Posisi dan Kepentingan Indonesia dalam Kerjasama Chiang Mai Initiative Multilateralization Destin Adipatra1 dan Syamsul Hadi 2 1. 2.
Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia
[email protected],
[email protected]
ABSTRAK Transformasi kerja sama CMI dari menjadi multilateral merupakan peristiwa penting bagi kerja sama keuangan di Asia untuk menuju proses regionalisasi ditengah ketidakpercayaan atas instrumen keuangan internasional. Penelitian ini menganalisis posisi serta kepentingan Indonesia terkait keikutsertaannya dalam kerjasama CMIM. Indonesia sebagai salah satu negara yang ikutserta serta latar belakang pengalaman krisis yang sedemikian rupa memiliki posisi dan kepentingan tersendiri yang diimplementasikan dalam kebijakan luar negeri. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa Indonesia merupakan negara yang ikut mendukung terciptanya mekanisme penanganan krisis finansial alternatif yang kuat dan independen. Namun selain itu ada kepentingan akan terbentuknya kerjasama yang lebih kompleks berupa regionalisme, serta memperoleh berbagai keuntungan dibidang-bidang lainnya, baik ekonomi maupun politik sebagai dampak dari kerjasama multilateral dengan negara-negara ASEAN+3. Kata Kunci : multilateralisasi, posisi , kepentingan nasional, kebijakan luar negeri, kerja sama finansial CMIM. ABSTRACT The CMI transformation into a multilateral cooperation is an important momentum for financial cooperation in Asia especially in leading the countries into the process of regionalization in a distrust circumstance within the global financial instrument. This research analyze position and interest of Indonesia regarding the involvement in CMIM. Indonesia as one of countries which took part in the cooperation, with background related to crisis experience in such a way, has it‟s own positions and interests implemented in foreign policy. This research result showed that indonesia is a country that supporting the creation of a strong and also independent alternative mechanisms that can handle the financial crisis within the region. Futher, there is an intension and also desire to built a more complex cooperation as well as regionalism, that can give an advantage and benefits from various aspect, especially in economic and political as an impact with ASEAN + 3 countries multilateral cooperation. Keywords: multilateralism, position, national interest, foreign policy, financial cooperation CMIM.
Posisi dan..., Destin Adipatra, FISIP UI, 2014
Pendahuluan Situasi ekonomi dan kondisi politik internasional dewasa ini amat lekat dengan ketidakpastian dan sukar untuk diprediksikan. Situasi tersebut berfluktuasi dengan amat cepat dan berpotensi sangat besar menciptakan kondisi yang tak terduga dalam hitungan waktu yang singkat. Bagi negara-negara berkembang, ketidakpastian serta fluktuasi dalam situasi ekonomi politik internasional memberikan tekanan dan ancaman dalam tingkatan yang lebih besar dibandingkan dengan negara maju. Globalisasi dan kemajuan diberbagai bidang telah memberikan implikasi yang sangat signifikan terhadap dunia internasional. Khususnya dari segi ekonomi politik, hal-hal tersebut telah memberikan efek yang di satu sisi cukup positif, namun di sisi lain memperbesar resiko dan kemungkinan negatif. Kemudian keterbatasan pengelolaan sumberdaya alam dan sumber daya manusia yang kompeten juga menjadi masalah-masalah domestik dari negara-negara berkembang di era pra globalisasi. Maka dengan masuknya teknologi, baik dibidang ekonomi, politik, transportasi, telekomunikasi dan lain-lain, telah membawa efek besar bagi kemajuan ekonomi politik di negara-negara berkembang. Berbagai kemajuan tersebut membawa negara-negara berkembang untuk mencapai tingkat pertumbuhan dan pembangunan yang cukup pesat khususnya di kawasan Asia pada era 1980-1990. Kesadaran akan resiko pembangunan yang dibentuk atas kerjasama dengan negara lain pun telah tumbuh. Negara-negara mulai membentuk kerjasama institusi maupun perjanjian ekonomi. Negara-negara Asia pada periode 1980-1990 menjadi negara-negara yang dinilai memiliki prospek perekonomian yang amat cerah, maka investor-investor dari negara-negara maju memilih untuk berinvestasi di negara-negara Asia. Masuknya aliran dana tersebut memberikan prospek bagi dalam membangun perekonomian negara-negara yang menjadi
tujuan
investasi
tersebut.
Khususnya
Indonesia,
pada
masa
tersebut,
perekonomiannya dapat dikatakan berada pada tingkat pertumbuhan yang amat pesat. Situasi domestik perekonomian Indonesia pun cukup berkembang dengan segala program pembangunan dan juga kekuatan ketahanannya akibat banyak pencanangan program-program yang sifatnya berorientasi pada pembangunan ketahanan ekonomi. Namun pada periode tahun 1997, perekonomian negara-negara tersebut mulai goyah. Sebagian besar berimplikasi dari arus dana-dana asing yang mulai keluar serta pinjaman jangka pendek yang banyak diberlakukan di negara-negara Asia. Puncaknya ialah terjadinya krisis di tahun 1997-1998 yang amat lekat dengan hal-hal non-internal negara sebagai faktorfaktor pencetus krisis tersebut. Kerja keras negara-negara ASEAN dalam memacu pembangunan serta pertumbuhan ekonomi lebih dari dua dekade pupus dalam sekejap akibat
Posisi dan..., Destin Adipatra, FISIP UI, 2014
efek rantai dari terjadinya fluktuasi ekonomi politik internasional yang berdampak pada terciptanya situasi krisis ekonomi di tahun 1997-1998. Seperti diketahui bahwa krisis yang terjadi di ASEAN mencapai klimaksnya karena suatu faktor, salah satunya ialah kurangnya dana cadangan (reserve funds) di kawasan ASEAN. Dana bantuan yang diberikan International Monetary Fund (IMF) kurang lebih dapat membantu negara-negara tersebut selamat dari kebangkrutan, namun masih dinilai tak cukup untuk memulihkan perekonomian seperti sedia kala. Berdasarkan pengalaman krisis tersebut, muncul ide untuk membuat mekanisme kerjasama diantara negara-negara ASEAN untuk menghambat serta memperkecil dampak dari ketidakpastian serta fluktuasi kondisi ekonomi politik internasional di tahuntahun berikutnya. Faktor-faktor tersebut kemudian menjadi pencetus terciptanya ide kerjasama alternatif dalam bidang finansial. Faktor globalisasi dan kerjasama ekonomi yang makin menguat antar negara-negara juga menjadi alasan terbentuknya kerjasama finansial tersebut khususnya kerjasama berbasis regional. Kemudian pada tahun 2000, setelah IMF dan Amerika Serikat (AS) menolak proposal Jepang untuk membentuk Asia Monetary Fund (AMF) di tahun 1997, pada akhirnya negara-negara ASEAN beserta Jepang, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Korea Selatan, atau disebut sebagai ASEAN+3 (APT), menyepakati pembentukan kerjasama finansial berupa penyediaan dana cadangan (reserve funds) di kota Chiang Mai, maka selanjutnya kerjasama tersebut dinyatakan sebagai Chiang Mai Initiative (CMI). Peristiwa krisis global 2008 menjadi pencetus dikemukakannya kembali ide penyempurnaan mekanisme CMI. Setelah berjalannya waktu, ide pengembangan besaran dana CMI pun disepakati. Maka di tahun 2009, atas dasar konsep regional self help, gagasan untuk lebih mengintegrasikan kerjasama-kerjasama regional pun dicetuskan. Pada akhirnya di tahun 2010, CMI disepakati oleh seluruh pihak yang terlibat disertai dengan persetujuan IMF, untuk diubah menjadi Chiang Mai initiative Multilateralization (CMIM). CMIM dengan integrasi serta mekanisme multilateralnya tersebut membawa efek yang cukup signifikan dalam perubahan peraturan mekanisme itu sendiri. CMIM juga menciptakan sebuah mekanisme surveilance independen yang dibentuk untuk mengawasi, mengkontrol serta mengevaluasi negara yang hendak meminjam dana yaitu Asean Macro Economic Research Office (AMRO). AMRO sendiri akan dikelola dengan ditempatkan sebagai badan yang beranggotakan utusan masing-masing negara anggota. Mekanisme multilateralization swap, menciptakan perubahan pengaturan pinjaman dana likuiditas tidak lagi berdasarkan perjanjian bilateral saja, namun dihimpun. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya dimana forum tersebut menerapkan beberapa peraturan, seperti
Posisi dan..., Destin Adipatra, FISIP UI, 2014
ketetapan purchasing multiple, besaran atau voting weight masing-masing negara dalam pengambilan keputusan yang seluruhnya didasari oleh kontribusi dana dari masing-masing negara. Beberapa negara seperti RRT dan Jepang beberapa tahun belakangan juga amat intens memperkuat kerjasama-kerjasama finansial yang sifatnya bilateral. Maka atas dasar-dasar tersebut, beberapa pandangan melihat bahwa persepsi negara-negara anggota CMIM akan amat berpegaruh terhadap keberlangsungan dan pemanfaatan CMIM tersebut. Posisi CMIM sebagai sebuah kerjasama kawasan dapat dikatakan cukup penting, tidak hanya bagi Indonesia, melainkan bagi hampir seluruh pihak yang terlibat. Keberadaan CMIM menjadi sebuah momentum yang penting dalam sejarah kerjasama kawasan. Kerjasama finansial menjadi langkah awal tercetusnya kerjasama yang intens dan signifikan antara negara-negara APT. Munculnya kesepakatan kerjasama finansial dengan basis multilateral menjadi momentum pelembagaan kerjasama yang lebih mengikat diantara negara-negara
tersebut.
Keberadaan
CMIM
beserta
segala
perangkatnya
makin
mengedepankan posisi APT sebagai sebuah institusi kerangka utama dalam kawasan, menggantikan kerangka kerjasama intra ASEAN maupun APEC, yang keduanya sebetunya telah memiliki program kerjasama finansial dan telah dilakukan terlebih dahulu. Penelitian mengenai preferensi negara dalam kerjasama finansial ini merupakan refleksi atas tren yang terjadi dalam skala global yaitu tren regionalisme dengan kerjasamakerjasama berbasis ekonomi yang menjadi pencetus terjadinya regionalisme tersebut. Penelitian ini mengambil Indonesia sebagai aktor untuk diteliti karena Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki pengalaman krisis finansial di tahun 1997-1998, serta menggunakan mekanisme peneyelamatan krisis finansial yang diterapkan oleh IMF. Indonesia pun secara politik memiliki pengaruh yang cukup signifikan dalam kawasan, serta merupakan negara dengan potensi ekonomi yang besar pula. Maka penelitian ini memiliki pertanyaan permasalahan dalam dua aspek, yaitu mengenai posisi Indonesia dalam kerjasama CMIM, serta kepentingan-kepentingan Indonesia atas keikutsertaannya dalam CMIM. Indonesia sebagai salah satu negara anggota kerjasama CMIM, dengan kekuatan pasar, tingkat keaktifan serta ketergantungannya pada kegiatan ekonomi yang cukup tinggi, serta pengalaman krisis ditahun 1997 tentunya memiliki pandangan tersendiri terhadap kerjasama regional khususnya yang berfokus pada penyelematan situasi krisis ekonomi politik. Terlebih kerjasama CMIM ditujukan sebagai alternatif bantuan IMF. Termasuk pula bagi Indonesia yang dengan jelas melalui statement Presiden yang mendukung terlaksananya CMIM tersebut. Tentunya kepentingan Indonesia terhadap CMIM cukup besar, selain karena Indonesia sebagai salah satu negara dengan pengalaman krisis dana likuiditas terparah,
Posisi dan..., Destin Adipatra, FISIP UI, 2014
Indonesia juga dianggap sebagai salah satu
potential regional power dikawasan Asia
Tenggara dengan potensi kepemimpinannya dan pengaruh ekonomi di dalam kawasan. Tinjauan Teoritis Penelitian ini menggunakan beberapa teori dan konsep yang diformulasikan untuk membentuk kerangka berpikir. Teori pertama ialah linkage theory yang menggabungkan National Interest dan Foreign Policy. Aspek utama dari teori ini adalah kepentingan nasional, Selain kepentingan nasional, kerangka teori ini juga membahas kebijakan luar negeri. Morgenthau pernah menyatakan bahwa sebuah kebijakan luar negeri yang diambil suatu negara harus dimotivasi oleh kepentingan nasionalnya. Morghentau dalam tradisi yang cenderung realis menyamakan konsep kepentingan nasionalnya dengan usaha untuk mengejar power, dimana power merupakan segala sesuatu yang bisa mengembangkan dan memelihara kontrol. Pernyataan Morghentau tentang hubungan antara kebijakan luar negeri serta kepentingan nasional lebih jauh dijelaskan oleh Holsti dan James Rosenau dalam sebuah teori yang ditawarkan sebagai teori yang kompleks yaitu linkage theory. Rosenau menyatakan bahwa tidak ada politik luar negeri yang dibuat tanpa mengaitkannya dengan konsekuensikonsekuensi domestik maupun sebaliknya. Kepentingan negara menjadi landasan terciptanya sebuah kebijakan luar negeri. Karena pada dasarnya, kebijakan luar negeri suatu negara ialah sebagai usaha/jalan untuk mencapai tujuannya, begitupun sebaliknya. Elaborasi diantara keduanya bukanlah merupakan hal yang sulit, karena keduanya memiliki hubungan yang sangat erat. Kemudian kedua ialah konsep kerjasama, harmoni dan pertentangan yang disertai dengan regionalisme finansial. Keohane menjelaskan bahwa terhadap situasi yang terbentuk dari hubungan antar negara, yaitu harmoni, kerjasama dan pertentangan yang dapat terjadi atas berbagai hubungan. Untuk melengkapi penjelasan yang telah dipaparkan Keohane, akan digunakan konsep regionalisme finansial untuk mempertajam konteks kerjasama dan analisis. kawasan. Penelitian ini menggunakan pendekatan pemikiran terkait regionalisme yang memfokuskan kepada kerjasama regionalisme berbasis finansial. Mikko Huotari dalam tulisanya menjelaskan konsep kerjasama finansial regional mengambil dari konsep-konsep dasar beberapa perspektif. Ia menyatakan bahwa kerjasama finansial regional berhubungan dengan masalah stabilitas. Terakhir ialah teori complex interdependence. Menurut Keohane dan Nye dalam tulisannya, Interdependensi dapat didefinisikan sebagai situasi yang menggambarkan adanya
Posisi dan..., Destin Adipatra, FISIP UI, 2014
suatu kerjasama antar negara dan antar aktor dari berbagai negara dalam satu kawasan maupun lebih. Penulis menggunakan sebuah teori yang dikemukakan oleh Keohane dan Nye yaitu Complex Interdependence. Dalam bukunya power and interdependence, Keohane dan Nye mencoba merumuskan sebuah teori kerjasama yang kompleks, karena menggunakan unsur-unsur dan asumsi dari gabungan perspektif-perspektif yang selama ini dianggap bersebrangan. Menurut Keohane dan Nye, interdependensi tetap akan mengorbankan beban/biaya (cost). Akan tetapi tidak mungkin untuk menghitung apakah manfaat (benefits) dari hubungan tersebut akan melebihi biaya yang dikeluarkan. Hal yang membedakan antara interdependensi lain dengan complex interdependence adalah adannya analisa power didalam konsep tersebut. Menurut Keohane dan Nye, ciri khas atau karakteristik dari Complex Interdependence yang membedakannya ialah Multiple channels, Absence of hierarcy among issues, dan yang terakhir ialah Minor role of military force. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan mengedepankan penggalian data. Penelitian yang akan diajukan ini menggunakan metode kualitatif, karena penelitian bertujuan untuk melakukan pendalaman untuk memahami permasalahan. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu penelitian akan melakukan eksplorasi terhadap suatu permasalahan untuk menemukan jawaban atas pertanyaan permasalahan. Penelitian ini akan dilakukan dalam metode studi kasus. Adapun metode analisis pengumpulan data akan dilakukan dengan metode studi literatur, yang didapatkan dari data sekunder, yaitu buku, data-data, jurnal ilmiah, dan artikel-artikel berita yang relevan. Hasil Penelitian dan Pembahasan Hasil penelitian ini diawali dari analisis yang dilakukan atas pertanyaan mengenai posisi serta kepentingan Indonesia atas keikutsertaanya dalam kerjasama Chiang Mai Initiative Multilateralization. Penelitian ini menggunakan analisis yang bersifat tinjauan terhadap posisi Indonesia dari sisi historis dan kepentingan Indonesia dari segi yang lebih kompleks. Analisis Posisi Indonesia dalam kerjasama Chiang Mai Initiative Multilateralization. Dalam analisis posisi, penelitian ini menggunakan pembahasan yang mengarah kepada tinjauan historis atas keterlibatan Indonesia dalam kerjasama finansial terdahulu yang terjadi
Posisi dan..., Destin Adipatra, FISIP UI, 2014
dalam kawasan. Maka terdapat beberapa hal penting mengenai pembahasan posisi Indonesia tersebut : a. Sejarah Pelembagaan Kerjasama Chiang Mai Initiative Multilateralization (CMIM) Kerjasama finansial di kawasan Asia Tenggara khususnya, telah berlangsung sejak tahun 1977, yang berbasis pada pertukaran mata uang lokal, yang dikenal sebagai ASEAN swap Arrangement (ASA). ASA merupakan sebuah kerjasama antara 5 negara pendiri ASEAN. Kerjasama ASA memfasilitasi anggota untuk dapat menukarkan mata uang dalam nilai tukar (currency) tertentu terhadap US Dollar dalam jangka waktu yang pendek untuk mengatasi permasalahan likuiditas. Namun sebuah peristiwa besar meruntuhkan perekonomian negara-negara barat. Pada tahun 1997 krisis ekonomi perlahan mulai menghampiri negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan Timur. Dimulai dari Thailand, sampai ke Indonesia serta Korea Selatan dan Taiwan, krisis secara cepat melemahan perekonomian negara-negara di kawasan tersebut. Kemudian beberapa negara Asia, termasuk Indonesia memutuskan untuk melakukan pinjaman kepada IMF untuk menyelamatkan perekonomian dengan cara meminjam dana cadangan tersebut. Namun pinjaman yang diberikan oleh IMF beserta prasyarat dan peraturan yang diberikannnya banyak dinilai membawa dampak negatif oleh berbagai ahli ekonomi seperti Joseph Stiglitz. Tahun 1997, tepatnya setelah Thailand meminta IMF untuk meminjamkan dana bantuan, mulai tercetus ide dari Jepang, untuk membentuk Asian Monetary Fund (AMF). Namun proposal pembentukan AMF tersebut ditolak oleh IMF dan Amerika Serikat dengan alasan akan menggangu kinerja dan tanggung jawab dari IMF itu sendiri sebagai institusi yang kredibel. Tidak teralisasikannya ide pembentukan AMF tersebut tidak membuat terhentinya pula diskusi mengenai program kerjasama finansial oleh APT. Kemudian melalui kerangka kerjasama yang disepakati dipertemuan di Manila tahun 1999, serta pertemuan selanjutnya diselenggarakan dalam rangka membahas kerjasama finansial sampai pada puncaknya dibulan Mei tahun 2000, melalui disepakatilah kerjasama yang disebut sebagai CMI, yang didahului dengan kegiatan APT Finance Ministers Meeting (AFMGM+3) di Chiang Mai, Thailand. CMI merupakan kerjasama mekanise nilateral berupa kerjasama menghimpun sejumlah dana cadangan untuk mengatasi masalah kebutuhan dana cadangan para anggotanya. b. Chiang Mai Initiative Multilateralization
Posisi dan..., Destin Adipatra, FISIP UI, 2014
CMIM merupakan fasilitas swap 90 hari dengan mata uang dolar AS yang bisa dicairkan maksimal 7 kali. Besaran masing-masing negara diberikan 1,6 voting dasar ditambah dengan jumlah kontribusi dalam dolar AS yang diberikan dalam mekanisme CMIM. Untuk penentuan dan pengambilan keputusan dalam forum, seperti ukuran pinjaman, kontribusi, pengganda pinjaman, keanggotaan dan syarat-syarat peminjaman akan ditentukan pada level Menteri Keuangan. Keputusan eksekutif dalam peminjaman, pembaharuan, dan sebagainya dilaksanakan dengan ketentuan dari dua per tiga mayoritas oleh Executive Level Decision Making Body (ELDMB), yang terdiri atas perwakilan utusan menteri-menteri keuangan dari negara APT, bank-bank sentral, dan Otoritas Moneter Hong Kong. Kapabilitas pinjaman itu sebesar 70% berada dalam kekuasaan IMF sebagai badan yang memberikan hak atau izin karena CMIM menganut sistem IMF link sebagai bagian dari RFA. Upaya mencapai pembentukan kerjasama CMIM dan APT secara umum terjadi atas serangkaian proses yang panjang. Kemunculan CMIM sebagai mekanisme finansial merupakan formulasi dari berbagai kebijakan-kebijakan sebelumnya yang kemudian mengalami transformasi. Proses multilateralisasi CMI sendiri diwarnai oleh berbagai situasi pertentangan khususnya dari pihak yang sampai saat ini masih melakukan kontestasi politik yaitu RRT dan Jepang. Namun seiring dengan berbagai diskusi dan pertukarang pikiran, maka situasi pertentangan tersebut akhirnya dapat tereliminasi, dan CMIM menjadi institusi yang menopang keberhasilan tersebut. Pendirian ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) pada Maret 2011 menandakan babak baru kerjasama CMIM serta menandakan adanya peningkatan kerjasama. Kemunculan AMRO sebagai sebuah mekanisme pengawasan regional dapat dikatakan menjadi cukup vital dalam mendukung efektifitas CMIM secara keseluruhan. Karena kerjasama finansial dalam cakupan yang luas membutuhkan sebuah mekanisme pengawasan dan tindakan prefentif lainnya yang erat kaitannya pula dengan kerjasama yang lebih mengarah kepada integrasi. Namun sejauh ini, AMRO sebagai badan pengawas regional, masih dapat dikatakan belum cukup mampu untuk diandalkan oleh CMIM. Masalah kemampuan dari segi kapabilitas perangkat, serta kredibilitas yang masih belum mencapai standar masih menjadi tantangan bagi APT untuk segera dikembangkan. AMRO secara umum memiliki tiga tugas, yaitu pengawasan (monitor), menaksir (assess) dan membuat laporan pada periode tertentu terkait situasi makroekonomi dan finansial negara-negara APT, membuat penilaian (assess) kelemahan finansial dan makroekonomi dari setiap negara-negara APT dan membuat masukan berupa formulasi
Posisi dan..., Destin Adipatra, FISIP UI, 2014
bantuan berupa rekomendasi kebijakan untuk memitigasi masalah tersebut, serta menjamin pemenuhan permintaan mekanisme pertukaran oleh pihak terkait dibawah perjanjian CMIM. Selain fungsi utama AMRO, secara umum AMRO juga melakukan tugas-tugas pengawasan dan penilaiannya tak hanya pada bidang fiskal, melainkan pada sektor perekonomian secara umum. Output yang dihasilkan oleh AMRO ialah berupa laporan yang dibuat per periode tertentu terkait tugas-tugas mereka, yang disebut sebagai ASEAN+3 Regional Economic Monitoring (AREM) report. c. Posisi Indonesia Keikutsertaan Indonesia dalam kerjasama CMIM merupakan hasil dari proses panjang. Keikutsertaannya tidak semata-mata hanya sebagai bentuk pemenuhan kepentingan atas mekanisme alternatif penanganan krisis finansial yang kredibel, namun melibatkan proses yang perlu untuk dikaji lebih lanjut melihat kerjasama tersebut melibatkan negara mitra ASEAN yang jauh lebih kuat dan dominan. Situasi tersebut tentunya akan menimbulkan implikasi tersendiri baik positif maupun negatif. Keberadaan berbagai kerjasama dalam koridor kawasan ASEAN dalam konteks integrasi ekonomi juga menempatkan posisi CMIM menjadi cukup sentral. Kerjasama CMIM dapat diamati dari sudut pandang yang menempatkan CMIM sebagai salah satu program kerja dari ASEAN+3 (APT). CMIM secara tersirat difungsikan sebagai salah satu program yang mengawali kerjasama kawasan yang lebih kompleks, dalam artian kerjasama yang mengarah kepada regionalisme ekonomi Sesuai dengan konteks kerjasama internasional, Indonesia telah melihat bahwa kerjasama CMIM merupakan sesuatu yang menguntungkan untuk dilakukan baik berdasarkan posisi sebagai sebuah negara yang berdaulat dan sebagai negara anggota ASEAN. Integrasi ekonomi ASEAN yang sedang dalam proses akan menjadi lebih intens, kerjasama-kerjasama ekonomi lainnya dapat ditopang oleh persatuan ASEAN ditambah dengan masuknya kekuatan RRT, Jepang dan Korea Selatan yang notabene lebih matang secara ekonomi, maka secara langsung ASEAN akan lebih kuat, serta dapat menaikkan posisi tawarnya di mata dunia secara politis, yang jelas memberikan keuntungan tersendiri. Terlebih dengan keberadaan CMIM dan forum APT, ASEAN dapat mengurangi ketergantungan terhadap institusi finansial internasional yang diyakini tidak memberi keuntungan bagi ASEAN. Pada dasarnya dapat disampaikan dua argumen yang dapat menjawab pertanyaan permasalahan terkait posisi Indonesia dalam kerjasama. Pertama ialah posisi Indonesia
Posisi dan..., Destin Adipatra, FISIP UI, 2014
merupakan sebagai keberlanjutan terhadap posisi yang sebelumnya telah dilakukan, diantara lain akan memberikan dampak pada ikatan kerjasama dengan mengutamakan kebersamaan ASEAN sebagai kerangka politik luar negeri serta keuntungan bagi seluruh pihak yang teribat dalam kerjasama tersebut. Kemudian posisi keberlanjutan tersebut merupakan refleksi dari kerjasama-kerjasama sebelumnya yang dapat dikatakan selalu berhasil dan memuaskan kedua belah pihak. Secara khusus, pertimbangan dalam tingkatan ASEAN juga mempengaruhi posisi Indonesia. Argumen kedua ialah posisi keberlanjutan yang akan memunculkan ide kerjasama yang lebih besar, yaitu sebagai upaya mendorong regionalisme ekonomi, yang sebetulnya tidak akan hanya berdampak pada bidang ekonomi saja melainkan pula akan berdampak pada bidang lainnya. Dalam konteks tersebut, kapasitas Indonesia baik sebagai negara yang berdaulat maupun sebagai anggota ASEAN, melihat adanya keuntungan apabila hal tersebut dapat terealisasikan. ASEAN consensus yang telah disepakati juga menunjukan bahwa arah kebijakan kerjasama ASEAN saat ini telah bergerak menuju kerjasama regional yang kompleks dan terinstitusionalisasikan. Secara tidak langsung posisi CMIM kembali menjadi sentral dalam hal ini dikarenakan CMIM menjadi salah satu kerjasama yang secara mekanisme dan substansi sangat jelas dan formal. Mekanisme forum yang terbentuk dalam CMIM dapat dikatakan merupakan sebuah mekanisme yang “langka” terjadi
dalam
kerjasama
ASEAN.
Dengan
keberadaan
mekanisme
yang
terinstitusionalisasikan dengan berbagai aturan-aturan yang terkandung di dalamnya, CMIM menjadi sebuah kerjasama yang mengikat antara ASEAN dengan 3 Negara mitra tersebut. Hal yang perlu dicermati kembali untuk menjadi dasar argumen tersebut ialah kemampuan Indonesia dan hampir seluruh negara ASEAN yang secara ekonomi sangat potensial namun belum berada dalam tingkatan yang cukup kuat untuk menopang regionalisme termasuk dibidang finansial. Indonesia dengan potensi ekonomi yang besar pun masih berkutat dengan permasalahan ekonomi domestik, terlebih mayoritas negaranegara ASEAN berada pada tingkatan ekonomi yang tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Maka ASEAN sebagai salah satu institusi regional menginisiasikan berbagai kerjasama khususnya dibidang ekonomi, dengan negara-negara mitra wicara, yang tentunya diharapkan membawa dampak baik bagi perekonomian ASEAN. Argumen selanjutnya menjelaskan bahwa posisi keberlanjutan Indonesia tersebut juga disertai oleh adanya keinginan untuk memperoleh keuntungan dengan mengupayakan kerjasama yang lebih kompleks yaitu regionalisme ekonomi, yang sejauh ini tengah
Posisi dan..., Destin Adipatra, FISIP UI, 2014
berlangsung bagi Indonesia dengan negara-negara ASEAN. Kerjasama CMIM sebagai bentuk regionalisme dibidang finansial dapat mengeliminasi situasi ketidakharmonisan (pertentangan) yang muncul tidak hanya pada bidang finansial. Terlebih dengan munculnya AMRO sebagai badan yang menginisiasikan kerjasama CMIM untuk menjadi lebih kredibel dan independen, yang secara tersirat mengisyaratkan bahwa APT akan berangsur-angsur memperkuat dan menjadikan CMIM sebagai kerangka finansial utama, bukan hanya lagi sebagai institusi suplemen terhadap IMF. Berkaca pula pada teori Dieter yang menyatakan bahwa kerjasama finansial merupakan salah satu bentuk awal dari regionalisme yang kompleks. Melalui hal tersebut dapat diketahui bahwa keikutsertaan dalam CMIM berkaitan pula dengan posisi keberlanjutan kerjasama pada usaha integrasi yang sedang menjadi program ASEAN di tahun 2015 dengan ASEAN community. Meskipun adanya cost dan benefits yang harus ditanggung oleh Indonesia, namun sesuai dengan penjelasan Keohane dan Nye, situasi interdependensi kompleks serta keberadaan unsur power lebih mempengaruhi negara untuk mendukung kerjasama ataupun lebih jauhnya, regionalisasi, dibandingkan dengan perhitungan manfaat , untung dan rugi. Sehingga posisi keberlanjutan Indonesia tidak hanya dimaknai sebagai usaha untuk membuat situasi status quo saja, melainkan mendukung terciptanya interdependensi yang lebih kompleks dalam usaha memperkuat ketahanan ekonomi melalui upaya regionalisasi yang tengah diberlakukan. Perspektif dan Respon Indonesia terhadap Kerjasama Finansial Berkaitan dengan teori kepentingan nasional dan kebijakan luar negeri, maka analisis atas kepentingan Indonesia dilakukan dengan melihat perspektif dan juga respon Indonesia terhadap kerjasama finansial internasional sebagai cerminan dari kepentingan nasional, dan kemudian dilanjutkan dengan analisis atas kebijakan luar negeri untuk ikut serta dalam kerjasama tersebut. a. Kerjasama finansial dalam perspektif Indonesia Sektor finansial menjadi perhatian yang diutamakan dikarenakan beberapa sebab. Alasan utama ialah sektor finansial merupakan sektor yang krusial, bukan hanya bagi Indonesia saja, melainkan hampir seluruh negara juga memiliki pandangan yang sama. Kedua dari segi investasi, umumnya bagi negara-negara berkembang arus investasi masuk sebagian besar dari luar negeri. Sektor finansial ini berkaitan dengan kebijakan luar negeri. Indonesia pun melihat bahwa kebijakan luar negeri diperlukan untuk mengatur dan
Posisi dan..., Destin Adipatra, FISIP UI, 2014
memberikan peningkatan keamanan di sektor finansial karena sektor tersebut tidak dapat diatur dengan hanya menerapkan peraturan dalam lingkup nasional. Indonesia menunjukan perspektif yang mendukung penuh keberadaan dan keikutsertaan dalam kerjasama finansial. Lebih khususnya Indonesia melalui berbagai pernyataan resmi menyatakan bahwa kerjasama finansial dalam kawasan merupakan salah satu agenda utama kebijakan ekonomi luar negeri Indonesia. Dapat dikatakan bahwa pasca periode krisis global, kerjasama finansial telah menjadi prioritas kebijakan serta diplomasi ekonomi Indonesia. Keterlibatan beberapa kerjasama lain seperti APT, AEC dan lain-lain juga terlihat sangat berkaitan dengan usaha penguatan finansial Indonesia. Posisi Indonesia yang telah dijelaskan sebelumnya, menunjukan pula bahwa CMIM dalam perspektif Indonesia merupakan hal yang krusial. Sesuai dengan penjelasan mengenai posisi yang dikaitkan dengan teori complex interdependence, Indonesia terlihat mengedepankan kepentingan untuk meningkatan kekuatan finansialnya, yang berimplikasi pula pada adanya keinginan untuk memperkuat keterikatan kerjasama kawasan untuk menopang daya tahan finansial. b.
Respon Indonesia terhadap Chiang Mai Initiative Mutilateralization Kerjasama finansial di ASEAN muncul di era 1977 saat Indonesia dan negara ASEAN
lainnya menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) pelaksanaan ASEAN Swap Arrangements (ASA). Kerjasama itu berlangsung diikuti dengan berbagai program lainnya seperti Financial Service Liberalisation melalui ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS), serta ASEAN Surveillance Process (ASP). Pada koridor kerjasama APEC, concern terhadap masalah finansial muncul pada periode 1994-1995 dengan rancangan
program:
sustaining growth with low inflation, financing investment dan
infrastructure development serta promoting capital market development yang disepakati setlah dilakukan pertemuan antara mentri keuangan negara-negara APEC di Honolulu. Kemudian kerjasama finansial teraktual yang melibatkan keikutsertaan Indonesia ialah kerjasama CMIM dalam koridor APT. Beberapa pengamat mengemukakan argumen bahwa kemunculan APT merupakan hasil dari reaksi atas ketidakberadaannya kolektivitas dan solidaritas atas kerjasama finansial terdahulu yaitu dalam koridor ASEAN dan APEC yang terefleksikan dalam situasi krisis yang menerpa negara-negara dalam kawasan. Menurut pendapat Shin and Cho, concern kerjasama dalam koridor APT lebih mengarah kepada kerjasama ekonomi dibandingkan dengan nilai politisnya, karena negara-negara Asia tersebut cenderung mengesampingkan permasalahan politiknya untuk mengupayakan keberlanjutan kerjasama ekonomi tersebut.
Posisi dan..., Destin Adipatra, FISIP UI, 2014
Bagi Indonesia sendiri, ketiganya merupakan kerjasama berbasis ekonomi finansial yang akan .memberikan implikasi positif. Namun yang perlu dicermati adalah tindakan yang diambil Indonesia cukup jauh berbeda. Meskipun dalam ketiga kerjasama tersebut Indonesia telah berkomitmen untuk terlibat, namun respons atas ketiga kerjasama tersebut cenderung berbeda. bahwa Indonesia tidak melakukan tindakan bersifat respons terhadap kerjasama finansial APEC. Pada dua kerjasama lainnya, Indonesia cenderung mengikuti dan berkomitmen serta mengimplementasikan nilai-nilai kerjasama tersebut. Dua kerjasama selain APEC cenderung lebih kuat dalam aspek persatuan politik yang mengarah kepada regionalisme, sedangkan APEC tidak. Analisis Kepentingan Indonesia dalam Kerjasama CMIM Pada analisis penelitian, perspektif teori dan konsep akan disinergikan dengan penjelasan-penjelasan yang telah dipaparkan untuk membantu menjawab pertanyaan permasalahan. Seperti telah dijabarkan sebelumnya bahwa kepentingan ekonomi Indonesia amat luas apabila dilihat berdasarkan program maupun target pencapaian yang direncanakan oleh pemerintah. Namun dalam konteks kerjasama CMIM, sebagai objek dalam penelitian ini, akan ditemukan hasil analisis atas kepentingan Indonesia yang sifatnya cenderung tersirat. Melihat dari berbagai aspek yang berkaitan seperti latar belakang, pengalaman sejarah, posisi serta kebijakan negara. Analisis ini akan dibagi kedalam tiga tahapan untuk memperjelas alur penganalisisan kepentingan. a. Chiang Mai Initiative Multilateralization Sebagai Upaya Konsolidasi Keamanan Mekanisme Penanggulangan Krisis Kepentingan ekonomi Indonesia dewasa ini cukup luas, oleh karena berbagai instansi yang berkaitan pun cukup banyak dan masing-masing memiliki lingkup tersendiri. Beberapa dokumen dapat menjadi rujukan terhadap kepentingan ekonomi Indonesia. Menurut publikasi resmi dari berbagai instansi pemerintahan Republik Indonesia, kemudian melalui berbagai rancangan program yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025,
Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) serta Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Kebijakan-kebijakan Indonesia dalam bidang ekonomi hampir seluruhnya didasari oleh target yang tertuang dalam rencana-rencana tersebut. Pada koridor ekonomi finansial, kepentingan Indonesia tidak secara spesifik membahas hal tersebut. Namun beberapa pernyataan menyinggung bahwa bidang finansial
Posisi dan..., Destin Adipatra, FISIP UI, 2014
merupakan salah satu pilar utama dalam perekonomian Indonesia yang menjadi penunjang dan aspek vital dalam berbagai kegiatan ekonomi. Praktis aspek finansial tersebut berpengaruh dalam kondisi dan stabilitas perkenomian negara, tingkat kesehatan finansial pun dipandang sebagai tolak ukur perkembangan serta pembangunan sebuah negara. Aspek finansial juga berkaitan dengan berbagai hal yang sifatnya sangat erat dengan permasalahan krisis. Berdasarkan pengalaman krisis di tahun 1997-1998, Dapat dinyatakan bahwa salah satu kepentingan utama Indonesia di sektor finansial ialah menjaga stabilitas finansial itu sendiri. Sesuai dengan koridor ekonomi yang tercantum dalam MP3EI, secara tersirat disampaikan visi untuk menjaga kesinambungan antara kebijakan nasional dengan internasional,
melihat
prospek
perekonomian
yang
semakin
mengarah
kepada
regionalisme, seiring dengan terpaan arus globalisasi maka kepentingan untuk bersinergi dengan negara-negara dalam kawasan menjadi hal yang amat penting dan tentunya tidak hanya berlaku pada koridor ekonomi saja. Tertera dalam kebijakan RPJPN, disampaikan bahwa tantangan jangka panjang bagi perekonomian Indonesia yang sedang diupayakan terus menerus ialah menjaga Indonesia untuk tetap kompetitif diseluruh bidang secara global. Kemudian pembahasan dalam subbab ini juga akan mengaitkan kepentingan tersebut dengan kebijakan luar negeri dan diplomasi Indonesia khususnya dalam bidang ekonomi sebagai gambaran implementasi kepentingan tersebut. Seperti diketahui melalui pemaparan yang telah disampaikan dalam teori linkage dan pembahasan lainnya dalam teori tersebut bahwa korelasi dan pengaruh antara kepentingan nasional dan kebijakan luar negeri amat besar. Dalam konteks kerjasama luar negeri Indonesia dibidang ekonomi, Indonesia dengan kebijakan politik luar negeri bebas aktifnya menerapkan kebijakan yang cenderung fleksibel sehingga memudahkan Indonesia untuk bermanuver. Subbab ini juga berusaha penulis paparkan sudut pandang komparasi situasi Indonesia pada masa krisis Asia 1998 sebagai dasarnya. Pada masa tersebut cadangan devisa Indonesia berkisar pada 19,125 US$, yang bukanlah merupakan angka yang cukup besar. Kemudian pada masa tahun 1997, telah terjadi depresiasi mata uang Rupiah terhadap Dollar maupun mata uang Asia lainnya khususnya Jepang dan Thailand, yang telah memberikan dampak terhadap berjalannya ekspor impor Indonesia. Nilai tukar rupiah yang semua berada pada Rp 2.650 Pada Agustus 1997, menjadi berkisar pada Rp 15.000- Rp 17.000 per Dolarnya pada masa tersebut. Situasi yang berpengaruh lainnya ialah besaran kredit macet (Non Performing Loan) mencapai 30%, serta utang-utang jangka pendek
Posisi dan..., Destin Adipatra, FISIP UI, 2014
Indonesia yang jatuh tempo pada masa tersebut terus memberi tekanan terhadap perekonomian. Spekulasi pihak asing juga sangat berpengaruh terhadap sistem pasar modal Indonesia. Selain itu yang juga mempengaruhi memberikan dampak terhadap situasi krisis ialah defisit neraca berjalan atas kebijakan impor Indonesia. Kepanikan dari masyarakat akibat situasi politik pun pada akhirnya memberikan dampak yang signifikan pula terhadap situasi perekonomian. Jika dibandingkan dengan situasi Indonesia pasca krisis global, tentu perekonomian Indonesia pasca krisis global 2008 jauh lebih baik dari kondisi pada tahun 1998. Tingkat kredit berada pada kisaran dibawah 10%, utang-utang luar negeri pada tingkatan yang cukup aman.Meskipun nilai tukar rupiah cukup fluktuatif, namun hal tersebut diyakini dapat memberikan insentif tersendiri khususnya dibidang ekspor. Kemudian kebijakan-kebijakan pemerintahan dibidang fiskal dan moneter lebih baik dan rasional sehingga diyakini bahwa pemerintahan dapat merespon dengan menerapkan kebijakan-kebijakan yang tepat terhadap peristiwa ekonomi bagi Indonesia. Melalui pemaparan diatas dapat diketahui berbagai hal yang terkait dengan kebijakan luar negeri Indonesia. Khususnya dalam sektor ekonomi, diplomasi Indonesia betul-betul dilaksanakan secara total dan juga fleksibel sesuai dengan konsep bebas dan aktif. Jalur diplomasi ekonomi Indonesia pun seluruhnya berajalan dengan sesuai harapan, baik bilateral, regional maupun multilateral, seluruhnya dilakukan dan diikuti dengan aktif oleh Indonesia. Pada bidang ekonomi, Indonesia terlibat berbagai perjanjian kerjasama ekonomi baik di sektor perdagangan, pertukaran jasa, transfer teknologi maupun lain-lain yang sama halnya dengan yang dilakukan dalam perjanjian investasi. Indonesia secara aktif terlibat dalam berbagai kesepakatan dan menjalankan program-program ASEAN serta ASEAN dan mitra wicara, serta berbagai kerjasama lainnya seperti APEC. Pada bidang kerjasama multilateral pun Indonesia terlibat dalam berbagai kelompok dan kerjasama ekonomi multilateral seperti IBRD, IMF dan G20. Pada sektor finansial, dapat diketahui bahwa kerjasama-kerjasama finansial Indonesia pun cukup intens, Indonesia memiliki kerjasama BSA antar negara-negara di kawasan, kemudian membentuk kerjasama CMIM dengan APT serta terlibat sebagai anggota IMF yang cukup aktif. Berdasarkan argumentasi dan data-data yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis dapat menganalisis
bahwa eksistensi dan penguatan kerjasama CMI menjadi CMIM
merupakan sebuah langkah yang sejalan dengan kebijakan luar negeri Indonesia, yang merefleksikan
pula
kepentingan
perekonomian
Indonesia.
Dengan
perubahan
institusionalisasi mekanisme dalam CMIM, kepentingan Indonesia untuk memperkuat
Posisi dan..., Destin Adipatra, FISIP UI, 2014
mekanisme pengamanan dana likuiditas dapat tersalurkan. Terlebih forum tersebut juga memberikan ruang IMF de-linked portion sebesar 30% , meskipun secara ukuran cukup kecil namun melalui proporsi tersebut Indonesia melakukan manuver untuk mengurangi ketergantungan terhadap IMF. Besaran proporsi non IMF tersebut pun masih dalam tahap pembicaraan dan negosiasi baik intra APT maupun dengan IMF untuk ditambahkan kembali besarannya. Kemunculan AMRO sebagai badan independen yang dibentuk oleh APT memberikan signifikansi pada semakin menguatnya kerjasama ekonomi di dalam kawasan, termasuk bagi CMIM. Kepentingan Indonesia dan seluruh negara yang terlibat untuk memaksimalkan fungsi CMIM sebagai mekanisme penanganan krisis dapat berjalan lebih maksimal dengan keberadaan AMRO sebagai badan pengawasan dan analisis terhadap kondisi perekonomian di kawasan yang dapat memberikan rekomendasi kebijakan kepada negara-negara yang terlibat dalam CMIM. b. Penguatan Kerjasama Regional Keberadaan kerjasama APT dengan CMIM sebagai salah satu kerjasama yang melandaskan penguatan serta penerapan mekanisme institusional menunjukan bahwa adanya kepentingan yang lebih jauh dari sekedar pengamanan cadangan dana likuditas saja. Khususnya bagi Indonesia, urgensi atas multilateralisasi CMI dari segi penguatan ketahanan ekonomi memang memainkan peran penting, namun pembentukan sistem yang cenderung formal dengan perhitungan kontribusi dan besaran voting sebagai asas yang mendasari kekuatan negara dalam forum menunjukan adanya intensi lain yang dimiliki oleh Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya, yang notabene menjadi pihak yang “terdominasi” dari segi perhitungan voting power, tidak sebatas hanya untuk memperkuat daya tahan perekonomian saja. Berkaca pula pada ruang bebas, atau proporsi dana yang tidak dikendalikan oleh IMF yang “hanya” sebesar 30% serta peraturan voting, hal tersebut mengindikasikan bahwa sebetulnya forum CMIM tidak sepenuhnya memberikan jaminan keamanan yang fleksibel dan dapat diandalkan sepenuhnya oleh para anggotanya. Dapat disimpulkan bahwa arus FDI masuk ke Indonesia sejak periode 2007-2010, cenderung tidak mengalami penurunan meskipun ada fluktuasi terjadi pada awal periode krisis namun menunjukan angka yang kurang signifikan. Pertumbuhan Arus investasi yang masuk ke Indonesia periode awal krisis yaitu 2007-2008 mengalami penurunan dari sebelumnya sebesar US$79,927 Juta menjadi US$72,227 Juta. Begitu pula pada sisi perdagangan Indonesia dimana total perdagangan Indonesia tidka mengalami tren
Posisi dan..., Destin Adipatra, FISIP UI, 2014
menurun. Hal kemudian menjadi signifikan selanjutnya ialah kemunculan AMRO. Keberadaan AMRO yang baik secara langsung maupun tak langsung menambah kredibilitas serta interdependensi dalam kerjasama APT. Kemunculan AMRO sebagai sebuah badan penunjang kerjasama CMIM yang difungsikan sebagai RFA memberikan dampak jangka panjang yang lebih jauh. Berbagai argumen yang memaparkan kondisi perekonomian Indonesia tersebut menjadi dasar analisis bagi penulis tentang adanya kepentingan yang lebih jauh dari sebatas
pengamanan
finansial
saja
dalam
kerjasama
sebesar
CMIM
yang
terinstitusionalisasi tersebut. Penulis melihat adanya intensi Indonesia yang berkaitan dengan regionalisasi. Penulis menekankan bahwa analisis kepentingan Indonesia akan terjadinya kerjasama regionalisme dibangun atas berbagai argumen. Pertama melihat bahwa kondisi perekonomian Nasional Indonesia yang nyatanya tidak mendesak untuk membentuk sebuah kebijakan luar negeri yang sifatnya tidak fleksibel dan memberikan Indonesia sendiri ruang gerak yang sedikit dengan peraturan voting weight dan IMF proportion, meskipun kepentingan atas pengamanan sektor finansial dan memiliki alternatif terhadap mekanisme penangangan krisis IMF tetap memiliki peran besar. Selanjutnya melihat respons Indonesia, penulis menganalisis bahwa doktrin diplomasi dynamic equlibrium tersebut menjawab pertanyaan mengenai posisi serta kepentingan Indonesia ditengah-tengah situasi baik global maupun regional saat ini. Penulis melihat dewasa ini konsep dynamic equlibrium dapat merepresentasikan pula posisi serta kepentingan Indonesia dalam kerjasama kawasan. Argumen tersebut kembali ditambahkan dengan keberadaan proses regionalisme ASEAN, melalui ASEAN community. Hal tersebut menunjukan bahwa Indonesia beserta seluruh bangsa Asia tenggara mendukung proses regionalisme yang terjadi dalam kawasan. Hal tersebut menimbulkan pemikiran bahwa kerjasama APT dapat memberikan insentif yang positif terhadap proses regionalisasi tersebut, terlebih secara finansial. Terakhir ialah terkait rivalitas antara RRT dan Jepang sebagai negara yang pertama kali mencanangkan terjadinya kerjasama CMIM maupun APT dikaitkan dengan konsep dynamic equlibrium. c. Keterkaitan Perekonomian Indonesia dengan kawasan Asia Timur Seperti diketahui bahwa sebagian besar kegiatan perekonomian Indonesia adalah berkaitan dengan negara-negara Asia Tenggara dan Timur. Melalui berbagai data dapat diketahui keterkaitan yang kuat antara Indonesia dengan negara-negara dalam APT dari sisi kegiatan perekonomian, yaitu diantaranya ialah perdagangan dan investasi. Kedua aspek tersebut menunjukan adanya penguatan kerjasama antara Indonesia dengan negara-
Posisi dan..., Destin Adipatra, FISIP UI, 2014
negara tersebut dengan munculnya tren positif atas besaran finansial dan perdagangan dari tahun ke tahun. Tentunya dengan keterikatan yang cukup baik tersebut, merupakan kesempatan yang baik bagi Indonesia untuk bergerak lebih jauh dari sekedar mengamankan sektor finansial saja. Melihat kembali bahwa negara-negara yang terlibat dalam kerjasama tersebut ialah negara-negara yang kuat secara ekonomi, serta negaranegara yang memiliki pengaruh yang besar terhadap kegiatan perekonomian Indonesia. Jika dihubungan dengan kerjasama CMIM, keterikatan antara Indonesia dengan keduabelas negara lainnya menjadi meningkat. Terlihat dari tren dalam kegiatan perdagangan dan investasi yang menunjukan kecenderungan peningkatan secara rata-rata pasca tahun 2010. Penulis melihat bawa adanya kepentingan untuk membentuk mekanisme institusional yang menunjang kekuatan ekonomi dalam kawasan dalam upaya menghadapi krisis semakin beralasan. Kepentingan tersebut kembali merefleksikan kerjasama dalam koridor APT dalam perspektif complex interdependence dimana karakteristik dan langkah-langkah terjadinya interdependensi tersebut sebetulnya secara berangsur telah terlihat namun masih terbatas dalam beberapa sektor saja. Mempertimbangkan pula cost dan benefit yang ditanggung
oleh
seluruh
negara
peserta,
yang
tentunya
menginginkan
untuk
memaksimalisasikan keuntungan (benefit) atas kerjasama tersebut. Kepentingan Indonesia atas keiikutsertaannya dalam kerjasama CMIM dapat ditafsirkan kedalam berbagai analisis. Perpsektif linkage Theory memberikan pandangan pada penulis untuk melakukan analisis terhadap proyeksi kepentingan ekonomi dan politik Nasional Indonesia kedalam kebijakan luar negeri Indonesia, Selain itu Keohane dalam tulisannya mengenai teori kerjasama, harmoni dan pertentangan membantu penulis dalam menganalisis kepentingan Indonesia untuk menciptakan suasana kondusif dengan lingkup kerjasama dalam kawasan yang akan menghasilkan suatu kerjasama yang lebih maksimal dan kuat. Menurut pandangan Dieter, kerjasama finansial dalam kawasan dapat menjadi langkah awal terciptanya regionalisme yang lebih kompleks di kawasan Asia TimurTenggara. Terlebih setelah munculnya CMIM sebagai instrumen kerjasama finansial yang menjadi kerangka penanganan krisis yang utama, kemudian AMRO beserta kerjasamakerjasama lainnya kembali muncul dengan formasi APT sebagai kerangka penginisiasi kerjasama tersebut Kesimpulan
Posisi dan..., Destin Adipatra, FISIP UI, 2014
Indonesia sebagai salah satu negara yang terlibat dalam kerangka kerjasama CMIM dan merupakan negara dengan pengalaman krisis beserta efek penanganannya yang cenderung negatif, menjadi objek dalam penelitian ini. Indonesia dengan potensi ekonomi dan politik yang besar di kawasan serta dengan berbagai kebijakan luar negerinya yang aktif dan tidak menghendaki keberpihakan, memiliki signifikansi yang besar dalam konteks kerjasama CMIM. Kerjasama ASEAN sendiri pada periode 2007 sampai saat ini masih menjalani proses transformasi untuk lebih jauh terintegrasi dengan ASEAN community sebagai program utama dalam institusi. Posisi Indonesia dalam kerjasama CMIM dapat diartikan sebagai posisi keberlanjutan atas kerjasama-kerjasama terdahulu. Keberlanjutan itu merupakan bagian atas dukungan Indonesia atas dibentuknya sebuah mekanisme penanganan krisis alternatif yang kuat dan menguntungkan bagi Indonesia maupun negara-negara lainnya seiring dengan kebutuhan akan mekanisme pengamanan sektor finansial yang kredibel. Posisi tersebut menunjukkan pula adanya sikap dukungan untuk mengeliminasi kondisi pertentangan yang dapat mengganggu situasi ekonomi politik dalam kawasan melihat adanya pertentangan antara dua kekuatan besar yaitu Jepang dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), serta masalahmasalah lainnya yang dapat mengancam kestabilan. Faktor kepentingan Indonesia dalam keterlibatan pada kerjasama CMIM menjadi cukup menarik untuk dilihat. Kepentingan Indonesia untuk membentuk sebuah mekanisme ketahanan ekonomi yang kompleks dan saling memberikan dukungan antara satu dengan negara lainnya menjadi indikasi kepentingan utama dengan probabilitas yang cukup besar. Menganalisis kepentingan atas dasar kebutuhan Indonesia akan mekanisme kerjasama penanganan krisis alternatif, baik ditingkat global maupun regional yang kuat dan kredibel. Adanya intensi Indonesia untuk memaksimal potensi besar kerjasama, melalui analisis pertimbangan yang didasari oleh pengaruh cost dan benefit pada sebuah kerangka kerjasama dalam perspektif Keohane dan Nye. Pada satu sisi memenuhi kepentingan terkait mekanisme penanganan krisis, dan di sisi lainnya mengandung kepentingan yang lebih luas berkaitan dengan kerjasama regional. Interdependensi kompleks yang terjadi atas pengaruh kerjasama CMIM sebagai mekanisme yang terinstitusionalisasi juga dipengaruhi oleh keterkaitan perekonomian Indonesia dengan negara-negara yang ikutserta dalam kerangka kerjasama CMIM tersebut. Melalui kerjasama CMIM Indonesia dapat menyalurkan kepentingan yang memiliki orientasi untuk memaksimalkan kerjasama ke dalam bentuk yang sekuat dan sekompleks mungkin, dengan cara mentransformasikan bentuk kerjasama menjadi lebih mengikat, resisten terhadap ancaman baik internal maupun eksternal dan menguntungkan secara
Posisi dan..., Destin Adipatra, FISIP UI, 2014
ekonomi maupun politik. Ditambahkan pula dengan pertimbangan melihat kondisi ekonomi politik global dewasa ini berada dalam era globalisasi yang secara bertahap menempatkan lingkup regional sebagai kerjasama yang berdaulat dan paling kompatibel untuk diterapkan dalam menghadapi situasi global. Referensi Anwar, Dewi fortuna. “Indonesia‟s foreign relations: policy shaped by the ideal of „dynamic equilibrium,” diakses 15 Mei, http://www.eastasiaforum.org/2014/02/04/indonesiasforeign-relations-policy-shaped-by-the-ideal-of-dynamic-equilibrium/ Dieter, Heribert.(2000). "Monetary Regionalism: Regional Integration without Financial Crises", CSGR Working Paper No. 52. Houtari, Mikko.(2012). “Practices of Financial Regionalism and the Negotiation of Community in East Asia” , dalam Occasional Paper Series. Freigburg: Southeast Asian Studies University of Freiburg. Keohane, Robert.(1984). “After Hegemony: Coorperation and Discord in the World Political Economy.” Princeton : Princeton University Press. Keohane, Robert O dan Joseph S Nye. (2001). “Power and Interdependence.” Third Edition. New York: Longman. Leifer, Michael. (1975). “Regionalism, Global Balance and South East Asia, Regionalism in South East Asia.” Jakarta : CSIS. Levy, Jack S. (2002).“Qualitative Methods in International Relations.” dalam Michael Brecher dan Frank P. Harvey. “Millennial Reflections on International Studies.” Ann Arbor: University of Michigan Press. Nesadurai, Helen. (2002). “Globalisation and Economic Regionalisme : A Survey and Critique of The Literature.” CSGR Working Paper No. 108/02. United Kingdom : CSGR University of Warwick. Saputro, Eko N.M. (2013). “Indonesia‟s Response towards East Asian Financial Regionalism” dalam International Journal of Indonesian Studies (IJIS) Volume 1. Shin, DC & Cho Y. (2010). “How East Asians Understand Democracy: From a Comparative Perspective.” ASIEN vol. 116. Shu, Min. (2012). ”Developmental State and Economic Regionalism after the Asian Financial Crisis.” Tokyo : Waseda University Working Paper. Siregar, Reza dan A. Chabchitrchaidol. (2012). “Enhancing the Effectiveness of CMIM and AMRO:Selected Immediate Challenges and Tasks.” ADBI Working Paper 403. Tokyo: Asian Development Bank Institute. Stiglitz, Joseph. (2002). “Globalization and It‟s Discontent.” New York : WW Norton. Suryo ,Herning. (2012). “Total Diplomasi Dan Pencitraan Indonesia” dalam Transformasi Vol.XIV No 22. Sussangkarn, Chalongphob. (2012). “Institution Building for Macroeconomic and Financial Cooperation in East Asia.” Bangkok : Thailand Development Research Institute.
Posisi dan..., Destin Adipatra, FISIP UI, 2014