ANALISIS KINERJA DAN STATUS KEBERLANJUTAN KAWASAN MINAPOLITAN BONTONOMPO, KABUPATEN GOWA, PROVINSI SULAWESI SELATAN
MUHAMAD ALDI SETIAWAN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Analisis Kinerja dan Status Keberlanjutan Kawasan Minapolitan Bontonompo, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2010 Muhamad Aldi Setiawan NRP P052080121
ABSTRACT MUHAMAD ALDI SETIAWAN. Performance Analysis and Status of Sustainable Regions Minapolitan Bontonompo, Gowa regency, South Sulawesi Province under direction of TOTOK HESTIRIANOTO and CATUR HERISON. The main purpose of this study was to evaluate the performance and status of the region Minapolitan Bontonompo Gowa in South Sulawesi Province to minapolitan estate development can be run continuously and sustainably. Methods of data collection in this research is with interviews, discussion and field survey with respondents in the region of study consisting of experts and stakeholders related to the topic of research. Determination of the performance area Bontonompo Minapolitan, Gowa criteria issued based on the Department of Agriculture (2002) that divides Minapolitan area above the level of development (3) three categories include: (1) Pre Minapolitan region I; (2) Pre Minapolitan region II and ( 3) Regions Minapolitan. Analysis of the sustainability status of bontonompo minapolitan region is based on the development dimensions inherent in sustainable development, among others, the ecological dimension, economic dimension, social dimension, plus legal and institutional dimensions and the dimensions of infrastructure and technology. To define one or several points that reflect the position of sustainability development of the area studied minapolitan relative to two reference points are good points (good) and bad points (bad) and several criteria: Not Sustainable (<50%), sustained enough (50-75 %), sustained (> 75%). The study uses three methods of analysis of potential areas of analysis, multidimensional analysis skaling, and scenarios. The results showed progress Level Regions Minapolitan Bontonompo, Gowa regency, South Sulawesi province are included in the category of pre Regions Minapolitan II with the development index of 42.97. Status sustainability Regions Minapolitan Bontonompo, Gowa regency, South Sulawesi province, including in the Regions category Minapolitan less sustainable, with the area of sustainability index of 40.52. The dominant factors / sensitivity that may affect the sustainability of the region and requires special attention, among others: carrying food, water resources, utilization of farm waste to feed fish, the fish feed, the use of plants as feed for fish and incidence of drought stress on ecological dimension; the number of fish markets, feasibility agro-industry, commodity prices of fish, buying and selling system, changes in the economic facilities (five years), the market of fishery products, fish farmers' incomes averaging minimum wage relative to the district, change the value of Budgets in the field of fisheries (5 years), and transfer of profits on economic dimensions; frequency of conflict on social and cultural dimensions; condition of village infrastructure, hunting, fishery product processing technology, inormasi technology and transport, road infrastructure conditions of business, and the level of mastery on the dimensions of aquaculture technology and technology infrastructure, and microfinance institutions / banks and cooperation agreements with other regional fishery question on the legal and institutional dimensions. Key words : Minapolitan Region, Fisheries, Status of Sustainabilty, Level of Development
RINGKASAN MUHAMAD ALDI SETIAWAN. Analisis Kinerja dan Status Keberlanjutan Kawasan Minapolitan Bontonompo, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan. Dibimbing oleh TOTOK HESTIRIANOTO dan CATUR HERISON. Dalam rangka mempercepat pembangunan perikanan dan perdesaan, pada tahun 2009 pemerintah mencanangkan program pengembangan kawasan minapolitan, sebagai basis pengembangannya pada daerah pusat pertumbuhan perdesaan, yaitu daerah-daerah pemasok hasil produksi perikanan atau sentra produksi perikanan. Konsep pengembangan kawasan Minapolitan itu sendiri mengacu kepada konsep Agropolitan yang dikeluarkan oleh Deptan pada tahun 2002 dan diterapkan di 41 Kabupaten/Kota dan 33 Provinsi berdasarkan SK. Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. 41/MEN/2009 dengan tujuan untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan revitalisasi perikanan. Prinsip dasar konsep Minapolitan ini ialah adanya pengembangan dalam kawasan, pengembangan komoditas unggulan, dan pengembangan usaha. Pengembangan kawasan memiliki maksud untuk mendorong penerapan manajemen hamparan untuk mencapai skala ekonomi, mencegah penyebaran penyakit, meingkatkan efisiensi dalam penggunaan air, sekaligus mengintegrasikan pemenuhan kebutuhan sarana produksi, proses produksi, pemasaran hasil dan pengelolaan lingkungan dalam suatu kesisteman yang mapan. Pengembangan komoditas unggulan memiliki maksud untuk lebih memacu pengembangan komoditas yang memiliki kriteria : a) bernilai ekonomis tinggi, b) teknologi tersedia, c) permintaan pasar besar, dan d) dapat dikembangkan secara masal. Pengembangan usaha bermaksud agar seluruh usaha perikanan budidaya dilakukan dengan menggunakan prinsip bisnis secara profesional dan berkembang dalam suatu kemitraan usaha yang saling memperkuat dan menghidupi. Dengan adanya program minapolitan ini diharapkan akan terbentuk keterkaitan kemakmuran antar wilayah-sinergis dan saling memperkuat sehingga nilai tambah yang diperoleh akan terbagi secara adil dan proporsional berdasarkan atas potensi sumberdaya yang ada, akan tercipta pembangunan yang berimbang secara spatial-secara macro akan menjadi prasyarat bagi tumbuh berkembangnya perkonomian nasional yang lebih efisien, berkeadilan dan berkelanjutan, dan akan terciptanya pertumbuhan yang seoptimal mungkin dari potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah sesuai dengan kapasitasnya. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk melakukan evaluasi kinerja dan status kawasan Minapoltian agar pembangunan kawasan minapolitan ini dapat berjalan secara berkesinambungan dan berkelanjutan. Masalah yang berpotensi untuk terjadi dalam pelaksanaan kegiatan perintisan program Minapolitan adalah menyangkut dimensi infrastruktur dan teknologi, dimensi ekonomi, dimensi ekologi, dimensi hukum dan kelembagaan dan dimensi sosial budaya. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memperkaya ilmu pengetahuan dan membangun kasanah keilmuan dalam analisis kebijakan yang terkait dengan pemberdayaan kegiatan pengembangan perdesaan. Lokasi penelitian dilaksanakan di Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan tepatnya di kawasan minapolitan Bontonompo yang mencakup 5 (lima) kecamatan minapolis, yaitu Kecamatan Pallangga, Kecamatan Bajeng, Kecamatan Bajeng Barat, Kecamatan Bontonompo dan Kecamatan Bontonompo Selatan.
Secara garis besar, penelitian dilakukan dalam 2 tahapan studi, yaitu : (1) Analisis status kinerja kawasan Minapolitan Bontonompo, Kabupaten Gowa, (2) Analisis status keberlanjutan pengembangan kawasan Minapolitan Bontonompo, Kabupaten Gowa. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan wawancara, diskusi dan survei lapangan dengan responden diwilayah studi yang terdiri dari berbagai pakar dan stakeholder yang terkait dengan topik penelitian. Penentuan kinerja kawasan Minapolitan Bontonompo, Kabupaten Gowa didasarkan pada keriteria yang dikeluarkan Departemen Pertanian (2002) yaitu membagi tingkat perkembangan kawasan Minapolitan atas (3) tiga kategori antara lain ; (1) Pra kawasan Minapolitan I ; (2) Pra kawasan Minapolitan II dan (3) Kawasan Minapolitan. Analisis status keberlanjutan kawasan minapolitan bontonompo dilakukan berdasarkan pengembangan dimensi-dimensi yang terdapat dalam pembangunan berkelanjutan antara lain dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial, ditambah dimensi hukum dan kelembagaan dan dimensi infrastruktur dan teknologi. Setiap dimensi akan dilengkapi dengan atribut-atribut penjelas yang menggambarkan dukungan akan keberlanjutan dari setiap dimensi yang dijelaskan. Hasil skor dari setiap atribut dianalisis dengan multi dimensional. untuk menentukan satu atau beberapa titik yang mencerminkan posisi keberlanjutan pengembangan kawasan minapolitan yang dikaji relatif terhadap dua titik acuan yaitu titik baik (good) dan titik buruk (bad). Hasil penelitian menunjukkan Tingkat perkembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan termasuk dalam kategori pra Kawasan Minapolitan II dengan indeks perkembangan sebesar 42,97, berdasarkan kategori yang ada menunjukkan bahwa kawasan tersebut cukup berkembang, perkembangan terbaik dapat dilihat dari perkembangan aspek infrastruktur, sedangkan aspek agroindustri, aspek pemasaran dan aspek input produksi masih memerlukan pehatian khusus dalam perkembangan kawasan kedepan. Status keberlanjutan Kawasan Minapolitan Bontonompo, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan termasuk dalam kategori Kawasan Minapolitan yang kurang berkelanjutan, dengan indeks keberlanjutan kawasan sebesar 40,52, hal ini terlihat dari hanya ada satu dimensi yang sudah berkelanjutan yaitu dimensi hukum dan kelembagaan dan terdapat empat dimensi yang berada pada kategori dimensi yang kurang berkelanjutan yaitu dimensi ekologi, dimensi infrastruktur dan teknologi, dimensi sosial dan budaya serta dimensi ekonomi yang belum begitu optimal dalam menunjang keberlanjutan kawasan. Faktor dominan/ sensitif yang dapat mempengaruhi keberlanjutan kawasan dan memerlukan perhatian khusus antara lain daya dukung pakan, sumber air, pemanfaatan limbah peternakan untuk pakan ikan, jenis pakan ikan, pemanfaatan tumbuhan sebagai pakan ikan dan kejadian kekeringan pada dimensi ekologi; jumlah pasar ikan, kelayakan agroindustri, harga komoditas ikan, sistem jual-beli, perubahan jumlah sarana ekonomi (5 tahun terakhir), pasar produk perikanan, rataan penghasilan petani ikan relatif terhadap UMR kabupaten, perubahan nilai APBD di bidang perikanan (5 tahun terakhir), dan transfer keuntungan pada dimensi ekonomi; frekuensi konflik pada dimensi sosial dan budaya; kondisi prasarana jaan desa, teknologi pengolahan produk perikanan, teknologi inormasi dan transportasi, kondisi prasarana jalan usaha, dan tingkat penguasaan teknologi budidaya perikanan pada dimensi infrastruktur dan teknologi; dan lembaga keuangan mikro/bank dan perjanjian kerjasama dengan daerah lain soal perikanan pada dimensi hukum dan kelembagaan.
Skenario pengembangan keberlanjutan Kawasan Minapolitan Bontonompo Kabupaten Gowa dirumuskan dalam bentuk program jangka pendek, jangak menengah dan jangka panjang antara lain sebagai berikut: a) Program jangka pendek : Pengembangan lebih diproritaskan pada melakukan peningkatan berbagai faktor sensitif/dominan pada empat dimensi yang masuk dalam kategori dimensi yang kurang berkelanjutan yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya dan infrastruktur teknologi sehingga mampu menunjang keberlanjutan kawasan. Pelaksanaan skenario I ini dapat meningkatkan status kawasan menjadi kawasan yang cukup berkelanjutan atau dengan indeks keberlanjutan menjadi 52,29. b) Program jangka menengah : Pengembangan lebih diproritaskan pada representasi lanjutan dari program jangak pendek yang telah dilakukan kelima dimensi. Pelaksanaan skenario II ini dapat meningkatkan status kawasan menjadi kawasan yang cukup berkelanjutan atau dengan indeks keberlanjutan menjadi 54,03. c) Program jangka panjang : Merupakan pengembangan dari program jangka menengah. Hal yang lebih diprioritaskan adalah selain mempertahankan dan mengembangkan kondisi yang telah dihasilkan pada jangka pendek dan menengah, penekanan pengembangan kawasan yang berkelanjutan juga diperlukan dan di tujukan pada faktorfaktor pendukung atau penunjang dari faktor-faktor utama yang telah dilakukan sebelumnya. Pelaksanaan skenario III ini dapat meningkatkan status kawasan menjadi kawasan yang cukup berkelanjutan atau dengan indeks keberlanjutan menjadi 60,75. Kata kunci: Kawasan minapolitan, Status Keberlanjutan, Tingkat Perkembangan kawasan, Perikanan
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ANALISIS KINERJA DAN STATUS KEBERLANJUTAN KAWASAN MINAPOLITAN BONTONOMPO, KABUPATEN GOWA, PROVINSI SULAWESI SELATAN
MUHAMAD ALDI SETIAWAN
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul Tesis
Nama NRP Program Studi
: Analisis Kinerja Dan Status Keberlanjutan Kawasan Minapolitan Bontonompo, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan : Muhamad Aldi Setiawan : P052080121 : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Totok Hestirianoto, M.Sc. Ketua
Dr. Ir. Catur Herison, M.Sc. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S.
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.
Tanggal Ujian : 28 Juli 2010
Tanggal Lulus :
trdul Tesis Hama
[nP
Rogram Studi
: Analisis Kinerja Dan
Status Keberlanjutan Kawasan Minapolitan Bontonompo, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan : Muhamad Aldi Setiawan : P052A80121 : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL)
Disetujui -.,-*.Ksmisi Pem bim bing
AD
(i
fPW U-
\-/ Dr lr Totok Hestirianoto M Sc Ketua
Dr. lr. Catur Herison M Sc Anggota
Ketua Program Studi Pen Sumberdaya Alam dan Li
kolah Pascasarjana
Prof. Dr. lr. Surjono H. Sutjahjo,
':
Tanggal Ujian : 28 Juli
2010
Tanggal Lulus
:
I 6 AU6 Z0lil
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Ahmad Fachrudin, M.Si.
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada ALLAH SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2009 ini ialah Kebijakan dan Manajemen Lingkungan, dengan judul : Analisis Kinerja Dan Status Keberlanjutan Kawasan Minapolitan Bontonompo, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir. Totok Hestirianoto, M.Sc. dan Dr. Ir. Catur Herison, M.Sc. selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Hasan Hasyim beserta staff Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Linmas Kabupaten Gowa, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, istri, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. “Tak ada gading yang tak retak” merupakan ungkapan yang tepat untuk menggambarkan tulisan ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan Tesis ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat diharapkan agar penulisan ini menjadi lebih baik. Akhir kata karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2010 Muhamad Aldi Setiawan
RIWAYAT HIDUP
Muhamad Aldi Setiawan, lahir pada tanggal 09 Oktober 1984, di Bandung, Provinsi Jawa Barat dari pasangan suami istri, Ayah Dr. Surahman S. Samsudin dan Ibu Ir. Yuyu Yulia M.Si. Penulis merupakan anak kedua dan satu-satunya putra dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Pengadilan 2 Bogor pada tahun 1996, pendidikan menengah pertama di SLTP Negeri 5 Bogor pada tahun 1999, dan pendidikan menengah umum di SMU Negeri 1 Bogor pada tahun 2002. Tahun 2002 penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Penulis memilih Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan telah menyelesaikannya di tahun 2007. Tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikan ke program Magister Sains (M.Si.) di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL). Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten mata kuliah Ikhtiologi pada tahun ajaran 2004/2005, 2005/2006 dan 2006/2007, asisten mata kuliah Biologi Laut pada tahun ajaran 2004/2005 dan 2005/2006, asisten mata kuliah Ekologi Laut Tropis pada tahun ajaran 2005/2006 dan 2006/2007, asisten mata kuliah Running Water System pada tahun ajaran 2005/2006 serta asisten mata kuliah Analisis Biologi ikan pada tahun ajaran 2006/2007.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... ix DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xi I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1 1.2. Tujuan Penelitian .............................................................................. 6 1.3. Perumusan Masalah.......................................................................... 6 1.4. Kerangka Pemikiran .......................................................................... 10 1.5. Manfaat Penelitian ............................................................................ 12 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembangunan Perkotaan dan Perdesaan ......................................... 13 2.2. Pengertian Kawasan Perdesaan ....................................................... 13 2.3. Pembangunan Perdesaan Berkelanjutan .......................................... 14 2.4. Sumber Daya Ikan............................................................................. 16 2.4.1. Sifat Sumberdaya Ikan ........................................................... 16 2.4.2. Pengelolaan Sumberdaya Ikan ............................................... 17 2.4.3. Kebijakan Pembangunan Perikanan ........................................ 18 2.4.4. Pembangunan Perikanan Berkelanjutan.................................. 19 2.4.5. Sistem Perikanan Berkelanjutan .............................................. 23 2.4.6. Pembangunan Agribisnis Perikanan di Indonesia .................... 24 2.5. Pengertian Kawasan Minapolitan ...................................................... 25 2.5.1. Ciri-ciri Kawasan Minapolitan................................................... 28 2.5.2. Persyaratan Kawasan Minapolitan........................................... 28 2.5.3. Konsep Kawasan Minapolitan ................................................. 29 2.5.4. Strategi Pengembangan Kawasan Minapolitan ....................... 31 2.6. Analisis Kinerja Kawasan Minapolitan .............................................. 32 2.6.1. Peran dan Fungsi Kawasan Minapolitan Kabupaten Gowa..... 33 2.6.2. Visi dan Misi Kawasan Minapolitan Kabupaten Gowa............. 33
iv
III. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1. Kondisi Geografis dan Administratif ................................................... 35 3.2. Kondisi Topografi dan Agroklimat ...................................................... 35 3.3. Kondisi Demografi ............................................................................. 36 3.4. Potensi dan Produksi Perikanan........................................................ 36 3.5. Kawasan Minapolitan Kabupaten Gowa ........................................... 37 3.5.1. Kondisi Umum Kawasan.......................................................... 37 3.5.2. Kondisi Infrastruktur................................................................. 38 3.5.3. Kondisi Perikanan Kawasan .................................................... 40 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................... 43 4.1.1. Lokasi Pendukung Minapolitan ............................................... 45 4.2. Teknik Penentuan Responden ......................................................... 45 4.3. Jenis dan Sumber Data .................................................................... 46 4.4. Rancangan Penelitian ...................................................................... 46 4.4.1. Metode Pengumpulan Data ..................................................... 47 4.4.2. Variabel ................................................................................... 47 4.4.3. Metode Analisis ....................................................................... 47 4.5. Analisis Kinerja Kawasan Minapolitan Bontonompo ......................... 49 4.6. Analisis Status keberlanjutan Kawasan Minapolitan Bontonompo .... 50 4.7. Penyusunan Skenario Keberlanjutan Pengembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo .................................................................. 52 4.8. Prakiraan Dampak Minapolitan Terhadap Lingkungan ...................... 54 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Tingkat Perkembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo .............. 55 5.1.1. Persepsi Masyarakat .............................................................. 55 5.1.2. Identifikasi Potensi Wilayah Pengembangan Kawasan Minapolitan .............................................................................. 60 5.2. Kinerja Perkembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo............... 64 5.2.1. Faktor-faktor Sensitif/Dominan yang mempengaruhi kinerja perkembangan kawasan minapolitan Bontonompo .......................................................................... 65 5.2.2. Tingkat Perkembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo ... 77 5.2.3. Validasi Analisis Penilaian Kinerja Perkembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo ......................................... 80
v
5.3. Status Keberlanjutan Kawasan Minapolitan Bontonompo ................. 81 5.3.1. Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi .................................... 81 5.3.2. Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi .................................. 83 5.3.3. Status Keberlanjutan Dimensi Sosial dan Budaya .................. 87 5.3.4. Status keberlanjutan Dimensi Infrastruktur dan Teknologi ...... 89 5.3.5. Status keberlanjutan Dimensi Hukum dan Kelembagaan ....... 92 5.3.6. Status Keberlanjutan Kawasan Minapolitan Bontonompo ....... 95 5.3.7. Validasi Analisis Penilaian Status Keberlanjutan KawasanMinapolitan Bontonompo .......................................... 97 5.4. Perkembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo kedepan ............ 98 5.5. Pembentukan Skenario Keberlanjutan Pengembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo Kabupaten Gowa ...................................... 102 5.5.1. Skenario I ............................................................................... 103 5.5.2. Skenario II .............................................................................. 106 5.5.3. Skenario III ............................................................................. 108 5.6. Rekomendasi Kebijakan Keberlanjutan Pengembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo .................................................................. 111 VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ...................................................................................... 113 6.2. Saran ................................................................................................ 115 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 116 LAMPIRAN .................................................................................................. 119
vi
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Kriteria Analisis Dimensi Pembangunan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan ................................................................ 23 Tabel 2. Luas wilayah, jarak dari ibukota kabupaten masing-masing kecamatan dalam Kawasan Minapolitan Kabupaten Gowa ............ 37 Tabel 3. Jumlah kependudukan masing-masing Kecamatan dalam Kawasan Minapolitan Kabupaten Gowa ......................................... 37 Tabel 4. Jumlah sarana pendidikan di tiap kecamatan dalam kawasan ........ 39 Tabel 5. Jumlah sarana kesehatan di tiap kecamatan dalam kawasan ........ 40 Tabel 6. Jumlah sarana keagamaan di tiap kecamatan dalam kawasan ...... 40 Tabel 7. Produksi perikanan darat di tiap kecamatan dalam kawasan (ton) . 41 Tabel 8. Luas areal budidaya perikanan di tiap kecamatan dalam kawasan (Ha) .................................................................................. 41 Tabel 9. Luas areal pembenihan perikanan di tiap kecamatan dalam Kawasan ........................................................................................ 42 Tabel 10. Jumlah Responden Pakar ............................................................ 46 Tabel 11. Indikator dan Beberapa Atribut Penilaian Keberlanjutan Kawasan Minapolitan Bontonompo .............................................. 47 Tabel 12. Atribut-atribut dan Skor Perkembangan/ Keberlanjutan Pengembangan Kawasan ............................................................ 49 Tabel 13. Kategori Status Kinerja Kawasan Minapolitan Bontonompo ......... 49 Tabel 14. Kategori Status Keberlanjutan Pengembangan Kawasan Minapolitan .................................................................................. 51 Tabel 15. Nilai LQ Budidaya Sub Sektor Perikanan masing-masing kecamatan dalam Kabupaten Gowa ............................................ 62 Tabel 16. Nilai LQ Sub Sektor Perikanan masing-masing kecamatan dalam Kawasan Minapolitan ................................................................... 63 Tabel 18. Hasil Analisis MDS untuk Menentukan Status Perkembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo Sulawesi Selatan .................. 78
vii
Tabel 19. Hasil Analisis Nilai Koefisien Determinan (R2), Stress dan Selisih Monte Carlo dengan Nilai Indeks Aspek Perkembangan Kawasan ....................................................................................... 80 Tabel 20. Hasil Analisis MDS untuk Menentukan Status Keberlanjutan Kawasan Minapolitan Bontonompo Sulawesi Selatan .................. 95 Tabel 21. Hasil Analisis Nilai Koefisien Determinan (R2), Stress dan Selisih Monte Carlo dengan Nilai Indeks Dimensi Keberlanjutan Kawasan ............................................................... 97 Tabel 22. Skenario Peningkatan Indeks Keberlanjutan Kawasan Minapolitan Bontonompo ................................................................................ 102 Tabel 23. Nilai Indeks Keberlanjutan Sekenario Pengembangan Kawasan Minapolitan .................................................................................. 110
viii
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Skema perumusan masalah ........................................................ 9 Gambar 2. Kerangka pemikiran ................................................................... 11 Gambar 3. Skema Konsep Pengembangan Kawasan Minapolitan .............. 30 Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian................................................................. 43 Gambar 5. Peta Administrasi Kabupaten Provinsi Sulawesi Selatan ............ 44 Gambar 6. Ilustrasi Nilai Indeks Perkembangan dalam Skala Ordinasi ........ 41 Gambar 7. Ilustrasi Indeks Perkembangan Setiap Dimensi .......................... 42 Gambar 8. Ilustrasi Nilai Indeks Keberlanjutan dalam Skala Ordinasi ........... 43 Gambar 9. Ilustrasi Indeks Keberlanjutan dalam Diagram Batang .............. 52 Gambar10. Bagan Skenario Peningkatan Indeks Keberlanjutan Kawasan dalam Rangka Memformulasikan Rekomendasi Kebijakan ........ 54 Gambar 11. Persentase Pengetahuan Responden Mengenai Minapolitan .. 56 Gambar 12. Sumber Informasi Responden Mengenai Minapolitan .............. 56 Gambar 13. Persentase Responden Mengenai Penetapan Kawasan Minapolitan ................................................................ 57 Gambar 14. Prosentase Responden Dalam Menyikapi Minapolitan dapat meningkatkan lapangan pekerjaan, (b) dapat meningkatkan ekonomi daerah ................................................. 58 Gambar 15. Kondisi Jalan di Kecamatan ..................................................... 59 Gambar 16. Pemberdayaan Masyarakat Dalam Minapolitan ....................... 59 Gambar 17. Hasil Analisis Leverage Aspek Usahatani ................................ 65 Gambar 18. Hasil Analisis Laverage Aspek Agroindustri ............................. 67 Gambar 19. Hasil Analisis Leverage Aspek Agroniaga ................................ 70 Gambar 20. Sistem pemasaran komoditi perikanan ..................................... 71 Gambar 21. Lokasi penjualan ikan di kawasan Minapolitan ......................... 72 Gambar 22. Hasil Analisis Laverage Aspek Infrastruktur ............................. 72 ix
Gambar 23. Kondisi sarana jalan dan jembatan di kawasan Minapolitan Bontonompo .......................................................... 74 Gambar 24. Hasil Anaslisis Leverage Aspek Suprastruktur ......................... 76 Gambar 28. Diagram Batang Nilai Indeks Aspek Perkembangan Kawasan . 76 Gambar 26. Hasil Analisis Leverage Dimensi Ekologi .................................. 79 Gambar 27. Hasil Analisis Leverage Dimensi Ekonomi ................................ 82 Gambar 28. Lokasi pedagang menjual ikan ................................................. 83 Gambar 29. Hasil Analisis Leverage Dimensi Sosial dan Budaya ................ 86 Gambar 30. Hasil Analisis Leverage Dimensi Infrastruktur dan Teknologi ... 88 Gambar 31. Teknologi transportasi yang digunakan oleh masyarakat ......... 89 Gambar 32. Hasil Analisis Laverage Dimensi Hukum dan Kelembagaan ..... 90 Gambar 33. Diagram batang dimensi status keberlajutan perkembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo .................. 93 Gambar 34. Bagan Skenario I Peningkatan Indeks Keberlanjutan Kawasan Minapolitan Bontonompo ........................................... 105 Gambar 35. Bagan Skenario II Peningkatan Indeks Keberlanjutan Kawasan Minapolitan ................................................................ 107 Gambar 36. Bagan Skenario III Peningkatan Indeks Keberlanjutan Kawasan Minapolitan Bontonompo .......................................... 109
x
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Nilai indeks 5 (lima) Aspek Perkembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo, Kabupaten gowa, Sulawesi Selatan ..................................................................... 119 Lampiran 2. Nilai indeks 5 (lima) Dimensi Keberlanjutan Kawasan Minapolitan Bontonompo, Kabupaten gowa, Sulawesi Selatan 124 Lampiran 3. Hasil Analisis Location Quotient (LQ) Sub Sektor Perikanan Kawasan Minapolitan Bontonompo Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan ..................................................................... 129 Lampiran 4. Hasil Analisis Location Quotient (LQ) Kawasan Minapolitan Bontonompo Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan ...... 134 Lampiran 5. Kuisioner Analisis Kinerja/Perkembangan ............................... 139 Lampiran 6. Kuisioner Analisis Keberlanjutan ............................................. 145 Lampiran 7. SK yang Berubungan dengan Minapolitan .............................. 153
xi
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Menurut UU No. 32 Tahun 2004, kawasan perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Dalam rangka mempercepat pembangunan pertanian dan perdesaan, pada tahun 2002 pemerintah mencanangkan program pengembangan kawasan agropolitan, sebagai basis pengembangannya pada daerah pusat pertumbuhan perdesaan, yaitu daerah-daerah pemasok hasil produksi pertanian atau sentra produksi pertanian (Deptan, 2002). Percepatan yang dilakukan melalui berbagai program pembangunan pertanian, tidak akan terlepas dari proses pemberdayaan masyarakat, pengembangan pengetahuan serta informasi potensi sumberdaya lokal yang terus didayagunakan dan ditingkatkan kapasitasnya.
Pembangunan nasional
yang dilakukan dalam beberapa dasawarsa terakhir menghasilkan efek negatif dalam upaya pembangunan itu sendiri, pembangunan yang hanya terarah pada kawasan perkotaan, telah memberikan berbagai dampak, diantaranya seperti terjadinya urbanisasi yang tak terkendali, polusi, kemacetan lalu lintas, pengkumuhan kota, kehancuran massif sumberdaya alam serta pemiskinan desa, dalam ekonomi hal ini terjadi karena adanya transfer netto sumberdaya alam dari wilayah perdesaan ke kawasan perkotaan secara besar-besaran (Serageldin, 1996). Konsep agropolitan dipandang sebagai konsep yang menjanjikan akan teratasinya
berbagai
permasalahan
perdesaan-perkotaan selama ini.
ketidakseimbangan
pembangunan
Menurut UU No. 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang, Kawasan agropolitan merupakan kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumberdaya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agribisnis. Pendekatan agropolitan juga dipandang sesuai dengan semangat
desentralisasi dan
demokratisasi yang
didengung-dengungkan
sebagai peta perubahan politik di Indonesia sekarang, karena konsep agropolitan memberikan ruang yang layak terhadap perencanaan pembangunan perdesaan
2
yang mengakomodir dan mengembangkan kapasitas lokal (local capacity building) serta menuntut partisipasi masyarakat dalam suatu program yang menumbuhkan manfaat timbal balik bagi masyarakat perdesaan dan perkotaan (Douglas, 1998). Pembangunan perdesaan dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat
industrialisasi perdesaan. pengelolaan
sumberdaya
secara
lahir
dan
batin
serta
mempercepat
Pembangunan itu sendiri merupakan proses alam
dan
lingkungan
yang
berpotensi untuk
dikembangkan guna meningkatkan dinamika ekonomi daerah (perdesaan). Sektor lain yang dianggap dapat menunjang pembangunan ekonomi nasional yaitu sektor perikanan, dimana sektor perikanan ini merupakan salah satu sektor yang sangat penting untuk dikembangkan di Indonesia, dengan jumlah penduduk yang mencapai 250 juta jiwa, Indonesia merupakan pasar yang besar bagi produk perikanan Indonesia, terlebih lagi konsumsi ikan perkapita nasional masih sangat rendah selain itu, sebagai negara kepulauan terbesar dengan potensi kelautan dan perikanan yang melimpah, sektor perikanan memiliki potensi yang sangat besar dan dapat menjadi sumber devisa bagi negara serta memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dalam ketersediaan sumberdaya alam perikanan yang menjadi penyangga utama bagi kegiatan perikanan Indonesia baik perikanan tangkap maupun darat dan pembangunan nasional.
Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad menyatakan
bahwa pihaknya akan menargetkan peningkatan konsumsi ikan dalam lima tahun ke depan menjadi 38,67 Kg per kapita per tahun dan mencapai target sebagai negara penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar di dunia dengan program Revolusi Biru pada tahun 2015.
Dalam rangka mempercepat
pembangunan perikanan dan perdesaan, pada tahun 2009 pemerintah mencanangkan program pengembangan kawasan minapolitan, sebagai basis pengembangannya pada daerah pusat pertumbuhan perdesaan, yaitu daerahdaerah pemasok hasil produksi perikanan atau sentra produksi perikanan. Konsep pengembangan Kawasan Minapolitan itu sendiri mengacu kepada konsep Agropolitan yang dikeluarkan oleh Deptan pada tahun
2002 dan
diterapkan di 41 Kabupaten/Kota dan 33 Provinsi berdasarkan SK. Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. 41/MEN/2009 dengan tujuan untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan revitalisasi perikanan.
Prinsip dasar konsep
3
Minapolitan ini ialah adanya pengembangan dalam kawasan, pengembangan komoditas unggulan, dan pengembangan usaha. Pengembangan kawasan memiliki maksud untuk mendorong penerapan manajemen hamparan untuk mencapai skala ekonomi, mencegah penyebaran penyakit,
meningkatkan
efisiensi
dalam
penggunaan
air,
sekaligus
mengintegrasikan pemenuhan kebutuhan sarana produksi, proses produksi, pemasaran hasil dan pengelolaan lingkungan dalam suatu kesisteman yang mapan.
Pengembangan komoditas unggulan memiliki maksud untuk lebih
memacu pengembangan komoditas yang memiliki kriteria: a) bernilai ekonomis tinggi, b) teknologi tersedia, c) permintaan pasar besar, dan d) dapat dikembangkan secara masal. Pengembangan usaha dimaksudsan agar seluruh usaha perikanan budidaya dilakukan dengan menggunakan prinsip bisnis secara profesional dan berkembang dalam suatu kemitraan usaha yang saling memperkuat dan menghidupi.
Dengan adanya program minapolitan ini
diharapkan akan terbentuk keterkaitan dan kemakmuran antar wilayah-sinergis serta saling memperkuat sehingga nilai tambah yang diperoleh akan terbagi secara adil dan proporsional berdasarkan atas potensi sumberdaya yang ada, sehingga akan tercipta pembangunan yang berimbang secara spatial dan secara makro akan menjadi prasyarat bagi tumbuh berkembangnya perkonomian nasional yang lebih efisien, berkeadilan dan berkelanjutan, dan akan terciptanya pertumbuhan yang seoptimal mungkin dari potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah sesuai dengan kapasitasnya. Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan merupakan salah satu dari Kabupaten
di
Indonesia
yang
menitikberatkan
kebijakan
pembangunan
daerahnya pada sektor perikanan, salah satunya dengan penetapan Kawasan Minapolitan Bontonompo sejak tahun 2008 berdasarkan SK Bupati Gowa No. 362/VII/2008.
Kawasan Minapolitan Bontonompo, Kabupaten Gowa, Provinsi
Sulawesi Selatan mencakup 5 (lima) kecamatan minapolis yaitu Kecamatan Pallangga, Kecamatan Bajeng, Kecamatan Bajeng Barat, Kecamatan Bontompo, dan Kecamatan Bontonompo Selatan, dan 5 (lima) Kecamatan hinterland yaitu Kecamatan Somba Opu, Kecamatan Barombong, Kecamatan Bontomarannu, Kecamatan Parangloe, dan kecamatan Tinggimoncong dengan wilayah kawasan seluas 600 Ha dan Ikan Mas, Ikan Nila, Ikan Bandeng, Udang dan Kepiting sebagai komoditas unggulannya yang ditunjang dengan Ikan Tawes, Ikan Gabus, Ikan Sepat Siam, Ikan Sidat, dan Ikan Belanak.
4
Jenis perikanan yang terdapat di Kabupaten Gowa pada umumnya adalah budidaya darat sedangkan perikanan laut hanya sebagian kecil saja karena pelabuhan hanya berlokasi di Selat Makassar dan sebagian kecil Bontonompo Selatan. Luas areal budidaya perikanan darat pada Tahun 2007 tercatat seluas 648,40 Ha dibanding Tahun 2006 dan mengalami penurunan sekitar 7,13%. Produksi perikanan pada Tahun 2007 tercatat sebesar 762,19 ton dibanding Tahun 2006 sebesar 760,33 ton yang berarti mengalami penurunan sebesar 0.93%.
Pemerintahan daerah Kabupaten Gowa mencatat, sektor
perikanan belum memberikan kontribusi yang cukup besar dalam PDRB dalam beberapa tahun terakhir, dan bahkan cendrung terjadi penurunan, sejak tahun 2006 hingga tahun 2007 rata-rata hanya mencapai 0,26%, menurun dari tahuntahun sebelumnya rata-rata mencapai angka diatas 0.27% (BPS Gowa, 2008). Hal ini selaras dengan besarnya kapasitas sumberdaya alam perikanan yang dimiliki Kabupeten tersebut.
Luasan sektor perikanan di Kabupaten Gowa
khususnya pada Kawasan Minapolitan Bontonompo mencapai ± 600 Ha, yang menggantungkan ± 1,37% keluarga pada sektor perikanan tersebut. Kenyataan ini menunjukkan bahwa sektor perikanan belum menjadi suatu potensi terbesar baik dari sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia yang dimiliki, diharapkan pengembangan pada sektor ini akan dapat mempengaruhi tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat setempat secara signifikan. Kebijakan
pengembangan
berjalan kurang lebih dua tahun.
Kawasan
Minapolitan
Bontonompo
telah
Latar belakang dari penetapan kebijakan
kawasan tersebut adalah potensi sumberdaya alam untuk dikembangkan, khusunya sektor perikanan yang sangat didukung oleh kondisi topografi dan klimatologi wilayah.
Kebijakan penetapan Kawasan Minapolitan melalui
pengembangan produk unggulan yang kompetitif dan berdaya saing tinggi selama ini diharapkan akan menjadi motor pengerak roda pembangunan daerah dengan memberikan dampak positif secara luas, khususnya dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat yang berada di kawasan Minapolitan. Lemahnya menajeman pengelolaan usahatani, penguasaan lahan petani yang semakin sempit, keterbatasan informasi pasar, ketidakberadaan lembaga keuangan mikro, dan kurangnya sarana prasarana pendukung produksi perikanan, merupakan sebagian permasalahan yang telah lama dihadapi masyarakat petani dan pemerintah daerah Kabupaten Gowa.
Telah banyak
upaya yang dilakukan mayarakat bersama pemerintah daerah selama ini,
5
beberapa kegiatan yang telah dilakukan diantaranya seperti perbaikan jalan usaha dan desa, pemberian bantuan (bibit dan pakan), program penyuluhan dan pelatihan, serta penerapan beberapa teknologi pengelolaan pasca panen, namun upaya-upaya tersebut dirasakan belum begitu menyentuh dan memberi pengaruh yang besar dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat petani di Kawasan Minapolitan Bontonompo. Tekanan luar negeri (dunia internasional) dalam kancah perdagangan bebas seperti perdagangan bebas China-ASEAN (ACFTA) merupakan tantangan tersendiri dalam upaya pengembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo ke depan, sebab dalam era pasar bebas, kualitas dan kuantitas produksi perikanan akan menjadi tolak ukur utama suatu produk dapat menembus, bersaing dan bertahan di pasar internasional selain itu untuk mengurangi dampak negatif dari pelaksanaan ACFTA bagi produk perikanan dibutuhkan adanya peningkatan pengawasan dan pengendalian impor melalui penyusunan peraturan menteri mengenai pengendalian sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan. Selain
itu,
Menteri Kelautan dan Perikanan
bersama dengan Menteri
Perdagangan juga perlu untuk menerbitkan dan mengawasi pelaksanaan Surat Keputusan Bersama tentang larangan sementara impor udang vaname. Disamping itu, pembentukan tim pemantau ACFTA serta kampanye secara masal dan berkelanjutan tentang promosi cinta produk dalam negeri terutama produk perikanan juga termasuk upaya untuk mengeliminir dampak negatif diberlakukannya ACFTA. Di sisi lain, tantangan dari dalam, diantaranya adalah ketersediaan sumberdaya manusia, daerah pemilihan dan penggunaan teknologi yang sesuai, ancaman penurunan daya dukung lahan hingga pertambahan jumlah penduduk. Kesemuanya merupakan tantangan-tantangan yang harus menjadi perhatian semua kalangan di daerah.
Melalui pemanfaatan dan
pengembangan yang optimal, dari semua keunggulan komparatif maupun kompetitif yang dimiliki adalah modal utama dalam upaya pengembangan Kawasan Minapolitan Bontonmpo ke depan. Upaya dalam memperoleh manfaat yang optimal, dapat diperoleh melalui penerapan konsep pembangunan perikanan yang berkelanjutan (fisheriesculture sustainable development), yaitu dengan mengutamakan keseimbangan berbagai dimensi dalam pembangunan berkelanjutan tersebut antara lain dimensi ekonomi, sosial budaya serta kelestarian atau ekologi.
Keberadaan potensi
sumberdaya alam dengan bebagai macam tekanan atau tantangan di depan
6
dalam upaya pengembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo, membutuhkan suatu instrumen kebijakan yang cepat dan tepat, yaitu dengan menyesuaikan kondisi sosial budaya masyarakat setempat dengan tetap berorientasi global. Kajian komprehensif, mendalam dan terintegral merupakan suatu upaya yang logis dan sangat dibutuhkan dalam mewujudkan hal tersebut. Oleh karena itu kebijakan yang dilahirkan haruslah dapat memberikan pengaruh positif secara luas, khususnya untuk kesejahteraan masyarakat petani ikan di kawasan Minapolitan, terlebih dalam mendukung pembangunan perekonomian Kabupaten Gowa. 1.2. Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah untuk melakukan evaluasi kinerja dan status kawasan Minapoltian Bontonompo yang dapat digunakan sebagai masukan agar pembangunan Kawasan Minapolitan ini dapat berjalan secara berkesinambungan dan berkelanjutan.
Dalam upaya mencapai tujuan utama
tersebut, maka ada beberapa kegiatan yang perlu dilakukan sebagai tujuan khusus, antara lain: 1. Menganalisis kinerja Kawasan Minapolitan Bontonompo, Kabupaten Gowa. 2. Menganalisis status keberlanjutan Kawasan Minapolitan Bontonompo, Kabupaten Gowa. 3. Membentuk
skenario
untuk
keberlanjutan
Kawasan
Minapolitan
Bontonompo, Kabupaten Gowa. 1.3. Perumusan Masalah Pelaksanaan pengembangan Kawasan Minapolitan terkait dengan kegiatan pra-pelaksanaan, pelaksanaan dan pasca pelaksanaan (pengembangan). Penerapan konsep Minapolitan diharapkan dapat menjadi ujung tombak dalam pembangunan nasional dengan memanfaatkan potensi sumberdaya alam perikanan khususnya pada Kawasan Minapolitan Bontonompo, Kabupaten Gowa. Pembangunan kawasan yang berbasis perikanan tersebut dinilai belum berjalan optimal, dengan kata lain selama dua tahun perjalanannya, keberadaan Kawasan Minapolitan ini belum memberi pengaruh yang signifikan terhadap pembangunan wilayah tersebut, khususnya pada peningkatan kesejahteraan
7
masyarakat petani ikan, hal ini terlihat dari berbagai permasalahan dan hambatan yang masih ditemui. Masalah yang berpotensi untuk terjadi dalam pelaksanaan kegiatan perintisan program Minapolitan adalah menyangkut dimensi infrastruktur dan teknologi, dimensi ekonomi, dimensi ekologi, dimensi hukum dan kelembagaan dan dimensi sosial budaya. Potensi permasalahan yang sering timbul dalam penerapan program dan konsep Minapolitan ini antara lain: kurangnya pasokan pakan dan kebutuhan akan benih, pemanfaatan air yang beum optimal, teknoloi budidaya yang belum intensif, industri hasil pengolahan hasil perikanan belum berkembang, kurangnya tenaga pendamping teknis, informasi dan penyuluhan dalam kegiatan budidaya perikanan, belum adanya tempat atau sarana khusus seperti balai atau pasar untuk penjualan hasil produksi perikanan, belum adanya sarana
gudang
penyimpanan
hasil
panen,
kurang
optimalnya
fungsi
kelembagaan yang ada, serta sistem budidaya sebelumnya (minapadi) kurang berkembang. Berbagai permasalahan diatas merupakan permasalahan yang dihadapi dan harus diselesaikan oleh berbagai pihak terkait, terutama masyarakat yang berada dikawasan yang merupakan subjek sekaligus objek dalam pembangunan daerah.
Pengembangan
suatu
Kawasan
Minapolitan
sangat
menuntut
kemandirian masyarakat selain dari peran pemerintah daerah dalam hal ini berbagai instansi terkait seperti Dinas Kelautan dan Perikanan, BAPEDA dan Pekerjaan Umum. Peran penting pemerintah daerah antara lain memberikan proteksi, menyelenggarakan pembangunan, melaksanakan fungsi fasilitasi, regulasi dan distribusi (Rustiadi, 2007). Mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan dengan berbagai dimensi-dimensinya, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan yang terkait dengan upaya pengembangan Kawasan Minapolitan berkelanjutan Bontonompo, Kabupaten Gowa antara lain: 1. Dimensi ekologi seperti ancaman daya dukung sumber daya lahan dan lingkungan, ketersediaan air, adopsi manajeman usaha tani modern. 2. Dimensi ekonomi seperti rendahnya tingkat pendapatan masyarakat petani ikan, ancaman dari kepemilikan lahan yang sempit, rendahnya harga komoditas perikanan.
8
3. Dimensi sosial seperti pertambahan jumlah penduduk, rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, rendahnya pastisipasi masyarakat dalam upaya pengembangan kawasan. Selain ketiga dimensi tersebut diatas, dimensi lainnya yang dibutuhkan sebagai perangsang (stimulus) dan pendukung dalam pengembangan Kawasan Minapolitan yaitu dimensi infrastruktur dan teknologi serta dimensi hukum dan kelembagaan, berikut beberapa permasalahan menyangkut kedua dimensi tersebut, antara lain: 1. Dimensi infrastruktur dan teknologi seperti kurang strategisnya akses jalan ke sentra-sentra produksi, penggunaan teknologi sederhana serta sarana dan prasarana pendukung produksi usaha tani. 2. Dimensi
hukum
dan
kelembagaan
seperti
minimnya
lembaga
pemerintahan di bidang perikanan, lembaga pemasaran, dan minimnya akses informasi pasar. Proses pelaksanaan mewujukan pengembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo yang berkelanjutan, dilakukan dengan memperhatikan berbagai dimensi terkait yaitu dimensi ekologi, sosial, ekonomi, infrastruktur dan teknologi dan hukum dan kelembagaan, setiap dimensi tersebut harus berjalan/berada pada kondisi optimal dan seimbang, serta dengan tetap didukung oleh perkembangan sistem agribisnis yang optimal juga. Kebijakan yang sesuai dan tepat dengan kondisi di kawasan, memerlukan pengkajian dan penilaian terhadap perkembangannya, hal ini melingkupi bagaimana kinerja kawasan, bagaimana status keberlanjutan kawasan tersebut serta apa prioritas kebijakan yang dibutuhkan saat ini dan kedepannya.
Secara garis besar, perumusan
masalah yang terjadi dalam pembangunan Kawasan Minapolitan disajikan dalam Gambar 1.
9
Pengembangan Kawasan
Wilayah Perkotaan Disparitas Pembangunan Tingkat Kesejahteraan Urbanisasi Perekonomian
Wilayah Perdesaan Kualitas SDM Infrastruktur Sarana/ Prasarana
Kesenjangan Pembangunan
Pengembangan Kawasan Minapolitan
Analisis Kinerja Perkembangan Kawasan
Analisis Status Keberlanjutan Kawasan Minapolitan
Gambar 1. Skema Perumusan Masalah.
Rumusan permasalahan pengembangan Kawasan Minapolitan dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah kinerja Kawasan Minapolitan Bontonompo, Kabupaten Gowa saat ini? 2. Bagaimanakah status keberlanjutan atas konsep pengembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo, Kabupaten gowa ini? Ruang lingkup penelitian ini mengkaji pengembangan Minapolitan di kawasan perdesaan dengan komoditas unggulan di bidang perikanan berupa Ikan Mas, Ikan Nila, Ikan Bandeng, Udang dan Kepiting.
Minapolitan dalam
penelitian ini didefinisikan sebagai kota di daerah pertanian dengan kegiatan berbasis perikanan, konservasi sumberdaya alam dan pengembangan potensi daerah dengan bingkai pembangunan berwawasan lingkungan. Ruang lingkup analisis dalam penelitian ini adalah analisis kuantitatif yang dilakukan yakni dengan analisis kinerja kawasan dan analisis status keberlanjutan.
10
1.4. Kerangka Pemikiran Konsep
pembangunan
nasional
secara
komprehensif
meliputi
pembangunan ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Pembangunan nasional secara umum dapat dikelompokkan sebagai pembangunan perkotaan (urban) dan daerah perdesaan (rural).
Daerah
perkotaan selama ini telah diarahkan sebagai pusat industri dan perdagangan, disamping sebagai pusat pemerintahan.
Hal ini dapat dilihat dari pesatnya
pembangunan sarana dan prasarana perdagangan, perkantoran dan industri di daerah perkotaan. Sementara ini daerah perdesaan diarahkan sebagai pusat produksi pertanian dan turunannya seperti produksi perikanan.
Peningkatan
produksi perikanan diharapkan dapat meningkatkan perekonomian perdesaan. Konsep
pembangunan
tersebut
di
atas
cenderung
menyebabkan
kesenjangan antara wilayah perkotaan dengan perdesaan. Ketidakseimbangan pembangunan antar wilayah tentunya akan berdampak semakin buruknya distribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya yang menciptakan inefisiensi dan tidak optimalnya sistem ekonomi, serta potensi konflik yang cukup besar, dimana wilayah yang dulunya kurang tersentuh pembangunan mulai menuntut hak-haknya.
Di sisi lain, akumulasi pembangunan di wilayah perkotaan
mendorong terjadinya krisis urbanisasi, sementara di perdesaan mengalami krisis tenaga kerja. Menyadari adanya ketidakseimbangan pembangunan, maka pemerintah mulai menyelenggarakan program pengembangan kawasan yang didasarkan atas keunggulan-keunggulan komparatif berupa upaya-upaya peningkatan produksi dan produktivitas kawasan yang didasarkan atas pertimbangan optimalisasi daya dukung, kapabilitas dan kesesuaian sumberdaya wilayah diantaranya melalui pembangunan kawasan dengan pendekatan pengembangan kawasan minapolitan. Selain penyesuaian sumberdaya dan sosial masyarakat setempat, ketersediaan berbagai fasilitas publik seperti sumber air bersih, tenaga listrik, pusat pasar, lembaga perbankan dan keuangan, sekolah atau pusat pendidikan dan pelatihan, jaringan jalan, sistem transportasi dan komunikasi merupakan beberapa fasilitas yang diperlukan guna mendorong dan mendukung dalam tercapainya strategi pembangunan pertanian dan ekonomi perdesaan dan penyumbang peningkatan kinerja sistem perekonomian nasional.
Pandangan
tersebut memberikan penjelasan bahwa aspek sosial, ekonomi, ekologi, teknologi dan infrastruktur dan kelembagaan merupakan aspek-aspek yang
11
harus menjadi pertimbangan atau perhatian penting dalam upaya penjaminan keberlanjutan pengembangan suatu kawasan (Rustiadi et al., 2003). Pengembangan minapolitan ini lebih menekankan kepada pengembangan wilayah, kelestarian lingkungan, kelembagaan, peningkatan produk lokal dan partisipasi masyarakat. Model pengembangan seperti ini merupakan alternatif yang dapat digunakan dalam pembangunan perdesaan yang berkelanjutan. Untuk mengetahui model pembangunan tersebut benar-benar berjalan dengan prinsip keberlanjutan, maka dari itu diperlukan evaluasi kinerja dan suatu analisis bagi status keberlanjutan yang ditinjau dari segi hukum dan politik, lingkungan, sosial budaya, ekonomi dan teknologi. Secara garis besar, kerangka pemikiran tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Kerangka Pemikiran.
12
1.5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memperkaya ilmu pengetahuan dan membangun kasanah keilmuan dalam analisis kebijakan yang terkait dengan pemberdayaan kegiatan pengembangan perdesaan. Manfaat lain dari hasil penelitian ini diharapkan: 1. Bagi pemerintah daerah, dapat dijadikan bahan masukan dalam penyusunan perencanaan pembangunan kawasan khususnya melalui pengembangan Minapolitan secara berkelanjutan. 2. Bagi masyarakat, dapat memberikan sumbangan kontribusi hasil pemikiran secara ilmiah dalam pengembangan kawasan Minapolitan.
13
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pembangunan Perkotaan dan Perdesaan Bekerja di kota ternyata lebih baik dan menjanjikan dari pada bekerja dengan lumpur di perdesaan (Suwandi, 2005).
Adanya ketimpangan
pembangunan antara desa sebagai produsen pertanian dengan kota sebagai pusat kegiatan dan pertumbuhan ekonomi telah mendorong aliran sumberdaya dari wilayah perdesaan ke kawasan perkotaan secara tidak seimbang, akibatnya jumlah dan persentase penduduk miskin lebih banyak terdapat di perdesaan dari pada di perkotaan. Berbagai program untuk mengatasi berbagai permasalahan kesenjangan pembangunan wilayah, sebenarnya telah dilakukan sejak Repelita (1968 – 1973).
Pada waktu itu pemerintah menetapkan tiga asas dalam
menetapkan lokasi proyek pembangunan yaitu efisiensi, perimbangan antar daerah dan perimbangan di dalam daerah. Program tersebut antara lain: 1. Percepatan
pembangunan
wilayah-wilayah
unggulan/potensial
berkembang, tetapi relatif tertinggal dengan menetapkan kawasankawasan seperti: (a) kawasan andalan (Kadal) dan (b) kawasan pembangunan ekonomi terpadu (Kapet) yang merupakan salah satu Kadal terpilih di tiap propinsi. 2. Program percepatan
pembangunan
yang bernuansa
mendorong
pembangunan kawasan perdesaan dan sentra produksi pertanian seperti:
(a)
kawasan
sentra
produksi
pengembangan kawasan tertinggal; dan
(KSP
atau
Kasep);
(b)
(c) proyek pengembangan
ekonomi lokal. 3. Program-program sektoral dengan pendekatan wilayah seperti: (a) program Bimas dengan pengembangan kelembagaan pelayanan perdesaan dan pengembangan kapasitas petaninya (dilakukan lebih dari 35 tahun); (b) perwilayahan komoditas unggulan; (c) pengembangan sentra industri kecil; (d) pengembangan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP); (e) program pengembangan kecamatan (PPK); dan (f) program kemiskinan. 2.2. Pengertian Kawasan Perdesaan Menurut Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang didefinisikan kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan
14
utama pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Kata kawasan sendiri dapat diartikan sebagai wilayah dengan fungsi utama adalah lindung atau budidaya, sedangkan wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Menurut Suwandi (2005), desa selama ini diartikan sebagai struktur pemerintahan dan tidak pernah ditonjolkan desa sebagai aset nasional, aset perekonomian nasional. Desa tiada lain adalah kawasan fungsional dengan ciri kegiatan utama adalah sektor pertanian. 2.3. Pembangunan Perdesaan Berkelanjutan Pradhan (2003) menyatakan bahwa pembangunan perdesaan hanya dapat berkesinambungan apabila fasilitas prasarana dan sarana yang tersedia dapat menstimulasi serta mendorong aktivitas produksi dan pasar di wilayah perdesaan. Perdesaan sebagai pemasok hasil produksi pertanian dalam bentuk produk-produk primer harus didorong menjadi desa-desa yang mampu menghasilkan bahan olahan atau industri hasil pertanian sehingga menjadi kawasan pertumbuhan ekonomi lokal. Menurut Pranoto (2002) untuk mencapai tujuan pembangunan perdesaan diperlukan integrasi kegiatan-kegiatan pokok yang meliputi: 1. Pembangunan sarana dan prasarana. 2. Pembangunan sistem agribisnis. 3. Pengembangan industri kecil dan rumah tangga. 4. Penguatan lembaga dan organisasi ekonomi masyarakat. 5. Pengembangan jaringan produksi dan pemasaran. 6. Penguasaan teknologi tepat guna. 7. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan peningkatan kehidupan sosial ekonomi kelompok keluarga miskin secara terpadu. 8. Menyempurnakan struktur organisasi pemerintah desa dan lembagalembaga ekonomi lainnya. Menurut Kurnia (1999) upaya untuk melakukan modernisasi dan penguatan ekonomi
perdesaan
adalah
melalui
dukungan
penyediaan
infrastruktur
15
perdesaan seperti jalan, listrik, air bersih, dan prasarana kegiatan ekonomi lainnya. Miyoshi (1997) mengemukakan pernyataan Friedmann dan Douglass, bahwa strategi pembangunan perdesaan yang cocok supaya memperhatikan: 1. Sektor pertanian harus dipandang sebagai leading sektor, 2. Kesenjangan pendapatan dan kondisi kehidupan antara kota dan desa harus dikurangi, 3. Dikembangkan small scale production untuk pemasaran lokal harus dilindungi melawan kompetisi dari pengusaha besar. Menurut Tong Wu (2002) strategi pembangunan dapat mencakup: 1. Redistribusi dengan pertumbuhan. 2. Substitusi export. 3. Penciptaan lapangan kerja dan pembangunan perdesaan. Pembangunan berkelanjutan atau sustainable development merupakan gagasan atau konsep pembangunan yang sudah sejak lama dicanangkan baik oleh sekelompok masyarakat tertentu, negara, maupun oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Konsep tersebut dipicu oleh kekhawatiran manusia
terhadap kelestarian tempat dimana mereka tinggal, disamping upaya mencari kemungkinan tempat tinggal lain di luar planet bumi. Namun demikian, yang lebih penting bagi manusia adalah bagaimana melestarikan tempat tinggal yang ada saat ini sehingga generasi penerus atau anak cucu kita dapat menikmatinya. Menurut WCED (1987), definisi pembangunan berkelanjutan adalah sebagai berikut: ”Humanity has the ability to make development sustainable to ensure that it meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs”. Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 bahwa pembangunan berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai “ upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkup hidup termasuk sumberdaya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan”. Dalam definisi tersebut, dapat dipahami bahwa konsep pembangunan berkelanjutan didirikan atau didukung oleh tiga pilar, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Ketiga pendekatan tersebut bukanlah pendekatan yang berdiri
sendiri, tetapi saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain (Munasinghe, 1993). Tantangan pembangunan berkelanjutan adalah menemukan cara untuk meningkatkan kesejahteraan sambil menggunakan sumberdaya alam secara bijaksana. Oleh karena itu, kebijakan pembangunan harus memberi perhatian
16
untuk perlunya menata kembali landasan sistem pengelolaan asset-aset di wilayah baik di perkotaan maupun di perdesaan. Penataan kembali tersebut lebih berupa integrasi kepada pemanfaatan ganda, yaitu ekonomi dan lingkungan/ekosistem, dan keberhasilannya dapat dilihat dan dirumuskan dengan melihat
indikator-indikator antara
lain:
kontribusi terhadap
keberlanjutan
lingkungan lokal, kontribusi terhadap keberlanjutan penggunaan sumberdaya alam, kontribusi terhadap peningkatan lapangan kerja, kontribusi terhadap keberlanjutan ekonomi makro, efektivitas biaya, dan kontribusi terhadap kemandiran teknis. 2.4. Sumberdaya Ikan 2.4.1. Sifat sumberdaya ikan Ikan adalah salah satu bentuk sumberdaya alam yang bersifat renewable atau mempunyai sifat dapat pulih. Menurut Widodo dan Nurhakim (2002) sumberdaya ikan pada umumnya dianggap bersifat open access dan common property yang artinya pemanfaatan bersifat terbuka oleh siapa saja dan kepemilikannya bersifat umum. Sifat sumberdaya seperti ini menimbulkan beberapa konsekuensi, antara lain: 1. Tanpa adanya pengelolaan akan menimbulkan gejala eksploitasi berlebihan (over exploitation), investasi berlebihan (over investment) dan tenaga kerja yang berlebihan (over employment). 2. Perlu adanya hak kepemilikan (property rigts), misalnya oleh negara, masayarakat atau swasta. Sifat-sifat sumberdaya seperti di atas menjadikan sumberdaya ikan bersifat unik, dan setiap orang seakan-akan mempunyai hak untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut dalam batas-batas kewenangan hokum suatu Negara. Dengan demikian kondisi ini memungkinkan bagi setiap orang atau perusahaan dapat dengan bebas masuk dan mengambil manfaatnya. Dengan demikian secara prinsip sumberdaya milik bersama yang dicirikan dengan pengambilan secara bebas maupun akibat lain yang ditimbulkan seperti biaya eksternalitas (tidak ekonomis) sehingga akan menimbulkan kecenderungan pengelolaan secara deplesi (Suparmoko, 1997). Menurut Nikijuluw (2002) ada 3 sifat khusus yang dimiliki sumberdaya yang bersifat milik bersama antara lain: (1) ekskludabilitas; (2) substraktabilitas dan (3) indivisibilitas.
17
2.4.2. Pengelolaan sumberdaya ikan Pengelolaan sumberdaya ikan adalah suatu proses yang terintegrasi mulai dari pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pengambilan, keputusan, alokasi sumber dan implementasinya dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas serta pencapaian tujuan pengelolaan (FAO, 1997). Sementara menurut Widodo dan Nurhakim (2002) bahwa tujuan pengelolaan sumberdaya ikan, antara lain: 1. Menjaga kelestarian produksi, terutama melalui berbagai regulasi serta tindakan perbaikan. 2. Meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial para nelayan. 3. Memenuhi keperluan industri yang memanfaatkan produksi perikanan. Pengelolaan sumberdaya ikan haruslah mampu mencegah terjadinya konflik antara kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan untuk tujuan ekonomi termasuk adanya keadilan didalam distribusi manfaat yang dihasilkan oleh sumberdaya ikan tersebut serta upaya konservasi sumberdaya ikan untuk kepentingan generasi yang akan datang. Ada 4 strategi yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut (Lawson, 1984), antara lain: 1. Mencegah
terjadinya
tangkap
lebih
(over eksploitation) dengan
melakukan pengendalian terhadap kegiatan penangkapan. 2. Memperbaiki kualitas ikan yang akan dijual kepada konsumen dengan jalan melakukan penanganan yang baik serta mengurangi kerusakan ikan setelah proses penangkapan. 3. Mengembangkan pemanfaatan sumberdaya perikanan lain seperti kegiatan budidaya. 4. Mengembangkan sistem pemasaran yang berorientasi pada spesies yang dapat diterima oleh konsumen. Menurut Tai (1995) mengembangkan model sistem pengelolaan perikanan yang didasarkan pada 3 (tiga) komponen utama sebagai sub model, yaitu sub model biologi, sub model sosial dan ekonomi serta sub model manajemen. Pada sub model biologi digambarkan dinamika populasi dalam perikanan dan berhubungan erat dengan sub model ekonomi melalui kegiatan penangkapan. Sementara sub model sosial-ekonomi menggambarkan adanya biaya manfaat dan biaya didalam kegiatan penangkapan ikan. Dalam hal ini harga memainkan peranan penting didalam menentukan penerimaan dan keuntungan.
18
2.4.3. Kebijakan Pembangunan Perikanan Menurut Parsons (2001), kebijakan adalah seperangkat aksi atau rencana yang mengandung tujuan politik dan merupakan manivestasi dari penilaian yang penuh pertimbangan.
Pada dasarnya kebijakan dapat dibedakan menjadi 2,
yaitu kebijakan privat dan kebijakan publik (Simatupang, 2001). Kebijakan privat adalah tindakan yang dilakukan seseorang atau lembaga swasta dan tidak bersifat memaksa kepada orang lain atau lembaga lain. Kebijakan publik adalah tindakan kolektif yang diwujudkan melalui kewenangan pemerintah yang legitimate untuk mendorong, melarang atau mengatur tindakan privat (individu maupun lembaga swasta).
Dalam hal ini Hogwood and Gunn (1986)
mengemukakan adanya 2 ciri dari kebijakan publik, yaitu: 1. Dibuat atau diproses oleh lembaga pemerintahan atau berdasarkan prosedur yang ditetapkan pemerintah. 2. Bersifat
memaksa
atau
berpengaruh
terhadap
tindakan
privat
(masyarakat luas atau publik). Berangkat dari pemahaman diatas, maka kebijakan pembangunan perikanan dapat dikelompokkan kedalam kebijakan publik, yaitu suatu keputusan dan tindakan pemerintah untuk mengarahkan, mendorong, mengendalikan dan mengatur
pembangunan
perikanan
termasuk
didalamnya
pembangunan
perikanan tangkap, yang merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Dalam pembangunan perikanan, keberadaan sumberdaya ikan menjadi sangat penting, karena ikan dan sumberdaya lingkungan serta sumberdaya buatan manusia
termasuk
manusia
merupakan
unsur-unsur
yang
ada
dalam
sumberdaya perikanan. Dengan demikian, pengelolaan sumberdaya perikanan meliputi penataan pemanfaatan sumberdaya ikan, pengelolaan lingkungan dan pengelolaan kegiatan manusia (Nikijuluw, 2002). Lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa upaya mengelola sumberdaya perikanan pada dasarnya secara implisit merupakan tindakan menyusun langkah-langkah untuk membangun perikanan. Hal ini pula yang menyebabkan tujuan dari pengelolaan sumberdaya perikanan sama dengan tujuan dari pembangunan perikanan. Tujuan pembangunan perikanan (UU No. 45 Tahun 2009) adalah: 1. Meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil. 2. Meningkatkan penerimaan dan devisa negara. 3. Mendorong perluasan dan kesempatan kerja.
19
4. Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein hewani. 5. Mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan. 6. Meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing. 7. Meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan. 8. Mencapai pemanfaatan sumberdaya ikan, lahan pembudidaya ikan dan lingkungan sumberdaya ikan secara optimal. 9. Menjamin kelestarian sumberdaya ikan, lahan pembudidaya ikan dan tata ruang. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, maka kebijakan pembangunan perikanan
Indonesia
ditekankan
pada
pengendalian
perikanan
tangkap,
pengembangan budidaya perikanan dan peningkatan nilai tambah melalui perbaikan
mutu
dan
pengembangan
produk
yang
mengarah
pada
pengembangan industri kelautan dan perikanan yang terpadu berbasis masyarakat. Strategi yang ditempuh adalah melalui peningkatan daya saing komoditas perikanan yang didukung dengan peningkatan sumberdaya manusia serta pemberian akses dan kesempatan yang sama pada seluruh pelaku usaha di bidang perikanan sehingga mampu menghadapi persaingan global di tengah peningkatan tuntutan dan kebutuhan masyarakat dengan berbagai dimensi. 2.4.4. Pembangunan Perikanan Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu strategi pembangunan yang memberikan ambang batas pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Ambang batas ini tidak bersifat mutlak tetapi merupakan batas yang luwes yang tergantung pada kondisi teknologi dan social ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam serta daya dukung alam (carrying capacity) untuk menerima dampak kegiatan manusia. Pembangunan perikanan darat dapat berkelanjutan jika pola dan laku pembangunannya dapat dikelola sedemikian rupa, sehingga total permintaannya terhadap sumberdaya perikanan dan jasa-jasa lingkungannya tidak melampaui kemampuan suplai tersebut. Kualitas dan kuantitas permintaan tersebut
ditentukan oleh jumlah
penduduk dan standart atau kualitas kehidupannya. Konsep pembangunan berkelanjutan sebenarnya telah menjadi agenda International dalam pertemuan komisi dunia untuk pembangunan dan lingkungan (WCED) tahun 1987 dan telah dikonfirmasi oleh Negara-negara di dunia menjadi prioritas internasional dalam konvensi PBB untuk lingkungan dan pembangunan
20
(UNCED, 1992). Kemudian dalam agenda 21 konsep tersebut dibahas dalam Commission on Sustainable Development yang mengembangkan indicator pembangunan berkelanjutan dalam skala yang beragam. Penekanan pada perikanan yang mempunyai masalah pemanfaatan sumberdaya yang tidak lestari menjadi prioritas utama (FAO, 2001). Alder et al (2002) mengatakan bahwa sampai sekarang masih menjadi diskusi yang hangat istilah keberlanjutan (sustainability) dan bagaimana cara mengukurnya. Namun demikian secara umum terdapat satu kesepakan bahwa keberlanjutan harus mencakup komponen ekologi, ekonomi, social, teknologi dan etika (Alder et al, 2002). Konsep pembangunan berkelanjutan oleh WCED (1987) dinyatakan sebagai pembangunan yang mencukupi kebutuhan generasi sekarang dengan tidak mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk mencukupi kebutuhannya. Penekanan pembangunan dalam kontek ini berkaitan dengan kualitas hidup bukan pertumbuhan ekonomi, walaupun kedua hal tersebut sangat berkaitan dalam sistem perekonomian modern. Costanza (1991) mengemukakan bahwa definisi keberlanjutan sangat berguna adalah tingkat konsumsi yang dapat dilanjutkan dalam waktu yang tidak terbatas menurunkan capital stock. Konsep pembangunan berkelanjutan juga dapat dilihat dalam konsep FAO (2001) sebagai pengelolaan dan perlindungan sumberdaya alam dan perubahan orientasi teknologi dan kelembagan dalam beberapa cara yang dapat mendukung pemenuhan kebutuhan generasi sekarang dan yang akan dating. Pembangunan berkelanjutan berusaha untuk melindungi tanah, air, tumbuhan serta sumberdaya genetik hewan yang tidak menurunkan kualitas lingkungan di mana secara teknis tepat, secara ekonomi berguna dan secara social diterima. Kerangka pendekatan hokum (legal framework) prinsip-pinsip pengelolaan sumberdaya perikanan sebenarnya telah terdapat dalam UNCLOS (1982) dan FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries, 1995 (FAO, 2001). Beberapa pertimbangan diperlukannya pembangunan perikanan berkelanjutan diantaranya meliputi: 1. Pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan dan aktivitas pengolahannya harus didasarkan pada ekosistem kelautan tertentu dan teridentifikasi dengan baik. 2. Memelihara daya dukung sumberdaya terhadap aktivitas pemanfaatan dalam jangka panjang.
21
3. Menghidupi tenaga kerja dalam bidang perikanan dalam masyarakat yang lebih luas. 4. Memelihara tingkat kesehatan dan kesatuan ekosistem kelautan untuk pemanfaatan lain, termasuk di dalamnya keanekaragaman hayati, ilmu pengetahuan, nilai intrinsik, struktur tropis dan kegunaan ekonomi lainnya seperti pariwisata dan rekreasi. Tujuan dari pembangunan berkelanjutan akan sejalan dengan tujuan pembangunan perikanan seperti memelihara stok sumberdaya perikanan dan melindungi habitatnya. Namun demikian mengelola sumberdaya perikanan untuk pembangunan yang berkelanjutan bersifat multi dimensi dan aktivitas bertingkat (multilevel activities) yang harus mempertimbangkan lebih banyak aspek dibandingkan dengan daya tahan hidup ikan dan perikanan itu sendiri (FAO, 2001). Paradigma pembangunan perikanan pada dasarnya mengalami evolusi dari paradigma konservasi (biologi) ke paradigma rasional (ekonomi), kemudian ke paradigma sosial/komunitas. Namun ketiga paradigma tersebut masih tetap relevan dalam kaitan dengan pembangunan perikanan yang berkelanjutan. Pembangunan perikanan yang berkelanjutan haruslah mengakomodasikan ketiga aspek tersebut di atas. Oleh karena itu, konsep pembangunan perikanan yang berkelanjutan sendiri mengandung aspek (Charles, 2001): 1. Ecological sustainability (keberlanjutan ekologi). Dalam pandangan ini memelihara keberlanjutan stok/biomass sehingga tidak melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistem menjadi perhatian utama. 2. Sosioeconomic sustainability (keberlanjutan sosio-ekonomi). Konsep ini mengandung
makna
bahwa
pembangunan
perikanan
harus
memperhatikan keberlanjutan dari kesejahtetaan pelaku perikanan pada tingkat individu. Dengan kata lain, mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi merupakan perhatian kerangka keberlanjutan.. 3. Community
sustainability
(keberlanjutan
komunitas)
mengandung
makna bahwa keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat haruslah menjadi perhatian pembangunan perikanan yang berkelanjutan.
22
4. Institutional
Sustainability
(keberlanjutan
kelembagaan).
Dalam
kerangka ini, keberlanjutan kelembagaan yang meyangkut pemeliharaan aspek finansiil dan administrasi yang sehat merupakan prasyarat ketiga pembangunan berkelanjutan di atas. Berdasarkan definisi yang diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa pembangunan perikanan berkelanjutan adalah langkah strategis pembangunan dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan secara bijaksana dan konsisten untuk memenuhi kebutuhan manusia saat sekarang dan juga untuk generasi yang akan datang secara berkelanjutan dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan etik. McGoodwin (1990) menyatakan bahwa dalam menganalisis sumberdaya perikanan, konsekuensi sosial dan ekonomi harus diperhitungkan sama halnya dengan konsekuensi teknis dan etika. Alder et al. (2000) menyatakan bahwa tantangan bagi pengelolaan perikanan adalah menilai keberlanjutan sumberdaya tersebut dengan pendekatan yang bersifat multi disiplin yang mampu mengintergrasikan beberapa aspek yang beragam tersebut. FAO (2001) telah mengembangkan beberapa contoh kriteria untuk masing-masing dimensi dalam sustainable development reference system (SDRS) seperti yang tertera dalam Tabel 1.
23
Tabel 1. Kriteria Analisis Berkelanjutan No
Dimensi
1
Ekonomi
2
Sosial
3
Ekologis
4
Kepemerintahan
Dimensi
Pembangunan
Sumberdaya
Perikanan
Kriteria Volume produksi Nilai produksi Kontribusi perikanan dalam GDP Nilai ekspor perikanan (dibandingkan dengan total nilai ekspor) Investasi dalam perikanan dan fasilitas pengolahan Pajak dan subsidi Tenaga kerja Pendapatan Angkatan kerja Demografi Pendidikan Konsumsi protein Pendapatan Tradisi/budaya Hutang Distribusi gender dalam pengambilan keputusan Komposisi produksi Kelimpahan relatif spesies Tingkat pemanfaatan Dampak langsung alat tangkap terhadap non spesies terget Dampak alat tangkap terhadap habitat Keanekaragaman hayati Perubahan daerah dan kualitas dari habitat penting atau kritis Tekanan dari penangkapan (dibandingkan dengan daerah yang belum termanfatkan) Kepatuhan terhadap sistem pemerintahan (complience) Hak kepemilikan (property right) Keterbukaan dan partisipasi Kemampuan untuk mengelola Tata pemerintahan yang baik (good governance)
Sumber: FAO, 2001
2.4.5. Sistem Perikanan Berkelanjutan Keberlanjutan sistem perikanan menurut Charles (2001) ditentukan oleh keberlanjutan empat aspek, antara lain: 1. Keberlanjutan aspek ekologis (menghindari punahnya sumberdaya ikan di masa datang. 2. Keberlanjutan aspek sosial ekonomis (keberlanjutan dan kelayakan ekonomi dan keuntungan sosial). 3. Keberlanjutan aspek kemasyarakatan (menilai masyarakat lebih dari sekedar kumpulan individu) 4. Keberanjutan aspek institusional (kelayakan jangka panjang sistem pengelolaan sumberdaya).
24
Pendekatan yang dapat dilakukan untuk mewujudkan sistem perikanan berkelanjutan dapat dilakukan dengan pendekatan dari aspek lingkungan biofisik, lingkungan manusia dan institusi politik dan ekonomi. Lingkungan biofisik dapat ditentukan dengan 3 cara, yaitu: (1) menetapkan batas-batas ekologis dan menyesuaikan dalamm hubungan dengan ekosistem; (2) mengenali kebutuhan untuk menggabungkan aktivitas manusia dengan siklus alam dan (3) aktivitas utama didasarkan pada sumberdaya yang dapat diperbaharui. Pendekatan aspek manusia dilakukan dengan 3 cara, yaitu (1) pemenuhan kebutuhan dasar manusia; (2) menerapkan asas kesamaan dan keadilan sosial dan (3) peraturan yang pasti. Pendekatan institusi politik dan ekonomi (kelembagaan) dapat ditentukan dengan 6 cara, yatiu: (1) membangun perspektif jangka panjang lebih dominan; (2) menetapkan tujuan ganda (sosial/ekonomi/lingkungan); (3) mengantisipasi perkembangan di masa datang/adaptif; (4) responsif terhadap krisis pada level yang berbeda; (5) menetapkan orientasi dari sistem yang dibangun dan (6) menetapkan prinsip-prinsip manajemen yang kondusif. Pendekatan ketigas aspek tersebut mempunyai kriteria dan indikator yang jelas untuk menilai keberlanjutan sistem perikanan. Menurut Charles (2001) bahwa kriteria sistem perikanan yang berkelanjutan ditinjau dari aspek ekologi meliputi
tingkat
penangkapan,
jumlah
biomassa,
ukuran
ikan,
kualitas
lingkungan, keragaman spesies, keragaman ekosistem, luas area dilindungi dan pemahaman ekosistem. Kriteria sistem perikanan yang berkelanjutan ditinjau dari aspek ekonomi menurut Charles (2001) meliputi fleksibilitas masyarakat, kemandirian masyarakat, daya dukung manusia, daya dukung lingkungan, kesamaan distribusi, investasi, suplai pangan dan ketahanan pangan jangka panjang. Kriteria sistem perikanan yang berkelanjutan ditinjau dari aspek institusional
menurut
Charles
(2001)
meliputi
efektivitas
manajemen,
penggunaan metode tradisional, penggabungan input lokal, kapasitas terpasang dan keberlangsungan institusi. 2.4.6. Pembangunan Agribisnis Perikanan di Indonesia Pembangunan perikanan selama ini terlampau berorientasi kepada usaha budidaya
dengan
sasaran
utama
peningkatan
produksi.
Paradigma
pembangunan yang demikian menciptakan hasil yang tidak sesuai potensi yang dimiliki, baik terhadap perekonomian nasional maupun bagi para petani/nelayan sebagai pelaku usaha terbesar di sektor ini. Struktur agribisnis yang hanya
25
memberikan subsistem agribisnis usaha budidaya sebagai porsi ekonomi petani/nelayan sulit diharapkan dapat meningkatkan pendapatannya. Oleh karena itu, diharapkan petani/nelayan dapat ikut serta dalam subsistem agribisnis hulu dan hilir yang merupakan subsistem yang memiliki potensi untuk mendorong pertumbuhan yang tinggi dan dapat mengatasi kemiskinan karena daya jangkau dan spektrum kegiatannya yang sangat luas. Pembangunan sektor perikanan dengan pendekatan sistem agribisnis adalah membangun dan mengembangkan subsistem industri hulu perikanan (upstream agribusiness) meliputi: pembenihan, industri peralatan budidaya dan penangkapan ikan, dan industri pakan, subsistem budidaya atau penangkapan ikan
dan
penangkapan
pascapanen
dan
pascapenangkapan
(on
farm
agribusiness), subsistem industri hilir (down stream agribusiness) meliputi: pengolahan (agroindustri) dan pemasaran dan subsistem jasa penunjang meliputi: perbankan, transportasi, penelitian dan pengembangan, kebijakan pemerintah, penyuluhan. Pembangunan yang berwawasan agribisnis merupakan upaya sistematis yang dipandang strategis dalam mencapai beberapa tujuan antara
lain
menarik dan
mendorong
pengembangan
sektor perikanan,
mencipatakan struktur ekonomi yang tangguh, efisien dan fleksibel, menciptakan nilai tambah, meningkatkan devisa negara, menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan. Untuk menciptakan kondisi strategik agribisnis, maka eksistensi dan keterkaitan masing-masing subsistem merupakan syarat yang perlu bagi berlangsungnya sistem agribisnis yang dinamis. Kondisi seperti ini membuat para petani/nelayan akan terlengkapi perangkap fungsional dalam memanfaatkan sumberdaya secara optimal dan rasional serta efektif dan efisien dalam mentransformasikan masukan menjadi luaran untuk mendapatkan nilai tambah maksimal serta menjadi pelaku usaha dengan posisi tawar yang tinggi. 2.5. Pengertian Kawasan Minapolitan Menurut UU No. 26/2007 tentang penataan ruang, kawasan adalah suatu wilayah yang mempunyai fungsi dan atau aspek/pengamatan fungsional tertentu. Secara terminologi, Minapolitan terdiri dari kata mina yang berarti perikanan dan politan yang berarti kota. Minapolitan (KKP, 2010) merupakan konsep pembangunan kelautan dan perikanan berbasis wilayah dengan pendekatan dan
26
sistem manajemen kawasan dengan prinsip-prinsip, integrasi, efisiensi, kualitas, dan akselerasi. Kawasan Minapolitan berdasarkan turunan kawasan Agropolitan: adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi perikanan dan pengeloaan sumberdaya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem minabisnis. Kawasan Minapolitan adalah suatu wilayah yang mempunyai fungsi sebagai pengembangan usaha perikanan yang berkembang dalam sebuah sistem agribisnis yang utuh dan menyeluruh, yang berangsur-angsur menampilkan suatu ciri kekotaan karena kelengkapan prasarana dan sarana yang dimilikinya (DPK Kabupaten Gowa, 2008). Pengembangan minapolitan ini lebih menekankan kepada pengembangan wilayah, kelestarian lingkungan, kelembagaan, peningkatan produk lokal dan partisipasi masyarakat. Program Pengembangan Kawasan Minapolitan adalah
pembangunan
ekonomi berbasis perikanan di Kawasan Agribisnis, yang dirancang dan dilaksanakan dengan jalan mensinergikan berbagai potensi yang ada untuk mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi, yang digerakkan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah (KKP, 2010).
Minapolitan
merupakan upaya percepatan pengembangan pembangunan kelautan dan perikanan di sentra-sentra produksi perikanan yang memiliki potensi untuk dikembangkan dalam rangka mendukung visi dan misi Kementerian Kelautan dan Perikanan. Tujuan dari pengembangan minapolitan (KKP, 2010), yaitu: 1. Meningkatkan
produksi
perikanan,
produktivitas
usaha
dan
meningkatkan kualitas produk kelautan dan perikanan. 2. Meningkatkan pendapatan nelayan, pembudidaya dan pengolah ikan yang adil dan merata. 3. Mengembangkan Kawasan Minapolitan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di daerah dan sentra-sentra produksi perikanan sebagai penggerak perekonomian rakyat. Adapun sasaran dari pengembangan minapolitan (KKP, 2010) adalah: 1. Ekonomi rumah tangga masyarakat kelautan dan perikanan skala kecil makin kuat
27
2. Usaha kelautan dan perikanan kelas menengah ke atas makin bertambah dan berdaya saing tinggi. 3. Sektor kelautan dan perikanan menjadi penggerak ekonomi nasional. Menurut KKP (2010) bahwa pendekatan yang harus dilakukan dalam pengembangan minapolitan antara lain: 1. Ekonomi kelautan dan perikanan berbasis wilayah Mendorong penerapan manajemen hamparan untuk mencapai skala ekonomi, mencegah penyebaran penyakit, meningkatkan efisiensi dalam menggunakan
sumberdaya
sekaligus
mengintegrasikan
pemenuhan
kebutuhan sarana produksi, proses produksi, pengolahan dan pemasaran hasil dan pengelolaan lingkungan dalam kesisteman yang mapan. 2. Kawasan ekonomi unggulan Memacu pengembangan komoditas yang memilki kriteria (a) bernilai ekonomis tinggi; (b) teknologi tersedia, (c) permintaan pasar besar dan (d) dapat dikembangkan secara masal. 3. Sentra produksi Minapolitan berada dalam kawasan pemasok hasil perikanan (sentra produksi perikanan) yang dapat memberikan konstribusi yang besar terhadap mata pencaharian dan kesejahteraan masyarakat. Seluruh sentra produksi kelautan dan perikanan menerapkan teknologi inovatif dengan kemasan dan mutu terjamin. 4. Unit usaha Seluruh unit usaha dilakukan dengan menggunakan prinsip bisnis secara profesional dan berkembang dalam satu kemitraan usaha yang saling memperkuat dan menghidupi. 5. Penyuluhan. Penguatan kelembagaan dan pengembangan jumlah penyuluh merupakan salah satu syarat mutlak keberhasilan pengembangan minapolitan. Penyuluh akan berperan sebagai fasilisator dan pendamping penerapan teknologi penangkapan dan budidaya ikan serta pengolahan hasil perikanan. 6. Lintas sektor Minapolitan dikembangan dengan dukungan dan kerjasama berbagai instansi terkait untuk mendukung kepastian usaha antara lain terkait
28
dengan sarana dan prasarana pemasaran produk perikanan, tata ruang wilayah, penyediaan air bersih, listrik, akses dan BBM.
2.5.1. Ciri-Ciri Kawasan Minapolitan Menurut DPK Kabupaten Gowa (2008) bahwa Kawasan Minapolitan memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Sebagian besar masyarakat di Kawasan Minapolitan memperoleh sumber pendapatan dari kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan agribisnis perikanan. 2. Sebagian besar kegiatan di Kawasan Minapolitan didominasi oleh kegiatan agribisnis perikanan, termasuk di dalamnya usaha agribisnis hilir (pengolahan dan perdagangan hasil-hasil perikanan), agribisnis hulu (pengadaan sarana perikanan dan permodalan), agrowisata, jasa pelayanan, dan lain-lain. 3. Hubungan antar kota dan daerah sekitarnya (hinterland) adalah hubungan timbal balik yang harmonis dan saling membutuhkan, dimana kawasan hinterland perikanan mengembangkan produk primer dan produk olahan skala rumah tangga, sebaliknya pusat kawasan menyediakan fasilitas-fasilitas yang mendukung pengembangan usaha budidaya dan usaha-usaha lain yang berkaitan. 4. Kehidupan masyarakat di Kawasan Minapolitan mirip dengan suasana kota karena keadaan sarana yang ada di Kawasan Minapolitan tidak jauh berbeda dengan di kota. 2.5.2. Persyaratan Kawasan Minapolitan Suatu wilayah dapat dikembangkan menjadi suatu Kawasan Minapolitan apabila memenuhi persyaratan (DPK Kabupaten Gowa, 2008) sebagai berikut: 1. Memiliki sumberdaya lahan dengan agroklimat yang sesuai untuk mengembangkan komoditi perikanan yang dapat dipasarkan atau telah mempunyai pasar (komoditi unggulan), serta berpotensi atau telah berkembang
diversifikasi
usaha
dari
komoditi
unggulannya.
Pengembangan kawasan tersebut tidak saja menyangkut kegiatan budidaya perikanan tetapi juga kegiatan pada agribisnis hulu dan hilir. 2. Memiliki berbagai sarana dan prasarana agribisnis yang memadai untuk mendukung pengembangan sistem agribisnis, antara lain:
29
a. Pasar, baik pasar untuk hasil perikanan, pasar sarana perikanan, alat dan mesin perikanan, maupun pasar jasa pelayanan, termasuk pasar lelang, gudang tempat penyimpanan dan pengolahan hasil perikanan sebelum dipasarkan. b. Lembaga keuangan (perbankan dan non perbankan) sebagai sumber modal untuk kegiatan agribisnis perikanan. c. Memiliki kelembagaan petani ikan (kelompok, koperasi, asosiasi) yang dinamis dan terbuka pada inovasi baru. Kelembagaan ini harus
berfungsi
pula
sebagai
Sentra
Pembelajaran
dan
Pengembangan Agribisnis (SPPA). Disamping itu diharapkan kelembagaan petani dengan petani ikan disekitarnya merupakan inti-plasma dari usaha agribisnis. d. Balai Penyuluhan Perikanan (BPP) yang berfungsi sebagai Klinik Konsultasi Agribisnis (KAA), yakni sebagai sumber informasi agribisnis, tempat percontohan usaha agribisnis, dan pusat pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan usaha agribisnis yang lebih efisien dan menguntungkan. 3. Jaringan jalan yang memadai dan aksesibilitas dengan daerah lainnya serta sarana irigasi yang dapat mendukung usaha agribisnis yang efektif dan efisien. 4. Memiliki
sarana
dan
prasarana
umum
yang
memadai
seperti
transportasi, jaringan listrik, telekomunikasi, air bersih, dan lain-lain. 5. Memiliki sarana dan prasarana kesejahteraan sosial/masyarakat yang memadai, seperti sarana kesehatan, pendidikan, kesenian, rekreasi, perpustakaan, swalayan, dan lain-lain. 6. Kelestarian lingkungan hidup, baik kelestarian sumberdaya alam, kelestarian sosial budaya, maupun keharmonisan hubungan kota dan desa yang semakin baik. 2.5.3. Konsep Kawasan Minapolitan Menurut Deptan (2002) agropolitan berasal dari kata agro berarti pertanian dan politan berarti kota, yaitu kota pertanian yang tumbuh dan berkembang dalam sistem usaha agribisnis sehingga dapat melayani, mendorong dan menarik kegiatan pembangunan agribisnis di wilayah sekitarnya. Dapat juga
30
disebutkan sebagai kota pertanian atau kota di lahan pertanian atau juga pertanian di daerah kota. Minapolitan merupakan konsep pengembangan yang diadopsi dari konsep agropolitan, yaitu kota perikanan yang tumbuh dan berkembang dalam sistem usaha agribisnis sehingga dapat melayani, mendorong dan menarik kegiatan pembangunan agribisnis di wilayah sekitarnya. Menyangkut luasan wilayah minapolitan dalam kota pertanian dan desa penyangga sentra produksi perikanan sebagai aktifitas pembangunan dengan jumlah penduduk antara 50.000 sampai dengan 150.000 jiwa. Sebagai contoh kawasan agropolitan berbasis peternakan sebagai komoditas unggulan di kabupaten Agam terdiri dari 5 (lima) kecamatan dengan jumlah penduduk 56.000 jiwa. Sedangkan menurut Rustiadi et al, 2006 menyatakan lebih cocok pada skala kecamatan oleh karena: (1) kemudahan akses, (2) cukup luas untuk mengembangkan wilayah pertumbuhan ekonomi dan diversifikasi produk, (3) pengetahuan lokal yang mudah disinergisasi dalam proses perencanaan. Konsep minapolitan pada dasarnya merupakan perpaduan teori-teori lokasi yang berkembang dalam konsep agropolitan seperti teori Christaller, teori Losh dan teori Von Thunen, kesemua teori ini memberikan pehamahan terhadap masyarakat bahwa setiap wilayah memiliki hirarki dan fungsi yang berbeda, sehingga membentuk suatu interaksi yang tetap dan berlanjut antara kota dan desa. Atas dasar fungsi dan hirarki tersebut dapat ditentukan lokasi untuk setiap aktivitas ekonomi yang akan dikembangkan. LUAR
SENTRA PRODUKSI 2
NEGERI
SENTRA PRODUKSI 3 UNIT
USAHA
X UNIT
BUDIDAYA X
X
PRODUK
USAHA
PASAR
X
X
SENTRA PRODUKSI 1
OLAHAN X UNIT USAHA TANGKAP
DALAM FAKTOR
X X
NEGERI
EKSTERNAL X X X: UNIT USAHA TURUNAN
Gambar 3. Skema Konsep Pengembangan Kawasan Minapolitan.
31
2.5.4. Strategi Pengembangan Kawasan Minapolitan Pengembangan Kawasan Minapolitan memiliki sasaran dan tujuan di dalamya.
Sasaran
pengembangan
Kawasan
Minapolitan
adalah
untuk
mengembangkan kawasan perikanan berpotensi menjadi Kawasan Minapolitan melalui: 1. Pemberdayaan
masyarakat
pelaku
agribisnis
agar
mampu
meningkatkan produksi, produktivitas komoditi perikanan serta produkproduk olahan perikanan yang dilakukan dengan pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang efisiensi; 2. Penguatan kelembagaan petani; 3. Pengembangan kelembagaan sistem agribisnis (penyedia agroinput, pengelolaan hasil, pemasaran dan penyedia jasa); 4. Pengembangan kelembagaan penyuluhan pembangunan terpadu; 5. Pengembangan iklim yang kondusif bagi usaha dan investasi. Departemen Kimpraswil pada tahun 2002 (Dep. PU, 2005) menjabarkan delapan tujuan yang ingin dicapai, yaitu: 1. Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat petani di perdesaan; 2. Mendorong berkembangnya system dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berbasiskan kerakyatan dan berkelanjutan; 3. Meningkatkan keterkaitan desa dan kota (rural-urban linkages); 4. Mempercepat
pertumbuhan
kegiatan
ekonomi
perdesaan
yang
berkeadilan; 5. Mempercepat industrialisasi di wilayah perdesaan; 6. Mengurangi arus urbanisasi atau migrasi dari desa ke kota; 7. Memberi peluang usaha dan menciptakan lapangan pekerjaan; 8. Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Untuk mencapai sasaran dan tujuan tersebut, menurut Soenarno (2003) terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk mencapai sasaran dan tujuan di atas antara lain: 1. Penyusunan master plan pengembangan Kawasan Minapolitan yang akan menjadi acuan masing-masing wilayah/propinsi.
Penyusunan
dilakukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat sehingga program yang disusun lebih akomodatif.
Master plan disusun dalam jangka
32
waktu panjang (10 tahun), jangka menengah (5 tahun) dan jangka pendek (1-3 tahun) yang bersifat rintisan dan stimulun. 2. Penetapan lokasi minapolitan yang kegiatannya dimulai dari usulan penetapan kabupaten oleh pemerintah propinsi, untuk selanjutnya oleh pemerintah kabupaten mengusulkan Kawasan Minapolitan dengan terlebih dahulu melakukan identifikasi potensi dan masalah untuk mengetahui kondisi dan potensi lokal (komoditas unggulan), antara lain: potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, kelembagaan, iklim usaha dan sebagainya serta terkait dengan sistem pemukiman nasional, propinsi dan kabupaten. 3. Sosialisasi program minapolitan dilakukan kepada seluruh stakeholder yang terkait dengan pengembangan program minapolitan baik di pusat maupun di daerah, sehingga pengembangan program minapolitan dapat lebih terpadu dan terintegrasi. 2.6. Analisis Kinerja Kawasan Minapolitan Kabupaten Gowa Dalam pelaksanaannya pengembangan kawasan terkadang memerlukan peninjauan agar konsep dan strategi yang dilakukan berjalan dengan sesuai rencana yang telah ditetapkan. Keberhasilan program minapolitan ditentukan oleh dua indikator berdasarkan dua pendekatan (Dep. PU, 2005), yaitu: 1. Pendekatan dampak a. Pendapatan masyarakat dan pendapatan petani meningkat minimal 5% di Kawasan Minapolitan (di kota dan desa lokasi program minapolitan). b. Produktivitas lahan meningkat minimal 5% di lokasi program. c. Investasi masyarakat (petani, BUMN, swasta) meningkat minimal 10%. 2. Pendekatan Output a. 80% dari kelembagaan petani (kelompok tani, koperasi, kelompok usaha) di Kawasan Minapolitan yang dibina mampu menyusun usaha yang berorientasi pasar dan lingkungan. b. Terjadinya
partisipasai
masyarakat
program/rencana tahunan. c. Terbentuknya jaringan bisnis petani.
dalam
menyusun
33
d. Terciptanya system penyuluhan pertanian yang professional yang dilihat dari frekuensi pertemuan yang berkualitas dan multidisiplin. e. 80% dari kontak tani maju terpilih mampu menjadi tempat belajar bagi petani di lingkungannya. 2.6.1. Peran dan Fungsi Kawasan Minapolitan Kabupaten Gowa Arahan pengembangan fungsi dan peran kawasan minapolitan: 1. Pusat budidaya perikanan di Kabupaten Gowa Sebagai sentral budidaya perikanan di Kabupaten Gowa, Kawasan Minapolitan
diharapkan
mampu
meningkatkan
pertumbuhan
perekonomian wilayah dalam sektor perikanan serta mampu mencukupi kebutuhan ikan dalam skala regional dan nasional sehingga dapat meningkatakan kesejahteraan masyarakat petani ikan dan menyumbang PAD dari sektor perikanan. 2. Pusat kegiatan perdagangan dan jasa perikanan Kegiatan perdagangan dan jasa adalah perdagangan dan jasa dalam sektor pariwisata serta peralatan perikanan. Dengan adanya aktivitas perdagangan ini diharapkan mampu menjadi motor penggerak roda perkonomian di wilayah Kawasan Minapolitan serta mampu mencukupi segala macam kebutuhan para petani ikan baik itu benih, obat-obatan dan pakan ikan.
2.6.2. Visi Dan Misi Kawasan Minapolitan Kabupaten Gowa Visi Kawasan Minapolitan adalah terbentuknya kota mina yang produktif, kompetitif dan berkesinambungan. Visi tersebut dapat diartikan sebagai berikut: a. Produktif: mampu menghasilkan sebuah produk perikanan secara komprehensif yang mampu mencukupi kebutuhan lokal, regional, nasional dan internasional sehingga mampu mengangkat tingkat kesejahteraan masyarakat petani ikan. b. Kompetitif: bahwa produk yang dihasilkan oleh para petani ikan Kawasan Minapolitan mampu bersaing dengan produk luar, baik dari segi kualitas, kuantitas maupun harga. c. Berkesinambungan: dalam pengembangan budidaya perikanan tetap memperhatikan faktor kelestarian lingkungan, sehingga tidak merusak lingkungan dan alam sekitarnya. Di sisi lain alam merupakan bagian
34
dari sarana pengembangan budidaya ikan sehingga perlu dijaga kelestariannya. Adapun misi Kawasan Minapolitan Kabupaten Gowa, antara lain: a. Menumbuhkan dan mengembangan kehidupan perekonomian rakyat yang berbasis sumberdaya lokal b. Penggunaan teknologi budidaya perikanan yang tepat guna c. Menyelenggarakan serta peningkatan pelayanan dan ketrampilan kepada para petani d. Mendayagunakan serta menjaga kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup secara optimal. e. Meningkatkan pembangunan sarana dan prasarana perikanan yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan perikanan. f.
Mendorong berkembangnya industri perikanan melalui optimalisasi potensi lokal dengan mewujudkan iklim investasi yang kondusif dan berkesinambungan.
35
III. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 3.1. Kondisi Geografis dan Administratif Kawasan Minapolitan Bontonompo terletak di Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan. Secara geografis Kabupaten Gowa terletak pada koordinat antara 5o 33’ 6” sampai 5o 34’ 7” Lintang Selatan dan 12o 38’ 6” sampai 12o 33’ 6” Bujur Timur. Secara administratif, batas-batas wilayah administrasi Kabupaten Gowa adalah: Sebelah Utara
: Kota Makassar dan Kabupaten Maros.
Sebelah Timur
: Kabupaten Sinjai, Bulukumba dan Bantaeng.
Sebelah Selatan : Kabupaten Takalar dan Kabupaten Jeneponto. Sebelah Barat
: Kabupaten Takalar, Kota dan Selat Makassar.
Berdasarkan letak geografis ini, maka Kabupaten Gowa menjadi wilayah yang berbatasan langsung dengan Kota Makassar (Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan). Sebagai wilayah yang berbatasan dengan ibukota provinsi, daerah ini berada dalam posisi yang sangat strategis dan prospektif sebagai wilayah pengembangan
kegiatan-kegiatan
ekonomi
rakyat
termasuk
kegiatan
pengembangan pada sektor perikanan (minapolitan). 3.2. Kondisi Topografi dan Agroklimat Luas wilayah Kabupaten Gowa adalah 1.883,33 Km2 atau 3,01% dari luas wilayah Sulawesi Selatan. Secara administrasi pemerintahan terbagi menjadi 18 kecamatan dan 167 desa/kelurahan.
Kabupaten Gowa dilalui oleh banyak
sungai yang cukup besar yaitu 15 sungai dengan luas daerah aliran yang terbesar adalah Sungai Jeneberang, yaitu 881 km2 dengan panjang 90 Km. Secara morfolofi, wilayah Kawasan Minapolitan Kabupaten Gowa memiliki topografi yang rendah dengan kemiringan lahan rata-rata 0 – 10%, yang dipengaruhi oleh Selat Makassar. Secara klimatologi, Kabupaten Gowa terletak pada posisi iklim musim barat, dimana mengenal dua musim, yaitu musim kemarau Bulan Juni sampai Bulan September dan musim hujan pada Bulan Oktober sampai Bulan Mei. Kondisi seperti ini berganti setiap tahun setelah masa peralihan, yaitu pada Bulan April sampai Bulan Mei dan Bulan Oktober sampai Bulan ember. Rata-rata curah hujan per bulan di Kabupaten Gowa adalah 146 mm dengan suhu udara 22o – 26o C pada dataran rendah dan suhu udara 18o – 21o C pada dataran tinggi.
36
3.3. Kondisi Demografi Jumlah penduduk Kabupaten Gowa pada tahun 2000 sebanyak 507.507 jiwa dan pada tahun 2007 bertambah menjadi 594.423 jiwa dengan kepadatan 320 jiwa/km2.
Penyebaran penduduk yang tidak merata tampaknya sangat
dipengaruhi oleh faktor keadaan geografis daerah.
Daerah Somba Opu,
Pallangga, Bontonompo, Bontonompo Selatan, Bajeng dan Bajeng Barat yang hanya memiliki luas 11,42% dari total wilayah Gowa di huni oleh sekitar 54,45% sedangkan daerah Bontomarannu, Pattalasang, Parangloe, Manuju, Barombong, Tinggimoncong, Tombolo Pao, Parigi, Bungaya, Bontolempangan, Tompobulu dan Biringbulu yang meliputi 88,58% wilayah Gowa hanya di huni oleh 45,55% penduduk Gowa. Menurut Hasil SUSENAS 2007 Penduduk Usia Kerja di daerah Gowa Tahun 2007 berjumlah 409.426 jiwa yang terdiri dari 198.949 laki-laki dan 210.477 perempuan. Dari seluruh penduduk usia kerja, yang termasuk angkatan kerja berjumlah 242.116 jiwa atau 59,19% dari seluruh Penduduk Usia Kerja. Dari seluruh angkatan kerja tercatat 242.116 jiwa atau sekitar 86,99% dari total angkatan
kerja
termasuk
bekerja
dan
sisanya
mencari
pekerjaan.
3.4. Potensi dan Produksi Perikanan Kabupaten Gowa memiliki potensi dalam pengembangan perikanan terutama budidaya darat dengan luas areal 736,91 Ha dengan Total produksi perikanan Kabupaten Gowa sebesar Rp. 6.593.214.000,-. Untuk membangun sektor
perikanan
memanfaatkan
dan
kelautan,
sumberdaya
masyarakat
seoptimal
mungkin
diarahkan dan
agar
secara
mampu bertahap
memposisikan sebagai alternatif basis utama pembangunan daerah. Harapan untuk menjadikan sektor ini sebagai basis pembangunan didasarkan pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang disumbangkan pada struktur perekonomian daerah. Pada tahun 2007, PDRB Kabupaten Gowa atas dasar harga berlaku sebesar Rp. 2.457,66 milyar dengan distribusi terbesar dari sektor pertanian, yaitu 52,15%. Kontribusi perikanan sebagai subsektor pada sektor pertanian sebesar 3.761,26 juta atau sekitar 0,27%
37
3.5. Kawasan Minapolitan Kabupaten Gowa 3.5.1. Kondisi Umum Kawasan Kawasan Minapolitan Kabupaten Gowa terdiri dari 5 (lima) wilayah kecamatan, yaitu kecamatan Bontonompo Selatan, Bontonompo, Bajeng, Bajeng Barat dan Pallangga. Batas-batas wilayah kawasan ini adalah: Sebelah Utara
: Kecamatan Sombaopu dan Kabupaten Gowa
Sebelah Timur
: Kabupaten Takalar
Sebelah Selatan : Kabupaten Takalar Sebelah Barat
: Kabupaten Takalar dan Kota Makassar
Tabel 2. Luas Wilayah, Jarak Dari Ibukota Kabupaten Masing-Masing Kecamatan dalam Kawasan Minapolitan Kabupaten Gowa Luas (km2) 30,39 29,24 60,09 19,04 48,24
Kecamatan Bontonompo Bontonompo Selatan Bajeng Bajeng Barat Pallangga
Jarak dari ibukota kabupaten (km) 16 30 12 16 3
Sumber: Gowa Dalam Angka, 2008
Kawasan Minapolitan Kabupaten Gowa dilewati oleh jalur jalan arteri primer yang menghubungkan antara ibukota Provinsi Sulawesi Selatan (Kota Makassar) dengan beberapa kabupaten yang terletak di pesisir selatan Provinsi Sulawesi Selatan.
Kondisi topografi kawasan ini relatif datar yang pada
umumnya terdiri dari hamparan persawahan pengairan teknis dan pengairan setengah teknis sebagai bagian dari jaringan irigasi Dam Bili-Bili sehingga sangat potensial untuk dikembangkan sebagai Kawasan Minapolitan. Jumlah penduduk terbanyak dan terpadat dalam kawasan terdapat di Kecamatan Pallangga sedangkan jumlah penduduk dengan kepadatan terkecil terdapat di Kecamatan Bajeng Barat dan Kecamatan Bontonompo Selatan. Tabel 3. Jumlah Kependudukan Masing-Masing Kecamatan dalam Kawasan Minapolitan Kabupaten Gowa tahun 2006-2007 Jumlah Rumah Tangga 8.293
Jumlah Penduduk (jiwa) 39.181
Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) 1.289
Pertumbuhan Penduduk (jiwa/tahun) 3,15
Bontonompo Selatan
5.098
27.095
927
1,37
Bajeng
13.463
57.211
952
2,35
Bajeng Barat
4.728
21.866
1.148
2,25
Pallangga
17.532
82.226
1.705
-0,56
Kecamatan Bontonompo
Sumber: Gowa Dalam Angka, 2008
38
3.5.2. Kondisi Infrastruktur a. Aksesibilitas Jarak yang harus dilalui untuk mencapai 5 kecamatan dalam Kawasan Minapolitan dari pusat kabupaten mulai dari yang terdekat yaitu Pallangga (2,45 Km), Bajeng (12,00 Km), Bajeng Barat (15,80 Km), Bontonompo (16,00 Km) hingga yang terjauh yaitu Bontonompo Selatan (30 Km) dapat ditempuh dengan menggunakan angkutan umum dan kendaraan pribadi. Kawasan Minapolitan dilalui oleh satu jalur arteri primer yang menghubungkan pusat Provinsi Sulawesi Selatan (Kota Makassar) dan pusat Kabupaten Gowa (Sungguminasa) dengan Kabupaten Takalar.
Kondisi jalan yang menghubungkan kawasan dengan
daerah lain sudah sangat baik yaitu dengan aspal dan lebar jalan 4 – 6 m. b. Kelistrikan Listrik merupakan salah satu produksi energi yang sangat penting dan dibutuhkan oleh masyarakat yang berada di dalam dan di luar kawasan. Seluruh kecamatan yang berada di Kawasan Minapolitan 92,26% sudah mendapat jaringan listrik yang disuplai oleh PT. PLN (Persero) Ranting Sungguminasa. Pelanggan kebutuhan listrik dari tahun ke tahun meningkat seiring dengan penambahan perumahan dan pada tahun 2007 meningkat sebanyak 88.094 rumah tangga bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Jumlah Kwh yang terjual sebanyak 102.743.824 dengan total daya tersambung 75.607.046 VA.
c. Sarana Air Bersih Kebutuhan air minum (air bersih) di Kabupaten Gowa disuplai oleh Perusahaan Daerah Air di Kabupaten Gowa. Hampir seluruh kecamatan yang termasuk dalam kawasan sudah mendapatkan jaringan air bersih
baik dari
Perusahaan Daerah Air maupun yang berasal dari sumur gali dan sumur tanah, namun demikian untuk beberapa kecamatan yang berada di dataran tinggi sebagian besar masyarakat masih memperoleh air bersih yang berasal dari mata air. d. Telekomunikasi Ssarana telekomunikasi yang ada di Kabupaten Gowa meningkat seiring dengan semakin pesatnya perkembangan di bidang telekomunikasi.
Hampir
Seluruh Kecamatan yang termasuk dalam Kawasan Minapolitan sudah terdapat
39
jaringan telekomunikasi.
Namun demikian mengingat telekomunikasi sudah
semakin maju banyak orang beralih kepada pengunaan telepon seluler (HP) dalam berkomunikasi dengan masyarakat lainnya.
e. Irigasi Jaringan irigasi di kawasan ini adalah irigasi teknis dan setengah teknis dengan kondisi yang cukup mendukung dengan sumber air dari Dam Bili-Bili dan Kampili dengan luas areal terbesar (10.454.00 Ha) yang hampir mengairi seluruh areal persawahan di Kawasan Minapolitan Kabupaten Gowa (BPS dan BAPPEDA Kabupaten Gowa, 2008). f. Sarana Pendidikan dan Kebudayaan Dari segi jumlah sekolah, ditingkat pendidikan dasar, jumlah Sekolah Dasar yang tersedia di Kabupaten Gowa pada tahun 2007/2008 mengalami perubahan dibanding tahun sebelumnya yaitu sebanyak 391 buah.
Sedangkan Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) bertambah menjadi 58 buah dari 54 buah pada tahun 2006/2007, sedangkan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) terdiri dari Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 23 buah dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sejumlah 15 buah. Tabel 4. Jumlah Sarana Pendidikan di Tiap Kecamatan Dalam Kawasan Kecamatan
SD
SLTP
SMA
SMK
Bontonompo
28
4
1
2
Bontonompo Selatan
20
2
-
-
Bajeng
36
7
3
3
Bajeng Barat
15
-
-
-
Pallangga
38
6
2
1
Sumber: Gowa Dalam Angka, 2008
g. Sarana Kesehatan Tersedianya sarana kesehatan yang cukup memadai seperti Rumah Sakit, Rumah Bersalin, Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), Poliklinik dan Balai Kesehatan Ibu dan Anak (BKIA) sangat menunjang peningkatan kesehatan masyarakat.
Selama periode Tahun 2006 hingga 2007 terjadi penurunan
beberapa fasilitas kesehatan. Selama kurun waktu tersebut, sarana tempat tidur rumah sakit mengalami penurunan dari 125 menjadi 117 buah, puskesmas induk mengalami pertambahan 1 unit sedangkan puskesmas pembantu berkurang
40
menjadi 107 buah, sedang jumlah rumah bersalin bertambah satu buah. Disamping penyediaan sarana kesehatan, untuk meningkatkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat usaha penyediaan tenaga kesehatan juga ditingkatkan. Jumlah tenaga kesehatan pada Tahun 2007 terjadi peningkatan sebesar 1,01% yaitu dari 795 orang menjadi 803 orang. Tabel 5. Jumlah sarana kesehatan di tiap kecamatan dalam kawasan
Bontonompo
-
Puskesmas (induk & pembantu) 12
Bontonompo Selatan
-
9
-
-
Bajeng
-
8
1
-
Bajeng Barat
-
9
-
-
Pallangga
1
6
2
-
Kecamatan
Rumah Bersalin
Poliklinik
BKIA
1
-
Sumber: Gowa Dalam Angka, 2008
h. Sarana Keagamaan Dari total Penduduk Kabupaten Gowa Tahun 2007 sebanyak 99,06% menganut agama Islam, sejalan dengan hal tersebut maka tempat peribadatan bagi penganut agama Islam terlihat lebih menonjol dari agama yang lainnya. Sebagai gambaran pada Tahun 2007 terdapat 1036 mesjid, 161 musalla dan 96 langgar, sedangkan untuk peribadatan agama Kristen tersedia 13 gereja. Tabel 6. Jumlah Sarana Keagamaan di Tiap Kecamatan Dalam Kawasan Kecamatan
Mesjid
Musalla
Langgar
Bontonompo
49
4
11
Bontonompo Selatan
38
-
-
Bajeng
77
16
10
Bajeng Barat
39
4
-
Pallangga
98
3
1
Sumber: Gowa Dalam Angka, 2008
3.5.3. Kondisi Perikanan Kawasan a. Produksi Perikanan Jenis perikanan yang terdapat di Kabupaten Gowa pada umumnya adalah budidaya darat sedangkan perikanan laut hanya sebagian kecil saja karena hanya berlokasi di Selat Makassar.
Luas areal budidaya perikanan darat
tambak/kolam/sawah pada Tahun 2007 tercatat seluas 648,40 Ha dibanding
41
Tahun 2006 mengalami penurunan sekitar 7,13%.
Produksi perikanan pada
Tahun 2007 tercatat sebesar 762,19 ton dibanding Tahun 2006 sebesar 760,33 ton yang berarti mengalami penurunan sebesar 0.93%.
Tabel 7. Produksi Perikanan Darat di Tiap Kecamatan Dalam Kawasan (Ton) Kecamatan
Tambak
Kolam
Sawah
Rawa
Sungai
Bontonompo Bontonompo Selatan Bajeng
-
8,30
3,81
26,00
-
70,97
-
-
-
21,00
-
21,89
12,10
19,70
7,80
Bajeng Barat
-
12,83
4,93
-
-
Pallangga
-
13,70
4,09
4,60
27,60
Sumber: Gowa Dalam Angka, 2008
b. Pemanfaatan Lahan Kawasan Minapolitan Kabupaten Gowa dengan sektor unggulan pada sektor perikanan memiliki luas areal (tambak, kolam dan sawah) yang sangat potensial untuk dikembangkan. Luas areal perikanan tambak seluas 139.96 Ha, perikanan kolam seluas 64.99 Ha dan sawah seluas 105.17 Ha. Tabel 8. Luas Areal Budidaya Perikanan di Perairan Umum Tiap Kecamatan Dalam Kawasan (Ha) Kecamatan
Tambak
Kolam
Sawah
-
16,70
15,50
136,30
-
-
Bajeng
-
27,10
47,70
Bajeng Barat
-
14,10
20,10
Pallangga
-
24,90
16,60
Bontonompo Bontonompo Selatan
Sumber: Gowa Dalam Angka, 2008
c. Budidaya Perairan Usaha pembenihan ikan (salah satu kegiatan dalam sistem agribisnis hulu) di Kabupaten Gowa terdiri dari usaha pembenihan air tawar dan usaha pembenihan ikan air payau (UPIAP). Usaha pembenihan air tawar terdiri dari 2 (dua) macam kegiatan, yaitu pembenihan pada Balai Benih Ikan (BBI) dan Unit Pembenihan Rakyat (UPR). Jenis usaha perikanan di kawasan ini adalah jenis perikanan darat. Jenis ikan yang paling banyak diusahakan adalah ikan mas, tawes, nila, bandeng dan udang air tawar. Selain itu kawasan ini juga memiliki
42
beberapa komoditi penunjang antara lain adalah: jagung kuning dan beberapa jenis tanaman buah-buahan dan hortikultura.
Tabel 9. Luas Areal Pembenihan Perikanan di Tiap Kecamatan dalam Kawasan Balai Benih Ikan (Ha)
Usaha Pembenihan Rakyat (Ha)
Benih Ikan Air Payau (Ha)
Bontonompo
-
-
6,00
Rumah Tangga Budidaya (2007) 43
Bontonompo Selatan
-
-
-
166
Kecamatan
Bajeng
1,10
2,00
-
155
Bajeng Barat
-
0,80
-
89
Pallangga
-
2,20
-
65
Sumber: Gowa Dalam Angka, 2008
43
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilaksanakan di Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan tepatnya di Kawasan Minapolitan Bontonompo yang mencakup 5 (lima) kecamatan
minapolis,
yaitu
Kecamatan
Pallangga,
Kecamatan
Bajeng,
Kecamatan Bajeng Barat, Kecamatan Bontonompo dan Kecamatan Bontonompo Selatan. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive sampling, peta lokasi penelitian dapat lihat pada Gambar 4 dan gambar 5.
Daerah Hinterland
Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian.
44
Sumber: www.bappedasulsel.go.id
Gambar 5. Peta Administrasi Kabupaten Provinsi Sulawesi Selatan.
45
Penetapan
lokasi
penelitian
ditetapkan
berdasarkan
pertimbangan-
pertimbangan sebagai berikut: 1. Kabupaten Gowa merupakan salah satu Kabupaten yang memiliki
pengembangan Kawasan Minapolitan di Indonesia. 2. Sinergi dengan program pembangunan yang telah dicanangkan oleh pemerintah daerah setempat dengan pemerintah pusat. 3. Potensi lahan yang memungkinkan untuk pengembangan Kawasan Minapolitan berbasis budidaya ikan air tawar dan payau serta didukung dengan sarana dan prasarana umum yang memadai. 4. Ketersediaan tenaga kerja yang cukup untuk pengembangan budidaya ikan air tawar. 4.1.1. Lokasi Pendukung Minapolitan Kawasan Minapolitan Bontonompo telah ditetapkan berdasarkan surat keputusan Bupati Gowa No. 362/VII/2008 sebanyak 5 (lima) kecamatan minapolis dan 5 (lima) kecamatan hinterland antara lain: Kecamatan Barombong, Kecamatan Somba Opu, Kecamatan Bontomaranu, Kecamatan Parangloe dan Kecamatan Tinggi Moncong. (hinterland)
adalah
hubungan
Hubungan antar kota dan daerah sekitarnya timbal
balik
yang
harmonis
dan
saling
membutuhkan, dimana kawasan hinterland perikanan mengembangkan produk primer dan produk olahan skala rumah tangga, sebaliknya pusat kawasan menyediakan fasilitas-fasilitas yang mendukung pengembangan usaha budidaya dan usaha-usaha lain yang berkaitan.
Selain kawasan hinterland yang telah
disebutkan, daerah yang berbatasan langsung dengan Kawasan Minapolitan juga dapat dikelompokkan ke dalam daerah pendukung minapolitan seperti Kabupaten yang berbatasan langsung dengan wilayah administrasi Kabupaten Gowa yaitu, Kota Makassar, Kabupaten Maros, Kabupaten Bone, Kabupaten Bulukumba, Kabupaten Bantaeng, Kabupaten Jeneponto dan Kabupaten Takalar. 4.2. Teknik Penentuan Responden Penentuan responden dilakukan dengan menggunakan metode purposive random sampling secara proposional (Jogiyanto, 2008; Nasution, 2007). Responden dalam penelitian ini meliputi berbagai pihak terkait (stakeholder) yang berhubungan langsung dengan kegiatan pengembangan kawasan minapolitan.
46
serta kalangan pakar terpilih, yang diambil berdasarkan kesesuaian keahlian dengan bidang yang dikaji. Pemilihan responden disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan jumlah responden yang akan diambil yaitu responden yang dapat dianggap mewakili dan memahami permasalahan yang diteliti. Tabel 10. Jumlah Responden Pakar No
Sampel
Jumlah (jiwa)
1
Dinas Pekerjaan UMUM
2
3
Dinas Perikanan dan Kelautan
2
4
BAPEDA
1
5
PEMDA
10
6
Pokja
1
7
BPP
5
8
Koptan
2 JUMLAH
23
4.3. Jenis dan Sumber data Berdasarkan tujuan penelitian dan metode penelitian yang digunakan, maka data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer berupa atribut-atribut yang terkait dengan berbagai parameter penilaian, yang bersumber dari responden terpilih serta hasil pengamatan langsung dilokasi penelitian. Data sekunder berupa data penunjang seperti kondisi geografis wilayah, kondisi sosiodemografi (jumlah penduduk, tingkat pendidikan, mata pencarian, dll) potensi wilayah, produksi pertanian, sarana prasarana yang ada, kebijakan pemerintah, kegiatan ekonomi masyarakat. Data sekunder bersumber dari dinas, instansi, lembaga maupun berasal dari publikasi hasil penelitian yang berhubungan dan representatif dengan tujuan penelitian. 4.4. Rancangan Penelitian Secara garis besar, penelitian dilakukan dalam 4 tahapan studi, yaitu: (1) Analisis Potensi Wilayah, (2) Analisis Status Kinerja Kawasan Minapolitan Bontonompo,
Kabupaten
Gowa,
(3)
Analisis
Status
Keberlanjutan
Pengembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo, Kabupaten Gowa Dan (4) Skenario Pengembangan.
47
4.4.1. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan wawancara, diskusi dan observasi di lapangan dengan responden di wilayah studi yang terdiri dari berbagai pakar dan stakeholder yang terkait dengan topik penelitian. 4.4.2. Variabel Parameter-parameter yang diamati dalam penelitian ini merupakan atributatribut yang merupakan penjabaran dari berbagai indikator penilaian yang digunakan sesuai dengan tujuan dalam penelitian, secara rinci beberapa parameter yang digunakan terlihat pada Tabel 11. Tabel 11. Indikator dan Beberapa Atribut Penilaian Keberlanjutan Kawasan Minapolitan Bontonompo No
Tujuan
1
Potensi Wilayah Kabupaten Gowa
2
Status kinerja minapolitan
3
Status keberlanjutan kawasan minapolitan
4
Skenario pengembangan kawasan minapolitan
Parameter Penilaian Produksi dan Nilai Komoditas Kecamatan, Produksi dan Nilai Komoditas Kabupaten Usahatani, Agroindustri, Pemasaran, Infrastruktur, Suprastruktur Ekologi, Ekonomi, Sosial dan Budaya, Infrastruktur dan Teknologi, Hukum dan Kelembagaan Atribut- atribut Sensitif/ Dominan dalam keberlanjutan kawasan.
Metode Analisis Analisis Location Quotient (LQ) Multi Dimensional Scaling (MDS), Analisis Laverage, Analisis Monte Carlo, Analisis Hierarki Proses (AHP) Peningkatan Skor
Output yang diharapkan Potensi wilayah yang ada di tiap Kecamatan dalam Kabupaten owa dan Potensi perikanan dalam Kawasan Minapolitan Status perkembangan dan faktor-faktor mempengaruhi perkembangan
Status keberlanjutan dan faktor pengungkit keberlanjutan kawasan
Rekomendasi skenario kawasan minapolitan
4.4.3. Metode Analisis a. Analisis Location Quotient (LQ) Penentuan kecamatan sampel berdasarkan hasil analisis Location Quotient yaitu untuk menentukan keadaan apakah suatu kecamatan merupakan sektor basis atau non basis dalam hal produksi ikan. Kecamatan yang dijadikan sampel adalah kecamatan yang produksi ikannya merupakan sektor basis, sedangkan
48
petani yang dijadikan sampel diambil secara acak.
Metode ini dapat juga
digunakan terhadap beberapa komoditas penting lainnya.
Rumus Location
Quotient (LQ) adalah sebagai berikut (Budiharsono, 2008), adalah: Xij/X. LQij = -------X.j/X. Dimana: Xij =
Produksi sektor tertentu (i) di kecamatan j.
Xi. =
Produksi seluruh sektor di kecamatan j.
X.j =
Produksi total sektor (i) di kabupaten.
X. =
Total produksi seluruh sektor di seluruh kecamatan.
Jika LQ>1,
maka aktivitas yang diamati tersebut adalah aktivitas
basis, artinya sektor tersebut menjadi komoditi bagi wilayah tersebut. Jika LQ=1,
maka aktivitas yang diamati di wilayah kecamatan adalah
aktivitas yang sama dengan produksi keseluruhan. Jika LQ<1,
maka aktivitas yang diamati adalah aktivitas non basis,
artinya sektor tersebut tidak menjadi kegiatan utama dalam wilayah tersebut. b. Analisis Multidimensional Scaling (MDS) Analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode pendekatan Multi Dimensional Scaling (MDS). Setiap dimensi yang digunakan, dibangun berdasarkan pada tujuan yang ingin dicapai. Secara umum Analisis ini dilakukan melalui beberapa tahapan antara lain: 1. Penentuan atribut dari setiap dimensi yang dibangun. 2. Penilaian setiap atribut dalam skala ordinal berdasarkan kriteria tujuan pengukuran. 3. Penyusunan indeks dan status dari setiap tujuan yang ingin dicapai. Setiap atribut pada masing-masing dimensi diberikan skor berdasarkan scientific judgment dari pembuat skor. Rentang skor berkisar antara 0–2 atau tergantung pada keadaan masing-masing atribut, yang diartikan mulai dari penilaian yang rendah (buruk) sampai dengan tinggi (baik). Penyajian atributatribut dan skor dari tiap dimensi pengamatan dapat dilihat pada Tabel 12.
49
Tabel 12. Atribut-atribut dan Skor Perkembangan/ Keberlanjutan Pengembangan Kawasan Dimensi dan Atribut Dimensi 1 1. (atribut) 2. (... ....) Dimensi 2 1. (atribut) 2. (... ....) Dimensi n 1. (atribut) 2. (... ....)
Kriteria Penilaian
Hasil Skor Penilaian ... ... ... ... ... ...
4.5. Analisis Kinerja Kawasan Minapolitan Bontonompo. Penentuan kinerja Kawasan Minapolitan Bontonompo, Kabupaten Gowa didasarkan pada keriteria yang dikeluarkan Departemen Pertanian (2002) yaitu membagi tingkat perkembangan Kawasan Minapolitan atas (3) tiga kategori antara lain (1) Pra Kawasan Minapolitan I; (2) Pra Kawasan Minapolitan II dan (3) Kawasan Minapolitan. Analisis dilakukan dengan mengamati dan mengidentifikasi kondisi kawasan dengan berbagai indikator penilaian yang terkait dengan ciri-ciri berkembangnya suatu kawasan agropolitan yang salah satunya terlihat dari keberadaan sistem agribisnis dikawasan tersebut (Deptan, 2002). Selain itu Supriatna et al (2005) mengungkapkan bahwa pada prinsipnya agropolitan merupakan kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis, serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) diwilayah sekitarnya. Sehingga dimensi yang dibangun dalam penilaian status tingkat perkembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo terdiri dari aspek input produksi, usahatani (agronomi), pengolahan (agroindustri), pemasaran (agroniaga) dan pendukung (infrastruktur dan suprastruktur). Tabel 13. Kategori Status Kinerja Kawasan Minapolitan Bontonompo Nilai Indeks 0,00-33,30 33,31-66,30 66,31-100,00
Kategori Pra Kawasan Minapolitan I Pra Kawasan Minapolitan II Kawasan minapolitan
Setiap aspek penilaian akan didukung oleh berbagai atribut penjelas yang menggambarkan tingkat kinerja kawasan berdasarkan kondisi existing yang
50
terdapat diKawasan Minapolitan Bontonompo. Pemberian skor akan dianalisis dengan multi dimensional. Untuk melihat atribut yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap tingkat kinerja Kawasan Minapolitan dilakukan analisis sensivitas dengan melihat bentuk perubahan Root Mean Square (RMS) ordinasi pada sumbu X. Semakin besar perubahan nilai RMS, maka semakin sensitif atribut tersebut dalam pengembangan kawasan minapolitan. Adapun nilai skor yang merupakan nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi dapat dilihat pada Tabel 13. Pra Kawasan I Buruk
0
Baik Kawasan Minapolitan
Pra Kawasan II
50
33,30
100
66,30
Gambar 6. Ilustrasi Nilai Indeks Perkembangan dalam Skala Ordinasi.
Diagram Batang Indeks Perkembangan
Aspek 5
4.5
Aspek 4
4.3
Aspek 3
3.5
Aspek 2
2.5
Aspek 1
2 0
1
2
3
4
5
Gambar 7. Ilustrasi Indeks Perkembangan dalam Diagram Batang. 4.6. Analisis Status Keberlanjutan Kawasan Minapolitan Bontonompo. Analisis status keberlanjutan Kawasan Minapolitan Bontonompo dilakukan berdasarkan
pengembangan
dimensi-dimensi
yang
terdapat
dalam
pembangunan berkelanjutan antara lain dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial, ditambah dimensi hukum dan kelembagaan dan dimensi infrastruktur dan teknologi. Setiap dimensi akan dilengkapi dengan atribut-atribut
51
penjelas yang menggambarkan dukungan akan keberlanjutan dari setiap dimensi yang dijelaskan.
Hasil skor dari setiap atribut dianalisis dengan multi
dimensional. untuk menentukan satu atau beberapa titik yang mencerminkan posisi keberlanjutan pengembangan Kawasan Minapolitan yang dikaji relatif terhadap dua titik acuan yaitu titik baik (good) dan titik buruk (bad). Adapun nilai skor yang merupakan nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Kategori Status Keberlanjutan Pengembangan Kawasan Minapolitan Nilai Indeks 0,00-25,00 25,01-50,00 50,01-75,00 75,01-100,00
Kategori Buruk (tidak berkelanjutan) Kurang (kurang berkelanjutan) Cukup (cukup berkelanjutan) Baik (sangat berkelanjutan)
Melalui metode MDS, maka posisi titik keberlanjutan dapat divisualisasikan melalui sumbu horizontal dan sumbu vertikal. Dengan proses rotasi, maka posisi titik dapat divisualisasikan pada sumbu horizontal dengan nilai indeks keberlanjutan diberi nilai skor 0% hingga 100%.
Ilustrasi hasil ordinasi nilai
indeks keberlanjutan terlihat pada Gambar 8.
Baik
Buruk
0
25
50
75
Gambar 8. Ilustrasi Nilai Indeks Keberlanjutan dalam Skala Ordinasi.
100
52
Diagram Batang Indeks Keberlanjutan
Dimensi 5
4.5
Dimensi 4
4.3
Dimensi 3
3.5
Dimensi 2
2.5
Dimensi 1
2 0
1
2
3
4
5
Gambar 9. Ilustrasi Indeks Keberlanjutan dalam Diagram Batang.
Untuk melihat atribut yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap indeks keberlanjutan pengembangan Kawasan Minapolitan dilakukan analisis sensivitas dengan melihat bentuk perubahan Root Mean Square (RMS) ordinasi pada sumbu X. Semakin besar perubahan nilai RMS, maka semakin sensitif atribut tersebut dalam pengembangan kawasan minapolitan. Analisis-analisis yang dilakukan diatas akan terdapat pengaruh galat yang dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti kesalahan dalam pembuatan skor, kesalahan pemahaman terhadap atribut atau kondisi lokasi penelitian, variasi skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti, proses analisis MDS yang berulang-ulang, kesalahan pemasukan data atau terdapat data yang hilang, dan tingginya nilai stress (Kavanagh, 2001).
(nilai stress
dapat diterima jika nilai <25%)
Sehingga dalam mengevaluasi pengaruh galat pada
pendugaan nilai ordinasi pengembangan Kawasan Minapolitan akan digunakan Analisis Monte Carlo.
4.7. Penyusunan
Skenario
Keberlanjutan
Pengembangan
Kawasan
Minapolitan Bontonompo. Skenario pengembangan berkelanjutan Kawasan Minapolitan dapat digunakan menentukan
sebagai
pedoman
berbagai
pengelolaan
alternatif
kebijakan
Kawasan yang
Minapolitan
dapat
diambil
dalam untuk
53
pengembangan kawasan dimasa yang akan datang. Skenario ini dibentuk dengan menggunakan faktor dominan/sensitif yang berpengaruh terhadap kinerja sistem yaitu terlihat dari berbagai atribu-atribut yang merupakan faktor pengungkit setiap dimensi pada penentuan tingkat keberlanjutan kawasan, atau dapat diinterpretasikan sebagai tindakan yang harus segera dilaksanakan atau diperhatikan dalam pengembangan Kawasan Minapolitan yang berkelanjutan. Penggabungan berbagai faktor pengungkit dari setiap dimensi akan dijadikan acuan dalam menentukan berbagai kemungkinan yang terjadi ke depan, yang dirumuskan dalam tiga kelompok skenario pengembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo yang berpeluang besar terjadi dimasa yang akan datang dalam pengembangan kawasan secara berkelanjutan antara lain untuk pembentukan skenario dilakukan dengan meningkatkan skor atribut-atribut sensitif/dominan pada dimensi yang tidak berkelanjutan dengan skala nilai RMS atributnya diatas 75% dari nilai maksimal RMS. Skenario II dilakukan peningkatan skor pada atribut sensitif/dominan kelima dimensi dengan skala nilai RMS atributnya diatas 75% dari nilai maksimal RMS. Sedangkan skenario III, peningkatan skor kelima dimensi pada atribut sensitif/dominannya dengan skala nilai RMS atributnya diatas 50% dari nilai maksimal RMS. Berbagai skenario yang
terbentuk
akan
dirumuskan
sebagai
rekomendasi
bagi
kegiatan
pengembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo, Kabupeten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan.
Bagan skenario Kawasan Minapolitan Bontonompo yang
dilakukan dalam rangka menghasilkan rekomendasi bagi pengembangan kawasan dapat dilihat pada Gambar 10.
54
Gambar 10. Bagan Skenario Peningkatan Indeks Keberlanjutan Kawasan dalam Rangka Memformulasikan Rekomendasi Kebijakan. 4.8. Prakiraan Dampak Minapolitan Terhadap Lingkungan Dampak lingkungan adalah perubahan lingkungan yang diakibatkan oleh suatu kegiatan. Kegiatan pengembangan Kawasan Minapolitan yang diterapkan di beberapa kawasan seperti di Kabupaten Gowa bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan produksi dibidang perikanan sehingga dalam rangka memenuhi tujuan tersebut secara tidak langsung dapat menurunkan kualitas lingkungan.
55
V.
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Tingkat Perkembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo 5.1.1. Persepsi Masyarakat Kabupaten Gowa merupakan salah satu Kabupaten penghasil budidaya perikanan darat dan payau di Provinsi Sulawesi Selatan. Salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh Kabupaten Gowa dalam pengembangan kawasan adalah ketersediaan lahan, permodalan, sistem produksi, industri pemasaran dan sumberdaya manusia. Dalam rangka pengembangan potensi sumberdaya ikan dan memenuhi pangsa pasar ikan air tawar/payau, maka Pemerintah Kabupaten Gowa melalui SK No. 362/VII/2008 menetapkan lima kecamatan sebagai daerah minapolis dan lima kecamatan sebagai daerah hinterlandnya, selain itu penetapan tersebut diperkuat dengan SK Menteri KKP No.Kep-41/Men/2009 tentang penetapan Kabupaten Gowa sebagai salah satu lokasi minapolitan di Provinsi Sulawesi Selatan selain Kabupaten Luwu Timur. mensukseskan
program
tersebut,
pemerintah
Dalam rangka
daerah
berupaya
mensosialisasikan kepada para masyarakat dan petani ikan agar program tersebut dapat berjalan dengan baik. Persepsi masyarakat/responden terhadap pengembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo dapat dilihat pada Gambar 8, Gambar 11, Gambar 12, Gambar 13, Gambar 14 dan Gambar 15. Berdasarkan hasil pengumpulan data yang diperoleh, 46% masyarakat mengetahui akan program pengembangan Kawasan Minapolitan yang dilakukan oleh pemerintah, sedangkan sebanyak 54% masyarakat belum mengetahui akan program tersebut.
Masyarakat sebagian besar menganggap saat ini sedang
berjalan program pengembangan kawasan Minapadi dimana pembudidayaan ikan dilakukan di lahan pertanian. Sebagian masyarakat yang mengetahui program
pengembangan
Kawasan
Minapolitan
hanya
mendengar belum mengetahui sampai konsep itu seperti apa.
sebatas
pernah
56
Pengetahuan responden akan minapolitan
ya 46%
tidak 54%
Gambar 11. Persentase Pengetahuan Responden Mengenai Minapolitan.
Sumber informasi mengenai minapolitan yang didengar oleh masyarakat dalam kawasan menyatakan berasal dari adanya sosialisasi pemerintah sebesar 50%, berasal dari media sebesar 33% dan berasal dari teman sebesar 17%. Berdasarkan informasi dari para aparat desa, bahwa pemerintah daerah melalui dinas perikanan minimal pada tiap hari senin dalam seminggu sekali selalu mengadakan konsultasi dan sosialisasi dengan para petani yang berada di kecamatan yang termasuk dalam kawasan selebihnya melakukan peninjauan di lapangan. Selain itu pemerintah mensosialisasikan program minapolitan melalui media cetak dan elektronik. Sumber Informasi teman 17% media 33%
pemerintah 50%
Gambar 12. Sumber Informasi Responden Mengenai Minapolitan.
57
Dalam penetapan kawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah sebanyak 83% responden menyatakan setuju tentang penetapan kawasan minapolitan, sedangkan 9% responden menyatakan kurang setuju dan 8% responden menyatakan tidak setuju. Responden dalam hal ini berharap program ini dapat terlaksana dengan baik bukan hanya sebagai wacana belaka. Persentase responden mengenai penetapan Kawasan Minapolitan dapat dilihat pada Gambar 13. Persetujuan Responden tidak 8%
kurang 9%
setuju 83%
Gambar 13. Persentase Responden Mengenai Penetapan Kawasan Minapolitan.
Responden berharap dengan adanya program pengembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo ini dapat memeberikan kontribusi yang nyata terhadap dampak positif yang akan diterima oleh mereka baik dari segi peningkatan kesejahteraan
hidup,
peningkatan
sebagainya.
Sebanyak
85%
ekonomi,
responden
kesempatan
menyatakan
bekerja
bahwa
dan
program
pengembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo dapat memberikan dampak yang sangat positif seperti peningkatan lapangan pekerjaan dan peningkatan ekonomi bila semua pihak memiliki komitmen yang tinggi dalam menjalankannya. Sedangkan 15% responden menyatakan ragu-ragu akan berjalannya program tersebut. Persentase responden dalam menyikapi pengembangan Kawasan Minapolitan dapat dilihat pada Gambar 14.
58
Peningkatan Lapangan Pekerjaan ragu 15%
ya 85%
(a) Peningkatan Ekonomi ragu 15%
ya 85%
(b) Gambar 14. Persentase Responden Dalam Menyikapi Minapolitan (a) dapat meningkatkan lapangan pekerjaan, (b) dapat meningkatkan ekonomi daerah. Keberhasilan pengembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo tidak terlepas dari adanya dukungan sarana dan prasarana yang memadai terutama prasarana jalan sebagai jalur perekonomia kawasan.
Berdasarkan pendapat
para responden, menyatakan bahwa kondisi jalan yang ada di tiap kecamatan berada dalam kondisi sangat bagus sebesar 8%, kondisi bagus sebesar 61%, dan 31% responden menyatakan kondisi jalan dalam keadaan sedang. Kondisi jalan di kecamatan disajikan pada Gambar 15.
59
sangat jelek 0%
Kondisi Jalan jelek 0%
sangat bagus 8%
sedang 31%
bagus 61%
Gambar 15. Kondisi Jalan di Kecamatan.
Keberhasilan pengembangan
Kawasan
Minapolitan
Bontonompo
di
Kabupaten Gowa sangat ditentukan dengan koordinasi dan kerjasama yang baik dari berbagai stakeholders. sebagai pelaku
lebih
Responden berharap petani ikan pada dasarnya
baik berasal dari masyarakat
lokal dan
dalam
pemberdayaan masyarakat akan menyerap masyarakat lokal sebesar 46%, masyarakat lokal dengan daerah lain sebesar 46% dan masyarakat lokal dengan daerah lain bahkan lintas negara sebesar 8% (Gambar 16).
lokal,daerah lain,internasion al 8%
Pemberdayaan Masyarakat
lokal 46% lokal dan daerah lain 46%
Gambar 16. Pemberdayaan Masyarakat dalam Kawasan Minapolitan.
60
5.1.2. Identifikasi Potensi Wilayah Pengembangan Kawasan Minapolitan Kajian wilayah penelitian meliputi 18 kecamatan, yaitu 1) Kecamatan Bontonompo, (2) Kecamatan Bontonompo Selatan, (3) Kecamatan Bajeng, (4) Kecamatan Bajeng Barat, (5) Kecamatan Pallangga, (6), Kecamatan Barombong, (7) Kecamatan Somba Opu, (8) Kecamatan Bontomarannu, (9) Kecamatan Pattalasang, (10) Kecamatan Parangloe, (11) Kecamatan Manuju, (12) Kecamatan Tinggimoncong, (13) Kecamatan Tombolopao, (14) Kecamatan Parigi, (15) Kecamatan Bungaya, (16) Kecamatan Bontolempangan, (17) Kecamatan Tompobulu dan (18) Kecamatan Biringbulu termasuk di dalamnya 5 Kecamatan yang merupakan Kawasan Minapolitan saat ini, yaitu 1) Kecamatan Bontonompo, (2) Kecamatan Bontonompo Selatan, (3) Kecamatan Bajeng, (4) Kecamatan Bajeng Barat, (5) Kecamatan Pallangga dan 5 Kecamatan
yang
merupakan daerah hinterland yaitu (1), Kecamatan Barombong, (2) Kecamatan Somba Opu, (3) Kecamatan Bontomarannu, (4) Kecamatan Parangloe, dan (5) Kecamatan Tinggimoncong.
Setiap kecamatan yang termasuk ke dalam
Kawasan Minapolitan dikaji untuk mengetahui potensi perikanan sehingga dapat dijadikan basis dalam pengembangaan kawasan minapolitan.
Seluruh
kecamatan di Kabupaten Gowa dikaji untuk mengetahui potensi wilayah secara keseluruhan.
Analisis Location Quotient (LQ) merupakan salah satu analisis
yang digunakan untuk mengetahui potensi suatu wilayah untuk kemudian dapat dijadikan basis dalam pengembangan kawasan minapolitan. Analisis LQ ini didasarkan atas tiga kriteria, yaitu nilai LQ>1, LQ=1, dan LQ<1. Kriteria pertama apabila nilai LQ>1 hal ini menunjukkan bahwa komoditas/sektor tersebut merupakan unggulan kegiatan yang ada di wilayah tersebut.
Kriteria
kedua
apabila
nilai
LQ=1
menunjukkan
bahwa
komoditas/sektor tersebut mempunyai potensi yang tinggi untuk dikembangkan di wilayah yang bersangkutan. Kriteria ketiga apabila nilai LQ<1 menunjukkan bahwa komoditas/sektor tersebut bukan unggulan atau bukan merupakan kegiatan utama yang ada di wilayah tersebut. Sektor basis (unggulan) merupakan sektor penggerak ekonomi wilayah yang hasil produksinya dapat melayani di dalam maupun di luar batas perekonomian masyarakat yang bersangkutan.
Sedangkan sektor non basis
(bukan unggulan) merupakan sektor dengan kegiatan ekonomi yang baru mampu menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat yang tinggal di dalam batas perekonomian yang bersangkutan. Sektor non basis tidak
61
mampu memasarkan barang dan jasanya keluar batas perekonomiannya sehingga ruang lingkup produksi dan daerah pasarnya bersifat lokal. Nilai LQ>1 dapat dijadikan petunjuk bahwa wilayah tersebut memiliki kegiatan yang dominan dalam memproduksi komoditas tertentu atau memiliki tingkat kegiatan yang tinggi pada suatu sektor yang dilakukan sebagai mata pencaharian kesehariannya. Komoditas-komoditas ini juga telah banyak diminati oleh masyarakat setempat untuk dan cukup sesuai dengan kondisi agroklimat, sehingga dapat dikatakan komoditas-komoditas tersebut merupakan komoditas unggulan baik dilihat dari keunggulan kompetitif maupun keunggulan komparatif. Dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat, upaya peningkatan produksi
terhadap
komoditas-komoditas
yang
telah
dikembangkan
oleh
masyarakat perlu terus digiatkan terhadap komoditas yang memiliki nilai LQ>1 mengingat
komoditas-komoditas
ini
masyarakat setempat secara umum.
sudah
banyak
dikembangkan
oleh
Upaya peningkatan produksi dapat
dilakukan melalui kegiatan ekstesifikasi dan intensifikasi, dengan tingkat penggunaan sarana produksi perikanan dan pemanfaatan teknologi perikanan yang masih kurang, sehingga komoditas dominan tersebut masih mempunyai peluang yang besar untuk ditingkatkan baik kualitas maupun kuantitasnya. Data yang digunakan dalam analisis LQ ini berupa data produksi perikanan yang dibudidayakan di lokasi tambak, kolam, sawah, rawa, sungai dan waduk yang ada di Kabupaten Gowa dan Kawasan Minapolitan pada tahun 2008 dan data potensi wilayah seluruh komoditas dalam kecamatan di Kabupaten Gowa. Hasil analisis yang diperoleh dapat menggambarkan potensi apa yang dimiliki oleh setiap kecamatan di Kabupaten Gowa, kecamatan apa saja yang berpotensi untuk dilakukan pengembangan budidaya perikanan dan teknik budidaya apa saja yang dapat digunakan dalam budidaya perikanan di tiap kecamatan tersebut. Hasil analisis LQ untuk masing-masing tujuan dan kebutuhan dapat dilihat pada Tabel 15, Tabel 16 dan Lampiran 3.
62
Tabel 15. Nilai LQ Budidaya Sub Sektor Perikanan masing-masing Kecamatan dalam Kabupaten Gowa Kecamatan tambak kolam sawah rawa sungai waduk 2,61 1,31 Biringbulu 1,47 1,43 2,50 Tompobulu 1,09 1,78 1,30 3,71 Bontolempangan 0,71 1,33 0,62 3,58 4,74 Bungaya 5,31 Parigi 2,13 4,69 Tombolopao 1,51 0,73 0,63 3,20 Tinggimoncong** 1,03 2,38 5,93 Manuju 5,85 Parangloe** 0,43 0,44 0,18 4,45 Pattalasang 1,21 1,28 3,64 Bontomarannu** 1,13 0,46 2,33 1,84 Somba Opu** 1,51 0,39 8,36 Barombong** 3,37 Bontonompo* 2,37 1,22 7,52 bontonompo selatan* 0,88 Bajeng* 3,24 2,01 1,38 0,67 2,38 bajeng barat* 5,96 6,24 Pallangga* 2,09 Keterangan:
*daerah minapolis ** daerah hinterland Sumber: Data hasil analisis, 2010
Pada Tabel 15 dapat diketahui potensi perikanan apa saja yang dimiliki oleh setiap kecamatan baik yang termasuk ke dalam Kawasan Minapolitan dan yang termasuk kedalam wilayah Kabupaten Gowa. Nilai tersebut dapat dijadikan satu masukan bagi teknik budidaya perikanan yang akan dikembangkan di masing-masing daerah. Teknik budidaya tambak dapat dikembangkan di Kecamatan Bontonompo Selatan karena hanya di wilayah ini saja yang terdapat fasilitas tambak. Teknik budidaya kolam dapat dikembangkan di Kecamatan Barombong, Kecamatan Bajeng, Kecamatan Bajeng Barat dan Kecamatan Pallangga. Teknik budidaya sawah atau lebih dikenal dengan minapadi dapat dikembangkan di Kecamatan Biringbulu, Kecamatan Tompobulu, Kecamatan Bungaya dan Kecamatan Tombolopao.
Teknik budidaya rawa dapat dikembangkan di Kecamatan
Bontolempangan, Kecamatan Tinggimoncong, Kecamatan Manuju, Kecamatan Pattalasang,
Kecamatan
Kecamatan Bontonompo. Kecamatan Parangloe.
Bontomarannu,
Kecamatan
Somba
Opu
dan
Teknik budidaya waduk dapat dikembangkan di
63
Ditinjau dari status lokasi sebagai Kawasan Minapolitan, Kecamatan Bontonompo merupakan lokasi yang dapat digunakan untuk dilakukan pengembangan teknik budidaya rawa, Kecamatan Bontonompo Selatan merupakan lokasi yang cocok untuk dilakukan pengembangan teknik budidaya tambak, Kecamatan Pallangga, Kecamatan Bajeng dan Kecamatan Bajeng Barat merupakan lokasi yang cocok untuk dilakukan pengembangan dengan basis teknik budidaya kolam karena tenik tersebut dominan dilakukan oleh masyarakat setempat. Tabel 16. Nilai LQ Sub Sektor Perikanan masing-masing Kecamatan dalam Kawasan Minapolitan Bajen Bontonompo Pallangg Jenis Budidaya Bontonompo Bajeng g Selatan a Barat 20,85 Tambak 0,70 4,18 Kolam 1,68 2,18 1,42 1,80 Sawah 0,86 1,35 0,48 Rawa 2,48 0,93 0,23 2,45 Sungai 0,45 1,66 Waduk 1,18 Balai Benih Ikan Usaha 2,46 Pembenihan 1,96 1,88 Rakyat Sumber: Data hasil analisis, 2010
Pada Tabel 16 diketahui berdasarkan analisis potensi wilayah, Kecamatan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai Kawasan Minapolitan Bontonompo memiliki nilai LQ>1 sehingga dapat dikatakan mendukung terhadap masingmasing teknik budidaya berdasarkan analisis yang telah dilakukan. Kecamatan Bontonompo
mendukung
dalam
pengembangan
teknik
budidaya
rawa,
Kecamatan Bontonompo Selatan mendukung dalam pengembangan teknik budidaya tambak, Kecamatan Bajeng mendukung dalam pengembangan Balai Benih Ikan, Kecamatan Bajeng Barat mendukung dalam pengembangan teknik budidaya kolam dan Kecamatan Pallangga mendukung dalam pengembangan usaha pembenihan rakyat akan tetapi bila ditinjau berdasarkan nilai LQ keseluruhan, budidaya perikanan merupakan alternatif pengembangan kawasan atau penunjang bagi pengembangan yang berdasarkan sektor pertanian, perkebunan dan peternakan, hal ini dapat dilihat pada hasil Analisis nilai LQ potensi wilayah yang terlampir pada lampiran 3.
64
5.2. Kinerja Perkembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo Minapolitan merupakan kota perikanan yang tumbuh dan berkembang dikarenakan adanya proses/sistem dan usaha agribisnis yang berjalan, serta mampu melayani, mendorong, menarik, dan menghela kegiatan pembangunan perikanan (agribisnis) di wilayah sekitarnya. Penilaian perkembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo diperoleh berdasarkan pengamatan kondisi eksisting sistem dan usaha agribisnis yang berkembang di kawasan tersebut.
Aspek-
aspek yang digunakan dalam penilaian kinerja perkembangan Kawasan Minapolitan meliputi aspek input produksi, aspek usaha tani, aspek agroindustri, aspek
agroniaga/pemasaran
dan
aspek
penunjang
(infrastruktur
dan
kelembagaan). Kawasan Minapolitan Bontonompo keberadaannya diperkuat dengan SK Bupati Gowa No. 523/080/Perikanan Tahun 2008 tentang Program Kegiatan Minapolitan dan legalitas kawasan berdasarkan SK Bupati Gowa No. 443 Tahun 2006 tentang UPP. Kawasan ini dialokasikan di Kecamatan Bajeng, Bajeng Barat, Bontonompo Selatan, Bontonompo, dan Pallanga sebagai lokasi minapolis dan Kecamatan Somba Opu, Barombong, Bontomarannu, Parangloe dan Tinggimoncong sebagai lokasi hinterland.
Total luas Kawasan Minapolitan
Kabupaten Gowa adalah 600 Ha atau sekitar 10,2% dari total luas Kabupaten Gowa. Komoditas unggulan di kawasan ini adalah jenis perikanan darat dan payau.
Jenis komditas unggulan dalam kawasan ini adalah ikan mas, nila,
bandeng, udang dan kepiting diperkuat dengan SK Bupati Gowa No. 362/VII/2008 Tentang Penetapan Lokasi Pengembangan Kawasan Minapolitan di Kabupaten Gowa. Penilaian perkembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo diperoleh melalui pengamatan kondisi sistem agribisnis yang berkembang di kawasan, sebab pada prinsipnya minapolitan merupakan kota perikanan yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis, serta mampu melayani, mendorong kegiatan pembangunan perikanan (agribisnis) di wilayah sekitarnya. produksi,
Aspek penilaian perkembangan kawasan meliputi Aspek input usahatani,
agroindustri,
(infrastruktur dan kelembagaan).
agroniaga/pemasaran
dan
penunjang
65
5.2.1. Faktor-Faktor Sensitif/Dominan yang Mempengaruhi Perkembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo a.
Kinerja
Aspek Usaha Tani Hasil analisis faktor/atribut pengungkit (leverage attributes) untuk aspek
Usaha Tani dalam perkembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo di Kabupaten Gowa ditunjukkan pada Gambar 17. Kegunaan faktor pengungkit adalah untuk mengetahui faktor sensitif ataupun intervensi yang dapat dilakukan dengan cara mencari faktor yang sensitif untuk meningkatkan status aspek Usaha Tani menuju status yang lebih baik. Leverage of Attributes
Ketersediaan lahan
1.19
Ketersediaan produk unggulan
1.53
Pembibitan dan budidaya
1.90
Pengadaan vitamin
1.72
Pengadaan obat-obatan
1.96
Kualitas SDM petani ikan
2.14 2.23
Aksesibilitas permodalan
2.23
Attribute
Ketersediaan tenaga kerja perikanan
Pola pemeliharaan
2.14
Luas kawasan usaha tani
1.96
Produktivitas komoditas unggulan
4.62
Jumlah komoditas unggulan
4.22
Aksesibilitas
1.64
Teknologi budidaya
1.48
Masyarakat yang terlibat
1.28
Nilai ekonomis komoditas uggulan
2.08
Kelayakan usaha tani
1.83 0
1
2
3
4
5
Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 17. Hasil Analisis Leverage Aspek Usahatani.
Pada Gambar 17 menunjukkan bahwa yang menjadi faktor pengungkit utama
untuk aspek Usaha Tani di Kawasan Minapolitan Bontonompo,
Kabupaten Gowa sesuai dengan urutan prioritasnya adalah sebagai berikut: (1)
66
Produktivitas komoditas unggulan; (2) Jumlah komoditas unggulan, (3) Ketersediaan tenaga kerja perikanan, dan (4) Aksesibilitas permodalan. Dengan melakukan intervensi atau perlakukan terhadap keempat faktor
tersebut
diharapkan dapat meningkatkan status aspek Usaha Tani ke tingkat yang lebih baik. Munculnya faktor pengungkit utama berupa produktivitas komoditas unggulan diduga dikarenakan bahwa produktivitas komoditas unggulan saat ni belum mencapai angka yang optimal bagi budidaya perikanan, maka dari itu diadakanlah program revolusi biru oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan dengan tujuan meningkatkan produktivitas perikanan tangkap dan budidaya. Oleh karena itu pada masa yang akan datang perlu dilakukan pembaharuan teknik budiaya yang mudah diterapkan dan ramah lingkungan sehingga produktivitas dapat ditingkatkan tanpa meninggalkan bagian penting dalam pelestarian lingkungan. Munculnya faktor pengungkit kedua berupa jumlah komoditas unggulan diduga dikarenakan bahwa saat ini jumlah komoditas unggulan memiliki nilai positif sebagai dasar bagi berkembangnya konsep Minapolitan dimana terdapat 5 jenis komoditas yang diunggulkan baik perikanan tawar (Ikan Mas dan Ikan Nila) maupun payau/laut (Ikan bandeng, Udang dan Kepiting) di Kawasan Minapolitan Bontonompo. Oleh karena itu pada masa yang akan datang diperlukan dukungan dari setiap dimensi yang terkait guna mengoptimalkan potensi dasar yang telah dimiliki untuk perkembangan perikanan yang lebih baik. Ketersediaan tenaga kerja muncul sebagai faktor pengungkit ketiga dalam aspek usaha tani. Untuk memperbaiki nilai aspek usaha tani dimasa mendatang pemerintah dapat menciptakan kesempatan kerja dalam sub sektor perikanan agar ketersediaan tenaga kerja dapat terpenuhi, karena sebagaimana diketahui, sektor pertanian, perkebunan, peternakan dan industri saat ini memegang peran yang dominan dalam menciptakan lapangan pekerjaan dibanding dengan sub sektor perikanan. Aksesibilitas permodalan dalam aspek Usaha Tani muncul sebagai faktor pengungkit keempat.
Untuk memperbaiki status aspek Usaha Tani dalam
aksesibilitas permodalan pada masa mendatang, pemerintah dapat melakukan kerjasama dengan dunia perbankan melalui sistem penjaminan, yaitu pemerintah daerah menyimpan dana di bank sebagai jaminan untuk penyaluran kredit bagi pengembangan industri, ekonomi dan petani lokal.
Kemitraan dapat juga
67
dilakukan dengan cara pemerintah mengundang perusahaan-perusahaan besar baik perusahaan swasta maupun BUMN untuk memberikan kemudahan dalam pembiayaan dalam rangka Corporate Social Responsibility (SCR). Pemerintah daerah dapat mengembangkan bentuk kemitraan-kemitraan pembiayaan lainnya dengan tujuan agar memudahkan para pelaku usaha untuk mengakses permodalan. b.
Aspek Agroindustri Hasil analisis faktor/atribut pengungkit (leverage attributes) untuk aspek
Agroindustri dalam perkembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo di Kabupaten Gowa ditunjukkan pada Gambar 18. Kegunaan faktor pengungkit adalah untuk mengetahui faktor sensitif ataupun intervensi yang dapat dilakukan dengan cara mencari faktor yang sensitif untuk meningkatkan status aspek Agoindustri menuju status yang lebih baik. Leverage of Attributes
3.15
Skala industri pengolahan
3.10
Attribute
Produktivitas hasil agroindustri
Teknologi Pengolahan
2.85
Jumlah produk olahan
2.74
Jumlah tenaga kerja
2.80
Nilai ekonomi komoditas unggulan
2.61
Masyarakat yang terlibat
10.35
Kelayakan usaha agroindustri Pengolahan/pemanfaatan limbah agroindustri
7.24
0.57
0 2 4 6 8 10 Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 18. Hasil Analisis Laverage Aspek Agroindustri.
12
68
Pada Gambar 18 menunjukkan bahwa yang menjadi faktor pengungkit utama
untuk aspek Agroindustri di Kawasan Minapolitan Bontonompo,
Kabupaten Gowa sesuai dengan urutan prioritasnya adalah sebagai berikut: (1) Masyarakat yang terlibat; (2) Kelayakan usaha agroindustri, (3) produktivitas hasil agroindustri, dan (4) Skala industri pengolahan.
Dengan melakukan
intervensi atau perlakukan terhadap keempat faktor tersebut diharapkan dapat meningkatkan status aspek Agroindustri ke tingkat yang lebih baik. Munculnya faktor pengungkit utama masyarakat yang terlibat diduga dikarenakan bahwa keterlibatan masyarakat terhadap sektor perikanan berada pada nilai yang minimal.
Kurangnya keterlibatan masyarakat dalam industri
perikanan merupakan faktor penting yang dapat menghambat pengembangan kawasan melalui aspek agroindustri, masyarakat sebagai pelaku secara tidak langsung menyebabkan pengembangan tidak berjalan dengan baik.
Untuk
menjalankan suatu industri besar dibutuhkan keterlibatan masyarakat yang besar pula sebagai pelaku dan tenaga kerjanya, sebagai contoh untuk industri rumah tangga dibutuhkan tenaga kerja 1 -4 orang, untuk industri kecil dibutuhkan tenaga kerja 5 – 19 orang, untuk industri sedang dibuuhkan tenaga kerja 20 – 99 orang sedangkan untuk industri besar dibutuhkan tenaga kerja > 99 orang (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Gowa).
Saat ini Industri hasil
pertanian termasuk di dalamnya industri perikanan menempati urutan teratas dalam hal jumlah perusahaan sebanyak 1.670 perusahaan, kemudian industri logam, mesin dan kimia 1.457 perusahaan terakhir industri aneka sebanyak 755 perusahaan yang setiap tahunnya mengalami peningkatan. Untuk menarik minat masyarakat diperlukan kerja sama dari semua pihak yang terlibat baik investor maupun pemerintah itu sendiri.
Apabila keterlibatan masyarakat meningkat,
kesejahteraan masyarakat meningkat akibat adanya agroindustri maka dapat dikatakan bahwa usaha agroindustri perikanan layak untuk dijalankan maka dari itu kelayakan usaha agroindustri muncul sebagai faktor pengungkit kedua dalam aspek agroindustri. Munculnya faktor pengungkit ketiga dan keempat produktivitas hasil agroindustri dan skala industri pengolahan diduga dikarenakan keadaan agrondustri yang kurang berjalan dengan optimal.
Skala industri pengolahan
komoditas unggulan dikawasan relatif masih merupakan industri kecil dan menengah. Saat ini di Kabupaten Gowa tercatat terdapat satu industri kecil dan satu industri menengah yang bergerak di bidang perikanan yaitu industri ikan
69
asap dan pengolahan tepung ikan yang berada di Kecamatan Barombong yang nerupakan daerah hinterland. Peningkatan skala usaha menjadi industri skala kelompok dengan pemberdayaan kelompok tani perlu mendapat perhatian khusus. Pengembangan industri skala kelompok ini akan memberikan efisiensi produksi yang lebih tinggi seperti penggunaan teknologi yang cenderung akan mempengaruhi meningkatnya biaya produksi, pengelolaan secara kelompok akan menekan biaya tersebut.
Selain itu akan terbentuk peluang untuk
menbentuk industri skala menengah dan skala besar yang akan menjadi industri pengolahan lanjutan dari hasil industri skala kelompok.
Peran pemerintah
daerah dalam membuka peluang investasi dengan mengundang berbagai investor untuk dapat menanamkan modalnya sangat diperlukan sehingga industri daerah dapat menghasilkan produk yang berkualitas dan mampu bersaing di dalam dan luar negeri. Berdasarkan jumlah komoditas unggulan yang dimiliki oleh Kawasan Minapolitan Bontonompo ini, maka jumlah dan jenis produk olahan yang dapat di produksi juga memiliki jumlah yang tidak sedikit, seperti dari produk ikan dapat dijadikan kerupuk kulit, dendeng dan presto, produk udang begitu juga dengan produk kepiting, dengan ini Kawasan Minapolitan memiliki masa depan yang sangat baik bila sehingga sehingga kelayakan agroindustri menjadi faktor yang dominan dan sensitif. c.
Aspek Agroniaga/Pemasaran Hasil analisis faktor/atribut pengungkit (leverage attributes) untuk aspek
Agroniaga
dalam
perkembangan
Kawasan
Minapolitan
Bontonompo
di
Kabupaten Gowa ditunjukkan pada Gambar 19. Kegunaan faktor pengungkit adalah untuk mengetahui faktor sensitif ataupun intervensi yang dapat dilakukan dengan cara mencari faktor yang sensitif untuk meningkatkan status aspek Agroniaga menuju status yang lebih baik.
70
Leverage of Attributes Tujuan pemasaran
1.92
Sistem pemasaran
1.05
Ketersediaan pasar saprokan
1.67
Attribute
Sub Terminal Agribisnis
4.50
Standarisasi produk
2.25
Jarak pasar dengan pembeli
2.22
Sarana pengangkutan
1.89
Biaya pengangkutan
2.93
Teknologi informasi pemasaran
1.37
0 1 2 3 4 5 Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 19. Hasil Analisis Leverage Aspek Agroniaga.
Pada Gambar 19 menunjukkan bahwa yang menjadi faktor pengungkit utama untuk aspek Agroniaga di Kawasan Minapolitan Bontonompo, Kabupaten Gowa sesuai dengan urutan prioritasnya adalah sebagai berikut: (1) Sub Terminal Agribisnis; (2) Biaya Pengangkutan, (3) Standarisasi Produk, dan (4) Jarak Pasar dengan Pembeli. Dengan melakukan intervensi atau perlakukan terhadap keempat faktor tersebut diharapkan dapat meningkatkan status aspek Agroniaga ke tingkat yang lebih baik. Munculnya faktor pengungkit utama sub terminal agribisnis diduga dikarenakan Bontonompo.
belum
adanya
fasilitas
tersebut
di
Kawasan
Minapolitan
Saat ini hasil budidaya dan olahan menggunakan lahan atau
gudang pengumpulan hasil pertanian atau produk-produk lainnya secara bersamaan. Keberadaan sub terminal agribisnis merupakan aspek penting yang harus dimiliki dalam perkembangan Kawasan Minapolitan dikarenakan di tempat ini seluruh produk baik yang mentah maupun olahan di kumpulkan untuk kemudian di pasarkan dan didistribusikan ke tingkat pengelolaan yang lebih tinggi lagi. Oleh karena itu pada masa yang akan datang diperlukan keberadaan
71
sub terminal agribisnis yang diharapkan dapat membantu perkembangan perikanan yang lebih baik. Biaya pengangkutan muncul sebagai faktor pengungkit kedua diduga hal ini telah menjadi persoalan tersendiri bagi para petani ikan, sebagian besar petani ikan membebankan biaya pengangkutan kepada pemilik modal atau pengumpul yang datang untuk mengambil hasil budidaya perikanan.
Oleh
karena itu pada masa yang akan datang diperlukan dukungan dari pemerintah dengan memberlakukan sistem pemasaran yang baik dan teknologi transportasi yang tercapai oleh para petani untuk perkembangan perikanan yang lebih baik.
Pedagang
Perusahaan
Industri
pengumpul
Pengolah
Pengolahan
Petani Ikan
Konsumen
lanjutan
Produk
Produk
Produk
Produk Jadi/
mentah/
antara/
antara/
Tersier
Primer
Sekunder
Sekunder
Gambar 20. Sistem pemasaran perikanan di Kawasan Minapolitan Bontonompo.
Jarak pasar kemudian muncul sebagai faktor pengungkit keempat, hal ini diduga dikarenakan adanya asumsi dimana jarak pasar yang terlalu jauh dari pembeli menyebabkan keengganan para calon pembeli untuk pergi berbelanja untuk membeli produk perikanan, kecuali para pengumpul dan pemiliki modal yang datang untuk mengambil dalam jumlah besar untuk kemudian diolah kembali sebelum dipasarkan dalam bentuk olahan.
72
Gambar 21. Lokasi penjualan ikan di kawasan Minapolitan Bontonompo. d.
Aspek Infrastruktur Hasil analisis faktor/atribut pengungkit (leverage attributes) untuk aspek
Infrastruktur dalam perkembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo di Kabupaten Gowa ditunjukkan pada Gambar 22. Kegunaan faktor pengungkit adalah untuk mengetahui faktor sensitif ataupun intervensi yang dapat dilakukan dengan cara mencari faktor yang sensitif untuk meningkatkan status aspek Infrastruktur menuju status yang lebih baik. Leverage of Attributes Bangunan penyuluh perikanan
0.67
Kondisi jalan utama dan usaha tani
4.45
Jalan penghubung dan poros desa-kota
2.48
Attribute
Jaringan pengairan/irigasi
3.35
Jaringan listrik
3.64
Jaringan telekomunikasi
3.39
Jaringan air bersih
2.72
Jaringan drainase permukiman
5.38
Bangunan penunjang perikanan Bangunan penunjang pemerintah desa
1.92 1.35
0 1 2 3 4 5 6 Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 22. Hasil Analisis Laverage Aspek Infrastruktur.
73
Pada Gambar 22 menunjukkan bahwa yang menjadi faktor pengungkit utama
untuk aspek Infrastruktur di Kawasan Minapolitan Bontonompo,
Kabupaten Gowa sesuai dengan urutan prioritasnya adalah sebagai berikut: (1) Jaringan Drainase Permukiman; (2) Kondisi Jalan Utama dan Usaha Tani, (3) Jaringan Listrik, dan (4) Jaringan Telekomunikasi. Dengan melakukan intervensi atau
perlakukan
terhadap
keempat
faktor
tersebut
diharapkan
dapat
meningkatkan status aspek Infrastruktur ke tingkat yang lebih baik. Munculnya faktor pengungkit utama jaringan drainase permukiman diduga dikarenakan ketersediaan jaringan tersebut belum optimal. diperlukan
adanya
perkembangan
aspek
peningkatan infrastruktur
kualitas yang
drainase lebih
baik
Oleh karena itu
permukiman dalam
untuk
mendukung
perkembangan perikanan. Munculnya faktor pengungkit kedua kondisi jalan utama dan jalan usaha tani diduga kualitas jalan memilki pengaruh yang cukup signifikan terhadap perkembangan kawasan terutama di bidang perindustrian dan pemasaran. Oleh karena itu peningkatan kualitas jalan utama dan jalan usaha tani diperlukan untuk perkembangan perikanan yang lebih baik. Jaringan listrik dalam aspek infrastruktur merupakan faktor pengungkit ketiga dan jaringan telekomunikasi muncul sebagai faktor pengungkit keempat. Hal ini diduga dikarenakan jaringan listrik memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan perikanan bagi setiap aspek yang dibutuhkan dalam pengembangan kawasan dengan basis sektor perikanan. Berdasarkan data dan observasi di lapangan, aspek penunjang memang terlihat sudah dipersiapkan untuk menghadapi pengembangan daerah yang akan dilakukan oleh pemerintah, hal ini dapat dilihat dari kemudahan aksesibilitas dalam kawasan dengan dukungan jalan penghubung kota-kota, desa-kota dan jalan poros desa (Gambar 23), jalan merupakan salah satu prasarana dalam menunjang sekaligus memperlancar kegiatan perekonomian. Dengan adanya prasarana jalan tentunya akan mempermudah mobilitas penduduk dan memperlancar lalu lintas barang baik antar kota maupun antar daerah. Sampai Tahun 2007 panjang jalan di Kabupaten Gowa mengalami peningkatan dibanding Tahun 2006 yaitu dari 2.456,7 km menjadi 2.601,86 km atau bertambah sekitar 5,82%. Pada Tahun 2007 proporsi panjang jalan yang diaspal adalah 42,21% kemudian 21,71% dengan permukaan kerikil dan 36,1% masih jalan tanah.
74
Dilihat dari kondisi jalan pada Tahun 2007 panjang jalan dengan kondisi baik sebesar 32,18%. Sedangkan kondisi jalan rusak berat 28,49%. Sedangkan bila dilihat perbandingan terhadap total panjang jalan, pada Tahun 2007 jalan dengan kondisi baik berkurang 23,6% sebaliknya jalan dengan kondisi rusak meningkat 0,34%. Saat ini terdapat 742 ruas jalan yang melewati 18 kecamatan di Kabupaten Gowa dengan panjang total 2.386,85 km dan lebar tiap ruasnya 4 m, adapun jembatan yang terdapat di Kabupaten Gowa sebanyak 149 jembatan dengan panjang total 1.792,00 m, lebar 722,55 m dan jumlah bentang beragam antara 1 atau 2.
Gambar 23. Kondisi sarana jalan dan jembatan di Kawasan Minapolitan Bontonompo.
75
Jaringan listrik berdasarkan perkiraan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Tahun 2007 Jumlah rumah tangga di Kabupaten Gowa yang menikmati penerangan listrik Perusahaan Listrik Negara (PLN) sekitar 92,26% dari total jumlah rumahtangga.
Sedangkan selebihnya masih menikmati
penerangan dari sumber penerangan selain yang berasal dari PLN. Pada Tahun 2007 jumlah pelanggan PLN tercatat sebanyak 88.094 dengan daya tersambung sebesar 75.607.046 VA. Sedangkan produksi listrik yang terjual tercatat sebesar 102.743.824 Kwh dengan nilai penjualan sebesar 48.331 milyar rupiah. Untuk mendukung peningkatan Pembangunan Nasional, PT. Telkom telah berusaha memperlancar arus informasi serta memperluas jangkauan jasa telekomunikasi ke seluruh pelosok tanah air.
Upaya ini bisa dilihat dengan
meningkatnya jumlah pelanggan telepon hingga Desember 2007 yang tercatat sebanyak 33.322 pelanggan, sedangkan pada akhir Tahun 2006 hanya 32.199 pelanggan atau mengalami peningkatan sekitar 3,49%. Seiring berkembangnya teknologi, saat ini banyak masyarakat beralih kepada telepon selular yang sudah berkembang di kawasan tersebut. e.
Aspek Suprastruktur Hasil analisis faktor/atribut pengungkit (leverage attributes) untuk aspek
Suprastruktur dalam perkembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo di Kabupaten Gowa ditunjukkan pada Gambar 24. Kegunaan faktor pengungkit adalah untuk mengetahui faktor sensitif ataupun intervensi yang dapat dilakukan dengan cara mencari faktor yang sensitif untuk meningkatkan status aspek Suprastruktur menuju status yang lebih baik.
76
Leverage of Attributes Ketersediaan kelompok tani Kebijakan PEMDA sektor perikanan (5…
0.42 0.65
Jumlah penyuluh perikanan
4.67
Attribute
Ketersediaan koperasi
4.96
Ketersediaan lembaga…
Badan pengelola kawasan minapolitan
5.43 0.93
Ketersediaan Lembaga penyuluhan
1.22
Pelaksanaan pendidikan pelatihan
1.25
Ketersediaan lembaga konsultasi…
0.90
0 Mean Square 1 Change 2 4 Attribute5Removed (on 6 Root in Ordination3when Selected Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 24. Hasil Analisis Laverage Aspek Suprastruktur.
Pada Gambar 24 menunjukkan bahwa yang menjadi faktor pengungkit utama
untuk aspek Suprastruktur di Kawasan Minapolitan Bontonompo,
Kabupaten Gowa sesuai dengan urutan prioritasnya adalah sebagai berikut: (1) Ketersediaan Lembaga Keuangan/Bank; (2) Ketersediaan Koperasi, (3) Jumlah Penyuluh Perikanan, dan (4) Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan. Dengan melakukan intervensi atau perlakukan terhadap keempat faktor tersebut diharapkan dapat meningkatkan status aspek Suprastruktur ke tingkat yang lebih baik. Munculnya faktor pengungkit utama ketersediaan lembaga keuangan/bank dan ketersediaan koperasi sebagai faktor pengungkit kedua diduga dikarenakan belum optimalnya fungsi lembaga keuangan/bank dan koperasi yang ada terhadap pemenuhan kebutuhan permodalan bagi perkembangan industri perikanan di Kawasan Minapolitan Bontonompo sehingga para petani masih bergantung kepada subsidi yang diberikan oleh pemerintah dan adanya para pemilik modal. Oleh karena itu diperlukan kerjasama dalam bidang pembiayaan usaha dengan tujuan agar memudahkan para pelaku usaha untuk mengakses permodalan.
77
Jumlah penyuluh perikanan muncul sebagai faktor pengungkit ketiga dalam aspek suprastruktur dalam pengembangan perikanan di Kawasan Minapolitan bontonompo.
Untuk memperbaiki status aspek Suprastruktur dalam jumlah
penyuluh perikanan pada masa mendatang, yaitu dengan cara melakukan penambahan personil penyuluh dibidang perikanan dengan kualitas yang memadai.
Kawasan Minapolitan memiliki tenaga penyuluh perikanan sebanyak
3 orang yang terpusat di Kecamatan Bajeng, sedangkan secara keseluruhan Kabupaten Gowa memiliki tenaga penyuluh perikanan sebanyak 7 orang dengan cakupan 18 kecamatan (BPS, 2008). Kegiatan
pelaksanaan
penyuluhan
perikanan
merupakan
sarana
pembelajaran bagi para petani beserta keluarganya dalam penerapan teknologi perikanan dengan tujuan untuk peningkatan SDM, produksi dan pendapatan usaha taninya. Oleh sebab itu peran Penyuluh perikanan dalam pembangunan ekonomi perikanan sangatlah penting, untuk membantu petani dalam mengelola lahannya sehingga memperoleh optimalisasi dalam berbudidaya perikanan. Pelaksanaan pendidikan pelatihan muncul sebagai faktor pengungkit keempat dalam aspek suprasruktur. 5.2.2. Tingkat Perkembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo Penentuan status perkembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo secara keseluruhan menggunakan analisis penentuan bobot untuk aspek perkembangan. perkembangan.
Hasil analisis ini berupa bobot dari masing-masing aspek Dengan
diketahuinya
indeks
masing-masing
aspek
pengembangan dari hasil analisis Multi Dimensional Scaling (MDS) dan Bobot masing-masing
aspek
perkembangan
secara
pengembangan, keseluruhan.
maka Tingkat
akan
diketahui
perkembangan
status
Kawasan
Minapolitan Bontonompo, Kabupaten Sulawesi Selatan dari setiap aspek penilaian antara lain aspek usahatani, agroindustri, pemasaran, infrastruktur dan suprastruktur terdapat pada Tabel 18.
78
Tabel 18. Hasil Analisis MDS untuk Menentukan Status Perkembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo Sulawesi Selatan Aspek pel Bobot gabungan Nilai aspek pel Jumlah nilai Agroindustri 0,2550 17,85 4,55 Pemasaran 0,2627 44,53 11,70 Usaha Tani 0,1605 25,73 4,13 Infrastruktur 0,1806 80,80 14,59 Suprastruktur 0,1412 56,65 8,00 JUMLAH 42,97 1,0000 225,56 Sumber: Data hasil analisis, 2010
Berdasarkan kategori perkembangan kawasan agropolitan Deptan (2002) skala nilai indeks gabungan, maka tingkat perkembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo, Kabupaten Gowa masuk ke dalam kategori pra Kawasan Minapolitan II dimana indeks gabungan <33,30 masuk dalam kategori pra Kawasan Minapolitan I; Indeks gabungan dengan nilai >33,31 dan <66,30 merupakan pra Kawasan Minapolitan II, serta Indeks >66,31% masuk kategori kawasan minapolitan. Nilai indeks dari penilaian setiap aspek memperlihatkan bahwa aspek infrastruktur (80,80) memiliki indeks perkembangan tertinggi, diikuti oleh dimensi suprastruktur (56,65), pemasaran (44,53), usahatani (25,73) dan agroindustri (17,85). Besar nilai indeks setiap aspek penilai digambarkan dalam diagram batang pada Gambar 25.
Diagram Batang Perkembangan 80.80
Infrastruktur 56.65
Suprastruktur 44.53
Pemasaran Usaha Tani Agroindustri
25.73 17.85
Gambar 25. Diagram Batang Nilai Indeks Aspek Perkembangan Kawasan.
Perkembangan infrastruktur/penunjang, suprastruktur/kelembagaan dan pemasaran di Kawasan Minapolitan Bontonompo mengalami peningkatan yang cukup baik.
Berbagai perbaikan jalan penghubung dalam kawasan atau
79
penghubung keluar kawasan (daerah sekitar) seperti jalan usahatani, jalan poros desa hingga jalan desa ke kota secara bertahap telah dilakukan oleh pemerintah daerah/pusat dan masyarakat lokal, tetapi berbagai sarana dan prasarana pendukung lainnya masih harus terus dikembangkan dan harus ditunjang oleh pengelolaan yang lebih baik sehingga dapat berkembang secara optimal. Usaha tani dan agroindustri merupakan aspek permasalahan yang masih dihadapi oleh masyarakat dan pemerintahan daerah Kabupaten Gowa, hal ini terlihat dari nilai indeks kedua aspek tersebut yang rendah (<33,30). Kawasan Minapolitan Bontonompo sudah berjalan selama dua tahun, berbagai teknologi budidaya belum mengalami peningkatan, baik dari sumberdaya manusia (skill) pelaksana dan keterbatasan jumlah dan jenis sarana teknologi. Faktor lain yang menyebabkan industri pengolahan periankan tidak mengalami peningkatan yaitu tidak adanya kepastian pasar produk olahan sebagaimana diketahui tidak terdapat prabrik olahan yang menerima hasil produk perikanan maupun industri pengolahan hasil perikanan, selain itu keinginan para petani yang menginginkan perputaran keuntungan yang sederhana juga menjadi faktor penyebab mengapa industri perikanan di Kabupaten Gowa kurang berjalan maksimal.
Berbagai
indsutri perikanan yang ada hanya tercatat 2 buah saja selama tahun 2008 dan saat ini sudah mengalami penghentian produksi. Perkembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo secara keseluruhan tergolong cukup baik bila dilihat dari indeks perkembangan kawasan yang tergolong pada status Kawasan Minapolitan II, atau dalam kata lain kawasan ini telah mengalami perkembangan, kondisi ini harus dipertahankan sehingga Kawasan Minapolitan Bontonompo dapat terus dikembangkan. Satu hal yang perlu diperhatikan khususnya dalam upaya pengembangan sistem agribisnis dikawasan
adalah
keterkaitan
setiap
subsistem
agrobisnis
tersebut.
Perkembangan satu subsistem akan mempengaruhi dan dipengaruhi olah subsistem yang lainnya, sehingga pengembangan yang akan dilakukan haruslah dilakukan secara proposional, seperti yang diutarakan Soekartawi (2002) agribisnis merupakan suatu sistem yang holistik, suatu proses yang utuh dari poses pertanian didaerah hulu sampai ke daerah hilir atau proses dari penyediaan input sampai pemasaran.
80
5.2.2. Validasi Analisis Penilaian Minapolitan Bontonompo
Kinerja
Perkembangan
Kawasan
Kemampuan menjelaskan dari setiap atribut yang digunakan di setiap aspek dapat terihat dari nilai koefisien determinasi (R2), dari lima aspek yang dinilai memperlihatkan bahwa nilai rata-rata R2 yang dihasilkan berada pada nilai yang cukup baik (mendekati 1) yaitu 0.95, hal ini membuktikan bahwa atributatribut yang disertakan memiliki peran yang cukup besar dalam menjelaskan keragaman dari setiap aspek yang dibangun. 2
Determinan (R ), Stress
Hasil Analisis Nilai Koefisien
dan Selisih persentase Monte Carlo dengan Nilai
Indeks setiap aspek perkembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo, Kabupaten Sulawesi Selatan terdapat pada Tabel 19. Tabel19. Hasil Analisis Nilai Koefisien Determinan (R2), Stress dan Selisih Monte Carlo dengan Nilai Indeks Aspek Perkembangan Kawasan Monte Carlo MDS Dimensi R2 Stress Selisih* 95% Agroindustri 0,95 0,13 17,85 2,25 20,10 Pemasaran 0,95 0,14 43,63 0,90 44,53 Usaha Tani 0,96 0,13 25,73 1,58 27,31 Infrastruktur 0,95 0,13 80,80 3,75 77,05 Suprastruktur 0,95 0,14 56,65 0,19 56,84 * = Selisih antara hasil Ananlisis Monte Carlo dengan Indeks Perkembangan (MDS) Sumber: Data hasil analisis, 2010
Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai selisih antara nilai MDS dengan nilai Monte Carlo memiliki nilai antara 0.19 – 3.75, hal ini menunjukkan bahwa hasil perhitungan analisis MDS memiliki relatif kesalahan kecil dan sedang dalam prosedur penentuan skoring atribut akibat dari minimnya informasi,
terdapat
relatif kesalahan yang rendah dari variasi perbedaan skor akibat perbedaan opini. Tingkat stabilitas MDS tinggi dapat dihindari dari kesalahan dalam entry atau missing data dan dapat dihindari dari tingginya nilai Stress hal ini diperkuat dengan nilai stress
. Selanjutnya
, bila dilihat dari nilai stress
yang
dihasilkan dalam analisis MDS, memperlihatkan nilai antara 0.13 – 0.14 atau <0.25, hal ini membuktikan ketepatan konfigurasi titik-titik (goodness of fit) dari setiap aspek yang dibangun untuk penilaian perkembangan kawasan dapat merepretasikan kondisi yang baik (Kavanagh and Pitcher, 2004). Fisheries (1999), hasil analisis cukup memadai apabila nilai stress 2
Menurut lebih kecil
dari nilai 0,25 (25%) dan nilai koefisien determinasi (R ) mendekati nilai 1,0.
81
5.3. Status Keberlanjutan Kawasan Minapolitan Bontonompo 5.3.1. Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi Hasil analisis keberlanjutan dimensi ekologi dengan menggunakan 11 atribut penilai menunjukkan bahwa indeks keberlanjutan dimensi ekologi sebesar 43,41%. Hal ini menunjukkan bahwa keberlanjutan dimensi ekologi termasuk ke dalam kriteria belum cukup berkelanjutan. Indeks ini juga dapat diartikan bahwa secara ekologis kawasan tersebut belum cukup mendukung dalam upaya pengembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo. Dalam pengembangannya, dimensi ekologi memerlukan peningkatan di dalam beberapa atribut penilai yang termasuk ke dalam faktor dominan/sensitif, faktor tersebut didapat melalui analisis leverage (Gambar 26). Leverage of Attributes Kuantitas limbah perikanan Ketersediaan lahan untuk kolam
1.65 0.46
Jenis pakan ikan Frekuensi kejadian banjir
2.85 1.69
Attribute
Kejadian kekeringan
2.00
Daya dukung pakan
3.62
Agroklimat Tingkat pemanfaatan air
1.97 1.39
Sumber Air
3.39
Pemanfaatan limbah peternakan untuk pakan ikan Pemanfaatan tumbuhan untuk pakan ikan
2.89 2.01
0 1 2 3 4 Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 26. Hasil Analisis Leverage Dimensi Ekologi.
Berdasarkan hasil analisis leverage dimensi ekologi menunjukkan bahwa faktor yang paling dominan/sensitif bagi pengembangan keberlanjutan dimensi ekologi antara lain daya dukung pakan, sumber air, pemanfaatan limbah peternakan untuk pakan ikan, jenis pakan ikan, pemanfaatan tumbuhan sebagai pakan ikan dan kejadian kekeringan merupakan faktor dominan atau sensitif
82
terhadap keberlanjutan dimensi ekologi Kawasan Minapolitan Bontonompo. Bagi pengembangan perikanan, faktor-faktor dominan/sensitif yang ada merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan bagi perkembangan perikanan. Daya dukung/ketersediaan pakan memiliki pengaruh yang tinggi terhadap pengembangan kawasan. Kondisi daya dukung pakan sampai saat ini tergolong rawan mendekati aman, karena selama ini pasokan pakan masih banyak dijual di pasar-pasar saprokan terdekat berupa pelet dan mudah didapat, akan tetapi harga pelet ini harganya semakin lama mengalami kenaikan, dengan kondisi petani ikan saat ini, terdapat kemungkinan dimana kemampuan membeli pakan akan menurun.
Untuk menghadapi situasi tersebut, para petani memberikan
pakan alami berupa dedak yang jauh lebih murah. Dalam budidaya perikanan, pakan yang baik dan terjaga kualitasnya dapat memberikan hasil panen yang bernilai tinggi. Dalam rangka menjaga produksi perikanan, maka daya dukung pakan harus tetap terjaga supaya produktivitasnya terus meningkat. Selain pakan, air merupakan sumber kehidupan bagi perikanan, maka dari itu sumber air yang digunakan untuk pengembangan perikanan harus bersumber dari air yang kualitasnya terjaga, karena ikan tidak dapat hidup bila habitat atau air yang digunakan mengalami pencemaran dan lain sebagainya.
Saat ini
sumber air yang digunakan berasal dari pengairan/irigasi yang ketersediaannya tidak pernah kering sepanjang musim kemarau sedangkan air tanah digunakan sebagai sumber kebutuhan air bersih. Demi mendorong produktivitas perikanan maka jenis pakan pun perlu diperhatikan.
Pakan ikan merupakan hal yang sangat dibutuhkan oleh para
petani guna memacu pertumbuhan ikan. Jenis pakan ikan dapat berupa pakan alami dan pakan pelet. Pelet merupakan pakan yang didapat para petani melalui para pedagang maupun pemilik modal yang menitipkan bibitnya untuk dibudidaya. Lebih dari 80% petani ikan menggunakan teknologi tradisional. Penggunaan teknologi erat kaitannya dengan modal sehingga jenis pakan yang banyak dipakai oleh para petani merupakan pakan alami. Pakan alami yang digunakan berupa hasil penggilingan ampas jagung kuning yang mengering. Pemanfaatan tumbuhan sebagai pakan ikan memiliki kelebihan yang akan membuat rasa daging ikan menjadi lebih digemari, ketahanan ikan terhadap penyakit
meningkat
dan
tidak
berbau
lumpur
dibandingkan
dengan
menggunakan pelet karena pelet bersifat tenggelam sehingga ikan mencari pelet tersebut di dasar kolam. Biaya pakan ikan sangat menentukan harga pasaran
83
ikan. Apabila biaya pakan ikan mahal, maka secara otomatis akan menaikan harga ikan karena bertambahnya biaya produksi.
Untuk mengatasi masalah
pakan, Kementerian KP berusaha mengembangkan pakan murah berupa larva lalat sebagai pakan ikan alternatif dan mudah dibudidayakan yang bahan dasarnya berasal dari limbah kelapa sawit dan ampas produksi pengolahan tahu. Dengan adanya alternatif pakan ikan dengan harga yang terjangkau oleh para petani dengan kandungan protein yang tinggi diharapkan produksi ikan akan semakin meningkat dan rasa daging yang lebih baik.
Kabupaten Gowa
merupakan daerah yang beriklim basah. Curah hujan relatif tinggi dengan ratarata 237,75 mm/bulan. Dalam melakukan budidaya masalah yang sering dialami para petani adalah debit air yang terjadi pada musim hujan, seringkali mengalami peluapan, meskipun tidak pernah mengalami kekeringan, namun debit ait yang kurang pada musim kemarau sangat berpengaruh terhadap usaha budidaya. Pemanfaatan pakan yang berasal dari tumbuhan dan limbah peternakan merupakan suatu bentuk kepedulian teknologi terhadap lingkungan dengan menganut sistem 3R (Reduce, Reuse, Recycle) yaitu memanfaatkan limbah untuk digunakan kembali dan mengurangi dampak limbah terhadap lingkungan, selain dapat menekan harga pakan juga mengajarkan petani untuk berkreatifitas. Saat ini pemanfaatan ampas jagung kuning yang mengering sisa hasil perkebunan telah dilakukan oleh beberapa petani ikan di kawasan.
5.3.2. Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Hasil analisis keberlanjutan dimensi ekonomi dengan menggunakan 18 atribut penilai menunjukkan bahwa indeks keberlanjutan dimensi ekonomi sebesar 28,14%. Hal ini menunjukkan bahwa keberlanjutan dimensi ekonomi termasuk ke dalam kriteria belum berkelanjutan. Indeks ini juga dapat diartikan bahwa secara ekonomi kawasan tersebut belum mendukung dalam upaya pengembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo. Dalam pengembangannya, dimensi ekonomi memerlukan peningkatan di dalam beberapa atribut penilai yang termasuk ke dalam faktor dominan/sensitif, faktor tersebut didapat melalui analisis leverage (Gambar 27).
84
Leverage of Attributes 0.52 1.22 1.12 2.75 1.45 0.78 2.75 2.09 2.16
Attribute
Jenis produk yang dihasilkan Jenis komoditas unggulan Jumlah tenaga kerja perikanan Harga komoditas ikan Persentase penduduk prasejahtera dan… Besarnya subsidi Kelayakan agroindustri Perubahan nilai APBD bidang perikanan… Perubahan jumlah sarana ekonomi (5… Jumlah pasar ikan Sistem Jual-Beli Pasar produk perikanan Transfer keuntungan Rataan penghasilan petani ikan relatif… Rataan penghasilan petani ikan relatif… Kontribusi terhadap Pendapatan Asli… Kontribusi terhadap Produk Domestik… Keuntungan yang diperoleh
2.78 2.17 2.11 1.99 2.11 0.48 1.42 1.16 0.22
0 1 2 3 Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 27. Hasil Analisis Leverage Dimensi Ekonomi.
Berdasarkan hasil analisis leverage dimensi ekonomi menunjukkan bahwa faktor yang paling dominan/sensitif bagi pengembangan keberlanjutan dimensi ekonomi antara lain jumlah pasar ikan, kelayakan agroindustri, harga komoditas ikan, sistem jual-beli, perubahan jumlah sarana ekonomi (5 tahun terakhir), pasar produk perikanan, rataan penghasilan petani ikan relatif terhadap UMR kabupaten, perubahan nilai APBD di bidang perikanan (5 tahun terakhir), dan transfer
keuntungan
merupakan
faktor
dominan
atau
sensitif
terhadap
keberlanjutan dimensi ekologi Kawasan Minapolitan Bontonompo.
Bagi
pengembangan perikanan, faktor-faktor dominan/sensitif yang ada merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan bagi kehidupan dan kesehatan ikan itu sendiri. Saat ini pasar ikan secara fisik belum tersedia di kawasan akan tetapi para petani biasa menjajakan hasil perikanannya di pasar-pasar umum yang tersedia di setiap daerah dan pasar yang tersedia di sepanjang jalan Kecamatan Bajeng dan Kecamatan Pallangga.
Para petani menolak dilokalisasikan pemerintah
setempat ke dalam pasar yang telah disediakan oleh pemerintah dengan alasan
85
susahnya akses bagi para pembeli dan sepinya kunjungan. Beberapa tempat dapat dilihat pada gambar 31.
Gambar 28. Lokasi Pedagang Menjual Ikan.
Bila
ditinjau
berdasarkan
jumlah
komoditas
unggulan,
kegemaran
masyarakat mengkonsumsi ikan dan target Kementrian Kelautan dan Perikanan, untuk meningkatkan nilai konsumsi masyarakat maka agroindustri layak untuk dijalankan akan tetapi saat ini kegiatan perindustrian di bidang perikanan belum berjalan dengan baik di daerah Kawasan Minapolitan. Agroindustri berpengaruh terhadap keberlanjutan Kawasan Minapolitan karena bila agroindustri tidak berjalan maka perkembangan perekonomian kawasan sulit berkembang. Perubahan harga di suatu daerah merupakan salah satu indikator dalam melihat keadaan ekonomi di daerah tersebut.
Tingkat stabilitas harga akan
sangat berpengaruh terhadap tingkat stabilitas ekonomi daerah tersebut. Harga komoditas ikan dapat mempengaruhi perkembangan ekonomi di masyarakat, pada saat produk ikan melimpah maka harga ikan akan mengalami penurunan dikarenakan banyaknya stok yang ada di pasaran, sedangkan pada saat produk ikan terbatas maka harga ikan akan meningkat, harga akan mencapai kestabilan apabila pembudidaya ikan memiliki program budidaya perikanan yang teratur sehingga stok produk perikanan tidak mengalami kelebihan produksi di pasaran dan tidak mengalami krisis stok produk perikanan. Sistem jual-beli mempengaruhi keuntungan yang diterima oleh petani, sistem dengan jual beli saat ini tidak memberikan keuntungan yang cukup berarti bagi petani dimana petani tidak memiliki kemampuan untuk melakukan negosiasi penawaran harga dikarenakan posisi menawar dimiliki oleh para pengumpul dan pemiliki modal. Para petani membudidayakan bibit dan benih yang disuplai oleh
86
pemerintah atau pengumpul untuk kemudian dibeli kembali oleh pemilik modal bila masa panen tiba langsung di lokasi pembudidayaan. Sarana
ekonomi
dapat
memperlihatkan
suatu
kawasan
memiliki
perokonomian yang baik bilamana sarana tersebut telah berfungsi dengan baik dan masyarakat setempat berperan aktif didalamnya, hal ini memperlihatkan kegiatan perekonomian telah maju. Perubahan jumlah sarana ekonomi (5 tahun terakhir)
tidak
terlalu
banyak
berubah,
jumlah
bank
dengan
status
cabang/cabang pembantu yang beroperasi di Kabupaten Gowa sampai tahun 2007 ada 4 buah bank. Total dana perbankan yang tersedia dari 4 bank tersebut sampai dengan bulan Desember 2007 tercatat sebesar 214,55 milyar rupiah, yang berarti bertambah sebesar 55,39 milyar rupiah atau 34,80% bila dibandingkan dengan keadaan Desember tahun sebelumnya. Jumlah pinjaman yang disalurkan oleh perbankan Cabang Sungguminasa hingga Desember tahun 2007 tercatat sebesar 210,35 milyar rupiah. Jumlah ini mengalami peningkatan sekitar 43,15% jika dibanding tahun sebelumnya pada periode waktu yang sama. Sedangkan jumlah peminjam hingga Desember 2007 tercatat sebanyak 14.954 nasabah, sedangkan jumlah penabung tercatat sebanyak 108.546 nasabah. Pasar produk perikanan yang ada di Kabupaten Gowa masih bersifat lokal dan produk yang dihasilkan masih terbatas.
Produk perikanan yang ada di
Kawasan Minapolitan Bontonompo masih berupa produk primer. Hal tersebut disebabkan karena teknologi yang digunakan masih bersifat tradisional dan belum adanya industri perikanan dengan skala yang besar. Industri perikanan yang ada sekarang masih berskala rumah tangga dan jumlahnya sangat minim. Selain itu kurangnya skill yang dimiliki serta pola pemikiran para petani ikan yang menginginkan keuntungan secepat-cepatnya menyebabkan produk dijual dalam bentuk primer dan masih terbatas di sekitar daerah saja. Untuk meningkatkan kondisi tersebut perlu didirikan industri-industri perikanan dengan skala menengah dan besar seperti industri fillet, tepung ikan, dan sarden. Tujuan dari pembangunan pedesaan dengan konsep minapolitan bertujuan untuk menyetarakan kebutuhan desa dan kota sehingga kehidupan masyarakat desa tidak tertinggal jauh dengan kehidupan di kota, dalam hal ini rataan penghasilan petani ikan relatif terhadap UMR kabupaten dinilai mempengaruhi keberlanjutan pengembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo di kabupaten Gowa, selain itu perubahan nilai APBD di bidang perikanan (5 tahun terakhir) dapat dijadikan suatu indikator kemajuan perikanan akan tetapi saat ini kontribusi
87
perikanan masih sangat jauh dibawah kontribusi yang diberikan oleh bidang pertanian, perkebunan dan peternakan yaitu hanya sebesar 0,27%, perikanan dapat dijadikan komoditas unggulan bilamana memiliki kontribusi dengan nilai >10%, selain itu transfer keuntungan lebih banyak terasa di luar daerah dikarenakan pengolahan produk perikanan terjadi di luar daerah. 5.3.3. Status Keberlanjutan Dimensi Sosial dan Budaya Hasil
analisis
keberlanjutan
dimensi
sosial
dan
budaya
dengan
menggunakan 17 atribut penilai menunjukkan bahwa indeks keberlanjutan dimensi ekonomi sebesar 26,69%, hal ini menunjukan bahwa keberlanjutan dimensi sosial dan budaya termasuk ke dalam kriteria belum berkelanjutan. Indeks ini juga dapat diartikan bahwa secara sosial dan budaya kawasan tersebut belum mendukung dalam upaya pengembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo.
Dalam
pengembangannya,
dimensi
sosial
dan
budaya
memerlukan peningkatan di dalam beberapa atribut penilai yang termasuk kedalam faktor dominan/sensitif, faktor tersebut didapat melalui analisis leverage (Gambar 29). Berdasarkan
hasil
analisis
leverage
dimensi
sosial
dan
budaya
menunjukkan bahwa faktor yang paling dominan/sensitif bagi pengembangan keberlanjutan dimensi tersebut antara lain frekuensi konflik, status kepemilikan lahan, frekuensi penyuluhan dan pelatihan, tingkat penyerapan tenaga kerja perikanan, dan pertumbuhan rumah tangga perikanan merupakan faktor dominan atau sensitif terhadap keberlanjutan dimensi sosial dan budaya Kawasan Minapolitan
Bontonompo.
Bagi pengembangan
perikanan, faktor-faktor
dominan/sensitif yang ada merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan bagi kehidupan dan kesehatan ikan itu sendiri.
88
Leverage of Attributes Jumlah desa dengan penduduk bekerja di sektor … Alokasi waktu yang digunakkan untuk usaha … Pertumbuhan penduduk relatif terhadap Kabupaten
0.63 0.48 1.35
Alternatif usaha selain usaha perikanan
1.49
Tingkat penyerapan tenaga kerja perikanan
1.51
Frekuensi penyuluhan dan pelatihan
1.46 2.83
Attribute
Peran masyarakat dalam usaha perikanan
2.05
Partisipasi keluarga dalam usaha perikanan
8.01
Frekuensi konflik
3.29
Tingkat pendidikan relatif terhadap pendidikan …
3.30
Pengetahuan terhadap lingkungan Pertumbuhan rumah tangga perikanan
1.66 3.39
Status kepemilikan lahan usahatani
1.90
Jumlah rumah tangga perikanan Jarak lokasi usaha perikanan dengan … Kearifan lokal Pekerjaan dilakukan secara individual atau …
0.80 1.68 0.87
0 5 10 Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 29. Hasil Analisis Leverage Dimensi Sosial dan Budaya.
Keberlanjutan pengembangan kawasan dapat terjadi apabila semua pihak terkait bekerjasama dan saling mendukung sehingga tidak terjadi konflik, saat ini kejadian konflik terjadi di tingkat kelembagaan dan masyarakat petani, salah satunya terjadi saat pembentukkan kelompok kerja bagi pengembangan Kawasan Minapolitan yang tidak ada kejelasan sampai saat ini sehingga pengembangan belum bisa berjalan secara optimal, selain itu para petani yang ada sulit sekali untuk melakukan koordinasi dan bekerja dlam kelompok. Bila pengembangan kawasan ingin mengalami peningkatan, maka permasalahan konflik tidak boleh terjadi lagi. Lahan yang digunakan dalam membudidayakan perikanan merupakan lahan miliki para petani, dalam pembudidayaannya mereka mendapatkan bibit dan benih dari subsidi pemerintah dan para pemilik modal untuk dibudidayakan
89
untuk kemudian hasil perikanan dibeli kembali oleh para pemodal dengan harga yang tidak terlalu tinggi. Frekuensi penyuluhan dan pelatihan dapat digunakan sebagai salah satu solusi untuk memberikan keterampilan kepada para petani agar mereka dapat berbudidaya secara mandiri sehingga hasil yang ada dapat dirasakan secara maksimal. Saat ini bidang pertanian menjadi sumber penyerapan tenaga kerja terbanyak yaitu 41,54% sedangkan perikanan belum dapat menyerap tenaga kerja, pertumbuhan rumah tangga perikanan sendiri 2 tahun terakhir ini mengalami penurunan, diketahui pada tahun 2006 terdapat 2.287 RT perikanan dan pada tahun 2007 terdapat 1.860 RT perikanan. Dalam rangka meningkatkan status keberlanjutan kawasan, peningkatan segala faktor dominan/sensitif yang ada harus ditingkatkan kembali. 5.3.4. Status keberlanjutan Dimensi Infrastruktur dan Teknologi Hasil analisis keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi dengan menggunakan 10 atribut penilai menunjukkan bahwa indeks keberlanjutan dimensi ekonomi sebesar 40,89%, hal ini menunjukan bahwa keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi termasuk ke dalam kriteria belum
cukup
berkelanjutan. Indeks ini juga dapat diartikan bahwa secara infrastruktur dan teknologi
kawasan
tersebut
belum
cukup
mendukung
dalam
upaya
pengembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo. Dalam pengembangannya, dimensi infrastruktur dan teknologi memerlukan peningkatan di dalam beberapa atribut penilai yang termasuk ke dalam faktor dominan/sensitif, faktor tersebut didapat melalui analisis leverage (Gambar 30). Berdasarkan hasil analisis leverage dimensi infrastruktur dan teknologi menunjukkan bahwa faktor yang paling dominan/sensitif bagi pengembangan keberlanjutan dimensi tersebut antara lain kondisi prasarana jaan desa, teknologi pengolahan produk perikanan, teknologi inormasi dan transportasi, kondisi prasarana jalan usaha, dan tingkat penguasaan teknologi budidaya perikanan merupakan faktor dominan atau sensitif terhadap keberlanjutan dimensi infrastruktur
dan
teknologi
Kawasan
Minapolitan
Bontonompo.
Bagi
pengembangan perikanan, faktor-faktor dominan/sensitif yang ada merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan bagi kehidupan dan kesehatan ikan itu sendiri.
90
Leverage of Attributes
Ketersediaan teknologi informasi perikanan
0.17
Tingkat penguasaan teknologi budidaya perikanan
3.36 4.09
Teknologi informasi dan transportasi
4.52
Teknologi pengolahan produk perikanan
2.64
Attribute
Teknologi pakan
Sistem pemeliharaan
0.74 4.42
Kondisi prasarana jalan desa
3.83
Kondisi prasarana jalan usaha
2.08
Penggunaan pupuk untuk kolam Penggunaan vitamin dan probiotik untuk memacu pertumbuhan ikan
0.97
0 2 4 6 Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 30. Hasil Analisis Leverage Dimensi Infrastruktur dan Teknologi.
Jalan merupakan salah satu prasarana dalam menunjang sekaligus memperlancar kegiatan perekonomian.
Dengan adanya prasarana jalan
tentunya akan mempermudah mobilitas penduduk dan memperlancar lalu lintas barang baik antar kota maupun antar daerah. Sampai Tahun 2007 panjang jalan di Kabupaten Gowa mengalami peningkatan dibanding Tahun 2006 yaitu dari 2.456,7 Km menjadi 2.601,86 Km atau bertambah sekitar 5,82%. Panjang jalan yang menjadi wewenang negara 21,5 Km; 192,5 Km menjadi wewenang Provinsi dan sisanya sebanyak 2.387,86 Km merupakan wewenang Pemerintah kabupaten.
Pada Tahun 2007 proporsi panjang jalan yang diaspal adalah
42,21% kemudian 21,71% dengan permukaan kerikil dan 36,1% masih jalan tanah.
91
Dilihat dari kondisi jalan pada Tahun 2007 panjang jalan dengan kondisi baik sebesar 32,18%. Sedangkan kondisi jalan rusak berat 28,49%. Sedangkan bila dilihat perbandingan terhadap total panjang jalan, pada Tahun 2007 jalan dengan kondisi baik berkurang 23,6% sebaliknya jalan dengan kondisi rusak meningkat 0,34%. Saat ini terdapat 742 ruas jalan yang melewati 18 kecamatan di Kabupaten Gowa dengan panjang total 2.386,85 km dan lebar tiap ruasnya 4 m, adapun jembatan yang terdapat di Kabupaten Gowa sebanyak 149 jembatan dengan panjang total 1.792,00 m, lebar 722,55 m dan jumlah bentang beragam antara 1 atau 2. Peningkatan teknologi yang digunakan dalam teknik budidaya sangat dibutuhkan oleh perkembangan aspek usaha tani, penggunaan teknologi yang modern dapat memberikan kemudahan bagi petani ikan dalam hal berbudidaya baik dalam penyebaran bibit, pemberian pakan, pengairan, pengelolaan kualitas air, hingga saat panen tiba, sampai saat ini petani masih menggunakan teknologi sederhana dalam berbudidaya perikanan, tetapi pengairan sudah berupa irigasi teknis. Keterbatasan pengetahuan petani akan teknologi budidaya yang baik dirasa masih kurang sehingga dibutuhkan pelatihan dan penyuluhan akan keterampilan akan teknologi budidaya bagi masyarakat. teknologi ditingkatkan
akan
sangat
Minapolitan dalam aspek usaha tani.
Apabila penerapan
membantu perkembangan
Kawasan
Selain teknologi budidaya, teknologi
pengolahan pun dapat diterapkan sehingga produk perikanan dapat berkembang tidak hanya produk primer saja melainkan menjadi produk sekunder dan tersier. Saat ini tidak dilakukan pengolahan terhadap produk-produk perikanan, adapun teknologi pengolahan yang sederhana yang dilakukan masyarakat berupa ikan asap akan tetapi pengolahan tersebut tidak berkembang. Pengangkutan hasil produksi perikanan saat ini belum menggunakan teknologi transportasi yang memadai, pengangkutan hasil produksi biasanya dilakukan oleh pada agen pengumpul dan pemilik modal menggunakan truk, bagi petani pengangkutan hasil produksi perikanan menuju tempat penjualan menggunakan angkutan umum atau kendaraan roda dua untuk berkeliling menjajakan dagangannya (Gambar 31).
92
Gambar 31. Teknologi Transportasi yang digunakan oleh Masyarakat. 5.3.5. Status keberlanjutan Dimensi Hukum dan Kelembagaan Hasil
analisis
keberlanjutan
dimensi
sosial
dan
budaya
dengan
menggunakan 8 atribut penilai menunjukkan bahwa indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan sebesar 62,51%, hal ini menunjukan bahwa keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan termasuk ke dalam kriteria cukup berkelanjutan. Indeks ini juga dapat diartikan bahwa secara hukum dan kelembagaan kawasan tersebut belum cukup mendukung dalam upaya pengembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo. Dalam pengembangannya, dimensi hukum dan kelembagaan memerlukan kestabilan dan bila perlu ditingkatkan kembali di dalam beberapa atribut penilai yang termasuk ke dalam atribut dominan/sensitif agar menjadi lebih baik lagi, atribut tersebut didapat melalui analisis leverage (Gambar 32).
93
Leverage of Attributes
Standarisasi mutu produk perikanan
Kelompok petani ikan
Attribute
Lembaga Penyuluhan Perikanan
2.16
2.56
2.70
Lembaga keuangan mikro (bank/kredit)
4.07
Ketersediaan lembaga sosial
Sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah
Perjanjian kerjasama dengan daerah lain soal perikanan Ketersediaan peraturan perikanan secara formal
2.93
2.20
3.39
2.90
0 2 4 6 Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)
Gambar 32. Hasil Analisis Leverage Dimensi Hukum dan Kelembagaan.
Berdasarkan hasil analisis leverage dimensi hukum dan kelembagaan menunjukkan bahwa faktor yang paling dominan/sensitif bagi pengembangan keberlanjutan dimensi tersebut antara lain lembaga keuangan mikro/bank dan perjanjian kerjasama dengan daerah lain soal perikanan merupakan faktor dominan atau sensitif terhadap keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan Kawasan Minapolitan Bontonompo. Bagi pengembangan perikanan, faktor-faktor dominan/sensitif yang ada merupakan faktor penting yang perlu diperhatikan bagi kehidupan dan kesehatan ikan itu sendiri. Keberadaan lembaga keuangan mempunyai peranan yang sangat penting dalam kawasan terutama dalam meminjamkan modal kepada para petani ikan. Jumlah bank dengan status cabang/cabang pembantu yang beroperasi di Kabupaten Gowa sampai tahun 2007 ada 4 buah bank. Total dana perbankan
94
yang tersedia dari 4 bank tersebut sampai dengan bulan Desember 2007 tercatat sebesar 214,55 milyar rupiah, yang berarti bertambah sebesar 55,39 milyar rupiah atau 34,80% bila dibandingkan dengan keadaan Desember tahun sebelumnya. Jumlah pinjaman yang disalurkan oleh perbankan Cabang Sungguminasa hingga Desember tahun 2007 tercatat sebesar 210,35 milyar rupiah. Jumlah ini mengalami peningkatan sekitar 43,15% jika dibanding tahun sebelumnya pada periode waktu yang sama. Sedangkan jumlah peminjam hingga Desember 2007 tercatat sebanyak 14.954 nasabah, sedangkan jumlah penabung tercatat sebanyak 108.546 nasabah. Hingga Desember 2007, jumlah nasabah yang tercatat pada Perum Pegadaian Cabang Sungguminasa sebanyak 2.571 orang dengan jumlah barang jaminan sebanyak 4.182 buah. Selama bulan Desember 2007 jumlah kredit yang dikeluarkan tercatat sebesar 3.668,31 milyar rupiah, sedangkan nilai barang jaminan yang ditebus sebesar 3.995,2 milyar rupiah.
Pada bulan Desember
tahun 2007 telah dilelang sebanyak 94 buah barang jaminan dengan nilai sebesar 49.147 ribu rupiah, dengan demikian terjadi peningkatan jumlah barang dan nilai barang jaminan yang dilelang jika dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Pada tahun 2007 jumlah koperasi di Kabupaten Gowa tercatat sebanyak 403 unit yang berarti mengalami penurunan sebanyak 1 unit dibandingkan tahun sebelumnya. Jumlah koperasi tersebut terdiri atas 6,7% (27 unit) KUD dan 93,3% (376 unit) non KUD yang masing-masing jumlah anggotanya sebanyak 42.916 dan 29.059 orang.
Pada tahun 2007 jumlah modal koperasi KUD tercatat
sebesar 5,28 milyar rupiah terdiri dari 1,76 milyar rupiah berupa simpanan anggota, 3,08 milyar rupiah berupa dana cadangan dan 438,8 juta rupiah berasal dari Sisa Hasil Usaha (SHU). Sedangkan jumlah modal koperasi non KUD sebesar 8,92 milyar rupiah berupa 4,45 milyar rupiah berupa simpanan, 3,03 milyar rupiah berupa dana cadangan dan 1,44 milyar rupiah berupa SHU. Jumlah volume usaha yang telah dicapai oleh koperasi pada tahun 2007 tercatat sebesar 18,95 milyar rupiah yang terdiri dari 7,04 milyar rupiah perolehan dari volume usaha KUD dan 11,91 milyar rupiah dari non KUD.
95
5.3.6. Status Keberlanjutan Kawasan Minapolitan Bontonompo Status keberlanjutan Kawasan Minapolitan Bontonompo dinilai dengan menyertakan lima dimensi penilai antara lain dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial budaya, dimensi infrastruktur teknologi dan dimensi hukum dan kelembagaan, dengan menggunakan analisis MDS untuk kelima dimensi, yang kemudian
dilanjutkan
dengan
pembobotan
dari
masing-masing
dimensi
menggunakan modifikasi pendekatan analisis yang dikembangkan oleh Saaty yaitu Analytical Hierarchy Prosess (Budiharsono, 2008) sehingga menghasilkan indeks gabungan status keberlanjutan kawasan sebesar 40,52% yang berarti bahwa status keberlanjutan Kawasan Minapolitan Bontonompo masuk dalam kriteria belum cukup berkelanjutan. Tabel 20 menunjukkan hasil analisis MDS dari lima dimensi yang digunakan dalam penilaian keberlanjutan Kawasan Minapolitan Bontonompo. Tabel 20. Hasil Analisis MDS untuk Menentukan Status Keberlanjutan Kawasan Minapolitan Bontonompo Sulawesi Selatan Bobot Indeks Indeks Dimensi Keberlanjutan gabungan Keberlanjutan Terbobot Ekologi 0,2813 43,41 12,21 Ekonomi 0,1272 28,14 3,58 Sosial dan Budaya 0,2335 26,69 6,23 Infrastruktur dan Teknologi 0,1798 40,89 7,35 Hukum dan Kelembagaan 0,1783 62,51 11,14 JUMLAH 40,52 1,0000 201,64 Sumber: Data hasil analisis, 2010
Hasil analisis MDS kelima dimensi seperti yang terlihat pada tabel diatas, menunjukkan bahwa dimensi hukum dan kelembagaan (62,51%) merupakan nilai indeks tertinggi dan disusul dengan dimensi ekologi (43,41%) dengan nilai bobot yang tertinggi dan dimensi infrastruktur dan teknologi (42,56%), sedangkan indeks terendah yaitu dimensi sosial budaya (39,09%) dengan nilai bobot tertinggi setelah dimensi ekologi dan dimensi ekonomi (28,41%).
Secara
keseluruhan (seluruh dimensi) kawasan dinilai belum cukup berkelanjutan kecuali dimensi hukum dan kelembagaan, sehingga keempat dimensi dengan nilai rendah (kurang berkelanjutan) tersebut dinilai belum begitu optimal dalam menunjang keberlanjutan kawasan, untuk itu keempat dimensi tersebut membutuhkan perhatian dan dukungan yang lebih besar lagi, hal tersebut dapat dilihat pada atribut-atibut yang masuk sebagai faktor dominan/sensitif dalam
96
menentukan keberlanjutan dimensi dalam kawasan. Berikut visualisasi dalam bentuk diagram batang dari nilai indeks keberlanjutan setiap dimensi penentu keberlanjutan Kawasan Minapolitan Bontonompo Kabupaten Gowa (Gambar 33).
Diagram Batang Keberlanjutan 62.51
Hukum dan Kelembagaan 43.41
Ekologi
40.89
Infrastruktur dan Teknologi Ekonomi Sosial dan Budaya
28.14 26.14
Gambar 33. Diagram Batang Dimensi Status Keberlajutan Perkembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo. Diagram batang ini memiliki makna bahwa nilai dimensi yang mendekati skala 100 maka memiliki nilai keberlanjutan yang baik. Modal besar yang dimiliki kawasan salah satunya adalah tercermin dari keberadaan dimensi hukum dan kelembagaan yang memiliki nilai terbesar (62,51%), hal ini dapat diartikan bahwa ketersediaan hukum dan kelembagaan kawasan sebagai Kawasan Minapolitan sudah mendukung. Dimensi sosial budaya merupakan dimensi yang memiliki nilai terendah (26,14%) sehingga dinilai belum cukup optimal dalam menunjang keberlanjutan Kawasan Minapolitan Bontonompo.
Peningkatan dari setiap
elemen/faktor penting (dominan/sensitif) yang tergambar disetiap dimensi harus ditingkatkan secara proposional dan saling keterkaitan, sebab peningkatan pada satu faktor akan mempengaruhi baik negatif atau positif kepada faktor-faktor lainnya, seperti pemilihan teknologi pada usahatani atau agroindustri secara otomatis maka akan berimplikasi pada peningkatan biaya produksi, pemilihan teknologi yang tepat dengan mempertimbangkan efisiensi biaya dan waktu serta kesesuaian dengan kebutuhan dan kapasitas petani merupakan pertimbangan yang tidak terpisahkan dalam penentuan kebijakan penentuan teknologi.
97
5.3.7. Validasi Analisis Penilaian Status Keberlanjutan Kawasan Minapolitan Bontonompo Kemampuan menjelaskan dari setiap atribut yang digunakan setiap dimensi dapat terihat dari nilai koefisien determinasi (R2), dari lima dimensi yang dinilai memperlihatkan bahwa nilai R2 yang dihasilkan berada pada nilai yang cukup baik (mendekati 1) yaitu antara 0,94-0,96. Hal ini membuktikan bahwa atribut-atribut yang disertakan memiliki peran yang cukup besar dalam menjelaskan keragaman dari setiap dimensi yang dibangun. Hasil Analisis Nilai Koefisien Determinan (R2), Stress
dan Selisih persentase Monte Carlo dengan
Nilai Indeks setiap dimensi keberlanjutan Kawasan Minapolitan Bontonompo, Kabupaten Sulawesi Selatan ditampilkan pada Tabel 21. Tabel 21. Hasil Analisis Nilai Koefisien Determinan (R2), Stress dan Selisih Monte Carlo dengan Nilai Indeks Dimensi Keberlanjutan Kawasan
Dimensi Ekologi Ekonomi Sosial dan Budaya Infrastruktur dan Teknologi Hukum dan Kelembagaan
R2 0,95 0,96 0,94 0,95 0,95
Stress 0,14 0,13 0,13 0,14 0,14
MDS 43,41 28,14 26,69 40,89 62,51
Monte Carlo Selisih* 95% 2,77 1,75 2,05 0,58 0,43
44,18 29,89 28,74 41,47 62,08
Ket: * = Selisih antara hasil Ananlisis Monte Carlo dengan Indeks Perkembangan (MDS) Sumber: Data hasil analisis, 2010
Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai selisih antara nilai hasil perhitungan analisis MDS dengan hasil analisis Monte Carlo terlihat memiliki nilai antara 0,43 – 2,77, hal ini menunjukkan bahwa hasil perhitungan analisis MDS memiliki relatif kesalahan kecil dalam prosedur penentuan skoring atribut akibat dari minimnya informasi, terdapat relatif kesalahan yang rendah dari variasi perbedaan skor akibat perbedaan opini.
Tingkat stabilitas MDS tinggi dapat dihindari dari
kesalahan dalam entry atau missing data dan dapat dihindari dari tingginya nilai Stress . Selanjutnya hal ini diperkuat dengan nilai stress , bila dilihat dari nilai stress
yang dihasilkan dalam analisis MDS, memperlihatkan nilai antara 0,13 –
0,14 atau <0,25, hal ini membuktikan ketepatan konfigurasi titik-titik (goodness of fit) dari setiap dimensi yang dibangun untuk penilaian keberlanjutan kawasan dapat merepresentasikan kondisi yang baik (Kavanagh and Pitcher, 2004). Menurut Fisheries (1999), hasil analisis cukup memadai apabila nilai stress <0,25 (25%) dan nilai koefisien determinasi (R2) mendekati nilai 1,0.
98
5.4. Perkembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo Kedepan Kabupaten Luwu Timur dan Kabupaten Gowa merupakan dua kabupaten yang ditetapkan sebagai Kawasan Minapolitan di Provinsi Sulawesi Selatan berdasarkan
SK
KP
No.
2122/DPB/PL.III/SK.D2/VI/09
yang
dikeluarkan
bersamaan dengan penunjukkan 39 kabupaten lainnya pada 32 provinsi guna mendukung keberhasilan pelaksanaan revitalisasi perikanan dengan visi menjadikan Indonesia sebagai penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar pada tahun 2015 dan memiliki misi untuk mensejahterakan masyarakat kelautan dan perikanan.
Adapun strategi yang harus dilakukan yaitu memperkuat
kelembagaan dan sumber daya manusaia secara terintegrasi, mengelola sumberdaya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan, meningkatkan produktivitas dan daya saing berbasis pengetahuan, serta memperluas akses pasar domestik dan internasional. Syarat-syarat yang digunakan sebagai dasar penunjukkan suatu wilayah untuk dijadikan Kawasan Minapolitan ialah: 1. Komitmen daerah: seusai dengan rencana strategi dan tata ruang, ditetapkan oleh Bupati/Walikota, memiliki alokasi APBD yang seimbang. 2. Komoditas unggulan: seperti Udang, Ikan Patin, Ikan Lele, Ikan Tuna, dan Rumput Laut. 3. Letak Geografis: lokasi strategis dan secara alami cocok untuk usaha perikanan. 4. Sistem mata rantai produksi hulu dan hilir: keberadaan sentra produksi yang aktif berproduksi seperti lahan budidaya dan pelabuhan perikanan. 5. Fasilitas pendukung: keberadaan sarana dan prasarana seperti jalan, pengairan, listrik dan lainnya. 6. Kelayakan lingkungan: kondisi lingkungan baik dan tidak merusak. Kabupaten Gowa telah memenuhi beberapa persyaratan yang berlaku diantaranya komitmen daerah dengan adanya surat keputusan yang dikeluarkan oleh Bupati Gowa tentang pembentukan kelompok kerja pengembangan Kawasan Minapolitan dan tentang penetapan lokasi pengembangan kawasan minapolitan, komoditas unggulan dengan adanya Udang Windu sebagai komoditas unggulan, letak geografis yang didukung dengan kesesuaian kondisi agroklimat, tingkat erosi dan tingkat kemiringan yang kecil, sistem mata rantai produksi hulu dan hilir dengan pusat produksi berada di Kabupaten Gowa dengan pelabuhan perikanannya dan fasilitas pendukung seperti sarana dan
99
prasarana jalan yang memadai serta adanya jaringan listrik, telekomunikasi, air bersih, irigasi dan sebagainya, akan tetapi tetap membutuhkan perhatian dan penyesuaian di beberapa bagian yang terlihat dalam hasil analisis terhadap atribut-atribut yang dilakukan berdasarkan aspek perkembangan dan dimensi berkelanjutan kawasan terutama dimensi ekonomi, dimensi sosial dan budaya, dimensi infrastruktur dan dimensi ekologi. Sektor pertanian merupakan sektor terbesar penyumbang produk domestik regional bruto (PDRB) Kabupaten Gowa. Dilihat dari konstribusinya selama dua tahun terakhir (2006-2007)
yaitu sebesar 50,85% atau turun sedikit sekali
dibandingkan dengan Tahun 2006 yang sebesar 51,48% yang kemudian disusul oleh sektor perkebunan, peternakan, perikanan, dan kehutanan. Jenis perikanan yang terdapat di Kabupaten Gowa pada umumnya adalah budidaya darat sedangkan perikanan laut hanya sebagian kecil saja karena lantar hanya berlokasi di Selat Makassar. Luas areal budidaya perikanan darat tambak/kolam/sawah pada Tahun 2007 tercatat seluas 648,40 Ha dibanding Tahun 2006 mengalami penurunan sekitar 7,13%. Produksi perikanan pada Tahun 2007 tercatat sebesar 762,19 ton dibanding Tahun 2006 yang berarti mengalami penurunan sebesar 0,93%. Produksi perikanan dalam kurun waktu 2006 sampai 2007 mengalami penurunan.
Pada tahun 2006 produksi ikan mencapai 769,33 ton dan terus
menurun hingga pada tahun 2007 menjadi 762,19 ton (Gowa dalam Angka, 2008). Dalam rangka mengelola sumberdaya ikan dan meningkatkan produksi perikanan, pemerintah daerah membuat suatu program yang dikenal dengan minapolitan.
Minapolitan merupakan konsep pembangunan kelautan dan
perikanan berbasis wilayah dengan pendekatan dan sistem manajemen kawasan dengan prinsip-prinsip, integrasi, efisiensi, kualitas, dan akselerasi (KKP, 2010). Kebijakan pemerintah daerah dalam mencanangkan program minapolitan direspon baik oleh para petani ikan akan tetapi bagi kebanyakan orang kurang disetujui disebabkan karena kegiatan budidaya ikan bukan merupakan kegiatan yang dilakukan secara turun temurun melainkan pertanian dan perkebunan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa wilayah Kabupaten Gowa kurang potensial untuk pengembangan sektor perikanan akan tetapi dapat dipadu dengan sektor lainnya menjadi program minapolitan terpadu atau tetap berbasis perikanan tetapi
menggunakan
teknologi
terpadu,
ramah
lingkungan
menyesuaikan dengan kondisi agroklimat di lokasi pengembangan.
dan
dapat
100
Berdasarakan wilayah prioritas pengembangan, Gowa bersama dengan Takalar, Maros, Pangkep dan Makassar merupakan kawasan dengan prioritas pengembangan sebagai daerah industri, agroindustri dan pelayanan jasa (perdagangan, hotel, pariwisata).
Berdasarkan potensi kawasan andalan
Sulawesi Selatan merupakan kawasan dengan peruntukan sebagai pintu gerbang utama Kawasan Timur Indonesia (KTI), pusat pelayanan jasa KTI, Pelabuhan Laut Soekarno-Hatta dan Bandar Udara Hasanuddin-Mandai dan pusat pelabuhan di Kota Makassar, sedangkan produktivitas komoditi perikanan laut sebesar 80.188,2 ton dan perikanan tambak sebesar 23.594,3 ton dimana produktivitas tambak masih tergolong rendah (1,17 ton/ha) dan rendahnya kapistas pasar dan harga masih menjadi permasalahan.
Dalam wilayah
administrasi Provinsi Sulawesi Selatan, Kabupaten Gowa bersama dengan Kabupaten Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba dan Selayar merupakan kawasan tertinggal maka dari itu, dengan adanya program pengembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo dan Percepatan Pembangunan Perkotaan Mamminasata diharapkan dapat memajukan daerah tersebut. Potensi Kabupaten Gowa yang sesungguhnya adalah sektor pertanian. Pekerjaan
utama
penduduk
kabupaten
yang
pada
tahun
2000
lalu
berpendapatan perkapita Rp 2,09 juta ini adalah bercocok tanam, dengan subsektor pertanian tanaman pangan sebagai andalan. Sektor pertanian memberi kontribusi sebesar 45% atau senilai Rp 515,2 milyar. Lahan persawahan yang tidak sampai 20% (3,640 hektar) dari total lahan kabupaten, mampu memberikan hasil yang memadai. Dari berbagai produksi tanaman pertanian seperti padi dan palawija, tanaman hortikultura menjadi primadona. Kecamatan-kecamatan yang berada di dataran tinggi seperti Parangloe, Bungaya, dan terutama Tinggimoncong merupakan sentra penghasil sayurmayur. Sayuran yang paling banyak dibudidayakan adalah kentang, kubis, sawi, bawang daun, dan buncis. Per tahunnya hasil panen sayur-sayuran melebihi 5.000 ton. Sayuran dari Kabupaten Gowa mampu memenuhi pasar Kota Makassar dan sekitarnya, bahkan sampai ke Pulau Kalimantan dan Maluku melalui Pelabuhan Pare-pare dan Pelabuhan Mamuju. Selain bertani sayur yang memiliki masa tanam pendek, petani Gowa juga banyak yang bertani tanaman umur panjang. Salah satunya adalah tanaman markisa (Fassifora sp). (sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Gowa)
101
Usaha budidaya ikan yang dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Gowa terdiri atas pembenihan, pembesaran dan minapadi. Berdasarkan data Gowa dalam angka (2008) jumlah rumah tangga yang bergerak di bidang perikanan mencapai 1.860 RT yang jumlahnya menurun semenjak tahun 2006 sebanyak 2.287 RT.
Jenis ikan yang dibudidayakan umumnya lebih dari satu macam
seperti mas, nila, bandeng, udang, kepiting, lele dan lain sebagainya. Bila dilihat dari penurunan produksi perikanan dan jumlah rumah tangga perikanan, maka sektor
perikanan
di
Kabupaten
Gowa
kurang
begitu
potensial
untuk
dikembangkan sebagai komoditas unggulan dalam mendukung perekonomian daerah, hal ini diperkuat dengan kontribusinya terhadap PDRB yang hanya sebesar 0,27%. Analisis keberlanjutan pengembangan Kawasan Minapolitan di Kabupaten Gowa menggunakan pendekatan rapfish.
Dari hasil analisis dapat dikatakan
bahwa secara umum kondisi keberlanjutan pengembangan Kawasan Minapolitan di Kabupaten Gowa dalam katageri belum berkelanjutan.
Dalam upaya
mengembangkan Kawasan Minapolitan ke arah yang lebih baik, maka kebijakan dasar yang ditempuh dalam upaya pengembangan sektor-sektor perikanan adalah berdasarkan pemanfaatan dan pengendalian produksi perikanan di Kawasan Minapolitan sehingga tercipta keterpaduan antara kebutuhan dan produksi ikan.
Keterpaduan tersebut dapat diwujudkan dengan penggunaan
sumberdaya yang tidak berlebihan dengan tetap memperhatikan kelestarian sumberdaya alam dan daya dukung lingkungan. Dalam mencapai keterpaduan tersebut ada 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan, yaitu: 1) keseimbangan produksi ikan dengan pelestarian lingkungan alam; 2) dalam proses produksi tetap memperhatikan aspek permintaan
pasar dan kebutuhan lokal maupun
regional; dan 3) dalam pengelolaan dan pengembangan produksi ikan tetap memperhatikan nilai-nilai budaya, sosial dan ekonomi masyarakat setempat. Strategi dalam pengembangan Kawasan Minapolitan harus disusun dengan pertimbangan, antara lain: 1) rasional, bahwa rencana bertolak dari suatu pemikiran yang logis atau nalar sehingga rencana ini disusun berdasarkan suatu ketentuan dan estimasi yang cermat atas kenyataan yang ada; 2) optimasi, semua rencana yang disusun memperhatikan potensi dan kondisi karakteristik untuk
dapat
diaktualkan
secara
optimal
dalam
rangka
mendukung
pengembangan budidaya perikanan; dan 3) kebijaksanaan, rencana yang disusun harus mampu memberikan arahan-arahan bagi tindakan pembangunan
102
dan memiliki kapasitas mengikat seluruh warga dan Pemerintah Daerah. Dengan demikian strategi yang digariskan merentang pada strategi jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Strategi jangka pendek dan menengah, mengarah pada pemenuhan pelayanan penduduk yang sangat mendesak, yang perlu ditanggulangi secara cepat dan tepat sehingga akan menunjang terpenuhinya sasaran rencana jangka panjang yang digariskan.
Sedangkan
untuk strategi jangka panjang meliputi usaha pemenuhan tuntutan para petani ikan atas pelayanan sosio ekonomi serta kualitas lingkungan yang memadai sekaligus dalam rangka penunjang pemasaran dan peningkatan kualitas produk yang dihasilkan oleh para petani ikan. 5.5. Pembentukan Skenario Keberlanjutan Pengembangan Minapolitan Bontonompo Kabupaten Gowa
Kawasan
Pembentukan skenario dalam upaya perumusan rekomendasi kebijakan bagi pengembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo yang berkelanjutan dilakukan melalui peningkatan skor dari faktor dominan/sensitif hasil dari analisis Leverage yang ditunjukkan dengan nilai RMS yang besar. Perubahan skor pada masing-masing skenario berdasarkan pada kondisi eksisting keberlanjutan Kawasan Minapolitan Bontonompo dilapangan yang tercermin dari beberapa atribut penjelasnya. Atribut dari setiap dimensi yang ditingkatkan skornya dalam pembentukan skenario terdapat pada Tabel 22. Tabel 22. Skenario Peningkatan Indeks Keberlanjutan Kawasan Minapolitan Bontonompo Peningkatan Skoring Faktor Sensitif/Dominan Dimensi (eksisting) Skenario I Skenario II Skenario III Daya dukung Daya dukung Daya dukung pakan pakan pakan Jenis pakan ikan Sumber air Jenis pakan Ekologi ikan (43,41) Pemanfaatan limbah peternakan untuk pakan Jumlah pasar ikan Jumlah pasar ikan Jumlah pasar ikan Perubahan nilai Kelayakan agroindustri Harga APBD bidang Transfer keuntungan Ekonomi komoditas perikanan Rataan penghasilan (28,14) ikan Kelayakan petani ikan relatif agroindustri terhadap pendapatan Kelayakan agroindustri total
103
Peningkatan Skoring Faktor Sensitif/Dominan Skenario I Skenario II Skenario III Status Status Status kepemilikan kepemilikan kepemilikan lahan usaha tani lahan usaha usaha tani Alternatif usaha selain tani Pertumbuhan usaha perikanan Sosial dan Frekuensi rumah tangga Jumlah rumah tangga Budaya penyuluhan perikanan (26,69) dan pelatihan Pertumbuhan Tingkat penduduk relatif penyerapan terhadap kabupaten tenaga kerja Teknologi Kondisi prasarana Kondisi prasarana jalan pengolahan jalan desa desa produk Kondisi prasarana Kondisi prasarana jalan perikanan jalan usaha usaha Kondisi Tingkat penguasaan Infrastruktur prasarana jalan teknologi budidaya dan desa perikanan Teknologi Teknologi (40,89) informasi dan transportasi Kondisi prasarana jalan usaha Lembaga Lembaga keuangan keuangan mikro mikro dan bank dan bank Perjanjian kerjasama Perjanjian dengan daerah lain kerjasama soal perikanan Hukum & dengan daerah Ketersediaan lembaga Kelembagaan lain soal sosial (62,51) perikanan Ketersediaan peraturan perikanan secara formal Lembaga penyuluh perikanan Kelompok petani ikan Dimensi (eksisting)
5.5.1. Skenario I Skenario I dilakukan dalam rangka meningkatkan nilai indeks keberlanjutan kawasan pada kondisi eksisting dimensi-dimensi yang dinilai tidak berkelanjutan, antara lain dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya dan infrastruktur dan teknologi yaitu dengan cara meningkatkan skor atribut yang sensitif/dominan dari dimensi tersebut hingga mencapai nilai indeks yang berkelanjutan, antara lain: (1) Dimensi ekologi dengan meningkatkan atribut daya dukung pakan, sumber air, jenis pakan ikan, pemanfaatan limbah dan peternakan untuk pakan; (2) Dimensi ekonomi antara lain jumlah pasar ikan, harga komoditas ikan dan
104
kelayakan agroindustri; (3) Dimensi Sosial dan budaya antara lain status kepemilikan lahan usaha tani, frekuensi penyuluhan dan pelatihan dan tingkat penyerapan tenaga kerja; dan (4) Dimensi Infrastruktur dan teknologi antara lain teknologi pengolahan produk perikanan, kondisi prasarana jalan desa, teknologi informasi dan transportasi dan kondisi prasarana jalan usaha. Gambar 34 merupakan kondisi yang terjadi dalam peningkatan indeks keberlanjutan pada skenario I. Peningkatan indeks dari kondisi eksisting terjadi pada dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya dan
infrastruktur dan
teknologi. Kondisi ini menunjukan bahwa hanya dimensi ekologi dan infrastruktur teknologi yang telah berubah dan masuk dalam kategori dimensi yang cukup berkelanjutan, sedangkan dimensi ekonomi dan sosial budaya tetap berada pada kategori dimensi yang kurang berkelanjutan.
Namun secara keseluruhan
dimensi kawasan telah termasuk dalam kategori kawasan yang cukup berkelanjutan, peningkatan ini secara langsung dipengaruhi pembenahan (peningkatan skor) yang dilakukan pada empat dimensi yang sebelumnya dinilai kurang berkelanjutan tersebut.
IKG Ekologi Eksisting (43,41)
IKG Ekonomi Eksisting
Daya dukung pakan Sumber air Jenis pakan ikan Pemanfaatan limbah peternakan untuk pakan
Jumlah pasar ikan Harga komoditas ikan Kelayakan agroindustri
IKG (58,99)
IKG (48,54)
(28,14)
IKG
Kawasan Eksisting
Sos-Bud Eksisting
(40,52)
(26,69)
IKG Inf-Tek Eksisting (40,89)
IKG
Status kepemilikan lahan usaha tani Frekuensi penyuluhan dan pelatihan Tingkat penyerapan tenaga kerja
Teknologi pengolahan produk perikanan Kondisi prasarana jalan desa Teknologi informasi dan transportasi Kondisi prasarana jalan usaha
73
IKG
IKG
IKG Kawasan
(36,88)
Skenario I (52,29)
IKG (54,33)
Huk-Kel Eksisting (62,51)
Gambar 34. Bagan Skenario I Peningkatan Indeks Keberlanjutan Kawasan Minapolitan Bontonompo.
105
Keterangan: Indeks Keberlanjutan Dimensi (IKD)
106
5.5.2. Skenario II Skenario
II
dilakukan
dalam
rangka
meningkatkan
nilai
indeks
keberlanjutan kawasan pada lima dimensi yang terletak pada skala skenario I dari skala pada kondisi eksisting, atribut setiap dimensi yang ditingkatkan tersebut antara lain: antara lain: (1) Dimensi ekologi dengan meningkatkan atribut daya dukung pakan; (2) Dimensi ekonomi antara lain jumlah pasar ikan, perubahan nilai APBD bidang perikanan dan kelayakan agroindustri; (3) Dimensi Sosial dan budaya antara lain status kepemilikan lahan usaha tani dan pertumbuhan rumah tangga; (4) Dimensi Infrastruktur dan teknologi antara lain kondisi prasarana jalan desa dan kondisi prasarana jalan usaha; dan (5) Dimensi hukum kelembagaan antara lain lembaga keuangan mikro dan bank dan perjanjian kerjasama dengan daerah lain soal perikanan. Peningkatan skor atribut dan nilai indeks keberlanjutan gabungan pada skenario II secara rinci dapat dilihat pada gambar 35. Gambar 35 merupakan kondisi yang terjadi dalam peningkatan indeks keberlanjutan pada skenario II. Peningkatan indeks dari kondisi eksisting terjadi pada dimensi ekonomi dan sosial dan budaya. Kondisi ini menunjukan bahwa hanya dimensi ekonomi yang telah berubah dan masuk dalam kategori dimensi yang cukup berkelanjutan, sedangkan dimensi sosial budaya tetap berada pada kategori dimensi yang kurang berkelanjutan.
Namun secara keseluruhan
dimensi kawasan telah termasuk dalam kategori kawasan yang cukup berkelanjutan, peningkatan ini secara langsung dipengaruhi pembenahan (peningkatan skor) yang dilakukan pada dua dimensi yang sebelumnya dinilai kurang berkelanjutan tersebut.
IKG
Daya dukung pakan
Ekologi Eksisting
IKG (58,99)
(58,99) IKG Ekonomi Eksisting (48,54)
IKG
Kawasan Skenario I
Sos-Bud Eksisting
(52,29)
(36,88)
IKG Inf-Tek Eksisting (54,33)
IKG Huk-Kel Eksisting (62,51)
Status kepemilikan lahan usaha tani Pertumbuhan rumah tangga
Kondisi prasarana jalan desa Kondisi prasarana jalan usaha
Lembaga keuangan mikro dan bank Perjanjian kerjasama dengan daerah lain soal perikanan
IKG (52,60)
73
IKG
Jumlah pasar ikan Perubahan nilai APBD bidang perikanan Kelayakan agroindustri
IKG
IKG Kawasan
(42,14)
Skenario II (54,03)
IKG (54,33)
IKG (62,51)
Keterangan: Indeks Keberlanjutan Dimensi (IKD)
107
Gambar 35. Bagan Skenario II Peningkatan Indeks Keberlanjutan Kawasan Minapolitan.
108
5.5.3. Skenario III Skenario
III
dilakukan
dalam
rangka
meningkatkan
nilai
indeks
keberlanjutan kawasan pada lima dimensi yang terletak pada skala skenario II dari skala pada kondisi eksisting dan skenario I, atribut setiap dimensi yang ditingkatkan tersebut antara lain: antara lain: (1) Dimensi ekologi dengan meningkatkan atribut daya dukung pakan dan jenis pakan; (2) Dimensi ekonomi antara lain jumlah pasar ikan, kelayakan agroindustri, transfer keuntungan dan rataan penghasilan petani ikan relatif terhadap pendapatan total; (3) Dimensi Sosial dan budaya antara lain status kepemilikan lahan usaha tani, alternatif usaha selain usaha perikanan, jumlah rumah tangga perikanan dan pertumbuhan penduduk relatif terhadap kabupaten; (4) Dimensi Infrastruktur dan teknologi antara lain kondisi prasarana jalan desa, kondisi prasarana jalan usaha dan tingkat penguasaan teknologi budidaya perikanan; dan (5) Dimensi hukum kelembagaan antara lain lembaga keuangan mikro dan bank, perjanjian kerjasama dengan daerah lain soal perikanan, ketersediaan lembaga sosial, ketersediaan peraturan perikanan secara formal, lembaga penyuluh perikanan dan kelompok petani ikan. Peningkatan skor atribut dan nilai indeks keberlanjutan gabungan pada skenario II secara rinci dapat dilihat pada gambar 36. Gambar 36 merupakan kondisi yang terjadi dalam peningkatan indeks keberlanjutan pada skenario III. Peningkatan indeks dari kondisi eksisting terjadi pada dimensi ekonomi, sosial dan budaya, infrastruktur dan teknologi dan hukum dan kelembagaan. Kondisi ini menunjukan bahwa dimensi sosial dan budaya telah berubah dan masuk dalam kategori dimensi yang cukup berkelanjutan, secara keseluruhan dimensi kawasan telah termasuk dalam kategori kawasan yang cukup berkelanjutan, peningkatan ini secara langsung dipengaruhi pembenahan (peningkatan skor) yang dilakukan pada satu dimensi yang sebelumnya dinilai kurang berkelanjutan tersebut.
IKG Ekologi Eksisting
Daya dukung pakan Jenis pakan ikan
IKG (58,99)
(58,99) IKG Ekonomi Eksisting (52,60)
IKG
Kawasan Skenario II
Sos-Bud Eksisting
(54,03)
(42,14)
IKG Inf-Tek Eksisting
Status kepemilikan usaha tani Alternatif usaha selain usaha perikanan Jumlah rumah tangga perikanan Pertumbuhan penduduk relatif terhadap kabupaten Kondisi prasarana jalan desa Kondisi prasarana jalan usaha Tingkat penguasaan teknologi budidaya perikanan
IKG (55,47)
73
IKG
Jumlah pasar ikan Kelayakan agroindustri Transfer keuntungan Rataan penghasilan petani ikan relatif terhadap pendapatan total
IKG
IKG Kawasan
(50,10)
Skenario III (60,75)
IKG (56,41)
(54,33)
IKG Huk-Kel Eksisting (62,51)
Lembaga keuangan mikro dan bank Perjanjian kerjasama dengan daerah lain soal perikanan Ketersediaan lembaga sosial Ketersediaan peraturan perikanan secara formal Lembaga penyuluh perikanan Kelompok petani ikan
IKG (85,64)
Keterangan: Indeks Keberlanjutan Dimensi (IKD)
109
Gambar 36. Bagan Skenario III Peningkatan Indeks Keberlanjutan Kawasan Minapolitan Bontonompo.
110
Tabel 23. Nilai Indeks Keberlanjutan Sekenario Pengembangan Kawasan Minapolitan Indeks Keberlajutan Kawasan Dimensi Eksisting Skenario I Skenario II Skenario III Ekologi 43,41 58,99 58,99 58,99 Ekonomi 28,14 48,54 52,60 55,47 Sosial & Budaya 26,69 36,88 42,14 50,10 Infrastruktur& teknologi 40,89 54,33 54,33 56,41 Hukum & Kelembagan 62,51 62,51 62,51 85,64 Gabungan 40,52 52,29 54,03 60,75 Sumber : Olahan Data Primer, 2010
Tabel diatas merupakan nilai indeks keberlanjutan pada tiga skenario yang telah dilakukan, yang memperlihatkan bahwa pada kondisi awal (eksisting) terdapat satu dimensi yang memiliki indeks cukup keberlanjutan (>50%) antara lain dimensi hukum dan kelembagaan. Dimensi sosial budaya memiliki nilai indeks terendah (26,69%), sedangkan dimensi hukum dan kelembagaan memiliki nilai indeks tertinggi (62,51%). Pada sekenario pertama dilakukan peningkatan skor pada keempat dimensi yang belum berkelanjutan, hasil skenario pertama memperlihatkan bahwa peningkatan status menjadi cukup berkelanjutan yaitu pada dimensi ekologi dan infrastruktur dan teknologi, namun tidak pada dimensi ekonomi dan sosial budaya.
Secara keseluruhan (gabungan) nilai indeks
kawasan telah menjadi kawasan yang cukup berkelanjutan atau dengan kata lain peningkatan beberapa artribut pada dimensi sebelumnya telah mencerminkan kondisi yang baik dalam mendukung Kawasan Minapolitan Bontonompo terbukti dengan meningkatnya indeks gabungan dari 40,52 (status kawasan kurang berkelanjutan atau <50) menjadi 52,29 (status kawasan cukup berkelanjutan atau >50). Skenario
kedua
dilakukan
dengan
meningkatkan
beberapa
faktor
sensitif/dominan pada kelima dimensi (hasil analisis laverage), skenario yang dilakukan menunjukkan kawasan mengalami peningkatan nilai indeks gabungan yang cukup dari sebelumnya 52,29 menjadi 54,03. Pada skenario kedua terlihat bahwa satu dimensi yang digunakan belum berada pada kategori cukup berkelanjutan, khususnya terlihat dari dimensi sosial dan budaya (42,14). Peningkatan yang cukup signifikan terlihat pada skenario ketiga melalui peningkatan skor dari kondisi skenario kedua, baik dari skor maupun dari jumlah atribut yang digunakan. Nilai indeks gabungan yang diperoleh pada skenario ke III yaitu sebesar 60,75. Hal ini menunjukkan bahwa semua dimensi penilaian telah berada pada kondisi yang cukup dalam mendukung perkembangan
111
kawasan, walaupun secara besaran nilai keempat dimensi yaitu ekologi, ekonomi, sosial dan budaya serta infrastruktur dan teknologi tidak mengalami peningkatan nilai indeks yang besar.
Berbagai upaya yang akan dilakukan
dimasa mendatang harus dapat dijalankan secara konsisten, terpadu dan berkesinambungan khususnya untuk peran setiap dimensi dalam membentuk suatu sistem pengelolaan yang akan saling melengkapi, menopang dan mendukung satu sama lainnya. 5.6. Rekomendasi Kebijakan Keberlanjutan Pengembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo. Rekomendasi kebijakan bagi keberlanjutan pengembangan Kawasan Minapolitan
Kabupaten
Gowa
Provinsi Sulawesi
Selatan
diformulasikan
berdasarkan hasil ketiga skenario yang telah dilakukan yaitu Skenaio I, II dan III. Penetapan kebijakan harus tetap memperhatikan dan mempertimbangkan kapasitas dan kemampuan berbagai sumberdaya yang tersedia di kawasan, dengan pengalokasian secara tepat dan benar terhadap berbagai sumberdaya yang tersedia maka akan diperoleh hasil yang optimal.
Untuk itu berbagai
skenario tersebut dideskripsikan sebagai bentuk pertimbangan dan panduan dalam tahapan kegiatan atau langkah-langkah yang bersifat berkesinambungan dalam program-program jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang bagi pengembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan. Upaya-upaya yang dapat dilakukan dapat dalam bentuk meningkatkan, memperbaikan atau mempertahankan kondisi yang telah ada (eksisting), yang dapat dilihat dari berbagai atribut dari setiap dimensi sebagai faktor sensitif/dominan yang mempengaruhi dimensi dan keberlanjutan kawasan secara keseluruhan. Sebagaimana skenario I yang telah dilakukan, maka kebijakan yang perlu diprioritaskan dalam program jangka pendek adalah melakukan peningkatan berbagai faktor sensitif/dominan pada empat dimensi yang masuk dalam kategori dimensi yang kurang berkelanjutan yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya dan infrastruktur teknologi. Kebijakan program jangka menengah merupakan representasi lanjutan dari program jangak pendek yang telah dilakukan. Pelaksanaan berbagai kebijakan pada kelima dimensi prioritas lebih terlihat pada dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, dan infrastruktur teknologi
sedangkan
dimensi
hukum
dan
kelembagaan
lebih
bersifat
mempertahankan dan mengembangkan kegiatan yang telah dilakukan pada
112
program jangka pendek. Untuk program jangka panjang selain mempertahankan dan mengembangkan kondisi yang telah dihasilkan pada jangka pendek dan menengah, penekanan pengembangan kawasan yang berkelanjutan di tujukan pada faktor-faktor pendukung atau penunjang dari faktor-faktor utama yang telah dilakukan sebelumnya.
113
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan 1.
Tingkat perkembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan termasuk dalam kategori pra Kawasan Minapolitan II dengan indeks perkembangan sebesar 42,97, berdasarkan kategori yang ada
menunjukkan bahwa
kawasan
tersebut cukup
berkembang, perkembangan terbaik dapat dilihat dari perkembangan aspek infrastruktur, sedangkan aspek agroindustri, aspek pemasaran dan aspek input
produksi masih
memerlukan pehatian
khusus dalam
perkembangan kawasan kedepan. 2.
Status keberlanjutan Kawasan Minapolitan Bontonompo, Kabupaten Gowa, Provinsi Sulawesi Selatan termasuk dalam kategori Kawasan Minapolitan yang kurang berkelanjutan, dengan indeks keberlanjutan kawasan sebesar 40,52, hal ini terlihat dari hanya ada satu dimensi yang sudah berkelanjutan yaitu dimensi hukum dan kelembagaan dan terdapat empat dimensi yang berada pada kategori dimensi yang kurang berkelanjutan yaitu dimensi ekologi, dimensi infrastruktur dan teknologi, dimensi sosial dan budaya serta dimensi ekonomi yang belum begitu optimal dalam menunjang keberlanjutan kawasan.
3.
Faktor dominan/ sensitif yang dapat mempengaruhi keberlanjutan kawasan dan memerlukan perhatian khusus antara lain daya dukung pakan, sumber air, pemanfaatan limbah peternakan untuk pakan ikan, jenis pakan ikan, pemanfaatan tumbuhan sebagai pakan ikan dan kejadian kekeringan pada dimensi ekologi; jumlah pasar ikan, kelayakan agroindustri, harga komoditas ikan, sistem jual-beli, perubahan jumlah sarana ekonomi (5 tahun terakhir), pasar produk perikanan, rataan penghasilan petani ikan relatif terhadap UMR kabupaten, perubahan nilai APBD di bidang perikanan (5 tahun terakhir), dan transfer keuntungan pada dimensi ekonomi; frekuensi konflik pada dimensi sosial dan budaya; kondisi prasarana jaan desa, teknologi pengolahan produk perikanan, teknologi inormasi dan transportasi, kondisi prasarana jalan usaha, dan tingkat penguasaan teknologi budidaya perikanan pada dimensi infrastruktur dan teknologi; dan lembaga keuangan mikro/bank dan perjanjian kerjasama dengan daerah lain soal perikanan pada dimensi hukum dan kelembagaan.
114
4.
Skenario pengembangan keberlanjutan Kawasan Minapolitan Bontonompo Kabupaten Gowa dirumuskan dalam bentuk program jangka pendek, jangak menengah dan jangka panjang antara lain sebagai berikut: a)
Program jangka pendek : Pengembangan lebih diproritaskan pada melakukan peningkatan berbagai faktor sensitif/dominan pada empat dimensi
yang
masuk
dalam
kategori
dimensi
yang
kurang
berkelanjutan yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya dan infrastruktur teknologi sehingga mampu menunjang keberlanjutan kawasan. Pelaksanaan skenario I ini dapat meningkatkan status kawasan menjadi kawasan yang cukup berkelanjutan atau dengan indeks keberlanjutan menjadi 52,29. b)
Program jangka menengah : Pengembangan lebih diproritaskan pada representasi lanjutan dari program jangak pendek yang telah dilakukan kelima dimensi. Pelaksanaan skenario II ini dapat meningkatkan
status kawasan
menjadi kawasan
yang
cukup
berkelanjutan atau dengan indeks keberlanjutan menjadi 54,03. c)
Program jangka panjang : Merupakan pengembangan dari program jangka menengah.
Hal yang lebih diprioritaskan adalah selain
mempertahankan dan mengembangkan kondisi yang telah dihasilkan pada jangka pendek dan menengah, penekanan pengembangan kawasan yang berkelanjutan juga diperlukan dan di tujukan pada faktor-faktor pendukung atau penunjang dari faktor-faktor utama yang telah dilakukan sebelumnya. meningkatkan
Pelaksanaan skenario III ini dapat
status kawasan
menjadi kawasan
yang
berkelanjutan atau dengan indeks keberlanjutan menjadi 60,75.
cukup
115
6.2. Saran 1.
Perlu dilakukan perbaikan dan peningkatan atribut pada setiap aspek dan dimensi dengan memprioritaskan atribut yang sensitif lalu kemudian terhadap atribut yang tidak sensitif agar status keberlanjutan dapat ditingkatkan secara maksimal.
2.
Diperlukan komitmen dan konsistensi program yang tinggi dari seluruh pihak yang terkait akan pembangunan ini, tidak saja dalam tataran konsep akan tetapi juga dalam implementasinya dalam rangka menjamin keberlanjutan Kawasan Minapolitan di Kabupaten Gowa.
3.
Pelaksanaan pada berbagai upaya dari setiap dimensi atau aspek dalam pengembangan kawasan yang berkelanjutan harus dilakukan secara proposional dan terpadu.
116
DAFTAR PUSTAKA
Alder, J. D. Zeller, T. Pitcher and R. Sumalia. 2002. A Method for Avaluating Marine Protected Area Management. Coastal Management Journal, 30 (2):121-131. BPS, 2008. Kabupaten Gowa Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Gowa Budiharsono, S. 2008. Program RALED (Rapid Assessment Techniques for Local Economic Development) dan Program Penentuan Bobot untuk Aspek PEL. Jakarta. Manual Raled Revisi 26 Mei 2008 Charles, A.T. 2001. Sustainable Fishery System. Blackwell Science.UK Costanza, R. 1991. The ecological economic of sustainability. Investing in Natural capital. In: R. Goodland, H. Daily, S.L. Serafy and B.Von Droste (Editors). Enviromentally Sustainable Economic Development: Building on Brundtlund. UNESCO. Paris: 83-90 Departemen Pekerjaan Umum. 2005 PT. Rekadaya Sentra Mandiri. Pengembangan Keterkaitan Infrastruktur Intra dan Inter Kawasan Agropolitan dan Perdesaan. Direktorat Jenderal Ciptakarya. Jakarta. Departemen Pertanian. 2002. Pedoman Umum Pengembangan Kawasan Agropolitan dan Pedoman Program Rintisan Pengembangan Kawasan Agropolitan. Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Douglas, M. 1998. A Regional Network Strategy for Reciprocal Rural-Urban Linkages: An Agenda for Policy Research with Reference to Indonesia. Third World Planning Review, Vol.20. No.1, 1998. FAO. 1997. Fisheries Management. Rome. FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries No.4. 82p. FAO. 2001. Indicators for Sustainable Development of Marine Captures Fisheries. FAO Technical Guidelines for Responsible Fisheries. No.08. Hogwood, B. W and L.A. Gunn. 1986. Policy Analysis for the Real World. New York. Oxford University Press. Jogiyanto, H.M, 2008. Metodologi Penelitian: Sistem Informasi. Andi Yogyakarta. Yogyakarta Kavanagh, P. and T. J. Pitcher, 2004 Implementing Microsoft Exel Software for Rapfish: a Technique for the Rapid Appraisal of Fisheries Status. Fisheries Centre Method. Rev. 12 (2): 136-140 Kavanagh, P. 2001. Rapid Appraisal of Fisheries (Rapfish) Project. Rapfish Software Description (for Microsoft Excel). University of British Columbia. Fisheries Centre, Vancouver. Kurnia, G. 1999. Modernisasi dan Penguatan Ekonomi Rakyat di Perdesaan; Pembangunan Ekonomi Rakyat Perdesaan. Bina Rena Pariwara. Jakarta. Kementrian Kelautan Perikanan. 2010. Revolusi Biru dan Minapolitan. Bogor.
117
Lawson, R.M. 1984. Economic of Fisheries Development. Fraces Pinter (Publisher). London. McGoodwin, J. 1990. Crisis in the World Fisheries: People Problem and Policies. Stanford University Press. Stanford. Miyoshi, T. 1997. Successes and Failures Associated With The Growth Pole Strategies. A Dissertasion Submitted to The University of Manchester for The Degree of MA. http//:miyotchi,tripod,com/dissert.htm. Nasution, 2007. Metode Research: Penelitian Ilmiah. Bumiaksara. Jakarta Nikijuluw, V.P.H. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan.. PT. Pustaka Cidesindo. Jakarta. Parsons, W. 2001. Public Policy: An Introduction to the Teory and Practice of Policy Analysis. (terjemahan). Edward Elgar Publishing. Ltd. Chetenham. United Kingdom. Pradhan, P.K. 2003. Manual for Urban Rural Lingkage and Rural Development Analysis. New Hira Books Enterprise. Nepal. Pranoto, S. 2002. Reformasi Kebijakan Pembangunan Prasarana dan Sarana Perdesaan untuk Mendukung Pemberdayaan Ekonomi Rakyat. Karya Tulis Prestasi Perorangan (KTP2). Diklatpim Tk. I. Angkatan III. LAN-RI. Jakarta. Rustiadi, E. dan S. Pranoto. 2007. Agropolitan: Membangun Ekonomi Perdesaan. Crestpent Press. Bogor. Rustiadi, E., S. Saifulhakim dan D.R. Panuju. 2003. Perencanaan Pengembangan Wilayah, Konsep Dasar dan Teori. IPB. Bogor. Serageldin, I. 1996. The Self and the Other : Sustainability and SelfEmpowerment (Environmentally Sustainable Development Proceedings Series, No 13). Simatupang, P. 2001. Konsepsi Teoritis Analisis Kebijakan Kelautan dan Perikanan. Laporan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan I. Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan Dan Perikanan. Departemen kelautan dan perikanan. Jakarta. Soenarno. 2003. Pengembangan Kawasan Agropolitan dalam Rangka Pengembangan Wilayah. Makalah Seminar Nasional Agroindustri dan Pengembangan Wilayah Februari 2003. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Jakarta. Suparmoko, M. 1997. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. BPFE. Yogyakarta. Supriatna, A., Sejati,W.K., Hidayat, D., Wayan, I. 2005. Kinerja dan Perspektif Pengembangan Model Agropolitan Berbasis Agribisnis Dikabupeten Cianjur Jawa Barat. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Icaseps Working Paper No 77. Bogor. Suwandi, 2005. Agropolitan, Merentas Jalan Meniti Harapan. Departemen Pertanian. Jakarta. Tai, S. Y. 1995. Bio-Sosioeconomic Modelling of Management Alternatives: The Small Pelagic Fishery Northwest Peninsular. SOSIKEMA. Malaysia. Tong Wu, C. 2002. The New Regional Planning: Economics or Politics ? University of Sidney.
118
UNCED. 1992. Earth Summit. Convention on Biological Diversity. Final Text. United Nation Conversnce on Environmental and Development. Rio de Janeiro Brazil 3-14 June 1992. United Nation Convention on the Law of The Sea. UNCLOS. 1982 Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Widodo, J dan S. Nurhakim. 2002. Konsep Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Disampaikan dalam Training of Trainers on Fisheries Resource Management. Hotel Golden Clarion. Jakarta. 28 Oktober s/d 2 November 2002. World Commision on Environment and Development. 1987. Our Common Future. Gramedia. Jakarta. http://www.slideshare.net/zuhair1410/revolusi-biru-minapolitan http://fisheries.com/project/rapfish.htm. Fisheries.com. 1999. Rapfish project.
119
LAMPIRAN
120
Lampiran 1. Nilai indeks 5 (lima) Aspek Perkembangan Kawasan Minapolitan Bontonompo, Kabupaten gowa, Sulawesi Selatan. 1. Aspek agorindustri
RAPFISH Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40
20
17.85
0
BAD 0
20
40
60
80
Real Fisheries References Anchors
GOOD 100 120
-20
-40 DOWN
-60 Fisheries Sustainability
RAPFISH Ordination (Median with Error Bars showing 95%Confidence of Median) 60 45.46
60.55
30.39
40
75.05
Other Distingishing Features
16.71 20
5.96
0
-20
-40
87.34
20.10
96.09 99.72 100.00 100 98.75 120 94.53
0.00 0
20
40
60
80
5.69 15.41
85.77 28.76
74.81 44.36
59.81
-60 Fisheries Sustainability
Stress = Squared Correlation (RSQ) =
0,1317607 0,9479767
121
2. Aspek usaha tani
RAPFISH Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40
20
0
25.73
BAD 0
20
40
60
80
GOOD 100 120
Real Fisheries References Anchors
-20
-40 DOWN
-60 Fisheries Sustainability
RAPFISH Ordination (Median with Error Bars showing 95%Confidence of Median) 60
Other Distingishing Features
40
20
39.1447.6255.8564.62 31.01 72.69 23.35 80.17 16.41 86.81 10.54 92.37 5.94 96.44 2.63
0
-20
-40
98.97 27.31
0.00 0 2.46
20
40
60
80
5.59
98.89 99.84 100.00 100 120 97.97
95.40 10.19 91.17 15.94 85.68 22.78 79.12 30.47 72.10 38.73 64.45 47.6255.98
-60 Fisheries Sustainability
Stress = Squared Correlation (RSQ) =
0,1281827 0,9555836
122
3.
Aspek Infrastruktur
RAPFISH Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40
20
0
80.80
BAD 0
20
40
60
80
Real Fisheries References Anchors
GOOD 100 120
-20
-40 DOWN
-60 Fisheries Sustainability
RAPFISH Ordination (Median with Error Bars showing 95%Confidence of Median) 60 38.72
52.72
67.19
24.86
40
79.87
Other Distingishing Features
13.15 20
90.20
5.71
0
97.33 77.05
0.00 0
20
40
60
80
4.25
-20
-40
12.52
100.00 98.86 99.80 100 120 96.36 89.53
79.01
24.38 38.16
53.01
66.48
-60 Fisheries Sustainability
Stress = Squared Correlation (RSQ) =
0,1313251 0,9477381
123
4. Aspek agroniaga
RAPFISH Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40
20
0
43.63
BAD 0
20
40
60
80
Real Fisheries References Anchors
GOOD 100 120
-20
-40 DOWN
-60 Fisheries Sustainability
RAPFISH Ordination (Median with Error Bars showing 95%Confidence of Median) 60 45.65
61.19
29.90
40
75.70
Other Distingishing Features
15.96 20
6.34
0
-20
-40
88.10 96.49 44.53
0.00 0
20
40
60
98.67 99.73 100.00 100 120
80
5.51
95.47 15.48
87.06 29.24
74.72 44.27
59.96
-60 Fisheries Sustainability
Stress = Squared Correlation (RSQ) =
0,1391156 0,9512693
124
5. Aspek Suprastruktur
RAPFISH Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40
20
0
BAD 0
20
56.65 60
40
80
Real Fisheries References Anchors
GOOD 100 120
-20
-40 DOWN
-60 Fisheries Sustainability
RAPFISH Ordination (Median with Error Bars showing 95%Confidence of Median) 60 45.97
61.15
30.03
40
75.84 87.86
Other Distingishing Features
15.99 20
0
-20
-40
96.57
5.72 0.00 0
20
56.84 60
40
98.76 99.76 100.00 100 120
80
6.03
95.65 87.25
16.13 74.83
29.07 44.74
59.95
-60 Fisheries Sustainability
Stress = Squared Correlation (RSQ) =
0,1355672 0,9511505
125
Lampiran 2. Nilai indeks 5 (lima) Dimensi Keberlanjutan Kawasan Minapolitan Bontonompo, Kabupaten gowa, Sulawesi Selatan. 1. Dimensi ekologi
RAPFISH Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40
20
0
BAD 0
20
40 43.41
60
80
Real Fisheries References Anchors
GOOD 100 120
-20
-40 DOWN
-60 Fisheries Sustainability
RAPFISH Ordination (Median with Error Bars showing 95%Confidence of Median) 60 32.74 40
45.81
58.53
71.47
20.67
82.66 91.54
Other Distingishing Features
11.14 20 4.43 0
97.60 98.77 100.00 99.78 100 120 96.54
0.00 0
4.47
20
44.18 60
40
80
-20
-40
11.39
90.83 82.32
20.84 32.89
46.19
58.99
71.39
-60 Fisheries Sustainability
Stress = Squared Correlation (RSQ) =
0,1363316 0,9519641
126
2. Dimensi ekonomi
RAPFISH Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40
20
0
BAD 0
20 28.14 40
60
80
GOOD 100 120
Real Fisheries References Anchors
-20
-40 DOWN
-60 Fisheries Sustainability
RAPFISH Ordination (Median with Error Bars showing 95%Confidence of Median) 60
Other Distingishing Features
40
20
51.5560.05 35.8043.76 67.92 28.20 75.39 21.17 82.27 14.77 88.30 9.40 93.12 5.30 96.88 2.45 98.89
0
98.89 100.00 0.00 99.85 2.21 29.89 40 0 20 60 80 10098.35 120 4.94 95.92 -20 8.89 92.19 14.19 87.26 20.51 81.36 -40 27.64 74.62 35.3843.31 67.26 51.7459.50 -60 Fisheries Sustainability
Stress = Squared Correlation (RSQ) =
0,1277737 0,9568604
127
3. Dimensi hukum dan kelembagaan
RAPFISH Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40
20 62.51 0
GOOD 100 120
BAD 0
20
40
60
80
Real Fisheries References Anchors
-20
-40 DOWN
-60 Fisheries Sustainability
RAPFISH Ordination (Median with Error Bars showing 95%Confidence of Median) 60 35.88
Other Distingishing Features
40
53.21
70.24 85.17
19.60
20
95.73
7.53 62.08
0
-20
-40
100.00 98.68 99.68 100 120
0.00 0
20
40
60
80
7.27
95.15 85.37
19.68 36.16
53.85
70.59
-60 Fisheries Sustainability
Stress = Squared Correlation (RSQ) =
0,1443684 0,9500535
128
4. Dimensi infrastruktur dan teknologi
RAPFISH Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40
20 40.89 0
BAD 0
20
40
60
Real Fisheries References Anchors
GOOD 100 120
80
-20
-40 DOWN
-60 Fisheries Sustainability
RAPFISH Ordination (Median with Error Bars showing 95%Confidence of Median) 60 39.15
53.06
67.61
25.40
40
79.98
Other Distingishing Features
13.58 20
90.24 97.32
5.06 41.47 0.00
0 0
20
40
60
80
5.16
98.76 99.77 100.00 100 120 95.89
-20
-40
13.04
88.95 24.14
78.65 37.34
52.16
66.00
-60 Fisheries Sustainability
Stress = Squared Correlation (RSQ) =
0,135854 0,951785
129
5. Dimensi sosial dan budaya
RAPFISH Ordination 60 UP
Other Distingishing Features
40
20 26.69
BAD 0 0
20
40
60
80
GOOD 100 120
Real Fisheries References Anchors
-20
-40 DOWN
-60 Fisheries Sustainability
RAPFISH Ordination (Median with Error Bars showing 95%Confidence of Median) 60
Other Distingishing Features
40
20 0.00 0
-20
0
62.24 62.42 69.46 47.7655.11 76.28 40.75 82.80 34.52 88.64 29.02 93.51 24.60 97.16 21.54 99.10 99.02 99.78 20.9028.74 98.16 100.00 23.41 95.37 20 60 80 100 120 27.1940 91.42 32.24 86.28 38.37 80.82 45.2652.48 74.06 59.8067.02
-40 53.47
-60 Fisheries Sustainability
Stress = Squared Correlation (RSQ) =
0,1319191 0,9357902
130
Lampiran 3. Hasil Analisis Location Quotient (LQ) Sub Sektor Perikanan Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan Kecamatan
Komoditi
LQ
luas (ha)
Bungaya
tambak kolam sawah rawa sungai waduk balai benih ikan usaha pembenihan rakyat usaha campuran benih ikan air payau
0 10,8 21,5 0 0 0 0 2,1 0 0
0 3,575835 4,742399 0 0 0 0 0,00378 0 0
Parigi
tambak kolam sawah rawa sungai waduk balai benih ikan usaha pembenihan rakyat usaha campuran benih ikan air payau
15,30 -
0 0 5,307201 2,131228 0 0 0 0 0 0
Biringbulu
tambak kolam sawah rawa sungai waduk balai benih ikan usaha pembenihan rakyat usaha campuran benih ikan air payau
0 4,54 13,98 0 0 0 0 0 0 0
Tompobulu
tambak kolam sawah rawa sungai waduk balai benih ikan usaha pembenihan rakyat usaha campuran benih ikan air payau
0 5,93 22,82 0 0 0 0 0 0 0
0 1,465827 2,606742 1,430867 1,306096 0 0 0 0 0 0 1,089847 2,50434 1,775529 1,301935 0 0 0 0 0
131
Kecamatan
Tinggimoncong
Manuju
Pattalasang
Bontomarannu
Komoditi tambak kolam sawah rawa sungai waduk balai benih ikan usaha pembenihan rakyat usaha campuran benih ikan air payau
9,30 47,10 -
tambak kolam sawah rawa sungai waduk balai benih ikan usaha pembenihan rakyat usaha campuran benih ikan air payau tambak kolam sawah rawa sungai waduk balai benih ikan saha pembenihan rakyat usaha campuran benih ikan air payau tambak kolam sawah rawa sungai waduk balai benih ikan usaha pembenihan rakyat saha campuran benih ikan air payau
LQ
luas (ha)
0 0 0 0 0 0 0 0 8,10 15,50 4,50 1,20 0 -
0 1,032048 3,198726 0 2,384641 0 0 0 0 0 0 0 0 5,925407 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4,451893 1,208572 0 0 0 0 0 0 1,12834 1,280079 3,638019 0,462449 0 0,022413 0,002298 0 0
132
Kecamatan
Barombong
Bontonompo
Bajeng
Bajeng barat
Komoditi tambak kolam sawah rawa sungai waduk balai benih ikan usaha pembenihan rakyat usaha campuran benih ikan air payau
LQ
luas (ha) 8,80 -
tambak kolam sawah rawa sungai waduk balai benih ikan usaha pembenihan rakyat usaha campuran benih ikan air payau
16,70 15,50 -
tambak kolam sawah rawa sungai waduk balai benih ikan usaha pembenihan rakyat usaha campuran benih ikan air payau
27,10 47,70 1,10
tambak kolam sawah rawa sungai waduk balai benih ikan usaha pembenihan rakyat usaha campuran benih ikan air payau
-
2 14,10 20,10 0,8 -
0 8,363358 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2,370383 1,222104 3,372303 0 0 0 0 0 0 0 3,237152 2,009767 1,376036 0,670298 0 0,001749 0,002904 0 0 0 5,955781 2,38455 0 0 0 0 0,002487 0 0
133
Kecamatan
Tombolopao
Parangloe
Komoditi tambak kolam sawah rawa sungai waduk balai benih ikan usaha pembenihan rakyat usaha campuran benih ikan air payau
2,40 1,70 1,00 -
tambak kolam sawah rawa sungai waduk balai benih ikan usaha pembenihan rakyat usaha campuran benih ikan air payau
Bontolempangan
tambak kolam sawah rawa sungai waduk balai benih ikan usaha pembenihan rakyat usaha campuran benih ikan air payau
Somba Opu
tambak kolam sawah rawa sungai waduk balai benih ikan usaha pembenihan rakyat usaha campuran benih ikan air payau
LQ
luas (ha)
7,70 28,60 2,00 0,5 12,00 0 6,6 17,3 0 0 0 0 0 4 0
0 1,513926 4,692255 0,732099 0,628395 0 0 0 0 0 0 0,42589 0,444853 0 0,179812 5,84881 0,000518 0,000159 0 0 0,713959 1,334399 3,714741 0,615847 0 0 0 0 0
28,40 14,20 3,50 0 -
0 1,514241 0,387187 2,328089 1,842527 0 0 0,003024 0 0
134
Kecamatan
Bontonompo selatan
Pallangga
Komoditi tambak kolam sawah rawa sungai waduk balai benih ikan usaha pembenihan rakyat usaha campuran benih ikan air payau tambak kolam sawah rawa sungai waduk balai benih ikan usaha pembenihan rakyat usaha campuran benih ikan air payau
luas (ha) 136,30 24,90 16,60 2,2 0 0
LQ 7,5195 0 0 0 0,882669 0 0 0 0 0 0 6,244373 2,093797 0 0 0 0 0,010793 0 0
135
Lampiran 4. Hasil Analisis Location Quotient (LQ) Kawasan Minapolitan Bontonompo Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan.
Kecamatan
Bontonompo
Komoditi Padi sawah Jagung Kedelai Kacang tanah Kacang hijau Ubi kayu Ubi jalar Kelapa hibrida Kelapa dalam Kopi robusta Kopi arabika Coklat Cengkeh Kapas Tebu Jambu mente Kemiri Kapuk Panili Lada the Tebu Kerbau Sapi Kuda Kambing Babi Ayam buras Ayam ras petelur Ayam ras pedaging Itik tambak kolam sawah rawa sungai waduk balai benih ikan usaha pembenihan rakyat usaha campuran benih ikan air payau
luas (ha) 2.423,00 5,00 33,00 12,00 40,00 238,00 20,00 33,00 103,00 16,70 15,50 6,00
LQ 1,21 1,89 0,15 0,02 3,89 2,92 0,17 67,69 0,64 3,12 11,55 0,56 1,32 0,78 5,36 1,26 1,68 0,86 2,48 -
136
Kecamatan
Bontonompo Selatan
Komoditi Padi sawah Jagung Kedelai Kacang tanah Kacang hijau Ubi kayu Ubi jalar Kelapa hibrida Kelapa dalam Kopi robusta Kopi arabika Coklat Cengkeh Kapas Tebu Jambu mente Kemiri Kapuk Panili Lada The Tebu Kerbau Sapi Kuda Kambing Babi Ayam buras Ayam ras petelur Ayam ras pedaging Itik tambak kolam sawah rawa sungai waduk balai benih ikan usaha pembenihan rakyat usaha campuran benih ikan air payau
luas (ha) 3.013,00 1.076,00 49,00 73,00 22,00 128,00 10,00 55,00 136,30 -
LQ 1,49 0,61 18,97 0,33 2,14 1,55 0,08 0,35 23,44 1,48 0,01 0,74 1,33 2,64 1,52 20,85 2,45 -
137
Kecamatan
Bajeng
Komoditi Padi sawah Jagung Kedelai Kacang tanah Kacang hijau Ubi kayu Ubi jalar Kelapa hibrida Kelapa dalam Kopi robusta Kopi arabika Coklat Cengkeh Kapas Tebu Jambu mente Kemiri Kapuk Panili Lada The Tebu Kerbau Sapi Kuda Kambing Babi Ayam buras Ayam ras petelur Ayam ras pedaging Itik tambak kolam sawah rawa sungai waduk balai benih ikan usaha pembenihan rakyat usaha campuran benih ikan air payau
luas (ha) 5.046,00 221,00 1.726,00 30,00 27,00 18,00 102,00 12,00 94,00 10,00 49,00 94,00 27,10 47,70 1,10 2,00 -
LQ 1,24 0,06 3,87 0,02 0,27 0,86 0,71 0,07 48,92 0,01 0,17 4,46 7,50 5,60 0,78 1,54 2,93 0,18 2,18 1,35 0,93 0,45 1,18 1,96 -
138
Kecamatan
Bajeng Barat
Komoditi Padi sawah Jagung Kedelai Kacang tanah Kacang hijau Ubi kayu Ubi jalar Kelapa hibrida Kelapa dalam Kopi robusta Kopi arabika Coklat Cengkeh Kapas Tebu Jambu mente Kemiri Kapuk Panili Lada The Tebu Kerbau Sapi Kuda Kambing Babi Ayam buras Ayam ras petelur Ayam ras pedaging Itik tambak kolam sawah rawa sungai waduk balai benih ikan usaha pembenihan rakyat usaha campuran benih ikan air payau
luas (ha) 490,00 19,00 1,00 77,00 4,00 26,00 152,00 10,00 5,00 35,00 14,10 20,10 0,80 -
LQ 2,01 0,02 0,02 0,57 0,13 3,97 3,45 0,13 0,02 0,41 0,49 0,11 4,02 1,62 1,30 4,92 4,18 1,80 1,88 -
139
Kecamatan
Pallangga
Komoditi Padi sawah Jagung Kedelai Kacang tanah Kacang hijau Ubi kayu Ubi jalar Kelapa hibrida Kelapa dalam Kopi robusta Kopi arabika Coklat Cengkeh Kapas Tebu Jambu mente Kemiri Kapuk Panili Lada The Tebu Kerbau Sapi Kuda Kambing Babi Ayam buras Ayam ras petelur Ayam ras pedaging Itik tambak kolam sawah rawa sungai waduk balai benih ikan usaha pembenihan rakyat usaha campuran benih ikan air payau
luas (ha) 4.781,00 73,00 1.881,00 89,00 254,00 57,00 182,00 16,00 45,00 20,00 78,00 4,90 6,60 2,20 -
LQ 1,23 0,02 4,39 0,07 2,78 3,47 1,35 0,09 46,60 0,03 0,23 15,95 5,67 0,03 1,64 1,35 3,20 2,27 7,15 0,70 1,42 0,48 0,23 1,66 2,46 -
140
Lampiran 5. Kuisioner Analisis Kinerja/Perkembangan
KUESIONER PENELITIAN THESIS ( Analisis Kinerja/Perkembangan)
ANALISIS PENGEMBANGAN KAWASAN AGROPOLITAN BERBASIS BUDIDAYA PERIKANAN DARAT DI KABUPATEN GOWA
Oleh : MUHAMAD ALDI SETIAWAN NRP : P 052 08 0121 PROGRAM STUDI : ILMU PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN
IDENTITAS PAKAR No. Kuesioner
:………………………………………………………………
Nama Pakar
:………………………………………………………………
Pekerjaan Hari/ Tanggal
:……………………………………………………………… :………………………………………………………………
Mohon kesediaan Bapak/ Ibu untuk mengisi kuesioner penelitian ini. Semua data dan informasi yang diberikan akan saya pergunakan sebagai bahan untuk menyusun thesis dan dijamin kerahasiaannya. Atas kesediaan Bapak/ Ibu untuk mengisi kuesioner ini, saya mengucapkan terima kasih.
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
141
PETUNJUK PENGISIAN 1. Bapak/ Ibu dapat memberi skor setiap atribut perkembangan pada setiap aspek perkembangan sesuai dengan kondisi saat ini. 2. Skor setiap atribut dapat dipilih sesuai dengan kriteria atribut perkembangan yang telah ditentukan. ANALISIS KINERJA/PERKEMBANGAN ASPEK AGROINDUSTRI No.
Dimensi dan Atribut
1
Produktivitas hasil agroindustri
2
Skala industri pengolahan
3
Teknologi Pengolahan
4
Jumlah produk olahan
5
Jumlah tenaga kerja
6
Nilai ekonomi komoditas unggulan
7
Masyarakat yang terlibat
8
Kelayakan usaha agroindustri
9
Pengolahan/pemanfaatan limbah agroindustri
Kriteria Penilaian (0). primer (1). skunder (2). Skunder-tersier (0). rumah tangga (1). industri kecil (2). perusahaan menengah-besar (0). 70 % tradisional (1). 50% tradisional (campuran) (2). 70% maju/ modern (0). tidak ada (1). Satu – dua (2). >dua (0). sedikit (<25%) (1). sedang 25-50% (2). tinggi (>50% (0). Rendah (1). Sedang (2). tinggi (0). sedikit (<25%) (1). sedang 25-50% (2). tinggi (>50%) (0). <1 (1). =1 (2). >1 (0). tidak ada (1). Sebagian; (2). seluruhnya
Hasil Skor
142
ASPEK PEMASARAN No.
Dimensi dan Atribut
1
Tujuan pemasaran
2
Sistem pemasaran
3
Ketersediaan pasar sarana produksi perikanan
4
Sub Terminal Agribisnis
5
Standarisasi produk
6
Jarak pasar dengan pembeli
7
Sarana pengangkutan
8
Biaya pengangkutan
9
Teknologi Informasi pemasaran
Kriteria Penilaian (0). lokal (1). Regional (2). nasional, export (0). tidak ada (1). ada tapi tidak/kurang berfungsi optimal (2). ada dan berfungsi (0). tidak ada (1). ada (pada lokasi tertentu) (2). modern (0). tidak ada (1). ada Memadai (2). modern (0). tidak ada (1). untuk produk tertentu (2). untuk seluruh produk (0). Jauh (> 2 km) (1). Sedang (1 - 2 km) (2). dekat (<1 km) (0). Tidakada (1). ada namun terbatas/ jarang (2). ada dan mudah/ banyak (0). mahal (1). tergolong standar (2). tergolong murah (0). Ada (1). sedikit / terbatas (2). cukup banyak
Hasil Skor
143
ASPEK USAHA TANI No.
Dimensi dan Atribut
1
Pola pemeliharaan
2
Luas kawasan usahatani
3
Produktivitas komoditas unggulan
4
Jumlah komoditas unggulan
5
Aksesibilitas
6
Teknologi budidaya
7
Masyarakat yang telibat
8
Nilai ekonomis komoditas unggulan
9
Kelayakan usahatani
10
Ketersediaan lahan
11
Ketersediaan produk unggulan
12
Pembibitan dan budidaya
13
Pengadaan vitamin
14
Pengadaan obat-obatan
15
Kualitas SDM petani ikan
16
Ketersediaan tenaga kerja perikanan
17
Aksebilitas permodalan
Kriteria Penilaian (0). <25% terpadu (1). 25-50% terpadu (2). 50-75% terpadu (3). >75% terpadu (0). minoritas (>50%) (1). sedang (50%) (2). dominan (>50%) (0). rendah (<1,5 ton/ha) (1). sedang (1,5-2,5 ton/ha) (2). tinggi (2,5-3,5 ton/ha) (0). Satu (1). Dua (2). >Dua (0). >70% buruh ternak (1). 50% buruh ternak dan pemilik (2). >70 % pemilik (0). 70 % tradisional (1). 50% tradisional (campuran) (2). 70% maju/ modern (0). sedikit (<25%) (1). sedang 25-50% (2). tinggi (>50% (0). Rendah (1). Sedang (2). Tinggi (0). <1 (1). =1 (2). >1 (0). rendah (1). Sedang (2). tinggi (0). tidak ada (1). ada namun masih sulit didapat (2). ada dan mudah dalam mendapatkannya (0). tidak dilakukan (1). Ada namun sederhana dan belum intensif; (2). dilakukan secara periodik (0). tidak ada (1). ada namun masih sulit didapat (2). ada dan mudah dalam mendapatkannya (0). tidak ada (1). ada namun masih sulit didapat (2). ada dan mudah dalam mendapatkannya (0). mayoritas SD (1). mayoritas SMP (2). mayotritas SMA (0). Rendah (1). Sedang (2). tinggi (0). Sulit (1). Mudah
Hasil Skor
144
ASPEK INFRASTRUKTUR No.
Dimensi dan Atribut
1
Bangunan penyuluh perikanan
2
Kondisi Jalan utama dan usahatani
3
Jalan penghubung dan poros desa-kota
4
jaringan pengairan/irigasi
5
Jaringan listrik
6
Jaringan telekomunikasi
7
Jaringan air bersih
8
Jaringan drainase permukiman
9
Bangunan penunjang perikanan
10
Bangunan penunjang pemerintahan desa
Kriteria Penilaian (0). tidak ada (1). Ada namun kurang memadai (sangat terpusat); (2). Mencukupi (0). > 70% tanah (1). 50% pengerasan batu (2). >70% aspal (0). > 70% tanah (1). 50% pengerasan batu (2). >70% Aspal (0). tidak ada (1). Ada namun belum memadai (belum terdistribusi baik) (2). Mencukupi (0). tidak ada (1). Ada namun kurang memadai (belum terdistribusi baik) (2). Mencukupi (0). tidak ada (1). Ada namun kurang memadai (belum terdistribusi baik) (2). Mencukupi (0). tidak ada (1). Ada namun kurang memadai(belum terdistribusi baik) (2). Mencukupi (0). tidak ada (1). Ada namun tidak memadai (2). Mencukupi (0). tidak ada (1). Ada namun /kurang memadai/berfungi (2). Mencukupi (0). tidak ada (1). Ada namun /kurang memadai/berfungi (2). Mencukupi
Hasil Skor
145
ASPEK SUPRASTRUKTUR No.
Dimensi dan Atribut
1 Ketersediaan kelompok tani 2
3
Kebijakan PEMDA sektor perikanan dalam 5 tahun terakhir Jumlah penyuluh perikanan
4 Ketersediaan koperasi 5 Ketersediaan lembaga keuangan/bank 6 Badan Pengelola Kawasan minapolitan 7 Ketersediaan lembaga penyuluhan 8 Pelaksanaan pendidikan pelatihan
9
Ketersediaan lembaga konsultasi Agribisnis
Kriteria Penilaian (0). tidak ada (1). ada tidak/kurang berfungsi (2). ada berfungsi, memadai (0) kurang (1) tetap (2) bertambah (0). Kurang (1). cukup (0). tidak ada (1). ada tidak/kurang berfungsi (2). ada berfungsi, memadai (0). tidak ada (1). ada tidak/kurang berfungsi/ mendukung (2). ada berfungsi, memadai (0). tidak ada (1). ada tidak/kurang berfungsi (2). ada berfungsi, memadai (0). tidak ada (1). ada tidak/kurang berfungsi/optimal (2). ada berfungsi, memadai (0). Tidak pernah (1). Hanya beberpa kali (momen tertentu) (2). Selalu dilakukan secara periodik (0). tidak ada (1). ada tidak/kurang berfungsi (2). ada berfungsi, memadai
Hasil Skor
146
Lampiran 6. Kuisioner Analisis Keberlanjutan
KUESIONER PENELITIAN THESIS ( Analisis Keberlanjutan)
ANALISIS KEBERLANJUTAN KAWASAN MINAPOLITAN BERBASIS BUDIDAYA PERIKANAN DARAT DI KABUPATEN GOWA
Oleh : MUHAMAD ALDI SETIAWAN NRP : P 052 08 0121 PROGRAM STUDI : ILMU PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN
IDENTITAS PAKAR No. Kuesioner
:………………………………………………………………
Nama Pakar
:………………………………………………………………
Pekerjaan Hari/ Tanggal
:……………………………………………………………… :………………………………………………………………
Mohon kesediaan Bapak/ Ibu untuk mengisi kuesioner penelitian ini. Semua data dan informasi yang diberikan akan saya pergunakan sebagai bahan untuk menyusun thesis dan dijamin kerahasiaannya. Atas kesediaan Bapak/ Ibu untuk mengisi kuesioner ini, saya mengucapkan terima kasih.
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
147
PETUNJUK PENGISIAN 1. Bapak/ Ibu dapat memberi skor setiap atribut keberlanjutan pada setiap dimensi keberlanjutan sesuai dengan kondisi saat ini. 2. Skor setiap atribut dapat dipilih sesuai dengan kriteria atribut keberlanjutan yang telah ditentukan. ANALISIS KEBERLANJUTAN DIMENSI EKOLOGI No.
Dimensi dan Atribut
1
Kuantitas perikanan
2
Ketersediaan untuk kolam
3
Jenis pakan ikan
4
Frekuensi banjir
5
6
limbah
kejadian
Kejadian kekeringan
Daya dukung pakan
7
Agroklimat
8
Tingkat air
9
Sumber air
10
11
lahan
pemanfaatan
Pemanfaatan limbah peternakan untuk pakan ikan Pemanfaatan tumbuhan untuk pakan ikan
Kriteria Penilaian (0) ada banyak; (1) sedikit; (2) tidak ada (0)tidak ada; (1) ada tetapi sedikit; (2) ada dan cukup; (3) ada dan cukup luas (0) seadanya/alami; (1) agroindustri; (0) sering, (1) kadang-kadang, (2) tidak pernah banjir (0) sering , (1) kadang-kadang, (2) tidak pernah terjadi kekeringan (0) sangat kritis; (1) kritis; (2) rawan; (3) aman (0) agroklimat kering; (1) agroklimat sedang; (2) agroklimat basah (0) melebihi kapasitas; (1) sedang; (2) rendah (0) langsung dari sumber; (1) diolah tersendiri; (2) air bersih (0) tidak dimanfaatkan; (1) sebagian kecil dimanfaatkan; (0) tidak dimanfaatkan; (1) sebagian kecil dimanfaatkan;
Hasil Skor
148
DIMENSI EKONOMI No.
Dimensi dan Atribut
1
Jenis produk dihasilkan
2
Jenis unggulan
3
Jumlah tenaga perikanan
4
Harga komoditas ikan
5
Presentase penduduk prasejahtera dan sejahtera
6
Besarnya subsidi
7
8
9
10
komoditas
Perubahan nilai APBD bidang peikanan (5 tahun terakhir) Perubahan jumlah sarana ekonomi (5 tahun terakhir) Jumlah pasar ikan
Sistem jual beli
12
Pasar perikanan
14
15
kerja
Kelayakan agroindustri
11
13
yang
produk
Transfer keuntungan
Rataan penghasilan petani ikan relatif terhadap UMR
Rataan penghasilan petani ikan relatif terhadap total pendapatan
Kriteria Penilaian (0) primer; (1) sekunder; (2) tersier (0) Hanya satu, (1) lebih dari satu, (2) banyak (0) Sedikit, (1) sedang, (2) tinggi, (3) sangat tinggi (0) sangat tinggi; (1) tinggi (2) sedang; (3) rendah (0) sangat tinggi; (1) tinggi (2) sedang; (3) rendah (0) keharusan mutlak (1) sangat tergantung; (2) besar; (3) sedikit; (4) tidak ada (0) tidak layak ; (1) Break Event Point ; (2) layak (0) berkurang; (1) tetap; (2) bertambah (0) berkurang; (1) tetap (2) bertambah (0) tidak ada; (1) ada pada desa tertentu (2) tersedia di setiap desa (0) lewat perantara; (1) pasar ikan (2) industri perikanan (0) lokal; (1) nasional; (2) internasional (0) lebih banyak di penduduk luar daerah (1) seimbang; (2) terutama pada penduduk lokal (0) jauh dibawah; (1) dibawah (2) sama; (3) lebih tinggi; (4) jauh lebih tinggi (0) rendah <30%; (1) sedang 30-70%; (2) tinggi >70%
Hasil Skor
149
16
17
18
Kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah (5 tahun terakhir) Kontribusi terhadap Produk Domestik (5 tahun terakhir)
Keuntungan diperoleh
yang
(0) rendah <30%; (1) sedang 30-50%; (2) tinggi >50% (0) rendah <10%; (1) sedang 10-20%; (2) tinggi >20% Mengacu pada analisis usaha: (0) rugi besar; (1) rugi sedikit; (2) kembali modal; (3) keuntungan marjinal; (4) sangat menguntungkan
150
DIMENSI SOSIAL BUDAYA No.
Dimensi dan Atribut
1
Jumlah desa dengan penduduk bekerja disektor perikanan
2
Alokasi waktu yang digunakan untuk usaha perikanan
3
Pertumbuhan penduduk relatif terhadap Kabupaten
4
Alternatif usaha selain usaha perikanan
5
Tingkat penyerapan tenaga kerja perikanan
6
Frekuensi penyuluhan dan pelatihan
7
Peran masyarakat dalam usaha perikanan
8
Partisipasi keluarga dalam usaha perikanan
9
Frekuensi konflik
10
Tingkat pendidikan relatif terhadap pendidikan tingkat Kabupaten
11
Pengetahuan terhadap lingkungan
12
Pertumbuhan rumah tangga perikanan
13
Status kepemilikan lahan usahatani
14
Jumlah rumah tangga perikanan
15
Jarak lokasi usaha perikanan dengan pemukiman penduduk
Kriteria Penilaian (0) (1) (2) (0) (1) (2) (3) (0) (1) (2) (0) (1) (2) (0) (1) (2) (0) (1) (2) (3) (0) (1) (2) (0) (1) (2) (3) (0) (1) (2) (0) (1) (2)
Tidak ada, desa tertentu saja, semua desa Hanya hobby, paruh waktu, musiman, penuh waktu Lebih besar, sama, lebih kecil dari Kabupaten Banyak, sedikit, tidak ada Rendah, sedang, tinggi Tidak pernah ada, sekali dalam setahun, dua kali dalam setahun, minimal tiga kali setahun Tidak ada, sedikit, banyak Tidak ada, 1-2 anggota keluarga, 3-4 anggota keluarga, > 5 anggota keluarga Di bawah, setara, di atas Di bawah, setara, di atas
(0) Sangat minim < 1/3, (1) cukup : 1/3-2/3, (2) banyak/ luas : > 2/3 dari jumlah peternak (0) < 10%, (1) 10-20%, (2) 20-30%, (3) > 30% (0) menyewa lahan, (1) menggarap, (2) milik sendiri (0) < 1/3; (1) 1/3-2/3, (2) > 2/3 dari total jumlah rumah tangga rencana kawasan (0) dilokasi pemukiman; (1) dekat; (2) agak dekat; (3) agak jauh; (4) jauh
Hasil Skor
151
16
Kearifan lokal
(0) tidak ada; (1) sedikit; (2) banyak
17
Pekerjaan dilakukakn secara individual atau kelompok
(0) (1) (2)
Pekerjaan dilakukan secara individual, kerjasama satu keluarga kerjasama kelompok
152
DIMENSI INFRASTRUKTUR DAN TEKNOLOGI No.
Dimensi dan Atribut
1
Ketersediaan teknologi informasi perikanan
2
Tingkat penguasaan teknologi budidaya perikanan
3
Teknologi informasi dan transportasi
4
Teknologi pengolahan produk perikanan
5
Teknologi pakan
6
Sistem pemeliharaan
7
Kondisi prasarana jalan desa
8
Kondisi prasarana jalan usaha
9
Penggunaan untuk kolam
10
Penggunaan vitamin dan probiotik untuk memacu pertumbuhan ikan
pupuk
Kriteria Penilaian (0) tidak tersedia; (1) tersedia tapi tidak optimal; (2) tersedia optimal (0) rendah; (1) sedang; (2) tinggi (0) sangat minim; (1) cukup; (2) baik (0) tidak ada; (1) sederhana; (2) modern (0) tradisional; (1) sederhana; (2) modern (0) >50% tradisional; (1)25-50%; (2) 10-25%; (3) ,10% tradisional (0) sangat jelek; (1) jelek; (2) agak baik; (3 ) baik (0) sangat jelek; (1) jelek; (2) agak baik; (3) baik (0) rendah; (1) sedang; (2) tinggi (0) tidak tersedia; (1) tersedia tapi tidak optimal; (2) tersedia optimal
Hasil Skor
153
DIMENSI KELEMBAGAAN No.
Dimensi dan Atribut
1
Standarisasi mutu produk perikanan
2
Kelompok petani ikan
3
Lembaga Penyuluhan Perikanan
4
Lembaga keuangan mikro (bank/kredit)
5
Ketersediaan lembaga sosial
6
Sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah
7
8
Perjanjian kerjasama dengan daerah lain soal perikanan Ketersediaan peraturan perikanan secara formal
Kriteria Penilaian (0) belum diterapkan; (1) diterapkan pada produk tertentu; (2) diterapkan untuk semua produk (0) tidak ada; (1) ada tetapi tidak berjalan; (2) ada dan berjalan (0) tidak ada; (1) ada tetapi tidak berjalan; (2) ada dan berjalan (0) tidak ada; (1) ada tetapi tidak berjalan; (2) ada dan berjalan (0) tidak ada; (1) ada tetapi tidak berjalan; (2) ada dan berjalan (0) tidak sinkron; (1) kurang sinkron; (2) sinkron (0) belum ada; (1) ada tapi tidak berjalan optimal; (2) ada dan berjalan optimal (0) tidak ada; (1) cukup tersedia; (2) lengkap
Hasil Skor
154
Lampiran 7. SK yang berhubungan dengan Minapolitan.