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah).
Lampiran 14. Nilai Koefisien Gini Penyaluran Kredit BPR Berdasarkan Strata di Wilayah Jabodetabekten ( Direktorat Kredit BPR dan UMKM (DKBU) ) Tahun 2007 Propinsi
DKBU
Jatim
DIY
Jateng
Jabar
0,50
0,38
0,33
0,33
0,38
0,44
0,38
0,45
0,46
0,50
0,00
0,39
0,04
0,31
0,59
Koefisien Gini Strata1 Koefisien Gini Strata2 Koefisien Gini Strata3
Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah).
92
Lampiran 15. Jumlah BPR di Pulau Jawa Berdasarkan Stratifikasi BPR Stratifikasi BPR
Tahun 2006
Tahun 2007
Strata 1
636
509
Strata 2
558
668
Strata 3
21
38
Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah).
Lampiran 16. Persentase Jumlah BPR di Pulau Jawa Berdasarkan Stratifikasi BPR Tahun 2006-2007
60 50
55
52 46 42
Persen
40 Tahun 2006
30
Tahun 2007 20 10
2
Strata 1
Strata 2
Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah).
Strata 3
3
93
Lampiran 17. Persentase Total Kredit dan Jumlah BPR di Pulau Jawa Tahun 2006 dan Tahun 2007
Persen
Perkembangan Total Kredit dan Jumlah BPR 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00
65.38
35.90
34.62
2006
68.72
64.10
31.28
2007 Kredit
68.72
31.28
2006
2007 Jumlah BPR
Luar Pulau Jawa
Pulau Jawa
Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah).
Lampiran 18. Persentase CR4 dan HHI Tahun 2006 dan Tahun 2007 Berdasarkan Strata di Wilayah Jabodetabekten ( Direktorat Kredit dan UMKM (DKBU) ) Tahun
CR4 Strata 1
CR4 Strata 2
CR4 Strata 3
HHI Strata 1
HHI Strata 2
HHI Strata 3
2006
12,70
12,71
-
147,72
141,57
-
2007
3,13
13,46
-
6,94
137,79
-
Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah).
94
Lampiran 19. Persentase CR4 dan HHI Tahun 2006 dan Tahun 2007 Berdasarkan Strata di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Tahun
CR4 Strata 1
CR4 Strata 2
CR4 Strata 3
HHI Strata 1
HHI Strata 2
HHI Strata 3
2006
57,43
54,44
-
985,52
1026,24
-
2007
35,83
41,11
-
669,01
635,48
-
Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah).
Lampiran 20. Persentase CR4 dan HHI Tahun 2006 dan Tahun 2007 Berdasarkan Strata di Propinsi Jawa Barat Tahun
CR4 Strata 1
CR4 Strata 2
CR4 Strata 3
HHI Strata 1
HHI Strata 2
HHI Strata 3
2006
6,88
23,54
88,84
88,93
251,80
3821,54
2007
14,70
20,40
80,12
135,10
213,06
4473,85
Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah).
Lampiran 21. Persentase CR4 dan HHI Tahun 2006 dan Tahun 2007 Berdasarkan Strata di Propinsi Jawa Tengah Tahun
CR4 Strata 1
CR4 Strata 2
CR4 Strata 3
HHI Strata 1
HHI Strata 2
HHI Strata 3
2006
22,74
13,57
52,60
239,40
144,91
1094,13
2007
8,57
11,81
36,05
107,52
115,36
633,72
Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah).
95
Lampiran 22. Persentase CR4 dan HHI Tahun 2006 dan Tahun 2007 Berdasarkan Strata di Propinsi Jawa Timur Tahun
CR4 Strata 1
CR4 Strata 2
CR4 Strata 3
HHI Strata 1
HHI Strata 2
HHI Strata 3
2006
11,32
13,62
-
116,29
107,58
-
2007
10,74
8,56
93.32
121,72
78,28
3058.75
Sumber : Bank Indonesia, 2007 (data diolah).