ANALISIS KEUANGAN KONSOLIDASI BANK PERMATA SEBELUM DAN SETELAH MERGER SEBAGAI BANK REKAPITALISASI
Syahrul Syarifudin Jl. Kebagusan Besar Gg. Mangga II RT 009/07 No.31 Jakarta Selatan 12520 E-mail :
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi keuangan Bank Permata sebelum dan setelah merger melalui kinerja keuangan serta untuk menganalisis kinerja keuangan konsolidasi Bank Permata setelah merger. Objek penelitian penulis adalah Bank Umum Swasta Nasional yang merger menjadi Bank Permata yang ada di Indonesia. Bank tersebut adalah Bank Artamedia, Bank Bali, Bank Patriot, Bank Prima Express, dan Bank Universal. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi tahun 1996 sampai 2005 yang yang terdaftar di direktori Bank Indonesia (BI). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja keuangan konsolidasi Bank Permata setelah merger adalah bank dalam kondisi keuangan yang baik. Kata Kunci : Analisis Keuangan Konsolidasi Bank Permata
PENDAHULUAN Krisis ekonomi yang melanda di Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 merupakan kehancuran dunia perbankan di Indonesia yang mengakibatkan seluruh potensi – potensi ekonomi mengalami kemandegan dan diambang kebangkrutan. Salah satu sektor yang sangat mempengaruhi kegiatan sektor riil yaitu sektor jasa keuangan (perbankan) di Indonesia terpaksa ditutup atau dibekukan kegiatannya akibat ketidakmampuan bank tersebut dalam mengelola operasionalnya. Padahal, jumlah perbankan dengan berbagai kemudahan – kemudahan yang diberikan pemerintah banyak bermunculan dihampir setiap daerah. Selain itu, krisis ekonomi yang melanda Indonesia telah memberikan dampak yang signifikan terhadap kinerja ekonomi. Krisis ini telah mengubah arah perekonomian dan kebijakan moneter disertai dengan permasalah struktural di bidang makro ekonomi menyebabkan kondisi usaha serba tidak pasti yang kemudian berdampak pada buruknya kinerja dunia perbankan nasional. Puluhan bank terpaksa dilikuidasi dan puluhan lagi merger akibat terus – menerus menderita kerugian. Salah satu penyebab dibekukannya kegiatan operasional perbankan oleh pemerintah adalah pinjaman luar negeri yang membengkak lebih dari tiga kali lipat akibat nilai tukar rupiah terhadap dollar naik secara drastis. Disamping itu, penyaluran kredit yang berindikasi KKN tidak hanya dilakukan oleh perbankan swasta, tetapi bank pemerintah (BUMN) juga ikut melakukannya. Hanya saja, dalam perjalanannya pemerintah lebih cenderung membekukan kegiatan perbankan swasta, sedangkan bank pemerintah dilakukan dengan restrukturisasi dengan cara penggabungan (merger) dan rekapitalisasi melalui penerbitan obligasi pemerintah untuk menambah modal bank.
Dalam kerangka penggabungan tersebut, pada tanggal 20 Mei 2002 pemerintah melaui BPPN telah mengumumkan rencana restrukturisasi Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) dengan cara penggabungan. Adapun bank milik swasta yang akan digabung oleh pemerintah adalah Bank Artamedia, Bank Bali, Bank Patriot, Bank Prima Ekspress, dan Bank Universal. Legal merger Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) tersebut terjadi pada tanggal 30 September 2002 oleh Bank Indonesia dan Menteri Kehakiman dan HAM. Melalui penggabungan kelima Bank Umum Swasta Nasional (BUSN) tersebut menjadi Bank Permata diharapkan industri perbankan Indonesia menjadi lebih kuat dan stabil apabila ditopang oleh bank – bank berskala besar, intervensi pemerintah terhadap bank swasta semakin berkurang, kinerja keuangan Bank Permata diharapkan semakin baik dibandingkan sebelum penggabungan. Kegiatan bisnis perbankan dapat dikatakan berhasil apabila bank dapat mencapai sasaran bisnis yang telah ditetapkan sebelumnya. Adapun sasaran – sasaran bisnis perbankan antara lain menjaga keamanan dana masyarakat yang dititipkan kepada mereka, perkembangan usaha yang baik serta mampu memberikan sumbangan yang berarti terhadap perkembangan ekonomi nasional. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penulisan tesis ini adalah untuk mengidentifikasi kinerja Bank Permata sebelum dan setelah merger melalui kinerja keuangan konsolidasinya serta untuk menganalisis keuangan konsolidasi Bank Permata setelah merger dari tahun 2001 sampai tahun 2005.
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Merger dan Motif Merger Menurut Hadori Yunus (1994 : 224), merger adalah penggabungan perusahaan dengan jalan pemilikan langsung oleh suatu perusahaan terhadap harta milik dari suatu atau lebih perusahaan lain yang digabungkan. Jadi pada dasarnya merger adalah suatu keputusan untuk mengkombinasikan/ menggabungkan dua atau lebih perusahaan menjadi satu perusahaan baru. Dalam konteks bisnis, merger adalah suatu transaksi yang menggabungkan beberapa unit ekonomi menjadi satu unit ekonomi baru. Proses merger umumnya memakan waktu yang cukup lama, karena masing – masing pihak perlu melakukan negosiasi, baik terhadap aspek – aspek permodalan maupun aspek manajemen, sumber daya manusia serta aspek hukum dari perusahaan yang baru tersebut. Oleh karena itu, penggabungan usaha tersebut dilakukan secara drastis yang dikenal dengan akuisisi atau pengambilalihan suatu perusahaan oleh perusahaan lain. Motif dari merger ini bermacam – macam. Menurut Pringle & Harris (1987), motif merger meliputi sekitar 11 aspek, yakni : (1) Cost saving, (2) Monopoly power, (3) auditing bankruptcy, (4) tax consideration, (5) retirement planning, (6) diversification, (7) increased debt capacity, (8) undervalued assets, (9) manipulating earning’s per share, (10) management desires, dan (11) replacing inefficient management. Sedangkan motif dari merger menurut Lukas Setia Atmaja (1999) meliputi 5 aspek, yaitu : (1) sinergi, (2) pertimbangan pajak, (3) membeli aktiva dibawah biaya penggantian / replacement cost, (4) diversifikasi, (5) insentif pribadi manajemen perusahaan. Merger juga dimaksudkan untuk menghindarkan perusahaan dari resiko bangrut, dimana kondisi salah satu atau kedua perusahaan yang ingin bergabung sedang dalam ancaman bangrut. Penyebab bisa kena miss management atau karena faktor-faktor lain seperti kehilangan pasar, keusangan teknologi dan / kalah bersaing dengan perusahaan
lainnya. Melalui merger, kedua perusahaan tersebut akan bersama menciptakan strategi baru untuk menghindari resiko bangkrut. Merger juga dilakukan dengan maksud untuk memanfaatkan insentif tax yang diberikan karena adanya kebijakan baru dibidang perpajakan yang dikeluarkan pemerintah. Misalnya, ada produk tertentu yang oleh undang-undang perpajakan atau peraturan perpajakan dibebankan dari tax untuk mendorong perkembangan produksi tersebut. Perusahaan – perusahaan yang memproduksi barang / jasa tersebut dapat menjadi incaran perusahaan besar untuk merger dengan motif memanfaatkan fasilitas perpajakan tersebut. Motif lain dari merger adalah diversifikasi. Pada dasarnya diversifikasi dimaksudkan untuk meminimalkan resiko. Apabila dua atau lebih perusahaan yang berada dalam satu jalur bisnis yang sama melakukan merger, maka sebuah perusahaan baru hasil merger tersebut akan memiliki aneka ragam produk. Mekanisme diversifikasi ini berarti juga membagi resiko perusahaan untuk dipikul oleh jenis produk yang makin banyak, jadi dapat meminimumkan resiko. Dengan demikian, penghasilan yang diharapkan (expected yield) bisa lebih besar. Merger juga diarahkan untuk meningkatkan kemampuan perusahaan dalam memperbesar perolehan pinjaman bank (increased debt capacity). Bank ataupun lembaga kredit lainnya biasa memberikan pinjaman kepada suatu perusahaan dengan mempertimbangkan besarnya aset perusahaan. Semakin tinggi aset perusahaan, jumlah pinjaman yang dapat direalisasikan juga semakin besar, dan sebaliknya. Dengan demikian melaui merger, perusahaan hasil merger dapat memperluas usahanya melaui peningkatan nilai pinjaman bank. Merger juga sering diarahkan untuk memanipulasi pendapatan per lembar saham (earning per share/EPS). Umumnya perusahaan hasil merger akan memiliki kemampuan untuk menciptakan laba yang jauh lebh besar dibandingkan dengan yang dicapai sebelumnya secara individu. Sementara jumlah lembar saham yang dimiliki shareholders tidak mengalami perubahan yang drastis. Kondisi ini akan menaikkan earning after tax (EAT) dan tentunya EPS. Kondisi EPS yang semakin baik menggambarkan bahwa perusahaan tersebut mengalami kenaikan nilai sehingga banyak investor akan berminat untuk melakuan investasi langsung ke perusahaan hasil merger tersebut. Merger juga dimaksudkan untuk mengarahkan perusahaan beroperasi secara efisien. Bahkan motif ini sering dijadikan indikator utama (major indicator) dari sebuah kebijaksanaan merger. Beberapa praktisi bisnis berpendapat bahwa kebijaksanaan merger dapat dikatakan berhasil apabila merger tersebut dapat paling sedikit menghasilkan apa yang disebut sinergitik (sinergy) baru, dalam arti penggabungan dua perrusahaan atau lebih tersebut, bukan hanya menghasilkan penjumlahan seperti pada merger konglomerasi melainkan akan menghasilkan suatu matematika baru, dimana laba yang dicapai akan jauh lebih besar dibandingkan laba yang dicapai secara sendiri – sendiri ketika sebelum melakukan merger. Kondisi ini tentu akan menaikkan tingkat efisiensi, karena pada dasarnya operating sinergy dapat meningkatkan economy of scale, sehingga berbagai sumber daya yang ada dapat saling melengkapi, dan koordinasi yang lebih baik antarberbagai tahap produksi. Motif – motif merger yang diuraikan diatas sebenarnya telah menjadi motif umum merger yang dilakukan beberapa negara di dunia. Secara teoritis, merger perlu dilakukan karena terjadi positive NPV (Net Present Value) yang dapat meningkatkan nilai pasar. Pada dasarnya kesejahteraan para pengurus perusahaan akan mendapat nilai kesejahteraan yang lebih tinggi. Hipotesis ini dikenal dengan ” Manager utility
maximazation hypothesis.” Selain itu, merger juga dilakukan karena adanya informasi yang menunjukkan bahwa suatu perusahaan mengalami undervalue sehingga mendorong perusahaan lain untuk mengakuisisinya. Hipotesis merger seperti ini disebut ”information hypothesis.” Tetapi ada juga motif yang disebut ”market power hypothesis.” yakni keinginan untuk memiliki kekuatan pasar yang makin besar. Sama halnya dengan pendapat Pringle & Harris yang telah diuraikan diatas, motif merger juga antara lain diarahkan pada sinergy hypothesis, tax hypothesis, diversification hypothesis, dan inefficient management hypothesis. Semua hipotesis merger diatas pada dasarnya memiliki alasan yang sama, yakni positif NPV yang akan dapat dicapai melalui peningkatan efisiensi dan daya saing dengan cara penigkatan skala usaha (size of business) melalui merger. Bagi bank – bank besar di beberapa negara maju, seperti Amerika Serikat misalnya, selain aspek makro ekonomi dan mikro ekonomi yang dipertimbangkan dalam suatu keputusan merger, pihak pemerintah sering sekali memperhatikan aspek – aspek yang bersifat struktural, yang meliputi tiga aspek. Pertama, aspek kesehatan dan keamanan. Artinya perusahaan baru hasil merger tersebut harus menjadi perusahaan yang sehat dan aman. Apabila perusahaan lama ada yang tidak sehat, maka harus diupayakan agar penyakit lama tersebut tidak boleh menular ke perusahaan hasil merger. Kedua, aspek kompetisi dan konsentrasi. Penggabungan perusahaan tidak boleh berakibat pada semakin terkonsentrasinya bisnis dalam industri karena tidak bisa mendorong efisiensi di dalam bisnis tersebut. Ketiga, aspek pelayanan kepada masyarakat. Penggabungan usaha tidak harus mengurangi kualitas pelayanan bank kepada masyarakat luas. Jenis – Jenis Merger Dilihat dari jenis perusahaan yang melakukan merger, merger dapat dibagi menjadi empat macam yaitu ; Horizontal merger Horizontal merger adalah merger antara dua atau lebih perusahaan yang memiliki bisnis sama. Misalnya, Bank merger dengan bank. Vertikal merger Vertikal merger adalah kombinasi suatu perusahaan dengan retailer maupun suppliernya. Tujuan perusahaan untuk memiliki sebagian atau seluruh saham perusahaan retailer (forward) dan supplier (backward) adalah untuk mengamankan posisi perusahaan. Bayangkan jika suatu waktu sebagian besar supplier sepakat tidak mau menjual bahan baku dan bahan penolong kepada perusahaan. Congeneric merger Congeneric merger adalah merger yang melibatkan dua atau lebih perusahaan yang bisnisnya masih berhubungan, tetapi tidak termasuk dalam kategori horizontal dan vertical merger. Misalnya, perusahaan kartu kredit mengakuisisi perusahaan sekuritas. Perusahaan sepatu mengakuisisi perusahaan kaos kaki. Conglomerate merger Conglomerat merger adalah merger antara perusahaan – perusahaan yang bisnisnya tidak berhubungan. Misalnya, perusahaan rokok mengakuisisi perusahaan susu. Perusahaan semen mengakuisisi perusahaan mie instan. Dari segi diversifikasi, conglomerate merger ini yang paling memberikan keuntungan pengurangan resiko bisnis.
Dilihat dari proses melakukan merger , merger dapat dikategorikan menjadi : (1) Freindly merger, dan (2) Hostile merger. Dilihat dari sudut pandang analisis keuangan, merger dapat dikategorikan sebagai : (1) Operating merger, terjadi bila operasi dari dua atau lebih perusahaan yang melakukan merger dijadikan satu. Efek sinergistik ( sinergistic effects ) akan muncul pada merger jenis ini. (2) Financial merger, terjadi bila stelah merger, perusahaan – perusahaan yang terlibat merger tetap dipertahankan dan beroperasi sendiri seperti sebelum terjadi merger. Pada merger jenis ini tidak timbul suatu operating economies yang nyata. Pada praktiknya, kedua jenis merger ini dapat dikombinasikan. METODE PENELITIAN Obyek Penelitian Dalam hal ini objek penelitian penulis adalah Bank Umum Swasta Nasional yang merger menjadi Bank Permata yang ada di Indonesia. Bank tersebut adalah Bank Artamedia, Bank Bali, Bank Patriot, Bank Prima Express, dan Bank Universal Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Dalam melakukan penyusunan tesis ini, jenis data yang digunakan penulis adalah data kuantitatif, yaitu data yang diukur dalam suatu skala numeric (angka). Penelitian ini menggunakan data sekunder yaitu data yang telah dikumpulkan oleh lembaga pengumpul data dan dipublikasikan kepada masyarakat pengguna data. Data sekunder berupa laporan keuangan tahunan dari bank – bank umum swasta nasional yaitu Bank Artamedia, Bank Bali, Bank Patriot, Bank Prima Express, dan Bank Universal periode tahun 1996 sampai 2000 dan laporan keuangan Bank Permata periode tahun 2001 sampai 2005 yang terdaftar di direktori Bank Indonesia (BI). HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Keuangan dan Kinerja Perbankan di Indonesia Dalam rangka menciptakan industri perbankan ke depan yang lebih sehat dan stabil Bank Indonesia memandang perlu untuk mengkaji lagi keberadaan struktur perbankan nasional saat ini. Pentingnya masalah struktur perbankan yang sehat telah menjadi fokus perhatian dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API). Struktur perbankan yang sehat merupakan inti dari semua permasalahan perbankan karena baik buruknya industri perbankan akan banyak ditentukan oleh bagus tidaknya struktur perbankan disamping perlu adanya pengawasan dan pengaturan yang efektif. Persyaratan modal yang terdapat di dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API) akan berdampak terhadap jumlah bank yang ada di Indonesia. Jumlah bank yang ada di Indonesia diperkirakan akan mengecil jumlahnya. Bank-bank akan melakukan berbagai cara seperti merger antar bank, menambah modal, atau diakuisisi oleh pihak lain untuk memenuhi persyaratan modal yang disyaratkan di dalam API. BI mensyaratkan modal minimal Rp 100 miliar. Diharapkan, 10-15 tahun kedepan perbankan Indonesia akan terdiri dari 2-3 bank internasional ( modal lebih dari Rp 50 triliun ), 3-5 bank nasional ( modal Rp 10 triliun-Rp 50 triliun ), 30-50 bank segmen usaha tertentu ( modal Rp 100 miliar-Rp 10 triliun ), dan bank perkreditan rakyat. Struktur yang demikian akan mempermudah pengawasan. Rasio antara jumlah pengawas dan jumlah bank bisa diperbaiki sehingga kemungkinan penyelewengan bisa dideteksi lebih dini. Status bank
nasional bisa dicapai suatu bank bila memiliki ekuitas minimal Rp 10 triliun dan harus memenuhi kriteria implementasi Basel II seperti rasio kecukupan modal moderat diatas 12 %. Tak pelak, sejumlah bank menengah juga memilih cara bank kecil dengan cara menumbuhkan modal dengan menumpuk laba serta menihilkan dividen kepada pemegang saham. Langkah menahan deviden merupakan hal strategis yang dijalankan manajemen dalam menjaga modal tetap besar untuk ekspansi usaha serta mengamankan status bank nasional mereka tiga tahun lagi. Bank-bank juga banyak yang melakukan rights issue untuk menambah modal mereka. Bagi bank-bank yang telah diakuisisi juga dapat menempuh cara yang konservatif dengan meminta suntikan modal kepada pemilik barunya. Selain itu, sulitnya mencari pasangan bank untuk dimerger juga menjadi persoalan tersendiri. Penambahan modal juga menjadi salah satu masalah, hal ini disebabkan dibutuhkannya dana yang sangat besar yang tentu saja tidak semua memilikinya, ataupun jika pun memiliki dana besar, ada kemungkinan si pemilik bank lebih senang menginvestasikannya ke sektor lain yang lebih profitable. Sehingga pemilik bank memilih cara yang termudah yaitu dengan menjual banknya kepada pihak lain yang seringkali merupakan pihak asing. Gambaran Kinerja Keuangan Bank Permata Sebelum Merger Dalam kondisi intern perbankan maupun makro ekonomi, baik domestik maupun internasional, langkah merger di tanah air tampaknya akan banyak terjadi pada bank yang kurang baik. Ketentuan CAR minimal 8% dari Bank International Settlement (BIS) yang harus diterapkan oleh seluruh bank di Indonesia pada akhir tahun 2001 menjadi pemicu utama bank-bank yang tidak dapat memenuhi ketentuan CAR untuk segera merger. Merger dilakukan bukan hanya untuk bank-bank yang tidak sehat namun bankbank yang sehat juga perlu mempertimbangkan merger untuk menghadapi tantangan global dimasa yang akan datang agar dapat meningkatkan pangsa pasar dan nilai tambah melalui upaya penciptaan efisiensi yang lebih baik. Untuk menilai kondisi keuangan dan mengetahui kinerja keuangan konsolidasi bank permata sebelum merger dapat diketahui dari beberapa tolak ukur. Tolak ukur yang sering digunakan adalah rasio yang dijelaskan pada tabel 1. Indikator – indikator yang digunakan antara lain Capital Adequacy Ratio (CAR), Debt to Equity Ratio (DER), Debt to Total Assets Ratio (DTAR), Loan to Deposit Ratio (LDR), Loan to Asset Ratio (LAR), Return on Assets (ROA), Return on Equity (ROE), dan Rasio Biaya Operasional (BOPO). Sebelum memulai pembahasan masalah, penulis akan memberikan gambaran keuangan Bank Permata sebelum merger.
Tabel 1 Gambaran Rasio Keuangan Bank Artamedia, Bank Bali, Bank Patriot, Bank Prima Ekspres dan Bank Universal Sebelum Merger CAR %
DER %
DTAR %
LDR %
LAR %
ROA %
ROE %
BOPO %
THN 1996 THN 1997 THN 1998 THN 1999 THN 2000 BANK BALI
15,35 18,34 ( 31,75 ) 7,04 24,13
957,99 447,69 ( 618,30 ) 2840,44 2439,15
90,55 81,74 119,29 96,60 96,06
65,61 108,47 46,55 22,34 5,86
58,67 82,51 54,27 21,34 5,59
0,98 1,55 ( 41,98 ) ( 3,16 ) 1,11
7,29 5,79 217,57 ( 92,78 ) 28,16
92,33 92,41 203,29 111,81 92,89
THN 1996 THN 1997 THN 1998 THN 1999 THN 2000 BANK PATRIOT
10,32 9,93 ( 35,88 ) ( 240,23 ) 23,51
1147,52 1423,48 ( 637,21 ) ( 264,33 ) ( 3148,55 )
91,98 93,44 118,61 160,85 103,28
95,53 79,57 36,69 15,65 9,44
66,38 54,39 36,36 20,79 7,85
2,20 0,86 ( 27,31 ) ( 32,60 ) ( 9,45 )
20,60 8,86 141,20 52,63 276,96
87,12 93,84 155,67 253,04 209,63
THN 1996 THN 1997 THN 1998 THN 1999 THN 2000 BANK PRIMA EKSPRESS THN 1996 THN 1997 THN 1998 THN 1999 THN 2000 BANK UNIVERSAL
7,79 17,35 14,95 ( 43,08 ) ( 15,23 )
1688,45 758,55 1785,63 ( 1559,12 ) ( 1679,27 )
94,41 88,35 94,70 106,85 106,33
78,69 76,76 34,15 17,32 34,89
71,79 67,13 35,48 15,91 31,78
0,21 0,49 ( 14,38 ) ( 7,35 ) ( 0,98 )
3,72 4,24 ( 271,18 ) 107,24 15,43
98,89 97,78 118.78 159,95 107,64
8,85 ( 107,98 ) ( 19,43 ) ( 2,85 ) ( 6,67 )
1355,62 ( 215,65 ) ( 928,81 ) ( 4841,74 ) ( 3940,66 )
93,13 186,47 112,07 102,11 102,60
83,44 90,51 33,69 32,23 34,32
75,05 78,37 35,68 29,30 31,65
2,64 ( 17,41 ) ( 5,99 ) 0,48
26,96 144,32 284,02 ( 18,26 )
86,88 136,99 138,52 257,22
5,37 11,13 67,76 3,04 ( 4,82 )
2029,19 972,58 86,39 4045,44 ( 4290,87 )
95,30 90,68 46,35 97,59 102,39
87,23 93,90 45,61 39,16 51,93
79,69 78,49 65,09 33,97 47,35
0,90 0,31 ( 68,85 ) ( 13,27 ) ( 0,06 )
13,48 1,94 ( 117,21 ) ( 666,94 ) ( 1,21 )
94,44 97,96 342,89 229,29 103,76
NO.
NAMA BANK
1
BANK ARTAMEDIA
2
3
4
5
THN 1996 THN 1997 THN 1998 THN 1999 THN 2000
Gambaran dan Analisis Kinerja Keuangan Bank Permata Setelah Merger Pemerintah akhirnya tiba pada keputusan final untuk melakukan restrukturisasi lima bank swasta nasional yang bermasalah dengan tujuan untuk menyelamatkan perbankan nasional secara umum, karena dengan menyelamatkan satu atau dua bank yang bermasalah, maka efek domino dari kemungkinan adanya likuidasi bank dapat dihindarkan. Restrukturisasi dilakukan dengan menggabungkan lima bank atau dengan mekanisme merger. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan merger merupakan langkah yang paling dimungkinkan dan biaya yang dibutuhkan relatif lebih rendah dengan menggunakan recyle bond atas biaya merger tersebut dibandingkan sejumlah langkah lain yang diusulkan. Pola merger memberikan hasil yang efisien bagi pemerintah. Pertama, pertimbangan efisiensi biaya kepada pemerintah yang pada gilirannya untuk membayar pajak. Kedua, efesiensi dikaitkan secara operasional daripada perbankan Indonesia. Sebelumnya, kelima bank yang berada dalam penguasaan BPPN sudah diputuskan untuk segera digabungkan menjadi satu. Kelimanya adalah Bank Artamedia, Bank Bali, Bank Patriot, Bank Prima Ekspress, dan Bank Universal. Keputusan itu tentu sudah melalui proses pertimbangan dan pengkajian yang mendalam dari berbagai aspek, baik aspek ekonomi maupun nonekonominya. Sebab keputusan yang diambil ini tetap akan melibatkan keuangan negara yang tidak sedikit, ditengah terbatasnya keuangan negara. Baik untuk menyelamatkan bank maupun menutup sejumlah bank, pemerintah menghabiskan dana ratusan triliun rupuah. Memang dana ini tidak semuanya hilang, karena pemerintah meminta jaminan aset dari bank atau pemilik banknya. Selain itu, hasil penggabungan dari 5 bank dibawah pengelolaan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yaitu Bank Artamedia, Bank Bali, Bank Patriot, Bank Prima Ekspress, dan Bank Universal, dimana Bank Bali telah ditunjuk menjadi Bank Rangka ( Platfrom Bank ) dan pada tanggal 18 Februari 2002 berganti nama menjadi Bank Permata, sedangkan keempat bank lainnya sebagai bank yang menggabungkan diri. Terpilihnya Bank Bali yang bertindak sebagai kerangka merger ini, karena hasil financial dan legal due diligence ( penelitian mendalam ) menunjukkan jika bank tersebut dipilih menjadi kerangka merger, maka biayanya paling murah. Hal ini disebabkan, karena Bank Bali dari sisi kekuatan modal dan kinerja keuangannya lebih baik dibandingkan dengan bank yang lain sehingga dipilih sebagai kerangka bank dalam proses merger ini ( Bisnis Indonesia, 2002 ). Berdasarkan data, Capital Adequacy Ratio (CAR) Bank Bali sebesar 25,4 %, dibandingkan dengan bank yang lain, yaitu Bank Universal yang minus sebesar 16,6 %. Non Performing Loan (NPL) Bank Bali tercatat 2,95 %, sedangkan Bank Universal 25, 4 %. Namun Loan to Deposit Ratio (LDR) Bank Universal jauh lebih baik yaitu 57,7 % dibandingkan dengan LDR Bank Bali 20,5 %. Selain itu, Bank Universal mempunyai keunggulan di bidang SDM, sedangkan teknologi informasi Bank Bali lebih bagus dibandingkan dengan bank lainnya, maka keunggulan itu yang dipakai oleh bank hasil merger. Penggabungan / merger 5 bank ini bertujuan untuk membentuk suatu bank yang memiliki struktur permodalan yang kuat, kondisi keuangan yang sehat dan berdaya saing tinggi dalam menjalankan fungsi intermediasi, dengan jaringan layanan yang lebih luas dan produk yang lebih beragam. Untuk melihat kinerja keuangan Bank Permata sejak 2001- 2005 secara singkat dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini :
Tabel 2 Gambaran Keuangan Konsolidasi Singkat Bank Permata Tahun 2001 – 2005 (dalam jutaan rupiah, kecuali disebutkan lain) Laba/Rugi Sebelum Pajak
Tahun
Pendapatan
2001
1,730,515
231,248
(7,852)
2002
2,461,333
(847,855)
46,177
2003
3,638,597
542,504
(22,004)
2004
3,500,272
703,181
(72,703)
2005
Pajak
Laba Setelah Pajak
Total Aktiva
223,396 (801,678) 564,508 630,478
304,364 3,821,859 405,343 (100,979) Sumber: Laporan Keuangan Bank Permata, 2001-2005, Data Diolah
Total Hutang
Modal
26,613,635
27,230,467
(616,832)
28,027,532
26,870,280
29,034,831
27,321,264
31,756,642
29,415,739
34,782,459
32,210,427
1,157,252 1,713,567 2,340,903 2,572,032
Tabel 3 dibawah menunjukkan besarnya program rekapitalisasi untuk masing – masing bank, itu artinya pemerintah sebenarnya sudah mengeluarkan dana rekap tidak kurang sebesar Rp 7,7 triliun dan jika ditambah dengan Rp 4,6 triliun ( rekapitalisasi kedua ), yang meliputi penggunaan recyle bond Rp 1,8 triliun ditambah dengan fresh capital Rp 2,8 triliun maka biaya rekap sudah dikeluarkan menjadi Rp 12,3 triliun. Diharapkan rasio kecukupan modal ( capital adequacy ratio/ CAR ) sebesar 11 % hingga 12 %, dengan total aset sebesar Rp 32 triliun dengan dana pihak ketiga sebesar Rp 28 triliun. Total kredit bermasalah ( non performing loan/ NPL ) bank sebesar 6 %. Dengan demikian, Bank Permata sudah dua kali mendapatkan program rekapitalisasi. Sebenarnya rekapitalisasi kedua bertentangan dengan aturan serta kesepakatan yang tertuang dalam UU Propenas, yang menyebutkan program rekapitalisasi bank – bank hanya dilakukan satu kali saja. Program rekapitalisasi yang kedua ini dilakukan pemerintah ditujukan untuk memperbaiki kinerja Bank Permata. Tabel 3 Gambaran Dana Rekapitalisasi Untuk Masing – Masing Bank No
Nama Bank
Dana Rekapitalisasi
1.
Bank Artamedia
Rp 130 miliar
2.
Bank Bali
Rp 2,34 triliun
3.
Bank Patriot
Rp
4.
Bank Prima Ekspress
Rp 615,4 miliar
5.
Bank Universal
Rp 4,586 triliun
Total Rekapitulasi Sumber : Suara Merdeka, 2002
52 miliar
Rp 7,7 triliun
Tabel 4 Gambaran Rasio Keuangan Bank Permata Tahun 2001-2005
NO. 1
NAMA BANK BANK PERMATA THN 2001 THN 2002 THN 2003 THN 2004 THN 2005
CAR %
DER %
DTAR %
LDR %
LAR %
ROA %
ROE %
BOPO %
13,3 10,4 10,8 11,4 9,9
( 4414,57 ) 2321,90 1594,41 1256,60 1252,33
102,32 95,87 94,10 92,63 92,61
42,93 40,5 41,3 57,2 78,5
37,48 32,11 33,32 46,78 64,08
0,87 ( 3,03 ) 1,87 2,21 1,17
22,32 (69,27 ) 32,94 26,93 11,83
110,2 138,1 86,6 83,1 89,6
Sumber : Laporan Tahunan Bank Permata, 2001-2005, diolah
Capital Adequacy Ratio (CAR) Capital adequacy ratio memperlihatkan seberapa jauh seluruh aktiva bank yang mengandung resiko (kredit, penyertaan, surat berharga, dan tagihan pada bank lain) ikut dibiayai dari modal sendiri bank di samping memperoleh dana-dana dari sumber di luar bank. Tinggi rendahnya CAR suatu bank akan dipengaruhi oleh dua (2) faktor utama yaitu besarnya modal yang dimiliki bank dan jumlah aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR) yang dikelola bank tersebut. Hal ini disebabkan penilaian terhadap faktor permodalan didasarkan pada rasio modal terhadap aktiva tertimbang menurut risiko ATMR). Apabila dilihat dari aspek permodalan Bank Permata yang dicerminkan dengan rasio kecukupan modal / CAR sebagai ukuran utama untuk melihat tingkat kesehatan bank seperti yang disyaratkan oleh Bank Indonesia sebesar minimum 8 %. CAR Bank Permata untuk tahun 2001 sampai dengan 2005 masing - masing sebesar 13,3 %, 10,4 %, 10,8 %, 11,4 %, dan 9,9 % ini berarti CAR Bank Permata telah melebihi batas minimun yang telah disyaratkan oleh Bank Indonesia. Namun CAR tersebut belum memenuhi kriteria implementasi Basel II seperti rasio kecukupan modal moderat diatas 12 %. Debt to Equity Ratio ( DER ) dan Debt to Total Assets Ratio ( DTAR ) Pada tahun 2001 DER Bank Permata mengalami penurunan yang sangat besar sekali sehingga menjadi minus yaitu -4.414,57 %, hal ini disebabkan oleh saldo rugi pada tahun 2001 sebesar Rp 5.204.052 juta sehingga menambah jumlah utang Bank Permata. Meskipun pada tahun 2002 sampai tahun 2005 ini mengalami penurunan sebesar 2.321,90 %, 1.594,41 %, 1.26,60 %, dan 1.252,33 % ini berarti Bank Permata telah mampu menutupi sebagian utangnya dengan modalnya sendiri. Sedangkan DTAR Bank Permata juga mengalami penurunan dari tahun 2001 sampai dengan 2005, ini berarti Bank Permata telah mampu menutupi sebagian utangnya dengan modalnya sendiri. Namun jumlah utang Bank Permata masih terlalu besar dibandingkan dengan jumlah modal sendiri yang dimiliki Bank Permata. Besarnya jumlah utang yang dimiliki Bank Permata menunjukkan bahwa kegiatan bank didanai dari utang obligasi pemerintah. Dengan demikian, Bank Permata dapat dikategorikan sebagai bank yang belum sehat di Indonesia.
Loan to Deposit Ratio ( LDR ) Dilihat dari segi loan to deposit ratio (LDR) Bank Permata dari tahun 2002 sampai tahun 2005 terus mengalami peningkatan, seperti yang dikatakan oleh Boy Loen dan Sonny Ericson (119) semakin tinggi rasio LDR menunjukan semakin rendah kemampuan likuiditas Bank, namun dalam hal ini rasio LDR Bank Mandiri < 110% ini berari masih dapat dinilai sehat dan fungsi intermediasi ( lembaga yang menghubungkan antara pihak yang kelebihan dana dengan pihak yang membutuhkan dana) Bank Permata sudah dapat dikatakan berjalan baik. Loan to Asset Ratio ( LAR ) Dilihat dari segi loan to assets ratio (LAR) Bank Permata pada tahun 2001 sebesar 37,48 %. Namun sebaliknya LAR Bank Permata pada tahun 2002 sampai tahun 2005 terus mengalami peningkatan yaitu sebesar 32,11 %, 33,32 %, 46,78 %, 64,08 %, dalam hal ini Bank Permata dapat dikatakan kurang mampu memenuhi pemintaan kreditnya, seperti yang dikatakan oleh Boy Loen dan Sonny Ericson (119) semakin tinggi rasio LAR menunjukan semakin rendah kemampuan likuiditasnya. Return on Assets ( ROA ) Rasio Biaya Operasional ( BOPO ) ROA dan BOPO Bank Permata pada tahun 2001 sebesar 0,87 % dan 110,2 %. Pada tahun 2002 ROA dan BOPO Bank Permata mengalami penurunan meskipun pada tahun 2002 dan 2003 ROAnya mengalami kenaikan sedangkan BOPOnya mengalami penurunan. Antara BOPO dan ROA mempunyai hubungan yang sangat erat dan bertolak belakang. Hal ini disebabkan karena semakin efisien suatu bank dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya mengindikasikan semakin besar kemampuan bank tersebut dalam menghasilkan laba. Ini sesuai dengan Eddie Rinaldy (67) yang menyatakan bahwa profitabilitas bank yang ditinjau dari ROA (Return on Assets) meningkat searah dengan menurunnya BOPO (Biaya Operasional per Pendapatan Operasional) atau sebaliknya. Return on Equity ( ROE ) Untuk tahun 2003 sampai 2004 ROE mengalami penurunan sebesar 32,94 %, 26,93 % dan 11,83 %, semakin rendah Return on Equity (ROE) dapat menunjukan bahwa Bank Permata belum mampu mengelola modalnya sendiri untuk mendapatkan laba yang optimal. Namun sebaliknya semakin tinggi Return on Equity (ROE) menunjukan bahwa bank tersebut mampu mengelola modalnya sendiri untuk mendapatkan laba yang optimal. Non Performimg Loan ( NPL ) Untuk NPL Bank Permata untuk tahun 2002 sampai dengan 2005 masing masing sebesar 27,5 %, 2,9 %, 1,6 % dan 2,6 % ini artinya NPL Bank Permata untuk tahun 2003 dan 2005 sudah memenuhi persyaratan dari Bank Indonesia sebesar 5 % dan kinerjanya sudah cukup baik. Namun sebaliknya, NPL untuk tahun 2002 sangat tinggi yaitu sebesar 27,5 % sehingga cenderung memiliki kinerja yang kurang baik. Hal ini mengindikasikan, jumlah kredit bermasalah masih cukup tinggi. Hasil ini sesuai dengan penelitian Rini Restu ( 2005 ) yang menyatakan NPL merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja bank, bank yang memiliki NPL tinggi cenderung memiliki kinerja yang kurang baik. Hal ini disebabkan karena terdapat banyak faktor yang dapat mempengaruhi jumlah NPL dalam suatu bank antara lain pihak bank kurang berhati –
hati dalam menjalankan peraturan dan prosedur penyaluran kredit, lemahnya kemampuan bank dalam mendeteksi kemungkinan munculnya kredit bermasalah, terganggunya kelancaran usaha nasabah, masalah intern nasabah, serta kondisi ekonomi dan situasi politik dalam negeri yang tidak stabil yang berdampak pada menurunnya kondisi usaha bisnis perusahaan.
Analisis Efisiensi Pada Bank Permata Tingkat efisiensi Bank Permata pada tahun 2002 sampai dengan tahun 2005 yang diukur dengan DEA lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 5 dibawah ini. Tabel 5 Efisiensi Bank Swasta Devisa Tahun 2002-2005 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
BANK SWASTA DEVISA 2002 BANK ANTAR DAERAH 0.627 BANK MAYAPADA INT'L 1.000 BANK IFI 1.000 BANK HAGA 0.667 BANK ARTHA GRAHA 0.872 BANK EKONOMI RAHARJA 0.761 BANK BUMI ARTA 0.641 BANK NISP 1.000 PAN INDONESIA BANK 1.000 BANK BUANA INDONESIA 0.835 BANK NIAGA 0.928 BANK ARTA NIAGA KENCANA 0.705 BANK CENTRAL ASIA 1.000 BANK INTERNASIONAL INDONESIA 0.605 BANK PERMATA 0.669 BANK DANAMON INDONESIA 0.921 BANK SWADESI 0.669 BANK MESTIKA DHARMA 1.000 BANK MASPION INDONESIA 0.613 BANK HAGAKITA 0.702 BANK GANESHA 0.662 BANK WINDU KENCANA 0.508 BANK HALIM INDONESIA 0.799 BANK KESAWAN 0.612 BANK MEGA 1.000 BANK BUKOPIN 1.000 BANK BUMIPUTRA INDONESIA 0.847 BANK NUSANTARA PARAHYANGAN 0.729 LIPPO BANK 0.763 Sumber : diolah dengan sofware DEAP 2.1 ( Coelli, 1996 )
2003 0.710 0.849 1.000 0.649 0.915 0.758 0.655 1.000 1.000 0.795 1.000 0.695 0.994 0.726 0.836 1.000 0.655 1.000 0.645 0.884 0.719 0.426 0.798 0.587 1.000 1.000 0.963 0.718 0.627
2004 0.661 1.000 1.000 0.649 0.882 0.870 0.604 1.000 1.000 0.878 1.000 0.708 1.000 0.913 0.786 1.000 0.600 1.000 0.697 0.820 0.721 0.617 0.763 0.603 1.000 1.000 0.855 0.734 0.708
2005 0.730 0.721 1.000 0.635 0.765 0.862 0.754 0.919 0.990 1.000 1.000 0.669 1.000 0.851 0.847 1.000 0.612 1.000 0.618 0.649 0.586 0.501 0.663 0.640 1.000 0.912 0.710 0.593 0.794
Berdasarkan tabel 5 diatas menunjukkan bahwa dari 29 bank swasta devisa hanya 3 bank swasta devisa yang mencapai tingkat efisiensi sepanjang tahun 2002 sampai dengan tahun 2005 yaitu Bank IFI, Bank Mestika Dharma, dan Bank Mega. Dari hasil diatas Bank Permata memiliki efisiensi yang relatif lebih baik terhadap bank yang
lain, yaitu sebesar 67 %, 84 %, 79 %, dan 85 %. Apabila Bank Permata ingin meningkatkan efisiensinya adalah dengan mengoptimalkan aktiva yang dimilikinya atau produktivitasnya aktivanya, karena bank tersebut belum menggerakkan aktiva secara optimal, mengoptimalkan produktivitas karyawannya, mengoptimalkan teknologi yang dimilikinya. Solusi yang lain adalah meluncurkan produk-produk baru, agar efisiensinya lebih meningkat lagi. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan hasil pembahasan diperoleh kesimpulan sebagai berikut : (1) kinerja keuangan konsolidasi Bank Permata setelah merger adalah bank dalam kondisi keuangan yang baik apabila dilihat dari tingkat pencapaian CAR, DER, DTAR, LDR, LAR, ROA, ROE, dan BOPO. Selain itu, apabila dilihat dari aspek permodalan Bank Permata yang dicerminkan dengan CAR, CARnya telah melebihi batas minimun yang telah disyaratkan oleh Bank Indonesia yaitu sebesar minimum 8 % sehingga kinerja Bank Permata dalam kondisi sehat. Sementara itu, ROA, ROE, DER, dan DTAR Bank Permata menunjukkan penurunannya dari tahun ke tahun. Apabila dilihat dari segi loan to deposit ratio (LDR) dan loan to assets ratio (LAR) Bank Permata mengalami peningkatan. Sedangkan ROA dan BOPO Bank Permata mengalami penurunan meskipun ROAnya mengalami kenaikan sedangkan BOPOnya mengalami penurunan. Karena antara BOPO dan ROA mempunyai hubungan yang sangat erat dan bertolak belakang. Untuk NPL Bank Permata sudah memenuhi persyaratan dari Bank Indonesia sebesar 5 % dan kinerjanya sudah cukup baik. (2) Merger yang dilakukan oleh pemerintah terhadap lima bank belum memberikan jaminan bahwa kinerja keuangan konsolidasi Bank Permata akan semakin baik setelah adanya merger. Hal ini, disebabkan Bank Permata sudah dua kali mendapatkan program rekapitalisasi namun belum berdampak positif terhadap aspek permodalan Bank Permata yang dicerminkan dengan CAR, dimana CARnya belum memenuhi kriteria implementasi Basel II yang telah disyaratkan oleh Bank Indonesia seperti rasio kecukupan modal diatas 12 %. Berdasarkan hasil penelitian ini beberapa saran yang dapat diberikan oleh penulis adalah sebagai berikut : (1) Manajemen Bank Permata harus berupaya untuk memperbaiki tingkat efisiensinya. Karena efisiensi merupakan salah satu tolak ukur utama bagi bank agar dikatakan sebagai bank yang sehat. (2) Bank Permata harus untuk dapat memanfaatkan teknologi yang dimiliki dengan sebaik mungkin. (3) Manajemen Bank Permata harus mengupayakan agar kinerja keuangan konsolidasinya tetap baik, sehingga bank dapat menggunakan dan mengalokasikan biaya – biaya operasionalnya secara optimal. DAFTAR PUSTAKA Anita Febryani dan Rahadian Zulfadin. 2003. Analisis Kinerja Bank devisa Dan Non devisa Di Indonesia, Kajian Ekonomi Dan Keuangan, Vol.7, No. 4 Agnes Sawir. 2003. Analisis Kinerja Keuangan & Perencanaan Keuangan Perusahaan, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Agus. P. Samosir. 2003. Analisis Kinerja Bank Mandiri Setelah Merger Dan Sebagai Bank Rekapitalisasi, Kajian Ekonomi Dan Keuangan, Vol.7, No.1. Agus Sugiarto. 2004. Mengapa Modal Bank Harus Rp 100 Miliar, Jakarta : Bank Indonesia. As. Mahmoeddin. 2002. Melacak Kredit Bermasalah. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Bambang Riyanto. 1997. Dasar – Dasar Pembelanjaan Perusahaan, Yogyakarta : BPFE-Yogyakarta. Hadori Yunus dan Harnanto. 1999. Akuntansi Keuangan Lanjut, Yogyakarta : BPFEYogyakarta Kasmir. 2000. Manajemen Perbankan, Jakarta : PT. Radja Grafindo Persada. . 2002. Bank & Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta : PT. Radja Grafindo Persada. Lukman Dendawijaya. 2003. Manajemen Perbankan. Jakarta : Ghalia Indonesia. Lusiana Spica Almilia dan Winny Herdinigtyas. 2005. Analisis Rasio Camel Terhadap Prediksi Kondisi Bermasalah Pada Lembaga Perbankan Periode 2000-2002, Jurnal Akuntansi Dan Keuangan, Vol.7, No. 2. Sinungan dan Muchdarsyah. 1992. Manajemen Dana Bank. Jakarta : Rineka Cipta. Thomas Suyatno. 1997. Kelembagaan Perbankan. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Warman Djohan. 2000. Kredit Bank. Jakarta : PT. Mutiara Sumber Widya.