i
ANALISIS KELAYAKAN BIOFISIK DAN EKONOMI KONVERSI PEMANFAATAN TAMBAK UDANG MENJADI USAHA BUDIDAYA RUMPUT LAUT DI KOTA PALOPO
MUNANDAR JAKASUKMANA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 i
ii ABSTRAK
Munandar Jakasukmana. 2008. Analisis Kelayakan Biofisik dan Ekonomi Konversi Pemanfaatan Tambak Udang menjadi Usaha Budidaya Rumput Laut di Kota Palopo. Dibimbing oleh: Bambang Widigdo dan Gatot Yulianto Pemanfaatan lahan tambak di Kota Palopo mengalami perubahan komoditas. Sebelumnya lahan dimanfaatkan untuk budidaya udang, namun sekarang sebagian besar dialihfungsikan menjadi usaha budidaya rumput laut. Perubahan pemanfaatan lahan dan komoditas ini jelas memberi pengaruh dari segi ekologi dan ekonomi. Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi kesesuaian lahan usaha budidaya rumput laut dengan menggunakan analisis SIG, mengkaji perubahan kualitas air, menganalisis kelayakan finansial usaha, mengkaji motivasi petambak dalam perubahan usaha secara deskriptif statistik serta menyusun strategi kebijakan pengelolaan budidaya tambak yang berkelanjutan dengan pendekatan AHP (Analytical Hirarchy Process). Hasil penelitian menunjukkan tambak dengan kualifikasi sangat sesuai seluas 1070,161 ha, sedangkan lahan dengan kualifikasi sesuai dengan luas 312,690 ha. Pengukuran kualitas air menunjukkan bahwa konsentrasi ammonia, nitrat dan fosfat air keluar tambak lebih rendah dari pada air yang masuk ke tambak. Dari aspek finansial, semua usaha budidaya perikanan tambak layak untuk dilaksanakan. Motivasi utama petambak melakukan alih usaha karena faktor ketrampilan dan resiko usaha yang rendah. Strategi pengelolaan yang dipilih adalah melanjutkan usaha budidaya rumput laut dengan perbaikan konstruksi tambak dan pengolahan lahan; seleksi bibit dan peningkatan volume penanaman; peningkatan kualitas SDM dan penguatan kelembagaan masyarakat serta peningkatan kerjasama. Kata kunci:
kesesuaian lahan, Gracilaria sp, kualitas air, analisis finansial
ii
iii ABSTRACT
Munandar Jakasukmana. 2008. Biophysical Suitability Analysis and Economic Using Convertion from Shrimp Pond to Seaweed Culture at Palopo City. Under Direction of Bambang Widigdo, dan Gatot Yulianto. Shrimp pond (tambak) use in Palopo City has been changed. The ponds that were formerly utilized for shrimp culture, most of them were now changed for seaweed (Gracilaria sp) culture. The commodity change will obviously have an effect on the ecological and economical systems. The objectives of this study were (1) to evaluate the land suitability for seaweed culture using GIS analysis, (2) to analyse the changes of water quality of the pond, (3) to analyse the financial feasibility, (4) to evaluate, statistical descriptively, the motivation of the fish-farmers in terms of their changed work, (5) to set the management strategy for sustainability of pond culture using Analytical Hirarchy Process (AHP). The land suitability for Gracilaria culture based on GIS analysis showed that there were 1070.161 hectares of land size categorized as the most suitable, and 312,690 hectares as the suitable land. Water qualilty measurement in the effluent of the pond revealed that the concentrations of ammonia, nitrate, and phosphate were lower than in the influent. The results of financial analysis suggested that the Gracilaria was feasible to be cultured. There were three main reasons for the fish farmer to change their work from shrimp culture to be seaweed culture, namely seaweed culture was easier, has lower risk, and more simple technology than shrimp culture. The suggested management strategy for developing Gracilaria culture was the stakeholders should to improvement pond construction and land processing; selection of seed and planting volume are upgrade; raising human resources quality and society institution along with relationship improvement.
Keywords: land suitability, Gracilaria sp., water quality, financial analysis
iii
iv
@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1.
2.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atas seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
iv
v
ANALISIS KELAYAKAN BIOFISIK DAN EKONOMI KONVERSI PEMANFAATAN TAMBAK UDANG MENJADI USAHA BUDIDAYA RUMPUT LAUT DI KOTA PALOPO
Oleh:
Munandar Jakasukmana C251040221
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
v
vi Judul Tesis
Nama NIM Program Studi
: Analisis Kelayakan Biofisik dan Ekonomi Konversi Pemanfaatan Tambak Udang menjadi Usaha Budidaya Rumput Laut di Kota Palopo : Munandar Jakasukmana : C251040221 : Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui, Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Bambang Widigdo Ketua
Ir. Gatot Yulianto, M.Si Anggota
Diketahui, Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Sulistiono, M.Sc.
Prof. Dr. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.
Tanggal ujian: 9 Oktober 2007
Tanggal disahkan :
vi
Januari 2008
vii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Saya yang tertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa tesis yang berjudul: Analisis Kelayakan Biofisik dan Ekonomi Konversi Pemanfaatan Lahan Tambak Udang menjadi Usaha Budidaya Rumput Laut di Kota Palopo adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Bogor, Januari 2008
Munandar Jakasukmana C251040221
vii
viii KATA PENGANTAR Tesis ini merupakan penelitian deskriptif untuk menggambarkan keadaan suatu wilayah dengan mengacu kepada beberapa teori yang telah ada sebelumnya dan diuji secara empiris. Penelitian ini mengkaji perubahan pemanfaatan lahan yang dilihat dari ilmu lingkungan dengan fokus pada kondisi ekologi dan ekonomi kemudian diarahkan untuk menjadi bahan analisa dalam pembuatan kebijakan publik. Deskripsi ringkas dari konteks, bidang dan fokus objek serta tujuan penelitian ini tercermin dalam judul tesis ”Analisis Kelayakan Biofisik dan Ekonomi Konversi Pemanfaatan Lahan Tambak Udang menjadi Usaha Budidaya Rumput Laut di Kota Palopo”. Pada bagian ini saya harus mengucapkan terimakasih kepada semua pihak atas bantuan dan perhatiannya dalam penyelesaian tesis ini terutama kepada Bapak Dr. Bambang Widigdo dan Bapak Ir. Gatot Yulianto, MSc sebagai pembimbing utama yang telah memberikan perhatian penuh, bantuan moril dan semangat kepada saya di setiap saat. Selain itu ucapan terima kasih juga saya haturkan kepada Bapak Dr. Yusli Wardiatno dan Bapak Ir. Sigid Haryadi, MSc sebagai penguji luar komisi. Kepada seluruh anggota keluarga besar Yermin Parenrengi saya persembahkan karya saya ini sebagai tanda terima kasih yang tak terhingga atas bantuan dan dukungan yang diberikan selama ini. Sebagai sebuah tesis, tentunya diharapkan masukan yang sifatnya membangun demi kesempurnaan tesis ini. Semoga bimbingan, saran, dan masukan yang diberikan dengan ikhlas membuahkan sebuah karya ilmiah yang bermanfaat bagi khasanah ilmu pengetahuan dan kemaslahatan umat manusia khususnya bagi masyarakat perikanan di Indonesia.
Bogor,
Januari 2008
Munandar Jakasukmana
viii
ix RIWAYAT HIDUP
Munandar Jakasukmana dilahirkan di Makassar pada tanggal 11 Juni 1978 merupakan putra dari pasangan H. Yermin Parenrengi, BE dan Dra.Hj. Kartia Kati. Pendidikan formal yang ditempuh penulis berturut-turut adalah SD. Sandikka di Kabupaten Gowa (1984-1990), SMP Negeri 2 Makassar (1990-1993), SMA Negeri 2 Makassar (1993-1996) dan Jurusan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar (1996-2002). Saat tulisan ini disusun penulis tengah menyelesaikan studi di Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Adapun pendidikan nonformal yang pernah diikuti antara lain Training for Fisheries Monitoring di Makassar (2001) dan Fisheries Data Processing and Analysis di Denpasar (2002).
Bogor, Januari 2008 Munandar Jakasukmana
ix
x
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL.......................................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN...............................................................................................
ix
I
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1.2 Perumusan Masalah ................................................................................... 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................................
II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6
III
Tambak Udang Windu ............................................................................... Morfologi dan Klasifikasi Rumput Laut Gracilaria sp.............................. Konversi Pemanfaatan Lahan untuk Budidaya Gracilaria sp.................... Aspek Perubahan Pemanfaatan Lahan Secara Ekologi .............................. Aspek Perubahan Pemanfaatan Lahan Secara Ekonomi ............................ Kesesuaian Lahan untuk Kegiatan Budidaya Perikanan ............................
17 17 19
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 4.2 4.3 4.7
VI
6 8 10 11 13 15
METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu ..................................................................................... 3.2 Metode Pengumpulan Data ........................................................................ 3.3 Metode Analisis Data ................................................................................
IV
1 3 5
Analisis Biofisik......................................................................................... Analisis Ekonomi ....................................................................................... Kondisi Sosial Masyarakat ........................................................................ Kebijakan Pengelolan Usaha Budidaya Perikanan di Tambak ..................
25 40 45 61
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ................................................................................................. 5.2 Saran ..........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
72 73
.............................................................................................
74
LAMPIRAN................................................................................................................
78
x
xi
DAFTAR TABEL Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Jenis dan sumber data parameter biofisik yang dikumpulkan..................... Jenis dan sumber data parameter sosial dan ekonomi yang dikumpulkan................................................................................................ Kriteria kesesuaian lahan untuk kegiatan budidaya rumput laut Gracilaria sp (Trono 1988)........................................................................ Hasil pengukuran kondisi biofisik perairan tambak rumput laut Gracillaria sp di Kota Palopo ..................................................................... Hasil perhitungan bobot dan skor kesesuaian lahan tambak di Desa Sampoddo.................................................................................................... Hasil perhitungan bobot dan skor kesesuaian lahan tambak di Desa Balandai ...................................................................................................... Hasil perhitungan bobot dan skor kesesuaian lahan tambak di Desa Mancani....................................................................................................... Hasil pengukuran air yang masuk ke tambak dan air buangan dari tambak rumput laut di Kota Palopo............................................................. Produksi dan nilai produksi budidaya perikanan di perairan umum Kota Palopo tahun 2004 .............................................................................. Jenis komoditi perikanan yang dibudidayakan di area tambak setiap kecamatan di Kota Palopo tahun 2004.............................................. Hasil analisis finansial usaha budidaya perikanan tambak di Kota Palopo.......................................................................................................... Klasifikasi profesi responden ...................................................................... Klasifikasi umur responden......................................................................... Klasifikasi responden berdasarkan lama berusaha di bidang perikanan ..................................................................................................... Klasifikasi responden petambak rumput laut berdasarkan lama berusaha di bidang budidaya rumput laut ................................................... Status lahan tambak yang dikelola responden petambak rumput laut ........................................................................................................... Jumlah penduduk laki-laki dan perempuan, jumlah kepala keluarga tiap kecamatan di Kota Palopo.................................................................... Jenis usaha dan jumlah tenaga kerja bidang budidaya perikanan di Kota Palopo pada tahun 2004 ..................................................................... Motivasi responden dalam perubahan usaha yang dilakukan ..................... Matriks prioritas faktor kekuatan kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak......................................................................... Matriks prioritas faktor kelemahan kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak......................................................................... Matriks prioritas faktor peluang kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak......................................................................... Matriks prioritas faktor ancaman kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak.........................................................................
xi
18 19 20 26 27 28 29 37 40 41 44 47 47 49 50 50 51 51 52 63 64 65 66
xii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 2 3 4 5 6 7
Peta kesesuaian lahan untuk usaha budidaya rumput laut Gracilaria sp di Desa Balandai dan Desa Mancani ...................................................... Peta kesesuaian lahan untuk usaha budidaya rumput laut Gracilaria sp di Desa Sampoddo .................................................................................. Klasifikasi responden berdasarkan domisili................................................ Persentase klasifikasi tingkat pendidikan responden .................................. Hirarki Matriks Kebijakan Pengelolaan Budidaya Tambak di Kota Palopo............................................................................................. Bobot komponen SWOT penentuan kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak di Kota Palopo................................................ Bobot bentuk kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak di Kota Palopo ................................................................................
xii
34 35 46 48 61 62 68
xiii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Peta Administrasi Kota Palopo ................................................................... Posisi stasiun pengamatan........................................................................... Kuesioner analisis finansial dan persepsi masyarakat................................. Kuesioner AHP ........................................................................................... Analisis finansial usaha budidaya rumput laut Gracilaria (dalam ribuan) ............................................................................................ Analisis finansial usaha budidaya rumput laut Gracilaria bentuk usaha bagi hasil (dalam ribuan)...................................................... Analisis finansial usaha budidaya rumput laut Gracilaria bentuk usaha sewa lahan (dalam ribuan).................................................... Analisis finansial usaha budidaya tambak udang windu (dalam ribuan) ............................................................................................ Hasil analisis AHP ......................................................................................
xiii
78 79 80 85 93 94 95 96 97
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya alam yang tidak mudah pulih oleh karena itu ketersediaannya terbatas.
Dalam dekade terakhir ini terdapat gejala
penurunan potensi lestari stok ikan di dunia. Penurunan stok ikan ini selain disebabkan oleh penangkapan ikan secara besar-besaran dan terus menerus, juga dipengaruhi oleh perubahan kondisi lingkungan global. Keadaan ini menyebabkan di beberapa tempat eksploitasi penangkapan ikan tidak dapat ditingkatkan lagi, bahkan penangkapan ikan cenderung telah melebihi kapasitas lestari (over capacity) untuk beberapa jenis ikan. Dalam menyikapi permasalahan ini maka salah satu alternatif yang paling logis adalah dengan mengoptimalkan hasil perikanan yang berasal dari perikanan budidaya. Menurut Effendi (2004), perikanan budidaya (akuakultur) merupakan suatu kegiatan usaha dan teknologi memproduksi biota akuatik (ikan dalam arti yang luas). Dalam hal pemanfaatan wilayah, maka kawasan pesisir termasuk wilayah yang cukup banyak dimanfaatkan untuk kegiatan budidaya perikanan ini. Di Indonesia, pemanfaatan wilayah pesisir khususnya untuk kegiatan budidaya air payau adalah 450.000 hektar meskipun potensi lahan yang tersedia mencapai 1,22 juta hektar (Departemen Kelautan dan Perikanan 2005). Dalam gerakan Revitalisasi Perikanan Budidaya 2006-2009, pemerintah Indonesia memberikan prioritas pengembangan terhadap dua komoditas yaitu udang dan rumput laut (Departemen Kelautan dan Perikanan 2005). Kedua komoditas tersebut dianggap mampu meningkatkan perekonomian masyarakat karena output yang dihasilkan dapat dimanfaatkan oleh sektor lain (forward linkage), selain itu memanfaatkan output dari sektor lain (backward linkage). Komoditas udang telah menjadi andalan sektor perikanan dan kelautan selama dua dekade. Namun, beberapa tahun terakhir ini terjadi penurunan aktivitas usaha budidaya udang yang disebabkan oleh serangan penyakit. Kondisi ini berbanding terbalik dengan usaha budidaya rumput laut, baik yang diusahakan di perairan pantai maupun yang dibudidayakan di tambak.
Komoditas
ekspor ini telah menjadi sumber pendapatan masyarakat di beberapa daerah di Indonesia sejak awal tahun 1980-an. Pada tahun 2004 produksi rumput laut mencapai 273.374 ton, meningkat sebanyak 28,66% dari produksi tahun 2000 yang berkisar 212.478 ton. Penyebab meningkatnya produksi ini antara lain karena permintaan pasar ekspor yang
2 semakin bertambah, penerapan teknologi sangat sederhana dan biaya operasional rendah serta waktu pemeliharaan yang cukup singkat yaitu 40-45 hari. Rumput laut yang paling banyak dibudidayakan dan diperdagangkan ada dua jenis yaitu Gracilaria sp. dan Euchema sp. Jenis rumput laut Gracilaria sp. merupakan spesies rumput laut yang bisa dipelihara dalam tambak air payau dan memiliki hasil akhir berupa agar-agar (tepung, batang dan lembaran agar), sedangkan jenis Euchema sp. pemeliharaannya pada perairan pantai yang hasil akhirnya berupa tepung karaginan. Meningkatnya minat masyarakat untuk membudidayakan rumput laut mendorong mereka untuk memanfaatkan lahan tambak yang sebelumnya digunakan untuk budidaya udang atau ikan, sekarang beralih ke budidaya rumput laut (monokultur) ataupun budidaya rumput laut dengan ikan bandeng secara bersamaan (bikultur). Keadaan ini juga disebabkan oleh banyaknya penyakit udang di tambak yang belum teratasi, sehingga membutuhkan biaya pemeliharaan yang cukup tinggi dengan tingkat keberhasilan panen yang rendah. Perubahan pemanfaatan lahan tambak ini juga terjadi di Kota Palopo.
Kota
Palopo terdiri atas 4 kecamatan dengan luas wilayah 247,52 km2 dan panjang garis pantai sekitar 75 kilometer. Luas areal tambak di Kota Palopo pada tahun 2005 adalah 880 hektar yang tersebar di empat kecamatan dimana sekitar 707 hektar atau 80% digunakan untuk kegiatan budidaya rumput laut (Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan Kota Palopo 2005). Kegiatan budidaya rumput laut ini memberi pengaruh positif terhadap kondisi ekologi di wilayah pesisir. Pada usaha budidaya udang, lahan mendapatkan penambahan bahan anorganik dan organik untuk meningkatkan kesuburan maupun pertumbuhan udang. Hal ini mengakibatkan sisa-sisa bahan tersebut akan menjadi beban lingkungan. Untuk usaha budidaya rumput laut, pemeliharaan yang dilakukan tidak memerlukan perlakuan khusus seperti pemberian pakan buatan sehingga kualitas air buangan tambak tidak mencemari perairan. Bahkan rumput laut memiliki kemampuan absorbsi terhadap zat hara dan unsur/senyawa tertentu seperti logam berat, sehingga biasa digunakan sebagai biofilter perairan (Mubarak et al. 1990). Ditinjau dari segi ekonomi, peralihan usaha ini dapat memberikan pengaruh positif terhadap tingkat pendapatan masyarakat terlebih jika dilakukan secara massal karena dapat memanfaatkan lahan tambak udang yang telah ditinggalkan. Rumput laut juga merupakan komoditas ekspor walaupun memiliki nilai ekonomis yang lebih rendah daripada udang. Karena budidaya rumput laut tidak membutuhkan investasi teknologi yang tinggi dan mahal namun memiliki prospek pasar yang baik maka usaha ini tepat
2
3 untuk dikembangkan oleh masyarakat perikanan di berbagai daerah yang memiliki keterbatasan dalam hal ketersediaan teknologi serta kemampuan sumberdaya manusia. Penelitian ini menganalisis secara ekologi dan ekonomi perubahan usaha dari tambak ikan/udang ke tambak rumput laut sehingga dapat membantu dalam penyusunan kebijakan regional dalam pengelolaan usaha budidaya perikanan yang berkelanjutan. 1.2 Perumusan Masalah Wilayah pesisir Kota Palopo telah dimanfaatkan sebagai kawasan usaha perikanan khususnya budidaya tambak udang windu dan ikan bandeng sejak dekade 1980-an. Meskipun pengelolaan usaha berlangsung dengan sistem tradisional, mereka telah memperoleh banyak keuntungan karena harga udang windu di pasaran internasional cukup baik. Pada pertengahan dekade 1990-an kemudian mulai muncul berbagai penyakit yang menyerang udang. Umumnya penyakit ini berupa virus akibat pengelolaan kualitas air yang kurang baik atau karena bibit udang telah mengandung penyakit. Hingga saat ini penyakit tersebut belum dapat diobati sehingga petambak sering mengalami gagal produksi yang mengakibatkan petambak mengalami kerugian usaha. Banyak petambak kemudian menghentikan usaha budidaya udangnya untuk menghindari kerugian yang lebih besar. Keadaan itu mengakibatkan menurunnya nilai lahan, penduduk
kehilangan
pendapatan baik sebagai pemilik maupun buruh kerja. Untuk mempertahankan tingkat pendapatan dan agar lahan yang dimiliki dapat dimanfaatkan maka sebagian petambak mulai memanfaatkan lahan tambaknya untuk budidaya rumput laut.
Proses alih
pemanfaatan lahan pada awalnya tidak berlangsung secara besar-besaran dan dilakukan oleh beberapa orang petambak. Namun setelah melihat keberhasilan yang dicapai, maka petambak lain juga melakukan hal yang sama. Menurut Suratmo dalam Subiyakto (1990) bahwa perubahan penggunaan lahan memberi dampak secara fisika-kimia, secara biologis dan terhadap sosialbudaya. Dampak fisika-kimia sebagai akibat dari perubahan penggunaan lahan antara lain dampak terhadap tanah dan tataguna lahan, dampak terhadap vegetasi, dampak terhadap iklim mikro, dampak terhadap tata air (hidrologi), dampak terhadap pencemaran (akumulasi limbah) dan terhadap kesehatan lingkungan. Perubahan komoditas budidaya dapat mempengaruhi kondisi lingkungan perairan. Secara teknis budidaya terdapat perbedaan kebutuhan kondisi biofisik antara rumput laut Gracilaria sp. dan udang windu seperti kebutuhan nutrisi serta kondisi
3
4 kualitas air yang berbeda. Pemanfaatan lahan tambak yang telah dilakukan perlu dikaji untuk mengetahui apakah lahan tersebut telah sesuai dan cocok untuk kegiatan budidaya rumput laut. Kesesuaian lahan ini harus mengacu kepada kriteria lingkungan yang cocok sebagai habitat dan tempat hidup rumput laut Gracilaria sp. Dari
segi
ekonomi,
perubahan
komoditas
yang
dibudidayakan
akan
mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakat. Hal ini disebabkan nilai ekonomis kedua komoditi berbeda. Dengan demikian perlu dianalisa apakah perubahan usaha ini layak dipertahankan atau bahkan dikembangkan. Hal ini dilakukan untuk melihat bagaimana keberlanjutan usaha ini dapat memberi pengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Keberlanjutan usaha perlu dipikirkan sehingga kegiatan ini tidak hanya bersifat sementara karena tidak didukung oleh kebijakan pengelolaan dari pihak pengambil kebijakan. Untuk memperoleh dukungan dari semua pihak yang berkepentingan, maka kebijakan yang diambil mesti bersifat bottom-up
dan mampu mengakomodasi
kepentingan semua pihak. Berdasarkan kondisi tersebut maka dapat dirumuskan permasalahan yang terkait dengan beberapa pertanyaan sebagai berikut : 1.
Kesesuaian kondisi biofisik Kota Palopo untuk usaha budidaya rumput laut Gracilaria sp.
2.
seberapa jauh kegiatan budidaya rumput laut dapat memperbaiki kualitas air buangan
3.
Kelayakan usaha dari budidaya rumput laut ditinjau dari segi ekonomi
4.
Faktor-faktor yang memotivasi masyarakat untuk melakukan usaha budidaya rumput laut.
5.
Strategi yang bersifat partisipatif dalam pengelolaan usaha budidaya di tambak
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah : 1.
Mengevaluasi kesesuaian lahan bagi usaha budidaya rumput laut di tambak
2.
Menganalisis perubahan kualitas air tambak rumput laut
3.
Menganalisis kelayakan usaha dari budidaya rumput laut di tambak
4.
Menganalisis motivasi petambak dalam melakukan peralihan usaha dari tambak udang menjadi usaha budidaya rumput laut
5.
Menyusun strategi pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak yang berkelanjutan secara partisipatif
4
5 Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat memberikan gambaran awal kepada semua pihak yang berkepentingan mengenai kondisi usaha budidaya perikanan khususnya pada pola diversifikasi usaha budidaya udang windu menjadi budidaya rumput laut Gracilaria sp. di Kota Palopo.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tambak Udang Windu Menurut
Hardjowigeno
dan
Widiatmaka
(2001),
tambak
adalah
kolam
pemeliharaan ikan atau udang yang dibuat pada lahan pantai laut dan menggunakan air laut (bercampur air sungai) sebagai penggenangnya. Budidaya udang di tambak adalah kegiatan usaha pemeliharaan udang di tambak yang dimulai dari ukuran benih hingga mencapai ukuran yang layak konsumsi (Suyanto dan Mudjiman 1999). Menurut Dahuri (2004), total produksi udang tambak Indonesia pada tahun 2000 adalah 120.000 ton.
Sistem budidaya udang yang diterapkan di Indonesia ada tiga tingkatan yaitu tradisional, semi intensif dan intensif.
Perbedaan yang menonjol dari ketiga
tingkatan tersebut adalah pada segi pengaturan lingkungan hidup, sumber makanan, kepadatan benih, permodalan, luas per petak tambak dan pengendalian hasil (Poernomo 1989). Pada tahun 2004, luas lahan tambak udang yang ada di Kota Palopo sebesar 35,50 ha dan semuanya menggunakan teknologi tradisional (Dinas Perikanan Kota Palopo 2005). Salah satu penyebab pencemaran yang sering terjadi dalam kegiatan budidaya tambak udang, terutama untuk budidaya tambak udang intensif dan semi intensif adalah buangan limbah organik ke dalam perairan pantai yang banyak mengandung nutrien (nitrogen – N dan fosfor – P). Hal ini dapat menimbulkan eutrofikasi (Dahuri et al. 2001). Oleh karena itu dalam pengelolaannya perlu dilakukan antisipasi melalui prediksi terhadap potensi kandungan nutrien dalam tambak terhadap kemampuan perairan pantai untuk melakukan pengenceran.
Revolusi biru sebagai program peningkatan usaha sektor perikanan telah mengubah sebagian besar petambak tradisional menjadi petambak komersial, bahkan sempat mendudukkan Indonesia sebagai salah satu produsen udang terbesar di dunia. Namun pada pertengahan 1990-an, petambak udang Indonesia kewalahan menghadapi epidemi virus udang selama empat tahun dan menyebabkan tingkat kematian total di banyak daerah.
Hingga saat ini
tidak banyak petambak yang berhasil mengatasi virus ini hingga banyak petambak yang menghentikan kegiatan budidaya udang. Menurut Sudaryono (2004), mewabahnya virus udang seperti virus SEMBV disebabkan oleh pengelolaan lingkungan yang buruk seperti pembabatan mangrove untuk
memperluas lahan budidaya sehingga mengurangi kemampuan filtrasi air yang masuk ke kawasan budidaya.
Selain itu desain tambak yang tidak ramah lingkungan dimana
saluran air yang masuk sama dengan air yang keluar sehingga sisa-sisa pakan dan kotoran lainnya akan terus mengendap di dasar tambak dan tidak bisa dibuang keluar tambak. Tingginya kandungan bahan organik dari buangan limbah dari kegiatan budidaya tambak udang di satu hamparan lahan dapat melebihi kapasitas daya dukung lingkungan. Sumber pencemaran bahan organik limbah tambak berasal dari sisa pakan yang membusuk, metabolit (urine dan feces), bangkai plankton yang membusuk, dan mikro organisme lainnya (Poernomo
1992). Limbah organik ini
terakumulasi dalam bentuk sedimen yang tertahan dan mengendap di dasar tambak atau terikat pada dinding pematang. Sedimen ini biasanya kaya akan nutrien (nitrogen dan fosfor) yang pada akhirnya akan digelontorkan ke luar tambak menuju perairan pantai (Subandar 2002 dalam Hamid 2002). Menurut Biao et al. (2004), berdasarkan studi pengukuran kualitas air di pintu masuk dan pintu keluar tambak udang ternyata terdapat perbedaan nyata antara keduanya dimana nilai rata-rata konsentrasi nitrogen anorganik, fosfor anorganik di pintu pengeluaran tambak ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan nilai rata-rata konsentrasi di pintu pemasukan tambak. Potensi dampak negatif yang mungkin ditimbulkan dari kegiatan budidaya tambak udang perlu dicegah, terutama terhadap kandungan nutrien (nitrogen dan fosfor) yang masuk ke perairan pantai
Sehubungan dengan hal itu maka perlu dilakukan prediksi
kemampuan perairan pantai melakukan pengenceran terhadap limbah nutrien tersebut. Untuk menghitung kemampuan perairan pesisir dalam mengencerkan limbah tambak dapat digunakan rumusan hasil kegiatan Penyusunan Kriteria Eko-Biologis (Widigdo 2001)
Secara ekologi, ada beberapa hal yang menjadi dampak negatif akibat cepatnya perkembangan industri budidaya udang. Pertama, hilangnya sejumlah besar kawasan hutan mangrove yang sangat penting secara ekologi dan ekonomi akibat kepentingan ekspansi tambak udang. Kedua, tingginya tingkat penggunaan bahan kimia seperti pupuk dan pestisida dalam tambak udang intensif menimbulkan masalah pencemaran yang signifikan. Ketiga, penggunaan air tawar secara berlebihan di kawasan pesisir menyebabkan intrusi air laut ke dalam sumur-sumur air di daerah pesisir (Konphalindo 2002) Menurut Casalduero (1999), kegiatan budidaya organisme pada perairan tertutup seperti tambak udang akan memberikan dampak negatif. Dalam kegiatannya,
terjadi pelepasan nutrisi yang berasal dari hasil ekskresi organisme serta pakan yang tidak termakan ke lingkungan akan menyebabkan terjadinya hypernutrification. Selain itu konsentrasi banyak organisme dalam satu tempat yang kecil akan meningkatkan kebutuhan akan oksigen dan konsentrasi produksi limbahnya, yang akan mempengaruhi pertumbuhan fitoplankton ke tingkat eutrofikasi. Hal ini juga dikemukakan oleh Russo (2002) bahwa pengkayaan nutrisi diperairan akibat aktivitas manusia dapat menyebabkan tekanan ekologi bagi ekosistem pesisir, karena mengurangi kedalaman zona fotik, dapat menghilangkan habitat, menurunkan kelarutan oksigen terlarut di perairan dan berdampak pada kehidupan sumberdaya hayati.
Ekses dari pengkayaan nutrisi di perairan adalah
meningkatnya pertumbuhan tumbuhan makrofita ataupun fitoplankton, meningkatnya produksi alga dan meningkatnya ketersediaan karbon organik. Kelebihan produksi alga ini kemudian tenggelam di dasar perairan yang kemudian menghabiskan sebagian besar oksigen di dasar perairan. 2.2 Morfologi dan Klasifikasi Rumput Laut Gracilaria sp. Aslan (1998) mengemukakan bahwa secara morfologi, rumput laut tidak memperlihatkan adanya perbedaan antara akar, batang dan daun. Secara keseluruhan, tanaman ini mempunyai morfologi yang mirip antara satu jenis dengan jenis yang lainnya, walaupun sebenarnya berbeda. Bentuk-bentuk tersebut sebenarnya hanyalah thallus belaka. Bentuk thallus rumput laut ada bermacam-macam, antara lain bulat seperti tabung, pipih, gepeng, bulat seperti kantong dan rambut dan sebagainya. Thalli ini ada yang tersusun uniselluler (satu sel) atau multi selluler (banyak sel). Percabangan thallus ada yang dichotomous (bercabang dua terusmenerus), pectinate (berderet searah pada satu sisi thallus utama), pinnate (bercabang dua-dua pada sepanjang thallus utama secara berselang seling), ferticillate (cabangnya berpusat melingkari aksis atau sumbu utama) dan ada juga yang sederhana, tidak bercabang. Sifat substansi thalli juga beraneka ragam, ada yang lunak seperti gellatin (gellatinous), keras diliputi atau mengandung zat kapur (calcareous), lunak seperti tulang rawan cartilagenous), berserabut (spongious) dan sebagainya. Pada thallus rumput laut terdapat pigmen yang dapat digunakan dalam membedakan berbagai kelas. Pigmen ini dapat pula menentukan warna thallus sesuai dengan pigmen yang ada pada kelas Chlorophyceae, Phaeophyceae, Rhodophyceae dan Cyanophyceae. Perbedaan warna thalli menimbulkan adanya ciri algae yang berbeda seperti, Algae hijau,
Algae coklat, Alga merah dan Alga biru. Pigmen yang menentukan warna ini antara lain adalah klorofil, karoten, phycoerythrin, dan phycocyanin (Soegiarto 1978). Sejak diperkenalkannya istilah “algae” oleh Linnaeus, maka pemakaian atau penggunaannya terus berlaku hingga sekarang. Algae dimasukkan ke dalam divisi Thallophyta (tumbuhan berthallus) karena mempunyai struktur kerangka tubuh (morfologi) yang tidak berdaun, berbatang dan berakar, semuanya terdiri dari thallus (batang) saja. Sampai kini Thallophyta memiliki 7 fila yaitu Euglenophyta, Chlorophyta, Chrysophyta, Pyrrophyta, Phaeophyta, Rhodophyta dan Cryptophyta. Menurut Trono (1988), genus gracilaria termasuk Famili Gracilariaceae Ordo Gigartinales Divisi Rhodophyta. Gracilaria termasuk genus yang luas dengan lebih dari seratus spesies yang tersebar di perairan tropis dan perairan beriklim sedang di dunia. Genus gracilaria memiliki karakter yaitu memiliki pergantian tiga generasi somatik, tingkat sporofita, tingkat gametofit dan tingkat carposporofita.
Tingkat terakhir
mikroskopik dan parasit pada gametofit betina, jadi tingkat gametofit dan tetrasporofita adalah tingkat makroskopik yang digunakan sebagai material penanaman dalam tambak budidaya. Meskipun reproduksi Gracilaria sp. dengan spora memiliki potensi yang cukup tinggi, penyebaran secara vegetatif melalui pemotongan lebih banyak digunakan saat ini pada tambak budidaya karena kapasitas regenatif yang lebih tinggi dan metodenya lebih sederhana (Trono 1988). 2.3
Konversi Pemanfaatan Lahan untuk Budidaya Gracilaria sp.
Perairan Indonesia memiliki kekayaan berbagai jenis rumput laut, Ekspedisi Sibolga pada tahun 1928 – 1929 melaporkan ada 555 jenis rumput laut (van Bosse dalam Sulistijo, 1985). Dari jenis-jenis tersebut yang mempunyai nilai ekonomis sebagai komoditi perdagangan adalah kelompok penghasil agar-agar (Gracilaria, Gelidium, Gelidiella dan Gelidiopsis) dan kelompok penghasil karaginan (Eucheuma dan Hypnea). Rumput laut marga gracilaria dan Eucheuma mempunyai potensi untuk dibudidayakan. Percobaan-percobaan budidaya eucheuma dan gracilaria telah dilakukan oleh Lembaga Oseanologi Nasional – LIPI, Balai Penelitian Perikanan Laut Litbangkan, Dinas-dinas Perikanan dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (Sulistijo 1985). Berdasarkan data Departemen Kelautan dan Perikanan, potensi budidaya rumput laut sedikitnya mencapai 1,2 juta hektar dan tersebar di 15 provinsi (DKP 2005). Potensi rumput laut di Sulawesi Selatan sekitar 250.000 hektar, tetapi
realisasi baru 5 persen. Pada tahun 2003 diproduksi rumput laut kering 21.000 ton, dan sekitar 15.000 ton di antaranya diekspor. Negara tujuan ekspor antara lain Singapura, Hongkong, Jepang, Taiwan, dan Perancis. Usaha budidaya rumput laut secara komersial telah dilakukan puluhan tahun yang lalu di beberapa negara seperti Jepang, China, Korea Selatan, Vietnam, India dan Filipina. Di Taiwan, usaha produksi Gracilaria sp. yang dibudidayakan di tambak telah mencapai tingkat kesuksesan yang tinggi (Trono 1988). Pada tahun 1988, rumput laut kering jenis gracilaria yang diproduksi mencapai 12.000 ton sebagai bahan dasar penting pembuatan agar-agar untuk kepentingan farmasi, bahan makanan dan industri lainnya. Menurut Wilder dalam Subiyakto (1990) bahwa bentuk perubahan penggunaan lahan dapat dipilah menjadi dua, yaitu suksesi dan konversi. Suksesi menunjukkan evolusi penggunaan menuju klimaks, sedangkan konversi merupakan alih penggunaan dari satu jenis kegiatan ke jenis yang lain. Daya dukung lingkungan dapat dibagi menjadi dua yaitu daya dukung ekologis dan daya dukung ekonomi. Daya dukung ekologi adalah jumlah maksimal biota pada suatu lahan yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan maupun kerusakan lingkungan secara permanen. Hal ini ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan. Daya dukung ekonomi adalah tingkat produksi (skala usaha) yang memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi. Dalam hal ini digunakan parameter dan kelayakan usaha secara ekonomi. 2.4
Aspek Perubahan Pemanfaatan Lahan secara Ekologi Beberapa spesies yang digunakan untuk budidaya di beberapa negara antara lain
Gracilaria chorda, G. edulis, G. “verrucosa”, G. lichenoides, G. compressa and G. gigas. Gracilaria verrucosa termasuk spesies yang paling digemari karena memiliki beberapa kelebihan antara lain mampu beradaptasi pada kondisi ekologi yang lebar, tingkat produksi yang tinggi dan memiliki kualitas gel yang lebih baik. Menurut Trono (1988) usaha budidaya Gracilaria sp. di tambak dipengaruhi oleh tiga faktor ekologi yaitu salinitas, cahaya dan suhu. Produksi yang tinggi diperoleh selama musim dengan suhu yang tinggi dan pertumbuhan lambat selama musim dingin. Intensitas cahaya yang tinggi memberi efek yang tidak baik untuk pertumbuhan oleh karena itu pengendalian terhadap kondisi cahaya dilakukan dengan mengatur kedalaman perairan di tambak. Salinitas 20 – 24 ppt optimal untuk pertumbuhan. Peningkatan
salinitas selama musim panas dikendalikan dengan penambahan air tawar, sehingga lahan tambak memerlukan sumber air tawar. Aslan (1998) mengatakan bahwa terdapat tiga metode pembudidayaan rumput laut berdasarkan posisi tanaman terhadap dasar perairan yaitu: (1) Bottom method atau metode dasar, (2) Off Bottom method atau metode lepas dasar dan (3) Floating method atau metode apung. Kemudian ditambahkannya bahwa bibit yang baik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) Bila dipegang terasa elastis, (2) Mempunyai cabang yang banyak dengan ujungnya yang berwarna kuning kemerah-merahan, (3) Mempunyai batang yang tebal dan berat dan (4) Bebas dari tanaman lain atau benda-benda asing. a.
Kuantitas dan Kualitas Air Tambak Rumput Laut Gracilaria sp. Soewardi (2002) berpendapat bahwa ada dua alasan yang mendasari pentingnya
pengelolaan kualitas air di tambak yaitu pertama untuk menciptakan kondisi lingkungan perairan tambak yang nyaman bagi organisme tumbuh dan berkembang guna mendukung keberhasilan pemeliharaan. Kedua, untuk menghasilkan air buangan tambak dengan kualitas yang masih aman bagi ekosistem perairan pesisir atau masih dalam batas-batas yang diperbolehkan berdasarkan Standar Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut. Dengan demikian, dalam pengelolaannya harus memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut : - untuk mempertahankan kestabilan kualitas air - untuk mempertahankan kestabilan populasi plankton - untuk menjaga kesehatan organisme target - meningkatkan efisiensi produk/metabolisme target organisme - meningkatkan kualitas produk (hasil) dari organisme target
Menurut Trono (1988), dalam pemeliharaan rumput laut Gracilaria sp. parameter kualitas air yang paling penting adalah salinitas perairan. Gracilaria dapat tumbuh dan berkembang pada kisaran salinitas 20 – 28 ppt dengan salinitas optimum pada 25 ppt. Fluktuasi salinitas yang terjadi akibat perubahan musim harus disikapi karena sangat mempengaruhi pertumbuhan rumput laut yang dipelihara. Kemudian ditambahkan bahwa pH air yang optimal bagi pertumbuhan rumput laut gracilaria adalah 8,2 – 8,7.
Gracilaria sp. memerlukan nutrisi pada pertumbuhannya seperti nitrogen, phosphat dan kalium serta oksigen. Kualitas nutrisi air tambak berpengaruh terhadap penggunaan pupuk. Pada prinsipnya, empat minggu pertama, tanaman memerlukan lebih banyak nutrisi nitrogen, sedangkan dua atau tiga minggu
sebelum panen tanaman memerlukan lebih banyak nutrisi fosfat (Glenn dan Fitzsimmons 1991). Selama pemeliharaan, ketinggian air yang baik adalah 30 – 40 cm. Namun pada musim kemarau ketinggian air ditambah untuk mencegah pengaruh naiknya suhu permukaan air. Demikian halnya pada musim hujan, suhu perairan dijaga agar supaya tidak turun secara drastis dengan menambah volume air. Kisaran suhu perairan yang optimal untuk pertumbuhan rumput laut adalah 20 – 29 oC (Trono 1988). Pergantian air secara teratur penting untuk menjaga suhu yang optimal dalam perairan tambak. Pergantian air dilakukan setiap tiga hari sekali selama pemeliharaan sebanyak 50 – 75 % dari volume air dalam tambak. b.
Peran Rumput Laut sebagai Biofilter Perairan Biofilter adalah suatu penyaring dengan memanfaatkan kemampuan
organisme dalam meningkatkan mutu kualitas air.
Menurut Rijn dan Shilo
(1989), biofilter digunakan untuk meningkatkan kualitas air pada kolam pemeliharaan ikan terutama untuk mengendalikan nitrogen beracun (NH3 dan NO2) yang merupakan hasil metabolismenya. Penggunaan rumput laut sebagai biofilter untuk menghilangkan nitrogen di perairan tambak telah dijadikan studi dengan menggunakan Gracilaria sp. (Casalduero 1999). Rumput laut memiliki kemampuan absorbsi tidak hanya terhadap zat hara, tetapi juga unsur/senyawa lain seperti logam berat. Karena itu perairan yang tercemar logam berat dan lainnya harus dihindari dalam pemilihan lokasi (Mubarak et al.
1990).
Dilaporkan oleh Ellner et al. (1996) bahwa
penggunaan biofilter rumput laut pada sistem pemeliharaan ikan sea bream (Sparus aurata) berfungsi untuk mempertahankan kualitas air dan mengurangi beban nutrien dalam sungai. 2.5 Aspek Perubahan Pemanfaatan Lahan secara Ekonomi Keragaan ekonomi adalah gambaran secara detail usaha perikanan, yang dilakukan oleh perorangan/badan usaha untuk mencari keuntungan, dengan menganalisis secara ekonomi dan finansial, serta kestabilan usaha tersebut terhadap risiko alam dan kedinamisan perubahan ekonomi dan teknis usaha, seperti turun naiknya produksi, biaya operasional usaha penangkapan, penerimaan, serta harga produksi (Juliani 2005).
Menurut Anonim (2005) kriteria profitabilitas digunakan untuk melihat keuntungan finansial yang dapat diperoleh investor dan juga keuntungan ekonomi yang dapat diperoleh masyarakat, daerah, atau negara. Evaluasi finansial menggunakan rasio-rasio finansial dasar yang umum digunakan dalam menentukan profitabilitas finansial. Parameter-parameter tersebut adalah a) net present value (NPV), b) internal rate of return (IRR), c) return on investment (ROI), dan d) payback period (PP). Parameter NPV, IRR dan B/C Ratio merupakan metode dasar dalam mengukur kelayakan ekonomi suatu proyek dengan menggunakan teknik discounting.
Teknik
pengukuran kriteria investasi dengan discounting (discounted measures), memungkinkan penilaian terhadap usaha yang umur dan investasinya berbeda, sehingga pola biaya dan benefit selama umur usaha juga berbeda. Tingkat diskonto yang digunakan biasanya berdasarkan tingkat suku bunga bank yang berlaku. Net Present Value (NPV) merupakan kriteria yang paling sederhana dibandingkan kriteria lainnya, yaitu menghitung selisih antara nilai sekarang arus manfaat, dengan nilai sekarang arus biaya selama umur usaha, dengan tingkat bunga tertentu. Internal Rate of Return (IRR) adalah tingkat diskonto untuk mencapai NPV=0 atau PV Benefit = PV Cost. IRR menggambarkan kemampuan modal untuk menghasilkan (earning power of capital). Benefit – Cost Ratio (B/C R) adalah menggambarkan seberapa besar bagian biaya usaha, yang setiap tahunnya tidak dapat tertutup oleh manfaat usaha. Profitability Ratio (PR) yaitu membandingkan present value dari net benefit (benefit dikurangi biaya operasional) dengan present value modal atau investasi (Shang 1990)
2.6
Kesesuaian Lahan untuk Kegiatan Budidaya Rumput Laut
Gracilaria sp.
Alokasi pemanfaatan ruang kawasan pesisir sebagai lahan pertambakan untuk budidaya di wilayah pesisir memerlukan kesesuaian (suitability) baik ditinjau dari aspek bio-fisik maupun aspek sosial ekonomi dan lingkungan.
Kesesuaian lahan (land
suitability) merupakan kecocokan (adaptability) suatu lahan untuk tujuan penggunaan tertentu melalui penentuan nilai (kelas) suatu lahan serta pola tata guna lahan tanah yang dihubungkan dengan potensi lahan wilayahnya, sehingga dapat diusahakan penggunaan
lahan yang lebih terarah berikut usaha-usaha pemeliharaan kelestariannya (Hardjowigeno dan Widiatmaka 2001). Penilaian kesesuaian lahan merupakan suatu penilaian secara sistematik dari lahan dan menggolongkannya kedalam beberapa kategori berdasarkan persamaan sifat atau kualitas lahan yang mempengaruhi kesesuaian lahan bagi suatu usaha atau penggunaan tertentu.
Untuk tujuan pengembangan wilayah pesisir dengan sasaran penentuan
kesesuaian lahan untuk pengembangan usaha budidaya perikanan, maka klasifikasi kesesuaian lahannya ditujukan untuk dapat mengurangi atau mencegah berbagai dampak negatif yang mungkin ditimbulkan serta menjamin kegiatan usaha yang dapat berlangsung secara optimal, terpadu dan berkelanjutan (integrated and sustainable development), baik ditinjau secara ekologis maupun ekonomis. Lokasi merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi produktivitas dan efisiensi ekonomis usaha pertambakan. Untuk menunjang keberhasilan usaha pertambakan, maka perlu dilakukan pemilihan lokasi yang baik dan cocok dengan memperhatikan beberapa persyaratan teknis maupun non-teknis kegiatan budidaya. Persyaratan karakteristik tanah memegang peranan penting dalam menentukan baik tidaknya lahan untuk usaha pertambakan. Tanah yang baik tidak hanya mampu menahan air, namun juga harus mampu menyediakan berbagai unsur hara untuk organisme yang dipelihara. Kemampuan tanah menyediakan berbagai unsur hara yang diperlukan untuk pertumbuhan makanan alami, dipengaruhi oleh kesuburan tambak dan ditentukan pula oleh komposisi kimiawi tanah. Tanah alkalis lebih subur dan produktif dari pada tanah masam. Kesuburan tambak ditentukan oleh tersedianya unsur hara yang terdapat dalam air dan tanah dasar tambak. Karakteristik tanah dasar tambak sangat penting untuk pertumbuhan alga dasar (kelekap) maupun plankton. Ketersedian unsurunsur hara seperti N, P, K, Mg, serta unsur mikro trace element sangat diperlukan untuk tanah pertambakan (Afrianto dan Liviawaty 1991). Menurut Hidayanto dkk. (2004), jenis tanah yang baik untuk usaha pertambakan adalah lempung berpasir (clay loam) liat berpasir (sandy clay), liat berlumpur (silty clay) dan liat (clay). Jenis tanah lempung berpasir sangat sesuai untuk pertumbuhan makanan alami, sedangkan jenis tanah pasir dan pasir berlumpur bersifat sangat porous, sehingga tidak dapat menahan air serta miskin hara.
Dilanjutkan bahwa tanah dengan pH 7
mengandung banyak natrium dan fosfor, sehingga mendukung pertumbuhan alga dasar (kelekap). Mubarak (1982) menjelaskan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam budidaya rumput laut di perairan pantai (laut) dalam hal pemilihan lokasi antara lain : (1) perairan
harus cukup tenang, terlindung dari pengaruh ombak, (2) tersedianya bibit alami lokal, (3) dasar perairan cocok untuk budidaya yang digunakan, (4) Jauh dari sumber air tawar, seperti muara sungai atau di mana daerah tersebut banyak dimasuki air tawar, (5) kemudahan memperoleh tenaga kerja, dan (6) memiliki izin dari pemerintah. Menurut
Trono
(1998),
persyaratan
dasar
dalam
seleksi
lokasi
untuk
pembudidayaan rumput laut gracilaria tergantung pada faktor ekologi yang dibutuhkan dan metode budidaya yang dipilih. Secara umum tiga tipe lokasi yaitu di daerah pantai, daerah lepas pantai dan tambak. Kriteria untuk seleksi lokasi tambak adalah (1) Secara umum daerahnya tidak terlalu tertutup, kadar salinitas cukup tinggi untuk pertumbuhan padi namun cukup untuk memelihara ikan; suplai air laut dan air tawar.
(2) Lokasi yang memiliki akses terhadap
Gracilaria sp. termasuk alga yang bersifat eurihaline dan
akan bertumbuh dengan baik dalam kisaran salinitas yang lebar; (3) Lokasi tambak terlindung dari angin yang kencang atau gelombang yang kuat; (4) pH air di tambak seharusnya beralkalin rendah dari tujuh ke sembilan dengan kisaran optimum 8,2 – 8,7 dan (4) Dasar tambak lempung berpasir.
III. METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di wilayah pesisir Kota Palopo dengan mengambil sampel pada tiga desa yaitu Sampoddo, Balandai dan Mancani. Ketiga desa dipilih karena memiliki luasan lahan tambak yang cukup luas. Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan, yaitu mulai bulan Mei hingga Juli 2006. 3.2 Metode Pengumpulan Data a. Analisis Biofisik untuk Budidaya Rumput Laut Pengumpulan data untuk analisis kondisi biofisik terdiri atas dua macam cara. Metode pertama berupa observasi langsung di lapangan dan pengambilan sampel air dan tanah dasar tambak. Pada setiap desa lokasi pengambilan sampelnya terdiri atas 3 stasiun pengamatan (Lampiran 2). Pengambilan sampel air dilakukan di pintu air masing-masing tambak.
Terkait dengan konstruksi tambak yang hanya memiliki satu pintu yang
berfungsi sebagai pintu pemasukan dan pintu pengeluaran maka pola pengambilan sampel air mengikuti sistem pengaturan air yang dilakukan oleh petambak. Pengambilan sampel air pada pagi hari (saat air pasang) untuk mewakili data air yang masuk ke tambak, sedangkan pengambilan air yang dilakukan pada malam hari (saat air surut) untuk mewakili data air yang keluar dari tambak. Untuk menentukan tipe substrat maka diambil sampel tanah dari dasar tambak. Pengambilan sampel air dilakukan dua kali dengan selang waktu 30 hari. Pengukuran parameter kualitas air dilakukan di lokasi penelitian dan laboratorium kualitas air Jurusan Perikanan Unversitas Hasanuddin. Penentuan tipe substrat tanah dilakukan di laboratorium kualitas tanah di Jurusan Ilmu Tanah Universitas Hasanuddin, Makassar. Metode kedua yang dilakukan adalah mengumpulkan data sebagai penunjang dari hasil observasi yang telah dilakukan di lokasi penelitian. Data penunjang yang diperoleh berupa laporan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh tim peneliti Laboratorium Kualitas Air Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin tahun 2000. Pengumpulan data berbagai parameter biofisik yang dilakukan selama penelitian tersaji dalam Tabel 1. Tabel 1. Jenis data parameter biofisik yang dikumpulkan
No.
Jenis Data
Unit
Metode
Kondisi biofisik 1.
Suhu perairan
2. 3.
o
C
in situ
Derajat keasaman (pH)
-
in situ
Oksigen terlarut (DO)
Ppm
in situ
4.
Salinitas
o
/oo
in situ
5.
Kedalaman perairan
cm
in situ
6.
Ammonia
ppm
Laboratorium
7.
Nitrat
ppm
Laboratorium
8.
Fosfat
ppm
Laboratorium
9.
Kecerahan perairan
%
in situ
10.
Kekeruhan
NTU
Laboratorium
11.
Tipe substrat
-
Laboratorium
12.
Kualitas air tambak udang
Laporan Penelitian Laboratorium Kualitas Air FIKP Unhas
b. Sosial ekonomi Untuk analisis kondisi sosial ekonomi maka dilakukan kegiatan observasi dan pengamatan di lapangan. Pengumpulan data sosial ekonomi dilakukan dengan gabungan metode snowball sampling dan accidental sampling dengan kuesioner yang telah dipersiapkan sebelumnya (Lampiran 3) . Jumlah responden yang diwawancarai adalah 52 orang yang terdiri dari para petambak udang dan petambak rumput laut. Selain itu dikumpulkan pula data penunjang berupa laporan data produksi perikanan dari Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan Kota Palopo. Data dari Biro Pusat Statistik Kota Palopo digunakan untuk memperoleh data mengenai kondisi demografi, ekonomi dan sosial. Untuk memilih prioritas kebijakan dalam pengelolaan budidaya tambak maka dilakukan pembagian kuesioner (Lampiran 4) kepada beberapa pihak sebagai stakeholder yang memiliki keterkaitan dengan pengelolaan usaha budidaya tambak untuk memperoleh hasil yang partisipatif dan akomodatif sehingga kebijakan dapat dilaksanakan dan didukung oleh semua stakeholder. Pengumpulan data sosial dan ekonomi yang dilakukan selama penelitian tersaji dalam Tabel 2. Tabel 2. Jenis dan sumber data sosial dan ekonomi yang dikumpulkan No.
Jenis Data
Unit
Metode
Sosial ekonomi 1.
Nilai pendapatan dan pengeluaran petambak selama satu siklus produksi
-
Wawancara
2.
Motivasi usaha
-
Wawancara
3.
Prioritas kebijakan
-
Wawancara
4.
Data Produksi Perikanan
Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan Kota Palopo
5.
Demografi, ekonomi dan sosial
BPS Kota Palopo
3.3 Metode Analisis Data Analisis data dilakukan mencakup analisa kesesuaian lahan, kelayakan usaha secara ekonomi, motivasi masyarakat dan analisa kebijakan pengelolaan. Masing-masing metode analisis tersebut dijelaskan sebagai berikut :
a)
Kesesuaian Lahan untuk Budidaya Rumput Laut Gracilaria sp. Analisis kesesuaian lahan bagi budidaya tambak rumput laut
merupakan
modifikasi dari tehnik yang dikemukakan oleh Hardjowigeno dan Widiatmaka (2001). Pertama, penetapan persyaratan berupa parameter dan kriteria yang masing-masing memiliki nilai bobot.
Pembobotan dilakukan dengan mengacu tingkat pengaruh
parameter yaitu sangat menentukan, menentukan dan tidak menentukan. Parameter yang sangat menentukan diberi bobot 30, parameter yang menentukan diberi bobot 20 dan parameter yang tidak menentukan diberi bobot 10. Skoring dilakukan terhadap nilai suatu parameter sesuai dengan kriteria dan persyaratan yang telah ditentukan. Nilai 4 jika nilai parameter sangat sesuai (s1), nilai 3 jika nilai parameter sesuai (s2) dan nilai 2 jika nilai parameter tersebut tidak sesuai (n). Kedua, penghitungan nilai peruntukkan lahan. Nilai suatu lahan ditentukan berdasarkan total hasil perkalian bobot (B) dan skor (S). Ketiga, pembagian kelas lahan dan nilainya. Kriteria kesesuaian lahan yang digunakan untuk penentuan kelas lahan disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Evaluasi kelayakan teknis untuk kegiatan budidaya rumput laut Gracilaria sp. (Trono 1988; Sulistijo 1996) No
Parameter
Bobot
s1 (skor = 4)
s2 (skor = 3)
n (skor = 2)
1
Keterlindungan
10
Sangat terlindung
Terlindung
Tidak terlindung
2
Kedalaman
20
60 – 80
40 – 59 atau
<40 – >100
perairan (cm)
81 – 99
3
Substrat dasar
20
Lumpur berpasir
Pasir - pasir berlumpur
Lumpur
4
Kecerahan (cm)
30
80 – 100
80 – 60
<60
5
Salinitas (ppt)
30
15 – 24
8-14 atau 2435
<8 atau >35
6
Suhu (oC)
30
28 – 30
25-28 atau 30-33
<25 atau >33
7
pH
20
8,2-8,7
7-8.1 atau 9-8.8
<7
8
Nitrat (ppm)
30
0,01 – 0,79
0,8 - 1
<0,01 atau >1
Orthofosfat (ppm)
30
0,02-1,0
0,01-<0,02 atau <1,0-2,0
<0,01 atau >2,0
20
6-8
4 - 5,9
<4
9
10. Oksigen terlarut (ppm) Keterangan :
s1 s2 n
= nilai parameter yang sangat sesuai = nilai parameter yang sesuai = nilai parameter yang tidak sesuai
Berdasarkan hasil perkalian bobot dan skor maka nilai kelas lahan kemudian dibagi menjadi tiga yaitu : Kelas S1 : Nilai 721 – 960 termasuk dalam kelas Sangat Sesuai Dinilai sangat sesuai jika total hasil perkalian bobot dan skor dari semua parameter yang diukur antara 721 – 960.
Daerah ini tidak mempunyai pembatas
(penghambat) yang serius untuk menetapkan perlakuan yang diberikan atau hanya mempunyai penghambat (pembatas) yang tidak berarti atau berpengaruh secara nyata terhadap penggunaannya dan tidak akan menaikkan masukan / tingkatan perlakuan yang diberikan. Daerah ini berada pada kisaran parameter yang sesuai bagi pemeliharaan rumput laut sehingga tidak diperlukan perlakuan tambahan untuk memperbaiki kondisi lingkungan. Kelas S2 : Nilai 481 – 720 termasuk dalam kelas Sesuai Dinilai sesuai jika total hasil perkalian bobot dan skor dari semua parameter yang dinilai antara 481 – 720. Daerah ini mempunyai pembatas (penghambat) yang agak serius untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari.
Pembatas tersebut akan
mengurangi produktivitas lahan dan keuntungan yang diperoleh serta meningkatkan masukan (input) untuk mengusahakan lahan tersebut. Kelas N : Nilai ≤ 480 termasuk dalam kelas Tidak Sesuai
Dinilai tidak sesuai jika total hasil perkalian bobot dan skor dari semua parameter yang dinilai kurang atau sama dengan 480.
Daerah ini mempunyai pembatas
(penghambat) dengan tingkat sangat berat akan tetapi masih memungkinkan untuk diatasi/diperbaiki, artinya masih dapat ditingkatkan jika dilakukan perbaikan dengan tingkat teknologi yang lebih tinggi atau dapat dilakukan dengan perlakuan tambahan dengan biaya yang rasional. Langkah keempat dalam analisis kesesuaian lahan setelah menentukan nilai kelas lahan adalah membandingkan nilai lahan pada lokasi penelitian berdasarkan data hasil pengukuran dengan nilai kelas lahan sehingga dapat ditentukan kelas lahan di tiap lokasi penelitian.
Langkah kelima yaitu melakukan pemetaan hasil penentuan kelas lahan
tersebut. Pemetaan kelas lahan dilakukan dengan program pemetaan spasial ArcView.
b)
Analisis Kelayakan Usaha Dalam menganalisis kelayakan usaha digunakan analisis finansial untuk
merekomendasikan kelayakan suatu usaha ditinjau dari segi finansial untuk memberi manfaat jika dikembangkan. Kriteria yang digunakan meliputi NPV, IRR dan Net B/C. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis Net Present Value (NPV) untuk melihat apakah usaha yang dilakukan masyarakat menguntungkan. digunakan
Formula yang
untuk
menghitung
NPV
sesuai
(Bt-Ct<0)
dengan Shang (1990) adalah : n
NPV =
Bt
‡” ( t =1
Ct
1 + i)t
Kriteria yang digunakan : NPV > 0; berarti usaha layak/menguntungkan NPV = 0; berarti usaha mengembalikan sebesar biaya yang dikeluarkan NPV < 0; berarti usaha tidak layak/rugi
Analisis Net Benefit/Cost ratio (Net B/C) digunakan untuk mengetahui berapa besarnya penerimaan dibandingkan dengan pengeluaran selama umur ekonomis proyek. Net B/C merupakan perbandingan antara total nilai sekarang dari penerimaan bersih yang bersifat positif (Bt – Ct > 0) dengan total nilai sekarang dari penerimaan yang bersifat negatif (Bt – Ct < 0) dengan rumus : n
‡”Bt(1 + iCt )
(Bt-Ct>0)
t
NetB / C =
t =1 n
‡”Ct(1 + iBt )t t =1
= (Bt-Ct<0)
Kriteria : Net B/C >1, berarti usaha layak/menguntungkan Net B/C = 1, berarti usaha pulang pokok Net B/C <1, berarti usaha tidak layak/rugi
Tingkat keuntungan internal nilai investasi yang dikeluarkan dapat dihitung dengan menggunakan analisis Internal Rate of Return (IRR) yang merupakan tingkat suku bunga dari suatu usaha dalam jangka waktu tertentu yang membuat NPV dari usaha sama dengan nol. Apabila IRR lebih besar dari tingkat diskonto (discount rate) yang berlaku, maka dari aspek finansial usaha layak untuk dilanjutkan.
Rumus yang
digunakan adalah :
IRR = i +
NPV × (i ' ' i ') NPV ' NPV ' '
Keterangan : i’
=Tingkat sukubunga yang menghasilkan NPV positif
i’’
=Tingkat sukubunga yang menghasilkan NPV negatif
NPV’ = NPV pada tingkat bunga i’ NPV’’ = NPV pada tingkat bunga i’’
c)
Motivasi Masyarakat Hasil wawancara dengan responden kemudian dianalisis secara deskriptif
statistik, dengan menghitung modus dari hasil wawancara mengenai motivasi mereka dalam melakukan perubahan usaha. Dengan demikian diketahui motivasi yang paling mendominasi dari para reponden.
d)
Analisis Strategi Pengelolaan Teknik analisis yang digunakan dalam menentukan strategi pengembangan usaha
budidaya perikanan di Kota Palopo ini adalah analisis AWOT yakni integrasi analytical hierarchy process (AHP) dengan analisis SWOT (strength, weakness, opportunities, treaths). Penggunaan AWOT dimaksudkan untuk penelusuran permasalahan secara bertahap dan membantu pengambilan keputusan dalam memilih strategi terbaik. AHP dilakukan untuk mendapatkan pilihan langkah operasional dari aspirasi stakeholder terkait dengan pengelolaan usaha budidaya tambak. Penyusunan faktor-faktor strategis digunakan matriks SWOT. Matriks ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi dan disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Matriks ini dapat menghasilkan dua set kemungkinan alternatif strategis yaitu budidaya udang windu dan budidaya rumput laut Hasil analisis SWOT ini dilanjutkan dengan AHP.
AHP akan membantu
meningkatkan analisis SWOT dalam mengelaborasikan hasil keputusan situasional sehingga keputusan strategis alternatif dapat diprioritaskan. menggunakan software Expert Choice 2000.
Data diolah dengan
Langkah-langkah dalam analisis data
dengan AHP adalah : 1. Mendefinisikan masalah dan menentukan solusi masalah. 2. Membuat struktur hierarki yang diawali dengan tujuan umum, yaitu penentuan pengembangan usaha budidaya perikanan tambak di Kota Palopo.
Hirarki ini
kemudian dilanjutkan dengan aspek SWOT, kemudian faktor-faktor SWOT dan kemungkinan alternatif pada hirarki paling bawah yaitu budidaya rumput laut dan budidaya udang. 3. Membuat matriks perbandingan berpasangan yang menggambarkan pengaruh relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan yang setingkat diatasnya. Perbandingan berpasangan didasarkan pada judgment dari para pengambil keputusan dengan menilai tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya.
Untuk mengkuantifikasi data kualitatif pada materi wawancara
digunakan silai skala komparasi 1-9 berdasarkan skala Saaty. 4. Melakukan perbandingan berpasangan, yang pada dasarnya merupakan perbandingan tingkat kepentingan antara komponen dalam suatu tingkat hierarki. Responden yang diwawancarai untuk pengisian kuesioner ini sebanyak 8 orang yaitu unsur pemerintah daerah tingkat kabupaten dan propinsi, petambak rumput laut, tokoh masyarakat serta peneliti dan wakil dari perguruan tinggi di Kota Palopo.
5. Menghitung akar ciri, vektor ciri dan menguji konsistensinya. Indeks Konsistensi (CI) menyatakan penyimpangan konsistensi dan menyatakan ukuran tentang konsisten tidaknya suatu penilaian perbandingan berpasangan. Nilai pengukuran konsistensi diperlukan untuk mengetahui konsistensi jawaban dari responden karena akan berpengaruh terhadap keabsahan hasil.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Analisis Biofisik 1. Kesesuaian Lahan untuk Usaha Budidaya Rumput Laut Gracilaria sp. Analisis kesesuaian lahan untuk usaha budidaya perikanan tambak diarahkan untuk pemanfaatan budidaya rumput laut Gracilaria sp. Analisis didasarkan atas faktor pembatas untuk pemanfaatan lahan ditinjau dari aspek biofisik. Analisis ini dimaksudkan untuk menilai kelayakan atau kesesuaian lahan untuk usaha budidaya tersebut. Kesesuaian kawasan yang dihasilkan dalam penelitian ini merupakan kesesuaian aktual atau kesesuaian pada saat ini (current suitability). Berdasarkan data yang tersedia dan belum mempertimbangkan (asumsi) usaha perbaikan serta tingkat pengelolaan yang dapat dilakukan untuk mengatasi berbagai kendala fisik atau faktor-faktor penghambat yang kemungkinan ada. Parameter yang digunakan untuk menganalisis kesesuaian lahan budidaya rumput laut didasarkan pada beberapa faktor pembatas secara biofisik sesuai dengan pendapat Trono (1988), yaitu keterlindungan, kedalaman perairan, substrat dasar, tingkat kecerahan, salinitas, suhu, pH, nitrat dan fosfat.
Berdasarkan tingkat kepentingan
parameter tersebut maka tiap parameter memiliki bobot yang berbeda. Hasil pengukuran dan pengamatan terhadap parameter tersebutkualitas air dan tanah tambak disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil pengukuran kondisi biofisik perairan tambak rumput laut Gracilaria sp. di Kota Palopo No
Parameter
Lokasi Pengukuran Sampoddo
Balandai
Mancani
I
II
III
I
II
III
I
II
III
80
78
80
80
1.
Keterlindungan
Terlindung
2.
Kedalaman perairan
3.
Substrat dasar
4.
Kecerahan (cm)
64
67
70
50
43
50
57
64
64
5.
Salinitas (pppt)
25
25
24
12
12
12
7
7
7
6.
Suhu (oC)
32,63 32,15 32,017 32,7
32,7
32,9
31,7
32
32,475
7.
pH
7,76
7,788
7,54
7,96
7,96
7,87
5,24
7,504
7,278
8.
Nitrat (ppm)
0,74
0,573
0,521
1,33 1,335 0,361
1,01
0,528
0,442
9.
Orthofosfat (ppm)
0,17
0,077
0,066
0,05
0,05
0,077 0,061 0,064
0,08
10.
Oksigen terlarut (ppm)
7,4
7,7
7,4
7,4
7,6
65
75
73
75
75
Lumpur berpasir
7,7
5,7
5,6
4,9
Keterangan: I, II dan III adalah stasiun pengamatan Tabel 4 menunjukkan hasil pengukuran dan perhitungan parameter kualitas air tambak di semua lokasi pengambilan sampel. Nilai pengukuran tersebut selanjutnya diberi bobot dan skoring dengan mengacu pada nilai pembobotan dan skor yang telah ditetapkan sebelumnya. Kemudian hasil perhitungan dibandingkan dengan kisaran nilai kelas kesesuaian lahan yang telah ditentukan. Hasil perhitungan dan pembagian kelas kesesuaian pada setiap titik pengamatan di Desa Sampoddo disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Hasil perhitungan bobot dan skor kesesuaian lahan tambak di Desa Sampoddo Desa Sampoddo Stasiun I
Stasiun II
Stasiun III
Parameter
K
B
S
Ni
K
B
S
Ni
K
B
S
Ni
Keterlindungan
TL
10
3
30
TL
3
30
30
TL
10
3
30
Kedalaman
65
20
4
80
75
4
20
80
73
20
4
80
perairan (cm) Substrat dasar
LB
20
4
80
LB
4
20
80
LB
20
4
80
Kecerahan (cm)
64
30
3
90
67
3
20
90
70
30
3
90
Salinitas (ppt)
25
30
3
90
25
3
20
90
24
30
4
120
o
32,63
30
3
90
32,1
3
20
90
32
30
3
90
pH
7,8
20
3
90
7,8
3
20
60
7,5
20
3
60
Nitrat (ppm)
0,74
40
3
120
0,57
4
30
120 0,52
30
4
120
Orthofosfat (ppm)
0,17
30
3
90
0,07
3
30
90
0,06
30
3
90
Oksigen terlarut (ppm)
7,4
20
4
80
7,7
4
20
80
7,4
20
4
80
Suhu ( C)
Jumlah
840
810
840
Kelas lahan S1 S1 Keterangan : K = Hasil pengamatan Ni = B x S S = Skor (4 =Sangat sesuai; 3= Sesuai; 2= Tidak sesuai) B = Bobot (30 = sangat menentukan; 20 = menentukan; 10 = tidak menentukan) S1 = 721 – 960; sangat sesuai S2 = 481 – 720; sesuai S3 = ≤480; tidak sesuai TL = Terlindung LB = Lumpur Berpasir
S1
Berdasarkan hasil pembobotan dan skoring yang dilakukan terhadap nilai kualitas air tambak di Desa Sampoddo maka terlihat bahwa tambak di desa ini termasuk kualifikasi sangat sesuai. Hasil perhitungan dan pembagian kelas kesesuaian pada setiap titik pengamatan di Desa Bara disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6.
Hasil perhitungan bobot dan skor kesesuaian lahan tambak di Desa Balandai Desa Balandai Stasiun I
Stasiun II
Stasiun III
Parameter
K
B
S
Ni
K
B
S
Ni
K
B
S
Ni
Keterlindungan
TL
10
3
30
TL
10
3
30
TL
10
3
30
Kedalaman perairan (cm)
75
20
4
80
75
20
4
80
80
20
4
80
Substrat dasar
LB
20
4
80
LB
20
4
80
LB
20
4
80
Kecerahan (cm)
50
30
2
60
43
30
2
60
50
30
2
60
Salinitas (ppt)
12
30
3
90
12
30
3
90
12
30
3
90
o
Suhu ( C)
32,7
30
3
90
32,7
30
3
90
32,2
30
3
90
pH
7,9
20
3
60
7,9
20
3
60
7,8
20
3
60
Nitrat (ppm)
1,33
20
2
60
1,33
30
2
60
0,36
30
4
120
Orthofosfat (ppm)
0,17
30
3
90
0,07
30
3
90
0,06
30
3
90
Oksigen terlarut (ppm)
7,4
20
4
80
7,6
20
4
80
7,7
20
4
80
Jumlah
720
720
780
Kelas lahan Keterangan : Seperti Tabel 5
S2
S2
S1
Berdasarkan Tabel 6 terlihat bahwa walaupun diantara parameter pembatas ada yang termasuk kualifikasi tidak sesuai; namun secara kumulatif lokasi tambak di Desa Balandai ini termasuk ke dalam dua kelas yaitu stasiun I dan stasiun II termasuk kelas S2 (sesuai). Sedangkan stasiun III masuk kedalam kelas S1 (sangat sesuai). Beberapa parameter yang menjadi pembatas antara lain kecerahan perairan dan nilai kadar nitrat. Pembatas ini dapat diatasi dengan melakukan pengendapan. Hasil perhitungan dan pembagian kelas kesesuaian pada setiap titik pengamatan di Desa Mancani disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7.
Hasil perhitungan bobot dan skor kesesuaian lahan tambak di Desa Mancani Desa Mancani Stasiun I
Parameter
Stasiun II
Stasiun III
K
B
S
Ni
K
B
S
Ni
K
B
S
Ni
Keterlindungan
TL
10
3
30
TL
10
3
30
TL
10
3
30
Kedalaman perairan (cm)
78
20
4
80
80
20
4
80
80
20
4
80
Substrat dasar
LB
20
4
80
LB
20
4
80
LB
20
4
80
57,3
30
2
60
64
30
3
90
64
30
3
90
7
30
2
60
7
30
2
60
7
30
2
60
31,7
30
3
90
32
30
3
90 32,4
30
3
90
Kecerahan (cm) Salinitas (ppt) Suhu (oC)
pH
5,24
20
2
40
7,5
20
3
Nitrat (ppm)
1,01
30
2
60 0,53
30
Orthofosfat (ppm)
0,06
30
4
120 0,06
5,7
20
3
Oksigen terlarut (ppm)
60
5,6
60
7,3
20
3
60
4
120 0,44
30
4
120
30
4
120 0,08
30
3
120
20
3
20
3
60
60
4,9
Jumlah
680
790
790
Kelas lahan Keterangan : seperti Tabel 5
S2
S1
S1
Berdasarkan Tabel 7 terlihat bahwa tambak di Desa Mancani masuk ke dalam dua kelas yaitu stasiun II dan stasiun III termasuk dalam kelas sangat sesuai (S1). Sedangkan stasiun I
masuk kedalam kelas sesuai (S2).
Pada stasiun I beberapa
parameter yang tidak memenuhi syarat adalah kecerahan perairan, salinitas, pH dan nitrat. Nilai kecerahan di perairan dapat diperbaiki dengan jalan pengendapan di tambak itu sendiri. Sedangkan untuk meningkatkan nilai salinitas maka intensitas pergantian air ditingkatkan. Kadar pH yang rendah dapat dibuat normal dengan menebarkan kapur ke tambak. Hasil perhitungan dan pembagian kelas ini lalu dipetakan secara spasial dengan menggunakan program pemetaan spasial ArcView.
Dengan memanfaatkan fasilitas
pemrograman maka dapat dihitung luas wilayah yang diteliti. Luas seluruh area yang termasuk dalam kelas sangat sesuai adalah 1070,161 ha dan untuk kelas yang sesuai adalah 312,690 ha. Aspek keterlindungan merupakan salah satu aspek yang diperhitungkan dalam usaha pemeliharaan rumput laut di tambak.
Menurut Trono (1988), keterlindungan
berarti posisi tambak terlindung dari angin yang kuat atau gelombang laut. Angin yang kuat akan menyebabkan rumput laut terdorong dan kemudian terkumpul di satu tempat. Hal ini akan mempengaruhi pertumbuhan rumput laut karena sebagian tidak dapat memperoleh cahaya matahari. Selain itu gelombang yang kuat akan mengakibatkan pengikisan pada pematang sehingga dapat merusak tambak. Berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Meteorologi dan Geofisika (2006) menyebutkan bahwa kecepatan angin di Kota Palopo mencapai 2-4 knot.
Data ini
menunjukkan bahwa kekuatan angin tidak terlalu mempengaruhi lahan pertambakan. Kondisi geografis Kota Palopo yang berada di daerah teluk menyebabkan pergerakan
gelombang tidak terlalu besar.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa area
pertambakan di Kota Palopo cukup terlindung dari angin dan gelombang yang kuat. Kedalaman perairan tambak mempengaruhi pertumbuhan organisme yang dipelihara dalam tambak tersebut. Menurut Trono (1988), kedalaman perairan tambak mestinya tidak lebih dari 80 cm dengan asumsi bahwa cahaya matahari masih bisa menembus kolom perairan hingga ke dasar. Hal ini berbeda dengan usaha budidaya udang windu dimana mereka membutuhkan kedalaman perairan yang cukup untuk menghindari kontak dengan cahaya matahari secara langsung. Hasil pengukuran suhu perairan di lokasi penelitian secara umum berkisar antara 31,5 – 32,8 oC. Kondisi suhu perairan yang cukup tinggi ini dipengaruhi oleh iklim Kota Palopo yang tropis basah namun bercurah hujan rendah. Kisaran suhu lingkungan di dataran rendah yang berkisar antara 30 – 33 oC turut mempengaruhi kisaran suhu di perairan karena menurut Effendi (2003) bahwa suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang, ketinggian dari permukaan laut serta aliran dan kedalaman badan air. Trono (1988) menyatakan bahwa kisaran suhu yang baik untuk budidaya rumput Gracilaria sp. adalah 20 – 25 oC, dengan demikian kisaran suhu perairan tambak di Kota Palopo berada di atas ambang batas yang diinginkan. Hal ini dapat ditanggulangi dengan melakukan pergantian air secara teratur untuk memasukkan air baru ke dalam tambak, sehingga diharapkan terjadi penurunan suhu hingga mendekati kisaran yang optimal untuk perkembangan Gracilaria sp. Selanjutnya dikemukakan oleh Trono (1988), kedalaman perairan tambak yang baik untuk perkembangan rumput laut adalah berkisar antara 50 – 80 cm, nilai ini menunjukkan bahwa kedalaman tambak tidak boleh kurang dari 50 cm karena pengaruh suhu dipermukaan perairan yang tinggi dapat mempengaruhi pertumbuhan rumput laut tersebut. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan desain tambak untuk pemeliharaan udang yang membutuhkan caren sebagai tempat berlindung udang dari suhu yang tinggi. Berdasarkan hasil pengukuran salinitas perairan tambak terlihat perbedaan nilai pada ketiga lokasi pengambilan sampel. Di Desa Sampoddo nilai salinitas berkisar antara 23-28 o/oo, nilai salinitas perairan tambak di Desa Balandai berkisar antara 10-15 o/oo, sedangkan di Desa Mancani berkisar antara 4 – 10 o/oo.
Hasil pengukuran ini
menunjukkan kondisi salinitas perairan tambak di ketiga lokasi dipengaruhi oleh faktor
lingkungan setempat.
Rendahnya nilai salinitas di Desa Mancani dan Desa Balandai
dipengaruhi oleh masukan air tawar yang cukup besar dari sungai Rampoang ke saluran pemasukan yang berasal yang merupakan sungai besar. Keadaan ini berbeda dengan kondisi wilayah di Desa Sampoddo dimana lokasi tambak tidak dilewati oleh sungai besar, sehingga pasokan air tawar hanya melalui sungai kecil. Selain itu, keberadaan kedua lokasi tambak di desa ini lebih jauh ke daerah daratan dibandingkan dengan lokasi tambak di Desa Sampoddo yang berada langsung di dekat pantai. Trono (1988) menyatakan bahwa salinitas perairan yang sesuai untuk pertumbuhan rumput laut Gracilaria sp. adalah berkisar antara 20-28 o/oo. Dengan demikian berarti kondisi perairan tambak di Desa Sampoddo memenuhi kisaran salinitas yang ideal tersebut.
Namun demikian, di Desa Balandai dan Mancani tetap dapat
dilakukan usaha budidaya Gracilaria sp. dengan melakukan pengaturan jumlah air yang masuk di dalam tambak sehingga nilai salinitas dapat ditingkatkan. Derajat keasaman (pH) di perairan tambak kota Palopo berdasarkan hasil pengukuran memiliki kisaran nilai yaitu 7,2 - 7,9. pH merupakan ekspresi dari ukuran ion hidrogen yang menunjukkan suasana air itu apakah asam atau basa (Effendi 2003). Nilai pH 7 merupakan nilai netral, dengan demikian kondisi perairan tambak di Kota Palopo masih netral. Kisaran pH 7 – 8,5 merupakan nilai yang baik bagi biota perairan (Effendi 2003). Berdasarkan hasil pengukuran terhadap tingkat kecerahan di perairan tambak terlihat bahwa di Desa Sampoddo tingkat kecerahannya adalah 67,4 cm, di Desa Balandai 50 cm dan di Desa Mancani 65,7 cm. terhadap pertumbuhan rumput laut.
Nilai kecerahan perairan ini sudah optimal
Menurut Trono (1988), tingkat kecerahan yang
optimal bagi pertumbuhan rumput laut adalah 100% atau mampu mencapai dasar perairan.
Hal ini penting karena rumput laut membutuhkan cahaya matahari yang
optimum untuk proses fotosintesisnya. Menurut Hutabarat dan Evans (1986) faktorfaktor yang dapat mempengaruhi kecerahan adalah kandungan lumpur, plankton dan bahan-bahan yang terlarut dalam badan air. Pada pemeliharaan rumput laut dengan sistem tebar dasar memerlukan penetrasi cahaya matahari yang optimal hingga ke dasar perairan.
Menurut Trono (1988),
kedalaman perairan tambak mestinya tidak lebih dari 80 cm sehingga cahaya matahari
masih bisa menembus kolom perairan hingga ke dasar. Hal ini berbeda dengan usaha budidaya udang windu dimana mereka membutuhkan kedalaman perairan yang cukup untuk menghindari kontak dengan cahaya matahari secara langsung. Karena itulah dalam desain tambak mereka digunakan caren sebagai tempat mereka berteduh. Rendahnya tingkat kecerahan perairan ini terkait dengan kekeruhan perairan. Tingkat kekeruhan air tambak di lokasi penelitian kemungkinan disebabkan tingginya curah hujan yang mengakibatkan teraduknya perairan sehingga pengendapan berbagai partikel tersuspensi dan terlarut yang mengapung menjadi terhambat. Kekeruhan yang tinggi akan berpengaruh bagi kehidupan biota di perairan, karena menghalangi atau mengurangi penetrasi cahaya ke dalam kolom air sehingga menghambat proses fotosintesis yang dilakukan oleh rumput laut atau tumbuhan air yang ada di tambak, yang selanjutnya berarti mengurangi pasokan oksigen terlarut, jumlah fitoplankton sebagai makanan pun akan menurun. Berdasarkan hasil pengamatan terlihat bahwa petambak menggunakan suatu obat penjernih air sehingga kejernihan air dapat meningkat. Hasil pengukuran oksigen terlarut menunjukkan Desa Sampoddo dan Desa Balandai memiliki kisaran oksigen terlarut di perairan yang hampir sama yaitu 7,4 – 7,7 ppm. Sedangkan di Desa Mancani memiliki nilai kelarutan oksigen yang lebih rendah yaitu 4,9 – 5,7 ppm. Menurut Sulistijo (1994), kelarutan oksigen yang diperlukan untuk pertumbuhan optimal rumput laut adalah lebih dari 4 ppm. Rumput laut menggunakan oksigen terlarut dalam perairan untuk melakukan respirasi di malam hari. Oksigen terlarut di perairan merupakan hasil proses difusi dari udara ke dalam air serta merupakan hasil fotosintesis tanaman air. Adapun kesesuaian lahan untuk tambak budidaya rumput laut Gracilaria sp. di ketiga lokasi penelitian diperlihatkan pada Gambar 1 dan 2.
Gambar 1. Peta kesesuaian lahan untuk usaha budidaya rumput laut Gracilaria sp di Desa Balandai dan Desa Mancani
Gambar 2. Peta kesesuaian lahan untuk usaha budidaya rumput laut Gracilaria sp di Desa Sampoddo
2.
Perubahan Kualitas Air Tambak Rumput Laut Gracilaria sp. Hasil pengamatan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa umumnya konstruksi
tambak memiliki satu pintu yang berfungsi sebagai pintu pemasukan dan pengeluaran. Selama masa pemeliharaan, pergantian air yang dilakukan petambak yaitu 3-4 hari sekali sebanyak 25-50 %. Pergantian air ini dilakukan petambak jika dianggap kondisi air dalam tambak sudah tidak bagus kualitasnya dengan melihat tingkat kekeruhan dan intensitas hujan.
Jika intensitas hujan tinggi, maka frekuensi pergantian air juga
meningkat menjadi 2 hari sekali karena dianggap dengan tingginya curah hujan akan menurunkan salinitas perairan. Pergantian air ini memanfaatkan pasang surut air laut. Pada waktu pengamatan, pengeluaran air dari dalam tambak dilakukan pada malam hari ±3 jam sebelum air pasang naik. Berdasarkan hasil wawancara, untuk tambak seluas 1 hektar maka bibit yang ditebar sebanyak ±1 ton. Metode pemeliharaan yang digunakan adalah sistem tebar dasar, yaitu rumput laut ditebar secara merata di dalam tambak yang telah terisi air. Rumput laut dalam pertumbuhannya memerlukan nutrisi antara lain berupa fosfat, nitrogen dan kalium yang diserap (nutrient uptake) dari perairan sebagai media pertumbuhannya (Glenn dan Fitzsimmons 1991). Namun menurut Miller dan Connell (1995) bahwa fosfat dan nitrogen yang tersedia di perairan jumlahnya sedikit dibandingkan dengan yang dibutuhkan oleh tanaman sehingga dapat menjadi faktor pembatas. Penyerapan nutrisi oleh rumput laut akan menyebabkan terjadinya perubahan kualitas air.
Pada Tabel 8 disajikan beberapa parameter kualitas air yang diukur
menunjukkan perubahan nilai setelah dimanfaatkan dalam kegiatan pemeliharaan.
Tabel 8. Hasil pengukuran air yang masuk ke tambak dan air buangan dari tambak rumput laut di Kota Palopo Parameter
Waktu pengamatan
Ammonia (ppm) Air masuk (pasang) Air keluar (surut)
Desa Sampoddo
Desa Balandai
Desa Mancani
0,0098
0,0189
0,0422
0,0013
0,0109
0,0371
Selisih
Nitrat (ppm)
-0,0042
-0,0080
-0,0052
Air masuk (pasang)
0,5662
1,0937
0,0437
Air keluar (surut)
0,0513
0,5581
0,0401
-0,5149
-0,5355
-0,0036
Air masuk (pasang)
0,0767
0,0571
0,0215
Air keluar (surut)
0,0115
0,0376
0,0060
-0,0652
-0,0195
-0,0155
Selisih
Fosfat (ppm)
Selisih
Ammonia adalah produk primer dari degradasi microbial N organik dan jika tidak digunakan secara langsung oleh alga ototrofik untuk pertumbuhan akan dapat teroksidasi melalui nitrifikasi menjadi nitrit dan nitrat. Kadar ammonia (NH3) di perairan tambak perlu diperhitungkan karena keberadaannya mempengaruhi aktivitas metabolisme rumput laut yang dibudidayakan. Berdasarkan hasil pengukuran diketahui bahwa kisaran nilai ammonia (NH3) air yang masuk ke tambak adalah di Desa Sampoddo (0,0098 ppm), Desa Balandai (0,0189 ppm) dan Desa Mancani (0,0422 ppm). Nilai ini masih dalam kisaran kualitas air yang sesuai untuk pertumbuhan rumput laut. Menurut Patadjai (1993) kadar ammonia yang tinggi atau melebihi 1 mg/liter menyebabkan perairan menjadi toksik dan tidak bisa dimanfaatkan oleh biota perairan. Selain itu juga mempengaruhi penyerapan nitrat dan nitrit oleh rumput laut karena pada konsentrasi 1,0 ppm N-NH4 ammonium hampir secara sempurna menekan penyerapan nitrat dan nitrit. Kadar ammonia di perairan dipengaruhi oleh proses amonifikasi yang terjadi di badan air. Menurut Effendi (2003) proses amonifikasi adalah proses dekomposisi bahan organik (tumbuhan dan biota perairan yang mati kemudian mengendap di dasar perairan) dengan memanfaatkan oksigen terlarut di perairan oleh mikroba dan jamur. Kemudian ditambahkan oleh Miller dan Connell (1995)
bahwa seiring meningkatnya proses
amonifikasi akan menyebabkan terjadinya penurunan oksigen terlarut yang mendorong terjadinya perubahan bentuk dalam massa air dari nitrogen organik menjadi nitrogen anorganik berupa ammonia oleh sejumlah mekanisme yang melibatkan otolisis sel, jasad renik dan ataupun feses dari ikan atau biota hidup lainnya. Pengukuran pada buangan air tambak menunjukkan bahwa terjadi penurunan kadar ammonia jika dibandingkan dengan kadar ammonia pada air yang masuk ke tambak. Penurunan kadar ammonia di Desa Sampoddo mencapai 76%, di Desa Balandai mencapai 42% dan di Desa Mancani sebanyak 12%. Penurunan kadar ammonia ini kemungkinan disebabkan terjadinya penyerapan (nutrient uptake) ammonia oleh rumput
laut untuk dimanfaatkan dalam pertumbuhannya. Menurut Miller dan Connell (1995), pada kondisi ini terjadi perubahan bentuk dalam massa air dari nitrogen anorganik menjadi nitrogen organik yang disebut asimilasi ammonia. Nitrat merupakan bentuk nitrogen anorganik yang menjadi sumber nitrogen terbaik untuk pertumbuhan beberapa jenis alga laut (Susanto
1997).
Tabel 8
memperlihatkan pada dua lokasi pengamatan kadar nitrat tinggi yaitu di Desa Sampoddo (0,5662 ppm) dan Desa Balandai (1,0937 ppm). Di Desa Mancani diperoleh nilai kadar nitrat 0,0437 ppm. Menurut Effendi (2003) kandungan nitrat dalam perairan yang dapat ditolerir oleh organisme adalah 0,2 ppm, karena lebih dari nilai tersebut dapat terjadi eutrifikasi (pengayaan) perairan, yang selanjutnya menstimulir pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat (blooming). Hasil pengukuran pada air buangan tambak (Tabel 8) menunjukkan nilai kadar nitrat yang tinggi di Desa Balandai (0,5581 ppm). Sedangkan untuk di Desa Sampoddo (0,0513 ppm) dan Desa Mancani (0,0401 ppm). Jika dibandingkan dengan nilai kadar nitrat air yang masuk ke dalam tambak maka diketahui bahwa terjadi penurunan nilai kadar nitrat. Persentase penurunan nilai kadar nitrat tertinggi di Desa Sampoddo sebesar 89%, kemudian di Desa Balandai terjadi penurunan sekitar 48% dan di Desa Mancani terjadi penurunan nilai 8,23%.
Terjadinya proses asimilasi nitrat oleh rumput laut
berperan dalam penurunan kadar nitrat air tambak.
Menurut Effendi (2003), nitrat
sebagai sumber nitrogen bagi tumbuhan selanjutnya dikonversi menjadi protein. Perbedaan persentase penurunan kadar ammonia dan nitrat menunjukkan tingkat penyerapan nitrogen oleh rumput laut dipengaruhi oleh kondisi lingkungan.
Hasil
penelitian Xiu (2001) dalam Cordover (2007) menunjukkan bahwa tingkat penyerapan nitrogen maksimun terjadi pada intensitas cahaya antara 320–1600 iM photon/m2/detik pada pH 8 dan kisaran suhu antara 21 – 26 oC. Selain itu Patadjai (1993) menyatakan bahwa penyerapan nitrat dan nitrit oleh alga dipengaruhi konsentrasi ammonium dalam medium. Selanjutnya ditambahkan oleh Philips dan Hurd (2003) bahwa laju penyerapan ion nitrogen seringkali berlangsung sepanjang waktu dan biasanya dipengaruhi oleh status psikologi dari rumput laut tersebut. Sebagai contoh, fase awal penyerapan terjadi sebagai respon dari kosongnya kandungan N internal sebagai pelaparan N alga. Pada pengisian N internal, pencegahan arus balik dari proses transport membrane bisa menghasilkan penurunan sementara nilai penyerapan selanjutnya. Fosfat dalam laut hanya dapat dimanfaatkan secara langsung oleh tumbuhan dalam bentuk orthofosfat (PO4). Menurut Rees (2003), kandungan fosfat yang berada di perairan berasal dari berbagai proses pencampuran, sedimentasi serta hasil ekskresi
hewan dan mikroorganisme; secara umum bukan menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan rumput laut. Berdasarkan hasil pengukuran pada air yang masuk ke tambak menunjukkan kisaran nilai kadar fosfat di Desa Sampoddo (0,0767 ppm), Desa Balandai (0,0571 ppm) dan Desa Mancani (0,0215 ppm). Nilai kadar fosfat ini masih berada dalam kisaran nilai optimum untuk mendukung pertumbuhan rumput laut. Menurut Fritz (1986) batas terendah konsentrasi fosfat untuk pertumbuhan optimum alga berkisar antara 0,018 – 0,09 ppm P-PO4 dan batas tertinggi berkisar antara 8,90 – 17,8 ppm P-PO4 apabila nitrogen dalam bentuk nitrat. Sedangkan jika nitrogen dalam bentuk ammonium maka batas tertinggi berkisar pada 1,78 ppm P-PO4. Pengukuran kadar fosfat pada air buangan tambak menunjukkan bahwa di Desa Sampoddo (0,0115 ppm), Desa Balandai (0,0376 ppm) dan Desa Mancani (0,006 ppm). Jika dibandingkan dengan kadar fosfat pada air masuk ke tambak diketahui terjadi penurunan nilai yaitu di Desa Sampoddo (14,8%), Desa Balandai (33,27%) dan Desa Mancani (46,5%). Penurunan nilai ini kemungkinan disebabkan oleh penyerapan nutrisi oleh rumput laut untuk pertumbuhannya. Menurut Susanto et al. (1997), tumbuhan menyerap fosfat sebagai nutrisi essensial secara langsung dari lingkungan selama proses fotosintesis. Peningkatan konsentrasi fosfat dari 1 ke 2 µM menghasilkan peningkatan nilai penyerapan sebanyak 38% pada kisaran 12 – 84% (Rees 2003). 4.2
Analisis Ekonomi
1. Kegiatan Sektor Perikanan Letak Kota Palopo yang berada di pesisir Teluk Bone menyebabkan kota ini memiliki potensi perikanan yang cukup besar berasal dari perikanan budidaya dan perikanan tangkap. Pada tahun 2004, produksi perikanan tangkap mencapai 707,575 ton dengan nilai Rp3.473.299.500,00. Hasil produksi perikanan tangkap ini berasal dari beragam jenis alat tangkap seperti bagan apung (47 buah), bagan tancap (40 buah), purse seine (25 buah), gillnet (81 buah), pancing (58 buah). Sedangkan produksi perikanan budidaya mencapai 4.873,94 ton pada tahun 2004 dengan nilai produksi sebesar Rp14.378.630.000,00. Dengan demikian diketahui bahwa sektor perikanan Kota Palopo didominasi perikanan budidaya. Adapun perincian jenis komoditas yang dibudidayakan disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. No.
Produksi dan nilai produksi budidaya perikanan di perairan umum Kota Palopo tahun 2004
Jenis Komoditas
Produksi (Ton)
Nilai Produksi (Rp)
1.
Rumput laut
4.488,70
6.279.480.000
2.
Udang
118,90
5.647.750.000
3.
Bandeng
128,00
1.024.800.000
4.
Kepiting
40,50
1.012.500.000
5.
Ikan mas
61,84
414.000.000
Sumber : Dinas KPP Kota Palopo (2005) Pada Tabel 9 terlihat bahwa rumput laut merupakan komoditi yang memiliki tingkat produksi yang tertinggi. Namun demikian, nilai produksinya tidak terlalu jauh dari nilai produksi udang meski hanya memiliki tingkat produksinya sedikit yaitu hanya 118,90 ton. Hal ini disebabkan harga pasaran udang yang cukup tinggi yaitu sekitar Rp50.000/kg. Usaha budidaya perikanan ini didukung oleh luas areal budidaya yang cukup besar. Untuk budidaya tambak, potensi luas area mencapai 1.047 hektar, lahan kolam 18,15 hektar dan sawah seluas 123,75 hektar. Area tambak terluas berada di dua kecamatan yaitu Kecamatan Tellu Wanua (355 hektar) dan Kecamatan Wara Utara (349,15 hektar). Menurut Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan, selain budidaya tambak pada tahun 2005 diproyeksikan potensi budidaya laut berupa rumput laut Euchema cottoni sebesar 1.200 hektar sedangkan untuk budidaya ikan kerapu memiliki luas area budidaya 200 hektar. Adapun jenis komoditi yang dibudidayakan di pertambakan setiap kecamatannya dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10.
No
Jenis komoditi perikanan yang dibudidayakan di area tambak setiap kecamatan di Kota Palopo tahun 2004 Kecamatan
Luas area budidaya tambak (hektar) Udang
Udang + Bandeng
Rumput laut
1.
Wara
5
20
128
2.
Wara Selatan
10,5
40
151,3
3.
Wara Utara
10
27
208,8
4.
Tellu Wanua
10
50
219
Total
35,5
137
707,1
Sumber : Dinas KPP Kota Palopo (2005) Berdasarkan Tabel 10 diketahui bahwa pada tahun 2004 sebagian besar area tambak di Kota Palopo didominasi untuk kegiatan usaha budidaya rumput laut, yaitu sekitar 80,39%, dengan kemampuan produksi lahan setiap hektar adalah 6,34 ton setiap tahunnya. Kemudian usaha polikultur yaitu budidaya udang dan bandeng sekitar 15,57%. Untuk budidaya udang hanya sekitar 4,03% dengan keseluruhannya menggunakan sistem
tambak tradisional. Dengan demikian dapat diketahui bahwa produksi udang setiap hektarnya mampu menghasilkan 689 kg udang setiap tahunnya.
2. Analisis Finansial Usaha Budidaya Perikanan di Tambak Usaha budidaya rumput laut di tambak yang dilakukan oleh masyarakat Kota Palopo telah berkembang dengan sangat pesat sejak 3 tahun terakhir.
Setiap lahan
tambak yang dijumpai saat penelitian berlangsung semuanya melakukan usaha tersebut. Berkembangnya usaha budidaya ini tidak terlepas dari hasil yang diperoleh cukup memuaskan dari segi pendapatan. Berdasarkan pola pengusahaan lahan, bentuk usaha budidaya rumput laut Gracilaria sp. yang dilakukan petambak dibagi menjadi tiga yaitu usaha sendiri, sistem bagi hasil dan sewa lahan.
Ketiga bentuk usaha ini memberi gambaran mengenai
ketersediaan modal yang dimiliki petambak, sehingga turut memberikan hasil pendapatan yang berbeda pula. Beberapa pemilik lahan yang tidak memiliki cukup modal untuk usaha biasanya menyewakan tambaknya untuk beberapa tahun (umumnya 5 tahun), kemudian setelah memiliki cukup modal kemudian mengelolanya sendiri. Sebaliknya bagi beberapa orang yang tidak memiliki lahan namun mempunyai modal kemudian menyewa lahan milik orang lain.
Adapun masyarakat yang tidak memiliki tambak
sedangkan modalnya tidak cukup untuk menyewa tambak dapat menggarap tambak orang lain dengan sistem bagi hasil. Usaha sendiri berarti kegiatan usaha itu dilakukan oleh pemilik lahan itu sendiri yang biasanya dibantu oleh pekerja sebanyak 2 atau 3 orang yang berasal dari anggota keluarganya. Berdasarkan hasil wawancara, biaya investasi yang dikeluarkan oleh petambak untuk memulai usaha ini adalah sebesar
Rp6.868.700,00 setiap
hektarnya. Investasi tersebut digunakan untuk perbaikan tambak, perbaikan pintu air, pembuatan rumah jaga, pembelian rakit serta alat penunjang usaha seperti waring sebagai alas untuk menjemur hasil panen, cangkul dan lain sebagainya. Nilai investasi ini tidak termasuk biaya pembelian tanah karena lahan ini telah menjadi milik sendiri sejak lama dan sebelumnya telah dimanfaatkan untuk usaha budidaya udang. Usaha budidaya yang berbentuk sistem bagi hasil adalah suatu bentuk usaha dimana ada perjanjian antara pemilik lahan dengan pekerja lahan untuk membagi hasil/keuntungan yang diperoleh dari hasil usaha. Pihak pemilik lahan mengeluarkan
biaya poduksi dan menyediakan lahan yang telah siap dimanfaatkan, sedangkan pihak penggarap merupakan tenaga petambak yang diberikan hak untuk mengelola tambak tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan, biaya setiap masa produksi yang dikeluarkan pemilik lahan adalah
Rp2.820.000,00 setiap hektarnya. Biaya produksi ini
termasuk pemeliharaan tambak, pembelian bibit, pupuk dan pajak. Sedangkan pihak penggarap mengeluarkan biaya konsumsi harian seperti makan, minum, rokok dan lainlain.
Namun demikian, beberapa responden menjelaskan bahwa mereka selaku
penggarap menyediakan sendiri beberapa peralatan penunjang untuk usaha seperti waring, rakit ataupun peralatan masak di rumah jaga. Berdasarkan hasil wawancara, umumnya persentase bagi hasil antara pemilik dengan penggarap lahan adalah 75 : 25. Pembagian keuntungan ini merupakan hasil kesepakatan antara pihak pemilik lahan dengan tenaga penggarap. Sistem sewa lahan digambarkan sebagai usaha sewa menyewa lahan untuk beberapa tahun yang ditentukan sesuai dengan kesepakatan antara pemilik lahan dan pihak penggarap. Menurut hasil wawancara dengan responden, besarnya nilai sewa lahan tidak bergantung kepada luas lahan, namun hanya berdasarkan kesepakatan antara pemilik lahan dan pihak penyewa.
Dalam sistem kontrak ini, pihak penyewa
mengeluarkan biaya seperti halnya sebagai pemilik lahan yang berarti mereka menyediakan modal untuk perbaikan tambak hingga biaya produksi, namun hasil panen sepenuhnya juga menjadi milik pihak penyewa. Berdasarkan hasil wawancara dan perhitungan yang dilakukan, maka dapat terlihat perbedaan dari segi pendapatan antara bentuk usaha sendiri, sistem bagi hasil dan sistem sewa lahan. Kemudian berdasarkan hasil wawancara dengan responden yang pernah melakukan usaha budidaya udang windu maka dapat juga dilakukan perbandingan antara kedua jenis usaha ini. Analisis finansial ini didasarkan pada hasil perhitungan menggunakan cashflow selama 5 tahun serta nilai discount factor 12%. Penetapan berbagai nilai biaya dan pendapatan termasuk harga jual rumput laut digunakan nilai terendah selama setahun (Shang 1990).
Tabel 11. Hasil analisis finansial usaha budidaya perikanan tambak di Kota Palopo No
Model usaha
NPV (rupiah per hektar)
Net B/C (per hektar)
IRR per hektar (%)
1.
2.
Rumput laut a. Pemilik
7.559.140,00
2,08
36
b. Penyewa
12.571.370,00
1,45
29,8
c. Bagi hasil
8.261.571,07
2,3
57,54
13.896.929,64
2,21
49,09
Udang a. Pemilik
Berdasarkan Tabel 11 dapat dijelaskan bahwa usaha budidaya rumput laut yang dilakukan petambak berbeda-beda sesuai dengan bentuk usaha yang dijalankan. Bentuk usaha dimana pemilik yang mengolah langsung tambaknya memiliki nilai net B/C sebesar 2,08; NPV Rp 7.559.140,00 dan nilai IRR adalah 36%. Nilai NPV menunjukkan bahwa selama 5 tahun usaha budidaya rumput laut ini setiap hektarnya dapat menghasilkan keuntungan sebesar Rp 7.559.140,00 untuk nilai uang saat ini. Net B/C sebesar 2,08 menunjukkan bahwa manfaat yang diperoleh setiap hektarnya adalah 2,08 kali dari setiap 1 unit biaya yang dikeluarkan. Nilai IRR sebesar 36% menunjukkan kegiatan ini layak untuk dilanjutkan. Pada sistem sewa lahan, net B/C sebesar 1,45 menunjukkan bahwa manfaat yang diperoleh setiap hektarnya adalah 1,45 kali dari setiap 1 unit biaya yang dikeluarkan. Adapun keuntungan bersih yang diperoleh selama 5 tahun itu adalah Rp 12.571.370,00. Nilai IRR sebesar 29,8% menunjukkan batas suku bunga tertinggi yang masih memberi keuntungan terhadap usaha yang dilakukan. Sistem bagi hasil memberikan nilai net B/C sebesar 2,3 dengan NPV sebesar Rp 8.261.571,07. Ini menunjukkan bahwa sistem bagi hasil memberikan manfaat 2,3 kali dari 1 unit biaya yang dikeluarkan selama 5 tahun dan memberikan keuntungan bersih sebesar 8 juta lebih untuk usaha yang dilakukan selama 5 tahun tersebut. Nilai IRR yaitu 57,24% lebih besar daripada nilai suku bunga riil, sehingga dapat dikatakan bahwa usaha kegiatan ini bisa dilaksanakan. Sebagai analisis pembanding usaha budidaya rumput laut maka digunakan analisis finansial udang windu. Namun pada saat penelitian berlangsung tidak ditemui usaha budidaya udang windu yang dilakukan oleh petambak. Oleh karena itu data inputoutput usaha udang windu yang digunakan adalah data terdahulu dengan menggunakan harga input-output pada saat sekarang. Pada usaha budidaya udang windu, berdasarkan hasil wawancara dengan petambak yang pernah melakukan usaha budidaya ini maka pada setiap hektarnya diperoleh nilai NPV sebesar Rp 13.896.929,00 dengan nilai Net B/C
sebesar 2,21 menunjukkan bahwa manfaat yang diperoleh setiap hektarnya adalah 2,21 kali dari setiap 1 unit biaya yang dikeluarkan. Nilai IRR yang tinggi yaitu 49,09% menunjukkan usaha ini layak dilaksanakan.
Besarnya nilai pendapatan dari usaha
budidaya udang ini tidak terlepas dari tingginya harga udang windu di pasaran jika dibandingkan dengan harga rumput laut Gracilaria sp. dengan bobot yang sama. Pada setiap hektarnya, produksi udang windu dapat mencapai 150 kg pada sistem usaha tradisional, yaitu dengan jumlah bibit yang dipelihara sekitar 1500 ekor. Sedangkan untuk usaha budidaya Gracilaria sp. pada setiap hektarnya dapat dipanen sekitar 500 kg dengan jumlah bibit yang ditebar sekitar 1 ton. Meskipun demikian, terdapat beberapa perbedaan karakteristik usaha antara kedua usaha ini. Pada usaha budidaya rumput laut, bibit rumput laut tersebut digunakan hingga 7 siklus produksi. Pada beberapa lahan tambak yang diobservasi, bibit digunakan hingga 9 siklus produksi namun hasil panen sudah semakin menurun secara kuantitas dan kualitas. Hal ini berbeda dengan budidaya udang dimana setiap produksi memasukkan biaya penyediaan bibit udang (benur). Perbedaan lain yang terlihat adalah dari penilaian kualitas hasil panen. Kualitas panen mencakup kadar air dari rumput laut serta bobot panen yang dihasilkan. Jika tidak memenuhi kadar air yang ditetapkan, maka harga rumput laut akan turun drastis dimana harga ini kemudian ditentukan sendiri oleh pihak pengumpul yang membeli rumput laut petambak. Sedangkan bobot panen mencakup penampakan rumput laut yang dihasilkan juga mempengaruhi harga jual.
4.3
Kondisi Sosial Masyarakat
1.
Karakteristik Responden Guna mengetahui pelaksanaan pengelolaan usaha budidaya tambak yang berada
di Kota Palopo maka dilakukan inventarisasi keinginan masyarakat dan aspirasi masyarakat perikanan budidaya terhadap apa yang dibutuhkannya pada saat ini yang terkait dengan pengembangan usaha budidaya perikanan tambak di wilayah penelitian. Untuk mendapatkan prioritas keinginan masyarakat tersebut, maka dilakukan pengumpulan data dengan menggunakan kuesioner yang diberikan kepada sejumlah responden. Responden yang diambil terbatas hanyalah para petambak yang berada di lokasi tambak. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari adanya kemungkinan responden
berdomisili di wilayah penelitian namun lokasi tambaknya tidak di Kota Palopo. Pengambilan sampel responden dilakukan di setiap kecamatan dengan jumlah responden dianggap mewakili persentase jumlah petambak di daerah tersebut. Adapun klasifikasi responden berdasarkan domisilinya dapat dilihat pada Gambar 3.
Domisili responden
4 20
12
Wara Wara Selatan Wara Utara Tellu Wanua
16
Gambar 3. Klasifikasi responden berdasarkan domisili Profesi utama responden sebagian besar adalah sebagai petambak rumput laut yaitu sebanyak 35 orang. Hal ini disebabkan wawancara umumnya dilakukan langsung di lokasi pertambakan sehingga responden yang didapatkan memiliki profesi yang sejenis. Sedangkan responden yang berprofesi sebagai pedagang pengumpul rumput laut berjumlah 4 orang. Selama pengambilan sampel di lapangan tidak ditemukan tambak udang yang beroperasi sehingga untuk mendapatkan data mengenai kondisi usaha budidaya udang dilakukan wawancara terhadap beberapa responden yang pernah menjadi petambak udang. Jumlah responden ini adalah 13 orang. Umumnya mereka masih memiliki lahan tambak namun disewakan kepada orang lain untuk dimanfaatkan sebagai tambak rumput laut. Adapun klasifikasi profesi responden yang diwawancara disajikan pada Tabel 12. Tabel 12. Klasifikasi profesi responden No
Pekerjaan
Jumlah (orang)
Persentase
1.
Petambak rumput laut
35
67,30
2.
Pedagang pengumpul
4
7,69
3.
Petani (sawah/kebun)
8
15,38
4.
Peternak
2
3,64
5.
Wiraswasta
3
5,76
52
100
Total
Keterangan
Nomor 3,4 dan 5 sebelumnya adalah sebagai petambak udang windu
Jika ditinjau dari kisaran umur, maka seluruh responden memiliki kisaran umur antara 25 – 60 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa para responden masih berada pada usia produktif. Secara lebih detil maka klasifikasi responden berdasarkan umurnya dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Klasifikasi Umur Responden No
Umur (tahun)
Jumlah (orang)
Persentase (%)
1.
20 – 29
4
7,69
2. 3.
30 – 39 40 – 49
14 22
26,92 42,30
4.
50 – 59
10
19,23
5.
> 60
2
3,84
52
100
Total
Pada Tabel 13 dapat dilihat bahwa responden paling banyak yang berumur antara 40 – 49 tahun yaitu 22 orang (42,30%). Jumlah responden paling sedikit yang berusia diatas 60 tahun yaitu 2 orang (3,84%). Dari data ini dapat dijelaskan bahwa struktur umur petambak di lokasi penelitian berkisar antara 30 – 59 tahun dengan puncaknya pada kisaran 40 – 49 tahun, di luar kisaran tersebut jumlahnya tidak banyak. Berdasarkan tingkat pendidikan, maka sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan yang rendah yaitu hanya sampai pendidikan Sekolah Dasar (SD) atau yang sederajat. Dari 52 orang responden yang diwawancara sebanyak 27 orang (51,92%) hanya sampai ke tingkat SD atau tidak menyelesaikannya, kemudian 16 orang (30,77%) mampu bersekolah hingga ke pendidikan menengah pertama (SMP), dan sebanyak 9 responden (17,30%) berhasil menempuh pendidikan hingga ke pendidikan menengah atas (SMA dan yang sederajat). Secara keseluruhan dapat dijelaskan bahwa rata-rata para responden memiliki pendidikan formal, walaupun relatif masih rendah. Kondisi ini didukung dengan keberadaan kota Palopo yang memiliki fasilitas pendidikan yang cukup lengkap sejak dulu. Persentase tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada Gambar 4.
Persentase (%)
17.3 Sekolah Dasar SMP 51.92 30.77
SMA
Gambar 4. Persentase klasifikasi tingkat pendidikan responden Berdasarkan hasil pengolahan data primer maka dapat diketahui bahwa para responden umumnya telah bekerja di bidang perikanan lebih dari 10 tahun. Jika lama bekerja dibidang ini diurai lebih jauh, maka diperoleh responden yang telah bekerja 10 – 20 tahun berjumlah 35 orang, sedangkan yang telah memiliki masa kerja di atas 20 tahun sebanyak 9 orang. Sedangkan responden yang baru memiliki pengalaman kerja di bawah 10 tahun adalah 8 orang. Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa sebagian besar responden telah memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai usaha perikanan. Tabel 14 menunjukkan klasifikasi responden berdasarkan lama berusaha di bidang perikanan. Tabel 14. Klasifikasi responden berdasarkan lama berusaha di bidang perikanan No
Lama Usaha (Tahun)
Jumlah (orang)
Persentase (%)
1.
<10
8
15,38
2.
10 - 20
35
67,30
3.
>20
9
17,30
52
100,00
Total
Hasil wawancara dengan responden yang berprofesi sebagai petambak rumput laut menunjukkan umumnya mereka belum lama menekuni usaha budidaya rumput laut ini. Sebanyak 3 responden baru menekuni usaha ini selama setahun, sedangkan 11 responden telah bekerja di bidang budidaya rumput laut di tambak lebih dari 5 tahun. Responden yang lain (31 orang) umumnya telah menekuni usaha ini antara 2 – 5 tahun. Dengan demikian jika dihubungkan dengan lamanya mereka berusaha di bidang perikanan maka dapat diketahui bahwa sebelum memulai usaha budidaya rumput laut ini sebenarnya mereka telah bekerja di bidang perikanan, khususnya di bidang perikanan budidaya. Adapun gambaran lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Klasifikasi responden petambak rumput laut berdasarkan lama berusaha di bidang budidaya rumput laut No
Lama Usaha (Tahun)
Jumlah (orang)
Persentase (%)
1.
<2
3
8,57
2.
2-5
21
60,00
3.
>5
11
31,43
35
100,00
Total
Lahan yang dimanfaatkan oleh para petambak tidak semuanya merupakan milik sendiri. Berdasarkan hasil wawancara maka ada juga lahan yang merupakan lahan yang disewa dari pemiliknya serta ada juga yang bukan hak milik dan tidak disewa melainkan sistemnya adalah bagi hasil. Responden yang memiliki lahan sendiri adalah sebanyak 16 orang (45,71%), responden yang menyewa lahan tambak sebanyak 11 orang (31,41%), kemudian responden yang memakai sistem bagi hasil sebanyak 8 orang (22,85%). Umumnya responden yang menyewa lahan atau memakai sistem bagi hasil merupakan pendatang dari luar kota Palopo, sedangkan yang merupakan pemilik adalah penduduk asli di wilayah tersebut. Tabel 16 memperlihatkan pengelompokan status lahan yang dimiliki oleh responden. Tabel 16. Status pengusahaan lahan tambak yang dikelola responden petambak rumput laut No
Status Lahan
Jumlah (orang)
Persentase (%)
1.
Hak milik
16
45,71
2.
Sewa
11
31,42
3.
Bagi hasil
8
22,85
35
100,00
Total 2.
Keadaan Penduduk Jumlah penduduk Kota Palopo adalah 120.748 jiwa yang terdiri dari penduduk
laki-laki sebanyak 59.501 jiwa dan penduduk perempuan adalah 61.747 jiwa. Menurut BPS (2004), laju pertumbuhan penduduk rata-rata setiap tahunnya adalah 2,17%. Adapun perincian penyebaran penduduk di tiap kecamatan dipaparkan pada Tabel 17. Tabel 17.
Jumlah penduduk laki-laki dan perempuan, jumlah kepala keluarga tiap kecamatan di Kota Palopo
Jumlah
Kepala Keluarga
24.803
50.257
8.594
6.445
7.518
13.963
2.631
20.906
22.183
43.089
7.629
4. Tellu Wanua 6.696 6.743 Sumber : Biro Pusat Statistik Kota Palopo (2004)
13.439
2.559
No
Kecamatan
1.
Wara
2.
Wara Selatan
3.
Wara Utara
Laki-Laki
Perempuan
25.454
Tabel 17 menunjukkan bahwa penyebaran penduduk tidak merata.
Jumlah
penduduk di Kecamatan Wara adalah yang tertinggi hingga mencapai 41,6% dari total penduduk Kota Palopo, hal ini disebabkan pusat pemerintahan dan perekonomian Kota Palopo berada di kecamatan ini. Jika dihubungkan dengan luas wilayah tiap kecamatan, maka kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kecamatan Wara dengan 751 jiwa /km2. Jumlah Kepala Keluarga (KK) yang berdomisili di Kota Palopo menunjukkan bahwa rata-rata setiap KK memiliki jumlah tanggungan keluarga diatas 5 orang. Pembagian jenis usaha serta jumlah tenaga kerja yang bekerja di bidang budidaya perikanan dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. No
Jenis usaha dan jumlah tenaga kerja bidang budidaya perikanan di Kota Palopo pada tahun 2004
Kecamatan
Jenis Usaha
Tenaga Kerja (orang)
1.
Wara
Budidaya tambak
56
2.
Wara Selatan
Budidaya tambak
60
Budidaya kolam
46
3.
Wara Utara
Budidaya tambak
147
4.
Tellu Wanua
Budidaya tambak Budidaya kolam
2.340 199
Total Sumber : Dinas KPP Kota Palopo (2005)
2.847
Pada Tabel 18 terlihat bahwa secara keseluruhan jumlah tenaga kerja pada bidang budidaya perikanan berjumlah 2.847 orang atau sekitar 2,35% dari total penduduk Kota Palopo. Dari keseluruhan jumlah tenaga kerja tersebut, maka yang bekerja pada bidang budidaya tambak sekitar 2.602 orang (91,39%). Jika ditinjau dari tempat tinggal mereka, maka jumlah tenaga kerja terbanyak berada di Kecamatan Tellu Wanua yaitu 2.340 orang (82,19%), kemudian di Kecamatan Wara Utara sebanyak 147 orang (5,16%), di Kecamatan Wara Selatan sebanyak 60 orang (2,10%) dan Kecamatan Wara sebanyak 55 orang (1,93%).
Penyebaran jumlah tenaga kerja ini tidak terdistribusi secara merata. Hal ini dapat diketahui jika jumlah tenaga kerja dikaitkan dengan luas area budidaya tambak di setiap kecamatannya. Di Kecamatan Wara, rata-rata setiap orang memiliki 2,78 hektar tambak, di Kecamatan Wara Selatan lebih luas yaitu sekitar 3,3 hektar. Di Kecamatan Wara Utara rata-rata setiap petambak memiliki luas lahan 1,67 hektar sedangkan di Kecamatan Tellu Wanua sekitar 0,11 hektar.
3.
Motivasi Masyarakat Berdasarkan hasil wawancara dengan stakeholder yang berkaitan dengan usaha
budidaya perikanan tambak di Kota Palopo, maka dapat diketahui beberapa hal yang memacu keinginan para petambak melakukan usaha budidaya rumput laut ini dibandingkan dengan melakukan usaha budidaya udang di lahan tambak mereka. Usaha budidaya rumput laut Gracilaria sp. tidak memerlukan ketrampilan khusus merupakan alasan utama yang paling banyak dikemukakan oleh para responden.
Selain itu,
responden menganggap usaha ini memiliki resiko yang lebih kecil jika dibandingkan dengan budidaya udang windu. Pada Tabel 19 diperlihatkan berbagai motivasi utama yang dikemukakan oleh responden dalam melakukan perubahan usaha ini. Tabel 19. Persepsi responden dalam perubahan usaha yang dilakukan No
Parameter
1.
Tingkat ketrampilan
2. 3.
Resiko usaha
4.
Pilihan Persepsi responden Responden Rumput laut Udang 12 Tidak memerlukan Memerlukan keahlian khusus kemampuan / ketrampilan 9 8
Rendah Sederhana dan mudah
Tinggi
Harga komoditi
6
Murah dan stabil
Tinggi dan stabil
5.
Pemasaran produk
5
Dijemput pihak pengumpul
Dijemput oleh pihak pengumpul
6.
Permodalan dan
5
Kecil ; mudah
Membutuhkan modal
Teknologi budidaya
Pada tambak skala tradisional, teknologinya masih bersifat tradsional namun memerlukan penanganan selama masa pemeliharaan
investasi
yang besar
7.
Ketersediaan bibit dan sarana produksi
4
Bibit dan sarana produksi mudah diperoleh
Bibit diperoleh dari hatchery yang berada di luar kabupaten
8.
Hama dan penyakit
3
Ada namun tidak mengganggu produksi
Belum dapat diatasi dan mengganggu tingkat produksi
Beberapa responden mengemukakan bahwa penanganan pasca panen dan dampak usaha terhadap kualitas perairan laut juga merupakan alasan yang dipilih sehingga mereka tetap menjalankan usaha budidaya rumput laut Gracilaria sp. Namun demikian, jawaban ini bukan merupakan alasan utama sehingga tidak disajikan sebagai persepsi utama responden.
Berdasarkan Tabel 19 maka dapat dijelaskan beberapa
motivasi yang dimiliki masyarakat dalam melakukan perubahan usaha sebagai berikut: a. Tingkat ketrampilan Usaha budidaya perikanan tambak merupakan kegiatan pemeliharaan organisme yang secara kualitatif dan kuantitatif harus memenuhi persyaratan yang berlaku di pasar. Penurunan kualitas organisme yang dipelihara akan mempengaruhi harganya di pasaran, sedangkan penurunan jumlah hasil panen juga akan mempengaruhi nilai produksi sehingga mengurangi keuntungan petambak. Dengan demikian, petambak seharusnya memiliki keterampilan dalam usaha memelihara organisme yang dipeliharanya. Menurut hasil wawancara, pemeliharaan udang memerlukan tingkat ketrampilan yang lebih baik dibandingkan jika petambak memelihara rumput laut.
Pada tahap
pemeliharaan udang, para petambak mesti menjaga agar kondisi lingkungan tambak memenuhi persyaratan untuk kehidupan udang mulai dari kualitas air, pemberian pakan serta melakukan pengobatan jika diketahui udang terserang penyakit. Selain itu setelah panen dilakukan penanganan untuk menjaga kesegaran udang hingga tiba di tangan pembeli. Menurut Suyanto dan Mujiman (2003), udang hasil panen perlu dijaga mutunya agar harga di pasaran tidak langsung turun karena pihak pembeli memiliki kualifikasi tertentu yang diperlukan mengingat udang merupakan komoditi ekspor. Rumput laut juga merupakan komoditi ekspor, namun menurut petambak persyaratan yang ditetapkan pihak pembeli tidak seketat persyaratan yang dikenakan terhadap komoditi udang.
Selain itu dalam kegiatan pemeliharaannya rumput laut
Gracilaria sp. tidak terlalu sensitif terhadap perubahan kondisi lingkungan perairan sehingga tidak terlalu membutuhkan penanganan yang khusus. Berdasarkan kondisi
tersebut maka petambak menganggap tidak dibutuhkan keterampilan khusus dalam kegiatan pemeliharaan rumput laut.
b. Resiko usaha Resiko usaha merupakan salah satu pertimbangan yang dipilih responden dalam melakukan perubahan usaha. Menurut para responden, budidaya rumput laut Gracilaria sp. memiliki resiko usaha yang lebih rendah dibandingkan dengan budidaya udang windu. Resiko usaha yang dimaksud adalah kemungkinan untuk gagal panen cukup kecil, sehingga petambak dapat memprediksi keuntungan yang bakal diperoleh. Pada usaha budidaya udang windu, kegagalan panen sering terjadi yang disebabkan oleh serangan penyakit. Kegiatan panen tetap dilakukan, namun hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan biaya yang dikeluarkan sehingga petambak mengalami kerugian. c. Teknologi budidaya Mengenai teknologi budidaya yang digunakan, petambak masih menggunakan teknologi yang sederhana dalam kegiatan usahanya.
Pada usaha budidaya udang,
teknologi budidaya yang digunakan masih tradisional.
Hal ini terlihat dari padat
penebaran, jenis pakan serta sarana yang digunakan. Menurut hasil wawancara, kondisi ini terkait dari ketrampilan yang dimiliki oleh para petambak yang tidak berupaya mencoba menerapkan inovasi baru dalam kegiatannya.
Kendala usaha berupa
menyebarnya berbagai penyakit yang menyerang udang yang dipelihara ternyata tidak dapat diantisipasi oleh petambak. Keadaan ini menyebabkan usaha budidaya udang mereka kemudian mengalami kegagalan. Pada usaha budidaya rumput laut, pemanfaatan teknologi juga masih tradisional. Menurut hasil wawancara, dengan menggunakan teknologi yang sederhana petambak sudah bisa mendapatkan keuntungan yang besar sehingga para petambak menganggap tidak memerlukan inovasi teknologi untuk meningkatkan produktivitas tambaknya. Selain itu, pengetahuan petambak mengenai pemanfaatan teknologi dalam usaha pemeliharaan rumput laut masih terbatas didukung dengan ketidakberadaan tenaga penyuluh perikanan yang sebenarnya diharapkan mampu membantu petambak dalam meningkatkan produktivitas lahannya. Teknologi yang dipergunakan dalam kegiatan budidaya Gracilaria sp. masih sederhana.
Kegiatan usaha budidaya terdiri atas tiga tahap yaitu tahap persiapan,
pemeliharaan dan panen. Tahap persiapan adalah masa dimana dilakukan persiapan lahan agar kondisi lahan sesuai bagi pertumbuhan rumput laut ini. Menurut responden, pengolahan tanah berarti perbaikan pematang dan pintu air, pembalikan dasar tambak dan dilakukan pemupukan. Setelah pengolahan tanah selesai, kemudian dilakukan pemasukan air kedalam tambak. Penebaran bibit dilakukan setelah pengisian air kedalam tambak. Berdasarkan hasil wawancara, sebanyak 84,6% responden menyatakan bahwa untuk tambak seluas 1 hektar maka bibit yang ditebar sebanyak 1 ton. Bibit diperoleh dari kolam pembibitan, yaitu rumput laut berumur 20-25 hari yang kemudian dipindahkan ke kolam pemeliharaan.
Metode budidaya yang digunakan adalah dengan sistem tebar dasar.
Yaitu rumput laut ditebar secara merata di dalam tambak yang telah terisi air. Dengan demikian, Gracilaria sp. ini terbenam secara keseluruhan di dalam perairan. Selama masa pemeliharaan, kegiatan rutin yang dilakukan oleh petambak hanyalah pergantian air yaitu 3-4 hari sekali sebanyak 25-50 %. Pergantian air ini juga dilakukan jika petambak menganggap kondisi air dalam tambak sudah tidak bagus kualitasnya dengan melihat tingkat kekeruhan dan intensitas hujan. Jika intensitas hujan tinggi, maka frekuensi pergantian air juga meningkat menjadi 2 hari sekali karena dianggap dengan tingginya curah hujan akan menurunkan salinitas perairan. Pergantian air ini memanfaatkan pasang surut air laut. Selain pergantian air, pemberian obat yaitu drusband sebanyak 1 liter untuk setiap hektarnya ke air tambak juga berguna untuk menjernihkan air kolam.
Masa pemeliharaan yang umum dilakukan oleh petambak
adalah 45 hari. c. Harga komoditi Berkembangnya usaha budidaya rumput laut tidak terlepas dari meningkatnya harga jual dari komoditi ini. Berdasarkan hasil wawancara, sebanyak 25% responden menyatakan bahwa harga jual rumput laut saat ini sudah bisa memberi keuntungan pada tingkat petambak. Hasil panen rumput laut dibeli oleh pihak perantara yang berasal dari pihak pengumpul, umumnya dengan mengambil keuntungan sekitar Rp. 200,00/kg. Di pihak pengumpul, rumput laut ini diproses untuk siap dikirim ke pihak pembeli di pulau Jawa. Hasil pengamatan menunjukkan kisaran keuntungan bersih yang diperoleh oleh pihak pengumpul Rp. 1.000,00/kg. Menurut hasil wawancara dengan seorang responden yang berprofesi sebagai pengumpul, telah ada pihak pengumpul yang mengekspor ke luar negeri, tapi tidak memberi keuntungan yang memadai karena terkendala pada waktu pengiriman yang relatif lama. Jika dibandingkan dengan udang windu, harga komoditi
ini memang berbeda jauh. Pada bulan Mei 2006, harga rumput laut Gracilaria sp. di tingkat petambak yaitu Rp. 4.000,00/kg. Pada saat yang sama, harga udang stabil di kisaran 45.000,00/kg. d. Pemasaran produk Sistem yang berlaku selama ini telah memudahkan petambak dalam memasarkan hasil panennya.
Sistem pemasaran yang berlaku adalah pihak pengumpul yang
mendatangi petambak untuk kemudian mengajukan penawaran harga. Setelah diperoleh kesepakatan harga, maka pengumpul yang selanjutnya mendistribusikan produk tersebut sesuai dengan jalur pemasarannya.
Untuk udang, maka pengumpul kemudian
membawanya ke perusahaan cold storage yang selanjutnya akan memproses sebagai produk ekspor. Sedangkan untuk rumput laut, maka pengumpul membawanya ke gudang penyimpanan untuk di sortir, dibersihkan kembali sebelum kemudian dikirim ke pulau Jawa atau pihak eksportir. Keuntungan dari sistem pemasaran ini adalah pihak petambak tidak mengeluarkan biaya operasional untuk memasarkan hasil panennya, karena telah dijemput oleh pengumpul. Namun demikian terdapat juga kerugiannya karena petambak tidak memiliki nilai tawar yang kuat dalam menentukan harga produk, karena menurut eksportir harga produk selain dipengaruhi oleh mutu produk juga terkait dengan jarak dari lokasi produksi ke daerah pemasaran. e. Permodalan dan investasi Menurut hasil wawancara, sebanyak 19,2% responden menyatakan bahwa berkembangnya usaha budidaya rumput laut Gracilaria sp. di Kota Palopo adalah karena usaha ini membutuhkan modal yang lebih sedikit jika dibandingkan dengan modal untuk usaha budidaya udang. Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa biaya produksi satu siklus hanya membutuhkan modal 3 juta rupiah. Sedangkan untuk usaha budidaya udang windu secara tradisional dibutuhkan modal sedikitnya 6 juta rupiah untuk setiap masa produksi setiap hektarnya. Penyertaan modal yang berlaku pada usaha budidaya udang dan rumput laut sama yaitu sistem bagi hasil, sewa lahan dan usaha sendiri.
Bentuk usaha kedua model
budidaya ini sama, tetapi ada perbedaan pada jumlah modal yang dibutuhkan tergantung pada kebutuhan operasional usaha. f. Ketersediaan bibit dan sarana produksi
Ketersediaan bibit merupakan faktor penting untuk menjaga keberlanjutan usaha budidaya di tambak. Pentingnya faktor ketersediaan bibit ini terkait dengan aspek jarak dan penanganan transportasi bibit tersebut. Berdasarkan hasil pengamatan, bibit rumput laut tidak diambil dari lokasi yang jauh karena hal ini menyangkut tingkat kesegaran dari bibit rumput laut tersebut. Bibit ini mudah diperoleh dari petambak yang sudah membudidayakan rumput laut Gracilaria sp. sebelumnya. Hal ini berbeda dengan penyediaan benih udang. Di Kota Palopo belum terdapat usaha pembibitan udang, sehingga benih udang (benur) harus didatangkan dari daerah lain yang cukup jauh sehingga membutuhkan penanganan khusus agar tidak mengakibatkan kematian benih udang. Berdasarkan hasil wawancara, sebanyak 28,8% responden menyatakan bahwa benur (benih udang) didatangkan dari usaha pembenihan yang ada di Kabupaten Barru (sekitar 250 km dari Kota Palopo).
Jarak lokasi
pembenihan ini cukup jauh namun masih bisa ditolerir untuk transportasi darat. Menurut Baliao dan Tookwinas (2002), pengangkutan benur sebaiknya tidak lebih dari 12 jam perjalanan karena akan mengakibatkan stress pada benur yang dapat mengakibatkan kematian. Walaupun demikian, tidak diperoleh kesulitan untuk memperoleh benur mengingat lancarnya transportasi darat antara kedua wilayah tersebut. Usaha budidaya perikanan tambak membutuhkan berbagai sarana produksi, tergantung pada teknologi budidaya yang digunakan. Semakin tinggi teknologi yang digunakan maka alat dan sarana produksi yang digunakan semakin banyak. Berbagai sarana produksi yang digunakan meliputi kegiatan persiapan tambak, tahapan pemeliharaan organisme serta berbagai peralatan untuk pemanenan.
Karena usaha
budidaya perikanan telah berlangsung sejak lama maka di Kota Palopo telah banyak usaha yang bergerak dibidang penyediaan alat dan sarana produksi. g. Hama dan penyakit Parameter ini merupakan salah satu faktor yang paling dominan menjadi alasan petambak melakukan perubahan usaha. Pada waktu petambak masih memelihara udang windu, mereka banyak menghadapi kendala berupa gangguan hama serta udang yang dipelihara terserang penyakit. Hal ini disebabkan teknologi yang dipergunakan masih sangat sederhana, mulai dari konstruksi tambak dan pintu air, pengelolaan kualitas air yang akan dimanfaatkan, pola pemberian dan jenis pakan hingga metode pemeriksaan benur yang dipelihara.. Dengan demikian, hama dan penyakit yang menyerang udang dapat disebabkan oleh faktor-faktor tersebut.
Permasalahan hama dan penyakit ternyata tetap terjadi pada kegiatan budidaya rumput laut. Menurut para responden, permasalahan hama yang paling mengganggu saat ini adalah adanya semacam keong kecil yang di daerah tersebut dinamakan bangabanga’. Kehadiran hama ini dapat terdeteksi jika ditemukan ujung thallus berwarna putih. Hingga saat ini belum ditemukan obat atau cara yang efektif untuk menangani hama ini, namun oleh beberapa petambak dilakukan pengaturan debit air dengan menurunkan laju air yang keluar melalui pintu pengeluaran karena diketahui bahwa binatang ini menyenangi air yang deras. Keberadaan ikan baronang juga cukup mengganggu. Ikan ini masuk bersama air dari saluran pemasukan. Ikan baronang ini biasanya memakan rumput laut sehingga ujung thallus terlihat patah.
Cara penanganan yang biasanya dilakukan adalah
menebarkan racun yang dapat mematikan ikan beronang ini. Hal ini berbeda dengan keberadaan ikan bandeng jika dilakukan sistem polikultur. Ikan bandeng ini berfungsi untuk memakan lumut yang merupakan kompetitor rumput laut dalam mendapatkan bahan organik. Namun jika lumut ini sudah habis maka ikan bandeng ini akan memakan rumput laut yang dipelihara. Selain alasan tersebut, terdapat dua alasan lain yang paling banyak dipilih oleh reponden sebagai alasan kedua yang menjadi motivasi mereka melakukan perubahan usaha yaitu: a. Pengolahan pasca panen Pengolahan pasca panen dibutuhkan untuk menjaga mutu dari produk yang akan dijual, karena sebagai komoditi ekspor dibutuhkan berbagai persyaratan yang ditetapkan oleh pihak pembeli. Bagi petambak, pengolahan pasca panen udang membutuhkan ketrampilan tersendiri serta peralatan pendukung yang memadai. Menurut Suyanto dan Mujiman (2003), syarat-syarat mutu udang mesti memenuhi kriteria antara lain kondisi fisik utuh, segar, tidak memiliki bercak hitam, kulit tidak mengelupas serta warna masih asli sesuai jenisnya. Prosedur penanganan udang pada saat panen memerlukan beberapa persyaratan seperti waktu pemanenan yang tepat, menggunakan air serta wadah yang baik serta pendinginan udang sehingga udang tidak cepat membusuk. Sedangkan pada pengolahan pasca panen rumput laut tidak memerlukan penanganan yang rumit karena hanya perlu dibersihkan kemudian dijemur, selain itu dijaga agar tidak terkena air tawar karena akan mengurangi kualitas dari rumput laut tersebut. Dengan demikian menurut para petambak,
kegiatan pengolahan pasca panen rumput laut lebih mudah dibandingkan dengan penanganan yang dilakukan terhadap udang. Petambak melakukan kegiatan pemanenan pada saat rumput laut berumur 40-45 hari. Pemanenan bahkan terkadang dipercepat jika dianggap harga rumput laut di pasaran menguntungkan petambak. Metode panen yang dilakukan adalah mengangkat rumput laut dari dasar tambak kemudian memotong batang thallus terluar. Potongan thallus inilah yang kemudian diangkut ke pematang menggunakan rakit. Sisa rumput laut yang lainnya kemudian dibenamkan kembali ke dalam tambak untuk dipelihara hingga periode panen berikutnya. Menurut hasil wawancara, sebanyak 67,3% responden mengatakan bahwa umumnya bibit yang ditebar dapat dipergunakan hingga 7 – 9 siklus produksi. Adapun hasil panen untuk satu hektar tambak biasanya berkisar 300 – 500 kg. Setelah pemanenan kemudian dilakukan proses penjemuran untuk menurunkan kadar airnya. Penjemuran hasil panen ini dilakukan di sepanjang pematang tambak. selama 2- 3 hari hingga dianggap tingkat kekeringannya sudah cukup. Berdasarkan kesepakatan dengan pihak pembeli, kadar air yang ditetapkan adalah maksimal 14%, sehingga jika melebihi nilai tersebut maka harga jualnya akan sangat rendah atau ditetapkan oleh pembeli. Di Palopo, proses penjemuran hasil panen ini terkendala oleh tingginya curah hujan sementara proses penjemuran ini masih mengandalkan panas matahari. Berdasarkan observasi dari salah satu gudang penampung hasil tambak rumput laut diketahui bahwa produk yang masuk selain dari Kota Palopo juga banyak dari luar seperti dari Kabupaten Luwu. Kapasitas gudang mencapai 800 ton dengan luas 50 x 25 meter. Kegiatan pasca panen yang dilakukan oleh penampung hanya pengeringan, karena produk yang masuk dalam kondisi
basah (kadar air tinggi). Pengeringan
dilakukan selama 2-3 hari pada kondisi matahari baik. Kegiatan pasca panen yang dilakukan oleh pedagang pengumpul ini ternyata juga memberi dampak pada penyerapan tenaga kerja di Kabupaten Palopo, bahkan tenaga kerja telah didatangkan dari luar kabupaten seperti dari Kabupaten Jeneponto, Bantaeng dan Kota Makassar. Saat kunjungan dilakukan di salah satu gudang diketahui terdapat 170 orang tenaga kerja yang terlibat pada proses paska panen tersebut. b. Dampak terhadap ekosistem perairan Berdasarkan
hasil
wawancara,
umumnya
petambak
tidak
terlalu
mempermasalahkan dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan budidaya perikanan mereka terhadap ekosistem alam khususnya perairan. Menurut mereka, air buangan tambak
mereka akan langsung ke perairan laut sehingga tidak terlalu mempengaruhi kehidupan masyarakat yang berada di wilayah pesisir. Selain itu, secara kuantitas air buangan tambak tidak terlalu banyak karena hanya dilakukan pergantian air 3-4 hari sekali sehingga diyakini tidak mengganggu kualitas perairan di laut. Pada tambak tradisional udang windu, pergantian air dilakukan setiap hari sebanyak 30% dari total volume air dan semakin meningkat hingga 50% pada usia 90 hari hingga panen.
Besarnya jumlah air buangan ini jelas akan mempengaruhi kualitas
perairan laut mengingat perairan laut Kota Palopo merupakan bagian dari teluk Bone, sehingga sirkulasi air yang terjadi akan terbatas. Pada usaha budidaya rumput laut, pergantian air yang dilakukan 3-4 hari sekali namun dianggap tidak terlalu mencemari perairan laut. Namun demikian, mereka tetap menyadari jika tidak dilakukan perbaikan kualitas air maka penurunan kualitas air laut juga akan mempengaruhi usaha budidaya mereka karena mereka tetap memanfaatkan air laut sebagai sumber air tambak mereka. 4.4
Kebijakan Pengelolaan Usaha Budidaya Perikanan Tambak Berdasarkan kajian kepustakaan dan kondisi riil objek penelitian, disusun
perencanaan kebijakan pengelolaan usaha budidaya tambak yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan faktor eksternal dan internal yang mempengaruhinya. Untuk mendeskripsikan kebijakan yang disusun maka berbagai faktor-faktor ini dijadikan komponen SWOT. Analisis SWOT menyediakan kerangka dasar yang akan menghasilkan keputusan situasional. Menurut Rangkuti (2001), analisis SWOT merupakan identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang dan dapat menimimalkan kelemahan dan ancaman. Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan dan kebijakan (Gambar 5).
Gambar 5.
Hirarki Matriks Kebijakan Pengelolaan Budidaya Tambak Kota Palopo
di
Hasil analisis SWOT menunjukkan bahwa komponen kekuatan (S) menempati urutan teratas dalam penentuan kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak, kemudian diikuti oleh komponen peluang (O), kelemahan (W) dan ancaman (T). Bobot dan prioritas masing-masing komponen dapat dilihat pada Gambar 6. Bobot Komponen SWOT
0.586
Strength 0.255
Opportunities
Threats
Weaknesses
Gambar 6.
0.058
0.12
Bobot komponen SWOT penentuan kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak di Kota Palopo
Gambar 6 menunjukkan bahwa faktor internal dalam penentuan kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak yang dominan adalah komponen kekuatan, sedangkan faktor eksternal yang dominan adalah komponen peluang. Besarnya faktor kekuatan dan peluang dibandingkan dengan kelemahan dan ancaman dalam penentuan kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak merupakan indikator keberhasilan kebijakan pengelolaan yang berkelanjutan di masa mendatang. Selanjutnya dari komponen kekuatan, faktor-faktor yang menentukan dalam penentuan kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak tersebut adalah
kualitas perairan yang layak (feasible) untuk usaha budidaya rumput laut dan udang, luasnya wilayah pertambakan yang tersedia untuk usaha ini, kemampuan teknis petambak yang memadai dan jarak lokasi pertambakan yang tidak terlalu jauh dari pemukiman sehingga memudahkan dalam kegiatan pemeliharaan. Bobot dan prioritas masing-masing faktor dapat dilihat pada Tabel 20 berikut. Tabel 20.
Matriks prioritas faktor kekuatan kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak
Faktor Kekuatan
Bobot
Prioritas
Kualitas perairan yang layak (feasible) untuk budidaya
0,565
P1
Luasnya wilayah pertambakan yang tersedia
0,262
P2
Lokasi usaha dekat pemukiman
0,118
P3
Ketersediaan sarana dan prasarana
0,055
P4
Berdasarkan peringkat faktor-faktor kekuatan tersebut, ternyata faktor kualitas perairan yang layak (feasible) untuk budidaya merupakan faktor kekuatan yang utama dalam upaya pengelolaan usaha budidaya perikanan yang berkelanjutan. Hal ini sesuai dengan hasil pengukuran kualitas air yang telah dilakukan dan memang menunjukkan bahwa kualitas perairan di daerah ini mendukung untuk usaha budidaya rumput laut yang dilakukan oleh masyarakat. Dengan demikian, faktor ini diharapkan mendapatkan perhatian yang serius dalam perencanaan pengelolaan kedepan dengan berbagai strategi yang dilakukan untuk mempertahankan kualitas perairan seperti saat sekarang ini. Faktor kekuatan lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah luasnya wilayah pertambakan yang tersedia sehingga dapat langsung digunakan. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan maka terdapat luas lahan yang sesuai untuk usaha budidaya rumput laut Gracilaria sp. yaitu 1.382,85 hektar. Faktor ini perlu dipertimbangkan sehingga dapat ditunjang daya dukung baik secara ekologi, ekonomi dan sosial. Selain luasan lahan yang memadai, lokasi pertambakan yang dekat dengan pemukiman memberi keuntungan dari segi keamanan serta kemudahan akses usaha. Ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai merupakan salah satu faktor kekuatan yang dimiliki. Transportasi darat dan laut yang lancar sehingga memudahkan pengadaan barang dan pemasaran, selain itu jaringan listrik yang telah ada. Sebagai kota dengan tingkat madya, maka persyaratan yang harus dipenuhi adalah pemenuhan berbagai sarana dan prasarana pendukung kegiatan masyarakat kota. Faktor-faktor dari komponen kelemahan yang menentukan dalam penentuan kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak adalah produktivitas lahan yang
rendah, teknologi pasca panen yang rendah, keterampilan dan penguasaan teknologi yang kurang serta konstruksi tambak yang kurang baik. Bobot dan prioritas masing-masing faktor dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21.
Matriks prioritas faktor kelemahan kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak
Faktor Kelemahan
Bobot
Prioritas
Produktivitas lahan yang rendah
0,565
P1
Teknologi pasca panen yang rendah
0,262
P2
Ketrampilan dan penguasaan teknologi yang kurang
0,118
P3
Konstruksi tambak yang kurang baik
0,055
P4
Berdasarkan peringkat faktor-faktor kelemahan diatas, ternyata bahwa rendahnya produktivitas lahan merupakan faktor kelemahan yang cukup mempengaruhi nilai jual komoditas yang dipasarkan. Rendahnya produksi lahan ini terlihat dari rata-rata hasil panen yang diperoleh petambak. Berdasarkan hasil wawancara, setiap panen rumput laut yang dihasilkan sebanyak 750 kg-1000 kg setiap hektarnya. Padahal idealnya setiap hektarnya bisa dipanen sebanyak 1500-2000 kg. Para petambak merasa telah cukup dengan hasil panen selama ini, namun perlu dipertimbangkan peningkatan nilai produksi sehingga keuntungan yang diperoleh juga meningkat. Demikian juga dengan teknologi pasca panen yang rendah.
Kegiatan pasca
panen yang utama adalah menurunkan kadar air dari rumput laut. Selama ini standar produksi dari pihak pengumpul adalah nilai rendemen atau kekotoran adalah 5%, sedangkan kadar air maksimal adalah 18%–20%. Hasil wawancara menunjukkan bahwa para petambak belum mengetahui adanya teknologi yang lebih mudah dan murah daripada melakukan penjemuran dan pembersihan secara manual, sehingga dihasilkan produk sesuai standar yang diinginkan pihak pembeli. Kondisi ini perlu dipertimbangkan dalam perumusan berbagai strategi yang akan dilaksanakan nantinya karena kelemahan ini mempengaruhi upaya peningkatan pendapatan masyarakat petambak. Sebanyak 23% responden menyatakan tertarik membudidayakan rumput laut karena tidak memerlukan tingkat ketrampilan yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya masyarakat petambak memiliki tingkat ketrampilan yang rendah. Rendahnya tingkat ketrampilan ini juga menunjukkan ketidakmampuan masyarakat petambak dalam hal penguasaan teknologi budidaya yang mutakhir. Faktor kelemahan ini mesti dianalisis untuk diperoleh solusi.
Faktor kelemahan lain yang perlu dipertimbangkan adalah desain dan konstruksi tambak yang kurang baik. Desain tambak di Kota Palopo umumnya hanya memiliki satu pintu sehingga tambak rentan terhadap masuknya bibit penyakit karena pintu pengeluaran juga dimanfaatkan sebagai pintu pemasukan air.
Selain itu konstruksi pematang yang
hanya memanfaatkan lumpur sebagai dinding menyebabkan tingkat porositas tambak cukup tinggi. Faktor-faktor dari komponen peluang yang menentukan dalam penentuan kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak adalah tingginya permintaan hasil budidaya, pengembangan usaha budidaya merupakan salah satu prioritas pembangunan dan minat masyarakat untuk pengembangan usaha budidaya perikanan yang tinggi. Bobot dan prioritas masing-masing faktor dapat dilihat dari Tabel 22. Tabel 22.
Matriks prioritas faktor peluang kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak
Faktor Peluang
Bobot
Prioritas
Tingginya permintaan hasil budidaya
0,637
P1
Pengembangan usaha sebagai prioritas pembangunan
0,258
P2
Teknologi pengolahan produk tersedia
0,108
P3
Berdasarkan peringkat faktor-faktor peluang diatas, ternyata bahwa tingginya permintaan hasil budidaya merupakan faktor peluang yang penting. Menurut data yang diperoleh, kebutuhan dunia industri akan agar-agar semakin meningkat dan keadaan ini belum dapat diseimbangkan dari segi faktor produksi. Kondisi ini terlihat dari banyaknya permintaan ekspor yang belum dapat dipenuhi oleh pihak produsen. Faktor peluang yang juga perlu dipertimbangkan adalah upaya untuk menjadikan usaha budidaya perikanan di tambak ini sebagai prioritas pembangunan dimana pihak pemerintah
daerah
membuat
strategi
pembangunan
yang
dapat
mendukung
berkembangnya usaha ini. Rencana tata ruang yang komprehensif merupakan salah satu bentuk dukungan pemerintah yang diperlukan, selain meningkatkan infrastruktur pendukung lainnya seperti jaringan irigasi hingga tenaga penyuluh lapangan. Saat ini teknologi pengolahan produk diperlukan untuk meningkatkan nilai produk di pasaran. Ini merupakan sebuah peluang karena ketersediaan teknologi ini akan mendukung peningkatan nilai jual produk. Namun yang perlu dipertimbangkan adalah kemampuan masyarakat dalam penguasaan teknologi pengolahan tersebut. Dengan demikian, ketiga faktor tersebut diharapkan dapat diakomodasi kedalam berbagai strategi kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak.
Komponen SWOT yang paling rendah bobotnya adalah komponen ancaman. Pada komponen ini, faktor-faktor yang menentukan dalam penentuan kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak adalah menurunnya kualitas produk, meningkatnya intensitas pencemaran dari laut akibat kegiatan pembangunan perkotaan dan harga produk ditentukan oleh pihak pengumpul. Bobot dan prioritas masing-masing faktor dapat dilihat pada Tabel 23. Tabel 23.
Matriks prioritas faktor ancaman kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak
Faktor Ancaman
Bobot
Prioritas
Rendahnya kualitas produk
0,565
P1
Peningkatan intensitas pencemaran dari perairan laut
0,262
P2
Harga pasar ditentukan oleh pihak pengumpul
0,213
P3
Pendatang dari daerah lain sebagai buruh tambak
0,055
P4
Berdasarkan peringkat faktor-faktor ancaman tersebut, rendahnya kualitas produk rumput laut merupakan faktor ancaman yang serius dalam upaya keberlanjutan usaha budidaya perikanan tambak ini. Rendahnya kualitas produk ini umumnya disebabkan oleh dua hal yaitu waktu panen yang dipercepat serta penanganan pasca panen. Umumnya para petambak mempercepat waktu pemanenan jika dianggap harga pasar cukup tinggi meskipun secara teknis usia rumput laut yang dipelihara belum layak untuk dipanen. Faktor lain yang mempengaruhi kualitas produk adalah pengolahan pasca panen yang masih tradisional dan tergantung pada kondisi cuaca. Akibatnya terkadang proses pengeringan hasil panen terkendala dengan tingginya intensitas hujan di Kota Palopo. Faktor ancaman lain yang perlu diperhatikan adalah meningkatnya intensitas pencemaran dari perairan laut. Kota Palopo sebagai kota perdagangan dengan adanya pelabuhan besar yang banyak disinggahi kapal penumpang dan kapal barang. Kondisi ini cukup mempengaruhi perairan laut karena adanya limbah buangan dari kapal seperti air blast dan tumpahan minyak.
Selain itu letak Kota Palopo di wilayah teluk yang
menyebabkan kemampuan pengenceran air limbah tidak secepat kemampuan pengenceran di perairan laut terbuka. Jika peningkatan pencemaran air laut ini tidak diantisipasi maka dapat mempengaruhi kegiatan perikanan utamanya budidaya perikanan yang dilakukan di pertambakan maupun yang berada di wilayah perairan pantai. Faktor ancaman lain yang perlu diperhatikan adalah harga pasar dari produk rumput laut yang masih ditentukan oleh pihak pengumpul. Para petambak tidak memiliki nilai tawar dalam bernegosiasi sehingga tidak terjadi kondisi pasar yang sempurna.
Kondisi dapat menyebabkan kendali pemasaran dikuasai sepenuhnya oleh pihak pedagang dan bukan oleh para petambak sebagai produsennya. Faktor ancaman lainnya adalah masuknya pendatang ke daerah ini. Kaum pendatang ini umumnya memiliki tingkat ketrampilan dan etos kerja yang lebih baik sehingga lebih banyak dimanfaatkan oleh pemilik tambak. Jika tidak di kelola dengan baik dapat mengakibatkan kecemburuan sosial di masyarakat karena tidak dimanfaatkaannya penduduk lokal karena keterbatasan kemampuan. Hasil analisis kesesuaian lahan dan diskusi dengan stakeholder terkait, dirumuskan kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan di tambak yaitu budidaya rumput laut dan udang windu. Selanjutnya dilakukan pembobotan untuk menentukan prioritas kebijakan usaha perikanan budidaya di Kota Palopo dengan melibatkan stakeholder. Hasil analisis disajikan pada Gambar 7.
Kebijakan Usaha
0.654 Rumput laut
0.346 Udang w indu
Gambar 7 Bobot bentuk kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak di Kota Palopo Hasil tersebut menunjukkan bahwa budidaya rumput laut merupakan usaha yang diinginkan oleh para stakeholder. Hasil ini sejalan dengan kondisi di lapangan dimana para petambak memang melaksanakan usaha budidaya rumput laut. Berdasarkan hasil analisis AWOT diatas maka dapat rekomendasi strategi yang mencakup usaha pengelolaan budidaya rumput laut Gracilaria sp. di tambak adalah : 1. Perbaikan konstruksi tambak dan pengolahan lahan yang baik Luasnya lahan pertambakan yang ada di Kota Palopo merupakan faktor pendukung untuk meningkatkan produksi rumput laut. Namun diperlukan perbaikan pada desain tambak yang ada serta pengolahan tanah yang baik. Desain tambak yang ada di Kota Palopo umumnya masih sederhana, dimana pintu air hanya satu yang dimanfaatkan sebagai pintu pemasukan dan pengeluaran air. Kondisi ini menyebabkan tambak rentan terhadap masuknya hama dan penyakit. Selain itu dinding pematang dibuat dari bahan
tanah lumpur berpasir sehingga tingkat porositasnya cukup tinggi. Perbaikan konstruksi tambak yang dilakukan mencakup perbaikan desain serta penguatan dinding pematang. Kota Palopo sebagai kota jasa memiliki pelabuhan yang disinggahi kapal-kapal besar.
Keadaan ini dapat menyebabkan pencemaran perairan yang disebabkan oleh
aktivitas pelabuhan tersebut yang didukung oleh posisi geografis Kota Palopo yang berada di wilayah Teluk Bone sehingga kondisi perairan lebih tertutup. Pencemaran perairan laut ini dapat mempengaruhi usaha pemeliharaan rumput laut karena merupakan sumber air untuk tambak.
Oleh karena itu, dalam mengantisipasi kondisi ini maka
diperlukan pembuatan tandon pemasukan. Tandon pemasukan yang dibuat mampu memenuhi kebutuhan air untuk beberapa tambak sekaligus, sehingga lebih ekonomis dan tidak memanfaatkan lahan yang banyak. Pengolahan lahan dilakukan untuk mempertahankan kesuburan tanah dasar tambak. Kegiatan pembalikan tanah tetap diperlukan karena dengan metode budidaya Gracilaria sp. tebar dasar akan menyebabkan substrat dasar menjadi masam akibat proses amonifikasi di dasar tambak. Pengolahan tanah tambak ini dilakukan satu kali dalam setahun. 2. Peningkatan kualitas dan kuantitas hasil panen Peningkatan kualitas mencakup perbaikan seleksi bibit yang digunakan. Seleksi bibit dilakukan untuk memperoleh bibit yang lebih baik sehingga diharapkan rumput laut yang dipelihara memiliki tingkat pertumbuhan yang baik dan mengandung kadar agarofit yang tinggi.
Usaha pembibitan dilakukan oleh petambak sendiri ataupun secara
berkelompok. Pada awalnya bibit yang digunakan merupakan bibit dari alam kemudian dilakukan pemurnian di laboratorium. Hasil pemurnian ini awalnya hanya dikembangkan di daerah tambak Kabupaten Takalar, kemudian bibit ini dibawa ke Kota Palopo dan bibit inilah yang dikembangbiakkan oleh para petambak. Hal yang perlu dilakukan saat ini adalah peningkatan kualitas bibit melalui proses seleksi bibit. Seleksi bibit yang baik merupakan pengetahuan teknis yang perlu dimiliki petambak, oleh karena itu diperlukan kegiatan penyuluhan untuk membantu petambak memperoleh pengetahuan mengenai hal ini. Implementasi strategi yang perlu dilakukan adalah menjaga kualitas produk dengan mempertahankan masa pemeliharaan.
Kondisi yang terjadi saat ini di Kota
Palopo adalah para petambak cenderung menjual rumput lautnya jika harga sedang tinggi meskipun belum memenuhi syarat panen. Hal ini menyebabkan kualitas produknya rendah karena memiliki kandungan agarofit yang rendah.
Keadaan ini dapat
menyebabkan ketidakpercayaan pihak pembeli, sehingga ada kemungkinan mereka akan beralih kepada produsen di tempat lain. Peningkatan produksi rumput laut juga dapat dilakukan dengan menambah kepadatan bibit yang ditanam. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa setiap hektar lahan umumnya ditanam 1 ton bibit rumput laut. Menurut Trono (1988), petambak di Taiwan umumnya menanam Gracilaria sp. dengan kepadatan 5.000 – 6.000 kg setiap hektarnya dan 4.000 – 5.000 kg untuk usaha polikultur. Kualitas perairan telah layak untuk usaha budidaya, namun peningkatan kepadatan rumput laut yang dipelihara mesti ditunjang dengan peningkatan kualitas media pemeliharaan, sehingga tetap mampu mendukung pertumbuhan rumput laut. Hal ini telah ditunjang oleh kualitas perairan yang telah layak untuk usaha budidaya. 3. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM) melalui pelatihan dan penyuluhan Pada usaha budidaya rumput laut di Kota Palopo, penguasaan teknologi pasca panen masih sederhana dan bersifat alami. Selain itu, keterampilan petambak masih rendah sehingga pemanfaatan lahan belum optimal. Oleh karena itu, diperlukan usaha peningkatan kualitas sumberdaya manusia sehingga terjadi peningkatan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki petambak. Salah satu cara yang dilakukan adalah melalui kegiatan penyuluhan. Peran penyuluh dioptimalkan sehingga mampu membantu petambak dalam memecahkan berbagai persoalan yang terkait dengan kegiatan pemeliharaan rumput laut. Proses alih teknologi dilakukan dengan melalui kegiatan pelatihan. Kegiatan pelatihan dilakukan secara berkelompok dan berkelanjutan sehingga petambak memiliki pengetahuan terbaru mengenai usaha budidaya rumput laut. Selain memberi pelatihan yang terkait dengan teknologi budidaya, juga dilakukan pengenalan mengenai teknologi pengolahan produk, sehingga hasil produk memiliki nilai ekonomis yang lebih tinggi. Peningkatan kualitas SDM lokal dilakukan untuk memecahkan satu masalah sosial yaitu pemanfaatan tenaga kerja lokal sebagai buruh tambak. Selama ini masyarakat pendatang yang berasal dari Kabupaten Barru dan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan banyak dimanfaatkan sebagai buruh tambak karena memiliki keterampilan dan etos kerja yang lebih baik jika dibandingkan dengan tenaga kerja lokal. Dengan kegiatan pelatihan maka diharapkan keterampilan masyarakat lokal dan masyarakat pendatang menjadi setara, sehingga kekhawatian mengenai tidak dimanfaatkannya tenaga kerja lokal dapat diantisipasi. 4. Penguatan kelompok dan peningkatan kerjasama
Penguatan kelembagaan dilakukan untuk memberi nilai tawar yang lebih kuat kepada petambak. Hal ini diperlukan agar petambak dapat melakukan tawar menawar harga dengan pihak pembeli. Selama ini pihak pengumpul yang menentukan harga, sedangkan hasil panen tidak mungkin dapat disimpan lama. Penguatan kelembagaan dilakukan dengan cara pembentukan kelompok tani dan memberdayakan kelompok tani yang telah ada. Di Kota Palopo, telah berdiri sebuah lembaga ekonomi untuk masyarakat pesisir yang diinisiasi oleh Departemen Kelautan dan Perikanan. Lembaga ekonomi ini dapat dimanfaatkan sebagai lembaga keuangan yang menjamin pembelian hasil panen petambak serta menyalurkannya ke pasar regional ataupun internasional. Pemberdayaan lembaga keuangan ini dibantu oleh instansi terkait untuk menjalin kerjasama dengan perusahaan pengolahan rumput laut sehingga distribusi produk tetap berlangsung.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat dibuat beberapa kesimpulan yaitu : 6.
Luas lahan tambak yang sangat sesuai untuk usaha budidaya rumput laut Gracillaria sp adalah 1070,161 hektar, kemudian lahan yang berkualifikasi sesuai seluas 312,690 hektar.
7.
Terjadi penurunan nilai kadar ammonia, nitrat dan fosfat jika membandingkan antara aliran air yang masuk dan aliran air yang keluar dari tambak, karena terjadi penyerapan nutrisi (nutrient uptake) oleh rumput laut
8.
Motivasi utama masyarakat dalam melakukan perubahan usaha yang utama adalah tingkat keterampilan yang diperlukan lebih mudah, resiko usaha yang lebih rendah serta pemanfaatan teknologi yang lebih sederhana
9.
Usaha budidaya rumput laut Gracilaria sp secara finansial layak untuk dilakukan. Ditinjau dari pola pengusahaan lahan, maka usaha yang dilakukan sendiri memiliki nilai NPV sebesar Rp8.630.945,38; Net B/C 2,18; dan IRR adalah 33,4% . Pada sistem bagi hasil memiliki nilai NPV sebesar Rp10.766.746,81; Net B/C 1,78; dan IRR adalah 28,5%. Sedangkan dengan menyewa lahan tambak maka nilai NPV sebesar Rp10.766.746,81; Net B/C 2,46, dan IRR adalah 38,44%.
10. Stakeholder di bidang usaha budidaya perikanan tambak menginginkan usaha budidaya rumput laut Gracilaria sp tetap dikembangkan dengan strategi yang dilakukan adalah perbaikan konstruksi tambak dan pengolahan lahan; seleksi bibit dan peningkatan volume penanaman; peningkatan kualitas SDM dan penguatan kelembagaan masyarakat serta peningkatan kerjasama.
5.1 Saran Berdasarkan analisis, sintesis dan kesimpulan penelitian, maka beberapa saran yang dapat disampaikan sebagai berikut:
1.
Kesesuaian lahan yang diperoleh perlu dikaji dan diadopsi kedalam kebijakan dan strategi yang terdapat dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Palopo.
Hal ini perlu diperhatikan demi menjaga keberlanjutan usaha serta
keserasian dengan pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. 2.
Pengelolaan kualitas perairan tambak perlu diperhatikan karena terkait dengan kondisi demografi kota Palopo yang berada di daerah teluk. Pengembangan usaha budidaya rumput laut di tambak dapat memberikan nilai lebih dalam upaya perbaikan kualitas perairan karena limbah yang dikeluarkan tidak mencemari lingkungan, namun perairan laut sebagai sumber air tambak tetap perlu dijaga.
3.
Pengembangan usaha budidaya rumput laut perlu dilakukan untuk meningkatkan nilai jual komoditi di pasaran.
Hal ini menyangkut peningkatan teknologi,
kualitas produk, distribusi serta jaringan pemasaran. 4.
Pemerintah daerah perlu memberikan rangsangan dan insentif dalam mendukung kegiatan budidaya rumput laut dengan melakukan berbagai upaya untuk membangun kelembagaan masyarakat yang dapat mengakomodasi semua kepentingan pelaku usaha di bidang usaha budidaya perikanan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2005. Sistem dan Prosedur Penilaian Kelayakan Usaha. http://www.deptan.go.id/kebijakan/sistem.htm (tanggal 13 Nopember 2005) Aslan, L.M. 1998. Budidaya Rumput Laut. Kanisius. Yogyakarta. Afrianto, E dan E. Liviawaty. 1991. Teknik Pembuatan Tambak Udang. Kanisius. Yogyakarta. Biao, X., D. Zhuhong, dan W. Xiaorong. 2004. Impact of the Intensive Shrimp Farming on the Water Quality of the Adjacent Coastal Creeks from Eastern China. Marine Pollution Bulletin Volume 48 : 543-553. Casalduero, F.G. 1999. Integrated System : Environmentally clean aquaculture. http://www.resources.ciheam.org/om/pdf/c55/01600228.pdf (tanggal 13 Nopember 2005) Cordover, R. 2007. Seaweed Agronomy, Cropping in Inland Saline Water Evaporation Basins. Rural Industry Research and Development Corporation (RIRDC). Australia. Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, M.J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramitha. Jakarta. Dahuri, R. 2004. Blue Print Pembangunan Kelautan dan Perikanan Dalam Rangka Mewujudkan Indonesia Yang Maju, Makmur, Berkeadilan dan Diridloi Tuhan YME. Disampaikan dalam Kuliah Umum Mahasiswa Pascasarjana IPB-MSP. Bogor. Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan. 2005. Tabulasi Data Profil Dinas Kelautan, Perikanan dan Peternakan Kota Palopo. Palopo. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2005. Data Statistik Tahun 2004. http://www.dataonlinedkp.go.id. (tanggal 21 Januari 2006) Ellner, S., A. Neori, M.L.D. Krom, M.R. Easterling. 1996. Simulation Model of Resirculating Mariculture With Seaweed Biofilter : Development and Experimental Test of Model. Aquaculture No. 143. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Jakarta. Effendi, I. 2004. Pengantar Akuakultur. Penebar Swadaya. Jakarta. Fritz, G.J. 1986. The Structure and Reproduction of The Algae Volume 2. VICAS Publishing House. Glenn, E.P dan K. Fritzsimmons. 1991. Productivity of Long Ogo (Gracilaria parvispora)in Floating Cages. http://www.hawai.edu/reefalgae/invasive_algae/rhodo/gracilaria_parvispora.htm (tanggal 23 Januari 2006).
Hutabarat, S. dan Evans. 2000. Pengantar Oseanografi. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Hardjowigeno, S dan Widiatmaka. 2001. Kesesuaian Lahan dan Perencanaan Tata Guna Tanah. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hamid. 2002. Alokasi Pemanfaatan Wilayah Pesisir Kabupaten Garut untuk Budidaya Tambak Udang Melalui Analisis Sistem Informasi Geografis. Tesis. Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hidayanto. M., Heru, W.A., dan F. Yossita. 2004. Analisis Tanah Tambak sebagai Indikator Kesuburan Tambak. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian vol.7 Nomor 2. Juliani. 2005. Optimasi Penangkapan Udang di Perairan Delta Mahakam dan Sekitarnya. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. http://www.damandiri.or.id/file/julianiipbbab2.pdf (tanggal 13 Nopember 2005). Konphalindo. 2002. Revolusi Biru : Menebar Udang, Menuai Bencana. Jaringan Perpustakaan. Lingkungan Hidup. http://digilib.unikom.ac.id/go.php/id=jkpkjplh-gdl-publ-2002-konphalindo-576lingkungan (tanggal 9 Oktober 2005). Mubarak, H. 1982. Teknik Budidaya Rumput Laut. Sub Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta. Mubarak, H., S. Ilyas, W. Ismail, L.S. Wahyuni, S.T. Hartati, E. Pratiwi, Z. Jangkaru, R. Arifuddin. 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan. PHP/KAN/PT/1990. Jakarta. Miller, G.J dan Connell D.W. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Terjemahan Koestoer Y. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Poernomo. 1992. Pemilihan Lokasi Tambak Udang Berwawasan Lingkungan. Puslitbangkan Perikanan-Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. Patadjai, R.S. 1993. Pengaruh Pupuk TSP terhadap Pertumbuhan dan Kualitas Rumput Laut Gracilaria gigas Harv. Tesis Program Pasca Sarjana Insitut Pertanian Bogor. Bogor. Phillips, J.C And C.L. Hurd. 2003. Nitrogen Ecophysiology Of Intertidal Seaweeds From New Zealand: N Uptake, Storage And Utilization In Relation To Shore Position And Season. Marine Ecology Progress Series Vol. 264: 31–48. Rijn, J. V. dan M. Shilo. 1989. Fish Culture in Warm Water System : Problem and Trend in Environmental Factors in Fish Cukture System. CRC Press Inc. Boca Raton. Florida. Russo, R.C. 2002. Development of marine water quality criteria for the USA. Marine Pollution Bulletin 45 (2002) 84–91
Rees, T.A.V. 2003. Safety Factors and Nutrient Uptake by Seaweed. Marine Ecology Progress Series. Vol. 263: 29-42. Soegiarto, A. 1978. Rumput Laut (Algae). Lembaga Oceanologi Nasional-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LON-LIPI). Jakarta. Sulistijo. 1985. Budidaya Rumput Laut. Seafarming Workshop Report. Bandar Lampung. http://www.fao.org/docrep/field/003/AB882E/AB882E01.htm. (tanggal 9 Oktober 2005) . 1994. The Harvest Quality of Alvarezii culture by Floating Method in Pari Island North Jakarta. Research and Development Center for Oceanology Indonesia Institute of Science. Jakarta. Shang, Y.C. 1990. Aquaculture Economic Analysis : An Introduction. The World Aquaculture Society. Lousiana State University. Amerika. Suyanto, R. dan A. Mujiman. Jakarta.
1999.
Budidaya Udang Windu.
Penebar Swadaya.
Susanto, A.B., Sardjito, Djunaedi, A., Safuan. 2001. Studi Aplikasi Teknik Semprot dengan Menambahkan Nutrien dalam Budidaya Rumput Laut Gracilaria verrucosa (Huds) Papenf. Applied of Seaweed Forum Vol. 1 (ASEAFO). Filipina. Soewardi, K. 2002. Pengelolaan Kualitas Air Tambak. Makalah dalam Rangka Penyusunan Pedoman Teknis Pengendalian dan Pengelolaan Lingkungan Budidaya Perikanan Dengan Tema Penetapan Standar Kualitas Air Buangan Tambak. Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan. Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. Bogor. Sudaryono, A. 2004. Bioaugmentasi Bakteri Fotosintetik An Oksigenik (Bfa) Untuk Mengatasi Masalah Akumulasi Senyawa Metabolit Toksik di Tambak Udang. Informai Edisi III Tahun 2004. http://www.aquaculture-mai.org (tanggal 5 Oktober 2005) Trono, G.C. 1988. Manual on Seaweed Culture Pond Culture of Caulerpa and Pond Culture of Gracilaria. Asean/Undp/Fao Regional Small-Scale Coastal Fisheries Development Project. Manila, Philippines. http://www.fao.org/docrep/field/003/Ac417e/Ac417e00.htm. (tanggal 23 Januari 2006) Widigdo, B. 2001. Perencanaan dan Pengelolaan Budidaya Perairan Wilayah Pesisir. Makalah Disampaikan Pada Pelatihan Perencanaan dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu (ICZPM). Jakarta.
Lampiran 2. Posisi stasiun pengamatan
Lampiran 3. Kuesioner analisis finansial dan persepsi masyarakat KUESIONER EVALUASI PERUBAHAN PEMANFAATAN LAHAN TAMBAK UDANG MENJADI USAHA BUDIDAYA RUMPUT LAUT DI KOTA PALOPO
PETANI TAMBAK
Nama responden
:
Alamat
:
Nomor kode kuesioner
:
Nama enumerator Tanggal wawancara
: :
PS-SPL S2 SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
1. Nama responden
:
2. Umur
:
3. Pendidikan
:
4. Pekerjaan utama
:
5. Banyak anggota keluarga
:
6. Luas lahan tambak: 7. Status lahan : 8. Bila lahan sewa, maka harga sewa (perhektar) 9. Lama waktu sewa (tahun) : 10. Bila sistem bagi hasil, maka sistem bagi hasil yang disepakati adalah penggarap) :
(pemilik :
11. Jumlah panen dalam setahun :
12. Biaya investasi
No
Uraian
Satuan
1
Pembuatan tambak
hektar
2
Pintu air
unit
3
Rumah jaga
unit
4
Rakit
unit
5
Peralatan penunjang
paket
Harga (Rp)
Jumlah
Lama penggunaan
13. Biaya variabel
No
1
Uraian
Satuan
Pemeliharaan tambak
2
Bibit
3
Pupuk
Harga (Rp)
Jumlah
Lama penggunaan
hektar/tahun kg
a. Urea
zak
b. Kapur
zak
c. TSP
zak
d. Saponin
zak
4
Upah kerja
hari/produksi
5
Pajak
hektar/tahun
6
Panen
kg
14. Produksi Produksi /panen
Komoditi
Harga / ton
Nilai penjualan/panen
Keterangan
Rumput laut
15. Penggunaan teknologi dalam pengelolaan tanaman No
Pengelolaan Tanaman
1
Pengolahan tanah
2
Pembibitan
3
Pemeliharaan tanaman
4
Panen
5
Pasca Panen
Teknologi yang digunakan
Biaya
16. Pemasaran a. Hasil panen dijual kepada siapa : •
Perantara / broker
•
Industri
•
Pedagang pengumpul
•
Ke pasar
•
Koperasi
b. Sistem penjualan • Transaksi di tambak
•
Dijual setelah di panen
•
Lainnya, sebutkan
c. Sistem pembayaran •
Tunai
▲ Nota / gadai
▲
Konsinyasi
▲
Lainnya, sebutkan..
17. Hambatan yang dialami selama ini No Kriteria Hambatan/permasalahan
Keterangan
Permodalan Pemeliharaan Panen dan pasca panen Cuaca Pemasaran dll. (sebutkan)
18. Selama ini dukungan pemerintah yang dirasakan secara langsung adalah:
No
Uraian
1.
Permodalan
2.
Saprodi/infrastruktur
3.
Tenaga penyuluh
4.
Informasi pasar
5.
dll (sebutkan)
Keterangan
19. Apakah saudara pernah melakukan usaha budidaya udang windu? Berapa tahun?
20. Apa motivasi saudara melakukan perubahan usaha menjadi petambak rumput laut
Lampiran 4. Kuisioner AHP
Penentuan Kebijakan dalam Pengelolaan Usaha Budidaya Perikanan Tambak di Kota Palopo Identitas Responden
Nama
:
Pekerjaan
:
Dusun RT/RW :
Desa
:
Kecamatan
:
Tgl Wawancara :
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor 2006
PENGANTAR Kuesioner ini disusun untuk menentukan kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak di wilayah Kota Palopo. Kuesioner ini disusun berdasarkan analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats) dengan metode partisipatif dengan melibatkan penilaian dari para pakar dan pihak pemerintah daerah. Hasil kuesioner ini diharapkan dapat memberikan arahan pengelolaan usaha budidaya perikanan ke depan. Adapun pilihan kebijakan usaha perikanan tambak yang ditentukan adalah : 1. Budidaya udang windu, pemanfaatan lahan tambak yang ada diprioritaskan untuk usaha pemeliharaan udang windu. 2. Budidaya rumput laut, lahan tambak yang ada dimanfaatkan untuk memelihara rumput laut Gracilaria sp. a. Tata Cara Pengisian Kuesioner 1. Isilah perbandingan antara masing-masing atribut sesuai dengan Skala Saaty, seperti yang tertera pada Tabel 1 tentang Skala Angka Saaty. 2. Pengisian harus dilakukan secara konsisten. Sebagai contoh, apabila atribut A lebih baik dari atribut B dan atribut B lebih baik dari atribut C, maka atribut A harus lebih baik dari atribut C. Tabel 1. Skala Angka Saaty Intensitas / Pentingnya
Definisi
1
Sama penting
3
Perbedaan penting yang lemah antara yang satu terhadap yang lain
5
Sifat lebih pentingnya kuat
7
Menunjukkan sifat sangat penting
9
Ektsrem penting
2,4,6,8 Resiprokal
Rasional
Nilai tengah diantara dua penilaian Jika aktivitas i, dibandingkan dengan j, mendapat penilaian (misalkan 3), maka j jika dibandingkan dengan i, mempunyai nilai kebalikannya (1/3) Rasio yang timbul dari skala
Keterangan Dua aktivitas memberikan kontribusi yang sama kepada tujuan Pengalaman dan selera sedikit menyebabkan yang satu lebih disukai daripada yang lain Pengalaman dan selera sangat menyebabkan penilaian yang satu lebih dari yang lain, yang satu lebih disukai dari yang lain Aktivitas yang satu sangat disukai dibandingkan dengan yang lain, dominasinya tampak dalam kenyataan Bukti bahwa antara yang satu lebih disukai daripada yang lain menunjukkan kepastian tingkat tertinggi yang dapat dicapai Diperlukan kesepakatan Asumsi yang masuk akal Jika konsistensi perlu dipaksakan dengan mendapatkan sebanyak n nilai angka untuk melengkapi matriks.
Pertanyaan 1. Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing atribut dalam penentuan bobot komponen Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats Atribut Strengths Strengths Strengths Weaknesses Weaknesses Opportunities
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Weaknesses Opportunities Threats Opportunities Threats Threats
Pertanyaan 2. Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing komponen Strengths dalam penentuan kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak di kota Palopo : Atribut
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Kualitas perairan yang layak
Luas wilayah untuk pertambakan
Kualitas perairan yang layak
Lokasi usaha dekat pemukiman
Kualitas perairan yang layak
Ketersediaan sarana dan prasarana pendukung
Luas wilayah untuk pertambakan
Lokasi usaha dekat pemukiman
Luas wilayah untuk pertambakan
Ketersediaan sarana dan prasarana pendukung
Ketersediaan sarana dan prasarana pendukung
Lokasi usaha dekat pemukiman
Pertanyaan 3. Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing komponen Weaknesses dalam penentuan kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak di Kota Palopo : Atribut
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Produktivitas lahan masih rendah
Teknologi pasca panen rendah
Ketrampilan dan penguasaan teknologi masih kurang Konstruksi tambak yang tidak baik Ketrampilan dan penguasaan teknologi masih kurang
Teknologi pasca panen rendah Teknologi pasca panen rendah Produktivitas lahan masih rendah Produktivitas lahan masih rendah
Konstruksi tambak yang tidak baik
Ketrampilan dan penguasaan teknologi masih kurang
Konstruksi tambak yang tidak baik
Pertanyaan 4. Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing komponen Opportunities dalam penentuan kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak di kota Palopo : Atribut
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Tingginya permintaan hasil budidaya
Pengembangan usaha sebagai prioritas pembangunan
Tingginya permintaan hasil budidaya
Teknologi pengolahan produk tersedia
Pengembangan usaha sebagai prioritas pembangunan
Teknologi pengolahan produk tersedia
Pertanyaan 5. Isilah matriks perbandingan berpasangan untuk masing-masing komponen Threats dalam penentuan kebijakan pengelolaan usaha budidaya perikanan tambak di kota Palopo : Atribut
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Peningkatan intensitas pencemaran dari perairan laut Peningkatan intensitas pencemaran dari perairan laut
Peningkatan intensitas pencemaran dari perairan laut Harga pasar ditentukan oleh pihak pengumpul Pendatang dari daerah lain sebagai buruh tambak Harga pasar ditentukan oleh pihak pengumpul Pendatang dari daerah lain sebagai buruh tambak
Harga pasar ditentukan oleh pihak pengumpul
Pendatang dari daerah lain sebagai buruh tambak
Rendahnya kualitas produk
Rendahnya kualitas produk
Rendahnya kualitas produk
Pertanyaan 6. Isilah perbandingan berpasangan berikut ini dalam kaitan dengan kualitas perairan yang layak : Atribut
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Budidaya udang windu
Budidaya rumput laut
Pertanyaan 7. Isilah perbandingan berpasangan berikut ini dalam kaitan dengan luas wilayah untuk pertambakan : Atribut Budidaya udang windu
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Budidaya rumput laut
Pertanyaan 8. Isilah perbandingan berpasangan berikut ini dalam kaitannya dengan lokasi pertambakan yang dekat dengan permukiman : Atribut
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Budidaya udang windu
Budidaya rumput laut
Pertanyaan 9. Isilah perbandingan berpasangan berikut ini dalam kaitannya dengan ketersediaan sarana dan prasarana pendukung : Atribut
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Budidaya udang windu
Budidaya rumput laut
Pertanyaan 10. Isilah perbandingan berpasangan berikut ini dalam kaitannya dengan konstruksi tambak yang tidak baik Atribut
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Budidaya udang windu
Budidaya rumput laut
Pertanyaan 11. Isilah perbandingan berpasangan berikut ini dalam kaitannya dengan rendahnya ketrampilan dan penguasaan teknologi Atribut
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Budidaya udang windu
Budidaya rumput laut
Pertanyaan 12. Isilah perbandingan berpasangan berikut ini dalam kaitannya dengan produktivitas lahan yang masih rendah Atribut Budidaya udang windu
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Budidaya rumput laut
Pertanyaan 13. Isilah perbandingan berpasangan berikut ini dalam kaitannya dengan teknologi pasca panen yang rendah Atribut
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Budidaya udang windu
Budidaya rumput laut
Pertanyaan 14. Isilah perbandingan berpasangan berikut ini dalam kaitannya dengan tingginya permintaan hasil budidaya Atribut
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Budidaya udang windu
Budidaya rumput laut
Pertanyaan 15. Isilah perbandingan berpasangan berikut ini dalam kaitannya dengan pengembangan usaha budidaya sebagai prioritas pembangunan Atribut
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Budidaya udang windu
Budidaya rumput laut
Pertanyaan 16. Isilah perbandingan berpasangan berikut ini dalam kaitannya dengan ketersediaan teknologi untuk pengolahan produk Atribut
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Budidaya udang windu
Budidaya rumput laut
Pertanyaan 17. Isilah perbandingan berpasangan berikut ini dalam kaitannya dengan rendahnya kualitas produk Atribut Budidaya udang windu
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Budidaya rumput laut
Pertanyaan 18. Isilah perbandingan berpasangan berikut ini dalam kaitannya dengan peningkatan intensitas pencemaran dari laut Atribut
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Budidaya udang windu
Budidaya rumput laut
Pertanyaan 19. Isilah perbandingan berpasangan berikut ini dalam kaitannya dengan pendatang dari daerah lain sebagai buruh tambak Atribut
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Budidaya udang windu
Budidaya rumput laut
Pertanyaan 20. Isilah perbandingan berpasangan berikut ini dalam kaitannya dengan harga pasar yang ditentukan oleh pihak pengumpul. Atribut Budidaya udang windu
9
8
7
6
5
4
3
2
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Budidaya rumput laut
Lampiran 5. Analisis finansial usaha budidaya rumput laut Gracilaria (dalam ribuan) No
A.
B
Uraian Discount Factor (DR) Biaya Investasi Pembuatan tambak Pintu tambak Rumah jaga Rakit Peralatan penunjang Total biaya investasi Biaya variabel Pemeliharaan tambak Bibit rumput laut Pupuk a. Urea b. TSP c. Kapur Racun saponin Upah kerja
C
D
Pajak Total upah panen Total biaya variabel Total biaya PV Cost Jumlah PV Cost Produksi PV Benefit Jumlah PV Benefit Gross B/C Penerimaan bersih Present Value PV + PV NPV Net B/C IRR
Satuan
Tahun ke - (1 tahun 7 siklus produksi) 1
1 0,89
2 0,80
3 0,71
4 0,64
3000 1000 1500 450 1000 6950
0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 0 0
0 1000 0 0 0 1000
0 0 0 450 1000 1450
0 0 0 0 0 0
tahun kg/ tahun
0
1000
1000
1000
1000
1000
0
1000
1000
1000
1000
1000
zak zak zak zak hari/ produksi hektar/ tahun Rp/kg
0 0 0 0
385 525 70 560
385 525 70 560
385 525 70 560
385 525 70 560
385 525 70 560
0
4200
4200
4200
4200
4200
25 0 25 6975 6975
25 1750 9515 9515 8495,5
25 1750 9515 9515 7585,3
25 1750 9515 10515 7484,4
25 1750 9515 10965 6968,5
0 0
14000 12500
14000 11160,7
14000 9964,9
14000 8897,3
25 1750 9515 9515 5399,1 42907,7 14000 0,98006 50466,9
-6975 -6975 14534,1 -6975 7559,14 2,08 36
4485 4004,5
4485 3575,4
3485 2480,5
3035 1928,8
12 % Hektar Unit Unit Unit paket
kg
0
5 0,57
4485 2544,9
Lampiran 6. Analisis finansial usaha budidaya rumput laut Gracilaria bentuk usaha bagi hasil (dalam ribuan) No 1
2
Uraian Biaya Investasi Luas lahan Peralatan penunjang Total biaya investasi Biaya variabel Sistem bagi hasil Pemeliharaan tambak Bibit rumput laut
3
4
Pupuk a. Urea b. TSP c. Kapur Racun saponin Upah kerja Total upah panen Total biaya variabel Total biaya Produksi Discount Factor (DR) = 12 PV Benefit Jumlah PV Benefit PV Cost Jumlah PV Cost Penerimaan bersih Present Value PV + PV Net B/C ratio NPV IRR
Satuan Hektar paket
Tahun ke - (1 tahun 7 siklus produksi) 1 2 3 4
0
5
1500 1500
0 0
0 0
0 0
1500 1500
0 0
0 0
3500 2000
3500 2000
3500 2000
3500 2000
3500 2000
1000
1000
1000
1000
1000
1000
0 0 0 0 0
385 525 70 560 4200
385 525 70 560 4200
385 525 70 560 4200
385 525 70 560 4200
385 525 70 560 4200
kg
1000 2500 0
12240 12240 14000
12240 12240 14000
12240 12240 14000
12240 13740 14000
12240 12240 14000
%
1
0,89
0,80
0,71
0,64
0,57
0 50466,87 2500 47575,74 -2500 -2500 5391,13 -2500 2,2 2891 57,54
12500
11161
9964,9
8897,3
7943,98
10928,6
9757,65
8712,2
8732,02
6945,30
1760 1571,43
1760 1403,06
1760 1252,73
260 165,23
1760 998,67
kg tahun kg/tahun zak zak zak zak hari/org Rp/kg
Lampiran7. Analisis finansial usaha budidaya rumput laut Gracilaria bentuk usaha sewa lahan (dalam ribuan) No 1
2
3 4
Uraian Biaya Investasi Pembuatan tambak = 4 hektar Pintu tambak Rumah jaga Rakit Peralatan penunjang Total biaya investasi Biaya variabel
Satuan
Tahun ke - (1 tahun 7 siklus produksi) 1 2 3 4
0
5
Hektar
16000
0
0
0
0
0
Unit Unit Unit paket
4000 2000 450 1500 23950
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
0 0 0 0 0
4000 0 450 1500 5950
0 0 0 0 0
4000
4000
4000
4000
4000
4000
Sewa lahan
hektar/ tahun
Pemeliharaan tambak
tahun
0
4000
4000
4000
4000
4000
Bibit rumput laut
kg/ tahun
0
4000
4000
4000
4000
4000
kg
0 0 0 0 0 0 4000 27950 0
1540 2100 280 2240 16800 8750 43710 43710 56000
1540 2100 280 2240 16800 8750 43710 43710 56000
1540 2100 280 2240 16800 8750 43710 43710 56000
1540 2100 280 2240 16800 8750 43710 49660 56000
1540 2100 280 2240 16800 8750 43710 43710 56000
%
1
0,89
0,80
0,71
0,64
0,57
0 201867,4 27950 189296,1 -27950 -27950 40521,3 -27950 12571,37 1,45 29,81
50000
44642,8
39859,7
35589
31775,9
39026,7
34845,3
31111,9
31559,8
24802,2
12290 10973,2
12290 9797,5
12290 8747,8
6340 4029,2
12290 6973,7
Pupuk a. Urea b. TSP c. Kapur Racun saponin Upah kerja Total upah panen Total biaya variabel Total biaya Produksi Discount factor (DR) = 12 PV Benefit Jumlah PV Benefit PV Cost Jumlah PV Cost Penerimaan bersih Present Value PV + PV NPV Net B/C IRR
zak zak zak zak hari/org Rp/kg
Lampiran 8. Analisis finansial usaha budidaya tambak udang windu (dalam ribuan) No 1.
2.
Uraian
5
m2
Pembuatan tambak
Hektar
4000
0
0
0
0
0
Pintu tambak Rumah jaga Rakit Peralatan penunjang Total biaya investasi Biaya variabel Pemeliharaan tambak
Unit Unit Unit
1000 3500 150
0 0 0
0 0 0
1000 0 0
0 0 150
0 0 0
paket
1500
0
0
0
1500
0
10150
0
0
1000
1650
0
0
1000
1000
1000
1000
1000
0
450
450
450
450
450
0 0 0 0 0
120 180 104 80 3600
120 180 104 80 3600
120 180 104 80 3600
120 180 104 80 3600
120 180 104 80 3600
25
25
25
25
25
25
0
300
300
300
300
300
25
5859
5859
5859
5859
5859
kg
10175 0
5859 12000
5859 12000
6859 12000
7509 12000
5859 12000
%
1
0.89
0.80
0.71
0.64
0.57
10175 33055.77 0 43257.31 -10175 -10175 20376.55 -10175 2.21 13896.92 49.09
5231.25
4670.76
4882.1
4772.1
3324.5
10714.29
9566.33
8541362
7626.22
6809.12
6141 5483.04
6141 4895.57
5141 3659.26
4491 2854.11
6141 3484.57
Pajak
4.
Tahun ke - (1 tahun 2 siklus produksi) 1 2 3 4
0
Biaya Investasi Luas lahan
Benur Pupuk a. Urea b. TSP c. Kapur Racun saponin Upah kerja
3.
Satuan
Total upah panen Total biaya variabel Total cost Produksi Discount Factor (DR) PV cost Jumlah PV cost PV Benefit Jumlah PV benefit Penerimaan bersih Present value PV + PV Net B/C NPV IRR
tahun kg /tahun zak zak zak zak org/hari hektar /tahun Rp/kg