Analisis Kepastian Hukum Perlakuan Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi Wajib Pajak Badan Usaha Milik Negara Masuk Bursa (Studi pada PT ABC (Persero) Tbk) Lisa Fransiska1 dan Iman Santoso2 1 2
Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Departemen Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
[email protected],
[email protected]
Abstrak Perlakuan yang berbeda dalam penggunaan dasar penghitungan angsuran antara WP BUMN dan WP masuk bursa serta ketidakjelasan penggunaan tarif angsuran berpotensi menimbulkan permasalahan kepastian hukum bagi PT ABC (Persero) Tbk sebagai WP BUMN masuk bursa. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan menganalisis kepastian hukum perlakuan PPh Pasal 25 bagi PT ABC serta untuk menganalisis implikasi permasalahan kepastian hukum perlakuan PPh Pasal 25 bagi PT ABC. Pendekatan yang digunakan yakni kuantitatif-deskriptif dengan teknik analisis data melalui wawancara mendalam dan studi literatur. Mengacu pada konsep kepastian hukum, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan PPh Pasal 25 bagi PT ABC belum memenuhi kepastian hukum. Implikasi permasalahan tersebut bagi PT ABC, di antaranya terjadinya lebih bayar PPh Badan tahun pajak 2013; terganggunya cash flow perusahaan; sulitnya memprediksi cash flow perusahaan, serta ancaman sanksi Pasal 14 UU KUP.
Analysis of the Legal Certainty of Article 25 Income Tax Treatment for the Go PublicState Owned Enterprises Taxpayer (Study to PT ABC (Persero) Tbk) Abstract Different treatment for installment tax base between SOE Taxpayers and Go Public Taxpayers also the uncertain treatment for installment tax rate potentially raise the legal certainty issue of Article 25 Income Tax treatment for PT ABC (Persero) Tbk as a Go Public-SOE Taxpayer. Therefore, the purposes of this research are to analyse the legal certainty aspect of Article 25 Income Tax treatment for PT ABC as well as to analyse the implications of legal certainty issue of Article 25 Income Tax treatment for PT ABC. This research is conducted by a quantitative approach with in-dept interview and literature study as data collection techniques. According to the legal certainty concept, the results of this research show that the Article 25 Income Tax treatment for PT ABC as a go public-SOE Taxpayer has not yet reflected the legal certainty aspect. This issue leads to several implications to PT ABC such as the over-payment of Corporate Income Tax in 2013 fiscal year; disruption to corporate’s cash flow; difficulty to predict corporate’s cash flow; and threat to administrative penalty. Keywords: Go Public-State Owned Enterprise; legal certainty; tax base; tax rate; taxpayer.
Pendahuluan Kepastian hukum merupakan aspek yang harus tercakup dalam setiap kebijakan pemerintah, termasuk kebijakan perpajakan. Hal ini ditujukan agar kebijakan perpajakan dapat turut mendukung jalannya kegiatan usaha setiap Wajib Pajak, terutama apabila Wajib
Analisis kepastian…, Lisa Fransiska, FISIP UI, 2014
Pajak tersebut menyumbang penerimaan pajak yang cukup signifikan bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), seperti WP BUMN masuk bursa. Kontribusi penerimaan pajak yang berasal dari WP BUMN masuk bursa dapat dikatakan cukup signifikan dibandingkan dengan penerimaan pajak yang berasal dari WP BUMN pada umumnya. Hal ini dibuktikan dalam Tabel 1 berikut. Tabel 1 Penerimaan Pajak BUMN di KPP WP Besar 3 dan KPP WP Besar 4 Tahun 2011-2013 (dalam Jutaan Rupiah) 2011 No.
Jenis Pajak
1.
PPN
2.
58.410.562
BUMN MB 4.453.103
PPh 25/29 Badan
26.908.321
4.
PPh Psl 21, 22, 23, 26
5. 6.
BUMN
2013
64.735.681
BUMN MB 3.994.765
73.462.284
BUMN MB 5.340.736
14.795.394
20.894.098
14.787.993
28.810.655
21.207.851
13.886.474
2.771.277
12.414.562
3.518.114
17.237.471
3.982.924
PPnBM
11.933
787
83.584
395
65.019
22
Lain-lain
2.441.010
3.488.995
2.693.982
3.288.587
3083536
3.527.617
101.658.300
25.509.556
100.821.907
25.589.854
122.658.965
34.059.150
Total
BUMN
2012 BUMN
Sumber: KPP WP Besar 3 dan KPP WP Besar 4, telah diolah peneliti, 2014.
Berdasarkan Tabel 1, penerimaan BUMN masuk bursa yang cukup dominan ditunjukkan pada penerimaan PPh Pasal 25/29 (PPh Badan). Penerimaan PPh Badan BUMN masuk bursa mencapai lebih dari setengah penerimaan PPh Badan BUMN secara umum sejak tahun 2011 hingga tahun 2013. Tingginya penerimaan PPh Badan tidak terlepas dari adanya mekanisme angsuran tahun berjalan yang disebut PPh Pasal 25. Bagi Wajib Pajak BUMN masuk bursa, angsuran PPh Pasal 25 mengacu pada Pasal 25 ayat (7) UU PPh serta peraturan turunannya, yakni PMK No. 255/PMK.03/2008 s.t.d.d. PMK No. 208/PMK.03/2009 (selanjutnya disebut PMK 255). Dalam PMK 255, terdapat perbedaan penghitungan angsuran PPh Pasal 25 bagi WP BUMN dan bagi WP masuk bursa. Masalah kepastian hukum pun pada akhirnya muncul. Hal ini tidak terlepas dari permasalahan interpretasi cakupan subjek pajak dalam Pasal 4 dan Pasal 5 PMK 255. Tidak hanya menyangkut dasar penghitungan angsuran, terdapat isu permasalahan kepastian hukum yang dihadapi PT ABC dalam penerapan tarif umum untuk menghitung angsuran PPh Pasal 25 ini. Hal ini terkait dengan fasilitas penurunan tarif PPh Badan yang diperoleh PT ABC sebagai Wajib Pajak masuk bursa yang telah memenuhi ketentuan Pasal 17 ayat (2b) UU PPh.
Analisis kepastian…, Lisa Fransiska, FISIP UI, 2014
Berdasarkan paparan di atas, peneliti melakukan penelitian mengenai analisis kepastian hukum perlakuan Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi Wajib Pajak BUMN masuk bursa melalui studi pada PT ABC (Persero) Tbk. Adapun tujuan penelitian yang diajukan dalam penelitian ini antara lain: a. Untuk menganalisis kepastian hukum perlakuan Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi PT ABC (Persero) Tbk sebagai Wajib Pajak BUMN masuk bursa. b. Untuk menganalisis implikasi permasalahan kepastian hukum perlakuan Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi PT ABC (Persero) Tbk.
Tinjauan Teoretis 1.
Teknik Pemungutan Pajak Menurut Rosdiana dan Irianto (2012, h. 106), terdapat tiga teknik yang secara teoretis
dapat diterapkan dalam pemungutan pajak, yaitu self-assessment system, official assessment system, dan hybrid system/semi-self-assessment system. Teknik pemungutan pajak yang ditekankan dalam kerangka teori ini adalah self-assessment system dan official assessment system. Dalam
sistem
self-assessment,
Wajib
Pajak
diwajibkan
menghitung,
memperhitungkan, dan membayar sendiri jumlah pajak yang seharusnya terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan sehingga penentuan penetapan besarnya pajak yang terutang berada pada Wajib Pajak itu sendiri. Selain itu, Wajib Pajak juga diwajibkan untuk melaporkan secara teratur jumlah pajak yang terutang dan yang telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam undang-undang (Gunadi et al., 1997, h. 6-7). Berbeda dengan sistem self-assessment, dalam sistem official assessment, fiskus yang berperan aktif dalam menghitung dan menetapkan besarnya pajak yang terutang. Berdasarkan surat ketetapan yang diterbitkan fiskus, Wajib Pajak membayar pajak yang terutang tersebut (Rosdiana dan Irianto, 2012, h. 107). 2.
Asas Kepastian Hukum dalam Pemungutan Pajak Kepastian hukum (certainty) menurut Smith yakni pajak tidak ditentukan secara
sewenang-wenang. Apabila tidak pasti kepada Wajib Pajak tentang kewajiban pajaknya, pajak yang terhutang akan tergantung kepada “kebijaksanaan” petugas pajak sehingga petugas pajak dapat menyalahgunakan kekuasaan untuk keuntungan dirinya (Mansury, 1996, h. 5). Menurut Nurmantu (2003, h. 130-131), kepastian hukum adalah suatu kondisi dalam mana tidak terdapat keragu-raguan dalam memenuhi kewajiban perpajakan dan menjalankan
Analisis kepastian…, Lisa Fransiska, FISIP UI, 2014
hak perpajakan baik bagi Wajib Pajak maupun fiskus. Kepastian hukum perpajakan terdapat dalam undang-undang perpajakan sebagai rujukan utama dan peraturan pelaksanaannya sebagai rujukan berikutnya (Nurmantu, 2003, h. 130-131). Asas certainty (kepastian) menyatakan bahwa harus ada kepastian, baik bagi petugas pajak maupun semua Wajib Pajak dan seluruh masyarakat. Asas kepastian antara lain mencakup kepastian mengenai siapa yang harus dikenakan pajak, apa saja yang dijadikan sebagai objek pajak, besarnya jumlah pajak yang harus dibayar, dan bagaimana jumlah pajak yang terutang itu harus dibayar. Artinya, kepastian bukan hanya menyangkut kepastian mengenai subjek pajak (dan pengecualiannya), objek pajak (dan pengecualiannya), dasar pengenaan pajak serta besarnya tarif pajak, tetapi juga mengenai prosedur pemenuhan kewajibannya—antara lain prosedur pembayaran dan pelaporan—serta pelaksanaan hak-hak perpajakannya (Rosdiana dan Irianto, 2011, h. 35). Dengan kata lain, certainty harus mengandung kepastian atas unsur-unsur: (a) Subjek; (b) Objek; (c) Dasar Pengenaan Pajak; (d) Tarif; (e) Prosedur (Rosdiana dan Tarigan, 2005, h. 133). 3.
Penafsiran Hukum Pajak Penafsiran suatu hukum pajak merupakan suatu hal yang penting untuk mencapai
kepastian hukum. Menurut Mertokusumo (1999, h. 155), interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Asshiddiqie (2006, h. 274) berpendapat bahwa terdapat sembilan teori penafsiran. Kesembilan teori penafsiran tersebut, di antaranya (1) Teori penafsiran letterlijk atau harfiah; (2) Teori penafsiran gramatikal atau interpretasi bahasa; (3) Teori penafsiran historis; (4) Teori penafsiran sosiologis; (5) Teori penafsiran sosio-historis; (6) Teori penafsiran filosofis; (7) Teori penafsiran teleologis; (8) Teori penafsiran holistik; (9) Teori penafsiran holistik tematis-sistematis. 4.
Current Payment System Menurut Nurmantu (2005, h. 106), current payment merupakan kewajiban Wajib
Pajak berdasarkan undang-undang perpajakan untuk memenuhi kewajiban perpajakannya selama tahun berjalan terkait dengan sistem pembayaran. Current payment ditujukan untuk
Analisis kepastian…, Lisa Fransiska, FISIP UI, 2014
menjamin kelancaran dana ke kas negara, di samping agar beban Wajib Pajak tidak tertumpuk pada akhir tahun (Nurmantu, 2005, h. 106). Salah satu bentuk current payment system adalah estimated tax payment. Estimated tax payment tidak melibatkan partisipasi pihak ketiga dalam pemungutan pajak. Dalam hal ini, Wajib Pajak yang bersangkutan yang harus melakukan pembayaran pajak tahun berjalan berdasarkan perkiraan pajak terutang (Kelley dan Oldman, 1973, h. 344). Gunadi (2002, h. 88) berpendapat bahwa estimated tax yang dibayarkan oleh Wajib Pajak bersifat angsuran.
Metode Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif. Pemilihan pendekatan ini dilakukan dengan alasan peneliti ingin membuktikan teori kepastian hukum dan membandingkannya dengan data yang diperoleh di lapangan mengenai perlakuan Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi PT ABC sebagai Wajib Pajak BUMN masuk bursa. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa teori mengenai kepastian hukum memiliki peranan yang dominan dalam penelitian ini. Meskipun pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif, teknik pengumpulan data serta teknik analisis data yang digunakan yaitu kualitatif. Dalam mengumpulkan data, peneliti melakukan studi lapangan dengan instrumen wawancara mendalam sebagai sumber data primer. Informan yang diwawancarai peneliti di antaranya: (1) Direktorat Peraturan Perpajakan II Direktorat Jenderal Pajak (DJP); (2) Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar 3; (3) Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar 4; (4) PT ABC (Persero) Tbk; (5) Konsultan Pajak; (6) Akademisi Perpajakan; (7) Akademisi Hukum; (Kementerian BUMN). Selain melakukan wawancara mendalam, peneliti juga melakukan studi literatur sebagai sumber data sekunder dalam penelitian. Oleh karena itu, data yang dikumpulkan peneliti berbentuk kata, kalimat, pernyataan, gambar, dan sebagainya.
Pembahasan 1.
Kepastian Hukum Perlakuan Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi PT ABC (Persero) Tbk sebagai BUMN Masuk Bursa Kepastian hukum merupakan aspek yang sangat penting dalam pemungutan pajak.
Dalam penelitian ini, peneliti fokus pada aspek kepastian hukum dalam PMK Nomor 255/PMK.03/2008 (selanjutnya disebut PMK 255) dalam mengatur perlakuan PPh Pasal 25 bagi BUMN masuk bursa, yakni PT ABC (Persero) Tbk.
Analisis kepastian…, Lisa Fransiska, FISIP UI, 2014
Terdapat penafsiran yang berbeda dalam PMK 255 mengenai BUMN masuk bursa sebagai subjek PPh Pasal 25. Sebagai konsekuensinya, terjadi pula perbedaan penafsiran mengenai penggunaan dasar penghitungan dan tarif angsuran dalam menghitung PPh Pasal 25 bagi BUMN masuk bursa. Sementara itu, unsur objek pajak dan unsur prosedur pemenuhan kewajiban pajak tidak diatur dalam PMK ini sehingga tidak akan dibahas oleh peneliti. a. Kepastian Hukum Subjek Pajak PMK 255 mengatur secara terpisah perlakuan PPh Pasal 25 bagi subjek pajak BUMN dan subjek pajak badan masuk bursa. Perbedaan ini dapat dilihat dari ringkasan Pasal 4 dan Pasal 5 PMK 255 berikut. -
Penghitungan PPh Pasal 25 bagi WP BUMN dan WP BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun, kecuali WP bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi berdasarkan Pasal 4 ayat (1) PMK 255: [(tarif umum x laba-rugi fiskal berdasarkan lapkeu berkala terakhir) – kredit pajak] / 12.
-
Penghitungan PPh Pasal 25 bagi WP Masuk Bursa dan WP lainnya yang diwajibkan membuat laporan keuangan berkala berdasarkan Pasal 5 PMK 255 [(tarif umum x laba-rugi fiskal berdasarkan RKAP) – kredit pajak] / 12.
Ringkasan di atas menimbulkan pertanyaan, “Bagaimana seharusnya perlakuan bagi WP BUMN yang telah masuk bursa? Apakah harus mengikuti ketentuan Pasal 4 atau Pasal 5?” Pengaturan secara tumpang tindih tersebut tentunya mencerminkan adanya dualisme perlakuan PPh Pasal 25 bagi BUMN masuk bursa. Dualisme perlakuan PPh Pasal 25 bagi WP BUMN masuk bursa menimbulkan keragu-raguan mengenai perlakuan PPh Pasal 25 bagi WP tersebut, apakah mengikuti ketentuan sebagai BUMN atau mengikuti ketentuan sebagai perusahaan masuk bursa. Hal ini berpengaruh terhadap berubah-ubahnya perlakuan PPh Pasal 25 bagi salah satu WP BUMN masuk bursa yakni PT ABC. Pada tahun 2010, PT ABC mendapat penegasan bahwa PT ABC harus tunduk pada aturan sebagai WP BUMN. Namun, berdasarkan penegasan pada tahun 2013, PT ABC tidak lagi tunduk pada aturan sebagai BUMN, melainkan harus tunduk pada aturan sebagai WP masuk bursa. Adanya dualisme ini terbukti dari pengakuan pihak KPP Wajib Pajak Besar 3 sebagai KPP yang mengadministrasikan Wajib Pajak BUMN masuk bursa, termasuk PT ABC. Berikut kutipan wawancara dengan pihak KPP Wajib Pajak Besar 3. “Tentang pengertian BUMN itu sendiri, kalau bank jelas… BUMN ketika Tbk itu di sini orang yang masih agak kabur, masih bisa interpretasinya berbeda karena di sini kan disebutnya Wajib Pajak yang masuk bursa, tidak disebutkan “baik yang BUMN maupun yang non BUMN” (Wawancara Mendalam dengan Bapak Joga Saksono,
Analisis kepastian…, Lisa Fransiska, FISIP UI, 2014
Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi I KPP Wajib Pajak Besar 3 pada 4 April 2014) Di tengah keragu-raguan mengenai cakupan subjek pajak dalam Pasal 4 dan Pasal 5 PMK 255, penafsiran yang tepat dari kedua pasal tersebut sangat diperlukan agar tercipta kepastian hukum. Berikut penafsiran terhadap cakupan subjek pajak di kedua pasal tersebut. Penafsiran Cakupan Subjek Pasal 4 PMK 255 Pasal 4 PMK 255 mengatur mengenai PPh Pasal 25 bagi subjek pajak BUMN dan BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun, kecuali Wajib Pajak bank dan Sewa Guna Usaha dengan hak opsi. Tercakupnya BUMN masuk bursa dalam Pasal 4 PMK 255 didukung oleh adanya penyebutan kata “dengan nama dan dalam bentuk apapun” dalam pasal tersebut. Kata “dengan nama dan dalam bentuk apapun” dalam Pasal 4 PMK 255 dapat diartikan bahwa pasal ini tidak membedakan nama dan bentuk BUMN. Mengacu pada UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, terdapat dua bentuk BUMN, yakni Perum dan Persero. BUMN Persero itu sendiri dapat berbentuk Persero Terbuka (BUMN yang telah masuk bursa) dan Persero Tertutup. Dengan kata lain, BUMN masuk bursa juga tercakup dalam pasal ini. Oleh karena itu, selama suatu badan usaha masuk dalam pengertian BUMN berdasarkan UU BUMN (kecuali yang bergerak di bidang perbankan dan SGUHO), badan usaha tersebut tunduk pada Pasal ini. Penafsiran Cakupan Subjek Pasal 5 PMK 255 Pasal 5 PMK 255 mengatur mengenai penghitungan angsuran PPh Pasal 25 bagi WP masuk bursa dan WP lainnya yang berdasarkan ketentuan diharuskan membuat laporan keuangan berkala. Dalam Pasal 5, tidak ada petunjuk secara jelas apakah WP masuk bursa yang berbentuk BUMN juga tercakup dalam pasal ini. Pasal 4 pun tidak memberi pengecualian bagi WP BUMN yang masuk bursa. Upaya untuk menemukan jawaban dari dualisme ini telah dilakukan dengan menggunakan prinsip lex specialis derogaat lex generalis. Namun, prinsip ini tidak dapat mengarahkan pada simpulan bahwa Pasal 5 merupakan aturan khusus dari Pasal 4 atau sebaliknya dalam mengatur
BUMN masuk bursa. Hal ini didasarkan pada alasan tidak
adanya main rule (aturan utama) dan exception (pengecualian) yang jelas dari kedua pasal tersebut yang dapat mengarahkan interpretasi mengenai cakupan subjek pajak dalam Pasal 4 dan Pasal 5 PMK 255. Kasus ini berbeda dengan kasus perlakuan bagi WP BUMN yang bergerak di bidang usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi. Dalam hal ini, WP bank dan SGUHO telah
Analisis kepastian…, Lisa Fransiska, FISIP UI, 2014
jelas dikecualikan dalam Pasal 4 PMK 255. Pengecualian ini dapat digunakan untuk mengarahkan perlakuan bagi WP tersebut untuk tunduk pada Pasal 3 PMK 255. Kebingungan dalam menentukan cakupan subjek pajak dalam Pasal 4 dan Pasal 5 PMK 255 disebabkan karena penafsiran hanya dilakukan secara gramatikal sebagaimana telah dipaparkan di atas. Menurut pendapat Henry Hutagaol, akademisi hukum UI, penafsiran gramatikal terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan di Indonesia hanya akan menimbulkan kerancuan. Alasannya, Undang-Undang perpajakan di Indonesia banyak memberikan ruang kepada eksekutif untuk mengatur lebih lanjut hal-hal yang belum diatur di dalam undang-undang (misalnya dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Keuangan, dan sebagainya). Oleh karena itu, diperlukan penafsiran secara holistik, yakni memaknai peraturan dengan cara mengaitkannya dengan peraturan perundang-undangan yang terkait. Dalam kasus ini, perlu dilakukan pula penafsiran terhadap UU BUMN, UU Perseroan Terbatas, UU Pasar Modal dalam kaitannya dengan BUMN masuk bursa (Wawancara mendalam dengan Henry D. Hutagaol, Akademisi Hukum UI, pada 6 Juni 2014). Ketidakmampuan penafsiran secara gramatikal untuk mengarahkan pada kepastian hukum subjek BUMN masuk bursa dalam hal perlakuan PPh pasal 25 dibuktikan dengan adanya interpretasi yang berbeda di antara berbagai pihak. Padahal, suatu peraturan tidak boleh menyebabkan munculnya interpretasi yang berbeda agar mencerminkan kepastian hukum. b. Kepastian Hukum Dasar Penghitungan Angsuran Ringkasan Pasal 4 dan Pasal 5 PMK 255 pada poin bahasan sebelumnya menunjukkan bahwa PMK 255 memberikan pembedaan yang jelas dalam hal dasar penghitungan angsuran PPh Pasal 25 yang digunakan oleh WP BUMN dan WP masuk bursa. Sementara itu, teknis penghitungan angsuran yang digunakan pada dasarnya adalah sama. Dasar penghitungan angsuran dalam Pasal 4 dan Pasal 5 PMK 255 memang jelas berbeda. Namun, yang menjadi akar permasalahan adalah cakupan subjek pajak dalam Pasal 4 dan Pasal 5 PMK 255 yang tidak secara terang mengatur perlakuan bagi subjek pajak BUMN masuk bursa. Hal inilah yang kemudian memicu perbedaan pendapat antara WP dengan fiskus mengenai dasar penghitungan apa yang harus digunakan oleh BUMN masuk bursa dalam menghitung angsuran PPh Pasal 25. Dalam konteks PT ABC, dispute mengenai penggunaan dasar penghitungan angsuran PPh Pasal 25 bukan suatu hal yang baru saja terjadi. Pada tahun 2010, PT ABC pernah mendapat penegasan yang intinya menyatakan bahwa PT ABC harus menghitung PPh Pasal
Analisis kepastian…, Lisa Fransiska, FISIP UI, 2014
25 menggunakan dasar berupa RKAP. Namun, pada tahun 2013, PPh Pasal 25 PT ABC dihitung oleh KPP menggunakan dasar berupa laporan keuangan berkala. Perubahan perlakuan PPh Pasal 25 bagi WP BUMN masuk bursa dapat dengan mudah terjadi karena besaran angsuran PPh Pasal 25 tidak ditentukan sendiri oleh Wajib Pajak, melainkan oleh KPP melalui surat yang disampaikan kepada WP selama tahun pajak berjalan. Mekanisme ini berbeda dengan mekanisme yang diterapkan terhadap WP pada umumnya, di mana WP diberikan kepercayaan untuk menentukan sendiri besarnya PPh Pasal 25 berdasarkan sistem self-assessment. Berlawanan dengan hal tersebut, pada praktiknya, perlakuan PPh Pasal 25 bagi PT ABC justru mencerminkan penerapan official assessment system karena besaran angsuran ditetapkan oleh KPP. Sistem official assessment pada umumnya tercermin dari dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak (SKP) oleh fiskus. Namun, dalam hal angsuran PPh Pasal 25 bagi PT ABC, KPP tidak menetapkan PPh Pasal 25 dalam suatu SKP, melainkan dalam suatu surat hal: Pemberitahuan Besarnya Angsuran PPh Pasal 25 Tahun Pajak 2013. Sebagai bukti adanya perubahan perlakuan PPh Pasal 25 selama tahun pajak 2013, PT ABC telah menerima beberapa surat dari KPP Wajib Pajak Besar 3 hal Pemberitahuan Besarnya Angsuran PPh Pasal 25 Tahun Pajak 2013 selama kurun waktu tersebut. Surat pertama disampaikan oleh KPP tertanggal 13 Februari 2013 yang berisi penghitungan angsuran PPh Pasal 25 untuk masa pajak Januari-Februari 2013 menurut KPP dengan menggunakan dasar berupa RKAP sebagai berikut. Tarif x DPP = 20% x USD 886.062.051
= USD 177.212.410
Dikurangi PPh 23 yang dipotong pihak lain
= USD
Dasar penghitungan besarnya angsuran PPh
= USD 176.453.310
759.100
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 = 1/12 x USD 176.453.310 = USD 14. 704.442 Berlawanan dengan pernyataan pihak KPP bahwa mereka tidak memiliki kewenangan untuk melakukan interpretasi dan perubahan peraturan, pada praktiknya, pihak KPP WP Besar 3 justru mengubah perlakuan PPh Pasal 25 bagi PT ABC sebelum dikeluarkannya penegasan dari Kantor Pusat DJP. Hal ini dibuktikan dengan dikeluarkannya surat oleh pihak KPP tertanggal 9 April 2013. Surat ini berisi penghitungan angsuran PPh Pasal 25 PT ABC mulai masa pajak Maret 2013 dengan menggunakan dasar penghitungan angsuran berupa laporan keuangan berkala PT ABC yang disampaikan ke OJK. Berdasarkan angka laporan keuangan berkala yang telah dikoreksi oleh KPP, berikut penghitungan PPh Pasal 25 sebagaimana tertera dalam surat tanggal 9 April 2013.
Analisis kepastian…, Lisa Fransiska, FISIP UI, 2014
Tarif x DPP = 25% x USD 1.094.825.879
= USD 273.706.470
Dikurangi PPh 23 yang dipotong pihak lain
= USD
Dasar penghitungan besarnya angsuran PPh
= USD 272.922.417
784.053
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 = 1/12 x USD 272.922.417 = USD 22.743.535 Angsuran PPh Pasal 25 sebesar USD 22.743.535 perbulan ini berlaku mulai masa pajak Maret 2013 hingga Juni 2013. Di sinilah mulai terlihat jelas dispute mengenai dasar penghitungan angsuran antara WP dengan pihak KPP. Mengacu pada filosofi PPh Pasal 25 ayat (7) bahwa angsuran harus mendekati besaran PPh Badan yang terutang di akhir tahun, pihak KPP WP Besar 3 menganggap laporan keuangan berkala lebih tepat digunakan oleh PT ABC sebagai dasar penghitungan angsuran PPh Pasal 25 dibandingkan dengan RKAP. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa pihak KPP WP Besar 3 menyangsikan bahwa PT ABC dapat mencapai target dalam RKAP. Selain itu, berlawanan dengan sifat RKAP yang merupakan perkiraan penghasilan selama tahun berjalan, menurut pihak KPP, laporan keuangan berkala lebih bersifat riil karena didasarkan pada kondisi yang dicapai pada waktu yang bersangkutan. Pemikiran pihak KPP tersebut dapat dikatakan hanya didasarkan pada common sense karena tidak ada bukti konkret bahwa laporan keuangan berkala lebih mendekati keadaan yang sebenarnya di akhir tahun dibandingkan dengan RKAP. Bankan, tidak ada data, bukti pendukung, bahkan hasil riset yang menyatakan demikian. Berlawanaan dengan pemikiran pihak KPP, PT ABC tetap menganggap bahwa dasar penghitungan angsuran yang paling tepat digunakan olehnya adalah RKAP. Alasannya, bisnis gas yang dijalankan oleh PT ABC merupakan bisnis yang relatif mudah diprediksi karena mencakup volume gas yang terbatas dengan harga yang stabil serta kontrak yang berjangka waktu panjang, yakni minimal dua tahun. Penambahan pasokan atau kenaikan tarif gas tidak akan terjadi secara tiba-tiba di tahun berjalan tanpa ada perencanaan dalam RKAP. Oleh karena itu, RKAP telah cukup memberikan gambaran kegiatan PT ABC selama tahun berjalan. Hal ini didukung pula dengan tidak adanya campur tangan pihak Kementerian BUMN sebagai pemegang saham terhadap RKAP PT ABC sehingga penyusunan RKAP menjadi lebih realistis, sesuai dengan kemampuan pencapaian target PT ABC. Melihat perbedaan pendapat di atas, nampaknya belum ada arah yang jelas mengenai kecocokan dasar penghitungan angsuran bagi BUMN masuk bursa berdasarkan penafsiran secara filosofis. Di tengah ketidakjelasan tersebut, terbit surat penegasan dari Direktorat PP II DJP di akhir tahun 2013. Berdasarkan surat penegasan tersebut, WP BUMN masuk bursa
Analisis kepastian…, Lisa Fransiska, FISIP UI, 2014
harus menggunakan dasar penghitungan angsuran berupa laba rugi fiskal berdasarkan laporan keuangan berkala semesteran yang disampaikan ke OJK. Di balik penafsiran secara filosofis yang terkesan subjektif, surat penegasan yang dikeluarkan oleh pihak Direktorat PP II didasarkan pada beberapa peraturan sebagai dasar hukum. Hal ini menunjukkan bahwa pihak Direktorat PP II berusaha untuk melakukan penafsiran secara holistik. Di antara berbagai peraturan sebagai dasar hukum, salah satu dasar hukum yang menjadi alasan utama DJP yaitu ketentuan Pasal 31 PP Nomor 12 Tahun 1998 yang menyatakan bahwa terhadap PERSERO Terbuka berlaku ketentuan peraturan perundangundangan di bidang pasar modal. Ketentuan ini dianggap berpengaruh terhadap kewajiban PPh Pasal 25 BUMN masuk bursa. Argumentasi lain yakni Pasal 4 PMK 255 menyebutkan bahwa RKAP yang digunakan sebagai dasar penghitungan angsuran adalah RKAP yang disahkan oleh RUPS. Sementara itu, RKAP yang disusun oleh BUMN masuk bursa tidak disahkan oleh RUPS, melainkan disahkan oleh Komisaris. Oleh karena itu, BUMN masuk bursa dianggap tidak relevan dengan Pasal 4 PMK 255. Nyatanya, penafsiran secara holistik yang dilakukan oleh pihak yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda tidak menjamin akan menghasilkan simpulan yang sama. Perbedaan pendapat terlihat jelas dalam interpretasi Pasal 31 PP Nomor 12 Tahun 1998 yang menyebutkan bahwa Persero Terbuka harus tunduk pada peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Peraturan ini dianggap hanya merupakan justifikasi untuk mengarahkan BUMN masuk bursa untuk menggunakan laporan keuangan berkala. Kewajiban BUMN masuk bursa untuk tunduk pada peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal tentunya tidak menggugurkan kewajiban BUMN masuk bursa untuk tetap tunduk pada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai BUMN selama kedua peraturan tersebut tidak saling bertentangan. Terkait dengan alasan bahwa BUMN masuk bursa tidak relevan dengan Pasal 4 PMK 255 karena RKAPnya disahkan oleh Komisaris, pelimpahan wewenang untuk mengesahkan RKAP BUMN masuk bursa dari RUPS ke Komisaris diartikan bahwa pada hakikatnya Komisaris adalah kepanjangan tangan dari RUPS dalam hal pengesahan RKAP. Hal ini sejalan dengan praktik yang dijalankan oleh PT ABC bahwa berdasarkan anggaran dasar perusahaan, Komisaris dipersamakan dengan RUPS. Berdasarkan uraian tersebut, PT ABC menyimpulkan bahwa pada hakikatnya, tetaplah RUPS yang mengesahkan RKAP. Surat penegasan yang diterbitkan Direktorat PP II DJP pada akhir tahun 2013 ini tidak dapat menjamin terwujudnya kepastian hukum. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan.
Analisis kepastian…, Lisa Fransiska, FISIP UI, 2014
Pertama, perintah dalam surat penegasan ini sama sekali berbeda dengan perintah dalam surat penegasan yang diterbitkan pada tahun 2010. Pada tahun 2010, surat penegasan menyatakan bahwa angsuran PT ABC menggunakan dasar berupa RKAP, namun pada tahun 2013, surat penegasan menyatakan bahwa angsuran PT ABC menggunakan dasar berupa laporan keuangan berkala. Kedua, surat penegasan tidak tercakup dalam hirarki tata urutan perundang-undangan, melainkan hanya merupakan jawaban atas suatu pertanyaan. Sementara itu, demi kepastian hukum, tentunya Wajib Pajak hanya wajib untuk mengikuti ketentuan yang tercakup dalam tata urutan perundang-undangan menurut UU Nomor 12 Tahun 2011. Ketiga, terbitnya surat penegasan tidak diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan. WP dapat menolak untuk mengikuti surat penegasan yang dikeluarkan Direktorat PP II karena tidak ada perintah, baik dari UU PPh maupun dari PMK 255, bahwa peraturan lebih lanjut akan diatur dalam suatu surat penegasan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penafsiran secara filosofis dan holistik sebagaimana telah disampaikan di atas belum mampu menunjukkan arah mengenai dasar penghitungan apa yang lebih tepat digunakan oleh PT ABC. Berbagai pihak sepakat bahwa Pasal 25 ayat (7) berawal dari filosofi agar penghitungan PPh Pasal 25 lebih mendekati kewajaran perhitungan besarnya angsuran. Namun, penentuan dasar penghitungan angsuran yang dianggap lebih mendekati kewajaran itulah yang masih menimbulkan perdebatan. Hal yang sama juga terjadi pada penafsiran secara holistik. Berbagai pihak memiliki pandangan yang berbeda terhadap dasar hukum yang diacu oleh surat penegasan. Oleh karena itu, perlu adanya pembuktian dengan membandingkan antara RKAP dan laporan keuangan berkala untuk mengetahui manakah di antara keduanya yang menghasilkan penghitungan yang lebih mendekati PPh Badan terutang di akhir tahun. Berikut Tabel 2 yang menunjukkan perbandingan besaran angsuran PPh Pasal 25 menurut KPP dan WP. Tabel 2 Perbandingan Besaran Angsuran PPh Pasal 25 menurut KPP dan WP
Masa Pajak Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
Angsuran PPh Pasal 25 (USD) Versi KPP Versi WP 14.704.443 14.704.443 14.704.443 14.704.443 22.743.535 14.704.443 22.743.535 14.704.443 22.743.535 14.704.443 22.743.535 14.704.443 16.299.683 14.704.443 16.299.683 14.704.443 16.299.683 14.704.443 16.299.683 14.704.443 16.299.683 14.704.443 16.299.683 14.704.443
Analisis kepastian…, Lisa Fransiska, FISIP UI, 2014
Total Sumber: data olahan peneliti, 2014.
218.181.124
176.453.316
Tabel 2 menunjukkan penghitungan PPh Pasal 25 PT ABC selama tahun pajak 2013. Kolom “Versi KPP” berisi data pembayaran PPh Pasal 25 oleh PT ABC berdasarkan penghitungan yang ditetapkan oleh KPP (lihat rinciannya pada Tabel 3). Pembayaran yang ditetapkan oleh KPP dihitung dengan menggunaan dasar penghitungan berupa RKAP untuk masa pajak Januari-Februari 2013 dan laporan keuangan berkala untuk masa pajak MaretDesember 2013. Kolom “Versi WP” berisi data penghitungan PPh Pasal 25 apabila secara konsisten menggunakan dasar penghitungan angsuran berupa RKAP. Berdasarkan data di atas, didapatkan selisih yang cukup signifikan, yakni USD 41.727.812. Pada awal tahun 2014, diketahui bahwa PPh Badan PT ABC tahun pajak 2013 yang terutang yaitu sekitar USD188.000.000. Berdasarkan kenyataan ini, dapat disimpulkan bahwa dalam kasus tahun pajak 2013, laporan keuangan berkala pada praktiknya tidak sesuai dengan filosofi PPh Pasal 25 ayat (7) sebagaimana dikemukakan sebelumnya. Angsuran PPh Pasal 25 yang menggunakan dasar penghitungan berupa laporan keuangan berkala tidak mampu mendekati besaran PPh Badan terutang di akhir tahun. Sebaliknya, angsuran PPh Pasal 25 yang menggunakan dasar penghitungan tersebut justru meleset jauh dan menyebabkan lebih bayar sekitar USD 30.181.122. Dasar penghitungan angsuran yang pada awalnya dianggap tidak dapat menyajikan data terkini dan kurang dapat diandalkan ternyata menghasilkan penghitungan yang lebih mendekati PPh Badan yang terutang. Selisih antara PPh Badan dengan angsuran PPh Pasal 25 menggunakan RKAP sebagai dasar penghitungan angsuran hanya sekitar USD 11.546.690 dan masih berada pada posisi kurang bayar. Penghitungan kurang bayar dan lebih bayar yang dibuat oleh peneliti tentunya belum memperhitungkan kredit PPh Pasal 23 yang jumlahnya tidak terlalu signifikan. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam konteks tahun pajak 2013, dasar penghitungan angsuran yang lebih tepat digunakan adalah RKAP. Kondisi ini mungkin terjadi pada tahun-tahun berikutnya. c.
Kepastian Hukum Tarif Pajak Dalam menghitung PPh Pasal 25, dasar penghitungan angsuran, baik yang berupa laba
rugi fiskal berdasarkan RKAP maupun laporan keuangan berkala terakhir harus dikalikan dengan tarif umum. Mekanisme tersebut menjadikan aspek tarif sebagai aspek yang turut berpengaruh dalam penghitungan PPh Pasal 25 bagi WP BUMN masuk bursa, di samping aspek dasar penghitungan angsuran.
Analisis kepastian…, Lisa Fransiska, FISIP UI, 2014
Mengacu pada tarif PPh Badan Pasal 17 UU PPh, tarif yang mungkin diterapkan dalam menghitung PPh Pasal 25 bagi WP BUMN masuk bursa adalah tarif 25% bagi WP pada umumnya dan tarif 20% bagi WP yang memenuhi ketentuan Pasal 17 ayat (2b) UU PPh. Tarif 20% dalam menghitung angsuran dapat diperoleh WP Perseroan Terbuka apabila WP tersebut memeroleh fasilitas penurunan tarif PPh Badan pada tahun pajak sebelumnya. Mekanisme ini ternyata tidak dapat diterapkan terhadap WP BUMN masuk bursa, dalam hal ini PT ABC. Alasannya, PPh Pasal 25 PT ABC tidak dihitung berdasarkan SPT Tahunan PPh Badan tahun pajak sebelumnya sebagaimana diatur dalam PMK no. 238 Tahun 2008, melainkan berdasarkan RKAP atau laporan keuangan berkala. Isu yang diperdebatkan antara pihak KPP dan PT ABC tidak hanya mengenai penggunaan tarif PPh Pasal 25 di tahun berikutnya setelah PT ABC mendapat fasilitas penurunan tarif PPh Badan, tetapi juga mengenai penggunaan tarif PPh Pasal 25 di tahun pajak yang sama saat WP mendapatkan fasilitas penurunan tarif PPh Badan. Ketiadaan peraturan yang jelas mengenai penggunaan tarif untuk menghitung angsuran PPh Pasal 25 di tahun yang sama saat WP mendapat fasilitas membuat penggunaan tarif angsuran menjadi bergantung pada kebijaksanaan fiskus. Padahal, penentuan pajak yang bergantung pada kebijaksanaan fiskus berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan sehingga mengarah pada masalah kepastian hukum. Permasalahan kepastian hukum dalam kasus ini tercermin dari adanya perbedaan pendapat antara PT ABC dan KPP mengenai saat digunakannya tarif angsuran 20%. PT ABC berpendapat bahwa seharusnya PT ABC menggunakan tarif angsuran 20% sejak awal tahun pajak yang bersangkutan, sementara KPP berpendapat bahwa penggunaan tarif angsuran harus disesuaikan dengan masa perolehan fasilitas. Argumentasi PT ABC agar tarif angsuran yang digunakan adalah 20% sepanjang tahun didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, secara logis, BUMN masuk bursa seperti PT ABC cenderung mudah untuk memenuhi persyaratan perolehan fasilitas penurunan tarif PPh Badan sebagaimana diatur dalam PP Nomor 77 Tahun 2013. PT ABC meyakini bahwa PT ABC dapat memenuhi persyaratan dalam PP tersebut karena jumlah saham PT ABC yang dimiliki publik saat ini yaitu sekitar 43%. Saham dengan persentase tersebut dimiliki oleh publik masing-masing kurang dari 5% oleh lebih dari 300 pihak dalam waktu lebih dari 183 hari. Hal ini dapat dibuktikan dari data yang dimiliki oleh Badan Administrasi Efek yang mengurusi saham PT ABC pada pertengahan tahun 2013 yang menyatakan bahwa saham publik PT ABC dimiliki oleh lebih dari 300 pihak, yakni 6.387 pihak s.d. 8.783 pihak, di
Analisis kepastian…, Lisa Fransiska, FISIP UI, 2014
mana masing-masing pihak memegang saham kurang dari 5% selama kurun waktu 185 hari dalam kurun waktu Januari-Juli 2013. Secara logis, kemungkinan besar keadaan seperti di atas tidak hanya terjadi di tahun 2013, tetapi juga di tahun-tahun lainnya karena jumlah pihak yang memiliki saham PT ABC dengan jumlah kurang dari 5% tersebut sangat banyak, jauh di atas 300 pihak. Hal tersebut disebabkan karena kepemilikan saham lebih dari 5% oleh suatu pihak merupakan suatu hal yang luar biasa dan membutuhkan dana yang sangat besar. Terlebih lagi, persyaratan 183 hari tidak disebutkan harus dipenuhi secara berturut-turut dalam satu tahun pajak. Alasan kedua yakni karena penggunaan tarif PPh Pasal 25 bukanlah suatu hal yang perlu dipermasalahkan karena PPh Pasal 25 pada hakikatnya hanya merupakan pembayaran di muka. Kembali pada sistem self-assessment, WP seharusnya diberi kepercayaan untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri, termasuk dalam hal PPh Pasal 25, sepanjang tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penggunaan tarif 25% dalam menghitung PPh Pasal 25 merupakan suatu hal yang sia-sia apabila dapat dipastikan bahwa di akhir tahun WP akan terutang PPh Badan dengan tarif 20%. Menurut pihak KPP, tarif 20% ini dapat digunakan untuk menghitung PPh Pasal 25 setelah benar-benar diketahui bahwa WP telah memenuhi ketentuan fasilitas penurunan tarif PPh Badan melalui penyesuaian setiap enam bulan. Misalnya, penggunaan tarif angsuran untuk semester 1 tahun 2014 didasarkan pada pemenuhan persyaratan fasilitas di semester 2 tahun 2013. Kemudian, penggunaan tarif angsuran untuk semester 2 tahun 2014 didasarkan pada pemenuhan persyaratan fasilitas di semester 1 tahun 2014, dan seterusnya. Berdasarkan contoh di atas, WP tidak dapat secara otomatis menggunakan tarif angsuran sebesar 20% mulai masa pajak Januari 2014, meskipun faktanya WP telah memenuhi persyaratan selama semester 1 di tahun 2013 dan WP pun menggunakan tarif 20% dalam menghitung PPh Badan tahun pajak 2013. Hal ini disebabkan karena yang dilihat oleh KPP hanya pemenuhan persyaratan di semester 2 tahun 2013. Pada semester 2 tahun 2014, WP dapat kembali menggunakan tarif angsuran 20% apabila selama semester 1 tahun 2014 WP telah memenuhi persyaratan fasilitas. Penggunaan mekanisme seperti yang diajukan oleh KPP terkesan tidak fleksibel dengan kondisi yang mungkin terjadi. Selain itu, mekanisme ini juga tidak didasarkan pada peraturan sebagai dasar hukum sehingga rentan terhadap praktik kesewenang-wenangan. Padahal, praktik penggunaan tarif angsuran PPh Pasal 25 di PT ABC sangat erat kaitannya dengan fasilitas penurunan tarif PPh Badan sebagaimana diatur dalam PP No. 77 Tahun 2013.
Analisis kepastian…, Lisa Fransiska, FISIP UI, 2014
Semangat yang dibangun di dalam PP tersebut tentunya untuk meningkatkan peranan pasar modal sebagai sumber pembiayaan dunia usaha dan untuk mendorong peningkatan jumlah perseroan terbuka. Mengacu pada semangat tersebut, apabila telah diyakini secara pasti dan logis bahwa WP pada akhir tahun akan memperoleh fasilitas penurunan tarif PPh Badan, tidak seharusnya WP dipersulit untuk menggunakan tarif 20% dalam menghitung angsuran PPh Pasal 25. Ketiadaan peraturan yang jelas serta penetapan yang dibuat oleh KPP terhadap PT ABC mencerminkan adanya permasalahan kepastian hukum. 2.
Implikasi Permasalahan Kepastian Hukum Perlakuan Pajak Penghasilan Pasal 25 bagi PT ABC (Persero) Tbk Permasalahan kepastian hukum mengenai cakupan subjek dalam Pasal 4 dan Pasal 5
PMK 255 berimplikasi pada munculnya permasalahan kepastian hukum dalam penentuan dasar penghitungan angsuran. Permasalahan kepastian hukum dalam penentuan dasar penghitungan angsuran tercermin dari adanya perubahan penggunaan dasar penghitungan angsuran dari RKAP menjadi laporan keuangan berkala pada tahun pajak 2013. Perubahan ini justru menimbulkan implikasi negatif bagi PT ABC yakni menyebabkan lebih bayar PPh Badan. Ringkasan penghitungan yang disampaikan KPP dalam surat tersebut selama tahun pajak 2013 dapat dilihat dalam Tabel 3 berikut. Tabel 3 Penghitungan Pajak Penghasilan Pasal 25 menurut KPP WP Besar 3 selama Tahun Pajak 2013
Keterangan Januari-Februari DPP 886.062.051 Tarif 20% DPP x tarif 177.212.410 Kredit Pajak (759.100) Total 176.453.310 Dibagi 12 PPh Pasal 25 14.704.443 Sumber: data olahan peneliti, 2014.
Masa Pajak Maret-Juni 1.094.825.879 25% 273.706.470 (784.053) 272.933.417 12 22.743.535
Juli-Desember 981.901.245 20% 196.380.249 (784.053) 195.596.196 12 16.299.683
Tabel 3 memuat ringkasan peneliti mengenai penghitungan PPh Pasal 25 yang dibuat oleh KPP dalam surat yang disampaikan selama tahun pajak 2013 hal Pemberitahuan Besarnya Angsuran PPh Pasal 25 Tahun Pajak 2013. Pada masa pajak Januari-Februari, KPP menggunakan laba rugi fiskal berdasarkan RKAP sebagai dasar penghitungan angsuran dan tarif angsuran 20%. Berdasarkan penghitungan di atas, didapatkan bahwa WP harus mengangsur sebesar USD 14.704.443. Pada masa pajak Maret 2013, KPP melakukan penyesuaian besarnya angsuran dengan merujuk pada laporan keuangan berkala tahun 2012 PT ABC dan tarif 25% sehingga didapatkan angsuran yang jauh lebih tinggi yakni USD22.743.535. Besaran angsuran tersebut harus dilunasi oleh WP pada masa pajak Maret
Analisis kepastian…, Lisa Fransiska, FISIP UI, 2014
hingga Juni 2013. Selanjutnya, pihak KPP kembali melakukan penyesuaian besaran angsuran PPh Pasal 25 PT ABC di masa pajak Juni 2013. Berdasarkan penyesuaian tersebut, PT ABC harus mengangsur sebesar USD16.229.683 untuk masa pajak Juni-Desember 2013. Penghitungan di atas sekaligus menunjukkan bahwa permasalahan ketidakpastian hukum penggunaan tarif angsuran juga turut berpengaruh terhadap lebih bayar PPh Badan tahun pajak 2013 karena terjadi perubahan penggunaan tarif pada tahun tersebut berdasarkan kebijakan yang dibuat sendiri oleh KPP. Penghitungan yang dilakukan oleh KPP yang menghasilkan total angsuran selama satu tahun sebesar USD 218.181.122. terbukti menyebabkan lebih bayar PPh Badan tahun pajak 2013 sekitar USD 30 juta. Kelebihan pembayaran tersebut tentunya menimbulkan potensi inefisiensi dalam pengelolaan keuangan perusahaan. Potensi inefisiensi ini tentunya tidak terlepas dari terganggunya cash flow perusahaan. Permasalahan cash flow muncul karena PT ABC harus membayar PPh Pasal 25 dengan jumlah yang relatif besar setiap bulannya, sementara PT ABC telah mengetahui bahwa PPh Badan yang terutang di akhir tahun tidak akan melebihi total PPh Pasal 25 yang dibayarkannya selama tahun berjalan. Penggunaan laporan keuangan berkala sebagai dasar penghitungan angsuran juga menimbulkan implikasi bagi PT ABC yakni sulitnya memprediksi cash flow selama tahun berjalan. Hal ini terkait dengan tren bisnis yang dialami PT ABC setiap tahunnya. Adanya fluktuasi usaha PT ABC selama satu tahun tentunya mendorong pihak KPP untuk melakukan penyesuaian besaran angsuran selama tahun berjalan. Oleh karena itu, dapat terjadi perubahan besaran angsuran PPh Pasal 25 yang tidak diprediksi sebelumnya oleh PT ABC. Padahal, PT ABC memerlukan kepastian mengenai berapa PPh Pasal 25 yang terutang setiap bulannya agar PT ABC memiliki perencanaan yang jelas terkait dengan cash flow perusahaan. Selain permasalahan-permasalahan di atas yang telah dialami PT ABC, penggunaan laporan keuangan berkala semesteran mulai tahun pajak 2014 dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan lain. Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh pihak KPP WP Besar 3, laporan keuangan berkala semester 2 tahun pajak sebelumnya harus sudah digunakan oleh WP untuk angsuran PPh Pasal 25 masa pajak Januari tahun pajak yang bersangkutan. Misalnya, WP menyampaikan laporan keuangan berkala semester 2 tahun 2013 pada 31 Maret 2014. Oleh karena itu, angsuran PPh Pasal 25 yang dibayarkan pada masa Januari dan Februari sama dengan yang dibayarkan pada masa Desember 2013. Setelah WP menyampaikan laporan keuangan berkala, akan ada penyesuaian besarnya angsuran PPh Pasal 25 yang telah diangsur, yakni PPh Pasal 25 masa pajak Januari-Februari.
Analisis kepastian…, Lisa Fransiska, FISIP UI, 2014
Menurut pihak KPP, apabila PPh Pasal 25 yang dibayarkan di kedua masa tersebut lebih besar daripada angsuran berdasarkan laporan keuangan berkala semester 2 tahun 2013, kelebihan pembayaran tersebut akan dipindabukukan. Apabila sebaliknya, WP akan dikenai sanksi kekurangan pembayaran angsuran sebesar 2% perbulan untuk paling lama 24 bulan, dihitung sejak berakhirnya Masa Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UU KUP. Ketentuan di atas merupakan bentuk kesewenang-wenangan fiskus terhadap WP. Seharusnya, apabila laporan keuangan berkala belum disampaikan oleh WP, WP dapat menggunakan ketentuan Pasal 25 ayat (2) UU PPh, yakni membayar PPh Pasal 25 sebesar angsuran pada bulan Desember 2013 tanpa dikenakan sanksi Pasal 14 UU KUP. Namun, dalam kasus ini, WP BUMN masuk bursa menurut pihak KPP WP Besar 3 akan dikenakan sanksi. Agar terhindar dari sanksi, WP hanya mempunyai waktu kurang dari 1 bulan 15 hari untuk menyampaikan laporan keuangan berkala semester 2 karena angsuran masa Januari harus dibayarkan tanggal 15 Februari. Padahal, peraturan dari Bapepam-LK itu sendiri memberi tenggat waktu hingga akhir bulan Maret untuk menyampaikan laporan keuangan berkala semester 2 apabila laporan tersebut disertai dengan laporan akuntan dalam rangka audit. Kesewenang-wenangan fiskus dapat dikatakan sebagai salah satu dampak dari permasalahan ketidakpastian hukum suatu peraturan perpajakan, dalam hal ini PMK 255 yang mengatur PPh Pasal 25.
Simpulan 1. Perlakuan PPh Pasal 25 bagi PT ABC sebagai BUMN masuk bursa secara keseluruhan tidak memenuhi kepastian hukum. Hal ini didukung oleh adanya permasalahan ketidakpastian mengenai subjek pajak, dasar penghitungan angsuran, dan tarif angsuran yang dihadapi oleh PT ABC. Dalam permasalahan ini, hasil penafsiran serta bukti penghitungan telah menunjukkan bahwa penghitungan PPh Pasal 25 bagi PT ABC lebih tepat menggunakan dasar berupa RKAP dan tarif 20% sepanjang tahun. 2. Permasalahan kepastian hukum perlakuan PPh Pasal 25 menimbulkan beberapa implikasi bagi PT ABC. Pertama, ketidakpastian hukum mengenai subjek pajak berimplikasi pada ketidakpastian penggunaan dasar penghitungan angsuran. Ketidakpastian hukum dasar penghitungan angsuran dan tarif angsuran berimplikasi pada terjadinya lebih bayar PPh Badan tahun pajak 2013. Lebih bayar PPh Badan tentunya mengganggu cash flow PT ABC. Selain itu, PT ABC juga mengalami kesulitan memperkirakan cash flow akibat diubahnya
Analisis kepastian…, Lisa Fransiska, FISIP UI, 2014
dasar penghitungan angsuran. Implikasi lainnya yaitu PT ABC menghadapi ancaman sanksi STP Pasal 14 UU KUP jika PPh Pasal 25 yang dibayarkan di awal tahun sebelum menyampaikan laporan keuangan berkala lebih kecil dibandingkan dengan PPh Pasal 25 yang seharusnya dibayarkan berdasarkan laporan keuangan berkala tersebut. Saran 1. Pangkal permasalahan kepastian hukum subjek pajak dan dasar penghitungan angsuran PPh Pasal 25 bagi PT ABC adalah dualisme PMK 255 Tahun 2008 dalam mengatur perlakuan bagi BUMN masuk bursa. Oleh karena itu, PMK tersebut perlu diubah dengan memberikan kejelasan arah perlakuan bagi BUMN masuk bursa. Apabila perlakuan PPh Pasal 25 bagi BUMN masuk bursa ingin diarahkan kepada perlakuan sebagai BUMN, harus ada pengecualian bagi BUMN dalam pasal yang mengatur mengenai perlakuan PPh Pasal 25 bagi perusahaan masuk bursa. Cara yang dapat diambil PT ABC untuk mendorong DJP melakukan perubahan PMK 255 Tahun 2008 yakni dengan meminta bantuan kepada pihak terkait, di antaranya Kementerian BUMN dan OJK. Dalam rangka memberikan kepastian hukum tarif angsuran bagi PT ABC, KPP seharusnya tidak mempersulit PT ABC untuk menggunakan tarif 20% dalam menghitung PPh Pasal 25 selama tahun berjalan apabila telah diyakini bahwa pada tahun yang bersangkutan PT ABC akan mendapatkan fasilitas penurunan tarif PPh Badan. 2. Selama PMK 255 belum diubah, PT ABC perlu diberikan keleluasaan untuk menggunakan dasar penghitungan serta tarif yang menurutnya tepat dalam menghitung PPh Pasal 25 agar terhindar dari implikasi negatif akibat permasalahan kepastian hukum. Hal ini tidak terlepas dari sistem self-assessment yang melekat pada PPh Pasal 25 yang pada hakikatnya memberikan ruang kepada WP untuk menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya sendiri. Daftar Referensi Buku Asshiddiqie, Jimly. (2006) Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Konstitusi Press. Gunadi. (2002) Ketentuan Perhitungan dan Pelunasan Pajak Penghasilan. Jakarta: Salemba Empat. Gunadi, et al. (1997) Perpajakan. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Kelley, Patrick L. dan Oliver Oldman (1973) Readings on Income Tax Administration. New York: The Foundation Press.
Analisis kepastian…, Lisa Fransiska, FISIP UI, 2014
Mansury, R. (1996). Pajak Penghasilan Lanjutan. Jakarta: Ind-Hill Co. Mertokusumo, Sudikno. (1999). Mengenal Hukum, suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta. Nurmantu, Safri. (2003). Pengantar Perpajakan (Edisi ke-2). Jakarta: Granit. _____________. (2005). Pengantar Perpajakan (Edisi ke-3). Jakarta: Granit. Rosdiana, Haula dan Edi Slamet Irianto. (2012). Pengantar Ilmu Pajak. Jakarta: RajaGrafindo Persada. _______________________________________. (2011). Panduan Lengkap Tata Cara Perpajakan di Indonesia. Jakarta: Visimedia. Rosdiana, Haula dan Rasin Tarigan. (2005). Perpajakan, Teori dan Aplikasi. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Peraturan _______________. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tanggal 19 Juni 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. _______________. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tanggal 23 September 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. ______________. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 Tanggal 17 Januari 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Persero). ______________. Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2013 Tanggal 21 November 2013 tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka. _______________. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 255/PMK.03/2008 Tanggal 31 Desember 2008 tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan dalam Tahun Pajak Berjalan yang Harus Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Wajib Pajak Masuk Bursa, dan Wajib Pajak Lainnya yang Berdasarkan Ketentuan Diharuskan Membuat Laporan Keuangan Berkala, termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu. Wawancara Mendalam Wawancara Mendalam dengan Bapak Emung Indriastanto, Kepala Dinas Perpajakan Divisi Akuntansi PT ABC (Persero) Tbk pada tanggal 26 Februari 2014, 14 Maret 2014, dan 8 April 2014 di Kantor Pusat PT ABC (Persero) Tbk. Jakarta Barat.
Analisis kepastian…, Lisa Fransiska, FISIP UI, 2014