PENGELOLAAN KREDIT PADA BANK PERKREDITAN RAKYAT DI KOTA BANDARLAMPUNG Mahrinasari MS Fakultas Ekonomi, Universitas Lampung
ABSTRACT Managing credit is a hard task in banking because of affecting the liquidity and rentability/profitability performance. If liquidity of bank is in the best performance, credit volume allocation will be low. However, If rentability of bank is in the best performance, credit allocation will increase. Therefore, the research problem is how management bank in Bank Perkreditan Rakyat Kota Bandarlampung manages its credit volume, and how the allocation of credit affects the liquidity and rentability of bank, or otherwise. The research design applied is exploratory and causal design, and using a regression analysis and interpreting the liquidity and rentability data ratio compared to Bank Indonesia as a bank-performance standard. The results show that managing credit in BPR Kota Bandarlampung measured by NPL performs in healthy condition because management bank applies prudent banking policy in allocating credit volume to his customers, and the allocation of credit volume is determined by the liquidity and rentability ratio for achieving the best performance of bank. Another important finding of this study is that the allocation of credit volume is affected by negative cash ratio and positive RPS as the liquidity ratio, and also positive PA as the rentability ratio. Key words: Credit, Liquidity, and Rentability
PENDAHULUAN Krisis ekonomi terjadi salah satunya akibat dari rendahnya kegiatan investasi usaha. Kegiatan investasi usaha dapat berkembang tergantung dukungan dari lembaga keuangan Bank, yang salah satu fungsinya menumbuhkembangkan pergerakan investasi usaha dengan bentuk penyaluran kredit yang terbesar dan atau bentuk lainnya kepada pihak pengusaha yang berkepentingan. Salah satu jenis Perbankan yang memainkan peranannya dalam kegiatan investasi usaha di kota Bandarlampung adalah Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Jumlah usaha BPR sejak Paket Oktober 1998 menunjukkan jumlah yang meningkat. Data menunjukkan bahwa
jumlah BPR pada tahun 1990 sebanyak 2 BPR menjadi 27 BPR pada tahun 1999. Sedangkan jumlah kantor BPR sebanyak 2 menjadi 29 BPR. Jumlah BPR yang beroperasi tersebut berada dalam kategori Bank Umum. Kemudian pada tahun 2000 jumlah BPR dalam kategori Bank Umum menurun sebanyak 25 BPR, dan dalam kategori Bank Syariah sebanyak 2 BPR, dengan jumlah kantor BPR pada kategori Bank Umum sebanyak 27 BPR dan pada kategori Bank Syariah sebanyak 2 BPR (Statistik Ekonomi Keuangan Daerah, Bank Indonesia Lampung, 2001). Posisi nilai kredit yang disalurkan oleh BPR meningkat dari tahun 1990 sebesar 15.796 juta rupiah menjadi 256.548 juta rupiah pada tahun 2000
MAHRINASARI, PENGELOLAAN KREDIT…………
111
dengan jenis penggunaan: Kredit modal kerja pada tahun 1990 sebesar 15.351 juta rupiah dan Konsumsi sebesar 445 juta rupiah tampa adanya kredit Investasi, dan pada tahun 2000 sebesar 135.545 juta rupiah untuk kredit modal kerja, dan sebesar 2.042 juta rupiah untuk kredit investasi, serta sebesar 118.861 untuk kredit konsumsi. Posisi kredit pada BPR di wilayah kerja kota Bandarlampung menunjukkan peningkatan dari tahun 2000 hingga 2001, sebesar 102,54%, dengan rerata peningkatan per bulan sebesar 105,45% (sumber Bank Indonesia, September 2002). Pengelolaan kredit menjadi suatu persoalan pelik bagi manajemen bank. Jika manajemen bank ingin memperbesar likuiditas berarti kredit yang dapat diberikan harus diperkecil untuk memperbesar cadangan kas, yang berarti dana yang dapat menghasilkan untuk pencapaian rentabilitas berkurang. Sebaliknya, Rentabilitas dapat meningkat jika pemberian kredit dapat diperbesar, yang berarti posisi likuiditas mengecil karena sebagian besar dana diperuntukkan pada dana produktif. Kondisi likuiditas BPR di Kota Bandarlampung menunjukkan penurunan jika dilihat dari nilai cash ratio dari tahun 2000 hingga tahun 2001, dengan rerata posisi laporan per bulan pada tahun 2000 dan 2001 di bawah 2,55 yaitu dalam kategori tidak sehat menurut ketentuan Bank Indonesia. Jika dilihat dari rasio pinjaman terhadap Simpanan (RPS) BPR di kota Bandarlampung menunjukkan peningkatan sebesar 11,8% dari tahun 2000 hingga tahun 2001, dengan rerata per bulan di bawah 90% dalam kategori sehat menurut ketentuan Bank Indonesia. Di lain pihak, kondisi rentabilitas dilihat dari nilai Pengembalian Aset (PA) BPR menunjukkan penurunan sebesar 39,9%, dengan akumulasi keuntungan dalam 12 bulan pada tahun 2000 dan 2001 di atas 1,21 % dalam kategori sehat menurut
112
ketentuan Bank Indonesia. Oleh karena itu, penulis mencoba merumuskan masalah: 4. Bagaimana pengelolaan kredit pada Bank BPR di Kota Bandarlampung? 5. Bagaimana perkembangan likuiditas dan rentabilitas bank BPR di Kota Bandarlampung dalam mempenga-ruhi perkembangan jumlah kredit yang disalurkan? Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi pengelolaan kredit oleh BPR di Kota Bandarlampung, untuk mengetahui apakah kredit sebagai variabel terikat, yang artinya dipengaruhi oleh likuiditas dan rentabilitas, atau sebaliknya pada BPR di Kota Bandarlampung, dan sebagai bahan informasi yang dapat digunakan dalam proses pengambilan keputusan bagi BPR di Kota Bandarlampung.
KERANGKA TEORI Tugas pokok suatu bank dapat diartikan sebagai kegiatan penghimpunan dan penyaluran dana. Penghimpunan dana oleh bank dapat berbentuk simpanan pihak ketiga seperti giro, tabungan, dan deposito, atau simpanan jenis lainnya, sedangkan kegiatan penyaluran dana dapat berbentuk penyertaan, penanaman sementara pada pihak lain, investasi pada aktiva tetap maupun dalam bentuk kredit. Tugas ini lebih banyak dilakukan oleh Bank Umum jika dibandingkan dengan Bank Perkereditan Rakyat. Sesuai dengan definisinya bahwa Bank Perkreditan Rakyat. menurut UU No. 10/1998, adalah bank dalam melaksanakan kegiatan usahanya secara konvensional dan atau menggunakan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Kegiatan BPR hanya menghimpun dana dalam bentuk tabungan dan deposito, dilarang menerima simpanan giro. BPR beroperasi hanya dibatasi da-
JURNAL EKONOMI & BISNIS NO. 3, Jilid 8, Tahun 2003
lam wilayah tertentu saja. Kemudian BPR berdiri dengan modal awal relatif lebih kecil dibandingkan dengan Bank Umum. BPR juga dilarang untuk mengikuti kliring dan transaksi valuta asing. Sumber dana masyarakat dari tabungan dan deposito selain sumber dana internal BPR cenderung akan lebih banyak dialokasikan kepada kegiatan kredit, karena kegiatan kredit bersifat produktif yang juga dikenal dengan istilah aktiva produktif. Kredit bersifat produktif berarti menghasilkan berupa pendapatan bunga atas kredit yang sekaligus merupakan pendapatan terbesar bagi bank, yang akhirnya berpengaruh terhadap kinerja rentabilitas bank. Pengertian kredit menurut Sinungan, Muchdarsyah, (1993, hal. 120) adalah: “Kredit adalah pemberian prestasi oleh suatu pihak kepada pihak lain dan prestasi itu akan dikembalikan lagi pada suatu masa tertentu yang akan datang disertai kontra prestasi berupa pendapatan bunga.” Definisi di atas mencerminkan bahwa bank memperoleh pendapatan terbesar melalui sumber bunga kredit. Sehingga secara umum dapat digambarkan bahwa komposisi aset suatu bank hampir 80% digunakan dalam bentuk kredit. BPR dalam memberikan jumlah penyaluran dana kredit yang begitu besar bahkan melebih 80% dari total asset yang dimiliki akan berakibat terganggunya likuiditas bank, karena sumberdana simpanan
masyarakat tersedot dengan jumlah pemakaian kredit. Jumlah dana kredit yang disalurkan berasal dari simpanan masyarakat dianggap sehat menurut Bank Indonesia adalah antara 85% - 110%. Dengan demikian, pemberian kredit yang berlebihan mengandung suatu resiko bagi pihak manjemen. Kemungkinan resiko yang timbul dalam penyaluran kredit adalah terjadi transaksi pembayaran kembali atas kredit dalam kondisi tidak terbayar atau pembayaran kembali dari debitur tersendat (dengan kata lain pinjaman bermasalah membesar yang berarti ada suatu indikasi terjadi kredit macet). Kondisi ini akan menimbulkan kinerja likuiditas BPR terganggu dan berakibat buruk sehingga akan menjadikan BPR tersebut beku operasi. Dengan demikian rasio likuiditas diperbesar akan berbanding terbalik dengan alokasi volume kredit, dan rasio rentabilitas diperbesar berarti memperbesar alokasi volume kredit. Kinerja likuiditas diukur dengan rasio likuiditas, sedangkan kinerja rentabilitas diukur dengan rasio rentabilitas, yang diukur dengan membandingkan data historis dari laporan keuangan BPR yang ada dan atau menggunakan kriteria dari Bank Indonesia, yang dikukuhkan dalam Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia No. 30/12/Kep/Dir, Surat Edaran Bank Indonesia No.30/3/UPPB tanggal 30 April 1997, terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Bobot dan kriteria Penilaian Bank Perkreditan Rakyat, 2002 No 1
2
Faktor- Faktor Rentabilitas: • ROA • BOPO Likuiditas: • Alat Likuid /Hut. Lancar (Cash Ratio) • LDR (Loan To Deposit Ratio)
Bobot (%)
Sehat
10 5 5
>=1,21 93,52-92
Tingkat Kesehatan (%) Cukup Sehat Kurang Sehat
Tidak Sehat
0,99-1,21 94,72-<93,52
<0,76 100-<95,92
0,76-0,99 95,92-<94,72
4,05-5,00
3,30-,4,05
2,55-<3,30
2,55-<3,30
0-<2,55
94,7590,00
98,50-<94,75
102,25-<98,50
102,25-<98,50
115-<102,25
Sumber: Bank Indonesia, September 2002
MAHRINASARI, PENGELOLAAN KREDIT…………
113
Pengelolaan likuiditas bank diartikan sebagai suatu proses pengendalian dari alat likuid yang mudah ditunaikan guna memenuhi semua kewajiban bank yang harus dibayar. Pengelolaan likuiditas berkaitan erat dengan kepercayaan masyarakat, nasabah, dan pemerintah. Beberapa alat yang digunakan dalam mengukur likuiditas bank BPR menurut ketentuan Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia no 30/12/KEP/DIR dan Surat Edaran BI No. 30/3/UPPB adalah rasio kas, dan rasio pinjaman/simpanan. Lebih lanjut, menurut Mulyono (1999, hal. 93) bahwa teknik analisa likuiditas lainnya dapat menggunakan rasio pinjaman/simpanan, dan resiko kredit yang berkaitan langsung dengan aktivitas kredit. Rasio kas merupakan rasio yang menunjukkan kemampuan bank untuk melunasi kewajiban yang segera harus dibayar dengan alat likuid yang dipunyai seperti kas dan giro pada Bank Indonesia. rasio pinjaman/simpanan merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur likuiditas bank lebih mendekati sifat dari kegiatan bank murni. Semakin tinggi tingkat rasio ini maka likuiditas bank semakin kecil, karena biaya yang diperlukan untuk membiayai kredit semakin besar. Kas + Giro BI Rasio Kas = Simpanan Pihak Ketiga
rasio pinjaman/simpanan adalah rasio untuk mengukur likuiditas bank, semakin tinggi nilai rasio yang diperoleh menunjukkan semakin rendahnya likuiditas bank yang bersangkutan. Kredit Rasio Pinjaman/Simpanan = Simpanan Pihak III
Resiko kredit dikenal juga dengan pinjaman bermasalah merupakan rasio
114
untuk mengukur resiko bank atas kredit yang tidak dapat dibayar kembali oleh debiturnya, baik pokok dan bunga kredit. Selain itu, rasio ini menunjukkan kemampuan bank dalam memenuhi likuiditas dengan mengadakan pergeseran atau penarikan kreditnya yang outstanding untuk memenuhi permintaan kredit lainnya. Aturan Bank Indonesia atas rasio ini adalah tidak melebihi 5%. Pinjaman bermasalah Resiko kredit = Total Pinjaman
Rentabilitas bermanfaat untuk mengukur kinerja BPR terhadap kemampuan memperoleh keuntungan untuk keberlangsungan usaha bank tersebut. 2 rasio rentabilitas menurut ketentuan BI yaitu: rasio Return on Asset, rasio efisiensi operasional bank (Beban Operasional terhadap pendapatan operasional). Kemudian, Pujo Mulyono, Teguh (1999, hal. 141) mengungkapkan bahwa analisa rasio rentabilitas lainnya yang berkaitan dengan pendapatan bank atas pemberian kredit adalah Rate of Return on Loan, Marjin bunga pinjaman. Rasio Re turnonAsset =
LabaSetelahPajak TotalHarta
Return on Assets merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh profitabilitas dan mengelola tingkat efisiensi usaha bank secara keseluruhan. Semakin besar nilai rasio ini menunjukkan tingkat rentabilitas usaha bank semakin baik atau sehat.
RasioPinjaman / Simpanan =
TotalPinjaman TotalAsset
Rasio efisiensi operasional bank diukur dengan melihat perbandingan antara beban operasional dan pendapatan
JURNAL EKONOMI & BISNIS NO. 3, Jilid 8, Tahun 2003
operasional bank. Semakin kecil nilai rasio yang diperoleh berarti manajemen bank menjalankan usahanya semakin baik atau sehat. Beban Operasional Rasio Efisiensi Operasional Bank= Pendptn Operasional
Rate of Return on Loan (ROL) merupakan rasio untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam mengelola kegiatan perkreditannya. Laju pengembalian pinjaman = Biaya & Bunga Pinjaman Total Pinjaman
Margin Bunga Pinjaman (MBP) yaitu suatu rasio untuk mengukur kemampuan manajemen bank dalam memperoleh pendapatan bunga atas pemberian kredit yang dilakukan. Semakin tinggi nilai rasio ini menunjukkan semakin besar tingkat pendapatan bunga atas kredit yang diperoleh. Marjin bunga pinjaman= Pendapatan Bunga – Biaya Bunga Total Pinjaman
METODE PENELITIAN Rancangan penelitian yang telah dilakukan adalah gabungan antara rancangan penelitian ekplaratory, dan kausal. Desain ekplaratori sebagai penelitian penjajakan awal dilakukan untuk mengetahui pertentantangan pemikiran dari tujuan penelitian ke 2 yaitu apakah pemberian kredit yang mempengaruhi masing –masing rentabilitas dan likuiditas atau justru kondisi pengelolaan likuiditas dan rentabilitas yang mempengaruhi penentuan jumlah pemberian kredit. Oleh karena itu, untuk mengetahui kondisi ini peneliti mencoba menanyakan kepada 3 responden dari 3 wakil BPR terbesar dan
cukup lama berdiri yaitu BPR EKA, BPR Tripanca, dan BPR Bank Pasar Kota Bandarlampung, dan langsung sebagai respondennya adalah Direktur Utama dari 3 BPR tersebut, Penelitian kausal menurut Malholtra, 1993:102 cocok dilakukan bertujuan untuk mengetahui variabel mana sebagai variabel bebas dan variabel lainya sebagai variabel terikat dari suatu gejala masalah atau masalah, dan untuk menentukan hubungan antara variabel penyebab (bebas) dan variabel akibat (terikat) yang keduanya dapat diprediksi. Penelitian kausal pada penelitian ini lebih ditujukan pada perolehan informasi sekunder atas variabel bebas atau terikat dari suatu masalah mengenai pengaruh pengelolaan kredit, likuiditas dan rentabilitas. Penelusuran kedua variabel untuk menentukan variabel terikat dan bebas dengan mencoba menelusuri studi pustaka dan menelusuri pendapat manajemen bank pada 3 sampel BPR dengan metode ekperimen (uji coba diantara variabel tersebut) akan diterapkan untuk melihat faktor pengaruh yang mana yang dominan. Alat analisis Regresi Linier – aplikasi Komputer Software SPSS digunakan untuk mengetahui faktor pengaruh antara variabel bebas dan terikat, dan untuk menguji hipotesis menerapkan Uji F, dengan Kriteria: Ho : X1 = X2 = X3 = X4 = 0 Tidak ada pengaruh, jika Fhitung > Ftabel, Ho ditolak. Ha : X1 = X2 = X3 = X4 ≠ 0 Berpengaruh Postif, jika Fhitung ≤ Ftabel, Ha ditolak. Populasi target penelitian yaitu: BPR yang wilayah operasionalnya di kota Bandarlampung, dengan memilih 3 BPR sampel. Hal ini dilakukan untuk menjawab permasalah dan tujuan penelitian no. 2. Penentuan unit sampel (responden) didasarkan atas unsur kesengajaan dengan tujuan bahwa unit sampel
MAHRINASARI, PENGELOLAAN KREDIT…………
115
mewakili gambaran populasinya, yang dikenal dengan teknik purposive random sampling. Jumlah unit sampel BPR terpilih 3 BPR dengan pertimbangan BPR memiliki jumlah aset relatif besar dan telah berdiri cukup lama di atas 5 tahun, dengan menggunakan daftar pertanyaan. Penelitian dilaksanakan pada Bank Indonesia Bandarlampung untuk mendapatkan data sekunder tentang Volume Kredit, NPL, Likuiditas, PA, BOPO, serta pada PT BPR Tripanca Setiadana cabang Bandarlampung yang berlokasi di Teluk Betung, PT BPR Eka Bumi Artha cabang Bandarlampung berlokasi di jalan Kartini Tanjungkarang, dan PD BPR Bank Pasar kota Bandarlampung berlokasi di jalan Raden Intan, Tanjungkarang untuk mendapatkan data sekunder laporan keuangan neraca dan rugi/laba per akhir periode pembukuan serta memperoleh data primer tentang pengelolaan kredit pada BPR.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Namun, secara prakmatis dan konsep teori lainnya jelas menunjukkan bahwa jika kredit dialokasikan besar maka tingkat likuiditas akan berkorelasi atau berpengaruh secara negatif, sedangkan sebaliknya besarnya kredit justru memperbesar tingkat rentabilitas (Teguh Pudjo Muljono, 1996, hal. 179). Penelitian selanjutnya melakukan eksperimen terhadap ketiga variabel tersebut dengan menggunakan alat uji Regresi Linier. Alat uji Regresi Linier dilakukan 3 tahap, yaitu tahap pertama mengujicobakan pengaruh Likuiditas yang diukur dengan Cash Ratio (CR), dan RPS dan rentabilitas diukur dengan PA BPR terhadap alokasi volume kredit di wilayah kerja Bandarlampung, tahap kedua menguji pengaruh likuiditas diukur dengan CR BPR dan PA terhadap alokasi volume kredit, dan tahap ketiga menguji pengaruh likuiditas diukur dengan RPS dan rentabilitas yang diukur dengan PA terhadap alokasi kredit BPR di wilayah kerja Bandarlampung.
Analisis Variabel Tiga responden terpilih menyatakan bahwa besar kecilnya jumlah volume kredit yang dialokasikan tergantung kondisi likuiditas dan rentabilitas usaha BPR di wailayah kerja Bandarlampung. Dengan demikian, Jumlah volume kredit sebagai variabel terikat dan likuiditas dan rentabilitas sebagai variabel bebas. Kondisi ini sesuai dengan teori penganggaran volume kredit, yang menyatakan volume kredit akan dapat diperbesar tergantung besarnya posisi keuangan yang dimiliki seperti RPS, position, PA sebagai ukuran perolehan tingkat keuntungan yang memadai, dan CAR, serta lainnya sebagai faktor internal bank (Teguh Pudjo Muljono, 1996, hal. 210).
Pengelolaan Kredit BPR di Wila-yah Kerja Bandarlampung Volume kredit yang diberikan oleh 9 BPR di wilayah kerja Bandarlampung menunjukkan fluktuasi dari bulan Pebruari sampai Juli 2002, namun cenderung menunjukkan peningkatan. Kondisi ini mempengaruhi kinerja pengembalian nilai kredit yang dikategorikan dalam kategori kurang lancar, diragukan, dan macet yang juga dikenal dengan kondisi Pinjaman Bermasalah (PB). PB pada 9 BPR di wilayah kerja Bandarlampung menunjukkan kecenderungan menurun, sehingga rasio NPL dari 9 BPR juga menunjukkan penurunan, yang dapat dilihat pada tabel 4 berikut.
116
JURNAL EKONOMI & BISNIS NO. 3, Jilid 8, Tahun 2003
Tabel 2. Volume Kredit, NPL dan Rasio NPL pada 9 BPR di Wilayah Kerja Bandarlampung Periode Pebruari - Juli 2002 Bulan Volume Kredit NPL (Rp.000) Rasio NPL (Rp.000) (%) Pebruari 2002 242.884.080 10.255.911 4,22 Maret 2002 253.464.470 10.233.143 4,04 April 2002 262.197.175 9.915.520 3,78 Mei 2002 273.745.827 10.114.650 3,69 Juni 2002 270.475.551 9.670.740 3,58 Juli 2002 313.239.683 9.954.827 3,18 Sumber: Bank Indonesia Bandarlampung, September 2002.
Rasio NPL di atas menunjukkan bahwa kinerja pengelolaan kredit BPR berada di wilayah kerja Bandarlampung dalam kategori cukup sehat karena masih di bawah batas toleransi atau standar yang ditentukan Bank Indonesia yaitu maksimum 5%. Nilai di atas diharapkan cenderung menurun hingga mencapai titik 0 yang berarti tidak ada kredit kurang lancar, tidak lancar diragukan atau bahkan macet.
a.
Kondisi Non Performing Loan (NPL) pada 3 BPR Responden Rasio NPL pada PT BPR Eka Bumi Artha hampir mencapai nilai 0% per juni 2002 (Sumber: Hasil Angket September 2002 yang ditujukan dan dijawab oleh kepala cabang PT BPR Eka Bumi Artha cabang Bandarlampung). Hal ini dapat terjadi dilihat dari prosedur pemberian kredit lebih ketat dan jaminan kreditnya langsung dipotong dari penghasilan gaji pegawai. Pengetatan pemberian kredit dapat dilihat dari adanya usulan pinjaman atau kredit ditolak dengan beberapa alasan yaitu persyaratan tidak lengkap dan anggunan yang diajukan atas dasar jumlah gaji/penghasilan tidak memadai. Rasio NPL pada BPR Tripanca Setiadana cabang Bandarlampung menunjukkan penurunan dan nilai rasio NPLnya rerata mencapai 1%, yaitu per Desember 1999 sebesar 1,32%, per Desember 2000 sebesar 1,24%, dan per Desember 2001 sebesar 1,03%. Nilai rasio ini sangat kecil karena adanya prosedur pemberian kredit
yang ketat dan ini terbukti dilihat dari ada jumlah usulan kredit yang ditolak karena beberapa alasan yaitu usaha tidak layak, dan jaminan tidak dapat menutupi nilai pinjaman/kredit. Nilai rasio NPL ini juga terjadi sebagai akibat terjadinya pengembalian kredit kurang lancar yang disebabkan oleh adanya kondisi krisis moneter yang berdampak terhadap daya beli masyarakat pada kegiatan usaha nasabah yang mendapat fasilitas kredit dari PT BPR Tripanca Setiadana sedikit kurang lancar (hasil angket yang dijawab oleh direktur BPR Tripanca Setiadana, September 2002). Rasio NPL pada BPR Bank Pasar Kota Bandarlampung menunjukkan penurunan, dengan nilai rasio NPL sebesar 8,2% per Desember 1999, 3,2% per Desember 2000, 1,6% per Desember 2001, dan 1,4% per Juni 2002. Nilai ini diperoleh dari kredit kurang lancar, diragukan, dan macet. Kondisi nilai rasio NPL ini relatif besar dibandingkan dengan kedua BPR sebelumnya, namun nilai ini masih cukup baik di bawah batas toleransi yang ditentukan oleh Bank Indonesia 5%. Khusus, nilai NPL 8,2% berada di atas standar Bank Indonesia terjadi karena adanya krisis moneter yang sangat besar pengaruhnya terhadap daya beli masyarakat yang menurun. Saat itu tahun 1999 terjadi perubahan tingkat suku bunga kredit yang cepat atas pinjaman untuk usaha kecil, kemudian pengembalian kredit dari usaha kecil yang memperoleh fasilitas kredit terjadi
MAHRINASARI, PENGELOLAAN KREDIT…………
117
banyak kurang lancar dan diragukan sebagai akibat antara lain yaitu, rendahnya daya beli masyarakat terhadap usaha nasabah yang mendapatkan kredit, usaha nasabah bankrut, dan pemilik meninggal dunia. Namun demikian, pengembalian kredit tidak ada dalam kategori kredit macet, karena sejak dini dalam prosedur pemberian kredit, khususnya dapat terlihat dari adanya jumlah usulan kredit yang ditolak karena
alasan adanya usaha yang tidak layak, jaminan tidak mencukupi, dan usaha milik orang lain (hasil angket kepada BPR, September 2002). b.
Pengaruh Likuiditas dan Rentabilitas terhadap Kredit Hasil regresi linier berganda dengan menggunakan program aplikasi SPSS (Statistical Product and Service Solution) menunjukkan nilai sebagai berikut.
Y = 54233470 + 0,484 RPS - 0,184 CR + 0,122PA (1,384) (2,468) (-0,898) (0,589) ( ) R2 DW F
= = = =
nilai t hitung 0,249 0,559 2,214
Hasil Perhitungan berindikasi bahwa Uji F tidak menunjukkan variabel bebas bersama-sama tidak mempengaruhi variabel terikat, karena Fhitung lebih kecil = 2,214 dibandingkan dengan Ftabel (24, 4) = 2,78. Sehingga model ini harus Model 1: Y ( ) R2 DW F hitung Model 2: Y ( ) R2 DW F hitung
118
dipisahkan dengan menghilangkan salah satu variabel bebas dari variabel likuiditas yang saling berkorelasi mendekati angka 50% (korelasi signifikansi 1-tailed). Model regresi linier berikut didapatkan dengan model terbaik (lihat lampiran).
= 0,0000195 + -0,515 CR + 0,113 PA (5,990) (-2,655) (0,58) = = = =
nilai t hitung 0,501 0,473, dL tabel (K=2, n = 24 ) = 1,19 3.526, dan F tabel (20,4) (95%) = 2,87
= 43955311 + 0,473 RPS + 0,062 PA (1,178) (2,427) (0,318) = = = =
nilai t hitung 0,468 0,479, dL tabel (K=2, n = 24 ) = 1,19 2,945, dan F tabel (20,4) (95%) = 2,87
JURNAL EKONOMI & BISNIS NO. 3, Jilid 8, Tahun 2003
Nilai R di atas menunjukkan hubungan cukup erat diantara variabel bebas dengan variabel terikat untuk kedua model. Model 1 menunjukkan F hitung lebih besar dari F tabel, demikian juga pada model 2, yang berarti bahwa variabel bebas rasio kas dan PA bersama-sama mempengaruhi variabel terikat kredit dan variabel bebas RPS dan PA bersamasama mempengaruhi variabel terikat kredit. Uji DW digunakan untuk mengetahui apakah terjadi autokorelasi pada model tersebut (G.S. Maddala, 1988, hal. 186), dengan kriteria: Jika dw < dL, Tolak Ho, berarti tidak ada autokorelasi Jika dw > dU, Terima Ho, berarti ada autokorelasi Jika dL < dw < dU, Uji tidak dapat disimpulkan Hasil DW untuk kedua model tersebut berada di bawah dL tabel, yang berarti tidak ada autokorelasi. Kedua model tersebut juga ternyata tidak melanggar asumsi regresi , yaitu tidak terjadi multikolinieritas karena berdasarkan matrik korelasi tidak terdapat matrik korelasi yang berarti antara variabel bebas di bawah 50%, dan tidak terjadi heteroskedastisitas karena berdasarkan scatter plot diagram normal regresi tidak terbentuk pola tertentu, serta menyebar berada di bawah dan di atas angka 0 pada sumbu Y. Pengujian model di atas menunjukkan bahwa volume kredit yang diberikan kepada nasabah usaha kecil dipengaruhi oleh rasio kas, rasio likuiditas dan PA. Jika rasio kas terjadi kenaikan sebesar satu satuan akan menyebabkan penurunan alokasi volume kredit sebesar 0,515 satu satuan. Hal ini dapat terjadi karena manajemen bank menggunakan sumber dana yang ada untuk lebih banyak dialokasikan untuk dana kredit yang dapat
menghasilkan keuntungan lebih. Sehingga, model juga menunjukkan adanya pengaruh positif dari RPS dan PA terhadap volume kredit. Jika RPS meningkat satu satuan pada model 2 , maka volume kredit yang dialokasikan juga meningkat sebesar 0,473. Baik Berdasarkan model 1 maupun model 2, PA berpengaruh positif terhadap perkembangan volume kredit. Jika PA meningkat sebesar satu satuan maka volume kreedit akan meningkat sebesar 0,113 pada model 1, dan sebesar 0,062 pada model 2. Hal ini dapat saja terjadi, jika manajemen menginginkan dananya menjadi lebih produktif sehingga dapat menghasilkan keuntungan usaha bank lebih banyak. Dengan demikian, konsep teori yang menyatakan bahwa jika manajemen bank menginginkan keuntungan lebih maka sumber dana yang ada lebih banyak dialokasikan kepada kegiatan aktiva produktif seperti volume kredit. Namun, kondisi likuiditas yang diukur dengan rasio kas sebagai pengukuran kemampuan dalam menyiapkan kewajiban dananya kepada nasabah penyimpan dana akan menurun jika volume kredit dialokasikan lebih besar, yang berarti berpengaruh dan atau berkorelasi negatif. c.
Kondisi Volume Kredit, Likui-ditas dan Rentabilitas Volume kredit pada BPR di wilayah kerja kota Bandarlampung menunjukkan fluktuasi, dengan rerata per bulan pada tahun 2000 sebesar Rp 80.807.638,83 (000), dan tahun 2001 sebesar Rp 163.665.098,67 (000). Posisi likuiditas pada BPR di wilayah kerja Bandarlampung yang diukur dengan cash rasio jika dilihat dari data bulanan termasuk dalam kategori tidak sehat dengan rerata per bulan pada tahun 2000 sebesar 1,525%, dan tahun 2001 sebesar 1,186%. Namun jika diukur dengan RPS data bulanan menunjukkan posisi sehat
MAHRINASARI, PENGELOLAAN KREDIT…………
119
dengan rerata bulanan pada tahun 2000 sebesar 68,535%, dan pada tahun 2001 sebesar 76,627% . Posisi rentabilitas pada BPR wialyah kerja Bandarlampung yang diukur dengan PA menunjukkan kondisi tidak sehat jika dilihat dari data bulanan, dengan rerata per bulan sebesar 0,747% pada tahun 2000 dan 0,449% pada tahun 2001. Sebaliknya jika dilihat dari rasio efisiensi usaha dengan ukuran BOPO menunjukkan posisi sehat dengan rerata per bulan pada tahun 2002 selama bulan Februari hingga Juli 2002 sebesar 89,284%. Posisi volume kredit pada BPR Tripanca Setiadana relatif lebih besar dibandingkan dua BPR lainnya, BPR Eka Bumi Artha dan Bank Pasar kota Bandarlampung . Posisi likuiditas BPR Tripanca dan BPR Bank Pasar diukur dari Rasio Kas menunjukkan kategori kurang sehat untuk kurun waktu 2 tahun terakhir tahun 2000 dan 2001. Namun, pada tahun 1999 posisi rasio kas BPR Bank Pasar menunjukkan kondisi sehat, rasio kas BPR Tripanca cukup sehat. Nilai rasio kas menurun disebabkan oleh meningkatnya alokasi volume kredit pada tahun 2000 dan 2001, yang berimbas kepada peningkatan rasio pinjaman terhadap aset. Posisi RPS (Loan to Deposit Ratio) pada tahun 2000 dan 2001 menunjukkan kinerja sehat pada BPR Tripanca dan Bank Pasar. Namun pada tahun 1999 menunjukkan posisi kinerja RPS yang tidak sehat khususnya bagi BPR Bank Pasar mencapai 120% melebihi standar Bank Indonesia di atas 115% (kategori tidak sehat), dan bagi BPR Tripanca menunjukkan nilai yang tidak normal, juga dapat dikatakan tidak sehat sebesar 50,58%. Hal ini berarti adanya pengetatan alokasi volume kredit kepada masyarakat yang diakibatkan oleh dampak krisis moneter, yang juga berarti
120
BPR bersangkutan menerapkan prinsip kehati-hatian sangat baik. PT BPR Bank Pasar memiliki kinerja PA (tingkat pengembalian keuntungan atas alokasi aktiva yang digunakan) dalam kategori sehat, sebaliknya PT BPR Tripanca dan Eka Bumi Artha masingmasing dalam kategori kurang sehat dan tidak sehat pada tahun 2000 dan 2001. Nilai PA pada PT BPR Eka pada tahun 2000 sebesar 0,80 dan tahun 2001 sebesar 0,83, dan bagi PT BPR Tripanca memiliki nilai pada tahun 2000 sebesar 0,65 dan tahun 2001 sebesar 0,45 menurun. Hal ini menunjukkan juga terhadap pengelolaan usaha PT BPR Tripanca yang kurang efisien dan bahkan tidak efisien, terbukti dapat dilihat dari nilai BOPO BPR Tripanca pada tahun 2000 sebesar 94,47 dalam kategori kurang sehat dan tahun 2001 sebesar 96,79 dalam kategori tidak sehat. Namun, pada BPR Bank Pasar berdampak pada BOPO dalam kategori sehat atau efisien dengan nilai BOPO pada tahun 2000 sebesar 75,47 dan tahun 2001 sebesar 83,13. Nilai BOPO BPR Bank Pasar juga berdampak terhadap besarnya perolehan Pengembalian pinjaman dan marjin bunga pinjaman. Bunga pendapatan dan biaya atas alokasi kredit ROL (Return on Loan) pada BPR Tripanca dan Bank Pasar keduanya menunjukkan penurunan, yang berarti perolehan pendapatan dari bunga dan biaya atas kredit mengecil, sehingga berdampak juga terhadap nilai Margin Bunga Pinjaman (MBP) (tingkat perolehan pendapatan bunga setelah dikurangi biaya bunga atas kredit) berkurang. Nilai ROL pada PT BPR Tripanca tahun 2000 sebesar 18,29 dan tahun 2001 sebesar 19,11, pada PT BPR Bank Pasar tahun 2000 sebesar 24,78 dan tahun 2001 sebesar 23,41. Nilai IMOL pada PT BPR Tripanca tahun 2000 sebesar 5,87 dan tahun 2001 sebesar
JURNAL EKONOMI & BISNIS NO. 3, Jilid 8, Tahun 2003
2,69, pada BPR Bank Pasar tahun 2000 sebesar 9,02 tahun 2001 sebesar 5,39. Dengan demikian, Nilai ROL dan IMOL pada PT BPR Bank Pasar menunjukkan nilai yang lebih besar dibandingkan PT BPR Tripanca.
PENUTUP Kesimpulan Beberapa kesimpulan atas dasar hasil dan pembahasan adalah sebagai berikut: Pengelolaan kredit BPR di wilayah kerja kota Bandarlampung dilihat dari NPL dalam kategori sehat di bawah 5% standar Bank Indonesia, terjadi karena manajemen bank menerapkan prinsip kehati-hatian yang tetap menjadi pegangan dalam mengalokasikan volume kredit kepada nasabah. Pengalokasian volume kredit BPR ditentukan oleh kinerja likuiditas dan rentabilitas usaha, dalam rangka menjaga kinerja bank dalam kondisi sehat. Pengalokasian volume kredit dipengaruhi negatif oleh rasio kas, dan positif oleh RPS dan PA yang ditunjuk oleh koefisien regresi masing-masing variabel. Volume kredit dipengaruhi negatif oleh rasio kas terjadi karena sumber dana bank yang ada lebih besar dialokasikan kepada kegiatan aktiva produktif yang lebih dapat menciptakan keuntungan usaha bank. Hal ini berimbas kepada semakin besarnya RPS, PA, dan BOPO yang diperoleh. Pengujian melalui uji F- dari kedua model yang ada dilakukan menghasilkan Nilai F –hitung lebih besar dari F-tabel dengan kepercayaan 95% yaitu 3,526 dan 2,945 lebih dari 2,87, yang berarti variabel bebas CR, RPS, dan PA, bersama-sama mempengaruhi variabel terikat volume kredit. Dengan demikian, jika RPS dan PA diperbesar berarti alokasi volume kredit meningkat. Sebaliknya, jika rasio kas sebagai alat ukur kinerja BPR sangat likuid ditingkatkan berarti alokasi volume kredit menurun.
Saran Penulis menyarankan beberapa hal berkaitan dengan beberapa kelemahan dari hasil perhitungan dan pembahasan, yaitu: Manajemen BPR diharapkan tetap mempertahankan pemanfaatan prinsip kehati-hatian dalam mengelola kredit terlebih dalam menghadapi krisis moneter yang berdampak kepada lesunya dunia usaha dan daya beli masyarakat. BPR dalam mengalokasikan dan mengekspansikan volume kredit di masa datang tetap dan harus memperhatikan kinerja keuangan yang diukur dengan RPS, rasio Kas, dan Rentabilitas. Peningkatan volume kredit dapat dilakukan dalam rangka meningkatkan kinerja rentabilitas bank, namun manajemen bank tetap memperhatikan perimbangan kinerja antara kinerja rasio kas, RPS dan rentabilitas usaha harus dalam kategori sehat, dengan memperhatikan aturan kinerja yang ditetapkan Bank Indonesia. Rentabilitas BPR dapat ditingkatkan melalui peningkatan ROL dan IMOL untuk memperkuat sumber dana sendiri sebagai modal inti usaha BPR di masa datang. Oleh karena itu, dalam jangka panjang manajemen BPR dalam mengekpansi kredit dapat diperoleh dari pemanfaatan sumber dana internal yang lebih besar sehingga kebergantungan sumber dana dari pihak ketiga dapat dikurangi, dengan demikian stabilitas likuiditas BPR dapat terjaga aman, dan rasio Kas negatif dapat terhindari. Peningkatan ROL dan IMOL perlu juga memperhatikan usaha pesaing dalam industri perbankan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA Jusuf, Jopie. 1998. Analisis Kredit untuk Account Officer. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
MAHRINASARI, PENGELOLAAN KREDIT…………
121
Kasmir. 2000. Manajemen Perbankan. Edisi I. PT Raja Garafindo Persada. Jakarta. Maddala, G.S. 1988. Introduction to Econometrics. Macmillan Publishing Company. New York. USA. Mulyono, Teguh Pudjo. 1996. Bank Budgeting: Profil Planning. and Control. Edisi 1. BPFE. Yogyakarta. ___, Teguh Pudjo. 1999. Analisa Laporan Keuangan Untuk Perbankan. Edisi IV. Djambatan. Jakarta. Nasir, Moh. 1999. Metode Penelitian, Cetakan keempat. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Rindjin, Ketut. 2000. Pengantar Perbankan dan Lembaga Keuangan Bukan Bank. Edisi I. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Sinungan. Muchdarsyah. 1993. Manajemen Dana Bank. Edisi III. Bumi Aksara. Jakarta. ___. Muchdarsyah. 1994. Strategi Manajemen Bank Menghadapi Tahun 2000. Rineka Cipta, Jakarta. ___. Muchdarsyah. 1997. Dasar dan Teknik Manajemen Kredit. Rineka Cipta. Jakarta. Sari Mulyani. 2002. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi perilaku Nasabah Kredit Progana pada PT BPR Eka Bumi Artha cabang Bandarlampung. Fakultas Ekonomi Universitas Lampung. Lampung Supranto, J. 1995. Ekonometrik. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
122
____. 1993. Statistik Teori dan Aplikasi. Jilid II. Penerbit PT Airlangga. Jakarta. Surat Edaran Bank Indonesia. 1998. Tata Cara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum. Dalam SE BI. tanggal 30 April 1998. Surat Keputusan Direktur Bank Indonesia N0.30/12/Kep/Dir dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 30/3/UPPB. Tata Cara Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Perkreditan Rakyat. tanggal 30 April 1997. Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1992, Tentang Undang-Undang Pokok Perbankan. Undang-Udang RI. No. 10 Tahun 1998, Tentang Undang-Undang Pokok Perbankan. Weston, dan Coppelan. 1990. Manajemen keuangan. Edisi XIII. Diterjemahkan oleh Jaka Wasana dan Kirbandoko. Erlangga. Jakarta. ___. 1998. Sensus Ekonomi 1996. Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung. ___. 1999. Lampung Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung. ___. September 2001. Statistika Ekonomi-Keuangan Daerah Lampung. Bank Indonesia. Bandarlampung. ___. Februari 2002. Statistika Ekonomi-Keuangan Daerah Lampung. Bank Indonesia. Bandarlampung.
JURNAL EKONOMI & BISNIS NO. 3, Jilid 8, Tahun 2003