Keterlibatan Negara Dalam Kerjasama Regional : Studi Kasus Indonesia dalam Asean-China Free Trade Agreement (ACFTA) Periode 2002 - 2012 Santi H. Paramitha Fredy Buhama Lumban Tobing Departemen Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Email:
[email protected]
Abstrak Keinginan untuk meningkatkan perekonomian kawasan menjadi dasar kuat bagi negara-negara ASEAN untuk membuat kerjasama perdagangan regional dengan partner dagang yang potensial dalam perekonomian dunia. Digagasnya ACFTA dengan China merupakan institusionalisasi dari keinginan tersebut sebagai bentuk regionalisme ekonomi, di mana kepentingan negara-negara yang terlibat di dalamnya menjadi elemen yang penting dalam pembentukan ACFTA. Indonesia, sebagai negara ASEAN yang terlibat di dalamnya melihat bahwa keberadaan ACFTA mendatangkan peluang dan keuntungan yang besar terlepas dari defisit yang terjadi di Indonesia. Penelitian ini menganalisis mengapa Indonesia mempertahankan dan terlibat lebih jauh dalam ACFTA sejak tahun 2002 hingga 2012 mengingat defisit yang dialami dan tingginya tekanan domestik untuk melakukan renegosiasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa melalui kerjasama regional, negara dapat memperoleh manfaat yang signifikan baik secara eksternal maupun internal. Walaupun mengalami defisit perdagangan, Indonesia dalam hal ini mendapatkan insentif dari keterlibatannya di ACFTA karena memutuskan untuk tidak terlibat sama sekali justru akan mendatangkan kerugian yang berupa ketertinggalan pertumbuhan ekonomi dibandingkan negara-negara lain yang terlibat di dalamnya.
State’s Involvement In Regional Cooperation : Case Study Indonesia in Asean-China Free Trade Agreement (ACFTA) Period Of 2002 - 2012 Abstract The desire to grow the regional economy became the main reason for ASEAN states to create regional trade agreement with a potential trading partner in the world economy. The establishment of ACFTA, between ASEAN and China was an institutionalization of that desire as a step striving for economy regionalism, in which the interest of the states involved, being an important element in ACFTA. Indonesia as one of ASEAN states who took part in the agreement, seeing the existence of ACFTA could provide the opportunity and potential gain, though the deficit occured in Indonesia. This research is purposed to analyze why Indonesia decided to stay and expand its involvement in ACFTA since 2002 to 2012 through various agreement, remembering the deficit and the domestic pressure to do the renegotiation. The result of the research shows that through regional agreement with potential partner, states could achieve the benefits, both externally and internally. Despite the decifit, Indonesia still gained incentive from its involvement in ACFTA, as Indonesia believed that being left in regional trade agreement would only cause no gain and greater loss in economic growth than the other parties involved. Keywords : regionalism; regional trade agreement; ASEAN; Indonesia; China; ACFTA; national interest
1
Keterlibatan Negara dalam..., Santi Hapsari Paramitha, FISP UI, 2014
Pendahuluan Regionalisme telah berkembang menjadi suatu fenomena penting dalam hubungan internasional selama kurun waktu enam dekade terakhir. Istilah regionalisme sangat erat kaitannya dengan kepentingan ekonomi, sehingga seringkali disebut sebagai regionalisme ekonomi. Perkembangan dunia kontemporer yang menunjukkan peningkatan jumlah integrasi regional menandai dimulainya era regionalisme. Regionalisme pada dasarnya merupakan wujud institusional dari preferensi negara untuk membentuk kerjasama dalam suatu lingkup regional. Awal mula regionalisme dikenal dengan terjadinya integrasi kawasan Eropa. Sementara di wilayah Asia Tenggara, institusi regional yang mengakomodasi kepentingan negara-negara Asia Tenggara terbentuk pada tahun 1967 dan disebut dengan Association of Southeast Asia Nations (ASEAN).1 Seiring dengan fenomena kebangkitan Asia, semangat ASEAN sebagai institusi regional untuk membuka perjanjian kerjasama perdagangan bebas untuk meningkatkan perekonomian muncul. Gagasan ini dilakukan dengan beberapa negara partner yang memiliki pasar potensial di dunia seperti China, Korea, Jepang, Australia, Selandia Baru, dan India. Salah satu kerjasama ekonomi dengan partner eksternal terbaru yang dicanangkan oleh ASEAN adalah ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) yang mulai digagas dalam bentuk framework pada tanggal November 2001 di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, dan diresmikan pada tahun 2002.2 Walaupun memiliki dampak positif bagi penyelenggaraan kerjasama regional, bagi Indonesia, implementasi ACFTA menimbulkan defisit perdagangan dengan China hingga lebih dari 5 milyar juta US Dollar, hanya setahun setelah implementasi ACFTA.3 Defisit perdagangan ini diakibatkan adanya ketimpangan yang sangat asimetris antara ekspor dan impor Indonesia ke China, yang mana kemudian menimbulkan kecenderungan terjadinya penurunan pada kapasitas industri Indonesia sebanyak 20 persen dan meningkatnya angka pengangguran sebanyak 15 persen.4 Setelah ditelusuri lebih lanjut, pasca ACFTA komoditas
1
Jens-Uwe Wunderlich, Regionalism, Globalisation, and International Order Europe and Southeast Asia (Hampshire: Ashgate Limited Publishing, 2007), 1-2. 2 Syamsul Hadi, “Indonesia, ASEAN, and The Rise of China: Indonesia in the Midst of East Asia’s Dynamics in The Post-Global Crisis World,” International Journal of China Studies 3, No. 2, (2012): 154. 3 Abren Ginting, “The Impacts of ACFTA to Indonesia – China Trade,” ICRA Indonesia Comment (2011), 3. 4 Ibid.
2
Keterlibatan Negara dalam..., Santi Hapsari Paramitha, FISP UI, 2014
yang sangat signifikan mengalami peningkatan adalah impor mainan dan tekstil China sebanyak 952 persen dan 215 persen ke Indonesia.5 Kondisi ini lantas menimbulkan reaksi-reaksi negatif yang muncul dari masyarakat Indonesia di lingkup domestik. Reaksi negatif yang muncul mayoritas berkaitan dengan ketidaksiapan komoditas perdagangan dan sektor produksi Indonesia untuk bersaing dengan komoditas negara-negara ASEAN lainnya, terutama China. Masyarakat mendorong Pemerintah Indonesia untuk melakukan renegosiasi keterlibatan Indonesia dalam ACFTA, yang berupa penundaan eliminasi tarif secara penuh yang jatuh tempo pada tahun 2010. Namun demikian, Pemerintah Indonesia tidak mewujudkan tuntutan renegosiasi ini dan tetap terlibat dalam ACFTA yang diperluas dalam berbagai macam bentuk perjanjian kerjsama. Keputusan Pemerintah Indonesia ini kemudian menarik untuk dikaji guna mengungkapkan beberapa hal penting terkait dengan aspek kepentingan Indonesia dalam ACFTA. Berdasarkan atas hal-hal penting yang ingin dikaji melalui penelitian ini, maka pertanyaan permasalahan yang diajukan adalah : “Mengapa Indonesia mempertahankan keterlibatannya dalam ACFTA sejak tahun 2002 hingga 2012?” Tinjauan Teoritis Konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kepentingan nasional, perdagangan bebas, dan regionalisme. Kepentingan nasional diartikan sebagai “what decision-makers at the highest level of the government say it is”.6 Oleh karena itu, kepentingan nasional adalah sesuatu yang didefinisikan dan diperjuangkan oleh pihak yang memiliki kewenangan dan keahlian untuk berbicara mewakili negara secara keseluruhan. Konsep kedua, adalah free trade. Free trade mengacu pada perdagangan terbuka atau perdagangan antar negara yang berlandaskan comparative advantage atau keunggulan komparatif. Sementara konsep ketiga adalah alasan negara untuk terlibat dalam regional trade agreement, yakni traditional trade gains, strengthening domestic policy reform, increased multilateral bargaining power, guarrantee of access, strategic linkages.7 Ketiga 5
Ibid. Martin Griffiths dan Terry O’Callaghan, International Relations The Key Concepts (New York: Taylor & Francis Group, 2002), 204. 7 John Whalley, “Why Do Countries Seek Regional Trade Agreements?” dalam The Regionalization of the World Economy, ed. Jeffrey A. Frankel (US: University of Chicago Press, Januari 1998), 71-74. 6
3
Keterlibatan Negara dalam..., Santi Hapsari Paramitha, FISP UI, 2014
konsep ini digunakan untuk melihat sejauh mana kepentingan Indonesia dicapai dan kepentingan apa yang sesungguhnya ingin dicapai oleh Indonesia dalam ACFTA. Metode Penelitian Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif. Dengan mengacu pada alur penelitian kualitatif, penelitian ini akan dilakukan untuk mengkaji alasan-alasan yang menyebabkan Indonesia terlibat dalam ACFTA dalam dinamika kerjasama ekonomi dan perdagangan ASEAN. Pemilihan metode kualitatif dalam penelitian ini, adalah karena penelitian ini dilakukan dengan bertujuan untuk memahami permasalahan secara mendalam, dengan memungkinkan adanya faktor-faktor lain di luar hipotesis berdasarkan kerangka teoritik yang menjadi penyebab terjadinya suatu permasalahan. Pengumpulan data dalam penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan metode kajian kepustakaan untuk menganalisis isi. Kajian kepustakaan yang dimaksud dapat diperoleh dari berbagi macam sumber informasi baik yang cetak seperti dokumen legal terkait perjanjian kerjasama ACFTA, kebijakan-kebijakan yang diterapkan Pemerintah Indonesia terkait implementasi ACFTA, pernyataan tertulis Pemerintah Indonesia dalam menyikapi defisit neraca perdagangan dan protes di masyarakat terkait ACFTA, dan lain-lain. Model Analisis
Kepentingan Nasional
Gambar 1 Model Analisis Keterlibatan Indonesia dalam ACFTA
4
Keterlibatan Negara dalam..., Santi Hapsari Paramitha, FISP UI, 2014
Sejarah Hubungan Ekonomi dan Politik Indonesia, ASEAN, dan China Ketika membahas mengenai ACFTA, terlebih dahulu perlu diperhatikan aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. Setidaknya terdapat tiga hubungan yang menjadi sorotan apabila membahas mengenai hubungan antara Indonesia dengan ACFTA secara mendalam, yakni Indonesia-ASEAN, Indonesia-China, dan ASEAN-China. Secara historis, Indonesia hingga kini merupakan negara yang memiliki posisi demikian signifikan dalam ASEAN. Sebagai negara yang termasuk dalam pendiri ASEAN di tahun 1967, Indonesia terus berperan aktif untuk memajukan ASEAN dalam berbagai macam aspek meliputi politik, ekonomi, sosial dan budaya. Atas potensi domestik dan posisinya yang sangat berpengaruh di ASEAN, Russel H. Fifiled menyebut Indonesia sebagai a new influential on international issues.8 Pada tahun 2011, Indonesia berhasil memangku jabatan sebagai Ketua ASEAN. Momen keketuaan ini lantas dipergunakan oleh Indonesia untuk memantapkan posisi sebagai pemimpin di ASEAN, sebagaimana dikemukakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, berikut: "As the ASEAN Chair, we should not act just like an event organizer in making preparations for the upcoming ASEAN Summits and East Asian Summit. It`s not just like an even organizer. We have agenda, targets, and what outputs that we want to reach,"9 [Sebagai Ketua ASEAN, kita tidak seharusnya berlaku seperti layaknya penyelenggara acara dalam membuat persiapan untuk ASEAN Summits dan East Asian Summit. Posisi ini tidak hanya seperti penyelenggara acara. Kita memiliki agenda, target, dan keluaran apa yang hendak dicapai] Sementara dalam konteks hubungan diplomatik Indonesia dengan China, telah terbangun sejak 13 April tahun 1950. Di antara negara-negara ASEAN yang lain, Indonesia merupakan negara pertama yang membuka hubungan diplomatik dengan China. Hubungan diplomatik ini berkembang secara perlahan-lahan dan mengalami peningkatan yang cukup signifikan di masa Demokrasi Terpimpin. Di masa Pemerintahan Presiden Soekarno, 8
Russel H. Fifield, National and Regional Interest in ASEAN (Singapura: Institut of Southeast Asian Studies, 1979), 30. 9 Priyambodo RH ed., “Indonesia Braces for 18th ASEAN Summit,” ANTARA NEWS, 22 November 2011, http://www.antaranews.com/en/news/70541/indonesia-braces-for-18th-asean-summit. Pernyataan disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Rapat Kabinet untuk membahas mengenai persiapan penyelenggaraan ASEAN Summit Ke-18 dan event-event lainnya, tanggal 24 Maret 2011, di Kantor Kepresidenan RI, Jakarta.
5
Keterlibatan Negara dalam..., Santi Hapsari Paramitha, FISP UI, 2014
Indonesia memiliki kedekatan yang sangat erat dengan Uni Soviet dan China. Hubungan ini sempat mengalami pembekuan pada masa Pemerintahan Presiden Soeharto selama lebih dari 30 tahun. Terdapat pro dan kontra yang cukup sengit di antara eksekutif di Indonesia. Sebagian melihat China sebagai ancaman, sebagian lainnya sudah mulai menyadari potensi pasar China yang dapat mendatangkan keuntungan. Walaupun sempat bersitegangn, pada akhirnya hubungan Indonesia – China berhasil dinormalisasi, dan terus berkembang dengan baik, khususnya dalam hal perdagangan, hingga saat ini. Aspek krusial lainnya adalah hubungan antara ASEAN sebagai institusi regional dengan China. Hubungan ASEAN dengan negara-negara Asia Timur telah dikenal pada tahun 1997. Hubungan ini melibatkan China, Jepang, dan Korea Selatan yang disebut dengan ASEAN +3. Ketiga negara Asia Timur ini diposisikan oleh ASEAN sebagai ‘mitra wicara’ dalam landasan dialog yang membahas berbagai macam aspek kerjasama, meliputi pertahanan, pariwisata, penanggulangan tindak kejahatan, dan kesehatan. Hubungan ASEAN lebih dalam dengan China terbentuk seiring dengan terjadinya fenomena globalisasi, yang memunculkan tantangan yang bersifat eksternal bagi ASEAN dalam bidang ekonomi. Ekonomi ASEAN, khususnya dalam bidang perdagangan, harus menghadapi tantangan global dan regional yang bersifat baik complementarity (dengan Jepang, China, Korea, dan Taiwan) maupun competition (dengan China dan India).10 Dalam rangka menjaga eksistensi kawasan ASEAN lantas merangkul negara-negara tersebut untuk membangun suatu kerjasama ekonomi yang saling menguntungkan. ACFTA dan Implementasinya di Indonesia Pada bulan November 2004 di Vientiane, Laos, kesepuluh negara ASEAN dan China menandatangani Framework of Agreement on Trade in Goods, yang mulai berlaku pada bulan Juli tahun 2005. Perjanjian dalam bidang perdagangan barang merupakan core dari ACFTA. Dalam kesepakatan ini, enam negara ASEAN (ASEAN 6) yakni Brunei Darussalam, Filipina, Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Singapura, serta China diwajibkan untuk melakukan
10
Linda Low, “ASEAN in Introspect and Retrospect” ASEAN-China Economic Relations, ed. Sam Swee-Hock (Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 2007), 37.
6
Keterlibatan Negara dalam..., Santi Hapsari Paramitha, FISP UI, 2014
reduksi tarif Most Favoured Nations (MFN) secara gradual, dan dieliminasi secara penuh pada tahun 2010.11 Secara legal, Pemerintah Indonesia telah meratifikasi kesepakatan antara ASEAN dan ACFTA melalui Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004 tentang Pengesahan Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation between the Association of Southeast Asia Nations and the People’s Republic of China.12
Melalui peraturan nasional ini
Pemerintah Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia telah berkomitmen penuh untuk mengintegrasikan diri dalam kerjasama perdagangan regional. Ditetapkannya peraturanperaturan tersebut sebelum implementasi secara penuh pada tahun 2010, juga secara tidak langsung berfungsi sebagai “early warning” dari Pemerintah Indonesia bagi pengusaha komoditas domestik untuk bersiap menghadapi tantangan yang akan muncul dari pasar China. Terhadap hal ini terdapat reaksi-reaksi yang cenderung kontra terhadap pelaksanaan ACFTA. Pihak-pihak yang kontra terdiri dari para pengusaha, pelaku bisnis, tenaga kerja dan buruh. Tingginya peningkatan perdagangan China ke Indonesia menimbulkan inisiasi di kalangan domestik untuk melakukan penundaan implementasi. Tepatnya pada 29 Januari 2009, kurang dari setahun sebelum eliminasi tarif diberlakukan, Depperin meminta penundaan ACFTA dari 2010 hingga menjadi 2012 karena mengalami krisis. Permohonan penundaan serupa juga diajukan oleh 10 asosiasi industri Indonesia kepada DPR. Hal ini kemudian ditindaklanjuti oleh Pemerintah Indonesia pada 25 Desember 2009 dengan melakukan pembentukan tim bersama untuk ACFTA yang dipimpin oleh Menko, melibatkan Apindo, Kadin, dan Departemen Perdagangan. Namun demikian pada akhirnya renegosiasi tidak terlaksana, dan Indonesia tetap mengimplementasikan eliminasi tarif sesuai jadwal yang disepakati. Pihak Pemerintah, di lain pihak justru melihat bahwa keberadaan ACFTA sebagai pendukung dari terlaksananya MP3EI adalah terkait dengan investasi China yang masuk ke Indonesia, sebagai butir kesepakatan yang telah dibuat. Proyek MP3EI membutuhkan dana setidaknya sebesar 600 milliar US Dollar, oleh karena itu masuknya investasi dari China akan selaras dalam mendukung terlaksananya program ini. Tercatat pada tahun 2012, China telah berkomitmen untuk mendukung fasilitas MP3EI khususnya di wilayah Sumatera dan Jawa. 11
Dokumen ACFTA: Agreement on Trade in Goods of The Framework Agreement on Comprehensive Economic Co-operation between The Association of Southeast Asia Nations and The People’s Republic of China, Artikel 3 Poin 1. 12 “Dokumen ASEAN China Free Trade Area Kementerian Perdagangan Republik Indonesia” Kementerian Perdagangan RI, Februari 2010, diakses 12 Desember 2013, http://ditjenkpi.kemendag.go.id/Umum/Regional/Win/ASEAN%20-%20China%20FTA.pdf.
7
Keterlibatan Negara dalam..., Santi Hapsari Paramitha, FISP UI, 2014
Hal ini disampaikan secara jelas oleh Imron Cotan, Duta Besar RI untuk China dan Mongolia pada tahun 2012 sebagai berikut, "Sesuai dengan program pengembangan MP3EI, investasi dari China difokuskan pada pembangunan di koridor satu yakni Jawa dan Sumatera,"13
Di samping itu, Imron Cotan juga melanjutkan, selain investasi, ACFTA terbukti sangat bermanfaat bagi pelaksanaan MP3EI, karena pada tahun 2012, pihak China dan Indonesia secara sinergis telah membangun kelompok kerja MP3EI antara dua negara untuk mendukung proyek-proyek MP3EI. "Sejalan dengan meningkatnya kerja sama RI-China dan terbentuknya kelompok kerja MP3EI kedua negara, China komitmen untuk mendukung fasilitas proyek-proyek MP3EI khususnya di Koridor 1,"14
Guna menarik investasi, Pemerintah Indonesia juga telah mengundang pengusahapengusaha asal China untuk melakukan penjajakan investasi dan peninjauan langsung. Tujuannya, adalah untuk memperbesar peluang investasi dan mempercepat pelaksanaan MP3EI. Berdasarkan data yang ada, tercatat hampir 10 pengusaha dari perusahaan tambang besar asal China telah ikut dalam program tersebut. Perusahaan-perusahaan yang dimaksud di antaranya adalah Rongsheng Group (Petrokimia), Gifore Group (peralatan pertanian), Gezhouba Group (hydropower, building material), Shanghai Construction, Ningxia Hengshun Smelter (nikel icon, Coal), Bosau Minerals Group (mineral), Julong (palm oil), Huangbo (House of Indonesia), dan Dongfang Electric Corp.15 Selain melakukan penjajakan investasi dan peninjauan langsung, pengusaha-pengusaha ini juga melakukan pertemuan dengan pejabat terkait di Indonesia, seperti Menteri Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas, Armida S. Alisjahbana, perwakilan Menteri Perekonomian, Wakil Kepala BPKM, dan Komite Dagang Indonesia – China. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terdapat setidaknya beberapa poin penting yang menjadi jawaban atas keputusan Pemerintah Indonesia untuk mempertahankan keterlibatannya dalam ACFTA walaupun dilanda defisit yang sedemikian besar. Yakni, keterlibatan Indonesia merupakan wujud komitmen Indonesia dalam ASEAN dan Kebijakan 13
Bisnis Aceh, “Pengusaha China Jajaki MP3EI Koridor 1,” 19 November 2012, http://www.bisnisaceh.com/bisnis/pengusaha-china-jajaki-proyek-mp3ei-koridor-1/index.php 14 Ibid. 15 Ibid.
8
Keterlibatan Negara dalam..., Santi Hapsari Paramitha, FISP UI, 2014
Pemerintah Indonesia terhadap China, Keterlibatan Indonesia dalam ACFTA sebagai Upaya Meningkatkan Bargaining Power, Keterlibatan Indonesia dalam ACFTA sebagai Upaya Meningkatkan Perdagangan dan Memastikan Akses Pasar, dan Keterlibatan Indonesia dalam ACFTA sebagai Langkah Strategis dan Pendukung Kebijakan Domestik. Keterlibatan Indonesia dalam ACFTA sebagai Komitmen Indonesia dalam ASEAN dan Kebijakan Pemerintah Indonesia terhadap China Secara umum, keterlibatan Indonesia dalam ACFTA selama sepuluh tahun terakhir (2002-2012) dapat dikatakan sebagai simbol atas dua hal penting. Satu, komitmen Indonesia dalam menjadikan ASEAN sebagai fokus kebijakan luar negeri Indonesia. Dua, kebijakan Pemerintah Indonesia untuk merespon kebangkitan China. Sesuai dengan UU RI No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional, Indonesia berlandaskan pada kepentingan nasional dalam setiap penyelanggaraan perjanjian internasional yang diikutinya. Guna memastikan tercapainya kepentingan nasional tersebut, Indonesia memposisikan penyelenggaraan kerjasama diplomatik dengan pihak-pihak lain di dunia dalam suatu lingkaran konsentris (consentric circle).16 ASEAN, dalam hal ini menduduki posisi dalam lingkaran konsentris pertama. Penempatan ASEAN pada lingkaran konsentris pertama menunjukkan posisi ASEAN sebagai pilar utama Indonesia dalam menjalankan politik luar negerinya. Indonesia memposisikan ASEAN sebagai ‘halaman depan’ yang harus dijaga, sehingga segala macam bentuk kerjasama yang digagas dalam ASEAN harus diwujudkan dengan optimal. Perlu diketahui, posisi Indonesia sebagai salah satu founding fathers juga memiliki arti penting dalam komitmen Indonesia terhadap ASEAN.
Kapabilitas yang lebih maju
membuat Indonesia diperlakukan sebagai role model bagi negara-negara ASEAN lainnya. Bersama dengan lima negara lainnya, dalam ASEAN 6, Indonesia memegang peranan sebagai inisiator sekaligus sebagai ‘pemegang pengaruh’ di ASEAN. Di lain pihak, Indonesia memposisikan ASEAN +3 (Jepang, China, dan Korea Selatan) dalam lingkaran konsentris yang kedua.17 Ini menunjukkan posisi ketiga negara Asia Timur tersebut menjadi urgensi kedua yang diutamakan oleh Indonesia setelah ASEAN. 16
“Lingkaran Konsentrik Kebijakan Luar negeri Indonesia,” Kementerian Luar Negeri RI, Bagian Kerjasama Regional, terakhir dimodifikasi 2014, diakses 22 Mei 2014, http://www.kemlu.go.id/Pages/IFP.aspx?P=Regional&l=id. 17 Ibid.
9
Keterlibatan Negara dalam..., Santi Hapsari Paramitha, FISP UI, 2014
Mengingat ACFTA melibatkan ASEAN dan China (yang berada pada lingkaran konsentris satu dan dua), keterlibatan Indonesia dalam ACFTA dapat dikatakan sebagai wujud komitmen dalam ASEAN dan pemenuhan atas concern kebijakan luar negeri Indonesia untuk pemenuhan kepentingan nasional dalam bidang perekonomian. Di samping memperhatikan lingkaran konsentrik, faktor orientasi kebijakan Presiden juga menjadi elemen penting dalam mengkaji hal ini. Pada saat ACFTA dibuat hingga tahun 2012, Indonesia berada di bawah kepemimpinan dua Presiden, yakni Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono. Berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan, kebijakan yang dilaksanakan oleh kedua Presiden ini memiliki kesamaan dalam beberapa hal, yakni beriorientasi pada support terhadap free trade, orientasi ekspor, dan kedekatan regional.18 Dapat dikatakan bahwa selama kepemimpinan kedua Presiden tersebut, keberadaan ACFTA diangap sebagai‘wadah’ yang tepat atas kedekatan regional dan pengembangan free trade, yang oleh karena itu menjadi pilihan bagi Indonesia untuk memenuhi kepentingan nasional berupa pertumbuhan ekonomi dan perdagangan. Di samping itu, perjalanan hubungan bilateral Indonesia dengan China dalam beberapa dekade ini turut mempengaruhi keterlibatan Indonesia dalam ACFTA. Dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, Indonesia merupakan negara yang terlama menjalin hubungan diplomatik dengan China. Sejak hubungan diplomatik diresmikan pada tahun 1950 hingga saat ini, Indonesia dan China telah menjalani proses kerjasama yang cukup panjang. Kerjasama pada masa Orde lama diwarnai oleh kegiatan-kegiatan yang melibatkan kepentingan ideologi. Kerjasama ini lantas diinstitusionalisasikan dalam bentuk pendirian CONEFO. Namun demikian, kerjasama ini sempat dibekukan pada tahun 1967. Fakta yang menarik dari pembekuan hubungan ini adalah tetap berlangsungnya perdagangan antara Indonesia dan China. Perdagangan yang terjadi walaupun bukan diatur dalam lingkup bilateral, terjadi secara kontinu dengan melibatkan pihak ketiga. Kuatnya keterkaitan pasar antara Indonesia dan China ini menimbulkan kesadaran dari masing-masing pihak untuk membangun kesepakatan dagang terlebih dahulu pada tahun 1985 walaupun hubungan diplomatik belum dinormalisasi. Setelah normalisasi, hubungan yang terjalin antara kedua negara semakin menguat baik secara bilateral maupun regional (melalui ASEAN). Dalam ruang lingkup 18
Ragimun, Analisis Investasi China Sebelum dan Sesudah ACFTA, 2010, Departemen Keuangan RI, diakses 29 Juni 2014, http://www.fiskal.depkeu.go.id/2010/adoku/Ragimun_Analisis%20investasi%20China%20ke%20Indonesia%20 sebelum%20dan%20sesudah%20ACFTA.pdf.
10
Keterlibatan Negara dalam..., Santi Hapsari Paramitha, FISP UI, 2014
bilateral, China merupakan penyumbang dana yang signifikan bagi Indonesia pada masa Krisis Finansial Asia. Melalui IMF, China menyalurkan bantuan yang cukup besar bagi Indonesia untuk melakukan recovery. Hubungan dalam aspek keuangan ini diteruskan dalam kerangka regional dengan ke seluruh negara ASEAN lainnya. Pada tahun 2002, hubungan Indonesia dan China dalam lingkup regional kembali terjalin melalui pembentukan regional trade agreement, yakni ACFTA. Kesepakatan yang dibuat dalam ACFTA mencakup aspek perdagangan barang, jasa, dan investasi dengan penghapusan tarif dan akses pasar yang lebih. Beberapa tahun setelahnya, Indonesia kembali memperkuat hubungannya dengan China melalui penandatanganan strategic partnership. Perjalanan hubungan yang panjang antara Indonesia dan China menunjukkan ‘kedekatan’ antara keduanya. Kerjasama dengan China diselenggarakan secara berkelanjutan meliputi berbagai macam aspek, khususnya perekonomian. Terlebih ketika China telah membuka perekonomiannya dan bangkit menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia, Indonesia merespon hal ini sebagai upaya untuk memenuhi kepentingan nasionalnya. Hal ini diperjelas dalam ungkapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di bawah ini: “...[O]ur target [in developing relations with] China is to look for an opportunity to fulfill our national interests. We have to get something from the rise of China, especially economic terms.”19 [... Target kita dalam membangun hubungan dengan China adalah untuk mencari peluang guna memenuhi kepentingan nasional. Kita harus mendapatkan keuntungan dari kebangkitan China, terutama dalam aspek ekonomi.] Pernyataan tersebut menunjukkan bertapa fenomena kebangkitan China disadari oleh Indonesia harus direspon dengan baik agar dapat mendatangkan manfaat bagi pertumbuhan nasional. ACFTA merupakan upaya yang dilakukan oleh Indonesia dalam kerangka regional sebagai respon atas hal ini. Peranan aktif yang dijalankan Indonesia dalam ACFTA juga mengindikasikan kebijakan Indonesia yang bercorak outward looking guna
19
Rizal Sukma, “Indonesia-China Relations: The Politics of Re-engagement,” Asian Survey 49, Issue 4 (2009), 603.
11
Keterlibatan Negara dalam..., Santi Hapsari Paramitha, FISP UI, 2014
merespon terjadinya fenomena globalisasi.20 Fenomena globalisasi membuat batasan-batasan antar negara semakin pudar, sehingga perpindahan barang, jasa, dan manusia menjadi lebih mudah. Oleh karena itu, penyelenggaraan free trade agreement dengan China, dipilih oleh Indonesia sebagai cara untuk mendatangkan keuntungan dari kekuatan ekonomi yang dimiliki oleh China. Di samping adanya kedekatan geografis dan besarnya pengaruh China Asia Tenggara, inisiasi terhadap ACFTA menunjukkan kuatnya ‘faktor China’ terhadap pertimbangan Indonesia untuk meliberalisasi pasarnya. Penempatan China pada layer ketiga lingkaran konsentris dalam pemenuhan Kepentingan nasionalIndonesia pun semakin memperkuat bahwa Indonesia menanggapi fenomena kebangkitan China dan pengaruhnya di Asia Tenggara secara serius. Keterlibatan Indonesia dalam ACFTA sebagai Upaya Meningkatkan Perdagangan dan Memastikan Akses Pasar Pembentukan ACFTA merupakan simbol terinstitusionalisasinya perdagangan yang diselenggarakan antara negara-negara ASEAN dengan China. Sebelum perjanjian ini dibuat, hubungan dagang ASEAN dengan China sudah sejak lama terjalin dalam bentuk bilateral oleh masing-masing negara ASEAN. Namun demikian, pada kenyataannya mekanisme bilateral yang diselenggarakan secara ‘mandiri’ ini ternyata belum cukup efektif untuk merespon kebangkitan China dan mendatangkan keuntungan bagi kawasan Asia Tenggara. Oleh karena itu, dari sudut pandang ASEAN, hal utama yang melatarbelakangi penyelenggaraan ACFTA ini adalah keinginan untuk merespon kebangkitan China dan mengupayakan terciptanya mekanisme yang dapat mendatangkan keuntungan bagi negaranegara ASEAN atas aksesi China ke WTO. Hubungan perdagangan bilateral yang semula terjalin, dianggap belum cukup memadai untuk mengoptimalisasikan fenomena kebangkitan China, sehingga kemudian digagaslah bentuk mekanisme comprehensive economic cooperation dalam kerangka regional untuk mencapai tujuan itu. Menurut John Whalley, alasan utama yang mendasari mengapa negara terlibat dalam suatu regional trade agreement adalah adanya dua keuntungan dalam aspek perdagangan yang dapat dicapai oleh negara-negara yang terlibat di dalamnya. Dua 20
Mohamad Rosyidin, Hegemoni Globalisme: Tantangan Pembangunan Ekonomi Berbasis Kerakyatan di Tengah Pusaran Globalisasi, (Indonesia: Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Diponegoro, 2014), diakses 22 Mei 2014, http://hi.fisip.undip.ac.id/hegemoni-globalisme-tantangan-pembangunan-ekonomiberbasis-kerakyatan-di-tengah-pusaran-globalisasi/.
12
Keterlibatan Negara dalam..., Santi Hapsari Paramitha, FISP UI, 2014
keuntungan ini di antaranya adalah Traditional Trade Gains dan Guarrantee of Access, atau peningkatan perdagangan dan kepastian akses.21 Pertama, traditional trade gains. Keterlibatan negara untuk berpartisipasi dalam suatu regional trade agreement dibandingkan lingkup kerjasama yang lain, didasarkan pada pertimbangan mengenai key trading partner yang turut berpartisipasi dalam negosiasi yang dilakukan. Keberadaan key trading partner, dapat diartikan sebagai partner dagang yang menawarkan pasar potensial sehingga mendatangkan keuntungan bagi perdagangan domestik. Dalam ACFTA, key trading partner yang dimaksud adalah China. ASEAN, termasuk di dalamnya Indonesia, melihat bahwa potensi pasar China yang menjanjikan dapat dipergunakan untuk meningkatkan volume perdagangan masing-masing negara jika dikemas dalam suatu kerjasama regional. Potensi pasar China bukan hanya menjanjikan untuk meningkatkan nilai ekspor tetapi juga investasi. Dalam segi pasar, China merupakan negara dengan tingkat produktivitas dan industri yang tinggi. Produktivitas yang tinggi ini dengan sendirinya membutuhkan dukungan yang berupa ketersediaan bahan baku yang memadai. Hal inilah yang dibidik oleh negara-negara ASEAN, mengingat ASEAN memiliki keunggulan dalam segi ekspor bahan baku. Di samping pasar, China juga sangat menjanjikan bagi ASEAN ditinjau dari segi investasi. Berkembangnya perusahaan-perusahaan China yang mendunia, menjadi tolak ukur bagi ASEAN untuk menempatkan China sebagai partner yang potensial. Dengan diselenggarakannya ACFTA, diharapkan China akan membuka perusahaan-perusahaannya di negara-negara ASEAN, dan menanamkan investasinya pada perusahaan-perusahaan nasional. Di samping itu, dengan adanya program-program yang dijalankan dalam ACFTA, meliputi EHP, Normal Track I, dan Normal Track II, nilai perdagangan (dalam bentuk ekspor) yang terjadi antara negara-negara ASEAN terhadap China cenderung meningkat. Aspek krusial dalam tahapan-tahapan ini, utamanya EHP adalah bahwa EHP dilaksanakan dengan memberikan kesempatan bagi negara-negara ASEAN untuk mengekspor komoditas agrikulturnya ke China dalam tarif yang sangat rendah. Hal ini memberikan keuntungan yang nyata bagi ASEAN, khususnya Indonesia yang kaya akan sumber daya alam untuk merasakan dampak positif dari perdagangan bebas bahkan sebelum kesepakatan (mengenai eliminasi tarif) tersebut diimplementasikan secara penuh di tahun 2010.
21
Whalley, “ Why Do Countries Seek”, 71.
13
Keterlibatan Negara dalam..., Santi Hapsari Paramitha, FISP UI, 2014
Tabel 1 Data Ekspor dan Impor Perdagangan ASEAN dengan China (2004-2008) Country Name Brunei Darussalam Cambodia Indonesia Lao PDR Malaysia Myanmar Philippines Singapore Thailand Viet Nam ASEAN Export Brunei Darussalam Cambodia Indonesia Lao PDR Malaysia Myanmar Philippines Singapore Thailand Viet Nam ASEAN Import
2004 243 12 4.605 1 8.634 75 2.653 15.321 7.098 2.711 41.352 87 337 4.101 89 11.353 351 2.659 16.137 8.183 4.416 47.714
2005 234 15 6.662 4 9.465 119 4.077 19.770 9.083 2.828 52.258 94 430 5.843 185 14.361 286 2.973 20.527 11.116 5.322 61.136
2006 174 13 8.344 1 11.391 133 4.628 26.472 10.840 3.015 65.010 120 516 6.637 23 15.543 397 3.647 27.185 13.578 7.306 74.951
2007 201 11 8.897 35 15.443 475 5.750 28.925 14.873 3.336 77.945 157 653 8.616 43 18.897 564 4.001 31.908 16.184 12.148 93.173
2008 0 13 11.637 15 18.422 499 5.467 29.082 15.931 4.491 85.558 171 933 15.247 131 18.646 671 4.250 31.583 19.936 15.545 107.114
Sumber: “ASEAN Member States Trade with China”, Website Asean Secretariat, terakhir dimodifikasi 2009, diakses 08 Desember 2013, http://www.asean.org/communities/asean-economic-community/item/asean-chinafree-trade-area-2
Berdasarkan data pada tabel tersebut di atas, terlihat bahwa masing-masing negara ASEAN, sejak diimplementasikannya EHP dan reduksi tarif sejak tahun 2004 mengalami peningkatan ekspor dan impor yang signifikan. Indonesia menduduki posisi ke 4 dalam kategori ekspor tertinggi ke China di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Di antara keempat besar negara pengekspor ke China, Indonesia merupakan negara yang mengalami persentase peningkatan terbesar. Indonesia mengalami peningkatan ekspor hampir tiga kali lipat, dan peningkatan impor hampir empat kali lipat dalam kurun waktu lima tahun sejak diimplementasikannya ACFTA. Namun demikian, peningkatan yang dialami oleh satu negara dengan yang lain tidak sama atau memiliki persentase yang berbeda. Hal ini dijelaskan oleh Brigid Gavin dan Philippe De Lombarde, yang menyatakan bahwa walaupun regional trade agreement secara umum mengakibatkan peningkatan ekonomi dan perdagangan, ketidaksamarataan distribusi peningkatan tetap dapat terjadi.22 Ketidaksamarataan yang terjadi sangat dipengaruhi oleh kapabilitas yang dimiliki oleh masing-masing negara untuk berkompetisi secara regional, 22
Brigid Gavin dan Philippe De Lombarde, “Economic Theories of Regional Integration,”, Global Politics of Regionalism Theory and Practice, ed. Mary Farrell, Bjorn Hettne, dan Luk Van Langenhove (London: Pluto Press, 2005), 74
14
Keterlibatan Negara dalam..., Santi Hapsari Paramitha, FISP UI, 2014
meliputi tingkat teknologi, kapasitas industri, ketersediaan sumber daya alam, tenaga kerja, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, dalam suatu regional trade agreement akan tercipta divergensi antara negara yang menang (the winner), dan negara yang kalah (the losers).23 Apabila dicermati secara mendalam, dari kesepuluh negara ASEAN yang terlibat dalam ACFTA berdasarkan data tersebut di atas hampir kesemuanya memiliki angka impor yang lebih tinggi dibanding ekspornya, kecuali Filipina. Filipina mengalami defisit pada tahun 2004, tetapi pada tahun 2005 hingga 2008 angka ekspor Filipina cenderung lebih tinggi dari angka impornya. Hal ini disebabkan karena kondisi perekonomian Filipina memiliki ketahanan dalam pemenuhan kebutuhan domestik. Ketahanan ini didukung oleh banyaknya bisnis yang telah berkembang di negara-negara lain, sehingga membuat Filipina tidak terlalu tergantung pada komoditas impor untuk memenuhi kebutuhannya. Di samping itu, perekonomian Filipina memang pada dasarnya tidak terlalu bergantung pada ekspor, sehingga membuat ekspor yang dilakukan tergolong minim, walaupun masih lebih banyak dibandingkan nilai impornya. Sementara itu, di antara negara-negara yang mengalami defisit neraca perdagangan antara nilai ekspor dan impor dengan China Singapura mengalami defisit yang paling kecil. Hal ini dikarenakan walaupun nilai impor China yang masuk ke Singapura adalah yang paling tinggi, Singapura dapat mengimbanginya dengan melakukan nilai ekspor yang sama besarnya. Infrastruktur yang memadai membuat Singapura dapat melakukan kegiatan produksinya dengan lancar dan efektif. Di samping itu, posisi Singapura yang seringkali digunakan sebagai hub, juga menguntungkan bagi lalu lintas barang, jasa, dan investasi untuk berkembang pesat dan bisa dimanfaatkan untuk kegiatan ekspor dan impor. Lebih lanjut, Alyssa Greenwald juga menjelaskan bahwa negara-negara yang terlibat dalam regional trade agreement beranggapan bahwa peluang untuk mencapai kesuksesan akan cenderung lebih tinggi. Ini berkaitan dengan jumlah negara yang terlibat cenderung terbatas sehingga negosiasi yang dilakukan lebih mudah dibandingkan dengan negosiasi dalam cakupan kerjasama yang lebih luas.24 Hal ini tercermin dari mekanisme negosiasi yang dilakukan dalam ACFTA utamanya terkait dengan implementasi atau penundaan reduksi tarif dalam jalur-jalur tertentu. Mengingat sukarnya mencapai konsensus dalam ASEAN, negosiasi dilakukan oleh negara yang mengajukan dengan China, dan dihadiri oleh perwakilan negara-negara ASEAN yang lain, sehingga negosiasi yang terjadi walaupun 23
Ibid. Ibid.
24
15
Keterlibatan Negara dalam..., Santi Hapsari Paramitha, FISP UI, 2014
bersifat bilateral tetapi harus disaksikan dan atas persetujuan regional dengan kompensasikompensasi tertentu terhadap kesepaatan yang telah dibuat. Salah satu contoh peristiwa negosiasi bilateral ini dilakukan oleh China dengan Filipina terkait dengan pelaksanaan EHP di tahun 2004 oleh negara-negara ASEAN 6. Ketika itu, hasil dari negosiasi yang dilakukan oleh pihak China dan Filipina, atas beberapa pertimbangan, menghasilkan kesepekatan bahwa Filipina baru akan melaksanakan EHP pada tahun 2005. Kedua, guarrantee of access. Perdagangan yang dilakukan oleh Indonesia dan China tergolong dalam Regional Trade Agreement, yang secara teoritis menawarkan keuntungan lebih bagi negara-negara yang terlibat di dalamnya dibanding dengan negara lain yang tidak. Ketergabungan dalam suatu kerjasama regional, secara khusus memberikan insentif bagi hubungan perdagangan yang terjadi di dalamnya yang berupa kepastian akses. Hal ini disebabkan oleh kesepakatan yang ada untuk saling menurunkan atau bahkan mengeliminasi tarif-tarif tertentu bagi komoditas negara yang tergabung dalam perjanjian tersebut, sehingga lebih mudah untuk menembus pasar lokal. Kepastian akses yang terjadi dalam kesepakatan ini bersifat resiprokal, yakni timbal balik, setara dan seimbang bagi negara-negara yang terlibat, atau berdasarkan kesepakatan apabila ada negara-negara tertentu yang diberikan perlakuan khusus. Terdapat pertimbangan politik dan ekonomi yang dimiliki oleh negara dalam keterlibatannya dalam regional trade agreement. Keputusan untuk meliberalisasi pasar merupakan bentuk tindakan Pemerintah untuk, “...weigh up the ‘benefits’ of foreign market access their exporters against ‘the cost’ of increased impor competitions for their home industries.”25 Sehingga dapat dikatakan bahwa Pemerintah suatu negara telah mempertimbangkan bahwa akses pasar yang didapatkan dalam keterlibatannya di dalam regional trade agreement di samping mendatangkan keuntungan ekspor juga mendatangkan tantangan bagi industri domestik. Dalam kasus ini, keputusan Pemerintah Indonesia untuk terlibat dalam ACFTA secara nyata memberikan kepastian akses bagi Indonesia terhadap pasar China. Di mana akses ini tidak akan dirasakan oleh negara lain yang tidak bergabung dalam ACFTA. Adanya kepastian akses membuat komoditas Indonesia menjadi lebih mudah untuk memasuki pasar China karena tarif yang dikenakan relatif rendah atau bahkan telah dihapuskan sama sekali. Walaupun keterlibatannya dalam ACFTA membuat Indonesia dihadapkan pada kewajiban
25
Ibid.
16
Keterlibatan Negara dalam..., Santi Hapsari Paramitha, FISP UI, 2014
untuk mereduksi tarif hingga mencapai 0% tetapi hal ini cenderung lebih menguntungkan dibandingkan apabila Indonesia memutuskan untuk tidak terlibat sama sekali.26 “... eliminating all tariffs is always a better option for government seeking to maximize social welfare, so regional integration is “a second best” policy.”27 [... mengeliminasi semua tarif selalu menjadi opsi yang lebih baik bagi Pemerintah untuk memaksimalkan kesejahteraan sosial, sehingga integrasi regional adalah kebijakan ‘terbaik kedua”] Berdasarkan penuturan Andri Gilang selaku representatif dari Kementerian Perdagangan RI, tarif MFN28 Indonesia bahkan sebelum bergabung dalam ACFTA, pada dasarnya sudah tergolong rendah, yakni hanya sekitar 7 persen, sehingga membuat banyaknya komoditas asing menjadi cukup mudah untuk memasuki pasar Indonesia. Hal ini juga menciptakan kondisi dimana pasar Indonesia menjadi sangat ‘rawan’ untuk terkena dampak aliran komoditas China, mengingat kapasitas produksinya yang begitu besar dan murah sehingga tidak akan begitu terpengaruh dengan tarif MFN yang ditetapkan. Oleh karena itu, skenario yang ditawarkan oleh ACFTA tergolong menguntungkan karena mekanismenya bersifat “win-win solution”. Ketika Indonesia mereduksi tarifnya hingga 0% terhadap komoditas China, maka China juga wajib melakukan hal yang sama sesuai dengan perjanjian yang dibuat. Dapat diproyeksikan apabila Indonesia memutuskan untuk tidak terlibat dalam ACFTA pada tahun 2002, maka Indonesia akan mengalami kerugian-kerugian sebagai berikut. Satu, Indonesia akan tertinggal dari kemajuan perdagangan yang dirasakan oleh negara-negara ASEAN lainnya, sebab negara-negara ASEAN lainnya akan memperoleh akses yang lebih (karena tarif yang diberlakukan sangat rendah atau bahkan bebas tarif) terhadap pasar China dibandingkan Indonesia. Pasar China yang potensial, tidak akan dapat dijangkau 26
Interview dengan Andri Gilang Ansari, S.E, M.Fin, Kepala Seksi Mitra Asia Timur, Direktorat Kerjasama ASEAN, Direktorat Jenderal Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan RI, pada 02 Mei 2014. 27 Kerry A. Chase, “Economic Interests and Regional Trading Arrangements: The Case of NAFTA,” International Organization 57, Issue 01 (2003), 139. 28 Berdasarkan penjelasan dalam Website WTO, istilah MFN mengacu pada perlakuan non diskriminatif yang diterapkan suatu negara terhadap partner dagangnya dalam suatu perjanjian perdagangan bebas. Istilah MFN memiliki makna kondtradiktif dengan fungsinya dalam perjanjian perdagangan bebas. MFN menekankan pada ”treating virtually everyone equally”, yang menunjukkan bahwa setiap negara yang menjadi anggota, diwajibkan untuk memperlakukan anggota lainnya secara sejajar, sebagai “most favoured trading partner”. Oleh karena itu, tiap kali negara menurunkan hambatan perdagangannya atau membuka pasar, hal ini harus dilakukan untuk komoditas barang dan jasa yang sama dari seluruh partner dagangnya, tidak terkecuali yang kaya, miskin, kuat, ataupun lemah.
17
Keterlibatan Negara dalam..., Santi Hapsari Paramitha, FISP UI, 2014
oleh Indonesia seperti negara-negara yang bergabung dalam ACFTA sehingga Indonesia mengalami kerugian akses. Dua, walaupun skema perdagangan bebas dalam ACFTA dirasa dapat membahayakan pasar domestik, pilihan untuk menghindari perdagangan bebas dengan China, justru mendatangkan kondisi yang tidak menguntungkan. Indonesia tetap terancam dibanjiri produk-produk China mengingat tarif dasar MFN Indonesia yang sudah rendah. Di satu sisi, dalam kondisi tidak tergabung dalam ACFTA, walaupun Indonesia masih menerapkan tarif, komoditas China tetap bisa masuk dengan leluasa. Harga dasar komoditas China yang terbilang murah, tidak akan begitu terpengaruh oleh hambatan tarif yang diberlakukan sehingga masih akan bersifat sangat kompetitif di pasar domestik. Sementara di lain pihak komoditas Indonesia akan menemui kesulitan untuk menembus pasar China mengingat tarif normal China yang tidak direduksi. Hal ini juga menimbulkan komoditas Indonesia tidak dapat bertahan di pasar domestik China karena harga barang Indonesia yang relatif lebih mahal daripada barang asli China.29 Tiga, di samping terancam oleh komoditas China, jika tidak tergabung dalam ACFTA, Indonesia justru akan terancam oleh ekspansi produk sesama negara ASEAN. Hal ini disebabkan karena Indonesia dan negara-negara ASEAN yang lain telah menyepakati terbentuknya AFTA di tahun-tahun sebelumnya. Di mana tarif untuk sesama negara ASEAN telah direduksi sesuai kesepakatan. Negara-negara ASEAN lain (yang tergabung dalam AFTA dan ACFTA) memiliki akses untuk memasuki pasar Indonesia, sementara pada waktu yang sama negara-negara ini telah mendapatkan keuntungan atas pasokan bahan baku atau produk setengah jadi yang diperoleh dengan harga lebih murah dari China. Hal ini lantas mengakibatkan banjirnya komoditas dari ASEAN yang sangat kompetitif dan membahayakan pasar domestik Indonesia. Keterlibatan Indonesia dalam ACFTA sebagai Upaya Meningkatkan Bargaining Power Berdasarkan sejarah hubungan Indonesia, China, dan ASEAN yang telah dibahas pada Bab 2, terdapat beberapa hal yang menjadi sorotan utama untuk memahami pola hubungan ketiganya, yakni (1) Posisi Indonesia yang penting di ASEAN, (2) Perbaikan hubungan antara Indonesia dengan China pasca normalisasi, dan (3) Hubungan institusional 29
Interview dengan Andri Gilang Ansari, S.E, M.Fin, Kepala Seksi Mitra Asia Timur, Direktorat Kerjasama ASEAN, Direktorat Jenderal Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan RI, pada 02 Mei 2014.
18
Keterlibatan Negara dalam..., Santi Hapsari Paramitha, FISP UI, 2014
yang kuat antara ASEAN dan China. Ketiga poin ini menjadi catatan yang penting untuk menjelaskan komitmen Indonesia dalam ACFTA. Kembali mengutip penjelasan John Whalley, keterlibatan negara dalam suatu regional trade agreement di samping mengandung objektif ekonomi, juga memiliki objektif politik, yakni peningkatan multilateral bargaining power dan multilateral and regional interplay.30 Increasing multilateral bargaining power, diartikan oleh Whalley sebagai peningkatan bargaining power negara apabila tergabung dalam suatu regional trade agreement ketika melakukan negosiasi dengan pihak ketiga. Ketika Indonesia melakukan negosiasi bilateral dengan China, bargaining power yang dimiliki tidak akan sebesar ketika Indonesia bersama dengan negara-negara ASEAN yang lain secara kooperatif menggunakan kesepakatan perdagangan bersama dalam negosiasi. Bargaining power dalam melakukan negosiasi dengan pihak ketiga meningkat apabila dilakukan dalam kerangka regional karena disebabkan oleh beberapa hal: (1) Adanya kesamaan kebijakan perdagangan yang telah disepakati oleh negara-negara dalam kawasan regional yang sama; dan (2) Akumulasi pasar yang lebih besar. Adanya dua faktor ini menjadi keunggulan yang dimiliki oleh pihak yang membawa nama institusi regional, sehingga menjadi pertimbangan bagi pihak ketiga dalam negosiasi yang dilaksanakan. Bukti dari besarnya bargaining power ASEAN dalam ACFTA terlihat dari dua hal. Pertama, penyelenggaraan EHP. EHP merupakan ide yang diusulkan oleh ASEAN guna membangun kepercayaan diri dan mendapatkan keuntungan lebih awal di ACFTA.31 Pada prosesnya, China menyetujui pelaksanaan EHP walaupun telah menyadari bahwa keunggulan komparatifnya terletak pada industri manufaktur. Akibatnya China mengalami kerugian di dalam perdagangan agrikuktur, terutama dengan Indonesia, Thailand, dan Filipina. Namun pada tahun-tahun setelahnya China tetap setuju untuk melanjutkan karena bulatnya permintaan ASEAN mengenai EHP. Bahkan dalam kondisi ini, China berjanji untuk mempercepat reduksi tarifnya. Suara bulat ASEAN dapat diibaratkan sebagai suara dari 10 negara di kawasan Asia Tenggara yang menginginkan hal yang sama. Kondisi ini dengan sendirinya membuat bargaining power tiap-tiap negara di dalamnya terhadap China menjadi lebih besar. 30
Whalley, “Why Do Countries Seek” 71. Shulan Ye, “China’s Regional Policy in East Asia and Its Characteristics” dalam Discussion Paper 66 (UK: Chinese Policy Institute, School of Contemporary Chinese Studies, International House, the University of Nottingham, Oktober 2010), 14. 31
19
Keterlibatan Negara dalam..., Santi Hapsari Paramitha, FISP UI, 2014
Kedua, adalah inisiasi pemberian perlakuan khusus pada negara-negara CLMV. Negara-negara ASEAN diwajibkan untuk mengimplementasikan reduksi tarif pada 1 Januari 2010. Pada tahun 2010, diharapkan keenam negara ini telah mempergunakan periode transisi untuk mempersiapkan diri sebelum eliminasi tarif diberlakukan secara penuh. Namun demikian, ketidaksamarataan pembangunan di ASEAN sempat menjadi kendala untuk melakukan implementasi ini. Adanya ketimpangan pembangunan negara-negara CLMV, dengan ASEAN 6 menjadi pertimbangan tersendiri. Hingga pada akhirnya ASEAN mengajukan negosiasi untuk memberikan perlakuan khusus pada negara-negara CLMV dengan alasan perbedaan tingkat kesejahteraan. Permintaan ini mendapatkan respon positif dari China. Sesungguhnya secara pragmatis, China dapat menggunakan ‘kelemahan’ CLMV dan keunggulan yang dimilikinya untuk mendapatkan keuntungan perdagangan. Namun pada kenyataanya, China memilih untuk tidak melakukannya karena adanya concern ASEAN yang begitu besar terhadap hal ini. Oleh karena itu, alih-alih mempertahankan kesepakatan reduksi tarif bagi CLMV sama seperti yang lain, China menyetujui pemberian perlakuan khusus bagi CLMV. Perlakuan khusus yang diberikan berupa perpanjangan periode transisi dan penundaan periode reduksi tarif selama lima tahun, hingga tahun 2015. Implikasi berupa peningkatan bargaining power terhadap pihak ketigajuga dapat dirasakan oleh Indonesia sebagai negara yang tergabung dalam ASEAN. Melalui negosiasi bilateral dengan China, Indonesia berhasil membuat kesepakatan mengenai tindakan yang harus dilakukan salah satu pihak apabila pihak yang lain mengalami defisit. Indonesia diwakili oleh Mari Elka Pangestu dan China diwakili oleh Chen Deming menandatangani "Agreed Minutes of The Meeting for Further Strengthening Economic and Trade Cooperation" dalam 10th Indonesia-China Joint Commission Meeting yang diselenggarakan di Yogyakarta pada 03 April tahun 2010. Dalam pertemuan ini, Mari Elka Pangestu mengemukakan hasil kesepakatan sebagai berikut, "The agreement contains steps the two countries will jointly take to settle problems faced by certain sectors as a result of the implementation of the Asean-China Free Trade Area (ACFTA),"32
32
Jafar M. Sidik ed., “Indonesia, China Agree to Strengthen Partnership”, ANTARA NEWS 04 April 2010, http://www.antaranews.com/en/news/1270325150/indonesia-china-agree-to-strengthen-partnership.
20
Keterlibatan Negara dalam..., Santi Hapsari Paramitha, FISP UI, 2014
[Perjanjian mengandung langkah-langkah yang akan diambil oleh kedua negara untuk menangani permasalahan yang dialami oleh sektorsektor tertentu sebagai hasil dari implementasi ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA)] Secara lebih detail, Mari Elka Pangestu melanjutkan bahwa kesepakatan ini merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi kekhawatiran domestik di beberapa sektor industri tertentu akibat implementasi ACFTA. Negosiasi yang dilakukan Indonesia dengan China pada akhirnya menghasilkan kesepakatan mengenai pertumbuhan perdagangan bilateral yang berkelanjutan sebagai berikut, "In case of a trade imbalance the party that enjoys a surplus is obliged to take steps including boosting imports and giving needed support,"33 [Dalam kasus terjadi ketidakseimbangan perdagangan, pihak yang mengalami surplus diwajibkan untuk mengambil langkah-langkah termasuk mendorong impor dan memberikan dukungan yang dibutuhkan] Di samping butir kewajiban pihak yang mengalami surplus untuk ‘membantu’ pihak yang mengalami defisit, dalam kesepakatan ini juga dibahas mengenai pembukaan akses tambahan pasar China terhadap komoditas agrikultur Indonesia meliputi nanas, rambutan, sarang burung walet dan lain sebagainya. Dalam aspek investasi, China juga menyetujui permintaan Indonesia atas pembukaan cabang Bank Milik Negara, yakni Bank Mandiri di China. Pembukaan cabang ini dilakukan untuk memperkuat dan mempercepat proses transaksi langsung antara kedua negara. Terhadap
dunia,
Indonesia
memiliki
posisi
yang
meningkat
semenjak
ketergabungannya di ACFTA. Mengingat ACFTA merupakan area perdagangan regional yang menduduki peringkat terbesar ketiga di dunia, di bawah EU dan NAFTA, Indonesia dengan sendirinya mengalami peningkatan ekspor karena tergabung dalam suatu pasar yang sangat potensial. Dalam periode ketergabungannya dalam ACFTA di tahun 2008 hingga 2012, Indonesia menduduki posisi 26 dari ranking negara-negara pengekspor terbesar di dunia dengan tren sebesar 12,8%.34 Kesepakatan-kesepakatan yang dihasilkan mengindikasikan banyak ‘keuntungan’ yang didapatkan oleh Indonesia ketika melakukan negosiasi bilateral dengan China. 33
Ibid. WITS-UNCOMTRADE, diolah oleh Pusat Data dan Infromasi Kementerian Perdagangan RI
34
21
Keterlibatan Negara dalam..., Santi Hapsari Paramitha, FISP UI, 2014
Keuntungan yang didapatkan oleh Indonesia dalam hal ini tidak hanya meliputi aspek perdagangan, tetapi juga investasi. Terlebih, Indonesia melalui beberapa negosiasi mendapatkan kemudahan atas permintaan yang disetujui oleh pihak China terkait dengan permasalahan defisit dan lain sebagainya. Perlu dicermati, walaupun negosiasi ini bersifat bilateral, negosiasi ini membahas mengenai keberlangsungan ACFTA, yang mana di dalamnya juga melibatkan negara-negara ASEAN yang lain, sehingga justifikasi peningkatan bargaining power Indonesia dalam ACFTA terbukti. Keterlibatan Indonesia dalam ACFTA sebagai Langkah Strategis dan Pendukung Kebijakan Domestik Ditinjau dari segi posisi geografis, ASEAN memiliki keunggulan setidaknya tiga keunggulan yang menjadi daya tarik utama. Pertama, adalah keunggulan sumber daya, daya beli, dan ukuran pasar. Kedua, adalah kedekatannya dengan wilayah Asia Timur dan anak benua India. Ketiga, sebagai bypass geopolitik untuk menyeimbangkan tensi China-Amerika Setikat.35 Meninjau posisinya yang sedemikian potensial, ASEAN lantas menggunakannya untuk mengupayakan kemajuan regional, salah satunya melalui perdagangan dengan partner dagang potensial. Menurut John P. Lovell perumusan kebijakan suatu negara sangat dipengaruhi oleh lingkungan internal dan eksternal. Strategi yang dibuat oleh para pembuat keputusan dalam lingkungan internal sangat dipengaruhi oleh strategi apa yang diterapkan oleh negara lain.36 Dalam hal ini yang diterapkan oleh Indonesia terkait dengan keterlibatannya dalam ACFTA dapat digolongkan dalam concordance strategy. Strategi ini dilakukan oleh negara yang kapabilitasnya lebih rendah dari negara lain, dan memandang bahwa strategi yang dilakukan oleh negara lain tersebut dapat mendukung kepentingan nasional-nya. Negara yang menggunakan strategi ini akan berusaha memelihara hubungan yang harmonis dengan negara yang kapabilitasnya lebih kuat darinya. Indonesia dengan kapabilitas perdagangan yang lebih rendah dari China melihat bahwa keberadaan China dan kebijakan yang diterapkannya untuk melakukan aksesi ke WTO dapat dioptimalkan melalui kerangka regional. Terlihat bahwa salah satu Kepentingan nasional yang ingin diwujudkan oleh Indonesia adalah maksimalisasi volume perdagangan 35
Low, “ASEAN in Introspect and Retrospect” 38. John P. Lovell, Foreign Policy in Perspective: Strategy, Adaption, Decision Making (New York: Holt, Rinehart, and Winsto Co., 1970), 65. 36
22
Keterlibatan Negara dalam..., Santi Hapsari Paramitha, FISP UI, 2014
domestik dan penguatan daya saing global melalui ekspor. ACFTA merupakan sarana yang tepat bagi Indonesia untuk mewujudkan hal ini, sebab ACFTA dinilai sebagai regional trade agreement terbesar ke 3 di dunia setelah EU dan NAFTA. Sehingga dengan keterlibatan di dalamnya, Indonesia dapat menggunakan atmosfer yang ada sebagai sarana untuk memperkuat kapasitas ekspor. Adapun alasan mengapa Pemerintah Indonesia terkesan tak bergeming dengan tuntutan yang disampaikan di kalangan domestik dan keberatan yang diajukan oleh DPR atas keterlibatan dalam ACFTA dapat dijelaskan dengan melihat 2 hal, yakni: ketiadaan wewenang DPR untuk membatalkan perjanjian yang telah dibuat oleh Pemerintah Indonesia37, dan adanya agenda-agenda domestik yang hendak dicapai melalui ACFTA. Terkait dengan poin pertama, ketiadaan wewenang DPR ini dapat dikaji dengan merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional, khususnya pasal 4 ayat 1 dan 2 yang berbunyi sebagai berikut:38 (1) Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian internasional dengan satu negara atau lebih, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan; dan para pihak berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan iktikad baik. (2) Dalam pembuatan perjanjian internasional, Pemerintah Republik Indonesia berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan, baik hukum nasional maupun hukum internasional yang berlaku. Melalui pasal ini dapat diketahui bahwa wewenang untuk membuat perjanjian internasional dengan pihak manapun merupakan wewenang Pemerintah Indonesia yang berpedoman pada kepentingan nasional. Oleh karena itu keterlibatan Indonesia dalam ACFTA, yang dikategorikan sebagai perjanjian internasional, dilakukan untuk mencapai kepentingan nasional. Adapun keberatan yang diajukan oleh DPR cenderung tidak akan berpengaruh banyak terhadap keputusan Pemerintah Indonesia, sebab pada dasarnya 37
Dalam hal ini istilah Pemerintah Indonesia merujuk pada kekuasaan eksekutif, meliputi Presiden, Menteri, atau pejabat yang ditunjuk secara sah dan menerima surat kuasa berdasarkan undang-undang untuk bertindak mewakili Pemerintah Republik Indonesia dengan tujuan untuk menerima atau menandatangani naskah suatu perjanjian atau mengikatkan diri pada perjanjian internasional (Pasal 7 ayat 1 UU RI No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional). 38 Lihat pada bagian lampiran. Undang-Undang Republik Indonesia No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional.
23
Keterlibatan Negara dalam..., Santi Hapsari Paramitha, FISP UI, 2014
kewenangan untuk menandatangani atau melakukan pembatalan terhadap perjanjian internasional berada di tangan eksekutif, bukan di tangan legislatif. Fakta ini termaktub dalam pasal 10 dan 11 UU RI No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian internasional di bawah ini:39 Pasal 10 Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan : a. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara; b. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia; c. kedaulatan atau hak berdaulat negara; d. hak asasi manusia dan lingkungan hidup; e. pembentukan kaidah hukum baru; f. pinjaman dan/atau hibah luar negeri. Pasal 11 (1) Pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud Pasal 10, dilakukan dengan keputusan presiden. (2) Pemerintah Republik Indonesia menyampaikan salinan setiap keputusan presiden yang mengesahkan suatu perjanjian internasional kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk dievaluasi. Keberadaan pasal 10 menjustifikasi bahwa ACFTA tidak termasuk dalam perjanjian internasional yang pengesahannya didasarkan pada undang-undang dan melibatkan DPR. Hal ini disebabkan karena ACFTA hanya menyangkut mengenai perdagangan dan tidak menyangkut poin-poin yang bersifat fundamental sebagaimana yang telah disebut di pasal 10. Sementara pasal 11 ayat 1 menjelaskan bahwa pengesahan yang berlaku bagi ACFTA dilakukan atas keputusan Presiden. Walaupun peran DPR dalam suatu perjanjian internasional disinggung dalam pasal 11 ayat 2, tetapi peranan DPR yang diatur dalam undang-undang ini bukanlah wewenang untuk membatalkan atau melakukan perubahan terhadap perjanjian yang telah dibuat. Peranan DPR yang dapat dilakukan adalah berupa usulan yang kemudian akan disampaikan kepada Pemerintah Indonesia untuk menjadi pertimbangan. Oleh karena itu, apabila usulan yang disampaikan oleh DPR mengenai renegosiasi ACFTA dinilai tidak memungkinkan, maka keputusan akhir untuk melakukan renegosiasi atau mempertahankan keterlibatan akan selalu berada di tangan eksekutif.
39
Ibid.
24
Keterlibatan Negara dalam..., Santi Hapsari Paramitha, FISP UI, 2014
Terkait dengan poin kedua, penelusuran yang dilakukan menunjukkan bahwa penyelenggaraan ACFTA berkaitan dengan pencapaian agenda-agenda domestik, sehingga Pemerintah Indonesia lantas mempertahankan keterlibatan dalam ACFTA. Adapun agendaagenda domestik yang hendak diwujudkan dijabarkan dalam penjelasan di bawah ini. Satu, pemenuhan kebutuhan domestik. Ketika negosiasi pembentukan ACFTA diselenggarakan,
Indonesia
berada
di
bawah
kepemimpinan
Presiden
Megawati
Soekarnoputri. Dalam proses negosiasi, Indonesia diwakili oleh Menteri Perdagangan RI kala itu, yakni Mari Elka Pangestu. Dalam implementasinya, segala macam perjanjian yang disepakati diadopsi dalam peraturan nasional yang berada di bawah wewenang Kementerian Perdagangan RI. Kementerian Perdagangan RI menyebutkan bahwa alasan utama yang mendasari persetujuan Indonesia untuk bergabung dalam ACFTA adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan domestik. Sebelum menyatakan persetujuan terhadap kerjasama perdagangan baik bilateral, regional, maupun multilateral, pihak Kementerian Perdagangan akan
melakukan hearing dengan
Kementerian-Kementerian
terkait.40 Hearing
ini
dilaksanakan untuk melihat hal-hal apa saja yang dibutuhkan dalam lingkup domestik Indonesia. Berdasarkan hearing yang dilakukan, tergambar bahwa kekuatan pasar Indonesia secara umum adalah penyediaan bahan baku/bahan mentah. Keberlimpahan sumber daya alam baik agrikultur maupun tambang menjadi salah satu daya tarik Indonesia. Namun demikian, tingkat teknologi yang belum memadai membuat Indonesia pada akhirnya harus mensiasati keberlimpahan sumber daya ini dengan dua cara: (1) mengekspor bahan baku kepada negara dengan tingkat industri yang tinggi; dan (2) mengimpor alat-alat produksi dari negara tersebut. Pada saat itu, trading partner yang dianggap cukup kredibel untuk memenuhi kebutuhan domestik adalah China. Keunggulan dalam bidang teknologi dan kepemilikan pasar yang besar menjadikan China sebagai partner dagang yang tepat untuk memenuhi kebutuhan Indonesia akan teknologi produksi dan menyerap bahan baku Indonesia untuk diolah kembali. Berdasarkan pertimbangan tersebut, ACFTA dinilai sebagai kerjasama yang prospektif untuk diwujudkan. 40
Interview dengan Andri Gilang Ansari, S.E, M.Fin, Kepala Seksi Mitra Asia Timur, Direktorat Kerjasama ASEAN, Direktorat Jenderal Perdagangan Internasional, Kementerian Perdagangan RI, pada 02 Mei 2014. Kementerian-kementerian yang dimaksud meliputi Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
25
Keterlibatan Negara dalam..., Santi Hapsari Paramitha, FISP UI, 2014
Faktor China yang kuat menjadikan Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Susilo bambang Yudhoyono melihat bahwa kerjasama ini kemudian berkembang pada aspekaspek lain di luar perdagangan, seperti investasi dan jasa. Perluasan cakupan kerjasama ini menjadi pertimbangan bagi Indonesia untuk mendapatkan keuntungan yang lebih banyak. Perluasan ini juga dinilai sebagai kebijakan yang efektif untuk memberikan peluang bagi investor lokal untuk ‘mengembangkan sayap’ dan menembus pasar China. Dua, pengembangan industri manufaktur dan peningkatan daya saing komoditas domestik. Paul R. Krugman dan Maurice Obstfeld menyebutkan bahwa terdapat perbedaan antara objektif kebijakan yang dilakukan oleh negara-negara maju dan negara berkembang terhadap suatu perjanjian perdagangan internasional. Negara-negara berkembang menjalankan suatu kebijakan perdagangan internasional dengan beriorientasi pada upaya untuk mengembangkan industri manufaktur.41 Indonesia yang dalam hal ini dikategorikan sebagai negara berkembang juga memiliki objektif yang sama. Dalam menentukan suatu kebijakan ekonomi dan perdagangan, Indonesia menggabungkan kekuatan pasar dan intervensi negara. Melalui integrasi terhadap regional trade agreement yang dijalin dengan partner dagang tertentu, Indonesia berupaya untuk mengembangkan industri manufaktur dan melaksanakan perbaikan kualitas dan daya saing komoditas lokal yang disinergikan dengan penerapan kebijakan domestik. Tujuantujuan tersebut tercermin dari pidato yang disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai berikut: “... Pada kesempatan yang baik ini, saya mengajak para pelaku usaha dan industri nasional untuk menyikapi pemberlakuan ACFTA dengan penuh percaya diri. Pemerintah telah menempuh sejumlah langkah strategis untuk memperkuat sektor usaha dan industri nasional. Pemerintah terus bekerja keras, untuk menghasilkan kebijakankebijakan yang memperkuat perekonomian nasional. Melalui kesepakatan ACFTA itu pula, kita sesungguhnya dapat mencari peluang untuk menarik investasi lebih besar ke Indonesia. Lebih dari sekedar peluang, sesungguhnya ini semua adalah kerangka institusional yang dapat meningkatkan perekonomian Indonesia secara lebih sehat dan produktif. Kita diuji untuk mampu melewati periode transisional dalam dunia perdagangan. Keberhasilan kita dalam melalui era transisional ini, akan meletakkan fondasi yang penting, bagi upaya kita bersama membangun sebuah arsitektur perekonomian global, yang tidak saja lebih bebas 41
Paul R. Krugman dan Maurice Obstfeld, Ekonomi Internasional Teori dan Kebijakan, trans. Faisal H. Basri (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994), 299.
26
Keterlibatan Negara dalam..., Santi Hapsari Paramitha, FISP UI, 2014
namun juga lebih adil. Dalam jangka menengah dan panjang, keberhasilan kita membangun fondasi itu, juga akan mengukuhkan kita sebagai pemain yang tangguh dalam percaturan perekonomian global di abad 21 ini.”42 ACFTA dinilai sebagai sarana yang tepat untuk mengembangkan industri manufaktur dan mengasah kualitas, mengingat komoditas China bersifat kompetitif terhadap komoditas domestik. Pengembangan industri manufaktur menjadi sedemikian penting bagi Indonesia sebab inilah yang seringkali digunakan oleh negara-negara berkembang sebagai indikator pembangunan nasional.43 Orientasi Indonesia mengenai potensi ACFTA juga didasari oleh perspektif baru Indonesia meningkatkan daya saing dalam dunia internasional, sebagaimana dikemukakan oleh Menteri Perindustrian Republik Indonesia, MS Hidayat sebagai berikut, “Diharapkan semua pelaku usaha industri dalam negeri bersama-sama dengan pemerintah menghimpun kekuatan nasional pada persaingan pasar dengan meningkatkan kinerja sektor industri guna mendukung pertumbuhan industri nasional,"44 Dan, “Pada saat ini, kita berada pada perspektif baru persaingan internasional”45 Pemahaman serupa juga terlihat dari presentasi yang disampaikan oleh Mari Elka Pangestu. Ia menyampaikan bahwa kesepakatan perdagangan bebas merupakan suatu keniscayaan, sehingga yang harus dilakukan oleh produsen Indonesia adalah meningkatkan kualitas produk lokal dalam menghadapi persaingan dagang dengan China.46 Pernyataan ini berkaitan dengan tingkat perkembangan teknologi dan industri yang memadai untuk menciptakan produk-produk yang bermutu tinggi sekaligus aman bagi konsumen. “... kemitraan strategis RI-China sangat penting dan strategis untuk kesejahteraan dan perdamaian kedua negara. Kerangka 42
Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Peresmian Pembukaan The 12th Jakarta International Handicraft Trade Fair (INACRAFT) melalui Video Conference, Tampak Siring, 21 April 2010, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, diakses 22 Mei 2014, http://kemlu.go.id/Pages/SpeechTranscriptionDisplay.aspx?Name1=Pidato&Name2=Presiden&IDP=638&l=id. 43 Ibid., 44 Ant/Gor, “ACFTA Buka Peluang Promo Produk Dalam Negeri”, INVESTOR DAILY INDONESIA, 03 Mei 2011, http://www.investor.co.id/home/acfta-buka-peluang-promo-produk-dalam-negeri/11083. 45 Ibid. 46 Presentasi Menteri Perdagangan RI dalam Diskusi Ulang Tahun The Jakarta Post, Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Mei 2011.
27
Keterlibatan Negara dalam..., Santi Hapsari Paramitha, FISP UI, 2014
kemitraan strategis kedua negara menaungi sekitar dua per tiga penduduk dunia, yakni 1,3 miliar penduduk China dan 240 juta penduduk Indonesia.”47 Pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut menegaskan kaitan antara kemitraan Indonesia dan China dalam ACFTA dengan kesejahteraan Indonesia. ACFTA dalam hal ini, sesuai yang dikemukakan oleh APKASI, diposisikan sebagai faktor yang mendukung upaya penyusunan Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). MP3EI adalah kebijakan pembangunan perekonomian domestik yang dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2011. MP3EI diberlakukan pada tahun 2011 hingga 2035 dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing Indonesia yang semakin terintegrasi dalam perekonomian dunia. Kebutuhan untuk meningkatkan daya saing sangat berkaitan dengan pembangunan teknologi. ACFTA yang sarat akan kompetisi dalam hal harga dan kualitas komoditas dinilai selaras dengan tujuan dari penyelenggaraan program ini. Oleh karena itu, dengan adanya ACFTA, urgensi untuk mensukseskan MP3EI ini semakin tinggi agar pembangunan infrastruktur industri dapat terlaksana dengan baik sehingga dapat menghasilkan komoditas yang berdaya saing tinggi. Selain diposisikan sebagai trigger untuk mensukseskan kebijakan dan program domestik, ACFTA juga berperan sebagai pendukung yang aktivitas yang tengah digarap Pemerintah. Berdasarkan data yang telah dipaparkan pada Subbab 3.2.2, telah disebutkan bahwa MP3EI dalam penyelenggaraannya membutuhkan dana yang cukup besar. Dalam hal ini, posisi China dalam ACFTA memberikan keuntungan bagi Indonesia untuk menarik investasi. Komitmen yang telah dibangun antara Indonesia dan China untuk membentuk komite bersama MP3EI menunjukkan bagaimana Indonesia memanfaatkan keberadaan ACFTA dengan baik. Di samping itu, persetujuan China untuk mendukung MP3EI dan menyalurkan investasi yang tersebar di koridor 1, dapat membantu
agenda Pemerintah
Indonesia untuk membangun infrastruktur yang diperlukan, khususnya di Sumatera. Oleh karena itu, pada akhirnya, ACFTA memiliki 2 signifikansi sebagai trigger, sekaligus sebagai stimulus bagi Indonesia dalam menyukseskan kebijakan dan program domestik, MP3EI. Di samping MP3EI yang merupakan rencana jangka panjang, salah satu bentuk komitmen Indonesia untuk meningkatkan daya saing domestik adalah melalui penetapan 47
Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Penerimaan Gelar Doktor Kehormatan dari Tsingua University China, Maret 2012, Ant/Gor, INVESTOR DAILY INDONESIA, 24 Mei 2012 http://www.investor.co.id/home/fta-asean-china-majukan-ekonomi-daerah/36820.
28
Keterlibatan Negara dalam..., Santi Hapsari Paramitha, FISP UI, 2014
Standar Nasional Indonesia (SNI). Melalui penetapan ini, Pemerintah Indonesia melakukan kontrol kualitas komoditas yang akan diekspor sehingga menghasilkan kualitas terbaik untuk dapat bersaing di pasar global secara umum pasar China secara khusus. Di samping menjaga kualitas ekspor, standar ini juga diterapkan oleh Pemerintah Indonesia sebagai kebijakan yang bersifat nontarif, bersama dengan label halal dan label berbahasa Indonesia untuk komoditas asing yang masuk ke pasar Indonesia. Menilik data pada bab sebelumnya yang menyebutkan tentang reaksi negatif para pelaku usaha terhadap ACFTA, terlihat adanya perbedaan pandangan dengan Pemerintah yang masih memandang bahwa ACFTA layak untuk diteruskan. Hal ini merupakan gambaran Pemerintah Indonesia yang melihat bahwa keterlibatan dalam ACFTA merupakan langkah yang strategis bagi Indonesia untuk mengintegrasikan diri dalam kerjasama perdagangan regional yang kompetitif, yang mana di sisi lain turut memberikan insentif sebagai pendukung peningkatan kebijakan domestik mengenai peningkatan daya saing. Kesimpulan Semangat regionalisme telah menguat di kawasan Asia Tenggara. Penguatan ini dibuktikan melalui pelaksanaan berbagai macam kerjasama yang digagas dalam tubuh ASEAN sebagai bentuk institusi regional di Asia Tenggara. Kerjasama yang dibangun tidak lagi hanya melibatkan anggota dan bersifat internal, tetapi juga melibatkan preferensi negara partner. China sebagai kekuatan ekonomi Asia Timur, menjadi partner dagang yang potensial bagi ASEAN. Penyelenggaraan framework of comprehensive economic cooperation dengan China merupakan batu loncatan pertama yang dilakukan oleh ASEAN dan China untuk memperkuat hubungan di antara keduanya. Pendirian ASEAN – China Free Trade Agreement merupakan langkah kedua yang ditujukan meningkatkan kapasitas ekonomi regional. Dalam perjalanannya selama 10 tahun pertama, ACFTA telah mengembangkan lingkup kerjasamanya dalam aspek perdagangan barang, jasa, dan investasi. Mengingat bahwa ASEAN adalah konsensus, segala macam kesepakatan yang dibuat mengacu pada persetujuan seluruh negara yang terlibat di dalamnya, termasuk Indonesia. Reduksi tarif dalam ACFTA menimbulkan ketidakseimbangan antara ekspor dan impor Indonesia – China, yang berujung pada terjadinya defisit. Dalam konteks domestik, industri Indonesia juga mengalami tantangan yang sangat berat atas persaingan dengan komoditas China, sehingga tidak sedikit di antaranya tidak mampu bersaing dan harus gulung tikar. 29
Keterlibatan Negara dalam..., Santi Hapsari Paramitha, FISP UI, 2014
Kerasnya respon domestik terhadap hal ini, memunculkan tuntutan bagi Pemerintah Indonesia untuk melakukan renegosiasi implementasi ACFTA. Namun demikian, Indonesia tetap menjalankan peranannya dalam ACFTA sebagaimana yang telah disepakati. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat aspek-aspek yang dirasa lebih menguntungkan dan bernilai “lebih” dibandingkan defisit yang dialami, untuk tetap mempertahankan keterlibatannya di ACFTA hingga sepuluh tahun lamanya (2002 – 2012).
Gambar 2 Keterlibatan Indonesia dalam ACFTA Pertama, ditinjau dari konteks kepentingan nasional, berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa bagi Indonesia,digagasnya ACFTA merupakan bentuk kerjasama yang memiliki dua elemen penting, yakni ASEAN dan China. Keterlibatan Indonesia dalam ACFTA mengacu pada komitmen Indonesia terhadap ASEAN dan segala macam kerjasama yang digagas di dalamnya sebagai institusi regional. Komitmen ini ditunjukkan dengan fokus kebijakan luar negeri Indonesia yang memposisikan ASEAN sebagai halaman depan. Adapun dalam ranah domestik, kewenangan untuk mengikuti dan membatalkan suatu perjanjian internasional berada di tangan kekuasaan eksekutif, sehingga tidak dapat dipengaruhi oleh pihak di luar eksekutif. Oleh karena itu, apabila terdapat pihakpihak yang mengajukan keberatan, maka poin yang disampaikan akan digunakan sebagai pertimbangan dan evaluasi. 30
Keterlibatan Negara dalam..., Santi Hapsari Paramitha, FISP UI, 2014
Di samping itu, Indonesia memiliki kebijakan terhadap China sama halnya dengan yang diterapkan terhadap ASEAN. Indonesia pada dasarnya menyadari bahwa fenomena kebangkitan China adalah suatu keniscayaan, dan Indonesaia berupaya untuk memanfaatkan kebangkitan China ini untuk mendatangkan keuntungan bagi peningkatan ekonomi dan perdagangan nasional. Hal ini selaras dengan tujuan ASEAN untuk meningkatkan kemajuan regional. Oleh sebab itu Indonesia mempertahankan keterlibatannya dalam ACFTA sebagai bentuk komitmen terhadap ASEAN dan respon atas kebangkitan China. Kedua, ditinjau dari segi keuntungan free trade agreement, di samping kerugiankerugian yang dialami, terdapat pula dampak positif yang dialami oleh Indonesia atas keterlibatannya dalam ACFTA. Dampak perekonomian yang diperoleh Indonesia meliputi peningkatan perdagangan dengan China dan akses pasar China yang menjadi semakin terbuka. Melalui keterlibatannya di ACFTA, Indonesia memastikan akses terhadap China yang tidak dapat dimiliki oleh negara-negara lain di luar ACFTA. Walaupun data menunjukkan bahwa sejauh ini impor dari China lebih banyak masuk dibandingkan ekspor Indonesia ke China, dan menimbulkan defisit neraca perdagangan, keputusan untuk melakukan renegosiasi atau tidak terlibat sama sekali justru dinilai oleh Pemerintah Indonesia sebagai pilihan yang sangat merugikan dan mengakibatkan ketertinggalan Indonesia dibandingkan negara-negara ASEAN yang lainnnya. Ketiga, ACFTA juga bermanfaat bagi posisi Indonesia dalam hubungan internasional. Dalam lingkup internal ACFTA, dengan mengusung nama ASEAN, Indonesia memiliki bargaining power yang lebih tinggi terhadap China, sebab negosiasi yang terjadi di dalamnya menyangkut keberlangsungan kesepakatan bagi kesebelas negara yang terlibat. Posisi ini mengakibatkan adanya kemudahan-kemudahan yang diperoleh oleh ASEAN secara umum, dan Indonesia secara khusus dalam penyelenggaraan ACFTA. Sementara dalam lingkup internasional, keterlibatan Indonesia dalam ACFTA membuat Indonesia menjadi salah satu pemain penting dalam pasar terbesar ke-3 di dunia selain EU dan NAFTA. Keempat, keselarasan antara keikutsertaan Indonesia dalam ACFTA dan agenda domestik juga tampak dari hasil penelitian yang dilakukan. Indonesia telah memiliki agenda untuk meningkatkan daya saing domestik terhadap persaingan internasional. Keberadaan ACFTA, dengan China sebagai partner dagang utama, dipandang oleh Pemerintah dapat dipergunakan sebagai acuan untuk meningkatkan daya saing perekonomian Indonesia. Di samping itu, ACFTA juga dipahami sebagai sarana yang dapat mendukung keberadaan rencana pembangunan perekonomian Indonesia, melalui MP3EI. Kontribusi investasi China 31
Keterlibatan Negara dalam..., Santi Hapsari Paramitha, FISP UI, 2014
terhadap pelaksanaan MP3EI khususnya di koridor 1, menjadikan keberadaan China menjadi demikian potensial baik sebagai acuan dan sebagai stimulus pembangunan ekonomi di Indonesia. Pada akhirnya, penelitian ini sampai pada kesimpulan bahwa adanya empat alasan ini menjadi dasar bagi Pemerintah Indonesia untuk mempertahankan keterlibatannya di ACFTA walaupun mengalami defisit dan tekanan dari pelaku bisnis domestik. Keuntungan yang didapat dari keempat aspek tersebut membuat Pemerintah Indonesia memandang bahwa ACFTA memiliki lebih banyak dampak positif yang bersifat jangka panjang dibanding defisit yang sedang terjadi. Defisit yang terjadi dinilai bersifat sementara, yang nantinya akan bermanfaat sebagai trigger bagi kemajuan perekonomian nasional. Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia saat ini lantas mengoptimalkan potensi yang ada untuk turut mengembangkan berbagai sektor perekonomian di samping perdagangan demi mendapatkan keuntungan yang diharapkan dari ACFTA. Rekomendasi Dari penelitian yang telah dilakukan, terdapat beberapa rekomendasi praktis yang dapat bermanfaat bagi Indonesia. Pertama, hingga saat penelitian ini ditulis, kebanyakan pemahaman mengenai dampak positif dan peluang yang didapat dari ACFTA bagi Indonesia hanya muncul dari kalangan elit Pemerintah saja. Kalangan umum cenderung melihat bahwa perdagangan bebas bersifat merugikan. Terlebih ketika perdagangan bebas tersebut dilakukan dengan China, dengan kapasitas dagang yang sedemikian besar, kalangan umum menekankan pada ketidaksiapan Indonesia untuk berkompetisi di dalamnya. Hal ini menunjukkan kurangnya pemahaman masyarakat bahkan para pelaku bisnis dan industri atas potensi dan keuntungan yang bisa digali dari penyelenggaraan ACFTA. Oleh karena itu, diperlukan adanya sosialisasi dan pengarahan dari Pemerintah melalui Kementerian terkait mengenai sisi positif dan langkah-langkah yang harus dioptimalkan untuk bersifat kompetitif dalam ACFTA sehingga para pelaku bisnis dan industri dapat mengoptimalkan peluang yang ada. Kedua, banyaknya pendapat yang muncul terkait dengan ‘ketidaksiapan’ Indonesia terhadap aliran komoditas dari China dapat diatasi Pemerintah melalui implementasi hambatan non-tarif. Hambatan non-tarif merupakan salah satu aspek yang diperbolehkan dalam kesepakatan ACFTA. Sehingga optimalisasi hambatan non-tarif ini diharapkan dapat menekan laju masuknya komoditas China ke Indonesia, dan memberikan ruang bagi komoditas domestik untuk menjadi ‘tuan rumah’ di pasar sendiri. 32
Keterlibatan Negara dalam..., Santi Hapsari Paramitha, FISP UI, 2014
Ketiga, berkaca dari negara-negara ASEAN lain yang dapat survive dalam pelaksanaan ACFTA, lesson learned yang dapat dipetik adalah bahwa negara-negara tersebut memiliki kemajuan teknologi dan infrastruktur yang sangat mendukung. Oleh karena itu, untuk dapat memaksimalkan posisinya baik dalam ACFTA maupun perdagangan bebas lainnya di masa mendatang, Indonesia sangat membutuhkan sentuhan teknologi dan infrastruktur yang memadai untuk menunjang pembangunan perekonomian nasional. Keberlangsungan agenda pelaksanaan MP3EI penting halnya untuk dioptimalkan dan diawasi dengan cermat oleh Pemerintah, sehingga Indonesia pada akhirnya sanggup menjadi negara dengan perekonomian yang maju dan berdaya saing tinggi dalam pasar regional, bahkan internasional.
33
Keterlibatan Negara dalam..., Santi Hapsari Paramitha, FISP UI, 2014
Daftar Referensi Ant/Gor. “ACFTA Buka Peluang Promo Produk Dalam Negeri.” INVESTOR DAILY INDONESIA. 03 Mei 2011. http://www.investor.co.id/home/acfta-buka-peluang-promoproduk-dalam-negeri/11083. Chase, Kerry A. “Economic Interests and Regional Trading Arrangements: The Case of NAFTA”. International Organization 57, Issue 01. 2003. Fifield, Russel H. National and Regional Interest in ASEAN. Singapura: Institut of Southeast Asian Studies, 1979. Gavin, Brigid, dan Philippe De Lombarde. “Economic Theories of Regional Integration.” Dalam Global Politics of Regionalism Theory and Practice diedit oleh Mary Farrell, Bjorn Hettne, & Luk Van Langenhove. London: Pluto Press, 2005. Ginting, Abren. “The Impacts of ACFTA to Indonesia – China Trade” ICRA Indonesia Comment. (2011): 1-6. Griffiths, Martin, dan Terry O’Callaghan. International Relations The Key Concepts. New York: Taylor & Francis Group, 2002. Hadi, Syamsul. “Indonesia, ASEAN, and The Rise of China: Indonesia in the Midst of East Asia’s Dynamics in The Post-Global Crisis World”. International Journal of China Studies 3 No. 2 (2012): 151-166. Krugman, Paul R. & Maurice Obstfeld. International Economics Theory and Policy. US: Addison Wesley, 1997. Lovell, John P. Foreign Policy in Perspective: Strategy, Adaption, Decision Making. New York: Holt, Rinehart, and Winsto Co, 1970. Low, Linda. “ASEAN in Introspect and Retrospect,” Dalam ASEAN-China Economic Relations, diedit oleh Sam Swee-Hock. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 2007. Priyambodo, RH ed., “Indonesia Braces for 18th ASEAN Summit,” ANTARA NEWS, 22 November 2011. http://www.antaranews.com/en/news/70541/indonesia-braces-for-18thasean-summit. Ragimun. Analisis Investasi China Sebelum dan Sesudah ACFTA. Departemen Keuangan RI. 2010. Diakses 29 Juni 2014. http://www.fiskal.depkeu.go.id/2010/adoku/Ragimun_Analisis%20investasi%20China%20ke %20Indonesia%20sebelum%20dan%20sesudah%20ACFTA.pdf. Rosyidin, Muhammad. Hegemoni Globalisme: Tantangan Pembangunan Ekonomi Berbasis Kerakyatan di Tengah Pusaran Globalisasi. Indonesia: Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Diponegoro, 2014. Diakses 22 Mei 2014. http://hi.fisip.undip.ac.id/hegemoni-globalisme-tantangan-pembangunan-ekonomi-berbasiskerakyatan-di-tengah-pusaran-globalisasi/. 34
Keterlibatan Negara dalam..., Santi Hapsari Paramitha, FISP UI, 2014
Sidik, Jafar M. ed. “Indonesia, China Agree to Strengthen Partnership,” ANTARA NEWS 04 April 2010. http://www.antaranews.com/en/news/1270325150/indonesia-china-agree-tostrengthen-partnership. Sukma, Rizal. “Indonesia – China Relations: The Politics of Re-engagement” Asian Survey 49, Issue 4. (2009): 591-608. Whalley, John. “Why Do Countries Seek Regional Trade Agreements?” dalam The Regionalization of the World Economy, diedit oleh Jeffrey A. Frankel, 63-90. US: University of Chicago Press, 1998. Wunderlich, Jens-Uwe. Regionalism, Globalisation, and International Order Europe and Southeast Asia. Hampshire: Ashgate Limited Publishing, 2007. Ye, Shulan. “China’s Regional Policy in East Asia and Its Characteristics”. Discussion Paper 66. UK: Chinese Policy Institute, School of Contemporary Chinese Studies, International House, the University of Nottingham, 2010. “Lingkaran Konsentrik Kebijakan Luar Negeri Indonesia,” Kementerian Luar Negeri RI, Bagian Kerjasama Regional, terakhir dimodifikasi 2014, diakses 22 Mei 2014, http://www.kemlu.go.id/Pages/IFP.aspx?P=Regional&l=id. “Pengusaha China Jajaki MP3EI Koridor 1,” Bisnis Aceh, 19 November 2012, http://www.bisnisaceh.com/bisnis/pengusaha-china-jajaki-proyek-mp3ei-koridor-1/index.php Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Peresmian Pembukaan The 12th Jakarta International Handicraft Trade Fair (INACRAFT) melalui Video Conference, Tampak Siring, 21 April 2010, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, diakses 22 Mei 2014, http://kemlu.go.id/Pages/SpeechTranscriptionDisplay.aspx?Name1=Pidato&Name2=Presiden &IDP=638&l=id. Pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Penerimaan Gelar Doktor Kehormatan dari Tsingua University China, Maret 2012, Ant/Gor, INVESTOR DAILY INDONESIA, 24 Mei 2012 http://www.investor.co.id/home/fta-asean-china-majukan-ekonomi-daerah/36820
35
Keterlibatan Negara dalam..., Santi Hapsari Paramitha, FISP UI, 2014
36 Keterlibatan Negara dalam..., Santi Hapsari Paramitha, FISP UI, 2014