ANALISIS KEBIJAKAN PERIKANAN TANGKAP TERHADAP NELAYAN KOTA SEMARANG: Perspektif Ekonomi Politik
CANDRI YUNIAR ROISY
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Kebijakan Perikanan Tangkap terhadap Nelayan Kota Semarang: Perspektif Ekonomi Politik adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Februari 2015 Candri Yuniar Roisy NIM H14100066
ABSTRAK CANDRI YUNIAR ROISY. Analisis Kebijakan Perikanan Tangkap terhadap Nelayan Kota Semarang: Perspektif Ekonomi Politik. Dibimbing oleh DIDIN S. DAMANHURI Orientasi pembangunan sektor perikanan adalah peningkatan produksi nasional melalui modernisasi dengan kapitalisasi yang justru akan membuka peluang terjadinya kemiskinan bagi para nelayan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kebijakan perikanan tangkap di Kota Semarang dan dampaknya terhadap nelayan serta mengidentifikasi ada atau tidaknya gejala kompradorisasi dalam perikanan tangkap di Kota Semarang. Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif dengan data berupa data primer dan data sekunder. Pendekatan kuantitatif menggunakan analisis ketimpangan distribusi pendapatan, sedangkan pendekatan kualitatif menggunakan pendekatan wawancara mendalam (indepth interview) dengan analisis ekonomi politik dan analisis gejala kompradorisasi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat ketimpangan distribusi pendapatan nelayan responden dalam kategori sedang akibat kebijakan yang tidak menyeluruh pada lapisan masyarakat nelayan. Gejala kompradorisasi terdapat pada aliran masuk modal melalui pola pemasaran dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang sebagai kelas komprador. Kata kunci: ekonomi politik, kebijakan perikanan tangkap, kompradorisasi, nelayan.
ABSTRACT CANDRI YUNIAR ROISY. Analysis of Capture Fisheries Policy toward Fisherman of Semarang City : Political Economy Perspective. Supervised by DIDIN S. DAMANHURI. The orientation of development on the fisheries sector is increasing national production through the modernization with a capitalization that it would open the risks of poverty for the fishermen. This research aims to analyse capture fisheries policy of Semarang City and its impact on fishermen and identify whether or not the symptoms of compradorization of capture fisheries in Semarang City. This research method used qualitative and quantitative approaches using primary and secondary data. The quantitative approach using analysis of unequal distribution income, while a qualitative approach using indepth interview with analysis of political economy and analysis of compradorization symptoms. The result of this research shows that there are disparities in the distribution income of respondents in the average category due to policies that did not extend to the fisherman community. Compradorization symptoms are found on the capital inflow of marketing system with the Department of Marine and Fisheries of Semarang City as the comprador class. Keywords: capture fisheries policy, compradorization, fisherman, political economy.
ANALISIS KEBIJAKAN PERIKANAN TANGKAP TERHADAP NELAYAN KOTA SEMARANG: Perspektif Ekonomi Politik
CANDRI YUNIAR ROISY
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi
DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul ”Analisis Kebijakan Perikanan Tangkap terhadap Nelayan Kota Semarang: Perspektif Ekonomi Politik” dapat diselesaikan dengan baik. Penelitian ini ditujukan untuk memenuhi syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, SE MS DEA, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan arahan, saran, nasihat dan motivasi selama penulisan skripsi ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada kedua orang tua tercinta, Bapak Sjahbuddin Ezzat dan Ibu Sri Dwiana Rusmiwahjani atas doa, motivasi serta kasih sayang kepada penulis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada saudara Aga Haditaqy, kakak tercinta Okti Syah Isyani Permatasari serta adik-adik tersayang Adam, Arif, Hasna dan Usman yang selalu memberikan motivasi, doa serta bantuan dalam proses penulisan skripsi. Tidak lupa terima kasih penulis ucapkan kepada Anggi, Anggit, Nisa, Dita, Mpy, Aka, Itoh, teman-teman satu bimbingan, teman-teman Ilmu Ekonomi 47, 48 dan 49, keluarga besar HMI cabang Bogor dan HMI cabang Bogor Komisariat FEM serta sahabat-sahabat yang selalu memberi semangat dan masukan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih tak lupa penulis sampaikan kepada Beasiswa Penelitian Bidik Misi yang telah membantu dalam biaya penelitian skripsi ini. Terima kasih juga kepada semua pihak yang telah membantu dan bekerja sama dalam proses penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Februari 2015 Candri Yuniar Roisy
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR GAMBAR
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
4
Tujuan Penelitian
5
Manfaat Penelitian
5
TINJAUAN PUSTAKA
6
Teori Ekonomi Politik Teori Surplus Values dan Teori Ketergantungan Kebijakan Perikanan Tangkap
6 8 9
Karakteristik Nelayan
11
Penelitian Terdahulu
12
Kerangka Pemikiran
14
METODE PENELITIAN
15
Lokasi dan Waktu Penelitian
16
Jenis dan Sumber Data
16
Metode Analisis
17
Analisis Ekonomi Politik
18
Analisis Gejala Kompradorisasi
18
Analisis Ketimpangan Distribusi Pendapatan
18
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
21
Kondisi Geografi Kota Semarang
21
Kondisi Demografi Kota Semarang
22
Kondisi Perekonomian Kota Semarang
23
Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
23
Distribusi Pendapatan
24
Kondisi Perikanan Tangkap Kota Semarang KARAKTERISTIK RESPONDEN
25 26
HASIL DAN PEMBAHASAN
28
Kebijakan Pembangunan Perikanan Tangkap Kota Semarang
28
Kebijakan Perikanan Tangkap terhadap Nelayan Kota Semarang
33
Pembangunan Sarana dan Prasarana Perikanan Tangkap
33
Program Pemberdayaan Nelayan
36
Pola Bagi Hasil dan Permodalan Penangkapan Ikan
39
Sistem Pemasaran Hasil Penangkapan Ikan
42
Distribusi Pendapatan Nelayan Responden
43
Kemiskinan Struktural dan Gejala Kompradorisasi Perikanan Tangkap Kota Semarang 45 Kemiskinan Struktural Nelayan Kota Semarang
45
Gejala Kompradorisasi Perikanan Tangkap Kota Semarang
47
SIMPULAN DAN SARAN
49
Simpulan
49
Saran
50
DAFTAR PUSTAKA
51
LAMPIRAN
54
RIWAYAT HIDUP
58
DAFTAR TABEL Tabel 1 2 3 4 5 6 7 8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Halaman Produksi perikanan nasional tahun 2004-2011 Peraturan Perundang-undangan yang berpotensi menimbulkan konflik Luas kecamatan pesisir di Kota Semarang dan presentase terhadap luas Kota Semarang Jumlah penduduk Kota Semarang berdasarkan kecamatan dan jenis kelamin tahun 2013 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Semarang menurut lapangan usaha atas dasar harga berlaku tahun 2010-2012 Pendapatan regional per kapita dan laju pertumbuhan PDRB Kota Semarang Ketimpangan pendapatan di Kota Semarang tahun 2007-2011 berdasarkan koefisien gini dan Bank Dunia Kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku Kota Semarang tahun 2007-2012 Karakteristik nelayan responden Program-program pembangunan kelautan dan perikanan Kota Semarang 2010-2014 Produksi dan nilai produksi perikanan tangkap Kota Semarang pada TPI Tambaklorok dan kelompok nelayan tahun 2004-2013 Jumlah nelayan Kota Semarang Jumlah nelayan per kecamatan pesisir Kota Semarang tahun 20082013 Jumlah kapal motor tempel dan produksi perikanan tangkap Kota Semarang tahun 2008-2013 Jumlah alat tangkap perikanan Kota Semarang berdasarkan jenisnya tahun 2004-2013 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Semarang tahun 2011-2013 dari TPI Tambaklorok Besarnya dana bantuan Program PEMP berdasarkan penerima program di Kelurahan Tanjung Mas tahun 2003 Pinjaman pokok macet di Kelurahan Tanjung Mas sampai dengan bulan April 2004 Distribusi pendapatan responden
2 10 21 22 23 24 25 25
27 29 30 30 31 31 32 34 37 37 45
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 2 3 4
Halaman Kerangka pemikiran Kurva Lorenz Jumlah rumah tangga usaha penangkapan ikan menurut jenis penangkapan tahun 2013 Pola pemasaran komoditas rajungan
15 20 26 43
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 2 3
Halaman Peta lokasi penelitian Distribusi pendapatan nelayan responden Rencana kegiatan penelitian
54 55 57
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dikaruniai potensi sumber daya kelautan yang besar, baik itu keragaman hayati maupun keragaman non hayati kelautan. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104 000 km2 dengan luas wilayah laut sebesar 5.8 juta km2 yang terdiri dari 2.3 juta km2 perairan kepulauan, 0.8 juta km2 perairan teritorial dan 2.7 km2 perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Potensi tersebut disadari oleh pemerintah dilihat dari pembangunan ekonomi di Indonesia yang telah memperhatikan sektor kelautan dan perikanan secara serius. Terbukti sejak reformasi tahun 1998 dengan dibentuknya Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan (DELP) yang kemudian diubah menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) hingga menjadi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta dibentuknya Dewan Maritim Indonesia (DMI) yang berubah menjadi Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN) yang diketuai oleh Presiden. Sejak Orde Baru, berbagai kebijakan dalam rangka pembangunan sektor kelautan dan perikanan telah digulirkan. Secara nasional kebijakan-kebijakan yang telah dicanangkan berdampak pada kenaikan volume produksi perikanan. Namun kebijakan pembangunan sektor kelautan dan perikanan hingga saat ini masih bersifat top down. Damanhuri (2000) mengatakan bahwa kebijakan yang bersifat top down dan sentralistik akan berujung pasa rusaknya nilai-nilai tradisional yang positif serta pendekatan kebijakan yang seragam antar wilayah satu dengan yang lain akan mematikan insiatif lokal dan kreativitas para pelaku ekonomi.1 Sehingga program-program yang dilaksanakan belum dapat memberi dampak yang optimal terhadap kinerja ekonomi kelautan dan perikanan secara keseluruhan, kesejahteraan nelayan serta kelestarian sumber daya. Pada tahun 2003 Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan (DELP) mencanangkan program peningkatan produksi ikan (Protekan 2003). Target dari Protekan 2003 adalah peningkatan produksi ikan pada tahun 2003 menjadi 9 juta ton dengan nilai ekspor diharapkan mencapai US$ 10 miliar.2 Namun data Food and Agriculture Organization (FAO 2007) menunjukkan hingga tahun 2004 produksi ikan nasional hanya mencapai sekitar 5.6 juta ton dengan nilai ekspor sebesar US$ 1.7 miliar (lihat Tabel 1). Pada Oktober 2003 dicanangkan program baru yaitu Program Gerbang Mina Bahari di Teluk Tomini Provinsi Gorontalo. Target dari Program Mina Bahari tersebut adalah peningkatan produksi ikan nasional sebesar 9.5 juta ton pada tahun 2006 dan target nilai devisa ekspor sebesar US$ 10 miliar.3 Kegagalan program ini ditunjukkan dengan produksi ikan nasional pada tahun 2006 hanya mencapai sekitar 6.1 juta ton dengan nilai ekspor produk perikanan hanya mampu mencapai US$ 2 miliar (FAO 2007) (lihat Tabel 1). 1
Didin S. Damanhuri [Orasi Ilmiah]: Paradoks Pembangunan Ekonomi Indonesia dan Perspektif Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di Sektor Pertanian dan Perikanan (Bogor: Institut Pertanian Bogor, 25 November 2000), h. 56 2 Apridar, Muhamad Karim, dan Suhana: Ekonomi Kelautan dan Pesisir (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011), h.121 3 Ibid, h. 121
2 Tabel 1 Produksi perikanan nasional tahun 2004-2011 Produk perikanan 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Perikanan tangkap 4.6 4.7 4.8 5.1 5.0 5.1 5.4 (juta ton) Perikanan 1.0 1.2 1.3 1.4 1.7 1.7 2.3 budidaya (juta ton) Ekspor (US$ 1.7 1.8 2.0 2.1 2.5 2.3 2.6 miliar) Impor (US$ miliar) 0.1 0.1 0.1 0.1 0.2 0.2 0.3
2011 5.7 2.7 3.2 0.4
Sumber: Food and Agriculture Organization, 2007-2013. Pembangunan sektor kelautan dan perikanan sepanjang tahun 2005 belum mengalami perubahan yang signifikan. Dilihat dari lima indikator, pertama arah kebijakan pembangunan ekonomi sektor kelautan dan perikanan nasional masih belum jelas. Kedua, ketidakjelasan arah kebijakan desentralisasi sektor kelautan dan perikanan yang menyebabkan semakin parahnya konflik dalam memperebutkan wilayah tangkapan ikan. Ketiga, kenaikan harga BBM menyebabkan banyak nelayan yang tidak dapat melaut. Keempat, kinerja ekspor produk perikanan nasional mengalami penurunan. Kelima, daya tarik investor sektor perikanan masih rendah.4 Pada tahun 2007 kegagalan juga terjadi pada Program Revitalisasi Kelautan dan Perikanan. Produksi ikan nasional pada tahun 2009 sebesar 6.8 juta ton dengan nilai ekspor sebesar US$ 2.3 miliar (FAO 2009), sedangkan target dari program Revitalisasi Kelautan dan Perikanan yaitu peningkatan produksi ikan pada tahun 2009 sebesar 9.7 juta ton dengan nilai ekspor sebesar US$ 5 miliar.5 Hal tersebut membuktikan bahwa target dari Program Revitalisasi Kelautan pada tahun 2009 tidak dapat tercapai. Pada periode 2009-2014 KKP mencanangkan Kebijakan Minapolitan dengan target volume produksi ikan sebesar 50 juta ton dan nilai ekspor sebesar US$ 11 miliar.6 Namun yang terjadi, kesejahteraan nelayan cenderung menurun dilihat dari Nilai Tukar Nelayan (NTN) bulan Juli turun sebesar 111.55 dibanding bulan sebelumnya sebesar 111.57 (BPS 2013)7. Namun pada periode yang sama harga ikan segar di pasar domestik mengalami kenaikan sebesar 0.08%. Hal tersebut menunjukkan bahwa kenaikan harga ikan di pasar tidak berpengaruh langsung terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan karena masih tingginya biaya produksi yang harus dikeluarkan oleh nelayan dan pembudidaya ikan. Orientasi pembangunan sektor kelautan dan perikanan adalah peningkatan produksi perikanan nasional jika dilihat dari berbagai program yang telah dilaksanakan. Program-program dilaksanakan untuk mendorong terjadinya modernisasi perikanan dengan kapitalisasi. Kapitalisasi dalam sektor perikanan 4
Suhana: Ekonomi Politik Kebijakan Kelautan Indonesia (Malang: Intrans Publishing, 2011), h.46-49 5 Apridar, Muhamad Karim, dan Suhana, op. cit., h. 121 6 Ibid, h. 121 7 Badan Pusat Statistika 2013 dalam Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) dan Japan International Coorperation Agency (JICA): Analisis Pencapaian Nilai Tukar Nelayan (NTN) (Jakarta: Direktorat Kelautan dan Perikanan Bappenas, 2014), h. 172
3 selanjutnya akan menciptakan unit usaha yang besar dan padat modal yang justru akan membuka peluang terjadinya kemiskinan bagi para nelayan. Kemiskinan nelayan diperparah dengan program bantuan pemerintah dalam pemberdayaan nelayan yang hingga saat ini belum mampu diakses oleh seluruh pelaku usaha perikanan, termasuk sistem teknologi modern yang belum mampu diakses oleh nelayan tradisional. Akibatnya, modernisasi melalui program pemerintah semakin meningkatkan eksploitasi terhadap nelayan yang berada dalam posisi lemah dalam pola bagi hasil yang cenderung menguntungkan pihak pemilik modal. Seperti yang dijelaskan oleh Satria (2009) bahwa di dalam masyarakat nelayan terdapat struktur sosial yang sangat khas yaitu hubungan patron-client. Dia menjelaskan hubungan patron-client terbentuk sebagai pola adaptasi dari kondisi risiko dan ketidakpastian lingkungan laut yang kemudian mempengaruhi pekerjaan dan pendapatan para nelayan.8 Dalam masyarakat nelayan, hubungan patron-client biasanya terjadi antara nelayan buruh dan pemilik modal serta antara pemilik modal dengan pedagang. Adanya hubungan patron-client membawa keuntungan bagi masing-masing pihak, nelayan diuntungkan dengan adanya jaminan bagi kepentingan sosial ekonomi mereka dan pemilik modal mendapat keuntungan berupa hasil tangkapan nelayan yang dijual kepada mereka. Namun beberapa studi membuktikan bahwa keuntungan yang diterima oleh pemilik modal lebih besar dibandingkan para nelayan. Hubungan patron-client ini tidak lagi sebagai hubungan yang saling menguntungkan tapi lebih mengarah kepada bentuk eksploitasi para pemilik modal. Masyarakat nelayan yang merupakan komunitas masyarakat pesisir terpinggirkan juga dihadapkan dengan permasalahan politik, sosial, dan ekonomi yang kompleks. Goodwin (1990) dalam Satria (2009) mengemukakan bahwa nelayan kecil (small scale fisher) tidak memiliki kemampuan dalam mempengaruhi kebijakan publik atau proses politik apapun sehingga nelayan kecil selalu berada pada posisi dependen dan marginal. 9 Menurutnya faktor kapital mempengaruhi posisi nelayan, semakin besar penguasaan terhadap kapital maka kesempatan untuk mempengaruhi proses politik pun semakin besar. Dalam perspektif Marxis semakin besar penguasaan kapital maka semakin ke atas kelas sosialnya sehingga semakin besar pula kesempatan untuk mempengaruhi proses politik dan kebijakan publik. Dasar pemikiran tersebut melatarbelakangi penelitian ini mengkaji dampak dari kebijakan perikanan tangkap yang justru membuka peluang terhadap terpinggirkannya posisi nelayan. Penelitian ini mengambil lokasi di Kota Semarang karena secara geografis daerah ini terletak di Pantai Utara Jawa dengan garis pantai sepanjang 13.6 kilometer. Implementasi kebijakan dan programprogram pemberdayaan perikanan tangkap di Kota Semarang masih berpihak kepada kepentingan pemilik modal dan belum sepenuhnya membebaskan nelayan dari proses eksploitasi oleh para pemilik modal. Oleh karena itu, penting untuk diteliti lebih lanjut mengenai bagaimana pengaruh kebijakan perikanan tangkap terhadap nelayan di Kota Semarang.
8 9
Arif Satria: Ekologi Politik Nelayan (Yogyakarta: LKiS, 2009), h. 338 Ibid, h. 340
4 Perumusan Masalah Unsur-unsur terpenting dalam pembangunan perekonomian di sektor kelautan dan perikanan adalah pemerintah, swasta, lembaga non pemerintah, dan masyarakat sekitar. Pembangunan sektor kelautan dan perikanan sering memunculkan permasalahan diantara pemegang unsur-unsur penting tersebut, antara lain permasalahan hubungan antara pemerintahan daerah dengan pemerintahan pusat, eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, serta pembangunan ekonomi (kemiskinan, kesenjangan dan kebijakan ekonomi makro). Satria (2009a) mengungkapkan bahwa kebijakan ekonomi makro Indonesia hingga saat ini masih difokuskan terhadap pemberian konsesi pada perusahaanperusahaan swasta dengan skala yang besar. Izin yang diberikan oleh pemerintah mencakup hak-hak eksklusif yang memungkinkan pihak swasta untuk mengakses, mengambil, bahkan melarang pihak lain mengambil sumber daya tersebut, sehingga memarginalkan hak-hak masyarakat lokal terhadap sumber daya alam secara politik dan ekonomi.10 Kebijakan yang lebih menguntungkan pihak swasta tersebut pada akhirnya memposisikan nelayan secara ekonomi politik tidak memiliki akses di wilayah pesisir dan lautan. Di Indonesia, hingga saat ini belum ada institusi yang dapat menjamin kehidupan nelayan. Nelayan bukan hanya tidak mampu secara ekonomi tetapi juga tidak diperhitungkan secara politik dengan adanya kebijakan yang tidak berpihak kepada nelayan. Hal ini dibuktikan oleh beberapa penelitian bahwa di dalam lingkungan masyarakat pesisir terdapat kesenjangan pendapatan antara nelayan pemilik (patron) dan nelayan buruh (client). Tingkat kesenjangan ditunjukkan oleh koefisien gini (KG) berbasis pendapatan yaitu mencapai 0.73. Angka tersebut menunjukkan kesenjangan pendapatan antara nelayan pemilik (patron) dan nelayan buruh (client) ditunjukkan dengan KG mendekati 1 (sangat senjang).11 Kemiskinan dan ketidakmerataan distribusi pendapatan nelayan bukan hanya karena faktor lingkungan berupa ketidakpastian cuaca akan tetapi terdapat unsur ekonomi politik di dalamnya. Karim (2003) menyatakan problem kemiskinan nelayan adalah, pertama tekanan-tekanan struktural yang bersumber dari kebijakan pemerintah Indonesia dalam membangun sektor perikanan. Kedua, ketergantungan yang berbentuk patron client antara pemilik faktor produksi (kapal, alat tangkap) dengan buruh nelayan yang membuat pemilik modal menikmati pendapatan yang lebih besar serta dapat menguasai akses terhadap pasar. Ketiga, eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya perikanan akibat modernisasi yang tidak terkendali. Keempat, pengambilalihan wilayah perikanan tradisional yang dilakukan oleh perusahaan perikananan modern. Kelima, adanya fenomena kompradorisasi.12 10
Arif Satria: Pesisir dan Laut untuk Rakyat (Bogor: IPB Press, 2009), h.10 Tridoyo Kusumastanto: Reposisi “Ocean Policy” dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia di Era Otonomi Daerah, Orasi Ilmiah (Bogor: PKSPL-IPB, 2002), h.44 12 Muhamad Karim: Problem Ekonomi Politik Kemiskinan Nelayan (Opini Sinar Harapan 20 Agustus 2003), h. 2-3. Kompradorisasi berdasarkan pemikiran Neo-Marxis yaitu proses pelancaran dan perlindungan terhadap modal asing melalui jaringan kerjasama antara pemodal asing, pengusaha domestik dan elite yang berkuasa yang kemudian menyebabkan terjadinya pengalihan keuntungan (surplus transfer) dari lokal ke luar. Lihat Sritua Arief dan Adi Sasono: Ketergantungan dan Keterbelakangan (Jakarta: Sinar Harapan, 1984 cetakan kedua), h. 22 11
5 Di Kota Semarang beberapa kebijakan perikanan tangkap belum sepenuhnya melindungi nelayan. Hal tersebut dapat dilihat dari produktivitas nelayan yang hingga saat ini masih tergolong rendah karena penggunaan armada perikanan di daerah tersebut didominasi oleh kapal berukuran kecil, yaitu perahu motor tempel. Kondisi tersebut diperparah dengan keterbatasan untuk memanfaatkan dana perbankan oleh para nelayan. Selain itu, masalah sarana prasarana perikanan tangkap di Kota Semarang juga menjadi salah satu faktor produksi perikanan tangkap yang rendah. Di Kota Semarang fungsi dari TPI sebagai sarana yang disediakan pemerintah untuk membantu nelayan dalam memasarkan hasil ternyata belum optimal. Penyebabnya yaitu nelayan telah menjalin hubungan patron-client dengan bakul atau pedagang pengumpul yang telah memberikan fasilitas kredit sehingga nelayan harus memenuhi kewajibannya untuk menjual hasil tangkapannya. Berdasarkan uraian tersebut, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana kebijakan perikanan tangkap di Kota Semarang dan dampaknya terhadap nelayan? 2. Apakah terdapat gejala kompradorisasi dalam perikanan tangkap di Kota Semarang? Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan: 1. Menganalisis kebijakan perikanan tangkap di Kota Semarang dan dampaknya terhadap nelayan. 2. Mengidentifikasi ada atau tidaknya gejala kompradorisasi dalam perikanan tangkap di Kota Semarang. Manfaat Penelitian Penelitian ini merupakan perwujudan dari Tridharma Perguruan Tinggi yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat berbagai pihak, yaitu: 1. Bagi penulis, penelitian ini berguna dalam mengaplikasikan ilmu yang telah diterima penulis selama masa perkuliahan. 2. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini bermanfaat untuk menambah literatur mengenai ekonomi politik kebijakan perikanan tangkap terhadap nelayan. 3. Bagi pemerintah khususnya Pemerintah Daerah Kota Semarang, penelitian ini diharapkan berguna dalam memberikan informasi serta sebagai bahan pertimbangan atau masukan dalam pengambilan keputusan dan perumusan berbagai kebijakan yang relevan dengan kondisi nelayan, agar program atau kebijakan dapat terimplementasi dengan baik dan tidak adanya tumpang tindih kebijakan pusat dan kebijakan daerah.
6
TINJAUAN PUSTAKA Penelitian ini difokuskan pada tiga pokok bahasan yaitu analisis kebijakan perikanan tangkap, analisis tentang dampak kebijakan terhadap distribusi pendapatan nelayan di Kota Semarang, dan pada pembahasannya akan lebih diperdalam dengan analisis ekonomi politik terhadap kompradorisasi dalam perikanan tangkap di Kota Semarang. Pada bab tinjauan pustaka ini terdiri dari teori, konsep dan penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini serta kerangka pemikiran yang menjelaskan alur pemikiran penelitian ini yang didasarkan pada teori dan konsep yang berkaitan dan relevan. Teori Ekonomi Politik Ide ekonomi politik didasarkan pada pemisahan antara ilmu ekonomi dan ilmu politik yang secara analitis keduanya berbeda. Pemisahan antara ilmu ekonomi dan ilmu politik ini bukan berarti keduanya tidak saling mempengaruhi satu sama lain. Terdapat hubungan-hubungan teoritis antara ekonomi dan politik. Hubungan antara ekonomi dan politik ini kemudian disebut dengan ekonomi politik.13 Sebelum penjelasan lebih lanjut mengenai ekonomi politik, maka akan diidentifikasikan pemahaman yang berbeda antara ilmu ekonomi dan ilmu politik. Dalam memahami ilmu politik terdapat tiga pandangan tentang politik, yaitu politik sebagai pemerintahan, politik sebagai kehidupan publik, dan politik sebagai alokasi nilai oleh pihak yang berwenang. Sedangkan ilmu ekonomi didefinisikan menjadi tiga makna, yaitu ekonomi kalkulasi, ekonomi sebagai kegiatan pemenuhan kebutuhan (provisioning), dan ekonomi sebagai perekonomian. Politik sebagai pemerintahan merupakan pandangan bahwa politik sama dengan kegiatan, proses, dan struktur dalam pemerintahan itu sendiri. Dimana pemerintahan yang dimaksud yaitu institusi, undang-undang, kebijakan publik dan pelaku-pelaku utama dalam pemerintahan. 14 Konsep politik sebagai publik melihat ada dua tujuan yang ingin dicapai individu, yaitu tujuan yang bersifat pribadi dan tujuan yang melibatkan publik. Caporaso dan Levine (2008) mendefinisikan pribadi sebagai urusan-urusan yang sifatnya terbatas pada individu sedangkan publik sebagai kegiatan yang melibatkan orang lain.15 Politik sebagai alokasi nilai oleh pihak yang berwenang memandang bahwa politik dan ekonomi memiliki kesamaan yaitu sebagai cara untuk melakukan alokasi terhadap sumber daya yang langka. Perbedaannya politik sebagai cara khusus untuk membuat keputusan dalam memproduksi dan mendistribusikan sumber daya, sedangkan ekonomi merupakan pertukaran secara sukarela. Politik sebagai alokasi nilai tidak lagi memandang politik sebagai struktur dari pemerintahan tetapi sebagai cara mengalokasikan nilai kepada masyarakat dengan menggunakan wewenang.16 13
James A Caporaso dan David P. Levine: Teori-Teori Ekonomi Politik. Diterjemahkan oleh: Suraji (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 1-2 14 Ibid, h. 4 15 Ibid, h. 11-12 16 Ibid, h. 22-23
7 Konsep ekonomi kalkulasi merujuk kepada pandangan terhadap tindakan manusia sebagai upaya untuk mencapai tujuan yang dihadapkan dengan faktorfaktor hambatan berupa keterbatasan sumber daya. Fokus pendekatan ekonomi kalkulasi yaitu pada masalah efisiensi dan pilihan yang dibatasi. Dimana individu dihadapkan dengan peluang dan hambatan dan berusaha melakukan yang terbaik untuk memenuhi kebutuhannya.17 Konsep kedua yaitu ekonomi sebagai kegiatan pemenuhan kebutuhan (provisioning) berbeda dengan konsep sebelumnya karena lebih mengarahkan pada proses produksi dan reproduksi barang untuk mempertahankan kelangsungan hidup ekonomi. Konsep ekonomi yang kedua ini tidak mempertimbangkan apakah kegiatan produksi dilakukan secara efisien atau tidak.18 Konsep yang terakhir adalah ekonomi sebagai perekonomian yaitu konsep yang menyatakan bahwa ekonomi merupakan institusi yang memiliki sifat-sifat sosial dan historis khusus. Kegiatan ekonomi dalam konsep ini diberi wilayah terpisah dan menjadi sebuah institusi yang berdiri sendiri.19 Definisi ekonomi politik menurut Yustika (2012)20: “interrelasi di antara aspek, proses, dan institusi politik dengan kegiatan ekonomi (produksi, investasi, penciptaan harga, perdagangan, konsumsi, dan lain sebagainya)” Dari definisi tersebut Yustika (2012) menjelaskan bahwa ekonomi politik menghubungkan seluruh penyelengaraan politik baik aspek, proses, maupun kelembagaan dengan kegiatan ekonomi yang dilakukan masyarakat maupun pemerintah. Menurut Damanhuri (2010) analisis ekonomi politik diperlukan untuk memahami berbagai pendekatan teori secara komparatif seperti teori liberal, teori radikal atau struktural dan teori heterodoks. 21 Berdasarkan teori liberal setiap individu diberi kebebasan dalam menguasai dan mengelola sumber daya untuk memenuhi kepentingannya. Perekonomian dalam teori liberal tidak memerlukan intervensi dari pemerintah karena perekonomian akan berjalan menurut mekanisme pasar. Menurut teori liberal ada dua cara dalam mengatasi keterbelakangan negara berkembang yaitu pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan perdagangan bebas internasional. 22 Sedangkan teori radikal atau struktural (Marxis dan Neo Marxis) muncul berdasarkan kritikan terhadap teori liberal. Para pencetus teori radikal menganggap keterbelakangan negara sedang berkembang disebabkan oleh adanya ekspansi kapital oleh negara maju. Ekspansi kapital tersebut menyebabkan adanya surplus transfer produksi kepada kaum kapitalis dan berakibat pada pemiskinan massa yang terjadi di negara sedang berkembang melalui ketergantungan modal dan teknologi oleh negara berkembang kepada negara maju.23 17
Ibid, h. 37-39 Ibid, h. 44 19 Ibid, h. 54-55 20 Ahmad Erani Yustika: Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan Kebijakan ( Jakarta: Erlangga, 2012), h. 100 21 Didin S. Damanhuri: Ekonomi Politik dan Pembangunan: Teori, Kritik dan Solusi bagi Indonesia (Bogor: IPB Press, 2010), h. 2 22 Ibid, h. 14-15 23 Ibid, h. 41-42 18
8 Pendekatan teori yang ketiga yaitu pendekatan teori heterodoks yang merupakan teori yang menyempal dari teori liberal dan teori radikal. Teori heterodoks didasarkan pada kenyataan yang terjadi di negara sedang berkembang. Dalam teori ini ada pengakuan terhadap kebudayaan dan struktur sosial yang disesuaikan dengan nilai-nilai modern, sehingga menjadi kekuatan dalam pembangunan ekonomi yang lebih maju.24 Teori Surplus Values dan Teori Ketergantuan Penelitian ini lebih difokuskan pada analisis ekonomi politik berdasarkan teori radikal atau struktural dengan pendekatan teori surplus values dan teori ketergantungan (dependency theory). Teori surplus values dikemukakan oleh Karl Marx dengan membagi dua kelompok besar dalam kapitalisme yaitu pekerja yang menjual tenaganya sesuai harga pasar dan kapitalis sebagai pemilik alat-alat produksi. Marx melihat adanya transfer nilai surplus kepada kaum kapitalis akibat eksploitasi terhadap pekerja. Kaum kapitalis terus menambah surplus values dengan cara penambahan jam kerja dan pengurangan upah pekerja. Surplus values tersebut berupa kelebihan tenaga yang diberikan oleh pekerja tanpa menerima imbalan. 25 Teori ketergantungan muncul berdasarkan kerangka pemikiran Paul Baran. Pemikiran Paul Baran menyatakan bahwa negara berkembang memperoleh keuntungan dengan adanya pergerakan modal dari negara maju, akan tetapi keuntungan ini tidak dapat diakumulasikan kembali oleh negara berkembang seperti yang terjadi di negara maju. Penyebabnya adalah terjadinya perpindahan akumulasi keuntungan dari negara berkembang ke negara maju yang diakibatkan adanya pergerakan faktor modal tersebut. Selain itu menurut Baran, sektor industri yang mengalami pertumbuhan dengan pesat hanyalah industri yang memproduksi barang mewah, kondisi ini mengarah pada situasi monopolistis dan oligopolistis. Pertumbuhan ekonomi seperti ini terjadi atas adanya kerjasama antara pemodal asing dengan pengusaha domestik dan elite berkuasa yang bertugas sebagai kelas komprador yang melindungi kepentingan pihak asing di dalam negeri.26 Kerangka pemikiran Paul Baran kemudian dikembangkan oleh Andre Gunder Frank dengan membuat empat hipotesis yaitu pertama, negara maju pasti mengalami perkembangan yang pesat sedangkan negara berkembang akan terus mengalami keterbelakangan dalam hubungan ekonomi antara keduanya. Kedua, negara berkembang dapat mengalami perkembangan ekonomi apabila tidak memiliki hubungan dengan kapitalis international atau hubungannya sangat lemah. Ketiga, negara yang saat ini dalam kondisi yang terbelakang merupakan negara yang pada masa lampau memiliki hubungan dengan negara maju dari sistem kapitalis internasional dan merupakan negara pengekspor bahan mentah primer dalam perdagangan internasional. Keempat, pertumbuhan kawasan-kawasan yang maju bukanlah hasil dari proses penerapan sistem kapitalis asing akan tetapi kawasan tersebut memang sudah mengalami pertumbuhan yang kuat dengan dinamikanya sendiri.27 24
Ibid, h. 61-62 Ibid, h. 44-45 26 Sritua Arief dan Adi Sasono, op. cit, h. 17-22 27 Ibid, h. 25-27 25
9 Dos Santos mengembangkan hipotesis Gunder Frank dengan melihat pola kerjasama antara elite penguasa dan golongan yang melindungi para elite tersebut. Menurut Dos Santos, proses ketergantungan negara berkembang terhadap negara maju bukan hanya disebabkan oleh faktor dari luar negeri tetapi juga harus memperhatikan faktor dari dalam negeri. Sehingga untuk memutus ketergantungan terhadap pihak asing tidak dapat hanya dengan melakukan isolasi akan tetapi harus mengubah struktur di dalam negeri terlebih dahulu supaya tidak menimbulkan kekacauan ekonomi dalam negeri.28 Selain Gunder Frank dan Dos Santos pendukung teori ketergantungan yang lain yaitu Samir Amin. Samir Amin mengungkapkan terjadinya hubungan perdagangan internasional dengan pertukaran yang tidak adil (unequal exchange) antara negara maju atau sentral (centre atau core) dan negara miskin atau pinggiran (peripheri). Rintangan yang muncul karena pertukaran yang tidak adil menyebabkan pertumbuhan ekonomi prakapitalis menuju ekonomi kapitalis di negara periphery sangat berbeda dengan negara centre. Sehingga mengakibatkan negara periphery yang terbelakang tetap terus terbelakang.29 Kebijakan Perikanan Tangkap Kebijakan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kebijakan yang meliputi kebijakan pemerintah dan peraturan yang mengatur mengenai perikanan tangkap. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (2010) dalam melaksanakan program pengembangan dan pengelolaan perikanan tangkap menggunakan alokasi dana sebesar Rp 8 145 000 000 000,00. Dana tersebut kemudian dialokasikan untuk enam kegiatan di tingkat nasional yang akan dilaksanakan pada periode 2010-2014, yaitu30: 1. Pengelolaan Sumber Daya Ikan (SDI). 2. Pembinaan dan pengembangan kapal perikanan, alat penangkapan ikan, dan pengawakan kapal perikanan. 3. Pengembangan pembangunan dan pengelolaan pelabuhan perikanan. 4. Pelayanan usaha perikanan tangkap yang efisien, tertib, dan berkelanjutan. 5. Pengembangan usaha penangkapan ikan dan pemberdayaan nelayan skala kecil. 6. Peningkatan dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis lainnya Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Sehubungan dengan kebijakan perikanan ini, KKP telah berupaya untuk membuat program-program pemberdayaan dan pembangunan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir, khususnya nelayan. Secara umum program ini terbagi menjadi dua, yaitu pertama program ekonomi yang bertujuan meningkatkan pendapatan nelayan melalui pemberdayaan, pemberian kredit, penyuluhan pengembangan usaha, pengadaan fasilitas pemasaran produksi. Kedua,
28
Ibid, h. 27-28 Ibid, h. 31 dan 34. Lihat juga Didin S. Damanhuri (2010), op. cit, h. 48 30 Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap: Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Perikanan Tangkap tahun 2010 (Jakarta: Sekretariat Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2010), h. 72-75 29
10 program kesejahteraan rakyat seperti program kependudukan, kesehatan, pendidikan serta perbaikan lingkungan. Program-program tersebut selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Menteri (Permen) KKP tentang penugasan sebagian urusan pemerintahan (tugas pembantuan) bidang kelautan dan perikanan tahun anggaran 2010 kepada pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota. Kegiatan pengembangan sumber daya perikanan tangkap di Provinsi Jawa Tengah adalah peningkatan dan pengembangan pelabuhan perikanan/ pangkalan pendaratan ikan. 31 Di Kota Semarang program pengembangan sumber daya perikanan dikembangkan menjadi kegiatan pemberdayaan ekonomi, sosial, budaya pelaku usaha perikanan dan masyarakat pesisir.32 Program dari kebijakan yang telah disusun oleh KKP tersebut setelah dilimpahkan kepada masing-masing pemimpin daerah harus mendapat pengawasan. Kurangnya kontrol pemerintah dapat menyebabkan perbedaan pemahaman yang dapat memunculkan konflik diantara para stakeholders di sektor perikanan dan daerah-daerah kabupaten/kota yang berbatasan. Adapun permasalahan yang timbul diantaranya konflik dalam memperebutkan sumber daya baik sumber daya air, lahan maupun ikan serta terbukanya celah terhadap penguasaan asing melalui penanaman modal yang pada akhirnya mengakibatkan terpinggirkannya nelayan kecil (Lihat Tabel 2). Tabel 2 Peraturan perundang-undangan yang berpotensi menimbulkan konflik No
1.
2.
Peraturan Perundangundangan
Klausal Bermasalah
Dampak
Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air
Pasal 7, 8, dan 9 yang mengatur Hak Guna Air (HGA).
Menutup akses petani tambak untuk mendapatkan air dalam usaha budidaya ikan.
Undang-undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal
Pasal 22 memberikan Hak Guna Usaha (HGU) selama 95 tahun, Hak Guna Bangunan (HGB) selama 80 tahun dan Hak Pakai selama 70 tahun atas tanah (termasuk wilayah pesisir) kepada investor baik domestik maupun pihak asing.
Lahan tambak produktif di Indonesia dapat dikuasai oleh pemilik modal dan hal tersebut dapat melanggar hak masyarakat pesisir khususnya petani tambak untuk mengakses sumber daya lahan di wilayah pesisir.
Sumber: Diadaptasi dari Tabel 5.1 dalam Apridar, et al. (2011)33
31
Ibid, h. 129 Ibid, h. 177 33 Apridar, Muhamad Karim, dan Suhana, op. cit., h. 123 32
11 Karakteristik Nelayan Nelayan memiliki sistem nilai dan simbol-simbol kebudayaan sebagai referensi perilaku mereka sehari-hari. Nelayan menurut Undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. Statistik perikanan tangkap mendefinisikan nelayan sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan. Pembuat jaring, pengangkut alat-alat perlengkapan ke dalam kapal tidak termasuk sebagai nelayan, sedangkan juru masak dan ahli mesin yang bekerja di atas kapal termasuk sebagai nelayan meskipun tidak melakukan kegiatan penangkapan ikan. Statistik perikanan tangkap membagi nelayan berdasarkan waktu yang digunakan untuk melakukan operasi penangkapan ikan34, yaitu: 1. Nelayan penuh, yaitu nelayan yang seluruh waktu kerjanya digunakan untuk melakukan penangkapan ikan. 2. Nelayan sambilan utama, yaitu nelayan yang sebagian waktu kerjanya digunakan untuk melakukan penangkapan ikan. Selain melakukan pekerjaan penangkapan ikan nelayan ini bisa memiliki pekerjaan yang lain. 3. Nelayan sambilan tambahan, yaitu nelayan yang sebagian waktu kerjanya digunakan untuk melakukan penangkapan ikan. Menurut Undang-undang nomor 16 tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan, nelayan dibagi ke dalam empat kategori yaitu nelayan pemilik, nelayan penggarap, pemilik tambak dan penggarap tambak. Sementara Undang-undang nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan Undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan mendefinisikan35: 1. Nelayan adalah orang yang mata pencahariaannya melakukan penangkapan ikan. 2. Nelayan Kecil adalah orang yang mata pencahariaannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 gross ton (GT). 3. Pembudidaya ikan adalah orang yang mata pencahariaannya melakukan budidaya ikan. 4. Pembudidaya ikan kecil adalah orang yang mata pencahariaannya melakukan budidaya ikan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Sedangkan berdasarkan kepemilikan alat tangkap nelayan dibagi menjadi dua kategori, yaitu: 1. Nelayan pemilik (Juragan) adalah nelayan yang memiliki alat penangkapan berupa perahu maupun jaringnya. 2. Nelayan penggarap (nelayan buruh) adalah nelayan yang tidak memiliki alat penangkapan, mereka mengoperasikan alat tangkap dengan menyewa dari pemilik alat penangkapan atau menjadi pekerja (buruh) pada pemilik alat penangkapan. Pola bagi hasil nelayan pemilik dan nelayan penggarap diatur dalam Undang-undang nomor 16 tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan pada pasal 3 ayat 1. Adapun bagi hasil untuk nelayan penggarap di perikanan laut yang 34
Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Statistik Perikanan Tangkap 2010 (Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2010) , h. xv 35 Undang-undang nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan Undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan pasal 1 angka 10,11,12 dan 13.
12 menggunakan kapal layar yaitu minimal 75% dari hasil bersih, sedangkan yang menggunakan kapal motor minimal 40% dari hasil bersih.36 Pasal 4 dari undangundang tersebut mengatur tentang beban-beban yang termasuk tanggungan bersama dan tanggungan nelayan pemilik. Beban-beban yang menjadi tanggungan bersama yaitu ongkos lelang, biaya perbekalan nelayan penggarap selama di laut, biaya untuk sedekah laut serta iuran-iuran yang disahkan Pemerintah Daerah Tingkat II. Sedangkan beban-beban yang menjadi tanggungan nelayan pemilik yaitu ongkos pemeliharaan dan perbaikan alat penangkapan, biaya penyusutan dan juga biaya usaha penangkapan seperti BBM, minyak, es, dan sebagainya.37 Di Kota Semarang nelayan dikategorikan menjadi tiga yaitu nelayan pemilik (juragan), nelayan buruh, dan nelayan perorangan. Nelayan perorangan adalah nelayan yang memiliki alat penangkapan sendiri dan melakukan penangkapan sendiri tanpa tenaga tambahan orang lain. Pola bagi hasil yang diberlakukan bagi nelayan buruh di daerah ini diberlakukan sesuai dengan undang-undang tersebut dengan pengawasan dari Pemerintah Daerah Tingkat II. Penelitian Terdahulu Banyak penelitian yang telah dilakukan mengenai kebijakan modernisasi perikanan dan kaitannya dengan kemiskinan nelayan dan eksploitasi terhadap nelayan. Nasikun (1995) dalam Karim (2005) yang melakukan penelitian terhadap nelayan di daerah Muncar, Jawa Timur membuktikan bahwa penggunaan teknologi tangkap yang lebih modern tidak diikuti dengan hubungan kerja antara patron dan client yang saling menguntungkan. Dengan sistem bagi hasil yang eksploitatif, pendapatan yang diperoleh dari hasil penangkapan ikan tidak dinikmati oleh para nelayan tetapi hanya dinikmati oleh pemilik kapal. Pada tingkat pemasaran aksesnya dikuasai oleh kalangan pemilik modal yang dengan mudah memainkan harga hasil produksi.38 Pangemanan (1994) melakukan penelitian mengenai peranan lembaga pemasaran perikanan di Sulawesi Utara mengungkapkan bahwa TPI di Aer Tembaga Bitung belum mampu menjalankan peranan dan fungsinya sebagai lembaga pemasaran hasil perikanan. Masih banyak transaksi nelayan dengan „petibo‟ atau pedagang yang tidak melalui proses lelang. Hal ini karena pedagang besar kurang tertarik dengan proses lelang yang pada akhirnya akan mengurangi keuntungan bagi mereka. Padahal lembaga pemasaran seperti tempat pelelangan ikan tersebut dapat melindungi para nelayan dari permainan harga para pedagang besar.39 Seperti yang diungkapkan Tjitroresmi dalam Masyhuri (2001) bahwa meskipun nelayan dapat menangkap ikan bernilai ekonomis tinggi namun mereka belum mampu untuk menjual langsung kepada eksportir, sehingga nelayan harus puas dengan harga yang diberikan pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul 36
Undang-undang nomor 16 tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan pasal 3 ayat 1 Ibid, pasal 4 38 Muhamad Karim [Tesis]: Analisis Kemiskinan dan Kesenjangan Pembangunan Di Kawasan Pesisir Kabupaten Karawang dan Sukabumi Jawa Barat (Bogor: IPB, 2005), h. 19 39 Jeannete F. Pangemanan [Tesis]: Tingkat Kesejahteraan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Nelayan di Pessir Pantai Sulawesi Utara (Manado: KPK Institut Pertanian BogorUniversitas Sam Ratulangi, 1994), h.67-77 37
13 inilah yang nantinya menerima keuntungan yang lebih besar dibandingkan nelayan. 40 Listianingsih (2008) dalam penelitiannya mengenai hubungan sistem pemasaran dan kemiskinan nelayan di PPI Muara Angke mengemukakan bahwa terdapat gejala eksploitasi dalam praktik pemasaran yang dilakukan pedagang perantara sehingga mengakibatkan rendahnya pendapatan nelayan. Gejala eksploitasi juga terlihat dalam praktik pola bagi hasil ABK dan juragan kapal.41 Tindjabate (2001) dalam Karim (2005) melakukan penelitian tentang kemiskinan nelayan sebagai akibat dari kebijakan pembangunan perikanan Pemerintah Daerah Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Kebijakan dengan merealisasikan kepentingan pemerintah untuk meningkatkan hasil produksi perikanan laut sebagai sumber devisa negara berlangsung secara intensif, melalui intervensi birokrasi dan kapitalisasi dalam kegiatan nelayan di Kecamatan Ampenan. Dampaknya yaitu adanya diskriminasi terhadap kepentingan nelayan tradisional dari aparat Pemerintah Daerah Kabupaten Poso. Intervensi kapital telah menyebabkan hubungan kerja menjadi beragam. Hal tersebut ditandai dengan munculnya buruh nelayan dan ponggawa, serta perubahan sumber penghasilan nelayan menjadi bergantung pada upah yang diberikan oleh juragan pemilik pukat cincin yang mengakibatkan eksploitasi kepada nelayan buruh.42 Satria (2000) dalam penelitiannya tentang modernisasi perikanan dan mobilitas sosial nelayan di Kelurahan Krapyak Lor, Pekalongan Jawa Tengah menyatakan bahwa modernisasi di Pekalongan terjadi dalam tiga tahap yaitu pertama modernisasi melalui birokrasi pemerintah, kedua melalui jalur kapitalis, dan yang ketiga kembali melalui jalur birokrasi pemerintah. Dalam modernisasi yang kedua ternyata memunculkan adanya elit pengusaha perikanan yang diwarnai gejala kompradorisasi. Hal tersebut menyebabkan surplus transfer dari Pekalongan ke luar Pekalongan dan surplus tersebut berasal dari hasil eksploitasi terhadap buruh nelayan melalui peran Primkopal (institusi milik Angkatan Laut) dan HNSI (Himpunan Kerukunan Nelayan Indonesia) sebagai kelas komprador.43 Pranadji (1995) dalam Satria (2000) menjelaskan bahwa modernisasi perikanan tangkap berupa perbaikan teknologi penangkapan masih menguntungkan nelayan kaya (juragan) melalui kelembagaan bagi hasil dalam kelompok kerja yang tidak memungkinkan nelayan buruh untuk menikmati hasil dari modernisasi karena tidak adanya kesempatan untuk berinteraksi dengan jaringan kerja di luar kelompok kerja nelayan.44 Oleh Sajogyo (1982) dalam Satria (2000) dikatakan sebagai „modernization without development’ karena modernisasi yang mengarah pada peningkatan produksi perikanan hanya merupakan pertumbuhan ekonomi saja dan belum bisa dikatakan sebagai pembangunan ekonomi. Sajogyo juga mengatakan modernisasi masih bias kepada kepentingan elit nelayan yang memiliki akses terhadap modernisasi tersebut.45 40
Masyhuri (Ed). Adaptasi Nelayan dalam Pemanfaatan Sumber daya Laut: Aspek Kelembagaan Ekonomi (Jakarta: P2E-LIPI, 2001), h. 61-65 41 Windi Listianingsih [Skripsi]: Sistem Pemasaran Hasil Perikanan dan Kemiskinan Nelayan (Studi Kasus: di PPI Muara Angke, Kota Jakarta Utara) (Bogor: Institut Pertanian Bogor, 2008), h. 133 42 Muhamad Karim [Tesis], op.cit, h. 20 43 Arif Satria [Tesis]: Modernisasi Perikanan dan Mobilitas Sosial Nelayan, Studi Kasus Kelurahan Krapyak Lor Kodya Pekalongan Jawa Tengah (Bogor: IPB, 2000), h. 121 44 Ibid, h. 32 45 Ibid, h. 32-33
14 Karim (2005) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa desa pesisir dengan perkembangan yang maju seperti Pelabuhanratu merupakan daerah yang sangat miskin. Hal tersebut dibuktikan oleh Karim dengan tingginya pemukiman kumuh, tingginya penduduk yang bermukim di bantaran sungai, tingginya angka pengangguran, dan terjadi kesenjangan kesejahteraan distribusi pendapatan yang besar di Desa Pelabuhanratu. Karim melihat penyebab kemiskinan tersebut dari dimensi struktural. Masyarakat Desa Pelabuhanratu memiliki kemampuan secara fisik dalam mengakses sumber daya alam akan tetapi kondisi kemiskinannya tetap tinggi akibat tekanan struktural seperti kekuasaan, kelembagaan dan kebijakan.46 Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini fokus pada bahasan mengenai dampak kebijakan dan program pemberdayaan ekonomi serta pengembangan usaha perikanan tangkap terhadap distribusi pendapatan nelayan di Kota Semarang serta bagaimana pola bagi hasil dan juga struktur pemasaran komoditas perikanan tangkap. Pada pembahasannya akan diperdalam dengan menggunakan analisis ekonomi politik dan analisis mengenai fenomena kompradorisasi dalam perikanan tangkap Kota Semarang. Kerangka Pemikiran Sejak reformasi, pemerintah Indonesia mulai menyadari arti penting sektor kelautan dan perikanan yang ditunjukan dengan dicanangkannya program dan kebijakan pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Dampaknya sangat terlihat yaitu terjadinya peningkatan produksi perikanan karena adanya modernisasi perikanan dengan dukungan usaha-usaha berskala besar dan juga padat modal. Kondisi tersebut pada akhirnya meningkatkan kesenjangan antar pelaku usaha perikanan, karena kurang memperhatikan aspek kesejahteraan nelayan. Nelayan dituntut untuk melakukan kapitalisasi perikanan padahal tidak semua nelayan dapat mengakses teknologi modern. Dalam penelitian ini akan digunakan analisis ekonomi politik yang dibantu dengan analisis ketimpangan distribusi pendapatan untuk melihat dampak kebijakan kelautan dan perikanan terhadap distribusi pendapatan antar nelayan di Kota Semarang. Modernisasi dalam bentuk kapitalisasi perikanan tidak terlepas dari proses produksi di luar Kota Semarang baik itu di dalam negeri maupun di luar negeri. Modernisasi merupakan kerjasama elit lokal dan elit luar dalam penetrasi kapital. Hubungan antara elit lokal (elit ekonomi/kapitalis, elit politik, elit sosial) dan elit luar (kapitalis) berbeda-beda, untuk itu akan diteliti lebih lanjut elit lokal manakah yang melakukan kerjasama secara intensif dengan elit luar. Penelitian ini akan melihat lebih lanjut apakah kemunculan elit pengusaha dan elit penguasa lokal diwarnai dengan gejala kompradorisasi. Untuk analisis gejala kompradorisasi akan dilakukan analisis terhadap dua dimensi yaitu dimensi mikro dan dimensi makro. Analisis terhadap dimensi mikro melihat apakah terjadi surplus transfer dari buruh nelayan ke nelayan pemilik (juragan) dan bagaimana peran elit yang berkuasa pada fenomena tersebut. Sedangkan analisis terhadap dimensi makro melihat apakah terjadi surplus transfer dari dalam Kota Semarang ke luar Kota Semarang. Analisis terhadap dimensi mikro maupun dimensi makro dilakukan dengan pendekatan deskriptif berdasarkan data-data sekunder. 46
Muhamad Karim [Tesis]. op. cit, h. 203-207
15 Adapun kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat dalam gambar 1 Pembangunan perekonomian Indonesia berbasis perikanan Kebijakan sektor perikanan tangkap dengan orientasi peningkatan produksi dan ekspor perikanan nasional Modernisasi melalui kapitalisasi perikanan Munculnya elit pengusaha, elit penguasa, dan elit pemodal asing Analisis ekonomi politik
Analisis gejala kompradorisasi
Analisis indeks gini ratio pendapatan nelayan
Kemiskinan relatif dan kemiskinan struktural nelayan
Ada atau tidaknya gejala kompradorisasi
Merata atau tidaknya distribusi pendapatan
Rekomendasi Kebijakan
Gambar 1 Kerangka Penelitian
METODE PENELITIAN Metode penelitian adalah suatu studi mengenai cara-cara melaksanakan penelitian berdasarkan realitas atau gejala-gejala secara ilmiah. 47 Maksudnya dalam melaksanakan penelitian, para peneliti diharuskan memilih berbagai metode berdasarkan prosedur, alat, serta desain penelitian yang digunakan. Metode penelitian juga dapat didefinisikan sebagai cara ilmiah untuk memperoleh data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Cara ilmiah artinya penelitian didasarkan pada ciri-ciri rasional yaitu dengan cara yang masuk akal, empiris yaitu dapat diamati oleh indera manusia, dan sistematis yaitu menggunakan langkah-langkah tertentu yang bersifat logis.48 47 48
Cholid Narbuko dan Abu Achmadi: Metodologi Penelitian (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), h. 2 Sugiyono: Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D (Bandung: Alfabeta,2011), h. 2
16 Metode penelitian dapat dikategorikan menjadi dua, metode penelitian kualitatif dan metode kuantitatif. Metode kuantitatif memandang realitas atau gejala sebagai sesuatu yang dapat diklasifikasikan, relatif tetap, teramati, terukur, dan hubungannya bersifat sebab akibat. Sedangkan metode kualitatif memandang suatu realitas atau gejala sebagai sesuatu yang utuh, kompleks dinamis, penuh makna, dan hubungannya bersifat interaktif. 49 Metode kuantitatif digunakan apabila masalah penelitian yang merupakan penyimpangan antara yang seharusnya dengan yang terjadi sudah jelas. Sedangkan metode kualitatif digunakan apabila masalah penelitian belum jelas, sehingga peneliti dapat melakukan eksplorasi terhadap suatu obyek untuk menemukan masalah penelitian yang jelas.50 Kedua metode tersebut dapat digunakan bersama-sama dalam sebuah penelitian. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan yaitu pada bulan Maret hingga bulan Septembar 2014. Penentuan pemilihan lokasi penelitian ini didasarkan pada pertimbangan berikut: 1. Kota Semarang telah memperoleh program pemberdayaan dari pemerintah pusat (Kementerian Kelautan dan Perikanan) berupa Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) yang digulirkan pada tahun anggaran 2003 sampai dengan tahun 2008 di Kelurahan Mangkang Wetan, Kelurahan Mangunharjo, Kelurahan Mangkang Kulon, Kelurahan Bandarharjo dan Kelurahan Tanjung Mas serta Program Pengembangan Usaha Mina Pedesaan (PUMP) yang dimulai tahun anggaran 2011 sampai tahun 2014. 2. Di Kota Semarang hanya satu tempat pelelangan ikan yang menunjukkan aktivitas perekonomian masyarakat pesisir yaitu TPI Tambaklorok di Kelurahan Tanjung Mas, Kecamatan Semarang Utara. TPI Tambaklorok tersebut belum berfungsi maksimal dalam membantu nelayan untuk memasarkan ikan dan kurangnya pengawasan pemerintah di sekitar TPI, sehingga nelayan di Kota Semarang masih menggantungkan proses pemasaran ikan pada pedagang pengumpul. Berdasarkan pertimbangan dua faktor di atas, maka lokasi penelitian mengenai kebijakan perikanan terhadap nelayan yaitu di Kelurahan Tanjungmas, Kota Semarang dimana terdapat aktivitas perekonomian di TPI Tambaklorok pada kelurahan tersebut serta telah menjadi sasaran Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) dan Program Pengembangan Usaha Mina Pedesaan (PUMP). Jenis dan Sumber Data Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder baik yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif. Data primer berupa data yang relevan untuk 49 50
Ibid, h. 8 Ibid, h. 23-24
17 menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian. Teknik pengumpulan data primer ini dilakukan dengan teknik indepth interview dan observasi. Indepth interview dilakukan menggunakan cara dan kondisi yang berbeda untuk setiap responden. Pengambilan sample sebanyak 50 responden dilakukan dengan menggunakan teknik Purposive Random Sampling, dimana penentuan sample dilakukan dengan pertimbangan tertentu dan ada unsur kesengajaan di dalamnya, pengambilan sample dengan cara ini lebih cocok untuk penelitian-penelitian yang tidak melakukan generalisasi. 51 Pertimbangan tertentu dalam penelitian ini berdasarkan jenis usaha perikanan yaitu usaha penangkapan ikan di laut dan juga pertimbangan pemilihan lokasi di Kelurahan Tanjungmas, Kecamatan Semarang Selatan. Responden yang diperlukan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan yaitu sebanyak 50 orang yang mewakili dalam pola pemasaran komoditas perikanan tangkap, sedangkan untuk indepth interview tidak ditentukan jumlahnya sehingga dapat diperoleh informasi sebanyak-banyaknya, dengan responden antara lain nelayan (nelayan pemilik, nelayan perorangan dan nelayan buruh) di Kelurahan Tanjungmas Kecamatan Semarang Utara, pihak-pihak yang terkait dengan perikanan tangkap Kota Semarang seperti pegawai TPI, pegawai Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang, Lembaga Badan Hukum Semarang, pedagang ikan, pedagang pengumpul, dan lain-lain. Data sekunder diperoleh dari data-data literatur perikanan di Kota Semarang, buku-buku, karya tulis ilmiah yang relevan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, Badan Pusat Statistika, Survey Sosial Ekonomi Nasional, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Semarang dan lembaga-lembaga terkait. Kebijakan dan program perikanan tangkap yang diteliti adalah kebijakan dan program perikanan tangkap yang ada di lokasi penelitian dan difokuskan pada program ekonomi saja seperti program pemberian kredit usaha perikanan tangkap yang dilaksanakan pada tahun 2003 (PEMP) dan pada tahun 2011-2014 (PUMP) serta pembangunan tempat pelelangan ikan atau pusat pendaratan ikan. Waktu amatan dalam penelitian ini yaitu dari tahun 2003-2013. Komoditas sektor perikanan yang diteliti dalam penelitian ini dibatasi kepada perikanan tangkap laut. Metode Analisis Metode analisis yang digunakan dalam penelitian yaitu pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan dalam dua tahap, pertama analisis terhadap data yang diperoleh secara langsung selama penelitian dan kedua analisis terhadap data dari kejadian di masa lampau (sejarah). Sedangkan analisis kuantitatif dilakukan dengan membagi data menjadi dua kategori yaitu data kuantitatif dari sumber primer berupa data pendapatan nelayan dan data dari sumber sekunder yang keduanya digunakan untuk melengkapi bahan analisis deskriptif. Analisis tingkat ketimpangan dengan indikator koefisien gini pendapatan nelayan digunakan sebagai metode analisis untuk melihat tingkat kemerataan distribusi pendapatan nelayan di Kota Semarang setelah diberlakukannya program 51
Ibid, h.85
18 pemberdayaan dan pengembangan usaha. Kemudian dilakukan analisis deskriptif menggunakan analisis ekonomi politik terhadap gejala eksploitasi nelayan serta gejala kompradorisasi akibat kebijakan perikanan tangkap Kota Semarang berdasarkan teori-teori yang relevan. Untuk memperdalam analisis kompradorisasi digunakan analisis struktur pemasaran dan presentase margin yang diperoleh nelayan sehingga dapat dilihat pada pola pemasaran komoditas perikanan apakah terjadi fenomena kompradorisasi. Analisis Ekonomi Politik Analisis ekonomi politik menjelaskan interaksi antara proses-proses ekonomi maupun politik. Analisis merupakan analisis ekonomi secara makro maupun mikro yang dikaitkan dengan non-ekonomi (kebijakan, sumber daya, politik, ekologi, lingkungan, dan sosial). Analisis ekonomi politik merupakan suatu proses analisa gejala-gejala dalam kegiatan ekonomi yang terjadi dengan melihat dari struktur kekuasaan di masyarakat.52 Analisis ekonomi politik dalam penelitian ini digunakan untuk melihat perkembangan ekonomi pelaku usaha perikanan tangkap (khususnya nelayan) dikaitkan dengan kebijakan yang menyebabkan perubahan baik ekonomi dan politik pelaku usaha perikanan tangkap tersebut. Analisis ekonomi politik ini digunakan untuk menjelaskan lebih dalam mengenai perkembangan perekonomian masyarakat pesisir (khususnya nelayan) dikaitkan dengan kebijakan pemerintah, yang dapat menentukan implementasi kebijakan sudah merata atau hanya ditujukan untuk kepentingan sebagian orang. Hal ini karena menurut Azizy (2009) sebagian dari kebijakan pemerintah disengaja atau tidak telah menimbulkan kemiskinan. 53 Kemiskinan dalam pendekatan ekonomi politik yang digunakan dalam penelitian ini adalah kemiskinan relatif dan kemiskinan struktural. Kemiskinan relatif yaitu situasi kemiskinan yang disebabkan oleh pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mencakup seluruh lapisan masyarakat yang mengakibatkan ketimpangan distribusi pendapatan. Sedangkan kemiskinan struktural yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi struktur atau tatanan kehidupan yang tidak menguntungkan. 54 Analisis ekonomi politik selanjutnya diperdalam dengan analisis fenomena kompradorisasi terhadap perikanan tangkap Kota Semarang. Analisis gejala kompradorisasi Analisis gejala kompradorisasi dapat dilihat dengan menggunakan analisis hubungan antar kelas dalam proses ekonomi yang juga bertanggung jawab atas keterbelakangan masyarakat di negara berkembang. 55 Proses aliran masuknya modal ke suatu daerah muncul karena adanya kerjasama antara elit lokal yang memiliki modal maupun yang memiliki kekuasaan dan juga elit luar sebagai pemilik modal. Elit lokal baik elit pengusaha lokal maupun elit penguasa lokal sebagai kelas komprador bekerjasama dalam melindungi kepentingan kaum 52
Ahmad Erani Yustika, op. cit, h. 131 Auhadillah Azizy [Tesis]: Analisis Keterkaitan Daya Dukung Ekosistem Terumbu Karang dengan Tingkat Kesejahteraan Nelayan Tradisional (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta) (Bogor: Institut Pertanian Bogor, 2009), h. 86 54 Didin S. Damanhuri, op. cit, h.97-98 55 Sritua Arief dan Adi Sasono, op.cit. h. 14 53
19 pemodal di dalam negeri.56 Kerjasama antara para elit penguasa dan pengusaha yang menyebabkan surplus transfer ke luar inilah yang disebut sebagai gejala kompradorisasi. Dalam penelitian ini akan dilihat apakah terjadi kerjasama antar para elit dan apakah terjadi surplus transfer ke luar daerah penelitian. Analisis gejala kompradorisasi dalam penelitian ini dilakukan terhadap dua dimensi yaitu dimensi mikro dan dimensi makro. Analisis terhadap dimensi mikro melihat apakah terjadi surplus transfer dari nelayan buruh (ABK) ke juragan dan pedagang atau eksportir ikan serta bagaimana peran elit yang berkuasa pada fenomena tersebut. Dalam analisis di tingkat mikro dibantu dengan analisis struktur pasar dan analisis penerimaan margin nelayan. Sedangkan analisis terhadap dimensi makro melihat apakah terjadi surplus transfer dari dalam Kota Semarang ke luar Kota Semarang dan bagaimana peran elit pengusaha atau elit penguasa pada fenomena tersebut. Analisis terhadap dimensi mikro maupun dimensi makro dilakukan dengan pendekatan deskriptif berdasarkan data-data sekunder. Analisis Ketimpangan Distribusi Pendapatan Metode analisis yang digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan distribusi pendapatan adalah Indeks Gini Ratio pendapatan nelayan. Koefisien gini adalah ukuran ketimpangan pendapatan secara menyeluruh yang angkanya berkisar antara nol artinya pemerataan sempurna hingga satu artinya ketimpangan sempurna. 57 Koefisien yang ketimpangannya tinggi berkisar antara 0.50-0.70, koefisien yang ketimpangannya sedang berkisar antara 0.38-0.70, sedangkan distribusi pendapatan yang relatif merata angkanya berkisar antara 0.20-0.38. Untuk menghitung besarnya nilai koefisien Gini (Gini Ratio) digunakan rumus berikut:
keterangan: KG = Koefisien Gini Fx = Proporsi Jumlah RT (n/k) = Frekuensi pendapatan yang sama dari rumah tangga nelayan n k = Total kumulatif frekuensi pendapatan yang sama Yi = Proporsi jumlah pendapatan RT kumulatif i = index yang menunjukkan nomor sampel Koefisien gini didasarkan pada kurva Lorenz, kurva ini menggambarkan hubungan antara prosentase jumlah penduduk dengan prosentase pendapatan yang diterima. Sumbu vertikal merupakan bagian dari total pendapatan yang diterima oleh masing-masing prosentase jumlah penduduk. Sedangkan garis diagonal bersudut 450 merupakan garis pemerataan sempurna (Lihat Gambar 2). Semakin jauh kurva Lorenz dari garis diagonal atau garis pemerataan sempurna atau semakin besar luas wilayah yang dibentuk oleh fungsi yang menggambarkan tingkat pendapatan dan garis diagonal maka semakin tinggi ketidakmerataan yang
56 57
Ibid, h. 22 Didin S. Damanhuri, op. cit, h.100
20 ditunjukkan. Semakin tinggi ketidakmerataan, kurva Lorenz akan semakin cembung dan mendekati sumbu horizontal.58 Prosentase pendapatan
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0
20
40
60
80
100
Prosentase Penduduk
Garis pemerataan sempurna
Kurva Lorenz
Gambar 2 Kurva Lorenz Bank dunia mengkategorikan penduduk berdasarkan besarnya pendapatan 40% penduduk dengan pendapatan rendah, 40% penduduk dengan pendapatan menengah dan 20% penduduk dengan pendapatan tinggi. Bank dunia mengukur ketidakmerataan distribusi pendapatan berdasarkan 40% kelompok penduduk dengan penghasilan rendah dengan kriteria59: Jika prosentase pendapatan yang diterima penduduk dengan kategori 40% terendah tersebut lebih kecil dari 12% dari seluruh pendapatan maka termasuk dalam kategori ketimpangan yang tinggi. Jika prosentase pendapatan yang diterima penduduk dengan kategori 40% terendah tersebut antara 12-17% dari seluruh pendapatan maka termasuk dalam kategori ketimpangan sedang. Jika prosentase pendapatan yang diterima penduduk dengan kategori 40% terendah tersebut antara 17-22% dari seluruh pendapatan maka termasuk dalam kategori ketimpangan yang rendah. Jika prosentase pendapatan yang diterima penduduk dengan kategori 40% terendah tersebut lebih besar dari 22% dari seluruh pendapatan maka termasuk dalam kategori tidak ada ketimpangan.
58 59
Lincolin Arsyad: Ekonomi Pembangunan (Yogyakarta: STIE YKPN, 1999), h. 229-230 Didin S. Damanhuri, op. cit, h. 100-101
21
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Kondisi Geografi Kota Semarang Kota Semarang merupakan Ibukota Provinsi Jawa Tengah kota yang terletak di antara garis 60 50‟ Lintang Selatan dan 1090 35‟ - 1100 50‟ Bujur Timur. Luas wilayah Kota Semarang yaitu 373.70 km2 yang merupakan 1.15% dari total luas daratan Provinsi Jawa Tengah. Batas-batas Kota Semarang secara administratif sebagai berikut: 1. sebelah utara dibatasi oleh Laut Jawa dengan panjang garis pantai mencapai 13.6 kilometer. 2. sebelah barat adalah Kabupaten Kendal. 3. sebelah timur dengan Kabupaten Demak. 4. sebelah selatan dengan Kabupaten Semarang. Kota Semarang memiliki posisi geostrategis karena berada pada jalur lalu lintas perekonomian Pulau Jawa dan merupakan koridor pembangunan Jawa Tengah yang terdiri dari empat simpul pintu gerbang yakni koridor Pantai Utara; koridor Selatan ke arah Magelang dan Surakarta yang dikenal dengan koridor Merapi-Merbabu; koridor Timur ke arah Demak dan Grobogan; dan koridor Barat menuju Kendal. Kota Semarang sangat berperan terhadap perkembangan dan pertumbuhan Provinsi Jawa Tengah karena adanya pelabuhan, jaringan transportasi darat dan transportasi udara yang merupakan potensi bagi transportasi regional Jawa Tengah dan Kota Transit Regional Jawa Tengah. Secara administrasi Kota Semarang terbagi menjadi 16 kecamatan dengan empat kecamatan berbatasan langsung dengan Laut Jawa atau merupakan kecamatan pesisir, yaitu Kecamatan Tugu, Genuk, Semarang Utara, dan Semarang Barat. Kecamatan pesisir paling timur yaitu Kecamatan Genuk dan paling barat yaitu Kecamatan Tugu. Luas wilayah pesisir Kota Semarang yaitu 91.88 km2 atau 24.54% dari luas Kota Semarang. Adapun luas per kecamatan pesisir yaitu Kecamatan Tugu 31.78 km2, Genuk 27.39 km2, Semarang Barat 21.74 km2, dan Semarang Utara 10.97 km2 (lihat Tabel 3). Kelurahan Tanjungmas, Kecamatan Semarang Utara dapat dikatakan sebagai pusat kegiatan perikanan di Kota Semarang hal tersebut disebabkan oleh tempat pelelangan ikan sekaligus pasar ikan yang terdapat di kelurahan tersebut. Tabel 3 Luas kecamatan pesisir di Kota Semarang dan presentase terhadap luas Kota Semarang Kecamatan Tugu Genuk Semarang Barat Semarang Utara
Luas Wilayah (km2) 31.78 27.39 21.74 10.97
Sumber: BPS Kota Semarang, 2013.
Presentase (%) 8.50 7.33 5.82 2.94
22 Kondisi Demografi Kota Semarang Kota Semarang terbagi menjadi 16 kecamatan dan 117 kelurahan dengan jumlah penduduk tahun 2013 tercatat sebesar 1 572 105 jiwa dengan penduduk perempuan sebesar 770 929 jiwa dan penduduk laki-laki 781 176 jiwa. Pertumbuhan penduduk selama tahun 2013 sebesar 0.83% lebih rendah dibandingkan tahun 2012 sebesar 0.96%. Di kecamatan pesisir Kota Semarang kepadatan penduduknya yaitu di Kecamatan Semarang Utara sebesar 11 671 jiwa/km2, Kecamatan Tugu sebesar 984 jiwa/km2, Kecamatan Semarang Barat sebesar 8 468jiwa/km2 , Kecamatan Genuk sebesar 3 412 jiwa/km2. Sekitar 71.57% penduduk Kota Semarang merupakan penduduk usia produktif sehingga angka beban tanggungan 60 pada tahun 2012 sebesar 39.72% yang berarti 100 orang penduduk usia produktif menanggung 40 orang penduduk usia tidak produktif.61 Bentuk piramida penduduk Kota Semarang adalah piramida ekspansif dengan jumlah penduduk usia muda lebih banyak daripada usia dewasa dan tua. Jumlah penduduk paling banyak berada pada kelompok umur 20-24 yaitu sebesar 154 103 jiwa dan jumlah penduduk paling sedikit berada pada kelompok umur 60-64 sebesar 36 562 jiwa. Tabel 4 Jumlah penduduk Kota Semarang berdasarkan kecamatan dan jenis kelamin tahun 2013 Kecamatan Mijen Gunung Pati Banyumanik Gajah Mungkur Semarang Selatan Candisari Tembalang Pedurungan Genuk Gayamsari Semarang Timur Semarang Utara Semarang Tengah Semarang Barat Tugu Ngaliyan TOTAL
Laki-laki 29 192 37 963 64 158 31 859 40 758 39 517 74 629 87 441 46 912 37 254 38 671 62 256 34 766 78 970 15 642 61 188 781 176
Perempuan 28 695 37 992 66 336 31 740 41 535 40 189 72 935 89 702 46 527 36 491 39 951 65 770 36 434 79 698 15 637 61 367 790 929
Jumlah 57 887 75 885 130 494 63 599 82 293 79 706 147 564 177 143 93 439 73 745 78 622 128 026 71 200 158 668 31 279 122 555 1 572 105
Sumber: BPS Kota Semarang, 2013.
60
Angka beban tanggungan yaitu perbandingan antara penduduk usia produktif (16-64 tahun) dengan penduduk usia tidak produktif (0-14 dan >65 tahun). Lihat Badan Pusat Statistika: Kota Semarang dalam Angka 2013, h. 139 61 Ibid, h. 139
23 Kondisi Perekonomian Kota Semarang Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Pertumbuhan ekonomi yang ditunjukkan oleh angka Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu indikator untuk melihat keberhasilan pembangunan. Pada tahun 2012 PDRB Kota Semarang meningkat menjadi Rp 54 384 654.53 juta dari Rp 48 461 410.41 juta pada tahun 2011 (Lihat tabel 5). Hal tersebut menunjukkan bahwa pemerintah semakin mampu menggali potensi ekonomi yang ada di Kota Semarang. Sektor primer yang terdiri dari sektor pertanian dan sektor pertambangan dan penggalian sebagai sektor penyedia bahan kebutuhan peranannya dalam PDRB menurun pada tahun 2012 yaitu 1.23% dibanding tahun 2011 yaitu 1.31%. Pada sektor sekunder yang terdiri dari sektor industri pengolahan, sektor listrik gas dan air minum, dan sektor bangunan peranannya terhadap PDRB juga mengalami penurunan menjadi 45.48% pada tahun 2012 dari 45.52% pada tahun 2011. Sektor tersier yang terdiri dari sektor perdagangan hotel dan restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor keuangan persewaan dan jasa perusahaan, dan sektor jasa-jasa lainnya mengalami peningkatan peranan terhadap PDRB yaitu sebesar 53.29% pada tahun 2012 dari 53.18% pada tahun 2011. Lapangan usaha yang memiliki kontribusi terbesar terhadap PDRB tahun 2012 atas dasar harga berlaku adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 28.43%. Kontribusi sektor perdagangan, hotel dan restoran terhadap PDRB disebabkan oleh Kota Semarang yang merupakan pusat pelayanan perekonomian baik skala regional maupun nasional. Kontribusi terhadap PDRB yang cukup besar juga diberikan oleh sektor industri yaitu sebesar 24.63%. Persebaran industri baik industri besar maupun industri sedang terdapat di Kecamatan Genuk, Kecamatan Ngaliyan, Kecamatan Tugu, dan Kecamatan Semarang Barat. Tabel 5 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Semarang menurut lapangan usaha atas dasar harga berlaku tahun 2010-2012 (Rp Juta) Lapangan Usaha Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Listrik, Gas, dan Air Bangunan Perdagangan, Hotel, dan Restoran Angkutan dan Komunikasi Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan Jasa-jasa Total PDRB
2010 507 478.99 71 628.18 10 485 836.89 662 149.05 8 603 094.85
2011 556 458.53 76 895.53 11 807 056.29 714 798.51 9 535 471.27
2012* 588 074.44 81 153.57 13 396 296.80 776 041.22 10 562 309.17
12 116 788.70
13 574 943.60
15 460 952.20
4 260 136.15
4 627 328.82
5 091 566.72
1 184 271.67
1 299 322.24
1 452 004.58
5 506 806.27 43 398 190.75
6 269 125.63 48 461 410.41
6 976 255.85 54 384 654.53
*) Angka sementara
Sumber: BPS Kota Semarang, 2013.
24 Pertumbuhan ekonomi Kota Semarang selama enam tahun (2007-2012) mampu tumbuh dengan rata-rata di atas 5% (Lihat Tabel 6). Maka dapat dikatakan pertumbuhan ekonomi makro Kota Semarang menunjukkan perkembangan yang cukup baik. Pendapatan regional per kapita juga terus meningkat, dapat dilihat pada tahun 2012 mencapai Rp 34 787 877.69 lebih tinggi dari tahun 2011 yang mencapai Rp 31 101 850.41 (Lihat Tabel 6). Tinggi rendahnya pendapatan regional per kapita suatu wilayah juga dipengaruhi oleh jumlah penduduknya, wilayah yang memiliki pendapatan regional yang tinggi belum tentu memiliki pendapatan regional per kapita yang tinggi apabila jumlah penduduk di wilayah tersebut besar. Tabel 6 Pendapatan regional per kapita (Rupiah) dan laju pertumbuhan PDRB (%) Kota Semarang tahun 2007-2012 Atas dasar harga berlaku Atas dasar harga konstan tahun 2000 Pendapatan Pendapatan Tahun Laju Laju Regional per Regional per pertumbuhan pertumbuhan kapita kapita 2007 20 359 935.97 14.62 12 104 672.14 5.98 2008 22 749 525.61 14.62 12 617 054.36 5.98 2009 25 010 837.45 11.36 13 121 875.16 5.34 2010 27 891 154.90 12.83 13 731 386.57 5.87 2011 31 101 850.41 11.67 14 591 731.86 6.41 2012* 34 787 877.69 11.67 15 477 609.72 6.42 *) Angka diperbaiki
Sumber: BPS Kota Semarang, 2013. Distribusi Pendapatan Data Susenas menunjukkan bahwa indeks gini rasio Kota Semarang tahun 2011 lebih tinggi dari Jawa Tengah yaitu mencapai angka 0.3545, angka tersebut menunjukkan bahwa distribusi pendapatan di Kota Semarang relatif merata. Hasil perhitungan koefisien gini Kota Semarang periode tahun 2007-2011 lebih tinggi dibandingkan Provinsi Jawa Tengah kecuali pada tahun 2008 (Lihat Tabel 7). Koefisien gini baik di Kota Semarang maupun Provinsi Jawa Tengah meningkat pada tahun 2011. Distribusi pendapatan di Kota Semarang masih dalam kategori ketimpangan distribusi pendapatan yang rendah. Namun pemerintah tetap harus memperhatikan jumlah penduduk dengan pendapatan rendah yang dapat terus bertambah seiring dengan pertumbuhan ekonomi daerah Kota Semarang. Hasil perhitungan ketimpangan distribusi pendapatan berdasarkan kriteria Bank Dunia menunjukkan bahwa pada selama lima tahun (2007-2011) Kota Semarang berada pada kategori ketimpangan rendah (low inequality). Hal tersebut ditunjukkan dengan porsi pendapatan 40% penduduk berpendapatan rendah berkisar antara 18.15% hingga 24.68% (Lihat Tabel 7). Fluktuasi porsi pendapatan yang diterima oleh 40% kelompok berpendapatan rendah selama periode 2007-2011 perlu diperhatikan oleh pemerintah. Meskipun tingkat ketimpangannya dalam kategori rendah, namun setiap tahunnya menunjukkan kecenderungan peningkatan ketimpangan pendapatan.
25 Tabel 7 Ketimpangan pendapatan di Kota Semarang tahun 2007-2011 berdasarkan koefisien gini dan Bank Dunia Tahun
2007 2008 2009 2010 2011
Kriteria Bank Dunia 40% 40% Rendah Menengah 20.65 39.44 24.68 36.87 18.81 34.46 21.68 35.13 18.15 36.27
Koefisien Gini 20% Tinggi 39.91 38.45 46.73 43.19 45.58
Kota Semarang 0.3014 0.2649 0.3710 0.3224 0.3545
Jawa Tengah 0.2525 0.3033 0.2833 0.2908 0.3462
Sumber: Susenas, 2011. Kondisi Perikanan Tangkap Kota Semarang Besarnya PDRB sektor kelautan dan perikanan atas dasar harga berlaku Kota Semarang dari tahun 2009 sampai tahun 2012 mengalami peningkatan setiap tahunnya. Peningkatan PDRB sektor kelautan dan perikanan dari tahun 2009 sampai tahun 2012 yaitu sebesar Rp 6 602.9 juta. Meskipun besarnya PDRB sektor kelautan dan perikanan meningkat, akan tetapi kontribusinya terhadap PDRB menurun. Pada tahun 2009 besarnya kontribusi sektor perikanan terhadap PDRB atas dasar harga berlaku sekitar 0.08% dari total PDRB. Sedangkan tahun 2012 besarnya kontribusi sektor perikanan terhadap PDRB hanya sekitar 0.07% (Lihat Tabel 8). Kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap PDRB di Kota Semarang tergolong rendah dibandingkan dengan sektor yang lain. Sektor kelautan dan perikanan seharusnya memiliki peran yang strategis bagi pengembangan perekonomian di Kota Semarang. Tabel 8 Kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas dasar harga berlaku Kota Semarang tahun 2007-2012 (Rp Juta) Tahun 2009 2010 2011 2012
PDRB Kelautan dan Perikanan 31 785.83 35 692.28 37 937.30 38 388.73
PDRB Total 38 465 017.28 43 398 190.75 48 461 410.41 54 384 654.53
Sumber: BPS Kota Semarang, 2013. Perikanan tangkap di Kota Semarang tersebar di empat kecamatan, yaitu Kecamatan Tugu, Semarang Barat, Semarang Utara dan Genuk. Jenis usaha penangkapan di empat kecamatan tersebut secara umum tergolong skala kecil dan menengah. Hal tersebut dapat dilihat dari tingkat teknologi penangkapan yang digunakan berupa kapal motor tempel dengan kapasitas kurang dari 5GT. Alat tangkap yang digunakan antara lain bagan, arad/cotok (pukat pantai), bagan tancap, dogol, gillnet (jaring insang hanyut), trammelnet, dan trapnet. Kegiatan penangkapan ikan terdiri dari dua jenis, yaitu kegiatan penangkapan ikan di laut dan penangkapan ikan di perairan umum. Jumlah rumah tangga usaha penangkapan sebanyak 1088 rumah tangga, terdapat 1025 rumah
26
Rumah Tangga Usaha Penangkapan
tangga melakukan usaha penangkapan di laut dan 66 rumah tangga melakukan penangkapan di perairan umum (Lihat Gambar 4). Sedangkan, sebanyak 3 rumah tangga melakukan usaha penangkapan ikan baik di laut maupun perairan umum. Hal ini terjadi karena dalam satu rumah tangga dapat memiliki lebih dari satu jenis usaha penangkapan ikan dengan pengelolaan yang terpisah oleh anggota rumah tangga yang berbeda.
1500
1088
1025
1000 500
66
0 Usaha Penangkapan Ikan Di Laut Di Perairan Umum Jenis Penangkapan Ikan
Sumber: BPS Kota Semarang, 2013. Gambar 3 Jumlah rumah tangga usaha penangkapan ikan menurut jenis penangkapan tahun 2013 Kegiatan perikanan tangkap di Kecamatan Semarang Utara terpusat di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Tambaklorok. TPI Tambak Lorok pada mulanya dikelola oleh Puskud Mina Baruna, namun pada tahun 2011 Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kota Semarang mengambil alih pengelolaan TPI. Di Kecamatan Tugu terdapat Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Mangkang Kulon yang sejak dibangun tidak pernah digunakan sebagai tempat pelelangan atau jual beli ikan. Tidak digunakannya TPI tersebut disebabkan oleh pendangkalan sungai sehingga kapal-kapal besar tidak dapat berlabuh.
KARAKTERISTIK RESPONDEN Responden dalam penelitian ini merupakan nelayan, juragan kapal dan bakul, pedagang pengumpul maupun pedagang pengolah. Responden berjumlah 50 orang. Karakteristik responden meliputi usia, tingkat pendidikan, masa kerja dan jumlah tanggungan keluarga. Usia responden merupakan selisih antara tahun responden dilahirkan hingga tahun pada saat penelitian dilakukan. Usia responden bervariasi antara 18 hingga 62 tahun, sehingga dapat dikatakan bahwa seluruh responden tergolong pada usia produktif yaitu 16-64 tahun. Usia responden dibagi menjadi tiga kategori yakni usia muda (18-30 tahun), dewasa (30-50 tahun) dan tua (lebih dari 50 tahun). Dengan demikian, responden yang termasuk dalam kategori usia muda sebesar 9 orang (18%), kategori usia dewasa 28 orang (56%) dan kategori usia tua 13 orang (26%).
27 Tabel 9 Karakteristik nelayan responden Karakteristik Keterangan Jumlah Nelayan Presentase Muda (18-30) 9 18.0 Usia Dewasa (31-50) 28 56.0 Tua (>50) 13 26.0 Rendah (Tidak Tamat dan Tamat 16 32.0 SD/sederajat) Tingkat Sedang (Tidak Tamat dan Tamat 18 36.0 Pendidikan SMP/sederajat) Tinggi (Tidak Tamat dan Tamat 16 32.0 SMA/sederajat) Rendah (<1-14 tahun) 18 36.0 Masa Kerja Sedang (15-27 tahun) 20 40.0 Tinggi (≥28 tahun) 12 24.0 Rendah (1-3 orang) 17 34.0 Jumlah Sedang (4-6 orang) 31 62.0 Tanggungan Tinggi (≥7 orang) 2 4.0 Sumber: Data Primer, 2014 (diolah). Jenjang pendidikan responden adalah jenis pendidikan/sekolah tertinggi yang pernah diikuti responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 16 orang (32%) responden tergolong dalam kategori pendidikan rendah, yaitu mencapai jenjang sekolah dasar/sederajat. Responden yang tergolong dalam kategori pendidikan sedang, yaitu Sekolah Menengah Pertama/sederajat sebanyak 18 orang (36%) dan 16 orang (32%) yang tergolong kategori pendidikan tinggi, yaitu Sekolah Menengah Atas/sederajat. Dapat dilihat dari hasil penelitian tersebut bahwa sebagian besar responden tingkat pendidikannya masih tergolong rendah dan sedang, hal ini seperti yang diungkapkan oleh Kusnadi bahwa salah satu masalah yang dihadapi oleh masyarakat nelayan adalah rendahnya kualitas SDM akibat terbatasnya akses pendidikan.62 Anggota keluarga dari responden yang telah menempuh pendidikan hingga sarjana lebih tertarik untuk menjadi pekerja di luar kegiatan usaha perikanan tangkap laut, karena pekerjaan berstatus formal dengan gaji tetap dianggap sesuai dengan pendidikan dan keterampilan yang mereka peroleh. Masa kerja responden adalah lamanya responden menjadi nelayan yang dihitung menggunakan satuan waktu (tahun) sejak pertama kali bekerja sampai dengan penelitian ini dilakukan. Responden sebagian besar sudah memiliki pengalaman cukup lama menjadi nelayan. Berdasarkan hasil penelitian sebanyak 12 orang (24%) bekerja selama lebih dari 27 tahun, sebanyak 20 orang (40%) bekerja sebagai nelayan selama 15-27 tahun. Sedangkan responden yang bekerja sebagai nelayan kurang dari satu tahun sampai dengan 14 tahun sebanyak 18 orang (36%).
62
Kusnadi: Keberdayaan Nelayan & Dinamika Ekonomi Pesisir (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), h.28
28 Jumlah tanggungan adalah banyaknya orang yang kebutuhan sehari-harinya masih ditanggung oleh nelayan responden, termasuk dirinya sendiri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden dengan kategori jumlah tanggungan rendah dengan jumlah tanggungan 1-3 orang sebanyak 17 orang (34%). Kategori jumlah tanggungan sedang dengan 4-6 orang tanggungan keluarga sebanyak 31 orang (62%) dan responden yang memiliki tanggungan keluarga tinggi dengan jumlah lebih sama dengan 7 orang sebanyak 2 orang (4%). Dari hasil penelitian ini sebagian besar responden harus menanggung kebutuhan sehari-hari untuk dirinya sendiri, seorang istri dan 1 sampai tiga orang anak. Ada juga responden yang harus menanggung anggota keluarga lain yaitu orang tua atau saudaranya.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kebijakan Pembangunan Perikanan Tangkap Kota Semarang Strategi kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan di Kota Semarang diarahkan pada peningkatan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan secara optimal, dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan dan pengelolaan potensi kelautan perikanan secara optimal. Pemerintah Kota Semarang menetapkan alokasi dana pembangunan kelautan dan perikanan untuk mencapai arah kebijakan tersebut sebesar Rp 8 893 300 000.00 untuk membiayai enam program (Lihat Tabel 10). Dapat dilihat pada tabel 10 bahwa Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kota Semarang bidang perikanan tangkap melaksanakan program pengembangan perikanan tangkap dengan alokasi dana sebesar Rp 630 195 000.00, alokasi dana tersebut mengalami pengurangan menjadi sebesar Rp 469 015 000.00 pada Juli 2013. 63 Program pengembangan perikanan tangkap ini diharapkan mampu meningkatkan produksi baik volume maupun nilainya yang dicapai melalui peningkatan armada penangkapan ikan dan peningkatan alat penangkapan ikan. Besarnya dana untuk pengembangan perikanan tangkap masih lebih rendah dibandingkan serapan dana untuk urusan dinas seperti pelayanan administrasi perkantoran, peningkatan sarana dan prasarana aparatur dan peningkatan pengembangan sistem pelaporan capaian kinerja dan keuangan dengan total sebesar Rp 692 000 000.00.
63
[BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Semarang: Perubahan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Kota Semarang tahun 2013 (Semarang, 2013), h. III-287
29 Tabel 10 Program-program pembangunan kelautan dan perikanan Kota Semarang 2010-2014 No
Program
Alokasi Dana (Rupiah)
1
Pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir
2
Pengembangan budidaya perikanan
3
Pengembangan perikanan tangkap
630 195 000
4
Pengembangan sistem penyuluhan perikanan Optimalisasi pengelolaan dan pemasaran produksi perikanan Pelayanan administrasi perkantoran, peningkatan sarana dan prasarana aparatur dan peningkatan pengembangan sistem pelaporan capaian kinerja dan keuangan
235 130 000
5
6
924 286 000 1 176 364 000
5 235 325 000 692 000 000
Sumber: Pemerintah Kota Semarang, 2013. Implikasi dari program pengembangan perikanan tangkap oleh DKP ini mampu meningkatkan produksi perikanan, dapat dilihat dari volume produksi perikanan tangkap Kota Semarang pada tahun 2013 mencapai 1296,501 ton dengan nilai produksi Rp 16 980 161 000.00 dibandingkan dengan tahun 2004 sebesar 113,978 ton dengan nilai produksi sebesar Rp 293 221 800.00 (Lihat Tabel 11). Peningkatan nilai produksi terlihat lebih besar yaitu sebesar 96.27% dibandingkan peningkatan volume produksi sebesar 91.21%, artinya harga komoditas ikan terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2005 terjadi penurunan produksi perikanan laut mencapai lebih dari 200% dan pada tahun 2006 mencapai lebih dari 100%. Penurunan total produksi tersebut merupakan akibat dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada tahun 2005. Hasil tangkapan para nelayan setelah adanya kenaikan harga BBM tidak dapat menutup biaya operasional untuk melaut sehingga para nelayan di Kota Semarang banyak yang memutuskan untuk tidak melaut. Penurunan produksi juga terjadi tahun 2008 dan 2009 sebesar 11.6%. Penyebabnya sama yaitu kenaikan harga BBM pada bulan Mei 2008, selain itu cuaca ekstrim dan gelombang tinggi hingga bulan April 2009 menyebabkan berkurangnya waktu melaut bagi nelayan. Meskipun volume produksi turun sebesar 11.6%, nilai produksi perikanan tangkap tetap mengalami kenaikan sebesar 2%. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa secara umum komoditas ikan di Kota Semarang mengalami peningkatan harga pada periode 2008-2009. Peningkatan produksi yang sangat besar terjadi pada tahun 2010 yaitu sekitar 78% dibanding tahun 2009 (Lihat Tabel 11), hal ini disebabkan oleh perbaikan dalam sistem pengambilan data produksi perikanan. Data produksi perikanan tangkap pada tahun 2004-2009 merupakan data produksi di TPI Tambaklorok saja, sedangkan data produksi perikanan tangkap tahun 2010-2013 menggunakan data produksi dari TPI Tambaklorok serta data produksi dari kelompok nelayan.
30 Tabel 11 Produksi dan nilai produksi perikanan tangkap Kota Semarang pada TPI Tambaklorok dan kelompok nelayan tahun 2004-2013 Tahun 2004
Produksi (Ton) Kelompok TPI Nelayan 113.978 0
Total 113.978
Nilai Produksi (Rp 1000) Kelompok TPI Nelayan 293 221.800 0
Total 293 221.800
2005
31.129
0
31.129
88 005.000
0
88 005.000
2006
14.996
0
14.996
60 057.950
0
60 057.950
2007
37.363
0
37.363
113 361.100
0
113 361.100
2008
82.637
0
82.637
194 145.700
0
194 145.700
2009
74.037
0
74.037
198 183.700
0
198 183.700
2010
50.052
292.629
342.681
271 668.500
6 568 382.922
6 840 051.422
2011
385.643
257.090
642.733 1 544 919.548
5 767 614.252
7 312 533.800
2012
397.542
315.089
712.631 1 643 595.061
8 696 465.000
10 340 060.060
2013
518.688
777.813
14 786 195.500
16 980 161.000
1296.501
2 193 965.505
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang, 2008-2013. Peningkatan produksi tahun 2004-2013 tidak terlepas dari faktor penting dalam proses penangkapan ikan yaitu pelaku penangkapan ikan, alat tangkap dan armada penangkapan. Jumlah pelaku penangkapan ikan di Kota Semarang baik itu nelayan pemilik, nelayan buruh maupun nelayan perorangan selama periode 2004 sampai 2013 turun sebesar 24.5% dari 1639 orang menjadi 1317 orang (Lihat Tabel 12 dan 13). Rata-rata penurunan jumlah nelayan sebesar 3.4% per tahun. Jumlah nelayan tahun 2009 dan 2010 merupakan jumlah terendah pada periode 2004-2013 yaitu sebesar 1104 orang. Penurunan ini diakibatkan oleh banyak nelayan yang menghentikan usahanya sementara waktu sambil menunggu musim penangkapan membaik. Tabel 12 Jumlah nelayan Kota Semarang tahun 2004-2007 No Tahun Jumlah Nelayan (orang) 1 2004 2 2005 3 2006 4 2007 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang, 2008-2013.
1639 1813 1381 1389
Dapat dilihat pada tabel 13 bahwa jumlah nelayan terbesar berada di Kecamatan Semarang Utara. Banyaknya jumlah nelayan yang tersebar di Kecamatan Semarang Utara disebabkan oleh pusat kegiatan penangkapan ikan berupa TPI Tambaklorok merupakan satu-satunya TPI yang aktif melakukan aktifitas perekonomian dan juga lokasinya yang berdekatan dengan pasar ikan di kecamatan tersebut. Data jumlah nelayan (tabel 12 dan 13) bila dibandingkan dengan volume produksi perikanan tangkap akan diperoleh bahwa produktivitas nelayan pada tahun 2013 sebesar 0.98 ton/nelayan. Sedangkan, produktivitas nelayan tahun 2004 sebesar 0.06 ton/nelayan dan tahun 2010 sebesar 0.31 ton/nelayan. Hal tersebut menunjukkan bahwa meskipun terjadi penurunan jumlah nelayan, produktivitas nelayan setiap tahunnya terus meningkat.
31 Tabel 13 Jumlah nelayan (orang) per kecamatan pesisir Kota Semarang tahun 2008-2013 No Kecamatan 2008 2009 2010 2011 2012 2013 1 Genuk 42 40 40 55 55 55 2 Semarang Utara 1088 818 818 915 917 917 3 Semarang Barat 78 78 78 4 Tugu 240 246 246 267 267 267 TOTAL 1370 1104 1104 1315 1317 1317 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang, 2008-2013. Armada penangkapan yang ada di Kota Semarang merupakan kapal motor tempel rata-rata berkekuatan 10-22 PK. Jumlah kapal motor tempel hingga tahun 2013 mencapai 1125 unit yang mengalami kenaikan 23% dari tahun 2004 sebesar 866 unit (Lihat Tabel 14). Rata-rata peningkatan jumlah armada penangkapan sebesar 2.6% per tahun. Armada penangkapan yang masih berupa kapal motor tempel dengan kapasitas kecil tidak memiliki kemampuan untuk meningkatkan produksi perikanan tangkap di Kota Semarang. Hal tersebut dapat dilihat dari ratarata hasil tangkapan sekitar 0.32 ton/kapal/tahun dengan rata-rata hasil tangkapan setiap tahunnya relatif kurang berkembang. Tabel 14 Jumlah kapal motor tempel (unit) dan produksi perikanan tangkap (ton) Kota Semarang tahun 2008-2013 Tahun
Kapal Motor Tempel (unit)
Produksi (ton)
2004 866 2005 917 2006 926 2007 975 2008 981 2009 981 2010 948 2011 988 2012 1075 2013 1125 Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang, 2008-2013.
113.978 31.129 14.996 37.363 82.637 74.037 342.681 642.733 712.631 1296.501
Peningkatan jumlah armada penangkapan seperti disebutkan di atas akan berpengaruh pada perkembangan jumlah dan jenis alat tangkap yang digunakan. Perkembangan jumlah alat tangkap di Kota Semarang periode 2004-2013 yaitu sebesar 78% dari 988 unit menjadi 4485 unit. Dapat dilihat pada tabel 15 bahwa alat tangkap yang paling banyak digunakan nelayan yaitu arad, trap net dan trammel net. Berdasarkan hasil wawancara, banyaknya penggunaan ketiga alat ini disebabkan oleh orientasi penangkapan ikan sebagian besar nelayan yaitu untuk komoditas ekspor seperti rajungan karena dinilai lebih menguntungkan dibandingkan dengan penangkapan ikan-ikan kecil, selain itu proses penjualan rajungan dinilai lebih cepat karena langsung dijual kepada pedagang pengumpul tanpa melalui proses lelang di TPI.
32 Sejak tahun 2009 alat tangkap trap net64 dan trammel net65 mulai banyak digunakan oleh para nelayan di Kota Semarang. Kedua alat tangkap jenis tersebut mulai digunakan seiiring dengan bergulirnya dana bantuan modal usaha dari program pemberdayaan ekonomi dengan kegiatan berupa pengembangan ekonomi dan pengembangan usaha nelayan. Dana bantuan tersebut digunakan oleh nelayan yang memiliki akses terhadap program untuk menambah peralatan tangkap yang baru. Tabel 15 Jumlah alat tangkap (unit) perikanan Kota Semarang berdasarkan jenisnya tahun 2004-2013 Alat Tangkap Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Dogol 2 0 0 0 0 0 0 0 1 2
Bagan Tancap 87 89 93 97 104 30 31 31 2 2
Bagan Perahu 0 0 0 0 0 0 0 14 14 155
Arad/ Cotok 844 798 803 807 797 800 833 833 883 970
Gill net 55 119 127 127 136 136 103 109 109 136
Trammel net 0 0 0 0 0 340 560 560 560 560
Trap net 0 0 0 0 0 1840 1842 1842 1842 1810
Total 988 1006 1023 1031 1037 3940 4182 4202 4174 4485
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang, 2008-2013. Dalam Keputusan Presiden nomor 39 tahun 1980 terdapat aturan larangan penggunaan alat tangkap trawl karena dianggap tidak memperhatikan kelestarian sumber daya ikan. Namun hingga saat ini alat tangkap trawl telah dimodifikasi dan penggunaannya tersebar di seluruh Indonesia, termasuk di Perairan Laut Jawa. Ari Purbayanto (2007) menyebutkan jenis-jenis alat tangkap trawl di Laut Jawa yaitu arad, dogol berpapan, cotok, payat alit, krakat, mini beam trawl, cantrang berpapan, lampara dasar, lampara dasar berpalang, mini trawl, andu.66 64
Trapnet atau biasa disebut bubu dapat digolongkan sebagai alat perangkap yang digunakan menangkap ikan yang berbentuk kurungan dimana ikan-ikan yang sudah tertangkap tidak dapat keluar dari perangkap, kelebihan alat angkap ini yaitu kondisi ikan yang tertangkap dalam keadaan hidup. Von Brant. 1984. „Fish Catching Methods of The World’. Dalam Aristi Dian P.F dan Abdul Khohar. Analisis Trap Net Sebagai Alat Penangkapan Ikan Hias Karang Ramah Lingkungan di Perairan Karimun (Semarang: Universitas Diponegoro, 2004), h. 3 65 Trammel net atau biasa disebut jaring insang tiga lembar, jaring udang, jaring kantong atau jaring gondrong merupakan alat tangkap berupa jaring berbentuk persegi panjang terdiri dari tiga lapis jaring dengan dua lembar jaring luar dan satu lembar jaring dalam, dilengkapi dengan pelampung, pemberat dan tali ris. Hasil tangkapannya sebagian besar berupa udang, namun hasil tangkapannya masih jauh dibandingkan pukat harimau (trawl). Lihat pada Sulaeman Martasuganda. Jaring Insang (Gillnet) (Bogor: PKSPL IPB, 2008), h.10 66 Ari Purbayanto. Trawl Ramah Lingkungan [Diskusi Nasional Pengelolaan Trawl] (Bogor:IPB,2007), h. 66. Diakses pada tanggal 18 Juni 2014. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/41987/prosiding%20diskusi%20nasional% 20pengelolaan%20trawl5.pdf?sequence=1
33 Dapat dilihat dari tabel 15 bahwa di Kota Semarang alat tangkap trawl masih digunakan dengan nama lain dogol dan arad/cotok. Penggunaan dogol yang merupakan modifikasi dari alat tangkap trawl sudah sangat jarang di Kota Semarang. Meskipun penggunaan arad/cotok di beberapa daerah telah menimbulkan konflik antar nelayan, namun di Kota Semarang tidak terjadi konflik dengan nelayan penggunaan arad. Berdasarkan hasil wawancara, konflik dapat dicegah karena pada tahun 2004 terjadi kesepakatan antar nelayan, bahwa nelayan pengguna arad hanya melaut pada siang hari untuk menghindari persaingan dengan pengguna alat tangkap lain. Dampak dari meningkatnya penggunaan kapal motor tempel dan penggunaan alat tangkap arad/cotok yang tergolong dalam alat tangkap trawl adalah adanya ancaman tangkap lebih (over fishing). Kapal motor tempel wilayah operasinya terkonsentrasi hanya di perairan sekitar Semarang, nelayan tidak dapat melaut lebih jauh lagi ke Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia karena kemampuan dan kapasitas kapal motor tempel tidak memadai. Sedangkan, intensitas penangkapan ikan di perairan Pantai Utara Jawa ini sudah sangat tinggi. Untuk menjaga sumber daya ikan di perairan Pantai Utara Jawa perlu dilakukan peningkatan armada perikanan bukan hanya dari jumlah saja tetapi juga dari sisi kemampuan dan kapasitas armada perikanan. Kebijakan Perikanan Tangkap terhadap Nelayan Kota Semarang Pembangunan Sarana dan Prasarana Perikanan Tangkap Di Kota Semarang meskipun terdapat tiga tempat pelelangan ikan yaitu TPI Mangkang Kulon di Kecamatan Tugu, PPI Tambaklorok baru dan TPI Tambaklorok di Kecamatan Semarang Utara, namun hingga saat ini tempat pelelangan yang berfungsi hanya satu yaitu TPI Tambaklorok. Bahkan kondisi TPI Tambaklorok dianggap kurang layak oleh masyarakat Kota Semarang karena kurang memenuhi prosedur standar tempat pendaratan dan pelelangan ikan. TPI Mangkang Kulon yang dibangun tahun 1989 dan diresmikan pada Januari 1990 tidak pernah digunakan sebagai tempat pelelangan ikan. Berdasarkan hasil wawancara, tidak berfungsinya TPI tersebut disebabkan oleh bangunan yang tergenangi air rob dan pendangkalan sungai yang sangat cepat sehingga kapalkapal besar tidak dapat mendaratkan hasil tangkapannya. Apabila TPI tersebut hanya bergantung pada pelelangan hasil tangkapan kapal-kapal kecil maka tidak akan memenuhi pasokan ikan dan tidak akan menutupi biaya operasional TPI. Akibatnya nelayan di sekitar TPI Mangkang Kulon mengalami kesulitan menjual hasil tangkapannya karena mereka harus menjual langsung ke pasar-pasar tradisional yang jaraknya cukup jauh atau menjual langsung kepada tengkulak dengan harga yang tidak pasti. PPI Tambaklorok baru dibangun pada tahun 2004 dan diresmikan pada tahun 2007. PPI tersebut bersifat sementara yaitu hanya 15 tahun karena dibangun diatas lahan milik PT. Pelindo III yang disewa oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang hingga tahun 2018. Pembangunan PPI Tambaklorok baru menggunakan dana dari pemerintah pusat sebesar 5.83 miliar rupiah dan dana dari Pemkot Semarang untuk biaya studi kelayakan, amdal dan konsultan sekitar 650 juta rupiah. Target dari pembangunan PPI Tambaklorok baru yaitu meningkatkan kesejahteraan nelayan melalui peningkatan pendapatan nelayan, meningkatkan
34 produksi dan ekspor perikanan Kota Semarang, dan diharapkan mampu menampung 15-20 kapal berkapasitas 15 GT per hari sehingga dapat mendaratkan ikan 50 ton per hari. 67 Tidak jauh berbeda dengan TPI Mangkang Kulon, PPI Tambaklorok baru saat ini juga tidak digunakan untuk pendaratan dan pelelangan hasil tangkapan nelayan. Berikut hasil wawancara dengan beberapa responden: “PPI yang disana (PPI Tambaklorok baru) itu sudah lama tidak dipakai, dulu sempat dipakai tapi cuma satu bulan. Tempatnya tidak cocok buat mendaratkan ikan, sering kena rob, kalinya dangkal. Ombaknya besar, nelayan takut kalau mendaratkan ikan disana perahunya cepat hancur. Saya sendiri juga pilih di TPI sini saja, dekat dari rumah. Jual ikan juga cepat karena banyak pedagangnya.” “Tempat PPI baru itu dekat dengan Pelabuhan Tanjung Mas, saingannya sama kapal-kapal besar, saya dan nelayan yang lain cuma pakai kapal kecil kalau ngga hati-hati bisa kecelakaan.” “PPI yang baru itu dulunya mau dibuat pelabuhan ikan dana yang dipakai miliaran, tapi pendangkalan sungai disana cepat sekali. Jalan menuju ke PPI juga jauh dan jelek, jadi pedagang susah kalau mau kesana. Kalau di TPI sini (TPI Tambakorok) kan jaraknya dekat. Dekat dengan pasar ikan juga jadi kalau hasil tangkapan tidak banyak bisa langsung dijual ke pedagang ikan di pasar sini. Dekat juga dengan rumah jadi selesai lelang bisa langsung pulang.” TPI Tambaklorok merupakan satu-satunya tempat pelelangan ikan yang berfungsi di Kota Semarang. TPI Tambaklorok awalnya dikelola oleh Puskud Mina Baruna, tetapi berdasarkan Peraturan Daerah nomor 9 tahun 2010 pasal 7 maka pengelolaan dan penyelenggaraan pelelangan di TPI Tambaklorok dilaksanakan oleh Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) TPI.68 Oleh karena itu, sejak tahun 2011 biaya retribusi di TPI Tambaklorok masuk sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Semarang. Perkembangan PAD Kota Semarang dari TPI Tambaklorok mengalami penurunan dari tahun 2011 sebesar Rp 80 079 875,00 menjadi Rp 28 267 625,00 tahun 2012, kemudian naik pada tahun 2013 sebesar Rp 32 562 080,00 (Lihat Tabel 16). Tabel 16 Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Semarang tahun 2011-2013 dari TPI Tambaklorok No 1 2 3
Tahun 2011 2012 2013
PAD (Rupiah) 80 079 875 28 267 625 32 562 080
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang, 2011-2013. 67
Antony Lee: Janji Manis di Tambaklorok [berita]. Kompas.com: 22 November 2010. Diakses pada tanggal 19 Juni 2014. http://regional.kompas.com/read/2010/11/22/05515288/Janji.Manis.di.Tambaklorok 68 Pemerintah Kota Semarang: Peraturan Daerah Kota Semarang nomor 9 tahun 2010 tentang Tempat Pelelangan Ikan pasal 7
35 Kegiatan pelelangan ikan di TPI Tambaklorok dimulai pagi hari setelah ikan hasil tangkapan disortir menurut jenis dan ukurannya kemudian ditimbang oleh petugas TPI. Petugas TPI (juru lelang) menawarkan ikan kepada bakul (pedagang) dengan sistem penawaran harga meningkat. Proses lelang dapat diikuti oleh bakul dari luar daerah Semarang dengan syarat telah memiliki bukti pendaftaran peserta lelang. Tetapi, biasanya hanya bakul-bakul dari Semarang yang mengikuti proses lelang di TPI ini, karena sebagian besar komoditas ikan yang dilelang di TPI ini merupakan ikan-ikan kecil yang nantinya diolah lagi oleh para bakul untuk dipasarkan dalam bentuk ikan asin dan ikan panggang. Jumlah volume ikan yang dijual melalui proses lelang di TPI pun masih tergolong kecil yaitu kurang dari 10 ton per hari, karena kemampuan pembelian bakul peserta lelang di TPI ini masih sangat terbatas. Jika volume ikan yang dilelang di TPI dalam sehari mencapai 10 ton maka harga ikan akan sangat rendah. Seperti yang dikatakan Petugas TPI Tambaklorok: “Di TPI Tambaklorok ini yang datang ya kapal-kapal kecil saja, kalau kapal besar datangnya ke Pekalongan sama Pati. Kapal besar pernah ada yang mendaratkan ikan disini tapi sekarang dermaga di TPI ini airnya dangkal, jadi kapal-kapal besar tidak bisa mendaratkan ikan disini. Kemampuan pembelian bakul disini juga masih rendah biasanya kurang dari 10 ton. Kalau ikan di TPI lebih dari 10 ton harga ikannya bisa turun sekali. Dulu pernah ikan yang didaratkan banyak sekali hampir 10 ton, akhirnya harga ikan jadi sangat turun.” Dalam proses lelang yang dilakukan di TPI Tambaklorok, beberapa nelayan langsung menjualnya di pasar ikan di dekat TPI dan untuk beberapa komoditas ada juga yang langsung dijual kepada pedagang pengumpul, seperti komoditas rajungan. Nelayan melakukannya karena mereka menginginkan proses yang lebih cepat dan keuntungan yang didapat dirasa lebih banyak (tidak dipotong retribusi). Hal tersebut dibenarkan oleh Pak Munir dari LBH Kota Semarang: “Aturannya semua kapal ikan diwajibkan mendaratkan ikan di TPI. Tapi faktanya nelayan kadang juga menjual langsung kepada bakul diluar TPI, lebih cepat dan praktis kata mereka. Pihak TPI juga tidak bisa berbuat banyak ketika nelayan menjual langsung ikannya pada bakul diluar TPI, karena biasanya bakul tersebut yang membiayai atau „ngutangi‟ perbekalan untuk melaut dan sebagai imbalannya nanti ikannya akan dijual pada bakul tersebut. Ada juga beberapa nelayan di sekitar Semarang yang mencari ikan sampai ke perairan Semarang, kalau sesuai aturannya mereka harus mendaratkan kapalnya di TPI dan menjualnya di TPI akan tetapi kadang juga mereka bisa langsung menjual ikannya ke bakul atau nelayan setempat tanpa harus melalui TPI.”
36 Adanya pungutan di TPI Tambaklorok tersebut sesungguhnya tidak sesuai dengan aturan yang tertuang pada Undang-undang nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan dalam pasal 48. Dalam pasal 48 tersebut telah diatur bahwa pungutan perikanan tidak dikenakan bagi nelayan kecil. Nelayan kecil sendiri dalam undang-undang didefinisikan sebagai orang yang mata pencahariaannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 gross ton (GT). Akan tetapi, yang terjadi di Semarang adalah pungutan perikanan meskipun seluruh nelayan yang melakukan pelelangan ikan di PPI adalah nelayan dengan kapal berukuran di bawah 5 GT. Adapun besarnya retribusi yang ditetapkan di PPI Tambaklorok berdasarkan Peraturan Daerah nomor 9 tahun 2010 tentang Tempat Pelelangan Ikan pasal 27 yaitu 1.5% dari harga tertinggi hasil pelelangan ikan, dengan rincian 0.7% dibebankan kepada nelayan dan 0.8% dibebankan kepada bakul.69 Namun, setiap kali kegiatan pelelangan ikan, nelayan dikenai potongan 3% dari harga tertinggi hasil pelelangan. Potongan 3% dari harga tertinggi hasil lelang digunakan untuk retribusi sebesar 1.5% dan dana simpanan 1.5% yang nantinya akan dikembalikan kepada nelayan setiap satu tahun sekali. Sedangkan untuk bakul dikenai biaya tambahan sebesar 3% dari harga tertinggi hasil lelang, dengan perincian 1.5% biaya retribusi dan 1.5% dana simpanan. Perbedaan antara peraturan dan praktek di lapangan tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat tumpang tindih kebijakan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Pemerintah daerah menghendaki adanya pungutan perikanan untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) sehingga nelayan diberi beban retribusi tanpa memandang apakah nelayan tersebut tergolong nelayan kecil atau bukan. Banyaknya nelayan yang tidak melakukan lelang di TPI juga menunjukkan bahwa belum ada keseriusan serta ketegasan dari pihak pemerintah untuk menjadikan TPI Tambaklorok sebagai sarana pemasaran ikan bagi nelayan di Kota Semarang. Program Pemberdayaan Nelayan di Kota Semarang Kota Semarang merupakan salah satu kota penerima Program Pengembangan Masyarakat Pesisir (PEMP) pada tahun anggaran 2003. Dana Program PEMP berasal dari kompensasi pengurangan subsidi BBM atau Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM (PKPS-BBM). PKPS-BBM merupakan kebijakan yang dilakukan pemerintah pusat dalam rangka memberikan kompensasi akibat adanya pengurangan terhadap subsidi BBM yang berdampak langsung terhadap daya beli masyarakat miskin. Program PEMP ditujukan untuk pengembangan usaha yang memanfaatkan sumberdaya pesisir dengan menggunakan pendekatan kelembagaan, yaitu dengan menyerahkan pengelolaan dana hibah kepada Swamitra Mina LEPP-M3 Bina Sejahtera Mandiri yang bekerjasama dengan Bank Bukopin Semarang. Pemberian dana dilakukan dengan sistem perguliran (revolving fund) dan disalurkan kepada masyarakat pesisir di Kota Semarang dengan bunga pinjaman sebesar 1.5% per bulan. Adapun besarnya dana ekonomi produktif yang disalurkan kepada masyarakat pesisir di Kelurahan Tanjung Mas sebesar Rp 323 900 000.00 (Lihat Tabel 17). 69
Peraturan Daerah nomor 9 tahun 2010 tentang Tempat Pelelangan Ikan, pasal 27 ayat 1 dan 2.
37 Tabel 17 Besarnya dana bantuan Program PEMP berdasarkan penerima Program di Kelurahan Tanjung Mas tahun 2003 Dana Ekonomi Penerima program KMP Anggota Produktif (Rp) Pengolah ikan 4 31 36 425 000 Nelayan 57 498 240 900 000 Pedagang 7 53 36 425 000 Jumlah 68 551 323 900 000 Sumber: Laporan Program PEMP Kelurahan Tanjung Mas, 2003. Berdasarkan wawancara, pelaksanaan Program PEMP dalam implementasinya mengalami kegagalan karena sebagian dana yang disalurkan tidak dapat digulirkan secara berkelanjutan. Berdasarkan laporan dari DKP Kota Semarang, dana yang berhasil dikembalikan pada Program PEMP di Kota Semarang yaitu sekitar 30% dari total dana yang diberikan. Dari data yang ditunjukkan pada bulan April 2004 diketahui bahwa jumlah pinjaman yang macet pada nasabah di Kelurahan Tanjung Mas adalah Rp 108 434 000.00 (Lihat Tabel 19). Tabel 18 Pinjaman pokok macet di Kelurahan Tanjung Mas sampai dengan bulan April 2004 Pinjaman Macet Penerima Program KMP Anggota (Rp) Pengolah Ikan 4 12 8 925 000 Nelayan 57 231 93 757 000 Pedagang 7 19 5 752 000 Jumlah 68 262 108 434 000 Sumber: Laporan Program PEMP Kelurahan Tanjung Mas, 2004. Rendahnya dana pengembalian disebabkan oleh beberapa alasan, pertama masyarakat pesisir masih banyak yang beranggapan bahwa dana tersebut merupakan dana hibah yang tidak perlu dikembalikan. Menurut Kusnadi (2009) persepsi masyarakat pesisir yang menganggap dana pemberdayaan sebagai pemberian cuma-cuma pemerintah kepada rakyatnya menunjukkan ketidaksiapan mental masyarakat sipil dalam mengelola dana pemberdayaan dari negara. 70 Kedua, dana bantuan tidak digunakan untuk modal bagi usaha mereka akan tetapi digunakan untuk pemenuhan kebutuhan yang konsumtif seperti untuk menutup utang di warung, biaya pendidikan anak bahkan untuk biaya perbaikan rumah dan pembelian alat-alat elektronik. Hal ini menyebabkan tidak berkembangnya usaha nelayan sesuai dengan harapan dan juga tidak terjadinya peningkatan pendapatan yang mengakibatkan nelayan kesulitan untuk melanjutkan cicilan pinjaman. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui beberapa faktor yang menyebabkan kurang berhasilnya Program PEMP di Kelurahan Tanjung Mas. Pertama, pendekatan Program PEMP yang difokuskan pada kelembagaan melalui Swamitra Mina LEPP-M3 BSM menjadikan distribusi bantuan dana menjadi bias. Kedua, terdapat benturan terhadap kepentingan lembaga LEPP-M3 sehingga Program 70
Kusnadi, op. cit, h.67
38 PEMP tidak mampu mencakup lapisan nelayan termiskin. Petugas LEPP-M3 hanya mementingkan sisi finansial saja. Ketiga, prosedur peminjaman dana yang terlalu formal seperti adanya jaminan berupa BPKB, sertifikat atau deposito. Keempat, kurang aktifnya pengurus LEPP-M3 dan jauhnya tempat pengajuan kredit dari Kelurahan Tanjung Mas yaitu di Jrakah, Kecamatan Tugu dan ditambah waktu pelayanan paling cepat 3 hari sehingga nelayan yang ingin mengurus pinjaman harus kembali lagi setelah 3 hari. Dan yang terakhir adalah kedekatan petugas dari lembaga LEPP-M3 hanya dengan lapisan nelayan tertentu membuat akses informasi yang terbatas hanya pada lapisan-lapisan nelayan tertentu yang usaha perikanan tangkapnya dinilai layak dan mampu untuk mengembalikan pinjaman. Selain Program PEMP, nelayan di Kelurahan Tanjung Mas juga mendapatkan dana bantuan modal dari Program Pengembangan Usaha Mina Pedesaan (PUMP). Jika Program PEMP yang dilakukan menggunakan pendekatan kelembagaan, Program PUMP dilakukan dengan pembinaan nelayan skala kecil yang tergabung dalam Kelompok Usaha Bersama (KUB). Program PUMP Perikanan Tangkap (PUMP PT) merupakan bagian dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang dikhususkan untuk pemberdayaan nelayan skala kecil berbasis desa melalui bantuan modal usaha. 71 PUMP PT di Kota Semarang dilakukan mulai tahun anggaran 2011 dengan jumlah KUB yang memperoleh Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) tahun 2011 sebesar 10 KUB, tahun anggaran 2012 jumlah penerima BLM yaitu 18 KUB, tahun 2013 sebesar 13 KUB dan tahun 2014 sebesar 20 KUB. Program PUMP PT di Kota Semarang dilakukan dengan sistem dana bergulir, masing-masing KUB diberi dana sebesar Rp 100 000 000.00 untuk dikelola bersama. Biasanya dana tersebut digunakan untuk pembelian mesin, alat tangkap atau cold box. Kemudian mesin, alat tangkap atau cold box ini digunakan oleh anggota yang sudah memiliki modal (armada dan alat penangkapan), dengan harapan agar dana dapat cepat digulirkan kepada anggota yang lain. Sistem seperti ini digunakan karena apabila dana yang diterima dibagi rata kepada masingmasing anggota KUB maka dana tersebut akan digunakan untuk pemenuhan kebutuhan yang konsumtif, bukan untuk modal pengembangan usaha. Namun pada pelaksanaannya sistem seperti ini pun tidak berjalan dengan baik karena kurangnya pengawasan dari DKP setempat. Berikut pendapat responden: “Sistemnya bantuan itu diserahkan pada yang sudah punya modal, sudah punya modal itu maksudnya minimal punya kapal sekaligus alat tangkapnya. Harapannya supaya dana bergulir itu oleh nelayan yang sudah punya modal dapat digunakan dan segera dikembalikan untuk bantu nelayan yang belum punya modal. Tapi kenyataannya dari sekitar 20 KUB, yang bisa sesuai dengan sistem cuma sekitar 20% saja, sisanya tidak berjalan sebagaimana mestinya. Jadi banyak nelayan anggota KUB yang memang tidak punya kapal dan berharap dari bantuan tapi tidak dapat apa-apa.”
71
Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Nomor KEP. 32/ KEP-DJPT/2014 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Kegiatan Pengembangan Usaha Mina Pedesaan Bidang Perikanan Tangkap tahun 2014. Lampiran 1 h. 4.
39 Program PUMP PT hanya mencakup lapisan atas saja yang mempunyai penguasaan terhadap modal, sedangkan lapisan bawah yang belum memiliki modal dapat dikatakan tidak memiliki akses atau aksesnya terbatas terhadap dana Program PUMP PT. Hal ini diperparah dengan fakta bahwa nelayan yang memiliki kedekatan dengan pemerintah memiliki kesempatan lebih besar dalam mengakses dana Program PUMP. Nelayan buruh yang biasanya tidak memiliki kedekatan dengan instansi pemerintah akan semakin kesulitan dalam mengakses dana bantuan modal seperti ini. Kondisi seperti ini sesuai dengan perspektif Marxis yang menyatakan bahwa semakin besar penguasaan kapital maka semakin ke atas kelas sosialnya sehingga semakin besar pula kesempatan untuk mempengaruhi proses politik dan kebijakan publik.72 Penguasaan kapital bagi juragan kapal atau nelayan kaya di Kelurahan Tanjung Mas telah meningkatkan kelas sosialnya. Sehingga memudahkan mereka untuk mengakses program pengembangan usaha. Tidak dapat diaksesnya dana program PUMP bagi nelayan buruh memposisikan mereka tetap dalam kondisi yang terpinggirkan. Selain itu, tidak adanya ketegasan pemerintah semakin menambah anggapan nelayan setempat bahwa pemerintah tidak bersungguhsungguh dalam upaya pengembangan usaha perikanan tangkap. Berikut tanggapan Pak Munir dari LBH Kota Semarang terhadap implementasi program-program tersebut: “Program-program pemerintah saat ini pelaksanaannya di lapangan masih belum sesuai, karena dalam pelaksanaannya tidak menyeluruh menjangkau nelayan yang ada di Kota Semarang, kalaupun ada hanya diberikan pada orang-orang tertentu yang dekat dengan pemerintah. Sampai dengan saat ini pemerintah (khususnya DKP) belum benar-benar memperhatikan kesejahteraan nelayan, hal ini dibuktikan dengan kondisi TPI Tambaklorok yang jauh dari layak, kalau Pemerintah Kota serius memperhatikan kesejahteraan nelayan saya kira hal yang mendasar dipikirkan adalah perbaikan TPI, karena disitulah sentral para nelayan menjual ikannya untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya” Pola Bagi Hasil dan Permodalan Penangkapan Ikan Keterbatasan teknologi penangkapan menyebabkan budaya melaut di Kota Semarang masih berupa one day fishing atau penangkapan ikan hanya dilakukan dalam satu hari. Lamanya kegiatan penangkapan nelayan rata-rata dalam sehari yaitu 5-16 jam. Nelayan dogol mulai melaut pukul 20.00 hingga pukul 03.0005.00 dini hari. Nelayan bagan mulai melaut pukul 15.00 hingga pukul 07.00 pagi. Nelayan dengan alat tangkap bubu atau trap net mulai melaut pada pukul 05.00 dan kembali pukul 10.00, sedangkan nelayan dengan jaring arad mulai melaut pada pukul 03.00-05.00 dini hari dan kembali pukul 12.00-13.00. Nelayan jaring arad melakukan kegiatan penangkapan pada siang hari untuk menghindari konflik dengan nelayan alat tangkap yang lain. Satu minggu nelayan melaut sekitar 4 sampai 6 hari sehingga dalam satu bulan rata-rata mereka melakukan kegiatan melaut sekitar 15 sampai 24 kali 72
Arif Satria (2009), op. cit, h. 340
40 melaut. Di dalam organisasi kerja nelayan dikenal istilah „angin barat‟ yang berarti kondisi cuaca di laut sedang banyak angin, ombak tinggi dan banyak badai, pada saat musim angin barat berbahaya bagi nelayan untuk melaut. Sedangkan istilah „angin timur‟ berarti kondisi cuaca di laut sedang teduh dan tidak banyak badai sehingga aman bagi mereka untuk melaut. Namun bagi nelayan rajungan justru ketika cuaca di laut sedang sedikit badai merupakan saat yang tepat untuk menangkap rajungan, karena pada saat itu rajungan naik ke atas permukaan laut dan mudah ditangkap. Usaha perikanan tangkap merupakan usaha yang membutuhkan modal besar, modal yang besar digunakan untuk membeli perahu, jaring dan mesin. Kurangnya ketersediaan modal merupakan persoalan yang sering dihadapi oleh nelayan. Dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan, biaya produksi nelayan dibagi menjadi dua yaitu biaya langsung berupa biaya perbekalan dan biaya tidak langsung berupa biaya penyusutan perahu dan alat penangkapan. Biaya perbekalan meliputi biaya bahan bakar mesin dan lampu sorot, es batu untuk menjaga supaya ikan tidak mudah membusuk, bahan-bahan makanan dan juga rokok. Dalam hubungan kerja nelayan pendapatan diperoleh bukan dengan sistem upah atau gaji tetap melainkan dengan sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil didasari oleh kesadaran bahwa usaha penangkapan ikan hasilnya tidak menentu. Jika sedang musim panen ikan untung yang didapat bisa sangat banyak, tetapi pada musim paceklik hasil tangkapan terkadang tidak mampu menutupi biaya operasional. Jika digunakan sistem upah atau gaji tetap maka setiap juragan kapal mempunyai pengeluaran yang tetap setiap bulannya. Hal tersebut tentunya akan menjadi beban bagi juragan kapal karena apabila usaha penangkapan sedang tidak memperoleh keuntungan maka juragan kapal yang harus menanggung kerugiannya. Sistem bagi hasil antara masing-masing kelompok kerja nelayan berbeda, biasanya disesuaikan dengan jenis sarana dalam penangkapan ikan, jumlah ABK serta hubungan antara juragan kapal dan ABK. Sebagai contoh, kelompok kerja Pak PRM menggunaan pola bagi dengan mambagi pendapatan bersih menjadi 15 bagian, 6 bagian diberikan kepada juragan kapal dan 9 bagian dibagikan secara merata kepada ABK. Dalam pola bagi hasil yang diberlakukan oleh Pak PRM, ABK tidak dikenai beban untuk biaya perbaikan kapal, mesin atau alat tangkap. Pak ZR yang juga sebagai juragan kapal memberlakukan pola bagi hasil yang berbeda dalam kelompok kerjanya. Pola bagi hasil yang diterapkan adalah 50% untuk juragan dan 50% untuk dibagikan ke ABK yang berjumlah 7 orang. Namun dalam pola bagi hasil Pak ZR, juragan kapal memperoleh tambahan 10-20% untuk biaya penyusutan mesin, kapal dan jaring. Dari kedua contoh tersebut dapat diketahui bahwa pola bagi hasil yang berlaku sudah sesuai dengan Undang-undang nomor 16 tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan pada pasal 3 ayat 1 yaitu bagi hasil untuk nelayan penggarap yang menggunakan kapal motor minimal 40% dari hasil bersih.73 Namun berdasarkan pasal 4 dari undang-undang tersebut yang mengatur tentang beban-beban tanggungan bersama dan tanggungan nelayan pemilik terdapat ketidaksesuaian. Pola bagi hasil yang berlaku dalam kelompok kerja Pak ZR memasukkan biaya 73
UU nomor 16 tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan pasal 3 ayat 1
41 perbaikan kapal, mesin dan jaring sebagai beban tanggungan bersama. Padahal sesuai dengan pasal 4 tersebut biaya untuk perbaikan kapal, mesin dan alat penangkapan merupakan beban yang menjadi tanggungan nelayan pemilik. Di sisi lain, nelayan mengaku tidak keberatan dengan potongan biaya untuk perbaikan kapal, mesin dan alat tangkap tersebut. Berikut alasan yang diungkapkan responden: “Harga kapal dan mesin itu mahal, jaringnya pun juga mahal. Daripada saya „ngutang‟ untuk beli kapal mesin dan jaring lebih baik seperti ini saja malah nggak kerasa. Kalau „ngutang‟ tidak tahu kapan bisa dilunasi, untuk makan sehari-hari aja udah susah apalagi ditambah untuk lunasi utang perahu yang mahal harganya.”
Pemerintah Kota Semarang dalam hal ini tidak melakukan intervensi meskipun telah diatur jelas dalam undang-undang bahwa biaya penyusutan seharusnya dibebankan kepada juragan kapal. Hal ini dikarenakan tidak adanya keluhan dari pihak nelayan. Adanya sruktur patront-client dalam pola produksi nelayan, dimana juragan sebagai pemilik modal menjadi patron yang memberikan pinjaman untuk modal nelayan (client), menjadikan nelayan tidak merasa dirugikan dengan adanya penambahan biaya penyusutan. Padahal jika diakumulasikan, keuntungan yang diterima juragan menjadi jauh lebih besar dibandingkan nelayan. Kondisi ini menyebabkan nelayan terjebak dengan pola struktur patron-client yang cenderung mengarah kepada bentuk yang eksploitatif. Pola bagi hasil dalam kelompok nelayan ini menunjukkan adanya ketimpangan yang sangat besar antara ABK dengan para juragan kapal. Ketimpangan ini dapat dilihat dari besarnya bagian yang diperoleh juragan kapal dibandingkan dengan bagian yang diperoleh ABK yang menyebabkan terjadinya akumulasi modal oleh para juragan kapal. Seperti yang dikatakan Kusumastanto (2004) dalam Karim (2005) bahwa konsep bagi hasil (profit-loss sharing) antara juragan dan ABK di dalam usaha penangkapan ikan adalah menguntungkan selama masing-masing pihak bertindak benar. Selanjutnya Kusumastanto mengatakan bahwa menurunnya penyusutan nilai mesin, kapal dan alat tangkap akan mengurangi tingkat efektivitas alat tersebut.74 Selain pola bagi hasil dalam kelompok kerja nelayan terdapat juga fasilitas permodalan melalui jaringan kerja nelayan. Jaringan permodalan ini muncul antara masing-masing pelaku usaha perikanan tangkap dengan pelaku usaha di atasnya. Pola permodalan melalui jaringan kerja nelayan dapat dilihat pada jaringan kerja nelayan rajungan di Kota Semarang. Modal awal bagi pedagang pengolah berupa peralatan, teknologi pengolahan rajungan serta teknik dan manajemen usaha pengolahan rajungan diperoleh dari perusahaan eksportir. Biaya modal awal yang diberikan oleh perusahaan eksportir ini dibayar secara berkala 74
Kusumastanto, Tridoyo (2005). Sistem Pembiayaan dan Asuransi Syariah dalam Bisnis Perikanan. Dalam Muhamad Karim [Tesis], op. cit, h. 173. Kusumastanto menjelaskan bahwa aset yang digunakan baik secara teknis maupun ekonomis telah memberikan nilai kegunaan yang berbeda. Beban tanggungan penyusutan aset yang ditanggung bersama-sama antara juragan dan ABK menjadikan usaha penangkapan ikan tidak adil karena ABK juga menerima kerugian dari adanya penyusutan aset.
42 sesuai kesepakatan. Pihak perusahaan eksportir dalam hal ini yang menetapkan standar kualitas dan harga dari rajungan. Hal yang sama juga terjadi pada jaringan kerja dibawahnya yaitu pihak pedagang pengolah kepada bakul dan pedagang pengumpul, pihak pedagang pengumpul dan bakul kepada nelayan rajungan. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, dapat diketahui bahwa nelayan dapat meminjam kepada bakul baik untuk modal maupun kebutuhan sehari-hari dengan jumlah sebesar Rp 500 000.00 hingga Rp 1 500 000.00 dan bakul atau pedagang pengumpul dapat meminjam kepada pihak pedagang pengolah dengan jumlah antara Rp 2 000 000.00 hingga Rp 10 000 000.00. Meskipun dalam pemberian pinjaman tidak ditetapkan bunga pinjaman tetapi para pemberi pinjaman tidak merasa rugi karena mereka bisa memperoleh dan mempertahankan pasokan produk bahan baku pengelolaan rajungan. Pinjaman ini dapat dikatakan sebagai ikatan tidak tertulis agar peminjam selalu menjual rajungan kepada pihak pemodal. Keuntungan lain yang diperoleh pihak pemberi pinjaman yaitu dilihat dari sisi harga, pemberi pinjaman modal biasanya dapat menentukan harga rajungan di bawah harga pasar. Dalam pola permodalan ini dapat dilihat bahwa terjadi ketergantungan industri keuangan (industrial-financial dependence). Seperti yang diungkapan oleh Dos Santos bahwa ketergantungan industri keuangan dilakukan melalui investasi produksi bahan mentah primer untuk tujuan konsumsi negara luar (centre) dengan struktur produksi di dalam negeri tumbuh untuk melayani ekspor sehingga muncul yang dinamakan perkembangan berorientasi luar negeri.75 Sistem Pemasaran Hasil Penangkapan Ikan Masyhuri (2001) membagi kegiatan pemasaran menjadi dua, yaitu kegiatan pemasaran mikro dan kegiatan makro. Kegiatan pemasaran mikro mencakup institusi pemasaran seperti perusahaan pengolahan, pemasok, perantara, pelanggan, pesaing dan konsumen. Sedangkan kegiatan pemasaran secara makro dipengaruhi oleh faktor demografi, ekonomi, alam, teknologi, politik dan kultural dimana semuanya mempengaruhi strategi pemasaran dan jenis barang yang dipasarkan. Masyhuri juga menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi pemasaran hasil penangkapan ikan yaitu jenis kapal dan alat penangkapan, jenis komoditas ikan hasil tangkapan, bentuk produk perikanan yang dipasarkan (segar atau olahan) daerah tujuan pemasaran komoditas (pasar lokal, pasar luar kota, ekspor) dan organisasi atau individu yang melakukan distribusi.76 Pemasaran komoditas perikanan tangkap dari nelayan di Kota Semarang hingga ke konsumen akhir melalui beberapa jalur. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya akses nelayan terhadap pasar, selain itu keterbatasan modal dan karakteristik komoditas ikan yang mudah busuk membuat nelayan ingin menjual ikan secepat mungkin. Oleh karena itu yang berperan dalam pemasaran ikan adalah para bakul, pedagang pengumpul, pedagang besar serta pengusaha pengolahan ikan dan pengusaha jasa transportasi. Berdasarkan hasil penelitian, jenis ikan tangkapan laut utama untuk pasaran ekspor adalah rajungan. Dalam pola pemasaran rajungan, harga rajungan ditetapkan oleh pihak eksportir melalui pedagang pengolah, kemudian pedagang pengolah yang merupakan pengolah rajungan memberikan informasi harga kepada para bakul / 75 76
Sritua Arief dan Adi Sasono, op. cit, h. 28 Masyhuri (Ed). 2001. op. cit, h. 61.
43 pedagang pengumpul yang telah menjadi pemasok tetap rajungan. Nelayan selaku produsen dalam pola pemasaran ini berlaku sebagai price taker karena keterbatasan mereka terhadap akses pasar. Margin yang diperoleh nelayan adalah sebesar 14% sedangkan sebesar 86% diterima oleh pihak non-nelayan yaitu bakul/pedagang pengumpul, pedagang pengolah dan eksportir rajungan. 77 Terdapat tiga ekspotir penerima komoditas rajungan dari Kota Semarang yaitu perusahaan eksportir di Semarang, di Pemalang dan di Rembang. Nelayan
Pedagang Pengumpul
Pedagang Pengolah (mini-plant)
Eksportir Importir
Pasar Lokal Sumber: Data Primer, 2014.
Gambar 4 Pola Pemasaran Komoditas Rajungan Kemampuan nelayan dalam berinteraksi dengan pelaku kegiatan pemasaran hanya sebatas dengan bakul (juragan kapal) saja. Keterbatasan modal dan sarana yang dimiliki oleh nelayan membuat nelayan langsung menjual ikan tanpa adanya proses penambahan nilai jual ikan terlebih dahulu. Seperti yang dikatakan Damanhuri (2000) bahwa komoditas perikanan yang diperdagangkan oleh nelayan tradisional hanya mampu diperdagangkan di pasar lokal dalam bentuk komoditas primer yang tidak memiliki nilai tambah, sedangkan untuk perdagangan antar daerah, nasional dan ekspor pada umumnya dikuasai oleh para kapitalis menengah dan besar yang bersifat oligopolis.78 Nelayan memiliki posisi yang lemah karena keterbatasan modal dan keterbatasan informasi pasar. Keterbatasan modal nelayan membuat nelayan menggantungkan kebutuhan penangkapan kepada juragan kapal yang sekaligus menjadi bakul, karena tidak ada lembaga atau institusi formal (termasuk program kredit dari pemerintah) yang bersedia memberikan pinjaman kepada nelayan tanpa adanya agunan. Keterbatasan informasi menyebabkan nelayan tidak memiliki akses dalam pemasaran ikan, nelayan juga tidak memiliki informasi mengenai harga ikan di pasar sehingga nelayan hanya bisa bertindak sebagai price taker 77
Berdasarkan hasil penelitian harga rata-rata komoditas rajungan di tingkat nelayan adalah sebesar Rp 65 000.00, ditingkat pedagang pengumpul sebesar Rp 67 000.00, ditingkat pedagang pengolah Rp 220 000.00 dan pada pasar internasional harga rata-rata sebesar Rp 461 400.00 78 Didin S. Damanhuri [Orasi Ilmiah]. 2000. op.cit, h 64-65.
44 dalam pola pemasaran ini. Dalam pola pemasaran seperti ini nelayan dihadapkan dengan kondisi pasar monopoli dan monopsoni. Pasar monopoli dihadapi oleh nelayan dalam pemenuhan kebutuhan untuk penangkapan ikan yang dikuasai oleh juragan kapal, sedangkan pasar monopsoni dihadapi oleh nelayan pada saat menjual hasil tangkapan dimana nelayan hanya berhadapan dengan satu pembeli dan harga barang ditentukan oleh pembeli. Kondisi nelayan yang dihadapkan oleh pasar monopoli sekaligus pasar monopsoni ini dapat dihindari dengan adanya peran program pemerintah yang dapat menyentuh sisi permodalan nelayan dan peran TPI sebagai lembaga pemasaran. Kurang dapat diaksesnya program pemerintah oleh seluruh lapisan nelayan membawa dampak pada ketergantungan nelayan terhadap bantuan permodalan dari juragan kapal. Keseriusan pemerintah dalam pembangunan sarana perikanan juga memegang peranan penting, apabila seluruh hasil perikanan tangkap dijual melalui proses lelang di TPI maka nelayan tidak akan memperoleh harga ikan di bawah harga pasar. Distribusi Pendapatan Nelayan Responden Dampak dari kebijakan yang berlaku terhadap nelayan salah satunya dapat dilihat dari distribusi pendapatan. Distribusi pendapatan dapat membuktikan bias atau tidaknya sebuah kebijakan dan program pemerintah. Perbedaan pendapatan antar nelayan responden ditentukan oleh kepemilikan faktor produksi, harga ikan, biaya operasional dan jumlah produksi. Nelayan yang memiliki faktor-faktor produksi biasanya akan memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dari nelayan yang sama sekali tidak memiliki faktor produksi dan hanya menjadi anak buah kapal (ABK) saja. Hal ini disebabkan oleh bagi hasil yang diterima pemilik faktor produksi lebih besar dibandingkan bagian yang diterima oleh ABK. Penelitian ini menggunakan Indeks Gini Ratio pendapatan nelayan untuk melihat distribusi pendapatan nelayan. Koefisien Gini yang ketimpangannya tinggi berkisar antara 0.5-0.7, distribusi pendapatan dengan ketidakmerataan sedang berkisar antara 0.38-0.5, sedangkan distribusi pendapatan yang ketidakmerataannya rendah koefisien gininya berkisar antara 0.2-0.38. Pendapatan rata-rata per kapita dari nelayan responden di Kelurahan Tanjung Mas sebesar Rp 486 892 per bulan dengan pendapatan tertinggi sebesar Rp 8 600 000.00 dan pendapatan terendah Rp 470 000.00. Berdasarkan data Susenas (2011), pengeluaran per kapita per bulan di Kota Semarang pada tahun 2011 yang sebesar Rp 749 403.00 jika dibandingkan maka pendapatan rata-rata per kapita per bulan nelayan responden menunjukkan nilai yang lebih rendah. Pendapatan per kapita per bulan nelayan responden dapat dilihat pada Lampiran 2. Besarnya koefisien gini para responden yang terdiri dari nelayan, pedagang pengumpul dan pedagang pengolah di Kota Semarang adalah sebesar 0.4831. Angka ini menunjukkan bahwa distribusi pendapatan berada pada kategori ketidakmerataan sedang yang berkisar antara 0.38-0.5. Jika dibandingkan dengan koefisien gini Kota Semarang pada tahun 2007-2011 berturut-turut yaitu 0.3014, 0.2649, 0.3710, 0.3224 dan 0.3545 koefisien gini dari nelayan responden lebih tinggi. Hal ini memperlihatkan bahwa meskipun distribusi pendapatan di Kota Semarang tergolong merata tetapi distribusi pendapatan responden nelayan di Tanjung Mas tergolong kurang merata atau tingkat ketidakmerataan pendapatannya sedang.
45 Tabel 19 Distribusi pendapatan responden 1
Pendapatan Kumulatif 470 000
Persen kumulatif 0.46
Peluang (x) 0.02
Yi-1 + Yi (y) 0.46
3
4
1 970 000
1.91
0.06
2.36
0.0014
3
7
3 710 000
3.59
0.06
5.50
0.0033
650 000
4
11
6 310 000
6.11
0.08
9.71
0.0078
725 000
2
13
7 760 000
7.52
0.04
13.63
0.0055
750 000
3
16
10 010 000
9.70
0.06
17.22
0.0103
800 000
3
19
12 410 000
12.02
0.06
21.72
0.0130
945 000
3
22
15 245 000
14.77
0.06
26.79
0.0161
1 130 000
4
26
19 765 000
19.15
0.08
33.92
0.0271
1 500 000
6
32
28 765 000
27.87
0.12
47.02
0.0564
1 800 000
4
36
35 965 000
34.84
0.08
62.71
0.0502
2 200 000
2
38
40 365 000
39.11
0.04
73.95
0.0296
2 550 000
2
40
45 465 000
44.05
0.04
83.15
0.0333
2 900 000
1
41
48 365 000
46.86
0.02
90.90
0.0182
3 470 000
1
42
51 835 000
50.22
0.02
97.07
0.0194
4 200 000
1
43
56 035 000
54.29
0.02
104.50
0.0209
5 138 000
2
45
66 311 000
64.24
0.04
118.53
0.0474
6 230 000
1
46
72 541 000
70.28
0.02
134.52
0.0269
6 500 000
1
47
79 041 000
76.57
0.02
146.85
0.0294
7 380 000
1
48
86 421 000
83.72
0.02
160.30
0.0321
8 200 000
1
49
94 621 000
91.67
0.02
175.39
0.0351
8 600 000
1
50
103 221 000
100.00
0.02
191.67
0.0383
Pendapatan
Frekuensi
FK
470 000
1
500 000 580 000
(x*y)/100 0.0001
0.5169 Koefisien Gini Pendapatan = 1 – 0.5169
0.4831
Sumber: Data Primer, 2014 (diolah). Selain menggunakan kategori ketimpangan menggunakan koefisien gini, dalam penelitian ini digunakan juga kategori ketidakmerataan distribusi pendapatan Bank dunia yaitu dengan mengkategorikan nelayan berdasarkan besarnya prosentase pendapatan 40% nelayan dengan pendapatan rendah. Presentase pendapatan 40% nelayan responden dengan pendapatan terendah yaitu sebesar 12.93%. Jika mengacu pada kategori ketimpangan distribusi pendapatan berdasarkan Bank Dunia maka distribusi pendapatan responden tergolong dalam kategori ketimpangan sedang yaitu presentase dari 40% nelayan responden dengan pendapatan terendah antara 12-17%. Kategori Bank Dunia maupun koefisien gini menunjukkan bahwa distribusi pendapatan respoden tergolong dalam kategori ketidakmerataan sedang, padahal data pendapatan tersebut hanya berasal dari pendapatan nelayan, pedagang pengumpul dan pedagang pengolah, serta belum memasukan pendapatan eksportir. Apabila pendapatan eksportir dimasukkan ke dalam perhitungan koefisien gini maupun kategori Bank Dunia maka tingkat ketimpangan pendapatan responden dalam kategori yang semakin tinggi.
46 Distribusi pendapatan di antara nelayan responden tergolong ketimpangan sedang disebabkan oleh pola hubungan kekuasaan ekonomi dan politik antara nelayan dan juragan kapal, bakul, pedagang dan eksportir yang lebih bersifat eksploitatif. Nelayan yang bekeja untuk juragan kapal tidak mempunyai kekuasaan ekonomi maupun politik dalam pola bagi hasil yang ditentukan juragan kapal karena ketergantungan nelayan dalam hal penyediaan armada dan alat penangkapan. Di sisi lain ketergantungan nelayan kepada modal yang dipinjam dari bakul untuk kebutuhan penangkapan ikan sehari-hari dan juga keterbatasan informasi mengenai kondisi pasar komoditas ikan membuat nelayan dalam posisi yang tidak memungkinkan untuk menentukan harga pemasaran ikan. Intervensi pemerintah dalam program-program pemberdayaan nelayan merupakan salah satu fasilitas terhadap akses permodalan yang mampu memutuskan adanya ketergantungan modal nelayan baik kepada juragan maupun kepada bakul dan pedagang pengumpul ternyata masih bias terhadap kepentingan lapisan atas masyarakat nelayan. Hal ini kemudian menjadi salah satu penyebab terjadinya ketimpangan distribusi pendapatan. Kondisi ini menggambarkan situasi kemiskinan relatif dimana program pemberdayaan yang sesungguhnya merupakan akses permodalan bagi nelayan belum mencakup seluruh lapisan nelayan sehingga mengakibatkan ketimpangan distribusi pendapatan dalam tingkat yang sedang. Kemiskinan Struktural dan Gejala Kompradorisasi Perikanan Tangkap Kota Semarang Kemiskinan Struktural Nelayan Kota Semarang Kemiskinan struktural yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi struktur atau tatanan kehidupan yang tidak menguntungkan 79 KIKIS (2001) dalam Karim membagi dimensi pokok kemiskinan struktural menjadi lima, yaitu dimensi kekuasaan, dimensi kelembagaan, dimensi kebijakan, dimensi budaya dan dimensi lingkungan.80 Dalam penelitian ini dimensi yang digunakan untuk melihat kemiskinan struktural adalah dimensi kekuasaan, dimensi kelembagaan dan dimensi kebijakan. Dimensi kekuasaan melihat aktor-aktor yang terlibat dalam aktivitas penangkapan ikan yaitu nelayan pemilik (juragan kapal), nelayan buruh (ABK), nelayan perorangan, bakul dan pedagang pengolah. Juragan kapal biasanya memiliki satu atau beberapa kapal beserta mesin dan alat penangkapannya. ABK bekerja pada juragan kapal dalam kegiatan penangkapan ikan. Nelayan perorangan memiliki sebuah kapal dan tidak terikat oleh juragan kapal, tetapi biasanya terikat oleh bakul atau pedagang pengolah. Hubungan juragan kepada ABK dan nelayan perorangan terhadap bakul atau pedagang pengolah lebih mengarah kepada hubungan yang eksploitatif yang lebih merugikan ABK dan nelayan perorangan, baik dilihat dari pola bagi hasil yang mengikutsertakan biaya penyusutan kapal maupun dari pola pemasaran yang menetapkan harga hasil tangkapan di bawah harga pasar. Dimensi kelembagaan melihat adanya dua kelembagaan yang berkaitan dengan kegiatan penangkapan ikan, yaitu kelembagaan formal seperti Tempat 79
Didin S. Damanhuri, op. cit, h.97-98 [KIKIS] Kelompok Kerja Indonesia untuk Penangulangan Kemiskinan. 2001. Melawan Pemiskinan. Dalam Muhamad Karim [Tesis] (2005), op. cit, h. 192
80
47 Pelelangan Ikan dan Swamitra Mina LEPP-M3 dan KUB serta kelembagaan non formal seperti kelembagaan bagi hasil. Kelembagaan bagi hasil ditentukan oleh masing-masing juragan kapal berdasarkan alat tangkap. Kelembagaan bagi hasil dalam pola pembagiannya sudah sesuai dengan Undang-undang nomor 16 tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan. Namun dalam penentuan beban-beban tanggungan juragan maupun ABK terdapat tidak kesesuaian yaitu penambahan biaya penyusutan kapal. Hal ini merupakan cara juragan kapal melakukan eksploitasi melalui lembaga bagi hasil dengan menambahkan biaya penyusutan kapal, mesin dan alat tangkap. Padahal jika dilihat lebih jauh ABK yang dikenakan biaya penyusutan tersebut juga merasakan kerugian akibat berubahnya nilai kerja karena berkurangnya nilai aset. Kelembagaan TPI merupakan kelembagaan pada tingkat pemasaran, dalam kelembagaan ini terjadi proses jual beli dengan sistem lelang yang melibatkan ABK, juragan, petugas TPI dan bakul. Kelembagaan TPI pada mulanya dikelola oleh KUD Mina Baruna namun saat ini pengelolaannya sudah beralih ke pemerintah daerah (DKP Kota Semarang). Pelelangan ikan di TPI Tambaklorok diatur dalam Peraturan Daerah Kota Semarang nomor 9 tahun 2010 tentang Tempat Pelelangan Ikan. Dalam setiap proses lelang nelayan dan bakul dikenai biaya retribusi sebesar 3%, pengenaan biaya retribusi yang tidak sesuai dengan undang-undang ini hanya membebani nelayan saja. Hal ini karena tidak adanya peningkatan fasilitas TPI Tambaklorok yang pada akhirnya membantu aktivitas penangkapan ikan oleh nelayan. Peran TPI belum optimal dalam peningkatan kesejahteraan nelayan. TPI yang saat ini pengelolaannya sudah diserahkan kepada pemerintah seharusnya menjadi kelembagaan yang lebih aktif dalam memberikan bantuan nelayan dalam proses produksi dan pemasaran. Kelembagaan Swamitra Mina LEPP-M3 BSM dan KUB merupakan kelembagaan yang terbentuk dari hasil Program PEMP dan Program PUMP, sebagai lembaga penyalur dana bantuan pengembangan masyarakat pesisir. Berdasarkan tujuan dibentuknya, kelembagaan ini ditujukan untuk membantu masyarakat pesisir yang miskin dalam memperoleh modal usaha. Namun pembentukan kelembagaan LEPP-M3 yang bekerjasama dengan Bank Bukopin sebagai pihak perbankan penyalur dana menyebabkan kelembagaan ini lebih mengarah pada aspek finansial saja bukan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan. Dalam pembentukan kelembagaan KUB pun kurang melibatkan partisipasi nelayan kecil, setiap kegiatan yang dilakukan hanya melibatkan pengurus KUB yang terdiri dari kalangan lapisan atas masyarakat nelayan. Sehingga akses dalam permodalan ini masih dikuasai oleh lapisan atas masyarakat nelayan. Kelembagaan yang bersifat formal ini ternyata belum mampu melakukan intervensi terhadap kekuasaan ekonomi dan politik dari juragan kapal dan bakul. Sebagai contohnya pada Program PEMP dan PUMP yang merupakan intervensi dari pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan melalui penyediaan fasilitas modal terhadap nelayan miskin. Namun ternyata fasilitas permodalan yang disediakan oleh pemerintah pun belum mampu diakses oleh nelayan miskin karena pada proses penyaluran dana bantuan modal program tersebut aksesnya dikuasai oleh juragan kapal dan bakul. Keterlibatan Swamitra Mina LEPP-M3, dan KUB yang dikelola oleh juragan kapal serta bakul menyebabkan kedua program tersebut hanya dikuasai oleh masyarakat lapisan atas dari kegiatan
48 penangkapan dan pemasaran ikan. Akibatnya hanya lapisan kaya dari masyarakat nelayan yang dapat meningkatkan taraf hidupnya, sedangkan lapisan termiskin dari masyarakat nelayan semakin terpinggirkan. Dimensi yang selanjutnya adalah dimensi kebijakan, dalam dimensi ini dapat dilihat pola pengambilan keputusan terhadap kebijakan yang kurang melibatkan masyarakat. Pelaksanaan pembangunan yang dilakukan lebih mengarah kepada pemborosan karena masyarakat tidak dilibatkan dalam perencanaan pembangunan. Sebagai contoh adalah tidak berfungsinya TPI Mangkang Kulon dan PPI Tambaklorok. Tidak dilibatkannya masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan menyebabkan sarana tersebut tidak dapat digunakan oleh nelayan karena memang tidak dipenuhinya fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan oleh nelayan. Pola program pemberdayaan masyarakat yang bersifat jangka pendek sangat berpotensi memunculkan tindakan moral hazard berupa penyelewengan dana program. Dalam pelaksanaannya juga tidak sesuai dengan sasaran awal program sehingga dana bantuan lebih mudah untuk diselewengkan. Program jangka pendek pada akhirnya membuat program ini tidak efektif dan tidak berkelanjutan. Kemiskinan struktural di lingkungan nelayan lapisan bawah semakin memburuk ketika pemerintah sebagai pelaksana program pemberdayaan beranggapan bahwa kemiskinan nelayan disebabkan oleh kesalahan dalam mengatur pengeluaran dan sifat konsumtif nelayan. Sehingga pemerintah tidak melihat penyebab kemiskinan lebih jauh lagi yaitu ketimpangan struktur ekonomi dan politik dalam masyarakat nelayan. Dalam lingkup pemerintah kota proses pemiskinan struktural juga terjadi yaitu dengan ditambahkannya biaya retribusi pada seluruh nelayan kecil. Kebijakan fiskal ini semakin menambah beban nelayan karena adanya pemberian retribusi perikanan tetapi tidak ada peningkatkan fasilitas di Tempat Pelelangan Ikan yang dapat dirasakan oleh nelayan kecil. Gejala Kompradorisasi Perikanan Tangkap Kota Semarang Kompradorisme berdasarkan pemikiran Neo-Marxis yaitu proses pelancaran dan perlindungan terhadap modal asing melalui jaringan kerjasama antara pemodal asing, pengusaha domestik dan elite yang berkuasa yang kemudian menyebabkan terjadinya pengalihan keuntungan (surplus transfer) dari lokal ke luar.81 Gejala kompradorisasi dilihat dengan membagi dua dimensi yaitu dimensi mikro dan dimensi makro. Dimensi mikro dilakukan dengan mengamati hasil pola pemasaran dan masuknya aliran modal untuk melihat apakah terjadi transfer surplus dari ABK atau nelayan perorangan ke juragan dan pedagang atau eksportir ikan serta bagaimana peran elit yang berkuasa pada fenomena tersebut. Dari hasil penelitian diketahui bahwa terdapat dua jalur dalam aliran masuknya modal dari luar Semarang. Jalur aliran masuknya modal yang pertama yaitu dari pemerintah pusat melalui Program PEMP dan Program PUMP. Program PEMP yang dilakukan dengan membentuk lembaga Swamitra Mina LEPP-M3 BSM dan Program PUMP yang dikelola oleh Tim Teknis DKP terbukti tidak mampu meningkatkan kesejahteraan lapisan terbawah dalam masyarakat nelayan. Dana bantuan ini hanya diterima oleh lapisan atas dari masyarakat nelayan. Pada 81
Lihat Sritua Arief dan Adi Sasono. op. cit, h. 22
49 akhirnya lapisan masyarakat bawah tetap bergantung pada modal dari elit institusi lokal seperti juragan dan bakul. Ketergantungan ABK terhadap juragan dan bakul ini telah menciptakan hubungan kerja yang eksploitatif dalam pola bagi hasil dengan adanya penambahan biaya penyusutan kapal, mesin dan alat tangkap yang seharusnya menjadi beban bagi juragan kapal. Pola bagi hasil yang eksploitatif pada akhirnya menyebabkan adanya transfer surplus dari ABK ke juragan kapal. Proses masuknya modal pada jalur pertama tidak diwarnai gejala kompradorisasi tetapi memunculkan adanya penguasaan dana program oleh kelompok-kelompok tertentu dan tindakan moral hazard. Jalur aliran masuknya modal yang kedua yaitu melalui pola pemasaran komoditas rajungan. Aliran modal ini pada prakteknya memperlihatkan bahwa adanya kelebihan surplus (surplus values) dari nelayan pada tingkat produsen menuju tingkat pemasaran di atasnya. Hal tersebut terlihat dari besarnya margin yang diterima nelayan yaitu 14% dan 86% margin jatuh kepada pihak lain selain nelayan disebabkan oleh hambatan struktural. Kelebihan surplus yang jatuh kepada tingkat pemasaran diatasnya terjadi karena adanya penentuan harga sepihak oleh perusahaan eksportir, sehingga nelayan dalam hal ini hanya menjadi price taker. Kebijakan harga barang yang ditentukan oleh pihak eksportir yang bekerja sama dengan jaringan importir luar negeri telah menyebabkan situasi pasar oligopoli di dalam pola pemasaran rajungan di Kota Semarang. Eksportir mendapatkan margin sebesar 52% dengan adanya penentuan harga sepihak. Padahal rata-rata produksi rajungan di Semarang dalam tiga tahun terakhir sebesar 101 ton seluruhnya berasal dari produksi kelompok nelayan kecil. Margin sebesar 52% tersebut merupakan super normal profit yang diperoleh eksportir melalui proses eksploitasi di Kota Semarang yang menyebabkan transfer surplus dengan perlindungan dari DKP setempat. Hal tersebut sebenarnya dapat dicegah dengan intervensi DKP selaku elit penguasa dalam sektor perikanan Kota Semarang dengan cara mewajibkan seluruh komoditas perikanan tangkap dipasarkan melalui pelelangan di TPI sehingga nelayan dapat terlindungi dari sisi harga. Mengingat sejak tahun 2011 pengelolaan TPI telah dialihkan kepada DKP Kota Semarang melalui Perda nomor 9 tahun 2010 tentang Tempat Pelelangan Ikan. Namun, DKP selaku pengelola TPI melakukan pembiaran atas praktek pemasaran diluar TPI yang pada akhirnya membuat nelayan terjebak dengan harga rajungan di bawah harga pasar. Sehingga dapat dikatakan bahwa DKP selaku elit penguasa pada pola pemasaran perikanan merupakan kelas komprador yang membantu upaya perpindahan surplus dari nelayan ke pihak eksportir. Diduga dalam hal ini adanya gejala kompradorisasi dilindungi oleh HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia) selaku kelompok nelayan yang tidak mampu melakukan tugas dan fungsinya sebagai organisasi nelayan karena bias kepada kepentingan para juragan serta APRI (Asosiasi Pengelolaan Rajungan Indonesia) sebagai kelompok yang melindungi kepentingan para eksportir rajungan Indonesia. Diduga para komprador memperoleh bagian dari margin yang seharusnya jatuh ke tangan nelayan sekitar 20-30%.
50
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Kebijakan perikanan tangkap dalam pembangunan sarana dan prasarana perikanan tangkap dapat dikatakan kurang efektif karena dari tiga TPI yang ada di Kota Semarang hanya satu yang dapat berfungsi dan kondisinya pun tidak layak, bahkan nelayan masih melakukan penjualan ikan di luar TPI. Kebijakan perikanan tangkap melalui program pemberdayaan dan program pengembangan usaha masyarakat nelayan pada pelaksanaannya hanya menyentuh lapisan atas dari masyarakat nelayan yaitu juragan kapal dan bakul. Lapisan termiskin dari masyarakat nelayan tidak dapat mengakses dana program tersebut dikarenakan faktor penguasaan terhadap modal dan kedekatan dengan pengelola program. 2. Hasil analisis terhadap pendapatan nelayan responden menunjukkan terjadinya ketimpangan dalam taraf yang sedang dalam distribusi pendapatan responden, yang ditunjukkan dengan angka koefisien gini pendapatan responden sebesar 0.4831. Hal ini menunjukkan terjadinya kemiskinan relatif akibat tidak meratanya kebijakan dan kemiskinan struktural dilihat dari dimensi kekuasaan, dimensi kelembagaan dan dimensi kebijakan. 3. Terdapat aliran modal masuk ke Kota Semarang yaitu melalui pola pemasaran, dalam aliran masuk modal tersebut terdapat gejala kompradorisasi dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang sebagai kelas komprador yang melakukan pembiaran terhadap praktek pemasaran ikan di luar pelelangan di TPI sehingga tidak dapat melindungi nelayan dari proses transfer surplus kepada kapitalis nasional. Saran Saran yang bisa direkomendasikan berdasarkan hasil dari penelitian adalah sebagai berikut: 1. Pemerintah dalam merumuskan kebijakan baik untuk pembangunan sarana perikanan tangkap maupun pemberdayaan nelayan dan pengembangan usaha perikanan tangkap sebaiknya menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat nelayan sehingga dalam implementasinya kebijakan tersebut mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan dan juga tidak menimbulkan ketidakadilan sosial dalam masyarakat nelayan. 2. Dalam menentukan kebijakan pembangunan ada baiknya jika menggunakan indikator kemiskinan struktural sehingga dapat mengurangi hambatanhambatan struktural di masyarakat nelayan. 3. Antisipasi terhadap gejala kompradorisasi perlu dilakukan sehingga tidak terjadi transfer surplus ke luar Kota Semarang. Pada tingkat Kota Semarang perlu adanya peningkatan kesadaran pengusaha lokal dari ketergantungan terhadap elit pengusaha luar.
51
DAFTAR PUSTAKA Apridar, Muhamad Karim, Suhana. 2011. Ekonomi Kelautan dan Pesisir. Yogyakarta: Graha Ilmu. Arief, Sritua dan Adi Sasono. 1984. Ketergantungan dan Keterbelakangan. Jakarta: Sinar Harapan. Arsyad, Lincolin. 1999. Ekonomi Pembangunan. Yogyakarta: STIE YKPN. Azizy, Auhadillah. 2009. Analisis Keterkaitan Daya Dukung Ekosistem Terumbu Karang dengan Tingkat Kesejahteraan Nelayan Tradisional (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta) [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. [BAPPENAS] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Indonesia dan Japan International Coorperation Agency (JICA). 2014. Analisis Pencapaian Nilai Tukar Nelayan (NTN). Jakarta: Direktorat Kelautan dan Perikanan Bappenas. Diakses pada 9 Januari 2014. Dapat diunduh dari www.greenclimateproject.org/files/index.php?action=downloadfile&filena me=lapakhntn.pdf&directory=Book/Background%20Study%20Final%20 Report& [BPS] Badan Pusat Statistika Kota Semarang. 2013. Kota Semarang Dalam Angka 2013. Semarang: BPS Kota Semarang Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. [BAPPEDA] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Semarang. 2013. Perubahan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) Kota Semarang tahun 2013. Semarng: Bappeda Kota Semarang Caporaso, James A dan David P. Levine. 2008. Teori-Teori Ekonomi Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Damanhuri, Didin S. 2000. Paradoks Pembangunan Ekonomi Indonesia dan Perspektif Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di Sektor Pertanian dan Perikanan [Orasi Ilmiah 25 November 2000]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. ________________ .2010. Ekonomi Politik dan Pembangunan: Teori, Kritik dan Solusi bagi Indonesia. Bogor: IPB Press. [DKP] Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang. Perikanan Dalam Angka 2013. Semarang: Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Semarang. Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. 2010. Himpunan Peraturan Perundangundangan di Bidang Perikanan Tangkap tahun 2010. Jakarta: Sekretariat Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan. ________________________________. 2010. Statistika Perikanan Tangkap Indonesia 2010. Jakarta: Sekretariat Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan. [FAO] Food and Agriculture Organization. 2007. Food Outlook November 2007. United States: FAO. Diakses pada 9 Desember 2013. Dapat diunduh dari www.fao.org/docrep/010/ah876e/ah876e00.pdf ___________________________________. 2009. Food Outlook December 2009. United States: FAO. Diakses pada 9 Desember 2013. Dapat diunduh dari www.fao.org/docrep/012/ak341e/ak341e00.pdf
52 ___________________________________. 2011. Food Outlook November 2011. United States: FAO. Diakses pada 9 Desember 2013. Dapat diunduh dari www.fao.org/docrep/014/al981e/al981e00.pdf ___________________________________. 2013. Food Outlook November 2013. United States: FAO. Diakses pada 9 Desember 2013. Dapat diunduh dari www.fao.org/docrep/019/i3473r/i3473r.pdf Karim, Muhamad. 2003. Problem Ekonomi Politik Kemiskinan Nelayan [artikel]. Sinar Harapan: 20 Agustus 2003. Diakses pada 13 Oktober 2013. www.ut.ac.id/html/suplemen/mapu5102/menuekopolitik l ______________. 2005. Analisis Kemiskinan dan Kesenjangan Pembangunan Di Kawasan Pesisir Kabupaten Karawang dan Sukabumi Jawa Barat [Tesis]. Bogor: IPB. Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Nomor KEP. 32/ KEPDJPT/2014 tentang Pedoman Teknis Pelaksanaan Kegiatan Pengembangan Usaha Mina Pedesaan Bidang Perikanan Tangkap tahun 2014. Khohar, Abdul dan Aristi Dian P.F. 2004. Analisis Trap Net Sebagai Alat Penangkapan Ikan Hias Karang Ramah Lingkungan di Perairan Karimun. Semarang: Universitas Diponegoro. Kusnadi. 2009. Keberdayaan Nelayan & Dinamika Ekonomi Pesisir. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Lee, Antony. 2010. Janji Manis di Tambaklorok [berita]. Kompas.com: 22 November 2010. Diakses pada tanggal 19 Juni 2014. http://regional.kompas.com/read/2010/11/22/05515288/Janji.Manis.di.Ta mbaklorok Listianingsih, Windi. 2008. Sistem Pemasaran Hasil Perikanan dan Kemiskinan Nelayan (Studi Kasus: di PPI Muara Angke, Kota Jakarta Utara) [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Martasuganda, Sulaeman. 2008. Jaring Insang (Gillnet). Bogor: PKSPL IPB Masyhuri (Ed). 2001. Adaptasi Nelayan dalam Pemanfaatan Sumber daya Laut: Aspek Kelembagaan Ekonomi. Jakarta: P2E-LIPI. Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi. 2012. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara. Pangemanan, Jeannete F. 1994. Tingkat Kesejahteraan dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pendapatan Nelayan di Pessir Pantai Sulawesi Utara [Tesis]. Manado: KPK Institut Pertanian Bogor-Universitas Sam Ratulangi. [PEMKOT] Pemerintah Kota Semarang. 2003. Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) Kelurahan Tanjung Mas, Kota Semarang 2003. Semarang: Kelurahan Tanjung Mas, Kecamatan Semarang Utara. Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 9 tahun 2010 tentang Tempat Pelelangan Ikan. Purbayanto, Ari. 2007. Trawl Ramah Lingkungan [Diskusi Nasional Pengelolaan Trawl] Bogor: Institut Partanian Bogor. Diakses pada tanggal 18 Juni 2014. http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/41987/prosiding%2 0diskusi%20nasional%20pengelolaan%20trawl5.pdf?sequence=1
53 Satria, Arif. 2000. Modernisasi Perikanan dan Mobilitas Sosial Nelayan, Studi Kasus Kelurahan Krapyak Lor Kodya Pekalongan Jawa Tengah [Tesis]. Bogor: IPB. __________. 2009. Ekologi Politik Nelayan. Yogyakarta: LkiS. __________. 2009. Pesisir dan Laut untuk Rakyat. Bogor: IPB Press. Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta. [SUSENAS] Survei Sosial Ekonomi Nasional. 2011. Pemerataan Pendapatan dan Pola Konsumsi Penduduk Kota Seamarang 2011. Semarang: BPS Kota Semarang Kerjasama Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Tridoyo Kusumastanto. 2002. Orasi Ilmiah: Reposisi “Ocean Polisy” dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia di Era Otonomi Daerah. Bogor: PKSPL-IPB. Undang-undang Nomor 16 Tahun 1964 tentang Bagi Hasil Perikanan. Undang-undang Nomor 45 tahun 2009 tentang perubahan Undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Yustika, Ahmad Erani. 2012. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan Kebijakan. Jakarta: Erlangga.
54
LAMPIRAN Lampiran 1 Peta Lokasi Penelitian
.
55 Lampiran 2 Distribusi Pendapatan Nelayan Responden No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38
Pendapatan per bulan (Rupiah) 470 000 500 000 500 000 500 000 580 000 580 000 580 000 650 000 650 000 650 000 650 000 725 000 725 000 750 000 750 000 750 000 800 000 800 000 800 000 945 000 945 000 945 000 1 130 000 1 130 000 1 130 000 1 130 000 1 500 000 1 500 000 1 500 000 1 500 000 1 500 000 1 500 000 1 800 000 1 800 000 1 800 000 1 800 000 2 200 000 2 200 000
Jumlah AK (jiwa) 4 2 4 4 3 4 5 2 3 4 6 3 5 2 3 6 2 3 6 3 4 6 3 3 4 5 3 4 4 5 5 6 2 4 5 6 5 7
Pendapatan per kapita per bulan 117 500 250 000 125 000 125 000 193 333 145 000 116 000 325 000 216 667 162 500 108 333 241 667 145 000 375 000 250 000 125 000 400 000 266 667 133 333 315 000 236 250 157 500 376 667 376 667 282 500 226 000 500 000 375 000 375 000 300 000 300 000 250 000 900 000 450 000 360 000 300 000 440 000 314 286
56 39 2 550 000 40 2 550 000 41 2 900 000 42 3 470 000 43 4 200 000 44 5 138 000 45 5 138 000 46 6 230 000 47 6 500 000 48 7 380 000 49 8 200 000 50 8 600 000 Jumlah 103 221 000 Pendapatan rata-rata per kapita per bulan
3 3 3 6 6 7 4 5 5 4 6 5 212
850 000 850 000 966 667 578 333 700 000 734 000 1 284 500 1 246 000 1 300 000 1 845 000 1 366 667 1 720 000 24 097 036 486 892
57 Lampiran 3 Rencana Kegiatan Penelitian
Kegiatan Survei lapangan Mencari responden Mencari data sekunder Bimbingan Mencari data primer (wawancara) Mengolah data Bimbingan Persiapan seminar Seminar Revisi Bimbingan Sidang Skripsi
Maret 1 2 3 4
1
April 2 3
4
1
Mei 2 3
4
58
RIWAYAT HIDUP Candri Yuniar Roisy dilahirkan di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah pada tanggal 03 Juni 1993. Penulis merupakan anak kedua dari pasangan Bapak Sjahbuddin Ezzat dan Ibu Sri Dwiana Rusmiwahjani. Penulis merupakan adik dari seorang kakak bernama Okti Syah Isyani Permatasari dan kakak dari empat orang adik yang bernama Kemal Adam Roisy, Arif Abdul Rahman Roisy, Lela Hasna Faizati dan Usman Abdul Jabbar Roisy. Penulis menempuh pendidikan formal di SDIT Nur Hidayah Surakarta tahun 1998-2004. Kemudian penulis melanjutkan sekolah di SMP Negeri 5 Semarang selama 3 tahun. Setelah lulus SMP pada tahun 2007, penulis melanjutkan sekolah di SMA Negeri 3 Semarang sampai tahun 2010. Pada tahun 2010, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan terdaftar sebagai salah satu penerima Beasiswa Bidik Misi. Selama mengikuti pendidikan di IPB, penulis aktif dalam beberapa organisasi kampus seperti Divisi Sumber Daya Manusia (SDM) UKM Gentra Kaheman dan Divisi Discussion and Analysis (DNA) HIPOTESA FEM IPB. Penulis juga pernah mengikuti beberapa perlombaan seperti Juara 3 Aerobik pada tahun 2012 dan 2013 dalam The 6th Sportakuler dan The 7th Sportakuler FEM IPB dan Juara 2 Economic Championship 2013 HIPOTESA FEM IPB. Selain aktif dalam organisasi di dalam kampus, penulis juga aktif dalam kegiatan di luar kampus yaitu menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Bogor komisariat FEM dan sebagai Ketua Umum KOHATI HMI cabang Bogor komisariat FEM tahun 2015. Penulis berharap dapat mengembangkan diri dan meningkatkan prestasi serta mampu berkontribusi positif bagi masyarakat.