295
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2014
FLUKTUASI OKSIGEN TERLARUT HARIAN PADA TAMBAK POLIKULTUR UDANG WINDU (Penaeus monodon), RUMPUT LAUT (Gracilaria sp.), DAN IKAN BANDENG (Chanos chanos) Erfan Andi Hendrajat, Suharyanto, dan Markus Mangampa Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Oksigen terlarut (DO), merupakan salah satu parameter penting yang biasa digunakan untuk mengukur kualitas suatu perairan karena diperlukan oleh semua organisme untuk pernapasan. Oksigen terlarut yang rendah dapat menyebabkan kematian organisme yang dibudidayakan, oleh karena itu oksigen terlarut dalam petak tambak harus selalu dipantau agar dapat dilakukan pengelolaan air bila kondisi kualitas air tidak layak. Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi Tambak Percobaan Marana, Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, Maros menggunakan 8 petak tambak masing-masing ukuran 2.500 m2. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat fluktuasi oksigen terlarut harian di tambak polikultur udang windu (Penaeus monodon), rumput laut (Gracillaria sp.) dan ikan bandeng (Chanos chanos). Pengamatan oksigen terlarut dilakukan pada petak tambak yang ditebari A: Udang windu + rumput laut (1 ton/ha) + Bandeng (500 ekor/ha), B: Udang windu + rumput laut (1 ton/ha) + Bandeng (1.000 ekor/ha), C: Udang windu + rumput laut (2 ton/ha) + Bandeng (500 ekor/ha) dan D: Udang windu + rumput laut (2 ton/ha) + Bandeng (1.000 ekor/ha), masing-masing dengan dua kali ulangan. Padat penebaran udang windu di tambak pembesaran adalah 2.500 ekor/petak (1 ekor/m2). Pengukuran oksigen terlarut dan suhu harian menggunakan DO meter digital dilakukan setiap 2 minggu mulai dari minggu ke-IV sampai minggu ke-XII secara insitu pada jam 08.00, 11.00, 14.00, 17.00, 20.00, 23.00, 02.00 dan jam 05.00. Data hasil pengamatan oksigen terlarut dianalisis secara deskriptif dengan bantuan grafik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa oksigen terlarut pada perlakuan A berkisar 1,9-12 mg/L, perlakuan B berkisar 1,1-11,8 mg/L, perlakuan C berkisar 2,4-10 mg/L dan perlakuan D berkisar 2-10,6 mg/L. Kisaran tersebut masih dapat ditolerir oleh udang windu dan ikan bandeng. Oksigen terlarut yang rendah (1,1 mg/L) hanya terjadi pada minggu ke-X yaitu pada pukul 05.00 dan berlangsung tidak lama sehingga belum membahayakan udang dan ikan yang dipelihara. Oksigen terlarut cenderung mengalami penurunan pada semua perlakuan seiring dengan bertambahnya masa pemeliharaan. KATA KUNCI:
oksigen terlarut, polikultur, udang windu, rumput laut, ikan bandeng
PENDAHULUAN Udang windu, rumput laut dan ikan bandeng merupakan komoditas unggulan perikanan budidaya karena harganya cukup tinggi dan memiliki permintaan lokal maupun eksport yang cukup tinggi sehingga produksinya diharapkan terus mengalami peningkatan. Ketiga produk perikanan tersebut dapat dibudidayakan secara polikultur. Polikultur merupakan metode budidaya yang digunakan untuk memelihara lebih dari satu produk seperti udang, bandeng dan rumput laut dalam satu lahan. Dengan sistim ini, diperoleh manfaat yaitu tingkat produktivitas lahan yang tinggi karena dapat memanen beberapa produk dalam satu musim sehingga dapat menambah penghasilan (Syahid et al., 2006). Udang windu, ikan bandeng dan rumput laut secara biologis memiliki sifat-sifat yang dapat bersinergi sehingga budidaya polikultur semacam ini dapat dikembangkan karena merupakan bentuk budidaya yang ramah terhadap lingkungan. Rumput laut Gracillaria yang diintegrasikan dalam budidaya polikultur berdampak positif terhadap peningkatan kualitas air tambak. Rumput laut dengan sifat biologisnya sebagai penghasil dan penyuplai oksigen terlarut melalui proses fotosintesis, dan rumput laut memiliki kemampuan untuk menyerap kelebihan nutrisi senyawa toksis NH 3, H2S, NO2, PO-34 dan logam berat di perairan tambak sehingga kondisi kualitas perairan dapat meningkat. Ikan bandeng sebagai pemakan plankton baik plankton yang berguna maupun yang tidak berguna merupakan pengendali terhadap kelebihan plankton di perairan. Ikan bandeng dengan bentuk
Page 311 of 1000
Page 1 of 8
Fluktuasi oksigen terlarut harian pada tambak polikultur ... (Erfan A. Hendrajat)
296
tubuhnya stream line, sirip ekor tegak, hidup bergerombol dan berenang cepat dapat meningkatkan difusi oksigen ke dalam perairan. Kotoran udang windu, ikan bandeng dan bahan organik lainnya melalui proses dekomposisi menghasilkan unsur hara untuk pertumbuhan rumput laut dan fitoplankton sehingga dapat meningkatkan kesuburan perairan (Murachman et al., 2010). Gracillaria juga merupakan tempat yang nyaman bagi udang untuk bersembunyi. Percabangannya yang lebat memungkinkan tanaman ini menjadi tempat peristirahatan udang pada siang hari dan menyembunyikan diri dari pemangsa ketika mengalami pergantian kulit. Selain itu, Gracillaria merupakan tempat berkumpulnya plankton yang menjadi pakan udang. Kehadiran bandeng di tambak selain sebagai pembersih alga yang menempel pada rumput laut juga mengeluarkan kotoran yang dapat menyuburkan tambak (Syahid et al., 2006). Kondisi tambak dengan sifat demikian mencerminkan kondisi ekosistem yang seimbang. Oksigen terlarut (DO) adalah banyaknya oksigen dalam suatu perairan. Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam ekosistim perairan, terutama sekali dibutuhkan untuk respirasi bagi sebagian besar organisme air (Barus, 2001) dan berbagai proses kimia biologi perairan (Dahuri et al., 2004). Satuan pengukuran oksigen terlarut adalah mg/L yang berarti jumlah mg/L gas oksigen yang terlarut dalam air yang dalam satuan internasional dinyatakan dalam ppm atau part per million (Pido, 2012). Oksigen terlarut dalam air merupakan parameter kualitas air yang paling kritis pada budidaya tambak. Konsentrasi oksigen terlarut dalam tambak selalu mengalami perubahan yang dinamik, oleh karena itu pemantauan oksigen terlarut selama budidaya harus selalu dilakukan sehingga apabila terjadi kritis oksigen maka dapat diambil suatu tindakan untuk mengantisipasi hal yang dapat berpengaruh buruk terhadap organisme yang dibudidayakan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat fluktuasi oksigen terlarut harian pada tambak polikultur antara udang windu (Penaeus monodon), rumput laut (Gracillaria sp.) dan ikan bandeng (Chanos chanos). BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Instalasi Tambak Percobaan Marana, Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau, Maros menggunakan 8 petak tambak masing-masing ukuran 2.500 m2. Persiapan petak tambak dimulai dengan keduk teplok dan pengolahan tanah dasar tambak, pengeringan dan pemberantasan hama, pencucian serta pengapuran. Sebelum pengisian air dilakukan pengukuran redox potensial pada tanah pelataran tambak, apabila nilainya telah positif, maka dilanjutkan dengan pengisian air, pemupukan menggunakan pupuk anorganik dengan dosis 150 kg Urea/ha dan 75 kg Ponska/ha serta pupuk organik (pupuk kandang) dengan dosis 1.500 kg/ha. Pengisian air dilakukan hingga kedalaman air mencapai 80 cm. Benih udang windu yang ditebar pada masingmasing petak tambak adalah tokolan PL 32 (benur PL 12 yang sudah mendapatkan rekomendasi SPF yang telah ditokolkan selama 20 hari) dengan bobot rata-rata 0,01 ± 0,01 g/ekor. Padat penebaran udang windu di tambak pembesaran adalah 2.500 ekor/petak (1 ekor/m2). Ikan bandeng yang ditebar adalah benih ikan bandeng yang telah digelondongkan selama 1,5 bulan dengan bobot rata-rata 4,2 ± 2.2 g/ekor. Pengukuran oksigen terlarut dan suhu harian dilakukan pada tambak berukuran 2.500 m2 yang ditebari A: Udang windu + rumput laut (1 ton/ha) + Bandeng (500 ekor/ha), B: Udang windu + rumput laut (1 ton/ha) + Bandeng (1.000 ekor/ha), C: Udang windu + rumput laut (2 ton/ha) + Bandeng (500 ekor/ha) dan D: Udang windu + rumput laut (2 ton/ha) + Bandeng (1.000 ekor/ha), masing-masing dengan dua kali ulangan. Pengukuran oksigen terlarut dan suhu harian menggunakan DO meter digital dilakukan setiap 2 minggu mulai dari minggu ke-IV sampai minggu ke-XII secara insitu pada jam 08.00, 11.00, 14.00, 17.00, 20.00, 23.00, 02.00 dan jam 05.00. Data hasil pengamatan oksigen terlarut dianalisis secara deskriptif dengan bantuan grafik. HASIL DAN BAHASAN Kondisi Oksigen Terlarut Hasil pengukuran oksigen terlarut pada tambak polikultur udang windu, rumput laut dan ikan bandeng disajikan pada Gambar 1. Oksigen terlarut pada perlakuan A, B, C dan D pada minggu ke-IV sampai minggu ke-XII polanya relatif sama pada waktu pengukuran yang sama. Tampak juga bahwa
Page 312 of 1000
Page 2 of 8
297
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2014
Oksigen terlarut (mg/L)
Minggu IV 12 10 8 6 4 2 0
Perlakuan A Perlakuan B Perlakuan C 8:00 11:00 14:00 17:00 20:00 23:00 2:00 5:00 Waktu
Perlakuan A Perlakuan B Perlakuan C 8:00 11:00 14:00 17:00 20:00 23:00 2:00 5:00
Minggu VIII Oksigen terlarut (mg/L)
Oksigen terlarut (mg/L)
Minggu VI 14 12 10 8 6 4 2 0
Perlakuan D
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Minggu X
Perlakuan C Perlakuan D
Minggu XII 14
10
12
8 6
Perlakuan A
4
Perlakuan B Perlakuan C Perlakuan D
Oksigen terlarut (mg/L)
Oksigen terlarut (mg/L)
Perlakuan B
Waktu
12
0
Perlakuan A
8:00 11:00 14:00 17:00 20:00 23:00 2:00 5:00
Waktu
2
Perlakuan D
10 8
Perlakuan A
6
Perlakuan B
4
Perlakuan C
2
Perlakuan D
0
8:00 11:00 14:00 17:00 20:00 23:00 2:00 5:00
8:00 11:00 14:00 17:00 20:00 23:00 2:00 5:00
Waktu
Waktu
Gambar 1. Fluktuasi oksigen terlarut harian pada tambak polikultur udang windu, rumput laut dan ikan bandeng kisaran oksigen terlarut selama 24 jam menunjukkan perbedaan yang cukup tinggi antara siang dan malam. Oksigen terlarut pada pagi hingga sore hari lebih tinggi dibandingkan dengan oksigen terlarut pada sore hingga pagi hari. Oksigen terlarut tertinggi dicapai pada pukul 17.00 yaitu sebesar 12 mg/ L pada perlakuan A (minggu ke-VI), sedangkan oksigen terendah dicapai pada pukul 05.00 yaitu sebesar 1,1 mg/L pada perlakuan B (minggu ke-X). Oksigen terlarut pada semua perlakuan selama pengamatan mengalami peningkatan mulai pukul 08.00 hingga pukul 17.00, Sebaliknya mengalami penurunan setelah pukul 17.00 hingga pagi hari. Diduga penyebabnya adalah aktifitas fotosintesis fitoplankton dan rumput laut, Gracillaria yang berkaitan dengan cahaya matahari. Oksigen dalam perairan bersumber dari difusi ataupun hasil proses fotosintesis organisme produsen (Goldman & Horne, 1983). Hal ini juga sejalan dengan pendapat Boyd (1990) bahwa pada siang hari, ketika terjadi fotosintesis, jumlah oksigen terlarut cukup banyak. Sebaliknya pada malam hari, ketika tidak terjadi fotosintesis, oksigen yang terbentuk selama siang hari akan dipergunakan oleh ikan dan tumbuhan air sehingga sering terjadi penurunan konsentrasi oksigen secara drastis. Fotosintesis terjadi selama jam-jam siang hari tetapi pernapasan oleh tanaman terjadi selama daur ulang harian. Jadi jika terdapat tanaman air akan menyebabkan masuknya oksigen melalui fotosintesis selama jam-jam siang hari, tetapi penggunaan terus menerus dari oksigen adalah oleh pernapasan. Menurut Boyd (1991), sebagian besar oksigen (76,9%) dalam ekosistem perairan berasal dari fotosintesis oleh fitoplankton. Pada perairan dangkal, suplai oksigen didominasi oleh tanaman tepi, makrofita dan alga bentik, selain itu sumber oksigen terlarut yang penting di dalam perairan adalah oksigen di atmosfir yang terlarut dalam massa air pada permukaan air yang dihasilkan melalui proses difusi (Cole, 1983).
Page 313 of 1000
Page 3 of 8
Fluktuasi oksigen terlarut harian pada tambak polikultur ... (Erfan A. Hendrajat)
298
Oksigen terlarut mengalami penurunan pada semua perlakuan seiring dengan bertambahnya masa pemeliharaan mulai dari minggu ke-IV hingga minggu ke-X (Gambar 2). Pada perlakuan A, kadar minimum oksigen terlarut pada minggu ke-IV, ke-VI, ke-VIII dan ke-X masing-masing adalah 4,9 mg/L, 3,6 mg/L, 2,8 mg/L dan 1,9 mg/L, perlakuan B adalah 4.8 mg/L, 3.6 mg/L, 2.6 mg/L dan 1,1 mg/L, perlakuan C adalah 5,2 mg/L, 3,5 mg/L, 3,2 mg/L dan 2,4 mg/L serta pada perlakuan D adalah 4,3 mg/L, 3,5 mg/L, 3 mg/L dan 2 mg/L. Penurunan oksigen terlarut ini diduga terjadi karena biomassa ikan bandeng dan udang dalam tambak semakin meningkat sehingga laju konsumsi oksigen juga semakin tinggi. Selain itu, pada lapisan dasar perairan terjadi akumulasi bahan organik dari sisa pakan dan feses ikan dan udang yang membutuhkan oksigen dalam proses penguraiannya. Pada pengamatan minggu ke-XII kadar minimum oksigen terlarut pada perlakuan A, B, C dan D meningkat kembali masing-masing menjadi 2,8 mg/L, 2,7 mg/L, 2,7 mg/L dan 2,8 mg/L akibat biomassa di dalam tambak sudah mulai menurun karena sebagian ikan dan udang sudah dipanen.
Oksigen terlarut (mg/L)
6 5 4 Perlakuan A
3
Perlakuan B 2
Perlakuan C Perlakuan D
1 0 IV
VI
VIII
X
XII
Minggu Ke-
Gambar 2. Kadar minimum oksigen terlarut pada tambak polikultur udang windu, rumput laut dan ikan bandeng Oksigen terlarut selama penelitian pada perlakuan A berkisar 1,9-12 mg/L, perlakuan B berkisar 1,1-11,8 mg/L, perlakuan C berkisar 2,4-10 mg/L dan perlakuan D berkisar 2-10,6 mg/L. Kisaran tersebut masih dapat ditolerir oleh udang windu dan ikan bandeng. Oksigen terlarut pada malam hari, secara umum masih layak bagi kehidupan organisme perairan walaupun proses fotosintesis sudah tidak berlangsung. Selama pengamatan, oksigen terlarut yang rendah (1,1 mg/L) hanya terjadi pada minggu ke-X yaitu pada pukul 05.00 dan berlangsung tidak lama sehingga belum membahayakan udang dan ikan yang dipelihara. Menurut Boyd (1979), kadar minimum oksigen terlarut terjadi pada waktu menjelang pagi hari dan menjadi titik kritis bagi biota yang ada di perairan. Pescod (1973) menyatakan bahwa kandungan oksigen terlarut 2 mg/L dalam perairan sudah cukup untuk mendukung kehidupan biota akuatik, asalkan perairan tersebut tidak mengandung bahan-bahan yang bersifat racun. Wardoyo (1975) menyarankan agar kandungan oksigen terlarut 2,0 mg/L harus tidak terjadi selama lebih dari 8 jam dalam priode 24 jam. Perairan dengan oksigen terlarut lebih besar dari 7 mg/ L adalah tergolong produktif (Banarjea, 1967 dalam Suherman et al., 2002). Haliman & Adijaya (2005) menyatakan bahwa kadar oksigen terlarut yang baik berkisar 4-6 ppm. Kondisi Suhu Air Suhu air merupakan faktor abiotik yang memegang peranan penting bagi hidup dan kehidupan organisme perairan. Fluktuasi suhu air pada perlakuan A, B, C dan D disajikan pada Gambar 3. Pola suhu air pada semua perlakuan relatif sama mulai minggu ke-IV sampai minggu ke-XII. Hal ini diduga karena kondisi dan kedalaman air petak tambak relatif sama yaitu ± 80 cm akibatnya cahaya yang diserap oleh satuan kolom air dan dasar tambak relatif sama. Suhu air terendah (27,6 oC) terjadi pada subuh hari, sedangkan suhu air tertinggi (34,3 o C) terjadi pada sore hari. Hal ini sangat
Page 314 of 1000
Page 4 of 8
299
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2014 Minggu IV 35
Suhu air ( C)
34 33 32 31
Perlakuan A
30
Perlakuan B
29
Perlakuan C
28 27
Perlakuan D 8:00 11:00 14:00 17:00 20:00 23:00 2:00 5:00 Waktu
Minggu VIII 34 33
35 34 33 32 31 30 29 28 27 26
Perlakuan A Perlakuan B
Suhu air ( C)
Suhu air ( C)
Minggu VI
Perlakuan C
32 31 30
Perlakuan A
29 28
Perlakuan B
8:00 11:00 14:00 17:00 20:00 23:00 2:00 5:00 Waktu
Waktu
Minggu X
Minggu XII
40 30 25 20
Perlakuan A
15
Perlakuan B
10
Perlakuan C Perlakuan D
Suhu air ( C)
Suhu air ( C)
35
0
Perlakuan D
26
8:00 11:00 14:00 17:00 20:00 23:00 2:00 5:00
5
Perlakuan C
27
Perlakuan D
35 34 33 32 31 30 29 28 27 26 25
Perlakuan A Perlakuan B Perlakuan C Perlakuan D
8:00 11:00 14:00 17:00 20:00 23:00 2:00 5:00
8:00 11:00 14:00 17:00 20:00 23:00 2:00 5:00
Waktu
Waktu
Gambar 3. Fluktuasi suhu air harian pada tambak polikultur udang windu, rumput laut dan ikan bandeng dipengaruhi oleh cahaya matahari yang jatuh ke permukaan, seperti yang dinyatakan oleh Nontji (1981) bahwa perbedaan suhu terjadi karena adanya perbedaan energi matahari yang diterima oleh perairan. Suhu akan naik dengan meningkatnya energi matahari yang masuk ke dalam perairan. Selanjutnya Sitorus & Hendriyanto (2011) menyatakan bahwa penyebaran temperatur dalam perairan dapat terjadi karena adanya penyerapan, angin dan aliran tegak, sedangkan faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya temperatur adalah : Latitude (letak tempat terhadap garis edaran matahari), altitude (letak ketinggian dari permukaan laut), musim, cuaca, naungan, waktu pengukuran dan kedalaman air. Secara umum perbedaan temperatur yang terjadi masih di bawah 10 oC karena kondisi cuaca selama penelitian cukup stabil dimana tidak terjadi hujan yang dapat mempengaruhi temperatur harian sehingga kemungkinan kecil dapat terjadi perubahan metabolisme yang cepat terhadap ikan dan udang. Hal ini seperti yang dikemukakan Ghufran (2007) bahwa peningkatan temperatur air sebesar 10oC menyebabkan terjadinya peningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2–3 kali lipat. Suhu air selama penelitian berkisar 27,6-34,3 o C. Kisaran ini masih dapat ditolerir oleh udang windu, ikan bandeng dan rumput laut. Menurut Nana & Putra (2008), ikan dan udang hidup normal pada kisaran suhu 28-32oC dengan fluktuasi suhu harian 4oC. Udang windu tidak dapat hidup pada suhu kurang dari 15 oC atau lebih dari 40 o C (Sumeru & Anna, 1992). Bandeng yang masih muda mempunyai toleransi tinggi terhadap suhu air, yaitu sampai 42oC (Pannikar et al., 1952 dalam Suwardi
Page 315 of 1000
Page 5 of 8
Fluktuasi oksigen terlarut harian pada tambak polikultur ... (Erfan A. Hendrajat)
300
& Yakob, 1994). Untuk budidaya rumput laut di tambak kisaran suhu yang dibutuhkan adalah antara 18–30oC (Aslan, 1998) dengan batas ambang suhu untuk pertumbuhan alga hijau, coklat dan merah 34,5oC dan untuk alga biru hijau 37oC (Hutagalung, 1988). KESIMPULAN Oksigen terlarut selama penelitian pada perlakuan A berkisar 1,9-12 mg/L, perlakuan B berkisar 1,1-11,8 mg/L, perlakuan C berkisar 2,4-10 mg/L dan perlakuan D berkisar 2-10,6 mg/L. Kisaran tersebut masih dapat ditolerir oleh udang windu dan ikan bandeng. Oksigen terlarut yang rendah (1,1 mg/L) hanya terjadi pada minggu ke-X yaitu pada pukul 05.00 dan berlangsung tidak lama sehingga belum membahayakan udang dan ikan yang dipelihara. Kisaran oksigen terlarut selama 24 jam menunjukkan perbedaan yang cukup tinggi antara siang dengan malam. Konsentrasi oksigen pada pagi hingga sore hari lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi oksigen pada sore hingga pagi hari. Oksigen terlarut pada tambak polikultur udang windu, rumput laut dan ikan bandeng mengalami penurunan pada semua perlakuan seiring dengan bertambahnya masa pemeliharaan. DAFTAR ACUAN Aslan, L.M. 1998. Budidaya Rumput Laut. Kanisius, Yogyakarta. 92 hlm. Barus, T.A. 2001. Pengantar Limnologi. Studi tentang ekosistim danau dan sungai. Departemen Biologi FMIPA USU. Medan. Boyd, C.E. 1979. Water quality in warmwater fish ponds. Auburn University Agricultural Experiment Station, Alabama, USA. Boyd, C.E. 1990. Water quality in ponds for aquaculture. Departement of Fisheries and Allied Aquacultures. Alabama Agricultural Experiment Station. Auburn University. Alabama. 482 pp. Boyd, C.E. 1991. Water quality and aeration in shrimp farming. Aurbun University, Alabama, Birmingham Publishing Co. Birmingham, Alabama. Cole, G.A. 1983. Text Book of Limnology. Third Edition, Weveland Press Inc. Illinois. Dahuri, R., Rais, S.P. Ginting & M.J. Sitepu. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu Edisi revisi. PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Ghufran, M.H. 2007. Pengelolaan Kualitas Air dalam Budidaya Perairan, Bhnineka Cipta. Goldman, C.R. & A.J. Horne. 1983. Limnology. Mc. Graw Hill. New York. 464 pp. Haliman, R.W. & D. Adijaya S. 2005. Udang Vaname, Pembudidayaan dan Prospek Pasar Udang Putih yang Tahan Penyakit. Penebar Swadaya. Jakarta. 75 hlm. Hutagalung, H.P. 1988. Pengaruh suhu terhadap kehidupan organisme laut. Pewarta Oseana. LONLIPI Jakarta. 13: 153-163. Murachman, N. Hanani, Soemarno & S. Muhammad. 2010. Model polikultur udang windu (Penaeus monodon Fab) Ikan bandeng (Chanos chanos Forskal) dan rumput laut (Gracillaria sp) secara tradisional. Jurnal Pembangunan dan Alam Lestari 1(1): 1-10. Nana, S.S. & U, Putra. 2008. Manajemen kualitas tanah dan air dalam kegiatan perikanan budidaya. Balai Budidaya Air Payau, Takalar. Dirjen Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan Perikanan. 27 hlm. Nontji A. 1981. Fotosintesis dan fitoplankton laut. Tinjauan fisiologis dan ekologis. Fakultas Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. 386 hlm. Pescod, M.B. 1973. Investigation of rational effluen and stream standard for tropical countries. A.I.T. Bangkok. 59 pp. Pido, D.N. 2012. Parameter fisik, biologi, kimiawi air. http://novitadewipido.blogspot.com/2012/07/ parameter-fisik-biologi-kimiawi-air.html. Diakses tanggal 24 Januari 2014. Sitorus, H. & D.A. Hendriyanto. 2011. Hubungan temperatur, oksigen terlarut dan salinitas dengan prevalensi parasit pada ikan kerapu lumpur (Epinephelus tauvina). file:///C:/Users/AIE3SECOND/Downloads/hubungan-temperatur-oksigen-terlarut.html. diakses tanggal 9 Maret 2013.
Page 316 of 1000
Page 6 of 8
301
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2014
Suherman, H., Iskandar & S. Astuti. 2002. Studi kualitas air pada petakan pendederan benih udang windu (Penaeus monodon fab.) di Kabupaten Indramayu. Laporan Penelitian Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. 18 hlm Sumeru, S.U. & S. Anna. 1992. Pakan Udang Windu. Kanisius. Yogyakarta. 94 hlm. Suwardi, T. & M.J.R. Yakob. 1994. Pengaruh padat penebaran terhadap pertumbuhan bandeng (Chanos chanos) umpan di tambak. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai, Maros. 10(2): 47–56. Syahid, M., A. Subhan & R. Armando. 2006. Budidaya Udang Organik Secara Polikultur. Penebar Swadaya. Jakarta. 75 hlm. Wardoyo, S.T.H. 1975. Pengelolaan kualitas air. Bagian Akuakultur. Fakultas Perikanan IPB Bogor. 38 hlm.
Page 317 of 1000
Page 7 of 8
Fluktuasi oksigen terlarut harian pada tambak polikultur ... (Erfan A. Hendrajat)
302
DISKUSI
Nama Penanya: Nyoman Radiarta Pertanyaan: (1) Metode perlakuan RL yang berbeda. (2) Bagaimana model/desain polikulturnya? (3) Minggu ke12 justru menurun, kenapa? Tanggapan: (1 dan 2) Model polikulturnya adalah yang terbaik di perlakuan B (UW+RL 2 ton+bandeng 500). (3) Biomassa meningkat dan akhir penelitian (X-NI) sudah mulai panen udang dan bandeng.
Page 318 of 1000
Page 8 of 8