ANALISIS KETERLIBATAN JEPANG DAN CINA DALAM KERJASAMA CHIANG MAI INITIATIVE MULTILATERALISATION PERIODE 2010 – 2012 Agus Catur Aryanto Putro Dr. Syamsul Hadi, MA Keinginan untuk mengurangi ketergantungan dengan Barat menjadi dasar kuat bagi negara-negara ASEAN+3 untuk membuat kerja sama keuangan yang sesuai dengan kebutuhan negara-negara di kawasan ini. Berubahnya kerja sama CMI dari bilateral menjadi multilateral merupakan titik penting bagi kerja sama keuangan di Asia sebagai langkah awal untuk menuju regionalisasi kawasan. Kepentingan negaranegara besar di dalam kawasan ini tidak lepas begitu saja dalam pembentukan kerja sama CMIM. Cina dan Jepang, sebagai raksasa ekonomi Asia, berebut supremasi untuk memperoleh posisi pemimpin di dalam kerja sama tersebut. Penelitian ini ingin menganalisis mengapa kedua negara akhirnya mau bekerja sama secara multilateral mengingat sebelum tahun 2010 kerja sama yang dibentuk bersifat bilateral. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa melalui kerja sama multilateral, justru keuntungan yang bisa diperoleh oleh kedua negara lebih besar dibanding jika kedua negara mempertahankan status quo untuk bekerja sama secara bilateral. Selain itu, kompleksitas hubungan kedua negara tidak hanya ditandai dengan rivalitas yang ada namun juga ditunjukkan dengan makin tingginya derajat interdependensi di antara keduanya. Kata Kunci: regionalisasi, multilateralisasi, interdependensi, kepemimpinan
CMIM,
Jepang,
Cina,
rivalitas,
Pendahuluan Regionalisasi ekonomi merupakan salah satu dampak adanya globalisasi. Kawasan Asia1 juga bergerak ke arah regionalisasi khususnya dalam bidang keuangan terutama pascakrisis yang terjadi di tahun 1997-1998. Dalam tren kerja sama regional yang ada, terdapat dua negara yang memiliki kepentingan paling besar yang ternyata menciptakan rivalitas di antara keduanya, yaitu Jepang dan Cina. Rivalitas yang terjadi secara umum ditunjukkan dari bentuk kerja sama yang sampai pada tahun 2010 masih dipertahankan dalam bentuk bilateral. Adanya proposal Asian Monetary Fund (AMF) yang disodorkan oleh Jepang di tahun 1997 merupakan awal adanya indikasi keinginan Jepang untuk menjadi pemimpin di dalam kerja sama keuangan di Asia. Akan tetapi, kerja sama tersebut tidak tercapai sebab tentangan kuat dari Amerika Serikat, melalui IMF. Pada tahun 2000, dibentuklah kerja sama Chiang Mai Initiative (CMI) yang merupakan langkah awal untuk memulai 1
Term Asia digunakan untuk merujuk kepada negara-negara Asia Tenggara yang tergabung dalam kerja sama ASEAN dan negara-negara Asia Timur meliputi Jepang, Cina, dan Korea Selatan (biasa disebut dengan negara Plus Three).
1
Analisis keterlibatan..., Agus Catur Aryanto Putro, FISIP UI, 2013.
kerja sama keuangan di Asia antara negara ASEAN-52 dengan Plus Three. Rivalitas antara Jepang dan Cina lainnya ditunjukkan dari adanya saling kejar dalam mendekati negara-negara ASEAN melalui kerja sama ekonomi lainnya seperti perdagangan dan investasi. Hal ini makin menunjukkan bahwa kedua negara memang berambisi untuk mendapatkan posisi sebagai pihak yang memimpin sekaligus menunjukkan kekuatannya di kawasan Asia. Pada tahun 2010, kerja sama CMI berubah menjadi multilateral dalam kerangka Chiang Mai Initiative Multilateralisation (CMIM) yang merupakan transformasi kerja sama dari bilateral menjadi multilateral. Penting untuk menganalisis mengapa akhirnya kerja sama CMI berubah menjadi multilateral mengingat adanya tarik-menarik yang kuat dari Cina dan Jepang sampai tahun 2010 untuk mempertahankan status CMI sebagai kerja sama bilateral. Maka dari itu, penelitian ini ingin menjawab pertanyaan, “Mengapa Jepang dan Cina berkompromi untuk bekerja sama secara multilateral dalam institusi Chiang Mai Initiative Multilateralisation (CMIM) periode 2010-2012?” Tinjauan Teoritis Dalam penelitian ini digunakan dua kerangka pemikiran yaitu kolaborasi, koordinasi, kerja sama dan institusi sebagai kerangka pertama, serta complex interdependence
sebagai
kerangka
kedua.
Kerangka
pemikiran
pertama
menjelaskan bahwa adanya kolaborasi untuk bekerja sama merupakan salah satu opsi strategis terbaik dari pilihan kebijakan yang ada bagi dua negara yang memiliki benturan kepentingan. Kerja sama tersebut diformalisasi melalui institusi yang memiliki tingkatan kekakuan lebih tinggi. Sementara kerangka pemikiran kedua digunakan untuk melihat bagaimana kedua negara, selain mengalami rivalitas, juga sebenarnya mempunyai hubungan interdependensi yang semakin tinggi yang akhirnya mendorong mereka untuk memilih opsi kerja sama. Temuan Penelitian Paparan dalam bab ini akan dibagi ke dalam dua bagian besar. Pertama akan menjelaskan tentang kelebihan multilateralisme CMI dibanding dengan mekanisme CMI bilateral dan keuntungannya bagi negara-negara yang tergabung di dalam kerja 2
ASEAN-5 adalah negara-negara anggota ASEAN yang meliputi Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Lima negara lainnya belum bergabung dalam CMI di tahun 2000 dan hanya tergabung dalam Asian Swap Arrangement (ASA).
2
Analisis keterlibatan..., Agus Catur Aryanto Putro, FISIP UI, 2013.
sama ini. Paparan berikutnya akan melihat bagaimana ambisi untuk menjadi regional leader bagi Cina dan Jepang merupakan alasan utama kedua negara untuk terlibat di dalam di dalam kerja sama CMIM selama periode 2010-2012. Keuntungan Multilateralisasi Chiang Mai Initiative Berubahnya bentuk kerja sama Chiang Mai Initiative yang berlaku efektif pada tahun 2010 menjadi kerja sama multilateral, memberikan beberapa perubahan signifikan yang ada dalam mekanisme kerja sama tersebut. Negara-negara ASEAN+3 menganggap bahwa multilateralisasi CMI akan menutup apa yang tidak bisa diperoleh dalam kerja sama bilateral dan memberikan keuntungan baik bagi negara masing-masing dan penguatan kerja sama di kawasan. Ada beberapa indikator yang tidak bisa diperoleh oleh negara-negara ASEAN+3 dalam mekanisme bilateral CMI. Pertama, jumlah BSA dalam CMI sangat terbatas dengan jumlah 90 miliar dolar AS saja. Jumlah ini tidak akan mampu menyelesaikan permasalahan likuiditas suatu negara karena jumlah yang biasanya diperlukan oleh negara untuk menyelesaikan permasalahan likuiditas jangka pendek adalah dengan adanya suntikan dana yang besar. Seperti kasus Korea pada tahun 2008 yang terkena efek krisis finansial global, melihat kecilnya jumlah kontribusi yang ada pada CMI, Korea memilih untuk tidak menggunakan mekanisme CMI dan memilih untuk meminjam dana dari Federal Reserve Amerika Serikat karena dana yang disediakan jauh lebih besar daripada dana yang bisa dihimpun dari mekanisme bilateral dari CMI. Hal ini juga bertentangan dengan tujuan awal adanya kerja sama keuangan di Asia di mana secara ideologis dibentuk untuk mengurangi keterlibatan dan intervensi dana yang berasal dari Barat dan juga kontradiktif dengan tujuan untuk membangun kemandirian kawasan Asia dalam bidang keuangan. Kedua, karena sifat kerja sama yang masih bilateral, maka kesepakatan antarnegara akan lebih sulit untuk dicapai. Perjanjian bilateral dalam CMI antarnegara mempunyai keadaan dan persyaratan yang berbeda-beda tergantung keinginan dan negosiasi dari negara yang menjalin kesepakatan. Jika terjadi krisis dan negara memilih untuk menggunakan mekanisme CMI secara bilateral, prosedur untuk mendapatkan dana tersebut akan sebanyak kesepakatan bilateral yang dilakukan. Sebagai contoh, jika Korea ingin mendapatkan dana 90 miliar dolar AS dari total BSA CMI – yang hanya bisa dipakai maksimal 18 miliar dolar AS tanpa adanya ikatan dengan IMF -, maka Korea harus menegosiasi dengan dua belas
3
Analisis keterlibatan..., Agus Catur Aryanto Putro, FISIP UI, 2013.
anggota CMI dengan perjanjian masing-masing yang telah disepakati. Hal ini juga ditambah dengan adanya ketentuan bahwa negara bisa saja tidak mau memberikan bantuan kepada negara yang membutuhkan bantuan semasa krisis karena pertimbangan-pertimbangan tertentu, semisal politik. Ketiga, dengan adanya mekanisme bilateral, upaya untuk menjaga stabilitas keuangan di kawasan justru tidak tercapai. Hal ini disebabkan perjanjian bilateral yang ada dalam mekanisme CMI hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan negara yang sedang dilanda goncangan pada keuangannya semata tanpa adanya pertimbangan lebih jauh untuk memikirkan bagaimana menjaga stabilitas keuangan regional. Mekanisme bilateral yang ada pada CMI masih mengandung beberapa kelemahan yang baik secara ideologis maupun teknis masih memberikan manfaat yang sedikit dan belum signifikan untuk mencapai tujuan awal kerja sama CMI ini dibentuk. Tabel di bawah menunjukkab perbaikan yang diberikan dengan adanya multilateralisasi CMIM pada periode 2010-2012. Tabel 1 Perkembangan Mekanisme Operasional CMIM
Sumber: Reza Siregar dan Akkharaphol Chabchitrchaidol, “Enhancing the Effectiveness of CMIM and AMRO: Selected Immediate Challenges and Tasks”, ADBI Working Paper Series, 2013, hal. 5
Multilateralisme suatu kerja sama tidak menjamin bahwa keuntungan yang diperoleh suatu negara akan lebih besar dibandingkan dengan cara unilateralisme atau bilateralism. John Gerard Ruggie menjelaskan mengapa dalam institusi yang multilateral, kerja sama akan lebih bisa dinilai apakah itu menguntungkan atau sebaliknya bagi negara yang ikut serta di dalamnya.3 Ia menjelaskan definisi multilateralisme nominal - dengan mengambil tulisan Keohane - secara singkat 3
John Gerard Ruggie, “Multilateralism: the Anatomy of an Institution,” International Organization 46, no. 3 (Summer, 1992): 565.
4
Analisis keterlibatan..., Agus Catur Aryanto Putro, FISIP UI, 2013.
sebagai praktik atas mengoordinasikan kebijakan nasional dalam kelompok yang terdiri atas tiga negara atau lebih.4 Ia juga menjelaskan tentang perlunya membedakan multilateralisme “formal” dan “substantif” di mana ia menjelaskan sebagai definisi nominal dan kualitatif. Namun dalam perkembangan institusi internasional sekarang, hal yang menentukan adalah bukan dari sekadar jumlah negara yang tergabung dalam kerja sama multilateral tersebut, melainkan, yang lebih penting adalah, sisi kualitatif dari adanya intitusi multilateral tersebut.5 Transformasi
kerja
sama
CMI
menunjukkan
adanya
upaya
untuk
mengarahkan hubungan negara-negara ASEAN+3 ke dalam fase yang lebih terinstitusionalisasi. Institusi yang dibangun setidaknya memerlukan paling tidak satu dekade untuk menjadikannya seperti institusi yang sekarang ini. Jika ditilik dengan perspektif institusi yang dijelaskan oleh Keohane, maka akan ada beberapa penjelasan yang menerangkan mengapa pilihan untuk menjadikan institusi ini lebih erat dengan multilateralisasi.6 Berhubungan dengan analisis tentang harapan aktor dalam institusi, ada tiga hal yang harus dianalisis: pola interaksi, sifat dari perjanjian, dan perilaku politik yang dilakukan. Pertama, pola interaksi dalam institusi, yang mencerminkan bagaimana hubungan yang ada antara negara-negara di dalam institusi dibentuk. Hubungan antarnegara di dalam institusi dibentuk oleh bagaimana kekuatan dari negaranegara di dalamnya yang bisa mempengaruhi institusi. Negara yang mempunyai kekuatan lebih besar dibanding dengan negara lainnya mempunyai akses yang lebih besar untuk membuat institusi itu menjadi salah satu elemen bagi pemenuhan kepentingan negaranya. Sementara itu, negara yang tergabung dalam institusi tersebut namun memiliki kekuatan yang relatif lebih lemah dibanding negara lain akan mempunyai kesempatan yang lebih sedikit untuk melakukan aktualisasi bagi kepentingan nasionalnya melalui institusi di mana ia tergabung. Hal lain yang bisa didapat oleh negara yang lemah adalah bahwa bisa jadi institusi akan mempengaruhi kepentingan nasionalnya lebih besar dibanding kepentingan nasionalnya mempengaruhi institusi. Dalam mekanisme CMIM, pola interaksi yang muncul didominasi oleh besaran kontribusi dan voting size yang diberikan oleh masing-masing negara. Jepang dan Cina, yang mempunyai kontribusi dan voting 4
Ibid. Ibid. 6 Robert Keohane, After Hegemony: Cooperation and Discord in the World Political Economy (Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1984), 65. 5
5
Analisis keterlibatan..., Agus Catur Aryanto Putro, FISIP UI, 2013.
size terbesar akan lebih mampu menentukan kebijakan dari institusi ini. Mekanisme yang masih didasarkan pada besaran voting ini tidak begitu menguntungkan bagi negara-negara ASEAN secara keseluruhan karena kontribusi mereka yang relatif jauh lebih kecil dibanding dengan kontribusi negara-negara Plus Three. Harapan negara-negara ASEAN+3 dalam pola hubungan di dalam CMIM tentunya, selain sebagai mekanisme last lender resort facility ketika krisis, juga untuk menjadikan institusi ini lebih memperhatika kebutuhan regional sehingga tidak semerta-merta menjadi duplikasi dari IMF yang mana pola hubungannya sangat menekan bagi negara yang lemah. Kedua, terkait dengan sifat dari perjanjian, institusi seharusnya memiliki perjanjian yang didasarkan pada norma dan prinsip yang ingin diperoleh yang mengatur segala sesuatu untuk menuju keberhasilan tujuan yang diinginkan.7 Penulis mengidentifikasi setidaknya ada dua hal yang harus dijawab oleh mekanisme CMIM untuk bisa dioperasionalkan; pertama tentang sifat dari multilateralisme itu sendiri dan; kedua tentang kekakuan (rigidity) dari perjanjian yang disepakati. Sifat multilateralisme yang akhirnya dipilih sebagai mekanisme CMI harus mampu menjawab kekurangan yang ada dalam sistem bilateral sebelumnya sehingga perubahan terhadap multilateralisme ini signifikan jika dilihat sebagai means untuk menuju tujuan bersama. Perjanjian CMIM yang masih memiliki opsi untuk “tidak menggunakan mekanisme CMIM ketika ada krisis” merupakan salah satu indikasi bahwa mekanisme ini masih bisa berisiko gagal untuk dijalankan atau tidak digunakan dalam masa krisis ketika ada pilihan lain bagi suatu negara yang dianggap lebih baik untuk dipilih. Seharusnya, mekanisme ini lebih memiliki keketatan dalam fasilitasi likuiditas masa krisis yang memang mencukupi dan preferable bagi anggota yang tergabung dalam kerja sama ini sehingga operasionalisasi dari sifat perjanjian ini akan lebih tegas dan rigid. Dengan adanya keanggotaan yang bersifat longgar, ekspektasi tentang efektivitas dan preferensi bagi mekanisme ini juga tidak sekuat ketika CMIM bersifat lebih kaku. Ketiga, terkait dengan perilaku politik negara anggota CMIM, kebijakan yang dibuat oleh suatu negara diharapkan sesuai dengan apa yang menjadi tujuan dari pembentukan institusi ini dan tidak bertolak belakang. Kebijakan yang diambil terkait bidang kerja sama CMIM harus bisa mengarah pada penguatan mekanisme CMIM 7
Ibid.
6
Analisis keterlibatan..., Agus Catur Aryanto Putro, FISIP UI, 2013.
dengan tujuan koordinasi kebijakan lebih mudah dilaksanakan dan benturan kepentingan semakin bisa dihindari. Inti dari adanya kerja sama, menurut Keohane, adalah untuk koordinasi kebijakan dan koordinasi kebijakan terjadi jika ada benturan kepentingan.8 Oleh sebab itu, untuk meminimalisasi benturan kepentingan, perilaku atau kebijakan yang dikeluarkan tidak boleh melanggar ketentuan yang ada dalam institusi CMIM, jika terjadi, maka akan timbul konflik dan konflik adalah apa yang coba dihindari – setidaknya diminimalkan - dari kerja sama pada institusi. Dengan meningkatnya jumlah dana yang dimiliki oleh CMIM saat ini, diharapkan preferensi untuk memilih menggunakan mekanisme CMIM pada saat krisis bagi negara-negara Asia akan menjadi prioritas utama. Apa yang membuat rezim menjadi sebuah rezim adalah ketika kerja sama yang ada di dalamnya memuaskan kriteria definitif dari pemenuhan atas prinsip, norma, aturan, dan prosedur pembuatan keputusan di antara berkumpulnya harapan para aktor di dalamnya.9 Setelah membahas ekspektasi-ekspektasi yang diuraikan oleh Keohane dalam menganalisis suatu institusi, akan lebih jelas untuk menggambarkan basis fundamental dalam pembentukan kerja sama CMIM ini. Basis fundamental dari suatu institusi meliputi apa yang ada dalam definisi minimal dari institusi itu sendiri, antara lain, prinsip, norma, aturan, dan prosedur pengambilan keputusan. Prinsip (principles) yang ada dalam CMIM merupakan tujuan ideal mengapa institusi ini dibentuk. Perubahan atas bilateral menjadi multilateral merupakan perubahan format tanpa adanya perubahan ideal dari tujuan awal pembentukan mekanisme CMI. Tujuan fundamental kerja sama ini adalah sebagai mekanisme last lender resort facility yang ditujukan untuk mengurangi ketergantungan dari dana internasional dan lebih mengedepankan kerja sama penguatan regional Asia. Ada dua hal yang bisa dipisahkan dari prinsip di atas, yakni prinsip ideologis dan prinsip operasional. Prinsip ideologisnya yaitu kepentingan bersama untuk menjauhkan kawasan ini dari keterlibatan atau pengaruh Barat, terutama IMF, dalam penyediaan dana ketika masa krisis terjadi. Faktor psikologis adanya trauma terhadap intervensi IMF pada krisis di tahun 1997 yang menyebabkan efek domino sosio-politik di ranah domestik negara-negara yang meminta bantuan kepada IMF menjadi pertimbangan utama kerja sama ini ada. Prinsip ideologis tersebut diejawantahkan menjadi prinsip yang operasional melalui kerja sama CMI yang fungsinya adalah penyedia dana ketika 8 9
Ibid., 70. Ruggie, “Multilateralism”, 570.
7
Analisis keterlibatan..., Agus Catur Aryanto Putro, FISIP UI, 2013.
krisis. Berubahnya CMI menjadi multilateral tidak mengubah prinsip ideologis dan operasional, justru memperkuat kedua prinsip itu. Norma-norma (norms) dalam institusi CMIM diterjemahkan sebagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh negara-negara anggota CMIM untuk mewujudkan prinsip-prinsip dasar yang tersebut. Hak dan kewajiban yang ada pada mekanisme multilateral CMIM cakupannya lebih mengikat pada seluruh anggota dibanding ketika bilateral yang hanya mengikat bagi dua negara saja. Kewajiban terkait teknis dari institusi yang harus dilaksanakan oleh negara-negara CMIM adalah memberikan kontribusi semampu yang diberikan dan hak yang diperolehnya adalah mendapatkan bantuan dana ketika krisis maksimal sebanyak kontribusi yang diberikan dikali dengan pengganda pinjaman. Seperti uraian sebelumnya tentang sifat dari perjanjian yang masih longgar, kewajiban dan hak yang dimiliki oleh negara-negara dalam CMIM juga sebatas untuk memberikan kontribusinya bagi dana CMIM. Mengenai batasan perilaku yang terkait juga dengan sifat perjanjian, merupakan elemen yang selanjutnya yakni pada aturan (rules). Aturan-aturan yang ada di dalam CMIM merupakan batasan perilaku yang harus diperhatikan oleh negara anggota CMIM yang dalam taraf tertentu antara norma dan aturan tidak bisa dipisahakan dengan jelas sebab keduanya saling berkaitan. Kembali lagi pada permasalahan bahwa penggunaan mekanisme CMIM bukan suatu keharusan bagi negara ketika dilanda krisis mengandung kelemahan bahwa untuk menentukan batasan perilaku negara juga akan lebih susah. Akan berbeda ketika penggunaan mekanisme CMIM adalah suatu keharusan yang absolut bagi negara anggota ketika krisis melanda, di mana hal ini akan lebih memberikan batasan perilaku yang lebih kaku pula. Dalam penentuan keputusan, voting size menentukan bagaimana arah kebijakan dari CMIM akan diambil. Prosedur pembuatan keputusan (decision making procedure) dalam CMIM memang masih meniru proses pengambilan keputusan ala IMF di mana negara dengan kontribusi terbesar akan mempunyai akses yang lebih besar untuk menentukan kebijakan yang akan diambil oleh institusi CMIM. Jepang dan Cina yang memiliki suara terbesar, jika mempunyai pandangan yang berbeda dalam menentukan keputusan dalam CMIM, untuk membuat keputusan salah satu di antara mereka menang, adalah dengan menggaet sebanyak mungkin negara-negara lain sehingga keputusan finalnya adalah kelompok negara dengan bobot yang lebih besar dibanding kelompok lainnya.
8
Analisis keterlibatan..., Agus Catur Aryanto Putro, FISIP UI, 2013.
Jika dikaitkan dengan penjelasan dari Ruggie mengenai keterhubungan institusi dengan institusi yang lebih besar, maka CMIM juga sebenarnya tunduk dengan IMF dalam hal pencairan dana ketika krisis. Masih besarnya keterikatan dana yang bisa dicairkan dari CMIM dengan program IMF membuktikan bahwa kedaulatan CMIM itu sendiri pun tidak sepenuhnya berada di tangan negara-negara anggota, tetapi masih ada pengaruh dari faktor eksternal yang ternyata juga signifikan dalam mempengaruhi kebijakan internal institusi CMIM. Poin kritis yang dijelaskan oleh Ruggie adalah, sekalipun terbentuk suatu organisasi formal multilateral, semua praktisi dari institusionalisme sepakat bahwa organisasiorganisasi yang terbentuk ini merupakan satu bagian kecil dari suatu bentuk institusi internasional yang lebih universal. Dalam kerja sama multilateral, bisa saja bukan semangat multilateralisme yang digunakan untuk menjalankan kerja sama tersebut, melainkan bagaimana suatu aktor yang kuat melihat sifat multilateral itu bagi kepentingan negaranya, semisal Amerika Serikat yang mendorong untuk adanya perjanjian kerja sama bebas di mana hal tersebut bukan saja untuk menyebutkan bahwa perdagangan bebas adalah apa yang harusnya terjadi dalam ekonomi internasional, melainkan juga untuk memperoleh keuntungan lebih dari usulan multilateralisme yang diajukannya. Apa yang membedakan tentang multilateralisme tidak hanya bahwa institusi multilateralisme tersebut mengoordinasikan kebijakan nasional dalam kelompok tiga negara atau lebih, tetapi juga dalam peletakan CMIM di sini juga berfungsi untuk melaksanakan ketiga hal tersebut melalui koordinasi kebijakan dalam institusi akan mengurangi kecurigaan terhadap perilaku negara lain. Koordinasi kebijakan memerlukan kejujuran dari masing-masing negara supaya
benturan
kepentingan
bisa
diharmonisasikan
melalui
koordinasi.
Permasalahan tersebut bisa dipecahkan ketika negara menyatakan preferensinya dalam institusi dan dengan demikian muncul rasa saling percaya dan kecurigaan pun, setidaknya, akan berkurang. Koordinasi memang merupakan permasalahan yang paling rumit, inilah sebabnya mengapa antara Jepang dan Cina sampai sebelum tahun 2010, keduanya masih enggan untuk menjadikan kerja sama CMI sebagai mekanisme multilateral. Jika status quo tetap – kerja sama bersifat bilateral – tetap dipertahankan hingga sekarang, maka risiko yang ditanggung oleh masing-masing negara ASEAN+3 jika semasa-masa terjadi krisis akan masih besar dan tidak akan ada bedanya ketika krisis finansial global melanda di tahun 2008, di mana dengan
9
Analisis keterlibatan..., Agus Catur Aryanto Putro, FISIP UI, 2013.
kecilnya dana yang terhimpun akan mengarahkan negara mencari pendanaan dari luar CMI yang lebih besar. Mekanisme multilateral, oleh sebab itu, secara konseptual dan praktik, akan membantu negosiasi ini dalam satu wadah koordinasi kebijakan yang akan mempermudah bagaimana keputusan institusi dibuat secara multilateral dibanding harus dilaksanakan satu per satu. Selain itu, efek contagion jika krisis terjadi tidak akan berkurang sebab kebijakan yang diambil oleh suatu negara tidak disesuaikan denga preferensi negara lain sehingga risiko akan adanya krisis yang lebih besar akan masih menjadi kekhawatiran besar bagi negara-negara ASEAN+3 ini. Oleh sebab itu, mengubah status quo merupakan pilihan terbaik bagi negaranegara ASEAN+3 untuk bisa memperoleh tujuan masing-masing negara yaitu untuk terhindar dari krisis dengan adanya koordinasi kebijakan dan tujuan regionalisasi kawasan yang lebih terikat. Mengubah status quo berarti memperkuat kepentingan masing-masing negara dan pengupayaan manfaat yang lebih besar dalam institusi multilateral di antara pilihan lain yang bisa jadi memberikan manfaat yang lebih sedikit – semisal dengan tetap mempertahankan status quo. Pengubahan multilateralisme dalam kerja sama CMI bukan merupakan alternatif atas solusi yang ada bagi negara-negara anggota, melainkan pilihan terbaik dari pilihan-pilihan yang ada. Bagi negara-negara seperti Jepang dan Cina, yang memiliki kepentingan untuk tidak disaingi antara satu dengan lainnya, bergabung secara multilateral akan memberikan keuntungan yang lebih terutama untuk melihat preferensi perilaku masing-masing dalam proses koordinasi kebijakan. Keterlibatan Jepang dan Cina untuk Memperoleh Posisi Regional Leadership Pada periode 2010 – 2012, ada dua hal yang menandai perubahan signifikan dalam kerja sama CMIM. Pertama adalah pemberlakuan CMI secara multilateral pada Maret 2010. Pada 2010, perubahan kerja sama CMI menjadi multilateral merupakan hasil dari negosiasi yang dimulai dari tahun 2007 di mana negara-negara anggota ASEAN+3 mulai membahas akan adanya peningkatan level kerja sama menjadi
multilateral.
Pada
24
Desember
2009,
negara-negara
anggota
menandatangani kesepakatan untuk mengubah CMI menjadi multilateral untuk secara aktif berlaku mulai 24 Maret 2010 dalam pertemuan Menteri Keuangan ASEAN+3 di Bali. Pertimbangan untuk mengubah menjadi multilateral menimbulkan beberapa hal yang harus dibahas, terutama dalam kontribusi yang diberikan dan
10
Analisis keterlibatan..., Agus Catur Aryanto Putro, FISIP UI, 2013.
mekanisme pengawasan yang akan menjadi badan operasional untuk melakukan koordinasi kebijakan keuangan dan makroekonomi negara-negara anggota. Kedua, penambahan kontribusi yang semula senilai 120 miliar dolar AS menjadi dua kali lipat, 240 miliar dolar AS pada pertemuan Menteri Keuangan negara-negara ASEAN+3 dan Otoritas Bank Sentral masing-masing negara dan kesepakatan untuk mengurangi hubungan pada IMF dari yang semula 20% tanpa terikat program IMF menjadi 30% pada tahun 2012, dan akan ditambah menjadi 40% pada tahun 2014 jika memang memenuhi persyaratan yang diajukan oleh IMF.10 Terdapat tiga hal yang penulis temukan sebagai hal yang menentukan rivalitas antara Jepang dan Cina dalam memperoleh posisi leadersip, antara lain: penentuan kontribusi, penentuan desain institusi, dan penempatan key person di dalam institusi. Pertama, sebelum CMIM beroperasi secara aktif pada tahun 2010, terdapat konflik antara Jepang dan Cina dalam menentukan berapa dana yang akan diberikan masing-masing negara mengingat kedua negara merupakan negara dengan performa ekonomi terbesar di dalam kerja sama CMIM. Dalam memberikan kontribusinya, terdapat beberapa pertimbangan yang diambil oleh negara-negara Plus Three hingga akhirnya memberikan jumlah dana yang lebih besar dibanding dana dari negara-negara ASEAN. Jepang, Cina, dan Korea, masing-masing ingin share yang besar dalam kontribusi CMIM di mana jumlahnya melebihi 100%, menyebabkan negosiasi untuk menentukan besaran kontribusi ini sulit dan memakan waktu yang lama. Di sinilah persaingan antara Jepang dan Cina terjadi. Jepang menginginkan kontribusi yang paling besar karena ia merupakan negara dengan ekonomi terbesar di Asia dan kontributor terbesar di bawah BSA CMI (total kontribusi 44 miliar dolar AS dibandingkan dengan Korea sebesar 18,5 miliar dolar AS, dan RRC 16,5 miliar AS). Jika Jepang berhasil menegosiasikan kontribusinya sebagai jumlah yang terbesar, maka Jepang secara voting power pun juga akan menjadi yang paling kuat. Akan tetapi, hal tersebut mustahil terlaksana sebab Cina tidak akan tinggal diam dengan besaran kontribusi yang Jepang berikan. Di lain sisi, Cina ingin mempunyai share sebesar jumlah yang diberikan oleh Jepang karena Cina merupakan pemegang terbesar cadangan devisa di dunia (total 2 triliun dolar AS dibandingkan dengan Jepang yang mempunyai 1 triliun dolar AS dan Korea dengan 250 miliar dolar AS). Di lain sisi, Korea ingin memiliki share sebesar yang 10
Diakses 10 Juni 2013, http://english.mosf.go.kr/upload/mini/2012/05/FILE_A66G81_ 201205 03182819_1.pdf
11
Analisis keterlibatan..., Agus Catur Aryanto Putro, FISIP UI, 2013.
diberikan oleh Cina, melihat tingginya tingkat pembangunan di dalam negeri, tingginya pasar modal Korea dan kontribusi besarnya di dalam BSA CMI. Sementara itu, ASEAN, yang telah setuju dengan share masing-masing negara di antara mereka, ternyata mendorong negara Plus Three untuk menyetujui besaran share tersebut sehingga progres signifikan akan bisa dibuat dalam mekanisme CMIM. Akhirnya, keputusan final dalam penentuan kontribusi melalui kompromi yang panjang bisa diputuskan bagi pemenuhan kontribusi di dalam CMIM. Pertama, Cina setuju untuk memberikan share sebesar 28,5% atas Cina sendiri, namun mampu meyakinkan negara-negara ASEAN+3 lainnya bahwa Hong Kong harus menjadi anggota baru dalam CMIM dan mendapatkan share sebesar 3,5%. Jadi, total share dari RRC adalah 32%, termasuk Hong Kong, sehingga jumlah tersebut sama dengan kontribusi Jepang. Kedua, share Jepang sebesar 32% lebih besar dibanding yang diberikan Cina, mempertahankan posisi Jepang sebagai kontributor terbesar. Terakhir, share Korea sebesar 16% berjumlah setengah dari kontribusi Jepang dan Cina, tapi lebih besar dibanding beban ekonomi dan finansial relatifnya di dalam ASEN+3, yang berkisar 11-12%. Dengan demikian, kontribusi besar yang diberikan oleh negara-negara Plus Three menempatkan mereka dalam posisi yang memberkan prestige dan satisfaction.11 Hal ini didasarkan pada voting power yang dimiliki oleh negara-negara Plus Three yang mencapai 71.6%. Setelah menyepakati angka tersebut, barulah CMIM diaplikasikan secara aktif. Dalam penentuan kontribusi tersebut, penulis menganalisis bahwa baik Jepang dan Cina sebenarnya sangat berhasrat untuk menjadi negara dengan kontribusi terbesar. Memang secara jumlah, Jepang merupakan negara tunggal dengan jumlah kontribusi terbesar. Cina dengan membawa masuk Hong Kong jika kontribusi kedua negara ditambah jumlahnya sama dengan kontribusi yang diberikan oleh Jepang. Namun secara voting power, baik Jepang maupun Cina memiliki porsi yang sama sebab sekalipun Hong Kong memberikan kontribusi dana, tetapi ia diperhitungkan sebagai bagian dari Cina dan voting power hanya dimiliki oleh Cina. Argumen penulis di sini adalah bahwa jika tanpa adanya “penerimaan” dari kedua negara untuk saling berbagi kontribusi dengan jumlah yang sama, kedua negara tidak akan mau bekerja sama dalam CMIM. Hal ini mengindikasikan bahwa kedua negara sepakat untuk tidak memperpanjang konflik dalam penentuan kontribusi dan setuju 11
Masahiro Kawai. From the Chiang Mai Initiative to an Asian Monetary Fund, Asian Development Bank Institute, 2010. 10.
12
Analisis keterlibatan..., Agus Catur Aryanto Putro, FISIP UI, 2013.
untuk saling berbagi porsi kepemimpinan. Dilihat dari hal ini, penulis berargumen bahwa kerja sama dan berkolaborasi merupakan pilihan yang efektif bagi kedua belah pihak di antara tidak bekerja sama dengan shared contribution and voting gain berupa joint leadership. Rivalitas kedua di antara Jepang dan Cina ditunjukkan dalam persaingannya dalam meletakkan key person sebagai direktur mekanisme pengawasan CMIM. Dalam penentuan mekanisme pengawasan, Cina dan Jepang juga berupaya untuk bisa memberikan pengaruhnya dalam posisi direktur mekanisme pengawasan dengan nama ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO). Operasionalisasi dari AMRO ini bertujuan untuk koordinasi kebijakan makroekonomi, mengantisipasi adanya risiko krisis, dan pertukaran informasi di antara anggota. Setelah perundingan di antara negara-negara anggota, akhirnya diputuskan bahwa AMRO ditempatkan di Singapura dengan direktur pertamanya adalah Wei Benhua dari Cina hanya untuk masa satu tahun jabatan sementara tiga tahun berikutnya akan digantikan oleh Yoichi Nernoto yang berasal dari Jepang. Penentuan direktur pertama AMRO ini sangat ketat terutama dengan Jepang. Menurut Saputro, posisi direktur AMRO pertama sangat menentukan kebijakan fundamental karena akan mengupayakan bagaimana makroekonomi dan financial soundness dari masingmasing negara anggota bisa dijaga.12 Selain itu, tugas direktur AMRO adalah untuk menentukan seberapa besar hubungan antara CMIM dengan IMF, terutama berkaitan dengan dana yang bisa dicairkan tanpa adanya program penyesuaian IMF. Joel Rathus menilai bahwa penempatan seorang warga negara Cina sebagai direktur AMRO untuk kali pertama merupakan kemenangan bagi Cina atas Jepang.13 Hal ini dilihat dari dua hal; pertama, kekalahan bagi Jepang, sebab Jepang-lah yang menginisiasi adanya upaya regionalisasi dan mekanisme pengawasan
ini,
dan
kedua,
secara
institusional,
Cina
akan
mampu
mengartikulasikan kepentingannya melalui direktur AMRO tersebut.14 Namun hingga tulisan ini dibuat, belum ada kebijakan yang dikeluarkan oleh AMRO dalam rangka peningkatan taraf institusional dari CMIM. Wei menyatakan bahwa sementara 12
Eko Saputro, “Where to for ASEAN+3’s Macroeconomic Research Office?,” diakses 10 Juni 2013, http://www.eastasiaforum.org/2011/06/18/where-to-for-asean3-s-macroeconomic-research-office/ 13 Joel Rathus, “Chiang Mai Initiative: China Takes the Leader’s Seat,” diakses 10 Juni 2013, http://www.eastasiaforum.org/2011/06/30/chiang-mai-initiative-china-takes-the-leader-s-seat/ 14 Ibid.
13
Analisis keterlibatan..., Agus Catur Aryanto Putro, FISIP UI, 2013.
negara-negara lain penggagas mekanisme ini – Korea dan Jepang – berkomitmen untuk meningkatkan efektivitas AMRO, Cina justru tidak terlalu tertarik dalam penguatan mekanisme pengawasan ini. Sebagai syarat untuk menginstitusionalisasi CMI ke taraf yang lebih tinggi, Jepang meminta adanya mekanisme pengawasan yang efektif untuk memastikan bahwa pembuat kebijakan di dalamnya sesuai dengan kontribusi yang diberikan. Kemungkinan besar, direktur pertama AMRO tidak akan secara aktif mempromosikan mekanisme pengawasan. Justru Wei lebih tertarik untuk fokus kepada hubungannya dengan IMF. Bukan hanya karena Cina tertarik pada area ini tetapi juga salah satu faktor keberhasilan organisasi CMIM ini.15 Di lain sisi, Cina juga tidak menghendaki jika Jepang jika dalam penyelenggaraan kerja sama, Cina memainkan peranan sekunder dibanding Jepang. Rivalitas ketiga ditunjukkan dari perbedaan kedua negara dalam melihat desain institusi bagi CMIM. Dalam hal kepemimpinan CMIM, Jepang dan Cina sama-sama tidak mempunyai visi yang jelas terhadap mekanisme pengawasannya. Ketika CMI masih bersifat bilateral, Cina dan Jepang sebenarnya bisa saja memilih untuk menambah kontribusinya, namun hal itu bukan menjadi pilihan. Bagi Jepang, penambahan kontribusi harus disertai dengan adanya kepastian bahwa kontribusi penyediaan likuiditas yang diberikannya ke dalam CMI akan dibayarkan kembali dalam waktu yang dekat untuk mengarahkan kerja sama CMI ke arah yang lebih terinstitusionalisasi.16 Hal ini yang penulis nilai sebagai motif Jepang untuk memberikan kontribusi yang besar dalam CMIM sebab dengan kontribusi yang besar tersebut, Jepang mampu menentukan kebijakan yang harus dilakukan dalam operasionalisasi bantuan likuiditas dengan porsi yang lebih kuat dibanding negara lain. Cina dan Jepang memiliki kepentingan yang berbeda dalam memandang kerja sama regional di Asia, di mana Cina memilih untuk institusionalisasi yang lemah (low institutionalization) sementara Jepang menginginkan adanya keketatan di dalam kerja sama CMI tersebut. Dengan lemahnya tingkat institusionalisasi – termasuk di dalamnya mekanisme operasional dalam kerja sama – akan membuat Cina tetap mampu melakukan tindakan tanpa harus memikirkan tentang institusi di mana negara ini termasuk di dalamnya, sekalipun juga terdapat batasan untuk melakukan 15
Ibid. Yung Chul Park, “Regional Financial Integration in East Asia: Challenges and Prospects,” dalam Regional Financial Cooperation, ed. Jose Antonio Ocampo (Washington D.C.: Brookings Institution Press, 2006), 256-257.
16
14
Analisis keterlibatan..., Agus Catur Aryanto Putro, FISIP UI, 2013.
hal itu.17 Bagi Cina, integrasi ekonomi dengan sepuluh negara ASEAN dan negaranegara Asia Selatan dan Asia Tengah lebih penting baik secara ekonomi maupun geopolitik dibandingkan kerja sama keuangan dengan Jepang atau Korea Selatan.18 Salah satu hal yang mendukung kemampuan Cina adalah kapabilitas militernya yang semakin kuat dan berkembang dengan cepat, namun secara ekonomi, Cina masih berstatus negara berkembang dengan kekuatan ekonomi yang lebih lemah dibandingkan Jepang terutama dalam hal industri dan teknologi. Sementara itu, Jepang belum bisa mengartikulasikan kepentingan utamanya bagi kawasan Asia Timur.19 Memang Jepang merupakan negara yang mendorong untuk adanya kerja sama yang kuat di Asia, namun kepentingannya dari perspektif geografis belum terdefinisikan dengan Jelas. Di satu sisi, Jepang ingin mengeratkan hubungan ASEAN+3, namun di sisi lain, Jepang juga ingin mengundang Australia dan Selandia Baru untuk masuk ke dalam kerja sama. Hal ini yang membuat ambiguitas kepentingan nasional Jepang dalam kerja sama di Asia. Dalam mempererat kerja sama perdagangan dan keuangan di Asia, Jepang bukan hanya didasarkan pada kepentingan ekonomi semata. Terlebih, Jepang melakukan pengeratan kerja sama keuangan dan perdagangan untuk mempertahankan posisinya sebagai leader di kawasan Asia dengan melakukan check and balance atas ekspansi yang dilakukan Cina. Ocampo menjelaskan bahwa sekalipun terdapat perbedaan dalam memandang kerja sama di Asia Timur, Jepang dan Cina harus menyadari bahwa keduanya merupakan kunci atas perkembangan political will di Asia. Oleh sebab itu, Sakakibara menilai peran Jepang dan Cina dalam kerja sama regional di Asia sama seperti peran Jerman dan Prancis dalam kerja sama regional di Eropa.20 Menurut Ocampo, terdapat tiga skenario untuk kerja sama keuangan dengan melihat rivalitas antara Jepang dan Cina.21 Pertama adalah dengan kerja sama dengan
sama-sama
tergabung
ke
dalam
mekanisme
CMI
yang
lebih
terinstitusionalisasi. Pilihan untuk kerja sama ini akan lebih mempermudah 17
Shulan Ye, “China’s Regional Policy in East Asia and Its Characteristics,” Discussion Paper 66, China Policy Institute, School of Contemporary Chinese Studies, International House, The University of Nottingham, (Oktober 2010): 3. 18 Park, Yung Chul. “Regional Financial Integration in East Asia: Challenges and Prospects.” dalam Regional Financial Cooperation diedit oleh Jose Antonio Ocampo, Washington, D.C.: Brookings Institution Press. 2006. 256-257. 19 Ibid. 20 Jose Antonio Ocampo ed, Regional Financial Cooperation (Washington, D.C.: Brookings Institution Press, 2006), 258. 21 Ibid., 258-260.
15
Analisis keterlibatan..., Agus Catur Aryanto Putro, FISIP UI, 2013.
koordinasi di antara keduanya dan mengarahkan kepada kompromi pada pengaturan institusi dan menyempurnakan bentuk kerja sama yang ada di Asia Timur. Pilihan kedua adalah dengan memperluas kerja sama dengan agresivitas yang lebih dari Cina dalam kerangka ASEAN+1 di mana Cina akan mengintensifkan ACFTA dalam bidang perdagangan dan juga memperluas kerja sama dalam bidang keuangan. Adanya ACFTA menjadi salah satu hal yang bisa membatasi Jepang dalam mendekati negara-negara ASEAN, sekalipun Jepang merupakan penyedia sumber keuangan terbesar bagi kerja sama CMI. Tetapi, tanpa Jepang, Cina tidak akan melakukan perluasan kerja sama dengan ASEAN dalam bidang keuangan karena Cina tidak mampu untuk menopang jika terjadi defisit neraca pembayaran seluruh negara ASEAN. Pilihan ketiga adalah dengan memasukkan Australia dan Selandia Baru untuk masuk ke dalam kerja sama CMI dan dengan begitu menambah cakupan kerja sama menjadi ASEAN+5. Hal ini merupakan pilihan yang paling tidak dipilih oleh negara-negara ASEAN kecuali Jepang. Jepang sangat berambisi untuk memasukkan Australia dan Selandia Baru ke dalam kerja sama, namun negara-negara lain pasti akan menentang karena fokus dari kerja sama keuangan adalah untuk memperdalam kerja sama di antara negara-negara ASEAN+3 terlebih dahulu dan tidak untuk memperluas keanggotaan. Melihat pilihan yang dipilih, opsi pertama merupakan apa yang sekarang menjadi kenyataan. Interdependensi Cina dan Jepang Periode 2010-2012 Sekalipun terjadi rivalitas di antara Jepang dan Cina dalam kerja sama CMIM, penulis berargumen bahwa hubungan interdependensi di antara kedua negara juga tinggi dibuktikan dengan sejarah hubungan ekonomi kedua negara yang tidak selalu bersifat rivalitas. Namun hubungan interdependensi tersebut sebenarnya merupakan strategi dari masing-masing negara untuk tidak mau tertinggal dari negara lain. Dalam pembahasan mengenai hubungan Cina dan Jepang, penulis menggunakan kaca mata complex interdependensi dengan melihat tiga karakter utama yang diungkapkan oleh Keohan dan Nye seperti yang tertulis di Bab I. Karakter pertama yang dilihat adalah adanya multiple di mana Keohane dan Nye menjelaskan bahwa dalam kerja sama yang kompleks, makin banyak aktor yang terlibat, makin rumit hubungan yang ada.22 Kerja sama antara Jepang dan Cina dalam CMIM jelas tidak hanya melibatkan pihak otoritas negara saja, tetapi juga 22
Robert Keohane dan Joseph Nye. Power and Interdependece Third Edition. New York: Longman (2001), 23.
16
Analisis keterlibatan..., Agus Catur Aryanto Putro, FISIP UI, 2013.
memperhatikan kepentingan aktivitas swasta yang juga menunjang perekonomian negara. Banyaknya korporasi dan bank-bank yang menjadi kontributor dalam kerja sama CMIM menjadi salah satu tanda bahwa ketergantungan antara Jepang dan Cina tidak hanya terjadi dalam level interstate, melainkan juga untuk menjaga stabilitas hubungan korporasi baik di masing-masing negara maupun korporasi multinasional di negara lain. Hal ini bisa dilihat terutama dalam kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh kedua negara, baik dari sisi perdagangan, investasi, dan juga bantuan resmi. Dilihat dari hubungan investasi kedua negara, kecenderungannya menunjukkan kenaikan pengiriman FDI dari Jepang ke Cina yang terlihat selama periode 2010 hingga 2012. Kenaikan FDI ini disebabkan pertimbangan bahwa dengan mengirimkan investasi ke Cina, beban bagi Jepang untuk sektor produksinya bisa berkurang. Dari sisi perdagangan kedua negara, Cina juga makin pesat dibanding Jepang dibuktikan dengan makin tingginya angka impor Jepang dari Cina, sementara ekspornya tidak melebihi jumlah impor yang diambil oleh Jepang. Hal ini meletakkan Jepang pada neraca perdagangan yang selalu defisit terhadap Cina, terutama pada periode 2010 – 2012 dan membuat Jepang makin tergantung dengan impor dari Cina. Sementara Cina hingga tahun 2012 masih menempatkan Jepang sebagai sumber impor terbesar setelah Uni Eropa. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya Jepang merupakan sumber impor terbesar bagi Cina jika dilihat dari negara. Impor Cina dari Jepang mencapai angka 177,8 miliar dolar AS. Karakter
kedua
dalam
complex
interdependence
adalah
minimnya
penggunaan peran militer dalam menjalin kerja sama. Penulis mengidentifikasi bahwa baik Jepang dan Cina memang tidak berperan agresif dengan menggunakan peran militer dan justru menunjukkan kecenderungan untuk melakukan negosiasi. Pada tahun 2008, Cina dan Jepang sepakat untuk menandatangani perjanjian dalam pengelolaan Laut Cina Timur perihal konflik sumber daya alam yang ada di area tersebut. Konflik di Laut Cina Timur yang telah terjadi 45 tahun lebih itu akhirnya sepakat untuk diakhiri melalui perjanjian yang dibuat untuk memperbolehkan perusahaan Jepang menginvestasikan modalnya di perusahaan Cina.23 Perjanjian ini mengakhiri konflik berkepanjangan antara kedua negara yang saling mengklaim akan kepemilikan teritori Laut Cina Timur dan kompetisi untuk memperoleh energi yang melimpah dari Laut tersebut. Hal yang bisa dipetik dari gambaran kasus ini 23
Disarikan dari http://www.nytimes.com/2008/06/18/world/asia/18sea.html?_r=0 pada 28 Mei 2013.
17
Analisis keterlibatan..., Agus Catur Aryanto Putro, FISIP UI, 2013.
adalah bahwa kedua negara mulai menyadari bahwa persaingan di antara kedua negara yang tidak segera diselesaikan hanya akan membuat kedua negara terjebak dalam stagnansi dan justru membawa kerugian bagi masing-masing negara. Karakter ketiga adalah tidakadanya hierarki dalam penentuan isu kerja sama. Hal ini penulis identifikasi ke dalam dua hal; pertama, penentuan prioritas kerja sama dalam CMIM; dan kedua penentuan kerja sama di antara kedua negara secara bilateral. Di dalam institusi CMIM, ada agenda setting yang dimanfaatkan oleh negara-negara besar, Cina dan Jepang, untuk memperoleh lebih dari sekadar stabilitas keuangan kawasan. Pentingnya kedua negara untuk menjadi leader menjadikan tidak adanya hierarki yang jelas atas garis koordinasi kebijakan sebab kedua negara sama-sama memiliki posisi yang berimbang. Absennya hierarki disebabkan adanya kepentingan Jepang dan Cina untuk membagi burden di dalam kerja sama sebagai suatu upaya sharing gain yang bisa diperoleh kedua negara. Dengan kata lain, terjadi tarikmenarik antara dua negara yang berbeda secara kuat sehingga agenda setting pun hanya sebatas bagaimana kedua negara memandang setting di dalam institusi secara dominan berdasar kepentingan masing-masing dari mereka. Adanya konsentrasi kedua negara ini pada akhirnya menjadikan pusat dari pengembangan kerja sama berada pada bipolaritas kedua negara ini dan karena antara satu sama lain tidak ada yang mengalah, maka kebijakan yang diambil pun hanya akan bertumpu pada pemenuhan kepentingan negara-negara tersebut secara bergantian. Sementara dilihat dari hubungan kedua negara, sekalipun kedua negara sama-sama tidak mempunyai prioritas terkait hal-hal yang bisa diperbaiki dari hubungan di antara keduanya, kedua negara mulai menyadari bahwa pengendalian konflik adalah hal yang strategis dan lebih baik. Hal ini ditandai dengan adanya kesepahaman oleh Cina dan Jepang, semisal dalam kesepakatan pengelolaan Laut Cina Timur. Dengan melihat manfaat dari multilateralisasi baik bagi kawasan maupun bagi Jepang dan Cina, serta kepentingan yang bisa diperoleh melalui kerja sama tersebut, maka pengubahan kerja sama CMIM menjadi salah satu momentum bagi kedua negara untuk melakukan perubahan kebijakan. Jika status quo masih dipertahankan, maka kedua negara akan lebih sulit untuk memperoleh kepentingan yang selama ini dicita-citakan, terutama dalam hal regional leadership. Adanya kerja sama ini memang menempatkan kedua negara sebagai pihak yang memiliki
18
Analisis keterlibatan..., Agus Catur Aryanto Putro, FISIP UI, 2013.
kekuatan besar di antara negara-negara lainnya dalam kerja sama dan menjadikan posisi leader itu pada kedua negara. Interdependensi antara kedua negara menjadi salah satu hal yang turut mewarnai rivalitas di antara kedua negara. Jika rivalitas ini terus dipertahankan, maka kemungkinan akan loss yang lebih besar masih akan tetap ada. Oleh sebab itu, hasil yang dicapai oleh kedua negara dengan memilih opsi kerja sama secara multilateral dalam CMIM adalah untuk mendapatkan ambisi individu namun akhirnya diperoleh secara kolektif (sharing gain). Kompleksitas hubungan di antara dua negara ditandai dengan adanya interdependensi yang makin
tinggi
secara
bilateral
di
antara
mereka,
namun
makin
tingginya
interdependensi tersebut juga sejalan dengan makin tingginya rivalitas di dalam tubuh CMIM yang ditunjukkan oleh perbedaan kepentingan kedua negara tersebut. Tanpa adanya hubungan saling tergantung, kedua negara tersebut tidak akan mampu mencapai hasil yang setidaknya mendekati kepentingan utama mereka. Namun dengan adanya interdependensi di antara kedua negara, tensi untuk saling meraup keuntungan lebih besar dari hubungan tersebut juga makin tinggi. Konflik antara kedua negara dalam kerja sama keuangan CMIM, penulis berpendapat, tidak benar-benar terselesaikan. Justru, konflik di antara kedua negara berubah ke dalam bentuk yang lain di dalam institusi CMIM. Kesimpulan Adanya keputusan Cina dan Jepang untuk mau bekerja sama secara multilateral merupakan proses panjang dari perhitungan keuntungan yang bisa diperoleh oleh kedua negara jika akhirnya mau memutuskan untuk “duduk bersama”. Rivalitas di antara keduanya menjadikan dinamika interaksi Jepang dan Cina menjadi sangat rumit namun tidak bisa disangkal bahwa di dalam rivalitas tersebut terdapat interdependensi ekonomi yang juga tinggi. Jika rivalitas terus dipelihara, maka kedua negara akan terus memiliki kecurigaan tentang preferensi kebijakan yang bisa diambil. Memang multilateralisme tidak serta-merta menghilangkan konflik yang ada dan bisa jadi konflik masih ada namun dalam bentuk yang berbeda. Penelitian ini menjawab mengapa akhirnya kerja sama multilateral untuk mengakhiri – setidaknya mengurangi – derajat rivalitas di antara Jepang dan Cina menjadi pilihan yang terbaik. Hasil atas joint leadership yang diperoleh Jepang dan Cina mengindikasikan bahwa kepentingan mereka untuk mendapatkan posisi leader bisa diperoleh hanya dengan membagi porsi kepemimpinan tersebut. Joint leadership ini merupakan hasil
19
Analisis keterlibatan..., Agus Catur Aryanto Putro, FISIP UI, 2013.
dari kompromi atas perbedaan di antara kedua negara. Melalui institusi ini, harmonisasi dari benturan atas tujuan utama mereka diperoleh melalui koordinasi kebijakan dan kolaborasi atau kerja sama untuk sama-sama menikmati keuntungan dan beban yang terbagi (shared gain and burden). Kepustakaan Aggarwal, Vinod dan Cedric Dupont. “Collaboration and Co-Ordination in the Global Political Economy”. Diedit oleh John Ravenhill. Global Political Economy Third Edition. New York: Oxford University Press, 2008. Albatch, Eric. “The Asian Monetary Fund Proposal: A Case Study of Japanese Regional Leadership”, Japan Economic Institute Report, no. 47a, 1997. Dieter, Heribert. “The Future of Monetary Regionalism in Asia: a Joint Currency or Limited Cooperation?.” dalam The Evolution of Regionalism in Asia Economic and Security Issues diedit oleh Heribert Dieter. New York: Routledge. 2007. Hassdorf, Wolf. “Much Ado about Nothing? Chiang Mai Initiative Multilateralisation and East Asian Exchange Rate Cooperation.” Ritsumeikan Annual Review of International Studies 10. 2011. Higgott, Richard. “The International Political Economy of Regionalism: The AsiaPacific and Europe Compared.” dalam Regionalism and Global Economic Integration: Europe, Asia and the Americas diedit W. D. Coleman & G. R.D.Underhill. London: Routledge. 1998. Hilpert, Hans Günther. “China and Japan: Conflict or Cooperation? What does Trade Data Say?.” dalam Japan and China: Cooperation, Competition and Conflict, diedit oleh Hanns Günther Hilpert dan René Haak. New York: Palgrave. 2002. Kawai, Masahiro. From the Chiang Mai Initiative to an Asian Monetary Fund, Asian Development Bank Institute, 2010. Ocampo, Jose Antonio ed. Regional Financial Cooperation. Washington D.C,: Brookings Institution Press. 2006. Pekkanen, Saadia & Kelle S Tsai. Japan and China in the World Political Economy. New York: Routledge. 2005. Rathus, Joel. “Chiang Mai Initiative: China takes the Leader’s Seat.” diakses 10 Juni 2013, http://www.eastasiaforum.org/2011/06/30/chiang-mai-initiative -china-takesthe-leader-s-seat/ Ravenhill, John ed. Global Political Economy Third Edition. New York: Oxford University Press. 2011. Ruggie, John Gerrard. “Multilateralism: the Anatomy of an Institution”, International Organization 46, no. 3, 1992.
20
Analisis keterlibatan..., Agus Catur Aryanto Putro, FISIP UI, 2013.