235
Budidaya multitropik udang windu, nila merah, dan rumput laut ... (Suharyanto)
BUDIDAYA MULTITROPIK UDANG WINDU (Penaeus monodon), NILA MERAH (Oreochromis niloticus), DAN RUMPUT LAUT (Kappaphycus alvarezii) DI TAMBAK Suharyanto dan Markus Mangampa Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg Sitakka 129 Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail: su haryan to_9
[email protected]
ABSTRAK Budidaya multitropik adalah suatu sistem budidaya yang menggabungkan beberapa spesies dalam satu lingkungan budidaya dengan memperhatikan pemanfaatan ruang dan nutrien dalam perairan. Riset ini bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi tentang pengaruh keberadaan nila merah (Oreachromis niloticus) dan rumput laut (Kapaphycus alvarezii) pada budidaya multitropik dengan udang windu (Penaeus monodon) secara semiintensif terhadap produksi tambak. Riset ini dilaksanakan di Instalasi tambak penelitian Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Desa Punaga, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, menggunakan satu petak tambak berukuran 3000 m2. Hewan uji adalah udang windu dengan kepadatan 60.000 ind, nila merah 2000 ind., dan rumput laut dengan kepadatan 200 kg yang dibesarkan bersama secara semi intensif, dengan waktu pemeliharaan 120 hari. Hasil penelitian menunjukan bahwa pertumbuhan, sintasan, dan produksi udang windu masing-masing 12,06 g/ekor, 80,36%, 1938,3 kg/ha, dan nila merah masing-masing : 311,53 g/ekor, 65,35%, dan 1382,3 kg/ha dan secara finansial memberikan keuntungan sebesar Rp.18.117.500,- per musim tanam, sedangkan rumput laut dari jenis Kappaphycus alvarezii, memperlihatkan pertumbuhan yang baik sampai dengan umur pemeliharaan 45 hari, sesudah itu pertumbuhan menurun akibat aktifitas ikan nila merah. Kata Kunci : Multitropik, , udang windu, Nila merah, rumput laut, tambak
PENDAHULUAN Revitalisasi perikanan budidaya menempatkan udang dan rumput laut sebagai komoditas unggulan. Komoditas ini teknologi dikuasai dan berkembang di masyarakat, peluang pasar ekspor tinggi, serapan pasar dalam negeri cukup besar, permodalan relatif rendah, penyerapan tenaga kerja tinggi dan hemat BBM (Nurdjana, 2006). Produksi udang khususnya udang windu di Indonesia relatif menurun, oleh karena kegagalan panen sebagai akibat penurunan kualitas lingkungan, sehingga menyebabkan serangan penyakit utamanya yang disebabkan oleh virus. Keadaan yang hampir sama juga terjadi di beberapa negara penghasil udang budidaya. Di sisi lain, kebutuhan konsumsi udang masyarakat internasional semakin meningkat, sehingga kondisi ini merupakan peluang yang baik bagi negara penghasil udang, khususnya Indonesia untuk dapat meningkatkan jumlah produksi udangnya. Berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk membangkitkan kembali usaha budidaya udang di Indonesia, salah satu upaya yang dilakukan beberapa tahun terakhir ini adalah melalui sistem budidaya multitropik. Sistem ini memiliki keunggulan antara lain meminimalisasikan risiko penyakit udang, mengurangi resiko kegagalan panen, meniadakan penggunaan antibiotik, meminimalkan biaya operasional, mengoptimalisasikan pertumbuhan udang dan ikan, menghasilkan produk makanan laut berkualitas, dan memberikan nilai tambah petani. Ikan Nila merah (Oreochromis niloticus) komoditas perikanan yang memiliki sejumlah keunggulan seperti harga yang terjangkau dan kandungan proteinnya yang tinggi, dan juga merupakan salah satu jenis ikan yang potensial dikembangkan. Apalagi budidayanya relatif mudah dengan pertumbuhan yang relatif cepat. Ikan nila merah juga tidak mengandung kolesterol sehingga aman untuk kesehatan jantung. Keunggulan ini membuat ikan nila relatif mudah diterima masyarakat dan memiliki peluang pasar yang sangat baik serta menjangkau semua segmen. Bahkan, permintaan bukan hanya dari pasar domestik, tapi juga manca negara, dan sangat disukai masyarakat Singapura dan Jepang karena durinya relatif lebih sedikit serta warna tubuhnya menarik (Anonim, 1992). Budidaya nila merah
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
236
telah banyak dilakukan sistim polikultur dengan ikan atau udang, budidaya monokultur di tambak maupun di KJA di laut (Cholik et al., 1990; Tonnek et al., 1993). Polikultur udang windu (Penaeus monodon) dengan nila merah (Oreochromis niloticus) telah dilakukan dan didapatkan rasio kepadatan optimal udang windu dan nila merah adalah : 40.000 : 4.000 ekor/ha (Pirzan et al., 1992). Namun belum efisien dalam biaya produksi. Rumput laut dapat digunakan untuk mereduksi dan merubah nutrien anorganik terlarut dari buangan limbah sistem budidaya pantai dan tambak (Chopin et al., 2001; Troell et al., 1997; Neori et al., 2004). Ada beberapa keuntungan penggunaan rumput laut dibanding mikroalga pada sistem budidaya tambak, antara lain. 1) budidaya rumput laut lebih stabil dan faktor yang mempengaruhi kegagalan budidayanya kurang dibanding mikroalga lain, dan 2) rumput laut secara fisik dapat bertahan dan mengembangkan diri lebih mudah dalam sistem budidaya dibanding mikroalga lain karena tallus dapat bertahan dalam wadah/tank. Sebagai konsekuensinya rumput laut tersebut sesering mungkin menyerap nutrien dari buangan limbah atau sistem resirkulasi. Jenis rumput laut yang tumbuh baik di tambak adalah Gracilaria verrucosa, namun pasar domestiknya relatif murah sehingga nilai tambah untuk pendapatan petani relatif rendah. Jenis rumput laut yang dibudidayakan di laut adalah kotoni (Kappaphycus alvarezii) yang memiliki prospek pemasaran cukup baik dan harga relatif tinggi, dibudidayakan dengan metode apung dan memerlukan kedalaman air dan arus yang cukup. Untuk itu dilakukan penelitian species K. alvarezii untuk budidaya multitropik di tambak dengan menerapkan teknologi semi intensif yang menggunakan kincir sebagai sumber arus dan kedalaman air yang cukup. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi mengenai pengaruh keberadaan nila merah (O. niloticus) dan rumput laut (K. alvarezii pada budidaya multitropik dengan udang windu (P. monodon) secara semiintensif terhadap produksi tambak BAHAN DAN METODE Percobaan ini dilakukan di Instalasi Tambak Penelitian Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau, Desa Punaga, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan mulai tanggal 24 Mei 2010 sampai dengan 24 September 2010 dengan menggunakan satu petak tambak berukuran 3.000 m2. Hewan uji adalah udang windu (P. monodon) dengan kepadatan 60.000 individu, nila merah (O. niloticus) sebanyak 2.000 individu, dan rumput laut jenis cotoni (K. alvarezii) dengan kepadatan 200 kg, yang dibudidayakan bersama secara semi intensif dengan waktu pemeliharaan 120 hari. Persiapan tambak meliputi pengolahan tanah dasar tambak dengan hand tractor, pengeringan tanah dasar, pemberantasan hama dengan menggunakan saponin dosis 20 ppm, pengapuran tanah dasar menggunakan dolomit 1000 kg/ha. Pengisian air untuk persiapan klorinasi bertujuan menetralkan air dan tanah dasar dari bakteri pathogen, dengan dosis khlorin > 20 ppm. Dilakukan pemupukan dengan menggunakan pupuk organik dan anorganik untuk penumbuhan makanan alami, dan sesudah itu dilakukan peninggian air > 1,0 m untuk persiapan penebaran. Rumput laut ditebar pada tambak penelitian dengan metode apung menggunakan tali ris berjarak 1,0 m dengan jarak simpul 0,50 m. Setiap simpul diikatkan rumput laut sebanyak 50 g dengan ketinggian 0,75 m dari dasar. Setelah rumput laut mulai tumbuh, dilakukan penebaran nila merah sebanyak 2000 ekor. Awal pemeliharaan nila merah ini merupakan proses aklimatisasi kurang lebih 1 minggu, yaitu dari kadar garam rendah ke kadar garam tinggi. Sehingga dilakukan penggantian setiap nila merah yang mati. Selanjutnya dilakukan penebaran udang secara bersamaan yaitu tokolan udang windu PL 42-57 (Mangampa et al., 1990) sebanyak 60.000 ekor. Pemberian pakan komersil untuk udang dan ikan dilakukan sejak awal dengan dosis dan frekuensi sesuai dengan protap pemberian pakan. Dilakukan pengapuran dan pemupukan susulan dengan dosis 10% dari dosis awal dengan interval waktu setiap 2 minggu. Parameter biologi yang diukur meliputi pertumbuhan udang, ikan dan rumput laut (Zonneveld et al., 1991) setiap 2 minggu. Parameter kualitas air meliputi suhu, oksigen terlarut, salinitas, pH diamati setiap 3 hari, sedangkan BOT, amoniak, nitrit, nirat, phosphate, plankton, dan bakteri diamati setiap 2 minggu. Sintasan, rasio konversi pakan (Watanabe, 1988), produksi, dan analisis usaha dihitung pada akhir penelitian. Data yang diperoleh ditabulasikan dalam tabel dan dianalisis secara deskriptif.
237
Budidaya multitropik udang windu, nila merah, dan rumput laut ... (Suharyanto)
HASIL DAN BAHASAN Hasil penelitian budidaya multitropik melalui udang windu (P. monodon), nila merah (O. niloticus) dan rumput laut (K. alvarezii) selama 120 hari pemeliharaan di tambak, memperlihatkan sebaran variasi pertumbuhan, sintasan dan produksi masing masing komoditas (Tabel 1). Dilihat dari Tabel 1 tidak menampakkan keberadaan rumput laut yaitu jenis kotoni (K. alvarezii) yang diujicoba dengan budidaya polikultur di tambak. Hal ini disebabkan karena pada akhir penelitian tidak ditemukan lagi komoditas rumput laut K. alvarezii. Hasil pengamatan memperlihatkan bahwa pada bulan pertama sampai memasuki pertengahan bulan kedua (kurang lebih 45 hari pemeliharaan) rumput laut tumbuh baik dgn pertumbuhan mutlak mencapai 110 % pada petak A dan 203.35 % petak B (Gbr. 1). Setelah itu pertumbuhan menurun sampai dengan akhir bulan ketiga pemeliharaan, dan pada akhir penelitian tidak ditemukan lagi. Tabel 1. Pertumbuhan, sintasan, produksi dan RKP udang windu, dan nila merah selama 120 hari pemeliharaan
Parameter Padat tebar (ind/petak) Bobot awal rata-rata (g/ind) Bobot akhir rata-rata (g/ind) Pertumbuhan mutlak (g/ind) Sintasan (%) Produksi (kg/petak) Rasio Konversi Pakan (RKP)
Udang windu 60.000 0,143 ± 0,04 12,1 ± 2,3 11,9 ± 2,3 80,4 581,5 2,17
Nila merah 2.000 23 ± 5,2 311,5 ± 32,4 288,5 ± 32,4 65,4 414,7 1,51
Kematian rumput laut disebabkan karena: 1) rumput laut yang sudah tumbuh lebat, jatuh kedasar akibat dari gerakan nila merah yang menggoyang rumput laut, dimana ikan nila merah sudah tumbuh dewasa, dan merupakan habitat yang baik sebagai selter. Tjaronge dan Pongmasak (2010), megemukakan bahwa sebaiknya panen rumput laut K. alvarezii setiap 45 hari seiring dengan menurunnya kandungan phosphat dalam perairan saat itu, 2) nila merah sebagai hewan omnivorous yang senang memangsa rumput laut, 3) Asumsi bahwa K. alvarezii dengan adanya arus laut dapat melepaskan penempelan sedimen atau kotoran, sehingga pada penelitian ini teknologi diaplikasikan adalah semi intensif dengan asumsi bahwa menggunakan kincir sebagai sumber arus yang dapat menggoyangkan rumput laut justru menjadi kendala, karena terjadi pengadukan sehingga lumpur menempel pada rumput laut dan akhirnya mati. Disamping dibutuhkan arus yang cukup juga tingkat transparansi menentukan keberhasilan budidaya K. alvarezii di laut. Tingkat transparansi sekitar 1,5 m cukup baik bagi pertumbuhan rumput laut (Anonimous, 1991; Aslan 1995), walaupun tingkat kecerahan yang tinggi sangat dibutuhkan pada budidaya rumput laut, sehingga cahaya proses fotosintesis dapat terpenuhi. Hal ini tidak relevan dengan tingkat transparansi yang sangat rendah ditambak semi-intensif. Pertumbuhan mutlak ikan nila merah (Oreochromis niloticus) memperlihatkan pola yang relatif sama dengan berat akhir rata-rata 311,53+32.4201 g (Gambar 1). Demikian pula variasi ukuran ikan nila merah hasil panen relatif sama. Pertumbuhan relatif rendah disebabkan populasi vibrio yang tinggi pada minggu ke empat mencapai 1,0 .10 5 CFU/mL dan meningkat sampai minggu keenam mencapai 2,88 .105 CFU/mL dari total bakteri dalam tanah tambak 2,87. 106 CFU/mL (Gambar.2). Hal ini menyebabkan kematian ikan nila merah dan umumnya yang berukuran besar. Sintasan nila merah yang sebesar 65,35%, akibat terjadi kematian ketika populasi vibrio tinggi. Bahkan populasi vibrio mencapai 97,14% dari populasi bakteri dalam tanah tambak (Gambar 2). Sedangkan nila merah utamanya yang dewasa aktif membuat kubangan di dasar tambak. Pertumbuhan udang windu sangat lambat sampai dengan hari ke 70 pemeliharaan, hanya mencapai bobot rata-rata 6,3 g. Bahkan pada akhir bulan ketiga sampai minggu pertama bulan
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
238
Total bakteri (CFU/mL)
Gambar 1. Pertumbuhan bobot ikan nila, udang windu dan rumput laut selama penelitian
Waktu pemeliharaan (hari) Gambar 2. Total bakteri (CFU/mL) tanah tambak budidaya multitropik udang windu, nila merah dan rumput laut keempat laju pertumbuhan harian sangat rendah hanya 0,028 g/hari (Gambar 1). Hal ini disebabkan sebagian pakan udang dimanfaatkan oleh nila merah karena aktifitas atau gerakan udang windu untuk mencari makan relatif lambat. Berbeda dengan udang vaname yang aktif dalam mencari makan dan berada pada semua ruang, sehingga makanan udang yang dimanfaatkan nila merah relatif sedikit (Mangampa dan Suharyanto, 2010). Faktor lain yang menghambat pertumbuhan udang windu adalah lingkungan dasar sehingga sebagian besar hidupnya berada pada kolom air, bukan menempel di dasar, sehingga makanan yang jatuh ke dasar tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya. Walaupun populasi vibrio di dasar cukup tinggi tetapi tidak menyebabkan timbulnya penyakit atau kematian udang. Hal ini disebabkan populasi vibrio didalam air masih dalam ambang batas yang tidak membahayakan kehidupan udang dan relatif menurun seirama dengan waktu pemeliharaan dengan kisaran (1,75 .102- 2,5. 103)+0,4417 cfu/mL dalam air tambak (Gambar.3). Namun demikian dalam waktu tertentu sudah kritis.
Budidaya multitropik udang windu, nila merah, dan rumput laut ... (Suharyanto)
Total bakteri (CFU/mL)
239
Waktu pemeliharaan (hari) Gambar 3. Total bakteri (CFU/mL) air tambak budidaya multitropik udang windu, nila merah dan rumput laut Kualitas air meliputi suhu, oksigen terlarut, pH, kadar garam yang diamati setiap 3 hari dan BOT, Fosfat, Nitrat, Nitrit dan Amoniak yang diamati setiap 2 minggu, memperlihatkan kisaran yang bervariasi selama pemeliharaan (Tabel 2). Namun keseluruhan peubah mutu air yang diamati memperlihatkan kisaran yang masih layak untuk budidaya tambak. Kecuali suhu air yang relatif tinggi dengan kisaran (28,2- 33,9)+0,6079 o C, dan penempatan rumput laut yang dekat dengan permukaan, sehingga cahaya matahari berpengaruh langsung menyebabkan warna rumput laut berubah menjadi pucat keputihan. Sedangkan rumput laut yang jatuh ke dasar tambak memperlihatkan warna coklat yang cerah, namun kehidupannya tidak bertahan lama akibat substrat dasar. Mubarak (1990), melaporkan bahwa suhu air untuk budidaya rumput laut Euchema spp. berkisar Tabel 2. Kisaran kualitas air selama 120 hari pemeliharaan di tambak
Parameter kualitas air Suhu (oC)
Air tambak (28,2- 33,9 ) + 0,6079
Oksigen terlarut (mg/L)
(3,0 - 7,65) + 0,8876
pH Kadar garam (ppt)
(7,6- 8,3) + 0,2706 (23 - 34) + 4,7509
BOT (mg/L)
(6,89- 28,58) 20,93 + 8,0588 (0,0775 - 3,7922) 0,7218 +1,5045 (0,003 - 0,0131) 0,00846 + 0,0047 (0,026 - 0,2212) 0,116175 + 0,0875 (0,0104 - 0,0194) 0,0149 + 0,0037
Fosfat (mg/L) Nitrat (mg/L) Amonia (mg/L) Nitrit (mg/L)
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
240
antara 20-28oC dengan fluktuasi suhu tidak lebih dari 4oC setiap hari. Kenaikan temperatur yang tinggi akan mengakibatkan tallus rumput laut menjadi pucat kekuning-kuningan dan tidak sehat. Beberapa hal yang perlu dikaji dari penelitian ini antara lain sebaiknya dalam penerapan teknologi budidaya multitropik khusus untuk udang windu dengan nila merah diharapkan kepadatan yang tinggi adalah nila merah dengan aplikasi pakan ikan, sedangkan udang windu kepadatan tradisional tanpa pakan. Penggunaan rumput laut Kappaphycus alvarezii untuk komoditas tambak, perlu dikaji penempatannya dalam tandon tambak intensif yang cukup dalam sebagai biofilter tanpa biofiltrer lain sebagai pemangsa rumput laut. Juga perlu memperhatikan waktu panen. Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa kegiatan usaha budidaya multitropik antara udang windu, ikan nila merah dan rumput laut cukup menguntungkan (Lampiran 1), dan memberikan keuntungan sebesar Rp. 18.117.500 dari modal operasional sebesar Rp. 75.850.000 per hektarnya. Hasil ini lebih baik bila dibandingkan dengan penelitian terdahulu yang memperoleh keuntungan sebesar Rp. Rp. 11.572.000 per hektar pada budidaya multitropik udang windu, rumput laut dan ikan bandeng di tambak (Suharyanto et al., 2010) KESIMPULAN DAN SARAN Dari penelitian budidaya multitropik ini memperlihatkan bahwa, udang windu, nila merah dan rumput laut menghasilkan produksi udang windu 1.960,5 kg/ha dan nila merah 1.036,25 kg/ha dengan teknologi semi-intensif, secara financial memberikan keuntungan sebesar Rp. 18.117.500,per musim tanam Rumput laut K. alvarezii, harus segera dipanen pada hari ke 45 dan sebaiknya ditebar kembali sehingga bisa panen dua kali dalam satu musim tanam. DAFTAR ACUAN Anonim. 1992. Budidaya Beberapa Hasil Laut. Departemen Pertanian. Badan Pendidikan dan Latihan Pertanian Proyek Pengembangan Penyuluhan Pertanian Pusat (NAEP III). Aslan, L. M. 1995. Budidaya bumput laut. Penerbit Kanisius. 95 hal. Cholik, F. Rachmansyah, dan S.Tonnek., 1990. Pengaruh padat penebaran terhadap produksi nila merah (Oreochromis niloticus) di KJA. J.Penel.Budidaya Pantai(8)2:57-62. Chopin, T., A. H. Buschmann, C. Halling, M. Troell,N. Kautsky, A. Neori, G. Kraemer, J. Zertuche-Gonzalez, C. Yarish, and C. Neefus. 2001. Integrating seaweeds into aquaculture systems: a key towards sustainability. Journal of Phycology 37:975–986. Mangampa, M., dan A. Mustafa dan A.G.Mangawe.,1990. Penelitian pendahuluan pada budi daya Tambak Semi Intensif dengan menggunakan Benur Windu, Penaeus monodon yang dibantut. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai, Maros,Vol6(1 :40- 46. Mangampa, M., S.Tahe, dan H.S.Suwoyo, 2009. Riset budidaya udang vanamei tradisional plus menggunakan benih tokolan dengan ukuran yang berbeda. Konferensi Akuakultur Indonesia 2009. MAI, Yogyakarta. 11 hal. Mangampa dan Suharyanto. 2010. Budidaya multitropik udang vaname (Litopenaeus vannamei), nila merah (Oreochromis niloticus), dan rumput laut (Kappaphycus alvarezii) secara semi intensif. Laporan Penelitian. Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau. Maros. 10 hal. Mansyur, A., 2007. Peningkatan produktivitas tambak melalui polikultur udang vanamei dan ikan bandeng. Prosiding Akuakultur 2007. Menuju Industri Akuakultur Indonesia Berkelanjutan, Inovatif dan Kompetitif dalam Era Global. Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI). Surabaya, 5-7 Juni 2007, hal. 201-208 Mubarak, H., S. Ilyas, W. Ismail, I.S. Wahyuni, S.T. Hartati, E. Pratiwi, Z. Jangkaru dan R. Arifuddin. 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian, 93 pp. Neori, A., T. Chopin, M. Troell, A. H. Buschmann, G. P. Kraemer, C. Halling, M. Shpigel, and C. Yarish. 2004. Integrated aquaculture: rationale, evolution and state of the art emphasizing seaweed biofiltration in modern mariculture. Aquaculture 231:361–391.
241
Budidaya multitropik udang windu, nila merah, dan rumput laut ... (Suharyanto)
Nurdjana, M.L. 2006. Pengembangan budi daya rumput laut di Indoesia, dalam Diseminasi Teknologi dan Temu Bisnis Rumput Laut, Makassar 11 September 2006. Badan Riset Kelautan dan Perikanan. Departemen Kelautan dan Perikanan, hal. 1 - 35. Pirzan, A.M., S. Tahe, A. Ismail.,1992. Polikultur udang windu (Penaeus monodon) dan nila merah (Oreochromis niloticus). J.Penel.Budidaya Pantai (8)2:57-62. Suharyanto, Muhammad Tjaronge dan Abdul Manssur. 2010. Budidaya multitropik udang windu (Penaeus monogon), rumput laut (Gracilaria sp) dan ikan bandeng (Chanos chanos) (Diterbitkan dalam Forum Inovasi Teknologi Akuakultur /FITA. Tgl. 20-23 April 2010 di Bandar Lampung) Buku I. Hal. 285-294. ISSN 978-979-786-033-2 Tjaronge M. dan P. R. Pong-Masak. 2007. Performansi biologis rumput laut, Kappaphycus alvarezii pada lingkungan perairan berbeda. Kajian keragaan dan pemanfaatan lingkungan perikanan budi daya. Pusat Riset Perikanan Budidaya. BRKP. ISBN 979-786-014-0. Hal. 121-127. Tonnek, S., D.S.Pongsapan, Rachmansyah., 1993. Polikultur nila merah dan beronang dalam keramba jaring apung di laut. J.Penel.Budidaya Pantai (9)3:47-56. Troell, M., Halling, C., Nilsson, A., Buschmann, A.H., Nautsky, N., kautsy, L., 1997. Integrated marine cultivation of Gracialria chilensis (Gracilariales, Rhodophyta ) and Salmon cages for reduced environmental impact and increased eco.output.Aquaculture 156, 45-61. Watanabe, T. 1988. Fish nutrition and mariculture, JICA textboox. The General Aquaculture Course, Japan. 233pp. Zonneveld, N., E.A. Huisman, dan J.H. Boom., 1991. Prinsip prinsip Budidaya Ikan, Pustaka Utama. Gramedia. Jakarta 318 hal.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2011
242
LAMPIRAN 1 Analisa finansial budidaya multitropik udang windu, nila merah dan rumput laut: per musim tanam